Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENUGASAN ITINJAUAN PUSTAKA

Gangguan Mental Terkait Masa Nifas

Bunuh Diri pada Wanita

DISUSUN OLEH

CAHYA SANIYA LAURA H1A017020


EVA HIKMATUL DAMAYANTI H1A017027
I WAYAN MANACIKA SURYA DHARMA H1A017037
MELATI RAHADIANINGSIH H1A017048
MUHAMMAD IBNU ANNAFI H1A017053
NOVITA WULANDARI H1A017065
RANA AMALIA SULASTRI H1A017074
SONYA ANANDA ELLYA JOHN H1A017081

KELOMPOK 7

PEMBIMBING :
dr. Agustine Mahardika, Sp.KJ

DALAM RANGKA PENUGASAN MAHASISWA BLOK XVII


NEUROPSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN AJARAN 2019/2020

1
LEMBAR KONSULTASI DAN PENGESAHAN PENUGASAN TINJAUAN
PUSTAKA
(PERTAMA/KEDUA/KETIGA/KEEMPAT)

Judul : Bunuh Diri pada Wanita


Nama Anggota : Rana, Novita, Mella, Icha

NAMA DAN
TOPIK
NO KEGIATAN TANGGAL TANDATANGAN
PEMBAHASAN
DOSEN

1. PEMBIMBINGAN I
dr. Agustine Mahardika,
Sp.KJ

2. PEMBIMBINGAN II
dr. Agustine Mahardika,
Sp.KJ

3. PEMBIMBINGAN III
dr. Agustine Mahardika,
Sp.KJ

4. PEMBIMBINGAN IV
dr. Agustine Mahardika,
Sp.KJ

MENGETAHUI,
KOORDINATOR BLOK XVII

ii
(dr. Emmy Amalia, Sp.KJ)
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL DAN JUDUL............................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN PENUGASAN TINJAUAN PUSTAKA..... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

PENDAHULUAN............................................................................................ 1

TUJUAN PENULISAN ................................................................................... 3

DEFINISI, ETIOLOGI, EPIDEMIOLOGI...................................................... 3

PATOGENESIS / PATOFISIOLOGI.............................................................. 9

GAMBARAN / MANIFESTASI KLINIS ...................................................... 11

DIAGNOSIS..................................................................................................... 12

TATALAKSANA............................................................................................. 13

PENCEGAHAN............................................................................................... 15

KESIMPULAN ................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 17

iii
iv
PENDAHULUAN
Bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang serius. Hal ini
ditunjukkan dengan masuknya bunuh diri sebagai salah satu dari dua puluh penyebab
kematian utama di dunia, dengan jumlah kematian akibat bunuh diri lebih banyak daripada
kematian akibat malaria, kanker payudara, perang, atau pembunuhan. Bunuh diri dapat
didefinisikan sebagai kematian yang disengaja oleh diri sendiri (Williams and Rajapakse,
2014), sedangkan perilaku bunuh diri (suicidal behavior atau suicidality) merupakan istilah
luas yang meliputi, percobaan bunuh diri (suicidal attempts), yaitu tindakan melukai diri
sendiri non – fatal yang dilakukan dengan niat untuk mati; perencanaan bunuh diri (suicide
planning), yaitu melakukan aksi untuk mempersiapkan bunuh diri, dan pembuatan ide bunuh
diri (suicide ideation) (Suicide Prevention Australia, 2016).
WHO Global Health Estimates (2016) melaporkan bahwa perkiraan jumlah kematian
akibat bunuh diri di dunia mencapai 793.000 kematian (10,6 kematian per 100.000 penduduk
atau 1 kematian tiap 40 detik) (World Health Organization, 2019). Sebagaimana yang
tercantum dalam WHO Mental Health Action Plan 2013 – 2020, negara – negara di dunia
telah berkomitmen untuk menurunkan 10% angka kematian akibat bunuh diri (suicide rate)
pada tahun 2020 (World Health Organization, 2013). Selain itu, suicide rate juga masuk
dalam salah satu indikator Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu indikator 3.4. Target
dari indikator 3.4 SDGs adalah untuk menurunkan suicide rate sebanyak sepertiganya pada
tahun 2030 (United Nations, 2015).
Di Indonesia, jumlah kasus bunuh diri yang dilaporkan ke kepolisian adalah sebesar
875 kasus pada tahun 2016 dan 789 kasus pada tahun 2017 (Pusat Data Informasi
Kementerian Kesehatan RI, 2019). Berdasarkan data WHO (2019), suicide rate di Indonesia
adalah sebesar 3,4 per 100.000 penduduk, dengan angka kematian pada laki – laki (4,8 per
100.000 penduduk) lebih tinggi daripada perempuan (2,0 per 100.000 penduduk) (Gambar 1).

1
Gambar 1. Angka kematian kasar akibat bunuh diri (per 100.000 penduduk) di Indonesia
(2016) (World Health Organization, 2019b dikutip dalam Pusat Data Informasi Kementerian
Kesehatan RI, 2019)
Meskipun angka kematian akibat bunuh diri pada laki – laki lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan perempuan, penelitian melaporkan secara konstan bahwa perempuan
memiliki angka perilaku bunuh diri lebih tinggi (Suicide Prevention Australia, 2016).
Sebagian besar wanita yang berhasil melakukan bunuh diri telah melakukan percobaan
sebelumnya, sedangkan pada pria, 60% dari mereka yang mati akibat bunuh diri belum pernah
melakukan percobaan sebelumnya (Vijayakumar, 2015). Tingginya frekuensi kejadian bunuh
diri pada pria, sedangkan perilaku bunuh diri pada wanita ini disebut dengan “Gender
Paradox in Suicide”. Paradoks ini ditengarai terjadi berdasarkan adanya perbedaan metode
bunuh diri yang dapat memengaruhi luaran dari kejadian bunuh diri tersebut. Biasanya, pria
menggunakan metode seperti menembak dengan senjata api, menggantung, atau suffocation
(mati lemas atau kekurangan nafas), sementara wanita menggunakan metode meminum racun,
memotong pergelangan tangan, atau jatuh dari ketinggian (Mendez-bustos et al., 2013).
Berbeda dengan angka kejadian bunuh diri di seluruh di dunia, paradoks ini tidak terjadi di
India dan China di mana angka kematian akibat bunuh diri pada pria dan wanita cenderung
sama. Hal ini dikarenakan tingginya kejadian bunuh diri yang berhasil (completed suicide)
pada wanita muda rural (Mendez-bustos et al., 2013; Li, 2020). Meskipun penelitian
terdahulu menunjukkan bukti yang konstan mengenai “Gender Paradox in Suicide”, masih
sangat sedikit penelitian yang berfokus pada bunuh diri atau perilaku bunuh diri pada wanita.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis bertujuan untuk membahas mengenai perilaku
bunuh diri (suicidal behaviour) pada wanita, khususnya pada beberapa momen penting dalam
2
siklus hidup wanita, di antaranya masa kanak – kanak/remaja, siklus reproduksi/kehamilan,
dan wanita pada usia tua.

TUJUAN PENULISAN
Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis atau patofisiologi, manifestasi
klinis, dan penatalaksanaan atau pencegahan dari bunuh diri pada wanita berdasarkan siklus
hidupnya, meliputi masa kanak – kanak atau remaja, siklus menstruasi atau kehamilan, dan
pada usia tua.

DEFINISI, ETIOLOGI, EPIDEMIOLOGI


a. DEFINISI
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang dilakukan untuk merenggut nyawa sendiri
dengan sengaja dan diawali oleh suicide ideation yaitu pemikiran yang mengarah pada
ketidaklayakan untuk hidup, tidak jarang pikiran ini sering timbul pada usia muda (remaja)
(Ideation, Remaja and Kota, 2014)
Temuan yang paling sering terjadi pada wanita bunuh diri adalah bahwa wanita
melakukan lebih banyak upaya bunuh diri daripada pria, tetapi pria lebih mungkin meninggal
dalam upaya bunuh diri mereka daripada wanita. Sehingga dijadikan salah satu alasan
kurangnya data dalam perilaku bunuh diri pada wanita dikarenakan bahwa ada kecenderungan
untuk melihat perilaku bunuh diri pada wanita sebagai manipulatif dan tidak serius meskipun
terdapat niat, kematian, dan rawat inap, dan pada umumnya menyiratkan bahwa perilaku
bunuh diri wanita tidak layak atau tidak kompeten.(Vijayakumar, 2017).

Lalu bunuh diri pada siklus menstruasi disebabkan karena adanya perubahan hormon
reproduksi wanita seperti estrogen dan progesterone diduga berpengaruh terhadap
perubahan mood dan perilaku pada wanita, pada beberapa penelitian bunuh diri pada siklus
menstruasi tidak konsisten sehingga dapat berubah dan berbeda pada setiap penelitian, lalu
pada penelitian ini didapatkan bahwa bunuh diri sering di jumpai pada siklus mesntruasi pada
fase luteal(Pratama, 2016).

Upaya bunuh diri dan bunuh diri terjadi pada tingkat yang lebih rendah tingkat selama
kehamilan dan periode postpartum dari pada populasi umum, tetapi bunuh diri perinatal, yang
terdiri dari bunuh diri, bunuh diri upaya, dan pikiran, adalah salah satu yang terkemuka

3
penyebab kematian ibu dalam 12 bulan pertama pascapersalinan(Development and Care,
2000).

Sedangkan di Angka bunuh diri AS di antara wanita yang lebih tua telah meningkat secara
substansial selama dekade terakhir. Pada pemeriksaan sosiodemografi dan faktor risiko /
pencetus di antara perempuan yang lebih tua (> 50thn) yang meninggal dikarenakan overdosis
obat dibandingkan dengan senjata api, gantung diri / mati lemas, adanya cara lain, dan hasil
toksikologi postmortem dengan cara bunuh diri(Choi et al., 2018).

b. ETIOLOGI
Faktor sosiodemografi :

1. Usia

Tingkat bunuh diri cenderung meningkat seiring bertambahnya usia. Pada tahun 2000,
tingkat laki-laki untuk kategori usia tertentu dimulai pada 1,4 (5-14 tahun) dan secara
bertahap meningkat menjadi 52,1 (75 tahun dan lebih tua).

Pada usia 15- 29 tahun, bunuh diri adalah penyebab utama kedua kematian pada kedua
jenis kelamin dan bertanggung jawab atas kematian yang hampir sama banyaknya dengan
kecelakaan transportasi pada pria dan hamir sama dengan kematian ibu pada
wanita(Vijayakumar, 2015).

2. Status Pernikahan

Dalam suicidology, salah satu pengamatan yang paling sering dikutip adalah bahwa
menjadi lajang (tidak pernah menikah, berpisah, bercerai, atau menjanda) bertindak sebagai
faktor risiko untuk bunuh diri. Namun bukti untuk pernyataan ini datang terutama dari negara-
negara maju, sebuah studi kasus-kontrol skala besar di Cina, misalnya, menemukan bahwa
individu lajang tidak lebih cenderung bunuh diri daripada individu yang sudah menikah.
Demikian juga, ulasan data yang tersedia di India menyimpulkan bahwa status perkawinan
saja tidak dapat memprediksi bunuh diri. menyarankan sebaliknya bahwa keluarga dan
integrasi sosial lebih penting. Ponnudurai dan Jeyakar juga menemukan bahwa pernikahan
bukan merupakan faktor pelindung bagi wanita(Vijayakumar, 2015).

Faktor resiko klinis :

4
1. Depresi adalah faktor resiko paling umum untuk perilaku bunuh diri serius pada pria dan
wanita dan terjadi dua kali lebih sering pada wanita daripada pria. Prevalensi depresi yang
lebih tinggi pada wanita tampaknya terkait dengan usia awal onset pertama (daripada
persistensi atau kambuhnya gangguan), dengan perbedaan gender pertama kali muncul pada
masa pubertas dan disejajarkan dengan perbedaan gender yang serupa dalam kemunculan ide
bunuh diri, dan percobaan bunuh diri (Vijayakumar, 2015).

2. Wanita dengan anoreksia diperkirakan memiliki risiko bunuh diri yang meningkat 50 kali
lipat, dan bunuh diri adalah penyebab kematian kedua pada mereka yang menderita
anoreksia. Baik bulimia dan anoreksia dikaitkan dengan peningkatan risiko upaya bunuh diri,
dengan upaya bunuh diri dilaporkan hingga 20% dari pasien dengan anoreksia dan hingga
35% dari mereka yang menderita bulimia. Wanita dengan gangguan kepribadian ambang
memiliki prevalensi bunuh diri yang lebih tinggi, tingkah laku(Vijayakumar, 2015).

3. Siklus menstruasi - Siklus menstruasi dikaitkan dengan perilaku bunuh diri nonfatal,
dengan upaya bunuh diri lebih sering terjadi pada fase-fase siklus ketika kadar estrogen (dan
serotonin) paling rendah. Hubungan ini ditandai pada wanita dengan ketegangan
pramenstruasi. Leenaars et al. Penelitian mengungkapkan bahwa 25% wanita yang meninggal
karena bunuh diri sedang menstruasi saat itu dibandingkan dengan 4,5% dari kelompok
kontrol(Vijayakumar, 2015).

Bagi beberapa wanita muda, aborsi adalah peristiwa kehidupan yang traumatis yang
meningkatkan kerentanan terhadap perilaku bunuh diri. Tingkat ide bunuh diri dan masalah
kesehatan mental, termasuk depresi, kegelisahan, dan gangguan penggunaan narkoba
meningkat di kalangan wanita yang pernah melakukan aborsi. Masalah yang muncul adalah
bahwa wanita dengan masalah kesuburan yang tidak dapat hamil setelah perawatan memiliki
risiko bunuh diri yang lebih tinggi(Vijayakumar, 2015).

Faktor sosial sosial

1. Kesulitan masa kanak-kanak termasuk pelecehan fisik, emosional dan seksual


menyebabkan risiko bunuh diri yang jauh lebih tinggi(Vijayakumar, 2015). 

2. Pelecehan terhadap istri adalah salah satu pemicu bunuh diri wanita yang paling
signifikan(Vijayakumar, 2015).

5
3. Kekerasan dalam rumah tangga ditemukan pada 36% kasus bunuh diri dan merupakan
faktor risiko utama(Vijayakumar, 2015).

c. EPIDEMIOLOGI
Bunuh diri merupakan masalah kesehatan yang serius dan menjadi perhatian global.
Jumlah kematian disebabkan oleh bunuh diri pertahunnya mencapai 800.000 atau 1 kematian
tiap 40 detik. Apabila ada 1 orang yang meninggaldi karena bunuh diri maka diperkirakan
ada 20 orang dengan percobaan bunuh diri. Oleh karena itu bunuh diri menjadi penyebab
kematian kedua pada kelompok usia 15-29 tahun dan 79% terjadi pada negara yang
ekonominya renda dan menengah. Pada tiap kali kasus bunuh diri terjadi akan mempengaruhi
lingkungan seperti keluarga, teman, masyarakat serta kesedihan yang mendalam dan
berkepanjangan untuk orang yang ditinggalkan (Kemenkes RI, 2019).

(
Kemenkes RI, 2019).

Angka kematian tertinggi terjadi pada negara Eropa dan terendah pada Mediterania Timur
dengan jumlah kasus lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Jumlah
kematian yang disebabkan oleh bunuh diri banyak terjadi pada rentang usia 25-29 tahun yaitu
pada masa produktif, juga terjadi pada usia 20-24 tahun, 30-34 tahun.

6
(Ke
menkes RI, 2019).

Data kasus kematian akibat bunuh diri di Indonesia pada tahun 2016 menurut WHO
Global Health Estimates sebanyak 3,4 /100.000 peduduk, laki-laki (4,8/100.00 penduduk)
lebih tinggi dibandinkan pada perempuan (2,0/100.000 penduduk), dan akan semakin tinggi
pada usia yang lebih tua, kecuali pada usia kelompok yang lebih muda pada rentang usia 20-
29 tahun sebanyak 5,1/100.000 penduduk yang lebih tinggi dari pada kelompok usia 30 – 39,
40-49, 50-59 tahun.

(
Kemenkes RI, 2019).

7
Jika dilihat pada tahun 2018 kasus kematian akibat bunuh diri tidak terdapat perubahan,
dengan jumlah penduduk Indonesia 265 juta pada tahun 2018, sehingga dapat dihitung sekitar
9000 kasus pertahunnya kematian akibat bunuh diri di Indonesia.

Menurut metode alternatif, sample registration system (SRS)dapat digunakan ketika


sistem pencatatan sipil dan statistik hayati (CRVS) di suatu negara belum berjalan dengan
baik. Pada suatu wilayah yang dijadikan sample dan dilakukan registrasi kematian, kelahiran,
dan penyebab kematian melalui autopsi verbal secara terus menerus. Daerag yang dijadikan
sebagai sample SRS pada tahun 2014 – 2016 sebanyak 128 kecamatan di 119 kabupaten/kota
dan di 30 provinsi di indonesia, sehingga dilakukan observasi sekitar 9 juta jiwa
(Kemenkes RI, 2019).

Berikut data kematian akibat bunuh diri di Indonesia menggunkan SRS :

(
Kemenkes RI, 2019).

Penelitian kelengkapan pencatatan kematian pada SRS 2016 sebanyak 54,8%, angka
kematian akibat bunuh diri di Indonesia mencapai 0,71/100.000 penduduk.

Dengan 0,71/100.000 penduduk dan jumlah penduduk Indonesia 265 juta pada tahun
2018, sehingga dapat dihitung perkiraan sekitar 1.800 kasus pertahunnya kematian akibat
bunuh diri di Indonesia.

8
Kematian biasa sering muncul pada usia muda dan produktif pada usia 25-49 tahun
sebnyak 46% , dan 75% untuk usia produktif yaitu 15-64 tahun.

PATOGENESIS / PATOFISIOLOGI
Faktor dan mekanisme berkaitan yang dapat meningkatkan risiko bunuh diri
Risiko bunuh diri dapat dimodulasi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari tingkat
individu maupun populasi. Faktor tingkat populasi, meliputi faktor lingkungan (pelaporan
media/media reports, akses ke sarana, dan akses yang buruk ke fasilitas kesehatan mental)
dan kurangnya kohesi sosial (perubahan cepat pada struktur atau nilai sosial, kekacauan
sosial, dan isolasi sosial), sementara faktor individu, meliputi faktor distal (atau predisposisi),
developmental (atau mediating/penengah), dan proximal (precipitating/mempercepat). Faktor
distal, meliputi riwayat keluarga bunuh diri, predisposisi genetik terkait; dan kesulitan early-
life adversity dan perubahan epigenetik terkait. Faktor distal mengarah pada efek jangka
panjang pada ekspresi dan regulasi gen. Faktor distal tidak secara langsung memicu kejadian
bunuh diri, tetapi terkait dengan peningkatan risiko bunuh diri melalui efek dari faktor
mediating. Faktor-faktor mediating, dapat secara langsung dihasilkan dari perubahan gen
yang terjadi sebagai konsekuensi dari faktor-faktor distal, atau dapat dikaitkan dengan faktor-
faktor lain seperti penyalahgunaan zat kronis. Faktor risiko proximal, seperti psikopatologi
depresi dan penyalahgunaan zat akut, juga dapat dikaitkan dengan faktor genetik dan
epigenetik dan sering dipicu oleh peristiwa kehidupan. Faktor – faktor ini bersama – sama
memiliki kontribusi dalam risiko perkembangan perilaku bunuh diri (suicidal behavior)
(Turecki and Brent, 2015).

9
Gambar 2. Model risiko dan mekanisme berkaitan yang bisa mengembangkan perilaku
bunuh diri (Turecki and Brent, 2015).

Perubahan biokimia otak pada orang dengan perilaku bunuh diri


Keadaan bunuh diri (suicidal state) berhubungan dengan berbagai perubahan
molekular yang dapat dideteksi, baik di perifer, seperti darah dan saliva di otak (Turecki,
2014). Teori pertama yang dijelaskan adalah adanya perubahan kadar dan pensinyalan
serotonin pada individu yang menunjukkan perilaku bunuh diri. Beberapa studi menunjukkan
bahwa terdapat gangguan ekspresi serotonin pada pasien dengan depresi dan orang – orang
yang menunjukkan suicide ideation atau suicidal behavior (Mann, 2013). Selain itu, terdapat
bukti yang menunjukkan bahwa individu yang menunjukkan perilaku bunuh diri memiliki
genotip dan pola ekspresi serotonin yang unik. Rendahnya kadar serotonon dapat
berhubungan dengan kepribadian yang berkaitan dengan perilaku bunuh diri, misalnya agresi
impulsif. Neurotransmitter lain yang berhubungan dengan proses terjadinya depresi dan
bunuh diri adalah glutamate dan asam γ – aminobutirat (Turecki and Brent, 2015). Selain
neurotransmitter, proses inflamasi juga dikatakan dapat berhubungan dengan perilaku bunuh
diri (Black and Miller, 2015). Fungsi sel glia juga dapat mengalami gangguan pada seseorang
yang menjukkan perilaku bunuh diri di mana gen spesifik astrosit yang berhubungan dengan
struktur mengalami down-regulasi dan faktor neurotropik seperti reseptor BDNF dan TRKB
diekspresikan secara berbeda pada orang – orang yang meninggal akibat bunuh diri (Turecki
and Brent, 2015).

Gambar 3. Perubahan biokimia pada otak dengan perilaku bunuh diri (Turecki and Brent,
10
2015)
MANIFESTASI KLINIS
Tidak semua wanita memiliki tanda-tanda depresi juga memiliki ide bunuh diri.
Namun, penelitian menunjukkan kemungkinan perkembangan perilaku bunuh diri, seperti
upaya bunuh diri atau bunuh diri itu sendiri. Ini dapat dihindari melalui pengakuan
sebelumnya dari tanda-tanda peringatan perilaku bunuh diri, yaitu: impulsif, ambivalensi,
prilaku/behavior, dan hubungan internasional.

- Impulsif
Sementara beberapa wanita yang melakukan upaya bunuh diri memiliki rencana dan
ide kematian yang konstan, tetapi dapat juga bertindak impulsif, terutama dalam
situasi yang saling bertentangan. Contoh : upaya bunuh diri setalah perkelahian.
- Ambivalensi
Terlepas dari kekakuan pemikiran atau impulsif, urgensi untuk meninggalkan
kehidupan kekerasan dirasakan dalam pidato dengan cara yang bertentangan, dengan
pemikiran ambivalen mengenai keinginan untuk hidup dan keinginan untuk
mengakhiri rasa sakit psikis. Dengan demikian, bahkan setelah menghadapi risiko
kematian, dengan upaya bunuh diri, para wanita ini tidak dengan jelas menyatakan
keinginan untuk mati, tetapi keinginan untuk menyingkirkan penderitaan dengan biaya
berapa pun.
- Perubahan pada perilaku/behavior
Perubahan pada penampilan fisik, kehilangan motivasi hidup, tak berdaya seperti tidak
intrest, kurang mendengarkan, gangguan tidur, sensitif atau mudah marah.
- Hubungan interpersonal yang kurang sosial
Menolak untuk ke sekolah, bolos dari sekolah, kegiatan-kegiatan sekolah. Begitu pula
pada orang dewasa dalam lingkungan kerjanya. Hanya interest pada hal-hal yang
menyenangkan, kekurangan sistem pendukung sosial yang efektif, mengucilkan diri
dari sosialnya.

Selain itu,, tanda dan gejala lainnya yaitu: panik berlebihan, sifat berubah-ubah
dengan drastis, penggunaan alkohol dan narkoba yang kronis, melakukan hal atau aktivitas
yang beresiko tinggi dan tidak masuk akal secara spontan, merasa terjebak dan pasrah,
depresi/cemas dan kelelahan, tersedia alat bunuh diri, adanya gagasan bunuh diri, membuat
surat wasiat, krisis hidup, riwayat bunuh diri dalam keluarga, dan selalu pesimis.

11
DIAGNOSIS

Tabel 1. Instrumen diagnosis orang bunuh diri dengan SAD PERSONS (Jannah, 2010).

Kuesioner Ask Suicide-Screening Questions (ASQ)

Kuesioner ini terdiri atas 4 pertanyaan dan 1 pertanyaan lanjutan. Empat pertanyaan
tersebut, di antaranya:

1. Dalam beberapa minggu terakhir, pernahkah Anda berharap Anda lebih baik
meninggal?
2. Dalam beberapa minggu terakhir, pernahkah Anda berpikir bahwa Anda atau keluarga
Anda akan lebih baik apabila Anda meninggal?
3. Dalam beberapa minggu terakhir, apakah Anda pernah berpikir mengakhiri hidup
Anda?
4. Apakah Anda pernah mencoba melakukan bunuh diri?

Bila pasien menjawab “Ya” untuk salah satu pertanyaan di atas, maka tanyakan
pertanyaan lanjutan: apakah pasien berpikir untuk melakukan bunuh diri saat ini. Bila pasien
menjawab “Ya”, tanyakan pasien bagaimana rencana bunuh diri yang akan dilakukannya.
Bila pasien menjawab tidak pada semua 4 pertanyaan pertama, skrining dinyatakan
selesai, pasien dinyatakan tidak berisiko, dan tidak memerlukan penatalaksanaan

12
Bila pasien menjawab “Ya” atau menolak menjawab untuk 1 atau lebih 4 pertanyaan
pertama, pasien dinyatakan positif. Bila pasien menjawab”Ya” untuk pertanyaan lanjutan,
pasien dinyatakan positif akut. Pasien harus mendapat pemeriksaan mental penuh dan
pengawasan ketat. Pasien harus dijauhkan dari benda yang dapat mengancam nyawanya.
Bila pasien menjawab “Tidak” hanya untuk pertanyaan kelima, pasien dinyatakan positif
tidak akut. Pasien dinyatakan berpotensi melakukan percobaan bunuh diri. Pasien harus
mendapat pengawasan oleh pihak kesehatan sampai dinyatakan aman (National Institute of
Health, no date).

TATALAKSANA

Intervensi somatis

1. Antidepresan
Terdapat bukti yang adekuat mengenai penurunan tingkat bunuh diri dengan
pengobatan antidepresan. Namun, antidepresan penting dalam mengobati depresi akut
dan manfaat jangka panjangnya pada pasien dengan kecemasan berat yang berulang
atau gangguan depresi yang mempunyai pikiran atau perilaku bunuh diri (Jacobs et al.,
2010).
2. Benzodiazepine
Benzodiazepine sebagai obat penenang untuk pengobatan jangka pendek pada gejala
seperti agitasi, serangan panik, atau kecemasan psikis. Manfaat dari pengobatan
benzodiazepine harus ditimbang terhadap kecenderungan mereka untuk menghasilkan
disinhibisi dan potensi mereka untuk interaksi dengan obat penenang lainnya,
termasuk alkohol. Atau, obat lain yang dapat digunakan untuk efek menenangkan pada
pasien yang sangat cemas dan gelisah termasuk trazodone, dosis rendah beberapa
antipsikotik generasi kedua, dan beberapa antikonvulsan seperti gabapentin atau
divalproex. Jika benzodiazepin dihentikan setelah penggunaan jangka panjang,
dosisnya harus dikurangi secara bertahap dan pasien dipantau apabila ada peningkatan
gejala kecemasan, agitasi, depresi, atau bunuh diri (Jacobs et al., 2010).

3. Garam lithium
Ada bukti kuat bahwa perawatan pemeliharaan jangka panjang dengan garam lithium
dikaitkan dengan pengurangan besar dalam risiko bunuh diri dan upaya bunuh diri
13
pada pasien dengan gangguan bipolar, dan ada bukti moderat untuk pengurangan
risiko serupa pada pasien dengan kekambuhan gangguan depresi (Jacobs et al., 2010).
4. Agen Antipsikotik
Pengobatan clozapine dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam tingkat
upaya bunuh diri dan mungkin bunuh diri untuk individu dengan skizofrenia dan
gangguan skizoafektif yang memiliki potensi bunuh diri. Namun, manfaat pengobatan
clozapine perlu ditimbang terhadap risiko efek samping, termasuk agranulositosis
yang berpotensi fatal dan miokarditis, yang secara umum menyebabkan clozapine
sebagai obat lini kedua ketika gejala psikotik belum menanggapi obat antipsikotik
lainnya. Jika pengobatan diindikasikan dengan antipsikotik selain clozapine,
antipsikotik generasi kedua lainnya (misalnya., Risperidone, olanzapine, quebiapine,
ziprasidone, aripiprazole) lebih disukai daripada agen antipsikotik generasi pertama
(Jacobs et al., 2010).
5. Electroconvulsive Therapy (ECT)
ECT atau kejut listrik telah membangun kemanjuran pada pasien dengan penyakit
depresi berat, dengan atau tanpa fitur psikotik. Karena ECT dikaitkan dengan respons
antidepresan yang cepat dan kuat serta penurunan cepat dalam pikiran bunuh diri yang
terkait, ECT dapat direkomendasikan sebagai pengobatan untuk episode parah depresi
berat yang disertai dengan pikiran atau perilaku bunuh diri. Dalam keadaan klinis
tertentu, ECT juga dapat digunakan untuk mengobati pasien bunuh diri dengan
skizofrenia, gangguan skizoafektif, atau episode campuran atau manik dari gangguan
bipolar. Terlepas dari diagnosis, ECT terutama diindikasikan untuk pasien dengan
fitur katatonik atau pasien dengan keterlambatan respon pengobatan yang dianggap
dapat mengancam jiwa. ECT juga dapat diindikasikan untuk individu yang ingin
bunuh diri selama kehamilan (Jacobs et al., 2010).

Intervensi Psikososial
Beberapa penilitan telah menunjukkan bahwa intervensi psikososial dan pendekatan
psikoterapi sangat bermanfaat bagi pasien bunuh diri. Selain itu, dalam beberapa tahun
terakhir, penelitian tentang psikoterapi telah menunjukkan kemanjurannya dalam mengobati
gangguan seperti depresi dan gangguan kepribadian yang terkait dengan peningkatan risiko
bunuh diri. Misalnya, terapi perilaku kognitif, terapi psikodinamik, dan psikoterapi

14
interpersonal telah terbukti efektif dalam uji klinis untuk pengobatan gangguan bunuh diri.
Selain itu, terapi perilaku dialektik telah dipelajari untuk efek dalam kisaran sempit pasien
yang berpotensi bunuh diri terutama wanita dengan riwayat percobaan bunuh diri kronis atau
melukai diri sendiri dengan gangguan kepribadian. Dengan menargetkan keterampilan
khusus, seperti regulasi emosional, kontrol impuls, manajemen kemarahan, dan ketegasan
interpersonal, terapi perilaku dialektik mungkin efektif dalam mengurangi upaya bunuh diri
ketika diterapkan dalam jangka waktu yang lebih lama, terutama untuk pasien dengan
gangguan kepribadian (Jacobs et al., 2010).

PENCEGAHAN

Pencegahan bunuh diri sangat penting dan direkomendasikan untuk strategi


pengembangan dan penerapan penurunan angka bunuh diri.

1. Pencegahan primer merupakan tindakan mencegah sebelum orang mempunyai niat


melakukan tindakan bunuh diri dengan memperhatikan faktor-faktor risikonya.
Contohnya : program dalam latar pendidikan, meliputi Program Berbasis Sekolah,
Krisis Hotline, edukasi melalui media, serta mengidentifikasi anak dan remaja dengan
faktor resiko bunuh diri.
2. Pencegahan sekunder berkaitan dengan mengidentifikasi dan penatalaksanaan yang
adekuat terhadap mereka yang memilki risiko bunuh diri atau telah melakukan
percobaan bunuh diri. berupa penatalaksanaan psikososial dan penatalaksanaan secara
biologi.
3. Pencegahan tersier bertujuan mengembangkan penatalaksanaan yang tepat untuk anak
dan remaja, khususnya modalitas terapi yang tepat setelah melakukan percobaan
bunuh diri, sehingga dapat mencegah terjadinya bunuh diri.

Postvention adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan intervensi yang dilakukan
setelah terjadi bunuh diri. Setelah anak atau remaja melakukan bunuh diri, sangat dianjurkan
untuk melakukan krisis intervensi pada orang-orang terdekatnya karena mereka berisiko
menderita depresi, gangguan stres paska trauma atau reaksi duka cita yang patologis. Bila hal
ini tidak dilakukan, maka jumlah kejadian bunuh diri pada kerabat dan orang terdekat pelaku
selama setahun setelah kejadian bunuh diri akan meningkat (Zulaikha and Febriyana, 2017).

15
KESIMPULAN
Bunuh diri merupakan salah satu dari dua puluh penyebab kematian utama di dunia,
Bunuh diri diartikan sebagai kematian yang disengaja oleh diri sendiri. Bunuh diri juga dapat
didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan untuk merenggut nyawa sendiri dengan
sengaja dan diawali oleh suicide ideation yaitu pemikiran yang mengarah pada
ketidaklayakan untuk hidup, tidak jarang pikiran ini sering timbul pada usia muda. Bunuh diri
dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi faktor sosiodemografi (usia dan status
pernikahan), faktor resiko klinis (depresi, wanita dengan anoreksia, dan siklus menstruasi),
serta faktor sosial seperti kesulitan masa kanak-kanak, pelecehan terhadap istri, dan kekerasan
dalam rumah tangga. Resiko bunuh diri juga dapat dipicu oleh berbagai faktor, yakni faktor
tingkat individu dan populasi. Keadaan bunuh diri melibatkan berbagai perubahan molecular
di otak. Pencegahan bunuh diri harus melibatkan semua elemen, termasuk di dalamnya
undang-undang atau pemerintah, sistem kesehatan, serta masyarakat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Suicide Prevention Australia. (2016) Suicide and Suicidal Behaviour in Women – Issues and
Prevention: A Discussion Paper. Sydney. Available at: www.suicidepreventionaust.org.
Black, C. and Miller, B. J. (2015) ‘Meta-Analysis of Cytokines and Chemokines in
Suicidality: Distinguishing Suicidal Versus Nonsuicidal Patients’, Biological Psychiatry,
78(1). doi: https://doi.org/10.1016/j.biopsych.2014.10.014.
Choi, N. G. et al. (2018) ‘Older women who died by suicide: Suicide means,
sociodemographic and psychiatric risk factors, and other precipitating circumstances’,
International Psychogeriatrics, 30(10), pp. 1531–1540. doi: 10.1017/S1041610218000212.
Development, S. and Care, M. H. (2000) Women ’ s Mental Health, Women. doi:
10.1300/J015v22n03_04.
National Institute of Health (no date) ‘Ask Suicide-Screening Questions (ASQ): Suicide
Screening Tools’, NIMH Toolkit. Available at: https://www.nimh.nih.gov/research/research-
conducted-at-nimh/asq-toolkit-materials/index.shtml.
Ideation, S., Remaja, P. and Kota, D. I. (2014) ‘Developmental and Clinical Psychology’,
3(1), pp. 24–34.
Jacobs, D. G. et al. (2010) Practice Guideline for the Assessment and Treatment of Patients
With Suicidal Behaviors. American Psychiatric Association. Available at:
https://psychiatryonline.org/pb/assets/raw/sitewide/practice_guidelines/guidelines/suicide.pdf.
Kemenkes RI (2019) ‘infodatin-Situasi-dan-Pencegahan-Bunuh-Diri.pdf’.
Li, J. (2020) A Study on Suicide: Diagnosis and Solutions. Guiyang: ocial Sciences Academic
Press 2020. doi: https://doi.org/10.1007/978-981-13-9499-7.
Mann, J. J. (2013) ‘The serotonergic system in mood disorders and suicidal behaviour’,
Philosophical Transactions of The Royal Society. doi:
http://dx.doi.org/10.1098/rstb.2012.0537.
Mendez-bustos, P. et al. (2013) ‘Life Cycle and Suicidal Behavior among Women’, The

17
Scientific World Journal, 2013, p. 9. doi: http://dx.doi.org/10.1155/2013/485851.
United Nation. (2015) Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable
Development. Available at: https://www.un.org/ga/search/view_doc.asp?
symbol=A/RES/70/1&Lang=E.
Pratama, P. K. D. (2016) ‘Karakteristik Dan Proporsi Percobaan Bunuh Diri Pada Siklus
Menstruasi’, E-Jurnal Medika Udayana, 5(9), pp. 1–5. Available at:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/23473/15383.
Kemenkes RI. (2019) InfoDATIN: Situasi dan Pencegahan Bunuh Diri. Available at:
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-Situasi-dan-
Pencegahan-Bunuh-Diri.pdf.
Turecki, G. (2014) ‘The molecular bases of the suicidal brain.’, Nature Review Science,
15(12), pp. 802–816. doi: 10.1038/nrn3839.
Turecki, G. and Brent, D. A. (2015) ‘Suicide and suicidal behaviour’, The Lancet. Elsevier
Ltd, 6736(15). doi: 10.1016/S0140-6736(15)00234-2.
Vijayakumar, L. (2015) ‘Suicide in women’, Indian Journal of Psychiatry, 57(Supplement 2),
pp. 233–238. doi: 10.4103/0019-5545.161484.
Vijayakumar, L. (2017) ‘Suicide in women’, 57(July 2015), pp. 233–238. doi: 10.4103/0019-
5545.161484.
Williams, S. S. and Rajapakse, T. (2014) ‘Suicide and attempted suicide’, Sri Lanka Journal
of Psychiatry, 5(2), pp. 1–4. doi: 10.4038/sljpsyc.v5i2.7824.
World Health Organization (2013) Mental Health Action Plan 2013 - 2020. Geneva.
Available at:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/89966/9789241506021_eng.pdf;jsessionid=D
38965A963CE8ED20CAF5A0EF4C7800D?sequence=1.
World Health Organization (2019a) Suicide in the world: Global health Estimates. Available
at: https://apps.who.int/iris/handle/10665/326948.
World Health Organization (2019b) Suicide rate estimates, crude Estimates by country.
Available at: https://apps.who.int/gho/data/view.main.MHSUICIDEv?lang=en.

18

Anda mungkin juga menyukai