Anda di halaman 1dari 114

UJI AKTIVITAS ANALGESIK FRAKSI N-HEKSAN DAUN

TREMBESI (Samanea saman (Jacq.) Merr) PADA MENCIT


PUTIH JANTAN (Mus musculus) YANG DI INDUKSI ASAM
ASETAT.

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH:
ADELLIA AYU FEBRIANA
NIM. 10116003

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA

KEDIRI

2019
UJI AKTIVITAS ANALGESIK FRAKSI N-HEKSAN DAUN
TREMBESI (Samanea saman (Jacq.) Merr) PADA MENCIT
PUTIH JANTAN (Mus musculus) YANG DI INDUKSI ASAM
ASETAT

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi

OLEH:
ADELLIA AYU FEBRIANA
NIM. 10116003

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019
HALAMAN PERSETUJUAN

UJI AKTIVITAS ANALGESIK FRAKSI N-HEKSAN DAUN TREMBESI


(Samanea saman (Jacq.) Merr) PADA MENCIT PUTIH JANTAN (Mus
musculus) YANG DI INDUKSI ASAM ASETAT

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:

ADELLIA AYU FEBRIANA


NIM. 10116003

Telah disetujui :
26 Januari 2019

Pembimbing

Krisna Kharisma Pertiwi., M.Sc., Apt


NIK. 2014.0606

Mengetahui:
Program Studi S1 Farmasi
Fakultas Farmasi
Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri

Krisna Kharisma Pertiwi., M.Sc., Apt


NIK. 2014.0606
Ketua Program Studi
HALAMAN PENGESAHAN

UJI AKTIVITAS ANALGESIK FRAKSI N-HEKSAN DAUN TREMBESI


(Samanea saman (Jacq.) Merr) PADA MENCIT PUTIH JANTAN (Mus
musculus) YANG DI INDUKSI ASAM ASETAT

ADELLIA AYU FEBRIANA


NIM. 10116003

Telah diuji
Pada (TANGGAL)

Oleh Tim Penguji:

Penguji I : Dra. Prihardini, M.Kes., Apt. ( )

Penguji II : Dwi Wahyuni, S.Pd., M.Si. ( )

Dosen Pembimbing : Krisna Kharisma Pertiwi., M.Sc., Apt. ( )

Mengetahui:

Fakultas Farmasi
Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri

Dewy Resty Basuki, S.Farm., M.Farm., Apt


NIK.
Dekan Fakultas Farmasi
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : ADELLIA AYU FEBRIANA


NIM : 10116003
Program Studi : S1 Farmasi
Judul Skripsi : Uji Aktivitas Analgesik Fraksi N-Heksan Daun
Trembesi (Samanea Saman (Jacq.) Merr) Pada Mencit
Putih Jantan (Mus Musculus) yang Di Induksi Asam
Asetat

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Skripsi yang saya tulis ini benar-benar
hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran
orang lain yang saya akui sebagai tulisan saya atau pikiran saya sendiri.

Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil
jipklakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Kediri, (TANGGAL)
Yang Membuat Pernyataan

Adellia Ayu Febriana


NIM. 10116003
KATA PENGANTAR

Alhamdulilahirobbil Alamin, Puji dan syukur tak hentinya penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT atas rahmad dan limpahan hidayah-Nya sehingga penulis

dapat menyelesikan Proposal Skripsi ini dengan judul “Uji Aktivitas Analgesik

Fraksi N-Heksan Daun Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr.) Pada

Mencit Putih Jantan (Mus musculus L.) yang Di Induksi Asam Asetat” dalam

rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi di Jurusan

Farmasi, pada Fakultas Farmasi Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.

Penulis menyadari keberhasilan penulisan skripsi ini adalah karena karunia

dari Allah SWT dan dorongan serta bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu

penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dra. Ec Lianawati, MBA, selaku Ketua Yayasan Pendidikan Bhakti Wiyata

Kediri.

2. Prof. Dr. Muhamad Zainuddin, Apt, selaku Rektor Institut Ilmu Kesehatan

Bhakti Wiyata Kediri.

3. Dewy Resty Basuki., S.Farm., M.Farm., Apt, selaku Dekan Fakultas Farmasi

Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.

4. Krisna Kharisma Pertiwi., M.Sc., Apt, selaku Ketua Program Studi S1 Farmasi

Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri dan selaku Dosen Pembimbing

yang telah memberikan waktu, bimbingan, saran, koreksi dan nasehat dengan

penuh kesabaran dan keikhlasan hingga terselesainya penyusunan Proposal

Skripsi ini.
5. Dosen penguji I yang telah memberikan waktu, bimbingan, saran, koreksi dan

nasehat dengan penuh kesabaran dan keikhlasan hingga terselesainya

penyusunan Proposal Skripsi ini.

6. Dosen penguji II yang telah memberikan waktu, bimbingan, saran, koreksi dan

nasehat dengan penuh kesabaran dan keikhlasan hingga terselesainya

penyusunan Proposal Skripsi ini.

7. Ayah dan ibunda tercinta. Terimakasih atas kasih sayang yang berlimpah mulai

dari saya lahir, hingga saya sudah sebesar ini. Teruntuk segala do`a yang tak

berkesudahan, segala dukungan, semangat serta dukungan moril dan materil

sehingga dapat terselesaikannya Proposal Skripsi ini.

8. Sahabat setia Dyah Ayu, Feby, Chrisan, Delia, Fatma, Binti, Ela Agustin,

Erinta, Bella, Ella Riska, Aisyah, dan Ber. Atas segala kebersamaan dan

dukungan, serta semangat dan motivasi kalian yang telah mau berbagi suka dan

duka sehingga terselesaikannya Proposal Skripsi ini.

9. Seluruh teman-teman seperjuangan Jurusan Farmasi angkatan 2016 yang

Namanya tidak dapat ditulis satu-persatu yang selalu memberikan semangat,

motivasi dan inspirasi sehingga terselesaikannya Proposal Skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas budi baik bagi semua pihak yang telah

memberikan kesempatan, dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan Proposal

Skripsi ini. Semoga bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.

Kediri, (TANGGAL)
Penulis

Adellia Ayu Febriana


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan pemakai

tumbuhan obat terbesar di dunia di bersamai dengan negara lain di Asia.

Sebuah negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia yang memiliki

lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat tinggi. Hingga saat ini, tercatat

7000 spesies tanaman telah diketahui khasiatnya namun kurang dari 300

tanaman yang digunakan sebagai bahan baku industri farmasi secara regular.

Sekitar 1000 jenis tanaman telah diidentifikasi dari aspek botani sistematik

tumbuhan dengan baik.

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health Organization)

tahun 2008 mencatat bahwa 68% dari penduduk dunia masih

menggantungkan sistem pengobatan tradisional yang mayoritas melibatkan

tumbuhan atau tanaman untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan lebih

dari 80% penduduk dunia menggunakan obat herbal untuk mendukung

kesehatan mereka. Dari fakta-fakta tersebut menunjukan bahwa tumbuhan

maupun tanaman obat memiliki arti penting yakni secara mendasar

mendukung kehidupan maupun potensi perdagangan (Saifuddin, et al.,

2014).

Tanaman obat merupakan salah satu sumber daya alam dengan potensi

yang sangat besar dan dapat dikembangkan. Saat ini, lebih dari beberapa
dekade jumlah spesies tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat yang

ditemukan semakin bertambah banyak (Windadri et al, 2006). Obat

tradisional yaitu suatu bahan atau ramuan bahan yang dapat berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, bahan sarian (galenik) maupun

campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan

sebagai pengobatan berdasarkan pengalaman (BPOM RI, 2005).

Setiap individu pasti pernah merasakan nyeri, dimana nyeri yang

biasanya disebabkan oleh adanya trauma mekanik, fisika, kimia, maupun

adanya trauma lain yang mengakibatkan adanya rangsangan pada reseptor

nyeri. Rasa nyeri dan pengobatan terhadap nyeri merupakan hal yang

penting, dikarenakan apabila rasa nyeri tidak diobati dengan secara baik,

maka nyeri yang awalnya akut dapat berubah menjadi nyeri kronik,

sehingga akan sangat mempengaruhi kondisi psikologis dari individu

(Syamsul, et al., 2016).

Salah satu tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional

yakni Samanea saman (Jacq.) Merr. atau biasa disebut dengan pohon Ki

Hujan (Trembesi). Tanaman dari familia Fabaceae ini merupakan tanaman

yang telah banyak dan umum dijumpai di wilayah Asia Tenggara dan Asia

Selatan, Kepulauan Pasifik dimana termasuk didalamnya Hawai (Ramadan,

2015). Menurut Lubis (2013), Trembesi tumbuh hingga mencapai tinggi

maksimum 15 meter hingga 25 meter dengan diameter setinggi dada

mencapai 1 meter hingga 2 meter. Tanaman ini memiliki bentuk seperti

payung, dengan penyebaran horizontal yang lebih besar dibandingkan


dengan tinggi pohon jika ditanam pada tempat yang terbuka. Memiliki

bentuk batang yang tidak beraturan, dengan daun majemuk (Folium

Compositum) yang memikiki panjang sekitar kurang lebih 7-15 cm, dengan

tangkai yang bercabang-cabang.

Penelitian dari Rita (2014), melaporkan bahwa berdasarkan uji fitokimia

yang telah dilakukan terhadap tanaman Trembesi khususnya ekstrak daun

Trembesi positif mengandung senyawa triterpen, steroid, flavonoid, tannin,

alkaloid, dan adanya positif saponin. Pada hasil skrining fitokimia ekstrak

daun Trembesi yang telah dilakukan menunjukkan adanya senyawa

flavonoid, alkaloid, tannin, saponin, steroid, dan triterpenoid (Lestari,

(2019). Flavonoid dapat berguna sebagai antioksidan, antimikroba,

antibakteri, antivirus, antiinflamasi, antialergi, antimutagenik,

antiklastogenik, antikanker, dan antiplatelet (Sasongko, et al., 2016).

Flavonoid juga memiliki peran sebagai analgesik yang mekanisme kerjanya

dapat menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX). Dengan

demikian akan dapat mengurangi produksi prostaglandin oleh asam

arakidonat sehingga mengurangi rasa nyeri. Selain itu flavonoid juga dapat

menghambat degranulasi neutrofil sehingga akan menghambat pengeluaran

sitokin, radikal bebas, serta enzim yang berperan dalam peradangan

(Octavianus, et al., 2014). Tak hanya flavonoid yang dapat menghambat

adanya pembentukan prostaglandin senyawa metabolit lain yang memiliki

aktivitas sebagai analgesik yaitu senyawa alkaloid (Fatmawali, 2013),

tannin (Hasan, et al., 2014), steroid (Amiyati, 2015). Menurut Staples dan
Elevitch (2006), daun trembesi dapat digunakan sebagai obat tradisional

antara lain obat demam, diare, sakit kepala, dan sakit perut. Maka bagian

tanaman Trembesi yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian daun

yang berpotensi sebagai pengobatan sakit atau biasa disebut nyeri. Sampai

saat ini belum ada penelitian tentang aktivitas analgesik dari fraksi daun

Trembesi. Pada penelitian-penelitian sebelumnya ekstrak daun Trembesi

dapat dimanfaatkan sebagai antiseptik (Tungadi dan Abdulkadir, 2015),

antibakteri (Sari, et al., 2015), antidiabetes (Natarajan, et al., 2013), dan

antijamur (Sariningsih, et al., 2015). Penelitian sebelumnya hanya

memfokuskan pada crude ekstrak saja, dimana crude ekstrak yang telah

diuji oleh peneliti sebelumnya yaitu Lestari, (2019) yang telah melakukan

uji crude ekstrak etanol daun Trembesi untuk uji analgesik pada mencit

putih jantan (Mus musculus L.) dengan dosis uji 150 mg/kg BB, 300 mg/kg

BB, dan dosis 600 mg/kg BB, yang memiliki dosis paling efektif yaitu pada

dosis 600 mg/kg BB dengan presentase daya analgesik mencapai 63,39%

yang hampir sama memiliki aktivitas analgesik dengan aspirin 500 mg.

Sampai saat ini belum ada penelitian tentang aktivitas analgesik dari fraksi

daun Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr.).

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian

tentang aktivitas analgeisk dari fraksi daun Trembesi (Samanea saman

(Jacq.) Merr). terhadap mencit putih jantan (Mus musculus L.) yang

diinduksi oleh Asetosal, dikarenakan pada ekstrak daun Trembesi memiliki

kandungan senyawa flavonoid yang diduga mempunyai efek analgesik


berdasarkan penelitian sebelumnya (Lestari, 2019), kandungan alkaloid

yang juga memilki efek analgesik (Fatmawali, 2013), tannin (Hasan, et al.,

2014), dan steroid (Amiyati, 2015).

B. Rumusan Masalah

1. Apakah fraksi n-Heksan daun Trembesi (Samanea saman (Jacq.)

Merr.). memiliki aktivitas analgesik terhadap mencit putih jantan (Mus

musculus L.)?

2. Berapakah dosis fraksi n-Heksan daun Trembesi (Samanea saman

(Jacq.) Merr.). yang efektif sebagai analgesik terhadap mencit putih

jantan (Mus musculus L.)?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui adanya aktivtas analgesik pada fraksi n-Heksan daun

Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr.). memiliki aktivitas analgesik

terhadap mencit putih jantan (Mus musculus L.).

2. Untuk mengetahui dosis fraksi n-Heksan daun Trembesi (Samanea

saman (Jacq.) Merr.). yang efektif sebagai analgesik terhadap mencit

putih jantan (Mus musculus L.).

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Memberikan pengetahuan kepada penulis dalam bidang

pengembangan obat tradisional terutama dari tanaman Trembesi bagian

daunnya.

2. Bagi Institusi
Memberikan data ilmiah kepada Institusi tentang penelitian

tanaman obat, sehingga dapat dijadian sebagai referensi untuk

mahasiswa dalam pengembangan penelitian lebih lanjut.

3. Bagi Masyarakat

Memberikan suatu informasi kepada masyarakat mengenai potensi

efektivitas tanaman obat sehingga dapat digunakan sebagai obat

tradisional yang sesuai dosis dan aman.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Tanaman Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr)

1. Klasifikasi Tanaman Trembesi

Gambar II. A. 1. Tanaman Daun Trembesi (Samanea saman


(Jacq.) Merr).
(Sumber: Dokumentasi Pribadi).

Menurut Staples dan Elevitch (2006), Tanaman Trembesi atau biasa

disebut dengan sebutan pohon Ki Hujan, merpakan suatu tanaman

pelindung yang mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan. Pohon

Trembesi memiliki nama genus Samanea dan oleh penulis lain diberi

nama dengan Albizia (Ramadani, 2015). Dalam klasifikasi taksonomi

tumbuhan, menurut USDA (2011) mengklasifikasikan tanaman

Trembesi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan Berpembuluh)


Super Divisi : Spermatophyta (Tumbuhan Menghasilkan Biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan Berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (Tumbuhan Berkeping


Dua/Dikotil)

Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Fabales

Family : Fabaceae (alt. Mimosaceae)

Genus : Samanea Merr.

Spesies : Samanea saman (Jacq.) Merr.

Sinonim : Albizia saman (Jacq.) F. Muell.

Pithecellobium saman (Jacq.) Benth.

2. Nama Daerah Tanaman Trembesi

Trembesi merupakan tanaman yang cepat tumbuh berasal dari

Amerika Tengah dan Amerika Selatan sebelah utara (Staples dan

Elevitch, 2006). Tanaman pohon Trembesi yang biasa disebut dengan

pohon Hujan atau dengan sebutan Ki Hujan, dikarenakan tanaman ini

mempunyai kemampuan untuk menyerap air tanah yang sangat kuat,

sehingga tajuknya akan sering meneteskan air. Beberapa daerah di

Negara Indonesia tanaman Trembesi sering disebut dengan sebutan

sebagai Kayu Ambon (Melayu), Trembesi Mungur, Punggur, Meh

(Jawa). Tanaman jenis ini berasal dari daerah tropis Amerika Latin.

Pada tahun 1876 para penjajah membawa tanaman ini masuk ke Tanah
Melayu sebagai pohon peneduh. Saat ini telah banyak dan umum

dijumpai di wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan, Kepulauan

Pasifik dimana termasuk didalamnya Hawai (Ramadan, 2015).

Tanaman Trembesi memiliki beberapa nama dalam bahasa Inggris

seperti, Monkey Pod, Rain Tree, Saman Tree. Pada Negara yang

beriklim subtropis tanaman Trembesi biasa dikenal dengan nama

Bhagaya Mara (Kanada), Campano (Kolombia), Regenbaum (Jerman),

Algarrobo (Kuba), Chorona (Portugis), sedangkan dalam beberapa

Negara di Asia pohon Trembesi biasa disebut dengan sebutan Pukul

Lima (Malaysia), Jamjuree (Thailand), Cay Mura (Vietnam), dan

Vilatiti Siris (India) (Staples dan Elevitch, 2006). Di Negara Indonesia

Samanea saman (Jacq.) Merr. memiliki nama daerah seperti, Kayu

Colok (Sulawesi), Ki Hujan (Jawa Barat), Munggur (Jawa Tengah)

(Hanafi, 2011).

3. Morfologi Tanaman Trembesi

Gambar II. A 2. Daun Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr.)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi).
Tanaman Trembesi yang termasuk dalam familia Fabaceae ini

tersebar diberbagai daerah tropis dan subtropis. Tanaman pohon ini

tersebar luas pada daerah yang memiliki curah hujan rata-rata sekitar

600 mm/tahun hingga 3000 mm/tahun, pada ketinggian antara 0 mdpl

hingga 300 mdpl. Tanaman Samanea saman (Jacq.) Merr. ini memiliki

ketahanan pada daerah yang memiliki musim kemarau atau bulan

kering yaitu 2 bulan hingga 4 bulan, dengan kisaran suhu kurang lebih

20°C hingga 38°C. Pertumbuhan optimum dari tanaman Samanea

saman (Jacq.) Merr. dalam kondisi hujan yang terdistribusi secara

merata sepanjang tahun. Trembesi juga memiliki keahlian beradaptasi

dalam kisaran tipe atau jenis tanah yang berbeda-beda dan pH yang

tinggi, yaitu sekitar pH tanah 6,0 hingga 7,4. Meskipun dalam

penelitian lain disebutkan bahwa Trembesi memiliki toleran terhadap

pH tanah hingga 8,5 dan minimal terhadap pH 4,7. Tanaman jenis ini

juga memerlukan drainase atau prengairan yang baik, namun Trembesi

juga masih dapat toleran terhadap tanah yang tergenang air dalam

waktu pendek atau sedikit (Nuronah dan Kosasih, 2010).

Tanaman Samanea saman (Jacq.) Merr. dapat tumbuh hingga

mencapai ketinggian rata-rata kurang lebih 20 meter hingga 25 meter

dan memiliki bentuk batang yang tidak beraturan, dengan daun

majemuk (Folium Compositum) yang memikiki panjang sekitar kurang

lebih 7 cm hingga 15 cm, dengan tangkai yang bercabang-cabang,

sedangkan pada morfologi pohon Trembesi yang sudah tua memiliki


warna kecoklatan dengan permukaan kulit pohon yang kasar, dan dapat

terkelupas. Bunga (Flos) dari tanaman Trembesi memiliki warna putih

dengan bercak merah pada bagian bulu atasnya, dengan panjang bunga

mencapai 10 cm dari pangkal bunga hingga ujung bulu bunga. Bunga

Trembesi dapat menghasilkan nektar untuk menarik serangga guna agar

dapat berlangsungnya proses penyerbukan. Buah pada tanaman

Trembesi memiliki warna coklat kehitaman ketika buah Trembesi sudah

matang atau masak, dan dengan biji yang tertanam dalam daging buah

(Dahlan, 2010). Menurut Lubis (2013), Trembesi Tanaman ini memiliki

bentuk seperti payung, dengan penyebaran horizontal yang lebih besar

dibandingkan dengan tinggi pohon jika ditanam pada tempat yang

terbuka. Pada kondisi penanaman tanaman Trembesi yang berdekatan,

tinggi tanaman Trembesi dapat mencapai 40 meter dengan penyebaran

kanopi yang memiliki diameter yang lebih kecil.

Menurut penelitian lain, Trembesi dapat berbunga sepanjang tahun.

Bunga berbentuk umbel (payung) atau memiliki tandan dengan ibu

tangkai bunga yang pendek dan munculnya bunga memiliki ketinggian

yang sama dan dengan berkelompok (12 hingga 25 per kelompok),

berwarna merah muda dengan stemen panjang dalam dua warna (warna

putih pada bagian bawah dan warna kemerahan atau merah muda

dibagian atas) yang berserbuk (Lubis, 2013).

Biji (Semen) tanaman Trembesi memiliki biji dalam polong yang

dapat terbentuk dalam waktu 6 bulan hingga 8 bulan, dan setelah biji
tua akan segera jatuh. Polong dapat berukuran 15 cm hingga 2 cm yang

berisi sekitar 5 biji – 20 biji. Biji yang berwarna coklat kemerahan,

akan keluar dari polong saat polong terbuka. Biji Trembesi memiliki

cangkang yang keras, namun dapat segera berkecambah begitu jatuh

ditanah. Biji dari Samanea saman (Jacq.) Merr. memiliki bentuk

ellipsoid, gemuk, pipih dan disisi kanan kiri membentuk seperti huruf

U, berwarna kekuningan, dengan permukaan yang halus, biji Trembesi

berwarna coklat tua mengkilat dengan panjang biji 8 mm-11,5 mm dan

lebar biji sekitar 5 mm-7,5 mm. Biji dari tanaman ini dapat disimpan

pada suhu 4°C dengan kandungan kelembapan sekitar 6%-8% ataupun

dapat disimpan pada suhu 5°C untuk menjaga kelangsungan hidup

setahun kemudian (Utami, 2011).

4. Kandungan Senyawa Kimia Tanaman Trembesi

Pada umumnya tumbuhan memiliki kandungan senyawa metabolit

primer dan metabolit sekunder. Senyawa metabolit primer merupakan

suatu senyawa yang dihasilkan oleh makhluk hidup dan memiliki sifat

essensial bagi proses metabolisme sel tersebut (terdapat pada semua

tumbuhan, dengan konstituen fungsional, misalnya: klorofil, lemak,

dll). Senyawa metabolit primer ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok

besar atau disebut dengan makromolekul yaitu karbohidrat, protein,

lemak/lipid, dan asam nukleat. Sedangkan senyawa metabolit sekunder

merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan

bioaktivitas dan memiliki fungsi sebagai pelindung dari gangguan hama


atau penyakit (sumber yang terbatas atau tidak semua tumbuhan

memiliki metabolit sekunder yang sama, misalnya: kamfer, tannin,

flavonoid, saponin, dan sebagainya) (Meta, 2011). Rita (2014),

melaporkan bahwa berdasarkan uji fitokimia yang telah dilakukan

terhadap tanaman Trembesi khususnya ekstrak daun Trembesi positif

mengandung senyawa triterpen, steroid, flavonoid, tannin, alkaloid, dan

adanya positif saponin.

Dalam penelitian Nuroniah dan Kosasih (2010) menunjukkan bahwa

tanaman Trembesi mempunyai kemampuan menyerap CO2 dari udara

yang sangat besar. Tanaman pohon Trembesi ini juga mampu menyerap

28.488,39 kg CO2/pohon setiap tahunnya. Selain berfungsi sebagai

tanaman peneduh, tanaman Trembesi juga mempunyai kegunaan

lainnya. Sedangkan, daun dari tanaman Trembesi biasa digunakan

untuk obat tradisional diantaranya seperti demam, diare, sakit kepala,

dan sakit perut. Ekstrak daun Trembesi juga mempunyai kandungan

antimikroba terhadap bakteri Escherichia coli, Sthaphylococcus aureus,

Candida albican dan Xanthomonas. Dari hasil analisis skrining

fitokimia diperoleh data bahwa ekstrak daun Trembesi juga

mengandung tannin, flavonoid, saponin, steroid, cardiac glycosides dan

terpenoid. Akar trembesi juga dapat digunakan sebagai obat untuk

mencegah kanker yaitu dapat dilakukan dengan cara menambahkan

akar Trembesi pada air saat mandi. Biji tanaman Trembesi yang tua

juga dapat diolah menjadi makanan ringan yang juga mempunyai


khasiat sebagai obat pencuci perut, dilakukan dengan cara menyeduh

biji Trembesi dengan menggunakan air panas kemudian air seduhan

tersebut diminum.

B. Tinjauan Tentang Simplisia

1. Pengertian Simplisia

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1995),

menyatakan bahwa simplisia merupakan suatu bahan alamiah yang

dapat digunakan sebagai obat namun, belum mengalami pengolahan

apapun. Umumnya simplisia dinyatakan dalam keadaan kering, dapat

langsung digunakan sebagai obat dalam ataupun banyak digunakan

sebagai obat dalam bentuk sediaan galenik tertentu. Ataupun dapat juga

digunakan sebagai bahan dasar untuk memperoleh bahan baku obat.

Sedangkan bentuk sediaan galenik yaitu beruba ekstrak total yang

mengandung 2 (dua) atau lebih senyawa kimia yang mempunyai suatu

aktivitas efek farmakologi dan diperoleh sebagai produk ekstraksi

bahan alam, serta juga dapat langsung digunakan sebagai obat ataupun

dapat digunkan setelah dibuat dengan bentuk formulasi sediaan obat

tertentu yang sesuai (Depkes RI, 1995).

Dalam sebuah pustaka buku yang berjudul “Materia Medika

Indoesia” menyatakan dan menetapkan definisi simplisia adalah suatu

bahan alamiah yang dapat dipergunakan sebagai obat yang belum sama

sekali mengalami pegolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan dalam

bentuk lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 2000).
2. Klasifikasi Simplisia

Klasifikasi simplisia menurut Departemen Kesehatan RI (1995),

simplisia dibagi simplisia menjadi 3 (tiga) golongan yaitu: simplisia

nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral. Berikut

penjelasan masing-masing simplisia:

A. Simplisia Nabati

Simplisia nabati merupakan suatu simplisia yang berupa tanaman

utuh, bagian tanaman atau eksudat dari tanaman maupun gabungan

antara ketiganya. Eksudat tanaman mempunyai definisi yaitu isi sel

yang secara spontan keluar dari tanaman atau merupakan isi sel yang

dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati

lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan/diisolasi dari

tanamannya dan belum berupa suatu zat kimia murni (Agoes, 2007).

B. Simplisia Hewani

Simplisia hewani merupakan suatu simplisia yang berupa hewan

utuh, bagian hewan ataupun zat-zat yang berguna dihasilkan oleh

hewan dan belum berupa zat kimia murni, misalnya minyak ikan

(Oleum iecoris aselli) dan madu (Mel depuratum) (Agoes, 2007).

C. Simplisia Pelikan atau Mineral

Simplisia pelikan atau mineral merupakan suatu simplisia yang

berupa bahan pelikan atau mineral yang belum mengalami pengolahan

ataupun sudah mengalami pengolahan dengan cara yang sederhana


dan belum berupa zat kimia murni, misalnya serbuk seng dan serbuk

tembaga (Agoes, 2007).

3. Tahap Pembuatan Simplisia

Berdasarkan Taksonomi Diversity (keanekaragaman taksonomi)

sumber simplisia didapat dari salah satunya yaitu makromolekul,

tumbuhan, hewan, dan pelikan atau mineral. Pada umumnya pembuatan

dari simplisia melalui tahapan seperti berikut (Midian, et al., 1985).

1.3 Pengumpulan Bahan Baku

Suatu simplisia memiliki kadar senyawa yang berbeda-beda antara

yang satu dengan yang lain, tergantung pada:

1. Bagian tanaman yang akan digunakan sebagai simplisia.

2. Umur dari suatu tanaman yang akan digunakan atau bagian dari

tanaman pada saat pengumpulan/panen.

3. Waktu pengumpulan atau waktu panen.

4. Lingkungan tempat tumbuh dari tanaman yang akan digunakan.

Waktu pengumpulan atau waktu panen sangat erat hubungannya

dengan adanya pembentukan senyawa aktif didalam bagian tanaman

yang akan diambil. Waktu pengumpulan/panen yang tepat adalah pada

saat bagian dari tanaman tersebut mengandung suatu senyawa aktif

dalam jumlah yang terbesar atau dalam jumlah kadar yang tertinggi.

Senyawa aktif akan terbentuk secara alami dan maksimal didalam

bagian tanaman atau pada umur tertentu. Hal yang sulit pada saat

melakukan pengumpulan menentukan waktu pengumpulan/panen


simplisia apakah dipagi hari, siang hari ataupun disore hari, waktu ini

tergantung dari kestabilan fisika kimia zat aktif atau senyawa terhadap

cahaya matahari (Midian, et al., 1985).

Bagian Kadar Air


Cara pengumpulan
Tanaman Simplisia
Batang bagian utama dan cabang dikelupas
dengan ukuran panjang dan lebar tertentu,
Kulit untuk kulit batang yang mengandung minyak
< 10%
Batang atsiri atau golongan senyawa fenol
digunakan alat pengupas yang bukan terbuat
dari logam.
Cabang dengan diameter tertentu dipotong-
Batang < 10%
potong dengan panjang tertentu.
Batang atau cabang, dipotong kecil setelah
Kayu < 10%
kulit dikelupas.
Pucuk yang sudah tua atau muda dipetik
Daun < 5%
dengan menggunakan tangan satu per satu.
Kuncup atau bunga mekar, mahkota bunga
Bunga atau daun bunga dipetik dengan < 5%
menggunakan tangan.
Pucuk berbunga dipetik dengan
Pucuk menggunakan tangan (mengandung daun < 8%
muda dan bunga).
Dari bawah permukaan tanah, dipotong
Akar < 10%
dengan ukuran tertentu.
Dicabut, dibersihkan dari akar, dipotong
Rimpang < 8%
melintang dengan ketebalan tertentu.
Masak, hampir masak, dipetik dengan
Buah < 8%
menggunakan tangan.
Buah dipetik, dikupas kulit buahnya dengan
Biji menggunakan tangan, pisau atau digilasi, biji < 10%
dikumpulkan dan dicuci.
Kulit Seperti biji, kulit buah dikumpulkan dan < 8%
Buah dicuci.
Tanaman dicabut, bulbus dipisahkan dari
Bulbus daun dan akar dengan memotongnya, < 8%
kemudian dicuci.
Tabel II. B. 1. Kadar air berdasarkan bagian tanaman yang
digunakan dan cara pengumpulan atau cara panen
(Agoes, 2007).

2.3 Sortasi Basah

Perlakuan setelah pengambilan/panen yaitu melakukan sortasi

basah. Sortasi basah merupakan suatu kegiatan yang dimaksudkan

untuk menghilangkan kotoran-kotoran ataupun bahan-bahan asing

lainnya (tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak)

yang ada pada bahan simplisia, agar diperoleh simplisia dengan mutu

yang sebaik mungkin. Misalnya pada simplisia yang akan dibuat dari

akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, serta

pengotor lain harus dibuang/dibersihkan. Tanah yang mengandung

kandungan bermacam-macam mikroba dalam kadar jumlah yang

tinggi, maka harus dilakukan pembersihan simplisia dari tanah agar

tidak ada bahan-bahan asing yang dapat mengganggu proses

selanjutnya (Midian, et al., 1985).

3.3 Pencucian

Perlakuan setelah sortasi basah adalah perlakuan pencucian.

Perlakuan pencucian ini sama dengan sortasi basah, bedanya hanya

menggunakan air yang bersih dan dilakukan dengan waktu yang

sesingkat mungkin, agar menghindari bahan kimia atau zat kimia yang

mudah larut dalam air yang mengalir. Cara sortasi dan pencucian
sangat mempengaruhi jenis dan jumlah awal mikroba dalam suatu

simplisia (Midian, et al., 1985).

Pencucian dapat dilakukan dengan cara merendam tanaman yang

telah diambil sambil disikat dengan menggunakan sikat yang halus.

Perendaman dilakukan tidak boleh terlalu lama, dikarenkan zat-zat

atau kandungan senyawa aktif tertentu yang terdapat didalam tanaman

dapat larut dalam air sehingga menutunkan mutu bahan. Penyikatan

boleh dilakukan hanya bagi tanaman yang berasal dari rimpang, yang

pada umumnya dalam rimpang terdapat banyak lekukan sehingga

perlu dibantu dengan alat sikat. Tetapi untuk bahan tanaman berupa

dedaunan (daun) cukup dicuci didalam bak pencucian hingga bersih

dan juga jangan direndam terlalu lama (Agoes, 2007).

4.3 Perajangan

Perlakuan perajangan hanya dilakukan jika suatu jenis bahan

simplisia perlu dilakukan proses perajangan. Proses perajangan ini

dilakukan guna mempermudah dari proses pengeringan, pengepakan

dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil jangan langsung

dilakukan perajangan tetapi dijemur terlebih dahulu selama 1 hari 24

jam dan dalam keadaan utuh. Proses perajangan ini dapat dilakukan

dengan menggunakan pisau ataupun dengan menggunakan mesin

perajang khusus sehingga memperoleh suatu irisan tipis, atau

potongan dengan ukuran yang sama rata dan dikehendaki. Semakin

tipis simplisia yang dirajang maka akan semakin cepat penguapan air
saat proses pengerigan dan mempercepat waktu pengeringan. Akan

tetapi jika irisan yang terlalu tipis juga akan menyebabkan

berkurangnya atau kehilangan zat yang berkhasiat yang mudah

menguap dalam simplisia, sehingga akan mempengaruhi komposisi,

bau dan rasa yang diinginkan (Midian, et al., 1985).

5.3 Pengeringan

Proses pengeringan mempunyai tujuan guna mendapatkan

simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga akan dapat disimpan

dalam jangka waktu yang lebih lama. Dengan cara mengurangi kadar

air dan menghentika proses reaksi enzimatik yang akan dapat

mencegah penururan mutu ataupun kerusakan pada simplisia.

Pengeringan simplisia dapat dilakukan secara langsung dibawah sinar

matahari, diangin-anginkan ditempat yang teduh ataupun dengan

menggunakan alat pengering pada suhu tertentu. Hal-hal yang harus

diperhatikan selama melakukan proses pengeringan yaitu suhu

pengeringan, kelembapan udara, aliran udara, waktu pengeringan, dan

luas permukaan dari bahan (tebal/tipisnya irisan) (Midia, et al., 1985).

Suhu yang dapat digunakan untuk proses pengeringan dengan

menggunakan alat pengering yaitu kurang lebih 30°C hingga 100°C.

Sedangkan cara pengeringan dengan penjemuran dibawah sinar

matahari pada suatu bahan yang akan dibuat simplisia merupakan cara

sederhana dengan menyebar secara merata dan pada saat tertentu

sesuai yang dikendaki dibalik agar panas merata, cara pengeringan


yang murah dan juga praktis. Namun juga memiliki kelemahan yaitu

suhu dan kelembapan yang tidak terkontrol dengan baik, memerlukan

wadah atau area yang luas, pengeringan tergantung dengan keadaan

cuaca dan kondisi, mudah terkontaminasi dan waktu perlakuan atau

pengeringan yang lama (Laksana, 2010). Bagi tanaman yang tidak

sensitive terhadap caahaya matahari dapat menggunakan metode ini,

sangat umum untuk bagian daun, korteks, biji, serta akar. Namun bagi

tanaman yang mengandung kandungan flavonoid, kuinon,

kurkuminoid, karotenoid, serta beberapa senyawa alkaloid yang

sensitive terhadap cahaya matahari umumya tidak boleh menggunakan

pengeringan dengan metode dijemur secara langsung dibawah sinar

matahari (Agoes, 2007). Secara umum kadar air yang terkandung

didalam simplisia tanaman obat yaitu maksimal 10% (Laksana, 2010).

6.3 Sortasi Kering

Proses sortasi kering merupakan tahapan akhir dari pembuatan

simplisia. Sortasi kering dilakukan untuk memisahkan benda-benda

asing atau bahan-bahan asing seperti bagian tanaman yang tidak

diinginkan dan pengotor-pengotor lainnya yang masih ada atau

tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan secara mekanik

dan dilakukan sebelum simplisia dikemas atau dibungkus untuk

kemudian disimpan (Midian, et al., 1985).

7.3 Pengepakan dan Penyimpanan


Pengepakan atau pengemasan merupakan suatu tahapan yang

dilakukan setelah simplisisa menjalani sortasi kering, dan bersih dari

zat-zat pengotor. Tujuan pengepakan dan penyimpanan ini guna

melindungi agar simplisia tidak rusak ataupun berubah mutunya

karena beberapa faktor, baik dari dalam maupun dari luar kemasan

atau penyimpanan (Laksana, 2010). Pengepakan atau pengemasan

dilakukan sebaik mungkin guna menghindarkan simplisia dari

beberapa faktor yaitu: cahaya matahari, O2/, dehidrasi, absorbs air,

pengotoran oleh zat-zat tertentu, dan kapang (Agoes, 2007).

Penyimpanan simplisia dilakukan pada tempat yang kering, tidak

lembab, dan terhindar dari sinar matahari secara langsung. Jenis

kemasan yang digunakan untuk pengemasan dapat berupa plastik,

kertas maupun karung goni bila bahan simplisia merupakan bahan

kering. Sedangkan bila bahan simplisia dinyatakan lain misalnya cair,

maka pengemasan dilakukan didalam wadah botol kaca atau guci

porselen. Pengemasan ini dilakukan dengan menggunakan bahan yang

tidak mengandung racun dan tidak bereaksi dengan simplisia pada

saat penyimpanan. Pada saat pengemasan, kemasan simplisia

dicantumkan nama bahan dan bagian tanaman yang digunakan untuk

memubuat simplisia (Laksana, 2010).

Hal-hal yang wajib diperhatikan saat proses pengepakan atau

pengemasan dan penyimpanan yaitu suhu dan kelembapan udara.

Suhu yang baik untuk simplisia umumnya merupakan suhu kamar


yaitu 15°C hingga 30°C, atau untuk simplisia yang membutuhkan

suhu sejuk yaitu antara suhu 5°C hingga 15°C. Sedankan simplisia

yang perlu disimpan pada suhu dingin yaitu 0°C hingga 5°C (Agoes,

2007).

8.3 Pemeriksaan Mutu

Pemeriksaan mutu dari simplisia dilakukan pada waktu penerimaan

atau pembeliannya dari pengumpul atau pedagang simplisia.

Simplisia yang diterima haruslah simplisia yang berupa simplisia

murni dan memenuhi persyaratan umum dan khusus untuk simplisia

yang disebutkan didalam buku pustaka Farmakope Indonesia, Ekstra

Farmakope Indonesia maupun Materia Medika Indonesia edisi yang

terakhir. Pada pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara

organoleptik (bau, bentuk, ukuran, warna), mikroskopik, dan atau

secara kimia. Beberapa jenis simplisia tertentu perlu adanya uji mutu

secara biologi (Agoes, 2007).

C. Tinjauan Tentang Ekstraksi

1. Pengertian Ekstraksi

Ekstraksi merupakan kegiatan penarikkan kandungan senyawa kimia

yang dapat larut dari suatu bahan simplisia, yang larut didalam cairan

penyari dan ada yang tidak dapat larut dalam cairan penyari seperti,

serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain. Ekstraksi juga merupakan

salah satu cara yang digunakanuntuk menarik sebagian maupun seluruh

komponen kimia dalam satu sampel tumbuhan dengan menggunakan


pelarut yang sesuai (berdasarkan indeks polartas pelarut). Pemilihan

metode ekstraksi bergantung pada jenis senyawa yang akan diisolasi

dan kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan tersebut (Harbone,

1987). Menurut Lenny (2006), ekstraksi dapat dilakukan dengan

beberapa metode yaitu, seperti maserasi, perkolasi, dan soxhlet.

Umumnya ekstraksi dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan

pelarut yang bersifat nonpolar, semi polar, dan diakhiri dengan senyawa

yang bersifat polar (Hostetmann et al., 1997). Ekstraksi yang dilakukan

dengan pelarut nonpolar biasanya diperlukan untuk penghilangan lemak

terlebih dahulu sebelum diekstraksi dengan pelarut yang sesuai. Dengan

demikian, ekstrak yang diperoleh akan bersifat bebas dari lemak

(Harbone, 1996).

Proses ekstraksi yang digunakan untuk memisahkan senyawa

nonpolar hingga polar dari bahan tanaman pada umumnya

menggunakan pelarut yang bersifat polar seperti etanol dan metanol.

Senyawa flavonoid yang bersifat polar akan larut dalam pelarut metanol

dan etanol karena memiliki sifat kepolaran yang sama. Selain larut

dalam pelarut polar, beberapa senyawa nonpolar juga diketahui dapat

dipisahkan dengan pelarut semi polar. Hal ini kemungkinan disebabkan

karena sifat kepolaran dari senyawa tersebut yang cenderung larut

dalam pelarut dengan tingkat kepolaran yang lebih rendah (Harborne

1996).

2. Metodelogi Ekstraksi
a) Maserasi

Maserasi adalah salah satu metode ekstraksi dingin dan

merupakan cara peenyarian paling sederhana. Maserasi juga

merupakan suatu proses penyarian simplisia menggunakan pelarut

dengan perendaman dan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Prinsip maserasi

adalah dimulai dari perendaman serbuk simplisia dalam cairan

penyari, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke

dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut,

dikarenakan adanya perbedaan kosentrasi larutan zat aktif

didalam sel dengan yang ada didiluar sel, maka larutan terpekat

akan didesak keluar. Proses peristiwa ini akan berulang sehingga

terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan didalam sel dan

di luar sel (Depkes RI, 2000).

Metode maserasi umumnya digunakan untuk simplisia yang

mengandung zat aktif yang dengan mudah larut dalam cairan

penyari dan tidak mengandung zat yang mudah mengembang

dalam cairan penyari, serta digunakan untuk bahan atau simplisia

yang tidak tahan terhadap metode ekstraksi pemanasan. Cairan

penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, metanol, etanol

campuran air maupun pelarut lainnya. Metode maserasi umumnya

dapat dilakukan dengan cara 10 bagian simplisia dengan derajat

halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana maserasi,


kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan

dibiarkan selama kurang lebih 5 hari pada temperatur kamar dan

terlindung dari cahaya sambil berulang-ulang diaduk sampai

homogen. Setelah 5 hari dari penyimpanan temperatur ruangan,

sari diserkai, dan kemudian ampasnya diperas dan ditambahkan

kembali cairan penyari secukupnya. Bejana kemudian ditutup dan

dibiarkan ditempat yang sejuk maupun pada kondisi suhu ruangan

yang telah ditutup rapat wadahnya dimaksudkan agar terhindar

dari paparan cahaya (terlindung dari cahaya selama kurang lebih 2

hari), dan diaduk kemudian disaring lagi hingga diperoleh seluruh

sari sebanyak 100 bagian, kemudian endapan dipisahkan dan

diusapkan di penahgas air (water bath) dengan menggunakan

suhu 50°C (Depkes RI, 2000).

Kelebihan dari metode ekstraksi maserasi adalah

pengerjaannya yang sangat mudah dan peralatan yang digunakan

sangat sederhana, serta mudah diusahakan. Sedangkan kelemahan

atau kerugiaan dari metode ekstraksi maserasi antara lain, waktu

yang diperlukan untuk mengekstraksi bahan cukup lama dan

pelarut yang digunakan sangat banyak, serta penyariannya yang

kurang sempurna (Depkes RI,2000).

Metode ekstraksi maserasidapat dilakukan dengan modifikasi,

yaitu:

i. Digesti
Digesti merupakan salah satu cara maserasi dengan

menggunakan pemanasan yang lemah, yakni dengan

temperature 40°C hingga 50°C. Cara maserasi digesti ini hanya

dapat dilakukan untuk bahan atau simplisia yang zat aktifnya

tahan terhadap pemanasan (Depkes RI,2000).

ii. Maserasi dengan menggunakan mesin pengaduk

Maserasi yang menggunakan mesin pengaduk ini berputar

secara terus – menerus, selama waktu proses maserasi, dan

dapat dipersingkat menjadi 6 – 24 jam (Depkes RI,2000).

iii. Remaserasi

Remaserasi merupakan cara dengan membagi cairan

penyari menjado 2, yaitu seluruh bahan atau simplisia serbuk

dimaserasi dengan menggunakan cairan penyari pertama,

kemudian sesudah diendapkan dituangkan dan diperas kuat,

selanjutnya ampas dimaserasi kembali dengan menggunakan

cairan penyari kedua yang baru (Depkes RI,2000).

iv. Maserasi melingkar

Metode maserasi melingkar akan dapat mengusahakan agar

cairan penyari selalu berkerak dan menyebar, sehingga dengan

cara ini penyari akan selalu mengalir kembali secara

berkesinambungan melalui serbuk simplisia dan akan dapat

melarutkan zat aktifnya (Depkes RI,2000).

v. Maserasi melingkar bertingkat


Maserasi melingkar bertingkat ini akan mengatasi masalah

dalam metode maserasi melingkar, jika metode tersebut tidak

dapat dilaksanakan dengan sempurna, dikarenakan adanya

pemindahan massa akan berhenti apabila terjadi keseimbangan

(Depkes RI,2000).

D. Tinjauan Tentang Ekstrak

Ekstrak merupakan suatu sediaan pekat (kental) atau kering yang

diperoleh dengan cara mengekstraksi zat atau senyawa aktif dari suatu

simplisia nabati maupun simplisia hewani yang menggunakan pelarut yang

sesuai, kemudian semuai ataupun hampir semua pelarut diuapkan dan

massa kental atau serbuk yang tersisa akan diperlakukan sedemikian rupa

hingga dapat memenuhi standar baku yang telah ditetapkan (Depkes RI,

2000).

Menurut buku Farmakope Indonesia Edisi III, ekstrak merupakan

suatu sediaan kering, kental, atau cair yang dibuat dengan menyari

simplisia nabati ataupun simplisia hewani menurut cara yang cocok, di

luar pengaruh cahaya langsung.

Ekstrak merupakan sediaan kental hasil penarikan oleh pelarut air atau

pelarut organik dari bahan kering (dikeringkan). Dari hasil penyarian

tersebut kemudian pelarutnya dihilangkan dengan cara penguapan dengan

alat evaporator sehingga akan diperoleh ekstrak kental jika pelarutnya

pelarut organik (Saifudin, 2014).

E. Tinjuan Tentang Fraksinasi


Fraksinasi memiliki definisi sebagai suatu metode untuk memisahkan

dua senyawa yang memiliki perbedaan kepolaritasan. Fraksinasi sendiri

dapat digunakan untuk memisahkan dua senyawa bahkan lebih, campuran

yang akan dipisahkan dapat berupa suatu campuran homogen seperti

larutan, maupun heterogen seperti campuran padat dan cair. Campuran

yang dipisahkan dapat berbentuk gas, cair, maupun padat. Fraksi yang

dipisahkan berdasarkan perbedaan dalam sifat khusus dari masing-masing

komponen, seperti titik didih, titik deku, ataupun tiitk leleh, kepolaran, dan

lain-lain. Proses fraksinasi dapat meliputi:

I. Fraksinasi pelarut atau bersih, diamana campuran pelarut bersifat

organik dan air digunakan untuk mencapai pemisahan bersih.

II. Difusi termal, dimana campuran gas ataupun cairan dipisahkan oleh

adanya perbedaan kepadatannya.

III. Sentrifugasi, merupakan proses dimana zat-zat dengan kepadatan yang

berbeda dalam campuran yang bersifat heterogen dipisahkan oleh

sedimentasi menggunakan sentrifus.

IV. Difusi gas, dimana campuran gas dipisahkan olehadanya perbedaan

berat molekul.

V. Kromatografi, dimana fraksinasi komponen dari campuran larutan

terjadi dengan perbedaan afinitas antara fase diam dan fase gerak.

Fraksinasi sebenarnya merajuk pada suatu proses pemurnian, dimana

komponen yang diinginkan diekstraksi dari campuran dan kemudian

dimurnikan, misalnya dalam suatu industry farmasi, obat-obatan alami,


dan sintesis dipisahkan dan dimurnikan guna memenuhi kebutuhan

kesehatan.

F. Tinjauan Tentang Partisi Cair-Cair (Liquid-Liquid Extraction)

LLE merupakan pemisahan yang berdasarkan pada distribusi yang

berbeda pada komponen diantara 2 fase cair. Pemisahan ini tergantung

pada transfer massa komponen yang diekstraksi dari fase cair awal ke fase

cair kedua. LLE merupakan teknologi yang penting untuk aplikasi pada

dunia industri. Tidak seperti destilasi, yang didasarkan pada perbedaan

titik didih, pemisahan ini didasarkan pada kelarutan relative komponennya

pada 2 cairan yang tidak saling larut. Transfer massa terjadi diantara

droplet (fase terdispers) dan cairan disekitarnya. Untuk membuat 2 cairan

tersebut terpisah, cairan tersebut harus memiliki berat jenis yang berbeda.
Gambar II. F. 1. Berat Jenis Pelarut.

Gambar II. F. 2. Indeks Pencampuran Solven.


Gambar II. F. 3. Indeks Polaritas Pelarut.
G. Skrining Fitokimia

Skrinning fitokimia merupakan suatu analisis kualitatif terhadap

senyawa-senyawa dari metabolit sekunder. Skrinning fitokimia juga dapat

diartikan sebagai tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang

memiliki tujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa

yang terkandung didalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining

fitokimia dapat dilakukan dengan cara melihat reaksi pengujian warna

dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal yang berperan penting

dalam skrining fitokimia yakni pemilihan pelarut dan metode ekstraksi

(Depkes RI, 1995).

Metabolit sekunder adalah produk metabolisme yang khas pada suatu

tanaman yang dihasilkan oleh suatu organ tapi tidak dimanfaatkan secara
langsung sebagai sumber energi bagi tanaman tersebut. Metabolit

sekunder tanaman dihasilkan melalui reaksi metabolisme sekunder dari

bahan organik primer (karbohidrat, protein dan lemak). Metabolit

sekunder merupakan senyawa yang disintesis tanaman dan digolongkan

menjadi lima yaitu glikosida, terpenoid, fenol, flavonoid, dan alkaloid

(Meta, 2011).

1. Flavonoid

Salah satu metabolit terbesar adalah flavonoid. Flavonoid

merupakan suatu senyawa metabolit sekunder yang ada didalam suatu

tumbuhan yang memiliki fungsi sebagai pigmen (pembentuk warna),

pertahanan diri dari hama dan penyakit. Senyawa flavonoid juga dapat

digunakan didalam industri makanan yang diperuntukkan sebagai

pewarna makanan. Flavonoid adalah golongan fenol terbesar yang

biasanya sering ditemukan pada tumbuhan dalam bentuk glikosidanya.

Flavonoid juga memiliki peran sebagai analgesik yang mekanisme

kerjanya dapat menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX).

Maka akan dapat mengurangi produksi prostaglandin yang dihasilkan

oleh asam arakidonat, sehingga akan dapat mengurangi rasa nyeri.

Selain itu flavonoid juga bisa menghambat degranulasi neutrophil,

sehingga akan menghambat pengeluaran dari sitokin, radikal bebas,

serta enzim yang memiliki peran dalam peradangan (Sasongko, et al.,

2016). Berdasarkan struktur flavonoid, terdapat beberapa jenis

flavonoid yang bergantung pada tingkat oksidasi rantai propan, yaitu


kalkon, flavan, flavanol (katekin), flavanon, flavanonol, flavon,

flavanon, antosianidin, auron). Flavonoid memiiki kerangka dasar

carbon yang terdiri atas 15 atom karbon, dimana mempunyai dua

cincin benzene (C6) yang terikat pada suatu rantau propane (C3),

sehingga akan membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Sistem

penomoran untuk turunan flavonoid sebagai berikut:

Gambar II. E. 1. Sistem penomoran untuk turunan


Flavonoid (Robinson, 1995).

Pemeriksaan senyawa golongan flavonoid dapat dilakukan dengan

menggunakan uji warna yaitu disebut fitokimia yang digunakan untuk

menentukan keberadaan senyawa golongan flavonoid dan uji adanya

senyawa polifenol. Uji keberadaan senyawa flavonoid dari dalam

sampel (hasil ekstrak) digunakan dengan penambahan serbuk Mg dan

beberapa tetes HCl yang apabila positif menagndung flavonoid akan

terbentuk warna kuning, warna jingga ataupun menjadi warna merah

(Nafisah, 2014).
Gambar II. E. 2. Struktur Kimia Flavonoid
(Sumber: Simamere, 2014).

Gambar II. E. 3. Reaksi Flavonoid (Simamere, 2014)

2. Tannin

Tanin merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat luas

didalam tumbuhan yang berpembuluh, dalam famili angiospermae

terdapat khusus dalam jaringan kayu. Secara kimia terdapat dua jenis

tanin yang tersebar dan merata dalam dunia tumbuhan. Tannin

terkondensasi hampir terdapat disemesta di dalam golongan tumbuhan

paku-pakuan dan gymnospermae, serta tersebar luas dalam

angiospermae, terutama pada jenis tanaman berkayu (Endarini, 2016).

Fitriyani (2011), menyatakan bahwa tannin terdiri dari beberapa

kelompok zat-zat kompleks yang terdapat secara meluas didalam

dunia tumbuh-tumbuhan, beberapa tumbuhan yang mengandung

senyawa tannin antara lain: tanaman akasia, tanaman gabus, bakau,

pinus, papaya, gambir, dan tanaman pinang.


Gambar II. E. 4. Struktur Kimia Tanin
(Sumber: Fitriyani, 2011)

Uji pereaksi senyawa golongan tannin direaksikan dengan FeCl3

maka akan membentuk hasil warna hijau. Terjadinya pembentukan

warna hijau ini dikarenakan telah terbentuknya senyawa yang

kompleks antara logam Fe dengan tannin. Senyawa kompleks tersebut

terbntuk karena adanya ikatan kovalen koordinasi antara ion atau atom

logam dengan atom non logam (Effendy, 2007).

Gambar II. E. 5. Reaksi Antara Tannin dengan FeCl3

3. Saponin

Saponin merupakan salah satu senyawa metabolit sekundr

golongan senyawa glikosida kompleks yang mempunyai berat


molekul tinggi dan dihasilkan terutama oleh tanaman, hewan laut

tingkat rendah, dan beberapa dari bakteri. Saponin dapat larut dalam

air, tetapi tidak larut dalam eter (Aswin, 2008). Saponin memiliki sifat

yang khas yakni berasa pahit, berbusa didalam air, dan sangat beracun

bagi binatang berdarah dingin. Menurut (Endarini, 2016) saponin

merupakan glikosida triterpenoid atau sterol.

Gambar II. E. 6. Struktur Kimia Saponin


(Sumber: Wardana dan Tukiran, 2016).

Adanya saponin dalam tumbuhan ditunjukkan dengan

pembentukan busa yang sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau

memekatkan ekstrak. Pemeriksaan golongan saponin dilakukan

dengan penambahan aquadest kemudian dipanaskan dan dikocok

kuat-kuat. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya busa yang

stabil selama 30 detik (Endarini, 2016). Wardana dan Tukiran, (2016)

menyatakan bahwa saponin merupakan senyawa yang mempunyai


gugus hidrofilik (bersifat polar) dan hidrofobik (bersifat non polar).

Saponin pada saat digojok terbentuk buih karena mempunyai gugus

hidrofilik yang berikatan dengan air sedangkan gugus hidrofobik akan

berikatan dengan udara. Pada struktur misel, gugus polar menghadap

ke luar sedangkan gugus non-polar menghadap ke dalam. Keadaan ini

menunjukkan adanya glikosida yang mampu membentuk buih dalam

air. Senyawa glikosida terhidrolisis menjadi glikon dan aglikon.

Saponin memiliki aktivitas sebagai analgesik, antiinflamasi,

antitumor, antimikroba, antihiperkolesterol. Mekanisme antiinflamasi

saponin dengan cara menghambat degradasi glukokortikoid yang akan

menghamabat metabolisme asam arakidonat, pelepasan mediator

peradangan, mengahambat pembentukan enzim (COX) dan

menghambat permeabilitas pembuluh darah (Barbosa, 2014).

Gambar II. E. 7. Reaksi Dugaan Uji Saponin


(Sumber: Wardana dan Tukiran, 2016).

4. Alkaloid

Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organic yang banyak

ditemukan di alam. Hampir seluruh snyawa alkaloid berasal dari


kelompok tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis

tumbuhan. Semua golongan alkaloid mengandung paling sedikit satu

atom nitrog yang biasanya memiliki sifat basa dan dalam sebagian

besar atom-atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin

heterosiklik (Achmad, 1986). Senyawa ini biasanya terdapat didalaam

tumbuhan sebagai garam di berbagai senyawa organic kemudian akan

sering itangaai dilaabroratorium sebagai garam dengan asam klorida

dan asam sulfat (Robinson, 1995). Alkaloid sering kali beracun bagi

manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang

menonjol, sehingga digunakan secara luas dalam pengobatan

(Wijayanti, 2013).

Gambar II. E. 8. Struktur Senyawa Alkaloid


(Sumber: Robinson, 1995).

5. Triterpen atau Steroid

Steroid atau triterpen merupakan triterpenoid yang memiliki bentuk

dasar siklopentana perhidrofenantren yang biasanya akan larut dalam

pelarut yang bersifat kurang polar (semi polar) (Febriany, 2004).

Semua senyawa terol diduga hanya terdapat pada binatang, namun


sekarang seiirig berkembangnya penelitian tentang tumbuhan (botani)

diketahui bahwa sterol juga terdapat pada tumbuhan (fitosterol).

Gambar II. E. 9. Struktur Senyawa Steroid

Triterpenoid merupakan senyawa yang memiliki kerangka karbonnya

berasal dari 6 satuan isoterpena dan secara biosintesis diturunkan dari

hidrikarbor C30 asiklik yakni skualena. Senyawa ini memiliki struktur

siklik yang kebanyakan berupa alcohol, aldehida, maupun asam

karboksilat (Harbone, 1987). Triterpenoid yang paling penting dan

paling banyak tersebar luas yaitu triterpenoi pentasiklik (Robison,

1995).

Gambar II. E. 10. Struktur Kimia Terpenoid


(Sumber: Robison, 1995)
H. Tinjauan Tentang Kromatografi

1. Pengertian Kromatografi

Skoog (1985), menyatakan bahwa kromatografi merupakan salah

satu metode pemisahan yang memungkinkan peneliti untuk

mengidentifikasi, memisahkan, dan memurnikan suatu komponen-

komponen yang terdapat didala suatu campuran. Pemisahan dalam

metode kromatografi ini ditunjang oleh adanya dua fase yaitu fase diam

dan fase gerak. Prinsip kerja dari kromatografi yaitu adanya proses

penarikan dari komponen zat yang berkhasiat dan zat lain yang ada

didalam fase diam (lapisan cairan pelarut (pengembang) yang

teradsorbsi pada permukaan kertas) dan fase gerak (merupakan bagian

dari pelarut (pengembang atau eluen) yang mempunyai fungsi sebagai

penggerak komponen) berdasarkan adanya proses partisi, adsorbsi, dan

adanya pertukaran ion (Pambudi, 2014). Fase diam sebelum digunakan

hendaknya harus diaktivasi terlebih dahulu yaitu dengan cara dioven

pada suhu 110°C dengan waktu selama 15 menit. Hal ini dimaksudkan

agar daya absorbsi fase diam semakin meningkat. Untuk fase gerak

harus dlakukan penjenuhan terlebih dahulu dengan menggunakan kertas

saring sebelum digunakan, hal ini dimaksudkan agar dapat meecegah

terjadinya penguapan pada pelarut atau eluen (Fadlila, et al, 2015).

Kromatografi menurut Skoog (1985) terbagi menjadi beberapa

kromatografi, yaitu: kromatografi kolom dan kromatografi planar.


Berdasarkan fase geraknya kromatografi kolomdibagi menjadi

kromatografi cair dan kromatografi gas.

2. Kromatografi Lapis Total (KLT)

Kromtografi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu biasa disebut

dengan KLT atau Kromatogafi Lapis Tipis. Kromatografi Lapis Tipis

merupakan suatu metode pemisahan campuran senyawa atau komponen

berdasarkan pada perbedaan distribusi senyawa atau komponen-

komponen antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Senyawa-

senyawa yang terpisah pada lapisan tipis dapat diidentifikasi dengan

cara melihat flourosensi dalam sinar ultraviolet kemudian setelah itu

mencari harga Rf (Depkes RI, 1995). Teknik kromatografi umum

membutuhkan zat terlarut terdistribusi diantara dua fase yaitu fase diam

dan fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, hingga

terpisah dari zat terlarut lainnya yang terelusi lebih awal atau lebih

akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh

aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang biasa disebut eluen.

Fase diam dapat bertindak sebagai zat penyerap, seperti halnya penjerap

alumina yang diaktifkan, silika gel dan resin penukar ion atau dapat

bertindak melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase

diam dan fase gerak. Fase diamnya berbentuk lapisan tipis yang

melekat pada gelas atau kaca, plastik, alumunium. Sedangkan untuk

fase geraknya yaitu berupa cairan lapis tipis yang dapat dibuat dengan
membentangkan atau meratakan faase diam diatas plat atau lempeng

kaca plastic maupun alumunium (Depkes, 1995).

Silica gel merupakan fase diam yang biasa digunakan dalam metode

KLT, dipaaran silica gel dijual dengan variasi ukuran (diameter) yang

berbeda bisanya 10 µm-40 µm, semakin kecil diameter dari silica gel

maka akan semakin lambat kecepatan alir dari fase geraknya. Dengan

demikian akan dapat mempengaruhi adanya kualitas dari pemisahan.

Alumina termasuk kedalam kelompok fase diam yang memiliki

aktifitas yang tinggi. Alumina yang digunakan TLC yang mempunyai

sifat sedikit basa dengan pH 9, ada juga alumina yang mempunyai sifat

netral yaitu dengan pH 7, dan alumina yang mempunyai sifat asam

yaitu dengan pH 4.

Umumnya fase gerak yang digunakan adalah pelarut yang bersifat

organic, dikarenakan akan dapat digunakan satu macam pelarut organik

saja maupun dengan campuran antara pelarut organic dan anorganik.

Fase gerak sendiri merupakan campuran pelarut antara pelarut organic

dnegaan air, maka mempunyai mekanisme pemisahan yang disebut

dengan partisi. Pemilihan pelarut sendiri merupahan hal yang sangat

penting, dikarenakan akan mempengaruhi keberhasilan dari pemisahan.

Pendekatan polaritas meeupakan cara yang yang paling sesuai untuk

menentukan pemilihan pelarut. Senyawa yang memiliki sifat lebih polar

maka akan leih cepat atau lebih mudah terelusi oleh fase gerak yang

bersifat polar dari pada fase gerak yang memiliki sifat non polar.
Berbanding terbalik jika senyawa yang mempunyai sifat non polar

maka akan lebih mudah terelusi oleh fase gerak yang bersifat non polar

daripada fase gerak yang memiliki sifat polar, hal ini biasa disebut

dnegan Like dissolve like. Pelarut organic yang biasa digunakan sebagai

fase gerak yaitu air, toluene, kloroform, etil asetat, aseton, dan lain

sebagainya (Depkes RI, 1995).

Adapun yang terjadi pada KLT adalah berdasarkan pada prinsip

adsorpsi. Setelah sampel ditotolkan di atas fasa diam, senyawa-senyawa

dalam sampel akan terelusi dengan kecepatan yang sangat bergantung

pada sifat senyawa-senyawa tersebut (kemampuan terikat pada fasa

diam dan kemampuan larut dalam fasa gerak). Sifat fasa diam

(kekuatan elektrostatis yang menarik senyawa di atas fasa diam) dan

sifat fasa gerak (kemampuan melarutkan senyawa). Bercak pemisahan

pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Deteksi

bercak dapat dilakukan secara kimia maupun fisika. Cara kimia yang

biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu

pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas.

Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah

dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet.

Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis

lazim menggunakan harga Rf (Retention Factor) (Depkes RI, 1995).

Rendemen yaitu sebuah rumus untuk perbandingan antara ekstrak

yang diperoleh dengan simplisia awal (Depkes RI, 2000). Faktor yang
mempengaruhi besarnya nilai rendemen adalah proses ekstraksi dan

jumlah kandungan air yang cukup tinggi. Semakin besar rendemen

yang dihasilkan, maka semakin efisien perlakuan yang diterapkan

dengan tidak mengesampingkan sifat-sifat lain (Dewatisari, et al.,

2017).

Berat ekstrak yang diperoleh


% Rendemen= x 100 %
Berat simplisia awal

Keuntungan kromatografi lapis tipis yaitu waktu yang dibutuhkan

akan lebih cepat, fase diam dapat bermacam-macam, konsentrasi zat

yang diteliti lebih sedikit. Sedangkan kekurangannya yaitu kurang

spesifik dalam memberikan hasil yang diinginkan. Adapun syarat

pelarut/eluen yang digunakan untuk melakukan KLT yaitu, kemurnian

yang memadai, stabilitas yang memadai, viskositas yang rendah,

partisi/pemisahan linier, dan daya toksik yang serendah mungkin.

3. Kromatografi Kolom

Pada dasarnya kromatografi kolom adalah pemisahan komponen-

komponen dalam sampel dengan cara mengalirkan sampel melewati

suatu kolom. Sampel dalam hal ini dibawa oleh carrier atau fase gerak

(mobilephase). Sedangkan kolom berisi suatu bahan yang disebut fase

diam (stationary phase) yang berfungsi memisahkan komponen-

komponen sampel. Prinsip pemisahan kromatografi kolom adalah

kompetisi antara zat terlarut (sampel) dan fase gerak dengan permukaan

fase diam. Kekuatan adsorpsi terutama tergantung sifat gugus

fungsionalnya, dimana gugus-gugus fungsional ini menentukan tingkat


kepolaran. Proses adsorpsi dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antara

solut dan adsorben dan kekuatan untuk memisahkan solut dari

adsorben. Keunggulannya yaitu dapat digunakan untuk analisis dan

aplikasi preparative, untuk menentukan jumlah komponen campuran,

dan untuk memisahkan dan purifikasi substansi. Kelemahannya yaitu

pelaksanaanya membutuhkan waktu yang lama dan sulit

mempertahankan kondisi yang tetap selama proses pemisahan dan

pemurnian (Wati, 2014).

4. Kromatografi Gas

Analisis kuantitatif dengan gas chromatography menggunakan

metode standar internal. Metode ini digunakan karena terdapat

ketidakpastian yang disebabkan injeksi sampel dan kecepatan aliran.

Metode ini seringkali digunakan untuk sampel yang tidak sesuai atau

tidak mungkin diinjeksi langsung pada gas chromatography (Hidayat et

al., 2015). Pemisahan dengan metode gas chromatography berdasarkan

pada perbedaan koefisien partisi dari senyawa yang diuapkan antara

fase cair dan fase gas yang dilewatkan dalam kolom dengan bantuan

gas pembawa (Hartias Rizalina, et al., 2018).

5. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

KCKT dapat dipandang sebagai pelengkap Kromatografi gas (KG),

keduanya dapat digunakan untuk menghasilkan efek pemisahan yang

sama baiknya. Bila derivatisasi diperlukan dalam KG, namun pada

KCKT zat-zat yang tidak diderivatisasi masih dapat dianalisis. Untuk


zat-zat yang labil pada pemanasan atau tidak menguap, KCKT adalah

pilihan utama. Keunggulan metoda ini dibanding metoda pemisahan

lainnya terletak pada ketepatan analisis dan kepekaan yang tinggi serta

cocok untuk memisahka senyawa-senyawa nonvolatile yang tidak tahan

pada pemanasan. Peningkatan kecepatan dan efisiensi pemisahannya

terkait dengan peningkatan performa kolomnya yang menggunakan

kolom dengan ukuran dimensi dan partikel yang jauh lebih kecil dari

kolom yang dipakai pada kromatografi kolom konvensional, sehingga

agar fase gerak dapat mengalir pada kolom, fase gerak dipompa dengan

tekanan tinggi. Di samping itu, kinerja tingginya dalam analisis

didukung dengan adanya berbagai sistem deteksi dengan kepekaan

tinggi yang dapat diintegrasikan dengan sistem kromatografinya

(Susanti dan Dachriyanus).

I. Tinjauan Hewan Uji (Mencit Putih Jantan (Mus musculus L.)

Dalam penelitian ini, uji aktivitas analgesik dilakukan pada hewan uji

yaitu Mencit (Mus musculus L.). Mencit (Mus musculus L.) termasuk

mamalia pengerat (rodensia) yang cepat berkembang biak, mudah

dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta sifat

anatomisnya dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik. Mencit yang

sering digunakan dalam penelitian di laboratorium merupakan hasil

perkawinan tikus putih inbreed maupun outbreed. Dari hasil perkawinan

sampai generasi 20 akan dihasilkan strainstrain murni dari mencit (Akbar,

2010).
Gambar II. L. 1. Mencit Putih Jantan (Mus musculus L.)
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

1. Klasifikasi Mencit (Mus musculus L.)

Akbar (2010) menyatakan klasifikasi dari mencit putih jantan (Mus

musculus L.) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia (Hewan)

Divisi : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus L.

2. Morfologi Mencit (Mus musculus L.)

Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri yakni berbentuk tubuh

kecil, berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari.

Kondisi ruang untuk pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus

senantiasa bersih, kering dan jauh dari kebisingan. Suhu ruang


pemeliharaan juga harus dijaga kisarannya antara 18ºC-19ºC serta

kelembaban udara antara 30%-70% (Akbar, 2010).

Mencit betina dewasa dengan umur 35 hari-60 hari memiliki berat

badan 18 gram-35 gram. Lama hidupnya 1 tahun-2 tahun, dapat

mencapai 3 tahun. Masa reproduksi mencit betina berlangsung 1,5

tahun. Mencit betina ataupun jantan dapat dikawinkan pada umur 8

minggu. Lama kebuntingan 19 hari-20 hari. Jumlah anak mencit rata-

rata 6 ekor-15 ekor dengan berat lahir antara 0,5 gram-1,5 gram. Mencit

sering digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan hewan tersebut

memiliki beberapa keuntungan yaitu daur estrusnya teratur dan dapat

dideteksi, periode kebuntingannya relatif singkat, dan mempunyai anak

yang banyak serta terdapat keselarasan pertumbuhan dengan kondisi

manusia (Akbar, 2010).

Syarat mencit dapat digunakan sebagai hewan percobaan adalah:

1. Hewan harus bebas dari kuman patogen, karena adanya kuman

pathogen dapat mengganggu jalannya reaksi pada percobaan yang

akan diujikan.

2. Kemampuan dalam memberikan reaksi imunitas yang baik.

3. Kepekaan terhadap suatu penyakit.

4. Nutrisi, kebersihan, pemeliharaan, dan kesehatan hewan baik dan

terjaga. Mencit yang dikembangbiakkan di Instalasi Hewan Coba

baik digunakan untuk hewan coba dalam penelitian karena bebas


dari parasit dan mencit dipelihara dengan 8 baik (Tolistiawaty,

2014).

J. Tinjauan Tentang Nyeri

1. Definisi

Nyeri menurut IASP (International Assosiation For the Study of

Pain) merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan atau yang cenderung merusak

jaringan, atau seperti yang dimaksud dengan kata kerusakan jaringan.

Dari definisi tersebut maka nyeri terdiri dari dua komponen utama,

yaitu sensorik (fisik) dan emosional (psikologik). Komponen sensorik

ini merupakan mekanisme neurofisiologi yang menerjemahkan sinyal

nosiseptor menjadi informasi tentang nyeri (durasi, intensitas, lokasi,

dan kualitas rangsangan). Sedangkan komponen emosional merupakan

komponen yang menentukan berat ringannya individu merasa tidak

nyaman, dapat mengawali kelainan emosi seperti cemas dan depresi

jika menjadi nyeri kronik, serta diperankan oleh rangsangan nosiseptik

melalui penggiatan sistem limbik dan kondisi lingkungan (asal

penyakit, hasil pengobatan yang tidak jelas, dan dukungan social

ataupun keluarga) (Tetty, 2015).

Rasa nyeri dapat dibagi menjadi dua yaitu rasa nyeri cepat dan rasa

nyeri lambat. Rasa nyeri cepat yaitu bila diberikan stimulus nyeri

timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik, sedangkan rasa nyeri lambat

timbul setelah 1 detik atau bisa lebih dan kemudian secara perlahan
bertambah selama beberapa detik bahkan beberapa menit). Rasa nyeri

dapat dirasakan melalui berbagai rangsangan, yaitu rangsang nyeri

mekanis, suhu dan kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan

jaringan. Beberapa zat kimia yang merangsang nyeri kimiawi meliputi

bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium (K+), asam, dan asetilkolin.

Selain itu, prostaglandin dan substansi P (peptide) meningkatkan

sensitivitas ujung-ujung serabut nyeri tetapi tidak secara langsung

merangsangnya. Serabut saraf aferen tak bermielin mengandung

neuropeptida terutama substansi P (peptide) dan Calcitonin gene-

related peptide (CGRP). Zat-zat ini dilepaskan Sebagai mediator di

pusat dan di perifer dan berperan penting dalam mekanisme nyeri

(Meliala & Suryamiharja, 2007).

2. Mekanisme Nyeri

Nyeri akan timbul apabila rangsang mekanik, termal, kimia atau

listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri)

sehingga akan menyebabkan kerusakan jaringan yang akan

menimbulkan aktivasi reseptor nyeri (nosiseptor) (Mutschler, 1986).

Adapun Nyeri noniseptis terbagi menjadi empat proses yaitu :

a. Stimulasi (Transduksi/Transduction)

Rangsangan (mekanik, panas, kimia) dari luar tubuh akan

merangsang reseptor tertentu dalam tubuh yang dikenal

sebagai nosiseptor yang terdapat pada struktur somatik dan

visceral. Rangsangan tersebut mensentisisasi nosiseptor


sehingga menyebabkan pelepasan mediator-mediator kimia

seperti bradikinin, ion kalium (K+), prostaglandin, histamin,

leukotrien, serotonin dan substansi peptide. Aktivitas ini

digunakan untuk menghasilkan potensial aksi yang akan

ditransmisikan sepanjang serabut saraf menuju serabut saraf

spinal.

b. Transmisi (Transmission)

Proses transmisi nosiseptif berlangsung melewati serabut

Aδ dan C. Rangsangan yang melewati serabut saraf Aδ

(diameternya besar, mempunyai mielin) biasanya tajam,

lokasi nyeri jelas sedangkan yang melewati serabut saraf C

(diameter kecil, tidak mempunyai mielin) biasanya bersifat

tumpul, rasa sakit yang menyebar dan biasanya tidak

terlokalisasi dengan baik. Rangsangan nyeri ini kemudian

disampaikan melalui banyak lapisan dari serabut saraf spinal

pada sumsum tulang belakang dengan pelepasan bermacam-

macam neurotransmitter termasuk glutamat, substansi P

(peptide) dan Calcitonin gene-related peptide (CGRP).

Transmisi ini berlangsung lebih kurang lima jalur, yaitu

traktus spinothalamicus, traktus spinoretikularis, traktus

spinomesencephalic, jalur kolom dorsal spinomedula

postsinaptik, sistem propiospinal multisinaptik menaik.

c. Persepsi (Preception)
Ketika transmisi nyeri berjalan dengan baik, seseorang akan

merasakan nyeri secara sadar. Timbulnya nyeri berasal dari

aktivitas akhiran saraf tertentu yang menghasilkan respon

terhadap rangsang yang kuat. Perangsangan ini menimbulkan

impuls saraf yang berjalan sepanjang saraf sensorik dan

mencapai medula spinalis lalu dikirim ke korteks serebral di

hipotalamus. Serat saraf rasa sakit mengadakan sinaps dengan

neuron-neuron lain di sumsum tulang belakang naik ke atas

melalui traktus spinothalamicus. Aktivitas nosiseptor

dimungkinkan karena pada setiap kerusakan jaringan akan

dihasilkan zat mediator seperti prostaglandin, bradikinin,

leukotrien, histamin, dan serotonin yang kemudian akan

menghasilkan sensitisasi reseptor.

d. Modulasi (Modulation)

Merupakan proses penanganan alami tubuh terhadap

rangsang nosiseptif. Proses ini melibatkan sistem opiat endogen,

terdiri dari neurotransmitter (enkefalin, dinorfin dan beta

endorfin) dan reseptornya (mu, kappa dan delta) yang ditemukan

di sistem saraf pusat (SSP). Proses modulasi alami yang

dilakukan tubuh terhadap nyeri dilakukan oleh opiat endogen

yang terikat reseptornya yang menghambat transmisi nyeri.

Proses modulasi ini dapat dihambat oleh tipe reseptor lain yaitu

reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) yang berada di dorsal horn


yang dapat menurunkan tanggapan reseptor mu terhadap

agonisnya. Sistem saraf pusat (SSP) juga mempunyai suatu

sistem menurun yang terorganisasi untuk mengontrol transmisi

nyeri, neurotransmitter yang penting dalam proses ini antara lain

opiat endogen, serotonin, norepinefrin, asam γ-aminobupirat

(GABA) dan neurotensin (Hastuti, 2015).

Gambar. II. J. 1. Mekanisme Nyeri (Das Gautam, 2017).

Gambar. II. J. 2. Mekanisme Nyeri (Mutschler, 1986).

3. Patofisiologi Nyeri

Reseptor nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor mencakup ujung ujung

saraf bebas yang berespon terhadap berbagai rangsangan termasuk


tekanan mekanis, deformasi, suhu yang ekstrim, dan berbagai bahan

kimia. Pada rangsangan yang intensif, reseptor-reseptor lain misalnya

badan Pacini dan Meissner juga mengirim informasi yang

dipersepsikan sebagai nyeri. Zat-zat kimia yang memperparah nyeri

antara lain adalah histamin, bradikini, serotonin, beberapa

prostaglandin, ion kalium, dan ion hydrogen. Masing-masing zat

tersebut tertimbun di tempat cedera, hipoksia, atau kematian sel. Nyeri

cepat (fast pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat A delta, nyeri

lambat (slow pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat C lambat.

Serat-serat C tampak mengeluarkan neurotransmitter substansi sewaktu

bersinaps di korda spinalis. Setelah di korda spinalis, sebagian besar

serat nyeri bersinaps di neuron-neuron tanduk dorsal dari segmen.

Namun, sebagian serat berjalan ke atas atau ke bawah beberapa segmen

di korda spinalis sebelum bersinaps. Setelah mengaktifkan sel-sel di

korda spinalis, informasi mengenai rangsangan nyeri dikirim oleh satu

dari dua jaras ke otak - traktus neospinotalamikus atau traktus

paleospinotalamikus (Baumann, 2005).

Informasi yang di bawa ke korda spinalis dalam serat-serat delta di

salurkan ke otak melalui serat-serat traktus neospinotalamikus.

Sebagian dari serat tersebut berakhir di reticular activating system dan

menyiagakan individu terhadap adanya nyeri, tetapi sebagian besar

berjalan ke thalamus. Dari thalamus, sinyal-sinyal dikirim ke korteks

sensorik somatik tempat lokasi nyeri ditentukan dengan pasti. Informasi


yang dibawa ke korda spinalis oleh serat-serat C, dan sebagian oleh

serat A delta, disalurkan ke otak melalui serat-serat traktus

paleospinotalamikus. Serat-serat ini berjalan ke daerah reticular

dibatang otak, dan ke daerah di mesensefalon yang disebut dengan

daerah grisea periakuaduktus. Serat-serat paleospinotalamikus yang

berjalan melalui daerah reticular berlanjut untuk mengaktifkan

hipotalamus dan system limbik. Nyeri yang di bawa dalam traktus

paleospinotalamik memiliki lokalisasi difus dan menyebabkan distress

emosi berkaitan dengan nyeri (Guyton dan Hall, 1996).

4. Klasifikasi Nyeri

A. Berdasarkan Sumbernya

1. Cutaneus/superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/jaringan

subkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar), contoh:

terkena ujung pisau atau gunting.

2. Deep somatic/nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari lapisan

dinding tubuh, seperti ligament, pembuluh darah, tendon dan

syaraf, nyeri menyebar dan lebih lama daripada cutaneus, contoh:

sprain sendi.

3. Visceral (pada organ dalam), stimtlasi reseptor nyeri dalam rongga

perut (abdomen), kepala (cranium) dan dada (thorak). Biasanya

terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan.

B. Berdasarkan Penyebabnya

1. Fisik Bisa terjadi karena stimulus fisik, contoh: patah tulang paha.
2. Psycogenic Terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah

diidentifikasi, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak

disadari. Contoh: orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri

pada dadanya.

C. Berdasarkan Durasi/Lamanya

1. Nyeri Akut

Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cedera, atau

intervensi bedah dan memiliki mula yang cepat, dengan intensitas

bervariasi dari berat sampai ringan. Fungsi nyeri ini adalah sebagai

pemberi peringatan akan adanya cidera atau penyakit yang akan

datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya

intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak.

Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat

agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius

mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi

prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi bisa

memanjang dengan adanya nyeri yang tidak terkontrol.

2. Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas

bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri

ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena

pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain.


Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri

kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Nyeri ini

merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan

psikologis.

3. Nyeri Kanker

Nyeri kanker merupakan kombinasi dari nyeri akut dan nyeri

kronis dimana ada suatu proses inflamasi kemudian nyeri

berlangsung terus-menerus sesuai dengan perkembangan

kankernya, bilamana kanker tidak ditangani.

D. Berdasarkan Lokasi/Letaknya

1. Radiating Pain

Nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di dekatnya, contoh:

nyeri infark miokard.

2. Referred Pain

Nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yang diperkirakan

berasal dari jaringan penyebab.

3. Intractable Pain

Nyeri yang sangat susah dihilangkan, contoh: nyeri kanker,

keganasan.

4. Phantom Pain

Sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh yang hilang, contoh

bagian tubuh yang diamputasi atau bagian tubuh yang lumpuh karena

injuri medulla spinalis (Anonim, 2011).


K. Tinjauan Enzim Siklookginase

Siklooksigenase (COX)-1 pertama kali dipurifikasi pada tahun 1976.

Pada saat itu, peneliti mengira bahwa pembentukan prostaglandin (yang

telah ditemukan sejak 1962) hanya melalui satu enzim ini. Penemuan gen

pengkode COX-2 yang terjadi pada tahun 1991 mengubah pandangan

mereka. COX-1 dan COX-2 memiliki struktur yang sangat mirip meskipun

susunan asam amino mereka hanya memiliki 61% kemiripan. Baik COX-1

dan COX-2 berperan dalam biosintesis prostanoid dari substratnya yakni

asam arakidonat melalui jalur arakidonat. Prostanoid adalah sekelompok

senyawa kimia mediator aktif yang dihasilkan dari kerja COX. Prostanoid

adalah bagian dari eicosanoid, yang merupakan kelompok besar senyawa

biokimia yang meliputi tromboksan, prostasiklin, leukotriene,

hydroxyeicosatetraenoic acid, epoxyeicosatrienic acids, lipoksin, dan

isoprostan. Setiap kelas eicosanoid memiliki fungsi spesifik dan bekerja

dalam lingkup lokal untuk meregulasi respon sel tertentu. Karena COX-1

dan COX-2 mirip dan bekerja dalam tahap yang sama pada jalur

arakidonat, penghambatan selektif menjadi tantangan tersendiri. Berbekal

asumsi bahwa COX berperan aktif dalam proses inflamasi, NSAID

penghambat COX bermunculan. Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs

(NSAID) termasuk dalam kelompok obat yang paling sering diresepkan di

dunia. Kelompok obat ini mencakup aspirin, penghambat cyclooxygenase

(COX) nonselektif, dan penghambat COX-2 selektif. Mereka memiliki

kemampuan umum sebagai analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik. Untuk


memahami mekanisme kerja dan efek NSAID terhadap tubuh, kita perlu

memiliki pemahaman mengenai proses apa yang dihambat obat tersebut

yakni enzim COX dan jalur arakidonat tempat enzim tersebut bekerja.

Diharapkan paper ini dapat menambah wawasan mengenai COX, jalur

arakidonat, dan NSAID sehingga dapat menunjang pelayanan kesehatan

kedepannya (Flood, 2015).

1. Molekul siklooginase

COX (Prostaglandin G/H sintase; Prostaglandin endoperoksida H

sintase; EC 1.14.99.1) adalah enzim homodimer yang mengkatalis dua

langkah pertama dalam biosintesis prostaglandin. Enzim COX memiliki

dua isoform, yakni isoenzim COX-1 dan COX-2. COX-1 memiliki 576

asam amino sementara COX-2 memiliki 581 asam amino. COX-1

memiliki tiga oligosakarida, salah satu oligosakarida berperan dalam

pelipatan protein. COX-2 memiliki empat oligosakarida, dimana satu

oligosakarida berperan dalam pelipatan protein dan oligosakarida

keempat berperan dalam degradasi protein ini (Garavito, 2002).

Gambar. II. K. 1. Struktur enzim COX. Warna merah adalah gugus


heme di tempat aktif peroksidase. Warna hijau adalah asam arakidonat
yang berikatan dengan tempat aktif oksigenase (Schneider, 2007).
Gambar II. K. 2. Pemodelan yang menunjukkan kanal substrat serta
posisi asam arakidonat ketika menempel di tempat aktif
siklooksigenase. Tampak bahwa karbon-13 asam arakidonat tepat
berada di depan Tyr-385. (Patrono, 2001).

2. Perbedaan Isoenzim COX-1 dan COX-2

COX-1 diproduksi oleh sebagian besar jenis sel dalam tubuh. Gen

COX-1 bernama Ptgs-1. Gen ini mengkode RNA mRNA sepanjang 2,8

kb yang stabil. Gen untuk COX-2, Ptgs-2, teraktivasi terutama ketika

ada rangsangan mediator inflamasi atau endotoksin bakteri di jaringan.

Gen ini apabila teraktivasi akan menghasilkan mRNA sepanjang 4 kb

yang mudah rusak karena ketidakstabilan di 3’-untranslated region.

Enzim COX-2 bersifat unik karena memiliki sensitivitas lebih tinggi

terhadap hidroperoksida dibanding COX-1 sehingga mampu bekerja

pada konsentrasi asam arakidonat yang lebih rendah dibanding COX-1.

Selain itu, secara in vivo COX-2 terekspresi setelah ada induksi berupa

lingkungan inflamasi. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa COX-1

bekerja untuk homeostasis sementara COX-2 bekerja dalam proses

patologis.

Ada spekulasi yang menyatakan bahwa isoform COX-3 ada pada

manusia (isoform ini baru ditemukan pada hewan). Spekulasi ini

muncul untuk menjelaskan cara kerja acetaminophen yang tidak begitu

bagus dalam menghambat COX-1 dan COX-2 tetapi ternyata mampu

meredakan nyeri (Smith, 2001).


3. Peran Fisiologis COX-1 dan COX-2

Peran fisiologis COX-1: Agregasi Platelet. Platelet merupakan

vesikel sel tak berinti yang akan beragregasi membentuk bekuan darah

ketika terjadi kerusakan pembuluh darah. Platelet dapat menghasilkan

tromboksan A2 (TXA2) menggunakan substrat asam arakidonat dengan

enzim COX-1. Asam arakidonat yang menjadi substrat didapat dari

eksogen atau dari cadangan fosfolipid intrasel. TXA2 akan keluar dari

platelet dan berikatan dengan reseptor TXA2 platelet untuk

menginduksi perubahan bentuk dan agregasi platelet. TXA2 juga bisa

berikatan dengan reseptor di pembuluh darah untuk menginduksi

vasokonstriksi.

Persalinan. Percobaan menunjukkan bahwa pada hewan yang

kekurangan COX-1, PGF2α tidak terproduksi sehingga persalinan

menjadi terhambat. Akan tetapi tampaknya COX-2 pada kondisi

terinduksi inflamasi juga dapat memproduksi PGF2α untuk proses

persalinan (Caughey, 2001).

Peran Fisiologis COX-2: Ovulasi dan Implantasi. COX-2 berperan

dalam peningkatan produksi PGE2 ovarium. Deplesi PGE2 ovarium

akan menyebabkan masalah ovulasi dan fertilisasi. Kekurangan COX-2

juga membuat PGI2 berkurang sehingga menghambat implantasi

blastocyst dan desidualisasi. Perkembangan neonatus. COX-2 berperan

dalam perkembangan jaringan glomerulus ginjal serta mempercepat

penutupan ductus arteriosus (Caughey, 2001).


L. Tinjauan Analgesik

1. Pengertian

Analgesik adalah obat atau senyawa yang digunakan untuk

meredakan rasa nyeri. Analgesik dikelompokkan menjadi 2 yaitu

analgesik perifer (non narkotik) dan analgesik sentral (narkotik).

Adapun obat analgesik juga dibagi dalam dua kelompok yaitu obat

golongan Opioid dan obat golongan NSAID. Pada obat golongan

Opioid bekerja di system saraf pusat sedangkan obat golongan NSAID

bekerja pada reseptor saraf perifer dan system saraf pusat (Soekardjo,

2000). Menurut Mutschler (1991) Analgetika merupakan senyawa yang

dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa

memiliki kerja anestesi umum atas dasar kerja farmakologisnya,

analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik perifer (non

narkotik) dan analgesik sentral (narkotik). Untuk analgesik non narkotik

terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja

sentral, sedangkan untuk analgesik narkotik khusus digunakan untuk

menghalau rasa nyeri hebat seperti pada kanker (Tjay, 2007).

2. Mekanisme Analgesik

Tempat kerja utama NSAID adalah enzim siklooksigenase (COX),

yang mengkatalisis konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin.

Prostaglandin juga terlibat dalam kontrol temperatur tubuh, transmisi

nyeri, agregasi platelet. Prostaglandin tidak disimpan oleh sel, tetapi

disintesis dan dilepaskan sesuai kebutuhan. Terdapat dua isoform enzim


COX yaitu COX-1 dan COX-2. Enzim COX-1 diekspresi secara terus

menerus dalam sebagian besar jaringan dan dianggap melindungi

mukosa lambung. COX-1 terdapat dalam platelet, tetapi COX-2 tidak.

Enzim COX-2 diproduksi secara terus menerus di dalam otak dan ginjal

serta diinduksi pada tempat yang mengalami inflamasi.

Cara kerja NSAID yaitu memblok kedua jenis COX tersebut.

Golongan NSAID hanya menghambat COX-2 dan tidak COX-1. Secara

teoritis, inhibitor COX-2 spesifik bersifat anti-inflamasi tanpa

membahayakan saluran gastrointestinal atau mengubah fungsi platelet

(Tjay & Rahardja, 2008). Obat-obat NSAID dibagi dalam beberapa

kelompok yaitu turunan asam salisilat, turunan para aminofenol,

turunan asam asetat, turunan asam propionat, turunan oksikam,

penghambat selektif COX-2 seperti celecoxib dan valdecoxib (Burke et

al, 2006).

Asam Asetil Salisilat Asetaminofen Diklofenak


(Turunan Asam Salisilat) (Turunan p-aminofenol) (Turunan Asam
Asetat)
Gambar. II. L 1. Struktur kimia analgesik golongan NSAID (Burke et al., 2006;
Siswandono& Soekardjo, 2000).

3. Macam-Macam atau Klasifikasi

Berdasarkan kerja farmakologinya Analgesik dibagi menjadi dua

kelompok yaitu analgesik narkotik dan analgesik nonnarkotik :


a. Analgesik Narkotik

Analgesik narkotik mempunyai daya kerja penghalau nyeri yang

kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di sistem saraf pusat. Zat ini

umumnya menurunkan kesadaran (sifat meradakan dan menidurkan)

dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia), serta mengakibatkan

ketergantungan fisik dan psikis (ketagihan, adikasi). Analgesik sentral

atau analgesik narkotik Analgesik narkotika atau analgesik sentral

bekerja pada susunan saraf pusat, digunakan untuk mengurangi rasa

nyeri berat seperti kanker. Analgesik ini terdiri dari morfin, pethidin,

metadon, dll. Morfin adalah prototipe (bentuk asli/dasar) dari opioid. Morfin

diindikasikan untuk nyeri moderat sampai berat, dan nyeri kronik. Morfin

menyebabkan sedasi, efek ansiolitik, dan dapat mengurangi dosis anestesi.

(Tjay dan Rahardja, 2002).

b. Analgesik Non-narkotik

Analgetika non-narkotik bersifat tidak adiktif dan kurang kuat

dibandingkan dengan analgetika narkotik. Obat-obatan ini juga

dinamakan analgetika perifer, tidak menurunkan kesadaran dan tidak

mengakibatkan ketagihan secara kimiawi. Obat-obatan ini digunakan

untuk mengobati nyeri yang ringan sampai sedang dan dapat dibeli

bebas. Obat-obatan ini efektif untuk nyeri perifer seperti sakit kepala,

nyeri pada inflamasi, nyeri otot, dan arthritis ringan sampai sedang.

Efek samping dari analgetika yang paling umum adalah gangguan

lambung, kerusakan hati dan juga reaksi alergi di kulit. Berdasarkan


struktur kimianya, analgesik non-narkotik dibagi menjadi dua

kelompok yaitu analgesik antipiretika dan obat anti radang bukan

steroid (Non Steroidal Antiinflamatory Drugs = NSAID). Analgesik

antipiretika digunakan untuk pengobatan simptomatik, yaitu hanya

meringankan gejala penyakit, tidak menyembuhkan atau

menghilangkan penyebab penyakit. Contoh golongan ini adalah

asetaminofen (parasetamol). Kelompok NSAID mempunyai efek

analgesik, antipiretik dan efek antiinflamasi. Untuk kasus, yang paling

banyak digunakan adalah zat-zat dengan efek samping relatif sedikit,

yakni ibuprofen, naproksen, diklofenak. Analgesik non-narkotik

mengurangi nyeri dengan dua aksi yaitu di sistem saraf pusat dan

perifer. Tempat aksi utama yaitu di sistem saraf perifer dan pada level

nosiseptor dapat mengurangi penyebab nyeri. Sensasi nyeri

berhubungan dengan pelepasan substansi endogen seperti

prostaglandin, bradikinin (Tjay dan Rahardja, 2002).

Berdasarkan penggolongannya contoh obat-obat analgesik dipasaran

atau yang sering digunakan di Indonesia yaitu parasetamol, asetosal,

metampiron, dan ibuprofen. Obat-obat tersebut merupakan golongan

analgesik perifer atau analgesik non narkotik. Sedangkan contoh obat

analgesik narkotik (khusus) adalah tramadol. Efek samping yang paling

umum pada obat analgesik yaitu kerusakan pada darah (parasetamol,

salisilat, derivat-derivat antranilat, dan derivat-derivat pirazolinon),

kerusakan pada hati dan ginjal (parasetamol dan penghambat


prostaglandin/NSAID) dan reaksi alergi pada kulit. Efek samping ini

terjadi terutama pada penggunaan yang lama atau dalam dosis yang

terlalu tinggi tanpa pengawasan tenaga kesehatan terkait bradikinin

(Tjay dan Rahardja, 2007).

M. Tinjauan Asetosal/Aspirin

Gambar II. I. 1. Asetosal/Aspirin


(Dyah dan Siswandono, 2014).

Aspirin atau asam asetil salisilat merupakan obat anti radang bukan

steroid atau yang lazim dinamakan Non Steroidal Anti Imflammatory

Drug’s (NSAIDs) atau antiinflamasi non steroid (OAINS) adalah

golongan obat yang bekerja terutama di syaraf pusat (perifer) yang

berfungsi sebagai analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas),

antiinflamasi (anti radang). Aspirin dan NSAIDs lainnya bekerja dengan

cara menghambat siklooksigenase (COX 1/2) yang mengakibatkan

penurunan produksi prostaglandin. Berbeda dengan analgesik opioid dan

parasetamol, hal ini tidak hanya mengurangi sakit/nyeri, tetapi juga

inflamasi sehingga digunakan pada pengobatan berbagai kondisi akut dan

kronik yang menimbulkan nyeri dan inflamasi. Pada umumnya, NSAIDs

menghambat COX 1/2 secara non selektif. Penelitian menunjukkan

sebagian besar efek samping NSAIDs dimediasi oleh kerja hambatan


terhadap COX–1, sedangkan efek analgesik dimediasi oleh hambatan

terhadap COX–2 (Dyah dan Siswandono, 2014).

Aspirin/asetosal digunakan untuk mengobati nyeri ringan sampai

sedang yang penyebabnya beraneka ragam, misalnya nyeri kepala, gigi,

atau sendi, nyeri haid, dan nyeri akibat benturan. Untuk nyeri dan demam

oral 4 x sehari 0,5-1gram p.c, maksimal 4 gram sehari, anak-anak sampai 1

tahun 10 mg/kg 3-4 kali sehari, 1-12 tahun 4-6 x sehari 320-500 mg,

maksimal 2g/hari. Rektal dewasa 4 x sehari 0,5-1 g, anak-anak sampai 2

tahun 2 x sehari 20 mg/kg sesudah makan (Tjay dan Rahardja, 2007).

Efek samping yang sering terjadi dari penggunaan aspirin yaitu iritasi

mukosa lambung dengan resiko tukak lambung dan perdarahan samar

(occult) penyebabnya adalah sifat asam dari aspirin. Selain itu aspirin

menimbulkan efek spesifik seperti reaksi alergi kulit dan tinnitus (telinga

berdengung) pada dosis lebih tinggi. Efek yang lebih serius adalah kejang-

kejang bronchi hebat yang pada pasien asma dapat menimbulkan serangan

walaupun dalam dosis rendah (Tjay dan Rahardja, 2002).

N. Tinjauan Pelarut

Cairan pelarut dalam pembuatan ekstrak merupakan pelarut yang

baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang

aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan

dan dari senyawa kandungan lainya, serta ekstrak hanya mengandung

sebagian besar sebagian besar senyawa kandungan yang diingankan.

Cairan pelarut yang dipilih untuk ekstrak total adalah yang dapat
melarutkan hamper semua metabolit sekunder yang terkandung. Faktor

utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah

selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut,

ekonomis, ramah lingkungan, dan keamannya (Depkes, 2000).

Kebijaksanaan dan peraturan pemerintah dalam hal ini juga ikut

membatasi, cairan pelarut apa yang diperlukan dan mana yang dilarang.

Prinsipnya, cairan pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau

dalam perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi

“Pharmaceutical Grade” sampai saat ini, berlaku aturan bahwa pelarut

yang diperbolehkan adalah air dan alkohol (etanol) serta campurannya.

Jenis pelarut lain seperti alkohol turunannya, heksana (hidrokarbon

alifatik), toluene (hidrokarbon aromatik), kloroform (dan segalanya).

Aseton, umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan

tahap pemurnian (fraksinasi). Khusunya methanol yang dihindari

penggunaan (Depkes, 2000).

O. Tinjauan N-Heksan

Nama lain dari Heksana (Hexane) adalah kaproil hidrida, metil n-butil

metan dengan rumus molekul CH3(CH2)4CH3. Heksana mempunyai

karakteristik sangat tidak polar, volatil, mempunyai bau khas yang dapat

menyebabkan pingsan. Berat molekul heksana adalah 86,2 dengan titik

leleh - 94,3°C sampai -95,3°C. Titik ddih heksana pada tekanan 760mmHg

adalah 66°C sampai 71°C. Densitas heksana pada suhu 20°C sebesar

0,6603g/ml (Scheflan dan Morris 1983).


n-Heksana merupakan hidrokarbon alkana rantai lurus yang memiliki

6 atom karbon dengan rumus molekul C 6H14. Isomer n-Heksana tidak

reaktif dan digunakan secara luas sebagai pelarut inert dalam reaksi

organik karena n-Heksana bersifat non polar. n-Heksana didapatkan dari

hasil penyulingan minyak mentah dimana untuk produk industrinya ialah

fraksi yang mendidih pada suhu 65-70°C. n-Heksana biasa digunakan

untuk mengekstrak minyak dan lemak yang memiliki kepolaran yang sama

(Aziz., et al., 2009). n-Heksana merupakan salah satu pelarut yang baik

untuk mengekstraksi senyawa-senyawa yang bersifat non polar. Dalam

keadaan standar senyawa ini merupakan cairan tak berwarna yang tidak

larut dalam air (Munawaroh dan Handayani., 2010).

Tabel II. L. 1. Sifat Fisika Kimia n-Heksana

Karakteristik Syarat
Bobot Molekul 86,2 Gram/Mol
Warna Tak Berwarna
Wujud Cair
Titik Lebur 95°C
Titik Didih 69°C
Densitasi 0,6603 Gr/Ml Pada 20°C

P. Tinjauan Tentang Etanol

Pelarut etanol 70% merupakan pelarut polar yang biasanya digunakan

untuk mengekstrak senyawa fenolik. Senyawa fenolik merupakan senyawa

antioksidan yang dapat mendonorkan atom hidrogen kepada radikal bebas.

Pelarut etanol 70% mempunyai senyawa katekin yang merupakan senyawa

yang mengandung 2 cincin aromatik dengan gugus hidroksil lebih dari

satu. Robinson (2005) mengungkapkan bahwa suatu senyawa fenol


dengan gugus hidroksil bersifat polar, sehingga untuk mengekstrak

senyawa fenol dipilih pelarut polar. Penggunaan pelarut etanol 70%

sebagai pelarut karena bersifat netral, kuman sulit tumbuh, absorbsinya

baik, tidak beracun, etanol dapat bercampur dengan air dalam segala

perbandingan, selektif dalam menghasilkan jumlah senyawa aktif yang

optimal, serta panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit

(Depkes RI, 1986).

Q. Tinjauan Tentang Metanol

Metanol merupakan suatu senyawa alkohol dengan 1 rantai karbon.

Rumus Kimia CH3OH, Metanol merupakan cairan polar yang dapat

bercampur dengan air, alkohol lain seperti, ester, keton, eter, dan sebagian

besar pelarut organik. Metanol sedikit larut dalam lemak dan minyak. Titik

didih metanol berada pada 64,7°C dengan panas pembentukan (cairan)-

239,03 kJ/mol pada suhu 25°C. Metanol mempunyai panas fusi 103 J/g

dan panas pembakaran pada 25°C sebesar 22,662 J/g. Tegangan

permukaan metanol adalah 22,1 dyne/cm sedangkan panas jenis uapnya

pada 25°C sebesar 1,370 J/(gK) dan panas jenis cairannya pada suhu yang

sama adalah 2,533 J/(gK) (Winarso,2005).

R. Tinjauan Tentang Pereaksi Warna

Reaksi warna merupakan suatu prosedur kimia dalam pengujian

senyawa dengan menggunakan pereaksi dengan mengamati warna yang

terbentuk atau perubahan warna yang terjadi. Banyak senyawa kimia yang

dapat memeberikan warna tertentu jika berkontak dengan pereaksi


tertentu. Warna yang dihasilkan oleh pereaksi tersebut mungkin spesifik

untuk senyawa tersebut mungkin juga tidak. Reaksi warna dapat dijadikan

dasar untuk mengidentifikasi kandungan senyawa yang terdapat pada

tanaman. Reagen-reagen yang yang biasanya digunakan untuk pereaksi

warna adalah reagen dragendorf untuk mengetahui senyawa/kandungan

alkaloid, reagen Lieberman-Buchard untuk mengetahui kandungan

terpenoid dan untuk uji kolorimetri, dan reagen ammonia untuk

mengetahui kandungan flavonoid (Amin, 2009).

S. Metode Pengujan Analgesik Secara In Vivo

Metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas analgesik suatu

senyawa meliputi metode rangsangan panas, rangsangan kimia

(Jannapreddi, et al., 2013).

1. Metode Rangsangan Panas

Prinsip pada metode ini adalah menggunakan rangsangan panas

sebagai penginduksi rasa nyeri. Hewan percobaan diletakkan diatas

pelat panas (hot plate) dengan suhu tetap, yaitu 55°C. Pada hewan

percobaan akan memberikan respon terhadap nyeri dalam bentuk

menjilat kaki belakang atau loncat. Selang waktu antara pemberian

stimulus nyeri dan 30 terjadinya respon disebut waktu reaksi.

Peningkatan waktu reaksi ini dapat dijadikan parameter untuk

mengevaluasi aktivitas analgesik (Jannapreddi, et al., 2013)

2. Metode Rangsangan Kimia


Prinsip dari metode ini adalah melihat dan mengamati jumlah

respon geliat pada hewan uji (mencit) yang disebabkan oleh pemberiaan

induksi suatu larutan asam asetat secara intraperitonial. Larutan asam

asetat ini berfungsi sebagai pemicu rasa nyeri pada mencit. Larutan

asam asetat juga diketahui dapat berguna sebagai iritan yang cocok

untuk menghasilkan respon geliat. Respon geliat ini ditandai dengan

bagian perut menyentuh dasar kaki tempat berpijak, terjadi kontraksi

perut atau tarikan pada bagian perut, kedua pasang kaki ditarik ke

belakang, badan meliuk, dan membengkokkan kepala ke belakang.

Timbulnya respon geliat akan muncul maksimal 5-20 menit setelah

pemberian asam asetat dan biasanya geliat akan berkurang 1 jam

kemudian (Sariana, 2011). Daya analgesik dapat dievaluasi

menggunakan persen daya analgesik menggunakan persamaan

Hendersoth dan Forsaith (Hastuti, 2015).

% Daya Analgesik =100−[ ( KP ) x 100]


Keterangan :
P = Jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian
obat yang telah diuji
K = Jumla rata-rata geliat hewan uji kelompok kontrol
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Menurut Octavianus, et al. (2016), Nyeri dapat diringankan


nyeri dapat didefinisikan sebagai menggunakan analgesik
suatu pengalaman sensorik dan (antinyeri). Analgesik
emosional yang berkaitan dengan merupakan sebuah obat atau
adanya kerusakan pada jaringan. senyawa yang dalam dosis
terapeutik dapat meringankan
Penggunaan analgesik mayoritas
(terlalu lama) dapat mengganggu atau menekan rasa nyeri tanpa
kinerja pada lambung dan usus memiliki kerja anestesi umum
serta dapat menyebabkan (Hastuti, 2015).
kerusakan pada darah, hati, ginjal
dan memicu terjadinya sensitifitas Penggolongan obat analgesik
pada kulit (Andreani, 2016). menjadi dua, yaitu analgesik
non-narkotik (perifer) dan
Penggunaan obat tradisional lebih analgesik sentral (narkotik)
aman dibandingkan dengan obat (Tjay dan Raharja, 2007).
kimia dan efek samping yang
ditimbulkan lebih sedikit Trembesi salah satu tanaman
(Andreani, 2016). yang dipercaya berkhasiat
sebagai obat. Pada penelitian
Pada penelitian skrining fitokimia sebelumnya ekstrak daun
terdahulu, ekstrak daun Trembesi trembesi dimanfaatkan sebagai
menunjukan adanya kandungan antiseptik (Tungadi dan
senyawa flavonoid, tannin, Abdulkadir, 2015), antibakteri
saponin, alkaloid, steroid dan (Sari, et al., 2015), antidiabetes
triterpenoid (Lestari, 2019). (Natarajan, et al., 2013),
antijamur (Sariningsih, et al.,
Senyawa flavonoid memiliki peran 2015) dan analgesik (Lestari,
sebagai analgesik yang mekanisme 2019).
kerjanya menghambat enzim COX,
dan mengurangi produksi Ekstrak etanol daun trembesi
prostaglandin oleh asam arakidonat memiliki aktivitas analgesik
sehingga dapat mengurangi rasa nyeri pada mencit dengan dosis terapi
(Octavianus, et al., 2014). Tak hanya 600 mg/kgBB (Lestari, 2019)
flavonoid, senyawa alkaloid
(Fatmawali, 2013), tannin (Hasan, et Maka perlu dilakukan fraksinasi
al., 2014), steroid (Amiyati, 2015). dan penelitian lebih lanjut
terhadap aktivitas fraksi n-
Fraksi n-heksan daun trembesi heksan daun trembesi sebagai
mempunyai efek analgesik pada analgesik
mencit

Gambar III. A. 1. Kerangka Konsep.


B. Narasi Kerangka Konsep

Nyeri atau rasa sakit merupakan suatu pengalaman sensorik dan

emosional yang berkaitan dengan adanya kerusakan pada jaringan

(Octavianus, et al., 2016). Rasa nyeri muncul karena adanya rangsangan

secara mekanis maupun secara kimiawi, yang dapat menimbulkan

kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut

mediator (perantara) nyeri seperti bradikinin, histamin, serotonin, dan

prostaglandin (Afrianti, et al, 2014).

Analgesik merupakan suatu senyawa yang pada dosis tertentu

dapat meringankan atau menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerja anestesi

(Hastuti, 2015). Analgesik dibagi menjadi dua yaitu menurut mekanisme

kerjanya yang berkhasiat kuat bekerja pada pusat, yaitu analgesik narkotik

yang memiliki daya kerja penghalau nyeri yang kuat sekali dengan titik

kerja yang terletak di sistem saraf pusat. Dan yang berkhasiat lemah

(sampai sedang) yaitu analgesik non-narkotik mengurangi nyeri dengan

dua aksi yaitu di sistem saraf pusat dan perifer. Tempat aksi utama yaitu di

sistem saraf perifer dan pada level nosiseptor dapat mengurangi penyebab

nyeri (Tjay dan Rahardja, 2007).

Pada penelitian sebelumnya ekstrak daun Trembesi dapat

dimanfaatkan sebagai antiseptik (Tungadi dan Abdulkadir, 2015),

antidiabetic (Natarajan, et al., 2013), antibakteri dan antijamur (Sari, et al.,

2015) , dan analgesik (Lestari, 2019). Pada penelitian skrining fitokimia,

ekstrak daun Trembesi menunjukan adanya positif kandungan senyawa


flavonoid, tannin, saponin, alkaloid, steroid dan triterpenoid (Lestari,

2019). Kandungan senyawa flavonoid memberi peran efek analgesik pada

ektrak daun trembesi, dengan cara menghambat enzim siklooksigenase,

sehingga mengurangi produksi prostaglandin oleh asam arakidonat dan

dapat mengurangi nyeri (Octavianus, et al., 2014). Tak hanya flavonoid,

senyawa alkaloid (Fatmawali, 2013), tannin (Hasan, et al., 2014), steroid

(Amiyati, 2015) juga memiliki efek analgesik.

Pengujian aktivitas analgesik menggunakan metode rangsangan

secara kimia yang diberikan secara intraperionial (i.p) pada mencit (hewan

uji) yang sebelumnya telah diberikan senyawa uji secara peroral pada

selang waktu yang telah ditentukan. Zat kimia yang digunakan adalah

asam asetat. Respon nyeri yang didapat pada mencit adalah berupa geliat

disertai dengan kontraksi perut dan tarikan oleh kedua kaki belakang

dimana perut menempel pada lantai. Pemberian analgesik akan dapat

mengurangi rasa nyeri sehingga jumlah geliat dalam jangka waktu tertentu

akan dapat berkurang (Marlyne, 2012).

C. Hipotesis

Fraksi n-Heksan daun Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr.)

mempunyai efek (aktivitas) analgesik pada mencit (Mus musculus L.).


BAB IV

METODE PNELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan true experimental (penelitian eksperimen

sungguhan) dengan menggunakan pendekatan Post-Test Only Control

Group Design. Peneliti mengukur pengaruh perlakuan (intervensi) pada

kelompok eksperimen dengan cara membandingkan kelompok perlakuan

dengan kelompok kontrol (Notoatmodjo, 2012). Pengukuran pada

kelompok eksperimen (perlakuan) 1, kelompok eksperimen 2, dan

kelompok eksperimen 3, dimana dengan uji dosis masing-masing yaitu

100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB, dan 300 mg/kgBB. Kemudian akan

dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol

negative.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi dan

Laboratorium Instrumen Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri

Jawa Timur.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2019 hingga Maret

2020.

C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek

atau subjek maupun yang mempunyai kualitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2015). Populasi pada

penelitian ini adalah tanaman Trembesi (Samanea saman (Jacq.)

Merr) yang diambil dari Desa Jatirejo, Dusun Dahu, Kecamatan

Banyakan, Kabupaten Kediri.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar dan penelitian

tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi. Untuk itu

sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul respentativ

(mewakili) (Sugiyono, 2015). Dalam penelitian ini, sampel yang

digunakan adalah daun trembesi yang diambil sebanyak 1000 gram.

3. Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan

accidental sampling. Accidental sampling adalah merupakan teknik

dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain

kecuali berdasarkan kemudahan saja (tidak disengaja). Alasan

menggunakan teknik Accidental sampling adalah metode sampling

yang sangat mudah diterapkan, secara teratur digunakan untuk science

dan juga dapat menghemat waktu, uang dan tenaga. Namun memiliki

keurangan yaitu, tidak bebas dari kesalahan atau hasil kurang objektif
(Sugiyono, 2016). Oleh karena itu, peneliti memilih teknik Accidental

sampling yang memiliki ciri sampel yang diambil sesuai dengan yang

dikehendaki oleh peneliti. Sampel yang digunakan yaitu daun

Trembesi dengan ciri-ciri daun berwarna hijau tua/muda.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independent)

Variabel independen adalah variabel yang sering disebut sebagai

variabel stimulus, prediktor, dan antesenden. Dalam bahasa Indonesia

sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel ini memengaruhi atau

yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen

(Sugiyono, 2013). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis

fraksi n-Heksan daun Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr).

2. Variabel Terikat (Dependen)

Variabel dependen sering disebut sebagai variabel output, kriteria,

dan konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai

variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi

atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono,

2013). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah geliat pada

mencit (Mus musculus L.) sebagai hasil aktivitas analgesik dari fraksi

n-Heksan daun Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr).

E. Definisi Operasional (DO) Variabel Penelitian

Tabel VI. E. 1. Definisi Operasional (DO) Variabel Penelitian.

No Variabel Definisi Parameter Alat Hasil Skala


Operasional Ukur Ukur Data
1. Dosis fraksi Daun trembesi Fraksi n- Timba Gram Rasio
n-Heksan diekstraksi Heksan ngan
daun dengan metode analiti
Trembesi maserasi k
(Samanea mengguanakan
saman (Jacq.) pelarut etanol
Merr). 70% kemudian
ekstrak
difraksinasi
dengan pelarut
n-Heksan
menggunakan
metode cair-
cair. Dosis
yang
digunakan
100mg/kgBB,
200mg/kgBB,
300mg/kgBB.
2. Jumlah geliat Hasil aktivitas Jumlah Stopw Visual Rasio
pada mencit analgesik dari geliat pada atch
(Mus fraksi n- mencit
musculus L.) Heksan daun
sebagai hasil Trembesi
aktivitas ditandai
analgesik dari dengan
fraksi n- timbulnya
Heksan daun geliat pada
Trembesi mencit berupa
(Samanea kontraksi perut
saman (Jacq.) disertai tarikan
Merr). kedua kaki
belakang dan
perut
menempel
pada lantai.

F. Instrument Penelitian

1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kandang

hewan, stopwatch, blender, timbangan analitik, lampu UV 254 nm dan


366 nm, plat KLT, chamber, pinset, toples, oven, desikator, rotary

evaporator, gelas beker (Pyrex), erlenmeyer (Pyrex), gelas ukur

(Pyrex), batang pengaduk, pipet tetes, pipet ukur (Pyrex), corong kaca

(Iwaki), corong pisah, tabung reaksi (Pyrex), labu ukur, rak tabung

reaksi, cawan porselin, kaca arloji, sonde, dan spuit disposable.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr.), etanol 70%, metanol, n-

heksan, asam asetat, aspirin, HCl, amonia, pereaksi Dragendroff,

pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, asam asetat anhidrat, asam sulfat

pekat, air panas, FeCl3, serbuk Mg, dan aquadest, H 2SO4, asam asetat

glasial.

3. Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit

putih (Mus musculus L.) yang sehat, sebanyak 30 ekor, umur 2-3

bulan dengan berat 20-25 gram. Selama pengamatan tidak

menunjukkan deviasi berat badan (>10%) dan secara visual tidak

menunjukkan gejala yang tidak sehat.

G. Prosedur Pengumpulan Data.

1. Determinasi.

Determinasi tanaman Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr.)

dilakukan di Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.


2. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Trembesi (Samanea saman

(Jacq.) Merr.).

Daun Trembesi yang berwarna hijau tua dipetik kemudian

dibersihkan dengan cara dicuci dengan air mengalir. Daun trembesi

yang sudah bersih kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu

30°C sampai 90°C, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi

60°C. Daun Trembesi dihaluskan dengan cara diblender kemudian

diayak sampai diperoleh derajat kehalusan tertentu (Depkes RI, 1985).

Sebanyak 150 gram simplisia daun Trembesi diekstraksi dengan

metode maserasi menggunakan etanol 70% (Sariningsih, et al., 2015).

Maserasi dilakukan dengan cara 10 bagian simplisia ditambahkan 75

bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari pada suhu

kamar dan dilakukan pengadukan secara berulang. Setelah 5 hari

kemudian disaring untuk memisahkan filtrat dan residunya. Filtrat

yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator sampai diperoleh

ekstrak kental (Depkes RI, 2000).

3. Pembuatan Fraksi n-Heksan Ekstrak Daun Trembesi (Samanea

saman (Jacq.) Merr.).

Pembuatan fraksi n-Heksan dilakukan dengan fraksinasi (cair-cair)

yaitu, menimbang 10 gram ekstrak kental daun Trembesi yang

masing-masing dilarutkan kedalam metanol. Kemudian dimasukkan

kedalam corong partisi (corong pisah), dan akan terbentuk dua

lapisan, kocok searah kedalam hingga tercampur sempurna. Kemudian


akan terbentuk dua lapisan, antara metanol dan n-Heksan.

Penambahan n-Heksan yaitu 100 ml. lapisan yang terdapat diatas,

maka bersifat polar dan dinamakan fraksi metanol, sedang fraksi yang

berada dibawah disebut dengan fraksi n-heksan, bersifat nonpolar.

Kemudian pisahkan dan tambahkan pelarut n-Heksan hingga fraksi

yang didapat berwarna jernih, tampung hasil fraksi n-Heksan lalu

dipekatkan atau di uapkan di waterbath dengan suhu 40°C hingga

50°C.

4. Uji Bebas Etanol Fraksi n-Heksan Ekstrak Daun Trembesi

(Samanea saman (Jacq.)Merr.).

Uji bebas etanol fraksi n-Heksan ekstrak daun trembesi dilakukan

dengan cara menambahkan asam asetat glasial dan H2SO4 ekstrak

kental fraksi n-Heksan, kemudian dilakukan pemanasan. Dikatakan

sampel bebas dari etanol apabila ekstrak tersebut sudah tidak tercium

bau ester (Utami, et al, 2016).

5. Skrining Fitokimia Fraksi n-Heksan Ekstrak Daun Trembesi

(Samanea saman (Jacq.) Merr.).

a. Uji Flavonoid

Sebanyak 1 ml sampel (fraksi n-Heksan) dimasukkan

dalam tabung reaksi. Kemudian ditambah dengan serbuk Mg dan

5 tetes HCl pekat. Sampel positif mengandung flavonoid apabila

terbentuk warna kuning, jingga, atau merah (Nafisah, et al.,

2014).
b. Uji Alkaloid

Sebanyak 1 ml sampel (fraksi n-Heksan) dimasukkan

dalam tabung reaksi dan ditambah dengan 5 tetes amonia.

Kemudian dikocok dan disaring. Filtrat ditambah 2 ml asam sulfat

2N dan dikocok. Larutan atas dibagi menjadi tiga bagian, pada

tabung pertama ditambahkan 1 tetes pereaksi Mayer, adanya

alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih. Tabung

kedua ditambah 1 tetes pereaksi Dragendorff, adanya alkaloid

ditandai dengan terbentuknya endapan jingga. Tabung ketiga

ditambah 1 tetes pereaksi Wagner dan terbentuknya endapan

coklat menandakan adanya alkaloid (Nafisah, et al., 2014).

c. Uji Tannin

Sebanyak 1 ml sampel (fraksi n-Heksan) ditambahkan 2 ml

aquadest dan didihkan. Filtrat kemudian ditambahkan larutan

FeCl3 1%. Sampel positif mengandung tanin jika terbentuk warna

hijau kehitaman (Munte, et al., 2015).

d. Uji Saponin

Sebanyak 1 ml sampel (fraksi n-Heksan) dimasukkan

dalam tabung reaksi. Kemudian ditambah 2 ml aquadest dan

dipanaskan selama 2-3 menit. Setelah dingin dikocok dengan

kuat. Adanya busa yang stabil selama 30 detik menunjukkan

sampel mengandung saponin (Nafisah, et al., 2014).

e. Uji Steroid atau Triterpenoid


Sebanyak 1 ml sampel (fraksi n-Heksan) dimasukkan

dalam tabung reaksi. Kemudian ditambah dengan asam asetat

anhidrat dan asam sulfat pekat. Kemudian dikocok perlahan dan

didiamkan. Jika terbentuk warna biru atau hijau menandakan

adanya steroid. Jika terbentuk warna ungu atau merah

menandakan adanya triterpenoid (Nafisah, et al., 2014).

6. Identifikasi Fraksi dengan KLT

Fase diam yang digunakan adalah plat silika gel GF 254. Fase gerak

yang digunakan untuk fraksi n-Heksan daun Trembesi yaitu BAA (n-

butanol : asam asetat : air) dengan perbandingan (4 : 1 : 5) (Harbone,

1987). Plat silika gel GF254 diaktivasi dengan cara dioven pada suhu

100ºC selama 1 jam untuk menghilangkan air yang terdapat pada plat

KLT. Sampel kemudian ditotolkan sepanjang plat dengan

menggunakan pipet mikro pada jarak 1,5 cm dari garis bawah. Hasil

KLT diangin-anginkan kemudian diperiksa di bawah sinar UV pada

panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Plat kemudian diuapi dengan

amonia untuk memperjelas bercak noda yang ditimbulkan (Nuari, et

al., 2017).

7. Penyiapan Hewan Uji

Hewan coba diadaptasikan terhadap lingkungan kandang di

Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Institut Ilmu Kesehatan

Bhakti Wiyata Kediri selama 7 hari dan diberi makan dan minum

setiap hari secara ad libitum.


Mencit yang digunakan pada penelitian ini memiliki berat badan

sekitar 20-30 gram dan berumur antara 2-3 bulan. Mencit (Mus

musculus L.) dipelihara selama 1 minggu sebelum mendapat pelakuan

untuk memberikan kondisi fisik dan psikologis yang sama. Selama

pemeliharaan diberi minum air minum (aquadest) dan makanan

(pakan).

b
8. Pembuatan Suspensi CMC-Na 0,5% ( ).
v

Serbuk CMC-Na ditimbang sebanyak 500 mg kemudian

dikembangkan dalam air panas sebanyak 20 kalinya dan digerus

hingga homogen, kemudian ditambahkan aquadest sampai volume

100 ml sambil terus diaduk (Syamsul, et al., 2016).

9. Pembuatan Larutan Stock Asetosal.

Asetosal/Aspirin ditimbang sebanyak 20 mg kemudian disuspensi

dengan larutan CMC-Na 0,5% sedikit demi sedikit sambil dikocok

dan ditambahkan volume sampai 5 ml (Syamsul, et al., 2016).

v
10. Pembuatan Larutan Asam Asetat 0,5% ( ).
v

Asam asetat dipipet sebanyak 0,5 ml kemudian diencerkan dengan

aquadest dalam labu ukur hingga volume 100 ml (Syamsul, et al.,

2016).

11. Pembuatan Larutan Stock Fraksi n-Heksan.

Fraksi n-Heksan daun Trembesi yang telah ditimbang sebanyak

200 mg digerus dan ditambahkan suspensi CMC-Na 0,5% b/v sampai


volume 10 ml sambil terus diaduk hingga homogen hingga

membentuk konsentrasi 20 mg/ml.

12. Pelaksanaan Uji Analgesik.

Hewan percobaan dibagi menjadi 5 kelompok secara acak untuk

setiap kelompok 5 ekor mencit dan 1 ekor mencit sebagai cadangan,

yang terdiri dari:

a. Kelompok 1: Kelompok mencit diberikan suspensi CMC-

Na 0,5% ( sebagai kelompok kontrol negatif).

b. Kelompok 2: Kelompok mencit yang diberi suspensi

aspirin 500 mg (sebagai kelompok kontrol positif).

c. Kelompok 3: Kelompok mencit yang diberi suspensi Fraksi

n-Heksan dosis 100 mg/kgBB.

d. Kelompok 4: Kelompok mencit yang diberi suspensi Fraksi

n-Heksan dosis 200 mg/kgBB.

e. Kelompok 5: Kelompok mencit yang diberi suspensi Fraksi

n-Heksan dosis 300 mg/kgBB.

Setelah 30 menit kemudian kepada semua kelompok mencit diberi

induktor nyeri yaitu asam asetat 0,5% secara intraperitonial. Geliat

mencit yang terjadi diamati selama 1 jam. Geliat dihitung pada saat

mencit mulai merasakan sakit yang ditandai dengan adanya kontraksi

perut yang disertai tarikan kedua kaki belakang dan perut menempel

pada lantai. Hasilnya dikumulatifkan sebagai daya geliat hewan

percobaan perjam. Daya analgesik dapat dievaluasi menggunakan


persen daya analgesik menggunakan persamaan Hendersoth dan

Forsaith (Hastuti, 2015).

% Daya Analgesik =100−[ ( KP ) x 100]


Keterangan :
P = Jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian
obat yang telah diuji
K = Jumla rata-rata geliat hewan uji kelompok control.

H. Pengelolaan dan Analisis Data.

Data yang dikumpulkan adalah data primer yang didapatkan dari

jumlah geliat mencit yang ditimbulkan selama 1 jam setelah perlakuan

masing-masing konsentrasi larutan uji. Data disajikan dalam bentuk tabel

dan grafik. Daya analgesik dapat dievaluasi menggunakan persen daya

analgesik menggunakan persamaan Hendersoth dan Forsaith (Hastuti,

2015). Analisa data dilakukan dengan menggunakan One Way ANOVA

dan dilanjutkan uji lanjut LSD menggunakan software statistic SPPS 23.0

for Windows Evaluation Version.


I. Kerangka Kerja.

1. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Trembesi (Samanea saman

(Jacq.) Merr.).

Daun Trembesi
Dicuci dan dikeringkan
Simplisia daun Trembesi
Dihaluskan
Serbuk halus daun Trembesi

Maserasi
Ditambah dengan etanol 70% (1:7,5)
Filtrate
Diuapkan di atas waterbath
Ekstrak kental etanol 70%
Gambar VI. I. 1. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Trembesi
(Samanea saman (Jacq.) Merr) (Depkes RI, 2000).

2. Pembuatan Fraksi n-Heksan Daun Trembesi (Samanea saman

(Jacq.) Merr.).

10 gram ekstrak kental Dilarutkan dengan metanol


daun Trembesi Ditambah larutan n-Heksan 100 ml
Dikocok searah kedalam

Dipisahkan faraksi metanol Ditambah n-Heksan kembali, hingga


dan n-Heksan fraksi berwarna jernih
Fraksi n-Heksan ditampung

n-Heksan

Dipekatkan atau
diuapkan di waterbath

Fraksi n-Heksan
Gambar VI. I. 2. Pembuatan Fraksi n-Heksan Daun Trembesi
(Samanea saman (Jacq.) Merr).JKH
3. Uji Bebas Etanol Fraksi n-Heksan Ekstrak Daun Trembesi

(Samanea saman (Jacq.)Merr.).

Ekstrak kental etanol fraksi n-Heksan


Ditambah asam asetat glasial dan H2SO4

Dipanaskan
Hasil Hilang bau ester pada ekstrak
kental fraksi n-Heksan
Gambar VI. I. 3. Uji Bebas Etanol Fraksi n-Heksan Daun Trembesi
(Samanea saman (Jacq.) Merr) (Utami, et al., 2016).

4. Skrining Fitokimia Fraksi n-Heksan Daun Trembesi (Samanea

saman (Jacq.) Merr.).

a. Uji Flavonoid

Fraksi n-Heksan daun Trembesi

Skrining Fitokimia

Flavonoid
Ditambah serbuk Mg
Ditambah 5 tetes HCl pekat
Dikocok ad homogen
Warna kuning, jingga, atau merah
Gambar IV. I. 4. a. Uji Flavonoid (Nafisah, et al., 2014).

b. Uji Alkaloid

Fraksi n-Heksan daun Trembesi

Skrining Fitokimia

Alkaloid
Ditambah 5 tetes ammonia
Dikocok dan disaring
Filtrate ditambah 2 ml H2SO4 dan
dikocok
Ditambah 1 tetes pereaksi
Dragendroff, Mayer, dan Wagner
Dragendorff (endapan jingga),
Mayer (endapan putih), dan
Wagner (endapan coklat).
Gambar IV. I. 4. b. Uji Alkaloid (Nafisah, et al., 2014).
c. Uji Saponin
Fraksi n-Heksan daun Trembesi

Skrining Fitokimia

Saponin
Ditambah 2 ml aquadest
Dipanaskan selama 2-3 menit
Dikocok ad homogen
Terbentuk busa stabil selama 30 detik
Gambar IV. I. 4. c. Uji Saponin (Nafisah, et al., 2014).

d. Uji Tannin

Fraksi n-Heksan daun Trembesi

Skrining Fitokimia

Tannin
Ditambah 2 ml aquadest
Didihkkan
Filtrate ditambah FeCl3 1%
Terbentuk warna hijau kehitaman
Gambar IV. I. 4. d. Uji Tannin (Nafisah, et al., 2014).

e. Uji Steroid atau Triterpenoid

Fraksi n-Heksan daun Trembesi

Skrining Fitokimia

Steroid atau Triterpenoid


Ditambah asam asetat anhidrat
Ditambahkan H2SO4
Dikocok perlahan dan didiamkan
Terbentuk warna hijau kehitaman
Gambar IV. I. 4. e. Uji Steroid/Triterpenoid (Nafisah, et al., 2014).
5. Identifikasi Flavonoid Fraksi n-Heksan Daun Trembesi (Samanea

saman (Jacq.) Merr.) dengan KLT.

Diaktivasi plas silica GF254


Disiapkan fase gerak BAA 4 : 1 : 5 (perbandingan)

Ditotolkan sampel pada plat KLT

Plat KLT setelah dielusi lalu dikeringkan


dengan cara diangin-anginkan

Diamati pada lampu UV, pada panjang


gelombang 245 nm dan 366 nm

Diuapi dengan menggunakan ammonia Dihitung harga Rf


apabila hasil bercak tidak terlihat jelas

Gambar IV. I. 5. Identifikasi Flavonoid dengan KLT (Nuari, et al.,


2017).

6. Pembuatan Larutan Stock Suspensi CMC-Na 0,5%.

Ditimbang serbuk CMC-Na 500 mg

Dikembangkan dalam airpanas sebanyak


20 kalinya dan digrus kuat ad homogen

Ditambahkan aquades sampai volume


100 ml sambil terus diaduk
Gambar IV. I. 6. Pembuatan Suspensi CMC-Na (Syamsul, et al.,
2016).

7. Pembuatan Larutan Asam Asetat 0,5%.

Dipipet asam aetat sebanyak 0,5 ml

Diencerkan dengan aquadest dalam labu


ukur hingga volume 100 ml
Gambar IV. I. 7. Pembuatan Larutan Asam Asetat 0,5% (Syamsul, et
al., 2016).

8. Pembuatan Larutan Stock Asetosal.

Ditimbang Asetosal 20 mg

Disuspensikan dengan larutan CMC-Na


0,5% sedikit demi sedikit dikocok
Ditambahkan volume sampai 5 ml

Gambar IV. I. 8. Pembuatan Suspensi Asetosal (Syamsul, et al.,


2016).

9. Pembuatan Larutan Fraksi n-Heksan.

Ditimbang fraksi n-Heksan daun


Trembesi sebanyak 200 mg dan
digerus

Ditambahkan suspense CMC-Na 0,5%


sampai volume 10 ml sambil terus
diaduk ad homogen
Gambar IV. I. 9. Pembuatan Larutan Suspensi Fraksi n-Heksan.
10. Pelaksanaan Uji Analgesik Fraksi n-Heksan.
Disiapkan hewan uji dalam 5 kelompok secara acak untuk
setiap kelompok terdiri dari 5 ekor mencit

Kelompok 1: Kelompok 2: Kelompok 3: Kelompok 4: Kelompok 5:


Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok
mencit yang mencit yang mencit yang mencit yang mencit yang
diberi suspensi diberi suspensi diberi suspensi diberi suspensi diberi suspensi
CMC-Na 0,5% Asetosal Fraksi n- Fraksi n- Fraksi n-
(sebagai (sebagai Heksan dosis Heksan dosis Heksan dosis
kelompok kelompok 100 mg/kgBB 200 mg/kgBB 300 mg/kgBB
kontrol kontrol positif)
negatif)

Setelah 30 menit kemudian semua kelompok mencit diberi


induktor nyeri yaitu asam asetat 0,5% secara intraperitoneal

Geliat mencit yang terjadi diamati selama 60 menit

Dihitung persen penghambatan geliat menggunakan


persamaan Hendersoth dan Forsaith

Gambar IV. I. 10. Uji Analgesik Fraksi n-Heksan Daun Trembesi.


DAFTAR PUSTAKA

Achmad. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Penerbit Karunika.

Afrianti, Ria. Yenti, Refi. Meustika, Dewi. 2014. Uji Aktifitas Analgetik Ekstrak
Etanol Daun Pepaya (Carica papaya L.) pada Mencit Putih Jantan yang
di Induksi Asam Asetat 1%. Jurnal Sains Farmasi & Klinis. 1 (1).

Agoes.G. 2007. Teknologi Bahan Alam, ITB Press Bandung.

Akbar, Budhi. 2010. Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang


Berpotensi sebagai Bahan Antifertilitas. Cetakan Pertama. Jakarta: Adabia
Press.

Anonim, 2011. Nyeri (pain) http://smart-pustaka.blogspot.com/2011/03/nyeri-


pain.html. Diakses tanggal 11 Oktober 2019. Pukul 13.12 WIB.

Arisandi, Andriani, 2006. Khasiat Tanaman Obat. Jakarta: Pustaka Buku Murah.

Aswin, L. 2008. Pengaruh Ekstrak Kulit Buah Rambutan (Nephelium Lappaceum


L.) Terhadap Kadar Kolesterol Total Serum Pada Tikus Wistar. Jurnal
Penelitian Sains & Teknologi, Vol 5. No. 3.

Bauman, T. J., & Strickland, J. 2008. Pain Management. In J.T. Dipiro,, R. L.


Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, & L. M. Posey.
Pharmacotherapy: A Pathophysiogical Approach. New York: Mc Graw
Hill Companies, pp. 898-1003.

Burke, A., Smyth, E., and Fitzgerald, G.A., 2006. Analgesic antipyretic agents,
Pharmacotherapy of gout. In: Brunton, L.L., Lazo, J.S., and Parker, K. L.,.

Caughey, G.E., Cleland, L.G., Penglis, P.S., Gamble, J.R., dan James, M.J. 2001.
Roles of Cyclooxygenase (COX)-1 and COX-2 in Prostanoid Production
by Human Endothelial Cells: Selective Up-Regulation of Prostacyclin
Synthesis by COX-2. The Journal of Immunology. 167:2831-2838.

Dahlan, Endes. 2010. Trembesi Dahulunya Asing Namun Sekarang Tidak Lagi.
Bogor: IPB Press

Depkes RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta: Depkes RI.


Depkes RI, 1986, Sediaan Galenik, 2 &10, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi 4. Jakarta: Depkes RI.

Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstraksi Tumbuhan Obat Cetakan
Pertama. Jakarta: Depkes RI.

Dewatisari, Whika Febria. Rumiyanti, Leni. Rakhmawati, Ismi. 2017. Rendemen


dan Skrining Fitokimia pada Ekstrak Daun Sanseviera sp. Jurnal
Penelitian Pertanian Terapan. 17 (3).

Diyah, Wahyuning, Nuzul. & Siswandono. 2014. Docking Molekul Dan Sintesis
Turunan Asam Benzoil Salisilat Tersubstitusi Klor Sebagai Penghamba
Siklooksigenase-2. Berkala Ilmiah Kimia Farmasi. 3 (2).

Effendy. 2007. Perspektif Baru Kimia Koordinasi Jilid 1. Malang: Banyu Media
Publishing.

Endarini, Hanni, Lully. (2016, Desember). Farmakognosi dan Fitokimia. 2019,


Oktober 11. PDFbppsdmk.kemkes.go.id.

Fadlia, Nur, Wildan. Yuliawati, Mulkia, Kiki. Syafnir, Livia. 2015. Identifikasi
Senyawa Aktif antibakteri dengan Metode Bioautografi Klt Terhadap
Ekstrak Etanol Tangkai Daun Talas (Colocasia esculanta (L.) Schoot).
Prosiding Penelitian Spesia Unisba.

Fitriyani, A., Winarti, L., Muslichah, S. dan Nuri. 2011. Uji Antiinflamasi Ekstrak
Metanol Daun Sirih Merah (Piper crocatumruiz &Pav) pada Tikus
Putih. Majalah Obat Tradisional: 16 (1), 34-42

Febriany, S. 2004. Pengaruh Beberapa Ekstrak Tunggal Bangle dan


Gabungannya yang Berpotensi Meningkatkan Aktivitas Enzim Lipase
Secara In Vitro. Bogor: Fakultas MIPA IPB.

Flood, P., Rathmell, J.P., dan Shafer, S. 2015. Stoelting's Pharmacology &
Physiology in Anesthetic Practice. Edisi kelima. Philadelphia: Wolters
Kluwer Health.

Garavito, R. M., M. G. Malkowski, dan D. L. DeWitt. 2002. The Structures Of


Prostaglandin Endoperoxide H Synthases-1 And -2. Prostaglandins and
Other Lipid Mediators. 68–69: 129–152.

Goodman and Gilman. Pharmacological Bases of Therapeutics. 11th Edn., Mc


Graw Co. Inco. New York, 671-715

Guyton, AC., Hall, JE. 1995sya. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11 ed. Jakarta:
EGC.

Hanafi, M. 2011. Trembesi (Samanea saman). Diakses pada tanggal 12 Oktober


2019.http://www.agrilands.net/read/full/agriwacana/budidaya/2011/01/03/t
rembesi-samanea-saman.html.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Bandung: ITB.

Harbone, J.B., 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan, Diterjemahkan Oleh Kosasih Padmawinata dan Imam Sudiro,
Edisi II, ITB: Bandung.

Hartwig, Mary S., Wilson, Lorraine M. 2006. Nyeri. Dalam : Price, Sylvia A.,
Wilson, Lorraine M., eds. Patqfisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Vol 1. Edisi 6. Jakarta : EGC. h 1063-1069.

Hastuti, Siwi. Safitri, Inna Ayu. 2015. Aktivitas Analgetik Ekstrak Etanol Daun
Sligi (Phyllanthus Buxifolius Muell .Arg ) terhadap Mencit Galur Balb/C.
Indonesian Journal On Medical Science. 2 (1).

Hostettman, 1997. Cara Kromatografi Preparatif “Penggunaan pada Isolasi


Senyawa Alam”. ITB, Bandung.

Ikawati, Z., 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat, Bursa Ilmu,
Yogyakarta.

Ishak, Megawati. Bodhi, Widdhi. Citraningtyas, Gayatri. 2017. Uji Efek Analgetik
Ekstrak Etanol Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala (Lam) De Wit)
pada Mencit Putih Jantan (Mus Musculus). Jurnal Ilmiah Farmasi. 6 (4).

Janapreddi, Krishnaveni. Jannapureddy, Swetha. Pulluru, Manjula. Dundigalla,


Sudheer. 2013. Pharmacological Evaluation Of antiinflamantory,
Analgesic & Antipyretic Activity Of Bauhinia variegate Stem Bark.
International Journal Of Reaserch in Pharmacology &
pharmacotheraupeutics. 2 (1).

Laksana, Toga, dkk, 2010. Pembuatan Simplisia dan Standarisasi  Simplisia


UGM, Yogyakarta.

Lestari, Agustina D. 2018. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Trembesi (Samanea
saman (Jacq.) Merr.) Sebagai Analgesik Pada Mencit Putih Jantan (Mus
musculus L.). Skripsi. Kediri: Fakultas Farmasi Institut Ilmu Kesehatan
Bhakti Wiyata Kediri.
Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida dan Alkaloida. Karya
Ilmiah. MIPA Universitas Sumatera Utara.
Lubis, Y. A. 2013. Pengaruh Lama Waktu Perendaman dengan Air terhadap
Daya Berkecambah Trembesi (Samanea saman). Skripsi. Bandar
Lampung: Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Marlyn, Riza. 2012. Uji Efek analgesik ekstrak Etanol 70 % Bunga Mawar (Rosa
sinensis Jacq.) pada mencit yang di induksi Asam Asetat (skripsi).

Meliala, L. Suryamiharja, A. 2007. Penuntun Penatalaksanaan Nyeri


Neuropatik:ISBN.

Meri, Susanti., dan Dachriyanus. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Padang:


LPTIK Univ. Andalas. ISBN 978-602-5539-02-2.

Meta, 2011. Senyawa Metabolit Sekunder. http://www.vieblogspot.com. Diakses


pada 11 Oktober 2019.

Midian, Sirait, dkk,. 1985. Cara Pembuatan Simplisisa, Departemen Kesehatan


RI, Jakarta. Hal 1 – 15.

Mutschler, E., 1986. Dinamika Obat : Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi,
diterjemahkan oleh Widianto, M.B., dan Ranti, A.S., Edisi Kelima, 157-
158, Penerbit ITB, Bandung.

Mutschler. 1991. Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Widianto, M.B dan Ranti,
E.S. edisi VI. Bandung: ITB.

Nafisah, Minhatun. Tukiran. Suyatno. Hidayati, Nurul. 2014. Uji Skrining


Fitokimia pada Ekstrak Heksan, Kloroform dan Metanol dari Tanaman
Patikan Kebo (Euphorbiae hirtae). Prosiding Seminar Nasional Kimia
Universitas Negeri Surabaya.

Natarajan, P. Reejo, Babin D. A, Thangathirupathi. 2013. Preclinical Appraisal


on Leaves Extract of Samanea Saman (Jacq.) Merr. Against Experimental
Diabetes. Indo American Journal of Pharmaceutical research.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta.

Nuari, Siti. Anam, Syariful. Khumaidi, Akhmad. 2017. Isolasi dan Identifikasi
Senyawa Flavonoid Ekstrak Etanol Buah Naga Merah (Hylocereus
polyrhizus (F. A. C. Weber) Briton & Rose). Jurnal Farmasi Galenika
(Galenika Journal of Pharmacy). 2 (2).

Nuroniah, H. S. and Kokasih, A. S., 2010, Mengenal Jenis Trembesi (Samanea


saman (Jacquin) Merrill) sebagai Pohon Peneduh, Available from:
http://forplan.or.Id/images/File/Mitra/mitra%20. Vol 5 No12010.pdf,
Diakses 11 Oktober 2019.

Oktavianus, Stella. Fatimawali. Lolo, Widya A. 2014. Uji Efek Analgetik Ekstrak
Etanol Daun Pepaya (Carica Papaya L.) pada Mencit Putih Jantan (Mus
Mucculus). Jurnal Ilmiah Farmasi. 3 (2).

Pambudi, Arief. Syaefudin. Noriko, Nita. Swandari, Risa. Azura, Rara, Purwanti.
2014. Identifikasi Bioaktif Golongan Flavonoid Tanaman Anting-Anting
(Acalypha indica L.). Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains Dan
Teknologi. 2 (3).

Patrono, C., Patrignani, P., dan Rodríguez, L.A.G. 2001 Cyclooxygenase Selective
Inhibition Of Prostanoid Formation: Transducing Biochemicalcselectivity
Into Clinical Read-Outs. The Journal of Clinical Investigation. 1-5.

Pramesthi AY. 2008. Kajian Etnofitomedika dan Potensi Tumbuhan Obat di


Taman Nasional Gunung Rinjani (Studi Kasus di Desa Montong Betok,
Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara
Barat) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses -


Proses Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.
Ramadani, Suci. 2015. Pengaruh Pemberian Pupuk Hijau Cair Ki hujan
(Samanea saman) dan Azolla (Azolla pinnata) terhadap Kandungan NDF
Dan ADF pada Rumput Gajah (Pennisetum purpureum). Skripsi.
Makassar: Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.

Rizalia, Hartias., et al,. 2018. Optimasi Penentuan Kadar Metanol dalam Darah
Menggunakan Gas Chromatigraphy. Indonesian Journal of Chemical
Science. p-ISSN 2252-6951 e-ISSN 2502-6844. 7 (3).

Robinson, T., 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Terjemahan Kosasih


Padmawinata, Edisi VI. Bandung: Penerbit ITB, Hal 191 – 193.

Saifudin, Azis., 2014. Senyawa Alam Metabolite Sekunder. 2019 Oktober 18.
www.deepublish.co.id

Sari, Putu Puspita. Rita, Wiwik Susanah. Puspawati, Ni Made. 2014. Identifikasi
dan Uji Aktivitas Senyawa Tanin dari Ekstrak Daun Trembesi (Samanea
Saman (Jacq.) Merr) sebagai Antibakteri Escherichia Coli(E. Coli). Jurnal
Kimia Vol. 9 (1).

Sariningsih, Putu. Rita, Wiwik Susanah. Puspawati, Ni Made. 2015. Identifikasi


dan Uji Aktivitas Senyawa Flavonoid dari Ekstrak Daun Trembesi
(Samanea Saman (Jacq.) Merr) sebagai Pengendali Jamur Fusarium Sp.
pada Tanaman Buah Naga. Jurnal Kimia Vol. 9 (1).

Sasongko, Heru. Setyawan, Ahmad Dwi. Sugiyarto. Farida, Yeni. Efendi, Nur
Rohman. Pratiwi, Diah. 2016. Analgesic Activity of Ethanolic Extracts of
Karika Leaves (Carica pubescens) In Vivo. Journal of Pharmaceutical
Science and Clinical Research. 01.

Satyanegara, M. D., 1978, Teori dan Terapi ”Nyeri”, 9, PT. Pantja Simpati,
Jakarta.

Scheflan, L., dan Morris, B.J. 1983. The Handbook of Solvent. D. Van Nostrand
Comp. Inc. New York.

Schneider, C., Pratt, D.A., Porter, N.A., dan Brash, A.R. 2007. Control Of
Oxygenation In Lipoxygenase And Cyclooxygenase Catalysis. Chemistry
and Biology. 14(5): 473–488.
Simaremare, Eva Susanty. 2014. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Gatal
(Laportea decumana (Roxb.) Wedd.). Pharmacy. 11 (1).

Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi 2, 228-232, 234,
239, Airlangga University Press, Surabaya.

Skoog, Douglas. 1985. Principles of Instrumental Analysis. CBS Collage


Publishing: Japan.

Staples, George W. and Elevitch, Craig R. 2006. Samanea saman (rain tree).
Permanent Agriculture Resources.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono 2015. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung:


Alfabeta

Sugiyono, 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: PT


Alfabeta.

Suteja, I. K.P., W. S. Rita, dan I. W.G.Gunawan. 2016. Identifikasi Dan Uji


Aktivitas Senyawa Flavonoid Dari Ekstrak Daun Trembesi (Albizia Saman
(Jacq.) Merr) Sebagai Antibakteri Escherichia coli. Bali: Jurnal Kimia.
Vol. 10 (1): 141-148.

Syamsul, Eka Siswanto. Andani, Fitriya. Soemarie, Yulistia Budianti. 2016.


Analgesic Activity Study of Ethanolic Extract of Callicarpa Longifolia
Lamk. in Mice. Trad., Med., J. 21 (2).

Tan Hoan Tjay, Kirana Raharja. 2008. Obat-obat Penting. Edisi 6. Jakarta :
Gramedia. 296.

Tjay dan Rahardja, 2002, Obat-obat Penting, Khasiat, Pengunaaan dan Efek
Sampingnya, Edisi V, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia,
Jakarta

Tjay, T.H dan Raharja K. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat Penggunaan dan
Efekefek Sampingnya edisi 4. Jakarta: PT. Elexmindo Komputindo.
Tjay T.H. and Rahardja K., 2015, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek - Efek Sampingnya, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, pp. 523-
531.

Utami. 2011. Uji Kemampuan Koagulan Alami dari Biji Trembesi (Samanea
saman), Biji Kelor (Moringa oleifera), dan Kacang Merah (Phaseolus
vulgaris) dalam Proses Penurunan Kadar Fosfat pada Limbah Cair
Industri Pupuk. Naskah Publikasi. Surabaya: Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh November.

Tetty, S. 2015. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC

Tungadi, Robert. Abdulkadir, Widysusanti. 2015. Burn Wound Healing Effect of


Trembesi (Samanea saman) Leaves Extract Gel on Rats (Rattus
novergicus). International Journal of PharmTech Research. 7 (4).

Wardana, Andika Pramudya. Tukiran. 2016. Skrining Fitokimia dan Aktivitas


Antioksidan Ekstrak Kloroform Tumbuhan Gowok (Syzygium
polycephalum). Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pembelajarannya.

Wati, Nur Fitria Nella. 2014. Peningkatan Kualitas Minyak Nilam Melalui Proses
Adsorpsi Menggunakan Adsorben γ-Alumnia dengan Sistem Flow.
Indonesian Journal of Chemical Research. Volume 2 No. 2 Agustus 2014.
Wilmana, P.F., dan Gan, S.G., 2007. Analgesik-Antipiretik Analgesik
AntiInflamasi Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam:
Gan, S.G., Editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru,
230- 240.

Windadri FI, Rahayu M, Uji T, Rustiami H. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan


sebagai Bahan Obat oleh Masyarakat Lokal Suku Muna di Kecamatan
Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara. Biodiversitas. 7(4):333-
339.
LAMPIRAN

I. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Trembesi (Samanea saman


(Jacq.) Merr).
Pembuatan ekstrak etanol daun Trembesi dilakukan dengan
menggunakan metode maserasi. Perbandingan yang digunakan adalan
1:7,5 yaitu sebanyak 200 gram simplisia daun Trembesi direndam
kedalam 1500 ml etanol 70%.
II. Perhitungan Bobot Konstan dan Presentase Rendemen Ekstrak
Berat simplisia = 201,543 gram
Berat cawan = 117,954 gram
a) Berat cawan + ekstrak = gram
Berat cawan = 117,954 gram
Berat ekstrak = gram
b) Berat cawan + ekstrak = gram
Berat cawan = 117,954 gram
Berat ekstrak = gram
c) Berat cawan + ekstrak = gram
Berat cawan = 117,954 gram
Berat ekstrak = gram
Berat ekstrak (1+2+3)
Rata – rata berat ekstrak =
3
=
=
Rata−rata berat ekstrak
% Rendemen = ×100 %
Berat simplisia awal
=
=
III. Pembuaan Fraksi n-Heksan Daun Trembesi (Samanea saman
(Jacq.) Merr).
Pembuatan fraksi n-Heksan daun Trembesi dilakukan dengan
menggunkan pemisahan cair – cair atau dengan corong pisah. Yaitu
melarutkan ekstrak daun Trembesi sebanyak 10 gram dilarutkan dahulu
dengan methanol 10 ml (1:1). Kemudian dimasukkan kedalam corong
pisah dan ditambah dengan menggunakan n-Heksan sebanyak 100 ml
(1:10).
IV. Perhitungan Bobot Konstan dan Presentase Rendemen Fraksi n-
Heksan
Berat fraksi = 10 gram
Berat cawan =
a) Berat cawan + fraksi = gram
Berat cawan = gram
Berat fraksi = gram
b) Berat cawan + fraksi = gram
Berat cawan = gram
Berat fraksi = gram
c) Berat cawan + fraksi = gram
Berat cawan = gram
Berat fraksi = gram
Berat fraksi (1+2+3)
Rata – rata berat fraksi =
3
=
=
Rata−rata berat fraksi
% Rendemen = ×100 %
Berat simplisia awal
=
=
V. Perhitungan Jumlah Sampel Dengan Menggunakan Rumus
Federer
(n – 1) (t – 1) = 15
(n – 1) (5 – 1) = 15
15
n–1 =
4
n = 3,75 + 1
n = 4,75
Keterangan :
n = Jumlah sampel tiap kelompok perlakuan
t = Jumlah kelompok perlakuan

Dari hasil perhitungan diperoleh jumlah sampel yang akan


digunakan dalam penelitian adalah 5, sehingga sudah memenihi syarat
dalam penentuan jumlah sampel yang digunakan.
b
VI. Perhitungan Pembuatan Suspensi CMC-Na 0,5% ( ¿
v
0,5 gram 500 mg
=
100 ml 100 ml
500 mg
x 100 ml=500 mg ≈ 0,5 gram
100 ml
Aquades untuk CMC-Na = 1 : 20 (air panas)
= 1 : 10 (air dingin)

Maka untk CMC-Na aquades air panas = 0,5 gram x 20 = 10 ml

Larutan stok = 500 mg/100ml

Cara pembuatan: ditimbang CMC-Na sebanyak 500 mg, kemudian


dimasukkan aquades panas dengan perbandingan 20 kalinya yaitu 10
ml, didiamkan selama 15 menit sambil ditutup dengan kain lap.
Kemudian digerus ad kuat, lalu ditambahkan ad volume 100 ml sambil
terus digerus ad homogen.
VII. Perhitungan Pembuatan Larutan Stock Asetosal
Dosis asetosal = 500 mg (sebagai analgesik)
Dosis pada mencit 20 gram = 0,0026 x 500 mg
= 1,3 mg/20 gramBB mencit
Volume lambung mencit = 1 ml
Kelarutan asetosal dalam air = 1 gram : 300 ml (air)
Larutan stok asetosal = 500 mg/150 ml
= 166,67 mg/50 ml
= 16,67 mg/5ml ≈ 20 mg/5 ml
Cara pembuatan: Ditimbang sebanyak 20 mg serbuk asetosal,
digerus ad halus kemudian ditambahkan dengan 5 ml larutan stock
CMC-Na 0,5% dicampur ad homogen.
VIII. Perhitungan Pembuatan Larutan Induksi Asam Asetat 0,5%
V1 x %1 = V2 x %2
100 ml x 0,5% = V2 x 100%
50 ml = V2 x 100
V2 = 0,5 ml
Cara pembuatan : Dipipet sebanyak 0,5 ml asam asetat pecan
kemudian dilarutkan kedalam aquadest sebanyak 100 ml, lalu dikocok
ad homogen.
IX. Perhitungan Dosis Asetosal
Dosis yang diberikan =

BB mencit
x Dosis pada mencit (hasil konversi)
20 gr
Volume yang diberikan =

Dosis yang DIberikan


x volume yang dibuat
Dosis yang tersedia

Dosis Asetosal Mencit BB Mencit Dosis yang Diberikan Volume yang Diberikan
(mg/kgBB) Ke- (gram) (mg) (ml)
21 1,365
1 21 x 1,3=1,365 mg x 5 ml=0,34 ml
20 20
22 1,43
2 22 x 1,3=1,43 mg x 5 ml=0,35 ml
20 20
1,3 mg/20 20 1,3
3 20 x 1,3=1,3 mg x 5 ml=0,32 ml
gramBB 20 20
21,6 1,404
4 21,6 x 1,3=1,404 mg x 5 ml=0,35 ml
20 20
22,4 1,456
5 22,4 x 1,3=1,456 mg x 5 ml=0,36 ml
20 20
X. Perhitungan Dosis Fraksi n-Heksan Daun Trembesi
BB Mencit
Dosis yang diberikan = x dosis fraksi yang diinginkan
1000 g
dosis yang diberikan
Volume yang diberikan = x volume yang dibuat
dosis yang tersedia

Dosis Fraksi Mencit BB Mencit Dosis yang Diberikan Volume yang Diberikan
(mg/kgBB) Ke- (gram) (mg) (ml)
100 mg/kgBB 22,4 2,24
1 22,3 x 100=2,24 mg x 10 ml=0,112 ml
1000 200
2
3
4
5
200 mg/kgBB 21,7 4,34
1 21,7 x 200=4,34 mg x 10 ml 0,217 ml
1000 200
2
3
4
5
300 mg/kgBB 20,8 6,24
1 20,8 x 300=6,24 mg x 10 ml=0,312ml
1000 200
2
3
4
5

Anda mungkin juga menyukai