Anda di halaman 1dari 211

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab

‫كتاب اآلداب‬
‫فؤاد بن عبد العزيز الشلهوب‬

Mukaddimah Penulis

Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, kita memuja-Nya, memohon pertolongan-Nya,
memohon ampunan-Nya, dan kita berlindung dari kejelekan diri-diri kami dan dari kejelekan amal
perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah niscaya tidak seorangpun yang
sanggup menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah niscaya tidak ada seorangpun
yang mampu memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak
disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul dan utusan-Nya. Shalawat
Allah dan salam yang melimpah kepada beliau, kepada keluarga beliau, para sahabat beliau dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga hari kiamat.
Amma ba‘du, …

Sesungguhnya, di antara nikmat Allah kepada kita, bahwa Allah telah menyempurnakan agama
Islam bagi kita, kemudian menyempurnakan nikmat-Nya bagi kita. Allah juga telah mengutus
seorang Rasul yang penuh kasih sayang kepada umatnya. Tidak ada satu kebaikan pun kecuali
beliau telah menjelaskan tentangnya dan tidak ada satu keburukan pun kecuali beliau talah
memperingatkan kita darinya. Shalawatullahi wa salamuhu ‗alaihi ila yaumiddin.
Dan sesungguhnya dari keseluruhan kebaikan yang ditunjukkan kepada kita, dan kejelekan yang
kita telah diperingatkan darinya, berupa sejumlah adab yang meliputi sebagian besar dari perkara-
perkara agama maupun dunia. Maka, pada perkara-perkara ibadah terdapat adab/etika, begitu pula
pada pergaulan manusia dengan sesamanya, atau dengan keluarganya, atau dengan anak-anaknya,
juga terdapat adab.

Di antara adab-adab itu, ada yang sunnah, makruh, wajib, haram, maupun mubah, dan semuanya
akan semakin jelas disaat membaca penjabaran adab-adab tersebut.
Hal yang tidak kalah penting untuk disampaikan, bahwa ulama baik dari generasi salaf maupun
generasi khalaf tidak meninggalkan pembahasan ini dengan tanpa karangan berupa tulisan, bahkan
telah banyak risalah-risalah dan juga kitab-kitab ilmiyah yang tak terkira jumlahnya telah ditulis
tentang hal tersebut.

Kita sebut saja beberapa yang paling populer di antara kesemua kitab-kitab tersebut adalah kitab
Zaad Al-Ma‘aad karya Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Adab Asy-Syar‘iyah karya Ibnu Muflih,
Ghadza` Al-Albaab karya As-Safaraini, dan kitab-kitab lainnya dari karya para ulama. Maka saya
merasa tergerak untuk meringkas perkataan-perkataan mereka, lalu saya menjabarkannya dengan
metode yang mudah dipahami, tidak berpanjang-lebar kecuali jika pembahasannya mengharuskan
untuk demikian.

Sebagai penutup, sesungguhnya kesempurnaan adalah suatu yang sulit tercapai, dan untuk
mencapainya adalah perkara yang sungguh sangat berat, maka barang siapa yang mendapati aib
pada kitab ini segeralah untuk menutupinya, dan barang siapa yang mendapati kekurangan,
segeralah menyempurnakannya. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
selalu mengadakan perbaikan. Hanya kepada Allah lah kita memohon pertolongan, dan kepadaNya
kita menyandarkan diri. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Semoga
shalawat beserta salam dan barakah kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga, dan juga
keselamatan yang banyak. Wal hamdu lillahi robbil ‗alamiin

Ditulis oleh

Fu`ad bin Abdul Azis Asy-Syalhuub

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab


DAFTAR ISI

BAB 1 ADAB-ADAB MEMBACA AL-QUR`AN DAN YANG BERKAITAN DENGANNYA ........ 1


1. Memperhatikan Niat Ikhlas Ketika Mempelajari Al-Qur`an dan Membacanya ................ 1
2. Mengamalkan Kandungan Al-Qur`an ........................................................................ 1
3. Anjuran untuk Selalu Mengingat Al-Qur`an dan Selalu Menjaganya ............................ 2
4. Janganlah Engkau Mengatakan, ―Saya Telah Lupa Ayat atau Surat Al-Qur`an‖, Akan 2
Tetapi Katakanlah, ―Saya Telah Dibuat Lupa, Hafalanku Hilang, atau Telah Dibuat
Lupa.‖ .................................................................................................................
5. Wajibnya Menghayati (Memperhatikan) Kandungan Al-Qur`an ................................... 3
6. Bolehnya Membaca Al-Qur`an Sambil Berdiri, Berjalan, Berbaring dan juga di Atas 4
Kendaraan ...........................................................................................................
7. Tidak Menyentuh Al-Qur`an Kecuali Orang yang Berada dalam Keadaan Suci .............. 4
8. Dibolehkan Membaca Al-Qur`an dari Hafalannya bagi Orang yang Berhadats Kecil ....... 4
9. Bolehnya Membaca Al-Qur`an Bagi Wanita yang Sedang Haidh Maupun Nifas .............. 5
10. Disunnahkan Membersihkan Mulut dengan Siwak Sebelum Membaca Al-Qur`an ........... 5
11. Disunnahkan Membaca Isti‘adzah dan Basmalah Ketika Memulai Membaca Al-Qur`an .... 6
12. Disunnahkan Membaca Al-Qur`an Secara Tartil dan Dimakruhkan Membaca Al-Qur`an 7
dengan Cepat .......................................................................................................
13. Disunnahkan Memanjangkan Bacaan Al-Qur`an ....................................................... 9
14. Disunnahkan Membaguskan Suara Ketika Membaca Al-Qur`an dan Larangan 9
Membacanya Menyerupai Orang yang Bernyanyi ......................................................
15. Menangis Ketika Membaca Al-Qur`an atau Ketika Mendengarnya ............................... 10
16. Disunnahkan Mengeraskan Bacaan Al-Qur`an Jika Memang Tidak Menimbulkan 11
Mafsadah .............................................................................................................
17. Batasan yang Dianjurkan dalam Mengkhatamkan Al-Qur`an ...................................... 12
18. Disunnahkan Berhenti Membaca Al-Qur`an Ketika Diserang Rasa Kantuk .................... 13
19. Disunahkan untuk Menyambung Bacaan Al-Qur`an dan Tidak Memotong-motongnya ... 13
20. Disunnahkan Mengucapkan Tasbih (Subhaanallaah) Ketika Membaca Ayat-Ayat Tasbih, 14
atau Berta‘awwudz (A‘uudzu Billaahi Minasy Syaithaanir Rajiim) Ketika Membaca Ayat-
Ayat Tentang Adzab dan Memanjatkan Doa Ketika Membaca Ayat-Ayat Rahmat ...........
21. Disunnahkan Melakukan Sujud (Tilawah) Ketika Membaca Ayat-Ayat Sajdah ............... 14
22. Dimakruhkan Mencium Mush-haf dan Menempelkannya di Antara Dua Mata (Dahi) ....... 15
23. Dimakruhkan Menggantungkan Ayat-Ayat Al-Qur`an di Dinding dan Selainnya ............. 16

BAB 2 ADAB-ADAB SALAM .......................................................................................... 16


1. Di Antara Perkara yang Disunnahkan Adalah Membiasakan Diri untuk Saling Memberi 16
dan Menyampaikan Salam Serta Kewajiban untuk Menjawabnya ................................
2. Sifat Salam 48 ...................................................................................................... 17
3. Dimakruhkan Mengucapkan Salam Hanya dengan Kalimat ―‗Alaikassalaam‖ ................. 17
4. Disunnahkan Mengulangi Salam Hingga Tiga Kali Apabila Salam Itu Disampaikan 17
Kepada Jama‘ah yang Banyak, atau Ketika Ragu Apakah Mereka Mendengar Salamnya
atau Tidak ...........................................................................................................
5. Disunnahkan Mengeraskan Suara Ketika Memberi Salam, Begitu Pula Sebaliknya ......... 18
6. Termasuk Sunnah Adalah Menyamaratakan Salam, Yaitu Mengucapkan Salam Kepada 18
Orang yang Kita Kenal Maupun Kepada Orang yang Tidak Kita Kenal ..........................
7. Disunnahkan Bagi Orang yang Datang Terlebih Dahulu Mengucapkan Salam ................ 18
8. Orang yang Berkendara Disunnahkan Memberi Salam Kepada Orang yang Berjalan 19
Kaki, Demikian Pula Orang yang Berjalan Kepada Orang yang Duduk, Orang yang
Sedikit Kepada Orang Banyak, dan yang Kecil (Muda) Kepada yang Besar (Lebih Tua) ...
9. Mengucapkan Salam Kepada Wanita Asing (Wanita yang Bukan Mahram) .................... 20
10. Disunnahkan Memberi Salam Kepada Anak-Anak Kecil .............................................. 20
11. Mengucapkan Salam Kepada Orang yang Terjaga Sedangkan di Sekitarnya Ada Orang 20
yang Sedang Tidur ................................................................................................
12. Larangan Mengucapakan Salam Kepada Ahli Kitab .................................................... 21

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab


13. Menjawab Salamnya Ahli Kitab dengan Mengucapkan ―Wa‘alaikum‖ ............................ 21
14. Dibolehkan Mengucapkan Salam Kepada Sebuah Perkumpulan yang Bercampur Antara 21
Kaum Muslimin dan Kaum Kafir ..............................................................................
15. Dibolehkan Memberikan Salam dengan Isyarat Karena Udzur ..................................... 22
16. Dibolehkan Mengucapkan Salam Kepada Seseorang yang Sedang Shalat dan 22
Dibolehkan Menjawab Salam Bagi Orang yang Shalat dengan Menggunakan
Isyarat ................................................................................................................
17. Dibolehkan Memberi Salam Kepada Orang yang Sedang Membaca Al-Qur`an, dan Ia 23
Wajib Menjawabnya ...............................................................................................
18. Dimakruhkan Mengucapkan Salam Kepada Orang yang Sedang Berada di Dalam WC..... 23
19. Disunnahkan Mengucapkan Salam Ketika Masuk ke Dalam Rumah ............................. 24
20. Menjawab Salam untuk Orang yang Mengirimkan Salam Kepadanya dan Kepada Orang 24
yang Dititipi Salam ...............................................................................................
21. Mendahulukan Shalat Tahiyyatul Masjid Sebelum Mengucapkan Salam Ketika 25
Seseorang Masuk ke Dalam Masjid .........................................................................
22. Dimakruhkan Mengucapkan Salam Ketika Mendengarkan Khutbah Jum‘at ................... 25
23. Mendahulukan Salam Sebelum Berbicara ................................................................. 26
24. Salam Kepada Pelaku Maksiat dan Pelaku Bid‘ah ...................................................... 26
25. Disunnahkan Mengucapkan Salam Ketika Berpisah dari Majelis .................................. 27

BAB 3 ADAB-ADAB MEMINTA IZIN ............................................................................ 27


1. Disunnahkan Mendahuluinya dengan Salam Sebelum Meminta Izin ............................. 27
2. Hendaklah Orang yang Meminta Izin Berdiri di Sebelah Kanan atau Sebelah Kiri 28
Pintu ...................................................................................................................
3. Seseorang Diharamkan Memandang (Mengintip) ke Dalam Rumah Orang Lain Tanpa 28
Izin Pemiliknya .....................................................................................................
4. Meminta Izin Itu Hanya Tiga Kali ............................................................................ 28
5. Tidak Dibolehkan Hanya Mengatakan, ―Saya‖ (Tanpa Menyebutkan Nama) Ketika 29
Meminta Izin Jika Ia Ditanya, ―Siapa Itu?‖ ...............................................................
6. Sudah Sepantasnya Orang yang Meminta Izin Tidak Mengetuk Pintu Terlalu Keras 29
7. Jika Pemilik Rumah Menyuruh Orang yang Meminta Izin untuk Kembali, Maka Ia Harus 30
Kembali ...............................................................................................................
8. Tidak Dibolehkan Memasuki Rumah Orang Lain yang Tidak Ada Seorang pun di 30
Dalamnya ............................................................................................................
9. Apabila Seseorang Diundang atau Dikirim Kepada Orang Lain Seorang Utusan, Maka Ia 30
Tidak Perlu Meminta Izin .......................................................................................
10. Meminta Izin Ketika Hendak Berdiri dan Meninggalkan Majelis .................................... 30
11. Meminta Izin Kepada Ibu, Saudara Perempuan, dan Orang-Orang yang Memiliki Hukum 30
yang Sama dengan Keduanya (Dalam Kekerabatan) .................................................
12. Disunnahkan Memberi Kabar Terlebih Dahulu Kepada Istri Ketika akan Masuk 31
Rumah ................................................................................................................
13. Para Pembantu dari Kalangan Budak dan Anak-Anak yang Belum Baligh Diharuskan 31
Meminta Izin Dalam Tiga Keadaan ..........................................................................

BAB 4 ADAB-ADAB KETIKA BERJUMPA 32


1. Disunnahkan Saling Berjabat Tangan ...................................................................... 32
2. Diharamkan Berjabat Tangan dengan Wanita yang Bukan Mahram ............................. 33
3. Disunnahkan Tidak Melepas Tangan Ketika Berjabat Tangan Hingga Orang yang 34
Dijabattangani Melepas Tangannya Telebih Dahulu ...................................................
4. Berdiri untuk Mengucapkan Salam Kepada Seseorang yang Datang ............................ 34
5. Apakah Seseorang Dibolehkan Mencium Seorang Lainnya Ketika Bertemu? ................. 37
6. Haramnya Membungkuk dan Sujud di Saat Memberi Salam ....................................... 38

BAB 5 ADAB-ADAB ZIARAH (BERKUNJUNG) ............................................................... 39


1. Ziarah di Selain Tiga Waktu yang Disebutkan dalam Ayat Al-Isti`dzan ........................ 39

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab


2. Hendaklah Orang yang Berziarah Tidak Menjadi Imam Shalat Bagi Pemilik Rumah, dan 40
Tidak Duduk di Permadaninya Kecuali dengan Izinnya ...............................................
3. Meminimalkan Intensitas Ziarah ............................................................................. 40

BAB 6 ADAB-ADAB BERTAMU .................................................................................... 41


1. Memenuhi Undangan ............................................................................................ 41
2. Memuliakan Tamu Adalah Wajib ............................................................................. 42
3. Disukainya Menyambut Para Tamu ......................................................................... 43
4. Ucapan Tamu Jika Ia Diikuti Seseorang yang Tidak Diundang ..................................... 43
5. Berlebih-Lebihan dalam Menjamu Tamu .................................................................. 44
6. Masuk dengan Izin dan Pulang Setelah Memakan Jamuan .......................................... 44
7. Mendahulukan yang Lebih Tua dan Mendahulukan yang Berada di Sebelah Kanan, Baru 45
yang Selanjutnya ..................................................................................................
8. Doa yang Diucapkan Tamu Setelah Memakan Jamuan Makanan ................................. 46
9. Disunnahkan Keluar Bersama Tamu (Mengantarnya) Hingga ke Pintu ......................... 46

BAB 7 ADAB-ADAB BERMAJELIS ................................................................................. 47


1. Keutamaan Dzikrullah Dalam Majelis dan Larangan Diadakannya Majelis yang Tidak 47
Disebut Nama Allah di Dalamnya ............................................................................
2. Memilih Rekan Semajelis ....................................................................................... 48
3. Ucapan Salam untuk Orang yang Berada di Majelis Ketika Datang dan Pergi ................ 49
4. Dimakruhkan Menyuruh Seseorang Berdiri dari Tempat Duduknya Kemudian Ia Duduk 49
di Tempat Tersebut ...............................................................................................
5. Melapangkan Majelis ............................................................................................. 51
6. Tidak Boleh Memisahkan Dua Orang Kecuali dengan Izin Keduanya ............................ 52
7. Duduk di Bagian Akhir dari Majelis .......................................................................... 52
8. Larangan Dua Orang Berbicara—dengan Berbisik—Tanpa Melibatkan Orang Ketiga ....... 52
9. Larangan Menyimak Pembicaraan Orang Lain Tanpa Izin ........................................... 53
10. Sikap Duduk yang Terlarang .................................................................................. 53
11. Larangan Banyak Tertawa ..................................................................................... 54
12. Makruhnya Bersendawa di Tengah Beberapa Orang .................................................. 54
13. Disunnahkan Menutup (Mengakhiri) Majelis dengan Bacaan Kaffaratul Majelis .............. 54

BAB 8 ADAB-ADAB BERBICARA .................................................................................. 55


1. Menjaga Lisan 145 ................................................................................................. 55
2. Ucapkan Perkataan Yang Baik Atau Diamlah ............................................................. 56
3. Kalimat yang Baik Adalah Shadaqah ........................................................................ 57
4. Keutamaan Sedikit Bicara dan Makruhnya Banyak Bicara ........................................... 57
5. Peringatan Akan Ghibah dan Namimah (Mengadu Domba) ......................................... 58
6. Larangan Menceritakan Setiap Apa yang Ia Dengar ................................................... 60
7. Peringatan Terhadap Kedustaan ............................................................................. 60
8. Larangan Berbuat Keji dan Mengucapkan Perkataan Keji ........................................... 63
9. Keutamaan Meninggalkan Perdebatan Walau Ia Berada Dalam Kebenaran ................... 64
10. Larangan Membuat Suatu Kaum Tertawa dengan Perkataan Dusta ............................. 65
11. Apabila Seseoang Menceritakan Sesuatu Kepada Saudaranya Lalu Ia Berpaling, Maka 65
yang Diceritakannya Adalah Suatu Amanah .............................................................
12. Mendahulukan yang Lebih Tua Dalam Berbicara ....................................................... 65
13. Tidak Memotong Pembicaraan ................................................................................ 66
14. Tenang Dalam Berbicara dan Tidak Tergesa-Gesa ..................................................... 67
15. Merendahkan Suara Ketika Berbicara ...................................................................... 67
16. Beberapa Lafazh dan Kalimat yang Harus Dihindari ................................................... 67

BAB 9 ADAB-ADAB MAKAN DAN MINUM .................................................................... 72


1. Larangan Makan dan Minum Menggunakan Bejana yang Terbuat dari Emas dan Perak ... 72
2. Larangan Makan Sambil Bertelekan atau Menelungkupkan Wajah ............................... 73

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab


3. Mendahulukan Makan dari Shalat Ketika Makanan Telah Dihidangkan ......................... 74
4. Mencuci Kedua Tangan Sebelum dan Sesudah Makan ................................................ 75
5. Tasmiyah (Mengucapkan ―Bismillaah‖) Ketika Memulai Makan dan Minum, dan 76
Mengucapkan Hamdalah Seusai Makan dan Minum ...................................................
6. Makan dan Minum dengan Tangan Kanan dan Larangan Menggunakan Tangan Kiri ........ 78
7. Memakan Makanan yang Terdekat .......................................................................... 79
8. Disukai (Memulai) Makan dari Pinggiran Piring, Bukan dari Atasnya ............................ 79
9. Disunnahkan Makan dengan Tiga Jari dan Menjilati Jari-Jemari Setelah Makan ............. 79
10. Disunnahkan Mengambil Butiran Makanan yang Terjatuh, Mengelap Kotoran yang 80
Menempel Padanya Lalu Memakannya .....................................................................
11. Larangan Mengambil Dua Kurma Secara Bersamaan ................................................. 81
12. Disukai Memakan Suatu Makanan Setelah Makanan Tersebut Tidak Terasa Panas 81
(Hangat/Dingin) ...................................................................................................
13. Larangan Mencela Makanan dan Menghina/Merendahkannya ...................................... 82
14. Hukum Minum dan Makan Sambil Berdiri ................................................................. 82
15. Dimakruhkan Bernafas Dalam Bejana dan Meniup ke Dalamnya ................................. 83
16. Disunnahkan Mengambil Nafas Sebanyak Tiga Kali (Setiap Satu Tegukan) Ketika Minum 83
(di Luar Bejana/ Gelas), dan Bolehnya Minum dengan Sekali Tegukan ........................
17. Dimakruhkan Minum dari Mulut Bejana (Cerek) Air ................................................... 84
18. Disunnahkan Bagi Seorang yang Menuangkan Minuman, Ia Adalah Orang Terakhir yang 85
Minum Darinya .....................................................................................................
19. Disukai Berbicara Ketika Menghadapi Makanan ......................................................... 85
20. Disunnahkan Makan Secara Berjama‘ah .................................................................. 85
21. Dibencinya Sikap Rakus Ketika Makan dan Juga Sedikit Makan Karena Akan 85
Melemahkan Tubuh ...............................................................................................
22. Diharamkannya Duduk di Meja yang di Atasnya Dihidangkan Khamr ........................... 86

BAB 10 ADAB-ADAB BUANG HAJAT ............................................................................ 86


1. Menjauhi Tiga Tempat yang Dilaknat ....................................................................... 86
2. Larangan Kencing di Air yang Tergenang ................................................................. 88
3. Dimakruhkan Masuk ke Tempat Buang Hajat dengan Memakai Sesuatu yang Padanya 88
Tertulis Nama Allah ...............................................................................................
4. Larangan Menghadap dan Membelakangi Kiblat ........................................................ 88
5. Bacaan Ketika Masuk dan Keluar dari Toilet (WC) ..................................................... 89
6. Menutup Diri Ketika Buang Hajat ............................................................................ 90
7. Kencing Sambil Berdiri dan Jongkok ........................................................................ 91
8. Larangan Menggunakan Tangan Kanan Ketika Buang Hajat ........................................ 91
9. Seputar Istinja` dan Istijmar (Menggunakan Batu untuk Bersuci Setelah Buang Hajat) . 93
10. Dimakruhkan Beristijmar dengan Menggunakan Tulang dan Kotoran Hewan yang Telah 93
Kering .................................................................................................................
11. Disunnahkan Beristijmar dengan Hitungan Ganjil ...................................................... 94
12. Dimakruhkan Berbicara Ketika Berada di Tempat Buang Hajat ................................... 94

BAB 11 ADAB-ADAB MENDATANGI MASJID 94


1. Larangan Mendatangi Masjid Bagi Orang Yang Telah Memakan Bawang Merah Atau 94
Bawang Putih Dan Yang Semisalnya ........................................................................
2. Disunnahkan Untuk Bersegera Mendatangi Masjid .................................................... 95
3. Berjalan Menghadiri Shalat Dengan Khusyu‘ Dan Tenang ........................................... 96
4. Do‘a Yang Dibaca Ketika Berjalan Menghadiri Shalat (Di Masjid) ................................. 96
5. Do‘a Ketika Masuk dan Keluar dari Masjid ................................................................ 97
6. Disunnahkan Mendahulukan Kaki Kanan Ketika Masuk ke Masjid dan Kaki Kiri Ketika 98
Keluar darinya ......................................................................................................
7. Disunnahkan Mengerjakan Shalat Tahiyyatul Masjid Ketika Masuk ke Masjid (Sebelum 98
Duduk) ................................................................................................................
8. Keutamaan Duduk di Masjid ................................................................................... 99

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab


9. Bolehnya Tidur Terlentang di Masjid ........................................................................ 100
10. Bolehnya Tidur di Masjid ........................................................................................ 100
11. Larangan Berjual Beli di Dalam Masjid ..................................................................... 101
12. Larangan Mengumumkan Barang Hilang Di Masjid .................................................... 101
13. Mengeraskan Suara di Dalam Masjid ....................................................................... 101
14. Larangan Menyilangkan Jari-Jemari Ketika Keluar dari Masjid Sebelum Melaksanakan 102
Shalat dan Dibolehkan Setelah Mengerjakan Shalat ..................................................
15. Bolehnya Membicarakan Perkara-Perkara Dunia yang Mubah di Dalam Masjid .............. 103
16. Bolehnya Makan dan Minum di Masjid 266 ................................................................ 103
17. Bolehnya Melantunkan Sya‘ir di Dalam Masjid .......................................................... 103
18. Bolehnya Bermain dengan Tombak dan Semisalnya di Dalam Masjid ........................... 104
19. Disunnahkan Menampakkan Perhiasan untuk Shalat Jum‘at dan Shalat ‗Iedain (Dua 104
Hari Raya) ...........................................................................................................
20. Larangan Keluar dari Masjid Setelah Adzan Dikumandangkan .................................... 105
21. Termasuk Sunnah Shalat dengan Memakai Sandal di Dalam Masjid ............................ 105
22. Adab-Adab Wanita Menghadiri Masjid ...................................................................... 106
Beberapa Ketentuan Khusus yang Berlaku bagi Kaum Wanita yang Membedakannya 106
dengan Kaum Laki-Laki Ketika Hadir di Masjid ..........................................................
a. Tidak Memakai Wewangian dan Perhiasan yang Bisa Mengundang Fitnah ................. 106
b. Wanita Haidh dan Nifas Tidak Boleh Diam di Dalam Masjid ..................................... 107
c. Shalat di Belakang Shaff Laki-Laki dan Tidak Bercampur dengan Mereka ................. 107

BAB 12 ADAB-ADAB KETIKA TIDUR ............................................................................ 108


1. Menutup Pintu dan Mematikan Api Serta Lampu Sebelum Tidur .................................. 108
2. Berwudhu` Sebelum Tidur ..................................................................................... 109
3. Membersihkan Tempat Tidur Sebelum Merebahkan Badan di Atasnya ......................... 109
4. Tidur Menghadap ke Sebelah Kanan dan Meletakkan Pipi di Atas Tangan Kanannya ...... 110
5. Membaca Satu Surat (Ayat Tertentu) dari Surat-Surat Dalam Al-Qur`an ..................... 110
6. Membaca doa-doa dan berdzikir .............................................................................. 112
7. Ketika bermimpi, apa yang sebaiknya diucapkannya dan apa yang sebaiknya 116
dilakukannya jika yang dilihatnya dalam mimpi menyenangkan atau menakutkan. ........
8. Dimakruhkan Tidur dengan Tengkurap .................................................................... 117
9. Makruhnya Tidur di Teras Rumah (di Atasnya) Tanpa Adanya Pembatas ...................... 117
10. Do‘a-Do‘a Ketika Bangun dari Tidur ........................................................................ 118

BAB 13 ADAB-ADAB KETIKA SAFAR (BEPERGIAN JAUH) ........................................... 119


1. Disunnahkan Berpamitan Lebih Dulu bagi Orang yang Hendak Pergi ........................... 119
2. Dimakruhkannya Melakukan Safar Sendirian ............................................................ 120
3. Disunnahkan Mengangkat Pemimpin Jika Safar Dilakukan Oleh Tiga Orang atau Lebih .. 120
4. Larangan Membawa Anjing dan Lonceng Dalam Safar ............................................... 121
5. Wanita Dilarang Melakukan Safar Tanpa Disertai Mahram .......................................... 121
6. Disunnahkan Melakukan Safar pada Waktu Pagi di Hari Kamis ................................... 122
7. Do‘a dan Dzikir Ketika Safar ................................................................................... 123
8. Shalat Sunnah Ketika Safar ................................................................................... 125
9. Do‘a Ketika Singgah di Suatu Tempat ...................................................................... 126
10. Disunnahkan Tinggal Sejenak dan Makan dengan Berjama‘ah di Satu Tempat .............. 126
11. Tidur Ketika Melakukan Safar ................................................................................. 127
12. Disunnahkan bagi Musafir untuk Segera Kembali Kepada Keluarganya Setelah 128
Urusannya Selesai dan Tanpa Menunda-nunda .........................................................
13. Dimakruhkan Bagi Seorang Musafir Pulang Menjumpai Keluarganya di Malam Hari ....... 128
14. Disunnahkannya Shalat Dua Rakaat bagi Musafir Setelah Kembali ke Negerinya ........... 129

BAB 14 ADAB-ADAB MENJENGUK ORANG SAKIT ....................................................... 129


1. Keutamaan Menjenguk Orang Sakit ........................................................................ 129
2. Mengunjungi Anak Kecil yang Sakit ......................................................................... 130

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab


3. Kunjungan Wanita Kepada Laki-Laki yang Sakit ........................................................ 131
4. Mengunjungi Orang Sakit yang Sedang Pingsan ....................................................... 131
5. Menjenguk Orang Musyrik yang Sakit ...................................................................... 131
6. Waktu Menjenguk Orang Sakit ............................................................................... 132
7. Meringankan Orang Sakit Ketika Dikunjungi ............................................................. 132
8. Di Manakah Posisi Orang yang Menjenguk Duduk? .................................................... 132
9. Bertanya Kepada Orang yang Sakit Tentang Keadaannya dan Memberinya Semangat ... 133
10. Menangis Ketika Sakit ........................................................................................... 133
11. Do‘a Apa Saja yang Diucapkan di Sisi Orang yang Sakit? ........................................... 134
12. Meletakkan Tangan di Atas Tubuh Orang yang Sakit ................................................. 135
13. Meruqyah Orang Sakit ........................................................................................... 135
14. Mentalqin (Menuntun) Orang yang Sakit untuk Mengucapkan Syahadat Apabila Ajal 137
Menjelang dan Menutupkan Kedua Matanya Serta Mendo‘akan Kebaikan Baginya
Apabila Telah Meninggal ........................................................................................

BAB 15 ADAB-ADAB BERPAKAIAN DAN BERHIAS ....................................................... 138


1. Wajibnya Menutup Aurat ....................................................................................... 138
2. Laki-Laki Diharamkan Menyerupai Wanita dan Begitu Juga Wanita Diharamkan 141
Menyerupai Laki-Laki ............................................................................................
3. Disunnahkan Menampakkan Nikmat Allah Dalam Berpakaian dan yang Lainnya ............ 141
4. Haramnya Menyeret Kain (Menjulurkannya Melebihi Mata Kaki) Karena Sombong ......... 141
5. Haramnya Pakaian Syuhrah (Pakaian Kebesaran Agar Seseorang Menjadi Terkenal 142
Karena Pakaian Tersebut) ......................................................................................
6. Haramnya Emas dan Sutera Bagi Laki-Laki, Kecuali Karena Udzur .............................. 143
7. Laki-Laki Disunnahkan Memendekkan Pakaian dan Wanita Memanjangkannya ............. 144
8. Wanita Diharamkan Menampakkan Perhiasannya Kecuali Kepada Mereka yang Memang 146
Allah Kecualikan ...................................................................................................
9. Diharamkan Memakai Pakaian yang Bersalib atau Bergambar .................................... 146
10. Disunnahkan Mendahulukan yang Kanan Ketika Mengenakan Pakaian dan Semisalnya .. 147
11. Sunnah Ketika Memakai Sandal .............................................................................. 147
12. Do‘a yang Diucapkan Ketika Memakai Sesuatu yang Baru .......................................... 148
13. Disunnahkannya Mengenakan Pakaian Putih (untuk Laki-Laki) ................................... 150
14. Cincin yang Dibolehkan bagi Laki-Laki ..................................................................... 150
15. Disunnahkan Memakai Wangi-Wangian ................................................................... 151
16. Sunnah Dalam Menyisir dan Mencukur Rambut ........................................................ 152
17. Melebatkan Jenggot dan Memotong Kumis bagi Laki-Laki .......................................... 153
18. Disunnahkan Merubah Warna Uban Selain dengan Warna Hitam ................................. 154
19. Pembahasan Tentang Bercelak ............................................................................... 154
20. Perhiasan yang Diharamkan atas Wanita ................................................................. 155

BAB 16 ADAB-ADAB BERKENDARA DAN BERJALAN .................................................... 156


1. Larangan Bersikap Angkuh Ketika Berjalan .............................................................. 156
2. Cara Jalan yang Terbaik dan Paling Sempurna ......................................................... 156
3. Makhruhnya Berjalan dengan Satu Sandal ............................................................... 157
4. Termasuk Sunnah Sekali-kali Bertelanjang Kaki ....................................................... 157
5. Pemilik Kendaraan Lebih Berhak Duduk di Bagian Depan Kendaraannya ...................... 157
6. Bolehnya Membonceng di Atas Kendaraan Jika Tidak Memberatkannya ....................... 158
7. Makruhnya Menjadikan Kendaraan Sebagai Mimbar .................................................. 158

BAB 17 ADAB-ADAB DI JALAN ................................................................................... 158


1. Wajibnya Menunaikan Hak-Hak Jalan ...................................................................... 159
2. Menghilangkan (Membuang) Sesuatu yang Mengganggu di Jalan ................................ 161
3. Haramnya Buang Hajat di Jalan yang Dilalui Manusia atau di Tempat Mereka Berteduh . 162
4. Laki-Laki Lebih Berhak Berada di Tengah Jalan Dibanding Wanita ............................... 162

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab


5. Membantu Seseorang Menaiki Kendaraannya atau Membantu Mengangkat Barangnya 162
ke Atas Kendaraannya ..........................................................................................

BAB 18 ADAB-ADAB BERTETANGGA .......................................................................... 163


1. Memuliakan Tetangga dan Berwasiat Akan Hal Tersebut ............................................ 163
2. Tetangga yang Paling Dekat dan Hak-Haknya .......................................................... 164
3. Haramnya Mengganggu Tetangga ........................................................................... 164

BAB 19 ADAB-ADAB BERSIN DAN MENGUAP ............................................................. 165


A. Adab-Adab Bersin ................................................................................................. 165
1. Mendo‘akan Orang yang Bersin .............................................................................. 165
2. Mendo‘akan Orang yang Bersin Hanya Dilakukan Ketika Mendengar Tahmid dari Orang 166
yang Bersin Tersebut ............................................................................................
3. Disunnahkan bagi Orang yang Bersin Mengucapkan, ―Alhamdu lillaah‖ atau ―Alhamdu 166
lillaahi ‗Alaa Kulli Haal‖ ..........................................................................................
4. Disunnahkan bagi Orang yang Mendo‘akan Orang yang Bersin Mengucapkan 166
―Yarhamukallaah‖ .................................................................................................
5. Sunnah Orang Yang Bersin Untuk Kedua Kali Mengucapkan Setelah Yang Lain 166
Mendoakannya : Yahdikumullahu Wa Yushlihu Balakum Atau Yarhamunallahu Wa
Iyyakum Wa Yaghfiru Lana Walakum .......................................................................
6. Disunnahkan bagi Orang yang Bersin untuk Merendahkan Suara Bersinnya ................. 167
7. Mendo‘akan Orang yang Bersin Sebanyak Tiga Kali, Apabila Bersinnya Lebih dari Tiga 167
Kali Maka Bersinnya Itu Karena Flu .........................................................................
8. Bolehnya Mendo‘akan Ahludz Dzimmah (Yakni Kafir Dzimmi–penerj.) Ketika Bersin 167
dengan Mengucapkan, ―Yahdiikumullaah wa Yushlihu Baalakum‖ ................................
B. Adab-Adab Menguap ............................................................................................. 167
1. Disunnahkan Menutup Mulut Ketika Menguap Karena Dia dari Syetan ......................... 167

BAB 20 ADAB-ADAB BERGAUL SESAMA SAUDARA MUSLIM ........................................ 168


1. Memilih Teman Bergaul dan Teman Duduk .............................................................. 168
2. Cintai Karena Allah ............................................................................................... 169
3. Menampakkan Senyum, Bersikap Lembut dan Berkasih Sayang Kepada Sesama 170
Saudara Seiman ...................................................................................................
4. Disunnahkan Memberi Nasihat dan Hal Itu Termasuk Kesempurnaan Persaudaraan ...... 171
5. Saling Tolong-Menolong Sesama Saudara ................................................................ 172
6. Sesama Saudara Haruslah Saling Merendah di Antara Mereka, Tidak Sombong atau 172
Meremehkan yang Lain .........................................................................................
7. Berakhlak Mulia (Terpuji) ....................................................................................... 173
8. Hati yang Selamat ................................................................................................ 174
9. Berbaik Sangka Kepada Sesama Saudara (Mukmin) dan Tidak Memata-Matai Mereka ... 174
10. Memaafkan Kesalahan dan Menahan Marah ............................................................. 175
11. Larangan Saling Hasad, Saling Membenci dan Memboikot .......................................... 176
12. Larangan Panggil Memanggil dengan Gelar-Gelar yang Buruk .................................... 177
13. Disunnahkan Mengadakan Ishlah (Perbaikan) Sesama Saudara .................................. 178
14. Haramnya Mengungkit-ungkit Pemberian ................................................................. 178
15. Menjaga Rahasia dan Tidak Menyebarluaskannya ..................................................... 179
16. Celaan Kepada Seseorang yang ―Bermuka Dua‖ ....................................................... 180

BAB 21 ADAB-ADAB BERGAUL DENGAN WANITA ...................................................... 180


1. Anjuran Menikah dan Hal Ini Termasuk Bagian dari Sunnah ....................................... 180
2. Mempergauli Wanita dengan Ma‘ruf ........................................................................ 181
3. Berlaku Lembut Kepada Wanita dan Berwasiat Kepada Mereka ................................... 182
4. Berlaku Lembut dan Bercanda dengan Isteri ............................................................ 184
5. Bersabar Terhadap Isteri dan Memaklumi Setiap Kekeliruannya ................................. 184
6. Menggauli Isteri Merupakan Hak Yang Wajib Bagi Suami ........................................... 185

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab


7. Seorang Laki-Laki Diharamkan Menyebarluaskan Apa yang Telah Dilakukan Ketika 186
Berhubungan Suami Isteri .....................................................................................
8. Kewajiban Berbuat Adil di Antara Para Isteri ............................................................ 187

BAB 22 ADAB-ADAB BERDO’A.................................................................................... 187


1. Do‘a Adalah Ibadah ............................................................................................... 188
2. Keutamaan Do‘a ................................................................................................... 188
3. Berbakti Kepada Kedua Orangtua Adalah Salah Satu Sebab Diterimanya Do‘a .............. 189
4. Disunnahkan Mengedepankan Amal-Amal Shalih di Awal Do‘a .................................... 189
5. Memperbanyak Amal-Amal Ibadah Sunnah Selain Pengerjaan Ibadah Wajib Merupakan 189
Salah Satu Sebab Terkabulnya Do‘a ........................................................................
6. Disunnahkan Menghadap ke Arah Kiblat Ketika Berdo‘a ............................................. 190
7. Disunnahkan Mengangkat Kedua Tangan Ketika Berdo‘a ............................................ 190
8. Disunnahkan Berdo‘a dengan Suara yang Lirih ......................................................... 191
9. Menghadirkan Hati Termasuk Salah Satu Sebab Terkabulnya Do‘a .............................. 192
10. Disunnahkan Mengulang-Ulang Do‘a dan Terus-Menerus Memanjatkan Do‘a ................ 192
11. Kemantapan Hati Ketika Berdo‘a ............................................................................ 193
12. Disunnahkan Mendahulukan Ucapan ―Alhamdu lillaah‖ dan Pujian Kepada Allah, Lalu 193
Bershalawat Kepada Rasulullah SAW Sebelum Berdo‘a ..............................................
13. Bertawassul dengan Amal-Amal Shalih Ketika Memanjatkan Do‘a Merupakan Sebab 194
Terkabulnya Do‘a ..................................................................................................
14. Disunnahkan Berdo‘a dengan Do‘a-Do‘a yang Termasuk Jawami‘ul Kalim (Kalimat yang 194
Singkat Tetapi Maknanya Padat) .............................................................................
15. Disunnahkan Menuntup Do‘a dengan Ucapan yang Sesuai dengan Permintaan Orang 195
yang Berdo‘a ........................................................................................................
16. Do‘a Setelah Tasyahhud Akhir Ketika Shalat dan Sebelum Salam Merupakan Salah Satu 196
Sebab Diterima dan Terkabulnya Do‘a .....................................................................
17. Disunnahkan Berdo‘a Ketika Mendengar Ayam Berkokok ........................................... 196
18. Diharamkan Berlebih-Lebihan dalam Memanjatkan Do‘a ............................................ 197
19. Dimakruhkan Berdo‘a dengan Sajak ........................................................................ 197
20. Berdo‘a Memohon Sebuah Amal Dosa, Memutuskan Silaturrahim, atau Menyegerakan 197
Terkabulnya Do‘a Termasuk Sebab Terhalangnya Do‘a ..............................................
21. Memakan Harta Haram Termasuk Penghalang Terkabulnya Do‘a ................................ 198
22. Beberapa Tempat dan Keadaan di Mana Do‘a Akan Terkabul ...................................... 199
23. Beberapa Tempat yang Diharapkan Terkabulnya Do‘a ............................................... 201

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab


BAB 1
ADAB-ADAB MEMBACA AL-QUR`AN DAN YANG BERKAITAN DENGANNYA

1. Memperhatikan niat ikhlas disaat mempelajari Al-Qur`an dan ketika membacanya.


Dikarenakan membaca Al-Qur`an adalah ibadah yang dengan ibadah tersebut bertujuan untuk
bertemu dengan wajah Allah. . Setiap amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa
disertai dua syarat diterimanya amal - yaitu ikhlas dan sesuai tuntunan syariat - maka amalan
tersebut akan tertolak.

An-Nawawi mengatakan: "Yang pertama kali diperintahkan bagi seorang Qari' Al-Qur`an adalah
keikhlasan dalam membaca Al-Qur`an, dan hanya menghendaki perjumpaan dengan wajah Allah
subhanahu wata'ala dari bacaan Al-Qur`an tersebut, dan tidak menghendaki pencapaian sesuatu
selain itu".
Yang dikatakan oleh An-Nawawi ini adalah suatu yang benar, karena diantara para Qari' ada yang
membaca Al-Qur`an dengan tujuan agar perhatian kaum manusia tertuju kepadanya, dan agar
mereka mendatangi majlis-nya, menyanjungnya dan menghormatinya - Kami memohon kepada
Allah keselamatan dan 'afiah -. Dan cukuplah sebagai peringatan bagi Qari' tersebut, agar dia
mengetahui siksa bagi seseorang yang mempelajari Al- Qur`an agar dikatakan sebagai seorang
Qari' Al-Qur`an.

Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits didalam kitab Shahih beliau, dari hadits Abu
Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda : " Sesungguhnya orang yang paling pertama kali dijatuhkan putusannya pada
hari kiamat, adalah seseorang yang mati syahid. Lalu diapun didatangkan dan dikabarkan nikmat-
nikmat baginya lalu diapun mengetahuinya. Allah berfirman kepadanya: "Apakah yang telah
engkau kerjakan bagi segala nikmat tersebut? ". Dia menjawab: Saya berperang karena Engkau
hingga saya mendapatkan mati syahid.
Allah berfirman: "Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau berperang agar engkau dikatakan
sebagai seorang yang gagah berani, dan itu telah dikatakan bagimu". Kemudian diapun
diperintahkan untuk diseret kehadapan wajahnya lalu dia dicampakkan kedalam api neraka.
Dan seseorang yang mempelajari ilmu lalu mengajarkannya dan membaca Al-Qur`an. Kemudian
dia dihadapkan, dan dikabarkan nikmat-nikmat baginya lalu diapun mengetahuinya. Allah
berfirman: "Apakah yang telah engkau kerjakan bagi segala nikmat tersebut? " Dia berkata: Saya
mempelajari ilmu dan mengajarannya dan membaca Al-Qur`an karena Engkau. Allahberfirman:
"Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau mempelajari ilmu agar engkau dikatakan sebagai
seorang yang alim, dan engkau membaca Al- Qur`an agar engkau dikatakan sebagai seorang Qari',
dan itu telah dikatakan bagimu. Kemudian diapun diperintahkan untuk diseret kehadapan wajahnya
lalu dia dicampakkan kedalam api neraka. " al-hadist
2. Mengamalkan kandungan Al-Qur`an
Yaitu menghalalkan segala yang dihalalkan didalam Al-Qur`an, mengharamkan segala yang
diharamkannya, berhenti pada setiap yang dilarangnya, mengerjakan setiap perintahnya dan
mengamalkan setiap ayatayatnya yang muhkam dan beriman dengan ayat-ayat yang mutasyabih.
Menegakkan setiap hukum-hukumnya dan huruf-hurufnya. Telah ada larangan yang sangat keras
bagi seseorang yang Allah berikan kepadanya Al-Qur`an lantas dia tidak mengamalkannya.
Didalam Shahih Al-Bukhari dari penggalan hadits mimpi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam - dari
sebuah hadits yang panjang - , disebutkan: "Keduanya mengatakan: Pergilah. Maka kamipun
beranjak pergi hingga kami menjumpai seseorang yang berbaring terlentang diatas tengkuknya,
dan seseorang yang berdiri diatas kepalanya dengan sebuah pemukul atau sebuah batu besar lalu
orang itu memecahkan kepala orang yang berbaring tersebut. Dan sewaktu dia memukulkan batu
itu kekepalanya, batu tersebut terguling, kemudian dia pergi mengambil batu tersebut, dan
tidaklah dia kembali kepada orang ini hingga kepalanya telah sembuh dan kembali seperti sedia
kala, lalu diapun kembali memukulkan batu tersebut kekepalanya. Saya berkata : Siapakah ini ? .
Keduanya mengatakan : " Pergilah " ( Kemudian hal itu ditefsirkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam , beliau berkata ) : Dan orang yang engkau lihat kepalanya dipukulkan dengan batu
besar, adalah seseorang yang Allah telah ajarkan kepadanya Al-Qur`an, namun dimalam hari dia
tidur tidak membacanya dan tidak mengamalkan Al-Qur`an disiang harinya, akan diperbuat hal
demikian pada dirinya pada hari kiamat "

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 1


3. Anjuran untuk selalu mengingat Al-Qur`an dan memperbarui bacaan Al-Qur`an.
Mengingat-ingat Al-Qur`an maksudnya adalah dengan membiasakan diri membaca Al-Qur`an dan
selalu berupaya mengingatnya. Adapun memperbaruinya adalah dengan memperbaharui untuk
konsisten mempelajarinya dan membacanya.
Seseorang yang telah memfokuskan dirinya ntuk menghafal Kitab Allah, dan yang telah
menghafalkannya, apabila dia tidak menjaganya dengan mempelajari dan mengingat-ingatnya
kembali, maka hafalannya dia akan mudah terlupakan. Al-Qur`an sangatlah mudah lepas dari
dalam dada, oleh karena itu mesti memperbanyak perhatian dan lebih sering mempelajarinya dan
membacanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan sebuah pemisalan bagi
kita akan hal seorang penyandang Al-Qur`an yang memperhatikan Al-Qur`an dan seseorang yang
melalaikannya. Ibnu Umar - radhiallahu 'anhuma telah meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya pemisalan seorang penyandang Al-Qur`an
bagaikan pemilik onta yang lagi terikat. Apabila dia memperhatikannya baik-baik tentu dia akan
memegangnya dengan erat namun apabila dia melepaskannya maka onta tersebut akan lari
darinya "
Dan dari hadits Abu Musa -radhiallahu 'anhu, beliau berkata : Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda : "Jagalah Al-Qur`an, Demi Dzat yang mana jiwaku berada didalam genggaman-
Nya, sesungguhnya Al- Qur`an sangat mudah lepas daripada seekor onta yang berada dalam
ikatannya "
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan - dalam menerangkan perumpamaan yang disampaikan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam - : " Beliau menyerupakan sirnanya Al-Qur`an dengan berangsur-
angsur dan kontinyuitas dalam membaca Al-Qur`an seumpama ikatan pada seekor unta
yangdikhawatirkan lepas pergi. Kapan penjagaan Al-Qur`an ini ada, maka hafalan Al-Qur`an pun
jug tetap ada, sebagaimana halnya seekor unta, kapan unta tersebut diikat erat dengan tali maka
unta tersebut akan tetap terjaga.

Dan pengkhususan penyebutan unta pada hadits diatas, dikarenakan unta adalah hewan peliharaan
manusia yang paling mudah lepas, dan sangatlah sulit untuk menemukan hewan tersebut apabila
hewan ini telah lepas.

4. Janganlah anda mengatakan : Saya telah lupa - ayat atau surah Al-Qur`an - akan
tetapi katakanlah : Saya telah terlupakan, terjatuh hafalanku atau dilupakan.
Dalil akan hal itu, ada pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah -
radhiallahu 'anha -, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mendengar
seseorang yang membaca sebuah surah didalam Al-Qur`an pada waktu malam, lalu beliau
bersabda : "Semoga Allah merahmatinya, sungguh dia telah mengingatkan aku akan ayat ini dan
ayat ini, yang sebelumnya saya telah terlupakan bahwa ayat tersebut berada pada surah ini dan
surah ini ". Pada riwayat Muslim lainnya : "… Sungguh dia telah mengingatkan aku sebuah ayat
yang saya telah jatuhkan penyebutannya dari surah ini dan surah ini "
Dan pada hadits Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Alangkah
buruknya seseorang diantara mereka yang mengatakan : Saya telah lupa ayat ini dan ayat ini,
tetapi sesungguhnya dia telah terlupakan ".
An-Nawawi mengatakan: "Pada hadits tersebut, menunjukkan tercelanya perkataan : lupa akan
ayat ini, dan celaan ini sifatnya suatu yang makruh, dan perkataan : saya terlupakan bukan suatu
yang tercela. Adapun larangan mengatakan : saya lupa ayat ini , dikarenakan mengandung sikap
memudahmudahkan dan melailaikan ayat-ayat tersebut.
Allah ta'ala berfirman: "Dan ayat-ayat Kami telah datang kepada-mu lalu kamu melupakannya"

Al-Qadhli 'Iyadh mengatakan: "Penafsiran yang paling tepat terhadap hadits tersebut bahwa
maknanya adalah celaan yang ditujukan pada keadaan si pengucap, bukan pada ucapannya, yakni
saya lupa keadaan tersebut, keadaan dalam mengahafal Al-Qur`an lalu diapun lalai hingga
melupakannya "

Masalah : Apakah hukum seseorang yang menghafal satu bagian dari Al- Qur`an lantas dia
melupakannya ?

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 2


Jawab : Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan : … Tidaklah pantas bagi seseorang yang menghafal Al-
Qur`an lalu dia lalai membacanya dan tidak pantas paula dia melalaikan penjagaan Al-Qur`an.
Melainkan sepatutnya dia menyediakan suatu waktu bagi dirinya untuk membaca bacaan tertentu
setiap harinya yang akan membantu dia menguatkan hafalannya dan menghalanginya dari
kelupaan dengan mengharapkan pahala serta faedah dari hukum-hukum yang terdapat didalam Al-
Qur`an baik dalam permasalahan aqidah atau muamalah. Akan tetapi siapa saja yang telah
menghafal salah satu bagian dari Al-Qur`an lantas dia melupakannya akibat kesibukan atau
kelalaiannya, dia tidaklah berdosa. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang ancaman bagi
yang lupa akan hafalan Al-Qur`an yang telah dihafalnya tidaklah shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam
5. Wajib menghayati kandungan Al-Qur`an
Sekian banyak nash-nash syara' yang mengharuskan penghayatan kandungan ayat-ayat Al-Qur`an
Al-'Aziz. Beberapa diantaranya telah dikemukakan sebelumnya.
Dan juga pada firman Allah ta'ala : "Apakah mereka tidak memikirkan Al-Qur`an. Sekiranya Al-
Qur`an datangnya dari selain Allah, niscaya mereka akan mendapatkan perselisihan yang sangat
banyak " (An-Nisaa` : 82 )
Ibnu Sa'diy mengatakan : "Allah ta'ala memerintahkan untuk menghayati Kitab-Nya yaitu dengan
menelaah makna-makna yang terkandung didalamnya, memikirkannya lebih mendalam, tentang
hal-hal yang prinsipil serta perkara-perkara yang mengikutinya dan hal-hal yang berkaitan erat
dengan hal itu. Dikarenakan penghayatan akan Kitabullah merupakan kunci pembuka bagi setiap
ilmu dan pengetahuan, dan akan menghasilkan setiap kebaikan dan setiap ilmu akan dapat disadur
dari Kitab-Nya. Dan dengan penghayatan ini akan menambah keamanan didalam hati, dan akan
mengokohkan pohon keamanan tersebut. Dan dengan itu, akan diketahui Siapakah Ar-Rabb Al-
Ma'buud - yang disembah dengan haq, beserta sifat-sifat-Nya yang sempurna dan sifat-sifat yang
kurang mesti dijauhkan dari-Nya. Dan dengan itu juga, akan dikenali jalan yang akan
mengantarkan kepada-Nya, sifat kaum yang meniti jalan tersebut, dan balasan pahala bagi mereka
setelah tiba dihadapan-Nya.
Dan juga akan dikenali musuh Al-Qur`an, musuh Al-Qur`an yang sebenarnya, dan jalan yang akan
mengantarkan kepada siksa, dan sifat kaum yang berada diatas jalan tersebut, serta apa saja yang
ditimpakan bagi mereka disaat sebab-sebab datangnya adzab ada pada mereka. Dan setiap kali
seorang hamba semakin menelaah kandungan Al-Qur`an, maka akan bertambah ilmu, amal dan
keyakinannya. Oleh karena itulah Allah ta'ala memerintahkan hal itu, menganjurkanya dan Allah
ta'ala telah mengabarkan, bahwa inilah maksud dengan diturunkannya Al-Qur`an, sebagaimana
firman Allah ta'ala : Inilah Kitab yang Kami telah turunkan kepada engkau , kitab yang penuh
berkah, agar supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan agar supaya orang-orang yang
berpikir merenunginya ( Shad : 29 )
Ulama As-Salaf dari generasi sahabat -radhiallahu 'anhum - dan generasi setelahnya telah
mempraktikkan hal itu dalam amal perbuatan mereka. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu
Abdirrahman, beliau berkata : Telah menceritakan kepada kami salah seorang sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang membacakan Al-Qur`an kepada kami , bahwa mereka - para
sahabat - mengambil bacaan Al-Qur`an dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak
sepuluh ayat, dan mereka tidaklah mengambil sepuluh ayat berikutnya sebelum mereka
mengetahui kandungan ilmu dari ayat-ayat ini kemudian mengamalkannya. Mereka berkata : Maka
kami mempelajari ilmu Al-Qur`an dan mengamalkannya.

Dan pengecualian dari itu juga, dengan hadits yang diriwayatkan oleh Malik didalam Al-Muwaththa'
beliau dari jalan Yahya bin Sa'id, bahwa beliau berkata : Saya dan Muhammad bin Yahya bin
Hibban pernah duduk , lalu Muhammad memanggil seseorang, dan mengatakan : "Kabarkanlah
kepadaku apa yang telah engkau dengan dari bapakmu". Orang itu berkata : "Bapaku telah
mengabarkan kepadaku bahwa dia telah mendatangi Zaid bin Tsabit, lalu berkata kepadanya :
Bagaiman pendapatmu mengenai seseorang yang membaca Al-Qur`an dalam tujuh hari". Zaid
berkata : "Suatu yang baik, namun saya membacanya dalam setengah buan atau dalam waktu
sepuluh hai lebih saya sukai daripadanya, dan tanyakan kepadaku mengapa demikian ? . Dia
berkata : Saya bertanya kepada engkau ? Zaid mengatakan : Agar saya dapat menghayatinya dan
memahaminya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 3


6. Bolehnya membaca Al-Qur`an sambil berdiri, berjalan, berbaring dan diatas
kendaraan.
Dalil akan hal itu adalah firman Allah ta'ala :
"Mereka yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri dan duduk, Dan dalam
keadaan berbaring" (Ali Imran : 191 )
Dan firman Allah ta'ala :
"Supaya kamu duduk diata punggungmu kemudian kalian ingat nikmat Rabb kalian, apabila kalian
telah duduk diatasnya. Dan suapaya kalian mengucapkan :Maha suci Dia yang telah menundukkan
semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya" (Az-Zukhruf : 13 -
14 )
Dan As-Sunnah juga telah menerangkan hal ini seluruhnya. Dari hadits Abdullah bin Mughaffal -
radhiallahu 'anhu, beliau berkata : Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam paha
hari penaklukan Makkah, dimana beliau sedang membaca surah al-Fath diatas tunggangan beliau "
Dan dari hadits Aisyah Ummul mukminin -radhiallahu 'anha - beliau berkata : "Sesungguhnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersandar di kamarku dan saya dalam keadaan haidh, lalu
beliau membaca Al-Qur`an"
Adapun bagi seorang yang sedang berjalan, dapat dianalogikan kepada seseorang yang sedang
berada diatas kendaraan dan keduanya tidak ada perbedaan.

Faedah : Pada hadits Aisyah radhiallahu 'anha, menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur`an di
kamar seorang wanita yangtengah haidh atau nifas.
Dan yang dimaksud dengan bersandar disini adalah meletakkan kepala dikamar. Ibnu Hajar
mengatakan : Pada hadits ini menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur`an didekat tempat yang
najis, sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi

7. Tidak menyentuh Al-Qur`an kecuali dalam keadaan suci


Dalil akan hal tersebut adalah firman Allah ta'ala :
" Tidaklah ada yang menyentuhnya selain kaum yang suci " ( Al-Waqi'ah : 79 )
Dan larangan menyentuh Al-Qur`an kecuali bagi seseorang yang telah bersuci dengan tegas
disebutkan pada sebuah kitab yang ditulis oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Amru bin
Hazm, dan paa kitab tersebut tercantum : " Dan janganlah seseorang menyentuh Al-Qur`an
kecuali dia dalam keadaan bersih/suci "
Masalah : Apakah boleh membawa mushaf Al-Qur`an jika menggunakan pembungkus (kantung)
atau diantara kain bagi seorang yang berhadats?
Jawab : Iya, diperbolehkan membawa Al-Qur`an dengan menggunakan pembungkus/kantung,
karena yang seperti itu tidak termasuk menyentuh.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : "Dan barang siapa yang membawa mushaf , maka
sebaiknya dia membawanya diantara kainnya, yang terletak pada pelananya maupun barang
bawaannya. Dan tidak dibedakan apakah kain tersebut teruntuk bagi kaum laki-laki , wanita
ataukah anak kecil dan walau kain tersebut berada diatasnya atau dibawahnya, wallahu a'lam."
Faedah : Bolehnya membawa mushaf dengan meletakkannya pada saku, dan tidak diperbolehkan
bagi seseorang untuk masuk wc dengan membawa mushaf.
Akan tetapi dia harus meletakkan mushaf pada tempat yang sesuai dengannya dalam rangka
mengagungkan kitabullah dan menghormatinya. Akan tetapi jika terpaksa masuk ke wc dan takut
mushhaf tersebut akan dicuri jika ditinggal di luar, boleh baginya masuk wc dengan membawa
mushaf dengan alasan darurat.

8. Boleh membaca Al-Qur`an dari hafalannya bagi orang yang berhadats kecil.
Adapun orang-orang yang junub, maka tidak diperkenankan baginya membaca Al-Qur`an dalam
keadaan bagaimanapun. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ali radhiallahu 'anhu
yang mengatakan : "Dahulu Rasulullah biasa membacakan kepada kami ayat-ayat Al-Qur`an
selama beliau tidak dalam keadaan junub."

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 4


Jika hadatsnya hanya sekedar hadats kecil, maka boleh membaca Al-Qur`an melalui hafalannya,
hal ini sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma ketika beliau menginap dibibi
beliau Maimunah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata, "Hingga ketika sampai
pada pertengahan malam kurang atau lebih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terjaga lalu
beliau duduk dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan beliau, kemudian beliau membaca
sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran, lantas beliau bangun dan menuju ketempat air yang
tergantung lalu berwudhu` darinya dan membaguskan wudhu`nya".
Bacaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , setelah beliau terbangun dari tidur dan belum
berwudhu` adalah dalil diperbolehkannya membaca Al- Qur`an bagi orang yang berhadats kecil
seperti kencing, buang air besar, atau tidur. Sedangkan yang lebih utama dan sempurna adalah
membaca Al-Qur`an dalam keadaan suci dari hadats.
Tidak ada celaan maupun pengingkaran bagi seseorang yang membaca Al- Qur`an dalam keadaan
seperti ini. Bahkan celaan tertuju bagi orang yang mengingkari masalah ini dan kepada orang-
orang yang menolak sunnah yang shahih yang menerangkan perkara ini. Diriwayatkan didalam Al-
Muwaththa` karya Imam Malik bahwa Umar bin Khaththab sedang berada pada suatu kaum dan
mereka sedang membaca Al-Qur`an. Kemudian beliau buang hajat dan kembali lalu membaca Al-
Qur`an. Maka berkatalah salah seorang diantara mereka : "Wahai Amirul Mu`minin, apakah
engkau membaca Al-Qur`an sedangkan engkau tidak berwudhu`?", maka Umar mengatakan
:"Siapakah yang memberimu fatwa seperti itu? Apakah Musailamah?"
Masalah : Apakah boleh bagi orang yang berhadats kecil membaca Al-Qur`an dari mushaf?
Jawab : Al-Lajnah Ad-Daimah dalam salah satu jawabannya mengatakan :"Tidak diperbolehkan
bagi orang yang sedang junub membaca Al-Qur`an sampai dia mandi. Baik membaca dengan
mushaf maupun dari hafalannya. Juga tidak boleh baginya membaca Al-Qur`an memakai mushaf
kecuali setelah suci secara sempurna dari hadats besar maupun kecil.
Masalah : Manakah yang lebih utama, membaca Al-Qur`an dari hafalan atau dengan mushaf?
Jawab : Terdapat perbedaan pendapat diantara ulama tentang hal ini. Sebagian mereka
mengutamakan membaca Al-Qur`an dari hafalan dari pada membaca melalui mushaf. Ulama
lainnya menolak pendapat ini, mereka mengatakan :"Sesungguhnya membaca melalui mushaf
lebih utama, karena dengan begitu berarti mencermati Al-Qur`an. Akan tetapi pendapat ini
didukung oleh atsar atsar yang tidak shahih. Ulama lainnya lagi merinci permasalahan ini.
Ibnu Katsir mengatakan : "Sebagian ulama mengatakan, inti perkara ini adalah masalah
kekhusyu'an. Jika membaca Al-Qur`an melalui hafalan lebih khusyu', maka ini yang utama.
Sedangkan jika membaca dengan mushaf lebih khusyu', maka inilah yang utama. Jika membaca
dengan hafalan sama khusyu'nya dengan membaca menggunakan mushaf, maka membaca melalui
mushaf lebih utama. Karena akan lebih cermat dan mendapatkan kelebihan dengan melihat
mushaf.
Ibnul Jauzi mengatakan : "Sudah sepantasnya bagi orang-orang yang memiliki mushaf untuk
membaca setiap hari ayat-ayat yang mudah agar tidak menjadikan Al-Qur`an terabaikan.

9. Bolehnya Membaca Al-Qur`an bagi perempuan yang sedang haidh maupun nifas.
Hal ini dikarenakan tidak dijumpai dalil yang menunjukkan secara langsung tentang pelarangannya,
akan tetapi harus membaca dengan tanpa menyentuh mushaf. Al-Lajnah Ad-Daimah menyatakan
:"Adapun bagi perempuan haidh maupun nifas, tidak mengapa membaca Al-Qur`an dengan tanpa
menyentuh mushaf. Ini menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama, dikarenakan tidak
tsabitnya dalil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang perempuan haid maupun nifas
untuk membaca Al-Qur`an."
10. Disunnahkan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur`an dengan siwak.
Yaitu dalam rangka beradab dengan Kalamullah. Maka sesungguhnya seorang qari' ketika
menghendaki untuk membaca Kalamulah, sangat baik baginya jika membarsihkan dan membuat
harum mulutnya dengan siwak atau dengan apa saja yang bisa dipakai untuk membersihkan mulut.
Tidak ada keraguan bahwa hal ini merupakan perilaku penuh adab terhadap kalamullah. Rasulullah
mencontohkan hal ini sebagaimana dalam hadits Hudzaifah yang menyatakan :"Apabila Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bangun untuk shalat tahajjud pada malam hari, beliau membersihkan
mulut beliau dengan siwak."

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 5


11. Merupakan sunnah, membaca isti‟adzah dan basmalah ketika memulai
membaca Al-Qur`an.
Termasuk sunnah, membaca isti'adzah (ta'awwudz) sebelum membaca Al-Qur`an sebagaimana
firman Allah : " Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada
Allah dari syaitan yang terkutuk." (An-Nahl : 98).
Juga dari hadits yang diriwayatkan Abu Said al Khudri yang mengatakan:"Apabila Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri untuk shalat malam, beliau bertakbir kemudian membaca :
‫َحِب َحِب‬
‫ت َح َحا َح ُّد َح َح َح اَحوَح َح ْب ُسرَح‬ ‫ُس ْب َح اَح َح الَّل ُس َّل َح َح ْب َح َح َح‬
‫ت َح َحرَح ْباُس َح َح َح‬
(Maha Suci Engkau, ya Allah, segala puji bagimu, maha suci namaMu, maha tinggi keagunganMu,
dan tiada ilah selainMu).
Kemudian membaca (sebanyak tiga kali) :
‫هلل‬ ‫او‬
(Tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau) sebanyak tiga kali, kemudian
membaca :

ً‫هلل أكرب ك ري‬


(Allah Maha Besar) tiga kali, kemudian membaca :
‫أ وذ هلل اس يع اعلي من اشيط ن ار ي من مهزه افخو افثو‬
(Aku berlindung kepada Allah yang maha mendengar lagi maha mengetahui dari syetan yang
terkutuk, dari godaannya, dari kesombongannya, dan pengaruhnya) kemudian baru membaca
surah (Al-Qur`an).

Dari ayat dan hadits diatas dapatlah kita ketahui tiga sighat al-isti'adzah, yaitu:
‫أ وذ هلل من اشيط ن ار ي‬
‫أ وذ هلل اس يع اعلي من اشيط ن ار ي من مهزه افخو افثو‬
‫أ وذ اس يع اعلي من اشيط ن ار ي‬
Dan disunahkan bagi orang yang membaca al-Qur`an untuk mengamal sighat isti'adzah yang
pertama dan juga yang berikutnya.
Faedah Isti'adzah: Untuk menjauhkan syaithan dari hati-hati manusia, disaat seseorang
membaca kitabullan hingga seseorang mencapai tadabbur Al-Qur`an dan dapat memahami
maknanya, dan mengambil manfaat dari Al-Qur`an tersebut. Karena akan ada perbedaan jikalau
anda membaca Al-Qur`an dengan hati khusyu' dan disaat anda membaca Al-Qur`an sementara
hati anda yang lalai. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Adapun membaca basmalah ketika memulai membaca Al-Qur`an merupakan amalan yang sunnah
saja. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas radhiallahu 'anhu dia berkata: " Pada suatu hari
setelah shalat dzhuhur, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada disisi kami dan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam tengah mengantuk lalu beliau mengangkat kepala beliau dan
tersenyum. Lalu kami bertanya kepada beliau, "Apa yang menyebabkan anda tertawa, wahai
Rasulullah?"
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: " Baru saja diturunkan kepadaku sebuah surat yang
mulia" , kemudian belaiu membaca " Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-kautsar -
telaga disurga. Maka shalatlah kepada Rabb-mu dan berkurbanlah. Sesungguhnya yang
membencimu adalah orang yang terputus " (Al-Kautsar), al-hadits".

Pertanyaan : Telah menjadi kebiasaan kaum muslimin ketika selesai membaca Al-Qur`an mereka
mengucapkan "Shadaqallahul 'Adziim" apakah ini ada dalilnya yang shahih?
Jawab : Tidak ada dalil untuk mengucapkan "Shaqallahul 'Adziim" ketika selesai membaca Al-
Qur`an. Walaupun ini amalan sebagian besar kaum muslimin, akan tetapi amalan mayoritas
bukanlah dalil bahwa amalan tersebut benar.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 6


Allah ta'ala berfirman : " Dan tidaklah sebagian besar kaum manusia , walaupun engkau berupaya ,
akan beriman " (Yusuf: 103 )
Demikian pula ada pendapat yang sangat mengesankan dari Al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah: "
Janganlah engkau merasa kesepian dengan jalan-jalan petunjuk hanya karena sedikitnya yang
mengikuti jalan tersebut. Dan janganlah engkau terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang
meniti jalan kebinasaan ".
Akan tetapi sesungguhnya dalil menguatkan pendapat yang menolak penutupan bacan Al-Qur`an
dengan ucapan ini. Diriwayatkan oleh Imam Al- Bukhari dan Muslim dan selain mereka dari hadits
Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu beliau berkata: "Rasululla Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Bacakanlah -Al-Qur`an- untukku" Ibnu Mas'ud berkata: " Saya bertanya: Akankah saya
membacakan Al-Qur`an untukmu sedangkan kepadamu Al-Qur`an itu diturunkan?" Nabi bersabda:
"Sesungguhnya aku suka untuk mendengarkan Al-Qur`an dari orang lain".
Ibnu Mas'ud berkata: " Maka saya pun membacakan surat An-Nisaa` hingga saya sampai pada
ayat: " Dan Bagaimanakah jikalau Kami mendatangkan bagi masing-masing umat seorang saksi,
dan kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka semua " (An-Nisaa` : 41 ). Beliau berkata
kepadaku: "Cukup atau tahan bacaanmu", dan aku melihat kedua mata beliau meneteskan air".
Dan demi ayah dan ibuku yang menjadi jaminannya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak menyuruh Ibnu Mas'ud untuk mengucapkan "Shadaqallahul'adzim" dan beliau tidak
menetapkan hal itu dan tidak pula dilakukan oleh orang-orang generasi pertama dari umat ini
semoga Allah meridhai mereka bahwa mereka tidak pernah mengucapkan hal itu ketika mereka
selesai membaca Al-Qur`an. Begitu juga tidak pernah diketahui bahwa Salaf Ash-Shalih yakni
orang-orang yang hidup setelah generasi sahabat bahwa mereka telah mengamalkannya. Tidak
ada yang dapat dikatakan selain kita bahwa amalan tersebut adalah amalan yang muhdats - diada-
adakan - dan tidak ada sunnah yang membolehkan dzikir ini.
Al-Lajnah Ad-Daimah berfatwa: " Seseorang mengatakan "shadaqallahul'adzim " ucapan ini pada
dasarnya adalah ucapan benar. Akan tetapi apabila ia mengucapkannya setelah selesai membaca
Al-Qur`an dengan terus menerus, maka ini termasuk perbuatan bid'ah. Dikarenakan bacaan itu
tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Khulafa` Ar-Rasyidin
sebatas yang kami ketahui, sementara mereka seringkali membaca Al-Qur`an. Dan telah shahih
driwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: "Barang siapa yang
beramal dengan sebuah amalan yang tidak ada baginya perintah dari kami, maka amalan itu
tertolak".
Dan pada riwayat lain: "Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang hal
tersebut bukan merupakan urusan dari kami, maka tertolak".

Faedah : An-Nawawi menyebutkan dalam kitab beliau Al-Adzkar, bahwa beliau berkata: "
Disunnahkan bagi orang yang membaca Al-Qur`an jika ia memulainya dari pertengahan surat
hendaklah ia memulainya dari awal kalimat-kalimat saling berkaitan sebagian dengan sebagian
lainnya. Demikian pula hendaklah ia berhenti pada tempat berhenti pada kalimat yang berkaitan,
atau pada akhir kalimat. Dan janganlah dia bergantung dalam masing-masing tempat berhenti ,
ketika memulai, atau ketika berhenti pada setiap juz, atau setiab hizb bacaan, atau pada setiap
'usyr juz. Karena sebagian besar tempat-tempat tersebut berada pada pertengahan kalimat …
Kemudian beliau berkata, " Dan semakna dengan pernyataan ini sesuai dengan perkataan ulama: "
Membaca Al-Qur`an dengan menyempurnakan setiap surat itu lebih utama dari pada sebagian
surah pada surah-surah yang panjang. Dikarenakan penyesuaian bacaan ayat telah tersamarkan
bagi mayoritas kaum muslimin atau bahkan paling banyaknya diantara mereka dia pada beberapa
keadaan dan tempat".
12. Disunnahkan membaca Al-Quran dengan tartil dan makruh membaca Al-quran
secara cepat.
Allah memerintahkan kepada kita untuk membaca Al-Qur`an secara tartil, sebagaimana firman-
Nya : “ Dan bacalah Al-Qur`an dengan tartil “ (Al-Muzammil : 4 ).
Adapun yang dimaksud dengan tartil dalam membaca adalah membaca dengan teratur dan pelan-
pelan serta dengan suara yang jelas tanpa salah. Ibnu Abbas ketika menjelaskan tafsiran surah ini
“ Dan bacalah Al-Qur`an dengan tartil “ (Al-Muzammil : 4 ).
Beliau mengatakan, “Membaca Al-Qur`an itu dengan sejelas-jelasnya.”

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 7


Abu Ishaq mengatakan, “Bacaan yang jelas tidak mungkin terwujud dengan tergesa-gesa
ketika membaca, adapun untuk mewujudkannya adalah dengan cara mencermati setiap huruf yang
dibaca dan memenuhi hak-haknya (ketentuanketentuan hukum qira‟ah).”
Sedangkan faedah yang bisa diambil dari membaca Al-Qur`an dengan cara tartil adalah mengajak
kita untuk memahami makna dari ayat-ayat Al-Qur`an tersebut.
Mayoritas para salaf dari kalangan para sahabat maupun yang sesudah mereka, sangat membenci
orang yang membaca Al-Qur`an dengan cara terburu buru.
Penyebab ketidaksenangan mereka adalah karena kemauan para qari‟ untuk membaca dalam
jumlah banyak dan dalam waktu singkat adalah merupakan kelalaian, dikarenakan ingin mendapat
pahala besar tapi hilang mashlahat yang lebih besar yaitu tadabbur atau mempelajari serta
memahami makna dari ayat-ayat Al-Qur`an, mengambil faedah darinya, dan pengaruh bacaan Al-
Qur`an yang nampak jelas pada diri qari‟ itu sendiri.
Tidak diragukan lagi bahwa seseorang yang membaca Al-Qur`an sedangkan dia memikirkan ayat-
ayatnya dan menghadirkan atau berusaha memahami makna-maknanya, hal ini jelas lebih baik
dari pada orang yang membacanya dengan tergesa-gesa karena ingin cepat menyelesaikan
bacaannya atau selesai dan banyak jumlah yang dibaca.
Ibnu Mas‟ud memiliki perkataan yang berisikan kritikan beliau terhadap orang yang membaca Al-
Qur`an dengan tergesa-gesa, diriwayatkan dari Abi Wail beliau berkata: “ Seorang laki-laki datang
menjumpai beliau yang dikenal dengan nama Nuhaik bin Sinan, lalu orang tersebut berkata: “
Wahai Abu Abdurrahman Bagaimanakah anda membaca huruf ini, apakah dengan huruf aliif atau
dengan huruf yaa` , yaitu pada firman Allah ta‟ala: ataukah dengan: ………………. ?
Dia berkata: “ Berkata Abdullah: “ Semua ayat-ayat Al-Qur`a telah anda hitung selain ayat ini? “
Dia berkata: “ Sesungguhnya aku membaca surah al-mufashshal pada satu raka‟at. “
Maka Abdullah berkata: “Ini adalah pemenggalan sebagaimana pemenggalan sebuah sya‟ir ?
Sesungguhnya ada sekelompok kaum yang mereka membaca AlQur`an, akan tetapi tidak sampai
melewati kerongkongan mereka. Akan tetapi apabila mereka meresapinya dalam hati dan
merasakan manfaatnya serta mengambil faedah padanya, barulah mereka berlalu ...”
Diriwayatkan dari Abu Jamrah mengatakan: “Aku berkata kepada Ibnu Abbas, Sesungguhnya aku
sangat cepat membaca Al-Qur`an dan aku dapat menyelesaikannya dalam tiga hari.” Maka Ibnu
Abbas mengatakan, “ Sesungguhnya aku membaca Al-Baqarah dalam semalam dengan
mentadaburinya dan mentartilnya, dan aku lebih menyukainya dari pada aku membaca
sebagaimana yang engkau katakan “.
Dalam riwayat lainnya Ibnu Abbas berkata: “Jika kamu memang mesti melakukannya dengan
demikan (cepat), maka hendaklah kamu membacanya dengan bacaan yang dapat didengar oleh
telingamu dan dipahami hatimu.”
Ibnu Muflih mengatakan: “ Ahmad berkata: Saya menyukai bacaan Al-Qur`an yang mudah dan
saya membenci bacan Al-Qur`an dengan cepat. “
Harb berkata: “ Saya bertanya kepada Ahmad tentang bacaan Al-Qur`an dengan cepat, dan beliau
tidak menyukainya, kecuali apabila lisan orang tersebut seperti itu. Ataukah dia tidak dapat
membacanya perlahan. Lalu ada yang bertanya: Apakah seperti itu berdosa? Beliau menjawab:
Adapun tentang dosanya, saya tidak berani untuk mengomentarinya “
Masalah: Manakah yang lebih utaman bagi seseorang yang membaca Al-Qur`an, membacanya
dengan tenang dan tadabbur ataukah membacanya dengan cepat, namun tanpa mengabaikan
sedikitpun huruf-huruf dan harat-harakatnya ?
Jawab: Apabila bacaan yang cepat tersebut tidak sampai mengabaikan aturan qira‟ah, sebagian
ulama telah mengutamakan bacaan dengan cepat seperti itu dengan harapan banyaknya pahala
yang akan diperolehnya dengan banyaknya bacaan Al-Qur`an. Sementara sebagian ulama lainnya
lebih mengutamakan bacaan yan tartiil dan tenang.
Ibnu Hajar mengatakan: “ Pendapat yang tepat, bahwa masing-masin baik itu bacaan yang cepat
dan juga bacaan yang tartil memiliki keutamaan tersendiri.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 8


Dengan syarat bahwa bacaan yang cepat tersebut tidak sampai mengabaikan hak huruf-huruf
bacaan beserta harakat-harakatnya, sukun serta hal-hal wajib lainnya. Jadi tidak ada halangan
dalam mengutamakan slaah satu diantara keduanya atau menyatakan keduanya sama dalam hal
keutamaan. Karena seseorang yang membaca Al-Qur`an dengan tartil dan menelaah ayat demi
ayat, layaknya seseorang yang mendermakan sebuah permata yang sangat bernilai. Dan yang
membaca dengan cepat layaknya seseorang yang mendermakan beberapa permata dengan harga
yang senilai. Terkadang nilai permata yang satu melebihi nilai permata yang banyak dan terkadang
malah sebaliknya “
13.Disunnahkan memanjangkan bacaan Al-Qur`an.
Hal ini shahih keterangannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Anas radhiallahu 'anhu
ditanya tentang bacaan Al-Qur`an Rasulullah, maka Anas menjawab : "Beliau memanjangkannya,
kemudian membaca basmallah, maka beliau memanjangkan bismillah, memanjangkan ar-rahman,
dan memanjangkan ar-rahim."

14. Disunnahkan membaguskan suara ketika membaca Al-Qur`an dan larangan


membaca menyerupai orang bernyanyi.
Yang dimaksud menyerupai orang bernyanyi yaitu yang mirip dengan nyanyian, dan pada zaman
kita sekarang ini, sebagian imam masjid kebanyakan seperti ini, sedang mereka ada yang
mengetahui dan ada yang tidak, dan kamu akan terbuai oleh khayalan ketika mendengar bacaan
mereka.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al- Bara‟ radhiallahu „anhu,
bahwa beliau berkata : ”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam membaca “Wattini
waz Zaitun,” pada shalat „isya‟. Tidaklah saya mendengar seorang pun lebih bagus suaranya atau
bacaannya dari beliau.”
Adapun tentang disunnahkannya membaguskan suara ketika membaca, beberapa hadits-hadits
shahih telah menerangkannya, diantaranya, sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : ”Tidaklah
Allah mendengarkan sesuatu sebagaimana Allah mendengarkan Nabi-Nya melagukan Al-Qur`an “.
Ibnu Katsir mengatakan :”Maknanya adalah bahwa Allah tidak mendengar sebagaimana Allah
mendengar bacaan Nabi yang mana beliau mengeraskan bacaannya dan membaguskannya. Hal ini
disebabkan pada bacaan para Nabi terkumpul suara yang bagus karena kesempurnaan ciptaan
mereka serta rasa khusyu‟ yang sempurna. Inilah tujuan dari hal itu semua. Allah mendengar suara
selurh hamba-Nya, yang taat maupun yang ingkar. Imam Ahmad mengatakan : ”Seorang qari‟
sepatutnya membaguskan suara bacaan Al-Qur`annya, membacanya dengan penuh penghayatan,
dan mentadaburinya, dan inilah makna sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : ”Tidaklah Allah
mendengarkan sesuatu sebagaimana Allah mendengarkan Nabi-Nya melagukan Al-Qur`an “
Dalil yang lain adalah sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : ”Bukan golongan kami orang yang
tidak melagukan Al-Qur`an.”
Juga dari hadits Al-Barra‟ bin „Azib yang berkata: ”Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: ”Perbaguslah suara kalian dengan bacaan Al-Qur`an!”
Yang dimaksud membaguskan suara disini yaitu memperindah, menghayati, dan khusyu‟ ketika
membacanya. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Katsir mengatakan. Ketika Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam mendengar bacaan Abu Musa Al Asy‟ary, beliau mengatakan kepadanya: ”
Seandainya engkau menyaksikanku disaat saya mendengar bacaanmu semalam ! Sungguh engkau
telah diberi keindahan suara sebagaiman keindahan suara Daud”.
Pada salah satu riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Ya‟la terdapat tambahan dari perkataan Abu
Musa: “ Sekiranya saya mengetahui keberadaan anda, niscaya saya memperbagusnya untuk anda
“. Perkataan Abu Musa menunjukkan bolehnya berusaha membaguskan suara ketika membaca Al-
Qur`an, akan tetapi perkataan ini bukan berarti mengeluarkan bacaan Al-Qur`an dari
ketentuannya yang disyariatkan, seperti berlebihan memanjangkan bacaan, menyambung ayat
tanpa jeda, dan berlebih-lebihan sampai terjadi lahn dalam bacaannya. Yang demikian ini sama
sekali tidak disyariatkan. Imam Ahmad membenci membaca Al-Qur‟an dengan bacaan yang lahn,
bahkan beliau mengatakan :”Yang seperti itu bid‟ah.”
Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan :”Membaca al Qur‟an dengan cara melagukannya (lahn) seperti
nyanyian adalah makruh yang bid‟ah sebagaimana disinyalir dalam perkataan Imam Malik, Asy-
Syafi‟I, Ahmad bin Hambal, dan para imam selain mereka.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 9


15. Menangis ketika membaca al Qur‟an atau ketika mendengarnya.
Kedua hal ini telah disebutkan didalam As-Sunnah. Yang pertama sesuai dengan hadits riwayat
Abdullah bin Syuhair radhiallahu „anhu, bahwasannya beliau berkata: ”Saya mendatangi Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam sedangkan beliau sedang shalat, dan dari dalam tenggorokan beliau
terdengar suara mendesis seperti berdesisnya periuk. Ternyata beliau sedang menangis.”
Abdullah bin Syadat mengatakan :”Aku mendengar Umar radhiallahu „anhu tersedu-sedu,
sedangkan aku berada di shaf terakhir, beliau (Umar radhiallahu „anhu) membaca :“Sesungguhnya
saya mengadukan kegundahan dan kesedihanku kepada Allah “(Yusuf:86).
Yang kedua (menangis ketika mendengar) adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu
Mas‟ud radhiallahu „anhu, dia mengatakan : ”Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadaku
:“Bacakanlah Al-Quran untukku!” Lalu aku berkata :”Ya Rasulullah, aku membaca Al Qur‟an
untukmu sedangkan Al-Qur`an diturunkan kepadamu?” Beliau berkata :”Ya.” Maka aku membaca
surat an Nisa‟, dan ketika aku sampai pada ayat : “ Dan bagaimanakah apabila Kami
mendatangkan kepada masing-masing umat seorang saksi dan Kami datangkan engkau sebagai
saksi atas mereka “ (An-Nisaa` : 41 ), beliau berkata:”Cukup!”. Kemudian beliau berpaling dan
kedua mata beliau bercucuran air mata.”
Adapun yang sebagian orang lakukan pada hari ini berupa teriakan, ratapan, dan menangis keras-
keras, maka ini telah keluar dari jalan yang lurus.
Akan tetapi jangan sampai setiap orang menyangka bahwa kami menempatkan hukum ini secara
umum, sekali-kali tidak ! Bahkan kami katakan, diantara mereka ada yang benar, tapi ada juga
yang tidak seperti itu.
Yang sangat mengherankan pada diri orang-orang yang berlebih-lebihan tersebut, bahwa mereka
mencurahkan ibarat demi ibarat ketika mendengarkan doa imam ketika membaca doa qunut, akan
tetapi air mata boleh dikatakan tidak keluar sama sekali dari lekuk mata mereka ketika
mendengarkan Kalamullah dan ayat-ayat-Nya ! Kami katakan kepada mereka yang berlebih-
lebihan ini: Hendaknya kalian memperhatikan,bahwa sesungguhnya manusia yang paling sempurna
keadaannya adalah mereka yang Allah sifatkan dalam firmannya :
“ Dialah Allah yang telah menurunkan perkataan yang paling baik, yakni sebuah Kitab yang serupa
ayat-ayatnya lagi berulang-ulang. Kulit orang-orang yang takut kepada Rabb mereka akan gemetar
karenanya dan menjadi tenang dan hati mereka akan kembali mengingat Allah “(Az-Zumar : 23 ).
Dan orang yang paling sempurna adalah orang yang keadaannya seperti Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam, yaitu yang tangisannya mendesis seperti berdesisnya periuk.
Akan tetapi jika ada yang berdalih/beralasan bahwasannya sebagian orang terdahulu mereka
pingsan bahkan meninggal ketika dibacakan kepada mereka Al-Qur`an atau mereka mendengarkan
bacaannya. Dan jawaban atas alasan ini adalah bahwa sesungguhnya kami tidak mengingkari
cerita itu dari sebagian generasi terdahulu seperti tabi‟in dan generasi setelah mereka, akan tetapi
tidak diketahui apakah para sahabat-semoga Allah meridhainya- melakukannya. Dan sebab dari
itu, karena yang menyentuh – hati mereka –adalah sesuatu yang kuat , dan menghantam tempat
yang sangat lemah yakni hati mereka, sehingga tidak mampu menahannya, maka terjadilah apa
yang terjadi. Mereka adalah orang-orang yang benar dari apa yang mereka hayati, dan mereka
juga diberi udzur.
Ibnu Muflih berkata: “Keadaan ini seringkali terjadi pada Imam baik dari sisi ilmu maupun amal –
yaitu syaikh Imam Ahmad – yakni Yahya bin Al- Qahthan. Imam Ahmad berkata, “Apabila
seseorang mampu menahannya maka niscaya Yahya akan sanggup menahannya. Dan hal itu juga
telah terjadi pada selain mereka. Di antara mereka ada yang benar pada keadaan mereka da ada
juga yang selain itu. Dan saya bersumpah, bahwa yang bberlaku jujur diantara mereka sungguh
dia mendapatkan kedudukan yang adung. Karena jika bukan disebabkan hati yang hidup dan
mengetahui makna yang dibacanya serta kedudukannya, serta menghadirkan makna yang
dibacanya tersebut lalu diresapi, hal itu tidak akan tercapai. Akan tetapi keadaan generasi awal
jauh lebih sempurna. Dimana seseorang akan mencapai segala yang mereka capai, bahkan lebih
agung lagi, bersamaan dengan keteguhan hati mereka serta kekuatan sanbari mereka. Semoga
Allah meridhai mereka semua.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 10


Faedah : Dsunnahkan meminta untuk dibacakan Al-Qur`an dari Qari‟ yang baik bacaannya
(tajwidnya) lagi bagus suaranya. Hal ini akan semakin jelas dengan perintah Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam kepada Ibnu Mas‟ud untuk membacakan Al-Qur`an. Ibnu Mas‟ud mengatakan :”Nabi
berkata kepadaku :”Bacakanlah (Al-Qur`an) untukku!” Aku berkata : ”Aku membaca Al-Qur`an
untukmu sedangkan Al-Qur`an diturunkan kepadamu?” Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabsa : ”Aku senang jika aku mendengarnya dari selainku.”
Adapun Ibnu Mas‟ud adalah sahabat yang Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berkata tentang diri
beliau : ”Barang siapa yang hendak membacakan Al- Qur`an dengan jelas lagi merdu sebagaimana
ketika Al-Qur`an diturunkan, maka hendaklah dia membacanya sebagaimana Ibnu Ummi „Abdin
membacanya.”
Ibnu Mas‟ud termasuk salah satu dari empat sahabat yang Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
perintahkan untuk mengambil Al-Qur`an dari mereka. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berkata
:”Mintalah bacaan Al-Qur`an dari empat orang, Abdullah Ibnu Mas‟ud, Salim maula Hudzaifah,
Ubay bin Ka‟ab, dan Mu‟adz bin Jabbal!”

16. Disunnahkan untuk mengeraskan bacaan Al-Quran jika tidak mendatangkan


mafsadah.
An-Nawawi mengatakan dalam kitab Al-Adzkar : ”Sejumlah atsar tentang keutamaan menjahrkan
(mengeraskan suara) dan mensirrkan (membaca dengan suara yang sangat pelan) ketika
membaca Al-Qur`an. Para ulama mengatakan : Untuk menyelaraskan kedua hadits tersebut,
bahwasannya membaca dengan sirr akan menjauhkan seseorang dari sifat riya‟. Dan ini lebih
utama ketika seseorang khawatir akan terjatuh kepada hal itu. Apabila tidak ditakutkan akan
terkena sifat riya‟, maka mengeraskan suara itu lebih utama, dengan syarat, tidak mengganggu
orang lain yang mungkin sedang shalat, tidur, atau selainnya.
”Mengeraskan bacaan Al-Qur`an ini merupakan amalan yang sangat besar karena akan
memberikan manfaat kepada orang yang mendengarnya dan akan memantapkan hati orang yang
membacanya serta akan dapat menyatukan segala keinginannya untuk memikirkan Al-Qur`an dan
pendengarannya tertuju kepada bacaan Al-Qur`an. Dan bacaan itu dapat mengusir kantuk serta
akan menambahkan sifat rajin dan giat. Apabila salah satu dari sekian niat ini menyertai bacaan Al-
Qur`an dengan keras, maka membaca dengan jahr lebih utama.
Akan tetapi ada baiknya bagi kami untuk mengisyaratkan kepada suatu perkara yang Penting, yaitu
bahwa seseorang yang menjaharkan bacaan Al- Qur`an sepatutnya memperhatikan orang-orang
yang ada di sekitarnya seperti orang yang sedang shalat, atau orang yang sedang membaca Al-
Qur`an dan atau orang yang sedang tidur agar jangan sampai mengganggu mereka dengan bacan
yang diekraskan tersebut..
Telah diriwayatkan oleh Abu Said radhiallahu „anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
sedang I‟tikaf di masjid. Lalu beliau mendengar orang orang membaca Al-Qur`an dengan suara
yang keras. Lalu beliau menyikap tabir dan mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya masing-
masing kalian itu sedang bermunajat kepada Rabb-nya, maka janganlah kalian sebagian diantara
kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian dari kalian mengeraskan bacaannya
hingga mengganggu bacaan sebagian yang lain “.Atau dengan tambahan beliau bersabda :”Ketika
sedang shalat.”

Catatan penting : Tidak boleh bagi seorang perempuan membaca Al-Qur`an dengan jahar,
sementara ada laki-laki lain (bukan muhrim) didekatnya. Karena dikhawatirkan akan
mendatangkan fitnah kepada wanita tersebut. Syariat Islam telah mengutamakan sadd adz-
dzaraa‟I – yakni menutup segala wacana – yang akan mengantarkan kepada suatu yang haram.
Faedah: Seahrusnyalah seseorang mengucapkan dan melnatunkan bacaan Al-Qur`an agar
memperoleh pahala. Adapun sebagian kecil kaum muslimin yang membaca Al-Qur`an tanpa
menggerakkan kedua bibirnya (yakni membaca dalam hati. pent) tidak akan mendapatkan
keutamaan membaca Al-Qur`an. Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dalam salah satu fatwa
beliau, mengatakan: “Tidak mengapa seseorang memandang Al-Qur`an tanpa membacanya
dengan tujuan tadabbur, menelaah dan memahami maknanya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 11


Akan tetapi dia tidak tergolong sedang membaca Al-Qur`an dan tidak mendapatkan pahala
keutamaan membaca Al-Qur`an kecuali apabila dia melafazhkan bacaan Al-Qur`an walau dia tidak
memperdengarkan orang-orang yang berada disekitarnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam : “Bacalah oleh kalian Al-Qur`an, sesugguhnya dia akan datang pada hari kiamat
sebagai syafa‟at bagi para pembacanya.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim .
Yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “ para pembacanya “, adalah mereka
mengamalkannya sebagaimana yang terdapat pada dalam hadits lain, Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur`an maka baginya satu kebaikan.
Dan satu kebaikan sama dengan sepuluh kebaikan.” Diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan Ad-Darimi
dengan sanad shahih. Seseorang itu tidak termasuk membaca Al-Qur`an jika tanpa
melafazhkannya. Sebagaimana hal ini dinyatakan oleh ulama. Wallahu waliyyuttaufik.
17. Batasan yang disukai dalam mengkhatamkan Al-Qur`an.
Kebiasaan ulama salaf telah berbeda didalam memberi batasan penghitungan waktu
mengkhatamkan Al-Qur`an. Diantara mereka ada yang menghatamkan Al-Qur`an selama dua
bulan, sebulan, sepuluh malam, seminngu, dan inilah yang paling banyak dilakukan. Imam Nawawi
mengatakan dalam Al-Adzkar67, “Dan diantara mereka ada yang menghatamkan Al-Qur`an kurang
dari tiga hari. Dan diantara mereka juga ada yang menghatamkan Al-Qur`an pada setiap malam
jum‟at. Dalam hal ini telah ada kisah yang sangat masyhur dari Abdullah bin Amr radhiallahu
„anhuma, beliau berkata:” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku,
“Bacalah Al-Qur`an itu pada satu bulan.” Aku berkata :”Sesungguhnyaa saya mampu kurang dari
itu (sebulan).” sehingga beliau Shallallahu „alaihi wa sallam besabda:”Maka bacalah Al-Qur`an itu
dalam satu minggu, dan janganlah kurang dari seminggu itu.”
Maka sebagian dari mereka menjadikan satu minggu itu sebagai batasan yang paling minimal
untuk menghatamkan Al-Qur`an. Dan sebagian dari (para ulama) menjadikan tiga hari sebagai
batasan tercepat dalam menghatamkan Al-Qur`an berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh
Abu Daud dan selainnya dari Abdullah bin Amr radhiallahu „anhuma ı, bahwasannya beliau berkata
: ”Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadaku :”Bacalah Al-Qur`an itu pada satu
bulan”. Kemudian Abdullah bin Amr berkata :”Sesungguhnya aku bisa lebih kuat dari itu.”
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :”Bacalah olehmu pada tiga hari.”
Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwasanya mengkhatam Al-Qur`an tidak mempunyai batasan
tertentu, akan tetapi disesuaikan dengan kerajinan dan kekuatan. Dikarenakan telah diriwatkan
dari Utsman bin Affan radhiallahu „anhu. Bahwa beliau menghatamkan Al-Qur`an hanya dalam
semalam. Dan telah diriwayatkan juga hal itu dari beberapa ulama salaf. Ibnu Muflih70 berkata
:”Pendapat yang terpilih menurut kami – Mazhab Hanabilah – sebagaimana pendapat yang terpilih
oleh An-Nawawi : Bahwa batasan mengkhatam Al-Qur`an berbeda menuruti orang yang
membacanya. Maka barangsiapa yang memiliki bakat kemampuan untuk menganalisa detail
hakikat dnakandungan makna, hendaknya dia membatasinya sesuai dengan ukuran pencapaian
pemahaman atas apa yang dibacanya. Begitu juga dengan orang yang sibuk menyebarkan ilmu,
atau menyelesaiakan pertikaian ditengah-tengah kaum muslimin atau kesibukan-kesibukan lainnya
yang berkenaan dengan urusan agama dan kemaslahatan umum kaum muslimin. Seharusnya dia
membatasi sesuai dengan ukuran yang mana tidak menyebabkan pengabaian tujuan sebenarnya
yang hendak dia capai dan tidak juga meninggalkan kesempurnaannya. Adapun selain dari mereka
yang disebutkan diatas,maka hendaknya dia memperbanyak bacaan yang memungkinkan baginya
tanpa menyebabkan kebosanan atau membacanya dengan terburu-buru.
Peringatan : Tidak satupun riwayat tentang adanya do‟a khusus yang dipakai ketika
menghatamkan Al-Qur`an. Adapun do‟a-do‟a yang tersebar dikalangan manusia saat ini, maka hal
itu tidak mempunyai dalil atas pensyariatannya, dan tidak ada pula ada nash secara marfu‟ kepada
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam yang dapat dijadikan argumen bagi orang senantiasa
berdo‟a dengan doa tertentu ketika mengkhatamkan Al-Qur`an Al-„Adzhim. Dan do‟a yang masyhur
yang telah tersebar dikalangan manusia saat ini adalah doa mengkhatamkan Al-Qur`an yang
disandarkan kepada Syaikh Al-Islam Ibnu Taymiyah rahimahullah yang sama sekali tidak benar
penyandaranya kepada beliau. Sedangkan Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah
mewasiatkan agar tidak memasukkan do‟a ini kedalam fatwa beliau, kaena keraguan beliau
terhadap penisbatan doa ini kepada Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 12


Masih dalam penjelasan kami berkaitan dengan doa khatam Al-Qur`an, kami akan tambahkan
sebuah faedah yaitu kesimpulan yang telah dicapai oleh Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullah
dalam risalah beliau yang diberi nama ( Marwiyatu Du‟aa‟I Khatamil Qur‟ani ). Beliau berkata:
“Kesimpulannya: Bahwa sesungguhnya hasih yang sarat dengan hikmah pada dua tempat dan
terbagi pada dua perkara:
1. Sesungguhnya berdo‟a bagi orang yang menghatamkan Al-Qur`an itu diluar shalat, dan
pengucapan do‟a ketika itu, amalan yang didapati sejumlah atsar dari perbuatan As-Salaf Ash-
Shaleh pada generasi awal umat ini. Sebagaimana yang telah dikemukakan didepan dari amalan
Anas radhiallahu „anhu serta diikuti oleh beberapa tabi‟in, salah satu riwayat dari Imam Ahmad,
Harb, Abul Harits dan Yusuf bin Musa rahimahumulahu ajma‟in. Dikarenakan do‟a khatam Al-
Qur`an itu termasuk bagian dari do‟a yang disyariatkan. Telah pula dikemukakan pendapat Ibnu
Al-Qayyim rahimahullah tentang perkara ini: “ Tempat ini adalah tempat pengucapan doa yang
paling tepat dan tempat dikabulkannya”.
2. Bahwa do‟a khatam Al-Qur`an itu ketika dalam shalat, baik ketika bersama imam maupun ketika
shalat sendirian yang dilakukan sebelum ruku‟ atau setelahnya. Dalam shalat tarawih atau
selainnya. Akan tetapi tidak diketahui satupun hadits yang musnad tentang perkara ini dari Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam begitu pula dari para sahabat beliau radhiallahu „anhu .

18. Disunnahkan untuk menghentikan membaca Al-Qur`an ketika diserang


rasa kantuk.
Dalil permasalahan ini adalah sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dari hadits Abi Hurairah
radhiallahu „anhu: “Apabila seseorang dari kalian bangun pada malam hari maka Ista‟jamal Qur‟an
(lisannya tidak akan fasih ketika membaca ayat Al-Qur`an) dan ucapannyapun tidak akan baik
serta pikirannya masih lemah”.

Makna dari ista‟jamal Qur‟an adalah kelu lidahnya sehingga tidak akan keluar dari lidahnya itu
ungkapan yang baik/fasih. An-Nawawi berkata tentang ini, “ Sebab perintah untuk menghentikan
bacaan Al-Qur`an ketika diserang rasa kantuk ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam pada hadits Aisyah Ummul Mukminin radiallahu „anha dimana beliau bersabda: “Apabila
seseorang dari kalian mengantuk ketika shalat, hendaklah ia pergi untuk tidur, dan jika salah
seorang dari kalian mengantuk sedangkan dia sedang shalat, bisa jadi dia berkehendak untuk
beristighfar (memohon ampun kepada Allah) namun malah memaki dirinya”.

Dan ini adalah merupakan pengarahan yang sangat lembut dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam,
karena seseorang jika ia dalam keadaan mengantuk, biasanya perkataannya akan tidak beraturan.
Sehingga seseorang yang membaca Al-Qur`an atau sedang shalat diperintahkan untuk menahan
shalat dan bacaanya, agar supaya dia tidak mendoakan keburukan kepada dirinya sedangkan dia
tidak menyadarinya. Dan agar Al-Qur`an terjaga dari perkataan yang keliru dan ucapan yang
asing.

Faedah : Sepatutnya bagi orang yang membaca Al-Qur`an untuk berhenti ketika dia sudah mulai
menguap mengantuk. Karena apabila dia meneruskan bacaanya dikhawatirkan akan keluar kata-
kata atau suara yang mengganggu dan menggelikan. Untuk itu hendaklah ia menjaga dan
mensucikan Al-Qur`an dari hal itu.

19. Disunahkan untuk menyambung bacaan Al-Qur`an dan tidak sepotong-sepotong.


Ini adalah adab yang disunahkan bagi orang yang membaca Al-Qur`an untuk mengamalkan adab
ini. Disaat dia telah memulai membaca Al-Qur`an agar tidak memotongnya kecuali pada perkara-
perkara yang mendesak, sebagai bentuk adab kepada Kalamullah, untuk tidak memotong bacaan
Al-Qur`an karena perkara duniawiyah. Oleh karena itu dilarang memotong bacaan Al-Qur`an
hanya karena urusan dunia. Sungguh merupakan perkara yang mengherankan dari sebagian orang
yang menunggu shalat di Masjid dengan membaca Al-Qur`an, akan tetapi dengan mudah mereka
memotong/menghentikan bacaan mereka berulang kali, hanya karena urusan duniawiyah. Sungguh
syaithan tidak pernah menginginkan kebaikan kepada kaum Muslimin selama-lamanya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 13


Dan saya akan menyertakan pemaparan kami diatas dengan atsar yang diriwayatkan oleh tabi‟in
yang mulia yaitu Nafi‟, beliau berkata: “Apabila Ibnu Umar radhiallahu „anhuma sedang membaca
Al-Qur`an, maka ia tidak akan berbicara sampai ia menyelesaikan bacaannya. Dan beliau membaca
surah Al-Baqarah pada suatu hari hingga berhenti pada satu tempat dan berkata, “Tahukah kamu
kepada siapa ayat ini diturunkan?”. Aku berkata, “Tidak”. Kemudian beliau menjelaskan, “Ini
diturunkan pada ini dan ini kemudian beliau meneruskan bacaanya”.76 Itulah kebiasaan Ibnu Umar
ra beliau tidak memotong bacaan Al-Qur`annya kecuali dengan tujuan dan bermaksud untuk
menyampaikan ilmu, dimana hal itu merupakan sebuah ibadah pula.
20. Disunnahkan untuk mengucapkan tasbih (subhanallah) ketika membaca
ayat-ayat tasbih, atau berta‟awwuz (A’udzubillahi minas syaithanir rajiim) ketika
membaca ayat-ayat tentang azab dan memanjatkan doa ketika membaca
ayat-ayat rahmat.
Dijelaskan didalam hadits Hudzaifah disaat beliau mengerjakan shalat bersama Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam, Hudzaifah berkata: “ … - setelah beliau memulai shalat dengan takbir
dan membaca iftitah kemudian membaca al-fatihah -, lalu beliau membaca surah Ali Imran dan
membacanya dengan tartil. Ketika beliau membaca ayat-ayat tasbih maka beliaupun bertasbih, jika
membaca ayat-ayat do‟a maka beliaupun berdo‟a dan jika beliau membaca ayat-ayat ta‟awwudz
beliaupun berta‟awwudz … al-hadits”.
An-Nawawi berkata: “ Bacaan-bacaan tersebut merupakan sunnah yang dianjurkan bagi orang
yang membaca Al-Qur`an baik dalam shalat maupun diluar shalat.

21. Disunnahkan untuk sujud ketika membaca ayat-ayat as-sajadah.


Dalam Al-Qur`an al-Karim terdapat sekitar lima belas ayat-ayat assajadah, disunnahkan bagi
seseorang yang membaca Al-Qur`an, apabila dia melewati ayat-ayat as-sajadah untuk sujud dan
berdzikir sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tentang hal
itu. Dan hendaklah dia membaca, “Ya Allah buanglah dariku dosa-dosa, dan tetapkanlah untukku
pahala dan jadikalah pahala itu sebagai tabungan disisi-Mu”. At- Tirmidzi menambahkan , “Dan
terimalah sujudku ini disisi-Mu sebagaimana Kau menerimanya dari Daud disisi-Mu”.Atau
hendaklah ia mengucapkan: “ Yaa Allah, telah sujud wajahku kepada yangmenciptakannya dan
yang menempatkan pendengaran dan penglihatannyadengan segala daya dan kekuatannya “Atau
mengucapkan: “Ya Allah hanya kepada-Mu aku bersujud dan hanyakepada-Mu aku beriman serta
hanya kepada-Mu aku memohon keselamatan,serta sujud kepada Allah yang telah menciptakan
bentuknya, memberikanpendengran serta penglihatan, Tabarakallahu ahsanul Khaaliqin”.

Akan tetapi hal ini bukan merupakan perkara yang wajib, namun sekedar sunnah saja. Jadi apabila
dilakukan maka akan mendapat pahala dan tidak mengapa jika meninggalkannya. Tetapi tidak
sepantasnya bagi orang yang beriman untuk meninggalkan dan lalai amalan-amalan ini. Adapun
dalil yang menunjukan bahwa hal itu hanyalah sunnah saja tidak sampai kederajat wajib adalah
bacaan Zaid bin Tsabit radhiallahu „anhu dihadapan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan
beliau tidak sujud ketika membaca ayat-ayat as-sajadah. Diriwayatkan dari „Atha‟ bin Yasar dari
Zaid bin Tsabit ia berkata: “Saya membacakan surat An-Najm dihadapan Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam dan aku tidak sujud ketika melalui ayat-ayat sajadah”.
Dan begitu pula yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab radhiallahu „anhu ketika beliau sedang
berkhuthbah diatas mimbar pada hari Jum‟at dan beliau membaca surat an-Nahl kemudian beliau
sujud ketika membaca ayat sajadah. Pda jum‟at berikutnya, dan ketika beliau membaca An-Nahl,
dan sewaktu berada pada ayat as-sajadah, beliau berkata: “Wahai sekalian manusia sesungguhnya
kita telah melewati ayat-ayat sajadah ketika membaca Al-Qur`an, , barang siapa yang melakukan
sujud tilawah maka akan mendapat pahala dan bagi yang tidak melakukanya tidak ada dosa
baginya”.
Dan Nafi‟ dari Ibnu Umar radhiallahu „anhu menambahkan, “Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan
kepada kita untuk sujud at-tilawah ketika kita membaca ayat-ayat sajadah kecuali jika kita
menginginkannya”.
Masalah: Apakah sujud at-tilawah ketika membaca Al-Qur`an itu diharuskan padanya syarat-
syarat sebagaimana sujud ketika shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam serta
harus dengan bersuci dan menghadap kiblat dan selainya?

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 14


Jawab : Sujud tilawah ketika membaca Al-Qur`an tidak ada diharuskan adanya suatu permulaan
dan penutup. Ini adalah Sunnah yang telah makruf dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , dan
diamalkan oleh seluruh ulama As-Salaf. Dan telah menjadi pernyataan resmi pada imam yang
populer. Dengan demikian amalan ini bukanlah sebuah shalat, sehingga tidaklah disyaratkan pada
amalan ini syarat-syarat shalat. Bahkan diperbolehkan dikerjakan walau tanpa thaharah/bersuci,
sebagaimana halnya Ibnu Umar yang melakukan sujud tanpa mesti bersuci, akan tetapi dengan
melakukan syarat-syarat shalat jauh lebih utama. Dan sepatutnya hal itu tidak terabaikan kecuali
karena adanya udzur. Inilah pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.
Faedah Pertama : Disunnahkan untuk sujud tilawah bagi orang yang mendengarkan bacaan Al-
Qur`an dengan baik dan tidak bagi orang yang mendengarnya sambil lewat. Karena ada perbedaan
antara keduanya. Bahwa orang yang mendengarkan Al-Qur`an dengan seksama adalah orang yang
diam pada sesuatu untuk mendengarkannya, sedangkan yang satunya adalah seseorang yang
mendengar bacaan sambil berlalu. Walaupun diantara kedua orang ini sama-sama mendengarkan
bacaan Al-Qur`an. Akan tetapi yang kedua ini yakni orang yang medengar sambil berlalu hanya
melewati tempat dimana ada orang yang sedang membaca Al-Qur`an atau yang lainnya. Kemudian
orang yang membaca Al-Qur`an itu sujud sewaktu membaca ayat as-sajadah, dan pada keadaan
ini, disunnahkan seseorang yang menyimak bacaan Al-Qur`an untuk turut sujud namun tidak bagi
yang mendengarnya sambil lalu..
Dikarenakan orang yang mendengarkan dengan seksama dihukumi seperti membaca Al-Qur`an
sedangkan orang yang berlalu tidak. Hal ini lebih jelas lagi dalam firman Allah ta‟ala kepada Musa
dan Harun alaihimassalam “ Dan doa kalian berdua telah dikabulkan maka berlaku luruslah “
(Yunus : 89). Sedangkan yang berdoa hanyalah Musa, hanya saja ketika Harun mengaminkan doa
Musa, maka beliaupun menempati hukum seorang yang berdoa dan tercakup dalam ayat diatas.
Faedah Kedua: Tidak sepantasnya hanya mencukupkan dengan dzikir yang disunnahkan dibaca
pada sujud tilawah, bahkan diwajibkan utnuk membaca dzikir sebagaimana bacaan sujud dalam
sahalat. (Subhana Rabbi A‟la) Dan inilah yang utama. Kemudian bagi orang yang sujud hendaklah
dia membaca dzikir sesuai yang dikehendakinya. Bahkan sebagian ulama mengkategorikan
pembatasan itu termasuk perkara al-muhdats ( bid‟ah ).
22. Makruh mencium mushaf dan menempelkannya di antara dua mata.
Sungguh orang yang tidak memiliki pengetahuan akan mengatakan, “Mengapa dibenci mencium
mushaf dan menempelkannya diantara dua mata, padahal hal itu dalam rangka mengagungkan
dan mensucikan Kalamullah?” Maka kita jawab : Bahwasannya mencium mushaf dan
meletakkannya di anta dua mata atau dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan
cara mendekatkan diri kepada Allah terhenti pada shahihnya suatu dalil yang tidak ada dalil lain
yang bertentangan dengannya. Dan kami menolak amalan mencium mushhaf sebagai bentuk
pengagungan kepada Allah dan Kalamullah dan juga sebagai manifestasi pengagungan kami
terhadap Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam.
Dan telah kita ketahui dari periwayatan yang tidak diragukan lagi bahwa beliau Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda: ”Barang siapa yang membuat perkara baru dalam agama yang tidak ada
contohnya, maka dia tertolak.” Maksudnya perbuatan tersebut dikembalikan kepada pelakunya.
Dari Imam Ahmad ketika ditanya sejumlah riwayat yang menerangkan masalah ini, beliau
mendiamkannya Al Qadhi berkata didalam kitab Jami‟ Al-Kabir mengenai riwayat ini: Bahwa
sesunguhnya diamnya Imam Ahmad terhadap masalah itu, walau terkandung pengkultusan dan
pemuliaan, karna semua cara mendekatkan diri kepada Allah tidak diperbolehkan branalogi
didalamnya dan tidak disenangi perbuatan tersebut walaupun terkandung pengagungan kecuali
dengan mberhenti pada dalil. Tdakkah anda memperhatikan bahwa Umar ketika melihat Hajar
Aswad beliau berkata : Tidaklah engkau mendatangkan mudharat dan tidak juga manfaat,
seandainya bukan karena Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah menciummu niscaya saya
tidak akan menciummu. Demikian pula yang dilakukan Muawiyah ketika thawaf, beliau mencium
semua rukunya. Hal ini lalu diingkari oleh Ibnu Abbas, beliau berkata: ”Tidak ada sesuatupun pada
rumah ini yang harus dihormati.” Beliau mengatakan :”Sesungguhnya ini – kembali kepada -
Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, Maka beliau mengingkari tambahan atas perbuatan yang
telah dilakukan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 15


Ketika Ibnu Musayyab melihat sesorang memanjangkan ruku`nya dan sujud setelah shalat fajar,
maka beliau melarangnya, lalu orang tersebut mengatakan :”Wahai Abu Muhammad, apakah Allah
akan mengadzabku karena mengerjakan shalat?” Dia menjawab :”Tidak, akan tetapi adzab itu
karena menyelisihi sunnah.”
Al-Lajnah Ad-Daimah berfatwa : “Kami tidak mengetahui adanya dalil yang mensyariatkan utnuk
mencium Al-Quran, adapun Al-Quran itu diturunkan untuk dibaca, dipelajari, dan beramal
dengannya.”

23. Makruh menggantungkan ayat-ayat di dinding dan selainnya.


Telah tersebar dibanyak rumah-rumah sebagian orang menggantung atau menggambar surat-surat
atau ayat-ayat Al-Quran, baik di dinding maupun di ruangan serta di lorong-lorong rumah. Diantara
mereka ada yang menggantungnya dalam rangka mencari berkah, dan ada yang hanya sekedar
menjadikannya sebagi hiasan. Dan sebagian mereka memperindah tempat perdagangan mereka
dengan ayat-ayat yang bersesuaian dengan perdagangan. Diantara mereka juga ada yang
menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an itu pada kendaraan mereka baik dalam rangka untuk
digunakan sebagai penangkal ataupun dalam rangka mencari berkah dan sebagian mereka juga
menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an pada kendaraannya dalam rangka untuk mengingat dan
menghafal.
Al-Lajnah Ad-Daa`imah telah menyatakan sebuah fatwa yang sangat panjang tentang perkara ini,
intinya mereka menyatakan terlarang untuk menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an pada dinding
atau tembok atau pada tempat-tempat perdagangan dan lain-lainnya. Kesimpulan yang dapat
diambil dari fatwa yang panjang itu adalah sebagi berikut :
1. Bahwasannya menggantungkan ayat-ayat Al-Qur`an pada dinding atau selainnya merupakan
bentuk penyimpangan dari fungsi diturunkannya Al-Qur`an sebagai petunjuk, nasihat yang baik,
serta menjaga dengan membacanya.
2. Bahwasannya hal itu merupakan penyelisihan terhadap Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
dan Sunnah Khulafa Ar-Rasyidin.
3. Dan larangan ini dalam rangka mencegah pelakunya dari perbuatan syirik dan menjadikan
sebagai wasilah kesyirikan berupa penangkal dan jimat walaupun hal itu diambil dari al Quran.
4. Bahwasannya al Quran diturunkan untuk dibaca dan bukan untuk di ambil sebagai pencari
keuntungan dalam perdagangan.
5. Sesungguhnya dalam perbuatan ini akan menempatkan ayat-ayat Allah sebagai penguji dan
merusaknya disaat memindahkanny dari satu tempat ketempat lainnya dan lain sebagainya..
Kemudian Al-Lajnah Ad-Daa`imah berfatwa :”Secara umum, hendaklah kita menutup pintu-pintu
keburukan dan mengikuti para Imam yang telah diberi petunjuk dari generasi pertama yang mana
mereka menyaksikan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dengan kebaikan dan menyelamatkan
aqidah kaum muslimin, dan menyelamatkan seluruh hukum agama mereka dari perbuatan bid‟ah
yang tidak diketahui akhir keburukanya.

BAB 2
ADAB-ADAB SALAM

1. Diantara perkara yang disunnahkan adalah membiasakan diri untuk saling


memberi dan menyampaikan salam serta kewajiban untuk menjawabnya.
Dalil yang menunjukkan hal ini sangat banyak, sebagaiman sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
diatas. Demikian pula berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan para
sahabatnya radhiallahu „anhuma, dan dalil itu yang telah populer sudah mencukupi dari nash-nash
lainnya. Adapun menjawab salam, maka hukumnya adalah wajib. Seorang muslim diharuskan
untuk menjawab salam jika tidak maka dia akan berdosa. Dalil-dalil yang menunjukkan tentang
wajibnya menjawab salam sangat banyak. Diantaranya firman Allah : “Dan apabila kalian disalami,
maka jawablah dengan ucapan salam yang lebih baik atau balasnya dengan salam yang
semisalnya. Sesungguhnya Allah akan menghitung sgala sesuatu “ (An-Nisaa‟ :26 )

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 16


Ibnu Hazm dan Ibnu Abdil Barr serta Asy-Syaikh Taqiyudin telah mengutip ijma‟ wajibnya
menjawab salam.

Pertanyaan : Apabila seseorang memberikan kepada jama‟ah, apakah setiap orang dari jama‟ah
tersebut diwajibkan untuk menjawab salamnya atau cukup salah seorang dari mereka saja ?
Jawab : Apabila seseorang mengucapkan salam kepada jama‟ah, maka apabila setiap orang dari
jama‟ah itu menjawab, itulah yang lebih utama. Akan tetapi jika satu orang saja dari mereka yang
menjawab salam sedangkan yang lainnya diam, maka yang lainnya sudah tidak dituntut lagi.5
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, beliau berkata :”Salam seseorang dari jama‟ah sudah mewakili
jama‟ah jikalau mereka melewati lainnya dan salam salah seorang diantara semua yang duduk
sudah mewakili ”

2. Sifat salam.
a. Paling utama : Assalamua‟alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.
b. Kemudian berikutnya : Assalamua‟alaikum wa rahmatullah.
c. Dan yang selanjutnya : Assalamua‟alaykum.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu „anhu bahwasannya
seseorang melewati Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam sedangkan beliau sedang duduk dalam
majelis, maka laki-laki itu berkata :”Assalamu ‟alaikum!” Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda :”Dia telah mendapatkan sepuluh kebaikan.” Kemudian seorang laki-laki lain
berlalu sambil berkata :”Assalamu „alaikum warahmatullah” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda :”Dia telah mendapatkan dua puluh kebaikan.” Kemudian berlalu laki-laki yang lain dan
berkata :”Assalamua‟alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda :Dia telah mendapatkan tiga puluh kebaikan”.
Adapun sifat dari menjawab salam sama seperti ucapan orang yang memberikan salam atau
dengan yang lebih baik berdasarkan firman Allah Dan hendaklah menjawab salam dengan bentuk
yang plural atau yang lebih sempurna walaupun hanya kepada satu orang saja, dengan ucapan
“wa‟alaikum salam wa rahmatullahi wabarakatuh “.

Pertanyaan : Apabila seorang yang memberikan salam telah mengucapkan salam dengan
sempurna yakni sampai pada kalimat wabarakatuh, apakah disyariatkan untuk memberikan
tambahan setelahnya ketika menjawab salam untuk memenuhi zhahir ayat “Biahsani minha” –
yang lebih baik dari salam tersebut - seperti dengan menambahkan kalimat “wamagfiratuhu wa
ihsaanuhu “ serta lain sebaginya?
Jawab : Setelah kalimat wabarakatuh tidak ditmabahkan sesuatupun ketika menjawab salam
walaupun orang yang memberikan salam mengucapkannya sampai kalimat wabarakatuh. Ibnu
Abdil Barr berkata, “Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berkata, “Hentikan ucapan salam itu pada kalimat
al-barakah, sebagaimana penjelasan Allah ta‟ala tentang hamba-Nya yang shaleh. Allah berfirman:
“ Rahmat Allah dan barakah-Nya kepada kalian wahai penghuni rumah “ ( Hud : 73). Keduanya
tidak menyukai seseorang yang menambahkan ucapan salam setelah kalimat wabarakatuh.
3. Makruh hukumnya mengucapkan salam hanya dengan kalimat „Alaikas salam”
Beberapa hadits-hadist shahih yang menjelaskan tentang perkara ini diantaranya hadits yang telah
diriwayatkan oleh Jabir bin Salim Al-Hujaimiy radhiallahu „anhu. Bahwasannya ia berkata: “Saya
mendatangi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan mengucapkan „Alaika as-salam”. Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu mengatakan „Alaika As-Salam, akan tetapi
katakanlah As-salaamu „Alaika”.
Dan Abu Daud meriwayatkan dengan lafazh, “Aku mendatangi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
dan berkata, „Alaika As-Salam Wahai Rasulullah: “ Beliau bersabda: “Janganlah kamu mengatakan
„Alaika As-Salam, karena sesungguhnya „Alaika As-Salam itu untuk orang yang telah mati”.
Hadist-hadits diatas menunjukan kepada makruhnya mengucapkan salam dengan kalimat „Alaika
As-Salam”. Dan sebagian ulama merinci pembagian dalam penjelasan ini dan kami telah merasa
cukup dengan keterangan hadits yang sudah terang dan jelas.

4. Disunahkan mengulangi salam sampai tiga kali apabila salam itu disampaikan
kepada jama‟ah yang banyak, atau ketika ragu apakah mereka mendengar salamnya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 17


Diriwayatkan dari Anas radhiallahu „anhu bahwasanya Apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
berbicara, maka beliau mengulangnya sampai tiga kali, dan jika beliau mendatangi sekelompok
kaum, maka beliau mengucapkan salam sampai tiga kali”. An-Nawawi berkata: - (setelah hadits
ini) - “Perkara ini berlaku ketika jama‟ahnya sangat banyak”. Dan Ibnu Hajar menambahkan: “Yaitu
apabila disangka bahwa salam itu belum didengar, maka boleh untuk mengulangi salam dua atau
tiga kali dan tidak diperbolehkan lebih dari tiga kali”.
5. Disunnahkan untuk mengeraskan suara ketika memberi salam, begitu pula
sebaliknya.
Dan sungguh Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk tentang mengucapkan
salam dengan suara yang keras, begitu juga bagi orang yang menjawabnya. Bagi yang
mengucapkan salam dengan suara pelan tidak akan mendapatkan pahala, kecuali pada keadaan
yang dikcualikan sebagaimana akan disebutkan nantinya. Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam
kitab Al-Adab karya beliau, atsar Ibnu Umar radhiallahu „anhu. Dari jalan Tsabit bin Ubaid, dia
berkata: “Saya mendataagi sebuah majlis dan didalamnya terdapat Ibnu Umar dan ia berkata, “Jika
kamu mengucapkan salam, maka perdengarkanlah, karena sesungguhnya salam engkau akan
mendatangkan keberkahan dan kebaikan”.
Ibnul Qayyim menjelaskan: “ Bahwa diantara petunjuk Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bahwa
beliau senantiasa memperdengarkan jawaban salam kepada yang mengucapkan slaam kepada
beliau”.

Ibnu Hajar berkata: “Perintah untuk menyebarkan salam merupakan argumen bahwa salam
dengan suara lirih tidaklah cukup, melainkan disyaratkan untuk dikeraskan, sedikitnya mesti
memperdengarkan awal salam dan jawabannya dan tidak cukup hanya sebatas isyarat dengan
tangan atau selainnya.

An-Nawawi berkata: “ Minimal ucapan salam hingga dikatakan telah menunaikan Sunnah
pengucapan salam adalah dengan mengeraskan suara, sehingga yang diberi salam mendengarkan
ucapan salam tersebut. Apabila dia tidak mendengar salam tadi, maka tidaklah dikatakan telah
mengucapkan salam, dan tidak diwajibkan menjawab salam baginya. Dan sedikitnya jawaban
salam yang wajib adalah dengan mengeraskan suara hingga terdengar oleh orang yang
mengucapkan salam. Apabila dia tidak mendengarnya, maka kewajiban menjawab salam belum
terpenuhi.

6. Diantara sunnah adalah menyamaratakan salam, maksudnya adalah mengucapkan


salam kepada orang yang kita kenal maupun kepada orang yang tidak kita kenal.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan didalam Ash-Shahihain dan selainnya, dari Abdullah bin Amr
radhiallahu „anhu, bahwasannya seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam: “Apakah amalan yang paling baik didalam Islam?” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
menjawab: “Memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang dikenal maupun yang tidak
dikenal”. Hadist ini berisi anjuran untuk menyampaikan dan menyebarkan salam diantara manusia,
karena padanya terdapat kemashlahatan yang sangat besar diantaranya adanya untuk menyatukan
sesama kaum muslimin dan menentramkan hati bagi yang lainnya.
Sebaliknya jika memberikan salam hanya kepada orang orang yang tertentu saja, artinya hanya
kepada orang –orang yang dikenal. Maka perbuatan seperti ini bukan perbuatan yang terpuji
bahkan memberikan salam hanya kepada orang-orang tertentu saja merupakan tanda-tanda hari
kiamat.

Dalam musnad Imam Ahmad terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud bahwasannya
beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya diantara tanda-
tanda hari kiamat adalah jika ucapan salam disampaikan hanya terhadap orang yang dikenalnya
saja”. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan: “Seseorang mengucapkan salam kepada seseorang
lainnya, dan tidaklah ia mengucapkan salam itu kecuali hanya kepada orang yang dikenalnya saja”.
7. Disunahkan bagi yang datang mendahului mengucapkan salam.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 18


Ini adalah perkara yang sangat populer dan tersebar ditengah-tengah manusia, dan sekian banyak
nash syara‟ mendukung amalan terseut. Dimana sunnahnya mengucapkan salam adalah bagi
seseorang yang datang/mengunjungi mendahului dalam memberikan salam tanpa saling
menunggu. Dan telah lalu pembahasan tentang tiga orang yang datang kepada Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam dan berkata yang pertama: “Assalamu ‟alaikum warahmatullahi wa
barakatuh, dan yang kedua berkata: “Assalaamu ‟alaikum warahmatullah, kemudian yang ketiga
mengatakan: “Assalaamu ‟alaikum”.

An-Nawawi berkata: “Adapun apabila mendatangi beberapa orang yang sedang duduk-duduk atau
yang duduk sendiri, maka hendaklah yang mendatangi memulai salam kepada terlebih dahulu
kepada setiap orang yang didatanginya baik seorang anak yang masih kecil atau orang yang sudah
dewasa, sedikit maupun banyak.

8. Disunnahkan orang yang berkendara memberikan salam kepada orang yang


berjalan kaki, orang yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang
banyak dan yang kecil kepada yang besar.
Berkaitan dengan masalah itu, ada beberapa hadits yang shahih sebagai dalil diantaranya hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah orang yang berkendara memberi salam kepada yang
berjalan dan yang berjalan kepada yang duduk dan yang kecil kepada yang besar”. Pada riwayat
Al-Bukhari: “Hendaklah memberi salam yang kecil kepada yang besar dan yang berjalan kepada
yang duduk dan yang sedikit kepada yang banyak”.
Sebagian ulama telah menjelaskan tentang hikmah mereka didahulukan untuk mengucapkan,
ulama tersebut mengatakan, “Salamnya anak kecil kepada orang dewasa merupakan hak orang
dewasa untuk dihormati dan dimuliakan dan ini merupakan adab yang sepantasnya untuk
dijalankan. Demikian pula salamnya orang yang berada diatas kendaraan kepada orang yang
berjalan akan mengantarkan sikap tawadhu‟ pada diri seseorang yang berada diatas kendaraan dan
menjauhkannya dari kesombongan. Dan salamnya orang yang berjalan kepada orang yang sedang
duduk hukumnya disamakan dengan tuan rumah. Serta salamnya orang yang sedikit kepada orang
yang banyak adalah merupakan hak bagi mereka karena mereka memiliki hak yang besar”.
Masalah : Apakah seseorang yang menyalahi hukum tersebut mendapatkan akibat dari
perbuatannya, semisal jika yang besar mengucapkan salam kepada anak kecil, yang duduk kepada
yang berjalan, yang berjalan kepada yang berkendara, dan yang banyak kepada yang sedikit?
Jawab : Tidak ada dosa bagi orang yang menyalahi tuntunan Sunnah tersebut akan tetapi dia
telah meninggalkan yang utama. Al – Maaziri berkata: “Tidak mengharuskan seseorang yang
meninggalkan perkara yang Sunnah terjerumus pada suatu yang makruh, melainkan hanya
sebatas meninggalkan perkara yang lebih utama. Maka apabila seseorang yang dianjurkan untuk
memulai salam, namun yang lainnya mendahului, maka yang ornag yang dianjurkan memulai
slaam tersebut telah meninggalkan amalan yang Sunnah sementara orang lain yang melakukannya
telah melakukan amalan yang sunnah. Kecuali apabila ia mendahuluinya maka diapun
meninggalkan perkara yang disunahkan juga”.
Masalah lainnya : Apabila bertemu orang yang sama-sama berjalan atau yang sama-sama
berkendara, siapakah yang lebih dahulu untuk memberikan salam?
Jawab : Jika demikian keadaanya, maka hendaklah yang lebih muda memberikan salam kepada
yang lebih dewasa berdasarkan hadits yang telah lalu. Seandainya umur mereka sama, dan juga
dari sisi manapun mereka sama, maka yang lebih baik diantara mereka berdua adalah yang paling
pertama memulai salam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Yang lebih baik
dari keduanya adalah yang pertama memberikan salam”. Diriwayatkan dari hadist dua orang yang
saling memboikot satu dengan lainnya.
Dan berdasarkan hadits Jabir, beliau berkata: “Jika bergabung (bertemu) dua orang yang sedang
berjalan, maka yang pertama memulai salam adalah yang paling utama”.

Masalah ketiga : Apabila bertemu dua orang yang sedang berjalan kemudian ada yang
menghalanginya seperti pohon atau pagar dan yang lainnya, apakah disyariatkan bagi mereka
untuk mengucapkan salam jika bertemu lagi?

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 19


Jawab : Ya, disyariatkan bagi mereka untuk saling mengucapkan salam walaupun mereka bertemu
berulang kali, setelah tidak ada yang menghalangi.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallaahu „anhu, bahwasannya dia berkata: “Apabila
seorang dari kalian bertemu saudaranya maka ucapkanlah salam kepadanya, apabila ada
penghalang diantara mereka seperti, pohon atau pagar atau batu, kemudian mereka bertemu lagi
maka hendaklah mereka saling memberikan salam.”

9. Mengucapkan salam kepada wanita yang bukan mahram atau wanita asing.
Sebagian ulama melarang seorang laki-laki memberikan salam kepada wanita asing dan sebagian
membolehkannya jika dipercaya aman dari fitnah.
Sebagian ulama memberikan penjelasan lebih rinci berkaitan dengan perkara ini: Apabila wanita
asing tersebut adalah seorang wanita muda dan cantik maka ini tidak diperbolehkan, akan tetapi
jika kepada wanita yang sudah tua maka itu diperbolehkan.
Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Shaleh berkata, “Saya bertanya kepada
ayahku: “Bolehkan memberikan salam kepada perempuan?”, maka beliau menjawab: “Adapun jika
ia seorang wanita yang tua, maka itu dibolehkan dan jika ia seorang pemudi maka janganlah kamu
berbicara dengannya”.
Ibnul Qayyim memberi klarifikasi seputar permasalahan ini, yaitu memberi salam kepada wanita
yang telah tua, wanita-wanita mahram dan selain mereka dan inilah pendapat yang terpilih.
Sementara alasan larangan sudah jelas, yaitu untuk menutupi jalan-jalan yang akan mengarahkan
kepada perbuatan maksiat dan dikhawatirkan terjadinya fitnah”. Sedangkan yang diriwayatkan dari
sahabat semuanya terindikasi aman dari fitnah.
Misalnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hazm dari bapaknya dari Sahl dia berkata, “
… adalah seorang wanita yang mengirimkan barang dagangannya – korma di Madinah -, maka dia
membawa umbi-umbian dan menaruhnya disebuah bejana dan mengumpulkan biji-bijian dari
gandum. Apabila kami telah selesai mengerjakan shalat jum‟at maka kami berpaling pulang dan
mengucapkan salam kepadanya. Dan wanita tersebut menyodorkan kepada kami – diantara barang
dagangannya - dan kamipun senang dengan hal itu lalu kami tidaklah tidur siang dan makan siang
kecuali shalat Jum‟at”.
10. Disunnahkan memberi salam kepada anak-anak kecil.
Hal ini dalam rangka mengajari dan melatih mereka sejak dini tentang adab-adab syar‟i, dan yang
melakukannya telah meneladani Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiallahu „anhu
telah mengabarkan kepada kami, beliau mengatakan: “Aku berjalan bersama Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam dan kami melewati anak-anak yang sedang bermain kemudian beliau
mengucapkan salam kepada mereka”.
Ucapan salam kepada anak kecil akan menuntun jiwa seseorang kepada sifat tawadhu‟ dan
kelembutan dalam menghadapi anak-anak.
Masalah : Apabila seorang yang telah baligh (dewasa) mengucapkan salam kepada anak kecil atau
sebaliknya apakah hukumnya wajib untuk menjawab salam?
Jawab : Apabila seorang laki-laki dewasa memberikan salam kepada anak-anak, maka bukan
suatu kewajiban bagi anak-anak untuk menjawab salamnya dikarenakan anak kecil bukan orang
yang terkena kewajiban. Berbeda jika seorang anak kecil memberi salam kepada seorang yang
baligh, maka wajib bagi orang yang telah dewasa untuk menjawab salam dari anak yang masih
kecil dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
11. Memberikan salam kepada orang yang terjaga dan disekitarnya ada orang yang
sedang tidur.
Hendaknya orang yang memberikan salam untuk merendahkan suaranya sebatas untuk didengar
oleh yang terjaga dan tidak sampai membengunkan orang yang sedang tidur. Hal ini berdasarkan
hadits Miqdad bin Al-Aswad radhiallahu „anhu dan pada hadits tersebut, beliau berkata: “ … Setelah
kami memerah susu dan setiap orang dari kami meminum bagian mereka masing-masing dan kami
memberikan bagian Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam . Beliau – Miqdad –berkata: “Lalu beliau
datang diwaktu malam dan mengucapkan salam tanpa membangunkan yang sedang tidur dan
hendaklah memperdengarkan salamnya kepada yang tidak tidur …”
Pada hadits ini terdapat adab Nabawiyah yang sangat tinggi dimana beliau memperhatikan
keadaan orang yang sedang tidur agar tidak terganggu tidurnya dan pada saat yang bersamaan
beliau juga tidak melewatkan keutamaan salam !.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 20


12. Dilarang mengucapakan salam kepada ahli Kitab.
Kita telah dilarang melalui lisan Nabi kita Shallallahu „alaihi wa sallam telah untuk memulai
mengucapkan salam kepada kepada ahli kitab, beliau bersabda: “Janganlah kalian memulai
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani apabila kalian bertemu dengan salah seorang
diantara mereka dijalanan maka desaklah dia kebagian jalan yang lebih sempit”. Setelah larangan
yang jelas ini tidak seorangpun diperkenankan memberi komentar.
Masalah : Apabila kita membutuhkan mereka apakah diperbolehkan memberikan salam kepada
Ahli Kitab ?
Jawab : Hadis diatas telah jelas menunjukkan larangan mengucapkan salam kepada mereka, akan
tetapi jika hal itu sangat dibutuhkan maka hendaklah menyapa mereka selain dengan ucapan
salam, mungkin dengan mengucapkan selamat pagi, selamat sore dan lainnya. Ibnu Muflih
mengatakan Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “Apabila dia menyapanya dengan selain ucapan
salam yang membuat mereka senang, maka ini tidaklah mengapa.
An-Nawawi berkata, “Abu Said – Yakni Al-Mutawalli – berkata: “Apabila seseorang berkeinginan
untuk mengucapkan salam kepada seorang kafir dzimmi, dia boleh melakukannya selain ucapan
salam, dapat dilakukannya dengan mengatakan : Hadaakallah – semoga Allah memberimu
petunjuk – atau An‟amallahu shabaahaka - semoga Allah memberikan kenikmatan kepadamu
dipagi hari ini -. Saya berkata ( An-Nawawi ): “Pendapat yangdiutarakan oleh Abu Said tidak
mengapa baginya jika diperlukan, dengan mengatakan: - shubihta bil-khair -semoga pagi anda
baik, atau – as-sa‟adah - pagi yang tenang atau – al-„afiyah - dengan kesehatan atau – as-surur-
semoga Allah menggembirakan kamu pada pagi ini atau mengatakan semoga Allah memberikan
kesenangan dan nikmat padamu pada pagi hari ini atau dengan mengatakan yang lainnya yang
semisal dengan ini.
Adapun jika tidak diperlukan, pendapat yang terpilih untuk tidak mengucapkan sesuatu kepadanya.
Karena hal itu akan membuat ia senang dan menampakkan sikap persahabatan, sedangkan kita
diperintahkan untuk bersikap dan berbicara tegas kepada mereka dan melarang kita untuk bergaul
dan menampakkannya. Wallahu a‟lam.

13. Menjawab salam kepada ahli Kitab dengan mengucapkan Wa‟alaikum


Diterangkan pada hadits Anas bin Malik radhiallahu „anhu bahwa Rasululllah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “Apabila seorang ahli kitab memberikan salam kepadamu maka jawablah dengan
mengatakan wa‟alaikum”.
Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita tentang tata cara menjawab salam yang
disampaikan oleh Ahli kitab yakni dengan mengatakan Wa‟alaikum”.
Masalah : Apabila kita mendengar ahlil kitab mengucapkan salam kepada kita dengan mengatakan
“Assalamu ‟alaikum, dengan lafazh yang jelas apakah kita harus menjawab dengan ucapan, “Wa
‟alaikum, untuk mengamalkan hadits ini atau dengan mengatakan Wa ‟alaikum salam?
Jawab : Sebagian ulama berpendapat apabila kita telah memastikan lafazh salam tersebut dan
tidak diragukan lagi, maka sepatutnya bagi kita untuk menjawab salam tersebut. Mereka
berpendapat: Inilah makna sebenarnya dari keadilan, sedangkan Allah memerintahkan kita untuk
berbuat adil dan melakukan perbuatan terpuji. Sedangkan menurut pendapat ulama yang lain, dan
ini pendapat yang terpilih, bahwasannya, hendaklah kita menjawab salam ahlu Kitab dengan
mengamalkan hadits shahih dan yang jelas dengan jawaban: wa‟alaikum.
14. Bolehnya memberi salam kepada sebuah majlis yang bercampur antara kaum
muslimin dan kaum kafir.
Pembolehan ini dapat disadur dari perbuantan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam . Al-Bukhari dan
Muslim dan selainnya meriwayatkan: “bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam suatu saat
menunggangi seekor keledai dengan pelana yang terbuat dari beludru. Dan beliau membonceng
dibelakang beliau Usamah bin Zaid. Saat itu beliau hendak menjenguk Sa‟d bin „Ubadah di Bani al-
Haarits bin Al-Khazraj – dan kejadian tersebut sebelum perang Badar-. Hingga beliau melintasi
sebuah majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum musyrikin para penyembah
berhala dan juga kaum Yahudi. Dan diantara mereka terdapat Abdullah bin Ubay bin Salul. Dan
pada majlis tersebut juga terdapat Abdullah bin Rawahah. Dan ketika majlis tersebut terkena
semburan debu, Abdullah bin Ubay menutup hidungnya dengan pakaian jubahnya, kemudian dia
berkata : Janganlah kalian menyebabkan kami berdebu. Lalu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
turun kehadapan mereka dan mengjaak mereka untuk beribadah hanya kepada Allah dan
membacakan Al-Qur`an kepada mereka ... al-hadits “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 21


Memulai salam kepada sekumpulan kaum yang terdapat didalamnya kaum muslimin dan kaum
kafir, disepakati pembolehnnya. Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi40. Hadits ini tidaklah
bertentangan dengan hadits yang melarang memulai salam kepada Ahli Kitab . Karena hadits itu
berkaitan apabila yang diberi salam adalah kafir dzimmi atau kepada sekumpula Ahli Kitab. Adapun
disini, majlis tersebut terdapat kaum msulimin, olehnya itu diperbolehkan pengucapan salam
kepada suatu majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum musyrikin dengan niat
salam tersebut hanya kepada kaum muslimin.
Ditanyakan kepada Imam Ahmad rahimahullah : Kami bermualah dengan kaum Yahudi dan
Nashrani dan kami juga mendatangi kediaman mereka dan disekeliling mereka terdapat kaum
muslimin, bolehkah kami mengucapkan salam kepada fmereka ? Beliau menjawab: Boleh, dan
anda meniatkan salam tersebut hanya kepada kaum muslimin. An-nawawi mengatakan: “Apabila
seseorang melewati skeumpulan orang yang berbaur antara kaum muslimin datau seorang muslim
dan kafir , maka sunnahnya adalah mengucapkan salam kepada mereka dan meniatkan salam
tersebut kepada kaum muslimin atau muslim tersebut.”
Masalah : Apakah ketika memberi salam kepada sekelompok orang yang bercampur padanya
muslim dan kafir dengan mengucapkan: „Assalamu‟ala man ittaba‟al huda” - keselamatan bagi yang
mengikuti petunjuk -?
Jawab : “Tidak boleh mengatakans demikian kepada sekumpulan orang yang didalamnya terdapat
kaum muslimin dan kafir , akan tertapi ucapkanlah salam kepada mereka dengan meniatkan salam
tersebut untuk kaum muslimin sebagaimana penjelasan di atas. Semakna dengan penjelasan ini,
sebagaimana yang dikatakan Ibnu Utsaimin :”Apabila kaum Muslimin dan Nashrani berkumpul,
hendaklah mengucapkan salam “Assalamu ‟alaikum” dengan maksud untuk kaum musliminnya.
15. Boleh memberikan salam dengan isyarat karena udzur.
Pada asalnya memberikan salam dengan isyarat adalah terlarang, dikarenakan hal itu termasuk
kebiasaan dari ahlul kitab. Sedangkan kita telah diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan tidak
bertasyabuh – menyerupaidengan mereka.

At-Tirmidzi telah mengeluarkan sebuah riwayat hadits tentang larangan memberi salam hanya
dengan isyarat, karena itu merupakan syiar dari ahlul Kitab. At-Tirmidzi menghukumi hadits ini
sebagai hadits yang gharib.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata pula tentang hadits ini, pada sanadnya terdapat kelemahan, akan
tetapi an-Nasaa`i meriwayat sebuah hadits dengan sanad yang jayyid dari Jabir secara marfu‟ :
“Janganlah kalian memberikan salam dengan caranya orang Yahudi, dikarenakan salam mereka
dengan isyarat kepala dan telapak tangan serta dengan isyarat”.
Namun hadits ini terbantahkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asma‟ binti Yaziid,
beliau berkata: “Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melambaikan tangannya kepada wanita sambil
menyampaikan salam”.
Akan tetapi hadits ini dipahami bahwa lambaian tangan beliau sambil pengucapan salam. An-
Nawawi mengatakan, setelah menyebutkan hadits At-Tirmidzi: “Hadits ini kemungkinannya, bahwa
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menyatukan antara lafazh salam dengan isyarat beliau dengan
tangan.
Dan yang menguatkan hal ini , riwayat Abu Ad-Darda` pada hadits ini, dan Al-Hafidz mengatakan :
“Larangan mengucapkan salam dengan memakai isyarat berlaku kusus bagi yang mampu untuk
melafazhkan salam secara indera dan syara‟. Jika tidak maka mengucapkan salam dengan isyarat
disyariatkan bagi seseorang yang sibuk dengan suatu kesibukan yang menghalanginya dari
pengucapan lafazh jawaban salam, seperti seorang yang tengah shalat, seorang yang jauh ataukah
seseorang yang busi demikian pula bagi seseorang yang tuli “
16. Bolehnya mengucapkan salam kepada seseorang yang sedang shalat dan
bolehnya menjawab – bagi yang shalat – dengan isyarat.
Suatu yang diperbolehkan diantaranya mengucapkan salam kepada seseorang yang sedang shalat.
Hal ini shahih dari pembenaran Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bagi para sahabat beliau. Dimana
mereka – para sahabat – mengucapkan salam kepada beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
sementara beliau sedang mengerjakan shalat, dan beliau tidak mengingkari hal itu. Pembenaran
beliau ini menunjukkan bolehnya amalan tersebut.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 22


Diantaranya pada hadits Habi radhiallahu „anhu, beliau berkata: “ Rasulullah sekali waktu
menyuruhku untuk suatu keperluan, lalu ketika saya kembali, saya menjumpai beliau tengah
beribadah – Qutaibah –yaitu Ibnu Sa‟id, – mengatakan: Sedang shalat -, lalu saya mengucapkan
salam kepada beliau. Dan beliau memberi isyaratkan kepadaku. Setelah beliau menyelesaikan
shalatnya beliau memanggilku dan mengatakan: “ Sesungguhnya engkau memberi salam kepadaku
namun saya tengah dalam keadaan shalat “. Dan beliau waktu itu menghadap kearah timur.
Hadits lainnya: Hadits Shuhaib, beliau mengatakan: “ Saya melewati Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam, disaat beliau sedang mengerjakan shalat, maka saya mengucapkan salam kepada
beliau, dan beliau membalas salamku dengan isyarat. Beliau berkata: Saya tidak mengetahui
kecuali beliau mengisyaratkan hanya dengan jari beliau.

Hadits-hadits ini dan juga hadits lainnya menunjukkan bolehnya mengucapkan salam kepada
seseorang yang tengah mengerjakan shalat, dan dia membalasnya hanya dengan isyarat.

Pertanyaan : Bagaimana sifat/cara menjawab salam ketika dalam shalat?


Jawab : Tidak ada pembatasan cara dan sifat ketika kita menjawab salam dengan isyarat ketika
dalam shalat. Apabila kita kembalikan kepada perbuatan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam,
maka caranya bermacam-macam, terkadang beliau berisyarat dengan jari berdasarkan hadits dari
Suhaib yang telah lalu. Terkadang juga beliau berisyarat dengan tangannya sebagaimana hadist
Jabir. Terkadang juga beliau berisyarat dengan telapak tangan sebagaimana hadist dari Abdullah
bin Umar, dimana beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam keluar untuk pergi ke
Masjid Quba‟ kemudian beliau shalat didalamnya, lalu datanglah beberapa orang dari kalangan
Anshar dan mengucapkan salam kepada beliau, lalu aku berkata kepada Bilal, “Bagaimana cara
Rasulullah menjawab salam mereka sedangkan beliau sedang shalat? Bilal menjawab: “Beliau
mengatakan begini, dan beliau meluruskan telapak tangannya. Kemudian Ja‟far bin Aun
meluruskan telapak tangannya dan menjadikan telapak tangan berada dibawah dan punggung
tangan berada diatas”.
Didalam „Aun Al-Ma‟bud disebutkan: “Ketahuilah bahwa menjawab salam dengan isyarat pada
hadits ini adalah dengan cara telapak tangan, sedangkan dari hadits Jabir dengan tangan, dari
pada hadits Ibnu Umar dari Suhaib dengan jari telunjuk. Dan didalam hadits Ibnu Mas‟ud yang
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, dengan lafazh bahwa beliau menganggukkan kepalanya, dan dalam
riwayat lain dengan menolak mempergunakan kepalanya.
Riwayat-riwayat ini jika diselaraskan, menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
sesekali mengamalkan yang ini dan sekali waktu dengan yang lainnya, sehingga semua amalan itu
diperbolehkan. Wallahu a‟lam.

17. Boleh memberi salam kepada orang yang sedang membaca Al-Qur`an dan
wajib untuk menjawabnya.
Memberi salam kepada orang yang sedang disibukan dengan membaca Al-Qur`an sebagian ulama
melarangnya dan sebagian yang lain membolehkannya. Yang benar adalah pendapat yang
membolehkannya. Karena tidak ada dalil yang dapat mengeluarkan seseorang yang sedang
membaca Al-Qur`an dari keumuman nash-nash syara‟ yang menganjurkan untuk menyebar salam
dan yang menunjukkan wajibnya membalas salam.
Seseorang yang sedang menyibukkan dirinya dengan dzikir yang paling tinggi nilainya yakni
membaca Al-Qur`an, buka penghalang baginya untuk tidak diberi salam dan wajibnya membalas
salam tersebut juga tetap wajib baginya.
Al-Lajnah Ad-Daimah menyatakan dalam salah satu fatwa pada sebuah pertanyaan : Bolehnya
seorang yangmembaca Al-Qur`an untuk memulai salam dan wajib baginya untuk menjawab salam.
Dikarenakan tidak ada satupun dalil syar‟I yang shahih yang melarang hal itu. Dan hukum asalnya
adalah wajibnya membalas salam kepada seseorang yang mengucapkan salam hingga ada dalil
yangmengkhususkan hal itu.

18. Makruh mengucapkan salam kepada orang yang sedang berada dalam WC.
Dalil yang menunjukkan larangan ini adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar
radhiallahu „anhu, bahwasannya seorang melalui Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam,
sedangkan beliau sedang kencing, lalu orang tersebut mengucapkan salam kepada beliau dan
beliau tidak menjawabnya”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 23


Berdasarkan dalil ini ulama telah bersepakat atas makruhnya menjawab salam bagi orang yang
sedang berada dalam wc, baik sedang kencing atau sedang menunaikan hajat (buang air). Dan
disukai bagi orang yang diberikan salam sementara dia masih berada di wc untuk terus
menyelesaikan hajatnya dan menjawab salam tersebut setelah berwudhu`sebagai bentuk
keteladanan terhadap Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam. Al-Muhajir bin Qunfudz radhiallahu
„anhu meriwayatkan bahwa beliau mendatangi Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, sedangkan
beliau sedang kencing, kemudian dia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam, akan tetapi Rasulullah tidak menjawab salamnya sampai beliau berwudhu`, lalu beliau
meminta udzur kepadanya, dan mengatakan : “Sesungguhnya aku tidak suka untuk berzikir
kepada Allah „azza wajalla kecuali dalam keadaan suci”. Atau beliau mengatakan, “kecuali dengan
bersuci”.
19. Disunnahkan mengucapkan salam ketika masuk kedalam rumah.
Apabila rumah dalam keadaan kosong, sebagian ulama dari generasi sahabat dan selainnya
berpendapat sunnahnya seseorang mengucapkan salam kepada dirinya sendiri jikalau rumah
tersebut dalam keadaan kosong.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata: “Apabila seseorang
masuk kerumah yang tidak ditinggali, hendaklah ia mengucapkan: “Assalaamu‟alaina wa „ala
ibaadillahi shaalihin”.
Diriwayatkan dalil yang serupa dengan hadits diatas dari Mujahid dan selain keduanya.
Ibnu Hajar berkata: “ Termasuk kedalam keumuman hadits yang mengajurkan untuk menyebarkan
salam adalah mengucapkan salam kepada dirinya sendiri ketika ia masuk kedalam rumahnya yang
tidak ada seorangpun didalamnya. Berdasarkan firman Allah ta‟ala :

‫َحاف َحِبس ُسك‬


‫فَحَحِبإذَح َحد َحخلتُس ُسيُسوت فَح َحسلِّ ُس وْب َحلَح ٰى أ ُس‬
“Dan apabila kalian masuk kedalam rumah, maka ucapkanlah salam kepada diri kalian“ ( An-
Nuur :61)

Begitu juga jika ia masuk kedalam rumahnya yang tidak ada orang lain didalam rumah kecuali
keluarganya, maka disunnahkan bagi anda untuk mengucapkan salam kepada mereka juga.
Diriwayatkan dari Abi Az-Zubair bahwa ia mendengar Jabir berkata, “Jika seseorang masuk
kedalam rumahnya, hendalklah ia mengucapkan salam kepada keluarganya untuk mengaharap
keberkahan dan kebaikan dari sisi Allah ta‟ala”.
Mengucapkan salam ketika masuk kerumah ini bukanlah merupakan kewajiban. Ibnu Juraij
berkata, “Aku berkata kepada Atha‟, “Apakah wajib mengucapkan salam ketika masuk atau keluar
rumah?” Beliau menjawab, “Tidak, karena tidak satupun atsar yang menyebutkan tentang wajib
ucapan salam tersebut, akan tetapi disukai jika dilakukan dan hendaklah tidak melupakannya”.
Demikianlah bahwa tidak ada dalil tentang hal itu, akan tetapi untuk mencari keutamaan,
sepantasnyalah bagi seorang muslim yang telah mengetahui keutamaanya untuk melakukannya.
Dan diantara keutamaannya adalah tercantum pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah
radhiallahu „anhu, beliau berkata: “Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Tiga orang yang
seluruhnya dijamin oleh Allah hidupnnya dan jika mati dijamin oleh Allah masuk surga, yaitu orang
yang jika masuk kedalam rumah dengan mengucapkan salam, maka Allah ta‟ala menjamin orang
tersebut. Dan barang siapa yang keluar untuk pergi ke masjid maka Allah t‟aala menjamin orang
tersebut. Dan seseorang yang keluar dijalan Allah, maka Allah menjamin orang tersebut”.
20. Menjawab salam kepada orang yang mengirimkan salam kepadanya dan kepada
yang dititipi salam.
Perkara ini telah diterangkan didalam As-Sunnah. Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya Ayahku menitipkan salam kepada anda “, maka
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ ‟Alaika dan „ala Abiika as-salam”.
Dan pada hadits „Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu „anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Jibril menitipkan salam kepadamu” Aku berkata,
“Wa‟alaihis-salam warahmatullah”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 24


Dan pada hadits yang lain juga dikatakan bahwa Jibril menitipkan salam kepada Khadijah. Al-Hafidz
berkata: “Sesungguhnya ketika Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menyampaikan salam Allah
kepada nya melalui Jibril maka Khadijah berkata : “ Innallaha Huwa As-Salam wa Minhu As-Salam
wa „Alaika as-salam wa „ala Jibril as-salam”.
Walhasil dari kesemua hadits-hadits ini, dapat diambil kesimpulan bahwa menjawab salam kepada
orang yang menitipkannya bukanlah merupakan sebuah kewajiban akan tetapi hanya sebuah
perkara yang disukai.
Ibnu Hajar berkata: “Saya tidak melihat pada hadits „Aisyah, bahwasannya beliau membalas salam
kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, maka hal itu bukan merupakan perkara yang wajib”.
Faedah : Ibnu Abdil Barr berkata: “Berkata seseorang kepada Abi Dzar: “Fulan
menyampaikan/menitipkan salam kepadamu” Maka Abu Dzar menjawab: “Salam itu adalah sebuah
hadiah yang baik dan yang ringan untuk dipikul”.

21. Mendahulukan shalat tahiyyat al-masjid sebelum mengucapkan salam ketika


seseorang masuk kedalam masjid.
Seseorang yang masuk kemasjid, disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah tahiyyat al-masjid
terlebih dahulu sebelum mengucapkan salam kepada orang yang berada didalam masjid. Pada
hadits sahabat yang keliru dalam pengerjaan shalatnya, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiallahu „anhu, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid kemudian
seseorang masuk kedalam masjid lalu mengerjakan shalat, kemudian dia mendatangi Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam dan mengucapkan salam kepadanya, maka Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: “Kembalilah, dan shalatlah ! sesungguhnya
kamu belum melaksanakan shalat (sampai tiga kali)…al-hadits “.
Ibnul Qayyim Al-Jauzi berkata: “Dan diantara petunjuk Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam adalah
orang yang masuk kedalam Masjid dan dia langsung melaksanakan shalat dua rakaat tahiyyat al-
masjid, kemudian dia mendatangi orang-orang yang ada dimasjid lalu mengucapkan salam kepada
mereka.
Dengan demikian shalat tahiyyat al-masjid didahulukan dari pada mengucapkan salam kepada
orang yang ada dalam masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyat almasjid adalah hak Allah ta‟ala
sedangkan mengucapkan salam kepada orangorang itu adalah hak mereka, hak Allah dalam
keadaan yang seperti ini lebih berhak untuk didahulukan, kemudian beliau mengutip hadist sahabat
yang keliru dalam shalatnya sebagai dalil atas ulasan beliau.

Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan: “Rasulullah mengingkari shalatnya namun beliau tidak
mengingkari salamnya yang diakhirkan setelah melaksanakan shalat tahiyyat al-masjid”.
Saya berkata: “Ini adalah ketentuan bagi orang yang masuk kemasjid dan di dalamnya ada
sekelompok orang yang sedang duduk-duduk atau ada halaqah ilmu atau selainnya. Maka yang
disunahkan baginya adalah mendahulukan dua rakaat shalat tahiyyat al-masjid, kemudian setelah
selesai shalat barulah ia mendatangi mereka dan menyampaikan salam kepada mereka. Adapun
jika masuk masjid sementara orang-orang tersebut masih melakukan shalat, hendaklah dia
memberikan salam kepada mereka terlebih dahulu baru melaksanakan shalat tahiyyat al-masjid
atau melakukan apa yang telah ditetapkan padanya. Wallahu a‟lam.
22. Makruh mengucapkan salam ketika mendengarkan khutbah jum‟at.
Dalil dari masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhialallahu „anhu
bahwasannya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Jika kamu mengatakan kepada
temanmu pada hari Jum‟at, “Diamlah!” sementara imam masih menyampaikan khutbahnya maka
kamu telah lalai”.
Berdasarkan hal ini maka tidak disyariatkan memberikan salam kepada siapapun ketika khatib
masih menyampaikan khutbah, demikianlah yang telah diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam yakni agar semua makmum diam ketika sedang mendengarkan khutbah imam
pada hari Juma‟at.

Masalah : “Apabila seseorang masuk ke masjid pada hari jum‟at kemudian mengucapkan salam
kepada jama‟ah yang ada didalamnya, apakah wajib bagi makmum yang berada didalam untuk
menjawab salam tersebut?

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 25


Jawab : Al-Lajnah Ad-Daa`imah menyatakan: “Tidak diperbolehkan bagi siapa saja ketika masuk
masjid untuk mengucapkan salam pada hari Jum‟at sedangkan imam sedang menyampaikan
khutbah, dan bagi yang berada didalam masjid tidak diperbolehkan menjawab salam disaat imam
khuthbah. Akan tetapi jikalau dia memjawabnya dengan isyarat maka hal tersebut diperbolehkan”
Masalah : Apakah yang harus dilakukan seorang makmun seseorang yang berada di sampingnya
mengucapkan salam kepadanya dan menyalaminya disaat imam sedang khuthbah?

Jawab : Al-Lajnah Ad-Daa`imah menyatakan: “Berjabatan tangan saja tanpa berbicara. Kemudian
menjawab salam ketika imam istirahat/selesai khutbah pertama. Apabila dia mengucapkan salam
sementara imam sedang khuthbah yang kedua, maka anda menjawab salamnya setelah khathib
menyelesaikan khuthbah yang kedua”.

23. Mendahulukan salam sebelum berbicara.


Adapun para As-Salaf Ash-Shaleh jika mereka saling bertemu, maka mereka mendahulukan salam
sebelum bicara dan saling bertanya tentang keadaan mereka dan kebutuhan mereka. An-Nawawi
berkata, “Yang termasuk Sunnah, jika seorang muslim mengucapkan salam sebelum dia berbicara.
Hadist hadits yang shahih serta amalan ulama Salaf dan ulama kontemporer sudah demikian
populernya menyepakati hal itu. Inilah pendapat yang dijadikan acuan dalam pasal pembahasan
ini. Adapun hadits, sebagaimana yang telah kami riwayatkan didalam kitab At-Tirmidzi dari Jabir
radhiallahu „anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Ucapkan
salam sebelum berbicara”. Akan tetapi hadits ini dha‟if. At-Tirmidzi mengatakan: “ Hadits ini hadits
munkar”.
24. Salam kepada pelaku maksiat dan pelaku bid‟ah
Adapun pelaku maksiat, maka hendaklah mengucapkan salam kepada mereka dan menjawab
salamnya ketika mereka mengucapkan salam kepada kita. An-Nawawi berkata: “ Ketahuilah
bahwasannya seorang muslim yang tidak terkenal sebagai pelaku kefasikan dan bid‟ah, maka
hendaklah mengucapkan salam kepadanya dan wajib menjawab salamnya.
Akan tetapi jika dia telah dikenali sebagai seorang pelaku maksiat dan kefasikan serta pelaku
bid‟ah, apakah akan dikatakan untuk meninggalkan ucapan salam kepadanya ?
Maka kita jawab: “Apabila hal itu akan memberikan mashlahat kepada pelaku maksiat tersebut
yaitu dia akan meninggalkan kemaksiatan, apabila tidak diberi salam ataukah dengan tidak
menjawab salamnya. Apabila hal tersebut untuk suatu kemashlahatan maka salam dapat
ditinggalkan dan tidak diucapkan kepadanya agar sipelaku maksiat berhenti dari perbuatannya.
Adapun jikalau yang terjadi sebaliknya, dan besar kemungkinan dalam persepsi kita, bahwa
kemasiatannya akan bertambah, maka kita tidak mengapa mengucapkan salam kepadanya dan
menjawab salamnya untuk meminimalisir mafsadat. Karena tidak ada mashalat yang tercapai. Dan
masalah ini dasarnya kembali kepada masalah pemboikotan – yaitu kepada pelaku maksiat dan
bid‟ah , pent - Sedangkan kepada pelaku bid‟ah. Sesungguhnya bid‟ah sendiri terbagi menjadi dua
bagian. Ada bid‟ah mukafirrah (yang menyebabkan pelakunya kafir) dan yang tidak menyebabkan
pelakunya kafir. Maka bagi pelaku bid‟ah mukaffirah, tidak diperbolehkan mengucapkan salam
kepadanya dalam keadaan apapun. Dan bagi pelaku bid‟ah yang atidak menyebabkan pelakunya
kafir, maka hukumnya serupa dengan hukum bagi pelaku maksiat sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas.
Kami akan menyadur perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin „Utsaimin tentang masalah
pemboikotan terhadap pelaku bid‟ah. Penjelasan beliau ditujukan kepada masalah yang berkaitan
dengan mengucapkan salam kepada pelaku bid‟ah. Namun masalah tersebut tidak ada
perbedaannya, karena masalah pemboikotan juga mencakup peninggalan ucapan salam dan
menjawabnya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 26


Asy-Syaikh berkata: “Adapun memboikot mereka (pelaku bid‟ah) , maka itu tergantung kepada
kebid‟ahannya, jika bid‟ahnya itu mukaffirah, maka wajib untuk memboikotnya. Akan tetapi jika
bukan merupakan bid‟ah mukaffirah maka pemboikotan terhadapnya bergantung terhadap
mashlahat yang tercapai, jika ada maka kita melakukannya dan jika tidak terdapat mashalahat
dalam pemboikotan tersebut maka kita meninggalkannya. Hal tersebut dikarenakan asal pada
seorang mukmin adalah pengharaman dalam memboikotnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam : “Tidak halal bagi seorang mukmin untuk tidak menegur saudaranya lebih dari
tiga hari”.

Dalil maslaah ini adalah hadits Ka‟ab bin Malik radhialahu „anhu yang sangat panjang ketika beliau
menyelisihi tidak ikut berjihad bersama Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan taubat beliau
kepada Allah. Pada hadits tersebut Ka‟ab berkata: “Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah
melarang kaum muslimin untuk berbicara kepada salah seorang dari tiga orang yang telah
menyelisihi beliau, maka orang-orang pun meninggalkan kami dan mereka berubah sikap mereka
kepada kami. Sehingga bumi ini terasa sempit bagi kami, tidaklah sebagaimana yang telah saya
ketahui. Kamipun berada dalam keadaan demikian selama lima puluh malam. Adapun kedua
temanku, keduanya berdiam diri dan duduk dirumah mereka berdua menangis.
Sedangkan saya, saya adalah yang paling muda dan paling gigih diantara mereka. Sayapun
menghadiri shalat bersama kaum muslimin, dan berada dipasar, namun tidak seorangpun yang
menyapaku. Dan saya mendatangi Rasululah Shallallahu „alaihi wa sallam dan mengucapkan salam
kepada beliau, sementara beliau masih berada ditempat duduk beliau selepas mengerjakan shalat.
Maka saya bertanya kepada diriku: Apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya menjawab
salamku atau tidak ?
25. Disunnahkan untuk mengucapkan salam ketika bubar dari majelis.
Sebagaimana disunnahkannya mengucapkan salam ketika hendak mendatangi suatu majlis maka
begitu pula disunnahkan untuk menyampaikan salam ketika hendak meninggalkan majlis.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu berkata: “Jika seseorang mendatangi majlis,
maka hendaklah ia mengucapkan salam ketika hendak berdiri maka hendaknya dia mengucapkan
salam. Dan salam yang pertama tidaklah lebih utama dari salam yang terakhir “

BAB 3
ADAB-ADAB MEMINTA IZIN
Allah ta‟ala berfirman :
‫َحِب‬ ‫َحِب‬ ‫َحِب‬ ‫َّل َحِب‬
‫ين ءَح َحمنُسوْب َح تَح ُسخلُسوْب ُسيُسوتً َح َحري ُسيُسوت ُسك َحح َّل َّٰت تَحستَحأا ُسسوْب َح تُس َحسلِّ ُس وْب َحلَح ٰى أَحىل َح‬
‫ٰيَحأَحيُّد َح ٱاذ َح‬
“ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk kedalam rumah selain rumah kalian
hingga kalian meminta izin “( An-Nuur :27)
Allah ta‟ala berfirman :

‫ين َحَل يَح لُسغُسوْب ٱحلُسلُس َح َحِبم ُس‬ ‫َّل َحِب‬ ‫ست َحِبذ ُس َّل َحِب‬ ‫َحِب‬ ‫َّل َحِب‬
‫نك‬ ‫ين َحملَح َحكت أَحيَٰحنُس ُسك َحٱاذ َح‬
‫اك ُس ٱاذ َح‬ ‫ين ءَح َحمنُسوْب ايَح َٔح‬
‫ٰيَحأَحيُّد َح ٱاذ َح‬
“ Wahai orang-orang yang beriman, hendaknya para budak kalian dan juga anak-anak yang belum
baligh meminta izin kepada kalian “( An-Nuur : 58)

Allah ta‟ala berfirman :

‫ستَح َحِبذاُسوْب‬ ‫َحطف ُسل َحِبم ُس‬


ٔ ‫نك ُس ٱحلُسلُس َح فَحليَح‬ ‫َح َحِب َحذ َحلَح َحغ ٱأل َٰح‬
“ Dan apabila anak-anak kalian telah baligh hendaknya mereka meminta izin “( An-Nuur : 59)
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya meminta izin itu agar menjaga
pandangan” Muttafaq „alaihi

Diantara adab-adab meminta izin :


1. Disunnahkan untuk mendahuluinya dengan salam sebelum meminta izin.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 27


Dari Kaldah bin Hanbal, dia berkata : Sesungguhnya Shafwan bin Umayyah, mengutusnya
menjumpai Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dengan membawa susu, beberapa za‟faran dan
anak rubah. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam saat itu berada didataran tinggi Makkah, lalu
sayapun masuk tanpa memberi salam, maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Kembalilah dan katakan Assalamu ‟alaikum”. Kejadian ini setelah Shafwan bin Umayah memeluk
Islam.

Dan dari Rib‟i, dia berkata: “Telah bercerita kepada kami seorang dari bani „Amir, sesungguhnya
dia meminta izin kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam sementara beliau berada dirumahnya,
maka dia berkata: “A‟aljj, Maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepada pembantunya:
“Keluarlah dan ajarkan kepadanya adab meminta izin, maka ia mengatakannya: “Katakanlah
Assalaamu ‟alaikum, bolehkah saya masuk?”

Dan dari Ibnu Abbas berkata, “Umar meminta izin kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan
beliau mengucapkan: “Assalamu ‟ala Rasulillah, Assalamu ‟alaikum, apakah Umar diperbolehkan
masuk?”
2. Hendaklah orang yang meminta izin untuk berdiri disebelah kanan atau sebelah kiri
pintu.
Hal ini dimaksudkan agar dia tidak mengarahkan pandangannya kepada tempat-tempat yang tidak
halal baginya dirumah orang tersebut, atau sesutau yang dibenci oleh sipemilik rumah, jikalau dia
mengarahkan penglihatannya kepada sesuatu yang ada dirumahnya. Karena sesungguhnya
meminta izin itu disyariatkan untuk menjaga pandangan.
Dari Abdullah bin Busr, beliau berkata: “ Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
mendatangi kediaman suatu kaum, beliau tidak menghadap kearah pintu rumah dengan wajahnya,
akan tetapi beliau memelingkan wajahnya kearah kanan atau kiri, dan berkata: “Assalamu
‟alaikum, assalaamu ‟alaikum”. Hal itu dikarenakan rumah kediaman disaat itu belum memiliki
penghalang seperti daun pintu.
Dan dari Huzail, beliau berkata: “ Seseorang telah datang dan berdiri ditengah-tengah pintu rumah
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam untuk meminta izin, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
berkata kepadanya: “ Hendaklah kamu melakukan begini dan begini, karena disyariatkan meminta
izin itu karena menjaga pandangan”.

3. Haram hukumnya bagi seseorang memandang kedalam rumah yang bukan rumahnya
tanpa izin.
Meminta izin tidak disyariatkan kalau bukan karena pandangan, barangsiapa yang telah berlebihan
untuk memandang kepada apa-apa yang tidak dihalalkan baginya dengan tanpa izin, lalu kedua
matanya dicungkil, tidak ada qishash dan denda padanya. Sandaran dalil hal itu sebagaimana yang
diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bahwasannya
beliau bersabda: “Barangsiapa yang dengan sengaja menengok atau memandang kedalam rumah
orang lain tanpa seizin pemiliknya, maka halal bagi mereka untuk mencukil matanya”.

Abu Hurairah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Apabila
seseorang menengok atau melihat kedalam rumahmu tanpa izin dari kamu, lalu anda melemparnya
dengan batu kerikil hingga tercungkil matanya, maka tidak ada dosa bagi kamu”.
Dan dari Anas bin Malik radhiallahu „anhu bahwa seseorang memandang kepada sebagian kamar
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam maka Rasulullah menghampirinya dengan membawa anak panah
atau beberapa anak panah, dann aku melihat kepada beliau yang seolah-olah hendak
menikamnya”.

4. Meminta izin itu hanya tiga kali


Apabila seseorang meminta izin lalu diizinkan – maka dia boleh masuk – akan tetapi jika tidak
hendaknya dia kembali. Abu Musa Al-Asy‟ary berkata: “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda, “Jika salah seorang dari kalian minta izin sampai tiga kali dan tidak dijawab baginya,
maka hendaklah ia pulang”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 28


Masalah : Jika kita meminta izin sudah tiga kali dan belum ada jawaban, akan tetapi kita
menyangka mungkin pemilik rumah belum mendengarnya, maka apa yang harus kita lakukan
ketika itu?
Jawab : Ulama mengatakan: “Sebaiknya beramal dengan kedzahiran hadist diatas” dan ada yang
mengatakan hendaklah ia menambah sampai suara orang yang meminta izin itu benar-benar
terdengar”.

Imam Malik berkata: “Meminta izin itu batasnya tiga kali, tidak disunnahkan bagi seseorang utnuk
menambahnya walaupun cuma sekali, kecuali bagi orang yang benar-benar yakin kalau yang
dimintai izin itu belum mendengar suaranya, maka aku berpendapat boleh untuk menambahnya”.
5. Jangan mengatakan “ saya “, saja ketika meminta izin jika di tanya “Siapakah ini “
Dikarenakan jika orang yang meminta izin hanya mengatakan “saya”, tidak akan mengidentifikasi
yang meminta izin. Dengan begitu kesamaran tetap akan menyertai keberadaannya. Dan
perkataannya : “ Saya “ tidak berarti apapun juga.

Hukum makruh ini dapat diperoleh dari hadits Jabir radhiallahu „anhu, beliau berkata: “ Saya
mendatangi Rasulullah “ untuk membayar hutang ayahku, kemudian aku mengetuk pintu rumah
beliau, beliau bertanya, “Siapa itu?” Aku berkata „saya, maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “saya, saya” sepertinya beliau tidak menyukai jawaban tersebut.”
Dan tidak mengapa jika orang yang meminta izin mengatakan: “ saya, sifulan “. Diriwayatkan dari
Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya, beliau berkata: “Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam keluar dan
pergi kemasjid, sedangkan Abu Musa sedang membaca, maka beliau bertanya, siapa ini? Aku
menjawab “Saya, Buraidah yang menjadi tebusanmu “ Maka beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
berkata, “Sungguh orang ini telah diberi senandung seperti senandung keluarga Daud”.
Dan tidak mengapa jika seorang yang minta izin untuk mengatakan: “ saya Abu fulan “,
sebagaimana hadist yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Bahwasannya Ummu Hani‟ datang
kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pada tahun Futuh Makkah. Dan dia mendapati beliau
sedang mandi, dan Faatimah anak beliau menutupi beliau. Ummu Hani‟ mengatakan: “ maka saya
mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam”. Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bertanya: “Siapakah ini ?” Ummu Hani‟ berkata: “ Saya Ummu Hani‟ binti Abi Thalib… al-
hadits”

Dan tidak mengapa mengatakan: “ Saya Al-Qadhi fuan, atau Asy-Syaikh fulan, apabila dengan
nama tidak sukup mengidentifikasi karena kesamarannya. Seperti yang dikatakan oleh An-Nawawi.

Catatan penting : Jika nama orang yang meminta izin tidak dikenal karena adanya kesamaan
nama dengan orang lain dan sulit untuk membedakan jika sekedar mendengar suaranya saja,
maka dianjurkan bagi orang yang meminta izin untuk menghilangkan kesamaran agar bisa dikenal.
Hal ini akan semakin jelas dengan hadits berikut : Setelah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
berkhuthbah di hadapan para wanita pada hari „Ied, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pulang
menuju kearah rumah beliau. – Orang yang meriwayatkan hadits ini mengatakan – : “Ketika Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam berjalan menuju kerumah beliau, Zainab istri Ibnu Mas‟ud datang
meminta izin kepada beliau. Lalu dia mengatakan: ”Wahai Rasulullah, ini Zainab.” Maka beliau
berkata :”Zainab yang mana?” Dia berkata :”Zainab istri Ibnu Mas‟ud.” Beliau berkata :”Ya,
persilahkan dia masuk!”, maka beliau memberi izin kepada Zainab…al-hadits.
6. Sudah sepantasnya bagi orang yang meminta izin untuk tidak mengetuk pintu terlalu
keras.
Karena hal ini termasuk adab yang buruk. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau berkata : “Pintu
kediaman Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam diketuk dengan menggunakan kuku.”
Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan :”Adab ini dilakukan oleh para sahabat sebagai gambaran adab
yang tinggi, adab ini adab yang terpuji bagi seseorang yang berada didekat pintu, adapun yang
jauh dari pintu, sehingga suara ketukan pintu dengan kuku tidak terdengar, maka sebaiknya
mengetuk pintu lebih keras lagi sesuai yang dibutuhkan.”

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 29


Al Maimuniy berkata :” Seorang perempuan mengetuk pintu Abu Abdillah dengan ketukan yang
keras, maka Abu Abdillah keluar dan mengatakan: :Ketukan ini adalah ketukan polisi !

7. Jika pemilik rumah menyuruh untuk kembali, maka orang yang meminta izin harus
kembali.
Hal ini berdasarkan firman Allah :

‫يل اَح ُسك ُس ٱرَحِب عُسوْب فَحٱرَحِب عُسوْب ُسى َحو أَحزَحك ٰى اَح ُسك‬ ‫َحِب َحِب‬
‫َح ن ق َح‬
“Dan apabila dikatakan kepada kalian, kembalilah. Maka kalian kembalilah. Yang demikian itu lebih
menyucikan bagi kalian “ ( An-Nuur : 28 ).

Qatadah mengatakan : “ Sebagian kaum Muhajirin berkata: “Sungguh aku umurku telah tersita
semuanya pada ayat ini. Dan tidaklah saya mendapati ayat ini, ketika saya meminta izin kepada
para saudaraku, lalu mereka mengatakan kepadaku: “Pergilah “ maka akupun pergi, sementara
aku dalam keadaan geram.

8. Tidak diperbolehkan untuk memasuki rumah yang didalamnya tidak ada seorangpun.
Dikarenakan hal itu meruapakan sikap sewenang-wenang terhadap hak orang lain. Ibnu Katsir
mengatakan: “ Hal itu dikarenakan merupakan pengguaan milik orang lain tanpa izinnya. Apabila
dia menghendaki niscaya dia mengizinkanya dan jika tidak maka dia tidak akan mengizinkannya “

9. Apabila seseorang diundang atau diutus kepada seseorang, maka tidak diperlukan
baginya minta izin.
Hal itu dikarenakan bahwa undangan dan diutusnya seseorang untuk menjemputnya sudah
terkandung padanya permintaan izin. Maka undangan atau seseorang yang menjemputnya sudah
mewakili permintaan izin.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, bahwasannya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda, “Seseorang telah diutus kepada seseorang maka itulah izin baginya”.
Dan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu juga, bahwasannya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “Apabila seseorang mengundang kalian untuk makan, kemudian dia mengutus seseorang
sebagai utusannya, maka itu merupakan izin baginya”.
Ulama mengecualikan pada masalah ini, jika seseorang terlambat menghadiri undangan pada
waktunya, atau pada waktu itu ia berada pada tempat yang terkondisikan baginya untuk meminta
izin, maka dia mesti meminta izin.

10. Meminta izin ketika ingin berdiri dan meninggalkan dari majlis.
Yang demikian itu merupakan adab nabawiyah yang mulia. Pengunjung diarahkan untuk memiliki
adab ketika hendak meninggalkan majlis. Maka, sebagaimana anda meminta izin ketika hendak
masuk, begitu pula hendaknya engkau meminta izin ketika hendak meninggalkan majlis.
Kemungkinan alasan diharuskannya hal itu, karena ditakutkannya mata akan melihat hal-hal yang
tidak halal untuk dilihat, atau minimal hal-hal yang tidak disukai. Diriwayatkan dari Ibnu Umar
radhiallahu „anhu, beliau mengatakan: Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ”Jika salah
seorang diantara kalian mengunjungi saudaranya kemudian duduk didekatnya, janganlah berdiri
sampai dia memberikan izin kepadanya.”

Didalam hadits tersebut terkandung peringatan untuk beradab dengan adab yang mulia, yaitu
orang yang berkunjung sepantasnya tidak berdiri sampai diberi izin oleh tuan rumah. Kebanyakan
manusia di sebagian negeri-negeri Arab talah mengabaikan adab-adab nabawiyah yang mulia ini.
Anda akan mendapati mereka keluar dari majlis tanpa meminta izin, tidak sebatas ini saja bahkan
juga dengan tanpa salam. Yang seperti ini jelas-jelas telah menyelisihi adab-adab Islam lainnya,
demikian sebagaiman dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani.
11. Meminta izin kepada ibu atau saudara perempuan.
Yaitu agar penglihatan tidak melihat hal-hal yang dilarang, misalnya aurat, atau hal-hal lainnya
yang tidak disenangi kaum wanita jika diketahui oleh selain mereka.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 30


„Alqamah mengatakan : ”Seorang laki-laki datang kepada Abdullah dan mengatakan :”Apakah aku
harus meminta ijin kepada ibuku?” maka Abdullah mengatakan: ” Tidaklah pada setiap keadaan
ibumu itu, engkau akan melihat sesuatu yang kau sukai saja”

Diriwayatkan dari Muslim bin Nadzir mengatakan :”Seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah
:”Apakah aku harus meminta izin kepada ibuku?” Hudzaifah mengatakan: ”Jika engkau tidak
meminta izin kepada ibumu, engkau akan melihat hal-hal yang engkau benci.”
“Atha‟ mengatakan :”Aku bertanya kepada Ibnu Abbas :”Apakah aku harus meminta izin kepada
saudara wanitaku?” Maka dia menjawab :”Ya.” Kemudian dia berkata lagi, “Aku memiliki dua
saudara wanita dalam rumahku dan aku menjaganya serta memberikan nafakah kepada keduanya,
apakah aku juga harus meminta izin kepada keduanya?”
Ibnu Abbas menjawab, “Ya, apakah kau akan senang jika terlihat olehmu aurat mereka?!”
12.Disunnahkan memberikan kabar kepada istri ketika akan masuk rumah.
Yaitu agar suami tidak melihat istrinya dalam keadaan yang dapat membuatnya marah, atau istri
sedang melakukan sesuatu yang tidak ingin dilihat oleh suaminya, sementara dia dalam keadaan
tersebut.

Dari Zainab istri Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anha, dia berkata: “ Jika Abdullah datang dari
menyelesaikan suatu keperluan, maka ia berdehem karena khawatir kami dalam keadaan yang ia
tidak sukai”.
Ahmad berkata, “Jika dia masuk kerumah keluarganya, maka di mendehem,”
Dan Muhanna mengatakan: “Ahmad ditanya tentang seseorang yang masuk kerumahnya apakah
diharuskan baginya untuk meminta izin? Ahmad menjawab, “Hendaklah ia mengeraskan suara
sendalnya jika ia masuk”.

13. Para pembantu dari kalangan budak dan anak-anak yang belum baligh, diharuskan
bagi mereka untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga keadaan :
Pertama : Sebelum shalat fajar
Kedua : Waktu tidur siang sebelum dzuhur
Ketiga : Setelah shalat isya
Dan selain dari ketiga waktu tersebut maka tidak ada dosa bagi mereka. Ibnu Katsir berkata,
“Maksudnya apabila mereka masuk pada selain dari tiga waktu diatas, maka tidak ada dosa bagi
kalian jikalau kalian membolehkan mereka, dan juga mereka tidak berdosa apabila melihat sesuatu
diselain dari tiga waktu tersebut.

Dikarenakan mereka telah diberikan izin untuk masuk, dan dikarenakan mereka adalah orang-
orang yang selalu hilir mudik ditengah-tengah kalian yakni sebagai pembantu dan lain sebagainya,
…[ kemudian beliau menyebutkan atsar Ibnu Abbas ]: Dari „Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa dua
orang laki-laki bertanya kepada beliau tentang adab meminta izin pada tiga aurat yang telah
dijelaskan oleh Allah didalam Al-Qur`an.
Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya Allah itu Maha menutupi aurat hamba-Nya, dan Dia menyukai
jika hambanya menutup aurat. Sedangkan kaum muslin saat itu tidak mempunyai penutup didepan
pintu-pintu kediaman mereka, dan tidak juga penghalang dirumah mereka. Terkadang seseorang
terkejutkan oleh pembantu, anaknya atau anak angkat yang berada dalam asuhannya, sementara
dia lagi bercengkerama dengan isterinya. Maka Allah memerintahkan kepada mereka untuk
meminta izin pada tiga waktu aurat yang telah disebutkan Allah. Kemudian Allah lalu
memerintahkan untuk menghalangi, dengan memudahkan rizki bagi mereka, Dan mereka lantas
menjadikan penghalang/tirai dan juga membuat dinding penghalang. Kemudian kaum muslimin
menganggap bahwa yang seperti itu sudah cukup bagi mereka dari permintaan izin yang mereka
telah diperintahkan sebelumnya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 31


BAB 4
ADAB-ADAB KETIKA BERJUMPA
– Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Salinglah kalian berjabat tangan, dengan
begitu akan menghilangkan perasaan benci, dan salinglah kalian menghadiahi niscaya kalian akan
saling mencintai dan akan menghilangkan perasaan dendam “

– Dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah dua orang muslim yang saling
berjumpa, kemudian keduanya saling berjabat tangan kecuali keduanya akan diampuni sebelum
mereka berpisah “

Beberapa Adab ketika berjumpa :


1. Disenangi untuk saling berjabat tangan
Telah disebutkan beberapa atsar, bahwa dengan berjabat tangan akan menghilangkan perasaan
benci, dan menjadi sebab terampuninya dosa. Dan berjabat tangan adalah amalan yang dianjurkan
oleh Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , dan amalan yang telah dicontohkan oleh para sahabat
beliau radhiallahu „anhum.

Qatadah mengatakan : “ Saya bertanya kepada Anas : Apakah saling berjabat tangan sudah
menjadi amalan dikalangan para sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ? Beliau menjawab : Iya

Dan juga pada kisah taubat dari Allah bagi Ka‟ab, beliau berkata : “ Saya masuk kedalam masjid,
yang ternyata Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah berada didalamnya. Lalu thalhah bin
„Ubaidullah berdiri berjalan bergegas menjumpaiku hingga menjabat tanganku dan mengucapkan
selamat kepadaku “

Dan pada hadits Anas radhiallahu „anhu, ketika penduduk Yaman datang, Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Penduduk Yaman telah datang dan mereka adalah orang-orang yang lebih
lembut hatinya dibandingkan dengan kalian “. Dan merekalah yang pertama kali datang dengan
berjabat tangan.

Dan dari hadits Al-Barra` bin „Azib beliau mengatakan : “ Diantara kesempurnaan ucapan salam
danahdenganmenjabat tangan saudaramu “

Berjabat tangan adalah sunnah disaat bertemu dan merupakan penegas ucapan salam. Disebutkan
didalam Al-Adab Al-Mufrad : “ Ketahuilah bahwa sesungguhnya berjabat tangan ketika bertemu
merupakan penyerta dan penegas ucapan salam dari lisan. Karena ucapan salam adalah
pemberitahuan keamanan dari ucapan sementara berjabat tangan laksana penyetujuan,
pengulangan dan penegasan salam yang diucapkannya, dengan demikian kedua yang saling
bertemu merasa dalam keadaan aman dari temannya masing-masing.

Dan setelah pencantuman beberapa atsar yang menunjukkan bolehnya berjabat tangan, maka
janganlah kami hingga menyangka ada seorang muslim yang masih pelit bagi dirinya sendiri untuk
mendapatkan kebaikan atau cenderung kepada suatu amalan sunnah !
Masalah : Dan telah menjadi kebiasan kaum manusia untuk menjabati tnagan imam shalat
mereka atua yang berada disamping mereka selepas mengerjakan shalat-shalat wajib. Apakah
perbuatan itu suatu yang disyariatkan ?

Jawab : Berjabat tangan selepas mengerjakan shalat yang wajib bukan suatu yang disyariatkan
dan sama sekali tidak pernah terjadi di zaman Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , para Khalifah
Rasyidin dan tidak juga oleh para sahabat beliau yang mulia. Da melakukan hal itu merupakan
pengada-adaan didalam agama Islam yang tidak diperbolehkan oleh Allah ta‟ala.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 32


Fadhlullah Al-Jaelani mengatakan : “ Ibnu „Abidin berkata : Seringnya melakukan perbuatan
tersebut secara khusus setelah pengerjaan shalat-shalat wajib akan menyebabkan karena
kebodohan seseorang, persangkaan bahwa perbuatan tersebut adalah amalan yang sunnah pada
tempat-tempat tersebut. Sedangkan amalan tersebut adalah amalan tambahan yang khusus pada
selainnya, dengan apa yang nampak dari perkataannya bahwa hal tersebut tidaklah dilakukan oleh
salah seorang dari kalangan salaf pada pembahasan ini. Dan dalam Kitab Al-Multaqath :
Dimakruhkan berjabat tangan setelah menunaikan shalat dalam segala keadaan, dikarenakan para
sahabat – ridhwanullahu „alaihim- tidaklah melakukan yang demikian itu, bahkan hal itu adalah
perbuatan sunah orang-orang rawafidh. Dan para ulama Asy-Syafi‟iyah berpendapat berjabat
tangan setelah mengerjakan ibadah shalat adalah perbuatan bid‟ah yang tidak ada dasarnya
didalam syariat dan yang pelakunya dilarang setelah itu mendapat teguran yang keras.
Didalam Al-Madkhal: Bhawa berjabat tangan setelah shalat adalah perbuatan yang bid‟ah. Dan
tempat yang dibenarkan oleh syariat untuk berjabat tangan adalah disaat seorang muslim bertemu
dengan saudaranya bukan disetiap kali selesai mengerjakan shalat. Maka dimana syariat
menempatkan amalan berjabat tangan disitulah seharusnya ditempatkan. Perbuatan itu
seharusnya dilarang daan pelakunya mendapatkan teguran karena telah melakukan suatu yang
menyalahi as-sunnah.

Al-Lajnah Ad-Daa`imah didalam salah satu fatwanya menyatakan : Apabila seseorang tersebut
tidak berkesempatan berjabat tangan dengannya sebelum pengerjaan shalat, lalu dia menjabat
tangannya setelah mengerjakan salam, baik setelah shalat wajib atau sunnah, baik berada dikanan
atau kirinya. Akan tetapi jikalau setelah pengerjaan shalat wajib maka setelah membaca zikir-zikir
yang disyariatkan sewtelah shalat. Adapun salam makmu kepada imam seelah mengerjakan shalat,
kami tidak mengetahui ada nash khusus yang menerangkannya.
Faedah : Diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad dari riwayat Salamah bin
Wirdan, beliau mengatakan : “ Saya telah melihat Anas bin Malik radhiallahu „anhu mengucapkan
salam kepada kaum muslimin, lalu beliau bertanya kepadaku, siapakah anda ? Saya menjawab :
Maula bani Laits. Lantas beliau mengusap kepalaku seraya mengatakan: Baarakallahu fiika “
Berdasarkan atsar diatas, menunjukkan disunnahkannya mengucapkan salam kepada anak-anak
kecil dan menjabat tangan mereka dimana hal tersebut menunjukkan kasih sayang kepada
mereka, perhatian bagi mereka dan membiasakan mereka dengan perbuatna yang baik. Dan
mengusap kepala anak kecil yang dilakukan oleh Anas radhiallahu „anhu, menunjukkan kecintaan
dan kasih sayang beliau kepada anak-anak kecil.

2. Diharamkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram


Dalil pengharaman hal tersebut adalah apa yang diriwayatkkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih
beliau, dari hadits Aisyah – ummul-mukminin radhiyallahu anha – dan dari bapaknya – tentang
pembai‟atan wanita--wanita kaum Muhajirin, beliau berkata : “ … Dan Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam, disaat mereka – para wanita tersebut – membenarkan hal itu dengan perkataan
mereka, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda kepada mereka : Kembalilah kalian
semua, sesungguhnya saya telah membai‟at kalian. Dan sekali-kali demi Allah tidaklah tangan
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam sekalipun menyentuh tangan seorang wanita. Melainkan
beliau hanya membai‟at mereka dengan perkataan. Demi Allah tidaklah Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam menyentuh wanita disaat membai‟atnya kecuali yang Allah perintahkan. Beliau
hanya mengucapkan kepada mereka disaat membai‟at mereka : Saya telah membai‟at kalian,
dengan sekali ucapan"
Perkataan beliau : “ Dan saya telah membai‟at kalian, dengan ucapan “ yakni beliau mengatkaan
kalimat itu. Tidak dengan menjabat tangan, sebagaimana kebiasaan – yakni beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam, pen – membai‟at kaum laki-laki sambil menjabat tangan mereka. Demikian yang
dikatakan oleh Ibnu Hajar.
Dan pada hadits Umaimah binti Raqiqah radhiallahu „anha, terdapat yang menguatkan hal tersebut.
Dan pada haditsnya terdapat penegasan penolakan beliau menjabat tangan wanita. Dimana
sewaktu beliau Shallallahu „alaihi wa sallam membai‟at kaum wania, beliau mengatakan : Kami
berkata : Allah dan Rasul-Nya lebih mengasihi kita daripada diri kita sendiri. Marilah, kami hendak
membai‟at anda wahai Rasulullah. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 33


“Sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita. Sesungguhnya perkataanku kepada seratus
wanita sama dengan perkataanku kepada seorang wanita, atau semisal dengan ucapanku kepada
salah seorang wanita.“

Ibnu Abdil Barr mengatakan : “ Sabda beliau : Sesungguhnya saya tidak menjabat nagan wanita,
menunjukkan bahwa beliau tidak membolehkan seorang laki-laki menyentuh wanita yang tidak
dihalalkan baginya, tidak menyentuh wanita tersebut dengan tangannya dan tidak pula menjabat
tangannya “

Faedah : Sebagian kaum muslimin berkeyakinan bahwa diperbolehkan menjabat tangan wanita
yang bukan mahram dari baling penghalang atau semisalnya. Dan ini merupakan keyakinan yang
keliru. Tidak diperbolehkan menjabat tangan wanita yang bukan mahram secara mutlak.
Benar ada beberapa atsar yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , bahwa beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam telah membai‟at kaum wanita dari balik pakaian beliau. Akan tetapi
kesemua riwayat tersebut adalah riwayat-riwayat yang mursal yang sebagiannya tidak dapat
menguatkan sebagian lainnya untuk menolak hadits-hadits yang shahih yang dengan jelas
menerangkan penolakan jabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
Al-Albani mengatakan : “ Dan telah diriwayatkan hal itu dalam beberapa riwayat lainnya, akan
tetapi kesmeua riwayat tersebut mursal. Al-Hafidz telah menyebutkanya didalam Al-Fath ( 8 / 488
). Dan tidak satupun riwayat tersebut yang dapat dijadikan sandaran, terlebih setelah menyelisihi
riwayat yang lebih shahih …

3. Disunnahkan untuk tidak melepas tangan disaat berjabat tangan hingga yang dijabat
tangani telebih dahulu melepas tangannya.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh anas bin Malik radhiallahu „anhu, beliau mengatakan : “
Apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bertemu dengan seseorang beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam akan menjabat tangannya dan tidak melepas tangan beliau hingga orang tersebut yang
pertama kali melepas tnagannya … al-hadits “
Dan pada hadits tersebut menunjukkan disukainya berjabat tangan dan melamakan menggenggam
tangan yang dijabati namun tidak smapai memberatkan.

Masalah : Dan seandainya dua orang slaing berjabat tangan dan keduanya melamakan
menggenggam tangan, maka siapakah yang lebih dahulu melepaskan tangannya ?
Jawab : Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “ Acuannya jikalau telah memprediksikan bahwa
yang lainnya akan melepaskan pegangannya maka dia tetap menggenggam. Jikalau tidak maka
sekiranya masing-masing yang berjabat tangan lebih menyenangi untuk saling menggenggam
tangan, maka dapat untuk terus bergenggaman tangan. Akan tetapi ulasan Abdul Qadir adalah
ulasan yang baik, bahwa yang lebih dahulu melepas adalah yang memulai.
4. Berdiri untuk mengucapkan salam kepada seseorang yang datang
Berdiri menyambut seseorang terbagi menjadi tiga bentuk :
Pertama : Berdiri diatas kepala orang yang merupakan perbuatan penguasa yang sombong.
Kedua : Berdiri kepada seseorang disaat datang menghampirinya. Dan ini perbuatan yang
diperbolehkan.
Ketiga : Berdiri ketika melihatnya, dan ini perbuatan yang masih diperselisihkan hukumnya.
Adapun dalil bentuk yang pertama : Hadist yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah
radhiallahu „anhu : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tengah menderita sakit, maka kami
mengerjakan shalat dibelakang beliau sementara fbeliau mengerjakannya sambil duduk. Dan Abu
Bakar memperdengarkan takbir beliau Shallallahu „alaihi wa sallam kepada para makmum. Maka
beliau menoleh kearah kami dan melihat kami dalam keadaan berdiri, maka beliau mengisyaratkan
agar kami duduk maka kamipun duduk. Kemudian kami mengerjakan shalat bersama beliau sambil
duduk. Setelah mengucapkan salam, beliau bersabda : “ Hampir saja tadi kalian melakukan
perbuatan orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri kepada para raja-raja mereka,
sementara raja-raja tersebut duduk. Maka janganlah kalian melakukannya. Ikutilah imam kalian ,
apabila ima shalat berdiri maka shalatlah kalian sambil berdiri dan apabila imam shalat sambil
duduk maka shalatlah kalian sambil duduk. “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 34


Berdiri dengan tujuan seperti ini adalah suatu yang terlarang tanpa diragukan lagi. Dan hadits
diatas dengan sangat djelasnya menunjukkan larangan orang-orang untuk berdiri menghormati
para pembesar mereka atau yang mereka agungkan. Dan ini termasuk perbuatan para penguasa
yang sombong.
Kecuali jika hal itu diperlukan, seperti jika khawatir kepada seseorang yang kemungkinan akan
berbuat semena-mena kepadanya maka tidak mengapa berdiri menghormatinya. Demikian pula
jika seseorang beridiri untuk memuliakan seseorang yang dilakukannya disaat yang memang
ditujukan untuk pemuliaan orang tersebut. Dan juga jika ditujukan untuk merendahkan musuh,
semisal yang terjadi dengan Al-Mughirah bin Syu‟bah radhiallahu „anhu pada peristiwa perdamaian
Hudaibiyah. Kala itu orang-orang Quraisy mengirim utusan untuk mengajak Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam berunding dengan mereka. Al-Mughirah bin Syu‟bah saat itu berdiri didekat kepala
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan ditangannya terhunus pedang sebagai ungkapan
pengagungan beliau terhadap Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan penghinaan kepada
utusan orang-orang kafir Quraisy yang diutus untuk berunding. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Utsaimin.
Dalil bentuk yang kedua : Yang diriwayatkan oleh Malik didalam Muwaththa‟ beliau , berkaitan
dengan kisah islamnya „Ikrimah bin Abu Jahl – pada hadits tersebut disebutkan : “ … Lantas beliau
memeluk Islam dan mengunjungi Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pada tahun penaklukan
Makkah. Ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melihatnya, beliau terhentak berdiri
menghampirinya sebagai ekspresi suka cita beliau dan menanggalkan jubah beliau hingga
beliaupun membai‟atnya … al-hadits “
Telah juga dkemukakan kisah taubatnya Ka‟ab dan pada kisah tersebut disebutkan bahwa Thalhah
berdiri menyambut beliau untuk mengucapkan selamat. Beliau mengatakan : “ Saya masuk
kedalam masjid, dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah berada didalam masjid. Lalu
Thalhah bin „Ubaid berdiri bergegas menuju kepadaku hingga menjaba tanganku dan mengucapkan
selamat kepadaku “

Dalil untuk bentuk yang ketiga – yang diperdebatkan oleh ulama, yaitu berdiri disaat melihat
seseorang – : Hadist Abu Mijlaz, beliau berkata : bahwa Mu‟awiyah suatu saat keluar sementara
Abdullah bin Amir dan Abdullah bin Az-Zubair sedang duduk. Lalu Ibnu Amir berdiri sementara Ibnu
Az-Zubair tetap duduk – dan beliau yang paling tenang diantara mereka berdua -. Mu‟awiyah
berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Barang siapa yang merasa senang hamba-
hamba Allah berdiri menghormatinya maka hendaknya dia menyiapkan tmepat duduknya diapi
neraka “.
Dan pada lafazh Abu Daud : “ Maka Mu‟awiyah berkata kepada Amir : “ Duduklah, karena
sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Barang
siapa yang menyukai orang-orang menghormatinya sambil berdiri maka hendaknya dia
mempersiapkan tempat duduknya di api neraka “
Ulama dalam memahami hadits ini terbagi menjadi tiga kelompok :
Pertama : Sebagian ulama berpendapat bahwa hadit ini menunjukkan makruhnya berdiri kepada
para penguasa sebagaimana yang dilakukan terhadap para penguasa Persia dan Romawi. Dan
mereka menyertakan hadis ini dengan hadits pada riwayat Muslim yang menyebutkan makruhnya
berdiri diatas kepala seseorang yang duduk, sebagaimana yang dilakukan orang-orang asing
kepada pemimpin-pemimpin mereka.
Pendapat kedua : Ulama yang berargumen dengan hadist ini akan makruhnya seseorang berdiri
bagi seorang yang datang. Dan mereka berpendapat bahwa hadits ini adlah nsh yang sangat jelas
tentang hal itu. Mu‟awiyah radhiallahu „anh menyebutkan hadits ini ketika Ibnu Amir berdiri mlihat
beliau. Penyebutan hadits ini pada kejadian ini merupakan indikasi kuat yang menjelskan maksud
dari hadits. Dan pula, tidak adanya pengingkaran Ibnu Az-Zubair kepada Mu‟awiyah radhiallahu
„anhuma adalah bukti bahwa hal itu suatu yang beliau pahami juga.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 35


Para ulama yang mendukung pendapat kedua ini menyanggah ulama yang memahami hadits
Mu‟awiyah , bahwa maksud hadits tersebut adalah berdiri diatas seseorang yang sedang duduk,
dengan beberapa sanggahan : Pertama : Karena kaum Arab tidaklah mengenal hal ini – berdiri
diatas seseorang yang sementara duduk -, melainkan amalan tersebut adalahamalan kaum Persia
dan Romawi. Kedua : Dan hal ini, tidaklah dikategorikan berdiri untuk menyambutnya, melainkan
berdiri untuk menghormatinya. Dan jelas perbedaan antara berdiri menyambut seseorang yang
terlarang dan berdiri menghormatinya yang merupakan bentuk tasyabbuh – penyerupaan – dengan
perbuatan kaum Persia dan Romawi. Sedangkan berdiri menyambut kedatangan seseorang adalah
merpakan kebiasaan kaum Arab. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim.
Pendapat yang ketiga : Ulama yang memberi perincian akan masalah itu, mereka berpendapat :
Apabila berdiri tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengagungkan maka hal tersebut suatu
yang makruh, namun apabila dilakkan sebagai bentuk pemuliaan maka tidaklah makruh. Pnedapat
ini disebutkan oleh Al-Ghazali dan dianggap pendapat yang bagus menurut Ibnu Hajar.
Penyelarasan permasalahan ini sebagaimana yang disimpulkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah,
beliau mengatakan : “ Dan bukanlah menjadi kebiasaan ulama Salah dizaman Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam dan para Khalifah Rasyidin, untuk berdiri setiap kali melihat Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam, seperti yang banyak dilakukan oleh kum muslimin. Melainkan Anas bin Malik berkata : “
Tidaklah ada seorangpun yang para sahabat cintai selain Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , dan
apabila mereka melihat beliau mereka tidaklah berdiri menyambutnya, karena mereka mengetahui
bahwa hal tersebut suatu yang beliau benci “
Akan tetapi mereka terkadang berdiri menyambut seseorang yang datang setelah lama tidak
terlihat untuk menunjukkan sambutan kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam bahwa beliau berdiri untuk menyambut „Ikrimah. Dan beliau bersabda
kepada kaum Anshar ketika Sa‟ad bin Mu‟adz datang : “ Berdirilah kalian menyambut penghulu
kalian “
Dan beliau waktu itu datang dari pemutusan hukum bagi bani Quraidzah yang hanya mau
menerima keputusan beliau.

Yang sepatutnya dilakukan oleh kaum muslimin adalah menjadikan ittiba‟/keteladanan kepada para
ulama salaf sebagai suatu kebiasaan, meneladani segala yangmereka perbuat dizaman Rasululah
Shallallahu „alaihi wa sallam , karena merekalah sebaik-baik masa, dan sebaik-baik perkataan
adalah Kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu „alaihi wa
sallam . Maka tidaklah boleh seseorang berpaling dari petunjuk sebaik-baik manusia dan berpaling
dari petunjuk sebaik-baik masa kepada amalan yang selainnya.
Dan juga sepatutnya kepada seseorang yang ditaati agar tidak membenarkan hal itu dilakukan oleh
para pengikutnya. Yakni ketika mereka melihatnya mereka tidaklah berdiri menyambutny kecuali
disaat pertemuan yang biasa. Adapun berdiri menyambut seseorang yang baru datang dari
bepergian dan yang semisal dengan itu sebagai ungkapan selamat datang maka perbuatan
tersebut suatu yang baik.

Dan apabila kebiasaan kaum muslimin adalah memuliakan seseorang yang datang dengan berdiri,
yang seandainya kebiasaan ini ditinggalkan maka akan diyakini bahwa hal itu karena meninggalkan
haknya atau karena ingin merendahkannya, dan dia tidaklah mengetahui kebiasaan yang sesuai
dengan as-sunnah, maka yang lebih baik adalah turut beridiri menyambutnya. Dikarenakan hal itu
akan menjalin hubungan baik keduanya dan menghilangkan kebencian dan ketidak senangan.
Adapun jika kebiasaan suatu kaum sesuai dengan sunnah, maka bukanlah dengan meninggalkan
hal itu sebagai suatu yang menyakitinya “
Ibnu Hajar mengatakan : “ Kesimpulannya, kapan meninggalkan berdiri dianggap sebagai suatu
penghinaan atau akan menimbulkan mafsadat bagi dirinya maka janganlah dia melakukannya. Dan
pendapat inilah yang tersirat dari pernyataan Ibnu Abdis Salam “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 36


5. Apakah seseorang dibolehkan mencium seorang lainnya ketika bertemu ?
Bukanlah merupakan kebiasaan para As-Salaf, baik para sahabat atau generasi setelah mereka,
apabila sebagian diantara mereka bertemu dengan sebagian lainnya saling berciuman seperti yang
terjadi dihari ini. Atsar-atsar yang menyebutkan tentang berciuman ketika bertemu tidak cukup
kuat untuk membantah hadits yang sangat jelas menerangkan larangan mencium ketika bertemu.
Al-Albani telah memberikan bantahan kepada hadits-hadits tersebut dari dua tinjuan , yang paling
berfaedah dari dua tinjauan tersebut bahwa hadits-hadits ini adalah hadits-hadits yang ma‟lul tidak
dapat dijadikan hujjah. Yang kedua : Dan sekiranyapun shahih, namun hadits tersebut tidaklah
dapat dipertentangkan dengan hadits yang shahih.
Hadist yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu „anhu ,
beliau berkata : “ Seseorang berkata kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bahwa salah
seorang dari kami bertemu dengan temannya, apakah boleh dia men-tahni‟ / yaitu memeluknya
kanan dan kiri bergantian – temannya ?. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab : Tidak.
Orang itu bertanya : Merengkuhnya dan menciumnya ?. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
menjawab : Tidak. Orang itu bertanya : Bolehkan dia menjabat tangannya “. Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : Iya, jika dia mau “
Hadist diatas jelas sekali menunjukkan larangan at-tahni` dan mencium ketika bertemu pertemuan
biasa. Akan tetapi tidak berarti melarang berdekapan kanan dan kiri ketika bertemu seorang yang
dari perjalanan atau yang lama tidak bertemu.

Yang menjadi dalil bagi kami adalah perbuatan Jabir bin Abdullah . Dari Jabir bin Abdullah, bahwa
telah sampai kepada beliau sebuah hadits dari salah seorang sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam . [ Beliau mengatakan ]: Maka saya segera membeli seekor onta, dan kemudian selama
sebulan saya melakukan perjalanan hingga saya tiba ke Syam, yang ternyata sahabat tersebut
adalah Abdulah bin Unais. Lalu saya menyuruh seseorang menyampaikan bahwa Jabir berada
didepan pintu. Lalu utusan tersebut kembali, dan mengatakan : Jabir bin Abdullah ?. Saya berkata
: Benar. Maka diapun keluar lalu mendekapku kanan dan kiri – al-mu‟anaqah -. Saya berkata : “ –
Karena – sebuah hadits yang telah sampai kepadaku atau yang telah saya dengar. Saya Khawatir
meninggal atau anda yang meninggal.
Dia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Semua hamba Allah – kaum manusia – akan dikumpulkan dalam keadaan teanjang, tidak
berkhitan dan buhmaan . Kami bertanya: Apakah makna buhmaan ? Beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : Tidak mempunyai sesuatu. Lalu suatu suara menyeru kepada mereka, suara
yang terdengar oleh yang berada jauh – saya menyangka beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Sebagaimana didengarkan oleh yang berada dekat “ – : Akulah Al-Malik. Tidaklah
sepatutnya seseorang penghuni surga masuk kedalam surga sementara seseorang dari penghuni
neraka menuntut pembalasan kezhalimannya. Dan tidaklah sepatutnya salah seorang penghuni
neraka masuk kedalam neraka sementara seseorang penghuni surga menuntut pembalasan
kezhalimannya “
Saya bertanya : Lalu Bagaimanakah ? Dan sesungguhnya kita akan menjumpai Allah dalam
keadaan telanjang dan tidak memiliki sesuatupun ? Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab :
Dengan amal-amal kebaikan dan amal-amal keburukan. “

Faedah : Seorang ayah mencium anaknya merupakan bentuk kesempurnaan kasih sayang dan
kecintaannya. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah mencium anak-anak beliau, dan mencium
Al-Hasan dan Al-Husain, dan Abu Bakar mencium anak perempuannya Aisyah, dan ini adalah
kabar-kabar yang masyhur. Mencukupkan bagi kita dengan kemasyhurannya tentang takhrij
silsilahnya hingga pada sumbernya.

Faedah lain : Mencium tangan , sebagian ulama membolehkannya, sesuai tata cara beragama. Al-
Marrudzi berkata : “ Aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang mencium tangan, beliau menjawab
jikalau sesuai dengan tata cara beragama maka tidak mengapa. Abu Ubaidah mencium Umar Ibnu
Al-Khaththab radhiallahu anhu, jika disesuaikan dengan tata cara keduniaan maka tidak
diperbolehkan, kecuali seseorang takut akan pedangnya atau cambuknya…Berkata Abdullah bin
Ahmad : ” Aku melihat banyak dari kalangan ulama, ahli fiqih, muhadditsin, Bani Hasyim dan
Quraisy serta kaum Anshar mereka menciumnya – yakni bapaknya – sebagian mencium tangannya
dan sebagian mencium kepalanya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 37


Dan sebagian yang lain memakruhkan mencium tangan dan mereka menyebutkan As-Sajdah Ash-
Shughra. Berkata Sulaiman bin Harb : “ Dia adalah As-Sajdah Ash-Shughra, adapun kebid‟ahan
yang masyarakat dengan mengulurkan tangannya kepada orang lain agar dia menciumnya dan
meniatkan untuk hal yang demikian, maka hal ini tidak disangkal bagi siapa saja. Berbeda jikalau
yang mencium itu adalah orang yang mengada-adakan hal tersebut.

6. Haramnya membungkuk dan sujud disaat memberi salam


Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu„anhu beliau berkata : “Berkata seorang lelaki : “Wahai
Rasulullah salah seorang dari kami bertemu dengan temannya apakah dia membungkuk baginya ?
“. Beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab : “ Tidak “. Dia berkata : “
Apakah dia memeluknya dan menciumnya ? ”. Beliau menjawab : “ Tidak “. Dia berkata : “ Dia
menciumnya ? “ . Beliau menjawab : “ Ya jika dia bersedia “ .
Hadist ini sangat jelas menunjukkan pelarangan, dan tidak satupun dalil yang memalingkannya.
Dengan demikian menunjukkan suatu yang haram. Tidak diperbolehkan membungkuk kepada
seorang makhlukpun selamanya, dikarenakan perbuatan itu tidaklah dilakukan kecuali kepada Al-
Khalik jalla wa „ala. Sedangkan sujud terlebih lagi – pelarangannya -.
Ibnu Taimiyah mengatakan : “ Adapun membungkuk disaat memberi salam adalah suatu yang
dilarang. Sebagaimana yang berada pada riwayat At-Tirmidzi dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
, bahwa mereka – para sahabat – bertanya kepada beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tentang
seseorang yang bertemu dengan saudaranya lalu dia membungkuk kepadanya ?. Beliau bersabda :
“ Tidak “. Dan juga dikarenakan ruku‟ dan sujud tidak diperbolehkan dilakukan kecuali kepada Allah
„azza wajalla.

Adapun sujud, tidaklah boleh seorang yang berakal merasa sangsi untuk diserahkan hanya kepada
Allah subhanahu wata‟ala tidak kepada selain-Nya. Dan pada perbuatan ini terkandung maknan
ubudiyah – penghambaan – yang tidak terdapat pada perbuatan membungkukkan badan.
Dikarenakan membngkukkan badan tidak terkandung padanya posisi yang mencakup seluruh
makna penghinaan diri, kerendahan, ketundukan dan ubudiyah sebagaimana yang terdapat
didalam sujud. Olehnya itu diriwayatkan pada hadits Ibnu Abbas dari Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam beliau bersabda : “Adapun sujud maka bersungguh-sungguhlah berdoa, dan berharaplah
untuk dikabulkan bgi kalian “
Sabda beliau : “Berharaplah “ artinya suatu yang hakiki dan layak untuk mendapatkan pengabulan
doa ini. Karena pada sujud terkandung makna pengagungan , yang apabila dilimpahkan kepada
selain Allah merupakan suatu perbuatan yang haram.

Dan dalil yang menunjukkan hal itu, bahwa ketika Mu‟adz tiba dari Syam beliau lantas sujud
kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam . Maka beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “
Ada apakah ini wahai Mu‟adz ? “

Beliau berkata : Saya baru saja tiba dari Syam dan menjumpai mereka sujud kepada para uskup
dan orang-orang terkemuka mereka. Maka diri saya menyukai untuk melakukan hal itu kepada
anda. Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ janganlah kalian melakukan hal
itu, karena sesungguhnya jikalau saya menyuruh seseorang untuk bersujud kepada selain Allah,
niscaya saya akan menyuruh seorang wanita untuk sujud kepada suaminya. Demi Zat yang jiwa
Muhammad berada ditangan-Nya, tidaklah seorang wanita dapat menunaikankan hak Rabbnya
hingga dia menunaikan hak suaminya. Sekiranya suaminya meminta istrinya tersebut untuk
melakukan hubungan suami istri sementara si istri sedang jenuh, si istri tidak menolak permintaan
suaminya “

Faedah berkaitan dengan permasalahan sujud : Seorang muslim meletakkan wajahnya yang
merupakan bagian tubuhnya yang paling mulia dan paling terpandang diatas tanah yang
meruapkan tempat kaki-kaki berlalu-lalang. Sebagai pemuliaan dan pengaungan kepada Allah dan
bentuk ubudiyah kepada Allah. Dan seorang mukmin akan merasakan kelezatan disaat dia
menundukkan hatinya kepada Allah pada saat sujud, yang dia tidak rasakan ditempat lain. Maka
Mahasuci Allah yang orang-orang mengerjakan shalat bersujud kepada-Nya diatas tanah dan
mensucikan-Nya dari kerendahan dengan ucapan mereka : “ Subhana Rabiyal A‟la “.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 38


BAB 5
ADAB-ADAB ZIARAH (BERKUNJUNG)

Allah ta‟ala berifrman :


‫ث م َّٰلرت ۚ ِّمن قَح َحِبل صلَح ٰوةَحِب‬ ٰ ‫اك ٱاَّل َحِبذين ملَح َحكت أَحيَٰحنُس ُسك ٱاَّل َحِبذين َحَل ي لُسغُسوْب ٱحللُس َحِبم ُس‬ ‫ٰيأَحيُّد ٱاَّل َحِبذين ء منوْب اَحِبي ٔ َحِب‬
‫َح‬ ‫نك ثَحلَح َح َح‬ ‫ُس َح‬ ‫َح َح َح‬ ‫ستَحذ ُس ُس َح َح‬ ‫َح َح َح ُس َح‬ ‫َح َح‬
ۚ ‫صلَح ٰوةَحِب ٱاعَحِب َحش َحِبء‬ ‫َحِب َحِب َحِب‬ ‫ٱاف َحِبر َحِبح تَح ع َح َحِب‬
‫ون ثيَح َح ُسك ِّم َحن ٱالَّل َحِب َحرية َح من َحع َح‬ ‫َح َح َح َح ُس‬
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaknya para budak kalian meminta izin kepada kalian
demikian juga mereka yang belum mencapai akil baligh. Meminta izin sebanyak tiga kali sebelum
shalat shubuh, ketika kalian menanggalkan pakaian kalian pada waktu siang hari dan setelah shalat
isya‟ “ (An-Nur : 58 )

Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam beliau bersabda :
“Bahwa seseorang menziarahi saudaranya yang berada di desa yang berlainan. Lalu Allah Ta‟ala
mengirim satu malaikatnya menunggunya di jalan yang akan dilewatinya. Ketika dia datang
mendekati malaikat tersebut, malaikat tersebut bertanya : Hendak kemanakah engkau ? Dia
menjawab : Saya hendak menjumpai saudaraku di desa ini.
Malaikat itu berkata : Apakah saudaramu itu telah memberimu suatu nikmat yang hendak engkau
balas? Orang itu menjawab : Tidak, selain saya sesungguhnya mencintainya karena Allah „azza
wajalla. Malaikat itu berkata : Sesungguhnya saya adalah utusan Allah untukmu, menyampaikan
bahwa Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya.
Beberapa Adab Ziarah:
1. Ziarah diselain tiga waktu yang disebutkan pada ayat Al-Isti‟dzan
Allah subhanahu wata‟ala telah mengarahkan kaum mukminin agar menahan para pembantunya
dan juga anak-anak kecil yang belum baligh untuk tidak masuk kedalam kediaman mereka pada
waktu-waktu aurat yang tiga. Yakni sebelum shalat shubuh, waktu tidur siang dan setelah shalat
isya‟. Alasan dari larangan tersebut bahwa waktu-waktu ini adalah waktu biasanya tidur, terlelap
dalam istirahat dan mendatangi keluarga –baca istri, penj -. Dari situlah alasan larangan masuk
pada tiga waktu ini kecuali seizin yang punya rumah. Sedangkan ziarah ditiga waktu ini tidak
disangsikan lagi akan mengeruhkan ketenangan pemilik rumah. Dan mengganggu ketenangan
mereka. Dan juga akan menyebabkan mereka merasa terusik, dikarenakan sebagian besar
manusia tidaklah siap menyambut seorang tamupun pada waktu-waktu ini. Tetapi tidak termasuk
dari hal itu, jikalau seseorang diundang untuk menghadiri acara walimah, makan siang atau makan
malam, maka ini tidak termasuk dalam pembahasan diatas.
Dan ada baiknya kami menyertakan pada pembahasan ini sebuah hadits dan atsar.
Adapun hadits, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam shahihnya dari hadits Aisyah- umul
mukminin radhiallahu „anha, beliau berkata : “ Jarang sekali hari dimana Rasulullullah Shallallahu
„alaihi wa sallam mendatangi suatu rumah kecuali beliau mengunjungi rumah Abu Bakar di waktu
pagi dan petang. Dan ketika beliau telah diperbolehkan untuk keluar menuju Madinah – hijrah penj
– tidaklah suatu yang mengagetkan kami, selain beliau mendatangi kami diwaktu zuhur. Lalu Abu
Bakar memberitahukan kepada kami, beliau mengatakan : Tidaklah Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam mendatangi kami pada waktu ini kecuali karena suatu yang penting telah terjadi … al-hadits

Yang menjadi argumen pada hadits diatas, adalah kedatangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
pada waktu yang bukan merupakan waktu ziarah yakni waktu tidur siang. Dan keheranan Abu
Bakar atas kedatangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pada waktu ini menunjukkan bahwa
waktu in bukanlah waktu ziarah menurut mereka.

Adapun atsar, adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sendiri dan pada atsar tersebut
disebutkan : “ Beliau berkata : Danapabila sampai kepadaku sebuah hadits dari seseorang , maka
saya lantas mendatanginya sementara dia tengah tidur siang, maka saya menjadikan jubahku
sebagai pengalas kepala didepan pintunya, dan anginpun menghembuskan debu kewajahku … “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 39


Ulasan atsar diatas : Bahwa Ibnu Abbas dengan semangat beliau dalam menuntut ilmu, dan
memanfaatkan waktu sebaik mungkin, hanya saja beliau lebih mengedepankan untuk menunggu
keluarnya orang yang beliau ingin jumpai. Karena kedatangan beliau pada saat tidur siang yang
tiadalah adalah waktu orang-orang beristirahat.

2. Yang berziarah tidak menjadi imam shalat bagi pemilik rumah, dan tidak duduk
dipermadaninya kecuali dengan izinnya
Yang demikian tersebut dikarenakan seorang lelaki yang berada dirumahnya lebih berhak dari
selainnya. Maka diapun menjadi imam shalat, Dan duduk-duduk diatas permadaninya yang
disediakan baginya. Tidak diperbolehkan kecuali dengan izinnya. Telah datang dalil tersebut pada
hadits Abu Mas‟ud Al-Anshari marfu‟ kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bahwasanya beliau
bersabda : “ Yang menjadi imam pada suatu kaum adalah yang paling banyak bacaan / hafal akan
Kitab Allah, jika ada yang menyamai dalam bacaannya, maka dipilih yang lebih mengetahui akan
sunnah, jika ada yang menyamai dalam pengetahuan sunnahnya, maka didahulukan yang paling
awal hijrahnya, jika ada yang menyamai dalam hijrahnya, maka didahulukan dari mereka yang
lebih lama masuk Islam ( dalam riwayat lain : umur ) dan tidaklah seorang lelaki menjadi imam
bagi lelaki yang lain diwilayahnya, dan tidak pula duduk dalam rumahnya diatas tikar rumahnya
kecuali telah diijinkan olehnya ( pada riwayat lain : kecuali dia mengijinkanmu atau
mengijinkannya )”.
Berkata Imam An-Nawawi : “ Maknanya … Bahwa pemilik rumah, majlis dan Imam Masjid lebih
berhak daripada selainnya, jika disana tidak ada orang lain yang lebih luas wawasan kelimuannya,
lebih banyak hafalannya, lebih wara‟ dan lebih utama darinya, maka pemilik tempat lebih berhak
jika dia berkehendak dia dapat maju sebagai imam dan jika mau dia dapat mendahulukan orang
yang dikehendakinya, walau yang didahulukannya tersebut tidak lebih utama dari lainnya yang
hadir, karena dialah pemegan kekuasaan , dapat mempergunakan kekuasaannya tersebut menurut
yang dikehendakinya.
3. Meminimalkan intensitas ziarah
Hal tersebut diisyaratkan pada hadits Aisyah ummul mukminin radhiallahu „anha, yang telah
disebutkan sebelumnya, yakni perkataa beliau : “Jarang sekali hari dimana Rasulullullah Shallallahu
„alaihi wa sallam mendatangi suatu rumah kecuali beliau mengunjungi rumah abu Bakar di waktu
pagi dan petang “.
Dan pada riwayat lainnya : “ … Dan tidaklah ada hari yang terlewati oleh mereka berdua kecuali
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi kami diwaktu pagi dan petang “
Menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam seringkali mengunjungi Abu Bakar
radhiallahu „anhu.

Adapun hadis yang populer :


“ Ziarahilah setiap selang satu hari niscaya akan menambah rasa cinta “
Ibnu Hajar mengomentari hadits ini, beliau berkata : “ Sepertinya Al-Bukhari dalam terjemah bab
memberi isyarat akan kelemahan hadits yang populer : „ Ziarahilah setiap selang satu hari niscaya
akan menambah rasa cinta “. Hadist ini telah diriwayatkan dari banyak jalan periwayatan yang
sebagian besarnya adalah riwayat-riwayat yang gharib, tidak satupun jalan periwayatannya yang
selamat dari kritikan.

Sekiranyapun diterima kesahihan hadits tersebut, hadits tersebut tidaklah kontradiktif degan hadits
Aisyah. Ibnu hajar mengatakan : “ Dikarenakan keumuman hadits diatas dapat disisipkan
pengkhususan. Dengan demikian, hadits tersebut dimaksudkan bagi seseorang yang tidak ada
hubungan khusus dan kecintaan yang berkelanjutan, maka tidaklah mengurangi kunjungan
kerumahnya. Ibnu Baththal mengatakan : “ Seorang teman yang saling berkasih sayang tidak
banyaknya ziarah kecuali akan menambah kecintaah, berbeda dengan yang selainnya.
Faedah : Ibnu Abdil Barr mengatakan : Saya mengunjungi kekasihku yang nampak keriangan
bagiku. Dan menyambutku dengan keceriaan dan senyum. Apabila bukan karena keceriaan dan
senyum niscaya saya akan meninggalkannya. Dan seandainya dalam perjumpaan kecendrungan
dan suka cita.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 40


BAB 6
ADAB-ADAB BERTAMU
Allah ta‟ala berfirman :

‫غ َحِب َح َٰل‬ ‫ َحِبذ َحد َحخلُسوْب َحلَح َحِبيو فَح َحق اُسوْب َح ٰلَح ۖ قَح َحا َح ٰلَح قَحوم ُّدم َح‬٢٤ ‫َح‬
‫ فَح َحر َح‬٢٥ ‫نك ُسر َحن‬ ‫كرَحِبم‬ ‫ٱمل‬ ‫ي‬ ‫ى‬‫يف َحِب ٰرَحِب‬
‫ض َحِب‬ ‫يث‬ ‫ىل أَحتَحٰى ح َحِب‬
‫َح َح ُس َح‬ ‫َح‬ ‫ُس‬ ‫َح َح‬ ‫َح‬
٢٧ ‫ون‬ ‫أكلُس َح‬‫قَح َحا أَحَح تَح ُس‬ ‫ فَح َحقَّلرَحوۥُٓس َحِباَحي َحِب‬٢٦ ‫أَحىلَحِب َحِبوۦ فَح َح ء َحِبعَحِب ل َحَحِبا‬
‫َح‬
“Dan apakah telah sampai kepadamu – kisah – tamu mulia Nabi Ibrahim „alaihis salam. Ketika
mereka masuk menjumpai beliau seraya mengucapkan salam. Ibrahim menjawab : Salam bagi
kalian wahai kaum yang tidak saya kenali . Maka beliaupun bergegas menjumpai keluarganya,
kemudian datang dengan hidangan anak sapi yang gemuk. Lalu menyuguhkannya kepada mereka,
dan beliau mengatakan : Tidakkah kalian memakannya?“ (Adz-Dzariyat : 24 – 27)
Dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menyakiti
tetangganya, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia
memuliakan tmaunya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia
berkata yang baik atau diam “

Diantara adab-adab bertamu:


1. Menyambut ajakan/undangan resepsi
Ada sejumlah hadits yang sanad banyak yang menerengkan wajibnya menyambut undangan
resepsi, seperti sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Kewajiban seorangmuslim atas muslim
lainnya ada enam: Menjawab salam, mengunjungi yang sakit, mengantar jenazah, menymbut
undangan dan menjawab ucapan bersin “

Dan sabda beliau : “ Sambutlah undangan ini apabila kalian diundang untukmenghadirinya. Perawi
berkata: Adalah Ibnu Umar mendatangi undangan pengantin dan resepsi lainnya sementara beliau
tengah menjalankan puasa “

Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyambut undangan adalah suatu yang sunnah kecuali
resepsi pernikahan yang menurut mereka hukumnya wajib, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam : “ Seburuk-buruk makanan dalah makanan resepsi yang hanya diundang orang-
orang kaya sementara kaum fakir miskin diabaikan. Dan barang siapa yang mengabaikan
undangan pernikahan maka sunnguh dia telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya “.
Dan pada beberapa riwayat yang diriwayatkan oleh Muslim dan selain beliau dengan lafazh :
“ Menghalau yang mendatangi undangan sementara mengundang ke resepsi tersebut orang yang
enggan menghadirinya “.

Hanya saja sebagian ulama mengutarakan beberapa syarat dalam menghadiri undangan-undangan
seperti ini. Asy-Syaikh muhammad bin Al-„Utsaimin menyebutkan syarat-syarat tersebut :
a. Yang mengundang bukanlah seseorang yang mesti diisolasi atau sebaiknya diisolasi
b. Tidak terdapat suatu yang mungkar ditempat undangan. Apabila terdapat kemungkaran, jikalau
memungkinkan untuk menghilangkannya maka wajib untuk menghadiri undangan tersebut dengan
dua alasan : Memenuhi undangan dan untuk merubah kemungkaran. Apabila kemungkaran
tersebut tidak dapat dihilangkanya maka haram baginya untuk menghadiri undangan tersebut.
c. Yang mengundang mestilah seorang muslim, karena jika bukan seorang muslim, maka tidak
wajib memenuhi undangannya, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Kewajiban
seoang muslim atas muslim lainnya ada enam … “ dan diantaranya : Apabila diundang mestilah
memenuhi undangannya .

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 41


d. Undangan tersebut bukan dari hasil usaha yang haram, karena memenuhi undang tersebut
konsukuensinya adalah memakan makanan yang haram dan hal ini tidak diperbolehkan. Dan ini
merupakan pendapat sebagian ulama. Ulama lainnya berpendapat: Suatu yang diperoleh dengan
cara yang haram maka dosanya adalah bagi yang mengusahakan harta haram tersebut bukan bagi
yang memperolehnya dengan cara yang diperbolehkan dari orang yang mengusahakan harta
haram tersebut. Berbeda halnya jikalau yangdihidangkan adalah suatu yang memang diharamkan
zatnya seperti khamar, barang curian/rampokan dan lain sebagainya. Ini adalah pendapat yang
sesuai, [ lalu beliau mengemukakan beberapa dalilnya ].
e. Undangan tersebut tidak mengakibatkan pengabaian suatu yang wajib lainnya ataukah yang
lebih wajib. Apabila undangan tersebut mengakibatkan hal itu maka haram untuk dipenuhi.
f. Tidak mengakibatkan kemudharatan atas diri yang diundang, semisal: Mengharuskan perjalanan
yang jauh atau berpisah dengan keluarganya yang membutuhkan kehadiran dirinya ditengah-
tengah mereka.
Dan kami tambahkan juga:
g. Yang mengundang tidak menentukan yang diundang dan juga tidak mengkhususkan seseorang
dengan undangannya. Apabila dia tidak menentukan yang diundang, semisal yang mengundang
mengatakan disebuah majlis umum, maka tidaklah menjadi wajib untuk memenuhi undangan
tersebut, karena merupakan undangan yang umum –al-jafalaa–
Masalah : Apakah kartu undangan yang disebarkan semisal dengan undangan lisan ?
Jawab : Kartu undangan yang dikirimkan kepada orang banyak dan tidak diketahui kepada siapa
kartu undangan itu tiba, mungkin dapat dikatakan bahwa kartu undangan seperti itu semisal
dengan undangan secara umum, yang tidak wajib untuk dipenuhi. Adapun jika diketahui atau
disangkakan bahwa undangan tersebut dimasuhkan baginya secara khusus, maka hukumnya
termasuk hukum undangan secara langsun melalui lisan. Sebagaiamna dikatakan oleh Ibnu
„Utsaimin
Faedah : Puasa bukanlah halangan untuk menolak menghadiri undangan. Barang siapa yang
diundang namun dia dalam keadaan ebrpuasa, wajib abginya untuk menghadiri undangan untuk
mendoakan ampunan dan berkahbagi pengundang. Baik dia tengah mengerjakan puasa wajib atau
puasa sunnah.
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Apabila seseorang diantara kalian diundang, wajib baginya untuk menghadiri undangan. Apabila
dia dalam ekadaan berpuasa maka hendaknya dia mendokannya dan apabila dia dalam keadaan
berbuka hendaknya dia mencicipi hidangannya “
Sabda beliau : “ Hendaknya dia mendoakannya “ yang pada beberapa riwayat lainnya pada riwayat
Ahmad dan selai beliau bahwa yang dimaksud adalah doa: “ apabila dia berpuasa maka hendaknya
dia mengucapkan shalawat yakni mendoakannya “
Dan pada hadits abu Sa‟id Al-Khudri beliau mengatakan : “ Saya membuat makanan bagi Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam, ketika makanan tersebut dihidangkan, seseorang berkata : Saya lagi
berpuasa. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Saudaramu telah mengundang
engkau dan telah bersusah payah bagimu, berbukalah dan puasalah lain hari penggantinya jika
engkau mau “
An-Nawawi mengatakan : “ adapun seseorang yang berpuasa, tidak ada perbedaan pendapat
bahwa baginya tidak wajib untuk makan. Akan tetapi apabila puasanya puasa yang wajib tidak
boleh baginya untuk memakan hidangan dikarenakan puasa yang wajib tidak diperbolehkan untuk
ditinggalkan. Apabila puasa yang sunnah, maka boleh baginya untuk berbuka dan juga boleh tidak.
Namun apabila puasanya tersebut meresahkan pengundang yang menyuguhkan makananm maka
lebih utama dia berbuka dan jika tidak maka dia menyempurnakan puasanya. Wallahu „alam.
2. Memuliakan tamu hukumnya wajib
Banyak hadits dalam perkara wajibnya memuliakan tamu dan disenanginya hal itu, dari Uqbah bin
„Amir radhiallahu „anhu dia berkata : “ Kami bertanya : “ Wahai Rasulullah apabila anda mengutus
kami dan dan kamipun singgah / tinggal pada suatu kaum, tidaklah mereka manjamu kami
bagaimana pendapat anda ?”. Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab : ” Jika
kalian singgah pada suatu kaum maka perintahkanlah bagi kalian dengan apa yang sebaiknya

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 42


untuk tamu, maka temuilah, jika tidak mereka lakukan maka ambillah dari mereka haknya tamu
yang sepantasnya untuk mereka”.
Dan Lafazh menurut At-Tirmidzi : “ Jika mereka enggan, kecuali hingga kalian mengambilnya
dengan cara yang kurang disenangi maka ambillah”. Demikian pula sabda beliau Shallallahu „alaihi
wa sallam : ” Bertamu itu selama tiga hari, dan jaizahnya siang dan malam, dan tidaklah dihalalkan
bagi seorang muslim berdiam disisi saudaranya hingga dia berbuat dosa kepadanya”. Para sahabat
bertanya : “ Wahai Rasulullah bagaimanakah dia berbuat dosa kepadanya? ”. Beliau berkata : “ Dia
berdiam disisinya, dan tidak ada sesuatupun untuknya yang bisa dia jamu dengannya”.
An-Nawawi menyebutkan tentang ijma‟ atas bertamu dan bahwasanya dia termasuk apa yang
ditekankan oleh Islam. Kemudian beliau menjelaskan perbedaan pendapat dikalangan ulama akan
wajib dan sunnahnya. Adapun Malik, Asy-Syafi‟I dan Abu Hanifah berpendapat bahwasanya dia
adalah sunnah dan bukan wajib dan membawa hadits-hadits yang serupa dengannya dari hadits-
hadits lain semisal hadits tentang mandi Jum‟at wajib bagi setiap orang dewasa dan selainnya.
Berkata Al-Laits dan Ahmad akan wajibnya bertamu selama jarak siang dan malamnya, dan Ahmad
membatasi hal tersebut pada penduduk desa dan yang berada dipedalaman padang pasir selain
penduduk kota.
Faedah : Didalam hadits terdapat larangan tentang tinggalnya seorang tamu lebih dari tiga hari,
agar bertamunya menjerumuskannya kepada persangkaan yang tidak diperbolehkan, atau
mengghibah diriya atau lain sebagainya. Al-Khaththabi mengatakan: “ Tidak halal bagi tamu
berdiam disisinya setelah tiga hari tanpa adanya ajakan, yang akan menjadikan dadanya sempit
dan amalnya menjadi batal.
Ibnul Jauzi mengatakan dalam menerangkan sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Hingga
menjadikannya berdosa “ : Hal itu apabila tidak ada suatu yang menjadi alasan jamuannya , maka
dengan berdiamnya dia akan menjadikan ketidak senangan. Terkadang dirinya akan disinggung
dengan penyebutan yang buruk, dan terkadang diapun akan menjadi berdosa dalam pemberian
yang diinfakkannya kepada si tamu “
Akan tetapi terkecualikan apabila si tamu mengetahui bahwa yang menjamuunya tidak membenci
hal itu, ataukah memintanya untuk lebih lama lagi tinggal ditempat itu. Adapun jika si tamu merasa
ragu akan keadaan yang menjamu, maka lebih utama dia tidak berdiam diri melebihi tiga hari.
3. Disenangi menyambut para tamu
Dari Ibnu Abbbas radhiallahu „anhuma, beliau berkata : “ Ketika rombongan Abdul Qais telah tiba
untuk mengunjungi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda
: Marhaban – yakni selamat datang – kepada rombongan yang datang tanpa kehinaan dan tanpa
penyesalan … al-hadits “
Dan yang tidak disangsikan lagi, bahwa seseorang menyambut para tamunya dengan ungkapan-
ungkapan selamat datang dan yang serupa dengannya akan menanamkan rasa sukacita dan
kedekatakan terhadap mereka. Dan hal tersebut dibenarkan dengan kenyataan.
4. Ucapan tamu apabila dia diikuti seseorang yang tidak diundang
Dia mengatakannya serupa dengan yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam .
Dari Abu Mas‟ud radhiallahu „anhu, beliau berkata : “ Pada kaum Anshar terdapat seseorang yang
dikenal dengan panggilan Abu Syu‟aib. Dia mempunyai seorang anak yang gemuk berisi. Maka dia
berkata kepadanya : Buatlah makanan dan undanglah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersama empat lainnya – menjadi lima orang, – Maka diapun mengundang Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersama empat lainnya. Dan seorang mengikuti mereka, maka Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya anda mengundang kami berlima, dan orang ini telah
mengikuti kami, jikalau anda berkenan anda dapat mengizinkannya dan jika tidak anda dapat
menolaknya. Orang tersebut berkata : Melainkan saya mengizinkannya “
Pada hadits ini terdapat beberapa fedah yang akan kami kemukakan sebagian diantaranya yang
berkaitan dengan pembahasan kita disini.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 43


Pada hadits tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang mengundang suatu kaum yang memiliki
sifat tertentu, lalu kemudian diantara mereka ada yang tidak seperti sifat mereka, maka orang
tersebut tidak termasuk dalam cakupan keumuman undangan tersebut … Dan pada hadits tersebut
juga menunjukkan bahwa barang siapa yang bertingkah layaknya anak kecil – ikut-ikutan – bagi
yang mengundang dapat memilih berkaitan dengan haknya, apabila dia masuk tanpa izin dia dapat
mengusirnya. Dan bagi siapa yang bertingkah laku seperti itu tidaklah dilarang diawal mulanya,
karena orang yang mengikuti Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , tidaklah beliau Shallallahu „alaihi
wa sallam menolaknya, karena ada kemungkinan yang mengundang akan berbaik hati dan
memberinya izin. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Hajar.
5. Berlebih-lebihan dalam menjamu tamu
Tidak sepatutnya sangat berlebihan dalam menjamu tamu hingga melampau batasan yang dapat
diterima akal sehat. Dikarenakan berlebihan membebani diri secara umum adalah suatu yang
terlarang. Dari Anas radhiallahu „anhu beliau berkata : “ Kami pernah berada bersama dengan
Umar, lalu beliau berkata : Kami telah dilarang untuk berlebihan membebani diri “
Namun tidak ada batasan yang dapat dijadikan acuan untuk perkataan kami ini : apakah termasuk
dalam bentuk membebani diri berlebihan ataukah tidak. Namun yang dijadikan acuan dalam hal itu
adalah kebiasaan. Apabila kebiasaan/adat kaum manusia telah menganggap suatu perkara sebagai
hal yang berlebihan dan memandangnya sebagai pembebanan diri yang berlebihan, maka ini
tergolong pembebanan diri yang berlebihan, dan jika tidak maka juga tidak.
Dan makanan yang dibuat bagi para tamu, mestilah seukuran yang diinginkan tanpa berlebih-
lebihan dan tidak sampai tidak mencukupi. Dan sebaik-baik perkara yang adalah yang
pertengahan.

Dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhu beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Makanan untuk seseorang cukup untuk berdua, makanan
untuk tiga orang cukup untuk berempat dan makanan untuk empat orang cukup untuk berdelapan

Adapun yang terjadi pada hari ini berupa sifat berlebih-lebihan yang dilakukan sebagian orang
dalam acara resepsi mereka, berlebih-lebihan dalam membebani diri untuk resepsi tersebut, dan
telah melampaui batas yang disyarii‟atkan, maka ceritakanlah semua tanpa segan ! Bahkan
sebagian diantara mereka berlomba siapakah yang dapat mengalahkan rekannya, dalam
banyaknya ragam makanan yang dihidangkan, berlebihan dalam hal tersebut hingga dikatakan
bahwa fulan bin fulan telah melakukan ini dan ini. Tidaklah disangsikan lagi bhwa perbuatan ini
suatu yang tercela. Dan tidak diperbolehkan memakan makan seperti ini. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah
melarang memakan makanan dua orang yang menyajikan makanan untuk menyerupai orang
selainnya “
Al-Khaththabi mengatakan : Al-Mutabariyaini adalah dua orang yang bersaing dengan perbuatan
mereka. Dikatakan dua orang tabaaraa apabila seseorang diantara mereka berdua melakukan
serupa dengan yang dilakukan rekannya agar terlihat siapakah yang dapat mengalahkan rekannya.
Dan hal itu dibenci karena terkandung amal riya`, sifat untuk bersaing menonjolkan diri dan juga
karena tergolong dalam kategori larangan Allah dari memakan harta dengan batil “
6. Masuk dengan izin dan beranjak pulang setelah selesai
Adab ini telah diterangkan didalam Al-Qur`an. Alah ta‟ala berfirman :

‫ٱدخلُسوْب فَحَحِبإ َحذ‬ ‫َحِب‬ ‫ٰ َحِب‬ ‫ٰ َحِب‬ ٍ ‫َّل َحِب‬


‫ين َحِباَحٰىوُس َح اَحكن َحِب َحذ ُسد يتُس فَح ُس‬ ‫َحِب‬ ‫وت َحِب ِّ َحِب‬
‫ٱانَّلِب َّل أَحن يُسؤ َحذ َحن اَح ُسك َح َٰل طَح َحع م َح َحري اَحل َحِبر َح‬ ‫ين ءَح َحمنُسوْب َح تَح ُسخلُسوْب ُسيُس َح‬ ‫ٰيَحأَحيُّد َح ٱاذ َح‬
ۚ ‫يث‬ٍ ‫ستَحنَحِب َحِبس َحِبحل َحِب‬ ‫َحِب‬ ‫َحِب‬
‫طَحع تُس فَحٱاتَحش ُسر ْب َحَح ُسم ٔ َح َح‬
“ Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian memasuki rumah Nabi kecuali setelah kalian
dizinkan untuk masuk mencicipi makanan tanpa menunggu-nunggu waktu makan. Akan tetapi
apabila kalian telah diundang maka masuklah dan apabila kalian telah makan maka segeralah
kalian beranjak pergi tanpa berlama-lama berbincang “ (Al-Ahzab : 53 )

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 44


Allah subhanahu wata‟ala telah melarang kaum mukmini memasuki rumah Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam kecuali seizin beliau. Dan dmeikian halnya kaum mukminin tidaklah mereka memasuki
rumah sebgian dari mereka kecuali dengan izin. Dan larangan tersebut emnckup seluruh kaum
mukminin.

Asy-Syaukani berkata : “ Allah melarang kaum mukminin melakukan hal itu dirumah Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam . Dan larangan tersebut mencakup seluruh kaum mukminin. Dan
keharusan seluruh manusia untuk mengambil adab dari Allah untuk mereka dalam hal itu. Allah
telah melarang mereka masuk kesuatu rumah kecuali setelah diizinkan untuk makan bukan
sebelumnya untuk menunggu makanan dihidangkan.

Dan telah menjadi kebiasaan mereka di zaman Jahiliyah , mereka mendatangi suatu resepsi lebih
awal, menungu makanan dihidangkan. Maka Allah melarang mereka melakukan hal itu, didalam
firman-Nya : “ Tanpa menunggu-nunggu waktu makan “ ( QS. Al-Ahzab 53 ). Yakni tanpa menanti
makanan dihidangkan kemudian menyambutnya.

Kemudian Allah subhanahu wata‟ala menerangkan bahwa barang siapa yang keperluannya telah
terpenuhi hendaknya segera beranjak pergi dan tidaklah duduk menemaninya berbincang-bincang.
Dikarenakan hal itu akan mengganggu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam . Demikian halnya bagi
kaum manusia, karena sebagian besar diantara mereka merasa terganggu apabila orang-orang
yang diundang berlama-lama setelah menyelesaikan makannya. Maka tidak seyogyanya seseorang
berdiam lama ditempat mereka, kecuali jika pemilik rumah mengharapkan mereka tinggal, ataukah
jika kebiasaan kaum tersebut seperti itu. Dan tidak ada rasa keberatan dan tidak juga mengganggu
maka hal tersebut tidaklah mengapa. Dikarenakan alasan larangan tersebut telah tertiadakan.
7. Mendahulukan yang lebih tua dan mendahulukan yang berada pada sisi bagian kanan,
baru yang selanjutnya.
Selayaknya bagi seseorang yang menjamu para tamu,agar mendahulukan yang paling tua serta
memberi perhatian lebih kepadanya. Hal itu dikarenakan anjuran Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
dalam beberapa hadits untuk melakukan hal itu.

Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Saya diperlihatkan didalam tidurku, bahwa saya mempergunakan siwak, lalu
dua orang menghampiriku , salah satunya lebih tua dari yanglain, Lalu saya menyodorkan siwka
kepada yang lebih muda. Maka dikatakan kepadaku : Yang lebih tua. Lalu sayapun
menyodorkannya kepada yang lebih tua “
Dan beliau bersabda : “ Sesungguhnya yang termasuk dari keagungan Allah : menghormati orang
muslim yang sudah tua, orang yang menghafal Al-Qur`an, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa
bersikap kasar terhadapnya dan menghormati penguasa yang adil”.
Adapun hadits Sahl bin Sa‟ad radhiallahu‟anhu : “ Bahwasanya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam didatangkan kepada beliau minuman maka beliaupun meminumnya, dan disamping kanan
beliau ada seorang anak kecil dan disamping kirinya seorang yang sudah tua, maka beliau berkata
kepada anak kecil tersebut : “ Apakah engkau mengijinkanku kalau aku memberi mereka ? “. Anak
kecil itu menjawab : “ Demi Allah wahai Rasulullah tidak ada yang berat untukmu jika bagianku
diberikan kepada seseorang ”. Sahl berkata : “ Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
meletakkannya diatas tangannya”.
Maka hal inilah jika akan memberikan faedah mendahulukan yang kanan entah yang kanan
tersebut anak kecil atau orang besar, kecuali dia tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang
mendahulukan orang yang lebih tua dari selainnya, dan memungkinkan bagi kita untuk
menggabungkan antara keduanya maka kita katakan : Sesungguhnya mendahulukan yang kanan
diperuntukkan bagi orang yang meminum sesuatu dan menyisakannya minumannya. Lalu
memberikan kepada yang berada dibagian kanannya, kecuali jika dia mengizinkanya. Dan seputar
makna inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr: “ Dan pada hadits ini terkandung adab
menyuguhkan makanan dan bermajlis. Bahwa seseorang apabila makan atau minum, memberikan
sisanya kepada yang berada dibagian kanannya, siapapun dia, walau dia seorang yang tidak begitu
mempunyai keutamaan, sementara yang berada dibagian kirinya seseorang yang memiliki
keutamaan.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 45


Mendahulukan yang lebih tua, diberikan disaat awal menyuguhkan minum atau makanan.
Kemudian setelah itu dilanjutkan kepada yang berada dibagian kanannya. Sepertinya pendapat
inilah yang dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma,
beliau berkata : “ Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menuangkan minuman, beliau
bersabda : Mulailan dengan yang lebih tua “.
Dan dengan ini, dalil-dalil yang ada dapat diselaraskan. Wallahu a‟lam
8. Doa yang diucapkan tamu setelah memperoleh jamuan makanan
Termasuk sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, apabila beliau memakan makanan yang
dihidangkan oleh kaum, beliau mendoakan mereka. Dari Anas, beliau berkata : Bahwa Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam mengunjungi Sa‟ad bin „Ubadah, lalu beliau menghidangkan roti dan
minyak. Kemudian beliau Shallallahu „alaihi wa sallam makan, lalu mengucapkan :

‫ت َحلَحْبي ُسك ُس ْبمل َحاَحِب َحك ُس‬


‫صلَّل ْب‬
‫َح‬ ‫َح‬ ‫ َحأ َح‬,‫ال اَحِب ُس ْبو َحن‬
,‫َحك َحل طَح َحع َحم ُسك ُس ْبألَحْب َحر َحر‬ ‫أَحفْبطَحَحر َحِبْبن َح ُسك ُس َّل‬
“Orang-orang yang
‫َح‬
berpuasa telah berbuka ditempat kalian, dan orang-orang yang baik telah
memakan makanan kalian, dan para malaikat mendoakan kalian “
Sebagian ulama mengkhususkan doa ini ketika berbuka puasa saja, sementara mayoritas ulama
berpendapat doa ini berlaku mutlak baik ketika berbuka puasa atau selainnya.

Pada hadits Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiallhu „anhu yang panjang tentang menyuguhkan susu.
Dan pada hadits tersebut, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berdoa :

‫ َح ْب َحِبس َحم ْبن َح َحق َحِبا‬, ‫َحالّل ُس َّل أَحطْبعَحِب ْب َحم ْبن أَحطْب َحع َح َحِب‬
“Ya Allah, berilah makan kepada yang telah memberiku makan dan berilah minum bagi yang telah
memberiku minum “
An-Nawawi mengatakan : “ Pada hadits tersebut menunjukkan doa bagi seorang yang berbuat baik
dan juga bagi yang telah melayani, dan bagi yang telah melakukan kebaikan.

Abdullah bin Busr meriwayatkan bahwa bapaknya pernah membuat makanan bagi Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam , kemudian mengundang beliau dan beliaupun menyambutnya. Ketika beliau telah
selesai menyantap hidangannya, beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
‫َحِب‬ ‫َحِب‬ ‫َحِب‬
‫َحالّل ُس َّل ْب فْبر َحُس ْب َح ْبر َحْب ُس ْب َح َح رْب َحُس ْب فْبي َح َحرَحزقْب تَح ُس ْب‬
“Ya Allah ampunilah mereka dan berilah mereka rahmat dan berilah berkah bagi mereka dari apa
yang Engkau rizkikan untuk mereka “

9. Disenangi keluar bersama tamu hingga ke pintu


Perbuatan ini termasuk dalam bagian kesempurnaan menjamu tamu, dan kebaikan dalam melayani
tamu. Dan menyertainya hingga dia berlalu dari rumah. Dan tidak satupun hadits yang marfu‟ dan
shahih yang dapat dijadikan pedoman akan hal itu. Hanya beberapa atsar dari Salaf umat ini dan
para Imam mereka. Dan kami hanya mencukupkan dengan sebuah atsar saja, yaitu : Abu „Ubaid
Al-Qasim bin Sallam mengunjungi Ahmad bin Hanbal … Abu „Ubaid berkata : “ Dan ketika saya
hendak berdiri, beliau berdiri menyertaiku. Saya berkata : Janganlah anda melakukan hal itu wahai
Abu Abdillah. Beliau bekata : Asy-Sa‟bi mengatakan : Termasuk kesempurnaan ziarah seorang
tamu, adalah anda menyertainya hingga kepintu rumah dan anda mengambil berkahnya … “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 46


BAB 7
ADAB-ADAB BERMAJELIS

Allah Ta‟ala berfirman :

‫ٱاش ُسز ْب يَحرفَح َحِبع‬ ‫ۖ َحِب َحِب‬ ‫فس َحِبح ٱالَّلوُس اَح ُسك‬ ‫ين ءَح َحمنُسوْب َحِب َحذ قَحِبيل اَح ُسك تَح َحف َّلس ُس وْب َحِبِف ٱمل َٰح لَحِب َحِب‬ ‫ٰيَحأَحيُّد َح ٱاَّل َحِبذ‬
‫ٱاش ُسز ْب فَح ُس‬
‫يل ُس‬
‫َح َحذ ق َح‬ ‫ٱفس ُس وْب يَح َح‬ ‫س فَح َح‬ ‫َح‬ ‫َح‬
‫َحِب‬ ‫َح‬ ‫َحِب‬ ‫ٱالَّلو ٱاَّل َحِبذين ء منوْب َحِبم ُس َّل َحِب‬
١١ ٞ ‫ون َحخَحِبري‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫ِب‬
‫َح ُس َح َح َح ُس َح‬ ‫و‬ ‫َّل‬
‫ٱال‬ ۚ ‫ت‬ ‫ين أُس تُسوْب ٱاعل َح َحد َحر َٰح‬
‫نك َحٱاذ َح‬ ‫ُس َح َح َح ُس‬
“Wahai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepada kalian untuk melapangkan majlis,
maka lapangkanlah semoga Allah akan melapangkan bagi kalian. Dan apabila dikatakan kepada
kalian untuk berdiri, maka berdirilah. Dan Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang
beriman diantara kalian dan orang-orang yang memiliki ilmu beberapa derajat. Dan Allah
Mahamengetahui apa yang kalian perbuat“ (Al-Mujadalah : 11 )

Di antara adab-adab bermajlis :


1. Keutamaan dzikrullah didalam majlis dan larangan majlis yang tidak disebutkan nama
Allah pada majlis tersebut.
Telah ada larangan keras dari majlis yang sama sekali tidak disebut nama Allah, seperti yang
disebutkan didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda :
ٍ ‫) محا ٍر وكان هلم حسرًةما من‬
ٍ ‫قوم يقومون من‬
( ‫جملس ال يذكرون اهلل فيه إال قاموا عن مثل جيفة‬
“ Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah dari suatu kaum mereka bangkit dari
suatu majlis yang tidak disebutkan nama Allah padanya kecuali mereka bangkit semisal bangkai
keledai, dan bagi mereka hanyalah penyesalan”.

Dan pada lafazh hadits ini terdapat penyangkalan pada majlis semacam itu. Sabda beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Kecuali mereka bangkit semisal bangkai keledai “, maksudnya
semisal dengan bangkai keledai yang berbau busuk dan menjijikkan. Itu semua karena
perbincangan mereka membicarakan kehormatan orang dan lain sebagainya. Yang dimaksud
dengan kerugian adalah penyesalan, karena pengabaian mereka.
Sebaliknya dengan hal itu, apabila majlis-majlis ini dimakmurkan dengan menyebut nama Allah
dan memuji-Nya. Ucapan shalawat kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , maka majlis-majlis
ini akan dicintai Allah ta‟ala. Dan orang yang berada dimajlis tersebut akan diberi limpahan
kebaikan .
Hadist Abu Hurairah radhiallahu „anhu memberitahukan kepada anda akan hal itu. Beliau berkata :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat
yang mengelilingi jalan-jalan, mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka menemukan
suatu kaum yang berdzikir kepada Allah, mereka akan saling menyeru satu dengan lainnya:
Kemarilah mengambil bagian kebutuhan kalian.
Beliau bersabda: Lalu mereka mengembangkan sayap-sayap mereka kelangit dunia.
Beliau bersabda: Lalu Rabb mereka bertanya kepada mereka, sedangkan Allah lebih mengetahui
dari pada mereka, Apakah yang dikatakan para hamba-Ku ?
Mereka mengatakan : “ Hamba-hambaMu bertasbih kepada-Mu, bertakbir kepada-Mu, memuji-Mu
dan memuliakan-Mu.
Beliau bersabda: “ Lalu Allah Ta‟ala berifrman : Apakah mereka melihat-Ku ?”
Para malaikat menjawab: Tidak, demi Allah mereka tidak melihat-Mu.
Beliau bersabda: Allah berfirman : lalu bagaimanakah jika mereka telah melihat-Ku ?
Beliau bersabda : Para malaikat mengatakan : Seandainya mereka melihat-Mu, maka mereka akan
semakin giat beribadah, akan semakin memuliakan-Mu, memuji-Mu dan memperbanyak tasbih
kepada-Mu.
Beliau bersabda: Dan apakah yang mereka minta ?
Beliau bersabda: Para malaikat mengatakan: Mereka meminta surga.
Beliau bersabda: Allah Ta‟ala berfirman: Apakah mereka telah melihat surga ?

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 47


Beliau bersabda: Para malaikat mengatakan: Tidak demi Allah wahai Rabb-Ku tidaklah mereka
melihatnya.
Beliau bersabda: Allah berfirman: Lalu bagaimana jika mereka telah melihat surga ?
Beliau bersabda: Para Malaikat mengatakan : Seandainya mereka telah melihat surga, niscaya
mereka akan semakin bersemangat, semakin mengharapkannya dan keinginan mereka semakin
besar.
Beliau berkata: Allah berfirman: Apakah yang mereka meminta perlindungan darinya ?
Beliau bersabda : Para Malaikat mengatakan : Mereka meminta perlindungan dari api neraka.
Beliau bersabda: Allah berfirman: Apakah mereka telah melihat api neraka?
Beliau bersabda: Para malaikat mengatakan : Tidak demi Allah wahai Rabb-Ku mereka belumlah
melihat neraka.
Beliau bersabda: Allah berfirman: Bagaimanakah jika mereka telah melihat api neraka?
Beliau bersabda: Para Malaikat mengatakan: Seandainya mereka telah melihat api neraka, niscaya
mereka akan semakin menghindarinya, dan akan semakin bertmabah rasa tkau mereka akan api
neraka.
Beliau bersabda: Allah berfirman: Saya mempersaksikan kalian bahwa sesungguhnya Aku telah
mengampuni meeka.
Beliau bersabda: Satu dari Malaikat itu berkata : Diantara mereka seseorang yang bukan bagian
dari mereka, sesungguhnya dia datang untuk suatu keperluan.
Allah berfirman: Mereka adalah teman-teman yang sesama satu majlis, tidak orang yang duduk
disamping mereka akan merasa bersedih "

2. Memilih rekan semajlis


Diantara perkara yang sangat penting pada kehidupan seseorang, adalah memilih teman satu
majlis. Dikarenakan manusia akan terpengaruh dengan teman satu majlisnya, dan ini suatu yang
mesti, betapapun orang tersebut mempunyai kekuatan hati dan kepribadian. Olehnya itu Nabi kita
Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengarahkan agar memilih dengan teliti sahabat baik, seperti
didalam sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Seseorang akan menuruti agama teman
dekatnya, maka hendaknya salah seorang diantara kalian memperhatikan teman dekatnya “
Makna hadits diatas : bahwa seseorang senantiasa mengikuti adat kebiasaan temannya, tingkah
laku dan pergaulannya. Maka hendaknya dia memperhatikan dengan seksama dan meneliti siapa
yang dia akan jadikan teman baik. Barang siapa yang agamanya dan akhlaknya baik maka dia
hendaknya menjadikannya sebagai teman baik, dan barang siapa yang tidak seperti itu, maka
diapun menjauhinya. Karena sesungguhnya tabiat manusia adalah pencuri.
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah memberikan perumpamaan kepada kita dan mendudukkan
pengaruh seorang teman duduk kepada temannya. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“ Semisal seorang teman duduk yang shalih dan teman duduk yang buruk, laksana pembawa misik
dan pandai besi. Seorang penjaja misik, dia akan memberimu atau anda akan membeli darinya,
ataukah anda akan mendapatkan bau wangi darinya. Sementara seorang pandai besi, dia akan
menjadikan pakaian anda terbakar ataukahk akan anda akan merasakan hawa panas “
Hadist diatas ini menerangkan peringatan akan teman duduk yang buruk dan anjuran untukduduk
bersama orang-orang yang shalih dan bertakwa. Dan teman duduk yang buruk ada dua, apakah
dia itu seorang pelaku bid‟ah/mubtadi‟ ataukah seorang yang fasik.
Adapun jika dia seorang mubtadi‟, sekian banyak perkataan para ulama As-Salaf yang
memperingatkan hal itu akan mereka.Tidak duduk dengan meeka, dikarenakan mereka akan
mendatangkan mudharat terhadap agama dan dunia. Majlis para pelaku bid‟ah tidak akan lepas
dari dua hal, apakah itu dia akan terbenam dalam bid‟ah mereka, ataukah dia akan mendapatkan
kebimbangan dan keragu-raguan karena syubuhat menyesatkan yang dilontarkan para pelaku
bid‟ah. Dan kedua hal tersebut suatu yang buruk.
Diantara perkataan para ulama As-Salaf yang mencela pelaku bid‟ah dan peringatan untuk tidak
duduk dengan mereka, perkataan Al-Hasan Al-Bashri: “ Janganlah kalian duduk dengan pengumbar
hawa nafsu dan janganlah kalian berdebat dengan mereka dan janganlah kalian mendengarkan
mereka “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 48


Abu Qilabah mengatakan: “ Janganlah kalian duduk dengan mereka, dan janganlah kalian bergaul
dengan mereka, karena sesungguhnya saya tidak menjamin kalian akan aman bahwa mereka akan
membenamkan kalian di kesesatan mereka dan akan menyamarkan sebagian besar perkara yang
telah kalian ketahui “
Ibnu Al-Mubarak mengatakan: “ Jadikanlah majlis kalian bersama dengan orang-orang yang
misikin dan janganlah engkau semajlis dengan pelaku bid‟ah.

Al-Fudhail bin „Iyadh mengatakan: “ Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mencari halakah-
halakah dzikir, maka perhatikanlah anda duduk semajlis dengan siapa. Dan janganlah majlis anda
bersama dnegna pelaku bid‟ah , karena sesungguhnya Allah tidak akan melihat kepada mereka.
Dan alamat nifak adalah seeroang berdiri dan duduk bersama dengan pelaku bid‟ah.
Dan apabila teman duduk adalah seorang yang fasik, maka anda tidak akan selamat dari
mendengarkan perkataan yang kotor, ucapan yang batil, ghibah dan terkadang juga disertai
dengan pengabaian shalat dan perbuatan maksiat lainnya yang akan mematikan hati sanubari. Dan
dari sinilah kita dapat jumpai bahwa sebagian besar orang-orang yang terjerumus setelah
sebelumnya istiqamah, sebabnya karena duduk bersama orang yang fasik.
3. Ucapan salam bagi yang berada di majlis, ketika datang dan pergi
Telah disebutkan kepada kita, adab-adab mengucapkan salam, dan penjelasan bahwa termasuk
amalan yang sunnah adalah mengucapkan salam kepada orang-orang yang berada disuatu majlis
ketika mendatangi mereka dan ketika hendak pergi meninggalkannya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, Beliau berkata: "Apabila seseorang diantara kalian
mendatangi suatu majlis hendaknya dia mengucapkan salam, dan apabila dia bekeinginan untuk
duduk maka duduklah, kemudian apabila dia hendak berdiri pergi, maka sesungguhnya yang
pertama tidaklah lebih utama dari pada yang terakhir “. At-Tirmidzi mengatakan : hadits ini hasan.
4. Makruh memberdirikan seseorang dari majlis duduknya kemudia dia duduk ditempat
tersebut
Siapa saja yang duduk ditempat yang diperbolehkan seperti masjid dan semisalnya, maka dia lebih
berhak dengan majlis duduknya dari pada selainnya. Dimana apabila tiba-tiba dia meningalkan
majlis duduknya karena suatu perkara, kemudian dia kembali lagi kemajlis duduknya untuk selang
waktu yang tidak begitu lama, maka dia lebih berhak dengan majlis duduknya, dan dia boleh
memberdirikan orang yang duduk ditempat dia.
Dalil akan hal itu adalah sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah
radhiallahu „anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Apabila salah seorang
diantara kalian berdiri – dan pada hadits Abu „Awanah : Barang siapa yang berdiri dari majlisnya
kemudian dia kembali ke majlis duduknya, maka dia lebih berhak dengan majlis duduknya tersebut

Yang sebaiknya bagi seorang yang berada dimajlis untuk tidak mengabaikannya, karena dialah
yang lebih berhak untk duduk dimajlis tersebut. Olehnya itu dijumpai larangan memberdirikan
seseorang dari majlis duduknya yang diperbolehkan baginya. Ibnu Umar radhiallahu „anhuma
meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang seseorang diminta berdiri
dari majlis dimana didudk disitu kemudian orang lain duduk dimajlis dia. Akan tetapi lapangkanlah
dan luaskan. Dan Ibnu Umar membenci seseorang berdiri dari majlis duduknya lalu dia duduk
ditempat orang tersebut “
Hikmah dari larangan ini adalah agar tidak melecehkan hak seorang muslim yang akan
menyebabkan perasaan benci. Dan anjuran untuk bersikap rendah hati yang akan menumbuhkan
rasa kasih sayang. Dan juga setiap orang kedudukannya sama berkaitan dengan perkara yang
mubah. Siapa saja yang telah mendapatkan sesuatu sebagai haknya maka sesuatu menjadi hak
miliknya. Dan barang siapa menjadikan sesuatu sebagai hak miliknya tapa alasan yang benar maka
termasuk perbuatan merampok yang diharamkan. Demikian yang dikatakan Ibnu Abu Jamrah.
Masalah : Kita telah mengetahui makruhnya memberdirikan seseorang dari majlis duduknya
kemudian duduk ditempat tersebut. Akan tetapi apakah hukum makruh ini akan sirna jika si
pemilik majlis mengizinkannya ?

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 49


Jawab : Apabila si pemilik majlis telah menyerahkan majlis duduknya kepada orang lain, maka
tidak ada larangan untuk duduk dimajlis tersebut. Disebabkan majlis itu adalah haknya dan dia
telah menyeahkannya kepada orang lain.

Adapun pendapat Ibnu Umar yang mengaggapnya makruh dalam sebuah atsar dari beliau, telah
diriwayatkan oleh Abu Al-Khushaib, dia berkata : “ Saya pernah duduk , kemudian Ibnu Umar
datang, dan seseorang lantas berdiri dari majlis duduknya, namun beliau tidaklah duduk dimajlis
tersebut akan tetapi duduk ditempat yang lain. Maka orang itu berkata : Tidaklah mengapa jika
anda duduk ditempat tersebut. Ibnu Umar mengatakan : Saya tidak akan duduk ditempat engkau
duduk sebelumnya dan tidak juga pada tempat duduk orang selain anda, setelah suatu yang saya
saksikan sendiri dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , seseorang datang kepada Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam lalu seseorang lainnya berdiri dari majlis duduknya, kemudian orang
yang datang itu pergi dan duduk ditempatnya. Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
melarangnya “
Adapun yang disandarkan kepada Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, Imam An-Nawawi mengatakan :
Ini adalah sikap wara‟ beliau. Dan duduk ditempat tersebut bukanlah suatu yang haram, apabila si
pemilik majlis berdiri dan merelakanya. Akan tetapi beliau bersikap wara dari dua sisi :
Pertama : Mungkin seseorang merasa segan kepada beliau , maka orang itu berdiri dari majlisnya
namun dengan hati yang tidak mengenakkan. Olehnya itu Ibnu Umar berusaha menutup pintu
kemugkinan ini, agar selamat dari hal ini.
Kedua : Mendahulukan seseorang karena kekerabatan, adalah suatu yang makruh atau menyalahi
suatu yang utama, Olehnya itu Ibnu Umar menolak hal itu agar seseorang tidak melakukan suatu
yang makruh ataukan menyalahi suatu yang utama karena dirinya, dengan mundur dari tempatnya
dishaf yang eprtama dan mengedepankan beliau dan yang serupa dengan itu.
Masalah lainnya : Sebagian kaum muslimin bersengaja menghamparkan sajadah shalat atau
yang serupa karena keinginan mereka untuk mendapatkan keutamaan shaf pertama, sementara
mereka melambatkan kedatangan kemasjid. Apakah perbuatan ini suatu yang dibenarkan syariat ?

Jawab : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah mengomentari masalah ini secara khusus, beliau
mengatakan : “ Adapun yang dilakukan sebagian besar kaum muslimin dengan mendahulukan
hamparan permadani dimasjid pada hari jum‟at atau hari lainnya, sebelum mereka mendatangi
masjid, maka perbuatan ini suatu yang terlarang sesuai dengan konsensus kaum muslimin, bahkan
suatu yang haram.
Apakah shalatnya diatas permadani itu shahih ? Ada dua pendapat dikalangan ulama, karena
merupakan perbuatan merampas bagian dari masjid dengan menghamparkan permadani
diatasnya, kemudian menghalangi orang-orang lainnya yang hendak mendirikan shalat dimasjid
yang telah bersegera menuju masjid untuk mengerjakan shalat pada tempat itu.”
Lalu beliau lanjut mengatakan : “ … yang disyariatkan dimasjid, adalah orang-orang memenuhi
shaf yang pertama, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam :
“ Tidakkah kalian mengatur shaf sebagaimana para malaikat mengatur shaf disisi Rabb mereka ? ”
Para sahabat bertanya : Dan bagaimanakah para malaikat mengatur shaf disisi Rabb mereka ?
Beliau menjawab : “ Mereka menyempurnakan shaf yang pertama, kemudian yang berikutnya dan
mereka rapat dalam shaf mereka “

Dan didalam Ash-Shahihain dari beliau Shallallahu „alaihi wa sallam beliau bersabda:
“ Seandainya kaum muslimin mengetahui besarnya pahala menyambut adzan dan shaf yang
pertama, lalu mereka tidak mendapatkannya kecuali setelah mengundi, niscaya mereka akan
mengundinya. Dan seandainya mereka mengetahui besarnya pahala bersegera mendatangi shalat
diwkatu siang niscaya mereka akan berlomba “
Yang diperintahkan pada hadits tersebut adalah seseorang dengan sendirinya berlomba menuju
masjid. Apabila dia mendahulukan permadaninya sementara dia snediri terlambat maka dia telah
menyelisihi syariat dari dua tinjauan :
Pertama : Karena dia terlambat sedangkan yang diperintahkan adalah untuk bersegera.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 50


Dan tinjauan lainnya karena dia telah merampas salah satu bagian masjid, dan menghalangi
orang-orang yang terlebih dahulu mendatangi masjid untuk mengerjakan shalat ditempat tersebut.
Dan menghalangi mereka menyempurnakan shaf pertama kemudian shaf berikutnya. Kemudian
juga dia akan melangkahi orang-orang yang telah terlebih dahulu hadir . Dalam sebuah hadits
disebutkan : “ Seseorang yang melangkahi leher-leher orang maka dia telah mengambil jembatan
menuju jahannam “ . Dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Duduklah, karena
sesungguhnya engkau telah menyakitiku “
Kemudian jikalau dia telah menghamparkan permadani/sajadah ini, bolehkan seseorang yang
mendahuluinya hadir dimasjid untuk mengangkat permadani itu kemudian dia shalat ditempatnya ?
Ada dua pendapat mengenai hal itu.
Pertama : Tidak dibenarkan baginya untuk melakukan hal itu, dikarenakan merupakan tergolong
perbuatan memindahkan milik orang tanpa izinnya.
Kedua : Dan ini pendapat yang tepat, bahwa boleh bagi orang lain untuk mengangkat
permadaninya, kemudian mengerjakan shalat ditempatnya. Dikarenkan orang yang lebih dahulu
tibanya lebih berhak untuk mengerjakan shalat di shaf terdepan itu. Dan juga hal itu suatu yang
diperintahkan. Dan tidaklah mungkin perintah tersebut dilakukan dan memenuhi hak ini kecuali
dengan mengangkat permadani itu . Dan suatu perintah yang tidak sempurna kecuali dengan
sesuatu yang lain, maka sesuatu tersebut juga diperintahkan.
Dan pula, permadani yang dihamparkan itu, diletakkan dengan pemaksaan. Dan itu adalah
kemunkaran. Sementara Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah bersabda:
“ Barang siapa diantara kalian uang melihat kemungkaran makan hendaknya dia merubahnya
dengan tangannya, apabila dia tidak sanggup maka hendaknya dia merubahnya dengan lisannya
dan apabila dia tidak sanggup maka hendaknya dia merubahnya dengan hatinya, dan itulah
selemah-lemahnya iman “
Namun perlu diperhatikan dalam melakukan hal itu agar jangan sampai mengkaibatkan
kemungkaran yang lebih besar dari kemungkaran tersebut Wallahu ta‟ala a‟lam.

5. Melapangkan majlis.
Allah ta‟ala berfirman :

‫ٱاش ُسز ْب يَحرفَح َحِبع‬ ‫َحِب‬ ‫ۖ َح َحِب َحذ‬ ‫فس َحِبح ٱالَّلوُس اَح ُسك‬ ‫ين ءَح َحمنُسوْب َحِب َحذ قَحِبيل اَح ُسك تَح َحف َّلس ُس وْب َحِبِف ٱمل َٰح لَحِب َحِب‬ ‫ٰيَحأَحيُّد َح ٱاَّل َحِبذ‬
‫ٱاش ُسز ْب فَح ُس‬
‫يل ُس‬
‫ق َح‬ ‫ٱفس ُس وْب يَح َح‬ ‫س فَح َح‬ ‫َح‬ ‫َح‬
‫َح‬ ‫ٱالَّلو ٱاَّل َحِبذين ء منوْب َحِبم ُس َّل َحِب‬
١١ ‫ون َحخ ري‬
ٞ ‫َحِب‬ ‫ين أُس تُسوْب ٱاعَحِبل َح َحد َحر َٰح ت َحٱالوُس ِبَح تَحع َح لُس َح‬
‫َحِب‬ ‫َّل‬ ۚ
‫نك َحٱاذ َح‬ ‫ُس َح َح َح ُس‬
“ Wahai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepada kalian untuk melapangkan majlis,
maka lapangkanlah semoga Allah akan melapangkan bagi kalian. Dan apabila dikatakan kepada
kalian untuk berdiri, maka berdirilah. Dan Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang
beriman diantara kalian dan orang-orang yang memiliki ilmu beberapa derajat. Dan Allah
Mahamengetahui apa yang kalian perbuat “ (Al-Mujadalah : 11 )

Ini adalah adab dari Allah yang diberikan kepada setiap hamba-Nya. Apabila mereka berkumpul
dalam suatu majlis secara berkelompok, dan sebagian diantara mereka atau sebagian yang datang
membutuhkan kelapangan baginya dimajlis, maka termasuk adab agar mereka melapangkan majlis
untuk yang datang tersebut. Untuk mencapai maksud dari ayat ini.
Dan hal itu jangan sampai mengakibatkan sedikitpun kemudharatan bagi yang melapangkan
majlis. Dia mengupayakan tercapainya tujuan saudaranya namun tanpa kemudharatan setelahnya.
Dan balasan akan disesuaikan dengan amalan. Karena barang siapa yang melapangkan bagi
saudaranya maka Allah akan melapangkan baginya. Dan barang siapa yang melebarkan bagi
saudaranya maka Allah akan melebarkan baginya.
“ Dan apabila dikatakan bangkitlah “ Yakni berdirilah dan mundurlah dari majlis kalian, karena
suatu keperluan mendadak, maka : “ Bangkitlah “ yakni segeralah berdiri untuk mencapai
kemashlahatan itu.
Karena berdiri semisal dalam perkara-perkara ini termasuk dalam cakupan ilmu dan iman.
Sebagaimana diaktakan oleh Ibnu Sa‟di.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 51


6. Tidak diperbolehkan memisahkan dua orang kecuali dengan izin keduanya.
Berkaitan dengan hal ini diterangkan dalam sebuah hadits, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : ( ‫) امذإب الإ نينثا نيب قرفي نأ لجرل لحي ال‬
“ Tidak halal bagi seseorang memisahkan dua orang kecuali dengan izin mereka berdua “
Ini merupakan adab nabawiyah yang sangat agung. Yaitu melarang seseorang duduk diantara dua
orang kecuali dengan izin mereka berdua. Dan sebab larangan itu : bahwa bisa jadi antara kedua
orang tersebut terjalin kecintaan dan kasih sayag dan telah terikat hal-hal yang rahasia serta
amanah, maka pemisahan mereka berdua dengan dduduk diantara keduanya akan membuat
keduanya keberatan. Demikian disebutkan didalam „Aun Al-Ma‟bud.
7. Duduk dibagian akhir majlis
Adab ini suatu yang tetap ditunjukkan dari perbuatan sahabat diiringi pembenaran Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam kepada mereka.

Dari Jabir bin Smaurah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Apabila kami mendatangi Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam salah seorang diantara kami duduk dibagian akhir majlis “

Dimana para sahabat apabila seseorang diantara mereka mendatangi suatu majlis tidaklah pernah
memaksakan diri untuk duduk dibagian depan, atau berdesakan dan bersempit-sempitan dengan
yang duduk lainnya. Bahkan mereka duduk ditempat berakhirnya majlis. Ini menunjukkan
kesempurnaan adab mereka radhiallahu „anhum wa ardhaahum.
8. Larangan dua orang berbicara – dengan berbisik – tanpa melibatkan orang yang ketiga
Didalam Al-Lisan, disebutkan bahwa makan an-najwa : Adalah pembicaraan rahasia antara dua
orang. Jika dikatakan : Najautu najwan maknanya saya berbicara rahasia dengannya. Demikian
juga dengan kalimat : Najautuhu . Dan kata bendanya adalah an-najwa.
At-tanajau yang terlarang adalah dua orang yang berbicara rahasia tanpa melibatkan orang yang
ketiga. Sebab larangan itu, agar kesedihan tidak meresapi hati orang yang ketiga karena melihat
dua rekannya yang berbicara dengan rahasia.

Sementara syaithan sangatlah bersemangat untuk memasukkan kesedihan , was-was dan


kebimbangan didalam hati seorang muslim. Olehnya itu datang larangan Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam akan perbuatan itu yang dengan begitu akan memotong setiap jalan syaithan. Dan agar
supaya seorang muslim tidak berprasangka buruk kepada para saudaranya.
Dalil akan hal itu adalah sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Tidaklah dua orang saling
berbicara rahasia tanpa mengikutkan orang yang ketiga, karena yang dmeikian itu akan
menyebabkannya bersedih “. Adapun pada riwayat yang lainnya : “Janganlah kalian berbisik-bisik
berdua tanpa menyertakan orang yang ketiga “.

Namun apabila kaum tersebut berjumlah empat orang atau lebih maka tidak mengapa hal itu
dilakukan, karena alasannya telah tertiadakan.

Dan juga hadits Abdullah bin Mas‟ud, beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Apabila kalian terdiri atas tiga orang maka janganlah dua orang berbicara rahasia tanpa
menyertakan yang ketiga, hingga berada dikerumunan orang banyak karena yang seperi itu akan
membuatnya bersedih “
Adapun perbuatan Ibnu Umar radhiallahu‟anhuma, menunjukkan realisasi hadits tersebut. Abdullah
bin Dinar meriwayatkan, beliau berkata : Saya bersama Abdullah bin Umar berada dirumah Khalid
bin‟Uqbah yang berada dipasar. Lalu seseorang datang dan hendak membicarakan sesuatu yang
rahasia dengannya. Dan tidak ada seorangpun yang bersama dengan Abdullah bin Umar selain
diriku dan orang yang hendak mengajak Ibnu Umar untuk bebricara. Lalu Abdullah bin Umar
memanggil orang lain lagi, hingga kami menjadi berempat. Beliau berkata kepadaku dan kepada
orang yang beliau panggil : Menyingkirlah sedikit. Karena sesunguhnya saya telah mendengar
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Tidaklah dua orang berbicara rahasia tanpa
menyertakan yang ketiga “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 52


9. Larangan menyimak pembicaraan orang tanpa izin
Telah ada ancaman yang keras bagi seseorang yang mendengarkan pembicaraan suatu kaum
sementara mereka tidak menyukainya. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Abbas radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Barang siapa yang menceritakan suatu mimpi yang tidaklah dilihatnya maka dia akan dibebankan
untuk menyatukan dua biji gandum namun tidak melakukannya. Dan barang siapa yang
mendengarkan pembicaraan suatu kaum sementara kaum tersebut tidak menyukainya ataukah
mereka menjauh darinya maka akan dituang ketelinganya timah cair pada hari kiamat. Dan barang
siapa yang menggambarkan gambar mka dia akan diazab dan akan dibebani kepadanya untuk
meniupkan ruh pada gmabar tersebut sementar dia tidak dapat meniupkannya “
Hanya saja larangan tersebut terbatas jika kaum terseut tidak menyukai hal itu. Dan tidak
termasuk dalam larangan itu apabila mereka meridhainya. Dan juga tidak termasuk apabila
perbincangan mereka secara keras hingga yang berada disekitarnya mendengarkan. Karena
seandainya mereka hendak menyembunyikan pembicaraan mereka tidaklah mereka
mengeraskannya “

10. Sikap duduk yang terlarang


Telah shahih diriwayatkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bahwa beliau melarang sikap
duduk tertentu. Dan pada beberapa keadaan yang tertentu. Sikap dan keadaan ini, diantaranya
ada yang dapat kita ketahui alasannya melalui nash dan ada juga yang dapat diketahui melalui
ijtihad dan telaah ilmiyah.

Sikap duduk yang terlarang diantaranya :


Seseorang duduk dengan meletakkan tangan kirinya tepat dibelakang punggungnya lalu
bersandar/bertelekan dengan daging pangkal persendian tangan yang tepat berada dipangkal ibu
jari.
Hal itu diterangkan pada hadits Asy-Syariid bin Suwaid radhiallahu „anhu, beliau mengatakan : “
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melewatiku disaat aku sedang duduk seperti ini. Saya
meletakkan tangan kiriku dibelakang punggungku lalu saya bertelekan dengan siku tangan
belakangku. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Apakah engkau duduk sebagaimana
duduknya kaum yang Allah murkai ? “

Adapun keadaan yang dilarang, yaitu seseorang duduk diantara cahaya matahari dan bayangan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu beliau berkata: Abul Qasim Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: Apabila salah seorang dari kalian berada dibawah matahari – Makhlad mengatakan :
Berada dibawah terik cahaya matahari – dan bayangan yang menaunginya menjadi menyusut
sehingga sebagian dirinya berada dibawah matahari dan sebagian lainnya dinaungi bayangan maka
hendaknya dia berdiri “
Dan pada riwayat Ahmad : “ hendaknya dia berpindah dari tempat duduknya “
Dan dari jalan Buraidah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
melarang seseorang duduk diantara bayangan dan cahaya matahari “
Dan sebab dari larangan itu : bahwa majlis yang seperti itu adalah majlis syaithan, yang dengan
sangat jelas disebutkan didalam riwayat Ahmad dan selainnya.

Ahmad telah meriwayatkan dari hadits seseorang dari sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ,
berkata: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang seseorang duduk diantara cahaya
matahari dan naungan bayangan. Dan beliau bersabda: Tempat duduk tersebut adalah tempat
duduk syaithan “

Masalah : Telah shahih diriwayatkan didalam Shahih Muslim dan lainnya dari hadits Jabir bin
Abdullah : Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Janganlah seseorang diantara
kalian duduk terlentang dengan meletakkan salah satu kakinya berada diatas kaki lainnya “. Dan
juga telah shahih diriwayatkan didalam Ash-Shahihaini dan selainnya, dari hadits Abbad bin Tamim
dari pamannya, bahwa beliau telah menyaksikan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berbarig
didalam masjid sambil mengangkat salah satu kaki beliau dan diletakkan pada kaki lainnya “.
Kedua hadits ini secara zhahir bertentangan, lalu bagaimana menyelaraskannya ?

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 53


Jawab : Sebagian ulama mengatakan: Bahwa larangan tersebut mansukh dengan perbuatan Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam . Namun Ibnu Haja menyanggah pendapat tersebut, karena hukum
nasakh tidak dapat ditetapkan hanya dengan persepsi belaka. Saya berkata: Namun mesti
mengetahui nash mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan.
An-Nawawi dan ulama lainnya menyatukan kedua hadits tersebut, beliau berkata: Dan ada
kemungkinan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melakukannya untuk menerangkan pembolehan,
bahwa jikalau kalian menghendaki duduk terlentang maka perbuatlah seperti ini. Dan larangan
yang saya larang akan duduk terlentang tidaklah berlaku secara mutlak. Melainkan maksudnya,
bagi siapa yang akan terbuka sedikit dari auratnya atau akan menyebabkan terbukan aurat.
Wallahu a‟lam.
Dan yang menguatkan pendapat ini, bahwa perbuatan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bertujuan
menerangkan suatu pembolehan bukan sebagai pengkhususan bagi beliau, adalah riwayat yang
shahih didalam Shahih Al-Bukhari – setelah beliau menyebutkan hadits abbad bin Tamim dari
pamannya -, beliau berkata: Dari Ibnu Syihab dari Sa‟id bin Al-Musayyib, beliau berkata: Umar dan
Utsman keduanya melakukan hal itu.
Dan apabila sebagian sahabat melakukan hal itu, hal itu menunjukkan bahwa perbuatan Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam menunjukkan suatu pembolehan. Akan tetapi mestilah aman dari
tersingkapnya aurat. Wallahu a‟lam.

11. Larangan memperbanyak tawa


Bukanlah merupakan suatu kepribadian yang baik dan bukan juga suatu adab, apabila didalam
sautu majlis lebih dominan tertawa. Sedikit tertawa akan menumbuhkan kegesitan didalam hati
dan melegakan hati sementara banyak tertawa adalah penyakit yang akan mematikan hati. Dari
abu Hurairah radhiallahu „anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
‫ فإن كثرة الضحك تميت القلب‬،‫ال تكثروا مه الضحك‬
“ Janganlah kalian memperbanyak tawa karena banyak tertawa akan mematikan hati “
12. Makruh bersendawa dihadapan beberapa orang
Ditunjukkan pada sebuah hadits yang marfu‟ hingga ke-Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata : “ Seseorang bersendawa
dihadapan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , lalu beliau bersabda : “ Seharusnyalah engkau
menahan sendawamu dihadapan kami, karena sesungguhnya yang paling kenyang diantara mereka
didunia maka akan merasakan lapar yang teramat lama pada hari kiamat “
13. Disunnahkan menutup majlis dengan bacaan Kaffarah Majlis
Ketika seorang manusia adalah makhluk yang lemah dan syaithan senantiasa berupaya untuk
menyesatkannya dan selalu berusaha untuk memalingkannya, dan mempengaruhinya melalui cara
membujuknya melakukan perbuatan-perbuatan jelek. Maka diapun mengintai kaum muslimin
disetiap majlis mereka dan tempat-tempat pertemuan mereka, mendorong mereka untuk
mengatakan perkataan dusta dan batil.

Namun Allah Maha Pengasih kepada setiap hamba-Nya mensyariatkan kepada meeka melalui lisan
Nabi mereka beberapa kalimat yang sebaiknya mereka ucapkan, yang akan menggugurkan segala
noda yang menggantungi mereka pada majlis itu kemudian juga Rabb mereka telah berkenan
menjadikan kalimat-kalimat ini sebagai penyerta majlis-majlis kebaikan, maka segala puji hanya
bagi Allah pada awal dan akhir. Kalimat-kalimat ini disebutkan didalam hadits Abu Hurairah
radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Barang siapa
yang duduk disuatu majlis yang banyak ucapan sia-sianya, kemudian dia sebelum berdiri
mengucapkan: Subhanakallahumma wabihamdika, Laa Ilaha anta, astagfiruka tsumma atubu
ilaika, kecuali Allah akan mengampuni segala yang ada pada majlis itu “
Dan pada riwayat At-Tirmidzi : “ Subhanakallahumma wa bihamdika Asyahadu Anlaa ilaha illa anta
astagfiruka wa atuubu laika “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 54


Dan dari hadits Aisyah beliau berkata : Bahwa apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
duduk pada suatu majlis atau shalat, beliau mengucapkan beberapa kalimat. Maka Aisyah bertanya
kepada beliau tentang kalimat-kalimat tersebut, beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “
Apabila dia berbicara dengan kebaikan, maka akan menjadi penyertanya pada hari kiamat, dan
apabila dia berbicara dengan selain itu, maka akan menjadi kaffarah baginya. Subhanakallahumma
wa bihamdika astagrifukan wa atuubu ilaika “

BAB 8
ADAB-ADAB BERBICARA
Allah ta‟ala berfirman :

٣٦ ‫ٱاف َحؤ َحد ُسك ُّدل أُسْب ٰاَحئَحِب َح َحك َحن َحنوُس َحمسُٔسو‬
‫لَحر َح ُس‬ ‫يس اَح َح َحِبَحِبۦو َحِبل ٌم ۚ َحِب َّلن َّل‬
‫ٱاس َحع َحٱاَح َح‬ ‫قف َحم اَح َح‬
‫َحَح تَح ُس‬
“ Dan janganlah kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak mempunyai ilmu tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung
jawabannya “ (Al-Israa` : 36 )

Dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:


‫ر ليو أض ن او جلن‬ ‫حلييو م‬ ‫من ي ن يل م‬
“ Barang siapa yang dapat memberi jaminan atas apa yang ada antara jenggotnya dan yang
berada diantara kedua kakinya, maka saya akan menjaminnya surga “
Di antara adab-adab berbicara :
1. Menjaga Lisan
Yang sepatutnya bagi seorang muslim adalah memperhatikan lisannya dengan baik. Menghindari
perkataan yang batil, perkataan dusta, ghibah, adu domba, perkataan yang keji, secara ringkas
dari semua itu adalah menjaga lisannya dari segala yang Allah dan Rasul-Nya haramkan.
Seseorang mungkin mengucapkan suatu kalimat yang akan mencelakakan kehidupan dunianya dan
juga akhiratnya. Dan bisa pula mengucapkan suatu kalimat dimana dengan kalimat tersebut Allah
akan mengangkatnya beberapa derajatnya. Yang menunjukkan hal itu adalah sabda beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam :
“ Sesungguhnya seorang hamba akan berbicara dengan suatu ucapan yang sama sekali dia
memperoleh kejelasannya, maka diapun dijerumuskan di api neraka lebih jauh dari pada arah
timur “ Dan pada riwayat Muslim dan Ahmad : “ Lebih jauh melebihi jarak antara timur dan barat"
Dan juga pada riwayat Ahmad : “ Sesungguhnya seseorang akan berbicara dengan suatu ucapan
untuk membuat orang-orang yang duduk menyertainya tertawa, maka dia dicampakkan melebihi
jauhnya bintang tsurayya “
Dan sebagaimana suatu kalimat akan dapat menjadi penyebab kemurkaan Allah, juga suatu
kalimat dapat menjadi sebab pengangkatan derajat dan kebahagiaan. Beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda :
“ Sesunguhnya seorang hamba akan mengucapkan suatu kalimat dari keridhaan Allah dimana dia
sama sekali tidak memperhatikannya, maka Allah mengangkatnya beberapa derajatkarena kalimat
tersebut. Dan sesungguhnya seorang hamba akan mengucapkan suatu kalimat dari kemurkaan
Allah yang dia sama sekali tidak menyadarinya, hingga dia dicampakkan ke neraka jahannam "
Dan pada pertanyaan Mu‟adz bin Jabal radhiallahu „anhu kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam tentang amalan yang akan memasukkan kedalam surga dan menjauhkan dari api neraka,
kemudian Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menyebutkan rukun-rukun Islam, dan beberapa pintu
kebaikan. Kemudian beliau bersabda: “ Maukah saya beritahukan kepadamu yang mengumpulkan
semuanya itu ? Beliau menjawab : Tentulah wahai Nabi Allah. Maka beliau lantas mengeluarkan
lidahnya dan mengatakan: Jagalah ini. Saya berkata : Wahai Nabi Allah, akankah kami disiksa
karena apa yang kami ucapkan ? Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: Celakalah engkau
wahai Mu‟adz. Apakah kaum manusia akan ditelungkupkan wajah-wajah mereka kedalam api
neraka atau kerongkongan mereka kecuali karena hasil dari lisan mereka ? “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 55


Bahkan perkara ini tidak hanya sebatas ini saja. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah
memberikan jaminan surga bagi yang menjaga lisannya dan juga kemaluannya. Beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda :
“ Barang siapa yang dapat memberi jaminan atas apa yang ada antara jenggotnya dan yang
berada diantara kedua kakinya, maka saya akan menjaminnya surga “

Jadi wajib bagi seorang muslim untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari hal-hal yang Allah
haramkan, untuk mengharapkan keridhaan-Nya, dan berharap meraih ganjaran pahala dari-Nya.
Dan hal itu suatu yang mudah bagi yang Allah mudahkan baginya.

Faedah : Dari Abu Sa‟id al-Khudri radhiallahu „anhu [ Hammad bin Zaid mengatakan ] Saya tidak
mengetahui kecuali hadits ini beliau riwayatkan secara marfu‟ , beliau berkata : “ Apabila bani
Adam bangun pada pagi hari, maka seluruh anggota tubuhnya menegur lisan, dan mengatakan :
Takwalah engkau kepada Allah, karena apabila engkau lurus maka kamipun akan lurus, dan apabila
engkau menyimpang maka kamipun akan menyimpang “
Dan sabda beliau: “ Anggota tubuhnya menegur lisannya”, maknanya bahwa seluruh anggota
tubuhnya tunduk dan merendah dihadapan lisan, taat kepadanya. Apabila engkau wahai lisan, lurus
maka kamipun kaan lurus, dan apabila engkau menyelisihi dan menyimpang dari jalan yang lurus,
maka kami akan mengikutimu, maka bertakwalah engkau kepada Allah bagi kami.
Dan hadits ini tidaklah kontradiktif dengan saba beliau Shallallahu „alaihi wa sallam – dari hadits
An-Nu‟man bin Basyir – : “ Ketahuilah bahwa pada jasad seseorang terdapat segumpal daging,
apabila daging tersebut baik, maka seluruh jasad akan menjadi baik, dan apabila segumpal daging
tersebut rusak maka akan rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah
hati “

At-Thibi mengatakan : Lisan merupaka penerjemah hati dan penggantinya pada bagian zhahir
tubuh. Apabila suatu perkara disandarkan kepadanya maka itu berupa majaz dalam hukum. Seperti
perkataan anda : Dokter menyembuhkan seorang yang sakit. Al-Maidani mengatakan tentang
sabda beliau : Seseorang bergantung dengan dua hal yang kecil pada dirinya, kedua hal tersebut
adalah hati dan lisan. Maknanya seseorang akan benar dan menjadi sempurna kepribadiannya
dengan dua hal tersebut.

Zuhair menggubah sebuah sya‟ir:


Dan selamanya anda akan menyaksikan seorang yang diam akan kagum
Bertambah dan berkurangnya dia pada ucapannya
Lisan seorang setengah dan setengah lagi hati sanubarinya
Maka tidak lagi tersisa selain bentuk daging dan darah.
2. Ucapkan perkataan yang baik atau diamlah
Adab Nabawi pada perkataan bagi orang-orang yang ingin berbicara supaya berbicara dengan pelan
dan memikirkan perkataannya yang ingin dia katakan dengannya, jika perkataan itu baik maka
bagus untuk dikatakan dan hendaklah dia mengatakannya, jika perkataan itu buruk maka
hendaklah dia berhenti darinya maka hal itu baik bagi dirinya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiallahu „anhu beliau berkata : “ Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Barang
siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka janganlah dia menyakiti tetangganya, Barang
siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya, Barang siapa
beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah dia berkata yang baik atau diam”.
Sabda beliau : “hendaklah dia berkata yang baik atau diam”. Berkata Ibnu Hajar : “ Perkataan ini
adalah Jawami‟ul kalam dikarenakan semua perkataan bisa dia berupa kebaikan, bisa berupa
keburukan dan bisa juga bermuara kepada salah satu dari keduanya. Termasuk dalam cakupan
kebaikan semua yang dituntut dari perkataan-perkataan yang wajib ataupun yang sunnah,
diperbolehkan padanya tentang perbedaan jenisnya, dan masuk padanya segala perkataan yang
bermuara kepadanya. Adapun selainnya maka hal tersebut adalah keburukan atau yang bermuara
kepada hal yang buruk, maka disaat hendak memperdebatkannya diperintahkan untuk berdiam diri
”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 56


3. Kalimat yang baik adalah shadaqah
Hadist Abu Hurairah radhiallahu „anhu yang telah lalu pembahasannya menunjukkan kepada kita
bahwa seseorang diperintahkan untuk bicara yang baik-baik atau diam, kemudian syariat menyukai
dalam berbicara yang baik dikarenakan padanya ada dzikir kepada Allah, kebaikan pada agama dan
dunia mereka, dan kebaikan diantara mereka… serta selainnya hal-hal tersebut dari tinjauan yang
bermanfaat. Ganjaran yang diberikan atas hal itu adalah mendapatkan pahala. Diriwayatkan dari
Abu Hurairah radhiallahu „anhu bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Setiap
ruas dari manusia atasnya terdapat shadaqah, setiap hari yang terbit padanya matahari : dengan
dia berbuat adil diantara dua orang adalah shadaqah, seorang lelaki pada peliharaannya dan
membawakannya atau mengangkatkan barangnya adalah shadaqah, kalimat yang baik adalah
shadaqah, dan setiap langkah yang dia langkahkan untuk shalat adalah shadaqah, serta
menyingkirkan gangguan dari jalan adalah shadaqah”.
Terkadang suatu kalimat yang baik akan menjauhkan pembicaranya dari api neraka. Dari „Adi bin
Hatim radhiallahu „anhu bahwasanya Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menyebut perihal api neraka
neraka lalu beliau memalingkan wajahnya dan berlindung darinya, kemudian beliau berkata : “
Takutlah bertakwalah kepada neraka walau dengan sebutir kurma, barang siapa yang tidak
mendapatinya maka dengan kalimat yang baik”.

4. Keutamaan sedikit berbicara dan makruhnya banyak berbicara


Telah diterangkan lebih dari sebuah hadits tentang anjuran untuk sedikit berbicara. Karena banyak
berbicara dapat menjadi sebab tergelincirnya seseorang dalam dosa. Jadi seseorang yang banyak
berbicara tidaklah berasa aman dari lisannya yang lepas dan kekeliruannya. Oleh karena itulah, ada
anjuran untuk sedikit berbicara dan larangan banyak berbicara.
Al-Mughirah bin Syubah radhiallahu „anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam , bahwa beliau bersabda:
“ Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi kalian perbuatan durhaka kepada ibu, sebagai
larangan yang keras. Dan mengubur hidup-hidup anak wanita, dan membenci jika kalian mengutip
perkataan, banyak bertanya dan menghambur-hamburkan harta “

Sabda beliau : “ Dan membenci jika kalian mengutip perkataan “, yaitu menceburkan diri pada
kabar dan cerita-cerita orang tentang keadaan dan perbuatan mereka yang tidak mendatangkan
manfaat. Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi.

Banyak berbicara adalah suatu yang tercela dalam syariat. Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma
meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Sesunggunya oang yang
paling saya cintai diantara kalian dan yang paling dekat majlisnya kepadaku pada hari kiamat
adalah yang paling terpuji akhlaknya. Dan sesungguhnya yang paling saya benci dan paling jauh
majlisnya dariku pada hari kiamat adalah orang-orang yang banyak cakap, orang-orang yang
memfasihkan bicaranya serta al-mutafaihiquun. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah kami
telah mengetahui apa itu ats-tsatsaaruun – yang banyak cakap – dan juga al-mutasyaddiquun,
namun apakah itu al-mutaaihiquun ? Beliau menjawab: Yakni orang-orang yang angkuh “
Faedah: Abu Hurairah berkata : “ Tidak ada kebaikan pada perkataan yang berlebihan ”. Umar bin
Al-Khaththab mengatakan: “ Barang siapa yang banyak berbicara maka akan sering tergelincir “
Ibnu Al-Qasim mengatakan: “ Saya telah mendengar dari Malik, beliau berkata: “ Tidak ada
kebaikan pada banyak berbicara, dan hal itu merupakan tingkah kaum wanita dan anak-anak.
Tingkah laku mereka selamanya adalah berbicara dan tidak diam …

Lainnya mengatakan:
Seseorang meninggal karena kesalahan lisannya
Dan seseorang tidaklah meningal karena kesalahan kakinya
Tergelincirnya dia dari mulutnya yang akan menghempaskan kepalanya
Sementara tergelincirnya dia dengan kakinya akan bersih perlahan-lahan

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 57


5. Peringatan akan ghibah dan an-namimah adu domba
Sangat banyak kutipan dari Al-Qur`an ataupun As-Sunnah yang menunjukkan larangan melakukan
ghibah dan namimah. Dengan konsukuensi ancaman yang sangat berat. Larangan terhadap kedua
perbuatan tersebut juga telah maklum adanya ditengah-tengah kaum muslimin seluruhnya. Akan
tetapi, kita masih akan menjumpai sangat banyak orang yang tidak berhati-hati dalam
mempergunakan lisaannya berbicara menyangkut kehormatan dan daging orang-orang. Akan
tetapi inilah hiasan syaithan bagi mereka, untuk mencerai beraikan persatuan mereka dan
mengobarkan kemarahan didalam hati sebagian dari mereka atas sebagian lainnya.
Sementara syariat didatangkan untuk menyatukan kalimat, menyatukan hati, berbaik sangka
kepada orang lain dan mengatakan perkataan yang benar dan yang baik … Sedangkan syaithan
selalu berusaha untuk mencerai beraikan persatuan, memisahkan hati sebagian orang dengan
sebagian lainnya, bebruruk sangka kepada orang lain dan mengucapkan perkataann yang batil dan
yang buruk.

Dari Jabir radhiallahu „anhuma, beliau berkata: Saya telah mendengar Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “ Sesungguhnya syaithan telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang
mendirikan shalat dijazirah Arab, akan tetapi syaithan tidak berputus asa untuk menghasut
diantara mereka “

Makna hadits diatas : bahwa sesungguhnya syaithan telah berputus asa menggoda para penduduk
jazirah Arab untuk menyembahnya, akan tetapi syaithan senantiasa berusaha menghasut mereka
untuk saling bermusuhan, kebencian, peperangan, menyebar fitnah dan lain sebagainya. Demikian
yang dikatakan oleh An-Nawawi.

Ghibah dan namimah adalah salah satu benih kebencian dan permusuhan yang ditanamkan
ditengah-tengah manusia. Dan Allah telah mengabarkan perihal syaithan bahwa dia adalah musuh
kita. Dan seorang musuh tidak akan menghendaki kebaikan pada diri kita – dan hal itu tidak kita
sangsikan lagi – dan Allah telah memerintahkan kita untuk memusuhinya dan memeranginya.

٦ ‫ٱاسعَحِب َحِبري‬ ‫ٱَّت ُسذ هُس َح ُس ًّ ۚ َحِبَّلَح يَح ُسوْب َحِبحزَحۥوُس اَحِبيَح ُسكواُسوْب َحِبمن أَحص َٰح َحِب‬
‫ب َّل‬ ‫َحِب َّلن ٱاشَّلي ٰطَحن اَح ُسك ُس فَح َّلَحِب‬
‫َح ّل‬ ‫َح‬
“ Sesunggunya syaithan adala musuh bagi kalian, maka jadikanlah dia sebagai musuh,
sesungguhnya syaithan akan mengajak kepada golongannya agar mereka semuatermasuk
penghuni neraka sa‟iir “ (Fathir : 6)

Ghibah dan namimah, termasuk salah satu senjata Iblis dan kelompoknya, untuk mencerai
beraikan kaum manusia. Menanamkan kebencian dihati sbeagian kaum manusia kepada sebagian
lainnya. Dan kedua hal tersebut termasuk diantara penyakit yang akan membinasakan individu
serta mencerai beraikan jama‟ah.

Penyakit tersebut akan menyebabkan individu dan masyarakat berada dalam bahaya dengan
mendapatkan ancaman Allah akibat orang yan dighibahinya atau namimah yang diucapkannya.
Dan penyakit ini akan menimbulkan pemutusan silaturrahim antara sesama keluarga dan kerabat
dan sesama kaum manusia.

Ada baiknya kita akan sebutkan sebagian yang berkaitan dengan kedua hal tersebut. Dan seorang
yang mendapatkan taufik adalah yng menundukkan hatinya kepada kebenaran sertamenjaga
lisannya terhadap makhluk Allah.
Allah ta‟ala berfirman :

‫َحِب َحِب‬ ‫َح َح َحَتَح َّلس ُسسوْب َحَح يَحغتَحب َّلع ُس ُسك َحع ً ۚ أَح ُسَحِب ُّد‬
‫أك َحل َححل َح أَحخيو َحميت فَح َحك َحِبرىتُس ُس وهُس ۚ َحٱت ُسَّلقوْب ٱالَّلوَح ۚ َحِب َّلن ٱالَّلوَح‬
‫َحح ُس ُسك أَحن يَح ُس‬
‫ب أ َح‬
١٢ ٞ ‫تَح َّلو ب َّلرَحِبحي‬
“ Dan janganlah sebagian dari kalian menghibah sebagian lainnya. Apakah salah seorang diantara
kalian akan memakan daging bangkai saudaranya, maka kalian tentunya merasa jijik. Maka
bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Pengasih “ (Al-
Hujurat : 12 )

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 58


Dan dari hadits Abu Barzah Al-Aslami, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Wahai segenap orang yang merasa amandenganlisannya namun belumlah iman masuk
kedalam hatinya. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan janganlah kalian mencari-cari
aurat mereka. Karena sesungguhnya seseorang yang mencari-cari aurat mereka maka Allah akan
mencari-cari auratnya. Dan barang siapa yang Alah mencari-cari auratnya niscaya Allah akan
mempermalukannya dirumahnya “
Dari Abu Wail dari Hudzaifah beliau menyampaikan bahwa seseorang menyampaikan berita untuk
tujuan namimah. Maka Hudzaifah mengatakan: Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda: “ Tidak akan masuk surga seseorang yang melakukan namimah “, pada
riwayat lainnya : “ pengadu domba “. Dan keduanya semakna.
Faedah : Ghibah diperbolehkan pada enam tempat :
Pertama : Ketidak adilan, maka diperbolehkan bagi yang didzhalimi untuk mengadukan ketidak
adilan yang dia alami kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya yang mana padanya
punya pemerintahan, atau berkehendak untuk berlaku adil pada orang yang mendzhaliminya.
Kedua : Meminta pertolongan agar merubah kemungkaran, dan mengembalikan kemaksiatan
kepada kebenaran. Hendaklah dia berkata kepada orang yang dia harapkan kekuasaannya uantuk
menghilangkan kemungkaran dengan : Si fulan berbuat demikian, maka diapun mengasingkannya
darinya dan sejenisnya, dengan maksud sebagai perantara untuk menghilangkan kemungkaran,
akan tetapi kalau maksudnya tidak demikian maka hal itu adalah keharaman.
Ketiga : Meredakan masalah, maka dia berkata kepada mufti / yang memberi fatwa : Ayahku
telah mendhalimiku , atau saudaraku…dan semisal hal tersebut, maka hal ini diperbolehkan sesuai
keperluan, akan agar lebih berhati-hati agar dia berkata : Apakah engkau mengatakan kepada laki-
laki atau seseorang siapa saja yang menyuruhnya berbuat demikian? Yang mana dia akan tercapai
dengannya tujuan tanpa adanya ketentuan yang pasti, dengan demikian maka penentuan tersebut
diperbolehkan.
Keempat : Peringatan kepada kaum muslimin dari kejelekan dan menasehati mereka … termasuk
pula men-jarh kaum yang cacat sifatnya baik para perawi hadits atukah para saksi. Diantaranya
pula musyawarah untuk menjalin kekerabatan dengan seseorang … dengan syarat tujuan dari itu
semua adalah untuk nasihat. Dan hal ini yang sering terjadi kesalah pahaman. Seorang pembcara
terkadang terbawa rasa dengki pada hal-hal itu, dan syaithan mengaburkannya. Dan syaithan
menampakkan seolah-olah hal tersebut suatu nasihat, maka mestilah hal itu lebih dicermati.
Kelima : Apabila yang dibicarakan adalah seseorang yang menampakkan perbuatan fasiknya atau
bid‟ahnya seperti seseorang yang terang-terangan meminum khamar, menyakiti orang banyak,
memungut rente, mengambil pajak dari harta orang, melakukan perkara-perkara yang batil maka
diperbolehkan untuk menyebutkan karena perbuatan yang dilakukannya terang-terangan. Namun
haram menyebut aib-aibnya yang lain kecuali karena lain sebab yang diperbolehkan sebagaimana
yang telah kami sebutkan.
Keenam : Untuk tujuan identifikasi. Apabila seseorang lebih terkenal dengan suatu julukan, seperti
Al-A‟masy – yang penglihatannya kabur – , Al-A‟raj – yang pincang kakinya -, Al-Asham – yang tuli
-, Al-A‟maa – yang buta -, Al-Ahwal – yang matanya juling – dan lain sebagainya. Diperbolehkan
mengidentifikasi mereka dengan julukan itu. Dan diharamkan penggunaan julukan itu secara
mutlak untuk tujuan penghinaan. Dan sekiranya memungkinkan mengidentifikasinya selain dengan
julukan itu, hal tersebut lebih utama.
Inilah enam perkara yang disebutkan oleh para ulama, dan sebagian besarnya adalah perkara-
perkara yang disepakati oleh mereka. Dan argumentasinya berupa hadits-hadits yang shahih
sangatlah populer, demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi.

Faedah lainnya : Tindakan yang sepatutnya bagi seseorang yang mengetahui namimah :
Pertama : Tidaklah membenarkannya karena seorang pembawa namimah adalah seorang yang
fasik.
Kedua : Melarangnya dari perbuatan itu dan menasihatinya dan mencela perbuatan yang
dilakukannya tersebut.
Ketiga : Membencinnya karena Allah, disebabkan pelaku perbuatan namimah adalah perbuatan
yang dibenci Allah t‟ala. Dan wajib membenci seseorang yang Allah benci.
Keempat : Tidak berprasangka buruk terhadap saudaranya yang tidak berada dihadapannya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 59


Kelima : Segala cerita yang sampai kepadanya tidak mendorongnya untuk mencari-cari dan
menilik informasi tentang kabar itu.
Keenam : Tidak meridhai bagi dirinya sendiri apa yang dilarangnya bagi pelaku namimah. Tidaklah
dia menceritakan suatu namimah darinya dengan mengatakan : Fulan menceritakan demikian,
hingga diapun menjadi pelaku namimah. Dengan begitu dia melakukan suatu yang dia telah larang.
Inilah akhir perkataan Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullah. Semua yang berkaitan dengan namimah
ini apabila tidak terdapat mashlaha syar‟iyah. Namun apabila suatu kebutuhan mengharuskan hal
tersebut, maka tidaklah mengapa untuk disampaikan. Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi.
6. Larangan menceritakan semua yang didengarkan
Hal itu disebabkan karena perkataan yang didengar dari orang-orang ada yang benar dan ada juga
yang dusta. Apabila seseorang menceritakan segala yang didengarnya, maka pastilah akan
menceritakan suatu yang dusta. Dengan inilah seorang yang menceritakan segala yang
didengarnya dikategorikan seorang yang menyampaikan kedustaan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : Cukuplah seorang berdosa, ketika menceritakan segala yang didengarnya “ Pada
riwayat lainnya : “ Termasuk kedustaan seseorang apabila dia menceritakan segala yang
didengarnya “

7. Peringatan terhadap Kedustaan


Kedustaan adalah penyampaian kabar yang menyalahi keadaan yang sebenarnya. Dan perbuatan
tersebut termasuk perbuatan yang dialrang oleh Allah didalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-
Nya Shallallahu „alaihi wa sallam.
Allah ta‟ala befirman :
‫يا أيها الذين آمنوا اتقوا هللا وكونوا مع الصادقين‬
“ Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian orang-orang yang
benar “

Makna yang tersirat pada ayat diatas adalah : janganlah kalian menjadi kelompok orang-orang
yang berdusta.

Dari Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anhu, beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Sesungguhnya kejujuran akan menuntun kepada perbuatan baik dan perbuatan yang
baik akan menuntun kepada surga. Dan seseorang akan berkata jujur hingga dia tetulis disisi allah
sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan akan menuntun kepad perbuatan fajir.
Dan perbuatan fajir akan menuntun kepada neraka. Dan seseorang akan berdusta hingga akan
tertulis disisi Allah bahwa dia adalah seorang pendusta “
Ibnu Hajar mengatakan : “ Ar-Raghib mengatakan asal kata al-fajru berarti suatu yang pecah.
Berarti al-fujur memecahkan/menyingkap penutup keagamaan seseorang. Dan kalimat ini juga
dipergunakan untuk menunjukkan makan kecenderungan kepada perbuatan fasad dan terbawa
kepada perbuatan maksiat. Dan merupakan kalimat yang menyatukan segala bentuk keburukan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda :Tanda seorang munafik ada tiga: Apabila berbicar adia berdusta, apabila berjanji dia
menyalahi, dan apabila diberi kepercayaan dia berkhianat “
Barang siapa yang memiliki sifat dusta maka pada dirinya ada ciri orang-orang munafik.
Dari Samurah bin Jundub radhiallahu „anhu pada hadits Ru‟ya Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ,
bahwa beliau bersabda : “ …Akan tetapi malam itu saya melihat dua orang yang mendatangiku lalu
keduanya menggandeng tanganku dan mengeluarkanku dari tanah Maqdis. Dan seseorang sedang
duduk dan seseorang sedang berdiri dan pada tangannya penjepit-penjepit dari besi – sebagian
pengikut Musa berkata dari Musa – : Bahwa dia memasukkan penjepit itu didalam rahangnya
hingga sampai kedalam tengkuknya, lalu tengkuk yang satnya juga diperbuat hal yang serupa
dengan itu. Kemudian rahangnya dikembalikan seperti sedia kalam, lalu diperbuat lagi yang
semisalnya. Saya berkata : Apakah ini ? Keduanya mengatakan : Berlalulah dairnya … “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 60


Dan pada akhir hadits beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda kepada kedua orang tersebut :
Kalian berdua telah mengajakku berkeliling pada malam ini, maka beritahukanlah semua yang
telah aku lihat.
Keduanya mengatakan : Adapun seseorang yang anda lihat, yang rahangnya dijepit maka dia
adalah seorang pendusta , menceritakan cerita yang dusta hingga cerita itu dibawanya hingga
menyebar keseluruh pelosok, maka pad ahari kiamat dilakukan hal tersebut baginya … al-hadits “

Faedah : Kedustaan yang paling besar adalah kedustaan kepada Allah dan kedustaan kepada
Rasul-Nya Shallallahu „alaihi wa sallam. Dan bersumpah kepada Allah dengan sumpah yang dusta
untuk menguasai harta seorang muslim.

Adapun kedustaan kepada Allah, dapat dengan mentakwilkan dan menafsirkan kalam Allah tanpa
dasar ilmu. Diantara hal itu adalah mendudukkan beberapa nash-nash Al-Qur`an dengan sejumlah
kejadian yang bermunculan. Para ulama As-Salaf, telah merasa berat untuk menafsirkan kalam
Allah subhanahu wata‟ala tanpa dasar ilmu, dan ada banyak perkataan dari mereka tentang hal itu
:

Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan: “Demi Tanah yang aku pijak dan langit yang menaungiku ,
apabila aku mengatakan sesuatu didalam Kitabullah yang tidak kau ketahui… “
Dari Ibnu Abbas, beliau ditanya tentang sebuah ayat , apabila ayat tersebut ditanyakan kepada
sebagian dari kalian, maka dia akan mengatakan/menafsirkan ayat tersebut, lalu beliau enggan
untuk mengatakan/menafsirkan ayat tersebut …

Masruq mengatakan : Berhati-hatilah dalam menafsirkan karena tafsir adalah meriwayatkan dari
Allah.

Ibnu Taimiyah mengatakan : Inilah beberapa atsar dan atsar-atsar lain yang semisalnya dari para
Imam As-Salaf yang mengindikasikan keengganan mereka berbicara dalam masalah tafsir tanpa
dasar ilmu pada mereka. Adapun perkataan yang diektahui baik dari tinjauan etimloginya maupun
secara syara‟ maka hal tersebut tidak mengapa.
Adapun kedustaan kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , dapat berupa pemalsuan
hadits, dan menyangka bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengatakannya,
melakukannya atau membenarkannya. Dan berdusta kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
mendapatkan ancaman berupa api neraka.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu „anhu mengatakan : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
”janganlah kalian berdusta kepadaku, karena barang siapa yang berdusta kepadaku maka pastilah
dia akan disengat dengan api neraka “ pada riwayat lainnya : “ akan disengat dengan api neraka “
Adapun bersumpah atas nama Allah untuk mengambil harta seorang muslim, telah diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas‟ud radhiallahu „anhu, beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Barang siapa yang bersumpah dengan sumpah yang dusta untuk merampas
harta seorang muslim atau mengatakannya kepada saudaranya, maka dia akan menjumpai Allah ,
sementara Allah sangat murka kepadanya … “[9]
Dari Abdullah bin Amru radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda :
Termasuk dosa-dosa besar : Berbuat syirik kepada Allah , durhaka kepada kedua orang tua,
membunuh seorang muslim dan sumpah yang dusta “

Dan Dari Ibnu Mas‟ud beliau mengatakan : “ kami mengkategorikan termasuk dosa yang tidak ada
kaffarahnya diantaranya adalah sumpah yang dusta, yaitu seseorang yang bersumpah –
pengakuan – terhadap harta saudaranya dengan sumpah yang dusta untuk menguasai harta
tersebut “
Faedah lainnya : kedustaan diperbolehkan [ada tiga hal] :
Pertama : Untuk mengadakan perdamaian diantara kaum manusia.
Kedua : Didalam berperang.
Ketiga : Seorang suami yang berbincang kepada Istrinya dan istri kepada suaminya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 61


Dalil hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Kultsum binti Kultsum bin Abi Mu‟ith
radhiallahu „anha, beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : Bukanlah dikatakan seorang pendusta yang bertujuan mengadakan perbaikan ditangah-
tengah kaum manusia, hingga memberi hasil kebaikan ataukah mengatakan suatu kebaikan “
Dan pada riwayat Abu Daud: Beliau mengatakan : “ Tidaklah saya mendengar dari Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam membolehkan sedikitpun juga kedustaan kecuali pada tiga perkara
yang pernah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam sampaikan : “ Tidaklah saya mengkategorikan
seseorang sebagai pendusta apabila dia mendamaikan antara kaum mausia. Dia mengatakan suatu
perkataan yang tidak ingin dia ucapkan kecuali untuk tujuan mendamaikan, dan seseorang yang
berbicara disaat peperangan dan seseorang yang berbicara kepada istrinya dan seorang wanita
yang berbicara kepada suaminya “
Para ulama berbeda pendapat dalam menganalisa makna hadits ini. Mayoritas ulama berpendapat
bolehnya berdusta pada tiga hal yang disebutkan diatas. Dan sebagian lainnya mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan hadits diatas bukanlah dusta yang sebenarnya, melainkan hanya sebatas
at-tauriyah dan al-ma‟aaridh.
Dan kemungkinan sebab dari perbedaan pendapat mereka karena memandang lafazh tambahan
yang ada pada hadits diatas, apakah lafazh tersebut lafazh yang mudraj atau diriwayatkan secara
marfu‟ dan shahih.

Lafazh diatas lafazh yang shahih secara marfu‟ – sebagaimana yang telah kami terangkan – dengan
begitu jelaslah pendapat bolehnya berdusta pada tiga perkara yang telah disebutkan sebelumnya.
Dan hadits ini ada beberapa syahid penguat lainnya :
Adapun riwayat syahid untuk mendamaikan antara kaum manusia, adalah hadits yang telah
dikemukakan sebelumnya.

Syahid riwayat berdusta ketika berperang, adalah hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma,
beliau berkata: bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Siapakah yang akan
menuntaskan Ka‟ab bin Al-`Asyraf ? karena sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.
Muhammad bin Maslamah mengatakan : Apakah anda menyukai jika saya membunuhnya , wahai
Rasulullah ? Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam berkata : Benar. Maslamah mengatkaan :
Izinkanlah aku akan berdua bersamanya. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : Silahkan
engkau berdua bersamanya. Maslamah lalu mendatanginya dan berkata kepadanya: “ Dan
menyebutkan perbincangan antara mereka berdua. Dan beliau berkata : Sesunguhnya orang ini
telah menekan kami dengan shadaqah dan sungguh dia telah menyulitkan kami. Dan ketika dia
mendengarnya, dia mengatakan : Dan demi Allah dia juga telah menjemukan kami dengannya …
al-hadits “
Yang dijadikan argumen pada hadits diatas adalah
Sabda beliau : “ Izinkanlah saya akan berdua dengannya “, “ Sungguh dia telah menekan kami
dengan shadaqah “, yaitu : Meminta kami untuk menempatkan shadaqah pada masing-masing
tempatnya.
Dan : “ Dan sungguh dia telah menyulitkan kami “, yakni : Membebani kami dengan segala macam
perintah dan larangan.

Adapun syahid pembolehan berdusta kepada istri untuk menyenangkan hatinya : Hadist yang
diriwayatkan oleh Atha‟ bin Yasaar, bahwa beliau berkata: Seseorang menjumpai Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam , dan berkata : Wahai Rasulullah, bolehkan aku berdusta kepada istriku ? Beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Tidak, Allah tidaklah menyukai kedustaan. Orang tersebut
berkata: “ Wahai Rasulullah, – perbuatan itu – untuk mendamaikannya dan menyenangkan
hatinya. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : Tidak mengapa bagimu “
An-Nawawi mengatakan: “ Adapun dusta kepada istri dan dusta seorang istri kepada suaminya.
Yang dimaksud dengan dusta ini adalah dengan manampakkan kasih sayang dan janji yang bukan
suatu keharusan serta lain sebagainya. Adapun memperdayai hingga menghalangi haknya atau
mengambil yang bukan haknya baik suami atau istri, maka hal tersebut haram sesuai dengan ijma‟
kaum muslimin , wallahu a‟lam.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 62


Al-Albani mengatakan : Tidak termasuk dusta yang diperbolehkan dengan menjanjikan sesuatu
kepada istri yang sebenarnya dia tidak berkeinginan untuk menepatinya, atau memintanya memilih
, bahwa dia akan membeli suatu kebutuhannya – istri – tertentu dengan harga demikian, melebihi
harga yang sebenarnya hanya untuk menjadikannya ridha. Karena hal itu akan dapat terungkap
sehingga menjadi sebab istri berburuk sangka kepada suaminya. Dan hal itu akan mendatangkan
kerusakan bukan perbaikan.

8. Larangan berbuat keji dan mengatakan perkataan yang keji


Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling sempurna kahlaknya. Dan beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam sangat jauh dari sifat seorang yang berkata buruk dan rendahan. Dan
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang dari perkataan yang keji, melaknat, perkataan
yang kotor dan perkataan-perkataan batil lainnya.

Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anhu meriwayatkan, beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Bukan seorang mukmin apabila dia senang menghujat, senang melaknat,
seorang yang berkata keji dan berkata buruk “
Perkataan yang keji, dapat berarti beberapa makna. Terkadang bermakna makian dan celaan dan
perkataan dusta, sebagaimana didalam hadits Abdullah bin Amru radhiallahu „anhuma, beliau
berkata : Tidaklah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam seorang yang berkata keji dan sering berkata
kotor. Dan beliau seringkali mengatakan: Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
akhlaknya “Dan terkadang bermakna : Berlebihan dalam berkata dan menjawab perkataan.
Sebagaimana didalam hadits Aisyah radhiallahu „anha, beliau berkata: Sekelompok Yahudi datang
dan mengatakan : As-saamu „alaika wahai Abul Qasim. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
menjawab : wa‟alaika. Aisyah berkata : Saya mengatakan : bahkan jawablah: As-saamu wa adz-
dzaamu – kematian dan celaan bagi kalian –. Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Wahai Aisyah janganlah engkau menjadi seorang yang berkata keji “Aisyah berkata :
Tidakkah anda mendengar apa yang mereka katakan ? Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: Tidakkah hal tersebut telah terjadi pada mereka apa yang mereka katakan. Saya berkata
: Dan bagi kalian. “
Peringatan : Seorang yang sering melaknat tidak menjadi seorang yang jujur. Dia akan
diharamkan dari syafa‟at dan persaksian pada hari kiamat. Dan barang siapa yang melaknat
sesuatu namun sesuatu itu tidak pantas dilaknat, maka laknatnya akan kembali kepadanya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Tidaklah pantas bagi seorang yang jujur untuk sering melaknat “

Dari Abu Ad-Darda`, beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : Sesungguhnya orang-orang yang sering melaknat tidak akan menjadi saksi dan pemberi
syafa‟at pada hari kiamat "
Dan dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, beliau berkata: Bahwa seseorang melaknat angin disisi
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , lalu beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “
Janganlah engkau melaknat angin , karena angin hanyalah suatu yang mendapat perintah. Dan
sesungguhnya siapa saja yang melaknat sesuatu yang tidak sepantasnya dilaknat maka laknat
tersebut akan kembali kepadanya “
An-Nawawi mengatakan: “ Pada hadits diatas terdapat larangan melaknat dan siapa saja yang
berakhlak demikian tidak akan terdapat pada dirinya sifat-sifat terpuji. Dikarenakan laknat adalah
doa yang dimaksudkan untuk menjauhkan seseorang dari rahmat Allah ta‟ala. Dan doa seperti ini
bukanlah akhlak kaum mukminin yang Allah sifati mereka sebagai kaum yang saling menebar
rahmat, tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, menjadikan mereka layaknya suatu
bangunan yang saling menguatkan sebagian dengan sebagian lainnya, bagaikan sebuah tubuh
yang satu, dan seorang mukmin mencintai segala sesuatu untuk saudaranya sebagaimana dia
mencintai sesuatu untuk dirinya. Maka siapa saja yang mendoakan laknat saudaranya sesama
muslim yakni menjauhkannya dari rahmat Allah ta‟ala, berarti dia telah berada pada puncak
pemutusan silaturrahim dan saling berjauhan. Dan ini tujuan yang seorang muslim disukai untuk
menerapkannya kepada seorang kafir dan mendoakan laknat baginya. Dari sinilah pada sebuah
hadits yang shahih disebutkan : “ Melaknat seorang mukmi bagaikan membunuhnya “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 63


Dikarenakan seorang yang membunuh akan memutuskan saudaranya dari segala manfaat
duniawiyah, sementara ini laknat akan memutuskannya dari nikmat akhirat dan rahmat Allah
ta‟ala.
Peringatan lainnya : Termasuk dosa yang paling besar bahkan tergolong dosa-dosa besar, jikalau
seseorang melaknat kedua orang tuanya.

Dari Abdullah bin „Amru radhiallahu „anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Sesungguhnya tergolong dosa-dosa besar seseorang melaknat kedua orang tuanya.
Ada yang mengatakan : Wahai Rasulullah, bagaimanakah seseorang akan melaknat kedua orang
tuanya ? Beliau menjawab : Orang tersebut mencaci bapak orang lain, lalu orang tersebut mencaci
bapaknya dan mencaci ibunya.” Pada lafazh Muslim : “ Beliau bersabda : Temasuk dosa-dosa besar
seseorang menghujat kedua orang tuanya. Para sahabat mengatakan: Wahai Rasulullah : Apakah
mungkin seseorang menghujat kedua orang tuanya ? Beliau bersabda: “ Benar. Dia mencaci bapak
orang lain lalu orang tersebut mencaci bapaknya dan mencaci ibu orang lain lalu orang tersebut
mencaci ibunya “
9. Keutamaan seseorang meninggalkan perdebatan walau dia dalam keadaan benar
Al-Miraa`u dalam arti etimologinya bermakna : Bersengketa dan berdebat. … Asalnya dari bahasa
adalah al-jidaal, dan seseorang mengindikasikan dalam perdebatannya suatu perkataan dan sikap-
sikap mental yang mengindikasikan permusuhan dan selainnya.
Berasal dari kalimat: mariyat asy-syaah, Apabila anda memeras dan mengeluarkan susunya.
Dari Abu Umamah radhiallahu „anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Saya adalah pemuka dihamparan surga bagi siapa saja yangmeninggalkan perdebatan
walau dia dalam keadaan benar. Dan di pertengahan surga bagi seseorang yang meninggalkan
kedustaan walau dalam keadaan bercanda, dan dibagian surga yang tertinggi bagi yang terpuji
akhlaknya “
Pada hadits tersebut diterangkan bahwa siapa saja yang meninggalkan perdebatan walau dia dalam
keadaan jujur dan benar maka dia akan diberi janji melalui lisan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
sebuah rumah dihalaman surga.
Didalam A-Tuhfah : “ Hal itu dikarenakan dia telah berpaling dari perusakan hati orang yang
diajaknya berdebat dan mengahalunya merupakan keluhuran jiwa dan penampakan kemuliaan
keutamaan dirinya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda:
"memperdebatkan Al-Qur`an adalah kekufuran “
Yakni memperdebatkan segala yang ada didalam Al-Qur`an.
Dari Jundub bin Abdillah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda :
“ Kalian bacalah Al-Qur`an atas apa yang dapat menyatukan hati-hati kalian, dan apabila kalian
bersengketa maka berdirilah “
Persengketaan yang dimaksud didalam hadits diatas adalah perbedaan dalam memahami
maknanya. Dan mungkin juga yang dimaksud adalah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya.
Dan ketika terjadi perbedaan pendapat yang akan menyebabkan keburukan terhadap Al-Qur`an,
seorang muslim diperintahkan untuk menghentikan hal itu hingga tidak terjadi keburukan dan
perdebatan tidak mencuat semakin membesar.
An-Nawawi mengatakan : Perintah untuk meninggalkan perbedaan tentang Al-Qur`an oleh para
ulama dipahami pada perbedaan yang tidak diperbolehkan ataukah perbedaan yang akan
menimbulkan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Seperti perbedaan tentang Al-Qur`an itu sendiri
atau pada salah satu kandungan maknanya yang tidak ditoleransi adanya ijtihad, ataukah
perbedaan yang akan menyebabkan keraguan dalam masalah-masalah furu‟ agama. Adapun
diskusi para ulama berkaitan dengan hal itu untuk mendapatkan faedah dan menampilkan
kebenaran, dan perbedaan mereka dalam hal itu bukan suatu yang terlarang, melainkan suatu
yang diperintahkan dan keutamaannya nampak jelas. Kaum muslimin telas sepakat akan hal ini
dizaman sahabat hingga sekarang wallahu a‟lam.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 64


Pada hadits diatas juga berisikan sugesti untuk membentuk jama‟ah/persatuan dan kesatuan. Serta
peringatan dari perpecahan dan perselisihan, larangan memperdebatkan Al-Qur'an tanpa alasan
yang benar. Dan diantara hal buruk dari perkara itu , jikalah nampak suatu argumentasi ayat
kepada suatu permasalahan yang menyelisihi pendapat nalar, maka dengan segala bantuan nalar,
analisa yang mendalam untuk mentakwilkan ayat itu agar sesuai dengan nalar tersebut dan terjadi
kesimpang siuran dalam pertentangan itu. Sebagaimana disebutkan didalam Al-Fath.
Faedah: As-Sa‟di rahimahullah didalam menafsirkan firman Allah ta‟ala :

‫فَح َح ُسُتَح َحِبر فَحِبي َحِب َحِبَّل َحِبمَحرء ٰظَح َحِب ر‬


“ Dan janganlah engkau mendebat mereka kecuali dengan perdebatan yang zhahir “ ( QS. Al-Kahfi
: 22 )
Beliau berkata: “ Dan janganlah engkau mendebat “ yakni bersengketa dan menyampaikan
argumentasi bagi mereka. “ Kecuali dengan perdebatan yang zhahir “ yakni yang didasari dengan
ilmu dan keyakinan, dan juga terkandung faedah.

Adapun perdebatan yang didasari dengan kejahilan dan mereka-reka suatu yang tidak diketahui,
ataukah perdebatan yang tidak mendatangkan faedah, tidak terdapat faedah agama dengan
mengetahuinya , seperti – memperdebatkan – jumlah Ashhabul kahfi, dan lain sebagainya, maka
hal itu pada banyaknya perdebatan dan analisa yang berkelanjutan tiada henti hanya melalaikan
waktu dan memberi pengaruh pada kecenderungan hati tanpa faedah “
10. Larangan membuat suatu kaum tertawa dengan perkataan dusta
Sebagian manusia terlihat cenderung untuk mengada-adakan dan membuat suatu perkataan dusta
lalu disandarkan kepada dirinya atau kepada orang lain dengan tujuan menjadikannya sebagai
anekdot lucu bagi yang ada dimajlis. Dan orang yang memprihatinkan itu tidaklah mengetahui
bahwa dia telah tergelincir pada suatu perkara yang amat berat.
Mu‟awiyah bin Haidah radhiallahu „anhu berkata: Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda: "Celakalah bagi yang menceritakan sesuatu kemudian dia berusta pada
ceritanya dengan tujuan membuat kaum yang mendengarnya tertawa. Celakalah dia celakalah dia “

11. Apabila seseoang menceritakan sesuatu kepada saudaranya lalu dia bepaling maka
yang diceritakannya adalah suatu amanah
Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Apabila seseorang menceritakan suatu cerita kepada saudaranya lalu dia
berpaling menengok maka cerita tersebut adalah suatu amanah “

Beliau – semoga Allah mengampuninya – menerangkan hadits diatas, dengan mengatakan: “ Ini
adalah adab nabawiyah yang sangat agung. Dimana Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
mengkategorikan seseorang yang menengok kekanan dan kekiri sewaktu menceritakan sesuatu
sebagai suatu penyampaian rahasia untuk dijaga dan tidak disebar luaskan. Ibnu Raslan
mengatakan: Dikarenakan menengoknya dia adalah pemberitahuan kepada orang yang diajaknya
berbicara bahwa dia khawatir orang lain akan mendengar ucapakannya, dan dia telah
mengkhususkan dirinya dengan rahasianya tersebut. Jadi menengoknya dia sama dengan ucapan:
Simpanlah ini dariku baik-baik, yakni dengarlah dariku lalu simpanlah dan ini merupakan amanah
bagimu.
12. Mendahulukan yang lebih tua dalam berbicara
Dalil akan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rafi‟ bin Khudaij dan Shal bin Abu Hatsmah,
keduanya mengatakan: Bahwa Abdullah bin Sahl dan Muhaishah bin Mas‟ud keduanya mendatangi
Khaibar maka keduanya terpisah dalam peperangan, kemudian Abdullah bin Sahl terbunuh,
datanglah Abdurrahman bin Sahl, Huwaishah dan Muhaishah -keduanya anak Mas‟ud - kepada Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam , kemudian mereka membicarakan perkara sahabat mereka, mulailah
dengan Abdurrahman dan dia adalah orang yang paling kecil pada kaum tersebut, maka Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadanya : “ Agungkanlah orang tua”.-Berkata Yahya ( Ibnu
Mas‟ud ) yakni diharapkan pembicaraan dari yang lebih tua …al-hadits.
Dan pula dikecualikan berdasarkan dengan perbuatan Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, dimana
beliau tidaklah mengedepankan dirinya dihadapan yang lebih tua dari beliau.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 65


Beliau berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Kabarkan kepadaku suatu
pohon , dimana perumpamaan pohon tersebut laksana seorang muslim yang selalu memberi
makan kapan saja seizin Rabbnya dan daun-daunnya tidak berguguran".
Maka terbersit didalam hatiku bahwa pohon tersebut juga adalah pohon kurma. Namun saya tidak
menyukai berbicara sementara ada Abu Bakar dan Umar. Namun tatkala keduanya tidak memberi
tanggapan bicara, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : Pohon tersebut adalah pohon
kurma.
Kemudian tatkala saya keluar bersama bapakku, saya berkata : Wahai ayah, sesungguhnya telah
terbersit didalam hatiku bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma. Beliau – Umar – berkata: Lalu
apakah yang menghalangi engkau sehingga tidak mengatakannya, seandainya engkau
mengatakannya, maka engkau lebih saya senangi dari pada ini dan ini.
Ibnu Umar mengatakan : Tiada yang menghalangiku, selain saya melihat anda dan abu Bakar tidak
berbicara.”
Pada riwayat Muslim : “ Saya lalu berniat untuk mengatakannya, akan tetapi dikaum tersebut ada
orang-orang yang dituakan, hingga saya segan untuk berbicara “.
Pada riwayat Ahmad : “ Lalu saya memperhatikan, ternyata saya adalah yang termuda dari kaum
yang ada, maka sayapun terdiam “

Saya katakan : Atsar-atsar dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam untuk mengedepankan yang lebih
tua atsar-atsar yang populer, sebagaimana beliau Shallallahu „alaihi wa sallam mengedepankan
yang lebih tua ketika bersiwak, sebagaimana telah disebutkan didalam adab-adab bertamu.
13. Tidak memotong pembicaraan
Diantara adab berbicara, adalah tidak memotong pembicaraan orang lain. Dikarenakan mereka
terkadang senang dalam melanjutkan perkataannya, apabila sebagian diantara mereka berbicara
dan memotong perkataan pembicara, hal itu akan menjadikan pendengar sulit memahami dan
menjadi marah kepada yang memotong pembicaraan mereka.
Hal tersebut juga dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu „anhu,
beliau berkata : Ketika kami bersama Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam didalam suatu majlis, dan
beliau lagi berbicara kepada suatu kaum, seorang Arab badui datang dan bertanya : "Kapankah
datangnya hari kiamat".
Namun Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melanjutkan pembicaraannya. Sebagian kaum
tersebut mengatakan: beliau mendengar ucapan orang itu namun tidak menyukainya. Sebagian
lainnya mengatakan : Bahkan beliau tidaklah mendengarnya. Hingga beliau menyelesaikan
pembicaraannya, beliau berkata : Dimanakan yang menanyakan waktu terjadinya hari kiamat ?
Orang tersebut mengatakan : "Saya berada disini wahai Rasulullah" .
Beliau bersabda : “Apabila amanah telah diabaikan, maka nantikanlah datangnya hari kiamat“.
Orang itu bertanya : "Bagaimanakah amanah diabaikan ?"
Beliau bersabda: “Apabila suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya maka nantikanlah
datangnya hari kiamat “

Yang menjadi acuan pada hadits diatas adalah sabda beliau: “ Namun Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam melanjutkan pembicaraannya “, yakni beliau tidak memutuskan pembicaraan beliau. Hal
itu dikarenakan yang berhak adalah yang membuka majlis bukan sipenanya ini. Maka
sepantasnyalah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidak memotong pembicaraan beliau hingga
menyelesaikannya.
Namun dikecualikan juga dengan perkataan penerjemah Al-Qur`an, Ibnu Abbas radhiallahu
„anhuma, beliau mengatakan kepada „Ikrimah : “ Berbicaralah kepada kaum muslimin pada setiap
jum‟at sekali. Apabila anda mengabaikannya maka jadikanlah dua kali, dan apabila mesti
diperbanyak maka tiga kali. Dan janganlah engkau menjadikan kaum muslimin menjadi bosan
dengan Al-Qur`an ini. Dan janganlah engkau menjumpai suatu kaum yang tengah
memperbincangkan sesuatu kemudian engkau menceritakannya kepada mereka hingga memotong
percakapan mereka dan menjadikan mereka bosan. Akan tetapi diamlah engkau, apabila mereka
memintamu untuk menceritakan kepaa mereka maka beritahukanlah kepada mereka, disaat
mereka berkemauan untuk mendengarnya …al-hadits

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 66


Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma telah menerangkan bahwa sebab dari larangan memotong
pembicaraan, karena hal tersebut akan menyebabkan kejenuhan dan kebosanan pada diri mereka.
Kemudian beliau mengarahkannya untuk duduk mendengarkan dengan baik. Apabila mereka
meminta anda untuk menceritakan – yakni hadits dan selainnya,- maka beritahukanlah kepada
mereka, karena hal tersebut akan lebih menjadikan penyampaian anda diterima.
14. Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa.
Tergesa-gesa dalam bebricara akan menjadi sebab utama tidak terpahaminya suatu penyampaian
dengan baik oleh pendengar. Olehnya itu perkataan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah
tergesa-gesa yang akan menjadikan setiap yang duduk menyimaknya akan memahami yang beliau
katakan.

Pada sebuah hadits, dari Aisyah – ummul mukminin radhiallahu „anha – berkata : “Sesungguhnya
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam apabila menyampaikan suatu hadits, jikalau ada yang
berkehendak untuk menghitungnya niscaya dia akan dapat menghitungnya “. Pada riwayat Muslim
: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah menyampaikan suatu hadits
dengan cepat sebagaimana kalian menyampaikannya dengan cepat “
Pada riwayat Ahmad : “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah berbicara dengan cepat
sebgaimana kalian berbicara dengan cepat. Beliau berbicara dengan tanda pemisah yan akan dapat
dihafalkan oleh yang mendengarnya “

Perkataan Aisyah : “Bahwa beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah menyampaikan hadits
dengan cepat sebagaimana kaliam menyampakannya dengan cepat “. An-Nawawi mengatakan :
“Memperbanyak dan saling menyambungnya “

Ibnu Hajar mengatakan : “Maksudnya bahwa menyembung penyampaian suatu hadits dengan
tergesa-gesa , sebagiannya disampaikan setelah sebagian lainnya agar yang mendengarkannya
tidak tersamar “

15. Merendahkan suara disaat berbicara


Allah ta‟ala berfirman:

١٩ ‫وت ٱحلَح َحِب َحِبري‬ ‫َحاكر ٱأل ٰ َحِب‬ ‫َحِبمن َح َحِب ۚ َحِب‬
‫ل ُس‬
‫َحصوت اَح َح‬‫َح‬ ‫صوت َح َّلن أ َح َح‬ ‫َحٱ ُس‬
“ Dan pelankanlah suaramu, karena sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai “ (
QS. Lukman : 19 )

Firman Allah ta‟ala : “ Dan pelankanlah suaramu “, suatu adab bersama kaum manusia dan juga
kepada Allah. “ Dan sesungguhnya seburuk-buruk suara “ yakni yang paling jelek dan paling hina ,
“ adalah suara keledai “.

Seandainya mengeraskan suara mengandung suatu faedah dan mashlahat, tidaklah menjadi ciri
khusus keledai yang anda telah ketahui kehinaan dan kebodohannya. Sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Sa‟di.

Tidak disangsikan lagi jikalau mengeraskan suara kepada orang lain merupakan adab yang buruk,
dan menunjukkan ketidakhormatan kepada orang lain.

Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “ Barang siapa yangmengangkat suaranya kepada orang lain,
setiap yang berakal sehat akan mengetahui bahwa dia memiliki sikap kurang hormat kepada orang
lain … Ibnu Zaid mengatakan : seandainya mengangkat suara suatu yang baik tidaklah Allah
menjadikannya bagi seekor keledai.

16. Beberapa lafazh dan kalimat yang harus dihindari


Dari lisan-lisan sebagian pembicara, terlepas beberapa ungkapan dan lafazh-lafazh yang dilarang
oleh syara‟. Sebagian besar diantara mereka tidaklah mengetahui hukumnya. Dan sebagian
mengetahui hukumnya akan tetapi mengucapkannya karena lupa. Dan yang paling buruk adalah
yang mengucapkannya dengan sengaja sementara dia mengetahuinya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 67


Pada kesempatan ini tidaklah memungkinkan bagi kita untuk mencakup semua lafazh-lafazh
tersebut, akan tetapi cukuplah bagi kita untuk menyebutkan sebagiannya secara ringkas, karena
sesuatu yang tidak dapat dijangkau seluruhnya tidaklah lantas ditinggalkan sebagian besarnya.
Masalah: Sebagian kaum muslimin mengatakan bahwa membenarkan lafazh- bukan suatu yang
urgen jikalau hati yang mengucapkannya selamat.

Jawab : Apabila yang dimaksud adalh membenarkan lafazh-lafazh tersebut disesuaikan dengan
bahasa Arab, maka perkataan ini benar adanya. Karena bukanlah suatu yang urgen – dari tinjauan
aqidah yang selamat – jikalau lafazh-lafazh tersebut tidak selaras dengan bahasa Arab, selama
maknanya dapat dipahami dan selamat.

Namun jikalau yang dimaksudkan disini dengan memperbaiki lafazh-lafazh pembicaraan, adalah
meninggalkan lafazh-lafazh yang menunjukkan kekufuran dan kesyirkan, maka perkataan tersebut
tidaklah benar, bahkan membenarkan lafazh-lafazh tersebut suatu yang urgen. Dan tidak mungkin
dikatakan kepada seseorang : silahkan lisan anda bebas mengucapkan apapun juga selama niat
anda benar, melainkan kita katakan: dengan perkataan-perkataan tertentu yang telah disampaikan
oleh syariat Islam. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu „Utsaimin.
a. Lafazh-ladazh pengkafiran, tabdi‟ – tuduhan sebagai pelaku bid‟ah – dan tafsiq –
tuduhan sebagai seorang fasik –
Telah diketahui sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : Siapa saja yang mengatakan kepada
saudaranya wahai kafir, maka sungguh kalimat itu tertuju kepada salah satu dari keduanya “ Dan
pada riwayat Abu Daud : “ Siapa saja seorang muslim yang mengkafirkan seorang muslim lainnya,
maka apabila dia memang seorang yang kafir, apabila tidak maka yang menuding itulah yang kafir

Sekelompok manusia yang Allah butakan mata hati mereka dan melanggar kehormatan orang lain
dengan ucapan takfir, tabdi‟ dan tafsiq. Seolah-olah Allah mereka sembah dengan perkataan itu.
Diantara mereka ada yang menggunakan ungkapan takfir, tabdi‟ atau tafsiq secara mutlak dengan
hati yang lapang, sementara para ulama as-salaf dari generasi sahabat dan para Imam Islam yang
meniti jalan petunjuk mereka – seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi‟i dan Ahmad – mereka
demikian berhati-hati dengan ibarat itu. Terlebih dalam ungkapan takfir. Dimana mereka tidaklah
mengucapkan sedikitpun dari lafazh itu kecuali setelah ada pada mereka dalil-dalil yang tidak ada
keraguan lagi padanya. Dan juga telah tertiadakan pada diri seseorang yang dituju segala
penghalang, dan argumen telah tersampaikan kepadanya.
Dari Abu Bakrah radhiallahu „anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dalam
khuthbah beliau pada hari „Iedul Adha mengatakan: “ … Sesungguhnya darah kalian, harta benda
kalian dan kehormatan kalian haram atas diri sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini bagi
kalian , pada bulan ini, dan di negeri ini. Dan yang hadir seharusnya menyampaikan kepada yang
tidak hadir, dan karena yang hadir bisa jadi menyampaikannya kepada yang lebih memahaminya “
b. Perkataan seseorang: Bahwa celakalah kaum manusia.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu beliau berkata: bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Apabila seseorang mengatakan bahwa kaum manusia telah celaka, maka dialah yang
paling celaka diantara mereka "

Sabda beliau : “ Maka dialah yang paling celaka diantara mereka “, dengan hukum rafa‟ – sebagai
khabar mubtada`, – dan juga diriwayatkan dengan fathah – yakni fi‟il madhi wazan af‟ala, – yakni
dialah yang menyebabkan mereka celaka, bukan mereka yang binasa secara hakikatnya “
An-Nawawi mengatakan: “ Para ulama sepakat atas celaan ini, sesungguhnya dia bagi orang yang
mengatakannya adalah untuk meremehkan orang lain, menyombongkan diri dihadapan mereka,
mengutamakan dirinya atas mereka dan menjelekkan keadaan- keadaan mereka dikerenakan dia
tidak mengetahui rahasia Allah pada ciptaan-Nya, mereka berkata : Adapun yang mengatakan
demikian dalam keadaan sedih ketika dia melihat pada dirinya dan pada orang lain ada kekurangan
dalam perkara agama maka hal tersebut tidak mengapa. Sebagaimana dia berkata : Saya tidak
mengetahui ummat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam kecuali mereka semuanya mendirikan shalat.
Demikianlah penafsiran Imam Malik dan diikuti oleh kaum muslimin.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 68


Al-Khaththabi mengatakan : “ Maknanya bahwa seseorang akan selalu mencela kaum muslimin dan
menyebutkan keburukan mereka dan mengatakan kaum manusia telah rusak dan semsial
perkataan itu. Apabila dia melakukan hal itu maka dialah orang yang paling binasa dan paling
buruk keadaannya diantara mereka. Karena dosa yang menyertainya karena mencela dan
melecehkan mereka. Dan terkadang hal tersebut akan mengakibatkan sifat „ujub – kekaguman
pada diri sendiri – dan memandang bahwa dirinyalah yang paling baik diantara mereka. Wallahu
a‟lam.
c. Bersumpah kepada selain Allah
Hanya Allah subhanahu wata‟ala semata yang boleh bersumpah dengan nama makhluk-Nya yang
dikehendaki-Nya. Karena Dialah Al-Khalik yang dapat berbuat sekehendaknya pada kerajaan-Nya.
Sementara kaum manusia, jin, pepohonan, gunung, langit dan bumi adalah makhluk ciptaan-Nya,
maka Allah dapat bersumpah dengan segala yang Dia kehendaki.
Adapun makhluk, tidaklah diperbolehkan bersumpah dengan selain penguasa mereka dan yang
menciptakan mereka. Al-Hafidz mengatakan: “ para ulama berpendapat , hikmah dari larangan
bersumpah kepada selain Allah karena bersumpah kepada sesuatu menunjukkan pengagungan
kepada sesuatu tersebut. Sedangkan keagungan yang sebenarnya hanya teruntuk kepada Allah
semata.

Sumpah yang dilakukan oleh makhluk dapat dengan salah satu dari tiga huruf sumpah , yaitu:
wau, baa`, taa`. Anda mengatakan: Wallahi, Billahu, atau Tallahi
Ataukah bersumpah dengan „izzah Allah, sifat-sifat-Nya, kalimant-kalimat-Nya.
Al-Bukhari mengatakan : Bab. Al-Halaf bi-„izzatillahi wa shifatihi wa kalimaatihi – Bab. Bersumpah
dengan „izzah/kemuliaan Allah, sifat-sifat-Nya dan kalimat-kalimat-Nya -, kemudian beliau
mengatakan : … Abu Hurairah mengatakan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : Seseorang akan
berada diantara surga dan neraka, lalu dia berkata: Wahai Rabb-ku, palingkanlah wajahku dari api
neraka , Demi kemuliaan-Mu saya tidaklah memohon kepada selain Engkau.”
Dan sumpah juga dapat dengan meniyandarkan salah satu makhluk ciptaan Allah kepada-Nya,
seperti menyandarkan ka‟bah, langit dan bumi kepada Allah subhanahu wata‟ala. Sebagaiman
perkataan anda:” Demi Rabb ka‟bah, demi Rabb langit dan lain sebagainya, dengan mensucikan
Allah jalla wa „ala dari penyandaran makhluk-makhluk Allah yang dianggap buruk penyebutannya.
Walaupun Allah yang menciptakannya, akan tetapi adab bersama Allah mengharuskan seperti itu.
Sebagaimana doa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang terkenal : “ Dan segala keburukan
tidaklah disandarkan kepada Engkau “
Sedangkan Allah adalah pencipta segala kebaikan dan keburukan.
Dan ada beberapa lafazh yang telah didengarkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , yang
temasuk kedalam tiga lafazh sumpah sebelumnya. Seperti sabda beliau : Ayyamillah, sabda beliau
: Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya. Dan sabda beliau : Tidaklah Demi Zat yang
membolak-balikkan hati “

Dan barang siapa yang bersumpah kepada selain Allah, maka dia telah kafir atau telah berbuat
syirik, sebagaimana yang diterangkan didalam hadits Ibnu Umar radhiallahu „anhuma. At-Tirmidzi
meriwayatkan : “ Bahwa Ibnu Umar telah mendengar seseoran mengatakan : Tidaklah demi
Ka‟bah. Maka Ibnu Umar mengatakan : Janganlah bersumpah kepada selain Allah karena saya
telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang bersumpah
kepada selain Allah maka dia telah kafir atau berbuat syirik “
Hadist tersebut sebagaimana yang anda lihat berlaku umum pada larangan bersumpah kepada
segala sesuatu selain Allah. Dan beberapa hadits lainnya dalam lafazh yang lebih spesifik. Seperti
larangan bersumpahdengannenek moyang. Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata : “
Bahwa beliau menjaumpai Umar bin Al-Khaththab diatas kendaraan sementara Umar bersumpah
dengan nama bapaknya. Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menyeru kepadanya : “
Ketahuilah sesungguhnya Allah telah melarang kalian bersumpah atas nama nenek moyang kalian,
barang siapa yang bersumpah hendaknya dia bersumpah atas nama Allah dan jika tidak maka
diamlah “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 69


Dan diantaranya bersumpah dengan amanah. Dari Buraidah radhiallahu „anhu beliau berkata :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Barang siapa yang bersumpah dengan amanah
maka dia bukan bagian dari kami “
Dan juga termasuk dari hal itu , adalah larangan bersumpah dengan Nabi, bersumpah dengan
kehidupan, dengan mengatakan : Demi kehidupanku ataukah demi kehidupan si fulan dan lain
sebagainya yang berupa sumpah kepada selain Allah.

d. Bersumpah dengan kalimat talak.


Telah tersebar disebagian kaum manusia yang jahil sumpah dengan talak. Dengan mengatakan :
Bagiku talak, untuk melakukan hal ini , ataukah mengatakan: Bagiku – berlaku – talak tiga , saya
tidak akan melakukannya dan lain sebagainya.

Orang yang jahil ini bisa menyebabkan kehancuran rumah tangganya, kezhaliman kepada
keluarganya yang sama sekali tidak berdosa. Namun dosa adalah dosa yang diperbuat si pandir ini
yang mempergunakan lisannya tanpa memperhatikan dan melihat akibat dari semua perkara
tersebut. Bisa jadi perkara yang dia hendak sumpahkan tersebut adalah sesuatu yang tidak
bernilai, semisal seseorang bersumpah bagi seseorang lainnya agar dia masuk kedalam rumahnya.
Bersumpah dengan talak ini, perkara yang diperselisihkan oleh para ulama, ketika yang terjadi
adalah melanggar sumpahnya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa seseorang yang melanggar
sumpahnya wajib jatuh talak. Dan sebagian ulama berpendapat disamakan dengan sumpah al-
yamiin, dan harus baginya untuk membayar kaffarah sumpah tersebut ketika dia melanggarnya.
Ibnu „Utsaimin mengatakan dalam salah satu jawaban beliau : “ Adapun mereka yang bersumpah
dengan talak untuk melakukan hal demikian, atau mengharuskan talak jika tidak melakukan hal
demikian, ataukah jika engkau melakukan hal demikian maka istriku tertalak, ataukah jika engkau
tidak melakukan hal demikian akan istrikau tertalak dan yang serupa dengan sighat-sighat itu,
maka perbuatan ini adalah perbuatan yang menyalahi tuntunan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam .
Sebagian besar ulama bahkan ini pendapat mayoritas ulama : Bahwa apabila dia melanggar
sumpahnya maka wajib jatuh talak darinya kepada istrinya. Walau pendapat yang terpilih , apabila
kalimat talak dipergunakan dalam pemakaian sumpah al-yamiin, yaitu ketika diniatkan hanya
untuk mendorong dilakukannya sesuatu, menolak sesuatu, untuk membenarkan atau mendustakan
atau mempertegas pernyataan, maka hukumnya adalah huku sumpah al-yamin. Berdasarkan
firman Allah ta‟ala :
‫َحِب‬ ‫َحِب َحِب‬
‫ض ٱالَّلوُس اَح ُسك َحَحِب لَّل َح‬ ‫َحِب‬
‫ قَح فَح َحر َح‬١ ٞ ‫ت أَحزَٰح َح ۚ َحٱالَّلوُس َح ُسفور َّلرحي‬
‫َحِب‬
‫َحح َّلل ٱالَّلوُس اَح َح ۖ تَح تَحغ َحم َح‬
‫رض َح‬ ‫ٱانَّلِب َلَح ُسَحِّرُسم َحم أ َح‬
‫ُّد‬ ‫ٰيَحأَحيُّد َح‬
٢ ‫ٱاعلَحِبي ُس ٱحلَح َحِبكي ُس‬
‫ۚ َحٱالَّلوُس َحمواَحٰى ُسك ۖ َح ُسى َحو َح‬ ‫أَحيَٰحنَحِب ُسك‬
“ Wahai Nabi mengapakah engkau mengharamkan apa yang Allah telah halalkan bagimu, hanya
untuk mendapatkan keridhaan istri-istrimu. Dan Allah adalah Zat yang Maha Pengampun lagi Maha
Pengasih. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian semua untuk berlepas dari sumpah
kalian “ (QS. At-Tahrim : 1 – 2 )

Allah menjadikan pengharaman – istri – sebagai suatu sumpah yamiin. Dan juga berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : Sesunguhnya semua amal berdasarkan niatnya, dan
masing-masing orang disesuaikan dengan niatnya “

Dan orang ini tidaklah meniatkan talak, melainkan hanya meniatkan sumpah biasa ataukah hanya
meniatkan suatu yang semakna dengan sumpah yamiin. Apabila dia melanggar sumpahnya maka
cukup baginya untuk membayarkan kaffarah sumpahnya. Inilah pendapat yang terpilih.
e. Perkataan seseorang kepada seorang munafik : tuan atau wahai tuanku
Diterangkan didalam hadits Buraidah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : "Janganlah kalian mengatakan kepada seorang munafik tuan. Karena
apabila dia seorang tuan maka sesungguhnya kalian telah membuat Rabb kalian „azza wajalla
murka kepada kalian “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 70


Sabda beliau : “ Apabila dia seorang tuan “ yakni yang dipertuan suatu kaum atau yang
mempunyai hamba sahaya laki-laki dan wanita dan harta yang melimpah ,” Maka sesungguhnya
kalian telah membuat murka Rabb kalian „azza wajalla “, maknanya kalian telah menjadikannya
murka karena telah mengagungkan orang tersebut, sedangkan dia tidak selayaknya berhak dengan
pengagungan. Bagaimana pula jikalau dia bukan seorang tuan dari salah satu dari makna tersebut,
dan dia bersamaan dengan itu hal tersebut adalah suatu kedustaan dan kemunafikan … Ibnu al-
Atsir mengatakan : “ Janganlah kalian mengatakan kepada seorang munafik tuan, karena jikalau
dia seorang tuan bagi kalian maka dia adalah seorang munafik, dimana keberadaan kalian lebih
rendah dari keadaannya. Dan Allah tidaklah meridhai hal itu bagi kalian. Demikian disebutkan
didalam „Aun Al-Ma‟bud.
Catatan penting : Sebagian besar kaum muslimin yang mempelajari percakapan bahasa Inggris
tersebar meluas penggunaan kalimat : Mister, dalam percakapan mereka mengikuti kebiasaan
orang-orang Inggris. Yang semakna dengan kalimat tuan atau tuanku. Dan larangan berlaku pada
seorang munafik, maka lebih utama tentunya terlarang dalam menyapa seorang kafir dan
memanggilnya dengan lafazh ini. Dan ibrah adalah mengikuti makna bukan dengan bentukan
katanya. Wallahu a‟lam.

Ibnul Qayyim mengatakan didalam Ahkam Ahlu Adz-Dzimmah : Pasal. Menyapa ahlul kitab dengan
tuanku dan maula-ku. Dan adapun menyapa dengan kalimat tuan kami dan maula kami dan
semisalnya adalah perbuatan yang pasti haram.

f. Mencela masa/zaman
Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : Allah „azza wajalla berfirman :
“ Adam Adam telah menyakitiku, dia menghina masa sedangkan Aku adalah masa. Ditanganku
segala perkara, Aku membolak-balikkan malam dan siang “

Pada riwayat Ahmad : “ Janganlah kalian mencela masa, karena sesungguhnya Allah „azza wajalla
berfirman : Akulah masa, hari demi hari dan malam demi malam milik-Ku, Aku memperbaruinya
dan mensilihgantikannya dan Aku mendatangkan kekuasaan setelah kekuasaan – yang pertama “
Termasuk kebiasaan dizaman Jahiliyah bahwa mereka apabila ditimpakan bencana atau musibah
mereka mencela masa. Dan sebagian ummat ini – walau mereka minoritas – yang memang
dianggap sebagai orang-orang jahil, anda akan menjumpainya menceritakan hal itu dari mereka
ketika ditimpa musibah.

Dan pada hadits diatas berisikan larangan mencela masa. Hal itu disebabkan karena mencela masa
tiada lain adalah mencela Sang Pencipta masa, Yang mengaturnya dan Yang membolak-
balikkannya. Maka mereka dilarang untuk mencela masa agar mereka tidak terperosok dalam
mencela Sang Pencipta masa.

Masalah : Apakah dikatakan ini “ zaman tandus/gersang “ atau zaman pengkhianatan atau wahai
zaman yang mengecewakan yang saya telah melihatmu ditempat tersebut ?

Jawab : Ibnu „Utsaimin – hafidzahullah – mengatakan: Ungkapan-ungkapan ini yang disebutkan


pada soal ditinjau dari dua sisi :
Pertama : Jika ungkapan-ungkapan tersebut berupa celaan yang hinaan pda zaman, maka ini
suatu yang haram, tidak dipebolekan. Dikarenakan apapun yang terjadi pada suatu zaman, maka
datangnya dari Allah „azza wajalla. Barang siapa yang mencelanya berarti mencela Allah. Dari
sinilah Allah ta‟ala berfirman didalam hadits qudsi : “ Anak Adam telah menyakiti-Ku dengan
mencela masa, sedangkan Akulah masa, Ditangan-Ku segala perkara, Aku membolak-balikkan
siang dan malam “
Tinjauan yang kedua : Mengatakannya sebagai pemberitahuan , dan ini suatu yang
diperbolehkan. Diantaranya firman Allah ta‟ala berkenaan dengan Luth „alaihis salam : “ Dan beliau
berkata inilah hari yang amat sulit “. Yakni hari yang keras . Dan semua orang mengatakan : Ini
adalah hari yang sangat keras/sulit. Hari ini terdapat perkara ini dan ini, dan ini perkataan yang
tidak mengapa.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 71


Adapun perkataan : “ Ini zaman pengkhianatan “, adalah ungkapan celaan karena sifat
khianat/menipu adalah sifat tercela dan tidak diperbolehkan.
Sedangkan perkataan : “ Wahai zaman yang mengecewakan yang mana saya melihatmu berada
dizaman tersebut “ Apabila yang dimaksud yakni wahai kekecewaanku/kegagalanku, maka ini
tidaklah mengapa. Dan bukan tergolong celaan kepada masa. Dan apabila yang dimaksud adalah
zaman atau hari maka ini termasuk celaan dan tidak diperbolehkan “

g. Perkataan : Haram bagimu atau haram bagimu melakukan hal demikian


Tidak diperbolehkan menyifati sesuatu dengan pegharaman kecuali sesuatu tersebut telah
diharamkan oleh Allah atau Rasul-Nya. Hal itu adalah menyifati sesuatu yang bukan suatu yang
haram dengan pengharaman – walaupun niatnya selamat -. Pada hal tersebut mengandung unsur
melampaui batas pada sisi Rububiyah Allah. Dan mempersangkakan seolah-olah hal tersebut
sesuatu yang haram, padahal tidak demikian. Dan yang lebih selamat bagi seseorang pada
agamanya supaya menjauhi lafazh ini.
Dan dikhawatirkan atas orang yang mengatakannya termasuk kedalam keumuman firman Allah
Ta‟ala :

‫ٱاك َحِبذب ۚ َحِب َّل َحِب‬ ‫َحِب‬ ٰ ‫َحاسنت ُسك َح َحِب‬


‫َحِب‬ ‫َحِب َحِب‬
‫َّلن ٱاذ َح‬
‫ين يَحفتَح ُسر َحن َحلَحى‬ ‫ب َٰحى َحذ َححلَحل َح َٰحى َحذ َححَحرم اِّتَحفتَح ُسر ْب َحلَحى ٱالَّلو َح َح‬
‫ٱاكذ َح‬ ‫ف أ َحُس ُس‬ ‫َحَح تَح ُسقواُسوْب ا َح تَحل ُس‬
١١٦ ‫ون‬ ‫ب َح يُسفلَحِب ُس َح‬ ‫ٱالَّل َحِبو َح َحِب‬
‫ٱاكذ َح‬
“ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “
Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Seseungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung “. (An-Nahl :
116 )

Berkata Asy-Syaukani : “ Dan maknanya adalah janganlah kalian mengharamkan dan janganlah
kalian mengahalalkan, dikarenakan perkataan yang engkau ucapkan dengannnya lisan-lisan kalian
tanpa adanya hujjah”.

BAB 9
ADAB-ADAB MAKAN DAN MINUM
Allah ta‟ala berfirman :

٥١ ٞ ‫ون َحلَحِبي‬
‫صٰلَحِب ً ۖ َحِب ِّا َحِبِبَح تَحع َح لُس َح‬ ‫َحِب‬ ‫َحِب‬
‫ٱار ُس ُسل ُسكلُسوْب م َحن ٱاطَّليَِّحٰت َحٱ َح لُسوْب َح‬
‫ٰيَحأَحيُّد َح ُّد‬
“ Wahai para Rasul makanlah kalian dari makanan-makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal-
amal yang shalih , sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian perbuatan “ (Al-Mukminun : 51
)

Dan Allah ta‟ala berfirman :

‫ين‬ ‫زق ٱالَّل َحِبو َح تَحعثوْب َحِبِف ٱأل َحِب َحِب َحِب‬
‫ُسكلُسوْب ٱشر وْب َحِبمن ِّر َحِب‬
‫َحرض ُسمفس َح‬ ‫َح َح‬ ‫َح َحُس‬
“ Makan dan minumlah kalian dari rizki Allah dan janganlah kalian berlebihan dimuka bumi sebagai
orang-orang yang berbuat kerusakan “ – Al-Baqarah : 60 –

Dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ‫وك ل مم ا ي ل يك‬،‫ل ب يم ي نك‬ ‫وك‬،‫ي ا غ الم سم اهلل‬
“ Wahai anak kecil, makanlah dengan menyebut Bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan
makanlah yang terdekat denganmu “

Di antara adab-adab makan dan minum, sebagai berikut :


1. Larangan Makan dan Minum pada bejana yang terbuat dari emas dan perak.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 72


Ada beberapa hadits yang berisikan ancaman yang amat keras bagi seseorang yang makan di
Bejana emas dan perak, ataukah makan dari piring yang terbuat dari emas dan perak. Dari
Hudzaifah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Saya telah mendengar Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda :
“ Janganlah kalian mengenakan pakaian dari sutra, dan juga pakaian yang bercampur dengan
sutra, dan janganlah kalian minum dari bejana yang terbuat dari emas dan perak, dan janganlah
kalian makan dari piring yang terbuat dari emas dan perak. Karena sesungguhnya bejana dan
piring seperti itu bagi mereka – ahli kitab – didunia dan bagi kita di surga “
Dari Ummu Salamah – istri Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam – mengatakan : Bahwa Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Seseorang yang minum dari bejana perak, maka
sesungguhnya diperutnya akan didengarkan suara api neraka jahanam “

Para Ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan minum dari bejana tersebut. Dan tidak ada satupun
nash yang menerangkan sebab dari larangan ini. Dan seorang muslim apabila telah mengetahui
suatu dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih tidak sepantasnya dia melanggarnya walau
sekecil apapun juga. Dan tidak selayaknya berupaya untuk mentakwilkannya dengan tujuan
mendapatkan pembolehan dalam pengerjaannya. Para Ulama telah mengupas hikmah yang
terkandung didalam larangan ini dan mereka berbeda persepsi : Diantara hikmah larangan tersebut
: Keserupaan dengan penguasa-penguasa yang angkuh dan raja-raja asing, sikap berlebihan dan
sombong, karena akan menyakiti hati orang-orang yang shalih dan kaum fakir miskin yang tidak
mempunyai sesuatu untuk memenuhi kebutuhan mereka itu. Sebagaimana hal tersebut dinyatakan
oleh Ibnu Abdil Barr.
Faedah : Al-Isma‟ili mengatakan : Sabda beliau : “ Dan bagi kalian di akhirat “ [ pada riwayat
lainnya ] : Maksudnya bahwa kalian akan mempergunakannya sebagai penyeimbang karena telah
meninggalkannya didunia. Dan mereka dilarang sebagai balasan bagi mereka kaena telah berlaku
maksiat dengan mempergunakannya – yaitu didunia, -.
Saya ( Ibnu Hajar ) berkata : Dan ada kemungkinan bahwa hadits diatas mengisyaratkan bahwa
siapa saja yang mempergunakan hal itu didunia maka dia tidak akan mempergunakannya di
akhirat, sebagaimana yang telah terdahulu disebutkan pada pembahasan minum khamar.
2. Larangan makan sambil bertelekan atau menelungkupkan wajahnya.
Abu Juhaifah meriwayatkan , bahwa beliau berkata : “ Saya pernah berada disisi Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam , maka beliau bersabda kepada seseorang yang berada disampingnya :
Tidaklah sekali-kali saya makan sambil bertelekan “

Ibnu Hajar mengatakan : “ Cara betelekan yang dilarang telah terjadi perbedaan pendapat, ada
yang mengatakan : Dengan bersandar sewaktu makan dengan posisi apapun juga. Ada yang
berpendapat : Duduk serong kesalah satu sisi tubuhnya . Ada yang berpendapat : Duduk dengan
menopang kepada tangan kirinya diatas tanah …
Beliau berkata : Ibnu Adiy meriwayatkan dengan sanad yang dha‟if : “ Bahwa Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam melarang seseorang bersandarkan dengan tangan kirinya ketika makan “
Malik berkata : “ Ini adalah salah satu bentuk bertelekan “
Saya – Ibnu Hajar – berkata : “ Dan ini adalah isyarat dari Malik bahwa makruh setiap yang
termasuk dalam bertelekan sewaktu makan, dan tidak mengkhususkannya dengan posisi tertentu

Ibnu Hajar mengatakan : “ Dan apabila hal ini suatu ketetapan bahwa makruh atau termasuk khilaf
aula – menyalahi amalan yang utama – , maka posisi duduk yang sunnah disaat makan adalah
dengan duduk berjingkat pada lutut dan menegakkan tumit, dengan melipat kaki kanan dan duduk
diatas kaki kiri “
Dan tinjauan makruhnya posisi duduk ini dikarenakan merupakan posisi duduk para penguasa yang
angkuh dan raja-raja negeri asing. Dan merupakan posisi duduk orang-orang yang berkeinginan
memperbanyak makannya.
Dan posisi yang kedua dari cara makan seseorang yang terlarang adalah makan sambil duduk
bersandar/ bertelungkup diatas perutnya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 73


Dari hadits Ibnu Umar radhiallahu „anhu , beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
telah melarang orang-orang berbuat tamak, dan melarang duduk diatas meja yang terhidang
khamar, dan melarang seseorang duduk bertelungkup diatas perutnya “
Faedah : Cara duduk ketika makan : Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam makan dengan posisi
muq‟in dan disebutkan dari beliau, bahwa beliau Shallallahu „alaihi wa sallam duduk ketika makan
dengan duduk tawarruk, yaitu duduk diatas kedua lutut dan meletakkan telapak kaki kiri beliau
atas punggung kaki kanan beliau, sebagai bentuk sikap tawadhu‟ – rendah diri – kepada Rabb-nya
„azza wajalla. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim.
Adapun posisi duduk ketika makan yang pertama adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas
bin Malik, belaiu berkata : “ Saya telah melihat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam duduk dengan
posisi muq‟in, sedang memakan kurma “
Adapun posisi duduk yang kedua : Diriwayatkan dari Abdullah bin Busr radhiallahu „anhu, beliau
berkata : “ Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam diberi hadiah seekor kambing, maka Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bertopang dengan kedua lututnya menyantap kambing tersebut. Maka
seorang Arab Badui berkata kepada beliau : Posisi duduk apakah ini ?. Beliau bersabda :
Sesungguhnya Allah menjadikan aku sebagai seorang hamba yang mulia dan tidak menjadikan aku
sebagai seorang penguasa angkuh lagi pembangkang.
3. Mendahulukan makan dari pada shalat ketaka makanan telah dihidangkan
Pada hadits Anas radhiallahu „anhu, dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda :
“ Apabila hidangan makan malam telah dihidangkan dan shalat telah didirikan makan kalian
mulailah denan makan malam “

Dari Ibnu Umar radhiallahu ;anhuma, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda :
“ Apabila makan malam salah seorang diantara kalian telah dihidangkan sementara shalat telah
didirikan, maka mulailah dengan makan malam kalian dan janganlah seseorang tergesa-tergesa
hingga dia selesai dari makannya “

Dan Ibnu Umar radhiallahu „anhuma , apabila dihidangkan makan malam beliau sementara waktu
shalat telah datang, beliau tidak beranjak dari makan malamnya hingga menyelesaikannya. Imam
Ahmad meriwayatkan didalam Musnad-nya dari Nafi‟ bahwa Ibnu Umar seringkali mengutus beliau
sementara beliau dalam keadaan berpuasa, dan dihidangkan kepada beliau makan malamnya
sementara panggilan shalat maghrib telah dikumandangkan, lalu kemudian iqamah shalat dan
beliau mendengarkannya, namun beliau tidaklah meninggalkan makan malam beliau dan tidak juga
tergesa-gesa hingga beliau menyelesaikan makan malamnya, lalu beliau keluar untuk mengikuti
shalat . Dan beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam Allah bersabda : “ Janganlah kalian
tergesa-gesa menyantap makan malam kalian apabila telah dihidangkan bagi kalian “
Dan sebab dari hal tersebut, agar jangan sampai seseorang mengerjakan shalat namun hatinya
teringat akan makanannya yang mana akan menyebabkan kerisauan yang menghilangkan rasa
khusyu‟nya.
Ibnu Hajar mengatakan : Sa‟id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad
yang hasan dari hadist Abu Hurairah dan Ibnu Abbas : “ Bahwa mereka berdua tengah menyantap
makanan dipemanggangan. Lalu muadzdzin hendak meng-iqamahi shalat, maka Ibnu Abbas
berkata kepadanya : Janganlah engkau tergesa-gesa agar kami tidak berdiri mengerjakan shalat
sementara pada hati kami ada ganjalan “Dan pada riwayat Ibnu Abi Syaibah : “ Agar tidak
memalingkan kami disaat mengerjakan shalat “
Dan perintah semacam ini tidaklah khusus sebatas pada makan malam saja, melainkan pada setiap
makanan yang mana hati tertarik untuk menyantapnya. Dan yang menguatkan hal tersebut adalah
larangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mengerjakan shalat disaat makan telah dihidangkan,
dan disaat menahan air kencing dan buang air besar. Dan sebabnya sangatlah jelas.
Dari Aisyah – ummul mukminin – radiallahu „anha, beliau berkata : Saya telah mendengar dari
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda :
“ Tidak sempurna shalat disaat makanan telah dihidangkan dan tidak sempurna jikalah seseorang
dalam keadaan menahan kencing dan hajat besar “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 74


Faedah : Sebagian ulama mengatakan : Bagi siapa yang makanannya telah dihidangkan kemudian
shalat di-iqamahi, maka sepatutnya dia memakan beberapa suap untuk mengatasi rasa laparnya.
An-Nawawi membantah hal tersebut , dan beliau mengatakan : “ Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam ; Dan janganlah seseorang tergesa-gesa hingga menyelesaikan makannya, adalah dalil yang
menunjukkan bahwa dia makan menyelesaikan kebutuhannya dengan menyempurnakan
makannya. Dan inilah pendapat yang shahih. Adapun penafsiran sebagian dari ulama Asy-
Syafi‟iyah bahwa dia cukup makan sesuap untuk mengatasi rasa laparnya yang amat sangat,
bukanlah pendapat yang shahih. Dan hadits ini sangat jelas menolaknya.”
Masalah : Apabila makanan telah dihidangkan sementara shalat telah di-iqamahi, apakah wajib
untuk makan terlebih dahulu berdasarkan zhahir hadits ataukah perintah pada hadits sebatas
menunjukkan suatu yang Sunnah ?

Jawab : Amalan Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, pada riwayat Ahmad dan selainnya menunjukkan
pendahuluan makan secara mutlak. Dan sebagian ulama mengkhususkan hal itu apabila hati
tertarik dan terbayang dengan makanan tersebut. Apabila hatinya terbayangkan akan makanan
tersebut maka yang lebih utama baginya adalah mengambil makanan tersebut hingga dia
mengerjakan shalat dalam keadaan khusyu‟. Dan juga diriwayatkan dari hadits Abu Ad-Darda`a
radhiallahu „anhu beliau berkata : “ Diantara bentuk pemahaman seseorang adalah dengan
menyelesaikan hajatnya hingga dia menuju shalat dengan hati yang tenang “
Pendapat yang tepat berkaitan dengan masalah itu adalah yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu
Haja – dimana setelah beliau mengutip atsar Ibnu Abbas dan Atsar Al-Hasan bin Ali : “ Makan
malam sebelum mengerjakan shalat akan menghilangkan hati yang tercela“, beliau mengatakan :
Pada atsar ini semuanya mengisyaratkan bahwa sebab pengutamaan makan dari pada shalat itu
adalah karena bayangan maka sepatutnyalah hukum diikutkan pada sebabnya, baik ketika sebab
itu ada atau tidak, dan tidak terikat dengan seluruhnya atau sebagiannya.
4. Membasuh kedua tangan sebelum dan sesudah makan
Saya tidak menjumpai adanya Sunnah yang shahih yang diriwayatkan secara marfu‟ hingga ke
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , yang menerangkan perihal membasuh kedua tangan sebelum
makan. Al-Baihaqi mengatakan : “ Hadits tentang membasuh kedua tangan setelah makan hadits
yang hasan, dan tidaklah shahih hadits tentang membasuh kedua tangan sebelum makan. Akan
tetapi disenangi hal itu untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada kedua tangan dan yang
semisalnya yang akan memberi mudharat kepada tubuh. Dan Imam Ahmad berkaitan dengan
masalah itu terdapat dua riwayat dari beliau. Yaitu riwayat yang menganggap hal itu makruh dan
yang satunya sebagai Sunnah. Dan Imam Malik merinci hal itu, dan mengkaitkan membasuh kedua
tangan sebelum makan apabila ada kotoran. Adapun amalan Ibnu Muflih didalam kitab Al-Adab
karya beliau, menunjukkan bahwa beliau cenderung berpendapat bahwa amalan tersebut Sunnah
sebelum makan, dan ini adalah pendapat sejumlah besar ulama.
Dan permasalahan ini suatu yang lapang walhamdu lillah Rabbil „Alamiin.
Adapun membasuh kedua tangan setelah makan, tentang hal itu telah diriwayatkan beberapa atsar
yang shahih, diantaranya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhialahu „anhu, bahwa
beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang tidur dan
pada tangannya masih melekat ghamar dan tidak membasuhnya kemudian dia terkena sesuatu
makan janganlah dia menyesali kecuali pada dirinya sendiri “
Dan dari abu Hurairah, beliau berkata :
“ Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah makan bagian punggung kambing,
kemudian beliau berkumur-kumur dan membasuh kedua tangannya lalu shalat “
Dan dari Aban bin „Utsman, bahwa „Utsman bin „Affan radhiallahu „anhu pernah makan roti dengan
danging kemudian berkumur-kumur dan membsuh kedua tangannya lalu membasuh wajahnya,
dan kemudian beliau mengerjakan shalat tanpa berwudhu‟ lagi “

Faedah : Sebagian ulama menganggap Sunnah wudhu‟ yang syar‟i sebelum makan apabila dalam
keadaan junub. Dan hal itu disebutkan dalam sebuah hadits dan sebuah atsar. Adapun hadits yang
dimaksud adalah hadits dari „Aisyah radhiallahu „anha, beliau berkata : Apabila Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam junub dan hendak makan atau tidur beliau terlebih dahulu berwudhu‟
sebagaimana wudhu‟ untuk shalat “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 75


Adapun atsar , adalah atsar dari Nafi‟ dari Ibnu Umar bahwa apabila beliau hendak tidur atau
makan dalam keadaan junub, beliau mencuci wajahnya, kedua tangannya hingga sampai ke siku,
dan membasuh kepadalnya, lalu beliau makan atau tidur “
Asy-Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah mengatakan : “ Dan kami tidak mengetahui seorangpun
yang beranggapan sunnahnya berwudhu‟ sebelum makan, kecuali apabila dia dalam keadaan
junub.

Perhatian : Al-Muhadist Al-Albani beragumen denga hadits „Aisyah : “ apabila Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub maka beliau berwudhu‟ dan apabila hendak
makan maka beliau membasuh kedua tangannya “

Bahwa disyariatkan untuk membasuh kedua tangan sebelum makan secaa mutlak berdasarkan
hadits ini.

Akan tetapi hukum secara mutlak ini perlu diteliti lagi, dikarenakan beberapa hal :
Pertama : Hadits tersebut menerangkan tentang amalan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam disaat
beliau junub ketika tidur, makan dan minum.
Kedua : Sebagian riwayat-riwayat hadits tersebut datang dengan lafazh wudhu‟ dan sebagian
lainnya dengan penyebutan membasuh kedua tangan yang menerangkan boleh kedua amalan itu.
As-Sindi didalam Hasyiyah-nya mengatakan : “ Sabda beliau : (( membasuh kedua tangan )) yaitu
terkadang beliau mencukupkannya dengan hal itu untuk menerangkan pembolehan, dan terkadang
beliau berwudhu‟ sebagai keadaan yang lebih sempurna “
Ketiga : Bahwa para Imam Ahlul Hadist, seperti Malik, Ahmad, Ibnu Taimiyah, An-Nasa`i
rahimahumullah dan juga selain mereka – dan kami telah mengutip perkataan mereka – tidaklah
berpendapat bahwa hadits Aisyah diatas berlaku secara mutlak sebagaimana pendapat Al-„Allamah
Al-Albani – rahimahullah – yang menganggap berlaku secara mutlak, sedangkan mereka
meriwayatkan hadits ini, yang menguatkan bahwa permasalahan ini menurut mereka hanya
berlaku pada saat junub, sehingga wudhu‟ dan membasuh tangan sebelum makan pada hadits ini
berlaku hanya pada saat junub. Wallahu a‟lam.
5. Membaca Basmalah diawal memulai makan dan minum, dan membaca Alhamdulillah
setelah selesai.
Diantara Sunnah, seseorang yang ehndak makan dan minum sebelum makan dan minum
hendaknya membaca basmalah dan membaca Alhamdulillah ta‟ala setelah selesai makan dan
minum.

Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan : “ Membaca basmalah diawal makan dan minum dan
membaca Alhamdulillah setelah selesai, mempunyai pengaruh yang sangat mengagumkan baik
pada manfaatnya, kebaikan dan dalam mencegah kemudharatan. Imam Ahmad mengatakan :
Apabila dalam makanan telah terkumpul empat hal, maka telah sempurna : Apabila menyebut
nama Allah diawal makan, Alhamdulillah setelah makan, makan berjama‟ah dan dari makanan yang
halal.

Faedah membaca Basmalah : sebelum makan yaitu bahwa syaithan diharamkan bergabung
dalam makanan dan dalam meraih makanannya. Dari Hudzaifah radhiallhu „anhu, beliau berkata : “
apabila kami hadir bersama dengan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah kami meletakkan
tangan kami hingga Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam memulai, maka barulah kami meletakkan
tangan kami. Dan suatu saat kami menghadiri makan bersama dengan beliau , lalu seorang anak
wanita, sepertinya dia dipanggil dan kemudian datang dan meletakkan tangannya, lalu Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam meraih tangannya. Kemudian datang seorang arab badui, sepertinya
dia dipanggil namun tangannya diraih oleh beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Sesungguhnya syaithan memasuki makanan yang tidak disebut nama allah.
Dan syaithan datang dengan anak wanita ini untuk bergabung , maka saya menarik tangannya.
Dan datang dengan arab badui ini juga untuk bergabung dengannya, maka saya juga menarik
tangannya. Dan demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya sesunguhnya tangan syaithan
bersentuhan dengan tanganku bersamaan dengan tangan anak wanita tersebut “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 76


Lafazh Basmalah : Adalah dengan mengucapkan Bismillah. Dari Umar bin Abu Salamah
radhiallahu „anhuma, beliau berkata : “ Saat itu saya seoranganak kecil yang berada didalam
kamar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , dan tanganku meraih yang ada didalam piring,
maka RasulullahShallallahu „alaihi wa sallam bersabda : Wahai anak kecil, bacalah bismillah dan
makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang terdekat denganmu, maka hal itu menjadi
makananku berikutnya “
An-Nawawi didalam Kitab Al-Adzkar karya beliau memilih bahwa yang paling utama adalah
mengucapkan : Bismillahirrahmanirrahim, dan apabila mengucapkan : Bismillah, maka sudah
cukup dan sudah mengamalkan Sunnah.
Ibnu Hajar menyaggah pendapat tersebut, beliau berkata : “ Saya tidak melihat adanya dalil
khusus yang menguatkan pernyataan beliau.
Saya berkata : Sebagian besar nash-nash yang ada menerangkan hanya dengan lafazh : Bismillah
, dan selain itu tanpa tambahan : Ar-Rahman Ar-Rahim. – dari hadits Amru bin Abi Slaamah, beliau
berkata :Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Wahai anak kecil, apabila engkau
makan maka sebutlah bismillah, makanlah dengan tangan kanamu dan makanlah yang terdekat
denganmu. “

Dan apabila seseorang yang makan lupa mengucapkan : bismilah sebelum makan kemudian dia
teringat disaat dia tengah makan, maka hendaknya dia mengatakan : Bismillahi Awwalahu wa
Akhirahu , atau mengatakan : Bismillahi fii Awwalihi waakhirihi. Dari Aisyah Ummul Mukminin
radhiallahu „anha, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “
Apabila salah seorang diantara kalian makan hendaknya dia menyebut : Bismillah ta‟ala. Dan
apabila dia lupa menyebut Bismillah ta‟ala diawal makan, maka hendaknya dia mengucapkan :
Bismillah Awwalahu wa Akhirahu “
Adapun ucapan Alhamdulillah ta‟ala, setelah menyelesaikan makan atau minum, maka pada ucapan
ini mempunyai keutamaan yang sangat agung, yang Allah anugrahkan kepada segenap hamba-
Nya. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Sesungguhnya Allah meridhai seorang hamba yang ketka makan suatu makanan lalu dia
mengucapkan Alhamdulillah. Dan apabila dia minum suatu minuman maka diapun mengucapkan :
Alhamdulillah. “

Ada banyak lafazh Alhamdulillah setelah selesai dari makan dan minum, diantaranya :
“Alhamdulillah katsiran mubarakan fihi ghairi makfiyyiin wa laa muwadda‟in wa laa mustaghnan
„anhu Rabbana “
“Alhamdulillah Alladzi kafaanaa wa arwaanaa ghaira makfiyyin wa laa makfuurin “
Abu Umamah radhiallahu „anhu meriwayakan , beliau berkata : bahwa Apabila Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam telah selesai dari menyantap makanannya, beliau sekali waktu
mengucapkan : “Alhamdulillah katsiran mubarakan fihi ghairi makfiyyiin wa laa muwadda‟in wa laa
mustaghnan „anhu Rabbana “
“Alhamdulillah alladzi ath‟amaniy hadza wa razaqniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin.
Dari Mu‟adz bin Anas dari bapak beliau, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Barang siapa yang makan suatu makanan, kemudian dia mengucakan : Alhamdulillah
alladzi ath‟amaniy hadza wa razaqniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin , segala dosanya
yang telah lampau akan diampuni "
“ Alhamdulilah alladzi ath‟ama wa saqaa wa sawwaghahu wa ja‟ala lahu makhrajan “
Abu Ayyub al-Anshari meriwayatkan, beliau berkata : “ Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam makan atau minum, beliau mengucapkan : Alhamdulillah alladzi ath‟ama wa saqaa wa
sawwaghahu wa ja‟ala lahu makhrajan “
“ Allahumma ath‟amtu wa asqaitu wa aqnaitu wa hadaitu wa ahbabtu, falillailhamdu „ala maa
a‟thaitu “
Dari Abdurrahman bin Jubair, bahwa seseorang yang telah melayani Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam selama delapan tahun menceritakan kepadanya, bahwa dia telah mendengar Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam apabila beliau disodorkan makanan, beliau mengucapkan : “ Bismillah
“ , dan apabila beliau selesai beliau mengucapkan : “ Allahummah ath‟amtu wa asqaituwa aqnaitu
wa hadaitu wa ahyaitu falillahilhamdu „ala maa a‟thaitu “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 77


Faedah : Disenangi untuk mempergunakan lafazh-lafazh Alhamdulillah yang ada didalam As-
Sunnah setelah selesai makan. Dengan sesekali mengucapkan lafazh yang ini dan sesekali dengan
lafazh lainnya, sehingga denga demikian dia telah menjaga As-Sunnah dari segala sisiknya. Dan dia
akan mendapatkan berkah dari doa-doa ini. Bersamaan dengan itu seseorang akan merasakan
didalam hatinya penghadiran makna-makna dari doa-doa ini ketika dia mengucapkan lafazh ini
sesekali waktu dan lafazh lainnya diwaktu yang lain. Dikarenakan hati seseorang apabila telah
terbiasa dengan perkara tertentu – seperti berulang-ulang menyebutkan dzikir tertentu – maka
dengan banyaknya pengulangan , biasanya penghadiran makna-makna dari doa tersebut akan
semakin berkurang karena seringnya diulangi.
Faedah lainnya : Ibnu Abbas – radhiallahu‟anhuma – meriwayatkan , bahwa Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Barang siapa yang Allah telah memberikan makanan baginya, hendaknya dia mengucapkan :
Allahumma barik lana war-zuqnaa khairan minhu. Dan barang siapa yang Allah telah memberinya
minum, hendaknya dia mengucapkan : Allahumma baarik lanaa fiihi wa zidnaa fiihi. Karena
sesungguhnya saya tidak mengetahui ada makanan dan minuman yang akan memuaskan selain
susu “

6. Makan dan minum dengan mempergunakan tangan kanan dan larangan


mempergunakan tangan kiri
Telah kita sebutkan sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam kepada Umar bin Abi Salamah :
“ Wahai anak kecil, makanlah dengan menyebut Bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan
makanlah makanan yang terdekat denganmu “

Dan dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma, beliau berkata : bahwa Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Janganlah kalian makan dengan mempergunakan tangan
kirimu karena sesungguhnya syaithan makan dengan mempergunakan tangan kirinya “
Dan pada hadits Umar radhiallahu „anhu, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Apabila salah seorang diantara kalian makan, hendaknya dia makan dengan
mempergunakan tangan kanannya dan apabila minum hendaknya dengan mempergunakan tangan
kanannya. Karena sesungguhnya syaithan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan
tangan kirinya “
Ibnul Jauzi mengatakan : “ Ketika tangan kiri dijadikan untuk ber-istinja‟ dan menyentuh hal-hal
yang najis, sementara tangan kanan untuk mengambil makanan, maka tidaklah shahih salah satu
dari keduanya dipergunakan pada pekerjaan tangan yang lainnya, dikarenakan ini merupakan
perendahan suatu yang memiliki kedudukan serta meninggikan suatu yang direndahkan
kedudukannya. Barang siapa yang menyalahi tuntunan hikmah syaa‟ berarti telah menyepakati
syaithan “
Sedangkan hadits-hadits tersebut dalam permasalahan ini adalah hadits-hadits yang masyhur yang
tidak lagi tersembunyi oleh khalayak awam, hanya saja sebagian kaum muslimin – semoga Allah
memberi mereka hidayah – masih saja bersikeras dengan sifat yang tercela ini, yaitu makan dan
minum dengan mempergunakan tangan kiri. Dan apabila dikatakan kepada mereka tentang hal itu,
mereka menjawab : Hal ini telah menjadi kebiasaan kami dan sangat sulit untuk merubahnya.
Demi Allah sesungguhnya jawaban ini merupakan kemilau rayuan syaithan bagi mereka, dan
penghalang bagi mereka untuk mengikuti syara‟. Dan secara umum, ini merupakan bukti akan
kurangnya iman di dalam hati mereka. Jika tidak maka apa makna dari penyelisihan perintah
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan larangan beliau !
Dan lebih buruk dan lebih keji dari itu, adalah mereka yang melakukan hal itu dengan
kesombongan dan keangkuhan.

Salamah bin al-Akwa‟ radhiallahu „anhu meriwayatkan : “ Bahwa seseorang makan disisi Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam dengan mempergunakan tangan kirinya. Maka beliau bersabda : “
Makanlah dengan tangan kananmu “ Orang itu berkata : Saya tidak sanggup. Beliau bersabda :
Engkau tidak sanggup ? Tidak ada yang menghalangimu kecuali rasa sombong. Maka diapun tidak
sanggup mengangkat tangannya kemulutnya “ Pada riwayat Ahmad : “ Maka tangan kanannya
tidak sanggup lagi dia angkat kemulutnya selamanya “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 78


An-Nawawi mengatakan : “ Pada hadits ini menunjukkan bolehnya seseorang mendoakan siapa
saja yang menyalahi hukum syara‟ tanpa adanya udzur. Dan pada hadits ini juga menunjukkan
perintah untuk menjalankan Amar Makruf dan Nahi Munkar disetiap keadaan hingga disaat makan
sekalipun. Dan disenangi untuk mengajarkan seseorang yang makan dengan adab-adab makan
apabila dia menyalahinya.
Peringatan : Apabila ada udzu mempergunakan tangan kanan untuk makan, seperti karena sakit
atau luka dan selainnya, maka tidaklah mengapa makan dengan mempergunakan tangan kiri. Dan
Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya.
7. Makan dengan makanan yang terdekat
Disalah satu riwayat pada hadits Umar bin Abi Salamah, bahwa beliau mengatakan : Saya makan
bersama Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pada suatu hari, lalu saya mengambil daging yang
ada di seberang piring. Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Makanlah makanan yang terdekat denganmu “
Sebab dari larangan itu, dikarenakan makan dia makan ditempat orang lain mengambil makan
dengan adab yang jelek. Dan orang-orang yang makan bisa saja merasa jijik dengan perbuatan ini
– dan ini yang kebanyakan terjadi -.

Akan tetapi mungkin ada yang menyanggah kepada kami, dan mengatakan : Lalu apa yang kalian
katakan tentang hadits Anas , dimana beliau berkata : “ Sesungguhnya seorang penjahit mengajak
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam untuk menyantap makan sajiannya, maka saya berangkat
bersama Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , dan dia menyuguhkan roti dari tepung dan maraq –
kuah daging – yang bercampur labu dan dendeng. Saya melihat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam mengambil labu yang ada diseberang piring “
Jawaban atas sanggahan ini : Kedua hadits ini tidaklah saling bertentangan , dan kami
menjawabnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr : “ Bahwa al-maraq, al-idam dan
makanan lainnya apabila terdiri atas dua jenis atau banyak, maka tidak mengapa menjulurkan
tangan untuk mengambilnya, karena bolehnya memilih makanan yang dihidangkan di meja
makan… Kemudian beliau berkata – mengomentari sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “
Dan makanlah dengan makanan yang terdekat denganmu “ – : Dan sesungguhnya beliau
memerintahkan kepadanya untuk makan dengan makanan yang terdekat, karena makanan yang
ada waktu itu hanya satu jenis. Wallahu a‟lam. Demikianlah yang ditafsirkan oleh para ulama. Dan
dengan begitu jelaslah penyesuaian kedua hadits tersebut – Wallahu Al-Muwafffiq
8. Disenangi makan dipinggiran piring bukan bagian atasnya
Disebutkan pada hadits Ibnu Abbas – radhiallahu „anhuma -, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda :

“ Apabila salah seorang diantara kalian makan suatu makanan maka janganlah dia makan pada
bagian atasnya, akan tetapi hendaknya dia makan pada bagian pinggirnya, karena sesungguhnya
berkah turun dari bagian atasnya “. Pada lafadz riwayat Ahmad : “ Makanlah kalian pada bagian
pinggir piring, dan janganlah kalian makan dari bagian tengahnya, karena berkah turun pada
bagian tengahnya “

Bagian tengah diberi kekhususan dengan turunnya berkah, karena tempat itu adalah tempat paling
adil. Dan sebab dari larangan tersebut agar seseorang yang makan tidak terharamkan baginya
berkah yang berada dibagian tengah. Dan juga termasuk didalam hadits ini apabila yang makan
lebih dari seseorang – berjama‟ah -, karena seseorang diantara mereka yang mendahului
mengambil dibagian tengah makanan sebelum bagian pinggirnya, telah melakukan adab yang jelek
kepada mereka, dan mementingkan diri sendiri untuk suatu yang baik selain dari mereka, Wallahu
a‟lam.
9. Disenangi makan dengan mempergunakan tiga jari dan menjilati jari setelah makan.
Diantara Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , bahwa beliau makan dengan mempergunakan
tiga jari. Dan juga menjilati jarinya setelah makan. Didala hadits Ka‟ab bin Malik dari bapaknya,
beliau berkata : “ Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam ketika makan beliau mempergunakan tiga
jari dan menjilati jarinya sebelum mengelapnya “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 79


Ibnul Qayyim mengatakan : “ Dikarenakan makan dengan satu atau dua jari tidaklah menjadikan
seorang yang makan menikmatinya dan tidak juga memuaskannya dan tidak mengenyangkannya
kecuali setelah lama berselang dan juga tidak mengenakkan organ mulut dan pencernaan dengan
yang masuk kedalamnya dari setiap makanan … Sedangkan makan dengan lima jari dan telapak
tangan akan menyebabkan makan memenuhi organ mulut dan juga pencernaan. Dan terkadang
akan menyumbat saluran makan dan memaksakan organ-organ makan untuk mendorongnya dan
juga pencernaan akan terbebani. Dan dia tidak akan mendapatkan kelezatan dan juga kepuasan.
Dengan begitu maka cara makan yang paling bermanfaat adalah cara makan Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam dan cara makan yang meneladani beliau Shallallahu „alaihi wa sallam yaitu dengan
mempergunakan tiga jari “
Dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda :
“ Apabila salah seorang diantara kalian makan, maka janganlah dia membasuh tangannya hingga
dia menjilatnya atau dijilatkan kepada orang lain “. Dan pada riwayat Ahmad dan Abu Daud : “
Janganlah dia mengelap tangannya dengan kain lap, hingga dia menjilatnya atau dijilatkan kepada
orang lain “
Dan sebab hal itu diperintahkan dfiterangkan pada hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma,
beliau berkata : Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjilat jari dan
piring makanan, beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya kalian tidak
mengetahui dimanakah turunnya berkah “
Dan pada sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Kalian tidak mengetahui dimanakah
turunnya “ , maknanya – wallahu a‟lam – bahwa makanan yang berada dihadapan seseorang
mengandung berkah, dan dia tidaklah mengetahui apakah berkah itu yang dimakannya ataukah
yang tersisa dijari-jarinya atau yang tersisa dibagian bawah piring ataukah pada butiran makanan
yang terjatuh. Maka sepatutnyalah seseorang menjaga hal ini semuanya agar dia mendapatkan
berkah. Dan asal suatu berkah adalah tambahan dan kebaikan yang selalu ada serta senantiasa
dirasakannya. Dan yang dimaksud disini –wallahu a‟lam – adalah yang dapat mengenyangkan dan
akhirnya memberi keselamatan dari segala gangguan dan memperkuat ketaatan kepada Allah dan
lain sebagainya, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.
10. Disenangi mengambil butiran yang terjatuh, membasuh yang menempel padanya lalu
memakannya.
Dijelaskan pada hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Apabila butiran makanan seseorang diantara kalian terjatuh, hendaknya dia mengambilnya, lalu
membersihkan kotoran yang menempel kemudian memakannya dan jangan dia membiarkannya
sebagai makanan syaithan … al-hadits “

Pada riwayat lainnya : “ Sesungguhnya syaithan ikut menghadiri makanannya. Maka apabila salah
seorang diantara kalian terjatuh makanannya maka hendaknya dia membersihkan kotoran yang
menempel padanya kemudian memakannya dan tidak menyisakannya untuk syaithan. Dan apabila
dia telah menyelesaikan makannya hendaknya dia menjilat tangannya karena sesungguhnya dia
tidak mengetahui makanan manakah yang ada berkahnya “
Pada hadits ini ada beberapa faedah diantaranya :
Bahwa syaithan selalu mengawasi manusia dan mengiringinya dan berusaha untuk
mempengaruhinya. Dan berupaya untuk berkumpul dengan manusia hingga disaat makan dan
minum.
Diantaranya pula bahwa menghilangkan kotoran yang menempel baik berupa tanah dan selainnya
pada makanan yang terjatuh kemudian memakannya dan pengharaman syaithan dari makanan
tersebut, karena syaithan adalah musuh, dan seorang musuh seharusnya di jauhkan dan
berlindung darinya.
Diantaranya, bahwa berkah makanan bisa jadi ada pada makanan yang terjatuh makan janganlah
melalaikannya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 80


Diantaranya : Sesungguhnya syaithan hadir dan selalu menyertai manusia, dan akal tidak punya
hak untuk mengingkari kehadiran syaithan sebagaimana yang disangkakan oleh orang-orang yang
memiliki akal yang sakit.

11. Larangan mengambil dua kurma bersamaan


Larangan ini berlaku bagi jama‟ah, bukan bagi yang makan sendiri. Dan tentang hal ini ada
beberapa hadits yang shahih.

Diantaranya dari jalan Syu‟bah dari Jabalah, beliau berkata : Kami pernah berada di Madinah
bersama dengan beberapa penduduk Irak, dan paceklik telah menimpa kami. Maka Ibnu Az-Zubair
memberi kami rizki berupa kurma. Dan Ibnu Umar melintasi kami lalu berkata “ Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang mengambil bersamaan lebih dari satu,
kecuali seseorang diantara kalian telah meminta izin kepada saudaranya “
Ibnul Jauzi didalam Al-Musykil berkata : “ Adapun hukum hadits tersebut, bahwa hukum ini berlaku
pada jama‟ah beberapa orang. Dan kebiasaan yang berlaku adalah mengambil kurma satu persatu.
Apabila seseorang mengambil bersamaan maka akan menjadikan jatah mereka berkurang dan
akan mempengaruhi mereka, olehnya itu dibutuhkan izin dari mereka. “
Larangan pada hadits ini dapat menunjukkan pengharaman dan juga dapat berarti suatu yang
makruh, dan masing-masingnya telah dinyatakan oleh ulama. An-Nawawi berpendapat bahwa perlu
ada detail pada masalah ini, beliau mengatakan : “ Yang benar perlu diperinci, apabila makan
tersebut mereka diantara mereka bersamaan, maka mengambil lebih dari satu bersamaan
hukumnya haram, kecuali jikalau mereka meridhainya, dan ini dengan dapat dengan pernyataan
mereka yang jelas, atau yang sederajat dengan pernyataan tersebut baik berupa indikasi keadaan
atau isyarat dari mereka semuanya, dimana dapat diketahui dengan pasti atau dengan
persangkaan yang kuat bahwa meeka meridhainya. Kapan dia ragu atas keridhaan mereka, maka
hukumnya haram.
Dan apabila makanan tersebut untuk selain mereka atau untuk salah seorang diantara mereka
mesti disyaratkan keridhaannya sendiri, apabila dia mengambilnya tanpa keridhaannya maka
hukumnya haram. Dan disenangi untuk meminta izin kepada orang-orang yang menyertainya
makan namun tidaklah wajib. Dan apabila makanan tersebut untuk dirinya sendiri dan dia
menjamu mereka sebagai tamu maka tidaklah diharamkan mengambil lebih dari satu bersamaan.
Kemudian apabila makanan tersebut jumlahnya sedikit maka disukai untuk tidak mengambil lebih
dari satu bersamaan, karena hanya mencukupi mereka. Dan apabila jumlahnya banyak, dimana
melebihi jumlah mereka maka tidak mengapa mengambil lebih dari satu sekaligus. Akan tetapi
adab yang berlaku secara mutlak dan kesopanan dalam makan dan meninggalkan sikap rakus
kecuali jikalau dalam keadaan tergesa-gesa dan semakin terburu-buru lagi jika ada pekerjaan yang
lain.
Masalah : Apakah jenis-jenis makanan lainnya yang dapat diambil satu persatu dapat dianalogikan
dengan kurma ?

Jawab : Iya, dapat dianalogikan kepada kurma, apabila kebiasaan yang berlaku makanan tersebut
diambil satu demi satu. Ibnu Taimiyah mengatakan ; “ Dan dapat dianalogikan larangan mengambil
sekaligus lebih dari satu semua makanan yang kebiasaannya diambil satu persatu”
12. Disenangi memakan suatu makanan setelah tidak panas lagi.
Dari Asma` binti Abu Bakar radhiallahu „anhuma, apabila beliau membuat tsariid – sejenis
makanan – belaiu menutupnya dengan sesuatu hingga tidak mendidih, lalu beliau berkata :
Sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya yang demikian itu lebih besar berkahnya “

Abu Hurairah radhgiallahu „anhu berkata : “ Tidaklah menyantap makanan hingga panasnya hilang
“.

Dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah menyantap makanan disaat makanan itu sangat
panas. Ibnul Qayyim mengatakan : Dan makanan yang paling tepat dengan kalimat berkah pada
hadist ini adalah yang dapat mengenyangkan dan selamat dari sakit yang timbul diakhirnya, dan
menguatkan ketaatan kepada Allah dan lain sebagainya. Sebagaimana yang dikatakan oleh An-
Nawawi

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 81


13. Larangan mencela makanan dan menghinanya
Disebutkan didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata : “ Tidaklah Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam mencela makanan sekalipun juga. Apabila beliau menghendaki suatu
makanan maka beliau akan memakannya dan apabila beliau tidak menyukainya maka beliau
meninggalkannya “

Mencela makanan seperti dengan mengatakan : Terlalu asin, atau kurang asin, kecut, tipis, keras,
kurang matang, dan lain sebagainya, sebagaimana dikatakan oleh An-Nawawi.
Dan sebab larangan itu, dikarenakan makanan adalah ciptaan Allah yang tidak boleh dicela. Dan
ada alasan lainnya yaitu bahwa mencela makanan akan menyakiti perasaan pembuat makanan
hingga dia bersedih dan tersinggung, dikarenakan dialah yang mempersiapkan dan menyajikannya.
Maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menutup pintu ini agar jangan rasa sedih mendapati pintu
untuk masuk kedalam hati seorang muslim. Dan Syariat Islam selalu datang dengan hal serupa ini.
Masalah : Apakah hadits ini bertentangan dengan keengganan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
makan dhabb – kadal gurun –. Dan apakah sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tentang
dhabb yakni : “ Saya merasa kasihan kepadanya „ dan dalam riwayat lainnya : “ Daging serupa ini
saya tidak makan sama sekali “, tergolong mencela makanan ?
Jawab : Bahwa tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut. Dan perkataan Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam tentang dhabb tidak tergolong mencela makanan. Melainkan
pemberitahuan sebab mengapa beliau tidak memakannya. Yaitu bahwa beliau tidak menyukai
makan jenis ini dan bukan kebiasaan beliau memakannya.
An-Nawawi mengatakan : “ Adapun hadits bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam meninggalkan
memakan dhabb bukan termasuk dalam kategori mencela makanan, melainkan merupakan
pemberitahuan bahwa ini adalah makan yang spesifik yang beliau tidak menyukainya.
14. Hukum minum dan makan sambil berdiri
Para ulama berbeda persepsi tentang hukum minum sambil berdiri. Dan perbedaan persepsi
diantara mereka bermuara pada sejumlah hadits-hadits yang shahih yang secara zhahirnya
bertentangan. Sebagian diantara hadits-hadits tersebut menerangkan larangan minum berdiri
sedangkan sebagian lainnya adalah sebaliknya. Dan kami akan melampirkan sebagian diantaranya
:

Anas radhiallahu „anhu meriwayatkan , bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang minum
sambil berdiri “. Dan pada riwayat lainnya : “ Melarang seseorang minum sambil berdiri “
Dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhialahu „anhu beliau berkata : “ Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam melarang dari minum sambil berdiri “
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Dan janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian minum sambil berdiri, barang
siapa yang lupa maka hendaknya dia memuntahkannya “

Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya minum sambil berdiri :


1. Dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Saya menuangkan kepada Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri “
2. Dari An-Nazzal, beliau berkata : “ Ali radhiallahu „anhu datang menuju pintu Ar-Rahbah, lalu
beliau minum sambil berdiri. Beliau berkata : Sesungguhnya beberapa orang tidak menyukai salah
seorang diantara mereka minum sambil berdiri. Dan sesungguhnya saya telah melihat Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam melakukannya sebagaimana kalian telah melihatku melakukannya “
pada lafazh riwayat Ahmad : “ beliau berkata : Bagaimana pendapat kalian jika saya minum sambil
berdiri, karena sesungguhnya saya telah melihat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam minum sambil
berdiri. Dan jika saya minum sambil duduk, sesungguhnya saya tleah melihat Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam minum sambil duduk “
3. Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata : “ Kami dizaman Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam minum sambil berdiri dan kami makan sambil berjalan “
4. Atsar dari Aisyah, Sa‟ad bin Abu Waqqash, bahwa mereka berdua membolehkan seseorang
minum sambil berdiri. Ibnu Umar dan Ibnu Az-Zubair juga terlihat minum sambil berdiri.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 82


Berdasarkan hadits-hdits ini yang secara kontekstual kontradiktif dengan selainnya, ulama
berselisih dalam menerangkan hukumnya. Pendapat yang paling tepat menurutku adalah yang
dikatakan oleh Ibnu Taimiyah didalam Fatawa beliau, beliau mengatakan : “ Akan tetapi
menyelaraskan hadits-hadits tersebut dengan menyatakan adanya keringan disaat mempunyai
udzur. Hadist-hadits larangan minum berdiri yang berada didalam As-Shahih seperti: “ Bahwa Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri “, hadits yang diriwayatkan oleh
Qatadh dari Anas : “ bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang minum smbil berdiri “.
Qatadah berkata : Bagaimana dengan makan ? Beliau berkata : Hal itu lebih buruk dan jelek.
Sedangkan hadits-hadits yang memberi keringanan, semisal hadits yang diriwayatkan didalam Ash-
Shahihain dari Ali dan Ibnu Abbas , beliau berkata ; “ Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam minum air
zam-zam sambil berdiri .“ Dan yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ali : Bahwasanya Ali berada
di tanah lapang yang berpasir dan dia minum dalam keadaan berdiri, kemudian beliau berkata :
Sesungguhnya manusia dimakruhkan minum sambil berdiri, dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam melakukan seperti apa yang aku lakukan. Dan hadits Ali ini telah diriwayatkan padanya ada
atsar bahwasanya Rasulullah melakukan hal itu saat minum air zam-zam, sebagaimana datang
pada hadits Ibnu „Abbas, hal ini adalah ketika berhaji, dan orang-orang disana melaksanakan
thawaf dan minum dari air zam-zam, mereka mengambil air serta meminta minum darinya, dan
tidak ada tempat untuk duduk , bersamaan dengan ini beliau lakukan selang waktu sedikit sebelum
beliau meninggal, jadilah hal ini dan yang semisalnya dikecualikan dari hal tersebut sebagai
larangan.
Dan hal ini datang dari perkara syariat : Bahwa larangan dari sesuatu diperbolehkan ketika ada
hajat, bahkan dia lebih ditekankan hukum pembolehannya dari sekedar dibolehkan ketika ada
hajat, bahkan pula perkara haram yang diharamkan dia dimakan dan diminum, seperti bangkai dan
darah yang diperbolehkan dalam keadaan darurat.
15. Makruh bernafas dalam bejana dan meniup ke dalamnya
Termasuk adab-adab ketika minum adalah seorang yang minum sebaiknya tidak bernafas dalam
bejana dan tidak pula meniupnya, padanya ada hadits-hadits yang shahih, diantaranya sabda Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam dari hadits Abu Qatadah radhiallahu „anhu, beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : Apabila salah seorag diantara kalian minum maka janganlah dia bernafas dalam
bejana …Al-Hadist. Dan diantaranya pula hadits Ibnu „Abbas : Bahwasanya Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam melarang seseorang bernafas dalam bejana dan meniupnya. Larangan bernafas dalam
bejana ini adalah salah satu adab yang mana ditakuti akan mengotorinya dan menjadikan bau
busuk serta terjatuhnya sesuatu dari mulut dan hidung pada bejana dan sejenisnya, Hal ini adalah
pendapat Imam An-Nawawi.
Adapun meniup minuman, maka padanya akan diperoleh dari mulut yang meniup bau yang tidak
sedap yang memuakkan karenanya. Terlebih lagi jika yang minum bergantian dan berbilang, maka
nafas-nafas yang meminum akan mencampur-adukkannya, oleh karena itu Rasulullah
menggabungkan antara larangan dari bernafas dalam bejana dan meniupnya, demikianlah
pendapat Ibnu Al-Qayyim.
16. Disunnahkan mengambil nafas sebanyak tiga kali ketika minum, dan bolehnya minum
dengan sekali tegukan
Disebutkan didalam hadits Anas bin Malik radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam biasanya mengambil nafas sebanyak tiga kali sewaktu minum, dan beliau
bersabda : “ Sesungguhnya hal ini akan lebih menghilangkan rasa dahaga, lebih menjaga dan lebih
bermanfaat “ Anas berkata : Maka saya mengambil nafas tiga kali ketika minum “
Yang dimaksud dengan mengambil nafas ketika minum sebanyak tiga kali adalah dengan
menjauhkan bejana air dari mulut si peminum, lalu dia mengambil nafas tiga kali, karena
mengambil nafas dibejana suatu yang dilarang.

Dan diperbolehkan meminum dengan sekali tegukan dan bukan suatu yang makruh. Dan ini
ditunjukkan pada hadits Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu, bahwa beliau mengunjungi Marwan
bin Al-Hakam, dan dia berkata kepadanya : “ Apakah anda telah mendengar jikalau Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang menghembuskan nafas didalam bejana air ? Abu Sa‟id
berkata : Benar. Maka seseorang berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya dahaga saya tidak
hilang hanya dengan sekali tegukan. Lalu Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam besabda : “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 83


Jauhkanlah cerek air dari mulutmu kemudian ambillah nafas “. Orang itu berkata : Namun
sesungguhnya saya melihat ada kotoran pada cerek tersebut . Beliau bersabda : “ Maka buanglah “
Malik mengatakan : “ tidak mengapa seseorang minum hanya dengan sekali mengambil nafas. Dan
saya berpendapat ini adalah rukhshah/keringanan dari penjelasan yang ada pada hadits : “
Sesungguhnya dahaga saya tidaklah hilang hanya dengan sekali mengambil nafas “
Syaikhul Islam mengatakan : “ Hadits ini merupakan dalil – hadits diatas – bahwa sekiranya rasa
dahaganya telah hilang hanya dengan sekali mengambil nafas dan tidak lagi butuh untuk
mengambil nafas, maka hal tersebut diperbolehkan. Dan saya tidak mengetahui ada imam yang
mewajibkan mengambil nafas tiga kali, dan mengharamkan minum hanya dengan sekali tegukan “
17. Makruh minum dimulut bejana/cerek air
Tentang permasalahan ini ada beberapa hadits yang shahih. Dari abu Hurairah radhiallahu „anha
beliau berkaa : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang minum dimulut al-qirbah –
sejenis botol penyimpan air dari kulit – dan cerek, dan melarang tetangganya menancapkan kayu
didindingnya “
Dan dari Ibnu Abbas – radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
telah melarang seseorang minum dimulut bejana “

Pada kedua hadits tersebut berisikan larangan yang sangat jelas dari minum dimulut al-qirbah dan
cerek. Dan yang semestinya adalah dengan menuangkan minuman tersebut ketempat air lalu
minum darinya. Larangan ini oleh sebagian ulama memahaminya sebagai suatu larangan, dan
sebagian lainnya menganggapnya hanya sebatas makruh, dan ini merupakan pendapat mayoritas
ulama. Diatara mereka menjadikan hadits-hadits larangan sebagai nasikh – yang menghapuskan
hukum – hadits-hadits yang membolehkan.
Para ulama menyebutkan beberapa kandungan hikmah yang menyebabkan larangan ini, dan kami
akan menyebutkan sebagian diantaranya :

Seringnya nafas orang yang minum melalui mulut cerek akan menyebabkan bau busuk dan tidak
sedap yang akan menjadikan perasan muak.

Dan juga terkadang didalam qirbah atau cerek ada serangga atau hewan atau kotoran atau
selainnya yang tidak disadari oleh yang minum, lalu masuk kedalam kerongkongannya dan
menimbulkan mudharat kepadanya.

Diantaranya terkadang air akan bercampur dengan liur yang minum yang menjadikan orang lain
merasa jijik.

Terkadang liur dan nafas yang minum akan menyebabkan penyakit kepada orang lain, dimana
meurut para pakar kedokteran bahwa bibit penyakit bisa saja berpindah melalui liur dan nafas.
Masalah : Telah shahih, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam minum dari mulut qirbah yang
tergantung. Maka Bagaimanakah menyesuaikan perbuatan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang
menunjukkan pembolehan minum dimulut qirbah dengan larangan beliau dari ucapannya ?
Jawab : Ibnu Hajar mengatakan : “ Syaikh kami didalam Syarh At-Tirmidzi mengatakan :
Sekiranya dibedakan apabila dalam keadaan yang ada udzur, seperti misalnya qirbah yang
tergantung, dan seseorang yang butuh untuk minum tidak mendapatkan wadah dan tidak mampu
untuk menjangkau dengan tangannya, maka pada keadaan tersebut tidaklah makruh, dan kepada
keadaan itulah, hadits-hadits yang telah disebutkan diatas tersebut dipahami. Dan antara
seseorang yang tidak mempunyai udzur, maka hadits-hadits larangan dipahami pada keadaan ini. “
Saya – yang berkata adalah Ibnu Hajar – “ Dan pendapat tersebut dikuatkan pula, bahwa hadits-
hadits yang menunjukkan pembolehan semuanya menunjukkan bahwa qirbah tersebut dalam
keadaan tergantung, dan minum dari qirbah yang tergantung lebih khusus dari sekedar minum dari
qirbah. Dan tidak ada argumen dari hadits-hadits yang menunjukkan pembolehan secara mutlak,
melainkan hanya pada keadaan ini saja. Dan memahami pembolehan tersebut pada keadaan
darurat sebagai upaya menyelaraskan kedua hadits tersebut lebih utama dari pada menggiringnya
sebagai nasikh , Wallahu a‟lam

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 84


18. Disunnahkan Bagi Seorang yang Menuangkan Minuman, Ia Adalah Orang Terakhir
yang Minum Darinya
Dalil akan masalah itu adalah hadits Qatadah radhiallahu „anhu yang panjang : “ … Maka Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam menuang minuman kepada wadah mereka hingga tidak ada lagi yang
tersisa selain saya dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam . Beliau berkata : Kemudian
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menuangkan kepadaku, dan berkata : Minumlah. Saya
berkata : Saya tidak minum hingga anda minum wahai Rasulullah . Beliau bersabda : “
Sesungguhnya yang menuangkan minum adalah yang palingterakhir minum”. Beliau berkata :
Maka sayapun minum dan Rasulullah kemudian juga minum … al-hadits “
Penunjukan pada hadits ini sangatlah jelas, bahwa yang bertanggung jawab menuangkan minum
kepada suatu kaum , maka dia mendahulukan mereka dari dirinya sendiri, dan dia adalah orang
yang paling akhir minum, untuk meneladani Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam.
19. Disenangi berbicara ketika menghadapi makanan
Sebagai bentuk penyelisihan akan kebiasaan orang asing, dimana mereka tidak berbicara sama
sekali ketika makan.

Ibnu Muflih mengatakan : “ Ishaq bin Rahawaih mengatakan , saya pernah sekali waktu makan
malam bersama Abu Abdillah ( Ahmad bin Hanbal ) dan beberapa kerabat beliau. Dan kami tidak
berbicara sedikitpun sementara beliau makan dan mengatakan : Alhamdulillah, bismillah, kemudian
beliau mengatakan : Makan, memuja lebih baik dari pada makan sambil berdiam diri. Dan saya
tidak menjumpai dari Imam Ahmad yang menyelisihi riwayat ini dengan penyelisihan yang jelas.
Dan juga kami tidak menjumpai riwayat tersebut pada mayoritas perkataan para ulama Hanabilah.
Zhahirnya Imam ahmad rahimahullah mengikuti atsar dalam perkataan beliau itu, karena diantara
jalan dan kebiasaan beliau adalah memfokuskan pada ittiba‟ atsar.
20. Disunnahkan makan secara berjam‟ah
Diantara adab kenabian, adalah disukainya makan sambil berjama‟ah – bersama-sama -, dan
makan berjama‟ah ini adalah sebab diliputinya makanan tersebut dengan berkah. Setiap kali
jumlah yang makan bertambah maka berkahnya akan bertambah. Pada hadits Jabir bin Abdillah
radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Makanan untuk seorang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup
untuk empat orang dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang “
Ibnu Hajar mengatakan : “ Pad riwayat Ath-Thabrani dari hadits Ibnu Umar, berisi tuntunan akan
sebab dari hal itu, dimana pertamanya :
“ Makanlah kalian semua berjam‟ah dan janganlah kalian bercerai berai, karena sesungguhnya
makanan untuk seseorang akan mencukupi dua orang “ al-hadits.

Dapat diambil faedah dari hadist ini bahwa kecukupan adalah hasil yang muncul sebagai akibat
makan berjama‟ah. Dan jumlah yang makan ketika semakin banyak akan berkahnya semakin
bertambah “
Dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, beliau berkata : Para sahabat Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam mengatakan : Wahai Rasululah, sesungguhnya kami makan dan tidak
merasa kenyang. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab : Mungkin kalian makan sambil
tercerai berai. Mereka mengatakan : Benar. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “
Berkumpullah kalian pada makanan kalian dan sebutlah nama Allah niscaya makan kalian akan
diberkahi”
21. Dibencinya Sikap Rakus Ketika Makan dan Juga Sedikit Makan Karena Akan
Melemahkan Tubuh
Rakus dalam mengambil makanan akan menyebabkan tubuh menjadi sakit, dan akan
menyebabkannya tersebrang banyak penyakit, dan juga akan menyebabkan tubuh terasa penat
dan malas, sehingga terasa berat untuk mengerjakan amal-amal ketaatan. Dan juga akan
mewariskan hati yang kera – semoga Allah melindungi kita dari hal itu -.
Dan sebaliknya, sedikit makan juga akan melemahkan tubuh dan akan melemahkannya dari
ketaatan kepada Allah. Dan kami tidak menjumpai ada obat yang majur sebagaimana obat Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam , seandainya kita meneladani beliau, tentula kita tidap perlu beroba
tkedokter pada sebagian besar keberadaan kita.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 85


Dari Miqdam bin Ma‟diy karib, beliau merkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda :
“ tidaklah seorang anak Adam memenuhi penampang kejelekan selain perutnya. Cukuplah
makanan bani Adam itu untuk menegakkan tulang belakangnya, jikalau memang harus, maka
sepertiga untuk makananya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya “
Dan para Ulama As-Salaf pada persoalan ini ada beberapa anggapan, yang bagus untuk kita
ketahui. Ibnu Muflih mengatkan : ibnu Abdil Barr dan yang lainnya menyebutkan bahwa Umar bin
Al-Khaththab suatu hari khutbah, dan mengatakan: “ Hati-hatilah kalian dengan – pemenuhan –
perut kalian, karena akan menjadikan malas menuju shalat, dan menjadi penyakit bagi tubuh. Dan
wajib bagi kalian untuk berlaku pertengahan dalam makanan kalian, karena sesungguhnya hal
tersebut akan menjauhkan kalian dari kufur nikmat dan akan menyehatkan bagi badan dan akan
menguatkan kalian untuk beribadah. Dan sesungguhnya seseorang tidak akan celaka hingga
syahwatnya mempengaruhi agamanya “.
Ali radhiallahu „anhu mengatakan : “ lambung adalah telaga bagi tubuh, dan setiap usus bermuara
kepadanya dan darinya. Apabila lambung itu sehat, maka usus yang bermuara darinya akan sehat.
Dan apabila lambung sakit maka usus yang bermuara darinya akan sakit “.
Al-Fadhl bin „Iyadh mengatakan : “ Ada dua hal yang akan mengeraskan hati : Banyak berbicara
dan banyak makan “.

Al-Khallal meriwayatkan didalam Jami‟ beliau dari Ahmad, bahwa beliau berkata : “Ada yang
bertanya kepada beliau : Mereka inilah orang-orang yang makan sedikit dan sedikit
menghidangkan makanan ? Beliau mengatakan : Tidaklah mengherankan aku ! Saya telah
mendengar Abdurrahman bin Mahdi mengatakan : Suatu kaum melakukan hal demikian, maka
menjadikan mereka terputus dari ibadah yang wajib “

22. Diharamkannya Duduk di Meja yang di Atasnya Dihidangkan Khamr


Berkaitan dengan hal tersebut diriwayatkan dari hadits Uma rbin al-Khaththab radhiallahu „anhu,
beliau berkata : “ Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melarang dua hidangan makanan. Duduk
dimeja yang ada khamar diminum, dan seseorang yang makan sambil telungkup diatas perutnya “
Dan pada riwayat Ahmad dengan lafazh : “ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
, maka janganlah dia duduk di meja yang terhidang khamar diatasnya … al-hadits “
Dan hadits tersebut dengan sangat jelas menerangkan larangan, dan sebab dari larangan itu,
bahwa duduk dengan adanya kemungkaran itu.

BAB 10
ADAB-ADAB BUANG HAJAT
Dari Salman radhiallahu „anhu, beliau berkata : Kaum musyrikin berkata kepada kami :
Sesungguhnya saya telah melihat bahwa kawan kalian telah mengajarkan kepada kalian hingga
diapun mengajarkan perihal buang air. Beliau berkata : Benar, sesungguhnya beliau telah melarang
salah seorang diantara kami beristinja‟ – membersihkan kotoran setelah buang hajat – dengan
mempergunakan tangan kanannya, atau menghadap kearah kiblat. Dan melarang mempergunakan
kotoran hewan yang telah kering dan tulang – ketika beristinja‟ “. Dan beliau berkata : “ Dan
janganlah salah seorang diantara kalian beristinja dengan mempergunakan kurang dari tiga batu “
Diantara adab-adab tentang buang hajat tersebut :
1. Menjauhkan diri dari tiga tempat yang dilaknat
Dari Mu‟adz bin Jabal radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Hindarilah tiga tempat yang terlaknan : Buang hajat ditempat aliran air, dipinggir jalan
dan ditempat berteduh "
Dan pada hadits Abu Hurairah radhialahu „anhu, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : “ Kalian hindarilah dua sifat orang yang dilaknat “. Para sahabat

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 86


berkata : “ Apakah dua sifat orang yang dilaknat itu wahai Rasulullah ? “. Beliau bersabda : “ Yaitu
yang buang hajat dijalanan yang sering dilewati kaum manusia dan ditempat mereka bernaung “.
Hadits Mu‟adz secara terpisah menyebutkan al-mawarid dan yang dimaksud dengan al-maurud –
bentuk tunggal al-mawarid – adalah tempat aliran air. Yaitu tempat aliran dan jalan air. Seperti
dikatakan : ( Al-Khathtabi ) apabila airnya datang mengalir untuk dijadikan minum.
Kedua hadits tersebut tercantum , salah satunya dengan lafazh menghindari tiga tempat yang
dilaknat, dan lafazh satunya untuk menghindari dia sifat yang terlaknat. Lantas apakah maksud
dari kedua hadits tersebut ?
Al-Khathtabi mengatakan : “ Yang dimaksud dengan dua sifat orang yang dilaknat yaitu dua
perkara yang sangat jelas menjadi sebab timbulnya laknat, yang menjadikan dan mendorong kaum
manusia untuk melaknat pelakunya. Dan hal itu dikarenakan barang siapa yang melakukannya,
maka akan dihujat dan dilaknat, yakni kebiasaan kaum manusia adalah melaknatnya. Dan ketika
kedua hal tersebut telah menjadi sebab timbulnya laknat, maka laknat itupun disandarkan kepada
keduanya “. Beliau berkata : “ Dan bisa jadi pula yang melaknat bermakna yang memperoleh
laknat. Sedangkan tempat yang dilaknat adalah tempat-tempat yang menjadi alasan adanya
laknat.
Saya berkata : “ Dengan demikian, maka artinya : Hindarilah dua perkara yang pelakunya dilaknat,
dan ini sesuai dengan riwayat Abu Daud. Adapun pada riwayat Muslim, maka maknanya – walahu
a‟lam –adalah : Hindarilah perbuatan yang menjadi sebab laknat, yaitu pelakunya beroleh laknat,
yaitu dua sifat orang yang kebiasaan kaum manusia melaknat mereka berdua wallahu a‟lam ”.
Dan sebab larangan buang hajat ditempat-tempat yang tiga ini, karena akan mengotori ketiga
tempat tersebut dan menjadikannya bernajis dengan kotoran yang ada. Dan akan mengganggu
kaum mukminin. Dan mengganggu mereka adalah perbuatan yang haram sesuai dengan nash Al-
Qur`an, Allah ta‟ala befirman :

٥٨ ٗ ‫ت َحِبغَح َحِبري َحم ٱكتَح َحسُسوْب فَح َحق َحِب ٱحتَح َح لُسوْب ُسُب ٰتَحن َح َحِبمث ُّدمَحِب‬
‫ؤم ٰنَح َحِب‬
‫َح‬ ‫َح‬
‫ٱاَّل َحِبذين يؤذُس َحن ٱمل َحِب‬
‫ؤمنَحِب ٱمل َحِب‬
‫َح َح ُس‬
“ Dan mereka yang menyakiti kaum mukminin laki-laki dan perempuan bukan karena perbuatan
‫ُس‬ ‫ُس‬
yang telah mereka lakukan, maka sesungguhnya mereka telah melakukan kedustaan dan
perbuatan dosa yang jelas “ – Al-Ahzab : 58 –

Faedah : Dan termasuk dalam kalimat tempat bernaung adalah tempat yang bisa dipergunakan
manusia untuk berjemur dibawah terik matahari ketika musim dingin. Asy-Syaikh Ibnu „utsaimin –
rahimahullah – mengatakan : “ Ini adalah analogi yang jelas “
Dengan begitu tidak diperbolehkan buang hajat pada tempat ini, dikarenakan alasan larangan
buang hajat ditempat bernaung juga dijumpai pada tempat ini. Dan suatu hukum akan mengikuti
sebabnya, ketika ada atau tidak sebab tersebut.

Faedah lainnya : Hadits-hadits tersebut mengisyaratkan bahwa larangan hanya berlaku pada
keadaan buang hajat besar saja dan tidak berlaku pada buang air kecil. Dan ini merupakan
pendapat An-Nawawi, beliau berkata dalam menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam : “ Dan yang buang hajat ditempat berlalu-lalangnya kaum manusia dan ditempat bernaung
mereka “, beliau mengatakan : “ Maknanya buang hajat besar ditempat manusia sering melintas “.
Namun pendapat ini disanggah oleh Al-„Adzim abadi, beliau berkata : “ Dan tidaklah shahih
penafsiran An-Nawawi hanya dengan buang hajat besar. Seandainya benar, maka buang air kecil
juga termasuk dari sisi qiyas … dan beliau lanjut mengatakan : “ Dan anda telah mengatehui
bahwa makan at-takhalli adalah bersendiri untuk buang hajat baik itu hajat besar ataupun hajat
kecil … dan anda telah mengetahui bahwa al-baraaz, adalah suatu penamaan terhadap padang
yang luas dipermukaan bumi, lalu mereka mengkonotasikannya dengan hajat/kotoran manusia,
dikatakan : tabrraza ar-rajulu, yaitu apabila dia buang hajat besar, walau itu penamaan yang
ditujukan untuk buang air besar akan tetapi buang air kecil juga termasuk.
Masalah : Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mempergunakan
penutup/penghalang sewaktu buang hajat dibalik rimbunan pohon kurma, sementara rimbunan
pohon kurma memiliki naungan/bayang-bayang, maka bagaimanakah menyelaraskan antara
perbuatan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam dengan larangannya ?

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 87


Jawab : Tempat bernaung yang dilarang untuk buang hajat adalah tempat bernaung yang kaum
manusia berkumpul dan duduk dibawahnya, dan mereka menjadikannya sebagai tempat berteduh.
Adapun perbuatan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , maka dipahami bahwa tempat naungan ini
bukan yang dinginkan dan bukan pula yang disenangi untuk berada dibawahnya.
2. Larangan kencinga di air yang tergenang
Disebutkan pada hadits Jabir radhiallahu „anh, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam melarang seseorang kencing di air yang tergenang “

Dan sebab larangan tersebut suatu yang jelas, yaitu kencing di air yang tergenang akan
memungkinkan menajisi air. Dan buang hajat besar di air yang tergenang lebih parah lagi dan lebih
buruk dan lebih utama untuk dilarang. Dan dpat dipahami dari hadits tersebut bahwa hukum
larangan tersebut tidaklah berlaku pada air yang mengalir. An-Nawawi berkata : „ Apabila airnya
dalam jumlah yang banyak dan mengalir, tidaklah diharamkan kencing pada air tersebut, sesuai
yang tersirat pada hadits tersebut “
3. Dimakruhkan masuk ketempat untuk buang hajat dengan sesuatu yang tercantum
nama Allah padanya.
Tujuannya untuk menjaga nama Allah ta‟ala dari penghinaan dan pelecehan, dan bukan suatu yang
pantas bagi seorang muslim , masuk kedalam toilet dengan sesuatu yang tercantum padanya nama
Allah kecuali karena suatu keperluan.
Ibnu „Utsaimin mengatakan didalam Syarh beliau : “ Perkataan : ( Kecuali karena suatu keperluan )
, ini adalah pengecualian dari hukum makruh, yaitu apabila dia butuh memasukkan kedalam toilet
itu, seperti uang kertas yang bertuliskan bismillah, karena jikalau kami mengatakan untuk tidak
memasukkannya lalu mengeluarkannya dan meletakkannya didepan pintu toilet, akan
menjadikannya lupa kepada uang tersebut. Dan apabila ditempat yang terbuka, maka akan
memungkinkan untuk tertiup angin, dan apabila berada ditempat orang banyak, maka akan
memungkinkan untuk dicuri.
Adapun mushhaf Al-Qur`an, maka tidak diragukan lagi keharaman memasukkannya kedalam
tempat buang hajat dan ini merupakan pendapat para ulama. Hanya saja mereka membolehkan
memasukkannya kedalam toilet apabila khawatir dicuri. Namun walau begitu, seorang muslim
sepatutnya takut kepada Allah Rabbnya, dan tidak membiarkan Kalam Allah direndahkan. Dan
wajib baginya untuk menjaga pekara itu semampunya , seperti menyerahkan mushaf itu kepada
seseorang yang lainnya hingga dia keluar dari toilet, dan cara-cara lainnya. Namun apabila tidak
ada, maka Allah tidaklah membebani seseorang kecuali yang dia sanggup lakukan.
4. Larangan menghadap dan membelakangi kiblat
Pada pembahasan ini ada beberapa hadits diantaranya, hadits Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu
„anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Apabila salah seorang diantara kalian buang hajat besar maka janganlah dia menghadap kekiblat
dan janganlah dia mengarahkan punggungnya kekiblat, akan tetapi menghadaplah kearah timur
atau barat “
Pada lafazh riwayat Muslim dan selainya :
“ … Janganlah kalian menghadap kearah kiblat dan janganlah kalian membelakanginya dengan
kencing atau buang hajat besar, akan tetapi menghadaplah kearah timur atau barat “
Dan diantaranya juga hadits Ibnu Umar radhiallhu „anhuma, diriwyatkan oleh Wasi‟ bin Hibban
beliau berkata : Dari Abdullah bin Umar, bahwa beliau pernah mengatakan : “ Sesungguhnya
orang-orang mengatakan apabila anda duduk menunaikan hajat anda, maka janganlah anda
menghadap kearah kiblat dan jangan pula ke arah Bait Al-Maqdis. Maka Abdullah bin Umar berkata
: “ Sungguh saya telah memanjat rumah kami, dan saya melihat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam berada pada dua batu sedang mengahdap kearah Baitu Al-Maqdis sedang menunaikan
hajatnya … al-hadits”
Dan diantaranya hadits Salaman , beliau berkata : “ Ada yang bertanya kepada beliau :
Sesungguhnya Nabi kalian Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kalian segala
sesuatu hingga persoalan buang hajat. Beliau berkata : benar, beliau telah melarang kami
menghadap ke kiblat ketika buang hajat besar dan kencing … al-hadits “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 88


Diantaranya hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma, beliau berkata : “ Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam telah melarang menghadap kearah kiblat sewaktu kencing, namun saya melihat
beliau setahun sebelum beliau wafat menghadap ke arah kiblat “
Dan dari Marwan Al-Ashfar, beliau berkata : “ Saya telah melihat Ibnu Umar radhiallahu „anhuma,
menambatkan tunggangannya menghadap kearah kiblat, lalu beliau duduk dan kencing kearah
tunggangannya. Maka saya berkata : Wahai Abu Abdirahman : Bukankah perbuatan ini telah
dilarang? Beliau berkata : benar, namun pebuatan tersebut dilarang apabila dilakukan ditengah-
tengah padang terbuka, namun apabila antara engkau dan kiblat ada suatu penghalang maka tidak
mengapa “
Hadits-hadits diatas secara zhahir nampak kontradiktif satu dengan lainnya, dan karena inilah para
ulama berbeda persepsi dalam menentukan hukum menghadap ke arah kiblat dan
membelakanginya sewaktu menunaikan hajat, baik itu disuatu ruangan/toilet atau diluar ruangan.
Hadits Abu Ayyub radhiallahu „anhu menunjukkan larangan menghadap kearah kiblat dan
membelakanginya secara mutlak, baik itu di padang terbuka atau didalam ruangan tertutup.
Sedangkan hadits Ibnu Umar radhiallahu „anhuma , ketika beliau memanjat atap rumah Hafshah
radhiallahu „anha menunjukkan bolehnya membelakangi kiblat namun tidak boleh menghadap
kearah kiblat dibalik ruangan tertutup atau tempat yang semisalnya, dan sebagaimana juga
perbuatan Ibnu Umar yang menempatkan tunggangannya antara dia dan kiblat sewaktu
menunaikan hajatnya.
Dan hadits Salman radhiallahu „anhu berisi larangan menghadap kearah kiblat secara mutlak, baik
didalam ruangan atau ditempat lainnya.

Dan hadits Jabir radhiallahu „anhu menunjukkan bahwa akhir perkara Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam adalah pembolehan menghadap kearah kiblat.

Madzhab-madzhab ulama dalam masalah ini sangatlah banyak, mengikuti zhahir nash-nash yang
saling bertentangan akan tetapi menyelaraskan hadits-hadits tersebut suatu yang memungkinkan.
An-Nawawi mengatakan : “ Dan tidak ada perbedaan dikalangan ulama bahwa apabila
memungkinkan untuk menyelaraskan hadits-hadits tersebut maka meninggalkan sebagian hadits-
hadits tersebut tidak dilakukan, melainkan wajib untuk menyelaraskannya dan mengamalkan
kesemua hadits-hdist tersebut.

Dan pendapat yang kami pilih, adalah haramnya menghadap ke arah kiblat dan membelakanginya
ketika berada dipadang terbuka, namun diperbolehkan ketika berada diruangan tertutup atau
ketika ada penghalang antara seseorang yang buang hajat dengan kiblat, baik dia menghadap
kearah kiblat maupun membelakanginya. Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-
Daimah.

5. Bacaan yang dibaca ketika masuk dan keluar dari toilet


Tempat-tempat buang hajat adalah tempat-tempat yang najis dan kotor. Dan syaithan sudah
makruf keberadaannya menempati tempatptempat najis dan menyukai tempat-tempat itu. Olehnya
itu, syaithan banyak menempati rimbunan dan pohon-pohon kurma yang menyemak – sebagai
tmepat buang hajat -.
Dari Zaid bin Arqam dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda :
“ Sesungguhnya pohon-pohon kurma yang menyemak ini adalah tempat hadirnya syaithan … al-
hadits “

Dan syaithan adalah musuh kaum manusia, dan dia tidak akan berpisah dari permusuhannya dan
menyakiti kaum manusia, dan dia mendapatkan kesempatan berbuat jahat dirimbunan dan pohon-
pohon kurma yang menyemak. Olehnya itu syariat datang untuk memberi penjagaan kepada badan
dan akal kaum manusia. Allah mensyra‟iatkan kepada kaum manusia untuk membaca sejumlah doa
yang akan menjaganya seiring dengan perintah Allah subahanahu wata‟ala.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 89


Seseorang yang hendak masuk kedalam tempat buang hajat, hendaknya mendahulukan kaki
kirinya. Syaikhul Islam mengatakan : “ Qawa‟id Syar‟iyah telah menetapkan bahwa segala
perbuatan yang mana anggota tubuh bagian kanan dan kiri bersamaan pengerjaannya, maka
bagian kanan didahulukan apabila perbuatan tersebut suatu yang mulia seperti wudhu‟, mandi,
mendahulukan bagian kanan disaat bersiwak, mencabut bulu ketiak, memakai pakaian, memakai
sandal, menyisir rambut, masuk kedalam masjid dan rumah, dan keluar dari tempat buang hajat
dan lain sebagainya. Dan kaki kiri didahulukan pada perbuatan yang sebaliknya, seperti masuk
kedalam tempat buang hajat, melepaskan sandal, dan keluar dari masjid.
Dan sewaktu masuk kedalam tempat buang hajat, disenangi seseorang yang hendak masuk untuk
mengucapkan: Bismillah Sebagaimana riwayat Ali bin Abi Thlaib radhiallahu „anhu, beliau berkata :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Penghalang antara jin dan aurat bani Adam apabila dia masuk kedalam empat buang hajat adalah
ucapan : Bismillah “
Dan disunnahkan membaca :
“ A‟udzi billah min al-khubuts wal-khabaa`its “
Abdul Azis bin Shuhaib meriwayatkan , bahwa beliau pernah mendengar Anas mengatakan : Bahwa
apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam hendak masuk kedalam tempat buang hajat, beliau
mengucapkan : Allahumman inni „audzu bika min al-khubuts wal-khabaa`its “ … Al- Bukhari
mengatakan : Sa‟id bin Zaid mengatakan : “ Apabila beliau hendak masuk “
Sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Apabila beliau hendak masuk “. Memberikan faedah
bahwa yang masuk kedalam tempat buang hajat mengucapkan bacaan ini sebelum dia masuk
bukan setelahnya.

Faedah dari membaca doa al-isti‟adzah – meminta perlindungan – ini adalah al-iltija‟ – kembali
berserah diri – kepada Allah „azza wajalla dari segala al-khubtsi wal-khabaa`its. Dikarenakan
tempat ini adalah tempat yang kotor, dan tempat yang kotor adalah tempat kediaman segala yang
buruk. Dan meruapak tempat berdiamnya para syaithan. Maka tepat kiranya apabila seseorang
hendak masuk kedalam tempat buang hajat dia mengucapkan : A‟udzu billah minal-khubuts wal-
khabaits agar dia tidak tertimpa keburukan, dan tidak juga al-khabaa`its yaitu jiwa yang keji.
Demikian yang dikatakan oleh Ibnu „Utsaimin.
Dan setelah keluar dari tempat buang hajat seseorang hendaklah mengucapkan “Gufraanaka”. Dari
Aisyah radhiallahu anha : “Apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam keluar dari buang hajat
mengucapkan “ Gufraanaka”, dan pada riwayat At-Tirmidzi :” Apabila keluar dari tempat buang
hajat”. Dan perkataan Aisyah :” Ketika keluar”, maksudnya disini adalah setelah keluar dari tempat
buang hajat.

Faedah : Adab ini tidaklah membatasi hanya pada tempat-tempat yang dipakai untuk buang hajat,
akan tetapi disenangi melakukannya hingga dipadang pasir sekalipun. Apabila seseorang yang akan
buang hajat sudah dekat dengan tempat yang dia pilih untuk melaksanakan hajatnya atau dia akan
duduk maka hendaklah dia membaca doa masuk, dan ketika sudah selasai menunaikan hajatnya
maka dia membaca doa keluar. Berkat Imam An-Nawawi : “ Adab ini adalah kumpulan atas sunah,
dan tidak ada perbedaan padanya antara bangunan dan padang pasir wallahu a‟lam.
6. Menutup diri ketika Buang Hajat
Ini adalah adab Nabi, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memberi petunjuk atas hal ini kepada
umat beliau agar supaya menutup diri ketika mereka membuang hajat, dikarenakan buang hajat
adalah penyebab untuk menampakkan aurat, dan syariat menyuruh untuk menutup dan menjaga
aurat bukan malah membukanya.
Diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu‟bah radhiallahu „anhu beliau berkata : ” Aku pernah bersafar
bersama Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan beliau berkata :” Wahai Mughirah ambillah bejana
air maka sayapun mengambilnya, kemudian Rasululllah Shallallahu „alaihi wa sallam beranjak pergi
hingga tidak nampak olehku dan beliau menyelesaikan hajatnya dan ditutupi oleh jubah Syamiyah
… al-hadits”. Dan pada riwayat Muslim : “ Lantas beliau berjalan hingga tersamarkan oleh
kegelapan malam” , dan pada riwayat Ahmad :” Lalu kami beranjak pergi hingga kami tidak terlihat
oleh kaum manusia, lalu beliau turun dari tunggangannya kemudian beranjak pergi dan tidak
terlihat olehku … “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 90


Dan dari Al-Mughirah bin Syu‟bah, beliau berkata : “ Apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pergi
ketempat buang hajat beliau ketempat yang jauh “

Dari Abdullah bin Ja‟far radhiallahu „anhu, beliau berkata : Saya membonceng kepada Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam pada suatu hari dibelakang beliau, dan beliau membisikkan suatu
hadits kepadaku yang saya tidak ceritakan kepada seorangpun diantara kaum manusia. Dan
tempat yang Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam paling senangi untuk menutup diri disaat
buang hajat adalah hadfu dan haa`isy kurma, Ibnu Asma mengatakan pada haditsnya : yaitu
dinding pohon kurma “
An-Nawawi berkata : “ Fiqh hadits ini diantaranya : Sunnahnya menutupi diri sewaktu menunaikan
hajat baik dengan dinding pohon kurma, rimbunan pohon, atau lempengan tanah agak
turun/rendah atau lainnya. Diamna dia tidak terlihat oleh pandangan kaum manusia dan ini
merupakan Sunnah yang muakkadah, wallahu a‟lam “
Dan seseorang yang buang hajat dibalik bangunan ( toilet ), sudah mencukupkan dari upaya untuk
menjaga agar aurat tidak tersingkap, karena adanya kamar kecil dan toilet yang tertutup Falillahil
hamdu wal-minnah atas segala kemudahan-Nya.

Faedah : Dan sepatutnya seseorang yang buang hajat di padang pasir terbuka agar tidak
mengangkat pakaiannya sebelum dia mendekati tanah, dan lebih khusus lagi apabila ada yang
mungkin melihat kepadanya.
7. Kencing sambil berdiri dan jongkok
Asal posisi ketika kencing adalah sambil duduk. Aisyah radhiallahu „anha mengatakan : “ Barang
siapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah
kencing berdiri maka janganlah kalian membenarkanyya. Tidaklah beliau kencing kecuali smabil
duduk”
Hal itu dikarenakan seseorang yang kencing sambil berdiri biasanya tidak akan aman dari terkena
percikan kencing pada tubuh dan pakaiannya, akan tetapi apabila memang perlu untuk kencing
berdiri mka tidaklah mengapa. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah radhiallahu
„anhu, beliau berkata : “ Dan saya telah melahat diriku dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
berjalan-jalan , hingga beliau mendatangi subathah kaum, dibelakang tembok. Lalu beliau berdiri
sebagaimana salah seorang diantara kalian berdiri kemudian beliau kencing dan saya menyingkir
menjauhi dari beliau, namun beliau mengisyaratkan kepadaku, maka saya datang dan berdiri
disamping belakang beliau hingga beliau selesai “
Dan hadits Hudzaifah tidaklah saling bertentangan dengan perkataan Aisyah radhiallah „anhuma.
Perkataan Aisyah dapat diinterpretasikan sebagai kebiasaan yang paling sering dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , kami katakan demikian karena telah shahih bahwa beliau
kencing sambil berdiri. Dan para ulama memahami kencing Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam untuk
menerangkan suatu yang diperbolehkan, atau hal tersebut beliau lakukan ditempat dimana beliau
tidak memungkinkan untuk kencing sambil duduk.
Faedah : Boleh kencing berdiri mesti memenuhi dua syarat :
Aman dari terkena percikan najisnya
Aman dari pandangan orang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu „Utsaimin.
Masalah : Apakah boleh kencing sambil berdiri tanpa adanya hajat/keperluan ?
Jawab : Al-Lajnah Ad-Daa`imah berpendapat : Seandainya dia kencing sambil berdiri, maka orang
tersebut tidak berdosa akan tetapi telah menyelisihi teladan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang
lebih utama dalam buang hajat yang paling utama dan yang sering beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam kerjakan.

8. Larangan mempergunakan tangan kanan ketika buang hajat


Ketahuilah, bagi siapa yang menelaah nash-nash syara‟, maka dia akan mendapati bahwa syariat
datang untuk memuliakan tangan kanan dan juga kaki kanan dari kaki kiri dan tangan kiri. Dan
mengarahkan semua hamba agar mempergunakan tangan kanan mereka dalam melakukan
perbuatan yang mulia, sementara tangan kiri mereka untuk perbuatan yang sebaliknya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 91


Dan berkaitan dengan pembahasan ini, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melarang
memegang kemaluan dan ber-istinja` dengan tangan kanan.

Ibnul Jauzi mengatakan : “ Larangan menyentuh kemaluan dan ber-istinja` dengan tangan kanan
karena dua makna :
Pertama : Untuk menghindarkan tangan kanan pada hal-hal yang kotor, olehnya itu bagian kanan
dijadikan yang paling akhir masuk kedalam toilet dan yang paling awal ketika masuk kedalam
masjid, dan tangan kanan dijadikan alat untuk makan, minum dan mengambil sesuatu dan bagian
kiri diperuntukkan bagi hal-hal yang kotor
Kedua : Sekiranya tangan kanan ini bersentuhan langsung dengan najis, maka seorang manusia
akan mengingatnya ketika dia hendak mengambil makanannya dengan tangan kanannya apa yang
telah bersentuhan dengan tangan kanannya dan yang telah dipegangnya. Maka tabiat manusia
akan merasa jijik dan menghindar. Dan dia akan membayangkan bekas dari najis itu pada
tangannya, maka syariat bertujuan untuk membersihkan hal ini agar makanannya menjadi baik
untuk disantap.

Abu Qatadah radhiallahu „anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau
bersabda : “ Apabila salah seorang diantara kalian kencing maka janganlah dia memegang
kemaluannya dengan tangan kanannya dan janganlah dia ber-istinja` dengan tangan kanannya
dan janganlah dia menghembuskan nafas didalam bejana air . Dan pada riwayat Muslim dan
selainnya : “ Janganlah salah seorang diantara kalian memegang kemaluannya dengan tangan
kanannya sewaktu kencing dan janganlah dia membasuh setelah buang hajat dengan tangan
kanannya … “
An-Nawawi mengatakan : “ Para ulama sepakat bahwa suatu yang terlarang beristinja` dengan
mempergunakan tangan kanan, dan mayoritas dari para ulama berpendapat bahwa larangan
tersebut hanya sebatas makruh dan sebagai tuntunan adab bukan pengharaman.
Masalah : Tidak ada hadits yang menyatakan larangan memegang dubur dengan tangan kanan
ketika buang hajat besar ?

Jawab : Larangan memegang dubur dengan mempergunakan tangan kanan ketika buang hajat
besar lebih utama dari pada memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing, dan ini
merupakan bentuk qiyas al-aula – analogi yang lebih utama -. Dan bisa jadi Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam memperingatkan akan suatu yang lebih ringan hukumnya dan mencukupkannya dari
suatu yang lebih berat, karena penunjukannya lebih keras lagi. Terlebih lagi Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam : “ Lebih malu dari pada seorang gadis yang dipingit “
Dan bukanlah sanggahan bagi kami, jikalau rasa malu beliau menjadi penghalang bagi Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam dalam menyampaikan agama Islam, dikarenakan penyampaian sudah
terpenuhi dengan penyebutan hukum yang lebih ringan sebagai peringatan akan suatu hukum yang
lebih berat. Wallahu a‟lam.
Masalah lainnya : Thalq bin Hubaib radhiallahu „anhu mengatakan : Kami mendatangi Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam , lalu seseorang sepertinya dia seorang badui, menjumpai beliau dan
berkata : Wahai Nabi Allah, Bagaimanakah pendapat anda tentang seseorang yang memegang
kemaluannya setelah berwudhu‟ . Beliau bersabda : “ Tidaklah kemaluan itu melainkan salah satu
anggota tubuhnya “, atau beliau bersabda : “ Bagian dari tubuhnya “.
Yang ditanyakan disini : Zhahir hadits Thalq menunjukkan bolehnya seseorang memegang
kemaluannya disetiap keadaan, maka bagaimanakah menyelaraskannya dengan hadits : “ Barang
siapa yang memegang kemaluannya maka hendaknya dia berwudhu‟ “?
Jawab : Al-Lajnah Ad-Daa`imah mengatakan : yang tepat diantara sekian pendapat para ulama
pada masalah ini, adalah pendapat mayoritas ulama, yakni bahwa wudhu‟ akan batal dengan
menyentuh kemaluan, dikarenakan hadits :” Dan tidaklah kemaluan itu kecuali bagian dari
tubuhmu “ adalah hadits yang dha‟if, tidak akan kuat untuk dipertentangkan dengan hadits-hadits
yang shahih yang menunjukkan bahwa barang siapa yang memegang kemaluannya maka wajib
baginya untuk berwudhu‟. Dan kaidah yang berlaku, bahwa setiap perintah menunjukkan
kewajiban . Dan jikalaupun dianggap hadits Thalq tidak dha‟if, tetap hadits tersebut mansukh
dengan hadits : “ Barang siapa yang memegang kemaluannya maka haruslah dia berwudhu‟ “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 92


9. Seputar al-Istinja‟ dan al-Istijmar – memakai batuan untuk membersihkan setelah
buang hajat –
Diantara kebaikan-kebaikan syariat Islam, bahwa syariat datang membawa kemudahan dan
keringanan, meniadakan kesulitan pada saat mendapat suatu yang berat dan tidak sanggup untuk
direalisasikan. Allah ta‟ala berfirman :
“ Allah menghendaki bagi kalian kemudahan dan tidak menghendaki bagi kalian kesulitan “
Diantara kemudahan yang Allah anugrahkan kepada setiap hamba yang telah mukallaf, Allah
membolehkan bagi mereka untuk membersihkan diri memakai batu-batuan dan yang semisalnya
seperti kertas dan serbet dan yang serupa dengannya setelah selesai dari menunaikan hajat. Dan
dapat menggantikan air dalam bersuci. Dan tidak disangsikan lagi bahwa ini adalah suatu
kemudahan dikarenakan penggunaan air belum tentu sanggup bagi mereka pada setiap keadaan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu , beliau berkata : “ Saya telah mengikuti Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam dimana beliau keluar untuk menunaikan hajatnya, dan beliau sama sekali tidak
menoleh, maka sayapun mendekati beliau. Beliau bersabda : “ Carikanlah aku beberapa batu untuk
saya gunakan ber-istinja' – atau yang semisal kalimat tersebut – dan janganlah engkau
mendatangkan tulang atau kotoran hewan yang telah kering. Maka saya mendatangkan beberapa
batu dengan ujung pakaianku dan saya letakkan disamping beliau, dan saya sodorkan kepada
beliau, seelah beliau menyelesaikan hajatnya, beliau membersihkannya dengan batu-batuan
tersebut “
Faedah : Al-Istinja`, dapat dengan mempergunakan air dan dapat pula dengan mempergunakan
batu. Dan dapat pula dengan mempergunakan kedua-duanya. Adapun yang pertama dan yang
kedua telah ada beberapa atsar yang shahih menerangkannya. Sedangkan yang ketiga : Saya tidak
mengetahui ada atsar dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tentang hal tersebut, akan tetapi dari
kandungan maknanya , hal tersebut lebih sempurna dalam pembersihan.Seperti yang diaktakan
oleh Ibnu „Utsaimin.
10. Dimakruhkan Beristijmar dengan Menggunakan Tulang dan Kotoran Hewan yang
Telah Kering
Dan tatkala Allah ta‟ala telah membolehkan melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu „alaihi wa sallam
pemakaian batu-batuan dan yang semisalnya sebagai ganti pemakaian air dalam membersihkan
kotoran, Allah ta‟ala melarang pemakaian kotoran hewan yang telah kering dan tulang karena
adanya makna dari larangan tersebut, baik itu karena ditinjau sebagai peribadatan ataukah pada
kotoran hewan dan tulang tidak memiliki kekhususan sebagai pembersih sebagaimana yang
terdapat pada batu-batuan dan yang semisalnya.
Abdullah bin Mas‟ud radhialahu „anhu meriwayatkan, bahwa beliau telah mendatangi Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam ketika beliau sedang menunaikan hajat, maka beliau memerintahkan
saya mendatangkan untuk beliau tiga buah batu, sayapun mendapatkan dua buah batu dan sudah
mencari yang ketiga akan tetapi saya tidak mendapatkannya, kemudian aku mengambil kotoran
hewan yang telah kering lalu saya datangkan kepada beliau. Maka beliau mengambil kedua batu
tersebut dan melemparkan kotoran hewan tersebut dan bersabda : Sesungguhnya kotoran hewan
ini adalah najis “
Dan pada hadist Abu Hurairah radhiallahu „anhu, yang terdahulu – ketika Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda kepadanya : “ Carikanlah aku beberapa batu untuk membersihkan diri dengannya,
dan janganlah engkau datangkan tulang atau kotoran hewan yang telah kering “ … Abu Huraiah
berkata : “ Maka saya berkata : Ada apakah dengan tulang dan kotoran hewan ? .Beliau bersabda :
Keduanya adalah makanan jin. Dan sesungguhnya dia telah mendatangiku kelompok jin dalam dua
kelompok – dan sebaik-baik jin mereka – lalu mereka bertanya kepadaku tentang bekal makanan
mereka, maka saya berdoa kepada Allah bagi mereka agar tidaklah mereka melintas sebuah tulang
atau kotoran hewan yang telah kering kecuali mereka mendapatkan makanan padanya“
Dengan riwayat ini semakin jelas sebab larangan mempergunakan tulang dan kotoran hewan untuk
membersihkan diri .

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 93


Faedah : Terlarang ber-istinja` ataukah istjmar dengan memakai tulang bani Adam, dianalogikan
kepada makanan jin, sebagai analogi yang lebih utama. Sebagaimana diharamkan ber-istinja`
ataukah istijmar dengan kembaran-lebaran kertas yang dimuliakan, seperti kitab-kitab imu syariat,
dikarenakan lembaran-lembaran tersebut tentulah akan berisi ayat-ayat Al-Qur`an , lafazh-lafazh l-
Jalalah, dan Al-qur`an lebih utama lagi.
11. Disunnahkan Beristijmar dengan Hitungan Ganjil
Dan tujuannya adalah untuk membersihkan tempat keluarnya kotoran. Dan yang paling minimal
adalah dengan tiga kali basuhan yang menyapu seluruh bagian tempat keluarnya kotoran.
Berdasarkan hadits Salman radhiallahu „anhu : “ Janganlah salah seorang diantara kalian ber-
istinja‟ kurang dari tiga batu “
Dan apabila telah bersih dengan kurang dari tiga kali basuhan, maka mestilah untuk
disempurnakan, dan apabila telah bersih dengan lebih dari tiga kali basuhan, dan menjadi genap
seperti empat dan enam, maka disenangi untuk dijadikan ganjil, berdasarkan sabda beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam pada hadits Abu Huriarah radhiallahu „anhu : “ Apabila salah seorang
diantarakalian beristijmar, maka hendaknya istijmar dengan hitungan ganjil … al-hadits “
12. Makruh berbicara ketika berada ditempat buang hajat
Sebagian besar ulama membenci pembicaraan sewaktu buang hajat, dan mereka berargumen akan
hal itu dari hadits Ibnu Umar :” bahwa seseorang melintas sementara Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam sedang kencing, dan orang itu mengucapkan salam, dan beliau tidak menjawabnya “
Dan mereka mengecualikan dari hal itu apabila dalam keadaan daurat atau karena suatu keperluan
seperti mengarahkan seorang yang buta yang hampir terjatuh didalam sumur atau meminta air
dan semisalnya.

BAB 11
ADAB-ADAB MENDATANGI MASJID
Allah ta‟ala berfirman :
ِ ‫ادـ ُخ ُذواْ ِزينَتَ ُكم ِعن َد ُك ِّل م‬ ِ
‫سجد‬ َ َ َ ‫َٰيَبَني َء‬
“ Wahai bani Adam, ambillah perhiasan kalian ketika kalian mendatangi setiap masjid “ – Al-A‟raf :
31 –

Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :


‫من توضأ للصالة فأسبغ الوضوء ثم مشى إلى الصالة المكتوبة فصالها مع الناس أو مع الجماعة أو في المسجد غفر اهلل له ذنوبه‬

Barang siapa yang berwudhu` untuk mengerjakan shalat, lalu menyempurnakan wudhu‟nya,
kemudian dia berjalan menuju shalat yang wajib, dan mengerjakan shalat bersama dengan kaum
muslimin atau berada pada jama‟ah atau di masjid, Allah akan mengampuni dosa-dosanya “

Diantara adab-adab mendatangi masjid :


1. Larangan Mendatangi Masjid Bagi Orang Yang Telah Memakan Bawang Merah Atau
Bawang Putih Dan Yang Semisalnya
Wajib bagi seseorang yang makan bawang merah dan bawang putih mentah untuk menjauhi
masjid agar tidak mengganggu orang-orang yang mengerjakan shalat dengan aroma yang tidak
sedap, dan barang siapa yang mengganggu orang-orang yang sedang shalat berarti dia telah
mengganggu para malaikat … Dari Jabir radhiallahu „anhu, beliau berkata : bahwa Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda :
“ Barang siapa yang makan bawang merah atau bawang putih, maka hendaknya dia memisahkan
dirinya dari kami atau memisahkan diri dari masjid kami dan duduk dirumahnya "

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 94


Dan dari Jabir radhiallahu „anhu beliau berkata : “ Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah
melarang memakan bawang mera dan al-karats – sejenis daunan yang mengeluarkan bau
menyengat – , namun kebutuhan lebih mendominasi kami hingga kamipun memakannya.Maka
beliau bersabda : “ Barang siapa yang memakan dari tumbuhan yang berbau menyengat ini maka
janganlah dia mendekat masjid kami, karena sesungguhnya malaikat terganggu dengan sesuatu
yang manusia terganggu “

Dan dengan hadits-hadits yang sangat jelas menunjukkan larangan bagi yang memakan bawang
putih dan bawah merah menghadiri masjid, dan tiadanya dosa dari orang tersebut karena tidak
menghadiri jama‟ah, hanya saja ada sekelompok orang yang bersikeras untuk melakukan
penyelisihan, sedangkan Alah ta‟ala berfirman :
ِ ‫صلبػهم َع َذ‬ ِ ِ ُ‫فَلل َذ ِر لَّل ِذين ي َ الُِفو َف َعن أَم ِرۦِٓ أَف ت‬
‫لم‬
ٌ ‫اب أَل‬
ٌ ُ َ ِ ُ‫صلبَػ ُهم فتنَةٌ أَو ي‬ َُ َ
“ Dan berilah peringatan orang-orang yang menyelisihi perintahnya, bahwa mereka akan tertimpa
fitnah atau akan ditimpakan adzab yang pedih “ ( Surah an-Nur : 63 )

Dan sebagian lainnya bukanlah menghendaki penyelisihan dan sama sekali tidak berniat
menyelisihi jama‟ah shalat, akan tetapi karena niat baiknya dia mendapati dirinya terasa sangat
berat untuk meninggalkan shalat jama‟ah dan tidak menghadirinya walaupun dia memakan bawang
putih atau bawang merah, dan ini bukanlah udzur yang dapat diterima. Dan sebagian kaum awam
mengetahui larangan ini kan tetapi tidak memberikan perhatian sama sekali, dan ini disebabkan
lemahnya iman dihatinya.

Catatan penting : Dan diqiyaskan kepada bawang putih, bawang merah dal al-karats, setiap yang
menimbulkan aroma yang tidak sedap yang mengganggu orang-orang yang shalat, seperti rokok,
ataukah bau yang tidak sedap yang timbul dari tubuh, atau dari pakaian yang kotor. Maka wajib
bagi seorang yangmengerjakan shalat untuk memeriksa dirinya sebelum menghadiri masjid hingga
dia tidak menyakiti orang-orang yang shalat yang menjadikannya berdosa karena hal itu.
Faedah : Apabila setelah memakan bawang merah atau bawang putih sesuatu yang akan menolak
aroma yan tidak sedap, maka dia tidak terhalangi untuk menghadiri masjid. Akan tetapi seorang
yang makan tadi seharusnya terlebih dahulu memastikan bahwa aroma yang tidak sedap tersebut
telah hilang semuanya, dan sudah tidak mengganggu orang-orang yang shalat. Adapun yang
diperbuat oleh sebagian orang hari ini dengan mempergunakan pasta gigi, seperti penghilang bau
bawang merah dan bawang putih, ini adalah kesalahan yang sangat jelas, dikarenakan bau bawang
merah dan bawang putih muncul dari lambung dan bukannya dari mulut.
2. Disunnahkan Untuk Bersegera Mendatangi Masjid
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menganjurkan untuk bersegera mendatangi masjid dan
berlomba-lomba untuk itu. Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan , beliau berkata : Bahwa
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Sekiranya kaum manusia mengetahui kebaikan yang ada pada adzan dan shaf yang pertama,
kemudia mereka tidak mendapatkanya kecuali dengan berundi, niscaya mereka akan berundi. Dan
seandainya dia mengetahui keutamaan waktu hajiirah – waktu awal shalat Zuhur -, niscaya mereka
akan berlomba-lomba mendapatkannya, dan sekiranya mereka mengetahui keutamaan waktu
„atamah – awal waktu shubuh – dan shalat shubuh, niscaya mereka akan mendaanginya walau
dengan merangkak “ . Dan pada riwayat Muslim : “ Seandainya kalian mengetahui atau mereka
mengetahui keutamaan pada shaf terdepan, niscaya kalian akan mengadakan undian “
Pada hadits-hadits ini menunjukkan penunjukan yang zhahir akan keutamaan dan besarnya pahala
menyegerakan diri mendatangi masjid. Dan hal itu terlihat jelas ketika Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam menyamarkan pahala seseorang yang bersegera menuju masjid, karena hal tersebut
menunjukkan bahwa seorang yang bersegera ke masjid telah mendapatkan pahala yang teramat
besar. Kemudian pula undian yang mereka lakukan untuk mendapatkan shaf yang pertama,
menunjukkan dengan penunjukan yang kuat juga akan besarnya pahala ini.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 95


3. Berjalan Menghadiri Shalat Dengan Khusyu‟ Dan Tenang
Disenangi bagi seseorang yang berjalan menghadiri shalat, aga dia berjalan dengan khusyu‟, hati
yang tenang dan tuma`ninah. Dikarenakan siapa saja yang mendatangi shalat dan dia dalam
keadaan muthma`innah sewaktu berjalan, maka hal itu akan menyebabkan dia khusyu‟ dalam
pengerjaan shalatnya dan pelaksanaan tata caranya. Sebaliknya siapa saja yang mendatangi shalat
dengan tergesa-gesa dan terburu-buru, maka dia mendatangi shalatnya dalam keadaan pikiran dan
perasaannya bercabang. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang ummat beliau berangkat
menghadiri shalat mereka dengan tergesa-gesa walau shalat telah didirikan.
Dari Abu Qatadah radhiallahu „anhu beliau berkata : Ketika kamu mengerjakan shalat bersama
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau mendengar kegaduhan yang ditimbulkan beberapa orang.
Setelah beliau menyelesaikan shalat, beliau bersabda ; “ Ada apakah dengan kalian ? “. Para
sahabat mengatakan : Kami tergesa-gesa menghadiri shalat.
Beliau bersabda : “ Janganlah kalian melakukannya, apabila kalian mendatangi shalat, maka wajib
bagi kalian mendatanginya dengan tenang, dan apapun yang kalian dapatkan maka shalatlah dan
apapun yang kalian lewatkan maka sempurnakanlah "
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu , beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : “ Apabila shalat delah didirikan maka janganlah kalian mendatanginya
dengan jalan tergesa-gesa, akan tetapi datangilah dengan berjalan, dan diwajibkan bagi kalian
untuk tenang, dan apa yang kalian dapati maka shalatlah dan yang kalian lewatkan maka
sempurnakanlah "
Bagi yang memperhatikan kedua hadits tersebut akan mendapati bahwa hadits Abu Qatadah
radhiallahu „anhu datang dengan lafazh : “ Apabila kalian mendatangi shalat “, sementara hadits
Abu Hurairah radhiallahu „anhu dengan lafazh : “ Dan apabila shalat telah didirikan “, apakah
antara keduanya terjadi pertentangan ?
Jawaban dari hal itu bahwa mendatangi masjid mestilah dengan khusyu‟ dan ketenangan, baik
shalat telah didirikan atau belum. Sedangkan sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Apabila
shalat telah didirikan “, pada hadits tersebut memberikan keterangan tentang perkara yang
menyebabkan kaum manusia – biasanya – bergegas menuju shalat. Maka keterangan itu
menjelaskan bahwa kedua lafazh hadits tersebut tidak terdapat pertentangan, wallahu a‟lam.
4. Do‟a Yang Dibaca Ketika Berjalan Menghadiri Shalat (Di Masjid)
Disenangi bagi seseorang yang berjalan menghadiri shalat untuk berdoa dengan membaca doa
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam sewaktu beliau keluar menghadiri shalat. Pada hadits ketika Ibnu
Abbas menginap dirumah saudara ibunya Maimunah radhiallahu „anhuma, beliau berkata – pada
akhir hadits : “ Maka Bilal mendatangi beliau dan mengumandangkan adzan shalat , maka beliau
berdiri dan mengerjakan shalat dan tidak lagi berwudhu`, dan diantara doa yang beliau ucapkan :
‫اللهم اجعل في قلبي نورا وفي بصري نورا وفي سمعي نورا وعن يملني نورا وعن يساري نورا وفوقي نورا وت تي نورا وأمامي نورا وخلفي‬
‫نورا وعظم لي نورا‬
“ Allahummaj‟al fii qalbii nuuran wa fii basharii wa fii sam‟ii nuuran, wa „an yaminii nuuran. Wa‟an
yasaari nuuran, wa fauqii nuuran, wa tahtii nuuran . wa amaami nuuran wa khalfii nuuran,
„adzdzim lii nuuran … “

Dan pada lafazh riwayat Abu Daud :


“ … Kemudian beliau keluar menuju shalat sambil mengucapkan :
‫اللهم اجعل في قلبي نورا واجعل في لساني نورا واجعل في سمعي نورا واجعل في بصري نورا واجعل خلفي نورا وأمامي نورا واجعل من‬
‫فوقي نورا ومن ت تي نورا اللهم وأعظم لي نورا‬
“Allahummaj‟al fii qalbii nuuran waj‟al fii lisanii nuran waj‟al fii sam‟ii nuuran, waj‟al fii basharii
nuuran, waj‟al fii khalfii nuuran wa amaamii nuuran, waj‟al fii fauqii nuran, wa min tahtii nuuran,
Allahumma „adzdzim lii nuuran …al-hadits “

Do'a yang lengkap dikumpulkan dari berbagai riwayat :

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 96


،‫ َوِم ْن تَ ْ تِ ْي نػُ ْوًرا‬،‫ َوِم ْن فَػ ْوقِ ْي نػُ ْوًرا‬،‫ص ِر ْي نػُ ْوًرا‬ ِ ِ ِ
َ َ‫ َوف ْي ب‬،‫ َوف ْي َس ْمع ْي نػُ ْوًرا‬،‫سان ْي نػُ ْوًرا‬
ِ ِ‫ وفِي ل‬،‫اجعل فِي قَػ ْلبِي نػُورا‬
َ ْ َ ً ْ ْ ْ ْ َ ْ ‫اَلل ُه َّلم‬
‫َّل‬
‫ َو َعظِّ ْم‬،‫ َوأَ ْع ِظ ْم لِ ْي نػُ ْوًرا‬،‫اج َع ْل فِ ْي نَػ ْف ِس ْي نػُ ْوًرا‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫ َو‬،‫ َوم ْن َخلْف ْي نػُ ْوًرا‬،‫ َوم ْن أ ََمام ْي نػُ ْوًرا‬،‫ َو َع ْن َش َمال ْي نػُ ْوًرا‬،‫َو َع ْن يَ ِم ْلنِ ْي نػُ ْوًرا‬
،‫ َوفِ ْي َد ِم ْي نػُ ْوًرا‬،‫ َوفِ ْي لَ ْ ِم ْي نػُ ْوًرا‬،‫صبِ ْي نػُ ْوًرا‬ ِ
َ ‫اج َع ْل ف ْي َع‬
ِ
ْ ‫ َو‬،‫ اَللَّل ُه َّلم أَ ْعطنِ ْي نػُ ْوًرا‬،‫اج َعلْنِ ْي نػُ ْوًرا‬
ِ
ْ ‫ َو‬،‫اج َع ْل ل ْي نػُ ْوًرا‬
ْ ‫ َو‬،‫ل ْي نػُ ْوًرا‬
ِ
،‫ َوِز ْدنِ ْي نػُ ْوًرا‬،‫اج َع ْل لِ ْي نػُ ْوًرا فِ ْي قَػ ْب ِر ْي … ونػُ ْوًرا فِ ْي ِعظَ ِام ْي ] [ َوِز ْدنِ ْي نػُ ْوًرا‬ ْ ‫ [اَللَّل ُه َّلم‬.‫ش ِر ْي نػُ ْوًرا‬ َ َ‫ َوفِ ْي ب‬،‫َوفِ ْي َش ْع ِر ْي نػُ ْوًرا‬
.]‫َوِز ْدنِ ْي نػُ ْوًرا] [ َو َه ْ لِ ْي نػُ ْوًرا َعلَى نػُ ْوٍر‬
“Ya Allah ciptakanlah cahaya di hatiku, cahaya di lidahku, cahaya di pendengaranku, cahaya di
penglihatanku, cahaya dari atasku, cahaya dari bawahku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di
sebelah kiriku, cahaya dari depanku, dan cahaya dari belakangku. Ciptakanlah cahaya dalam diriku,
perbesarlah cahaya untukku, agungkanlah cahaya untukku, berilah cahaya untukku, dan jadikanlah
aku sebagai cahaya. Ya Allah, berilah cahaya kepadaku, ciptakan cahaya pada urat sarafku, cahaya
dalam dagingku, cahaya dalam darahku, cahaya di rambutku, dan cahaya di kulitku” [28] [Ya Allah,
ciptakanlah cahaya untukku dalam kuburku … dan cahaya dalam tulangku”] [29], [“Tambahkanlah
cahaya untukku, tambahkanlah cahaya untukku, tambahkanlah cahaya untukku”] [30], [“dan
karuniakanlah bagiku cahaya di atas cahaya”] [31]
[28] Hal ini semuanya disebutkan dalam Al-Bukhari 11/116 no.6316, dan Muslim 1/526, 529, 530,
no. 763.
[29] HR. At-Tirmidzi no.3419, 5/483.
[30] HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 695, hal.258. Al-Albani menyatakan isnadnya
shahih, dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrad, no. 536.
[31] Disebutkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, dengan menisbatkannya kepada Ibnu Abi „Ashim
dalam kitab Ad-Du‟a. Lihat Fathul Bari 11/118.

5. Do‟a Ketika Masuk dan Keluar dari Masjid


Disenangi bagi seseorang yang masuk kedalam masjid untuk mengucapkan :
a. Allahumma shalli wa sallim „ala Muhammad wa „alaa Aali Muhammad, allahummaftah lii Abwaaba
rahmatik.
Dan apabila keluar dari masjib mengucapkan : Allahumma shalli wa sallim „ala Muhammad wa „ala
Aali Muhammad, Allahumma inni as`aluka min fadhlika “
Meneladani Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ketika beliau masuk kemasjid dan ketika keluar dari
masjid.
Dari Abu Humaid dan Abu usaid radhiallahu „anhuma, keduanya mengatakan : Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian masuk kedalam
masjid , hendaknya dia mengaakan : “Allahumaftah lii abwaaba rahmatika. Dan apabila keluar dari
masjid hendaknya dia mengucapkan : Allahumma inni as`aluka min fadhlik“
Dan pada riwayat Abu Daud : “ Apabila salah seorang diantara kalian masuk kedalam masjid
hendaknya dia mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam kemudian
mengucapkan : Allahumma iftah lii abwaaba rahmatika , dan apabila keluar hendaknya
mengucapkan : Allhumma inni as`aluka minfadhlika “

b. Dan disenangi bagi yang masuk kedalam masjid juga mengucapkan : A‟udzu billahi al-„adzim
biwajhihi al-kariim, wa sulthanihi al-qadiim, min asy-syaithan ar-rajiim.
Doa ini disebutkan didalam hadits Abdullah bin Amru bin Al-„Ash radhiallahu „anhuma dari Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam , bahwa apabila beliau masuk kedalam masjid, beliau mengucapkan : “
A‟udzu billah al-„adziim, biwajhihi al-kariim, wa suthanihi al-qadiim min asy-syaitha ar-rajiim “.
Beliau berkata : Hanya itu saja ? Saya berkata : Iya, beliau brsabda : apabila dia mengatakan
ucapan itu , maka syaithan akan mengatakan : Dia terjaga dariku sepanjang hari.”
Do'a yang lengkap dikumpulkan dari berbagai riwayat :
Do'a masuk masjid :

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 97


‫السالَ ُـ َعلَى َر ُس ْو ِؿ‬
‫الصالَةُ][ َو َّل‬ ِ ‫ [بِس ِم‬،‫الرِج ْل ِم‬
‫ َو َّل‬،‫اهلل‬ ْ ‫اف َّل‬ ‫ ِم َن َّل‬،‫ َو ُس ْلطَانِِه الْ َق ِديْ ِم‬،‫ َوبَِو ْج ِه ِه الْ َك ِريْ ِم‬،‫اهلل ال َْع ِظ ْل ِم‬
ِ َ‫الش ْلط‬ ِ ِ‫أَعُوذُ ب‬
ْ
. َ ِ‫اب َر ْ َمت‬ ِ ِ
َ ‫اهلل] اَللَّل ُه َّلم افْػتَ ْ ل ْي أَبْػ َو‬
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan wajahNya Yang Mulia dan kekuasaanNya
yang abadi, dari setan yang terkutuk. [32] Dengan nama Allah dan semoga shalawat [33] dan
salam tercurahkan kepada Rasulullah [34] Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmatMu untukku.” [35]

[32] HR. Abu Dawud, lihat Shahih Al-Jami‟ no.4591.


[33] HR. Ibnu As-Sunni no.88, dinyatakan Al-Albani “hasan”.
[34] HR. Abu Dawud, lihat Shahih Al-Jami‟ 1/528.
[35] HR. Muslim 1/494. Dalam Sunan Ibnu Majah, dari hadits Fathimah x “Allahummagh fir li
dzunubi waftahli abwaba rahmatik”, Al-Albani menshahihkannya karena beberapa shahid. Lihat
Shahih Ibnu Majah 1/128-129.

Do'a keluar masjid :


.‫الرِج ْل ِم‬
‫اف َّل‬ ‫ص ْمنِ ْي ِم َن َّل‬
ِ َ‫الش ْلط‬ ِ ‫ اَللَّل ُه َّلم ا ْع‬، َ ِ‫َسأَلُ َ ِمن فَ ْ ل‬
ْ
ِ ‫السالَـ َعلَى رسو ِؿ‬
ْ ‫ اَللَّل ُه َّلم إِنِّ ْي أ‬،‫اهلل‬ ُْ َ ُ ‫الصالَةُ َو َّل‬
ِ ‫بِس ِم‬
‫اهلل َو َّل‬ ْ
“Dengan nama Allah, semoga sha-lawat dan salam terlimpahkan kepada Rasulullah. Ya Allah,
sesungguhnya aku minta kepadaMu dari karuniaMu. Ya Allah, peliharalah aku dari godaan setan
yang terkutuk”. [36]
[36] Tambahan: Allaahumma‟shimni minasy syai-thaanir rajim, adalah riwayat Ibnu Majah. Lihat
Shahih Ibnu Majah 129.
6. Disunnahkan Mendahulukan Kaki Kanan Ketika Masuk ke Masjid dan Kaki Kiri Ketika
Keluar darinya
Disenangi bagi seseorang yang masuk kedalam masjid untuk mendahulukan kaki kanan,
dikarenakan hal itu merupakan perbuatan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , dan
dikarenakan masjid adalah tempat yang paling mulia, maka sepantasnyalah mendahulukan kaki
kanan dikarenakan kemuliaan masjid. Dan ketika keluar dari masjid, maka kaki kiri didahulukan,
berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Dan dikarenakan tempat selain masjid
lebih rendah kemuliannya. Dan diantara kebiasaan syara‟ menjadikan tangan dan kaki kanan untuk
melakukan hal-hal yang utama dan mulia, dan menjadikan bagian kiri untuk melakukan hal-hal
yang rendah. Dan kaidah umum dalam permasalahan ini adalah hadits Aisyah radhiallahu „anha,
beliau mengatakan : “ Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menyukai mendahulukan yang kanan
dalam mengenakan sandal, menyisir, berwudhu` dan pada setiap keadaan beliau “
Dan ketika masuk kedalam masjid merupakan suatu sunnah yang disebutkan oleh Anas radhiallahu
„anhu, beliau mengatakan : “ Termasuk sunnah, apabila anda masuk kedalam masjid anda
memulai dengan kaki kanan anda dan apabila anda keluar dari masjid anda mendahulukan kaki kiri
anda “
Dan suatu yang telah maklum dikalangan ulama bahwa perkataan seorang sahabat : Termasuk
Sunnah , tergolong dalam hukum hadits marfu‟. Al-Bukhari menyertakan sebuah bab , yang
berisikan hadits Aisyah terdahulu, dengan mengatakan : Bab. Mendahulukan kaki kanan ketika
masuk kedalam masjid dan selainnya.
Kemudian beliau menyebutkan atsar Ibnu Umar, beliau berkata : Ibnu Umar memulai dengan kaki
kanannya – ketika masuk kedalam masjid dan apabila keluar dari masjid beliau memulai dengan
kaki kirinya.
Dan makruf dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma betapa komitmen beliau dalam mengikuti Sunnah
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam .

7. Disunnahkan Mengerjakan Shalat Tahiyyatul Masjid Ketika Masuk ke Masjid (Sebelum


Duduk)
Disenangi bagi seseorang yang masuk kedalam masji untuk memulai dengan shalat dua raka‟at,
yaitu shalat tahiyyat masjid.Dan shalat ini tidaklah wajib, akan tetapi shalat Sunnah mu`akkadah.
Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau pada tempat
ini.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 98


Seperti tertuang pada hadits Abu Qatadah As-Sulami radhiallahu „anhu, beliau berkata : bahwa
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Apabila salah seorang diantara kalian masuk kedalam masjid hendaknya dia mengerjakan shalat
dua raka‟at sebelum dia duduk “

Dan yang memalingkan perintah beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tersebut dari makna wajib ke
makna Sunnah, adalah beberapa hadits lainnya, seperti hadits Thalhah bin „Ubaidullah radhiallahu
„anhu, beliau berkata : “ Seseorang datang menjumpai Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dari
penduduk Najd, dengan rambut yang kusut , suaranya melengkung tak terdengar, dan tidaklah
dimengerti apa yang dikatakannya hingga dia mendekat, dan ternyata dia bertanya tentang Islam.
Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Yaitu shalat lima waktu pada setiap hari
dan malamnya “. Lalu orang tersebut berkata : Apakah ada yang lain selain shalat tersebut ?
Beliau menjawab : “ Tidak, kecuali shalat yang sunah “. Dan pada akhir hadits – beliau berkata :
lalu orang itu berpaling pergi sambil mengatakan : Demi Allah saya tidak akan menambahkan dari
ini dan tidak juga menguranginya. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “
Beruntunglah dia, jika dia benar “

Dan sesuai dengan ini pula, maka tidak sepantasnya seorang yang beriman melalaikan dua raka‟at
ini karena pada shalat tersebut terdapat kebaikan yang sangat banyak.

8. Keutamaan Duduk di Masjid


Diantara beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan duduk di masjid dan menanti shalat,
adalah sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam :
“ … apabila dia masuk kedalam masjid, maka dia telah berada dalam keadaan shalat selama
shalatlah yang menghalanginya. Dan para malaikat akan mendoakan slah seorang diantara kalian
selama dia berada di suatu majlis yang dia shalat ditempat tersebut, mereka mengucapkan :
allahumma irhamhu, Allahumma igfir lahu, Allahumma tub „alaihi, selama dia tidak mengganggu
selama dia tidak mengeluarkan hadats “
Dan ini merupakan rahmat Allah kepada setiap hamba-Nya dan kemuliaan-Nya yang melimpah,
dimana Allah memberikan pahala sebagaimana pahala seorang yang shalat hanya karena mereka
duduk dimasjid dan menanti shalat, kemudia Allah menjadikan para malaikat mendoakan
seseorang yang menanti shalat di masjid dengan doa rahmat, ampunan dan taubat.
Akan tetapi patut diketahui , pahala dan doa para malaikat bagi seseorang yang menunggu shalat,
terkait dengan beberapa perkara :
Pertama : Bahwa penyebab dia terhalangi dari beranjak pergi ke keluarganya atau pekerjaannya
adalah ibadah shalat semata.
Kedua : Bahwa doa paramalaikat bagi seseorang yang menanti shalat terkait dengan tetapnya
seorang aygn telah shalat tersebut ditempat dia shalat. Dan ada pendapat lainnya : bahwa doa
para malaikat mencakup siapa saja yang menanti shalat dimasjid, ditempat yang dia shalat
sebelumnya. Namun lafazh hadits menguatkan pendapat yang pertama.
Ketiga : Bahwa pahala seseorang yang menanti shalat dan doa para malaikat baginya , akan
tertolak dengan adanya hadats atau gangguan. Dan yang dimaksud dengan gangguan adalah
gangguan yang dilakukannya kepada malaikat atau kepada muslim, baik dengan perbuatan
maupun dengan perkataan. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar. Dan yang dimaksud dengan
hadats adalah seorang yang menanti shalat melakukan salah satu dari hal-hal yang membatalkan
wudhu`.
Catatan penting : Sebagian besar kaum manusia melalaikan waktu yang utama – waktu menanti
shalat ( antara adzan dan iqamah ) – anda akan mendapati mereka melemparkan pandangan
mereka kepada orang-orang yang mengerjakan shalat atau membaca Al-Qur`an, sebagian dari
mereka dengan pandangannya dan akalnya menerawang memperhatikan kaligrafi masjid dan
bangunannya dan lain sebagainya. Seandainya mereka memanfaatkan waktu yang utama ini
denganmembaca Al-Qur`an, dzikir kepada Allah atau bersungguh-sungguh berdoa, dikarenakan
waktu ini adalah waktu terkabulnya doa, nesca baginya kebaikan yang sangat banyak.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 99


Catatan penting lainnya : Imam disaat shalat adalah bagian dari suatu kepemimpinan, maka
wajib abgis eorang imam untuk berlaku lembut kepada para makmum, tidak memberatkan mereka
dengan segala bentuk perbuatan yang menyusahkan. Dari Aisyah radhiallahu „anha, beliau berkata
: Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Wahai Allah siapa saja diantara ummatku yang memegang salah satu perkara ummatku lalu dia
memberatkan mereka maka beratkanlah bagnya, dan siapa saja yang memegang salah satu
perkara ummatku, lalu dia berlaku santun kepada mereka, maka lembutlah kepadanya “
An-Nawawi mengatakan : “ Hadist ini merupakan peringatan yang paling jelas untuk tidak
memberatkan kaum manusia dan anjuran yang paling besar agar berlaku santun kepada mereka.
Dan beberapa hadits telah menunjukkan makna ini dengan sangat jelas “

Sementara yang terjadi, sebagian imam shalat – semoga Allah memberi mereka taufiq –
memberatkan bagi kaum manusia , baik mereka sadar atau tidak. Mereka mengakhirkan iqamat
shalat dan menghalangi manusia dari pekerjaan mereka dan dari menunaikan hajat keperluan
mereka. Dan seseorang yang hendak mengerjakan shalat dan mempunyai suatu keperluan tidak
ingin diakhirkan pengerjaan shalat , terbentur pada perasaan yang berat, apakah dia shalat sendri
? atau menunggu imam ini ?

Imam yang mendapatkan taufiq adalah yang menjadikan waktu tertentu bagi shalat jama‟ah
dimasjid, dimana apabila imam tersebut terlambat karena suatu keperluan mendadak, maka
mereka mendirikan iqamat shalat. Dengan begitu tidaklah memberatkan mereka dengan
kedatangan imam yang terlambat, dan juga akan meniadakan dari mereka perasaan berat. Ini
termasuk kelembutan seorang imam bagi jama‟ah di masjidnya dan tergolong bentuk pengayoman
yang baik untuk mereka. Wallahu al-muqaffaq.
9. Bolehnya Tidur Terlentang di Masjid
Tidak mengapa tidur terlentang di masjid, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah
melakukan tidur terlentang dimasjid dengan meletakkan salah satu kaki beliau diatas kaki lainnya.
Dari Abdullah bin Zaid bin „Ashim radhiallahu „anhu, beliau berkata : Bahwa beliau pernah melihat
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidur terlentang dimasjid sambil meletakkan salah satu kaki
beliau diatas kaki lainnya .
Dan dari Ibnu Syihab dari Sa‟id bin Al-Musyyab, beliau berkata : “ Umar dan „utsman keduanya
melakukan hal itu “

Akan tetapi seharusnya aman dari tersingkapnya aurat dikarenakan meletakkan salah satu kaki
diatas kaki lainnya memungkinkan aurat tersingkap, dan bagi saipa yang mungkin menjaga hal
tersebut maka tidak terlarang baginya.

Faedah : Sebagian kaum manusia merasa keberatan dengan menjulurkan kaki mereka kearah
kiblat, sebagai bentuk wara‟ mereka. Akan tetapi rasa keberatan ini bukan pada tempatnya,. Siapa
saja yang menjulurkan kakinya atau kedua kakinya kearah kiblat dimasjid atau diluar masjid maka
dia tidaklah berdosa.
Peringatan : Wajib bagi siapa saja yang menjulurkan kakinya atau kedua kakinya kearah kiblat di
masjid agar kakinya tidak kearah mushhaf, sebagai bentuk adab kepada Kalamullah dan
pengagungan kepadanya. Bahkan kaum manusia juga mencela dan mengingkari seseorang yang
menjulurkan kakinya atau kedua kakinya kehadapan mereka atau didalam majlis mereka, maka
bagaimanakah dengan seseorang yang menjulurkan kedua kakinya kearah mushhaf ? Tidak
disangsikan lagi bahwa pengingkaran akan hal tersebut lebih besar.
10. Bolehnya Tidur di Masjid
Diperbolehkan tidur di masjid bagi yang membutuhkan hal itu. Para ashhab ash-shuffah radhiallahu
„anhum telah melakukan hal demikian dimasjid.

Ibnu Umar radhiallahu „anhuma pernah tidur dimasjid sebelum beliau mempunyai keluarga. Dari
Nafi‟ beliau berkata : Abdullah bin Umar radhiallahu „anhuma mengabarkan kepadaku: Bahwa
beliau sewaktu mudanya belum menikah beliau tidur dimasjid Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 100


Peringatan : Apabila seorang muslim ihtilam, dan dia tidur didalam masjid, dia mesti bersegera
untuk keluar dari masjid hingga dia terbangun untuk mandi junub.

11. Larangan Berjual Beli di Dalam Masjid


Tidak diperbolehkan jual beli dimasjid, karena masjid bukan didirikan untuk jual beli., melainkan
dibangun untuk dzikir kepada Allah, mendirikan shalat, pengajaran ilmu-ilmu agama kepada kaum
manusia … dan lain sebagainya. Dan barang siapa yang melihat seseorang melakukan transaksi
jual beli atau menjual barang dimasjid, hendaklah dia menegurnya dan mengatakan kepada orang
tersebut : Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada jual belimu.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda :
“ Apabila kalian melihat seseorang menjual atau jual beli didalam masjid maka katakanlah : Seoga
Allah tidak memberi keuntungan pada jual belimu … al-hadits “

Catatan penting : Seputar jual beli diruangan-ruangan atau teras yang kut kepada masjid atau
aula yang dikhususkan untuk shalat. Al-Lajnah Ad-Daimah berpendapat : Tidak diperbolehkan jual
beli dan mengumumkan barang yang hilang di aula yang khusus dipergunakan untuk shalat,
apabila termasuk bagian dari masjid. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Apabila kalian melihat seseorang menjual atau membeli didalam masjid maka katakanlah :
Semoga Allah tidak menguntungkan jual beli kalian “… – lalu Al-Lajnah lanjut mengatakan – :
Adapun ruangan-ruangan maka sedikit ada detail : Apabila ruangan tersebut masuk kedalam denah
masjid maka ruangan itu tergolong dalam hukum masjid, dan penjabarannya sama dengan
penjabaran aula/teras masjid. Adapun jikalau ruangan tersebut diluar denah masjid walaupun
pintunya bersatu dengan masji maka hukumnya tidak termasuk hukum masjid. Dikarenakan rumah
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang didiami oleh Aisyah radhiallahu „anha, pintunya berada
didalam masjid, dan hukumnya tidak menyatu dengan hukum masjid.
Faedah : Mengikuti sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , bagi siapa yang mendengarkan
seseorang menjual atau membeli sesuatu didalam masjid, maka hendaknya dia mengucapkan :
Semoga Allah tidak memberi keuntungan bagi jual belimu. Dan zhahir lafazh pada hadits tidak
dibedakan antara seorang alim dan seorang yang jahil.
12. Larangan Mengumumkan Barang Hilang Di Masjid
Masjid Allah dibangun untuk dzikir kepada Allah , bertasbih kepada-Nya, membaca Al-Qur`an, dan
mendirikan shalat. Bukanlah dibuat untuk dijadikan tempat menanyakan barang hilang atau yang
tidak diketahui keberadaannya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : Barang siapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang dimasjid
hendaknya dia mengucapkan : Semoga Allah tidak mengembalikan barang hilang tersebut
kepadamu, karena sesungguhnya masjid tidaklah dibangun untuk tujuan seperti ini “. Dan pada
riwayat Ahmad : “ Semoga Allah tidak menunaikan barang hilang kepadamu “ Dan pada riwayat
Ad-Darimi :” Semoga Allah tidak menunaikannya kepadamu “
Oleh karna itu, barang siapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang, maka
hendaknya dia mengucapkan : Semoga Allah tidak mengembalikan barang hilang tersebut
kepadamu atau Allah tidak menunaikannya kepadamu, atau tidak menunaikan nya bagimu. Dan
kesemuanya bermakna sama.

13. Mengeraskan Suara di Dalam Masjid


Dari Ka‟ab bin Malik radhiallahu „anhu , beliau berkata : bahwa beliau menagih piutang beliau pada
Ibnu Abi Hudud , didalam masjid, sehingga suara mereka melengking keras, dan Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam mendengar suara mereka, sedangkan beliau berada didalam
rumahnya. Maka beliau keluar menjumpai mereka berdua hingga tabir pintu rumah beliau
tersingkap lalu menyeru :” Wahai Ka‟ab “. Ka‟ab berkata : Wahai Rasulullah saya menyambut
seruan anda . Beliau bersabda : “ Kurangilah piutangmu ini “, beliau mengisyaratkan kepadanya
yaitu setengah dari piutangnya. Ka‟ab mengatakan : Sungguh sudah saya lakukan wahai
Rasulullah. Beliau bersabda : “ Jikalau demikian maka berdirilah dan lunasilah "

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 101


Dari As-Saa`ib bin Yazid , beliau mengatkan : Saya pernah berdiri didalam masjid, lalu seseorang
melempariku dengan batu kecil, kemudian saya menoleh melihatnya ternyata dia adalah Umar bin
Al-Khaththab. Beliau berkata : Pergilah dan hadapkan kepadaku dua orang ini. Maka saya
menghadapkan keduanya. Beliau berkata : Siapakah kalian berdua ? Atau dari manakah kalian
berasal ?

Keduanya menjawab : Kami dari pendudukTha`if. Beliau berkata : Seandainya kalian berdua dari
penduduk negeri ini, niscaya saya akan menghukum kalian berdua, karena kalian berdua telah
mengeraskan suara kalian didalam masjid Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam .
Bagi yang menelaah kedua hadits diatas, akan mengetahui bahwa kedua hadits diatas zhahirnya
saling bertentangan. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah mengingkari seseorang yang
mengeraskan suaranya didalam masjid , dan hanya memerintahkan Ka‟ab untuk mengurangi
setengah dari piutangnya. Dan tidaklah mungkin Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mengakhirkan
suatu penjelasan dikala dibutuhkan. Sedangkan atsar Umar radhiallahu „anhu menunjukkan
makruhnya mengangkat suara didalam masji, dan Umar adalah orang yang paling tidak layak jika
mengingkari seseorang tanpa dasar dalil yang diketahuinya. Dan ini hukumnya tergolong hukum
hadits marfu‟. Dan kemungkinan inilah yang menguatkan pendapat Malik disalah satu riwayat
beliau :” dibedakan antara yangmengeraskan suara untuk ilmu dan kebaikan dan suatu yang harus
maka diperbolehkan, dan mengeraskan suara dengan gaduh dan semisalnya maka tidak
diperbolehkan “. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar
Catatan penting : Al-Lajnah Ad-Daa`iman menyatakan : Meminta-minta adalah perbuatan yang
haram didalam masjid atau diselain masjid kecuali pada eadaan darurat. Apabila sipeminta dalam
keadaan darurat harus memenuhi keperluannya, dan tidak dijumpai sesuatu yang dapat
menghilangkan kefakirannya dan tidak sampai mencekik leher orang-orang, tidak ada kedustaan
dari cerita perihal dirinya dan menyebutkan keadaannya, tidak mengeraskan suaranya hingga
mengganggu orang-oang yang shalat, seperti memutuskan dzikir mereka ataukah memina
sementara khathib sedang khuthbah ataukah meminta kepada mereka sementara mereka
mendengarkan ilmu yang memberi mereka manfaat, atau lain sebagainya yang akan merisaukan
pelaksana ibadah mereka – maka hal tersebut tidaklah mengapa.
Abu Daud meriwayatkan didalamSuan beliau dari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu „anhuma,
beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Apakah diantara kalian ada
yang telah memberi makan orang miskin pada hari ini ? “. Maka Abu Bakar mengatakan : Saya
masuk kedalam masjid , dan saya mendapati seorang peminta-minta meminta, dan saya
menjumpai serpihan roti ada ditangan Abdurrahman, maka saya mengambilnya dan saya berikan
kepada si peminta tersebut.

Al-Mundziri mengatakan : “ Muslim meriwayatkannya didalam Shahihnya, An-Nasa`I didalam


Sunannya dari hadits Abu Hazim Salman Al-Asyja‟I semisal dengan hadits diatas “.
Hadist ini menunjukkan bolehnya bershadaqah didalam masjid, dan bolehnya meminta disaat
butuh. Adapun jikalau permintaan tersebut bukan suatu keperluan yang mendesak atau suatu
kedustaan kepada kaum manusia dari apa yang disebutkannya mengenai keadaannya ataukah
hingga mendatangkan mudharat dari permintaannya tersebut, maka dia tidak boleh mengajukan
permintaannya.

14. Larangan Menyilangkan Jari-Jemari Ketika Keluar dari Masjid Sebelum Melaksanakan
Shalat dan Dibolehkan Setelah Mengerjakan Shalat
Telah shahih diriwayatkan dari beliau Shallallahu „alaihi wa sallam , bahwa beliau lebih dari sekali
menyilangkan jari jemarinya didalam masjid maupun diluar masjid, yang mana ini menunjukkan
bolehnya menyilangkan jari jemari secara mutlak. Seperti didalam hadits Abu Musa radhialahu
„anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda ;
“ Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan yang
sebagiannya saling menguatkan dengan sebagian lainnya, kemudian beliau menyilangkan jari
jemarinya “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 102


Dan pada hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu – tentang lupanya Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam ketika shalat – , beliau berkata : “ Lalu beliau shalat mengimami kami dua raka‟at lalu
kemudian beliau berdiri menuju tiang kayu yang ada dimasjid dan bersandar kepadanya. Seolah-
olah beliau dalam keadaan marah, dan meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya lalu
menyilangkan jari jemari beliau, dan meletakkan pelipis kanannya diatas punggung telapak kirinya
… al-hadits “.
Dan telah shahih diriwayatkan dari beliau Shallallahu „alaihi wa sallam larangan menyilangkan jari
jemari. Ka‟ab bin „Ujrah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda :
“ Apabila salah seorang diantara kalian berwudhu` maka perbagusilah wudhu`nya, kemudian
dengan bersnegaja menuju kemasjid, dan janganlah dia menyilangkan jari jemarinya karena
sesungguhnya dia berada dalam keadaan shalat “

Dan penyelarasan antara hadits-hadits itu dengan mengatakan : bahwa larangan menyilangkan jari
jemari sebelum shalat adalah bagi yang bersengaja menuju masjid yang berada pada hukum
seseorang yang sedang shalat, dan setelah shalat selesai ditunaikan, maka seorang yang shalat dia
berada pada hukum seseorang yang berpaling telah menyelesaikannya.

15. Bolehnya Membicarakan Perkara-Perkara Dunia yang Mubah di Dalam Masjid


Boleh bagi seseorang bersama saudaranya membicarakan – didalam masjid – perkara-perkara
keduniawian yang mubah dan tidak ada dosa bagnya dalam pembicaraan itu. Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam telah melakukan hal tersebut , dan para sahabat beliau memperbincangkan
sesuatu di masjid sementara beliau bersama dengan mereka dan membenarkan hal itu. Dan ini
menunjukkan akan pembolehan hal tersebut.
Dari Anas bin Malik radhiallahu „ahu, beliau berkata : Setelah shalat di iqamati dan Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam menyeru kepada seseorang disamping masjid, dan tidaklah dia berdiri
mengerjakan shalat hingga kaum yang ada semuanya tertidur “
Dari Simak bin Harb, dia berkata : Saya berkata kepada Jabir bin Samurah : Apakah anda pernah
duduk bersama dengan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam ? Beliau mengatakan : Iya, beliau
seringkali tidak berdiri pergi dari mushalla beliau dimana beliau shalat shubuh ditempat tersebut
hingga matahari terbit. Apabila matahari telah terbit maka beliau berdiri pergi. Dan para sahabat
biasanya berbincang-bincang dan menyebutkan perkara jahiliyah hingga mereka tertawa dan beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam tersenyum “
Akan tetapi mestilah diperhatikan beberapa perkara, ketika berbincang-bincang seputar
permasalahan duniawiyah didalam masjid.
Pertama : Jangan sampai mengganggu orang-orang yang mengerjakan shalat , yang membaca Al-
Qur`an, atau yang menyibukkan diri dengan ilmu yang ada diseklilingnya.
Kedua : Tidak menjadikannya sebagai suau kebiasaan
Ketiga : Menjaga jangan sampai mengucapkan perkataan atau melakukan pebuatan yang haram.
Keempat : Pembicaraannya mestilah sedikit dan tidak banyak.

16. Bolehnya Makan dan Minum di Masjid


Tidak mengapa makan dan minum didalam masjid, dikarenakan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam pernah makan didalam masjid. Dan perbuatan beliau menunjukkan pembolehan.
Abdullah bin Al-Harits bin Juz`I Az-Zubaidi radhiallahu „anhu mengatakan : “ Kami pernah makan
roti dan daging dizaman Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam didalam masjid “

Akan tetapi sepatutnya bagi yang minum atau makan makanan didalam masjid tidak sampai
mengotori masjid dengan sisa-sisa makanan atau minuman.

17. Bolehnya Melantunkan Sya‟ir di Dalam Masjid


Diperbolehkan lantunkan syair didalam masjid. Dan ini tempatnya apabila syair tersebut syair yang
mubah bukan yang haram. Dan mesti menjaga sesuatu yang harus dijaga pada ucapan.
Dikarenakan syair adalah perkataan dimana yang baik maka baik sedangkan yang buruk juga
buruk.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 103


Hassan bin Tsabit radhiallahu „anhu telah melantunkan syair didalam masjid dihadapan Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau memuja Rasulullah dan kaum mukminin dan menghujat orang-
orang musyrik dan membantah mereka. Bahkan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
mendoakan beliau.

Dari Sa‟id bin Al-Musayyab beliau berkata : “ Umar melintas didalam masjid sementara Hassan
menggubah sebuah syair, lalu beliau berkata : Saya pernah menggubah sebuah syair didalam
masjid dan didalam masjid tersebut dihadiri oleh seorang yang lebih baik dari anda “
Kemudian beliau menoleh ke Abu Hurairah, dan mengatakan : “ Saya bersumpah demi Allah,
pernahkah anda mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mengatakan : Belalah aku,
Wahai Allah kuatkanlah dia dengan ruh kudus. Beliau berkata : Benar “

18. Bolehnya Bermain dengan Tombak dan Semisalnya di Dalam Masjid


Dari Aisyah adhiallahu „anha , beliau berkata : “ Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam suatu hari dipintu kamarku dan orang-orang Habsyah bermain-main didalam masjid. Dan
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menutupiku dengan jubah beliau, agar saya dapat
menyaksikan permainan mereka “ Pada riwayat lainnya : Saya berkata : “ Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam masuk kedalam bilikku dan disisiku ada dua anak kecil wanita sedang
bersenandung dengan senandung perang Bu‟ats. Maka beliau berbaring dipembaringan dan
memalingkan wajahnya. Kemudian masuk Abu Bakar lalu menegurku dan berkata : “Seruling
syaithan berada disisi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam “
Lalu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya kepada beliau lalu bersabda : “
Biarkanlah mereka berdua “. Disaat beliau lalai, maka saya memberi isyarat kepada mereka berdua
, lalu mereka berdua keluar. Dan pada hari „ied orang-orang sudan mengadakan permainan dengan
mempergunakan perisai dan tombak. Apakah waktu itu saya yang meminta kepada Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam ataukah beliau yang mengatakan : Apakah engkau berkeinginan
melihat ? , saya berkata : iya. Maka beliau Shallallahu „alaihi wa sallam memberdirikan aku
dibelakangnya, dan pipiku berada bersentuhan dengan pipi beliau, dan beliau bersabda : “ Wahai
bani Arfadah sekali lagi , hingga saya merasa jenuh, beliau berkata : “ Cukupkah bagimu ? “ Saya
mengatakan : Iya. Beliau bersabda : “ Kalau begitu pergilah “
Permainan yang ada pada hadits ini adalah permainan dengan menggunakan tombak pada hari
„Ied, dan hari „Ied adalah hari kegembiraan dan suka cita. Dan permainan dengan mempergunakan
tombak bertujuan untuk melatih menusuk dan bertarung. Olehnya itu Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam tidak melarang mereka dari permainan mempergunakan tombak didalam masjid, bahkan
beliau memerintahkan mereka akan hal itu. Dikarenakan pada permainan ini diharapkan memberi
faedah, dan bukan sebatas permainan saja.
19. Disunnahkan Menampakkan Perhiasan untuk Shalat Jum‟at dan Shalat „Iedain (Dua
Hari Raya)
Disenangi bagi seorang muslim untuk berhias dengan mengenakan pakaian yang indah pada shalat
jum‟at dan shalat Ied dikarenakan mengenakan pakaian yang indah untuk melaksanakan shalat
jum‟at dan „Ied adalah suatu yang dianjurkan oleh syara‟.

Hal mana ditunjukkan pada hadits Abdullah bin Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata :
Sesungguhnya Umar bin Al-Khaththab melihat pakaian sutra yang bergaris berada didepan pintu
masjid. Maka beliau berkata : Wahai Rasulullah sekiranya anda membeli pakaian ini dan kenakan
pada hari jum‟at dan untuk menyambut tamu yang berkunjung kepada anda. Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya pakaian ni adalah pakaian bagi yang tidak
mendapatkan bagiannya diakhirat … al-hadits “

Dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah mengingkari Umar untuk mengenakan pakaian yang
indah untuk shalat jum‟at dan disaat menyambu tamu, hanya saja beliau mengingkari pakaian
semisal dengan pakaian tersebut yang terbuat dari sutra. Dari sini dapat diketahui bahwa berhias
untuk shalat jum‟at dan „Ied dan untuk menyambut tamu suatu yang dianjurkan.
Diantara perhiasan tersebut adalah seseorang yang hendak menuju masjid untuk shalat jum‟at
memakai wangi-wangian dan minyak rambut, dan ini sangatlah dianjurkan.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 104


Salman Al-Farisi meriwayatkan , bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah
seseorang mandi pada hari jum‟at, lalu membersihkan diri semampu dia, memakai miyak rambut,
atau memakai wangi-wangian dirumahnya kemudian dikeluar menuju shalat dan tidak memisahkan
dua orang yng bersmapingan kemudian mengerjakan shalat yang dia inginkan, kemudian diam
disaat imam berbicara, kecuali akan diampuni dosanya antara jum‟at tersebut dan jum‟at
berikutnya “

20. Larangan Keluar dari Masjid Setelah Adzan Dikumandangkan


Dibenci keluar dari dalam masjid bagi seseorang yang telah mendapatkan adzan sementara dia
telah berada didalam masjid. Kecuali bagi yang mempunyai udzur yang memaksanya keluar dari
dalam masjid, seperti untuk memperbarui wadhu` dan semisalnya.
Dari Abu Asy-Sya`tsa`, beliau berkata : “ Kami pernah duduk didalam masjid bersama dengan Abu
Hurairah radhiallahu „anhu, lalu muadzdzin mengumandangkan adzan, maka seseorang berdiri dari
dalam masjid berjalan keluar, kemudian Abu Hurairah mengikutinya dengan pandangan matanya
hingga orang itu keluar dari dalam masjid. Abu Hurairah berkata : Adapun orang ini, maka
sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu „alaihi wa sallam “
Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang marfu‟, dikarenakan Abu Hurairah radhiallahu „anhu
tidaklah akan berijtihad pada masalah seperti ini – sekali-kali tentu tidak -. Maka tidak sepatutnya
bagi seseorang yang telah mendapatkan adzan sementara dia berada didalam masjid keluar dari
masjid hingga dia mengerjakan shalat yang wajib, kecuali karena udzur. Dikarenakan barang siapa
yang keluar setelah adzan tanpa adanya udzur, kemungkinan akan tersibukkan atau terkendali
dengan sesuatu yang akan menghalanginya mendirikan shalat berjama‟ah, dan menjadi sebab dia
tertinggal dalam pelaksanaan shalat jama‟ah.
21. Termasuk Sunnah Shalat dengan Memakai Sandal di Dalam Masjid
Telah shahih dari beliau Shallallahu „alaihi wa sallam dari banyak riwayat bahwa beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam mengerjakan shalat dengan memakai sandal, bahkan beliau memerintahkan untuk
melakukan hal tersebut.

Anas bin Malik telah ditanya : “ Apakah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah shalat dengan
mengenakan kedua sandalnya ? Beliau menjawab : Iya “

Dan dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu, beliau berkata : “ Ketika Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam mengimami shalat bagi para sahabatnya, kemudian beliau melepaskan kedua
sandalnya, dan meletakkan kedua sandal beliau disamping kirinya. Dan sewaktu para sahabat
melihat hal itu, merekapun melepaskan sandal mereka. Setelah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam menyelesaikan shalatnya, beliau bersabda : “ Apakah yang menyebabkan kalian melepaskan
sandal kalian ? “. Para sahabat mengatakan : “ Kami melihat anda melepaskan sandal anda, maka
kamipun melepaskannya sandal kami. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam lantas menjawab : “
Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan memberitahukan kepadaku bahwa pada kedua sandalku
terdapat kotoran atau dia berkata : najis “.
Dan beliau bersabda : “ Apabila salah seorang diantara kalian mendatangi masjid hendaknya dia
melihat kedua sandalnya, apabila pada sandalnya terdapat kotoran atau najis hendaknya dia
membasuhnya dan kemudian shalat dengan memakai kedua sandalnya “. Pada riwyat Ahmad : “
Apabila seseorang diantara kalian datang ke masjid, hendaknya dia membalikkan sandalnya dan
memperhatikan sandalnya. Apabila dia melihat ada najis maka hendaknya dia
membasuh/menggosokkannya ketanah, kemudian shalat dengan mengenakan kedua sandalnya “
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “ Shalat denganmengenakan sandal adalah suatu
sunnah yang Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah perintahkan, dan beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam memerintahkan apabila pada kedua sandal tersebut terdapat najis untuk
mengosokkannya ketanah, karena tanaha akan mensucikannya. Dan inilah pendapat yang shahih
diantara pendapat dikalangan ulama. Dan shalatnya beliau Shallallahu „alaihi wa sallam dan para
sahabat beliau dengan memakai sandal didalam masjid, bersamaan dengan itu mereka sujud
ditempat yang dilewati oleh sandal mereka, kesemuanya itu menunjukkan bahwa bagian bawah
sandal adalah sautu yang suci. Sementara merekapun memakai sandal ketika pergi untuk buang
hajat besar, apabila mereka melihat ada bekas najis maka merekapun menggosokkannya ketanah
dengan demikian sandal mereka menjadi bersih “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 105


Catatan penting : Pada zaman belakangan ini , masjid-masjid dialasi dengan karpet yang
dinamakan : Sajadah. Dan telah menjadi kebiasaan mereka agar tidak masuk kedalam masjid
dengan mengenakan sandal dan sepatu mereka dan tidak mengotori dengan sandal tersebut karpet
mereka. Apabila keadaannya seperti itu, maka bagi orang-orang yang punya ghirah. semangat
untuk mengamalkan Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam agar tidak terlupakan, dan yang
bersemangat untuk merealisasikan Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , agar mereka tidak
masuk kedalam masjid dengan mengenakan sandal dan sepatu mereka, supaya tidak timbul
mafsadat ketika hendak mencapai suatu mashlahat. Dikarenakan sebagian besar kaum awam tidak
mengetahui perihal Sunnah ini, dan disebabkan karena Kebodohan mereka, seseorang yang masuk
kedalam masjid dengan mengenakan sandalnya, tidaklah aman dari pengingkaran kaum awam
tersebut. Lalu suara mereka akan melengkung dan juga teriakan mereka didalam masjid. Dan juga
sandal atau sepatu ini akan menyebabkan kotornya karpet tersebut dimana mereka begitu sangat
memperhatikannya.
Dan bagi yang berkeinginan untuk merealisasikan sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam shalat
mengenakan dua sandalnya, agar dia shalat memakai sandalnya dirumah dia atau ketika keluar
bertamasya atau disaat bepergian atau dimasjid yang jama‟ahnya shalat dengan mengenakan
sandal dan sepatu mereka.

22. Adab-Adab Wanita Menghadiri Masjid


Seorang wanita tidaklah dihalangi menghadiri masjid, dan tidak sepatutnya untuk dilarang. Selama
wanita tersebut tidak melakukan suatu yang terlarang dalam tinjauan syara‟. Dan hal tersebut
dengan sangat jelas disebutkan pada hadits Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, dari Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam , beliau bersabda :
“ Apabila istri salah seorang diantara kalian meminta izin untuk kemasjid maka janganlah dia
melarangnya “

Al-Lajnah Ad-Daa`imah menyatakan : “ Diperbolehkan bagi seorang wanita muslimah untuk


mengerjakan shalat dimasjid, dan tidaklah diperkenankan suaminya apabila wanita tersebut
meminta izin untuk melarangnya dari keinginan itu, selama wanita itu dalam keadaan tertutup dan
tidak nampak bagian badannya yang haram terlihat oleh laki-laki asing … [ lalu Al-Lajnah
menyatakan setelah melampirkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah ] : Dan ini adalah
nash-nash yang menunjukkan dengan argument yang sangat jelas bahwa seorang wanita
muslimah yang telah iltizam dengan adab-adab Islam, dalam pakaiannya dan menghindarkan dari
segala perhiasan memikat yang dapat menimbulkan fitnah dan menjadikan orang-orang yang
lemah iman menjadi cenderung kepadanya, agar wanita itu tidak dilarang mengerjakan shalat
dimasjid. Dan apabila wanita tersebut berada pada keadaan yang menjadikan oran-orang yang
berkeinginan jahat terpikat dan mendatangkan fitnah pada hati yang bimbang, maka wanita
tersebut dilarang masuk kedalam masjid, bahkan dia dilarang keluar dari rumahnya dan
mendatangi tempat-tempat umum … “
Kaum wanita berlaku beberapa ketentuan khusus yang membedakannya dengan kaum
pria ketika hadir dimasjid :
a. Tidak memakai wangi-wagian dan perhiasan yang akan mengundang fitnah
Seperti mengenakan pakaian yang memikat, atau mengenakan gelang kaki. Kapan seperti in
dijumpai atau sebagiannya,maka wanita tersebut terlarang mendatangi masjid.
Adapun wangi-wangian , telah disebutkan dalam nash yang khusus. Zainab istri Abdullah bin
Mas‟ud radhiallahu „anhu berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda kepada kami :
“ Apabila salah seorang diantara kalian – para wanita – mendatangi masjid, maka janganlah
memakai wangi-wangian “

Dan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Wanita siapapun, yang memakai bakhur – sejenis wangian berbentuk asap – maka
janganlah dia mendatangi kami mengerjakan shalat isya` “
Adapun perhiasan lainnya, kapan seorang wanita mengenakan perhiasan itu untuk berhias yang
akan menimbulkan gairah syahwat, dan mengobarkan fitnah, maka wanita tersebut dilarang, untuk
menghindari fitnah dan menutup segala celah-celah keburukan.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 106


b. Wanita haidh dan nias tidak berdiam didalam masjid
Tidak diperbolehkan wanita yang tengah haidh dan nifas dan juga seorang yang sedang junub
memasukmasjid, kecuali jikalau mereka sekedar melintas saja, berdasarkan firman Allah ta‟ala :
ۚ ‫َح ُس نُسً َحِبَّل َح َحِب َحِبر َحِب ٍيل َحح َّل َّٰت تَحغتَح َحِبسلُسوْب‬
‫َح‬ ‫َح‬
“ Dan tidak juga seorang yang junub, kecuali dia hanya melintas , hingga kalian mandi “ – surah
an-Nisaa` : 43 –

Dan diantara dalil-dalil yang melarang wanita haidh masuk kedalam masjid – adapun wanita nifas
dianalogikan kepada wanita haidh – , hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu „anha,
beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadaku : Ambilkanlah tikar kecil
dari dalam masjid “. Aisyah berkata : saya bertanya : Sesungguhnya saya lagi haidh ? Beliau
bersabda : Haidhmu bukan pada tanganmu “

Perkataan Aisyah radhiallahu „anha : “ Sesungguhnya saya haidh “ menunjukkan bahwa wanita
haidh tidak masuk kedalam masjid dan tidak juga berdiam didalam masjid selain yang
dikecualikan. Dan sebab larangan tersebut kekhawatiran salah satu bagian masjid dikotori dengan
najisnya darah haidh.
Faedah : Diperbolehkan bagi wanita yang mustahadhah untuk masuk kedalam masjid dan I‟tikaf
didalam masjid. Akan tetapi mesti menjaga agar jangan sampai mengotori masjid dengan najis.
Aisyah radhiallahu „anha meriwayatkan : “ Bahwa sebagian dari ummahatul mukminin melakukan
I‟tikaf dalam keadaan mustahadhah “

c. Shalat dibelakang shaf laki-laki dan tidak bercampur baur dengan mereka.
Shaf kaum wanita didalam masjid berada dibelakang shaf kaum laki-laki, dan semakin jauh shaf
wanita dari shaf laki-laki maka akan semakin utama dan lebih baik bagi wanita tersebut. Hal itu
seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling pertama dan seburuk-buruknya shaf laki-laki adalah
yang paling terakhir, dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan seburuk-buruk shaf
wanita adalah yang paling depan “

Dikarenakan dekatnya laki-laki kepada wanita akan membangkitkan gejolak syahwat dan
menggerakkannya. Dan dengan begitu akan menghilangkan inti dari ibadah shalat yaitu khusyu‟
didalam pengerjaannya. Oleh karena itu, syara‟ menganjurkan agar laki-laki semakin menjauh dari
wanita dan juga wanita dijauhkan dari laki-laki, walau itu didalam masjid.
Dan diantara anjuran pembawa syariat yaitu Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , untuk
menjauhkan laki-laki dari kaum wanita didalam masjid, apabila beliau shalat, beliau berdiam diri
ditempat shalat beliau sejenak, agar supaya kaum wanita berpaling pergi sebelum laki-laki dan
mereka pulang kerumah-rumah mereka sebelum kaum laki-laki mendapati mereka disaat keluar
meningalkan masjid sehingga akan menimbulkan campur baur dengan kaum wanita.
Dari Ummu Salamah radhiallahu „anha , istri Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau berkata : “
Bahwa kaum wanita dizaman Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , apabila mereka telah
mengucapkan salam pada shalat wajib, mereka beranjak berdiri , dan Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam menetapkan kaum laki-laki yang ikut mengerjakan shalat hingga yang Allah kehendaki.
Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berdiri maka kaum laki-laki ikut berdiri “
Dan kaum manusia seharusnya menjadikan Rasulullah sebagai salaf panutan mereka, sepatutnya
mereka mengakhirkan keluar dari mushalla mereka sejenak, menunggu hingga kaum wanita pergi.
Dan bagi kaum wanita agar mereka tidak mengakhirkan keluar dari tempat shalat mereka setelah
berpalingnya imam, bahkan mereka keluar dengan segera dan pulang kerumah mereka. Dan itu
lebih baik bagi mereka – kaum laki-laki – dan bagi kaum wanita.
Akan tetapi apabila tempat keluarnya wanita jauh dari tempat keluarnya laki-laki dan dengan
begitu tidak akan terjadi campur baur , maka tidaklah mengapa kaum laki-laki keluar segera
setelah imam berpaling ataukah kaum wanita menunggu sejenak ditempat shalat mereka , karena
sebab larangan telah tertiadakan. Wallahu a‟lam.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 107


Catatan penting : Apabila tempat shalat wanita terpisah dengan tempat shalat laki-laki, maka
sebaik-baik shaff wanita ketika itu adalah yang paling depan, dan seburuk-buruk shaf wanita
adalah yang paling akhir. Dan hal itu disebabkan alasan yang menjadikan Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam menyatakan seburuk-buruk shaf wanita adalah yang paling depan telah tertiadakan
dengan terpisahnya shaf laki-laki dari shaf wanita, maka kebaikan pada shaf shalat kembali pada
shaf terdepan.

BAB 12
ADAB-ADAB KETIKA TIDUR

– Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:

‫َح َحِبمن ءَح يَحٰتَحِب َحِبوۦ َحمنَح ُسم ُسك َحِبٱاَّل َحِبيل َحٱانَّل َح َحِبر َحٱ تَحِبغَح ُساُسك ِّمن فَح لَحِب َۚحِبۦٓو َحِب َّلن َحِبِف َٰحذاَحِب َح َحأليَحٰت اَِّحقوم يَحس َح عُس َح‬
٢٣ ‫ون‬
“Dan termasuk dari ayat-ayat Kami (yaitu) waktu tidur kalian di malam hari dan waktu kalian
mengusahakan (mencari) karunia (rizki)-Nya di siang hari. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda kekusaan-Nya bagi kaum yang mereka mau mendengar.” (Ar Ruum: 23)
– Allah Subhanahu wa Ta`ala juga berfirman:

٩ ٗ ‫وم ُسك ُس َح ت‬
‫َح َح َحعلنَح اَح َح‬
“Dan Kami jadikan tidur kalian sebagai istirahat” (An-Naba`: 9)
– Berkata Al-Barra` bin Azib Radhiallahu „anhu: Bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
“Jika engkau mendatangi tempat tidurmu maka hendaklah berwudhu sebagaimana wudhumu
ketika hendak shalat, kemudian tidurlah di atas rusuk sebelah kanan kalian, kemudian berdoalah:
„Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu dan aku kembalikan urusan-urusanku kepada-Mu…al-
hadits.”

Di antara adab-adab ketika hendak tidur yaitu :


1. Menutup Pintu dan Mematikan Api Serta Lampu Sebelum Tidur
Diriwayatkan dari hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu „anhu, Bahwasanya Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallambersabda:
“Matikanlah lampu-lampu pada malam hari ketika engkau hendak tidur dan tutuplah pintu-
pintu,…". Dan dalam satu riwayat: “Tutuplah pintu-pintu dan matikanlah lampu-lampu, karena
sesungguhnya al-fuwaisaqah – tikus- bisa jadi akan menyenggol sumbu lampu yang masih
menyala dan membakar rumah penghuninya.”
Dan diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “Jangan biarkan api masih menyala dalam rumahmu ketika engkau beranjak tidur”
Dalam atsar sebelumnya telah disebutkan tentang perintah untuk mematikan lampu serta api yang
menyala dan menutup pintu. Kemudian apakah perintah tersebut sifatnya wajib atau sekedar
sunnah atau sekedar pengarahan saja. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam hal
ini.
Sebab perintah mematikan api dan lampu tiada lain karena khawatir api itu bisa menyebar dan
akan dapat membakar penghuninya. Sebab ini dijelaskan dalam sebuah hadits , dimana Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam telah bersabda: “Karena bisa jadi al-fuwaisaqah – yaitu tikus – akan
menyenggol sumbu lampu yang tetap menyala dan membakar rumahnya.”
Berkata Al-Qurthubi -rahimahullah- : “Di dalam hadits-hadits ini bahwa salah seorang jika tidur di
rumahnya sendirian dan terdapat api yang masih menyala maka hendaklah ia mematikannya
terlebih dahulu sebelum ia tidur, atau melakukan sesuatu yang memberi jaminan bahwa nyala api
tidak membakarnya, demikian juga apabila di rumah tersebut terdapat banyak orang, maka
sebagian diantara mereka menjadi wajib untuk mematikan lampu tersebut ketika hendak tidur,
ataukah yang palingberhak untuk mematikannya adalah yang paling akhir tidur. Maka barang siapa
yang lalai dalam perkara ini maka dia telah menyelisihi sunnah dan bisa dianggap sebagai orang
yang telah meninggalkan sunnah.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 108


Adapun tentang perintah menutup pintu-pintu sebelum tidur, maka terdapat dalam riwayat Muslim
dari hadits Jabir Radhiallahu „anhu:
“Dan tutuplah pintu-pintu, dan sebutlah nama Allah, karena sesungguhnya syaithan tidak akan bisa
membuka pintu yang telah tertutup.”
Berkata Ibnu Daqiiq Al-„Ied –rahimahullah- : Perintah menutup pintu ini terdapat maslahat baik
secara sya`ri maupun secara duniawiyah di antaranya adalah menjaga diri dan hartanya dari
orang-orang yang berkelakuan buruk dan dari pelaku kejahatan. Terlebih lagi dari gangguan
syaithan. Adapun sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Karena sesungguhnya syaithan tidak
akan bisa membuka pintu yang telah tertutup.” Menyiratkan bahwa perintah untuk menutup pintu
terdapat maslahat yaitu menjauhkan syaithan agar tidak bercampur baur dengan kaum manusia.
Dan secara khusus adalah sebagai bentuk kehati-hatian karena takut terhadap apa-apa yang tidak
tampak baginya, kecuali dari tuntuanan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam …
Masalah: Jika api telah diamankan dan telah dilakukan segala sebab untuk menghindari agar tidak
terjadi kebakaran. Maka apakah boleh dikatakan untuk meninggalkan api serta lampu-lampu tanpa
mematikannya?
Jawab: Jika telah aman dari hal seperti itu…, maka tidak mengapa untuk tidak mematikannya.
Karena sebab perintah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam untuk mematikan api serta lampu dalam
hadits diatas karena al-fuwaisaqah – tikus – akan menyebabkan nyala api membakar rumah
sipemilik, namun apabila sebab tersebut telah hilang maka larangan tersebut juga telah
tertiadakan. Demikian yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah-.
2. Berwudhu` Sebelum Tidur
Al-Barra` bin Azib radhiallahu „anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
“Jika engkau hendak mendatangi tempat tidurmu maka hendaklah engkau berwudhu sebagaimana
wudhumu untuk shalat…al-hadits.”
Wudhu yang diperintahkan disini tidak menunjukkan suatu kewajiban akan tetapi hanyalah
menunjukkan suatu amalan yang sunnah saja bagi siapa saja yang hendak tidur. Salah satu
riwayat Ahmad menguatkan akan hal itu. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Jika
engkau mendatangi tempat tidurmu dalam keadaan yang suci….”
Maka jika telah berwudhu dan maka telah cukup baginya karena maksud wudhu tersebut adalah
agar selama tidurnya dalam keadaan suci dikarenakan khawatir apabila ia meninggal dunia
dimalam itu dan agar dijadikan pada mimpinya kebaikan dan agar dijauhkan dari godaan dan
gangguan syaithan didalam tidurnya. Demikian perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah-.
3. Membersihkan Tempat Tidur Sebelum Merebahkan Badan di Atasnya
Termasuk dari petunjuk Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ketika hendak tidur adalah beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam membersihkan tempat tidurnya dengan sarungnya tiga kali sebelum
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam merebahkan diri diatas pembaringannya.Abu Hurairah
radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Jika salah
seorang dari kalian hendak ke tempat tidurnya, maka hendaklah ia membersihkan tempat tidurnya
dengan bagian dalam sarungnya, karena ia tidaklah tahu apa yang terjadi setelah ia tertidur… al-
hadits.”
Dalam satu riwayat:
”Jika salah seorang dari kalian mendatangi tempat tidurnya, maka hendaklah ia mengibaskan
tempat tidurnya dengan ujung kain bajunya sebanyak tiga kali… al-hadits.”

Dalam riwayat Muslim


“Maka hendaklah ia mengambil sarungnya dan membersihkan tempat tidur dengan sarungnya
tersebut dan hendaklah ia menyebut nama Allah, karena sesungguhnya ia tidak tahu apa yang
akan terjadi setelahnya.”

Dalam riwayat At-Tirmidzi:


“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tempat tidurnya kemudian kembali hendak tidur maka
hendaklah ia membersihkan … al-hadits.”

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 109


Dari beberapa hadits tersebut terdapat faedah, di antaranya:
– Disunnahkannya membersihkan tempat tidurnya sebelum tidur.
– Disunnahkannya membersihkannya sebanyak tiga kali sapuan.
– Menyebut nama Allah ketika akan beranjak tidur.
– Bahwa siapa saja yang bangun dari tidurnya kemudian hendak tidur lagi,maka disunnahkan
baginya untuk membersihkan tempat tidurnya kembali dengan sekali kibasan.
Sebab hal itu, sebagaimana penjelasan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Karena ia tidaklah tahu apa yang terjadi di tempat tidurnya setelah ia tidur.”
Di antara hikmah membersihkan dengan mengkhususkan bagian dalam sarungnya bukanlah sebab
yang terjangkau oleh pengetahuan kita. Para Ulama berselisih pendapat pada sekian banyak
pendapat. Mengamalkan sunnah ini tidaklah dibatasi dengan mengetahui hikmah dari amalan
tersebut, melainkan kapan suatu hadits telah shahih mestilah untuk diamalkan, walau hikmahnya
tidak diketahui. Dan kembalian dari itu semua adalah kepada ketundukan dan penyerahan diri. Ini
adalah dasar yang sangat agung yang anda mesti pegang teguh.
4. Tidur Menghadap ke Sebelah Kanan dan Meletakkan Pipi di Atas Tangan Kanannya
Terdapat hadits dari Al-Barra` bin Azib -radhiallahu „anhu- beliau berkata: Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda:
“Jika engkau hendak mendatangi tempat tidurmu maka hendaklah engkau berwudhu sebagaimana
wudhumu untuk shalat kemudian berbaringlah di atas rusuk sebelah kanan…al-hadits.”
Demikian juga dalam hadits Hudzaifah -radhiallahu „anhu-, beliau berkata:
“Apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi tempat tidurnya di malam hari beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam meletakkan tangannya di bawah pipinya… al-hadits.”

Dalam riwayat Ahmad rahimahullah:


“Jika seorang datang ke tempat tidurnya, letakkanlah tangannya yang kanan di bawah pipinya….”

Tidur dengan berbaring menghadap sebelah kanan mengandung beberapa faedah, di antaranya:
– Dengan posisi seperti itu akan membuatnya mudah bangun.
– Agar jantung menggantung di sebelah kanan, dengan demikian tidak akan menyulitkan (sirkulasi
darah) untuk tidur.
– Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi -rahimahullah-: “Posisi tidur yang demikian ini ,
menurut analisa para ahli kedokteran lebih baik bagi badan.” Para ahli kedokteran mengatakan:
“Memulai tidur dengan menghadap sisi kanan kemudian setelah itu boleh untuk berbalik ke sisi
kiri.”

5. Membaca Satu Surat (Ayat Tertentu) dari Surat-Surat Dalam Al-Qur`an


Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, bahwasanya beliau tidak tidur sampai beliau
membaca sebuah ayat dari Al-Qur`an. Bacaan Al-Qur`an sebelum tidur perumpamaan penjagaan
bagi seorang Muslim godaan syaithan dalam tidurnya, dan syaithan tidak akan menemani dalam
mimpinya.

Ada banyak atsar yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang berkaitan dengan
bab pembahasan ini dan juga sangat beragama lafazhnya. Di sini akan kami sebutkan beberapa
yang dapat kami kumpulkan.

Membaca ayat kursi.


Dalam hal ini terdapat kisah dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu ketika ia bersama dengan orang
yang mencuri dari perbendaharaan zakat. Ketika Abu Hurairah radhiallahh „anhu berkeninginan
untuk melaporkannya kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, orang tersebut berkata: “
Lepskanlah aku, maukah aku ajarkan satu kalimat yang niscaya Allah akan memberikan manfaat
bagimu dengannya?” Aku berkata: “Kalimat apakah itu?” Ia berkata: ”Jika engkau mendatangi
tempat tidurmu untuk tidur, maka bacalah ayat kursi,yakni : “Allahu Laa Ilaha illa Huwal Hayyul
Qaayum “-sampai selesai ayat tersebut, maka sungguh Allah senantiasa akan menjagamu dan
syaithan tidak akan bisa mendekatimu sampai datangnya waktu subuh.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 110


[Berkata Abu Hurairah -radhiallahu „anhu-] maka ia pun aku lepaskan. Dan keesokan paginya,
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda kepadaku: “Apa yang terjadi dengan tahanan
engkau semalam?” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, dia meyakinkanku bahwa dia telah
mengajariku beberapa kalimat yang Allah akan memberi manfaat bagiku dengannya, maka akupun
melepaskannya.” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Kalimat apakah itu?” Aku
berkata: “ Ia berkata kepadaku, jika engkau mendatangi tempat tidurmu, maka bacalah ayat kursi
dari awal sampai akhir ayat, yakni :
“ Allahu Laa Ilaha illa Huwal Hayyul Qaayum ”, dan ia berkata kepadaku bahwa Allah senantiasa
akan menjagaku dan syaithan tidak akan bisa untuk mendekatimu sampai datang waktu shubuh . –
dan mereka – yatu para sahabat adalah kaum yang paling bersemangat dalam hal-hal kebaikan-.
Maka bersabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam: “Adapun ia, sesungguhnya perkataannya adalah
benar namun ia adalah pendusta. Tahukah engkau, siapa yang telah engkau ajak berbincang
selama tiga malam itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Tidak”. Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Ia adalah syaithan.”
Membaca surat Al-Ikhlas, dan Al-Mu`awidzatain (Al-Falaq dan An-Naas) kemudian
meniup dengan tangannya.
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam senantiasa membaca surat Al-Ikhlas dan Al-Mu`awidzatain
dan meniupnya di tangannya kemudian mengusapkannya ke seluruh badan yang mampu dijangkau
dengan tangan beliau.

Berkata Ummul Mu`minin Aisyah -radhiyallahu „anha-:


“Apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam hendak beristirahat di tempat tidurnya pada setiap
malamnya beliau menyatukan dua telapak tangannya kemudian meniup kedua telapak tangannya
yang dilanjutkan dengan membaca padanya „Qul Huwallahu Ahad‟ dan „Qul A`udzu birabbil falaq‟
serta „Qul A`udzu birabbinnas‟, kemudian mengusapkan tangannya ke seluruh tubuh beliau yang
sanggup beliau jangkau, dimulai dari bagian kepala kemudian wajah kemudian bagian tubuh yang
paling dekat dijangkau. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam melakukannya tiga kali.”
Dari hadits di atas dapat diambil faedah bahwasannya Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam selalu
melakukannya pada setiap hendak tidur, sebagaimana diperintahkan Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam dalam hadits Aisyah -radhiyallahu „anha-: “Pada setiap malam.”
Adapun tata caranya adalah dengan meniup kedua telapak tangannya, kemudian mengusapkan
dengannya ke seluruh badan yang mampu dijangkau, dimulai dari kepala dan wajah kemudian
yang terdekat dari badan.

Faedah lainnya dari hadits ini juga bahwa meniupnya adalah dengan tiga kali tiupan. Kemudian
faedah meniup tersebut dimaksudkan untuk mencari barakah dengan hawa basah, dan hawa yang
bersinggungan langsung dengan telapak tangan, sebagai bentuk ruqyah dan bagian dari dzikir-
dzikir yang baik. Demikian yang diterangkan oleh Al-Qadhi Rahimahullah.
Faedah: Meniup tangan disertai bacaan Al-Ikhlas dan Al-Mu`awidzatain, tidaklah dikhususkan
ketika hendak tidur saja bahkan hal itu disunnahkan bagi orang yang merasakan sakit, agar ia
meniup kedua telapak tangannya tiga kali kemudian mengusapkan ke tubuhnya. Al-Bukhari
meriwayatkan dari hadits Aisyah -radhiyallahu anha-:
“Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam ketika merasakan sakit beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam meniup tangannya kemudian membaca Al-Mu`awidzat kemudian mengusapkan dengannya
ke tubuhnya. Maka tatkala beliau dalam keadaan sakit yang sangat. Beliau mulai dengan
menyatukan kedua telapak tangan beliau kemudian membaca Al-Mu`awidzat[21] yang kemudian
meniupnya dan mengusapkannya ke seluruh tubuh beliau Shallallahu „alaihi wa sallam.”
Membaca surat (Al-Kafirun) sebagai bentuk berlepas diri terhadap kesyirikan.
Dari Farwah bin Naufal dari bapaknya -radhiallahu „anhu-: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
berkata kepada Naufal:
“Bacalah „Qul Yaa Ayyuhal kaafiruun‟ kemudian tidurlah setelah selesai membacanya karena itu
merupakan bentuk berlepas diri dari kesyirikan.”

Membaca surat (Tabarak/ Al-Mulk) dan (Alif Lam Mim Tanzil As-Sajdah).
Berdasarkan hadits Jabir -Radhiallahu „anhu-:

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 111


“Rasulullah belum akan tidur sampai beliau membaca „Alif Lam Mim Tanzil As-Sajdah‟ dan
„Tabarakalladzi biyadihil mulk‟.”

Faedah: Tentang surat Tabarak terdapat atsar bahwa beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
menyenangi untuk selalu membacanya. Abu Hurairah -radhiallahu „anhu- meriwayatkan dari Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam:
“Satu surat dari Al-Qur`an yang tiga puluh ayatnya dapat memberi syafaat bagi yang membacanya
sehingga akan diampuni baginya dosa-dosanya yaitu „Tabarakalladzi biyadihil mulk‟.”
Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah.
Berdasar hadits Abu Mas`ud Al-Badri -Radhiallahu „anhu-: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
“Dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah, siapa saja yang membacanya pada malam hari telah
cukuplah dua ayat tersebut baginya.”

Sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam: “ telah cukuplah dua ayat tersebut baginya “An-Nawawi
-Rahimahullah- mengatakan: “Dikatakan bahwa makna “telah cukuplah dua ayat tersebut baginya”
sebagai pengganti shalat al-lail. Ada yang berpendapat telah cukup sebagai penjaga dari syaithan.
Ada yang berpendapat sebagai penjaga dari suatu yang membahayakan, dan semua makna
tersebut saling menguatkan.”

6. Membaca doa-doa dan berdzikir


Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ketika hendak tidur adalah beliau berdoa
lebih dahulu di malam sebelum tidur. Abu Hurairah -radhiallahu „anhu- berkata: Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang hendak tidur di tempat tidurnya tanpa berdzikir kepada Allah -Subhanahu wa
Ta`ala- maka Allah -Subhanahu wa Ta`ala- akan menjauh darinya di hari kiamat. Dan barang
siapa yang duduk pada suatu tempat duduk, dan tidak berdzikir kepada Allah „aza wajalla , kecuali
Allah akan menjauh darinya pada hari kiamat”

Doa-doa yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pada waktu hendak tidurnya,
tercakup di sana makna-makna yang agung dan mulia, di sana pula tercakup tentang tauhid dan
jenis-jenisnya, tercakup pula bentuk kelemahan kefakiran kita di hadapan Allah -Subhanahu wa
Ta`ala-, terdapat juga permohonan ampun, taubat, inabah dan membentengi diri dari adzab di hari
akhirat. Terkandung juga permohonan untuk meminta perlindungan kepada Allah -Subhanahu wa
Ta`ala- dari godaan hawa nafsu dan syaithan. Terkandung juga pujian kepada Allah -Subhanahu
wa Ta`ala- atas nikmat-nikmat-Nya, dan kandungan-kandungan lain maknanya sangatlah luas dan
tiada batasnya dimana tempat ini tidak memungkinkan untuk disebutkan semuanya.
Nantinya akan kami sebutkan sebagian doa-doa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ketika hendak
tidur agar kita semua dapat mengambil faedah darinya dengan mengharapkan tambahan amal
kebaikan. Sesungguhnya orang yangmendapatkan taufik Allah adalah yang berlomba mengerjakan
amal-amal kebaikan.

Beberapa doa yang Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam baca sebelum tidur dari berbagai
riwayat diantaranya :

Pertama

‫اللهم قني عذاب يوـ تبعث عبادؾ‬


Allahumma qinni adzaabaka yauma tab`atsu „ibaadaka
“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu, dari adzabMu di hari Engkau bangkitkan hamba-hamba-Mu.”
Dari Hadits Hafshah -radhiyallahu „anha- (istri Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam) Bahwa Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Rasulullah setiap hendak tidur meletakkan tangan
kanannya di bawah pipinya, kemudian membaca doa: (Ya Allah, aku berlindung kepadaMu, dari
adzabMu di hari Engkau bangkitkan hamba-hamba-Mu. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
membacanya tiga kali.”

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 112


Kedua

‫باسم اللهم أموت وأ لا‬


Bismika Allahumma amuutu wa ahyaa…‟
“Dengan nama-Mu Ya Allah aku mati dan aku hidup kembali.”
Dari hadits Hudzaifah bin Al-Yaman -radhiallahu „anhu- berkata: “Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
setiap hendak menuju tempat tidurnya berdoa: (Dengan nama-Mu Ya Allah aku mati dan aku hidup
kembali).

Ketiga

‫ اللهم‬،‫ إف أ للتها فا فظها وإف أمتها فاغفر لها‬،‫ ل مما تها وم لاها‬،‫اللهم خلقت نفسي وأنت توفاها‬
‫إني أسأل العافلة‬
Állahumma khalaqta nafsi wa anta tawaffaha, laka mamatuha wa mahyaha, in ahyataha fahfadh-
ha, wa in amataha faghfir laha, Allahumma inni as`alukal `afiyah
Dari hadits Abdullah bin Umar -Radhiallahu „anhuma-, bahwa Ibnu Umar -Radhiallahu „anhuma-
menyuruh seorang laki-laki yang hendak mendatangi tempat tidurnya untuk berdoa: ” (Ya Allah,
sesungguhnya Engkaulah yang telah menciptakan diriku dan Engkaulah yang akan mematikan aku.
Engkau memiliki hak menghidupkan dan mematikan. Jika Engkau menghidupkan diriku, maka
peliharalah ia, dan jika Engkau mematikannya, ampunilah ia. Ya Allah aku memohon keselamatan
kepadaMu). Maka berkata kepadanya seorang laki-laki: “Apakah engkau mendengarnya dari
Umar?” Ia berkata: “Dari orang yang lebih baik dari Umar -radhiallahu „anhu- dari Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam.”
Keempat

‫ وإف أرسلتها فا فظها بما ت فظ به‬،‫ إف أمسكت نفسي فار مها‬،‫ وب أرفعه‬،‫باسم ربي وضعت جنبي‬
‫عبادؾ الصال لن‬
Bismika Rabbi wadha`tu janbi, wa bika arfa`ahu, in amsakta nafsi farhamha, wa in arsaltaha,
fahfadh-ha bima tahfadhu bihi `ibaadakash shalihiin
Dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu „anhu- berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian hendak beristirahat di tempat tidurnya, maka hendaklah ia
menyebutkan (menyapu) tempat tidurnya dengan kain sarung, karena sungguh ia tidak tahu lagi
apa yang terjadi di tempat tidur tersebut setelahnya. Kemudian hendaklah ia tidur menghadap
kearah kanan, kemudian hendaklah ia membaca doa: (Dengan menyebut nama-Mu, Ya Rabbi,
kuletakkan tubuh ini, dengan pertolonganMu aku mengangkatnya. Kalau Engkau mematikan aku,
maka berikan rahmatMu kepadanya, jika Engkau membiarkannya hidup, maka peliharalah,
sebagaimana Engkau memelihara hamba-hamba-Mu yang shalih).
Kelima

‫ ومترؿ‬،‫والنوى‬ ٍ ‫ ربنا ورب كل‬،‫ ورب العرش العظلم‬،‫ ورب األرض‬،‫اللهم رب السموات‬
‫ فالق ال‬،‫شيء‬
‫ اللهم أنت األوؿ فللس قبل‬،‫ أعوذ ب من شر كل دابة أنت آخذ بناصلتها‬،‫التوارة واإلنجلل والفرقاف‬
،‫ وأنت الباطن فللس دون شيء‬،‫ وأنت الظاهر فللس فوق قيء‬،‫ وأنت اآلخر فللس بعدؾ شيء‬،‫شيء‬
‫اقض عنا الدين وأغننا من الفقر‬
Allahumma, Rabbas-samawati, wa rabbal-ardli, wa rabbal `arsyil `adhiim, rabbana wa rabba kulli
syai`in, faaliqul-habbi wan-nawa, wa manzilat-taurata wal-injila wal –furqan, a`udzubika minn
syarri kulli syai`in, anta aakhidun binashiyatiha, Allahumma anta al-awwalu fa laisa qablaka

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 113


sya`iun, wa antal-akhiru falaisa ba`daka sya`iun, wa antadh-dhahiru falaisa fauqaka sya`iun, wa
antal bathinu falaisa duunika sya`iun iqdli `annad-daina wa aghnina minal faqr‟
Dari Hadits Abu Hurairah -Radhiallahu „anhu- berkata:
“Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan kami jika kami menuju tempat tidur kami
untuk berdoa: . (Ya Allah, Rabb langit dan Rabb bumi dan Rabb Arsy yang agung, Wahai Rabb
kami, Rabb segala sesuatu, yang menciptakan biji-bijian dan benih tanaman,. Yang menurunkan
Taurat dan Injil serta Al-Furqan (Al-Qur`an), aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala
sesuatu yang mana Engkau-lah yang memegang ubun-ubunnya. Engkau adalah Al-Awwal, yang
tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu, dan Engkau adalah Al-Akhir, yang tidak ada sesuatu pun
setelah-Mu. Engkau adalah Adh-Dhahir, yang tidak ada sesuatu pun di atas-Mu. Dan Engkau adalah
Al-Bathin, yang tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu. Berilah kami kemampuan untuk melunasi
hutang dan bebaskanlah kami dari kefakiran„).”
Keenam

،‫ أشهد أف ال إله إال أنت‬،‫ رب كل شيء ومللكه‬،‫ عالم الغل والشهادة‬،‫اللهم فاطر السموات واألرض‬
‫ وشر الشلطاف وشركه‬،‫أعوذ ب من شر نفسي‬
Allahumma faatiras samaawati wal ardli, aalimal ghaibi wasy syahaadati, Rabba kulli syaiin wa
maliikahu, Asyhadu alla ilaha illa Anta, audzubika min syarri nafsii wasy syarrisy syaithaani wa
syirkihi
Dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu „anhu- bahwa Abu Bakr Ash-Shiddiq -radhiallahu „anhu-
berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepada kami satu kalimat untuk kami ucapkan pada pagi
dan sore hari.” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Ucapkanlah: (Ya Allah, Pencipta langit dan bumi Engkau Maha Mengetahui yang ghaib dan semua
yang tak terlihat, aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain
Engkau, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan diriku sendiri dan dari kejelekan syaithan dan
campur tangannya).
Kemudian sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam juga:
“Ucapkan itu pada pagi hari, pada sore hari dan pada waktu engkau hendak tidur.”
Ketujuh

‫ فكم ممن ال كافي له وال مؤوي‬،‫ وكفانا وآوانا‬،‫ال مد هلل الذي أطعمنا وسقانا‬
Alhamdulillahilladzi ath`amanaa wa saqanaa, wa kafaanaa, wa aawanaa, fa kam mimman laa
kaafiya lahu walaa mu`wiya
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan, memberi kami minum, memberi kami
kecukupan dan memberikan kepada kami tempat tinggal….”
Anas bin Malik -radhiallahu „anhu- meriwayatkan, beliau berkata: “ Bahwa apabila Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi tempat tidurnya, maka ucapkanlah: (Segala puji bagi
Allah yang telah memberi kami makan, memberi kami minum, memberi kami kecukupan dan
memberi kepada kami tempat tinggal. Karena banyak orang yang tidak memiliki kecukupan dan
tempat tinggal).
Kedelapan : Tasbih dan Tahmid dibaca tiga puluh tiga kali (33 X) dan takbir dibaca tiga
puluh empat kali (34 X).

Ali -Radhiallahu „anhu- meriwayatkan bahwa ketika itu Fathimah -radhiyallahu „anha- sedang
melingkarkan tangannya, tiba-tiba datanglah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menanyakan
tentang pembantunya, karena beliau tidak menemukannya. Maka aku sebutkan demikian kepada
Aisyah -radhiyallahu „anha-. Ketika datang beritanya, dia berkata: Lalu beliau mendatangi kami
sedangkan kami telah mendatangi tempat tidur kami. Lalu sayapun bangung, kemudian beliau
berkata: Tetaplah ditempatmu. Lalu beliau duduk diantara kami, hingga saya merasakan dinginnya
kedua kaki beliau didadaku.”

Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 114


“Ketahuilah, aku akan menunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian berdua
daripada seorang pembantu, yaitu jika kalian berdua mendatangi tempat tidur kalian atau kalian
hendak tidur padanya, maka bertakbirlah tiga puluh tiga kali, bertasbih tiga puluh tiga kali, dan
bertahmid tiga puluh tiga kali. Maka ini yang demikian adalah lebih baik bagi kalian daripada
seorang pembantu.”

Kesembilan

‫ واجعلني في الندي األعلى‬،‫ وف رهاني‬،‫ وأخسىء شلطاني‬،‫ اللهم اغفر لي ذنبي‬،‫بسم اهلل وضعت جنبي‬
Dari Abu Zubair Al-Anmaari -radhiallahu „anhu-, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “Jika seseorang hendak ke tempat tidurnya pada malam hari, ucapkanlah: „Bismillahi
wadha`tu jambii, Allahummagh firlii dzambii, wa akhsaa syaithanii wa fakka rahaanii, waj`alnii fin
nadyil a`la‟. (Dengan menyebut nama Allah, aku meletakkan tubuh ini, Ya Allah, berilah ampunan
bagiku atas dosa-dosaku, usirlah syaithan dari diriku, bebaskan apa yang masih tergadai dariku,
jadikanlah aku dalam tempat yang paling Tinggi).”

Kesepuluh

‫روف‬ ‫ ومن همزات الشلاطلن وأف ي‬، ‫أعوذ بكلمات اهلل التامة من غ به وشر عباد‬
Dari Amr bin Syu`aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya: “Rasullullah Shallallahu „alaihi wa
sallam mengajarkan mereka (para sahabat) doa-doa ketika terbangun dari tidur di malam hari:
„A`udzu bikalimaatillahit tammati min ghadhabihi wa `iqaabihi, wa syarri `ibaadihi, wa min
hamazaatisy syaithaan wa an yahdluruun‟. (Aku berlindung dengan firman-firman Allah yang
sempurna, dari kemarahan dan siksa-Nya, dari makhluk ciptaan-Nya dan dari godaan syaithan
ketika datang mengganggu).”

Dalam riwayat Al-Imam Ahmad dengan lafazh:

‫بسم اهلل أعوذ بكلمات اهلل التامات‬


“Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mengajari kami doa-doa yang kami ucapkan ketika tidur
dan ketika terbangun di malam hari: „Bismillahi a`udzu bikalimaatillahit tammati….” al-hadits.
Kesebelas

‫ ال ملجأ وال‬، ‫ رغبةً ورهبةً إلل‬، ‫ وألجأت ظهري إلل‬، ‫ وفوضت أمري إلل‬، ‫اللهم أسلمت وجهي إلل‬
‫ فإف مت من لللت فأنت‬.‫ وبنبل الذي أرسلت‬،‫ اللهم آمنت بكتاب الذي أنزلت‬، ‫منجا من إال إلل‬
‫ واجعلهن آخر ما تتكلم به‬،‫على الفطرة‬
Dari Al-Barra` bin „Azib -radhiallahu „anhu- berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
“Apabila engkau hendak tidur maka berwudlulah seperti wudlumu untuk shalat, kemudian
berbaringlah di atas sisi kananmu lalu ucapkanlah: „Allahumma aslamtu wajhii ilaika wa fawwadl-
tuamrii ilaika, wa alja`tu dhahrii ilaika, raghbatan wa rahbatan ilaika, laa malja`a wa laa manjaa`a
minka illa ilaika, Allahumma aamanta bikitaabikal ladzii arsalta, fa in mutta minlailatika fa anta
`alal fithrah, waj`alahunna aakhir maa tatakallamu bihi‟. (Ya Allah, aku berserah diri kepada-Mu,
aku hadapkan wajahku kepada-Mu, aku letakkan urusan-urusanku kepada-Mu, kusandarkan
punggungku kepada-Mu, seraya berharap rahmat-Mu dan takut akan siksa-Mu, tidak ada tempat
berlindung dan tidak ada tempat menyelamatkan diri dari siksa-Mu melainkan kepada-Mu, Ya Allah,
aku beriman kepada Kitab-Mu yang Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang engkau utus, jika
aku Engkau cabut nyawaku malam ini maka matikanlah aku dalam keadaan fithrah (Islam) dan
jadikanlah kalimat tauhid –syahadatain- sebagai akhir ucapanku…).”
Faedah : Dari Syadad bin Aus -Radhiallahu „anhu- dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam: “Sayyidul
Istighfar (tuannya dari doa-doa) adalah engkau mengucapkan :

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 115


‫ أعوذ ب من شر‬،‫ وأنا على عهدؾ ووعدؾ ما استطعت‬،‫اللهم أنت ربي ال إله إال أنت خلقتني وأنا عبدؾ‬
‫ وأبوء بذنبي فاغفر لي فإنه ال يغفر الذنوب إال أنت‬،‫ أبوء ل بنعمت علي‬،‫ما صنعت‬
‟Allahumma anta Rabbii, laa ilaha illa anta khalaqtani wa ana abduka wa ana `ala `ahdika wa
wa`dika mas tatha`ta, a`udzubika min syarri ma shana`ta, abuu`un laka bini`matika `alayya, wa
abuu`un bi dzambii faghfirlii fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta‟.
(Ya Allah, Engkaulah Rabbku yang tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau,
engkaulah yang telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu, aku selalu berada dalam janji-
Mu dan ketetapan-Mu sebatas yang aku mampu. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa
yang ku perbuat, aku mempersaksikan dan mengetahui atas nikmat-nikmat-Mu yang Engkau
berikan kepadaku, akupun mempersaksikan dan mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku.
Sesungguhnya tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa selain Engkau).
Siapa saja yang mengucapkannya di siang hari kemudian ia meninggal sebelum sore hari maka dia
termasuk penghuni surga. Dan barangsiapa yang mengucapkannya di malam hari kemudian
meninggal sebelum shubuh tiba maka dia termasuk penghuni surga.”

Merupakan anugerah dari Allah -Subhanahu wa Ta`ala- kepada para hamba-Nya yang beriman,
yaitu adanya amalan yang ringan tapi sangat besar pahalanya. Oleh sebab ini maka sepantasnya
bagi seorang Muslim untuk tidak melalaikan berdoa dengan doa ini pada siang maupun malam
harinya. Dan hendaklah ia menekuninya bersama dengan menghadirkan syarat-syaratnya.
Sehingga akan bisa berhasil meraih surga-Nya yang luasnya seluas langit dan bumi. Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu agar aku menjadi penghuni surga-Mu, yang mereka para penghuni surga
adalah orang-orang yang Engkau ridhai dan mereka pun ridha kepada Engkau. Amin.
7. Ketika bermimpi, apa yang sebaiknya diucapkannya dan apa yang sebaiknya
dilakukannya jika yang dilihatnya dalam mimpi menyenangkan atau menakutkan.
Apa-apa yang dilihat oleh orang yang tidur itu bisa jadi itu adalah mimpi biasa, dan bisa jadi itu
merupakan ru‟ya / ilham, adapun ar-ru‟ya ini datangnya dari Allah, sedangkan mimpi bisa jadi
datangnya dari syaithan.

Dari Abu Qatadah, beliau berkata: Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Mimpi yang baik- ar-ru‟ya ash-shalihah itu asalnya dari Allah sedangkan mimpi biasa itu
datangnya dari syaithan. Maka salah seorang dari kalian bermimpi yang menakutkan maka
hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya, dan mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejelekan-
kejelekannya, sehingga tidak akan dapat memudharatkanmu.”
Dalam Shahih Al-Bukhari dari jalan yang lain:
“Barangsiapa yang bermimpi sesuatu yang ia membencinya, maka hendaklah ia meludah ke
sebelah kirinya tiga kali, dan hendaklah ia berlindung dari godaan syaithan.”

Dalam riwayat Muslim:


“Mimpi yang baik itu asalnya dari Allah, sedangkan mimpi yang buruk itu datangnya dari syaithan,
maka barangsiapa yang bermimpi tentang sesuatu sedangkan ia tidak menyukainya. Maka
hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya dan berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang
memudlaratkan dan janganlah ia menceritakan kepada siapapun. Karena sesungguhnya mimpi itu,
jika mimpi yang baik, maka itu adalah merupakan kabar gembira, dan jangan menceritakan
tentang mimpi tersebut kecuali pada orang yang ia cintai.”
Dalam riwayat Muslim juga dari Jabir -radhiallahu „anhu-:
“Maka hendaklah ia meludah meludah ke sebelah kirinya tiga kali, dan hendaklah ia memohon
perlindungan kepada Allah dari godaan syaithan tiga kali, serta hendaklah ia berpindah posisi
tidurnya dari posisi sebelumnya.”

Dalam riwayat Muslim juga dari Abu Hurairah -radhiallahu „anhu-:


“Maka jika seseorang bermimpi yang ia tidak menyukainya maka hendaklah ia bangun kemudian
shalat dan janganlah ia menceritakan tentang mimpinya itu kepada siapapun.”

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 116


Hadits di atas dengan sekian banyak jalur periwayatannya mengandung beberapa faedah,
diantaranya bahwa mimpi itu bisa jadi adalah mimpi yang baik dan bisa jadi merupakan mimpi
yang jelek. Mimpi yang baik berasal dari Allah sementara mimpi yang buruk berasal dari syaithan
yang dinamakan dengan al-hilm.

Diantara faedahnya pula: Bahwa barang siapa yang bermimpi dengan mimpi yang baik maka
hendaklah mengabarkannya dan kemudian hendaklah ia mengharapkan kebaikan. Dan janganlah
mengabarkan tentang mimpinya kecuali kepada orang yang dicintainya. Karena itu merupakan
kabar gembira dari Allah. Dalam riwayat Al-Imam Ahmad disebutkan: “Barangsiapa yang bermimpi
dengan mimpi yang menakjubkannya, maka hendaklah ia menceritakannya, karena mimpi itu
merupakan kabar gembira yang datangnya dari Allah „azza wajalla.”
Diantaranya: Bahwa barangsiapa yang melihat menakutkannya, maka disukai baginya untuk
meludah ke sebelah kirinya sebanyak tiga kali, kemudian memohon perlindungan kepada Allah dari
godaan syaithan yang terkutuk atau dari kejelekannya, dan jika ia mengulanginya sebanyak tiga
kali maka itu lebih utama, kemudian hendaklah ia berpindah posisi dari posisi tidurnya semula,
kemudian jika ia bangun untuk shalat maka itu lebih utama lagi. Jika ia melakukan yang demikian
itu atau sebagiannya saja yang ia lakukan –sebagaimana datang dalam hadits-hadits di atas- maka
sungguh tidak akan memudharatkannya serta janganlah ia menceritakan tentang mimpinya
tersebut kepada siapapun.
8. Dimakruhkan Tidur dengan Tengkurap
Dari Thakhfah Al-Ghifari -radhiallahu „anhu-, salah seorang diantara ashhabush shuffah (para
sahabat yang tinggal di Masjid Nabawi) berkata: “Aku tidur di masjid pada akhir malam, kemudian
ada orang yang mendatangiku sedangkan aku tidur dengan posisi tengkurap. Kemudian ia
menggerakkanku dengan kakinya, dan berkata: “Bangunlah dari tengkurapmu, karena tidur yang
demikian adalah tidurnya orang-orang yang dimurkai Allah.” Kemudian aku angkat kepalaku, maka
ketika kulihat ia adalah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, maka akupun kemudian bangkit.”
Dalam riwayat Ibnu Majah dengan lafazh:
“Ada apa denganmu sehingga tidur dengan posisi seperti ini (tengkurap), tidur seperti ini adalah
tidurnya orang yang dibenci atau dimurkai Allah -Subhanahu wa Ta`ala-.”

Hadits ini jelas merupakan larangan untuk tidur dengan tengkurap. Dan Allah -Subhanahu wa
Ta`ala- sangat membencinya, dan setiap perbuatan yang Allah -Subhanahu wa Ta`ala-
membencinya maka hendaklah sesuatu itu ditinggalkan. Adapun sebab dibencinya tidur tengkurap
ini diterangkan dalam hadits dari Abu Dzar -radhiallahu „anhu-, ia berkata:
“Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam lewat di sisiku sementara aku sedang tidur tengkurap, maka
beliau kemudian menggerakkan badanku dengan kaki beliau Shallallahu „alaihi wa sallam dan
bersabda: „Wahai Junaidab, sesungguhnya hanyalah tidur seperti ini adalah tidurnya penghuni
neraka‟.”

Dengan hadits ini pula semakin jelas bahwa sebab dibencinya tidur tengkurap adalah karena
menyerupai tidurnya para penghuni neraka. Wallahu a`lam.

9. Makruhnya Tidur di Teras Rumah (di Atasnya) Tanpa Adanya Pembatas


Dalam hal ini diterangkan pada hadits dari Ali bin Syaiban radhiallahu „anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang tidur dengan atas rumahnya tanpa
pembatas, maka lepaslah penjagaan atasnya.”
Dalam riwayat Ahmad disebutkan: “Barang siapa yang tidur dengan tanpa sesuatu pembatas
(penutup) pun, lepaslah penjagaan atasnya….”
Berkata Fadhlullah Al-Jailani : … bahwasanya diharuskan bagi manusia agar tidak melalaikan dalam
memberi perhatian terhadap sebab-sebab yang umum untuk memberi manfaat baginya dan
menghalau segala sesuatu yang membahayakannya. Hadits ini merupakan dalil akan ulasan itu.
Jadi siapa saja yang tidur diatas teras atas rumahnya tanpa penghalang berarti dia telah melalaikan
dalam memberi perhatian terhadap sebab-sebab yang telah umum tersebut untuk menghindari
segala macam hal yang membahayakan. Orang yang tidur kadang berbalik dalam tidurnya dan
terkadang bangun dan pengaruh tidur masih dominan pada dirinya, lalu kemudian dia hendak
berjalan keselain jalan yang semestinya sehingga menyebabkan dia terjatuh.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 117


Maka sepantasnya baginya untuk menjaga diri dari sebab-sebab yang telah berlaku umum, agar
tidak tidur pada tempat yang demikian. Ketika telah tidur maka sesungguhnya dia telah
menyodorkan dirinya sendiri untuk terjungkal jatuh, hingga diapaun terjatuh. Maka barangsiapa
yang menjalankan sebab-sebab umum tadi lalu menyebut nama Allah dan kemudian berbaring
maka dia telah ada dalam penjagaan Allah -Subhanahu wa Ta`ala-, bisa jadi Allah -Subhanahu wa
Ta`ala- akan menjaganya dan bisa jadi Allah -Subhanahu wa Ta`ala- akan memberi pahala
keadanya dengan terhadap kesalahan-kesalahannya atau untuk mengangkat derajatnya. Apabila
dia tertimpa dengan suatu musibah yang menyebabkan kebinasaannya setelah ia melaksanakan
sebab-sebabnya maka dia tergolong mati syahid. Sebagaimana didapatkan ia mati tertimpa
bangunan atau tenggelam dan yang semisal dengan keduanya.
Sementara siapa saja yang melalaikan hal tersebut setelah diberi kelapangan untuk
mengupayakannya maka dia tidak berada dalam penjagaan Allah „azza wajalla. Apabila Allah -
Subhanahu wa Ta`ala- menimpakan musibah baginya dia tidak mendapat pahala, dan jika dia
celaka dan meninggal dia juga tidak menjadi mati syahid. Bahkan ditakutkan ia dimasukkan dalam
kategori bunuh diri. Wallahu A`lamu bish-shawaab.

10. Doa-doa ketika bangun dari tidur.


Disyariatkan ketika terbangun dari tidur untuk berdoa dan membaca ayat-ayat dari Al-Qur`an. Dan
kami akan persembahkan kepada anda beberapa doa, di antaranya:

Barangsiapa yang terbangun di waktu malam, maka hendaklah ia mengucapkan:


ٍ ‫ له المل وله ال مد وهو على كل‬،‫الإله إال اهلل و د ال شري له‬
،‫ وسب اف اهلل‬،‫ ال مد هلل‬،‫شيء قدير‬
‫ اللهم اغفر لي‬...… ،‫ وال وؿ وال قوة إال باهلل‬،‫ واهلل أكبر‬،‫وال إله إال اهلل‬
“„Tidak ada Illah yang berhak di sembah dengan benar selain Allah. Tidak ada sekutu baginya dan
Dialah yang memiliki kekuasaan dan pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi
Allah. Maha Suci Allah, Tidak ada Illah yang berhak disembah dengan benar selain Allah. Allah
Maha Besar. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah -Subhanahu wa
Ta`ala....... Ya Allah, ampunilah aku"

Dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit -radhiallahu „anhu- dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “Barangsiapa yang terbangun dari tidurnya di malam hari, ucapkanlah:
„Tidak ada Illah yang berhak di sembah dengan benar selain Allah. Tidak ada sekutu baginya dan
Dialah yang memiliki kekuasaan dan pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi
Allah. Maha Suci Allah, Tidak ada Illah yang berhak disembah dengan benar selain Allah. Allah
Maha Besar. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah -Subhanahu wa
Ta`ala-.” Kemudian berdoalah: „ Ya Allah, ampunilah aku.” Atau berdoa. niscaya Allah akan
kabulkan baginya, maka jika ia berwudhu kemudian shalat, maka akan diterima shalatnya saat
itu.”

Membaca sepuluh ayat terakhir dari Surat Ali Imran.


Diterangkan didalam hadits dari Ibnu Abbas -radhiallahu „anhuma- berkaitan ketika beliau
bermalam dirumah bibinya Maimunah. Ibnu Abbas -radhiallahu „anhuma- berkata: “Sampai ketika
pada pertengahan malam atau sebelumnya sedikit atau sesudahnya sedikit Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam terbangun dan duduk kemudian beliau Shallallahu „alaihi wa sallam mengusap
wajahnya dan tangannya kemudian beliau membaca sepuluh ayat terakhir dari Surat Ali Imran,
kemudian beliau Shallallahu „alaihi wa sallam berdiri dan beranjak ke tempat wudhunya dilanjutkan
dengan melaksanakan shalat… al-hadits.”
Membaca doa

‫ال مد هلل الذي أ لانا بعد ما أماتنا وإلله النشور‬


“Segala puji hanya bagi Allah yang telah menghidupkan aku setelah mematikannya dan kepadaNya
lah kami akan dibangkitkan.”

Datang dari hadits Hudzaifah bin Al-Yaman -Radhiallahu „anhu-, berkata:

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 118


“Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ketika hendak beristirahat di tempat tidurnya beliau berdoa:
„Dengan nama-Mu Ya Allah aku mati dan dengan nama-Mu pula aku hidup.‟ Dan jika beliau bangun
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam berdoa: “Segala puji hanya bagi Allah yang telah menghidupkan
aku setelah mematikannya dan kepadaNya lah kami akan dibangkitkan.”

BAB 13
ADAB-ADAB KETIKA SAFAR (BEPERGIAN JAUH)

Dari Abu Hurairah -Radhiallahu „anhu- dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Safar itu merupakan penggalan dari adzab, (karena safar) niscaya akan membuat salah seorang
dari kalian terhalang untuk makan, minum dan tidur. Maka jika seseorang telah selesai urusannya
maka hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.”
Di antara adab-adabnya :
1. Disunnahkan berpamitan lebih dulu bagi orang yang hendak pergi.
bagi musafir untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan saudara-saudaranya. Berkata Ibnu
Abdil Barr –rahimahullah-: “Jika salah seorang dari kalian keluar bersafar maka hendaklah ia
berpamitan kepada saudaranya, karena Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjadikan pada do'a
mereka barokah.”

Berkata Asy-Sya`bi –rahimahullah-: “Sunnahnya jika seseorang datang dari safar untuk
mengunjungi saudaranya dan menyalaminya, kemudian jika ia hendak bersafar adalah mendatangi
mereka dan berpamitan serta mengharapkan doa mereka.”

Berpamitan sebelum menjalankan safar, terdapat sebuah sunnah yang telah terabaikan. Sangat
sedikit orang yang mengamalkannya, yakni seorang musafir berpamitan dengan mengucapkan doa
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Qaz`ah, dia berkata: Ibnu Umar
berkata kepadaku: “Kemarilah, saya akan berpamitan kepada engkau sebagaimana Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam berpamitan kepadaku, yaitu beliau mengucapkan doa : "astauda
'illaaha dinaka wa'amaanataka wakhowatiima 'amalika"

‫أستودع اهلل دين وأمانت وخواتلم عمل‬


“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanatmu, dan akhir amalanmu.”
Sabda beliau, ( Aku titipkan kepada Allah agamamu ), maksudnya yaitu: Aku minta engkau minta
engkau menjaga dan aku minta kepada Allah agar menjaga agamamu. Adapun (dan amanahmu ),
berkata Al-Khaththabi –rahimahullah-: “Amanat di sini berarti keluarganya/istrinya dan orang-
orang yang ditinggalkannya, dan hartanya yang ditinggalkan serta meminta kepada orang yang
dipercaya olehnya serta wakilnya dan semua yang semakna dengan hal tersebut untuk menjaga
harta tersebut. Penyertaan penyebutan agama bersamaan dengan ucapan berpamitan, disebabkan
safar adalah tempat seseorang berada dalam kekhawatiran dan bahaya. Terkadang seseorang akan
tertimpa hal-hal yang mneyusahkan dan keletihan yang menyebabkan dia akan mengabaikan
beberapa perkara yang berkaitan dengan agama. Olehnya itu, didoakan baginya agar mendapatkan
pertolongan dan taufiq dalam dua keadaan tersebut ”
Dari Abu Hurairah -radhiallahu „anhu- berkata: “Seseorang hendak safar, maka ia mendatangi
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku.”
Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertaqwa
kepada Allah „azza wajalla, dan bertakbir setiap melewati jalan yang menaik.” Setelah orang
tersebut berlalu, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
‫ وه ون ع ل ي ه ال س فر‬،‫ال ل هم ازو ل ه األرض‬ ( Allahumma azwalahul ardh, wahhuuna 'alaihissafar) “Ya
Allah, hamparkalah baginya bumi dan mudahkanlah safarnya.”

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 119


2. Dimakruhkannya Melakukan Safar Sendirian
Terdapat hadits Abdullah bin „Amr -radhiallahu „anhuma-, dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam,
bersabda:
“Sekiranya manusia mengetahui apa-apa yang terjadi sewaktu bersafar sendirian sebagaimana
yang aku ketahui. Niscaya tidak seorangpun yang akan melakukan safar diwaktu malam sendirian ”
Didalam hadits ini terdapat beberapa faedah, diantaranya:
Pertama: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah mengabarkan kepada ummat beliau
segala marabahaya yang akan terjadi sebagai akibat seseorang bersafar sendirian yang telah beliau
ketahui indikasi peringatan beliau bagi seseorang yang bersafar sendirian.
Kedua: Bahwa larangan bersifat umum baik di waktu malam maupun di waktu siang.
Pengkhususkan malam yang disebutkan dalam hadits di atas karena keburukan-keburukan di
waktu malam lebih banyak dan bahayanya lebih besar.
Ketiga: Bahwa larangan tersebut juga umum mencakup yang berkendaraan maupun yang berjalan
kaki. Seperti pada sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Niscaya tidak seorangpun yang
berkendara diwaktu malam.” Sebagai penyebutan sesuatu yang dominan terjadi. Disebabkan
seorang yang berjalan kaki semakna dengan seseorang berkendaraan. Wallahu A`lam.
Larangan safar sendirian juga terdapat dalam hadits Abdullah bin „Amr bin Al-„Ash -radhiallahu
„anhuma-, berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Yang bersafar sendirian maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar hanya berdua maka
temannya adalah syaithan, dan yang bersafar bertiga maka dia yang dinamakan bersafar.”
Berkata Al-Khaththabi –rahimahullah-: maknanya bahwa sendirian dan bepergian seorang diri
melintasi perjalanan dimuka bumi adalah termasuk perbuatan syaithan, yaitu suatu perbuatan
yang muncul dari dorongan syaithan dan ajakannya. Demikian juga dengan safar hanya berdua.
Maka jika telah bertiga inilah perjalanan secara berkelompok dan saling menemani.
Beliau berkata: “Seorang yang safar sendirian, jika ia meninggal tidak ada yang memandikannya,
mengkafaninya dan mempersiapkan segala perngurusan jenazahnya. Dan tidak ada seorangpun
yang dapat diwasiatkan kepadanya hartanya dan yang mengantarkan warisannya kepada
keluarganya dan menyampaikan kabar keberadaaya kepada mereka. Atau tidak ada seorangpun
yang menyertainya didalam safar tersebut yang akan menolong bawaanya. Maka jika telah bertiga
dalam safarnya, mereka bisa saling tolong-menolong, saling bergiliran dalam menjaga, saling
melindungi dan mereka dapat shalat berjamaah serta mereka akan memperoleh penjagaan
padanya.”

3. Disunnahkan mengangkat pemimpin jika safarnya tiga orang atau lebih


Syariat mengajak untuk bersatu dan melarang perpecahan karena syariat menganjurkan demikian
serta menganjurkan hal yang demikian. Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri -radhiallahu „anhu-
bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Jika tiga orang keluar untuk safar maka angkatlah salah satu di antara kalian sebagai pemimpin."
Apabila pada safar tersebut terdapat perkara-perkara yang adanya kebersamaan sesama yang
melakukan safar dan slaign ketergantungan diantara mereka , maka disukai kepada para musafir -
yang jumlahnya tiga orang atau lebih tersebut- untuk mengangkat salah seorang dari mereka
sebagai pemimpin yang akan membimbing dan mengarahkan mereka bagi kemaslahatan mereka.
Kemudian wajib atas mereka untuk mentaatinya dan mengikuti segala yang ia perintahkan selain
bukan perintah untuk berbuat maksiat kepada Allah -Subhanahu wa Ta`ala-.
Apabila mereka telah melakukan yang demikian maka akan dihasilkan persatuan sesama mereka,
serta adanya ketenangan di dalam hati mereka. Dan juga kan tercapai penyelesaian segala bentuk
urusan dan keperluan mereka dialam safa mereka tanpa adanya kesusahan dan mencegah
kebencian terjadi ditengah-tengah mereka. Anjuran Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam untuk
mengangkat satu pemimpin di antara mereka ketika bersafar merupakan peringatan untuk bersatu
di bawah satu kekuasaan. Wallahu A`lam.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 120


4. Larangan Membawa Anjing dan Lonceng Dalam Safar
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melarang dari membawa anjing dan lonceng dalam safar.
Abu Hurairah -radhiallahu „anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
“Malaikat tidak akan menemani safar seseorang yang ditemani anjing dan membawa lonceng/alat
musik.”

Sebab dilarangnya lonceng karena itu merupakan terompet syaithan. Dalam hal ini terdapat jelas
dalam riwayat Muslim dan selainnya dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu „anhu-, beliau berkata:
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Terompet adalah merupakan seruling syaithan.”
An-Nawawi –rahimahullah- mengatakan: “… Adapun al-jaras (lonceng) dikatakan sebagai sebab
berpalingnya atau larinya malaikat dikarenakan menyerupai lonceng gereja atau dikarenakan
termasuk gantungan yang terlarang. Diantara ulama ada yang berpendapat sebabnya karena
suaranya yang dibenci, yang dikuatkan dengan banyak riwayat dengan lafazh seruling syaithan.
Adapun anjing maka terjadi perbedaan pendapat dalam sebab larangan membawa anjing dalam
safar. Diantara ulama ada yang berpendapat bahwa ketika larangan untuk memelihara anjing –
selain anjing penjaga dan pemburu – dimana yang menjadikan anjing sebagai peliharaan akan
diberi balasan bahwa para malaikat akan menghindari menemaninya yang kemudian dia akan
terhalangi dari barakah para malaikat, ampunan dan bantuan mereka dalam rangka ketaatan
kepada Allah -Subhanahu wa Ta`ala-. Ada yang berpendapat larangan tersebut disebabkan anjing
adalah hewan yang najis. Wallahu a`lam.
5. Wanita Dilarang Melakukan Safar Tanpa Disertai Mahram
Syariat yang suci melarang seorang wanita safar sendirian tanpa ditemani mahram. Dikarenakan
akan menjadi penyebab terjadinya fitnah pada dirinya dan kaum laki-laki yang berada disekitarnya.
Terdapat hadits-hadits yang shahih yang tidak ada kelemahan padanya serta tidak ada celah untuk
melemahkannya atau mentakwilkannya.

Asy-Syaikhan dan selain keduanya meriwayatkan bahwa Abu Hurairah -radhiallahu „anhu- berkata:
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah
dan hari akhir untuk bersafar dalam jarak sehari semalam tanpa didampingi mahram.”
Dalam lafazh Muslim:
“Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk safar dalam jarak semalam kecuali bersamanya seorang
laki-laki yang merupakan mahramnya.”

Dari Ibnu Abbas -radhiallahu „anhuma-, dia mendengar Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal setiap laki-laki berkhalwat – berduaan –denganseorang wanita, dan tidak boleh bagi
wanita bersafar kecuali bersama mahramnya.”

Maka seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah terdaftar untuk ikut perang ini dan itu
sedang istriku akan melakukan haji.” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Pergilah,
temani istrimu berhaji.”

Sebagaimana anda telah lihat bahwa larangan yang melarang seorang wanita safar dalam jarak
sehari semalam tanpa mahram demikian jelasnya. Baik itu suaminya, bapaknya, saudaranya
ataupun mahram wanita tersebut selain dari mereka. Bahkan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memerintahkan seorang laki-laki yang telah terdaftar dalam perang untuk berjihadpun agar
mendahulukan mengantar istrinya berangkat haji. Ini merupakan dalil yang cukup jelas
menunjukkan haramnya safar wanita tanpa ditemani mahramnya.
An-Nawawi –rahimahullah- mengatakan: “Dalam hadits tersebut terdapat didapati perintah
mendahulukan yang lebih penting pada beberapa perkara yang saling kontardiktif. Karena sewaktu
laki-laki tersebut bepergian untuk menunaikan jihat bertabrakan dengan kewajiban untuk
mengerjakan haji menemani istrnya, beliau Shallallahu „alaihi wa sallam mengedepankan agar laki-
laki tersebut berhaji bersama istrinya. Karena berjihad dapat dikerjakan orang selain dirinya
berbeda halnya dengan ibadah haji menemani istrinya”

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 121


Syubhat:
Seringkali terdengar dari pembicaraan sebagian kaum muslmin bahwa safarnya wanita sendirian di
zaman ini adalah darurat yang tidak dapat terelakkan. Kondisi zamanpun mengharuskan hal itu
Mereka berargumen bahwa bersendirinya wanita sewaktu safar telah tertiadakan ketika wanita
tersebut bersafar dengan menggunakan pesawat atau kereta api dan yang semisalnya. Salah
seorang dari mereka mungkin akan mengatakan: “Apa yang melarang jikalau saya sendiri yang
mengantarkan istriku menuju bandara dan memastikannya telah menaiki pesawat kemudian
setelah sampai ia dijemput saudaranya di tempat tujuannya?”
Jawab:
Pertama, Fitnah wanita merupakan sebesar-besar fitnah yang telah menimpa umat-umat yang
telah lampau. Dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang serta memperingatkan kita
dalam sabdanya: “Sesungguhnya dunia itu suatu yang indah dan menarik. Dan sesungguhnya Allah
telah menjadikan kalian sebagai khalifah diatas dunia ini maka lihatlah bagaimana kalian beramal.
Takutlah kalian kepada wanita karena awal fitnah yang telah menimpa Bani Israel adalah karena
fitnah wanita.”
Maka jika dibiarkan wanita safar sendirian tanpa mahram dan bekerja bersama dengan kaum laki-
laki yang berada disisinya, lalu wanita tersebut memegang tampuk kepemimpinan, sesungguhnya
hal itu merupakan peringatan suatu musibah akan menimpa kita sebagaimana musibah yang telah
menimpa Bani Israil –kita mohon perlindungan kepada Allah –
Kedua, terlebih dahulu perlu untuk mendudukkan persoalan yang sebenarnya tanpa
melebarkannya. Yakni bahwa wanita adalah makhluk yang lemah, cepat terpengaruh, mudah
terpedaya, dan senantiasa butuh perlindungan laki-laki dan bantuannya dalam segala aspek
kehidupannya.
Apabila hal itu juga disertai kelemahan iman dan agama yang ada didalam hati sebagian besar
kaum laki-laki, perkara ini akan semakin bertambah berbahaya dan fitnahnya akan semakin besar.
Dan siapa saja yangmengatakan khalwat akan tertiadakan dengan menaiki pesawat maupun
sejenisnya yang merupakan alat angkut umum. Pendapat tersebut akan terbantahkan bahwa
duduknya wanita tersebut berada disampin laki-laki asing, berbicara langsung dengan mereka
ketika hendak memenuhi kebuuhannya terdapat hal yang diinginkan. Orang-orang yang hatinya
sakit sangatlah banyak, serta mereka yang matanya penuh dengan pengkhianatan sangatlah
banyak. Sementara diluar itu semua, wanita tersebut tidak seorangpun yang mengawasinya –
berupa mahramnya – dan menjaganya.
Adapun mengantarkannya sendirian mengendarai pesawat misalnya sebagai sebagai sarana
bepergian menuju negeri lainnya dan dijemput di negeri tujuan, pemisalan seperti ini dan yang
semisalnya dapat dijawab : Apakah anda mengetahui jikalau pesawat yang ditumpanginya dengan
terpaksa mesti mendarat kesebuah negeri lain selain tujuan yang dimaksud karena adalah
kerusakan pada pesawat tersebut – yang mana hal ini seringkali terjadi -. Lebih buruknya lagi
sekiranya para musafir tersebut dengan sangat terpaksa mesti menginap sehari atau dua hari
dinegeri ini, maka dimanakah muhrimnya ? Dan siapakah yang akan melayaninya mengurusi
penginapan, makan dan minumnya ?!
6. Disunnahkan Melakukan Safar pada Waktu Pagi di Hari Kamis
Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dalam sekian banyak safar beliau bahwa
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menyukai keluar untuk safar pada pagi hari kamis.
Dari Ka`ab bin Malik -radhiallahu „anhu-: “Bahwa nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah keluar
pada hari kamis pada waktu Perang Tabuk dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menyukai keluar
bersafar pada hari kamis.”

Pada riwayat Ahmad: “ Sangatlah jarang apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam hendak
keluar untuk suatu perjalanan kecuali beliau lakukan pada hari kamis “
Dari Shakhr Al-Ghamidi -radhiallahu „anhu- dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, berkata:
“Ya Allah, berikan barakah pada ummatku di waktu pagi mereka.”
Dan jika beliau Shallallahu „alaihi wa sallam mengutus pasukan, mereka diutus pada waktu pagi
hari. Dan Shakhr sendiri adalah seorang pengusaha dan sering mengutus perdagangannya pada
waktu pagi hari. Sehingga dia menjadi kaya raya dan hartanya menjadi sangat banyak.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 122


Masalah: Apa hukum safar di hari jumat?
Jawab: Mazhab Hanabilah berpendapat: Tidak diperbolehkan bagi seseorang yang dikenai
kewajiban shalat jum‟at melakukan safar pada hari jumat setelah matahari tergelincir. Sekiranya
dikatakan: setelah terdengar adzan shalat jumat adalah lebih utama, karena Allah -Subhanahu wa
Ta`ala- memerintahkan untuk memenuhi pangilan adzan pada hari jumat setelah terdengan adzan
shalat jumat dan meninggalkan jual beli. Berarti hukum safar tersebut bergantung dengan adzan.
Allah -Subhanahu wa Ta`ala- berfirman:

‫لع ۚ ََٰذلِ ُكم َخلر لَّل ُكم إِف‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ودي لِ َّل‬ ِ ِ ‫َّل‬
َ َ‫سعواْ إِلَ َٰى ذك ِر للَّله َو َذ ُرواْ لب‬
َ َ‫لج ُم َعة ف‬
ُ ‫لصلَ َٰوة من يَوـ‬ َ ُ‫ين َء َامنُواْ إِ َذا ن‬
َ ‫َٰيَأَيػ َها لذ‬
٩ ‫ُكنتُم تَعلَ ُمو َف‬
“ Wahai orang-orang yang beriman, apabila telah diserukan adzan untuk mengerjakan shalat pada
hari jum‟at, maka bersegeralah untuk berdzikir kepada Allah dan tinggalkanlah jual beli kalian. Hal
itu akan lebih baik bagi kalian apabila kalian mengetahuinya “ ( Al-Jumu‟ah : 9 )
Akan tetapi dapat dikatakan: Bahwa tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat
jumat dan dengan berpedoman pada tergelincirnya matahari maka masuklah waktu shalat jumat.
7. Do‟a dan Dzikir Ketika Safar
Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam adalah senantiasa membiasakan berdoa dan berdzikir.
Musafir mengucapkannya dimulai sejak meletakkan kakinya di kendaraannya sampai ia kembali ke
tempat semula.

Di antara doa-doanya adalah:


Doa ketika naik kendaraan

‫لن َوإِنَّلا إِلَ َٰى َربِّػنَا لَ ُمن َقلِبُو َف‬ِ


َ ‫َّلر لَنَا ََٰه َذا َوَما ُكنَّلا لَۥهُ ُمق ِرن‬
ِ ‫َّل‬
َ ‫ ُسب ََٰ َن لذي َس‬, ‫بسم اهلل‬
“Aku menyaksikan Ali -Radhiallahu „anhu-saat didatangkan unta kepadanya sampai ia menaikinya.
Ketika ia meletakkan kakinya di ontanya ia berdoa: “Dengan menyebut nama Allah.” Kemudian
membaca doa : “Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami
sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnyalah kepada Rabb kami, kami akan
kembali ” (Az-Zukhruf: 13-14).
Kemudian beliau mengucapkan:

‫ سب ان إني ظلمت نفسي فاغفر لي فإنه ال يغفر الذنوب إال أنت‬x3‫ اهلل أكبر‬x3‫ال مد هلل‬
“Segala puji hanya bagi Allah “.Sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengucapkan: “Allah Maha
Besar.” Sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengucapkan: “Maha Suci Engkau Ya Allah,
sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku, maka ampunilah aku, sesungguhnya tidak
ada yang akan mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau”.

Kemudian beliau tertawa, maka ditanyakan kepada beliau: “Wahai Amirul Mukminin, apa yang
menyebabkan anda tertawa?
Ali berkata: “Aku melihat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah berbuat demikian sebagaimana
aku lakukan, kemudian beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tertawa”. Lalu saya bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah yang menyebabkan anda tertawa? “
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Rabbmu takjub dengan hamba-
Nya jika ia berdoa memohon ampun kepada-Ku dari dosa-dosanya, sementara ia mengetahui
bahwa tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain diri-Ku‟.”

Doa ketika berangkat dan pulang dari safar


Ibnu Umar -Radhiallahu „anhuma- meriwayatkan , bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
jika telah di atas onta beliau Shallallahu „alaihi wa sallam untuk pergi safar, beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam bertakbir sebanyak tiga kali. kemudian berdoa:

‫لن َوإِنَّلا إِلَ َٰى َربِّػنَا لَ ُمن َقلِبُو َف‬ِ


َ ‫َّلر لَنَا ََٰه َذا َوَما ُكنَّلا لَۥهُ ُمق ِرن‬
ِ ‫َّل‬
َ ‫ُسب ََٰ َن لذي َس‬

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 123


“Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak
mampu menguasainya. Dan sesungguhnyalah kepada Rabb kami, kami akan kembali ” ( QS. Az-
Zukhruf: 13-14)

‫ اللهم هوف عللنا سفرنا هذا واطو عنا‬،‫ ومن العمل ما ترضى‬،‫اللهم إنا نسأل في سفرنا هذا البر والتقوى‬
‫ اللهم إني أعوذ ب من وعثاء السفر وكآبة‬،‫ وال للفة في األهل‬،‫في السفر‬ ‫ اللهم أنت الصا‬، ‫بعد‬
‫ وسوء المنقل في الماؿ واألهل‬،‫المنظر‬
Ya Allah, sungguh kami memohon kepada Engkau dalam safar ini kebaikan dan ketaqwaan, dan
amalan-amalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, berilah kemudahan bagi kami dalam safar kami ini,
dekatkanlah jaraknya bagi kami sesudahnya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan
dalam safarku dan pemandangan yang menyedihkan, dan dari kembalian yang buruk pada harta
dan keluargaku”
Dan apabila beliau kembali dari safar beliau mengucapkan kembali doa tersebut dan
menambahkannya dengan ucapan:

‫آيبوف تائبوف عابدوف لربنا امدوف‬


“ Sebagai orang-orang yang kembali, bertaubat dan beribadah, lalu kepada Rabb kami, kami
memuji “.

Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar -radhiallahu „anhuma- beliau berkata: “ Apabila Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam mempersiapkan kafilah untuk pergi berperang, atau berhaji atau
umrah, beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bertakbir sebanyak tiga kali pada setiap melewati jalan
yang menaik, kemudian beliau Shallallahu „alaihi wa sallam berdoa:
ٍ ‫ وهو على كل‬،‫ وله ال مد‬، ‫ له المل‬،‫الإله إال اهلل و د ال شري له‬
‫ عابدوف‬،‫ آيبوف تائبوف‬،‫شيء قدير‬
‫ وهزـ األ زاب و د‬، ‫ ونصر عبد‬، ‫ صدؽ اهلل وعد‬،‫ لربنا امدوف‬،‫ساجدوف‬

“Tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selalin Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya.
Dialah yang memiliki kekuasaan dan bagi-Nyalah, segala pujian hanya bagi-Nya dan Dia berkuasa
atas segala sesuatu. Aku bertaubat dengan sepenuh taubat, aku termasuk orang-orang yang
beribadah dan sujud kepada-Nya dan hanya kepada Rabb kami mereka memuji. Maha benar Allah
dengan segala janjinya, yang senantiasa menolong hamba-hamba-Nya dan Dia-lah satu-satunya
yang akan mengalahkan musuh-musuhnya.”
Dzikir ketika berada di atas bukit, lereng dan lembah
Dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu „anhuma yang telah lewat- bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda pada akhir haditsnya:
“Apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersama tentara-tentara beliau berada di atas bukit
mereka bertakbir dan jika mereka sedang menuruni lereng mereka bertasbih. Maka akupun
mengucapkan doa seperti itu.”

Doa ketika mendekati suatu daerah atau selainnya


Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah-: “ Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mendekati
suatu daerah dan beliau ingin memasukinya, beliau Shallallahu „alaihi wa sallam berdoa:

‫ ورب‬،‫ ورب الشلاطلن وما أضللن‬،‫ ورب األرضلن السبع وما أقللن‬،‫اللهم رب السموات السبع وما أظللن‬
‫ وأعوذ ب من شرها وشر أهلها وشر ما فلها‬،‫ أسأل خلر هذ القرية وخلر أهله‬،‫الرياح وما ذرين‬

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 124


(Allahumma robbussamaawaatisbi' wama 'azlalna, warobbul ardhainisbi' wama 'aqalalna,
warabushshayaatiini wama 'adlalna, warobburriyaaha wama dzhariini, as aluka khoira hadzihil
qoryati wakhoira ahhlihha, wa a'udzubika min syarrihha wasyarri ahhlihha wasyari ma fiiha)
“Ya Allah Rabb tujuh lapis langit dan setiap yang dinaunginya, Rabb tujuh lapis bumi dan setiap
yang menghuninya, Rabb Syaithan-syaithan dan setiap yang tersesat karena godaannya dan Rabb
angin dan semua yang ditaburkan olehnya. Aku memohon kepada Engkau kebaikan dari desa ini
dan kebaikan penduduknya dan aku berlindung kepada Engkau dari kejelekan dan kejelekan
penduduknya dan seluruh kejelekan yang muncul darinya.”
Dzikir-dzikir yang disunnahkan bagi musafir yang berangkatnya pada waktu shubuh.
Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bepergian pada waktu shubuh beliau berdoa:

‫سمع سامع ب مد اهلل و سن بالئه عللنا ربنا صا بنا وأف ل عللنا عائذاً باهلل من النار‬
“ Sesungguhnya setiap yang mendengar telah mendengar pujian Allah dan cobaan yang baik yang
diberikan kepada kami. Wahai Rabb kami, sertailah kami dan berilah keutamaan bagi kami. Kami
berlindung kepada Allah dari api neraka “

Faedah: Sepantasnya bagi musafir untuk memanfaatkan setiap safarnya dan berdoa untuk dirinya,
bapaknya serta keluarganya dan bagi orang yang dicintainya. Dan untuk bersungguh-sungguh
dalam berdoa. Dan untuk memilih mana doa yang mencakup semuanya, disertai dengan suara lirih
berharap serta menundukkan hati disaat berdoa. Dikarenakan doa seorang musafir adalah doa
yang akan terkabulkan, maka tidak sepantasnya meremehkan doa tersebut.
Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah
bersabda:
“Tiga jenis doa yang yang mustajab (dikabulkan) tanpa diragukan lagi, yaitu: doa orang tua kepada
anaknya, doa seorang musafir, dan doa orang yang sedang dizhalimi.”

8. Shalat Sunnah Ketika Safar


Termasuk sunnah yang telah banyak ditinggalkan adalah shalat sunnah bagi musafir di atas
kendaraannya. Sangat sedikit orang yang dapat anda lihat mengerjakan shalat sunnah atau shalat
witir di atas pesawat atau sarana safar lainnya.

Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam selalu melakukan hal itu pada setiap safar beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam. Tanpa harus sesuai memperhatikan arah kiblat dalam melaksanakan
shalat sunnah bagi musafir jika memang ia merasa kesulitan menentukan arah kiblatnya, yang
utama adalah menghadap kiblat adalah ketika ia sedang berihram.

Ibnu Umar radhiallahu „anhuma meriwayatkan, beliau berkata:


“Adalah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mengerjakan shalat diatas tunggangan beliau
ketika dalam safar dimana beliau mengarahkan tunggangannya kearah kiblat dan shalat dengan
memberi isyarat. Beliau mengerjakannya hanya pada shalat al-lail tidak pada shalat fardhu dan
beliau mengerjakan shalat witir di atas kendaraan beliau.”

Berdasarkan hadits inilah, disunnahkan bagi musafir untuk shalat sunnah dan witir di atas
kendaraannya dalam safarnya sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam.
Masalah: Apakah boleh bagi musafir untuk shalat fardhu di atas pesawat terbang, mobil atau
kereta api apabila dalam keadaan darurat ? Ataukah mengakhirkannya hingga dia sampai di tempat
yang memungkinkan baginya untuk mengerjakan? Dan haruskah ia menghadap kiblat?
Jawab: Pertanyaan serupa telah dijawab oleh Lajnah Da`imah dengan jawaban sebagai berikut:
“ Jika pengendara mobil, kereta api, pesawat terbang atau ia menaiki binatang kaki empat, dia
merasa khawatir pada dirinya sekiranya dia turun dan mengerjakan shalat fardhu sementara dia
mengetahui jikalau dia mengakhirkannya pada tempat yang memungkinkan dia mengerjakan
shalat maka dia akan terlewatkan waktu shalat. Maka dia seharusnya mengerjakan shalat sesuai
dengan kemampuannya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala : “Tidaklah Allah akan
membebani seorang hamba kecuali sebatas kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 125


Dan Firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:
“Dan bertaqwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian.” ( QS. At-Taghabun: 16)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:
“ Dan tidaklah Allah menjadikan kesusahan bagi kalian dalam – mengerjakan – agama ( QS. Al-
Hajj: 78)

Adapun shalatnya dia menghadap kearah mana kendaran-kendaraan tersebut mengarah ataukah
seharusnya menghadap kearah kiblat selalu dan seterusnya ataukah diawal mula saja, hal ini
kembali kepada yang memungkinkan baginya. Apabila dia memungkinkan untuk menghadap
kearah kiblat diselurh pengerjaan shalatnya maka dia wajib untuk melakukan hal itu. Dikarenakan
menghadap kearah kiblat adalah syarat shahihnya shalat wajib baik dalam keadaan safar atau
mukim. Dan apabila tidak memungkinkan baginya menghadap kearah kiblat pada seluruh
pengerjaan shalatnya, maka hendaknya dia takut kepada Allah semampu dia, sesuai dengan dalil-
dalil yang telah dikemukakan sebelumnya.
9. Doa ketika singgah di suatu tempat
Seorang musafir akan membutuhkan untuk turun singgah di suatu tempat ketika hendak tidur,
istirahat, makan atau menunaikan hajat, sedangkan di tempat tersebut mungkin saja terdapat
hewan-hewan berbisa, hewan buas dan para syaithan yang hanya Allah subhanahu wa ta`ala yang
mengetahui. Maka termasuk nikmat Allah Subhanahu wa Ta`ala atas kita pensyariatan Allah bagi
kita melalui lisan Nabi kita Shallallahu „alaihi wa sallam berupa doa-doa yang apabila kita ucapkan
niscaya Allah akan menjaga kita –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta`ala- dari setiap kejelekan
makhluk yang ada.

Dari Khaulah binti Hakim As-Sulamiyyah radhiyallahu „anha, beliau berkata: Saya mendengar Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia
berdoa :

‫أعوذ بكلمات اهلل التامات من شر ما خلق‬


“ Aku berlindung kepada dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhluk yang Engkau
ciptakan.
Tidak akan ada sesuatupun yang dapat memudharatkan sampai ia berlalu dari tempat tersebut.”

Dari hadits di atas dapat diambil beberapa faedah, di antaranya:


– Doa di atas diucapkan ketika ia melintasi semua tempat ataukah singgah dan turun ditempat
tersebut. Hadits diatas tidak berlaku khusus di saat seorang musafir turun dari kendaraannya saja.
– Bahwa dari kalam Allah tabaaraka ismuhu, adalah salah satu dari sekian sifat-sifat Allah dan
bukanlah makhluk.Karena mustahil beliau meminta perlindungan kepada makhluk. Ini merupakan
salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr –
Rahimahullah-.
– Bahwa seorang yang berdoa dengan doa ini ketika ia singgah di suatu tempat ia akan dijaga
dengan penjagaan dari Allah subhanahu wa ta`ala dan tidak akan ada sesuatupun yang akan dapat
mendatangkan mudharat kepadanya sampai ia meninggalkan tempat tersebut. Berkata Al-Qurthubi
–rahimahullah-: “ Hadits ini adalah merupakan hadits yang shahih dan merupakan perkataan yang
benar, yang telah kita ketahui benarnya secara dalil maupun secara pengalaman. Sungguh sejak
aku pertama kali mendengar hadits ini dan aku amalkan maka benar-benar tidak ada sesuatu pun
yang mendatangkan kemudharatan kepadaku. Hingga suatu saat aku tidak mengamalkannya doa
tersebut. Maka pada suatu malam aku disengat kalajengking diwilayah Al-Mahdiyah. Lalu aku
berpikir dalam hatiku apa yang telah aku lupakan, yang ternyata aku dapati aku lupa berlindung
kepada Allah subhanahu wa ta`ala dengan membaca doa di atas.
10. Disunnahkan Tinggal Sejenak dan Makan dengan Berjama‟ah di Satu Tempat
Allah subhanahu wa ta`ala menjadikan kekuatan, kemuliaan, kekokohan dan barakah didalam
persatuan. Dan Allah ta`ala menjadikan di dalam perpecahan ketakutan, kelemahan, dikuasai oleh
musuh dan tercabutnya barakah Allah

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 126


Apabila suatu kaum melakukan perjalanan bersama-sama disunnahkan bagi mereka berkumpul
pada tempat di mana mereka tiba dan bermalam. Demikian juga mereka bersama-sama makan
agar mereka mendapatkan berkah.
Adapun berkumpul ditempat mereka singgah, hal tersebut telah diriwayatkan oleh Abu Tsa`labah
Al-Khusyani -radhiallahu „anhu-, beliau berkata:
“Ketika para sahabat singgah di suatu tempat, para sahabat tersebut berpencar di lembah dan wadi
, maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: „Jika kalian berpencar seperti ini ada yang
di bukit ada yang di lembah, sungguh yang demikian ini adalah termasuk dari godaan syaithan.
Setelah itu apabila mereka turun dan singgah disuatu tempat mereka tidak lagi berpencar
melainkan mereka saling berkumpul sebagian dengan sebagian lainnya hingga apabila
dihamparkan sebuah pakaian kepada mereka niscaya akan mencakup mereka semua”
Berkumpul bersama dalam makan, akan mendatangkan berkah dan juga dan akan ditambahkan
rezeki bagi mereka. Dari Husyai bin Harb dari Bapaknya dari Kakeknya, beliau berkata: Para
sahabat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Rasulullah, kami telah makan
namun kami tidak bisa kenyang.”

Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin karena kalian makan dengan terpisah-
pisah?” Para sahabat menjawab: “Benar.”
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Berkumpullah kalian dalam makan di satu
tempat dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberikan barakah pada makanan tersebut
bagi kalian.”

Faedah: Disunnahkan at-tanahud ketika berada dalam sebuah perjalanan. An-nahdu adalah
perbuatan dimana masing-masing teman mengeluarkan sesuatu berupa iuran sedekah yang
mereka kumpulkan kepada salah seorang yang orang tersebut lalu membelanjakan makanan bagi
mereka kemudia mereka bersama-sama makan.
Seseorang bertanya kepada Imam Ahmad -rahimahullah-: Apa yang lebih engkau cintai, seseorang
sendirian makan atau orang tersebut makan dengan temannya? Imam Ahmad -rahimahullah-
mengatakan : Dia makan dengan ditemani dan ini akan menjadikan mereka lebih akrab ketika
saling tolong menolong. Dan apabila kalian sendiri dan juga yang lainnya tidak memungkinkan
untuk memasak makanan, maka tidak mengapa untuk mengumpulkan iuran. Para ulama yang
shalih telah mengumpulkan iuran satu dengan lainya. Apabila Al-Hasan melakukan suatu
perjalanan beliau mengumpulkan iuran brsama mereka, dan beliau juga menambahkan dari iuran
yang telah terkumpul, yaitu dengan diam-diam.
11. Tidur dalam safar
Seorang musafir terkadang pada perjalanan darat dengan terpaksa mesti beristirahat tidur setelah
melewati perjalanan yang meletihkan. Dan syariat yang suci ini yang telah mengarahkan kaum
manusia kepada semua yang akan memberi kemashlahatan bagi mereka baik yang disegerakan
atau yang diakhirkan, termasuk diantara kemashlahatan itu, adalah arahan bagi seorang musafir
untuk memilih tempatnya tidur beristirahat. Agar suapaya dia tidak terganggu dengan hewan-
hewan berbisa maupun hewan-hewan lainnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
“Jika kalian safar ke negeri yang subur maka biarkan ontamu kenyang memakannya. Dan jika
kalian safar ke daerah yang gersang maka bergegaslah untuk berlalu dari tempat tersebut. Apabila
kalian berjalan disiang hari[17] menjauhlah dari jalur lintas hewan dan hindarilah sarang hewan-
hewan berbisa”.
An-Nawawi -rahimahullah- mengatakan: Ini merupakan adab dari adab-adab ketika dalam
perjalanan dan ketika singgah di suatu tempat sesuai dengan bimbingan Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam. Disebabkan serangga-serangga serta hewan-hewan melata diatas tanah termasuk hewan-
hewan yang berbisa dan juga hewan buas melintas pada waktu malam hari diatas jalan, karena
mudah untuk dilalui. Dan juga disebabkan hewan-hewan tersebut akan memungut makan ataukah
selainnya yang terjatuh. Hewan-hewan itu memungut potongan tulang dan selainnya. Apabila
seseorang melakukan perjalanan disiang hari melalui jalan tersebut, terkadang dia akan mendapati
hewan yang akan mengganggunya, maka sepatutnyalah dia menjauh dari jalan tersebut

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 127


Kemudian sepantasnya bagi seorang musafir apabila dia hendak tidur, menyiapkan sesuatu yang
akan membantunya untuk bangun mengerjakan shalat shubuh. Dan pada zaman kita ini sarana-
sarana seperti itu – walillahil hamdu – suatu yang sudah sangat dimudahkan dengan harga yang
sangat murah. Rasul kita Shallallahu „alaihi wa sallam juga telah memberi perhatian akan hal itu
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu „anhu, beliau berkata:
“Bahwa ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mempersiapkan kafilah/balatentara untuk
Perang Khaibar, beliau melakukan perjalanan pada malam hari,dan apabila beliau merasa
mengantuk {atau tidur} berjaga-jaga, dan beliau berkata kepada Bilal radhiallahu „anhu:” Jagalah
aku di malam ini‟.”

Dalam riwayat An-Nasa`i dan Ahmad dari riwayat Jubair bin Muth`im radhiallahu „anhu, beliau
berkata:
“Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepada Bilal Radhiallahu „anhu dalam suatu
safar: Siapa yang berjaga pada malam tadi sehingga kami tidak tertidur pada saat shalat shubuh?
Berkata Bilal: saya…al-hadits.”

Qatadah -radhiallahu „anhu- meriwayatkan:


“Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berada dalam suatu safar dan beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam hendak istirahat tidur pada malam harinya, maka beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam tidur terlentang menghadap kearah kanan, dan jika telah mendekati waktu shubuh beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam mengangkat lengannya dan meletakkan kepala beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam di atas kedua telapak tangannya.”

12. Disunnahkan bagi musafir untuk segera kembali ke keluarganya setelah selesai
urusannya dan tanpa menunda-nunda
Disunnahkan bagi seorang musafir apabila dia telah mencapai maksud dari perjalanannya tersebut
agar segera kembali kepada keluarga. Tidak berdiam melebihi kebutuhannya. Rasulullah telah
membimbing kita kepada adab ini dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Safar itu adalah bagian dari adzab, karena dengan safar ia terhalang untuk makan, minum, dan
tidur. Maka jika telah selesai keperluannya maka hendaklah ia segera kembali kepada
keluarganya.”

Ibnu Hajar -rahimahullah- mengatakan: Hadits ini menunjukkan makruhnya berpisah dari
keluarganya lebih dari keperluannya. Dan disunnahkan untuk segera kembali kepada keluarganya
apalagi ditakutkan kalau-kalau isterinya terabaikan disaat kepergiannya. Dimana berkumpul
bersama keluarga akan memberikan kesejukan yang dapat membantu perbaikan baik agama atau
duniawiyah. Dan pula berkumpul bersama keluarga akan mendatangkan rasa kebersamaan dan
kekuatandalam pelaksaan ibadah.

13. Dimakruhkan Bagi Seorang Musafir Pulang Menjumpai Keluarganya di Malam Hari
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu „anhuma, beliau berkata: “Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallammelarang seseorang untuk mengetuk pintu rumah istrinya pada malam hari.”
Pada riwayat Muslim: “Jika salah seorang dari kalian datang dari suatu perjalanan, janganlah
mengetuk pintu rumah istrinya hingga istrinya tersebut telah merapikan dan menyisir rambutnya.”
Dalam riwayat Muslim lainnya: “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melarang seorang laki-laki
untuk mengetuk pintu rumah keluarganya pada malam hari, yang akan menyulitkan merek atau
mencari-cari kesalahan mereka”

Jadi sepantasnya bagi seorang musafir apabila dia kembali menjumpai istrinya untuk tidak
mendatanginya di malam hari, sehingga ia tidak melihat apa yang dia benci dari penampilan
istrinya yang tidak rapi.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 128


Berkata An-Nawawi -rahimahullah-: “…bahwa dibenci bagi orang yang bepergian dalam waktu lama
lalu menemui istrinya pada malam hari dengan tiba-tiba. Adapun jika jarak safarnya dekat dimana
istrinya akan memprediksi kedatangannya diwaktu malam, maka ini tidaklah mengapa
sebagaimana disebutkan oleh beliau – Imam Asy-Syafi‟i – didalam salah satu riwayat beliau:
Apabila seseorang pergi dalam waktu yang lama. Apabila dia bersama dengan kelompok yang
besar atau bala tentara dan semislanya dan telah terkenal kedatangan dan waktu tiba mereka dan
pula istri dan keluarganya telah mengetahui bahwa suaminya tersebut datang bersama dengan
mereka, dan mereka sekarang telah masuk kedalam kota. Maka tidaklah mengapa dia datang
kapan saja dikehendakinya, karena alasan yang terkandung dalam larangan telah tertiadakan
karena pengetahuan tersebut. Karena maksud dari hal tersebut agar keluarganya mempersiapkan
diri dan hal tersebut telah tercapai. Dan diapun sudah datang dengan tiba-tiba .
Saya berkata: Semisalnya apabila mereka mengetahui kedatangannya melalui penyampaian
telepon dan semisalnya.

14. Disunnahkannya Shalat Dua Rakaat bagi Musafir Setelah Kembali ke Negerinya
Diantara petunjuk Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , apabila beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
kembali dari suatu perjalanan maka yang pertama kali segera beliau lakukan adalah shalat
dimasjid dua raka‟at.

Ka‟ab bin Malik radhiallahu „anhu mengatakan: Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam , apabila beliau tiba dari suatu perjalanan pada waktu dhuha, beliau mendatangi masjid lalu
mengerjakan shalat dua raka‟at sebelum beliau duduk “

Ini meruapkan diantara sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang telah terabaikan. Sangat
jarang sekali ada yang mempraktekkannya. Kami memohon kepada Allah untuk senantiasa
mengikuti sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam baik secara zhahir maupun batin. Wabillahi
taufiq.

Faedah: Perkataan Ka‟ab radhiallahu „anhu : “ Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam, apabila beliau tiba dari suatu perjalanan pada waktu dhuha … “
Mneyiratkan bahwa kedatangan seorang musafir pada waktu yang terlarang tidak disyariatkan
baginya untuk mengerjakan dua raka‟at, akan tetapi perkara ini tidaklah seperti itu.
Ibnu Hajar mengatakan: “ An-Nawawi berkata: Shalat tersebut adalah shalat yang diperuntukkan –
baca diniatkan, – apabila telah tiba dari suatu perjalanan dengan meniatkan shalat al-qudum.
Bukan shalat tahiyyah al-masjid yang diperintahkan bagi seseorang yang masuk kedalam masjid
sebelum duduk. Akan tetapi shalat al-qudum ini juga sudah memenuhi shalat tahiyyat al-masjid.
Dan sebagian ulama yang menolak pembolehan shalat pada waktu-watu yang terlarang walau itu
shalat dengan alasan tertentu, dengan sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ waktu dhuha “.
Namun sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tersebut tidak dapat dijadikan argumentasi,
karena merupakan waqi‟ah al-„ain – kejadian yang berlaku khusus, – “

BAB 14
ADAB-ADAB MENJENGUK ORANG SAKIT

Dari Al-Barra` bin „Azib radhiallahu „anhu dia berkata : nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara : beliau
memerintahkan kami agar mengikuti iringan jenazah, mengunjungi orang sakit, menjawab
undangan, menolong orang yang dizhalimi, berbuat baik bagi orang yang bersumpah, menjawab
salam, menjawab orang yang bersin, dan beliau melarang kami memakai bejana yang terbuat dari
perak, cincin emas, kain sutra, kain yang bercampur dengan sutra, al-qissi dan al-istibraq.
Adab adab Menjenguk Orang Sakit
1. Keutamaan Menjenguk Orang Sakit.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 129


Banyak Atsar menyebutkan keutamaannya di sini kami menyebutkan diantaranya : hadits Tsauban
radhiaallahu „anhu bekas budak rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam riwayatkan yang mana dia
berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “barang siapa yang menjenguk orang
sakit maka dia senantiasa berada di taman kurma di surga sampai di kembali (ke rumah)”.
Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhu bahwasanya dia bersabda : saya mendengar Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallambersabda : ” Barang siapa yang mengunjungi orang sakit niscaya dia
berada dalam naungan rahmat sampai apabila dia duduk tinggal padanya”. Dan di dalam lafazh
yang lain : ” Barang siapa yang mengunjungi orang sakit niscaya dia mendapatkan rahmat maka
apabila dia duduk di sampingnya dia tetap berada di dalam rahmat, dan apabila dia keluar dari
orang yang sakit dia terus diliputi rahmat sampai dia kembali ke rumahya”.
Dan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dia berkata : rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat : wahai anak cucu Adam
saya sakit dan kalian tidak menjengukku, anak cucu Adam berkata : wahai rabb bagaimana kami
menjenguk engkau sedangkan engkaulah rabb semesta alam? Allah berfirman : tidakkah kamu
tahu bahwa hambaku fulan sakit dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu tahu kalau saja
kamu mengunjunginya niscaya kamu akan mendapatiku berada di sisinya….al-hadits”.
Dan dari Ali radhiallahu „anhu dia berkata : saya mendengar rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “barang siapa yang mendatangi saudaranya yang muslim dalam rangka menjenguknya,
niscaya dia berjalan di kebun surga sampai dia duduk, dan apabila dia duduk niscaya rahmat Allah
akan meliputinya, dan apabila dia pergi menjenguk di waktu pagi niscaya tujuh puluh malaikat
akan mendoakannya sampai dia mendapati sore hari dan apabila di waktu sore tujuh puluh
malaikat akan mendoakannya sampai dia mendapati pagi”.

Dan setelah menyebutkan hadits-hadtis yang shahih dalam menjelaskan keutamaan mengunjungi
orang yang sakit, dan pahala bagi orang yang mengunjungi dapatkan dari kunjungainnya, maka
tidak sepantasnya meremehkan hal tersebut, bahkan harus untuk bersegera kepadanya, dan selalu
berada di atas amalan tersebut, sehingga rahmat dzat yang Maha penyayang dan Maha pengasih
dapat diraih, dan di dalam mengunjungi orang sakit ada beberapa manfaat lainnya selain yang
disebutkan tadi diantaranya : membersihkan hatinya (orang yang sakit), memeriksan kebutuhan-
kebutuhannya, mengambil nasehat dari musibah yang menimpanya sebagaimana Ibnul Jauzi
katakan.

2. Mengunjungi Anak Kecil yang Sakit.


Anak kecil apabila sakit maka mereka juga dikunjungi, sebagaimana orang-orang dewasa. Yang
demikian itu dikarenakan adanya makna yang menyebabkan orang dewasa dikunjungi seperti
adanya doa bagi yang sakit, meringankan sakitnya, meruqyahnya dengan ruqyah syar‟iyyah, dan
akan mendapatkan pahala mengunjungi orang sakit bagi orang yang berkunjung.
Dari Usamah bin Zaid radhiallahu „anhuma dia berkata : ” Sesungguhnya salah seorang anak
perempuan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengutus seseorang kepada beliau –dan ketika
itu perawi sedang bersama Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , Sa‟ad dan Ubai- yang mana kami
mengira bahwa anak perempuan saya akan menjumpai ajalnya maka mari kita menyaksikannya
bersama, maka nabi mengutus utusan kepadanya dengan ucapan salam dan berkata :
“sesungguhnya milik Allah apa yang dia ambil dan apa yang dia berikan dan setiap sesuatu telah
ditetapkan ajalnya di sisiNya, maka hendaknya kamu mengharap pahala dan bersabar”.
Namun anak perempuan beliau kembali mengutus utusan dengan mengucapkan sumpah atas
beliau, maka nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bangkit dan kami pun bangkit bersama beliau,
ketika beliau berada di tempat kejadian anak kecil itu diangkat ke pangkuan nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam dalam keadaan nafasnya tersengal-senggal, kedua mata nabi berlinangkan air mata,
maka Sa‟ad berkata padanya : apa ini wahai rasulullah? Beliau berkata : ini adalah rahmat yang
Allah berikan di hati-hati yang Allah kehendaki dari para hambanya, dan Allah tidak akan
menyayangi dari para hambanya kecuali mereka yang penyayang”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 130


3. Kunjungan Wanita kepada Laki-laki Yang Sakit :
Mengunjungi laki-laki yang sakit boleh bagi wanita walaupun mereka bukan mahram mereka, akan
tetapi hal itu disyaratkan apabila aman dari fitnah, adanya sitar (hijab), tidak adanya khalwat
(berdua-duaan), maka apabila syarat-syarat ini ada maka mengunjungi laki-laki yang sakit yang
bukan mahram boleh bagi wanita dan demikian pula sebaliknya, dari Aisyah radhiallahu „anha dari
ayahnya, dia berkata : ” Ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tiba di Madinah, Abu Bakar
dan Bilal radhiallahu „anhuma menderita demam, Aisyah berkata : Maka saya pun masuk kepada
mereka berdua dan saya berkata : Wahai ayahku bagaimana keadaanmu? Dan wahai Bilal
bagaimana keadaanmu? …..al-hadits“. Dalam riwayat Ahmad : Urwah berkata : “ Ketika Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam tiba di Al-Madinah para sahabat beliau mengeluh sakit demikian pula
Abu Bakar, „Amir bin Fuhairah maula Abu Bakar dan Bilal mengeluh sakit, maka Aisyah meminta
izin kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam untuk mengunjungi mereka, dan Nabi
mengizinkannya, dan Aisyah berkata kepada Abu Bakar : bagaimana keadaanmu? ….al-hadits“.
Dan dari Ibnu Syihab dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif bahwasanya dia mengabarkan
kepadanya : ” Bahwa ada seorang wanita yang miskin sedang sakit maka dia mengabarkan kepada
Rasulullan Shallallahu „alaihi wa sallam tentang sakitnya wanita tersebut, Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam senantiasa mengunjungi orang-orang miskin dan menanyakan tentang keadaan
mereka….al-hadits”

Ibnu Abdil Bar berkata : “ Pada hadits ini menunjukkan pembolehan kunjungan wanita kepada laki-
laki walaupun laki-laki tersebut bukan mahramnya, dan masalah ini –menurut saya (penulis) agar
wanita itu Mutajallah , dan apabila bukan Mutajallah maka tidak boleh, kecuali dia bertanya
kepadanya dan tidak melihat kepadanya.

4. Mengunjungi Orang Sakit Yang Sedang Pingsan :


Sebagian manusia menjauhkan diri untuk mengunjungi orang sakit yang tidak sadar akan
kehadiran orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti orang yang dalam kondisi pingsan yang
muncul berulang-ulang, atau mereka yang dalam kehilangan kesadaran dalam jangka waktu lama,
dengan alasan orang yang sakit ini tidak menyadari keberadaannya dan tidak merasakannya maka
kalau begitu tidak perlu untuk menjenguknya, ini adalah pemahaman yang salah dan argumen
yang tidak ada dalilnya, dan dalil yang shahih justru menyelisihinya.
Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma dia berkata : ” Saya pernah sakit maka nabi Shallallahu
„alaihi wa sallamdan Abu Bakar mendatangiku untuk menjengukku dengan berjalan kaki, maka
mereka mendapatiku dalam keadaan pingsan, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berwudhu`
dan memercikkan wudhu‟nya kepadaku, aku pun sadar dan mendapati Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam di dekatku, maka saya berkata : “ Wahai Rasulullah, apa yang seharusnya saya perbuat
terhadap hartaku, bagaimana saya memutuskan warisan hartaku? Namun beliau tidak menjawabku
dengan satu kata pun sampai ayat tentang warisan turun”.
Ibnu Hajar berkata : “ Sekedar mengetahui keadaan orang yang sakit dengan menjenguknya tidak
menjadikan pensyariatan menjenguknya terhenti. Karena di balik hal itu dapat membalut
kekhawatiran keluarganya, dan mengharapkan berkah doa dari orang yang menjenguknya,
meletakkan tangannya di atas orang yang sakit, mengusap badannya, meniupkan bacaan
kepadanya ketika memohonkan perlindungan dan yang selainnya.

5. Menjenguk Orang Musyrik Yang Sakit :


Sebagian ulama berpendapat makruh menjenguk orang kafir dikarenakan di dalam perkara
menjenguk mereka terkandung adanya pemuliaan. Sebagian ulama lainnya membolehkan
menjenguk mereka apabila diharapkan masuk islam, dan pendapat ini lebih sesuai dengan
perbuatan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, Anas bin Malik radhiallahu „anhu telah meriwayatkan :
” Bahwa seorang budak milik orang Yahudi yang pernah membantu Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam sakit maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mendatanginya dalam rangka menjenguknya,
beliau berkata : Masuklah kamu ke dalam islam, maka orang itu pun masuk islam”.
Dan dari Sa‟id bin Al-Musyyib dari ayahnya beliau berkata : ketika kematian menghadiri Abu Thalib
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mendatanginya dan berkata : “katakanlah laa ilaaha
illallaah satu kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 131


6. Waktu Menjenguk Orang Yang Sakit :
Tidak didapati adanya nash-nash dari al-ma‟shum Shallallahu „alaihi wa sallam yang menjelaskan
waktu-waktu tertentu untuk menjenguk orang yang sakit dan menziarahinya, maka selama
demikian perkaranya dibolehkan menziarahi orang yang sakit pada waktu apapun di malam atau
siang hari selama tidak adanya hal yang memberatkan mereka. Karena diantara makna yang
terkandung dalam menjenguk orang yang sakit adalah untuk meringankan derita orang yang sakit
dan untuk menyenangkan hatinya bukan untuk memberatkannya Waktu ziarahi itu bervariasi
tergantung perbedaan zaman dan tempat, terkadang berziarah di malam hari merupakan waktu
yang dipersilahkan akan tetapi terkadang dimakruhkan di waktu yang lain.
Al-Marwadzi berkata : “ Saya bersama Abu Abdullah pernah menjenguk orang sakit di malam hari
dan waktu itu di bulan Ramadhan, kemudian beliau berkata kepada saya : di bulan Ramadhan
orang sakit itu di jenguk di malam hari “.

Dan demikian pula di waktu zhuhur karena kebiasaan yang berlaku manusia sedang tidur siang dan
mereka tinggal untuk beristirahat. Al-Atsram berkata : dikatakan kepada Abu Abdillah : seseorang
sedang sakit dan ketika itu matahari sedang naik di waktu musim panas, maka beliau berkata : ini
bukan waktu menjenguk.

Maka waktu perlu diperhatikan di dalam menjenguk orang sakit, maka waktu menjenguk yang
telah dikenali oleh penduduk negeri ini dan yang telah menjadi kebiasaan mereka untuk menjenguk
dan berziarah terkadang bukan waktu yang biasa dilakukan oleh sebagian penduduk negeri lainnya.
7. Meringankan Orang Yang Sakit ketika Dikunjungi :
Sepatutnya bagi orang yang menjenguk agar jangan berlama-lama duduk dan tinggal di sisi orang
yang sakit, karena orang yang sakit tersibukkan dengan rasa lapar dan sakitnya. Dan ketika orang
yang menjenguk berdiam lama di sisi orang yang sakit akan memberatkan bagi orang yang sakit
bahkan terkadang menambah sakitnya, oleh karena itu diantara perkara yang baik ketika
menjenguk orang sakit adalah dengan meringankannya.
Dari Ibnu Thawus dari ayahnya dia berkata : “ Menjenguk orang sakit yang paling baik adalah yang
paling ringan … “
Al-Auza‟iy berkata : “ Saya pernah bepergian menuju Bashrah ingin menjumpai Muhammad bin
Sirin, namun saya mendapatinya dalam keadaan sakit di perutnya, maka kami pun masuk
kepadanya untuk menjenguknya dalam keadaan berdiri …

Asy-Sya‟bi berkata : “ Kunjungan orang-orang desa yang pandir lebih memberatkan bagi orang
yang sakit daripada sakit yang dideritanya, mereka mendatanginya bukan pada waktunya dan
berlama-lama duduk di sisinya.

Akan tetapi sepatutnya untuk diketahui bahwa apabila orang yang sakit menyukai orang yang
menjenguk tinggal lebih lama di sisinya dan terus menerus menziarahinya, maka lebih utama bagi
orang yang menjenguk untuk memenuhi keinginan orang yang sakit dikarenakan di dalam amalan
tersebut terkandung sesuatu yang dapat memasukkan kebahagiaan bagi orang yang sakit, dan
menyenangkan hatinya sebagaimana Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menjenguk Sa‟ad bin
Mu‟adz ketika terkena musibah di hari peperangan Khandak. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memerintahkan untuk mendirikan kemah bagi Sa‟ad di dalam masjid agar dia dapat menjenguknya
dari dekat.

Maka sahabat mana yang tidak menyenangi keberadaan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam di
sisinya dan berulang-ulang menziarahinya.

8. Di Manakah Posisi Orang yang Menjenguk Duduk?


Disunnahkan bagi orang yang menjenguk untuk duduk di samping kepala orang yang sakit. Hal ini
pernah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam lakukan dan orang-orang shalih setelah beliau. Di dalam
hadits Anas radhiallahu „anhu dia berkata : ” Adalah seorang budak Yahudi yang sering membantu
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , lantas dia jatuh sakit maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
menjenguknya. Beliau duduk di samping kepalanya dan berkata kepadanya : “ Masuklah ke dalam
islam….al-hadits“.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 132


Dan dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, dia berkata : ” Apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
menjenguk orang yang sakit beliau duduk di sisi kepalanya … al-hadits“

Dari Ar-Rabi‟ bin Abdillah dia berkata : “ Saya pernah pergi bersama Al-Hasan menjumpai Qatadah
untuk menziarahinya, dan dia duduk di sisi kepalanya. Lalu beliau bertanya kepadanya kemudian
mendoakan kesembuhan baginya….

Berkaitan dengan adab duduk orang yang menjenguk di samping kepala orang yang sakit ada
beberapa faedah diantaranya : Bahwa pada hadits tersebut adanya anjuran untuk bersikap ramah
kepada orang yang sakit. Diantaranya juga orang yang menjenguk memungkinkan untuk
meletakkan tangannya kepada orang yang sakit, mendoakan kesembuhan baginya dan
meniupkannya kepadanya, dan perbuatan yang semisal dengan itu.
9. Bertanya Kepada Orang yang Sakit Tentang Keadaannya dan Memberinya Semangat
Termasuk perkara yang baik dalam menjenguk orang sakit adalah bertanya kepada orang yang
sakit tentang keadaannya dan apa yang menimpanya sebagaimana yang ada di dalam hadits
Aisyah radhiallahu anha, dia berkata : ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam datang ke Al-
Madinah, sementara Abu Bakar dan Bilal dalam keadaan sakit demam, maka Aisyah berkata : “
Maka saya pun masuk untuk melihat keadaan mereka berdua, lalu saya bertanya : “ Wahai ayahku
bagaimana keadaanmu, dan wahai Bilal bagaimana keadaanmu….al-hadits.
Dan juga diantara perkara yang baik ketika menjenguk orang sakit adalah menghilangkan
kesusahan di karenakan sakit seperti mengucapkan kepadanya : Laa ba‟sa alaika satasyfi
biidznillah (sakit ini tidaklah mengapa atas mu, kamu akan sembuh dengan izin Allah), atau
sesungguhnya penyakit ini bukan penyakit yang berbahaya niscaya Allah akan memberikan
kesehatan kepadamu –insya Allah- . Ucapan semacam ini, selama tidak nampak padanya tanda-
tanda dekatnya ajal. Dan yang demikian itu karena menganggap jauh dari ajal orang yang sakit,
banyak membantu cepatnya proses kesembuhan dari penyakit, dan pengobatan ini sangat manjur
dan sudah dikenal dikalangan manusia.
Faedah : Keluhan orang yang sakit tidak lepas dari dua keadaan : Pertama : Keluhan tersebut
dengan cara menampakkan kecemasan dan keputus asaan, dan ini tidak diragukan adalah perkara
yang makruh karena menunjukkan akan lemahnya iman dan tidak adanya keridhaan terhadap
ketetapan Allah dan takdirnya.
Kedua : Dengan cara mengabarkan tentang keadaan tanpa adanya niatan untuk memohon kepada
para makhluk atau ketergantungan kepada mereka, dan hal ini tidak diragukan tentang bolehnya
dan dalil menguatkan akan bolehnya hal tersebut.

Dari Al-Qasim bin Muhammad dia berkata : “Aisyah berkata : “ Aduh kepalaku, rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam berkata : “ Yang demikian itu kalau saja terjadi dan saya masih hidup
niscaya saya akan memohonkan ampunan untukmu dan mendoakan kesembuhan untukmu. Aisyah
berkata : “ Demi Allah sungguh saya menyangka engkau menyukai kematianku, dan kalaulah hal
itu terjadi mungkin engkau akan berada di akhir hari engkau dalam keadaan menjadi pengantin
dengan sebagian istri-istri engkau.” Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berkata : “ Bahkan saya yang
mengaduhkan sakit kepalaku … al-hadits“.
Dari Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anhu dia berkata : “Ssaya pernah masuk kepada Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam dan beliau dalam keadaan sakit demam, saya pun menyentuh beliau dengan
tangan saya dan berkata : “ Sesungguhnya engkau mengalami demam yang sangat, beliau berkata
: “ Benar sebagaimana demamnya dua orang dari kalian”.
Abdullah bin Mas‟ud berkata : “Apakah anda akan mendapat dua pahala? “ Beliau berkata : “ Iya,
tidak lah seorang muslim yang tertimpa musibah berupa sakit dan musibah lainnya kecuali Allah
akan menggugurkan dosa-dosa kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daunnya”
10. Menangis Ketika Sakit :
Yaitu bagaimanakah hukumnya? Apakah hal tersebut disyariatkan ataukah terlarang? Yang nampak
bagi kami berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam adalah boleh.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 133


Abdullah bin Umar radhiallahu „anhuma meriwayatkan dia berkata : ” Sa‟ad bin Ubadah menderita
suatu penyakit, kemudian Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menjenguknya bersama Abdurrahman
bin „Auf dan Sa‟ad bin Abi Waqqaash dan Abdullah bin Mas‟ud radhiallahu „anhum maka ketika
beliau masuk kepada Sa‟ad bin Ubadah beliau mendapatinya berada di dalam kerumunan
keluarganya, beliau berkata : “ Apakah telah wafat?” Mereka berkata : “ Tidak wahai Rasulullah,
maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pun menangis, dan ketika kaum tersebut melihat tangisan
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , mereka menangis. Nabi bersabda : “ Tidakkah kalian
mendengar bahwa Allah tidak mengadzab hanya karena tetesan air mata dan tidak pula dengan
kesedihan hati akan tetapi Allah mengadzab dikarenakan ini beliau mengisyaratkan kepada lisan
atau Allah akan mengasihani, sesungguhnya mayyit diadzab dikarenakan tangisan keluarganya
atas kematiannya”.
Hadits ini menunjukkan bolehnya menangis di sisi orang yang sakit, dan terlebih lagi di sisi mayyit
akan tetapi tangisan yang tidak ada jeritan histeris, disebabkan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
melarang ratapan.

11. Doa Apa Saja Yang Diucapkan Di Sisi Orang Yang Sakit :
Sepatutnya bagi orang yang menjenguk orang sakit agar tidak mengucapkan suatu ucapan kecuali
yang baik, karena malaikat mengaminkan atas ucapannya itu. Hal itu telah dijelaskan di dalam
hadits Ummu Salamah radhiallahu „anha, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : ” Apabila kalian menghadiri orang yang sakit atau mayyit maka ucapkanlah ucapan
yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan “, Ummu
Salamah berkata : “ Ketika Abu Salamah meninggal saya mendatangi Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam, saya berkata : “ Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Salamah telah meninggal ”. Nabi
bersabda : “ Ucapkanlah : Wahai Allah ampunkanlah bagiku dan baginya, dan balaslah aku dari
musibahku dengan balasan yang baik “, Ummu Salamah berkata : “ Aku berkata : maka Allah
membalasku dengan orang yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah yaitu Muhammad
Shallallahu „alaihi wa sallam “.
Disunnahkan bagi orang yang menjenguk agar mendoakan orang yang sakit dengan memohon
rahmat dan ampunan, dan agar dibersihkan dari dosa-dosa serta keselamatan dan kesehatan. Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengajarkan beberapa doa, sepatutnya bagi orang yang
menjenguk untuk berdoa dengan doa tersebut, karena doa-doa tersebut bersumber dari al-
ma‟shum yang telah diberi jawami al-kalim (kalimat yang ringkas lagi penuh hikmah), yang tidak
berucap dari hawa nafsu hanyalah berupa wahyu yang diwahyukan kepadanya,
Diantara doa-doa beliau Shallallahu „alaihi wa sallam :
a. “Mudah-mudahan tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat mensucikan insya Allah”.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma : “bahwasanya nabi Shallallahu „alaihi wa sallammasuk ke
rumah salah seorang arab badui dalam rangka menjenguknya. Ibnu Abbas berkata : “ Apabila
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi rumah orang yang sakit untuk menjenguknya beliau
berkata : ” Mudah-mudahan tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat mensucikan dari dosa insya
Allah”.
Maka Nabi berkata kepadanya : “ Mudah-mudah tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat
mensucikan dari dosa insya Allah. Arab badui itu berkata : “ Engkau mengatakan dapat
mensucikan? Sekali-kali tidak, bahkan dia adalah demam yang ditakuti – atau yang bergejolak –
atas orang tua renta , dan membuatnya diusung kekubur. Maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
berkata : “Alangkah baiknya jikalau begitu”.

Ucapan beliau : “Mudah-mudahan tidak mengapa ” yaitu bahwa sakit itu dapat menggugurkan dosa
kesalahan, maka apabila mendapat kesehatan maka seseorang telah mendapat dua faedah. Dan
kalau saja tidak maka dia mendapat pahala pengguguran dosa.
Dan perkataan beliau : “Mudah-mudahan dapat mensucikan dosa” kedudukannya sebagai khabar
dari mubtada‟ mahdzuuf. Yaitu sakit yang mensucikan bagimu dari dosa-dosamu yaitu sebagai
pensuci, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar.

Ada beberapa faedah yang terkandung di dalam hadits ini yaitu bahwa seyogyanya bagi orang yang
sakit agar menerima doa kebaikan orang lain untuknya, dan jangan sampai menggerutu dari doa
kebaikan untuk mensucikan dari mereka untuknya dengan doa pensucian dari dosa-dosanya
sebagaimana keadaan Arab badui tadi yang ada di dalam hadits.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 134


b. “Ya Allah Sembuhkanlah ….Fulan” Sekali – Atau Tiga Kali.
Doa ini terdapat di dalam hadits Sa‟ad bin Abi Waqqash, ketika Rasulullah menjenguknya ketika dia
dalam keadaan sakit, dan dalam hadits tersebut : ” Kemudian Nabi meletakkan tangannya di atas
kening beliau kemudian mengusap tangannya di atas wajah dan perutku kemudian berkata : “ Ya
Allah sembuhkanlah Sa‟ad …” Dan dalam riwayat Muslim : ” Ya Allah sembuhkanlah Sa‟ad Ya Allah
sembuhkanlah Sa‟ad sampai tiga kali”.

Ibnul Jauzi berkata : “ Pada sabda beliau : “Ya Allah sembuhkanlah Sa‟ad” merupakan dalil atas
disunnahkannya mendoakan kesehatan/kesembuhan untuk orang yang sakit.

c. “Saya Memohon Kepada Allah Yang Maha Agung Penguasa Arsy Yang Agung Agar Berkenan
Menyembuhkanmu” Sebanyak Tujuh Kali.

‫أسأؿ اهلل العظلم رب العرش العظلم أف يشفل‬


Dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam beliau bersabda: ”
Barang siapa yang menjenguk orang yang sakit yang ajalnya belum hadir dan mengucapkan di
sisinya sebanyak tujuh kali : “ Saya memohon kepada Allah yang maha agung penguasa Arsy yang
agung agar berkenan menyembuhkanmu. Niscaya Allah akan memberinya kesembuhan dari
penyakit tersebut”.

d. “Ya Allah Sembuhkanlah Hambamu Yang Membunuh Musuh UntukMu Dan Senantiasa Berjalan
Menuju Shalat [dalam riwayat yang lain : Berjalan Menuju Jenazah Yang Hendak Dikubur]”
Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, dia berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ”
Apabila seseorang datang menjenguk orang yang sakit hendaknya dia mengucapkan : Ya Allah
sembuhkanlah hambamu yang membunuh musuh untukMu dan senantiasa berjalan menuju shalat
“ Dalam riwayat Abu Daud : ” atau yang berjalan kepadamu menuju jenazah yang akan dikubur“.

12. Meletakkan Tangan Di Atas Tubuh Orang Yang Sakit :


Disunnahkan bagi orang yang menjenguk agar meletakkan di atas jasad orang yang sakit dan
mendoakannya. Meneladani Nabi kita Shallallahu „alaihi wa sallam , dan terkadang meletakkan
tangan ini ada pengaruh di dalam meringankan sakit atau menghilangkannya secara keseluruhan,
akan tetapi tidak mungkin untuk mengharuskan hal tersebut dikarenakan tidak adanya nash-nash
yang khusus didalam masalah tersebut “.

Ibnul Baththal berkata : “ Meletakkan tangan di atas tubuh orang yang sakit adanya sikap
menghibur baginya dan untuk mengetahui seberapa parah sakitnya agar seseorang mendoakan
kesembuhan untuknya sesuai sakitnya yang nampak. Mungkin saja seseorang merukyahnya
dengan tangannya dan mengusap di atas tempat yang sakit dengan rukyah yang dapat memberi
manfaat kepada orang yang sakit, apabila yang menjenguk adalah orang yang shalih “.
Saya katakan (Ibnu Hajar): “ Terkadang orang yang menjenguk mengetahui pengobatan dan
mengetahui penyakit sehingga dia dapat menerangkannya pengobatan yang sesuai bagi orang
yang sakit sesuai dengan penyakitnya itu.

Dan penyebutan tentang peletakan tangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang mulia datang di
beberapa hadits. Di dalam hadits Sa‟ad bin Abi Waqqash yang telah dikemukakan didepan : ”
Kemudian Nabi meletakkan tangannya di atas keningnya, kemudian mengusapkan tangannya di
atas wajah dan perut saya kemudian mengucapkan : Ya Allah sembuhkanlah Sa‟ad…..al-hadits”.
Dari Aisyah radhiallahu „anha, beliau berkata : ” Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
menjenguk orang yang sakit beliau meletakkan tangannya di atas tempat yang terasa sakit
kemudian mengucapkan : Bismillah“.

13. Meruqyah Orang Yang Sakit :


Disunnahkan bagi orang yang menjenguk untuk meruqyah (menjampi) orang yang sakit,
sebagaimana Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah melakukannya, terlebih lagi apabila orang
yang menjenguk termasuk orang yang bertakwa dan shaleh. Dikarenakan ruqyah orang seperti ini
lebih bermanfaat daripada orang yang selainnya, sebab keshalehan mereka dan ketakwaannya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 135


Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah meruqyah sebagian orang yang sakit dari keluarganya
dan dari selain keluarganya, dan beliau membolehkan kepada sebagian sahabatnya atas ruqyah
mereka, kami akan bawakan diantara ruqyah tersebut apa yang dapat kami sebutkan berikut ini,
diantaranya adalah :

a. Ruqyah Dengan Al-Mu‟awwidzat.


Dari Aisyah Ummul Mu‟minin radhiallahu anha, dia berkata : ” Apabila salah seorang dari keluarga
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam sakit, beliau meniupkan kepadanya dari al-
mu‟awwidzat…..al-hadits“[42].

b. Ruqyah dengan Fatihatul Kitab.


Tentang hal ini ada kisah yang terjadi pada Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu bersama
pemimpin satu kaum yang terkena sengatan berbisa. Lalu Abu Sa‟id radhiallahu „anhu
meruqyahnya dengan fatihatul kitab, kemudian Abu Sa‟id diberi sepotong kambing, namun beliau
enggan untuk menerimanya dan berkata : “ Sampai saya sebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam, maka datanglah dia kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan menyebutkan
hal itu kepada beliau, beliau berkata : “ Wahai rasulullah, demi Allah tidaklah saya meruqyah
kecuali dengan fatihatul kitab, beliau tersenyum dan berkata : “Bagaimana engkau bisa tahu bahwa
surat itu adalah ruqyah?” kemudian beliau berkata : “Ambillah pemberian itu dari mereka, dan
bagikan satu bagian untukku bersama kalian”.
c. Meruqyah dengan “hilangkanlah kesusahan, wahai rabb manusia, sembuhkanlah engkaulah
penyembuh tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak
menyisakan penyakit”

ً‫شفاء ال يغادر سقما‬


ً ،‫ ال شفاء إال شفاؤؾ‬،‫ أشش وأنت الشافي‬،‫ رب الناس‬،‫أ ْذه البأس‬
Dari Aisyah radhiallahu „anha, ” Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi orang
yang sakit atau didatangkan kepadanya orang yang sakit, beliau mengucapkan : “ Hilangkanlah
kesusahan wahai Rabb manusia sembuhkanlah, engkaulah penyembuh tidak ada kesembuhan
kecuali kesembuhan darimu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit” adapun pada riwayat
dari Muslim : ” Apabila beliau mendapati salah seorang dari kami mengeluh sakit beliau
mengusapnya dengan tangan kanannya kemudian mengucapkan : ” Hilangkanlah kesusahan wahai
Rabb manusia… al-hadits”.

d. Ruqyah dengan “dengan nama Allah saya meruqyahmu, dari segala sesuatu yang
mengganggumu, dari kejahatan setiap jiwa atau mata yang hasad, Allah yang menyembuhkanmu,
dengan nama Allah saya meruqyahmu”.
ٍ ‫ من كل‬، ‫باسم اهلل أرقل‬
ٍ ‫ من شر كل‬، ‫شيء يؤذي‬
‫ باسم اهلل أرقل‬، ‫نفس أو علن اسد اهلل يشفل‬
Dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu : ” Bahwa Jibril datang kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam dan berkata : wahai Muhammad apakah kamu mengeluh sakit? Beliau berkata : “ Iya “.
Jibril mengucapkan : “ Dengan nama Allah saya meruqyahmu dari segala sesuatu yang
mengganggumu, dari kejahatan jiwa atau mata yang hasad, Allah yang menyembuhkanmu,
dengan nama Allah saya meruqyahmu ” .

e. Ruqyah dengan bacaan “dengan nama Allah tanah negeri kami dengan ludah sebagian dari kami
dapat menyembuhkan penyakit kami dengan izin rabb kami”.

‫بسم اهلل تربة أرضنا بريقة بع نا يشفى سقلمنا بإذف ربنا‬

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 136


Dari Aisyah radhiallahu „anha : ” Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah mengucapkan
kepada orang yang sakit : Dengan nama Allah tanah negeri kami dengan ludah sebagian dari kami
dapat menyembuhkan penyakit kami dengan izin Rabb kami” Lafazh dari riwayat Muslim : ” Apabila
seseorang mengeluh ada sesuatu darinya ataukah ada bisul atau luka, beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam mengucapkannya dengan jarinya seperti ini. Sufyan meletakkan jari telunjuknya di atas
tanah kemudian mengangkatnya : ” Dengan nama Allah, tanah negeri kami dengan ludah sebagian
dari kami dapat menyembuhkan penyakit kami dengan izin Rabb kami”. An-Nawawi berkata : “
Makna hadits ini: bahwa beliau mengambil dari ludahnya sendiri di atas jari telunjuknya, kemudian
meletakkannya di atas tanah dan melekatkan sesuatu dengan jari tersebut dari tanah dan
mengusap dengan tanah di atas tempat luka atau penyakit dan mengucapkan doa dalam keadaan
mengusap wallahu a‟lam .
Catatan penting : sebagian manusia ketika menziarahi orang yang sakit sangat bersemangat
untuk menyertakan seikat bunga mawar yang dia berikan kepada orang yang sakit, dan sebagian
lainnya menuliskan padanya ungkapan-ungkapan dan harapan-harapan kesembuhan yang segera
dan yang semisal ini, dan hal ini menurut mereka lebih utama apa diberikan kepada orang sakit.
Sedangkan sebagian besar diantara kaum manusia mengetahui bahwa taqlid (ikut-ikutan) ini
datangnya negeri orang-orang Nashara, yang mana kita dilarang bertasyabbuh (menyerupakan
diri) dengan mereka, dan bertasyabbuh kepada orang-orang Yahudi dan Nashara merupakan
perkara yang diharamkan.
Maka sangat mengherankan keadaan mereka yang menggantikan doa pensucian dosa, rahmat,
ampunan dan kesehatan bagi orang yang sakit dengan ungkapan-ungkapan kosong, dan harapan-
harapan yang tidak dapat mempercepat dan tidak pula mengakhirkan! Dan menggantikan ruqyah
(jampi) yang syar‟i dari ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi dengan seikat bunga mawar
yang mungkin dapat layu sehari atau dua hari setelahnya! Ya Allah tunjukkanlah kami jalanMu
yang lurus bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula orang-orang yang sesat.
Amin.
14. Mentalqin (Menuntun) Orang yang Sakit untuk Mengucapkan Syahadat Apabila Ajal
Menjelang dan Menutupkan Kedua Matanya Serta Mendo‟akan Kebaikan Baginya Apabila
Telah Meninggal
Ketika ajal orang yang sakit semakin dekat dan tanda-tanda kematian telah nampak atasnya, maka
disunnahkan bagi orang yang menjenguknya untuk mengingatkan bagi orang yang sakit akan
rahmat Allah luas dan agar jangan dia putus asa dari rahmat tersebut, berdasarkan hadits Jabir
radhiallahu „anhu dia berkata : “Saya mendengar Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tiga hari
sebelum kematiannya beliau berkata : ” Janganlah salah seorang dari kalian mati kecuali dia
berbaik sangka kepada Allah Azza wa Jalla”.

Para Ulama berpendapat : Makna berbaik sangka kepada Allah -Ta‟ala- : Seseorang menyangka
bahwa Allah akan merahmatinya dan memaafkannya, An-Nawawi yang mengucapkanya.
Dan juga disunnahkan baginya untuk menalqin (menuntun) untuk mengucapkan syahadat dengan
lemah lembut. Dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda : ” Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan mati diantara kalian kalimat
Laa ilaaha illallaah“.
An-Nawawi berkata : “ Perintah mentalqin (menuntun) ini adalah perintah yang bersifat sunnah,
dan para ulama telah sepakat akan disyariatkannya talqin ini dan mereka memakruhkan kalau
terlalu sering dilakukan kepada orang yang sakit dan terus menerus agar jangan sampai berkeluh
kesah dengan keadaannya yang tertekan dan beratnya penderitaannya sehingga dia membencinya
di dalam hati dan mengucapkan ucapan yang tidak layak.
Para ulama berpendapat : “ Apabila orang yang sakit telah mengucapkannya sekali, jangan dipaksa
untuk mengulanginya kecuali kalau dia mengucapkan perkataan yang lain setelahnya maka dia
diminta untuk mengulanginya lagi agar syahadat tersebut menjadi akhir dari perkataannya.
Dan apabila orang yang sakit itu mati maka disunnahkan bagi orang yang menghadiri kematiannya
untuk memejamkan kedua matanya dan mendoakan kebaikan untuknya, berdasarkan hadits
Ummu Salamah radhiallahu „anha dia berkata : “ Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam masuk
kepada Abu Salamah dan pandangannya telah menatap keatas, maka beliau memejamkannya,

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 137


kemudian bersabda : ” Sesungguhnya ruh apabila telah digenggam pandangan mata akan
mengikutinya”.
Orang-orang dari keluarganya pun histeris, maka beliau bersabda : ” Janganlah kalian mendoakan
kejelekan atas diri-diri kalian kecuali dengan doa yang baik. Sesungguhnya malaikat mengaminkan
atas apa yang kalian katakan” Kemudian beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :

‫ واغفر لنا وله يارب‬،‫ واخلفه في عقبه في القابرين‬،‫ وارفع درجته في المهديلن‬،‫اللهم اغفر ألبي سلمة‬
‫ ونور له فله‬، ‫ وافس له في قبر‬،‫العالملن‬
” Ya Allah berilah ampunan kepada Abu Salamah, angkatlah derajatnya bersama orang-orang yang
mendapat hidayah, dan gantikanlah pada anak keturunannya bersama orang-orang yang masih
tersisa, berikanlah ampunan kepada kami dan kepadanya wahai Rabb semesta alam, lapangkanlah
baginya di dalam kuburnya, dan berikanlah baginya cahaya di dalamnya”

BAB 15
ADAB-ADAB BERPAKAIAN DAN BERHIAS

Allah -Ta‟ala- berfirman :

‫ت للَّل ِه‬ ِ َٰ‫َنزلنَا َعلَل ُكم لِباسا يػ َٰوِري سوءَٰتِ ُكم وِريشا ۖ ولِباس لتَّلقو َٰى َٰذَلِ َ َخلر ۚ َٰذَلِ َ ِمن ءاي‬ َ ‫اد َـ قَد أ‬ َ ‫َٰيَبَنِي َء‬
ََ َ ُ ََ َ َ َ َُ َ
ِ ‫لشل َٰطَن َكما أَخرج أَبػوي ُكم ِّمن لج ِنَّلة ين ِزعُ َع‬ ِ
‫اس ُه َما‬
َ َ‫نه َما لب‬
ُ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ ‫اد َـ َال يَفتنَػنَّل ُك ُم َّل‬ َ ‫ٕ َٰيَبَنِي َء‬ٙ ‫لَ َعلَّل ُهم يَ َّلذ َّلك ُرو َف‬
ِ ‫لش َٰل ِطلن أَولِلاء لِلَّل ِذين َال ي‬ ُ َ ‫وءَٰتِ ِه َما ۚ إِنَّلۥهُ يَػ َرَٰ ُكم ُه َو َوقَبِللُ ۥهُ ِمن‬ ِ
‫ؤمنُو َف‬ ُ َ َ َ َ َ ‫لث َال تَػ َرونَػ ُهم ۗ إِنَّلا َج َعلنَا َّل‬ َ ‫للُ ِريَػ ُه َما َس‬
ٕٚ
“ Wahai bani Adam, telah kami turunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi auratkalian dan
juga perhiasan. Sedangkan pakaian takwa , demikian itu lebih baik. Demikian itu adalah salah satu
dari ayat-ayat Allah, agar mereka mau mengingatnya. Wahai Bani Adam, janganlah sampai
syaithan menimpakan fitnah kepada kalian sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua orang tua
kalian dari surga, dan meninggalkan pakaian mereka berdua sehingga auratnya tersingkap.
Sesungguhnya syaithan, dia dan pengikutnya dapat melihat kalian dari tmepat yang kalian tidak
dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan para syaithan sebagai wali bagi
orang-orang yang tidak beriman “( Al-A‟raf : 26 – 27 ).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash radhiallahu „anhuma, dia berkata : Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam berkata : ” Makan, minum, bersedekah dan berpakainlah kalian tanpa
berlebih-lebihan dan berbuat kesombongan”.

Di antara adab-adab mengenakan pakaian dan berhias :


1. Wajibnya Menutup Aurat :
Allah telah memberikan nikmat kepada hamba-hambanya yang mana Allah menutup mereka
dengan pakaian yang hakiki, kemudian membimbing mereka kepada pakaian lainnya yang ma‟nawi
yang lebih besar kedudukannya daripada pakaian yang pertama, Allah Jalla wa „Ala :
“ Wahai bani Adam, telah kami turunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan
juga perhiasan. Sedangkan pakaian takwa , demikian itu lebih baik. Demikian itu adalah salah satu
dari ayat-ayat Allah, agar mereka mau mengingatnya. Wahai Bani Adam, janganlah sampai
syaithan menimpakan fitnah kepada kalian sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua orang tua
kalian dari surga, dan meninggalkan pakaian mereka berdua sehingga auratnya tersingkap.
Sesungguhnya syaithan, dia dan pengikutnya dapat melihat kalian dari tmepat yang kalian tidak

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 138


dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan para syaithan sebagai wali bagi
orang-orang yang tidak beriman “( Al-A‟raf : 26 – 27 ).
Ibnu Katsir berkata – di dalam menafsirkan ayat ini – Allah memberikan nikmat kepada hamba-
hambanya dengan apa yang telah dia jadikan bagi mereka berupa libas (pakaian) dan risyah
(perhiasan), libas yang menutup aurat dan aurat adalah as-sauaat, dan Ar-Risy adalah apa yang
dipakai untuk berhias secara zhahir, maka yang pertama termasuk perkara yang darurat dan Ar-
Risy termasuk perkara yang sekunder dan berupa kebutuhan tambahan.
Dan menutup aurat termasuk dari adab-adab yang agung yang diperintahkan didalam agama
Islam, bahkan laki-laki dan perempuan dilarang melihat kepada aurat sebagian mereka
dikarenakan akan mengakibatkan mafsadah . Syariat telah mengantisipasi setiap pintu yang dapat
menghantarkan kepada kejelekan, dan aurat merupakan seuatu yang oleh seorang manusia tidak
senang menampakkannya, melihatnya. Karena kata aurat itu diambil dari kata al-aur yang artinya
adalah al-aib (yang memalukan), dan setiap sesuatu yang kamu tidak suka memandang
kepadanya, karena memandang kepadanya dianggap sebagai sesuatu yang aib (memalukan),
sebagaiman perkataan Ibnu Utsaimin.
Dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata :
” Janganlah seorang laki-laki memandang kepada aurat laki-laki, dan jangan pula wanita
memandang kepada aurat wanita, dan janganlah seorang laki-laki berselimut dengan laki-laki lain
dalam satu kain, dan janganlah seorang wanita berselimut dengan wanita lainnya di dalam satu
kain“.

Dari Al-Miswar bin Makhramah radhiallahu „anhu, beliau berkata : “ Saya datang dengan batu berat
yang saya bawa sedangkan saya mengenakan sarung yang tipis, beliau berkata : “Tiba-tiba sarung
saya terlepas sedangkan ada bersamaku batu yang tidak dapat saya letakkan di tempatnya sampai
saya membawanya ke tempatnya, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Kembali
engkau ke kainmu dan kenakanlah. Jangan kamu berjalan dalam keadaan telanjang”[6].
Dan Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya dia berkata : “Saya berkata wahai Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam : Manakah aurat kami yang kami harus jaga dan yang boleh kami
tampakkan ? Beliau berkata : “ Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budak yang kamu miliki.
Beliau berkata : “Saya berkata : wahai Rasulullah apabila ada satu kaum sebagian mereka berada
bersama sebagian lainnya ? Beliau berkata : “ Apabila kamu mampu agar tidak seorang pun dapat
melihat auratmu maka jangan sampai mereka melihatnya. Beliau berkata : “ Saya berkata : Wahai
Rasulullah : Apabila salah seorang dari kami dalam keadaan bersendiri ?” Beliau Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda : “ Allah lebih berhak untuk seseorang malu dari-Nya daripada manusia”.
Aurat laki-laki yang diperintahkan untuk menutupnya – selain dari suami dan budak perempuannya
– mulai dari pusar sampai ke lutut. Dan wanita seluruh badannya adalah aurat – kecuali kepada
suaminya – adapun kepada mahramnya maka bagi mereka boleh melihat kepada apa yang selalu
nampak seperti wajah, kedua tangan, rambut, leher dan yang semisal dengan hal tersebut, dan
aurat wanita bersama anak-anak wanita yang sejenisnya mulai dari pusar sampai ke lutut.
Masalah : Apakah Paha laki-laki Adalah Aurat?
Jawaban : Al-Lajnah Ad-Daa`imah menyatakan : “ Jumhur Fuqaha‟ berpendapat bahwa paha laki-
laki adalah aurat, mereka berdalil dengan hadits-hadits yang sanad hadits-hadits tersebut tiada
yang luput dari kritikan ulama, apakah sanadnya bersambung atau tidak, atau tentang kedhaifan
pada sebagian perawinya, akan tetapi sebagian hadits-hadits tersebut saling menguatkan satu
sama lainnya sehingga menjadikan derajatnya naik dengan menggabungkan seluruh riwayat yang
ada untuk dijadikan hujjah atas masalah yang dibahas. Diantara hadits-hadits tersebut hadits yang
diriwayatkan oleh Malik di dalam Al-Muwathta‟, Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzi dari hadits
Jarhad Al-Aslami radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah
lewat dan ketika itu saya memakai burdah dan paha saya tersingkap, maka beliau berkata : ”
Tutuplah pahamu karena sesungguhnya paha itu aurat” At-Tirmidzi menghasankan hadits ini.
Dan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa paha laki-laki bukan aurat, mereka berdalil
dengan hadits riwayat Anas radhiallahu „anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam membuka
sarung dari pahanya sehingga saya sungguh melihat putih paha beliau. Ahmad dan Al-Bukhari
meriwayatkan dan berkata hadits Anas lebih bagus sanadnya dan hadits Jarhad lebih hati-hati, dan

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 139


pendapat mayoritas ulama lebih hati-hati karena hadits-hadits yang pertama merupakan ketentuan
dalam pembahasan ini, sedangkan hadits Anas radhiallahu „anhu masih ada masih relatif .
Masalah Lainnya : Sebagian wanita sengaja memakai sebagian pakaian yang menampakkan
tempat-tempat fitnah dari tubuhnya dan perhiasannya bagian dalam, seperti menampakkan
punggung atau paha atau bahagian darinya, atau memakai pakaian yang memperlihatkan
tubuhnya, atau sempit yang menonjolkan bagian-bagian yang dapat menimbulkan fitnah, dan
sebagian mereka beralasan bahwa aurat yang diperintahkan untuk menutupnya diantara wanita
adalah mulai dari pusar sampai ke lutut, dan bahwa mereka hanya memakai pakaian tersebut di
perkumpulan wanita saja, maka apa jawaban atas pernyataan tersebut?
Jawabannya : Tidak diragukan lagi bahwa aurat perempuan bersama perempuan lainnya adalah
apa saja yang ada diantara pusar dan lutut, akan tetapi hal ini disyaratkan apabila aman dari
fitnah, dan yang terjadi pada kebanyakan wanita pada hari ini mereka melewati batasan di dalam
menutup aurat mereka.

Bahkan keadaan ini membawa kepada terfitnahnya sebagian wanita kepada sebagian lainnya.
Sekian banyak kisah yang populer berkaitan dengan mereka – kaum wanta – ini. Ada yang tahu
dan ada pula yang tidak mengetahuinya. Perkumpulan wanita bukanlah alasan di dalam memakai
pakaian yang tidak halal bagi wanita untuk memakainya, bahkan kapan saja pakaian itu sebagai
faktor terjadinya fitnah dan sebagai penggerak tabiat yang jelek maka hal itu diharamkan
walaupun hal itu di tengah-tengah para wanita.
As-Syaikh Ibnu Utsaimin memiliki perkataan tentang memakai pakaian yang sempit, alangkah
baiknya untuk kami sebutkan hal tersebut, beliau berkata : “Memakai pakaian yang sempit yang
menampakkan bagian-bagian tubuh yang dapat menimbulkan fitnah dari tubuh wanita adalah
perkara yang diharamkan. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Dua golongan dari
penduduk neraka yang belum saya lihat : sekelompok laki-laki yang ada bersama mereka cambuk
seperti ekor-ekor sapi, mereka memukulkannya kepada manusia – maksudnya karena kezhaliman
dan aniaya – , dan wanita yang berpakaian lagi telanjang yang menyimpang dari ketaatan Allah
dan memakai sanggul yang miring”.
Dan perkataan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam “mereka berpakaian lagi telanjang” bahwa mereka
memakai pakaian yang pendek tidak menutupi apa yang wajib ditutup dari aurat, dan ditafsirkan
bahwa mereka memakai pakaian yang tipis yang tidak menghalangi pandangan apa yang ada
dibaliknya dari kulit wanita, dan ditafsirkan bahwa mereka memakai pakaian yang sempit yang
mana dia menutupi dari pandangan akan tetapi menampakkan lekuk-lekuk tubuh wanita, dan
berdasarkan ini tidak boleh bagi wanita untuk memakai pakaian yang sempit kecuali kepada orang
yang boleh baginya menampakkan auratnya di sisinya dan dia adalah suaminya karena tidak ada
antara suami dan istri aurat berdasarkan firman Allah ta‟ala :
ِ ِ ‫و لَّل ِذين ُهم لُِفر‬
ِ ‫وج ِهم َٰ ِفظُو َف ٘ إَِّلال َعلَ َٰى أ‬
َ ‫َيمنُػ ُهم فَِإنَّلػ ُهم غَ ُلر َملُوم‬
ٙ ‫لن‬ ََٰ ‫َزوَٰج ِهم أَو َما َملَ َكت أ‬
َ َ ُ َ َ
“ Dan mereka – orang-orang yang beriman – adalah yang menjaga kemaluan mereka. Kecuali bagi
para istri mereka ataukah kepada budak yang mereka milik, karena mereka itu tidak akan dicela
karenanya “( Al-Mu‟minun : 5 – 6 )

Aisyah berkata : ” Saya dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mandi dari satu bejana tangan-
tangan kami berganti-gantian mengambil air pada bejana itu”.

Maka seseorang antara dia dan istrinya tidak ada batasan aurat, adapun antara wanita dan
mahramnya maka wajib bagi wanita menutup auratnya, dan pakaian yang sempit tidak boleh
digunakan di hadapan mahram tidak pula di hadapan para wanita apabila pakaian itu sangat sempit
yang menampakkan bagian tubuh wanita yang menggoda.

Faedah : termasuk perkara adab bersama Allah subhanahu wa ta‟ala, seseorang yang ingin mandi
hendaknya menutup dirinya dengan sesuatu yang dapat menutupinya, lebih khusus lagi orang yang
berada di tempat-tempat yang terbuka yang tidak ada suatu pun yang menghalanginya. Ya‟la
radhiallahu „anhu telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallampernah melihat
seorang laki-laki mandi di Al-Baraz tanpa memakai sarung, maka beliau naik ke mimbar dan
bertahmid serta memuji Allah kemudian berkata : “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla maha pemalu
dan Maha menutupi yang mencintai rasa malu dan sifat menutup diri, maka apabila salah seorang

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 140


dari kalian mandi hendaknya dia menutup dirinya (dari pandangan orang lain)”.
Dan di dalam hadits Hakim dari ayahnya dari kakeknya dia berkata : “….Saya berkata wahai
apabila salah seorang dari kami bersendiri? Beliau berkata : Allah lebih berhak untuk kalian malu
kepadanya dari pada kepada manusia”.

2. Laki-Laki Diharamkan Menyerupai Wanita dan Begitu Juga Wanita Diharamkan


Menyerupai Laki-Laki
Pada perkara tersebut adanya ancaman yang keras dan laknat dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, beliau berkata : ” Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallammelaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”
dan di dalam lafazh yang lain : “Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang
berperilaku layaknya wanita dan wanita yang berperilaku layaknya laki-laki. Dan berkata
keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian.”

Ibnu Abbas berkata : “ Nabi mengeluarkan si fulan dari rumahnya dan Umar mengeluarkan si fulan
dari rumahnya”.

Dan penyerupaan kadang ada pada cara berpakaian, cara berbicara dan terkadang pada cara
berjalan dan yang semisalnya. Maka kapan saja seorang laki-laki mengerjakan apa yang
merupakan kekhususan wanita di dalam cara berjalan, cara berbicara atau cara memakai pakaian
maka dia telah masuk di dalam laknat, atau kapan saja seorang wanita mengerjakan apa yang
merupakan kekhususan laki-laki di dalam cara berjalan, cara berbicara atau cara berpakaian maka
dia telah masuk dalam laknat tersebut.

Masalah : Apabila Penyerupaan Tersebut Merupakan Sifat Asli Seseorang Apakah Dia Masuk Ke
Dalam Laknat Dan Celaan?
Jawab : Ibnu Hajar bekata : “ Adapun seseorang yang penyerupaan tersebut merupakan sifat
aslinya maka ia hanya diperintahkan agar berupaya meninggalkan sifat tersebut dan membiasakan
untuk meninggalkan kebiasaannya itu secara bertahap, apabila dia tidak melaksanakannya dan
terus menerus bersifat seperti itu maka dia masuk ke dalam celaan, terlebih lagi apabila nampak
darinya apa yang menunjukkan akan keridhaan akan sifat tersebut. Hal ini merupakan perkara
yang jelas dari lafazh Al-Mutasyabbihin[19].
3. Disunnahkan Menampakkan Adanya Pemberian Nikmat Dari Allah Dalam Berpakaian
Dan Yang Selainnya :
Disunnahkan bagi orang yang Allah berikan harta agar menampakkan adanya pengaruh nikmat
Allah atasnya dengan memakai pakaian yang indah tanpa adanya sikap berlebih-lebihan dan sikap
sombong, dan janganlah ia terlalu menekan dirinya sendiri atau berlaku kikir dengan hartanya,
bahkan hendaknya dia memakai pakaian yang baru lagi indah dan bersih untuk menampakkan
adanya nikmat Allah atasnya.

Diriwayatkan dari Abu Al-Ahwash dari ayahnya dia berkata : “Saya pernah mendatangi Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam dengan pakaian yang lusuh murahan. Maka beliau berkata : “Apakah
kamu memiliki harta? Abul A‟wash berkata : iya. Beliau berkata : “ Dari harta yang mana? “ Abul
A‟wash berkata : Allah telah memberiku beberapa sapi dan kambing, kuda dan budak. Nabi berkata
: “Apabila Allah telah memberimu harta maka hendaknya engkau menampakkan pengaruh nikmat
dan kemuliaan “.
Dan manusia di dalam hal ini ada dua sisi dan pertengahan, satu kaum ada yang terlalu
menekankan bagi dirinya dan terlalu hemat entahkah itu dengan alasan agama – menurut
persangkaan mereka – ataukah karena kebakhilan. Dan kaum yang berlebih-lebihan dan
melampaui batas mereka membelanjakan banyak harta pada pakaian yang akan mudah usang, dan
kaum yang berada di pertengahan yang mereka menampakkan nikmat Allah kepada mereka dalam
berpakaian tempat tinggal tanpa berlebih-lebihan dan tidak pula menyombongkan diri.
4. Haramnya Menyeret Kain (Menjulurkannya Melebihi Mata Kaki) Karena Sombong
Allah mengancam kepada orang yang menyeret pakaiannya karena kesombongan dan merasa lebih
tinggi dari yang lain bahwa Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari dimana dia sangat
dibutuhkan Rabb semesta alam.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 141


Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret kain sarungnya karena sombong
di hari kiamat”.

Dan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Ketika seseorang
berjalan dalam keadaan memakai pakaian yang menjadikan dirinya terkagum-kagum dengan
rambut jummah (yang tersisir rapi terurai sampai ke pundak) dan Allah membenamkannya di
dalam tanah niscaya dia dalam keadaan berteriak sampai hari kiamat”. Dan dalam riwayat Ahmad :
“Ketika seseorang berjalan dengan penuh kesombongan memakai pakaian yang mengagumkannya
dengan rambut jummah (terurai sampai ke pundak) yang menjadikan kain sarungnya menjulur
sampai ke tanah, lalu Allah membenamkannya maka dia berteriak atau jatuh di dalamnya sampai
hari kiamat”.

Hadits-hadits diatas tadi sebagaimana yang anda lihat menjelaskan haramnya menyeret pakaian
dengan penuh kesombongan dan merasa lebih tinggi dari manusia lainnya. Demikian itu karena
kesombongan bagian dari sifat Allah Azza wa Jalla, dan sifat itu adalah sifat kesempurnaan bagi-
Nya subhanahu. Tidak sepatutnya bagi makhluk menjadikan sifat ini ada padanya. Abu Said Al-
Khudri radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Al-Izzu (kemuliaan) adalah sarung Allah dan Al-Kibriyaa‟ (kesombongan) adalah selendangnya,
maka barang siapa yang menentangku aku akan mengadzabnya” . Pada lafazh riwayat Abu Daud :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Allah „azza wa Jalla berfirman : “Al-Kibriyaa‟
adalah selendangku dan Al-Azhamah adalah sarungku maka barang siapa yang menentangku salah
satu dari keduanya niscaya aku akan melemparkannya ke dalam neraka”.
An-Nawawi berkata : “ Makna “menentangku” : Berakhlak dengan sifat tersebut, sehingga
bermakna saling berserikat dalam sifat tersebut, dan ini merupakan ancaman yang keras terhadap
sifat sombong, dan penjelasan terhadap pengharamannya[26].

Faedah : Pakaian yang bagus, baik yang berharga atau yang tidak berharga, tidaklah dianggap
bagian dari kesombongan yang pelakunya diancam dengan ancaman keras, dan yang tercela ada
pada orang yang di dalam hatinya bersemayam sifat sombong, berjalan dengan penuh
kecongkakan meremehkan orang lain dan „ujub/kagum akan diri dan penampilannya maka hal ini
yang tercela.

Ibnu Hajar berkata : “ Keseluruhan dalil yang ada menjelaskan bahwa barang siapa yang
memaksudkan dengan pakaiannya yang bagus untuk menampakkan dan menunjukkan nikmat
Allah kepada-nya serta bersyukur atas nikmat tersebut tanpa merendahkan orang yang tidak
memiliki hal yang semisal dirinya, maka pakaian mubah yang dikenakannya tidak akan
memudharatkannya walaupun yang pakaian yang dia pakai sangat berharga.
Di dalam shahih Muslim dari Ibnu Mas‟ud : ” Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Tidak akan masuk surga orang yang ada di hatinya seberat biji dzarrah dari sifat
sombong, maka seseorang berkata : Sesungguhnya seseorang menyenangi pakaiannya bagus dan
sendalnya bagus, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya Allah itu indah
mencintai sesuatu yang indah, kesombongan itu berupa penolakan kebenaran dan merendahkan
manusia”.

Catatan penting : Ibnu Hajar berkata : “ Dari konteks hadits-hadits diatas[29] dapat diambil
suatu ulasan bahwa kaitan sifat sombong dengan menyeret pakaian untuk menjelaskan seringnya
hal itu terjadi. Dan penolakan kebenaran serta berjalan dengan kecongkakan adalah perkara yang
tercela walaupun bagi orang yang menyingsingkan lengan baju.
5. Haramnya Pakaian Syuhrah (Pakaian Kebesaran Agar Seseorang Menjadi Terkenal
Karena Pakaian Tersebut)
Kebanyakan orang – khususnya wanita – berlomba-lomba memakai pakaian yang bernilai tinggi
dengan harapan agar orang-orang mengangkat pandangan mereka kepadanya dan pakaiannya
menjadi masyhur diantara mereka, diiringi sifat ingin lebih tinggi kedudukannya dari yang lain,
congkak dan sombong kepada mereka.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 142


Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Barang siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia niscaya Allah
memakaikannya pakaian kehinaan di hari kiamat” dan diriwayatkan dengan lafazh “pakaian yang
semisalnya”.

Ibnu Al-Atsir berkata : “ As-Syuhrah adalah menampakkan sesuatu, dan yang dimaksud adalah
bahwa pakaian seseorang terkenal diantara manusia dikarenakan perbedaan warna dari warna-
warna pakaian mereka maka orang-orang pun mengangkat pandangan mereka kepadanya
sehingga membuatnya meremehkan mereka dengan sifat „ujub dan takabbur.
Ibnu Raslan berkata : “Karena memakai pakaian syuhrah di dunia untuk menjadi mulia dengannya
dan menyombongkan diri atas orang lain maka Allah akan memakaikannya di hari kiamat pakaian
yang terkenal dengan kehinaannya dan meremehkannya diantara mereka sebagai hukuman
baginya, dan hukumannya sesuai jenis amalan seseorang …dan perkataan Nabi : “pakaian
kehinaan” yaitu Allah memakaikan kepadanya di hari kiamat pakaian kehinaan, dan maksudnya
adalah pakaian yang menyebabkan kehinaan di hari kiamat sebagaimana seseorang itu memakai
pakaian di dunia agar dimuliakan oleh manusia dan untuk keangkuhan didepan mereka ,
sebagaimana dikatakan didalam „Aun Al-Ma‟bud.
Catatan : pakaian syuhrah bukanlah khusus dengan nilainya yang berharga tinggi, bahkan setiap
pakaian – walaupun rendah nilainya – akan tetapi menghantarkan kepada syuhrah, dan tujuan
orang yang memakainya agar menjadi terkenal diantara manusia maka dia adalah pakaian
syuhrah, sebagaimana seseorang yang memakai pakaian yang kumuh dan compang-camping agar
manusia meyakini ada padanya sifat zuhud dan wara‟, dan yang semisalnya.
Ibnu Taimiyah berkata : “Pakaian syuhrah itu dimakruhkan , karena merupakan pakaian
kesombongan dan keluar dari kebiasaan manusia, dan pakaian rendahan yang keluar dari
kebiasaan. Sesungguhnya para salaf dahulu menganggap makruh dua jenis syuhrah, pakaian
kesombongan dan pakaian rendahan, dan di dalam hadits : “Barang siapa yang memakai pakaian
syuhrah Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan” dan perkara yang terbaik adalah perkara
yang ada di pertengahan.

6. Haramnya Emas dan Sutera Bagi Laki-Laki, Kecuali Karena Udzur


Diharamkan bagi laki-laki memakai emas dan sutra, dan dibolehkan bagi wanita, emas merupakan
perhiasan yang dipergunakan kaum wanita untuk berhias – dan demikian pula sutra – , adapun
laki-laki dialah yang mengharapkan bukan yang diharapkan – untuk memakainya – Dimana emas
dan sutra mengandung tambahan kesenangan yang menggoyahkan kekakuan laki-laki dan
kekerasannya, maka bagaimana jika perkara tersebut terlarang oleh syariat, tentu yang wajib
adalah berserah diri terhadap ketetapan syariat.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu „anhu, beliau berkata : “ Sesungguhnya Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam pernah mengambil kain sutra dan menjadikannya di sebelah
kanannya, dan mengambil emas dan menjadikannya di sebelah kirinya kemudian beliau bersabda :
“ Sesungguhnya kedua benda ini haram atas laki-laki dari ummatku”.

Dan dari Abu Umamah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang memakai sutra di dunia dia tidak akan
memakainya di akhirat”.

Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Sesungguhnya beliau
melarang dari cincin emas”.

Berikut atsar-atsar yang telah dikemukakan sebelumnya – dan yang selainnya – menunjukkankan
haramnya emas dan perak bagi laki-laki, kecuali ada beberapa keadaan yang dikecualikan dari
pengharaman ini : boleh bagi laki-laki memakai sutra apabila ada padanya gatal dan dia terganggu
dengan gatal tersebut, dari Anas radhiallahu „anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memberi keringanan kepada Abdurrahman bin Auf dan Az-Zubair memakai gamis yang terbuat dari
sutra karena gatal yang diderita oleh keduanya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 143


Dan dibolehkan bagi seseorang memakainya di dalam peperangan, atau menolak kemudharatan
seperti orang yang tidak mendapatkan pakaian kecuali pakaian sutra untuk menutup auratnya,
atau untuk menghalau rasa dingin. Dibolehkan memakai sutra apabila sebagian dari pakaian kira-
kira empat jari atau kurang dari itu, berdasarkan hadits Umar bin Al-Khaththab dia berkata : ”
Nabiyullah Shallallahu „alaihi wa sallam melarang memakai sutra kecuali seluas dua atau tiga atau
empat jari.
Dibolehkan memakai emas – untuk pengobatan – bagi laki-laki karena darurat, sebagaimana yang
terjadi pada Arfajah radhiallahu „anhu, dari Abdurrahman bin Tharfah bahwa kakeknya Arjafah bin
As‟ad hidungnya terpotong di hari peperangan Al-Kullab, maka dia membuat hidung dari daun
namun daun itu berbau dan mengganggu dirinya, maka Nabi memerintahkannya untuk mengganti
dengan yang terbuat dari emas.
Masalah : Apakah boleh anak-anak memakai sutra?
Jawab : Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah berkata : Adapun memakaikan sutra bagi anak-anak, yang
belum mencapai usia baligh, maka ada dua pendapat yang populer di kalangan ulama, namun yang
paling tepat dari kedua pendapat tadi adalah pendapat yang mengatakan tidak bolehnya, karena
perbuatan apa yang haram diperbuat oleh laki-laki dewasa maka haram pula pemakaiannya bagi
anak kecil. Seseorang diwajibkan untuk menyuruh anak kecil mengerjakan shalat ketika dia
mencapai umur tujuh tahun, dan memukulnya ketika dia mencapai umur sepuluh tahun, maka
bagaimana bisa halal baginya untuk memakai hal-hal yang haram.
Umar bin Al-Khaththab pernah melihat ada pada seorang anak kecil anak dari Az-Zubair memakai
pakaian dari sutra maka Umar merobek-robek baju tersebut dan berkata : “ Janganlah kalian
memakaikan mereka sutra. Dan demikian pula Ibnu Mas‟ud pernah merobek baju sutra yang ada
pada anaknya….

7. Laki-Laki Disunnahkan Memendekkan Pakaian dan Wanita Memanjangkannya


Syariat Nabi Muhammad membedakan antara pakaian laki-laki dan dan pakaian perempuan dalam
perkara panjang dan pendek. Syariat membatasi bagi laki-laki apa yang ada antara pertengahan
betisnya sampai apa yang ada di atas kedua mata kaki, dan mengharuskan bagi perempuan untuk
menutup kedua kakinya dan tidak ada suatupun yang nampak darinya, dan yang demikian itu
karena badan perempuan atau satu bagian darinya adalah fitnah bagi laki-laki maka mereka
diperintahkan untuk menutup seluruhnya. Sedangkan laki-laki mereka diperintahkan untuk
mengangkat pakaian mereka, agar sifat sombong dan „ujub serta angkuh tidak masuk ke dalam
hati mereka. Dimana menjulurkan pakaian terkandung kesenangan dan sikap bermewah-mewah
yang tidak sesuai dengan tabiat laki-laki.
Yang mengherankan, mayoritas manusia menyelisihi sunnah dan memutar balikkan perkara, laki-
laki memperpanjang pakaian mereka sampai pakaian mereka menyeret tanah bahkan
menyapunya, dan wanita memperpendek pakaian mereka maka nampaklah betis mereka. Bahkan
diantara mereka ada yang melampaui batas tersebut.

Atsar-atsar berkaitan dengan bab ini banyak sekali dan diketahui oleh kalangan tertentu maupun
bagi kalangan awam. Akan tetapi syahwat dan hawa nafsu yang menyimpang menjadi penghalang
untuk mengikuti kebenaran dan komitmen kepadanya. Kami akan menyebutkan apa yang hadir
dalam ingatan kami di sini sebagai peringatan bagi kaum yang beriman, dan sebagai ancaman bagi
yang bermaksiat lagi menyelisihi perintah syariat –kami memohon kepada Allah agar kita semua
mendapat hidayah dan tetap istiqamah di atas agama-:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallambeliau
bersabda : “ Kain yang melewati di bawah mata kaki dari sarung maka tempatnya di neraka” dan
lafazh dari riwayat Ahmad : “Sarung seorang mukmin dari pertengahan betis ke bawah sampai di
atas mata kaki. Dan yang berada di bawah itu maka tempatnya di neraka".

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 144


Dan dari Abu Dzar radhiallahu „anhu, dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam beliau bersabda : “Tiga
golongan Allah tidak mengajaknya berbicara di hari kiamat dan tidak pula melihat kepada mereka
dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih “. Abu Dzar berkata : “
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam membacakannya sebanyak tiga kali “. Abu Dzar berkata :
“Sungguh merugi mereka itu, siapakah mereka wahai Rasulullah? “ Beliau berkata : “ Al-Musbil
(yang menyeret kainnya yang menutup mata kaki) Al-Mannan (yang selalu menyebut-nyebut
kebaikannya dihadapan orang yang dia beri kebaikannya) dan orang yang membelanjakan barang
dagangannya dengan sumpah palsu ".
Dari Ummu Salamah – istri Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam– beliau berkata kepada Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam ketika beliau menyebutkan tentang al-izar (sarung) “bagaimana
dengan wanita wahai Rasulullah? Dia berkata : “ Dia menurunkan sejengkal “. Ummu Salamah
berkata : “Kalau begitu kakinya masih tersingkap “. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “
Kalau begitu turunkan kebawah sampai satu hasta dan janganlah dia menambahkannnya”.
Catatan penting : Maksud dari memanjangkan pakaian perempuan adalah untuk menutup kedua
kakinya, kalau ada pakaian perempuan yang tidak menutup kedua kakinya dan memakai bersama
dengan pakaiannya itu kaus kaki atau yang semisalnya dari apa yang dapat menutupi maka
hukumnya boleh. Ibnu Utsaimin berkata : “ Karena sesungguhnya menutup kedua kaki perempuan
ada perkara yang disyariatkan bahkan wajib menurut pendapat mayoritas ulama, maka yang
sepatutnya bagi perempuan agar menutup kedua kakinya apakah dengan pakaian yang lebar
ataukah dengan kaos kaki atau kanadir (semacam sepatu wanita) atau yang mirip dengannya.
Catatan penting lainnya : sebagian orang beralasan atas bolehnya isbal (menutup mata kaki)
bagi laki-laki untuk pakaian, dengan perbuatan Abu Bakar radhiallahu „anhu, dan bahwa pakaian
beliau pernah menjulur. Tidak ada hujjah pada permasalah itu bagi seorang pun. Bahkan atsar
tersebut merupakan argument bantahan atas mereka.

Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Barang
siapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong Allah tidak akan melihat kepadanya di hari
kiamat , Abu Bakar berkata : “ Wahai Rasulullah sesungguhnya salah satu dari dua sisi sarung saya
menjulur ke bawah kecuali saya jaga hal itu dari isbal “, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Kamu bukan orang yang membuatnya karena sombong”.
Kami katakan kepada orang yang beralasan tersebut : Kami memperbolehkan bagi anda
menjulurkan pakaian anda apabila anda telah memenuhi tiga perkara : Pertama : Agar
salah satu dari dua sisi sarungmu menjulur ke bawah dan bukan dari seluruh sisi pakaian. Kedua :
Agar anda menjaga pakaian anda dengan mengangkatnya setiap kali terjatuh, sebagaimana Abu
Bakar radhiallallahu „anhu melakukannya, maka hal itu bukan faktor kesengajaan dari anda.
Ibnu Hajar berkata : “Dalam riwayat Ahmad : “Sesungguhnya sarung saya terkadang melorot”,
beliau berkata : Seakan-akan ikatannya lepas apabila dia bergerak ketika berjalan atau yang lain
tanpa adanya kesengajaan darinya, apabila dia menjaga atas pakaian tersebut maka pakaiannya
tidak melorot kebawah karena setiap kali hampir melorot beliau mengencangkan ikatannya.
Ketiga : Nabi bersaksi bagi anda bahwa anda bukan termasuk orang yang melakukannya karena
sombong! Dan yang terakhir ini yang sekarang ini telah tertiadakan dan tidak ada cara untuk
mengadakannya.

Faedah : menyeret pakaian ada tiga macam :


Pertama : Menyeretnya karena sombong. Maka yang semacam ini Allah tidak akan melihat
kepadanya di hari kiamat.
Kedua : Menyeretnya karena maksud tertentu dan terus-menerus seperti itu, dan bukan karena
sombong namun hanya mengikuti kebiasaan manusia. Maka ini terkena padanya sabda Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam: “Kain yang ada di bawah mata kaki dari pakaian maka tempatnya di
neraka”.
Ketiga : menyeretnya karena menghadapi suatu kejadian, dan tidak ada padanya kesombongan,
maka yang terakhir ini tidak apa-apa karena hal itu pernah terjadi pada diri Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam , ketika gerhana matahari : “Beliau bangkit dan menyeret pakaian beliau dengan
tergesa-gesa hingga beliau tiba di masjid”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 145


Ibnu Hajar berkata : ” Hadits ini menerangkan apabila menyeret pakaian karena tergesa-gesa
maka dia tidak termasuk dalam larangan…”. Dan karena hal itu terjadi pada diri Abu Bakar
sebagaimana yang telah kita kemukakan tadi.

8. Wanita Diharamkan Menampakkan Perhiasannya Kecuali Kepada Mereka yang Memang


Allah Kecualikan
Perhiasan wanita terbagi menjadi dua, perhiasan yang nampak ataukah yang bathin, Allah ta‟ala
berfirman :
ِ ِ ِ َٰ ‫ت يغ ُ ن ِمن أ‬ ِ ِ ِّ‫وقُل ل‬
َ ‫ين ِزينَتَػ ُه َّلن إَِّلال َما ظَ َه َر م َنها ۖ َوللَ ِر‬
‫بن‬ َ ‫وج ُه َّلن َوَال يُبد‬ َ ‫ظن فُػ ُر‬َ ‫َبص ِره َّلن َويَ َف‬ َ َ َ َ‫لمؤم َٰن‬ ُ َ
‫ين ِزينَتَػ ُه َّلن إَِّلال لِبُػعُولَتِ ِه َّلن أَو َءابَائِ ِه َّلن أَو َءابَ ِاء بُػعُولَتِ ِه َّلن أَو أَبنَائِ ِه َّلن أَو أَبنَ ِاء‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ب ُ ُم ِره َّلن َعلَ َٰى ُجلُوب ِه َّلن ۖ َوَال يُبد‬
‫بُػعُولَتِ ِه َّلن‬
“ Dan katakanlah – wahai Muhammad – kepada kaum mukminaat, agar supaya mereka
menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Dan agar mereka tidak
menampakkan perhiasan mereka kecuali perhiasan yang nampak. Dan hendaknya mereka
menjulurkan jilbab mereka diatas pakaian mereka. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka kecuali kepada suami mereka atau kepada orang tua mereka atau kepada bapak-bapak
suami mereka atau kepada anak-anak laki-laki mereka … “ (An-Nur : 31)
Firman Allah : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang nampak
dari mereka” yaitu pakaian yang nampak yang berlaku di dalam adat kebiasaan yang seringkali
mereka kenakan, apabila pakaian tersebut bukan pakaian yang akan menyebabkan timbulnya
fitnah. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Sa‟di berkata [11]. Yang tiada lain merupakan pakaian
yang zhahir. Kemudian Allah ta‟ala berfirman : “Dan Janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka” yaitu yang bathin kecuali kepada para suami-suami dan bapak-bapak dan anak-
anak….dst. Pakaian bathin adalah seperti wajah, leher, perhiasan dan dua telapak tangan. Dan dari
sini diketahui bahwa wajah termasuk bagian dari perhiasan yang bathin yang haram bagi wanita
muslimah untuk menampakkannya kecuali kepada mereka yang Allah kecualikan di dalam ayat.
Kemudian Allah ta‟ala berfirman : ( An-Nuur : 31)
ِ ‫وَال ي ِربن بِأَرجلِ ِه َّلن لِلعلَم ما ي ِفلن ِمن ِزينتِ ِه َّلن ۚ وتُوبواْ إِلَى للَّل ِه ج ِملعا أَيه لم‬
‫ؤمنُو َف لَ َعلَّل ُكم تُفلِ ُ و َف‬ ُ َ ً َ ُ َ َ َ ُ ََ ُ ُ َ َ َ
“Dan janganlah mereka memukul dengan kaki-kaki mereka agar diketahui perhiasan mereka yang
tersembunyi “. Yaitu :Janganlah mereka memukulkan ke tanah dengan kaki-kaki mereka, agar
berbunyi apa yang ada pada mereka dari perhiasan, seperti gelang-gelang kaki dan selainnya,
sehingga diketahui perhiasan yang dimilikinya, sehingga menjadi wasilah/perantara kepada fitnah.
9. Diharamkan Memakai Pakaian yang Bersalib atau Bergambar
Maksud kata Shalban adalah apa yang ada padanya gambar salib, dan maksud gambar disini
adalah gambar bernyawa. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengingkari Aisyah Ummul
Mukminin radhiallahu „anha ketika Aisyah membuatkan bantal yang bergambar sesuatu yang
bernyawa untuk beliau.

Dari Al-Qasim dari Aisyah radhiallahu „anha : “Bahwa Aisyah membeli bantal yang ada padanya
gambar-gambar, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berdiri di pintu dan tidak masuk, maka
aku (Aisyah) berkata : “Saya bertaubat kepada Allah dari dosa yang kuperbuat.” Beliau berkata : “
Bantal apa ini?” Aisyah berkata : “Untuk engkau duduk di atasnya dan engkau jadikan bantal ”.
Beliau berkata : “Sesungguhnya pembuat bantal ini akan diadzab di hari kiamat, dikatakan kepada
mereka hidupkanlah oleh kalian apa yang telah kalian ciptakan, dan sesungguhnya malaikat tidak
akan masuk ke dalam rumah yang ada padanya gambar”.
An-Nawawi mengatakan : “ Ulama berkata : sebab terhalangnya mereka (yaitu malaiakat) dari
rumah yang ada padanya gambar karena keberadaannya adalah perbuatan maksiat yang keji, dan
ada padanya penyamaan terhadap makhluk ciptaan Allah ta‟ala, dan sebagian gambar tersebut
adalah sesuatu yang disembah selain Allah ta‟ala ”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 146


Dari Imran bin Haththan bahwa Aisyah radhiallahu „anha menceritakan kepadanya, beliau berkata :
“Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan sesuatu pun di dalam rumah
yang ada padanya salib kecuali beliau melepaskannya”[15]. Dan lafazh riwayat Ahmad : “ Tidaklah
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam meninggalkan pakaian yang bergambar salib dirumah beliau
kecuali beliau melepaskannya “

Dari apa yang telah lalu menjadi jelaslah bagi kita dengan sejelas-jelasnya haramnya memakai
pakaian yang ada padanya gambar yang bernyawa atau salib, dan barang siapa yang dicoba
dengan salah satu dari perkara tersebut maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan agar
menghapusnya dan merubah perilakunya. Kemudian apabila dia kehendaki dia dapat
mempergunakannya dan mengambil memanfaatkannya, sebagaimana yang dilakukan Aisyah
radhiallahu „anha, beliau berkata : ” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam datang dari suatu
perjalanan dan saya telah memasang tirai dengan kain tipis bergambar bernyawa milik saya pada
bagian atas lubang angin rumah saya. Ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melihatnya
beliau menyobeknya, dan beliau berkata : “ Manusia yang paling keras adzabnya di hari kiamat
adalah orang-orang yang menyaingi ciptaan Allah “. Aisyah berkata : “ Maka kami menjadikan kain
tersebut menjadi satu atau dua bantal”.
Masalah : Apakah sah shalat orang yang shalat dengan pakaian yang ada padanya gambar-
gambar atau salib?

Jawaban : Al-Lajnah Ad-Daa`imah berkata di dalam salah satu fatwanya : tidak boleh seseorang
shalat dengan memakai pakaian yang ada padanya gambar-gambar bernyawa apakah gambar
manusia, burung, hewan-hewan ternak atau selainnya yang bernyawa, dan tidak boleh bagi
seorang muslim untuk memakainya pada selain shalat. Namun seseorang yang shalat dengan
memakai pakaian yang ada padanya gambar bernyawa, shalatnya sah, namun dia berdosa, jikalau
mengetahui hukum syar‟i ….(pada jawaban lain tentang memakai jam atau salib Al-Lajnah
menyatakan : ) Tidak boleh memakai jam atau salib, tidak di dalam shalat tidak pula pada
selainnya sampai salib itu dihilangkan apakah dengan mengeruknya atau dengan sesuatu yang
menutupinya, akan tetapi apabila seseorang shalat dan jam tangan/salib itu ada padanya maka
shalatnya shahih, dan wajib atasnya bersegera menghilangkan salib, karena hal itu bagian dari
syi‟ar Nashrani, dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyerupai mereka.
10. Disunnahkan Mendahulukan yang Kanan Ketika Mengenakan Pakaian dan Semisalnya

Dalil amalan tersebut adalah hadirts Aisyah, Ummul mukminin radhiallahu „anha, beliau berkata : ”
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menyukai mendahulukan kanan di dalam bersuci, menyisir dan
memakai sandal”. Pada lafazh Muslim : ” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallammenyukai
mendahulukan kanan di dalam bersendal, menyisir dan bersuci”.

An-Nawawi berkata : “Ini adalah aturan baku didalam syariat, yaitu apabila suatu amalan tergolong
sebagai penghormatan dan pemuliaan, seperti memakai pakaian, celana, sepatu, masuk masjid,
siwak, bercelak, memotong kuku, memendekkan kumis, menyisir rambut, mencabut ketiak,
mencukur rambut, salam di dalam shalat, mencuci anggota bersuci, keluar dari wc, makan dan
minum, bersalaman, mecium hajar aswad, dan selain itu dari perkara yang termasuk dari makna
tadi yang disunnahkan mendahulukan yang kanan, adapun perkara yang merupakan kebalikan dari
yang telah disebutkan seperti masuk wc, keluar dari masjid, membuang ingus, al-istinja` –
membersihkan dubur atau qubul setelah buang hajat -, melepas baju, celana dan sepatu, dan yang
semisalnya yang disunnahkan mendahulukan bagian yang kiri padanya, dan semua itu disebabkan
untuk memuliakan bagian yang kanan, wallahu a‟lam.
11. Sunnah Ketika Memakai Sandal
Disunnahkan seseorang memasukkan bagian yang kanan terlebih dahulu kemudian bagian yang
kiri, dan ketika melepaskan kedua kaki bagian yang kiri terlebih dahulu kemudian yang kanan.
Sunnah itu disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah radhilallahu „anhu dia berkata : Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian memakai sandal
hendaknya dia memulai dengan yang kanan, dan apabila dia melepaskannya hendaknya dia mulai
dengan yang kiri, hendaknya bagian yang kanan yang pertama yang dipakaikan sandal dan yang
terakhir dilepas”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 147


Dan dimakruhkan bagi seorang muslim untuk berjalan dengan satu sandal Diriwayatkan dari Abu
Hurairah radhiallahu „anhu bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Apabila tali
sandal salah seorang diantara kalian putus maka janganlah ia berjalan dengan memakai satu
sandal sampai dia memperbaikinya”[21].

Dan dari beliau radhiallahu „anhu bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Janganlah salah seorang dari kalian berjalan dengan satu sandal hendaknya dia melepaskan
keduanya atau memakai keduanya”.

Dan semua yang disebutkan agar diketahui hukumnya sebatas sunnah dan tidak sampai derajat
wajib, maka barang siapa yang menghadapi suatu kejadian atau sandal atau sepatunya putus
hendaknya dia berhenti sampai dia memperbaiki sandalnya atau melepas sandal yang satunya dan
menyelesaikan perjalanannya. Tidak sepatutnya bagi seorang mukmin menyelisihi larangan Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam walaupun hanya perkara yang makruh tidak sampai pada perkara yang
haram.

Hendaknya seseorang itu membiasakan dirinya agar berada di atas petunjuk Nabi bagi secara
zhahir maupun secara bathin, dan agar meraih kemulian ittiba‟ yang hakiki.

Ketahuilah bahwa ulama menyebutkan beberapa sebab larangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
berjalan dengan satu sandal. An-Nawawi berkata : “ Ulama berkata : Sebabnya karena hal itu
perkara yang buruk dan hukuman serta menyelisihi kewibawaan, karena memakai satu sandal
menjadikan yang satu menjadi lebih tinggi dari yang lainnya maka jalannya menjadi susah bahkan
hal itu menjadi sebab seseorang tergelincir dan selainnya.
Kemudian saya mendapati bahwa Syaikh Al-Albani rahimahullah membawakan di dalam As-Silsilah
Ash-Shahihah hadits yang diriwayatkan oleh At-Thahawi di dalam Musykil Al-Atsar : Dari hadits Abu
Hurairah radhiallahu „anhu bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
”Sesungguhnya syaithan berjalan dengan mengenakan satu sandal”. Berpedoman dengan hadits ini
akan menjadi jelas bagi kita sebab larangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dari berjalan di atas
satu sandal, dan bahwa hal itu merupakan jalannya syaithan. Apabila hal itu telah shahih dalam
syariat Islam cukuplah bagi kita dari segala upaya untuk menguak sebab dari larangan tersebut..
Faedah : termasuk perkara sunnah adalah bertelanjang kaki – kadang-kadang- yaitu berjalan
dalam keadaan tidak memakai alas kaki.

Dari Abu Buraidah radhiallahu „anhu bahwa salah seorang dari sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam mengadakan perjalanan mengunjungi Fudhalah bin Ubaid dan dia ada di Mesir. Lalu sahabat
tadi tiba kepadanya dan berkata : “Adapun saya tidak datang ziarah kepadamu akan tetapi saya
dan kamu saling mendengar satu hadits Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, saya harap ilmu
ada padamu tentang hadits tersebut. Fudhalah berkata : Apakah itu? Sahabat tadi berkata : Begini
dan begitu. Sahabat itu berkata : Mengapa saya melihat kamu dalam keadaan kusut sedangkan
kamu adalah pemimpin suatu daerah ? Fudhalah berkata : sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam melarang kami dari sering bermewah-mewah. Sahabat tadi berkata : Mengapa
saya tidak melihat engkau memakai sepatu? Fudhalah berkata : adalah Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam memerintahkan kepada kami agar bertelanjang kaki sekali waktu”.
12. Do‟a yang Diucapkan Ketika Memakai Sesuatu yang Baru
Ada beberapa doa-doa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang beliau
ucapkan ketika memakai sesuatu yang baru diantaranya :

‫ وأعوذ ب من شر وشر ما صنع له‬،‫اللهم ل ال مد أنت كسوتنله أسأل من خلر وخلر ما صنع له‬
a. “Ya Allah milikmulah segala pujian engkaulah yang memakaikannya kepadaku, aku memohon
kepadamu dari kebaikan benda ini dan kebaikan yang dia dibuat karenanya, dan aku berlindung
kepadamu dari kejelekan benda ini dan kejelekan yang dia dibuat karenanya”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 148


Dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu dia berkata : ” Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam menemukan pakaian beliau menamakannya dengan nama pakaian tersebut, apakah itu
berupa gamis ataukah imamah kemudian mengucapkan : ” Ya Allah milikmulah segala pujian
engkaulah yang memakaikan pakaian ini kepadaku, aku memohon kepadamu dari kebaikan
pakaian ini dan kebaikan yang dia dibuat karenanya, dan aku berlindung kepadamu dari kejelekan
pakaian ini dan kejelekan yang dia dibuat karenanya…al-hadits”.

‫ال مد هلل الذي كساني هذا الثوب ورزقنله من غلر وؿ مني وال قوة غفر له ما تقدـ من ذنبه‬
b. “Segala puji bagi Allah yang telah memakaikan pakaian ini kepadaku dan yang telah
merizkikannya kepadaku tanpa adanya usaha dariku dan tidak pula kekuatan”.

Dari Mu‟adz bin Anas, beliau : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Barang
siapa yang memakan makanan kemudian berkata : Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
kepadaku makanan ini dan memberikan rizki ini kepadaku tanpa adanya usaha dariku dan tanpa
kekuatan, niscaya dosa-dosanya yang terdahulu [dan yang akan datang] diampuni baginya, dan
barang siapa yang memakai pakaian dan mengucapkan : Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan pakaian ini kepadaku dan memberikan rizki ini kepadaku tanpa ada usaha dariku dan
tanpa kekuatan, niscaya dosa-dosanya yang terdahulu dan [yang akan datang] diampuni baginya”.
Dan disunnahkan bagi orang yang memakai pakaian yang baru untuk mengucapkan :
a. “Pakailah yang baru, hidup mulialah, dan matilah dalam keadaan syahid”.
Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata : ” Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam melihat Umar mengenakan pakaian putih, maka beliau berkata : “ Pakaianmu ini apakah
sudah dicuci ataukah baru ?” Umar berkata : Tidak, bahkan dia pakaian yang sudah dicuci. Beliau
berkata : “ Pakailah yang baru, dan hiduplah yang mulia dan matilah dalam keadaan syahid“.
Dan perkataan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam “Pakailah yang baru” : bentuk perintah namun
yang diinginkan dengannya adalah doa agar Allah berkenan memberikan kepadanya rizki berupa
pakaian baru.

b. “Jikalau telah usang semoga Allah ta‟ala menggantikannya”.


Ummu Khalid bintu Khalid bin Sa‟id meriwayatkannya dan berkata : “Didatangkan kepada Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam pakaian Khamishah yang berwarna hitam yang kecil. Beliau bersabda :
“Siapa menurut kalian yang sesuai dengan pakaian ini ? “ Orang-orang yang ada semuanya
terdiam. Beliau berkata : “ Datangkan kepadaku Ummu Khalid ”. Maka didatangkan kepada beliau
Ummu Khalid maka beliau mengambil kain khamishah tadi dan memakaikannya kepadanya dan
bersabda : “ Kalaulah kain ini telah usang semoga Allah menggantikannya.”
Dan pada kain tersebut gambar berwarna hijau atau berwarna kuning, beliau berkata : wahai
Ummu Khalid ini bagus, ini bagus (dalam bahasa Habasyah)”.

Abu Nadhrah berkata tentang hadits Abu Sa‟id Al-Khudri –yang lalu- : Apabila salah seorang
sahabat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memakai pakaian baru maka dikatakan kepadanya
: Apabila telah usang semoga Allah ta‟ala menggantikannya“.

Faedah : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam memanggil Ummu Khalid dengan kunyahnya bukan
dengan namanya, dalam hal ini adanya penjelasan tentang perhatian beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam kepada anak kecil dan baiknya kelembutan beliau kepada mereka. Memanggil anak kecil
yang laki-laki maupun yang perempuan dengan kunyah sebagai pengganti nama mereka, memberi
kesan bagi mereka akan adanya perhatian kepada mereka dan bahwa mereka juga memiliki
derajat dan kedudukan sebagaimana orang besar. Barang siapa yang mencoba hal ini akan
mengetahui hal tersebut.
Catatan penting: Wajib untuk merealisasikan sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam di dalam
hal mendahulukan kanan, dan disini disunnahkan mendahulukan bagian kanan ketika memakai
sesuatu dan mendahulukan kiri ketika melepas sesuatu.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 149


13. Disunnahkannya Mengenakan Pakaian Putih (untuk Laki-Laki)
Masalah ini dit rangkan didalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, dia berkata : Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Pakailah oleh kalian pakaian kalian yang putih karena
pakian putih adalah sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah pada kain putih itu jenazah-jenazah
kalian…al-hadits".

Dan dari jalan Samrah bin Jundab radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “Pakailah dari pakaian kalian yang putih karena pakaian putih itu lebih suci dan
lebih baik, dan kafanilah pada kain putih itu jenazah-jenazah kalian”.
Dan yang berlawanan dengan putih Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang memakai pakaian
mu‟ashfar – pakaian yang diberi pewarna kuning – dan pakaian yang dicelup dengan warna merah.
Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash dia berkata : “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melihat
saya mengenakan dua pakaian yang mu‟ashfar maka beliau berkata : sesungguhnya pakaian ini
adalah pakaian orang kafir maka janganlah kamu memakainya” dan di dalam lafazh yang lain :
Beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melihat saya mengenakan dua pakaian yang
mu‟ashfar. Maka beliau berkata : “Apakah ibumu yang memerintahkan kamu memakai pakaian
ini?” Saya berkata : Saya akan mencuci keduanya. Beliau berkata : “Bahkan bakarlah keduanya”.
Perkataan beliau : “Apakah ibumu yang memerintahkan kamu memakai baju ini?” maknanya
bahwa pakaian ini termasuk pakaian wanita, seragam dan akhlak mereka, adapun perintah untuk
membakar dikatakan bahwa hal itu adalah hukuman dan sikap keras dan teguran kepada Abdullah
bin Amru bin Al-Ash dan juga kepada selainnya dari semisal perbuatan ini, sebagaimana An-
Nawawi katakan.
Dan terkadang larangan memakai mu‟ashfar dikarenakan adanya bentuk tasyabbuh (penyerupaan)
kepada orang-orang kafir, dan hal ini lebih utama untuk dibawakan kepadanya dikarenakan hadits
yang menerangkan tentang hal itu : “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir maka
janganlah kamu memakainya”.
Masalah : Bagaimana menggabungkan antara larangan memakai pakaian yang dicelup dengan
warna merah, dan dengan hadits yang shahih dalam riwayat Al-Bukhari dari hadits Al-Barra‟
radhiallahu „anhu bahwa dia berkata : ” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam duduk dengan
menyilangkan kaki beliau, dan saya melihat beliau memakai kain Hullah yang berwarna merah dan
saya tidak pernah melihat sesuatu yang lebih bagus dari pakaian tersebut”.
Jawab : Bahwa larangan tersebut berlaku bagi pakaian yang murni berwarna merah, adapun
apabila pada pakaian tersebut terdapat gambar dari warna-warna lain maka hal itu tidak mengapa.
Ibnu Hajar mengemukakan di dalam Al-Fath tujuh pendapat tentang hukum memakai pakaian
berwarna merah, kami menyebutkan pendapat yang kami anggap mendekati kebenaran di dalam
masalah ini –dan pendapat ini adalah pendapat yang kuat-.
Beliau berkata : “ Larangan dikhususkan pada pakaian yang dicelup seluruhnya, adapun yang ada
padanya warna lainnya selain warna merah seperti putih, hitam dan selain keduanya maka tidak
mengapa, maka berdasarkan pendapat ini, hadits-hadits yang menyebutkan kain hullah yang
berwarna merah digiring kepada makna ini, karena kain hullah Yaman kebanyakannya memiliki
garis-garis merah dan warna lainnya.

Ibnul Qayyim berkata : “ Sebagian ulama memakai pakaian yang dicelup warna merah dan
menyangka bahwa hal itu mengikuti sunnah, ini adalah kekeliruan, karena kain hullah yang
berwarna merah terbuat dari burdah Yaman dan kain burdah tidak dicelup dengan warna merah
polos.

14. Cincin yang Dibolehkan bagi Laki-Laki


Boleh bagi laki-laki untuk memakai cincin perak bukan cincin emas karena hal itu haram bagi
mereka. Dan tempat cincin disunnahkan di jari kelingking berdasarkan hadits Anas radhiallahu
„anhu dia berkata : ” Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam membuat sebuah cincin dan beliau berkata :
sesungguhnya kami membuat sebuah cincin dan kami ukir padanya sebuah ukiran, hingga
seseorang tidak lagi mengukir pada cincin tersebut”.
Anas berkata : Maka sungguh saya melihat kilauannya di jari kelingking beliau".

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 150


Dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang memakai cincin di jari tengah dan jari telunjuk,
dari Ali radhiallahu „anhu dia berkata : ” Beliau melarang, yang beliau maksudkan adalah Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam, untuk memakai cincin pada jari ini, atau yang ada setelahnya –Ashim
tidak mengetahui di jari mana keduanya- ….al-hadits”.

Berdasarkan ini maka disunnahkan bagi orang yang ingin memakai cincin agar meletakkannya di
jari kelingkingnya, dan makruh baginya meletakkan cincin tersebut di jari tengah dan jari
setelahnya dan bentuk kemakruhannya adalah makruh tanzih.

Dan adapun di tangan yang mana seseorang bisa memakai cincin maka ini adalah perkara yang
diperselisihkan oleh ulama. Karena adanya atsar bolehnya memakai pada jari ini dan jari itu.
An-Nawawi berkata : “Adapun hukum dalam masalah ini menurut para ulama maka mereka
sepakat atas bolehnya memakai cincin di tangan kanan dan di tangan kiri dan tidak ada
kemakruhan pada salah satu diantara keduanya. Dan mereka berselisih yang mana dari keduanya
yang lebih utama. Mayoritas ulama salaf memakai cincin di tangan kanan, dan banyak pula yang
memakainya di tangan kiri….

Perkara ini adalah perkara yang lapang walillahil hamd.


15. Disunnahkan Memakai Wangi-Wangian
Wangi-wangian termasuk perhiasan yang menentramkan jiwa, dan membangkitkan semangat, dan
Rasul kita Shallallahu „alaihi wa sallam adalah manusia yang paling wangi.

Anas radhiallahu „anhu berkata : “tidaklah saya menyentuh kain sutra dan kain ad-diibaaj yang
lebih lembut dari pada telapak tangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, dan tidak pula saya
pernah mencium bau wangi atau bau semerbak yang lebih wangi dari bau dan semerbak Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam”. Dan lafazh pada riwayat Ad-Darimi : “Dan tidak sekalipun saya
pernah mencium bau wangi yang lebih wangi dari bau wangi misk beliau dan tidak pula bau wangi
yang lainnya”.

Sunnah memakai wangi-wangian adalah perkara yang mubah bagi laki-laki dan perempuan di atas
satu batasan, akan tetapi haram bagi mereka berdua dalam keadaan ihram ketika haji atau umrah
berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, secara marfu‟ –tentang sahabat yang ontanya
menginjaknya- beliau bersabda : “Jangan kalian beri wangi-wangian padanya”.
Dan berdasarkan hadits Ibnu Umar –secara marfu‟- radhiallahu „anhuma, tentang seorang laki-laki
yang bertanya tentang pakaian yang dia pakai ketika muhrim, maka beliau berkata : “Janganlah
kalian memakai satu pun dari pakaian terkena aroma wangi az-za‟faran dan wangi al-wars
mengenainya”.

Dan –juga-khusus bagi wanita larangan dari memakai wangi-wangian pada dua keadaan, keadaan
pertama : dalam keadaan muhaddah (ditinggal mati) suami maka wanita terhalang dari memakai
wangi-wangian selama empat bulan sepuluh hari berdasarkan hadits Ummu „Athiyyah dan
selainnya, bahwa dia berkata : “Kami dahulu dilarang membatasi waktu berkabung di atas tiga hari
kecuali karena kematian suami selama empat bulan sepuluh hari, kami tidak boleh memakai celak,
memakai wangi-wangian, memakai pakaian yang dicelup kecuali pakaian „ashab- dari serat sejenis
tumbuhan –, dan telah diberikan keringanan bagi kami ketika suci apabila salah seorang dari kami
mandi dari masa haidnya pada perasan kisti azhfar, dan kami dilarang mengikuti jenazah”.
Dan keadaan lainnya : Apabila seorang wanita mendatangi sebuah tempat yang padanya laki-laki
asing, walaupun hanya lewat di jalan mereka dan mereka mendapati wangi wanita tadi maka
wanita tersebut masuk di dalam larangan –dan keadaan ini yang banyak diabaikan oleh kaum
wanita dan mereka memudah-mudahkan hal ini. Sementara adanya keterangan yang sangat jelas
di dalam sejumlah hadits dan adanya ancaman keras pada perkara tersebut.
Berdasarkan hadits Abu Musa Al-Asy‟ari radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam berkata : “Perempuan mana pun yang memakai wangi-wangian dan melewati satu kaum
yang mendapati bau wangi wanita tersebut maka dia adalah wanita pezina”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 151


Dan berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu dia berkata : “Seorang wanita menemuinya
dan dia mendapati dari wanita tersebut bau minyak wangi yang tertiup angin dan pada ujung
kainnya, maka Abu Hurairah berkata : Wahai hamba Al-Jabbar apakah kamu datang dari masjid?
Wanita itu berkata : Iya. Abu Hurairah berkata : Sesungguhnya saya mendengar kekasihku Abu Al-
Qasim Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Tidak diterima shalat seorang wanita yang
memakai wangi-wangian untuk datang ke masjid ini sampai dia kembali dan mandi sebagaimana
mandi janabah”.
16. Sunnah Dalam Perkara Menyisir Dan Mencukur Rambut :
Disunnahkan bagi laki-laki untuk menghiasi, membersihkan dan memberi perhatian kepada
rambutnya, dan dalil sunnah itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiallahu
„anhuma, beliau berkata : “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam datang kepada kami untuk
berziarah di rumah kami tiba-tiba beliau melihat laki-laki yang kusut rambutnya, maka beliau
berkata : “Apakah orang ini tidak mendapatkan sesuatu yang dapat menata rambut kepalanya “.
Dan beliau melihat laki-laki yang padanya pakaian yang kotor, maka beliau berkata : “Apakah
orang ini tidak mendapatkan sesuatu yang dapat mencuci bajunya”.

Dan Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
berkata : “Barang siapa memiliki rambut maka hendaknya dia muliakan rambutnya”.

Akan tetapi rambut tersebut tidaklah dihias-hiasi, dibersihkan, dimuliakan dengan cara berlebih-
lebihan yang keluar dari batasan yang dibenarkan oleh nalar , sehingga lebih menyerupai wanita.
Karena berlebih-lebihan di dalam menghiasi dan memperhatikan rambut merupakan kekhususan
wanita.

Abdullah bin Mughaffal meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam Melarang bersisir
kecuali kadang-kadang saja”.

Dan dari Abu Humaid bin Abdurrahman dia berkata: saya pernah bertemu salah seorang yang
menemani Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam sebagaimana Abu Hurairah menemani beliau selama
empat tahun, sahabar tersebut berkata : ” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melarang salah
seorang dari kami untuk menyisir setiap hari”.

Adapun mencukur rambut : Ketahuilah yang pertama bahwa yang paling utama membiarkan
rambut dalam keadaan terlepas sampai kedua daun telinga sebagaimana itu adalah rambut Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam. Al-Barra bin Azib radhiallahu „anhu berkata : ” Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam adalah seseorang yang berpundak bidang, yang jarak antara pundak beliau jauh, dan
rambut beliau yang mencapai daun telinga beliau….al-hadits”
Pada riwayat Muslim : “Rambut beliau sangat lebat jumlahnya sampai pada daun di telinga beliau”.
Dan mencukur rambut terkadang menjadi perkara yang wajib, atau haram, atau sunnah atau
mubah.

Hukum wajib mencukur habis rambut : Apabila seseorang dalam haji dan umrah, dan orang
yang melaksanakannya tidak dipendekkan rambutnya, atau tergolong penyerupaan kepada gaya
rambut selain orang muslim….dan haram hukumnya mencukur rambut : Apabila tujuannya untuk
beragama atau beribadah selain ibadah haji dan umrah sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian
orang-orang sufi … Sunnah mencukur rambut : Apabila seorang kafir masuk islam –terlebih lagi
apabila rambutnya tebal. Atau apabila telah berlalu tujuh hari umur bayi yang lahir. Disunnahkan
bagi walinya untuk mencukur kepalanya dan bersedekah dengan timbangan rambut tersebut.
Atau apabila rambut telah sangat panjang yang mana telah melewati kadar rambut Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam….dan disunnahkan mencukur rambut kepala –juga- apabila orang yang mencukur
menutup kegantengan yang menjadi sumber fitnah sama saja apakah bagi laki-laki ataukah bagi
perempuan…..Dan diperbolehkan mencukur rambut : Apabila seseorang tidak mampu
memperhatikannya karena kesibukannya dengan urusan-urusan lainnya dan urusan-urusan
tersebut lebih penting daripada mencukur rambut……(Al-Imam Ahmad berkata : “ Mencukur adalah
Sunnah, kalau kami sanggup tentunya kami akan amalkan , akan tetapi mencukur memiliki
tanggungan dan beban). Dan boleh mencukur rambut kepala untuk pengobatan.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 152


Perhatian : Telah nampak ditengah-tengah pemuda cukuran rambut diatas keadaan yang syariat
melarangnya, yaitu mencukur bagian kepala dan membiarkan yang lainnya, dan cukur itu dikenal
di dalam sisi syar‟i dan bahasa dengan cukur Al-Qaza‟.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam :
“melarang dari perbuatan Al-Qaza‟) dan dalam riwayat Muslim : ” Saya berkata kepada Nafi‟ :
Apakah Al-Qaza‟ itu? Dia berkata : Mencukur sebagian kepala anak kecil dan membiarkan sebagian
lainnya”.
Ibnul Qayyim berkata : “ Al-Qaza‟ ada beberapa macam : salah satunya : mencukur satu bagian
dari kepala dari sini dan sini. Diambil dari gumpalan awan, yaitu yang bergumpal-gumpal. Kedua :
mencukur tengahnya dan membiarkan sisi-sisinya, sebagaimana penjaga geraja kaum nashara
lakukan. Ketiga : mencukur sisi-sisinya dan membiarkan tengahnya. Sebagaimana kebanyakan dari
rakyat jelata dan rendahan lakukan. Keempat : mencukur bagian depan kepala dan membiarkan
bagian akhir, dan semua macam tadi masuk bagian dari Al-Qaza‟ wallahu a‟lam..
Faedah : Disunnahkan bagi yang ingin mencukur rambutnya pertama-tama hendaknya memulai
dari sisi kanan dari rambut kemudian yang kiri. Yang demikian itu berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik: “Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi Mina,
kemudian mendatangi Al-Jumrah dan melontar Jumrah, kemudian mendatangi rumah beliau di
Mina dan menyembelih kurban, kemudian berkata kepada tukang cukur; ambillah seraya menunjuk
kepada sisi kanan kepala, kemudian sisi kiri, maka mulailah beliau memberikan pelajaran kepada
manusia lainnya”[30]

17. Melebatkan Jenggot dan Memotong Kumis bagi Laki-Laki


Sunnah yang wajib bagi laki-laki adalah melebatkan jenggot dan membiarkannya tumbuh, dan
memendekkan kumis dan mencukurnya.

Dan perkara ini bukan perkara yang lapang bagi kita sehingga kita bisa mengamalkannya sesuka
kita dan meninggalkannya sesuka kita, bahkan perkara ini adalah perkara yang wajib bagi kita,
maka wajib mengamalkan dan ta‟at padanya.

Allah ta‟ala berfirman :

ِ َ‫َمرا أَف يَ ُكو َف لَ ُه ُم ل ِ لَػ َرةُ ِمن أَم ِرِهم ۗ َوَمن ي‬


َ‫عص للَّله‬ ‫َّل‬ ٍِِ ِ ِ
ً ‫َوَما َكا َف ل ُمؤمن َوَال ُمؤمنَة إذَا قَ َ ى للهُ َوَر ُسولُۥٓهُ أ‬
‫ض َٰلَال مبِلن ٗ ا‬
َ ‫ض َّلل‬
َ ‫َوَر ُسولَهۥُ فَػ َقد‬
“ Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan tidak juga wanita, apabila Allah dan Rasul-
Nya telah menetapkan suatu perkara, bagi mereka memilih perkara lainnya bagi mereka. Dan
barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan
kesesatan yang nyata “(Al-Ahzab : 36 ).

Yaitu tidak sepatutnya dan tidak pantas, bagi orang yang disifatkan dengan keimanan kecuali
bersegera kepada keridhaan Allah dan Rasulnya, dan menjauhi dari kemurkaan Allah dan rasulnya,
dan melaksanakan perintah keduanya, dan menjauhi larangan keduanya. Maka tidak layak bagi
laki-laki dan perempuan yang beriman : “Apabila Allah dan rasulnya menetapkan satu perkara” [Al-
Ahzab : 36] dari perkara-perkara agama yang ada, dan mewajibkannya serta mengharuskannya :
” adanya pilih memilik dari perkara tersebut” [Al-Ahzab : 36] : Yaitu : pilihan, apakah mereka
laksanakan atau tidak? Bahkan seorang mukmin dan mukminah mengetahui bahwa Rasul lebih
utama akan hal tersebut daripada dirinya, maka janganlah ia menjadikan sebagian hawa nafsunya
menjadi penghalang dirinya dengan Allah dan Rasulnya, demikian dari perkataan Ibnu Sa‟di.
Dan hadits-hadits tentang perintah memelihara jenggot dan memotong kumis dari Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam sangat banyak dan lafazh-lafazhnya bermacam-macam diantaranya :
“Lebatkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis”.
Dan lafazh lainnya : “Habiskanlah kumis dan biarkanlah jenggot”.
Dan lafazh lainnya : “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan peliharalah jenggot”.
Dan diantaranya : “Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot. Dan selisihilah orang-orang Majusi”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 153


Perintah memelihara jenggot dan memotong kumis ada mengandung dua perkara : Yang pertama :
Perintah Rasul Shallallahu „alaihi wa sallam yang wajib yang tidak ada yang memalingkan dari
kewajiban tersebut. Perintah yang tidak boleh seorang mukmin menyelisihinya bagaimanapun juga.
Kedua : Perintah menyelisihi orang-orang musyrik, dan telah diketahui dari nash-nash syariat
bahhwa meniriu-niru mereka adalah perkara yang haram. Oleh karena itu wajib bagi seorang
muslim kembali dengan segera kepada perintah Allah dan Rasulnya dan tidak menyelisihi perintah
mereka berdua sampai tidak terjadi fitnah atau mendapatkan adzab yang pedih. Allah ta‟ala
berfirman:

ِ ‫صلبػهم َع َذ‬ ِ ِ ُ‫فَلل َذ ِر لَّل ِذين ي َ الُِفو َف َعن أَم ِرۦِٓ أَف ت‬
‫لم‬
ٌ ‫اب أَل‬
ٌ ُ َ ِ ُ‫صلبَػ ُهم فتنَةٌ أَو ي‬ َُ َ
“ Dan hendaknya mereka yang menyelisihi perintah Rasul berhati-hati, akan tertimpa fitnah bagi
mereka ataukah mereka akan ditimpakan adzab yang pedih “(An-Nuur : 63).

Sebagian ulama mengulas pembahaan tentang mengambil sebagian dari jenggot panjang dan
lebarnya, berpegang dengan atsar para salaf yang mulia, akan tetapi lafazh-lafazh yang datang
dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam sangat jelas dan cukup untuk masalah ini, dan hujjah ada
pada perkataan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, bukan pada perkataan atau perbuatan
sahabat dan pengikut beliau.

Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot sesuai keadaannya, dan agar tidak
memendekkannya sesuai hukum asalnya, dan pendapat yang terpilih di dalam masalah kumis
adalah tidak menghabiskannya dan menyisakan sedikit pada ujung bibir. Wallahu a‟lam, Demikian
dikutip dari perkataan An-Nawawi.

18. Disunnahkan Merubah Warna Uban Selain dengan Warna Hitam


Disunnahkan bagi yang rambut kepala dan wajahnya telah beruban untuk merubah warnanya
dengan mencat, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Yahudi dan
Nashrani tidak mencat rambut-rambut mereka maka selisihilah mereka”.
Akan tetapi hendaknya warna hitam dijauhi berdasarkan larangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
dari mencat dengan warna tersebut. Pada tahun Futuh Makkah ketika Abu Qahafah didatangkan
kepada beliau dan kepala dan jenggotnya putih maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Rubahlah warna rambut ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam”.
Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam “Jauhilah warna hitam” adalah nash yang pasti tentang
pengharaman. Maka warna putih dirubah dengan warna apa saja selain warna hitam, dan larangan
ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan dengan batasan yang sama.
Ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad : Apakah engkau membenci mencat rambut dengan warna
hitam? Beliau berkata : “ Iya demi Allah; dikarenakan sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
kepada ayah Abu Bakar radhiallahu „anhuma “Jauhilah warna hitam”.

Faedah :
Wahai laki-laki yang ubannya dihitamkan
Supaya dianggap sebagai pemuda
Berhentilah walaupun setiap burung merpati putih dihitamkan
Tidaklah ia dianggap bagian dari burung gagak
19. Pembahasan Tentang Bercelak :
Bercelak bagi wanita adalah perhiasan, dan bagi laki-laki dan wanita adalah pengobatan yang
bermanfaat. Dan orang-orang Arab dahulu menjadikannya sebagi pengobatan dari penyakit radang
mata.
Di dalam hadits Ummu „Athiyyah radhiallahu „anha tentang wanita yang ditinggal mati suaminya
mengeluhkan matanya, maka para sahabat menyampaikan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam dan mereka pun menyebutkan tentang celak yaitu sebagai pengobatan untuknya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 154


Dan di dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “Pakailah pakaian kalian yang putih karena hal itu sebaik-baik pakaian kalian,
dan kafanilah dengannya jenazah-jenazah kalian, dan sesungguhnya sebaik-baik celak kalian
adalah Al-Itsmid, menerangkan penglihatan dan menumbuhkan rambut”. Sunnah ketika
memakainya dengan witir (ganjil), yaitu bercelak pada mata kanan tiga kali dan pada mata kiri tiga
kali, atau pada mata kanan dua kali dan mata kiri satu kali maka semuanya menjadi ganjil atau
kebalikannya atau lebih banyak lagi selama jumlahnya ganjil. Ibnu Hajar menguatkan pendapat
yang pertama.
Catatan : Tidak sepantasnya laki-laki menjadikan celak sebagai penghias, karena laki-laki itu
adalah yang menuntut wanita berhias bukan yang dituntut berhias, bukan dari sifat kejantanan
seorang laki-laki berhias sebagaimana wanita berhias, dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
menyenangi Al-itsmid karena padanya ada beberapa faedah beliau bersabda : “Pakailah Al-Itsmid
karena dia dapat menumbuhkan rambut dan dapat menghilangkan kotoran mata dan menjernihkan
pandangan”. Adapun laki-laki menjadikannya untuk memperindah penampilan dan sebagai
penghias kedua mata maka tidak boleh.
20. Perhiasan yang Diharamkan atas Wanita
Allah Subhanahu wa Ta‟ala membolehkan bagi wanita untuk menjadikan beberapa perkara sebagai
perhiasan/penghias seperti celak, wangi-wangian, daun pacar dan yang semisalnya dari perkara
yang wanita itu berhias dengannya.
Dan mengharamkan atas mereka beberapa perkara yang wanita jadikan sebagai penghias, dan dia
pada hakikatnya tidak sampai merubah ciptaan Allah yang Allah ciptakan atasnya. Seperti Al-
Wasyam (tato), An-Namash, At-Tafalluj untuk dilihat bagus, dan al-washal.

Dari Abdullah bin Mas‟ud radhiallahu „anhu dia berkata : “Allah melaknat al-wasyimaat, al-
muwasysyimaat, al-mutanammishaat, al-mutafallijaat agar terlihat bagus, yang merubah ciptaan
Allah". Hal itu sampai kepada seorang perempuan dari bani Asad yang dipanggil dengan Ummu
Ya‟quub, dia pun datang dan berkata : “Sesungguhnya telah sampai kepada saya bahwa engkau
melaknat ini dan itu.” Maka Abdullah bin Mas‟ud berkata : “Mengapa saya tidak melaknat orang
yang Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, dan orang yang ada di dalam kitab Allah.” Maka
wanita itu berkata : “Sungguh saya telah membaca ayat-ayat yang ada di antara dua lembaran ini
namun saya tidak mendapatkan padanya apa yang kamu katakan.” Abdullah bin Mas‟ud berkata :
“Apabila kamu membacanya niscaya kamu akan mendapatkannya, tidakkah kamu membaca :
ۚ ْ‫وؿ فَ ُ ُذو ُ َوَما نَػ َه َٰ ُكم َعنهُ فَ نتَػ ُهوا‬
ُ ‫َوَما َءاتََٰ ُك ُم َّللر ُس‬
“ Dan setiap yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bagi kalian maka
ambillah dan setiap yang beliau larang atas kalian maka kalian berhentilah “ ( Al-Hasyr : 7 ).
Wanita itu berkata : Benar. Abdullah bin Mas‟ud berkata : sungguh beliau telah melarang hal itu.
Wanita itu berkata : Sungguh aku melihat sangat celaka apa yang mereka lakukan. Abdullah bin
Mas‟ud berkata : Pergilah dan lihatlah. Wanita itu pergi dan melihat namun dia belum melihat suatu
pun dari hajatnya. Abdullah berkata : Kalaulah dia itu demikian saya tidak menggaulinya” dan
lafazh Muslim : “Allah melaknat Al-Wasyimah, Al-Mustausyimah, An-Namishaat, Al-
Mutanammishaat, dan Al-Mutafallijaat agar terlihat bagus dengan merubah ciptaan Allahal-hadits ”
Dan dalam riwayat Al-Bukhari dan selainnya dari Abdullah “Allah melaknat Al-Washilah“.
Keterangan yang jelas pada hadits-hadits tadi di dalam masalah ini dan kerasnya ancaman hal
tersebut, namun banyak dari wanita melakukan hal itu atau melakukan sebagiannya, dan tidaklah
hal ini terjadi kecuali karena lemahnya iman, dan jikalau tidak maka manusia yang mana yang mau
menghinakan dirinya dan menyerahkan dirinya kepada kemurkaan Al-Jabbar (dzat yang maha
perkasa)! Ya Allah sesungguhnya kami memohon kepadamu keselamatan dan kesehatan di dalam
agama dan dunia kami.
Catatan penting : Tidaklah laknat ini khusus untuk wanita, bahkan masuk padanya laki-laki
apabila mereka menyambung rambut, mentato, menyambung rambut dan mengukir gigi untuk
terlihat bagus! Atau mereka meminta kepada selain mereka untuk melakukan salah satu dari hal
tersebut kepada mereka. Dan pengkhususan laknat bagi wanita hanya karena kebanyakan hal itu
ada pada mereka wanita sebagaimana pada perkara meratap, wallahu a‟lam.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 155


BAB 16
ADAB-ADAB BERKENDARA DAN BERJALAN

Allah ta‟ala berfirman :

ِ ِ ِ ِ ِ ‫َّل‬
َ ‫َنع ِم َما تَرَكبُو َف ٕٔ لتَستَػ ُوۥاْ َعلَ َٰى ظُ ُهوِرۦ ثُ َّلم تَذ ُك ُرواْ ن‬
َ‫عمة‬ ََٰ ‫َٰج ُكلَّل َها َو َج َع َل لَ ُكم ِّم َن ل ُفل َو أل‬
َ ‫َزو‬
َ ‫َو لذي َخلَ َق أل‬
‫لن ٖٔ َوإِنَّلا إِلَ َٰى َربِّػنَا لَ ُمن َقلِبُو َف‬ ِ
َ ‫َّلر لَنَا ََٰه َذا َوَما ُكنَّلا لَهُ ۥ ُمق ِرن‬
ِ ‫َّل‬ ِ ِ
َ ‫َربِّ ُكم إذَا ستَػ َويتُم َعلَله َوتَػ ُقولُواْ ُسب ََٰ َن لذي َس‬
ٔٗ
“ Dan Dialah Dzat yang telah menciptakan segala sesuatu bagi kalian slaing berpasang-pasangan,
da menjadikan bagi kalian apa yang kalian kapal, binatang ternak dan tunggangan yang kalian
kendarai. Agar kalian duduk diatas punggungnya kemudian kalian mengingat nikmat Rabb kalian
apabila kalian telah brada diatasnya, dan kalian mengucapkan: Subhanallahi alladzii sakhkhara
lanaa hadzaa wa maa kunnaa lahu muqribiin wa innaa ilaa Rabbinaa lamunqalibuun – Maha Suci
Rabb kami yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak sanggup
untuk menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami ( Az-Zukhruf : 12-
14 ).
Di antara adab-adab berkendaraan dan berjalan :
1. Larangan Bersikap Angkuh Ketika Berjalan
Angkuh ketika berjalan termasuk dari sifat-sifat tercela yang tumbuh dari kesombongan dan „ujub
terhadap diri sendiri. Dan seorang yang beriman diantara sifat-sifatnya adalah tawadhu‟ (rendah
diri) dan al-istikanah (tenang) tidak ada sifat al-kibr (sombong) dan al-ghathrasah (menonjolkan
diri).

Sifat al-kibr (sombong) adalah selendang Allah maka barang siapa yang merampasnya niscaya
Allah akan mengadzabnya. Dari Abu Sa‟id Al-khudri dan Abu Hurairah radhiallahu „anhuma,
keduanya mengatakan: Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Kemuliaan
adalah sarung Allah, dan kesombongan adalah selendangnya, barang siapa yang merampasnya
dariku niscaya saya akan mengadzabnya”.

Dan Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : ” Ketika seseorang berjalan dengan kain hullah yang mengagumkan dirinya rambutnya
tersisir rapi terurai sampai pada telinganya. Apabila Allah membenamkannya maka dia akan
berteriak terus sampai hari kiamat”.

Keangkuhan tidaklah ada kecuali pada tempat-tempat peperangan untuk membuat marah musuh-
musuh, sebagaimana Abu Dujanah lakukan ketika mengikatkan imamah –miliknya- yang berwarna
merah kemudian mulailah dia berjalan dengan angkuh diantara dua barisan yang saling
berhadapan. Maka ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melihatnya berjalan dengan
angkuh, beliau bersabda : “Sesungguhnya jalan seperti itu adalah jalan yang Allah murkai kecuali
pada tempat seperti ini”.

2. Cara Jalan Yang Paling Baik Dan Yang Paling Sempurna :


Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata : “ Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berjalan
takaffa‟a takaffu‟an (condong ke depan). Beliau adalah manusia yang paling cepat jalannya, dan
yang paling baik dan paling tenang.

Abu Hurairah radhiallahu „anhu berkata saya tidak pernah orang yang paling gagah dari Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam, seakan-akan matahari berjalan di wajahnya, dan saya tidak pernah
melihat seseorang yang paling cepat jalannya daripada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam,
seakan akan bumi terlipat untuknya, dan sesungguhnya kami mengusahakan diri-diri kami dan
sesungguhnya beliau tidak terlihat memaksakannya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 156


Dari Ali bin Abi Thalib berkata : Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berjalan beliau
condong ke depan seakan-akan beliau turun dari shabab. Sekali waktu Ali bin Thalib pernah
berkata : “Apabila beliau berjalan beliau taqla‟ (turun ke bawah),.
Saya katakan : Makna At-Taqallu‟ : ketinggian pada tanah secara keseluruhan, sebagaimana
seseorang yang miring dari bagian daerah yang curam/miring. Jalan seperti ini adalah jalannya
para ulul azmi (orang-orang yang punya azam/tekad) dan mempunyai himmah (keinginan yang
kuat) dan keberanian, dan jalan seperti ini adalah jalan yang paling sempurna dan lebih
memberikan ketenangan pada anggota badan, dan yang lebih jauh dari jalan seorang yang marah,
kehinaan dan lemas.
Faedah : Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan di dalam Al-Hadyi ada sepuluh macam cara
berjalan :

Yang pertama : yang paling baik dan yang paling sempurna adalah berjalan at-takaffu‟ dan at-
taqallu‟, seperti keadaan orang yang turun dari ash-shabab (tempat yang
miring/curam), dan cara jalan ini adalah cara jalannya Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam.
Kedua : berjalan dengan gelisah dan sempoyongan laksana seekor onta yang gelisah.
Cara jalan ini cara jalan yang tercela –juga- yang menunjukkan kekurangan akal
orang yang melakukannya. Terlebih lagi apabila orang tersebut sering menengok
ke kiri dan ke kanan ketika berjalan.
Ketiga : Berjalan lemas dan berjalan selangkah demi selangkah, seumpama sepotong
kayu yang diangkut, dan cara jalan ini adalah cara jalan yang tercela dan jelek.
Keempat : Jalan dengan dipercepat
Kelima : ar-ramal, cara jalan yang paling cepat disertai langkah yang saling berdekatan,
dan disebut juga dengan al-khabab.
Keenam : an-naslaan, adalah jalan sambil berjinjit kecil yang tidak mengganggu orang
yang berjalan.
Ketujuh : al-khauzali, adalah jalan berlenggak-lenggok, yaitu jalan yang disebut ada
padanya kelemah-lembutan dan kebanci-bancian.
Kedelapan : al-qahqaraa, yaitu jalan ke belakang.
Kesembilan : al-jamzaa, yaitu orang berjalan sambil melompat.
Kesepuluh : at-tabakhtur, yaitu jalan orang yang „ujub dan sombong[11]
3. Makhruhnya Berjalan Dengan Satu Sandal.
4. Termasuk Sunnah Sekali-kali Bertelanjang Kaki
Berdasarkan perkataan Fudhalah radhiallahu „anhu : ” Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memerintahkan kami agar kadang-kadang bertelanjang kaki (ketika berjalan)”.

Dan di dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, tentang ziarahnya Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam kepada Sa‟ad bin Ubadah, beliau berkata : ” Ketika Nabi berdiri kami ikut berdiri bersama
beliau dan kami sekitar sepuluh orang tidak ada pada kami sandal tidak pula khuf dan tutup
kepala/kopyah dan tidak pula gamis kami berjalan diatas tanah yang becek itu….al-hadits”.
Jalan dengan bertelanjang kaki mengandung hikmah untuk menghilangkan kebiasaan seseorang
merasakan nikmat dengan seringnya bersandal.

5. Pemilik Kendaraan Lebih Berhak Duduk di Bagian Depan Kendaraannya


Barang siapa yang memiliki sesuatu maka dia lebih berhak atas sesuatu tersebut dari orang
selainnya. dan mengendarai kendaraan yang hidup atau yang benda mati hukumnya sama, maka
pemilik onta atau kuda atau (mobil) lebih berhak berada di depan kendaraannya dan didahulukan
daripada yang lainnya. Maka tidaklah seseorang mengendarai kendaraannya dibagian depan
kecuali dengan izin pemiliknya.
Hadits Buraidah radhiallahu „anhu menjelaskan hal tersebut dan beliau berkata : “Ketika Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam berjalan datang seorang laki-laki berserta keledai, orang itu berkata :
wahai Rasulullah naiklah. Orang itu mundur ke belakang, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
berkata : “ Tidak kamu yang lebih berhak di depan kendaraanmu dari pada saya kecuali kamu
jadikan hal itu untukku “. Orang itu berkata : Saya telah menjadikannya untukmu, maka beliau pun
mengendarainya”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 157


6. Bolehnya Membonceng di Atas Kendaraan Jika Tidak Memberatkannya
Diantara adab berkendaraan adalah tidak mengapa dua atau tiga orang berkendaraan pada satu
kendaraan selama suatu kendaraan mampu untuk itu, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
membonceng sebagian sahabat beliau seperti Mu‟adz[17] Usamah[18] Al-Fadhl[19] demikian pula
beliau membonceng Abdullah bin Ja‟far dan Al-Hasan atau Al-Husain bersamaan[20] dan selain dari
mereka, radhiallahu „anil jamii‟‟

7. Makruhnya Menjadikan kendaraan Sebagai Mimbar :


Berkaitan dengan masalah ini diterangkan didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu beliau
berkata : “Janganlah kalian menjadikan punggung-punggung hewan tunggangan kalian sebagai
mimbar-mimbar karena Allah memudahkannya untuk kalian hanya untuk membawa kalian kepada
negeri yang belum pernah kalian capai kecuali dengan bersusah payah. Dan Allah telah menjadikan
untuk kalian bumi maka di atasnyalah hendaknya kalian menunaikan hajat kalian”.
Maknanya : Janganlah kalian duduk di punggung-punggung hewan kendaraan dan kalian berhenti
dan kalian berbicara satu sama lain ketika berjual beli dan selainnya bahkan turunlah dan
tunaikanlah hajat kalian kemudian tunggangilah setelah itu. Sebagimana perkataan Al-Qariy.
Dan janganlah seseorang menyamarkan masalah tersebut dengan dalih berhentinya Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam diatas hewan tunggangan beliau ketika hajjatul wada‟, karena hal itu
untuk suatu mashlahat yang kuat dan hal tersebut tidak terulang-ulang.
Ibnul Qayyim berkata : “Adapun berhentinya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam di atas hewan
tunggangan beliau ketika hajjatul wada‟ dan beliau khutbah di atasnya, maka hal tersebut bukan
termasuk yang terlarang, karena hal tersebut terjadi karena adanya mashlahat umum pada satu
waktu, dan tidak terjadi terus menerus, dan hewan tunggang pun tidak merasa capek dan berat
sebagaimana didapatkan kepada orang yang terbiasa dengan hal tersebut bukan dalam rangka ke
mashlahat. Bahkan mereka menjadikannya tempat untuk tinggal dan tempat duduk yang mana
seseorang bermunajat di atasnya, dan tidak turun ke tanah. Hal itu sering terulang dan
berlangsung lama, berbeda dengan khutbah beliau Shallallahu „alaihi wa sallam di atas hewan
tunggangan beliau agar manusia dapat mendengarkan khutbah beliau, dan mengajarkan mereka
perkara islam dan hukum-hukum manasik, maka hal tersebut tidak lah terulang dan tidak
berlangsung lama dan mashlahatnya dapat dirasakan seluruh manusia.
Faedah : (Mobil) tidak dianggap hewan tunggangan dari sisi lamanya orang duduk di atasnya dan
berbicara dengan yang lainnya, karena mobil tersebut tidak mengalami keberatan dan kecapaian,
akan tetapi sepatutnya menjaga kendaraan lainnya pengguna jalan, karena mengganggu mereka
adalah perkara yang haram dan Allah ta‟ala berfirman :

“ Dan mereka yang menyakiti kaum mukminin laki-laki maupun wanita tanpa kesalahan yang
mereka perbuat, maka sungguh mereka telah menanggung kedustan dan dosa yang jelas “ (Al-
Ahzab : 58 ).

BAB 17
ADAB-ADAB DI JALAN

Allah ta‟ala berfirman :

ٖٓ ‫وج ُهم ۚ َٰذَلِ َ أَزَك َٰى لَ ُهم ۚ إِ َّلف للَّلهَ َخبِ ُلر بِ َما يَصنَػعُو َف‬ ِ َٰ ‫واْ ِمن أ‬ ِ ِ ِّ‫قُل ل‬
َ ‫َبص ِرهم َويَ َفظُواْ فُػ ُر‬
َ ُ‫لن يَػغ‬
َ ‫لمؤمن‬ ُ
ِ َٰ ‫ُ ن ِمن أ‬ ِ ‫وقُل لِّلم‬
ِ َ‫ؤم َٰن‬
َ ‫َبص ِره َّلن َويَ َف‬
‫ظن‬ َ َ ‫ت يَغ‬ ُ َ
“ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya,
dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 158


“ Kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.”
(An-Nur : 30-31)

Dari Abu Said Al-khudri radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Janganlah kalian duduk-duduk di jalan-jalan, para sahabat berkata : “Kami tidak
melakukan apapun juga dan jalan-jalan tersebut hanya majlis kami yang kami jadikan tempat
ngobrol. Beliau berkata : “Apabila yang kalian inginkan hanya majlis maka hendaknya kalian
memberikan kepada jalan tersebut haknya. Para sahabat berkata : Apakah hak jalan tersebut?
Nabi berkata : “Menundukkan pandangan, menahan dari mengganggu orang lain, membalas salam,
amar ma‟ruf dan nahi mungkar".
Di antara adab-adab ketika berada jalan :
1. Wajibnya Menunaikan Hak-hak Jalan :
Hak-hak jalan telah Nabi jelaskan dan dia adalah : (menundukkan pandangan, menahan gangguan,
membalas salam, amar ma‟ruf dan nahi mungkar) dan hak-hak ini bukan terbatas ini saja, ini
hanya sebagiannya saja, hadits-hadits yang lainnya menjelaskan hak-hak jalan selain yang
disebutkan ini, maka diketahui bahwa yang disebutkan tadi yang ada di dalam hadits bukanlah
pembatasan.
a. Menundukkan pandangan. Perintah menundukkan pandangan berlaku bagi laki-laki dan
perempuan dengan batasan yang sama, yang demikian itu karena melepas pandangan pada
perkara yang diharamkan dapat mendatangkan adzab di dalam hati dan membuatnya sakit.
Dan dia menyangka bahwa hal itu akan memberkan ketenangan bagi dirinya dan memperindah
hatinya. Akan tetapi sangatlah jauh persangkaan tersebut. Yang paling besar adzabnya diantara
mereka adalah mereka yang kecanduan, sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah: “Sengaja
memandang akan mewariskan pada hati kecintan yang akan menyiksa seseorang. Dan apabila
semakin kuat sampai menjadikannya cinta dan kerinduan yang menyala-nyala dan siksaan akan
semakin bertambah pedih. Tidak berbeda, jika seandainya dia mampu mendapatkan apa yang dia
cintai ataukah tidak mampu. Apabila dia tidak mampu maka dia berada pada adzab yang pedih
berupa kesedihan, kemurungan dan kesusahan hati, dan apabila dia mampu maka dia akan berada
pada adzab yang pedih berupa rasa takut untuk berpisah, dan berusaha untuk menyayanginya dan
berusaha mendapatkan keridhaannya!.
Dan asal dari semua hal tersebut adalah pandangan, kalau saja seseorang itu menundukkan
pandangannya maka jiwa dan hatinya akan tenang.
Dan syariat yang suci ini tidak melalaikan segala sesuatu yang terkadang manusia terjatuh
padanya tanpa sengaja. Bahkan memerintahkan bagi yang telah melihat perempuan asing tanpa
sengaja agar memalingkan pandangannya dan jangan berlama-lama.
Jarir bin Abdullah radhiallahu „anhu berkata : “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam tentang pandangan tiba-tiba maka beliau memerintahkanku agar saya memalingkan
wajahku”.
Makna memandang tiba-tiba adalah memandang seorang wanita asing tanpa sengaja maka tidak
ada dosa atasnya, dan apabila dia belama-lama dalam memandang maka dia berdosa menurut
hadits ini, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.
b. Menahan gangguan. Diantara hak-hak jalan adalah menahan gangguan, dan tidak menyakiti
fisik mereka ataukah kehormatan mereka.. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru
radhiallahu „anhu beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Seorang
Muslim adalah seseorang dimana kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya…al-
hadits”…
Hadits ini diantara jawamiul kalim Rasulullah, makna lisan disini mencakup orang yang berbicara
dengan lisannya dan mengganggu orang lain dalam perkara menjatuhkan harga diri dan mencela
mereka , dan mencangkup orang yang mengeluarkan lidahnya sebagai ejekan dan celaan,
demikian pula tangan karena gangguan yang diakibatkan oleh tangan tidak terbatas hanya pada
pukulan saja, bahkan dapat melewati kepada perkara-perkara yang lain seperti memfitnah orang
lain, memberikan kemudharatan kepada mereka dengan cara menulis tulisan yang menyesatkan,
membunuh dan yang semisalnya. Bahkan diantara bentuk kesempurnaan agama ini bahwa
seseorang menahan gangguannya dan kejahatannya kepada orang lain adalah bentuk shadaqah
yang dia bersedekah bagi dirinya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 159


Di dalam hadits Abu Dzar radhiallahu „anhu adanya keterangan yang sangat jelas tentang hal
tersebut, beliau berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam : “Amalan
apakah yang paling utama? Nabi bersabda : “ Iman kepada Allah dan berjihad di jalannya “. Saya
berkata : Budak yang manakah yang lebih utama dibebaskan? Beliau berkata : “Yang paling tinggi
harganya dan yang paling berharga disisi majikannya “. Saya berkata : “Kalau saya tidak sanggup
melakukannya? “ Beliau bersabda: “ Engkau membantu orang yang membuat sesuatu atau
membuat sesuatu untuk bagi orang yang bingung “. Abu Hurairah berkata : Kalau saya tidak
sanggup melakukannya? Nabi berkata : “Engkau menghalangi orang lain dari kejelekan, karena hal
itu adalah shadaqah engkau bersedekah dengannya untuk dirimu” dan dalam riwayat Muslim :
“Engkau menahan kejelekanmu dari mengganggu orang lain maka sesungguhnya hal itu adalah
shadaqah darimu untuk dirimu sendiri”.
c. Menjawab Salam. Diantara hak-hak jalan : membalas salam, dan perkara ini adalah wajib
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu :
“Lima perkara yang wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya : membalas salam,
mendoakan orang yang bersin, memenuhi undangan, menjenguk orang saki dan mengikuti
jenazah”.
Kebanyakan orang meremehkan hal ini, dan mencukupkan salam hanya kepada orang yang dikenal
saja, siapa yang dia kenal dia salami atau membalas salamnya, dan orang yang dia tidak kenal dia
tidak memberikan perhatian kepadanya, dan ini adalah kekurangan dan menyelisihi sunnah.
d. Wajibnya Amar Ma‟ruf Dan Nahi Mungkar.
Bab ini sangat besar kedudukan dan kadarnya, dengan perkara ini menjadikan ummat ini menjadi
ummat yang terbaik :
ِ ُ‫وؼ وتَنهو َف ع ِن لمن َك ِر وت‬
ِ ‫ؤمنُو َف بِ للَّل ِه ۗ ولَو ءامن أَهل‬
ِ َ‫لك َٰت‬ ِ ‫لنَّلاس تَأمرو َف بِ لم‬ ِ ٍ
ُ َََ َ َ ُ َ َ َ ‫عر‬ ُ َ ُ ُ ِ ‫ُكنتُم َخ َلر أ َّلُمة أُخ ِر َجت ل‬
ِ ‫لَ َكا َف َخلرا لَّلهم ۚ ِّمنهم لم‬
‫ؤمنُو َف َوأَكثَػ ُرُه ُم ل ََٰف ِس ُقو َف‬ ُ ُُ ُ
“ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‟ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik. “( Ali Imron : 110 ).

Ibnu Katsir berkata : Umar bin Al-Khaththab radhiallahu „anhu berkata : Barang siapa yang senang
menjadi bagian dari ummat ini hendakknya dia menunaikan syarat Allah pada ummat tersebut. HR.
Ibnu Jarir, barang siapa yang tidak disifatkan dengan hal itu maka dia mirip dengan ahlul kitab
yang Allah cela mereka dengan firmannya :

‫فعلُو َف‬
َ َ‫ئس َما َكانُواْ ي‬ِ ۚ
َ ‫اهو َف َعن من َكر فَػ َعلُو ُ لَب‬
َ َ‫َكانُواْ َال يَػتَػن‬
“ Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. “[Al-Maidah : 79].

Dan dikarenakan meninggalkan amar ma‟ruf dan nahi mungkar maka siksa ditimpakan bagi
mereka. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya, beliau berkata : “Abu Bakar
radhiallahu „anhu berdiri dan bertahmid kepada Allah Azza wa Jalla dan memujinya dan berkata :
wahai manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini :
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi
mudharat kepadamu apabila kamu Telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali
semuanya, Maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan”. [Al-Maidah :
5].
Dan sesungguhnya kalian meletakkan ayat ini pada selain tempatnya, sesungguhnya saya
mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya apabila manusia
melihat kemungkaran dan dia tidak merubahnya hampir-hampir saja Allah memberikan hukuman
kepada semuanya”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 160


Dan di dalam perkara amar ma‟ruf dan nahi mungkar ada beberapa faedah yang sangat bernilai
bagi umat Islam, diantaranya : Keselamatan perahu komunitas dari kebinasaan dan
ketenggelaman. Diantaranya : menumpas kebatilan dan pelakunya, diantaranya : Melimpahnya
kebaikan dan diskrimas perbuatan kejelekan, dan diantaranya : Membuka pintu keamanan,
diantaranya : Menyebarkan keutamaan dan mengekang kehinaan….dst.

Dan amar ma‟ruf dan nahi mungkar tidak diterbatas pada satu sisi tertentu saja (seperti contoh
lembaga tertentu) atau orang-orang tertentu (seperti orang-orang yang terkenal), bahkan amar
ma‟ruf dan nahi mungkar wajib atas setiap orang, sesuai kemampuannya. Hadits yang menjelaskan
masalah ini konteksnya umum tidak mengkhususkan salah seorang saja.
Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu berkata saya mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “Barang siapa yang melihat kemungkaran maka hendaknya dia merubahnya
dengan tangannya, jikalau dia tidak mampu hendaknya dia rubah dengan lisannya, jika tidak
mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu selemah-lemahnya keimanan”.
Akan tetapi sepatutnya diarahkan kepada berapa perkara berikut ini :
Pertama : Bertahap dalam mengingkari, dan janganlah seseorang berpindah kepada satu
tingkatan sampai dia tidak mampu dari tingkatan sebelumnya, maka janganlah ia mengingkari
dengan hatinya sedangkan dia mampu mengingkari dengan lisannya, dan demikian seterusnya.
Kedua : Bahwa barang siapa yang memiliki kekuasaan maka hendaknya pengingkarannya harus
dengan pengingkaran yang paling tinggi, maka penguasa suatu keluarga dialah pemimpin yang
ditaati di dalam rumah maka merubah kemungkaran hendaknya dengan tangannya dan dia mampu
menghilangkan kemungkaran dengan tangannya dan tidak ada udzur akan hal tersebut.
Ketiga : Mengilmui sebelum mengingkari kemungkaran, bahwa perbuatan tersebut betul-betul
perbuatan mungkar sebelum mengingkari, apakah perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang
dibolehkan adanya perbedaan pendapat, dan pada perkara ini banyak kelompok manusia salah
padanya, maka hendaknya berhati-hati.
Keempat : Bagi orang yang mengingkari hendaknya menghadirkan kaidah mafsadah dan maslahat
dan agar tidak segera mengingkari kecuali setelah mengetahui bahwa mashlahat itu lebih kuat
daripada mafsadah, maka kapan seseorang tahu kuatnya mafsadah wajib baginya untuk menahan
agar jangan sampai dia membuka pintu kejelekan dan kerusakan.
Kelima : Apabila orang yang mengingkari tidak mampu melalui tahapan pertama dan kedua, maka
jangan sampai hatinya lalai, dia melewati kemungkaran tanpa mengingkari di dalam hatinya dan
menampakkan pengaruh kemungkaran tersebut dari raut wajahnya.

e. Menunjukkan Jalan Bagi Orang Yang Bertanya Tentangnya. Diantara hak-hak jalan –juga-
mengarahkan orang yang bertanya tentang jalan dan menunjukkannya kepadanya, sama saja
apakah orang yang bertanya itu orang yang lagi tersesat ataukah orang yang buta.
Kewaiban ini dijelaskan di dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu tentang kisah orang-orang
yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tentang hak ketika berada di jalan –
beliau- berkata : “Dan membimbing jalan bagi orang yang bertanya tentangnya”[11]. Dan di dalam
hadits Abu Hurairah yang lain menjelaskan bahwa menunjukkan jalan termasuk shadaqah, dia
berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata : “Menunjukkan jalan shadaqah”.
2. Menghilangkan (Membuang) Sesuatu yang Mengganggu di Jalan
Adab-adab yang disunnahkan di jalan adalah; menghilangkan sesuatu yang mengganggu di jalan,
bahkan hal ini termasuk keimanan. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Iman itu ada
tujuh puluh sekian cabang atau enam puluh sekian cabang, cabang yang paling utama adalah
ucapan laa ilaaha illallaah, dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu yang
mengganggu di jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan”.
Dan perbuatan tersebut termasuk dari shadaqah, dan dengan sebab perbuatan ini pula seseorang
dimasukkan ke dalam surga. Di dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu dia berkata :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Setiap ruas anggota badan manusia ada
sedekah padanya…kemudian beliau berkata : “Menyingkirkan sesuatu yang mengganggu di jalan
adalah sedekah”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 161


Dari Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Ketika seseorang berjalan di
jalan dia mendapatkan ranting yang berduri berada di atas jalan dan dia menyingkirkannya, maka
Allah berterima kasih untuknya dan dia pun diampuni dosa-dosanya….al-hadits”
Pada riwayat Abu Daud : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Seorang laki-laki yang
belum pernah beramal satu amal kebaikan pun menyingkirkan ranting berduri di jalan, baik dari
pohon yang menghalangi jalan kemudian dia memotongnya lalu dia buang, ataukah sesuatu yang
menggeletak dan ia pun menyingkirkannya, maka Allah pun berterima kasih kepadanya dan
memasukkannya ke dalam surga”.

3. Haramnya Buang Hajat di Jalan yang Dilalui Manusia atau di Tempat Mereka Berteduh
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memberikan peringatan agar tidak buang hajat di jalan
yang dilalui manusia atau tempat mereka berteduh, karena hal itu hak umum, maka tidak boleh
bagi seseorang untuk merusak jalan-jalan manusia yang mereka berjalan di atasnya, atau tempat
mereka berteduh yang mana padanya mereka duduk-duduk, dan berlindung dari panasnya
matahari.

Abu Hurairah radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Takutlah kalian kepada dua perkara yang terlaknat. Para sahabat bertanya : Apakah dua perkara
yang terlaknat itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda : “Buang hajat di jalan yang dilalui manusia
dan di tempat mereka berteduh”.

Makna sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Takutlah kalian dari dua perkara yang terlaknat”
yaitu : Jauhilah kalian dua perkara yang mendatangkan laknat manusia dan cacian mereka.
Disebabkan siapa saja yang buang hajat di jalannya manusia dan tempat berteduh mereka, hampir
tidak selamat dari celaan dan cacian mereka.

4. Laki-Laki Lebih Berhak Berada di Tengah Jalan Dibanding Wanita


Diantara bentuk antusias Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam untuk membedakan wanita dan laki-
laki, dan untuk memutuskan setiap jalan yang dapat membawa kepada fitnah wanita, adalah
dengan menjadikan tepi jalan bagi wanita dan bagian tengah untuk laki-laki, sehingga laki-laki
tidak bercampur-baur dengan wanita dan agar fitnah tidak bertambah besar –sebagaimana
keadaan sekarang kecuali yang orang yang Allah rahmati-.
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu „anhu bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda dan dia sedang berada di luar masjid, dan laki-laki dan wanita
bercampur baur di jalan, maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepada wanita :
“mundurlah kalian karena bukan bagi kalian untuk berada di tengah-tengah jalan, hendaknya
kalian -berada di tepi jalan” dan adalah wanita menyentuh tembok sampai-sampai pakaian mereka
tersangkut di tembok karena rapatnya pakaian tersebut ke tembok.
Dan jalannya wanita sejajar sisi samping jalan lebih tertutup bagi mereka, dan lebih dekat kepada
rasa malu, dan agar mereka jangan bersaing dengan laki-laki di jalan mereka dan bercampur baur
bersama mereka menjerumuskan diri-diri mereka dan selain mereka kepada fitnah. Dan awal fitnah
yang terjadi pada bani Israil adalah pada wanita, dan kebinasaan mereka adalah disebabkan hal
tersebut.

5. Membantu Seseorang Menaiki Kendaraannya atau Membantu Mengangkat Barangnya


ke Atas Kendaraannya
Dan termasuk adab yang disunnahkan diamalkan ketika berada di jalan adalah apabila engkau
melihat seorang laki-laki ingin mengendarai kendaraannya dan hal itu sulit baginya, maka
hendaknya kamu membantunya untuk hal tersebut, atau membantunya mengangkatkan
barangnya, dan hal itu mungkin dikerjakan sekarang ini, karena sebagian orang-orang yang tua
terkadang tidak memungkinkan lagi mengendarai ( pedati yang beroda ) dengan mudah, terlebih
lagi apabila roda-roda tersebut besar.

Perbuatan itu termasuk shadaqah yang mendatangkan pahala bagi seorang muslim.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 162


Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam beliau bersabda : “Setiap
ruas anggota badan ada shadaqah atasnya, setiap hari, menolong seseorang naik kendaraannya
membawanya kepada kendaraannya atau mengangkatkan barangnya ke kendaraan adalah
shadaqah…” dan lafazh Muslim “Dan kamu membawakannya kepada kendaraannya”.

BAB 18
ADAB-ADAB BERTETANGGA

Allah ta‟ala berfirman :

‫لجا ِر ِذي ل ُقربَ َٰى‬ ِ َٰ ‫وبِ َٰلولِ َدي ِن إِ َٰسنا وبِ ِذي ل ُقرب َٰى و لل َٰتَم َٰى و لم‬ ۖ ‫َو عبُ ُدواْ للَّلهَ َوَال تُش ِرُكواْ بِ ِۦه َشلٔا‬
َ ‫سكل ِن َو‬ََ َ ََ َ َ َ َ َ َ
ِ ِ‫لسب‬ ِ ‫و لجا ِر لجن ِ و َّل‬
ۗ ‫َيمنُ ُكم‬
ََٰ ‫لل َوَما َملَ َكت أ‬ ‫ِ َو ب ِن َّل‬ َ ِ‫لصا ِ ب‬
‫لجن‬ َ ُُ َ َ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat” (An-Nisaa‟ : 36 ).

Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “senantiasa Jibril mewasiatkanku agar aku berbuat
baik kepada tetangga sampai-sampai saya mengiranya akan mewariskan kepada tetangga
tersebut”.

Di antaran adab-adab bertetangga :


1. Memuliakan Tetangga dan Berwasiat Akan Hal Tersebut
Allah subhanahu mewasiatkan di dalam kitabnya agar memuliakan tetangga, Allah berfirman : “dan
berbuat baiklah kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh “ (An-Nisaa‟ : 36).
Maka tetangga yang masih keluarga memiliki dua hak : hak keluarga dan hak tetangga, dan
tetangga jauh hanya memiliki hak tetangga. Dan keduanya dimuliakan dan diperhatikan
kebutuhannya dan diperlakukan dengan baik.

Di dalam hadits Aisyah radhiallahu anha adanya penegasan tentang hak ini, dia berkata: Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Senantiasa Jibril terus mewasiatkan kepadaku agar
memuliakan tetangga sampai saya mengira dia akan memberikan warisannya kepadanya”.
Al-Hafizh berkata : As-Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah berkata: … dan terlaksananya wasiat
berbuat baik kepada tetangga dengan menyampaikan beberapa macam bentuk perbuatan baik
kepadanya sesuai kemampuan, seperti hadiah, salam, wajah berseri-seri ketika bertemu,
mengontrol keadaannya, membantunya pada apa yang dia butuhkan dan selainnya, dan menahan
sesuatu yang dapat mengganggunya dengan berbagai macam caranya baik secara hissiyah –
terlihat – atau maknawi – tidak –.
Dari Abdullah bin Amru radhiallahu „anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah mereka yang paling baik kepada
sahabatnya, dan tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah mereka yang paling baik kepada
tetangganya”.
Faedah : kata tetangga mencangkup tetangga yang muslim dan kafir, ahli ibadah dan orang fasik,
teman dan lawan, orang asing dan penduduk asli, yang memberi manfaat dan yang memberi
mudharat, kerabat dekat dan bukan kerabat, rumah yang paling dekat dan yang paling jauh. Dan
bagi mereka ada tingkatan-tingkatannya sebagian mereka lebih tinggi kedudukan daripada
sebagian lainnya, yang paling tinggi tingkatannya adalah yang terkumpul padanya semua sifat-sifat
yang pertama kemudian yang paling banyak sifat-sifatnya yang disebutkan tadi, demikian
seterusnya sampai menjadi satu sifat saja, dan kebalikannya adalah yang terkumpul padanya sifat-
sifat lainnya demikian seterusnya, maka setiap mereka diberikan haknya sesuai keadaannya, dan
terkadang dua sifat atau lebih saling bertentangan maka hendaknya dipilih yang rajah atau
disamakan, Ibnu Hajar mengatakannya di dalam Al-Fath.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 163


2. Tetangga Yang Paling Dekat Dan Hak-Haknya :
Tetangga yang paling dekat yang saling berdekatan memiliki hak-hak yang tidak dimiliki oleh
tetangga yang jauh. Hukum ini diambil dari pertanyaan Aisyah radhiallahu anha, dia berkata :
“Saya berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai dua tetangga maka yang
manakah yang saya berikan hadiah? Nabi berkata : “Yang paling dekat pintunya dari rumahmu”.
Ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan pengkhususan hadiah kepada
tetangga yang dekat selain yang jauh, maka diketahui bahwa hak tetangga yang dekat lebih
didahulukan daripada hak tetangga yang jauh. Dan diantara hikmah hal tersebut bahwa tetangga
dekat melihat hadiah atau yang lainnya yang ada di dalam rumah tetangganya dan menginginkah
hal tersebut berbeda dengan tetangga yang jauh, dan sesungguhnya tetangga yang dekat lebih
cepat menjawab pertolongan ketika terjadi pada tetangganya dari perkara-perkara penting apalagi
di waktu-waktu lalai, demikian penjelasan Al-Hafizh.
Sebagian besar manusia seperti itulah keadaan mereka. Mereka mengkhususkan perhatian yang
lebih dan menjaga perhatian tersebut kepada tetangga yang dekat, apa yang tidak didapatkan
tetangga yang jauh.

Dan termasuk hak-hak tetangga adalah agar tidak menghalangi tetangganya untuk menancapkan
kayu atau meletakkannya di atas dinding untuk membangun kamar atau yang semisalnya. Abu
Hurairah radhiallahu „anhu bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallambersabda : “Janganlah
salah seorang diantara kalian melarang tetangganya menancapkan kayu di dindingnya”.
Akan tetapi harus menjaga beberapa perkara berikut ini :
Pertama : Bangunan tidak membahayakan dinding tembok.
Kedua : Tetangga dalam keadaan terpaksa untuk hal tersebut.
Ketiga : Tidak didapati cara yang lain yang memungkinkan untuk membangun kecuali
menyandarkan kepada tembok tetangga.

Apabila salah satu atau sebagian dari perkara-perkara ini tidak dipenuhi maka tidak boleh bagi
tetangga memanfaatkan bangunan dan menyandarkannya kepada tembok tetangganya karena
mendatangkan mudharat yang telah terlarang oleh syariat: “Tidak boleh ada sesuatu yang
berbahaya dan yang membahayakan orang lain”.

3. Haramnya Mengganggu Tetangga :


Tidak halal bagi seorang mu‟min untuk mengganggu tetangganya dengan berbagai macam
gangguan, dan di dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu adanya larangan dan sikap tegas
bagi seseorang yang mengganggu tetangganya.

Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menggandengkan antara iman kepada Allah dan hari akhir
dan dengan mengganggu tetangga, dari apa yang menunjukkan atas besarnya perkara
mengganggu tetangga-. Abu Hurairah berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia mengganggu
tetangganya….”.

Dan di dalam hadits yang lain, hadits Abu Syuraih radhiallahu „anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda : “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak
beriman, sahabat berkata : Siapakah wahai Rasulullah? Beliau bersabda : “Yang tetangganya tidak
aman dari kejelekannya“.

Pada riwayat Abu Hurairah radhiallahu „anhu : Bahwa rasululullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya”.
Di dalam hadits Abu Syuraih radhiallahu „anhu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersumpah atas
dihilangkannya keimanan –sebanyak tiga kali- bagi yang tetangganya tidak merasa aman dengan
kejelekannya, dan maksudnya bahwa tetangga yang tidak aman dari kejahatannya adalah tetangga
yang tidak sempurna keimanannya, dan dia dengan kemaksiatannya dan kezhalimannya telah
mengurangi kesempurnaan imannya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 164


Di dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
mengabarkan bahwa surga tidak akan masuk ke dalamnya orang yang tetangganya tidak aman
dari kejelekannya, dan maksudnya –wallahu a‟lam- bahwa orang itu tidak masuk di awal waktu,
dan kami katakan seperti itu karena seluruh nash-nash yang ada memberikan faedah bahwa orang
yang bertauhid akan masuk surga walaupun dia diadzab sebelum itu, atau bahwa sunnatullah
menetapkan bahwa yang tetangganya tidak aman dari kejelekannya, tidaklah dia mati dalam
keadaan kafir.
Mengganggu tetangga ada beberapa tingkatan, sebagian tingkatan ringan akibatnya kalau
dibandingkan dengan selainnya dan sebagian lainnya besar akibatnya, bahkan gangguan yang
paling besar yang tetangga dapatkan, adalah gangguan kepada keluarganya, dan ini merupakan
dosa yang paling besar di sisi Allah.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas‟ud radhiallahu „anhu dia berkata : “Saya bertanya kepada Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam : Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah? Beliau bersabda : “
Kamu menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan sedangkan Allah lah yang menciptakanmu “.
Saya berkata : Sesungguhnya perkara tersebut sungguh sangat besar, saya berkata : Kemudian
apa? Beliau bersabda : “Kamu membunuh anakmu karena kamu takut dia makan bersamamu “.
Saya berkata : kemudian apa? Beliau bersabda : “Kamu menzinahi isri tetanggamu”.
Faedah : Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki datang kepada
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mengadukan kejelekan tetangganya. Beliau bersabda: “Pulanglah
dan bersabarlah”. Kemudian datang lagi kedua dan ketiga kalinya. Beliau berkata : “Pulanglah dan
taruhlah barang-barangmu di tengah jalan”. Sahabat tadi meletakkan barang-barangnya di tengah
jalan, mulailah orang-orang bertanya kepadanya dan ia mengabarkan kabar tentang dirinya, maka
orang-orang pun melaknat tetangganya : Semoga Allah melakukan ini kepadanya, semoga Allah
melakukan itu kepadanya, semoga…maka datanglah tetangganya kepadanya dan berkata :
Kembalilah kamu tidak akan lihat dari sesuatu yang kamu benci”.

BAB 19
ADAB-ADAB BERSIN DAN MENGUAP

Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “sesungguhnya Allah mencintai bersin dan
membenci menguap, maka apabila salah seorang dari kalian bersin dan bertahmid kepada Allah
maka wajib atas seluruh muslim yang mendengarkannya untuk mengatakan : yarhamukallah
(semoga Allah merahmatimu), adapun menguap maka sesungguhnya dia dari syaithan, maka
apabila salah seorang dari kalian menguap maka hendaknya dia tahan semampunya….al-hadits”.
Di antara adab-adabnya :
Pertama : Adab-adab Bersin
1. Mendoakan Orang Yang Bersin
Adalah perkara yang diperintahkan dan disunnahkan, dan termasuk perkara kesempurnaan agama
kita dengan mensyariatkan kepada mereka doa yang mereka ucapkan setelah bersin –yang mana
dia adalah nikmat Allah atas mereka-, maka dengan bersin tersebut mereka memuji Allah, dengan
bersin tersebut mereka saling mendoakan rahmat dan memohon kepada Allah hidayah dan baik
keadaan.
Dari Al-Barra‟ bin „Azib radhiallahu „anhu dia berkata : “Nabi memerintahkan kepada kami dengan
tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara maka beliau menyebutkan menjenguk orang
sakit, mengikuti jenazah, mendoakan orang bersin, membalas salam, menolong orang yang
dizhalimi, memenuhi undangan, dan memperhatikan keinginan orang yang bersumpah”.
Mendoakan orang yang bersin adalah fardhu kifayah apabila sebagian orang yang hadir
melaksanakannya maka gugur perintah mendoakan bagi yang lainnya. Dan tidak sepatutnya
meninggalkan perkara ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pada hadits yang
telah lalu : “apabila salah seorang dari kalian bersin dan bertahmid kepada Allah maka wajib atas
setiap muslim yang mendengarnya untuk mengucapkan “ yarhamukallah “ baginya”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 165


2. Mendo‟akan Orang yang Bersin Hanya Dilakukan Ketika Mendengar Tahmid dari Orang
yang Bersin Tersebut
Hal itu berdasarkan hadits yang Anas radhiallahu „anhu riwayatkan dia berkata : “Ada dua orang
bersin di sisi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, maka beliau mendoakan salah seorang dari
keduanya dan tidak mendoakan yang lain, maka orang itu berkata : Wahai Rasulullah : engkau
mendoakan orang ini dan engkau tidak mendoakan saya?
Beliau berkata : “Sesungguhnya orang ini memuji Allah dan kamu tidak memuji Allah”.
Dan dari Abu Musa Al-Asy‟ari radhiallahu „anhu dia berkata : Saya mendengar Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang dari kalian bersin dan bertahmid
kepada Allah maka hendaknya kalian mendoakannya, maka apabila dia tidak bertahmid kepada
Allah maka janganlah kalian mendoakannya”.

Masalah : Apakah harus mendengarkan tahmid orang yang bersin untuk mendoakannya, atau
cukup dengan mengetahui hal tersebut dari orang yang medoakannya yang berada di sekitarnya?
Jawab : Yang jelas bahwa hendaknya seseorang medoakannya apabila benar-benar dia memuji
Allah, dan bukanlah tujuannya orang yang mendoakan mendengar tahmid, namun maksudnya
adalah adanya tahmid itu sendiri, maka kapan saja terjadi tahmid maka mesti diucapkan doa,
sebagaimana kalau yang mendoakan itu orang yang tuli, dan melihat gerakan mulut orang yang
bersin bertahmid. Dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Apabila dia bertahmid, maka
hendaknya kalian mendoakannya. Inilah pendapat yang benar. Demikian penjelasan Ibnu Qayyim.
Masalah lainnya : Apakah disunnahkan mengingatkan orang yang lupa memuji Allah setelah
bersin sehingga dia mendoakannya?
Jawab : Sebagian ulama seperti An-Nakha‟i dan An-Nawawi memilih pendapat untuk
mengingatkannya, karena hal itu bagian dari bab tolong menolong di atas perbuatan kebaikan dan
taqwa, dan bab nasihat dan amar ma‟ruf.

Dan sebagian lainnya seperti Ibnu Al-„Arabi dan Ibnul Qayyim memilih pendapat bahwa tidak perlu
untuk diingatkan. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata : “Zhahir dari sunnah menguatkan pendapat
Ibnul Arabi, dan ini merupakan pelajaran bagi orang tersebut, dan penghalang dari berkah doa bagi
orang yang menghalangi dirinya keberkahan tahmid, dan melupakan Allah, maka Allah
memalingkan hati-hati kaum mu‟minin dan lisan-lisan mereka dari mendoakannya, dan kalau saja
mengingatkannya untuk bertahmid itu sunnah, tentu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam lebih utama
untuk melaksanakannya dan mengajarkannya, dan menolongnya untuk hal tersebut “.
3. Sunnah Orang Yang Bersin Mengucapkan : Alhamdulillah Atau Alhamdulillah 'Ala Kulli
Hal
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian bersin maka hendaknya mengucapkan
Alhamdulillah…al-hadits”, pada lafazh Abu Daud : “Maka hendaknya mengucapkan Alhamdulillah
ala kulli hal”[10].

4. Sunnah Orang Yang Mendoakan Orang Yang Bersin Mengucapkan : Yarhamukallah


Berdasarkan hadits Abu Hurairah yang telah lalu : bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Apabila salah seorang dari kalian bersin hendaknya mengucapkan : Alhamdulillah, dan
saudaranya atau yang menemaninya mengucapkan doa untuknya : Yarhamukallahu….al-hadits”.
5. Sunnah Orang Yang Bersin Untuk Kedua Kali Mengucapkan Setelah Yang Lain
Mendoakannya : Yahdikumullahu Wa Yushlihu Balakum Atau Yarhamunallahu Wa
Iyyakum Wa Yaghfiru Lana Walakum
Di dalam hadits Abu Hurairah yang lalu, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila salah seorang dari kalian bersin hendaknya dia mengucapkan Alhamdulillah, dan
saudaranya atau temannya mengucapkan untuknya “Yarhamukallah “, dan apabila saudaranya
mengucapkan yarhamukallah maka hendaknya dia mengucapkan “Yahdikumullah wa yushlihu
balakum[11]“. atau dia mengucapkan “Yarhamunallah wa iyyakum wa yaghfiru lana wa lakum “.
Doa tersebut dijelaskan pada riwayat hadits Nafi‟ dari Ibnu Umar : “Bahwa Abdullah bin Umar
apabila dia bersin dan diucapkan baginya Yarhamukallah, beliau berkata : “Yarhamunallahu wa
iyyakum, wa yaghfiru lana wa lakum”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 166


6. Sunnahnya Orang Yang Bersin Merendahkan Suaranya
Faedahnya ialah bahwa ketika orang yang bersin –kebanyakannya- membuat suara yang tinggi
yang mengganggu maka disunnahkan baginya untuk merendahkan suaranya dengan meletakkan
tangannya atau pakaiannya ke wajahnya. Meletakkan tangan atau pakaian ke mulut ada faedah
yang lain yaitu : Bahwa orang yang bersin tidak aman –kebanyakan- dari keluarnya sesuatu dari
mulutnya, maka disunnahkan baginya meletakkan tangannya ke mulutnya. Dan hal tersebut telah
dijelaskan dalam sebuah Sunnah, Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan : “Bahwa Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam apabila bersin beliau menutup wajah beliau dengan tangan atau
pakaian beliau dan dengan demikian beliau merendahkan suaranya”.
7. Mendoakan Orang Yang Bersin Sebanyak Tiga Kali, Selama Lebih Dari Tiga Maka
Bersinnya Karena Flu
Hadits Salamah bin Al-Akwa‟ bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam sementara
seseorang yang berada di sisi beliau bersin, maka Nabi berkata kepadanya : “Yarhamukallah”
kemudian orang itu bersin kembali maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Orang
ini terkena flu”.

Konteks hadits ini, membatasi ucapan doa untuk orang yang bersin dengan dua kali saja, akan
tetapi nash-nash yang lain datang mengaitkan bahwa orang yang bersin didoakan sebanyak tiga
kali.

Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dia berkata : “Doakan saudaramu yang bersin sebanyak tiga
kali kalau lebih dari tiga maka dia sedang flu”.

An-Nawawi berkata : “Ulama berselisih tentang hal tersebut, Ibnul Arabi Al-Maliki berkata : ada
yang berpendapat : dikatakan kepada orang yang bersin untuk yang kedua kali : Kamu kena flu,
dan ada yang berpendapat : dikatakan kepadanya pada bersin yang ketiga, dan ada yang
berpendapat : pada bersin yang keempat, dan yang paling shahih agar dikatakan kepadanya pada
bersin yang ketiga, Ibnul Arabi berkata : Dan maksudnya bahwa kamu bukan orang yang
mendoakannya setelah ini, karena yang ada padamu adalah flu dan penyakit, bukan bersin yang
ringan.

Ibnul Qayyim berkata : “ Dan penjelasan beliau tentang hadits :”Orang itu kena flu” adanya
peringatan untuk mendoakan baginya kesembuhan, karena flu itu penyakit, dan pada hadits
tersebut adanya udzur bagi orang yang tidak mendoakan setelah bersin yang ketiga. Hadits ini juga
berisikan suatu perhatian terhadap sebab ini agar seseorang memahaminya dan tidak
mengabaikannya, sehingga membuat susah urusannya. Dengan demikian perkataan beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam adalah hikmah dan rahmat, ilmu dan petunjuk.
8. Bolehnya Mendoakan Ahlu Dzimmah – yakni kafir dzimmi, pent – Ketika Bersin Dengan
Doa “Yahdikumullah Wa Yushlihu Balakum”
Masalah ini disebutkan di dalam hadits Abu Musa Al-Asy‟ari, beliau berkata : Seorang Yahudi bersin
di sisi Rasulullah, dia berharap agar Nabi mengucapkan untuknya yarhamukallah, namun yang Nabi
ucapkan adalah : “yahdikumullah wa yushlihu balakum“.

Berdasarkan ini boleh mendoakan ahlu dzimmah –apabila mereka bertahmid setelah bersin-
dengan doa hidayah dan taufiq kepada keimanan, dan tidak mendoakan mereka dengan rahmat
dan maghfiroh, karena mereka tidak pantas untuk doa itu.

Faedah : boleh bagi orang yang bersin di dalam shalat agar bertahmid kepada Allah, namun tidak
boleh bagi orang yang mendengarnya mendoakannya dengan mengucapkan yarhamukallah.

Kedua : Adab-adab Menguap


1. Disunnahkan Menahan Mulut Ketika Menguap Karena Hal Itu Dari Syaithan

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 167


Di dalam perkara ini adanya hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam beliau bersabda : “… sedangkan menguap maka dia itu dari syaithan…al-hadits”[20]. An-
Nawawi berkata : “ Menguap sering terjadi bersamaan dengan rasa berat, jenuh, penat, badan
cenderung merasa malas. Penyandaran perbuatan tersebut kepada syaithan karena dialah yang
mengajak kepada syahwat, dan maksudnya di sini adanya peringatan terhadap sebab yang
melahirkan darinya berpuas-puas dan memperbanyak di dalam masalah makanan.
Adapun menahan menguap maka hal itu adalah perkara yang disunnahkan, dan tentang hal
tersebut banyak hadits-hadits yang menerangkannya, dan diantara hadits-hadits tersebut adalah
hadits Abu Hurairah, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Menguap itu dari syaithan maka apabila salah seorang dari kalian menguap maka hendaknya dia
menahannya, dan apabila salah seorang dari kalian ketika menguap mengucapkan “ haa “, syaithan
akan menertawakannya”, pada lafazh riwayat Muslim : “Apabila salah seorang dari kalian menguap
maka hendaknya dia menahannya semampunya”. Pada lafazh riwayat Ahmad: “Maka hendaknya
dia menahannya semampunya dan janganlah ia mengucapkan “aah aah,” karena sesungguhnya
apabila ada salah seorang dari kalian membuka mulutnya maka sesungguhnya syaithan
menertawakannya atau tertawa kepadanya” .
Diriwayatkan dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang dari kalian menguap maka hendaknya dia
menahan dengan tangannya ke mulutnya, karena syaithan itu masuk”, dan pada lafazh riwayat
Ahmad: “Apabila salah seorang dari kalian menguap dalam shalat, maka hendaknya dia
meletakkan tangannya ke mulutnya, karena syaithan itu masuk bersama menguap”
Al-Kazham – menahan – terkadang dengan jalan menahan dengan mulut dan mencegahnya agar
tidak terbuka, dan terkadang dengan menekan gigi-gigi pada bibir, dan terkadang dengan
meletakkan tangan atau pakaian pada mulut dan yang semisalnya.
Catatan penting: Sebagian orang bersandar kepada permohonan perlindungan dari syaithan
ketika menguap, ini adalah kesalahan yang nyata, dari dua sisi :
Yang pertama : Bahwa ta‟awwudz (mohon perlindungan) adalah perkara dzikir yang ia buat-buat
dari dirinya sendiri yang tidak disyariatkan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam.
Kedua : Orang tersebut telah meninggalkan sunnah yang Nabi perintahkan ketika menguap, yaitu
menahan mulut ketika menguap semampunya apakah dengan pakaian atau dengan meletakkan
tangan atau dengan cara yang lain, maka hendaknya seorang muslim memperhatikan hal ini.

BAB 20
ADAB-ADAB BERGAUL SESAMA SAUDARA MUSLIM

Allah ta‟ala berfirman :

ٍ َ‫ومئِ ِذ بَع ُ ُهم لِب‬


ِ ‫عض َع ُد ٌّو إَِّلال‬ ِ
‫لن‬
َ ‫لمتَّلق‬
ُ َ َ‫ألَخ َّلالءُ ي‬
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali
orang-orang yang bertakwa.” ( Az-Zukhruf : 67 )

Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam: “seseorang itu sesuai
agama teman dekatnya, maka hendaknya dia melihat kepada siapakah dia berteman dekat”.
Di antara adab-adab pergaulan bersama sesama saudara Muslim :
1. Memilih Teman Bergaul Dan Teman Duduk :
Telah dikemukakan sebelumnya hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu secara mar‟fu‟ : “Seseorang
itu sesuai agama teman dekatnya maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat bersama
siapakah dia berteman”

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 168


Maknanya : Bahwa seseorang itu sesuai kebiasaan temannya tingkah laku dan gaya hidupnya,
maka hendaknya dia memperhatikan dan meneliti “Bersama siapakah dia berteman”. Barang siapa
diridhai agama dan akhlaknya maka hendaknya dia berteman dengannya dan kalau tidak
hendaknya dia menjauhinya, karena tabiat itu adalah sesuatu yang dicuri/diambil dari orang lain,
sebagaimana disebutkan didalam kitab „Aun Al-Ma‟bud.
Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Janganlah kalian berteman kecuali bersama orang yang beriman, dan janganlah ada
yang makan makananmu kecuali orang yang bertakwa”[3]. Larangan bersahabat mencakup
larangan bersahabat dengan pelaku dosa besar dan orang suka berbuat dosa, karena mereka
melakukan apa yang Allah haramkan. Berteman dengan mereka akan mendatangkan kemudharaan
pada agama, dan lebih utama lagi larangan tersebut mencakup larangan bersahabat dengan orang-
orang kafir dan munafiq.

Sabda Nabi : “Dan janganlah seseorang memakan makananmu kecuali seorang yang bertakwa”.
Al-Khaththabi berkata : “Larangan ini berlaku pada makanan undangan bukan makanan
hajat/kebutuhan, yang demikian itu karena Allah subhanahu berfirman :

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang
yang ditawan.( Al-Insan : 8 )

Telah maklum adanya bahwa tawanan-tawanan mereka ada yang kafir yang tidak beriman dan
tidak bertakwa. Berarti Nabi memberikan peringatan dari berteman bersama orang yang tidak
bertakwa dan melarang bercampur baur dan memberi makanan kepadanya. Karena memberi
makanan akan menyebabkan adanya kelembutan dan kasih sayang di dalam hati.
Dan teman dekat dan teman duduk yang jelek akhlaknya memberikan bahaya yang nyata dan
tidak diapat dihindari bagaimana pun cara menjaganya, berdasarkan nash dari sabda Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam, Abu Musa Al-Asyari radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Pemisalan teman duduk yang shalih dan yang jelek
akhlaknya bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi, penjual minyak wangi dia dapat
memberimu minyak wangi atau kamu membeli darinya minyak wangi atau kamu mendapatkan bau
yang wangi, adapun pandai besi, dia dapat membakar pakaianmu atau kamu mendapat bau yang
tidak sedap darinya”.
2. Mencintai Karena Allah :
Kedudukan Persaudaraan yang paling agung adalah ketika hal itu karena Allah dan untuk Allah,
tidak untuk mendapatkan kedudukan, atau mendapatkan manfaat yang segera atau yang akan
datang, tidak karena mendapatkan materi, atau selainnya. Dan barang siapa kecintaannya kepada
temannya karena Allah dan persaudaraannya karena Allah sungguh dia telah mencapai puncak
tujuan, dan agar seseorang itu berhati-hati jangan sampai kecintaannya tersebut terselip
kepentingan-kepentingan duniawi yang akan mengotori dan menyebabkan kerusakan
persaudaraan.
Dan barang siapa kecintaannya karena Allah maka hendaknya dia bergembira dengan janji Allah
dan keselamatan dari kedahsyaran hari dimana seluruh makhluk dikumpulkan pada hari kiamat.
Dan dia akan dimasukkan dibawah naungan Arsy Dzat yang Maha perkasa Jalla Jalaluhu. Abu
Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat : “Dimanakah orang-orang yang saling
mencintai karena keagungan-Ku, pada hari ini Aku akan menaungi mereka di dalam naunganku di
hari tidak ada naungan selain naungan-Ku”.
Dari Muadz bin Jabal radhiallahu „anhu, beliau berkata : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam berkata : “Allah tabaraka wa ta‟ala berfirman: Kecintaanku suatu yang harus bagi
orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, yang duduk-duduk bersama karenaku, yang saling
menziarahi karena-Ku, saling memberi karena-Ku”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 169


Dan Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Bahwa seseorang
menziarahi saudaranya karena Allah di desa lain maka Allah mengirimkan kepadanya malaikat di
tengah-tengah perjalanannya. Ketika malaikat tersebut datang kepadanya dia berkata : Kemana
kamu hendak pergi? Orang itu berkata : Saya ingin pergi ke rumah saudaraku di desa ini. Malaikat
itu berkata : Apakah kamu mempunyai nikmat atas saudaramu itu yang kamu jaga?
Orang itu berkata : Tidak, hanya saja saya mencintainya karena Allah Azza wa Jalla. Malaikat itu
berkata : Sesungguhnya saya adalah utusan Allah kepadamu bahwa Allah telah mencintaimu
sebagaimana engkau mencintainya karenanya”.

Catatan penting 1 : Sepatutnya bagi orang yang mencintai saudaranya karena Allah agar
memberitahukannya tentang hal tersebut, dan di dalam hal ini ditunjukkan didalam sunnah yang
telah maklum. Anas bin Malik dan selainnya meriwayatkan, beliau berkata : “Bahwa ada seseorang
yang berada di sisi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, maka seorang laki-laki lain melewatinya.
Laki-laki itu berkata wahai Rasulullah : Sesungguhnya saya mencintai laki-laki ini. Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apakah kamu telah memberitahukan kepadanya?” Orang
itu berkata : tidak. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Beritahukanlah kepadanya!” Maka
orang itu pun menyusulnya dan berkata : Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah. Laki-laki
tadi berkata : Semoga Allah mencintaimu yang karena-Nya engkau mencintaiku karenanya”. Pada
riwayat Ahmad : “Nabi berkata : “Berdirilah dan kabarkanlah kepadanya maka hal itu akan
mengokohkan kecintaan diantara kalian”.
Laki-laki yang bersama Nabi pun bangun dan menjumpainya kemudian mengabarkan kepadanya,
dia berkata : “Sesungguhnya saya mencintaimu karena Allah atau dia berkata saya mencintaimu
untuk lillah. Laki-laki yang lewat itu berkata : “Semoga Allah mencintaimu yang mana engkau
mencintaiku karenanya”.

Catatan penting lainnya : dari hal-hal yang sepatutnya –juga- ada bagi orang-orang yang saling
mencintai karena Allah, agar mereka mengecek diri-diri mereka dan hati-hati mereka waktu demi
waktu, dan agar mereka lihat apakah kecintaan ini telah tercampur apa-apa yang menghalangi dan
menyusahkan dan mengeluarkan kecintaannya dari hakikatnya atau tidak. Karena kecintaan pada
awalnya mungkin ikhlash karena Allah, akan tetapi hal itu tidak tinggal lama –apabila orang yang
melakukannya lalai- dan berpindah kepada persaudaraan yang mengharapkan saling bergantian
memberikan manfaat.
Terkadang kecintaan kepada Allah berubah bersamaan kontinyuitas persahabatan dan kecintaan
dan kerinduan yang melampaui batas. Bercampur baurnya bersama anak-anak remaja atasanama
persaudaraan karena Allah, dan sebagian wanita melewati batas yang disyariatkan bersama anak-
anak perempuan sejenisnya yang terkadang mengantarkan kepada hal yang semisal itu.
3. Menampakkan Senyum, Bersikap Lembut dan Kasih Sayang Kepada Sesama Saudara
Seiman

Hal yang paling sedikitnya apabila seorang menjumpai saudara lainnya adalah menjumpainya
dengnawajah yang berseri-seri, mulut yang penuh senyum. Hal ini bagian dari perkara ma‟ruf dan
adab yang sepatutnya ditampakkan diantara seorang saudara dengan saudaranya yang lain, agar
dia ramah dan senyum di wajahnya setiap kali dia bertemu atau melihat saudaranya yang lain.
Abu Dzar radhiallahu „anhu, beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda kepadaku :
“Janganlah seseorang itu meremehkan perbuatan ma‟ruf sedikitpun, walaupun dia menjumpai
saudaranya dengan wajah yang berseri-seri”.

Pada hadits riwayat Jabir radhiallahu „anhu, beliau berkata : “Setiap perbuatan ma‟ruf adalah
sedekah, dan sesungguhnya termasuk perbuatan ma‟ruf adalah seseorang menjumpai saudaranya
dengan wajah berseri-seri…..al-hadits”.

Sikap lemah lembut dan ramah dan kasih sayang diantara hal-hal yang menguatkan ikatan
diantara saudara, dan memperdalam hubungan diantara mereka. Dimana “Allah mencintai lemah
lembut di dalam segala urusan”[13]. Dan Allah subhanahu: “Maha lembut mencintai kelembutan
dan memberikan kepada orang yang lembut apa yang tidak dia berikan kepada orang yang kasar
dan apa yang tidak dia berikan kepada selain orang yang lembut”.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 170


Dan selama hal itu demikan adanya, maka saudara-saudara seiman lebih pantas dan lebih utama
agar sebagian mereka berprilaku lemah lembut kepada sebagian lainnya, dan agar sebagian
mereka ramah kepada sebagian lainnya.

Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anhu meriwayatkan, beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Diharamkan atas neraka setiap orang yang lemah lembut, mudah dan dekat dari
manusia”. Dan diantara perkara-perkara yang dapat membantu kelanggengan rasa cinta, dan
menghilangkan kebencian dari dalam hati, saling memberi hadiah sesama saudara.
Imam Malik telah meriwayatkan di dalam Muwathta‟nya : bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “Saling berjabatan tanganlah kalian karena hal itu akan menghilangkan rasa
dengki, saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai dan menghilangkan
kebencian”.

Alangkah indah syair yang diucapkan seseorang:


Hadiah manusia sebagian mereka kepada sebagian lainnya
Akan melahirkan di hati-hati mereka hubungan
Dan menumbuhkan di dalam sanubari rasa suka dan cinta
Dan akan memakaikan kecantikan apabila mereka bersua
4. Disunnahkan Memberi Nasihat Dan Hal Itu Termasuk Kesempurnaan Persaudaraan :
Nasihat adalah tuntutan syar‟i yang dianjurkan oleh pembuat syariat. Dan merupakan bagian dari
perkara-perkara yang menjadi sebab Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam membai‟at para sahabatnya.
Jarir bin Abdullah radhiallahu „anhu berkata “Saya membai‟at Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam agar menegakkan shalat, menunaikan zakat, memberi nasihat kepada setiap muslim”.
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menggandengkan tuntunan ini bersamaan dengan shalat dan
zakat yang mana keduanya bagian dari rukun islam, yang menunjukkan kepada kita akan besarnya
kedudukan tuntunan saling menasihati tersebut dan nilainya yang luhur.
Semisal disebutkan didalam hadits Tamim bin Aus Ad-Dari radhiallahu „anhu bahwa Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallambersabda : “Agama itu nasehat “. Kami berkata : Kepada siapakah
wahai Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam? Beliau bersabda : Kepada Allah, kepada kitabnya,
kepada rasulnya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin”[18]. Dan sabda
beliau : “agama itu nasehat” yaitu : Bahwa nasehat adalah amalan yang paling utama dan yang
paling sempurna dalam agama.

Ibnul Jauzi berkata : “Ketahuilah bahwa nasehat untuk Allah Azza wa Jalla adalah membela
agamanya dan menghalau segala bentuk kesyirikan kepada Allah walaupun Allah tidak
membutuhkan hal tersebut, akan tetapi manfaatnya kembali kepada hamba.

Demikian pula nasihat untuk kitabnya: Membelanya dan senantiasa menjaga tilawah kitab-Nya.
Dan nasehat untuk Rasulnya : Melaksanakan sunnahnya dan mengajak kepada dakwah beliau.
Dan nasehat untuk imam-imam kaum muslimin : Mentaati mereka, jihad bersama mereka,
menjaga bai‟at mereka, memberi nasehat kepada mereka tanpa adanya pujian-pujian yang
membuat mereka terpedaya.

Dan nasehat untuk seluruh kaum muslimin : Keinginan memberikan kebaikan kepada mereka,
termasuk dalam hal ini mengajarkan dan memperkenalkan kepada mereka perkara yang wajib, dan
menunjukkan mereka kepada al-haq.

Berdasarkan ini maka nasehat untuk para suadara kita, dengan tujuan melapangkan kebaikan
kepada mereka, menjelaskan al-haq kepada mereka, mengarahkan mereka kepada kebaikan, tidak
menipu mereka dan bermuka manis kepada mereka dalam masalah agama Allah.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 171


Termasuk pula memerintahkan mereka kepada perkara yang ma‟ruf dan melarang mereka dari
kemungkaran, walaupun hal itu menyelisihi hawa nafsu mereka dan kebiasaan mereka. Sedangkan
menyertai mereka dalam kebiasaan mereka, bermuka manis bersama mereka didalam agama Allah
mengatas namakan persaudaraan, dengan tujuan agar mereka tidak lari, maka ini bukan bagian
dari nasihat yang diperintahkan oleh Nabi kita. Memang benar adanya, hikmah dituntut ketika
memberi nasehat kepada mereka, akan tetapi al-haq harus dijelaskan dan diajarkan lebih khusus
lagi apabila diantara sesama saudara dan dia mampu untuk itu.
5. Saling Tolong Menolong Sesama Saudara Muslim :
Kita memiliki teladan dan contoh dalam hal tersebut. Teladan yang paling besar tentang hal
tersebut dari –Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam . Tidaklah sisi kerasulan beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam menghalangi beliau untuk bersama-sama para sahabatnya dan memberi bantuan
kepada mereka. Diantara hal tersebut keikut sertaan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersama
sahabatnya ketika membangun masjid Nabawi di Madinah.
Anas radhiallahu „anhu berkata : Mereka memindahkan batu-batuan sambil mendendangkan Ar-
Rajaz (salah satu macam alunan –bahru– puisi, pent) dan Nabi bersama mereka dan beliau berkata
: Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat, Maka ampunilah kaum anshar dan kaum
muhajirin

Dan yang semisal kejadian tersebut, yang terjadi pada peritiwa Khandak.
Jabir radhiallahu „anhu berkata : Sesungguhnya kami ketika peristiwa Khandak dalam keadaan
menggali, tiba-taba gundukan tanah yang keras menghalangi mereka. Mereka pun datang
menjumpai Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan mengatakan : Tanah keras ini menghalangi
pembuatan Khandak. Maka beliau berkata : “Saya yang turun” .

Kemudian Jabir berkata : Dan perut beliau dililit dengan batu, dan kami tinggal selama tiga hari
tidak merasakan makanan, maka Nabi mengambil martil dan memukulkannya sampai batu itu
kembali menjadi bukit pasir yang bertaburan….al-hadits.

Dan dari hadits beliau Shallallahu „alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Musa radhiallahu
„anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Seorang mukmin kepada mukmin
lainnya bagaikan satu bangunan sebagiannya menguatkan bagian yang lain dan beliau menyela-
nyela antara jari-jari beliau”.

Al-Ikhwan sebagian mereka membutuhkan sebagian lainnya, mereka saling memberi bantuan
diantara mereka di dalam menutupi kekurangan kefakiran mereka, atau memberi rekomendasi
yang baik di dalam menunaikan hajat kebutuhan mereka, atau selain hal itu dari berbagai bentuk
gambaran bantuan, “Allah berada dalam bantuan kepada seorang hamba selama seorang hamba
berada dalam bantuan saudaranya”.

6. Sesama Saudara Muslim semestinya saling Merendahkan diri diantara mereka dan
tidak sombong atau meremehkan yang Lain

Saling merendahkan diri dan lemah lembut kepada sesama saudara dapat mengekalkan
persaudaraan ditengah-tengah mereka, dan memperkuat ikatan persaudaraan diantara mereka.
Sedangkan takabbur dan sombong atau meremehkan orang lain adalah sebab sebagian diantara
mereka akan menjauhi sebagian lainnya. Dan merupakan alamat putusnya tali persaudaraan
diantara mereka.

Merendahkan diri itu sifat yang dituntut dan juga diperintahkan. Sedangkan sifat angkuh adalah
sifat yang terlarang dan tercela.

„Iyadh bin Himar radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda
: “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sampai tidak ada
seorang pun meremehkan orang lain dan seseorang merebut jualan orang lain”.
Sedangkan sifat meremehkan orang lain dan sombong adalah jalan menuju kezhaliman,
permusuhan dan kejahatan.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 172


Dan tidak diragukan lagi bahwa manusia bertingkat-tingkat keutamaannya di dalam masalah
penghasilan, nasab dan harta. Ini sudah merupakan sunnatullah pada makhluk. Bukanlah orang
yang mulia yang menjadikan dirinya mulia, dan bukanlah orang yang rendah dia yang menjadikan
dirinya rendah, demikian halnya bagi seorang yang fakir dan seorang yang kaya raya. Melainkan
hikmah Allah yang sempurna menetapkan hal tersebut – Dan Allahlah yang menetapkan segala
urusan makhluknya.

Dan bukan karena bertingkat-tingkatnya kedudukan martabat manusia sehingga seseorang


diperbolehkan menganggap dirinya lebih tinggi dari pada selainnya atau meremehkannya. Bahkan
kapan saja orang yang mulia atau orang yang mempunyai kedudukan atau orang yang kaya
merendahkan diri kepada Allah, lembut dan ramah bersama saudaranya yang lain, perbuatan yang
demikian akan menambah tinggi derajatnya di sisi Allah dan diterima di sisi makhluk.
Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Tidaklah seseorang merendahkan diri dihadapan Allah kecuali Allah akan mengangkat
derajatnya”.

7. Berakhlak Mulia (Terpuji)


Beruntunglah orang yang Allah pakaikan pakaian akhlak yang terpuji. Karena tidak seorang pun
yang diberikan akhlak tersebut kecuali orang-orang akan menyebut dirinya dengan kebaikan, dan
derajatnya akan terangkat ditengah-tengah mereka. Akhlak yang terpuji diantaranya dengan wajah
yang berseri-seri, bersabar ketika mendapatkan gangguan, menahan marah, dan selainnya
daripada kepribadian dan perangai yang terpuji.
Ibnu Manshur berkata : Saya bertanya kepada Abu Abdillah : Tentang akhlak yang baik. Berkata
berkata : Agar kamu tidak marah dan tidak kasar.

Ishaq bin Rahawaih berkata : “ Akhlak yang terpuji adalah wajah yang berseri-seri dan tidak
mudah marah dan yang semisalnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khallal.

Al-Khallal meriwayatkan dari Sallam bin Muthi‟ di dalam menafsirkan makna akhlak yang terpuji,
sambil menendangkan bait sya‟ir : Apabila engkau tidak mengunjunginya , engkau melihatnya
sambil memuji seakan-akan engkau lah yang memberikan baginya sesuatu yang engkau pinta.
Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya berdasarkan sabda makhluk yang
terbaik Shallallahu „alaihi wa sallam – dan dialah manusia yang paling terpuji akhlaknya- “Sebaik-
baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya”.

Dan diantara doa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ketika istiftah :

‫ واصرؼ عني سلئها ال يصرؼ عني سلئها إال أنت‬،‫واهدني أل سن األخالؽ ال يهدي أل سنها إال أنت‬
“Dan tunjukanlah kepadaku akhlak yang baik yang tidak ada yang dapat menunjukkan kepada
akhlak yang baik kecuali Engkau, dan palingkanlah dariku akhlak yang jelek tidak ada yang
memalingkan aku dari akhlak yang jelek kecuali Engkau”.

Barang siapa sifatnya seperti ini, niscaya manusia akan mencintainya, mereka selalu ingin berada
di majlisnya dan duduk-duduk bersamanya, dan mendengarkan pembicaraannya. Sebaliknya bagi
orang yang jelek akhlaknya, maka ucapannya itu membosankan, manusia lari dari majlisnya, dan
dia adalah orang yang dimurkai dan hati akan berat menerimanya. Diceritakan dari Fudhail bin
„Iyadh, beliau berkata : “ Barang siapa jelek akhlaknya akan jelek pula agama, kedudukan dan
kecintaan orang kepadanya “.
Dalam pergaulan sesama saudara muslim, akhlak yang terpuji menempati bagian yang besar pada
interaksi itu. Dengan akhlak yang baik, niscaya akan memperpanjang hubungan, melembutkan
hati, mencabut rasa dendam dari dalam dada, maka pantas bagi sesama saudara untuk
menampakkan kecerahan pada wajah-wajah mereka kepada saudara mereka lainnya.
Mengucapkan ucapan yang baik kepada mereka, dan menutup mata dari kehinaan dan kesalahan
mereka dan mencarikan udzur bagi mereka.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 173


8. Hati Yang Selamat
Diantara doa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Lepaskanlah kedengkian di dalam hatiku” dan
dalam riwayat At-Tirmidzi “Dan lepaskanlah kedengkian di dalam dadaku”.
Kepribadian dan perilaku yang sangat luhur kedudukannya ini, ternyata sedikit orang berhias
dengannya. Disebabkan jiwa manusia akan sangat sulit untuk lepas dari segala jeratannya, dan
untuk mengalah dari hak-haknya bagi selainnya. Bersamaan itu pula, banyak manusia terjatuh
perbuatan aniaya dan kezhaliman. Apabila seseorang menjumpai kezhaliman manusia, kejahilan
dan kesewenang-wenangan mereka dengan hati yang selamat, dan tidak menghadapi kejahatan
mereka dengan perbuatan kejahatan semisalnya, dan tidak dengki kepada mereka, niscaya dia
akan mendapatkan kedudukan yang tinggi berupa akhlak yang tinggi dan perangai yang luhur.
Hal mulia ini jarang dan sedikit sekal dijumpai pada manusia, akan tetapi hal itu mudah bagi orang
yang Allah mudahkan. Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang beriman adalah seorang yang baik dan berperangai
terpuji. Sedangkan orang yang fajir adalah orang yang jelek dan jahat perangainya”.
Sabda Nabi : “Orang yang beriman adalah seorang yang baik dan berperangai terpuji “, Al-
Mubarakfuri mengatkaan: “ Di dalam An-Nihayah : Yaitu bukan orang yang slalu membuat makar,
dan dia tunduk karena ketaatan dan kelembutannya, dan lawan kata dari al-khabbu –
jahat/pembuat makar -. Maksudnya bahwa orang yang beriman yang terpuji diantara tabiatnya
adalah al-ghararah (yang baik hati), tidak berlaku culas demi perbuatan jelek dan menolak untuk
mencari-cari kejelekan. Bukan dikarenakan Kebodohan pada dirinya, akan tetapi karena sifat mulia
dan akhlaknya yang terpuji. Demikian yang dijelaskan dalam kitab Al-Mirqah.
Al-Manawi berkata : “Berbaik hati kepada setiap orang dan dan setiap orang merasa cemburu
padanya. Dia tidak mengenal kejelekan dan bukan orang yang senang membuat makar. Dia rendah
hati karena hatinya yang selamat dan prasangkanya yang selalu baik. Sabda beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam : “Yang fajir adalah yang jelek dan jahat sifatnya”, yaitu seorang bakhil yang
keras kepala dan buruk akhlaknya.

9. Berbaik Sangka Kepada Sesama Saudara (Mukmin) dan Tidak Memata-Matai Mereka
Dan diantara bentuk pergaulan yang baik sesama saudara adalah berbaik sangka kepada mereka.
Memahami perkataan mereka dan segala perbuatan mereka kepada kemungkinan yang paling baik.
Kita telah dilarang berburuk sangka karena hal tersebut termasuk perkataan yang paling dusta,
sebagaimana disebutkan pada sebuah hadits bahwa Abu Hurairah radhiallahu „anhu berkata :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian berprasangka karena
prasangka itu perkataan yang paling dusta, dan janganlah kalian mencari-cari berita dan memata-
matai….al-hadits”.

Maksud larangan prasangka disini adalah larangan terhadap prasangka buruk. Al-Khaththabi
berkata : “Yaitu menerima dan membenarkan setiap persangkaan tanpa ada kekhawatiran di dalam
hati, maka sesungguhnya hal itu tidak terkendali.

Dan maksud pernyataan Al-Khaththabi bahwa prasangka yang haram adalah prasangka yang
seseorang tenggelam terus menerus melakukannya, dan menetap di hatinya. Bukannya prasangka
terlintas didalam hati dan tidak menetap. Sesungguhnya prasangka seperti ini tidak akan
dibebankan kepada dirinya, sebagaimana di dalam sebuah hadits: “ Sesungguhnya Allah
mengampuni apa yang seorang budak perempuan ucapkan dalam hati selama dia tidak
mengatakannya dengan lisan atau tidak sengaja”

Penafsirannya telah telah dikemukakan pada pembahasan mengenai segala prasangka yang
terbersit didalam hati namun tidak tinggal lama. Demikian yang disebutkan oleh An-Nawawi
Al-Qurthubi berkata : “Maksud prasangka disini adalah tuduhan yang tidak ada sebabnya
sebagaimana orang yang menuduh orang lain dengan perbuatan keji tanpa adanya alasan yang
jelas terhadap tuduhan tersebut. Oleh karena itu beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menyertakan
dengan dengan sabda Shallallahu „alaihi wa sallam beliau: “Dan janganlah kalian memata-matai” .
Demikian itu karena terlintas dalam benak seseorang suatu tuduhan, lalu menginginkan untuk
memastikannya, memata-matai dan mencari berita dan mencuri pendengaran. Maka hal tersebut
dilarang, dan hadits ini sesuai dengan firman Allah ta‟ala :

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 174


ۖ ِ ‫ين َء َامنُواْ جتَنِبُواْ َكثِلرا ِّم َن لظَّل ِّن إِ َّلف بَ َ َّل‬ ِ ‫َّل‬
ۚ ‫سسواْ َوَال يَغتَ بَّلع ُ ُكم بَع ً ا‬
ُ ‫عض لظ ِّن إثم َو َال تَ َج َّل‬ َ ‫َٰيَأَيػ َها لذ‬
“ Jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.
dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” ( Al-
Hujurat : 12 )

Konteks ayat menunjukkan perintah menjaga harga diri seorang muslim dengan sebenar-benarnya
penjagaan. Karena penempatan larangan yang didahulukan daripada tenggelam dalam sebuah
prasangka. Apabila orang yang berprasangka berkata : Saya akan membahasnya agar saya
mengetahui fakta yang sebenarnya, dikatakan kepadanya : “janganlah kamu memata-matai” maka
apabila terjadi tanpa memata-matai, maka akan dikatakan kepadanya :” Dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain”.

Faedah : Termasuk berbaik sangka kepada saudara; agar membawakan perkataan mereka kepada
persepsi yang baik. Apabila ada sesuatu sampai kepada anda yang anda
membencinya,upayakanlah udzur baginya dan katakanlah : Mungkin dia menginginkan demikian,
mungkin dia menginginkan itu, sehingga anda tidak mendapatkan jalan keluar lagi baginya.
10. Memaafkan Kesalahan dan Menahan Marah
Ketika bercampur dan bergaul bersama manusia –mau tidak mau- ada padanya sesuatu
kekurangan dan perlakuan yang melampui batas dari sebagian mereka kepada sebagian lainya
apakah itu dengan perkatan maupun perbuatan, maka disunnahkan bagi orang yang terzhalimi
agar menahan marah dan memaafkan orang yang menyzhaliminya, Allah ta‟ala berfirman :
ِ ‫و لَّل ِذين يجتَنِبو َف َك َٰبئِر ِإل ِثم و ل َف َٰو ِ ش وإِذَا ما غَ ِ بواْ ُهم ي‬
‫غف ُرو َف‬َ ُ َ َ َ َ َ ََ ُ َ َ َ
“ Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan
apabila mereka marah mereka memberi maaf. ( Asy-Syura : 37 )

Dan Allah ta‟ala berfirman :


ِِ ِ ‫لنَّلاس ۗ و للَّلهُ ي‬ ِ ِ ِ َٰ
‫لن‬
َ ‫لم سن‬
ُ ُ َ ِ ‫لن َع ِن‬ َ ‫ظ َو َلعاف‬
َ ‫لن لغَل‬
َ ‫َو ل َكظم‬
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.” ( Ali Imran : 134 )

Dan tentang fiman Allah : “Dan orang-orang yang menahan amarahnya” yaitu : Apabila mereka
mendapatkan gangguan dari orang lain sehingga menyebabkan kemarahan mereka dan hati
mereka telah penuh dengan kekesalan, yang mengharuskan membalasnya dengan perkataan dan
perbuatan, mereka tidak mengamalkan kosukuensi tabiat manusia tersebut.
Bahkan mereka menahan amarah yang ada pada mereka lalu bersabar tidak membalas orang yang
berbuat jahat kepadanya. Dan firman Allah : “Dan orang-orang yang memaafkan orang lain“,
masuk di dalam perkara memaafkan manusia, yaitu memaafkan dari setiap orang yang berbuat
jahat kepadanya dengan perkataan atau perbuatan. Memaafkan lebih sempurna daripada menahan
marah, karena memaafkan itu meninggalkan pembalasan bersamaan dengan adanya kerelaan
terhadap orang yang berbuat jahat. Sifat ini hanya ada pada seseorang yang berhias dengan
akhlak yang terpuji. Berlepas dari akhlak yang rendah, tergolong diantara orang-orang yang
berdagang dengan Allah, memaafkan hamba-hamba Allah, sebagai bentuk kasih sayang dan
berbuat baik kepada mereka, dan membenci jikalau keburukan menimpa mereka, dan agar Allah
memaafkannya, dengan mengharapkan pahalanya ada pada rabbnya yang maha mulia, bukan
pada hamba yang fakir, sebagaimana Allah ta‟ala berfirman :
ۚ ‫َو َج ََٰزُؤاْ َسلِّئَة َسلِّئَة ِّمثلُ َها ۖ فَ َمن َع َفا َوأَصلَ َ فَأَجرۥُ َعلَى للَّل ِه‬
ُ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan
berbuat baik. Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.. ( Asy-Syura : 40 ) [39]

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 175


Dan menahan amarah bersamaan adanya kemampuan melampiaskannya dijanjikan balasan yang
banyak sesuai yang disampaikan melalui lisan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, Mu‟adz bin
Anas Al-Juhani meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Barang
siapa yang menahan marah dan dia mampu melampiaskannya niscaya Allah akan memanggilnya
dihadapan seluruh makhluk sehingga Allah memberi pilihan kepadanya bidadari mana yang dia
kehendaki”

Memaafkan kesalahan, keteledoran dan perbuatan aniaya bukanlah kelemahan dan bukan pula
kekurangan, bahkan hal itu adalah perbuatan yang tinggi nilainya bagi orang yang melakukannya
dan merupakan perbuatan mulia, Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Shadaqah tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah
menambahkan kepada seorang yang memberi ma‟af kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang
merendahkan diri karena Allah kecuali Allah akan tinggikan derajatnya” dan pada lafazh riwayat
Ahmad : “Tidaklah seseorang memberi maaf dari perbuatan aniaya kecuali Allah tambahkan bagi
kemuliaan”.

Dan orang-orang yang saling bersaudara karena Allah sangat pantas bagi mereka agar saling
memberi maaf atas kesalahan sebagian mereka, dan orang yang berbuat baik dari mereka
memberi maaf kepada mereka yang melakukan kesalahan. Karena apabila mereka
menyempurnakan hal itu, niscaya hati-hati mereka selamat dan menjadi suci, dan mereka hidup di
dalam keadaan yang lebih baik.

Faedah : Diantara bentuk memberi maaf adalah menerima udzur/alasan orang yang berbuat
kesalahan, dan tentang hal ini ada beberapa ucapan yang mengagumkan maknanya :

Al-Hasan bin Ali radhiallahu „anhuma berkata : “Kalaulah ada seseorang memaki-maki saya di
telinga saya ini, dan meminta udzur di telinga yang lain, sungguh saya akan menerima udzurnya.”
Dan diantara bait syair yang semakna dengan hal tersebut :
Dikatakan kepadaku : fulan telah berbuat salah kepadamu
Dan seorang pemuda duduk berdiam diri dari aniaya adalah cela.
Saya katakan : Sungguh dia telah datang kepadaku dan menyampaikan udzur
Tebusan dosa menurut kami adalah menerima udzur seseorang.
Al-Ahnaf berkata : “ Apabila seseorang meminta udzur kepadamu maka hendaknya kamu
menemuinya dengan suka cita “.

11. Larangan Saling Hasad, Saling Membenci dan Memboikot


Hal ini dijelaskan didalam hadits Anas radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam,
beliau bersabda : “Janganlah kalian saling membenci dan saling hasad, saling memboikot[43] dan
jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim memboikot
saudaranya yang lain diatas tiga hari”.

Hasad itu ada dua macam terpuji dan tercela. Hasad yang tercela adalah menginginkan hilangnya
nikmat yang ada pada orang lain, dan hal ini adalah perbuatan zhalim, aniaya dan permusuhan.
Hasad dan yang terpuji adalah Al-Ghibthah yaitu menginginkan nikmat yang serupa yang ada pada
orang lain tanpa adanya keinginan hilang nikmat tersebut padanya.
Inilah yang dimaksudkan di dalam sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Tidak ada hasad
kecuali pada dua perkara : seseorang yang Allah berikan kepadanya Al-Qur`an dan dia
mengamalkannya sepanjang malam, dan seseorang yang Allah berikan kepadanya harta dan dia
bersedekah dengannya sepanjang hari dan sepanjang malam”.

Saling membenci adalah lawan dari saling mencintai, dan makna At-Tadabur adalah memboikot.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 176


Makna hadits : Agar salah seorang dari kalian jangan menginginkan hilangnya nikmat yang Allah
berikan kepadanya karena hal itu adalah perbuatan zhalim dan permusuhan. Dan jangan pula salah
seorang dari kalian membenci saudaranya yang lain, akan tetapi saling mencintailah kalian. Dan
jangan kalian memboikot saudaranya yang lain lebih dari tiga hari, karena memboikot adalah
perbuatan yang haram antara kaum muslimin. Sabda Nabi : “Dan jadilah hamba-hamba Allah yang
bersaudara” yaitu berinteraksi dan bergaulah dengan interaksi dan mempergauli mereka layaknya
saudara, mempergauli mereka dengan kecintaan, kelemah lembutan, saling tolong menolong
dalam kebaikan, dan yang semisalnya dari hal-hal yang menjernihkan hati, dan menasehati pada
setiap keadaan. Demikian yang diternagkan oleh An-Nawawi.
Catatan penting : Memboikot terkadang karena membela hak Allah yaitu untuk tujuan memberi
pelajaran, dan terkadang untuk membela diri, maka selama tujuannya karena membela diri maka
tidak diberikan keringanan melebihi tiga malam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam : “Pintu-pintu surga dibuka di hari senin dan hari kamis, setiap hamba yang tidak
menyekutukan Allah dengan suatu apa pun diampuni, kecuali seseorang yang ada diantara dirinya
dan saudaranya kebencian, tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai,
tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai”, pada lafazh riwayat At-Tirmidzi :
“Kecuali orang-orang yang saling memboikot, maka dikatakan kembalikan kedua orang ini sampai
keduanya berdamai”.
Dan selama boikot itu karena membela hak Allah, seperti memboikot orang yang melakukan
kemungkaran sampai dia bertaubat dari kemungkarannya, sebagaimana Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam memboikot tiga sahabat yang tidak ikut dalam peperangan sampai Allah menurunkan ayat
tentang taubatnya mereka, hal ini tidak ada batasan waktunya, bahkan kapan saja seseorang
mendapatkan maksud dari boikot tersebut maka boikot terputus dan diharamkan.
Faedah : Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : Dan boikot ini [memboikot untuk
tujuan memberi pelajaran] berbeda-beda penerapannya sesuai keadaan orang yang melakukan
boikot, mempertimbangkan kemampuan meeka, kelemahan, sedikit dan banyaknya mereka.
Karena maksud dari suatu pemboikotan adalah memperingatkan orang yang diboikot dan
memberinya pelajaran serta agar orang-orang awam meninggalkan keadaan yang dilakukanya.
Apabila mashlahat pada boikot tersebut lebih dominan, yang mana pemboikotannya tersebut dapat
mengurangi dan mengantisipasi kejahatan, maka hal itu disyariatkan. Namun apabila yang diboikot
dan yang selainnya tidak terperngaruh dengan hal tersebut bahkan bertambah jelek keadaannya,
dan orang yang memboikot lemah, yang mana mafsadat lebih dominan daripada mashlahat, maka
boikot tidak disyariatkan.
Dengan demikian berlaku lemah lembut kepada sebagian orang itu lebih bermanfaat daripada
memboikot. Dan pemboikotan terhadap sebagian orang lebih bermanfaat daripada bersikap lembut
kepada mereka. Oleh karena itu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersikap lembut kepada satu
kaum dan memboikot kaum lainnya.

Faedah Lainnya : Syariat memberi keringanan di dalam memboikot seorang muslim selama tiga
hari, apabila tujuannya membela diri, dan tidak membolehkan lebih dari hal tersebut, dan hikmah
di dalam hal tersebut bahwa jiwa manusia dapat meresapi sisi-sisi dan kejadian-kejadian yang
membuat saling marah, diringankan pula kepada siapa yang mendapati pada diri saudaranya yang
telah dia diamkan selama tiga malam karena hal itu cukup untuk mengalahkan kerasnya
kemarahan dan menghilangkan rasa dendam atas saudaranya.
Misalnya, apa yang menimpa pada diri orang yang bukan suaminya, diringankan baginya untuk
tidak berhias selama tiga hari dan tidak boleh melebihinya yang bisa menyebabkan penyakit pada
jiwanya, dan kematian adalah musibah yang paling besar pada diri orang yang menimpanya berupa
kesedihan yang dia peroleh, maka diperbolehkan baginya tidak berhias ( karena kematian suami-
penj) dan membebaskan jiwanya dalam menghilangkan kesedihan dari musibahnya yang tidak
melebihi tiga hari, dan lillahi al-hikmah al-balighah.

12. Larangan Panggil Memanggil dengan Gelar-Gelar yang Buruk


Termasuk penyakit lisan yang bisa mendatangkan dosa, mengobarkan kemarahan dan
menyebabkan perpecahan diantara sesama sudara, yaitu, panggil-memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk, memberi gelar kepada orang lain dengan gelar-gelar yang buruk lagi tercela, mereka

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 177


saling mencela dengannya, dan ditertawakan atasnya dari celaan tersebut, padanya ada larangan
dari Allah Maha Mulia diatas Ketinggian-Nya, Allah Ta‟ala berfirman :
ِ ِ‫وَال تَػنَابػزواْ بِ ألَل ََٰق ِ ۖ ب‬
ََٰ ‫سو ُؽ بَع َد ِإل‬
ۚ ‫يم ِن‬
ُ ‫سم ل ُف‬
ُ ‫ئس ل‬
َ َُ َ
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan
ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.” ( Al-Hujurat :11).

Dan seorang muslim berhak dengan keselamatan muslim yang lain dari lisan dan tangannya.
Abu Jubairah bin Adh-Dhahak radhiallahu „anhu meriwayatkan, beliau berkata : Ayat ini diturunkan
kepada Bani Salamah : “Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.”
Beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi kami dan tidaklah salah
seorang dari kami kecuali dia mempunyai dua atau tiga nama, dan Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam memanggil dengan “Wahai fulan.” Maka para sahabat berkata : Apa itu wahai Rasulullah,
sesungguhnya dia akan marah dengan nama tersebut, maka turunlah ayat ini : “Dan janganlah
kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” ( Al-Hujurat :11)
Mayoritas masyarakat sekarang pada saat ini banyak terjerumus kedalamnya, berupa kelaliman
dengan perkataan, berbuat dosa dengan lisan dan merusak lisan tersebut. Dan berlepas diri dari
orang yang menyakiti dengan lisannya dan menahannya dari menjaga kehormatan kaum muslimin,
agar mereka tidak memperoleh keburukan, semoga Allah menjaga kita dan anda semua dari
kerusakan lisan dan kekhilafannya.

13. Disunnahkan Mengadakan Ishlah (Perbaikan) Sesama Saudara


Tidak dapat dielakkan lagi adanya beberapa perselisihan dan pertengkaran diantara saudara, dari
yang sudah barang tentu menyebabkan percekcokan dan permusuhan antara mereka. Telah
disepakati pada masyarakat orang yang dijadikan oleh Allah sebagai perantara untuk mengadakan
perbaikan antara orang-orang yang saling memutuskan hubungan dan orang-orang yang saling
berselisih.
Diriwayatkan dari Abu Darda‟ radhiallahhu „anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “Apakah kalian mau aku beritahukan dengan apa yang lebih utama daripada
derajat puasa, shalat dan shadaqah?” Para sahabat menjawab : Iya. Beliau bersabda :
“(Mengadakan) kebaikan dzatul-bain (antara sesama), sesungguhnya kerusakan antara sesama
adalah kebinasaan.”

Dan syariat yang suci sangat mengajurkan akan satunya kalimat, bersatunya barisan,dan
ketentraman hati, serta melarang dari perselisihan, saling menjauhi dan bercerai-berai. Oleh
karena itu dianjurkan mengadakan perbaikan antara sesama manusia dengan kebohongan dan
tidak dianggap suatu yang dosa. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Bukanlah
seorang disebut pendusta jikalau memperbaiki antara manusia maka dia akan mendatangkan
kebaikan atau berkata yang baik.” Bahkan dia mendapatkan pahala atas usahanya dalam
mengadakan perbaikan antara sesama, dan mencabut (melepas) kedengkian dari hati.
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ”Setiap ruas dari seseorang padanya ada
shadaqah, dan setiap hari yang terbit padanya matahari dan dia berbuat adil antara dua orang
padanya ada shadaqah…al-hadits.” Pada riwayat yang lain : “dan setiap hari yang terbit padanya
matahari dan dia berbuat adil antara dua sesama manusia ada shadaqah.”
Dan Ulul albab – kaum cerdik pandai – sepantasnya mereka menjadi pendahulu untuk perbaikan
sesama manusia, dan tidak sepantasnya mereka menjauhkan diri darinya, berpaling dari jalan
perbaikan setelah mengetahui besarnya pahala yang terdapat padanya.
14. Haramnya Mengungkit-ungkit Pemberian
Pada umumnya apa yang terjadi antara saudara adalah saling hadiah menghadiahi dan saling
memberi, yang satu memberi hadiah kepada yang lainnya, dan yang satu memberi kepada yang
lainnya. Perbuatan ini merupakan kesempurnaan interaksi diantara sesama mereka. Dan penyebab
agar seantiasa langgeng dan terus berkelanjutan.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 178


Akan tetapi jiwa yang lemah akan meniti diatas sifat untuk sering mengungkit-ungkit pemberian,
baik karena didasari sifat kikir atau rasa „ujub. Al-Qurthubi mengatakan: “ Sifat mengungkit-ungkit
pemberian, biasanya terjadi akibat sifat kikir dan „ujub. Seorang yang kikir akan merasa sangan
berat pada dirinya untuk mengeluarkan sebuah pemberian, walau pemberian tersebut sebenarnya
hanyalah suatu yang tidak bernilai. Sementara seseorang yang „ujub akan memamerkan dirinya
dengan rasa tinggi hati bahwa dialah yang memberi nikmat ini dengan hartanya kepada
sipenerima. Perbuatan mengungkit-ungkit pemberian adalah perbuatna yang diharamkan didalam
syariat Islam. Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tercela dan menempatkan pelakunya
pada bahaya yang sangat besar.
Ibnu Muflih mengatakan : “ Diharamkan perbuatan mengungkit-ungkit pemberian atas segala yang
telah diberikan. Bahkan perbuatan tersebut tergolong salah satu bagian dari dosa besar, dalam
pernyataan Ahmad.

Sejumlah ayat dan hadits telah menetapkan hukum haram dari perbuatan mengungkit-ungkit
pemberian, seperti didalam firman Allah ta‟ala:
“ Dan mereka yang menginfakkan harta mereka dijalan Allah, kemudian tidak mengikuti pemberian
tersebut dengan sifat mengungkit-ungkit pemberian ataukah untuk menyakiti si penerima … al-ayat
“ ( Al-Baqarah : 262 ).

Dan sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam , dari hadits Abu Dzar radhiallahu „anhu, beliau
bersabda: “ Ada tiga golongan yang mana Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari
kiamat, tidak akan melihat kepada mereka dan Allah tidak akan mensucikan mereka dan bagi
mereka adzab yang pedih. Abu Dzar berkata: Kemudian Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
mengulanginya sebanyak tiga kali.”
Abu Dzar berkata : “ Celakalah dan merugilah mereka, siapakah mereka ini wahai Rasulullah ?”
Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Seorang yang memanjangkan kainnya melewati
mata kaki (isbal), seorang yang selalu mengungkit-ungkit pemberiannya, dan seseorang yang
menginfakkan barangnya dengan sumpah dusta “
Dan juga sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam dari hadits Abdullah bin Amru radhiallahu
„anhuma, beliau bersabda: “ Tidak akan masuk surga seorang yang selalu mengungkit-ungkit
pemberiannya, dan juga seorang yang durhaka dan seseorang yang kecanduan minum khamar “
15. Menjaga rahasia dan tidak menyebarluaskannya
Dan in termasuk amanah yang wajib untuk dijaga dan disembunyikan. Seseorang yang
menyebarluaskan rahasia tergolong seorang yang mengkhianati amanah. Dan perbuatan tersebut
salah satu dari sifat orang-ornag munafik.

Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Tanda seorang munafik ada tiga: Apabila dia berkata dia berdusta, apabila dia berjanji
maka dia menyalahinya dan apabila dia diserahi amanah maka dia berkhianat. “
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau
bersabda: “ Apabila sesorang menceritakan suatu kabar kemudian dia menengok kesamping maka
yang disampaikannya adalah amanah “. Pada lafazh riwayat Ahmad : “ Seseorang yang diceritakan
sesuatu melihat si pencerita menengok , maka cerita tersebut adalah amanah “
Suatu yang rahasia, wajib untuk disembunyikan dan tidak disampaikan kepada semua kaum
manusia atau disebarkan. Ini tergolong anjuran syariat dan perhatian syara agar kaum manusia
menjaga segala persoalan rahasia mereka, dimana menengoknya seorang pembicara untuk
memastikan tempat tersebut tersembunyi, sederajat dengan perkataannya: Ini adalah sbeuah
rahasia maka sembunyikanlah rahasiaku ini.

Dan juga diterangkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas radhiallahu „anhu beliau
mengatakan: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menjumpaiku, disaat saya lagi bermain
dengan dua anak ekcil. Kemudian beliau mengucapkan salam kepada kami. Kemudian beliau
mengutusku untuk suatu keperluan sehingga saya terlambat menjumpai ibuku. Ketika saya tiba,
ibuku bertanya: Apa yang menghambatmu ?.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 179


Saya mengatakan: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu keperluan.
Ibuku bertanya: Apakah keperluan beliau tersebut? Saya mengatakan: Keperluan beliau tersebut
suatu yang rahasia. Ibuku mengatakan: Janganlah engkau sekalipun menceritakan rahasia
Rasululullah Shallallahu „alaihi wa sallam kepada siapapun juga.
Anas mengatakan: Demi Allah, seandainya saya menceritakan kepada seseorang perihal rahasia
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tersebut niscaya saya menceritakannya kepadamu, wahai
Tsabit.

Pada lafazh riwayat Al-Bukhari: “ Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menyampaikan sebuah
rahasia kepadaku, dan tidaklah saya mengabarkan kepada seorangpun perihal rahasia tersebut
sepeninggal beliau Shallallahu „alaihi wa sallam. Dan Ummu Sulaim telah menanyakanya kepadaku,
dan saya tidak memberitahukannya kepadanya “

16. Celaan Kepada Seseorang yang “Bermuka Dua”


Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah menerangkan maksud dari seorang yang bermuka dua,
didalam sabda beliau: “ Engkau akan mendapatkan orang yang paling buruk disisi Allah pada hari
kiamat adalah seseorang yang bermuka dua. Yaitu seseorang yang menjumpai suatu kaum dengan
wajah demikian lalu kaum lainnya dengan wajah berbeda “

Seseorang yang bermuka dua, dikategorikan sebagai manusia yang paling buruk, disebabkan
keadaannya tersebut adalah kepribadian seorang munafik. Karena dia mencari muka dengan
kebatilan dan kedustaaan dan menyisipkan kerusakan ditengah-tengah kaum manusia.
An-Nawawi mengatakan: “ Dia adalah seseorang yang mendatangi setiap pihak dengan suatu yang
mereka senangi. Dan menampakkan bahwa dirinya termasuk bagian dari mereka dan menyalahi
lawan mereka. Perbuataannya tersebut adalah nifak yang sebenarnya.”
Beliau lanjut mengatakan: “ Adapun yang melakukannya dengan tujuan mengadakan perdamaian
antara kedua belah pihak maka perbuatan tersebut suatu yang terpuji. “

Selain dari beliau mengatakan: “ Perbedaan antara keduanya, bahwa yang tercela adalah
seseorang yang membenarkan amalan suatu kelompok dan mencelanya dihadapan kelompok
lainnya. Dan setiap kelompok dicelanya dihadapan kelompok lainnya. Sementara yang terpuji
adalah seseorang yang daang kepada masing-masing kelompok dengan ucapan yang penyiratkan
perdamaian kepada kelompok lainnya dan memintakan udzur masing-masing kelompok tersebut
dihadapan eklompok lainnya. Dan menyampaikan kepada kelompok tersebut segala yang baik yang
memungkinkan untuk disampakannya dan menutupi segala yang buruk “

BAB 21
ADAB-ADAB BERGAUL DENGAN WANITA

Allah ta‟ala berfirman:


ِ ‫ولَه َّلن ِمثل لَّل ِذي َعلَل ِه َّلن بِ لمعر‬
ۚ ‫وؼ‬
ُ َ ُ َُ
“ Dan bagi kaum wanita hak yang seimbang sebagaimana kewajiban mereka dengan cara-cara
yang makruf “ ( Al-Baqarah : 228 )

Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Apakah hak wanita atas diri
suaminya ? Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Engkau memberinya makan apabila
engkau makan, memakaikannya pakaian apabila engkau memakai pakaian, tidak memukul
wajahnya, tidak memburukkannya, dan tidak memboikotnya kecuali didalam rumah “
Diantara adab-adab berinteraksi dengan kaum wanita:
1. Anjuran Menikah dan Hal Ini Termasuk Bagian dari Sunnah

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 180


Kaum laki-laki yang dengan tabiat dasar mereka punya kecendrungan kepada wanita, dan juga
kaum wanita ada kecendrungan kepada kaum laki-laki, sebagai suatu fitrah, Syariat Islam yang
suci berkeinginan agar fitrah ini diarahkan kepada jalan yang shahih yang akan menjaga nasab
keturunan mereka. Dan juga untuk menertibkan garis keturunan mereka agar tidak sebagaimana
hewan ternak yang masing-masingnya bertumpuk. Dan jalan tersebut tiada lain adalah pernikahan.
Olehnya itu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menganjurkan untuk menikah dan menerangkan
sekian banyak faedah pernikahan. Dan mendorong umat beliau untuk melangsungkan pernikahan.
Beliau bersabda: “ Wahai segenap para pemuda, siapa saja diantara kalian telah sanggup
memenuhi kemampuannya, maka hendaknya dia menikah. Karena menikah lebih menundukkan
pandangan, dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian yang tidak sanggup
maka wajib baginya untuk berpuasa, karena puasa akan dapat menjaganya “
Dan hadits Anas radhiallahu „anhu yang mengisahkan tiga orang sahabat yang dikabarkan kepada
mereka perihal ibadah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam . Sepertinya mereka saling
menggunjingkannya dan memperbincangkannya. Mereka lalu mengharamkan bagi diri mereka
sesuatu yang Allah telah halalkan bagi mereka. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda
kepada mereka, menegur perbuatan mereka: “ Kaliankah yang mengatakan demikian dan demikian
? Demi Allah sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian dan
paling bertakwa kepada-Nya daripada kalian. Akan tetapi saya berpuasa dan juga berbuka, saya
mengerjakan shalat dan juga tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang enggan dengan
sunnahku maka dia bukan bagian dari – umat-ku “
Dan dari beliau juga radhiallahu „anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Dijadikan hanyalah kepada saya kecintaan antara dunia yang baik dan wanita, dan shalat
dijadikan sebagai penyejuk jiwaku.”

Pembujangan dan berpaling dari pernikahan bukanlah dari petunjuk para Rasul, Imam Ahmad
berpendapat : Bukanlah pembujangan itu dari perkara Islam pada sesuatu hal. Barang siapa yang
menyerumu untuk tidak menikah, maka dia telah menyerumu kepada selain Islam. Diwajibkan
untuk menikah bagi orang yang telah mampu atasnya, dan takut pada jiwanya akan perbuatan
zina, sedangkan jiwanya menampakkan keinginan yang sangat kepadanya, dikarenakan jika tidak
dia lakukan ditakutkan atasnya akan terjerumus kedalam perbuatan yang keji, seperti zina dan
selainnya dan hal itu haram.

2. Mempergauli Wanita dengan Ma‟ruf


Dalil mempergauli kaum wanita tertera didalam firman Allah ta‟ala :
“ Dan bagi kaum wanita hak yang seimbang sebagaimana kewajiban mereka dengan cara-cara
yang makruf “ ( Al-Baqarah : 228 )

Maksudnya bahwa kaum wanita mempunya beberapa hak dan juga kewajiban atas suami mereka,
sebagaimana suami mereka mempunyai hak yang wajib maupun sunnah.

Dan acuan hak-hak suami istri kembali kepada suatu yang telah makruf. Yaitu kebiasaan yang
berlaku dinegeri itu. Dan zaman tersebut, berlaku bagi wanita dan bagi juga laki-laki. Dan hal itu
beragam mengikuti perbedaan zaman dan tempat, keadaan , individu, dan ada istiadat.
Ini merupakan dalil bahwa nafkah, pakaian , bergaul, tempat tinggal, demikian juga berhubungan
suami istri – kesemuanya dikembalikan kepada perkara yang telah makruf. Ini yang mengharuskan
akad yang berlaku mutlak. Adapun yang disertai dengan syarat, maka haruslah disesuaikan dengan
syaratnya, kecuali syarat yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang
halal. Demikian yang disbeutkan oleh Ibnu Sa‟di.
Ibnu Abbas mengatakan: “ Sesungguhnya saya menyukai berhias bagi istriku sebagaimana istriku
berhias dihadapanku, dikarenakan Allah berfirman:
“ Dan bagi kaum wanita hak yang seimbang sebagaimana kewajiban mereka dengan cara-cara
yang makruf “ ( Al-Baqarah : 228 )[7]

Pada hadits Mu‟awiyah bin Haidah radhiallahu „anhu, beliau berkata: Seseorang bertanya kepada
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : Apakah hak seorang wanita kepada suaminya ?

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 181


Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Engkau memberinya makan apabila engkau
makan, memakaikannya pakaian apabila engkau memakai pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak
memburukkannya, dan tidak memboikotnya kecuali didalam rumah “

Masalah : Apakah wajib bagi istri untuk melayani suaminya pada perkara-perkara yang telah
menjadi kebiasaan, seperti menyiapkan makanan, mengatur rumah dan lain sebagainya ?

Jawab : Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : Ulama berbeda pendapat dalam hal ini :
Apakah wanita tersebut wajib melayani suaminya, seperti membersihkan kediaman, mengatur
makanan, minuman dan roti, membuat adonan roti, memberi makan kepada para budak dan
hewan ternaknya, seperti jerami bagi tungganganya dan lain sebagainya ?
Diantara mereka ada yang berpendapat : Pelayanan seperti itu tidaklah wajib. Namun ini pendapat
yang lemah, sebagaimana lemahnya pendapat yang menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami
mempergauli istrinya dnegna berhubungan suami istri. Karena ini bukan termasuk interaksi yang
makruf bagi suami. Melainkan teman seperjalanan yang seumpama seorang manusia beserta
temannya di dalam sebuah kediaman, apabila tidak membantunya mencapai kemashalahatan
tidaklah dikatakan telah berinteraksi dengan cara yang makruf.
Ada yang berpendapat – dan ini pendapat yang benar -: wajibnya melayani suami. Karena seorang
suami adalah penghulu bagi wanita sebagaimana tertera didalam Kitabullah. Wanita adalah pelayan
bagi sang suami menurut sunah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam . Dan seorang pelayan dan
hamba sahaya wajib memberikan pelayanan. Dan hal itu juga meruapkan suatu yang makruf.
Diantara ulama ada yang berpendapat yang wajib adalah pelayanan yang ringan. Diantara ulama
ada yang berpendapat : Wajib memberi pelayanan yang makruf. Dan inilah pendapat yang benar.
Seorang wanita wajib memberi pelayan yang makruf , berupa pelayanan yang seimbang antara
wanita dan suami. Pelayanan tersebut beragam macamnya disesuaikan dengan keadaan.
Pelayanan seorang wanita badui tidaklah sama dengan pelayanan wanita desa, dan pelayanan
wanita yang memiliki fisik kuat tidaklah sama dengan pelayanan wanita yang berfisik lemah.
3. Berlaku Lembut Kepada Wanita dan Berwasiat Kepada Mereka
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kaum laki-laki untuk memberi
wasiat kepada kaum wanita dengan kebaikan. Karena wanita adalah kaum yang lemah.
Membutuhkan seseorang yang dapat berbuat baik serta berlaku lembut kepada mereka. Bukannya
seseorang yang berlaku keras lalu memperlakukan mereka layaknya laki-laki. Oleh karena itulah
dan juga dengan beberapa alasan lainnya, diperintahkan bagi kaum laki-laki untuk berwasiat
kepada kaum wanita dan berlaku lembut kepada mereka.

Abu Hurairah radhiallahu „anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Berilah wasiat kepada kaum wanita dengan kebaikan, karena sesungguhnya kaum
wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya.
Apabila anda hendak meluruskannya maka anda akan mematahkannya dan apabila anda
membiarkannya maka akan terus bengkok. Maka berilah wasiat kepada kaum wanita.
Diantara bentuk wasiat kepada kaum wanita adalah memberi mereka pengajaran terhadap
beberapa hal yang mereka butuhkan berkaitan dnegna perkara-perkara agama mereka, seperti
hukum-hukum bersuci, haidh dan nifas, shalat, zakat jikalau mereka mempunyai harta … dan
seterusnya.

Apabila dia tidak snaggup mengajari mereka karena kurangnya ilmu, maka wajib baginya untuk
memudahkan kepada mereka segala sesuatu yang menjadikan mereka dapat mempelajari ilmu
syar‟i yang mereka butuhkan yang peribadatan mereka tidak akan benar kecualidenganilmu
tersebut. Semisal menyiapkan buku-buku syar‟iyah, kaset-kaset, ataukah menghadirkan mereka ke
malis ilmu dan sarana-sarana ilmu lainnya.

Diantara bentuk wasiat kepada kaum wanita adalah mendidik mereka dan mewajibkan mereka
menegakkan segala kewajiban kepada Allah atau hal-hal yang telah diwajibkan bagi mereka.
Mengharuskan mereka mengenakan jilbab yang syar‟i. Allah ta‟ala berfirman:
“ Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah engkau dalam
mengerjakannya “ ( Thaha : 132 )

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 182


Allah ta‟ala berfirman:
“ Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang
mana bahan bakarnya adalah kaum manusia “ ( At-Tahrim : 6 )

Dan pada hadits Malik bin Al-Huwairist radhiallahu „anhu, ketika para sahabat telah menetap di
Madinah selama dua puluh hari dan telah berkeinginan untuk pulang. Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda : “ Pulanglah kalian menjumpai keluarga kalian dan tegakkanlah kewajiban
ditengah-tengah mereka, ajarilah mereka dan perintahkanlah mereka… al-hadits “
Apabila seorang istri melalaikan pengerjaan kewajiban, ataukah dalam mengenakan hijab yang
syar‟i, ataukah istri menolak jika suami mengajaknya kepembaringan atau bermaksiat kepada
suami pada perkara yang wajib bagi istri untuk mentaatinya. Maka sepantasnya suami sebagai
realisasi kepemimpinannya terhadap sang istri untuk mendidiknya dengan sesuatu yang dapat
memperbaiki dan meluruskanya. Dan pendidikan ini terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tidak
sepatutnya seorang suami melangkah ketingkatan berikutnya sehingga dia sudah tidak mampu
dengan tingkatan sebelumnya.

Allah ta‟ala berfirman:

ِ َ ‫وه َّلن فِي لم‬ َٰ


‫وه َّلن ۖ فَِإف أَطَعنَ ُكم فَ َال تَبغُواْ َعلَل ِه َّلن‬
ُ ُ‫اج ِع َو ض ِرب‬ َ ُ ‫هج ُر‬ ُ ُ‫وزُه َّلن فَ ِعظ‬
ُ ‫وه َّلن َو‬ َ‫ش‬ ُ ُ‫َو لَّلتِي تَ َ افُو َف ن‬
‫َسبِ ًلال ۗ إِ َّلف للَّلهَ َكا َف َعلِلّا َكبِلر ٗ ا‬
“ Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah
mereka ditempat tidur mereka, lalu pukullah mereka, dan apabila mereka menaatimu maka
janganlah kalian mencari-cari jalan untuk emnyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah adalah Dzat
Yang Maha tingi lagi Maha Besar “ ( An-Nisaa` : 34 )

Tingkatan pertama: Adalah dengan menasihati dan mengingatkan serta membuatnya tkaut
kepada Allah.
Tingkatan kedua: Dengan memisahkannya dari tempat tidur.
Tingkatan ketiga: Dengan memukul dengan pukulan yang tidak sampai melukai, pukulan
pengajaran bukan pukulan untuk melampiaskan rasa marah dan kemurkaan.

Masalah: Apabila seseorang mempunyai istri yang tidak mengerjakan shalat, apakah wajib
baginya untuk menyuruh istrinya shalat ? Apabila istri tidak melakukannya apakah yang
seharusnya dia lakukan?
Jawab: Benar, wajib baginya untuk menyuruh istrinya mengerjakan shalat. Hal itu suatu
kewajiban. Bahkan semua yang mampu menyuruhnya untuk melakukan kewajiban itu apabila
orang lain tidak mampu menunaikan kewajiban tersebut. Allah ta‟ala berfirman:
“ Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan sabarlah dalam
menunaikannya “ ( Thaha : 132 )
Allah ta‟ala berfirman:
“ Wahai orang-orang yang beriman, jaglah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah kaum manusia “ ( At-Tahrim 6 ).

Dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Dan ajarkanlah mereka dan didiklah mereka “
Sepatutnya bersamaan dengan perintah itu, juga mendorong mereka dengan sejumlah pendorong,
sebagaimana dia mendorong istrinya kepada segala yang dibutuhkan sang istri. Apabila istri tetap
bersikeras meninggalkan shalat maka wajib baginya untuk mentalak istrinya. Kewajiban itu adalah
pendapat yang shahih. Seorang yang meninggalkan shalat berhak mendapatkan siksa hingga dia
mengerjakan shalat menurut konsensus ulama. Bahkan apabila dia tidak mengerjakan shalat dia
mesti dibunuh. Dan dia dibunuh karena telah kafir murtad. Menurut dua pendapat yang populer.
Wallahu „alam. Demikian yang dikatakan oleh Syaikh Al-Islam.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 183


4. Berlaku Lembut dan Bercanda dengan Isteri
Sebagian besar kaum laki-laki bersifat arogan dan keras disaat bersenda gurau dan bercanda
dengan istrinya. Sebagian diantara menganggap hal tersebut akan mengurangi kejantanannya.
Atau menganggap jatuhnya wibawa dan kedudukannya dihadapan para istrinya. Angapan ini sama
sekali tidak benar. Karena seandainya benar, tentulah Nabi kita Shallallahu „alaihi wa sallam lebih
utama dari pada mereka. Sementara beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersenda gurau, bercanda
dan berlaku lembut kepad para istri beliau. Hadits-hadit berkenaan dengan masalah ini sudah
populer dan telah maklum.
Diantaranya , sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Setiap perkataan sia-sia yang terujar
dari seorang muslim adalah perbuatan yang batil kecuali melempar anak panah dari busurnya,
melatih kudanya dan bercanda dengan keluarganya, karena semuanya itu suatu yang benar “
Diantaranya pula: Ketika beliau Shallallahu „alaihi wa sallam berlomba lari dengan Aisyah
radhiallahu „anha. Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu „anha menceritakan bahwa beliau pernah
bersama dengan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda: “ Lalu beliau mengajakku berlomba lari, dan saya dapat mengalahkan
beliau. Namun ketika saya telah menjadi gemuk, saya berlomba dengan beliau dan beliau dapat
mengalahkanku. Beliau bersabda: “ Kemenangan ini balasan atas kekalahan lomba sebelumnya “
Diantaranya juga: Sabda beliau kepada Aisyah radhiallahu „anha : “ Sesungguhnya saya
mengetahui kapan engkau ridha dan kapan engkau marah kepadaku “. Aisyah berkata : Dari
manakah anda dapat mengetahui hal itu ? Beliau bersabda: “ Apabila engkau sedang ridha
kepadaku, engkau akan mengatakan: Tidak demi Rabb Muhammad. Dan apabila engkau sedang
marah kepadaku, engkau akan mengatakan: Tidak demi Rabb Ibrahim. Aisyah berkata : benarlah,
demi Allah wahai Rasulullah tidaklah saya menjauhi anda kecuali sebatas nama anda saja. “
5. Bersabar Terhadap Isteri dan Memaklumi Setiap Kekeliruannya
Hal tersebut disebabkan beberapa hal , diantaranya: Bahwa seorang wanita, diantara tabiatnya
adalah rasa cemburu. Sebagian besar rasa cemburu adalah penyebab seorang istri melakukan
perbuatan yang tidak disenangi suami. Apabila sifat cemburu tersebut juga disertai dengan
perangai dasar wanita yaitu lisan yang bengkok, hal itu semakin membutuhkan kesabaran suami
dari setiap gangguannya, dan berusaha menahan diri semampunya, dan memaafkan segala
kenaifan serta kekeliruannya.

Didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu terdahulu – bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Berilah nasihat kepada wanita dengan baik, karena seorang wanita diciptakan
dari tulang rusuk. Dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Apabila
anda hendak meluruskannya niscaya akan patah dan apabila anda meninggalkannya niscaya akan
selalu bengkok. Maka berilah nasihat kepada kaum wanita “ Maknanya : bahwa seorang wanita
diciptakan dari tulang rusuk, ini merupakan isyarat bahwa penciptaanHawa dari tulang rusuk Adam.
Dan sabda beliau : “ Dan bagian tualng rusuk yang palign bengkok adalah abgian atasnya “, yakni
bahwa bagian yang paling bengkok pada diri wanita adalah lisannya. Hadits ini berisi peringatan
yang halus bagi kaum laki-laki agar mereka bersabar atas segala perbuatan istri mereka,
dikarenakan para istri diantara tabiat mereka adalah seperti itu dan sangat sulit untuk meluruskan
mereka – istri -.
Sabda beliau : “ Apabila anda meluruskannya maka anda akan mematahkannya … “, yakni apabila
anda bersikeras untuk memperbaiki akhlaknya, maka hal itu tidak akan mungkin anda lakukan.
Bahkan upaya anda hanya akan menyebabkannya menjadi patah yaitu mentalak-nya. Seperti
diterangkan pada hadits riwayat Muslim : “ Seusngguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan
anda tidak akan dapat meluruskannya dengan cara apapun juga. Apabila anda menyukainya anda
menyukainya sementara wanita tersebut ada kebengkokan pada dirinya . Dan apabila anda hendak
meluruskannya maka anda akan mematahkannya. Mematahkannya berarti mencerainya “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 184


Pada hadits Anas radhiallahu „anhu, akan memperjelas bagi kita dengan lebih detail, betapa
kesabaran Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam terhadap sebagian istri beliau, akibat kecemburuan
mereka yang berlebihan. Beliau berkata: “ Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah berada di salah
satu rumah istri beliau. Dan salah seorang ummahat al-mukminin mengirim sebuah nampan berisi
makanan. Maka istri beliau Shallallahu „alaihi wa sallam yang mana beliau tengah berada
dirumahnya memukul tangan si pelayan hingga menjatuhkan nampan dan memecahkannya. Lalu
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan nampan tersebut kemudian beliau
mengumpulkan makanan yang tadinya berada didalam nampan tersebut. Beliau bersabda : “ Ibu
kalian cemburu “ Kemudian beliau menahan si pelayan hingga beliau mengambil nampan istri
beliau yang beliau berada dirumahnya, kemudian memberikan nampan tersebut kepada istri yang
nampannya dipecahkan dan mengambil nampan yang pecah untuk disimpan dirumah istri beliau
yang memecahkannya.
6. Menggauli Isteri Merupakan Hak Yang Wajib Bagi Suami
Termasuk hak yang wajib bagi seorang suami adalah menggauli isri sebatas kebutuhan istri, dan
tidak sampai menyusahkannya dengan meninggalkannya dalam waktu yang lama tanpa
menggaulinya. Karena ini merupakan sebab paling besar rusaknya kehidupan rumah tangga. Dan
ada tinjauan lain yang sebagian suami seringkali melalaikannya yakni kurangnya perhatian
terhadap keadaan istri disaat melakukan hubungan suami istri. Tidak memperdulikan istri apakah
istri telah memenuhi kebutuhannya dan apakah kebutuhannya telah tercapai dari suami ataukah
tidak. Demi Allah, seperti ini lebih berat bagi wanita dari pada suami meninggalkannya dalam
waktu yang lama tanpa menggaulinya.
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: Wajib bagi seorang laki-laki untuk menggauli istrinya
dengan baik. Karena hal tersebut merupakan hak istri yang paling utama. Lebih besar dari pada
memberi makan kepadanya. Pergaulan suami istri (jima‟) yang wajib ada yang mengatakan setiap
empat bulan sekali, ada yang mengatakan: Disesuaikan dengan kebutuhan istri dan kesanggupan
suami. Sebagaimana suami memberi makan kepada istri disesuaikan dengan kebutuhan istri dan
kemampuan suami. Pendapat ini yang paling benar dari kedua pendapat diatas.
Faedah: Diantara adab-ada berhubungan suami istri :
Pertama: Membaca basmalah sebelum melakukannya. Seperti diterangkan didalam sunnah yang
shahih. Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma menceritakan dan juga selain beliau, bahwa Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Jika salah seorang diantara mereka hendak mendatangi
istrinya, hendaknya dia mengatakan: Bismillah, Allahumma, jannibnaa asy-syaithan wa jannib asy-
syaithan maa razaqtanaa – Dengan menyebut nama Allah, yaa Allah jauhkanlah kami dari syaithan
dan jauhkanlah syaithan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami -, maka apabila ditakdirkan
adanya anak dari mereka berdua dengan hubungan itu, niscaya syaithan tidak akan mendatangkan
kemudharatan kepadanya selamanya “
Sabda beliau : “ Syaithan tidak akan mendatangkan kemudharatan kepadanya selamanya “ ,
maknanya bahwa syaithan tidak akan mendatangkan kemudharatan kepada anak yang disebutkan
diatas. Yang mana memungkinkan dia mendatangkan kemudharatan pada agama dan badannya.
Dan bukanlah maksudnya sebatas menghalau perasaan was-was belaka. Dimikian yang disebutkan
didalam Al-Fath.

Catatan penting: Doa ini diucapkan ketika hendak memulai hubungan suami istri yaitu sebelum
memulai hubungan tersebut. Dan bukan ketika telah melakukannya. Hal tersebut dapat kita sadur
dari sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam didala hadits diatas: “ Apabila dia hendak
mendatangi istriya “. Riwayat ini – yaitu riwayat Ibnu Abbas – menafsirkan riwayat-riwayat lainnya
yang secara zhahir menunjukkan bahwa doa tersebut dibackan ketika telah melakukan hubungan
suami sitri, seperti sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Jika salah seorang diantara kalian
hendak mendatangi istrinya hendaknya dia mengucapkan : Bismillah Allahumma… al-hadits “
Kedua: Disenangi untuk memakai penutup disaat melakukan hubungan suami istri. Hal tersebut
diterangkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bahz bin Hakim dari bapak beliau dari kakek beliau
radhiaallahu „anhu, beliau berkata: Saya berkata : Wahai rasulullah, manakah aurat kami yang
boleh ditampakkan dan yang terlarang ditampakkan ?

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 185


Beliau bersabda: “ Jagalah auratmu kecuali dihadapan istrimu ataukah budak sahayamu “. Beliau
berkata : saya bertanya : Wahai Rasulullah, apabila suatu kaum sebagian bersama dengan
sebagian lainnya ? Beliau bersabda: “ Apabila engkau sanggup agar tidak menampakkan
kehadapan mereka maka janganlah engkau menampakkannya kepada seorangpun “ Beliau
berkata: Saya bertanya : Wahai Rasulullah, apabila salah seorang diantara kami berada sendiri ?
Beliau bersabda: “ Allah lebih berhak untuk kalian merasa malu dari pada kaum manusia “
Pada sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Allah lebih berhak untuk kalian merasa malu dari
pada kaum manusia “, mengisyaratkan bahwa lebih utama bagi sepasang suami istri yang sedang
melakukan hubungan agar menutup diri mereka dengan kain yang dihamparkan diatas tubuh
mereka disaat melakukan hubungan suami istri. Wallahu a‟lam.

Ketiga: Disunnahkan berwudhu` bagi yang berjunub apabila berkehendak mengulangi jima‟
Hal itu diterangkan pada hadits Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu beliau berkata: Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Apabila salah seorang mendatangi istrinya kemudian
hendak mengulanginya maka hendaknya dia berwudhu` “

Catatan penting: [ Al-„Azl , diharamkan oleh sebagian ulama, akan tetapi mazhab para imam
yang empat membolehkannya seizin istri. Wallahu a‟lam. Demikian yang dikatakan Syaikh Al-Islam
Ibnu Taimiyah.

7. Seorang Laki-Laki Diharamkan Menyebarluaskan Apa yang Telah Dilakukan Ketika


Berhubungan Suami Isteri
Menyebar luas dikalangan kaum manusia yang bodoh, perbincangan tentang segala yang telah dia
lakukan bersama istrinya perihal hubungan suami sitri. Mereka yang lebih bodoh lagi berdalih :
bahwa kami hanya memperbincangkan perkara-perkara yang syariat telah halalkan bagi kami, dan
tidak berbincang tentang perbuatan yang haram.

Jawabannya agar dia berkata : Berhubungan dengan istri atau hamba yang dia miliki dan
bersenang-senang dengan keduanya memang halal menurut syara‟, akan tetapi
memperbincangkannya kepada orang lain dan memberitahukan mereka dengan apa yang ada
padanya ketika bersendiri dengan pasangannya adalah haram menurut syara‟. Bahkan akal dan
perasaan yang sehat mencela hal itu bergidik dari hal tersebut.

Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu meriwayatkan , bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “ Sesungguhnya kaum manusia yang paling buruk kedudukannya disisi Allah pada
hari kiamat adalah adalah seseorang yang memberitahukan perihal istrinya dan istrinya
memberitahukan perihal suaminya, kemudian rahasia mereka menjadi tersebar luas. “
An-Nawawi mengatakan : pada hadits ni menunjukkan pengharaman bagi seoang laki-laki untuk
menyebar luaskan hubungan suami istri yang telah dilakukannya bersama istrinya. Dan
menyifatkan perkataan, perbuatan dan lain sebagainya yang terjadi diantara dia dan istrinya.
Adapun sebatas menyebutkan perihal hubungan suami istri, jikalau tidak memberikan faedah maka
halt ersbeut adalah suatu yang makruh karena bertentangan dengan adat kebiasaan. Beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaknya dia mengatakan perkataan yang baik atau diam.
Apabila penyebutan tersebut memang diperlukan dan memberikan faedah, yaitu mengingkari
penolaknnya terhadap istrinya atau mengadukan kelemahan suaminya dalam berhubungan atau
lain sebagainya maka hal tersebut tidak dimakruhkan dalam menyebutnya. Sebagaimana sabda
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Sesungguhnya salah melakukannya bersama dia – istri – “.
Dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Thalhah : “ Apakah anda melakukan
malam pertama malam tadi ? “
Dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepada Jabir : “ al-kaiis , al-kaiis “. Wallahu a‟lam.
Catatan penting: Larangan memperbincangkan hubungan suami istri antara laki-laki dan istrinya ,
hukumnya disamakan antara kaum laki-laki dan wanita. Teguran tersebut walau tertuju kepada
kaum laki-laki, hanya saja berlaku umum mencakup kaum laki-laki dan wanita.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 186


8. Kewajiban Berbuat Adil di Antara Para Isteri
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan untuk berbuat adil diantara sesama istri. Beliau
berkata : “ Barang siapa yang mempunya dua istri, lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang
diantara mereka berdua, dia akan datang pada hari kiamat dengan sisi yang miring “ Pada riwayat
Ahmad : “ Dan salah satu sisinya terjatuh “

Allah subhanahu wata‟ala telah meniadakan kemampuan kaum laki-laki untuk berlaku adil diantara
para istrinya, didalam firman-Nya:
“ Dan sungguhlah kalian tidak akan sanggup berbuat adil diantara para istri, walaupun kalian
berkemauan untuk itu. Maka janganlah kalian terlalu cenderung kepada yang kalian cintai hingga
menjadikan yang lainnya terbengkalai … “ ( An-Nisaa` : 129 )

Lantas bagaimanakah menyelaraskan antara ayat ini dan hadits sementara konteks keduanya
bertentangan ?

Jawab : Keduanya tidaklah saling bertentangan. Keadilan yang ditiadakan didalam ayat diatas
adalah keadilan dalam perihal cinta. Dimana laki-laki tidak akan sanggup melakukanya,karena
tempatnya berada didalam hati. Kecintaan didalam hati, tidak seorangpun yang snaggup
menguasainya. Demikian juga halnya dalam perkara berhubungan suami istri, karena
kecendrungan laki-laki dalam melakukan hubungan suami istri akan cenderung kepada salah
seorang istrinya tidak sebagaimana kecendrungan dia kepada istri lainnya. Maka keadilan dalam
pembagian diantara para istri adalah suatu yang wajib, sedangkan hubungan suami istri tidak mesti
disama ratakan. Akan tetapi janganlah sampai dia menghalangi dan mendatangkan mudharat
kepada istri-istri lainnya, melainkan memberikan mereka kecukupan dan menutup segala
kebutuhan mereka.
Adapun perlakuan adil yang diperintahkan pada hadtis diatas adalah perlakuan adil dalam memberi
pembagian kepada sesama istri baik pembagian rumah, nafkah, pakaian dan lain sebagainya yang
disangkakan dapat berbuat adil dalam perkara tersebut. Dengan demikian akan nampak bagaimana
menyelaraskan kedua nash tersebut dan keduanya tidak ada pertentangan antara keadilan yang
ditiadakan didalam ayat dan keadilan yang diperintahkan didalam hadits.
Dan para suami hendaknya betakwa kepada Allah berkaitan dengan urusan istri-istri mereka,
berlaku adil sesama mereka, dan hendaknya berhati-hati jangan sampai berbuat semena-mena
kepada merek. Karena apabila para suami melakukan hal itu mereka telah melakukan dosa, dan
siksa akan menerpa mereka. Apabila mereka berbuat adil kepada kaum istri , mereka akan
mendapatkan pahala karena perlakuan itu. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “
Sesunguhnya orang-orang yang berlaku adil disisi Allah akan berada diatas mimbar yang terbuat
dari cahaya disisi Ar-Rahman „azza wajalla. Dan kedua tangan-Nya adalah kanan. Yakni mereka
yang berbuat adil dalam hukum, keluarga dan setiap yang mereka kuasai “

BAB 22
ADAB-ADAB BERDO‟A

Allah ta‟ala berfirman:


“ Dan Rabb kalian berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku , niscaya akan Saya kabulkannya bagi
kalian. Sesungguhnya ornag-orang yang berlaku sombong dalam beribadah kepada-Ku akan
mereka akan masuk kedalam neraka jahannam dalam keadaan hina “ ( Ghafir : 60 )
Allah ta‟ala berfirman :
“ Dan siapakah yang akan menjawab seorang yang dalam kesusahan disaat dia berdoa, dan yang
menyingkap segala keburukan … “ ( An-Naml : 62 )

Allah ta‟ala berifrman :


“ Berdoalah kalian kepada Rabb kalian dnegan penuh ketundukan, dengan suara yang
lirih/disamarkan. Sesungguh-Nya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas “ ( Al-
A‟raf : 55 )

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 187


Dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Tidak ada satupun yang dapat mencegah
ketentuan takdir selain doa. Dan tidak satupun yang akan menambah umur selain perbuatan baik “

Di antara adab-adab berdoa :


1. Do'a adalah ibadah
Dalam firman Allah ta‟ala :
“ Dan Rabb kalian berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku , niscaya akan Saya kabulkannya bagi
kalian. Sesungguhnya ornag-orang yang berlaku sombong dalam beribadah kepada-Ku akan
mereka akan masuk kedalam neraka jahannam dalam keadaan hina “ ( Ghafir : 60 )
Merupakan dalil yang paling jelas menunjukkan bahwa doa tidak diperbolehkan dipalingkan kecuali
kepada Allah „azza wajalla. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah berargumen dengan ayat ini
dalam menaytakan bahwa doa adalah ibadah kepada Allah subhanahuw ata‟ala. Didalam hadits An-
Nu‟man bin Bsyir dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , ketika menafsirkan firman Allah ta‟ala :
“ Dan Rabb kalian berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku , niscaya akan Saya kabulkannya bagi
kalian. “ ( Ghafir : 60 )
Beliau bersabda : “ Doa adalah ibadah, dan beliau membaca firman Allah ta‟ala :
“ Dan Rabb kalian berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku , niscaya akan Saya kabulkannya bagi
kalian. “ hingga firman Allah : “ Dalam keadaan hina “ ( Ghafir : 60 )[2]

Dari sinilah menjadi jelas bahwa barang siapa yang tidak berdoa kepada Allah, atau dia berdoa
kepada selain Allah meminta sesuatu yang tidak seorangpun sanggup melakukannya kecuali Allah,
maka dia adalah seorang yang sombong dalam peribadatan kepada-Nya

2. Keutamaan Berdoa
Diantara sekian hal yang diperoleh seorang yang berdoa melalui doanya adalah bahwa doa tersebut
merupakan manifestasi Tauhid kepada Allah yang merupakan sebab keselamatan dan
keberuntungan seorang hamba. Dikarenakan seorang yang berdoa yang menyerahkan doa dan
permohonannya kepada Allah tidak kepada selain-Nya dan ikhlas didalam doanya kepada Allah,
berarti dia telah merealisasikan salah satu aspek Tauhid kepada Allah yaitu bahwa doa adalah salah
satu ibadah kepada Allah semata yang tidak dipalingkan kecuali kepada-Nya.
Dan diantara keutamaan doa bagi seorang yang berdoa, bahwa yang berdoa akan merasakan
manisnya bermunajat kepada Allah. Merendahkan diri dihadapan-Nya. Karena kepasrahan
dihadapan Ar-Rabb memohon dan berdoa kepada-Nya akan meberi kelezatan yang tidak dapat
digambarkan.

Ibnul Qayyim mengatakan : “ Sebagian ahli makrifah mengatakan: Saya mempunyai kebutuhan
kepada Allah, lalu saya memohon kepada-Nya, dan dibukakan kepadaku dari munajat saya
kepada-Nya dan makrifahku, kerendahan diriku dihadapan-Nya, dan berkeluh kesah dihadapan-
Nya , segala sesuatu yang ketentuannya diakhirkan kepadaku dan hal tersebut berlaku secara
terus menerus bagiku.

Diantara keutamaan berdoa, bahwa doa akan dapat menahan takdir dan ketentuan Allah, seperti
yang telah shahih diriwayatkan didalam hadits yang shahih, bahwa beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “ Tidak satupun yang dapat menolak ketentuan Allah selain doa, dan tidak
satupun yang dapat memanjangkan umur selain perbuatan baik “
Maknanya : Bahwasanya doa menjadi sebab dalam menolak ketentuan Allah, seorang yang sakit
berdoa kepada Rabbnya akhirnya dia sembuh dengan sebab doanya. Menurut penelitian dan
perenungan kita dapati bahwa setiap perkara kembalinya kepada ketentuan Allah dan takdir-Nya.
Dan Allah subhanahu wata‟ala adalah dzat yang menetukan takdir bahwa sifulan akan menderita
sakit, kemudian memberikan liham, taufik dan memberi takdir-Nya kepada dia untuk berdoa dalam
rangka menolak musibah dan kemudharatan pada dirinya, kemudian Allah menyembuhkannya.
Dengan demikian perkara itu kembali kepada ketentuan Allah dan takdir-Nya diawal dan akhir. Dan
secara gambaran yang zhahir bahwa doa menolak ketentuan takdir Allah

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 188


3. Berbakti Kepada Kedua Orangtua Adalah Salah Satu Sebab Diterimanya Do‟a
Berbakti kepada kedua orangtua adalah salah satu sebab yang agung yang dengannya dikabulkan
sebuah doa, dan dia termasuk amalan shalihah paling utama yang dilakukan oleh seorang muslim.
Sungguh terjalin nash-nash yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah atas penjelasan
keutamaan dan bekasnya yang terpuji, oleh karena itu berbuat baik kepada orangtua atau salah
satunya dan menyesuaikan dengan kebaikan secara kontinyu, maka hal itu dicintai oleh
masyarakat ketika Allah meletakkan dalam hati seorang hamba dari kecintaannya, dan dia dengan
hal tersebut amatlah dekat dengan perealisasian diterima doanya .
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab radhiallahu „anhu,beliau berkata : Saya mendengar
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Akan datang kepada kalian Uwais bin „Amir dari
bagian penduduk Yaman dari bani Muraf dari kabilah Qarn. Beliau pernah menderita penyakit kulit
yang kemudian sembuh kecuali bagian sebesar keping dirham. Beliau memiliki seorang ibu yang
beliau berbakti kepadanya, seandainya dibagikannya kepada Allah niscaya Allah akan berbuat baik
kepadanya. Jika engkau mampu untuk meminta ampunan darinya maka lakukanlah … “
Demikian pula hadits Ibnu Umar radhiallahu „anhuma dalam kisah tiga orang yang terperangkap
didalam seuah goa dipadang pasir. Maka salah seorang diantara mereka mengatakan: “ Yaa Allah
sesungguhnya saya mempunyai dua orangtua yang telah lanjut usia, dan juga beberapa anak yang
masih kecil yang selalu dalam pengawasanku. Apabila mereka telah beristirahat maka saya
kemudian memerah susu, yang saya memulai memberikannya kepada kedua orang tuaku lalu
kemudian kepada anakku. Dan suatu ketika beberapa pohon telah menyusahkanku, hingga saya
tidaklah tiba kecuali hari telah senja, dan menjumpai kedua orang tuaku telah tertidur. Kamudian
saya memerah susu sebagaimana biasaya. Lalu saya membawakannya keatas kepala mereka dan
membenci membangunkan mereka berdua dari tidurnya. Dan juga saya tidak menyenangi memulai
dengan anak-anakku, sementara mereka bergelantungan dikakiku. Demikianlah keadaanku dan
juga anak-anak tersebut hingga terbit fajar. Apabila Engkau mengetahui bahwa sesungguhnya saya
melakukan hal itu untuk mendapatkan keridhaan-Mu maka keluarkanlah kami , agar kami dapan
melihat langit. Maka Allah memberi mereka celah hingga mereka dapat melihat langit … al-hadits “
4. Disunnahkan Mengedepankan Amal-Amal Shalih di Awal Do‟a
Seperti shalat, zakat, sedekah, silaturrahim dan lain amal-amal ibadah lainnya yang akan
emndatangkan ekcintaan Allah kepada hamba dan yang akan mendekatkan hamba kepada-Nya.
Kecintaan Allah kepada hamba berarti keridhaan-Nya , bantuan dan pertolongan-Nya serta
pengabulan doanya. Sedangkan kemurkaan Allah kepada seorang hamba yang dimaksud adalah
menolak doanya, menghinakannya serta kemurkaan kepadanya. Apabila salah seorang hamba
mendirikan shalat kemudian dia berdoa, ataukah berpuasa kemudian berdoa, atau menyambung
silaturrahim kemudian berdoa, maka hal itu akan lebih mendekatkan dia kepada pengabulan
doanya dan diterimanya doa tersebut. Wallahu a‟lam.

5. Memperbanyak Amal-Amal Ibadah Sunnah Selain Pengerjaan Ibadah Wajib Merupakan


Salah Satu Sebab Terkabulnya Do‟a

Memperbanyak amal-amal ibadah yang sunnah selain pengerjaan ibadah yang wajib merupakan,
seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah yang sunnahdna amal-amal ibadah sunnah lainnya
akan mengantarkan pada pengabulan doa hamba yang senantiasa beribadah ini diadapan Rabbnya
dengan wasilah amal-amal ibadah sunnah tersebut selain amal-amal ibadah yang wajib.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 189


Tuntunan tersebut terdapat didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu bahwa beliau berkaa :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya Allah berfirman : Barang siapa
yang melampaui batas mengambil selain-Ku sebagai penolong maka sungguh Aku telah
mengizinkan perang baginya. Dan tidaklah seorang hamba beribadah kepada-Ku dengan suatu
amalan lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang telah Aku wajibkan baginya. Dan salah seorang
hamba-Ku akan selalu beribadah kepada-Ku dengan amal-amal yang sunnah hingga Aku
mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengaran yang
dipergunakannya untuk mendengar , dan penglihatannya yang dipergunakannya untuk melihat,
tangannya yang dipergunakannya untuk bekerja, dan kakinya yang dipergunakannya untuk
melangkah berjalan. Dan apabila dia memohon kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkannya, dan
apabila dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan memberinya perlindungan. Dan
tidaklah ada sesuatu yang menjadikan-Ku bimbang sebagaimana kebimbangan-Ku pada diri
seorang mukmin, dia membenci kematian namun Aku membenci keburukannya “

6. Disunnahkan menghadap kearah kiblat disaat berdoa


Seaik-baik bagian dimuka bumi adalah arah Baitullahi Haram. Kesanalah setiap orang yang shalat
menghadap kan wajahnya disaat mendirikan shalat. Dan diantara mereka ada yang menghadap
disaat berdoa. Dan hal tersebut telah dicontohkan oleh para generasi Salaf, bahkan sebaik-baik
generasi Salaf, yakni Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , dimana beliau menghadap kearah
kiblat disebagian doa beliau. Diantara doa beliau Shallallahu „alaihi wa sallam kepada kaum kafir
Quraisy. Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anhu meriwayatkan beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam mengahadap kearah Ka‟bah dan mendoakan keburukan kepada beberapa orang Quraisy,
kepada Syaibah bin Rabi‟ah, „Utbah bin Rabi‟ah, Al-Walid bin‟Utbah dan Abu Jahl bin Hisyam. Saya
mepersaksikan kepada Allah, saya telah melihat mereka pingsan setelah terbakar terik matahari
dan pada saat itu hari yang panas.
Dan diantara doa beliau Shallallahu „alaihi wa sallam , yakni ketika terjadi peristiwa perang Badar.
Umar bin Al-Khaththab radhiallahu „anhu mengatakan: Ketika terjadi perang Badar, Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam memandang kepada kaum musyrikin yang berjumlah seribu orang
sementara sahabat beliau hanyalah berjumlah tiga ratus tiga belas orang. Maka Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam menghadap kearah kiblat kemudian mengangkat kedua tangan beliau dan beliau
lalu berdoa kepada Rabb-nya: Allahumma tunaikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepada-Ku
… al-hadits “

7. Disunnahkan mengangkat kedua tangan sewaktu berdoa


Dari hadits Umar bin Al-Khaththab radhiallahu „anhu diatas dapat diambil faedah sunnahnya
mengangkat tangan sewaktu berdoa, berdasarkan perkataan Umar bin Al-Khaththab radhiallahu
„anhu : “ Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya.

Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar Radhiallahu „anhuma, beliau mengangkat kedua
tangannya smabil menghadap kearah kiblat setelah melontar al-jumrah al-ula, al-wustha dan ash-
shugra. Beliau melontar al-jumrah di Al-‟Aqabah dan tidak berhenti ditempat tersebut, kemudian
beliau berpaling dan mengatakan: “ Demikianlah yang saya melihat Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam melakukannya “

Masalah: Yang menjadi persoalan adalah hadits Anas radhiallahu „anhu terdahulu yang
menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah mengangkat kedua tangannya
dalam doa beliau kecuali pada shalat istisqa`. Dimana beliau mengangkat kedua tangannya hinga
terlihat kedua ketiak beliau yang putih. Lantas bagaimanakah menyelaraskan antara perkataan
Anas radhiallahu „anhu ini dan perbuatan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mengangkat kedua
tangannya ketika berdoa pada beberapa tempat ?

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 190


Jawab: Ibnu hajar mengatakan: “ Perkataan beliau : “ kecuali pada shalat istisqa` “, secara zhahir
hadits meniadakan mengangkat tangan pada setiap doa kecuali pada doa disaat shalat istisqa`.
Dan hal tersebut bertentangan dengan beberapa hadits yang shahih yang menyebutkan
mengangkat tangan diselain shalat istisqa` … Sebagian ulama berpendapat bahwa mengamalkan
hadits-hadits tersebut lebih utama, dan menggiring pemahaman hadits Anas radhiallahu „anhu
kepada peniadaan apa yang beliau saksikan, yang mana tidak menampik bahwa selainnya telah
melihat. Sebagian ulama lainnya menafsirkan hadits Anas tersebut – untuk menyelaraskan
maknaya – bahwa hadits tersebut dipahami pada sifat tertentu … “ Dibagian lain beliau – Ibnu
Hajar – mengatakan : “ Dan maksudnya adalah pembatasan tata cara mengangkat tangan pada
cara tertentu bukan peniadaan hukum dasar mengangkat tangan, karena hal tersebut amalan yang
shahih dari beliau .

8. Disunnahkan berdoa dengan suara yang lirih


Allah ta‟ala berfirman:
“ Dan berdoalah kalian kepada Rabb kalian dengan penuh ketundukan dan dengan suara yang lirih
“ ( Al-A‟raaf : 55 )

Allah subhanahu wata‟ala memerintahkan setiap hamba-Nya untuk bersungguh-sungguh dalam


berdoa dengan suara yang lirih dan tidak diperdengarkan serta tidak mengeraskannya.
Menyamarkan suara ketika berdoa merupakan bentuk suatu etika dan keikhlasan yang sangat
tinggi, dan akan mendekatkan kepada terkabulnya doa seorang yang berdoa.
Ibnu Taimiyah mengatakan : Kaum muslimin terdahulu telah demikian bersungguh-sungguh dalam
berdoa namun tidaklah terdengan suara doa mereka, yakni doa mereka hanyalah berupa desahan
antara mereka dan Rabb mereka „azza wajalla . Allah ta‟ala berifrman:
“ Dan berdoalah kalian kepada Rabb kalian dengan fpenuh ketundukan dan dengan suara yang lirih
“ ( Al-A‟raf : 55 )

Dan Allah telah pula menyebutkan tentang seorang hamba yang shalih dan ridha dengan
perbuatannya, Allah berfirman:
“ Ketika dia menyeru kepada Rabb-nya dengan seruan yang lirih “ ( Maryam: 3 )[13]
Faedah : Menyamarkan doa mengandung beberapa faedah. Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah
menyebutkan beberapa diantaranya, yang pada intinya sebagai berikut:
Pertama: Merupakan keimanan yang paling utama. Karena yang melakukannya mengetahui
bahwa Allah mendengar doa yang disamarkan.
Kedua: Etika dan pengagungan yang paling utama. Dikarenakan dihadapan Raja tidaklah dengan
meninggikan suara. Dan siapa saja yang mengangkat suara dihadapannya raja tersebut akan
murka kepadanya. Dan Allah bagi-Nya sifat yang Maha Tinggi. Apabila Allah telah mendengar doa
yang lirih, maka tidaklah sesuai dengan etika dihadapan-Nya kecuali dengan merendahkan suara.
Ketiga: Bahwa hal tersebut akan lebih sesuai dengan ketundukan dan rasa khusyu‟
Keempat: Hal tersebut akan lebih sesuai dengan keikhlasan
Kelima: Hal tersebut akan lebih memungkinkan untuk menyatukan hati dengan kerendahan jiwa
disaat berdoa. Apabila dia mengeraskan suara maka akan memudarkannya.
Keenam : – Yang tergolong sebagai cacatan yang sangat mengagumkan – Bahwa amalan tersebut
menunjukkan kedekatan seorang yang berdoa kepada Dzat Yang Maha dekat. Bukan permintaan
orang yang jauh kepada Dzat yang jauh tempatnya. Olehnya itu Allah memuji hamba-Nya Zakariya
dengan firman-Nya :
“ Disaat dia menyeru kepada Rabbnya dengan seruan yang lirih “ ( Maryam : 3 )
Ketujuh : Hal tersebut akan menjadikan sebab berkelanjutannya permohonan dna permintaan.
Karena lisan tidak akan bosan, anggota tubuh tidak akan letih, berbeda halnya apabila dia
mengeraskan suaranya, karena yang demikian akan menjadikan lisan bosan dan melemahkan
kekuatannya.
Kedelapan: Dengan merendahkan suara, akan menjauhkannya dari segala sesuatu yang dapat
memutuskan doa dan yang mengganggunya.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 191


Kesembilan: Sesungguhnya nikmat yang paling agung adalah nikmat menghadap dan beribadah
kepada Allah. Dan masing-masing nikmat sesuai dengan kadarnya, baik itu sedikit atau banyak.
Dan tiada nikmat yang lebih besar dari pada nikmat ini.
Kesepuluh : Doa merupakan dzikir kepada Allah Dzat yang ditujukan doa kepada-Nya subhanahu
wata‟ala. Yang mengandung permohonan dan pujian kepada-Nya dengan sifat-sifat-Nya serta
nama-naman-Nya. Berarti doa adalah dzikir dan tambahan lainnya.

9. Menghadirkan hati sanubari termasuk salah satu sebab terkabulnya doa


Menghadirkan hati seorang yang berdoa merupakan salah satu sebab mendekatkan dirinya kepada
terkabulnya doa. Keumuman nash-nash syara‟ menunjukkan hal itu. Seperti firman Allah ta‟ala:

“ Dan berdoalah kalian kepada Rabb kalian dengan penuh ketundukan hati dan dengan suara yang
lirih “ ( Al-A‟raf : 55 )

Dan firman-Nya :
“ Dan berdoalah kalian kepada-Nya dengan rasa takut dan pengharapan “ ( Al-A‟raf : 56 )
Karena doa yang disertai dengan ketundukan hati, suara yang lirih, rasa takut, dan pengharapan
mengharuskan – dan ini suatu yang mesti – penghadiran hati seorang yang berdoa, ini persoalan
yang telah zhahir. Didalam hadits, disebutkan bahwa beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“ Berdoalah kalian kepada Allah dengan keyakinan kalian akan terkabulnya doa. Dan ketahuilah
bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai lagi berpaling”

10. Disunnahkan Mengulang-Ulang Do‟a dan Terus-Menerus Memanjatkan Do‟a


Terus menerus berdoa merupakan hakikat dari ubudiyah kepada Allah subhanahu wata‟ala. Apabila
soaang yang berdoa selalu mengulangi dna terus menerus didalam doanya , menampakkan
kehinaan , ketidak mampuannya dan kefakirannya dihadapan Rabb-nya, maka dia akan semakin
dekat kepada terkabulnya doa dari Allah baginya. Dan sebagian besar jalan akan sangat
diharapkan terbuka baginya.

Dari Umar binAl-Khaththab radhiallahu „anhu beliau berkata : ketika pada peristiwa perang Badar,
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memandang kepada kaum musyrikin yang berjumlah seribu
orang, sementara para sahabat beliau hanya berjumlah tiga ratus tiga sembilan orang. Maka Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam menghadap kearah kiblat, lalu beliau mengangkat kedua tangannya
dan memohon kepada Rabbnya : Yaa Allah, tunaikanlah apa yang pernah Engkau janjikan
kepadaku, yaa Allah datangkanlah janji-Mu kepadaku, yaa Allah jikalau Engkau membinasakan
kelompok muslimin ini, niscaya Engkau tidak akan disembah dimuka bumi. Beliau terus
memanjatkan doa kepada Rabb-nya dengan mengangkat kedua tangannya dan menghadap kearah
kiblat hingga jubah beliau terjatuh dari atas pundaknya.
Kemudian Abu Bakar menghampiri beliau lalu mengambil jubah beliau dan mengenakannya
kembali diatas kedua pundak beliau, lalu beliau berdiam dibelakang Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam . Dan berkata : Wahai Nabi Allah, cukuplah engkau memanjatkan pengharapan kepada Rabb
mu, karena sesungguhnya Allah akan menunaikan janji-Nya kepada engkau, maka Allah
menurunkan firman-Nya :
“ Apabila kalian memanjatkan doa kepada Rabb kalian, maka Allah mengabulkan doa kalian,
sesunguhnya Aku menurunkan seribu malaikat yang turun beriringan “. Allah memberikan bantuan
kepada beliau dengan para malaikat … al-hadits “

Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu beliau berkata : Ath-Thufail bin Amru Ad-Dausi datang
menemui Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan berkata : Sesungguhnya bani Daus telah
bermaksiat dan menolak – agama Allah -, doakanlah kepada mereka kebinasaan.
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam lalu menghadap kearah kiblat dan mengangkat kedua
tangannya, maka para sahabat mengatakan : Mereka akan binasa .
Lalu beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Ya Allah berilah hidayah kepada bani Daus, dan
datangkanlah kepada mereka , ya Allah berilah hidayah kepada bani Daus dan datangkanlah
kepada mereka “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 192


11. Kemantapan Hati Ketika Berdo‟a
Sepatutnya bagi seorang yang berdoa untuk memantapkan permintaannya dan tidak
menggantungkanya kepada kehendak Allah atau bimbang dalam doanya tidak meyakini
terkabulnya doa tersebut. Kemantapan hati disaat berdoa yang meyakini terkabulnya doa termasuk
sebab tercapainya maksud doa. Karena kemantapan hati dan keyakinan menunjukkan kepercayaa
seorang yang berdoa terhadap Rabbnya. Bahwa Dia adalah Dzat Yang Maha mendengar dan Maha
melihat, dan Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu. Dan tidak satupun sesuatu yang ada dilangit
atau dibumi yang akan melemahkan-Nya.
Sandaran bab ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiallahu „anhu , beliau berkata :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Apabila kalian berdoa kepada Allah maka
mantapkanlah diri kalian disaat berdoa. Dan janganlah salah seorang diantara kalian mengatakan :
Jika Engkau berkenan maka berilah kepadaku, karena sesungguhnya Allah tidak akan merasa benci
kepadanya “ pada lafazh riwayat Muslim : “ … akan tetapi hendaknya dia memantapkan hati dalam
permohonannya, dan benar-benar meninggikan kemauannya , karena sesunguhnya Allah tidaklah
merasa keberatan dengan sesuatu yang Allah berikan “

Ibnu Hajar mengatakan : “ Apabila kalian berdoa kepada Allah, maka kalian seharusnya
memantapkan hati kalian didalam berdoa artinya kalian mesti yakin dan tidak bimbang. Berasal
dari kaliamt „azimtu „ala syai`in apabila anda berkemauan keras/bersungguh-sungguh untuk
melakukannya. Ada yang berpendapat „azm al-masalah bermakna memastikanya tanpa ada
kelemahan dalam mengusahakannya. Ada yang berpendapat bahwa maknanya adalah berbaik
sangka kepada Allah dalam terkabulnya doa. Dan hikmah yang terkandung dalam hal ini, bahwa
menggantungkan doa adalah gambaran ketidak butuhan dari suatu pemberian-Nya dan dari
sesuatu yang hendak dicapai.

Sabda beliau : “ tanpa merasa keberatan dengannya “, yaitu penggantungan doa menyiratkan
bahwa pemberian yang mungkin dari-Nya selain dari kehendak-Nya, dan pemberian selain
kehendak merupakan suatu keterpaksaan, sedangkan Allah sama sekali tidak merasa terpaksa
dengan pemberian-Nya “

12. Disunnahkan mendahulukan ucapan Alhamdulillah dan pujian kepada Allah, lalu
shalawat kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam sebelum berdoa

Membuka doa dengan pujian kepada Allah, memuji-Nya dan memuliakan-Nya, kemudian shalawat
kepada Rasul-Nya, kemudian menutup doa dengan kedua ucapan tersebut merupakan sebab yang
paling utama yang memastikan terkabulnya doa seseorang yang berdoa.
An-Nawawi mengatakan: Ulama sepakat disunnahkannya mengawali dia dengan ucapan
Alhamdulillah ta‟aala dan pujian kepada-Nya kemudian shalawat kepada Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam, dan juga menutup doa dengan kedua ucapan tersebut.

Fudhalah Ubaid meriwyatkan beliau berkata: “ Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam


mendengarkan seseorang yang berdoa didalam shalatnya, dia memuji Allah namun tidak membaca
shalawat kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam . Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Engkau telah tergesa-gesa wahai orang yang sedang mengerjakan shalat “. Lalu beliau
mengajari mereka. Dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mendengar seseorang yang shalat,
memuji Allah dan ber-tahmid serta mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam , maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:” Berdoalah niscaya akan
dikabulkan dan mintalah niscaya akan diberi “dan pada lafazh At-Tirmidzi : Beliau berkata : Ketika
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam sedang duduk, masuklah seseorang lalu mengejakan shalat,
dan mengucapkan : Allahumma – ya Allah – ampunilah aku dan berilah aku rahmat-Mu.
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Anda telah tergesa-gesa, wahai yang sedang
shalat. Apabila anda shaat maka duduklah, pujilah Allah yang Dialah yang pantas dengan pujian,
bacalah shalawat kepadaku lalu berdoalah”.

Beliau berkata : Lalu setelah itu seorang lainnya mengerjakan shalat, dan memuji Allah serta
membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Maka Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam berkata kepadanya: “Wahai orang yang shalat, berdoalah niscaya akan dikabulkan “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 193


Semisalnya pula pada hadits Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anhu beliau berkata : Saya pernah
mendirikan shalat bersama Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan Abu Bakar dna Umar bersama
dengan beliau. Setelah saya duduk, saya memulai dengan pujian kepada Allah kemudian shalawat
kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , lalu berdoa untuk diriku. Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Mintalah sesuautu niscaya akan dikabulkan, mintalah sesuatu niscaya akan
dikabulkan “

13. Bertawassul dengan Amal-Amal Shalih Ketika Memanjatkan Do‟a Merupakan Sebab
Terkabulnya Do‟a

Diantara amalan yang akan mendekatkan terkabulnya doa, adalah seorang yang berdoa meminta
kepada Rabb-nya dan bertawassul dengan amal-amalnya yang shalih. Dan mengedepankannya
ketika berdoa. Hadits yang menguatkan pembahasna ini adalah kisah tiga orang yang terperangkap
didalam sebuah goa dipadang pasir, dan mereka tidak mampu untuk keluar. Maka sebagian
diantara mereka mengatakan kepada sebagian lainnya : “ Renungkanlah amalan-amalan shalih
yang telah kalian lakukan karena Allah, dan berdoalah kepada Allah dengan perantara amal-amal
tersebut semoga Allah memberi jalan keluar dengannya “ dan pada lafazh riwayat Ahmad : “ Dan
masing-masing hendaknya berdoa dengan amal yang paling baik yang telah dieprbuatnya, semoga
Allah menyelamatkan kita dari sini “
Kemudian masing-masing dari mereka mengedepankan amal shalih yang paling dia harapkan
kemudian berdoa kepada Rabb-nya. Maka Allah mengabulkan doa mereka dan membebaskan
mereka dari keadaan mereka dan menyelamatkan mereka dari kebinasaan.

14. Disunnahkan Berdo‟a dengan Do‟a-Do‟a yang Termasuk Jawami‟ul Kalim (Kalimat
yang Singkat Tetapi Maknanya Padat)

Doa yang paling lengkap adalah doa yang tertera didalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Al-Qur`an
adalah Kalamullah, semulia-mulia kalam dan yang paling tinggi. Sedangkan As-Sunnah adalah
wahyu yang Allah wahyukan kepada Nabi-Nya, yang mana beliau Shallallahu „alaihi wa sallam telah
diberikan jawami‟ al-kalim. Dan tidaklah kita ragukan lagi bahwa siapa saja yang berdoa dengan
doa yang tertera didalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, akan lebih dekat kepada terkabulnya doa
daripada yang berdoa dengan doa selain yang tertera didalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Doa-doa yang tertera didalam Al-Qur`an dan As-Sunnah sangatlah banyak, dan sangat sulit untuk
menghitungnya, akan tetapi, kami akan menyebutkan sebagian diantara doa-doa tersebut, agar
kita mengetahui betapa doa-doa tersebut telah menghimpun segala kebaikan dan telah memberi
perlindungan dari segala keburukan.

Diantaranya firman Allah ta‟ala:

‫ربنا آتنا في الدنلا سنة وفي اآلخرة سنة وقنا عذاب النار‬
“ Wahai Rabb kami, berilah kepada kami didunia ini segala kebaikan dan diakhirat dengan segala
kebaikan dan jagalah kami dari adzab neraka “ ( Al-Baqarah : 201 )

Dan firman Allah ta‟ala :

‫ربنا ه لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعلن واجعلنا للمتقلن إماما‬


“ Wahai Rabb kami berilah kepada kami pada diri istri-istri kami dan anak-anak kami sebagai
qurratul „ain dan jadikanlah kami penghulu orang-orang yang bertakwa “ ( Al-Furqan : 74 )

Dan firman Allah ta‟ala :

‫ربنا ظلمنا أنفسنا واف لم تغفر لنا وتر منا لنكونن من ال اسرين‬
“ Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah menzhalimi diri kami, dan apabila Engkau tidak
mengampuni kami dan merahmati kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi “ (
Al-A‟raf : 23 )

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 194


Dan juga semisal sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam didalam hadits Aisyah :

‫يامقل القلوب ثبت قلبي على دين‬


“ … Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku diatas agama-Mu “
Dan semisal sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam didalam hadits Abu Bakar Ash-Shiddiq
radhiallahu „anhu , bahwa beliau berkata kepada Rasululah Shallallahu „alaihi wa sallam :
Ajarkanlah kepadaku doa yang saya pergunakan berdoa didalam shalatku. Beliau bersabda:
ucapkanlah :

، ‫ وار مني‬، ‫ فاغفر لي مغفرة من عندؾ‬، ‫اللهم إني ظلمت نفسي ظلماً كثلراً واليغفر الذنوب إال أنت‬
‫إن أنت الغفور الر لم‬
Yaa Allah sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku dengan kezhaliman yang sangat banyak, dan
tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari
sisi-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha pengampun dan Maha
penyayang “

Dan doa-doa semisal itu sangatlah banyak.

15. Disunnahkan Menuntup Do‟a dengan Ucapan yang Sesuai dengan Permintaan Orang
yang Berdo‟a

Hal tersebut dikarenakan lebih sesuai dan lebih tepat dalam berdoa.
Semisal firman Allah ta‟ala :

‫ربنا ال تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وه لنا من لدن ر مة إن أنت الوهاب‬


“ Wahai Rabb kami, janganlah Engkau memalingkan hati-hati kami setelah Engkau memberinya
petunjuk, dan berilah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang
Maha Pemberi “ ( Ali Imran : 8 )

Permintaan seorang yang berdoa yang mengharapkan agar Allah memberinya rahmat, maka
sepantasnyalah doanya ditutup dengan menyifati Allah sebagai Dzat Yang Maha pemberi.
Dan misalnya pula didalam firman-Nya :

‫اد‬ ِ ‫ش‬
َ ‫لم َلع‬ ُ ِ‫وـ ِلق َٰلَ َم ِة ۖ إِنَّل َ َال تُ ل‬ ِ ِ
َ َ‫َربَّلػنَا َو َءاتنَا َما َو َعدتَّلػنَا َعلَ َٰى ُر ُسل َ َوَال تُ ِزنَا ي‬
“ Wahai Rabb kami berikanlah kepada kami segala yang telah Engkau janjikan kepada Rasul-Mu
dan janganlah Engkau membuat kami celaka pada hari kiamat, Sesungguhnya Engkau tidak akan
menyelisihi segala janji-Mu “ ( Ali Imran : 194 )

Permohonan kaum mukminin kepada Rabb mereka agar Allah memberikan kepada mereka apa
yang mereka telah dijanjikan melalui lisan para rasul-Nya da agar supaya tidak mencelakakn
mereka pada hari kiamat, maka sepantasnya doa tersebut diakhiri dengan menyifati Allah bahwa
Dialah Dzat Yang Maha benar dalam setiap janji-Nya. Dan firmannya hak, mereka mengatakan : “
Sesungguhnya Engkau tidak akan menyelisihi janji-Mu “
Dan semisalnya juga didalam firman Allah ta‟ala – ketika menghikayatkan perkataan Isa „alahis
salam – sewaktu memohon kepada Allah agar diturunkan hidangan dari langit :
ِ ‫لسم ِاء تَ ُكو ُف لَنا ِعلدا ِّأل َّلَولِنا وء‬ ِ
‫َنت َخ ُلر‬ ُ ‫اخ ِرنَا َو َءايَة ِّمن َ ۖ َو‬
َ ‫رزقنَا َوأ‬ ََ َ َ َ ‫للَّل ُه َّلم َربَّلػنَا أَن ِزؿ َعلَلنَا َمائ َدة ِّم َن َّل‬
ِ
َ ‫ََّٰللرِزق‬
‫لن‬

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 195


“ Isa bin Maryam mengatakan : Wahai Allah Rabb kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari
langit, agar menjadi hari besar bagi pendahulu kami dan yang datang sesudah kami. Dan sebagai
ayat dari-Mu, dab berilah rizki kepada kami, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi rizki “ ( Al-
Maidah : 114 )

Dan sepantasnya doa tersebut diakhiri bahwa Allah adalah sebaik-baik pemberi rizki.
Seorang yang berdoa disunnahkan mengakhiri doanya dengan sesuatu yang sesuai dengan
permintaannya. Apabila dia meminta karunia berupa anak, maka sebaiknya dia mengakhiri doanya
– misalnya – dengan mengucapkan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha pemberi dan Maha
pemberi rizki. Dan apabila dia memohon pengampunan dosa, maka hendaknya dia mengakhiri
doanya bahwa allah adalah Dzat Yang Maha pengampun dan Maha pengasih. Dan apabila dia
memohon karuni berupa harta, maka hendaknya dia mengkahiri doanya dengan mengucapkan
bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Dermawan lagi Maha Mulia, demikian seterusnya.

16. Do‟a Setelah Tasyahhud Akhir Ketika Shalat dan Sebelum Salam Merupakan Salah
Satu Sebab Diterima dan Terkabulnya Do‟a

Pada hadits Abdullah bin Mas‟ud radhiallahu „anhu beliau berkata : bahwa Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada mereka bacaan tasyahhud didalam shalat, kemudian
beliau berkata pada akhirnya :
“ Kemudian dia memilih doa yang paling disukainya kemudian dia berdoa denganya “ , pada lafazh
Muslim : “ Kemudian dia memilih permohonan yang dia kehendakinya “Ibadah shalat adalah amal
ibadah yang paling utama yang dikerjakan oleh seorang hamba. Dan termasuk amal ibadah yang
paling dicintai oleh Allah. Dikarenakan seorang hamba akan bermunajat kepada Rabbnya, meminta
kepada-Nya dan berdoa kepada-Nya serta sujud dihadapan-Nya. Dan pada ibadah shalat juga
terkandung tata cara dan dzikir yang mengharuskan kehinaan seorang hamba dihadapan Rabbnya,
ketundukannya kepada Allah, kepasrahannya dihadapan-Nya.
Apabila hamba tersebut berdoa setelah semuanya ini, maka akan mendekatkan kepada
terkabulnya doa hamba. Betapa tidak, sementara Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah
menganjurkan umat beliau untuk berdoa disaat ini. Yang menunjukkan kepada kita bahwa tempat
tersebut adalah tempat yang paling utama yang sepatutnya seorang hamba memanfaatkannya dan
bersemangat untuk berdoa disisi Allah.

Faedah: An-Nawawi mengatakan: Ketahuilah bahwa doa ini [ setelah tasyahhud akhir ]
hunkumnya sunnah dan bukan amalan yang wajib. Dan disenangi untuk dipanjangkan, kecuali
apabila dia sebagai imam shalat. Dan diperbolehkan baginya untuk berdoa dengan doa yang
dikehendakinya meminta perkara kahirat maupun duniawiyah. Dan boleh baginya berdoa dengan
doa-doa yang telah termaktub , dan boleh juga boleh berdoa dengan doa yang dia adakan untuk
dirinya. Walaupun yang telah termaktub didalam Al-Qur`an dan As-Sunnah lebih utama. Dan juga
doa-doa yang telah termaktub nashnya, ada yang berkaitan langsung pada tempat ini dan ada juga
termaktub untuk tempat selainnya. Dan yang paling utama adalah yang termaktub untuk tempat
ini “

17. Disunnahkan Berdo‟a Ketika Mendengar Ayam Berkokok


Telah shahih diriwayatkan dari beliau Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda: “ apabila
kalian mendengar kokok ayam, maka mintalah kepada Allah keutamaan dari-Nya, karena ayam
tersebut telah melihat malaikat. Dan apabila kalian mendengar suara keledai melenguh, maka
segeralah kalian meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan, karena keledai tersebut telah
melihatt syaithan “

Dan sabda beliau : Apabila kalian mendengar kokok ayam, maka segeralah meminta keutamaan
dari Allah “. An-Nawaw mengatakan : Al-Qadhi berkata : “ Sebabnya untuk mengharapkan peng-
aminan malaikat akan doa tersebut, dan permintaan ampunan mereka dan persaksian mereka
dengan ketundukan dan keikhlasan … “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 196


18. Diharamkan Berlebih-Lebihan dalam Memanjatkan Do‟a
Allah ta‟ala berfirman :
“ Dan berdoalah kalian kepada Rabb kalian dengan penuh ketundukan dan dengan suara yang lirih.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas “ ( Al-A‟raf : 55 )
Abdullah bin Mughaffal mendengar anak beliau mengucapkan: “ Yaa Allah saya memohon kepada-
Mu Istana Putih di bagian kanan sorga apabila saya masuk kedalamnya. “

Maka Beliau berkata : Wahai anakku mintalah surga kepada Allah, dan mintalah perlindungan dari-
Nya dari api neraka, karena sesungguhnya saya mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Akan ada dari umat ini kaum yang melampaui batas dalam bersuci dan berdoa “

Melampaui batas dalam berdoa merupakan salah satu penghalang terkabulnya doa seorang yang
berdoa. Karena seseorang yang berdoa meminta sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam doanya
sehingga dikatakanlah dia telah melampaui batas. Seorang yang melampaui batas tidak disenangi
oleh Rabbnya dan akan jauh dari terkabulnya doa dia.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: Dari sinilah maka seseorang yang melampaui batas
dalam berdoa, terkadang meminta pertolongan melakukan hal-hal yang diharamkan yang tidak
diperbolehkan. Dan terkadang meminta sesuatu yang Allah tidak – baca: berkenan, pent –
melakukannya seperti seseorang yang meminta keabadian hingga hari kiamat, ataukah meminta
agar Allah meniadakan dari dirinya keharusan sebagai seorang manusia, seperti kebutuhan makan
dan minum. Dan meminta kepada Allah agar dirinya dapat mengetahui perkara gaib Allah atau
menjadikannya diantara orang-orang yang ma‟shum, atau memberikanya anak tanpa mempunyai
istri dan lain sebagainya yang mana permintaannya merupakan hal yang melampaui batas yang
tidak disenangi oleh Allah dan Allah tidak menyukai si pemohon. Dan melampaui batas dalam
berdoa ini juga ditafsirkan dengan mengangkat suara ketika berdoa … “

19. Dimakruhkan Berdo‟a dengan Sajak


Tidak sepantasnya berlebihan dalam doa, dan tidak juga bersajak dalam penutaraan doa. Adapun
sajak yang terdapat didalam doa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam maka hal tersebut dipahami
sebagai bentuk sajak yang tidak dipaksakan.

Ibnu Hajar mengatakan : “ Hal itu tercantum dalam beberapa hadits-hadits yang shahih,
dikarenakan hal itu berasal tanpa kesengajaan. Dari sinilah doa ini datang dengan keselarasan
kalimat seperti sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam didalam jihad : “ Allahumma munazzilal-
Kitaab, sarii‟ul-Hisaab, haazimul-Ahzaab “ – Yaa Allah, Dzat yang telah menurunkan Kitab/ Al-
Qur`an, yang Maha segera perhitungan-Nya dan yang menghancurkan sekutu-sekutu musyrikin -.
Dan pada hadits Ibnu Abbas kepada „Ikrimah, beliau berkata: “ … Perhatikanlah sajak dalam doa
agar engkau hindari, karena sesungguhnya aku telah memperhatikan rasululah Shallallahu „alaihi
wa sallam dan para sahabat beliau, mereka tidak melakukan kecuali menjauhkan diri dari hal itu “

20. Berdo‟a Memohon Sebuah Amal Dosa, Memutuskan Silaturrahim, atau Menyegerakan
Terkabulnya Do‟a Termasuk Sebab Terhalangnya Do‟a

Diantara yang menghalangi terkabulnya doa seseorang yang berdoa adalah berdoa memohon
sebuah amal dosa, memutuskan silaturrahim, atau penyegaraan terkabulnya doa. Larangan itu
dengan sangat jelas tertuang didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu , beliau berkata :
Bersabda Shallallahu „alaihi wa sallam : Seorang hamba akan terkabul doanya selama dia tidak
memohon sebuah amal dosa, atau memutuskan silaturrahim , dan selama tidak tergesa-gesa “ .
Ada yang bertanya : Wahai Rasulullah , apakah yang termasuk tergesa-gesa ?
Beliau bersabda: “ Dia mengatakan: Sungguh saya telah berdoa, sungguh saya telah berdoa,
namun doaku tidak terkabulkan , pada akhirnya akan menjadikannya berputus asa dan
meninggalkan doa “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 197


Faedah 1 : Dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu ,beliau erkata bahwa Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda: “ Tidaklah seorang muslim yang berdoa dengan sebuah doa selama tidak
memohon amal dosa dan tidak pula memutuskan silaturrahim, kecuali Allah akan memberikan
kepadanya salah satu dari tiga : Menyegerakan terkabulnya doa dia, ataukah menyimpannya
baginya hingga hari akhat ataukah memalingkan suatu keburukan dri dirinya semisal dengan
permintaannya”. Mereka bertanya : Kalau demikian kami akan memperbanyak doa. Beliau
bersabda: “ Dan Allah lebih memperbanyak lagi “
Faedah lainnya : Pengabulan doa terkadang diakhirkan karena terkandung suatu hikmah yang
hanya diketahui oleh Allah dan tersamarkan oleh seseorang yang berdoa. Agar hamba tersebut
mengetahui bahwa pilihan Allah lebih baik daripada apa yangdiplih oleh dirinya sendiri. Apabila
seseorang berdoa kepada Rabbnya, lalu berkeluh kesah dan menundukkan dirinya didalam doa,
menghindari semua yang menghalangi tekabulnya doa, maka janganlah dia menjadi terkejut
apabila doanya diakhirkan.

Seseorang yang berdoa terkadang permintaannya tidak terkabulkan, bukan berarti bahwa
seseorang yang berdoa tersebut tidak dicintai oleh Allah. Ibrahim „alaihis salam telah memohon
ampunan kepada Allah bagi bapak beliau, Nuh „alaihis salam telah memohon keselamatan bagi
anak beliau – yang mana kedua Nabi tersebut merupakan dua dari para Rasul ulul „azmi – namun
doa mereka berdua tidak terkabulkan, karena suatu perkara yang Allah subhanahu wata‟ala
kehendaki. Dan juga karena adanya hikmah yang hanya diketahui oleh Allah. Semua makhluk
adalah ciptaan-Nya, dan kesmeuanya berada didalam kekuasaan-Nya dan berada dalam
pengaturan-Nya. Apabila perkara tersebut seperti itu, maka tidak sepantasnya seorang hamba
merasa terkabulnya doa sangat lama dan tidak pula hingga meninggalkan berdoa,karena doa
adalah ibadah yang mendapatkan pahala.

21. Memakan Harta Haram Termasuk Penghalang Terkabulnya Do‟a


Perbuatan tersebut termasuk penghalang terbesar tertolaknya doa seseoang yang berdoa. Abu
Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Wahai segenap kaum manusia, sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha baik, dan
tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukmiin
sebagaimana yang Allah perintahkan kepada para Rasul.
“ Wahai para Rasul makanlah dari hal-hal yang baik dan beramallah dengan amal yang shalih.
Sesungguhnya Aku Maha mengetahui segala yang kalian perbuat “ ( Al-Mukminun : 51 )
Dan Allah berfirman:
“ Wahai orang-orang yang beriman , makanlah dari hal-hal yang baik yang telah Kami rizkikan
kepada kalian “ ( Al-Baqarah : 172 )

Lalu beliau menyebutkan perihal seseorang yang telah melakukan perjalanan jauh, dalam keadaan
lusuh dan berdebu, kemudian dia mengangkat kedua tangannya keatas langit dan mengucapkan :
Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku. Sedangkan makannya haram, minumannya haram, pakaiannya
haram dan dia tumbuh dengan sesuatu yang haram, lantas mengapakah dia minta dikabulkan
doanya itu ? “

Sabda beliau : “ Lantas mengapakah dia minta dikabulkan doanya itu ? “ maknanya : Dari sisi
mana akan dikabulkan orang yang bersifat seperti ini, bagaimana ia akan dikabulkan, Imam An-
Nawawi yang berpendapat tentang hal itu. Maka perhatikan keadaan lelaki yang melakukan
perjalanan jauh tersebut, rambutnya lusuh, kaki dan badannya berdebu, dan dia menengadahkan
tangannya meminta kepada Maulanya, barang siapa yang keadaannya seperti itu maka dia amatlah
dekat dengan terkabulnya doa. Akan tetapi ketika yang berdoa ini, memakan makanan yang
haram, maka pengabulan doanya menjadi terhalang karena pengaruh harta yang haram,
keburukan dan pengaruhnya yang jelek kepada seorang hamba didunia dan diakhirat.

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 198


22. Beberapa Tempat dan Keadaan di Mana Do‟a Akan Terkabul
a. Doa disepertiga malam akhir.
Beberapa hadits-shahih yang masyhur menunjukkan hal tersebut, diantaranya hadits Abu Hurairah
radhiallahu „anhu beliau berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Rabb kita
tabaraka wata‟ala setiap malam turun ke langit dunia hingga sepertiga malam akhir. Allah
berfirman: barang siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkannya dan barang
siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberinya dan barang siapa yang memohon
mapunan kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuninya “
b. Disaat sujud
Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasululah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Tempat yang paling dekatnya seorang hamba kepada Rabbnya adalah disaat dia
sujud, maka perbanyaklah doa. “
Kemungkinan hikmah dekatnya seorang hamba kepada Rabbnya disaat sujud, dengan
mengatakan: bahwa posisi sewaktu sujud merupakan perspektif ubudiyah, ketundukan, penghinan
diri dan kebutuhan kepada Allah yang tidak didapati apda posisi dna keadaan-keaaan lainnya. Dan
seseorang yang sedang melakkan sujud akan meletakkan keningnya diatas tanah diatas tempat
kaki berpijak – dan dia tidak memperdulikan hal itu -. Dan dia dalam keadaan yang rendah itu
mengkuduskan Dzat yang berada di ketinggian, seraya mengatakan : ( Maha suci Rabb-ku Yang
Maha tinggi ). Hal itu sesuai dengan kehinaan, pengharapan dan ubudiyah, dimana yang
melakukan sujud berdoa amatlah dekat kepada Rabbnya, yang akan mengabulkan doanya. Wallahu
a‟lam
c. Antara adzan dan iqamah
Telah shahih diriwayatkan dari hadits Anas bin Malik radhiallahu „anhu bahwa beliau bersabda : “
Tidaklah doa antara adzan dan iqamah akan tertolak “

d. Pada waktu yang mustajabah dihari jum‟at


Disebutkan didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam menyebutkan perihal hari jum‟at, lalu beliau bersabda : “ Pada hari jum‟at terdapat waktu
dimana seorang hamba muslim yang tengah melakukan shalat menyepakati wkatu tersebut, lalu
memohon kepada Allah ta‟ala sesuatu kecuali Allah akan memberikan permintaannya tersebut
baginya. Dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya, bahwa waktu tersebut sangat pendek jeda
waktunya. “

Faedah : Ulama berbeda pendapat mengenai waktu mustajabah pada hari jum‟at ini, dalam
banyak pendapat. Al-Hafizh hingga mencapai empat puluh dua pendapat. Dan pendapat yang
paling tepat dari sekian pendpat tersebut adalah dua pendapat:

Pertama: Waktu mustajabah tersebut antara duduknya imam hingga imam mengerjakan shalat.
Berdasarkan hadits Abu Musa Al-Asy‟ari radhiallahu „anhu . Diriwayatkan dari Abu Burdah bin Abu
Musa Al-Asy‟ari radhiallahu „anhu beliau berkata: Abdullah bin Umar berkata kepadaku: Apakah
engkau mendengar bapakmu menceritakan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam tentang hari jum‟at. Beliau berkata : Saya berkata : Benar, saya mendengar beliau
mengatakan : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Waktu
mustajabah antara duduknya imam hingga mengerjakan shalat “
Kedua : Waktu mustajabah adalah akhir waktu hari jum‟at. Diriwayatkan dari Jbair bin Abdullah
radhiallahu „anhu , dari rasululah Shallallahu „alaihi wa sallam beliau bersabda: “ Hari jum‟at
selama dua belas – yang beliau maksud adalah jam – tidaklah seorang muslim memohon kepada
Allah „aza wajalla kecuali Allah „azza wajalla akan mendatanginya, maka perhatikanlah waktu
mustajabah tersebut pada akhir waktu setelah waktu Ashar “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 199


Untuk menyelaraskan kedua hadits tersebut adalah dengan mengatakan sebagaimana perkataan
Ibnul Qayyim : “ … Keduanya adalah waktu mustajabah. Walapun waktu yang khusus adalah akhir
waktu setelah waktu ashar. Inilah waktu yang tetentu dari hari jum‟at yang tidak dimajukan dan
tidak diakhirkan. Adapun waktu shalat, maka mengikuti shalat, maju atau mundurnya. Karena
berkumpulnya kaum msulimin, shalat, ketundukan , dan doa mereka sepenuh hati kepada Allah
ta‟ala akan memberi pengaruh pada terkabulnya doa. Dan waktu mereka berkumpul adalah waktu
yang diharapkan doa terkabulkan. Dengan penggabungan ini maka semua hadits tersebut dapat
bersesuaian. Dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah menganjurkan kepada umat beliau untuk
berdoa dan memohon sepenuh hati kepada Allah ta‟ala pada kedua waktu tersebut.”
Ibnu Hajar mengatakan : “ Hal ini sebagaimana pendapat Ibnu Abdil Barr : Yang sepantasnya
seseorang bersungguh-sungguh berdoa adalah pada kedua waktu tersebut. Dan sebelumnya
pendapat ini juga diutarakan oleh Imam Ahmad. Pendapat inilah yang lebih utama dalam
menyelaraskan hadits-hadits tersebut. Ibnu Al-Muniir mengatakan : Dengan begitu dapatlah
diketahui bahwa faedah penyamaran waktu ini dan juga malam lailatul qadar agar seseorang yang
berdoa tergerak untuk memperbanyak shalat dan doa. Seandainya diterangkan waktunya maka
kaum muslimin akan cenderung apatis dengan hal itu dan meninggalkan selainnya. Maka sangatlah
mengherankan setelah keterangan itu, orang-orang yang berupaya menentukan waktu mustajabah
tersebut “
e. Doa orang yang berpuasa ketika berbuka
Seorang yang berpuasa memilki doa yang tidak akan tertolak. Telah shahih diriwayatkan oleh Abu
Hurairah radhiallahu „anhu , beliau berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Ada
tiga golongan yang tidak akan tertolak doa mereka: Seseorang yang berpuasa hingga dia berbuka
… al-hadits “

f. Doa seseorang yang teraniaya, seorang musafir dan doa kedua orang tua kepada
anaknya

Dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhu , beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda kepada Mu‟adz bin Jabal – ketika mengutusnya ke Yaman – : “ Sesungguhnya engkau
akan mendatangi suatu kaum Ahli Kitab, apabila engkau mendatangi mereka, maka ajaklah mereka
untuk mengucapkan syahadat Laa Ilaha Ilallahu wa Anna Muhammadan Rasulullah “ … dan pada
akhir hadits disebutkan: “ Dan hati-hatilah dengan doa seorang yang teraniaya, karena antara dia
dan Allah tidak ada hijab/penghalang “
Perhatian: Seharusnya seorang musafir memanfaatkan sebaik-baiknya doa dia disaat safar. Tidak
melalaikannya. Dan terkadang suatu doa akan menghasilkan kebaikan didunia dan keberuntungan
diakhirat.

Dan seorang yang berlaku zhalim dan sewenang-wenang seharusnya berhati-hati terkena doa
seseorang yang teraniaya yang keluar dari hati yang pedih, karena doanya tidak ada penghalang
antara dia dan Allah. Dan alangkah cepat doanya terkabulkan.

Dan kedua orang tua seharusnya berhati-hati mendoakan keburukan kepada anak-anak mereka,
karena doa orang tua doa yang mustajab. Terkadang suatu kalimat terucapkan dan dikabulkan
kemudian membawa penyesalan pada hati seorang orangtua.

g. Doa ketika bertempur didalam peperangan dan ketika adzan


Hal itu telah shahih diriwayatkan didalam hadits Abu Hazim dari Sahl bin Sa‟ad, beliau berkata :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Dua kelompok yang doanya tidak kan tertolak
dan jarang tertolak : doa ketika mendengar adzan dan ketika peperangan sewaktu sebagian saling
menyerang sebagian lainnya “

h. Doa Dzun-Nuun disaat kesempitan


Sa‟ad bin Abu Waqqash radhiallahu „anhu meriwayatkan, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda: Doa Dzun Nuun ketika dia berdoa didalam perut ikan : Laa Ilaha illa
anta, subhanaka, inni kuntu min azh-zhalimiin – Tiada Ilah selain Engkau, Maha sucilah Engkau,
sesunggunya aku termasuk orang-orang yang zhalim -. Sesungguhnya tidaklah seorang hamba
muslim berdoa dengan doa ini pada sesuatu kecuali Allah akan mengabulkannya “

‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 200


i. Doa disaat turun hujan
Disebutkan didalam sebuah hadits : “ ucapkanlah doa ketika pasukan tempur telah bertemu, ketika
iqamah shalat dan ketika turun hujan “

23. Beberapa tempat yang diharapkan doa terkabulkan diantaranya:


a. Doa disaat sore hari Arafah bagi yang melaksanakan wukuf.
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah mensunnahkan bagi yang wukuf pada hari Aafah untuk
menjama‟ taqdim shalat Zuhur dan ashar, dengan tujuan agar yang melakukan haji mendapatkan
kelapangan untuk bermunajat dan berdoa kepada Rabb-nya. Demikian inilah yang telah dilakukan
oleh Nbai Shallallahu „alaihi wa sallam , dimana beliau setelah menyelesaikan shalat beliau beliau
bergegas menuju tempat wukuf yang berada dibagia bawah bukit, kemudian beliau wukuf diatas
tunggangan beliau berdoa kepada Rabb beliau hingga matahari terbenam.
Inilah adalah tempat yang Allah „azza wajalla cintai, dan para malaikat berkumpul. Hari dimana
sangat banyak pembebasan dari api neraka.

Dari Aisyah ummul Mukminin radhiaallahu „anha dan dari bapak beliau, Aisyah berkata:
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Tidak ada hari yang Allah lebih
banyak membebaskan hamba dari api neraka dari pada hari Arafah. Dan sesungguhnya Allah akan
mendekat kemudian para malaikat akan berkumpul, lalu Allah berfirman : Apakah yang mereka
kehendaki “

b. Doa diantara Shafa dan Marwah


Ketika Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mendekati Shafa – disaat haji al-wada‟ – beliau membaca
firman Allah :

“ Sesungguhnya shafa dan marwah temasuk diantara syiar-syiar Allah “, Mulailah engkau dengan
yang Allah mulai. Kemudian beliau memulai dari shafa dan belaiu mendaki keatasnya, hingga
beliau melihat Baitullah kemudian beliau menghadap kearah kiblat, dan beliau mentauhidkan Allah
dan bertakbir kepada-Nya, dan mengucapkan : “ Laa Ilaha Illallahu wahdahu, anjaza wa‟dahu, wa
nashara „abdahu, wa hazama al-ahzaab wahdahu, – tiada Ilah selain Allah semata, Dialah yang
menunaikan segala janji-Nya, yang menolong hamba-Nya dan menghancurkan para sekutu
musyrikin sendiri -. Kemudian beliau berdoa diantara itu. Beliau mengucapkan semisal dengan doa
tersebut sebanyak tiga kali. Kemudian beliau turun menuju marwah … hingga beliau tiba dimarwah,
beliau melakukan hal yang sama yang beliau lakukan diatas Shafa. “
c. Doa setelah melontar al-jumrah ash-shugra dan al-wustha bagi para haji
Salim bin Abdullah meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar radhiallahu „anhuma melontar jumrah
kecil sebanyak tujuh lemparan kerikil kecil, kemudian beliau bertakbir disetiap kali melempar
sebuah kerikil. Kemudian beliau maju kedepan menuju ketempat yang datar dan menghadap
kearah kiblat sambil berdiri dengan sangat lamanya berdoa dan mengangkat kedua tangannya.

Kemudian beliau melontar jumrah wustha demikian juga, beliau menuju kebagian kiri dan mencari
tanah yang datar kemudian berdiri menghadap kearah kiblat dengan sangat lama, berdoa dan
mengangkat kedua tangannya. Lalu beliau melontar jumrah „aqabah dari tengah al-wadi dan tidak
berhenti ditempat tersebut. Kemudian beliau mengatakan: Demikian ini yang telah saya lihat
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukannya “



‫ ك تاب اآلدا ب‬- Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab Hal 201

Anda mungkin juga menyukai