Aktivitas manusia dalam kehidupan seni, yakni aktivitas kreasi, aktivitas penghayatan, dan
aktivitas kritik seni. Aktivitas karya seni yaitu mengacu adanya seniman yang menghadirkan
karya. Artinya, dalam proses seniman bersinggungan dengan kenyataan objektif di luar dirinya
atau kenyataan dalam dirinya sendiri. Persinggungan tersebut menimbulkan respon atau
tanggapan. Tanggapan yang dimilikinya dipresentasikan ke luar dirinya, maka lahirlah karya
seni. Aktivitas penghayatan, yaitu aktivitas seseorang dalam memahami karya seni untuk
mendapatkan suatu pengalaman batin. Artinya, penghayat merasa puas setelah menghayati karya
seni dan memperoleh kepuasan estetik. Kepuasan estetik merupakan hasil interaksi antara karya
seni dengan penghayat. Sedangkan aktivitas kritik seni, yakni sebagai usaha pemahaman dan
penikmatan karya seni. Dalam hal ini kritik sebagai kajian rinci dan apresiatif dengan analisis
yang logis dan argumentatif untuk menafsirkan karya seni.
Ketiga aktivitas tersebut, dapat dijelaskan bahwa kreasi seni berkaitan dengan mencipta,
menghayati, dan kritik. Mencipta, yaitu proses mewujudkan suatu karya seni sesuai dengan ide
seniman. Menghayati, yakni proses menikmati suatu karya yang diciptakan seniman. Kritik,
yakni proses evaluasi untuk menentukan baik-buruknya suatu ciptaan atau memberi penjelasan
terhadap suatu karya berdasarkan norma-norma tertentu. Oleh karena itu, ketiga aktivitas itu,
yakni antara seniman, penghayatan, dan kritik seni (penilaian) merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan.
Proses apresiasi memang menjadi satu kebutuhan dan kritik adalah kebutuhan yang lain.
Keduanya dapat berkait ketika kritik berhasil sebagai pemandu pemahaman dan apresiasi. Kritik
selalu diharapkan menjadi pembuka kemungkinan adanya proses pemahaman antara kerja
seniman dan daya apresiasi masyarakat penikmatnya. Tugas kritik karya seni akan lebih banyak
pada prioritas masalah apresiasi, sehingga seluruh proses pendekatan dan isi paparan kritik dapat
menciptakan iklim apres;
Berdasarkan uraian di atas, apresiasi yang berkaitan dengan seni lukis yaitu mengerti dan
menyadari sepenuhnya tentang sesuatu hasil seni dan menjadikan sensitif terhadap segi-segi
estetiknya, sehingga mampu menikmati dan menilai karya seni dengan semestinya.
A. Proses Pengamatan
Kegiatan seni rupa terdapat tiga kegiatan: mencipta, menghayati, dan mengevaluasi. Mencipta,
suatu proses untuk mewujudkan suatu bentuk sesuai dengan ide pembuatnya. Menghayati, proses
menikmati suatu bentuk yang diciptakan pengerajin/disainer. Sedang mengevaluasi, proses
penilaian untuk menentukan baik buruknya suatu karya atau bisa dikatakan memberikan
penjelasan terhadap suatu karya yang memerlukan norma-norma tertentu. Apresiasi seni
merupakan dasar pemahaman dasar penulisan kritik, proses yang dilakukan pengamat dalam
menghadapi dan memahami karya seni. Apresiasi tidak sama dengan penikmatan. Mengapresiasi
karya seni adalah proses menafsirkan makna yang terkandung dalam karya seni. Seorang
pengamat memahami karya, sebenarnya harus mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar
penyusunan karya yang dihayati, misalnya: garis, shape, warna, dimensi ruang dan waktu, desain
penyusunan, karakter pada tiap unsur pendukungnya, dsb.
1)Unsur-Unsur Seni
Dalam memahami dan membuat karya seni harus mengenal struktur organisasi atau dasar
penyusunan dari karya seni yang sedang dihayati. Struktur adalah hubungan antara unsur-unsur
pembentuk dalam susunan keseluruhan. Dalam hal ini, struktur dasar seni rupa yaitu hubungan
antar unsur tersebut dapat berupa: hubungan antara garis atau goresan, pola ruang, shape atau
bangun, warna, tekstur, gelap terang, dan desain penyusunannya. Untuk memahami estetika
sebenarnya menelaah struktur rupa yang terdiri atas unsur-unsur rupa yang meliputi:
(a)Garis
Garis dapat berupa garis nyata atau garis imajiner. Garis tersebut memiliki dimensi panjang,
arah, dan sifat-sifat umum (lurus, bengkok, bergelombang, dsb.). Garis memiliki arah vertikal,
horisontal, dan diagonal. Garis nyata bersifat linier atau kaligrafis. Garis imajiner, yakni batas
bidang, bidang, gelap terang, massa, dan warna. Garis digunakan untuk menciptakan bentuk.
(b)Bidang
Bidang (seni rupa/umum) adalah area permukaan datar/2 dimensi atau keluasan yang memiliki
panjang dan lebar (geometris dan organis). Bidang: garis-garis dan sisi yang terhubung dengan
satu atau lebih titik hilang. Bidang (arsitektur dan desain): bidang-bidang yang digunakan untuk
membentuk komposisi 2D dan 3D dan area permukaan untuk membuat bentuk volumetrik.
(c) Bentuk
Unsur bentuk ada dua macam yaitu bentuk dua dimensi dan bentuk tiga dimensi. Bentuk dua
dimensi (shape) adalah bidang datar yang dibatasi oleh garis. Sementara bentuk tiga dimensi
(form) adalah ruang yang bervolume dibatasi oleh permukaan. Bentuk memiliki dua macam
sifat, yaitu bentuk yang bersifat geometris dan organis. Bentuk geometris: bentuk yang memiliki
susunan struktur teratur (permukaan/bidang mudah diukur panjang dan lebarnya, isi atau
volumenya). Bentuk organis: bentuk yang memiliki susunan struktur tidak teratur
(permukaan/bidang atau lengkungan yang tidak teratur sehingga lebih sulit atau bahkan tidak
bisa untuk mengukurnya).
(d)Ruang
Ruang adalah bidang atau keluasan. Ruang mungkin 2D atau 3D. Ruang merupakan unsur dasar
seni rupa, sebenarnya seni rupa didefinisikan sebagai organisasi ruang. Di dalam suatu susunan
ada ruang positif yaitu ruang dibatasi oleh suatu batas tepi berupa garis, sedang ruang negatif
adalah ruang yang berada di antara ruang-ruang positif.
(e) Warna
Warna merupakan kesan yang ditimbulkan oleh cahaya. Sistem yang paling sederhana untuk
mengetahui hubungan warna-warna adalah susunan warna dalam bentuk lingkaran warna.
(f) Tekstur
Menduduki tempat yang khusus dalam seni rupa karena tekstur merupakan bahan dasar dari
mana sebuah karya seni rupa dibuat. Tekstur yakni nilai raba dari suatu permukaan. Dapat
dianalisa dalam tiga aspek: (a) kualitas raba dari permukaan; (b) kualitas raba dari manipulasi
benda tiga dimensi; dan (d) kualitas visual dari permukaan benda.
(g)Gelap – Terang (Tone)
Gelap terang adalah perbedaan warna hitam dan putih, serta kisaran warna abu-abu di antaranya.
Gelap terang digunakan untuk memberikan ilusi kenyataan tiga dimensi.
2)Prinsip-Prinsip Seni
Unsur seni rupa yang lain, yaitu dasar-dasar penyusunan, komposisi dari unsur-unsur estetik
merupakan prinsip pengorganisasian unsur dalam desain. Prinsip pengorganisasian terdiri dari
tiga tipe prinsip penyusunan unsur-unsur seni rupa: (a) bersifat mengarahkan, (b) bersifat
memusatkan, dan (c) bersifat menyatukan.
a.i.a)Prinsip mengarahkan
(a.i.a.a)Gradasi
Prinsip rangkaian dari unit yang berdekatan sama dalam segala hal kecuali perbedaan perubahan
tingkatan dari satu unit ke unit selanjutnya.
(a.i.a.b)Irama
Irama adalah kesinambungan atau alur yang dicapai dengan repitisi (pengulangan) dan
pengukuran bagian-bagian yang sama atau mirip. Irama dapat bersifat sederhana, menggunakan
satu jenis ukuran, atau gabungan beberapa jenis ukuran yang hadir secara simultan, atau
merupakan variasi kompleks dengan menggunakan aksen-aksen tertentu.
Perasaan gerakan dari organisasi unsur-unsur seni rupa, gerakannya bisa mengalir, terpotong,
lembut, berulang, dan beruntun.
b) Prinsip Memusatkan
(a) Kontras
Pertentangan yang kelihatan justru bertujuan memperlihatkan ketidaksamaannya.
(b) Penekanan (dan Irama)
Repitisi adalah cara penekanan ulang satuan-satuan visual dalam suatu pola. Repitisi tidak selalu
merupakan duplikasi secara persis, tetapi juga kemiripan. Variasi repitisi dapat memperkuat daya
tarik suatu pola atau agar pola tersebut tidak membosankan. Berikut kreasi suatu titik pusat atau
pusat perhatian.
(a.i.a.c)Konsentrasi
Mengkonsentrasikan pusat pikiran menuju pada satu titik secara bertahap
c)Prinsip Menyatukan
(a)Proporsi
Hasil hubungan perbandingan jarak, ukuran, jumlah, tingkatan, dan bagian. Perbandingan
hubungan: (a) di dalam satu bagian; (b) di antara bagian-bagian; (c) bagian dengan keseluruhan;
dan (d) keseluruhan dengan sekitarnya
(b)Keseimbangan
Keseimbangan mengesankan keseimbangan gaya berat seperti pada timbangan. Keseimbangan
merupakan keseimbangan optis yang dapat dirasakan di antara bagian-bagian dalam karya seni
rupa. Keseimbangan merupakan suatu perasaan akan adanya kesejajaran, kestabilan, ketenangan
dari berat, ukuran, dan kepadatan dari suatu susunan.
(c)Harmoni
Harmoni digunakan mengikat bagian-bagian berbeda dan berlawanan. Harmoni dicapai melalui
repitisi dan irama. Variasi melalui perbedaan dan perubahan. Harmoni mengikat bagian-bagian
dalam kesatuan. Sedangkan variasi menambah daya tarik pada keseluruhan bentuk atau
komposisi. Tanpa variasi, komposisi menjadi statis atau tidak memiliki vitalitas. Jadi harmoni
adalah suatu kepekaan dalam perasaan, kombinasi yang menyenangkan dari susunan yang
berbeda.
(d)Kesatuan
Penyusunan dalam seni rupa yaitu pengembangan keseluruhan secara menyatu berdasarkan
bagian-bagian yang berbeda-beda. Perasaan yang lengkap secara keseluruhan, penyatuan yang
total, kualitas hubungan yang logis, dan selesai. Merupakan akhir dari seluruh prinsip
penyusunan unsur seni rupa. Berikut contoh eksplorasi unsur seni rupa
Menghadapi karya seni, penghayat harus dapat menafsirkan struktur organisasi yang disajikan
seniman melalui lambang-lambang atau simbol. Lambang yang dihadirkan lewat karya, bukan
sekedar menginformasikan struktur organisasi dalam arti baku, tetapi penghayat harus benar-
benar menangkap maksud seniman lewat struktur organisasi yang dikomposisikan.
2.Pendekatan Apresiasi
Dalam apresiasi karya seni rupa modern-kontemporer dapat digunakan pendekatan dari feldman
yang meliputi 4 tahapan: deskripsi, analisis formal, interpretasi, dan evaluasi. Proses tersebut
dimulai dari yang paling mudah ke yang lebih sulit. Karena kritik (apresiasi) bersifat emperik,
dan bukan deduktif, maka tahapnya dimulai dari yang khusus ke yang umum.
3.Materi Kajian
Materi untuk apresiasi seni lukis, yaitu salah satu dari aliran seni lukis. Dalam kajiannya
menggunakan struktur kritik dari Feldman (terdapat empat tahapan). Adapun data atau objek
apresiasi dapat diperoleh dari: internet, perpustakaan, atau melakukan kunjungan ke pameran
seni rupa.
4.Penilaian Karya Seni Lukis
Karya seni diciptakan seniman bukan untuk memenuhi kepentingan seniman, tetapi bermanfaat
bagi orang lain yang disebut dengan apresiasi. Apresiasi bermaksud menikmati karya atau
mengevaluasi tentang baik-buruknya suatu karya. Sebab evaluasi merupakan pemandu
pemahaman apresiasi, sedang evaluasi diharapkan menjadi jalan pembuka proses pemahaman
antara kerja seniman dan daya apresiasi masyarakat penikmatnya.
Istilah kritik dalam bahasa Indonesia: (1) kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya, dan (2)
kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap
suatu hasi karya, pendapat, dan sebagainya. Kritik adalah pembahasan atau tulisan atau ulasan
tentang sesuatu ekspresi yang dasarnya mengomunikasikan pengalaman merasakan sesuatu
keindahan yang didapat dari persentuhan dengan sesuatu ekspresi seni rupa. Bentuk paparan
kritik seni rupa, umumnya mengetengahkan cara kritikus untuk menyodorkan kritik secara:
deskriptif, analisis formal, interpretatif (penafsiran), dan evaluasi (penilaian).
A. Deskripsi
Suatu proses penguraian atau penggambaran. Paparan ini merupakan penjelasan-penjelasan dasar
tentang hal-hal yang tampak secara visual, atau penggambaran proses dari mulai gagasan
dituangkan hingga menghasilkan karya.
Paparan deskripsi tidak mengindahkan tafsiran awal sebelum bukti-bukti, data-data, dan fakta
pemikiran atau kekaryaan berhasil dikumpulkan. Pemaparan deskriptif tidak terbatas pada hasil
akhir, namun bisa pula merunut dari asal-muasal (gagasan, tema, teknis, media, dan ungkapan).
Oleh karena itu, paparannya meliputi uraian mengenai hal-hal yang dipaparkan secara kasat
mata. Paparan deskriptif umumnya ditulis sesuai dengan keadaan karya sebagaimana adanya.
B.Analisis Formal
Dalam analisis formal diupayakan bagaimana menjelaskan objek kritik dengan sekian data.
Proses ini lanjutan dari yang pertama, mulai menjelaskan bagaimana objek itu diatur menurut
kepentingannya, seperti: bentuk, luas warna, garis luar secara khusus, barik, dan komposisi.
Analisis formal juga termasuk jenis deskripsi, akan tetapi ia tidak hanya bicara soal penjelasan
objek, melainkan juga mengikutsertakan kualitas unsur visual.
Paparan ini menuju ke arah bagaimana proses distorsi mulai dilakukan. Bermula dari penjelasan
ihwal gagasan hingga kepada bagaimana ketika bentuk diungkapkan mengalami urutan
perubahan-perbahan. Analisis formal berangkat dari wujud nyata dalam karya, akan tetapi
terdapat langkah kajian yang lebih bersifat sebab-akibat. Analisis formal memperlihatkan usaha
untuk menjelaskan karya secara objektif dan hubungannya dengan tafsiran dalam penelaan.
Analisis formal mulai bergeser dari sekadar paparan deskriptif objek ke arah pernyataan tentang
bagaimana menafsirkan bentuk. Gagasan yang menerangkan proses kekaryaan disusun sebagai
data penyelidikan tambahan yang berpengaruh dalam kerangka untuk menarik tafsiran-tafsiran.
C. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran. Penafsiran adalah suatu upaya untuk menjernihkan persoalan di
dalam proses pengertian, yaitu dengan cara mengungkapkan setiap detail proses interpretasi
dengan bahasa yang tepat. Penjelasan cara kerja seniman dan proses pengubahannya diuraikan
sebagai tafsiran yang merujuk kepada suatu proses penemuan seniman, juga meliputi hubungan-
hubungan yang bisa ditarik dengan unsur-unsur bahasa visual yang ditampilkan.
Bentuk penilaian pada objek seni rupa merupakan penggabungan atau pertemuan antara
individualitas dengan gagasan, materi, dan pengalaman yang saling berhubungan.
D. Evaluasi
Deskripsi, analisis formal, dan penafsiran/interpretasi atas data-data visual dan pernyataan-
pernyataan telah menjadi bagian kelengkapan penilaian. Proses penilaian harus merupakan
bagian kritik yang jelas. Jika memberikan kepuasan, artinya penilaian kritikus dapat memenuhi
fungsinya sebagai pemahaman. Sebab, kritikus seperti guru yang dapat menentukan tingkat
interpretasi dan dapat memuaskan keinginan masyarakat dalam menerima penjelasan dan
perkembangan. Dalam pembelajaran di kelas (materi apresiasi seni), mengenai tahapan evaluasi
disarankan untuk mengacu pada kesimpulan dari interpretasi yang telah dibuatnya (apabila
menggunakan tahapan evaluasi harus membandingkan dengan karya lainnya yang sejenis).
Berikut bentuk paparan kritik seni yang mengetengahkan cara kritikus untuk menyodorkan kritik
secara: deskriptif, analisis formal, interpretatif (penafsiran), dan evaluasi/penilaian (dalam hal
ini, diganti menjadi kesimpulan).
A. Kesimpulan
Hasil analisis faktor genetik subjektif menunjukkan kepribadian pelukis fleksibel, konsisten
berbagai gaya, proses imajinasinya melalui tahapan, dan wanita sebagai objek utama dalam
lukisannya. Analisis faktor genetik objektif terungkap bahan melukis, bahan dari alam, dan
akrilik. Konsepnya, seni bukan untuk hidup melainkan hidup ini untuk berkesenian. Pengalaman
hidupnya penuh warna. Analisis objektif formal, secara keseluruhan tampak pada garis sebagai
identitas bentuk. Keberadaan objek terletak pada tiga latar (depan, tengah, dan belakang).
Pengorganisasian unsur seni seimbang, menyatu, dan harmonis. Interpretasi lukisan memberi
pelajaran berharga bahwa aktivitas seseorang akan memberikan bukti fisik ”apa” yang telah
dilakukannya. Sedangkan komparasi dengan lukisan yang lain ( dua penari dan pengantin
cucakrowo) memberikan dukungan kuat baik dari segi teknik, wujud, dan isi.
Bertitik tolak dari hasil sintesis dan hasil komparasi lukisan lainnya, lukisan berjudul Istriku dan
Kebun kecilnya menunjukkan makna inovasi ekspresi artistik yang tinggi. Hal ini didukung
dengan kemampuan pelukis memadukan antara media, teknik, pengorganisasian struktur rupa,
dan isi.
Seni rupa mencakup keseluruhan seni visual seperti lukis, seni gambar patung, grafis, desain
gravis, desain produk industri, desain komunikasi visual, serta kriya[1]. Aktivitas kritik seni rupa
Indonesia dapat dikatakan dimulai pada era 1973 yaitu PERSAGI dan dipromotori oleh pendiri,
pelukis, sekaligus juru bicara PERSAGI yaitu S.Sudjojono[2]. ia dan mungkin hanya dia yang
menangkap kondisi genting yang sedang dialami seni lukis Indonesia, dan menyerukannya.
Dalam tulisannya, “seni loekis di Indonesia sekarang dan jang akan datang”[3]. Dari
pemikiranya dan tulisan yang dibuatkannya dapat dikatakan bahwa S.Sudjojono merupakan
seorang seniman yang sensitif terhadap situasi dunia seni lukis saat itu.
Realitanya adalah kritik seni rupa di Indonesia belum terlalu jauh melangkah[4]. Hal tersebut
mengacu kepada masih sedikitnya penulisan kritik secara ilmiah dan menerapkan teori-teori
kritik serta ladasan keyakinan dalam menguraikan seni rupa di Indonesia. Jerome Stolnitz dalam
Sem C. Bangun mengatakan bahwa adanya sebuah aliran contextual criticism yang diartikan
bahwa untuk menilai karya seni diperlukan kriteria[5]. Penulis kritik di Indonesia nampaknya
belum begitu terbiasa menggunakan teori-teori sebagai landasan dalam mengkritik. Seorang
kritikus diharuskan meningkatkan intensitas pengamatan, pendokumentasian, serta penulisan
artikel seni namun faktanya tidak banyak yang menggunakan teori kritik oleh sebab itu bisa
dikatakan kritik seni rupa di Indonesia masih belum berada pada tingkat kritik secara ilmiah.
Landasan yang dimaksud oleh Jerome ialah bukan melulu pada bidang estetis saja namun masih
ada banyak kriteria yang bisa dijadikan landasan dalam aktivitas kritik seni rupa yaitu moral,
psikologi, sosiologi, religi, di samping itu sudah tentu ukuran artistiknya[6]. Pada saat
mengkritisi karya seni rupa hal estetis sudah tentu menjadi bagiannya namun beberapa kriteria
juga perlu diterapkan seperti halnya komparasi dengan karya-karya lainnya, mengetahui
tekniknya, dan tingkat keseriusan dalam berkarya juga dapat dibaca dari garis-garis yang
digoreskan pada bidang atau media.
Lihat saja tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah seni Visual Arts tentang pelukis Koempoel
Sujatno dikatakan sebagai ikon dari pelukis Surabaya yang ditulis oleh Anita Susanti[7].
Pemilihan terhadap pelukis Sujatno sebagai ikon seni lukis Surabaya sudah tentunya mengalami
pertimbangan dan berbagai kriteria-kriteria tertentu serta terjadi sebuah kegiatan kritik seni rupa
didalamnya sehingga Sujatmo mampu dinyatakan sebagai ikon seni lukis Surabaya.
Ada juga ulasan mengenai profil serta karya Chusin Setiadikara oleh Carla Bianpoen[8]. Pada
tulisan yang bertajuk “melangkah ke ruang artistik baru” terdapat bagian yang menyatakan “…
Tapi lebih dari itu, artikulasi ekpresif pada perasaan, dinamika garis-garis pada leher figur,
tangan dan jari yang keriput, member kesan yang menakjubkan”. Pada tulisan ini sangatlah jelas
kritik seni lebur menjadi sebuah pemberitaan jurnalistik di media majalah seni.
Pada bagian lain, kritik seni yang mengulas tentang kesejarahan seseorang dan menjadi landasan
dalam pembacaan karyanya terlihat dalam tulisan Carla Bianpeon tentang Hamad
Khalaf[9] dengan tulisan sebagai berikut, “Hamad Khalaf adalah seniman luar biasa. Lahir di
Kuwait, berpendidikan di Perancis, tinggal di Bali, Hamad menggali mitologi yunani sebagai
sumber inspirasi utamanya untuk memenuhi dorongan-dorongan kreatinya”. Contoh berikutnya
ialah ulasan mengenai kesenimanan Agus Suwage oleh Rifky Effendy[10] dengan kritik
terhadap proses berkarya Agus Suwage “Penjelajahan material selain gambar atau lukisan
kemudian berkembang menarik, selain interaktif kadang juga mengejutkan”. Fungsi kritik seni
membuat pembaca/pemirsa melihat atau menjadi sadar bahwa ia telah mengabaikan suatu karya
seni, atau tidak menyadari aspek-aspek menarik dari karya seni yang dimaksud[11]
Penggolongan kritik seni rupa yang sering dijadikan pedoman di Indonesia mengacu pada
penggolongan Feldman dengan cara melihat oleh siapa kritik itu dilontarkan. Ketika kita
mengatakan sesuatu melalui tulisan, kita harus tahu terlebuh dahulu kepada siapa kita akan
berkomunikasi[12]. (1) kritik jurnalistik, (2)kritik pedagogik, (3)kritik ilmiah, dan (4) kritik
populer[13]. Kritik jurnalistik cenderung dipergunakan oleh wartawan dan ditujukan kepada
pembaca koran yang karakternya heterogen. Kritik pedagogik ditujukan kepada pelajar yang
menggeluti bidang seni, kritik ini cenderung tidak terlalu keras karena mengacu kepada para
pelajar. Kritik ilmiah sepenuhnya bersifat keilmuan serta merta menampilkan data secara
lengkap, tepat, dan dituntut bertanggung jawab. Kritik popular ditujukan kepada siapapun yang
tertarik dengan kehidupan dunia kesenian[14]. Kesadaran akan pentingnya sebuah krtitik seni
dalam proses berkarya seni dan menempatkan kritik seni pada tempatnya merupakan sesuatu
yang mutlak diperlukan oleh pencipta, penulis maupun kritikus seni.
Kritik seni di Indonesia memiliki beberapa tokoh-tokoh yang bisa dimasukkan kedalam
kesejarahan kritik seni Indonesia. Karya-karya kritik tokoh tersebut menjadi sebuah acuan dan
pembacaan terhadap genre kritik seni rupa di Indonesia, kritik tipe apa yang dipakai, bagaimana
kativitas kritik seni rupa di Indonesia dari era PERSAGI hingga sekarang. S.Sujojono, Trisno
Sumarjo, Kusnadi, Dan Suwaryono, Popo Iskandar, Agus Dermawan T dan Bambang
Bujono[15] merupakan nama-nama kritikus Indonesia dan beberapa dari mereka merupakan
seorang penulis-penulis buku yang masih aktif menuangkan karya buku mereka dan
menyumbangkannya di dalam medan sosial seni rupa Indonesia.
Relita-realita kritik seni rupa yang berkembang di Indonesia merupakan sebuah pijakan untuk
menentukan langkah kemana arah dari aktivitas kritik seni rupa disni. Kritik Jurnalistik
merupakan kritik yang paling berkembang di Indonesia, lihat saja koran Kompas yang rutin
menerbitkan rubrik seni, kemudian adanya majalah-majalah seperti ARTi dan Visual Arts yang
terbit bulanan dan rutin menyajikan aktivitas seni rupa seperti pameran-pameran, artikel-artikel
seni dan pembahasan karya, namun sangat disayangkan kedua media cetak yang sangat
diandalkan di dalam memberikan informasi seni rupa ini harus tutup usia dalam waktu yangg
sangat singkat.
Kritik jurnalistik yang berkembang pesat di Indonesia walaupun kadang kala terjebak dalam
memuat ulasan seni, karena koran merupakan sebuah media masa yang dibaca oleh semua
kalangan dan harus ada sesuatu yang sensasional diberitakan sehingga pemberitaan terkadang
terkesan agak membuat-buat atau secara sengaja dibesar-besarkan. Peserta didik yang mengikuti
jenjang perkuliahan seni rupa seharusnya lebih intensif dalam melakukan pendidikan kritik seni
kepada sesama mahasiswa
Peranan lembaga pendidikan seperti universitas dan institut seni menjadi sebuah lembaga
pendidikan seni yang mampu mengembangkan kritik seni ilmiah dan menerapkan langsung pada
realitas kehidupan di kampus maupun non formal. Disinilah dosen dan mahasiswa dituntut untuk
lebih proaktif mendapatkan informasi serta wacana-wacana seni yang nantinya digunakan
sebagai bahan diskusi seni. Sebuah pembiasaan berbicara merupakan salah satu kelemahan dari
para calon seniman akademik baik itu pada lembaga keguruan seni maupun yang mengkhusus
seperti institut. Mahasiswa ketika diminta untuk medeskripsikan sebuah karya seni dan
menanggapi kebanyakan dari mereka belum fasih dalam berbicara serta menjabarkan secara
mendasar apalagi secara ilmiah.
Pengetahuan tentang kritik seni masih tabu dalam benak mahasiswa seni. Masalah yang selama
ini masih sering terjadi di kalangan mahasiswa seni ialah cenderung memilih berkarya dari pada
mengkaji, padahal secara akademis kemampuan dan pengetahuan mereka akan diuji dalam
mempertanggungjawaban karya. Terciptanya kebiasan apresiasi seni serta membangun dialog-
dialog ringan kesenian adalah sebuah pembiasaan diri agar mematangkan pemikiran. Selesai
diciptakan, seni merupakan wujud yang memiliki ruang dialog yang multi interpretasi, yang
melahirkan penghargaan atau sebaliknya[16]. Apabila dihadapkan pada buku-buku sebagai
sumber bacaan yang wajib mahasiswa pasti lebih memilih berkarya. Hal inilah yang berdampak
pada kurangnya minat mahasiwa dalam berdialog seni pasca perkuliahan. Kebiasan mengkritisi
karya-karya sesama mahasiswa perlu diintensifkan lagi dan pengetahuan kritik seni sangat
mutlak diperlukan sebagi tanggung jawab seniman akademik
Menginterpretasi adalah salah satu tahap penting dalam aktivitas Kritik Seni yang dilakukan
setelah seorang kritikus mengidentifikasi dan mendeskripsi, aktivitas intelektual ini dilakukan
sebagai upaya menyingkapkan makna yang lebih dalam dari suatu teks (karya seni, bacaan, atau
fenomenon). Sebagai contoh mari kita tengok patung Jendral Sudirman karya Hendra Gunawan
yang terpasang di halaman kompleks bangunan yang dipakai untuk kantor DPRD DI
Yogyakarta. (Lihat Gambar …, Jendral Sudirman, karya Hendra Gunawan) Kita dapat
menginterpretasi apa makna patung monumental Jendral Sudirman yang sangat berbeda dari
patung-patung monumental yang lain. Beda dari patung-patung pahlawan yang tipikal dijumpai
di Indonesia, patung ini punya karakter yang sangat unik. Materi subjeknya tidak dihadirkan
secara militeristik dalam representasi nan heroik, melainkan ditampilkan sebagai seorang
manusia biasa yang kurus-kering, pipinya cekung, dan rongga matanya dalam. Tubuhnya
kelihatan terlalu kecil dibanding dengan jas panjang yang dikenakannya. Hendra Gunawan
mematungkan sisi kemanusiaan Sudirman secara realis, yaitu sebagai sosok pejuang, yang secara
historis memang menderita penyakit yang akut di masa perjuangan Kemerdekaan.
Menginterpretasi berasal dari kata kerja dari bahasa Inggris to interpret. Ia bisa sebagai kata
kerja transitif maupun intransitif. Sebagai kata kerja transitif (kata kerja yang membutuhkan
objek) interpret berarti: 1. memaparkan secara rinci arti kata-kata asing, tulisan, mimpi, dsb.;
menerangkan atau mengklarifikasi arti sesuatu, misalnya: menafsir suatu mimpi; menafsir suatu
pernyataan; menginterpretasi penggambaran visual tentang suatu karya seni.
Kata to interpret berasal dari kata Latin interpretari, yang artinya memaparkan, atau
menerjemahkan. (The Australian Concise Oxford Dictionary, 1987). Padanannya dalam bahasa
Indonesia adalah menafsir (kata kerja), sedang kata bendanyapenafsiran.
Interpretasi dapat dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan. Dari aspek praktikal Rosalind
Ragans, dalam ‘ARTTALK’ mengemukakan dua pertanyaan demikian: ‘Dalam menginterpretasi
anda punya dua pertanyaan untuk dijawab: “Apa yang terjadi” dan “Apa yang dicoba dikatakan
oleh si seniman?’ Dalam ini anda menjelaskan atau mengatakan makna dari karya seni yang
sedang dihadapi. Disini pula lah anda dapat membuat dugaan dan perkiraan-perkiraan secara
kreatif dengan menggunakan penalaran, imaginasi, dan keberanian anda. Anda tidak boleh kuatir
membuat satu interpretasi yang berbeda dari orang lain, sebab anda memang berbeda dari orang
lain. Bagaimana anda menginterpretasi suatu karya seni tergantung pada apa yang pernah anda
lakukan dan lihat. Walau begitu, interpretasi anda harus didasarkan pada fakta-fakta dan
pratanda-pratanda yang anda kumpulkan ketika anda mengidentifikasi dan mendeskripsi karya
yang dihadapi. Interpretasi anda dapat mengekspresikan perasaan anda, tetapi peraasaan anda
harus didukung oleh observasi.”
Di dunia Filsafat banyak pembahasan mengenai interpretasi. Salah satu tulisan tentang
interpretasi yang ditulis dengan pendekatan filsafat dalam konteks pembahasan mengenai
Hermeneutika, adalah artikel Bambang Triatmoko “Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoer”
yang membahas apa dan dinamika interpretasi menurut Paul Ricoeur. Ada beberapa poin tentang
interpretasi dan menginterpretasi yang dapat dipakai untuk menginterpretasi seni. Usaha
interpretasi sesungguhnya merupakan penyingkapan sebuah maksud yang lebih dalam, yakni
penjembatanan distansi dan perbedaan-perbedaan budaya. Interpretasi menghadapkan pembaca
kepada teks yang telah menjadi sesuatu yang asing, dan dengan cara demikian memasukkan
maknanya ke dalam pemahaman yang sekarang mampu dimiliki oleh orang tersebut.
Namun ada satu poin unik dari Ricoeur tentang interpretasi, yaitu pemikirannya yang mengajak
pemirsa / pembaca suatu teks memberi kesempatan kepada teks itu sendiri untuk menyingkapkan
makna terdalamnya. (Dalam “Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur” oleh Bambang
Triatmoko)
Adakah metode dan cara-cara yang paling tepat untuk melakukan interpretasi? Ricoeur
menganggap tidak ada aturan-aturan yang universal untuk interpretasi, yang ada hanyalah aturan-
aturan partikular yang kadang kala berlawanan. Sebagai ilustrasi tentang cara-cara pandang yang
melahirkan aturan-aturan yang bersilangan itu, Ricoeur memberi contoh cara pandang Freud,
Marx, dan Nietzsche yang berada dalam satu kelompok cara pandang, nan berseberangan dari
cara pandang Bultmann.
Paparannya dimulai dari pandangan Ricoeur atas struktur simbol sebagai intensionalitas ganda.
Yang pertama adalah intensionalitas yang menunjuk makna harafiah, sedangkan makna yang lain
menunjuk kepada makna yang tersembunyi. Intensionalitas ganda inilah yang mengundang
interpretasi sehingga bisa dikatakan bahwa kebutuhan interpretasi itu muncul dari hakikat dasar
simbol itu sendiri. Hermeneutika (teori atau filsafat tentang interpretasi makna), dengan
demikian menjadi suatu proses penguraian yang memunculkan arti dan makna dari keadaannya
semula yang tersembunyi. (Lihat Triantmoko) Dengan kerangka pemahaman ini Ricoeur
memeriksa psikoanalisis Sigmund Freud yang dilihatnya sebagai suatu metode penafsiran yang
amat jelas atas mimpi-mimpi, simptom-simptom syaraf dan gejala-gejala neurotik. Freud
memandang bahwa mimpi-mimpi itu hanyalah realitas palsu, atau merupakan ilusi belaka, maka
upaya interpretasinya itu diarahkan untuk menghancurkan ilusi-ilusi itu. (Dalam Triatmoko)
Selain Freud, Ricoeur juga menempatkan Marx dan Nietzsche dalam kategori ini, karena baik
Marx maupun Nietzsche menganggap bahwa realitas yang nampak pada permukaan sesuatu itu
palsu dan menipu. Penampakan luar tak ubahnya seperti topeng-topeng yang menyembunyikan
wajah sesungguhnya dari menampak pada permukaan. Berdasarkan anggapan itulah mereka
menyusun sistem berfikir yang dapat membedah dan menyingkap ‘topeng-topeng’ ilusi itu.
Dengan cara itulah mereka cara menginterpretasi realita yang baru untuk menangkap dan
mengedepankan makna di balik apa yang menampak. (Lihat Triatmoko)
Kategori kedua yang dirumuskan Ricoeur adalah pendekatan yang diajukan oleh Bultmann, yaitu
konsep mengenai demitologisasi. Bultman juga secara serius mengamati simbol atau teks, dan
menganggapnya signifikan. Tetapi Bultmann melihat simbol atau teks itu bukan sebagai ilusi,
tetapi sebagai suatu jendela, melalui mana pemirsa dapat melihat ke arah realitas yang ilahi atau
yang suci.
Berdasarkan dua hasil pembacaannya atas dua kategori pendekatan interpretasi yang berbeda itu,
Ricoeur lalu menyimpulkan bahwa dalam menginterpretasi simbol atau teks – bisa juga
diaplikasikan untuk seni – tidak ada aturan-aturan yang universal, melainkan teori dan konsep-
konsep partikular yang acap kali berlawanan. (Lihat Triatmoko) Kenyataan ini sama halnya
dalam dunia cipta seni, penafsiran atas realita akan sangat mempengaruhi materi subjek dan cara
materi subjek seni direpresentasi. Dalam Seni Modern, sebagai contoh, karya-karya lukis Realis
beda dari karya-karya Romantis; Realisme melihat bahwa realita sesungguhnya adalah kenyataan
nyata dari masyarakat biasa kelas bawah dalam suasana nyata keseharian mereka, sedang
Romantisme melihat realita dengan pendekatan emosi sehingga materi subjeknya digambarkan
berada dalam lingkungan yang sedemikian romantis sehingga membangkitkan emosi pemirsa.
Sebuah teks, menurut Ricoeur, bersifat otonom atau berdiri sendiri. Dikatakan otonom karena
secara alamiah selalu terjadi proses distansi, yaitu menjauhnya makna teks itu dari situasi awal
ketika teks itu tercipta. Proses distansi ini akan membuat teks tercerabut dari konteks aslinya,
sehingga sebagai konsekuensinya teks menjadi terbuka untuk interpretasi-interpretasi berikutnya,
bahkan bisa saja makna baru yang tercipta bertolak-belakang dari maksud pengarang /
pembuatnya. Makna teks selalu berpotensi untuk berubah karena ia tidak tergantung pada
maksud semula pengarang / kreator; tidak pula ia terpancang pada situasi historis karya, buku,
konteks dimana teks itu berada; tak juga ia bergayut pada para pemirsa atau pembaca awal.
Dalam membaca atau memaknai sebuah teks atau seni seseorang harus mengarahkan
perhatiannya pada makna objektif dari sebuah teks (karya seni, bacaan, dsb.), terlepas dari
maksud subjektif pengarang / seniman kreatornya atau orang lain. Menginterpretasi sebuah teks
bukannya mengadakan suatu relasi intersubjektif antara subjektivitas pengarang dan subjektivitas
pembaca, melainkan hubungan antara dua diskursus: diskursus teks dan diskursus interpretasi.
Dan, interpretasi itu selesai, bila ‘dunia teks’ dan “dunia interpretator” bercampur baur menjadi
satu. (Diambil dari artikel Triatmoko dan tulisan K. Bertens tentang Paul Ricoeur, dalam
bukunya FILSAFAT BARAT ABAD XX: PRANCIS)
Dengan mengakui bahwa teks itu otonom karena adanya proses distansi, maka dalam suatu
pembacaan atas suatu teks, interpreter / penafsir seyogyanya memberi kesempatan bagi teks itu
sendiri untuk menyingkapkan makna terdalamnya. Pandangan Ricoeur ini bisa diaplikasikan
dalam menginterpretasi seni – misalnya karya patung Jendral Sudirman oleh Hendra Gunawan –
maka dapat dikatakan bahwa melalui interpretasi makna dari suatu patung monumen Jendral
Sudirman itu boleh jadi berbeda sama sekali dari pemaknaan yang dulunya dimaksudkan oleh
Hendra Gunawan.
Jadi menginterpretasi bukannya merekonstruksi makna dan maksud awal sebuah teks, melainkan
aktivitas intelektual yang kreatif. Sebagaimana ketika seorang seniman mencipta karya , tidak
ada suatu metode tunggal interpretasi yang bisa dipakai untuk setiap situasi dan keadaan,
menginterpretasi tidak melulu didasarkan pada satu dasar metodis yang baku. Tentang hal ini
filsuf Gadamer berpendapat bahwa tidak ada satu basis metodis yang pasti dan baku untuk
dipakai menginterpretasi. Metode bukanlah jalan menuju kebenaran, karena yang terjadi
terhadap metode justru perihal sebaliknya, yaitu bahwa kebenaran itu mengelakkan diri dari
usaha metodis manusia. Pemahaman tidak dilihat sebagai suatu proses subjektif manusia
berhadapan dengan objek, tetapi merupakan cara berada manusia itu sendiri. Pendapat Gadamer
demikian itu lebih dekat pada dialektika Sokrates, daripada pada cara berfikir teknologis dan
modern yang bersifat manipulatif. Bagi Sokrates, pengetahuan bukanlah sesuatu yang diperoleh
atau dicapai sebagai miliknya, tetapi merupakan sesuatu di mana ia berpartisipasi dengan
membiarkan dirinya diarahkan dan dimiliki oleh pengetahuan itu. (Dalam Triatmoko)
Dalam pemahaman Gadamer, kebenaran tidak dicapai secara metodologis tetapi secara dialektis.
Di dalam metode, subjek yang ingin tahu itu mengarahkan, mengontrol, dan memanipulasi
objek; relasi yang terjadi adalah relasi subjek-objek. Sedangkan di dalam dialektika, hal yang
dijumpai itu sendiri mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh pemahaman itu. Dengan
demikian suatu pendekatan atas makna suatu teks harus dilihat bukan sebagai usaha
menduplikasi, tetapi sebagai usaha penciptaan makna baru. Memahami suatu literatur bukanlah
suatu gerak kembali ke kejadian-kejadian masa lampau, melainkan suatu partisipasi sekarang dan
disini pada apa yang sedang dikatakan. (Dalam Triatmoko)
Pinsip-prinsip Interpretasi
(Berikut ini adalah poin-poin praktis tentang apa itu itu bagaimana menginterpretasi dan apa
yang dapat diharapkan dari aktivitas ini menurut Terry Barret dalamCriticizing Art
Understanding the Contemporary)
1) Penafsiran adalah argumen-argumen yang bersifat persuasif
Penafsiran harus didasarkan pada bukti-bukti dan informasi internal dan eksternal dari karya seni
yang ‘dibaca’. Perlu diingat bahwa dalam penulisan seni, penafsiran bukanlah sesuatu yang serba
logis, atau bukan sekedar argumen-argumen yang masuk akal, tetapi sebagai esai-esai susastra
yang persuasif. Tafsiran dapat dan seharusnya dianalisis sebagai argumen-argumen. Ia bersifat
persuasif karena berisi bukti-bukti dan karena watak bahasa yang digunakan untuk menyatakan
penafsiran tersebut. Dengan kata lain, sebuah tafsiran harus masuk akal, menarik, dan
meyakinkan.
3) Tafsir yang baik adalah tafsir yang berbicara lebih tentang karya seni terkait yang
bersangkutan, bukannya tentang diri kritikusnya
Tafsir harus memiliki kaitan yang jelas dengan karya seni yang dibicarakan. Kritikus mendekati
suatu karya seni pasti dengan membawa suatu sejarah, pengetahuan, kepercayaan, dan bias-bias
yang tentu saja mempengaruhi bagaimana ia melihat suatu karya seni. Dengan menyadari hal-hal
ini tafsiran menjadi tidak terlalu ‘subyektif’ atau lebih banyak memaparkan diri si kritikus
daripada karya seni.
5) Tafsir-tafsir atas satu karya seni yang sama bisa saja berlainan, bahkan bertentangan satu sama
lain
Prinsip ini sebenarnya mengatakan bahwa suatu karya seni bisa membangkitkan tafsir-tafsir yang
baik dan beragam, oleh karenanya bisa berbeda. Maka, bisa saja tafsir yang satu berlawanan
terhadap tafsir yang lain, dan ini memberi peluang kepada pembaca untuk memilih mana yang
terbaik di antara tafsir-tafsir yang saling bertentangan.
7) Tafsir dapat dinilai dengan melihat koherensi, korespondensi, dan sifat inklusifnya
Sebuah tafsir yang baik harus merupakan suatu pernyataan yang koheren dalam dirinya dan
harus berkoresponden (berkaitan) dengan karya seni yang ditafsir tersebut. Koherensi adalah
suatu kriteria yang otonom dan internal. Korespondensi adalah suatu kriteria eksternal yang
menanyakan apakah tafsir yang kita berikan sesuai dengan karya seni yang bersangkutan. Yang
dimaksud dengan sifat inklusif adalah apakah semua elemen pada karya seni yang bersangkutan
telah termasuk dalam pembahasan atau tidak
8) Suatu karya seni tidak harus sebagaimana apa yang diinginkan oleh seniman
kreatornya Terkadang hal yang ternyatakan dalam suatu karya seni melampaui atau tidak
sebagaimana yang dimaksudkan oleh si pembuatnya. Maksud pernyataan ini adalah ketika kita
menafsir sebuah karya, jangan sampai penjelajahan tafsir kita melulu terbatas oleh kerangka
maksud si seniman pembuat karya. Makna suatu karya seni boleh jadi lebih luas daripada
pemahaman si pembuatnya. Sebab, dalam praktik banyak seniman yang tidak bekerja dengan
maksud-maksud yang spesifik ketika mereka mengekspresikan suatu gagasan tertentu; dan perlu
dicamkam bahwa tafsiran seniman atas karyanya sendiri hanyalah salah satu dari berbagai
tafsiran yang bisa dibuat mengenai karyanya. Lagi pula, seorang seniman baik secara langsung
maupun tidak akan selalu memilih cara merepresentasi, cara pengataan, dan cara pandang yang
mendukung ide yang hendak ia sampaikan melalui karyanya. Dengan kata lain, seniman selalu
melakukan propaganda dalam karya seninya.
9) Kritikus seharusnya tidak jadi juru bicara seniman yang karyanya dibahas
Maksud pernyataan ini adalah bahwa seorang kritikus seharusnya tidak sekedar memaparkan apa
yang dikatakan seniman mengenai karya seninya. Seorang kritikus harus mengkritisi apa yang
kurang atau yang berlebihan, atau kekurangtepatan.
10) Tafsir seharusnya menghadirkan keadaan terbaik karya seni yang dikupas, bukan keadaan
terburuknya
Tepat pada poin ini kita harus membahas aspek etis penulisan kritik. Karena interpretasi tidak
bisa dibakukan, dan tidak bisa ditandingkan seperti halnya ayam jago, maka perlu prinsip-prinsip
etis, yang adil dan terbuka. Sama halnya dengan bidang kehidupan sosial yang lain, kalau agama
sudah tidak boleh melakukan klaim kebenaran yang final (dalam situasi seni rupa peran
agamawan dipegang dosen, kritikus seni, dan kurator galeri), kalau pemerintah sekedar menjadi
pelayan publik, kalau semua warga negara boleh menghayati ideologi dan keyakinannya masing-
masing, maka satu-satunya hal yang perlu dilakukan adalah menciptakan aturan main yang fair,
etis, dan sesuai dengan kebudayaan yang berlaku (kontekstual dan partikular).Prinsip ini penting
sebab seorang kritikus harus mau mengakui hak intelektual si seniman. Penyangkalan seorang
kritikus atas karya seseorang, berlawanan dengan prinsip yang baru saja dikemukakan di atas.
11) Obyek-obyek penafsiran adalah karya-karya seni, bukan senimannya
Dalam percakapan umum sehari-hari mengenai seni, yang sering dibicarakan, ditafsir dan dinilai
justru si orang, bukan si karya. Dalam kritik, yang seharusnya dibicarakan adalah obyek-obyek
yang sedang diinterpretasi dan dinilai, dan bukan si orang yang membuat obyek-obyek itu.
Informasi-informasi biografis yang sering disertakan seharusnya dimaksudkan untuk membuka
wawasan/tilikan mendalam untuk lebih masuk ke dalam karya seni yang bersangkutan. Yang
tidak boleh dilupakan, ketika berkait dengan informasi biografis, kita tidak boleh membatasi
penafsiran mengenai seniman hanya pada masa lalunya; atau juga ketika informasi-informasi
biografis berkenaan dengan ras, gender, atau latar-belakang historis-politik tertentu, interpretasi
tidak boleh terperangkap dalam informasi biografis melainkan pada aspek-aspek obyektif dari
karyanya.
12) Semua karya seni mengandung sesuatu yang berkenaan dengan dunia/keadaan tempat karya
itu muncul
Budaya yang menjadi tempat asal dan hidup seorang seniman selalu membentuk cara
pandangnya atas dunianya. Ketika seseorang merepresentasi sesuatu – konsep atau ide-ide
tertentu – ini selalu direpresentasi dalam dan melalui bahasa serta budaya. Yang jelas, cara kita
mengkiaskan sesuatu tidak pernah tidak terpengaruh oleh realitas fisik dan berbagai wacana yang
melingkupinya.
13) Semua karya seni mengandung sesuatu dalam dirinya yang berkaitan dengan atau mengenai
karya seni lain
Seni tidak muncul dari ruang hampa. Dalam hidup ini kita senantiasa ‘berbagi’ bahasa, cara
pemahaman, dan cara merepresentasi. Para seniman pada umumnya sadar akan karya para
seniman lain, dan mereka sering secara khusus memperhatikan karya seniman-seniman tertentu.
Atau setidak-tidaknya seniman-seniman pernah melihat, mencermati, dan secara tidak sadar
terpengaruh oleh representasi-representasi visual dalam masyarakatnya. Prinsip ini menegaskan
bahwa semua karya seni dapat ditafsir berdasarkan bagaimana karya itu dipengaruhi oleh karya
lain, dan dalam beberapa kasus, karya-karya seni tertentu yang secara khusus mengenai karya
seni lain.
14) Tidak ada satu pun tafsir yang bisa sepenuhnya merengkuh makna suatu karya seni
Suatu karya seni bisa ditafsir dari berbagai sudut pandang dan aspek tinjauan. Setiap tafsiran
saling memberikan nuansa-nuansa halus atau alternatif-alternatif pemahaman yang jernih, tetapi
bukan kata putus mengenai makna karya tersebut.
15) Makna karya seni menurut seorang penafsir boleh jadi berbeda dari yang ditangkap oleh
pemirsa lain
Suatu karya seni boleh jadi lebih signifikan bagi seorang pemirsa ketimbang pemirsa-pemirsa
lain, atau lebih bermakna bagi seseorang. Sebagai misal, seorang seniman yang berkiprah dalam
suatu kepengurusan partai politik akan lebih melihat nuansa-nuansa politik dalam karya seni,
daripada seniman lain.
16) Menafsir pada akhirnya merupakan suatu upaya komunal dan komunitaslah yang pada
akhirnya sebenarnya mengoreksi diri
Ini adalah suatu pandangan yang optimistik mengenai dunia seni dan bangunan ilmu seni, yang
percaya bahwa para kritikus, sejarawan, dan para penafsir serius lain pada akhirnya akan
memperbaiki tafsir-tafsir yang kurang dan nantinya akan menghasilkan tafsir-tafsir yang lebih
baik. Ini tentu saja akan terjadi dalam jangka pendek dan panjang. Esai-esai dalam katalog-
katalog pameran mengenai seni kontemporer, atau yang memuat suatu retrospeksi historis dari
seniman yang telah tiada dapat dilihat sebagai kompilasi-kompilasi yang dilakukan oleh para
kritikus yang menyampaikan pemikiran-pemikiran terbaik mereka mengenai karya-karya para
seniman. Tafsiran-tafsiran historis itu akan memperbaiki interpretasi yang kurang berwawasan.
17) Tafsir yang baik mengundang kita untuk menafsir karya yang bersangkutan menurut
penafsiran kita sendiri
Prinsip ini menekankan pentingnya mengemukakan tafsir yang mengundang para pemirsa untuk
lebih mendekat dan terbuka, dan ini jauh lebih baik daripada menyampaikan tafsir yang cuma
mengedepankan pernyataan-pernyataan dogmatis.