Kitab Adab - Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab
Kitab Adab - Fuad Abdul Aziz Asy-Syulhab
كتاب اآلداب
فؤاد بن عبد العزيز الشلهوب
Mukaddimah Penulis
Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, kita memuja-Nya, memohon pertolongan-Nya,
memohon ampunan-Nya, dan kita berlindung dari kejelekan diri-diri kami dan dari kejelekan amal
perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah niscaya tidak seorangpun yang
sanggup menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah niscaya tidak ada seorangpun
yang mampu memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak
disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul dan utusan-Nya. Shalawat
Allah dan salam yang melimpah kepada beliau, kepada keluarga beliau, para sahabat beliau dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga hari kiamat.
Amma ba‘du, …
Sesungguhnya, di antara nikmat Allah kepada kita, bahwa Allah telah menyempurnakan agama
Islam bagi kita, kemudian menyempurnakan nikmat-Nya bagi kita. Allah juga telah mengutus
seorang Rasul yang penuh kasih sayang kepada umatnya. Tidak ada satu kebaikan pun kecuali
beliau telah menjelaskan tentangnya dan tidak ada satu keburukan pun kecuali beliau talah
memperingatkan kita darinya. Shalawatullahi wa salamuhu ‗alaihi ila yaumiddin.
Dan sesungguhnya dari keseluruhan kebaikan yang ditunjukkan kepada kita, dan kejelekan yang
kita telah diperingatkan darinya, berupa sejumlah adab yang meliputi sebagian besar dari perkara-
perkara agama maupun dunia. Maka, pada perkara-perkara ibadah terdapat adab/etika, begitu pula
pada pergaulan manusia dengan sesamanya, atau dengan keluarganya, atau dengan anak-anaknya,
juga terdapat adab.
Di antara adab-adab itu, ada yang sunnah, makruh, wajib, haram, maupun mubah, dan semuanya
akan semakin jelas disaat membaca penjabaran adab-adab tersebut.
Hal yang tidak kalah penting untuk disampaikan, bahwa ulama baik dari generasi salaf maupun
generasi khalaf tidak meninggalkan pembahasan ini dengan tanpa karangan berupa tulisan, bahkan
telah banyak risalah-risalah dan juga kitab-kitab ilmiyah yang tak terkira jumlahnya telah ditulis
tentang hal tersebut.
Kita sebut saja beberapa yang paling populer di antara kesemua kitab-kitab tersebut adalah kitab
Zaad Al-Ma‘aad karya Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Adab Asy-Syar‘iyah karya Ibnu Muflih,
Ghadza` Al-Albaab karya As-Safaraini, dan kitab-kitab lainnya dari karya para ulama. Maka saya
merasa tergerak untuk meringkas perkataan-perkataan mereka, lalu saya menjabarkannya dengan
metode yang mudah dipahami, tidak berpanjang-lebar kecuali jika pembahasannya mengharuskan
untuk demikian.
Sebagai penutup, sesungguhnya kesempurnaan adalah suatu yang sulit tercapai, dan untuk
mencapainya adalah perkara yang sungguh sangat berat, maka barang siapa yang mendapati aib
pada kitab ini segeralah untuk menutupinya, dan barang siapa yang mendapati kekurangan,
segeralah menyempurnakannya. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
selalu mengadakan perbaikan. Hanya kepada Allah lah kita memohon pertolongan, dan kepadaNya
kita menyandarkan diri. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Semoga
shalawat beserta salam dan barakah kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga, dan juga
keselamatan yang banyak. Wal hamdu lillahi robbil ‗alamiin
Ditulis oleh
An-Nawawi mengatakan: "Yang pertama kali diperintahkan bagi seorang Qari' Al-Qur`an adalah
keikhlasan dalam membaca Al-Qur`an, dan hanya menghendaki perjumpaan dengan wajah Allah
subhanahu wata'ala dari bacaan Al-Qur`an tersebut, dan tidak menghendaki pencapaian sesuatu
selain itu".
Yang dikatakan oleh An-Nawawi ini adalah suatu yang benar, karena diantara para Qari' ada yang
membaca Al-Qur`an dengan tujuan agar perhatian kaum manusia tertuju kepadanya, dan agar
mereka mendatangi majlis-nya, menyanjungnya dan menghormatinya - Kami memohon kepada
Allah keselamatan dan 'afiah -. Dan cukuplah sebagai peringatan bagi Qari' tersebut, agar dia
mengetahui siksa bagi seseorang yang mempelajari Al- Qur`an agar dikatakan sebagai seorang
Qari' Al-Qur`an.
Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits didalam kitab Shahih beliau, dari hadits Abu
Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda : " Sesungguhnya orang yang paling pertama kali dijatuhkan putusannya pada
hari kiamat, adalah seseorang yang mati syahid. Lalu diapun didatangkan dan dikabarkan nikmat-
nikmat baginya lalu diapun mengetahuinya. Allah berfirman kepadanya: "Apakah yang telah
engkau kerjakan bagi segala nikmat tersebut? ". Dia menjawab: Saya berperang karena Engkau
hingga saya mendapatkan mati syahid.
Allah berfirman: "Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau berperang agar engkau dikatakan
sebagai seorang yang gagah berani, dan itu telah dikatakan bagimu". Kemudian diapun
diperintahkan untuk diseret kehadapan wajahnya lalu dia dicampakkan kedalam api neraka.
Dan seseorang yang mempelajari ilmu lalu mengajarkannya dan membaca Al-Qur`an. Kemudian
dia dihadapkan, dan dikabarkan nikmat-nikmat baginya lalu diapun mengetahuinya. Allah
berfirman: "Apakah yang telah engkau kerjakan bagi segala nikmat tersebut? " Dia berkata: Saya
mempelajari ilmu dan mengajarannya dan membaca Al-Qur`an karena Engkau. Allahberfirman:
"Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau mempelajari ilmu agar engkau dikatakan sebagai
seorang yang alim, dan engkau membaca Al- Qur`an agar engkau dikatakan sebagai seorang Qari',
dan itu telah dikatakan bagimu. Kemudian diapun diperintahkan untuk diseret kehadapan wajahnya
lalu dia dicampakkan kedalam api neraka. " al-hadist
2. Mengamalkan kandungan Al-Qur`an
Yaitu menghalalkan segala yang dihalalkan didalam Al-Qur`an, mengharamkan segala yang
diharamkannya, berhenti pada setiap yang dilarangnya, mengerjakan setiap perintahnya dan
mengamalkan setiap ayatayatnya yang muhkam dan beriman dengan ayat-ayat yang mutasyabih.
Menegakkan setiap hukum-hukumnya dan huruf-hurufnya. Telah ada larangan yang sangat keras
bagi seseorang yang Allah berikan kepadanya Al-Qur`an lantas dia tidak mengamalkannya.
Didalam Shahih Al-Bukhari dari penggalan hadits mimpi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam - dari
sebuah hadits yang panjang - , disebutkan: "Keduanya mengatakan: Pergilah. Maka kamipun
beranjak pergi hingga kami menjumpai seseorang yang berbaring terlentang diatas tengkuknya,
dan seseorang yang berdiri diatas kepalanya dengan sebuah pemukul atau sebuah batu besar lalu
orang itu memecahkan kepala orang yang berbaring tersebut. Dan sewaktu dia memukulkan batu
itu kekepalanya, batu tersebut terguling, kemudian dia pergi mengambil batu tersebut, dan
tidaklah dia kembali kepada orang ini hingga kepalanya telah sembuh dan kembali seperti sedia
kala, lalu diapun kembali memukulkan batu tersebut kekepalanya. Saya berkata : Siapakah ini ? .
Keduanya mengatakan : " Pergilah " ( Kemudian hal itu ditefsirkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam , beliau berkata ) : Dan orang yang engkau lihat kepalanya dipukulkan dengan batu
besar, adalah seseorang yang Allah telah ajarkan kepadanya Al-Qur`an, namun dimalam hari dia
tidur tidak membacanya dan tidak mengamalkan Al-Qur`an disiang harinya, akan diperbuat hal
demikian pada dirinya pada hari kiamat "
Dan pengkhususan penyebutan unta pada hadits diatas, dikarenakan unta adalah hewan peliharaan
manusia yang paling mudah lepas, dan sangatlah sulit untuk menemukan hewan tersebut apabila
hewan ini telah lepas.
4. Janganlah anda mengatakan : Saya telah lupa - ayat atau surah Al-Qur`an - akan
tetapi katakanlah : Saya telah terlupakan, terjatuh hafalanku atau dilupakan.
Dalil akan hal itu, ada pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah -
radhiallahu 'anha -, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mendengar
seseorang yang membaca sebuah surah didalam Al-Qur`an pada waktu malam, lalu beliau
bersabda : "Semoga Allah merahmatinya, sungguh dia telah mengingatkan aku akan ayat ini dan
ayat ini, yang sebelumnya saya telah terlupakan bahwa ayat tersebut berada pada surah ini dan
surah ini ". Pada riwayat Muslim lainnya : "… Sungguh dia telah mengingatkan aku sebuah ayat
yang saya telah jatuhkan penyebutannya dari surah ini dan surah ini "
Dan pada hadits Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Alangkah
buruknya seseorang diantara mereka yang mengatakan : Saya telah lupa ayat ini dan ayat ini,
tetapi sesungguhnya dia telah terlupakan ".
An-Nawawi mengatakan: "Pada hadits tersebut, menunjukkan tercelanya perkataan : lupa akan
ayat ini, dan celaan ini sifatnya suatu yang makruh, dan perkataan : saya terlupakan bukan suatu
yang tercela. Adapun larangan mengatakan : saya lupa ayat ini , dikarenakan mengandung sikap
memudahmudahkan dan melailaikan ayat-ayat tersebut.
Allah ta'ala berfirman: "Dan ayat-ayat Kami telah datang kepada-mu lalu kamu melupakannya"
Al-Qadhli 'Iyadh mengatakan: "Penafsiran yang paling tepat terhadap hadits tersebut bahwa
maknanya adalah celaan yang ditujukan pada keadaan si pengucap, bukan pada ucapannya, yakni
saya lupa keadaan tersebut, keadaan dalam mengahafal Al-Qur`an lalu diapun lalai hingga
melupakannya "
Masalah : Apakah hukum seseorang yang menghafal satu bagian dari Al- Qur`an lantas dia
melupakannya ?
Dan pengecualian dari itu juga, dengan hadits yang diriwayatkan oleh Malik didalam Al-Muwaththa'
beliau dari jalan Yahya bin Sa'id, bahwa beliau berkata : Saya dan Muhammad bin Yahya bin
Hibban pernah duduk , lalu Muhammad memanggil seseorang, dan mengatakan : "Kabarkanlah
kepadaku apa yang telah engkau dengan dari bapakmu". Orang itu berkata : "Bapaku telah
mengabarkan kepadaku bahwa dia telah mendatangi Zaid bin Tsabit, lalu berkata kepadanya :
Bagaiman pendapatmu mengenai seseorang yang membaca Al-Qur`an dalam tujuh hari". Zaid
berkata : "Suatu yang baik, namun saya membacanya dalam setengah buan atau dalam waktu
sepuluh hai lebih saya sukai daripadanya, dan tanyakan kepadaku mengapa demikian ? . Dia
berkata : Saya bertanya kepada engkau ? Zaid mengatakan : Agar saya dapat menghayatinya dan
memahaminya.
Faedah : Pada hadits Aisyah radhiallahu 'anha, menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur`an di
kamar seorang wanita yangtengah haidh atau nifas.
Dan yang dimaksud dengan bersandar disini adalah meletakkan kepala dikamar. Ibnu Hajar
mengatakan : Pada hadits ini menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur`an didekat tempat yang
najis, sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : "Dan barang siapa yang membawa mushaf , maka
sebaiknya dia membawanya diantara kainnya, yang terletak pada pelananya maupun barang
bawaannya. Dan tidak dibedakan apakah kain tersebut teruntuk bagi kaum laki-laki , wanita
ataukah anak kecil dan walau kain tersebut berada diatasnya atau dibawahnya, wallahu a'lam."
Faedah : Bolehnya membawa mushaf dengan meletakkannya pada saku, dan tidak diperbolehkan
bagi seseorang untuk masuk wc dengan membawa mushaf.
Akan tetapi dia harus meletakkan mushaf pada tempat yang sesuai dengannya dalam rangka
mengagungkan kitabullah dan menghormatinya. Akan tetapi jika terpaksa masuk ke wc dan takut
mushhaf tersebut akan dicuri jika ditinggal di luar, boleh baginya masuk wc dengan membawa
mushaf dengan alasan darurat.
8. Boleh membaca Al-Qur`an dari hafalannya bagi orang yang berhadats kecil.
Adapun orang-orang yang junub, maka tidak diperkenankan baginya membaca Al-Qur`an dalam
keadaan bagaimanapun. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ali radhiallahu 'anhu
yang mengatakan : "Dahulu Rasulullah biasa membacakan kepada kami ayat-ayat Al-Qur`an
selama beliau tidak dalam keadaan junub."
9. Bolehnya Membaca Al-Qur`an bagi perempuan yang sedang haidh maupun nifas.
Hal ini dikarenakan tidak dijumpai dalil yang menunjukkan secara langsung tentang pelarangannya,
akan tetapi harus membaca dengan tanpa menyentuh mushaf. Al-Lajnah Ad-Daimah menyatakan
:"Adapun bagi perempuan haidh maupun nifas, tidak mengapa membaca Al-Qur`an dengan tanpa
menyentuh mushaf. Ini menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama, dikarenakan tidak
tsabitnya dalil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang perempuan haid maupun nifas
untuk membaca Al-Qur`an."
10. Disunnahkan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur`an dengan siwak.
Yaitu dalam rangka beradab dengan Kalamullah. Maka sesungguhnya seorang qari' ketika
menghendaki untuk membaca Kalamulah, sangat baik baginya jika membarsihkan dan membuat
harum mulutnya dengan siwak atau dengan apa saja yang bisa dipakai untuk membersihkan mulut.
Tidak ada keraguan bahwa hal ini merupakan perilaku penuh adab terhadap kalamullah. Rasulullah
mencontohkan hal ini sebagaimana dalam hadits Hudzaifah yang menyatakan :"Apabila Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bangun untuk shalat tahajjud pada malam hari, beliau membersihkan
mulut beliau dengan siwak."
Dari ayat dan hadits diatas dapatlah kita ketahui tiga sighat al-isti'adzah, yaitu:
أ وذ هلل من اشيط ن ار ي
أ وذ هلل اس يع اعلي من اشيط ن ار ي من مهزه افخو افثو
أ وذ اس يع اعلي من اشيط ن ار ي
Dan disunahkan bagi orang yang membaca al-Qur`an untuk mengamal sighat isti'adzah yang
pertama dan juga yang berikutnya.
Faedah Isti'adzah: Untuk menjauhkan syaithan dari hati-hati manusia, disaat seseorang
membaca kitabullan hingga seseorang mencapai tadabbur Al-Qur`an dan dapat memahami
maknanya, dan mengambil manfaat dari Al-Qur`an tersebut. Karena akan ada perbedaan jikalau
anda membaca Al-Qur`an dengan hati khusyu' dan disaat anda membaca Al-Qur`an sementara
hati anda yang lalai. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Adapun membaca basmalah ketika memulai membaca Al-Qur`an merupakan amalan yang sunnah
saja. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas radhiallahu 'anhu dia berkata: " Pada suatu hari
setelah shalat dzhuhur, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada disisi kami dan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam tengah mengantuk lalu beliau mengangkat kepala beliau dan
tersenyum. Lalu kami bertanya kepada beliau, "Apa yang menyebabkan anda tertawa, wahai
Rasulullah?"
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: " Baru saja diturunkan kepadaku sebuah surat yang
mulia" , kemudian belaiu membaca " Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-kautsar -
telaga disurga. Maka shalatlah kepada Rabb-mu dan berkurbanlah. Sesungguhnya yang
membencimu adalah orang yang terputus " (Al-Kautsar), al-hadits".
Pertanyaan : Telah menjadi kebiasaan kaum muslimin ketika selesai membaca Al-Qur`an mereka
mengucapkan "Shadaqallahul 'Adziim" apakah ini ada dalilnya yang shahih?
Jawab : Tidak ada dalil untuk mengucapkan "Shaqallahul 'Adziim" ketika selesai membaca Al-
Qur`an. Walaupun ini amalan sebagian besar kaum muslimin, akan tetapi amalan mayoritas
bukanlah dalil bahwa amalan tersebut benar.
Faedah : An-Nawawi menyebutkan dalam kitab beliau Al-Adzkar, bahwa beliau berkata: "
Disunnahkan bagi orang yang membaca Al-Qur`an jika ia memulainya dari pertengahan surat
hendaklah ia memulainya dari awal kalimat-kalimat saling berkaitan sebagian dengan sebagian
lainnya. Demikian pula hendaklah ia berhenti pada tempat berhenti pada kalimat yang berkaitan,
atau pada akhir kalimat. Dan janganlah dia bergantung dalam masing-masing tempat berhenti ,
ketika memulai, atau ketika berhenti pada setiap juz, atau setiab hizb bacaan, atau pada setiap
'usyr juz. Karena sebagian besar tempat-tempat tersebut berada pada pertengahan kalimat …
Kemudian beliau berkata, " Dan semakna dengan pernyataan ini sesuai dengan perkataan ulama: "
Membaca Al-Qur`an dengan menyempurnakan setiap surat itu lebih utama dari pada sebagian
surah pada surah-surah yang panjang. Dikarenakan penyesuaian bacaan ayat telah tersamarkan
bagi mayoritas kaum muslimin atau bahkan paling banyaknya diantara mereka dia pada beberapa
keadaan dan tempat".
12. Disunnahkan membaca Al-Quran dengan tartil dan makruh membaca Al-quran
secara cepat.
Allah memerintahkan kepada kita untuk membaca Al-Qur`an secara tartil, sebagaimana firman-
Nya : “ Dan bacalah Al-Qur`an dengan tartil “ (Al-Muzammil : 4 ).
Adapun yang dimaksud dengan tartil dalam membaca adalah membaca dengan teratur dan pelan-
pelan serta dengan suara yang jelas tanpa salah. Ibnu Abbas ketika menjelaskan tafsiran surah ini
“ Dan bacalah Al-Qur`an dengan tartil “ (Al-Muzammil : 4 ).
Beliau mengatakan, “Membaca Al-Qur`an itu dengan sejelas-jelasnya.”
Catatan penting : Tidak boleh bagi seorang perempuan membaca Al-Qur`an dengan jahar,
sementara ada laki-laki lain (bukan muhrim) didekatnya. Karena dikhawatirkan akan
mendatangkan fitnah kepada wanita tersebut. Syariat Islam telah mengutamakan sadd adz-
dzaraa‟I – yakni menutup segala wacana – yang akan mengantarkan kepada suatu yang haram.
Faedah: Seahrusnyalah seseorang mengucapkan dan melnatunkan bacaan Al-Qur`an agar
memperoleh pahala. Adapun sebagian kecil kaum muslimin yang membaca Al-Qur`an tanpa
menggerakkan kedua bibirnya (yakni membaca dalam hati. pent) tidak akan mendapatkan
keutamaan membaca Al-Qur`an. Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dalam salah satu fatwa
beliau, mengatakan: “Tidak mengapa seseorang memandang Al-Qur`an tanpa membacanya
dengan tujuan tadabbur, menelaah dan memahami maknanya.
Makna dari ista‟jamal Qur‟an adalah kelu lidahnya sehingga tidak akan keluar dari lidahnya itu
ungkapan yang baik/fasih. An-Nawawi berkata tentang ini, “ Sebab perintah untuk menghentikan
bacaan Al-Qur`an ketika diserang rasa kantuk ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam pada hadits Aisyah Ummul Mukminin radiallahu „anha dimana beliau bersabda: “Apabila
seseorang dari kalian mengantuk ketika shalat, hendaklah ia pergi untuk tidur, dan jika salah
seorang dari kalian mengantuk sedangkan dia sedang shalat, bisa jadi dia berkehendak untuk
beristighfar (memohon ampun kepada Allah) namun malah memaki dirinya”.
Dan ini adalah merupakan pengarahan yang sangat lembut dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam,
karena seseorang jika ia dalam keadaan mengantuk, biasanya perkataannya akan tidak beraturan.
Sehingga seseorang yang membaca Al-Qur`an atau sedang shalat diperintahkan untuk menahan
shalat dan bacaanya, agar supaya dia tidak mendoakan keburukan kepada dirinya sedangkan dia
tidak menyadarinya. Dan agar Al-Qur`an terjaga dari perkataan yang keliru dan ucapan yang
asing.
Faedah : Sepatutnya bagi orang yang membaca Al-Qur`an untuk berhenti ketika dia sudah mulai
menguap mengantuk. Karena apabila dia meneruskan bacaanya dikhawatirkan akan keluar kata-
kata atau suara yang mengganggu dan menggelikan. Untuk itu hendaklah ia menjaga dan
mensucikan Al-Qur`an dari hal itu.
Akan tetapi hal ini bukan merupakan perkara yang wajib, namun sekedar sunnah saja. Jadi apabila
dilakukan maka akan mendapat pahala dan tidak mengapa jika meninggalkannya. Tetapi tidak
sepantasnya bagi orang yang beriman untuk meninggalkan dan lalai amalan-amalan ini. Adapun
dalil yang menunjukan bahwa hal itu hanyalah sunnah saja tidak sampai kederajat wajib adalah
bacaan Zaid bin Tsabit radhiallahu „anhu dihadapan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan
beliau tidak sujud ketika membaca ayat-ayat as-sajadah. Diriwayatkan dari „Atha‟ bin Yasar dari
Zaid bin Tsabit ia berkata: “Saya membacakan surat An-Najm dihadapan Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam dan aku tidak sujud ketika melalui ayat-ayat sajadah”.
Dan begitu pula yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab radhiallahu „anhu ketika beliau sedang
berkhuthbah diatas mimbar pada hari Jum‟at dan beliau membaca surat an-Nahl kemudian beliau
sujud ketika membaca ayat sajadah. Pda jum‟at berikutnya, dan ketika beliau membaca An-Nahl,
dan sewaktu berada pada ayat as-sajadah, beliau berkata: “Wahai sekalian manusia sesungguhnya
kita telah melewati ayat-ayat sajadah ketika membaca Al-Qur`an, , barang siapa yang melakukan
sujud tilawah maka akan mendapat pahala dan bagi yang tidak melakukanya tidak ada dosa
baginya”.
Dan Nafi‟ dari Ibnu Umar radhiallahu „anhu menambahkan, “Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan
kepada kita untuk sujud at-tilawah ketika kita membaca ayat-ayat sajadah kecuali jika kita
menginginkannya”.
Masalah: Apakah sujud at-tilawah ketika membaca Al-Qur`an itu diharuskan padanya syarat-
syarat sebagaimana sujud ketika shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam serta
harus dengan bersuci dan menghadap kiblat dan selainya?
BAB 2
ADAB-ADAB SALAM
Pertanyaan : Apabila seseorang memberikan kepada jama‟ah, apakah setiap orang dari jama‟ah
tersebut diwajibkan untuk menjawab salamnya atau cukup salah seorang dari mereka saja ?
Jawab : Apabila seseorang mengucapkan salam kepada jama‟ah, maka apabila setiap orang dari
jama‟ah itu menjawab, itulah yang lebih utama. Akan tetapi jika satu orang saja dari mereka yang
menjawab salam sedangkan yang lainnya diam, maka yang lainnya sudah tidak dituntut lagi.5
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, beliau berkata :”Salam seseorang dari jama‟ah sudah mewakili
jama‟ah jikalau mereka melewati lainnya dan salam salah seorang diantara semua yang duduk
sudah mewakili ”
2. Sifat salam.
a. Paling utama : Assalamua‟alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.
b. Kemudian berikutnya : Assalamua‟alaikum wa rahmatullah.
c. Dan yang selanjutnya : Assalamua‟alaykum.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu „anhu bahwasannya
seseorang melewati Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam sedangkan beliau sedang duduk dalam
majelis, maka laki-laki itu berkata :”Assalamu ‟alaikum!” Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda :”Dia telah mendapatkan sepuluh kebaikan.” Kemudian seorang laki-laki lain
berlalu sambil berkata :”Assalamu „alaikum warahmatullah” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda :”Dia telah mendapatkan dua puluh kebaikan.” Kemudian berlalu laki-laki yang lain dan
berkata :”Assalamua‟alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda :Dia telah mendapatkan tiga puluh kebaikan”.
Adapun sifat dari menjawab salam sama seperti ucapan orang yang memberikan salam atau
dengan yang lebih baik berdasarkan firman Allah Dan hendaklah menjawab salam dengan bentuk
yang plural atau yang lebih sempurna walaupun hanya kepada satu orang saja, dengan ucapan
“wa‟alaikum salam wa rahmatullahi wabarakatuh “.
Pertanyaan : Apabila seorang yang memberikan salam telah mengucapkan salam dengan
sempurna yakni sampai pada kalimat wabarakatuh, apakah disyariatkan untuk memberikan
tambahan setelahnya ketika menjawab salam untuk memenuhi zhahir ayat “Biahsani minha” –
yang lebih baik dari salam tersebut - seperti dengan menambahkan kalimat “wamagfiratuhu wa
ihsaanuhu “ serta lain sebaginya?
Jawab : Setelah kalimat wabarakatuh tidak ditmabahkan sesuatupun ketika menjawab salam
walaupun orang yang memberikan salam mengucapkannya sampai kalimat wabarakatuh. Ibnu
Abdil Barr berkata, “Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berkata, “Hentikan ucapan salam itu pada kalimat
al-barakah, sebagaimana penjelasan Allah ta‟ala tentang hamba-Nya yang shaleh. Allah berfirman:
“ Rahmat Allah dan barakah-Nya kepada kalian wahai penghuni rumah “ ( Hud : 73). Keduanya
tidak menyukai seseorang yang menambahkan ucapan salam setelah kalimat wabarakatuh.
3. Makruh hukumnya mengucapkan salam hanya dengan kalimat „Alaikas salam”
Beberapa hadits-hadist shahih yang menjelaskan tentang perkara ini diantaranya hadits yang telah
diriwayatkan oleh Jabir bin Salim Al-Hujaimiy radhiallahu „anhu. Bahwasannya ia berkata: “Saya
mendatangi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan mengucapkan „Alaika as-salam”. Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu mengatakan „Alaika As-Salam, akan tetapi
katakanlah As-salaamu „Alaika”.
Dan Abu Daud meriwayatkan dengan lafazh, “Aku mendatangi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
dan berkata, „Alaika As-Salam Wahai Rasulullah: “ Beliau bersabda: “Janganlah kamu mengatakan
„Alaika As-Salam, karena sesungguhnya „Alaika As-Salam itu untuk orang yang telah mati”.
Hadist-hadits diatas menunjukan kepada makruhnya mengucapkan salam dengan kalimat „Alaika
As-Salam”. Dan sebagian ulama merinci pembagian dalam penjelasan ini dan kami telah merasa
cukup dengan keterangan hadits yang sudah terang dan jelas.
4. Disunahkan mengulangi salam sampai tiga kali apabila salam itu disampaikan
kepada jama‟ah yang banyak, atau ketika ragu apakah mereka mendengar salamnya.
Ibnu Hajar berkata: “Perintah untuk menyebarkan salam merupakan argumen bahwa salam
dengan suara lirih tidaklah cukup, melainkan disyaratkan untuk dikeraskan, sedikitnya mesti
memperdengarkan awal salam dan jawabannya dan tidak cukup hanya sebatas isyarat dengan
tangan atau selainnya.
An-Nawawi berkata: “ Minimal ucapan salam hingga dikatakan telah menunaikan Sunnah
pengucapan salam adalah dengan mengeraskan suara, sehingga yang diberi salam mendengarkan
ucapan salam tersebut. Apabila dia tidak mendengar salam tadi, maka tidaklah dikatakan telah
mengucapkan salam, dan tidak diwajibkan menjawab salam baginya. Dan sedikitnya jawaban
salam yang wajib adalah dengan mengeraskan suara hingga terdengar oleh orang yang
mengucapkan salam. Apabila dia tidak mendengarnya, maka kewajiban menjawab salam belum
terpenuhi.
Dalam musnad Imam Ahmad terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud bahwasannya
beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya diantara tanda-
tanda hari kiamat adalah jika ucapan salam disampaikan hanya terhadap orang yang dikenalnya
saja”. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan: “Seseorang mengucapkan salam kepada seseorang
lainnya, dan tidaklah ia mengucapkan salam itu kecuali hanya kepada orang yang dikenalnya saja”.
7. Disunahkan bagi yang datang mendahului mengucapkan salam.
An-Nawawi berkata: “Adapun apabila mendatangi beberapa orang yang sedang duduk-duduk atau
yang duduk sendiri, maka hendaklah yang mendatangi memulai salam kepada terlebih dahulu
kepada setiap orang yang didatanginya baik seorang anak yang masih kecil atau orang yang sudah
dewasa, sedikit maupun banyak.
Masalah ketiga : Apabila bertemu dua orang yang sedang berjalan kemudian ada yang
menghalanginya seperti pohon atau pagar dan yang lainnya, apakah disyariatkan bagi mereka
untuk mengucapkan salam jika bertemu lagi?
9. Mengucapkan salam kepada wanita yang bukan mahram atau wanita asing.
Sebagian ulama melarang seorang laki-laki memberikan salam kepada wanita asing dan sebagian
membolehkannya jika dipercaya aman dari fitnah.
Sebagian ulama memberikan penjelasan lebih rinci berkaitan dengan perkara ini: Apabila wanita
asing tersebut adalah seorang wanita muda dan cantik maka ini tidak diperbolehkan, akan tetapi
jika kepada wanita yang sudah tua maka itu diperbolehkan.
Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Shaleh berkata, “Saya bertanya kepada
ayahku: “Bolehkan memberikan salam kepada perempuan?”, maka beliau menjawab: “Adapun jika
ia seorang wanita yang tua, maka itu dibolehkan dan jika ia seorang pemudi maka janganlah kamu
berbicara dengannya”.
Ibnul Qayyim memberi klarifikasi seputar permasalahan ini, yaitu memberi salam kepada wanita
yang telah tua, wanita-wanita mahram dan selain mereka dan inilah pendapat yang terpilih.
Sementara alasan larangan sudah jelas, yaitu untuk menutupi jalan-jalan yang akan mengarahkan
kepada perbuatan maksiat dan dikhawatirkan terjadinya fitnah”. Sedangkan yang diriwayatkan dari
sahabat semuanya terindikasi aman dari fitnah.
Misalnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hazm dari bapaknya dari Sahl dia berkata, “
… adalah seorang wanita yang mengirimkan barang dagangannya – korma di Madinah -, maka dia
membawa umbi-umbian dan menaruhnya disebuah bejana dan mengumpulkan biji-bijian dari
gandum. Apabila kami telah selesai mengerjakan shalat jum‟at maka kami berpaling pulang dan
mengucapkan salam kepadanya. Dan wanita tersebut menyodorkan kepada kami – diantara barang
dagangannya - dan kamipun senang dengan hal itu lalu kami tidaklah tidur siang dan makan siang
kecuali shalat Jum‟at”.
10. Disunnahkan memberi salam kepada anak-anak kecil.
Hal ini dalam rangka mengajari dan melatih mereka sejak dini tentang adab-adab syar‟i, dan yang
melakukannya telah meneladani Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiallahu „anhu
telah mengabarkan kepada kami, beliau mengatakan: “Aku berjalan bersama Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam dan kami melewati anak-anak yang sedang bermain kemudian beliau
mengucapkan salam kepada mereka”.
Ucapan salam kepada anak kecil akan menuntun jiwa seseorang kepada sifat tawadhu‟ dan
kelembutan dalam menghadapi anak-anak.
Masalah : Apabila seorang yang telah baligh (dewasa) mengucapkan salam kepada anak kecil atau
sebaliknya apakah hukumnya wajib untuk menjawab salam?
Jawab : Apabila seorang laki-laki dewasa memberikan salam kepada anak-anak, maka bukan
suatu kewajiban bagi anak-anak untuk menjawab salamnya dikarenakan anak kecil bukan orang
yang terkena kewajiban. Berbeda jika seorang anak kecil memberi salam kepada seorang yang
baligh, maka wajib bagi orang yang telah dewasa untuk menjawab salam dari anak yang masih
kecil dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
11. Memberikan salam kepada orang yang terjaga dan disekitarnya ada orang yang
sedang tidur.
Hendaknya orang yang memberikan salam untuk merendahkan suaranya sebatas untuk didengar
oleh yang terjaga dan tidak sampai membengunkan orang yang sedang tidur. Hal ini berdasarkan
hadits Miqdad bin Al-Aswad radhiallahu „anhu dan pada hadits tersebut, beliau berkata: “ … Setelah
kami memerah susu dan setiap orang dari kami meminum bagian mereka masing-masing dan kami
memberikan bagian Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam . Beliau – Miqdad –berkata: “Lalu beliau
datang diwaktu malam dan mengucapkan salam tanpa membangunkan yang sedang tidur dan
hendaklah memperdengarkan salamnya kepada yang tidak tidur …”
Pada hadits ini terdapat adab Nabawiyah yang sangat tinggi dimana beliau memperhatikan
keadaan orang yang sedang tidur agar tidak terganggu tidurnya dan pada saat yang bersamaan
beliau juga tidak melewatkan keutamaan salam !.
At-Tirmidzi telah mengeluarkan sebuah riwayat hadits tentang larangan memberi salam hanya
dengan isyarat, karena itu merupakan syiar dari ahlul Kitab. At-Tirmidzi menghukumi hadits ini
sebagai hadits yang gharib.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata pula tentang hadits ini, pada sanadnya terdapat kelemahan, akan
tetapi an-Nasaa`i meriwayat sebuah hadits dengan sanad yang jayyid dari Jabir secara marfu‟ :
“Janganlah kalian memberikan salam dengan caranya orang Yahudi, dikarenakan salam mereka
dengan isyarat kepala dan telapak tangan serta dengan isyarat”.
Namun hadits ini terbantahkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asma‟ binti Yaziid,
beliau berkata: “Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melambaikan tangannya kepada wanita sambil
menyampaikan salam”.
Akan tetapi hadits ini dipahami bahwa lambaian tangan beliau sambil pengucapan salam. An-
Nawawi mengatakan, setelah menyebutkan hadits At-Tirmidzi: “Hadits ini kemungkinannya, bahwa
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menyatukan antara lafazh salam dengan isyarat beliau dengan
tangan.
Dan yang menguatkan hal ini , riwayat Abu Ad-Darda` pada hadits ini, dan Al-Hafidz mengatakan :
“Larangan mengucapkan salam dengan memakai isyarat berlaku kusus bagi yang mampu untuk
melafazhkan salam secara indera dan syara‟. Jika tidak maka mengucapkan salam dengan isyarat
disyariatkan bagi seseorang yang sibuk dengan suatu kesibukan yang menghalanginya dari
pengucapan lafazh jawaban salam, seperti seorang yang tengah shalat, seorang yang jauh ataukah
seseorang yang busi demikian pula bagi seseorang yang tuli “
16. Bolehnya mengucapkan salam kepada seseorang yang sedang shalat dan
bolehnya menjawab – bagi yang shalat – dengan isyarat.
Suatu yang diperbolehkan diantaranya mengucapkan salam kepada seseorang yang sedang shalat.
Hal ini shahih dari pembenaran Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bagi para sahabat beliau. Dimana
mereka – para sahabat – mengucapkan salam kepada beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
sementara beliau sedang mengerjakan shalat, dan beliau tidak mengingkari hal itu. Pembenaran
beliau ini menunjukkan bolehnya amalan tersebut.
Hadits-hadits ini dan juga hadits lainnya menunjukkan bolehnya mengucapkan salam kepada
seseorang yang tengah mengerjakan shalat, dan dia membalasnya hanya dengan isyarat.
17. Boleh memberi salam kepada orang yang sedang membaca Al-Qur`an dan
wajib untuk menjawabnya.
Memberi salam kepada orang yang sedang disibukan dengan membaca Al-Qur`an sebagian ulama
melarangnya dan sebagian yang lain membolehkannya. Yang benar adalah pendapat yang
membolehkannya. Karena tidak ada dalil yang dapat mengeluarkan seseorang yang sedang
membaca Al-Qur`an dari keumuman nash-nash syara‟ yang menganjurkan untuk menyebar salam
dan yang menunjukkan wajibnya membalas salam.
Seseorang yang sedang menyibukkan dirinya dengan dzikir yang paling tinggi nilainya yakni
membaca Al-Qur`an, buka penghalang baginya untuk tidak diberi salam dan wajibnya membalas
salam tersebut juga tetap wajib baginya.
Al-Lajnah Ad-Daimah menyatakan dalam salah satu fatwa pada sebuah pertanyaan : Bolehnya
seorang yangmembaca Al-Qur`an untuk memulai salam dan wajib baginya untuk menjawab salam.
Dikarenakan tidak ada satupun dalil syar‟I yang shahih yang melarang hal itu. Dan hukum asalnya
adalah wajibnya membalas salam kepada seseorang yang mengucapkan salam hingga ada dalil
yangmengkhususkan hal itu.
18. Makruh mengucapkan salam kepada orang yang sedang berada dalam WC.
Dalil yang menunjukkan larangan ini adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar
radhiallahu „anhu, bahwasannya seorang melalui Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam,
sedangkan beliau sedang kencing, lalu orang tersebut mengucapkan salam kepada beliau dan
beliau tidak menjawabnya”.
Begitu juga jika ia masuk kedalam rumahnya yang tidak ada orang lain didalam rumah kecuali
keluarganya, maka disunnahkan bagi anda untuk mengucapkan salam kepada mereka juga.
Diriwayatkan dari Abi Az-Zubair bahwa ia mendengar Jabir berkata, “Jika seseorang masuk
kedalam rumahnya, hendalklah ia mengucapkan salam kepada keluarganya untuk mengaharap
keberkahan dan kebaikan dari sisi Allah ta‟ala”.
Mengucapkan salam ketika masuk kerumah ini bukanlah merupakan kewajiban. Ibnu Juraij
berkata, “Aku berkata kepada Atha‟, “Apakah wajib mengucapkan salam ketika masuk atau keluar
rumah?” Beliau menjawab, “Tidak, karena tidak satupun atsar yang menyebutkan tentang wajib
ucapan salam tersebut, akan tetapi disukai jika dilakukan dan hendaklah tidak melupakannya”.
Demikianlah bahwa tidak ada dalil tentang hal itu, akan tetapi untuk mencari keutamaan,
sepantasnyalah bagi seorang muslim yang telah mengetahui keutamaanya untuk melakukannya.
Dan diantara keutamaannya adalah tercantum pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah
radhiallahu „anhu, beliau berkata: “Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Tiga orang yang
seluruhnya dijamin oleh Allah hidupnnya dan jika mati dijamin oleh Allah masuk surga, yaitu orang
yang jika masuk kedalam rumah dengan mengucapkan salam, maka Allah ta‟ala menjamin orang
tersebut. Dan barang siapa yang keluar untuk pergi ke masjid maka Allah t‟aala menjamin orang
tersebut. Dan seseorang yang keluar dijalan Allah, maka Allah menjamin orang tersebut”.
20. Menjawab salam kepada orang yang mengirimkan salam kepadanya dan kepada
yang dititipi salam.
Perkara ini telah diterangkan didalam As-Sunnah. Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya Ayahku menitipkan salam kepada anda “, maka
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ ‟Alaika dan „ala Abiika as-salam”.
Dan pada hadits „Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu „anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Jibril menitipkan salam kepadamu” Aku berkata,
“Wa‟alaihis-salam warahmatullah”.
Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan: “Rasulullah mengingkari shalatnya namun beliau tidak
mengingkari salamnya yang diakhirkan setelah melaksanakan shalat tahiyyat al-masjid”.
Saya berkata: “Ini adalah ketentuan bagi orang yang masuk kemasjid dan di dalamnya ada
sekelompok orang yang sedang duduk-duduk atau ada halaqah ilmu atau selainnya. Maka yang
disunahkan baginya adalah mendahulukan dua rakaat shalat tahiyyat al-masjid, kemudian setelah
selesai shalat barulah ia mendatangi mereka dan menyampaikan salam kepada mereka. Adapun
jika masuk masjid sementara orang-orang tersebut masih melakukan shalat, hendaklah dia
memberikan salam kepada mereka terlebih dahulu baru melaksanakan shalat tahiyyat al-masjid
atau melakukan apa yang telah ditetapkan padanya. Wallahu a‟lam.
22. Makruh mengucapkan salam ketika mendengarkan khutbah jum‟at.
Dalil dari masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhialallahu „anhu
bahwasannya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Jika kamu mengatakan kepada
temanmu pada hari Jum‟at, “Diamlah!” sementara imam masih menyampaikan khutbahnya maka
kamu telah lalai”.
Berdasarkan hal ini maka tidak disyariatkan memberikan salam kepada siapapun ketika khatib
masih menyampaikan khutbah, demikianlah yang telah diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam yakni agar semua makmum diam ketika sedang mendengarkan khutbah imam
pada hari Juma‟at.
Masalah : “Apabila seseorang masuk ke masjid pada hari jum‟at kemudian mengucapkan salam
kepada jama‟ah yang ada didalamnya, apakah wajib bagi makmum yang berada didalam untuk
menjawab salam tersebut?
Jawab : Al-Lajnah Ad-Daa`imah menyatakan: “Berjabatan tangan saja tanpa berbicara. Kemudian
menjawab salam ketika imam istirahat/selesai khutbah pertama. Apabila dia mengucapkan salam
sementara imam sedang khuthbah yang kedua, maka anda menjawab salamnya setelah khathib
menyelesaikan khuthbah yang kedua”.
Dalil maslaah ini adalah hadits Ka‟ab bin Malik radhialahu „anhu yang sangat panjang ketika beliau
menyelisihi tidak ikut berjihad bersama Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan taubat beliau
kepada Allah. Pada hadits tersebut Ka‟ab berkata: “Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah
melarang kaum muslimin untuk berbicara kepada salah seorang dari tiga orang yang telah
menyelisihi beliau, maka orang-orang pun meninggalkan kami dan mereka berubah sikap mereka
kepada kami. Sehingga bumi ini terasa sempit bagi kami, tidaklah sebagaimana yang telah saya
ketahui. Kamipun berada dalam keadaan demikian selama lima puluh malam. Adapun kedua
temanku, keduanya berdiam diri dan duduk dirumah mereka berdua menangis.
Sedangkan saya, saya adalah yang paling muda dan paling gigih diantara mereka. Sayapun
menghadiri shalat bersama kaum muslimin, dan berada dipasar, namun tidak seorangpun yang
menyapaku. Dan saya mendatangi Rasululah Shallallahu „alaihi wa sallam dan mengucapkan salam
kepada beliau, sementara beliau masih berada ditempat duduk beliau selepas mengerjakan shalat.
Maka saya bertanya kepada diriku: Apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya menjawab
salamku atau tidak ?
25. Disunnahkan untuk mengucapkan salam ketika bubar dari majelis.
Sebagaimana disunnahkannya mengucapkan salam ketika hendak mendatangi suatu majlis maka
begitu pula disunnahkan untuk menyampaikan salam ketika hendak meninggalkan majlis.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu berkata: “Jika seseorang mendatangi majlis,
maka hendaklah ia mengucapkan salam ketika hendak berdiri maka hendaknya dia mengucapkan
salam. Dan salam yang pertama tidaklah lebih utama dari salam yang terakhir “
BAB 3
ADAB-ADAB MEMINTA IZIN
Allah ta‟ala berfirman :
َحِب َحِب َحِب َّل َحِب
ين ءَح َحمنُسوْب َح تَح ُسخلُسوْب ُسيُسوتً َح َحري ُسيُسوت ُسك َحح َّل َّٰت تَحستَحأا ُسسوْب َح تُس َحسلِّ ُس وْب َحلَح ٰى أَحىل َح
ٰيَحأَحيُّد َح ٱاذ َح
“ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk kedalam rumah selain rumah kalian
hingga kalian meminta izin “( An-Nuur :27)
Allah ta‟ala berfirman :
ين َحَل يَح لُسغُسوْب ٱحلُسلُس َح َحِبم ُس َّل َحِب ست َحِبذ ُس َّل َحِب َحِب َّل َحِب
نك ين َحملَح َحكت أَحيَٰحنُس ُسك َحٱاذ َح
اك ُس ٱاذ َح ين ءَح َحمنُسوْب ايَح َٔح
ٰيَحأَحيُّد َح ٱاذ َح
“ Wahai orang-orang yang beriman, hendaknya para budak kalian dan juga anak-anak yang belum
baligh meminta izin kepada kalian “( An-Nuur : 58)
Dan dari Rib‟i, dia berkata: “Telah bercerita kepada kami seorang dari bani „Amir, sesungguhnya
dia meminta izin kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam sementara beliau berada dirumahnya,
maka dia berkata: “A‟aljj, Maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepada pembantunya:
“Keluarlah dan ajarkan kepadanya adab meminta izin, maka ia mengatakannya: “Katakanlah
Assalaamu ‟alaikum, bolehkah saya masuk?”
Dan dari Ibnu Abbas berkata, “Umar meminta izin kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan
beliau mengucapkan: “Assalamu ‟ala Rasulillah, Assalamu ‟alaikum, apakah Umar diperbolehkan
masuk?”
2. Hendaklah orang yang meminta izin untuk berdiri disebelah kanan atau sebelah kiri
pintu.
Hal ini dimaksudkan agar dia tidak mengarahkan pandangannya kepada tempat-tempat yang tidak
halal baginya dirumah orang tersebut, atau sesutau yang dibenci oleh sipemilik rumah, jikalau dia
mengarahkan penglihatannya kepada sesuatu yang ada dirumahnya. Karena sesungguhnya
meminta izin itu disyariatkan untuk menjaga pandangan.
Dari Abdullah bin Busr, beliau berkata: “ Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
mendatangi kediaman suatu kaum, beliau tidak menghadap kearah pintu rumah dengan wajahnya,
akan tetapi beliau memelingkan wajahnya kearah kanan atau kiri, dan berkata: “Assalamu
‟alaikum, assalaamu ‟alaikum”. Hal itu dikarenakan rumah kediaman disaat itu belum memiliki
penghalang seperti daun pintu.
Dan dari Huzail, beliau berkata: “ Seseorang telah datang dan berdiri ditengah-tengah pintu rumah
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam untuk meminta izin, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
berkata kepadanya: “ Hendaklah kamu melakukan begini dan begini, karena disyariatkan meminta
izin itu karena menjaga pandangan”.
3. Haram hukumnya bagi seseorang memandang kedalam rumah yang bukan rumahnya
tanpa izin.
Meminta izin tidak disyariatkan kalau bukan karena pandangan, barangsiapa yang telah berlebihan
untuk memandang kepada apa-apa yang tidak dihalalkan baginya dengan tanpa izin, lalu kedua
matanya dicungkil, tidak ada qishash dan denda padanya. Sandaran dalil hal itu sebagaimana yang
diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bahwasannya
beliau bersabda: “Barangsiapa yang dengan sengaja menengok atau memandang kedalam rumah
orang lain tanpa seizin pemiliknya, maka halal bagi mereka untuk mencukil matanya”.
Abu Hurairah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Apabila
seseorang menengok atau melihat kedalam rumahmu tanpa izin dari kamu, lalu anda melemparnya
dengan batu kerikil hingga tercungkil matanya, maka tidak ada dosa bagi kamu”.
Dan dari Anas bin Malik radhiallahu „anhu bahwa seseorang memandang kepada sebagian kamar
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam maka Rasulullah menghampirinya dengan membawa anak panah
atau beberapa anak panah, dann aku melihat kepada beliau yang seolah-olah hendak
menikamnya”.
Imam Malik berkata: “Meminta izin itu batasnya tiga kali, tidak disunnahkan bagi seseorang utnuk
menambahnya walaupun cuma sekali, kecuali bagi orang yang benar-benar yakin kalau yang
dimintai izin itu belum mendengar suaranya, maka aku berpendapat boleh untuk menambahnya”.
5. Jangan mengatakan “ saya “, saja ketika meminta izin jika di tanya “Siapakah ini “
Dikarenakan jika orang yang meminta izin hanya mengatakan “saya”, tidak akan mengidentifikasi
yang meminta izin. Dengan begitu kesamaran tetap akan menyertai keberadaannya. Dan
perkataannya : “ Saya “ tidak berarti apapun juga.
Hukum makruh ini dapat diperoleh dari hadits Jabir radhiallahu „anhu, beliau berkata: “ Saya
mendatangi Rasulullah “ untuk membayar hutang ayahku, kemudian aku mengetuk pintu rumah
beliau, beliau bertanya, “Siapa itu?” Aku berkata „saya, maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “saya, saya” sepertinya beliau tidak menyukai jawaban tersebut.”
Dan tidak mengapa jika orang yang meminta izin mengatakan: “ saya, sifulan “. Diriwayatkan dari
Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya, beliau berkata: “Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam keluar dan
pergi kemasjid, sedangkan Abu Musa sedang membaca, maka beliau bertanya, siapa ini? Aku
menjawab “Saya, Buraidah yang menjadi tebusanmu “ Maka beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
berkata, “Sungguh orang ini telah diberi senandung seperti senandung keluarga Daud”.
Dan tidak mengapa jika seorang yang minta izin untuk mengatakan: “ saya Abu fulan “,
sebagaimana hadist yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Bahwasannya Ummu Hani‟ datang
kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pada tahun Futuh Makkah. Dan dia mendapati beliau
sedang mandi, dan Faatimah anak beliau menutupi beliau. Ummu Hani‟ mengatakan: “ maka saya
mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam”. Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bertanya: “Siapakah ini ?” Ummu Hani‟ berkata: “ Saya Ummu Hani‟ binti Abi Thalib… al-
hadits”
Dan tidak mengapa mengatakan: “ Saya Al-Qadhi fuan, atau Asy-Syaikh fulan, apabila dengan
nama tidak sukup mengidentifikasi karena kesamarannya. Seperti yang dikatakan oleh An-Nawawi.
Catatan penting : Jika nama orang yang meminta izin tidak dikenal karena adanya kesamaan
nama dengan orang lain dan sulit untuk membedakan jika sekedar mendengar suaranya saja,
maka dianjurkan bagi orang yang meminta izin untuk menghilangkan kesamaran agar bisa dikenal.
Hal ini akan semakin jelas dengan hadits berikut : Setelah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
berkhuthbah di hadapan para wanita pada hari „Ied, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pulang
menuju kearah rumah beliau. – Orang yang meriwayatkan hadits ini mengatakan – : “Ketika Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam berjalan menuju kerumah beliau, Zainab istri Ibnu Mas‟ud datang
meminta izin kepada beliau. Lalu dia mengatakan: ”Wahai Rasulullah, ini Zainab.” Maka beliau
berkata :”Zainab yang mana?” Dia berkata :”Zainab istri Ibnu Mas‟ud.” Beliau berkata :”Ya,
persilahkan dia masuk!”, maka beliau memberi izin kepada Zainab…al-hadits.
6. Sudah sepantasnya bagi orang yang meminta izin untuk tidak mengetuk pintu terlalu
keras.
Karena hal ini termasuk adab yang buruk. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau berkata : “Pintu
kediaman Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam diketuk dengan menggunakan kuku.”
Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan :”Adab ini dilakukan oleh para sahabat sebagai gambaran adab
yang tinggi, adab ini adab yang terpuji bagi seseorang yang berada didekat pintu, adapun yang
jauh dari pintu, sehingga suara ketukan pintu dengan kuku tidak terdengar, maka sebaiknya
mengetuk pintu lebih keras lagi sesuai yang dibutuhkan.”
7. Jika pemilik rumah menyuruh untuk kembali, maka orang yang meminta izin harus
kembali.
Hal ini berdasarkan firman Allah :
يل اَح ُسك ُس ٱرَحِب عُسوْب فَحٱرَحِب عُسوْب ُسى َحو أَحزَحك ٰى اَح ُسك َحِب َحِب
َح ن ق َح
“Dan apabila dikatakan kepada kalian, kembalilah. Maka kalian kembalilah. Yang demikian itu lebih
menyucikan bagi kalian “ ( An-Nuur : 28 ).
Qatadah mengatakan : “ Sebagian kaum Muhajirin berkata: “Sungguh aku umurku telah tersita
semuanya pada ayat ini. Dan tidaklah saya mendapati ayat ini, ketika saya meminta izin kepada
para saudaraku, lalu mereka mengatakan kepadaku: “Pergilah “ maka akupun pergi, sementara
aku dalam keadaan geram.
8. Tidak diperbolehkan untuk memasuki rumah yang didalamnya tidak ada seorangpun.
Dikarenakan hal itu meruapakan sikap sewenang-wenang terhadap hak orang lain. Ibnu Katsir
mengatakan: “ Hal itu dikarenakan merupakan pengguaan milik orang lain tanpa izinnya. Apabila
dia menghendaki niscaya dia mengizinkanya dan jika tidak maka dia tidak akan mengizinkannya “
9. Apabila seseorang diundang atau diutus kepada seseorang, maka tidak diperlukan
baginya minta izin.
Hal itu dikarenakan bahwa undangan dan diutusnya seseorang untuk menjemputnya sudah
terkandung padanya permintaan izin. Maka undangan atau seseorang yang menjemputnya sudah
mewakili permintaan izin.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, bahwasannya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda, “Seseorang telah diutus kepada seseorang maka itulah izin baginya”.
Dan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu juga, bahwasannya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “Apabila seseorang mengundang kalian untuk makan, kemudian dia mengutus seseorang
sebagai utusannya, maka itu merupakan izin baginya”.
Ulama mengecualikan pada masalah ini, jika seseorang terlambat menghadiri undangan pada
waktunya, atau pada waktu itu ia berada pada tempat yang terkondisikan baginya untuk meminta
izin, maka dia mesti meminta izin.
10. Meminta izin ketika ingin berdiri dan meninggalkan dari majlis.
Yang demikian itu merupakan adab nabawiyah yang mulia. Pengunjung diarahkan untuk memiliki
adab ketika hendak meninggalkan majlis. Maka, sebagaimana anda meminta izin ketika hendak
masuk, begitu pula hendaknya engkau meminta izin ketika hendak meninggalkan majlis.
Kemungkinan alasan diharuskannya hal itu, karena ditakutkannya mata akan melihat hal-hal yang
tidak halal untuk dilihat, atau minimal hal-hal yang tidak disukai. Diriwayatkan dari Ibnu Umar
radhiallahu „anhu, beliau mengatakan: Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ”Jika salah
seorang diantara kalian mengunjungi saudaranya kemudian duduk didekatnya, janganlah berdiri
sampai dia memberikan izin kepadanya.”
Didalam hadits tersebut terkandung peringatan untuk beradab dengan adab yang mulia, yaitu
orang yang berkunjung sepantasnya tidak berdiri sampai diberi izin oleh tuan rumah. Kebanyakan
manusia di sebagian negeri-negeri Arab talah mengabaikan adab-adab nabawiyah yang mulia ini.
Anda akan mendapati mereka keluar dari majlis tanpa meminta izin, tidak sebatas ini saja bahkan
juga dengan tanpa salam. Yang seperti ini jelas-jelas telah menyelisihi adab-adab Islam lainnya,
demikian sebagaiman dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani.
11. Meminta izin kepada ibu atau saudara perempuan.
Yaitu agar penglihatan tidak melihat hal-hal yang dilarang, misalnya aurat, atau hal-hal lainnya
yang tidak disenangi kaum wanita jika diketahui oleh selain mereka.
Diriwayatkan dari Muslim bin Nadzir mengatakan :”Seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah
:”Apakah aku harus meminta izin kepada ibuku?” Hudzaifah mengatakan: ”Jika engkau tidak
meminta izin kepada ibumu, engkau akan melihat hal-hal yang engkau benci.”
“Atha‟ mengatakan :”Aku bertanya kepada Ibnu Abbas :”Apakah aku harus meminta izin kepada
saudara wanitaku?” Maka dia menjawab :”Ya.” Kemudian dia berkata lagi, “Aku memiliki dua
saudara wanita dalam rumahku dan aku menjaganya serta memberikan nafakah kepada keduanya,
apakah aku juga harus meminta izin kepada keduanya?”
Ibnu Abbas menjawab, “Ya, apakah kau akan senang jika terlihat olehmu aurat mereka?!”
12.Disunnahkan memberikan kabar kepada istri ketika akan masuk rumah.
Yaitu agar suami tidak melihat istrinya dalam keadaan yang dapat membuatnya marah, atau istri
sedang melakukan sesuatu yang tidak ingin dilihat oleh suaminya, sementara dia dalam keadaan
tersebut.
Dari Zainab istri Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anha, dia berkata: “ Jika Abdullah datang dari
menyelesaikan suatu keperluan, maka ia berdehem karena khawatir kami dalam keadaan yang ia
tidak sukai”.
Ahmad berkata, “Jika dia masuk kerumah keluarganya, maka di mendehem,”
Dan Muhanna mengatakan: “Ahmad ditanya tentang seseorang yang masuk kerumahnya apakah
diharuskan baginya untuk meminta izin? Ahmad menjawab, “Hendaklah ia mengeraskan suara
sendalnya jika ia masuk”.
13. Para pembantu dari kalangan budak dan anak-anak yang belum baligh, diharuskan
bagi mereka untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga keadaan :
Pertama : Sebelum shalat fajar
Kedua : Waktu tidur siang sebelum dzuhur
Ketiga : Setelah shalat isya
Dan selain dari ketiga waktu tersebut maka tidak ada dosa bagi mereka. Ibnu Katsir berkata,
“Maksudnya apabila mereka masuk pada selain dari tiga waktu diatas, maka tidak ada dosa bagi
kalian jikalau kalian membolehkan mereka, dan juga mereka tidak berdosa apabila melihat sesuatu
diselain dari tiga waktu tersebut.
Dikarenakan mereka telah diberikan izin untuk masuk, dan dikarenakan mereka adalah orang-
orang yang selalu hilir mudik ditengah-tengah kalian yakni sebagai pembantu dan lain sebagainya,
…[ kemudian beliau menyebutkan atsar Ibnu Abbas ]: Dari „Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa dua
orang laki-laki bertanya kepada beliau tentang adab meminta izin pada tiga aurat yang telah
dijelaskan oleh Allah didalam Al-Qur`an.
Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya Allah itu Maha menutupi aurat hamba-Nya, dan Dia menyukai
jika hambanya menutup aurat. Sedangkan kaum muslin saat itu tidak mempunyai penutup didepan
pintu-pintu kediaman mereka, dan tidak juga penghalang dirumah mereka. Terkadang seseorang
terkejutkan oleh pembantu, anaknya atau anak angkat yang berada dalam asuhannya, sementara
dia lagi bercengkerama dengan isterinya. Maka Allah memerintahkan kepada mereka untuk
meminta izin pada tiga waktu aurat yang telah disebutkan Allah. Kemudian Allah lalu
memerintahkan untuk menghalangi, dengan memudahkan rizki bagi mereka, Dan mereka lantas
menjadikan penghalang/tirai dan juga membuat dinding penghalang. Kemudian kaum muslimin
menganggap bahwa yang seperti itu sudah cukup bagi mereka dari permintaan izin yang mereka
telah diperintahkan sebelumnya.
– Dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah dua orang muslim yang saling
berjumpa, kemudian keduanya saling berjabat tangan kecuali keduanya akan diampuni sebelum
mereka berpisah “
Qatadah mengatakan : “ Saya bertanya kepada Anas : Apakah saling berjabat tangan sudah
menjadi amalan dikalangan para sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ? Beliau menjawab : Iya
“
Dan juga pada kisah taubat dari Allah bagi Ka‟ab, beliau berkata : “ Saya masuk kedalam masjid,
yang ternyata Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah berada didalamnya. Lalu thalhah bin
„Ubaidullah berdiri berjalan bergegas menjumpaiku hingga menjabat tanganku dan mengucapkan
selamat kepadaku “
Dan pada hadits Anas radhiallahu „anhu, ketika penduduk Yaman datang, Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Penduduk Yaman telah datang dan mereka adalah orang-orang yang lebih
lembut hatinya dibandingkan dengan kalian “. Dan merekalah yang pertama kali datang dengan
berjabat tangan.
Dan dari hadits Al-Barra` bin „Azib beliau mengatakan : “ Diantara kesempurnaan ucapan salam
danahdenganmenjabat tangan saudaramu “
Berjabat tangan adalah sunnah disaat bertemu dan merupakan penegas ucapan salam. Disebutkan
didalam Al-Adab Al-Mufrad : “ Ketahuilah bahwa sesungguhnya berjabat tangan ketika bertemu
merupakan penyerta dan penegas ucapan salam dari lisan. Karena ucapan salam adalah
pemberitahuan keamanan dari ucapan sementara berjabat tangan laksana penyetujuan,
pengulangan dan penegasan salam yang diucapkannya, dengan demikian kedua yang saling
bertemu merasa dalam keadaan aman dari temannya masing-masing.
Dan setelah pencantuman beberapa atsar yang menunjukkan bolehnya berjabat tangan, maka
janganlah kami hingga menyangka ada seorang muslim yang masih pelit bagi dirinya sendiri untuk
mendapatkan kebaikan atau cenderung kepada suatu amalan sunnah !
Masalah : Dan telah menjadi kebiasan kaum manusia untuk menjabati tnagan imam shalat
mereka atua yang berada disamping mereka selepas mengerjakan shalat-shalat wajib. Apakah
perbuatan itu suatu yang disyariatkan ?
Jawab : Berjabat tangan selepas mengerjakan shalat yang wajib bukan suatu yang disyariatkan
dan sama sekali tidak pernah terjadi di zaman Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , para Khalifah
Rasyidin dan tidak juga oleh para sahabat beliau yang mulia. Da melakukan hal itu merupakan
pengada-adaan didalam agama Islam yang tidak diperbolehkan oleh Allah ta‟ala.
Al-Lajnah Ad-Daa`imah didalam salah satu fatwanya menyatakan : Apabila seseorang tersebut
tidak berkesempatan berjabat tangan dengannya sebelum pengerjaan shalat, lalu dia menjabat
tangannya setelah mengerjakan salam, baik setelah shalat wajib atau sunnah, baik berada dikanan
atau kirinya. Akan tetapi jikalau setelah pengerjaan shalat wajib maka setelah membaca zikir-zikir
yang disyariatkan sewtelah shalat. Adapun salam makmu kepada imam seelah mengerjakan shalat,
kami tidak mengetahui ada nash khusus yang menerangkannya.
Faedah : Diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad dari riwayat Salamah bin
Wirdan, beliau mengatakan : “ Saya telah melihat Anas bin Malik radhiallahu „anhu mengucapkan
salam kepada kaum muslimin, lalu beliau bertanya kepadaku, siapakah anda ? Saya menjawab :
Maula bani Laits. Lantas beliau mengusap kepalaku seraya mengatakan: Baarakallahu fiika “
Berdasarkan atsar diatas, menunjukkan disunnahkannya mengucapkan salam kepada anak-anak
kecil dan menjabat tangan mereka dimana hal tersebut menunjukkan kasih sayang kepada
mereka, perhatian bagi mereka dan membiasakan mereka dengan perbuatna yang baik. Dan
mengusap kepala anak kecil yang dilakukan oleh Anas radhiallahu „anhu, menunjukkan kecintaan
dan kasih sayang beliau kepada anak-anak kecil.
Ibnu Abdil Barr mengatakan : “ Sabda beliau : Sesungguhnya saya tidak menjabat nagan wanita,
menunjukkan bahwa beliau tidak membolehkan seorang laki-laki menyentuh wanita yang tidak
dihalalkan baginya, tidak menyentuh wanita tersebut dengan tangannya dan tidak pula menjabat
tangannya “
Faedah : Sebagian kaum muslimin berkeyakinan bahwa diperbolehkan menjabat tangan wanita
yang bukan mahram dari baling penghalang atau semisalnya. Dan ini merupakan keyakinan yang
keliru. Tidak diperbolehkan menjabat tangan wanita yang bukan mahram secara mutlak.
Benar ada beberapa atsar yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , bahwa beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam telah membai‟at kaum wanita dari balik pakaian beliau. Akan tetapi
kesemua riwayat tersebut adalah riwayat-riwayat yang mursal yang sebagiannya tidak dapat
menguatkan sebagian lainnya untuk menolak hadits-hadits yang shahih yang dengan jelas
menerangkan penolakan jabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
Al-Albani mengatakan : “ Dan telah diriwayatkan hal itu dalam beberapa riwayat lainnya, akan
tetapi kesmeua riwayat tersebut mursal. Al-Hafidz telah menyebutkanya didalam Al-Fath ( 8 / 488
). Dan tidak satupun riwayat tersebut yang dapat dijadikan sandaran, terlebih setelah menyelisihi
riwayat yang lebih shahih …
3. Disunnahkan untuk tidak melepas tangan disaat berjabat tangan hingga yang dijabat
tangani telebih dahulu melepas tangannya.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh anas bin Malik radhiallahu „anhu, beliau mengatakan : “
Apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bertemu dengan seseorang beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam akan menjabat tangannya dan tidak melepas tangan beliau hingga orang tersebut yang
pertama kali melepas tnagannya … al-hadits “
Dan pada hadits tersebut menunjukkan disukainya berjabat tangan dan melamakan menggenggam
tangan yang dijabati namun tidak smapai memberatkan.
Masalah : Dan seandainya dua orang slaing berjabat tangan dan keduanya melamakan
menggenggam tangan, maka siapakah yang lebih dahulu melepaskan tangannya ?
Jawab : Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “ Acuannya jikalau telah memprediksikan bahwa
yang lainnya akan melepaskan pegangannya maka dia tetap menggenggam. Jikalau tidak maka
sekiranya masing-masing yang berjabat tangan lebih menyenangi untuk saling menggenggam
tangan, maka dapat untuk terus bergenggaman tangan. Akan tetapi ulasan Abdul Qadir adalah
ulasan yang baik, bahwa yang lebih dahulu melepas adalah yang memulai.
4. Berdiri untuk mengucapkan salam kepada seseorang yang datang
Berdiri menyambut seseorang terbagi menjadi tiga bentuk :
Pertama : Berdiri diatas kepala orang yang merupakan perbuatan penguasa yang sombong.
Kedua : Berdiri kepada seseorang disaat datang menghampirinya. Dan ini perbuatan yang
diperbolehkan.
Ketiga : Berdiri ketika melihatnya, dan ini perbuatan yang masih diperselisihkan hukumnya.
Adapun dalil bentuk yang pertama : Hadist yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah
radhiallahu „anhu : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tengah menderita sakit, maka kami
mengerjakan shalat dibelakang beliau sementara fbeliau mengerjakannya sambil duduk. Dan Abu
Bakar memperdengarkan takbir beliau Shallallahu „alaihi wa sallam kepada para makmum. Maka
beliau menoleh kearah kami dan melihat kami dalam keadaan berdiri, maka beliau mengisyaratkan
agar kami duduk maka kamipun duduk. Kemudian kami mengerjakan shalat bersama beliau sambil
duduk. Setelah mengucapkan salam, beliau bersabda : “ Hampir saja tadi kalian melakukan
perbuatan orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri kepada para raja-raja mereka,
sementara raja-raja tersebut duduk. Maka janganlah kalian melakukannya. Ikutilah imam kalian ,
apabila ima shalat berdiri maka shalatlah kalian sambil berdiri dan apabila imam shalat sambil
duduk maka shalatlah kalian sambil duduk. “
Dalil untuk bentuk yang ketiga – yang diperdebatkan oleh ulama, yaitu berdiri disaat melihat
seseorang – : Hadist Abu Mijlaz, beliau berkata : bahwa Mu‟awiyah suatu saat keluar sementara
Abdullah bin Amir dan Abdullah bin Az-Zubair sedang duduk. Lalu Ibnu Amir berdiri sementara Ibnu
Az-Zubair tetap duduk – dan beliau yang paling tenang diantara mereka berdua -. Mu‟awiyah
berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Barang siapa yang merasa senang hamba-
hamba Allah berdiri menghormatinya maka hendaknya dia menyiapkan tmepat duduknya diapi
neraka “.
Dan pada lafazh Abu Daud : “ Maka Mu‟awiyah berkata kepada Amir : “ Duduklah, karena
sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Barang
siapa yang menyukai orang-orang menghormatinya sambil berdiri maka hendaknya dia
mempersiapkan tempat duduknya di api neraka “
Ulama dalam memahami hadits ini terbagi menjadi tiga kelompok :
Pertama : Sebagian ulama berpendapat bahwa hadit ini menunjukkan makruhnya berdiri kepada
para penguasa sebagaimana yang dilakukan terhadap para penguasa Persia dan Romawi. Dan
mereka menyertakan hadis ini dengan hadits pada riwayat Muslim yang menyebutkan makruhnya
berdiri diatas kepala seseorang yang duduk, sebagaimana yang dilakukan orang-orang asing
kepada pemimpin-pemimpin mereka.
Pendapat kedua : Ulama yang berargumen dengan hadist ini akan makruhnya seseorang berdiri
bagi seorang yang datang. Dan mereka berpendapat bahwa hadits ini adlah nsh yang sangat jelas
tentang hal itu. Mu‟awiyah radhiallahu „anh menyebutkan hadits ini ketika Ibnu Amir berdiri mlihat
beliau. Penyebutan hadits ini pada kejadian ini merupakan indikasi kuat yang menjelskan maksud
dari hadits. Dan pula, tidak adanya pengingkaran Ibnu Az-Zubair kepada Mu‟awiyah radhiallahu
„anhuma adalah bukti bahwa hal itu suatu yang beliau pahami juga.
Yang sepatutnya dilakukan oleh kaum muslimin adalah menjadikan ittiba‟/keteladanan kepada para
ulama salaf sebagai suatu kebiasaan, meneladani segala yangmereka perbuat dizaman Rasululah
Shallallahu „alaihi wa sallam , karena merekalah sebaik-baik masa, dan sebaik-baik perkataan
adalah Kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu „alaihi wa
sallam . Maka tidaklah boleh seseorang berpaling dari petunjuk sebaik-baik manusia dan berpaling
dari petunjuk sebaik-baik masa kepada amalan yang selainnya.
Dan juga sepatutnya kepada seseorang yang ditaati agar tidak membenarkan hal itu dilakukan oleh
para pengikutnya. Yakni ketika mereka melihatnya mereka tidaklah berdiri menyambutny kecuali
disaat pertemuan yang biasa. Adapun berdiri menyambut seseorang yang baru datang dari
bepergian dan yang semisal dengan itu sebagai ungkapan selamat datang maka perbuatan
tersebut suatu yang baik.
Dan apabila kebiasaan kaum muslimin adalah memuliakan seseorang yang datang dengan berdiri,
yang seandainya kebiasaan ini ditinggalkan maka akan diyakini bahwa hal itu karena meninggalkan
haknya atau karena ingin merendahkannya, dan dia tidaklah mengetahui kebiasaan yang sesuai
dengan as-sunnah, maka yang lebih baik adalah turut beridiri menyambutnya. Dikarenakan hal itu
akan menjalin hubungan baik keduanya dan menghilangkan kebencian dan ketidak senangan.
Adapun jika kebiasaan suatu kaum sesuai dengan sunnah, maka bukanlah dengan meninggalkan
hal itu sebagai suatu yang menyakitinya “
Ibnu Hajar mengatakan : “ Kesimpulannya, kapan meninggalkan berdiri dianggap sebagai suatu
penghinaan atau akan menimbulkan mafsadat bagi dirinya maka janganlah dia melakukannya. Dan
pendapat inilah yang tersirat dari pernyataan Ibnu Abdis Salam “
Yang menjadi dalil bagi kami adalah perbuatan Jabir bin Abdullah . Dari Jabir bin Abdullah, bahwa
telah sampai kepada beliau sebuah hadits dari salah seorang sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam . [ Beliau mengatakan ]: Maka saya segera membeli seekor onta, dan kemudian selama
sebulan saya melakukan perjalanan hingga saya tiba ke Syam, yang ternyata sahabat tersebut
adalah Abdulah bin Unais. Lalu saya menyuruh seseorang menyampaikan bahwa Jabir berada
didepan pintu. Lalu utusan tersebut kembali, dan mengatakan : Jabir bin Abdullah ?. Saya berkata
: Benar. Maka diapun keluar lalu mendekapku kanan dan kiri – al-mu‟anaqah -. Saya berkata : “ –
Karena – sebuah hadits yang telah sampai kepadaku atau yang telah saya dengar. Saya Khawatir
meninggal atau anda yang meninggal.
Dia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Semua hamba Allah – kaum manusia – akan dikumpulkan dalam keadaan teanjang, tidak
berkhitan dan buhmaan . Kami bertanya: Apakah makna buhmaan ? Beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : Tidak mempunyai sesuatu. Lalu suatu suara menyeru kepada mereka, suara
yang terdengar oleh yang berada jauh – saya menyangka beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Sebagaimana didengarkan oleh yang berada dekat “ – : Akulah Al-Malik. Tidaklah
sepatutnya seseorang penghuni surga masuk kedalam surga sementara seseorang dari penghuni
neraka menuntut pembalasan kezhalimannya. Dan tidaklah sepatutnya salah seorang penghuni
neraka masuk kedalam neraka sementara seseorang penghuni surga menuntut pembalasan
kezhalimannya “
Saya bertanya : Lalu Bagaimanakah ? Dan sesungguhnya kita akan menjumpai Allah dalam
keadaan telanjang dan tidak memiliki sesuatupun ? Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab :
Dengan amal-amal kebaikan dan amal-amal keburukan. “
Faedah : Seorang ayah mencium anaknya merupakan bentuk kesempurnaan kasih sayang dan
kecintaannya. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah mencium anak-anak beliau, dan mencium
Al-Hasan dan Al-Husain, dan Abu Bakar mencium anak perempuannya Aisyah, dan ini adalah
kabar-kabar yang masyhur. Mencukupkan bagi kita dengan kemasyhurannya tentang takhrij
silsilahnya hingga pada sumbernya.
Faedah lain : Mencium tangan , sebagian ulama membolehkannya, sesuai tata cara beragama. Al-
Marrudzi berkata : “ Aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang mencium tangan, beliau menjawab
jikalau sesuai dengan tata cara beragama maka tidak mengapa. Abu Ubaidah mencium Umar Ibnu
Al-Khaththab radhiallahu anhu, jika disesuaikan dengan tata cara keduniaan maka tidak
diperbolehkan, kecuali seseorang takut akan pedangnya atau cambuknya…Berkata Abdullah bin
Ahmad : ” Aku melihat banyak dari kalangan ulama, ahli fiqih, muhadditsin, Bani Hasyim dan
Quraisy serta kaum Anshar mereka menciumnya – yakni bapaknya – sebagian mencium tangannya
dan sebagian mencium kepalanya.
Adapun sujud, tidaklah boleh seorang yang berakal merasa sangsi untuk diserahkan hanya kepada
Allah subhanahu wata‟ala tidak kepada selain-Nya. Dan pada perbuatan ini terkandung maknan
ubudiyah – penghambaan – yang tidak terdapat pada perbuatan membungkukkan badan.
Dikarenakan membngkukkan badan tidak terkandung padanya posisi yang mencakup seluruh
makna penghinaan diri, kerendahan, ketundukan dan ubudiyah sebagaimana yang terdapat
didalam sujud. Olehnya itu diriwayatkan pada hadits Ibnu Abbas dari Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam beliau bersabda : “Adapun sujud maka bersungguh-sungguhlah berdoa, dan berharaplah
untuk dikabulkan bgi kalian “
Sabda beliau : “Berharaplah “ artinya suatu yang hakiki dan layak untuk mendapatkan pengabulan
doa ini. Karena pada sujud terkandung makna pengagungan , yang apabila dilimpahkan kepada
selain Allah merupakan suatu perbuatan yang haram.
Dan dalil yang menunjukkan hal itu, bahwa ketika Mu‟adz tiba dari Syam beliau lantas sujud
kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam . Maka beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “
Ada apakah ini wahai Mu‟adz ? “
Beliau berkata : Saya baru saja tiba dari Syam dan menjumpai mereka sujud kepada para uskup
dan orang-orang terkemuka mereka. Maka diri saya menyukai untuk melakukan hal itu kepada
anda. Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ janganlah kalian melakukan hal
itu, karena sesungguhnya jikalau saya menyuruh seseorang untuk bersujud kepada selain Allah,
niscaya saya akan menyuruh seorang wanita untuk sujud kepada suaminya. Demi Zat yang jiwa
Muhammad berada ditangan-Nya, tidaklah seorang wanita dapat menunaikankan hak Rabbnya
hingga dia menunaikan hak suaminya. Sekiranya suaminya meminta istrinya tersebut untuk
melakukan hubungan suami istri sementara si istri sedang jenuh, si istri tidak menolak permintaan
suaminya “
Faedah berkaitan dengan permasalahan sujud : Seorang muslim meletakkan wajahnya yang
merupakan bagian tubuhnya yang paling mulia dan paling terpandang diatas tanah yang
meruapkan tempat kaki-kaki berlalu-lalang. Sebagai pemuliaan dan pengaungan kepada Allah dan
bentuk ubudiyah kepada Allah. Dan seorang mukmin akan merasakan kelezatan disaat dia
menundukkan hatinya kepada Allah pada saat sujud, yang dia tidak rasakan ditempat lain. Maka
Mahasuci Allah yang orang-orang mengerjakan shalat bersujud kepada-Nya diatas tanah dan
mensucikan-Nya dari kerendahan dengan ucapan mereka : “ Subhana Rabiyal A‟la “.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam beliau bersabda :
“Bahwa seseorang menziarahi saudaranya yang berada di desa yang berlainan. Lalu Allah Ta‟ala
mengirim satu malaikatnya menunggunya di jalan yang akan dilewatinya. Ketika dia datang
mendekati malaikat tersebut, malaikat tersebut bertanya : Hendak kemanakah engkau ? Dia
menjawab : Saya hendak menjumpai saudaraku di desa ini.
Malaikat itu berkata : Apakah saudaramu itu telah memberimu suatu nikmat yang hendak engkau
balas? Orang itu menjawab : Tidak, selain saya sesungguhnya mencintainya karena Allah „azza
wajalla. Malaikat itu berkata : Sesungguhnya saya adalah utusan Allah untukmu, menyampaikan
bahwa Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya.
Beberapa Adab Ziarah:
1. Ziarah diselain tiga waktu yang disebutkan pada ayat Al-Isti‟dzan
Allah subhanahu wata‟ala telah mengarahkan kaum mukminin agar menahan para pembantunya
dan juga anak-anak kecil yang belum baligh untuk tidak masuk kedalam kediaman mereka pada
waktu-waktu aurat yang tiga. Yakni sebelum shalat shubuh, waktu tidur siang dan setelah shalat
isya‟. Alasan dari larangan tersebut bahwa waktu-waktu ini adalah waktu biasanya tidur, terlelap
dalam istirahat dan mendatangi keluarga –baca istri, penj -. Dari situlah alasan larangan masuk
pada tiga waktu ini kecuali seizin yang punya rumah. Sedangkan ziarah ditiga waktu ini tidak
disangsikan lagi akan mengeruhkan ketenangan pemilik rumah. Dan mengganggu ketenangan
mereka. Dan juga akan menyebabkan mereka merasa terusik, dikarenakan sebagian besar
manusia tidaklah siap menyambut seorang tamupun pada waktu-waktu ini. Tetapi tidak termasuk
dari hal itu, jikalau seseorang diundang untuk menghadiri acara walimah, makan siang atau makan
malam, maka ini tidak termasuk dalam pembahasan diatas.
Dan ada baiknya kami menyertakan pada pembahasan ini sebuah hadits dan atsar.
Adapun hadits, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam shahihnya dari hadits Aisyah- umul
mukminin radhiallahu „anha, beliau berkata : “ Jarang sekali hari dimana Rasulullullah Shallallahu
„alaihi wa sallam mendatangi suatu rumah kecuali beliau mengunjungi rumah Abu Bakar di waktu
pagi dan petang. Dan ketika beliau telah diperbolehkan untuk keluar menuju Madinah – hijrah penj
– tidaklah suatu yang mengagetkan kami, selain beliau mendatangi kami diwaktu zuhur. Lalu Abu
Bakar memberitahukan kepada kami, beliau mengatakan : Tidaklah Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam mendatangi kami pada waktu ini kecuali karena suatu yang penting telah terjadi … al-hadits
“
Yang menjadi argumen pada hadits diatas, adalah kedatangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
pada waktu yang bukan merupakan waktu ziarah yakni waktu tidur siang. Dan keheranan Abu
Bakar atas kedatangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pada waktu ini menunjukkan bahwa
waktu in bukanlah waktu ziarah menurut mereka.
Adapun atsar, adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sendiri dan pada atsar tersebut
disebutkan : “ Beliau berkata : Danapabila sampai kepadaku sebuah hadits dari seseorang , maka
saya lantas mendatanginya sementara dia tengah tidur siang, maka saya menjadikan jubahku
sebagai pengalas kepala didepan pintunya, dan anginpun menghembuskan debu kewajahku … “
2. Yang berziarah tidak menjadi imam shalat bagi pemilik rumah, dan tidak duduk
dipermadaninya kecuali dengan izinnya
Yang demikian tersebut dikarenakan seorang lelaki yang berada dirumahnya lebih berhak dari
selainnya. Maka diapun menjadi imam shalat, Dan duduk-duduk diatas permadaninya yang
disediakan baginya. Tidak diperbolehkan kecuali dengan izinnya. Telah datang dalil tersebut pada
hadits Abu Mas‟ud Al-Anshari marfu‟ kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bahwasanya beliau
bersabda : “ Yang menjadi imam pada suatu kaum adalah yang paling banyak bacaan / hafal akan
Kitab Allah, jika ada yang menyamai dalam bacaannya, maka dipilih yang lebih mengetahui akan
sunnah, jika ada yang menyamai dalam pengetahuan sunnahnya, maka didahulukan yang paling
awal hijrahnya, jika ada yang menyamai dalam hijrahnya, maka didahulukan dari mereka yang
lebih lama masuk Islam ( dalam riwayat lain : umur ) dan tidaklah seorang lelaki menjadi imam
bagi lelaki yang lain diwilayahnya, dan tidak pula duduk dalam rumahnya diatas tikar rumahnya
kecuali telah diijinkan olehnya ( pada riwayat lain : kecuali dia mengijinkanmu atau
mengijinkannya )”.
Berkata Imam An-Nawawi : “ Maknanya … Bahwa pemilik rumah, majlis dan Imam Masjid lebih
berhak daripada selainnya, jika disana tidak ada orang lain yang lebih luas wawasan kelimuannya,
lebih banyak hafalannya, lebih wara‟ dan lebih utama darinya, maka pemilik tempat lebih berhak
jika dia berkehendak dia dapat maju sebagai imam dan jika mau dia dapat mendahulukan orang
yang dikehendakinya, walau yang didahulukannya tersebut tidak lebih utama dari lainnya yang
hadir, karena dialah pemegan kekuasaan , dapat mempergunakan kekuasaannya tersebut menurut
yang dikehendakinya.
3. Meminimalkan intensitas ziarah
Hal tersebut diisyaratkan pada hadits Aisyah ummul mukminin radhiallahu „anha, yang telah
disebutkan sebelumnya, yakni perkataa beliau : “Jarang sekali hari dimana Rasulullullah Shallallahu
„alaihi wa sallam mendatangi suatu rumah kecuali beliau mengunjungi rumah abu Bakar di waktu
pagi dan petang “.
Dan pada riwayat lainnya : “ … Dan tidaklah ada hari yang terlewati oleh mereka berdua kecuali
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi kami diwaktu pagi dan petang “
Menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam seringkali mengunjungi Abu Bakar
radhiallahu „anhu.
Sekiranyapun diterima kesahihan hadits tersebut, hadits tersebut tidaklah kontradiktif degan hadits
Aisyah. Ibnu hajar mengatakan : “ Dikarenakan keumuman hadits diatas dapat disisipkan
pengkhususan. Dengan demikian, hadits tersebut dimaksudkan bagi seseorang yang tidak ada
hubungan khusus dan kecintaan yang berkelanjutan, maka tidaklah mengurangi kunjungan
kerumahnya. Ibnu Baththal mengatakan : “ Seorang teman yang saling berkasih sayang tidak
banyaknya ziarah kecuali akan menambah kecintaah, berbeda dengan yang selainnya.
Faedah : Ibnu Abdil Barr mengatakan : Saya mengunjungi kekasihku yang nampak keriangan
bagiku. Dan menyambutku dengan keceriaan dan senyum. Apabila bukan karena keceriaan dan
senyum niscaya saya akan meninggalkannya. Dan seandainya dalam perjumpaan kecendrungan
dan suka cita.
غ َحِب َح َٰل َحِبذ َحد َحخلُسوْب َحلَح َحِبيو فَح َحق اُسوْب َح ٰلَح ۖ قَح َحا َح ٰلَح قَحوم ُّدم َح٢٤ َح
فَح َحر َح٢٥ نك ُسر َحن كرَحِبم ٱمل ي ىيف َحِب ٰرَحِب
ض َحِب يث ىل أَحتَحٰى ح َحِب
َح َح ُس َح َح ُس َح َح َح
٢٧ ون أكلُس َحقَح َحا أَحَح تَح ُس فَح َحقَّلرَحوۥُٓس َحِباَحي َحِب٢٦ أَحىلَحِب َحِبوۦ فَح َح ء َحِبعَحِب ل َحَحِبا
َح
“Dan apakah telah sampai kepadamu – kisah – tamu mulia Nabi Ibrahim „alaihis salam. Ketika
mereka masuk menjumpai beliau seraya mengucapkan salam. Ibrahim menjawab : Salam bagi
kalian wahai kaum yang tidak saya kenali . Maka beliaupun bergegas menjumpai keluarganya,
kemudian datang dengan hidangan anak sapi yang gemuk. Lalu menyuguhkannya kepada mereka,
dan beliau mengatakan : Tidakkah kalian memakannya?“ (Adz-Dzariyat : 24 – 27)
Dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menyakiti
tetangganya, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia
memuliakan tmaunya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia
berkata yang baik atau diam “
Dan sabda beliau : “ Sambutlah undangan ini apabila kalian diundang untukmenghadirinya. Perawi
berkata: Adalah Ibnu Umar mendatangi undangan pengantin dan resepsi lainnya sementara beliau
tengah menjalankan puasa “
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyambut undangan adalah suatu yang sunnah kecuali
resepsi pernikahan yang menurut mereka hukumnya wajib, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam : “ Seburuk-buruk makanan dalah makanan resepsi yang hanya diundang orang-
orang kaya sementara kaum fakir miskin diabaikan. Dan barang siapa yang mengabaikan
undangan pernikahan maka sunnguh dia telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya “.
Dan pada beberapa riwayat yang diriwayatkan oleh Muslim dan selain beliau dengan lafazh :
“ Menghalau yang mendatangi undangan sementara mengundang ke resepsi tersebut orang yang
enggan menghadirinya “.
Hanya saja sebagian ulama mengutarakan beberapa syarat dalam menghadiri undangan-undangan
seperti ini. Asy-Syaikh muhammad bin Al-„Utsaimin menyebutkan syarat-syarat tersebut :
a. Yang mengundang bukanlah seseorang yang mesti diisolasi atau sebaiknya diisolasi
b. Tidak terdapat suatu yang mungkar ditempat undangan. Apabila terdapat kemungkaran, jikalau
memungkinkan untuk menghilangkannya maka wajib untuk menghadiri undangan tersebut dengan
dua alasan : Memenuhi undangan dan untuk merubah kemungkaran. Apabila kemungkaran
tersebut tidak dapat dihilangkanya maka haram baginya untuk menghadiri undangan tersebut.
c. Yang mengundang mestilah seorang muslim, karena jika bukan seorang muslim, maka tidak
wajib memenuhi undangannya, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Kewajiban
seoang muslim atas muslim lainnya ada enam … “ dan diantaranya : Apabila diundang mestilah
memenuhi undangannya .
Dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhu beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Makanan untuk seseorang cukup untuk berdua, makanan
untuk tiga orang cukup untuk berempat dan makanan untuk empat orang cukup untuk berdelapan
“
Adapun yang terjadi pada hari ini berupa sifat berlebih-lebihan yang dilakukan sebagian orang
dalam acara resepsi mereka, berlebih-lebihan dalam membebani diri untuk resepsi tersebut, dan
telah melampaui batas yang disyarii‟atkan, maka ceritakanlah semua tanpa segan ! Bahkan
sebagian diantara mereka berlomba siapakah yang dapat mengalahkan rekannya, dalam
banyaknya ragam makanan yang dihidangkan, berlebihan dalam hal tersebut hingga dikatakan
bahwa fulan bin fulan telah melakukan ini dan ini. Tidaklah disangsikan lagi bhwa perbuatan ini
suatu yang tercela. Dan tidak diperbolehkan memakan makan seperti ini. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah
melarang memakan makanan dua orang yang menyajikan makanan untuk menyerupai orang
selainnya “
Al-Khaththabi mengatakan : Al-Mutabariyaini adalah dua orang yang bersaing dengan perbuatan
mereka. Dikatakan dua orang tabaaraa apabila seseorang diantara mereka berdua melakukan
serupa dengan yang dilakukan rekannya agar terlihat siapakah yang dapat mengalahkan rekannya.
Dan hal itu dibenci karena terkandung amal riya`, sifat untuk bersaing menonjolkan diri dan juga
karena tergolong dalam kategori larangan Allah dari memakan harta dengan batil “
6. Masuk dengan izin dan beranjak pulang setelah selesai
Adab ini telah diterangkan didalam Al-Qur`an. Alah ta‟ala berfirman :
Asy-Syaukani berkata : “ Allah melarang kaum mukminin melakukan hal itu dirumah Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam . Dan larangan tersebut mencakup seluruh kaum mukminin. Dan
keharusan seluruh manusia untuk mengambil adab dari Allah untuk mereka dalam hal itu. Allah
telah melarang mereka masuk kesuatu rumah kecuali setelah diizinkan untuk makan bukan
sebelumnya untuk menunggu makanan dihidangkan.
Dan telah menjadi kebiasaan mereka di zaman Jahiliyah , mereka mendatangi suatu resepsi lebih
awal, menungu makanan dihidangkan. Maka Allah melarang mereka melakukan hal itu, didalam
firman-Nya : “ Tanpa menunggu-nunggu waktu makan “ ( QS. Al-Ahzab 53 ). Yakni tanpa menanti
makanan dihidangkan kemudian menyambutnya.
Kemudian Allah subhanahu wata‟ala menerangkan bahwa barang siapa yang keperluannya telah
terpenuhi hendaknya segera beranjak pergi dan tidaklah duduk menemaninya berbincang-bincang.
Dikarenakan hal itu akan mengganggu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam . Demikian halnya bagi
kaum manusia, karena sebagian besar diantara mereka merasa terganggu apabila orang-orang
yang diundang berlama-lama setelah menyelesaikan makannya. Maka tidak seyogyanya seseorang
berdiam lama ditempat mereka, kecuali jika pemilik rumah mengharapkan mereka tinggal, ataukah
jika kebiasaan kaum tersebut seperti itu. Dan tidak ada rasa keberatan dan tidak juga mengganggu
maka hal tersebut tidaklah mengapa. Dikarenakan alasan larangan tersebut telah tertiadakan.
7. Mendahulukan yang lebih tua dan mendahulukan yang berada pada sisi bagian kanan,
baru yang selanjutnya.
Selayaknya bagi seseorang yang menjamu para tamu,agar mendahulukan yang paling tua serta
memberi perhatian lebih kepadanya. Hal itu dikarenakan anjuran Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
dalam beberapa hadits untuk melakukan hal itu.
Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Saya diperlihatkan didalam tidurku, bahwa saya mempergunakan siwak, lalu
dua orang menghampiriku , salah satunya lebih tua dari yanglain, Lalu saya menyodorkan siwka
kepada yang lebih muda. Maka dikatakan kepadaku : Yang lebih tua. Lalu sayapun
menyodorkannya kepada yang lebih tua “
Dan beliau bersabda : “ Sesungguhnya yang termasuk dari keagungan Allah : menghormati orang
muslim yang sudah tua, orang yang menghafal Al-Qur`an, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa
bersikap kasar terhadapnya dan menghormati penguasa yang adil”.
Adapun hadits Sahl bin Sa‟ad radhiallahu‟anhu : “ Bahwasanya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam didatangkan kepada beliau minuman maka beliaupun meminumnya, dan disamping kanan
beliau ada seorang anak kecil dan disamping kirinya seorang yang sudah tua, maka beliau berkata
kepada anak kecil tersebut : “ Apakah engkau mengijinkanku kalau aku memberi mereka ? “. Anak
kecil itu menjawab : “ Demi Allah wahai Rasulullah tidak ada yang berat untukmu jika bagianku
diberikan kepada seseorang ”. Sahl berkata : “ Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
meletakkannya diatas tangannya”.
Maka hal inilah jika akan memberikan faedah mendahulukan yang kanan entah yang kanan
tersebut anak kecil atau orang besar, kecuali dia tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang
mendahulukan orang yang lebih tua dari selainnya, dan memungkinkan bagi kita untuk
menggabungkan antara keduanya maka kita katakan : Sesungguhnya mendahulukan yang kanan
diperuntukkan bagi orang yang meminum sesuatu dan menyisakannya minumannya. Lalu
memberikan kepada yang berada dibagian kanannya, kecuali jika dia mengizinkanya. Dan seputar
makna inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr: “ Dan pada hadits ini terkandung adab
menyuguhkan makanan dan bermajlis. Bahwa seseorang apabila makan atau minum, memberikan
sisanya kepada yang berada dibagian kanannya, siapapun dia, walau dia seorang yang tidak begitu
mempunyai keutamaan, sementara yang berada dibagian kirinya seseorang yang memiliki
keutamaan.
Pada hadits Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiallhu „anhu yang panjang tentang menyuguhkan susu.
Dan pada hadits tersebut, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berdoa :
َح ْب َحِبس َحم ْبن َح َحق َحِبا, َحالّل ُس َّل أَحطْبعَحِب ْب َحم ْبن أَحطْب َحع َح َحِب
“Ya Allah, berilah makan kepada yang telah memberiku makan dan berilah minum bagi yang telah
memberiku minum “
An-Nawawi mengatakan : “ Pada hadits tersebut menunjukkan doa bagi seorang yang berbuat baik
dan juga bagi yang telah melayani, dan bagi yang telah melakukan kebaikan.
Abdullah bin Busr meriwayatkan bahwa bapaknya pernah membuat makanan bagi Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam , kemudian mengundang beliau dan beliaupun menyambutnya. Ketika beliau telah
selesai menyantap hidangannya, beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
َحِب َحِب َحِب
َحالّل ُس َّل ْب فْبر َحُس ْب َح ْبر َحْب ُس ْب َح َح رْب َحُس ْب فْبي َح َحرَحزقْب تَح ُس ْب
“Ya Allah ampunilah mereka dan berilah mereka rahmat dan berilah berkah bagi mereka dari apa
yang Engkau rizkikan untuk mereka “
ٱاش ُسز ْب يَحرفَح َحِبع ۖ َحِب َحِب فس َحِبح ٱالَّلوُس اَح ُسك ين ءَح َحمنُسوْب َحِب َحذ قَحِبيل اَح ُسك تَح َحف َّلس ُس وْب َحِبِف ٱمل َٰح لَحِب َحِب ٰيَحأَحيُّد َح ٱاَّل َحِبذ
ٱاش ُسز ْب فَح ُس
يل ُس
َح َحذ ق َح ٱفس ُس وْب يَح َح س فَح َح َح َح
َحِب َح َحِب ٱالَّلو ٱاَّل َحِبذين ء منوْب َحِبم ُس َّل َحِب
١١ ٞ ون َحخَحِبري ل ع ت ِب
َح ُس َح َح َح ُس َح و َّل
ٱال ۚ ت ين أُس تُسوْب ٱاعل َح َحد َحر َٰح
نك َحٱاذ َح ُس َح َح َح ُس
“Wahai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepada kalian untuk melapangkan majlis,
maka lapangkanlah semoga Allah akan melapangkan bagi kalian. Dan apabila dikatakan kepada
kalian untuk berdiri, maka berdirilah. Dan Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang
beriman diantara kalian dan orang-orang yang memiliki ilmu beberapa derajat. Dan Allah
Mahamengetahui apa yang kalian perbuat“ (Al-Mujadalah : 11 )
Dan pada lafazh hadits ini terdapat penyangkalan pada majlis semacam itu. Sabda beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Kecuali mereka bangkit semisal bangkai keledai “, maksudnya
semisal dengan bangkai keledai yang berbau busuk dan menjijikkan. Itu semua karena
perbincangan mereka membicarakan kehormatan orang dan lain sebagainya. Yang dimaksud
dengan kerugian adalah penyesalan, karena pengabaian mereka.
Sebaliknya dengan hal itu, apabila majlis-majlis ini dimakmurkan dengan menyebut nama Allah
dan memuji-Nya. Ucapan shalawat kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , maka majlis-majlis
ini akan dicintai Allah ta‟ala. Dan orang yang berada dimajlis tersebut akan diberi limpahan
kebaikan .
Hadist Abu Hurairah radhiallahu „anhu memberitahukan kepada anda akan hal itu. Beliau berkata :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat
yang mengelilingi jalan-jalan, mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka menemukan
suatu kaum yang berdzikir kepada Allah, mereka akan saling menyeru satu dengan lainnya:
Kemarilah mengambil bagian kebutuhan kalian.
Beliau bersabda: Lalu mereka mengembangkan sayap-sayap mereka kelangit dunia.
Beliau bersabda: Lalu Rabb mereka bertanya kepada mereka, sedangkan Allah lebih mengetahui
dari pada mereka, Apakah yang dikatakan para hamba-Ku ?
Mereka mengatakan : “ Hamba-hambaMu bertasbih kepada-Mu, bertakbir kepada-Mu, memuji-Mu
dan memuliakan-Mu.
Beliau bersabda: “ Lalu Allah Ta‟ala berifrman : Apakah mereka melihat-Ku ?”
Para malaikat menjawab: Tidak, demi Allah mereka tidak melihat-Mu.
Beliau bersabda: Allah berfirman : lalu bagaimanakah jika mereka telah melihat-Ku ?
Beliau bersabda : Para malaikat mengatakan : Seandainya mereka melihat-Mu, maka mereka akan
semakin giat beribadah, akan semakin memuliakan-Mu, memuji-Mu dan memperbanyak tasbih
kepada-Mu.
Beliau bersabda: Dan apakah yang mereka minta ?
Beliau bersabda: Para malaikat mengatakan: Mereka meminta surga.
Beliau bersabda: Allah Ta‟ala berfirman: Apakah mereka telah melihat surga ?
Al-Fudhail bin „Iyadh mengatakan: “ Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mencari halakah-
halakah dzikir, maka perhatikanlah anda duduk semajlis dengan siapa. Dan janganlah majlis anda
bersama dnegna pelaku bid‟ah , karena sesungguhnya Allah tidak akan melihat kepada mereka.
Dan alamat nifak adalah seeroang berdiri dan duduk bersama dengan pelaku bid‟ah.
Dan apabila teman duduk adalah seorang yang fasik, maka anda tidak akan selamat dari
mendengarkan perkataan yang kotor, ucapan yang batil, ghibah dan terkadang juga disertai
dengan pengabaian shalat dan perbuatan maksiat lainnya yang akan mematikan hati sanubari. Dan
dari sinilah kita dapat jumpai bahwa sebagian besar orang-orang yang terjerumus setelah
sebelumnya istiqamah, sebabnya karena duduk bersama orang yang fasik.
3. Ucapan salam bagi yang berada di majlis, ketika datang dan pergi
Telah disebutkan kepada kita, adab-adab mengucapkan salam, dan penjelasan bahwa termasuk
amalan yang sunnah adalah mengucapkan salam kepada orang-orang yang berada disuatu majlis
ketika mendatangi mereka dan ketika hendak pergi meninggalkannya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, Beliau berkata: "Apabila seseorang diantara kalian
mendatangi suatu majlis hendaknya dia mengucapkan salam, dan apabila dia bekeinginan untuk
duduk maka duduklah, kemudian apabila dia hendak berdiri pergi, maka sesungguhnya yang
pertama tidaklah lebih utama dari pada yang terakhir “. At-Tirmidzi mengatakan : hadits ini hasan.
4. Makruh memberdirikan seseorang dari majlis duduknya kemudia dia duduk ditempat
tersebut
Siapa saja yang duduk ditempat yang diperbolehkan seperti masjid dan semisalnya, maka dia lebih
berhak dengan majlis duduknya dari pada selainnya. Dimana apabila tiba-tiba dia meningalkan
majlis duduknya karena suatu perkara, kemudian dia kembali lagi kemajlis duduknya untuk selang
waktu yang tidak begitu lama, maka dia lebih berhak dengan majlis duduknya, dan dia boleh
memberdirikan orang yang duduk ditempat dia.
Dalil akan hal itu adalah sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah
radhiallahu „anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Apabila salah seorang
diantara kalian berdiri – dan pada hadits Abu „Awanah : Barang siapa yang berdiri dari majlisnya
kemudian dia kembali ke majlis duduknya, maka dia lebih berhak dengan majlis duduknya tersebut
“
Yang sebaiknya bagi seorang yang berada dimajlis untuk tidak mengabaikannya, karena dialah
yang lebih berhak untk duduk dimajlis tersebut. Olehnya itu dijumpai larangan memberdirikan
seseorang dari majlis duduknya yang diperbolehkan baginya. Ibnu Umar radhiallahu „anhuma
meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang seseorang diminta berdiri
dari majlis dimana didudk disitu kemudian orang lain duduk dimajlis dia. Akan tetapi lapangkanlah
dan luaskan. Dan Ibnu Umar membenci seseorang berdiri dari majlis duduknya lalu dia duduk
ditempat orang tersebut “
Hikmah dari larangan ini adalah agar tidak melecehkan hak seorang muslim yang akan
menyebabkan perasaan benci. Dan anjuran untuk bersikap rendah hati yang akan menumbuhkan
rasa kasih sayang. Dan juga setiap orang kedudukannya sama berkaitan dengan perkara yang
mubah. Siapa saja yang telah mendapatkan sesuatu sebagai haknya maka sesuatu menjadi hak
miliknya. Dan barang siapa menjadikan sesuatu sebagai hak miliknya tapa alasan yang benar maka
termasuk perbuatan merampok yang diharamkan. Demikian yang dikatakan Ibnu Abu Jamrah.
Masalah : Kita telah mengetahui makruhnya memberdirikan seseorang dari majlis duduknya
kemudian duduk ditempat tersebut. Akan tetapi apakah hukum makruh ini akan sirna jika si
pemilik majlis mengizinkannya ?
Adapun pendapat Ibnu Umar yang mengaggapnya makruh dalam sebuah atsar dari beliau, telah
diriwayatkan oleh Abu Al-Khushaib, dia berkata : “ Saya pernah duduk , kemudian Ibnu Umar
datang, dan seseorang lantas berdiri dari majlis duduknya, namun beliau tidaklah duduk dimajlis
tersebut akan tetapi duduk ditempat yang lain. Maka orang itu berkata : Tidaklah mengapa jika
anda duduk ditempat tersebut. Ibnu Umar mengatakan : Saya tidak akan duduk ditempat engkau
duduk sebelumnya dan tidak juga pada tempat duduk orang selain anda, setelah suatu yang saya
saksikan sendiri dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , seseorang datang kepada Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam lalu seseorang lainnya berdiri dari majlis duduknya, kemudian orang
yang datang itu pergi dan duduk ditempatnya. Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
melarangnya “
Adapun yang disandarkan kepada Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, Imam An-Nawawi mengatakan :
Ini adalah sikap wara‟ beliau. Dan duduk ditempat tersebut bukanlah suatu yang haram, apabila si
pemilik majlis berdiri dan merelakanya. Akan tetapi beliau bersikap wara dari dua sisi :
Pertama : Mungkin seseorang merasa segan kepada beliau , maka orang itu berdiri dari majlisnya
namun dengan hati yang tidak mengenakkan. Olehnya itu Ibnu Umar berusaha menutup pintu
kemugkinan ini, agar selamat dari hal ini.
Kedua : Mendahulukan seseorang karena kekerabatan, adalah suatu yang makruh atau menyalahi
suatu yang utama, Olehnya itu Ibnu Umar menolak hal itu agar seseorang tidak melakukan suatu
yang makruh ataukan menyalahi suatu yang utama karena dirinya, dengan mundur dari tempatnya
dishaf yang eprtama dan mengedepankan beliau dan yang serupa dengan itu.
Masalah lainnya : Sebagian kaum muslimin bersengaja menghamparkan sajadah shalat atau
yang serupa karena keinginan mereka untuk mendapatkan keutamaan shaf pertama, sementara
mereka melambatkan kedatangan kemasjid. Apakah perbuatan ini suatu yang dibenarkan syariat ?
Jawab : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah mengomentari masalah ini secara khusus, beliau
mengatakan : “ Adapun yang dilakukan sebagian besar kaum muslimin dengan mendahulukan
hamparan permadani dimasjid pada hari jum‟at atau hari lainnya, sebelum mereka mendatangi
masjid, maka perbuatan ini suatu yang terlarang sesuai dengan konsensus kaum muslimin, bahkan
suatu yang haram.
Apakah shalatnya diatas permadani itu shahih ? Ada dua pendapat dikalangan ulama, karena
merupakan perbuatan merampas bagian dari masjid dengan menghamparkan permadani
diatasnya, kemudian menghalangi orang-orang lainnya yang hendak mendirikan shalat dimasjid
yang telah bersegera menuju masjid untuk mengerjakan shalat pada tempat itu.”
Lalu beliau lanjut mengatakan : “ … yang disyariatkan dimasjid, adalah orang-orang memenuhi
shaf yang pertama, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam :
“ Tidakkah kalian mengatur shaf sebagaimana para malaikat mengatur shaf disisi Rabb mereka ? ”
Para sahabat bertanya : Dan bagaimanakah para malaikat mengatur shaf disisi Rabb mereka ?
Beliau menjawab : “ Mereka menyempurnakan shaf yang pertama, kemudian yang berikutnya dan
mereka rapat dalam shaf mereka “
Dan didalam Ash-Shahihain dari beliau Shallallahu „alaihi wa sallam beliau bersabda:
“ Seandainya kaum muslimin mengetahui besarnya pahala menyambut adzan dan shaf yang
pertama, lalu mereka tidak mendapatkannya kecuali setelah mengundi, niscaya mereka akan
mengundinya. Dan seandainya mereka mengetahui besarnya pahala bersegera mendatangi shalat
diwkatu siang niscaya mereka akan berlomba “
Yang diperintahkan pada hadits tersebut adalah seseorang dengan sendirinya berlomba menuju
masjid. Apabila dia mendahulukan permadaninya sementara dia snediri terlambat maka dia telah
menyelisihi syariat dari dua tinjauan :
Pertama : Karena dia terlambat sedangkan yang diperintahkan adalah untuk bersegera.
5. Melapangkan majlis.
Allah ta‟ala berfirman :
ٱاش ُسز ْب يَحرفَح َحِبع َحِب ۖ َح َحِب َحذ فس َحِبح ٱالَّلوُس اَح ُسك ين ءَح َحمنُسوْب َحِب َحذ قَحِبيل اَح ُسك تَح َحف َّلس ُس وْب َحِبِف ٱمل َٰح لَحِب َحِب ٰيَحأَحيُّد َح ٱاَّل َحِبذ
ٱاش ُسز ْب فَح ُس
يل ُس
ق َح ٱفس ُس وْب يَح َح س فَح َح َح َح
َح ٱالَّلو ٱاَّل َحِبذين ء منوْب َحِبم ُس َّل َحِب
١١ ون َحخ ري
ٞ َحِب ين أُس تُسوْب ٱاعَحِبل َح َحد َحر َٰح ت َحٱالوُس ِبَح تَحع َح لُس َح
َحِب َّل ۚ
نك َحٱاذ َح ُس َح َح َح ُس
“ Wahai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepada kalian untuk melapangkan majlis,
maka lapangkanlah semoga Allah akan melapangkan bagi kalian. Dan apabila dikatakan kepada
kalian untuk berdiri, maka berdirilah. Dan Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang
beriman diantara kalian dan orang-orang yang memiliki ilmu beberapa derajat. Dan Allah
Mahamengetahui apa yang kalian perbuat “ (Al-Mujadalah : 11 )
Ini adalah adab dari Allah yang diberikan kepada setiap hamba-Nya. Apabila mereka berkumpul
dalam suatu majlis secara berkelompok, dan sebagian diantara mereka atau sebagian yang datang
membutuhkan kelapangan baginya dimajlis, maka termasuk adab agar mereka melapangkan majlis
untuk yang datang tersebut. Untuk mencapai maksud dari ayat ini.
Dan hal itu jangan sampai mengakibatkan sedikitpun kemudharatan bagi yang melapangkan
majlis. Dia mengupayakan tercapainya tujuan saudaranya namun tanpa kemudharatan setelahnya.
Dan balasan akan disesuaikan dengan amalan. Karena barang siapa yang melapangkan bagi
saudaranya maka Allah akan melapangkan baginya. Dan barang siapa yang melebarkan bagi
saudaranya maka Allah akan melebarkan baginya.
“ Dan apabila dikatakan bangkitlah “ Yakni berdirilah dan mundurlah dari majlis kalian, karena
suatu keperluan mendadak, maka : “ Bangkitlah “ yakni segeralah berdiri untuk mencapai
kemashlahatan itu.
Karena berdiri semisal dalam perkara-perkara ini termasuk dalam cakupan ilmu dan iman.
Sebagaimana diaktakan oleh Ibnu Sa‟di.
Dari Jabir bin Smaurah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Apabila kami mendatangi Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam salah seorang diantara kami duduk dibagian akhir majlis “
Dimana para sahabat apabila seseorang diantara mereka mendatangi suatu majlis tidaklah pernah
memaksakan diri untuk duduk dibagian depan, atau berdesakan dan bersempit-sempitan dengan
yang duduk lainnya. Bahkan mereka duduk ditempat berakhirnya majlis. Ini menunjukkan
kesempurnaan adab mereka radhiallahu „anhum wa ardhaahum.
8. Larangan dua orang berbicara – dengan berbisik – tanpa melibatkan orang yang ketiga
Didalam Al-Lisan, disebutkan bahwa makan an-najwa : Adalah pembicaraan rahasia antara dua
orang. Jika dikatakan : Najautu najwan maknanya saya berbicara rahasia dengannya. Demikian
juga dengan kalimat : Najautuhu . Dan kata bendanya adalah an-najwa.
At-tanajau yang terlarang adalah dua orang yang berbicara rahasia tanpa melibatkan orang yang
ketiga. Sebab larangan itu, agar kesedihan tidak meresapi hati orang yang ketiga karena melihat
dua rekannya yang berbicara dengan rahasia.
Namun apabila kaum tersebut berjumlah empat orang atau lebih maka tidak mengapa hal itu
dilakukan, karena alasannya telah tertiadakan.
Dan juga hadits Abdullah bin Mas‟ud, beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Apabila kalian terdiri atas tiga orang maka janganlah dua orang berbicara rahasia tanpa
menyertakan yang ketiga, hingga berada dikerumunan orang banyak karena yang seperi itu akan
membuatnya bersedih “
Adapun perbuatan Ibnu Umar radhiallahu‟anhuma, menunjukkan realisasi hadits tersebut. Abdullah
bin Dinar meriwayatkan, beliau berkata : Saya bersama Abdullah bin Umar berada dirumah Khalid
bin‟Uqbah yang berada dipasar. Lalu seseorang datang dan hendak membicarakan sesuatu yang
rahasia dengannya. Dan tidak ada seorangpun yang bersama dengan Abdullah bin Umar selain
diriku dan orang yang hendak mengajak Ibnu Umar untuk bebricara. Lalu Abdullah bin Umar
memanggil orang lain lagi, hingga kami menjadi berempat. Beliau berkata kepadaku dan kepada
orang yang beliau panggil : Menyingkirlah sedikit. Karena sesunguhnya saya telah mendengar
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Tidaklah dua orang berbicara rahasia tanpa
menyertakan yang ketiga “
Adapun keadaan yang dilarang, yaitu seseorang duduk diantara cahaya matahari dan bayangan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu beliau berkata: Abul Qasim Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: Apabila salah seorang dari kalian berada dibawah matahari – Makhlad mengatakan :
Berada dibawah terik cahaya matahari – dan bayangan yang menaunginya menjadi menyusut
sehingga sebagian dirinya berada dibawah matahari dan sebagian lainnya dinaungi bayangan maka
hendaknya dia berdiri “
Dan pada riwayat Ahmad : “ hendaknya dia berpindah dari tempat duduknya “
Dan dari jalan Buraidah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
melarang seseorang duduk diantara bayangan dan cahaya matahari “
Dan sebab dari larangan itu : bahwa majlis yang seperti itu adalah majlis syaithan, yang dengan
sangat jelas disebutkan didalam riwayat Ahmad dan selainnya.
Ahmad telah meriwayatkan dari hadits seseorang dari sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ,
berkata: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang seseorang duduk diantara cahaya
matahari dan naungan bayangan. Dan beliau bersabda: Tempat duduk tersebut adalah tempat
duduk syaithan “
Masalah : Telah shahih diriwayatkan didalam Shahih Muslim dan lainnya dari hadits Jabir bin
Abdullah : Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Janganlah seseorang diantara
kalian duduk terlentang dengan meletakkan salah satu kakinya berada diatas kaki lainnya “. Dan
juga telah shahih diriwayatkan didalam Ash-Shahihaini dan selainnya, dari hadits Abbad bin Tamim
dari pamannya, bahwa beliau telah menyaksikan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berbarig
didalam masjid sambil mengangkat salah satu kaki beliau dan diletakkan pada kaki lainnya “.
Kedua hadits ini secara zhahir bertentangan, lalu bagaimana menyelaraskannya ?
Namun Allah Maha Pengasih kepada setiap hamba-Nya mensyariatkan kepada meeka melalui lisan
Nabi mereka beberapa kalimat yang sebaiknya mereka ucapkan, yang akan menggugurkan segala
noda yang menggantungi mereka pada majlis itu kemudian juga Rabb mereka telah berkenan
menjadikan kalimat-kalimat ini sebagai penyerta majlis-majlis kebaikan, maka segala puji hanya
bagi Allah pada awal dan akhir. Kalimat-kalimat ini disebutkan didalam hadits Abu Hurairah
radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Barang siapa
yang duduk disuatu majlis yang banyak ucapan sia-sianya, kemudian dia sebelum berdiri
mengucapkan: Subhanakallahumma wabihamdika, Laa Ilaha anta, astagfiruka tsumma atubu
ilaika, kecuali Allah akan mengampuni segala yang ada pada majlis itu “
Dan pada riwayat At-Tirmidzi : “ Subhanakallahumma wa bihamdika Asyahadu Anlaa ilaha illa anta
astagfiruka wa atuubu laika “
BAB 8
ADAB-ADAB BERBICARA
Allah ta‟ala berfirman :
٣٦ ٱاف َحؤ َحد ُسك ُّدل أُسْب ٰاَحئَحِب َح َحك َحن َحنوُس َحمسُٔسو
لَحر َح ُس يس اَح َح َحِبَحِبۦو َحِبل ٌم ۚ َحِب َّلن َّل
ٱاس َحع َحٱاَح َح قف َحم اَح َح
َحَح تَح ُس
“ Dan janganlah kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak mempunyai ilmu tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung
jawabannya “ (Al-Israa` : 36 )
Jadi wajib bagi seorang muslim untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari hal-hal yang Allah
haramkan, untuk mengharapkan keridhaan-Nya, dan berharap meraih ganjaran pahala dari-Nya.
Dan hal itu suatu yang mudah bagi yang Allah mudahkan baginya.
Faedah : Dari Abu Sa‟id al-Khudri radhiallahu „anhu [ Hammad bin Zaid mengatakan ] Saya tidak
mengetahui kecuali hadits ini beliau riwayatkan secara marfu‟ , beliau berkata : “ Apabila bani
Adam bangun pada pagi hari, maka seluruh anggota tubuhnya menegur lisan, dan mengatakan :
Takwalah engkau kepada Allah, karena apabila engkau lurus maka kamipun akan lurus, dan apabila
engkau menyimpang maka kamipun akan menyimpang “
Dan sabda beliau: “ Anggota tubuhnya menegur lisannya”, maknanya bahwa seluruh anggota
tubuhnya tunduk dan merendah dihadapan lisan, taat kepadanya. Apabila engkau wahai lisan, lurus
maka kamipun kaan lurus, dan apabila engkau menyelisihi dan menyimpang dari jalan yang lurus,
maka kami akan mengikutimu, maka bertakwalah engkau kepada Allah bagi kami.
Dan hadits ini tidaklah kontradiktif dengan saba beliau Shallallahu „alaihi wa sallam – dari hadits
An-Nu‟man bin Basyir – : “ Ketahuilah bahwa pada jasad seseorang terdapat segumpal daging,
apabila daging tersebut baik, maka seluruh jasad akan menjadi baik, dan apabila segumpal daging
tersebut rusak maka akan rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah
hati “
At-Thibi mengatakan : Lisan merupaka penerjemah hati dan penggantinya pada bagian zhahir
tubuh. Apabila suatu perkara disandarkan kepadanya maka itu berupa majaz dalam hukum. Seperti
perkataan anda : Dokter menyembuhkan seorang yang sakit. Al-Maidani mengatakan tentang
sabda beliau : Seseorang bergantung dengan dua hal yang kecil pada dirinya, kedua hal tersebut
adalah hati dan lisan. Maknanya seseorang akan benar dan menjadi sempurna kepribadiannya
dengan dua hal tersebut.
Sabda beliau : “ Dan membenci jika kalian mengutip perkataan “, yaitu menceburkan diri pada
kabar dan cerita-cerita orang tentang keadaan dan perbuatan mereka yang tidak mendatangkan
manfaat. Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi.
Banyak berbicara adalah suatu yang tercela dalam syariat. Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma
meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Sesunggunya oang yang
paling saya cintai diantara kalian dan yang paling dekat majlisnya kepadaku pada hari kiamat
adalah yang paling terpuji akhlaknya. Dan sesungguhnya yang paling saya benci dan paling jauh
majlisnya dariku pada hari kiamat adalah orang-orang yang banyak cakap, orang-orang yang
memfasihkan bicaranya serta al-mutafaihiquun. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah kami
telah mengetahui apa itu ats-tsatsaaruun – yang banyak cakap – dan juga al-mutasyaddiquun,
namun apakah itu al-mutaaihiquun ? Beliau menjawab: Yakni orang-orang yang angkuh “
Faedah: Abu Hurairah berkata : “ Tidak ada kebaikan pada perkataan yang berlebihan ”. Umar bin
Al-Khaththab mengatakan: “ Barang siapa yang banyak berbicara maka akan sering tergelincir “
Ibnu Al-Qasim mengatakan: “ Saya telah mendengar dari Malik, beliau berkata: “ Tidak ada
kebaikan pada banyak berbicara, dan hal itu merupakan tingkah kaum wanita dan anak-anak.
Tingkah laku mereka selamanya adalah berbicara dan tidak diam …
Lainnya mengatakan:
Seseorang meninggal karena kesalahan lisannya
Dan seseorang tidaklah meningal karena kesalahan kakinya
Tergelincirnya dia dari mulutnya yang akan menghempaskan kepalanya
Sementara tergelincirnya dia dengan kakinya akan bersih perlahan-lahan
Dari Jabir radhiallahu „anhuma, beliau berkata: Saya telah mendengar Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “ Sesungguhnya syaithan telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang
mendirikan shalat dijazirah Arab, akan tetapi syaithan tidak berputus asa untuk menghasut
diantara mereka “
Makna hadits diatas : bahwa sesungguhnya syaithan telah berputus asa menggoda para penduduk
jazirah Arab untuk menyembahnya, akan tetapi syaithan senantiasa berusaha menghasut mereka
untuk saling bermusuhan, kebencian, peperangan, menyebar fitnah dan lain sebagainya. Demikian
yang dikatakan oleh An-Nawawi.
Ghibah dan namimah adalah salah satu benih kebencian dan permusuhan yang ditanamkan
ditengah-tengah manusia. Dan Allah telah mengabarkan perihal syaithan bahwa dia adalah musuh
kita. Dan seorang musuh tidak akan menghendaki kebaikan pada diri kita – dan hal itu tidak kita
sangsikan lagi – dan Allah telah memerintahkan kita untuk memusuhinya dan memeranginya.
٦ ٱاسعَحِب َحِبري ٱَّت ُسذ هُس َح ُس ًّ ۚ َحِبَّلَح يَح ُسوْب َحِبحزَحۥوُس اَحِبيَح ُسكواُسوْب َحِبمن أَحص َٰح َحِب
ب َّل َحِب َّلن ٱاشَّلي ٰطَحن اَح ُسك ُس فَح َّلَحِب
َح ّل َح
“ Sesunggunya syaithan adala musuh bagi kalian, maka jadikanlah dia sebagai musuh,
sesungguhnya syaithan akan mengajak kepada golongannya agar mereka semuatermasuk
penghuni neraka sa‟iir “ (Fathir : 6)
Ghibah dan namimah, termasuk salah satu senjata Iblis dan kelompoknya, untuk mencerai
beraikan kaum manusia. Menanamkan kebencian dihati sbeagian kaum manusia kepada sebagian
lainnya. Dan kedua hal tersebut termasuk diantara penyakit yang akan membinasakan individu
serta mencerai beraikan jama‟ah.
Penyakit tersebut akan menyebabkan individu dan masyarakat berada dalam bahaya dengan
mendapatkan ancaman Allah akibat orang yan dighibahinya atau namimah yang diucapkannya.
Dan penyakit ini akan menimbulkan pemutusan silaturrahim antara sesama keluarga dan kerabat
dan sesama kaum manusia.
Ada baiknya kita akan sebutkan sebagian yang berkaitan dengan kedua hal tersebut. Dan seorang
yang mendapatkan taufik adalah yng menundukkan hatinya kepada kebenaran sertamenjaga
lisannya terhadap makhluk Allah.
Allah ta‟ala berfirman :
َحِب َحِب َح َح َحَتَح َّلس ُسسوْب َحَح يَحغتَحب َّلع ُس ُسك َحع ً ۚ أَح ُسَحِب ُّد
أك َحل َححل َح أَحخيو َحميت فَح َحك َحِبرىتُس ُس وهُس ۚ َحٱت ُسَّلقوْب ٱالَّلوَح ۚ َحِب َّلن ٱالَّلوَح
َحح ُس ُسك أَحن يَح ُس
ب أ َح
١٢ ٞ تَح َّلو ب َّلرَحِبحي
“ Dan janganlah sebagian dari kalian menghibah sebagian lainnya. Apakah salah seorang diantara
kalian akan memakan daging bangkai saudaranya, maka kalian tentunya merasa jijik. Maka
bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Pengasih “ (Al-
Hujurat : 12 )
Faedah lainnya : Tindakan yang sepatutnya bagi seseorang yang mengetahui namimah :
Pertama : Tidaklah membenarkannya karena seorang pembawa namimah adalah seorang yang
fasik.
Kedua : Melarangnya dari perbuatan itu dan menasihatinya dan mencela perbuatan yang
dilakukannya tersebut.
Ketiga : Membencinnya karena Allah, disebabkan pelaku perbuatan namimah adalah perbuatan
yang dibenci Allah t‟ala. Dan wajib membenci seseorang yang Allah benci.
Keempat : Tidak berprasangka buruk terhadap saudaranya yang tidak berada dihadapannya.
Makna yang tersirat pada ayat diatas adalah : janganlah kalian menjadi kelompok orang-orang
yang berdusta.
Dari Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anhu, beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Sesungguhnya kejujuran akan menuntun kepada perbuatan baik dan perbuatan yang
baik akan menuntun kepada surga. Dan seseorang akan berkata jujur hingga dia tetulis disisi allah
sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan akan menuntun kepad perbuatan fajir.
Dan perbuatan fajir akan menuntun kepada neraka. Dan seseorang akan berdusta hingga akan
tertulis disisi Allah bahwa dia adalah seorang pendusta “
Ibnu Hajar mengatakan : “ Ar-Raghib mengatakan asal kata al-fajru berarti suatu yang pecah.
Berarti al-fujur memecahkan/menyingkap penutup keagamaan seseorang. Dan kalimat ini juga
dipergunakan untuk menunjukkan makan kecenderungan kepada perbuatan fasad dan terbawa
kepada perbuatan maksiat. Dan merupakan kalimat yang menyatukan segala bentuk keburukan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda :Tanda seorang munafik ada tiga: Apabila berbicar adia berdusta, apabila berjanji dia
menyalahi, dan apabila diberi kepercayaan dia berkhianat “
Barang siapa yang memiliki sifat dusta maka pada dirinya ada ciri orang-orang munafik.
Dari Samurah bin Jundub radhiallahu „anhu pada hadits Ru‟ya Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ,
bahwa beliau bersabda : “ …Akan tetapi malam itu saya melihat dua orang yang mendatangiku lalu
keduanya menggandeng tanganku dan mengeluarkanku dari tanah Maqdis. Dan seseorang sedang
duduk dan seseorang sedang berdiri dan pada tangannya penjepit-penjepit dari besi – sebagian
pengikut Musa berkata dari Musa – : Bahwa dia memasukkan penjepit itu didalam rahangnya
hingga sampai kedalam tengkuknya, lalu tengkuk yang satnya juga diperbuat hal yang serupa
dengan itu. Kemudian rahangnya dikembalikan seperti sedia kalam, lalu diperbuat lagi yang
semisalnya. Saya berkata : Apakah ini ? Keduanya mengatakan : Berlalulah dairnya … “
Faedah : Kedustaan yang paling besar adalah kedustaan kepada Allah dan kedustaan kepada
Rasul-Nya Shallallahu „alaihi wa sallam. Dan bersumpah kepada Allah dengan sumpah yang dusta
untuk menguasai harta seorang muslim.
Adapun kedustaan kepada Allah, dapat dengan mentakwilkan dan menafsirkan kalam Allah tanpa
dasar ilmu. Diantara hal itu adalah mendudukkan beberapa nash-nash Al-Qur`an dengan sejumlah
kejadian yang bermunculan. Para ulama As-Salaf, telah merasa berat untuk menafsirkan kalam
Allah subhanahu wata‟ala tanpa dasar ilmu, dan ada banyak perkataan dari mereka tentang hal itu
:
Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan: “Demi Tanah yang aku pijak dan langit yang menaungiku ,
apabila aku mengatakan sesuatu didalam Kitabullah yang tidak kau ketahui… “
Dari Ibnu Abbas, beliau ditanya tentang sebuah ayat , apabila ayat tersebut ditanyakan kepada
sebagian dari kalian, maka dia akan mengatakan/menafsirkan ayat tersebut, lalu beliau enggan
untuk mengatakan/menafsirkan ayat tersebut …
Masruq mengatakan : Berhati-hatilah dalam menafsirkan karena tafsir adalah meriwayatkan dari
Allah.
Ibnu Taimiyah mengatakan : Inilah beberapa atsar dan atsar-atsar lain yang semisalnya dari para
Imam As-Salaf yang mengindikasikan keengganan mereka berbicara dalam masalah tafsir tanpa
dasar ilmu pada mereka. Adapun perkataan yang diektahui baik dari tinjauan etimloginya maupun
secara syara‟ maka hal tersebut tidak mengapa.
Adapun kedustaan kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , dapat berupa pemalsuan
hadits, dan menyangka bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengatakannya,
melakukannya atau membenarkannya. Dan berdusta kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
mendapatkan ancaman berupa api neraka.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu „anhu mengatakan : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
”janganlah kalian berdusta kepadaku, karena barang siapa yang berdusta kepadaku maka pastilah
dia akan disengat dengan api neraka “ pada riwayat lainnya : “ akan disengat dengan api neraka “
Adapun bersumpah atas nama Allah untuk mengambil harta seorang muslim, telah diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas‟ud radhiallahu „anhu, beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Barang siapa yang bersumpah dengan sumpah yang dusta untuk merampas
harta seorang muslim atau mengatakannya kepada saudaranya, maka dia akan menjumpai Allah ,
sementara Allah sangat murka kepadanya … “[9]
Dari Abdullah bin Amru radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda :
Termasuk dosa-dosa besar : Berbuat syirik kepada Allah , durhaka kepada kedua orang tua,
membunuh seorang muslim dan sumpah yang dusta “
Dan Dari Ibnu Mas‟ud beliau mengatakan : “ kami mengkategorikan termasuk dosa yang tidak ada
kaffarahnya diantaranya adalah sumpah yang dusta, yaitu seseorang yang bersumpah –
pengakuan – terhadap harta saudaranya dengan sumpah yang dusta untuk menguasai harta
tersebut “
Faedah lainnya : kedustaan diperbolehkan [ada tiga hal] :
Pertama : Untuk mengadakan perdamaian diantara kaum manusia.
Kedua : Didalam berperang.
Ketiga : Seorang suami yang berbincang kepada Istrinya dan istri kepada suaminya.
Lafazh diatas lafazh yang shahih secara marfu‟ – sebagaimana yang telah kami terangkan – dengan
begitu jelaslah pendapat bolehnya berdusta pada tiga perkara yang telah disebutkan sebelumnya.
Dan hadits ini ada beberapa syahid penguat lainnya :
Adapun riwayat syahid untuk mendamaikan antara kaum manusia, adalah hadits yang telah
dikemukakan sebelumnya.
Syahid riwayat berdusta ketika berperang, adalah hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma,
beliau berkata: bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Siapakah yang akan
menuntaskan Ka‟ab bin Al-`Asyraf ? karena sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.
Muhammad bin Maslamah mengatakan : Apakah anda menyukai jika saya membunuhnya , wahai
Rasulullah ? Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam berkata : Benar. Maslamah mengatkaan :
Izinkanlah aku akan berdua bersamanya. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : Silahkan
engkau berdua bersamanya. Maslamah lalu mendatanginya dan berkata kepadanya: “ Dan
menyebutkan perbincangan antara mereka berdua. Dan beliau berkata : Sesunguhnya orang ini
telah menekan kami dengan shadaqah dan sungguh dia telah menyulitkan kami. Dan ketika dia
mendengarnya, dia mengatakan : Dan demi Allah dia juga telah menjemukan kami dengannya …
al-hadits “
Yang dijadikan argumen pada hadits diatas adalah
Sabda beliau : “ Izinkanlah saya akan berdua dengannya “, “ Sungguh dia telah menekan kami
dengan shadaqah “, yaitu : Meminta kami untuk menempatkan shadaqah pada masing-masing
tempatnya.
Dan : “ Dan sungguh dia telah menyulitkan kami “, yakni : Membebani kami dengan segala macam
perintah dan larangan.
Adapun syahid pembolehan berdusta kepada istri untuk menyenangkan hatinya : Hadist yang
diriwayatkan oleh Atha‟ bin Yasaar, bahwa beliau berkata: Seseorang menjumpai Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam , dan berkata : Wahai Rasulullah, bolehkan aku berdusta kepada istriku ? Beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Tidak, Allah tidaklah menyukai kedustaan. Orang tersebut
berkata: “ Wahai Rasulullah, – perbuatan itu – untuk mendamaikannya dan menyenangkan
hatinya. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : Tidak mengapa bagimu “
An-Nawawi mengatakan: “ Adapun dusta kepada istri dan dusta seorang istri kepada suaminya.
Yang dimaksud dengan dusta ini adalah dengan manampakkan kasih sayang dan janji yang bukan
suatu keharusan serta lain sebagainya. Adapun memperdayai hingga menghalangi haknya atau
mengambil yang bukan haknya baik suami atau istri, maka hal tersebut haram sesuai dengan ijma‟
kaum muslimin , wallahu a‟lam.
Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anhu meriwayatkan, beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Bukan seorang mukmin apabila dia senang menghujat, senang melaknat,
seorang yang berkata keji dan berkata buruk “
Perkataan yang keji, dapat berarti beberapa makna. Terkadang bermakna makian dan celaan dan
perkataan dusta, sebagaimana didalam hadits Abdullah bin Amru radhiallahu „anhuma, beliau
berkata : Tidaklah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam seorang yang berkata keji dan sering berkata
kotor. Dan beliau seringkali mengatakan: Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
akhlaknya “Dan terkadang bermakna : Berlebihan dalam berkata dan menjawab perkataan.
Sebagaimana didalam hadits Aisyah radhiallahu „anha, beliau berkata: Sekelompok Yahudi datang
dan mengatakan : As-saamu „alaika wahai Abul Qasim. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
menjawab : wa‟alaika. Aisyah berkata : Saya mengatakan : bahkan jawablah: As-saamu wa adz-
dzaamu – kematian dan celaan bagi kalian –. Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Wahai Aisyah janganlah engkau menjadi seorang yang berkata keji “Aisyah berkata :
Tidakkah anda mendengar apa yang mereka katakan ? Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: Tidakkah hal tersebut telah terjadi pada mereka apa yang mereka katakan. Saya berkata
: Dan bagi kalian. “
Peringatan : Seorang yang sering melaknat tidak menjadi seorang yang jujur. Dia akan
diharamkan dari syafa‟at dan persaksian pada hari kiamat. Dan barang siapa yang melaknat
sesuatu namun sesuatu itu tidak pantas dilaknat, maka laknatnya akan kembali kepadanya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Tidaklah pantas bagi seorang yang jujur untuk sering melaknat “
Dari Abu Ad-Darda`, beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : Sesungguhnya orang-orang yang sering melaknat tidak akan menjadi saksi dan pemberi
syafa‟at pada hari kiamat "
Dan dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, beliau berkata: Bahwa seseorang melaknat angin disisi
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , lalu beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “
Janganlah engkau melaknat angin , karena angin hanyalah suatu yang mendapat perintah. Dan
sesungguhnya siapa saja yang melaknat sesuatu yang tidak sepantasnya dilaknat maka laknat
tersebut akan kembali kepadanya “
An-Nawawi mengatakan: “ Pada hadits diatas terdapat larangan melaknat dan siapa saja yang
berakhlak demikian tidak akan terdapat pada dirinya sifat-sifat terpuji. Dikarenakan laknat adalah
doa yang dimaksudkan untuk menjauhkan seseorang dari rahmat Allah ta‟ala. Dan doa seperti ini
bukanlah akhlak kaum mukminin yang Allah sifati mereka sebagai kaum yang saling menebar
rahmat, tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, menjadikan mereka layaknya suatu
bangunan yang saling menguatkan sebagian dengan sebagian lainnya, bagaikan sebuah tubuh
yang satu, dan seorang mukmin mencintai segala sesuatu untuk saudaranya sebagaimana dia
mencintai sesuatu untuk dirinya. Maka siapa saja yang mendoakan laknat saudaranya sesama
muslim yakni menjauhkannya dari rahmat Allah ta‟ala, berarti dia telah berada pada puncak
pemutusan silaturrahim dan saling berjauhan. Dan ini tujuan yang seorang muslim disukai untuk
menerapkannya kepada seorang kafir dan mendoakan laknat baginya. Dari sinilah pada sebuah
hadits yang shahih disebutkan : “ Melaknat seorang mukmi bagaikan membunuhnya “
Dari Abdullah bin „Amru radhiallahu „anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Sesungguhnya tergolong dosa-dosa besar seseorang melaknat kedua orang tuanya.
Ada yang mengatakan : Wahai Rasulullah, bagaimanakah seseorang akan melaknat kedua orang
tuanya ? Beliau menjawab : Orang tersebut mencaci bapak orang lain, lalu orang tersebut mencaci
bapaknya dan mencaci ibunya.” Pada lafazh Muslim : “ Beliau bersabda : Temasuk dosa-dosa besar
seseorang menghujat kedua orang tuanya. Para sahabat mengatakan: Wahai Rasulullah : Apakah
mungkin seseorang menghujat kedua orang tuanya ? Beliau bersabda: “ Benar. Dia mencaci bapak
orang lain lalu orang tersebut mencaci bapaknya dan mencaci ibu orang lain lalu orang tersebut
mencaci ibunya “
9. Keutamaan seseorang meninggalkan perdebatan walau dia dalam keadaan benar
Al-Miraa`u dalam arti etimologinya bermakna : Bersengketa dan berdebat. … Asalnya dari bahasa
adalah al-jidaal, dan seseorang mengindikasikan dalam perdebatannya suatu perkataan dan sikap-
sikap mental yang mengindikasikan permusuhan dan selainnya.
Berasal dari kalimat: mariyat asy-syaah, Apabila anda memeras dan mengeluarkan susunya.
Dari Abu Umamah radhiallahu „anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Saya adalah pemuka dihamparan surga bagi siapa saja yangmeninggalkan perdebatan
walau dia dalam keadaan benar. Dan di pertengahan surga bagi seseorang yang meninggalkan
kedustaan walau dalam keadaan bercanda, dan dibagian surga yang tertinggi bagi yang terpuji
akhlaknya “
Pada hadits tersebut diterangkan bahwa siapa saja yang meninggalkan perdebatan walau dia dalam
keadaan jujur dan benar maka dia akan diberi janji melalui lisan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
sebuah rumah dihalaman surga.
Didalam A-Tuhfah : “ Hal itu dikarenakan dia telah berpaling dari perusakan hati orang yang
diajaknya berdebat dan mengahalunya merupakan keluhuran jiwa dan penampakan kemuliaan
keutamaan dirinya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda:
"memperdebatkan Al-Qur`an adalah kekufuran “
Yakni memperdebatkan segala yang ada didalam Al-Qur`an.
Dari Jundub bin Abdillah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda :
“ Kalian bacalah Al-Qur`an atas apa yang dapat menyatukan hati-hati kalian, dan apabila kalian
bersengketa maka berdirilah “
Persengketaan yang dimaksud didalam hadits diatas adalah perbedaan dalam memahami
maknanya. Dan mungkin juga yang dimaksud adalah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya.
Dan ketika terjadi perbedaan pendapat yang akan menyebabkan keburukan terhadap Al-Qur`an,
seorang muslim diperintahkan untuk menghentikan hal itu hingga tidak terjadi keburukan dan
perdebatan tidak mencuat semakin membesar.
An-Nawawi mengatakan : Perintah untuk meninggalkan perbedaan tentang Al-Qur`an oleh para
ulama dipahami pada perbedaan yang tidak diperbolehkan ataukah perbedaan yang akan
menimbulkan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Seperti perbedaan tentang Al-Qur`an itu sendiri
atau pada salah satu kandungan maknanya yang tidak ditoleransi adanya ijtihad, ataukah
perbedaan yang akan menyebabkan keraguan dalam masalah-masalah furu‟ agama. Adapun
diskusi para ulama berkaitan dengan hal itu untuk mendapatkan faedah dan menampilkan
kebenaran, dan perbedaan mereka dalam hal itu bukan suatu yang terlarang, melainkan suatu
yang diperintahkan dan keutamaannya nampak jelas. Kaum muslimin telas sepakat akan hal ini
dizaman sahabat hingga sekarang wallahu a‟lam.
Adapun perdebatan yang didasari dengan kejahilan dan mereka-reka suatu yang tidak diketahui,
ataukah perdebatan yang tidak mendatangkan faedah, tidak terdapat faedah agama dengan
mengetahuinya , seperti – memperdebatkan – jumlah Ashhabul kahfi, dan lain sebagainya, maka
hal itu pada banyaknya perdebatan dan analisa yang berkelanjutan tiada henti hanya melalaikan
waktu dan memberi pengaruh pada kecenderungan hati tanpa faedah “
10. Larangan membuat suatu kaum tertawa dengan perkataan dusta
Sebagian manusia terlihat cenderung untuk mengada-adakan dan membuat suatu perkataan dusta
lalu disandarkan kepada dirinya atau kepada orang lain dengan tujuan menjadikannya sebagai
anekdot lucu bagi yang ada dimajlis. Dan orang yang memprihatinkan itu tidaklah mengetahui
bahwa dia telah tergelincir pada suatu perkara yang amat berat.
Mu‟awiyah bin Haidah radhiallahu „anhu berkata: Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda: "Celakalah bagi yang menceritakan sesuatu kemudian dia berusta pada
ceritanya dengan tujuan membuat kaum yang mendengarnya tertawa. Celakalah dia celakalah dia “
11. Apabila seseoang menceritakan sesuatu kepada saudaranya lalu dia bepaling maka
yang diceritakannya adalah suatu amanah
Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Apabila seseorang menceritakan suatu cerita kepada saudaranya lalu dia
berpaling menengok maka cerita tersebut adalah suatu amanah “
Beliau – semoga Allah mengampuninya – menerangkan hadits diatas, dengan mengatakan: “ Ini
adalah adab nabawiyah yang sangat agung. Dimana Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
mengkategorikan seseorang yang menengok kekanan dan kekiri sewaktu menceritakan sesuatu
sebagai suatu penyampaian rahasia untuk dijaga dan tidak disebar luaskan. Ibnu Raslan
mengatakan: Dikarenakan menengoknya dia adalah pemberitahuan kepada orang yang diajaknya
berbicara bahwa dia khawatir orang lain akan mendengar ucapakannya, dan dia telah
mengkhususkan dirinya dengan rahasianya tersebut. Jadi menengoknya dia sama dengan ucapan:
Simpanlah ini dariku baik-baik, yakni dengarlah dariku lalu simpanlah dan ini merupakan amanah
bagimu.
12. Mendahulukan yang lebih tua dalam berbicara
Dalil akan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rafi‟ bin Khudaij dan Shal bin Abu Hatsmah,
keduanya mengatakan: Bahwa Abdullah bin Sahl dan Muhaishah bin Mas‟ud keduanya mendatangi
Khaibar maka keduanya terpisah dalam peperangan, kemudian Abdullah bin Sahl terbunuh,
datanglah Abdurrahman bin Sahl, Huwaishah dan Muhaishah -keduanya anak Mas‟ud - kepada Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam , kemudian mereka membicarakan perkara sahabat mereka, mulailah
dengan Abdurrahman dan dia adalah orang yang paling kecil pada kaum tersebut, maka Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadanya : “ Agungkanlah orang tua”.-Berkata Yahya ( Ibnu
Mas‟ud ) yakni diharapkan pembicaraan dari yang lebih tua …al-hadits.
Dan pula dikecualikan berdasarkan dengan perbuatan Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, dimana
beliau tidaklah mengedepankan dirinya dihadapan yang lebih tua dari beliau.
Saya katakan : Atsar-atsar dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam untuk mengedepankan yang lebih
tua atsar-atsar yang populer, sebagaimana beliau Shallallahu „alaihi wa sallam mengedepankan
yang lebih tua ketika bersiwak, sebagaimana telah disebutkan didalam adab-adab bertamu.
13. Tidak memotong pembicaraan
Diantara adab berbicara, adalah tidak memotong pembicaraan orang lain. Dikarenakan mereka
terkadang senang dalam melanjutkan perkataannya, apabila sebagian diantara mereka berbicara
dan memotong perkataan pembicara, hal itu akan menjadikan pendengar sulit memahami dan
menjadi marah kepada yang memotong pembicaraan mereka.
Hal tersebut juga dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu „anhu,
beliau berkata : Ketika kami bersama Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam didalam suatu majlis, dan
beliau lagi berbicara kepada suatu kaum, seorang Arab badui datang dan bertanya : "Kapankah
datangnya hari kiamat".
Namun Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melanjutkan pembicaraannya. Sebagian kaum
tersebut mengatakan: beliau mendengar ucapan orang itu namun tidak menyukainya. Sebagian
lainnya mengatakan : Bahkan beliau tidaklah mendengarnya. Hingga beliau menyelesaikan
pembicaraannya, beliau berkata : Dimanakan yang menanyakan waktu terjadinya hari kiamat ?
Orang tersebut mengatakan : "Saya berada disini wahai Rasulullah" .
Beliau bersabda : “Apabila amanah telah diabaikan, maka nantikanlah datangnya hari kiamat“.
Orang itu bertanya : "Bagaimanakah amanah diabaikan ?"
Beliau bersabda: “Apabila suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya maka nantikanlah
datangnya hari kiamat “
Yang menjadi acuan pada hadits diatas adalah sabda beliau: “ Namun Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam melanjutkan pembicaraannya “, yakni beliau tidak memutuskan pembicaraan beliau. Hal
itu dikarenakan yang berhak adalah yang membuka majlis bukan sipenanya ini. Maka
sepantasnyalah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidak memotong pembicaraan beliau hingga
menyelesaikannya.
Namun dikecualikan juga dengan perkataan penerjemah Al-Qur`an, Ibnu Abbas radhiallahu
„anhuma, beliau mengatakan kepada „Ikrimah : “ Berbicaralah kepada kaum muslimin pada setiap
jum‟at sekali. Apabila anda mengabaikannya maka jadikanlah dua kali, dan apabila mesti
diperbanyak maka tiga kali. Dan janganlah engkau menjadikan kaum muslimin menjadi bosan
dengan Al-Qur`an ini. Dan janganlah engkau menjumpai suatu kaum yang tengah
memperbincangkan sesuatu kemudian engkau menceritakannya kepada mereka hingga memotong
percakapan mereka dan menjadikan mereka bosan. Akan tetapi diamlah engkau, apabila mereka
memintamu untuk menceritakan kepaa mereka maka beritahukanlah kepada mereka, disaat
mereka berkemauan untuk mendengarnya …al-hadits
Pada sebuah hadits, dari Aisyah – ummul mukminin radhiallahu „anha – berkata : “Sesungguhnya
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam apabila menyampaikan suatu hadits, jikalau ada yang
berkehendak untuk menghitungnya niscaya dia akan dapat menghitungnya “. Pada riwayat Muslim
: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah menyampaikan suatu hadits
dengan cepat sebagaimana kalian menyampaikannya dengan cepat “
Pada riwayat Ahmad : “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah berbicara dengan cepat
sebgaimana kalian berbicara dengan cepat. Beliau berbicara dengan tanda pemisah yan akan dapat
dihafalkan oleh yang mendengarnya “
Perkataan Aisyah : “Bahwa beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah menyampaikan hadits
dengan cepat sebagaimana kaliam menyampakannya dengan cepat “. An-Nawawi mengatakan :
“Memperbanyak dan saling menyambungnya “
Ibnu Hajar mengatakan : “Maksudnya bahwa menyembung penyampaian suatu hadits dengan
tergesa-gesa , sebagiannya disampaikan setelah sebagian lainnya agar yang mendengarkannya
tidak tersamar “
١٩ وت ٱحلَح َحِب َحِبري َحاكر ٱأل ٰ َحِب َحِبمن َح َحِب ۚ َحِب
ل ُس
َحصوت اَح َحَح صوت َح َّلن أ َح َح َحٱ ُس
“ Dan pelankanlah suaramu, karena sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai “ (
QS. Lukman : 19 )
Firman Allah ta‟ala : “ Dan pelankanlah suaramu “, suatu adab bersama kaum manusia dan juga
kepada Allah. “ Dan sesungguhnya seburuk-buruk suara “ yakni yang paling jelek dan paling hina ,
“ adalah suara keledai “.
Seandainya mengeraskan suara mengandung suatu faedah dan mashlahat, tidaklah menjadi ciri
khusus keledai yang anda telah ketahui kehinaan dan kebodohannya. Sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Sa‟di.
Tidak disangsikan lagi jikalau mengeraskan suara kepada orang lain merupakan adab yang buruk,
dan menunjukkan ketidakhormatan kepada orang lain.
Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “ Barang siapa yangmengangkat suaranya kepada orang lain,
setiap yang berakal sehat akan mengetahui bahwa dia memiliki sikap kurang hormat kepada orang
lain … Ibnu Zaid mengatakan : seandainya mengangkat suara suatu yang baik tidaklah Allah
menjadikannya bagi seekor keledai.
Jawab : Apabila yang dimaksud adalh membenarkan lafazh-lafazh tersebut disesuaikan dengan
bahasa Arab, maka perkataan ini benar adanya. Karena bukanlah suatu yang urgen – dari tinjauan
aqidah yang selamat – jikalau lafazh-lafazh tersebut tidak selaras dengan bahasa Arab, selama
maknanya dapat dipahami dan selamat.
Namun jikalau yang dimaksudkan disini dengan memperbaiki lafazh-lafazh pembicaraan, adalah
meninggalkan lafazh-lafazh yang menunjukkan kekufuran dan kesyirkan, maka perkataan tersebut
tidaklah benar, bahkan membenarkan lafazh-lafazh tersebut suatu yang urgen. Dan tidak mungkin
dikatakan kepada seseorang : silahkan lisan anda bebas mengucapkan apapun juga selama niat
anda benar, melainkan kita katakan: dengan perkataan-perkataan tertentu yang telah disampaikan
oleh syariat Islam. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu „Utsaimin.
a. Lafazh-ladazh pengkafiran, tabdi‟ – tuduhan sebagai pelaku bid‟ah – dan tafsiq –
tuduhan sebagai seorang fasik –
Telah diketahui sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : Siapa saja yang mengatakan kepada
saudaranya wahai kafir, maka sungguh kalimat itu tertuju kepada salah satu dari keduanya “ Dan
pada riwayat Abu Daud : “ Siapa saja seorang muslim yang mengkafirkan seorang muslim lainnya,
maka apabila dia memang seorang yang kafir, apabila tidak maka yang menuding itulah yang kafir
“
Sekelompok manusia yang Allah butakan mata hati mereka dan melanggar kehormatan orang lain
dengan ucapan takfir, tabdi‟ dan tafsiq. Seolah-olah Allah mereka sembah dengan perkataan itu.
Diantara mereka ada yang menggunakan ungkapan takfir, tabdi‟ atau tafsiq secara mutlak dengan
hati yang lapang, sementara para ulama as-salaf dari generasi sahabat dan para Imam Islam yang
meniti jalan petunjuk mereka – seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi‟i dan Ahmad – mereka
demikian berhati-hati dengan ibarat itu. Terlebih dalam ungkapan takfir. Dimana mereka tidaklah
mengucapkan sedikitpun dari lafazh itu kecuali setelah ada pada mereka dalil-dalil yang tidak ada
keraguan lagi padanya. Dan juga telah tertiadakan pada diri seseorang yang dituju segala
penghalang, dan argumen telah tersampaikan kepadanya.
Dari Abu Bakrah radhiallahu „anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dalam
khuthbah beliau pada hari „Iedul Adha mengatakan: “ … Sesungguhnya darah kalian, harta benda
kalian dan kehormatan kalian haram atas diri sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini bagi
kalian , pada bulan ini, dan di negeri ini. Dan yang hadir seharusnya menyampaikan kepada yang
tidak hadir, dan karena yang hadir bisa jadi menyampaikannya kepada yang lebih memahaminya “
b. Perkataan seseorang: Bahwa celakalah kaum manusia.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu beliau berkata: bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Apabila seseorang mengatakan bahwa kaum manusia telah celaka, maka dialah yang
paling celaka diantara mereka "
Sabda beliau : “ Maka dialah yang paling celaka diantara mereka “, dengan hukum rafa‟ – sebagai
khabar mubtada`, – dan juga diriwayatkan dengan fathah – yakni fi‟il madhi wazan af‟ala, – yakni
dialah yang menyebabkan mereka celaka, bukan mereka yang binasa secara hakikatnya “
An-Nawawi mengatakan: “ Para ulama sepakat atas celaan ini, sesungguhnya dia bagi orang yang
mengatakannya adalah untuk meremehkan orang lain, menyombongkan diri dihadapan mereka,
mengutamakan dirinya atas mereka dan menjelekkan keadaan- keadaan mereka dikerenakan dia
tidak mengetahui rahasia Allah pada ciptaan-Nya, mereka berkata : Adapun yang mengatakan
demikian dalam keadaan sedih ketika dia melihat pada dirinya dan pada orang lain ada kekurangan
dalam perkara agama maka hal tersebut tidak mengapa. Sebagaimana dia berkata : Saya tidak
mengetahui ummat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam kecuali mereka semuanya mendirikan shalat.
Demikianlah penafsiran Imam Malik dan diikuti oleh kaum muslimin.
Sumpah yang dilakukan oleh makhluk dapat dengan salah satu dari tiga huruf sumpah , yaitu:
wau, baa`, taa`. Anda mengatakan: Wallahi, Billahu, atau Tallahi
Ataukah bersumpah dengan „izzah Allah, sifat-sifat-Nya, kalimant-kalimat-Nya.
Al-Bukhari mengatakan : Bab. Al-Halaf bi-„izzatillahi wa shifatihi wa kalimaatihi – Bab. Bersumpah
dengan „izzah/kemuliaan Allah, sifat-sifat-Nya dan kalimat-kalimat-Nya -, kemudian beliau
mengatakan : … Abu Hurairah mengatakan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : Seseorang akan
berada diantara surga dan neraka, lalu dia berkata: Wahai Rabb-ku, palingkanlah wajahku dari api
neraka , Demi kemuliaan-Mu saya tidaklah memohon kepada selain Engkau.”
Dan sumpah juga dapat dengan meniyandarkan salah satu makhluk ciptaan Allah kepada-Nya,
seperti menyandarkan ka‟bah, langit dan bumi kepada Allah subhanahu wata‟ala. Sebagaiman
perkataan anda:” Demi Rabb ka‟bah, demi Rabb langit dan lain sebagainya, dengan mensucikan
Allah jalla wa „ala dari penyandaran makhluk-makhluk Allah yang dianggap buruk penyebutannya.
Walaupun Allah yang menciptakannya, akan tetapi adab bersama Allah mengharuskan seperti itu.
Sebagaimana doa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang terkenal : “ Dan segala keburukan
tidaklah disandarkan kepada Engkau “
Sedangkan Allah adalah pencipta segala kebaikan dan keburukan.
Dan ada beberapa lafazh yang telah didengarkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , yang
temasuk kedalam tiga lafazh sumpah sebelumnya. Seperti sabda beliau : Ayyamillah, sabda beliau
: Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya. Dan sabda beliau : Tidaklah Demi Zat yang
membolak-balikkan hati “
Dan barang siapa yang bersumpah kepada selain Allah, maka dia telah kafir atau telah berbuat
syirik, sebagaimana yang diterangkan didalam hadits Ibnu Umar radhiallahu „anhuma. At-Tirmidzi
meriwayatkan : “ Bahwa Ibnu Umar telah mendengar seseoran mengatakan : Tidaklah demi
Ka‟bah. Maka Ibnu Umar mengatakan : Janganlah bersumpah kepada selain Allah karena saya
telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang bersumpah
kepada selain Allah maka dia telah kafir atau berbuat syirik “
Hadist tersebut sebagaimana yang anda lihat berlaku umum pada larangan bersumpah kepada
segala sesuatu selain Allah. Dan beberapa hadits lainnya dalam lafazh yang lebih spesifik. Seperti
larangan bersumpahdengannenek moyang. Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata : “
Bahwa beliau menjaumpai Umar bin Al-Khaththab diatas kendaraan sementara Umar bersumpah
dengan nama bapaknya. Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menyeru kepadanya : “
Ketahuilah sesungguhnya Allah telah melarang kalian bersumpah atas nama nenek moyang kalian,
barang siapa yang bersumpah hendaknya dia bersumpah atas nama Allah dan jika tidak maka
diamlah “
Orang yang jahil ini bisa menyebabkan kehancuran rumah tangganya, kezhaliman kepada
keluarganya yang sama sekali tidak berdosa. Namun dosa adalah dosa yang diperbuat si pandir ini
yang mempergunakan lisannya tanpa memperhatikan dan melihat akibat dari semua perkara
tersebut. Bisa jadi perkara yang dia hendak sumpahkan tersebut adalah sesuatu yang tidak
bernilai, semisal seseorang bersumpah bagi seseorang lainnya agar dia masuk kedalam rumahnya.
Bersumpah dengan talak ini, perkara yang diperselisihkan oleh para ulama, ketika yang terjadi
adalah melanggar sumpahnya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa seseorang yang melanggar
sumpahnya wajib jatuh talak. Dan sebagian ulama berpendapat disamakan dengan sumpah al-
yamiin, dan harus baginya untuk membayar kaffarah sumpah tersebut ketika dia melanggarnya.
Ibnu „Utsaimin mengatakan dalam salah satu jawaban beliau : “ Adapun mereka yang bersumpah
dengan talak untuk melakukan hal demikian, atau mengharuskan talak jika tidak melakukan hal
demikian, ataukah jika engkau melakukan hal demikian maka istriku tertalak, ataukah jika engkau
tidak melakukan hal demikian akan istrikau tertalak dan yang serupa dengan sighat-sighat itu,
maka perbuatan ini adalah perbuatan yang menyalahi tuntunan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam .
Sebagian besar ulama bahkan ini pendapat mayoritas ulama : Bahwa apabila dia melanggar
sumpahnya maka wajib jatuh talak darinya kepada istrinya. Walau pendapat yang terpilih , apabila
kalimat talak dipergunakan dalam pemakaian sumpah al-yamiin, yaitu ketika diniatkan hanya
untuk mendorong dilakukannya sesuatu, menolak sesuatu, untuk membenarkan atau mendustakan
atau mempertegas pernyataan, maka hukumnya adalah huku sumpah al-yamin. Berdasarkan
firman Allah ta‟ala :
َحِب َحِب َحِب
ض ٱالَّلوُس اَح ُسك َحَحِب لَّل َح َحِب
قَح فَح َحر َح١ ٞ ت أَحزَٰح َح ۚ َحٱالَّلوُس َح ُسفور َّلرحي
َحِب
َحح َّلل ٱالَّلوُس اَح َح ۖ تَح تَحغ َحم َح
رض َح ٱانَّلِب َلَح ُسَحِّرُسم َحم أ َح
ُّد ٰيَحأَحيُّد َح
٢ ٱاعلَحِبي ُس ٱحلَح َحِبكي ُس
ۚ َحٱالَّلوُس َحمواَحٰى ُسك ۖ َح ُسى َحو َح أَحيَٰحنَحِب ُسك
“ Wahai Nabi mengapakah engkau mengharamkan apa yang Allah telah halalkan bagimu, hanya
untuk mendapatkan keridhaan istri-istrimu. Dan Allah adalah Zat yang Maha Pengampun lagi Maha
Pengasih. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian semua untuk berlepas dari sumpah
kalian “ (QS. At-Tahrim : 1 – 2 )
Allah menjadikan pengharaman – istri – sebagai suatu sumpah yamiin. Dan juga berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : Sesunguhnya semua amal berdasarkan niatnya, dan
masing-masing orang disesuaikan dengan niatnya “
Dan orang ini tidaklah meniatkan talak, melainkan hanya meniatkan sumpah biasa ataukah hanya
meniatkan suatu yang semakna dengan sumpah yamiin. Apabila dia melanggar sumpahnya maka
cukup baginya untuk membayarkan kaffarah sumpahnya. Inilah pendapat yang terpilih.
e. Perkataan seseorang kepada seorang munafik : tuan atau wahai tuanku
Diterangkan didalam hadits Buraidah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : "Janganlah kalian mengatakan kepada seorang munafik tuan. Karena
apabila dia seorang tuan maka sesungguhnya kalian telah membuat Rabb kalian „azza wajalla
murka kepada kalian “
Ibnul Qayyim mengatakan didalam Ahkam Ahlu Adz-Dzimmah : Pasal. Menyapa ahlul kitab dengan
tuanku dan maula-ku. Dan adapun menyapa dengan kalimat tuan kami dan maula kami dan
semisalnya adalah perbuatan yang pasti haram.
f. Mencela masa/zaman
Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : Allah „azza wajalla berfirman :
“ Adam Adam telah menyakitiku, dia menghina masa sedangkan Aku adalah masa. Ditanganku
segala perkara, Aku membolak-balikkan malam dan siang “
Pada riwayat Ahmad : “ Janganlah kalian mencela masa, karena sesungguhnya Allah „azza wajalla
berfirman : Akulah masa, hari demi hari dan malam demi malam milik-Ku, Aku memperbaruinya
dan mensilihgantikannya dan Aku mendatangkan kekuasaan setelah kekuasaan – yang pertama “
Termasuk kebiasaan dizaman Jahiliyah bahwa mereka apabila ditimpakan bencana atau musibah
mereka mencela masa. Dan sebagian ummat ini – walau mereka minoritas – yang memang
dianggap sebagai orang-orang jahil, anda akan menjumpainya menceritakan hal itu dari mereka
ketika ditimpa musibah.
Dan pada hadits diatas berisikan larangan mencela masa. Hal itu disebabkan karena mencela masa
tiada lain adalah mencela Sang Pencipta masa, Yang mengaturnya dan Yang membolak-
balikkannya. Maka mereka dilarang untuk mencela masa agar mereka tidak terperosok dalam
mencela Sang Pencipta masa.
Masalah : Apakah dikatakan ini “ zaman tandus/gersang “ atau zaman pengkhianatan atau wahai
zaman yang mengecewakan yang saya telah melihatmu ditempat tersebut ?
Berkata Asy-Syaukani : “ Dan maknanya adalah janganlah kalian mengharamkan dan janganlah
kalian mengahalalkan, dikarenakan perkataan yang engkau ucapkan dengannnya lisan-lisan kalian
tanpa adanya hujjah”.
BAB 9
ADAB-ADAB MAKAN DAN MINUM
Allah ta‟ala berfirman :
٥١ ٞ ون َحلَحِبي
صٰلَحِب ً ۖ َحِب ِّا َحِبِبَح تَحع َح لُس َح َحِب َحِب
ٱار ُس ُسل ُسكلُسوْب م َحن ٱاطَّليَِّحٰت َحٱ َح لُسوْب َح
ٰيَحأَحيُّد َح ُّد
“ Wahai para Rasul makanlah kalian dari makanan-makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal-
amal yang shalih , sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian perbuatan “ (Al-Mukminun : 51
)
ين زق ٱالَّل َحِبو َح تَحعثوْب َحِبِف ٱأل َحِب َحِب َحِب
ُسكلُسوْب ٱشر وْب َحِبمن ِّر َحِب
َحرض ُسمفس َح َح َح َح َحُس
“ Makan dan minumlah kalian dari rizki Allah dan janganlah kalian berlebihan dimuka bumi sebagai
orang-orang yang berbuat kerusakan “ – Al-Baqarah : 60 –
Dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : وك ل مم ا ي ل يك،ل ب يم ي نك وك،ي ا غ الم سم اهلل
“ Wahai anak kecil, makanlah dengan menyebut Bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan
makanlah yang terdekat denganmu “
Para Ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan minum dari bejana tersebut. Dan tidak ada satupun
nash yang menerangkan sebab dari larangan ini. Dan seorang muslim apabila telah mengetahui
suatu dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih tidak sepantasnya dia melanggarnya walau
sekecil apapun juga. Dan tidak selayaknya berupaya untuk mentakwilkannya dengan tujuan
mendapatkan pembolehan dalam pengerjaannya. Para Ulama telah mengupas hikmah yang
terkandung didalam larangan ini dan mereka berbeda persepsi : Diantara hikmah larangan tersebut
: Keserupaan dengan penguasa-penguasa yang angkuh dan raja-raja asing, sikap berlebihan dan
sombong, karena akan menyakiti hati orang-orang yang shalih dan kaum fakir miskin yang tidak
mempunyai sesuatu untuk memenuhi kebutuhan mereka itu. Sebagaimana hal tersebut dinyatakan
oleh Ibnu Abdil Barr.
Faedah : Al-Isma‟ili mengatakan : Sabda beliau : “ Dan bagi kalian di akhirat “ [ pada riwayat
lainnya ] : Maksudnya bahwa kalian akan mempergunakannya sebagai penyeimbang karena telah
meninggalkannya didunia. Dan mereka dilarang sebagai balasan bagi mereka kaena telah berlaku
maksiat dengan mempergunakannya – yaitu didunia, -.
Saya ( Ibnu Hajar ) berkata : Dan ada kemungkinan bahwa hadits diatas mengisyaratkan bahwa
siapa saja yang mempergunakan hal itu didunia maka dia tidak akan mempergunakannya di
akhirat, sebagaimana yang telah terdahulu disebutkan pada pembahasan minum khamar.
2. Larangan makan sambil bertelekan atau menelungkupkan wajahnya.
Abu Juhaifah meriwayatkan , bahwa beliau berkata : “ Saya pernah berada disisi Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam , maka beliau bersabda kepada seseorang yang berada disampingnya :
Tidaklah sekali-kali saya makan sambil bertelekan “
Ibnu Hajar mengatakan : “ Cara betelekan yang dilarang telah terjadi perbedaan pendapat, ada
yang mengatakan : Dengan bersandar sewaktu makan dengan posisi apapun juga. Ada yang
berpendapat : Duduk serong kesalah satu sisi tubuhnya . Ada yang berpendapat : Duduk dengan
menopang kepada tangan kirinya diatas tanah …
Beliau berkata : Ibnu Adiy meriwayatkan dengan sanad yang dha‟if : “ Bahwa Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam melarang seseorang bersandarkan dengan tangan kirinya ketika makan “
Malik berkata : “ Ini adalah salah satu bentuk bertelekan “
Saya – Ibnu Hajar – berkata : “ Dan ini adalah isyarat dari Malik bahwa makruh setiap yang
termasuk dalam bertelekan sewaktu makan, dan tidak mengkhususkannya dengan posisi tertentu
…
Ibnu Hajar mengatakan : “ Dan apabila hal ini suatu ketetapan bahwa makruh atau termasuk khilaf
aula – menyalahi amalan yang utama – , maka posisi duduk yang sunnah disaat makan adalah
dengan duduk berjingkat pada lutut dan menegakkan tumit, dengan melipat kaki kanan dan duduk
diatas kaki kiri “
Dan tinjauan makruhnya posisi duduk ini dikarenakan merupakan posisi duduk para penguasa yang
angkuh dan raja-raja negeri asing. Dan merupakan posisi duduk orang-orang yang berkeinginan
memperbanyak makannya.
Dan posisi yang kedua dari cara makan seseorang yang terlarang adalah makan sambil duduk
bersandar/ bertelungkup diatas perutnya.
Dari Ibnu Umar radhiallahu ;anhuma, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda :
“ Apabila makan malam salah seorang diantara kalian telah dihidangkan sementara shalat telah
didirikan, maka mulailah dengan makan malam kalian dan janganlah seseorang tergesa-tergesa
hingga dia selesai dari makannya “
Dan Ibnu Umar radhiallahu „anhuma , apabila dihidangkan makan malam beliau sementara waktu
shalat telah datang, beliau tidak beranjak dari makan malamnya hingga menyelesaikannya. Imam
Ahmad meriwayatkan didalam Musnad-nya dari Nafi‟ bahwa Ibnu Umar seringkali mengutus beliau
sementara beliau dalam keadaan berpuasa, dan dihidangkan kepada beliau makan malamnya
sementara panggilan shalat maghrib telah dikumandangkan, lalu kemudian iqamah shalat dan
beliau mendengarkannya, namun beliau tidaklah meninggalkan makan malam beliau dan tidak juga
tergesa-gesa hingga beliau menyelesaikan makan malamnya, lalu beliau keluar untuk mengikuti
shalat . Dan beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam Allah bersabda : “ Janganlah kalian
tergesa-gesa menyantap makan malam kalian apabila telah dihidangkan bagi kalian “
Dan sebab dari hal tersebut, agar jangan sampai seseorang mengerjakan shalat namun hatinya
teringat akan makanannya yang mana akan menyebabkan kerisauan yang menghilangkan rasa
khusyu‟nya.
Ibnu Hajar mengatakan : Sa‟id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad
yang hasan dari hadist Abu Hurairah dan Ibnu Abbas : “ Bahwa mereka berdua tengah menyantap
makanan dipemanggangan. Lalu muadzdzin hendak meng-iqamahi shalat, maka Ibnu Abbas
berkata kepadanya : Janganlah engkau tergesa-gesa agar kami tidak berdiri mengerjakan shalat
sementara pada hati kami ada ganjalan “Dan pada riwayat Ibnu Abi Syaibah : “ Agar tidak
memalingkan kami disaat mengerjakan shalat “
Dan perintah semacam ini tidaklah khusus sebatas pada makan malam saja, melainkan pada setiap
makanan yang mana hati tertarik untuk menyantapnya. Dan yang menguatkan hal tersebut adalah
larangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mengerjakan shalat disaat makan telah dihidangkan,
dan disaat menahan air kencing dan buang air besar. Dan sebabnya sangatlah jelas.
Dari Aisyah – ummul mukminin – radiallahu „anha, beliau berkata : Saya telah mendengar dari
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda :
“ Tidak sempurna shalat disaat makanan telah dihidangkan dan tidak sempurna jikalah seseorang
dalam keadaan menahan kencing dan hajat besar “
Jawab : Amalan Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, pada riwayat Ahmad dan selainnya menunjukkan
pendahuluan makan secara mutlak. Dan sebagian ulama mengkhususkan hal itu apabila hati
tertarik dan terbayang dengan makanan tersebut. Apabila hatinya terbayangkan akan makanan
tersebut maka yang lebih utama baginya adalah mengambil makanan tersebut hingga dia
mengerjakan shalat dalam keadaan khusyu‟. Dan juga diriwayatkan dari hadits Abu Ad-Darda`a
radhiallahu „anhu beliau berkata : “ Diantara bentuk pemahaman seseorang adalah dengan
menyelesaikan hajatnya hingga dia menuju shalat dengan hati yang tenang “
Pendapat yang tepat berkaitan dengan masalah itu adalah yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu
Haja – dimana setelah beliau mengutip atsar Ibnu Abbas dan Atsar Al-Hasan bin Ali : “ Makan
malam sebelum mengerjakan shalat akan menghilangkan hati yang tercela“, beliau mengatakan :
Pada atsar ini semuanya mengisyaratkan bahwa sebab pengutamaan makan dari pada shalat itu
adalah karena bayangan maka sepatutnyalah hukum diikutkan pada sebabnya, baik ketika sebab
itu ada atau tidak, dan tidak terikat dengan seluruhnya atau sebagiannya.
4. Membasuh kedua tangan sebelum dan sesudah makan
Saya tidak menjumpai adanya Sunnah yang shahih yang diriwayatkan secara marfu‟ hingga ke
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , yang menerangkan perihal membasuh kedua tangan sebelum
makan. Al-Baihaqi mengatakan : “ Hadits tentang membasuh kedua tangan setelah makan hadits
yang hasan, dan tidaklah shahih hadits tentang membasuh kedua tangan sebelum makan. Akan
tetapi disenangi hal itu untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada kedua tangan dan yang
semisalnya yang akan memberi mudharat kepada tubuh. Dan Imam Ahmad berkaitan dengan
masalah itu terdapat dua riwayat dari beliau. Yaitu riwayat yang menganggap hal itu makruh dan
yang satunya sebagai Sunnah. Dan Imam Malik merinci hal itu, dan mengkaitkan membasuh kedua
tangan sebelum makan apabila ada kotoran. Adapun amalan Ibnu Muflih didalam kitab Al-Adab
karya beliau, menunjukkan bahwa beliau cenderung berpendapat bahwa amalan tersebut Sunnah
sebelum makan, dan ini adalah pendapat sejumlah besar ulama.
Dan permasalahan ini suatu yang lapang walhamdu lillah Rabbil „Alamiin.
Adapun membasuh kedua tangan setelah makan, tentang hal itu telah diriwayatkan beberapa atsar
yang shahih, diantaranya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhialahu „anhu, bahwa
beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang tidur dan
pada tangannya masih melekat ghamar dan tidak membasuhnya kemudian dia terkena sesuatu
makan janganlah dia menyesali kecuali pada dirinya sendiri “
Dan dari abu Hurairah, beliau berkata :
“ Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah makan bagian punggung kambing,
kemudian beliau berkumur-kumur dan membasuh kedua tangannya lalu shalat “
Dan dari Aban bin „Utsman, bahwa „Utsman bin „Affan radhiallahu „anhu pernah makan roti dengan
danging kemudian berkumur-kumur dan membsuh kedua tangannya lalu membasuh wajahnya,
dan kemudian beliau mengerjakan shalat tanpa berwudhu‟ lagi “
Faedah : Sebagian ulama menganggap Sunnah wudhu‟ yang syar‟i sebelum makan apabila dalam
keadaan junub. Dan hal itu disebutkan dalam sebuah hadits dan sebuah atsar. Adapun hadits yang
dimaksud adalah hadits dari „Aisyah radhiallahu „anha, beliau berkata : Apabila Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam junub dan hendak makan atau tidur beliau terlebih dahulu berwudhu‟
sebagaimana wudhu‟ untuk shalat “
Perhatian : Al-Muhadist Al-Albani beragumen denga hadits „Aisyah : “ apabila Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub maka beliau berwudhu‟ dan apabila hendak
makan maka beliau membasuh kedua tangannya “
Bahwa disyariatkan untuk membasuh kedua tangan sebelum makan secaa mutlak berdasarkan
hadits ini.
Akan tetapi hukum secara mutlak ini perlu diteliti lagi, dikarenakan beberapa hal :
Pertama : Hadits tersebut menerangkan tentang amalan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam disaat
beliau junub ketika tidur, makan dan minum.
Kedua : Sebagian riwayat-riwayat hadits tersebut datang dengan lafazh wudhu‟ dan sebagian
lainnya dengan penyebutan membasuh kedua tangan yang menerangkan boleh kedua amalan itu.
As-Sindi didalam Hasyiyah-nya mengatakan : “ Sabda beliau : (( membasuh kedua tangan )) yaitu
terkadang beliau mencukupkannya dengan hal itu untuk menerangkan pembolehan, dan terkadang
beliau berwudhu‟ sebagai keadaan yang lebih sempurna “
Ketiga : Bahwa para Imam Ahlul Hadist, seperti Malik, Ahmad, Ibnu Taimiyah, An-Nasa`i
rahimahumullah dan juga selain mereka – dan kami telah mengutip perkataan mereka – tidaklah
berpendapat bahwa hadits Aisyah diatas berlaku secara mutlak sebagaimana pendapat Al-„Allamah
Al-Albani – rahimahullah – yang menganggap berlaku secara mutlak, sedangkan mereka
meriwayatkan hadits ini, yang menguatkan bahwa permasalahan ini menurut mereka hanya
berlaku pada saat junub, sehingga wudhu‟ dan membasuh tangan sebelum makan pada hadits ini
berlaku hanya pada saat junub. Wallahu a‟lam.
5. Membaca Basmalah diawal memulai makan dan minum, dan membaca Alhamdulillah
setelah selesai.
Diantara Sunnah, seseorang yang ehndak makan dan minum sebelum makan dan minum
hendaknya membaca basmalah dan membaca Alhamdulillah ta‟ala setelah selesai makan dan
minum.
Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan : “ Membaca basmalah diawal makan dan minum dan
membaca Alhamdulillah setelah selesai, mempunyai pengaruh yang sangat mengagumkan baik
pada manfaatnya, kebaikan dan dalam mencegah kemudharatan. Imam Ahmad mengatakan :
Apabila dalam makanan telah terkumpul empat hal, maka telah sempurna : Apabila menyebut
nama Allah diawal makan, Alhamdulillah setelah makan, makan berjama‟ah dan dari makanan yang
halal.
Faedah membaca Basmalah : sebelum makan yaitu bahwa syaithan diharamkan bergabung
dalam makanan dan dalam meraih makanannya. Dari Hudzaifah radhiallhu „anhu, beliau berkata : “
apabila kami hadir bersama dengan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah kami meletakkan
tangan kami hingga Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam memulai, maka barulah kami meletakkan
tangan kami. Dan suatu saat kami menghadiri makan bersama dengan beliau , lalu seorang anak
wanita, sepertinya dia dipanggil dan kemudian datang dan meletakkan tangannya, lalu Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam meraih tangannya. Kemudian datang seorang arab badui, sepertinya
dia dipanggil namun tangannya diraih oleh beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Sesungguhnya syaithan memasuki makanan yang tidak disebut nama allah.
Dan syaithan datang dengan anak wanita ini untuk bergabung , maka saya menarik tangannya.
Dan datang dengan arab badui ini juga untuk bergabung dengannya, maka saya juga menarik
tangannya. Dan demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya sesunguhnya tangan syaithan
bersentuhan dengan tanganku bersamaan dengan tangan anak wanita tersebut “
Dan apabila seseorang yang makan lupa mengucapkan : bismilah sebelum makan kemudian dia
teringat disaat dia tengah makan, maka hendaknya dia mengatakan : Bismillahi Awwalahu wa
Akhirahu , atau mengatakan : Bismillahi fii Awwalihi waakhirihi. Dari Aisyah Ummul Mukminin
radhiallahu „anha, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “
Apabila salah seorang diantara kalian makan hendaknya dia menyebut : Bismillah ta‟ala. Dan
apabila dia lupa menyebut Bismillah ta‟ala diawal makan, maka hendaknya dia mengucapkan :
Bismillah Awwalahu wa Akhirahu “
Adapun ucapan Alhamdulillah ta‟ala, setelah menyelesaikan makan atau minum, maka pada ucapan
ini mempunyai keutamaan yang sangat agung, yang Allah anugrahkan kepada segenap hamba-
Nya. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Sesungguhnya Allah meridhai seorang hamba yang ketka makan suatu makanan lalu dia
mengucapkan Alhamdulillah. Dan apabila dia minum suatu minuman maka diapun mengucapkan :
Alhamdulillah. “
Ada banyak lafazh Alhamdulillah setelah selesai dari makan dan minum, diantaranya :
“Alhamdulillah katsiran mubarakan fihi ghairi makfiyyiin wa laa muwadda‟in wa laa mustaghnan
„anhu Rabbana “
“Alhamdulillah Alladzi kafaanaa wa arwaanaa ghaira makfiyyin wa laa makfuurin “
Abu Umamah radhiallahu „anhu meriwayakan , beliau berkata : bahwa Apabila Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam telah selesai dari menyantap makanannya, beliau sekali waktu
mengucapkan : “Alhamdulillah katsiran mubarakan fihi ghairi makfiyyiin wa laa muwadda‟in wa laa
mustaghnan „anhu Rabbana “
“Alhamdulillah alladzi ath‟amaniy hadza wa razaqniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin.
Dari Mu‟adz bin Anas dari bapak beliau, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Barang siapa yang makan suatu makanan, kemudian dia mengucakan : Alhamdulillah
alladzi ath‟amaniy hadza wa razaqniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin , segala dosanya
yang telah lampau akan diampuni "
“ Alhamdulilah alladzi ath‟ama wa saqaa wa sawwaghahu wa ja‟ala lahu makhrajan “
Abu Ayyub al-Anshari meriwayatkan, beliau berkata : “ Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam makan atau minum, beliau mengucapkan : Alhamdulillah alladzi ath‟ama wa saqaa wa
sawwaghahu wa ja‟ala lahu makhrajan “
“ Allahumma ath‟amtu wa asqaitu wa aqnaitu wa hadaitu wa ahbabtu, falillailhamdu „ala maa
a‟thaitu “
Dari Abdurrahman bin Jubair, bahwa seseorang yang telah melayani Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam selama delapan tahun menceritakan kepadanya, bahwa dia telah mendengar Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam apabila beliau disodorkan makanan, beliau mengucapkan : “ Bismillah
“ , dan apabila beliau selesai beliau mengucapkan : “ Allahummah ath‟amtu wa asqaituwa aqnaitu
wa hadaitu wa ahyaitu falillahilhamdu „ala maa a‟thaitu “
Dan dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhuma, beliau berkata : bahwa Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Janganlah kalian makan dengan mempergunakan tangan
kirimu karena sesungguhnya syaithan makan dengan mempergunakan tangan kirinya “
Dan pada hadits Umar radhiallahu „anhu, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Apabila salah seorang diantara kalian makan, hendaknya dia makan dengan
mempergunakan tangan kanannya dan apabila minum hendaknya dengan mempergunakan tangan
kanannya. Karena sesungguhnya syaithan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan
tangan kirinya “
Ibnul Jauzi mengatakan : “ Ketika tangan kiri dijadikan untuk ber-istinja‟ dan menyentuh hal-hal
yang najis, sementara tangan kanan untuk mengambil makanan, maka tidaklah shahih salah satu
dari keduanya dipergunakan pada pekerjaan tangan yang lainnya, dikarenakan ini merupakan
perendahan suatu yang memiliki kedudukan serta meninggikan suatu yang direndahkan
kedudukannya. Barang siapa yang menyalahi tuntunan hikmah syaa‟ berarti telah menyepakati
syaithan “
Sedangkan hadits-hadits tersebut dalam permasalahan ini adalah hadits-hadits yang masyhur yang
tidak lagi tersembunyi oleh khalayak awam, hanya saja sebagian kaum muslimin – semoga Allah
memberi mereka hidayah – masih saja bersikeras dengan sifat yang tercela ini, yaitu makan dan
minum dengan mempergunakan tangan kiri. Dan apabila dikatakan kepada mereka tentang hal itu,
mereka menjawab : Hal ini telah menjadi kebiasaan kami dan sangat sulit untuk merubahnya.
Demi Allah sesungguhnya jawaban ini merupakan kemilau rayuan syaithan bagi mereka, dan
penghalang bagi mereka untuk mengikuti syara‟. Dan secara umum, ini merupakan bukti akan
kurangnya iman di dalam hati mereka. Jika tidak maka apa makna dari penyelisihan perintah
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan larangan beliau !
Dan lebih buruk dan lebih keji dari itu, adalah mereka yang melakukan hal itu dengan
kesombongan dan keangkuhan.
Salamah bin al-Akwa‟ radhiallahu „anhu meriwayatkan : “ Bahwa seseorang makan disisi Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam dengan mempergunakan tangan kirinya. Maka beliau bersabda : “
Makanlah dengan tangan kananmu “ Orang itu berkata : Saya tidak sanggup. Beliau bersabda :
Engkau tidak sanggup ? Tidak ada yang menghalangimu kecuali rasa sombong. Maka diapun tidak
sanggup mengangkat tangannya kemulutnya “ Pada riwayat Ahmad : “ Maka tangan kanannya
tidak sanggup lagi dia angkat kemulutnya selamanya “
Akan tetapi mungkin ada yang menyanggah kepada kami, dan mengatakan : Lalu apa yang kalian
katakan tentang hadits Anas , dimana beliau berkata : “ Sesungguhnya seorang penjahit mengajak
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam untuk menyantap makan sajiannya, maka saya berangkat
bersama Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , dan dia menyuguhkan roti dari tepung dan maraq –
kuah daging – yang bercampur labu dan dendeng. Saya melihat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam mengambil labu yang ada diseberang piring “
Jawaban atas sanggahan ini : Kedua hadits ini tidaklah saling bertentangan , dan kami
menjawabnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr : “ Bahwa al-maraq, al-idam dan
makanan lainnya apabila terdiri atas dua jenis atau banyak, maka tidak mengapa menjulurkan
tangan untuk mengambilnya, karena bolehnya memilih makanan yang dihidangkan di meja
makan… Kemudian beliau berkata – mengomentari sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “
Dan makanlah dengan makanan yang terdekat denganmu “ – : Dan sesungguhnya beliau
memerintahkan kepadanya untuk makan dengan makanan yang terdekat, karena makanan yang
ada waktu itu hanya satu jenis. Wallahu a‟lam. Demikianlah yang ditafsirkan oleh para ulama. Dan
dengan begitu jelaslah penyesuaian kedua hadits tersebut – Wallahu Al-Muwafffiq
8. Disenangi makan dipinggiran piring bukan bagian atasnya
Disebutkan pada hadits Ibnu Abbas – radhiallahu „anhuma -, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda :
“ Apabila salah seorang diantara kalian makan suatu makanan maka janganlah dia makan pada
bagian atasnya, akan tetapi hendaknya dia makan pada bagian pinggirnya, karena sesungguhnya
berkah turun dari bagian atasnya “. Pada lafadz riwayat Ahmad : “ Makanlah kalian pada bagian
pinggir piring, dan janganlah kalian makan dari bagian tengahnya, karena berkah turun pada
bagian tengahnya “
Bagian tengah diberi kekhususan dengan turunnya berkah, karena tempat itu adalah tempat paling
adil. Dan sebab dari larangan tersebut agar seseorang yang makan tidak terharamkan baginya
berkah yang berada dibagian tengah. Dan juga termasuk didalam hadits ini apabila yang makan
lebih dari seseorang – berjama‟ah -, karena seseorang diantara mereka yang mendahului
mengambil dibagian tengah makanan sebelum bagian pinggirnya, telah melakukan adab yang jelek
kepada mereka, dan mementingkan diri sendiri untuk suatu yang baik selain dari mereka, Wallahu
a‟lam.
9. Disenangi makan dengan mempergunakan tiga jari dan menjilati jari setelah makan.
Diantara Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , bahwa beliau makan dengan mempergunakan
tiga jari. Dan juga menjilati jarinya setelah makan. Didala hadits Ka‟ab bin Malik dari bapaknya,
beliau berkata : “ Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam ketika makan beliau mempergunakan tiga
jari dan menjilati jarinya sebelum mengelapnya “
Pada riwayat lainnya : “ Sesungguhnya syaithan ikut menghadiri makanannya. Maka apabila salah
seorang diantara kalian terjatuh makanannya maka hendaknya dia membersihkan kotoran yang
menempel padanya kemudian memakannya dan tidak menyisakannya untuk syaithan. Dan apabila
dia telah menyelesaikan makannya hendaknya dia menjilat tangannya karena sesungguhnya dia
tidak mengetahui makanan manakah yang ada berkahnya “
Pada hadits ini ada beberapa faedah diantaranya :
Bahwa syaithan selalu mengawasi manusia dan mengiringinya dan berusaha untuk
mempengaruhinya. Dan berupaya untuk berkumpul dengan manusia hingga disaat makan dan
minum.
Diantaranya pula bahwa menghilangkan kotoran yang menempel baik berupa tanah dan selainnya
pada makanan yang terjatuh kemudian memakannya dan pengharaman syaithan dari makanan
tersebut, karena syaithan adalah musuh, dan seorang musuh seharusnya di jauhkan dan
berlindung darinya.
Diantaranya, bahwa berkah makanan bisa jadi ada pada makanan yang terjatuh makan janganlah
melalaikannya.
Diantaranya dari jalan Syu‟bah dari Jabalah, beliau berkata : Kami pernah berada di Madinah
bersama dengan beberapa penduduk Irak, dan paceklik telah menimpa kami. Maka Ibnu Az-Zubair
memberi kami rizki berupa kurma. Dan Ibnu Umar melintasi kami lalu berkata “ Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang mengambil bersamaan lebih dari satu,
kecuali seseorang diantara kalian telah meminta izin kepada saudaranya “
Ibnul Jauzi didalam Al-Musykil berkata : “ Adapun hukum hadits tersebut, bahwa hukum ini berlaku
pada jama‟ah beberapa orang. Dan kebiasaan yang berlaku adalah mengambil kurma satu persatu.
Apabila seseorang mengambil bersamaan maka akan menjadikan jatah mereka berkurang dan
akan mempengaruhi mereka, olehnya itu dibutuhkan izin dari mereka. “
Larangan pada hadits ini dapat menunjukkan pengharaman dan juga dapat berarti suatu yang
makruh, dan masing-masingnya telah dinyatakan oleh ulama. An-Nawawi berpendapat bahwa perlu
ada detail pada masalah ini, beliau mengatakan : “ Yang benar perlu diperinci, apabila makan
tersebut mereka diantara mereka bersamaan, maka mengambil lebih dari satu bersamaan
hukumnya haram, kecuali jikalau mereka meridhainya, dan ini dengan dapat dengan pernyataan
mereka yang jelas, atau yang sederajat dengan pernyataan tersebut baik berupa indikasi keadaan
atau isyarat dari mereka semuanya, dimana dapat diketahui dengan pasti atau dengan
persangkaan yang kuat bahwa meeka meridhainya. Kapan dia ragu atas keridhaan mereka, maka
hukumnya haram.
Dan apabila makanan tersebut untuk selain mereka atau untuk salah seorang diantara mereka
mesti disyaratkan keridhaannya sendiri, apabila dia mengambilnya tanpa keridhaannya maka
hukumnya haram. Dan disenangi untuk meminta izin kepada orang-orang yang menyertainya
makan namun tidaklah wajib. Dan apabila makanan tersebut untuk dirinya sendiri dan dia
menjamu mereka sebagai tamu maka tidaklah diharamkan mengambil lebih dari satu bersamaan.
Kemudian apabila makanan tersebut jumlahnya sedikit maka disukai untuk tidak mengambil lebih
dari satu bersamaan, karena hanya mencukupi mereka. Dan apabila jumlahnya banyak, dimana
melebihi jumlah mereka maka tidak mengapa mengambil lebih dari satu sekaligus. Akan tetapi
adab yang berlaku secara mutlak dan kesopanan dalam makan dan meninggalkan sikap rakus
kecuali jikalau dalam keadaan tergesa-gesa dan semakin terburu-buru lagi jika ada pekerjaan yang
lain.
Masalah : Apakah jenis-jenis makanan lainnya yang dapat diambil satu persatu dapat dianalogikan
dengan kurma ?
Jawab : Iya, dapat dianalogikan kepada kurma, apabila kebiasaan yang berlaku makanan tersebut
diambil satu demi satu. Ibnu Taimiyah mengatakan ; “ Dan dapat dianalogikan larangan mengambil
sekaligus lebih dari satu semua makanan yang kebiasaannya diambil satu persatu”
12. Disenangi memakan suatu makanan setelah tidak panas lagi.
Dari Asma` binti Abu Bakar radhiallahu „anhuma, apabila beliau membuat tsariid – sejenis
makanan – belaiu menutupnya dengan sesuatu hingga tidak mendidih, lalu beliau berkata :
Sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya yang demikian itu lebih besar berkahnya “
Abu Hurairah radhgiallahu „anhu berkata : “ Tidaklah menyantap makanan hingga panasnya hilang
“.
Dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah menyantap makanan disaat makanan itu sangat
panas. Ibnul Qayyim mengatakan : Dan makanan yang paling tepat dengan kalimat berkah pada
hadist ini adalah yang dapat mengenyangkan dan selamat dari sakit yang timbul diakhirnya, dan
menguatkan ketaatan kepada Allah dan lain sebagainya. Sebagaimana yang dikatakan oleh An-
Nawawi
Mencela makanan seperti dengan mengatakan : Terlalu asin, atau kurang asin, kecut, tipis, keras,
kurang matang, dan lain sebagainya, sebagaimana dikatakan oleh An-Nawawi.
Dan sebab larangan itu, dikarenakan makanan adalah ciptaan Allah yang tidak boleh dicela. Dan
ada alasan lainnya yaitu bahwa mencela makanan akan menyakiti perasaan pembuat makanan
hingga dia bersedih dan tersinggung, dikarenakan dialah yang mempersiapkan dan menyajikannya.
Maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menutup pintu ini agar jangan rasa sedih mendapati pintu
untuk masuk kedalam hati seorang muslim. Dan Syariat Islam selalu datang dengan hal serupa ini.
Masalah : Apakah hadits ini bertentangan dengan keengganan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
makan dhabb – kadal gurun –. Dan apakah sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tentang
dhabb yakni : “ Saya merasa kasihan kepadanya „ dan dalam riwayat lainnya : “ Daging serupa ini
saya tidak makan sama sekali “, tergolong mencela makanan ?
Jawab : Bahwa tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut. Dan perkataan Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam tentang dhabb tidak tergolong mencela makanan. Melainkan
pemberitahuan sebab mengapa beliau tidak memakannya. Yaitu bahwa beliau tidak menyukai
makan jenis ini dan bukan kebiasaan beliau memakannya.
An-Nawawi mengatakan : “ Adapun hadits bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam meninggalkan
memakan dhabb bukan termasuk dalam kategori mencela makanan, melainkan merupakan
pemberitahuan bahwa ini adalah makan yang spesifik yang beliau tidak menyukainya.
14. Hukum minum dan makan sambil berdiri
Para ulama berbeda persepsi tentang hukum minum sambil berdiri. Dan perbedaan persepsi
diantara mereka bermuara pada sejumlah hadits-hadits yang shahih yang secara zhahirnya
bertentangan. Sebagian diantara hadits-hadits tersebut menerangkan larangan minum berdiri
sedangkan sebagian lainnya adalah sebaliknya. Dan kami akan melampirkan sebagian diantaranya
:
Anas radhiallahu „anhu meriwayatkan , bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang minum
sambil berdiri “. Dan pada riwayat lainnya : “ Melarang seseorang minum sambil berdiri “
Dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhialahu „anhu beliau berkata : “ Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam melarang dari minum sambil berdiri “
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Dan janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian minum sambil berdiri, barang
siapa yang lupa maka hendaknya dia memuntahkannya “
Dan diperbolehkan meminum dengan sekali tegukan dan bukan suatu yang makruh. Dan ini
ditunjukkan pada hadits Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu, bahwa beliau mengunjungi Marwan
bin Al-Hakam, dan dia berkata kepadanya : “ Apakah anda telah mendengar jikalau Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang menghembuskan nafas didalam bejana air ? Abu Sa‟id
berkata : Benar. Maka seseorang berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya dahaga saya tidak
hilang hanya dengan sekali tegukan. Lalu Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam besabda : “
Pada kedua hadits tersebut berisikan larangan yang sangat jelas dari minum dimulut al-qirbah dan
cerek. Dan yang semestinya adalah dengan menuangkan minuman tersebut ketempat air lalu
minum darinya. Larangan ini oleh sebagian ulama memahaminya sebagai suatu larangan, dan
sebagian lainnya menganggapnya hanya sebatas makruh, dan ini merupakan pendapat mayoritas
ulama. Diatara mereka menjadikan hadits-hadits larangan sebagai nasikh – yang menghapuskan
hukum – hadits-hadits yang membolehkan.
Para ulama menyebutkan beberapa kandungan hikmah yang menyebabkan larangan ini, dan kami
akan menyebutkan sebagian diantaranya :
Seringnya nafas orang yang minum melalui mulut cerek akan menyebabkan bau busuk dan tidak
sedap yang akan menjadikan perasan muak.
Dan juga terkadang didalam qirbah atau cerek ada serangga atau hewan atau kotoran atau
selainnya yang tidak disadari oleh yang minum, lalu masuk kedalam kerongkongannya dan
menimbulkan mudharat kepadanya.
Diantaranya terkadang air akan bercampur dengan liur yang minum yang menjadikan orang lain
merasa jijik.
Terkadang liur dan nafas yang minum akan menyebabkan penyakit kepada orang lain, dimana
meurut para pakar kedokteran bahwa bibit penyakit bisa saja berpindah melalui liur dan nafas.
Masalah : Telah shahih, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam minum dari mulut qirbah yang
tergantung. Maka Bagaimanakah menyesuaikan perbuatan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang
menunjukkan pembolehan minum dimulut qirbah dengan larangan beliau dari ucapannya ?
Jawab : Ibnu Hajar mengatakan : “ Syaikh kami didalam Syarh At-Tirmidzi mengatakan :
Sekiranya dibedakan apabila dalam keadaan yang ada udzur, seperti misalnya qirbah yang
tergantung, dan seseorang yang butuh untuk minum tidak mendapatkan wadah dan tidak mampu
untuk menjangkau dengan tangannya, maka pada keadaan tersebut tidaklah makruh, dan kepada
keadaan itulah, hadits-hadits yang telah disebutkan diatas tersebut dipahami. Dan antara
seseorang yang tidak mempunyai udzur, maka hadits-hadits larangan dipahami pada keadaan ini. “
Saya – yang berkata adalah Ibnu Hajar – “ Dan pendapat tersebut dikuatkan pula, bahwa hadits-
hadits yang menunjukkan pembolehan semuanya menunjukkan bahwa qirbah tersebut dalam
keadaan tergantung, dan minum dari qirbah yang tergantung lebih khusus dari sekedar minum dari
qirbah. Dan tidak ada argumen dari hadits-hadits yang menunjukkan pembolehan secara mutlak,
melainkan hanya pada keadaan ini saja. Dan memahami pembolehan tersebut pada keadaan
darurat sebagai upaya menyelaraskan kedua hadits tersebut lebih utama dari pada menggiringnya
sebagai nasikh , Wallahu a‟lam
Ibnu Muflih mengatakan : “ Ishaq bin Rahawaih mengatakan , saya pernah sekali waktu makan
malam bersama Abu Abdillah ( Ahmad bin Hanbal ) dan beberapa kerabat beliau. Dan kami tidak
berbicara sedikitpun sementara beliau makan dan mengatakan : Alhamdulillah, bismillah, kemudian
beliau mengatakan : Makan, memuja lebih baik dari pada makan sambil berdiam diri. Dan saya
tidak menjumpai dari Imam Ahmad yang menyelisihi riwayat ini dengan penyelisihan yang jelas.
Dan juga kami tidak menjumpai riwayat tersebut pada mayoritas perkataan para ulama Hanabilah.
Zhahirnya Imam ahmad rahimahullah mengikuti atsar dalam perkataan beliau itu, karena diantara
jalan dan kebiasaan beliau adalah memfokuskan pada ittiba‟ atsar.
20. Disunnahkan makan secara berjam‟ah
Diantara adab kenabian, adalah disukainya makan sambil berjama‟ah – bersama-sama -, dan
makan berjama‟ah ini adalah sebab diliputinya makanan tersebut dengan berkah. Setiap kali
jumlah yang makan bertambah maka berkahnya akan bertambah. Pada hadits Jabir bin Abdillah
radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Makanan untuk seorang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup
untuk empat orang dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang “
Ibnu Hajar mengatakan : “ Pad riwayat Ath-Thabrani dari hadits Ibnu Umar, berisi tuntunan akan
sebab dari hal itu, dimana pertamanya :
“ Makanlah kalian semua berjam‟ah dan janganlah kalian bercerai berai, karena sesungguhnya
makanan untuk seseorang akan mencukupi dua orang “ al-hadits.
Dapat diambil faedah dari hadist ini bahwa kecukupan adalah hasil yang muncul sebagai akibat
makan berjama‟ah. Dan jumlah yang makan ketika semakin banyak akan berkahnya semakin
bertambah “
Dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, beliau berkata : Para sahabat Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam mengatakan : Wahai Rasululah, sesungguhnya kami makan dan tidak
merasa kenyang. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab : Mungkin kalian makan sambil
tercerai berai. Mereka mengatakan : Benar. Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “
Berkumpullah kalian pada makanan kalian dan sebutlah nama Allah niscaya makan kalian akan
diberkahi”
21. Dibencinya Sikap Rakus Ketika Makan dan Juga Sedikit Makan Karena Akan
Melemahkan Tubuh
Rakus dalam mengambil makanan akan menyebabkan tubuh menjadi sakit, dan akan
menyebabkannya tersebrang banyak penyakit, dan juga akan menyebabkan tubuh terasa penat
dan malas, sehingga terasa berat untuk mengerjakan amal-amal ketaatan. Dan juga akan
mewariskan hati yang kera – semoga Allah melindungi kita dari hal itu -.
Dan sebaliknya, sedikit makan juga akan melemahkan tubuh dan akan melemahkannya dari
ketaatan kepada Allah. Dan kami tidak menjumpai ada obat yang majur sebagaimana obat Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam , seandainya kita meneladani beliau, tentula kita tidap perlu beroba
tkedokter pada sebagian besar keberadaan kita.
Al-Khallal meriwayatkan didalam Jami‟ beliau dari Ahmad, bahwa beliau berkata : “Ada yang
bertanya kepada beliau : Mereka inilah orang-orang yang makan sedikit dan sedikit
menghidangkan makanan ? Beliau mengatakan : Tidaklah mengherankan aku ! Saya telah
mendengar Abdurrahman bin Mahdi mengatakan : Suatu kaum melakukan hal demikian, maka
menjadikan mereka terputus dari ibadah yang wajib “
BAB 10
ADAB-ADAB BUANG HAJAT
Dari Salman radhiallahu „anhu, beliau berkata : Kaum musyrikin berkata kepada kami :
Sesungguhnya saya telah melihat bahwa kawan kalian telah mengajarkan kepada kalian hingga
diapun mengajarkan perihal buang air. Beliau berkata : Benar, sesungguhnya beliau telah melarang
salah seorang diantara kami beristinja‟ – membersihkan kotoran setelah buang hajat – dengan
mempergunakan tangan kanannya, atau menghadap kearah kiblat. Dan melarang mempergunakan
kotoran hewan yang telah kering dan tulang – ketika beristinja‟ “. Dan beliau berkata : “ Dan
janganlah salah seorang diantara kalian beristinja dengan mempergunakan kurang dari tiga batu “
Diantara adab-adab tentang buang hajat tersebut :
1. Menjauhkan diri dari tiga tempat yang dilaknat
Dari Mu‟adz bin Jabal radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Hindarilah tiga tempat yang terlaknan : Buang hajat ditempat aliran air, dipinggir jalan
dan ditempat berteduh "
Dan pada hadits Abu Hurairah radhialahu „anhu, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : “ Kalian hindarilah dua sifat orang yang dilaknat “. Para sahabat
٥٨ ٗ ت َحِبغَح َحِبري َحم ٱكتَح َحسُسوْب فَح َحق َحِب ٱحتَح َح لُسوْب ُسُب ٰتَحن َح َحِبمث ُّدمَحِب
ؤم ٰنَح َحِب
َح َح
ٱاَّل َحِبذين يؤذُس َحن ٱمل َحِب
ؤمنَحِب ٱمل َحِب
َح َح ُس
“ Dan mereka yang menyakiti kaum mukminin laki-laki dan perempuan bukan karena perbuatan
ُس ُس
yang telah mereka lakukan, maka sesungguhnya mereka telah melakukan kedustaan dan
perbuatan dosa yang jelas “ – Al-Ahzab : 58 –
Faedah : Dan termasuk dalam kalimat tempat bernaung adalah tempat yang bisa dipergunakan
manusia untuk berjemur dibawah terik matahari ketika musim dingin. Asy-Syaikh Ibnu „utsaimin –
rahimahullah – mengatakan : “ Ini adalah analogi yang jelas “
Dengan begitu tidak diperbolehkan buang hajat pada tempat ini, dikarenakan alasan larangan
buang hajat ditempat bernaung juga dijumpai pada tempat ini. Dan suatu hukum akan mengikuti
sebabnya, ketika ada atau tidak sebab tersebut.
Faedah lainnya : Hadits-hadits tersebut mengisyaratkan bahwa larangan hanya berlaku pada
keadaan buang hajat besar saja dan tidak berlaku pada buang air kecil. Dan ini merupakan
pendapat An-Nawawi, beliau berkata dalam menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam : “ Dan yang buang hajat ditempat berlalu-lalangnya kaum manusia dan ditempat bernaung
mereka “, beliau mengatakan : “ Maknanya buang hajat besar ditempat manusia sering melintas “.
Namun pendapat ini disanggah oleh Al-„Adzim abadi, beliau berkata : “ Dan tidaklah shahih
penafsiran An-Nawawi hanya dengan buang hajat besar. Seandainya benar, maka buang air kecil
juga termasuk dari sisi qiyas … dan beliau lanjut mengatakan : “ Dan anda telah mengatehui
bahwa makan at-takhalli adalah bersendiri untuk buang hajat baik itu hajat besar ataupun hajat
kecil … dan anda telah mengetahui bahwa al-baraaz, adalah suatu penamaan terhadap padang
yang luas dipermukaan bumi, lalu mereka mengkonotasikannya dengan hajat/kotoran manusia,
dikatakan : tabrraza ar-rajulu, yaitu apabila dia buang hajat besar, walau itu penamaan yang
ditujukan untuk buang air besar akan tetapi buang air kecil juga termasuk.
Masalah : Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mempergunakan
penutup/penghalang sewaktu buang hajat dibalik rimbunan pohon kurma, sementara rimbunan
pohon kurma memiliki naungan/bayang-bayang, maka bagaimanakah menyelaraskan antara
perbuatan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam dengan larangannya ?
Dan sebab larangan tersebut suatu yang jelas, yaitu kencing di air yang tergenang akan
memungkinkan menajisi air. Dan buang hajat besar di air yang tergenang lebih parah lagi dan lebih
buruk dan lebih utama untuk dilarang. Dan dpat dipahami dari hadits tersebut bahwa hukum
larangan tersebut tidaklah berlaku pada air yang mengalir. An-Nawawi berkata : „ Apabila airnya
dalam jumlah yang banyak dan mengalir, tidaklah diharamkan kencing pada air tersebut, sesuai
yang tersirat pada hadits tersebut “
3. Dimakruhkan masuk ketempat untuk buang hajat dengan sesuatu yang tercantum
nama Allah padanya.
Tujuannya untuk menjaga nama Allah ta‟ala dari penghinaan dan pelecehan, dan bukan suatu yang
pantas bagi seorang muslim , masuk kedalam toilet dengan sesuatu yang tercantum padanya nama
Allah kecuali karena suatu keperluan.
Ibnu „Utsaimin mengatakan didalam Syarh beliau : “ Perkataan : ( Kecuali karena suatu keperluan )
, ini adalah pengecualian dari hukum makruh, yaitu apabila dia butuh memasukkan kedalam toilet
itu, seperti uang kertas yang bertuliskan bismillah, karena jikalau kami mengatakan untuk tidak
memasukkannya lalu mengeluarkannya dan meletakkannya didepan pintu toilet, akan
menjadikannya lupa kepada uang tersebut. Dan apabila ditempat yang terbuka, maka akan
memungkinkan untuk tertiup angin, dan apabila berada ditempat orang banyak, maka akan
memungkinkan untuk dicuri.
Adapun mushhaf Al-Qur`an, maka tidak diragukan lagi keharaman memasukkannya kedalam
tempat buang hajat dan ini merupakan pendapat para ulama. Hanya saja mereka membolehkan
memasukkannya kedalam toilet apabila khawatir dicuri. Namun walau begitu, seorang muslim
sepatutnya takut kepada Allah Rabbnya, dan tidak membiarkan Kalam Allah direndahkan. Dan
wajib baginya untuk menjaga pekara itu semampunya , seperti menyerahkan mushaf itu kepada
seseorang yang lainnya hingga dia keluar dari toilet, dan cara-cara lainnya. Namun apabila tidak
ada, maka Allah tidaklah membebani seseorang kecuali yang dia sanggup lakukan.
4. Larangan menghadap dan membelakangi kiblat
Pada pembahasan ini ada beberapa hadits diantaranya, hadits Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu
„anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Apabila salah seorang diantara kalian buang hajat besar maka janganlah dia menghadap kekiblat
dan janganlah dia mengarahkan punggungnya kekiblat, akan tetapi menghadaplah kearah timur
atau barat “
Pada lafazh riwayat Muslim dan selainya :
“ … Janganlah kalian menghadap kearah kiblat dan janganlah kalian membelakanginya dengan
kencing atau buang hajat besar, akan tetapi menghadaplah kearah timur atau barat “
Dan diantaranya juga hadits Ibnu Umar radhiallhu „anhuma, diriwyatkan oleh Wasi‟ bin Hibban
beliau berkata : Dari Abdullah bin Umar, bahwa beliau pernah mengatakan : “ Sesungguhnya
orang-orang mengatakan apabila anda duduk menunaikan hajat anda, maka janganlah anda
menghadap kearah kiblat dan jangan pula ke arah Bait Al-Maqdis. Maka Abdullah bin Umar berkata
: “ Sungguh saya telah memanjat rumah kami, dan saya melihat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam berada pada dua batu sedang mengahdap kearah Baitu Al-Maqdis sedang menunaikan
hajatnya … al-hadits”
Dan diantaranya hadits Salaman , beliau berkata : “ Ada yang bertanya kepada beliau :
Sesungguhnya Nabi kalian Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kalian segala
sesuatu hingga persoalan buang hajat. Beliau berkata : benar, beliau telah melarang kami
menghadap ke kiblat ketika buang hajat besar dan kencing … al-hadits “
Dan hadits Jabir radhiallahu „anhu menunjukkan bahwa akhir perkara Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam adalah pembolehan menghadap kearah kiblat.
Madzhab-madzhab ulama dalam masalah ini sangatlah banyak, mengikuti zhahir nash-nash yang
saling bertentangan akan tetapi menyelaraskan hadits-hadits tersebut suatu yang memungkinkan.
An-Nawawi mengatakan : “ Dan tidak ada perbedaan dikalangan ulama bahwa apabila
memungkinkan untuk menyelaraskan hadits-hadits tersebut maka meninggalkan sebagian hadits-
hadits tersebut tidak dilakukan, melainkan wajib untuk menyelaraskannya dan mengamalkan
kesemua hadits-hdist tersebut.
Dan pendapat yang kami pilih, adalah haramnya menghadap ke arah kiblat dan membelakanginya
ketika berada dipadang terbuka, namun diperbolehkan ketika berada diruangan tertutup atau
ketika ada penghalang antara seseorang yang buang hajat dengan kiblat, baik dia menghadap
kearah kiblat maupun membelakanginya. Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-
Daimah.
Dan syaithan adalah musuh kaum manusia, dan dia tidak akan berpisah dari permusuhannya dan
menyakiti kaum manusia, dan dia mendapatkan kesempatan berbuat jahat dirimbunan dan pohon-
pohon kurma yang menyemak. Olehnya itu syariat datang untuk memberi penjagaan kepada badan
dan akal kaum manusia. Allah mensyra‟iatkan kepada kaum manusia untuk membaca sejumlah doa
yang akan menjaganya seiring dengan perintah Allah subahanahu wata‟ala.
Faedah dari membaca doa al-isti‟adzah – meminta perlindungan – ini adalah al-iltija‟ – kembali
berserah diri – kepada Allah „azza wajalla dari segala al-khubtsi wal-khabaa`its. Dikarenakan
tempat ini adalah tempat yang kotor, dan tempat yang kotor adalah tempat kediaman segala yang
buruk. Dan meruapak tempat berdiamnya para syaithan. Maka tepat kiranya apabila seseorang
hendak masuk kedalam tempat buang hajat dia mengucapkan : A‟udzu billah minal-khubuts wal-
khabaits agar dia tidak tertimpa keburukan, dan tidak juga al-khabaa`its yaitu jiwa yang keji.
Demikian yang dikatakan oleh Ibnu „Utsaimin.
Dan setelah keluar dari tempat buang hajat seseorang hendaklah mengucapkan “Gufraanaka”. Dari
Aisyah radhiallahu anha : “Apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam keluar dari buang hajat
mengucapkan “ Gufraanaka”, dan pada riwayat At-Tirmidzi :” Apabila keluar dari tempat buang
hajat”. Dan perkataan Aisyah :” Ketika keluar”, maksudnya disini adalah setelah keluar dari tempat
buang hajat.
Faedah : Adab ini tidaklah membatasi hanya pada tempat-tempat yang dipakai untuk buang hajat,
akan tetapi disenangi melakukannya hingga dipadang pasir sekalipun. Apabila seseorang yang akan
buang hajat sudah dekat dengan tempat yang dia pilih untuk melaksanakan hajatnya atau dia akan
duduk maka hendaklah dia membaca doa masuk, dan ketika sudah selasai menunaikan hajatnya
maka dia membaca doa keluar. Berkat Imam An-Nawawi : “ Adab ini adalah kumpulan atas sunah,
dan tidak ada perbedaan padanya antara bangunan dan padang pasir wallahu a‟lam.
6. Menutup diri ketika Buang Hajat
Ini adalah adab Nabi, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memberi petunjuk atas hal ini kepada
umat beliau agar supaya menutup diri ketika mereka membuang hajat, dikarenakan buang hajat
adalah penyebab untuk menampakkan aurat, dan syariat menyuruh untuk menutup dan menjaga
aurat bukan malah membukanya.
Diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu‟bah radhiallahu „anhu beliau berkata : ” Aku pernah bersafar
bersama Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan beliau berkata :” Wahai Mughirah ambillah bejana
air maka sayapun mengambilnya, kemudian Rasululllah Shallallahu „alaihi wa sallam beranjak pergi
hingga tidak nampak olehku dan beliau menyelesaikan hajatnya dan ditutupi oleh jubah Syamiyah
… al-hadits”. Dan pada riwayat Muslim : “ Lantas beliau berjalan hingga tersamarkan oleh
kegelapan malam” , dan pada riwayat Ahmad :” Lalu kami beranjak pergi hingga kami tidak terlihat
oleh kaum manusia, lalu beliau turun dari tunggangannya kemudian beranjak pergi dan tidak
terlihat olehku … “
Dari Abdullah bin Ja‟far radhiallahu „anhu, beliau berkata : Saya membonceng kepada Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam pada suatu hari dibelakang beliau, dan beliau membisikkan suatu
hadits kepadaku yang saya tidak ceritakan kepada seorangpun diantara kaum manusia. Dan
tempat yang Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam paling senangi untuk menutup diri disaat
buang hajat adalah hadfu dan haa`isy kurma, Ibnu Asma mengatakan pada haditsnya : yaitu
dinding pohon kurma “
An-Nawawi berkata : “ Fiqh hadits ini diantaranya : Sunnahnya menutupi diri sewaktu menunaikan
hajat baik dengan dinding pohon kurma, rimbunan pohon, atau lempengan tanah agak
turun/rendah atau lainnya. Diamna dia tidak terlihat oleh pandangan kaum manusia dan ini
merupakan Sunnah yang muakkadah, wallahu a‟lam “
Dan seseorang yang buang hajat dibalik bangunan ( toilet ), sudah mencukupkan dari upaya untuk
menjaga agar aurat tidak tersingkap, karena adanya kamar kecil dan toilet yang tertutup Falillahil
hamdu wal-minnah atas segala kemudahan-Nya.
Faedah : Dan sepatutnya seseorang yang buang hajat di padang pasir terbuka agar tidak
mengangkat pakaiannya sebelum dia mendekati tanah, dan lebih khusus lagi apabila ada yang
mungkin melihat kepadanya.
7. Kencing sambil berdiri dan jongkok
Asal posisi ketika kencing adalah sambil duduk. Aisyah radhiallahu „anha mengatakan : “ Barang
siapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah
kencing berdiri maka janganlah kalian membenarkanyya. Tidaklah beliau kencing kecuali smabil
duduk”
Hal itu dikarenakan seseorang yang kencing sambil berdiri biasanya tidak akan aman dari terkena
percikan kencing pada tubuh dan pakaiannya, akan tetapi apabila memang perlu untuk kencing
berdiri mka tidaklah mengapa. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah radhiallahu
„anhu, beliau berkata : “ Dan saya telah melahat diriku dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
berjalan-jalan , hingga beliau mendatangi subathah kaum, dibelakang tembok. Lalu beliau berdiri
sebagaimana salah seorang diantara kalian berdiri kemudian beliau kencing dan saya menyingkir
menjauhi dari beliau, namun beliau mengisyaratkan kepadaku, maka saya datang dan berdiri
disamping belakang beliau hingga beliau selesai “
Dan hadits Hudzaifah tidaklah saling bertentangan dengan perkataan Aisyah radhiallah „anhuma.
Perkataan Aisyah dapat diinterpretasikan sebagai kebiasaan yang paling sering dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , kami katakan demikian karena telah shahih bahwa beliau
kencing sambil berdiri. Dan para ulama memahami kencing Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam untuk
menerangkan suatu yang diperbolehkan, atau hal tersebut beliau lakukan ditempat dimana beliau
tidak memungkinkan untuk kencing sambil duduk.
Faedah : Boleh kencing berdiri mesti memenuhi dua syarat :
Aman dari terkena percikan najisnya
Aman dari pandangan orang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu „Utsaimin.
Masalah : Apakah boleh kencing sambil berdiri tanpa adanya hajat/keperluan ?
Jawab : Al-Lajnah Ad-Daa`imah berpendapat : Seandainya dia kencing sambil berdiri, maka orang
tersebut tidak berdosa akan tetapi telah menyelisihi teladan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang
lebih utama dalam buang hajat yang paling utama dan yang sering beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam kerjakan.
Ibnul Jauzi mengatakan : “ Larangan menyentuh kemaluan dan ber-istinja` dengan tangan kanan
karena dua makna :
Pertama : Untuk menghindarkan tangan kanan pada hal-hal yang kotor, olehnya itu bagian kanan
dijadikan yang paling akhir masuk kedalam toilet dan yang paling awal ketika masuk kedalam
masjid, dan tangan kanan dijadikan alat untuk makan, minum dan mengambil sesuatu dan bagian
kiri diperuntukkan bagi hal-hal yang kotor
Kedua : Sekiranya tangan kanan ini bersentuhan langsung dengan najis, maka seorang manusia
akan mengingatnya ketika dia hendak mengambil makanannya dengan tangan kanannya apa yang
telah bersentuhan dengan tangan kanannya dan yang telah dipegangnya. Maka tabiat manusia
akan merasa jijik dan menghindar. Dan dia akan membayangkan bekas dari najis itu pada
tangannya, maka syariat bertujuan untuk membersihkan hal ini agar makanannya menjadi baik
untuk disantap.
Abu Qatadah radhiallahu „anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau
bersabda : “ Apabila salah seorang diantara kalian kencing maka janganlah dia memegang
kemaluannya dengan tangan kanannya dan janganlah dia ber-istinja` dengan tangan kanannya
dan janganlah dia menghembuskan nafas didalam bejana air . Dan pada riwayat Muslim dan
selainnya : “ Janganlah salah seorang diantara kalian memegang kemaluannya dengan tangan
kanannya sewaktu kencing dan janganlah dia membasuh setelah buang hajat dengan tangan
kanannya … “
An-Nawawi mengatakan : “ Para ulama sepakat bahwa suatu yang terlarang beristinja` dengan
mempergunakan tangan kanan, dan mayoritas dari para ulama berpendapat bahwa larangan
tersebut hanya sebatas makruh dan sebagai tuntunan adab bukan pengharaman.
Masalah : Tidak ada hadits yang menyatakan larangan memegang dubur dengan tangan kanan
ketika buang hajat besar ?
Jawab : Larangan memegang dubur dengan mempergunakan tangan kanan ketika buang hajat
besar lebih utama dari pada memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing, dan ini
merupakan bentuk qiyas al-aula – analogi yang lebih utama -. Dan bisa jadi Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam memperingatkan akan suatu yang lebih ringan hukumnya dan mencukupkannya dari
suatu yang lebih berat, karena penunjukannya lebih keras lagi. Terlebih lagi Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam : “ Lebih malu dari pada seorang gadis yang dipingit “
Dan bukanlah sanggahan bagi kami, jikalau rasa malu beliau menjadi penghalang bagi Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam dalam menyampaikan agama Islam, dikarenakan penyampaian sudah
terpenuhi dengan penyebutan hukum yang lebih ringan sebagai peringatan akan suatu hukum yang
lebih berat. Wallahu a‟lam.
Masalah lainnya : Thalq bin Hubaib radhiallahu „anhu mengatakan : Kami mendatangi Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam , lalu seseorang sepertinya dia seorang badui, menjumpai beliau dan
berkata : Wahai Nabi Allah, Bagaimanakah pendapat anda tentang seseorang yang memegang
kemaluannya setelah berwudhu‟ . Beliau bersabda : “ Tidaklah kemaluan itu melainkan salah satu
anggota tubuhnya “, atau beliau bersabda : “ Bagian dari tubuhnya “.
Yang ditanyakan disini : Zhahir hadits Thalq menunjukkan bolehnya seseorang memegang
kemaluannya disetiap keadaan, maka bagaimanakah menyelaraskannya dengan hadits : “ Barang
siapa yang memegang kemaluannya maka hendaknya dia berwudhu‟ “?
Jawab : Al-Lajnah Ad-Daa`imah mengatakan : yang tepat diantara sekian pendapat para ulama
pada masalah ini, adalah pendapat mayoritas ulama, yakni bahwa wudhu‟ akan batal dengan
menyentuh kemaluan, dikarenakan hadits :” Dan tidaklah kemaluan itu kecuali bagian dari
tubuhmu “ adalah hadits yang dha‟if, tidak akan kuat untuk dipertentangkan dengan hadits-hadits
yang shahih yang menunjukkan bahwa barang siapa yang memegang kemaluannya maka wajib
baginya untuk berwudhu‟. Dan kaidah yang berlaku, bahwa setiap perintah menunjukkan
kewajiban . Dan jikalaupun dianggap hadits Thalq tidak dha‟if, tetap hadits tersebut mansukh
dengan hadits : “ Barang siapa yang memegang kemaluannya maka haruslah dia berwudhu‟ “
BAB 11
ADAB-ADAB MENDATANGI MASJID
Allah ta‟ala berfirman :
ِ ادـ ُخ ُذواْ ِزينَتَ ُكم ِعن َد ُك ِّل م ِ
سجد َ َ َ َٰيَبَني َء
“ Wahai bani Adam, ambillah perhiasan kalian ketika kalian mendatangi setiap masjid “ – Al-A‟raf :
31 –
Barang siapa yang berwudhu` untuk mengerjakan shalat, lalu menyempurnakan wudhu‟nya,
kemudian dia berjalan menuju shalat yang wajib, dan mengerjakan shalat bersama dengan kaum
muslimin atau berada pada jama‟ah atau di masjid, Allah akan mengampuni dosa-dosanya “
Dan dengan hadits-hadits yang sangat jelas menunjukkan larangan bagi yang memakan bawang
putih dan bawah merah menghadiri masjid, dan tiadanya dosa dari orang tersebut karena tidak
menghadiri jama‟ah, hanya saja ada sekelompok orang yang bersikeras untuk melakukan
penyelisihan, sedangkan Alah ta‟ala berfirman :
ِ صلبػهم َع َذ ِ ِ ُفَلل َذ ِر لَّل ِذين ي َ الُِفو َف َعن أَم ِرۦِٓ أَف ت
لم
ٌ اب أَل
ٌ ُ َ ِ ُصلبَػ ُهم فتنَةٌ أَو ي َُ َ
“ Dan berilah peringatan orang-orang yang menyelisihi perintahnya, bahwa mereka akan tertimpa
fitnah atau akan ditimpakan adzab yang pedih “ ( Surah an-Nur : 63 )
Dan sebagian lainnya bukanlah menghendaki penyelisihan dan sama sekali tidak berniat
menyelisihi jama‟ah shalat, akan tetapi karena niat baiknya dia mendapati dirinya terasa sangat
berat untuk meninggalkan shalat jama‟ah dan tidak menghadirinya walaupun dia memakan bawang
putih atau bawang merah, dan ini bukanlah udzur yang dapat diterima. Dan sebagian kaum awam
mengetahui larangan ini kan tetapi tidak memberikan perhatian sama sekali, dan ini disebabkan
lemahnya iman dihatinya.
Catatan penting : Dan diqiyaskan kepada bawang putih, bawang merah dal al-karats, setiap yang
menimbulkan aroma yang tidak sedap yang mengganggu orang-orang yang shalat, seperti rokok,
ataukah bau yang tidak sedap yang timbul dari tubuh, atau dari pakaian yang kotor. Maka wajib
bagi seorang yangmengerjakan shalat untuk memeriksa dirinya sebelum menghadiri masjid hingga
dia tidak menyakiti orang-orang yang shalat yang menjadikannya berdosa karena hal itu.
Faedah : Apabila setelah memakan bawang merah atau bawang putih sesuatu yang akan menolak
aroma yan tidak sedap, maka dia tidak terhalangi untuk menghadiri masjid. Akan tetapi seorang
yang makan tadi seharusnya terlebih dahulu memastikan bahwa aroma yang tidak sedap tersebut
telah hilang semuanya, dan sudah tidak mengganggu orang-orang yang shalat. Adapun yang
diperbuat oleh sebagian orang hari ini dengan mempergunakan pasta gigi, seperti penghilang bau
bawang merah dan bawang putih, ini adalah kesalahan yang sangat jelas, dikarenakan bau bawang
merah dan bawang putih muncul dari lambung dan bukannya dari mulut.
2. Disunnahkan Untuk Bersegera Mendatangi Masjid
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menganjurkan untuk bersegera mendatangi masjid dan
berlomba-lomba untuk itu. Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan , beliau berkata : Bahwa
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Sekiranya kaum manusia mengetahui kebaikan yang ada pada adzan dan shaf yang pertama,
kemudia mereka tidak mendapatkanya kecuali dengan berundi, niscaya mereka akan berundi. Dan
seandainya dia mengetahui keutamaan waktu hajiirah – waktu awal shalat Zuhur -, niscaya mereka
akan berlomba-lomba mendapatkannya, dan sekiranya mereka mengetahui keutamaan waktu
„atamah – awal waktu shubuh – dan shalat shubuh, niscaya mereka akan mendaanginya walau
dengan merangkak “ . Dan pada riwayat Muslim : “ Seandainya kalian mengetahui atau mereka
mengetahui keutamaan pada shaf terdepan, niscaya kalian akan mengadakan undian “
Pada hadits-hadits ini menunjukkan penunjukan yang zhahir akan keutamaan dan besarnya pahala
menyegerakan diri mendatangi masjid. Dan hal itu terlihat jelas ketika Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam menyamarkan pahala seseorang yang bersegera menuju masjid, karena hal tersebut
menunjukkan bahwa seorang yang bersegera ke masjid telah mendapatkan pahala yang teramat
besar. Kemudian pula undian yang mereka lakukan untuk mendapatkan shaf yang pertama,
menunjukkan dengan penunjukan yang kuat juga akan besarnya pahala ini.
b. Dan disenangi bagi yang masuk kedalam masjid juga mengucapkan : A‟udzu billahi al-„adzim
biwajhihi al-kariim, wa sulthanihi al-qadiim, min asy-syaithan ar-rajiim.
Doa ini disebutkan didalam hadits Abdullah bin Amru bin Al-„Ash radhiallahu „anhuma dari Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam , bahwa apabila beliau masuk kedalam masjid, beliau mengucapkan : “
A‟udzu billah al-„adziim, biwajhihi al-kariim, wa suthanihi al-qadiim min asy-syaitha ar-rajiim “.
Beliau berkata : Hanya itu saja ? Saya berkata : Iya, beliau brsabda : apabila dia mengatakan
ucapan itu , maka syaithan akan mengatakan : Dia terjaga dariku sepanjang hari.”
Do'a yang lengkap dikumpulkan dari berbagai riwayat :
Do'a masuk masjid :
Dan yang memalingkan perintah beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tersebut dari makna wajib ke
makna Sunnah, adalah beberapa hadits lainnya, seperti hadits Thalhah bin „Ubaidullah radhiallahu
„anhu, beliau berkata : “ Seseorang datang menjumpai Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dari
penduduk Najd, dengan rambut yang kusut , suaranya melengkung tak terdengar, dan tidaklah
dimengerti apa yang dikatakannya hingga dia mendekat, dan ternyata dia bertanya tentang Islam.
Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Yaitu shalat lima waktu pada setiap hari
dan malamnya “. Lalu orang tersebut berkata : Apakah ada yang lain selain shalat tersebut ?
Beliau menjawab : “ Tidak, kecuali shalat yang sunah “. Dan pada akhir hadits – beliau berkata :
lalu orang itu berpaling pergi sambil mengatakan : Demi Allah saya tidak akan menambahkan dari
ini dan tidak juga menguranginya. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “
Beruntunglah dia, jika dia benar “
Dan sesuai dengan ini pula, maka tidak sepantasnya seorang yang beriman melalaikan dua raka‟at
ini karena pada shalat tersebut terdapat kebaikan yang sangat banyak.
Sementara yang terjadi, sebagian imam shalat – semoga Allah memberi mereka taufiq –
memberatkan bagi kaum manusia , baik mereka sadar atau tidak. Mereka mengakhirkan iqamat
shalat dan menghalangi manusia dari pekerjaan mereka dan dari menunaikan hajat keperluan
mereka. Dan seseorang yang hendak mengerjakan shalat dan mempunyai suatu keperluan tidak
ingin diakhirkan pengerjaan shalat , terbentur pada perasaan yang berat, apakah dia shalat sendri
? atau menunggu imam ini ?
Imam yang mendapatkan taufiq adalah yang menjadikan waktu tertentu bagi shalat jama‟ah
dimasjid, dimana apabila imam tersebut terlambat karena suatu keperluan mendadak, maka
mereka mendirikan iqamat shalat. Dengan begitu tidaklah memberatkan mereka dengan
kedatangan imam yang terlambat, dan juga akan meniadakan dari mereka perasaan berat. Ini
termasuk kelembutan seorang imam bagi jama‟ah di masjidnya dan tergolong bentuk pengayoman
yang baik untuk mereka. Wallahu al-muqaffaq.
9. Bolehnya Tidur Terlentang di Masjid
Tidak mengapa tidur terlentang di masjid, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah
melakukan tidur terlentang dimasjid dengan meletakkan salah satu kaki beliau diatas kaki lainnya.
Dari Abdullah bin Zaid bin „Ashim radhiallahu „anhu, beliau berkata : Bahwa beliau pernah melihat
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidur terlentang dimasjid sambil meletakkan salah satu kaki
beliau diatas kaki lainnya .
Dan dari Ibnu Syihab dari Sa‟id bin Al-Musyyab, beliau berkata : “ Umar dan „utsman keduanya
melakukan hal itu “
Akan tetapi seharusnya aman dari tersingkapnya aurat dikarenakan meletakkan salah satu kaki
diatas kaki lainnya memungkinkan aurat tersingkap, dan bagi saipa yang mungkin menjaga hal
tersebut maka tidak terlarang baginya.
Faedah : Sebagian kaum manusia merasa keberatan dengan menjulurkan kaki mereka kearah
kiblat, sebagai bentuk wara‟ mereka. Akan tetapi rasa keberatan ini bukan pada tempatnya,. Siapa
saja yang menjulurkan kakinya atau kedua kakinya kearah kiblat dimasjid atau diluar masjid maka
dia tidaklah berdosa.
Peringatan : Wajib bagi siapa saja yang menjulurkan kakinya atau kedua kakinya kearah kiblat di
masjid agar kakinya tidak kearah mushhaf, sebagai bentuk adab kepada Kalamullah dan
pengagungan kepadanya. Bahkan kaum manusia juga mencela dan mengingkari seseorang yang
menjulurkan kakinya atau kedua kakinya kehadapan mereka atau didalam majlis mereka, maka
bagaimanakah dengan seseorang yang menjulurkan kedua kakinya kearah mushhaf ? Tidak
disangsikan lagi bahwa pengingkaran akan hal tersebut lebih besar.
10. Bolehnya Tidur di Masjid
Diperbolehkan tidur di masjid bagi yang membutuhkan hal itu. Para ashhab ash-shuffah radhiallahu
„anhum telah melakukan hal demikian dimasjid.
Ibnu Umar radhiallahu „anhuma pernah tidur dimasjid sebelum beliau mempunyai keluarga. Dari
Nafi‟ beliau berkata : Abdullah bin Umar radhiallahu „anhuma mengabarkan kepadaku: Bahwa
beliau sewaktu mudanya belum menikah beliau tidur dimasjid Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam.
Catatan penting : Seputar jual beli diruangan-ruangan atau teras yang kut kepada masjid atau
aula yang dikhususkan untuk shalat. Al-Lajnah Ad-Daimah berpendapat : Tidak diperbolehkan jual
beli dan mengumumkan barang yang hilang di aula yang khusus dipergunakan untuk shalat,
apabila termasuk bagian dari masjid. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Apabila kalian melihat seseorang menjual atau membeli didalam masjid maka katakanlah :
Semoga Allah tidak menguntungkan jual beli kalian “… – lalu Al-Lajnah lanjut mengatakan – :
Adapun ruangan-ruangan maka sedikit ada detail : Apabila ruangan tersebut masuk kedalam denah
masjid maka ruangan itu tergolong dalam hukum masjid, dan penjabarannya sama dengan
penjabaran aula/teras masjid. Adapun jikalau ruangan tersebut diluar denah masjid walaupun
pintunya bersatu dengan masji maka hukumnya tidak termasuk hukum masjid. Dikarenakan rumah
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang didiami oleh Aisyah radhiallahu „anha, pintunya berada
didalam masjid, dan hukumnya tidak menyatu dengan hukum masjid.
Faedah : Mengikuti sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , bagi siapa yang mendengarkan
seseorang menjual atau membeli sesuatu didalam masjid, maka hendaknya dia mengucapkan :
Semoga Allah tidak memberi keuntungan bagi jual belimu. Dan zhahir lafazh pada hadits tidak
dibedakan antara seorang alim dan seorang yang jahil.
12. Larangan Mengumumkan Barang Hilang Di Masjid
Masjid Allah dibangun untuk dzikir kepada Allah , bertasbih kepada-Nya, membaca Al-Qur`an, dan
mendirikan shalat. Bukanlah dibuat untuk dijadikan tempat menanyakan barang hilang atau yang
tidak diketahui keberadaannya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : Barang siapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang dimasjid
hendaknya dia mengucapkan : Semoga Allah tidak mengembalikan barang hilang tersebut
kepadamu, karena sesungguhnya masjid tidaklah dibangun untuk tujuan seperti ini “. Dan pada
riwayat Ahmad : “ Semoga Allah tidak menunaikan barang hilang kepadamu “ Dan pada riwayat
Ad-Darimi :” Semoga Allah tidak menunaikannya kepadamu “
Oleh karna itu, barang siapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang, maka
hendaknya dia mengucapkan : Semoga Allah tidak mengembalikan barang hilang tersebut
kepadamu atau Allah tidak menunaikannya kepadamu, atau tidak menunaikan nya bagimu. Dan
kesemuanya bermakna sama.
Keduanya menjawab : Kami dari pendudukTha`if. Beliau berkata : Seandainya kalian berdua dari
penduduk negeri ini, niscaya saya akan menghukum kalian berdua, karena kalian berdua telah
mengeraskan suara kalian didalam masjid Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam .
Bagi yang menelaah kedua hadits diatas, akan mengetahui bahwa kedua hadits diatas zhahirnya
saling bertentangan. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah mengingkari seseorang yang
mengeraskan suaranya didalam masjid , dan hanya memerintahkan Ka‟ab untuk mengurangi
setengah dari piutangnya. Dan tidaklah mungkin Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mengakhirkan
suatu penjelasan dikala dibutuhkan. Sedangkan atsar Umar radhiallahu „anhu menunjukkan
makruhnya mengangkat suara didalam masji, dan Umar adalah orang yang paling tidak layak jika
mengingkari seseorang tanpa dasar dalil yang diketahuinya. Dan ini hukumnya tergolong hukum
hadits marfu‟. Dan kemungkinan inilah yang menguatkan pendapat Malik disalah satu riwayat
beliau :” dibedakan antara yangmengeraskan suara untuk ilmu dan kebaikan dan suatu yang harus
maka diperbolehkan, dan mengeraskan suara dengan gaduh dan semisalnya maka tidak
diperbolehkan “. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar
Catatan penting : Al-Lajnah Ad-Daa`iman menyatakan : Meminta-minta adalah perbuatan yang
haram didalam masjid atau diselain masjid kecuali pada eadaan darurat. Apabila sipeminta dalam
keadaan darurat harus memenuhi keperluannya, dan tidak dijumpai sesuatu yang dapat
menghilangkan kefakirannya dan tidak sampai mencekik leher orang-orang, tidak ada kedustaan
dari cerita perihal dirinya dan menyebutkan keadaannya, tidak mengeraskan suaranya hingga
mengganggu orang-oang yang shalat, seperti memutuskan dzikir mereka ataukah memina
sementara khathib sedang khuthbah ataukah meminta kepada mereka sementara mereka
mendengarkan ilmu yang memberi mereka manfaat, atau lain sebagainya yang akan merisaukan
pelaksana ibadah mereka – maka hal tersebut tidaklah mengapa.
Abu Daud meriwayatkan didalamSuan beliau dari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu „anhuma,
beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Apakah diantara kalian ada
yang telah memberi makan orang miskin pada hari ini ? “. Maka Abu Bakar mengatakan : Saya
masuk kedalam masjid , dan saya mendapati seorang peminta-minta meminta, dan saya
menjumpai serpihan roti ada ditangan Abdurrahman, maka saya mengambilnya dan saya berikan
kepada si peminta tersebut.
14. Larangan Menyilangkan Jari-Jemari Ketika Keluar dari Masjid Sebelum Melaksanakan
Shalat dan Dibolehkan Setelah Mengerjakan Shalat
Telah shahih diriwayatkan dari beliau Shallallahu „alaihi wa sallam , bahwa beliau lebih dari sekali
menyilangkan jari jemarinya didalam masjid maupun diluar masjid, yang mana ini menunjukkan
bolehnya menyilangkan jari jemari secara mutlak. Seperti didalam hadits Abu Musa radhialahu
„anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau bersabda ;
“ Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan yang
sebagiannya saling menguatkan dengan sebagian lainnya, kemudian beliau menyilangkan jari
jemarinya “
Dan penyelarasan antara hadits-hadits itu dengan mengatakan : bahwa larangan menyilangkan jari
jemari sebelum shalat adalah bagi yang bersengaja menuju masjid yang berada pada hukum
seseorang yang sedang shalat, dan setelah shalat selesai ditunaikan, maka seorang yang shalat dia
berada pada hukum seseorang yang berpaling telah menyelesaikannya.
Akan tetapi sepatutnya bagi yang minum atau makan makanan didalam masjid tidak sampai
mengotori masjid dengan sisa-sisa makanan atau minuman.
Dari Sa‟id bin Al-Musayyab beliau berkata : “ Umar melintas didalam masjid sementara Hassan
menggubah sebuah syair, lalu beliau berkata : Saya pernah menggubah sebuah syair didalam
masjid dan didalam masjid tersebut dihadiri oleh seorang yang lebih baik dari anda “
Kemudian beliau menoleh ke Abu Hurairah, dan mengatakan : “ Saya bersumpah demi Allah,
pernahkah anda mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mengatakan : Belalah aku,
Wahai Allah kuatkanlah dia dengan ruh kudus. Beliau berkata : Benar “
Hal mana ditunjukkan pada hadits Abdullah bin Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata :
Sesungguhnya Umar bin Al-Khaththab melihat pakaian sutra yang bergaris berada didepan pintu
masjid. Maka beliau berkata : Wahai Rasulullah sekiranya anda membeli pakaian ini dan kenakan
pada hari jum‟at dan untuk menyambut tamu yang berkunjung kepada anda. Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya pakaian ni adalah pakaian bagi yang tidak
mendapatkan bagiannya diakhirat … al-hadits “
Dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah mengingkari Umar untuk mengenakan pakaian yang
indah untuk shalat jum‟at dan disaat menyambu tamu, hanya saja beliau mengingkari pakaian
semisal dengan pakaian tersebut yang terbuat dari sutra. Dari sini dapat diketahui bahwa berhias
untuk shalat jum‟at dan „Ied dan untuk menyambut tamu suatu yang dianjurkan.
Diantara perhiasan tersebut adalah seseorang yang hendak menuju masjid untuk shalat jum‟at
memakai wangi-wangian dan minyak rambut, dan ini sangatlah dianjurkan.
Anas bin Malik telah ditanya : “ Apakah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah shalat dengan
mengenakan kedua sandalnya ? Beliau menjawab : Iya “
Dan dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu, beliau berkata : “ Ketika Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam mengimami shalat bagi para sahabatnya, kemudian beliau melepaskan kedua
sandalnya, dan meletakkan kedua sandal beliau disamping kirinya. Dan sewaktu para sahabat
melihat hal itu, merekapun melepaskan sandal mereka. Setelah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam menyelesaikan shalatnya, beliau bersabda : “ Apakah yang menyebabkan kalian melepaskan
sandal kalian ? “. Para sahabat mengatakan : “ Kami melihat anda melepaskan sandal anda, maka
kamipun melepaskannya sandal kami. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam lantas menjawab : “
Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan memberitahukan kepadaku bahwa pada kedua sandalku
terdapat kotoran atau dia berkata : najis “.
Dan beliau bersabda : “ Apabila salah seorang diantara kalian mendatangi masjid hendaknya dia
melihat kedua sandalnya, apabila pada sandalnya terdapat kotoran atau najis hendaknya dia
membasuhnya dan kemudian shalat dengan memakai kedua sandalnya “. Pada riwyat Ahmad : “
Apabila seseorang diantara kalian datang ke masjid, hendaknya dia membalikkan sandalnya dan
memperhatikan sandalnya. Apabila dia melihat ada najis maka hendaknya dia
membasuh/menggosokkannya ketanah, kemudian shalat dengan mengenakan kedua sandalnya “
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “ Shalat denganmengenakan sandal adalah suatu
sunnah yang Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah perintahkan, dan beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam memerintahkan apabila pada kedua sandal tersebut terdapat najis untuk
mengosokkannya ketanah, karena tanaha akan mensucikannya. Dan inilah pendapat yang shahih
diantara pendapat dikalangan ulama. Dan shalatnya beliau Shallallahu „alaihi wa sallam dan para
sahabat beliau dengan memakai sandal didalam masjid, bersamaan dengan itu mereka sujud
ditempat yang dilewati oleh sandal mereka, kesemuanya itu menunjukkan bahwa bagian bawah
sandal adalah sautu yang suci. Sementara merekapun memakai sandal ketika pergi untuk buang
hajat besar, apabila mereka melihat ada bekas najis maka merekapun menggosokkannya ketanah
dengan demikian sandal mereka menjadi bersih “
Dan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Wanita siapapun, yang memakai bakhur – sejenis wangian berbentuk asap – maka
janganlah dia mendatangi kami mengerjakan shalat isya` “
Adapun perhiasan lainnya, kapan seorang wanita mengenakan perhiasan itu untuk berhias yang
akan menimbulkan gairah syahwat, dan mengobarkan fitnah, maka wanita tersebut dilarang, untuk
menghindari fitnah dan menutup segala celah-celah keburukan.
Dan diantara dalil-dalil yang melarang wanita haidh masuk kedalam masjid – adapun wanita nifas
dianalogikan kepada wanita haidh – , hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu „anha,
beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadaku : Ambilkanlah tikar kecil
dari dalam masjid “. Aisyah berkata : saya bertanya : Sesungguhnya saya lagi haidh ? Beliau
bersabda : Haidhmu bukan pada tanganmu “
Perkataan Aisyah radhiallahu „anha : “ Sesungguhnya saya haidh “ menunjukkan bahwa wanita
haidh tidak masuk kedalam masjid dan tidak juga berdiam didalam masjid selain yang
dikecualikan. Dan sebab larangan tersebut kekhawatiran salah satu bagian masjid dikotori dengan
najisnya darah haidh.
Faedah : Diperbolehkan bagi wanita yang mustahadhah untuk masuk kedalam masjid dan I‟tikaf
didalam masjid. Akan tetapi mesti menjaga agar jangan sampai mengotori masjid dengan najis.
Aisyah radhiallahu „anha meriwayatkan : “ Bahwa sebagian dari ummahatul mukminin melakukan
I‟tikaf dalam keadaan mustahadhah “
c. Shalat dibelakang shaf laki-laki dan tidak bercampur baur dengan mereka.
Shaf kaum wanita didalam masjid berada dibelakang shaf kaum laki-laki, dan semakin jauh shaf
wanita dari shaf laki-laki maka akan semakin utama dan lebih baik bagi wanita tersebut. Hal itu
seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling pertama dan seburuk-buruknya shaf laki-laki adalah
yang paling terakhir, dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan seburuk-buruk shaf
wanita adalah yang paling depan “
Dikarenakan dekatnya laki-laki kepada wanita akan membangkitkan gejolak syahwat dan
menggerakkannya. Dan dengan begitu akan menghilangkan inti dari ibadah shalat yaitu khusyu‟
didalam pengerjaannya. Oleh karena itu, syara‟ menganjurkan agar laki-laki semakin menjauh dari
wanita dan juga wanita dijauhkan dari laki-laki, walau itu didalam masjid.
Dan diantara anjuran pembawa syariat yaitu Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , untuk
menjauhkan laki-laki dari kaum wanita didalam masjid, apabila beliau shalat, beliau berdiam diri
ditempat shalat beliau sejenak, agar supaya kaum wanita berpaling pergi sebelum laki-laki dan
mereka pulang kerumah-rumah mereka sebelum kaum laki-laki mendapati mereka disaat keluar
meningalkan masjid sehingga akan menimbulkan campur baur dengan kaum wanita.
Dari Ummu Salamah radhiallahu „anha , istri Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau berkata : “
Bahwa kaum wanita dizaman Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , apabila mereka telah
mengucapkan salam pada shalat wajib, mereka beranjak berdiri , dan Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam menetapkan kaum laki-laki yang ikut mengerjakan shalat hingga yang Allah kehendaki.
Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berdiri maka kaum laki-laki ikut berdiri “
Dan kaum manusia seharusnya menjadikan Rasulullah sebagai salaf panutan mereka, sepatutnya
mereka mengakhirkan keluar dari mushalla mereka sejenak, menunggu hingga kaum wanita pergi.
Dan bagi kaum wanita agar mereka tidak mengakhirkan keluar dari tempat shalat mereka setelah
berpalingnya imam, bahkan mereka keluar dengan segera dan pulang kerumah mereka. Dan itu
lebih baik bagi mereka – kaum laki-laki – dan bagi kaum wanita.
Akan tetapi apabila tempat keluarnya wanita jauh dari tempat keluarnya laki-laki dan dengan
begitu tidak akan terjadi campur baur , maka tidaklah mengapa kaum laki-laki keluar segera
setelah imam berpaling ataukah kaum wanita menunggu sejenak ditempat shalat mereka , karena
sebab larangan telah tertiadakan. Wallahu a‟lam.
BAB 12
ADAB-ADAB KETIKA TIDUR
َح َحِبمن ءَح يَحٰتَحِب َحِبوۦ َحمنَح ُسم ُسك َحِبٱاَّل َحِبيل َحٱانَّل َح َحِبر َحٱ تَحِبغَح ُساُسك ِّمن فَح لَحِب َۚحِبۦٓو َحِب َّلن َحِبِف َٰحذاَحِب َح َحأليَحٰت اَِّحقوم يَحس َح عُس َح
٢٣ ون
“Dan termasuk dari ayat-ayat Kami (yaitu) waktu tidur kalian di malam hari dan waktu kalian
mengusahakan (mencari) karunia (rizki)-Nya di siang hari. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda kekusaan-Nya bagi kaum yang mereka mau mendengar.” (Ar Ruum: 23)
– Allah Subhanahu wa Ta`ala juga berfirman:
٩ ٗ وم ُسك ُس َح ت
َح َح َحعلنَح اَح َح
“Dan Kami jadikan tidur kalian sebagai istirahat” (An-Naba`: 9)
– Berkata Al-Barra` bin Azib Radhiallahu „anhu: Bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
“Jika engkau mendatangi tempat tidurmu maka hendaklah berwudhu sebagaimana wudhumu
ketika hendak shalat, kemudian tidurlah di atas rusuk sebelah kanan kalian, kemudian berdoalah:
„Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu dan aku kembalikan urusan-urusanku kepada-Mu…al-
hadits.”
Tidur dengan berbaring menghadap sebelah kanan mengandung beberapa faedah, di antaranya:
– Dengan posisi seperti itu akan membuatnya mudah bangun.
– Agar jantung menggantung di sebelah kanan, dengan demikian tidak akan menyulitkan (sirkulasi
darah) untuk tidur.
– Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi -rahimahullah-: “Posisi tidur yang demikian ini ,
menurut analisa para ahli kedokteran lebih baik bagi badan.” Para ahli kedokteran mengatakan:
“Memulai tidur dengan menghadap sisi kanan kemudian setelah itu boleh untuk berbalik ke sisi
kiri.”
Ada banyak atsar yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang berkaitan dengan
bab pembahasan ini dan juga sangat beragama lafazhnya. Di sini akan kami sebutkan beberapa
yang dapat kami kumpulkan.
Faedah lainnya dari hadits ini juga bahwa meniupnya adalah dengan tiga kali tiupan. Kemudian
faedah meniup tersebut dimaksudkan untuk mencari barakah dengan hawa basah, dan hawa yang
bersinggungan langsung dengan telapak tangan, sebagai bentuk ruqyah dan bagian dari dzikir-
dzikir yang baik. Demikian yang diterangkan oleh Al-Qadhi Rahimahullah.
Faedah: Meniup tangan disertai bacaan Al-Ikhlas dan Al-Mu`awidzatain, tidaklah dikhususkan
ketika hendak tidur saja bahkan hal itu disunnahkan bagi orang yang merasakan sakit, agar ia
meniup kedua telapak tangannya tiga kali kemudian mengusapkan ke tubuhnya. Al-Bukhari
meriwayatkan dari hadits Aisyah -radhiyallahu anha-:
“Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam ketika merasakan sakit beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam meniup tangannya kemudian membaca Al-Mu`awidzat kemudian mengusapkan dengannya
ke tubuhnya. Maka tatkala beliau dalam keadaan sakit yang sangat. Beliau mulai dengan
menyatukan kedua telapak tangan beliau kemudian membaca Al-Mu`awidzat[21] yang kemudian
meniupnya dan mengusapkannya ke seluruh tubuh beliau Shallallahu „alaihi wa sallam.”
Membaca surat (Al-Kafirun) sebagai bentuk berlepas diri terhadap kesyirikan.
Dari Farwah bin Naufal dari bapaknya -radhiallahu „anhu-: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
berkata kepada Naufal:
“Bacalah „Qul Yaa Ayyuhal kaafiruun‟ kemudian tidurlah setelah selesai membacanya karena itu
merupakan bentuk berlepas diri dari kesyirikan.”
Membaca surat (Tabarak/ Al-Mulk) dan (Alif Lam Mim Tanzil As-Sajdah).
Berdasarkan hadits Jabir -Radhiallahu „anhu-:
Faedah: Tentang surat Tabarak terdapat atsar bahwa beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
menyenangi untuk selalu membacanya. Abu Hurairah -radhiallahu „anhu- meriwayatkan dari Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam:
“Satu surat dari Al-Qur`an yang tiga puluh ayatnya dapat memberi syafaat bagi yang membacanya
sehingga akan diampuni baginya dosa-dosanya yaitu „Tabarakalladzi biyadihil mulk‟.”
Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah.
Berdasar hadits Abu Mas`ud Al-Badri -Radhiallahu „anhu-: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
“Dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah, siapa saja yang membacanya pada malam hari telah
cukuplah dua ayat tersebut baginya.”
Sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam: “ telah cukuplah dua ayat tersebut baginya “An-Nawawi
-Rahimahullah- mengatakan: “Dikatakan bahwa makna “telah cukuplah dua ayat tersebut baginya”
sebagai pengganti shalat al-lail. Ada yang berpendapat telah cukup sebagai penjaga dari syaithan.
Ada yang berpendapat sebagai penjaga dari suatu yang membahayakan, dan semua makna
tersebut saling menguatkan.”
Doa-doa yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pada waktu hendak tidurnya,
tercakup di sana makna-makna yang agung dan mulia, di sana pula tercakup tentang tauhid dan
jenis-jenisnya, tercakup pula bentuk kelemahan kefakiran kita di hadapan Allah -Subhanahu wa
Ta`ala-, terdapat juga permohonan ampun, taubat, inabah dan membentengi diri dari adzab di hari
akhirat. Terkandung juga permohonan untuk meminta perlindungan kepada Allah -Subhanahu wa
Ta`ala- dari godaan hawa nafsu dan syaithan. Terkandung juga pujian kepada Allah -Subhanahu
wa Ta`ala- atas nikmat-nikmat-Nya, dan kandungan-kandungan lain maknanya sangatlah luas dan
tiada batasnya dimana tempat ini tidak memungkinkan untuk disebutkan semuanya.
Nantinya akan kami sebutkan sebagian doa-doa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam ketika hendak
tidur agar kita semua dapat mengambil faedah darinya dengan mengharapkan tambahan amal
kebaikan. Sesungguhnya orang yangmendapatkan taufik Allah adalah yang berlomba mengerjakan
amal-amal kebaikan.
Beberapa doa yang Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam baca sebelum tidur dari berbagai
riwayat diantaranya :
Pertama
Ketiga
اللهم، إف أ للتها فا فظها وإف أمتها فاغفر لها، ل مما تها وم لاها،اللهم خلقت نفسي وأنت توفاها
إني أسأل العافلة
Állahumma khalaqta nafsi wa anta tawaffaha, laka mamatuha wa mahyaha, in ahyataha fahfadh-
ha, wa in amataha faghfir laha, Allahumma inni as`alukal `afiyah
Dari hadits Abdullah bin Umar -Radhiallahu „anhuma-, bahwa Ibnu Umar -Radhiallahu „anhuma-
menyuruh seorang laki-laki yang hendak mendatangi tempat tidurnya untuk berdoa: ” (Ya Allah,
sesungguhnya Engkaulah yang telah menciptakan diriku dan Engkaulah yang akan mematikan aku.
Engkau memiliki hak menghidupkan dan mematikan. Jika Engkau menghidupkan diriku, maka
peliharalah ia, dan jika Engkau mematikannya, ampunilah ia. Ya Allah aku memohon keselamatan
kepadaMu). Maka berkata kepadanya seorang laki-laki: “Apakah engkau mendengarnya dari
Umar?” Ia berkata: “Dari orang yang lebih baik dari Umar -radhiallahu „anhu- dari Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam.”
Keempat
وإف أرسلتها فا فظها بما ت فظ به، إف أمسكت نفسي فار مها، وب أرفعه،باسم ربي وضعت جنبي
عبادؾ الصال لن
Bismika Rabbi wadha`tu janbi, wa bika arfa`ahu, in amsakta nafsi farhamha, wa in arsaltaha,
fahfadh-ha bima tahfadhu bihi `ibaadakash shalihiin
Dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu „anhu- berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian hendak beristirahat di tempat tidurnya, maka hendaklah ia
menyebutkan (menyapu) tempat tidurnya dengan kain sarung, karena sungguh ia tidak tahu lagi
apa yang terjadi di tempat tidur tersebut setelahnya. Kemudian hendaklah ia tidur menghadap
kearah kanan, kemudian hendaklah ia membaca doa: (Dengan menyebut nama-Mu, Ya Rabbi,
kuletakkan tubuh ini, dengan pertolonganMu aku mengangkatnya. Kalau Engkau mematikan aku,
maka berikan rahmatMu kepadanya, jika Engkau membiarkannya hidup, maka peliharalah,
sebagaimana Engkau memelihara hamba-hamba-Mu yang shalih).
Kelima
ومترؿ،والنوى ٍ ربنا ورب كل، ورب العرش العظلم، ورب األرض،اللهم رب السموات
فالق ال،شيء
اللهم أنت األوؿ فللس قبل، أعوذ ب من شر كل دابة أنت آخذ بناصلتها،التوارة واإلنجلل والفرقاف
، وأنت الباطن فللس دون شيء، وأنت الظاهر فللس فوق قيء، وأنت اآلخر فللس بعدؾ شيء،شيء
اقض عنا الدين وأغننا من الفقر
Allahumma, Rabbas-samawati, wa rabbal-ardli, wa rabbal `arsyil `adhiim, rabbana wa rabba kulli
syai`in, faaliqul-habbi wan-nawa, wa manzilat-taurata wal-injila wal –furqan, a`udzubika minn
syarri kulli syai`in, anta aakhidun binashiyatiha, Allahumma anta al-awwalu fa laisa qablaka
، أشهد أف ال إله إال أنت، رب كل شيء ومللكه، عالم الغل والشهادة،اللهم فاطر السموات واألرض
وشر الشلطاف وشركه،أعوذ ب من شر نفسي
Allahumma faatiras samaawati wal ardli, aalimal ghaibi wasy syahaadati, Rabba kulli syaiin wa
maliikahu, Asyhadu alla ilaha illa Anta, audzubika min syarri nafsii wasy syarrisy syaithaani wa
syirkihi
Dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu „anhu- bahwa Abu Bakr Ash-Shiddiq -radhiallahu „anhu-
berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepada kami satu kalimat untuk kami ucapkan pada pagi
dan sore hari.” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Ucapkanlah: (Ya Allah, Pencipta langit dan bumi Engkau Maha Mengetahui yang ghaib dan semua
yang tak terlihat, aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain
Engkau, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan diriku sendiri dan dari kejelekan syaithan dan
campur tangannya).
Kemudian sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam juga:
“Ucapkan itu pada pagi hari, pada sore hari dan pada waktu engkau hendak tidur.”
Ketujuh
فكم ممن ال كافي له وال مؤوي، وكفانا وآوانا،ال مد هلل الذي أطعمنا وسقانا
Alhamdulillahilladzi ath`amanaa wa saqanaa, wa kafaanaa, wa aawanaa, fa kam mimman laa
kaafiya lahu walaa mu`wiya
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan, memberi kami minum, memberi kami
kecukupan dan memberikan kepada kami tempat tinggal….”
Anas bin Malik -radhiallahu „anhu- meriwayatkan, beliau berkata: “ Bahwa apabila Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi tempat tidurnya, maka ucapkanlah: (Segala puji bagi
Allah yang telah memberi kami makan, memberi kami minum, memberi kami kecukupan dan
memberi kepada kami tempat tinggal. Karena banyak orang yang tidak memiliki kecukupan dan
tempat tinggal).
Kedelapan : Tasbih dan Tahmid dibaca tiga puluh tiga kali (33 X) dan takbir dibaca tiga
puluh empat kali (34 X).
Ali -Radhiallahu „anhu- meriwayatkan bahwa ketika itu Fathimah -radhiyallahu „anha- sedang
melingkarkan tangannya, tiba-tiba datanglah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menanyakan
tentang pembantunya, karena beliau tidak menemukannya. Maka aku sebutkan demikian kepada
Aisyah -radhiyallahu „anha-. Ketika datang beritanya, dia berkata: Lalu beliau mendatangi kami
sedangkan kami telah mendatangi tempat tidur kami. Lalu sayapun bangung, kemudian beliau
berkata: Tetaplah ditempatmu. Lalu beliau duduk diantara kami, hingga saya merasakan dinginnya
kedua kaki beliau didadaku.”
Kesembilan
واجعلني في الندي األعلى، وف رهاني، وأخسىء شلطاني، اللهم اغفر لي ذنبي،بسم اهلل وضعت جنبي
Dari Abu Zubair Al-Anmaari -radhiallahu „anhu-, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “Jika seseorang hendak ke tempat tidurnya pada malam hari, ucapkanlah: „Bismillahi
wadha`tu jambii, Allahummagh firlii dzambii, wa akhsaa syaithanii wa fakka rahaanii, waj`alnii fin
nadyil a`la‟. (Dengan menyebut nama Allah, aku meletakkan tubuh ini, Ya Allah, berilah ampunan
bagiku atas dosa-dosaku, usirlah syaithan dari diriku, bebaskan apa yang masih tergadai dariku,
jadikanlah aku dalam tempat yang paling Tinggi).”
Kesepuluh
روف ومن همزات الشلاطلن وأف ي، أعوذ بكلمات اهلل التامة من غ به وشر عباد
Dari Amr bin Syu`aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya: “Rasullullah Shallallahu „alaihi wa
sallam mengajarkan mereka (para sahabat) doa-doa ketika terbangun dari tidur di malam hari:
„A`udzu bikalimaatillahit tammati min ghadhabihi wa `iqaabihi, wa syarri `ibaadihi, wa min
hamazaatisy syaithaan wa an yahdluruun‟. (Aku berlindung dengan firman-firman Allah yang
sempurna, dari kemarahan dan siksa-Nya, dari makhluk ciptaan-Nya dan dari godaan syaithan
ketika datang mengganggu).”
ال ملجأ وال، رغبةً ورهبةً إلل، وألجأت ظهري إلل، وفوضت أمري إلل، اللهم أسلمت وجهي إلل
فإف مت من لللت فأنت. وبنبل الذي أرسلت، اللهم آمنت بكتاب الذي أنزلت، منجا من إال إلل
واجعلهن آخر ما تتكلم به،على الفطرة
Dari Al-Barra` bin „Azib -radhiallahu „anhu- berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
“Apabila engkau hendak tidur maka berwudlulah seperti wudlumu untuk shalat, kemudian
berbaringlah di atas sisi kananmu lalu ucapkanlah: „Allahumma aslamtu wajhii ilaika wa fawwadl-
tuamrii ilaika, wa alja`tu dhahrii ilaika, raghbatan wa rahbatan ilaika, laa malja`a wa laa manjaa`a
minka illa ilaika, Allahumma aamanta bikitaabikal ladzii arsalta, fa in mutta minlailatika fa anta
`alal fithrah, waj`alahunna aakhir maa tatakallamu bihi‟. (Ya Allah, aku berserah diri kepada-Mu,
aku hadapkan wajahku kepada-Mu, aku letakkan urusan-urusanku kepada-Mu, kusandarkan
punggungku kepada-Mu, seraya berharap rahmat-Mu dan takut akan siksa-Mu, tidak ada tempat
berlindung dan tidak ada tempat menyelamatkan diri dari siksa-Mu melainkan kepada-Mu, Ya Allah,
aku beriman kepada Kitab-Mu yang Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang engkau utus, jika
aku Engkau cabut nyawaku malam ini maka matikanlah aku dalam keadaan fithrah (Islam) dan
jadikanlah kalimat tauhid –syahadatain- sebagai akhir ucapanku…).”
Faedah : Dari Syadad bin Aus -Radhiallahu „anhu- dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam: “Sayyidul
Istighfar (tuannya dari doa-doa) adalah engkau mengucapkan :
Merupakan anugerah dari Allah -Subhanahu wa Ta`ala- kepada para hamba-Nya yang beriman,
yaitu adanya amalan yang ringan tapi sangat besar pahalanya. Oleh sebab ini maka sepantasnya
bagi seorang Muslim untuk tidak melalaikan berdoa dengan doa ini pada siang maupun malam
harinya. Dan hendaklah ia menekuninya bersama dengan menghadirkan syarat-syaratnya.
Sehingga akan bisa berhasil meraih surga-Nya yang luasnya seluas langit dan bumi. Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu agar aku menjadi penghuni surga-Mu, yang mereka para penghuni surga
adalah orang-orang yang Engkau ridhai dan mereka pun ridha kepada Engkau. Amin.
7. Ketika bermimpi, apa yang sebaiknya diucapkannya dan apa yang sebaiknya
dilakukannya jika yang dilihatnya dalam mimpi menyenangkan atau menakutkan.
Apa-apa yang dilihat oleh orang yang tidur itu bisa jadi itu adalah mimpi biasa, dan bisa jadi itu
merupakan ru‟ya / ilham, adapun ar-ru‟ya ini datangnya dari Allah, sedangkan mimpi bisa jadi
datangnya dari syaithan.
Dari Abu Qatadah, beliau berkata: Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Mimpi yang baik- ar-ru‟ya ash-shalihah itu asalnya dari Allah sedangkan mimpi biasa itu
datangnya dari syaithan. Maka salah seorang dari kalian bermimpi yang menakutkan maka
hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya, dan mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejelekan-
kejelekannya, sehingga tidak akan dapat memudharatkanmu.”
Dalam Shahih Al-Bukhari dari jalan yang lain:
“Barangsiapa yang bermimpi sesuatu yang ia membencinya, maka hendaklah ia meludah ke
sebelah kirinya tiga kali, dan hendaklah ia berlindung dari godaan syaithan.”
Diantara faedahnya pula: Bahwa barang siapa yang bermimpi dengan mimpi yang baik maka
hendaklah mengabarkannya dan kemudian hendaklah ia mengharapkan kebaikan. Dan janganlah
mengabarkan tentang mimpinya kecuali kepada orang yang dicintainya. Karena itu merupakan
kabar gembira dari Allah. Dalam riwayat Al-Imam Ahmad disebutkan: “Barangsiapa yang bermimpi
dengan mimpi yang menakjubkannya, maka hendaklah ia menceritakannya, karena mimpi itu
merupakan kabar gembira yang datangnya dari Allah „azza wajalla.”
Diantaranya: Bahwa barangsiapa yang melihat menakutkannya, maka disukai baginya untuk
meludah ke sebelah kirinya sebanyak tiga kali, kemudian memohon perlindungan kepada Allah dari
godaan syaithan yang terkutuk atau dari kejelekannya, dan jika ia mengulanginya sebanyak tiga
kali maka itu lebih utama, kemudian hendaklah ia berpindah posisi dari posisi tidurnya semula,
kemudian jika ia bangun untuk shalat maka itu lebih utama lagi. Jika ia melakukan yang demikian
itu atau sebagiannya saja yang ia lakukan –sebagaimana datang dalam hadits-hadits di atas- maka
sungguh tidak akan memudharatkannya serta janganlah ia menceritakan tentang mimpinya
tersebut kepada siapapun.
8. Dimakruhkan Tidur dengan Tengkurap
Dari Thakhfah Al-Ghifari -radhiallahu „anhu-, salah seorang diantara ashhabush shuffah (para
sahabat yang tinggal di Masjid Nabawi) berkata: “Aku tidur di masjid pada akhir malam, kemudian
ada orang yang mendatangiku sedangkan aku tidur dengan posisi tengkurap. Kemudian ia
menggerakkanku dengan kakinya, dan berkata: “Bangunlah dari tengkurapmu, karena tidur yang
demikian adalah tidurnya orang-orang yang dimurkai Allah.” Kemudian aku angkat kepalaku, maka
ketika kulihat ia adalah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, maka akupun kemudian bangkit.”
Dalam riwayat Ibnu Majah dengan lafazh:
“Ada apa denganmu sehingga tidur dengan posisi seperti ini (tengkurap), tidur seperti ini adalah
tidurnya orang yang dibenci atau dimurkai Allah -Subhanahu wa Ta`ala-.”
Hadits ini jelas merupakan larangan untuk tidur dengan tengkurap. Dan Allah -Subhanahu wa
Ta`ala- sangat membencinya, dan setiap perbuatan yang Allah -Subhanahu wa Ta`ala-
membencinya maka hendaklah sesuatu itu ditinggalkan. Adapun sebab dibencinya tidur tengkurap
ini diterangkan dalam hadits dari Abu Dzar -radhiallahu „anhu-, ia berkata:
“Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam lewat di sisiku sementara aku sedang tidur tengkurap, maka
beliau kemudian menggerakkan badanku dengan kaki beliau Shallallahu „alaihi wa sallam dan
bersabda: „Wahai Junaidab, sesungguhnya hanyalah tidur seperti ini adalah tidurnya penghuni
neraka‟.”
Dengan hadits ini pula semakin jelas bahwa sebab dibencinya tidur tengkurap adalah karena
menyerupai tidurnya para penghuni neraka. Wallahu a`lam.
Dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit -radhiallahu „anhu- dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “Barangsiapa yang terbangun dari tidurnya di malam hari, ucapkanlah:
„Tidak ada Illah yang berhak di sembah dengan benar selain Allah. Tidak ada sekutu baginya dan
Dialah yang memiliki kekuasaan dan pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi
Allah. Maha Suci Allah, Tidak ada Illah yang berhak disembah dengan benar selain Allah. Allah
Maha Besar. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah -Subhanahu wa
Ta`ala-.” Kemudian berdoalah: „ Ya Allah, ampunilah aku.” Atau berdoa. niscaya Allah akan
kabulkan baginya, maka jika ia berwudhu kemudian shalat, maka akan diterima shalatnya saat
itu.”
BAB 13
ADAB-ADAB KETIKA SAFAR (BEPERGIAN JAUH)
Dari Abu Hurairah -Radhiallahu „anhu- dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Safar itu merupakan penggalan dari adzab, (karena safar) niscaya akan membuat salah seorang
dari kalian terhalang untuk makan, minum dan tidur. Maka jika seseorang telah selesai urusannya
maka hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.”
Di antara adab-adabnya :
1. Disunnahkan berpamitan lebih dulu bagi orang yang hendak pergi.
bagi musafir untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan saudara-saudaranya. Berkata Ibnu
Abdil Barr –rahimahullah-: “Jika salah seorang dari kalian keluar bersafar maka hendaklah ia
berpamitan kepada saudaranya, karena Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjadikan pada do'a
mereka barokah.”
Berkata Asy-Sya`bi –rahimahullah-: “Sunnahnya jika seseorang datang dari safar untuk
mengunjungi saudaranya dan menyalaminya, kemudian jika ia hendak bersafar adalah mendatangi
mereka dan berpamitan serta mengharapkan doa mereka.”
Berpamitan sebelum menjalankan safar, terdapat sebuah sunnah yang telah terabaikan. Sangat
sedikit orang yang mengamalkannya, yakni seorang musafir berpamitan dengan mengucapkan doa
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Qaz`ah, dia berkata: Ibnu Umar
berkata kepadaku: “Kemarilah, saya akan berpamitan kepada engkau sebagaimana Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam berpamitan kepadaku, yaitu beliau mengucapkan doa : "astauda
'illaaha dinaka wa'amaanataka wakhowatiima 'amalika"
Sebab dilarangnya lonceng karena itu merupakan terompet syaithan. Dalam hal ini terdapat jelas
dalam riwayat Muslim dan selainnya dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu „anhu-, beliau berkata:
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Terompet adalah merupakan seruling syaithan.”
An-Nawawi –rahimahullah- mengatakan: “… Adapun al-jaras (lonceng) dikatakan sebagai sebab
berpalingnya atau larinya malaikat dikarenakan menyerupai lonceng gereja atau dikarenakan
termasuk gantungan yang terlarang. Diantara ulama ada yang berpendapat sebabnya karena
suaranya yang dibenci, yang dikuatkan dengan banyak riwayat dengan lafazh seruling syaithan.
Adapun anjing maka terjadi perbedaan pendapat dalam sebab larangan membawa anjing dalam
safar. Diantara ulama ada yang berpendapat bahwa ketika larangan untuk memelihara anjing –
selain anjing penjaga dan pemburu – dimana yang menjadikan anjing sebagai peliharaan akan
diberi balasan bahwa para malaikat akan menghindari menemaninya yang kemudian dia akan
terhalangi dari barakah para malaikat, ampunan dan bantuan mereka dalam rangka ketaatan
kepada Allah -Subhanahu wa Ta`ala-. Ada yang berpendapat larangan tersebut disebabkan anjing
adalah hewan yang najis. Wallahu a`lam.
5. Wanita Dilarang Melakukan Safar Tanpa Disertai Mahram
Syariat yang suci melarang seorang wanita safar sendirian tanpa ditemani mahram. Dikarenakan
akan menjadi penyebab terjadinya fitnah pada dirinya dan kaum laki-laki yang berada disekitarnya.
Terdapat hadits-hadits yang shahih yang tidak ada kelemahan padanya serta tidak ada celah untuk
melemahkannya atau mentakwilkannya.
Asy-Syaikhan dan selain keduanya meriwayatkan bahwa Abu Hurairah -radhiallahu „anhu- berkata:
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah
dan hari akhir untuk bersafar dalam jarak sehari semalam tanpa didampingi mahram.”
Dalam lafazh Muslim:
“Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk safar dalam jarak semalam kecuali bersamanya seorang
laki-laki yang merupakan mahramnya.”
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu „anhuma-, dia mendengar Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal setiap laki-laki berkhalwat – berduaan –denganseorang wanita, dan tidak boleh bagi
wanita bersafar kecuali bersama mahramnya.”
Maka seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah terdaftar untuk ikut perang ini dan itu
sedang istriku akan melakukan haji.” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Pergilah,
temani istrimu berhaji.”
Sebagaimana anda telah lihat bahwa larangan yang melarang seorang wanita safar dalam jarak
sehari semalam tanpa mahram demikian jelasnya. Baik itu suaminya, bapaknya, saudaranya
ataupun mahram wanita tersebut selain dari mereka. Bahkan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memerintahkan seorang laki-laki yang telah terdaftar dalam perang untuk berjihadpun agar
mendahulukan mengantar istrinya berangkat haji. Ini merupakan dalil yang cukup jelas
menunjukkan haramnya safar wanita tanpa ditemani mahramnya.
An-Nawawi –rahimahullah- mengatakan: “Dalam hadits tersebut terdapat didapati perintah
mendahulukan yang lebih penting pada beberapa perkara yang saling kontardiktif. Karena sewaktu
laki-laki tersebut bepergian untuk menunaikan jihat bertabrakan dengan kewajiban untuk
mengerjakan haji menemani istrnya, beliau Shallallahu „alaihi wa sallam mengedepankan agar laki-
laki tersebut berhaji bersama istrinya. Karena berjihad dapat dikerjakan orang selain dirinya
berbeda halnya dengan ibadah haji menemani istrinya”
Pada riwayat Ahmad: “ Sangatlah jarang apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam hendak
keluar untuk suatu perjalanan kecuali beliau lakukan pada hari kamis “
Dari Shakhr Al-Ghamidi -radhiallahu „anhu- dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, berkata:
“Ya Allah, berikan barakah pada ummatku di waktu pagi mereka.”
Dan jika beliau Shallallahu „alaihi wa sallam mengutus pasukan, mereka diutus pada waktu pagi
hari. Dan Shakhr sendiri adalah seorang pengusaha dan sering mengutus perdagangannya pada
waktu pagi hari. Sehingga dia menjadi kaya raya dan hartanya menjadi sangat banyak.
لع ۚ ََٰذلِ ُكم َخلر لَّل ُكم إِف ِ ِ ِ ِ ِ ِ ودي لِ َّل ِ ِ َّل
َ َسعواْ إِلَ َٰى ذك ِر للَّله َو َذ ُرواْ لب
َ َلج ُم َعة ف
ُ لصلَ َٰوة من يَوـ َ ُين َء َامنُواْ إِ َذا ن
َ َٰيَأَيػ َها لذ
٩ ُكنتُم تَعلَ ُمو َف
“ Wahai orang-orang yang beriman, apabila telah diserukan adzan untuk mengerjakan shalat pada
hari jum‟at, maka bersegeralah untuk berdzikir kepada Allah dan tinggalkanlah jual beli kalian. Hal
itu akan lebih baik bagi kalian apabila kalian mengetahuinya “ ( Al-Jumu‟ah : 9 )
Akan tetapi dapat dikatakan: Bahwa tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat
jumat dan dengan berpedoman pada tergelincirnya matahari maka masuklah waktu shalat jumat.
7. Do‟a dan Dzikir Ketika Safar
Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam adalah senantiasa membiasakan berdoa dan berdzikir.
Musafir mengucapkannya dimulai sejak meletakkan kakinya di kendaraannya sampai ia kembali ke
tempat semula.
سب ان إني ظلمت نفسي فاغفر لي فإنه ال يغفر الذنوب إال أنتx3 اهلل أكبرx3ال مد هلل
“Segala puji hanya bagi Allah “.Sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengucapkan: “Allah Maha
Besar.” Sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengucapkan: “Maha Suci Engkau Ya Allah,
sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku, maka ampunilah aku, sesungguhnya tidak
ada yang akan mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau”.
Kemudian beliau tertawa, maka ditanyakan kepada beliau: “Wahai Amirul Mukminin, apa yang
menyebabkan anda tertawa?
Ali berkata: “Aku melihat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah berbuat demikian sebagaimana
aku lakukan, kemudian beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tertawa”. Lalu saya bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah yang menyebabkan anda tertawa? “
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Rabbmu takjub dengan hamba-
Nya jika ia berdoa memohon ampun kepada-Ku dari dosa-dosanya, sementara ia mengetahui
bahwa tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain diri-Ku‟.”
اللهم هوف عللنا سفرنا هذا واطو عنا، ومن العمل ما ترضى،اللهم إنا نسأل في سفرنا هذا البر والتقوى
اللهم إني أعوذ ب من وعثاء السفر وكآبة، وال للفة في األهل،في السفر اللهم أنت الصا، بعد
وسوء المنقل في الماؿ واألهل،المنظر
Ya Allah, sungguh kami memohon kepada Engkau dalam safar ini kebaikan dan ketaqwaan, dan
amalan-amalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, berilah kemudahan bagi kami dalam safar kami ini,
dekatkanlah jaraknya bagi kami sesudahnya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan
dalam safarku dan pemandangan yang menyedihkan, dan dari kembalian yang buruk pada harta
dan keluargaku”
Dan apabila beliau kembali dari safar beliau mengucapkan kembali doa tersebut dan
menambahkannya dengan ucapan:
Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar -radhiallahu „anhuma- beliau berkata: “ Apabila Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam mempersiapkan kafilah untuk pergi berperang, atau berhaji atau
umrah, beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bertakbir sebanyak tiga kali pada setiap melewati jalan
yang menaik, kemudian beliau Shallallahu „alaihi wa sallam berdoa:
ٍ وهو على كل، وله ال مد، له المل،الإله إال اهلل و د ال شري له
عابدوف، آيبوف تائبوف،شيء قدير
وهزـ األ زاب و د، ونصر عبد، صدؽ اهلل وعد، لربنا امدوف،ساجدوف
“Tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selalin Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya.
Dialah yang memiliki kekuasaan dan bagi-Nyalah, segala pujian hanya bagi-Nya dan Dia berkuasa
atas segala sesuatu. Aku bertaubat dengan sepenuh taubat, aku termasuk orang-orang yang
beribadah dan sujud kepada-Nya dan hanya kepada Rabb kami mereka memuji. Maha benar Allah
dengan segala janjinya, yang senantiasa menolong hamba-hamba-Nya dan Dia-lah satu-satunya
yang akan mengalahkan musuh-musuhnya.”
Dzikir ketika berada di atas bukit, lereng dan lembah
Dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu „anhuma yang telah lewat- bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda pada akhir haditsnya:
“Apabila Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersama tentara-tentara beliau berada di atas bukit
mereka bertakbir dan jika mereka sedang menuruni lereng mereka bertasbih. Maka akupun
mengucapkan doa seperti itu.”
ورب، ورب الشلاطلن وما أضللن، ورب األرضلن السبع وما أقللن،اللهم رب السموات السبع وما أظللن
وأعوذ ب من شرها وشر أهلها وشر ما فلها، أسأل خلر هذ القرية وخلر أهله،الرياح وما ذرين
سمع سامع ب مد اهلل و سن بالئه عللنا ربنا صا بنا وأف ل عللنا عائذاً باهلل من النار
“ Sesungguhnya setiap yang mendengar telah mendengar pujian Allah dan cobaan yang baik yang
diberikan kepada kami. Wahai Rabb kami, sertailah kami dan berilah keutamaan bagi kami. Kami
berlindung kepada Allah dari api neraka “
Faedah: Sepantasnya bagi musafir untuk memanfaatkan setiap safarnya dan berdoa untuk dirinya,
bapaknya serta keluarganya dan bagi orang yang dicintainya. Dan untuk bersungguh-sungguh
dalam berdoa. Dan untuk memilih mana doa yang mencakup semuanya, disertai dengan suara lirih
berharap serta menundukkan hati disaat berdoa. Dikarenakan doa seorang musafir adalah doa
yang akan terkabulkan, maka tidak sepantasnya meremehkan doa tersebut.
Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah
bersabda:
“Tiga jenis doa yang yang mustajab (dikabulkan) tanpa diragukan lagi, yaitu: doa orang tua kepada
anaknya, doa seorang musafir, dan doa orang yang sedang dizhalimi.”
Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam selalu melakukan hal itu pada setiap safar beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam. Tanpa harus sesuai memperhatikan arah kiblat dalam melaksanakan
shalat sunnah bagi musafir jika memang ia merasa kesulitan menentukan arah kiblatnya, yang
utama adalah menghadap kiblat adalah ketika ia sedang berihram.
Berdasarkan hadits inilah, disunnahkan bagi musafir untuk shalat sunnah dan witir di atas
kendaraannya dalam safarnya sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam.
Masalah: Apakah boleh bagi musafir untuk shalat fardhu di atas pesawat terbang, mobil atau
kereta api apabila dalam keadaan darurat ? Ataukah mengakhirkannya hingga dia sampai di tempat
yang memungkinkan baginya untuk mengerjakan? Dan haruskah ia menghadap kiblat?
Jawab: Pertanyaan serupa telah dijawab oleh Lajnah Da`imah dengan jawaban sebagai berikut:
“ Jika pengendara mobil, kereta api, pesawat terbang atau ia menaiki binatang kaki empat, dia
merasa khawatir pada dirinya sekiranya dia turun dan mengerjakan shalat fardhu sementara dia
mengetahui jikalau dia mengakhirkannya pada tempat yang memungkinkan dia mengerjakan
shalat maka dia akan terlewatkan waktu shalat. Maka dia seharusnya mengerjakan shalat sesuai
dengan kemampuannya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala : “Tidaklah Allah akan
membebani seorang hamba kecuali sebatas kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)
Adapun shalatnya dia menghadap kearah mana kendaran-kendaraan tersebut mengarah ataukah
seharusnya menghadap kearah kiblat selalu dan seterusnya ataukah diawal mula saja, hal ini
kembali kepada yang memungkinkan baginya. Apabila dia memungkinkan untuk menghadap
kearah kiblat diselurh pengerjaan shalatnya maka dia wajib untuk melakukan hal itu. Dikarenakan
menghadap kearah kiblat adalah syarat shahihnya shalat wajib baik dalam keadaan safar atau
mukim. Dan apabila tidak memungkinkan baginya menghadap kearah kiblat pada seluruh
pengerjaan shalatnya, maka hendaknya dia takut kepada Allah semampu dia, sesuai dengan dalil-
dalil yang telah dikemukakan sebelumnya.
9. Doa ketika singgah di suatu tempat
Seorang musafir akan membutuhkan untuk turun singgah di suatu tempat ketika hendak tidur,
istirahat, makan atau menunaikan hajat, sedangkan di tempat tersebut mungkin saja terdapat
hewan-hewan berbisa, hewan buas dan para syaithan yang hanya Allah subhanahu wa ta`ala yang
mengetahui. Maka termasuk nikmat Allah Subhanahu wa Ta`ala atas kita pensyariatan Allah bagi
kita melalui lisan Nabi kita Shallallahu „alaihi wa sallam berupa doa-doa yang apabila kita ucapkan
niscaya Allah akan menjaga kita –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta`ala- dari setiap kejelekan
makhluk yang ada.
Dari Khaulah binti Hakim As-Sulamiyyah radhiyallahu „anha, beliau berkata: Saya mendengar Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia
berdoa :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin karena kalian makan dengan terpisah-
pisah?” Para sahabat menjawab: “Benar.”
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Berkumpullah kalian dalam makan di satu
tempat dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberikan barakah pada makanan tersebut
bagi kalian.”
Faedah: Disunnahkan at-tanahud ketika berada dalam sebuah perjalanan. An-nahdu adalah
perbuatan dimana masing-masing teman mengeluarkan sesuatu berupa iuran sedekah yang
mereka kumpulkan kepada salah seorang yang orang tersebut lalu membelanjakan makanan bagi
mereka kemudia mereka bersama-sama makan.
Seseorang bertanya kepada Imam Ahmad -rahimahullah-: Apa yang lebih engkau cintai, seseorang
sendirian makan atau orang tersebut makan dengan temannya? Imam Ahmad -rahimahullah-
mengatakan : Dia makan dengan ditemani dan ini akan menjadikan mereka lebih akrab ketika
saling tolong menolong. Dan apabila kalian sendiri dan juga yang lainnya tidak memungkinkan
untuk memasak makanan, maka tidak mengapa untuk mengumpulkan iuran. Para ulama yang
shalih telah mengumpulkan iuran satu dengan lainya. Apabila Al-Hasan melakukan suatu
perjalanan beliau mengumpulkan iuran brsama mereka, dan beliau juga menambahkan dari iuran
yang telah terkumpul, yaitu dengan diam-diam.
11. Tidur dalam safar
Seorang musafir terkadang pada perjalanan darat dengan terpaksa mesti beristirahat tidur setelah
melewati perjalanan yang meletihkan. Dan syariat yang suci ini yang telah mengarahkan kaum
manusia kepada semua yang akan memberi kemashlahatan bagi mereka baik yang disegerakan
atau yang diakhirkan, termasuk diantara kemashlahatan itu, adalah arahan bagi seorang musafir
untuk memilih tempatnya tidur beristirahat. Agar suapaya dia tidak terganggu dengan hewan-
hewan berbisa maupun hewan-hewan lainnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
“Jika kalian safar ke negeri yang subur maka biarkan ontamu kenyang memakannya. Dan jika
kalian safar ke daerah yang gersang maka bergegaslah untuk berlalu dari tempat tersebut. Apabila
kalian berjalan disiang hari[17] menjauhlah dari jalur lintas hewan dan hindarilah sarang hewan-
hewan berbisa”.
An-Nawawi -rahimahullah- mengatakan: Ini merupakan adab dari adab-adab ketika dalam
perjalanan dan ketika singgah di suatu tempat sesuai dengan bimbingan Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam. Disebabkan serangga-serangga serta hewan-hewan melata diatas tanah termasuk hewan-
hewan yang berbisa dan juga hewan buas melintas pada waktu malam hari diatas jalan, karena
mudah untuk dilalui. Dan juga disebabkan hewan-hewan tersebut akan memungut makan ataukah
selainnya yang terjatuh. Hewan-hewan itu memungut potongan tulang dan selainnya. Apabila
seseorang melakukan perjalanan disiang hari melalui jalan tersebut, terkadang dia akan mendapati
hewan yang akan mengganggunya, maka sepatutnyalah dia menjauh dari jalan tersebut
Dalam riwayat An-Nasa`i dan Ahmad dari riwayat Jubair bin Muth`im radhiallahu „anhu, beliau
berkata:
“Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepada Bilal Radhiallahu „anhu dalam suatu
safar: Siapa yang berjaga pada malam tadi sehingga kami tidak tertidur pada saat shalat shubuh?
Berkata Bilal: saya…al-hadits.”
12. Disunnahkan bagi musafir untuk segera kembali ke keluarganya setelah selesai
urusannya dan tanpa menunda-nunda
Disunnahkan bagi seorang musafir apabila dia telah mencapai maksud dari perjalanannya tersebut
agar segera kembali kepada keluarga. Tidak berdiam melebihi kebutuhannya. Rasulullah telah
membimbing kita kepada adab ini dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Safar itu adalah bagian dari adzab, karena dengan safar ia terhalang untuk makan, minum, dan
tidur. Maka jika telah selesai keperluannya maka hendaklah ia segera kembali kepada
keluarganya.”
Ibnu Hajar -rahimahullah- mengatakan: Hadits ini menunjukkan makruhnya berpisah dari
keluarganya lebih dari keperluannya. Dan disunnahkan untuk segera kembali kepada keluarganya
apalagi ditakutkan kalau-kalau isterinya terabaikan disaat kepergiannya. Dimana berkumpul
bersama keluarga akan memberikan kesejukan yang dapat membantu perbaikan baik agama atau
duniawiyah. Dan pula berkumpul bersama keluarga akan mendatangkan rasa kebersamaan dan
kekuatandalam pelaksaan ibadah.
13. Dimakruhkan Bagi Seorang Musafir Pulang Menjumpai Keluarganya di Malam Hari
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu „anhuma, beliau berkata: “Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallammelarang seseorang untuk mengetuk pintu rumah istrinya pada malam hari.”
Pada riwayat Muslim: “Jika salah seorang dari kalian datang dari suatu perjalanan, janganlah
mengetuk pintu rumah istrinya hingga istrinya tersebut telah merapikan dan menyisir rambutnya.”
Dalam riwayat Muslim lainnya: “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melarang seorang laki-laki
untuk mengetuk pintu rumah keluarganya pada malam hari, yang akan menyulitkan merek atau
mencari-cari kesalahan mereka”
Jadi sepantasnya bagi seorang musafir apabila dia kembali menjumpai istrinya untuk tidak
mendatanginya di malam hari, sehingga ia tidak melihat apa yang dia benci dari penampilan
istrinya yang tidak rapi.
14. Disunnahkannya Shalat Dua Rakaat bagi Musafir Setelah Kembali ke Negerinya
Diantara petunjuk Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , apabila beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
kembali dari suatu perjalanan maka yang pertama kali segera beliau lakukan adalah shalat
dimasjid dua raka‟at.
Ka‟ab bin Malik radhiallahu „anhu mengatakan: Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam , apabila beliau tiba dari suatu perjalanan pada waktu dhuha, beliau mendatangi masjid lalu
mengerjakan shalat dua raka‟at sebelum beliau duduk “
Ini meruapkan diantara sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang telah terabaikan. Sangat
jarang sekali ada yang mempraktekkannya. Kami memohon kepada Allah untuk senantiasa
mengikuti sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam baik secara zhahir maupun batin. Wabillahi
taufiq.
Faedah: Perkataan Ka‟ab radhiallahu „anhu : “ Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam, apabila beliau tiba dari suatu perjalanan pada waktu dhuha … “
Mneyiratkan bahwa kedatangan seorang musafir pada waktu yang terlarang tidak disyariatkan
baginya untuk mengerjakan dua raka‟at, akan tetapi perkara ini tidaklah seperti itu.
Ibnu Hajar mengatakan: “ An-Nawawi berkata: Shalat tersebut adalah shalat yang diperuntukkan –
baca diniatkan, – apabila telah tiba dari suatu perjalanan dengan meniatkan shalat al-qudum.
Bukan shalat tahiyyah al-masjid yang diperintahkan bagi seseorang yang masuk kedalam masjid
sebelum duduk. Akan tetapi shalat al-qudum ini juga sudah memenuhi shalat tahiyyat al-masjid.
Dan sebagian ulama yang menolak pembolehan shalat pada waktu-watu yang terlarang walau itu
shalat dengan alasan tertentu, dengan sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ waktu dhuha “.
Namun sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tersebut tidak dapat dijadikan argumentasi,
karena merupakan waqi‟ah al-„ain – kejadian yang berlaku khusus, – “
BAB 14
ADAB-ADAB MENJENGUK ORANG SAKIT
Dari Al-Barra` bin „Azib radhiallahu „anhu dia berkata : nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara : beliau
memerintahkan kami agar mengikuti iringan jenazah, mengunjungi orang sakit, menjawab
undangan, menolong orang yang dizhalimi, berbuat baik bagi orang yang bersumpah, menjawab
salam, menjawab orang yang bersin, dan beliau melarang kami memakai bejana yang terbuat dari
perak, cincin emas, kain sutra, kain yang bercampur dengan sutra, al-qissi dan al-istibraq.
Adab adab Menjenguk Orang Sakit
1. Keutamaan Menjenguk Orang Sakit.
Dan setelah menyebutkan hadits-hadtis yang shahih dalam menjelaskan keutamaan mengunjungi
orang yang sakit, dan pahala bagi orang yang mengunjungi dapatkan dari kunjungainnya, maka
tidak sepantasnya meremehkan hal tersebut, bahkan harus untuk bersegera kepadanya, dan selalu
berada di atas amalan tersebut, sehingga rahmat dzat yang Maha penyayang dan Maha pengasih
dapat diraih, dan di dalam mengunjungi orang sakit ada beberapa manfaat lainnya selain yang
disebutkan tadi diantaranya : membersihkan hatinya (orang yang sakit), memeriksan kebutuhan-
kebutuhannya, mengambil nasehat dari musibah yang menimpanya sebagaimana Ibnul Jauzi
katakan.
Ibnu Abdil Bar berkata : “ Pada hadits ini menunjukkan pembolehan kunjungan wanita kepada laki-
laki walaupun laki-laki tersebut bukan mahramnya, dan masalah ini –menurut saya (penulis) agar
wanita itu Mutajallah , dan apabila bukan Mutajallah maka tidak boleh, kecuali dia bertanya
kepadanya dan tidak melihat kepadanya.
Dan demikian pula di waktu zhuhur karena kebiasaan yang berlaku manusia sedang tidur siang dan
mereka tinggal untuk beristirahat. Al-Atsram berkata : dikatakan kepada Abu Abdillah : seseorang
sedang sakit dan ketika itu matahari sedang naik di waktu musim panas, maka beliau berkata : ini
bukan waktu menjenguk.
Maka waktu perlu diperhatikan di dalam menjenguk orang sakit, maka waktu menjenguk yang
telah dikenali oleh penduduk negeri ini dan yang telah menjadi kebiasaan mereka untuk menjenguk
dan berziarah terkadang bukan waktu yang biasa dilakukan oleh sebagian penduduk negeri lainnya.
7. Meringankan Orang Yang Sakit ketika Dikunjungi :
Sepatutnya bagi orang yang menjenguk agar jangan berlama-lama duduk dan tinggal di sisi orang
yang sakit, karena orang yang sakit tersibukkan dengan rasa lapar dan sakitnya. Dan ketika orang
yang menjenguk berdiam lama di sisi orang yang sakit akan memberatkan bagi orang yang sakit
bahkan terkadang menambah sakitnya, oleh karena itu diantara perkara yang baik ketika
menjenguk orang sakit adalah dengan meringankannya.
Dari Ibnu Thawus dari ayahnya dia berkata : “ Menjenguk orang sakit yang paling baik adalah yang
paling ringan … “
Al-Auza‟iy berkata : “ Saya pernah bepergian menuju Bashrah ingin menjumpai Muhammad bin
Sirin, namun saya mendapatinya dalam keadaan sakit di perutnya, maka kami pun masuk
kepadanya untuk menjenguknya dalam keadaan berdiri …
Asy-Sya‟bi berkata : “ Kunjungan orang-orang desa yang pandir lebih memberatkan bagi orang
yang sakit daripada sakit yang dideritanya, mereka mendatanginya bukan pada waktunya dan
berlama-lama duduk di sisinya.
Akan tetapi sepatutnya untuk diketahui bahwa apabila orang yang sakit menyukai orang yang
menjenguk tinggal lebih lama di sisinya dan terus menerus menziarahinya, maka lebih utama bagi
orang yang menjenguk untuk memenuhi keinginan orang yang sakit dikarenakan di dalam amalan
tersebut terkandung sesuatu yang dapat memasukkan kebahagiaan bagi orang yang sakit, dan
menyenangkan hatinya sebagaimana Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menjenguk Sa‟ad bin
Mu‟adz ketika terkena musibah di hari peperangan Khandak. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memerintahkan untuk mendirikan kemah bagi Sa‟ad di dalam masjid agar dia dapat menjenguknya
dari dekat.
Maka sahabat mana yang tidak menyenangi keberadaan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam di
sisinya dan berulang-ulang menziarahinya.
Dari Ar-Rabi‟ bin Abdillah dia berkata : “ Saya pernah pergi bersama Al-Hasan menjumpai Qatadah
untuk menziarahinya, dan dia duduk di sisi kepalanya. Lalu beliau bertanya kepadanya kemudian
mendoakan kesembuhan baginya….
Berkaitan dengan adab duduk orang yang menjenguk di samping kepala orang yang sakit ada
beberapa faedah diantaranya : Bahwa pada hadits tersebut adanya anjuran untuk bersikap ramah
kepada orang yang sakit. Diantaranya juga orang yang menjenguk memungkinkan untuk
meletakkan tangannya kepada orang yang sakit, mendoakan kesembuhan baginya dan
meniupkannya kepadanya, dan perbuatan yang semisal dengan itu.
9. Bertanya Kepada Orang yang Sakit Tentang Keadaannya dan Memberinya Semangat
Termasuk perkara yang baik dalam menjenguk orang sakit adalah bertanya kepada orang yang
sakit tentang keadaannya dan apa yang menimpanya sebagaimana yang ada di dalam hadits
Aisyah radhiallahu anha, dia berkata : ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam datang ke Al-
Madinah, sementara Abu Bakar dan Bilal dalam keadaan sakit demam, maka Aisyah berkata : “
Maka saya pun masuk untuk melihat keadaan mereka berdua, lalu saya bertanya : “ Wahai ayahku
bagaimana keadaanmu, dan wahai Bilal bagaimana keadaanmu….al-hadits.
Dan juga diantara perkara yang baik ketika menjenguk orang sakit adalah menghilangkan
kesusahan di karenakan sakit seperti mengucapkan kepadanya : Laa ba‟sa alaika satasyfi
biidznillah (sakit ini tidaklah mengapa atas mu, kamu akan sembuh dengan izin Allah), atau
sesungguhnya penyakit ini bukan penyakit yang berbahaya niscaya Allah akan memberikan
kesehatan kepadamu –insya Allah- . Ucapan semacam ini, selama tidak nampak padanya tanda-
tanda dekatnya ajal. Dan yang demikian itu karena menganggap jauh dari ajal orang yang sakit,
banyak membantu cepatnya proses kesembuhan dari penyakit, dan pengobatan ini sangat manjur
dan sudah dikenal dikalangan manusia.
Faedah : Keluhan orang yang sakit tidak lepas dari dua keadaan : Pertama : Keluhan tersebut
dengan cara menampakkan kecemasan dan keputus asaan, dan ini tidak diragukan adalah perkara
yang makruh karena menunjukkan akan lemahnya iman dan tidak adanya keridhaan terhadap
ketetapan Allah dan takdirnya.
Kedua : Dengan cara mengabarkan tentang keadaan tanpa adanya niatan untuk memohon kepada
para makhluk atau ketergantungan kepada mereka, dan hal ini tidak diragukan tentang bolehnya
dan dalil menguatkan akan bolehnya hal tersebut.
Dari Al-Qasim bin Muhammad dia berkata : “Aisyah berkata : “ Aduh kepalaku, rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam berkata : “ Yang demikian itu kalau saja terjadi dan saya masih hidup
niscaya saya akan memohonkan ampunan untukmu dan mendoakan kesembuhan untukmu. Aisyah
berkata : “ Demi Allah sungguh saya menyangka engkau menyukai kematianku, dan kalaulah hal
itu terjadi mungkin engkau akan berada di akhir hari engkau dalam keadaan menjadi pengantin
dengan sebagian istri-istri engkau.” Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berkata : “ Bahkan saya yang
mengaduhkan sakit kepalaku … al-hadits“.
Dari Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anhu dia berkata : “Ssaya pernah masuk kepada Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam dan beliau dalam keadaan sakit demam, saya pun menyentuh beliau dengan
tangan saya dan berkata : “ Sesungguhnya engkau mengalami demam yang sangat, beliau berkata
: “ Benar sebagaimana demamnya dua orang dari kalian”.
Abdullah bin Mas‟ud berkata : “Apakah anda akan mendapat dua pahala? “ Beliau berkata : “ Iya,
tidak lah seorang muslim yang tertimpa musibah berupa sakit dan musibah lainnya kecuali Allah
akan menggugurkan dosa-dosa kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daunnya”
10. Menangis Ketika Sakit :
Yaitu bagaimanakah hukumnya? Apakah hal tersebut disyariatkan ataukah terlarang? Yang nampak
bagi kami berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam adalah boleh.
11. Doa Apa Saja Yang Diucapkan Di Sisi Orang Yang Sakit :
Sepatutnya bagi orang yang menjenguk orang sakit agar tidak mengucapkan suatu ucapan kecuali
yang baik, karena malaikat mengaminkan atas ucapannya itu. Hal itu telah dijelaskan di dalam
hadits Ummu Salamah radhiallahu „anha, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : ” Apabila kalian menghadiri orang yang sakit atau mayyit maka ucapkanlah ucapan
yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan “, Ummu
Salamah berkata : “ Ketika Abu Salamah meninggal saya mendatangi Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam, saya berkata : “ Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Salamah telah meninggal ”. Nabi
bersabda : “ Ucapkanlah : Wahai Allah ampunkanlah bagiku dan baginya, dan balaslah aku dari
musibahku dengan balasan yang baik “, Ummu Salamah berkata : “ Aku berkata : maka Allah
membalasku dengan orang yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah yaitu Muhammad
Shallallahu „alaihi wa sallam “.
Disunnahkan bagi orang yang menjenguk agar mendoakan orang yang sakit dengan memohon
rahmat dan ampunan, dan agar dibersihkan dari dosa-dosa serta keselamatan dan kesehatan. Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengajarkan beberapa doa, sepatutnya bagi orang yang
menjenguk untuk berdoa dengan doa tersebut, karena doa-doa tersebut bersumber dari al-
ma‟shum yang telah diberi jawami al-kalim (kalimat yang ringkas lagi penuh hikmah), yang tidak
berucap dari hawa nafsu hanyalah berupa wahyu yang diwahyukan kepadanya,
Diantara doa-doa beliau Shallallahu „alaihi wa sallam :
a. “Mudah-mudahan tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat mensucikan insya Allah”.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma : “bahwasanya nabi Shallallahu „alaihi wa sallammasuk ke
rumah salah seorang arab badui dalam rangka menjenguknya. Ibnu Abbas berkata : “ Apabila
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi rumah orang yang sakit untuk menjenguknya beliau
berkata : ” Mudah-mudahan tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat mensucikan dari dosa insya
Allah”.
Maka Nabi berkata kepadanya : “ Mudah-mudah tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat
mensucikan dari dosa insya Allah. Arab badui itu berkata : “ Engkau mengatakan dapat
mensucikan? Sekali-kali tidak, bahkan dia adalah demam yang ditakuti – atau yang bergejolak –
atas orang tua renta , dan membuatnya diusung kekubur. Maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
berkata : “Alangkah baiknya jikalau begitu”.
Ucapan beliau : “Mudah-mudahan tidak mengapa ” yaitu bahwa sakit itu dapat menggugurkan dosa
kesalahan, maka apabila mendapat kesehatan maka seseorang telah mendapat dua faedah. Dan
kalau saja tidak maka dia mendapat pahala pengguguran dosa.
Dan perkataan beliau : “Mudah-mudahan dapat mensucikan dosa” kedudukannya sebagai khabar
dari mubtada‟ mahdzuuf. Yaitu sakit yang mensucikan bagimu dari dosa-dosamu yaitu sebagai
pensuci, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar.
Ada beberapa faedah yang terkandung di dalam hadits ini yaitu bahwa seyogyanya bagi orang yang
sakit agar menerima doa kebaikan orang lain untuknya, dan jangan sampai menggerutu dari doa
kebaikan untuk mensucikan dari mereka untuknya dengan doa pensucian dari dosa-dosanya
sebagaimana keadaan Arab badui tadi yang ada di dalam hadits.
Ibnul Jauzi berkata : “ Pada sabda beliau : “Ya Allah sembuhkanlah Sa‟ad” merupakan dalil atas
disunnahkannya mendoakan kesehatan/kesembuhan untuk orang yang sakit.
c. “Saya Memohon Kepada Allah Yang Maha Agung Penguasa Arsy Yang Agung Agar Berkenan
Menyembuhkanmu” Sebanyak Tujuh Kali.
d. “Ya Allah Sembuhkanlah Hambamu Yang Membunuh Musuh UntukMu Dan Senantiasa Berjalan
Menuju Shalat [dalam riwayat yang lain : Berjalan Menuju Jenazah Yang Hendak Dikubur]”
Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, dia berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ”
Apabila seseorang datang menjenguk orang yang sakit hendaknya dia mengucapkan : Ya Allah
sembuhkanlah hambamu yang membunuh musuh untukMu dan senantiasa berjalan menuju shalat
“ Dalam riwayat Abu Daud : ” atau yang berjalan kepadamu menuju jenazah yang akan dikubur“.
Ibnul Baththal berkata : “ Meletakkan tangan di atas tubuh orang yang sakit adanya sikap
menghibur baginya dan untuk mengetahui seberapa parah sakitnya agar seseorang mendoakan
kesembuhan untuknya sesuai sakitnya yang nampak. Mungkin saja seseorang merukyahnya
dengan tangannya dan mengusap di atas tempat yang sakit dengan rukyah yang dapat memberi
manfaat kepada orang yang sakit, apabila yang menjenguk adalah orang yang shalih “.
Saya katakan (Ibnu Hajar): “ Terkadang orang yang menjenguk mengetahui pengobatan dan
mengetahui penyakit sehingga dia dapat menerangkannya pengobatan yang sesuai bagi orang
yang sakit sesuai dengan penyakitnya itu.
Dan penyebutan tentang peletakan tangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang mulia datang di
beberapa hadits. Di dalam hadits Sa‟ad bin Abi Waqqash yang telah dikemukakan didepan : ”
Kemudian Nabi meletakkan tangannya di atas keningnya, kemudian mengusapkan tangannya di
atas wajah dan perut saya kemudian mengucapkan : Ya Allah sembuhkanlah Sa‟ad…..al-hadits”.
Dari Aisyah radhiallahu „anha, beliau berkata : ” Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
menjenguk orang yang sakit beliau meletakkan tangannya di atas tempat yang terasa sakit
kemudian mengucapkan : Bismillah“.
d. Ruqyah dengan “dengan nama Allah saya meruqyahmu, dari segala sesuatu yang
mengganggumu, dari kejahatan setiap jiwa atau mata yang hasad, Allah yang menyembuhkanmu,
dengan nama Allah saya meruqyahmu”.
ٍ من كل، باسم اهلل أرقل
ٍ من شر كل، شيء يؤذي
باسم اهلل أرقل، نفس أو علن اسد اهلل يشفل
Dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu : ” Bahwa Jibril datang kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam dan berkata : wahai Muhammad apakah kamu mengeluh sakit? Beliau berkata : “ Iya “.
Jibril mengucapkan : “ Dengan nama Allah saya meruqyahmu dari segala sesuatu yang
mengganggumu, dari kejahatan jiwa atau mata yang hasad, Allah yang menyembuhkanmu,
dengan nama Allah saya meruqyahmu ” .
e. Ruqyah dengan bacaan “dengan nama Allah tanah negeri kami dengan ludah sebagian dari kami
dapat menyembuhkan penyakit kami dengan izin rabb kami”.
Para Ulama berpendapat : Makna berbaik sangka kepada Allah -Ta‟ala- : Seseorang menyangka
bahwa Allah akan merahmatinya dan memaafkannya, An-Nawawi yang mengucapkanya.
Dan juga disunnahkan baginya untuk menalqin (menuntun) untuk mengucapkan syahadat dengan
lemah lembut. Dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda : ” Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan mati diantara kalian kalimat
Laa ilaaha illallaah“.
An-Nawawi berkata : “ Perintah mentalqin (menuntun) ini adalah perintah yang bersifat sunnah,
dan para ulama telah sepakat akan disyariatkannya talqin ini dan mereka memakruhkan kalau
terlalu sering dilakukan kepada orang yang sakit dan terus menerus agar jangan sampai berkeluh
kesah dengan keadaannya yang tertekan dan beratnya penderitaannya sehingga dia membencinya
di dalam hati dan mengucapkan ucapan yang tidak layak.
Para ulama berpendapat : “ Apabila orang yang sakit telah mengucapkannya sekali, jangan dipaksa
untuk mengulanginya kecuali kalau dia mengucapkan perkataan yang lain setelahnya maka dia
diminta untuk mengulanginya lagi agar syahadat tersebut menjadi akhir dari perkataannya.
Dan apabila orang yang sakit itu mati maka disunnahkan bagi orang yang menghadiri kematiannya
untuk memejamkan kedua matanya dan mendoakan kebaikan untuknya, berdasarkan hadits
Ummu Salamah radhiallahu „anha dia berkata : “ Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam masuk
kepada Abu Salamah dan pandangannya telah menatap keatas, maka beliau memejamkannya,
واغفر لنا وله يارب، واخلفه في عقبه في القابرين، وارفع درجته في المهديلن،اللهم اغفر ألبي سلمة
ونور له فله، وافس له في قبر،العالملن
” Ya Allah berilah ampunan kepada Abu Salamah, angkatlah derajatnya bersama orang-orang yang
mendapat hidayah, dan gantikanlah pada anak keturunannya bersama orang-orang yang masih
tersisa, berikanlah ampunan kepada kami dan kepadanya wahai Rabb semesta alam, lapangkanlah
baginya di dalam kuburnya, dan berikanlah baginya cahaya di dalamnya”
BAB 15
ADAB-ADAB BERPAKAIAN DAN BERHIAS
ت للَّل ِه ِ ََٰنزلنَا َعلَل ُكم لِباسا يػ َٰوِري سوءَٰتِ ُكم وِريشا ۖ ولِباس لتَّلقو َٰى َٰذَلِ َ َخلر ۚ َٰذَلِ َ ِمن ءاي َ اد َـ قَد أ َ َٰيَبَنِي َء
ََ َ ُ ََ َ َ َ َُ َ
ِ لشل َٰطَن َكما أَخرج أَبػوي ُكم ِّمن لج ِنَّلة ين ِزعُ َع ِ
اس ُه َما
َ َنه َما لب
ُ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ اد َـ َال يَفتنَػنَّل ُك ُم َّل َ ٕ َٰيَبَنِي َءٙ لَ َعلَّل ُهم يَ َّلذ َّلك ُرو َف
ِ لش َٰل ِطلن أَولِلاء لِلَّل ِذين َال ي ُ َ وءَٰتِ ِه َما ۚ إِنَّلۥهُ يَػ َرَٰ ُكم ُه َو َوقَبِللُ ۥهُ ِمن ِ
ؤمنُو َف ُ َ َ َ َ َ لث َال تَػ َرونَػ ُهم ۗ إِنَّلا َج َعلنَا َّل َ للُ ِريَػ ُه َما َس
ٕٚ
“ Wahai bani Adam, telah kami turunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi auratkalian dan
juga perhiasan. Sedangkan pakaian takwa , demikian itu lebih baik. Demikian itu adalah salah satu
dari ayat-ayat Allah, agar mereka mau mengingatnya. Wahai Bani Adam, janganlah sampai
syaithan menimpakan fitnah kepada kalian sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua orang tua
kalian dari surga, dan meninggalkan pakaian mereka berdua sehingga auratnya tersingkap.
Sesungguhnya syaithan, dia dan pengikutnya dapat melihat kalian dari tmepat yang kalian tidak
dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan para syaithan sebagai wali bagi
orang-orang yang tidak beriman “( Al-A‟raf : 26 – 27 ).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash radhiallahu „anhuma, dia berkata : Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam berkata : ” Makan, minum, bersedekah dan berpakainlah kalian tanpa
berlebih-lebihan dan berbuat kesombongan”.
Dari Al-Miswar bin Makhramah radhiallahu „anhu, beliau berkata : “ Saya datang dengan batu berat
yang saya bawa sedangkan saya mengenakan sarung yang tipis, beliau berkata : “Tiba-tiba sarung
saya terlepas sedangkan ada bersamaku batu yang tidak dapat saya letakkan di tempatnya sampai
saya membawanya ke tempatnya, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Kembali
engkau ke kainmu dan kenakanlah. Jangan kamu berjalan dalam keadaan telanjang”[6].
Dan Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya dia berkata : “Saya berkata wahai Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam : Manakah aurat kami yang kami harus jaga dan yang boleh kami
tampakkan ? Beliau berkata : “ Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budak yang kamu miliki.
Beliau berkata : “Saya berkata : wahai Rasulullah apabila ada satu kaum sebagian mereka berada
bersama sebagian lainnya ? Beliau berkata : “ Apabila kamu mampu agar tidak seorang pun dapat
melihat auratmu maka jangan sampai mereka melihatnya. Beliau berkata : “ Saya berkata : Wahai
Rasulullah : Apabila salah seorang dari kami dalam keadaan bersendiri ?” Beliau Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda : “ Allah lebih berhak untuk seseorang malu dari-Nya daripada manusia”.
Aurat laki-laki yang diperintahkan untuk menutupnya – selain dari suami dan budak perempuannya
– mulai dari pusar sampai ke lutut. Dan wanita seluruh badannya adalah aurat – kecuali kepada
suaminya – adapun kepada mahramnya maka bagi mereka boleh melihat kepada apa yang selalu
nampak seperti wajah, kedua tangan, rambut, leher dan yang semisal dengan hal tersebut, dan
aurat wanita bersama anak-anak wanita yang sejenisnya mulai dari pusar sampai ke lutut.
Masalah : Apakah Paha laki-laki Adalah Aurat?
Jawaban : Al-Lajnah Ad-Daa`imah menyatakan : “ Jumhur Fuqaha‟ berpendapat bahwa paha laki-
laki adalah aurat, mereka berdalil dengan hadits-hadits yang sanad hadits-hadits tersebut tiada
yang luput dari kritikan ulama, apakah sanadnya bersambung atau tidak, atau tentang kedhaifan
pada sebagian perawinya, akan tetapi sebagian hadits-hadits tersebut saling menguatkan satu
sama lainnya sehingga menjadikan derajatnya naik dengan menggabungkan seluruh riwayat yang
ada untuk dijadikan hujjah atas masalah yang dibahas. Diantara hadits-hadits tersebut hadits yang
diriwayatkan oleh Malik di dalam Al-Muwathta‟, Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzi dari hadits
Jarhad Al-Aslami radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah
lewat dan ketika itu saya memakai burdah dan paha saya tersingkap, maka beliau berkata : ”
Tutuplah pahamu karena sesungguhnya paha itu aurat” At-Tirmidzi menghasankan hadits ini.
Dan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa paha laki-laki bukan aurat, mereka berdalil
dengan hadits riwayat Anas radhiallahu „anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam membuka
sarung dari pahanya sehingga saya sungguh melihat putih paha beliau. Ahmad dan Al-Bukhari
meriwayatkan dan berkata hadits Anas lebih bagus sanadnya dan hadits Jarhad lebih hati-hati, dan
Bahkan keadaan ini membawa kepada terfitnahnya sebagian wanita kepada sebagian lainnya.
Sekian banyak kisah yang populer berkaitan dengan mereka – kaum wanta – ini. Ada yang tahu
dan ada pula yang tidak mengetahuinya. Perkumpulan wanita bukanlah alasan di dalam memakai
pakaian yang tidak halal bagi wanita untuk memakainya, bahkan kapan saja pakaian itu sebagai
faktor terjadinya fitnah dan sebagai penggerak tabiat yang jelek maka hal itu diharamkan
walaupun hal itu di tengah-tengah para wanita.
As-Syaikh Ibnu Utsaimin memiliki perkataan tentang memakai pakaian yang sempit, alangkah
baiknya untuk kami sebutkan hal tersebut, beliau berkata : “Memakai pakaian yang sempit yang
menampakkan bagian-bagian tubuh yang dapat menimbulkan fitnah dari tubuh wanita adalah
perkara yang diharamkan. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Dua golongan dari
penduduk neraka yang belum saya lihat : sekelompok laki-laki yang ada bersama mereka cambuk
seperti ekor-ekor sapi, mereka memukulkannya kepada manusia – maksudnya karena kezhaliman
dan aniaya – , dan wanita yang berpakaian lagi telanjang yang menyimpang dari ketaatan Allah
dan memakai sanggul yang miring”.
Dan perkataan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam “mereka berpakaian lagi telanjang” bahwa mereka
memakai pakaian yang pendek tidak menutupi apa yang wajib ditutup dari aurat, dan ditafsirkan
bahwa mereka memakai pakaian yang tipis yang tidak menghalangi pandangan apa yang ada
dibaliknya dari kulit wanita, dan ditafsirkan bahwa mereka memakai pakaian yang sempit yang
mana dia menutupi dari pandangan akan tetapi menampakkan lekuk-lekuk tubuh wanita, dan
berdasarkan ini tidak boleh bagi wanita untuk memakai pakaian yang sempit kecuali kepada orang
yang boleh baginya menampakkan auratnya di sisinya dan dia adalah suaminya karena tidak ada
antara suami dan istri aurat berdasarkan firman Allah ta‟ala :
ِ ِ و لَّل ِذين ُهم لُِفر
ِ وج ِهم َٰ ِفظُو َف ٘ إَِّلال َعلَ َٰى أ
َ َيمنُػ ُهم فَِإنَّلػ ُهم غَ ُلر َملُوم
ٙ لن ََٰ َزوَٰج ِهم أَو َما َملَ َكت أ
َ َ ُ َ َ
“ Dan mereka – orang-orang yang beriman – adalah yang menjaga kemaluan mereka. Kecuali bagi
para istri mereka ataukah kepada budak yang mereka milik, karena mereka itu tidak akan dicela
karenanya “( Al-Mu‟minun : 5 – 6 )
Aisyah berkata : ” Saya dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mandi dari satu bejana tangan-
tangan kami berganti-gantian mengambil air pada bejana itu”.
Maka seseorang antara dia dan istrinya tidak ada batasan aurat, adapun antara wanita dan
mahramnya maka wajib bagi wanita menutup auratnya, dan pakaian yang sempit tidak boleh
digunakan di hadapan mahram tidak pula di hadapan para wanita apabila pakaian itu sangat sempit
yang menampakkan bagian tubuh wanita yang menggoda.
Faedah : termasuk perkara adab bersama Allah subhanahu wa ta‟ala, seseorang yang ingin mandi
hendaknya menutup dirinya dengan sesuatu yang dapat menutupinya, lebih khusus lagi orang yang
berada di tempat-tempat yang terbuka yang tidak ada suatu pun yang menghalanginya. Ya‟la
radhiallahu „anhu telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallampernah melihat
seorang laki-laki mandi di Al-Baraz tanpa memakai sarung, maka beliau naik ke mimbar dan
bertahmid serta memuji Allah kemudian berkata : “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla maha pemalu
dan Maha menutupi yang mencintai rasa malu dan sifat menutup diri, maka apabila salah seorang
Ibnu Abbas berkata : “ Nabi mengeluarkan si fulan dari rumahnya dan Umar mengeluarkan si fulan
dari rumahnya”.
Dan penyerupaan kadang ada pada cara berpakaian, cara berbicara dan terkadang pada cara
berjalan dan yang semisalnya. Maka kapan saja seorang laki-laki mengerjakan apa yang
merupakan kekhususan wanita di dalam cara berjalan, cara berbicara atau cara memakai pakaian
maka dia telah masuk di dalam laknat, atau kapan saja seorang wanita mengerjakan apa yang
merupakan kekhususan laki-laki di dalam cara berjalan, cara berbicara atau cara berpakaian maka
dia telah masuk dalam laknat tersebut.
Masalah : Apabila Penyerupaan Tersebut Merupakan Sifat Asli Seseorang Apakah Dia Masuk Ke
Dalam Laknat Dan Celaan?
Jawab : Ibnu Hajar bekata : “ Adapun seseorang yang penyerupaan tersebut merupakan sifat
aslinya maka ia hanya diperintahkan agar berupaya meninggalkan sifat tersebut dan membiasakan
untuk meninggalkan kebiasaannya itu secara bertahap, apabila dia tidak melaksanakannya dan
terus menerus bersifat seperti itu maka dia masuk ke dalam celaan, terlebih lagi apabila nampak
darinya apa yang menunjukkan akan keridhaan akan sifat tersebut. Hal ini merupakan perkara
yang jelas dari lafazh Al-Mutasyabbihin[19].
3. Disunnahkan Menampakkan Adanya Pemberian Nikmat Dari Allah Dalam Berpakaian
Dan Yang Selainnya :
Disunnahkan bagi orang yang Allah berikan harta agar menampakkan adanya pengaruh nikmat
Allah atasnya dengan memakai pakaian yang indah tanpa adanya sikap berlebih-lebihan dan sikap
sombong, dan janganlah ia terlalu menekan dirinya sendiri atau berlaku kikir dengan hartanya,
bahkan hendaknya dia memakai pakaian yang baru lagi indah dan bersih untuk menampakkan
adanya nikmat Allah atasnya.
Diriwayatkan dari Abu Al-Ahwash dari ayahnya dia berkata : “Saya pernah mendatangi Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam dengan pakaian yang lusuh murahan. Maka beliau berkata : “Apakah
kamu memiliki harta? Abul A‟wash berkata : iya. Beliau berkata : “ Dari harta yang mana? “ Abul
A‟wash berkata : Allah telah memberiku beberapa sapi dan kambing, kuda dan budak. Nabi berkata
: “Apabila Allah telah memberimu harta maka hendaknya engkau menampakkan pengaruh nikmat
dan kemuliaan “.
Dan manusia di dalam hal ini ada dua sisi dan pertengahan, satu kaum ada yang terlalu
menekankan bagi dirinya dan terlalu hemat entahkah itu dengan alasan agama – menurut
persangkaan mereka – ataukah karena kebakhilan. Dan kaum yang berlebih-lebihan dan
melampaui batas mereka membelanjakan banyak harta pada pakaian yang akan mudah usang, dan
kaum yang berada di pertengahan yang mereka menampakkan nikmat Allah kepada mereka dalam
berpakaian tempat tinggal tanpa berlebih-lebihan dan tidak pula menyombongkan diri.
4. Haramnya Menyeret Kain (Menjulurkannya Melebihi Mata Kaki) Karena Sombong
Allah mengancam kepada orang yang menyeret pakaiannya karena kesombongan dan merasa lebih
tinggi dari yang lain bahwa Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari dimana dia sangat
dibutuhkan Rabb semesta alam.
Dan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Ketika seseorang
berjalan dalam keadaan memakai pakaian yang menjadikan dirinya terkagum-kagum dengan
rambut jummah (yang tersisir rapi terurai sampai ke pundak) dan Allah membenamkannya di
dalam tanah niscaya dia dalam keadaan berteriak sampai hari kiamat”. Dan dalam riwayat Ahmad :
“Ketika seseorang berjalan dengan penuh kesombongan memakai pakaian yang mengagumkannya
dengan rambut jummah (terurai sampai ke pundak) yang menjadikan kain sarungnya menjulur
sampai ke tanah, lalu Allah membenamkannya maka dia berteriak atau jatuh di dalamnya sampai
hari kiamat”.
Hadits-hadits diatas tadi sebagaimana yang anda lihat menjelaskan haramnya menyeret pakaian
dengan penuh kesombongan dan merasa lebih tinggi dari manusia lainnya. Demikian itu karena
kesombongan bagian dari sifat Allah Azza wa Jalla, dan sifat itu adalah sifat kesempurnaan bagi-
Nya subhanahu. Tidak sepatutnya bagi makhluk menjadikan sifat ini ada padanya. Abu Said Al-
Khudri radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Al-Izzu (kemuliaan) adalah sarung Allah dan Al-Kibriyaa‟ (kesombongan) adalah selendangnya,
maka barang siapa yang menentangku aku akan mengadzabnya” . Pada lafazh riwayat Abu Daud :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Allah „azza wa Jalla berfirman : “Al-Kibriyaa‟
adalah selendangku dan Al-Azhamah adalah sarungku maka barang siapa yang menentangku salah
satu dari keduanya niscaya aku akan melemparkannya ke dalam neraka”.
An-Nawawi berkata : “ Makna “menentangku” : Berakhlak dengan sifat tersebut, sehingga
bermakna saling berserikat dalam sifat tersebut, dan ini merupakan ancaman yang keras terhadap
sifat sombong, dan penjelasan terhadap pengharamannya[26].
Faedah : Pakaian yang bagus, baik yang berharga atau yang tidak berharga, tidaklah dianggap
bagian dari kesombongan yang pelakunya diancam dengan ancaman keras, dan yang tercela ada
pada orang yang di dalam hatinya bersemayam sifat sombong, berjalan dengan penuh
kecongkakan meremehkan orang lain dan „ujub/kagum akan diri dan penampilannya maka hal ini
yang tercela.
Ibnu Hajar berkata : “ Keseluruhan dalil yang ada menjelaskan bahwa barang siapa yang
memaksudkan dengan pakaiannya yang bagus untuk menampakkan dan menunjukkan nikmat
Allah kepada-nya serta bersyukur atas nikmat tersebut tanpa merendahkan orang yang tidak
memiliki hal yang semisal dirinya, maka pakaian mubah yang dikenakannya tidak akan
memudharatkannya walaupun yang pakaian yang dia pakai sangat berharga.
Di dalam shahih Muslim dari Ibnu Mas‟ud : ” Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Tidak akan masuk surga orang yang ada di hatinya seberat biji dzarrah dari sifat
sombong, maka seseorang berkata : Sesungguhnya seseorang menyenangi pakaiannya bagus dan
sendalnya bagus, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya Allah itu indah
mencintai sesuatu yang indah, kesombongan itu berupa penolakan kebenaran dan merendahkan
manusia”.
Catatan penting : Ibnu Hajar berkata : “ Dari konteks hadits-hadits diatas[29] dapat diambil
suatu ulasan bahwa kaitan sifat sombong dengan menyeret pakaian untuk menjelaskan seringnya
hal itu terjadi. Dan penolakan kebenaran serta berjalan dengan kecongkakan adalah perkara yang
tercela walaupun bagi orang yang menyingsingkan lengan baju.
5. Haramnya Pakaian Syuhrah (Pakaian Kebesaran Agar Seseorang Menjadi Terkenal
Karena Pakaian Tersebut)
Kebanyakan orang – khususnya wanita – berlomba-lomba memakai pakaian yang bernilai tinggi
dengan harapan agar orang-orang mengangkat pandangan mereka kepadanya dan pakaiannya
menjadi masyhur diantara mereka, diiringi sifat ingin lebih tinggi kedudukannya dari yang lain,
congkak dan sombong kepada mereka.
Ibnu Al-Atsir berkata : “ As-Syuhrah adalah menampakkan sesuatu, dan yang dimaksud adalah
bahwa pakaian seseorang terkenal diantara manusia dikarenakan perbedaan warna dari warna-
warna pakaian mereka maka orang-orang pun mengangkat pandangan mereka kepadanya
sehingga membuatnya meremehkan mereka dengan sifat „ujub dan takabbur.
Ibnu Raslan berkata : “Karena memakai pakaian syuhrah di dunia untuk menjadi mulia dengannya
dan menyombongkan diri atas orang lain maka Allah akan memakaikannya di hari kiamat pakaian
yang terkenal dengan kehinaannya dan meremehkannya diantara mereka sebagai hukuman
baginya, dan hukumannya sesuai jenis amalan seseorang …dan perkataan Nabi : “pakaian
kehinaan” yaitu Allah memakaikan kepadanya di hari kiamat pakaian kehinaan, dan maksudnya
adalah pakaian yang menyebabkan kehinaan di hari kiamat sebagaimana seseorang itu memakai
pakaian di dunia agar dimuliakan oleh manusia dan untuk keangkuhan didepan mereka ,
sebagaimana dikatakan didalam „Aun Al-Ma‟bud.
Catatan : pakaian syuhrah bukanlah khusus dengan nilainya yang berharga tinggi, bahkan setiap
pakaian – walaupun rendah nilainya – akan tetapi menghantarkan kepada syuhrah, dan tujuan
orang yang memakainya agar menjadi terkenal diantara manusia maka dia adalah pakaian
syuhrah, sebagaimana seseorang yang memakai pakaian yang kumuh dan compang-camping agar
manusia meyakini ada padanya sifat zuhud dan wara‟, dan yang semisalnya.
Ibnu Taimiyah berkata : “Pakaian syuhrah itu dimakruhkan , karena merupakan pakaian
kesombongan dan keluar dari kebiasaan manusia, dan pakaian rendahan yang keluar dari
kebiasaan. Sesungguhnya para salaf dahulu menganggap makruh dua jenis syuhrah, pakaian
kesombongan dan pakaian rendahan, dan di dalam hadits : “Barang siapa yang memakai pakaian
syuhrah Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan” dan perkara yang terbaik adalah perkara
yang ada di pertengahan.
Dan dari Abu Umamah radhiallahu „anhu, beliau berkata : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang memakai sutra di dunia dia tidak akan
memakainya di akhirat”.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Sesungguhnya beliau
melarang dari cincin emas”.
Berikut atsar-atsar yang telah dikemukakan sebelumnya – dan yang selainnya – menunjukkankan
haramnya emas dan perak bagi laki-laki, kecuali ada beberapa keadaan yang dikecualikan dari
pengharaman ini : boleh bagi laki-laki memakai sutra apabila ada padanya gatal dan dia terganggu
dengan gatal tersebut, dari Anas radhiallahu „anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memberi keringanan kepada Abdurrahman bin Auf dan Az-Zubair memakai gamis yang terbuat dari
sutra karena gatal yang diderita oleh keduanya.
Atsar-atsar berkaitan dengan bab ini banyak sekali dan diketahui oleh kalangan tertentu maupun
bagi kalangan awam. Akan tetapi syahwat dan hawa nafsu yang menyimpang menjadi penghalang
untuk mengikuti kebenaran dan komitmen kepadanya. Kami akan menyebutkan apa yang hadir
dalam ingatan kami di sini sebagai peringatan bagi kaum yang beriman, dan sebagai ancaman bagi
yang bermaksiat lagi menyelisihi perintah syariat –kami memohon kepada Allah agar kita semua
mendapat hidayah dan tetap istiqamah di atas agama-:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallambeliau
bersabda : “ Kain yang melewati di bawah mata kaki dari sarung maka tempatnya di neraka” dan
lafazh dari riwayat Ahmad : “Sarung seorang mukmin dari pertengahan betis ke bawah sampai di
atas mata kaki. Dan yang berada di bawah itu maka tempatnya di neraka".
Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Barang
siapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong Allah tidak akan melihat kepadanya di hari
kiamat , Abu Bakar berkata : “ Wahai Rasulullah sesungguhnya salah satu dari dua sisi sarung saya
menjulur ke bawah kecuali saya jaga hal itu dari isbal “, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Kamu bukan orang yang membuatnya karena sombong”.
Kami katakan kepada orang yang beralasan tersebut : Kami memperbolehkan bagi anda
menjulurkan pakaian anda apabila anda telah memenuhi tiga perkara : Pertama : Agar
salah satu dari dua sisi sarungmu menjulur ke bawah dan bukan dari seluruh sisi pakaian. Kedua :
Agar anda menjaga pakaian anda dengan mengangkatnya setiap kali terjatuh, sebagaimana Abu
Bakar radhiallallahu „anhu melakukannya, maka hal itu bukan faktor kesengajaan dari anda.
Ibnu Hajar berkata : “Dalam riwayat Ahmad : “Sesungguhnya sarung saya terkadang melorot”,
beliau berkata : Seakan-akan ikatannya lepas apabila dia bergerak ketika berjalan atau yang lain
tanpa adanya kesengajaan darinya, apabila dia menjaga atas pakaian tersebut maka pakaiannya
tidak melorot kebawah karena setiap kali hampir melorot beliau mengencangkan ikatannya.
Ketiga : Nabi bersaksi bagi anda bahwa anda bukan termasuk orang yang melakukannya karena
sombong! Dan yang terakhir ini yang sekarang ini telah tertiadakan dan tidak ada cara untuk
mengadakannya.
Dari Al-Qasim dari Aisyah radhiallahu „anha : “Bahwa Aisyah membeli bantal yang ada padanya
gambar-gambar, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berdiri di pintu dan tidak masuk, maka
aku (Aisyah) berkata : “Saya bertaubat kepada Allah dari dosa yang kuperbuat.” Beliau berkata : “
Bantal apa ini?” Aisyah berkata : “Untuk engkau duduk di atasnya dan engkau jadikan bantal ”.
Beliau berkata : “Sesungguhnya pembuat bantal ini akan diadzab di hari kiamat, dikatakan kepada
mereka hidupkanlah oleh kalian apa yang telah kalian ciptakan, dan sesungguhnya malaikat tidak
akan masuk ke dalam rumah yang ada padanya gambar”.
An-Nawawi mengatakan : “ Ulama berkata : sebab terhalangnya mereka (yaitu malaiakat) dari
rumah yang ada padanya gambar karena keberadaannya adalah perbuatan maksiat yang keji, dan
ada padanya penyamaan terhadap makhluk ciptaan Allah ta‟ala, dan sebagian gambar tersebut
adalah sesuatu yang disembah selain Allah ta‟ala ”.
Dari apa yang telah lalu menjadi jelaslah bagi kita dengan sejelas-jelasnya haramnya memakai
pakaian yang ada padanya gambar yang bernyawa atau salib, dan barang siapa yang dicoba
dengan salah satu dari perkara tersebut maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan agar
menghapusnya dan merubah perilakunya. Kemudian apabila dia kehendaki dia dapat
mempergunakannya dan mengambil memanfaatkannya, sebagaimana yang dilakukan Aisyah
radhiallahu „anha, beliau berkata : ” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam datang dari suatu
perjalanan dan saya telah memasang tirai dengan kain tipis bergambar bernyawa milik saya pada
bagian atas lubang angin rumah saya. Ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melihatnya
beliau menyobeknya, dan beliau berkata : “ Manusia yang paling keras adzabnya di hari kiamat
adalah orang-orang yang menyaingi ciptaan Allah “. Aisyah berkata : “ Maka kami menjadikan kain
tersebut menjadi satu atau dua bantal”.
Masalah : Apakah sah shalat orang yang shalat dengan pakaian yang ada padanya gambar-
gambar atau salib?
Jawaban : Al-Lajnah Ad-Daa`imah berkata di dalam salah satu fatwanya : tidak boleh seseorang
shalat dengan memakai pakaian yang ada padanya gambar-gambar bernyawa apakah gambar
manusia, burung, hewan-hewan ternak atau selainnya yang bernyawa, dan tidak boleh bagi
seorang muslim untuk memakainya pada selain shalat. Namun seseorang yang shalat dengan
memakai pakaian yang ada padanya gambar bernyawa, shalatnya sah, namun dia berdosa, jikalau
mengetahui hukum syar‟i ….(pada jawaban lain tentang memakai jam atau salib Al-Lajnah
menyatakan : ) Tidak boleh memakai jam atau salib, tidak di dalam shalat tidak pula pada
selainnya sampai salib itu dihilangkan apakah dengan mengeruknya atau dengan sesuatu yang
menutupinya, akan tetapi apabila seseorang shalat dan jam tangan/salib itu ada padanya maka
shalatnya shahih, dan wajib atasnya bersegera menghilangkan salib, karena hal itu bagian dari
syi‟ar Nashrani, dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyerupai mereka.
10. Disunnahkan Mendahulukan yang Kanan Ketika Mengenakan Pakaian dan Semisalnya
Dalil amalan tersebut adalah hadirts Aisyah, Ummul mukminin radhiallahu „anha, beliau berkata : ”
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menyukai mendahulukan kanan di dalam bersuci, menyisir dan
memakai sandal”. Pada lafazh Muslim : ” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallammenyukai
mendahulukan kanan di dalam bersendal, menyisir dan bersuci”.
An-Nawawi berkata : “Ini adalah aturan baku didalam syariat, yaitu apabila suatu amalan tergolong
sebagai penghormatan dan pemuliaan, seperti memakai pakaian, celana, sepatu, masuk masjid,
siwak, bercelak, memotong kuku, memendekkan kumis, menyisir rambut, mencabut ketiak,
mencukur rambut, salam di dalam shalat, mencuci anggota bersuci, keluar dari wc, makan dan
minum, bersalaman, mecium hajar aswad, dan selain itu dari perkara yang termasuk dari makna
tadi yang disunnahkan mendahulukan yang kanan, adapun perkara yang merupakan kebalikan dari
yang telah disebutkan seperti masuk wc, keluar dari masjid, membuang ingus, al-istinja` –
membersihkan dubur atau qubul setelah buang hajat -, melepas baju, celana dan sepatu, dan yang
semisalnya yang disunnahkan mendahulukan bagian yang kiri padanya, dan semua itu disebabkan
untuk memuliakan bagian yang kanan, wallahu a‟lam.
11. Sunnah Ketika Memakai Sandal
Disunnahkan seseorang memasukkan bagian yang kanan terlebih dahulu kemudian bagian yang
kiri, dan ketika melepaskan kedua kaki bagian yang kiri terlebih dahulu kemudian yang kanan.
Sunnah itu disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah radhilallahu „anhu dia berkata : Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian memakai sandal
hendaknya dia memulai dengan yang kanan, dan apabila dia melepaskannya hendaknya dia mulai
dengan yang kiri, hendaknya bagian yang kanan yang pertama yang dipakaikan sandal dan yang
terakhir dilepas”.
Dan dari beliau radhiallahu „anhu bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Janganlah salah seorang dari kalian berjalan dengan satu sandal hendaknya dia melepaskan
keduanya atau memakai keduanya”.
Dan semua yang disebutkan agar diketahui hukumnya sebatas sunnah dan tidak sampai derajat
wajib, maka barang siapa yang menghadapi suatu kejadian atau sandal atau sepatunya putus
hendaknya dia berhenti sampai dia memperbaiki sandalnya atau melepas sandal yang satunya dan
menyelesaikan perjalanannya. Tidak sepatutnya bagi seorang mukmin menyelisihi larangan Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam walaupun hanya perkara yang makruh tidak sampai pada perkara yang
haram.
Hendaknya seseorang itu membiasakan dirinya agar berada di atas petunjuk Nabi bagi secara
zhahir maupun secara bathin, dan agar meraih kemulian ittiba‟ yang hakiki.
Ketahuilah bahwa ulama menyebutkan beberapa sebab larangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
berjalan dengan satu sandal. An-Nawawi berkata : “ Ulama berkata : Sebabnya karena hal itu
perkara yang buruk dan hukuman serta menyelisihi kewibawaan, karena memakai satu sandal
menjadikan yang satu menjadi lebih tinggi dari yang lainnya maka jalannya menjadi susah bahkan
hal itu menjadi sebab seseorang tergelincir dan selainnya.
Kemudian saya mendapati bahwa Syaikh Al-Albani rahimahullah membawakan di dalam As-Silsilah
Ash-Shahihah hadits yang diriwayatkan oleh At-Thahawi di dalam Musykil Al-Atsar : Dari hadits Abu
Hurairah radhiallahu „anhu bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
”Sesungguhnya syaithan berjalan dengan mengenakan satu sandal”. Berpedoman dengan hadits ini
akan menjadi jelas bagi kita sebab larangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dari berjalan di atas
satu sandal, dan bahwa hal itu merupakan jalannya syaithan. Apabila hal itu telah shahih dalam
syariat Islam cukuplah bagi kita dari segala upaya untuk menguak sebab dari larangan tersebut..
Faedah : termasuk perkara sunnah adalah bertelanjang kaki – kadang-kadang- yaitu berjalan
dalam keadaan tidak memakai alas kaki.
Dari Abu Buraidah radhiallahu „anhu bahwa salah seorang dari sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam mengadakan perjalanan mengunjungi Fudhalah bin Ubaid dan dia ada di Mesir. Lalu sahabat
tadi tiba kepadanya dan berkata : “Adapun saya tidak datang ziarah kepadamu akan tetapi saya
dan kamu saling mendengar satu hadits Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, saya harap ilmu
ada padamu tentang hadits tersebut. Fudhalah berkata : Apakah itu? Sahabat tadi berkata : Begini
dan begitu. Sahabat itu berkata : Mengapa saya melihat kamu dalam keadaan kusut sedangkan
kamu adalah pemimpin suatu daerah ? Fudhalah berkata : sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam melarang kami dari sering bermewah-mewah. Sahabat tadi berkata : Mengapa
saya tidak melihat engkau memakai sepatu? Fudhalah berkata : adalah Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam memerintahkan kepada kami agar bertelanjang kaki sekali waktu”.
12. Do‟a yang Diucapkan Ketika Memakai Sesuatu yang Baru
Ada beberapa doa-doa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang beliau
ucapkan ketika memakai sesuatu yang baru diantaranya :
وأعوذ ب من شر وشر ما صنع له،اللهم ل ال مد أنت كسوتنله أسأل من خلر وخلر ما صنع له
a. “Ya Allah milikmulah segala pujian engkaulah yang memakaikannya kepadaku, aku memohon
kepadamu dari kebaikan benda ini dan kebaikan yang dia dibuat karenanya, dan aku berlindung
kepadamu dari kejelekan benda ini dan kejelekan yang dia dibuat karenanya”.
ال مد هلل الذي كساني هذا الثوب ورزقنله من غلر وؿ مني وال قوة غفر له ما تقدـ من ذنبه
b. “Segala puji bagi Allah yang telah memakaikan pakaian ini kepadaku dan yang telah
merizkikannya kepadaku tanpa adanya usaha dariku dan tidak pula kekuatan”.
Dari Mu‟adz bin Anas, beliau : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Barang
siapa yang memakan makanan kemudian berkata : Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
kepadaku makanan ini dan memberikan rizki ini kepadaku tanpa adanya usaha dariku dan tanpa
kekuatan, niscaya dosa-dosanya yang terdahulu [dan yang akan datang] diampuni baginya, dan
barang siapa yang memakai pakaian dan mengucapkan : Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan pakaian ini kepadaku dan memberikan rizki ini kepadaku tanpa ada usaha dariku dan
tanpa kekuatan, niscaya dosa-dosanya yang terdahulu dan [yang akan datang] diampuni baginya”.
Dan disunnahkan bagi orang yang memakai pakaian yang baru untuk mengucapkan :
a. “Pakailah yang baru, hidup mulialah, dan matilah dalam keadaan syahid”.
Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, beliau berkata : ” Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam melihat Umar mengenakan pakaian putih, maka beliau berkata : “ Pakaianmu ini apakah
sudah dicuci ataukah baru ?” Umar berkata : Tidak, bahkan dia pakaian yang sudah dicuci. Beliau
berkata : “ Pakailah yang baru, dan hiduplah yang mulia dan matilah dalam keadaan syahid“.
Dan perkataan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam “Pakailah yang baru” : bentuk perintah namun
yang diinginkan dengannya adalah doa agar Allah berkenan memberikan kepadanya rizki berupa
pakaian baru.
Abu Nadhrah berkata tentang hadits Abu Sa‟id Al-Khudri –yang lalu- : Apabila salah seorang
sahabat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memakai pakaian baru maka dikatakan kepadanya
: Apabila telah usang semoga Allah ta‟ala menggantikannya“.
Faedah : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam memanggil Ummu Khalid dengan kunyahnya bukan
dengan namanya, dalam hal ini adanya penjelasan tentang perhatian beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam kepada anak kecil dan baiknya kelembutan beliau kepada mereka. Memanggil anak kecil
yang laki-laki maupun yang perempuan dengan kunyah sebagai pengganti nama mereka, memberi
kesan bagi mereka akan adanya perhatian kepada mereka dan bahwa mereka juga memiliki
derajat dan kedudukan sebagaimana orang besar. Barang siapa yang mencoba hal ini akan
mengetahui hal tersebut.
Catatan penting: Wajib untuk merealisasikan sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam di dalam
hal mendahulukan kanan, dan disini disunnahkan mendahulukan bagian kanan ketika memakai
sesuatu dan mendahulukan kiri ketika melepas sesuatu.
Dan dari jalan Samrah bin Jundab radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “Pakailah dari pakaian kalian yang putih karena pakaian putih itu lebih suci dan
lebih baik, dan kafanilah pada kain putih itu jenazah-jenazah kalian”.
Dan yang berlawanan dengan putih Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang memakai pakaian
mu‟ashfar – pakaian yang diberi pewarna kuning – dan pakaian yang dicelup dengan warna merah.
Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash dia berkata : “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melihat
saya mengenakan dua pakaian yang mu‟ashfar maka beliau berkata : sesungguhnya pakaian ini
adalah pakaian orang kafir maka janganlah kamu memakainya” dan di dalam lafazh yang lain :
Beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melihat saya mengenakan dua pakaian yang
mu‟ashfar. Maka beliau berkata : “Apakah ibumu yang memerintahkan kamu memakai pakaian
ini?” Saya berkata : Saya akan mencuci keduanya. Beliau berkata : “Bahkan bakarlah keduanya”.
Perkataan beliau : “Apakah ibumu yang memerintahkan kamu memakai baju ini?” maknanya
bahwa pakaian ini termasuk pakaian wanita, seragam dan akhlak mereka, adapun perintah untuk
membakar dikatakan bahwa hal itu adalah hukuman dan sikap keras dan teguran kepada Abdullah
bin Amru bin Al-Ash dan juga kepada selainnya dari semisal perbuatan ini, sebagaimana An-
Nawawi katakan.
Dan terkadang larangan memakai mu‟ashfar dikarenakan adanya bentuk tasyabbuh (penyerupaan)
kepada orang-orang kafir, dan hal ini lebih utama untuk dibawakan kepadanya dikarenakan hadits
yang menerangkan tentang hal itu : “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir maka
janganlah kamu memakainya”.
Masalah : Bagaimana menggabungkan antara larangan memakai pakaian yang dicelup dengan
warna merah, dan dengan hadits yang shahih dalam riwayat Al-Bukhari dari hadits Al-Barra‟
radhiallahu „anhu bahwa dia berkata : ” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam duduk dengan
menyilangkan kaki beliau, dan saya melihat beliau memakai kain Hullah yang berwarna merah dan
saya tidak pernah melihat sesuatu yang lebih bagus dari pakaian tersebut”.
Jawab : Bahwa larangan tersebut berlaku bagi pakaian yang murni berwarna merah, adapun
apabila pada pakaian tersebut terdapat gambar dari warna-warna lain maka hal itu tidak mengapa.
Ibnu Hajar mengemukakan di dalam Al-Fath tujuh pendapat tentang hukum memakai pakaian
berwarna merah, kami menyebutkan pendapat yang kami anggap mendekati kebenaran di dalam
masalah ini –dan pendapat ini adalah pendapat yang kuat-.
Beliau berkata : “ Larangan dikhususkan pada pakaian yang dicelup seluruhnya, adapun yang ada
padanya warna lainnya selain warna merah seperti putih, hitam dan selain keduanya maka tidak
mengapa, maka berdasarkan pendapat ini, hadits-hadits yang menyebutkan kain hullah yang
berwarna merah digiring kepada makna ini, karena kain hullah Yaman kebanyakannya memiliki
garis-garis merah dan warna lainnya.
Ibnul Qayyim berkata : “ Sebagian ulama memakai pakaian yang dicelup warna merah dan
menyangka bahwa hal itu mengikuti sunnah, ini adalah kekeliruan, karena kain hullah yang
berwarna merah terbuat dari burdah Yaman dan kain burdah tidak dicelup dengan warna merah
polos.
Berdasarkan ini maka disunnahkan bagi orang yang ingin memakai cincin agar meletakkannya di
jari kelingkingnya, dan makruh baginya meletakkan cincin tersebut di jari tengah dan jari
setelahnya dan bentuk kemakruhannya adalah makruh tanzih.
Dan adapun di tangan yang mana seseorang bisa memakai cincin maka ini adalah perkara yang
diperselisihkan oleh ulama. Karena adanya atsar bolehnya memakai pada jari ini dan jari itu.
An-Nawawi berkata : “Adapun hukum dalam masalah ini menurut para ulama maka mereka
sepakat atas bolehnya memakai cincin di tangan kanan dan di tangan kiri dan tidak ada
kemakruhan pada salah satu diantara keduanya. Dan mereka berselisih yang mana dari keduanya
yang lebih utama. Mayoritas ulama salaf memakai cincin di tangan kanan, dan banyak pula yang
memakainya di tangan kiri….
Anas radhiallahu „anhu berkata : “tidaklah saya menyentuh kain sutra dan kain ad-diibaaj yang
lebih lembut dari pada telapak tangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, dan tidak pula saya
pernah mencium bau wangi atau bau semerbak yang lebih wangi dari bau dan semerbak Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam”. Dan lafazh pada riwayat Ad-Darimi : “Dan tidak sekalipun saya
pernah mencium bau wangi yang lebih wangi dari bau wangi misk beliau dan tidak pula bau wangi
yang lainnya”.
Sunnah memakai wangi-wangian adalah perkara yang mubah bagi laki-laki dan perempuan di atas
satu batasan, akan tetapi haram bagi mereka berdua dalam keadaan ihram ketika haji atau umrah
berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, secara marfu‟ –tentang sahabat yang ontanya
menginjaknya- beliau bersabda : “Jangan kalian beri wangi-wangian padanya”.
Dan berdasarkan hadits Ibnu Umar –secara marfu‟- radhiallahu „anhuma, tentang seorang laki-laki
yang bertanya tentang pakaian yang dia pakai ketika muhrim, maka beliau berkata : “Janganlah
kalian memakai satu pun dari pakaian terkena aroma wangi az-za‟faran dan wangi al-wars
mengenainya”.
Dan –juga-khusus bagi wanita larangan dari memakai wangi-wangian pada dua keadaan, keadaan
pertama : dalam keadaan muhaddah (ditinggal mati) suami maka wanita terhalang dari memakai
wangi-wangian selama empat bulan sepuluh hari berdasarkan hadits Ummu „Athiyyah dan
selainnya, bahwa dia berkata : “Kami dahulu dilarang membatasi waktu berkabung di atas tiga hari
kecuali karena kematian suami selama empat bulan sepuluh hari, kami tidak boleh memakai celak,
memakai wangi-wangian, memakai pakaian yang dicelup kecuali pakaian „ashab- dari serat sejenis
tumbuhan –, dan telah diberikan keringanan bagi kami ketika suci apabila salah seorang dari kami
mandi dari masa haidnya pada perasan kisti azhfar, dan kami dilarang mengikuti jenazah”.
Dan keadaan lainnya : Apabila seorang wanita mendatangi sebuah tempat yang padanya laki-laki
asing, walaupun hanya lewat di jalan mereka dan mereka mendapati wangi wanita tadi maka
wanita tersebut masuk di dalam larangan –dan keadaan ini yang banyak diabaikan oleh kaum
wanita dan mereka memudah-mudahkan hal ini. Sementara adanya keterangan yang sangat jelas
di dalam sejumlah hadits dan adanya ancaman keras pada perkara tersebut.
Berdasarkan hadits Abu Musa Al-Asy‟ari radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam berkata : “Perempuan mana pun yang memakai wangi-wangian dan melewati satu kaum
yang mendapati bau wangi wanita tersebut maka dia adalah wanita pezina”.
Dan Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
berkata : “Barang siapa memiliki rambut maka hendaknya dia muliakan rambutnya”.
Akan tetapi rambut tersebut tidaklah dihias-hiasi, dibersihkan, dimuliakan dengan cara berlebih-
lebihan yang keluar dari batasan yang dibenarkan oleh nalar , sehingga lebih menyerupai wanita.
Karena berlebih-lebihan di dalam menghiasi dan memperhatikan rambut merupakan kekhususan
wanita.
Abdullah bin Mughaffal meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam Melarang bersisir
kecuali kadang-kadang saja”.
Dan dari Abu Humaid bin Abdurrahman dia berkata: saya pernah bertemu salah seorang yang
menemani Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam sebagaimana Abu Hurairah menemani beliau selama
empat tahun, sahabar tersebut berkata : ” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melarang salah
seorang dari kami untuk menyisir setiap hari”.
Adapun mencukur rambut : Ketahuilah yang pertama bahwa yang paling utama membiarkan
rambut dalam keadaan terlepas sampai kedua daun telinga sebagaimana itu adalah rambut Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam. Al-Barra bin Azib radhiallahu „anhu berkata : ” Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam adalah seseorang yang berpundak bidang, yang jarak antara pundak beliau jauh, dan
rambut beliau yang mencapai daun telinga beliau….al-hadits”
Pada riwayat Muslim : “Rambut beliau sangat lebat jumlahnya sampai pada daun di telinga beliau”.
Dan mencukur rambut terkadang menjadi perkara yang wajib, atau haram, atau sunnah atau
mubah.
Hukum wajib mencukur habis rambut : Apabila seseorang dalam haji dan umrah, dan orang
yang melaksanakannya tidak dipendekkan rambutnya, atau tergolong penyerupaan kepada gaya
rambut selain orang muslim….dan haram hukumnya mencukur rambut : Apabila tujuannya untuk
beragama atau beribadah selain ibadah haji dan umrah sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian
orang-orang sufi … Sunnah mencukur rambut : Apabila seorang kafir masuk islam –terlebih lagi
apabila rambutnya tebal. Atau apabila telah berlalu tujuh hari umur bayi yang lahir. Disunnahkan
bagi walinya untuk mencukur kepalanya dan bersedekah dengan timbangan rambut tersebut.
Atau apabila rambut telah sangat panjang yang mana telah melewati kadar rambut Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam….dan disunnahkan mencukur rambut kepala –juga- apabila orang yang mencukur
menutup kegantengan yang menjadi sumber fitnah sama saja apakah bagi laki-laki ataukah bagi
perempuan…..Dan diperbolehkan mencukur rambut : Apabila seseorang tidak mampu
memperhatikannya karena kesibukannya dengan urusan-urusan lainnya dan urusan-urusan
tersebut lebih penting daripada mencukur rambut……(Al-Imam Ahmad berkata : “ Mencukur adalah
Sunnah, kalau kami sanggup tentunya kami akan amalkan , akan tetapi mencukur memiliki
tanggungan dan beban). Dan boleh mencukur rambut kepala untuk pengobatan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma : Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam :
“melarang dari perbuatan Al-Qaza‟) dan dalam riwayat Muslim : ” Saya berkata kepada Nafi‟ :
Apakah Al-Qaza‟ itu? Dia berkata : Mencukur sebagian kepala anak kecil dan membiarkan sebagian
lainnya”.
Ibnul Qayyim berkata : “ Al-Qaza‟ ada beberapa macam : salah satunya : mencukur satu bagian
dari kepala dari sini dan sini. Diambil dari gumpalan awan, yaitu yang bergumpal-gumpal. Kedua :
mencukur tengahnya dan membiarkan sisi-sisinya, sebagaimana penjaga geraja kaum nashara
lakukan. Ketiga : mencukur sisi-sisinya dan membiarkan tengahnya. Sebagaimana kebanyakan dari
rakyat jelata dan rendahan lakukan. Keempat : mencukur bagian depan kepala dan membiarkan
bagian akhir, dan semua macam tadi masuk bagian dari Al-Qaza‟ wallahu a‟lam..
Faedah : Disunnahkan bagi yang ingin mencukur rambutnya pertama-tama hendaknya memulai
dari sisi kanan dari rambut kemudian yang kiri. Yang demikian itu berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik: “Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi Mina,
kemudian mendatangi Al-Jumrah dan melontar Jumrah, kemudian mendatangi rumah beliau di
Mina dan menyembelih kurban, kemudian berkata kepada tukang cukur; ambillah seraya menunjuk
kepada sisi kanan kepala, kemudian sisi kiri, maka mulailah beliau memberikan pelajaran kepada
manusia lainnya”[30]
Dan perkara ini bukan perkara yang lapang bagi kita sehingga kita bisa mengamalkannya sesuka
kita dan meninggalkannya sesuka kita, bahkan perkara ini adalah perkara yang wajib bagi kita,
maka wajib mengamalkan dan ta‟at padanya.
Yaitu tidak sepatutnya dan tidak pantas, bagi orang yang disifatkan dengan keimanan kecuali
bersegera kepada keridhaan Allah dan Rasulnya, dan menjauhi dari kemurkaan Allah dan rasulnya,
dan melaksanakan perintah keduanya, dan menjauhi larangan keduanya. Maka tidak layak bagi
laki-laki dan perempuan yang beriman : “Apabila Allah dan rasulnya menetapkan satu perkara” [Al-
Ahzab : 36] dari perkara-perkara agama yang ada, dan mewajibkannya serta mengharuskannya :
” adanya pilih memilik dari perkara tersebut” [Al-Ahzab : 36] : Yaitu : pilihan, apakah mereka
laksanakan atau tidak? Bahkan seorang mukmin dan mukminah mengetahui bahwa Rasul lebih
utama akan hal tersebut daripada dirinya, maka janganlah ia menjadikan sebagian hawa nafsunya
menjadi penghalang dirinya dengan Allah dan Rasulnya, demikian dari perkataan Ibnu Sa‟di.
Dan hadits-hadits tentang perintah memelihara jenggot dan memotong kumis dari Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam sangat banyak dan lafazh-lafazhnya bermacam-macam diantaranya :
“Lebatkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis”.
Dan lafazh lainnya : “Habiskanlah kumis dan biarkanlah jenggot”.
Dan lafazh lainnya : “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan peliharalah jenggot”.
Dan diantaranya : “Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot. Dan selisihilah orang-orang Majusi”.
ِ صلبػهم َع َذ ِ ِ ُفَلل َذ ِر لَّل ِذين ي َ الُِفو َف َعن أَم ِرۦِٓ أَف ت
لم
ٌ اب أَل
ٌ ُ َ ِ ُصلبَػ ُهم فتنَةٌ أَو ي َُ َ
“ Dan hendaknya mereka yang menyelisihi perintah Rasul berhati-hati, akan tertimpa fitnah bagi
mereka ataukah mereka akan ditimpakan adzab yang pedih “(An-Nuur : 63).
Sebagian ulama mengulas pembahaan tentang mengambil sebagian dari jenggot panjang dan
lebarnya, berpegang dengan atsar para salaf yang mulia, akan tetapi lafazh-lafazh yang datang
dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam sangat jelas dan cukup untuk masalah ini, dan hujjah ada
pada perkataan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, bukan pada perkataan atau perbuatan
sahabat dan pengikut beliau.
Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot sesuai keadaannya, dan agar tidak
memendekkannya sesuai hukum asalnya, dan pendapat yang terpilih di dalam masalah kumis
adalah tidak menghabiskannya dan menyisakan sedikit pada ujung bibir. Wallahu a‟lam, Demikian
dikutip dari perkataan An-Nawawi.
Faedah :
Wahai laki-laki yang ubannya dihitamkan
Supaya dianggap sebagai pemuda
Berhentilah walaupun setiap burung merpati putih dihitamkan
Tidaklah ia dianggap bagian dari burung gagak
19. Pembahasan Tentang Bercelak :
Bercelak bagi wanita adalah perhiasan, dan bagi laki-laki dan wanita adalah pengobatan yang
bermanfaat. Dan orang-orang Arab dahulu menjadikannya sebagi pengobatan dari penyakit radang
mata.
Di dalam hadits Ummu „Athiyyah radhiallahu „anha tentang wanita yang ditinggal mati suaminya
mengeluhkan matanya, maka para sahabat menyampaikan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam dan mereka pun menyebutkan tentang celak yaitu sebagai pengobatan untuknya.
Dari Abdullah bin Mas‟ud radhiallahu „anhu dia berkata : “Allah melaknat al-wasyimaat, al-
muwasysyimaat, al-mutanammishaat, al-mutafallijaat agar terlihat bagus, yang merubah ciptaan
Allah". Hal itu sampai kepada seorang perempuan dari bani Asad yang dipanggil dengan Ummu
Ya‟quub, dia pun datang dan berkata : “Sesungguhnya telah sampai kepada saya bahwa engkau
melaknat ini dan itu.” Maka Abdullah bin Mas‟ud berkata : “Mengapa saya tidak melaknat orang
yang Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, dan orang yang ada di dalam kitab Allah.” Maka
wanita itu berkata : “Sungguh saya telah membaca ayat-ayat yang ada di antara dua lembaran ini
namun saya tidak mendapatkan padanya apa yang kamu katakan.” Abdullah bin Mas‟ud berkata :
“Apabila kamu membacanya niscaya kamu akan mendapatkannya, tidakkah kamu membaca :
ۚ ْوؿ فَ ُ ُذو ُ َوَما نَػ َه َٰ ُكم َعنهُ فَ نتَػ ُهوا
ُ َوَما َءاتََٰ ُك ُم َّللر ُس
“ Dan setiap yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bagi kalian maka
ambillah dan setiap yang beliau larang atas kalian maka kalian berhentilah “ ( Al-Hasyr : 7 ).
Wanita itu berkata : Benar. Abdullah bin Mas‟ud berkata : sungguh beliau telah melarang hal itu.
Wanita itu berkata : Sungguh aku melihat sangat celaka apa yang mereka lakukan. Abdullah bin
Mas‟ud berkata : Pergilah dan lihatlah. Wanita itu pergi dan melihat namun dia belum melihat suatu
pun dari hajatnya. Abdullah berkata : Kalaulah dia itu demikian saya tidak menggaulinya” dan
lafazh Muslim : “Allah melaknat Al-Wasyimah, Al-Mustausyimah, An-Namishaat, Al-
Mutanammishaat, dan Al-Mutafallijaat agar terlihat bagus dengan merubah ciptaan Allahal-hadits ”
Dan dalam riwayat Al-Bukhari dan selainnya dari Abdullah “Allah melaknat Al-Washilah“.
Keterangan yang jelas pada hadits-hadits tadi di dalam masalah ini dan kerasnya ancaman hal
tersebut, namun banyak dari wanita melakukan hal itu atau melakukan sebagiannya, dan tidaklah
hal ini terjadi kecuali karena lemahnya iman, dan jikalau tidak maka manusia yang mana yang mau
menghinakan dirinya dan menyerahkan dirinya kepada kemurkaan Al-Jabbar (dzat yang maha
perkasa)! Ya Allah sesungguhnya kami memohon kepadamu keselamatan dan kesehatan di dalam
agama dan dunia kami.
Catatan penting : Tidaklah laknat ini khusus untuk wanita, bahkan masuk padanya laki-laki
apabila mereka menyambung rambut, mentato, menyambung rambut dan mengukir gigi untuk
terlihat bagus! Atau mereka meminta kepada selain mereka untuk melakukan salah satu dari hal
tersebut kepada mereka. Dan pengkhususan laknat bagi wanita hanya karena kebanyakan hal itu
ada pada mereka wanita sebagaimana pada perkara meratap, wallahu a‟lam.
ِ ِ ِ ِ ِ َّل
َ َنع ِم َما تَرَكبُو َف ٕٔ لتَستَػ ُوۥاْ َعلَ َٰى ظُ ُهوِرۦ ثُ َّلم تَذ ُك ُرواْ ن
َعمة ََٰ َٰج ُكلَّل َها َو َج َع َل لَ ُكم ِّم َن ل ُفل َو أل
َ َزو
َ َو لذي َخلَ َق أل
لن ٖٔ َوإِنَّلا إِلَ َٰى َربِّػنَا لَ ُمن َقلِبُو َف ِ
َ َّلر لَنَا ََٰه َذا َوَما ُكنَّلا لَهُ ۥ ُمق ِرن
ِ َّل ِ ِ
َ َربِّ ُكم إذَا ستَػ َويتُم َعلَله َوتَػ ُقولُواْ ُسب ََٰ َن لذي َس
ٔٗ
“ Dan Dialah Dzat yang telah menciptakan segala sesuatu bagi kalian slaing berpasang-pasangan,
da menjadikan bagi kalian apa yang kalian kapal, binatang ternak dan tunggangan yang kalian
kendarai. Agar kalian duduk diatas punggungnya kemudian kalian mengingat nikmat Rabb kalian
apabila kalian telah brada diatasnya, dan kalian mengucapkan: Subhanallahi alladzii sakhkhara
lanaa hadzaa wa maa kunnaa lahu muqribiin wa innaa ilaa Rabbinaa lamunqalibuun – Maha Suci
Rabb kami yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak sanggup
untuk menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami ( Az-Zukhruf : 12-
14 ).
Di antara adab-adab berkendaraan dan berjalan :
1. Larangan Bersikap Angkuh Ketika Berjalan
Angkuh ketika berjalan termasuk dari sifat-sifat tercela yang tumbuh dari kesombongan dan „ujub
terhadap diri sendiri. Dan seorang yang beriman diantara sifat-sifatnya adalah tawadhu‟ (rendah
diri) dan al-istikanah (tenang) tidak ada sifat al-kibr (sombong) dan al-ghathrasah (menonjolkan
diri).
Sifat al-kibr (sombong) adalah selendang Allah maka barang siapa yang merampasnya niscaya
Allah akan mengadzabnya. Dari Abu Sa‟id Al-khudri dan Abu Hurairah radhiallahu „anhuma,
keduanya mengatakan: Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Kemuliaan
adalah sarung Allah, dan kesombongan adalah selendangnya, barang siapa yang merampasnya
dariku niscaya saya akan mengadzabnya”.
Dan Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : ” Ketika seseorang berjalan dengan kain hullah yang mengagumkan dirinya rambutnya
tersisir rapi terurai sampai pada telinganya. Apabila Allah membenamkannya maka dia akan
berteriak terus sampai hari kiamat”.
Keangkuhan tidaklah ada kecuali pada tempat-tempat peperangan untuk membuat marah musuh-
musuh, sebagaimana Abu Dujanah lakukan ketika mengikatkan imamah –miliknya- yang berwarna
merah kemudian mulailah dia berjalan dengan angkuh diantara dua barisan yang saling
berhadapan. Maka ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melihatnya berjalan dengan
angkuh, beliau bersabda : “Sesungguhnya jalan seperti itu adalah jalan yang Allah murkai kecuali
pada tempat seperti ini”.
Abu Hurairah radhiallahu „anhu berkata saya tidak pernah orang yang paling gagah dari Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam, seakan-akan matahari berjalan di wajahnya, dan saya tidak pernah
melihat seseorang yang paling cepat jalannya daripada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam,
seakan akan bumi terlipat untuknya, dan sesungguhnya kami mengusahakan diri-diri kami dan
sesungguhnya beliau tidak terlihat memaksakannya.
Yang pertama : yang paling baik dan yang paling sempurna adalah berjalan at-takaffu‟ dan at-
taqallu‟, seperti keadaan orang yang turun dari ash-shabab (tempat yang
miring/curam), dan cara jalan ini adalah cara jalannya Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam.
Kedua : berjalan dengan gelisah dan sempoyongan laksana seekor onta yang gelisah.
Cara jalan ini cara jalan yang tercela –juga- yang menunjukkan kekurangan akal
orang yang melakukannya. Terlebih lagi apabila orang tersebut sering menengok
ke kiri dan ke kanan ketika berjalan.
Ketiga : Berjalan lemas dan berjalan selangkah demi selangkah, seumpama sepotong
kayu yang diangkut, dan cara jalan ini adalah cara jalan yang tercela dan jelek.
Keempat : Jalan dengan dipercepat
Kelima : ar-ramal, cara jalan yang paling cepat disertai langkah yang saling berdekatan,
dan disebut juga dengan al-khabab.
Keenam : an-naslaan, adalah jalan sambil berjinjit kecil yang tidak mengganggu orang
yang berjalan.
Ketujuh : al-khauzali, adalah jalan berlenggak-lenggok, yaitu jalan yang disebut ada
padanya kelemah-lembutan dan kebanci-bancian.
Kedelapan : al-qahqaraa, yaitu jalan ke belakang.
Kesembilan : al-jamzaa, yaitu orang berjalan sambil melompat.
Kesepuluh : at-tabakhtur, yaitu jalan orang yang „ujub dan sombong[11]
3. Makhruhnya Berjalan Dengan Satu Sandal.
4. Termasuk Sunnah Sekali-kali Bertelanjang Kaki
Berdasarkan perkataan Fudhalah radhiallahu „anhu : ” Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memerintahkan kami agar kadang-kadang bertelanjang kaki (ketika berjalan)”.
Dan di dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, tentang ziarahnya Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam kepada Sa‟ad bin Ubadah, beliau berkata : ” Ketika Nabi berdiri kami ikut berdiri bersama
beliau dan kami sekitar sepuluh orang tidak ada pada kami sandal tidak pula khuf dan tutup
kepala/kopyah dan tidak pula gamis kami berjalan diatas tanah yang becek itu….al-hadits”.
Jalan dengan bertelanjang kaki mengandung hikmah untuk menghilangkan kebiasaan seseorang
merasakan nikmat dengan seringnya bersandal.
“ Dan mereka yang menyakiti kaum mukminin laki-laki maupun wanita tanpa kesalahan yang
mereka perbuat, maka sungguh mereka telah menanggung kedustan dan dosa yang jelas “ (Al-
Ahzab : 58 ).
BAB 17
ADAB-ADAB DI JALAN
ٖٓ وج ُهم ۚ َٰذَلِ َ أَزَك َٰى لَ ُهم ۚ إِ َّلف للَّلهَ َخبِ ُلر بِ َما يَصنَػعُو َف ِ َٰ واْ ِمن أ ِ ِ ِّقُل ل
َ َبص ِرهم َويَ َفظُواْ فُػ ُر
َ ُلن يَػغ
َ لمؤمن ُ
ِ َٰ ُ ن ِمن أ ِ وقُل لِّلم
ِ َؤم َٰن
َ َبص ِره َّلن َويَ َف
ظن َ َ ت يَغ ُ َ
“ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya,
dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”.
Dari Abu Said Al-khudri radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Janganlah kalian duduk-duduk di jalan-jalan, para sahabat berkata : “Kami tidak
melakukan apapun juga dan jalan-jalan tersebut hanya majlis kami yang kami jadikan tempat
ngobrol. Beliau berkata : “Apabila yang kalian inginkan hanya majlis maka hendaknya kalian
memberikan kepada jalan tersebut haknya. Para sahabat berkata : Apakah hak jalan tersebut?
Nabi berkata : “Menundukkan pandangan, menahan dari mengganggu orang lain, membalas salam,
amar ma‟ruf dan nahi mungkar".
Di antara adab-adab ketika berada jalan :
1. Wajibnya Menunaikan Hak-hak Jalan :
Hak-hak jalan telah Nabi jelaskan dan dia adalah : (menundukkan pandangan, menahan gangguan,
membalas salam, amar ma‟ruf dan nahi mungkar) dan hak-hak ini bukan terbatas ini saja, ini
hanya sebagiannya saja, hadits-hadits yang lainnya menjelaskan hak-hak jalan selain yang
disebutkan ini, maka diketahui bahwa yang disebutkan tadi yang ada di dalam hadits bukanlah
pembatasan.
a. Menundukkan pandangan. Perintah menundukkan pandangan berlaku bagi laki-laki dan
perempuan dengan batasan yang sama, yang demikian itu karena melepas pandangan pada
perkara yang diharamkan dapat mendatangkan adzab di dalam hati dan membuatnya sakit.
Dan dia menyangka bahwa hal itu akan memberkan ketenangan bagi dirinya dan memperindah
hatinya. Akan tetapi sangatlah jauh persangkaan tersebut. Yang paling besar adzabnya diantara
mereka adalah mereka yang kecanduan, sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah: “Sengaja
memandang akan mewariskan pada hati kecintan yang akan menyiksa seseorang. Dan apabila
semakin kuat sampai menjadikannya cinta dan kerinduan yang menyala-nyala dan siksaan akan
semakin bertambah pedih. Tidak berbeda, jika seandainya dia mampu mendapatkan apa yang dia
cintai ataukah tidak mampu. Apabila dia tidak mampu maka dia berada pada adzab yang pedih
berupa kesedihan, kemurungan dan kesusahan hati, dan apabila dia mampu maka dia akan berada
pada adzab yang pedih berupa rasa takut untuk berpisah, dan berusaha untuk menyayanginya dan
berusaha mendapatkan keridhaannya!.
Dan asal dari semua hal tersebut adalah pandangan, kalau saja seseorang itu menundukkan
pandangannya maka jiwa dan hatinya akan tenang.
Dan syariat yang suci ini tidak melalaikan segala sesuatu yang terkadang manusia terjatuh
padanya tanpa sengaja. Bahkan memerintahkan bagi yang telah melihat perempuan asing tanpa
sengaja agar memalingkan pandangannya dan jangan berlama-lama.
Jarir bin Abdullah radhiallahu „anhu berkata : “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam tentang pandangan tiba-tiba maka beliau memerintahkanku agar saya memalingkan
wajahku”.
Makna memandang tiba-tiba adalah memandang seorang wanita asing tanpa sengaja maka tidak
ada dosa atasnya, dan apabila dia belama-lama dalam memandang maka dia berdosa menurut
hadits ini, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.
b. Menahan gangguan. Diantara hak-hak jalan adalah menahan gangguan, dan tidak menyakiti
fisik mereka ataukah kehormatan mereka.. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru
radhiallahu „anhu beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ” Seorang
Muslim adalah seseorang dimana kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya…al-
hadits”…
Hadits ini diantara jawamiul kalim Rasulullah, makna lisan disini mencakup orang yang berbicara
dengan lisannya dan mengganggu orang lain dalam perkara menjatuhkan harga diri dan mencela
mereka , dan mencangkup orang yang mengeluarkan lidahnya sebagai ejekan dan celaan,
demikian pula tangan karena gangguan yang diakibatkan oleh tangan tidak terbatas hanya pada
pukulan saja, bahkan dapat melewati kepada perkara-perkara yang lain seperti memfitnah orang
lain, memberikan kemudharatan kepada mereka dengan cara menulis tulisan yang menyesatkan,
membunuh dan yang semisalnya. Bahkan diantara bentuk kesempurnaan agama ini bahwa
seseorang menahan gangguannya dan kejahatannya kepada orang lain adalah bentuk shadaqah
yang dia bersedekah bagi dirinya.
Ibnu Katsir berkata : Umar bin Al-Khaththab radhiallahu „anhu berkata : Barang siapa yang senang
menjadi bagian dari ummat ini hendakknya dia menunaikan syarat Allah pada ummat tersebut. HR.
Ibnu Jarir, barang siapa yang tidak disifatkan dengan hal itu maka dia mirip dengan ahlul kitab
yang Allah cela mereka dengan firmannya :
فعلُو َف
َ َئس َما َكانُواْ يِ ۚ
َ اهو َف َعن من َكر فَػ َعلُو ُ لَب
َ ََكانُواْ َال يَػتَػن
“ Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. “[Al-Maidah : 79].
Dan dikarenakan meninggalkan amar ma‟ruf dan nahi mungkar maka siksa ditimpakan bagi
mereka. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya, beliau berkata : “Abu Bakar
radhiallahu „anhu berdiri dan bertahmid kepada Allah Azza wa Jalla dan memujinya dan berkata :
wahai manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini :
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi
mudharat kepadamu apabila kamu Telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali
semuanya, Maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan”. [Al-Maidah :
5].
Dan sesungguhnya kalian meletakkan ayat ini pada selain tempatnya, sesungguhnya saya
mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya apabila manusia
melihat kemungkaran dan dia tidak merubahnya hampir-hampir saja Allah memberikan hukuman
kepada semuanya”.
Dan amar ma‟ruf dan nahi mungkar tidak diterbatas pada satu sisi tertentu saja (seperti contoh
lembaga tertentu) atau orang-orang tertentu (seperti orang-orang yang terkenal), bahkan amar
ma‟ruf dan nahi mungkar wajib atas setiap orang, sesuai kemampuannya. Hadits yang menjelaskan
masalah ini konteksnya umum tidak mengkhususkan salah seorang saja.
Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu berkata saya mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “Barang siapa yang melihat kemungkaran maka hendaknya dia merubahnya
dengan tangannya, jikalau dia tidak mampu hendaknya dia rubah dengan lisannya, jika tidak
mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu selemah-lemahnya keimanan”.
Akan tetapi sepatutnya diarahkan kepada berapa perkara berikut ini :
Pertama : Bertahap dalam mengingkari, dan janganlah seseorang berpindah kepada satu
tingkatan sampai dia tidak mampu dari tingkatan sebelumnya, maka janganlah ia mengingkari
dengan hatinya sedangkan dia mampu mengingkari dengan lisannya, dan demikian seterusnya.
Kedua : Bahwa barang siapa yang memiliki kekuasaan maka hendaknya pengingkarannya harus
dengan pengingkaran yang paling tinggi, maka penguasa suatu keluarga dialah pemimpin yang
ditaati di dalam rumah maka merubah kemungkaran hendaknya dengan tangannya dan dia mampu
menghilangkan kemungkaran dengan tangannya dan tidak ada udzur akan hal tersebut.
Ketiga : Mengilmui sebelum mengingkari kemungkaran, bahwa perbuatan tersebut betul-betul
perbuatan mungkar sebelum mengingkari, apakah perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang
dibolehkan adanya perbedaan pendapat, dan pada perkara ini banyak kelompok manusia salah
padanya, maka hendaknya berhati-hati.
Keempat : Bagi orang yang mengingkari hendaknya menghadirkan kaidah mafsadah dan maslahat
dan agar tidak segera mengingkari kecuali setelah mengetahui bahwa mashlahat itu lebih kuat
daripada mafsadah, maka kapan seseorang tahu kuatnya mafsadah wajib baginya untuk menahan
agar jangan sampai dia membuka pintu kejelekan dan kerusakan.
Kelima : Apabila orang yang mengingkari tidak mampu melalui tahapan pertama dan kedua, maka
jangan sampai hatinya lalai, dia melewati kemungkaran tanpa mengingkari di dalam hatinya dan
menampakkan pengaruh kemungkaran tersebut dari raut wajahnya.
e. Menunjukkan Jalan Bagi Orang Yang Bertanya Tentangnya. Diantara hak-hak jalan –juga-
mengarahkan orang yang bertanya tentang jalan dan menunjukkannya kepadanya, sama saja
apakah orang yang bertanya itu orang yang lagi tersesat ataukah orang yang buta.
Kewaiban ini dijelaskan di dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu tentang kisah orang-orang
yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tentang hak ketika berada di jalan –
beliau- berkata : “Dan membimbing jalan bagi orang yang bertanya tentangnya”[11]. Dan di dalam
hadits Abu Hurairah yang lain menjelaskan bahwa menunjukkan jalan termasuk shadaqah, dia
berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata : “Menunjukkan jalan shadaqah”.
2. Menghilangkan (Membuang) Sesuatu yang Mengganggu di Jalan
Adab-adab yang disunnahkan di jalan adalah; menghilangkan sesuatu yang mengganggu di jalan,
bahkan hal ini termasuk keimanan. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Iman itu ada
tujuh puluh sekian cabang atau enam puluh sekian cabang, cabang yang paling utama adalah
ucapan laa ilaaha illallaah, dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu yang
mengganggu di jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan”.
Dan perbuatan tersebut termasuk dari shadaqah, dan dengan sebab perbuatan ini pula seseorang
dimasukkan ke dalam surga. Di dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu dia berkata :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Setiap ruas anggota badan manusia ada
sedekah padanya…kemudian beliau berkata : “Menyingkirkan sesuatu yang mengganggu di jalan
adalah sedekah”.
3. Haramnya Buang Hajat di Jalan yang Dilalui Manusia atau di Tempat Mereka Berteduh
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memberikan peringatan agar tidak buang hajat di jalan
yang dilalui manusia atau tempat mereka berteduh, karena hal itu hak umum, maka tidak boleh
bagi seseorang untuk merusak jalan-jalan manusia yang mereka berjalan di atasnya, atau tempat
mereka berteduh yang mana padanya mereka duduk-duduk, dan berlindung dari panasnya
matahari.
Abu Hurairah radhiallahu „anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Takutlah kalian kepada dua perkara yang terlaknat. Para sahabat bertanya : Apakah dua perkara
yang terlaknat itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda : “Buang hajat di jalan yang dilalui manusia
dan di tempat mereka berteduh”.
Makna sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Takutlah kalian dari dua perkara yang terlaknat”
yaitu : Jauhilah kalian dua perkara yang mendatangkan laknat manusia dan cacian mereka.
Disebabkan siapa saja yang buang hajat di jalannya manusia dan tempat berteduh mereka, hampir
tidak selamat dari celaan dan cacian mereka.
Perbuatan itu termasuk shadaqah yang mendatangkan pahala bagi seorang muslim.
BAB 18
ADAB-ADAB BERTETANGGA
لجا ِر ِذي ل ُقربَ َٰى ِ َٰ وبِ َٰلولِ َدي ِن إِ َٰسنا وبِ ِذي ل ُقرب َٰى و لل َٰتَم َٰى و لم ۖ َو عبُ ُدواْ للَّلهَ َوَال تُش ِرُكواْ بِ ِۦه َشلٔا
َ سكل ِن َوََ َ ََ َ َ َ َ َ َ
ِ ِلسب ِ و لجا ِر لجن ِ و َّل
ۗ َيمنُ ُكم
ََٰ لل َوَما َملَ َكت أ ِ َو ب ِن َّل َ ِلصا ِ ب
لجن َ ُُ َ َ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat” (An-Nisaa‟ : 36 ).
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “senantiasa Jibril mewasiatkanku agar aku berbuat
baik kepada tetangga sampai-sampai saya mengiranya akan mewariskan kepada tetangga
tersebut”.
Di dalam hadits Aisyah radhiallahu anha adanya penegasan tentang hak ini, dia berkata: Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Senantiasa Jibril terus mewasiatkan kepadaku agar
memuliakan tetangga sampai saya mengira dia akan memberikan warisannya kepadanya”.
Al-Hafizh berkata : As-Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah berkata: … dan terlaksananya wasiat
berbuat baik kepada tetangga dengan menyampaikan beberapa macam bentuk perbuatan baik
kepadanya sesuai kemampuan, seperti hadiah, salam, wajah berseri-seri ketika bertemu,
mengontrol keadaannya, membantunya pada apa yang dia butuhkan dan selainnya, dan menahan
sesuatu yang dapat mengganggunya dengan berbagai macam caranya baik secara hissiyah –
terlihat – atau maknawi – tidak –.
Dari Abdullah bin Amru radhiallahu „anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah mereka yang paling baik kepada
sahabatnya, dan tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah mereka yang paling baik kepada
tetangganya”.
Faedah : kata tetangga mencangkup tetangga yang muslim dan kafir, ahli ibadah dan orang fasik,
teman dan lawan, orang asing dan penduduk asli, yang memberi manfaat dan yang memberi
mudharat, kerabat dekat dan bukan kerabat, rumah yang paling dekat dan yang paling jauh. Dan
bagi mereka ada tingkatan-tingkatannya sebagian mereka lebih tinggi kedudukan daripada
sebagian lainnya, yang paling tinggi tingkatannya adalah yang terkumpul padanya semua sifat-sifat
yang pertama kemudian yang paling banyak sifat-sifatnya yang disebutkan tadi, demikian
seterusnya sampai menjadi satu sifat saja, dan kebalikannya adalah yang terkumpul padanya sifat-
sifat lainnya demikian seterusnya, maka setiap mereka diberikan haknya sesuai keadaannya, dan
terkadang dua sifat atau lebih saling bertentangan maka hendaknya dipilih yang rajah atau
disamakan, Ibnu Hajar mengatakannya di dalam Al-Fath.
Dan termasuk hak-hak tetangga adalah agar tidak menghalangi tetangganya untuk menancapkan
kayu atau meletakkannya di atas dinding untuk membangun kamar atau yang semisalnya. Abu
Hurairah radhiallahu „anhu bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallambersabda : “Janganlah
salah seorang diantara kalian melarang tetangganya menancapkan kayu di dindingnya”.
Akan tetapi harus menjaga beberapa perkara berikut ini :
Pertama : Bangunan tidak membahayakan dinding tembok.
Kedua : Tetangga dalam keadaan terpaksa untuk hal tersebut.
Ketiga : Tidak didapati cara yang lain yang memungkinkan untuk membangun kecuali
menyandarkan kepada tembok tetangga.
Apabila salah satu atau sebagian dari perkara-perkara ini tidak dipenuhi maka tidak boleh bagi
tetangga memanfaatkan bangunan dan menyandarkannya kepada tembok tetangganya karena
mendatangkan mudharat yang telah terlarang oleh syariat: “Tidak boleh ada sesuatu yang
berbahaya dan yang membahayakan orang lain”.
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menggandengkan antara iman kepada Allah dan hari akhir
dan dengan mengganggu tetangga, dari apa yang menunjukkan atas besarnya perkara
mengganggu tetangga-. Abu Hurairah berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia mengganggu
tetangganya….”.
Dan di dalam hadits yang lain, hadits Abu Syuraih radhiallahu „anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda : “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak
beriman, sahabat berkata : Siapakah wahai Rasulullah? Beliau bersabda : “Yang tetangganya tidak
aman dari kejelekannya“.
Pada riwayat Abu Hurairah radhiallahu „anhu : Bahwa rasululullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya”.
Di dalam hadits Abu Syuraih radhiallahu „anhu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersumpah atas
dihilangkannya keimanan –sebanyak tiga kali- bagi yang tetangganya tidak merasa aman dengan
kejelekannya, dan maksudnya bahwa tetangga yang tidak aman dari kejahatannya adalah tetangga
yang tidak sempurna keimanannya, dan dia dengan kemaksiatannya dan kezhalimannya telah
mengurangi kesempurnaan imannya.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas‟ud radhiallahu „anhu dia berkata : “Saya bertanya kepada Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam : Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah? Beliau bersabda : “
Kamu menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan sedangkan Allah lah yang menciptakanmu “.
Saya berkata : Sesungguhnya perkara tersebut sungguh sangat besar, saya berkata : Kemudian
apa? Beliau bersabda : “Kamu membunuh anakmu karena kamu takut dia makan bersamamu “.
Saya berkata : kemudian apa? Beliau bersabda : “Kamu menzinahi isri tetanggamu”.
Faedah : Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki datang kepada
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mengadukan kejelekan tetangganya. Beliau bersabda: “Pulanglah
dan bersabarlah”. Kemudian datang lagi kedua dan ketiga kalinya. Beliau berkata : “Pulanglah dan
taruhlah barang-barangmu di tengah jalan”. Sahabat tadi meletakkan barang-barangnya di tengah
jalan, mulailah orang-orang bertanya kepadanya dan ia mengabarkan kabar tentang dirinya, maka
orang-orang pun melaknat tetangganya : Semoga Allah melakukan ini kepadanya, semoga Allah
melakukan itu kepadanya, semoga…maka datanglah tetangganya kepadanya dan berkata :
Kembalilah kamu tidak akan lihat dari sesuatu yang kamu benci”.
BAB 19
ADAB-ADAB BERSIN DAN MENGUAP
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “sesungguhnya Allah mencintai bersin dan
membenci menguap, maka apabila salah seorang dari kalian bersin dan bertahmid kepada Allah
maka wajib atas seluruh muslim yang mendengarkannya untuk mengatakan : yarhamukallah
(semoga Allah merahmatimu), adapun menguap maka sesungguhnya dia dari syaithan, maka
apabila salah seorang dari kalian menguap maka hendaknya dia tahan semampunya….al-hadits”.
Di antara adab-adabnya :
Pertama : Adab-adab Bersin
1. Mendoakan Orang Yang Bersin
Adalah perkara yang diperintahkan dan disunnahkan, dan termasuk perkara kesempurnaan agama
kita dengan mensyariatkan kepada mereka doa yang mereka ucapkan setelah bersin –yang mana
dia adalah nikmat Allah atas mereka-, maka dengan bersin tersebut mereka memuji Allah, dengan
bersin tersebut mereka saling mendoakan rahmat dan memohon kepada Allah hidayah dan baik
keadaan.
Dari Al-Barra‟ bin „Azib radhiallahu „anhu dia berkata : “Nabi memerintahkan kepada kami dengan
tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara maka beliau menyebutkan menjenguk orang
sakit, mengikuti jenazah, mendoakan orang bersin, membalas salam, menolong orang yang
dizhalimi, memenuhi undangan, dan memperhatikan keinginan orang yang bersumpah”.
Mendoakan orang yang bersin adalah fardhu kifayah apabila sebagian orang yang hadir
melaksanakannya maka gugur perintah mendoakan bagi yang lainnya. Dan tidak sepatutnya
meninggalkan perkara ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pada hadits yang
telah lalu : “apabila salah seorang dari kalian bersin dan bertahmid kepada Allah maka wajib atas
setiap muslim yang mendengarnya untuk mengucapkan “ yarhamukallah “ baginya”.
Masalah : Apakah harus mendengarkan tahmid orang yang bersin untuk mendoakannya, atau
cukup dengan mengetahui hal tersebut dari orang yang medoakannya yang berada di sekitarnya?
Jawab : Yang jelas bahwa hendaknya seseorang medoakannya apabila benar-benar dia memuji
Allah, dan bukanlah tujuannya orang yang mendoakan mendengar tahmid, namun maksudnya
adalah adanya tahmid itu sendiri, maka kapan saja terjadi tahmid maka mesti diucapkan doa,
sebagaimana kalau yang mendoakan itu orang yang tuli, dan melihat gerakan mulut orang yang
bersin bertahmid. Dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Apabila dia bertahmid, maka
hendaknya kalian mendoakannya. Inilah pendapat yang benar. Demikian penjelasan Ibnu Qayyim.
Masalah lainnya : Apakah disunnahkan mengingatkan orang yang lupa memuji Allah setelah
bersin sehingga dia mendoakannya?
Jawab : Sebagian ulama seperti An-Nakha‟i dan An-Nawawi memilih pendapat untuk
mengingatkannya, karena hal itu bagian dari bab tolong menolong di atas perbuatan kebaikan dan
taqwa, dan bab nasihat dan amar ma‟ruf.
Dan sebagian lainnya seperti Ibnu Al-„Arabi dan Ibnul Qayyim memilih pendapat bahwa tidak perlu
untuk diingatkan. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata : “Zhahir dari sunnah menguatkan pendapat
Ibnul Arabi, dan ini merupakan pelajaran bagi orang tersebut, dan penghalang dari berkah doa bagi
orang yang menghalangi dirinya keberkahan tahmid, dan melupakan Allah, maka Allah
memalingkan hati-hati kaum mu‟minin dan lisan-lisan mereka dari mendoakannya, dan kalau saja
mengingatkannya untuk bertahmid itu sunnah, tentu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam lebih utama
untuk melaksanakannya dan mengajarkannya, dan menolongnya untuk hal tersebut “.
3. Sunnah Orang Yang Bersin Mengucapkan : Alhamdulillah Atau Alhamdulillah 'Ala Kulli
Hal
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian bersin maka hendaknya mengucapkan
Alhamdulillah…al-hadits”, pada lafazh Abu Daud : “Maka hendaknya mengucapkan Alhamdulillah
ala kulli hal”[10].
Konteks hadits ini, membatasi ucapan doa untuk orang yang bersin dengan dua kali saja, akan
tetapi nash-nash yang lain datang mengaitkan bahwa orang yang bersin didoakan sebanyak tiga
kali.
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dia berkata : “Doakan saudaramu yang bersin sebanyak tiga
kali kalau lebih dari tiga maka dia sedang flu”.
An-Nawawi berkata : “Ulama berselisih tentang hal tersebut, Ibnul Arabi Al-Maliki berkata : ada
yang berpendapat : dikatakan kepada orang yang bersin untuk yang kedua kali : Kamu kena flu,
dan ada yang berpendapat : dikatakan kepadanya pada bersin yang ketiga, dan ada yang
berpendapat : pada bersin yang keempat, dan yang paling shahih agar dikatakan kepadanya pada
bersin yang ketiga, Ibnul Arabi berkata : Dan maksudnya bahwa kamu bukan orang yang
mendoakannya setelah ini, karena yang ada padamu adalah flu dan penyakit, bukan bersin yang
ringan.
Ibnul Qayyim berkata : “ Dan penjelasan beliau tentang hadits :”Orang itu kena flu” adanya
peringatan untuk mendoakan baginya kesembuhan, karena flu itu penyakit, dan pada hadits
tersebut adanya udzur bagi orang yang tidak mendoakan setelah bersin yang ketiga. Hadits ini juga
berisikan suatu perhatian terhadap sebab ini agar seseorang memahaminya dan tidak
mengabaikannya, sehingga membuat susah urusannya. Dengan demikian perkataan beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam adalah hikmah dan rahmat, ilmu dan petunjuk.
8. Bolehnya Mendoakan Ahlu Dzimmah – yakni kafir dzimmi, pent – Ketika Bersin Dengan
Doa “Yahdikumullah Wa Yushlihu Balakum”
Masalah ini disebutkan di dalam hadits Abu Musa Al-Asy‟ari, beliau berkata : Seorang Yahudi bersin
di sisi Rasulullah, dia berharap agar Nabi mengucapkan untuknya yarhamukallah, namun yang Nabi
ucapkan adalah : “yahdikumullah wa yushlihu balakum“.
Berdasarkan ini boleh mendoakan ahlu dzimmah –apabila mereka bertahmid setelah bersin-
dengan doa hidayah dan taufiq kepada keimanan, dan tidak mendoakan mereka dengan rahmat
dan maghfiroh, karena mereka tidak pantas untuk doa itu.
Faedah : boleh bagi orang yang bersin di dalam shalat agar bertahmid kepada Allah, namun tidak
boleh bagi orang yang mendengarnya mendoakannya dengan mengucapkan yarhamukallah.
BAB 20
ADAB-ADAB BERGAUL SESAMA SAUDARA MUSLIM
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam: “seseorang itu sesuai
agama teman dekatnya, maka hendaknya dia melihat kepada siapakah dia berteman dekat”.
Di antara adab-adab pergaulan bersama sesama saudara Muslim :
1. Memilih Teman Bergaul Dan Teman Duduk :
Telah dikemukakan sebelumnya hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu secara mar‟fu‟ : “Seseorang
itu sesuai agama teman dekatnya maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat bersama
siapakah dia berteman”
Sabda Nabi : “Dan janganlah seseorang memakan makananmu kecuali seorang yang bertakwa”.
Al-Khaththabi berkata : “Larangan ini berlaku pada makanan undangan bukan makanan
hajat/kebutuhan, yang demikian itu karena Allah subhanahu berfirman :
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang
yang ditawan.( Al-Insan : 8 )
Telah maklum adanya bahwa tawanan-tawanan mereka ada yang kafir yang tidak beriman dan
tidak bertakwa. Berarti Nabi memberikan peringatan dari berteman bersama orang yang tidak
bertakwa dan melarang bercampur baur dan memberi makanan kepadanya. Karena memberi
makanan akan menyebabkan adanya kelembutan dan kasih sayang di dalam hati.
Dan teman dekat dan teman duduk yang jelek akhlaknya memberikan bahaya yang nyata dan
tidak diapat dihindari bagaimana pun cara menjaganya, berdasarkan nash dari sabda Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam, Abu Musa Al-Asyari radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Pemisalan teman duduk yang shalih dan yang jelek
akhlaknya bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi, penjual minyak wangi dia dapat
memberimu minyak wangi atau kamu membeli darinya minyak wangi atau kamu mendapatkan bau
yang wangi, adapun pandai besi, dia dapat membakar pakaianmu atau kamu mendapat bau yang
tidak sedap darinya”.
2. Mencintai Karena Allah :
Kedudukan Persaudaraan yang paling agung adalah ketika hal itu karena Allah dan untuk Allah,
tidak untuk mendapatkan kedudukan, atau mendapatkan manfaat yang segera atau yang akan
datang, tidak karena mendapatkan materi, atau selainnya. Dan barang siapa kecintaannya kepada
temannya karena Allah dan persaudaraannya karena Allah sungguh dia telah mencapai puncak
tujuan, dan agar seseorang itu berhati-hati jangan sampai kecintaannya tersebut terselip
kepentingan-kepentingan duniawi yang akan mengotori dan menyebabkan kerusakan
persaudaraan.
Dan barang siapa kecintaannya karena Allah maka hendaknya dia bergembira dengan janji Allah
dan keselamatan dari kedahsyaran hari dimana seluruh makhluk dikumpulkan pada hari kiamat.
Dan dia akan dimasukkan dibawah naungan Arsy Dzat yang Maha perkasa Jalla Jalaluhu. Abu
Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat : “Dimanakah orang-orang yang saling
mencintai karena keagungan-Ku, pada hari ini Aku akan menaungi mereka di dalam naunganku di
hari tidak ada naungan selain naungan-Ku”.
Dari Muadz bin Jabal radhiallahu „anhu, beliau berkata : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam berkata : “Allah tabaraka wa ta‟ala berfirman: Kecintaanku suatu yang harus bagi
orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, yang duduk-duduk bersama karenaku, yang saling
menziarahi karena-Ku, saling memberi karena-Ku”.
Catatan penting 1 : Sepatutnya bagi orang yang mencintai saudaranya karena Allah agar
memberitahukannya tentang hal tersebut, dan di dalam hal ini ditunjukkan didalam sunnah yang
telah maklum. Anas bin Malik dan selainnya meriwayatkan, beliau berkata : “Bahwa ada seseorang
yang berada di sisi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, maka seorang laki-laki lain melewatinya.
Laki-laki itu berkata wahai Rasulullah : Sesungguhnya saya mencintai laki-laki ini. Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apakah kamu telah memberitahukan kepadanya?” Orang
itu berkata : tidak. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Beritahukanlah kepadanya!” Maka
orang itu pun menyusulnya dan berkata : Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah. Laki-laki
tadi berkata : Semoga Allah mencintaimu yang karena-Nya engkau mencintaiku karenanya”. Pada
riwayat Ahmad : “Nabi berkata : “Berdirilah dan kabarkanlah kepadanya maka hal itu akan
mengokohkan kecintaan diantara kalian”.
Laki-laki yang bersama Nabi pun bangun dan menjumpainya kemudian mengabarkan kepadanya,
dia berkata : “Sesungguhnya saya mencintaimu karena Allah atau dia berkata saya mencintaimu
untuk lillah. Laki-laki yang lewat itu berkata : “Semoga Allah mencintaimu yang mana engkau
mencintaiku karenanya”.
Catatan penting lainnya : dari hal-hal yang sepatutnya –juga- ada bagi orang-orang yang saling
mencintai karena Allah, agar mereka mengecek diri-diri mereka dan hati-hati mereka waktu demi
waktu, dan agar mereka lihat apakah kecintaan ini telah tercampur apa-apa yang menghalangi dan
menyusahkan dan mengeluarkan kecintaannya dari hakikatnya atau tidak. Karena kecintaan pada
awalnya mungkin ikhlash karena Allah, akan tetapi hal itu tidak tinggal lama –apabila orang yang
melakukannya lalai- dan berpindah kepada persaudaraan yang mengharapkan saling bergantian
memberikan manfaat.
Terkadang kecintaan kepada Allah berubah bersamaan kontinyuitas persahabatan dan kecintaan
dan kerinduan yang melampaui batas. Bercampur baurnya bersama anak-anak remaja atasanama
persaudaraan karena Allah, dan sebagian wanita melewati batas yang disyariatkan bersama anak-
anak perempuan sejenisnya yang terkadang mengantarkan kepada hal yang semisal itu.
3. Menampakkan Senyum, Bersikap Lembut dan Kasih Sayang Kepada Sesama Saudara
Seiman
Hal yang paling sedikitnya apabila seorang menjumpai saudara lainnya adalah menjumpainya
dengnawajah yang berseri-seri, mulut yang penuh senyum. Hal ini bagian dari perkara ma‟ruf dan
adab yang sepatutnya ditampakkan diantara seorang saudara dengan saudaranya yang lain, agar
dia ramah dan senyum di wajahnya setiap kali dia bertemu atau melihat saudaranya yang lain.
Abu Dzar radhiallahu „anhu, beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda kepadaku :
“Janganlah seseorang itu meremehkan perbuatan ma‟ruf sedikitpun, walaupun dia menjumpai
saudaranya dengan wajah yang berseri-seri”.
Pada hadits riwayat Jabir radhiallahu „anhu, beliau berkata : “Setiap perbuatan ma‟ruf adalah
sedekah, dan sesungguhnya termasuk perbuatan ma‟ruf adalah seseorang menjumpai saudaranya
dengan wajah berseri-seri…..al-hadits”.
Sikap lemah lembut dan ramah dan kasih sayang diantara hal-hal yang menguatkan ikatan
diantara saudara, dan memperdalam hubungan diantara mereka. Dimana “Allah mencintai lemah
lembut di dalam segala urusan”[13]. Dan Allah subhanahu: “Maha lembut mencintai kelembutan
dan memberikan kepada orang yang lembut apa yang tidak dia berikan kepada orang yang kasar
dan apa yang tidak dia berikan kepada selain orang yang lembut”.
Ibnu Mas‟ud radhiallahu „anhu meriwayatkan, beliau berkata : Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Diharamkan atas neraka setiap orang yang lemah lembut, mudah dan dekat dari
manusia”. Dan diantara perkara-perkara yang dapat membantu kelanggengan rasa cinta, dan
menghilangkan kebencian dari dalam hati, saling memberi hadiah sesama saudara.
Imam Malik telah meriwayatkan di dalam Muwathta‟nya : bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “Saling berjabatan tanganlah kalian karena hal itu akan menghilangkan rasa
dengki, saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai dan menghilangkan
kebencian”.
Ibnul Jauzi berkata : “Ketahuilah bahwa nasehat untuk Allah Azza wa Jalla adalah membela
agamanya dan menghalau segala bentuk kesyirikan kepada Allah walaupun Allah tidak
membutuhkan hal tersebut, akan tetapi manfaatnya kembali kepada hamba.
Demikian pula nasihat untuk kitabnya: Membelanya dan senantiasa menjaga tilawah kitab-Nya.
Dan nasehat untuk Rasulnya : Melaksanakan sunnahnya dan mengajak kepada dakwah beliau.
Dan nasehat untuk imam-imam kaum muslimin : Mentaati mereka, jihad bersama mereka,
menjaga bai‟at mereka, memberi nasehat kepada mereka tanpa adanya pujian-pujian yang
membuat mereka terpedaya.
Dan nasehat untuk seluruh kaum muslimin : Keinginan memberikan kebaikan kepada mereka,
termasuk dalam hal ini mengajarkan dan memperkenalkan kepada mereka perkara yang wajib, dan
menunjukkan mereka kepada al-haq.
Berdasarkan ini maka nasehat untuk para suadara kita, dengan tujuan melapangkan kebaikan
kepada mereka, menjelaskan al-haq kepada mereka, mengarahkan mereka kepada kebaikan, tidak
menipu mereka dan bermuka manis kepada mereka dalam masalah agama Allah.
Dan yang semisal kejadian tersebut, yang terjadi pada peritiwa Khandak.
Jabir radhiallahu „anhu berkata : Sesungguhnya kami ketika peristiwa Khandak dalam keadaan
menggali, tiba-taba gundukan tanah yang keras menghalangi mereka. Mereka pun datang
menjumpai Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan mengatakan : Tanah keras ini menghalangi
pembuatan Khandak. Maka beliau berkata : “Saya yang turun” .
Kemudian Jabir berkata : Dan perut beliau dililit dengan batu, dan kami tinggal selama tiga hari
tidak merasakan makanan, maka Nabi mengambil martil dan memukulkannya sampai batu itu
kembali menjadi bukit pasir yang bertaburan….al-hadits.
Dan dari hadits beliau Shallallahu „alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Musa radhiallahu
„anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Seorang mukmin kepada mukmin
lainnya bagaikan satu bangunan sebagiannya menguatkan bagian yang lain dan beliau menyela-
nyela antara jari-jari beliau”.
Al-Ikhwan sebagian mereka membutuhkan sebagian lainnya, mereka saling memberi bantuan
diantara mereka di dalam menutupi kekurangan kefakiran mereka, atau memberi rekomendasi
yang baik di dalam menunaikan hajat kebutuhan mereka, atau selain hal itu dari berbagai bentuk
gambaran bantuan, “Allah berada dalam bantuan kepada seorang hamba selama seorang hamba
berada dalam bantuan saudaranya”.
6. Sesama Saudara Muslim semestinya saling Merendahkan diri diantara mereka dan
tidak sombong atau meremehkan yang Lain
Saling merendahkan diri dan lemah lembut kepada sesama saudara dapat mengekalkan
persaudaraan ditengah-tengah mereka, dan memperkuat ikatan persaudaraan diantara mereka.
Sedangkan takabbur dan sombong atau meremehkan orang lain adalah sebab sebagian diantara
mereka akan menjauhi sebagian lainnya. Dan merupakan alamat putusnya tali persaudaraan
diantara mereka.
Merendahkan diri itu sifat yang dituntut dan juga diperintahkan. Sedangkan sifat angkuh adalah
sifat yang terlarang dan tercela.
„Iyadh bin Himar radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda
: “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sampai tidak ada
seorang pun meremehkan orang lain dan seseorang merebut jualan orang lain”.
Sedangkan sifat meremehkan orang lain dan sombong adalah jalan menuju kezhaliman,
permusuhan dan kejahatan.
Ishaq bin Rahawaih berkata : “ Akhlak yang terpuji adalah wajah yang berseri-seri dan tidak
mudah marah dan yang semisalnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khallal.
Al-Khallal meriwayatkan dari Sallam bin Muthi‟ di dalam menafsirkan makna akhlak yang terpuji,
sambil menendangkan bait sya‟ir : Apabila engkau tidak mengunjunginya , engkau melihatnya
sambil memuji seakan-akan engkau lah yang memberikan baginya sesuatu yang engkau pinta.
Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya berdasarkan sabda makhluk yang
terbaik Shallallahu „alaihi wa sallam – dan dialah manusia yang paling terpuji akhlaknya- “Sebaik-
baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya”.
واصرؼ عني سلئها ال يصرؼ عني سلئها إال أنت،واهدني أل سن األخالؽ ال يهدي أل سنها إال أنت
“Dan tunjukanlah kepadaku akhlak yang baik yang tidak ada yang dapat menunjukkan kepada
akhlak yang baik kecuali Engkau, dan palingkanlah dariku akhlak yang jelek tidak ada yang
memalingkan aku dari akhlak yang jelek kecuali Engkau”.
Barang siapa sifatnya seperti ini, niscaya manusia akan mencintainya, mereka selalu ingin berada
di majlisnya dan duduk-duduk bersamanya, dan mendengarkan pembicaraannya. Sebaliknya bagi
orang yang jelek akhlaknya, maka ucapannya itu membosankan, manusia lari dari majlisnya, dan
dia adalah orang yang dimurkai dan hati akan berat menerimanya. Diceritakan dari Fudhail bin
„Iyadh, beliau berkata : “ Barang siapa jelek akhlaknya akan jelek pula agama, kedudukan dan
kecintaan orang kepadanya “.
Dalam pergaulan sesama saudara muslim, akhlak yang terpuji menempati bagian yang besar pada
interaksi itu. Dengan akhlak yang baik, niscaya akan memperpanjang hubungan, melembutkan
hati, mencabut rasa dendam dari dalam dada, maka pantas bagi sesama saudara untuk
menampakkan kecerahan pada wajah-wajah mereka kepada saudara mereka lainnya.
Mengucapkan ucapan yang baik kepada mereka, dan menutup mata dari kehinaan dan kesalahan
mereka dan mencarikan udzur bagi mereka.
9. Berbaik Sangka Kepada Sesama Saudara (Mukmin) dan Tidak Memata-Matai Mereka
Dan diantara bentuk pergaulan yang baik sesama saudara adalah berbaik sangka kepada mereka.
Memahami perkataan mereka dan segala perbuatan mereka kepada kemungkinan yang paling baik.
Kita telah dilarang berburuk sangka karena hal tersebut termasuk perkataan yang paling dusta,
sebagaimana disebutkan pada sebuah hadits bahwa Abu Hurairah radhiallahu „anhu berkata :
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian berprasangka karena
prasangka itu perkataan yang paling dusta, dan janganlah kalian mencari-cari berita dan memata-
matai….al-hadits”.
Maksud larangan prasangka disini adalah larangan terhadap prasangka buruk. Al-Khaththabi
berkata : “Yaitu menerima dan membenarkan setiap persangkaan tanpa ada kekhawatiran di dalam
hati, maka sesungguhnya hal itu tidak terkendali.
Dan maksud pernyataan Al-Khaththabi bahwa prasangka yang haram adalah prasangka yang
seseorang tenggelam terus menerus melakukannya, dan menetap di hatinya. Bukannya prasangka
terlintas didalam hati dan tidak menetap. Sesungguhnya prasangka seperti ini tidak akan
dibebankan kepada dirinya, sebagaimana di dalam sebuah hadits: “ Sesungguhnya Allah
mengampuni apa yang seorang budak perempuan ucapkan dalam hati selama dia tidak
mengatakannya dengan lisan atau tidak sengaja”
Penafsirannya telah telah dikemukakan pada pembahasan mengenai segala prasangka yang
terbersit didalam hati namun tidak tinggal lama. Demikian yang disebutkan oleh An-Nawawi
Al-Qurthubi berkata : “Maksud prasangka disini adalah tuduhan yang tidak ada sebabnya
sebagaimana orang yang menuduh orang lain dengan perbuatan keji tanpa adanya alasan yang
jelas terhadap tuduhan tersebut. Oleh karena itu beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menyertakan
dengan dengan sabda Shallallahu „alaihi wa sallam beliau: “Dan janganlah kalian memata-matai” .
Demikian itu karena terlintas dalam benak seseorang suatu tuduhan, lalu menginginkan untuk
memastikannya, memata-matai dan mencari berita dan mencuri pendengaran. Maka hal tersebut
dilarang, dan hadits ini sesuai dengan firman Allah ta‟ala :
Konteks ayat menunjukkan perintah menjaga harga diri seorang muslim dengan sebenar-benarnya
penjagaan. Karena penempatan larangan yang didahulukan daripada tenggelam dalam sebuah
prasangka. Apabila orang yang berprasangka berkata : Saya akan membahasnya agar saya
mengetahui fakta yang sebenarnya, dikatakan kepadanya : “janganlah kamu memata-matai” maka
apabila terjadi tanpa memata-matai, maka akan dikatakan kepadanya :” Dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain”.
Faedah : Termasuk berbaik sangka kepada saudara; agar membawakan perkataan mereka kepada
persepsi yang baik. Apabila ada sesuatu sampai kepada anda yang anda
membencinya,upayakanlah udzur baginya dan katakanlah : Mungkin dia menginginkan demikian,
mungkin dia menginginkan itu, sehingga anda tidak mendapatkan jalan keluar lagi baginya.
10. Memaafkan Kesalahan dan Menahan Marah
Ketika bercampur dan bergaul bersama manusia –mau tidak mau- ada padanya sesuatu
kekurangan dan perlakuan yang melampui batas dari sebagian mereka kepada sebagian lainya
apakah itu dengan perkatan maupun perbuatan, maka disunnahkan bagi orang yang terzhalimi
agar menahan marah dan memaafkan orang yang menyzhaliminya, Allah ta‟ala berfirman :
ِ و لَّل ِذين يجتَنِبو َف َك َٰبئِر ِإل ِثم و ل َف َٰو ِ ش وإِذَا ما غَ ِ بواْ ُهم ي
غف ُرو َفَ ُ َ َ َ َ َ ََ ُ َ َ َ
“ Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan
apabila mereka marah mereka memberi maaf. ( Asy-Syura : 37 )
Dan tentang fiman Allah : “Dan orang-orang yang menahan amarahnya” yaitu : Apabila mereka
mendapatkan gangguan dari orang lain sehingga menyebabkan kemarahan mereka dan hati
mereka telah penuh dengan kekesalan, yang mengharuskan membalasnya dengan perkataan dan
perbuatan, mereka tidak mengamalkan kosukuensi tabiat manusia tersebut.
Bahkan mereka menahan amarah yang ada pada mereka lalu bersabar tidak membalas orang yang
berbuat jahat kepadanya. Dan firman Allah : “Dan orang-orang yang memaafkan orang lain“,
masuk di dalam perkara memaafkan manusia, yaitu memaafkan dari setiap orang yang berbuat
jahat kepadanya dengan perkataan atau perbuatan. Memaafkan lebih sempurna daripada menahan
marah, karena memaafkan itu meninggalkan pembalasan bersamaan dengan adanya kerelaan
terhadap orang yang berbuat jahat. Sifat ini hanya ada pada seseorang yang berhias dengan
akhlak yang terpuji. Berlepas dari akhlak yang rendah, tergolong diantara orang-orang yang
berdagang dengan Allah, memaafkan hamba-hamba Allah, sebagai bentuk kasih sayang dan
berbuat baik kepada mereka, dan membenci jikalau keburukan menimpa mereka, dan agar Allah
memaafkannya, dengan mengharapkan pahalanya ada pada rabbnya yang maha mulia, bukan
pada hamba yang fakir, sebagaimana Allah ta‟ala berfirman :
ۚ َو َج ََٰزُؤاْ َسلِّئَة َسلِّئَة ِّمثلُ َها ۖ فَ َمن َع َفا َوأَصلَ َ فَأَجرۥُ َعلَى للَّل ِه
ُ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan
berbuat baik. Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.. ( Asy-Syura : 40 ) [39]
Memaafkan kesalahan, keteledoran dan perbuatan aniaya bukanlah kelemahan dan bukan pula
kekurangan, bahkan hal itu adalah perbuatan yang tinggi nilainya bagi orang yang melakukannya
dan merupakan perbuatan mulia, Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Shadaqah tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah
menambahkan kepada seorang yang memberi ma‟af kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang
merendahkan diri karena Allah kecuali Allah akan tinggikan derajatnya” dan pada lafazh riwayat
Ahmad : “Tidaklah seseorang memberi maaf dari perbuatan aniaya kecuali Allah tambahkan bagi
kemuliaan”.
Dan orang-orang yang saling bersaudara karena Allah sangat pantas bagi mereka agar saling
memberi maaf atas kesalahan sebagian mereka, dan orang yang berbuat baik dari mereka
memberi maaf kepada mereka yang melakukan kesalahan. Karena apabila mereka
menyempurnakan hal itu, niscaya hati-hati mereka selamat dan menjadi suci, dan mereka hidup di
dalam keadaan yang lebih baik.
Faedah : Diantara bentuk memberi maaf adalah menerima udzur/alasan orang yang berbuat
kesalahan, dan tentang hal ini ada beberapa ucapan yang mengagumkan maknanya :
Al-Hasan bin Ali radhiallahu „anhuma berkata : “Kalaulah ada seseorang memaki-maki saya di
telinga saya ini, dan meminta udzur di telinga yang lain, sungguh saya akan menerima udzurnya.”
Dan diantara bait syair yang semakna dengan hal tersebut :
Dikatakan kepadaku : fulan telah berbuat salah kepadamu
Dan seorang pemuda duduk berdiam diri dari aniaya adalah cela.
Saya katakan : Sungguh dia telah datang kepadaku dan menyampaikan udzur
Tebusan dosa menurut kami adalah menerima udzur seseorang.
Al-Ahnaf berkata : “ Apabila seseorang meminta udzur kepadamu maka hendaknya kamu
menemuinya dengan suka cita “.
Hasad itu ada dua macam terpuji dan tercela. Hasad yang tercela adalah menginginkan hilangnya
nikmat yang ada pada orang lain, dan hal ini adalah perbuatan zhalim, aniaya dan permusuhan.
Hasad dan yang terpuji adalah Al-Ghibthah yaitu menginginkan nikmat yang serupa yang ada pada
orang lain tanpa adanya keinginan hilang nikmat tersebut padanya.
Inilah yang dimaksudkan di dalam sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Tidak ada hasad
kecuali pada dua perkara : seseorang yang Allah berikan kepadanya Al-Qur`an dan dia
mengamalkannya sepanjang malam, dan seseorang yang Allah berikan kepadanya harta dan dia
bersedekah dengannya sepanjang hari dan sepanjang malam”.
Saling membenci adalah lawan dari saling mencintai, dan makna At-Tadabur adalah memboikot.
Faedah Lainnya : Syariat memberi keringanan di dalam memboikot seorang muslim selama tiga
hari, apabila tujuannya membela diri, dan tidak membolehkan lebih dari hal tersebut, dan hikmah
di dalam hal tersebut bahwa jiwa manusia dapat meresapi sisi-sisi dan kejadian-kejadian yang
membuat saling marah, diringankan pula kepada siapa yang mendapati pada diri saudaranya yang
telah dia diamkan selama tiga malam karena hal itu cukup untuk mengalahkan kerasnya
kemarahan dan menghilangkan rasa dendam atas saudaranya.
Misalnya, apa yang menimpa pada diri orang yang bukan suaminya, diringankan baginya untuk
tidak berhias selama tiga hari dan tidak boleh melebihinya yang bisa menyebabkan penyakit pada
jiwanya, dan kematian adalah musibah yang paling besar pada diri orang yang menimpanya berupa
kesedihan yang dia peroleh, maka diperbolehkan baginya tidak berhias ( karena kematian suami-
penj) dan membebaskan jiwanya dalam menghilangkan kesedihan dari musibahnya yang tidak
melebihi tiga hari, dan lillahi al-hikmah al-balighah.
Dan seorang muslim berhak dengan keselamatan muslim yang lain dari lisan dan tangannya.
Abu Jubairah bin Adh-Dhahak radhiallahu „anhu meriwayatkan, beliau berkata : Ayat ini diturunkan
kepada Bani Salamah : “Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.”
Beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mendatangi kami dan tidaklah salah
seorang dari kami kecuali dia mempunyai dua atau tiga nama, dan Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam memanggil dengan “Wahai fulan.” Maka para sahabat berkata : Apa itu wahai Rasulullah,
sesungguhnya dia akan marah dengan nama tersebut, maka turunlah ayat ini : “Dan janganlah
kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” ( Al-Hujurat :11)
Mayoritas masyarakat sekarang pada saat ini banyak terjerumus kedalamnya, berupa kelaliman
dengan perkataan, berbuat dosa dengan lisan dan merusak lisan tersebut. Dan berlepas diri dari
orang yang menyakiti dengan lisannya dan menahannya dari menjaga kehormatan kaum muslimin,
agar mereka tidak memperoleh keburukan, semoga Allah menjaga kita dan anda semua dari
kerusakan lisan dan kekhilafannya.
Dan syariat yang suci sangat mengajurkan akan satunya kalimat, bersatunya barisan,dan
ketentraman hati, serta melarang dari perselisihan, saling menjauhi dan bercerai-berai. Oleh
karena itu dianjurkan mengadakan perbaikan antara sesama manusia dengan kebohongan dan
tidak dianggap suatu yang dosa. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Bukanlah
seorang disebut pendusta jikalau memperbaiki antara manusia maka dia akan mendatangkan
kebaikan atau berkata yang baik.” Bahkan dia mendapatkan pahala atas usahanya dalam
mengadakan perbaikan antara sesama, dan mencabut (melepas) kedengkian dari hati.
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ”Setiap ruas dari seseorang padanya ada
shadaqah, dan setiap hari yang terbit padanya matahari dan dia berbuat adil antara dua orang
padanya ada shadaqah…al-hadits.” Pada riwayat yang lain : “dan setiap hari yang terbit padanya
matahari dan dia berbuat adil antara dua sesama manusia ada shadaqah.”
Dan Ulul albab – kaum cerdik pandai – sepantasnya mereka menjadi pendahulu untuk perbaikan
sesama manusia, dan tidak sepantasnya mereka menjauhkan diri darinya, berpaling dari jalan
perbaikan setelah mengetahui besarnya pahala yang terdapat padanya.
14. Haramnya Mengungkit-ungkit Pemberian
Pada umumnya apa yang terjadi antara saudara adalah saling hadiah menghadiahi dan saling
memberi, yang satu memberi hadiah kepada yang lainnya, dan yang satu memberi kepada yang
lainnya. Perbuatan ini merupakan kesempurnaan interaksi diantara sesama mereka. Dan penyebab
agar seantiasa langgeng dan terus berkelanjutan.
Sejumlah ayat dan hadits telah menetapkan hukum haram dari perbuatan mengungkit-ungkit
pemberian, seperti didalam firman Allah ta‟ala:
“ Dan mereka yang menginfakkan harta mereka dijalan Allah, kemudian tidak mengikuti pemberian
tersebut dengan sifat mengungkit-ungkit pemberian ataukah untuk menyakiti si penerima … al-ayat
“ ( Al-Baqarah : 262 ).
Dan sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam , dari hadits Abu Dzar radhiallahu „anhu, beliau
bersabda: “ Ada tiga golongan yang mana Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari
kiamat, tidak akan melihat kepada mereka dan Allah tidak akan mensucikan mereka dan bagi
mereka adzab yang pedih. Abu Dzar berkata: Kemudian Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
mengulanginya sebanyak tiga kali.”
Abu Dzar berkata : “ Celakalah dan merugilah mereka, siapakah mereka ini wahai Rasulullah ?”
Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Seorang yang memanjangkan kainnya melewati
mata kaki (isbal), seorang yang selalu mengungkit-ungkit pemberiannya, dan seseorang yang
menginfakkan barangnya dengan sumpah dusta “
Dan juga sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam dari hadits Abdullah bin Amru radhiallahu
„anhuma, beliau bersabda: “ Tidak akan masuk surga seorang yang selalu mengungkit-ungkit
pemberiannya, dan juga seorang yang durhaka dan seseorang yang kecanduan minum khamar “
15. Menjaga rahasia dan tidak menyebarluaskannya
Dan in termasuk amanah yang wajib untuk dijaga dan disembunyikan. Seseorang yang
menyebarluaskan rahasia tergolong seorang yang mengkhianati amanah. Dan perbuatan tersebut
salah satu dari sifat orang-ornag munafik.
Abu Hurairah radhiallahu „anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Tanda seorang munafik ada tiga: Apabila dia berkata dia berdusta, apabila dia berjanji
maka dia menyalahinya dan apabila dia diserahi amanah maka dia berkhianat. “
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiallahu „anhu dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau
bersabda: “ Apabila sesorang menceritakan suatu kabar kemudian dia menengok kesamping maka
yang disampaikannya adalah amanah “. Pada lafazh riwayat Ahmad : “ Seseorang yang diceritakan
sesuatu melihat si pencerita menengok , maka cerita tersebut adalah amanah “
Suatu yang rahasia, wajib untuk disembunyikan dan tidak disampaikan kepada semua kaum
manusia atau disebarkan. Ini tergolong anjuran syariat dan perhatian syara agar kaum manusia
menjaga segala persoalan rahasia mereka, dimana menengoknya seorang pembicara untuk
memastikan tempat tersebut tersembunyi, sederajat dengan perkataannya: Ini adalah sbeuah
rahasia maka sembunyikanlah rahasiaku ini.
Dan juga diterangkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas radhiallahu „anhu beliau
mengatakan: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menjumpaiku, disaat saya lagi bermain
dengan dua anak ekcil. Kemudian beliau mengucapkan salam kepada kami. Kemudian beliau
mengutusku untuk suatu keperluan sehingga saya terlambat menjumpai ibuku. Ketika saya tiba,
ibuku bertanya: Apa yang menghambatmu ?.
Pada lafazh riwayat Al-Bukhari: “ Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menyampaikan sebuah
rahasia kepadaku, dan tidaklah saya mengabarkan kepada seorangpun perihal rahasia tersebut
sepeninggal beliau Shallallahu „alaihi wa sallam. Dan Ummu Sulaim telah menanyakanya kepadaku,
dan saya tidak memberitahukannya kepadanya “
Seseorang yang bermuka dua, dikategorikan sebagai manusia yang paling buruk, disebabkan
keadaannya tersebut adalah kepribadian seorang munafik. Karena dia mencari muka dengan
kebatilan dan kedustaaan dan menyisipkan kerusakan ditengah-tengah kaum manusia.
An-Nawawi mengatakan: “ Dia adalah seseorang yang mendatangi setiap pihak dengan suatu yang
mereka senangi. Dan menampakkan bahwa dirinya termasuk bagian dari mereka dan menyalahi
lawan mereka. Perbuataannya tersebut adalah nifak yang sebenarnya.”
Beliau lanjut mengatakan: “ Adapun yang melakukannya dengan tujuan mengadakan perdamaian
antara kedua belah pihak maka perbuatan tersebut suatu yang terpuji. “
Selain dari beliau mengatakan: “ Perbedaan antara keduanya, bahwa yang tercela adalah
seseorang yang membenarkan amalan suatu kelompok dan mencelanya dihadapan kelompok
lainnya. Dan setiap kelompok dicelanya dihadapan kelompok lainnya. Sementara yang terpuji
adalah seseorang yang daang kepada masing-masing kelompok dengan ucapan yang penyiratkan
perdamaian kepada kelompok lainnya dan memintakan udzur masing-masing kelompok tersebut
dihadapan eklompok lainnya. Dan menyampaikan kepada kelompok tersebut segala yang baik yang
memungkinkan untuk disampakannya dan menutupi segala yang buruk “
BAB 21
ADAB-ADAB BERGAUL DENGAN WANITA
Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : “Apakah hak wanita atas diri
suaminya ? Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Engkau memberinya makan apabila
engkau makan, memakaikannya pakaian apabila engkau memakai pakaian, tidak memukul
wajahnya, tidak memburukkannya, dan tidak memboikotnya kecuali didalam rumah “
Diantara adab-adab berinteraksi dengan kaum wanita:
1. Anjuran Menikah dan Hal Ini Termasuk Bagian dari Sunnah
Pembujangan dan berpaling dari pernikahan bukanlah dari petunjuk para Rasul, Imam Ahmad
berpendapat : Bukanlah pembujangan itu dari perkara Islam pada sesuatu hal. Barang siapa yang
menyerumu untuk tidak menikah, maka dia telah menyerumu kepada selain Islam. Diwajibkan
untuk menikah bagi orang yang telah mampu atasnya, dan takut pada jiwanya akan perbuatan
zina, sedangkan jiwanya menampakkan keinginan yang sangat kepadanya, dikarenakan jika tidak
dia lakukan ditakutkan atasnya akan terjerumus kedalam perbuatan yang keji, seperti zina dan
selainnya dan hal itu haram.
Maksudnya bahwa kaum wanita mempunya beberapa hak dan juga kewajiban atas suami mereka,
sebagaimana suami mereka mempunyai hak yang wajib maupun sunnah.
Dan acuan hak-hak suami istri kembali kepada suatu yang telah makruf. Yaitu kebiasaan yang
berlaku dinegeri itu. Dan zaman tersebut, berlaku bagi wanita dan bagi juga laki-laki. Dan hal itu
beragam mengikuti perbedaan zaman dan tempat, keadaan , individu, dan ada istiadat.
Ini merupakan dalil bahwa nafkah, pakaian , bergaul, tempat tinggal, demikian juga berhubungan
suami istri – kesemuanya dikembalikan kepada perkara yang telah makruf. Ini yang mengharuskan
akad yang berlaku mutlak. Adapun yang disertai dengan syarat, maka haruslah disesuaikan dengan
syaratnya, kecuali syarat yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang
halal. Demikian yang disbeutkan oleh Ibnu Sa‟di.
Ibnu Abbas mengatakan: “ Sesungguhnya saya menyukai berhias bagi istriku sebagaimana istriku
berhias dihadapanku, dikarenakan Allah berfirman:
“ Dan bagi kaum wanita hak yang seimbang sebagaimana kewajiban mereka dengan cara-cara
yang makruf “ ( Al-Baqarah : 228 )[7]
Pada hadits Mu‟awiyah bin Haidah radhiallahu „anhu, beliau berkata: Seseorang bertanya kepada
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam : Apakah hak seorang wanita kepada suaminya ?
Masalah : Apakah wajib bagi istri untuk melayani suaminya pada perkara-perkara yang telah
menjadi kebiasaan, seperti menyiapkan makanan, mengatur rumah dan lain sebagainya ?
Jawab : Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : Ulama berbeda pendapat dalam hal ini :
Apakah wanita tersebut wajib melayani suaminya, seperti membersihkan kediaman, mengatur
makanan, minuman dan roti, membuat adonan roti, memberi makan kepada para budak dan
hewan ternaknya, seperti jerami bagi tungganganya dan lain sebagainya ?
Diantara mereka ada yang berpendapat : Pelayanan seperti itu tidaklah wajib. Namun ini pendapat
yang lemah, sebagaimana lemahnya pendapat yang menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami
mempergauli istrinya dnegna berhubungan suami istri. Karena ini bukan termasuk interaksi yang
makruf bagi suami. Melainkan teman seperjalanan yang seumpama seorang manusia beserta
temannya di dalam sebuah kediaman, apabila tidak membantunya mencapai kemashalahatan
tidaklah dikatakan telah berinteraksi dengan cara yang makruf.
Ada yang berpendapat – dan ini pendapat yang benar -: wajibnya melayani suami. Karena seorang
suami adalah penghulu bagi wanita sebagaimana tertera didalam Kitabullah. Wanita adalah pelayan
bagi sang suami menurut sunah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam . Dan seorang pelayan dan
hamba sahaya wajib memberikan pelayanan. Dan hal itu juga meruapkan suatu yang makruf.
Diantara ulama ada yang berpendapat yang wajib adalah pelayanan yang ringan. Diantara ulama
ada yang berpendapat : Wajib memberi pelayanan yang makruf. Dan inilah pendapat yang benar.
Seorang wanita wajib memberi pelayan yang makruf , berupa pelayanan yang seimbang antara
wanita dan suami. Pelayanan tersebut beragam macamnya disesuaikan dengan keadaan.
Pelayanan seorang wanita badui tidaklah sama dengan pelayanan wanita desa, dan pelayanan
wanita yang memiliki fisik kuat tidaklah sama dengan pelayanan wanita yang berfisik lemah.
3. Berlaku Lembut Kepada Wanita dan Berwasiat Kepada Mereka
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kaum laki-laki untuk memberi
wasiat kepada kaum wanita dengan kebaikan. Karena wanita adalah kaum yang lemah.
Membutuhkan seseorang yang dapat berbuat baik serta berlaku lembut kepada mereka. Bukannya
seseorang yang berlaku keras lalu memperlakukan mereka layaknya laki-laki. Oleh karena itulah
dan juga dengan beberapa alasan lainnya, diperintahkan bagi kaum laki-laki untuk berwasiat
kepada kaum wanita dan berlaku lembut kepada mereka.
Abu Hurairah radhiallahu „anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “ Berilah wasiat kepada kaum wanita dengan kebaikan, karena sesungguhnya kaum
wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya.
Apabila anda hendak meluruskannya maka anda akan mematahkannya dan apabila anda
membiarkannya maka akan terus bengkok. Maka berilah wasiat kepada kaum wanita.
Diantara bentuk wasiat kepada kaum wanita adalah memberi mereka pengajaran terhadap
beberapa hal yang mereka butuhkan berkaitan dnegna perkara-perkara agama mereka, seperti
hukum-hukum bersuci, haidh dan nifas, shalat, zakat jikalau mereka mempunyai harta … dan
seterusnya.
Apabila dia tidak snaggup mengajari mereka karena kurangnya ilmu, maka wajib baginya untuk
memudahkan kepada mereka segala sesuatu yang menjadikan mereka dapat mempelajari ilmu
syar‟i yang mereka butuhkan yang peribadatan mereka tidak akan benar kecualidenganilmu
tersebut. Semisal menyiapkan buku-buku syar‟iyah, kaset-kaset, ataukah menghadirkan mereka ke
malis ilmu dan sarana-sarana ilmu lainnya.
Diantara bentuk wasiat kepada kaum wanita adalah mendidik mereka dan mewajibkan mereka
menegakkan segala kewajiban kepada Allah atau hal-hal yang telah diwajibkan bagi mereka.
Mengharuskan mereka mengenakan jilbab yang syar‟i. Allah ta‟ala berfirman:
“ Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah engkau dalam
mengerjakannya “ ( Thaha : 132 )
Dan pada hadits Malik bin Al-Huwairist radhiallahu „anhu, ketika para sahabat telah menetap di
Madinah selama dua puluh hari dan telah berkeinginan untuk pulang. Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda : “ Pulanglah kalian menjumpai keluarga kalian dan tegakkanlah kewajiban
ditengah-tengah mereka, ajarilah mereka dan perintahkanlah mereka… al-hadits “
Apabila seorang istri melalaikan pengerjaan kewajiban, ataukah dalam mengenakan hijab yang
syar‟i, ataukah istri menolak jika suami mengajaknya kepembaringan atau bermaksiat kepada
suami pada perkara yang wajib bagi istri untuk mentaatinya. Maka sepantasnya suami sebagai
realisasi kepemimpinannya terhadap sang istri untuk mendidiknya dengan sesuatu yang dapat
memperbaiki dan meluruskanya. Dan pendidikan ini terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tidak
sepatutnya seorang suami melangkah ketingkatan berikutnya sehingga dia sudah tidak mampu
dengan tingkatan sebelumnya.
Tingkatan pertama: Adalah dengan menasihati dan mengingatkan serta membuatnya tkaut
kepada Allah.
Tingkatan kedua: Dengan memisahkannya dari tempat tidur.
Tingkatan ketiga: Dengan memukul dengan pukulan yang tidak sampai melukai, pukulan
pengajaran bukan pukulan untuk melampiaskan rasa marah dan kemurkaan.
Masalah: Apabila seseorang mempunyai istri yang tidak mengerjakan shalat, apakah wajib
baginya untuk menyuruh istrinya shalat ? Apabila istri tidak melakukannya apakah yang
seharusnya dia lakukan?
Jawab: Benar, wajib baginya untuk menyuruh istrinya mengerjakan shalat. Hal itu suatu
kewajiban. Bahkan semua yang mampu menyuruhnya untuk melakukan kewajiban itu apabila
orang lain tidak mampu menunaikan kewajiban tersebut. Allah ta‟ala berfirman:
“ Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan sabarlah dalam
menunaikannya “ ( Thaha : 132 )
Allah ta‟ala berfirman:
“ Wahai orang-orang yang beriman, jaglah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah kaum manusia “ ( At-Tahrim 6 ).
Dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Dan ajarkanlah mereka dan didiklah mereka “
Sepatutnya bersamaan dengan perintah itu, juga mendorong mereka dengan sejumlah pendorong,
sebagaimana dia mendorong istrinya kepada segala yang dibutuhkan sang istri. Apabila istri tetap
bersikeras meninggalkan shalat maka wajib baginya untuk mentalak istrinya. Kewajiban itu adalah
pendapat yang shahih. Seorang yang meninggalkan shalat berhak mendapatkan siksa hingga dia
mengerjakan shalat menurut konsensus ulama. Bahkan apabila dia tidak mengerjakan shalat dia
mesti dibunuh. Dan dia dibunuh karena telah kafir murtad. Menurut dua pendapat yang populer.
Wallahu „alam. Demikian yang dikatakan oleh Syaikh Al-Islam.
Didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu terdahulu – bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda : “ Berilah nasihat kepada wanita dengan baik, karena seorang wanita diciptakan
dari tulang rusuk. Dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Apabila
anda hendak meluruskannya niscaya akan patah dan apabila anda meninggalkannya niscaya akan
selalu bengkok. Maka berilah nasihat kepada kaum wanita “ Maknanya : bahwa seorang wanita
diciptakan dari tulang rusuk, ini merupakan isyarat bahwa penciptaanHawa dari tulang rusuk Adam.
Dan sabda beliau : “ Dan bagian tualng rusuk yang palign bengkok adalah abgian atasnya “, yakni
bahwa bagian yang paling bengkok pada diri wanita adalah lisannya. Hadits ini berisi peringatan
yang halus bagi kaum laki-laki agar mereka bersabar atas segala perbuatan istri mereka,
dikarenakan para istri diantara tabiat mereka adalah seperti itu dan sangat sulit untuk meluruskan
mereka – istri -.
Sabda beliau : “ Apabila anda meluruskannya maka anda akan mematahkannya … “, yakni apabila
anda bersikeras untuk memperbaiki akhlaknya, maka hal itu tidak akan mungkin anda lakukan.
Bahkan upaya anda hanya akan menyebabkannya menjadi patah yaitu mentalak-nya. Seperti
diterangkan pada hadits riwayat Muslim : “ Seusngguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan
anda tidak akan dapat meluruskannya dengan cara apapun juga. Apabila anda menyukainya anda
menyukainya sementara wanita tersebut ada kebengkokan pada dirinya . Dan apabila anda hendak
meluruskannya maka anda akan mematahkannya. Mematahkannya berarti mencerainya “
Catatan penting: Doa ini diucapkan ketika hendak memulai hubungan suami istri yaitu sebelum
memulai hubungan tersebut. Dan bukan ketika telah melakukannya. Hal tersebut dapat kita sadur
dari sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam didala hadits diatas: “ Apabila dia hendak
mendatangi istriya “. Riwayat ini – yaitu riwayat Ibnu Abbas – menafsirkan riwayat-riwayat lainnya
yang secara zhahir menunjukkan bahwa doa tersebut dibackan ketika telah melakukan hubungan
suami sitri, seperti sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Jika salah seorang diantara kalian
hendak mendatangi istrinya hendaknya dia mengucapkan : Bismillah Allahumma… al-hadits “
Kedua: Disenangi untuk memakai penutup disaat melakukan hubungan suami istri. Hal tersebut
diterangkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bahz bin Hakim dari bapak beliau dari kakek beliau
radhiaallahu „anhu, beliau berkata: Saya berkata : Wahai rasulullah, manakah aurat kami yang
boleh ditampakkan dan yang terlarang ditampakkan ?
Ketiga: Disunnahkan berwudhu` bagi yang berjunub apabila berkehendak mengulangi jima‟
Hal itu diterangkan pada hadits Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu beliau berkata: Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Apabila salah seorang mendatangi istrinya kemudian
hendak mengulanginya maka hendaknya dia berwudhu` “
Catatan penting: [ Al-„Azl , diharamkan oleh sebagian ulama, akan tetapi mazhab para imam
yang empat membolehkannya seizin istri. Wallahu a‟lam. Demikian yang dikatakan Syaikh Al-Islam
Ibnu Taimiyah.
Jawabannya agar dia berkata : Berhubungan dengan istri atau hamba yang dia miliki dan
bersenang-senang dengan keduanya memang halal menurut syara‟, akan tetapi
memperbincangkannya kepada orang lain dan memberitahukan mereka dengan apa yang ada
padanya ketika bersendiri dengan pasangannya adalah haram menurut syara‟. Bahkan akal dan
perasaan yang sehat mencela hal itu bergidik dari hal tersebut.
Abu Sa‟id Al-Khudri radhiallahu „anhu meriwayatkan , bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “ Sesungguhnya kaum manusia yang paling buruk kedudukannya disisi Allah pada
hari kiamat adalah adalah seseorang yang memberitahukan perihal istrinya dan istrinya
memberitahukan perihal suaminya, kemudian rahasia mereka menjadi tersebar luas. “
An-Nawawi mengatakan : pada hadits ni menunjukkan pengharaman bagi seoang laki-laki untuk
menyebar luaskan hubungan suami istri yang telah dilakukannya bersama istrinya. Dan
menyifatkan perkataan, perbuatan dan lain sebagainya yang terjadi diantara dia dan istrinya.
Adapun sebatas menyebutkan perihal hubungan suami istri, jikalau tidak memberikan faedah maka
halt ersbeut adalah suatu yang makruh karena bertentangan dengan adat kebiasaan. Beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaknya dia mengatakan perkataan yang baik atau diam.
Apabila penyebutan tersebut memang diperlukan dan memberikan faedah, yaitu mengingkari
penolaknnya terhadap istrinya atau mengadukan kelemahan suaminya dalam berhubungan atau
lain sebagainya maka hal tersebut tidak dimakruhkan dalam menyebutnya. Sebagaimana sabda
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam : “ Sesungguhnya salah melakukannya bersama dia – istri – “.
Dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Thalhah : “ Apakah anda melakukan
malam pertama malam tadi ? “
Dan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepada Jabir : “ al-kaiis , al-kaiis “. Wallahu a‟lam.
Catatan penting: Larangan memperbincangkan hubungan suami istri antara laki-laki dan istrinya ,
hukumnya disamakan antara kaum laki-laki dan wanita. Teguran tersebut walau tertuju kepada
kaum laki-laki, hanya saja berlaku umum mencakup kaum laki-laki dan wanita.
Allah subhanahu wata‟ala telah meniadakan kemampuan kaum laki-laki untuk berlaku adil diantara
para istrinya, didalam firman-Nya:
“ Dan sungguhlah kalian tidak akan sanggup berbuat adil diantara para istri, walaupun kalian
berkemauan untuk itu. Maka janganlah kalian terlalu cenderung kepada yang kalian cintai hingga
menjadikan yang lainnya terbengkalai … “ ( An-Nisaa` : 129 )
Lantas bagaimanakah menyelaraskan antara ayat ini dan hadits sementara konteks keduanya
bertentangan ?
Jawab : Keduanya tidaklah saling bertentangan. Keadilan yang ditiadakan didalam ayat diatas
adalah keadilan dalam perihal cinta. Dimana laki-laki tidak akan sanggup melakukanya,karena
tempatnya berada didalam hati. Kecintaan didalam hati, tidak seorangpun yang snaggup
menguasainya. Demikian juga halnya dalam perkara berhubungan suami istri, karena
kecendrungan laki-laki dalam melakukan hubungan suami istri akan cenderung kepada salah
seorang istrinya tidak sebagaimana kecendrungan dia kepada istri lainnya. Maka keadilan dalam
pembagian diantara para istri adalah suatu yang wajib, sedangkan hubungan suami istri tidak mesti
disama ratakan. Akan tetapi janganlah sampai dia menghalangi dan mendatangkan mudharat
kepada istri-istri lainnya, melainkan memberikan mereka kecukupan dan menutup segala
kebutuhan mereka.
Adapun perlakuan adil yang diperintahkan pada hadtis diatas adalah perlakuan adil dalam memberi
pembagian kepada sesama istri baik pembagian rumah, nafkah, pakaian dan lain sebagainya yang
disangkakan dapat berbuat adil dalam perkara tersebut. Dengan demikian akan nampak bagaimana
menyelaraskan kedua nash tersebut dan keduanya tidak ada pertentangan antara keadilan yang
ditiadakan didalam ayat dan keadilan yang diperintahkan didalam hadits.
Dan para suami hendaknya betakwa kepada Allah berkaitan dengan urusan istri-istri mereka,
berlaku adil sesama mereka, dan hendaknya berhati-hati jangan sampai berbuat semena-mena
kepada merek. Karena apabila para suami melakukan hal itu mereka telah melakukan dosa, dan
siksa akan menerpa mereka. Apabila mereka berbuat adil kepada kaum istri , mereka akan
mendapatkan pahala karena perlakuan itu. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “
Sesunguhnya orang-orang yang berlaku adil disisi Allah akan berada diatas mimbar yang terbuat
dari cahaya disisi Ar-Rahman „azza wajalla. Dan kedua tangan-Nya adalah kanan. Yakni mereka
yang berbuat adil dalam hukum, keluarga dan setiap yang mereka kuasai “
BAB 22
ADAB-ADAB BERDO‟A
Dari sinilah menjadi jelas bahwa barang siapa yang tidak berdoa kepada Allah, atau dia berdoa
kepada selain Allah meminta sesuatu yang tidak seorangpun sanggup melakukannya kecuali Allah,
maka dia adalah seorang yang sombong dalam peribadatan kepada-Nya
2. Keutamaan Berdoa
Diantara sekian hal yang diperoleh seorang yang berdoa melalui doanya adalah bahwa doa tersebut
merupakan manifestasi Tauhid kepada Allah yang merupakan sebab keselamatan dan
keberuntungan seorang hamba. Dikarenakan seorang yang berdoa yang menyerahkan doa dan
permohonannya kepada Allah tidak kepada selain-Nya dan ikhlas didalam doanya kepada Allah,
berarti dia telah merealisasikan salah satu aspek Tauhid kepada Allah yaitu bahwa doa adalah salah
satu ibadah kepada Allah semata yang tidak dipalingkan kecuali kepada-Nya.
Dan diantara keutamaan doa bagi seorang yang berdoa, bahwa yang berdoa akan merasakan
manisnya bermunajat kepada Allah. Merendahkan diri dihadapan-Nya. Karena kepasrahan
dihadapan Ar-Rabb memohon dan berdoa kepada-Nya akan meberi kelezatan yang tidak dapat
digambarkan.
Ibnul Qayyim mengatakan : “ Sebagian ahli makrifah mengatakan: Saya mempunyai kebutuhan
kepada Allah, lalu saya memohon kepada-Nya, dan dibukakan kepadaku dari munajat saya
kepada-Nya dan makrifahku, kerendahan diriku dihadapan-Nya, dan berkeluh kesah dihadapan-
Nya , segala sesuatu yang ketentuannya diakhirkan kepadaku dan hal tersebut berlaku secara
terus menerus bagiku.
Diantara keutamaan berdoa, bahwa doa akan dapat menahan takdir dan ketentuan Allah, seperti
yang telah shahih diriwayatkan didalam hadits yang shahih, bahwa beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “ Tidak satupun yang dapat menolak ketentuan Allah selain doa, dan tidak
satupun yang dapat memanjangkan umur selain perbuatan baik “
Maknanya : Bahwasanya doa menjadi sebab dalam menolak ketentuan Allah, seorang yang sakit
berdoa kepada Rabbnya akhirnya dia sembuh dengan sebab doanya. Menurut penelitian dan
perenungan kita dapati bahwa setiap perkara kembalinya kepada ketentuan Allah dan takdir-Nya.
Dan Allah subhanahu wata‟ala adalah dzat yang menetukan takdir bahwa sifulan akan menderita
sakit, kemudian memberikan liham, taufik dan memberi takdir-Nya kepada dia untuk berdoa dalam
rangka menolak musibah dan kemudharatan pada dirinya, kemudian Allah menyembuhkannya.
Dengan demikian perkara itu kembali kepada ketentuan Allah dan takdir-Nya diawal dan akhir. Dan
secara gambaran yang zhahir bahwa doa menolak ketentuan takdir Allah
Memperbanyak amal-amal ibadah yang sunnah selain pengerjaan ibadah yang wajib merupakan,
seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah yang sunnahdna amal-amal ibadah sunnah lainnya
akan mengantarkan pada pengabulan doa hamba yang senantiasa beribadah ini diadapan Rabbnya
dengan wasilah amal-amal ibadah sunnah tersebut selain amal-amal ibadah yang wajib.
Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar Radhiallahu „anhuma, beliau mengangkat kedua
tangannya smabil menghadap kearah kiblat setelah melontar al-jumrah al-ula, al-wustha dan ash-
shugra. Beliau melontar al-jumrah di Al-‟Aqabah dan tidak berhenti ditempat tersebut, kemudian
beliau berpaling dan mengatakan: “ Demikianlah yang saya melihat Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam melakukannya “
Masalah: Yang menjadi persoalan adalah hadits Anas radhiallahu „anhu terdahulu yang
menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah mengangkat kedua tangannya
dalam doa beliau kecuali pada shalat istisqa`. Dimana beliau mengangkat kedua tangannya hinga
terlihat kedua ketiak beliau yang putih. Lantas bagaimanakah menyelaraskan antara perkataan
Anas radhiallahu „anhu ini dan perbuatan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mengangkat kedua
tangannya ketika berdoa pada beberapa tempat ?
Dan Allah telah pula menyebutkan tentang seorang hamba yang shalih dan ridha dengan
perbuatannya, Allah berfirman:
“ Ketika dia menyeru kepada Rabb-nya dengan seruan yang lirih “ ( Maryam: 3 )[13]
Faedah : Menyamarkan doa mengandung beberapa faedah. Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah
menyebutkan beberapa diantaranya, yang pada intinya sebagai berikut:
Pertama: Merupakan keimanan yang paling utama. Karena yang melakukannya mengetahui
bahwa Allah mendengar doa yang disamarkan.
Kedua: Etika dan pengagungan yang paling utama. Dikarenakan dihadapan Raja tidaklah dengan
meninggikan suara. Dan siapa saja yang mengangkat suara dihadapannya raja tersebut akan
murka kepadanya. Dan Allah bagi-Nya sifat yang Maha Tinggi. Apabila Allah telah mendengar doa
yang lirih, maka tidaklah sesuai dengan etika dihadapan-Nya kecuali dengan merendahkan suara.
Ketiga: Bahwa hal tersebut akan lebih sesuai dengan ketundukan dan rasa khusyu‟
Keempat: Hal tersebut akan lebih sesuai dengan keikhlasan
Kelima: Hal tersebut akan lebih memungkinkan untuk menyatukan hati dengan kerendahan jiwa
disaat berdoa. Apabila dia mengeraskan suara maka akan memudarkannya.
Keenam : – Yang tergolong sebagai cacatan yang sangat mengagumkan – Bahwa amalan tersebut
menunjukkan kedekatan seorang yang berdoa kepada Dzat Yang Maha dekat. Bukan permintaan
orang yang jauh kepada Dzat yang jauh tempatnya. Olehnya itu Allah memuji hamba-Nya Zakariya
dengan firman-Nya :
“ Disaat dia menyeru kepada Rabbnya dengan seruan yang lirih “ ( Maryam : 3 )
Ketujuh : Hal tersebut akan menjadikan sebab berkelanjutannya permohonan dna permintaan.
Karena lisan tidak akan bosan, anggota tubuh tidak akan letih, berbeda halnya apabila dia
mengeraskan suaranya, karena yang demikian akan menjadikan lisan bosan dan melemahkan
kekuatannya.
Kedelapan: Dengan merendahkan suara, akan menjauhkannya dari segala sesuatu yang dapat
memutuskan doa dan yang mengganggunya.
“ Dan berdoalah kalian kepada Rabb kalian dengan penuh ketundukan hati dan dengan suara yang
lirih “ ( Al-A‟raf : 55 )
Dan firman-Nya :
“ Dan berdoalah kalian kepada-Nya dengan rasa takut dan pengharapan “ ( Al-A‟raf : 56 )
Karena doa yang disertai dengan ketundukan hati, suara yang lirih, rasa takut, dan pengharapan
mengharuskan – dan ini suatu yang mesti – penghadiran hati seorang yang berdoa, ini persoalan
yang telah zhahir. Didalam hadits, disebutkan bahwa beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“ Berdoalah kalian kepada Allah dengan keyakinan kalian akan terkabulnya doa. Dan ketahuilah
bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai lagi berpaling”
Dari Umar binAl-Khaththab radhiallahu „anhu beliau berkata : ketika pada peristiwa perang Badar,
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memandang kepada kaum musyrikin yang berjumlah seribu
orang, sementara para sahabat beliau hanya berjumlah tiga ratus tiga sembilan orang. Maka Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam menghadap kearah kiblat, lalu beliau mengangkat kedua tangannya
dan memohon kepada Rabbnya : Yaa Allah, tunaikanlah apa yang pernah Engkau janjikan
kepadaku, yaa Allah datangkanlah janji-Mu kepadaku, yaa Allah jikalau Engkau membinasakan
kelompok muslimin ini, niscaya Engkau tidak akan disembah dimuka bumi. Beliau terus
memanjatkan doa kepada Rabb-nya dengan mengangkat kedua tangannya dan menghadap kearah
kiblat hingga jubah beliau terjatuh dari atas pundaknya.
Kemudian Abu Bakar menghampiri beliau lalu mengambil jubah beliau dan mengenakannya
kembali diatas kedua pundak beliau, lalu beliau berdiam dibelakang Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam . Dan berkata : Wahai Nabi Allah, cukuplah engkau memanjatkan pengharapan kepada Rabb
mu, karena sesungguhnya Allah akan menunaikan janji-Nya kepada engkau, maka Allah
menurunkan firman-Nya :
“ Apabila kalian memanjatkan doa kepada Rabb kalian, maka Allah mengabulkan doa kalian,
sesunguhnya Aku menurunkan seribu malaikat yang turun beriringan “. Allah memberikan bantuan
kepada beliau dengan para malaikat … al-hadits “
Dari Abu Hurairah radhiallahu „anhu beliau berkata : Ath-Thufail bin Amru Ad-Dausi datang
menemui Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan berkata : Sesungguhnya bani Daus telah
bermaksiat dan menolak – agama Allah -, doakanlah kepada mereka kebinasaan.
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam lalu menghadap kearah kiblat dan mengangkat kedua
tangannya, maka para sahabat mengatakan : Mereka akan binasa .
Lalu beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Ya Allah berilah hidayah kepada bani Daus, dan
datangkanlah kepada mereka , ya Allah berilah hidayah kepada bani Daus dan datangkanlah
kepada mereka “
Ibnu Hajar mengatakan : “ Apabila kalian berdoa kepada Allah, maka kalian seharusnya
memantapkan hati kalian didalam berdoa artinya kalian mesti yakin dan tidak bimbang. Berasal
dari kaliamt „azimtu „ala syai`in apabila anda berkemauan keras/bersungguh-sungguh untuk
melakukannya. Ada yang berpendapat „azm al-masalah bermakna memastikanya tanpa ada
kelemahan dalam mengusahakannya. Ada yang berpendapat bahwa maknanya adalah berbaik
sangka kepada Allah dalam terkabulnya doa. Dan hikmah yang terkandung dalam hal ini, bahwa
menggantungkan doa adalah gambaran ketidak butuhan dari suatu pemberian-Nya dan dari
sesuatu yang hendak dicapai.
Sabda beliau : “ tanpa merasa keberatan dengannya “, yaitu penggantungan doa menyiratkan
bahwa pemberian yang mungkin dari-Nya selain dari kehendak-Nya, dan pemberian selain
kehendak merupakan suatu keterpaksaan, sedangkan Allah sama sekali tidak merasa terpaksa
dengan pemberian-Nya “
12. Disunnahkan mendahulukan ucapan Alhamdulillah dan pujian kepada Allah, lalu
shalawat kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam sebelum berdoa
Membuka doa dengan pujian kepada Allah, memuji-Nya dan memuliakan-Nya, kemudian shalawat
kepada Rasul-Nya, kemudian menutup doa dengan kedua ucapan tersebut merupakan sebab yang
paling utama yang memastikan terkabulnya doa seseorang yang berdoa.
An-Nawawi mengatakan: Ulama sepakat disunnahkannya mengawali dia dengan ucapan
Alhamdulillah ta‟aala dan pujian kepada-Nya kemudian shalawat kepada Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam, dan juga menutup doa dengan kedua ucapan tersebut.
Beliau berkata : Lalu setelah itu seorang lainnya mengerjakan shalat, dan memuji Allah serta
membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Maka Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam berkata kepadanya: “Wahai orang yang shalat, berdoalah niscaya akan dikabulkan “
13. Bertawassul dengan Amal-Amal Shalih Ketika Memanjatkan Do‟a Merupakan Sebab
Terkabulnya Do‟a
Diantara amalan yang akan mendekatkan terkabulnya doa, adalah seorang yang berdoa meminta
kepada Rabb-nya dan bertawassul dengan amal-amalnya yang shalih. Dan mengedepankannya
ketika berdoa. Hadits yang menguatkan pembahasna ini adalah kisah tiga orang yang terperangkap
didalam sebuah goa dipadang pasir, dan mereka tidak mampu untuk keluar. Maka sebagian
diantara mereka mengatakan kepada sebagian lainnya : “ Renungkanlah amalan-amalan shalih
yang telah kalian lakukan karena Allah, dan berdoalah kepada Allah dengan perantara amal-amal
tersebut semoga Allah memberi jalan keluar dengannya “ dan pada lafazh riwayat Ahmad : “ Dan
masing-masing hendaknya berdoa dengan amal yang paling baik yang telah dieprbuatnya, semoga
Allah menyelamatkan kita dari sini “
Kemudian masing-masing dari mereka mengedepankan amal shalih yang paling dia harapkan
kemudian berdoa kepada Rabb-nya. Maka Allah mengabulkan doa mereka dan membebaskan
mereka dari keadaan mereka dan menyelamatkan mereka dari kebinasaan.
14. Disunnahkan Berdo‟a dengan Do‟a-Do‟a yang Termasuk Jawami‟ul Kalim (Kalimat
yang Singkat Tetapi Maknanya Padat)
Doa yang paling lengkap adalah doa yang tertera didalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Al-Qur`an
adalah Kalamullah, semulia-mulia kalam dan yang paling tinggi. Sedangkan As-Sunnah adalah
wahyu yang Allah wahyukan kepada Nabi-Nya, yang mana beliau Shallallahu „alaihi wa sallam telah
diberikan jawami‟ al-kalim. Dan tidaklah kita ragukan lagi bahwa siapa saja yang berdoa dengan
doa yang tertera didalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, akan lebih dekat kepada terkabulnya doa
daripada yang berdoa dengan doa selain yang tertera didalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Doa-doa yang tertera didalam Al-Qur`an dan As-Sunnah sangatlah banyak, dan sangat sulit untuk
menghitungnya, akan tetapi, kami akan menyebutkan sebagian diantara doa-doa tersebut, agar
kita mengetahui betapa doa-doa tersebut telah menghimpun segala kebaikan dan telah memberi
perlindungan dari segala keburukan.
ربنا آتنا في الدنلا سنة وفي اآلخرة سنة وقنا عذاب النار
“ Wahai Rabb kami, berilah kepada kami didunia ini segala kebaikan dan diakhirat dengan segala
kebaikan dan jagalah kami dari adzab neraka “ ( Al-Baqarah : 201 )
ربنا ظلمنا أنفسنا واف لم تغفر لنا وتر منا لنكونن من ال اسرين
“ Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah menzhalimi diri kami, dan apabila Engkau tidak
mengampuni kami dan merahmati kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi “ (
Al-A‟raf : 23 )
، وار مني، فاغفر لي مغفرة من عندؾ، اللهم إني ظلمت نفسي ظلماً كثلراً واليغفر الذنوب إال أنت
إن أنت الغفور الر لم
Yaa Allah sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku dengan kezhaliman yang sangat banyak, dan
tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari
sisi-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha pengampun dan Maha
penyayang “
15. Disunnahkan Menuntup Do‟a dengan Ucapan yang Sesuai dengan Permintaan Orang
yang Berdo‟a
Hal tersebut dikarenakan lebih sesuai dan lebih tepat dalam berdoa.
Semisal firman Allah ta‟ala :
Permintaan seorang yang berdoa yang mengharapkan agar Allah memberinya rahmat, maka
sepantasnyalah doanya ditutup dengan menyifati Allah sebagai Dzat Yang Maha pemberi.
Dan misalnya pula didalam firman-Nya :
اد ِ ش
َ لم َلع ُ ِوـ ِلق َٰلَ َم ِة ۖ إِنَّل َ َال تُ ل ِ ِ
َ ََربَّلػنَا َو َءاتنَا َما َو َعدتَّلػنَا َعلَ َٰى ُر ُسل َ َوَال تُ ِزنَا ي
“ Wahai Rabb kami berikanlah kepada kami segala yang telah Engkau janjikan kepada Rasul-Mu
dan janganlah Engkau membuat kami celaka pada hari kiamat, Sesungguhnya Engkau tidak akan
menyelisihi segala janji-Mu “ ( Ali Imran : 194 )
Permohonan kaum mukminin kepada Rabb mereka agar Allah memberikan kepada mereka apa
yang mereka telah dijanjikan melalui lisan para rasul-Nya da agar supaya tidak mencelakakn
mereka pada hari kiamat, maka sepantasnya doa tersebut diakhiri dengan menyifati Allah bahwa
Dialah Dzat Yang Maha benar dalam setiap janji-Nya. Dan firmannya hak, mereka mengatakan : “
Sesungguhnya Engkau tidak akan menyelisihi janji-Mu “
Dan semisalnya juga didalam firman Allah ta‟ala – ketika menghikayatkan perkataan Isa „alahis
salam – sewaktu memohon kepada Allah agar diturunkan hidangan dari langit :
ِ لسم ِاء تَ ُكو ُف لَنا ِعلدا ِّأل َّلَولِنا وء ِ
َنت َخ ُلر ُ اخ ِرنَا َو َءايَة ِّمن َ ۖ َو
َ رزقنَا َوأ ََ َ َ َ للَّل ُه َّلم َربَّلػنَا أَن ِزؿ َعلَلنَا َمائ َدة ِّم َن َّل
ِ
َ ََّٰللرِزق
لن
Dan sepantasnya doa tersebut diakhiri bahwa Allah adalah sebaik-baik pemberi rizki.
Seorang yang berdoa disunnahkan mengakhiri doanya dengan sesuatu yang sesuai dengan
permintaannya. Apabila dia meminta karunia berupa anak, maka sebaiknya dia mengakhiri doanya
– misalnya – dengan mengucapkan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha pemberi dan Maha
pemberi rizki. Dan apabila dia memohon pengampunan dosa, maka hendaknya dia mengakhiri
doanya bahwa allah adalah Dzat Yang Maha pengampun dan Maha pengasih. Dan apabila dia
memohon karuni berupa harta, maka hendaknya dia mengkahiri doanya dengan mengucapkan
bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Dermawan lagi Maha Mulia, demikian seterusnya.
16. Do‟a Setelah Tasyahhud Akhir Ketika Shalat dan Sebelum Salam Merupakan Salah
Satu Sebab Diterima dan Terkabulnya Do‟a
Pada hadits Abdullah bin Mas‟ud radhiallahu „anhu beliau berkata : bahwa Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada mereka bacaan tasyahhud didalam shalat, kemudian
beliau berkata pada akhirnya :
“ Kemudian dia memilih doa yang paling disukainya kemudian dia berdoa denganya “ , pada lafazh
Muslim : “ Kemudian dia memilih permohonan yang dia kehendakinya “Ibadah shalat adalah amal
ibadah yang paling utama yang dikerjakan oleh seorang hamba. Dan termasuk amal ibadah yang
paling dicintai oleh Allah. Dikarenakan seorang hamba akan bermunajat kepada Rabbnya, meminta
kepada-Nya dan berdoa kepada-Nya serta sujud dihadapan-Nya. Dan pada ibadah shalat juga
terkandung tata cara dan dzikir yang mengharuskan kehinaan seorang hamba dihadapan Rabbnya,
ketundukannya kepada Allah, kepasrahannya dihadapan-Nya.
Apabila hamba tersebut berdoa setelah semuanya ini, maka akan mendekatkan kepada
terkabulnya doa hamba. Betapa tidak, sementara Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah
menganjurkan umat beliau untuk berdoa disaat ini. Yang menunjukkan kepada kita bahwa tempat
tersebut adalah tempat yang paling utama yang sepatutnya seorang hamba memanfaatkannya dan
bersemangat untuk berdoa disisi Allah.
Faedah: An-Nawawi mengatakan: Ketahuilah bahwa doa ini [ setelah tasyahhud akhir ]
hunkumnya sunnah dan bukan amalan yang wajib. Dan disenangi untuk dipanjangkan, kecuali
apabila dia sebagai imam shalat. Dan diperbolehkan baginya untuk berdoa dengan doa yang
dikehendakinya meminta perkara kahirat maupun duniawiyah. Dan boleh baginya berdoa dengan
doa-doa yang telah termaktub , dan boleh juga boleh berdoa dengan doa yang dia adakan untuk
dirinya. Walaupun yang telah termaktub didalam Al-Qur`an dan As-Sunnah lebih utama. Dan juga
doa-doa yang telah termaktub nashnya, ada yang berkaitan langsung pada tempat ini dan ada juga
termaktub untuk tempat selainnya. Dan yang paling utama adalah yang termaktub untuk tempat
ini “
Dan sabda beliau : Apabila kalian mendengar kokok ayam, maka segeralah meminta keutamaan
dari Allah “. An-Nawaw mengatakan : Al-Qadhi berkata : “ Sebabnya untuk mengharapkan peng-
aminan malaikat akan doa tersebut, dan permintaan ampunan mereka dan persaksian mereka
dengan ketundukan dan keikhlasan … “
Maka Beliau berkata : Wahai anakku mintalah surga kepada Allah, dan mintalah perlindungan dari-
Nya dari api neraka, karena sesungguhnya saya mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda : “ Akan ada dari umat ini kaum yang melampaui batas dalam bersuci dan berdoa “
Melampaui batas dalam berdoa merupakan salah satu penghalang terkabulnya doa seorang yang
berdoa. Karena seseorang yang berdoa meminta sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam doanya
sehingga dikatakanlah dia telah melampaui batas. Seorang yang melampaui batas tidak disenangi
oleh Rabbnya dan akan jauh dari terkabulnya doa dia.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: Dari sinilah maka seseorang yang melampaui batas
dalam berdoa, terkadang meminta pertolongan melakukan hal-hal yang diharamkan yang tidak
diperbolehkan. Dan terkadang meminta sesuatu yang Allah tidak – baca: berkenan, pent –
melakukannya seperti seseorang yang meminta keabadian hingga hari kiamat, ataukah meminta
agar Allah meniadakan dari dirinya keharusan sebagai seorang manusia, seperti kebutuhan makan
dan minum. Dan meminta kepada Allah agar dirinya dapat mengetahui perkara gaib Allah atau
menjadikannya diantara orang-orang yang ma‟shum, atau memberikanya anak tanpa mempunyai
istri dan lain sebagainya yang mana permintaannya merupakan hal yang melampaui batas yang
tidak disenangi oleh Allah dan Allah tidak menyukai si pemohon. Dan melampaui batas dalam
berdoa ini juga ditafsirkan dengan mengangkat suara ketika berdoa … “
Ibnu Hajar mengatakan : “ Hal itu tercantum dalam beberapa hadits-hadits yang shahih,
dikarenakan hal itu berasal tanpa kesengajaan. Dari sinilah doa ini datang dengan keselarasan
kalimat seperti sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam didalam jihad : “ Allahumma munazzilal-
Kitaab, sarii‟ul-Hisaab, haazimul-Ahzaab “ – Yaa Allah, Dzat yang telah menurunkan Kitab/ Al-
Qur`an, yang Maha segera perhitungan-Nya dan yang menghancurkan sekutu-sekutu musyrikin -.
Dan pada hadits Ibnu Abbas kepada „Ikrimah, beliau berkata: “ … Perhatikanlah sajak dalam doa
agar engkau hindari, karena sesungguhnya aku telah memperhatikan rasululah Shallallahu „alaihi
wa sallam dan para sahabat beliau, mereka tidak melakukan kecuali menjauhkan diri dari hal itu “
20. Berdo‟a Memohon Sebuah Amal Dosa, Memutuskan Silaturrahim, atau Menyegerakan
Terkabulnya Do‟a Termasuk Sebab Terhalangnya Do‟a
Diantara yang menghalangi terkabulnya doa seseorang yang berdoa adalah berdoa memohon
sebuah amal dosa, memutuskan silaturrahim, atau penyegaraan terkabulnya doa. Larangan itu
dengan sangat jelas tertuang didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu „anhu , beliau berkata :
Bersabda Shallallahu „alaihi wa sallam : Seorang hamba akan terkabul doanya selama dia tidak
memohon sebuah amal dosa, atau memutuskan silaturrahim , dan selama tidak tergesa-gesa “ .
Ada yang bertanya : Wahai Rasulullah , apakah yang termasuk tergesa-gesa ?
Beliau bersabda: “ Dia mengatakan: Sungguh saya telah berdoa, sungguh saya telah berdoa,
namun doaku tidak terkabulkan , pada akhirnya akan menjadikannya berputus asa dan
meninggalkan doa “
Seseorang yang berdoa terkadang permintaannya tidak terkabulkan, bukan berarti bahwa
seseorang yang berdoa tersebut tidak dicintai oleh Allah. Ibrahim „alaihis salam telah memohon
ampunan kepada Allah bagi bapak beliau, Nuh „alaihis salam telah memohon keselamatan bagi
anak beliau – yang mana kedua Nabi tersebut merupakan dua dari para Rasul ulul „azmi – namun
doa mereka berdua tidak terkabulkan, karena suatu perkara yang Allah subhanahu wata‟ala
kehendaki. Dan juga karena adanya hikmah yang hanya diketahui oleh Allah. Semua makhluk
adalah ciptaan-Nya, dan kesmeuanya berada didalam kekuasaan-Nya dan berada dalam
pengaturan-Nya. Apabila perkara tersebut seperti itu, maka tidak sepantasnya seorang hamba
merasa terkabulnya doa sangat lama dan tidak pula hingga meninggalkan berdoa,karena doa
adalah ibadah yang mendapatkan pahala.
Lalu beliau menyebutkan perihal seseorang yang telah melakukan perjalanan jauh, dalam keadaan
lusuh dan berdebu, kemudian dia mengangkat kedua tangannya keatas langit dan mengucapkan :
Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku. Sedangkan makannya haram, minumannya haram, pakaiannya
haram dan dia tumbuh dengan sesuatu yang haram, lantas mengapakah dia minta dikabulkan
doanya itu ? “
Sabda beliau : “ Lantas mengapakah dia minta dikabulkan doanya itu ? “ maknanya : Dari sisi
mana akan dikabulkan orang yang bersifat seperti ini, bagaimana ia akan dikabulkan, Imam An-
Nawawi yang berpendapat tentang hal itu. Maka perhatikan keadaan lelaki yang melakukan
perjalanan jauh tersebut, rambutnya lusuh, kaki dan badannya berdebu, dan dia menengadahkan
tangannya meminta kepada Maulanya, barang siapa yang keadaannya seperti itu maka dia amatlah
dekat dengan terkabulnya doa. Akan tetapi ketika yang berdoa ini, memakan makanan yang
haram, maka pengabulan doanya menjadi terhalang karena pengaruh harta yang haram,
keburukan dan pengaruhnya yang jelek kepada seorang hamba didunia dan diakhirat.
Faedah : Ulama berbeda pendapat mengenai waktu mustajabah pada hari jum‟at ini, dalam
banyak pendapat. Al-Hafizh hingga mencapai empat puluh dua pendapat. Dan pendapat yang
paling tepat dari sekian pendpat tersebut adalah dua pendapat:
Pertama: Waktu mustajabah tersebut antara duduknya imam hingga imam mengerjakan shalat.
Berdasarkan hadits Abu Musa Al-Asy‟ari radhiallahu „anhu . Diriwayatkan dari Abu Burdah bin Abu
Musa Al-Asy‟ari radhiallahu „anhu beliau berkata: Abdullah bin Umar berkata kepadaku: Apakah
engkau mendengar bapakmu menceritakan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam tentang hari jum‟at. Beliau berkata : Saya berkata : Benar, saya mendengar beliau
mengatakan : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Waktu
mustajabah antara duduknya imam hingga mengerjakan shalat “
Kedua : Waktu mustajabah adalah akhir waktu hari jum‟at. Diriwayatkan dari Jbair bin Abdullah
radhiallahu „anhu , dari rasululah Shallallahu „alaihi wa sallam beliau bersabda: “ Hari jum‟at
selama dua belas – yang beliau maksud adalah jam – tidaklah seorang muslim memohon kepada
Allah „aza wajalla kecuali Allah „azza wajalla akan mendatanginya, maka perhatikanlah waktu
mustajabah tersebut pada akhir waktu setelah waktu Ashar “
f. Doa seseorang yang teraniaya, seorang musafir dan doa kedua orang tua kepada
anaknya
Dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhu , beliau berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda kepada Mu‟adz bin Jabal – ketika mengutusnya ke Yaman – : “ Sesungguhnya engkau
akan mendatangi suatu kaum Ahli Kitab, apabila engkau mendatangi mereka, maka ajaklah mereka
untuk mengucapkan syahadat Laa Ilaha Ilallahu wa Anna Muhammadan Rasulullah “ … dan pada
akhir hadits disebutkan: “ Dan hati-hatilah dengan doa seorang yang teraniaya, karena antara dia
dan Allah tidak ada hijab/penghalang “
Perhatian: Seharusnya seorang musafir memanfaatkan sebaik-baiknya doa dia disaat safar. Tidak
melalaikannya. Dan terkadang suatu doa akan menghasilkan kebaikan didunia dan keberuntungan
diakhirat.
Dan seorang yang berlaku zhalim dan sewenang-wenang seharusnya berhati-hati terkena doa
seseorang yang teraniaya yang keluar dari hati yang pedih, karena doanya tidak ada penghalang
antara dia dan Allah. Dan alangkah cepat doanya terkabulkan.
Dan kedua orang tua seharusnya berhati-hati mendoakan keburukan kepada anak-anak mereka,
karena doa orang tua doa yang mustajab. Terkadang suatu kalimat terucapkan dan dikabulkan
kemudian membawa penyesalan pada hati seorang orangtua.
Dari Aisyah ummul Mukminin radhiaallahu „anha dan dari bapak beliau, Aisyah berkata:
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “ Tidak ada hari yang Allah lebih
banyak membebaskan hamba dari api neraka dari pada hari Arafah. Dan sesungguhnya Allah akan
mendekat kemudian para malaikat akan berkumpul, lalu Allah berfirman : Apakah yang mereka
kehendaki “
“ Sesungguhnya shafa dan marwah temasuk diantara syiar-syiar Allah “, Mulailah engkau dengan
yang Allah mulai. Kemudian beliau memulai dari shafa dan belaiu mendaki keatasnya, hingga
beliau melihat Baitullah kemudian beliau menghadap kearah kiblat, dan beliau mentauhidkan Allah
dan bertakbir kepada-Nya, dan mengucapkan : “ Laa Ilaha Illallahu wahdahu, anjaza wa‟dahu, wa
nashara „abdahu, wa hazama al-ahzaab wahdahu, – tiada Ilah selain Allah semata, Dialah yang
menunaikan segala janji-Nya, yang menolong hamba-Nya dan menghancurkan para sekutu
musyrikin sendiri -. Kemudian beliau berdoa diantara itu. Beliau mengucapkan semisal dengan doa
tersebut sebanyak tiga kali. Kemudian beliau turun menuju marwah … hingga beliau tiba dimarwah,
beliau melakukan hal yang sama yang beliau lakukan diatas Shafa. “
c. Doa setelah melontar al-jumrah ash-shugra dan al-wustha bagi para haji
Salim bin Abdullah meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar radhiallahu „anhuma melontar jumrah
kecil sebanyak tujuh lemparan kerikil kecil, kemudian beliau bertakbir disetiap kali melempar
sebuah kerikil. Kemudian beliau maju kedepan menuju ketempat yang datar dan menghadap
kearah kiblat sambil berdiri dengan sangat lamanya berdoa dan mengangkat kedua tangannya.
Kemudian beliau melontar jumrah wustha demikian juga, beliau menuju kebagian kiri dan mencari
tanah yang datar kemudian berdiri menghadap kearah kiblat dengan sangat lama, berdoa dan
mengangkat kedua tangannya. Lalu beliau melontar jumrah „aqabah dari tengah al-wadi dan tidak
berhenti ditempat tersebut. Kemudian beliau mengatakan: Demikian ini yang telah saya lihat
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukannya “