Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Cranium

1. Anatomi Kulit Kepala

Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis

superior pada os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis.

Ke arah lateral kulit kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus

zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan yang terdiri atas

skin (kulit), connective tissue (jaringan ikat), aponeurosis epicranialis

(galea aponeurotica), loose connective tissue (jaringan ikat spons) dan

pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut dengan scalp (Dalley &

Agur, 2013).

3 4 5
2
1 6

Gambar 2.1. Lapisan Kulit Kepala (Dalley & Agur, 2013)

5
6

Keterangan gambar :

1. Kulit

2. Connective tissue

3. Aponeurosis

4. Loose areolar tissue

5. Pericranium

6. Tulang

2. Anatomi Kepala

Tengkorak/cranium terbentuk dari rangka kepala dan muka,

termasuk mandibula. Cranium mempunyai dua bagian besar, yakni

kalvaria (atap tengkorak) yang sering disebut neurokranium dan selaput

otak.

Cranium dibentuk oleh beberapa tulang yang dihubungkan satu

sama lain oleh tulang bergerigi yang disebut sutura, banyaknya delapan

buah dan terdiri dari 3 bagian (Dalley & Agur, 2013).

a. Kubah cranium

Terdiri dari tulang-tulang :

1) Tulang frontal

Tulang frontal membentuk dahi, langit-langit ronggga

nasal, dan langit-langit orbita (kantong mata). Tulang frontal

pada tahap kehidupan embrio terbentuk menjadi dua belahan

yang pada masa kanak-kanak awal berfungsi dengan penuh.


7

Tubrositas frontal adalah dua tonjolan yang berbeda ukuran dan

biasanya lebih besar pada tengkorak muda. Arkus supersiliar

adalah dua lengkungan yang mencuat dan menyatu secara

medial oleh suatu elevasi halus yang disebut glabella. Tepi

supraorbital, yang terletak di bawah lengkungan supersiliar dan

membentuk tepi orbita bagian atas. Foramen supraorbital (atau

takik pada beberapa tengkorak) merupakan jalan masuk arteri

dan syaraf (Dalley & Agur, 2013).

2) Tulang parietal

Tulang parietal membentuk sisi dan langit-langit cranium.

Yang terdiri atas sutura sagital, sutura koronal, dan sutura

lamboidal. Sutura sagital adalah sutura yang menyatukan tulang

parietal kiri dan kanan. Sutura koronal menyambung tulang

parietal ke tulang frontal. Sutura Lamboidal menyambung

tulang parietal ke tulang oksipital (Dalley & Agur 2013).

3) Tulang occipital

Tulang kepala belakang terletak di belakang kepala pada

os oksipital, terdapat sebuah lubang cocok sekali dengan lubang

yang terdapat dalam ruas tulang belakang yang disebut foramen

magnum. Foramen ini menghubungkan rongga cranial dengan

rongga spinal (Dalley & Agur, 2013). Tulang oksipital

membentuk bagian dasar dan dan bagian belakang Kranium

(Syaifuddin, 2006).
8

4) Tulang temporal

Membentuk dasar dan sisi cranium (Dalley & Agur,

2013).

b. Dasar cranium (Dalley & Agur, 2013)

1) Os Sfenoid (Tulang baji)

Tulang ini terdapat ditengah dasar tengkorak, bentuknya

seperti kupu-kupu yang mempunyai 3 pasang sayap. Di bagian

depan terdapat sebuah rongga yang disebut kavum sfenoidalis

yang berhubungan dengan rongga hidung. Di bagian atasnya

agak meninggi dan berbentuk seperti pelana yang disebut sela

tursika yaitu tempat letaknya kelenjar buntu (hipofise).

2) Os Etmoidal (Tulang tapis)

Terletak di sebelah depan dari os sfenoidal, diantara lekuk

mata, terdiri dari tulang tipis yang tegak dan mendatar. Bagian

yang mendatar mempunyai lubang-lubang kecil (lempeng tapis)

yaitu tempat lalunya saraf pencium ke hidung sedangkan bagian

yang tegak di sebelah depannya membentuk sekat ronggga

hidung. Di samping dua tulang di atas dasar tengkorak ini juga

dibentuk oleh bagian tulang-tulang laing diantaranya tulang-

tulang kepala belakang, tulang dahi dan tulang pelipis. Adapun

bentuk dari dasar tengkorak ini tidak rata tetapi mempunyai

lekukan yang terdiri dari lekukan depan, tengah, dan belakang.


9

c. Temporal

Temporal dibentuk oleh tulang pelipis (os temporal) dan

sebagian dari tulang dahi, tulang ubun-ubun dan tulang baji. Tulang

pelipis terdapat disebelah kiri dan kanan samping kepala dan terbagi

atas 3 bagian yaitu :

1. Bagian tulang karang (skuamosa), yang membentuk rongga-

rongga yaitu rongga telinga tengah dan rongga telinga dalam.

2. Bagian tulang keras (os petrosum) yang menjorok ke bagian

tulang pipi dan mempunyai taju yang disebut prosesus stiloid.

3. Bagian mastoid, terdiri dari tulang yang mempunyai lubang-

lubang halus berisi udara dan mempunyai taju, bentuknya

seperti puting susu yang disebut prosesus mastoid.

d. Aspek Anterior

Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontale, os

zygomaticum, orbita, nasal, maxilla dan mandibula. (Dalley & Agur,

2013)
10

Gambar 2.2 Anterior View Cranium (Cheng Inc., 2019)

Keterangan gambar :

1. Os parietale

2. Os frontal

3. Sutura sagitalis

4. Os lacrimal

5. Os ethmoidale

6. Sutura squamosa cranii

7. Shpenoid

8. Os temporale

9. Ethmoid, perpendicular plate

10. Vomer

11. Mandibula
11

12. Os nasale

13. Sphenoid

14. Nasal concha, middle

15. Os zygomaticum

16. Nasal concha, inferior

17. Maxilla

e. Aspek Lateral

Aspek lateral tengkorak terdiri dari os cranium dan facial bones

(Gambar 2.3). Os kranium tersebut adalah fossa temporalis, linea

temporalis superior, linea temporalis inferior os parietal, arcus

zygomaticus, titik pterion, processus mastoideus ossis temporalis,

meatus acusticus externus dan processus styloideus ossis temporalis.

Facial bones yakni mandibula terletak dua bagian: bagian horisontal,

yakni corpus mandibulae dan bagian vertikal, yakni ramus

mandibulae (Dalley & Agur, 2013).


12

Gambar 2.3 Lateral View Cranium (Cheng Inc., 2019)

Keterangan gambar :

1. Sutura Coronalis

2. Os frontale

3. Sphenoid

4. Os ethmoidale

5. Os lacrimale

6. Os nasale

7. Os zygomaticum

8. Maxilla

9. Processus coronoideus

10. Processus alveolaris

11. Processus alveolaris

12. Foramen mentale


13

13. Os parietale

14. Sutura squamosa

15. Os temporale

16. Sutura lamboidea

17. Os occipital

18. Temporo mandibular joint

19. Meatus acusticus externus

20. Temporal bone, Mastoid process

21. Temporal bone, Styloid process

22. Processus coronoideus

23. Temporal bone, zygomatic process

24. Zygomatic bone, temporal process

f. Aspek Posterior

Aspek posterior tengkorak (occiput) dibentuk oleh os occipitale,

os parietale dan os temporale. Protuberentia occipitalis externa

adalah benjolan yang mudah diraba di bidang median. Linea

nuchalis superior yang merupakan batas atas tengkuk, meluas ke

lateral dari protuberentia occipitalis externa tersebut; linea nuchalis

inferior tidak begitu jelas (Dalley & Agur, 2013).

g. Aspek Superior

Aspek superior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior,

kedua os parietale dextra dan sinistra dan os occipitale di sebelah


14

posterior. Sutura coronalis memisahkan os frontale dari os parietale;

sutura sagitalis memisahkan kedua tulang ubun-ubun satu dari yang

lain; dan sutura lamboidea memisahkan os parietale dan os

temporale dari os occipitale. Titik bregma adalah titik temu antara

sutura sagitalis dan sutura coronalis. Titik vertex merupakan titik

teratas pada tengkorak yang terletak pada sutura sagitalis di dekat

titik tengahnya. Titik lambda merujuk kepada titik temu antara

sutura lamboidea dan sutura sagitalis (Dalley & Agur, 2013).

h. Aspek Inferior dan Aspek Dalam Dasar Tengkorak

Aspek inferior tengkorak setelah mandibula diangkat

memperlihatkan processus palatinus maxilla dan os palatinum, os

sphenoidale, vomer, os temporale dan os occipitale. Permukaan

dalam dasar tengkorak memperlihatkan tiga cekungan yakni fossa

cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii posterior yang 12

membentuk dasar cavitas cranii. Fossa cranii anterior dibentuk oleh

os frontale di sebelah anterior, os ethmoidale di tengah dan corpus

ossis sphenoidalis serta ala minor ossis sphneoidalis di sebelah

posterior. Fossa cranii media dibentuk oleh kedua ala major ossis

sphneoidalis, squama temporalis di sebelah lateral dan bagian-bagian

pars petrosa kedua os temporale di sebelah posterior. Fossa cranii

posterior dibentuk oleh os occipitale, os sphenoidale dan os

temporale (Dalley & Agur, 2013).


15

B. Teknik Radiografi Cranium Merrill’s Atlas of Radiographic Positioning

& Procedures

1. Persiapan Pasien

Pemeriksaan cranium tidak memerlukan persiapan pasien secara

khusus, hanya saja pada pasien dianjurkan untuk melepas benda-

benda yang dapat menimbulkan gambaran yang tidak memiliki nilai

diagnostic sehingga mengganggu hasil radiograf. Selain itu sebelum

melaksanakan pemeriksaan pasien diberi penjelasan mengenai

prosedur pemeriksaan yang akan dilaksanakan.

2. Persiapan Alat

Pada pemeriksaan cranium secara umum alat – alat yang perlu

disiapkan adalah sebagai berikut :

a. Pesawat sinar – X siap pakai

b. Kaset dan film radiografi ukuran 24x30 cm

c. Marker R dan L

d. Alat bantu fiksasi

3. Teknik Pemeriksaan Cranium

a. Proyeksi Lateral

1) Posisi Pasien

Posisikan pasien pada posisi semi prone atau recumbent

posterior oblique. Posisikan kepala true lateral dan rotasikan

ke posisi yang hendak di periksa. Lengan tangan posisikan di

depan wajah dan dibelakang tubuh.


16

2) Posisi Objek

a) Posisikan MSP kepala paralel dengan kaset.

b) Rotasikan kepala hingga interpupillary line tegak lurus

kaset.

c) Posisikan sella tursica pada pertengahan kaset.

d) Kepala ditundukkan sekiranya agar gambaran os

occipitale tidak terpotong.

3) Central Point (CP)

Arahkan sumbu sinar tepat pada 2 inchi (5 cm)

superior MAE.

4) Central Ray (CR) diatur vertikal tegak lurus dengan kaset.

5) Struktur yang tergambar

Gambar lateral cranium ini menunjukkan detail sisi yang

berdekatan dengan IR. Sella turcica, proses clinoid anterior,

dorsum sellae, dan proses clinoid posterior tergambar dengan

baik dalam proyeksi lateral.

6) Evaluasi kriteria

a) Keseluruhan cranium terproyeksi tanpa rotasi,

dibuktikan dengan :

i) Superimposisi antara orbita roofs dan greater wings

of sphenoid.

ii) Superimposisi antara daerah mastoid dengan MAE.

iii) Sella tursica tergambar dengan jelas.


17

b) Daerah os parietal tergambar dengan penetrasi.

c) Tidak terjadi overlap antara v. cervical dengan

mandibula.

Gambar 2.4 Posisi

recumbent lateral cranium (Kendrick & Lampigano, 2018)


18

Gambar 2.5 Posisi supine lateral cranium (Long, dkk, 2016)


19

Gambar 2.6 Radiograf lateral cranium (Long, dkk, 2016)

b. Proyeksi Antero – Posterior (AP)

1) Posisi Pasien

Pasien diposisikan supine dengan midsagittal plane

(MSP) tubuh tepat pada pertengahan meja pemeriksaan.

Kedua lengan diposisikan dikedua sisi tubuh.

2) Posisi Objek

Posisikan MSP kepala pada pertengahan kaset.

Rotasikan kepala hingga orbitometal line (OML) tegak lurus

dengan kaset.

3) Central Point (CP)

Arahkan sumbu sinar tepat pada nasion.

4) Central Ray (CR) atau arah sumbu sinar diatur vertikal tegak

lurus kaset atau menyudut sebesar 15 ke arah cranial.

5) Struktur yang tergambar

Struktur yang ditunjukkan pada proyeksi AP sama

dengan struktur yang ditunjukkan pada proyeksi PA. Pada

proyeksi AP (Gbr. 2.6), orbita mengalami magnifikasi karena

peningkatan jarak objek ke image reseptor (OID). Demikian

pula jarak dari lateral margin orbita ke lateral margin dari

tulang temporal daripada pada proyeksi PA.

6) Evaluasi kriteria
20

a) Keseluruhan cranium terproyeksi tanpa terjadi rotasi,

ditunjukan dengan :

i) Jarak yang sama antara batas lateral kepala dengan

batas lateral oribita di kedua sisi.

ii) Petrous rigdes simetris.

b) Petrosum mengisi 2/3 orbita

c) Keseluruhan batas luar cranium tampak.

Gambar 2.7 Proyeksi AP (Long, dkk, 2016)


21

Gambar 2.8 Proyeksi AP dengan pendudutan arah sinar 15 (Long, dkk, 2016)
22

Gambar 2.9 Radiograf poyeksi AP (Long, dkk, 2016)

c. Proyeksi Antero – Posterior Towne’s Method (AP Axial)

1) Posisi Pasien
23

Pasien diposisikan supine dengan midsagittal plane

(MSP) tubuh tepat pada pertengahan meja pemeriksaan.

Kedua lengan diposisikan dikedua sisi tubuh.

2) Posisi Objek

Posisikan MSP kepala pada pertengahan kaset.

Rotasikan kepala hingga orbitometal line (OML) tegak lurus

dengan kaset.

3) Central Point (CP)

Arahkan sumbu sinar pada 6 cm superior glabella.

4) Central Ray (CR) atau arah sumbu sinar diatur menyudut

sebesar 30 ke arah caudad terhada OML atau 37 terhadap

infraorbitomeatal line (IOML).

5) Struktur yang tergambar

Pada proyeksi AP Axial petrosum, bagian posterior

foramen magnum, selorsum dorsum, dan proses clinoid

posterior yang diproyeksikan dalam foramen magnum, tulang

oksipital, dan bagian posterior dari tulang parietal tergambar

simetris (Gambar 2.11). Proyeksi ini juga digunakan untuk

studi tomografi telinga, kanal wajah, foramina jugularis, dan

foramen rotundum.

6) Evaluasi Kriteria

a) Keseluruhan cranium terproyeksi tanpa terjadi rotasi,

ditunjukan dengan :
24

iii) Jarak yang sama antara batas lateral kepala dengan

batas lateral oribita di kedua sisi.

iv) Petrous rigdes simetris.

b) Dorsum sellae dan proses clinoid posterior terlihat

dalam foramen magnum.

c) Keseluruhan batas luar cranium tampak.


25

Gambar 2.10 Proyeksi AP Axial Townne’s Method (Long, dkk, 2016)


26

Gambar 2.11 Diagram Radiografi : AP Axial Townne’s Method (Long, dkk, 2016)
27

Gambar 2.12 Radiograf AP Axial dengan penyudutan 30 thd OML (Long, dkk, 2016)

d. Proyeksi Postero – Anterior (PA) dan PA Axial atau metode

Caldwel

1) Posisi Pasien

Pasien diposisikan prone dengan midsagittal plane

(MSP) tubuh tepat pada pertengahan meja pemeriksaan atau

duduk. Fleksikan elbow dan posisikan dikedua sisi tubuh.

2) Posisi Objek

Posisikan MSP kepala pada pertengahan kaset.

Letakkan dahi dan ujung hidung menempel pada kaset.

Posisikan daerah nasal pada pertengahan kaset. Rotasikan

kepala hingga orbitometal line (OML) tegak lurus dengan

kaset.
28

3) Central Point (CP)

Arah sinar memasuki os parietal dan keluar melalui os

nasale.

4) Central Ray (CR)

Arahkan sumbu sinar vertikal tegak lurus memasuki os

parietal dan keluar pada nasion atau pada pemeriksaan PA

Axial (metode Caldwel) sudutkan arah sumbu sinar sebesar

15.

5) Struktur yang tergambar

Untuk proyeksi PA dengan arah sumbu sinar tegak

lurus (Gbr. 2.15), orbita diisi oleh petrosum. Struktur lain

yang ditunjukkan termasuk sel udara etmoidal posterior,

crista galli, tulang frontal, dan sinus frontal. Dorsum sellae

terproyeksikan dengan garis melengkung yang memanjang di

antara kedua orbita, tepat di atas sel udara ethmoidale. Ketika

arah sumbu sinar sebesar 15 caudad ke nasion untuk

proyeksi PA Axial atau metode Caldwell, banyak struktur

yang sama terlihat (Gbr. 2.16); namun, petrosum

diproyeksikan sepertiga bagian bawah orbit. Metode

Caldwell juga menunjukkan sel udara ethmoidal anterior.

Schüller, yang pertama kali mencetuskan posisi ini,

merekomendasikan sudut caudal 25.


29

6) Evaluasi kriteria

a) Keseluruhan cranium terproyeksi tanpa terjadi rotasi,

ditunjukan dengan :

i) Jarak yang sama antara batas lateral kepala dengan

batas lateral oribita di kedua sisi.

ii) Petrous rigdes simetris.

b) Proyeksi PA Axial memperlihatkan petrosum pada 2/3

orbita sedangkan pada proyeksi PA petrosum memenuhi

keseluruhan orbita..

c) Keseluruhan batas luar cranium tampak.

Gambar 2.13 Proyeksi PA (Long, dkk, 2016)


30

Gambar 2.14 Diagram Radiografi : PA Axial Caldwell’s Method (Long, dkk, 2016)

Gambar 2.15 Radiograf PA Axial (Long, dkk, 2016

Gambar 2.16 Radiograf PA Axial dengan penyudutan 15 (Long, dkk, 2016)
31

C. Pengertian Tumor atau Neoplasma Secara Umum

1. Definisi

Neoplasma secara harfiah berarti "pertumbuhan baru". Suatu

neoplasma, sesuai definisi Willis, adalah "massa abnormal jaringan yang

pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan

pertumbuhan jaringan normal serta terus demikian walaupun rangsangan

yang memicu perubahan tersebut telah berhenti". Hal mendasar tentang

asal neoplasma adalah hilanganya responsiaitas terhadap faktor

pengendali pertumbuhan yang normal. Sel neoplastik disebut mengalami

transformasi karena terus membelah diri, tampaknya tidak peduli

terhadap pengaruh regulatorik yang mengendalikan pertumbuhan sel

normal. Selain itu, neoplasma berperilaku seperti parasit dan bersaing

dengan sel dan jaringan normal untuk memenuhi kebutuhan

metaboliknya. Tumor mungkin tumbuh subur pada pasien yang kurus -

kering. Sampai tahap tertentu, neoplasma memiliki otonomi dan sedikit

banyak terus membesar tanpa bergantung pada lingkungan lokal dan

status gizi pejamu. Namun, otonomi tersebut tidak sempurna. Beberapa

neoplasma membutuhkan dukungan endokrin, dan ketergantungan

semacam ini kadang-kadang dapat dieksploitasi untuk merugikan

neoplasma tersebut.

Semua neoplasma bergantung pada pejamu untuk memenuhi

kebutuhan gizi dan aliran darah. Dalam penggunaan istilah kedokteran


32

yang umum, neoplasma sering disebut sebagai tumor, dan ilmu tentang

tnmor disebut onkologi (dari oncos, "tumor", dan logos, "ilmu"). Dalam

onkologi, pembagian neoplasma menjadi kategori jinak dan ganas

merupakan hal penting. Pembagian ini didasarkan pada penilaian tentang

kemungkinan perilaku klinis neoplasma. Suatu tumor dikatakan jinak

(benigna) apabila gambaran mikroskopik dan makroskopiknya dianggap

relatif "tidak berdosa", yang mengisyaratkan bahwa tumor tersebut akan

tetap terlokalisasi, tidak dapat menyebar ke tempat lain, dan pada

umumnya dapat dikeluarkan dengan tindakan bedah lokal; pasien

umumnya selamat. Namun, perlu dicatat bahwa tumor jinak dapat

menimbulkan kelainan yang lebih dari sekadar benjolan lokal, dan

kadang-kadang tumor jinak menimbulkan penyakit serius.

Tumor ganas (maligna) secara kolektif disebut kanker, yang

berasal dari kata Latin untuk kepiting - tumor melekat erat ke semua

permukaan yang dipijaknya, seperti seekor kepiting. Ganas, apabila

diterapkan pada neoplasma, menunjukkan bahwa lesi dapat menyerbu

dan merusak struktur di dekatnya dan menyebar ke tempat jauh

(metastasis) serta menyebabkan kematian. Tidak semua kanker

berkembang sedemikian mematikan. Sebagian ditemukan secara dini dan

berhasil dihilangkan, tetapi sebutan ganas menandakan bendera merah.


33

Gambar 2.17 Tata nama tumor (Robbins, 2004 )

2. Metastasis

Istilah metastasis menunjukkan terbentuknya implan sekunder

(metastasis) yang terpisah dari tumor primer, mungkin di jaringan yang

jauh (Gbr. 2.18). Dibandingkan dengan ciri-ciri neoplastik lainnya,

kemnmpuan melakukqn inaasi dnn, terlebih lagi, metastasis,

menunjukkan secara pasti bnhwo suatu neoplasma bersifat ganas.

Namun, tidak semua kanker memiliki kemampuan bermetastasis yang


34

setara. Di salah satu ekstrem adalah karsinoma sel basal kulit dan

sebagian besar tumor primer sistem saraf pusat yang sangat invasif di

tempat asalnya, tetapi jarang bermetastasis. Di ekstrem yang lain adalah

sarkoma osteogenik, yang biasanya telah menyebar ke paru pada saat

ditemukan.
35

Gambar 2.18 Hati dipenuhi metastatik (Robbins, 2013)

Sekitar 30% pasien tumor padat yang baru terdiagnosis

(menyingkirkan kanker kulit selain melanoma) sudah memperlihatkan

metastasis secara klinis. Sebanyak 20'/" lainnya telah mengalami

metastasis tersamar pada saat didiagnosis. Secara umum, semakin

anaplastik dan besar neoplasma primernya, semakin besar kemungkinan

metastasis; namun, banyak terdapat pengecualian. Kanker yang sangat

kecil diketahui dapat bermetastasis dan, sebaliknya, sebagian kanker

yang besar dan menyeramkan mungkin belum menyebar saat ditemukan.

Terjadinya penyebaran merupakan isyarat kuat kecilnya, apabila tidak

menyingkirkan, kemungkinan kesembuhan, sehingga jelas bahwa selain

pencegahan kanker, tidak ada kemajuan yang lebih bermanfaat bagi

pasien selain metode untuk mencegah metastasis. Neoplasma garas

menyebar melalui salah satu dari tiga jalur: (1) penyemaian di dalam

rongga tubuh, (2) penyebaran limfatik, atau (3) penyebaran hematogen.

Walaupun trarsplantasi langsung sel tumor (misalnya, pada instrumen

bedah atau sarung tangan dokter bedah) secara teoretis dapat terjadi,

dalam praktik klinis hal ini sangat jarang ditemukan dan umumnya

merupakan cara penyebaran yang artifisial. Penyemaian kanker terjadi

apabila neoplasma menginvasi suatu rongga alami tubuh. Karsinoma

kolon dapat menembus dinding usus dan mengalami reimplantasi di

tempat jauh di rongga peritonenm. Rangkaian kejadian yang sama dapat


36

terjadi pada kanker paru di rongga pleura. Cara penyebaran ini terutama

khas untuk kanker ovarium, yang sering meliputi permukaan peritoneum

secara luas. Implan secara harfiah mungkin melapisi semua permukaan

peritoneum, tetapi belum menginvasi parenkim organ abdomen di

bawahnya. Ini adalah contoh tentang kemampuan melakukan

reimplantasi di tempat lain yang tampaknya terpisah dari kemampttan

melakukan invasi. Neoplasma sistem saraf pusat seperti meduloblastoma

atau ependimoma, mungkin menembus ventrikel otak dan terangkut oleh

cairan serebrospinalis sehingga tertanam di permukaan meningen, baik di

dalam otak maupun di medula spinalis.

Penyebnran limfatik iebih khas untuk karsinoma, sedangkan rute

hematogen disenangi oleh sarkoma. Namun, terdapat banyak hubungan

antara sistem limfe dan vaskular sehingga semua bentuk kanker dapat

menyebar meialui salah satu atau kedua sistem. Pola keterlibatan kelenjar

getah bening terutama bergantLrng pada letak neoplasma primer dan

jalur drainase limfe alami dari letak tersebut. Karsinoma paru yang

timbul di saiuran napas pertama kali menyebar ke kelenjar getah bening

bronkialis regional, kemudian ke kelenjar getahbening trakeobronkus dan

hilus. Karsinoma payttdara biasanya timbr-il di kuadran luar atas dan

pertama kali menyebar ke kelenjar aksila. Lesi medial mungkin

mengalirkan limfnya melalui dinding dada ke kelenjar di sepanjang

arteria mamaria interna. Setelah itu, pada keduanya, penyebaran adalah

ke kelenjar supraklavikula dan infraklavikula. Pada beberapa kasus, se1


37

kanker tampaknya melewatkan saluran limf di dalam kelenjar terdekat

dan terperangkap dalam kelenjar limf berikutnya sehingga menghasilkan

apa yang disebut metastasis loncat. Sel mungkin melintasi semua

kelenjar getah bening sampai akhimya mencapai kompartemen vaskular

melalui duktus torasikus. Perlti dica tat bahwa walaupun pembesaran

kelenjar di dekat suatu neoplasma primer seyogianya menimbulkan

kecurigaan kuat terjadinya metastatik, pembesaran tersebut tidak serta-

merta bersifat karsinomatosa. Produk nekrotik neoplasma dan antigen

tumor sering memicu perubahan reaktif di kelenjar, misalnya pembesaran

dan hiperplasia folikel (limfadenitis) dan proliferasi makrofag di sintLs

subkapsula (histiositosis sinus).

Penyebnran hematogen merupakan konsekuensi snatu kanker yang

paling ditakuti. Jalur ini terutama disukai oleh sarkoma, tetapi karsinoma

kadang-kadang juga memanfaatkannya. Seperti dapat diperkirakan, arteri

lebih sulit ditembus daripada vena. Setelah vena mengalami inrrasi, sel

kanker yang masuk ke dalam darah akan mengikuti aliran vena yang

mendrainase tempat tersebut. Hnti dnn pnru ndalnh tempnt sekunder

ynng pnling sering terkens pnda penyebnrnn hemntogen ini. Semua

drainase daerah portal mengalir ke hati, dan semrla darah vena kava

mengalir ke paru. Kanker yang timbul dekat dengan kolumna vertebra

sering mengalami embolisasi melalui pleksus paravertebra; jalur ini

mungkin berperan daiam metastasis karsinoma tiroid dan prostat ke

vertebra. Karsinoma tertentn memiliki kecenderungan menginvasi vena.


38

Karsinoma sel ginjal sering menginvasi vena renalis untuk tumbuh

seperti tilar sampai ke vena kava inferior, kadang-kadang hingga ke sisi

kanan jantung. Karsinoma hepatoseh-rlar sering menembus radikulus hati

dan porta untuk tumbuh di dalamnya dan menuju pembuh-rh vena utama.

Yang mengherankan, pertumbuhan intravena semacam ini mungkin

tidak disertai oleh penyebaran yang 1uas. Banyak pengamatan yang

mengisyaratkan bahwa lokalisasi anatomik neoplasma dan jalur alami

drainase vena tidak dapat menjelaskan secara lengkap distribusi sistemik

metastasis. Sebagai contoh, karsinoma prostat cenderung menyebar ke

tulang, karsinoma bronkogenik cenderung mengenai kelenjar adrenal dan

otak, dan neuroblastoma menyebar ke hati dan tulang. Sebaliknya, otot

rangka jarang menjadi tempat penyebaran. Dasar penyebaran tumor yang

spesifikjaringan tersebut akan dibahas kemudian (Robbins, 2013).

Gambar 2.19 Perbandingan tumor jinak dan ganas (Robbins, 2004)

Anda mungkin juga menyukai