Colli Puji
Colli Puji
Oleh
Dr. A. Rasyid Asba,MA
Disampaikan dalam seminar Nasional
Tjollie Poejie sebagai Pahlawan Nasional
Tjollie Poejie (Colliq Pujie) atau Ratna Kencana lahir pada tahun 1812. Setelah
ia terjun dalam arena politik maka ia digelar “Arung Pancana Toa Datu Lamuru”. Ia
dimakamkan di Tucai ( Lamuru) sehingga mendapat nama gelar Matinroe ri Tucae.
Bila ditelusuri asal-usulnya Ratna Kencana adalah nama yang diambil dari Melayu.
Colliq Pujie lahir dari perkawinan Collipakue Daeng Tarappe Arung Rappang dengan
La Rumpang Megga To Sappaile Sultan Ibrahim Datu Mariworiwawo2.
Sebagai wanita yang berdarah Bugis dan Melayu Colliq Pujie dikenal
sebagai orang yang pintar dan berani. Ia terkenal dengan karya-karya sastranya yang
cemerlang sejajar dengan penulis-penulis Barat 3. Tipologi tersebut membuat Colliq
Pujie disegani dianggap sebagai tokoh kesusastraan dari Timur, 4 yang kala itu sulit
dicari samanya di wilayah Hindia Belanda. “Keberaniannya” mengandung tipologi
orang yang berdarah Bugis dan “kepintarannya” mengandung tipologi yang berdarah
Melayu. Perpaduan dua tipologi etnis itu tampaknya sudah sulit ditemukan sekarang,
1
Dr. A. Rayid Asba, MA adalah dosen Ilmu Sejarah Univ. Hasanuddin dan dosen Luar biasa pada
Pascasarjana Sekolah Tinggi Administrasi Mandala Indonesia di Jakarta. Selain itu juga direktur
Kajian Multikultural dan Pengembangan Regional, Divisi Sosial dan Humaniora Pusat Kegiatan
Penelitian Unhas.
2
Untuk lebih jelasnya, lihat D.A.F. Brautigam , “ Nota betrefende het zelfbesturend Landschap
Tanete, TBG. , jilid 56 (1914) hal,451. Bandingkan Lontaraq pribadi milik Petta Bone salinan Paleheng
Dg. Mangatta, lontaraq silsila Kerajaan di Sulawesi Selatan. Lihat pulla silsila Kerukunan keluarga
Indonesia Keturunan Melayu (K.K.I.K.M) Makassar 1986, hal. 28
3
Istilah –istilah tersebut bukan saja melekat pada Colliq Pujie tetapi juga anaknya Wetenriolle.
Wetenriolle tidak hanya mahir dalam bidang pemerintahan tetapi juga dalam bidang
kesusatraan,termasuk membantu Dr. Benyamin Frederik Matthes dalam membuat ihtisar epos la-galigo.
Untuk lebih jelasnya baca H. Van den Brink, Benyamin Frederik Matthes: Zijn leven en arbeid in
dienst van het Nederlandsch Bijbelgenootschap ( Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1948.
hal, 78-79. Bandingkan pula W.H. Frederick dan S. Soeroto. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum
dan Sesudah Revolusi, hal, 253
4
Untuk lebih jelasnya lihat Koolhof dalam bab pendahuluan Lagaligo jilid I, 1985: vii
bandingkan dengan H. Van den Brink, Benyamin Frederik Matthes: Zijn leven en arbeid in dienst van
het Nederlandsch Bijbelgenootschap (Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1948. hal, 78-79.
Dalam buku W.H. Frederick dan S. Soeroto. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah
Revolusi, hal, 253, tampaknya ada kerancuhan menempatkan tokoh sastrawan Bugis itu sesungguhnya
karena We Tenriolle sebagai pembuat naskah Ihtisar Buku Galigo menurut hemat saya hal itu sulit
diterima bisa bekerjasama dengan Dr. Benyamin Frederik Matthes karena We Tetenriole terkenal sangat
menetang pendudukan Belanda di Kerajaan Tanete.
2
khususnya setelah tahun 1950 an ketika orang–orang Sulawesi Utara (baca: Menado)
mulai menguasai birokrasi di Sulawesi Selatan.
Nama Ratna Kencana diambil dari pemberian kakeknya yang bernama Ince
Muhammad Ali Abdullah Datu Pabean. Ince Muhammad Ali yang bergelar Datu
Pabean adalah keturunan Melayu. Ia adalah kepala syahbandar Makassar yang
tersohor pada pase awal abad ke-19. Datu Pabean dalam kedudukannya sebagai
syahbandar ia terkenal sebagai tokoh intelektual dan menguasai berbagai bahasa
asing seperti bahasa Belanda, Inggris dan Portugis. Roh keintelektualan Datu Paben
semakin membawa Colliq Pujie dikagumi. Tentu itu juga pengaruh dari Ibunya Siti
Johar Manikam sebagai anak kepala syahbandar Makassar yang pintar.5
La Rumpang Megga Datu Mariworiwawo Arung Rappang (ayah Colliq
Pujie) terkenal sebagai pemberani langkah politiknya sulit ditebak. Ia memerintah di
Kerajaan Tanete sekitar tahun 1840.6 Ia tampil menjadi raja Tanete dengan
menggantikan pamannya La Patau yang juga terkenal melawan Belanda. Ia
membantu kerajaan Bone ketika terjadi ekspedisi milter Belanda. Pada awalnya La
Rumpang banyak diintimidasi oleh Belanda sehingga ia jarang tinggal di istananya.
Urusan kerajaan lebih banyak dikendalikan oleh Collik Pujie meskipun juga
kedudukannya sebagai arung Pancana. Dengan alasan itu pula maka Colliq Pujie sering
mendapat nama kehormatan Datu Tanete.7 Jiwa keberanin dan keintelektulannya yang
diperoleh dari Bugis Melayu membuat pola Colli Pujie merobah taktik perjuangan
yaitu dari “ non cooperatif menjadi “ coopertif” terhadap Pemerintah Belanda. Tidak
diketahui kapan sebenarnya Colli Pujie lahir, hanya menurut catatan harian lontarak
Tanete koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara diperkirakan
pada tahun 18208. Colliq Pujie kawin dengan Latannang Pare Arung Ujung. Dalam
5
J.A. Bakkers,” Tanete en Barroe” TBG. Jilid .12 , hal, 283. Disebutkan pula bahwa pada tahun
1961 jumlah penduduk Tanete mencapai 13.362 orang dengan luas wilayah 61.180 hektar.
6
Larumpang Megga raja Tanete digantikan oleh cucunya We Tenriolle sekitar pada tahun 1950-an.
7
Dalam laporan D.A.F. Brautigam Colliq Pujie tidak pernah secara resmi diangkat menjadi kepala
negara di Kerajaan Tanete, namun hanya berperang sebagai pemikir kerajaan . Diceritakan bahwa
setelah Larumpang Megga berhenti menjadi raja maka ia digantikan oleh cucunya (anak Colliq Pujie)
yang bernama Siti Aisyah We Tenriolle yang digambarkan sebagai seorang wanita yang berkemauaan
keras, cerdas dan berpengalaman luas menjadi kepala kerajaan Tanete Dalam tahun 1856.
8
Tahun kelahiran Colliq Pujie dihitung dari 1852, ketika ia bertemu Matthes berumur 40 tahun
Untuk lebih jelasnya lihat Koolhof Lagaligo jilid I, 1985 hal-6-7. Lihat pula makalah Nurhayati
Rahman, Ratna Kencana Arung Pancana Toa, Colliq Pujie: Satrawan dan Sejarawan Kosmopolitan di
Gerbang abad ke-20, hal.2
3
perkawinannya itu melahirkan tiga orang anak yaitu Siti Aisyah We Tenriolle,I-
Gading dan Lamakkawaru. 9.
untuk memerangi Tanete. Angkatan Laut yang dipimpin oleh Kapiten ter zee Buys,
terdiri dari empat buah kapal kecil, sebuah korvet, dua buah kapal meriam dan sebuah
kapal barkas serta lima puluh buah perahu yang penuh pasukan bantuan kerajaan dari
Gowa dan Sidenreng.13
Ketika akan menyerang Tanete Tanete, terlebih dahulu Belanda menyampaikan
ultimatum kepada raja Tenete La Patau agar menerima tawaran untuk membayar
denda sebanyak 44.ribu real disamping harus menyerahkan empat orang keluarga raja
yang menyerang Belanda. Apabila raja Tanete tidak memenuhi tuntutan tersebut maka
Tanete akan diserang. Namun jika Lapatau menyetujui syarat tersebut, maka sebagian
pasukan Belanda akan ditempatkan di Tanete sebagai tentara pendudukan.
Raja Tanete La Patau tidak mau menerima syarat-syarat yang diajukan oleh
Belanda itu. Itulah sebabnya Belanda mendaratkan pasukannya dan menyerang benteng
kerajaan Tanete. Pasukan Belanda mendarat di Sudin, sebuah tempat antara kampung
Ance dan kampung Nyingo, karena tempat ini merupakan tempat yang lemah
pertahanannya. Pada tanggal 16 Juli 1824 angkatan laut Belanda mulai memuntahkan
peluruhnya terhadap benteng Tanete yang terletak di pinggir pantai. Pasukan Tanete
membalas dengan meriam pula dari benteng Pancana. Keesokan harinya yaitu pada
tanggal 17 Juli 1824, pendaratan pasukan Belanda dimulai dengan didahului tembakan
meriam. Tanete mempertahankan diri dengan perlawanan yang seru. Kedua belah pihak
menderita kerugian yang tidak sedikit, di pihak Belanda gugur Letnan Burger dan
beberapa orang perajurit lainnya.
Berkat persenjataan yang lebih unggul, Belanda dapat menaklukkan Tanete. La
Patau Datu Tanete melarikan diri ke Bone. Dengan menyingkirkan La Patau ke Bone,
maka Pemerintah Belanda mengangkat Daeng Tanisanga, saudara La Patau menjadi
raja Tanete. Ia kemudian ikut menyetujui perjanjian Bungaya yang dibaharui atau
Perjanjian Ujung Pandang.
Pada tanggal 22 Juli 1824, pasukan Belanda menyerang Segeri, Pangkajene dan
Labbakkang. Daerah tersebut pernah direbut oleh La patau dari tangan Belanda. Letnan
Kolonel H. De Stures dinaikkan pangkatnya menjadi kolonel karena jasa-jasanya yang
gilang gemilang dalam menaklukkan Tanete dan daerah sekitarnya.
13
Machmud Nuhung. Ekspedisi militer Belanda di Kerajaan Bone. Dinas P dan K Kab. Sinjai 1977.
hal, 3.
5
14
Abdul Kadir adalah Pensiunan Pegawai Arsip Nasional Makassar yang mendapat tugas dari Proyek
naskah Unhas untuk mengumpulkan naskah lontarak yang ada di kab. Barru.
15
Fachruddin Ambo Enre Ritumpanna Walenrangnge sebuah Episoda sastra Bugis Klasi Galigo.
Jakarta Yayasan Obor 1999, bagian pengantar.
16
Koolhof dalam pendahuluan galigo jilid I 19915, vii.
7
Sebagai sastrawan maka pada tahun 1853 Colliq Pujie berkenalan dengan
Ida Pfeiffer seorang etnolog dari Austria yang mengadakan penelitian di Sulawesi
Selatan. Dalam tahun 1870 Collik Pujie juga membantu A. Lighvoed untuk
menyusun catatan-catatan peristiwa kesejarahan Sulawesi Selatan. Karya-karya yang
dihasilkan oleh Colliq Pujie kini tersimpan di beberapa museum dan perpustakaan di
Leiden. Termasuk naskah-naskah yang masih tersimpan di Yayasan Matthess
Makassar.17
Di tengah zaman yang bergolak Colliq Pujie lebih banyak mengasa
keintelektualannya karena politik adudomba Belanda di Kerajaan Tanete semakin
gencar. Sebagai Sastrawan Collik Pujie bekerja dan belajar di Makassar melalui
perpustakaan kekenya di Makassar. Ia tinggal di Makassar dengan mengasa
keintelektualannya menulis banyak buku. Keberadaannya di Makassar hanya untuk
belajar karena sekolah di Tanete belum ada. Padat tahun 1857 Belanda menerima
permintaan We Tenriolle agar ibundanya kembali dan menjadi Aru di daerah palili
Cinako.Ketika ia bekerja ia mendapat gaji sebesar 20 gulden perbulan18
Menurut Abdul Kadir19 munculnya banyak naskah di kabupaten Baru tidak
lepas dari Usaha Collik Pujie bersama Matthess mengumpulkan naskah, bahkan
menyaling ulang kembali. Salah satu karyanya adalah menyalin 12 jilid naskah La
Galigo yang bertebaran di beberapa daerah.. 20 Tebaran naskah itu dikumpulkan
bersama Matthess. Matthess menganjurkan kepada Colliq Pujie menyusunnya. Ada
dugaan bahwa naskah La Galigo yang disalin Colliq Pujie inilah yang sekarang
dianggap sebagai karya sastra terpanjang di dunia sekitar 300.000 bait 21
Simpulan
Istilah pahlawan atau penghianat adalah dua istilah yang memang sangat sulit
dipisahkan. Pertama karena banyak mengandung muatan politis “falsafah
nasionalisme” yang diletakkan secara hitam putih apakah makar atau pahlawan,
17
Koolhof dalam pendahuluan Galigo jilid I 19915, hal, 12-13.
18
Untuk lebih jelasnya lihat Koolhof Lagaligo jilid I, 1985 , hal,12.
19
Abdul Kadir adalah Pensiunan Pegawai Arsip Nasional Makassar yang mendapat tugas dari Proyek
naskah Unhas untuk mengumpulkan naskah lontarak yang ada di kab. Barru.
20
Fachruddin Ambo Enre Ritumpanna Walenrangnge sebuah Episoda sastra Bugis Klasi Galigo.
Jakarta Yayasan Obor 1999, bagian pengantar.
21
Koolhof dalam pendahuluan galigo jilid I 19915, vii.
8
Lontarak
Peliheng Dg, Mangatta. Lontara Bone. Milik Mahcmud Nuhung,
Koleksi Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Lontak Tanete
9
Di dalam naskah ini alurnya dibagi ke dalam 18 bab yang menceritakan raja I
Tanete sampai raja ke XX. Setiap tookoh diceritakan mulai lahirnya, percintaannya
sampai ke perkawinananya. Alur certianya tunggal, tetapi kadang-kadang terdapat alur
kilas balik dicelah-celah peristeiwa seorang tokoj. Hal ini menyebabkan alur cerita
menjadi kompleks, ditambah lagi penamaan tokoh yang selalu berubah-ubah, karena
hampir setiap tokoh mempunmyai nama lebih dari satu.
10
Isinya bercetita seputar kehidupan istana para raja-raja Tanete dahulu yang
digubah dalam bentuk prossa lirik dengan bentuk penceritaan yang bersifat prolog dan
dialog. Karena itu, membaca buku ini tak ubahnya membaca sebuah roman yang
berkisah di seputar percintaan,
Sejarah perjalanan hidup Colliq Pujie adalah sebuah perjalanan sejarah anak manusia
yang panjang dan berliku seperti halnya senarai sejarah perjalanan leluhurnya yang ia
ceritakan dengan lantang, tanpa basa-bsi, penuh dengan ketelanjangan data yang tidak
ditutup-tutupi dalam “Sejarah Kerajaan Tanete” atau dalam bahasa Bugis disebut
“Lantaraqna Tanete”. Naskah yang ditulisnya pada tahun 1852 ini kemudian dicetak
dan diterbitkan oleh G.K.Niemen dengan judul Geschiedenis van Tanette, diterbitkan
oleh, ‘s Gravenhage, Martinur Nijhoff, Leiden pada tahun 1883 yang selanjutnaya akan
dibicarakan secara singkat dibawah ubu,
D dalam naskah ini alurnya dibagi ke dalam 18 bab yang menceritakan raja I Tanete
sampai raja ke XX. Setiap tokoh diceritakan mulai lahirnya, percintaannya sampai ke
pperkawinannya. Alur ceritanya tunggal, tetapi kadang-kadang terdapat alur kilas balik
dicelah-celah peristiwa seorang tokoh. Hal ini menyebabkan alur cerita menjadi
kompleks, ditambaaah lagi penamaan tokoh yang selalu berubah-ubah, karena hampir
setiap tokoh mempunyai nama lebih dari satu.
Isinya bercerita seputar kehidupan istana para raja-raja Tanete dahulu yang digubah
dalam bentuk prosa lirik dengan bentuk penceeeeeritaan yang bersifat prolog dan
dialog. Karena itu, membaca buku ini tak ubahnya membaca sebuh roman yang
berkisah di seputar percintaan, peperangan, intrik, kekuasaan, ketulusan, kejujuran dan
berbagai nilai-nilai kebenaran lainnya yang berhadapan dengan nilai-nilai buruk.
Semua itu diperankan oleh tokoh sejarah Tanete yang di dalam berinteraksi secara
cultural dan social tidak mengenal batas-batas geografi, suku dan jenis kelamin. Kisah-
kisah itu dibungkus dengan bahsa Bugis halus dengan kadar cita sasgtra yang tinggi,
sehingga ia dapat pula dikategorikan sebagai sastra sejaraah.
11
Sejarah seperti ini di dalam tradisi Bugis disebut Lontaraq sebuah bentuk penulisan
sejarah tradisional di Nusantara yang oleh banyak ahli dari luar dianggap memenuhi
kriteria untuk disebut sebagai sejarah modern. Hanya pada bagian awalnya saja yang
dipenuhi oleh misteri, sesudahnya mengalirnya cerita itu dengan data dan fakta yang
jelas tanpa dibumbui oleh hal-hal yang bersifat supernatural dan gaib.
Berbeda di Jawa atau Melayu yang geneloginya berasal dari tokoh penting dalam
sejarah dunia yang berasal dari Islam atau Hindu seperti Nabi Adam, Iskandar
Zulkarnain, atau Rama, dan sebagainya. Kisash-kisah tradisional dalam sejarah
kerajaan di Sulawesi Selatan genealoginya selalu berasal dari salah satu dari dua
tempat, yakni : 1) dari Boting Langiq (pusat langit), atau 2) dari Buri Liu (dasar Laut).
Yang berasal dari boting Langiq disebutnya sebagai To Manurung (orang yang turun)
sedangkan yang berasal dari Buri Liu disebutnya sebagai To Tompoq (orang yang
muncul). Mereka beranggapan bahwa baik To Mnurung maupun To Tompoq adalah
keturunan dewa yang dijelmakan di bumi. Karena itulah mereka menyapa To
Manurung sebaga Dewatae, sedang To Tompoq disapanya sebagai To Sangiang (Sang
Hyang …?).
Agaknya kisah-kisah seperti itulah yang menyertai berdirinya Kerajaan Tanete tempat
Colliq Pujie dilahirkan, yang setelah kemerdekaan Indonesia ia dilebur menjadi bagian
dari kabupaten Barru Sulawesi Selatan (sekitar 100-an km dari Makassar).
Konon sekali waktu, orang Pangi naik ke gunung jangang-jangangnge untuk berburu.
Setiba di puncak gunung mereka dikejutkan oleh adanya sebuah guci yang berisi penuh
air. Dalam hati mereka pastilah ada manusia di sekitar tempat ini.. Rasa penasaran
mereka mengantarnya masuk sampai ke kedalaman puncak gunung itu, dan benar
disana ia temui sepasang suami istri yang di sekitarnya beterbangan burung-burung
yang membawa ikan. Ikan-ikan itulah yang menjadi makanan utama sepasang suami
istri itu. Orang Pangi kemudian bertanya “Dari manakah asal kalian berdua” Jawab
mereka : “ Kami tidak tahu asal kami, yang pasti salah satu dari empat mata arah angin,
yaitu utara,n timur, selatan dan Barat ?. Orang Pangi pun yakin bahwa orang itu pasti
To Manurung atau Tompoq. Benar juga dugaannya, karena di kemudian hari, kelak
12
Akhirnya, secara rutin orang Pangi itu naik ke gunung tersebut dengan 2 tujuan : 1)
berburu, dan 2) menjenguk sepasang manusia dewa itu. Tak lama kemudian dewa ini
telah melahirkan puteri, dan setelah dewasa sang puteri kemudian dijodohkan dengan
putera raja orang Pangi di Ale Kaleqe.
Setelah itu, To Sangiang memilih turun dari gunung dan tinggal di sebuah tempat
kosong yaitu Batu Leppanae di kampung La Poncing. Di sanalah ia membangun sawah
dan membentuk perkampungan. Kampung itulah kemudian yang diberi nama
Aganionjo. To Sangiang menjadi raja pertama di tempat itu. Tidak lama kemudian,
sepasang puteranya tidak pernah akur, selalu bertengkar. To sangiang takut kalau
mereka saling membunuh. Karena itulah ia memutuskan untuk mencari raja pengganti
yang bisa dipatuhi oleh kedua putranya. Pilihannya jatuh pada raja Segeri. Inilah cikal-
bakal raja Aganionjo, yang dikemuian hari diubah namanya menjadi kerajaan Tanete.
Perubahan ini dilakukan oleh To Maburuqu Limanna (Raja Tanete yang ke-8) sebagai
wujud persaudaraannya dengan kerajaan Tanete di selayar.
Berangkat dari sinilah Colliq Pujie memulai cerita leluhurnya, yang pada garis
besarnya memberi gambaran kepada kita tengang 2 hal, antara lain : 1) silsilah raja-raja
dan adat istiasdat kerajaan Bugis/Makassar 2) kebebasan berbicara dan berekspresi
tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin, agama dan ras.
Raja Tanete I adalah Datu Gollae masih kerabat raja Gowa, karena iktu mulai raja I ini
sampai ke raja IX mereka dengan rutin datang ke Gowa memberikan sesembahan
seperti mempersembahkan sebagian hasil panen bila habis panen. Hal ini merupakan
tanda bukti akan kesetiaannya kepada raja Gowa sebagai raja bawahan Gowa yang
berdaulat. Namun sekali waktu terjadi insiden, ketika raja Tanete X Matinroe ri
Bulianna berkuasa, tanpa sengaja raja Bone, Arung Palakka yang masih kerabat raja
Gowa diburu oleh raja Gowa karena konflik yang tak bisa diredam. Raja Tanete
menyembunyikan, maka alngkah murkanya raja Gowa. Sejak saat itu, hubungan antara
gowa dan Tanete memburuk yang selanjutnya berakhir dengan pemutusan diplomatik.
Sejak saat itu pula, Tanete beralih menjadi negara baigian dari Kerajaan bone yang
sekali-sekali naik mempersembahkan pajak ke bone. Sementara itu, Arung Palkka yang
terdesak, akibat tekanan Gowa yang terus-menerus, akhirnya meminta bala bantuan
kepada konmpeni Belanda, dan dengan bantuan Belanda inilah ia dapat melawan
hegemoni kekuasaan Gowa yang sangat kuat dan ekspansif. Sebagai konsekwensinya,
ia harus takluk di bawah kekuasaan Belanda. Raja Tanete yang merupakan bawahan
raja bone mau tak mau harus pula membantu Bone dan Belanda melawan Gowa
termasuk membantu konmpeni menghalau pemberontakan Cina dan pasukan Jawa di
Jawa Tengah.
Persekutuan dengan Bone ini berlangsung terus asampai akhirnya raja Tanete X ini
digantikan oleh putra sulungnya Daeng Matulung (raja XI) yang tidak beberapa lama
setelah dilantik ia mengundurkan diri karena tidak suka pergi menyembah ke bone dan
diperintah oleh Belanda. Ia lalu digantikan oleh adiknya Daeng Matajang yang
memang sejak kecil telah dititipkan kepada raja bone untuk belajar adat-istiadat dan
tata cara memanage kekuasaan.
Waktu berjalan terus dan sejarah anak manusia pun turut berputaar, bergulir, dan
mengalir mengikuti perjalanan sang waktu yang tak pernah bisa dihentikan sejaenak
oleh siapapun. Raja-raja Tanete silih berganti yang setuju tidak setuju, terima atau
14
tidak terima, ia harus tunduk kepada takdir untuk menjadi bagian dari kekuasaan Bone
dan Belanda.
Namun ketika kekuasaaan tiba di tangan La Patau, raja Tanete XVII, raja yang tanpa
basa-basi menolak permintaan Belanda untuk menghadap kepadanya dalam suatu
pertemuan yang diadakan oleh Gubernemen di Makassar, “Kalau Belanda butuh
dengan saya dia yang harus menghadap ke saya, bukan saya yang harus menghadap
kepadanya” begitu katanya. Belanda sangat tersinggung, sekejap saja, kehidupan
masyarakat Tanete tiba-tiba berubah, gonjang-janjing, kacau-balau akibat perlawanan
yang tidak berimbang antara pasukan La Patau dengan kompeni Belanda. Meskipun
begitu, semangatnya luar biasa, dan tak pernah surut sedikitpun, sampai akhirnya
terdesak masuk ke gunung. Beberapa saat ketika dia sudah kewalahan, penasehatnya
menyarankannya untuk mundur, dengan tegas ia menjawab : “Turunkan saja perahuku,
biar saya pergi merantau jauh”. Sang penasehat langsung menanggapi itu sebagai
signal bahwa sang raja meminta dirinya untuk diturunkan sebagai raja, maka jawab
sang penasehat : “tak ada satu pun yang bisa menurunkan tuanku kecuali atas keinginan
tuanku sendiri”. Ketika itulah ia mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan
kepada saudara perempuannya Daeng Tennisanga menjadi ratu Tanete XVIII,
sementara La Patau tetap melanjutkan perlawanan dari gunung, tiga kali gencatan
senjata tiga kali pula berperang sampai akhirnya ia kalah. Itulah sebabnya ketika ia
meninggal ia digelar anumerta sebagai Petta Mpelaingnge Musuqna artinya “raja yang
meninggalkan peperangannya”.
Tidak begitu lama setelah kekuasaan Daeng Tenrisanga (saudara perempuan La Patau)
ia pun mengundurkan diri, Belanda lalu menunjuk La Rumpang menggantikannya,
ayah Colliq Pujie seperti yang telah dibicarakan di atas.
Gambaran umum yang kita dapatkan dalam penampakan hiruk-pikuk kehidupan setiap
tokoh adalah tidak adanya batas-batas perbedaan antara berbagai jenis kelamin
maupun agama dan suku, baik dalam berinteraksi secara social maupun di dalam
menduduki posisi-posisi penting dalam struktur kekuasaan. Bila dirunut satu-satu, dari
raja I sampai raja XX dalam naskah ini, maka 9 di antaranya adalah perempun,
15
selebihnya adalah laki-laki, namun istrinya juga semuanya adalah ratu yang berkuasa di
tempat lain, meskipun hanyalah raja kecil tapi berdaulat di dalam sebuah kerajaan
besar. Demikian pula halnya dengan para ratu, suaminya juga adalah raja di tempat
lain. Bahkan Ternileleang ratu Tanete XV ia berkuasa di dua tempat sekaligus yaitu
Kerajaan Tanete dan Kerajaan Luwuq karena kebetulan ayahnya orang Luwuq.
Kebebasan bukan hanya terlihat dalam posisi penting dalam kekuasaan tapi juga dalam
hal perjodohan. Tenrileleang ratu yang paling eksotis, ia meninggalkan suaminya
menjuju Sapirie karena merasa sudah tidak cocok, padahal ketika itu ia telah dikaruniai
tujuh orang anak dan telah menjelang manupouse. Ketika suaminya menyindir dalam
nyanyian antra lain ia berkata : “biar saja engkau pergi tak mungkin lagi ada yang jatuh
cinta padamu dan menikahimu, karena engkau sudah tua. Klau aka tidak msalah karena
aku masih bisa punya selir yang lain”. Maka jawab Tenrileleang : “Pekkumutono siaq,
pekkumutoni tauwe” artinya kamu be3gitu aku juga bisa begitu, dengan kata lain apa
yang bisa kamu lakukan akupun juga bisa melakukannya. Dan ternyata ia buktikan,
karena tidak lama sesudah ia berpisah dengan suaminya ia menikah lagi dengan
Ponggauqe’ri Bone (raja Bone) dan meskipun sudah tua pesta perkawinannya
dilangsungkan secara meriah.
16
Di dalam naskah ini juga kita temukan tradisi mangoting-oting suatu bentuk ungkapan
perasaan cinta seorang wanita kepada laki-laki yang disukainya- tentu saja juga
menyukainya – dengan jalan mengikatkan selendangnya ke ujung keris laki-laki maka
kalau ini terjadi tak ada satu pun orang bisa memisahkannya, selainmenikahkannya.
Hal ini dapat kita lihat pada percintaan antara Kadi dan I Buba, yang karena telah
saling mangoting hingga Tenrileleang menikahkannya.
Peristiwa yang tidak kalah serunya adlaah saat La Maddusila raja Tanete XVI
memerintahkan kepada Arung Lipukasi (slah satu raja bawahan Tanete) mallalengeng
akka (mengangkat baki) untuk tamu-tamu perempuan. Sang raja lipukasi protes tidak
mau melaksanakannya, tapi apa jawab La Maddusila : “Yang saya perintahkan bukan
pribadimu tapi kedudukanmu sebagai raja bawahan yang punya tatakrama untuk
tunduk kepadaku.”. Dengan perasaan terpaksa ia pun melayani satu persatu tamu-tamu
perempuan yang hadir dalam pertemuan itu. Alangkah risih dan kikuknya sang raja
Lipukasi.
Sementara itu, di dalam lalu lintas pergaulan antar bangsa kebebasan juga terlihat
dengan jelas, antra lain dapat kita lihat hubungan orang Belanda, bugis, Makassar,
buton, Melayu, Parengki (Prancis), Inggris, meskipun yang pertama dan yang terakhir
ini sering mereka bermusuhan, sehingga mereka berperang, tapi bukan atas nama
bangsanya ataupun agamanya, melainkan atas nama prilaku kolonialismenya.
Peperangan antara Belanda dan Gowa yang tak kunjung usai terpaksa mereka gencatan
senjata yang diakhiri oleh sebuah perjanjian yaitu disebut : Perjanjian Bungaya. Para
penandatangan perjanjian itu memegang kitab sucinya : orang Belanda memegang
kitab Injil dan orang Makassar memegang Al Qur’an. Sebelum penandatanganan
dilakukan mereka bersumpah atas nama tuhannya masing-masing, dengan meletakkan
kitab suci mereka di kepalanya. Suatu gambaran yang memperlihatkan bagaimana
mereka saling menghargai agama dan kepercayan masing-masing. Suatu gambaran
yang belum ditemukan dalam laporan dan dokumen resmi pemerintah.
Dua bagian yang telah diberitakan diatas, yakni : 1) sejarah kehidupan pribadi Colliq
Pujie yang dilatari oleh sistem sosial dan kutural dari zaman yang diwakilinya, 2)
17
sejarah kehidupan para raja yang masih tersimpan dalam memori Colliq Pujie yang
tentu saja didasari oleh berbagai bacaan lontaraq sebelumnya memberi gambaran
kepada kita tentang adanya saling mempengaruhi dan tarik-menarik antara kenyataan di
luar sastra dan kenyataan di dalam karya sastra.
Maka apa yang dikatakan oleh Evert Jan bahwa wanita Bugis/Makassar sangatlah
berkuasa kepada laki-laki, sebaliknya laki-laki sangat takut kepada perempuan
merupakan suatu sistem yang tidak pernuah ia temukan dalam bangsa lain yang pernah
ditemuinya. Karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh DR. Ian Caldwell bahwa
tatanan sosial dan kultural masyarakat Sulawesi Selatan tidaklah bias gender. Peran dan
kedudukan wanita sama dan setara.
Daftar Pustaka
Lontarak
Peliheng Dg, Mangatta. Lontara Bone. Milik Mahcmud Nuhung,
Koleksi Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Lontak Tanete
Oleh
Dr. A. Rasyid Asba,MA
Disampaikan dalam seminar Nasional
Tjollie Poejie sebagai Pahlawan Nasional
19
Penamaan:
23
Istilah –istilah tersebut bukan saja melekat pada Colliq Pujie tetapi juga anaknya Wetenriolle.
Wetenriolle tidak hanya mahir dalam bidang pemerintahan tetapi juga dalam bidang
kesusatraan,termasuk membantu Dr. Benyamin Frederik Matthes dalam membuat ihtisar epos la-galigo.
Untuk lebih jelasnya baca H. Van den Brink, Benyamin Frederik Matthes: Zijn leven en arbeid in
dienst van het Nederlandsch Bijbelgenootschap ( Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1948.
hal, 78-79. Bandingkan pula W.H. Frederick dan S. Soeroto. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum
dan Sesudah Revolusi, hal, 253
21
Pujie disegani dianggap sebagai tokoh kesusastraan dari Timur,24 yang kala itu sulit
dicari samanya di wilayah Hindia Belanda. “Keberaniannya” mengandung tipologi
orang yang berdarah Bugis dan “kepintarannya” mengandung tipologi yang berdarah
Melayu. Perpaduan dua tipologi etnis itu tampaknya sudah sulit ditemukan sekarang,
khususnya setelah tahun 1950 an ketika orang–orang Sulawesi Utara (baca: Menado)
mulai menguasai birokrasi di Sulawesi Selatan.
Nama Ratna Kencana diambil dari pemberian kakeknya yang bernama Ince
Muhammad Ali Abdullah Datu Pabean. Ince Muhammad Ali yang bergelar Datu
Pabean adalah keturunan Melayu. Ia adalah kepala syahbandar Makassar yang
tersohor pada pase awal abad ke-19. Datu Pabean dalam kedudukannya sebagai
syahbandar ia terkenal sebagai tokoh intelektual dan menguasai berbagai bahasa
asing seperti bahasa Belanda, Inggris dan Portugis. Roh keintelektualan Datu Paben
semakin membawa Colliq Pujie dikagumi. Tentu itu juga pengaruh dari Ibunya Siti
Johar Manikam sebagai anak kepala syahbandar Makassar yang pintar.25
La Rumpang Megga Datu Mariworiwawo Arung Rappang (ayah Colliq
Pujie) terkenal sebagai pemberani langkah politiknya sulit ditebak. Ia memerintah di
Kerajaan Tanete sekitar tahun 1840.26 Ia tampil menjadi raja Tanete dengan
menggantikan pamannya La Patau yang juga terkenal melawan Belanda. Ia
membantu kerajaan Bone ketika terjadi ekspedisi milter Belanda. Pada awalnya La
Rumpang banyak diintimidasi oleh Belanda sehingga ia jarang tinggal di istananya.
Urusan kerajaan lebih banyak dikendalikan oleh Collik Pujie meskipun juga
kedudukannya sebagai arung Pancana. Dengan alasan itu pula maka Colliq Pujie sering
mendapat nama kehormatan Datu Tanete. 27 Jiwa keberanin dan keintelektulannya
24
Untuk lebih jelasnya lihat Koolhof dalam bab pendahuluan Lagaligo jilid I, 1985: vii
bandingkan dengan H. Van den Brink, Benyamin Frederik Matthes: Zijn leven en arbeid in dienst van
het Nederlandsch Bijbelgenootschap (Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1948. hal, 78-79.
Dalam buku W.H. Frederick dan S. Soeroto. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah
Revolusi, hal, 253, tampaknya ada kerancuhan menempatkan tokoh sastrawan Bugis itu sesungguhnya
karena We Tenriolle sebagai pembuat naskah Ihtisar Buku Galigo menurut hemat saya hal itu sulit
diterima bisa bekerjasama dengan Dr. Benyamin Frederik Matthes karena We Tetenriole terkenal sangat
menetang pendudukan Belanda di Kerajaan Tanete.
25
J.A. Bakkers,” Tanete en Barroe” TBG. Jilid .12 , hal, 283. Disebutkan pula bahwa pada tahun
1961 jumlah penduduk Tanete mencapai 13.362 orang dengan luas wilayah 61.180 hektar.
26
Larumpang Megga raja Tanete digantikan oleh cucunya We Tenriolle sekitar pada tahun 1950-an.
27
Dalam laporan D.A.F. Brautigam Colliq Pujie tidak pernah secara resmi diangkat menjadi
kepala negara di Kerajaan Tanete, namun hanya berperang sebagai pemikir kerajaan . Diceritakan
bahwa setelah Larumpang Megga berhenti menjadi raja maka ia digantikan oleh cucunya (anak Colliq
Pujie) yang bernama Siti Aisyah We Tenriolle yang digambarkan sebagai seorang wanita yang
berkemauaan keras, cerdas dan berpengalaman luas menjadi kepala kerajaan Tanete Dalam tahun 1856.
22
yang diperoleh dari Bugis Melayu membuat pola Colli Pujie merobah taktik
perjuangan yaitu dari “ non cooperatif menjadi “ coopertif” terhadap Pemerintah
Belanda. Tidak diketahui kapan sebenarnya Colli Pujie lahir, hanya menurut catatan
harian lontarak Tanete koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara
diperkirakan pada tahun 182028. Colliq Pujie kawin dengan Latannang Pare Arung
Ujung. Dalam perkawinannya itu melahirkan tiga orang anak yaitu Siti Aisyah We
29
Tenriolle,I-Gading dan Lamakkawaru. .
raja Tanete. Ia kemudian ikut menyetujui perjanjian Bungaya yang dibaharui atau
Perjanjian Ujung Pandang.
Pada tanggal 22 Juli 1824, pasukan Belanda menyerang Segeri, Pangkajene dan
Labbakkang. Daerah tersebut pernah direbut oleh La patau dari tangan Belanda. Letnan
Kolonel H. De Stures dinaikkan pangkatnya menjadi kolonel karena jasa-jasanya yang
gilang gemilang dalam menaklukkan Tanete dan daerah sekitarnya.
Sesudah menaklukkan Tanete, Belanda mengirim ekspedisinya ke Suppa.
Sebelum pengiriman ekspedisi itu, Belanda terlebih dahulu mendirikan pos penjagaan
dan benteng di daerah Pancana, Segeri dan Mandalle. Ekspedisi Belanda yang
menyerang Suppa membawa hasil.
Kekalahan Belanda di Suppa menambah semangat pasukan Bone yang ada di
Lamuru untuk menyerang pos Belanda di daerah Maros dan Pangkajene. Raja La Patau
kembali ke Tanete, kemudian memimpin pasukannya menyerang pos Belanda yang ada
di Tanete yang dipimpin oleh Letnan Ulps. Raja Tanete menyingkir ke Makassar,
sedang La Patau oleh rakyat diangkat kembali menjadi raja Tamete.
Pada tahun 1826, La Patau bersama dengan raja-raja lainnya seperti raja Barru,
Sawitto dan Alitta mulai lagi mengangkat senjata. Kolonel Bischoff bertindak
menindas perlawanan tersebut dengan mengirimkan pasukan yang diperlengkapi
dengan senjata berat di bawah pimpinan Mayoor Coehoorn van Houwerda. Pasukan itu
dibantu pula dengan angkatan laut di bawah pimpinan Luiternent ter zee Eerste klasse
Rambaldo dan pasukan dari raja Sidenreng, Maros dan Pangkajene. Dari pihak sipil,
ikut serta Residen Maiyor Mesman sebagai komisaris pemerintah Belanda.
Pertempuran kembali terjadi dengan hebatnya, namun pasukan Belanda
akhirnya berhasil menaklukkan Tanete. Pada tahun 1827, La Patau terpaksa membuat
perjanjian dengan Belanda. Oleh Belanda ia diampuni dan dikembalikan menjadi raja
Tanete, akan tetapi hanya sebagai raja pinjaman.
Tiada lama kemudian, terjadi lagi bentrokan bersenjata antara Belanda dengan
pasukan La Patau. Hal tersebut disebabkan, karena Daeng Pulagu putera La Patau
membakar gedung Belanda yang ada di Segeri. Belanda meminta kepada La Patau agar
menyerahkan anaknya untuk mempetanggungjawabkan perbuatannya, tetapi tidak
diindahkan. Dengan persetujuan raja Gowa dan Bone, pada tanggal 28 Februari 1834,
Belanda menyerang Tanete bersama Larumpa Megga Topariusi (Datu Mario Riwawo)
25
dan Dulung Lamuru membantu pamanya Lapatau. Dalam peperangan ini, Tanete dapat
ditaklukkan, dan La Patau bersama Larumpa Megga menyeingkir ke Citta (Soppeng).
Pada tahun 1840, Dulung Lamuru yang setia kepada Belanda diangkat menjadi raja
Tanete menggantikan La Patau.
Dengan didudukinya Kerajaan-kerajaan Tanete, maka praktis wilayah
Sulawesi Selatan, maka pemerintahan wilayah adminstaratif di Celebes
Oderhoorigheiden berubah. Secara keseluruhan Daerah Sulawesi dibagi menjadi tiga
jenis kekuasaan di bawah pengawasan Gubernemen Hindia Belanda, yaitu :
4. Daerah-daerah Gubernurmen yang langsung di bawah kekuasaan dan
pemerintahan Hindia Belanda.
5. Daerah-daerah Gubernemen yang langsung dikuasai dan diurus oleh
Gubernemen Hindia Belanda.
6. Daerah-daerah yang menjadi sekutu Gubernemen yang disebut
Bondgenmootschappelijke Landen.
Adapun negeri-negeri yang termasuk jenis pertama ialah Distrik Makassar, Distrik
Utara (Maros), Distrik Bonthain dan Bulukumba serta Pulau Selayar dan pulau
sepanjang pantai barat Sulawesi. Daerah yang termasuk jenis kedua adalah Kaili , Pare-
Pare, Tanete, Tallo, Wajo, . Sedangkan daerah yang termasuk jenis ketiga adalah
Mandar, Toraja, Massenrempulu, Ajatapparang, Bacukiki, Batupute, Labaso, Soppeng,
Bone, Gowa, Luwu, Sanrobone, Turatea, Buton, Sumbawa dan Flores.
Simpulan
Istilah pahlawan atau penghianat adalah dua istilah yang memang sangat sulit
dipisahkan. Pertama karena banyak mengandung muatan politis “falsafah
nasionalisme” yang diletakkan secara hitam putih apakah makar atau pahlawan,
artinya kalau bukan pahlawan berarti “penghianat”. Kedua secara metodologis,
sejarah masih dominan bermanfaat praktis, nilai masa lalu selalu diukur dengan
kecamata di tahun 1950-an ( baca: menumbuhkan semangat nasionalisme menghadapi
Belanda) jiwa jaman sebelumya selalu dilupakan. Colliq Pujie sebagai tokoh di abad
ke-19 harus dilihat melalui kecamata kearifan sejarah. Ia harus diletakkan menurut
jiwa zamannya. Ia berjuang di tengah kancah runtuhnya kerajaan-kerjaan Bugis. Ia
tidak berjuang secara fisik melawan Belanda seperti I Lapatau- tetapi memanfaatkan
ketajaman penanya melalui karya sastra- yang hingga kini menjadi lambang identitas
orang-orang Bugis Makassar. Kami berharap agar seminar ini bisa dilihat secara jernih
melalui kearifan sejarah.
Daftar Pustaka
Sumber Arsip dan buku
Lontarak
28
Di dalam naskah ini alurnya dibagi ke dalam 18 bab yang menceritakan raja I
Tanete sampai raja ke XX. Setiap tookoh diceritakan mulai lahirnya, percintaannya
sampai ke perkawinananya. Alur certianya tunggal, tetapi kadang-kadang terdapat alur
kilas balik dicelah-celah peristeiwa seorang tokoj. Hal ini menyebabkan alur cerita
menjadi kompleks, ditambah lagi penamaan tokoh yang selalu berubah-ubah, karena
hampir setiap tokoh mempunmyai nama lebih dari satu.
Isinya bercetita seputar kehidupan istana para raja-raja Tanete dahulu yang
digubah dalam bentuk prossa lirik dengan bentuk penceritaan yang bersifat prolog dan
dialog. Karena itu, membaca buku ini tak ubahnya membaca sebuah roman yang
berkisah di seputar percintaan,
Sejarah perjalanan hidup Colliq Pujie adalah sebuah perjalanan sejarah anak manusia
yang panjang dan berliku seperti halnya senarai sejarah perjalanan leluhurnya yang ia
ceritakan dengan lantang, tanpa basa-bsi, penuh dengan ketelanjangan data yang tidak
ditutup-tutupi dalam “Sejarah Kerajaan Tanete” atau dalam bahasa Bugis disebut
“Lantaraqna Tanete”. Naskah yang ditulisnya pada tahun 1852 ini kemudian dicetak
dan diterbitkan oleh G.K.Niemen dengan judul Geschiedenis van Tanette, diterbitkan
oleh, ‘s Gravenhage, Martinur Nijhoff, Leiden pada tahun 1883 yang selanjutnaya akan
dibicarakan secara singkat dibawah ubu,
D dalam naskah ini alurnya dibagi ke dalam 18 bab yang menceritakan raja I Tanete
sampai raja ke XX. Setiap tokoh diceritakan mulai lahirnya, percintaannya sampai ke
pperkawinannya. Alur ceritanya tunggal, tetapi kadang-kadang terdapat alur kilas balik
dicelah-celah peristiwa seorang tokoh. Hal ini menyebabkan alur cerita menjadi
kompleks, ditambaaah lagi penamaan tokoh yang selalu berubah-ubah, karena hampir
setiap tokoh mempunyai nama lebih dari satu.
Isinya bercerita seputar kehidupan istana para raja-raja Tanete dahulu yang digubah
dalam bentuk prosa lirik dengan bentuk penceeeeeritaan yang bersifat prolog dan
dialog. Karena itu, membaca buku ini tak ubahnya membaca sebuh roman yang
berkisah di seputar percintaan, peperangan, intrik, kekuasaan, ketulusan, kejujuran dan
30
Sejarah seperti ini di dalam tradisi Bugis disebut Lontaraq sebuah bentuk penulisan
sejarah tradisional di Nusantara yang oleh banyak ahli dari luar dianggap memenuhi
kriteria untuk disebut sebagai sejarah modern. Hanya pada bagian awalnya saja yang
dipenuhi oleh misteri, sesudahnya mengalirnya cerita itu dengan data dan fakta yang
jelas tanpa dibumbui oleh hal-hal yang bersifat supernatural dan gaib.
Berbeda di Jawa atau Melayu yang geneloginya berasal dari tokoh penting dalam
sejarah dunia yang berasal dari Islam atau Hindu seperti Nabi Adam, Iskandar
Zulkarnain, atau Rama, dan sebagainya. Kisash-kisah tradisional dalam sejarah
kerajaan di Sulawesi Selatan genealoginya selalu berasal dari salah satu dari dua
tempat, yakni : 1) dari Boting Langiq (pusat langit), atau 2) dari Buri Liu (dasar Laut).
Yang berasal dari boting Langiq disebutnya sebagai To Manurung (orang yang turun)
sedangkan yang berasal dari Buri Liu disebutnya sebagai To Tompoq (orang yang
muncul). Mereka beranggapan bahwa baik To Mnurung maupun To Tompoq adalah
keturunan dewa yang dijelmakan di bumi. Karena itulah mereka menyapa To
Manurung sebaga Dewatae, sedang To Tompoq disapanya sebagai To Sangiang (Sang
Hyang …?).
Agaknya kisah-kisah seperti itulah yang menyertai berdirinya Kerajaan Tanete tempat
Colliq Pujie dilahirkan, yang setelah kemerdekaan Indonesia ia dilebur menjadi bagian
dari kabupaten Barru Sulawesi Selatan (sekitar 100-an km dari Makassar).
Konon sekali waktu, orang Pangi naik ke gunung jangang-jangangnge untuk berburu.
Setiba di puncak gunung mereka dikejutkan oleh adanya sebuah guci yang berisi penuh
air. Dalam hati mereka pastilah ada manusia di sekitar tempat ini.. Rasa penasaran
mereka mengantarnya masuk sampai ke kedalaman puncak gunung itu, dan benar
31
Akhirnya, secara rutin orang Pangi itu naik ke gunung tersebut dengan 2 tujuan : 1)
berburu, dan 2) menjenguk sepasang manusia dewa itu. Tak lama kemudian dewa ini
telah melahirkan puteri, dan setelah dewasa sang puteri kemudian dijodohkan dengan
putera raja orang Pangi di Ale Kaleqe.
Setelah itu, To Sangiang memilih turun dari gunung dan tinggal di sebuah tempat
kosong yaitu Batu Leppanae di kampung La Poncing. Di sanalah ia membangun sawah
dan membentuk perkampungan. Kampung itulah kemudian yang diberi nama
Aganionjo. To Sangiang menjadi raja pertama di tempat itu. Tidak lama kemudian,
sepasang puteranya tidak pernah akur, selalu bertengkar. To sangiang takut kalau
mereka saling membunuh. Karena itulah ia memutuskan untuk mencari raja pengganti
yang bisa dipatuhi oleh kedua putranya. Pilihannya jatuh pada raja Segeri. Inilah cikal-
bakal raja Aganionjo, yang dikemuian hari diubah namanya menjadi kerajaan Tanete.
Perubahan ini dilakukan oleh To Maburuqu Limanna (Raja Tanete yang ke-8) sebagai
wujud persaudaraannya dengan kerajaan Tanete di selayar.
Berangkat dari sinilah Colliq Pujie memulai cerita leluhurnya, yang pada garis
besarnya memberi gambaran kepada kita tengang 2 hal, antara lain : 1) silsilah raja-raja
dan adat istiasdat kerajaan Bugis/Makassar 2) kebebasan berbicara dan berekspresi
tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin, agama dan ras.
32
Raja Tanete I adalah Datu Gollae masih kerabat raja Gowa, karena iktu mulai raja I ini
sampai ke raja IX mereka dengan rutin datang ke Gowa memberikan sesembahan
seperti mempersembahkan sebagian hasil panen bila habis panen. Hal ini merupakan
tanda bukti akan kesetiaannya kepada raja Gowa sebagai raja bawahan Gowa yang
berdaulat. Namun sekali waktu terjadi insiden, ketika raja Tanete X Matinroe ri
Bulianna berkuasa, tanpa sengaja raja Bone, Arung Palakka yang masih kerabat raja
Gowa diburu oleh raja Gowa karena konflik yang tak bisa diredam. Raja Tanete
menyembunyikan, maka alngkah murkanya raja Gowa. Sejak saat itu, hubungan antara
gowa dan Tanete memburuk yang selanjutnya berakhir dengan pemutusan diplomatik.
Sejak saat itu pula, Tanete beralih menjadi negara baigian dari Kerajaan bone yang
sekali-sekali naik mempersembahkan pajak ke bone. Sementara itu, Arung Palkka yang
terdesak, akibat tekanan Gowa yang terus-menerus, akhirnya meminta bala bantuan
kepada konmpeni Belanda, dan dengan bantuan Belanda inilah ia dapat melawan
hegemoni kekuasaan Gowa yang sangat kuat dan ekspansif. Sebagai konsekwensinya,
ia harus takluk di bawah kekuasaan Belanda. Raja Tanete yang merupakan bawahan
raja bone mau tak mau harus pula membantu Bone dan Belanda melawan Gowa
termasuk membantu konmpeni menghalau pemberontakan Cina dan pasukan Jawa di
Jawa Tengah.
Persekutuan dengan Bone ini berlangsung terus asampai akhirnya raja Tanete X ini
digantikan oleh putra sulungnya Daeng Matulung (raja XI) yang tidak beberapa lama
setelah dilantik ia mengundurkan diri karena tidak suka pergi menyembah ke bone dan
diperintah oleh Belanda. Ia lalu digantikan oleh adiknya Daeng Matajang yang
33
memang sejak kecil telah dititipkan kepada raja bone untuk belajar adat-istiadat dan
tata cara memanage kekuasaan.
Waktu berjalan terus dan sejarah anak manusia pun turut berputaar, bergulir, dan
mengalir mengikuti perjalanan sang waktu yang tak pernah bisa dihentikan sejaenak
oleh siapapun. Raja-raja Tanete silih berganti yang setuju tidak setuju, terima atau
tidak terima, ia harus tunduk kepada takdir untuk menjadi bagian dari kekuasaan Bone
dan Belanda.
Namun ketika kekuasaaan tiba di tangan La Patau, raja Tanete XVII, raja yang tanpa
basa-basi menolak permintaan Belanda untuk menghadap kepadanya dalam suatu
pertemuan yang diadakan oleh Gubernemen di Makassar, “Kalau Belanda butuh
dengan saya dia yang harus menghadap ke saya, bukan saya yang harus menghadap
kepadanya” begitu katanya. Belanda sangat tersinggung, sekejap saja, kehidupan
masyarakat Tanete tiba-tiba berubah, gonjang-janjing, kacau-balau akibat perlawanan
yang tidak berimbang antara pasukan La Patau dengan kompeni Belanda. Meskipun
begitu, semangatnya luar biasa, dan tak pernah surut sedikitpun, sampai akhirnya
terdesak masuk ke gunung. Beberapa saat ketika dia sudah kewalahan, penasehatnya
menyarankannya untuk mundur, dengan tegas ia menjawab : “Turunkan saja perahuku,
biar saya pergi merantau jauh”. Sang penasehat langsung menanggapi itu sebagai
signal bahwa sang raja meminta dirinya untuk diturunkan sebagai raja, maka jawab
sang penasehat : “tak ada satu pun yang bisa menurunkan tuanku kecuali atas keinginan
tuanku sendiri”. Ketika itulah ia mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan
kepada saudara perempuannya Daeng Tennisanga menjadi ratu Tanete XVIII,
sementara La Patau tetap melanjutkan perlawanan dari gunung, tiga kali gencatan
senjata tiga kali pula berperang sampai akhirnya ia kalah. Itulah sebabnya ketika ia
meninggal ia digelar anumerta sebagai Petta Mpelaingnge Musuqna artinya “raja yang
meninggalkan peperangannya”.
Tidak begitu lama setelah kekuasaan Daeng Tenrisanga (saudara perempuan La Patau)
ia pun mengundurkan diri, Belanda lalu menunjuk La Rumpang menggantikannya,
ayah Colliq Pujie seperti yang telah dibicarakan di atas.
34
Gambaran umum yang kita dapatkan dalam penampakan hiruk-pikuk kehidupan setiap
tokoh adalah tidak adanya batas-batas perbedaan antara berbagai jenis kelamin
maupun agama dan suku, baik dalam berinteraksi secara social maupun di dalam
menduduki posisi-posisi penting dalam struktur kekuasaan. Bila dirunut satu-satu, dari
raja I sampai raja XX dalam naskah ini, maka 9 di antaranya adalah perempun,
selebihnya adalah laki-laki, namun istrinya juga semuanya adalah ratu yang berkuasa di
tempat lain, meskipun hanyalah raja kecil tapi berdaulat di dalam sebuah kerajaan
besar. Demikian pula halnya dengan para ratu, suaminya juga adalah raja di tempat
lain. Bahkan Ternileleang ratu Tanete XV ia berkuasa di dua tempat sekaligus yaitu
Kerajaan Tanete dan Kerajaan Luwuq karena kebetulan ayahnya orang Luwuq.
Kebebasan bukan hanya terlihat dalam posisi penting dalam kekuasaan tapi juga dalam
hal perjodohan. Tenrileleang ratu yang paling eksotis, ia meninggalkan suaminya
menjuju Sapirie karena merasa sudah tidak cocok, padahal ketika itu ia telah dikaruniai
tujuh orang anak dan telah menjelang manupouse. Ketika suaminya menyindir dalam
nyanyian antra lain ia berkata : “biar saja engkau pergi tak mungkin lagi ada yang jatuh
cinta padamu dan menikahimu, karena engkau sudah tua. Klau aka tidak msalah karena
aku masih bisa punya selir yang lain”. Maka jawab Tenrileleang : “Pekkumutono siaq,
35
pekkumutoni tauwe” artinya kamu be3gitu aku juga bisa begitu, dengan kata lain apa
yang bisa kamu lakukan akupun juga bisa melakukannya. Dan ternyata ia buktikan,
karena tidak lama sesudah ia berpisah dengan suaminya ia menikah lagi dengan
Ponggauqe’ri Bone (raja Bone) dan meskipun sudah tua pesta perkawinannya
dilangsungkan secara meriah.
Di dalam naskah ini juga kita temukan tradisi mangoting-oting suatu bentuk ungkapan
perasaan cinta seorang wanita kepada laki-laki yang disukainya- tentu saja juga
menyukainya – dengan jalan mengikatkan selendangnya ke ujung keris laki-laki maka
kalau ini terjadi tak ada satu pun orang bisa memisahkannya, selainmenikahkannya.
Hal ini dapat kita lihat pada percintaan antara Kadi dan I Buba, yang karena telah
saling mangoting hingga Tenrileleang menikahkannya.
Peristiwa yang tidak kalah serunya adlaah saat La Maddusila raja Tanete XVI
memerintahkan kepada Arung Lipukasi (slah satu raja bawahan Tanete) mallalengeng
akka (mengangkat baki) untuk tamu-tamu perempuan. Sang raja lipukasi protes tidak
mau melaksanakannya, tapi apa jawab La Maddusila : “Yang saya perintahkan bukan
pribadimu tapi kedudukanmu sebagai raja bawahan yang punya tatakrama untuk
tunduk kepadaku.”. Dengan perasaan terpaksa ia pun melayani satu persatu tamu-tamu
perempuan yang hadir dalam pertemuan itu. Alangkah risih dan kikuknya sang raja
Lipukasi.
Sementara itu, di dalam lalu lintas pergaulan antar bangsa kebebasan juga terlihat
dengan jelas, antra lain dapat kita lihat hubungan orang Belanda, bugis, Makassar,
buton, Melayu, Parengki (Prancis), Inggris, meskipun yang pertama dan yang terakhir
ini sering mereka bermusuhan, sehingga mereka berperang, tapi bukan atas nama
bangsanya ataupun agamanya, melainkan atas nama prilaku kolonialismenya.
Peperangan antara Belanda dan Gowa yang tak kunjung usai terpaksa mereka gencatan
senjata yang diakhiri oleh sebuah perjanjian yaitu disebut : Perjanjian Bungaya. Para
penandatangan perjanjian itu memegang kitab sucinya : orang Belanda memegang
kitab Injil dan orang Makassar memegang Al Qur’an. Sebelum penandatanganan
dilakukan mereka bersumpah atas nama tuhannya masing-masing, dengan meletakkan
36
Dua bagian yang telah diberitakan diatas, yakni : 1) sejarah kehidupan pribadi Colliq
Pujie yang dilatari oleh sistem sosial dan kutural dari zaman yang diwakilinya, 2)
sejarah kehidupan para raja yang masih tersimpan dalam memori Colliq Pujie yang
tentu saja didasari oleh berbagai bacaan lontaraq sebelumnya memberi gambaran
kepada kita tentang adanya saling mempengaruhi dan tarik-menarik antara kenyataan di
luar sastra dan kenyataan di dalam karya sastra.
Maka apa yang dikatakan oleh Evert Jan bahwa wanita Bugis/Makassar sangatlah
berkuasa kepada laki-laki, sebaliknya laki-laki sangat takut kepada perempuan
merupakan suatu sistem yang tidak pernuah ia temukan dalam bangsa lain yang pernah
ditemuinya. Karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh DR. Ian Caldwell bahwa
tatanan sosial dan kultural masyarakat Sulawesi Selatan tidaklah bias gender. Peran dan
kedudukan wanita sama dan setara.
Daftar Pustaka
Lontarak
Peliheng Dg, Mangatta. Lontara Bone. Milik Mahcmud Nuhung,
Koleksi Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Lontak Tanete
Besse Kajuara raja Bone yang ke –28 Matinroe ri Majennang, begitulah nama
lengkapnya. Bila ditelusuri penamaannya, maka Besse Kajuara sesungguhnya bernama
Tenriawaru.42 Tenriawaru adalah sebuah nama Bugis yang diberikan orang tuanya
sejak kecil. Di kalangan bangsawan Kerajaan Bone, Tenriawaru setelah terjung
kekanca politik kerajaan ia lebih sering disebut “Besse Kajuara”. Karena Ia dilahirkan
pada sebuah kampung yang bertempat di Kajuara. Setelah wafat Besse Kajuara
42
Penamaan Besse Kajuara secara jelas dapat dilihat dalam lontara Bone milik Andi
Mappanyukki, yang tersimpan di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Teggara. Juga ada pada
lontarak Bone milik Andi Zainal Abidin Farid. Lihat pula lontarak Bulo-Bulo Sinjai milik Machmud di
balangnipa
38
mendapat gelar anumerta “ Matinroe ri Majennang” yang artinya ratu yang tidur di
Majennang. Majennang adalah nama salah satu tempat yang dibawa pengaruh
Kerajaan Bone, yaitu tempat sang ratu wafat43
Besse Kajuara juga banyak aktif mengembangkan syiar Islam di Kerajaan-
kerajaan Bugis, sehingga ia mendapat gelar Sultana Unmul Hadi. Tidak diketahui
kapan sebenarnya Besse Kajuara lahir, hanya menurut catatan harian lontarak Bone
milik Andi Mappanyukki, diperkirakan sekitar tahun 1820 an. Ayahnya bernama La
Tenrisukki Arung Kajuara. Sedangkan Ibunya bernama We Cinde Daeng Mattaneng
Datu Suppa. Karena kebolehannya mempersatukan kerajaan Suppa dan Bone maka ia
juga digelar “Pancaitana” artinya raja yang mempertemukan dua kerajaan yang
berpengaruh di pedalaman Kerajaan-kerajaan Bugis yaitu Kerajaan Bone dan Suppa44.
Besse Kajuara naik tahta di Kerajaan Bone setelah suaminya La Parenrengi
meninggal, ia didampingi iparnya yang bernama Tuang Calo Arung Amali. Besse
Kajuara yang didampingi iparnya menunjukkan sekap permusuhan yang keras dari
pada suaminya. Tuntutan pemerintah Belanda di Makassar pada raja Bone agar segera
mengirim utusannya ke Makassar untuk berunding sama sekali ditolak oleh Besse
Kajuara. Sewaktu B.F. Matthes mengumpulkan naskah-naskah Bugis di kerajaan Bone,
maka Besse Kajuara menyeruh Matthes tinggalkan kerajaan Bone. Selain itu juga
Besse Kajuara memerintahkan agar perahu-perahu yang berlayar di perairan Kerajaan
Bone yang memakai bendera Belanda segera di balik.
Dalam periode pemerintahan Besse Kajuara 1857-1860, pertanian maju, Besse
Kajuara berusaha membangun berbagai irigasi sehingga hasil pertanian terus meningkat
Dalam lontarak dikatakan “ namasegenani atuo-tuonna to Bone nasaba mampunnaiki
paenre” artinya semakin makmurlah kehidupan orang Bone karena mempunyai irigasi.
Selain di pertanian, di bidang politik ia menegakkan hak dan martabat kerajaan Bone
sebagai koselir Belanda dengan melanjutkan kembali persekutuan raja-raja di Sulawesi
Selatan, seperti halnya ketika masa pemerintahan Arung Palakka . Itulah sebabnya
Besse Kajuara dianggap sebagai ratu yang menegakkan kembali cita-cita Arung
Palakka Petta Malampee Gemenna. Ia mendorong kembali terbentuknya konsep
43
Lontarak Bone milik Paliheng Daeng Mangatta.
44
Abdul Razak Dg. Patunru, Sejarah Bone. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Ujungpandang 1989, hal, 257.
39
48
Untuk lebih jelasnya lihat A. Rasyid, dkk. Makassar Sebagai Bandar Perdagangan Jalur Sutra,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Dekdikbud.RI, 1999
41
3.Barang-barang impor dari Belanda tidak dikenakan biaya pajak pada daerah-
daerah persekutuan, begitu pula sebaliknya
4.Mata uang gulden berlaku di Sulawesi seperti halnya nilai gulden yang berlaku
di Belanda
5.Daerah-daerah mulai dari kerajaan Bulo-Bulo sampai keperbatasan Kerajaan
Turatea masuk wilayah Kerajaan Bone.49
Usulan tersebut ditolak oleh Gubernur Jenderal Belanda Van Der Capellen dan
kepada pihak Bone diberi waktu 15 hari untuk berpikir apakah mereka mau mengikuti
pendirian raja-raja yang lain seperti Gowa, Sidenreng, Rappang, dan Buton. Dalam
menghadapi pendirian raja Bone yang keras ini maka terjadilah pertempuran yang
hebat antar lasykar Bone bersama kerajaan Tellu Limpoe di bagian Selatan kerajaan
Bone. Namun serangan Belanda ini gagal karena pasukan tentara Belanda banyak yang
menderita karena dikena penyakit kolera disertai dengan tewasnya 12 orang perwira
militer Belanda. Jumlah pasukan Belanda pada waktu itu diperkirakan 111.000 orang.
Penyerangan Belanda ini merupakan ekspedisi pertama ke kerajaan Bone secara besar-
besaran.50
Perang terbuka terjadi setelah Belanda menyerang dan menghancurkan perahu
dagang Kerajaan Bone yang tidak memasang bendera Belanda yang menandakan
bahwa Bone tidak setia lagi pada Belanda. Dalam pertempuran melawan pasukan
Belanda, Besse Kajuara bertindak sebagai panglima perang yang didampingi oleh
iparnya Arung Amali. Untuk mengahdapi ini baginda minta bantuan dari kerajaan Tellu
Poccoe dengan memperkuat dua sasaran pertahanan yaitu di pelabuhan Bajoe pada arah
utara dan perairan Mangarabombang ( Sinjai sekarang) dari arah selatan. Pada arah
selatan ini diperkuat pasukan berkuda yang penempatannya sebagai berikut :
1.Induk pasukan kerajaan Bulo-Bulo beserta laskarnya dari kerajaan Awang
Tangka menempati benteng Mangarabombang dan tokoh-tokoh di bawah
pimpinan panglima kerajaan Bulo-Bulo Baso Kalaka.
2.Laskar kerajaan Tondon dan Kampala menempati Tui di bawah pimpinan :
Tolere Dg. Panello.
49
Abdul Rasyid, Terbentuknya Persekutuan Tellu Limpoe Sebagai Hari Jadi Kabupaten Sinjai,
Makalah Seminar Penentuan Hari Jadi kabupaten Sinjai, Sinjai 1998
50
Lontarak Tondong milik Petta Bone di Lapadata, lihat juga Abd. Rasyid, Loc-Cit
42
51
Lontarak Bulo-Bulo, Milik Petta Bau di Tondong, lihat pula Kamaruddin, Bundel Salinan
Perjuangan Rakyat Bulo-Bulo Melawan Belanda di Sinjai. Diknas. Kab. Sinjai 1978 . Bandingkan
dengan Ali Muhammad, Bone Selayang Pandang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Bone: Bone 1986, hal,62
43
2. Pasukan Artileri dipimpin oleh mayor JF. Van Bloem yang terdiri atas :
a. Satu kompi pasukan meriam lapangan, dari kompi XVIII Garnizoen
Batavia.
b. Satu seksi pasukan howitzer dan garnizoen Salatiga.
c. Satu seksi pasukan meriam pegunungan dari Garnizoen Makassar.
52
Sagimun, MD. Perang Sulawesi Selatan. Panitia Musium Sejarah Tugu Nasional. Jakarta : 1964
53
Abdul Razak Dg. Patunru, Sejarah Bone. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujungpandang 1989,
hal, 259
44
Daftar Pustaka
55
Wiliam, H.Frederick, Soeri Soeroto, Penyunting. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah
Revolusi.Jakarta: LP3ES. 1984. hal.256
46