Anda di halaman 1dari 20

Gerakan Papua Merdeka

Latar Belakang

Dalam beberapa tahun terakhir ini kita mendengar mengenai kejadian-kejadian yang
mengejutkan terjadi di Papua, yaitu kasus pengibaran bendera Bintang Kejora, penguasaan
sebuah bandara di propinsi Wamena, penyerangan terhadap kantor polisi, dan yang terakhir
adalah penembakan terhadap seorang WNA asal Australia dan 2 orang warga Indonesia yang
bekerja di PT.Freeport Indonesia di Tembagapura tanggal 12 Juli lalu. Dimana semuanya ini,
dapat dipastikan merupakan tindakan dari Gerakan Papua Merdeka, hanya saja pada kasus
terakhir, yaitu kasus penembakan terhadap seorang WNA itu masih merupakan suatu
kemungkinan dilakukan oleh Gerakan Papua Merdeka.

Bendera Organisasi Papua Merdeka

Berdasarkan berbagai sumber yang kami dapat, kami menyimpulkan bahwa Gerakan
Papua Merdeka melakukan tindakan-tindakan ini untuk menuntut kemerdekaan Papua, karena
mereka merasa terdiskriminasi dalam hal pembangunan dibanding dengan daerah daerah lain,
khususnya di pulau jawa. Terlebih lagi kekayaan alam yang ada di papua lebih banyak
digunakan untuk membangun pulau jawa daripada untuk mengembangkan papua sendiri.

Tindakan yang dilakukan Gerakan Papua Merdeka ini meresahkan Indonesia, karena hal
ini mengganggu stabilitas dan keamanan nasional Indonesia. Tentu saja pemerintah Indonesia
tidak tinggal diam begitu saja.

Berbagai cara telah dilakukan pemerintah Indonesia, tetapi masalah ini belum bisa
dianggap selesai, oleh karena itu kita harus turut serta mencari pemecahan, sehingga masalah ini
dapat segera teratasi.
Pembahasan

Selama ini sikap Pemerintah Indonesia terhadap Gerakan Papua Merdeka atau OPM
selalu bersifat keras dan represif, sebab sudah beberapa kali OPM melalukan aksi teror dan
penyerangan terhadap fasilitas-fasilitas pemerintah. Semenjak era pemerintahan Soeharto tercatat
beberpa kali terjadi serangan besar yang dilakukan oleh OPM seperti serangan terhadap kota
Jayapura yang dengan mudah dibasmi oleh TNI, lengkap dengan aksi-aksi pembersihan oleh
BIN.

Setelah pembentukan OPMRC (OPM Revolutionary Council) pada tahun 1982 oleh
Mosses Werror yang merupakan badan komando militer OPM yang sangat radikal dan tidak
akan berkompromi dengan pemerintah RI, operasi-operasi yang dilakukan oleh OPM semakin
berani, terutama setelah mereka mendapatkan dukungan rakyat papua pada tahun 1990-an.

Semenjak pemerintah mempromosikan Papua sebagai tempat investasi dan masuknya


perusahaan-perusahaan asing berskala internasional (Freeport-McMoRan), kondisi OPM makin
kuat karena muncul kebencian terhadap pemerintah Jakarta. Kebencian ini muncul akibat
pengurasan sumber daya alam oleh perusahaan asing dan terutama akibat dukungan perusahaan-
perusahaan tersebut pada tindakan represif Indonesia.

Gerakan Papua Merdeka mulai muncul semenjak diberlakukan otonomi khusus pada
Papua dan pemekaran wilayah Papua menjadi 2 propinsi: Papua dan Papua Barat aksi-aksi
kekerasan oleh OPM tidak juga surut. Hal ini tentu menarik keprihatinan kita mengingat bukan
polisi atau tentara yang terbunuh, melainkan warga sipil yang tidak bersalah dan seorang warga
asing, yang tentu akan menyebabkan nama Indonesia makin jelek di mata dunia. Maka untuk
mengetahui mengapa dan bagaimana OPM ini muncul, kita harus mundur ke era tahun 1960-an
di mana Indonesia masih mencoba memasukkan Papua Barat dalam wilayahnya. Pada tahun
1949, setelah seluruh pasukan Jepang dan Amerika yang bertempur di Papua ditarik, Belanda
mulai masuk dan mengembalikan lagi kekuasaan kolonialnya di Papua. Dalam perjanjian
Pengakuan Kemerdekaan Indonesia pada tahun yang sama, Papua tidak termasuk dalam
perjanjian tersebut. Dan pada masa-masa sesudahnya Belanda mencoba membuat Negara Papua.
Diawali dengan terbentuknya Dewan Papua pada April 1961 dan pembentukan institusi-institusi
seperti layaknya negara, juga pelatihan agar orang-orang Papua dapat mandiri.

Tetapi, karena takut bahwa nantinya Indonesia bisa bersekutu dengan Uni Soviet dan
RRC maka pemerintah AS mencoba melobi dan memaksa agar Belanda menyerahkan Papua
kepada Indonesia agar hubungan AS-Indonesia bisa membaik. Akhirnya pada tahun 1969
diadakan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang memutuskan Papua masuk ke wilayah
Indonesia.

Penduduk asli Papua merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan
bagian Indonesia yang lain (dan memang pada kenyataanya juga tidak) maupun negara- negara
Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah
perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah
tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia.
Perjanjian tersebut oleh sebagian masyarakat Papua tidak diakui dan dianggap sebagai
penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.

Akibat hal ini, Oom Nicolas Jouwe, Seth Jafeth Roemkorem, Jacob Hendrik Prai
merencanakan proklamasi kemerdekaan Papua pada tanggal 1 Juli 1971. Tetapi, perselisihan
antara Roenkorem dan Hendrik Prai menyebabkan OPM terpecah sebagai sebuah kekuatan
militer dan menyebabkan kegagalan pendirian negara Papua. Sementara, pembasmian oleh
militer Indonesia di bawah pimpinan Soehato semakin melemahkan OPM

Tahun 1982 Dewan Revolusioner OPM didirikan dimana tujuan dewan tersebut adalah
untuk menggalang dukungan masyarakat internasional untuk mendukung kemerdekaan wilayah
tersebut. Mereka mencari dukungan antara lain melalui PBB, GNB, Forum Pasifik Selatan dan
ASEAN. Mereka juga berusaha melakukan aksi-aksi teror terhadap para pendatang dari
Indonesia serta para pekerja asing.

Tentu adanya Gerakan Papua Merdeka di Papua ini mendapat tanggapan dari rakyat
Papua sendiri. Dimana, rakyat Papua merupakan kumpulan dari ras Negroid Melanesia. Ada
beberapa pembagian terhadap orang Papua.
Satu, golongan terbesar, yang merupakan kelompok tradisional. Sebagian besar dari
mereka tinggal di daerah terpencil yang sulit dijangkau di hutan-hutan. Mereka juga umumnya
buta huruf, buta pendidikan, dan hidup sederhana dengan berburu dan bertani. Mereka juga
umumnya tidak peduli dengan politik. Mereka biasanya anti terhadap orang-orang diluar suku
mereka. Tetapi mereka menaruh simpati pada OPM yang dianggap sebangsa. Terutama
semenjak perusahaan pertambangan asing mulai melakukan perusakan lingkungan di Papua

Kedua, adalah mereka yang berpendidikan tinggi serta berwawasan luas. Mereka ini
adalah kaum terpelajar dan telah menyaksikan ketimpangan sosial antara Papua dan daerah lain
di Indonesia, Jawa misalnya. Mereka biasanya bersikap mendukung gerakan OPM.

Ketiga, adalah orang-orang yang duduk di pemerintahan, aparat-aparat pemerintah, dan


para pengusaha. Mereka adalah orang-orang yang mendukung pemerintah Jakarta karena merasa
mendapatkan keuntungan darinya.

Keempat, adalah golongan orang-orang biasa kelas menengah ke bawah yang tinggal di
kota-kota dan daerah urban. Sikap mereka netral, tidak mau ambil pusing, dan terutama
menghindari masalah baik dengan OPM maupun Pemerintah RI.

Tindakan pemerintah yang diambil oleh pemerintah untuk menghadapi Gerakan Papua
Merdeka selama ini selalu represif. Mereka menganggap OPM adalah organisasi teroris dan
harus dibasmi dengan kekuatan militer. Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat seakan-akan
ditujukan bagi kelanggengan investor asing untuk menanamkan modalnya di Papua. Selain itu,
pemerintah juga kurang memperhatikan kondisi pembangunan ekonomi dan pendidikan di
Papua. Akibatnya, Papua menjadi propinsi yang paling terbelakang di Indonesia padahal Papua
adalah propinsi dengan sumber daya alam terbesar di Indonesia. Di bawah ini adalah beberapa
contoh tindakan represif oleh pemerintah RI

Pada Januari dan Agustus 1996, OPM menyandera beberapa warga negara asing dan
warga Indonesia; pertama dari kelompok peneliti dan kedua dari tempat pemotongan kayu.
dalam aksi ni seorang sandera terbunuh dan sisanya berhasil dibebaskan oleh TNI.
Juga, pada Juli 1998, OPM mengibarkan bendera Bintang Kejora di sebuah menara air di
kota Biak dan bertahan di sana selama beberpa hari sebelum TNI membasmi mereka. Tetapi
berdasarkan laporan dari penduduk lokal terjadi pembantaian dalam tindakan tersebut. Masih
banyak kasus-kasus yang lebih kecil lagi yang biasanya ditumpas pemerintah dengan militer.

Terbentuknya Organisasi Papua Merdeka (Opm)

OPM itu lahir dan tumbuh di Irian Jaya yang pada awalnya terdiri dari 2 (dua) faksi
utama yaitu organisasi atau faksi yang didirikan oleh Aser Demotekay pada tahun 1963 di
Jayapura dan bergerak dibawah tanah. Faksi ini menempuh jalan kooperasi dengan pemerintah
Indonesia serta mengaitkan perjuangannya dengan gerakan Cargo yang bercirikan spiritual yaitu
campuran antara agama adat/gerakan Cargo dan agama Kristen. Organisasi ini muncul ke
permukaan pada tahun 1970 setelah selesai PEPERA dan terus aktif membina para pengikutnya
di Kabupaten Jayapura terutama di kecamatan-kecamatan pantai timur, pantai barat, Depapre dan
Genyem. Salah satu anak binaan Aser Demotekay adalah Jacob Pray.

Menurut pengakuan Aser Domotekay, bentuk perjuangan yang dilakukan untuk


mencapai kemerdekaan Papua atau Irian Jaya adalah kerja sama dengan pemerintah Indonesia. Ia
meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menyerahkan kemerdekaan kepada Irian Jaya
sesuai dengan Janji Alkitab, Janji Leluhur dan Janji tanah ini bahwa bangsa terakhir yang
terbentuk dan menuju akhir jaman adalah bangsa Papua. Dalam pembinaan massa pengikutnya,
ia selalu memberikan pengarahan yang berkaitan dengan agama, adat istiadat/gerakan Cargo adat
dan melarang tindakan Radikal dalam mencapai tujuan kemerdekaan Papua. Untuk mendukung
aktivitasnya maka ia menulis beberapa artikel Rohani dengan menyisipkan pesan-pesan politik
didalamnya. Organisasi ini tidak diberikan nama dengan tegas tapi merupakan usaha persiapan
bagi kemerdekaan Papua Barat (West Papua) yang diketuai oleh Aser Demotekay, dan seorang
pembantu umum. Untuk kepentingan keamanan, maka nama dari anggota organisasi lainnya
tidak diungkapkan. Dalam petualangannya, Aser Demotekay adalah pensiunan Pegawai Negeri
Sipil daerah Propinsi Irian Jaya beberapa kali harus berurusan dengan pihak keamanan yaitu
ditahan dan diinterogasi, serta selalu mengaku akan perbuatannya yang dilakukan sendiri.
Secara organisasi kegiatan OPM pimpinan Aser Demotekay ini merupakan kegiatan
Cargo Cults versi baru dan sangat tergantung pada Aser Demotekay sendiri apalagi dengan
semakin tuanya Aser Demotekay sedang proses kaderisasi tidak dilakukan. Aktivitas OPM
pimpinan Aser Demotekay ini tidak efektif apalagi tidak radikal, walaupun Jacob Pray dalam
kondisi-kondisi tertentu harus memilih jalan yang radikal untuk melindungi diri serta
mewujudkan keinginannya. Organisasi ini tidak mempunyai suatu perencanaan yang matang
program-program apa yang harus dilakukan baik dalam jangka pendek, menengah dan jangka
panjang. Adapun kegiatan yang dilakukan selama ini hanya berupa pengarahan-pengarahan,
penyampaian pesan-pesan serta harapan dan dilakukan secara temporer saja sesuai dengan
kesempatan dan kebutuhan. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa wilayah kabupaten Jayapura
merupakan wilayah operasi militer pada tahun-tahun 1970 hingga kini. Jadi bila rakyat
dikampung-kampung mengalami hal-hal yang kurang baik dari pihak militer, maka Aser
Demotekay selalu mengirim pesan agar rakyat selalu bersabar dalam menghadapi penderitaan itu
sebab penderitaan itu sebentar saja dan segera akan berakhir sesuai dengan waktu Tuhan yang
kian mendekat dan menuju pada kemerdekaan Papua.

Aser Demotekay juga dalam aktivitasnya tidak lepas dari bagaimana berusaha untuk
berkomunikasi dengan Jacob Pray mulai dari pedalaman Irian Jaya hingga ke luar negeri. Bentuk
komunikasi yang dilakukan adalah dengan mengirimkan surat melalui kurir melintasi perbatasan
untuk menginformasikan berbagai peristiwa dan keadaan yang terjadi di Irian Jaya pada
umumnya dan khususnya keadaan di Jayapura.

Aser Demotekay mendirikan atau membuat aktivitas ini atas 2 (dua) alasan pokok, yaitu

1. Menurut pesan-pesan spiritual bahwa pada masa mendatang Irian Jaya harus mencapai
kemerdekaannya sebagai bangsa yang terakhir dan menuju kepada akhir dari jaman ini.
2. Bahwa sebagai bangsa Papua yang persoalannya dipersengketakan antara Belanda dan
Indonesia tanpa melibatkan bangsa Papua itu sendiri adalah tidak Adil, maka bansa Papua
harus diberikan kesempatan untuk merdeka lepas dari Indonesia dan untuk itu dipersiapkan
oleh pemerintah Indonesia. Makna melibatkan bangsa Papua adalah dengan melibatkan
anggota Nieuw Guinea Raad sebagai wakil bangsa Papua.
Faksi yang kedua didirikan di Manokwari pada tahun 1964 dibawah pimpinan Terianus
Aronggear (SE) yang pada mulanya bergerak dibawah tanah untuk menyusun kekuatan
melawan pemerintah Indonesia baik secara politik maupun secara fisik bersenjata. Kegiatan ini
diberi nama “Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat“, yang
kemudian lebih dikenal dengan nama OPM. Sebagai ketua umum organisasi tersebut, Terianus
Aronggear (SE) menyusun suatu dokumen perjuangan yang ingin diselundupkan ke badan PBB
di New York untuk menanyakan tentang status Irian Jaya dan meminta meninjau kembali
persetujuan New York 15 Agustus 1962. Persetujuan ini dinilai tidak adil sebab tidak melibatkan
wakil bangsa Papua dalam perundingan itu sebagai pihak yang dipersengketakan. Juga dokumen
itu berisi suatu rancangan tentang kemerdekaan Negara Papua Barat dengan susunan Kabinetnya.
Rancangan Kabinet dan dokumen yang disusun untuk dikirim ke PBB itu terlebih dahulu dikirim
ke Negeri Belanda untuk mendapatkan persetujuan dari markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe
dan tokoh-tokoh Papua lainnya di Negeri Belanda seperti: A. J. F. Marey, Ben Tanggahma, Saul
Hindom, Fred Korwa, James Manusawai, B. Kafiar, Semuel Asmuruf dan lain-lain serta Herman
Womsiwor yang berdomisili di Jepang. Namun sebelum dokumen itu diserahkan Terianus
Aronggear (SE) kepada Hendrik Joku di Jayapura untuk selanjutnya diselundupkan keluar negeri
melalui perbatasan ke Papua New Guinea, Terianus Aronggear (SE) ditangkap di Biak pada
tanggal 12 Mei 1965. Ia dikirim kembali ke Manokwari lalu dimasukan kedalam sel tahanan dan
mengalami proses pemeriksaan oleh pihak keamanan. Melalui pemeriksaan tersebut maka
seluruh dokumen disita, kegiatan ini terbongkar dan penangkapan terhadap para anggota
organisasi dilakukan. Hendrik Joku, setelah mendengar berita tentang tertangkapnya Terianus
Aronggear (SE), melarikan diri ke Papua New Guinea dan menginformasikan berita itu ke
Negeri Belanda kepada Markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe. Dokumen itu antara lain juga
berisi permintaan agar PBB segera membuka sidang umum agar membahas kembali masalah
Irian Jaya, menyetujui dan mendukung kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat (West Papua)
sebagai suatu bangsa dan Negara yang berdaulat yang berdiri sendiri.

Setelah Terianus Aronggera (SE) dan kawan-kawannya Horota, Taran, Watofa


tertangkap maka Permenas Ferry Awom dan kawan-kawannya yang bekas PVK melakukan
suatu pemberontakan bersenjata di Manokwari secara besar-besaran dengan mulai menyerang
kaserme/asrama militer (ex. PVK) di Arfai pada tanggal 28 Juli 1965. Kegiatan pemberontakan
yang dilakukan OPM itu menimbulkan berbagai gangguan terhadap keamanan dan ketertiban di
wilayah Irian Jaya dan juga ikut mengacaukan keadaan sehingga pada masa Acub Zainal
menjadi Panglima Komando Daerah Militer (KODAM) XVII Cenderawasih yang ke-V pada
tahun 1970-1973 mengubah dan memberikan nama Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan
Gerakan Pengacau Liar (GPL) kepada OPM.

Menurut Victor Kaisiepo, OPM itu lahir dari faksi perjuangan yang ada dan dibentuk di
Irian Jaya/Papua Barat. Faksi-faksi itulah yang mengirimkan berita/informasi kepada pemimpin
Papua yang memilih ikut Belanda ke negeri Belanda agar sama-sama berjuang untuk
kemerdekaan Papua Barat. Semula Markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe ragu-ragu terhadap
perjuangan untuk kemerdekaan Papua. Namun setelah mendapatkan informasi tentang
perjuangan di Irian Jaya, maka mereka mulai menyusun rencana perjuangan baik politik maupun
militer untuk mendukung aktivitas atau perjuangan kemerdekaan di Irian Jaya yang dilakukan
oleh OPM. Mereka juga memutuskan untuk menggunakan nama OPM sebagai suatu nama
kesatuan dalam perjuangan Bangsa Papua Barat (West Papua).

Jelaslah bahwa OPM itu lahir dan dibentuk di Irian Jaya, dikenal dan disebarkan
khususnya oleh faksi pimpinan Terianus Aronggera (SE) di Manokwari. Jadi dapat dikatakan
bahwa fakta tentang lahirnya OPM itu sudah terungkap sehingga menghilangkan berbagai
spekulasi selama ini. Berbagai spekulasi yang muncul selama ini misalnya oleh pemerintah
Indonesia bahwa OPM itu dibentuk oleh Belanda dengan tokoh-tokohnya yakni Markus
Kaisiepo, Nicolaas Jouwe dan kawan-kawan. Atau OPM itu lahir di pedalaman Irian Jaya
melalui berbagai kegiatan pemberontakan.

Mengenai Bendera, OPM dipimpin Terianus Aronggera (SE) tetap menggunakan


bendera Papua rancangan Mr. De Rijke yang dikibarkan pertama kali pada tanggal 1 November
1961 sedangkan OPM pimpinan Aser Demotekay merancang suatu bendera baru.

Menurut Dinas Sejarah Militer Kodam XVII Cenderawasih, ada lima sebab yang
menyebabkan pemberontakan OPM, yaitu:
1. Aspek Politik
Pada masa pemerintahan Belanda, pemerintah Belanda menjanjikan kepada rakyat
Papua untuk mendirikan suatu negara (boneka) Papua yang terlepas dari negara Republik
Indonesia. Beberapa pemimpin putra daerah yang pro-Belanda mengharapkan akan
mendapatkan kedudukan yang baik dalam negara Papua tersebut. Janji pemerintah Belanda
itu tidak dapat direalisir sebab Irian Jaya harus diserahkan kepada Indonesia melalui
perjanjian New York 1962. Walaupun dalam perjanjian itu terdapat pasal tentang hak untuk
menentukan nasib sendiri, namun pelaksanaannya diserahkan kepada Indoenesia dan
disaksikan oleh pejabat PBB. Apalagi pada tahun 1965 menyatakan keluar dari PBB,
sehingga dukungan dari PBB tidak dapat diharapkan lagi.

2. Aspek Ekonomis
Pada tahun 1964, serta tahun-tahun 1965 dan 1966, keadaan ekonomi di Indonesia pada
umumnya sangat buruk, dan memberikan pengaruh yang sangat terasa di Irian Jaya.
Penyaluran barang-barang kebutuhan pangan dan sandang ke Irian Jaya macet dan sering
terlambat ditambah pula dengan tindakan para petugas Republik Indonesia di Irian Jaya yang
memborong barang-barang yang ada di toko dan mengirimnya ke luar Irian Jaya untuk
memperkaya diri masing-masing. Akibatnya Irian Jaya mengalami kekurangan pangan dan
sandang. Kondisi yang demikian ini tidak pernah dialami oleh rakyat Irian Jaya pada masa
penjajahan pemerintah Belanda.

3. Aspek Psikologis
Rakyat Irian Jaya pada umumnya berpendidikan kurang atau rendah diwilayah pesisir
pantai dan di wilayah pedalaman tidak berpendidikan, sehingga mereka kurang berpikir secara
kritis. Hal ini menyebabkan mereka mudah dipengaruhi. Mereka lebih banyak dipengaruhi
emosi daripada pikiran yang kritis dan sehat dalam menghadapi suatu permasalahan. Bila
suatu janji itu tidak ditepati maka sikap mereka akan berubah sama sekali. Misalnya sebagai
bukti dalam hal ini adalah Mayor Tituler Lodwijk Mandatjan yang menyingkir 2 (dua) kali ke
pedalaman Manokwari tetapi kembali lagi dan mengaku taat kepada pemerintah Indonesia.

4. Aspek Sosial
Pada masa Belanda para pejabat pemerintah lokal di Irian Jaya pada umumnya diangkat
dari kalangan kepala suku (dibanding dengan di Jawa dimana Belanda mengangkat pegawai
dari golongan Priyayi). Kalau mereka itu memberontak maka mereka akan mendapat
dukungan dan pengaruh dari sukunya serta dalam suasana yang genting pada kepala suku itu
harus berada ditengah-tengah sukunya itu. Misalnya, Lodwijk Mandatjan.

5. Aspek Ideologis

Di kalangan rakyat Irian Jaya hidup suatu kepercayaan tentang seorang pemimpin besar
sebagai Ratu Adil yang mampu membawa masyarakatnya kepada kehidupan yang lebih baik
atau makmur. Gerakan ini di Biak disebut gerakan Koreri (Heilstaat) atau Manseren
Manggundi. Kepercayaan ini yang memberikan motivasi bagi pemberontakan yang dipimpin
oleh M. Awom di Biak, dimana M. Awom dianggap sebagai pimpinan besar menyerupai Nabi
Musa yang oleh para pengikutnya dianggap Sakti.

Selanjutnya berdasarkan dengan hasil wawancara dengan beberapa tokoh OPM baik
didalam dan diluar Negeri maka diperoleh sebab-sebab pemberontakan sebagai berikut:

 Rasa Nasionalisme Papua, senasib dan seperjuangan untuk berjuang bagi kemerdekaan
bangsa dan negara Papua Barat (West Papua).
 Hendak meningkatkan dan mewujudkan janji Belanda yang tidak sempat direalisir
akibat Integrasi dengan Indonesia secara Paksa dan Tidak Adil.
 Persetujuan politik antara Belanda dan Indonesia yang melahirkan perjanjian New York
1962 itu tidak melibatkan bangsa Papua (Wakilnya) sebagai bangsa dan tanah air yang
dipersengketakan.
 Latar belakang sejarah yang berbeda antara rakyat Papua Barat dan bangsa Indonesia.
 Masih terdapat perbedaan Sosial, Ekonomi dan Politik antara bangsa Papua dan Bangsa
Indonesia.
 Tereksploitasi hasil dari Papua Barat yang dilakukan secara besar-besaran untuk bangsa
Indonesia, sedangkan rakyat Papua Barat tetap miskin dan terbelakang.
 Tekanan terhadap rakyat Papua yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak awal
Integrasi hingga saat ini.
 Hendak mewujudkan cita-cita dari gerakan Cargo, yaitu suatu bangsa dan Papua Barat
yang Makmur di akhir Jaman.

Sejarah Evolusi Nasionalisme

Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang
ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka). Lahirnya OPM di kota Manokwari
pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan
Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu "proklamasi
OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea
Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-
orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta
kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36;
Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).

Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota
Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan "proklamasi OPM" serta "pengibaran bendera
OPM" yang kesekian kali. Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa
sebelumnya.Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan
seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera
baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang
berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai. Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah
"Papua Barat", seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar
bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara "Melanesia Barat".
Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi
sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik
dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.
Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai
mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan
negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara -- tertinggi dibandingkan
dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM -- mendapat perhatian luas. dengan
segala pembatasan di atas, tonggak-tonggak sejarah mana yang paling penting untuk disorot?
secara kronologis, ada lima tonggak sejarah yang paling penting dalam pertumbuhan kesadaran
nasional Papua.

26 Juli 1965 Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di
Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala
Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah
Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.

Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan,


Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur
gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua.
Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten
Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak
terdapat di Manokwari.(2) Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah
pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di
Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai
kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu (Nusa Bhakti, 1984;
Osborne, 1989: 35-36).

1 Juli 1971 Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat
dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie
Wibowo, "proklamasi OPM" kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di
suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki
(Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Irian Jaya, "Mavik".
Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan
Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga
Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga
berasal dari suku Biak. Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang
Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka
(PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987:
122).
Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya
menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia
meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD
yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum
ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan
Diponegoro. Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia
menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-
sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri. Sebelumnya ia sudah membina hubungan
dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda.
Atas dorongan Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam
kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir
Jenderal:(3)

Proklamasi

Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke
Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi. Dengan pertolongan dan berkat
Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa
pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan
merdeka (de facto dan de jure ).Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum,
bahwa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air
mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi. Victoria, 1 Juli 1971 Atas nama rakyat dan pemerintah
Papua Barat, SethJafetRumkorem (Brigadir-Jenderal)

3 Desember 1974 Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi


oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai
Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara
Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?) tepenal
Republik Papua Barat. Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh
para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa
penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di "Markas Victoria", imajinasi itu melebar
sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada tanggal 3 Desember
1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen,
menandatangani apa yang mereka sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya
menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini)
sampai ke Sorong, yang "100% merdeka di luar Republik Indonesia".

Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya,
salah seorang di antara penandatangan "proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch. Merino, orang
Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14
Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya
ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima
orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW,
diajukan ke pengadilan negeri Jayapura.

Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan
melakukan "makar". Ketika saya bekerja di Jayapura di awal 1980-an, saya berkenalan dengan
salah seorang pencetus "proklamasi Sorong-Samarai", yang telah selesai menjalankan masa
hukumannya, dan sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan transmigran sebagai
tenaga penterjemah. Ia tidak mau berceritera tentang gerakan yang pernah dilakukannya (atau
yang pernah dituduhkan kepadanya?).

26 April 1984 Pada tanggal ini, pemerintah Indonesia melakukan "sesuatu" yang justru
semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang
martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM
yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya,
Arnold Clemens Ap, ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap
sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua
Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih
dahulu tanggal 7 Februari 1984. Arnold Ap yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945,
menyelesaikan studi Sarjana Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km
sebelah selatan kota Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah
mahasiswa Uncen yang lama dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB,
Ortiz Sans, untuk mengevaluasi hasil Pepera 1969. Sesudah hasil Pepera mendapatkan
pengesahan oleh PBB, tampaknya ia menyadari bahwa pendirian suatu negara Papua Barat yang
terpisah dari Indonesia terlalu kecil kansnya dalam waktu singkat. Ia kemudian berusaha
memperjuangkan agar orang Irian dapat mempertahankan identitas kebudayaan mereka,
walaupun tetap berada dalam konteks negara Republik Indonesia. Selain pertimbangan real-
politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas Irian melalui bidang kebudayaan
juga dipengaruhi oleh "modal alam" yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang
berbakat. Selain mahir menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat
Irian Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias guyon-guyon khas
Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi Universitas
Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi Kurator Museum Uncen
yang berada di bawah lembaga itu.

Dalam kapasitas itu, ia sering mendapat kesempatan mendampingi antropolog-


antropolog asing yang datang melakukan penelitian lapangan di Irian Jaya. Kesempatan itulah
yang dimanfaatkannya untuk melakukan inventarisasi terhadap seni patung, seni tari, serta lagu-
lagu dari berbagai suku yang dikunjunginya (Ap dan Kapissa, 1981; Ap, 1983a dan 1983b).
`Dalam kedudukan sebagai kepala museum yang diberi nama Sansakerta, Loka Budaya , ia
mengajak sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan sebuah kelompok seni-budaya yang mereka
namakan Mambesak (istilah bahasa Biak untuk burung cenderawasih).(4) Kelompok ini
didirikan tanggal 15 Agustus 1978, menjelang acara 17 Agustus, sebagai persiapan untuk
mengisi acara hiburan lepas senja di depan Loka Budaya. Selain Arnold, para "cikal-bakal"
Mambesak yang lain adalah Marthin Sawaki, Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang masih
berkuliah di Uncen waktu itu (IrJaDISC, 1983). Ternyata, respons masyarakat Irian -- baik orang
kota maupun orang desa, orang kampus maupun orang kampung -- terhadap karya kelompok
Mambesak ini cukup besar. Lima volume kaset Mambesar berisi reproduksi -- dan juga,
rearrangement -- lagu-lagu daerah Irian Jaya, berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali.
Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI
Nusantara V setiap hari Minggu siang, cukup populer. Apalagi karena di selang-seling siarannya,
lagu-lagu rekaman Mambesak selalu diputar. Lagu-lagu itu bahkan pernah saya dengar di
Pegunungan Bintang dari siaran radio negara tetangga, Papua Niugini, yang sedang dinikmati
oleh seorang penduduk asli suku Ok. Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan
kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya
Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan penasehat pusat pelayanan pedesaan
yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh
adat serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan
Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia,
bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu "bungkus kultural" bagi
"bahaya laten" nasionalisme Papua. Walhasil, Arnold mulai berurusan dengan aparat keamanan
di Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melakukan sesuatu yang "subversif" atau
bersifat "makar", ia tak dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di
kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya - Papua Niugini, untuk mengajak para gerilyawan
OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka.

Keadaan itu berubah drastis di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha
yang ditugaskan di Irian Jaya, berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang
mereka curigai ada di kampus dan di instansi-instansi pemerintah di Jayapura, dan menumpasnya
once and for all. Arnold dianggap merupakan "kunci" untuk membongkar jaringan "OPM kota"
itu. Mengapa Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan
dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje
Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian
seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth
Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak.

Walhasil, pada tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda
yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya
bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki
aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri. Penahanan
tokoh budayawan Irian yang di media cetak Indonesia hanya dilaporkan oleh harian Sinar
Harapan dan majalah bulanan Berita Oikoumene , segera mengundang kegelisahan kaum
terpelajar asli Irian di Jayapura maupun di Jakarta. Walaupun penahanannya dipertanyakan oleh
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun teman-teman Arnold yang lain
di Jayapura dan di Jawa, sampai awal 1984(5) tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan ke
pengadilan. Ia hanya dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda. Seorang teman
Arnold yang juga anggota inti Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut
ditahan bersamanya. Ketidakjelasan status sang budayawan Irian ini, menambah keresahan
kawan-kawannya di Jayapura dan Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya mendorong dua
peristiwa pelarian politik ke luar negeri. Di Jayapura, pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan
teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan diri ke Vanimo dengan menggunakan perahu
bermotor. Dalam rombongan itu termasuk isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang anaknya yang
masih kecil serta bayi di dalam kandungannya.

Sementara itu di Jakarta, empat pemuda Irian -- Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau,
Loth Sarakan, dan Ottis Simopiaref -- yang mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya
terpaksa minta suaka ke Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat dicari-cari
oleh aparat keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser, 1984). Di tengah-tengah
gejolak politik beginilah, "tawaran" kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda
guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan.
Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya
sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984 (Osborne, 1985 dan 1987: 152-
153; Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail, 1985). Sekitar lima ratus orang ikut mengantar jenazah
sang seniman ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pekuburan Kristen Abe Pantai,
berdampingan dengan makam sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah meninggal pada
hari pertama pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu Paskah, 22 April 1984. Kematian
sang seniman ikut melecut arus pengungsi tambahan ke Papua Niugini. Sementara mereka yang
sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut memperingati kematian teman mereka, sambil menghibur
sang janda, Corry Ap. Kematian budayawan asli Irian ini menambah simbol nasionalisme Papua,
karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai
orang yang diam-diam menjadi "Menteri Pendidikan & Kebudayaan" mereka di dalam kabinet
bawah tanah OPM di Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah seorang "konoor
modern", merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam mitologi mesianistik Biak, Koreri
(Osborne, 1987: 149). Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih
karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap
museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok
senibudaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian. Sedangkan di Negeri
Belanda, ke mana isteri dan anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh pemerintah Papua
Niugini, kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan jandanya, Corry Ap, bagaikan
figur Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya karena keyakinan politik sang suami,
Benigno ("Ninoy") Aquino. Namun Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah bosan dengan
usaha-usaha politisasi dirinya, janda sang seniman menarik diri dari kehidupan publik dan
membatasi peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi
keempat orang anak laki-lakinya di negeri yang tak selalu ramah terhadap para migran berkulit
hitam.

14 Desember 1988 Seperti yang telah disinggung di depan, "proklamasi dan pengibaran
bendera OPM" yang dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari
pada berbagai proklamasi dan pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan
asli Irian asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang
sebelumnya. Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua
Barat" yang sebelumnya. “Konon menurut ceritera, bendera "Papua Barat" yang sebelumnya,
termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971,
dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil "Meneer Blauwwit", mertua
tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya -- merah, putih, dan biru --
meniru ketiga warna bendera Belanda. Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan
ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak
segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan
merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat
ciptaan Belanda itu”. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang
kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri. Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul
"Hai Tanahku, Papua", yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan
seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT
GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom
Wanggai. Sedangkan "wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya
juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan
diresmikan oleh Rumkorem.
Begitulah lima tonggak sejarah dalam evolusi nasionalisme Papua atau Melanesia Barat di Irian
Jaya.
Kesimpulan

Dari berbagai alasan atau sebab-sebab pemberontakan OPM sebagaimana diuraikan


diatas, maka disimpulkan bahwa pemberontakan OPM di Irian Jaya terjadi karena “Ketidak
puasan terhadap keadaan, kekecewaan, dan telah tumbuh suatu kesadaran Nasionalisme
Papua Barat”. Ketidakpuasan terhadap keadaan ekonomi yang buruk pada awal integrasi
dan terutama pada tahun-tahun 1964 , 1965 dan 1966 dan juga terhadap sikap aparat
pemerintah dan Keamanan yang tidak terpuji. Juga tidak puas terhadap sikap memandang
rendah atau sikap menghina orang Irian yang sering sengaja ataupun tidak sengaja
menggeneralisir keadaan suatu suku dengan suku-suku lainnya seperti: Pakai Koteka`,
“masih biadab”, “Goblok, Jorok”, dan lain sebagainya dimana pada masa pemerintahan
Belanda ungkapan-ungkapan demikian tidak pernah atau dengan mudah diucapkan kepada
orang Irian.

Selama ini pemerintah Indonesia masih belum dapat memecahkan masalah ini dengan
baik, baik untuk pemerintah Indonesia maupun bagi Papua. Berdasarkan sumber-sumber yang
ada hanya tersisa 2 pilihan bagi Indonesia, yaitu: melepaskan Papua agar berdiri sendiri atau
mempertahankannya, tapi meningkatkan kualitas pembangunan di sana.

Anda mungkin juga menyukai