Anda di halaman 1dari 7

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ulat Krop Kubis Crocidolomia binotalis Zell. (Lepidoptera : Pyralidae)


2.1.1 Morfologi dan biologi
a. Imago
Imago C. binotalis umumnya meletakkan telur di bagian bawah
permukaan daun atau bagian daun yang terlindungi (Simanjuntak, 2007). Imago
jantan mudah dikenal dengan adanya rambut-rambut berwarna gelap/hitam pada
tepi interior sayap depan (Prijono dan Hassan, 1992). Ukuran tubuh imago jantan
lebih panjang (sekitar 11,4 mm) daripada yang betina (sekitar 9,6 mm). Imago
betina menghasilkan telur 35-459 butir dan dapat hidup selama 1-2 minggu (Ooi
dan Kelderman, 1979). Umur imago betina sekitar 23-28 hari, sedangkan umur
imago jantan sekitar 24-29 hari (Prijono dan Hassan, 1992).

b. Telur
Telur berbentuk pipih dan diletakkan secara berkelompok menyerupai
genteng rumah, melekat pada permukaan bawah daun (Permadi dan
Sastrosiswojo, 1993). Telur berwarna hijau kekuningan. Sebelum menetas, warna
telur orange berubah menjadi kuning kecoklatan lalu akan berubah menjadi coklat
gelap. Telur menetas dalam waktu 4-6 hari (Fitriyani, 2009). Jumlah telur rata-
rata 48 butir/kelompok dengan ukuran 2,6 mm dan 4,3 mm (Sastrosiswojo dkk,
2005).

c. Larva
Larva C.binotalis merupakan salah satu hama utama yang menyerang
tanaman Brassicaceae (Kalshoven, 1981). Larva berwarna hijau muda kecoklatan.
Pada bagian sisi dan bagian atas tubuh larva terdapat garis-garis putih sepanjang
tubuhnya. Larva yang baru keluar dari telur berbentuk silindris dan tubuhnya
berwarna kuning muda agak transparan (Sastrosiswojo dan Setiawati, 1993).

4
Larva C. binotalis dengan makanan daun brokoli melewati empat instar
sebelum membentuk pupa.
1. Larva instar I
Stadium larva instar I 2-3 hari. Larva pada stadium I berukuran 2,1 - 2,7 mm.
2. Larva instar II
Stadium larva instar II 1-3 hari. Larva pada stadium II berukuran 5,5 - 6,1 mm.
3. Larva instar III
Stadium larva instar III 1-3 hari. Larva pada stadium III berukuran 11 - 13 mm.
4. Larva instar IV
Stadium larva instar IV 3-6 hari. Larva pada stadium IV berukuran 20,8 – 24
mm (Prijono dan Hassan, 1992).
Lama perkembangan larva secara keseluruhan 8-24 hari pada suhu 25-
28oC dengan kelembapan relatif 60-70% (Prijono dan Hassan, 1992).

d. Pupa
Pupa terdapat dalam kokon yang terbuat dari butiran tanah dan berbentuk
lonjong (Simanjuntak, 2007). Pupa berwarna kecoklatan dengan stadium rata-rata
10 hari pada suhu 26-33,2oC. Imago yang berbentuk ngengat nokturnal yang
tidak tertarik cahaya (Fitriyani, 2009).

Gambar 1 : C. binotalis (Sumber: Sastrosiswojo dkk, 2005).

5
2.1.2 Tanaman inang dan gejala kerusakan
Tanaman inang C. binotalis adalah berbagai jenis kubis seperti kubis
putih, kubis bunga, petsai, brokoli, dan lain-lainnya. Selain itu tanaman turnip,
radis, sawi jabung, dan selada air juga merupakan inang C. binotalis
(Sastrosiswojo dkk, 2005).
Larva muda bergerombol pada permukaan bawah daun kubis dan
meninggalkan bercak putih pada daun yang dimakan. Larva instar tua memencar
dan menyerang pucuk tanaman kubis, sehingga menghancurkan titik tumbuh.
Akibatnya, tanaman mati atau batang kubis membentuk cabang dan beberapa krop
berukuran kecil. Serangan hama C. binotalis pada tanaman kubis yang sudah
membentuk krop akan menghancurkan krop atau menurunkan kualitas krop,
sehingga kubis tidak laku dijual (Gambar 2) (Sastrosiswojo dkk, 2005).
Kehilangan hasil panen tanaman kubis akibat serangan hama ini sangat
bervariasi tergantung pada populasi hama, musim, dan kerja sama dengan hama
lain. Uhan (1993) melaporkan bahwa serangan C. binotalis pada tanaman kubis
dapat menyebabkan kehilangan hasil sebesar 65,8%. Serangan C. binotalis
bersama Plutella xylostella dapat menurunkan hasil sebesar 79,81%. Pada musim
kemarau, jika populasi tidak dikendalikan, serangan kedua jenis hama dapat
menyebabkan kehilangan hasil 100% (Sastrosiswojo, 1996).

Gambar 2 : Gejala Serangan C. binotalis pada kubis (Sumber : Sastrosiswojo dkk., 2005).

6
2.2 NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus)
2.2.1 Struktur dan Morfologi Nuclear Polyhedrosis Virus
Virus entomopatogen sebagian besar masuk kedalam 5 genera virus yaitu
Baculovirus, Poxvirus, Iridovirus, Enterovirus, dan Rhabdovirus. Dari kelima
genera ini genus Baculovirus yang terpenting karena termasuk didalamnya
kelompok virus terbesar yaitu (Nuclear Polyhedrosis Virus) yang banyak
digunakan sebagai agens hayati (Rimadani dkk., 2013).
Baculoviruses dapat mengendalikan ordo Lepidoptera Hymenoptera,
Diptera, Neuroptera, Coleoptera, Trichoptera, dan Crustacea. Baculoviruses
merupakan salah satu alternatif terbaik untuk mengurangi penggunaan pestisida
kimia karena bersifat ramah lingkungan. NPV yang tercatat di India dapat
mengendalikan Helicoverpa armigera, S. litura, S. exigua, Amsacta moorei,
Agrotis ipsilon, A. segetum, Anadividia peponis, Trichoplusiani, Thysanoplusia
orichalcea, Adisura atkinsoni, Plutella xylostella, Corcyra cephalonica,
Mythimna separata dan Phthorimaea operculella (Erayya dkk., 2013).
Secara umum virus serangga dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu
virus yang mempunyai Inclusion Body (IB) dan virus Non Inclusion Body (tanpa
IB). Inclusion Body merupakan suatu badan pembawa virus yang terbuat dari
matriks protein, dan mempunyai bentuk seperti kristal tidak beraturan. Matriks
protein inilah yang sering disebut dengan Polyhedral Inclusion Body (PIB)
(Amico, 1997).
Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak dan terdapat di dalam inti sel
yang rentan, seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea.
Polihedra berukuran 0.5-15 µm dan mengandung partikel virus yang disebut
virion (Tanada dan Kaya, 1993). Morfologi polihedra dan virion dapat dilihat di
bawah mikroskop elektron dengan pengecatan negatif atau dengan teknik irisan
jaringan yang terinfeksi NPV (Sariani, 2012).
Di dalam PIB terdapat bagian NPV yang bersifat mematikan serangga
yaitu nukleokapsid yang terletak di dalam virion berbentuk tongkat berukuran
panjang 336 µm dan berdiameter 62 µm. Virion terbungkus dalam satu membran
yang disebut envelop, di dalam satu virion terdapat satu atau lebih nukleokapsid,
virion tidak dapat dilihat dengan mikroskop biasa melainkan dengan mikroskop

7
elektron. Berdasarkan jumlah nukleokapsid, NPV dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu single nukleokapsid (SNPV) dan multi nucleokapsid (MNPV)
(Bedjo, 2005).
Ciri khas NPV adalah adanya nukleokapsid berbentuk batang yang
mengandung untaian ganda asam dioksiribonukleat (DNA) yang panjangnya 250
– 400 nm dan lebar 40 – 70 nm (Bedjo, 2005).

2.2.2 Proses dan Gejala Infeksi


Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus ditemukan dalam berbagai
jaringan seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis dan matriks trakea. Proses
infeksi NPV dimulai dari tertelannya polihedra oleh ulat bersama pakan. Di dalam
saluran pencernaan yang bersuasana alkalis (pH 9,0-10,5), selubung polihedra
larut, sehingga membebaskan virion. Virion menembus dinding saluran
pencernaan untuk masuk ke rongga tubuh, kemudian menginfeksi sel-sel yang
rentan. Replikasi virion terjadi di dalam inti sel (Arifin, 2002).
Larva yang terinfeksi SlNPV menunjukkan gejala antara lain tubuhnya
tampak berminyak, disertai dengan tubuhnya membengkak dan warnanya berubah
menjadi pucat kemerahan. Gejala khas di lapangan, larva merayap ke pucuk
tanaman kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan tungkai semunya
pada bagian tanaman. Integumen larva mengalami lisis dan disintegrasi sehingga
sangat rapuh. Apabila robek, dari dalam tubuh ulat keluar cairan hemolimfa yang
mengandung banyak polihedra (Nuraeni, 2010). Ulat muda (instar l-lll) mati
dalam 2 hari, sedangkan ulat tua (instar IV-VI) dalam 4-9 hari setelah polihedra
tertelan (Tanada dan Kaya, 1993).

2.3 Kelemahan Pemanfaatan SlNPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman


Dalam pemanfaatannya, bioinsektisida SlNPV juga mempunyai beberapa
kelemahan. Beberapa kelemahan pada saat diaplikasikan di lapangan antara lain
NPV peka terhadap pengaruh sinar matahari terutama sinar ultraviolet; kecepatan
dalam mematikan inang relatif rendah yaitu 3-9 hari sehingga selama waktu
tersebut larva yang telah terinfeksi masih bisa menimbulkan kerusakan walaupun

8
intensitasnya menurun; NPV kurang efektif terhadap larva yang berukuran besar;
dan penggunaan NPV ini memerlukan ketepatan waktu aplikasi (Bedjo, 2005).
Penggunaan SlNPV dengan konsentrasi 15 x 1011 PIBs/ha di laboratorium
dapat mematikan larva S. litura hingga 90%, sedangkan di lapangan hanya
mencapai 30%. Penurunan keefektifan/kematian ulat tersebut diakibatkan NPV
tidak tahan terhadap radiasi sinar ultra violet yang bersumber dari matahari yang
mempengaruhi efektivitas virion. Aktivitas NPV menurun 50% apabila
diaplikasikan pada permukaan atas daun selama tiga jam dan menjadi inaktif
selama 15 jam. Aktivitas NPV yang diaplikasikan pada permukaan bawah daun
masih bertahan sampai 50% dari aktivitas aslinya setelah 20 jam. Oleh karena itu,
disarankan untuk mengaplikasikan NPV pada permukaan bawah daun (Bedjo,
2011).
Gelombang UV-B , 28-320 nm adalah faktor yang paling berkontribusi
terhadap inaktivasi baculoviruses. Inaktivasi terjadi juga pada gelombang UV-A
320-360 nm. Sejumlah pelindung alami UV memberikan perlindungan UV untuk
produk virus, seperti pewarna , brightener Fluorescent atau turunan lignin. Enzim
antioksidan atau oksidatif seperti Dilodin, Inol, Vitamin, asam folat, riboflavin,
dan Pyridoxine adalah semua senyawa yang menjanjikan untuk perlindungan
virus entomopatogen dari sinar UV. Baru-baru ini , bahan alami yang
mengandung antioksidan seperti teh hijau, teh hitam, kayu putih dan ekstrak daun
mangga telah menjadi pelindung aditif yang menjanjikan untuk baculoviruses (El
Helaly, 2013) .
Banyak faktor yang mempengaruhi produksi dan kualitas
virus, tingkat pertumbuhan larva setelah inokulasi virus akan mempengaruhi hasil
virus. Usia larva di inokulasi, dosis virus, dan suhu inkubasi secara signifikan
mempengaruhi pertumbuhan larva dan produktivitas virus (Buthia dkk., 2012).

2.4 Kaolin Sebagai Bahan Pelindung


Kaolin merupakan salah satu bahan tambang non mineral. Tercatat bahwa
di Indonesia terdapat cadangan kaolin untuk diekspor sebesar 224.300.000 ton.
Kaolin lazim disebut sebagai “lempung cina” karena pertama kali ditemukan di

9
daerah Kao-Lin, Cina. Mineral kaolinit ditemukan dalam lempung kaolin
sebanyak 85–95% (Nisaa, 2011).
Kaolin termasuk jenis mineral liat dengan rumus kimia Al2O3SiO2H2O.
Kaolin merupakan batuan yang tersusun dari material lempung atau mineral liat
dengan kandungan besi yang rendah dan umumnya berwarna putih atau agak
keputihan (Victoria, 2009).
Kaolin merupakan salah satu jenis tanah liat yang bersifat menyerap air,
yang merupakan hasil pelapukan dan diskomposisi batuan beku dan batuan
metamorf yang komplek akan aluminium silika. Kaolin merupakan lempung yang
berkualitas tinggi, warna putih keabu-abuan dan ditemukan sebagai endapan
sedimenter (Ismayanda, 2011).
Kaolin dapat digunakan sebagai bahan baku beberapa produk termasuk
farmasi, pasta gigi, kosmetik, insulator listrik, plastik, bahan pengembang plastik,
keramik, kertas dan cat (Subaidi, 2005). Kaolin juga sangat tahan terhadap api,
karena memiliki ketahanan api yang sangat tinggi. Titik didihnya lebih kurang
1800°C. Titik didih yang tinggi dimanfaatkan industri kosmetik untuk melindungi
kulit dari paparan sinar matahari, menjaga kulit tetap aman walaupun dibawah
sinar matahari (Rahmawati, 2012).
Kelompok mineral kaolin meliputi kaolinit, nakrit, dikit, dan haloisit.
Kaolinit, nakrit dan dikit mempunyai komposisi kimia yang ideal Al2Si2O5 (OH)4.
Satuan-satuan ini berikatan kuat sesamanya dengan ikatan hydrogen dan Van der
Waals. Hal ini mengakibatkan kation atau anion dan molekul air tidak dapat
masuk kelapisan silikat maupun alumuniat sehingga efektivitas penjerapannya
terbatas hanya dipermukaan saja. Sifat penukar kation atau anion hanya berasal
dari satu bagian ujung mineral yang mengalami pemutusan/pematahan. Bagian
permukaan dari kristal kaolinit mempunyai muatan negatif yang tetap dan tidak
tergantung pH (permanent charge). Muatan negatif tersebut berasal dari substitusi
atom dalam struktur kristal yang tidak mempengaruhi struktur kristal tersebut
(Victoria, 2009).

10

Anda mungkin juga menyukai