Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENUGASAN LITERATURE REVIEW

“Tinea Imbricata”

DISUSUN OLEH
ULIANA LISTIANINGRUM PRATIWI H1A016083
MUHAMMAD FABIAN NURFADIA H1A017052
MUHAMMAD IBNU ANNAFI H1A017053
MUHAMMAD ROBY RIZKI AKBAR H1A017054
NASHIR HAMZAH H1A017057
NUR FATHI ZULFA BUTSANIAH H1A017067
NURRAHMASIA H1A017069
PUTU CHIKA RADEANTY H1A017071
PUTU SRI SUNDARI RIJASA H1A017072
RANA AMALIA SULASTRI H1A017074

KELOMPOK 7
PEMBIMBING :
dr. Cut Warnaini Pratama, MPH

DALAM RANGKA PENUGASAN MAHASISWA BLOK XVIII


MUSKULOSKELETAL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN AJARAN 2019/202
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TINEA IMBRICATA:
SUATU TINJAUAN LITERATUR

I. PENDAHULUAN
Tinea imbricata (TI) merupakan infeksi jamur gradual progresif, persisten, dan
superfisial yang disebabkan oleh dermatofita Trychophyton concentricum (Mawkili et al.,
2017). Penyakit ini endemik di Asia, terutama Asia Tenggara, meliputi Malaysia, Vietnam,
Thailand, Filipina, Indonesia, India, China; Amerika Tengah dan Selatan, meliputi Brazil,
Meksiko, El Salvador, Panama, Kolombia, Guatemala; dan Kepulauan Pasifik, meliputi
Mikronesia, Melanesia, Polinesia, Fiji, Papua Nugini, Tahiti, Samoa, dan Selandia Baru,
(Gambar 1.) (Angra and Norton, 2015; Mawkili et al., 2017; Leung, Leong and Lam, 2019).
Tinea imbricata pertama kali dideskripsikan oleh penjelajah Inggris bernama William
Dampier saat pelayarannya di pulau Mindanao, Filipina pada tahun 1686, sementara Patrick
Manson mendeskripsikan kondisi ini secara medis pertama kali pada tahun 1878 (Angra and
Norton, 2015). Istilah "imbricata" berasal dari bahasa Latin imbrex, yang berarti "genting
yang berlapis". Istilah ini sesuai dengan bentuk lesi TI yang berupa cincin konsentris, di
mana ketika sepenuhnya berkembang, cincin konsentris akan terlihat sebagai garis paralel
yang saling tumpang tindih, menyerupai ubin atau genting pada atap rumah. Mikosis
superfisial ini dikenal dengan nama yang berbeda tergantung pada area geografisnya. TI
disebut sebagai "Tokelau" di Oceania dan India, "Rona" di Meksiko dan beberapa bagian
Amerika Tengah, "Grillè" di Papua Nugini, "Bakua" di Kepulauan Solomon, dan
"Chimberè" di Brazil (Leung, Leong and Lam, 2019).
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dekat dengan orang yang terinfeksi. Infeksi
TI biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, dan berkembang perlahan seiring dengan
peningkatan usia. Rute infeksi yang paling umum adalah penularan antar anggota keluarga.
Biasanya, anak-anak terinfeksi melalui kontak lesi yang terkelupas dari anggota rumah
lainnya (Leung, Leong and Lam, 2019). Lesi yang disebabkan oleh TI cukup pruritus, dan
pruritusnya diperburuk oleh cuaca hangat (Al-Bassam, Afari and Salem, 2019). Faktor risiko
yang dikaitkan dengan TI terutama ditemukan pada orang – orang dengan asal yang sama
dengan populasi endemik dikarenakan wisatawan tidak menunjukkan gejala penyakit
bahkan setelah lama dan dekat dengan pasien TI. Faktor predisposisi lainnya, meliputi
tingkat sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah, kelembaban tinggi, pemakaian pakaian
oklusif (longgar), berbagi handuk dan pakaian antar anggota keluarga, sanitasi yang buruk,
kemiskinan, malnutrisi, imunodefisiensi, dan genetik. Wanita jauh lebih sering terkena TI
pada populasi dewasa, sedangkan pria lebih sering terdampak TI pada populasi anak – anak
(Al-Bassam, Afari and Salem, 2019; Leung, Leong and Lam, 2019).

Gambar 1. Wilayah Pasifik yang terdampak Tinea imbricata: Guam, Tokelau, Mindanao,
Kepulauan Gilbert (sekarang dikenal dengan Kiribati), Samoa (Amerika), Amoy (sekarang
dikenal dengan Xiamen, China), Rakahanga (sekarang bagian dari Kepulauan Cook) (Angra
and Norton, 2015).
II. METODOLOGI
a. Strategi pencarian
Dalam review ini, dua database digunakan untuk melaksanakan pencarian literatur
yang komprehensif, yaitu Pubmed dan Google Scholar. Pencarian pada database Pubmed
menggunakan Medical Subject Headings (MESH): (Tinea imbricata) OR (Trichophyton
concentricum) dengan strategi pencarian menggunakan filter yang meliputi artikel dengan
tahun publikasi 5 tahun terakhir, berbahasa inggris, dan tersedia dalam full-text. Berdasarkan
strategi ini, didapatkan hasil pencarian sebanyak 11 artikel. Sedangkan, pencarian pada
database Google Scholar menggunakan kata kunci: Tinea imbricata dengan strategi
pencarian meliputi artikel dengan tahun publikasi 2015 – 2020. Berdasarkan strategi ini,
didapatkan hasil pencarian sebanyak 287 artikel. Dari hasil pencarian tersebut, 7 artikel berisi
data yang relevan dipilih untuk dibahas dalam tinjauan literatur ini.

b. Hasil pencarian
No. Tahun Peneliti/penulis Judul artikel Desain
publikasi
Early Western observations
of cutaneous Trichophyton Peneltian
1. 2015 Kunal A. dan concentricum infection in observasional,
Scott A. N. the Pacific and a history of brief report
its
vernacular name, tokelau
Penelitian
Tinea Imbricata in an Italian
observasional,
2. 2015 Stefano V., et al. Child and Review of the
Literature laporan kasus/case
report
Overview of Diagnosis and
3. 2017 Ahmad A. K. M. Treatment Options for Tinea Tinjauan literatur
et al. Imbricata
Alexander K. C. Penelitian
4. 2018 Leung, Kin Fon Tinea Imbricata observasional,
Leong, dan laporan
Joseph M. Lam kasus/case report
Tinea Pseudoimbricata as
a Unique Manifestation of
Steroid Abuse: A
Clinico- Mycological and Penelitian

2019 Archana S. et al. Dermoscopic Study from observasional,


5.
a Tertiary Care Hospital cross sectional
Alexander K.C.
Tinjauan literatur
6. 2019 L., Kin F. L., dan Tinea Imbricata:
Joseph M. L. An Overview
Rana A. A., A Systematic Review of
Basmah S. A. A., Diagnosis and Treatment Tinjauan
7. 2019 dan Manal H. M. Options for Tinea Imbricata sistematis
S.
Clinical profile of Tinea
pseudoimbricata: Penelitian
8. 2020 Ajay K. et al. observasional,
an observational study from
cross sectional
a tertiary care institution in
western Maharashtra, India

III. HASIL
a. Diagnosis
Diagnosis TI sering bersifat klinis, yaitu berdasarkan karakteristik lesi kulit yang
terdiri dari cincin bersisik, berbentuk annular, serta cincin konsentris yang tumpang tindih
dan bersifat pruritus (gatal) (Leung, Leong and Lam, 2019). Penelitian – penelitian
sebelumnya melaporkan tujuh bentuk presentasi klinis TI, meliputi lesi annular, konsentris,
lamelar, likenifikasi, plaque – like, palmar-plantar dan onikomikosis yang dapat disertai
atau tanpa eritema (Al-Bassam, Afari and Salem, 2019). Infeksi sering dimulai pada masa
muda di bagian wajah dan kemudian menyebar ke trunkus dan ekstremitas. Permukaan
palmo – plantar dan kulit kepala dapat terdampak berupa luka seboroik atau
hiperkromik/hipokromik, sedangkan dahi, pangkal paha, dan aksila pada umumnya tidak
terdampak. Salah satu manifestasi penting dari TI adalah lesi di kuku berupa distal
subungual onychomyccosis (Mawkili et al., 2017; Al-Bassam, Afari and Salem, 2019).
Pruritus dapat tidak ada atau ada dengan tingkat moderat/berat. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pasien yang berada di iklim dingin mengalami lebih sedikit pruritus,
sedangkan pasien di iklam panas dan lembab mengalami pruritus yang lebih berat. Pada
kasus kronis, garukan akibat gatal dapat menyebabkan terjadinya likenifikasi (Mawkili et
al., 2017).

Gambar 2. Plak umum (generalized), konsentris, Gambar 3. Erupsi bersisik dalam


pipih, bersisik pada truncus anterior dan pola annular konsentris pada palmar
ekstremitas superior pada anak laki-laki, 8 tahun, anak laki – laki Aborigin berusia 8
tahun di Gua Musang, Malaysia (Leung, Leong and tahun (Leung, Leong and Lam,
2019) Lam, 2018). .
Diagnosis dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan potassium hydroxide (KOH)
wet-mount pada kerokan kulit lesi aktif. Pemeriksaan dilakukan dengan meneteskan 10 –
20% KOH, dengan atau tanpa dimethyl sulfoxide ditambahkan ke kerokan. Pada spesimen
yang tidak ditambahkan dimethyl sulfoxide, spesimen dipanaskan untuk mempercepat
penghancuran sel skuamosa. KOH akan melarutkan jaringan epitel, meninggalkan short
septate hyphae yang mudah terlihat, banyak mengandung chlamydoconidia, dan tidak ada
arthroconidia. Meskipun kultur adalah gold standart untuk mendiagnosis TI, kultur hanya
diperlukan jika diagnosisnya diragukan, infeksinya parah atau apabila penyakit resisten
terhadap pengobatan dikarenakan kultur memiliki harga yang mahal dan butuh 7 – 25 hari
untuk mendapatkan hasil pemeriksaannya (Leung, Leong and Lam, 2019).
Gambar 4. Pemeriksaan mikroskopik kerokan kulit dengan KOH 10% menujukkan hifa
bercabang dalam jumlah besar (Leung, Leong and Lam, 2018)

b. Diagnosis banding
Diagnosis banding TI, meliputi tinea incognito, tinea corporis, pityriasis versicolor
imbricata, granuloma annulare, cutaneous sarcoidosis, secondary syphilis, erythema
gyratum repens, erythema annulare centrifugum, erythema marginatum, dan reticular
erythematous mucinosis. Tinea corporis disebabkan oleh T. tonsurans dan, yang lebih jarang,
T. mentagrophytes, Microsporum gypseum, dan M. ferrugineum, biasanya terjadi pada
individu immunocompromised atau pada individu dengan riwayat penyalahgunaan steroid
(Singal et al., 2019), dengan gambaran cincin konsentris hiperpigmentasi dengan area
hipopigmentasi. Gambaran ini mungkin mirip dengan cincin annular konsentris yang terlihat
pada TI. Beberapa penelitian menyebutkan kondisi ini sebagai "Tinea pseudoimbricata" dan
"Tinea indecisiva" untuk menggambarkan lesi seperti TI yang disebabkan selain oleh T.
concentricum (Leung, Leong and Lam, 2019).
Gambar 5. Gambaran klasik "ring within ring" pada pasien Tinea
Pseudoimbricata (Kumar et al., 2020).

c. Tatalaksana
Sejak tahun 1950-an, Tinea imbricata biasa diobati dengan griseofulvin. Studi
penelitian membandingkan efektivitas griseofulvin (1 g/hari selama 4 minggu), flukonazol
(200 mg/minggu selama 4 minggu) itrakonazol (400 mg/hari selama 1 minggu), dan terbinafin
(250 mg/hari selama 4 minggu). Remisi substansial tercapai dalam kelompok terbinafin dan
griseofulvin, bertahan hingga 8 minggu setelah penghentian pengobatan. Kelompok
flukonazol tidak mengalami remisi; yang terakhir adalah durasi pendek pada kelompok
itrakonazol. (Mawkili et al., 2017).
Sebuah studi penelitian double-blind, randomize, membandingkan kemanjuran terbinafin
dengan itrakonazol. Empat puluh tiga pasien menerima terbinafin (250 mg/hari), dan 40
menerima itrakonazol (100 mg/hari) selama 4 minggu. Empat pasien yang berasal dari
kelompok itrakonazol tidak merespon secara klinis atau pun mikologis. Sementara 68 sisa
pasien dirawat secara medis dan mikologis. Terbinafin memiliki klinis yang unggul dan
tingkat kesembuhan mikologis tinggi setelah 4 minggu (P = 0,05). Setelah 13 minggu masa
tindak lanjut, terbinafin secara signifikan menurunkan tingkat infeksi ulang/relaps
dibandingkan dengan itrakonazol (P = 0,001). Peneliti juga
membenarkan khasiat yang luar biasa pada terbinafin untuk aktivitas fungisida dan efek
yang lama pada kulit (Mawkili et al., 2017).
Krim Whitfield (asam benzoat 10% dan 10% asam salisilat dalam vaseline dan
lanolin) bermanfaat untuk menyingkirkan luka skuamosa dan juga hiperkeratotik. (Al-
Bassam, Afari and Salem, 2019). Griseofulvin, dengan dosis 1 g/hari selama 4-6 minggu,
atau terbinafin, dengan dosis 250 mg/hari (125 mg/hari pada anak-anak) untuk 4 minggu,
saat ini dianggap sebagai obat paling efektif untuk tatalaksana TI. (Mawkili et al., 2017).
Reinfeksi dan regresi sangatlah umum. Beberapa bagian tubuh pada orang yang rentan
dapat dipengaruhi lagi oleh penyakit tersebut untuk seumur hidup, bahkan setelah
perawatan selesai. (Al-Bassam, Afari and Salem, 2019).

IV. DISKUSI
Tinea imbricata (TI) merupakan infeksi jamur gradual progresif, persisten,
dan superfisial yang disebabkan oleh dermatofita Trychophyton concentricum (Mawkili et
al., 2017). Penyakit ini endemik di Asia, terutama Asia Tenggara, meliputi Malaysia,
Vietnam, Thailand, Filipina, Indonesia, India, China; Amerika Tengah dan Selatan,
meliputi Brazil, Meksiko, El Salvador, Panama, Kolombia, Guatemala; dan Kepulauan
Pasifik, meliputi Mikronesia, Melanesia, Polinesia, Fiji, Papua Nugini, Tahiti, Samoa, dan
Selandia Baru (Angra and Norton, 2015; Mawkili et al., 2017; Leung, Leong and Lam,
2019). Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dekat dengan orang yang terinfeksi. Infeksi
TI biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, dan berkembang perlahan seiring dengan
peningkatan usia. Rute infeksi yang paling umum adalah penularan antar anggota keluarga.
Biasanya, anak-anak terinfeksi melalui kontak lesi yang terkelupas dari anggota rumah
lainnya (Leung, Leong and Lam, 2019). Lesi yang disebabkan oleh TI cukup pruritus, dan
pruritusnya diperburuk oleh cuaca hangat (Al-Bassam, Afari and Salem, 2019). Faktor
risiko yang dikaitkan dengan TI terutama ditemukan pada orang – orang dengan asal yang
sama dengan populasi endemik dikarenakan wisatawan tidak menunjukkan gejala penyakit
bahkan setelah lama dan dekat dengan pasien TI (Leung, Leong and Lam, 2019).
Salah satu kasus TI terjadi pada seorang anak berusia 8 tahun di Gua Musang,
Malaysia, dengan presentasi ruam berbentuk bundar, konsentris, dan bersisik yang berada
pada punggungnya selama 2 tahun. Ruam tersebut terasa sangat gatal dan meluas secara
progresif hampir mencangkup 80% luas permukaan badan. Ibunya yang berusia 32 tahun
dan adik perempuannya yang berusia 1 tahun memiliki lesi serupa. Pemeriksaan
dermatologis menunjukan plak konsentris, annular, bersisik, pipih dengan penampilan
cincin yang tumpang tindih di punggung, lengan, dan permukaan palmoplantar, sedangkan
wajah, scapula, rambut, dan kuku tidak terdampak. Diagnosis klinis TI pada kasus ini
dibuat berdasarkan temuan klinis yang khas. Pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit pada
potassium hydroxide 10% menunjukkan septate hiphae pendek yang padat dan tidak
ditemukan arthroconidia. Kultur kerokan kulit di agar Sabouraud Dextrose didapatkan
tumbuhnya Trichophyton concentricum. Pasien dirawat dengan oral terbinafin 125 mg
setiap hari selama 8 minggu dengan penyembuhan secara total dari lesi (Leung, Leong and
Lam, 2018).
Dari kasus di atas dapat ditinjau bahwa penegakkan diagnosis dari TI dinilai salah
satunya dapat dilakukan melalui pemeriksaan dermatologis yang menunjukan plak
konsentris, annular, bersisik, pipih dengan penampilan cincin yang tumpang tindih di
punggung, lengan, dan permukaan palmoplantar. Hal ini sesuai dengan review journal
utama kami oleh Al-Bassam, Afari dan Salem (2019) yang menyebutkan tujuh bentuk
presentasi klinis TI, meliputi lesi annular, konsentris, lamelar, likenifikasi, plaque – like,
palmar-plantar dan onikomikosis yang dapat disertai atau tanpa eritema. Kemudian letak
lesi yang tidak menyentuh bagian wajah juga sejalan dengan journal review Mawkili et al.
(2017) dan Al-Bassam, Afari dan Salem (2019) yang menyebutkan dahi, pangkal paha, dan
aksila pada umumnya tidak terdampak. Sesuai dengan jurnal dan kasus diatas bahwa
karakteristik lesi umumnya lesi annular, konsentris, lamelar, likenifikasi, plaque – like,
palmar-plantar dan onikomikosis yang dapat disertai atau tanpa eritema serta tidak akan
berdampak pada daerah tertentu seperti bagian wajah dan sekitar aksila. Sementara itu,
untuk tatalaksana pasien, pada kasus diberikan oral terbinafin 125 mg setiap hari selama 8
minggu dan akhirnya dikatakan sembuh total dari lesi. Penggunaan terbinafin sebagai drug
of choice sesuai dengan journal review Mawkili et al. (2017) yang membandingkan
efektivitas dari 4 obat yaitu griseofulvin, flukonazol, itrakonazol, terbinafin yang kemudian
berefek remisi total pada kelompok terbinafin dan griseofulvin. Pada journal review
Mawkili et al. (2017) juga disebutkan bahwa sebuah studi penelitian double-blind,
randomize, membandingkan keefektivitasan terbinafin dan itrakonazol dengan hasil
terbinafin memiliki klinis yang unggul dan tingkat kesembuhan mikologis tinggi setelah 4
minggu (P = 0,05). Setelah 13 minggu masa tindak lanjut, terbinafin secara signifikan
menurunkan tingkat infeksi ulang/relaps dibandingkan dengan itrakonazol (P = 0,001).
Sehingga dari pembahasan yang telah diberikan kami berkesimpulan bahwa drug of choice
pada TI dapat diberikan terbinafin maupun griseofulvin.
Kasus lainnya terjadi pada anak berusia 6 tahun di Italia dengan lesi skuamosa
multiple, annular, dan konsentris di lengan kanan, dan punggung. Riwayat klinis
menunjukkan bahwa gejala muncul 3 minggu pertama, sewaktu ia dan keluarganya
melakukan liburan selama 6 minggu ke Kepulauan Solomon, di mana anak tersebut
bermain di pantai selama beberapa jam bersama anak – anak lokal. Pasien ditatalaksana
dengan griseofulvin (10 mg/hari selama 6 minggu) dank rim terbinafin 1% (2 kali
aplikasi/hari selama 6 minggu). Remisi total dari gambaran klinis dan kultur negatif
didapatkan 6 minggu setelah dimulainya terapi. Follow – up 18 bulan setelahnya juga
menunjukkan kultur yang negatif (Veraldi et al., 2015).

V. SIMPULAN
Tinea imbricata (TI) merupakan infeksi jamur gradual, progresif, persisten, dan
superfisial yang disebabkan oleh dermatofita Trychophyton concentricum. Manusia dapat
terinfeksi melalui kontak dekat dengan orang yang terinfeksi. Infeksi TI biasanya dimulai
pada masa kanak-kanak, dan berkembang perlahan seiring dengan peningkatan usia. Rute
infeksi yang paling umum adalah penularan antar anggota keluarga. Biasanya, anak-anak
terinfeksi melalui kontak lesi yang terkelupas dari anggota rumah lainnya. Diagnosis TI
sering bersifat klinis, yaitu berdasarka nkarakteristik lesi kulit yang terdiri dari cincin
bersisik, berbentuk annular, serta cincin konsentris yang tumpang tindih dan bersifat
pruritus (gatal). Diagnosis dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan potassium
hydroxide (KOH) wet-mount pada kerokan kulit lesi aktif. Griseofulvin, dengan dosis 1
g/hari selama 4-6 minggu, atau terbinafine, dengan dosis 250 mg/hari (125 mg/hari pada
anak-anak) untuk 4 minggu, saat ini dianggap sebagai obat paling efektif dalam tatalaksana
TI.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bassam, R. A., Afari, B. S. Al and Salem, M. H. M. (2019) ‘A SYSTEMATIC REVIEW OF


DIAGNOSIS AND TREATMENT OPTIONS FOR TINEA IMBRICATA’, International
Journal of Life science and Pharma Research, 9(4), pp. 28–33. Available at: www.ijlpr.com.

Angra, K. and Norton, S. A. (2015) ‘Early Western observations of cutaneous Trichophyton


concentricum infection in the Pacific and a history of its vernacular name, tokelau’, Australasian
Journal of Dermatology. doi: 10.1111/ajd.12322.

Kumar, A. et al. (2020) ‘Clinical profile of Tinea pseudoimbricata: an observational study from a
tertiary care institution in western Maharashtra, India’, International Journal of Research in
Dermatology, 6(3). doi: 10.18203/issn.2455-4529.IntJResDermatol20201088.

Leung, A. K. C., Leong, K. F. and Lam, J. M. (2018) ‘Tinea Imbricata’, The Journal of
Pediatrics. Elsevier Inc., 200(285). doi: 10.1016/j.jpeds.2018.04.012.

Leung, A. K. C., Leong, K. F. and Lam, J. M. (2019) ‘Tinea Imbricata: An Overview’, Current
Pediatric Reviews, 15(3), pp. 170–174. doi: 10.2174/1573396315666190207151941.

Mawkili, A. A. K. et al. (2017) ‘Overview of Diagnosis and Treatment Options for Tinea
Imbricata’, International Journal of Scientific & Engineering Research Volume, 8(12), pp. 1883–
1888. Available at: http://www.ijser.org.

Singal, A. et al. (2019) ‘Tinea Pseudoimbricata as a Unique Manifestation of Steroid Abuse : A


Clinico - Mycological and Dermoscopic Study from a Tertiary Care Hospital’, Indian
Dermatology Online Journal, 10(4). doi: 10.4103/idoj.IDOJ.

Veraldi, S. et al. (2015) ‘Tinea Imbricata in an Italian Child and Review of the Literature’,
Mycopathologia. Springer Netherlands. doi: 10.1007/s11046-015-9930-1.

Anda mungkin juga menyukai