PERKULIAHAN MUSKULOSKELETAL II
1. Konsep Pain management
- Pheriperal pain,
yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya pada mukosa, kulit.
- Deep pain,
yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada
organ-organ tubuh visceral.
- Refered pain,
yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam
tubuh yang ditransmisikan kebagian tubuh didaerah yang berbeda, bukan daerah
asal nyeri.
- Central pain,
yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada system saraf pusat, spinal
cord, batang otak, thalamus dan lain-lain.
b. Nyeri berdasarkan sifatnya
- Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.
- Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu
yang lama.
- Paroxysmal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali.
Nyeri tersebut biasanya menetap sekitar menit, lalu menghilang, kemudian
timbul lagi.
c. Nyeri berdasarkan berat-ringannya
- Nyeri rendah, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.
c. Skala 2, nyeri ringan. Ada sensasi seperti dicubit, namun tidak begitu sakit d.
i. Skala 8, nyeri mengakibatkan Anda tidak bisa berpikir jernih, bahkan terjadi
perubahan perilaku
j. Skala 9, nyeri mengakibatkan Anda menjerit-jerit dan menginginkan cara
apapun untuk menyembuhkan nyeri
k. Skala 10, nyeri berada di tahap yang paling parah dan bisa menyebabkan
Mengetahui skala nyeri menjadi penting karena metode ini membantu para tenaga
medis untuk mendiagnosis penyakit, menentukan metode pengobatan, hingga
menganalisis efektivitas dari pengobatan tersebut. Dalam dunia medis, ada banyak
metode penghitungan skala nyeri. Berikut ini beberapa cara menghitung skala nyeri
yang paling populer dan sering digunakan.
a. Visual Analog Scale (VAS)
Visual Analog Scale (VAS) adalah cara menghitung skala nyeri yang paling banyak
digunakan oleh praktisi medis. VAS merupakan skala linier yang akan
memvisualisasikan gradasi tingkatan nyeri yang diderita oleh pasien. Pada metode
VAS, visualisasinya berupa rentang garis sepanjang kurang lebih 10 cm, di mana
pada ujung garis kiri tidak mengindikasikan nyeri, sementara ujung satunya lagi
mengindikasikan rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Selain dua indicator
tersebut, VAS bisa diisi dengan indikator redanya rasa nyeri.
VAS adalah prosedur penghitungan skala nyeri yang mudah untuk digunakan.
Namun, VAS tidak disarankan untuk menganalisis efek nyeri pada pasien yang
baru mengalami pembedahan. Ini karena VAS membutuhkan koordinasi
visual, motorik, dan konsentrasi.
4
b. Verbal Rating Scale (VRS)
Verbal Scale (VRS) hampir sama dengan VAS, hanya, pernyataan verbal dari rasa
nyeri yang dialami oleh pasien ini jadi lebih spesifik. VRS lebih sesuai jika digunakan
pada pasien pasca operasi bedah karena prosedurnya yang tidak begitu bergantung
pada koordinasi motorik dan visual.
Skala nyeri versi VRS:
Numeric Rating Scale (NRS) ini didasari pada skala angka 1-10 untuk menggambarkan
kualitas nyeri yang dirasakan pasien. NRS diklaim lebih mudah dipahami, lebih
sensitif terhadap jenis kelamin, etnis, hingga dosis. NRS juga lebih efektif untuk
mendeteksi penyebab nyeri akut ketimbang VAS dan VRS.
Skala nyeri dengan menggunakan NRS :
NRS di satu sisi juga memiliki kekurangan, yakni tidak adanya pernyataan spesifik
terkait tingkatan nyeri sehingga seberapa parah nyeri yang dirasakan tidak dapat
diidentifikasi dengan jelas.
d. Wong-Baker Pain Rating Scal
Wong-Baker Pain Rating Scale adalah metode penghitungan skala nyeri yang
diciptakan dan dikembangkan oleh Donna Wong dan Connie Baker. Cara mendeteksi
skala nyeri dengan metode ini yaitu dengan melihat ekspresi wajah yang sudah
dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan rasa nyeri.
4
Saat menjalankan prosedur ini, dokter akan meminta pasien untuk memilih wajah yang
kiranya paling menggambarkan rasa nyeri yang sedang mereka alami.
Seperti terlihat pada gambar, skala nyeri dibagi menjadi
Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980 oleh Jeremy Fairbank, Oswetry
Disability Index (ODI) adalah metode deteksi skala nyeri yang bertujuan untuk
mengukut derajat kecacatan, pun indeks kualitas hidup dari pasien penderita nyeri,
khususnya nyeri pinggang.
Pada penerapannya, pasien akan diminta melakukan serangkaian tes guna
mengidentifikasi intensitas nyeri, kemampuan gerak motorik, kemampuan
berjalan, duduk, fungsi seksual, kualitas tidur, hingga kehidupan pribadinya. Dari sini,
5
dokter dapat mengetahui skala nyeri dan memastikan apa penyebab utama dari nyeri yang
dirasakan tersebut.
g. Brief Pain Inventory (BPI)
Awalnya, metode ini digunakan untuk menghitung skala nyeri yang dirasakan oleh
penderita kanker. Namun. Saat ini BPI juga digunakan untuk menilai derajat nyeri pada
penderita nyeri kronik.
Cara mengukur skala nyeri dengan metode Memorial Pain Assessment Card ini dinilai
cukup efektif, terutama untuk pasien penderita nyeri kronik. Dalam penerapannya, MPAC
akan berfokus pada empat indicator, yakni intensitas nyeri, deskripsi nyeri, pengurangan
nyeri, dan mood.
5. Etiologi Nyeri
Penyebab nyeri dapat diklasifikasi kedalam dua golongan yaitu penyebab yang
berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Secara fisik misalnya, penyebab
adalah trauma (mekanik, thermal, kimiawi maupun elektrik), neoplasma, peradangan,
gangguan sirkulasi darah dan lain-lain.
a. Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas
mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan ataupun luka.
b. Trauma thermal menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat
rangsangan akibat panas atau dingin.
c. Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang kuat.trauma
elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai
reseptor rasa nyeri.
d. Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau kerusakan jaringan
yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena tarikan, jepitan atau metastase.
e. Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat
adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
nyeri yang disebabkan oleh faktor fisik berkaitan dengan terganggunya serabut saraf
reseptor nyeri.
6
f. Nyeri yang disebabkan oleh factor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan
bukan karena penyebab organic, melainkan akibat trauma psikologis dan
pengaruhnya terhadap fisik. Nyeri karena factor ini disebut pula psychogenic pain.
6. Patofisiologi Nyeri
Pada saat sel saraf rusak akibat trauma jaringan, maka terbentuklah zat-zat kimia
seperti Bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian zat-zat tersebut
merangsang dan merusak ujung saraf reseptor nyeri dan rangsangan tersebut akan
dihantarkan ke hypothalamus melalui saraf asenden. Sedangkan di korteks nyeri akan di
persiapkan sehingga individu mengalami nyeri. Selain dihantarkan ke hypotalamus nyeri
dapat menurunkan stimulasi terhadap reseptor mekanin sensitive pada termosensitif
sehingga dapat juga menyebabkan atau mengalami nyeri.
7. Penanganan Nyeri (Pain Management)
Managemen nyeri atau Pain management adalah salah satu bagian dari displin ilmu medis
yang berkaitan dengan upaya-upaya menghilangkan nyeri atau pain relief.
Management nyeri ini menggunakan pendekatan multi disiplin yang didalamnya
termasuk pendekatan farmakologikal (termasuk pain modifiers), non farmakologikal dan
psikologikal. Setiap orang memiliki persepsi yang sangat berbeda dengan orang lain
terhadap nyeri yang mungkin sedang dialami. Perbedaan inilah yang mendorong
perawat untuk meningkatkan kemampuan dalam menyediakan peningkatan rasa nyaman
bagi klien dan mengatasi rasa nyeri.
Hal yang sangat mendasar bagi perawat dalam melaksanakannya adalah kepercayaan
perawat bahwa rasa nyeri yang dialami oleh kliennya adalah sungguh nyata terjadi,
kesediaan perawat untuk terlibat dalam menghadapi pengalaman nyeri yang dialami oleh
klien dan kompetensi untuk terus mengembangkan upaya- upaya mengatasi nyeri atau pain
management.
Strategi keperawatan utama yang spesifik dalam meningkatkan rasa nyaman bagi
pasien yang sedang mengalami nyeri, bersifat farmakologi dan non farmakologi.
Tapi Tindakan mengatasi nyeri pain management, yang dapat dilakukan oleh
perawat sebagai penyedia asuhan keperawatan.
a. Managemen Nyeri Farmakologikal
7
Yaitu terapi farmakologis untuk menanggulangi nyeri dengan cara
memblokade transmisi stimulan nyeri agar terjadi perubahan persepsi dan dengan
mengurangi respon kortikal terhadap nyeri. Adapun obat yang digunakan untuk
terapi nyeri adalah :
- Analgesik Narkotik
- Menghilangkan nyeri dengan merubah aspek emosional dari pengalaman nyeri (misal :
persepsi nyeri).
- Analgesik Lokal Analgesik
- Bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat diberikan langsung keserabut saraf.
- Analgesik yang dikontrol klien
- Sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari impus yang diisi narotika
menurut resep, dipasang dengan pengatur pada lubang injeksi intravena.
- Obat obat nonsteroid
8
terhadap terapi nyeri. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan
kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari
9. Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis
dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang
dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan
mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b. Jenis kelamin (Tidak terlalu signifikan)
c. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
cemas.
d.Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang
sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya
seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri
e. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya
pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
a. Fase Prediagnostik : Terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko penyakit.
9
b. Fase Akut : Berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian
keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis.
c. Fase Kronis : Klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya.
Klien dalam kondisi Terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik, psikologis,
maupun social-spiritual.
2. Indikator yang perlu dikaji a.
Faktor Fisik
Pada kondisi terminal dihadapkan pada berbagai masalah pada fisik. Gejala fisik yang
ditunjukan antara lain perubahan pada penglihatan, pendengaran, nutrisi, cairan,
eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri. Perawat harus respek terhadap
perubahan fisik yang terjadi pada klien terminal karena hal tersebut menimbulkan
ketidaknyamanan dan penurunan kemampuan klien dalam pemeliharaan diri. Hal-hal yang
perlu dikaji antara lain :
1) Oksigenisasi : Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne stokes,
sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : Agitasi-gelisah, tekanan darah menurun,
hypoksia, akumulasi secret, dan nadi ireguler.
3) Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic menurun,
distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kering dan
membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan cairan menurun.
4) Suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
10
5) Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat mendekati
kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran menurun, kemampuan
berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran berkurang, sensasi menurun.
6) Nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra vena, klien
harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kenyamanan.
7) Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah pada kulit
sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
8) Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami
banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan,
hilang control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan
harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier komunikasi.
9) Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat
kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian
sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan bahwa
kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya dengan
orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan perpisahan,
dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang hidup.
b. Faktor Psikologis
Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat harus peka dan
mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa mengenali ekspresi
wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah. Problem psikologis lain yang
muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan.
c. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal, karena pada
kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak ingin
berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya. Ketidakyakinan dan
keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat harus bisa mengenali
11
tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat memberikan dukungan social bisa
dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat untuk selalu menemani klien.
d. Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian, bagaimana
sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin mendekatkan diri pada
Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat juga harus mengetahui
disaat-saat seperti ini apakah pasien mengharapkan kehadiran tokoh agama
untuk menemani disaat-saat terakhirnya.
3. Diagnosa Keperawatan :
a. Ansietas (ketakutan individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan dengan
situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan
takut akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
b. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi,
penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
c. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan
keluarga, takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres ( tempat
perawatan ).
d. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari system
pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam
menghadapi ancaman kematian.
12
Konsep fraktur
a. Perbedaan fase penyembuhan anak, dewasa, lansia, dan faktor yang berpengaruh
Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan pada kasus fraktur berbeda-beda tergantung ukuran tulang yang terkena
dan umur pasien. Faktor lain yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan fraktur adalah
tingkat kesehatan pasien secara keseluruhan dan status nutrisi yang baik (Smeltzer & Bare,
2013).
Beberapa tahapan atau fase dalam proses penyembuhan tulang, antara lain:
1) Fase Inflamasi,
yaitu adanya respon tubuh terhadap trauma yang ditandai dengan perdarahan dan timbulnya
hematoma pada tempat terjadinya fraktur. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi
karena terputusnya aliran darah yang akan menyebabkan inflamasi, pembengkakan, dan
nyeri. Fase ini berlangsung selama beberapa hari sampai pembengkakan dan nyeri
berkurang (Smelzer & Bare, 2013).
2) Fase Proliferasi,
hematoma pada fase ini akan mengalami organisasi dengan membentuk benang fibrin dalam
jendalan darah yang akan membentuk jaringan dan menyebabkan revaskularisasi serta
invasi fibroblast dan osteoblast. Proses ini akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan
sebagai matriks kolagen pada patahan tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang
rawan (osteoid) yang berlangsung setelah hari ke lima (Smeltzer & Bare, 2013).
3) Fase Pembentukan Kalus,
pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran pada tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain
sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang bergabung dengan jaringan
fibrus, tulang rawan, dan tulang serat imatur. Waktu yang diperlukan agar fragmen tulang
tergabung adalah 3-4 minggu (Smeltzer & Bare, 2013).
4) Fase Penulangan Kalus/Osifikasi,
yaitu proses pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam waktu 2-3 minggu
melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar saling menyatu hingga keras. Pada orang dewasa normal, kasus fraktur
panjang memerlukan waktu 3-4 bulan dalam proses penulangan (Smeltzer & Bare, 2013).
13
5) Fase Remodelling/Konsolidasi,
yaitu tahap akhir pada proses penyembuhan fraktur. Tahap ini terjadi perbaikan fraktur yang
meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural
sebelum terjadinya patah tulang. Remodelling memerlukan waktu berbulan-bulan hingga
bertahuntahun (Smeltzer & Bare, 2013).
14
b. Komplikasi pemasangan bidai yang tidak adekuat
Komplikasi Pembidaian
Saleh (2006) menyatakan bahwa komplikasi pembidaian biasanya timbul bila kita
bidai yang bisa memperparah cedera yang sudah ada, bila dipasang
terlalu ketat.
jaringan.
a. Kerusakan kulit
Penekanan pada kulit dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan pada kulit sehingga
sebelum dilakukan pembidaian kulit harus benar – benar dalam keadaan bersih.
b. Compartment syndrome
15
c. Infeksi
Kerusakan kulit dalam pembidaian dapat menjadi tempat masuknya bakteri dan
infeksi jamur.
d. Kerusakan saraf
16
c. Asuhan Keperawatan pasien dengan
a. Fraktur ekstremitas
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.H DENGAN DIAGNOSA FRAKTUR
A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 30 April 2021 hari Rabu jam 09.00 WIB. Data diperoleh dari
pasien, keluarga pasien, catatan keperawatan pasien dan tim kesehatan lainnya dengan metode
Autoanamnesa dan Alloanamnesa.
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Umur : 49 tahun
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SD
Agama : Katholik
No. RM : xxxx
Nama : Ny. I
Umur : 49 tahun
Pendidikan : SD
17
Hubungan dengan pasien : Istri pasien
3. Keluhan Utama
4. Riwayat Kesehatan
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami patah tulang pada tungkai kanan dan
mengalami nyeri berat, skala nyeri 6. Pasien mengalami kecelakaan sepeda motor pada hari
Sabtu tanggal 19 April 2021, ± 10 hari yang lalu sewaktu pulang dari bekerja jam 19.00
WIB. Pasien mengatakan mengendarai sepeda motor sendiri untuk menuju ke rumah kemudian
terserempet sepeda motor lain dan terjatuh dengan posisi tengkurap ke kanan. Kemudian
tungkainya yang sebelah kanan terkena aspal jalan karena pasien menggunakan tungkai
kanannya sebagai tumpuan. Oleh sebab itu pasien menderita patah tulang. Saat jatuh pasien
tidak pingsan. Beberapa saat setelah kecelakaan pasien dibawa ke RS Muntilan tidak diberikan
pengobatan hanya dilakukan pembidaian dan diberi perban. Pasien dirawat di RS Muntilan ± 3
hari. Kemudian atas permintaan keluarga pasien dirujuk ke RSO Prof. Dr. R. Soeharso, Surakarta
pada hari Selasa tanggal 22 April 2021 jam 19.00 WIB. Di IGD pasien mendapatkan terapi
pemasangan infus RL 20 tpm (tetes per menit) pada tangan kiri kemudian pukul 22.00 WIB
pasien dipindahkan ke bangsal Cempaka. Keesokan harinya pasien dilakukan pemeriksaan
rontgen, laboratorium serta EKG (Elektro Kardio Grafi). Sekarang pada saat pengkajian yaitu
Rabu tanggal 30 April 2021 pasien mengatakan nyeri pada tungkai kakinya sebelah kanan post
operasi hari pertama. Nyeri timbul jika untuk bergerak, nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri
berlangsung terus menerus berhenti jika posisi nyaman dan tidak bergerak. Saat ini pasien
mendapatkan terapi injeksi Cefotaxime 2×1 gram per IV (Intra Venous) dan injeksi Ketorolac
3×1 ampul per IV infus. Selain itu pasien juga mendapatkan terapi injeksi Actrapid 4 IU setiap
sebelum makan.
Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah dirawat inap di RS. Bila sakit pasien langsung
dibawa ke Puskesmas/ mantri di daerahnya. Keluarga pasien mengatakan bahwa sebelumnya
pasien tidak pernah mengalami kecelakaan sepeda motor seperti sekarang ini dan belum pernah
dioperasi. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma, jantung dan hipertensi. Tetapi sekarang
ini pasien menderita penyakit DM (Diabetes Mellitus) terbukti dengan kadar GDS (Gula Darah
Sewaktu) tanggal 29 April 2021 yaitu 198 mg/dl dan gula darah 2 jam PP (Post Prandial) yaitu
225 mg/dl.
Keluarga pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami
kecelakaan. Pasien mengatakan di dalam keluarganya tidak ada yang mengalami sakit yang
diderita suaminya. Di dalam keluarganya juga tidak ada yang menderita penyakit keturunan
18
seperti DM, hipertensi, jantung dan penyakit menular seperti TBC, AIDS, Hepatitis. Pasien juga
mengatakan bahwa di dalam keluarganya tidak ada yang mempunyai alergi baik obat-obatan
maupun makanan.
Pola Nutrisi
Sebelum sakit : Pasien mengatakan biasanya makan 3x/ hari dengan menu nasi,
sayur (bayam, buncis, wortel, kangkung), lauk (tempe, telur, tahu, daging). Porsi 1 piring
habis. Pasien tidak suka makanan (sayuran yang bersantan contohnya: sayur nangka,
kluwih, dan opor). Pasien biasa minum 6-7 gelas perhari ± 1400 cc, pasien biasanya
minum air putih dan teh.
Selama sakit : Pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan menu yang
disediakan RS yaitu nasi, sayur, lauk, buah, porsi makan sedang tetapi pasien hanya
makan dan habis ½ porsi makanan karena masakan yang disediakan dari RS tidak
enak. Setiap sebelum makan pasien selalu diberikan injeksi Actrapid 4 IU (IntraUnit)
pada lengannya secara SC (SubCutan). Pasien minum air putih ± 5-6 gelas setiap harinya
± 1200 cc. Diit dari RS yaitu RKTP ( Rendah Kalori Tinggi Protein ).
Pola Eliminasi
Sebelum sakit : Pasien mengatakan BAB (Buang Air Besar) 1 kali sehari biasanya
saat pagi hari dengan konsistensi feses lunak, warna kuning kecoklatan, bau khas, tidak
ada lendir/ darah, tidak ada keluhan. Pasien mengatakan sehari BAK (Buang Air Kecil)
7-8 x/ hari dengan konsistensi jernih, kekuningan dan bau khas.
Selama sakit : Pasien mengatakan semenjak dirawat, BAB tidak ada masalah tetap 1
kali dalam sehari tetapi waktunya tidak tentu. Warna feses kuning kecoklatan, bau khas
dan tidak ada lendir/ darah. Pasien mengatakan BAK 4-5 x/ hari dengan konsistensi
jernih, kekuningan dan bau khas. Pasien BAB dan BAK dibantu oleh keluarga dengan
menggunakan pispot.
19
Pola Aktivitas dan Latihan
Sebelum sakit : Pasien mengatakan sehari-hari bekerja sebagai sopir. Berangkat jam
06.00 pagi dan pulang tidak tentu, tapi rata-rata pulang jam 20.00 WIB. Keseharian
pasien hanya dilakukan untuk bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Pasien tidak pernah mengikuti kegiatan yang ada di desanya karena
pekerjaannya yang selalu pulang malam.
Selama sakit : Pasien mengatakan izin bekerja selama masih sakit. Pasien
mengatakan aktivitas sehari-harinya dibantu keluarga yang tidak lain adalah istrinya (Ny.
I). Untuk makan disuapi, minum diambilkan, BAK dan BAB dengan pispot. Pasien
dibantu keluarga karena tidak bisa bergerak. Pasien setiap pagi disibin oleh istrinya.
Keterangan :
0 : Mandiri
4 : Tergantung sepenuhnya
Pola Kognitif
Sebelum sakit : Pasien mengatakan tidak tahu bahaya dari patah tulang jika
tidak segera diatasi.
Selama sakit : Pasien mengatakan sudah tahu tentang tindakan penangananan dari
patah tulang yang sedang dideritanya, pasien mendapatkan informasi dari dokter dan
perawat yang merawatnya.
20
3. Peran : Pasien mengatakan perannya sebagai ayah, kepala keluarga, dan pencari
nafkah. Sekarang ini pasien tidak bisa lagi bekerja karena kondisi pasien yang sedang
sakit. Untuk biaya RS pasien menggunakan uang tabungannya di Bank.
4. Identitas : Pasien mengatakan bahwa dirinya sebagai seorang ayah yang berumur 49
tahun dan beragama Katholik.
5. Ideal diri : Pasien berharap untuk cepat sembuh sehingga dapat beraktivitas seperti
sediakala sebelum sakit dan dapat berkumpul dengan keluarga, saudara, dan sahabat.
21
4) RR (Respirasi) : 24 x/ menit
5) GCS (Glasgow Coma Scale) : E4 V5 M6
7. Pemeriksaan Fisik
1) Jantung :
d) Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal terdengar lupdup, bising negatif, tidak
ada suara tambahan.
2) Paru-paru :
3) Abdomen :
1. Inspeksi : Tidak ada asites, tidak ada nodul, bentuk simetris, kontur kulit
lentur, tidak ada benjolan/ massa.
22
2. Auskultasi : Bising usus 16 x/ menit
3. Perkusi : Tidak ada pembesaran pada hati, tidak ada nyeri tekan, suara
tympani.
4. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa.
4) Genetalia : Menolak dilakukan pemeriksaan. Tidak terpasang kateter. Untuk BAB dan
BAK dengan pispot.
5) Ekstremitas : 5 5
2 5
Ekstremitas atas: Tangan kanan dan kiri dapat melawan tahanan pemeriksa dengan
kekuatan maksimal, tangan kiri terpasang infus RL 20 tpm (tetes per
menit), tidak ada luka pada ekstremitas atas, dapat digerakkan dengan
bebas, dan tidak ada edema.
Ekstremitas bawah :
a) Kanan : Ada gerakan pada sendi tetapi tidak dapat melawan gravitasi, tungkai
kanan terpasang balutan bekas operasi hari pertama, balutan kering, tidak tambas, tampak
pada jari-jari kaki kanan mengalami pembengkakan, tidak terpasang drain.
- P (Paliatif) : tungkai sebelah kanan, nyeri jika untuk bergerak
- Q (Quality) : nyeri seperti tertusuk-tusuk
- R (Regio) : tungkai sebelah kanan menempel lutut (sebelah 1/3 proksimal pada
tulang tibia).
- S (Scale) : skala nyeri: 6 saat dilakukan pengkajian post operasi hari kedua.
- T (Time) : terus menerus berhenti jika posisi enak dan tidak bergerak.
b) Kiri : Pasien dapat melawan tahanan pemeriksa dengan kekuatan maksimal, tampak
pada lutut dan di bawah lutut sebelah kiri luka-luka post trauma, luka sedikit kering dan warna
merah.
6) Kulit : Warna kulit sawo matang, turgor kulit baik (< 2 detik), tidak ada biang
keringat, tidak ada decubitus, pada tungkai kaki kanan yang telah di operasi ORIF tampak
adanya 10 jahitan, daerah luka tampak berwarna kemerahan dan bengkak.
1. Pemeriksaan penunjang
23
7. Trombosit 266.000 /mm3 200.000-500.000
8.
9. HCT 44 Vol % 40-48
10.
11. Masa perdarahan 2 Menit 1-3
12.
13. Masa pembekuan 4 Menit 2-6
14.
15. Hitung jenis :Eosinofil 1 % 1-3
16.
17. Basofil – % 0-3
18.
19. Batang – % 2-6
20.
21. Segmen 67 % 50-70
22.
23. Limfosit 28 % 20-40
24.
25. Monosit 4 % 2-8
26.
27. Protein total 6,6 gr/dl 6-8
28.
29. Albumin 3,6 gr/dl 3,5-5,5
30.
31. Globulin 3 gr/dl 1,3-3,3
32.
33. SGOT 14 U/L < 37
34.
35. SGPT 17 U/L < 42
36.
37. Alkali fosfat 246 U/L 60-300
38.
39. Ureum 47 mg/dl 10-50
40.
41. Kreatinin 1,0 mg/dl 0,6-1,1
42.
43. GDS 198 mg/dl 70-100
44.
45. Uric acid 2,4 mg/dl 3,4-7
46.
47. Cholesterol acid 173 £ 220
48.
49. Trigliserid 290 £ 150
50.
51. HBSAg Negatif Negatif
24
52. Golongan darah : O
1. Pemeriksaan GDS (Gula Darah Sewaktu) dan GDP (Gula Darah Puasa) tanggal 29 April
2021
3. Pemeriksaan Rontgen pada tanggal 30 April 2021 (post operasi ORIF dan debridement).
1. Infus RL 20 tpm
2. Injeksi Cefotaxime 2×1 gram per Intra Venous
3. Injeksi Ketorolac 3×1 ampul per Intra Venous
4. Injeksi Actrapid 4 IU sebelum makan 3×1 di lengan kanan/kiri.
5. Diit RKTP
6. Posisi elevasi tungkai
7. Observasi VS (Vital Sign)/ KU (Kondisi Umum) dan perdarahan
8. Ambulasi dengan menggunakan walker
9. Perawatan luka
10. Fisioterapi
11. Jenis tindakan operasi : ORIF dan dedridement
12. Obat oral :
25
1. Analisa Data
DO :
4. S : Skala nyeri: 6
5. T : Nyeri terus
menerus berhenti saat posisi
enak dan tidak bergerak
26
tegang
N : 80 x/ menit
S : 367 oC
RR : 24 x/ menit
DO :
27
4. Pasien tampak membatasi gerakan
5. Tampak pada tungkai dan kaki
sebelah kanan bengkak
1-05-08 DS :Pasien mengatakan ini hari Risiko Luka insisi bedah, Perawat
kedua post operasi infeksi prosedur invasif,
08.00
kehancuran jaringan
WIB DO :
28
ORIF pada tungkai kaki kanan, 10
jahitan
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen yang menyebabkan cidera fisik, luka insisi post
operasi.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler dan muskuloskeletal,
nyeri post operasi.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bedah perbaikan dan imobilisas
4. Risiko infeksi berhubungan dengan luka insisi bedah, prosedur invasif.
Intervensi
29
3. TTV dalam batas
5. Kolaborasi dengan dokter dalam nyeri.
normal. pemberian analgetik.
4. Pasien tampak rileks.1. Mengetahui tindakan
5. Kaji tingkat nyeri keperawatan yang diberikan
dengan standar PQRST. sesuai dengan tingkatan nyeri.
2. Memfokuskan kembali
perhatian koping terhadap stress
sehingga dapat menurunkan
nyeri.
30
sakit dengan lembut.
6. Atur posisi elevasi
tungkai.
7. Latih dan bantu ROM
31
nekrotik dan kondisi di
sekitar luka.
7. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian obat-obatan
topikal.
8. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk pemberian
diit.
32
monitor TTV, kaji Untuk menjamin
tanda-tanda infeksi. keseimbangan nitrogen
2. Lakukan perawatan positif dan
luka dengan tepat dan meningkatkan proses
steril. penyembuhan.
3. Observasi keadaan luka
terhadap pembentukan
bulla, krepitasi dan bau
drainase yang tidak
enak.
4. Inspeksi kulit terhadap
adanya iritasi.
Evaluasi
4 Perawat
R : Nyeri pada luka post operasi hari kedua pada tungkai
sebelah kanan, 1/3 proksimal mendekati lutut.
S : Skala nyeri 6
33
Pasien tampak menahan sakit, ekspresi wajah tegang
P : Lanjutkan intevensi:
Kekuatan otot
5 5
2 5
P : Lanjutkan intevensi:
34
2. Kolaborasi dengan Fisioterapi
P : Lanjutkan intervensi:
P : Lanjutkan intervensi:
35
1. Pantau KU & monitor TTV
Jum‟at 1 S : Pasien mengatakan nyeri pada luka post operasi hari Perawat
ketiga sudah berkurang.O : P : masih sedikit nyeri jika untuk
2 Mei „21 2 Perawat
bergerak
4 Perawat
R : nyeri pada tungkai kanan 1/3 proksimal
S : skala nyeri 5
P : Lanjutkan intervensi:
36
sudah latihan bergerak di tempat tidur.
Kekuatan otot
5 5
2 5
P : Lanjutkan intervensi:
37
P : Lanjutkan intervensi:
P : Pertahankan intervensi:
38
b. Fraktur pelvis
1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri,
b. Sirkulasi
(kehingan darah)
c. Neurosensori
d. Nyeri/kenyamanan
Nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera ( mungkin terlokalisasi pada arah jaringan/kerusakan
tulang; dapat berkurang pada imobilisasi) tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
2. Diagnosa Keperawatan
3. Resiko syok sepsis b.d. infeksi sekunder pemasangan alat fiksasi invasive
39
3. Intervensi
40
kebisingan
nyeri
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi, dan
interpersonal)
untuk menentukan
intervensi
nonfarmakologi
mengurangi nyeri
kontrol nyeri
41
diharapkan hambatan 2) Konsultasikan dengan terapi menurunkan
komplikasi.
mobilitas klien fisik tentang rencana
4. Melatih otot dan
berkurang dengan ambulasi sesuai dengan
sendi-sendi agar
kriteria hasil : kebutuhan tidak mengalami
komplikasi.
1) Kemampuan klien 3) Bantu klien untuk
pasien
memerlukan
42
9) Ajarkan pasien bagaimana
diperlukan
teratur asites
43
Klorida serum, posisi supine, kaki elevasi
ditemukan
b. Demam tidak
(36,5 – 37,5oC)
mmHg – 140/85
mmHg)
d. Hematokrit dalam
44%)
44
diharapkan dan apa yang dilakukan
2) Mengidentifikasi, perhatian
45
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan)
1 Mei „21 5 setelah dilakukan 1) Pantau tingkat kekuatan dan Membantu pasien Perawat
meningkatkan
tindakan keperawatan toleransi aktivitas
08.00 WIB
kemampuan
selama 3 x 24 jam 2) Pantau peningkatan dan
aktivitas
diharapkan penurunan kemampuan
mengalami rambut
46
pakaian, dijangkau (disamping
47
melakukan aktivitas diresepkan
48
11)Mampu
mempertahankan
mobilitas yang
diperlukan untuk ke
menyediakan
perlengkapan mandi
serta membersihkan
dan mengeringkan
tubuh
49
Evaluasi
S : Data Subyektif
tindakan keperawatan.
O : Data Obyektif
A : Analisis
Interpretasi dari data subyektif dan data obyektif. Merupakan suatu masalah
atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi, atau juga dapat dituliskan
P : Planning
sebelumnya.
50
c. Fraktur spinal
1. Pengkajian
51
2. Diagnosa Keperawatan
3.Intervensi
52
nyeri) (Skala 3) d. Kontrol lingkungan yang
4. Menyatakan rasa
dapat mempengaruhi nyeri
nyaman setelah nyeri
seperti suhu ruangan,
berkurang (Skala 3)
5. Tanda vital dalam pencahayaan dan
rentang normal (Skala
kebisingan
3)
e. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
personal)
f. Kolaborasikan dengan
analgesik untuk
mengurangi nyeri
Administrasi analgesik
(Analgesic Administration)
a. Tentukan lokasi,
pemberian obat
c. Kolaborasikan dengan
53
pilihan analgesic
beratnya nyeri
d. Kolaborasikan dengan
optimal
hebat
h. Evaluasi efektivitas
(efek samping)
54
mampu: a. Konsultasikan dengan terapi menurunkan
komplikasi.
a. Meningkatkan aktivitas fisik tentang rencana
6. Melatih otot dan
fisik (skala 4) ambulasi sesuai dengan
sendi-sendi agar
b. Mengerti tujuan dari kebutuhan tidak mengalami
komplikasi.
peningkatan mobilitas b. Bantu klien untuk
management)
a. Observasi adanya
55
melakukan aktivitas
mengungkapkan perasaan
terhadap keterbatasan
menyebabkan kelelahan
secara berlebihan
therapy)
a. Kolaborasikan dengan
dalam merencanakan
mengidentifikasi aktivitas
c. Bantu untuk
mengidentifikasi dan
56
diperlukan untuk aktivitas
yang diinginkan
waktu luang
misalnya dengan
retention)
57
a. Lakukan penilaian berkemih
yang komprehensif
berfokus pada
inkontinensia (contoh
kognitif).
dengan tepat
cairan
1 Mei „21 4 Setelah dilakukan Konstipasi bowel (Bowel Membantu proses Perawat
penyembuhan
perawatan selama 5 x constipation)
08.00 WIB
24 jam pasien: a. Anjurkan pasien atau Membantu nutrisi
58
manajemen bowel laksatif
pasien memerlukan
suppositoria (obat
dalam dubur)
cukup minum
latihan
d. Kolaborasi pemberian
memungkinkan
rutin
1 Mei „21 5 Setelah dilakukan Peningkatan harga diri (Self Membantu pasien Perawat
meningkatkan
perawatan selama 1 Esteem Enhancement)
08.00 WIB
harga diri nya
59
minggu pasien akan a. Monitor keadaan nilai diri
mampu: pasien
menegatifkan harga
diri (Skala 3)
EVALUASI
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat bergerak dalam batas fungsi atau belum
O : Pasien sudah memperlihatkan usaha melakukan latihan dalam batas fungsi
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Melatih pasien dengan ROM
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah mengonsumsi asupan cairan yang adekuat atau belum?
O : Pasien sudah mengonsumsi cairan yang adekuat
A : Tujuan tercapai
P : Menjaga asupan cairan yang adekuat
60
3. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis pada lumbal
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat buang air besar secara teratur atau belum.
O : Pasien belum dapat buang air besar secara teratur
A : Tujuan belum tercapai
P : Mengonsumsi makanan berserat yang adekuat dan cairan melalui oral
4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan fungsional pada lumbal
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat menerima diri dalam situasi ini atau belum.
O : Pasien sudah dapat menerima diri sesuai kemampuan pasien sekarang
A : Tujuan tercapai
P : Memberikan penghargaan terhadap keberhasilan pasien
S : Tanyakan pada pasien apakah level nyeri sudah berkurang atau belum
setelah perawatan selama 3 x 24 jam?
O : Level nyeri pasien sudah berkurang
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Lakukan kontrol nyeri dan manajemen nyeri selanjutnya
61
d. Fraktur mandibular
PENGKAJIAN
1. Identitas klien
a) Identitas klien berisi tentang : Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama,
Alamat.
b) Identitas penanggung jawab meliputi: Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku,
Agama, Alamat.
c) Tanggal masuk RS, No. Medical Record dan Diagnosa Medis
2. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama : Badan bengkak, muka sembab dan nafsu makan menurun.
b) Riwayat penyakit sekarang : Badan bengkak, muka sembab, muntah, nafsu makan
menurun, konstipasi, diare, urine menurun.
c) Riwayat penyakit dahulu : Edema, malaria, riwayat GNA dan GNK, terpapar bahan
kimia.
d) Riwayat kesehatan keluarga : Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak
dapat ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati pada tahun pertama atau dua
tahun setelah kelahiran.
Pada klien dengan nefrotik sindrom, hal yang perlu di kaji menurut 11 pola konseptual
Gordon yang dikemukakan oleh Doengoes (2000) dan Carpenito (2001).
a. Persepsi kesehatan
Kaji pandangan klien/keluarga jika ada anggota keluarga yang sakit apa yang akan
dilakukan, pengobatan apa yang akan diberikan.
62
b. Pola nutrisi metabolic
Tanyakan tentang pola makan klien sebelum dan selama sakit, kaji status nutrisi klien
dengan, kaji input cairan klien selama 24 jam, dan kaji turgor kulit serta observasi
adanya oedema anasarka.
c. Pola eliminasi
Kaji pola bab dan bak klien sebelum sakit dan selama sakit.apakah terjadi perubahan
pola berkemih seperti peningkatan frekuensi, proteinuria.
d. Pola aktivitas
Kaji tanda – tanda vital terutama tekanan darah, kaji adanya tanda - tanda kelelahan,
Kaji kemampuan pancaindra klien, kaji pengetahuan klien tentang penyakit yang di
deritanya.
Kaji persepsi diri klien meliputi body image, harga diri, peran diri, ideal diri, konsep
diri.
Kaji pola komunikasi klien terhadap keluarga, klien satu ruang, dan perawat.
i. Pola seksualitas
63
j. Pola mekanisme koping
k. Pola spiritual
Kaji persepsi klien dilihat dari segi agama, apakah klien memahami bahwa penyakitnya
adalah ujian dari Tuhan
Diagnosa Keperawatan
2. Resiko tinggi inefektifnya bersihan jalan nafas b.d trauma pada jaringan lunak
Intervensi
64
relaksasi napas dalam 14.
15. 3. menurunkan
5. Berikan waktu untuk
ketidaknyamanan
ekspresikan perasaan,
dan kekakuan,
dalam tingkat kemampuan merangsang
sirkulasi yang
berkomunikasi
melambat
Kolaborasi
sehubungan
Berikan analgetik sesuai dengan tirah
baring
indikasi dengan dokter,
16.
pemberian analgetik
17. 4. Dengan tehnik
relaksasi dapat
mengurangi nyeri
18.
19. 5. ekspresikan
masalah/ rasa takut
menurunkan
ansietas/ siklus
nyeri
1 Mei „21 2 Setelah dilakukan 1. Tinggikan tempat tidur 7.30 1. Meningkatkan Perawat
drainase sekresi
tindakan keperawatan derajat
08.00 WIB
dan menurunkan
selama 3 x 24 jam 2. Observasi frekuensi/ irama
terjadinya edema
resiko inefektif pernafasan. Perhatikan
8.
9. 2. Dapat
bersihan jalan nafas penggunaan otot aksesori,
mengindikasikan
tidak terjadi pernafasan cuoing hidung,
terjadinya gagal
Kriteria hasil: stridor, serak pernafasan
10.
65
a. Pola nafas normal 3. Periksa mulut terhadap
11. 3. Pemeriksaan
hati-hati
b. Bunyi nafas jelas dan pembengkakan, perubahan
diperlukan karena
tidak bising warna, akumulasi sekret
mungkin adanya
c. Mendemonstrasikan mulut atau darah perdarahan
12.
perilaku untuk 4. Perhatikan keluhan pasien
13. 4. Menindikasikan
meningkatkan jalan akan peningkatan disfagia,
pembengkakan
napas paten batuk nada tinggi, mengi jaringan lunak
pada faring
5. Awasi TTV dan perubahan
posterior
mental
14.
6. Auskultasi bising usus 15. 5. Takikardi/
peningkatan
7. Kaji warna dasar kuku
gelisah dapat
Kolaborasi
mengindikasikan
Berikan antiemetik sesuai terjadinya hipoksia
16.
indikasi
17. 6. Adanya mengi/
ronki menunjukan
sekret tertahan
18.
19. 7. Menentukan
keadekuatan
oksigenasi
66
berkomunikasi komunkasi menggunakan bantuan
5.
dengan baik alat
6. 2. Memampukan
Kriteria hasil : 3. validasi arti upaya
pasien untuk
pasien akan menetapkan komunikasi.gunakan ya mengkomunikasik
an kebutuhan atau
metode komunikasi atau tidak
masalah
dimana kebutuhan 4. Antisipasi kebutuhan pasien
7.
dapat diekspresikan 8. 3. Batasi frusteasi
dan kelelahan
yang dapat terjadi
pada percakapan
lama
9.
10. 4. Menurunkan
ansietas dan
perasaan tidak
berdaya
EVALUASI
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat berbicara dalam batas fungsi atau belum
O : Pasien sudah memperlihatkan usaha melakukan latihan dalam batas fungsi
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Melatih pasien
67
2. Resiko tinggi inefektifnya bersihan jalan nafas b.d trauma pada jaringan lunak
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah mendemonstrasikan perilaku meningkatkan jalan napas
atau belum?
O : Pasien sudah bernapas paten
A : Tujuan tercapai
P : Menjaga jalan napas paten
S : Tanyakan pada pasien apakah level nyeri sudah berkurang atau belum
setelah perawatan
O : Level nyeri pasien sudah berkurang
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Lakukan kontrol nyeri dan manajemen nyeri selanjutnya
68
e. Total joint replacement
Pengkajian
1) Identitas
Klien
Nama :-
Umur : 15-70 tahun. (tidak bisa dilakukan pada orang
yang sangat gemuk atau usianya yang masih
terlalu muda)
Jenis Kelamin : Biasa terjadi pada laki-laki yang memiliki beban
kerja tinggi dan aktivitas berat pada ekstremitas
bawah.
Agama :-
Alamat :-
Pekerjaan : Pekerja bangunan, Buruh tambang (Beresiko rusak
ekstremitas) Status : -
Tgl MRS :-
Pendidikan : Tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan klien
mengenai tata cara menjaga kesehatan tubuh.
2) Riwayat Kesehatan
a. Diagnosa Medis : Osteochondritis Dissecans, Kondromalasia, Artritis Septik,
Radang Sendi Rematik, Osteoartritis.
b. Keluhan Utama : Keluhan yang biasa muncul pada pasien sebelum dilakukan
TKR (nyeri, kaki sulit atau tidak bisa digerakkan).
c. Riwayat Kesehatan Sekarang:
Riwayat pasien dari masuk rumah sakit sampai opname di ruangan.
Pasien biasanya mempunyai penyakit kronis seperti gagal nafas,
perdarahan dan kaki tidak bisa digerakkan disertai nyeri pada
extremitas bawah. Saat dikaji klien tampak lemah, membran mukosa
kering, turgor kulit menurun, pucat, tegang otot, berkeringat dingin,
wajah tampak meringis menahan sakit, mengeluh
nyeri pada bagian lutut.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu:
Riwayat penyakit ini apa pernah dialami oleh pasien, pengalaman
operasi juga berdampak pada prosedur operasi.
e. Riwayat penyakit keluarga :
Kaji riwayat penyakit keluarga pasien apakah memiliki riwayat
penyakit keturunan atau penyakit kronik seperti diabetus militus,
jantung, paru-paru, TB dan penyakit lainnya. Apakah ada riwayat
penyakit keturunan seperti penyakit
jantung, hipertensi, dan DM.
69
f. Riwayat psikososial:
Kaji hubungan psikososial pasien, seperti kecemasan atau ansietas dan lain-lain.
3) Pemeriksaan fisik:
a. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110/90 mmHg
(Normal) Nadi : 60-80 x/menit
(Normal)
Respirasi : 20 x/menit (Normal)
Suhu : 37,5 0C (Normal)
b. B-1 (Breathing)
1. Sebelum dilaksanakan prosedur pasien biasa di pasang masker oksigen,
untuk menjaga pola nafas.
2. Gerakan nafas sesuai dengan irama, ekspansi dada kanan kiri simetris.
3. Hidung : ada pernafasan cuping hidung.
4. Mulut : mukosa bibir kering, sianosis, dan terpasang alat bantu nafas
atau tidak.
5. Leher : Ada pembesaran kelenjar atau tidak.
6. Dada : Bentuk dada simetris/tidak, ada nyeri tekan, resonansi di seluruh lapang
paru, ada suara nafas tambahan atau tidak seperti ronkhi, wheezing, snoring.
c. B-2 (Blood)
1. Ada keluhan pusing, lemah, atau dada berdebar-debar, jika ada perlu dikaji
sirkulasi darah dan kadar kandungan dalam darah.
2. Wajah : pucat, konjungtiva pucat, ada sianosis/tidak
3. Leher : bendungan vena jugularis ada/tidak, teraba arteri carotis.
4. Dada : bentuk dada simetris/tidak, ada benjolan di dada, nyeri tekan, batas
jantung, dan bunyi jantung 1 dan 2 tunggal.
5. Ekstremitas atas: Ada sianosis/tidak, clubbing finger atau tidak,
CRT 2 detik.
6. Ekstremitas bawah: Ada varises/tidak, pitting edema, sianosis. CRT
2 detik dan tanda homan positif, kulit pucat, nadi lemah atau tidak
ada, derajat edema.
Perubahan tekanan darah dan ada tidak nadi (Judith, 2006)
d. B-3 (Brain)
1. Adanya compos mentis, gelisah, GCS <7 (tidak sadar)
2. Setelah operasi kaji keluhan nyeri kepala dan tungkai bawah
e. B-4 (Blader)
1. Adakah penurunan produksi urine (berkurangnya produksi urine
menunjukkan adanya gangguan perfusi ginjal)
2. Pemakain kateter urine, ada distensi kandung kemih/tidak, nyeri tekan
(Judith, 2006)
70
f. B-5 (Bowel)
1. Mukosa bibir kering/tidak
2. Abdomen (dibagi 4 kuadran)
Inspeksi : ada pembesaran abnormal/tidak, distensi
abdomen. Auskultasi : peristaltic usus 10-20x/mnt
Perkusi :
timpani.
Palpasi :
Kuadran I : hepar (hepatomegali, nyei tekan)
Kuadran II : gaster (nyeri tekan epigastrium, distensi
abdomen) Kuadran III : ada massa atau skibala/tidak
Kuadran IV : ada nyeri tekan /tidak (Judith, 2006)
g. B-6 (Bone)
1. Ada dekubitus /tidak
2. Elastisitas kulit normal/tidak, akral hangat/dingin
3. Ada penurunan kekuatan otot/tidak
4. Ada hiperpigmentasi kulit/tidak
5. Ektermitas bawah mengalami gangguan (Judith, 2006)
6. Kulit pucat
7. Saat dinaikkan tidak bisa dengan merendahkan tungkai
8. Status psikoososial
Diagnosa
Ansietasberhubungan dengan prosedur pergantian sendi lutut total
Nyeri Akut yang berhubungan dengan pergantian sendi lutut total
Hambatan Mobilitas fIsik berhubungan dengan perubahan sendi dan penurunan kekuatan otot
71
Intervensi
1. Pengurangan
Ansietas Tingkat kecemasan
kecemasan
Definisi : keparahan
1. Gunakan
dari tanda-tanda
pendekatan yang
ketakutan,
tenang dan
ketegangan, atau
meyakinkan
kegelisahan, yang
2. Jelaskan semua
bersal dari sumber
prosedur termasuk
yang tidak dapat di
sensasi yang akan
identifikasikan
dirasakan yang
1. Klien yang
mungkin dialami
sebelumnya tidak
klien selama
dapat beristirahat
prosedur tindakan
dengan skala 1 3. Berikan
informasi faktual
(berat) menjadi
terkait diagnosis,
skala 4 (ringan) perawatan, dan
prognosis
2. Klien
4. Berada disisi klien
merasakan
untuk
gelisah yang
meningkatkan rasa
sebelumnya
aman dan
dengan skala 1
mengurangi
(berat) menjadi
ketakutan
skala 4 (ringan)
5. Dorong keluarga
3. Klien yang
untuk mendampingi
sebelumnya
klien dengan cara
menunjukkan
yang tepat
wajah tegang
Terapi relaksasi
dengan skala 1
1. Gambarkan
(berat)
72
menjadi skala
rasionalisasi dan
4 (ringan)
manfaat relaksasi
4. Serangan
serta jenis relaksasi
panik yang yang tersedia
dialami klien 2. Ciptakan
yang lingkungan yang
sebelumnya tenang dan tanpa
menunjikkan distraksi lampu
skala 1 (berat) yang redup dan
menjadi skala suhu lingkungan
4 (ringan) yang nyaman jika
5. klien memungkinkan
menyampaikan 3. Minta klien untuk
rasa takut yang rileks merasakan
sebelumya dari sensasi yang
skala 1 (berat) terjadi
menjadi skala 4. Dorong klien untuk
4 (ringan) mengulang praktik
6. klien teknik relaksasi
menyampaikan
rasa cemas
yang
sebelumnya
skala 1 ke 4
73
2. Pemberian
Nyeri Akut Tingkat Nyeri
Analgesik
9. Klien dapat
1. Tentukan lokasi,
melaporkan nyeri
karakteristik,
yang dialaminya
kualitas, dan
diri sebelumya
keparahan nyeri
dari skala 1
sebelum mengobati
(deviasi berat dari
klien
kisaran normal)
2. Cek perintah
menjadi 4 (deviasi
pengobatan (obat,
ringan dari kisaran
dosis, frekuensi obat
normal)
analgesik yang
10. Panjangnya diresepkan)
episode nyeri 3. Cek adanya riwayat
alergi obat
klien sebelumnya
4. Berikan kebutuhan
menunjukkan dari
kenyamanan dan
skala 1 (deviasi
aktivitas lain yang
berat dari kisaran
dapat membantu
normal) menjadi 4
relaksasi untuk
(deviasi ringan
memfasilitasi
dari kisara
penurunan nyeri
normal)
5. Kolaborasikan
11. Klien mengerang dengan dokter
dan menangis apakah obat, dosis,
yang sebelumya rute pemberian, atau
dari skala 1 perubahan interval
(deviasi berat dari dibutuhkan, buat
rekomendasikan
khusus berdasarkan
prinsip analgesik
74
Manajemen Nyeri
kisaran normal)
1. Gunakan strategi
menjadi 5 (tidak ada
komunikasi
deviasi dari
terapeutik untuk
kisaran normal)
mengetahui
4. Ekspresi wajah
pengalaman nyeri
klien yang
dan sampaikan
sebelumnya
penerimaan pasien
menunjukkan
terhadap nyeri
skala 1 (deviasi
2. Lakukan
berat dari kisaran
pengakajian
normal) menjadi
komprehensif yang
4 (deviasi ringan
meliputi lokasi,
dari kisaran
karakteristik,
normal).
durasi, frekuensi,
5. Pola istirahat
kualitas intensitas
klien yang
dan faktor pencetus
sebelumnya
nyeri
menunjukkan
3. Tentukan akibat
skala 1 (deviasi
dari pengalaman
berat dari kisaran
nyeri terhadap
normal) menjadi
kualitas hidup klien
4 (deviasi ringan
( pola tidur dan
dari kisaran
nafsu makan)
normal).
4. Berikan informasi
6. Klien yang
mengenai nyeri
sebelumnya
(penyebab nyeri,
mengerinyit dari
lama nyeri, dan
skala 1 (deviasi
antisipasi dari
berat dari kisaran
ketidaknyamanan
normal) menjadi
akibat prosedur
75
5 (tidak ada 5. Kurangi faktor
deviasi dari yang dapat
kisaran normal) mencetuskan atau
meningkatkan nyeri
3. Peningkatan
Hambatan mobilitas fisik Ambulasi
mekanika tubuh
1. Klien berjalan
1. Kaji kesadaran
dengan langkah
pasien tenang
yang efektif yang
abnormalitas
sebelumnya dari
muskuloskeletalny
skala 1 (sangat
a dan efek yang
terganggu)
mungkin timbul
menjadi skala 4
pada jaringan otot
(sedikit
dan postur
terganggu)
2. Bantu untuk
2. Klien berjalan
menghindari duduk
dengan pelan
dalam posisi yang
yang sebelumnya
sama dalam jangka
dari skala 2
waktu yang yang
(cukup
lama
terganggu) 3. Bantu pasien
menjadi skala 4 memilih aktivitas
(tidak terganggu) pemanasan sebelum
3. Klien berjalan
memulai latihan
dengan
atau memulai
kecepatan sedang
pekerjaan yang
yang sebelumnya
tidak dilakukan
dari skala 1 (
secara rutin
sangat
sebelumnya
terganggu) 4. Bantu pasien
menjadi skala 4 melakukan latihan
(tidak terganggu)
76
4. Klien yang fleksi untuk
sebelumnya memfasilitasi
berjalan mobilisasi sesuai
menaiki tangga indikasi
5. Berikan informasi
dengan skala 1 (
tentang
sangat
kemungkinan posis
terganggu)
penyebab nyeri otot
menjadi skala 4
atau sendi
(tidak terganggu)
5. Klien yang Terapi latihan :
sebelumnya Mobilitas Sendi
berjalan 1. Tentukan batasan
menuruni tangga pergerakan sendi
dengan skala 1 ( dan efeknya
sangat terganggu) terhadap fungsi
menjadi skala 4 sendi
2. Bantu pasien
(tidak terganggu)
mendapatkan posisi
6. Klien berjalan
tubuh yang optimal
mengelilingi
untuk pergerakan
kamar yang
sendi pasif maupun
sebelumnya
aktif sesuai
menunjukkan
indikasi
skala 1 ( sangat
3. Bantu latihan ROM
terganggu)
pasif atau ROM
menjadi skala 4
4. Bantu pergerakan
(tidak terganggu)
sendi yang ritmitis
dan teratur sesuai
kadar nyeri yang
bisa ditoleransi,
ketahanan, dan
77
pergerakan sendi
5. Dukung ambulasi
jika
memungkinkan
Evaluasi
No Diagnosa Keperawatan Evaluasi
1 Anisietas Tingkat Kecemasan
1. Klien dapat beristirahat menunjukkan
skala 5
2. Klien tidak merasa gelisah skala 5
3. Klien telah merasa tenang skala 5
4. Klien tidak mengalami kepanikan lagi
skala 5
5. Rasa takut yang di sampaikan klien
suda tidak mengganggu skala 5
6. Klien menyampaikan sudah tidak
mengalami cemas skala 5
2 Tingkat Nyeri
Nyeri Akut
1. Klien melaporkan bahwa sudah tidak
menyalami nyeri yang berarti skala 4
2. Panjang nyeri klien dalam batas normal
yaitu skala 4
3. Klien tidak lagi mengerang kesakitan
skala 4 dan 5
4. Ekspersi wajah klien tidak
menunjukkan skala nyeri yang tinggi
5. Pola istirahat klien membaik skala 5
6. Klien yang sebelumnya mengerinyit
sudah tidak lagi skala 5
78
3 Ambulasi
Hambatan Mobilitas fisik
1. Kalien dapat berjalan dengan langkah
efektif skala 5
2. Klien dapat berjalan pelan skala 5
3. Klien dapat berjalan dengan kecepatan
sedang skala 5
4. Klien dapat berjalan menaiki tangga
dengan skala 5
5. Klien dapat berjalan menuruni tangga
pada skala 5
6. Klien berjalan mengelilingi kamar
dengan baik pada skala 5
79
d. Konsep Hip fracture pada manula
"Pinggul" merupakan jenis sendi bola dan soket. Sendi ini memungkinkan kita untuk
menekuk dan memutar kaki di daerah panggul. Patah tulang pinggul pada umumnya mengacu
pada patah tulang di bagian atas tulang paha, atau di tulang paha. Patah tulang di daerah soket,
atau asetabulum, tidak dianggap sebagai "patah tulang pinggul." Manajemen patah tulang di
daerah soket memerlukan tindakan yang berbeda.
Patah tulang pinggul menjadi semakin umum seiring dengan bertambahnya usia, karena
orang cenderung semakin mudah jatuh dan tulang menjadi lebih keropos (osteoporosis). Orang
yang menderita osteoporosis bisa mengalami patah tulang hanya karena melakukan hal-hal yang
sederhana, yang berkaitan dengan kegiatan sehari-hari mereka, bukan karena peristiwa jatuh atau
cedera yang parah. Pada pasien yang masih berusia muda dengan kondisi tulang yang lebih kuat,
penyebab patah tulang pinggul yang lebih umum terjadi adalah cedera akibat benturan energy
tingkat tinggi, misalnya pada kecelakaan mobil.
Patah tulang pinggul juga bias disebabkan oleh pelemahan tulang akibat tumor atau penyakit
tulang lainnya, yang disebut sebagai patah tulang patologis. Patah tulang pinggul bisa mengubah
kualitas hidup Anda secara signifikan. Selain itu, dalam proses pemulihan pasca patah tulang
pinggul, ada beberapa kemungkinan komplikasi yang bisa mengancam jiwa pasien. Komplikasi
ini termasuk pneumonia, rasa sakit saat tertekan, dan bekuan darah di kaki, yang bisa terlepas
dan terbawa serta menyebabkan gumpalan dan penyumbatan di paru-paru. Semuanya terkait
dengan imobilitas pasca patah tulang pinggul. Seorang pasien yang sebelumnya menderita patah
tulang pinggul memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hal yang sama
kembali.
Pasien usia lanjut yang menderita osteoporosis memiliki faktor risiko yang lebih tinggi akan
mengalami patah tulang pinggul daripada orang lain yang tidak menderita osteoporosis. Patah
tulang pinggul paling sering terjadi akibat jatuh atau benturan langsung ke sisi pinggul.
80
Kemungkinan lain yang menjadi penyebab jatuhnya manula mencakup: stroke akut, tekanan
darah tinggi, penglihatan yang buruk, efek samping dari obat, dan factor lingkungan hidup.
Pasien akan mengalami rasa nyeri di paha bagian atas atau di pangkal paha. Jika tulang melemah
karena penyakit (seperti cedera akibat tekanan atau kanker), pasien mungkin akan merasakan
sakit di pangkal paha atau daerah paha selama beberapa waktu lamanya sebelum terjadinya patah
tulang pinggul. Jika terjadi patah tulang, kaki tersebut mungkin terlihat lebih pendek daripada
kaki yang lainnya. Menggerakkan kaki akan terasa sangat menyakitkan.
Diagnosis patah tulang pinggul umumnya dilakukan dengan Sinar-X. Kadang-kadang, patah
tulang yang tidak lengkap mungkin tidak bisa dilihat secara jelas dengan menggunakan Sinar-X
biasa. Dalam hal ini, beberapa studi pencitraan lanjutan mungkin diperlukan.
4. Klasifikasi
Patah tulang pinggul dibagi menjadi beberapa jenis, tergantung pada bagian mana dari tulang
paha atas yang terkena dampaknya.
Patah Tulang Leher Femur
Patah tulang leher femur terjadi ketika kepala femoral patah dari tulang paha. Pengobatan patah
tulang leher femur tergantung kepada usia pasien dan perpindahan patahan yang terjadi. Patah
tulang ini bisa mengakibatkan hilangnya pasokan darah ke tulang.
Patah Tulang Pinggul Intertrokanterik
Patah tulang pinggul intertrokanterik terjadi persis di bawah leher femur. Patah tulang ini lebih
mudah untuk diperbaiki daripada patah tulang leher femur. Pengobatan dengan bedah biasa
melibatkan penempatan sekrup, pelat, atau paku untuk menstabilkan tulang yang patah.
Patah Tulang Subtrokanterik
Patah tulang ini jauh lebih jarang terjadi daripada patah tulang leher femur dan patah tulang
intertrokanterik. Terjadi di bawah trokanter yang lebih rendah. Dalam kasus yang lebih rumit,
jumlah patahan tulang bisa mencakup beberapa jenis seperti yang disebutkan di atas. Hal ini
harus dipertimbangkan apabila tindakan bedah koreksi diperlukan.
81
5. Pengobatan terhadap Patah Tulang Pinggul pada Manula
Setelah diagnosis patah tulang pinggul telah dilakukan, kondisi kesehatan pasien secara
keseluruhan akan dievaluasi. Dalam beberapa kasus, pasien mungkin begitu sakit hingga anestesi
dan tindakan operasi tidak dianjurkan. Dalam kasus ini, kenyamanan pasien dan tingkat nyeri
secara keseluruhan harus dipertimbangkan terhadap risiko anestesi dan bedah. Kebanyakan ahli
bedah setuju bahwa pasien akan merasa lebih baik jika operasi dilakukan sesegera mungkin.
Namun demikian, penting untuk memastikan keselamatan diri pasien dan memaksimalkan
kesehatan medis mereka secara keseluruhan sebelum dilakukannya operasi bedah. Hal ini bisa
berarti meluangkan waktu untuk melakukan studi diagnostik jantung dan lainnya.
Pengobatan non-bedah
Pengobatan ini bisa dipertimbangkan bagi mereka yang terlalu sakit untuk menjalani pemberian
anestesi dan bagi mereka yang sudah tidak bisa berjalan sebelum mengalami cedera.
Pengobatan Bedah
Sebelum Tindakan Bedah Tes darah, foto Sinar-X pada dada, dan elektrokardiogram akan
dilakukan sebelum tindakan bedah dilakukan. Semua pasien akan menerima antibiotik
profilaksis. Anestesi untuk tindakan bedah bisa berupa anestesi total, anestesi spinal, anestesi
epidural atau gabungan dari semuanya.
Operasi Bedah
Jenis operasi tergantung pada jenis patah tulang dan perpindahan patahan yang terjadi. Ada dua
jenis operasi: penggantian sendi (Hemiartroplasti) atau fiksasi internal.
Masalah yang harus diperhatikan terhadap patah tulang leher femur adalah bahwa pasokan darah
ke bagian tulang yang patah akan terganggu jika perpindahan patahannya cukup signifikan.
Karena berkurangnya aliran darah, patah tulang ini memiliki risiko yang tinggi tidak bisa sembuh
& menjadi osteonekrosis. Oleh karena itu, sebagian besar pasien akan menerima perawatan
penggantian tulang pinggul parsial. Hemiartroplasti merupakan penggantian tulang pinggul
parsial. Dalam prosedur ini, bagian bola dari sendi bola dan soket diambil, dan prostesis logam
akan ditanamkan ke dalam sendi tersebut. Hemiartroplasti merupakan jenis penggantian tulang
pinggul di mana hanya bagian "bola" pinggul saja yang diganti. Untuk patah tulang yang
82
perpindahan tulangnya minimal atau tidak terjadi, ahli bedah bisa memutuskan untuk
memperbaiki tulang yang patah dan bukan menggantinya.
Perbaikan terhadap patah tulang pinggul intertrokanterik dilakukan dengan menggunakan paku
intramedular. Paku ditempatkan di dalam rongga femur (tulang paha) dan bukan pada sisi
sampingnya (seperti halnya dengan pelat). Sebagian besar patah tulang pinggul intertrokanterik
dikelola dengan sekrup pinggul kompresi bersama dengan pelat logam atau paku intramedular.
Tindakan ini memungkinkan impaksi di daerah yang mengalami patah tulang. .Patah Tulang di
tingkat subtrokanterik, patah tulang dikelola dengan paku intramedular atau pelat yang panjang.
Komplikasi sangat umum terjadi pada diri pasien yang mengalami patah tulang pinggul. Salah
satu alasan yang paling penting untuk melakukan operasi bedah pada pasien yang mengalami
patah tulang pinggul adalah untuk membantu mencegah komplikasi ini. Risiko komplikasi ini
bisa dikurangi dengan membantu pasien bangkit dan meninggalkan tempat tidur sesegera
mungkin.
Komplikasi umum:
Rasa sakit akibat tekanan karena terlalu lama berada di tempat tidur
Trombosis vena, emboli paru
Infeksi
Perdarahan pada luka atau hematoma
Tingkat penyembuhan luka yang lambat
Eksaserbasi penyakit yang dialami sebelum operasi, seperti tekanan darah tinggi, stroke
atau diabetes
83
Infeksi luka
Kaki yang tidak sama panjang
Trombosis vena dalam
Memburuknya penyakit yang sudah ada sebelumnya, yang mengakibatkan memburuknya
gejala-gejala penyakit
Pincang dan penggunaan alat bantu jalan secara permanen
Komplikasi yang berkaitan dengan operasi bedah sekrup pinggul / sekrup pinggul
dinamis / paku femur proksimal:
Pelonggaran implan
Osteonekrosis pada kepala femur
Masalah penyembuhan pada patah tulang
Cedera saraf siatik
Pasien mungkin dianjurkan untuk bangun dan meninggalkan tempat tidurnya pada hari yang
sama setelah operasi bedah dilakukan, dengan bantuan orang lain. Jumlah berat yang
diperbolehkan untuk dibebankan di kaki yang terluka biasanya tergantung pada jenis patah
tulang dan perbaikan yang dilakukan (penggantian atau fiksasi). Fisioterapis akan bekerja sama
dengan pasien untuk membantu mengembalikan kekuatan dan kemampuan berjalan. Proses ini
bisa memakan waktu hingga beberapa bulan lamanya.
Operasi penggantian tulang pinggul
Ketika pasien sudah merasa tidak terlalu sakit, mereka bisa diperbolehkan untuk duduk. Pasien
yang menjalani penggantian tulang pinggul mungkin memerlukan kursi pinggul khusus, untuk
mencegah dislokasi pinggul pada tahapan rehabilitasi awal. Rehabilitasi dimulai sesegera
mungkin dan implan yang ditanamkan biasanya bias menopang beban tubuh pasien saat berjalan.
Kadang-kadang diperlukan penilaian lingkungan rumah oleh terapis okupasi. Pasca operasi
84
bedah penggantian tulang pinggul, dokter mungkin akan menggunakan bantal abduksi untuk
menerapkan imobilisasi sementara pada tubuh bagian bawah. Bantal abduksi ini kemudian bisa
digantikan dengan sling, dan pasien bias menggerakkan anggota tubuh mereka secara lebih
bebas.
Operasi fiksasi
Pasien biasanya diperbolehkan untuk berjalan segera setelah operasi bedah selesai dilakukan.
Dalam beberapa kasus, jika ada beberapa fragmen pecahan kecil atau kesulitan dalam
menyelaraskan tulang yang patah, maka penerapan berat badan bisa dibatasi. Secara umum,
pasien akan dibantu bangun oleh fisioterapis beberapa hari setelah operasi bedah selesai
dilakukan. Waktu penyembuhan total biasanya berlangsung hingga beberapa bulan lamanya,
namun sebagian besar pasien sudah bisa berjalan dengan baik sebelum waktunya.
Perawatan Medis
Kadang-kadang, transfusi darah mungkin diperlukan setelah tindakan bedah dilakukan.
Antibiotik jangka panjang umumnya tidak diperlukan. Pasien bisa diperbolehkan pulang ke
rumah atau ditetapkan untuk tinggal di fasilitas rehabilitasi yang diperlukan.
Perawatan Lanjutan
Selama konsultasi dengan dokter pasca operasi bedah, dokter bedah akan memeriksa kondisi
luka, menindaklanjuti proses penyembuhan menggunakan Sinar-X, dan menetapkan fisioterapi
tambahan, bila diperlukan.
85
e. Konsep sprain
Sprain atau keseleo merupakan keadaan ruptura total atau parsial pada ligamen penyangga yang
mengelilingi sebuah sendi. Biasanya kondisi ini terjadi sesudah gerakan memuntuir yang tajam
(Kowalak, 2011).
Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplit dengan perdarahan ke dalam jaringan.(Smeltzer
Suzame, KMB Brunner dan Suddarth) Strain merupakan keadaan cedera pada otot atau
pelekatan tendon yang biasanya terlihat pascacedera traumatik atau cedera olahraga ( Kowalak.
2011, Buku Ajar Patofisiologi. EGC. Jakarta). Jadi dapat ditarik kesimpulan, Strain merupakan
salah satu cedera yang terjadi pada otot atau tendon akibat penggunaan yang berlebihan atau
Prevalensi
Di Amerika Serikat terdapat lebih dari 23.000 orang per hari, baik atlet maupun non atlet, yang
cedera ankle. Insiden tersebut diestimasi 1 dari 10.000 perhari. Atlet perempuan 25% memiliki
angka kejadian lebih banyak dibandingkan atletb laki- laki. Beberapa penelitian, insiden ankle
sprain meningkat pada pemain sepak bola, bola tangan dan basket pada jenjang SMA. Penelitian
dari Cadet Illness and Injury Tracking System (CITTS) dari tahun 2005-2009, penelitian kohort
ini menganalisis adanya cedera ankle. Hasilnya ankle sprain sindesmotik memliki insiden lebih
tinggi pada kompetisi atlet, dan atlet laki-laki memiliki resiko 3 kali lipat cedera ligamen medial
86
Di Indonesia. Ankle sprain merupakan salah satu cedera yang umum terjadi pada atlet. Data dari
Poliklinik KONI Jakarta antara tahun 2009-2012 menunjukkan bahwa ankle sprain merupakan
keluhan yang paling umum ditemui mencapai 41,1% dari seluruh kasus cedera.
Klasifikasi
Yaitu adanya cidera akibat penggunaan yang berlebihan pada penguluran unit
otot/ligament
berlebihan.
2. Strain diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu bersifat akut dan kronis:
Strain akut
disebabkan oleh trauma atau cedera, seperti benturan pada tubuh. Selain itu strain
yang disebabkan karena mengangkat benda berat secara tidak aman atau regangan
berlebihan pada otot merupakan masalah khusus dalam beragam pekerjaan, termasuk
keperawatan.
87
Strain kronis
Etiologi
a. Sprain :
Pemuntiran mendadak dengan tenaga yang lebih kuat dari pada kekuatan
normal.
b. Strain:
Luka tusuk atau luka tembak yang menyebabkan ruptur traumatik (strain
akut).
kronis).
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang mungkin timbul karena keseleo (sprain) meliputi :
-Nyeri lokal (Khususnya pada saat menggerakkan sendi) -Pembengkakan dan rasa
88
-Gangguan mobilitas akibat rasa nyeri (yang baru terjadi beberapa jam setelah
sekitarnya.
-Otot yang terasa nyeri ketika ditekan (ketika rasa nyeri yang hebat sudah mereda)
-Kekakuan
-Rasa pegal
Komplikasi
a. Plica Syndrom
Sindrom plica disebabkan oleh adanya penebalan pada lapisan persediaan lutut. Biasanya
terjadi pada bagian dalam tepat pada perbatasan patella bagian atas.Lapisan-lapisan
Jaringan synovium ini memproduksi cairan pelumas yang disebut cairan synovial.
Jika terjadi penebalan pada lapisan ini lapisan akan menggesek pada bagian-bagian
89
lutut lainnya, khususnya bagian dalam femural condyle (ujung bagian bawah dari
a. Compartment Syndrom
Para atlet pada umumnya sering mengalami permasalahan (gangguan rasa nyeri atau
sakit) yang terjadi pada kaki bawah (meliputi daerah antara lutut dan pergelangan
kaki). Terkadang rasa sakit/nyeri tersebut terjadi karena adanya suatu sindrom
perkiraan, karena pola karakteristik (gejala) dan rasa sakit tersebut dan ukuran
b. Shin Splint
(cedera pada kaki bagian bawah yang seringkali terjadi akibat melakukan
dibedakan menjadi dua jenis menurut lokasi rasa sakitnya. Anterior Shin Splints,
yaitu rasa sakit yang terjadi pada bagian depan (anterior) dari tibia. Dan yang
kedua adalah Posterior Shin Splints, rasa sakit tersebut terasa pada bagian dalam
Shin splints disebabkan oleh adanya robekan sangat kecil pada otot-otot kaki bagian
bawah yang berhubungan erat dengan tibia. Pertama-tama akan mengalami rasa
sakit yang menariknarik setelah melakukan lari. Apabila keadaan ini dibiarkan
dan terjadi terus, maka akan semakin parah, bahkan dapat juga terasa sakit
meskipun pada saat kita berjalan kaki. Rasa sakit tersebut biasanya terasa seperti
90
adanya satu / beberapa benjolan kecil pada sepanjang sisi tulang tibia. Komplikasi
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur. Selain itu, dapat pula dilihat
sebagainya.
2. X-Ray
a. X-Ray tulang
tulang.
b. X-Ray multiple
91
d. X-Ray sendi
3. CT-Scan
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
4. Artrografi
melihat struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diletakkan dalam
kronik kapsul sendi atau ligament penyangga lutut, bahu, tumit, panggul, dan
pergelangan tangan.
Tatalaksana Medis
92
3. C – Compression : membalut gunanya membantu mengurangi
B. Terapi dingin :
tidak tembus air lalu kompreskan pada bagian yang cedera. Lamanya : dua
dibungkus dengan lama lima - tujuh menit, dapat diulang dengan tenggang
bagian tubuh kedalam bak air dingin yang dicampur dengan es. Lamanya
C. Pembedahan
D. Latihan ROM
Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan, latihan
93
E. Farmakologi
1. Analgetik
Analgetik biasanya digunakan untuk klien yang mengalami nyeri. Berikut contoh
obat analgetik :
a. Aspirin:
perhari.
b. Bimastan :
2. Analgesik :
Kandungan : Metampiron 500mg, Diazepam 2mg ; Indikasi : nyeri otot dan sendi
94
f. Asuhan Keperawatan pasien dengan :
a. Strain dan sprain
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Agama, Alamat.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
95
3. Pengkajian primer
a. Airway
b. Breathing
pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar
ronchi /aspirasi.
c. Circulation
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan
d. Disability
didukung dengan :
fraktur
96
4. Pengkajian sekunder
AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes, Last meal, dan Event/ Environment
Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala hingga kaki dan dapat pula ditambahkan
A : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi
medications especially).
97
L :Last meal (Time)
happened
Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara mengkaji data dasar klien yang
c. Perkusi.
6. Aktivitas/istirahat
b. Keterbatasan mobilitas
7. Sirkulasi
c. Tachikardi
98
g. Masa hematoma pada sisi cedera
8. Neurosensori
a. Kesemutan
b. Kelemahan
9. Kenyamanan
a. Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
10. Pernapasan
terisi udara, observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama bila trauma,
99
Diagnosa Keperawatan
fraktur
Intervensi
Tanggal No. Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional TTD
/Jam Dx Hasil
1 Mei 1 Setelah dilakukan tindakan -Kaji karekteristik nyeri, Untuk Membantu Perawat
„21 keperawatan 1 x … jam dalam
skala nyeri, sifat nyeri,
diharapkan klien dapat mengidentifikasi
08.00 lokasi penyebarannya
mengontrol nyeri dengan derajat
WIB
criteria hasil: (PQRS). ketidaknyamanan
Klien dapat dan kebutuhan
Kaji TTV
mengungkapkan untuk keefectifan
berkurangnya nyeri. Beri posisi yang nyaman. analgesic Untuk
Klien dapat Beri tehnik distraksi. mengetahui keadaan
mengidentifikasi dan umum pasien Dapat
edukasi keluarga atau
menggunakan mempengaruhi
intervensi untuk klien kopres air hangat kemampuan klien
mengatasi nyeri / untuk redakan nyeri untuk rileks dan
ketidaknyamanan istirahat secara
kolaborasi dalam
Klien tampak rileks efektif. Untuk
dan mampu tidur dan pemberian analgesik mengurangi sensasi
istirahat dengan tepat. nyeri. Dapat
10
Ttv dalam batas membantu klien
normal untuk menangani
nyeri secara mandiri
10
m latihan.
1 Mei 3 Setelah diberkan tindakan . kaji tanda tanda infeksi Untuk mengetahui Perawat
„21 perubahan kondisi
keperawatan selama rawat luka dengan
perlukaan yang
08.00 …x… jam pertahankan teknik aseptic
terjai pada klien
WIB
Diharapkan klien edukasi klien dan Mencegah
Mendeskripskan proses
penularan penyakit
mempengaruhi infeksi
10
Evaluasi
S : Data Subyektif
tindakan keperawatan.
O : Data Obyektif
A : Analisis
Interpretasi dari data subyektif dan data obyektif. Merupakan suatu masalah
atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi, atau juga dapat dituliskan
P : Planning
sebelumnya.
10
b. Repetitive motion injury
A. PENGKAJIAN
1. AKTIVITAS / ISTRAHAT
Gejala : Kesulitan ambulasi, kekakuan sendi (memburuk pada pagi hari atau setelah
periode tak aktif).
Tanda : Adanya edema; penurunan nadi pada sendi yang sakit, tungkai / jari – jari
3. HIGIENE
Gejala : Nyeri (tumpul, sakit, menetap), pada sendi yang sakit, memburuk dengan
gerakan
6. KEAMANAN
10
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko infeksi berhubungan dengan Pertahanan primer tidak adekuat (kulit robek,
pemajanan sendi).
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Nyeri dan ketidaknyamanan, gangguan
musculoskeletal.
3. Nyeri berhubungan dengan Agen pencedera: biologik, fisik/psikologik (contoh spasme
otot, prosedur bedah, penyakit sendi kronis sebelumnya, usia lanjut, ansietas)
Intervensi
Tanggal No. Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional TTD
/Jam Dx Hasil
1 Mei 1 Setelah dilakukan tindakan Tingkatkan cuci tangan yang Menurunkan risiko Perawat
„21 keperawatan 1 x … jam baik pada staf dan pasien kontaminas silang.
diharapkan klien dapat
08.00
Mencapai penembuhan Gunakan teknik aseptic atau Mencegah kontaminasi
WIB
luka tepat waktu, bebas kebersihan yang ketat sesuai dan riisko infeksi luka,
drainase purulen atau indikasi untuk dimana dapat
eritema, dan tidak demam. menguatkan/mengganti balutan memerlukan pelepasan
dan bila menangani drain. prostese
Instruksikan pasien tidak untuk
menyentuh/ menggaruk insisi. Menurunkan risiko
infeksi
Pertahankan alat drainase
(contoh Hemovac/Jackson- Memberikan informasi
Pratt).perhatikan karakteristik tentang status proses
drainase luka penyembuhan
10
eritema/inflamasi , kehilangan dan nutrisi untuk
penyatuan luka. mendukung perfusi
jaringan dan
Selidiki keluhan peningkatan memberikan nutrisi
nyeri pada luka, perubahan yang perlu untuk
karakteristik nyeri. regenerasi seluler dan
penyembuhan jaringan.
Awasi suhu. Perhatikan adanya
menggigil.
Kolaborasi
Pertahankan isolasi ulang, bila
tepat.
10
kriteria hasil: Tinggikan ekstremitas dengan
meninggikan kaki tempet tidur, Teknik pemindahan
Mempertahankan
Beri obat sebelum yang tepat mencegah
posisi fungsi,
prosedur/aktivitas. abrasi kulit, dan jatuh.
dibuktikan oleh tak
adanya kontraktur.
Mengganti posisi sisi yang tak Mencegah
Menunjukkan
dioperasi menggunakan jumlah iritasi/kerusakan kulit.
peningkatan
petugas yang adekuat dan
kekuatan dan
mempertahankan ekstermitas Memenuhi kebutuhan
fungsi sendi serta
yang dioperasi pad a posisi sendi individu yang
tungkai yang sakit.
netral. Dukung posisi dengan diganti.
Menyatakan
bantal atau dengan menjepit.
pemahaman
Meningjkatkan harga
pengobatan
Tunjukkan / bantu teknik diri; meningkatkan rasa
individu dan
pemindahan dan menggunakan control dan
berpartisipasi
alat mobilisasi contoh trapeze, kemandirian.
dalam program
walker.
rehabilitasi.
Meningkatkan perilaku
Inspeksi kulit; observasi area positif dan mendorong
kemerahaan. Pertahankan linen keterlibatan terapi.
kering dan bebas kerutan.
Berguna dalam
Masase kulit/penonjolan tulang membuat program
secara rutin. aktivitas /latihan
Menurunkan tekanan
Lakukan/bantu rentang gerak
kulit/jaringan;
pada sendi yang tak sakit.
membatasi perasaan
kelelahan dan
Observasi pembatasan tepat
ketidaknyamanan
berdasarkan sendi khusus,
umum.
contoh hindari fleksi /rotasi
10
panggul dan fleksi atau
hiperekstensi kaki; taati
pembatasan beban badan;
gunakan pengimobilisasi lutut
sesuai indikasi.
Kolaborasi
Konsul pada terapis
fisik/kejuruan dan ahli
rehabilitasi.
10
keterampilan Dorong teknik manajemen ketidaknyamanan/nyeri
kemampuan stress (contoh relaksasi yang dapat menetap
relaksasi dan progresif, bimbingan imajinasi, selama periode lama.
aktivitas visualisasi) dan penggunaan
terapeutiksesuai sentuhan terapeutik. Menurunkan tegangan
indikasi situasi otot; membantu
individu. Beri obat sebelum partisispasi.
Tampak rileks, aktivitas/prosedur..
mampu tidur dan Menghilangkan nyeri
istirahat dengan Berikan narkotik, analgesic, dan bedah dan menurunkan
tepat. reksan otot sesuai indikasi. tegangan/spasme otot,
yang menambah
Gunakan kantong es sesuai ketidaknyamanan.
indikasi.
Meningkatkan
Pertahankan mobilisasi vasokontriksi untuk
ekstremitas, contoh ambulasi,
menurunkan
terapi fisik, alat latihan, alat
gerakan pasif kontinu. perdarahan/pembentuka
n edema pada area
bedah dan mengurangi
persepsi
ketidaknyamanan.
Meningkatkan sirkulasi
pada otot yang
sakit.meminimalkan
kekauan sendi,
menghilangkan spasme
otot sehubungan
dengan tak digunakan.
10
Evaluasi
S : Data Subyektif
tindakan keperawatan.
O : Data Obyektif
A : Analisis
Interpretasi dari data subyektif dan data obyektif. Merupakan suatu masalah
atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi, atau juga dapat dituliskan
P : Planning
sebelumnya.
11
c. Cedera ligamen dan meniscus
PENGKAJIAN
1. Identitas klien
d) Identitas klien berisi tentang : Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama,
Alamat.
e) Identitas penanggung jawab meliputi: Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku,
Agama, Alamat.
f) Tanggal masuk RS, No. Medical Record dan Diagnosa Medis
2. Riwayat Kesehatan
e) Keluhan utama : Badan bengkak, muka sembab dan nafsu makan menurun.
f) Riwayat penyakit sekarang : Badan bengkak, muka sembab, muntah, nafsu makan
menurun, konstipasi, diare, urine menurun.
g) Riwayat penyakit dahulu : Edema, malaria, riwayat GNA dan GNK, terpapar bahan
kimia.
h) Riwayat kesehatan keluarga : Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak
dapat ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati pada tahun pertama atau dua
tahun setelah kelahiran.
Pada klien dengan nefrotik sindrom, hal yang perlu di kaji menurut 11 pola konseptual
Gordon yang dikemukakan oleh Doengoes (2000) dan Carpenito (2001).
l. Persepsi kesehatan
Kaji pandangan klien/keluarga jika ada anggota keluarga yang sakit apa yang akan
dilakukan, pengobatan apa yang akan diberikan.
m. Pola nutrisi metabolic
11
Tanyakan tentang pola makan klien sebelum dan selama sakit, kaji status nutrisi klien
dengan, kaji input cairan klien selama 24 jam, dan kaji turgor kulit serta observasi
adanya oedema anasarka.
n. Pola eliminasi
Kaji pola bab dan bak klien sebelum sakit dan selama sakit.apakah terjadi perubahan
pola berkemih seperti peningkatan frekuensi, proteinuria.
o. Pola aktivitas
Kaji tanda – tanda vital terutama tekanan darah, kaji adanya tanda - tanda kelelahan,
Kaji kemampuan pancaindra klien, kaji pengetahuan klien tentang penyakit yang di
deritanya.
Kaji persepsi diri klien meliputi body image, harga diri, peran diri, ideal diri, konsep
diri.
Kaji pola komunikasi klien terhadap keluarga, klien satu ruang, dan perawat.
t. Pola seksualitas
11
v. Pola spiritual
Kaji persepsi klien dilihat dari segi agama, apakah klien memahami bahwa penyakitnya
adalah ujian dari Tuhan.
4. Pemeriksaan fisik
MK ETIOLOGI
DATA
DS : Klien mengatakan nyeri pada
persendian lutut Cidera Pada
DO : Pasien juga terlihat memegang Bantalan Sendi
lututnya dan berjalan pincang Nyeri Akut Lutut
11
kondisinya saat ini
Intervensi
Tanggal No. Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional TTD
/Jam Dx Hasil
1 Mei 1 a. Kaji keluhan nyeri, Untuk Membantu Perawat
Setelah dilakukan
„21 perhatikan lokasi, dalam
tindakan keperawatan 1 x
lamanya, dan intensitas mengidentifikasi
08.00 … jam diharapkan Nyeri
(skala 0 ± 10). derajat
WIB berkurang
Perhatikan petunjuk ketidaknyamanan
Kriteria Hasil: verbal dan non-verbal. dan kebutuhan
b. Pertahankan untuk keefectifan
a. Klien menyatakan immobilisasi bagian analgesic
nyeri berkurang. yang sakit dengan tirah Untuk mengetahui
b. Klien menunjukkan baring, gips, pembeban, keadaan umum
penggunaan dan traksi. pasien
keterampilan c. Tinggikan dan sokong Dapat
relaksasi dan aktifitas ekstremitas yang mempengaruhi
terapetik sesuai terkena. kemampuan klien
indikasi untuk situasi d. Bantu pasien dalam untuk rileks dan
individual. melakukan gerakan istirahat secara
c. Edema berkurang/hilang. pasif/aktif. efektif.
e. Tekanan darah f. Berikan alternatif Untuk mengurangi
normal. tindakan kenyamanan sensasi nyeri.
a. e. Tidak ada (massage, perubahan Dapat membantu
peningkatan nadi dan posisi). klien untuk
pernapasan g. Dorong penggunaan menangani nyeri
teknik manajemen secara mandiri
stress, contohnya
relaksasi progresif,
latihan nafas dalam,
11
imajinasi visualisasi dan
sentuhan terapeutik.
h. Lakukan kompres
dingin/es selama 24-48
jam pertama dan sesuai
indikasi.
i. Kolaborasi dengan
dokter pemberian
analgetik.
1 Mei 2 a. Kaji derajat imobilitas Mengetahui Perawat
Setelah dilakukan
„21 yang dihasilkan oleh persepsi diri
tindakan keperawatan 1 x
cedera/pengobatan dan pasien mengenai
08.00 ….. jam diharapkan
perhatikan persepsi keterbatasan fisik
WIB Kerusakan mobilitas fisik
pasien terhadap aktual,
dapat berkurang.
imobilisasi. Meningkatkan
Kriteria Hasil: b. Dorong partisipasi pada aliran darah ke
aktivitas otot dan tulang
a. Klien akan terapeutik/rekreasi dan untuk
meningkat/mempert pertahankan rangsang meningkatkan
ahankan mobilitas lingkungan. tonus otot,
pada tingkat c. Instruksikan dan bantu mempertahankan
kenyamanan yang pasien dalam rentang gerak sendi,
lebih tinggi. gerak aktif/pasif pada mencegah
b. Klien ekstremitas yang sakit kontraktur/atrofi
mempertahankan dan yang tak sakit. dan respon
posisi/fungsional. d. Tempatkan dalam posisi kalsium karena
c. Klien meningkatkan telentang secara periodik tidak digunakan
kekuatan/fungsi bila mungkin, bila traksi Memberikan
yang sakit dan digunakan untuk kesempatan untuk
mengkompensasi menstabilkan fraktur mengeluarkan
bagian tubuh. tungkai bawah.
11
d. Klien menunjukkan e. Bantu/dorong perawatan energi
teknik yang mampu diri/kebersihan (contoh meningkatkan
melakukan aktifitas. mandi dan mencukur). rasa Kontrol diri
f. Berikan/bantu dalm Berguna dalan
mobilisasi dengan kursi membuat aktivitas
roda, kruk dan tongkat individual/progra
sesegera mungkin. m latihan.
Instruksikan keamanan
dalam menggunakan alat
mobilisasi.
g. Awasi TD dengan
melakukan aktivitas dan
perhatikan keluhan
pusing.
h. Ubah posisi secara
periodik dan dorong
untuk latihan batuk/napas
dalam.
i. Auskultasi bising usus.
j. Dorong penigkatan
masukan cairan sanpai
2000-3000 ml/hari
k. Konsul dengan ahli terapi
fisik/okupasi dan atau
rehabilitasi spesialis.
1 Mei 3 a. Kaji ulang patologi, Untuk mengetahui Perawat
Setelah diberkan tindakan
„21 prognosis dan harapan perubahan kondisi
keperawatan selama …x…
yang akan datang. perlukaan yang
08.00 jam Diharapkan
b. Beri penguatan metode terjai pada klien
WIB Pemahaman dan
mobilitas dan ambulasi Mencegah
pengetahuan klien dan
sesuai instruksi dengan terjadinya kurang
11
keluarga bertambah. terapis fisik bila pengetahuan
diindikasikan. Memberikan
Kriteria Hasil:
c. Buat daftar aktivitas informasi
a. Menyatakan pehaman dimana pasien dapat Membantu proses
kondisi, prognosis melakukannya secara pemulihan klien
dan pengobatan. mandiri dan yang
11
Evaluasi
S : Data Subyektif
tindakan keperawatan.
O : Data Obyektif
A : Analisis
Interpretasi dari data subyektif dan data obyektif. Merupakan suatu masalah
atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi, atau juga dapat dituliskan
P : Planning
sebelumnya.
11
d. Cedera rotator cuff
11
Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan ilusi dan defekasi
sebelum dan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak
bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen
menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
12
Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan mengalami stress dan mungkin
pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang
mungkin dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi : pemeriksaan pada penderita akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok
antara bahu yang mengalami gangguan dengan bahu yang tidak mengalami gangguan.
Dijumpai adanya pembengkakan dan kemerah-merahan di sekitar sendi bahu karena
adanya peradangan. Terkadang juga dijumpai atropi otot supraspinatus.
- Palpasi: pada kasus ini akan dijumpai spasme otot sekitar bahu, nyeri tekan pada tendon
M. Supraspinatus yaitu pada tuberculum mayor humeri dan adanya peningkatan suhu
lokal di daerah bahu.
- Auskultasi: pada kondisi ini tidak dilakukan.
- Perkusi: pada kondisi ini tidak dilakukan
12
cuff. Pemeriksaan MRI lebih baik untuk mendiagnosa robekan rotator cuff lebih baik dari pada
dengan USG. Robekan dari rotator cuff dibagi menjadi beberapa grade, yaitu ; kecil (kurang
dari 1cm), sedang (1-3 cm), dan besar (3-5cm), massif (lebih besar 5cm). pemeriksaan ini sangat
bermanfaat untuk melihat derajat artopaty dan fibrosis dari rotator cuff dan untuk, bila otot sudah
menjadi fibrosis dan terrektraksi, maka tidak akan dapat sembuh kembali. Bila pada pasien
dengan robekan rotator cuff grade III dan pada MRI menunjukan terjadinya retraksi
pada rotator cuff ke glenoid dengan artropi yang hebat sudah dapat dipastikan tidak akan dapat
sembuh secara spontan.
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan otot.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera/robekan pada rotator cuff.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal kelemahan,
berkurangnya pergerakan akibat cedera.
Intervensi
Tanggal No. Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional TTD
/Jam Dx Hasil
1 Mei 1 Setelah dilakukan 1. Kaji nyeri secara Untuk Membantu Perawat
tidakan keperawatan komprehensif (lokasi,
„21 dalam
selama 5×24 jam, karakteristik, durasi,
pasien tidak mengalami frekuensi, kualitas dan faktor mengidentifikasi
08.00 nyeri dengan kriteria presipitasi)
derajat
hasil:
WIB
1) Mampu mengenali 2. Observasi reaksi ketidaknyamanan
nyeri (skala, intensitas, nonverbal dari
dan kebutuhan
frekuensi dan tanda ketidaknyamanan
nyeri) untuk keefectifan
3. Pasang bebat atau
analgesic
2) Mampu mengontrol balutan (mitella) pada
nyeri ekstremitas yang terkena Untuk mengetahui
untuk mengatasi rasa nyeri
keadaan umum
3) Melaporkan bahwa dan mencegah terjadinya
nyeri berkurang cedera yang lebih lanjut pasien
Dapat
4) Menyatakan rasa 4. Anjurkan untuk tingkatkan
nyaman setelah nyeri mempengaruhi
12
berkurang istirahat kemampuan klien
untuk rileks dan
5) TTV dalam rentang 5. Ajarkan tentang teknik non
normal farmakologi: kompres dingin istirahat secara
efektif.
6) Tidak mengalami 6. Kolaborasi pemberian
gangguan tidur analgesic sesuai indikasi Untuk mengurangi
untuk mengurangi nyeri sensasi nyeri.
7. Monitor vital sign sebelum Dapat membantu
dan sesudah pemberian klien untuk
analgesik pertama kali
menangani nyeri
secara mandiri
7. Konsultasikan dengan
terapi fisik tentang rencana
ambulasi sesuai kebutuhan
12
„21 selama 3×24 jam, defisit yang mandiri. perubahan kondisi
perawatan diri teratasi
yang terjai pada
dengan kriteria hasil: 2. Monitor kebutuhan
08.00
pasien untuk alat-alat bantu klien
WIB 1) Pasien dalam kebersihan diri,
Mencegah
menyatakan berpakaian, berhias, toileting
kenyamanan terhadap dan makan. terjadinya deficit
kemampuan untuk
perawatan diri
melakukan aktivitas 3. Sediakan bantuan
sehari-hari. sampai pasien mampu Memberikan
melakukan self-care.
informasi
2) Dapat melakukan
aktivitas sehari-hari 4. Motivasi pasien Membantu proses
dengan bantuan melakukan secara mandiri,
pemulihan klien
namun beri bantuan ketika
pasien tidak mampu
melakukannya.
Evaluasi
Evaluasi
Diagnosa
P: intervensi dilanjutkan
12
S: pasien mengatakan sudah sedikit
bisa beraktivitas dengan bahunya yang
cedera
O: pasien terlihat dapat beraktivitas
menggunakan bahunya namun masih
2 terlihat berhati-hati
P: intervensi dilanjutkan
P: intervensi dilanjutkan
12
e. Low back pain
Pengkajian.
a) Identistas Klien.
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, bangsa, alamat.
b) Keluhan Utama.
Biasanya pasien mengatakan nyeri punggung akut maupun kronis lebih dari 2 bulan, nyeri sat
berjalan dengan menggunakan tumit, nyeri menyebar kebagian bawah belakang kaki.
c) Riwayat Penyakit Sekarang.
Tanyakan pada klien sejak kapan keluhan dirasakan, kapan timbulnya keluhan & apakah
menetap atau hilang timbul', hal apa yang mengakibatkan terjadinya keluhan, apa saja yang
dilakukan untuk mengurangi keluhan yang dirasakan, tanyakan pada klien apakah klien sering
mengkomsumsi obat tertentu atau tidak.
d) Riwayat penyakit dahulu.
Tanyakan pada klien apakah klien dulu pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya,
apakah klien pernah mengalami kecelakaan atau trauma, apakah klien pernah menderita penyakit
gangguan tulang atau otot sebelumnya.
e) Riwayat Pekerjaan.
Faktor resiko ditempat kerja yang banyak menyebabkan gangguan otot rangka terutama adalah
kerja fisik berat, penanganan dan cara pengangkatan barang, posisi atau sikap tubuh selama
bekerja, dan kerja statis.
Pemeriksaan Fisik.
a) Keadaan umum.
Meliputi : baik, jelek, sedang.
b) Tanda – tanda Vital.
TD : Tekanan darah. N : Nadi. P : Pernapasan. S : Suhu.
c) Antropometri.
BB : Berat badan. TB : Tinggi badan.
d) Sistem pengidraan.
12
Mata : lapang pandang. Hidung : kemampuan penciuman. Telinga : keadaan telinga dan
kemampuan pendengaran.
e) Sistem pernapasan.
pernapasan, bersihan jalan nafas, kualitas, suara,dan bunyi tambahan ronchi, wheezing.
f) Sistem kardiovaskuer.
Nilai tekanan darah, nadi, irama, kualitas, dan frekuensi, bunyi jantung. g) Sistem
gastrointestinal. Nilai kemampuan menelan, nafsu makan dan minum, peristaltik usus dan
eliminasi.
g) Sistem integumen.
Nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, dan warna permukaan kuku.
h) Sistem muskuloskletal.
Bentuk kepala, ekstermitas atas dan skstermitas bawah,
i) Sistem endokrin.
Keadaan kelenjer tyroid, suhu tubuh, frekuensi urine.
j) Sistem reproduksi.
Nilai keadaan genetalia, dan perubahan fisik sistem reproduksi.
l) Sistem neurologis.
1. Fungsi cerebral.
2. Status mental : orientasi, daya ingat, dan bahasa.
3. Tingkat kesadaran (eye, motorik, verbal) : dengan menggunakan Gaslow Coma Scale
(GCS).
4. Kemampuan bicara.
5. Fungsi kranial.
– Nervus I (Olfaktorius) : klien menutup mata dan menutuo salah satu lubang
hidung, mengidentifikasi dengan benar bau yang berbeda (misalnya jeruk nipis
dan kapas alkohol).
– Nervus II (Optikus) : Persepsi terhadap cahaya dan warna, periksa diskus optikus,
penglihatan perifer.
– Nervus III (Okulomotorius) : Kelopak mata terhadap posisi jika terbuka, suruh
klien mengikuti cahaya
12
– Nervus IV (Troklearis) : Suruh klien menggerakan mata kearah bawah dan kearah
dalam.
– Nervus V (Trigeminus) : Lakukan palpasi pada pelipis dan rahang ketika klien
merapatkan giginya dengan kuat, kaji terhadap kesimetrisan dan kekuatan,
tentukan apakan klien dapat merasakan sentuhan diatas pipi (bayi muda menoleh
bila area dekat pipi disentuh) dekati dari samping, sentuh bagiang mata yang
berwarna dengan lembut dengan sepotong kapas untuk menguji refleks berkedip
dan refleks kornea.
– Nervus VI (Abdusen) : Kaji kemampuan klien untuk menggerakan mata secara
lateral.
– Nervus VII (Fasialis) : Uji kemampuan klien untuk mengidentifikasi larutan
manis (gula), asam (lemon). Kaji fungsi motorik dengan cara tersenyumdan
menglihatkan giginya.
– Nervus VIII (Vestibulocochlearis) : Uji pendengaran.
– Nervus IX (Glosofaringeus) : Uji kemampuan klien untuk mengidentifikasi rasa
pada lidah.
– Nervus X (Vagus) : Kaji klien refleks menelan, sentuhkan tong spatel pada lidah
ke posterior faring untuk menentukan refleks muntah, jangan menstimulasi jika
ada kecurigaan epiglotitis.
– Nervus XI (Asesorius) : Suruh klien memutar kepala kesamping dengan melawan
tahanan, minta klien untuk mengangkat bahunya kemudian kita tahan apakah
klien mampu untuk melawannya.
– Nervus XII (Hipoglasus) : Minta klien untuk mengeluarkan lidahnya,periksa
deviasi garis tengah, dengarkan kemampuan anak untuk mengucapkan „R‟.
12
Pemeriksaan Penunjang.
1. Neurologik. Eletromiografi (EMG),
dilakukan bila dicurigai adanya disfugsi radiks. Somatosensory Evoked Potensial (SEP)
berguna untuk stenonosis kanal dan mielopati spinal.
2. Radiologik.
Foto polos, untuk mengesampingkan adanya kelainan tulang. Mielografi, Mielo-CT, CT-
scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), untuk mencari penyebab nyeri antara lain
tumor, HNP perlengketan.
3. Laboratorium.
Laju Endap Darah, darah perifer lengkap, C-reactive protein, faaktor rheumatoid, alkalin
fosfatase, kalsium (atas indikasi). Urinalisis, untuk penyakit non spesifik seperti
infeksi. Liquor Serebro spinalis (atas indikasi).
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri behungan dengan agen injuri.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kekaun otot.
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nyeri.
Intervensi
Tanggal No. Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional TTD
/Jam Dx Hasil
1 Mei 1 Setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian nyeri Untuk Membantu Perawat
tindakan keperawatan secara
„21 dalam
3 x 24 jam pasien tidak Komprehensif
mengalami mengidentifikasi
08.00 nyeri. 2. Observasi reaksi non
derajat
verbal dari
WIB
Kriteria hasil : ketidaknyamanan. ketidaknyamanan
dan kebutuhan
Mampu mengontrol 3. Bantu pasien dan keluarga
nyeri. untuk untuk keefectifan
mencari dan menemukan
analgesic
Melaporkan bahwa nyeri dukungan.
12
berkurang dengan Untuk mengetahui
menggunakan 4. Kontrol lingkungan yang
keadaan umum
manajemen nyeri. dapat
mempengaruhi nyeri seperti pasien
Mampe mengenali nyeri. suhu
Menyatakan rasa aman ruangan, penchayaan, dan Dapat
setelah kebisingan. mempengaruhi
nyeri berkurang.
5. Kajikultur budaya yang kemampuan klien
Tanda vital dalam mempengaruhi respon nyeri. untuk rileks dan
rentang
normal. 6. Kurangi faktor presipitasi istirahat secara
nyeri. efektif.
Tidak mengalami
gangguan 7. Gunakan teknik Untuk mengurangi
tidur. komunikasi sensasi nyeri.
teraupetik untuk mengetahui
pengalaman nyeri. Dapat membantu
klien untuk
8. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menangani nyeri
menetukan intervensi. secara mandiri
13
WIB keterbatasan fisik
Kriteria hasil : 2. Koreksi tingkat
aktual,
kemampuan
Klien meningkat dalam mobilisasi. Memberikan
aktifitas
kesempatan untuk
fisik. 3. Konsultasikan dengan
terapi fisik mengeluarkan
Mengerti tujuan dari tentang rencana ambulansi
energi
peningkatan sesuai.
mobilitas. meningkatkan
4. Bantu klien dalam
rasa Kontrol diri
Memverbalisasikan perubahan gerak.
perasaan Berguna dalan
dalam meningkatakan 5. Observasi / kaji terus
kekuatan kemampuan membuat aktivitas
dan kemampuan gerak motorik, dan individual/progra
berpindah. keseimbangan.
m latihan.
Memperagakan 6. Ajarkan pasien tenaga
penggunaan alat kesehatan
bantu. lain tentang teknik
ambulansi.
13
diperlukan.
hipoventilasi.
13
Evaluasi
S : Data Subyektif
tindakan keperawatan.
O : Data Obyektif
A : Analisis
Interpretasi dari data subyektif dan data obyektif. Merupakan suatu masalah
atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi, atau juga dapat dituliskan
P : Planning
sebelumnya.
13
g. Konsep dislokasi dan subluksasi (definisi – penatalaksanaan)
DEFINISI
Subluksasi adalah lesi atau disfungsi dalam sebuah sendi atau segmen gerakan dimana
keterkaitan, integritas gerakan dan/atau fungsi fisiologis berubah, meskipun kontak antara
permukaan sendi tetap utuh. Pada dasarnya sebuah entitas fungsional, yang dapat mempengarui
integritas biomekanikal dan syaraf (WHO, 2005).
Subluksasi berarti “sedikit lebih ringan dibandingkan suatu dislokasi” atau dengan kata lain suatu
dislokasi ringan. Hal ini dapat terjadi di tulang belakang (backbone) atau bagianlain mana pun
yang memiliki persendianpersendian. Suatu Subluksasi dapat menciptakansuatu tekanan saraf
ringan atau pun besar.
Dislokasi adalah cedera struktur ligameno di sekitar sendi, akibat gerakan menjepit atau memutar
/ keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan, secara anatomis
(tulang lepas dari sendi). (Brunner & Suddarth. 2001).
Dislokasi merupakan keadaan ruptura total atau parsial pada ligamen penyangga yang
mengelilingi sebuah sendi. Biasanya kondisi ini terjadi sesudah gerakan memuntuir yang tajam
(Kowalak, 2011). Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi ini terdapat hanya kepada komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya
seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi).
ETIOLOGI
1) Sublokasi
Terkadang mungkin timbul subluksasi dari hal seperti hanya menonton televisi dari kursi
yang buruk. Bahkan bisa terjadi subluksasi dari mengangkat suatu benda ringan.
Adabanyak cara yang membuat persendian-persendian dan otot-otot tidak seimbang.
Trauma-trauma minor dan mayor seperti terjatuh, kecelakaan mobil atau cedera karena
olahraga juga dapat melukai tulang belakang atau kaki tangan dan menyebabkan
subluksasi.
2) Dislokasi
1. Umur
13
2. Faktor umur sangat menentukan karena mempengaruhi kekuatan serta kekenyalan
jaringan. Misalnya pada umur 30- 40 tahun kekuatan otot akan relative menurun.
Elastisitas tendon dan ligamen menurun pada usia 30 tahun.
3. Terjatuh atau kecelakan
Dislokasi dapat terjadi apabila terjadi kecelakan atau terjatuh sehingga lutut mengalami
dislokasi.
4. Pukulan
Dislokasi lutut dapat terjadi apabila mendapat pukulan pada bagian lututnya dan
menyebabkan dislokasi.
5. Tidak melakukan pemanasan
Pada atlet olahraga sering terjadi keseleo karena kurangnya pemanasan.
6. Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
7. Cedera olahraga.
Pemain basket dan kiper pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada
tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
8. Terjatuh.
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin.
9. Kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
MANIFESTASI KLINIS
subluksasi
1) Nyeri punggung
2) Mengalami pincang atau ketimpangan yang tiba tiba
3) Nyeri saat menngerakan sendi
4) Adanya oedem
5) Penurunan aktivitas
Dislokasi
1. Adanya bengkak / oedem
2. Mengalami keterbatasan gerak
3. Adanya spasme otot (kekauan otot)
13
4. Nyeri lokal (khususnya pada saat menggerakkan sendi)
5. Pembengkakan dan rasa hangat akibat inflamasi
6. Gangguan mobilitas akibat rasa nyeri
7. Perubahan warna kulit akibat ekstravasasi darah ke dalam jaringan sekitarnya (tampak
kemerahan).
8. Perubahan kontur sendi
9. Perubahan panjang ekstremitas
10. Kehilangan mobilitas normal
11. Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
KLASIFIKASI
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Dislokasi congenital :
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
b. Dislokasi patologik :
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi,
atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
c. Dislokasi traumatic :
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress
berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat edema (karena mengalami
pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan
tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi,
ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
13
shoulder joint dan patello femoral joint. Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah
tulang/fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena
kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
13
4) Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang
disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya
trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan
PATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya dislokasi dan sublokasi sendi ada tiga hal yaitu karena
kelainan congenital yang mengakibatkan kekenduran pada ligamen sehingga
terjadi penurunan stabilitas sendi. Dari adanya traumatic akibat dari gerakan
yang berlebih pada sendi dan dari patologik karena adanya penyakit yang
akhirnya terjadi perubahan struktur sendi. Dari 3 hal tersebut, menyebabkan
dislokasi sendi. Dislokasi mengakibatkan timbulnya trauma jaringan dan
tulang, penyempitan pembuluh darah, perubahan panjang ekstremitas
sehingga terjadi perubahan struktur. Dari dislokasi sendi, perlu dilakukan
adanya reposisi.
PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan dengan RICE.
R: Rest = Diistirahatkan adalah pertolongan pertama yang penting untuk
mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut.
I: Ice = Terapi dingin, gunanya mengurangi pendarahan dan meredakan rasa
nyeri.
C: Compression = Membalut gunanya membantu mengurangi pembengkakan
jaringan dan pendarahan lebih lanjut.
E: Elevasi = Peninggian daerah cedera gunanya mengurangi oedema
(pembengkakan) dan rasa nyeri.
b. Terapi dingin
Cara pemberian terapi dingin sebagai berikut :
1) Kompres dingin Teknik :
13
potongan es dimasukkan dalam kantong yang tidak tembus air lalu
kompreskan pada bagian yang cedera. Lamanya : dua puluh – tiga
puluh menit dengan interval kira-kira sepuluh menit.
2) Massage es
Tekniknya dengan menggosok-gosokkan es yang telah dibungkus dengan
lama lima - tujuh menit, dapat diulang dengan tenggang waktu sepuluh
menit.
3) Pencelupan atau perendaman
Tekniknya yaitu memasukkan tubuh atau bagian tubuh kedalam bak air
dingin yang dicampur dengan es. Lamanya sepuluh – dua puluh menit.
4) Semprot dingin
Tekniknya dengan menyemprotkan kloretil atau fluorimethane ke bagian
tubuh yang cedera.
5) Latihan ROM
Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan,
latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang
sakit.
c. Penatalaksanaan medis :
Farmakologi
1) Analgetik
Analgetik biasanya digunakan untuk klien yang mengalami nyeri. Berikut
contoh obat analgetik :
a) Aspirin:
Kandungan : Asetosal 500mg ; Indikasi : nyeri otot ; Dosis dewasa
1tablet atau 3tablet perhari, anak > 5tahun setengah sampai
1tablet, maksimum 1 ½ sampai 3tablet perhari.
b) Bimastan :
Kandungan : Asam Mefenamat 250mg perkapsul, 500mg perkaplet ;
Indikasi : nyeri persendian, nyeri otot ; Kontra indikasi :
hipersensitif, tungkak lambung, asma, dan ginjal ; efeksamping :
13
mual muntah, agranulositosis, aeukopenia ; Dosis: dewasa awal
500mg lalu 250mg tiap 6jam.
2) Pemberian kodein atau obat analgetik lain (jika cedera berat).
3) Pemasangan pembalut elastis atau gips, atau jika keseleo berat,
pemasangan gips lunak atau bidai untuk imobilisasi sendi.
4) Pembedahan yang segera dilakukan untuk mempercepat kesembuhan,
termasuk penjahitan kedua ujung potongan ligamen agar keduanya
saling merapat.
KOMPLIKASI
Komplikasi dislokasi meliputi :
a. Komplikasi dini
Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera. Pasien tidak dapat mengerutkan
oto deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot
tersebut.
b. Cedera pembuluh darah : arteri aksilla dapat rusak
c. Fraktur dislokasi
d. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan tidak adanya
nadi,CRT(capillary refill time) menurun,sianosis pada bagian
distal,hematoma melebar,dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan
oleh tindakan darurat spilinting,perubahan posisi pada yang
sakit,tindakan reduksi,dan pembedahan.
e. Sindrome kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan
parut. Hal ini disebabkan oleh edema atau perdarahan yang
menentukan otot, saraf dan pembuluh darah, atau karena tekanan dari
luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat
14
f. Kekakuan sendi bahu
Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu.
Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi
abduksi.
g. Kelemahan otot
h. Dislokasi yang berulang
14
h. Asuhan Keperawatan pasien dengan Dislokasi
Pengkajian
a. Anamnesis
1) Identitas klien
meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi golongan darah, nomor registrasi, tanggal dan jam masuk rumah
sakit, (MRS), dan diagnosis medis.
Dengan fokus ,meliputi :
a) Umur
Pada pasien lansia terjadi pengerasan tendon tulang sehingga menyebabkan fungsi tubuh
bekerja secara kurang normal dan dislokasi cenderung terjadi pada orang dewasa dari
pada anak-anak, biasanya klien jatuh dengan keras dalam keadaan strecth out
b) Pekerjaan
Pada pasien dislokasi biasanya di akibatkan oleh kecelakaan yang mengakibatkan trauma
atau ruda paksa, biasaya terjadi pada klien yang mempunyai pekrjaan buruh bangunan.
Seperti terjatuh, atupun kecelakaan di tempat kerja, kecelakaan industri dan atlit olahraga,
seperti pemain basket , sepak bola dll
c) Jenis kelamin
Dislokasi lebih sering di temukan pada anak laki – laki dari pada permpuan karna cenderung
dari segi aktivitas yang berbeda .
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri,
kelemahan dan kelumpuhan, ekstermitas, nyeri tekan otot, dan deformitas pada 15 daerah
trauma, untuk mendapatkan pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien dapat menggunakan
metode PQRS.
14
4) Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit, seperti osteoporosis, dan
osteoaritis yang memungkinkan terjadinya kelainan, penyakit alinnya seperti hypertensi, riwayat
cedera, diabetes milittus, penyakit jantung, anemia, obat-obat tertentu yang sering di guanakan
klien, perlu ditanyakan pada keluarga klien .
b. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien pemekrisaan fisik sangat
berguna untuk mendukung pengkajian anamnesis sebaiknya dilakukan persistem B1-B6 dengan
fokus pemeriksaan B3( brain ) dan B6 (bone)
1. Keadaan umum
Klien yang yang mengalami cedera pada umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran,
periksa adanya perubahan tanda-tanda vital yang meliputi brikardia, hipotensi dan
tandatanda neurogenik syok.
2. B3 ( brain)
Tingkat kesedaran pada pasien yang mengalami dislokasi adalah kompos mentis
Pemeriksaan fungsi selebral 16 Status mental :observasi penampilan ,tingkah laku
gaya bicara ,ekspresi wajah aktivitas motorik klien
Pemeriksaan saraf kranial
Pemeriksaan refleks .pada pemeriksaan refleks dalam ,reflecs achiles menghilang
dan refleks patela biasanya meleamh karna otot hamstring melemah
3. B6 (Bone)
Paralisis motorik ekstermitas terjadi apabila trauma juga mengompresi sekrum
gejala gangguan motorik juga sesuai dengan distribusi segmental dan saraf yang
terkena
14
Look ,pada insfeksi parienum biasanya di dapatkan adanya pendarahan
,pembengkakakn dan deformitas
Fell , kaji adanya derajat ketidakstabilan daerah trauma dengan palpasi pada
ramus dan simfisi fubis
Move , disfungsi motorik yang paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan
pada daerah ekstermitas.
c. Klasifikasi Data
1) Data subjektif
a. Klien mengatakan nyeri apabila beraktivitas
b. Klien mengatakan nyeri seperti ditekan benda berat
c. Klien mengatakan terjadi kekauan pada sendi
d. Klien mengatakan adanya nyeri pada sendi
e. Klien mengatakan sangat lemas
f. Klien mengatakan susah bergerak
2) Data objektif
a) Klien nampak lemas
b) Wajah nampak meringis
c) Keterbatasan mobilitas
d) Skala nyeri 6 (0-10)
2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ditandai dengan tampak
meringis
b) Gangguan mobilitas fisik berhubungan nyeri ditandai dengan sulit menggerakkan
ekstermitas, nyeri saat bergerak, dan sendi kaku
14
Intervensi
Tanggal No. Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional TTD
/Jam Dx Hasil
1 Mei 1 1. Kaji skala nyeri Mengetahui Perawat
Setelah dilakukan tindakan
„21 2. Berikan posisi relaks pada intensitas nyeri.
keperawatan 1 x … jam
pasien \Posisi relaksasi
08.00 diharapkan Rasa nyeri
3. Ajarkan teknik distraksi pada pasien dapat
WIB teratasi dengan Kriteria
dan relaksasi mengalihkan focus
Hasil :
4. Berikan lingkungan yang pikiran pasien pada
Klien tampak tidak nyaman, dan aktifitas nyeri.
meringis lagi. hiburan Tehnik relaksasi
Klien tampak rileks 5. Kolaborasi pemberian dan distraksi dapat
analgesic mengurangi rasa
nyeri.
Meningkatkan
relaksasi pasien
Analgesic
Mengurangi nyeri
14
mobilisasi pasien
menunjukkan penurunan
Agar
tanda intolerasi fisiologis,
mendapatkan data
misalnya nadi, pernapasan,
yang akurat
dan tekanan darah masih
Dapat membantu
dalam rentang normal
pasien untuk
imobilisasi
Evaluasi
S : Data Subyektif
tindakan keperawatan.
O : Data Obyektif
A : Analisis
Interpretasi dari data subyektif dan data obyektif. Merupakan suatu masalah
atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi, atau juga dapat dituliskan
P : Planning
sebelumnya.
14
i. Asuhan Keperawatan pasien dengan Deformitas
Pengkajian
a. Data Subjektif
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat beraktivitas / mobilisasi pada daerah
fraktur tersebut
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh trauma / kecelakaan, degeneratif dan
pathologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan
nyeri, bengkak, kebiruan, pucat / perubahan warna kulit dan kesemutan.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau tidak sebelumnya dan ada /
tidaknya klien mengalami pembedahan perbaikan dan pernah menderita osteoporosis
sebelumnya
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis atau
penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular
14
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan
tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan 30
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas
juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu
juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan
pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur.
e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
g. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang
pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
14
h. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena
harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.
Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
i. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif.
j. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak
klien.
b. Data obyektif
1) keadaan Umum:
apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
2) Tanda-tanda vital
tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
3) pemeriksaan fisik :
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri
tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada
nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk.
Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
14
e) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
k) Jantung
Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
15
i) Abdomen
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema
dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik,
kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi,
kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
c) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan
muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
15
Intervensi
Tanggal No. Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional TTD
/Jam Dx Hasil
1 Mei 1 Hubungan yang Perawat
Setelah dilakukan tindakan Lakukan pendekatan pada
„21 baik membuat klien
keperawatan 1 x … jam klien dan keluarga
dan keluarga
08.00 diharapkan nyeri dapat Kaji tingkat intensitas dan
kooperatif
WIB berkurang atau hilang. frekwensi nyeri
Tingkat intensitas
Kriteria Hasil : Jelaskan pada klien
nyeri dan frekwensi
penyebab dari nyeri
Nyeri berkurang atau menunjukkan skala
Observasi tanda-tanda
hilang nyeri
vital
Memberikan
Klien tampak tenang. Melakukankolaborasi
penjelasan akan
dengan tim medis dalam
menambah
pemberian analgesik.
pengetahuanklien
tentang nyeri.
Untuk mengetahui
perkembangan klien
Merupakan
tindakan dependent
perawat, dimana
analgesik berfungsi
untuk memblok
stimulasi nyeri.
15
cairan luka. tindakan yang
tidak ada tanda
Pantau peningkatan suhu tepat
15
mobilitas optimal. Kriteria pasien dalam melakukan Tentukan tingkat
hasil : aktivitas.. motivasi pasien
dalam melakukan
penampilan yang Ajarkan dan pantau pasien
aktivitas.
seimbang. dalam hal penggunaan alat
menilai batasan
bantu.
melakukan pergerakkan kemampuan
15
Evaluasi
S : Data Subyektif
tindakan keperawatan.
O : Data Obyektif
A : Analisis
Interpretasi dari data subyektif dan data obyektif. Merupakan suatu masalah
atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi, atau juga dapat dituliskan
P : Planning
sebelumnya.
15
j. Konsep Keganasan
a. Identifikasi perbedaan benigna dan maligna neoplasma tulang
15
b. Manifestasi neoplasma tulang
– Nyeri tulang bisa disebabkan oleh radang akut, fraktur, osteomalasia dan
neoplasma
– Deformitas tulang dapat disebabkan oleh pertumbuhan tulang abnormal seperti
penyakit kongenital, fraktur yang tidak sembuh sempurna, pelunakan tulang pada
penyakit rachitis dan osteomalasia.
– Pembentukan massa pada kista dan neoplasma tulang
– Fraktur yang fisiologis yang terjadi pada tulang normal – Fraktur patologis yang
terjadi pada tulang yang abnormal.
– Kelainan pada gambaran radiologis dapat berupa kista, massa, daerah lisis, daerah
sklerotik, fraktur atau deformitas
– Hasil pemerikasaan laboratorium kadar kalsium, fosfor, hormon paratiroid,
vitamin D, dan alkali fosfatase yang abnormal.
– Alkali fosfatase meningkat pada semua penyakit yang menunjukkan aktifitas
osteoblas yang meningkat.
– Gejala Klinis :
Fase awal tidak ada keluhan
Gejala umum: deormitas, nyeri tulang, dan fraktur
Pembesaran tulang pada tahap sklerosis dapat mengakibatkan penekanan pada
syaraf dan bila mengenai syaraf kranial ke delapan bisa menyebabkan tuli.
Pada tulang tengkorak bisa menyebabkan penderita sulit menegakkan kepala
Peningkatan aktifitas osteoblas juga akan menyebabkan peningkatan alkali
fosfatase
15
c. Penatalaksanaan medis neoplasma tulang
15
d. Perawatan pada klien dengan neoplasma tulang maligna primer
Menurut Saferi Wijaya dan Mariza Putri (2013), Pengobatan seringkali merupakan kombinasi
dari:
1. Kemoterapi (siklofosfamid, vinkristin, daktinomisin, daktinomisin, doksorubisin,
ifosfamid, eposid).
Kemoterapi harapannya adalah kombinasi kemoterapi mempunyai efek yang lebih tinngi
dengan tingkat toksisitas yang rendah sambil menurunkan kemungkinan resistensi
terhadap obat.
2. Terapi penyinaran tumor
Radiasi apabila tumor bersifat radio sensitive dan kemoterapi (preoperative, pasca operative
dan ajuran untuk mencegah mikrometastasis). Sasaran utama dapat dilakukan dengan
sksisi luas dengan teknik grafting restorative. Ketahanan dan kualitas hidup merupakan
pertimbangan penting pada prosedur yang mengupayakan mempertahankan ekstermitas
yang sakit.
3. Terapi pembedahan untuk mengangkat tumor
Sasaran penatalaksanaan adalah menghancurkan atau pengangkatan tumor. Ini dapat
dilakukan dengan bedah (berkisar dari eksisi local sampai amputasi dan disartikulasi).
4. Pengangkatan tumor secara bedah sering memerlukan amputasi ekstremitas yang sakit,
dengan tinggi amputasi diatas tumor agar dapat mengontrol local lesi primer. Prognosis
tergantung kepada lokasi dan penyebaran tumor.
a. Penanganan kanker tulang metastasis
adalah peliatif dan sasaran teraupetiknya mengurangi nyeri dan ketidak nyamanan pasien
sebanyak mungkin. Terapi tambahan disesuaikan dengan metode yang diganakan
untuk menangani kanker asal fiksasi interna fraktur patologik dapat mengurangi
kecacatan dan nyeri yang timbul
b. Bila terdapat hiperkalsemia,
penanganan meliputi hidrasi dengan pemberian cairan salin normal intravena,
diuretika, mobilisasi dan obat-obatan seperti fosfat, mitramisin, kalsitonin, atau
kartikosteroid.
15
k. Perawatan pada klien dengan amputasi (phantom pain, pengkajian psikososial, promosi
kesehatan)
Phantom pain
Dapat timbul lebih lambat dibandingkan dengan phantom sensation. Sebagian besar
phantom pain bersifat temporer dan akan berkurang intensitasnya secara bertahap serta
menghilang dalam beberapa minggu hingga kurang lebih satu tahun. Bagaimanapun juga
sejumlah ketidamampuan dapat timbul menyertai rasa nyeri pada beberapa pasien amputasi.
Rasa nyeri yang timbul merupakan akibat memori bagian yang diamputasi dalam korteks dan
impuls syaraf yang tetap menyebar karena hilangnya pengaruh inhibisi yang secara normal
diinisiasi melalui impuls afferent dari alat gerak ke pusat.
Sering dihubungkan dengan gangguan emosional, tetapi sulit menentukan apakan
gangguan emosional mendahului atau merupakan akibat darinya. Phantom pain dapat
dipresipitasi atau ditingkatkan oleh setiap kontak, tidak perlu dengan rasa nyeri saja, tetapi
dapat juga dalam bentuk kontak dengan puntung atau dengan suatu “trigger area” pada
batang tubuh, kontak dengan alat gerak kontralateral, atau kepala. Selain itu juga dapat dipicu
oleh suatu fungsi otonomik seperti miksi, defekasi, ejakulasi, angina pectoris, atau merokok
sigaret. Phantom pain secara bervariasi digambarkan sebagai nyeri yang berbentuk seperti
cramping, electric shock like discomfort, crushing, burning, atau shooting dan dapat bersifat
intermitten, berkelanjutan, hilang timbul dalam suatu siklus yang berdurasi beberapa menit.
Sering pula digambarkan sebagai rasa nyeri seperti diputar atau distorsi dari bagian
tubuh, contohnya seperti menggenggam tangan dengan kuku menekan ke dalam telapak
tangan. Phantom pain berat yang menetap dapat dikurangi dengan terapi non invasif. Pasien
sebaiknya diberikan analgesik yang adekuat preoperatif dan didorong untuk merawat
puntungnya paska operasi untuk mengurangi sensitivitasnya.
Sejumlah modalitas dan cara telah dicoba untuk mengurangi nyerinya seperti penggunaan
prostetik, injeksi lokal pada trigger points, penggunaan transcutaneous nerve stimulation
(TNS), interferential, akupunktur, ultrasound, perkusi secara manual ataupun elektris, operasi
dan penggunaan bahan kimia untuk simpatektomi, modifikasi tingkah laku serta konseling
psikososial
16
Phantom limb pain
Sensasi fantom (phantom limb sensation) merupakan istilah untuk sensasi pada anggota
badan sesudah amputasi, sering juga disebut “nyeri deaferensiasi”. Pasien dengan nyeri
fantom merasakan nyeri dan disestesia. Lebih dari empat abad ang lalu, seorang ahli bedah
Perancis Ambroise Pare sudah melaporkan adanya nyeri fantom yang ditulis pada tahun 1851
dimana“pasien setelah beberapa bulan amputasi tungkai, mengeluh nyeri hebat pada daerah
kaki yang telah diamputasi, pasien seolah – olah masih mempunyai kaki” (Keynes 1952).
Rasa nyeri ini dapat berhubungan dengan posisi atau gerak tertentu, dapat disebabkan
oleh faktor fisik seperti perubahan tekanan atau suhu pada anggota gerak yang telah
diamputasi dan faktor psikologi seperti stress emosional. Phantom limb pain termasuk dalam
Nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik disebabkan oleh suatu kelainan di sepanjang suatu jalur
saraf. Suatu kelainan akan mengganggu sinyal saraf, yang kemudian akan diartikan secara
salah oleh otak. Nyeri neuropatik bisa menyebabkan suatu sakit dalam atau rasa terbakar dan
rasa lainnya (misalnya hipersensitivitas terhadap sentuhan). Seseorang yang lengan atau
tungkainya telah diamputasi merasakan nyeri pada lengan atau tungkai yang sudah tidak ada.
Nyeri bukan berasal dari sesuatu di dalam anggota gerak, tetapi berasal dari saraf diatas
anggota gerak yang telah diamputasi. Otak salah mengartikan sinyal saraf ini, yaitu berasal
dari anggota gerak yang sudah tidak ada. Phantom limb pain juga bisa terjadi pada orang
yang lahir tanpa anggota badan dan orang-orang yang lumpuh.
Health Education yang perlu diberikan untuk klien post amputasi yaitu :
a. Memberikan dorongan kepada klien untuk melihat, merasakan, dan kemudian
melakukan perawatan pada sisa tungkai
b. Menjelaskan pentingnya latihan sisa tungkai dan menganjurkan untuk duduk
dalam waktu yang lama Pasca operasi, latihan rentang gerak dimulai sesegera
mungkin karena deformitas kontraktur terjadi cepat. Latihan rentang gerak
meliputi latihan pinggul dan lutut untuk amputasi bawah lutut dan latihan pinggul
16
untuk amputasi atas lutut. Penting bahwa pasien harus memahami pentingnya
latihan sisa tungkai. Duduk dalam waktu yang lama jangan dianjurkan. (Brunner
& Suddarth, 2001)
c. Menjelaskan kepada keluarga mengenai pentingnya dukungan dari keluarga dan
sahabat klien untuk meningkatkan penerimaan klien terhadap kehilangan.
d. Menjelaskan bahwa sisa tungkai tidak boleh diletakkan di atas bantal karena dapat
menyebabkan kontraktur fleksi pinggul. Kontraktur sendi di atas amputasi
merupakan komplikasi yang sering terjadi.
e. Menjelaskan pentingnya melakukan latihan postural Karena pasien amputasi
ekstremitas atas memerlukan kedua bahu untuk mengoperasikan prosthesis, maka
kedua otot bahu harus dilatih. Pasien dengan amputasi atas siku atau disartikulasi
sendi bahu kemungkinan besar mengalami abnormalitas postural yang
diakibatkan oleh kehilangan berat ekstremitas yang diamputasi. Maka latihan
postural sangat penting. (Brunner & Suddarth, 2001)
f. Menjelaskan pentingnya melakukan latihan perubahan posisi (misal berdiri
setelah duduk atau berdiri dengan satu kaki. Amputasi mengakibatkan pergeseran
titik gravitasi; sehingga pasien perlu melakukan latihan perubahan posisi (misal
berdiri setelah duduk atau berdiri dengan satu kaki). Pasien harus memakai sepatu
yang berukuran pas dan dengan alas yang tidak licin. Selama perubahan posisi,
pasien harus dilindungi dan kalau perlu distabilkan dengan sabuk pemindah untuk
mencegah agar tidak jatuh.
g. Menganjurkan pasien dengan amputasi ekstremitas atas sebaiknya mengenakan T-
shirt katun untuk mencegah kontak antara kulit dan penggantung bahu dan
memperbaiki penyerapan keringat.
h. Menganjurkan untuk selalu menggunakan teknik aseptic pada saat bersentuhan
dengan luka karena infreksi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi
pada amputasi. Pasien yang telah menjalani amputasi sering memiliki peredaran
darah yang buruk, lukanya terkontaminasi, atau menderita masalah kesehatan lain
yang dapat mempengaruhi terjadinya infeksi.
i. Menganjurkan untuk selalu menjaga hygiene kulit Kerusakan kulit dapat terjadi
akibat imobilisasi dan tekanan dari berbagai sumber. Higiene kulit yang cermat
16
sangat penting untuk mencegah iritasi, infeksi, dan kerusakan kulit. Sisa anggota
dicuci dan dikeringkan (dengan lembut) paling tidak dua kali sehari. Kulit
diinspeksi adanya tanda-tanda daerah tekanan, dermatitis, dan lepuh; bila ada,
harus ditangani sebelum kerusakan kulit lebih lanjut terjadi. Biasanya, kaus kaki
sisa tungkai dikenakan untuk menyerap keringat dan menghindari kontak
langsung antara kulit dan soket prosthesis. Kaus kaki diganti setiap hari dan harus
pas dengan lembut untuk mencegah iritasi yang diakibatkan oleh lipatan. Socket
prosthesis dicuci dengan deterjen ringan, dibilas, dan dikeringkan benar dengan
kain kering bersih. Pasien dinasehati bahwa kaus kaki harus benar-benar kering
sebelum pemasangan prosthesis.
j. Penyuluhan vokasional dan pelatihan kembali pekerjaan mungkin diperlukan
untuk membantu pasien kembali ke pekerjaannya.
k. Perawatan di rumah Bila pasien telah mencapai homeostasis fisiologis dan telah
menunjukkan pencapaian sasaran perawatan kesehatan utama, maka rehabilitasi
dapat dilanjutkan dalam fasilitas rehabilitasi ataupun di rumah. Penyesuaian harus
dilakukan untuk meyakinkan bahwa pasien akan tetap melanjutkan perawatan,
keamanan, dan mobilitasnya.
16