Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Bullying

1. Definisi Bullying

Kata Bullying berasal dari Bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti

banteng yang senang menyeruduk kesana kemari (Wiyani, 2012). Bullying juga

diartikan serangan fisik terhadap orang yang lebih lemah dengan tujuan

menyakiti. Anak yang terlibat dalam bentuk agresi ini sering kali mempunyai

perasaan rendah diri atau perasaan tidak aman (Mahmud, 2018).

Bullying merupakan tindakan siswa di bully ketika siswa lain atau grup

siswa: Pertama, mengatakan dengan maksud menyakiti atau memperlakukan

orang lain dengan tidak menyenangkan hanya untuk kesenangan diri atau

memanggil dengan nama yang menyakitkan. Kedua, mengabaikan atau

mengucilkan orang lain dari grupnya. Ketiga, memukul, menendang,

mendorong, mengguncang dan mengancam. Keempat, mengatakan

kebohongan atau rumor yang tidak benar tentang seseorang atau mengirim

sebuat catatan dan mencoba membuat siswa lain tidak disukai atau dilukai

(Olweus, 1993).

Jadi berdasarkan pengertian diatas bullying berasal dari Bahasa Inggris,

yaitu bull yang berarti banteng yang senang menyeruduk. Tindakan bullying

betujuan untuk menyakiti atau memperlakukan orang lain, dengan cara verbal

7
8

seperti memanggil dengan nama yang menyakitkan, fisik seperti menendang

atau mendorong dan mengatakan rumor yang tidak benar.

2. Macam-Macam Bullying

Terdapat dua bentuk bullying, yaitu (Olweus, 1993) :

a. Direct Bullying

Mencakup tindakan konfrontasi tatap muka, serangan dalam bentuk fisik,

penggunakan kalimat atau gesture yang mengancam.

b. Indirect Bullying

Mencakup penyebaran rumor, mengucilkan orang lain dari kegiatan sosial

mapun menyalahkan orang lain, dimana terkadang korban tidak mengetahui

siapa pelaku sebenarnya karena tindakan bullying dilakukan tidak secara

langsung.

Wiyani (2012) perilaku bullying dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :

a. Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit, menjambak,

menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar,

memeras, dan meruksa barang-barang orang lain).

b. Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan,

menggangu, memberi panggilan yang tidak menyenangkan, sarkasme,

merendahkan, mecela/mengejek, mengintimidasi, memaki, dan

menyebarkan gossip).
9

c. Perilaku nonverbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidahm

menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau

mengancam biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal).

3. Faktor- Faktor Penyebab terjadinya Bullying

Faktor yang menyebabkan terjadinya bullying, terdapat faktor internal dan

faktor eksternal, yaitu (Putri, dkk, 2015) :

a. Faktor internal

1) Jenis kelamin : Perilaku dan korban bullying dapat ditemukan baik pada

anak laki-laki maupun anak perempuan akan tetapi intensitasnya

dipengaruhi oleh proses sosialisasi yang mereka terima, bukan karena

adanya perbedaan tingkat keberanian dan ukuran fisik.

2) Kepribadian individu : Umumnya cenderung terjadi pada remaja

dengan tipe kepribadian extrovert. Orang yang extrovert sangat

berbahaya bagi individu, apabila ikatan dengan dunia luar terlampau

kuat, sehingga ia tenggelam dalam dunia objektif, kehilangan dirinya,

atau asing terhadap dunia subjektifnya sendiri.

3) Kepercayaan diri : Menyatakan bahwa percaya diri ialah suatu sikap

atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri sehingga orang yang

bersangkutan tidak merasa cemas dalam bertindak, merasa bebas, tidak

malu dan tertahan serta mampu bertanggung jawab atas perbuatannya.


10

b. Faktor eksternal

1) Iklim sekolah : Aspek-aspek iklim sekolah meliputi lingkungan belajar,

lingkungan fisik dan sosial, hubungan antara rumah dan sekolah, dan

keamanan sekolah. Lingkungan sekolah yang bersih, manajemen atau

perilaku yang baik yang tercipta di dalam maupun di luar kelas serta

hubungan interpersonal antara guru dan siswa yang baik menciptakan

suasana atau iklim sekolah baik.

2) Peranan kelompok atau teman sebaya : Umumnya jika terdapat siswa

yang ditolak oleh teman sebaya mereka akan lebih suka berdebat,

mengganggu teman yang lain, tidak mempunyai rasa malu, kaku dan

secara sosial tidak sensitif, siswa akan cenderung berperilaku agresi

atau bullying.

4. Proses Terjadinya Bullying

Dalam kerjadian bullying biasanya ada lima pihak sebagai berikut (Wiyani,

2012) :

a. Bully yaitu siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin, berinisiatif dan

aktif terlibat dalam perilaku bullying.

b. Asisten bully, juga terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun ia

cenderung bergantung atau mengikuti perintah bully.


11

c. Rincofer adalah mereka yang ada ketika kejadian bullying terjadi ikut

menyaksikan, mentertawakan korban, memprofokasi bully, mengajak siswa

lain untuk menonton dan sebagainya.

d. Defender adalah orang-orang yang berusaha membela dan membantu

korban, seeing kali akhirny mereka jadi korban juga.

e. Outsider adalah orang-orang yang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak

melakukan papun, seolah-olah tidak peduli.

5. Tanda dan Gejala Siswa Korban Bullying

Tanda dan Gejala Siswa Korban Bullying, ialah mengalami luka (berdarah,

memar, dan goresan), sakit kepala/sakit perut, barang miliknya mengalami

kerusakan, mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajaran, tidak pergi ke

sekolah sehingga sering membolos, mengubah rute pergi ke sekolah, prestasi

akademiknya menurun, menarik diri dari pergaulan atau merasa malu, tidak

mau berpartisipasi lagi dalam kegiatan yang biasanya disukainya, gelisah,

muram, dan menjadi agresif dengan melakukan bullying kepada saudara

kandung, mengancam atau mencoba melakukan bunuh diri (Wiyani, 2012).


12

6. Dampak dari Bullying

Dampak yang dialami oleh korban bullying adalah mengalami berbagai

macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (low

psychological well-being) di mana korban akan merasa tidak nyaman, takut,

rendah diri, serta tidak berharga, penyesuaian sosial yang buruk di mana korban

merasa takut ke sekolah bahkan tidak mau sekolah, menarik diri dari pergaulan,

prestasi akademik yang menurun, mengalami ketidakberdayaan dan

keputusasaan bahkan berkeinginan untuk bunuh diri (Wiyani, 2012).

7. Upaya atau Penatalaksanaan pada Korban Bullying

Untuk mengurangi kemungkinan atau pencegahan agar tidak menjadi

sasaran tindakan bullying. Pertama, bantulah remaja menumbuhkan self-esteem

(harga diri) yang baik. Remaja ber- self-esteem baik akan bersikap dan berfikir

positif, menghargai dirinya sendiri, menghargai orang lain, percaya diri,

optimis dan erani mengatakan haknya.

Kedua, mempunyai banyak teman. Bergabung dengan grup berkegiatan

positif atau berteman dengan siswa yang sendirian. Ketiga, kembangkan

keterampilan sosial untuk menghadapi bullying, baik sebagai sasaran atau

sebagai saksi, dan bagaimana mencari bantuan jika mendapat perlakuan

bullying. Di bawah ini contoh bagaimana menghadapi bully (Wiyani, 2012):


13

a. Berjalanlah secara tegak dan percaya diri. Pelaku bullying memilih orang

yang mereka pikir tidak percaya diri.

b. Bergabunglah dengan grup siswa yang sendirian. Jangan membawa barang

mahal atau banyak uang ke sekolah. Pelaku bullying memilih anak yang

membawa sesuatu yang bisa mereka ambil.

c. Hindari pelaku bullying, pergilah ke sekolah lebih dulu.

d. Jangan melawan atau marah sehingga membuat situasi menjadi semakin

buruk. Cobalah menarik diri dari situasi secara tenang.

e. Jangan memberi pelaku bullying bullying kekuasaan untuk mengatur

korban.

f. Jangan berdiam diri jika menyaksikan orang lain mendapat perlakuan

bullying. Dokumentasikanlah apa yang terjadi secara spesifik (kapan,

waktunya, kjadian, dan bukti fisik).

8. Pengukuran Bullying

Instrument bullying menggunakan instrument revisi Olweus Bully

(OBVQ), terdiri dari 14 item tentang bullying (bully skala). Tiap-tiap item

memiliki empat pilihan jawaban,TP (Tidak Pernah), J (Jarang), S (Sering), SS

(Sangat Sering).
14

Tabel 2.1 Hasil Uji Coba pada Alat Ukur Bullying

NO Dimensi Indikator Item-item valid


dan reliabel
1 Direct physical 1. Serangan dalam bentuk fisik Item no 1, dan 8
(memukul atau menendang)
2 Direct non- 1. Penggunaan kalimat yang Item no 4,5,6, dan
physical tidak menyenangkan (name- 7
calling, mengejek,
mengancam)
2. Gesture yang tidak
menyenangkan (menjulurkan
lidah, ekspresi menghina,
meniru tindakan korban)
3 Indirect 1. Serangan dalam bentuk fisik Item no 2, dan 9
physical (memukul atau menendang
secara tidak langsung
4 Indirect non- 1. Penyebaran rumor Item no 3, 10,
physical 2. Mengucilkan orang lain dari 11,12,13, dan 14
kegiatan sosial
3. Mengkambing hitamkan orang
lain

Jawaban Tidak Pernah akan mendapat skor 1, Jarang mendapat skor 2,

Sering mendapat skor 3 dan Sangat Sering mendapat skor 4. Jika skor ≥ 22

mengalami bullying, dan jika skor < 22 tidak mengalami bullying.


15

B. Konsep Dasar Remaja

1. Definisi Remaja

Remaja merupakan penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun (Kemenkes,

2014). Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau

tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas

lagi yang mencangkup kematangan mental, emosional sosial dan fisik

(Risnawati, 2018).

Masa remaja atau masa adolesensi adalah suatu fase tumbuh kembang yang

dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode

transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan

percepatan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial (Dhamayanti,

Asmara, 2017).

Umur masa remaja psikolog tidak sepakat, namun yang umum digunakan

adalah pendapat Luella Cole, seorang ahli psikologi, yaitu 13-15 tahun (masa

remaja awal), 15-18 tahun (masa remaja pertengahan), 18-21 tahun (masa

remaja akhir) (Risnawati, 2018).

Jadi berdasarkan pengertian diatas remaja adalah fase tumbuh kembang

dalam kehidupan seseorang, tumbuh menjadi dewasa dari masa kanak-kanak

ke masa dewasa yang ditandai dengan kematangan dan perkembangan fisik,


17

mental, emosional dan sosial. Usia remaja dibagi menjadi 3 tahap, yaitu remaja

awal, remaja pertengahan dan remaja akhir dan berkisar antara 10-21 tahun.

2. Periode Pada Remaja

Secara garis besar masa remaja terdiri dari 4 fase atau periode diantaranya

(Astori, dalam Risnawati 2018) :

a. Periode Pra Remaja

Selama periode ini terjadi gejala-gejala yang hampir sama antara remaja

pria datggn wanita. Perubahan fisik biasanya belum tampak jelas, akan

tetapi pada remaja putri biasanya memperlihatkan penambahan berat badan

yang signifikan. Gerakan-gerakan mereka mulai menjadi kaku, perubahan

ini disertasi sifat kepekaan terhadap rangsangan dari luar dan respons

mereka biasanya berlebihan sehingga mereka mudah tersinggung dan

cenggeng, tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak ledak.

b. Periode Remaja Awal

Selama periode ini perkembangan fisik yang semakin tampak adalah

perubahan fungsi alat kelamin. Karena perubahan itu alat kelamin semakin

nyata, remaja seringkali mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri

dengan perubahan-perubahan itu akibatnya tidak jarang mereka cenderung

menyendiri sehingga merasa terasingkan, kurang perhatian dari orang lain

atau bahkan merasa tidak ada mempedulikannya. Remaja awal sulit untuk
18

mengontrol dirinya dan mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang

wajar untuk meyakinkan dunia sekitarnya. Perilaku seperti ini

sesungguhnya terjadi karena adanya kecemasan terhadap dirinya sendiri

sehingga muncul dalam raksi yang kadang-kadang tidak wajar.

c. Periode Remaja Tengah

Tanggung jawab hidup yang seharusnya semakin ditingkatkan oleh

remaja mampu memikul dirinya sendiri. Karena tuntutan peningkatkan

tanggung jawab tidak hanya datang dari orang tua atau anggota keluarga

lain tetapi dari masyarakat sekitarnya. Tidak jarang masyarakat juga

menjadi masalah bagi remaja tengah di mana melihat fenomena sering yang

terjadi di dalam masyarakat yang sering kali juga menunjukan adanya

kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui.

Tidak jarang remaja tengah ini mulai meragukan tentang apa yang

disebut baik atau buruk, akibatnya remaja seringkali ingin membentuk

nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap besar, baik dan pantas untuk

dikembangkan di kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua

mengalami masalah dalam rumah tangga dan berefek pada si anak remaja.

d. Periode Remaja Akhir

Selama periode ini remaja mulai memandang dirinya sendiri sebagai

orang dewasa dan mampu mulai menunjukan pemikiran, sikap, perilaku


19

yang semakin dewas. Oleh karena itu orang tua dan masyarakat mulai

memberikan kepercayaan yang selayaknya kepada mereka.

Interaksi dengan orang tua menjadi lebih bagus dan lancer karena

mereka sudah memiliki kebebasan penuh serta emosinya pun mulai stabil,

pilihan arah hidup sudah semakin jelas dan mulai mampu mengambil

pilihan dan keputusan tentang arah hidupnya secara lebih bijaksana

meskipun belum bisa secara penuh dan mereka juga mulai memilih cara-

cara hidup yang dipertanggung jawabkan tentang dirinya sendiri, orang tua,

dan masyarakat.

3. Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja ini, selalu merupakan masa-masa sulit bagi remaja maupun

orangtuanya. Kesulitan itu berangkat dari fenomena remaja sendiri dengan

beberapa perilaku khusus, yakni (Jatmika, 2010) :

a. Remaja mulai menyampaikan kebebasannya dan haknya untuk

mengemukakan pendapatnya sendiri. Tidak terhindarkan ini dapat

menciptakan ketegangan dan perselisihan, dan bias menjauhkan remaja

dari keluarganya.

b. Remaja lebih mudah dipengaruhi oleh teman-temannya daripada ketika

mereka masih kanak-kanak. Ini berarti bahwa pengaruh orangtua semakin

lemah. Anak remaja berperilaku dan mempunyai kesenangan yang


20

berbeda bahkan bertentangan dengan perilaku dan kesenangan keluarga.

Contoh-contoh yang umum adalah dalam hal mode pakaian, potongan

rambut, kesenangan musik yang kesemuanya harus mutakhir.

c. Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhannya

maupun seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai muncul bisa

menakutkan, membingungkan dan menjadi sumber perasaan salah dan

frustrasi.

d. Remaja sering menjadi terlalu percaya diri (over confidence) dan ini

bersama-sama dengan emosinya yang biasanya meningkat,

mengakibatkan sulit menerima nasihat dan pengarahan oangtua.

4. Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan pada Remaja

Setiap individu yang memasuki usia remaja akan mengalami berbagai

perkembangan pada dirinya. Berikut adalah berbagai perkembangan yang

dialami oleh remaja :

b. Perkembangan fisik

Tumbuh kembang masa remaja awal putri ditandai dengan buah dada

mulai terbentuk, pembesaran dan pematangan alat reproduksi perempuan,

serta pertumbuhan rambut ketiak, pada remaja awal putra pembesaran buah

zakar, penis mulai membesar, dan mimpi basah. Sedangkan pada masa

remaja menengah remaja putri ditandai dengan mendapatkan pertambahan


21

tinggi badan, serta perkembangan karakteristik seks sekunder, pada remaja

putra ditandai dengan perkembangan/ kemajuan tulang kerangka, penis

lebih panjang dan lebar, dan muncul bau badan akibat stimulasi hormone

androgen dan kelenjar keringat. Pada masa remaja lanjut remaja putri

mengalami proporsi dan ukuran tubuh sudah menyerupai ukuran dewasa

muda, perkembangan karakteristik seks sekunder menjadi tuntas, dan

Rahim akan mencapai bentuk dewasa. Pada remaja putra proposi dan

ukuran tubuh sudah menyerupai ukuran dewasa muda, dan perkembangan

karakteristik seks sekunder menjadi tuntas (Dhamayanti & Asmara, 2017).

c. Perkembangan Psikososial

Pada remaja awal perkembangan psikososial, yaitu keinginan untuk

keleluasaan pribadi, menjaga jarak keakraban fisik dari orang tua yang

berdeda jenis kelamin dengan anak, dan cenderung berpaling pada

kelompok sebaya, pada remaja menengah sekolah dan kelompok sebaya

mendapat porsi lebih utama, perbedaan seks pada kelompok sebaya ampak

lebih jelas serta kesetiaan, keterlibatan, dan keakraban tentang suatu

informasi lebih berharga di lingkungan remaja putri. Sedangkan pada

remaja lanjut permasalahan penentuan karir harus sudah ditentukan, sering

berfikir moralistis dan absolute, namun sudah mampu berdialog dengan

orang tua (Dhamayanti & Asmara, 2017).


22

d. Perkembangan emosi

Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa

kanak-kanak. Pola emosi pada masa remaja berupa marah, takut, cemburu,

ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak

pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam

mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang

labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan

tekanan Hurlock dalam (Sumiati, dkk, 2009).

e. Perkembangan Sosial

Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud

menemukan jati diri. Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan

berkumpul Bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan

mengekspresikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja

sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan

dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan

heteroseksual (Sumiati, dkk, 2009).

f. Perkembangan Psikoanalitik

Pubertaas dianggap sebagai tahap genital di mana ketertarikan seksual

mulai timbul. Perubahan biologis membuat ketidakseimbangan antara ego

dan id, serta solusi baru harus dinegosiasikan dengan remaja (Struart, dkk,

2016).
23

g. Perkembangan budaya

Pandangan bahwa remaja sebagai satu masa di mana orang percaya

bahwa dia telah memiliki hak-hal seperti layaknya orang dewasa namun

masih ditahan. Tahap ini berakhir ketika masyarakat memberikan

kekuasaan penuh dan status sebagai dewasa (Struart, dkk, 2016).

h. Perkembangan moral

Perkembangan moral remaja dilihat dari bagaimana remaja

menyelesaikan konflik moralnya. Remaja pria umunya mencari

penyelesaian secara langsung dan remaja putri menghindari konflik untuk

mempertahankan hubungan (Struart, dkk, 2016).

5. Permasalahan Remaja

Masa remaja ini biasanya mereka cenderung sehat, meskipun masalah

kesehatan utama dapat saja muncul. Tiga kemungkinan masalah kesehatan

utama yaitu gangguan makan, depresi dan penyalahgunaan zat (Danim, 2010).

a. Gangguan Makan

Gangguan makan sering muncul akibat keasyikan dengan makanan.

Keasyikan dengan makanan ini berdampak paling umum di kalangan

remaja yaitu obesitas (obesity) atau kegemukan. Obesitas disertai dengan

potensi stigma sosial tekanan psikologis, dan masalah kesehatan kronis. Di


24

seluruh dunia, sekitar 15 sampai 20 persen remaja yang mengalami

obesitas.

Kebiasaan mengurangi makan untuk menghindari kegemukan atau

obesitas pun bisa berbahaya, yaitu dapat menyebbakan anoreksia nervosa

(anorexia nervosa) atau kelaparan. Anoreksia yang khas adalah model

remaja yang terobsesi dengan membeli makanan, memasak dan

menyiapkan makanan, tetapi sangat sedikit makan.

Era kaitannya dengan anoreksia adalah bulimia nervosa, berupa

gangguan yang mengikuti pola pembersih makan yang sudah dimakan.

Setelah dimakan sampai kenyang, bulimia muntah, mengambil obat

pencahar, atau olahraga keras untuk membakar kalori yang baru saja

dikonsumsi.

b. Depresi

Sebanyak 40 persen remaja memiliki masa deprei (depression), jenis

gangguan mood yang ditandai dengan perasaan endah dan tak herharga,

hilangnya minat dalam aktivitas kehidupan, serta perubahan pola makan

dan tidur. Depresi remaja sering disebabkan oleh perubahan hormone,

tantangan hidup, dan/ atau masalah penampilan. Perempuan remaja lebih

banyak menderita depresi atau stress berat dibandingkan dengan laki-laki

remaja.
25

c. Penyalahgunaan Zat

Beberapa remaja menyalahgunakaan zat atau obat-obatan terlarang

untuk mengindari rasa sakit, mengatasi stress sehari-hari, atau untuk

kepentingan “soladaritas” dengan rekan-rekannya yang merupakan bagian

dari aktivitas per-geng-an tertentu. Bahkan, sebagai simbol mereka telah

dewasa, penggunakan alkolhol dan tembakau/nikotin menjadi “kebiasaan”.

Sejumlah kesulitan yang sering dialami kaum remaja yang betapa pun

menjemukan bagi mereka dan orang tua mereka, merupakan bagian yang

normal dari perkembangan ini. Beberapa kesulitan atau bahaya yang mungkin

dialami kaum remaja, antara lain (Jatmika, 2010) :

a. Variasi kondisi kejiwaan. Suatu saat mungkin ia terlihat pendiam,

cemberut, dan mengasingkan diri, tetapi pada saat yang lain terlihat

sebaliknya, periang, berseri-seri dan yakin. Perilaku yang sukar ditebak

dan berubah-ubah ini bukanlah abnormal. Itu hanya perlu diprihatinkan

bila ia terjerumus ke dalam kesulitan, kesulitan di sekolah atau kesulitan

dengan teman-temannya.

b. Rasa ingin tahu seksual dan coba-coba. Hal ini normal dan sehat. Rasa

ingin tahu seksual dan bangkitnya birahi adalah normal dan sehat. Ingat,

bahwa perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri yang normal
26

pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu seksual dan birahi jelas

menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual.

c. Membolos, yaitu perilaku siswa yang tidak masuk sekolah dengan alasan

yang tidak tepat, dan tanpa adanya suatu alasan yang jelas.

d. Perilaku anti sosial, seperti suka menggangu, berbohong, kejam, perilaku

agresif dan bullying. Sebabnya mungkin bermacam-macam dan banyak

tergantung pada budayanya. Akan tetapi, penyebab yang mendasar adalah

pengaruh buruk teman, dan kedisiplinan yang salah dari orang tua terutama

bila terlalu keras atau terlalu lunak dan sering tidak ada sama sekali.

e. Penyalahgunaan obat bius, dapat menyebabkan pencurian, perampokan,

dan pemerkosaan karena kesadarannya sudah dipengaruhi leh hal-hal

negatif.

f. Psikosis, bentuk psikosis yang paling dikenal orang adalah skizofrenia.

C. Konsep Dasar Keputusasaan

1. Definisi Keputusasaan

Keputusasaan (hoplessness) adalah suatu kondisi emosional subjektif yang

dipertahankan klien tidak melihat adanya pilihan pribadi atau pilihan alternatif

untuk memecahkan masalah, karena ketiadaan hasrat dan ketidakmampuan diri

untuk mobilisasi energinya (Carpenito-Moyet, 2013). Keputusasaan

merupakan kondisi subjektif ketika seorang individu memandang, keterbatasan


27

atau tidak adanya alternatif atau pilihan pribadi serta tidak mampu

memobilisasi energi demi kepentingan sendiri (NANDA, 2018). Keputusasaan

berkaitan dengan ketidakberdayaan, keraguan, kesedihan, apatis, depresi dan

bunuh diri.

Jadi berdasarkan pengertian diatas keputusasaan adalah kondisi emosional

subjektif seorang individu untuk memandang, keterbatasan atau tidak adanya

alternatif, karena tidak adanya hasrat dan kemampuan diri untuk memobilisasi

energi.

2. Penyebab Keputusasaan

a. Faktor yang mempengaruhi keputusasaan (Carpenito-Moyet, 2013):

1) Patofisiologis

Segala penyakit kronis atau terminal (misal : penyakit jantung,

diabetes, penyakit ginjal, kanker, AIDS), kondisi fisiologis yang gagal

atau memburuk, tanda atau gejala baru dan tidak terduga dari penyakit

yang sebelumnya didiagnosis (missal : kekambuhan kanker), rasa sakit

yang berkepanjangan, ketidaknyamanan, dan kelemahan, gangguan

kemampuan fungsional (berjalan, eliminasi, makan, berpakaian, mandi,

berbicara, menulis).
28

2) Perawatan yang Berkepanjangan

Perawatan yang berkepanjangan (misal : kemoterapi, radiasi) yang

menyebabkan rasa sakit, mual, dan ketidaknyamanan, perawatan yang

mengubah citra tubuh (misal : operasi, kemoterapi), ketergantungan

berkepanjangan pada peralatan untuk mendukung kehidupan (misal :

dialysis, respirator), ketergantungan berkepanjangan pada peralatan

untuk memantau fungsi tubuh (misal : telemetri).

3) Situasional (Pribadi, Lingkungan)

Berhubungan dengan pembatasan aktivitas yang berkepanjangan

(misal: patah tulang, cedera sumsum tulang belakang, penjara), isolasi

yang berkepanjangan (misal : penyakit menular), diabaikan oleh orang

lain, ketidakmampuan untuk mencapai tujuan yang berharga dalam

hidup (pernikahan, Pendidikan), ketidakmapuan untuk berpartisipasi

dalam kegiatan yang diinginkan (misal : berjalan, berolahraga, dan

bekerja), kehilangan sesuatu atau seseorang yang dihargai (misal :

pasangan, anak-anak, teman dan sumber daya keuangan), kekambuhan

kanker payudara, hilangnya kepercayaan pada Tuhan, bencana alam

yang berulang, eksposur yang berkepanjangan terhadap kekerasan dan

perang.
29

4) Maturational

a) Anak : kehilangan otonomi terkait penyakit (misal : patah tulang),

hilangnya fungsi tubuh, kehilangan pengasuh, kehilangan

kepercayaan pada orang penting, ketidakmampuan untuk mencapai

tugas-tugas perkembangan (kepercayaan, otonomi, inisiatif,

industri), penolakan, penyalahgunaan atau pengabaian oleh

pengasuh.

b) Remaja : perubahan citra tubuh, ketidakmampuan untuk mencapai

tugas perkembangan (idenitas peran), hilangnya fungsi tubuh,

kehilangan sesuatu yang signifikan (teman sebaya, atau keluarga),

penolakan oleh keluarga.

c) Dewasa : abortus, gangguan fungsi tubuh, kehilangan bagian tubuh,

hubungan yang rusak (perpisahan, perceraian) ketidakmampuan

untuk mencapai tugas-tugas perkembangan (keintiman, komitmen,

produktivitas), kehilangan pekerjaan, kehilangan orang lain yang

signifikan (kematian pasangan anak), dan keguguran.

d) Dewasa Tua : defisit kognitif, ketidakmampuan untuk mencapai

tugas perkembangan, kehilangan kemandirian, kehilangan orang

lain, deficit motorik, dan defisit sensorik.


30

b. Faktor yang mempengaruhi keputusasaan (NANDA, 2018) :

Stres jangka panjang, kehilangan jangka panjang pada kekuatan

spiritual, kehilangan kepercayaan pada nilai penting, pembatasan aktivitas

jangka panjang dan isolasi sosial.

3. Tanda dan Gejala Keputusasaan

a. Tanda dan Gejala keputusasaan terdiri dari utama (mayor) dan tambahan

(minor) (Carpenito-Moyet 2013).

1) Utama (Mayor)

Tanda dan gejala di bawah ini harus hadir, satu atau lebih dari satu,

yaitu: mengungkapkan sikap apatis yang mendalam, luar biasa, dan

berkelanjutan dalam menghadapi situasi yang dianggap mustahil.

a) Fisiologis : tidur meningkat, kekurangan energi, Penurunan respons

terhadap rangsangan.

b) Emosional : seseorang merasa tidak memiliki kesempatan dan tidak

ada alasan untuk percaya masa depan, kosong atau kehilangan

vitalitas, demoralisasi, tidak berdaya, tidak kompeten, kurangnya

makna atau tujuan hidup, rasa kehilangan dan kekurangan, tidak

dapat mencari kemakmuran, keberuntungan, atau nikmat Tuhan.

Klien dengan gangguan ini juga akan menunjukkan kepasifan dan

kurangnya keterlibatan dalam perawatan, penurunan verbalisasi,


31

afek yang menurun, kurangnya ambisi, inisiatif, dan minat,

kompleksnya sikap menyerag, kurangnya tanggung jawab atas

keputusan dan kehidupan, proses pikir yang lambat, Perilaku

mengisolasi diri, demoralisasi, komentar negatif pada saat ini dan

keletihan pada masa depan, peran seta dalam kesehatan yang

beresiko.

c) Kognitif : fokus pada masa lalu dan masa depan, bukan fokus pada

saat ini dan sekarang, berkurangnya fleksibilitas dalam proses

berpikir, kekakuan (misalnya, pemikaran semua atau tidak sama

sekali), kurangnya imajinasi dan kemampuan berharap,

ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau mencapai tujuan dan

sasaran yang diinginkan, ketidakmampuan untuk merencanakan,

mengatur, membuat keputusan, atau memecahkan masalah,

ketidakmampuan menggali sumber harapan, pikiran bunuh diri.

2) Tambahan (Minor)

Tanda dan gejala yang dimungkinkan hadir pada klien dengan

keputusasaan.

a) Fisiologis : anoreksia, penurunan berat badan

b) Emosional : klien merasa ada benjolan di tenggorokan, tegang,

berkecil hati, kewalahan dan kelelahan, merasa bahwa berada “di

ujung talinya”, kehilangan kepuasan dari peran dan hubungan,


32

rentan, kontak mata yang buruk, motivasi yang menurun, menghela

nafas, regresi, pengunduran diri, dan kelelahan.

b. Tanda dan gejala pada klien keputusasaan (NANDA, 2018) :

Perubahan pola tidur, penurunan afek, penurunan selera makan, kurang

inisiatif, penurunan respons terhadap stimulus, penurunan verbalisasi,

isyarat verbal putus asa, kurang keterlibatan dalam asuhan, pasif, kurang

kontak mata, mengangkat bahu sebagai respons terhadap orang yang

mengajak bicara, menjauhi orang yang mengajak bicara.

4. Dampak Keputusasaan

Keputusasaan menimbulkan dampak negatif dan dampak positif, diantaranya

(Sawab, 2015) :

a. Dampak negatif

1) Perubahan fisik, antara lain fatigue, anoreksia serta insomnia. Perasaan

fatigue diungkapkan oleh partisipan berupa perasaan ekstremitas

tambah lemas dan perasaan loyo serta tidak bertenaga, gangguan

pencernaan dan gangguan tidur, dan mempengaruhi perfusi cerebral

dengan rasa pusing.

2) Respon kehilangan sebagai stressor keputusasaan : Respon kehilangan

diungkapkan partisipan dengan ketidakpercayaan atau tawar menawar,

menekan (supresi) permasalahan yang dihadapi, perasaan marah atas


33

kondisinya, Perilaku depresi seperti kehilangan semangat,perasaan

sedih, serta khawatir.

3) Disfungsi proses keluarga : Pengalaman disfungsi keluarga yang

dialami partisipan disebabkan ketidakmampuan dalam menjalankan

fungsi peran dirinya dan ketidakmampuan anggota keluarga

memberikan penghargaan bagi anggota keluarganya, ketidakmampuan

memberikan penghargaan antar anggota keluarga.

b. Dampak Positif

1) Dukungan dan motivasi diri sebagai sumber koping menghadapi

keputusasaan : Sumber koping stroke survivor berasal dari dukungan

keluarga, lingkungan, keyakinan diri serta motivasi untuk aktivitas.

2) Dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik : Makna dibalik

keputusasaannya partisipan mendorong partisipan untuk berkeinginan

mempunyai harapan hidup yaitu kembali sembuh dan sehat, dapat

menjalankan fungsi perannya sebagaimana ungkapan.

5. Upaya atau Penatalaksanaan Keputusasaan

Penatalaksanaan terhadap perilaku keputusasaan pada siswa (Melinda,

Khusumadewi, 2017) :
34

a. Pemberian perhatian

Memberi perhatian lebih diharap dapat membuat siswa merasa nyaman.

Lebih lanjut lagi dengan memberi perhatian tidak serta merta membantu

siswa terlepas dari keputusasaan dan mengurangi perilaku yang

ditunjukkan, akan tetapi diharapkan siswa merasa nyaman dan lebih lanjut

lagi mau membuka diri dan membangun komunikasi dengan guru.

b. Pemberian pengertian

Berharap pemberian pengertian mampu sedikit mengetahui

permasalahan yang dihadapi siswa dan menyebabkan siswa menunjukkan

perilaku demikian. Pemberian yang dimaksud ialah dengan mengajak siswa

mengobrol singkat di sela pelajaran, menegur siswa, dan menanyakan

kesulitan siswa selama ini.

c. Komunikasi dengan siswa

Berkomunikasi atau berbicara mengenai kesulitan serta apa saja yang

menjadi penghalangnya untuk belajar dan menerima pelajaran di sekolah.

Dengan tindakan penanganan ini diharap siswa menjadi lebih terbantu dan

mampu mengatasi keputusasannya dan mengurangi perilaku

keputusasannya.

d. Komunikasi dengan pihak sekolah

Dimana dalam hal ini siswa mampu mengkomunikasi kan hal-hal yang

menyangkut masalah yang dihadapinya. Hal ini bertujuan untuk


35

membentuk suasana kondusif yang mendukung siswa untuk belajar.

Sehingga perilaku keputusasaan pada siswa bisa berkurang dan terbantu.

Hal ini merupakan langkah penangan yang kolaboratif, mengingat siswa

dengan keputusasaan tersebut merupakan siswa di sekolah.

6. Pengukuran Respon Keputusasaan

Peneliti menggunakan Beck Hopelessness Scale sebagai pengukuran untuk

respon keputusasaan, menggambarkan sikap remaja selama seminggu terakhir

termasuk hari ini, terdapat pilihan “benar” atau “tidak”. Kuisioner ini terdiri

dari 20 pernyataan, dimana 9 item berisi pernyataan positif (item:

1,3,5,6,8,10,13,15, dan 19) dan 11 item berisi pernyataan negatif (item:

2,4,7,9,11,12,14,16,17,18, dan 20). Setiap tanggapan positif mendapat nilai 0

dan setiap tanggapan negatif adalah 1, sebuah total skor yang berkisar antara,

4-8 keputusasaan yang ringan, rentang skor 9-14 keputusasaan yang sedang dan

15-20 keputusasaan yang berat.

D. Konsep Dasar Ketidakberdayaan

1. Definisi Ketidakberdayaan

Ketidakberdayaan merupakan pengalaman hidup kurang pengendalian

terhadap situasi, termasuk persepsi bahwa tindakan seseorang secara signifikan

tidak akan mempengaruhi hasil (NANDA, 2018). Ketidakberdayaan


36

merupakan pengalaman langsung dari kurangnya control atas suatu situasi,

termasuk persepsi bahwa tindakan seseorang tidak secara signifikan

mempengaruhi hasil (Carpenito- Moyet, 2013).

Ketidakberdayaan (powerlessness/helplessness) merupakan keadaan ketika

seseorang atau kelompok merasakan kurangnya control pribadi atas peristiwa

atau situasi tertentu. Sebagai kesatuan ketidakberdayaan dan keputusasaan

merupakan sindrom yang didemonstrasikan oleh penerimaan klien bahwa

proses suatu penyakit bersifat kekal, tidak dapat diubah, progresif, dan segala

upaya campur tangan terhadap penyakit tersebut tidak akan memberikan hasil

bagi pasien dan orang yang membantu (Shea & Hurley, dalam Sutejo, 2017).

Jadi berdasarkan pengertian diatas ketidakberdayaan adalah pengalaman

hidup seseorang dari kurangnya kontrol terhadap situasi bahwa tindakan

seseorang tidak akan mempengaruhi hasil, ketidakberdayaan dan keputusasaan

merupakan gejala persepsi klien bahwa suatu penyakit bersifat kekal, dan

segala upaya campur tangan terhadap tersebut tidak akan memberikan hasil.

2. Penyebab Ketidakberdayaan

Penyebab dari ketidakberdayaan terdiri dari faktor predisposisi dan faktor

presipitasi menurut Wilkinson dalam Purwati (2013) :


37

a. Faktor predisposisi

1) Biologis : Tidak ada riwayat keturunan (salah satu atau kedua orang tua

menderita gangguan jiwa), gaya hidup (tidak merokok, alkohol obat dan

zat adiktif) dan Pengalaman penggunaan zat terlarang, menderita

penyakit kronis (riwayat melakukan general chek up, tanggal terakhir

periksa), ada riwayat menderita penjakit jantung, paru-paru, yang

mengganggu pelaksana aktivitas harian pasien, adanya riwayat sakit

panas lama saat perkembangan balita sampai kejang-kejang atau pernah

mengalami riwayat trauma.

2) Psikologis : Pengalaman perubahan gaya hidup akibat lingkungan

tempat tinggal, ketidakmampuan mengambil keputusan dan

mempunyai kemampuan komunikasi verbal yang kurang atau kurang

dapat mengekspresikan perasaan terkait dengan penyakitnya atau

kondisi dirinya kepala yang menimbulkan lesi pada lobus frontal,

temporal dan limbik, riwayat menderita penyakit yang secara progresif

menimbulkan ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel, kanker

terminal atau AIDS, kurang puas dengan kehidupannya (tujuan hidup

yang sudah dicapai), merasa frustasi dengan kondisi kesehatannya dan

kehidupannya yang sekarang, pola asuh orang tua pada saat klien anak

hingga remaja yang terlalu otoriter atau terlalu melindungi/menyayangi,

motivasi: penerimaan umpan balik negatif yang konsisten selama tahap


38

perkembangan balita hingga remaja, kurang minat dalam

mengembangkan hobi dan aktivitas sehari-hari, pengalaman aniaya

fisik, baik sebagai pelaku, korban maupun sebagai saksi, self kontrol:

tidak mampu mengontrol perasaan dan emosi, mudah cemas, rasa takut

akan tidak diakui, gaya hidup tidak berdaya, kepribadian: mudah marah,

pasif dan cenderung tertutup.

3) Sosial budaya : Usia 30 meninggal berpotensi mengalami

ketidakberdayaan, jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan

mempunyai, kecenderungan yang sama untuk mengalami,

ketidakberdayaan tergantung dari peran yang dijalankan dalam

kehidupannya, pendidikan rendah, kehilangan kemampuan melakukan

aktivitas akibat proses penuaan (misalnya: pensiun, defisit memori,

defisit motorik, status finansial atau orang terdekat yang berlangsung

lebih dari 6 bulan), adanya norma individu atau masyarakat yang

menghargai kontrol (misalnya kontrol lokus internal).

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dapat menstimulasi klien jatuh pada kondisi

ketidakberdayaan dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Kondisi

internal dimana pasien kurang dapat menerima perubahan fisik dan

psikologis yang terjadi. Kondisi eksternal biasanya keluarga dan

masyarakat kurang mendukung atau mengakui keberadaannya yang


39

sekarang terkait dengan perubahan fisik dan perannya. Faktor-faktor lain

yang berhubungan dengan faktor presiptasi timbulnya ketidakberdayaan

adalah sebagai berikut :

1) Biologis : Menderita suatu penyakit dan harus dilakukan terapi tertentu,

Program pengobatan yang terkait dengan penyakitnya (misalnya jangka

panjang, sulit dan kompeks) (proses intoksifikasi dan rehabilitasi),

kambuh dari penyakit kronis dalam 6 bulan terakhir, dalam enam bulan

terakhir mengalami infeksi otak yang menimbulkan kejang atau trauma

kepala yang menimbulkan lesi pada lobus frontal, temporal dan limbik,

terdapat gangguan sistem endokrin, penggunaan alkohol, obat-obatan,

kafein, dan tembakau, mengalami gangguan tidur atau istirahat, kurang

mampu menyesuaikan diri terhadap budaya, ras, etnik dan gender,

adanya perubahan gaya berjalan, koordinasi dan keseimbangan.

2) Psikologis : Perubahan gaya hidup akibat menderita penyakit kronis,

tidak dapat menjalankan pekerjaan, hobi, kesenangan dan aktivitas

sosial yang berdampak pada keputusasaan. perasaan malu dan rendah

diri karena ketidakmampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari

akibat tremor, nyeri, kehilangan pekerjaan, konsep diri: gangguan

pelaksanaan peran karena ketidakmampuan melakukan tanggungjawab

peran, kehilangan kemandirian atau perasaan ketergantungan dengan

orang lain.
40

3) Sosial budaya : Kehilangan pekerjaan dan penghasilan akibat kondisi

kesehatan atau kehidupannya yang sekarang, tinggal di pelayanan

kesehatan dan pisah dengan keluarga (berada dalam lingkungan

perawatan kesehatan), hambatan interaksi interpersonal akibat

penyakitnya maupun penyebab yang lain, kehilangan kemampuan

melakukan aktivitas akibat proses penuaan (misalnya: pensiun, defisit

memori, defisit motorik, status finansial atau orang terdekat yang

berlangsung dalam 6 bulan terakhir), 5) Adanya perubahan dari status

kuratif menjadi status paliatif, kurang dapat menjalankan kegiatan

agama dan keyakinannya dan ketidakmampuan berpartisipasi dalam

kegiatan sosial di masyarakat.

3. Tanda dan Gejala Ketidakberdayaan

a. Tanda dan gejala ketidakberdayaan terdiri dari utama (mayor) dan

tambahan (minor) (Carpenito- Moyet 2013) :

1) Utama (Mayor)

a) Terlalu terang-terangan (marah, apatis) atau ekspresi tidak puas atas

ketidakmampuan untuk mengandalikan suatu situasi (misal :

pekerjaan, penyakit, prognosis, perawatan, tingkat pemulihan) yang

secara negatif mempengaruhi pandangan, tujuan, dan gaya hidup.


41

b) Ketidakmampuan untuk mengakses sumber daya bernilai (makanan,

tempat tinggal, pendapatan, pendidikan, pekerjaan)

c) Percaya bahwa seseorang memiliki sedikit atau tidak ada control atas

penyebab atau solusi dari masalah seseorang.

2) Tambahan (Minor)

Tanda dan gejala tambahan pada klien yang mengalami

ketidakberdayaan, yaitu kurangnya perilaku mencari informasi,

ketergantungan berlebihan pada orang lain, perilaku mekanisme

pertahanan dan pengendalian diri (acting-out), perilaku kekerasan,

ketidakmampuan untuk memecahkan masalah secara efektif, kepasifan,

apatis, marah, perasaan terasing, kemampuan diri yang rendah,

kegelisahan, pengunduran diri, depresi, dan perasaan tidak berdaya.

b. Tanda dan gejala pada klien ketidakberdayaan (NANDA, 2018) :

Perasaan asing, bergantung pada orang lain, depresi, ragu tentang

penampilan peran, frustasi tentang ketidakmampuan untuk melakukan

aktivitas sebelumnya, kurang berpartisipasi dalam perawatan, kurang rasa

kendali, malu.

4. Dampak Ketidakberdayaan

Perasaan ketidakberdayaan dapat mengurangi rasa percaya diri, sehingga

berdampak negatif terhadap kualitas hidup seperti perubahan pola tidur,


42

perasan cemas, dan depresi. Penurunan kualitas hidup dapat mempengaruhi

keadaan psikologis, gangguan dalam berpikir, serta gangguan dalam hubungan

sosial. Perasaan ketidakberdayaan berupa kehilangan seperti keamanan diri,

salah satu bagian tubuh, kontrol terhadap lingkungan, dan hubungan sosial.

Kondisi tersebut juga dapat menurunkan citra diri, mengganggu kemampuan

seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan rekreasi,

mempengaruhi kesejahteraan ,dan mengurangi rasa percaya diri. Perasaan

ketidakberdayaan akan mempengaruhi aktivitas hidup sehari-hari, akan

ketergantungan untuk kebutuhan sehari-hari serta tidak berpartisipasi dalam

perawatan atau pengambilan keputusan pada saat diberikan kesempatan

(Febriyani & Darlina, 2017).

5. Upaya atau Penatalaksanaan Ketidakberdayaan

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketidakberdayaan adalah

(Mentari, 2016) :

a. Meningkatkan harga diri : Salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah

dengan mengungkapkan perkataan yang mengandung pujian.

b. Menentukan tujuan realistis : bantu seseorang menentukan tujuan realistis

yang dapat dicapai serta menerima diri yang membutuhkan bantuan orang

lain.
43

c. Untuk mengatasi ketidakberdayaan pasien, maka dilakukan intervensi

generalis, diantaranya ialah melakukan pengkajian faktor penyebab dan

faktor berkontribusi terhdapat munculnya ketidakberdayaan, jika

memungkinkan hilangkan faktor-faktor itu caranya dengan meningkatkan

motivasi, serta memberi kesempatan pada klien untuk mengontrol

ketidakberdayaan.

6. Pengukuran Respon Ketidakberdayaan

Peneliti mengukur respon ketidakberdayaan dengan menggunakan Learned

Helplessness Scale yang dibuat oleh Quinless & Nelson (1988), dalam

Smallheer (2011), dimana instrument ini terdiri dari 20 item, menggambarkan

perilaku responden selama 2-3 bulan terakhir.

Responden harus menunjukan skala Likert, antara lain : Sangat Setuju (SS),

Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Dengan nilai :

Skor 1 : Sangat tidak setuju

Skor 2 : Tidak setuju

Skor 3 : Setuju

Skor 4 : Sangat setuju

Hasil ukur adalah jika nilai median ≥ 33 mengalami ketidakberdayaan, dan jika

nilai median < 33 tidak mengalami ketidakberdayaan


44

E. Kerangka Teori

Skema 2.1 Kerangka Teori

Konsep dasar remaja


1. Definisi remaja
2. Periode pada remaja
3. Ciri-ciri masa remaja
4. Tahap pertumbuhan dan
perkembangan pada remaja

5. Permasalahan pada remaja

Konsep dasar bullying


1. Definisi bullying
2. Macam-macam bullying
3. Faktor-faktor penyebab
terjadinya bullying
4. Proses terjadinya bullying Keputusasaan
5. Tanda dan gejala siswa
korban bullying
6. Dampak dari bullying

Ketidakberdayaan

Anda mungkin juga menyukai