BLOK EMERGENSI
“SEVERE ORAL AND INTRAVENOUSE INSECTICIDE
MIXTURE POISONING WITH DIABETIC KWTOACIDOSIS: A
CASE REPORT”
KELPMPOK A – 6
B. Persentasi Kasus
Ketika seorang Pria, Arab – Maroko, usia 30 tahun dan belum menkah dibawa oleh
kerabatnya ke UGD dengan kondisi darurat yang menunjukan tanda vital: Nadi 100x/menit, TD
170/100 mmHg, Nafas 25x/menit,; Saturasi Oksigen 80%; mengalami afebrile dan miosis;
terdengar bunyi ronkhi di seluruh lapang paru tanpa adanya faskulasi. Setelah beberapa jam pria
tersebut mengalami hipotermia dengan suhu 34ºC, nadi 35x/menit (bradikardi), terdapat
faskulasi generalisata dan tremor, terdapat hipersalivasi dari mulutnya, sekresi bronkial dan
bronkospasme. Investigasi saat masuk ke MICU, urin berwarna merah kecoklatan. Terdapat
hiperemia pada sepertiga lengan sampai ke axila dan edema pada fossa antecubital. Pemeriksaan
lab menunjukan gula darah 2.42 g/L (hiperglikemi), Bikarbonat 16 mEq/L, dan rhabdomiosis.
Pria tersebut segera diberikan perawatan berupa pemasangan caran intravena, atropine 2 mg,
sodium bikarbonat intravena, fenobarbital sebagai terapi empiris dan penghangatan eksternal
untuk mengatasi suhu nya.
Setelah hari ketiga perawatan, pria tersebut mengalami stroke dengan hipotensi (80-50
mmHg), nadi menjadi 143x/menit (takikardi); pemeriksaan laboratorium menunjukan gula darah
4.49 d/dL (hiperglikemi), kalium 2.4 mEq/L (hipokalemi), bikarbonat 2.4 mEq/L, glikosuria, dan
ketonuria. Pada Analisa Gas Darah; pH 6.99 (asidosis), PaCO₂ 73 mmHg, PaO₂ 195 mmHg,
HCO₃⁻ 17.6 mEq/L. Perawatan yang diberikan berupa penerusan cairan intravena, atropine 2
mg, dan perawatan suportif, dengan penambahan pemberian insulin, sodium kabornat parenteral,
adrenalin 6 mg/jam, dan hidrokortison-hemisuksinat.
Pada hari kelima perawatan, didapatkan hipertermia disertai menggigil, gula darah kembali
normal, dan asidosis berhasil teratasi. Namun dalam pengambilan sampel yang di isolasi,
ditemukan infeksi bakteri. Sampel dari paru-paru didapatkan hasil isolasi bakteri Streptococcus
pneumonia dan hasil isolasi bakteri dari pembuluh darah terdapat bakteri Klebsiella pneumonia
dan Staphylococcus pneumonia. Penatalaksanaan dari infeksi nosocomial ini, yaitu penambahan
antibiotik ceftriaxone dan gentamisin. Pada hari keenam perawatan, pemberian adrenalin
diberhentikan. Pada perawatan hari ketujuh, pemasangan ventilator dihentikan. Pada hari
kesepuluh, pemberian atropine dihentikan dan diketahui bahwa pasien tersebut mencoba untuk
melakukan bunuh diri dengan mengkonsumsi pestisida.
C. Diskusi
Kombinasi penggunaan pestisida yang popular yaitu penggunaan OP dan PYR, karena
efek toksinnya yang memiliki pola baru dengan memberikan aksi yang cepat dan efek residu
lebih banyak dibandingkan penggunaan tunggal secara berurutan.
Pada kasus yang dibahas pada jurnal ini, pasien menggunakan campuran insektisida CPF
– CM. Paparan dari jenis pestisida ini dapat menghambat proses hidrolisis dari CM yang
dimediasi karboksilesterase sehingga hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi toksik
didalam jaringan dan penurunan ekskresi asam 3 – feroksibenzoat pada urin. Metabolit CPF
yaitu akson CPF merupakan racun kuat dan tidak dapat diubah/dimetabolisme. Dari
penjelasan hal ini, pada pasien didapatkan tanda-tanda klinis penghambatan AChE
(asetilkolin esterase) ditandai dengan serum ChE (kolin esterase) <10% yang diakibatkan
CPF. Sedangkan tremor dan hipersalivasi disebabkan perpanjangan CM dengan inhibitor
penghidrolisis CM.
Kondisi klinis hipertermia pada pasien dicurigai penyebabnya adalah: 1) keracunan berat
OP dan 2) Infeksi nosokomial yang diambl dari sampel isolasi serum darah dan paru-paru
bagian atas. Kondisi klinis hiperglikemia diakibatkan oleh: 1) Keracunan OP-PYR
menimbulkan stress oksidatif, penghambat paroksotase, stimulasi kelenjar adrenal, dan
pelepasan katekolamin serta efek dari metabolism triptofan di hepar, 2) Keracunan CM yang
mengakibatkan penurunan aktivitas antioksidan seluler dan aktivasi enzim penanda yang
berubah, dan 3) Diabetes, namun pada kasus ini pasien tidak memiliki riwayat diabetes.
Efek dari keracunan OP yaitu koma, hiperglikemi, glikosura, dan ketoasidosis. Sangat
jarang dilaporkan pasien dengan keracunan insektisida mendapat ketoasidosis diabetikum.
Tatalaksana pada pasien ini yaitu pemberiian Atropin karena sudah terdapat keracunan yang
parah.
D. Kesimpulan
Kasus pada pasien ini merupakan Ketoasidosis Diabetikum pertama yang terjadi akibat
keracunan pestisida sebaga bentuk percobaan bunuh diri. Salah satu penyebabnya keracunan
yaitu adanya stress oksidatif yang mengganggu metabolism dari glukosa, pestisida yang
sering berperan dalam keracunan yaitu OP dan PYR.
E. Informasi Tambahan
Pengaruh paparan OP (Organophospat)
Sindroma Muskarinik, menyebabkan beberapa gejala yaitu konstriksi bronkus,
hipersekresi bronkus, edema paru, hipersalivasi, mual, muntah, nyeri
abdomen, hiperhidrosis, bradikardi, polirua, diare, nyeri kepala, miosis,
penglihatatan kabur, hiperemia konjungtiva.
Sindroma Nikotinik, umumnya terjadi setelah sindroma muskarinik yang akan
mencetuskan terjadinya sindroma intermediateberupadelayed neuropathy.
Hiperstimulasi neuromuscular junctionakan menyebabkan fasikulasi yang diikuti
dengan neuromuscular paralysisyang dapat berlangsung selama 2-18 hari.
Paralisis biasanya juga mempengaruhi otot mata, bulbar, leher, tungkai dan
otot pernafasan tergantung derajat berat keracunan.
Sindroma SSP, akibat masuknya pestisida ke otak melalui sawar darah otak.
Pada keracunan akut berat akan mengakibatkan terjadinya konvulsi.
Organofosfat-Induced Delayed Neuropathy, terjadi 2 –4 minggu setelah
keracunan. Pemantauan kadar AChE sangat diperlukan.
1.Normal bila kadar AChE > 75 %
2.Keracunan ringan bila kadar AChE 75 % -50 %
3.Keracunan sedang bila kadar AChE 50% –25%
4.Keracunan berat bila kadar AChE < 25%
Mekanisme Kerja OP
OP bertindak sebagai inhibitor enzim penanda ChE, padahal enzim ini berfungsi
memetabolisme AChE pada sinaps setelah dilepaskan oleh neuron pre sinaptik. Adanya inhibisi
ini menyebkan ACh tertimbun di sinaps sehingga terjadi stimulasi yang terus menerus pada
reseptor post sinaptik. Organofosfat akan menginhibisi AChE dengan membentuk
phosphorilatedenzyme (enzyme-OP complex). Inhibisi AChE akan menyebabkan prolonged
action dan asetilkolin yang berlebihan pada sinaps saraf autonom, neuromuskular dan SSP.
Inhibisi kolinesterase pada ganglion simpatis akan meningkatkan rangsangan
simpatis dengan manifestasi klinis midriasis, hipertensi dan takikardia. Inhibisi
kolinesterase pada ganglion parasimpatis akan menghasilkan peningkatan rangsangan
saraf parasimpatis dengan manifestasi klinis miosis, hipersalivasi dan bradikardi.
Besarnya rangsangan pada masing-masing saraf simpatis dan parasimpatis akan
berpengaruh pada manifestasi klinis yang muncul. ACh juga berperan sebagai
neurotransmiter neuron parasimpatis yang secara langsung menyarafi jantung melalui saraf
vagus, kelenjar dan otot polos bronkus.
Organofosfat merupakan pestisida yang memiliki efek irreversible dalam
menginhibisi ChE, acethylcholine-esterase dan neuropathy target esterase(NTE) pada binatang
dan manusia. Paparan terhadap OP akan mengakibatkan hiperstimulasi muskarinik dan
stimulasi reseptor nikotinik. [ CITATION Ari13 \l 1033 ]
DAFTAR PUSTAKA
Aristantyo, A., 2013. http://eprints.undip.ac.id/43717/3/Anangga_Aristantyo_KTI_BAB_II.pdf.
Hubungan Aktivitas Asetilkolinesterase Darah dengan Kejadian Hipotensi Ortostatik pada
Petani. Universitas Diponegoro.
Narjis Badrane, M. A. K. B. K. A. T. D. A. A. Z., 2014. Severe oral and intravenous insecticide
mixture poisoning with diabetic ketoacidosis: a case report. BMC Research Notes, pp. 1-4.