Anda di halaman 1dari 10

Metamorfosis

Anya, 18 tahun, sebentar lagi menjadi mahasiswi, masih polos, mudah percaya (mudah
dibohongi juga), jujur, pemalu, semangat disuruh apa saja, dan belum mengenal ‘dunia yang
sebenarnya’ seperti kata orang-orang dewasa. Tahun pertama kuliah, yang ada di pikiran Anya
hanyalah belajar dan belajar. Mungkin, ia sudah masuk ke dalam golongan mahasiswa kupu-
kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang). Tidak ada UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang ia ikuti
selain karena lokasi kegiatannya yang jauh dan sifat pemalu yang membuatnya sulit berkenalan
dengan orang baru, ia takut hal itu juga dapat menyita waktu belajarnya. Ia berencana hanya
akan mengikuti organisasi kemahasiswaan di jurusannya. Memasuki semester 3 perkuliahan,
Anya pun telah menjadi anggota pengurus himpunan mahasiswa di jurusannya dan dengan
nilainya, ia berhasil menjadi asisten laboratorium (aslab).
Saat pertama kali masuk organisasi, Anya begitu bersemangat mengerjakan tugas yang
bahkan bukan menjadi tanggungjawabnya. Misalnya, ketika acara EXPO jurusan, saat itu tim
acara sedang panik karena sepuluh ekor ikan untuk lomba masak yang lima menit lagi akan
dimulai ternyata belum disiangi – belakangan diketahui itu terjadi karena kemalasan anggota
tim acara bagian lomba masak yang hanya membeli ikan tanpa disiangi lalu kabur entah
kemana. Anya yang saat itu baru saja selesai mengurusi lomba Ranking 1 pun langsung
mengajukan diri untuk menyiangi ikannya. Anya lupa bahwa saat itu senior sedang sibuk-
sibuknya penelitian di laboratorium untuk tugas akhir. Alhasil, Anya bekerja dengan menahan
rasa malu karena dilihat oleh para senior dan besok lusa ia tersadar apakah yang dilakukannya
itu adalah kebaikan atau justru mebodohi diri sendiri.
Karena rajin mencatat dan mendapat nilai ujian yang bagus, Anya sering diandalkan
oleh teman-temannya saat ujian, mulai dari meminjamkan catatan, mengajari mata kuliah yang
sulit hingga memberikan jawaban alias contekan.
“Nya, gue duduk di sebelah lo ya,” kata Bianca.
“Enak aja, itu udah di-booking,” kata teman dekat Anya, Rena.
“Pake booking segala, lo kira tiket pesawat,” balas Bianca.
“Anya, ntar bantu-bantu ya,” bisik teman-teman yang duduk di dekat Anya.
“Belom mulai ujian udah minta nyontek. Mikir dulu woi,” sahut Rena.
Anya hanya bisa tertawa melihat tingkah teman-temannya. Saat itu, ia berpikir tidak
masalah berbagi jawaban yang penting tidak ketahuan seperti dulu, nilainya tetap aman, dan ia
juga tidak dicap pelit. Hari-hari Anya di tingkat 2 dijalaninya dengan semangat. Selain kuliah,
ia disibukkan dengan pekerjaan sebagai asisten pengajar, aktif membantu kegiatan
administratif lab, selalu datang tepat waktu, kemudian diselingi dengan kegiatan organisasi.
Semua berjalan lancar dan rasa lelah belum menghampiri Anya hingga tahun berikutnya. Pada
awal tahun ajaran baru, yaitu menjelang libur semester 4 berakhir, pengumuman beasiswa bagi
mahasiswa berprestasi akhirnya keluar dan nama Anya tidak ada di dalam daftar. Anya
bingung, padahal tahun lalu ia berhasil mendapatkan beasiswa itu dan nilainya yang paling
tinggi se-jurusan. Bahkan teman dekatnya pun bertanya-tanya.
“Nya, kok nama lo ga ada di pengumuman deh?” tanya Tiara saat mereka sedang makan
malam sehabis menonton film.
“Ya berarti gue ga lolos lah,” jawab Anya. “Nama lo juga ga ada ya, Ra. Padahal nilai
kita mayan lah kan buat dapet beasiswa.”
“Yeehhh sok ngerendah woi, nilai lo mah bukan mayan lagi tapi paling tinggi. Tapi
kalo gue sih masih bisa diterima kali ya secara yang pada lolos itu emang rata-rata nilainya
lebih bagus dari gue,” jawab Tiara yang gemas dengan tingkah Anya. “Denger-denger nih ya,
karena kita udah pernah dapet beasiswa, jadinya gantian sama yang lain yang belom pernah.”
“Loh, kan ga ada aturan kayak gitu. Lagian kayaknya si Mira kemaren kan juga dapet
beasiswa itu, sekarang lolos kok,” jawab Anya heran.
“Bukan cuma gara-gara itu. Yang nyeleksi nama-nama itu kan orang BEM. Ya jadi, dia
bisa lah ngelolosin orang yang dia kenal,” sahut Rena yang sedari tadi hanya mendengarkan
sambil sibuk sendiri meracik baksonya. Rena sudah mendapat beasiswa dari pemprov,
sehingga ia tidak ikut mendaftar beasiswa lain lagi.
“Hah masa kaya gitu,” kata Anya tidak percaya.
“Hmm bisa jadi sih. Beasiswa kita tahun lalu aja dipotong entah untuk apa.”
“Iya, kan udah gue bilang. Duit kalian itu banyak mampir sana-sini. Kalo gue kan yang
ngasih langsung dari pemprov tanpa ada perantara jadi dapet banyak hehehe,” kata Rena. “Lo
bedua kaga kenal orang dalem di kampus sih,” sambung Rena yang langsung dibalas dengan
umpatan dari Tiara dan lemparan tisu dari Anya. Diam-diam, pikiran negatif pun mulai
menyerang Anya. ‘Apaan? Jadi nilai bagus gue ga ada gunanya dong?’
Tahun ajaran baru telah dimulai. Anya bersyukur karena usaha dan semangatnya kali
ini tidak sia-sia. Sebelumnya di penghujung semester 4, saat rapat pergantian kepengurusan
HIMA (Himpunan Mahasiswa) periode selanjutnya, Anya dipilih menjadi sekretaris divisi
dengan temannya sebagai ketua organisasi.
“Kayaknya bagus nih kalo kita bikin proker go to school gitu,” kata Anya mendadak
mendapatkan ide saat sedang menunggu bersama temannya sambil ngemil gorengan sebelum
acara perkenalan dengan mahasiswa baru dimulai. “Belom pernah ada yang bikin kan?”
“Iya bagus juga tuh. Cocok buat memperingati hari ikan nasional nanti,” jawab Andi,
Kepala Divisi Soshum, menyetujui. Tiga hari kemudian, rapat pengurus inti diadakan untuk
membahas rencana program kerja apa saja yang akan dijalankan di akhir tahun ini.
“Gue punya ide, kita bikin HIMA go to school yang nanti agendanya sosialisasi ke
anak-anak SD,” usul Andi yang lantas membuat Anya berpikir ‘Itukan.. ide gue’
“Oke boleh juga tuh, nanti siapa yang ngasih materinya?” tanya Ketua HIMA.
“Nanti divisi gue kerjasama bareng divisi litbang buat ngasi materinya,” lanjut Andi.
“Iya setuju. Nanti kita bagi tugas buat nyari materi ya Nya,” sahut Dion, Kepala Divisi
Litbang lalu dibalas dengan anggukan dari Anya yang masih bingung apakah harus angkat
bicara bahwa itu adalah idenya atau tetap diam demi menghindari perdebatan yang tidak perlu.
Akhirnya, Anya pun memutuskan untuk menganggapnya bukan masalah besar hingga hal itu
terulang lagi dan Anya menyadari bahwa sebenarnya ia terganggu.
Semester 5 mulai disibukkan dengan praktikum dan tugas kuliah yang menumpuk, baik
tugas individu maupun kelompok, ditambah hectic-nya kegiatan organisasi terkadang membuat
sulitnya mencari waktu untuk berdiskusi, sehingga Anya terpaksa mengerjakan tugas
kelompoknya sendirian, jika tugasnya hanya berupa membuat makalah dan presentasi, atau
memperbaiki bagian tugas teman-temannya yang terkadang terlihat seperti ‘yang penting bikin’
itu. Walaupun begitu, tentunya tetap masih ada teman-teman yang sadar diri dengan tugasnya
dan tidak menyusahkan orang lain. Suatu hari, dosen lain memberikan tugas kelompok lagi,
mahasiswa ditugaskan untuk membuat makalah dan merancang desain kemasan produk
makanan. Setelah diundi, Anya sekelompok dengan empat orang sesama pengurus HIMA dan
dua orang lainnya. Walaupun diberi waktu deadline pengumpulan tugas yang cukup lama,
namun saat itu bertepatan dengan persiapan acara EXPO jurusan yang akan diadakan akhir
tahun ini, sehingga menyebabkan beberapa pengurus yang bertugas sebagai panitia inti jarang
atau bahkan tidak hadir saat pertemuan kelompok. Jadilah hanya beberapa orang yang berperan
penuh dalam menyelesaikan tugas kelompok ini, Anya dan Dinda yang kebetulan bukan panitia
inti serta dibantu oleh Raka dan Hani, yang bukan pengurus HIMA. Hari presentasi pun tiba,
teman Anya, Bima, bertugas mempresentasikan laporan.
“Nya, besok biar gue aja yang bagian presentasi. Kan gue ga pernah hadir pas ngumpul
cuma modal nyumbang duit doang,” kata Bima, yang sedang sibuk menyiapkan proposal untuk
sponsor, mengajukan diri sehari sebelumnya.
“Oh oke ntar gue kirim bahannya,” jawab Anya lumayan lega karena ia tidak harus
berlatih presentasi nanti malam dan senang karena temannya satu ini tahu diri juga. Namun,
Anya tidak jadi senang esok harinya, ya perkara nilai lagi. Memang, Anya akui presentasi Bima
sangat bagus, seperti yang diharapkan dari seorang public speaker. ‘Tapi kok bisa-bisanya nilai
dia yang paling bagus cuma karna ngomong di depan?’ pikir Anya yang telah berharap
mendapatkan nilai paling tinggi.
“Waah enak ya lo Bim, kaga pernah dateng pas ngumpul eh nilai lo paling tinggi,” kata
Dinda sambil memukul punggung Bimo dengan bukunya, usai kelas berakhir.
“Anjirlah si Bima, gue sama Anya ampe ujan-ujanan kemaren. Lo traktir kita semua
lah ganti rugi nilai wkwkwk,” sahut Raka.
“Ya mana gue tau. Sorry, Nya. Iya-iya ntar gue beliin gorengan,” kata Bima pasrah.
“Udah-udah yang penting kelompok kita paling bagus tugasnya,” kata Anya sambil
berusaha menghalau pikiran negatif yang mulai datang dan untunglah sedikit teralihkan dengan
persiapan materi untuk agenda HIMA go to school. Program kerja pun berhasil dijalankan
dengan baik dan dilanjutkan dengan EXPO jurusan selama tiga hari.
Setelah semua agenda selesai Anya pulang untuk langsung membaringkan tubuhnya di
atas kasur dan lupa bahwa besok ada ujian akhir semester. Memang, seharusnya minggu ini
masih minggu tenang tetapi banyak mahasiswa yang mengusulkan agar beberapa mata kuliah
dipercepat ujiannya dan mereka bisa lebih cepat pulang ke kampung halaman. Anya pun belajar
seadanya lalu memotret catatannya untuk dikirimkan ke temannya yang meminta lewat chat
semalam dan jaga-jaga untuk dirinya saat ujian nanti. ‘Yaudahlah, yang lain juga pada nyontek
ini’ pikir Anya dan tentu saja ini bukan pertama kalinya ia menyontek. Setelah itu, entah
mengapa Anya merasa malas untuk belajar dengan giat dan mulai tidak serius mempersiapkan
diri untuk ujian selanjutnya. ‘Ngapain serius-serius amat belajar. Nilai bagus aja ga guna buat
dapet beasiswa’ pikir Anya seolah masih tidak terima dengan kejadian tempo hari.
Tahun berganti dan pandangan Anya tentang kehidupan pun juga berganti dengan
mencoba memproses hal-hal baru baginya yang terjadi belakangan ini. ‘Harusnya gue berhak
dapetin beasiswa sama nilai bagus itu. Harusnya gue berhak ngomong ke yang lain kalo itu
ide gue. Ya untuk beberapa hal emang bukan salah siapa-siapa. Mungkin, gue aja yang ga
sadar kalo dulu harapan gue udah ketinggian,” pikir Anya. Akan tetapi, renungan itu berujung
pada kesimpulan yang salah. Ia sampai pada tahap merasa tidak pantas untuk memperoleh
kebaikan yang membuatnya berpikir untuk berhenti berusaha semaksimal mungkin pada tiap
keadaan. Anya memilih untuk beranggapan bahwa jika kesungguhannya tidak dihargai maka
ia tinggal tidak mengerahkan sepenuh hatinya pada setiap hal yang terjadi dan orang-orang
bebas pergi sesuka hati karena ia tidak akan mengharapkan apapun atau siapapun lagi.
Perkuliahan semester genap dimulai. Bagi sebagian mahasiswa seangkatan Anya yang
SKS-nya sudah mencukupi, semester ini menjadi semester terakhir belajar bersama di ruang
kelas karena setelah KKN nanti mahasiswa akan mulai merancang penelitian untuk skripsi.
Anya sudah menyiapkan daftar kegiatan yang harus ia lakukan pada semester ini, diantaranya
menjalankan proker utama divisi Litbang, mengikuti lomba Mahasiswa Berprestasi, dan
mencari judul penelitian. Memasuki perkuliahan minggu kedua sudah mulai disibukkan
dengan tugas, praktikum, rapat organisasi, dan pekerjaan Anya sebagai aslab. Hari ini
pendaftaran praktikum sudah dibuka. Usai kelas, Anya buru-buru menuju laboratorium, di sana
sudah ada satu orang asisten, laboran, dan mahasiswa baru yang sedang mengantre.
“Anya tolong urus ini ya sama Aisya. Kakak mau ngetes anak-anak calon asisten,” kata
Kak Nia, laboran. Biasanya ada Bang Nathan, koordinator aslab, yang bertugas untuk merekrut
asisten baru dan menangani hal-hal teknis, seperti pendaftaran praktikum dan pembelian bahan.
Namun, beliau mendapat kerja di tempat lain dan Kak Nia memutuskan untuk mengurus
semuanya sendiri. Alhasil, sepertinya Anya menjadi asisten lama yang paling tua di sini. Ya,
itu sebelum dipilihnya empat asisten baru, yang sudah dikenal oleh Kak Nia, seangkatan Anya
tanpa melalui seleksi terlebih dahulu karena mereka berasal dari jurusan yang memiliki lab ini.
Fyi, fakultas ini terdiri dari enam jurusan dan laboratorium ini bukan milik jurusan Anya pun
bukan milik jurusan-jurusan lima asisten lainnya. Praktikum dimulai, empat asisten baru yang
dipercaya menjadi tangan kanan Kak Nia, dan Anya mendapat jadwal asistensi yang lebih
sedikit dibandingkan dengan mereka. Anya tidak bisa berpikir jernih, bertanya-tanya apakah
ia tidak pantas, dan semangat bekerjanya pun menurun. Anya berusaha keras menepis pikiran
buruk dengan fokus pada hal lain, seperti urusan organisasi, persiapan karya tulis ilmiah untuk
lomba, berbagai tugas kuliah, dan praktikum yang mulai menumpuk.
“Karna udah siang, sisa tugasnya kerjain masing-masing aja ya terus kirim ke e-mail
Anya,” kata Arif, teman sekelompok Anya, suatu hari saat sedang mengerjakan tugas
kelompok di perpustakaan universitas. “Oh iya jadi, siapa yang bisa nemenin gue survei lokasi
usaha besok? Kecuali lu ya, Dit. Gue ga yakin sama lu,” kata Arif sambil tertawa.
“Wah sialan lo yak,” sahut Radit yang daritadi mengeluh kelaparan.
“Kalo besok, gue gabisa Rif. Ada acara keluarga,” kata Desi.
“Gue bisa sih. Tapi kalo gitu yang bikin presentasi jangan gue juga lah,” kata Anya.
“Jangan gue, gue gabisa,” balas Radit.
“Yaelah bikin presentasi doang masa gabisa,” balas Anya.
“Oh oke gue aja yang bikin,” usul Desi sebelum Radit sempat berbicara lagi.
Di perjalanan pulang, Anya memikirkan kata-katanya tadi. “Kalo dulu mungkin gue
udah iya-iya aja kali ya dikasih tugas apa pun. Kenapa tadi begitu? Waktu tugas praktikum
juga begitu. Gapapa kan gue begitu?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Program kerja divisi
berhasil dilaksanakan, selanjutnya Anya harus mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba
Mahasiswa Berprestasi yang telah ia rencanakan jauh-jauh hari dan syukurlah ia berhasil
meraih juara 2 walaupun hadiah yang diberikan kepada pemenang hanya berupa selembar
sertifikat, tidak seperti di fakultas lainnya. Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa ujian tengah
semester dan ujian akhir praktikum bagi mahasiswa baru sudah di depan mata.
“Anya, gue ga ngerti materinya nih. Ajarin dong,” kata Rena saat hari pertama ujian.
“Udah ngarang aja. Gue juga kurang ngerti materinya. Nih udah siapin kopekan, ntar
lo jaga-jaga ya,” kata Anya. Kira-kira seperti itulah Anya mengahadapi ujiannya kali ini, sistem
belajar kebut semalam, selain karena banyaknya tugas dan kegiatan, ia telah kehilangan
motivasi belajarnya. Selepas ujian, Anya segera pergi ke laboratorium untuk membantu
menyiapkan ruangan dan soal ujian praktikum bagi mahasiswa baru, hanya sedikit asisten yang
datang membantu sore itu. Para asisten laboratorium diminta agar datang ke lab sebelum pukul
08.00 WIB untuk mengawas ujian. Pukul 08.11 WIB, Anya baru tiba di kampus, tentu saja ia
terlambat. Anya berjalan dengan langkah malas menuju laboratorium. ‘Bodo amat lah telat,
kemaren kan udah bantuin, biar sekarang jadi kerjaannya orang baru yang udah jadi
penguasa lab aja. Lagian gaji gue dikit ini,” kali ini pikiran Anya tidak bisa dikontrol dan
seketika langkahnya terhenti, menyesali apa yang baru saja dipikirkannya. ‘Gue mikir apa
barusan?’ kata Anya dalam hati. Sejurus kemudian, ia merasa seperti oknum penyalahgunaan
dana beasiswa, atau para pegawai penikmat gaji buta yang bekerja semata-mata karena uang
dan menambah pemasukan melalui pungutan liar, atau seperti para pemangku jabatan yang
haus kekuasaan. Tidak tahu, yang jelas saat ini, Anya benar-benar berantakan.
Waktu berlalu begitu cepat karena banyak hal yang terjadi. Tahu-tahu Anya sudah
berada di ujung Pulau Sumatera. Suara deburan ombak terdengar lembut dan angin berhembus
dengan kencang. Anya mengaitkan topinya di tas selempang agar tidak terbawa angin, lalu
diam menikmati pemandangan pantai. Selain sebagai tempat pelarian sejenak, ia bersyukur
bisa menjadi peserta dalam kegiatan bergengsi yang katanya hanya diikuti oleh mahasiswa
terpilih dari seluruh PTN di Indonesia untuk mengabdi. Setidaknya ada penghargaan atas kerja
kerasnya dan ia bisa melupakan sejenak semua hal buruk yang telah terjadi.
"Haha ga juga ah. Emang sih yang ikut ada anak BEM atau mapres tapi banyak juga
kok orang biasa kaya gue boleh ikut." Anya terkejut dan menoleh ke sampingnya. Ah, ternyata
ada peserta lain sedang berbicara di telepon membelakangi Anya. 'Tapi, tunggu dia bilang apa
barusan?' Anya mengamati perempuan itu yang masih asyik dengan handphonenya.
"Kenapa ngeliatinnya gitu amat?" tiba-tiba terdengar suara laki-laki dari arah serong
kanan Anya. Sontak Anya dan perempuan yang sedang menelepon menoleh ke arah suara itu.
Laki-laki berpostur tinggi melihat Anya dengan pandangan heran, sekilas terlihat alisnya
terangkat sebelah di balik poninya yang tertiup angin, seakan menunggu jawaban dari Anya.
"Anya sini yok kita foto fakultas," teriak Hendra, teman sefakultas Anya yang juga ikut
KKN ini. Anya memilih untuk segera pergi bergabung bersama teman-temannya. 'Orang
aneh,' pikir Anya. Setelah menjalani pembekalan selama 3 hari di Pangkalan TNI AL, peserta
KKN Kebangsaan segera menuju ke lokasi KKN masing-masing, tempat di mana mereka akan
mengabdi selama sebulan penuh. Bus tiba di kantor kecamatan tempat KKN Anya setelah 3
jam perjalanan. Anya sangat senang mendapatkan lokasi KKN yang berdekatan dengan pantai,
tempat favoritnya di mana ia dapat mengevaluasi diri dengan tenang dan berpikir jernih. Di
kantor kecamatan, para peserta bersilaturahim dengan Pak Camat beserta staf lalu dilanjutkan
dengan pemilihan Korcam (Koordinator Kecamatan) secara singkat. Terdapat tiga orang calon
yang merupakan orang asli provinsi ini dan yang terpilih adalah laki-laki aneh yang Anya temui
di pantai, Angga namanya. Setelah itu, peserta KKN berpencar menuju poskonya masing-
masing, siap untuk mengabdi. Anya sekelompok dengan mahasiswa yang berprestasi dalam
bidang akademik maupun non akademik, yaitu Cindy, Laila, Ayu, Putra, Adam, dan Randi si
Kordes (Koordinator Desa).
Desa yang menjadi lokasi KKN mereka terdiri atas 3 dusun, salah satunya berada di
puncak bukit dengan akses jalan yang sulit dan mereka memutuskan untuk mengunjungi dusun
tersebut pada minggu ke-2. Lokakarya telah diadakan di Kantor Desa dan saatnya
merealisasikan program kerja (proker) yang telah direncanakan. Seminggu berlalu, panitia
KKN datang berkunjung ke tiap kecamatan, kabarnya akan ada dana bagi para mahasiswa
KKN untuk biaya hidup dan menjalankan proker. Randi dan Anya sebagai ketua dan sekretaris
kelompok pun pergi ke kantor kecamatan. Isu itu benar, tiap kelompok mendapatkan dana yang
cukup. Setelah rapat dengan panitia KKN selesai, Korcam mengusulkan kepada semua
kelompok untuk rapat sebentar menyampaikan beberapa hal penting dari Pak Camat lalu ia
mengajak untuk membuat proker gabungan.
"Oke langsung aja ya. Kelompok gue udah nyiapin konsepnya. Rencananya kita mau
bikin pentas seni kebangsaan pas 17an. Acara kecil aja untuk kecamatan kita. Nah, gue mikir
kalo semua desa bisa terlibat pasti seru dan kerasa kekeluargaannya. Jadi, ada yang mau
gabung? Bebas aja sih, gue ga maksa," kata Angga dan yang lain langsung berdiskusi.
"Ga, kalo desa kami yang susah akses jalan ke sini kayaknya gak bisa ikut deh. Jadi,
kami bakalan fokus ngabantu kondisi ekonomi di sana. Pas upacara 17an aja belom tentu bisa
ke sini," ucap salah satu Kordes dari desa 3T dan beberapa menyetujui.
"Iya gue paham sih. Kayanya ga memungkinkan ya. Kalo yang lain?" tanya Angga.
"Kami sebenernya udah ada rencana untuk 17an nanti, Ga. Tapi, ntar deh gue omongin
lagi sama yang lain," kata Kordes yang desanya bersebelahan dengan lokasi KKN Anya.
"Kita ikut aja, Nya? Desa kita kan belom ada acara untuk 17an. Warga kurang antusias
kayaknya karena ngikut acara di kecamatan aja,” bisik Randi menanyakan pendapat Anya.
“Gue rasa duitnya udah pas buat proker kita aja, gabisa nambah, Ndi. Lagian entar di
laporan kegiatan, itu bisa masuk ke proker kita apa ngga nih,” jawab Anya.
“Oke yang lain ada yang mau ditanya? Gimana, Nya?” tanya Angga dan langsung
dibalas dengan gelengan oleh Anya. “Buat tambahan, gue udah ada bantuan dana sedikit dan
yang namanya proker gabungan tetep bisa kok dimasukkin ke laporan kegiatan tiap kelompok
nanti. Jadi, nanti kalo ada yang mau gabung gue kasih proposalnya ke kalian. Nah rapatnya
sampe sini aja, pasti kalian pada sibuk juga ya. Semangat mengabdinya guys!” kata Angga
mengakhiri rapat hari ini dan ditutup dengan yel-yel penyemangat.
Hari berkunjung ke dusun yang ada di puncak bukit pun tiba. Randi menyewa sebuah
mobil bak milik Pak Kades dengan ban besar yang mampu menerjang jalanan bebatuan, tanah
licin, dan tanjakan curam. Kondisi dusun memang seperti daerah 3T, sulit mendapatkan air
bersih, listrik hanya bertahan hingga pukul 19.00 WIB karena mengandalkan tenaga surya,
sekolah sering diliburkan karena kurangnya pengajar, namun hasil perkebunan melimpah di
sini mulai dari kelapa, durian, mangga, jengkol, pepaya, pisang, kopi, dan lain-lain. Begitu tiba
di dusun, anak-anak menyambut dengan penuh semangat, mereka terlihat senang sekali
dikunjungi oleh orang baru dan sering mengajak Kakaen – panggilan yang dibuat mereka untuk
mahasiswa KKN – pergi berpetualang memetik buah-buahan. Tiga hari berlalu, agenda
berhasil dilaksanakan dengan baik dan antusiasme warga pun tinggi karena kegiatan yang
diadakan sangat bermanfaat untuk menunjang perekonomian dusun. ‘Laila emang hebat,’ pikir
Anya. Hal yang tidak disangka-sangka, kepulangan kelompok KKN diiringi dengan tangisan
polos dari anak-anak dusun. Padahal tidak ada hal khusus yang mereka berikan, seperti hadiah
atau memberikan les rutin, hanya pertemuan singkat, namun begitu dihargai. ‘Kenapa kita
gabisa belajar dari anak kecil? Kenapa semakin dewasa, kita semakin melupakan sosok polos
kita yang dulu? Dunia yang menodai kita atau justru kita sendiri? Semoga gue belum
kehilangan sosok anak kecil itu,’ kata Anya dalam hati.
Besoknya di suatu siang yang terik sepulang dari dusun, Anya dan Cindy pergi
membeli bakso kuah dan es krim untuk anak-anak di ibu kota kecamatan, toko penjual es krim
hanya ada di sana. Sebelum membeli es krim, mereka mampir ke pantai yang berada di pinggir
desa itu. Ternyata benar, pantainya lebih indah dengan bebatuan di pinggir dan pohon kelapa
di sepanjang pantai dibandingkan dengan pantai di desa mereka. Cindy asyik merekam video
untuk dipost di media sosialnya, sinyal telepon memang paling bagus jika di pinggir pantai.
“Anya?” tiba-tiba ada suara seorang lelaki memanggilnya, ternyata Angga. Anya segera
memutar badan dan berjalan menjauh darinya.
“Lo malu gara-gara waktu itu kepergok di pantai?” ledek Angga yang sukses membuat
Anya kesal dan berbalik badan ke arahnya.
“Apaansih. Ga jelas lo,” kata Anya ketus. Seketika ekspresi Angga berubah serius.
“Kita itu di sini mengabdi, bukan jadi tempat pelarian dari masalah pribadi. Waktu itu
muka lo yang tenang pas ngeliat pantai berubah jadi keliatan kesel dan ngejudge orang tanpa
prestasi yang kebetulan dapet rejeki ikut KKN ini. Cuma gara-gara itu, kerja lo jadi seadanya
aja dan ga ikhlas gitu? Lemah banget mental lo. Nya, masih banyak orang baik, hal-hal baik di
dunia tapi lo malah fokus sama yang buruk aja. Kalo capek, istirahat bentar bukan malah salah
ngambil kesimpulan dan nganggep ga ada gunanya berbuat baik,” ucap Angga sambil berjalan
mendekati Anya yang matanya mulai berkaca-kaca menahan tangis.
“Lo gak tau apa-apa. Gausah sok tau,” balas Anya mencoba tenang.
“Gue kenal banget orang kayak lo yang baru sekali ngerasain kerasnya dunia, langsung
nyerah gitu aja. Haha, gue tarik kalimat pertama gue tadi. Gue juga jadiin tempat ini buat kabur
dari masalah, nyesel gak bisa ngomong kayak tadi ke orang itu, sekarang gue malah kehilangan
sosok yang gue kagumin,” Angga diam sejenak lalu tersadar. “Eh, sorry malah curcol. Gue
saranin, pikirin baik-baik masalah lo, jangan salah ngambil kesimpulan, jangan nambahin
orang jahat di bumi, plis. Mungkin lo juga perlu banyak kenal sama berbagai macem orang,
biar tahan banting. Main lo kurang jauh kayaknya,” lanjut Angga sambil mencoba mencairkan
suasana. Anya memalingkan muka untuk mengusap air matanya dan menahan tawanya.
“Gimana proker lo? Ga ada yang gabung ya?” kata Anya berusaha mengalihkan topik
sekaligus membalas roasting-an Angga tadi.
“Gak ada sih kayanya. Tapi gue tetep bakal ngelaksanain proker itu, dengan semangat
dan sepenuh hati,” balas Angga dengan menekankan pada kata terakhirnya. Sebelum Anya
sempat membalas lagi, Cindy menghampiri dan mengajak Anya untuk kembali ke posko,
karena anak-anak sudah menunggu. Di atas motor saat perjalanan pulang sehabis mampir
membeli es krim, Anya memikirkan kata-kata Angga barusan yang cukup menohok walaupun
semuanya yang dikatakannya memang benar, mungkin sesekali ia perlu ditampar dengan
kalimat kejam seperti tadi. Sejenak, Anya memerhatikan temannya ini.
“Cindy. Kenapa sih lo masih semangat bantu ilustrasi buku buat pengabdian dosen?
Padahal lo ga dapet royalti terus nama lo juga ga dicantumin di buku itu,” tanya Anya.
“Gue pernah kok ilang semangat, tapi karena itu passion gue yaudah gas aja. Lagian,
masih banyak kok dosen baik yang mau ngehargain karya gue. Kenapa gue mesti berhenti
ngelakuin hal yang berguna cuma karna ada yang ga ngehargain? Nanti, ke depannya pasti
bakalan lebih banyak rintangan kan. Gak ada habisnya kalo ngejar pengakuan orang, duit, atau
hal duniawi lainnya,” jawab Cindy sambil melambatkan laju motor saat melewati jalan rusak.
“Ya tapi kan kebanyakan orang begitu.”
“Terus lo mau jadi kayak kebanyakan orang yang begitu? Kalo bisa jadi yang baik,
kenapa ngga deh?” balas Cindy. “Lo abis ngobrolin apa sih sama Angga tadi?”
“Gosipin elu. Udah buruan, es krimnya keburu mencair nih,” kata Anya mengalihkan
topik. Jadi, selama ini Anya salah, selama ini ia hidup di dalam kotak ciptaannya sendiri. Ia
bersikap seolah sudah paham dengan kerasnya dunia, berubah dari polos menjadi sok dewasa,
dan merasa paling dizolimi. Padahal sikap dan pikirannya justru kalah oleh anak kecil
sekalipun. Anya terlalu terpaku pada hal buruk yang menimpanya hingga ia lupa masih ada hal
baik di sekitarnya dan tidak menyadari bahwa pasti ada banyak orang yang juga tertimpa hal
buruk yang sama atau bahkan lebih sulit. ‘Apa masih ada kesempatan untuk berubah lagi?’
“Gue penasaran, lo udah ngalamin apa aja sih sampe kemaren udah kayak orang yang
hidup segan mati tak mau?” tanya Angga saat acara perpisahan dan ramah tamah yang diadakan
oleh kecamatan. Ya, tak terasa sebulan pengabdian di desa telah terlewati.
“Gosah lebay, gue ga kayak gitu. Hmm sesuatu yang bikin gue berubah dari yang kira-
kira kayak mau langsung ngajuin diri buat bantu nyuci piring pas ada yang nanyain tadi jadi
versi gue yang males bantuin,” jawab Anya sambil meneguk minumannya.
“Kok sekarang ga bantuin?”
“Iya nanti, gantian sama Ayu.”
“Anya. Lo tau kan kupu-kupu itu bentuk dewasa dari ulat. Ulat yang jelek, gak ada
manfaatnya, bahkan sering dianggap pengganggu sama manusia tapi mereka tetep berjuang
nyari cara supaya bisa segera bermetamorfosis jadi dewasa, jadi lebih baik. Ga gampang,
banyak banget proses yang harus dilewatin, dan ulat yang berhasil bisa berubah jadi kupu-
kupu, jadi sesuatu yang indah, berguna, dan disukai manusia,” Angga berhenti sejenak dan
menoleh ke arah Anya. “Jangan salah bermetamorfosis, Nya. Kalo dari awal lo udah bisa
berguna dalam hal kebaikan dan nnagelakuin sesuatu dengan tulus, jangan malah berubah jadi
orang yang ga guna dan kayak sampah masyarakat yang cuma mikirin untung buat dirinya
sendiri cuma karena ngalamin hal-hal buruk.”
Anya tersenyum tenang. “Terimakasih,” ucapnya kepada Angga dan orang-orang
lainnya yang tidak menyerah dalam kebaikan.

Anda mungkin juga menyukai