Anda di halaman 1dari 186

k

Shalih bin Muhammad as-Suwaiyyih

Al-Furuq
Judul asli
Al-Furuq baina ‘Aqidah as-Salaf wa ‘Aqidah al-Murji’ah fi al-Iman

Judul Indonesia
Iman Menurut Akidah Salaf dan Perbedaannya dengan Kelompok Murji’ah.

Penulis
Shalih bin Muhammad as-Suwaiyyih

Koreksi dan kata sambutan


- Samahah asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan, anggota Hai’at
Kibar al-Ulama dan al-Lajnah ad-Da’imah li al-Ifta’.
- Fadhilah asy-Syaikh Muhammad bin Hasan bin Abdurrahman Alu Syaikh,
anggota Hai’at Kibar al-Ulama dan al-Lajnah ad-Da’imah li al-Ifta’.

Penerbit
Madar al-Wathan li an-Nasyr
cetakan pertama tahun 1439 H (2018 M)

Penerjemah
Jafar Salih

Editor
Pramesywara

Penerbit
Penerbit Lingkar Sahabat
Jl. Kalasan no. 1c Pegangsaan Menteng Jakarta Pusat
Telp. 0852 1675 0200
email: tfpublication@gmail.com
Sambutan
Samahah al-Walid al-‘Allamah Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Rasulullah, Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabat beliau dan
orang-orang yang setia kepadanya. Wa ba’du;
Saya telah memeriksa tulisan Al-Furuq baina ‘Aqidah as-Salaf wa ‘Aqidah Al-
Murji’ah fi al-Iman karya Fadhilah asy-Syaikh Shalih bin Muhammad as-Suwaiyyih,
semoga Allah senantiasa memberinya taufik. Saya dapati tulisan ini tulisan yang baik
dan bermanfaat isinya, sangat perlu diterbitkan agar orang-orang bisa mengambil
faidah darinya. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan, menjadikan ilmu dan
bermanfaat apa yang ditulisnya. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Ditulis oleh;
Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Anggota Hai’at Kibar al-Ulama
6/10/1438 H

Al-Furuq | v
Sambutan
Fadhilah asy-Syaikh Muhammad bin
Hasan bin Abdirrahman Alu Syaikh

S
egala puji hanya milik Allah, kami memuji-Nya dan minta pertolongan kepada-
Nya. Kami minta ampunan dan berlindung ke­pada Allah dari kejelekan-
kejelekan diri-diri kami serta keburukan-keburukan amalan perbuatan kami.
Barangsiapa yang Allah beri petunjuk kepadanya, maka tidak ada yang mampu
menyesatkannya. Barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang sanggup
memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain
Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Saya bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah
kepada beliau, keluarga dan para sahabatnya semua. Amma ba’du;
Fadhilah asy-Syaikh Shalih bin Muhammad As-Suwaiyyih, semoga Allah
senantiasa memberi taufik kepadanya, telah menulis sebuah buku berjudul Al-
Furuq baina ‘Aqidah as-Salaf wa ‘Aqidah Al-Murji’ah fi al-Iman. Penulisnya
menegaskan bahwa iman harus diikuti dengan pengakuan secara lisan, pembenaran
dengan hati dan pengamalan dengan anggota badan, sebagaimana hal ini adalah
mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah, bersebrangan dengan kelompok Murji’ah yang
mengeluarkan amal dari pengertian iman. Oleh karenanya mereka telah membuka
pintu kejelekan dihadapan umat Islam dari sisi bermudahan dalam meninggalkan
kewajiban-kewajiban dan mengerjakan hal-hal yang diharamkan. Dengan ini mereka
telah menyelisihi Kitabullah dan sunnah Rasulullah serta apa yang telah disepakati
oleh pendahulu umat ini (salaf). Herannya sebagian orang yang menisbatkan
dirinya kepada madzhab salaf terkontaminasi syubhat irja’ ini dan ikut memasarkan
madzhab Murji’ah sehingga perlu dijelaskan kesesatan mereka agar orang-orang
yang berbaik sangka kepada mereka tidak tertipu. Dalam hal ini Fadhilah asy-
Syaikh Shalih As-Suwaiyyih telah menyingkap tabir ini, mematahkan syubhat dan
kerancuannya dengan menyandarkan sanggahannya kepada al-Quran dan as-Sunnah
dengan pemahaman pendahulu umat (salaf) dilengkapi dengan penukilan dari para
ulama kontemporer. Sehingga jadilah tulisan ini buku yang cukup memadai dalam
pembahasan ini. Semoga Allah membalas beliau dengan kebaikan dan menjadikan

Al-Furuq | vii
apa yang ditulis bermanfaat. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada
nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya semua.

Ditulis oleh al-Faqir ila ‘Afwi Rabbih

Muhammad bin Hasan bin Abdurrahman Alu Syaikh

Anggota Hai’at Kibar al-Ulama dan al-Lajnah ad-Da’imah li al-Fatwa

viii | Al-Furuq
MUKADDIMAH

َّ ‫ٱلر مۡحٰن‬
‫ٱلرحِي ِم‬
َّ‫ه‬
َّ ِ‫ٱلل‬ ‫ِمۡسِب‬
ِ
Sungguh Allah telah menganugerahkan kepada manusia sekalian dengan
mengutus ke tengah-tengah mereka Muhammad  sebagai pemberi petunjuk,
pembawa kabar gembira dan sekaligus pemberi peringatan. Sehingga Allah
menjadikan beliau laksana pelita yang bersinar. Dengannya Allah menerangi kegelapan
dan memberi petunjuk dari kesesatan. Karena beliau, Allah mengeluarkan orang-
orang yang dikehendaki dari hamba-hamba Nya dari kesesatan kepada petunjuk
dan dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dan dari kebutaan kepada
pengelihatan dan dari kesempitan kepada keluasan. Dengan diutusnya beliau Allah
tegakkan hujjah kepada segenap ciptaannya dan menerangkan jalan kebenaran.
Allah Ta’aala berfirman;
ٗ ‫س‬
ٗ ‫اجا ُّمن‬ َّ‫َ ٰٓ َ ُّ َ َّ ُّ َّ ٓ َ ۡ َ ۡ َ ٰ َ َ ٰ ٗ َ ُ َ ّ ٗ َ َ ٗ َ َ ً ىَ ه‬
َ ِ‫ٱللِ بإ ۡذنِهِۦ َو ر‬
‫ِريا‬ ِِ ‫ وداعِيا إِل‬. ‫يأيها ٱنل يِب إِنا أرسلنك ش ِهدا ومب رِشا ونذِيرا‬
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan
izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (QS. Al-Ahzab: 45-46)
Dan firman-Nya;
ٰ َ َ ُ ٰ َ ۡ‫َ ۡ َ ُ َ اَ إ‬
ٰ ۡ َ َ ُ َ َ ۡ َ ۡ ّ ٗ ُ َ َۡ‫َ َ َ ٰ َ َ ۡ َ ۡ َ ٓ ي‬
‫كن‬ ِ ‫ٱليمن ول‬ ِ ‫وكذل ِك أوحينا إِلك روحا مِن أمرِنا ۚ ما كنت تدرِي ما ٱلكِتب ول‬
َ َ ۡ ُّ َ ‫ِي إ ىَ ٰل‬ ۡ َ‫َ َّ َ ت‬ ٓ َ َّ َّ ٗ ُ ُ ٰ َ ۡ َ َ
‫صر ٰ ِط‬ِ . ‫يم‬ ٖ ِ‫صر ٰ ٖط مستق‬ ِ ِ ٓ ‫ورا ن ۡهدِي بِهِۦ َمن نشا ُء م ِۡن ع َِبادِنا ۚ ِإَونك لَهد‬ ‫جعلنه ن‬
ُ ۡ‫أ‬
ُ ‫ري ٱل ُم‬ ُ ‫ٱللِ تَ ِص‬
َّ‫ه‬ َ‫ى‬ ٓ َ‫ا‬ َ َ ۡ‫أ‬ َ َ ِ ٰ ‫ٱللِ ذَّٱلِي ُلۥ ما ف ٱلسمٰو‬
َ َ َّ َ َ‫ه‬ َّ‫ه‬
‫ور‬ ‫ۡرض أل إِل‬ ِۗ ‫ت وما يِف ٱل‬ ِ‫ي‬
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur`an) dengan perintah
Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Alkitab (al-Qur`an) dan tidak
pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur`an itu cahaya,
yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba
Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang

Al-Furuq | ix
lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (QS.
Asy-Syuraa:52-53)
Petunjuk dan syariat beliau adalah yang paling sempurna dan manhajnya adalah
jalan pertengahan sebagaimana firman Allah;
ٗ ٗ ُ ُ ۡ َ َ َ
‫َوكذٰل ِك َج َعل َنٰك ۡم أ َّمة َو َسطا‬
“dan demikianlah Kami jadikan kalian ummat pertengahan.” (QS. Al-Baqarah:143)
Barangsiapa mengambil apa yang beliau bawa maka dia termasuk orang-orang
yang mendapat petunjuk. Barangsiapa berpaling darinya maka dia termasuk
orang yang celaka dan terjatuh kepada kesesatan yang nyata. Sebagaimana firman
Allah;
ْ ََُۡ ُ ُ ُ
‫ِإَون ت ِطيعوه تهتد ۚوا‬
“…dan apabila kamu mentaatinya kamu mendapat petunjuk.” (QS. An-Nur: 54)
Maka barangsiapa tidak menaatinya maka dia termasuk dari orang-orang yang
sesat. Allah Ta’aala berfirman;
َ ۡ َ َ َ َ ٰ َ ُ ٰ َ ۡ َ ۡ‫حَۡ َ أ‬ َۡ‫هَّ َ َ َ ُ هَ ُ ُ ۡ ۡ ُ َ َّ ٰ ج‬ ُ ََ
‫ِيها ۚ َوذٰل ِك ٱلف ۡو ُز‬ ‫ت ت ِري مِن تتِها ٱلنهر خ دِلِين ف‬ ٖ ‫ومن ي ِطعِ ٱلل ورسولۥ يدخِله جن‬
‫اب‬ ٌ ‫ِيها َو هَ ُلۥ َع َذ‬
َ ‫ارا َخ ٰ دِ ٗلا ف‬ َ ُ ُ َّ َ َ َ َ ُ َ‫هَّ َ َ َ ُ ه‬
ً َ‫ودهُۥ يُ ۡدخ ِۡل ُه ن‬‫ َو َمن َي ۡع ِص ٱلل ورسولۥ ويتعد حد‬. ‫يم‬ ُ ‫ۡٱل َع ِظ‬
ٌ ‫ُّمه‬
‫ني‬ ِ
“Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah mema­sukkannya ke dalam
surga yang mengalir di dalamnya sungai sungai, sedang mereka kekal di dalamnya;
dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan
rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
(QS. An-Nisaa: 13-14)
Dalam Shahih al-Bukhari (no. 7280) dari Abu Hurairah Radhi­yallahu ‘Anhu ia
berkata, “Rasulullah  bersabda; “Semua umatku masuk surga kecuali yang enggan.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Ra­sulullah, siapakah yang enggan itu?” Beliau
menjelaskan, “Barangsiapa menaatiku masuk surga, dan barangsiapa bermaksiat
kepadaku berarti dia yang enggan.”
Sesungguhnya di antara musibah yang menimpa umat Islam belakangan ini
adalah dua macam fitnah. Yang pertama adalah fitnah Khawarij, dan kedua adalah
fitnah Murji’ah. Umat Islam telah men­derita disebabkan kedua fitnah ini dengan

x | Al-Furuq
penderitaan yang besar. Sehingga di antara efeknya adalah keguncangan akidah dan
timbulnya perpecahan ummat dan berkuasanya orang-orang kafir atas mereka.
Sudah menjadi sunnatullah setiap kali muncul orang-orang yang menyeru
kepada kebid’ahan terbukalah medan untuk berjihad melawannya, mematahkan
dan menyanggahnya. Yaitu seperti yang dilakukan para ulama rabbani dari generasi
salaf dan para pengikut mereka di atas kebaikan hingga hari kemudian. Mereka
membantah kebid’ahan-kebid’ahan ini dengan teks-teks al-Quran dan as-Sunnah
serta atsar-atsar para pendahulu (salaf) sebagai bukti akan kebenaran firman Allah
Ta’aala,
ً ‫ٱل ّق َوأَ ۡح َس َن َت ۡفس‬
َ ۡ‫ك ب ح‬
َ َٰ ۡ َّ‫َ اَ َ ۡ ُ َ َ َ َ ا‬
‫ِريا‬ ِ ِ ‫ن‬ ‫ئ‬ ‫ج‬
ِ ‫ل‬ ِ ‫ول يأتونك بِمث ٍل إ‬
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu perumpamaan,
melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.” (QS. Al-Furqan: 33)
Para ulama tersebut berjihad membantah dua kelompok tadi (Khawarij dan
Murji’ah). Mereka menulis buku-buku yang mem­peringatkan ummat dari mereka.
Mereka menerangkan kesesatan madzhab mereka sehingga tidak lagi tersisa alasan
bagi seorang pelaku bid’ah maupun pengekor hawa nafsu selain mengikuti kebenaran
yang mereka bawa.
Aku telah memeriksa banyak tulisan ulama modern yang membantah kedua
firqah ini. Saya dapati bantahan kepada Khawarij sangat banyak. Upaya yang
dilakukan dalam menyanggah syubhat mereka berlimpah. Tapi kebalikannya dengan
fitnah Murji’ah, bantahannya sangat sedikit.
Maka saat aku dapati keadaannya seperti itu, di sisi sangat berbahayanya
madzhab Murji’ah terhadap pribadi dan masyarakat. Ditambah lagi da’i-da’i yang
menyeru kepadanya juga berlimpah, dan kebodohan manusia akan hakikat madzhab
ini sehingga mereka tidak mewaspadai da’i-da’i irja’. Aku saksikan bahayanya telah
menjadi besar, yakni ketika muncul generasi yang tumbuh di atas akidah irja’ dengan
penampilan yang lahiriyahnya rahmat sedangkan batinnya azab. Mereka tumbuh di
atas akidah irja’ tapi dengan wajah baru dan modern guna merusak akidah salaf
di tengah-tengah umat Islam, sambil membawa nama salaf. Maka masuklah irja’
kepada sekelompok manusia itu secara pribadi dan masyarakat. Orang-orang tertipu
dengan dakwah mereka. Disebabkan semua hal ini aku melihat urgensi menulis
persoalan ini sebagai peringatan, penjelasan dan sekaligus menyingkap akan hakikat
siapa mereka sebenarnya.
Sesungguhnya aku mendapati kebanyakan alasan yang menyebab­kan banyak
orang terpengaruh dengan mereka adalah ketidaktahuan mereka akan cara-cara tipu
daya mereka dan terperdayanya mereka dengan klaim mereka sebagai pengusung

Al-Furuq | xi
dakwah Salafiyah. Begitu juga takjubnya kebanyakan orang tersebut dengan sikap
sekelompok mereka di hadapan Khawarij dan penyulut api fitnah dan kondisi
mereka yang menampakkan semangat terhadap persoalan akidah dan tauhid.
Di sini menjadi besarlah persoalan ini dan musibah yang begitu mengerikan,
dan menjadi besarlah tanggung jawab para ulama dan ahli ilmu serta penuntut
ilmunya dalam membantah dengan bantahan yang cukup terhadap syubhat-syubhat
mereka serta mematikan api fitnah dan kebid’ahan-kebid’ahan mereka yaitu dengan
menyanggah mereka dan menerangkan kesesatan serta penyimpangan mereka dari
sunnah dan al-Jama’ah serta manhaj salafusshalih.
Bid’ah mereka akan terhenti dengan menampakkan akidah Salaf dalam
persoalan iman dan menerangkan perbedaan-perbedaan antara akidah Salaf dengan
akidah Murji’ah. Karena dengan begitu akan menjadi teranglah jalan bagi pencari
kebenaran, yang mana sebelumnya tersamarkan kebenaran dengan kebatilan
dikarenakan tipu daya para penipu dan terperdayanya mereka dengan apa yang para
dai irja itu tampakkan berupa semangat terhadap akidah Salaf. Sehingga dengan
begitu terputuslah hujjah para pengekor kebatilan dan menjadi tegak hujjah Allah
di atas orang-orang yang berpaling.
Untuk itulah buku ini ditulis dan aku beri judul dengan “Al-Furuq baina
‘Aqidah as-Salaf wa ‘Aqidah al-Murji’ah fi al-Iman” dan aku jadikan uraiannya
sesuai urutan berikut;
Pertama: Mengenal judul buku.
- Mengenal definisi Salaf secara bahasa dan istilah.
- Mengenal definisi Murji’ah secara bahasa dan istilah.
Kedua: Akidah Irja’ kelahiran, perkembangan dan hakikatnya.
Ketiga: Bahaya akidah Irja’ dan dampaknya terhadap pribadi dan masyarakat.
Keempat: Perbedaan-perbedaan antara akidah Salaf dan Murji’ah dalam persoalan
iman.
Perbedaan pertama: Keimanan menurut Salaf terusun dari keyakinan hati,
yaitu ucapan hati dan amalan hati, ucapan lisan, yaitu ucapannya dan amalannya,
dan amalan anggota badan. Hal ini berbeda dengan Murji’ah.
Perbedaan kedua: Keimanan menurut Salaf bertambah dan berkurang serta
bertingkat-tingkat pada pemiliknya. Sehingga di antara manusia ada yang disebut
orang-orang baik (al-abrar), dan orang-orang yang bertakwa (al-muttaqun). Di
antara mereka ada yang disebut dengan orang-orang jahat (al-fujjar) dan orang-
orang fasik (al-fasiqun). Di antara mereka ada yang tidak memiliki keimanan kecuali
sebesar biji jagung dan bahkan kurang dari itu, di antara mereka ada yang tidak
tersisa dari keimanannya sedikit pun, merekalah orang-orang yang murtad. Hal ini
berbeda dengan Murji’ah.

xii | Al-Furuq
Perbedaan ketiga: Bolehnya memberikan istisna’ (pengecualian) dalam
persoalan iman menurut pendapat Salaf. Karena keimanan bagi mereka adalah
ucapan, perbuatan dan keyakinan. Sedangkan istisna’ di sini bagi mereka adalah
dalam persoalan amalan, bukan pada pokok keimanan. Hal ini berbeda dengan
Murji’ah.
Perbedaan keempat: Salaf menetapkan hubungan antara lahiriyah dengan
batin. Hal ini berbeda dengan Murji’ah.
Perbedaan kelima: Salaf menetapkan bahwa kekufuran terjadi dengan
keyakinan, ucapan dan perbuatan. Hal ini berbeda dengan Murji’ah.
Kelima: Peringatan aum Salaf dari kelompok Murji’ah.
Keenam: Peringatan ulama kontemporer dari kelompok Murji’ah.
Hanya kepada Allah aku meminta pertolongan dalam pekerjaanku ini dan
semoga Dia memberikan keberkahan padanya dan menghalau dari kaum muslimin
kejelekan-kejelekan dan beragam macam fitnah. Aku minta kepada-Nya agar
Dia memberi kami rezeki berupa ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shalih
serta menganugerahkan kepada kami kekokohan di atas akidah Salaf sampai kami
berjumpa dengan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Dermawan Maha Mulia dan Maha
mengabulkan doa.
Semoga shalawat teriring salam senantiasa tercurah kepada nabi kita
Muhammad, keluarga beliau dan para sahabatnya.

Ditulis
Shalih bin Muhammad As-Suwayyih
k.adl.saleh@hotmail.com 0503147042

Al-Furuq | xiii
DAFTAR ISI

Sambutan Samahah al-Walid al-‘Allamah Shalih bin


Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah.........................................................................................v

Sambutan Fadhilah asy-Syaikh Muhammad bin Hasan bin


Abdirrahman Alu Syaikh...................................................................................................vii

Mukaddimah.........................................................................................................................ix

Daftar Isi...............................................................................................................................xv

Pembahasan Pertama
Mengenal Judul Buku...........................................................................................................1

Pembahasan Kedua
Kelahiran, Perkembangan dan Hakikat Irja’.....................................................................5

Pembahasan Ketiga
Bahaya Irja’ dan Dampaknya Kepada Pribadi dan Masyarakat.....................................9

Pembahasan Keempat
Perbedaan-perbedaan Antara Aqidah Salaf dan Murji’ah Dalam Persoalan Iman...13

Tahdzir Kaum Salaf Dari Kelompok Murji’ah..............................................................149

Pembahasan Kelima
Tahdzir Ulama Kontemporer Dari Paham Irja’............................................................155

Al-Furuq | xv
Pembahasan Pertama
Mengenal Judul Buku

1. Pengertian Salaf Menurut Bahasa dan Syariat


As-Salaf menurut bahasa artinya orang-orang yang diikuti dari orang-orang
yang terdahulu, pada nasab, agama dan lain sebagainya.
Ibnu Faris berkata, “Sin – lam- fa adalah asal (kata salaf ) menunjukkan
makna terdahulu. Dari sini berasal kata as-Salaf yakni orang-orang yang telah lalu.
Sedangkan kaum disebut as-sullaf yakni para pendahulu.”1
Ibnu Mandhur berkata, “As-Salaf juga berarti orang yang mendahuluimu dari
bapak-bapakmu dan karib kerabatmu yang merupakan orang-orang di atasmu dalam
hal usia maupun keutamanan. Karena itu generasi pertama dari tabi’in disebut as-
Salaf ash-Shalih.”2
Sedangkan as-Salaf menurut istilah syariat adalah para shahabat dan orang-orang
yang mengikuti mereka diatas kebaikan. Sebagaimana firman Allah Ta’aala;
َ ُ َّ‫ۡ َ ٰ َّ يِ َ ه‬ ُ َّ َ َّ‫َ َ أۡ َ َ َ ذ‬ َ ُ ۡ َ َ ُ َّ َ ۡ‫َو َّ ٰ ُ َ أ‬
‫ٱلل ع ۡن ُه ۡم‬ ‫ِين ٱت َب ُعوهم بِإِحس ٖن رض‬ ‫ج ِرين وٱلنصارِ وٱل‬ ِ ٰ ‫ٱلسبِقون ٱلولون مِن ٱلمه‬
َ َ َ ۡ َ ۡ‫أ‬ َۡ‫َ َ ُ ْ َ ۡ ُ َ َ َ َّ َ ُ ۡ َ َّ ٰ ج‬
ُ ‫ِيها ٓ أبَ ٗداۚ َذٰل َِك ۡٱل َف ۡو ُز ۡٱل َع ِظ‬
‫يم‬
َ َۡ‫ح‬
‫ت ت ِري ت َت َها ٱلن َه ٰ ُر خ ٰ دِلِين ف‬ ٖ ‫ورضوا عنه وأعد لهم جن‬
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-
orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah keme­nangan yang besar.” (QS. At-Taubah:100)
Barangsiapa mengikuti akidah sahabat dan jalan hidup mereka serta man­
hajnya di atas kebaikan berarti dia berada di atas manhaj salaf, dan barangsiapa yang
menyelisihi mereka berarti telah menyeli­sihi Salaf, sekalipun dia mengaku Salafi.
As-Safarini rahimahullah berkata; “Yang dimaksud dengan madzhab salaf
adalah jalan yang dahulu ditempuh para sahabat yang mulia ridhwanullahu ‘alaihim,
person-person tabi’in (orang-orang yang mengikuti mereka) di atas kebaikan,

1 Mu’jam Maqayis Al Lughah oleh Ibnu Faris (3/95)


2 Lisan Al ‘Arab (9/159)

Al-Furuq | 1
tabi’ut-tabi’in, para imam-imam dalam agama dari orang-orang yang disaksikan
keimamannya serta dikenali kedudukannya yang agung dalam agama dan orang-
orang mengambil ucapan mereka sambung-menyambung. Bukan orang yang
dituduh dengan kebid’ahan, atau dikenal dengan julukan yang tidak diridha’i
seperti Khawarij, Rawafidh (rafidhah), Qadariyah, Murji’ah, Jahmiyah, Mu’tazilah,
Karramiyah dan yang semisal dengan mereka.”3
Perkumpulan ulama al-Lajnah ad-Da’imah berkata; “Ahlussunnah wal jamaah
adalah orang-orang yang mengikuti Muhammad  dari para shahabat Radhiyallahu
‘Anhum dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka sampai hari kiamat.
Ketika beliau  ditanya tentang al-Firqah an-Najiyah beliau berkata, “Mereka adalah
orang-orang yang berada di atas ajaranku sekarang dan para sahabatku.”4
Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ahlussunnah wal
jamaah adalah Salaf (kaum terdahulu) secara akidah sampai orang belakangan
hingga hari kiamat. Apabila berada di atas jalan hidup Nabi  dan para sahabat
beliau maka dia adalah Salafi.”5
2. Pengertian Murji’ah Menurut Bahasa dan Istilah
Murji’ah menurut bahasa berasal dari Irja’ yakni penundaan dan penelantaran.6
Allah Ta’aala berfirman;
َ ‫ث ف ٱل ۡ َم َدآئن‬
َ‫ح ٰ رِشين‬ ۡ َ ۡ َ ُ َ ََ ۡ َۡ ُْٓ َ
ِ ِِ ِ‫جه وأخاه وٱبع ي‬ ِ ‫قالوا أر‬
“Mereka menjawab: “Tundalah (urusan) dia dan saudaranya dan kirimkanlah ke
seluruh negeri orang-orang yang akan mengumpulkan (ahli sihir).” (QS. Asy-Syu’ara’:
36) yakni; beri dia penangguhan.
Sedangkan menurut istilah syar’i adalah mengeluarkan amalan dari hakikat
keimanan dan penamaannya.7
Dahulu Irja’ ini pada akhir kurun pertama digunakan untuk dua kelom­pok:
Pertama: Siapa saja yang menunda (baiat) Ali dan Utsman Radhi­yallahu
‘Anhuma
Kedua: Siapa saja yang mengeluarkan amalan dari hakikat iman dan pena­
maannya.

3 Lawami’ Al Anwar (1/20)


4 Fatawa Al Lajnah (2/164)
5 Syarah Al ‘Aqidah Al Washitiyah (1/53-54)
6 Al Qamus Al Muhith (halaman 1660), Mukhtar Ash-Shihah (halaman 236)
7 Hilyatul Awliya’ (7/29), Syarah As-Sunnah Al Baghawi (1/41), Al Fatawa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah (7/666) dan (13/41)

2 | Al-Furuq
Ibnu ‘Uyainah rahimahullah berkata; “Irja’ ada dua. Kaum yang menunda
perkara Ali dan Utsman dan mereka sudah berlalu. Adapun Murji’ah sekarang
mereka adalah kaum yang mengatakan iman adalah ucapan tanpa amal.”8
Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah berkata; “Pendapat yang benar kenapa
kelompok Murji’ah dinamakan murji’ah adalah bahwa makna Irja’ adalah seperti
yang telah kami terangkan, yakni penundaan se­suatu. Maka orang yang menunda
persoalan Ali dan Utsman Radhi­yallahu Anhuma (dan menyerahkannya) kepada
Tuhan mereka, dan meninggalkan kepemimpinan keduanya serta berlepas diri dari
mereka sebagai penundaan (murji’an) keadaan mereka, maka dia murji’. Orang yang
menunda amalan dan ketaatan dari keimanan dan murji’ (menunda keduanya)
darinya maka dia murji’. Hanya saja yang dominan dari penggunaan para pakar yang
berbicara tentang madzhab-madzhab yang berseberangan dalam agama di zaman
kita terhadap nama ini adalah berkenaan dengan orang yang mengatakan bahwa
keimanan adalah ucapan tanpa perbuatan, dan untuk siapa saja yang madzhabnya
mengatakan bahwa syariat-syariat bukan bagian dari iman dan bahwa keimanan
adalah tashdiq (membenarkan) dengan ucapan tanpa amalan yang membenarkan
akan kewajibannya.”9
Berdasarkan ini maka makna Murji’ah telah mengkristal penye­butannya bagi
orang yang mengeluarkan amalan dari hakikat keimanan dan dari penamaan
keimanan.10

8 Lihat Tahdzib Al Atsar karya At-Thabari (2/659)


9 Idem (2/661)
10 Lihat Hilyatul Awliya’ (7/29), Syarah As-Sunnah karya Al Baghawi (1/41) dan Al Fatawa karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (7/666) dan (13/41)

Al-Furuq | 3
Pembahasan Kedua
Kelahiran, Perkembangan dan Hakikat
Irja’

B
id’ah Irja’ lahir pada akhir masa sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Kemudian pada akhir masa sahabat
lahirlah Qadariyah yakni pada akhir masa Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Jabir dan
para sahabat lainnya seperti mereka,. Dan Murji’ah lahir dekat dengan masa itu.”
Kelahiran ini terjadi setelah munculnya perselisihan pertama di tengah ummat.
Yaitu tentang hukum amalan dan masuknya amalan ke dalam penamaan iman, dan
perselisihan tentang pelaku dosa besar.
Pada awalnya muncul sekelompok orang dari fuqaha (ahli fikih) di Kufah, mereka
mengeluarkan amalan dari penamaan iman. Hammad bin Abi Sulaiman di antara
orang yang pertama kali mencetuskan Irja’ ini dan menyebarkannya. Pendapatnya
ini diikuti oleh sekelompok orang dari penduduk Kufah yang mengatakan bahwa
amalan tidak termasuk ke dalam hakikat keimanan. Sehingga dengan begitu jadilah
mereka menyelisihi Salaf dalam hakikat keimanan.
Hammad bin Abi Sulaiman bersama pengikutnya dari Murji’ah fuqaha
menganggap bahwa amalan di luar penamaan iman, hal ini disamping pengakuan
mereka bahwa orang yang beramal mendapatkan pahala atas amal shalihnya dan
dihukum atas amal buruknya. Sehingga amalan shalih bagi mereka adalah buah dari
keimanan. Termasuk juga keyakinan mereka bahwa orang yang mengerjakan amalan
shalih mendapatkan pahala atas perbuatannya dan dihukum atas amal buruknya.
Dan keyakinan mereka akan wajibnya menunaikan kewajiban dan menahan diri
dari keharaman. Itu semua bukan karena amalan bagian dari hakikat keimanan
dan penamaannya, melainkan karena amalan adalah buah keimanan. Hanya saja
keimanan (menurut mereka) tidak cedera karena meninggalkannya. Berbeda dengan
keyakinan dan ucapan, (menurut mereka) keimanan tidak sah tanpa keyakinan hati
dan pengakuan lisan. Sehingga mereka menyelisihi Salaf pada perbuatan mereka yang
mengeluarkan amalan dari penamaan iman. Mereka menganggap bahwa keimanan
adalah pengakuan lisan dan pembenaran dengan hati. Mereka menganggap bahwa
iman tidak bertambah dan tidak berkurang dan bahwa keimanan satu bagian tidak
terpisah. Dan ahli iman pada asalnya keimanannya sama, sedangkan perbedaan
terjadi dengan sebab kekhusyu’an, ketakwaan dan menyelisihi hawa nafsu. Akan

Al-Furuq | 5
tetapi ini semua bagi mereka bukan bagian dari iman sebagaimana telah lalu tetapi
termasuk dari buah keimanan.
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata; “Sesungguhnya ahli Irja’ mengatakan;
Bahwa keimanan adalah ucapan tanpa amal.”
Waki’ rahimahullah berkata; “Murji’ah adalah orang-orang yang mengatakan
bahwa pengakuan (iqrar) mencukupi tanpa amal. Barangsiapa yang mengatakan ini
dia telah kafir.”
Ibnu Baththah rahimahullah berkata; “Murji’ah menyangka bahwa shalat dan
zakat bukan termasuk dari keimanan. Allah Ta’aala telah mendustakan mereka
dan menjelaskan penyimpangan mereka. Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu,
bahwa Allah Ta’aala tidak memuji orang-orang mukmin dan tidak menyifati apa
yang dia persiapkan untuk mereka dari kenikmatan-kenikmatan yang abadi dan
keselamatan dari azab yang pedih, dan tidak mengabarkan mereka akan keridha’an-
Nya terhadap mereka sampai nama keimanan itu mencakup tiga makna berikut,
tidak terpisah satu sama lainnya dan tidak berguna salah satu tanpa yang lainnya,
sampai keimanan itu mencakup ucapan dengan hati, amalan dengan anggota badan
dan pengenalan dengan hati. Berbeda dengan perkataan Murji’ah sesat, dimana hati-
hati mereka telah menyimpang dan akal mereka dipermainkan setan. Ini semua
telah disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalam kitab-Nya dan Rasulullah  di
dalam sunnahnya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Hammad bin Abi
Sulaiman dan para pengikutnya mengingkari perbedaan tingkatan iman dan
bahwa amalan bagian dari iman dan istitsna’ (pengecualian) dalam iman. Mereka
dari golongan Murji’ah fuqaha’. Adapun Ibrahim An-Nakha’i –imam ahli Kufah,
guru Hammad bin Abi Sulaiman- dan yang setingkat dengannya dan orang-orang
sebelumnya dari sahabatnya Ibnu Mas’ud seperti ‘Alqamah dan Al-Aswad mereka
adalah orang yang paling keras menyelisihi Murji’ah. Akan tetapi Hammad bin
Abi Sulaiman menyelisihi para pendahulunya dan diikuti oleh orang-orang yang
mengikutinya. Dan yang ikut masuk ke dalam ajaran ini sekelompok dari penduduk
Kufah dan orang-orang sesudah mereka. Kemudian sesungguhnya Salaf dan para
imam sangat keras mengingkari mereka, membid’ahkan mereka, dan mengucapkan
kata-kata tajam terhadap mereka. Saya tidak mengetahui seorang pun dari Salaf
dan para imam yang mengkafirkan mereka. Bahkan mereka sepakat bahwa Murji’ah
fuqaha’ tidak dikafirkan pada penyimpangannya ini.”
Kemudian muncul Jahmiyah, para pengikut Jahm bin Shafwan. Menurut mereka
keimanan adalah ma’rifah (pengenalan). Mereka menganggap barangsiapa mengenal
Allah Ta’ala berarti telah merealisasikan keimanan, sekalipun tidak terdapat padanya
amalan hati seluruhnya, bahkan sekalipun tidak terdapat padanya amalan anggota

6 | Al-Furuq
badan semuanya, dan bahkan sekalipun tidak terdapat padanya iqrar (pengakuan)
dengan lisan. Mereka menganggap bahwa kemaksiatan tidak mencederai keimanan.
Kelompok Jahmiyah ini adalah kuffar (orang-orang kafir) berdasarkan kesepakatan
ahli ilmu.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata; “Jahmiyah mengatakan bahwa
keimanan adalah ma’rifah (pengenalan) tanpa ucapan dan tanpa amalan. Sedangkan
Ahlussunnah berkata bahwa keimanan adalah ma’rifah, ucapan dan amalan.”
Waki’ rahimahullah berkata; “Barangsiapa mengatakan bahwa niat cukup tanpa
amalan maka dia kafir. Dan ini adalah pendapat Jahm.”
Kemudian lahirlah Irja’ ahli kalam dari Karramiyah, Kullabiyah, Asya’irah
dan Maturidiyah. Mereka menegaskan pada pengertian iman dengan arti yang
menyerupai pendapat Jahmiyah dimana pendapatnya ini berbeda jauh sekali dengan
pendapat Salaf . Akan datang sedikit pembicaraan dari persoalan ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Pada akhir masa sahabat
muncul Qadariyah dan Murji’ah, kemudian setelah berlalunya pembesar-pembesar
tabi’in muncul Jahmiyah”.
Beliau rahimahullah berkata; “Kemudian pada akhir masa sahabat terjadilah
(fitnah) Qadariyah. Sebagian sahabat yang masih hidup berbicara tentangnya seperti
Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Watsilah bin Al Asqa’ dan selain mereka. Dan terjadi juga
bid’ah Murji’ah dalam persoalan iman. Atsar-atsar dari shahabat jelas menyelisihi
mereka dan bahwa mereka mengatakan keimanan bertambah dan berkurang
sebagaimana yang didapati dari para sahabat.”
Beliau rahimahullah berkata; “Kemudian ketika pada akhir masa sahabat pada
pemerintahan Ibnu Zubair dan Abdul Malik terjadilah dua bid’ah Murji’ah dan
Qadariyah”.
Dan di dalam kitab As-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, Qatadah
rahimahullah berkata; “Terjadinya Irja’ setelah meletusnya fitnah kelompok Ibnu
al-Asy’ats.” Dan fitnah Ibnu al-Asy’ats terjadi pada akhir masa sahabat Radhiyallahu
‘Anhum, setelah mayoritas pembesar shahabat telah meninggal dunia.
Dan fitnah Ibnu al-Asy’ats yang memerangi al-Hajjaj bin Yusuf, wakil Abdul
Malik bin Marwan di Irak terjadi antara tahun 81 sampai 83 hijriyah . Yakni ketika
para pembesar sahabat telah wafat dan bahkan mayoritas tabi’in. Tersisa tinggal para
sahabat muda Radhiyallahu ‘Anhum dan tabi’ut tabi’in rahimahumullah.
Demikianlah sejarah kemunculan Murji’ah dan perkembangannya. Dan masih
saja firqah-firqah Irja’ berupaya menyebarkan kebid’ahannya dan menyeru manusia
kepadanya. Dan keadaan Murji’ah saat ini mereka menampakkan penyimpangannya
sambil menisbatkannya kepada Salaf.

Al-Furuq | 7
Di antara makar orang-orang Murji’ah yang mengaku Salafi adalah mereka
menampakkan diri seolah membantah Murji’ah dan memperingatkan umat darinya
(tahdzir) serta berlepas diri dari akidahnya. Tapi bersamaan dengan itu mereka
menisbatkan Irja’ yang ada pada mereka kepada Salaf dan menjadikan sekian
persoalan yang merupakan kesepakatan di tengah kaum Salaf sebagai perselisihan
di antara mereka yang tidak boleh membid’ahkan atau menjelek-jelekkan. Seperti
perkataan kafirnya orang yang meninggalkan amalan anggota badan seluruhnya,
atau pendapat yang mengatakan bahwa amalan anggota badan merupakan rukun
dalam keimanan. Mereka menyangka bahwa ucapan yang mengatakan kafirnya
orang yang meninggalkan amalan keseluruhan adalah termasuk persoalan yang
diperselisihkan di tengah kaum Salaf! Dan di antara mereka ada yang mengklaim
kesepakatan Salaf (ijma’) bahwa orang yang meninggalkan amalan tidak kafir! Dan di
antara mereka ada yang mengklaim bahwa amalan bagian dari keimanan, kemudian
mengatakan setelahnya bahwa amalan adalah syarat sempurna iman (syartu kamal)!
Dan di antara mereka ada yang menyangka bahwa mereka berdakwah kepada tauhid
dan memperingatkan dari kesyirikan, kemudian menetapkan adanya udzur bagi
penyembah kuburan! Dan mengklaim bahwa Salaf sepakat memberi udzur karena
kejahilan secara mutlak kepada para penyembah kuburan sekalipun sudah paham
hujjah dan sampai kepada mereka dalil, sampai tidak terdapat pada mereka syubhat
yang menghalangi (pengkafiran) disertai pembangkangan (ishrar dan ‘inad) serta
kerelaan terhadap kekufuran! Kemudian di atas pemahaman mereka ini, mereka
menyifati orang-orang yang menyelisihi mereka dalam pendapat bid’ah yang mereka
sandarkan kepada Salaf dengan kedustaan dan kepalsuan ini sebagai takfiri dan
khariji. Padahal orang-orang yang mereka tuduh dengan tuduhan tersebut berlepas
diri dari akidah Khawarij dan manhaj mereka!
Kelompok Murji’ah yang menisbatkan diri kepada Salaf ini sangat menyelami
Irja’ pada bentuk yang paling jelek, busuk dan bahayanya sebagaimana akan
dijelaskan pada buku ini.
Seperti inilah lahir dan berkembangnya akidah Irja’ dan hanya kepada Allah
kami meminta untuk membungkam musuh-musuh-Nya, menghinakan mereka,
menolong agama-Nya dan meninggikan kali­mat-Nya.

8 | Al-Furuq
Pembahasan Ketiga
Bahaya Irja’ dan Dampaknya Kepada
Pribadi dan Masyarakat

A
kidah Irja’ menyimpan bahaya dalam meruntuhkan agama. Tidak ada
yang mengeluarkan seseorang dari agamanya selagi dia mengucapkan Laa
ilaaha Illallah, dan tidak ada yang mengurangi keimanannya selagi dia
membenarkan Allah!
Dengan sebab Irja’ kewajiban-kewajiban (fara’idh) ditelantarkan dan diabaikan,
tersebar kekufuran, zandaqah (ketidakpedulian terha­dap agama), perbuatan-
perbuatan yang mengundang murka Allah, dosa besar, dosa kecil dan kebid’ahan.
Dengan sebab Irja’ terlantar atau melemah syi’ar-syi’ar jihad, amar ma’ruf nahi
munkar dan penegakan hudud, ancaman Allah di akhirat diremehkan dan rasa takut
kepada Allah di dalam dada meredup.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah mengingatkan bahwa
dampak dari akidah Irja’ dan bahayanya terhadap akidah Islam adalah lahirnya
kerusakan terhadap gambaran yang benar ten­tang makna Islam yang dibawa para
rasul. Di antara yang beliau ingatkan bahwa banyak dari orang-orang Murji’ah
tidak mengenal akidah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang seharusnya,
atau mengenal sebagiannya dan jahil sebagian lainnya, dan apa yang mereka kenal
dari akidah tersebut seringkali tidak mereka jelaskan kepada manusia bahkan
mereka sembunyikan. Mereka tidak melarang dari kebid’ahan yang melanggar al-
Quran dan as-Sunnah, tidak mencela ahlul bid’ah dan menghukum mereka. Bahkan
seringkali justru mereka mencela pembicaraan tentang as-Sunnah dan pokok-pokok
agama dengan celaan yang mutlak, tanpa membedakan antara persoalan yang telah
ditunjukkan oleh al-Quran, as-Sunnah dan Ijma’ dengan apa yang dikatakan oleh
ahlul bid’ah dan firqah-firqah sesat, atau mereka mengakui semuanya disisi madzhab-
madzhab mereka yang beraneka ragam. Ini adalah metode yang menyimpang yang
keluar dari bimbingan al-Quran dan as-Sunnah.11
Diantara pengaruhnya juga bahwa kalimat Laa ilaaha Illallah yang dengan
mendatangkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya ada­lah kalimat takwa dijadikan

11 Majmu’ Fatawa (12/467) (8/105) (20/111) dan Minhaj As-Sunnah (5/327)

Al-Furuq | 9
oleh Murji’ah sebagai kalimat fujur, seba­gaimana hal ini diingatkan oleh Syaikhul
Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.12
Guru kami Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzahullah pernah
ditanya: Apa pengaruh yang ditimbulkan oleh orang yang berpendapat bahwa iman
adalah tashdiq (pembenaran) dan iqrar (pengakuan)? Beliau menjawab: “Lahir
darinya penelantaran amal, dan bahwa kemaksiatan tidak membahayakan dan
mengurangi ke­imanan. Ini dampak yang ditimbulkan oleh Irja’, bahwa kemaksiatan
tidak membahayakan seseorang sekalipun dia melakukan perbuatan-perbuatan
(yang jelek –pentj). Tidak membahayakan selagi di dalam hatinya dia mengakui
atau membenarkan.”13
Di antara dampak Irja’ adalah mengeluarkan pelakunya dari madzhab Salaf
sehingga dia menjadi ahli bid’ah dan dinisbatkan kepada kebid’ahannya berupa
Irja’..
Di antara dampaknya adalah menyebarnya perselisihan akidah di antara umat,
karena Irja’ muncul setelah ijma’. Maka Irja’ melanggar ijma’ dan menentang nash-
nash. Maka semua yang menyelisihi ijma’ adalah sebab perpecahan dan perselisihan.
Allah Ta’ala telah berfirman;
َ َ ۡ ُ َ َّ َ َ َ َ ُ ُّ ْ ُ َّ َ َ‫َ َ َّ َ ٰ َ َ ٰ يِ ُ ۡ َ ٗ َ َّ ُ ُ َ ا‬
ِ‫صرط مستقِيما فٱتبِعوه ۖ ول تتبِعوا ٱلسبل فتفرق بِكم عن سبِيلِه‬ ِ ‫وأن هذا‬
“...dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam Nuniyah;
Dan begitulah Irja` selagi kamu mengakui Allah yang diibadahi jadilah kamu orang
yang sempurna iman
Maka campakkan mushaf-mushaf ke tanah dan hancurkan Baitul ‘Atiq (Ka’bah) dan
bersungguhlah dalam maksiat
Bunuhlah selagi kau bisa semua muwahhid dan usaplah para pastor dan salib-salib
Celalah semua rasul dan siapa saja yang datang darinya terang-terangan jangan
sembunyi-sembunyi
Dan apabila kamu lihat batu sujudlah kepadanya bahkan tersungkurlah dihadapan
patung dan berhala
Dan akuilah bahwa Allah Jalla Jalaaluhu Dialah satu-satunya Tuhan bagi semesta
Akuilah bahwa rasul-Nya benar datang dari sisinya membawa wahyu dan Qur’an

12 Ad-Durar As-Sanniyyah (1/175-182) dan (13/389)


13 Lihat situs Asy-Syaikh http://www.alfawzan.af.org.sa/node/9529

10 | Al-Furuq
Sehingga dengannya kamu jadi mukmin yang benar dan semua dosa atasmu bukan
kekufuran
Inilah Irja’ di sisi kaum ekstrimnya dari semua Jahmi saudara setan

Al-Furuq | 11
Pembahasan Keempat
Perbedaan-perbedaan Antara Aqidah
Salaf dan Murji’ah Dalam Persoalan Iman

A
kidah Salaf berbeda sama sekali dengan akidah Murji’ah, karena keduanya
head to head, tidak bersatu. Oleh karena itu tidak ada alasan melekatkan
nama Salaf kepada akidah Murji’ah atau menisbatkannya menjadi Salafiyah.
Subhanallah, ini adalah kebohongan yang besar!
Kesimpulan perbedaan-perbedaan antara aqidah salaf dan aqidah murji’ah
dalam persoalan iman adalah sebagai berikut:
Perbedaan Pertama
Keimanan menurut salaf terdiri dari keyakinan hati, yaitu:
1. Ucapan hati,
2. Amalan hati dan ucapan lisan, yaitu:
3. Perkataannya dan,
4. Amalannya,
5. Amalan anggota badan, berbeda dengan Murji’ah.
Iman menurut bahasa adalah masdar dari yu’minu-imanan, orang­nya disebut
mukmin. Asal kata iman dari al-amnu (keamanan) yakni ketenangan jiwa dan
sirnanya keresahan.14
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Iman ber­asal dari al-amnu
(keamanan) yakni ketetapan dan ketenangan. Yang demikian itu didapat apabila
tertanam di dalam hati tashdiq (pembe­naran) dan inqiyad (ketundukan).”15
Di antara yang didapati pada penjelasan sebagian orang tentang definisi iman
menurut bahasa adalah tashdiq (pembenaran) dan ini adalah pendapat sekumpulan
ulama bahasa. Hanya saja definisi ini telah dikritik oleh sekelompok ahli ilmu,
mereka sudah memperbaiki dengan mendefinisikannya dengan iqrar (pengakuan)
yang mengandung ketundukan dan ketaatan lahir maupun batin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Dimak­lumi bahwa
iman adalah iqrar (pengakuan) bukan sekedar tashdiq (pembenaran), karena iqrar
14 Lihat Tahdzib al-Lughah karya al-Azhari (15/513) dan ash-Shihah karya al-Jauhari (5/2071) dan al-
Qamus al-Muhith (halaman 1518)
15 Ash-Sharim al-Maslul (hal, 519)

Al-Furuq | 13
mencakup ucapan hati yang merupakan tashdiq (pembenaran) dan amalan hati yang
merupakan inqiyad (ketundukan).”16
Beliau rahimahullah berkata; “Sesungguhnya lawan dari kata iman di dalam
bahasa bukan takdzib (mendustakan) seperti halnya kata tashdiq (membenarkan).
Karena sudah dimaklumi di dalam bahasa bahwa setiap pembawa berita bisa
dikatakan; shadaqta (kamu benar), atau kadzabta (kamu dusta) atau dikatakan
shaddaqnahu (kami membenarkannya) atau kadzdzabnahu (kami mendustakannya),
dan tidak dikatakan amanna lahu (kami beriman kepadanya), atau kadzdzabnahu
(kami mendustakannya), dan tidak dikatakan anta mu’minun lahu (kamu beriman
kepadanya) atau mukadzibun lahu (mendustakannya). Bahkan yang dikenal sebagai
lawan kata dari iman adalah kata kufur. Dikatakan huwa mu’min (dia beriman) aw
kafir (atau kafir), dan kekufuran tidak hanya dengan takdzib (mendustakan).”17
Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata; “Banyak
ahli ilmu mengatakan bahwa iman menurut bahasa adalah tashdiq (membenarkan).
Tapi hal ini perlu diteliti! Karena sebuah kata apabila menjadi arti bagi kata lain
maka memiliki aturan yang sama, dan diketahui bahwa tashdiq tidak memerlukan
kata sambung, sedangkan iman memerlukan kata sambung. Sehingga kamu bilang
misalnya; shaddaqtuhu dan kamu tidak bisa bilang amantuhu, melainkan amantu
bihi, atau amantu lahu. Maka tidak mungkin menafsirkan satu kata kerja lazim
yang membutuhkan kata bantu berupa huruf jar dengan kata kerja muta’addi yang
menashabkan objek dengan sendirinya. Kemudian sebenarnya kalimat shaddaqtu
tidak memberi makna kata aamantu. Karena aamantu menunjukkan ketenangan
terhadap beritanya lebih dari kata shaddaqtu. Karena itu jika kata iman ditafsirkan
dengan iqrar tentu lebih baik lagi. Maka kita katakan; iman artinya iqrar (pengakuan)
karena tidak ada pengakuan selain dengan pembenaran (tasdiq). Sehingga perkataan
aqarra bihi (dia mengakuinya) sama dengan ucapan aamana bihi (dia beriman
dengannya) dan ucapan aqarra lahu sama dengan ucapan aamana lahu.”18
Adapun hakikat iman sesuai ijma’ kaum Salaf terdiri dari beberapa perkara:
Pertama: Ucapan hati. Yakni tasdiq (pembenaran) dan yakin, sebagaimana
firman Allah Ta’aala;
َ ُ ۡ ُ َ َ ُ َ َٓ َّ‫ذ‬
‫ٱلص ۡد ِق َو َص َّدق بِهِۦٓ أ ْو ٰٓلئِك ه ُم ٱل ُم َّتقون‬
ّ
ِ ِ ‫َوٱلِي جا َء ب‬
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenar­kannya, mereka
itulah orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zumar: 33)
Sisi pendalilan: Allah menjadikan tashdiq (pembenaran) yang me­lahirkan
16 Majmu’ Fatawa (7/638)
17 Majmu’ Fatawa (7/291)
18 Syarah al-Aqidah al-Washithiyah (2/229)

14 | Al-Furuq
ketundukan lahir dan batin sebagai bagian dari ketakwaan dan sebab keselamatan
dari kekekalan di neraka dan yang demikian ini tidak tercapai selain dengan
keimanan. Ini adalah ucapan hati yaitu, tashdiq (pembenaran) dan yakin yang
melahirkan ketundukan secara lahir dan batin.
Kedua: Amalan hati. Yaitu amalan hati yang tersembunyi seperti keikhlasan,
niat dan rasa malu, sebagaimana firman Allah Ta’aala;
َ َ ُ ُ ٰ َ َ ۡ ۡ َ َ ۡ َ ُ َ ۡ ُ ُ ُ ُ ۡ َ َ ُ َّ‫َّ َ ۡ ُ ۡ ُ َ ذَّ َ َ ُ َ ه‬
َ ‫اد ۡت ُه ۡم إ‬
‫يم ٰ ٗنا‬ِ ‫جلت قلوبهم ِإَوذا تل ِيت علي ِهم ءايتهۥ ز‬ِ ‫إِنما ٱلمؤمِنون ٱلِين إِذا ذكِر ٱلل و‬
َ ُ َّ‫ل‬ ٰ َ‫َو لَى‬
‫ع َر ّب ِ ِه ۡم َي َت َوكون‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-
ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka
bertawakkal,” (QS. Al-Anfaal: 2)
Dalam ash-Shahihain (Hadits Bukhari dan Muslim-red) dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata; Rasulullah  bersabda, “Iman ada tujuh puluh
sekian –atau enam puluh sekian- cabang, maka yang paling tingginya adalah ucapan
Laa ilaaha Illallah, dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari
jalan, dan rasa malu adalah satu cabang dari keimanan.”19
Sisi pendalilan: Allah menjadikan pergerakan hati karena takut kepada Allah
dan tawakkal, yakni penyandaran (hati) kepada Allah dan menyerahkan segala
urusan kepada-Nya, termasuk dari sifat-sifat keimanan. Nabi menjadikan rasa malu
sebagai bagian darinya, dan ini adalah amalan-amalan hati.
Ketiga: Ucapan lisan. Yakni melafalkan dua kalimat syahadat, sebagaimana
firman Allah Ta’aala,
َ ُ َۡ‫اَ ُ ح‬ َ ٌ َ َ‫َّ ذَّ َ َ ُ ْ َ ُّ َ هَّ ُ ُ َّ ۡ َ ْ َ ا‬
‫ٱس َتقٰ ُموا فل خ ۡوف َعل ۡي ِه ۡم َول ه ۡم ي َزنون‬ ‫إِن ٱلِين قالوا ربنا ٱلل ثم‬
“Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian
mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terha­dap mereka dan mereka
tiada (pula) berduka cita.” (QS. Al-Ahqaf: 13)
Berdasarkan yang terdapat dalam ash-shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Iman ada tujuh puluh
sekian –atau enam puluh sekian- cabang, maka yang paling tingginya adalah ucapan
Laa ilaaha Illallah, dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari
jalan, dan rasa malu adalah satu cabang dari keimanan.”

19 Al-Bukhari (9) dan Muslim (35) dan redaksinya dari Muslim.

Al-Furuq | 15
Terdapat dalam ash-Shahihain dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, dari
Nabi  beliau bersabda, “Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan Laa
ilaaha Illallah, dan di dalam hatinya terdapat seberat kulit gandum dari kebaikan.
Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha Illallah, dan di dalam
hatinya terdapat seberat biji gandum dari kebaikan. Akan keluar dari neraka orang
yang mengucapkan Laa ilaaha Illallah, dan di dalam hatinya terdapat seberat biji
jagung dari kebaikan.”, dan pada lafal lain, “dari keimanan” sebagai ganti “dari
kebaikan.”20
Terdapat pada ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata;
Rasulullah  bersabda, “Aku diperintah untuk me­merangi manusia sampai mereka
mengucapkan; Laa ilaaha Illallah. Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha Illallah,
berarti telah terlindungi dariku jiwanya dan hartanya, kecuali dengan haknya, dan
perhitungan­nya kepada Allah.”21
Sisi pendalilan; Allah menjadikan kesaksian dengan tauhid se­bagai pokok
dan pondasi keamanan dari kekekalan di neraka, jika tidak terpenuhinya hal ini
sebagai pokok dan pondasi, maka seseorang akan memasukinya (neraka). Nabi 
menjadikan kesaksian dengan mengucapkan Laa ilaaha Illallah sebagai tingkatan
iman yang paling tinggi, dimana keimanan tidak menjadi sah tanpanya.
Keempat: Amalan lisan. Seperti umumnya amalan yang tempat­nya adalah lisan,
seperti membaca al-Quran, berdzikir, amar ma’ruf dan nahi mungkar dan selainnya
dari amalan-amalan kebajikan yang diperintahkan wajib atau mustahab, seperi yang
Allah firmankan;
َ ٗ َ‫ا‬ َ َ َ َ ٰ َ َّ ْ ُ َ َ َ َّ‫َّ ذَّ َ َ ۡ ُ َ َ ٰ َ ه‬
ّٗ ِ‫نف ُقوا ْ م َِّما َر َز ۡق َنٰ ُه ۡم ر‬
‫سا َو َعلن َِية يَ ۡر ُجون‬ ‫إِن ٱلِين يتلون كِتب ٱللِ وأقاموا ٱلصلوة وأ‬
َ ‫ت َِجٰ َر ٗة َّلن َت ُب‬
‫ور‬
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat
dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka
dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang
tidak akan merugi,” (QS. Fathir: 29)
Terdapat pada ash-shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata;
Rasulullah  bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaknya dia berkata baik atau diam.”22
Sisi pendalilan; bahwa ucapan lisan seperti berdzikir kepada Allah, membaca
ayat-ayat-Nya termasuk keimanan di mana orang yang me­lakukannya berharap

20 Al-Bukhari (44) dan redaksi ini darinya, dan Muslim (193)


21 Al-Bukhari (2946) dan Muslim (21)
22 Al-Bukhari (6475) dan Muslim (47)

16 | Al-Furuq
keberuntungan di akhirat dan keselamatan dari neraka.
Kelima: Amalan anggota badan. Seperti shalat, zakat, puasa, dan haji
sebagaimana firman Allah Ta’aala;
ْ ُ ۡ َ َ ْ ُ َ َۡ‫َّ ذَّ َ َ ُ ْ َ ُّ َ هَّ ُ ُ َّ ۡ َ َ ٰ ُ ْ َ َ زَ َّ ُ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ ُ َ اَّ خَ َ ُ ْ َ اَ ح‬
‫لئِكة أل تافوا ول تزنوا وأب رِشوا‬ ٰٓ ‫إِن ٱلِين قالوا ربنا ٱلل ثم ٱستقموا تتنل علي ِهم ٱلم‬
َ َ ُ ۡ ُ ُ َّ َّ َ ۡ‫ج‬
‫وع ُدون‬ ‫بِٱلنةِ ٱل يِت كنتم ت‬
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian
mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa
sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan
Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30)
Di dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata;
Rasulullah  bersabda; “Iman ada tujuh puluh sekian –atau enam puluh sekian-
cabang, maka yang paling tingginya adalah ucapan Laa ilaaha Illallah, dan yang
paling rendahnya adalah menying­kirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah
satu cabang dari keimanan.”
Sisi pendalilan; Allah menjadikan menegakkan shalat, menunai­kan zakat, dan
menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk dari keimanan, dan ini adalah amalan-
amalan anggota badan.

Ijma’ telah menunjukkan bahwa keimanan adalah ucapan hati dan amalannya,
ucapan lisan dan amalannya, dan amalan anggota badan. Dan harus terdapat
pada seseorang rukun-rukun yang lima ini, dan (keimanan) tidak sah sampai
terpenuhi seluruhnya. Hal ini berseberangan dengan Murji’ah.
Dari Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Al Hasan, dan Sa’id bin Jubair;
“Tidak bermanfaat ucapan tanpa amal, tidak bermanfaat amalan tanpa ucapan, tidak
bermanfaat ucapan dan amalan tanpa niat (keikhlasan), dan niat tidak bermanfaat
tanpa mencocoki sunnah.”23
Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Tidak berdiri iman tanpa ucapan, tidak
berdiri iman dan ucapan tanpa amal, tidak berdiri iman, ucapan dan amal tanpa
niat mencocoki sunnah. Orang-orang yang dahulu tidak membedakan antara
iman dan amal, amal dari iman, dan iman dari amal. Iman adalah nama yang
menghimpun semua ibadah-ibadah ini dan dibenarkan dengan amal. Barangsiapa
beriman dengan lisannya, mengenal dengan hatinya dan membenarkan dengan

23 Atsar Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam al-Ibanah al-Kubra
(2/803). Sedangkan atsar al-Hasan dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam al-Ibanah al-Kubra (2/803)
dan al-Laalika’i (1/63), dan atsar Said bin Jubair dikeluarkan oleh al-Laalika’i (1/64)

Al-Furuq | 17
amalannya maka itulah al-urwah al-wutsqa (tali yang kuat) yang tidak akan lepas.
Barangsiapa mengucapkan dengan lisannya, tidak mengenal dengan hatinya dan
tidak membenarkannya dengan amalannya, maka keimanannya tidak diterima
darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.”24
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Dahulu para fuqaha’ mengatakan; tidak menjadi
tegak ucapan kecuali dengan amal, tidak menjadi tegak ucapan dan amal kecuali
dengan niat, dan tidak menjadi tegak ucapan, amalan dan niat kecuali mencocoki
sunnah.”25
Dari Sahl bin Abdillah at-Tusturi rahimahullah, ia ditanya tentang iman, apa
iman itu? Ia berkata, “Ia adalah ucapan, niat, amal dan sunnah. Karena iman apabila
dia ucapan tanpa amal adalah kekufuran, apabila ucapan dan perbuatan tanpa niat
adalah nifaq, apabila ucapan, amalan dan niat tanpa sunnah adalah kebid’ahan.”26
Ibnu Baththah rahimahullah berkata pada Bab Penjelasan iman, kewajiban-
kewajibannya dan bahwa Iman adalah pembenaran dengan hati, pengakuan dengan
lisan dan amalan dengan anggota badan dan gerakan-gerakan. Seorang hamba tidak
beriman kecuali dengan ketiga hal ini. Asy-Syaikh berkata; Ketahuilah semoga
Allah merahmati­mu, bahwa Allah Jalla Tsana’uhu wa Taqaddasat Asmaa’uhu, telah
mewajibkan ma’rifah (pengenalan) atas hati dan membenarkan-Nya, membenarkan
rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan semua yang diba­w a oleh as-Sunnah,
(mewajibkan) kepada lisan untuk melafalkannya dan mengakuinya dengan ucapan,
dan (mewajibkan) atas badan dan anggotanya kepada pengamalan dengan semua
perbuatan yang Allah perintahkan dan wajibkan. Tidak sah salah satu dari ini
semua kecuali dengan yang lainnya, dan seorang hamba tidak beriman sampai ia
mengumpulkan semuanya, hingga jadilah dia beriman dengan hati­nya, mengakui
dengan lisannya dan mengerjakan perbuatan dengan kesungguhan dengan anggota
badannya. Kemudian bersamaan dengan itu juga dia belum beriman sampai dia
mencocoki Sunnah pada semua yang dia ucapkan dan kerjakan dalam rangka
mengikuti al-Quran dan ilmu pada semua ucapan-ucapannya dan perbuatan-
perbuatannya, dan ini sesuai dengan yang telah aku jelaskan kepada kalian, bahwa
al-Quran ini turun, Sunnah berlalu dan ulama umat sepakat di atasnya.”27
Beliau juga berkata, “Ketahuilah semoga Allah merahmati kalian, bahwa Allah
Azza wa Jalla tidak memuji orang-orang beriman dan tidak menyifati apa yang Dia
janjikan kepada mereka berupa kenikmatan abadi dan keselamatan dari azab yang
pedih dan tidak mengabarkan kepada mereka akan keridhaan-Nya dari mereka
kecuali dengan amal shalih dan upaya yang kuat. Dia menyandingkan ucapan
24 Al-Ibanah al-Kubra, oleh Ibnu Baththah (2/807)
25 Idem (1/333)
26 Idem (2/814)
27 Idem (2/760)

18 | Al-Furuq
dengan amal, dan niat dengan keikhlasan hingga jadilah nama keimanan mencaku­pi
makna yang tiga di mana sebagiannya tidak terpisah dari yang lainnya. Sebagiannya
tidak berguna tanpa yang lainnya, hingga jadilah keimanan itu ucapan dengan
lisan, amalan dengan anggota badan dan pengenalan dengan hati, berbeda dengan
pendapat Murji’ah sesat yang hati-hati mereka telah menyimpang dan setan-setan
memainkan akal-akal mereka. Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan ini semua di
dalam Kitab-Nya dan Rasul  di dalam Sunnahnya.”28
Beliau rahimahullah berkata, “Sungguh telah aku bacakan kepada kalian dari
Kitabullah Azza wa Jalla yang menjadi petunjuk bagi orang-orang berakal dari
mereka yang beriman bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan. Bahwa barangsiapa
membenarkan dengan ucapannya dan meninggalkan amal, maka dia pendusta dan
keluar dari keimanan, dan bahwa Allah tidak menerima ucapan kecuali dengan amal
dan (tidak menerima) amalan kecuali dengan ucapan.”29
Beliau rahimahullah berkata, “Allah Ta’aala telah mengabarkan di dalam Kitab-
Nya pada banyak ayat darinya bahwa keimanan ini tidak terwujud kecuali dengan
amal dan menunaikan kewajiban-kewajiban dengan hati dan anggota badan.”30
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Dan terbentuk ijma’ dari para sahabat, tabi’in,
orang-orang setelah mereka dan orang-orang yang kami temui, mereka semua
mengatakan; bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan niat. Tidak sah salah satu
dari ketiga hal ini kecuali disertai dengan yang lainnya.”31
Al-Imam Al-Hujjah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari
rahimahullah berkata, “Saya telah menemui lebih dari seribu orang dari ahli ilmu;
penduduk Hijaz, Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam, Mesir,
saya temui mereka berulang kali kurun demi kurun, kemudian kurun demi kurun,
-yang dimaksud dengan kurun adalah tingkatan ulama- saya dapati mereka selama
lebih dari empat puluh enam tahun yang banyak tersebar yaitu dari penduduk Syam,
Mesir dan al-Jazirah dua kali, Bashrah empat kali pada tahun-tahun yang berbilang,
Hijaz selama enam tahun, dan aku tidak menghitung berapa kali aku masuk ke
Kufah dan Baghdad bersama para muhaddits ahli Khurasan, di antara mereka: al-
Makki bin Ibrahim, Yahya bin Yahya, Ali bin al-Hasan bin Syaqiq dan Qutaibah bin
Said dan Syihab bin Ma’mar.
Di Syam: Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Abu Mushir Abdul A’la bin Mushir,
Abu al-Mughirah Abdul Quddus bin al-Hajjaj, Abul Yaman al-Hakam bin Nafi’ dan
orang-orang setelah mereka jumlahya banyak sekali.

28 Idem (2/779)
29 Idem (2/795)
30 Idem (2/765)
31 Syarh I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh al-Laalika’i (5/956)

Al-Furuq | 19
Di Mesir: Yahya bin Katsir, Abu Shalih juru tulis Laits bin Sa’d, Said bin Abi
Maryam, Asbagh bin al-Faraj dan Nu’aim bin Hammad
Di Makkah: Abdullah bin Yazid al-Muqri’, al-Humaidi, Sulaiman bin Harb,
qadhi Mekkah dan Ahmad bin Muhammad al-Azraqi
Di Madinah: Ismail bin Abi Uwais, Mutharrif bin Abdillah, Abdullah bin Nafi’
az-Zubairi, Ahmad bin Abi Bakr Abu Mus’ad az-Zuhri, Ibrahim bin Hamzah az-
Zubairi dan Ibrahim bin al-Mundzir al-Hizami.
Di Bashrah: Abu ‘Ashim Ad-Dhahhak bin Makhlad asy-Syaibani, Abul Walid
Hisyam bin Abdil Malik, al-Hajjaj bin al-Minhal dan Ali bin Abdillah bin Ja’far al-
Madini.
Di Kufah: Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain, Ubaid bin Musa, Ahmad bin
Yunus, Qabishah bin ‘Uqbah, Ibnu Numair, dan Abdullah serta Utsman keduanya
anak Abi Syaibah.
Di Baghdad: Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Abu Ma’mar, Abu Khaitsamah
dan Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam.
Dari penduduk al-Jazirah: Amr bin ‘Aun dan Ashim bin Ali bin Ashim
Di Marwa: Shadaqah bin al-Fadhl dan Ishaq bin Ibrahim al-Handzali
Kami cukupkan dengan menyebutkan nama-nama mereka agar ringkas, karena
jika tidak akan sangat panjang; aku tidak dapati seorang pun dari mereka berselisih
pada persoalan ini bahwa agama itu ucapan dan perbuatan.”32
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Tidak sah ucapan kecuali dengan amal, tidak sah
ucapan dan amalan kecuali dengan niat, dan tidak sah ucapan, perbuatan dan niat
kecuali dengan sunnah.”33
Syu’aib bin Harb rahimahullah berkata, “Aku katakan kepada Abu Abdillah
Sufyan bin Said ats-Tsauri; sampaikan kepadaku sebuah hadits yang Allah Azza wa
Jalla jadikan aku mengambil manfaat dengannya. Apabila aku berdiri di hadapan
Allah Tabaraka wa Ta’aala dan menanyakanku tentangnya dan Dia berkata kepadaku;
Dari mana kamu ambil ini? Aku katakan; Wahai Rabb, yang menyampaikan hadits
ini kepadaku Sufyan ats-Tsauri, aku mengambil ini darinya, sehingga aku selamat dan
giliran kamu yang ditanya. Maka Sufyan berkata; Wahai Syu’aib ini penekanan yang
luar biasa, tulislah; Bis­millaahirrahmanirrahim, al-Quran adalah Kalamullah bukan
makhluk, darinya berasal dan kepadanya akan kembali, barangsiapa mengatakan
selain ini maka dia kafir, dan iman adalah ucapan, perbuatan dan niat, (iman)
bertambah dan berkurang; bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan. Tidak berlaku ucapan kecuali dengan amal, tidak berlaku ucapan dan

32 Idem (1/193)
33 Idem (1/63)

20 | Al-Furuq
amal kecuali dengan niat, dan tidak berlaku ucapan, amal dan niat kecuai dengan
mencocoki sunnah.”34
Sufyan bin Uyainah rahimahullah mengatakan; “Sunnah ada sepuluh.
Barangsiapa menyempurnakannya maka dia telah menyem­purnakan sunnah, dan
barangsiapa meninggalkan salah satunya berarti dia telah meninggalkan sunnah;
menetapkan takdir, mendahulukan Abu Bakar dan Umar, telaga, syafa’at, timbangan,
ash-shirath, iman adalah ucapan dan perbuatan, al-Quran Kalamullah, azab kubur,
ke­bangkitan di hari kiamat dan jangan memastikan surga atas seorang muslim.”35
Abul Hasan Idris bin Abdul Karim berkata; “Ada seorang dari pen­duduk
Khurasan yang diutus kepada Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid dengan tulisan
yang menanyakan tentang iman, apa itu (iman)? Apa dia (iman) bertambah dan
berkurang? Apakah iman itu ucapan dan perbuatan, atau ucapan, pembenaran
dan perbuatan? Maka dijawab olehnya; Iman adalah pembenaran dengan hati, dan
pengakuan dengan lisan dan perbuatan dengan anggota badan.”36
Abu Zur’ah ar-Razi berkata; “Kami mendapati para ulama di semua negeri,
Hijaz, Iraq, Syam dan Yaman. Di antara madzhab mereka bahwa iman adalah ucapan
dan perbuatan, bertambah dan berkurang.”37
Abu Hatim ar-Razi rahimahullah berkata; “Madzhab kami dan pilihan kami
adalah mengikuti Rasulullah , para sahabat beliau dan para tabi’in setelah mereka
di atas kebaikan dan tidak mau melihat kepada letak kebid’ahan-kebid’ahan mereka
(pelaku bid’ah) dan ber­pegang teguh dengan madzhab ahli atsar seperti; Abu
Abdillah Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ibrahim, Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam
dan asy-Syafi’i. Serta berpegang teguh dengan al-Quran dan as-Sunnah dan membela
para imam yang mengikuti peninggalan-peninggalan kaum Salaf, dan memilih apa
yang dipilih oleh Ahlussunnah dari para imam di banyak negeri, seperti; Malik bin
Anas di Madinah, al-Auza’i di Syam, al-Laits bin Sa’d di Mesir, Sufyan ats-Tsauri
dan Hammad bin Ziyad di Iraq dari persoalan-persoalan yang tidak terdapat satu
pun riwayat dari Nabi  dan para sahabat dan tabi’in, dan meninggalkan pendapat
para penipu, pemalsu, penghias (kata-kata), para pendusta yang suka berbohong…
sampai pada perkataannya; Pilihan kami bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan.
Pengakuan dengan lisan, pembenaran dengan hati dan perbuatan dengan anggota
badan seperti shalat dan zakat bagi hartawan, haji bagi yang mampu, puasa di bulan
Ramadhan, dan semua kewajiban-kewajiban Allah yang telah Dia wajibkan kepada
hamba-hamba-Nya, dan bahwa mengerjakannya (amal) termasuk dari iman.”38
34 Idem (1/170)
35 Idem (1/175)
36 Idem (1/193)
37 Idem (1/197)
38 Idem (1/202)

Al-Furuq | 21
Yahya bin Sulaim berkata; “Aku bertanya kepada sepuluh orang fuqaha’ tentang
iman, mereka berkata; ucapan dan perbuatan. Aku bertanya kepada Sufyan Ats-
Tsauri, ia berkata; ucapan dan perbuatan. Aku bertanya kepada Ibnu Juraij, ia
berkata; ucapan dan perbuatan. Aku bertanya kepada Muhammad bin Abdillah
bin ‘Amr bin Utsman, ia berkata; ucapan dan perbuatan. Aku bertanya kepada al-
Mutsanna bin as-Shabbagh, ia berkata; ucapan dan perbuatan. Aku bertanya kepada
Nafi’ bin Umar bin Jamil, ia berkata; ucapan dan perbuatan. Aku bertanya kepada
Muhammad bin Muslim ath-Tha’ifi, ia berkata; ucapan dan perbuatan. Aku bertanya
kepada Malik bin Anas, ia berkata; ucapan dan perbuatan. Aku bertanya kepada
Sufyan bin Uyainah, ia berkata; ucapan dan perbuatan.”39
Al-Imam Hamad bin Husain al-Ajurri berkata di dalam kitabnya asy-Syari’ah;
di dalam Bab pendapat bahwa iman adalah pembenaran dengan hati, pengakuan
dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Seseorang tidak menjadi
beriman kecuali terkumpul padanya ketiga perkara ini.
Beliau rahimahullah berkata; “Ketahuilah, semoga Allah merah­mati kita, bahwa
yang dipegang oleh ulama muslimin adalah bahwa iman itu wajib atas semua orang,
dan dia adalah pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan dan perbuatan
dengan anggota badan. Kemudian ketahuilah bahwa tidak sah pengenalan dengan
hati dan pembenaran kecuali disertai dengan keimanan dengan lisan dengan
melafalkan. Tidak sah pengenalan hati dan pengucapan dengan lisan sampai terdapat
perbuatan dengan anggota badan. Maka apabila sem­purna padanya ketiga perkara
ini maka dia beriman. Hal ini ditunjuki oleh al-Quran dan as-Sunnah dan ucapan
para ulama muslimin.”40
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Kaum Salaf telah sepakat
bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Maknanya
adalah bahwa iman adalah ucapan hati dan perbuatan hati, kemudian ucapan lisan
dan perbuatan anggota badan.”41
Beliau rahimahullah berkata; “Di antara pokok-pokok Ahlussunnah wal jama’ah
bahwa agama dan iman adalah ucapan dan perbuatan, ucapan hati dan lisan, dan
perbuatan hati dan lisan dan anggota ba­dan.”42
Beliau rahimahullah berkata; “Ucapan yang mutlak dan perbuatan yang mutlak
pada perkataan kaum Salaf mencakup ucapan hati dan lisan dan amalan anggota
badan.”43

39 Idem (1/930)
40 Asy-Syari’ah, oleh al-Ajurri (halaman 119)
41 Majmu’ Fatawa (7/672)
42 Al-Aqidah al-Washithiyah dengan syarh asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah (2/636)
43 Majmu’ Fatawa (7/506)

22 | Al-Furuq
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata; “Iman memiliki lahir dan batin. Lahirnya
adalah ucapan lisan dan perbuatan anggota badan. Sedangkan batinnya adalah
pembenaran hati dan ketundukannya dan kecintaannya. Maka tidak berguna lahir
yang tidak diikuti dengan batin, sekalipun dengannya darah-darah dilindungi, harta
dan keturunan terjaga, dan tidak sah batin yang tidak diikuti dengan lahir, kecuali
apabila terhalangi karena ketidakmampuan atau dipaksa dan takut binasa.”44
Beliau rahimahullah berkata; “Di sini terdapat pondasi yang lain, yaitu bahwa
hakikat iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Ucapan ada dua; ucapan hati yaitu
ketundukan dan ucapan lisan yaitu mengucapkan kalimat Islam. Perbuatan ada dua;
perbuatan hati yaitu niat dan keikhlasannya, dan perbuatan anggota badan.”45
Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata; “Iman yang benar
mencakup ucapan hati, lisan, perbuatan hati dan anggota badan.”46
Beliau rahimahullah berkata mengomentari ucapan ath-Thahawi (yang
mengatakan); Iman adalah pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ia berkata; “Pengertian (iman) seperti ini cacat dan tidak sempurna. Yang benar dan
menjadi pegangan Ahlussunnah wal jama’ah bahwa iman adalah ucapan, perbuatan
dan keyakinan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Dalil-dalil akan hal ini di dalam al-Quran dan as-Sunnah sangat banyak. Pensyarah
(kitab ini) Ibnu Abil Izz telah menyebutkan sekumpulan dalil-dalil itu, maka silahkan
merujuk kesana jika mau.
Mengeluarkan perbuatan (amal) dari pengertian iman adalah ucapan Murji’ah.
Perbedaan antara mereka dengan Ahlussunnah bukan perbedaan redaksi, bahkan
perselisihannya redaksi dan hakiki. Lahir dari hal ini hukum-hukum yang banyak
yang diketahui oleh siapa saja yang menadaburi perkataan Ahlussunnah dan
perkataan Murji’ah. Wallahul musta’an.”47
Beliau rahimahullah berkata; “Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah
dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, dan disisi Ahlussunnah
terdapat redaksi yang berbeda dalam masalah ini. Bahwa iman adalah ucapan
dan perbuatan dan keyakinan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan, dan dua redaksi ini sama-sama benar. Maka iman adalah ucapan dan
perbuatan, yakni ucapan hati dan lisan, dan perbuatan hati dan anggota badan. Dia
juga ucapan, perbuatan dan keyakinan, yakni ucapan lisan, amalan anggota badan
dan keyakinan hati.

44 Al-Fawa’id (halaman 58)


45 Ash-Shalatu wa Hukmu Taarikiha (halaman 56)
46 Majmu’ Fatawa (5/87)
47 Idem (2/83)

Al-Furuq | 23
Maka jihad di jalan Allah, shalat, zakat, puasa, haji dan semua amalan-
amalan yang disyariatkan, seluruhnya adalah amalan keba­jikan, dan dia termasuk
dari cabang-cabang keimanan yang menambah keimanan dan berkurang dengan
berkurangnya amalan-amalan menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu para sahabat
Nabi  dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.”48
Inilah i’tiqad Salaf dalam persoalan iman dan inilah yang telah mereka sepakati,
berseberangan dengan Murji’ah
Murji’ah dalam bab iman ada beberapa pendapat;
Jahmiyah mendefinisikan iman bahwa iman adalah ma’rifah (pengenalan)49.
Dari sini mereka menilai semua orang yang mengenal Allah beriman, sekalipun
orang itu tidak mengucapkan (kalimat) tauhid dengan lisannya, atau membenarkan
dengan hatinya, lisan dan anggota badannya tidak mengerjakannya.
Karramiyyah mendefinisikan iman dengan pengakuan dan pembenaran lisan
tanpa diikuti dengan hati.50 Dari sini mereka me­nilai semua orang yang mengucapkan
dengan lisannya dilabeli muk­min tapi bukan secara hakiki. Konsekuensi dari ucapan
mereka ini adalah selamatnya orang munafik, sekalipun mereka tidak meng­inginkan
(ucapan) hal tersebut,sebab keselamatan bagi mereka adalah konsekuensi dari
pembenaran hati dan keimanannya. Sehingga per­selisihan dengan mereka adalah
dalam persoalan perkara yang men­jadikan seorang disebut beriman (label), bukan
pada persoalan yang menjadi ukuran keselamatan, sebagaimana hal ini disebutkan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.51
Adapun Asya’irah, telah dinukil dari al-Asy’ariy rahimahullah tiga pendapat;
Pertama: pendapat yang mencocoki kaum salaf.
Kedua: pendapat yang mencocoki perkataan Jahm. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah telah menegaskan dengan teksnya bahwa al-Asy’ariy membela pendapat
Jahm bahwa iman adalah pengenalan saja. Bahwa al-Asy’ariy menyebutkan pada
sebagian tulisannya ucapan Abul Husain ash-Shalihi, kemudian ia berkata; pendapat
yang menjadi pilihanku dalam nama-nama (pelabelan) adalah pendapat ash-Shalihi,
dan perkataan ash-Shalihi adalah pendapat Jahmiyah yang mengatakan bahwa
iman adalah ma’rifah (pengenalan) dan bahwa kekufuran adalah kejahilan. Para
pengikutnya, seperti al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, Abul Ma’ali al-Juwaini dan
yang semisal mereka berdua seperti ar-Razi berada di atas pendapat ini.52

48 Idem (5/35)
49 Maqalat al-Islamiyyin, oleh Asy’ariy (1/214) dan al-Milal wan Nihal, oleh Asy-Syahrustani (1/749)
dan Majmu’ al-Fatawa, oleh Syaikhul Islam (7/549) dan (7/363)
50 Maqalat al-Islamiyyin, oleh Asy’ariy (1/233), Al-Iman, oleh Ibnu Mandah (1/331)
51 Majmu’ al-Fatawa (7/141), (7/215) dan yang setelahnya, dan (7/394) dan at-Tadmuriyah (halaman
193)
52 Majmu’ al-Fatawa (7/154), (7/509) dan (7/511)

24 | Al-Furuq
Ketiga: seperti yang dinukil oleh asy-Syahrustani dari Asy’ariy bahwa iman
adalah pembenaran dengan hati. Adapun ucapan lisan, perbuatan hati dan anggota
badan adalah cabang-cabangnya. Maka barangsiapa membenarkan dengan hatinya
imannya sah, sekalipun ia tidak mengucapkan dengan lisannya, sekalipun hal itu
bukan karena ketidakmampuannya, maka orang ini diharapkan keselamatannya di
akhirat.53
Maka hakikat pendapat Asya’irah setelah diteliti adalah pendapat Jahmiyah.
Mereka mencocoki Jahmiyah pada persoalan-persoalan dan menyelisihi mereka
pada persoalan-persoalan lainnya yang tidak signfikan;
Pertama: Mereka menyelisihi Jahmiyah pada pendefinisian iman secara
lahiriah. Mereka mengatakan; at-tashdiq (pembenaran), sedang­kan Jahmiyah
mengatakan; ma’rifah (pengenalan), namun mereka mencocoki secara hakikatnya,
yakni terdapat ma’rifah di dalam hati (se­seorang) sekalipun dia tidak mengucapkan
dan mengamalkan (orang ini) tetap diharapkan keselamatannya di akhirat. jika
diperhatikan, ti­dak ada perbedaan antara pendapat kedua firqah ini dalam pendefi­
nisian iman. Maka mereka semua adalah Jahmiyah.
Kedua: Mereka mencocoki Jahmiyah bahwa iman (seseorang) sah tanpa
pengucapan lisan. Mereka menetapkan keabsahan iman di akhirat dengan adanya
ma’rifah yang mereka sebut at-tashdiq (pembenaran), sekalipun tidak didapati
pengucapan. Adapun perbedaannya dengan jahmiyah berdasarkan pendapat
sekumpulan Asya’irah adalah bahwa pengucapan dengan lisan adalah syarat
berlakunya hukum-hukum Islam sesuai dzhahir, menurut pendapat sekumpulan
Asya’irah.
Ketiga: Mereka mencocoki Jahmiyah bahwa ucapan dan perbuatan bukan
termasuk dari iman.
Ada sekumpulan Asya’irah yang berpendapat dengan madzhab Salaf dalam
persoalan iman dan membelanya. Di antara mereka adalah Abul Abbas al-Qalansi,
Abu Ali ats-Tsaqafi, Abu Abdillah bin Mujahid Syaikh al-Qadhi Abi Bakr dan
shaahibul hasan.54 Di antara mereka ada yang berpendapat seperti pendapat Murji’ah
al-Fuqaha’, seperti Ibnu Kullab dan Al Husain bin al-Fadhl al-Bajali yakni bahwa
iman adalah pembenaran hati dan ucapan lisan.55
Dan yang menjadi pegangan mayoritas Asya’irah dalam persoalan ini adalah
apa yang ditegaskan oleh kaum muta’akkhirin dari mereka bahwa iman adalah
pembenaran hati saja. Adapun ucapan adalah syarat dalam pemberlakuan hukum-

53 Al-Milal wan Nihal (1/88)


54 Majmu’ Al-Fatawa, oleh Syaikhul Islam (7/119) dan (7/143), dan at-Tis’iiniyyah (2/659) dan lihat
Thabaqat asy-Syafi’iyyah, oleh as-Subki (1/130)
55 Majmu’ al-Fatawa (7/119)

Al-Furuq | 25
hukum di dunia, di samping adanya kemungkinan selamat di akhirat tanpanya.
Mereka juga mengatakan iman bertambah dan berkurang, bahwa ucapan dan
perbuatan ter­masuk kesempurnaan iman dan buah-buahnya, bukan bagian dari
iman dan bahwa hilangnya ucapan dan perbuatan tidak menjadikan iman hilang,
karena hal itu menurut mereka bukan bagian darinya.56
Maka mayoritas muta’akhirin Asya’irah menyelisihi pendahulu mereka dalam
hal bahwa pembenaran adalah maknanya lebih dari sekedar ma’rifah (pengenalan).
Pembenaran menurut mereka adalah yang diikuti dengan komitmen, penerimaan
dan ketundukan, kemu­dian mereka jadikan itu semua menjadi satu redaksi yang
disebut dengan at-tashdiq (pembenaran)57. Mereka mencocoki pendahulunya
dalam hal mungkinnya keselamatan di akhirat dengan bermodalkan at-tashdiq
(pembenaran) sekalipun tanpa diikuti dengan ucapan dan perbuatan.
Maka barangsiapa membenarkan, tapi dia menampakkan peng­ingkaran dan
pembangkangan, menurut mereka dia bukan orang beriman di dunia. Tapi mungkin
dia selamat di akhirat karena ada kemungkinan dia bohong saat mengungkapkan
akan dirinya. Ini ada­lah kontradiktif yang merusak pondasi dan kaidah mereka
sendiri. Karena pembenaran yang diikuti dengan penerimaan dan ketundukan
haruslah tampak pada ucapan dan perbuatan, kalau tidak tampak maka dianggap
tidak ada, sebagaimana hal ini telah disepakati disisi kaum salaf dalam bab kaitan
antara lahir dan batin sebagaimana akan datang. Oleh karena itu Asya’irah generasi
pertama lebih tegas dalam mencocoki Jahmiyah daripada penerusnya.58
Adapun Maturidiyah, para pengikut Abu Mashur al-Maturidi, dia adalah murid
Abu Hanifah yang belakangan. Mereka mengatakan seperti yang dikatakan oleh
gurunya, bahwa iman adalah apa yang terdapat di dalam hati berupa pembenaran
yang diikuti dengan pengakuan, penerimaan, ketundukan dan penyerahan. Adapun
ucapan lisan hanya syarat dalam menetapkan hukum dunia atas seorang mukallaf.
Maka pendapat mereka ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh mayoritas
muta’akhirin Asya’irah.
Adapun Murji’ah Fuqaha’ adalah orang-orang yang dinisbatkan kepadanya Irja’
dari para fuqaha’. Di antara mereka Hammad bin Abi Sulaiman, dia di antara orang
yang pertama kali mencetuskan Irja’ dan menyebarkannya, dan yang mengambil
pendapatnya ini adalah Abu Hanifah an-Nu’man rahimahumallah. Mereka
mengeluarkan amal perbuatan dari penamaan iman dan hakikatnya. Kata mereka;
amal bukan termasuk ke dalam hakikat iman. Iman adalah pembenaran hati dan

56 Lihat Majmu’ al-Fatawa (7/258-259) dan (7/120-189) dan as-Sunnah, oleh al-Khallal (5/87) dan
(5/122) dan al-Iman, oleh Abu Ubaid (halaman 31-32)
57 Majmu’ al-Fatawa (7/145)
58 Idem (7/544)

26 | Al-Furuq
ucapan lisan. Maka amalan-amalan hati dan anggota badan bukan termasuk bagian
iman menurut mereka. Ini semua disamping pendapat mereka bahwa amal adalah
buah iman dan pelakunya diberi pahala, dihukum atas kemaksiatan-kemaksiatan
dan dita’zir akibat kurang beramal, hanya saja tidak menyebabkan hilangnya iman
apabila amalan hilang.59
Mereka mengakui bahwa seseorang tidak beriman apabila tidak mengucapkan
keimanan selama dia mampu, dan mereka mengakui bahwa Iblis dan Fir’aun
adalah kafir sekalipun hatinya membenarkan. Maka dengan kondisi mereka yang
memasukkan ucapan lisan ke dalam hakikat keimanan berkonsekuensi seperti
pendapat salaf yang memasukkan amalan hati dan anggota badan ke dalam iman,
karena alasan memasukkannya sama. Sebaliknya, dengan kondisi mereka yang
mengeluarkannya (anggota badan) dari iman mengharuskan mereka mengambil
pendapat Jahmiyah, karena alasan mengeluarkannya sama.
Beberapa persoalan
Persoalan pertama;
Sebagian orang yang terpapar syubhat Irja’ sekarang ini dari orang-orang
yang telah mengikuti lahiriyah pendapat kaum Salaf dalam perkara iman (di mana
menurut mereka iman adalah ucapan dan perbuatan), didapati menyelisihi akidah
Salaf dalam hakikat iman, sekalipun secara lahirnya mereka mengakui. Penyelisihan
itu terjadi pada persoalan-persoalan yang di antaranya;
1. Memutlakkan pendapat selamatnya orang yang meninggalkan amal lahir.
2. Memutlakkan pendapat bahwa amal lahir adalah syarat sempurna (iman).
3. Memutlakkan pendapat bahwa amalan yang cukup dalam menentukan
keabsahan iman adalah ucapan lisan, barangsiapa yang telah mengucapkan
maka dia telah beramal, menurutnya.
4. Memutlakkan pendapat memberi udzur kepada penyembah kuburan karena
jahil dan tidak mengkafirkan mereka kecuali setelah tercapai pemahaman yang
menghalau syubhat yang menghalangi (pengkafiran). Bahwasanya tidak cukup
sekedar ilmu, balagh (sampainya ilmu), sekedar paham dan mengetahui teks-
teks al-Quran dan as-Sunnah dalam pengkafiran musyrikin. Mereka menyangka
harus ada diskusi, penjelasan kepada musyrikin dan para penyembah kuburan,
kemudian terjadi pembangkangan dan bersikukuh. Adapun selagi belum
demikian maka seseorang belum tegak hujjah dan personnya tidak dihukumi
musyrik! Bahkan ia tetap di atas keislamannya sekalipun dia mengerjakan,
bergumul dengan kesyirikan, melakukannya dan mengajak kepadanya!

59 Majmu’ al-Fatawa (7/195), (7/169), (7/394), (7/218), (7/621), Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah
(5/288) dan Maqalat al-Islamiyyin (1/219)

Al-Furuq | 27
Pendapat-pendapat ini dilontarkan oleh mereka yang menganggap dirinya di
atas akidah Salaf dan menganggap bahwa perkataan mereka ini tidak menyelisihi
akidah Salaf dalam persoalan iman dan bahwa mereka salafiyun. Padahal Salafiyah
berlepas diri dari mereka.
Telah terdapat beragam macam ucapan ulama dari kalangan Salaf dan sekarang
yang menerangkan hakikat perkataan-perkataan ini yang diucapkan oleh orang-
orang yang terpapar syubhat Irja’ dan menyangka bahwa dirinya Salafi. Para ulama
telah menerangkan bahwa ucapan-ucapan ini adalah ucapan Murji’ah. Di antara
keterangan itu sebagai berikut;
1. Nash bahwa pendapat selamatnya orang yang meninggalkan amalan anggota
badan adalah pendapat Murji’ah.
Al-Imam Harb al-Karmani rahimahullah berkata; “Aku mendengar Ishaq
berkata; Orang yang pertama kali mencetuskan Irja’ katanya adalah al-Hasan bin
Muhammad bin al-Hanafiyah, kemudian Murji’ah semakin ghuluw (berlebihan)
hingga di antara pendapat mereka me­ngatakan; “kata satu kaum bahwa barangsiapa
meninggalkan yang wajib, puasa Ramadhan, zakat, haji dan keseluruhan faraid tanpa
disertai juhud (mengingkari kewajibannya –pentj) kami tidak mengka­firkannya.
Nasibnya diserahkan kepada Allah, karena dia sudah meng­akui.” Maka mereka
ini adalah Murji’ah yang tidak diragukan lagi. Kemudian mereka ada beberapa
golongan;
Di antara mereka ada yang mengatakan kami beriman dan tidak mengatakan: di
sisi Allah. Mereka menganggap bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan. Mereka
ini seperti yang pertama.
Ada kaum yang mengatakan: iman adalah ucapan dan amal membenarkannya,
namun amal bukan bagian dari iman, tapi amal adalah kewajiban dan iman adalah
ucapan. Mereka mengatakan: Kebaikan-kebaikan kami diterima, kami beriman di
sisi Allah, dan iman kami sama dengan imannya Jibril. Mereka ini adalah orang-
orang yang datang keterangannya dalam hadits bahwa mereka Murji’ah yang dilaknat
melalui lisan-lisan para Nabi.60
Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Adapun Murji’ah yang
disebut Murji’ah adalah Murji’ah yang tidak memasukkan perbuatan ke dalam iman
padahal hal itu wajib. Wajib atas seorang hamba untuk beramal dengan yang telah
Allah wajibkan dan meninggalkan apa yang Allah haramkan. Akan tetapi mereka
tidak menamakannya sebagai iman. Mereka menamakannya (sebagai iman) apabila
mengucapkan dan membenarkan dengan hatinya, tapi orang yang tidak beramal

60 Masa’il al-Imam Ahmad bin Hambal wa Ishaq bin Rahawaih melalui riwayat Harb al-Karmani
(halaman 377)

28 | Al-Furuq
disebut beriman atau kurang imannya, tidak sampai kafir.”61
Beliau rahimahullah berkata: “Mengeluarkan perbuatan (amal) dari pengertian
iman adalah ucapan Murji’ah dan perbedaan antara mereka dengan Ahlussunnah
bukan perbedaan redaksi, bahkan perse­lisihannya redaksi dan hakiki, dan lahir dari
hal ini hukum-hukum yang banyak yang diketahui oleh siapa saja yang mentadabburi
perkataan Ahlussunnah dan perkataan Murji’ah. Wallahul musta’an.”62
Guru kami asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzahullah berkata:
“Amal bagian dari iman, amal adalah iman, barangsiapa me­n inggalkannya
berarti meninggalkan iman, apakah meninggalkan seluruhnya sehingga dia tidak
mengerjakan amalan apa pun selamanya, atau dia meninggalkan sebagian amalan,
karena dia tidak melihatnya sebagai bagian dari iman dan termasuk ke dalam iman.
Yang seperti ini termasuk golongan Murji’ah.”63
Guru kami asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzahullah telah
menetapkan bahwa barangsiapa mengatakan amal perbuatan syarat sempurna
dalam iman, kami tidak katakan bahwa dia telah mencocoki Murji’ah, bahkan dia
termasuk dari Murji’ah.64
Al-Lajnah ad-Da’imah lil Ifta’ dibawah kepemimpinan al-‘Allamah Abdul Aziz
bin Baz rahimahullah menerangkan pada fatwa no (21436) bahwa pendapat yang
mengatakan selamatnya orang yang meninggalkan semua amalan adalah pendapat
Murji’ah.
Al-Lajnah berkata: “Pendapat yang disebutkan ini adalah pendapat Murji’ah
yang mengeluarkan amalan-amalan dari penamaan iman, dan mereka mengatakan:
“Iman adalah pembenaran dengan hati atau pembenaran dengan hati dan pengucapan
dengan lisan saja.” Adapun amal perbuatan menurut mereka adalah syarat sempurna
iman saja dan bukan bagian dari iman. Maka barangsiapa membenarkan dengan
hatinya dan mengucapkan dengan lisannya dia beriman, imannya sempurna
menurut mereka, walaupun dia mengerjakan apa yang dia kerjakan berupa
meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan keharaman-keharaman. Dia
berhak masuk ke dalam surga walau pun tidak mengerjakan amal kebajikan sekali
pun. Maka lahir dari pendapat yang sesat ini konsekuensi-konsekuensi yang batil, di

61 Lihat https://www.youtube.com/watch?v=mlgLjAcJTGY
62 Catatan terhadap ath-Thahawiyah lihat Majmu’ al-Maqalat wal Fatawa (2/83)
63 “Yakni barangsiapa menyangka bahwa orang yang tidak mau tunduk lahir dan batinnya dan tidak
mendatangkan satupun dari amal perbuatan yang disepakati Salaf sebagai ukuran keabsahan iman,
dan menyangka bahwa orang ini beriman dan tidak keluar dari iman, maka dia termasuk Murji’ah.
Begitu pula orang yang menganggap bahwa meninggalkan sesuatu dari amalan bukan kekufuran
karena amalan bukan dari iman, atau karena iman tidak menjadi hilang dengan hilangnya amal maka
dia termasuk Murji’ah.” Masa’il fi al-Iman, tanya jawab persoalan iman, oleh Asy-Syaikh Shalih al-
Fauzan. Dikeluarkan oleh Abdurrahman bin Muhammad al-Harafi (halaman 13, pertanyaan 17)
64 https://www.youtube.com/watch?v=ltdyS-b5K44

Al-Furuq | 29
antaranya membatasi kekufuran kepada kufur takdzib (pendustaan) dan istihlal qalbi
(penghalalan hati). Tidak diragukan bahwa ini pendapat yang batil dan kesesatan
yang nyata, menyelisihi al-Quran dan as-Sunnah serta apa yang telah dipegang oleh
Ahlussunnah wal Jama’ah dahulu dan sekarang.”65
2. Nash bahwa pendapat yang mengatakan amalan anggota badan yang
mencukupi meraih keselamatan adalah ucapan lisan, ada­lah pendapat
Murji’ah
Al-Khallal rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitab as-Sunnah dan
termasuk pendapat Murji’ah adalah: “Iman merupakan ucapan dengan lisan dan
amalan dengan anggota badan. Maka apabila (seseorang) telah mengucapkan berarti
dia telah mengamalkan dengan anggota badannya.” Ini adalah seburuk-buruk
pendapat mereka.”
Kemudian dia menyebutkan dengan sanadnya dari al-Atsram rahimahullah, ia
berkata: Aku mendengar dari Abu Abdillah, dikatakan kepadanya: “Apa yang Syababah
katakan tentangnya (iman)?” Ia menjawab: “Syababah dahulu mengajak kepada Irja’.
Ia berkata: Telah dihikayatkan dari Syababah ucapan yang lebih jelek dari ucapan
ini, yang aku tidak pernah mendengarnya dari seorang pun semisalnya. Syababah
mengatakan: Apabila (seseorang) telah mengatakan berarti dia telah mengamalkan.
Ia juga berkata: Iman adalah ucapan dan perbuatan seperti yang mereka katakan,
maka apabila (seseorang) telah mengatakan berarti dia telah mengamalkan dengan
anggota badannya, maksudnya adalah lisannya. Dia telah mengamalkan dengan
lisannya saat dia mengatakan.” Kemudian Abu Abdillah berkata: Ini ucapan ja­hat,
aku tidak pernah mendengar seorang pun mengucapkannya dan tidak juga pernah
ada yang menyampaikannya kepadaku.”66
Ibnu Rajab rahimahullah berkata; “Dahulu sekelompok Murji’ah mengatakan;
iman adalah ucapan dan perbuatan, mencocoki pen­dapat Ahlussunnah. Kemudian
mereka menafsirkan perbuatan de­ngan ucapan dan mengatakan; dia adalah amalan
lisan. Al-Imam Ahmad telah menyebutkan pendapat ini dari Syababah bin Sawwar
dan meng­ingkarinya. Beliau berkata; Ini pendapat paling jelek. Aku tidak pernah
mendengar seorang pun mengatakannya dan tidak ada yang me­nyampaikannya
kepadaku. Yakni bahwa pendapat ini; bid’ah, tidak ada seorang pun dari salaf yang
mengatakannya. Yang dimaukan olehnya adalah mengingkari penafsiran ucapan
Ahlussunnah bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan dengan tafsiran ini. Karena
hal ini adalah bid’ah dan padanya terdapat cacat dan pengulangan. Karena amal
menurut pendapat ini adalah ucapan itu sendiri, dan bukan maksudnya mengingkari

65 Majmu’ al-Fatawa al-Lajnah (28/126)


66 As-Sunnah oleh al-Khallal (3/570)

30 | Al-Furuq
bahwa ucapan disebut sebagai perbuatan.”67
Adz-Dzahabi mengatakan tentang Syababah bin Sawwar; “dahulu dia termasuk
dari imam-imam besar hanya saja dia seorang Murji’.”68
Kemudian ia menukil ucapan Syababah yang terdapat Irja’ yang berkata;
“Ahmad al-‘Ijli berkata; Dikatakan kepada Syababah; Bukankah iman itu ucapan
dan perbuatan? Ia berkata; Apabila telah mengucapkan berarti telah melakukan.
Kemudian dia (Ahmad al-‘Ijli) menukil sebagian perkataan tentangnya. Di antaranya;
Ahmad berkata; Dahulu, yakni Syababah, seorang dai yang mengajak kepada irja’.
Ali bin Al Madini berkata; Shadhuq, hanya saja dia punya pendapat irja’.”69
3. Nash bahwa pendapat yang mengatakan amal perbuatan adalah syarat
sempurna adalah pendapat Murji’ah
Al-Lajnah ad-Da’imah lil Ifta’ dibawah kepemimpinan al-‘Allamah Abdul
Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan bahwa pendapat yang mengatakan amal
perbuatan adalah syarat sempurna (iman) adalah pendapat Murji’ah, yaitu pada
fatwa no (21436)
Ulama al-Lajnah ad-Da’imah berkata; “Pendapat yang disebutkan ini (saya
katakan; yakni selamatnya orang yang meninggalkan semua amal perbuatan) adalah
pendapat Murji’ah yang mengeluarkan amalan-amalan dari penamaan iman, dan
mereka mengatakan; “Iman adalah pembenaran dengan hati atau pembenaran
dengan hati dan pengucapan dengan lisan saja.” Adapun amal perbuatan menurut
mereka adalah syarat sempurna iman saja dan bukan bagian dari iman. Maka
barangsiapa membenarkan dengan hatinya dan mengucapkan dengan lisannya
dia beriman, imannya sempurna menurut mereka, walaupun dia mengerjakan apa
yang dia kerjakan berupa meninggal­kan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan
keharaman-keharaman. Dia berhak masuk ke dalam surga walau pun tidak
mengerjakan amal kebajikan sekali pun. Maka lahir dari pendapat yang sesat ini
kon­sekuensi-konsekuensi yang batil, di antaranya membatasi kekufuran kepada
kufur takdzib (pendustaan) dan istihlal qalbi (penghalalan hati). Tidak diragukan
bahwa ini pendapat yang batil dan kesesatan yang nyata, menyelisihi al-Quran dan
as-Sunnah serta apa yang telah dipegang oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dahulu dan
sekarang.”70
Seperti yang terdapat pada Majmu’ Fatawa al-Lajnah lil Fatwa (no 21435)
dikatakan; “Buku ini (Haqiqah al-Iman Baina Ghuluw al-Khawarij wa Tafrith
al-Murji’ah) membela madzhab Murji’ah yang mengeluarkan amal perbuatan

67 Fathul Bari (1/113-114)


68 Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa Syababah menarik kembali ucapannya. Wallahua’lam.
69 Siyar A’lam An-Nubala’ (9/513-514)
70 Majmu’ Fatawa Al Lajnah (28/126)

Al-Furuq | 31
dari penamaan iman dan hakikatnya, dan bahwa amalan bagi mereka syarat
sempurna.”71
Guru kami asy-Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan hafidzahullah ber­kata; Disana
ada firqah kelima yang muncul sekarang. Mereka adalah orang-orang yang
mengatakan bahwa amal perbuatan adalah syarat dalam kesempurnaan iman yang
wajib, atau kesempurnaan yang mustahab.72
Beliau hafidzahullah mengatakan sebagai jawaban terhadap orang yang
mengatakan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan, kemudian
mengatakan bahwa amal perbuatan adalah syarat sempurna (iman) dan kekufuran
tidak terjadi kecuali dengan keyakinan; “Orang yang mengatakan hal ini tidak paham
iman, tidak paham akidah. Yang wajib atasnya adalah belajar akidah kepada ahli
ilmu, menimbanya dari sumbernya yang shahihah dan kelak dia akan tahu jawaban
atas persoalannya. Adapun ucapannya bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan
keyakinan, kemudian mengatakan bahwa amal adalah syarat dalam kesempurnaan
iman dan keabsahannya, ini kontradiktif! Bagaimana bisa amal bagian dari iman
kemudian mengatakan bahwa amal adalah syarat? Dimaklumi bahwa syarat itu di
luar yang disyaratkan. Ini kontradiktif darinya. Orang ini ingin menggabungkan
antara pendapat salaf dan pendapat muta’akhkhirin. Namun dia tidak memahami
kontradiktif, karena dia tidak mengenal pendapat salaf dan tidak mengenal hakikat
ucapan muta’akhkhirin sehingga ingin menggabungkan antara keduanya. Iman adalah
ucapan, perbuatan dan keyakinan. Amal termasuk bagian dari iman, dan dia adalah
iman, bukan salah satu dari syarat-syarat keabsahan iman, atau syarat sempurna,
atau selainnya dari perkataan-perkataan yang dipopulerkan sekarang. Maka iman
adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati dan perbuatan (amal) dengan
anggota badan. Dia bertambah dan berkurang karena kemaksiatan.”73
4. Nash bahwa ucapan sebagian aadzirun (pemberi udzur) kepada para
penyembah kuburan adalah ucapan irja’
Di antara mereka ada yang memutlakkan pendapat memberi udzur kepada
penyembah kuburan karena kejahilan dan tidak mengkafirkan mereka kecuali
setelah memahami dengan pemahaman yang menghalau syubhat yang menjadi
penghalang (pengkafiran –pentj), dan bahwasanya sekedar tahu, sampainya hujjah,
paham dan mendapati nash-nash al-Quran dan as-Sunnah belum mencukupi untuk
mengkafirkan musyrikin. Sehingga mereka menyangka bahwa harus digelar diskusi
dan penjelasan kepada musyrikin dan para penyembah kuburan, kemudian (baru
ada) pembangkangan dan bersikukuh. Selagi keadaannya belum demikian maka

71 Idem (28/135-136)
72 At-Ta’liq Al Muukhtashar ‘ala Al Qashidah An-Nuniyah li Ibnil Qayyim (2/647-648)
73 Al Ijabat Al Muhimmah fi Masyakil Al Mulimmah (halaman 74)

32 | Al-Furuq
seseorang belum tegak hujjah dan tidak dihukumi musyrik personnya! Bahkan
dia tetap di atas keislamannya sekalipun mengerjakan, menggauli kesyirikan,
melakukannya dan menyeru kepadanya! Dan kamu akan dapati pada tulisan ini
keterangan yang membabat pendapat sesat ini dan keterangan akan jauhnya
pendapat ini dengan akidah salaf.
Guru kami Asy-Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan hafidzahullah ditanya; Apa
hukum orang awam Rafidhah, apakah hukum mereka sama seperti ulamanya? Beliau
menjawab; “Wahai ikhwanku, ting­galkanlah ucapan ini. Rafidhah hukumnya satu.
Jangan kalian bersilat lidah di hadapan kami, hukum mereka satu. Semua mereka
mendengar al-Quran, membacanya dan bahkan menghafal al-Quran. Mayoritas
mereka telah sampai hujjah, hujjah telah tegak atas mereka. Tinggalkan kami dari
silat lidah seperti ini dan irja’ ini yang tersebar sekarang pada sebagian anak muda
dan orang-orang yang sok pintar. Tinggalkanlah ini. Barangsiapa yang telah sampai
kepadanya Al Qur’an berarti telah tegak hujjah atasnya.
ََ َ ُ ُ ُ ُ ۡ َ َ َ‫َ ُ َ ي‬
ۚ‫وح إ ِ َّل هٰذا ٱلق ۡر َءان أِلنذ َِركم بِهِۦ َوم ۢن بَلغ‬
ِ‫وأ ي‬
“Dan al-Qur`an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan
kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur`an (kepadanya).” (QS. Al-
An’am :19)”
Beliau hafidzahullah berkata; “Siapa saja yang beribadah kepada selain Allah
dari para ulama dan orang-orang awam, dari orang kota maupun pedalaman, maka
dia musyrik. Kondisimu memberinya udzur dan mengatakan; dia jahil, yang seperti
ini wallahu a’lam, kejahilan itu ada batasnya. Di mana dia tinggal?! Apa dia tinggal di
tempat yang jauh dari Islam sehingga tidak mengenal sedikit pun (dari Islam), orang
ini jahil. Tapi orang yang tinggal bersama muslimin dan hadir di masjid-masjid,
mendengar Al Qur’an, mendengar hadits-hadits dan mendengar pelajaran-pelajaran,
sampai kapan kejahilan?! Apa menunggu hari kiamat baru hilang kejahilan?! Ini
tidak benar. Mencari-cari udzur dan menggampangkan persoalan-persoalan kepada
manusia dengan cara-cara seperti ini tidak boleh, dan inilah madzhab Murji’ah yang
menyebar di tengah kita sekarang melalui tangan orang-orang dari anak-anak kita.
Maka wajib atas kita berhati-hati darinya.”74
Beliau hafidzahullah berkata pada syarah terhadap bab keenam dari kitab Fathul
Majid pada ucapan penulis; ((Bahwa beliau –Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab- tidak memberi udzur dengan kejahilan)) Asy-Syaikh berkata; “Orang-
orang Murji’ah mengatakan mereka diberi udzur karena kejahilan.”75

74 Dinukil sebagai ta’liq dari pelajaran Asy-Syaikh pada Syarah Nawaqid Al-Islam 18/8/1435 H
75 Dinukil sebagai ta’liq dari pelajaran Asy-Syaikh pada Syarah Fathul Majid 11/1/1436 H

Al-Furuq | 33
Beliau hafidzahullah telah mengingatkan akan hal ini seperti yang terdapat
pada ucapannya; “Ini menunjukkan akan batilnya ucapan yang mengatakan;
“Sesungguhnya orang yang mengucapkan kata kufur, atau berbuat kekufuran tidak
kafir sampai dia meyakini dengan hatinya apa yang dia ucapkan dan apa yang dia
lakukan.” Dan barangsiapa mengatakan; “Sesungguhnya orang yang jahil diberi
udzur secara mutlak, sekalipun dia mampu untuk bertanya dan belajar,” ini adalah
pendapat yang muncul dari orang-orang yang menisbatkan diri kepada ilmu dan
hadits di zaman ini.”76
Inilah dia irja’ kontemporer, dan lebih berbahaya daripada irja’ masa lalu dan
lebih berbahaya daripada irja’ fuqaha’. Karena dia tampil dengan pakaian Salafiyah
dan madzhab Salaf, sedangkan Salaf dan Salafiyah berlepas diri darinya. Hal ini karena
para pengusungnya menipu manusia dan mengklaim bahwa mereka berpendapat
dengan pendapat Salaf dalam hal iman, padahal hakikat pendapat mereka adalah
pendapat Murji’ah. Lahiriyah ucapan mereka mengakui bahwa iman adalah ucapan,
perbuatan dan keyakinan, dan bahwa iman bertambah dan berkurang, dan bahwa
kekufuran dapat terjadi dengan hati, ucapan dan perbuatan, dan lain sebagainya
dari ucapan-ucapan yang termasuk pendapat salaf dalam persoalan ini. Tapi orang-
orang yang mengklaim bahwa mereka berada di atas akidah salaf membantah
diri-diri mereka sendiri dengan mengatakan bahwa amalan-amalan adalah syarat
sempurnanya iman yang wajib atau mustahab. Mereka mengakui bahwa hilangnya

76 Syarah Kasyf Syubuhat (halaman 55)


Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah dibawah kepemimpinan Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah telah menyebutkan secara nash bahwa ucapan aadzirun (para pemberi udzur) adalah
ucapan yang kufur. Para ulama al-Lajnah berkata di dalam Majmu’ al-Fatawa (2/151); Dan dengan
ini diketahui, bahwasanya tidak boleh bagi sekelompok muwahhidin yang meyakini kafirnya
penyembah kuburan untuk mengkafirkan saudara-saudara mereka para muwahhidin yang abstain
dalam mengkafirkan mereka sampai ditegakkan atas mereka hujjah. Karena sikap abstain mereka
dari mengkafirkan penyembah kuburan karena terdapat syubhat, yaitu mereka meyakini bahwa
harus ditegakkan hujjah atas para penyembah kuburan itu sebelum mereka dikafirkan. Berbeda
dengan orang (kafir) yang kekufurannya tidak ada syubhat seperti Yahudi, Kristen dan orang-orang
komunis dan yang semisal dengan mereka. Mereka ini tidak ada syubhat dalam kekafirannya dan
juga dalam kekafiran orang yang tidak mau mengkafirkannya.
Fatwa ini dijelaskan kembali oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (Fatawa Nurun ‘Ala
Ad-Darb). Silahkan lihat ke situs Asy-Syaikh di internet; http://www.binbaz.org.sa/noor/9252
Beliau rahimahullah berkata; Yang dimaksud adalah muwahhid yang abstain dari mengkafirkan para
penyembah berhala tidak dikafirkan sampai hujjah itu tegak atas dia dan sampai diterangkan kepada
dia sebab-sebab kufurnya penyembah kubur dan sampai jelas baginya sebab-sebab kekufuran
mereka. Ini maksudnya. Karena dia mungkin abstain karena menyangka mereka bukan orang-orang
kafir. Maka apabila telah dijelaskan kepadanya hal ini dan menjadi jelas baginya hal ini, jadilah
dia seperti orang yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Kristen. Barangsiapa mengatakan bahwa
Yahudi dan Kristen bukan kafir sedangkan dia termasuk orang yang mengenal dalil-dalil syar’i dan
termasuk dari ahli ilmu, dijelaskan kepadanya sampai mengetahui bahwa mereka kafir. Apabila dia
ragu akan kekafiran mereka dia kafir. Karena orang yang ragu akan kekafiran orang kafir yang jelas
kekafirannya, kafir.

34 | Al-Furuq
amalan anggota badan tidak berakibat hilangnya iman. Ini merupakan pendapat
yang paling jelek. Karena muaranya bahwa amalan anggota badan bukan bagian dari
iman, sebagaimana telah berlalu keterangannya.
Oleh karena telah baku di kalangan Salaf bahwa iman adalah ucapan dan
perbuatan, Salaf telah sepakat (ijma’) bahwa tidak dianggap cukup, tidak sah ucapan
tanpa amalan dan tidak sah amalan kecuali dengan niat. Mereka telah ijma’ bahwa
amalan apabila dimutlakkan maksudnya adalah amalan hati, amalan lisan dan amalan
anggota badan. Maka diketahuilah besarnya penyelewengan dan pemalsuan mereka
terhadap kebenaran dan upaya mereka menutupi kebenaran dengan kebatilan. Hanya
kepada Allah kita mohon pertolongan, dan hanya kepada-Nya tempat kembali dan
bernaung, dan Dialah al-Hakam al-Adl (Hakim yang Maha adil).
Persoalan kedua;
Tidak sah amalan disifati sebagai syarat sah atau syarat sempurna. Karena
perbedaan antara ucapan kita syarat dan ucapan kita rukun, adalah bahwa syarat
berada di luar tubuh. Sedangkan rukun merupakan bagian darinya. Sedangkan amal
perbuatan adalah bagian dari iman dan tidak keluar dari hakikatnya.
Maka dikatakan; Amal perbuatan merupakan bagian dari hakikat iman, dia
bagian dari iman, iman tidak sah kecuali dengan amal. Tidak dikatakan; Amal
adalah syarat sah, atau syarat sempurna.
Perbedaan Kedua
Iman menurut salaf bertambah dan berkurang, dan orang-orang yang beriman
bertingkat-tingkat kedudukannya. Di antara mereka ada orang baik dan
bertakwa. Di antara mereka ada orang jahat lagi fasik. Di antara mereka ada
yang tidak terdapat padanya keimanan kecuali sebesar biji jagung atau lebih
kecil lagi. Di antara mereka ada yang tidak tersisa keimanan sama sekali, dan
mereka adalah orang-orang yang murtad. Hal ini berbeda dengan Murji’ah.
Al-Quran, as-Sunnah dan ijma’ ulama menunjukkan bahwa iman bertambah dan
berkurang dan bahwa iman itu bertingkat-tingkat pada mereka yang memilikinya,
berbeda dengan Murji’ah.
Allah Ta’aala berfirman;
َ َ ُ ُ ٰ َ َ ۡ ۡ َ َ ۡ َ ُ َ ۡ ُ ُ ُ ُ ۡ َ َ ُ َّ‫َّ َ ۡ ُ ۡ ُ َ ذَّ َ َ ُ َ ه‬
َ ‫اد ۡت ُه ۡم إ‬
‫يم ٰ ٗنا‬ِ ‫جلت قلوبهم ِإَوذا تل ِيت علي ِهم ءايتهۥ ز‬ِ ‫إِنما ٱلمؤمِنون ٱلِين إِذا ذكِر ٱلل و‬
َ ُ َّ‫ل‬ ٰ َ‫َو لَى‬
‫ع َر ّب ِ ِه ۡم َي َت َوكون‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila diba­cakan kepada mereka Ayat-

Al-Furuq | 35
ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (ka­renanya) dan kepada Rabblah mereka
bertawakkal,” (QS. Al-Anfal: 2)
Dan Allah Ta’aala berfirman;
ْ ُ َ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ ۡ ُ َ ْ ُ َ َ‫ذَّ َ َ َ َ ُ ُ َّ ُ َّ َّ َ َ ۡ م‬
َ ‫اد ُه ۡم إ‬
‫يم ٰ ٗنا َوقالوا َح ۡسبُ َنا‬ِ ‫ٱلِين قال لهم ٱنلاس إِن ٱنلاس قد جعوا لكم فٱخشوهم فز‬
ُ ۡ ُ َّ‫ه‬
‫ٱلل َون ِۡع َم ٱل َوك ِيل‬
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-
orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” maka perkataan itu menambah
keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami
dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran: 173)
Dan Allah Ta’aala berfirman;
َ َ َ ْ ُ َ َ َ َّ‫َ َ ٓ ُ َ ۡ ُ َ ٌ َ ۡ ُ َّ َ ُ ُ َ ُّ ُ ۡ َ َ ۡ ُ َ ٰ ٓ َ ٰ ٗ َ َ َّ ذ‬
ۡ‫اد ۡت ُهم‬‫نزلت سورة ف ِمنهم من يقول أيكم زادته ه ِذه ِۦ إِيمنا ۚ فأما ٱلِين ءامنوا فز‬ ِ ‫ِإَوذا ما أ‬
ْ ُ َ َ ۡ ۡ ٰ َ‫َّ َ ٌ َ َ َ ۡ ُ ۡ ۡ ً ى‬ ُُ َّ‫ذ‬ َ َ
‫س ِهم وماتوا‬ ِ ‫ِين يِف قلوب ِ ِهم مرض فزادتهم رِجسا إِل رِج‬
َّ
َ ‫ َوأما ٱل‬. ‫شون‬ُ ِ‫يم ٰ ٗنا َو ُه ۡم يستب ر‬
ۡ َ ۡ َ َ ‫إ‬
ِ
َ ُ َٰ ۡ ُ َ
‫وهم كفِرون‬
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik)
ada yang berkata : “Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya)
surat ini?”. Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang
mereka merasa gembira, dan adapun orang yang di dalam hati mereka ada penyakit,
maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang
telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (QS. At-Taubah :124-125)
Allah Ta’aala berfirman;
ُ ُ‫ٱلل َو َر ُس ه‬
‫ول ۚۥ َو َما‬ ُ ُ‫ٱلل َو َر ُس ه‬
ُ َّ‫ولۥ َو َص َد َق ه‬ َ ‫ون أۡٱلَ ۡح َز‬
ُ َّ‫اب قَالُوا ْ َهٰ َذا َما َو َع َدنَا ه‬ َ ُ ۡ ُ ۡ َ َ َّ َ َ
‫ولما رءا ٱلمؤمِن‬
‫ِيما‬ َ ‫اد ُه ۡم إ اَّلٓ إ‬
ٗ ‫يم ٰ ٗنا َوت َ ۡسل‬ َ َ
‫ز‬
ِ ِ
“Dan tatkala orang-orang mu`min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu,
mereka berkata: “Inilah yang dijanjikan Allah dan Ra­sul-Nya kepada kita.” Dan
benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang de­mikian itu tidaklah menambah kepada
mereka kecuali iman dan ketun­dukan.” (QS. Al-Ahzab: 22)
Allah Ta’aala berfirman;
ُ ُ ُ َّ‫ۡ ُ ۡ ِ َ زَۡ َ ُ ٓ ْ َ ٰ ٗ َّ َ َ ٰ ۡ َ للِه‬
َ َ َّ ‫ود‬ ُ ُ َ َ َّ َ َ َ ٓ َّ‫ُ َ ذ‬
ِ ٰ ‫ٱلسمٰو‬
‫ت‬ ‫وب ٱلمؤمن ِني ل ِيدادوا إِيمنا مع إِيمن ِ ِهمۗ و ِ جن‬ ِ ‫هو َٱلِي أنزل ٱلسكِينة يِف قل‬
ٗ ‫ِيما َحك‬ ُ َّ‫ۡرض َو اَك َن ه‬
ً ‫ٱلل َعل‬ ۡ‫أ‬
‫ِيما‬ ۚ ِ ‫َوٱل‬
36 | Al-Furuq
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu`min
supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).
Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana,” (QS. Al-Fath: 4)
Allah Ta’aala berfirman;
َ َ ۡ َ َ َ ٰ َ ۡ ْ ُ ُ َ َّ‫َ ۡ َ ۡ َ ذ‬
َ ‫اد ذَّٱل‬
َ ‫ِين َء َام ُن ٓوا ْ إ‬
‫يم ٰ ٗنا‬ِ ‫ل ِيستيقِن ٱلِين أوتوا ٱلكِتب ويزد‬
“Supaya orang-orang yang diberi Alkitab yakin dan supaya orang yang beriman
bertambah imannya...” (QS. Al-Muddatsir: 31)
Ini semua adalah nash-nash yang petunjuknya terang bahwa iman bertambah.
Termasuk bertambahnya iman adalalah bertambahnya satuan-satuannya seperti
kekhusyu’an dan petunjuk.
Allah Ta’aala berfirman;
ُ ُ ُ ُ َ َ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ ۡ‫َ َ ُّ َ أ‬
‫يده ۡم خشوع‬ ‫ان يبكون وي ِز‬
ِ ‫خرون ل ِلذق‬
ِ ‫وي‬
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka ber­tambah
khusyu`.” (QS. Al-Israa’: 109)
Allah Ta’aala berfirman;
ٗ ُ ْ ۡ َ َ ۡ َ َّ‫َ َ ُ هَّ ُ ذ‬
ۗ‫وي ِزيد ٱلل ٱلِين ٱهتدوا هدى‬
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat pe­
tunjuk...” (QS. Maryam: 76)
Allah Ta’aala berfirman;
َۡ َ ٗ ُ ُ َ ْ ۡ َ َّ‫َ ذ‬
‫ِين ٱه َت َد ۡوا َزاده ۡم هدى َو َءاتى ٰ ُه ۡم تق َوى ٰ ُه ۡم‬
‫وٱل‬
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepa­da mereka
dan memberikan kepada mereka (balasan) ketaqwaannya.” (QS. Muhammad: 17)
Allah Ta’aala berfirman;
ُٗ َۡ ْ ٌ َّ
‫إِن ُه ۡم ف ِۡت َية َء َام ُنوا ب ِ َر ّب ِ ِه ۡم َوزِدنٰ ُه ۡم هدى‬
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb
mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk,” (QS. Al-Kahfi: 13)
Dan semua yang bertambah (bisa) berkurang.
Termasuk dalil-dalil bahwa iman bertambah dan berkurang adalah yang
menunjukkan akan bertingkat-tingkatnya keimanan pada ahli iman;
Allah Ta’aala berfirman;

Al-Furuq | 37
َ َ‫َّ ّ َ لَى‬ َ ۡ َ َ ۡ َّ َ ۡ َ َ َ َ ۡ‫َّ َ َ َ أ‬ َ ‫ك أَ ۡعلَ ُم ب‬َ ُّ َ َ
‫ض َو َءات ۡي َنا‬
ٖۖ
ۡ ‫ع َب‬
‫ع‬ ٰ ‫ۧن‬ ‍
‫ي‬ ِِ ‫ب‬ ‫ٱنل‬ ‫ض‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ا‬‫ن‬‫ل‬ ‫ض‬ ‫ف‬ ‫د‬ ‫ق‬ ‫ل‬‫و‬ ِ
‫ۡرض‬
ۗ ‫ٱل‬ ‫و‬ ‫ت‬
ِ ٰ ‫و‬ٰ ‫م‬‫ٱلس‬ ‫ف‬ ‫ن‬
ِ‫ِ ي‬‫م‬ ‫ورب‬
َ ُ َ
ٗ ‫ۥد َز ُب‬
‫ورا‬ ‫داو‬
“Dan Rabbmu lebih mengetahui siapa yang (ada) di langit dan di bumi. Dan
sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain),
dan Kami berikan Zabur (kepada) Daud.” (QS. Al-Israa’: 55)
Allah Ta’aala berfirman;
َ
‫ت َو َءات ۡي َنا‬ َ َ َ ۡ ُ َ ۡ َ َ َ َ َ ُ َّ‫ّ ۡ ُ َّ لَ َّ َ ه‬ ۡ َ ٰ َ‫ٱلر ُس ُل فَ َّض ۡل َنا َب ۡع َض ُه ۡم لَى‬
ُّ ‫ك‬َ ۡ
ۚ ٖ ٰ ‫ض مِنهم من كم ٱللۖ ورفع بعضهم درج‬ ۘ ٖ ‫ع بع‬ ‫ت ِل‬
ُ ُ ۡ ِ ُ ُ ٰ َ ۡ َّ َ َ ٰ َ ّ َ ۡ‫ىَ ۡ َ َ ۡ َ َ ب‬
ۗ ِ ‫ت وأيدنه بِروح ٱلقد‬
‫س‬ ِ ‫عِيس ٱبن مريم ٱليِن‬
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di
antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya
Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera
Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus...” (QS. Al-
Baqarah: 253)
Allah Ta’aala berfirman;
ُ َ‫ا‬ َ ۡ‫أ‬ ُ َٰ
َ َ َّ ‫ث‬ َّ‫هَّ للِه‬ َ ‫ك ۡم َأ اَّل تُنفِ ُقوا ْ ف‬
ُ َ ََ
‫ۡرض ل ي َ ۡس َتوِي مِنكم َّم ۡن‬ ۚ ِ ‫ت َوٱل‬
ِ ٰ ‫ٱلسمٰو‬ ‫يل ٱللِ َو ِ مِير‬ ‫ب‬ ‫س‬
ِ ِ ِ‫ي‬ ‫وما ل‬
ٗ‫َ ۡ ُ َ َ َ ُ ْ َ لُ ّا‬ َ َ ُ
ْ ُ َ َ َّ‫َ ۡ ۡ َ ۡ َ َ َ َ ْ َ َ ۡ َ ُ َ َ َ ٗ ّ َ ذ‬ َ َ
‫ِين أنفقوا ِم ۢن بعد وقٰتل ۚوا وك‬ ‫أنف َق مِن قب ِل ٱلفتحِ وقٰتل ۚ أو ٰٓلئِك أعظم درجة مِن ٱل‬
ٌ ‫ون َخب‬ َ ُ َ ۡ َ َ ُ َّ‫َ َ َ هَّ ُ حۡ ُ ۡ ىَ ٰ َ ه‬
‫ري‬ِ ‫وعد ٱلل ٱلسن ۚ وٱلل بِما تعمل‬
“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah,
padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi. Tidak sama di
antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan
(Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan
(hartanya) dan berperang sesudah itu.Allah menjanjikan kepada masing-masing
mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Hadiid: 10)
Allah Ta’aala berfirman;
َ َّ‫ه‬ َ ُ ٰ َ ُ ۡ َ َ َّ‫ر‬ ْ ُ‫ِني َغيرۡ ُ أ‬
َ ‫ون م َِن ٱل ۡ ُم ۡؤ ِمن‬َ ُ َٰ ۡ َ ‫اَّل ي َ ۡس‬
‫يل ٱللِ بِأ ۡم َوٰل ِ ِه ۡم‬ ِ ِ ِ‫ي‬‫ب‬ َ ‫ون ف‬
‫س‬ ‫د‬ ‫ه‬
ِ ‫ج‬ ‫م‬ ‫ٱل‬ ‫و‬ ِ ‫ر‬ ‫ٱلض‬ ‫ل‬ ِ‫ي‬ ‫و‬ ‫د‬ ‫ع‬
ِ ‫ق‬ ‫ٱل‬ ‫ي‬ ِ ‫و‬ ‫ت‬
ُ‫ٱلل‬َّ‫َ َ َ ه‬ ّ ٗ‫ا‬ ُ‫ل‬ َ ٗ َ َ َ َ َٰ ۡ َ‫لَى‬ ۡ َ َ
ُ َ ۡ ٰ َ ۡ َ ٰ َ ُ ُ َّ‫ه‬ ۡ َ َّ ۡ ُ َ َ
َ
ۚ
‫س ِهم ع ٱلقعِدِين درجة وك وعد‬ ِ
ِ ‫س ِه ۚم فضل ٱلل ٱلمج ِهدِين بِأمول ِهم وأنف‬ ِ ‫وأنف‬
ٗ َ ۡ‫حۡ ُ ۡ ىَ ٰ َ َ َّ َ هَّ ُ ۡ ُ َ ٰ َ لَىَ ۡ َ ٰ َ َ ۡ ً َ ٗ َ َ َ ٰ ّ ۡ ُ َ َ ۡ َ ٗ َ َ م‬
ۚ ‫ت مِنه ومغفِرة ورحة‬ ٖ ‫ درج‬. ‫ٱلسن ۚ وفضل ٱلل ٱلمج ِهدِين ع ٱلقعِدِين أجرا ع ِظيما‬
‫ِيما‬ ً ‫ورا َّرح‬ ٗ ‫ٱلل َغ ُف‬ُ َّ‫َو اَك َن ه‬

38 | Al-Furuq
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak
mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta
mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan
jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka
Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat
dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’: 95-96)
Dan Allah Ta’aala berfirman;
َّ‫هَّ َ ۡ َ ٰ ۡ َ َ ُ ۡ َ ۡ َ ُ َ َ َ ً َ ه‬ َ ‫ج ٰ َه ُدوا ْ ف‬
َ ‫اج ُروا ْ َو‬ َ ‫ذَّٱل‬
َ ‫ِين َء َام ُنوا ْ َو َه‬
ِۚ‫ِند ٱلل‬
‫س ِهم أعظم درجة ع‬ ِ ‫يل ٱللِ بِأمول ِ ِهم وأنف‬
ِ ِ ‫ب‬ ‫س‬ ِ‫ي‬
َ ٓ َۡ ُ َ َ ُ
‫َوأ ْو ٰٓلئِك ه ُم ٱلفائ ِ ُزون‬
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta
benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-
orang yang mendapatkan kemenangan.” (QS. At-Taubah: 20)
Allah Ta’aala berfirman;
َ ُ َ ۡ َ َ ُ َّ‫ُ ۡ َ ذَّ َ ُ ُ ْ ۡ ۡ َ َ َ َ ٰ َ ه‬
ٌ‫ون َخبري‬ ْ ُ َ َ َ َّ‫َ ۡ َ هَّ ُ ذ‬
ِ ‫ت وٱلل بِما تعمل‬ۚ ٖ ‫يرفعِ ٱلل ٱلِين ءامنوا مِنكم وٱلِين أوتوا ٱلعِلم درج‬
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Allah Ta’aala berfirman;
ٓ َّ ْ ُ َ َ ْ ُ َ َ َ َّ‫َ ۡ َ َ ذَّ َ ۡ رَ َ ُ ْ َّ ّ َ َ جَّۡ َ َ ُ ۡ َ ذ‬
َ ‫ٱلصٰل‬
‫ت َس َوا ٗء‬
ِ ٰ ‫ِح‬ ‫ات أن نعلهم كٱلِين ءامنوا وع ِملوا‬ ِ ‫ي‬ٔ‍ ِ ‫أم حسِب ٱلِين ٱجتحوا ٱلس‬
َ ُ َۡ‫ح‬ ٓ ُ ُ َّۡ‫ح‬
‫م َياه ۡم َو َم َمات ُه ۡ ۚم َسا َء َما يك ُمون‬
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka Amat buruklah apa yang
mereka sangka itu.” (QS. Al-Jaatsiyah: 21)
Al-Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahih-nya, beliau rahi­mahullah
berkata; Bab bertambah dan berkurangnya iman. Firman Allah Ta’aala;
ُٗ َۡ
‫َوزِدنٰ ُه ۡم هدى‬
“...dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk,” (QS. Al-Kahfi: 13)

Al-Furuq | 39
‫يم ٰ ٗنا‬ َ ‫اد ذَّٱل‬
َ ‫ِين َء َام ُن ٓوا ْ إ‬ َ َََۡ
‫ويزد‬
ِ
“...dan supaya orang yang beriman bertambah imannya...” (QS. Al-Muddatsir: 31)
Dan Dia berfirman;
ُ َ ۡ ُ َ ُ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ‫ي‬
ۡ‫كم‬ ‫ٱلوم أكملت لكم دِين‬
“...hari ini aku sempurnakan untuk kalian agama kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)
Kemudian beliau rahimahullah berkata; maka apabila (seseorang) telah
meninggalkan sesuatu dari kesempurnaan, maka (iman) berku­r ang. Beliau
membawakan di situ sekumpulan hadits-hadits tentang hal ini;
Dari Anas dari Nabi  beliau berkata; “Akan keluar dari neraka orang yang
mengucapkan Laa ilaaha Illallah, dan di dalam hatinya terdapat seberat kulit gandum
dari kebaikan. Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha Illallah,
dan di dalam hatinya terdapat seberat biji gandum dari kebaikan. Akan keluar dari
neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha Illallah, dan di dalam hatinya terdapat
seberat biji jagung dari kebaikan.” Pada lafal lain, “dari ke­imanan” sebagai ganti “dari
kebaikan”77
Dari Umar bin al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu ada seorang Yahudi berkata
kepadanya; “Wahai Amirul Mukminin, ada satu ayat di dalam kitab kalian (al-
Quran), kalian membacanya. Kalau seandainya ayat ini turun kepada kami (orang-
orang Yahudi), kami akan jadikan hari itu sebagai hari raya. Umar berkata; Ayat
apa? Yahudi itu berkata;
ُ َ ُ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ‫ُ ۡ َ اَ خَۡ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ ۡ ي‬
ۡ‫كم‬ ْ َ َ َ َّ‫يۡ َ ۡ َ َ َ ذ‬
‫ِين كف ُروا مِن دِين ِكم فل تشوهم وٱخشو ِ ۚن ٱلوم أكملت ل‬ ‫ٱلوم يئِس ٱل‬
ۚ
ٗ‫ك ُم إۡٱل ۡس َل ٰ َم دِينا‬
ُ َ ُ
‫ل‬ ‫يت‬ ‫ض‬
ِ ‫ر‬ ۡ ُ ۡ َ
َ ‫ت عليك ۡم ن ِع َمت َو‬َ ُ ‫ك ۡم َو َأ ۡت َم ۡم‬
ُ َ
‫دِين‬
ِ ِ‫ي‬
“Pada hari ini Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan Aku cukupkan atas
kalian nikmat-Ku dan Aku ridha bagi kalian Islam sebagai agama.” (QS. Al-Maidah:
3). Umar berkata; Kami telah mengetahui hari apa itu dan tempat ayat itu turun
kepada Nabi  di mana beliau sedang berdiri di ‘Arafah pada hari jum’at.¹
Al-Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Shahih-nya dari kitab al-
Iman, ia berkata; (Bab bertingkat-tingkatnya (keimanan) orang-orang yang beriman
dengan amal) dan ia menyebutkan disitu sekumpulan hadits-hadits di antaranya:
Dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang marfu’; Penghuni surga
memasuki surga, dan penghuni neraka memasuki neraka, kemudian Allah Azza
wa Jalla berkata; “Keluarkanlah (dari neraka) orang-orang yang di dalam hatinya

77 Al Bukhari (45) dan ini redaksinya, dan Muslim (3017)

40 | Al-Furuq
terdapat seberat biji khardal dari keimanan.”78 Hadits ini menunjukkan akan
berkurangnya iman.
Dari Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata; Ra­sulullah  bersabda;
“Ketika aku sedang tidur aku melihat orang-orang dihadapkan kepadaku dan mereka
mengenakan jubah. Di antara mereka ada yang jubahnya sampai ke dadanya dan
di antara mereka ada yang di bawah itu, dan dihadapkan kepadaku Umar bin Al
Khattab dan dia mengenakan jubah yang dia tarik.” Mereka bertanya; Bagaimana
engkau mentakwilnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab; “agama”79
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah  berka­ta; “Tidaklah
seorang pezina berzina saat dia berzina dan dia beriman, dan tidaklah seorang pencuri
mencuri saat dia mencuri dan dia beriman, dan tidaklah seorang peminum minum
khamr saat dia meminumnya dia beriman, dan tidaklah seseorang merampas harta
yang mulia yang orang-orang mengangkat pandangan mereka kepadanya saat orang
itu merampasnya dan dia beriman.”80
Hadits-hadits ini menunjukkan akan bertambah dan berkurangnya iman dan
keimanan itu bertingkat-tingkat pada orang-orang beriman.
Telah diriwayatkan ­atsar-atsar yang banyak dari Salaf tentang hal ini, di
antaranya;
Dari Umar bin al-Khattab Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata kepada para
sahabatnya; “Mendekatlah kalian, kita menambah keimanan, dan pada satu riwayat;
Kemarilah kalian kita menambah keimanan.”81
Dari Mu’adz Radhiyallahu ‘anhu ia berkata kepada para sahabatnya; “Duduklah
kalian di sini kita beriman sebentar.”82
Dari Abdullah bin Rawahah Radhiyalahu ‘Anhu bahwa ia me­megang tangan dari
sahabat-sahabatnya seraya berkata; “Kemarilah kita beriman sebentar, kemarilah kita
mengingat Allah dan menambah keimanan dengan ketaatan kepada-Nya semoga
Dia mengingat kita dengan memberikan ampunan.”83
Dari Abu Ad-Darda’ Uwaimir al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata; “Iman
itu bertambah dan berkurang.”84

78 Al Bukhari (22) dan Muslim (185)


79 Al Bukhari (23) dan Muslim (2390)
80 Al Bukhari (45) dan Muslim (3017)
81 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (11/26) dan Al Baihaqi dalam Syu’abul
Iman (1/69) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra (2/847) dan Al Laalika’i dalam Syarah Al
I’tiqah (5/941)
82 Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (1/73)
83 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (11/43)
84 Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (1/76)

Al-Furuq | 41
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata; “Ya Allah, tambahkan kami
iman, keyakinan dan pemahaman.”85
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata; “Iman itu bertambah dan
berkurang.”86
Dari Jundub bin Abdillah al-Bajali Radhiyallahu ‘anhu ia berkata; “Dahulu kami
bersama dengan Rasulullah  sebagai pemuda haza­wirah. Lalu kami mempelajari
iman, kemudian mempelajari al-Quran, lalu bertambahlah dengannya iman kami.”87
Dari Umair bin Habib Radhiyallahu ‘anhu ia berkata; “Iman bertambah
dan berkurang. Kemudian dikatakan kepadanya; Apa yang menambah dan
menguranginya? Ia menjawab; Apabila kita mengingat Allah Azza wa Jalla dan
memuji dan mensucikan-Nya, maka yang demikian itu adalah bertambahnya iman.
Apabila kita lalai, menelantarkan dan melupakan, maka yang demikian itu adalah
berkurangnya iman.”88
Dari Sufyan bin Uyainah rahimahullah ia ditanya; “Apakah iman bertambah
dan berkurang?” Ia menjawab; “Bukankah kamu mem­baca;
َ ََ
َ ‫اد ُه ۡم إ‬
‫يم ٰ ٗنا‬ِ ‫فز‬
“Maka perkataan itu menambah keimanan mereka...” (QS. Ali Imran : 173)
ُٗ َۡ
‫َوزِدنٰ ُه ۡم هدى‬
“...dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk,” (QS. Al-Kahfi : 13)
Pada lebih dari satu tempat?” Kemudian dikatakan; “Berkurang­nya?” Ia
menjawab: “Tidak ada satu pun yang bertambah kecuali bisa berkurang.”89
Dari Mujahid bin Jabr rahimahullah ia berkata; “Iman ucapan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang.”90
Dari Uwaimir bin Habib Radhiyallahu ‘anhu ia berkata; “Iman bertambah
dan berkurang.” Kemudian dikatakan kepadanya; Apa yang menambah dan
menguranginya? Ia menjawab; Apabila kita mengingat Allah Azza wa Jalla, memuji
dan mensucikan-Nya, maka yang demikian itu adalah bertambahnya iman.
Apabila kita lalai, menelantarkan dan melupakan, maka yang demikian itu adalah

85 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad di dalam As-Sunnah (1/368)


86 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad di dalam As-Sunnah (1/314)
87 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (61) dan At-Thabrani dalam Al Kabir (2/165) dan Al Baihaqi
(3/120)
88 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/330)
89 Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra (2/850)
90 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/311) dan Ibnu Baththah
dalam Al Ibanah Al Kubra (2/859) dan Al Laalika’i dalam Syarah Al I’tiqad (5/952)

42 | Al-Furuq
berkurangnya iman.91
Dari al-Auza’i rahimahullah; “Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah
dan berkurang92.” Beliau rahimahullah ditanya tentang iman apakah bertambah? Ia
menjawab; “Iya, sampai setinggi gunung. Dikatakan kepadanya; Apakah berkurang?
Ia menjawab; Iya, sampai tidak tersisa dari iman sedikitpun.”93
Dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullah; “Iman bertambah dan berkurang.”94
Dari Ahmad bin al-Qasim rahimahullah, ia berkata; “Kami mengulang-ulang
ingatan tentang orang yang berpendapat bahwa iman bertambah dan berkurang,
maka terhimpunlah lebih dari seorang. Kemudian dia berkata; Malik bin Anas
berpendapat bertambah dan berkurang.”95
Dari Ahmad bin al-Qasim dari Imam Ahmad bahwa ia berkata tentang Malik
rahimahullah; “Telah diriwayatkan darinya bahwa (iman) bertambah dan berkurang.
Dahulu Ibnu Nafi’ menghikayatkan hal ini dari Malik, maka aku katakan kepadanya;
Ibnu Nafi’ menghikayatkan dari Malik? Ia berkata; iya.”96
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata; “Telah berkata lebih dari seorang;
Aku mendengar Malik rahimahullah berkata; Iman adalah ucapan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang, sebagiannya lebih tinggi dari yang lainnya.”97
Ibnu Rusyd –sang kakek- al-faqih, rahimahullah berkata; “Pada riwayat Ibnu
Nafi’ Malik berkata; Sesungguhnya aku telah menadaburi persoalan ini maka tidak
ada sesuatu yang bertambah kecuali berkurang.”98
Dari Ali bin al-Hasan bin Syaqiq, ia berkata; “Aku mendengar Abdullah bin al-
Mubarak berkata; Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.”99
Dari Khalid bin al-Harits rahimahullah; “Iman adalah ucapan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang.”100
Abu Daud101 pada Masa’il al-Imam Ahmad dari Jarir bin Abdillah Al Humaid
rahimahullah; “Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.”

91 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/330)


92 Diriwayatkan oleh Al Laalika’i dalam Syarah Al I’tiqad (5/958)
93 Diriwayatkan oleh Al Laalika’i dalam As-Sunnah (5/959)
94 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Iman Ahmad dalam As-Sunnah (1/310) dan Ibnu Baththah dalam
Al Ibanah Al Kubra (2/852)
95 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (7/506) dan yang setelahnya,
dan lihat As-Sunnah oleh Al Khallal (3/592)
96 As-Sunnah oleh Al Khallal (3/592)
97 Tartib Al Madarik (1/52) oleh Al Qadhi Iyadh. Lihat Siyar A’lam An-Nubala’ (8/102)
98 Al Muqaddimat (1/37)
99 Ar-Radd ‘Ala man Yaqulu Al Qur’an Makhluk oleh An-Najjad (54)
100 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/336)
101 Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Masa’il Al Imam Ahmad (halaman 272) dan Abdullah bin Al
Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/310)

Al-Furuq | 43
Dia meriwayatkan darinya dari Waqi’ bin al-Jarrah rahimahullah; “Iman
bertambah dan berkurang.”102
Dari Yahya al-Qaththan rahimahullah, ia berkata; “Aku tidak pernah mendapati
seorang pun dari sahabat kami kecuali berada di atas sunnah kita dalam perkara
iman. Mereka mengatakan; iman bertambah dan berkurang.”103
Berkata Ibnu Uyainah rahimahullah; “Iman adalah ucapan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang, kemudian audaranya –Ibrahim bin Uyainah- berkata;
Wahai Aba Muhammad, jangan kamu katakan bertambah dan berkurang. Lalu Ibnu
Uyainah marah dan berkata; Diam wahai anak kecil, bahkan dia berkurang hingga
tidak tersisa dari keimanan sedikitpun.”104
Dia juga ditanya tentang iman, ia berkata; “Ucapan dan perbuatan, bertambah
dan berkurang. Bertambah masyaAllah, dan berkurang hingga tidak tersisa dari
keimanan, yakni seperti ini, dan beliau menunjukkan dengan tangannya.”105
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata; “Iman ucapan dan perbuatan, bertambah dan
berkurang.”106
Dari Abdurrazzaq ash-Shan’ani rahimahullah ia berkata; “Saya mendengar
Ma’mar, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Ibnu Juraij dan Sufyan bin Uyainah
mengatakan; Iman ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.107 Abdurrazzaq
berkata; “Aku berpendapat demikian juga, iman ucapan dan perbuatan, iman
bertambah dan berkurang. Maka jika aku menyelisihi mereka berarti aku telah sesat
dan aku tidak termasuk orang yang mendapat petunjuk.”108
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata; “Iman bertambah dan berkurang
sampai tidak tersisa darinya sedikitpun.”109
Dari Imam Ahmad rahimahullah ia berkata; “Iman sebagiannya lebih utama
dari sebagian lainnya. Bertambah dan berkurang. Penam­bahannya pada perbuatan
dan pengurangannya pada meninggalkan amal. Karena ucapan dia sudah
mengakuinya.”110

102 Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Masa’il Al Imam Ahmad (halaman 272) dan Abdullah bin Al
Iman Ahmad dalam As-Sunnah (1/310)
103 Diriwayatkan oleh Ibnu Hani’ dalam Masa’il Al Imam Ahmad (2/162)
104 Diriwayatkan oleh Al Humaidi dalam Musnad-nya (2/546) dan lihat Al Ibanah Al Kubra, oleh Ibnu
Baththah (2/855)
105 Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra (2/855)
106 Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (10/115)
107 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/342)
108 Idem (1/342)
109 Diriwayatkan oleh Al Khallal dalam As-Sunnah (2/680)
110 Idem (2/678)

44 | Al-Furuq
Beliau rahimahullah berkata; “Iman ucapan dan perbuatan, bertambah dan
berkurang. Apabila kamu melakukan kebajikan, dia bertambah. Apabila kamu
menelantarkan dia berkurang.”111
Beliau rahimahullah ditanya tentang bertambah dan berkurangnya iman, ia
menjawab; “Bertambah hingga mencapai atas langit yang tujuh, dan berkurang
hingga mencapai lapisan terendah yang ketujuh.”112
Dari Abu Zur’ah rahimahullah ia berkata; “Iman menurut kami adalah ucapan
dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Barangsiapa mengatakan selain ini maka
dia mubtadi’ murji’.”113
Abu Hatim ar-Razi rahimahullah berkata; “Madzhab kami, pilihan kami, apa
yang kami yakini dan kami beragama kepada Allah dengannya, kami minta kepada-
Nya keselamatan di dunia dan akhirat adalah; bahwa iman ucapan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang.”114
Ishaq bin Rahawaih berkata; “Iman ucapan dan perbuatan, bertambah dan
berkurang, dan tidak diragukan lagi hal ini seperti yang telah kami jelaskan.
Sesungguhnya kami memahami demikian berdasarkan kepada riwayat-riwayat yang
shahih, atsar-atsar yang umum lagi muhkam. perkataan-perkataan para sahabat
Rasulullah  dan para tabi’in dan seterusnya akan yang demikian. Begitu pula
setelah para tabi’in dari para ahli ilmu berdiri di atas prinsip yang sama, mereka
tidak berselisih akan hal ini. Begitu juga pada zaman al-Auza’i di Syam, Sufyan ats-
Tsauri di Irak, Malik bin Anas di Hijaz, dan Ma’mar di Yaman sesuai yang telah
kami terangkan dan jelaskan bahwa iman ucapan dan perbuatan, bertambah dan
berkurang.”115
Syaikhul Islam rahimahullah berkata; “Yang ditinggalkan oleh para sahabat
dan para imam tabi’in serta mayoritas salaf adalah madzhab ahli hadits, dan dia
dinisbatkan kepada Ahlussunnah; bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan.”116
Beliau rahimahullah berkata; “Salaf telah sepakat (ijma’) bahwa iman adalah
ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.”117
Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata; “Iman adalah ucapan,
perbuatan dan keyakinan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
111 Idem (2/680)
112 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ya’la dalam Thabaqat Al Hanabilah (1/259)
113 Idem (1/203)
114 Idem (1/286)
115 Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (7/307)
116 Idem (7/505)
117 Idem (7/672)

Al-Furuq | 45
kemaksiatan. Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini dari al-Quran dan as-Sunnah
lebih banyak dari bisa dihimpun.”118
Beliau rahimahullah berkata; “Amalan-amalan yang disyariatkan semuanya
termasuk dari cabang-cabang keimanan yang dengannya iman bertambah dan
berkurang dengan berkurangnya amalan.”119
Beliau rahimahullah berkata; “Iman ucapan dan perbuatan, bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.”120
Beliau rahimahullah berkata mengomentari ucapan ath-Thahawi yang
mengatakan; (Iman itu satu, dan orang yang memilikinya pada asal (keimanan)
nya sama. Sedangkan perbedaan di antara mereka adalah dalam hal khasyyah dan
ketakwaan). Beliau berkata; “Ucapan ath-Thahawi; iman itu satu, dan orang yang
memilikinya pada asal (keimanan)nya sama, ucapannya ini tidak selamat, bahkan
batil. Keimanan orang-orang beriman tidak sama, bahkan bertingkat-tingkat
dengan perbedaan yang besar. Keimanan para rasul tidak sama dengan keimanan
selain mereka, sebagaimana keimanan para khulafa’ur rasyidin dan sahabat lainnya
Radhiyallahu ‘Anhum tidak sama dengan keimanan selain me­reka. Begitu juga
keimanan orang-orang beriman tidak sama dengan keimanan orang-orang fasik.
Perbedaan-perbedaan ini tergantung apa yang ada di dalam dada berupa ilmu
tentang Allah, nama-nama Nya dan sifat-sifat Nya dan apa-apa yang Dia syariatkan
kepada hamba-hamba Nya; dan ini adalah pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah,
berbeda dengan Murji’ah dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Hanya
kepada Allah kita mohon pertolongan.”121
Beliau rahimahullah berkata; “Iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah adalah
ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan-
ketaatan dan dengan mengingat Allah, dan berkurang dengan kemaksiatan-
kemaksiatan dan dengan kelalaian dari mengingat-Nya.”122
Beliau rahimahullah berkata; “Apabila kamu dapati pada dirimu sifat khianat
kepada saudaramu, atau kamu lihat seorang perempuan beriman pada dirinya
khianat pada saudarinya fillah yang lain, atau saudaranya fillah, yang demikian
itulah berkurangnya iman, lemahnya iman dan keikhlasan kepada Allah Azza wa
Jalla. Karena jika iman itu sempurna tentu tidak akan terjatuh kepada kekurangan
ini yang berupa khianat, atau kedzaliman, atau selainnya dari apa –apa yang Allah
Azza wa Jalla haramkan. Maka sifat hasad, khianat, menipu dalam mu’amalah,

118 Majmu’ Al Maqalat wal Fatawa (2/83)


119 Idem (5/35)
120 Idem (5/35)
121 Idem (2/83)
122 Idem (5/11)

46 | Al-Furuq
kesaksian palsu, zalim kepada seama semua ini mengurangi iman dan kelemahan
pada keikhalasan dan keislaman. Begitu pula selainnya dari segala macam
kemaksiatan, dan hal itu bisa mengantarkan kepada hilangnya iman keseluruhan,
seperti meninggalkan shalat. Karena meninggalkan shalat adalah kufur akbar dan
kemurtadan dari Islam sekalipun orang yang meninggalkannya tidak mengingkari
kewajibannya, menurut salah satu dari dua penda­pat yang paling benar. Adapun
orang yang mengingkari kewajibannya, maka dia kafir berdasarkan ijma’ ulama.
Begitu pula apabila dia mengingkari wajibnya zakat, atau wajibnya puasa Ramadhan,
atau wajibnya haji ke Baitullah dan dia mampu, atau mengingkari wajibnya syariat
jihad fi sabilillah, atau salah satu dari perkara-perkara yang dhahirah yang ma’lum
minad diin bid-dharurah (populer dalam Islam –pentj) maka dengan itu dia menjadi
kafir, murtad berdasarkan ijma’ muslimin. Begitu pula jika dia mengingkari sebagian
yang Allah haramkan dari keharaman-keharaman yang ma’lum minad-diin bid-
dharurah seperti mengatakan; zina halal, atau khamr halal, atau durhaka kepada
kedua orangtua halal, atau riba halal, sesungguhnya hal ini dan yang semisalnya
adalah kekufuran dan kemurtadan dari Islam. Hanya kepada Allah kita mohon
perlindungan dari ini semua.
Maka dengan ini diketahuilah bahwa kemaksiatan-kemaksiatan dan
pelanggaran-pelanggaran di antaranya ada yang menghilangkan keimanan
keseluruhan dan pelakunya menjadi murtad meninggalkan Islam, seperti yang
telah kalian dengar pada contoh-contoh tadi. Para ahli ilmu dari semua madzhab
yang empat telah menerangkan hal ini dan membuatkan untuknya bab khusus yang
mereka namakan bab hukum orang yang murtad, dan ini merupakan bab yang agung,
penting diulang-ulang dan diperhatikan. Di antara kemaksiatan-kemaksiatan dan
pelanggaran-pelanggaran ada yang melemahkan iman dan menjadikan pelakunya
kurang imannya, seperti mengerjakan sebagian keharaman-keharaman seperti
mabuk, durhaka kepada kedua orangtua atau salah satunya, mempraktekkan riba,
atau ghibah dan namimah (mengadu domba), atau hasad, atau melakukan tindak
kesewenangan dan kedzaliman tanpa disertai penghalalan. Semua ini mengurangi
keimanan dan melemahkan agama. Iman bertambah dan berkurang menurut
Ahlussunnah wal Jama’ah, bertambah dengan ketaatan-ketaatan dan berkurang
dengan kemaksiatan-kemaksiatan. Kelemahan berbeda-beda, dia menjadi besar
dengan banyaknya kemaksiatan, dan mengecil dengan kurangnya kemaksiatan.”123
Maka inilah nash-nash dari al-Quran dan as-Sunnah serta atsar-atsar salaf
yang terang dalilnya bahwa iman bertambah dan berkurang dan keimanan
seseorang berbeda-beda dan tidak sama. Ini adalah keyakinan salaf dan ijma’.
Mereka berbeda dengan Mur­ji’ah yang memandang bahwa iman adalah satu

123 Majmu’ Al Maqalat wal Fatawa (5/27-28)

Al-Furuq | 47
kesatuan, yaitu yang ada di dalam hati, dia tidak bertambah dan tidak berkurang.
Telah berlalu penjelasan tentang pendapat Jahmiyah tentang iman dan orang-orang
yang mengikutinya seperti as-Shalihi dan Abul Hasan al-Asy’ari bahwa iman adalah
ma’rifah. Maka (menurutnya) tidak ada yang mengeluarkan dari keimanan selain
kejahilan, iman tidak terbagi-bagi, tidak bertingkat-tingkat dan tidak bertambah
dan berkurang.124
Sedangkan Karramiyah menganggap bahwa iman adalah at-tashdiq
(pembenaran) lisan, sehingga tidak bertambah, tidak berkurang, tidak terbagi-bagi
dan tidak bertingkat-tingkat. Manusia dalam hal iman ini sama.125
Maturidiyah beranggapan bahwa iman adalah at-tashdiq (pem­benaran), tidak
bertambah dan tidak berkurang.126
Murjiah Fuqaha beranggapan bahwa iman adalah ucapan dan at-tashdiq
(pembenaran) di dalam hati, tidak bertambah dan tidak berkurang, tidak bertingkat-
tingkat dan tidak terbagi-bagi, dan orang-orang beriman pada asal keimanannya
sama.127
Pendapat-pendapat ini semua menyelisihi ijma’ salaf yang pen­dapatnya
telah kami terangkan, dimana mereka telah sepakat bahwa iman bertambah dan
berkurang dan bertingkat-tingkat.
Maka Murji’ah tidak menganggap iman bertambah dan berkurang, karena
mereka tidak memandang amalan bagian dari iman. Barang­siapa memandang
amalan keluar dari hakikat iman, baginya tidak ada apa pun yang menambah
keimanan atau menguranginya. Maka pendapat iman bertambah dan berkurang
sejajar dengan pendapat amal perbuatan bagian dari iman. Maka berdasarkan ini,
jangan percaya kepada orang yang mengatakan iman adalah ucapan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang saat mendefinisikan hakikat iman, kemu­dian dia
menganggap amal perbuatan adalah syarat sempurna (keiman­an), meninggalkannya
tidak menghilangkan iman. Karena ini adalah tanaqudh (kontradiktif) yang jelek,
dan ucapan batil yang buruk. Ba­rangsiapa mengatakan amal perbuatan adalah
kesempurnaan, dan bahwa hilangnya amal tidak menghilangkan iman, maka
ucapannya ini membatalkan dan menabrak definisinya tentang iman bahwa iman
ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.
Berikut ini ada beberapa persoalan;

124 Lihat Al Milal wan Nihal oleh Asy-Syahrustani (1/74)


125 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (7/141) dan (7/215) dan (7/394) dan At-
Tadmuriyah (halaman 193)
126 Lihat Al ‘Aqa’id An-Nasafiyah oleh Abu Hafsh An-Nasafi (halaman 80), At-Tamhid An-Nasafi
(halaman 102) dan Tabshirah Al Adillah oleh Abu Mu’in An-Nasafi (2/809)
127 Lihat Majmu’ Al Fatawa oleh Syaikhul Islam (18/271) Matan Al ‘Aqidah At-Thahawiyah berikut
syarahnya oleh Ibnu Abil Izz (halaman 331)

48 | Al-Furuq
Pendapat sekumpulan orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman ini yang
berpegang dengan pendapat salaf dalam hal iman, kemudian menyangka bahwa
barangsiapa mengatakan iman bertambah dan berkurang maka dia telah berlepas
dari irja’ pertama dan terakhirnya. Pendalilan mereka dalam hal ini dengan sebagian
atsar-atsar disertai dengan sikap mereka yang membatalkannya.
Maka dikatakan sebagai jawaban akan hal ini;
Ucapan ini dinukil dari sebagian salaf, di antara mereka adalah Imam Ahmad
bin Hambal dan selainnya; dari Ismail bin Said rahi­mahullah ia berkata; “Aku
bertanya kepada Ahmad tentang orang yang mengatakan; Iman bertambah dan
berkurang. Ia berkata; Orang ini telah berlepas dari irja’.”128
Al-Barbahari rahimahullah berkata; “Barangsiapa mengatakan; Iman ucapan
dan perbuatan, bertambah dan berkurang, maka dia telah keluar dari irja’ seluruhnya,
pertama dan terakhirnya.”129
Maka barangsiapa mengatakan iman bertambah dan berkurang, berarti dia telah
berpendapat dengan pendapat salaf dan berlepas dari irja’ pertama dan terakhirnya
selagi tidak membatalkan ucapannya ini dengan mendatangkan pendapat-
pendapat Murji’ah.
Barangsiapa yang berpendapat demikian, kemudian mengatakan bahwa
keimanan (seseorang) tidak hilang dengan hilangnya salah satu dari rukun-
rukunnya seperti amalan anggota badan, atau mengatakan; amal perbuatan adalah
syarat sempurna iman, berarti dia telah membatalkan kaidah ini dan sikapnya
kontradiktif. Karena bagaimana dia mengatakan; iman ucapan dan perbuatan,
kemudian mengatakan keimanan tidak hilang dengan hilangnya amalan anggota
badan, atau amalan anggota badan adalah syarat sempurna?! Dan bagaimana dia
mengatakan iman bertambah dan berkurang, kemudian mengakui bahwa amalan
anggota badan bukan dari iman, atau keimanan tidak hilang dengan hilangnya
amalan, atau bahwa orang yang meninggalkan amalan selamat di akhirat dengan
sekedar mengucapkan kalimat tauhid dan tidak mengerjakan satu pun kebajikan,
padahal dia mampu untuk itu dan tidak memiliki penghalang?!
Karena apabila dia mengakui bahwa amal perbuatan bagian dari iman, bertambah
dan berkurang berarti dia harus mengakui bahwa orang yang meninggalkannya
kafir, dan pengakuannya bertauhid dan beriman tidak berguna baginya di sisi
meninggalkan amalan. Karena iman itu berkurang dengan berkurangnya amalan.
Maka apabila amalan hilang, maka karena itu hilang juga keimanan semuanya.
Maka salaf apabila mengatakan; iman bertambah dan berkurang, yang mereka
inginkan dengannya adalah hakikat iman, yaitu unsurnya yang tiga; keyakinan,

128 As-Sunnah karya Al Khallal (3/582)


129 Syarah As-Sunnah oleh Al Barbahari (halaman 123)

Al-Furuq | 49
ucapan dan perbuatan. Di mana keimanan tidak sah kecuali terhimpun ketiganya
semuanya.130
Berdasarkan hal ini diketahuilah tanaqudh (sikap kontradiktif) dan kedustaan
mereka yang mengaku-ngaku mengikuti pemahaman salaf dalam hal iman,
sekalipun mereka mencocoki salaf dalam redaksi tapi menyelisihi mereka dalam
hakikat pemahaman salaf.
Di antara yang menjelaskan akan hal ini; telah dimaklumi bahwa sekumpulan
kaum Asya’irah belakangan131, mereka mengakui bahwa iman bertambah dan
berkurang, namun yang mereka inginkan adalah apa yang ada di dalam dada berupa
pembenaran (at-tashdiq) dan menjadikan amal perbuatan sebagai syarat sempurna
iman dan buahnya. Tentang mereka ini, tidak ada satu pun salaf yang mengatakan
bahwa pendapat mereka tentang iman bertambah dan berkurang telah mengeluarkan
mereka dari irja’.
Di antaranya juga apa yang dinukil oleh ahli ilmu seperti yang disebutkan oleh
Imam Harb al-Karmani rahimahullah berkata; “Aku mendengar Ishaq berkata; Orang
yang pertama kali mencetuskan al irja’ katanya adalah Al Hasan bin Muhammad
bin al-Hanafiyah. Kemu­dian Murji’ah semakin ghuluw (berlebihan) hingga di antara
pendapat mereka mengatakan (kata satu kaum); Barangsiapa meninggalkan yang
wajib, puasa Ramadhan, zakat, haji dan keseluruhan faraid tanpa disertai juhud
(mengingkari kewajibannya –pentj) maka kami tidak mengkafirkannya. Nasibnya
diserahkan kepada Allah, karena dia sudah mengakui. Maka mereka (orang yang
mengatakan hal ini) ada­lah Murji’ah - yang tidak diragukan lagi.
Kemudian mereka ada beberapa golongan;
Di antara mereka ada yang mengatakan kami beriman dan tidak mengatakan:
disisi Allah. Mereka menganggap bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan. Mereka
ini seperti yang pertama.
Ada kaum yang mengatakan; iman adalah ucapan, amal mem­benarkannya, dan
amal bukan bagian dari iman. Tapi amal adalah kewajiban dan iman adalah ucapan.
Mereka mengatakan; Kebaikan-kebaikan kami diterima, kami beriman disisi Allah,
dan iman kami dengan imannya Jibril satu. Mereka ini adalah orang-orang yang
datang keterangannya dalam hadits bahwa mereka Murji’ah yang dilaknat melalui
lisan-lisan para nabi.132

130 Akan datang bantahan kepada orang yang menganggap hakikat keimanan ini tidak dimaksudkan!
Dan bahwa maksud ucapan salaf adalah kesempurnaan iman, bukan keabsahannya, dan menyangka
bahwa untuk tercapainya keselamatan dari kekekalan di neraka keimanan sah dengan keyakinan
dan ucapan tanpa amalan!
131 Lihat Ithaf Al Murid (halama 92-105), Syarah Al Baijuri (halaman 45, 49, 51) dan lihat Syarah Ash-
Shawi ‘Ala Al Jauharah (halaman 132, 134-138)
132 Masa’il Al Imam Ahmad bin Hambal wa Ishaq bin Rahawaih melalui riwayat Harb Al Karmani

50 | Al-Furuq
Maka ini adalah kelompok dari Murji’ah yang mengatakan; iman adalah
ucapan dan perbuatan, kendati demikian tidak mengeluarkannya dari irja’, karena
menyelisihi hakikat pemahaman salaf dalam iman.
Di antaranya juga peringatan ahli ilmu dari sebagian kitab-kitab bahwa ia
mengajak kepada madzhab irja’ padahal para penulisnya berpegang bahwa iman
adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Semua ini menunjukkan
bahwa ucapan ini tidak menjamin pemiliknya sama sekali apabila diikuti dengan
mendatangkan pendapat yang muaranya adalah madzhab Murjiah, sekalipun
orangnya menganggap dirinya tidak demikian.
Para ulama al-Lajnah ad-Da’imah lil Ifta’ dibawah kepemimpinan al-‘Allamah
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan pada fatwa no (21436) sikap terhadap
orang yang berpendapat (selamatnya orang yang meninggalkan semua amalan);
“Pendapat yang disebutkan ini adalah pendapat Murji’ah yang mengeluarkan
amalan-amalan dari penamaan iman, dan mereka mengatakan; iman adalah
pembenaran dengan hati atau pembenaran dengan hati dan pengucapan dengan
lisan saja. Adapun amal perbuatan menurut mereka adalah syarat sempurna iman
saja dan bukan bagian dari iman. Maka barangsiapa membenarkan dengan hatinya
dan mengucapkan dengan lisannya dia beriman, imannya sempurna menurut
mereka, walaupun dia mengerjakan apa yang dia kerjakan berupa meninggalkan
kewajiban-kewajiban dan mengerjakan keharaman-keharaman. Dia berhak masuk
ke dalam surga walau pun tidak mengerjakan amal kebajikan sekali pun. Maka
lahir dari penda­pat yang sesat ini konsekuensi-konsekuensi yang batil, di antaranya
membatasi kekufuran kepada kufur takdzib (pendustaan), istihlal qalbi (penghalalan
hati). Tidak diragukan bahwa ini pendapat yang batil dan kesesatan yang nyata,
menyelisihi al-Quran dan as-Sunnah serta apa yang telah dipegang oleh Ahlussunnah
wal Jama’ah dahulu dan sekarang.”133
Para ahli ilmu telah menjelaskan dengan nash-nya bahwa kaidah ini (barangsiapa
mengatakan iman ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, berarti dia
telah berlepas dari irja’ pertama dan terakhirnya) tidak berguna bagi orang yang
membatalkannya dengan mendatangkan pendapat Murji’ah pada selain masalah
ini;
Guru kami Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidza­hullah pernah
ditanya benarkah perkataan berikut ini;Barangsiapa mengatakan iman ucapan,
perbuatan dan keyakinan, bertambah dan berkurang, berarti dia telah berlepas
dari irja’ semuanya sekalipun dia mengatakan; tidak ada kekufuran kecuali dengan
keyakinan dan pengingkaran?

(halaman 377)
133 Majmu’ Al Fatawa Al Lajnah (28/126)

Al-Furuq | 51
Beliau menjawab; “Ini tanaqudh (kontradiktif) karena apabila dia mengatakan;
tidak ada kekufuran kecuali dengan keyakinan atau pengingkaran, maka ini
membatalkan ucapannya; bahwa iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan
dengan hati, dan amalan dengan anggota badan. Karena apabila iman adalah ucapan
dengan lisan, ke­yakinan dengan hati dan amalan dengan anggota badan, bertambah
dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, ini artinya bahwa orang yang
berlepas dari amalan sama sekali, dia bukan orang beriman. Karena keimanan
adalah kumpulan dari ini semua, sebagiannya saja tidak cukup, dan kekufuran
tidak terbatas kepada pengingkaran. Tapi pengingkaran adalah salah satu dari jenis-
jenisnya. Kekufuran terjadi dengan ucapan, terjadi dengan perbuatan, terjadi dengan
keyakinan, dan terjadi dengan keraguan seperti yang telah disebutkan oleh ulama.
Lihatlah bab hukum-hukum orang yang murtad dari kitab-kitab fikih.”134
Berdasarkan ini diketahuilah salahnya klaim yang memutlakkan ucapan; iman
adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang mengeluarkan dari irja’
disamping membatalkan paham salaf tentang hakikat iman. Diketahui juga bahwa
di antara perbedaan-perbedaan antara akidah salaf dan akidah Murji’ah adalah
pendapat iman bertambah dan berkurang dan bahwa iman bertingkat-tingkat dalam
bentuk, sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Perbedaan Ketiga
Menurut salaf boleh memberikan Istisna’ dalam iman. Karena iman menurut
mereka ucapan, keyakinan dan perbuatan. Sedangkan istisna’ adalah dalam hal
perbuatan, bukan pada pokok keimanan. Berbeda dengan Murji’ah.
Ulama salaf sepakat akan bolehnya memberikan istisna’ dalam iman seperti
seseorang yang mengatakan: “Saya mukmin insyaallah”, jika ditinjau kepada
beberapa hal berikut:
Pertama: Ditinjau dari sisi menunaikan amal perbuatan.135 Karena amalan
perbuatan mengandung pelaksanaan terhadap apa yang Allah perintahkan dan
meninggalkan yang Allah larang. Tidak memberikan istisna’ dalam hal ini adalah
kesaksian terhadap diri sendiri bahwa dia telah sempurna dalam hal menunaikan
(amalan), dan hal yang demikian ini berarti memuji (diri sendiri), sedangkan Allah
Ta’aala telah berfirman;
َ َ ُ َ ُ َ ْ ٓ ُّ َ ُ َ‫َ ا‬
ٰٓ َ‫ك ۡمۖ ُه َو أ ۡعل ُم ب ِ َم ِن َّٱت ى‬
‫ق‬ ‫فل تزكوا أنفس‬

134 Masa’il Iman, dijawab oleh Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan, dikeluarkan oleh Abdurrahman bin
Muhammad Al Harafi (halaman 23)
135 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam (7/446) dan (7/439), Masa’il Ibnu Hani’ (2/162) dan As-
Sunnah oleh Al Khallal (3/600)

52 | Al-Furuq
“...maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah Yang paling mengetahui
tentang orang yang bertaqwa.” (QS. An-Najm: 32)
Kedua: Ditinjau dari sisi diterima dan ditolaknya amal.136 Karena seorang
muslim tidak mengetahui apakah amalannya diterima atau tidak. Seorang mukmin
diperintahkan untuk khawatir dari gugurnya amalannya karena Allah Ta’aala telah
berfirman;
َ‫ى‬ َ َ َ ۡ ُ ُ ُ ُ َّ ْ َ ٓ َ َ ُ ۡ ُ َ َّ‫َ ذ‬
َ ِٰ ‫جل ٌة أ َّن ُه ۡم إ ِ ٰل َر ّب ِ ِه ۡم َر‬
‫ج ُعون‬ َ
ِ ‫وٱلِين يؤتون ما ءاتوا وقلوبهم و‬
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang
takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb
mereka,” (QS. Al-Mukminun: 60)
Ketiga: Ditinjau dari sisi tutup usia.137 Karena seorang muslim ti­dak tahu dengan
apa dia akan diakhiri dari keimanan atau kekufuran pada umurnya yang akan
datang dan penutup amalannya. Telah benar riwayatnya dari Abdullah bin Mas’ud ia
berkata; Rasulullah  men­ceritakan kepada kami dan beliau adalah yang benar dan
dibenarkan; “Sesungguhnya setiap orang dari kalian dikumpulkan dalam pencipta­
annya ketika berada di dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian
menjadi ‘alaqah (zigot) selama itu pula kemudian menjadi mudlghah (segumpal
daging), selama itu pula kemudian Allah mengirim malaikat yang diperintahkan
empat ketetapan dan dikatakan kepada­nya, tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya dan
sengsara dan bahagianya lalu ditiupkan ruh kepadanya. Dan sungguh seseorang dari
kalian akan ada yang beramal hingga dirinya berada dekat dengan surga kecuali
sejengkal saja lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan takdir) hingga dia beramal
dengan amalan penghuni neraka dan ada juga seseorang yang beramal hingga dirinya
berada dekat dengan neraka kecuali sejeng­kal saja lalu dia didahului oleh catatan
(ketetapan takdir) hingga dia beramal dengan amalan penghuni surga.”138
Berdasarkan tinjauan-tinjauan ini boleh memberikan istisna’ dalam iman.
Hal ini memiliki landasan di dalam al-Quran dan as-Sunnah139 di antara­nya;
Allah Ta’aala berfirman;
ُ َّ‫ام إن َشا ٓ َء ه‬
َ ‫ٱلل َءا ِمن‬ َ ‫ٱل َر‬
َ ۡ‫تَ َ ۡ ُ ُ َّ ۡ َ ۡ َ ح‬
‫ِني‬ ِ ‫جد‬
ِ ‫لدخلن ٱلمس‬
“...bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah
dalam keadaan aman.” (QS. Al-Fath: 27)

136 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam (7/446) dan (7/496)


137 Lihat Al Ibanah Al Kubra oleh Ibnu Baththah (2/865)
138 Al Bukhari (3036) dan Muslim (2643)
139 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam (7/451) dan As-Sunnah oleh Al Khallal (3/595)

Al-Furuq | 53
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa seseorang datang kepada Nabi 
bertanya kepadanya dan Aisyah mendengarkan dari balik hijab. Dia berkata;
Wahai Rasulullah! Waktu shalat tiba sedangkan aku dalam keadaan junub, apa aku
berpuasa? Rasulullah  berkata; “Dan waktu shalat tiba, aku dalam keadaan junub
dan aku puasa.” Lalu dia berkata; Kamu tidak seperti kami, wahai Rasulullah! Allah
telah mengampunimu dosa yang telah lalu dan yang akan datang. Beliau menjawab;
“Demi Allah! Sesungguhnya aku berharap menjadi yang paling takut kepada Allah
dari kalian dan yang paling mengetahui akan apa yang aku takuti”140
Maksud dari ucapan beliau di sini; “Aku berharap” padahal Ra­sulullah 
dipastikan orang yang paling bertakwa kepada Allah dan mengetahui bahwa dia
orang yang paling utama dan manusia paling bertakwa tanpa keraguan, tapi kendati
begitu beliau istisna’ .
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah  pergi ke pekuburan dan berkata;
“Assalamu ‘alaykum negeri kaum mukminin, dan Insya Allah akan menyusul
kalian.”141
Maksudnya adalah ucapan beliau; “...insyaallah aku menyusul kalian.” Dimana
beliau memberikan istisna’ padahal beliau yakin akan perjumpaan dengan mereka
dengan kematian.
Maka nash-nash ini menunjukkan akan bolehnya memberikan istisna’ tanpa
keraguan.
Demikianlah orang beriman, beristisna’ sedangkan dia yakin terhadap asal
keimanannya. Istisna’ ini (boleh) ditinjau dari sisi amal perbuatan, diterima atau
tidaknya (amalan) dan bagaimana keadaan di penutup (hidup)nya sebagaimana
telah diterangkan, bukan berkaitan dengan pokok keimanan. Adapun melarang
istisna’ dari sisi ini (pokok keimanan) karena hal ini berarti menunjukkan keraguan,
dan barangsiapa ragu, maka dia telah kafir, sebagaimana Allah berfirman;
ْ ُ َ ۡ َ ۡ َ َّ ُ
‫ولِۦ ثم لم يرتابوا‬
َّ‫ْ ه‬ َ ‫ون ذَّٱل‬
ِ‫ِين َء َام ُنوا بِٱللِ َو َر ُس ه‬
َ ُ ۡ ُ ۡ َ َّ
‫إِنما ٱلمؤمِن‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Inilah yang ditunjuki oleh al-Quran dan Aas-Sunnah. Di situlah akidah salaf
berdiri dan mereka telah ijma’ pada persoalan ini dari persoalan-persoalan iman,
berbeda dengan Murji’ah.
Jahmiyah melarang istisna’ karena keimanan menurut mereka satu kesatuan,
yaitu ma’rifah.

140 Diriwayatkan oleh Muslim (1110)


141 Diriwayatkan oleh Muslim (249)

54 | Al-Furuq
Adapun Asya’irah mereka melarangnya karena iman adalah satu kesatuan yaitu
at-tashdiq (pembenaran). Di antara mereka ada yang mengikuti Ibnu Kullab dan
kelompoknya142, ia membolehkannya apabila maksud dari istisna’ adalah muwafah
(akhir hayat –pentj), dimana tidak diketahui apa muwafah yang akan dia terima
apakah keimanan atau kekufuran, dimana hal ini tidak diketahui oleh seorang
hamba. Dari sini mereka membolehkan istisna’ dalam iman ditinjau dari sisi
muwafah bukan, dari sisi keabsahan iman.143 Karena iman bagi mereka sah dengan
sekedar pembenaran.
Dan yang dimaksud oleh Asya’irah dengan muwafah bahwa seorang mukmin
adalah orang yang Allah ketahui akhir hayatnya beriman, sekalipun dia (pada saat
ini) kafir, dan orang kafir adalah orang yang Allah ketahui bahwa dia akan mati di
atas kekufuran sekalipun dia (pada saat ini) beriman. Bahwa Allah mencintai orang
kafir dan loyal kepadanya karena Dia mengetahui bahwa si kafir ini akan mati di
atas keimanan, dan Allah membenci orang beriman dan memusuhinya karena Dia
mengetahui bahwa si mukmin ini akan mati di atas kekufuran! Mereka berkata;
Allah dulu murka kepada Iblis sejak dia beribadah kepada-Nya, dan Dia ridha
kepada Umar sejak dia kafir kepada-Nya.144 Hal ini telah ditegaskan oleh Syaikhul
Islam dan beliau menjelaskan kebatilan madzhab ini.145
Adapun Abu Manshur al-Maturidi berpendapat tidak sah istisna’, karena iman
adalah satu kesatuan yaitu at-tashdiq (pembenaran)146. Ini adalah pendapat mayoritas
Maturidiyah, dan sebagian lainnya me­nyelisihi dan membolehkan istisna’tapi mereka
berpendapat mening­galkannya lebih utama.147
Sedangkan Murji’ah Fuqaha’ mengingkari istisna’ sesuai kaidahnya bahwa
iman adalah pembenaran dan ucapan lisan, tanpa disertai amalan dan bahwa iman
tidak bertambah dan tidak berkurang.148
Berdasarkan ini diketahui bahwa di antara perbedaan-perbedaan antara salaf
dan Murji’ah dalam iman adalah bahwa salaf membolehkan istisna’ dalam iman
sesuai rincian yang telah kami sebutkan, berbeda dengan Murji’ah.

142 Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (7/429-435), (16/582) dan yang setelahnya.
143 Ushulud Din oleh Al Baghdadi (halaman 253) dan Al Irsyad oleh Al Juwaini (halaman 336)
144 Tafsir Al Qurthubi (1/239)
145 Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (7/429-435), (7/439), (16/582) dan yang setelahnya,
dan (11/62) dan yang setelahnya.
146 Lihat At-Tauhid oleh Al Maturidi (halaman 332) dan (388)
147 Lihat Syarah Al ‘Aqidah An-Nasafiyah oleh At-Taftazani (halaman 84)
148 Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam (7/507)

Al-Furuq | 55
Perbedaan Keempat
Penetapan Salaf Terkait Batin dan Lahir dan Hal Membedakan dengan Murji’ah
Persoalan ini adalah di antara pokok-pokok yang dibangun di atasnya persoalan
yang banyak. Karena iman yang shahih adalah yang lahir dan batinnya berkaitan dan
yang menunjukkan hal ini adalah al-Quran, As-Sunnah dan ijma’. Allah Tabaraka
wa Ta’aala berfirman;
ُ ٓ ْ ُ َ‫ُ َ ٓ ُّ َ َ ۡ َ ٓ َّ هَّ َ َ َ ُ هَ ُ َ ا‬ ۡ‫َ هَّ ي‬ ۡ َ َ‫اَّ ج‬
‫ولۥ َول ۡو كن ٓوا َءابَا َءه ۡم‬ ‫ت ُد ق ۡو ٗما يُؤم ُِنون بِٱللِ َوٱلَ ۡو ِم ٱٓأۡلخ ِِر يوادون من حاد ٱلل ورس‬ ِ ‫ل‬
ۡ‫وح ّمِن ُه‬ ُ َ َ ۡ‫إ‬ ُ ُ َ َ َ ُ َ
َ ‫ريت ُه ۡم أ ْو ٰٓلئك ك َت‬ َ َ
َ ِ‫أَ ۡو َأ ۡب َنا َءه ۡم أ ۡو إخ َوٰن ُه ۡم أ ۡو عش‬
َ ۡ َ ُ ٓ
ۖ ٖ ‫ٱليم ٰ َن َوأيَّ َدهم ب ِ ُر‬ ِ ِِ
ُ ‫ب ف قلوبه‬
‫م‬ ِ‫ي‬ ِ ۚ ِ
ُ َّ‫حَۡ َ أۡ َ ۡ َ ٰ ُ َ ٰ َ َ َ يِ َ ه‬
ُ‫ٱلل َع ۡن ُه ۡم َو َر ُضوا ْ َع ۡنه‬ َۡ‫َ ُ ۡ ُ ُ ۡ َ َّ ٰ ج‬
ۚ ‫ت ت ِري مِن تتِها ٱلنهر خ دِلِين فِيها ۚ رض‬ ٖ ‫ويدخِلهم جن‬
َ ُ ۡ ُ ۡ ُ ُ َّ‫ُ ْ َ ٰٓ َ ۡ ُ هَّ َ اَ ٓ َّ ۡ َ ه‬
‫أولئِك حِزب ٱللِۚ أل إِن حِزب ٱللِ هم ٱلمفل ِحون‬
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-
Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan
dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas
terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah:
22)
Maka tidak bersatu keimanan kepada Allah disertai kesetiaan kepada musuh-
musuh Allah, mencintai mereka dan membela mereka. Di antara bukti keimanannya
seorang adalah memusuhi musuh-musuh Allah dan membencinya. Apabila hal ini
ada, maka iman itu ada. Apabila tidak ada, maka iman itu telah hilang. Allah Ta’aala
berfirman;
ٗ ِ ‫ك َّن َكث‬ َ ٓ َ ُ ُ َ َّ‫َ َ ۡ اَ ُ ْ ُ ۡ ُ َ هَّ َ َّ ّ َ َ ٓ ُ َ يَۡ َ خ‬
‫ريا ّم ِۡن ُه ۡم‬ ِ ٰ ‫لهِ ما ٱتذوه ۡم أ ۡو يِلَا َء َول‬ِ ‫نزل إ‬
ِ ‫ب وما أ‬
ِ ِ‫ولو كنوا يؤمِنون بِٱللِ وٱنل ي‬
َ ُ َ
‫فٰسِقون‬
“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa
yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-
orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah: 81)
Dan Allah Ta’aala berfirman;

56 | Al-Furuq
َ َ ُ ُ ٰ َ َ ۡ ۡ َ َ ۡ َ ُ َ ۡ ُ ُ ُ ُ ۡ َ َ ُ َّ‫َّ َ ۡ ُ ۡ ُ َ ذَّ َ َ ُ َ ه‬
َ ‫اد ۡت ُه ۡم إ‬
‫يم ٰ ٗنا‬ِ ‫جلت قلوبهم ِإَوذا تل ِيت علي ِهم ءايتهۥ ز‬ ِ ‫إِنما ٱلمؤمِنون ٱلِين إِذا ذكِر ٱلل و‬
َ ُ ۡ ُ ۡ ُ ُ َ ٰٓ َ ْ ُ َ ُ ُ ۡ ُ ٰ َ ۡ َ َ َّ َ َ ٰ َ َّ َ ُ ُ َ َّ‫َ لَىَ ٰ َ ّ ۡ َ َ َ لَّ ُ َ ذ‬
‫ أولئِك هم ٱلمؤمِنون‬. ‫ ٱلِين ي ِقيمون ٱلصلوة ومِما رزقنهم ين ِفقون‬. ‫وع رب ِ ِهم يتوكون‬
ٌ ‫ِند َر ّبه ۡم َو َم ۡغفِ َرةٌ َور ۡز ٌق َكر‬
‫يم‬ َ ‫تع‬ َ ‫َح ّٗقا ل َّ ُه ۡم َد َر‬
ٌ ٰ‫ج‬
ِ ِ ِِ ۚ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-
ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka
bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan
sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang
beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat
ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rejeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-
Anfal: 2-4)
Hati-hati mereka beriman dan tampak keimanan atas mereka berupa rasa
takut kepada Allah, kekhawatirannya, dan mengikuti perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya, dan ini semua termasuk keimanan.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Nabi  ber­sabda, “Tidak
menjadi lurus keimanan seorang hamba sampai lurus hatinya, dan tidak menjadi lurus
hatinya sampai lurus lisannya, dan tidak masuk surga seseorang yang tetangganya
tidak merasa aman dari tindak-tanduknya.”149
Dan dari An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu ia berkata; Rasulullah 
bersabda; “Ketahuilah bahwa di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila baik,
baik pula jasad itu seluruhnya dan apa­bila rusak, rusak pula jasad itu seluruhnya,
ketahuilah dia itu jan­tung (hati).”150
Maka nash-nash ini menunjukkan akan apa yang terdapat di dalam hati berupa
keimanan nampak pada anggota badan
Para ulama telah sepakat bahwa lahir dan batin (seseorang) saling berkaitan.
Di antara yang menguatkan hal ini apa yang telah dinukil dari banyaknya ijma’ yang
menyatakan bahwa tidak sah keimanan kecuali dengan ucapan dan perbuatan. Telah
banyak penukilan dari salaf tentang persoalan ini, di antaranya;
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Baiknya hati melahirkan
baiknya jasad. Maka apabila jasad tidak baik, me­nunjukkan bahwa hati tidak baik.
Sedangkan hati seorang mukmin itu baik, maka diketahui bahwa barangsiapa
mengucapkan keimanan tapi tidak mengamalkannya, maka hatinya tidak beriman.
149 Diriwayatkan oleh Ahmad (13048) dan Al Haitsami berkata di dalam Majma’ Az-Zawaid (1/220);
Diriwayatkan oleh Ahmad dan padanya terdapat Ali bin Mas’adah. Dia dinilai tsiqah oleh Yahya
bin Ma’in dan selainnya, tapi dinilai lemah oleh An-Nasa’i.
150 Al Bukhari (52) dan Muslim (1599)

Al-Furuq | 57
Sampai-sampai seorang yang dipaksa apabila dalam menampakkan keimanan pasti
dia akan berbicara dengan dirinya dan pada kesendiriannya dengan orang yang
dia merasa aman darinya. Pasti akan tampak pada air wajahnya dan komat-kamit
lisannya seperti yang dikatakan oleh Utsman. Adapun jika tidak tampak bekas yang
demikian, tidak pada ucapannya, tidak pada perbuatannya sama sekali maka hal
ini menunjukkan bahwa di dalam hatinya tidak ada iman. Demikian pula bahwa
jasad mengikuti hati, bagaimanapun juga apa pun yang tertanam di dalam hati akan
tampak bukti dan tandanya pada badan.”151
Beliau rahimahullah berkata; “Asal keimanan itu di dalam hati yaitu ucapan
hati dan perbuatannya. Dia adalah pengakuan dengan membenarkan, kecintaan
dan ketundukan. Apa yang terdapat di dalam hati harus tampak bukti dan tandanya
pada anggota badan. Apabila (seseorang) tidak mengamalkan bukti dan tandanya
menunjukkan akan hilang dan lemahnya (iman di dalam dada). Karena itu amalan-
amalan lahir termasuk bukti akan keimanan hati dan tandanya. Dan ia adalah
pembenaran terhadap yang ada di dalam dada dan dalil serta bukti atasnya. Ini
adalah cabang dari sekumpulan iman yang mutlak dan bagian darinya. Akan tetapi
apa yang terdapat di dalam dada adalah asal terhadap apa yang tampak pada anggota
badan seperti yang dikatakan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu; Sesungguhnya hati
adalah raja, dan anggota badan adalah tentaranya. Apabila rajanya baik, baik pula
tentaranya. Apabila rajanya buruk, buruk pula tentaranya.”152
Beliau rahimahullah berkata; “Poin ini sepatutnya diperhatikan, karena
barangsiapa mengetahui kaitan lahir dengan batin, maka hilang darinya syubhat
dalam bab ini dan dia pun tahu bahwa orang yang mengatakan dari para fuqaha’
barangsiapa mengakui yang wajib dan menolak mengerjakan, bahwa dia tidak
dibunuh atau dibunuh sebagai muslim, sesungguhnya dia telah terpapar syubhat
yang sama dengan Murji’ah dan Jahmiyah, dan syubhat yang sama yang masuk
kepada orang yang menjadikan keinginan yang kuat disertai dengan kemampuan
yang sempurna tapi tidak terdapat padanya sedikitpun dari perbuatan. Oleh
karena itu, orang-orang dari para fuqaha’ yang menolak membunuh semacam ini,
membangun pendapatnya di atas pendapat mereka dalam persoalan iman, bahwa
amalan-amalan bukan termasuk dari iman, dan bahwa jinsul amal (amalan apa pun)
bukan termasuk dari konsekuensi keimanan hati, dan bahwa keimanan hati yang
sempurna tanpa disertai dengan sedikit pun amalan yang lahir adalah mustahil;
apakah dia menjadikan amalan lahir sebagai bagian dari konsekuensi-konsekuensi
keimanan, atau bagian dari iman.”153
151 Majmu’ Al Fatawa (14/121)
152 Idem (7/644)
153 Idem (7/616)

58 | Al-Furuq
Beliau rahimahullah berkata; “Di sini terdapat pokok yang diperdebatkan
orang-orang. Di antaranya bahwa hati, apakah ia membenarkan atau mendustakan
dan tidak lahir sedikitpun darinya pada lisan dan anggota badan, dan hanya
tampak lawannya (dari pembenaran hati) bukan karena takut? Maka yang menjadi
pegangan salaf dan para imam serta mayoritas manusia adalah (keimanan hati)
harus menampakkan buktinya pada anggota badan. Maka barangsiapa mengatakan:
bahwa dia membenarkan rasul, mencintai dan mengagungkannya dengan hatinya,
tapi tidak menyatakan keislaman sedikit pun, dan tidak mengerjakan kewajiban
sedikit pun bukan karena takut, maka orang ini batinnya tidak beriman, dan
sebenarnya dia kafir.”154
Beliau rahimahullah berkata; “Telah jelas bahwa agama itu harus ada ucapan
dan perbuatan, dan bahwasanya tidak mungkin seseorang itu beriman kepada Allah
dan rasul-Nya baik dengan hatinya semata, atau dengan hati dan lisannya sekaligus,
namun dia tidak menunaikan kewajiban lahiriahnya. Dia tidak shalat, tidak zakat,
tidak puasa, atau tidak pula melakukan kewajiban-kewajiban lainnya. Tidak pula
menjadikan seseorang itu dianggap beriman ketika melakukan perbuatan-perbuatan
umum, seperti menunaikan amanah, atau jujur dalam berbicara, atau adil dalam
pembagian dan hukum. Walaupun hal-hal tersebut merupakan bagian dari apa yang
telah Allah wajibkan namun apabila dilakukan tanpa didasari keimanan kepada
Allah dan rasul-Nya, perbuatan-perbuatan tersebut belum menjadikan dia sebagai
orang yang beriman karena sesungguhnya orang-orang musyrik dan ahli kitab pun
menganggap wajibnya perkara ini semua. Maka seseorang tidak menjadi beriman
kepada Allah dan rasul-Nya selagi tidak terdapat padanya (perbuatan) kewajiban-
kewajiban yang memang secara khusus Nabi Muhammad  wajibkan. Sesungguhnya
orang-orang musyrik dan ahli kitab menganggap wajibnya perkara ini semua. Maka
seseorang tidak menjadi beriman kepada Allah dan rasul-Nya selagi tidak terdapat
padanya (perbuatan) kewajiban-kewajiban yang Nabi Muhammad  wajibkan.”155
Beliau rahimahullah berkata; “Apabila berkurang amalan lahir yang wajib, maka
yang demikian ini adalah karena kurangnya apa yang terdapat di dalam hati berupa
keimanan. Sehingga tidak tergambarkan di samping kesempurnaan iman yang wajib
terdapat di dalam hati, hilangnya amalan lahir yang wajib. Bahkan dengan adanya
hal ini (keimanan di dalam hati) secara sempurna, seharusnya menjadikan adanya
amalan lahir yang wajib. Sebaliknya dengan berkurangnya amalan lahir yang wajib,
berkurang pula keimanan di dalam hati. Karena menilai kesempurnaan iman di
dalam hati tanpa disertai amalan lahir berupa ucapan dan perbuatan itu seperti

154 Idem (14/120)


155 Idem (7/621)

Al-Furuq | 59
menilai konsekuensi yang sempurna tanpa sebab dan sempurnanya sebab tanpa
akibat dan hal ini mustahil.” 156
Beliau rahimahullah berkata; “Ketiga; sangkaan mereka bahwa iman yang
terdapat di dalam hati menjadi sempurna tanpa disertai sedikitpun amalan. Oleh
karena itu, mereka menjadikan amalan-amalan sebagai buah keimanan dan
tuntutannya (seperti kedudukan sebab dengan akibatnya), tidak menjadikannya
sebagai konsekuensi baginya. Kesimpulannya bahwa keimanan hati yang sempurna
mengharuskan amalan lahir semisalnya, mau tidak mau. Mustahil terdapat keimanan
yang sempurna di dalam hati tanpa amalan lahir. Karena hal ini mereka membuat-
buat persoalan yang mustahil terjadi karena tidak terpenuhi kaitan yang ada antara
badan dan hati seperti mengatakan; seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan
seperti apa yang terdapat di dalam hati Abu Bakr dan Umar, padahal orang itu
tidak pernah sujud kepada Allah meski sekali, tidak puasa Ramadhan dan berzina
dengan ibunya dan saudari perempuannya dan minum khamr di siang hari di bulan
Ramadhan. Mereka mengatakan; Orang ini mukmin sempurna imannya! Maka
jadilah semua mukminin mengingkari hal itu dengan pengingkaran yang sebesar-
besarnya.”157
Dan beliau rahimahullah berkata; “Apabila terdapat pembenaran dan kecintaan
kepadanya di dalam hati, maka konsekuensinya adalah badannya bergerak
memenuhi tuntutan itu dari ucapan-ucapan yang lahir dan perbuatan-perbuatan
yang lahir. Apa yang tampak pada badan dari ucapan dan perbuatan adalah bukti
atas apa yang terdapat di dalam hati, konsekuensi, dalil dan akibatnya. Sebagaimana
apa yang dilakukan badan dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan memberi
bekas terhadap apa yang terdapat di dalam hati. Masing-masing dari keduanya
saling memberi bekas. Hati adalah pokok sedangkan badan adalah cabang. Cabang
mengambil dari dasarnya dan dasarnya menjadi kokoh dan menguat dengan
cabangnya.”158
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata; “Cabang-cabang keimanan ada dua
macam; ucapan dan perbuatan, begitu juga cabang kekufuran ada dua jenis; ucapan
dan perbuatan. Termasuk dari cabang-cabang keimanan yaitu yang berupa ucapan,
cabang yang apabila hilang maka hilanglah pula keimanan. Begitu pula termasuk
dari cabang yang berupa perbuatan adalah cabang yang apabila hilang, maka hilang
pula keimanan. Begitu pula cabang-cabang kekufuran yang berupa ucapan dan
perbuatan. Maka sebagaimana (seseorang) menjadi kafir dengan mendatangkan
kalimat kekufuran dengan suka rela dan dia termasuk dari cabang kekufuran,

156 Idem (7/582)


157 Idem (7/204)
158 Idem (7/541)

60 | Al-Furuq
maka begitu pula (seseorang) menjadi kafir dengan mengerjakan satu cabang
kekafiran yang termasuk dari cabang-cabangnya, seperti sujud kepada berhala dan
menghinakan mushaf. Ini adalah pondasi.
Di sini ada pondasi lain, yaitu bahwa hakikat keimanan terdiri dari ucapan dan
perbuatan. Ucapan ada dua; ucapan hati yaitu keyakinan, dan ucapan lisan yaitu
mengucapkan kalimat keislaman. Sedangkan amal perbuatan ada dua; amalan hati
yaitu niat dan keikhlasannya, dan amalan anggota badan. Maka kapan keempat
unsur ini hilang, hilanglah keimanan seluruhnya. Apabila hilang pembenaran hati,
tidak bermanfaat unsur-unsur lainnya. Karena pembenaran hati adalah syarat dalam
meyakininya dan syarat menjadikannya (keimanan) bermanfaat. Apabila hilang
amalan hati walaupun disertai dengan meyakini kebenaran, maka ini adalah ajang
peperangan antara Murji’ah dan Ahlussunnah.
Ahlussunnah sepakat akan hilang dan tidak bergunanya keimanan dengan
adanya pembenaran yang diikuti tetapi amalan hatinya hilang berupa kecintaan
dan ketundukannya, sebagaimana tidak berguna bagi Iblis, Fir’aun dan kaumnya,
orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik yang mereka meyakini kebenaran
rasul, bahkan mengakuinya diam-diam maupun terang-terangan, dan mengatakan
dia bukan pendusta tapi kita tidak mengikutinya dan tidak beriman dengannya.
Maka apabila keimanan hilang dengan hilangnya amalan hati, bukan mustahil iman
juga hilang dengan hilangnya amalan anggota badan yang paling besar, terlebih lagi
apabila amalan itu konsekuensi dari hilangnya kecintaan hati dan ketundukannya
yang mana dia merupakan konsekuensi akibat hilangnya pembenaran yang kuat,
sebagaimana telah lalu penegasannya. Karena dengan hilangnya ketaatan hati, maka
konsekuensinya adalah hilangnya ketaatan anggota badan. Karena jika hati mentaati
dan tunduk, maka anggota badan pun menjadi taat dan tunduk. Konsekuensi dari
hilangnya ketaatan anggota badan dan ketundukannya adalah hilangnya pembenaran
yang melahirkan ketaatan itu. Ini adalah hakikat keimanan. Karena keimanan
bukan sekedar pembenaran sebagaimana telah dijelaskan. tetapi pembenaran yang
melahirkan ketaatan dan ketundukan. Seperti ini juga petunjuk, dia bukan sekedar
mengenali kebenaran dan jelas baginya, bahkan ia adalah mengenalinya yang berakibat
mengikutinya (jalan petunjuk) dan mengamalkan sesuai tuntutannya. Meskipun
yang pertama dinamakan petunjuk, tapi dia bukan petunjuk yang sempurna yang
menjadi­kan seseorang ikut, sebagaimana meyakini kebenaran, sekalipun dinamakan
pembenaran tapi ia bukan pembenaran yang melahirkan iman. Maka wajib bagimu
mengulang-ulang pondasi ini dan memperhatikannya.”159
Beliau rahimahullah berkata; Kaidah; “Keimanan memiliki lahir dan batin.
Lahiriyahnya adalah ucapan lisan dan amalan anggota badan, sedangkan batinnya

159 Kitab As-Shalat wa Hukmu Taarikiha oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah (halaman 54)

Al-Furuq | 61
adalah pembenaran hati dan ketundukan serta kecintaannya. Maka tidak berguna lahir
yang tidak ada batinnya, sekalipun hal itu melindungi darah, harta dan keturunan.
Tidak berguna batin yang tidak ada lahirnya kecuali apabila dia memiliki udzur
karena ketidakmampuan atau dipaksa dan takut binasa. Maka hilangnya amalan
lahir dengan tidak adanya penghalang bukti akan rusaknya batin dan hilangnya hati
dari keimanan. Kurangnya (amalan lahir) juga bukti akan kekurangannya (iman)
dan kekuatannya (amalan lahir) bukti akan kekuatannya (iman).”160
Ibnu Rajab rahimahullah berkata; “Baiknya gerakan-gerakan hamba dengan
anggota badannya dan menjauhi hal-hal yang diharamkan dan berhati-hati dari
perkara-perkara yang syubhat tergantung kepada baiknya gerakan hatinya. Apabila
hatinya bersih, tidak ada padanya kecintaan selain kepada Allah dan kecintaan
kepada apa-apa yang dicintai-Nya dan rasa takut kepada Allah dan takut dari terjatuh
kepada yang dibenci oleh-Nya, akan baik pulalah gerakan-gerakan anggota badan
seluruhnya dan darinya akan lahir perbuatan menjauhi yang haram seluruhnya,
berhati-hati dari perkara-perkara yang syubhat karena takut terjatuh kepada
perkara-perkara yang haram. Tapi apabila hati rusak, telah dikuasai oleh mengikuti
hawa nafsu dan mencari-cari apa yang dicintainya sekalipun Allah membencinya,
rusaklah gerakan-gerakan anggota badan seluruhnya dan bertolak kepada semua
kemaksiatan-kemaksiatan dan perkara-perkara yang syubhat sebesar dia mengikuti
hawa nafsu di dalam hati.”161
Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya; Apakah cukup
pengucapan dan keyakinan terhadap rukun dari rukun-rukun Islam, atau harus ada
hal lain sehingga menjadi utuh keislaman seseorang dan utuh keimanannya?
Beliau menjawab; “Dengan rukun ini seorang kafir masuk ke dalam Islam,
yaitu dengan bersaksi mengucapkan Laa ilaaha Illallah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah dengan membenarkannya dan keyakinan yang disertai dengan
mengenali maknanya dan mengamalkannya. Apabila dia tidak mendatangkan
keduanya, maka dia tetap pada kondisi kekafirannya. Kemudian dia diminta untuk
mengerjakan shalat dan rukun-rukun lainnya dan semua hukum-hukum. Karena
itu ketika Nabi  mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berkata kepadanya; “Ajaklah
mereka agar bersaksi dengan Laa ilaaha Illallah wa Anna Muhammadar Rasulullah,
maka apabila mereka melakukan itu, beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan
atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan apabila mereka mentaatimu dalam
hal itu beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah yang
ditarik dari orang kaya mereka dan dikembalikan kepada fakir-miskin mereka.”162
160 Al Fawaid (halaman 85-86)
161 Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab (1/210) syarah hadits ke enam dari Al ‘Arbain An-
Nawawiyah.
162 Al Bukhari (1395) dan Muslim (19)

62 | Al-Furuq
Nabi tidak menyuruh mereka shalat kecuali setelah tauhid dan keimanan
kepada Rasulullah . Maka orang-orang kafir pertama-tama diajak kepada tauhid
dan keimanan kepada Rasulullah .. Maka apabila si kafir telah mengakui hal itu
dan berislam berlakulah atasnya hukum orang Islam. Kemudian dia diminta untuk
shalat dan persoalan-persoalan agama lainnya. Tapi apabila dia menolak darinya
berlakulah atasnya hukum-hukum yang lain. Barangsiapa menolak untuk shalat, dia
dituntut untuk bertaubat, apabila bertaubat (dilepas) kalau tidak dibunuh sebagai
orang kafir, sekalipun dia tidak mengingkari kewajibannya, menurut pendapat yang
paling benar dari dua pendapat ulama yang ada. Apabila dia menolak membayar
zakat dan menyombongkan diri darinya dan berperang mempertahankannya, maka
begitu juga dia diperangi sebagaimana para sahabat dulu memerangi orang-orang
yang menolak membayar zakat bersama Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.
Mereka menilai orang-orang itu telah murtad. Tapi apabila dia tidak berperang
mempertahankan hartanya, imam berhak memaksanya untuk menyerahkannya
dan menghukumnya dengan hukuman yang syar’i yang menjadikan orang lain yang
semisal dengannya takut. Begitu pula seorang muslim diminta untuk meninggalkan
yang Allah haramkan atasnya. Karena masuknya dia ke dalam Islam dan berpegangnya
dia dengannya menuntut hal ini semua. Barangsiapa menelantarkan sesuatu yang
Allah wajibkan atau mengerjakan sesuatu yang Allah haramkan dia diperlakukan
dengan perlakuan yang layak berdasarkan syariat.
Adapun apabila orang kafir mendatangkan dua kalimat syahadat dalam kondisi
kufurnya seperti keadaan orang-orang kafir sekarang, maka dia dituntut bertaubat
dari hal-hal yang menjadikannya kafir dan tidak cukup dengan melafalkan dua
kalimat syahadat. Karena dia tetap mengucapkannya dalam kondisi kufurnya hanya
saja dia tidak mengamalkannya. Apabila kekafirannya karena peribadatan kepada
orang-orang mati, atau jin, atau berhala, atau selain itu dari makhluk-makhluk dan
minta keselamatan kepada mereka dan seterusnya, wajib atasnya untuk bertaubat
dari yang demikian dan mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah semata. Dengan
begitu dia masuk ke dalam Islam. Tapi apabila kekufurannya karena meninggalkan
shalat, wajib atasnya bertaubat darinya dan menunaikannya. Apabila dia telah
melakukannya dia masuk ke dalam Islam. Begitu pula apabila kekufurannya
karena menghalalkan zina, atau khamr wajib atasnya bertaubat darinya. Apabila
dia bertaubat dia masuk ke dalam Islam. Begitu juga seorang kafir diminta untuk
meninggalkan perbuatan, atau keyakinan yang menjadikannya kafir. Apabila dia
melakukan hal itu dia masuk ke dalam Islam.
Hal ini adalah persoalan yang agung di mana wajib atas seorang penuntut ilmu
memperhatikannya, dan berada di atasnya dengan bashirah. Para ahli ilmu telah
menjelaskan hal ini pada bab hukum orang yang murtad. Ini adalah bab yang agung,

Al-Furuq | 63
wajib atas seorang penuntut ilmu memperhatikannya dan sering membacanya.
Hanya kepada Allah kita mohon dari-Nya taufik.”163
Beliau rahimahullah berkata; “Ini adalah kalimat yang agung, yang tidak
bermanfaat bagi yang mengucapkannya dan tidak menge­luarkannya dari lingkaran
kesyirikan kecuali apabila dia mengenali maknanya, mengamalkannya dan
membenarkannya.”164
Beliau rahimahullah berkata; “Keenam, termasuk syarat-syarat syahadat Laa
ilaaha Illallah adalah tunduk terhadap makna yang ditunjuki olehnya. Maknanya
adalah seseorang beribadah kepada Allah semata, patuh terhadap syariat-Nya,
dan beriman dengannya dan meyakininya sebagai kebenaran. Akan tetapi apabila
seseorang mengucapkannya namun dia tidak beribadah kepada Allah semata,
tidak tunduk kepada syariat-Nya melainkan menyombongkan diri darinya, maka
yang demikian ini tidak menjadikannya muslim seperti Iblis dan yang semisal
dengannya.”165
Maka inilah kesepakatan salaf dalam persoalan yang agung ini dari perkara-
perkara keimanan. Bahwa keimanan memiliki pondasi yaitu apa yang terdapat
di dalam hati, atau apa yang terdapat di dalam hati dan lisan. Dia memiliki
tuntutan yaitu amal perbuatan yang saling berkaitan keterkaitan sesuatu dengan
konsekuensinya dengan kaitan yang tidak terlepas, baik dalam kondisi ada
maupun tidak.
Barangsiapa mengaku membenarkan, mengakui dan tunduk tapi tidak
bersaksi dengan Laa ilaaha Illallah maka dia seorang pendusta dan tidak berguna
pembenarannya baginya. Barangsiapa membenarkan, mengakui dan tunduk dan
bersaksi dengan Laa ilaaha Illallah maka tuntutannya harus berlepas dari kesyirikan,
pelakunya dan dia harus kufur kepada thaghut-thaghut dan mengerjakan syariat-
syariat agama dan kewajiban-kewajibannya yang lahir dan batin, kalau tidak maka
dia pendusta yang tidak diterima pengakuannya dan tidak berguna baginya kalimat
tauhid dan klaimnya kufur kepada thaghut –thaghut tanpa disertai amal.
Inilah kaitan antara lahir dan batin, berseberangan dengan Mur­ji’ah166 dengan
beragam macam firqah-firqah nya. Semua mereka me­nolak keterkaitan antara
lahir dan batin. Karena keimanan menurut mereka adalah satu kesatuan yang
tidak terbagi-bagi. Ahli iman dalam keimanannya sama. Hanya saja Murji’ah
Fuqaha’167 berpendapat apa yang terdapat pada lahiriyah berupa amal perbuatan
163 Majmu’ Al Maqalat Al Fatawa (7/40)
164 Idem (7/55)
165 Idem (7/57)
166 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (7/50) dan (7/363) dan (7/204) dan (7/553)
dan (7/195) dan (7/645)
167 Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam (7/394), (7/218), (7/621), (7/195), (7/169), (7/394) dan Minhaj

64 | Al-Furuq
adalah buah ter­hadap apa yang ada di dalam batin berupa iman, yaitu pembenaran
yang mana iman itu tidak menjadi hilang dengan hilangnya (amal perbuatan).
Karena (keimanan) tidak hilang menurut mereka kecuali dengan pendustaan dan
pengingkaran. Ini adalah pendapat Abul Hasan al-Asy’ariy sebagaimana dinukil oleh
asy-Syahrustani168, dan ini pendapat kaum muta’akhirin Asya’irah169 dan sebagian
Maturidiyah.170
Dan persoalan ini, yaitu keterkaitan antara lahir dan batin dibangun diatasnya
pengenalan akan persoalan penting dimana salaf berbeda dari Murji’ah, yaitu
perbedaan antara imanul mutlak (keimanan sempurna) dan mutlakul iman.
Maka imanul mutlak adalah iman yang sempurna, sedangkan mutlakul iman
adalah untuk orang yang disifati dengan keimanan dari mereka yang melakukan
sesuatu dari hal-hal yang bertentangan dengan kesempurnaan iman, seperti dosa-
dosa dan kemaksiatan-kemaksiatan selain kesyirikan.171
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata menerangkan aqidah
Ahlussunnah wal Jama’ah tentang seorang yang fasik dari ahli millah sebagaimana
yang terdapat di dalam al-‘Aqidah al-Washitiyah; Seorang fasik dari ahli millah
tidak dinafikan darinya nama keimanan secara keseluruhan, dan tidak dianggap
kekal di neraka seperti ang­gapan Mu’tazilah. Bahkan seorang fasik masuk ke dalam
penamaan iman seperti yang terdapat pada firman-Nya;
َ ۡ ُّ َ َ ُ ‫َف َت ۡحر‬
ٖ‫ير َرقبةٖ مؤمِنة‬ِ
“(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman...” (QS. An-
Nisaa’: 92)
Dan bisa termasuk ke dalam penamaan imanul mutlak seperti yang terdapat
pada firman-Nya;
َ َ ُ ُ ٰ َ َ ۡ ۡ َ َ ۡ َ ُ َ ۡ ُ ُ ُ ُ ۡ َ َ ُ َّ‫َّ َ ۡ ُ ۡ ُ َ ذَّ َ َ ُ َ ه‬
َ ‫اد ۡت ُه ۡم إ‬
‫يم ٰ ٗنا‬ِ ‫جلت قلوبهم ِإَوذا تل ِيت علي ِهم ءايتهۥ ز‬ِ ‫إِنما ٱلمؤمِنون ٱلِين إِذا ذكِر ٱلل و‬
َ ُ َّ‫ل‬ ٰ َ‫َو لَى‬
‫ع َر ّب ِ ِه ۡم َي َت َوكون‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila di­bacakan kepada mereka Ayat-
ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya).” (QS. Al-Anfal: 2)

As-Sunnah An-Nabawiyah (5/288) dan Maqalat Al Islamiyyin oleh Al Asy’ariy (1/219)


168 Al Milal wan Nihal (1/88)
169 Lihat Ithaf Al Murid (halaman 92-105), Syarah Al Baijuri (halaman 45), (49), (51). Lihat Syarah Ash-
Shawi ‘ala Al Jauharah (halaman 132) (134-138), Syarah Al Mawaqif (8/360)
170 Lihat At-Tauhid oleh Al Maturidi (halaman 332)
171 Lihat Bada’i Al Fawa’id oleh Ibnul Qayyim (2/307)

Al-Furuq | 65
Sabda Rasulullah ; “Tidaklah seorang pezina berzina saat dia berzina dan
dia beriman, dan tidaklah seorang pencuri mencuri saat dia mencuri beriman, dan
tidaklah seseorang minum khamr saat dia meminumnya beriman, dan tidaklah
seseorang merampas suatu harta yang mulia dimana orang-orang mengangkat
pandangan-pandangan mereka kepadanya saat dia merampasnya beriman.” Dan
kami katakan; dia mukmin yang kurang imannya, atau mukmin dengan keimanan­
nya, fasik dengan dosa besarnya. Maka dia tidak diberikan penamaan yang mutlak,
dan tidak dinafikan darinya mutlak penamaan.172
Sebesar keimanan hati yang terdapat pada diri seorang muslim seperti itu
juga lahir darinya (amalan) anggota badannya, maka seorang yang beriman yang
mencapai keimanan yang mutlak telah menyem­purnakan tingkatan-tingkatan agama
dan menunaikan kesempurna­an iman pada lahir dan batinnya. Sedangkan seorang
mukmin yang memiliki mutlakul iman sesungguhnya anggota badannya menolak
yang melahirkan keimanan sesuai apa yang terdapat pada batinnya dari keimanan
itu. Inilah dia keterkaitan antara lahir dan batin.
Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata;
“Keimanan kadang yang diinginkan adalah mutlakul iman dan kadang imanul
mutlak. Maka apabila kita melihat seseorang, apabila dia mengingat Allah tapi
hatinya tidak bergetar, apabila kamu bacakan kepadanya ayat-ayat Allah, tapi tidak
bertambah keimanannya, maka bisa kita katakan; dia mukmin. Bisa dikatakan;
dia tidak beriman. Kita katakan dia beriman yakni ada padanya mutlakul iman,
yakni asal ke­imanan. Kita katakan dia tidak beriman, yakni tidak ada bersamanya
keimanan yang sempurna.”173
Beliau rahimahullah berkata; “Perbedaan antara mutlak sesuatu dan sesuatu
yang mutlak bahwa sesuatu yang mutlak adalah sesuatu yang sempurna, sedangkan
mutlak sesuatu adalah pokok sesuatu itu sekalipun kurang kadarnya.”174
Guru kami asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzahullah berkata
pada komentarnya terhadap perkataan Syaikhul Islam di dalam al-Washitiyah;
“Perkataannya (maka tidak diberikan penamaan yang mutlak) yakni; penamaan
iman yang sempurna, sedangkan perkataannya (dan tidak dinafikan darinya
mutlak penamaan) yakni; keimanan yang kurang sehingga dinilai telah keluar dari
iman seperti yang dikatakan oleh Mu’tazilah dan Khawarij. Maka keimanan yang
mutlak adalah keimanan yang sempurna, dan mutlakul iman adalah keimanan yang
kurang.”175
172 Matn Al ‘Aqidah Al Washitiyah halaman 114 tahqiq Asyraf bin Abdul Maqsud, cetakan Daar
Adhwa’ As-Salaf.
173 Syarah Al Washitiyah (halaman 584)
174 Syarah Al Washitiyah (halaman 586)
175 Idem (halaman 138)

66 | Al-Furuq
Beliau hafidzahullah berkata; “Keimanan yang mutlak adalah yang sempurna,
dan mutlakul iman ini adalah keimanan yang kurang. Mutlakul iman ini adalah
keimanan orang yang fasik dari ahli tauhid. Seperti pelaku kemaksiatan-kemaksiatan
dan dosa-dosa besar. Ada bersamanya mutlakul iman. Adapun keimanan yang
mutlak adalah iman yang sempurna.”176
Maka Ahlussunnah berada di atas asal mereka pada keterkaitan antara lahir
dan batin. Mereka mengakui bahwa orang-orang beriman disifati dengan dua
jenis; mukmin dengan keimanan yang mutlak se­perti malaikat-malaikat, nabi-nabi,
para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang shalih dari para hamba Allah,
mereka adalah orang-orang yang keimanannya sempurna. Mukmin yang disifati
dengan mutlakul iman dari orang-orang yang mencampuradukkan keiman­annya
dengan kefasikan dari perkara-perkara yang mengurangi ke­imanannya dan tidak
menghilangkannya. Pondasi dalam hal ini adalah firman Allah Ta’aala;
ۡ
‫سهِۦ َوم ِۡن ُهم ُّمق َت ِص ٌد َوم ِۡن ُه ۡم‬
ۡ ّ َ ۡ َ َ َ َ ۡ َ ‫ب ذَّٱل‬
ِ ‫ِين ٱص َطف ۡينا م ِۡن ع َِبادِناۖ ف ِمن ُه ۡم ظال ٌِم نِلَف‬ َ ٰ‫ُث َّم أَ ۡو َر ۡث َنا ۡٱلك َِت‬
َ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ ُ َ َ َّ‫ۡ ه‬ َ ۡ‫ُ خ‬
ُ ‫كب‬
‫ري‬ ِ ‫ت بِإِذ ِن ٱللِۚ ذٰل ِك هو ٱلفضل ٱل‬ ِ ٰ ‫َساب ِ ۢق بِٱل ۡي َر‬

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri
dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.Yang demikian itu itu adalah karunia
yang amat besar.” (QS. Fathir: 32)
Dan apa yang terdapat di dalam ash-Shahihain (Shahih Bukhori dan Shahih
Muslim) dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata; Aku mendengar
Rasulullah  bersabda; “Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging,
apabila dia baik baik pula jasad seluruhnya dan apabila dia rusak, rusaklah jasad
seluruhnya, ketahuilah dia itu adalah jantung (hati)”177
Di sinilah ada beberapa persoalan:
Persoalan pertama: Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman kita
mengklaim bahwa mereka mengakui keterkaitan antara lahir dan batin, kemudian
mengakui sahnya klaim keimanan hati di samping tidak didapatinya sedikit pun
amalan dari kewajiban-ke­wajiban yang lahir! Berdalil dengan kaidah salaf bahwa
iman terbagi-bagi dan mereka memberlakukan kaidah ini kepada definisi keimanan
dan pengertiannya bukan kepada persoalan yang tidak sah keimanan itu sampai
terpenuhi semuanya.

176 Lihat situs Asy-Syaikh http://www.alfawzan.af.org.sa/node/9519


177 Al Bukhari (52) dan Muslim (1599)

Al-Furuq | 67
Persoalan kedua: Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman kita
mengklaim bahwa mereka mengakui keterkaitan antara lahir dan batin, kemudian
mengakui sahnya klaim keimanan hati di samping tidak didapatinya sedikit pun
amalan dari kewajiban-ke­wajiban yang lahir! Beralasan bahwa salaf berbeda
pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan rukun Islam yang empat dan
selain darinya dari kewajiban-kewajiban tanpa disertai dengan pengingkaran.
Mereka membangun di atasnya pendapat bahwa salaf berbeda pendapat tentang
hukum orang yang meninggalkan amal perbuatan!
Persoalan ketiga: Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman kita
mengklaim bahwa mereka mengakui keterkaitan antara lahir dan batin, dan
mengakui bahwa orang yang meninggalkan amalan kewajiban-kewajiban yang lahir
kafir, kemudian mengakui bahwa orang yang berpendapat tidak kafir orang yang
meninggalkan amalan keseluruhan dan bahwa pendapatnya ini adalah pelanggaran
parsial yang tidak dicela pelakunya dan tidak dinilai sebagai mubtadi’!
Persoalan keempat: Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman kita
menganggap bahwa orang yang meninggalkan amalan-amalan wajib yang lahir tidak
kafir berdalil dengan hadits syafa’at dan hadits bithaqah.
Persoalan kelima: Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman
kita mengklaim bahwa orang yang meninggalkan amalan-amalan wajib yang
lahir tidak kafir apabila tidak berpegangan dengan keyakinan hati, yakni; juhud
(mengingkari).
Ini semua adalah tanaqudhat (sikap-sikap kontradiktif), terjatuh ke dalamnya
sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu secara umum dan sebagian
orang yang menisbatkan dirinya kepada mazhab salaf secara khusus! Mereka
menyangka bahwa dirinya me­nyeru kepada paham salaf, memperingatkan dari
Khawarij dan me­nisbatkan pendapat-pendapatnya ini kepada salaf ! Kemudian
menye­sat-nyesatkan orang-orang yang menyelisihinya!
Bantahan atasnya kita katakan: Ini adalah kebatilan yang paling jelek.
Barangsiapa mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan per­buatan, dia harus
mengakui bahwa amalan anggota badan bagian dari iman dan bahwa iman menjadi
hilang dengan hilangnya amal anggota badan. Hal ini berdasarkan ijma’ ahli ilmu
seperti yang telah berlalu. Barangsiapa mengatakan demikian dia harus berpendapat
iman bertambah dan berkurang, dan mengakui keterkaitan antara lahir dan batin
dengan keterkaitan yang wajib yang tidak terpisah darinya, karena jika tidak
demikian dia terjatuh kepada tanaqudh (sikap kontradiktif) tanpa diragukan lagi.
Selagi sekumpulan orang yang terpapar syubhat Murji’ah mengakui lahiriyah
pendapat salaf bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan, bertambah
dan berkurang, dan bahwa lahir dan batin sa­ling berkaitan, maka sesungguhnya

68 | Al-Furuq
konsekuensi dari pendapat ini adalah meyakini batilnya pendapat mereka yang
mengatakan sahnya keimanan disisi orang yang meninggalkan kewajiban-kewajiban
lahir secara keseluruhan, karena jika tidak mereka terjatuh kepada tanaqudh yang
jelas lagi terang. Mereka dinilai sesuai pelanggarannya terhadap paham salaf dan
disebut membuat-buat kebid’ahan dalam agama, sekalipun hidung-hidung mereka
harus mencium tanah.
Karena paham salaf bahwa iman ucapan, perbuatan dan keyakinan, ini
adalah keterangan akan hakikat iman yang tidak sah keimanan kecuali terhimpun
seluruhnya, bukan keterangan akan sempurnanya iman sebagaimana anggapan
sebagian orang dan dia mengeluarkan amalan anggota badan dari pokok keimanan
dan menjadikan pokok keimanan yang merupakan ukuran keselamatan hanya
keyakinan dan amalan hati dan ucapan lisan tanpa amalan anggota badan. Padahal
yang menjadi ijma’ kaum salaf berseberangan dengan hal ini sebagai berikut:
Mereka telah sepakat (ijma’) bahwa barangsiapa menganggap pembenaran dan
keyakinan dan meninggalkan ucapan tanpa udzur dan penghalang, keimanannya
tidak sah.
Dan mereka telah sepakat (ijma’) bahwa orang yang mengucapkan dan tidak
meyakini, keimanannya tidak sah.
Dan mereka telah sepakat (ijma’) bahwa orang yang meyakini dan mengucapkan
tapi tidak mengamalkan lahir dan batin, keimanannya tidak sah.
Dan mereka telah sepakat (ijma’) bahwa standar terkecil ke­imanan dinilai sah
adalah keyakinan, ucapan dan adanya perbuatan pada hati dan anggota badan, dan
yang demikian itu dengan melakukan ketundukan lahir dan batin.
Telah berlalu penukilan ijma’ salaf bahwa iman tidak sah kecuali dengan
keyakinan, dan ucapan dan amal perbuatan. Keimanan tidak sah kecuali terkumpul
hal ini seluruhnya, di mana ijma’ ini memba­talkan hujjah semua pengekor kebatilan
sebagaimana telah dinukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan
Ibnu Rajab dalam persoalan keterkaitan (antara lahir dan batin). Bahwa orang yang
berpaling dan lahir batinnya tidak mau tunduk maka dia kafir berdasarkan ijma’.
Maka berdasarkan hal ini diketahuilah batilnya hujjah orang-orang yang
terpapar syubhat irja’ di zaman kita, di mana ia menyangka bahwa paham salaf
berkenaan dengan terbaginya keimanan artinya keimanan dinilai sah meskipun
tanpa diikuti dengan menunaikan kewajiban-kewajiban yang lahir, dan bahwa orang
yang tidak mendatangkannya maka dia telah meninggalkan kesempurnaan iman,
bukan pokok keimanan! Dia menyelewengkan makna terbaginya (keimanan) dan
menyimpangkan dari maknanya yang benar yaitu satuan-satuan amal kepada amalan
lahir secara keseluruhan, sehingga dia menjadikan perbuatan meninggalkan amalan
lahir tidak menyebabkan hilangnya iman, karena keimanan terbagi-bagi! Dan di

Al-Furuq | 69
samping itu dia menjadi­kan paham salaf dan apa yang dinukil dari mereka berupa
kesepakatan-kesepakatan (ijma’) yang mutawatir bahwa keimanan tidak sah kecuali
dengan keyakinan, ucapan dan perbuatan seluruhnya sebagai pendapat Khawarij
yang mengatakan keimanan tidak terbagi-bagi! Sungguh berat ucapan yang keluar
dari mulut-mulut mereka, sungguh mereka tidak mengatakan selain kedustaan!
Pendapat salaf yang mengatakan kafirnya orang yang tidak mau tunduk
lahir dan batin tidak sama dengan pendapat Khawarij yang mengatakan bahwa
keimanan satu kesatuan apabila hilang sebagian, hilang keseluruhan, sebagaimana
yang disangkakan oleh sebagain orang yang terpapar irja’ di zaman kita dengan
menempuh cara-cara pemalsuan, penipuan dan pengecohan.
Yang demikian karena salaf rahimahumullah telah membedakan antara
mendatangkan amalan yang wajib di mana seorang muslim jangan sampai tidak
terdapat padanya ketundukan lahir dengan orang yang meninggalkan satuan-
satuan dari amalan wajib tanpa diikuti dengan juhud (pengingkaran). Barangsiapa
meninggalkan shalat maka dia kafir walaupun tidak mengingkarinya menurut
pendapat yang benar dari pendapat-pendapat para ahli ilmu dan dihikayatkan
ijma’ akan hal ini.178 Adapun orang yang meninggalkan zakat tanpa juhud
178 Orang yang meninggalkan shalat kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari millah
sekalipun dia tidak mengingkari kewajibannya. Dalil akan kekafirannya dengan kekafiran yang
mengeluarkan dari millah adalah firman Allah Ta’aala; “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat
dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (Qs. At-Taubah:
11).
Terdapat pada ayat ini pensyaratan dari Allah dalam adanya persaudaran antara kita dan musyrikin
tiga hal;
1- Bertaubat dari kesyirikan
2- Menegakkan shalat
3- Menunaikan zakat
Maka apabila dia bertaubat dari kesyirikan tapi tidak menegakkan shalat dan menunaikan zakat
maka mereka bukan saudara kita.
Dan yang juga menunjukkan akan hal ini adalah firman-Nya Ta’aala; “Maka datanglah sesudah
mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya,
maka kelak mereka akan menemui kesesatan. kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan
beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dantidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (Qs.
Maryam: 60)
Ayat ini menunjukkan bahwa saat mereka meninggalkan shalat dan mengikuti hawa nafsu, mereka
tidak beriman. Maka Allah menjadikan perbuatan mereka yang meninggalkan shalat sebagai alasan
masuk neraka karena tidak ada keselamatan bagi mereka dari kekekalan di dalamnya kecuali dengan
bertaubat dari yang demikian.
Dan apa yang diriwayatkan oleh Muslim (82) dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa ia berkata; “Sesungguhnya (batasan) antara seseorang dengan
kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” Maka nabi menjadikan shalat sebagai
pembeda dan pemisah antara keislaman dan kekufuran dan kesyirikan. Maka dia adalah ikatan
antara kita ahli Islam dengan kekufuran. Maka barangsiapa meninggalkannya berarti dia telah
kafir dengan kekufuran yang mengeluarkannya dari millah. Telah terbentuk ijma’ para shahabat
akan hal ini sebagaimana yang terdapat pada atsar yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi pada bab
riwayat-riwayat yang datang tentang meninggalkan shalat (2546). Al Albani berkata dalam Shahih

70 | Al-Furuq
(mengingkarinya) maka dia tidak kafir menurut pendapat yang benar. Diriwayatkan
dari Al Imam Ahmad bahwa dia tidak kafir. Barangsiapa meninggalkan puasa, atau
haji, atau silaturrahim, atau berbakti kepada kedua orang tua, atau selainnya tanpa
juhud (mengingkarinya) dia tidak kafir berdasarkan ijma’ ulama179, berbeda dengan
Khawarij.
Inilah perbedaan antara paham salaf dengan paham Khawarij. Karena
sesungguhnya Khawarij mengkafirkan dengan sebab dosa besar, adapun salaf mereka
menjadikan pelaku dosa besar beriman dengan keimanannya tidak dicabut darinya
mutlakul iman. Maka dia fasik dengan sebab dosa besarnya. Adapun Khawarij
mereka menjadikan pelaku dosa besar yang tidak menghalalkannya kafir keluar dari
millah.
Hal yang telah baku diakui oleh salaf bahwa meninggalkan kewajiban-kewajiban
yang lahir secara keseluruhan dan meninggalkan ketundukan bukan termasuk jenis
mengerjakan perkara-perkara yang haram seperti yang dianggap kaum Murji’ah,
bahkan ia termasuk ke dalam bentuk keberpalingan dan ketidakpedulian setelah
mendengar berita dan membenarkannya, sebagaimana firman Allah Ta’aala;
َ ُ ْ ُ ٓ َ ْ َ َ َ َّ‫َ ذ‬
‫ِين كف ُروا ع َّما أنذ ُِروا ُم ۡع ِرضون‬
‫وٱل‬
“Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.”
(QS. Al-Ahqaf :3).
Dan Allah Ta’aala berfirman;
َ َ ‫أَ‍ِبيٰت َر ّبهِۦ ُث َّم أَ ۡع َر َض َع ۡن َها ٓۚ إنَّا م َِن ٱل ۡ ُم ۡجرم‬
َ ‫ِني ُم‬
‫نتقِ ُمون‬
َ َ ّ ُ َّ ُ َ ۡ َ ۡ َ َ
‫ومن أظلم مِمن ذكِر‬
ِ ِ ِ ِ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan
ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling daripadanya. Sesungguhnya Kami akan
memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS. As-Sajdah: 22).
Dan Allah berfirman;

At-Targhib wat-Tarhib (1/367); “Shahih mauquf ”. Dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili ia berkata;
“Dahulu para shahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memandang suatu amalan
yang jika ditinggalkan menjadi kafir selain shalat.” At-Tirmidzi berkata; Aku mendengar Abu Mus’ab
Al Madani berkata; Barangsiapa mengatakan iman adalah ucapan dia dituntut bertaubat, apabila dia
bertaubat (dilepas) kalau tidak lehernya dipenggal. Asy-Syaikh Ibn Baz rahimahullah mengatakan
setelah membawakan atsar Abdullah bin Syaqiq sebagaimana terdapat pada Al Fatawa (10/241);
Ini menunjukkan bahwa meninggalkannya kekufuran yang besar berdasarkan ijma’ shahabat
Radhiyallahu ‘anhum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah mendiskusikan dalil-dalil
orang yang menyelisihi pendapat ini dan membantah hujjah-hujjah mereka. Lihat yang demikian
itu pada Majmu’ Al Fatawa (7/611-612)
179 Lihat Majmu’ Al Fatawa (7/611-612), (10/241) dan Ta’dzim Qadru As-Shalat, oleh Al Marwazi
(2/1015) dan (2/1016)

Al-Furuq | 71
َ ُ َّ‫ه‬
َ ُ ّ ُ َ َّۡ‫ٱلل أ ۡج ًرا َح َس ٗناۖ ِإَون َت َت َول َّ ۡوا ْ َك َما تَ َو ي‬
‫ل ُتم ّمِن ق ۡبل ُي َعذِبۡك ۡم َعذابًا‬
ُ ۡ ْ ُ ُ َ
‫يعوا يُؤت ِك ُم‬‫فإِن ت ِط‬
َ
‫أ يِل ٗما‬
“Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu
pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling
sebelumnya, niscaya Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih.” (QS. Al-
Fath :16).
Dan Allah Ta’aala berfirman;
َّ‫َ ى‬ َّ َ َّ‫ذ‬ َ‫َ ٓ اَّ أۡ َ ۡ ى‬ َ‫ا‬
‫ ٱلِي كذ َب َوت َو ٰل‬. ‫ل يَ ۡصلى ٰ َها إِل ٱلشق‬
“Tidak ada yang masuk ke dalamnya, kecuali orang yang paling celaka, yang
mendustakan (kebenaran) dan (berpaling) dari iman.” (QS. Al-Lail: 15-16).
Dan Allah Ta’aala berfirman;
َّ‫َ ى‬ َّ َ َ َ‫ا‬ َ‫ا‬
‫كن كذ َب َوت َو ٰل‬ ٰ َّ‫فَل َص َّد َق َول َص ى‬
ِ ٰ ‫ َول‬. ‫ل‬
“Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan al-Qur`an) dan tidak mau menger­
jakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran),” (QS.
Al-Qiyamah: 31-32)
Syaihul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Pendustaan terha­
dap kabar berita, dan berpaling dari perintah, dan sesungguhnya iman adalah
membenarkan para rasul terhadap apa yang mereka kabarkan dan mentaati mereka
terhadap apa yang mereka perintahkan.”180
Beliau rahimahullah berkata; “Maka diketahuilah bahwa keberpalingan bu­
kan pendustaan, bahkan dia adalah keberpalingan dari melakukan ketaatan. Ka­
rena wajib atas manusia untuk membenarkan Rasul pada apa yang dia beritakan,
dan mentaatinya pada apa yang dia perintahkan. Lawan dari pembenaran adalah
pendustaan, sedangkan lawan dari ketaatan adalah keberpalingan.”181
Maka berdasarkan kaidah salafiyah ini, yaitu keterkaitan antara lahir dan batin,
orang yang tidak beriman dengan anggota badannya dengan mengerjakan kewajiban-
kewajiban, sehingga dia tidak tunduk secara lahir, tidak diterima klaimnya bahwa
dia telah tunduk secara batin. Karena lahir adalah konsekuensi dari batin, dan batin
adalah konsekuensi dari lahir. Adapun kemaksiatan-kemaksiatan dan mengerjakan
keharaman-keharaman, sesungguhnya orang yang mengerjakannya imannya
berkurang, tidak dicabut darinya penamaan iman seluruhnya. Maka berbeda antara

180 Al Iman (halaman 56)


181 Al Iman (halaman 137)

72 | Al-Furuq
meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan keharaman-keharaman. Maka
pengkafiran dengan yang pertama adalah keyakinan salaf dan pengkafiran dengan
yang kedua adalah keyakinan Khawarij, dan menjadikan yang pertama seperti yang
kedua adalah perbuatan Murji’ah.
Sufyan bin Uyainah rahimahullah ditanya tentang irja’, ia menjawab; “Murji’ah
menjanjikan surga bagi orang yang bersaksi dengan Laa ilaaha Illallah meskipun
hatinya bersikukuh meninggalkan kewajiban-kewajiban. Mereka menamakan
meninggalkan kewajiban-kewajiban sebagai dosa sebanding dengan mengerjakan
perkara-perkara yang haram, padahal pelakunya tidak sama. Karena mengerjakan
perkara-perkara yang haram tanpa menghalalkannya adalah kemaksiatan, sedangkan
meninggalkan kewajiban-kewajiban dalam keadaan mengetahuinya dan tanpa alasan
adalah kekufuran. Penjelasan akan hal ini adalah pada kondisi Adam Shalawatullahu
‘alaihi, Iblis dan para ulama Yahudi. Adapun Adam, Allah telah melarangnya dari
memakan pohon dan mengharamkan pohon itu atasnya, lalu Adam memakannya
sengaja agar menjadi raja, atau menjadi termasuk orang-orang yang kekal maka dia
pun disebut bermaksiat bukan kufur. Sedangkan Iblis semoga Allah melaknatnya,
Allah mewajibkan atasnya satu kali sujud namun dia menolaknya dengan sengaja
sehingga dia disebut kafir. Adapun para ulama Yahudi, mereka mengenali sifat
Nabi  bahwa beliau adalah nabi dan rasul sebagaimana mereka mengenal anak-
anak mereka sendiri, dan mereka mengakui hal itu dengan lisan, tapi tidak mau
mengikuti syariatnya, maka Allah Azza wa Jalla namakan mereka sebagai orang-
orang kafir. Maka mengerjakan perkara-perkara yang haram seperti dosa Adam
dan selainnya dari para nabi, adapun meninggalkan kewajiban-kewajiban karena
pengingkaran adalah kekufuran, seperti kufurnya Iblis semoga Allah melaknatnya,
dan meninggalkannya di atas pengetahuan tanpa pengingkaran adalah kekufuran
seperti kufurnya para ulama Yahudi.”182
Telah berlalu ucapan Imam Harb al-Karmani rahimahullah yang mengatakan;
“Aku mendengar Ishaq berkata; Orang yang pertama kali mencetuskan irja’ katanya
adalah al-Hasan bin Muhammad bin al-Hanafiyah. Kemudian Murji’ah semakin
ghuluw (berlebihan) hingga di antara pendapat mereka mengatakan; kata satu kaum;
Barangsiapa meninggalkan yang wajib dan puasa Ramadhan dan zakat dan haji
dan keseluruhan faraid tanpa disertai juhud (mengingkari kewajibannya –pentj)
kami tidak mengkafirkannya. Nasibnya diserahkan kepada Allah, karena dia sudah
mengakui. Maka mereka adalah Murji’ah yang tidak diragukan lagi.”183
Pada penukilan ini secara khusus terdapat bantahan kepada sekumpulan
orang-orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman kita yang menganggap bahwa
182 As-Sunnah oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad (1/347)
183 Masa’il Al Imam Ahmad bin Hambal wa Ishaq bin Rahawaih melalui periwayatan Harb Al Karmani
(halaman 377)

Al-Furuq | 73
meninggalkan kewajiban-kewajiban yang lahir bukan kekufuran kecuali apabila
hatinya tidak lagi meyakini, atau juhud (mengingkari). Salaf menjadikan pendapat
ini di antara pendapat-pendapat Murji’ah.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata; “Telah jelas bahwa agama harus
terpenuhi padanya ucapan dan amalan. Mustahil seseorang beriman kepada
Allah dan rasul-Nya dengan hatinya, atau dengan hati dan lisannya tapi dia tidak
menunaikan satu pun kewajiban lahir. Tidak shalat, tidak zakat, tidak puasa dan tidak
pula mengerjakan perbuatan-perbuatan lainnya dari perkara-perkara yang wajib.
(Meninggalkannya) bukan karena Allah telah mewajibkannya seperti menunaikan
amanah, atau jujur dalam berkata-kata, atau berbuat adil dalam pembagiannya dan
hukumnya tanpa ada keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, maka yang demikian
ini belum mengeluarkan dia dari kekufuran. Karena orang-orang musyrik dan ahli
kitab menganggap wajibnya perkara-perkara ini. Maka seseorang tidak menjadi
beriman kepada Allah dan rasul-Nya selagi tidak didapati padanya satupun dari
kewajiban-kewajiban yang diwajibkan secara khusus oleh Muhammad . Barangsiapa
mengatakan tercapainya keimanan yang wajib tanpa diikuti dengan mengerjakan
satupun dari kewajiban-kewajiban, apakah dia menjadikan mengerjakan kewajiban-
kewajiban itu sebagai konsekuensi bagi (keimanan)nya atau sebagai bagian dari
(keimanan)nya, maka ini adalah perbedaan redaksi. Maka orang ini telah keliru
dengan kekeliruan yang jelas. Ini adalah bid’ah irja’ yang kaum salaf dan para imam
telah membesarkan pembicaraan terhadap orang-orang yang mengusungnya. Mereka
berkata tentangnya dengan ucapan-ucapan yang berat sebagaimana diketahui. Dan
yang paling agung, populer, pertama dan paling besarnya adalah perkara shalat.”184
Beliau rahimahullah berkata; “Hakikat agama adalah ketaatan dan ketun­dukan.
Dan yang demikian itu tercapai dengan perbuatan, bukan dengan ucap­an saja.
Barangsiapa tidak mengerjakan sesuatu karena Allah, maka dia tidak menghadap
kepada Allah dengan membawa agama, dan orang yang tidak ber­agama kafir.”185
Beliau rahimahullah berkata; “Mustahil seseorang beriman dengan keimanan
yang tertanam di dalam hatinya bawah Allah telah mewajibkan atasnya perkara
shalat, zakat, puasa dan haji. Kemudian dia tinggal sepanjang hidupnya tidak
pernah sujud kepada Allah walau sekali, tidak berpuasa di bulan Ramadhan, tidak
menunaikan zakat karena Allah, tidak pergi haji ke Baitullah. Yang demikian ini
mustahil, dan tidak muncul hal begini kecuali dari kemunafikan di dalam hati dan
sifat zindiq, bukan keimanan yang shahih.”186

184 Majmu’ Al Fatawa (7/621)


185 Syarah ‘Umdatul Fiqh (2/86)
186 Majmu’ Al Fatawa (7/616)

74 | Al-Furuq
Beliau rahimahullah berkata; “Seseorang tidak beriman kepada Allah dan
rasul-Nya apabila tidak didapati padanya satu pun dari kewajiban-kewajiban yang
diwajibkan oleh Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara khusus.”187
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata; “Tidak
ada perbedaan pendapat di antara umat bahwa tauhid harus terdapat di dalam
hati yang berupa ilmu, terdapat pada lisan yang berupa ucapan, dan terdapat
pada amal yang berupa menunaikan perintah-perintah dan larangan-larangan.
Maka apabila seseorang menelantarkan salah satunya, maka dia belum berislam.
Apabila dia mengakui tauhid tapi tidak mengerjakannya, maka dia kafir mu’anid
(pembangkang) seperti Fir’aun dan Iblis. Sedangkan apabila dia mengerjakan tauhid
secara lahir tanpa meyakininya dalam batin maka dia seorang munafik murni, lebih
jelek daripada orang kafir. Wallahua’lam.”188
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata; “Perkataannya;
barangsiapa bersaksi dengan Laa ilaaha Illallah, yakni; mengucapkannya, mengenali
maknanya, mengerjakan kandungannya lahir dan batin, maka harus terpenuhi pada
dua kalimat syahadat berupa ilmu, keyakinan dan pengamalan akan kandungan
keduanya, seperti yang Allah firmankan;
ُ َّ‫ٱعلَ ۡم َأنَّ ُهۥ اَلٓ إ َل ٰ َه إ اَّل ه‬
‫ٱلل‬
ۡ َ
‫ف‬
ِ ِ
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah.” (QS.
Muhammad,:19).
Firman-Nya,
َ َ ُ َ ۡ‫َّ َ ٰ َ َ اَّ َ َ َ ح‬ ُ َ ُ ۡ َ َ َّ‫َ اَ َ ۡ ُ ذ‬
‫ٱل ّ ِق َوه ۡم َي ۡعل ُمون‬ِ ‫ول يمل ِك ٱلِين يدعون مِن دونِهِ ٱلشفعة إِل من ش ِهد ب‬
“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang
hak (tauhid) dan mereka menyakini(nya).” (QS. Az-Zukhruf:86)
Adapun melafalkannya tanpa disertai dengan mengetahui maknanya, tanpa
keyakinan, tanpa mengamalkan akan kandungannya berupa menafikan kesyirikan
dan (mendatangkan) keikhlasan ucapan dan perbuatan, ucapan hati dan lisan, dan
amalan hati dan anggota badan, tidak bermanfaat berdasarkan ijma’.”189
Beliau rahimahullah berkata; “Dan pada ayat – yakni firman Allah Ta’aala;
َّ‫ه‬ َ َ َ َ َ ۡ َ َ َ َّ‫ه‬ ُ ٓ َ َ َّ‫َ َ ُ ُ َ َّ ه‬
ِۖ‫اب ٱلل‬
ِ ‫اس كعذ‬
َّ َ ِ َّ‫َوم َِن ٱنل‬
ِ ‫اس من يقول َءامنا بِٱللِ فإِذا أوذِي يِف ٱللِ جعل ف ِتنة ٱنل‬

187 Idem (7/621)


188 Ad-Durar As-Sanniyyah (2/124)
189 Fathul Madjid (1/119)

Al-Furuq | 75
“Dan di antara manusia ada yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka
apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia
sebagai azab Allah.” (QS. Al-Ankabut:10)
Terdapat bantahan kepada Murji’ah dan Karramiyah. Sisi bantahannya bah­wa
tidak berguna ucapan mereka; “Kami beriman”, disisi hilangnya kesabaran mereka
atas gangguan orang-orang yang memusuhi mereka di jalan Allah. Maka tidak
berguna ucapan dan pembenaran tanpa amal perbuatan. Tidak benar keimanan
syar’i atas manusia sampai ketiga unsurnya terpenuhi; pembenaran dengan hati dan
amalannya, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan. Ini adalah
pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah dulu dan sekarang. Walla­husubhanahu a’lam.”190
Asy-Syaukani rahimahullah berkata; “Barangsiapa meninggalkan rukun-rukun
Islam dan semua kewajiban-kewajiban, serta menolak apa-apa yang telah diwajibkan
atasnya dari kewajiban-kewajiban tadi dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan,
dan tidak terdapat padanya selain mengucapkan dua kalimat syahadat, maka tidak
diragukan dan tidak ada keraguan bahwa dia kafir, sangat kafir, darahnya halal.
Terlindunginya harta-harta itu tercapai hanya dengan menegakkan rukun-rukun
keislaman. Maka wajib bagi siapa saja yang berdekatan dengan orang kafir ini dari
orang-orang Islam di negeri-negeri dan hunian-hunian untuk mengajaknya beramal
dengan hukum-hukum Islam dan menegakkan apa yang telah diwajibkan atasnya
secara sempurna.”191
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata; “Telah terbentuk
ijma’ di antara ahli ilmu bahwa tauhid harus terwujud dengan hati, lisan dan amal.
Maka harus terpenuhi ketiganya. Tauhid harus menjadi akidah di dalam hatinya,
harus dia yang mengucapkan dengan lisannya, dan harus dia yang mengerjakan
dengan anggota badannya. Apabila salah satu hal ini tidak terpenuhi, sekalipun dia
mentauhidkan Allah dengan lisannya tanpa diiringi hati, tauhidnya tidak berguna
baginya. Sekalipun dia mentauhidkan Allah dengan hati dan anggota badannya,
tapi tidak disertai dengan lisannya, tauhidnya tidak berguna baginya. Sekalipun
dia menauhidkan Allah dengan anggota badannya tapi tidak disertai yang lainnya
dia belum menjadi muslim. Ini adalah ijma’, bahwa seseorang harus menjadi ahli
tauhid dengan keyakinannya, lisannya dan amalannya. Maka apabila dia mengenal
tauhid tapi tidak mengamalkannya, dia kafir mu’anid (membangkang). Apabila dia
meyakini, namun tidak mau mengucapkan dan tidak mengamalkan kebenaran
dengan anggota badannya, maka dia kafir menurut semua ummat.”192

190 Idem (2/579)


191 Irsyad As-Saa’il ila Dala’il Al Masa’il (halaman 43)
192 Taqrirat Al ‘Allamah Muhammad bin Ibrahim ‘ala Kasyf Syubuhat (halaman 126)

76 | Al-Furuq
Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata menjawab pertanyaan
seputar benar tidaknya perkataan sebagian orang; (Amalan-amalan dengan niat-niat,
bukan dengan amal)! Beliau rahimahullah berkata; “Ini di antara kesalahan yang
paling buruk. Ucapannya; amalan-amalan dengan niat-niat, bukan dengan amal!
Ini salah. Iya, amalan-amalan dengan niat-niat sebagaimana yang disabdakan Nabi
 tapi harus disertai dengan amal juga. Nabi  bersabda, “Sesungguhnya amalan-
amalan itu dengan niat-niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai
niatnya”193. Maka harus disertai dengan amalan-amalan. Tapi amalan-amalan itu
dibangun diatas niat. Maka amalan-amalan harus memiliki niat, bukan maksudnya
bahwa niat mencukupi dan kamu meninggalkan amal. Niat saja tidak cukup, harus
dengan amal. Maka yang wajib atas setiap muslim adalah beramal mengerjakan
ketaatan kepada Allah dan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan. Apabila dia
berniat tapi tidak beramal dengan syariat Allah, dia menjadi kafir.”194
Beliau rahimahullah ditanya; “Apakah orang yang bersaksi dengan Laa ilaaha
Illallah dan meyakini dengan hatinya, tapi meninggalkan semua amalan-amalan
menjadi muslim? Beliau menjawab; tidak, dia tidak menjadi muslim sampai dia
mentauhidkan Allah dengan perbuatannya.”195
Guru kami asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzahullah ditanya
tentang ucapan sebagian orang; (Kaum salaf berselisih tentang hukum orang yang
meninggalkan amal dan bahwa di kalangan salaf berkenaan dengan persoalan ini ada
dua pendapat). Beliau hafidzahullah berkata menjawab pertanyaan ini; “Ini dusta.
Orang yang mengatakan ucapan ini pembohong besar, telah berdusta atas nama
salaf. Salaf tidak mengatakan bahwa orang yang meninggalkan jinsul amal, tidak
mengerjakan amalan sama sekali sebagai mukmin. Barangsiapa meninggalkan amal
perbuatan sama sekali tanpa alasan , tidak shalat, tidak puasa, dan tidak mengerjakan
apapun, dan dia mengatakan; saya beriman, orang ini pendusta. Adapun orang yang
meninggalkan amalan karena alasan syar’i, tidak mampu beramal, mengucapkan
dua kalimat syahadat dengan benar kemudian wafat, atau terbunuh saat itu juga,
orang ini yang tidak diragukan lagi bahwa dia beriman. Karena dia tidak memiliki
kesempatan beramal, dia bukannya tidak beramal karena membencinya. Adapun
orang yang mampu beramal tapi meninggalkannya, tidak shalat, tidak puasa, tidak
berzakat, tidak meninggalkan perkara-perkara yang haram, dan tidak meninggalkan
kekejian-kekejian, dia bukan orang beriman. Tidak ada seorang pun yang mengatakan
dia beriman selain Murji’ah!”196

193 Al Bukhari (1) dan Muslim (1907)


194 Lihat situs Asy-Syaikh di internet; http://www.binbaz.org.sa/noor/5545
195 Rekaman komentar atas Fathul Madjid Syarah Kitab At-Tauhid (2 side b)
196 Akhir dari kaset Al ‘Aqidah Al Hamawiyah yang disyarah pada tanggal 22/2/1426 H. Lihat situs
Asy-Syaikh di internet http://www.alfawzan.af.org.sa/node/9531

Al-Furuq | 77
Maka apabila seorang muslim mengetahui ini dan mendapatkan gambarannya,
hilanglah darinya tipu daya para penipu dan tahulah dia batilnya anggapan
orang yang terpapar syubhat-syubhat irja’ di zaman kita dari mereka yang telah
mengakui adanya keterkaitan antara lahir dan batin, dan mengakui bahwa orang
yang meninggalkan amalan kewajiban-kewajiban yang lahir kafir, tapi kemudian
dia mengakui bahwa orang yang tidak terpenuhi padanya amalan sama sekali dari
kewajiban-kewajiban bahwa hal ini adalah penyelisihan parsial yang pelakunya
tidak dicela. Maka ini adalah syubhat yang lemah, karena salaf telah mengingkari
orang-orang yang berpendapat selamatnya orang yang meninggalkan amalan dan
bahwa keimanan sah tanpa amalan. Salaf menilai yang demikian itu sebagai irja’
dan memperingatkan (manusia) darinya dengan peringatan yang keras sebagaimana
telah berlalu penukilannya dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu ucapan beliau
rahimahullah yang mengatakan; “Telah jelas bahwa agama harus terpenuhi padanya
ucapan dan amalan. Mustahil seseorang beriman kepada Allah dan rasul-Nya
dengan hatinya, atau dengan hati dan lisannya tapi dia tidak menunaikan satu pun
kewajiban lahir. Tidak shalat, tidak zakat, tidak puasa dan tidak pula mengerjakan
perbuatan-perbuatan lainnya dari perkara-perkara yang wajib. (Meninggalkannya)
bukan karena Allah telah mewajibkannya, seperti menunaikan amanah, atau jujur
dalam berkata-kata, atau berbuat adil dalam pembagiannya dan hukumnya tanpa ada
keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, maka yang demikian ini belum mengeluarkan
dia dari kekufuran. Karena orang-orang musyrik dan ahli kitab menganggap
wajibnya perkara-perkara ini. Maka seseorang tidak menjadi beriman kepada Allah
dan rasul-Nya selagi tidak didapati padanya satupun dari kewajiban-kewajiban yang
diwajibkan secara khusus oleh Muhammad . Barangsiapa mengatakan tercapainya
keimanan yang wajib tanpa diikuti dengan mengerjakan satupun dari kewajiban-
kewajiban, apakah dia menjadikan mengerjakan kewajiban-kewajiban itu sebagai
konsekuensi bagi (keimanan)nya atau sebagai bagian dari (keimanan)nya, maka
ini adalah perbedaan redaksi. Maka orang ini telah keliru dengan kekeliruan yang
jelas. Ini adalah bid’ah irja’ yang kaum salaf dan para imam telah membesarkan
pembicaraan terhadap orang-orang yang mengusungnya. Mereka berkata tentangnya
dengan ucapan-ucapan yang berat sebagaimana diketahui, dan yang paling agung,
populer, pertama dan paling besarnya adalah perkara shalat.”197
Maka jika seorang muslim mengenal hal ini, tahulah dia perbedaan antara
ucapan orang yang mengatakan dari kaum salaf; orang yang meninggalkan rukun-
rukun yang empat; shalat, zakat, puasa dan hati tidak kafir, dengan ucapan orang
yang mengatakan; orang yang meninggalkan amal tidak kafir. Jelaslah olehnya
kedustaan Murji’ah pada klaim mereka bahwa salaf tidak mengkafirkan orang yang

197 Majmu’ Al Fatawa (7/621)

78 | Al-Furuq
meninggalkan amalan, dan jelaslah juga besarnya penipuan dan pemalsuan yang
dilakukan oleh kaum mubtadi’ah.
Persoalan keenam; Sebagian orang yang terpapar irja’ berdalil dengan beberapa
ucapan para ulama yang mereka sangka bahwa ucapan itu mencocoki kemauan dan
maksud mereka. Padahal perkataan-perkataan yang dinisbatkan kepada para ulama
sunnah yang dipakai sebagai hujjah oleh ahlul bid’ah dalam membela kebid’ahan
mereka pada umumnya tidak keluar dari salah satu keadaan ini;198
Pertama; Ucapan itu tidak pernah diucapkan oleh seorang alim atau seorang
pun ulama yang dikenal sebagai ahli tahqiq dalam akidah salaf.
Kedua; Ucapan itu diucapkan sebagian ulama tapi menyelisihi para ulama ahli
tahqiq
Ketiga; Ucapan itu diucapkan seorang ulama, tapi terjadi penambahan
Keempat; Ucapan itu dipahami dengan pemahaman yang berbeda dengan si
pemilik ucapan
Kelima; Ucapan itu diberlakukan secara umum atau mutlak, padahal tidak
demikian.
Keenam; Ucapan itu pada pemiliknya ada yang global dan ada yang terperinci,
lalu diambillah yang global dan ditinggalkan yang terperinci lagi jelas.
Ketujuh; Ucapannya mengandung kesalahan.
Dan yang lain sebagainya dari kemungkinan-kemungkinan.
Maka yang wajib adalah memberikan perhatian, karena tidak semua orang
yang menisbatkan sesuatu dari perkara-perkara yang menyelisihi kaum salaf kepada
seseorang dari ulama salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para imam
dalam agama berarti penisbatan kepadanya pasti benar. Jika benar penisbatannya
tapi tampak pelanggarannya maka yang menjadi hujjah adalah nash-nash al-Quran,
as-Sunnah dan apa-apa yang telah disepakati salaf, bukan pada perselisihan itu.
Sebagaimana yang wajib adalah tatsabbut (crosschek) dalam menukil dari para
ulama, terlebih lagi ulama yang dijadikan panutan dari kaum salaf dan orang-
orang yang mengikuti mereka. Tidak menyelewengkan nash-nash mereka, atau
membuangnya, atau mengeluarkannya dari konteks dan maksud pemilik ucapannya.
Apabila telah benar dan dilakukan crosschek dari salah seorang mereka penyelisihan,
maka yang menjadi ukuran adalah dalil. Maka kami mengambil apa yang didukung
dengan dalil dari pendapat-pendapat para ulama setinggi apa pun kedudukan
mereka, sambil menjaga kedudukan para ulama sunnah. Semua orang ucapannya
bisa diambil dan ditinggalkan kecuali Muhammad .
Contohnya;

198 Idem (20/185-186)

Al-Furuq | 79
Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman kita berdalil dengan ucapan
yang datang dari Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah; “Rukun-
rukun Islam ada lima; Yang pertama dua kalimat syahadat, kemudian rukun-rukun
yang empat. Maka rukun-rukun yang empat ini apabila seseorang telah mengakuinya
tapi meninggalkannya karena malas, sekalipun kami memerangi orang ini agar
mengerjakannya, kami tidak mengkafirkannya karena meninggalkannya. 199 Para
ulama telah berselisih tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena malas,
tanpa disertai dengan juhud (pengingkaran). Maka kami tidak mengkafirkan kecuali
dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama seluruhnya, yaitu syahadatain.”200
Nash dari perkataan Mujaddid ini dibawakan oleh sebagian orang yang terpapar
syubhat Murji’ah dan menyangka bahwa ucapan Syaikh Mujaddid ini adalah nash
yang terang tentang tidak ada pengkafiran kepada orang yang meninggalkan
amalan. Karena tidak ada setelah rukun-rukun yang lima ini amalan-amalan apa
pun yang menjadikan seseorang keluar dari Islam. Ini adalah nash bahwa beliau
tidak mengkafirkan selain dengan apa yang telah disepakati berdasarkan ijma’ yakni
syahadatain!
Maka dikatakan sebagai jawaban atas syubhat ini; Nash dari ucapan Imam
Mujaddid ini sekalipun lahiriyahnya beliau tidak mengkafirkan orang yang
meninggalkan shalat, zakat, puasa, dan haji apabila tidak disertai dengan juhud
(pengingkaran), pada nash ini bukan berarti beliau tidak mengkafirkan orang yang
tidak tunduk lahir dan batinnya dengan mengerjakan amalan dan mendatangkan
kewajiban-kewajiban. Orang yang mengutip ucapan ini telah menyelewengkan
perkataan Al Mujaddid dan berdusta atas namanya. Karena Al Imam Al Mujaddid
sendiri telah menjelaskan dengan nash pada tempat-tempat yang banyak dari risalah-
risalahnya dan karya-karyanya sebagaimana yang telah kami nukil sebagiannya pada
pembahasan yang lalu bahwa beliau mengkafirkan orang yang secara lahir dan batin
tidak mau tunduk.
Di antaranya adalah ucapan beliau rahimahullah; “Ketahuilah semoga Allah
merahmatimu, bahwa agama Allah terdapat di atas hati dengan keyakinan, dengan
kecintaan dan kebencian (kepada kekufuran), terdapat di atas lisan dengan melafalkan

199 Akan jelas di hadapan pembaca melalui sela-sela jawaban atas orang yang bergantungan dengan
alinea ucapan Asy-Syaikh Al Imam Al Mujaddid rahimahullah bahwa maksud Asy-Syaikh adalah
meninggalkan satuan-satuan rukun yang empat, bukan meninggalkan keseluruhan rukun-rukun yang
empat dan selainnya dari kewajiban-kewajiban yang dibahasakan dengan; “meninggalkan amalan
lahir keseluruhan”. Karena orang yang meninggalkan amalan seluruhnya belum mendatangkan
hakikat dua kalimat syahadat yang ada pada ucapan dan keyakinan. Penerimaan dan ketundukan
seperti apa yang ada pada orang yang meninggalkan amalan seluruhnya?! Dan saya telah jalaskan
hal ini pada risalah ini dengan porsi yang cukup yang tidak menyisakan persoalan bagi para pencari
kebenaran.
200 Ad-Durar As-Sanniyyah fi Al Ajwibah An-Najdiyyah (1/102)

80 | Al-Furuq
dan tidak mengucapkan kata kekufuran, dan terdapat di atas anggota badan dengan
mengerjakan rukun-rukun Islam dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang
mengkafirkan. Maka apabila salah satu dari ketiga hal ini tidak terpenuhi dia kafir
dan murtad.”201
Beliau rahimahullah berkata; “Tidak ada perbedaan di antara umat bahwa
tauhid harus ada di hati yaitu berupa ilmu, ada di lisan yaitu berupa ucapan, dan
amalan yang berupa menunaikan perintah-perintah dan larangan-larangan. Maka
apabila seseorang melalaikan satu saja dari hal ini dia belum menjadi muslim.
Apabila dia mengakui tauhid tapi tidak mengamalkannya maka dia kafir mu’anid
(membangkang) seperti kafirnya Fir’aun dan Iblis. Apabila dia mengerjakan tauhid
secara lahir tapi batinnya tidak meyakininya, maka dia seorang munafik murni,
lebih jelek dari orang kafir. Wallahua’lam.”202
Maka jelaslah bahwa asy-Syaikh telah menukil ijma’ bahwa orang yang
meninggalkan amalan seluruhnya dan berpaling dan lahir batinnya tidak mau
tunduk, dia kafir murtad. Adapun meninggalkan sebagian dari satuan-satuan
amal, maka ini bahan penelitian dan bukan termasuk meninggalkan amalan dan
ketundukan secara lahir dan batin, sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.
Bagian ini dari perkataan al-Mujaddid telah dijadikan alat oleh perusuh dalam
menyelewengkan dakwah asy-Syaikh rahimahullah sejak dulu. Mereka menyangka
bahwa pada ucapannya tersebut terdapat dalil yang menyanggah Ahlussunnah yang
mengkafirkan orang-orang murtad dan ahli syirik, dan tongkat estafet ini kemudian
diteruskan oleh orang-orang yang terpapar syubhat irja’di zaman kita.
Al-‘Allamah Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan rahimahullah telah
memberikan sanggahan terhadap sebagian mereka di dalam kitabnya Misbah Adz-
Dzhalam ketika seseorang memunculkan syubhat ini. Beliau telah menukil di dalam
Misbah Adz-Dzhalam ucapan seorang perusuh yang disebut dengan al-mu’taridh
(penyanggah). Berikut ini nash perkataan si penyanggah itu; Beliau juga berkata
–maksudnya Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah- ketika ditanya
tentang alasan apa seseorang diperangi dan dikafirkan. Beliau berkata dengan tulisan
tangannya; Kami tidak memerangi kecuali di atas persoalan yang telah disepakati
para ulama seluruhnya yakni syahadatain.
Al-‘Allamah Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan berkata menyanggah
ucapan orang ini; “Maka jawabannya dikatakan; Orang ini termasuk makhluk
yang paling jauh dari memahami (agama) Allah dan rasul-Nya, dan dari maksud
serta hakikat-hakikat dari hukum-hukum-Nya. Dia termasuk makhluk Allah yang
paling jahil terhadap ucapan-ucapan ahli ilmu dan poin-poin hukum. Siapa saja

201 Idem (10/87)


202 Idem (2/124)

Al-Furuq | 81
yang memahami dari Allah mengetahui dengan ilmu darurat bahwa maksud dari
syahadatain adalah apa yang ditunjuki olehnya dari hakikat dan makna, dan apa
yang telah dikandungnya dari berupa ilmu dan amal. Adapun sekedar melafalkan
tanpa disertai ilmu akan maknanya, tanpa meyakini hakikatnya, yang seperti ini
tidak berguna bagi seseorang sama sekali, dan tidak mengeluarkannya dari cabang-
cabang kesyirikan dan furu’-furu’nya. Allah Ta’aala mengatakan;
ُ َّ‫ٱعلَ ۡم َأنَّ ُهۥ اَلٓ إ َل ٰ َه إ اَّل ه‬
‫ٱلل‬
ۡ َ
‫ف‬
ِ ِ
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah...” (QS.
Muhammad: 19).
Dan berfirman;
َ َ ُ َ ۡ‫َّ َ ٰ َ َ اَّ َ َ َ ح‬ ُ َ ُ ۡ َ َ َّ‫َ اَ َ ۡ ُ ذ‬
‫ٱل ّ ِق َوه ۡم َي ۡعل ُمون‬ِ ‫ول يمل ِك ٱلِين يدعون مِن دونِهِ ٱلشفعة إِل من ش ِهد ب‬
“...akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang
hak (tauhid) dan mereka menyakini(nya).” (QS. Az-Zukhruf: 86)
Maka keimanan akan makna keduanya dan tunduk kepadanya tidak
tergambarkan dan tidak terwujud kecuali setelah ilmu, dan menghukumi sesuatu
adalah hasil memahami gambarannya. Maka apabila seseorang belum berilmu dan
belum mendapatkan gambarannya dia seperti orang yang mengigau, atau seperti
orang yang tidur dan yang semisal dengannya dari orang-orang yang tidak mengerti
apa yang dia ucapkan. Bahkan jika tercapai olehnya ilmu kemudian luput darinya
kejujuran dia belum dianggap bersaksi bahkan sebaliknya dia seorang pendusta
apabila dia mendatangkan gambaran syahadatain. Allah Ta’aala berfirman;
َّ ۡ ُ َّ‫َ َ ٓ َ َ ۡ ُ َ ٰ ُ َ َ ُ ْ َ ۡ َ ُ َّ َ َ َ ُ ُ هَّ َ هَّ ُ َ ۡ َ ُ َّ َ َ َ ُ هُ ُ َ ه‬
‫ٱلل يَش َه ُد إِن‬ ‫إِذا جاءك ٱلمن ِفقون قالوا نشهد إِنك لرسول ٱللِۗ وٱلل يعلم إِنك لرسولۥ و‬
َ َ َ َ َٰ ُۡ
‫ني لكٰذِبُون‬ ِ‫ٱلمنفِق‬
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al-
Munafikun: 1)
Allah mendustakan ucapan mereka dan menolak kesaksian mereka dan Allah
bersaksi akan kedustaan mereka. Dia memberikan penekanan hukum dengan
“inna al mu’akkidah” (sesungguhnya) dan laam at-ta’lil (huruf lam penekanan).
Maka apakah orang berakal mengatakan; bahwa mereka telah bersaksi dengan
dua kalimat keikhlasan (syahadatain) dan mengakuinya?! Bukankah ucapan ini

82 | Al-Furuq
hanyalah sanggahan kepada Kitabullah dan keluar dari sabilul mukminin?! Karena
sesungguhnya mereka sepakat dalam menilai makna dan maksud yang ditunjuki
oleh dua kalimat syahadat, dan bahwa itulah yang dimaukan. Tidak ada seorang
pun yang mengatakan bahwa iman hanya sekedar melafalkan tanpa disertai dengan
akidah hati, mengilmuinya, membenarkannya dan tanpa disertai dengan pengamalan
terhadap kandungan dua kalimat syahadat. Aku tidak pernah mendengar seorang
pun mengatakan itu kecuali sekumpulan dari ahli kalam dari Karramiyyah yang
membantah Jahmiyah pada ucapan mereka; Bahwa iman adalah pembenaran saja.
Lalu mereka membantah ucapan itu bahwa iman hanya pengakuan saja. Padahal
kedua pendapat ini tertolak di tengah umat. Tapi itu masih lebih baik dan dekat
kepada ucapan ahli ilmu dari ucapan yang didatangkan si pendusta ini yang
menganggap tidak perlu ilmu dan makna.
Siapa saja yang membaca al-Quran atau mendengarnya dan dia seorang yang
memiliki lisan arab mengetahui bahwa memerangi orang-orang musy­rik alasannya
kesyirikan itu sendiri, tergantung kepadanya. Allah Ta’aala berfir­man;
ٗ َّ َ َ ۡ‫َ َ ُ ْ ۡ ُ ر‬
‫ِني كٓافة‬ ِ ‫وقٰتِلوا ٱلم‬
‫شك‬
“...dan perangilah musyrikin itu semuanya...” (QS. At-Taubah: 36).
Dan Allah Ta’aala berfirman;
ۡ
‫ار‬ َ ۡ‫ٱلل َعلَ ۡيهِ ج‬
ُ َّ‫ٱل َّن َة َو َمأ َوى ٰ ُه ٱنل‬ ُ َّ‫ٱللِ َف َق ۡد َح َّر َم ه‬
َّ‫َّ ُ َ ُ رۡ ۡ ه‬
ِ ‫شك ب‬
ِ ‫إِنهۥ من ي‬
“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka...” (QS. Al-
Maidah: 72).
Allah Ta’aala berfirman;
َۡ َ َ َ ۡ‫َ ُ ْ أ‬
َ ‫ِين َع ٰ َهدتُّم ّم َِن ٱل ۡ ُم رۡشك‬ َ ‫ولِۦٓ إ ىَل ذَّٱل‬ ُ َ َ َّ‫َ ٓ َ ٌ ّ َ ه‬
‫ۡرض أ ۡر َب َعة أش ُه ٖر‬ ِ ‫ِيحوا يِف ٱل‬ ‫ فس‬. ‫ِني‬ ِ ِ ِ‫ب َراءة مِن ٱللِ ورس ه‬
َّ‫ه‬ ٌ ََ َ ۡ ُۡ‫هَّ َ َ َّ هَّ َ خ‬ ۡ ‫ك ۡم َغيرۡ ُ ُم‬ ُ َّ َ ْ ٓ ُ َ ۡ َ
ٓ‫ولِۦ‬ِ‫ َوأذٰن ّم َِن ٱللِ َو َر ُس ه‬. ‫ين‬ َ ‫كٰفِر‬
ِ ‫ٱل‬ ‫ي‬‫ز‬
ِ ‫م‬ ‫ٱلل‬ ‫ن‬ ‫أ‬‫و‬ ِ ‫ٱلل‬ ‫ي‬ ‫ز‬ ‫ج‬
ِ ‫ع‬
ِ َ ۡ‫حۡ أ‬ ‫وٱعلموا أن‬
ُ ُ‫ِني َو َر ُس ه‬
ٌ ۡ‫ول ۚۥ فَإن تُ ۡب ُت ۡم َف ُه َو خَير‬ َ ‫ي ٌء ّم َِن ٱل ۡ ُم رۡشك‬ َ َّ‫ك رَب أَ َّن ه‬
ٓ ‫ٱلل بَر‬ ۡ
‫ٱل‬ ‫ج‬ّ َ
َ ‫اس يوم‬
‫ٱل‬ ۡ َ ِ َّ‫إ ىَل ٱنل‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ َ ْ َ َ َ َّ‫هَّ َ َ ّ ذ‬ َ ْ َ
ۡ ُ ُ ۡ‫َ َ يَّۡ ُ ۡ َ ۡ ُ ٓ َّ ُ ۡ َ ير‬ ۡ ُ َّ
‫اب أ يِل ٍم‬ ٍ ‫ش ٱلِين كف ُروا بِعذ‬ ِ ِ‫ج ِزي ٱللِۗ وب ر‬ ِ ‫لكمۖ ِإَون تولتم فٱعلموا أنكم غ مع‬
ٗ َ ُ َ ْ َ َ ٗ َ ُ ُ َ ُ َ ۡ‫اَّ ذَّ َ َ ٰ َ ُّ ّ َ ۡ ُ ر‬
‫ِني ث َّم ل ۡم يَنق ُصوك ۡم شيۡ‍ٔا َول ۡم يُظٰ ِه َ ُروا َعل ۡيك ۡم أ َحدا‬ ‫شك‬ِ ‫ إِل ٱلِين عهدتم مِن ٱلم‬.
ْ ُ ُ ۡ َ ُ ُ ُ ۡ‫ۡ َ ۡ َ ُ ۡ ىَ ُ َّ ۡ َّ هَّ َ حُ ُّ ۡ ُ َّ َ َ َ َ َ َ أۡ ۡ ُ ُ ح‬ َ
‫ فإِذا ٱنسلخ ٱلشهر ٱلرم فٱقتلوا‬. ‫ل ِهم عهدهم إ ِ ٰل مدت ِ ِه ۚم إِن ٱلل يِب ٱلمتقِني‬ َۡ‫فَأت ُِّم ٓوا ْ إ ِ ي‬
ْ ُ َ َ َ ۡ َ َّ ُ‫َ َ ۡ ُ َ َ ُّ ُ ُ ۡ َ ُ ُ ُ ۡ َ ۡ رُ ُ ُ ۡ َ ۡ ُ ُ ْ َ ُ ۡ ل‬ ۡ‫ۡ ُ ر‬
‫شك ِني حيث وجدتموهم وخذوهم وٱحصوهم وٱقعدوا لهم ك مرص ٖ ۚد فإِن تابوا‬ ِ ‫ٱلم‬

Al-Furuq | 83
ٌ ‫ٱلل َغ ُف‬
ٌ ‫ور َّرح‬ َ َ َ ٰ َ َّ ْ ُ َ َ َ َ ٰ َ َّ ْ ُ َ َ َ
َ َّ‫خ ُّلوا ْ َسبيلَ ُه ۡم إ َّن ه‬
‫ِيم‬ ِ ۚ ِ ‫وأقاموا ٱلصلوة وءاتوا ٱلزكوة ف‬
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang
dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah
mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin)
di muka bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak
akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang
kafir. Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat
manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri
dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka
bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-
orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. kecuali orang-orang
musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka
tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka
membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah
janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertakwa. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang
musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah
mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan
sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 1-5)
“...(Inilah pernyataan) pemutusan penghubungan daripada Allah dan Rasul-Nya...”
sampai kepada firman-Nya; “...Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan...” dan
ayat-ayat lain yang semisal yang semuanya menunjukkan akan kaitan hukum dengan
kesyirikan itu sendiri.
Di dalam hadits; “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha Illallah dan dia kufur
kepada apa-apa yang diibadahi selain Allah, terlindungilah harta dan darahnya.”203Pada
hadits yang lain; “Barangsiapa menukar agamanya maka bunuhlah dia.”204 Dan ucapan
para fuqaha’ pada bab hukum orang yang murtad dan ucapan mereka; Barangsiapa
menyekutukan Allah...sampai akhir ucapan mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
telah menghikayatkan ijma’ akan kafirnya orang yang menjadikan antara dirinya
dengan Allah perantara-perantara yang dia seru, dia ibadahi dan dia tawakkal
kepada mereka, dan hal ini telah berlalu. Maka semua yang telah disebutkan dari

203 Muslim (23)


204 Al Bukhari (3017)

84 | Al-Furuq
berupa mendatangkan lafal syahadat dan talqin tidak berguna sama sekali apabila
tidak terpenuhi ilmu.”205
Beliau rahimahullah berkata; “Bahkan guru kami rahimahullah tidak
mengkafirkan kecuali dengan meninggalkan pengamalan terhadap syahadat Laa
ilaaha Illallah, dengan mengambil ilah-ilah dan tandingan-tandingan disamping
Allah. Dia telah menegaskan secara nash pada redaksi yang dinukil ini bahwa
cabang-cabang ini di antaranya ada yang menghilangkan keimanan dengan tidak
terpenuhinya seperti syahadatain, dan ini adalah persoalan yang diperdebatkan.
Karena orang yang bersaksi dengan ketauhidan, tidak berpegang dengannya dan
tidak tunduk kepada kandungannya, dia tidak beriman. Begitu pula kesaksian
bahwa Muhammad utusan Allah, harus terdapat padanya komitmen terhadap apa
yang beliau bawa berupa keimanan kepada Allah dan menauhidkannya, kalau tidak
maka tidak berguna baginya kesaksian ini dan dia tidak disebut orang yang bersaksi.
Allah Ta’aala berfirman;
َّ ۡ ُ َّ‫َ َ ٓ َ َ ۡ ُ َ ٰ ُ َ َ ُ ْ َ ۡ َ ُ َّ َ َ َ ُ ُ هَّ َ هَّ ُ َ ۡ َ ُ َّ َ َ َ ُ هُ ُ َ ه‬
‫ٱلل يَش َه ُد إِن‬ ‫إِذا جاءك ٱلمنفِقون قالوا نشهد إِنك لرسول ٱللِۗ وٱلل يعلم إِنك لرسولۥ و‬
َ َ َ َ َٰ ُۡ
‫ني لكٰذِبُون‬ ِ‫ٱلمنفِق‬
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al-
Munafikun: 1)
Maka Allah mendustakan pengakuan mereka, karena mereka tidak beramal
dengan kandungan syahadat, bahkan menyelisihinya dengan perbuatan dan
keyakinan. Maka apabila seseorang memperhatikan apa yang dinukil oleh si
penentang ini dia akan tahu bahwa nukilannya itu justru menyanggahnya bukan
mendukung pendapatnya dan bahwa guru kami adalah orang yang paling berbahagia
dengan mencocoki perkataan ahli ilmu dan iman dibandingkan dengan orang-orang
yang membolehkan perbuatan menyeru orang-orang mati dan gaib, dan bersandar
kepada mereka selain Allah Rabb semesta alam.”206
Berdasarkan ini jelaslah bahwa tidak ada pegangan sedikit pun bagi penipu
pada potongan ini dari perkataan Al Mujaddid rahimahullah.
Contoh lain;
Apa yang dinukil oleh sebagian mereka dari al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah dan dengannya mereka berdalil dalam menyelewengkan apa yang

205 Misbah Adz-Dzalam (halaman 159)


206 Idem (halaman 531)

Al-Furuq | 85
telah disepakati salaf akan kafirnya orang yang tidak mau tunduk lahir dan batin
dan meninggalkan amalan.
Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata ketika ditanya; Apakah
para ulama yang berpendapat tidak kafir orang yang meninggalkan amalan anggota
badan disamping melafalkan syahadatain dan adanya pokok keimanan hati, apakah
mereka termasuk dari Murji’ah?
Beliau menjawab; “Ini di antara Ahlussunnah wal Jama’ah. Siapa yang
berpendapat tidak kafir orang yang meninggalkan puasa, atau zakat, atau haji,
ini tidak menjadikannya kafir. Tapi dia melakukan dosa besar. Dia kafir menurut
sebagian ulama, tapi menurut pendapat yang benar tidak kafir dengan kekufuran
yang besar. Adapun orang yang meninggalkan shalat, yang paling kuat dalam perkara
ini dia kafir, kufur akbar apabila sengaja meninggalkannya. Adapun meninggalkan
zakat, puasa, dan haji, maka dia kufrun duna kufrin (kufur kecil), maksiat dan salah
satu dari dosa-dosa besar. Dalil akan hal ini bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
berkata tentang orang yang menolak zakat; “Dia akan didatangkan di hari kiamat
dan diazab dengan hartanya” dan seperti yang ditunjuki oleh Al Qur’an Al Karim;
ُ ُ ُ ُ َ ۡ ُ ُ ُ ُ َ ۡ ُ ُ َ َ ٰ َ ۡ ُ َ َ َّ َ َ َ َ ۡ َ َ ٰ َ‫ي ى‬
ُۡ‫َ ۡ َ ح‬
ۖ‫وره ۡم‬ ‫جباههم وجنوبهم وظه‬ ِ ‫م عليها يِف نارِ جهنم فتكوى بِها‬ ‫يوم‬
“Pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarnya
dahi mereka, lambung dan punggung mereka.” (QS. At-Taubah: 35).
Nabi mengabarkan bahwa dia diazab dengan hartanya, dengan untanya, dengan
sapinya, kambingnya, emasnya, dan peraknya kemudian diperlihatkan kepadanya
setelah itu apakah ke surga atau ke neraka207, dimana hal ini menunjukkan bahwa
dia tidak kafir. Yakni keadaannya yang ditunjukkan jalannya apakah ke surga atau
ke neraka, menunjukkan bahwa dia terancam bisa masuk neraka, dan bisa jadi
dicukupkan dengan azab di alam barzakh dan tidak masuk ke neraka, bahkan ke
surga setelah azab di alam barzakh.”208
Dikatakan tentang fatwa ini seperti yang dikatakan telah lalu tentang asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahwa jawaban asy-Syaikh (Ibn Baz)
berkenaan dengan orang yang meninggalkan satuan-satuan amal. Dia mengakui
hukum meninggalkan sebagian satuan-satuan amal tanpa juhud (pengingkaran),
dan ini letak penelitian sebagaimana yang telah lalu. Adapun meninggalkan amalan
secara keseluruhan, maka telah berlalu penegasan Asy-Syaikh rahimahullah bahwa
orang yang meninggalkan amalan keseluruhan kafir berdasarkan ijma’ ahli ilmu. Di
antara buktinya adalah jawaban beliau rahimahullah terhadap pertanyaan tentang sah
tidaknya ucapan sebagian orang yang mengatakan; (Amalan-amalan dengan niat-
207 Al Bukhari (1402) dan Muslim (987)
208 Lihat situs Asy-Syaikh di internet http://www.binbaz.org.sa/fatawa/4127

86 | Al-Furuq
niat, bukan dengan amal)! Beliau rahimahullah berkata; Ini di antara kesalahan yang
paling buruk. Ucapannya; amalan-amalan dengan niat-niat, bukan dengan amal!
Ini salah. Iya, amalan-amalan dengan niat-niat sebagaimana yang disabdakan Nabi
, tapi harus disertai dengan amal juga. Nabi  bersabda, “Sesungguhnya amalan-
amalan itu dengan niat-niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan
sesuai niatnya”209. Maka harus disertai dengan amalan-amalan. Tapi amalan-amalan
itu dibangun di atas niat. Maka amalan-amalan harus memiliki niat dan bukan
maksudnya bahwa niat mencukupi dan kamu meninggalkan amal. Niat saja tidak
cukup, harus dengan amal. Maka yang wajib atas setiap muslim adalah beramal
mengerjakan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.
Apabila dia berniat tapi tidak beramal dengan syariat Allah, dia menjadi kafir.210
Beliau rahimahullah berkata; Adapun Murji’ah yang dinamakan Murji’ah, yakni
orang-orang yang tidak memasukkan amalan ke dalam iman padahal itu wajib.
Wajib atas seorang hamba untuk beramal dengan apa yang telah Allah wajibkan dan
meninggalkan apa yang telah Allah haramkan. Tapi mereka tidak menamakannya
(amalan) iman, mereka menamakannya dengan : apabila berkata, dan membenarkan
dengan hatinya, tapi tidak beramal, maka orang itu adalahsebagai mukmin yang
kurang imannya, bukan kafir.211
Beliau rahimahullah ditanya; Apakah cukup pengucapan dan keyakinan
terhadap rukun dari rukun-rukun Islam, atau harus ada hal lain sehingga menjadi
utuh keislaman seseorang dan utuh keimanannya?
Beliau menjawab; “Dengan rukun ini seorang kafir masuk ke dalam Islam, yaitu
dengan bersaksi dengan Laa ilaaha Illallah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah dengan membenarkannya dan keyakinan yang disertai dengan mengenali
maknanya dan mengamalkannya. Apabila dia tidak mendatangkan keduanya pada
kondisi kekafirannya. Kemudian dia diminta untuk mengerjakan shalat dan rukun-
rukun lainnya dan semua hukum-hukum. Karena itu ketika Nabi  mengutus
Mu’adz ke Yaman, beliau berkata kepadanya; “Ajaklah mereka agar bersaksi dengan
Laa ilaaha Illallah wa Anna Muhammadar Rasulullah, maka apabila mereka
melakukan itu, beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat
lima waktu sehari semalam. Dan apabila mereka mentaatimu dalam hal itu beritahu
mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah yang ditarik dari orang
kaya mereka dan dikembalikan kepada fakir-miskin mereka.”212
Nabi tidak menyuruh mereka shalat kecuali setelah tauhid dan keimanan
kepada Rasulullah . Maka orang-orang kafir pertama-tama diajak kepada tauhid
209 Al Bukhari (1) dan Muslim (1907)
210 Lihat situs Asy-Syaikh di internet http://www.binbaz.org.sa/noor/5545
211 Lihat http://www.youtube.com/watch?v=mlgLjAcJTGY
212 Al Bukhari (1395) dan Muslim (19)

Al-Furuq | 87
dan keimanan kepada Rasulullah . Maka apabila si kafir telah mengakui hal itu dan
berislam, maka berlakulah atasnya hukum orang Islam. Kemudian dia diminta untuk
shalat dan persoalan-persoalan agama lainnya. Tapi apabila dia menolak darinya
berlakulah atasnya hukum-hukum yang lain. Barangsiapa menolak untuk shalat, dia
dituntut untuk bertaubat, apabila bertaubat (dilepas) kalau tidak dibunuh sebagai
orang kafir, sekalipun dia tidak mengingkari kewajibannya, menurut pendapat yang
paling benar dari dua pendapat ulama yang ada. Apabila dia menolak membayar zakat
dan menyombongkan diri darinya dan berperang mempertahankannya, begitu juga
dia diperangi sebagaimana para sahabat dulu memerangi orang-orang yang menolak
membayar zakat bersama Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu. Mereka menilai
orang-orang itu telah murtad. Tapi apabila dia tidak berperang mempertahankan
hartanya, imam berhak memaksanya untuk menyerahkannya dan menghukumnya
dengan hukuman yang syar’i yang menjadikan orang lain yang semisal dengannya
takut. Begitu pula bahwa seorang muslim diminta untuk meninggalkan yang Allah
haramkan atasnya. Karena masuknya dia ke dalam Islam dan berpegangnya dia
dengannya menuntut hal ini semua. Barangsiapa menelantarkan sesuatu yang Allah
wajibkan atau mengerjakan sesuatu yang Allah haramkan dia diperlakukan dengan
perlakuan yang layak berdasarkan syariat.
Adapun apabila orang kafir mendatangkan dua kalimat syahadat dalam kondisi
kufurnya seperti keadaan orang-orang kafir sekarang, maka dia dituntut bertaubat
dari hal-hal yang menjadikannya kafir dan tidak cukup dengan melafalkan dua
kalimat syahadat. Karena dia tetap mengucapkannya dalam kondisi kufurnya hanya
saja dia tidak mengamalkannya. Apabila kekafirannya karena peribadatan kepada
orang-orang mati, atau jin, atau berhala, atau selain itu dari makhluk-makhluk dan
minta keselamatan kepada mereka dan seterusnya, wajib atasnya untuk bertaubat
dari yang demikian dan mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah semata. Dengan
begitu dia masuk ke dalam Islam. Tapi apabila kekufurannya karena meninggalkan
shalat, wajib atasnya bertaubat darinya dan menunaikannya. Apabila dia telah
melakukannya dia masuk ke dalam Islam. Begitu pula apabila kekufurannya
karena menghalalkan zina, atau khamr wajib atasnya bertaubat darinya. Apabila
dia bertaubat dia masuk ke dalam Islam. Begitu juga seorang kafir diminta untuk
meninggalkan perbuatan, atau keyakinan yang menjadikannya kafir. Apabila dia
melakukan hal itu dia masuk ke dalam Islam.
Ini adalah persoalan-persoalan yang agung, wajib atas seorang penuntut ilmu
memperhatikannya, dan berada di atasnya dengan bashirah. Para ahli ilmu telah
menjelaskan hal ini pada bab hukum orang yang murtad. Ini adalah bab yang agung,
wajib atas seorang penuntut ilmu memperhatikannya dan sering membacanya.

88 | Al-Furuq
Hanya kepada Allah kita mohon dari-Nya taufik.”213
Beliau rahimahullah berkata; “Ini (syahadat) adalah kalimat yang agung, yang
tidak bermanfaat bagi yang mengucapkannya dan tidak mengeluarkannya dari
lingkaran kesyirikan kecuali apabila dia mengenali maknanya, mengamalkannya
dan membenarkannya.214
Beliau rahimahullah berkata; “Keenam, termasuk syarat-syarat syahadat Laa
ilaaha Illallah adalah tunduk terhadap makna yang ditunjuki olehnya. Maknanya
adalah seseorang beribadah kepada Allah semata, patuh terhadap syariat-Nya,
beriman dengannya dan meyakininya sebagai kebenaran. Tapi apabila seseorang
mengucapkannya namun dia tidak beribadah kepada Allah semata, tidak tunduk
kepada syariat-Nya melainkan menyombongkan diri darinya, maka yang demikian
ini tidak menjadikannya muslim seperti Iblis dan yang semisal dengannya.”215
Begitu pula sekumpulan dari ulama salaf, para pengekor hawa nafsu telah
bergelantungan dengan ucapan-ucapan mereka yang global, sedangkan kebenaran
itu jernih tidak luput dari pandangan orang yang matanya melihat.
Kesimpulan; wajib bagi seorang penuntut ilmu untuk bertakwa kepada Allah
dalam penukilannya dari para ulama, berusaha mencocoki al-Haq dan kebenaran
pada apa yang dia nukil, dan berhati-hati dari cara-cara pengekor kebatilan yang
menyelewengkan ucapan-ucapan dari tempat-tempatnya guna mencocoki tujuan-
tujuan mereka dan hawa-hawa nafsu mereka.
Maka apabila seorang muslim telah mengetahui apa yang telah lalu dan
memahaminya, jelaslah baginya batilnya ucapan orang-orang yang terpapar syubhat
Murji’ah di zaman kita dari orang-orang yang mengatakan selamatnya orang yang
meninggalkan kewajiban-kewajiban yang lahir, dan bahwa dia tidak kafir, berdalil
kepada hadits-hadits syafaat, bithaqah, (hadits) kemunduran Islam dan nash-nash
yang semisalnya yang berbicara tentang keutamaan Laa ilaaha Illalalh dan dosa-
dosa yang bisa dihapus olehnya.
Hadits syafaat dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata; Rasulullah  bersabda; “Apabila datang hari kiamat
manusia bercampur aduk satu dengan lainnya. Mereka mendatangi Adam dan berkata
kepadanya; “Berilah syafaat untuk anak keturunanmu” maka Adam menjawab; “Aku
tidak memilikinya, tapi datangilah Ibrahim Alaihissalam, karena sesungguhnya dia
adalah kekasih Allah.”Lalu mereka mendatangi Ibrahim, tapi Ibrahim berkata; “Aku
tidak memilikinya, datangilah Musa Alaihissalam, karena sesungguhnya dia orang
yang diajak bicara Allah.” Maka Musa pun didatangi, tapi Musa berkata; “Aku tidak

213 Majmu’ Al Maqalat Al Fatawa (7/40)


214 Idem (7/55)
215 Idem (7/57)

Al-Furuq | 89
memilikinya, akan tetapi datangilah Isa Alaihissalam, karena sesungguhnya dia
adalah ruh Allah dan kalimat-Nya.” Maka Isa didatangi, tapi ia berkata; “Aku tidak
memilikinya, tapi datangilah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka aku
pun didatangi dan aku berkata; “Ini milikku, maka aku beranjak dan meminta izin
kepada Rabku dan aku diizinkan. Dan aku berdiri di hadapan-Nya dan aku memuji-
Nya dengan pujian-pujian yang aku tidak sanggupi sekarang, Allah memberikan
hal itu sebagai ilham untukku. Kemudian aku tersungkur di hadapannya sujud.
Kemudian dikatakan kepadakku; Wahai Muhammad, angkat kepalamu, ucapkan
kamu akan didengar dan mintalah akan diberikan dan berilah syafaat akan dipenuhi.
Maka aku berkata; Wahai Rab, ummatku, ummatku! Maka dikatakan kepadaku;
Pergilah, maka siapa saja yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji gandum atau
kulit gandum dari keimanan keluarkanlah dia darinya (neraka), maka aku pun pergi
dan mengerjakannya.
Kemudian aku kembali kepada Rabku, maka aku memujinya dengan pujian-pujian
tadi, kemudian aku tersungkur di hadapan-Nya sujud kepada-Nya, maka dikatakan
kepadaku; Wahai Muhammad, angkat kepalamu dan katakan akan didengar, minta
akan dikabulkan dan berilah syafaat akan dipenuhi. Maka aku berkata; Ummatku,
ummatku! Maka dikatakan kepadaku; Pergilah, maka barangsiapa di dalam hatinya
terdapat sebesar biji khardal dari keimanan, keluarkanlah dia darinya (neraka). Maka
aku pergi dan melakukan.
Kemudian aku kembali kepada Rabku, maka aku memujinya dengan pujian-
pujian tadi, kemudian aku tersungkur di hadapan-Nya sujud kepada-Nya, maka
dikatakan kepadaku; Wahai Muhammad, angkat kepalamu dan katakan akan didengar,
minta akan dikabulkan dan berilah syafaat akan dipenuhi. Maka aku berkata; Wahai
Rab, ummatku! Maka dikatakan kepadaku; Pergilah, maka barangsiapa di dalam
hatinya terdapat lebih kecil dari biji khardal dari keimanan, keluarkanlah dia darinya
(neraka). Maka aku pergi dan melakukan.
Kemudian aku kembali kepada Rabku dikali yang keempat, maka aku memujinya
dengan pujian-pujian tadi, kemudian dikatakan kepadaku; Wahai Muhammad,
angkat kepalamu dan katakan akan didengar, minta akan dikabulkan dan berilah
syafaat akan dipenuhi. Maka aku berkata; Wahai Rab, izinkan aku terhadap orang-
orang yang mengucapkan Laa ilaaha Illallah. Allah berkata; Itu bukan milikmu, atau
Dia berkata; Itu bukan untukmu, tapi demi kemuliaan, kebesaran, keagungan dan
keperkasaan-Ku Aku akan benar-benar mengeluarkan orang yang mengucapkan Laa
ilaaha Illallah.”216
Di dalam Shahihain dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
“Rasulullah  bersabda; “Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan Laa

216 Al Bukhari (7510) dan Muslim (193)

90 | Al-Furuq
ilaaha Illallah, dan di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat kulit gandum.
Kemudian akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha Illalah dan
di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat gandum. Kemudian akan keluar dari
neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha Illallah dan di dalam hatinya terdapat
kebaikan seberat biji jagung.”217
Di dalam al-Bukhari dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi 
ia berkata, “Akan keluar satu kaum dari neraka dengan sebab syafaat Muhammad ,
maka mereka memasuki surga, mereka disebut dengan Jahannamiyyun.”218
Di dalam Shahihain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata; Suatu
hari Rasulullah  dibawakan sepotong daging, kemudian diangkat di hadapannya
lengan atas. Beliau sangat menyukainya dan memakannya. Lalu beliau berkata; “Aku
adalah pemimpin manusia di hari kiamat. Tahukah kalian karena apa hal itu? Pada
hari kiamat Allah mengumpulkan manusia yang pertama sampai yang terakhir di
hamparan yang sama. Lalu Dia memperdengarkan kepada mereka suara panggilan
dan pandangan menembus mereka, dan matahari mendekat, sehingga manusia ditimpa
kesusahan dan kesulitan yang mereka tidak sanggup menanggung dan memikulnya.
Lalu berkatalah sebagian mereka kepada yang lain; Tidakkah kalian lihat keadaan
kalian, tidakkah kalian lihat seperti apa keadaan kalian, tidakkah kalian lihat siapa
yang bisa memberi syafaat untuk kalian kepada Rab kalian? Lalu berkatalah sebagian
mereka kepada yang lain; Datangilah Adam. Lalu mereka mendatangi Adam dan
berkata; Wahai Adam, kamu adalah bapak manusia, Allah menciptakanmu dengan
tangan-Nya dan meniup kepadamu dari Ruh-Nya dan Dia memerintahkan para
malaikat sehingga mereka sujud kepadamu, berilah syafaat kepada kami di hadapan
Rabmu! Tidakkah kamu saksikan keadaan kami, tidakkah kamu lihat seperti apa
kondisi kami? Lalu Adam berkata; Sesungguhnya Rabbku hari ini benar-benar marah
dengan kemarahan yang Dia tidak pernah marah seperti ini sebelumnya, dan tidak
akan marah seperti ini setelahnya, dulu aku dilarang dari pohon tapi aku memaksiati-
Nya. Oh diriku...diriku..., pergilah kepada selainku, pergilah kepada Nuh.
Mereka mendatangi Nuh Alaihissalam lalu berkata: Wahai Nuh, engkau adalah
rasul pertama untuk penduduk bumi, Allah menyebutmu hamba yang sangat
bersyukur, berilah kami syafaat kepada Rabbmu, apa kau tidak lihat kondisi kami,
apa kau tidak melihat yang menimpa kami? Nuh berkata kepada mereka: Rabbku saat
ini benar-benar marah, Ia tidak pernah marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan
pernah seperti itu sesudahnya, dulu aku pernah berdoa keburukan untuk kaumku, Oh
diriku, Oh diriku, pergilah kepada selainku, pergilah ke Ibrahim.

217 Al Bukhari (44) dan Muslim (193)


218 Al Bukhari (6566)

Al-Furuq | 91
Mereka mendatangi Ibrahim lalu berkata: Wahai Ibrahim, engkau nabi Allah
dan kekasih-Nya dari penduduk bumi, berilah kami syafaat kepada Rabbmu, apa
kau tidak lihat kondisi kami, apa kau tidak melihat yang menimpa kami? Ibrahim
berkata kepada mereka: Rabbku saat ini benar-benar marah, Ia tidak pernah marah
seperti itu sebelumnya dan tidak akan pernah seperti itu sesudahnya, dulu aku pernah
bedusta tiga kali -Abu Hayyan menyebut ketiga-tiganya dalam hadits ini- oh diriku,
diriku, diriku, pergilah kepada selainku, pergilah ke Musa.
Mereka menemui Musa lalu berkata: Wahai Musa, engkau utusan Allah, Allah
melebihkanmu dengan risalah dan kalamNya atas seluruh manusia, berilah kami
syafaat kepada Rabbmu, apa kau tidak lihat kondisi kami, apa kau tidak melihat
yang menimpa kami? Musa berkata kepada mereka: Rabbku saat ini benar-benar
marah, Ia tidak pernah marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pernah seperti
itu sesudahnya, dulu aku pernah membunuh jiwa padahal aku tidak diperintahkan
untuk membunuhnya, oh diriku, diriku, diriku, pergilah kepada selainku, pergilah ke
‘Isa.
Mereka mendatangi ‘Isa lalu berkata: Hai ‘Isa, engkau adalah utusan Allah,
kalimatNya yang disampaikan ke maryam, ruh dariNya, engkau berbicara pada
manusia saat masih berada dalam buaian, berilah kami syafaat kepada Rabbmu, apa
kau tidak lihat kondisi kami, apa kau tidak melihat yang menimpa kami? Isa berkata
kepada mereka: Rabbku saat ini benar-benar marah, Ia tidak pernah marah seperti itu
sebelumnya dan tidak akan pernah seperti itu sesudahnya, namun ia tidak menyebut
dosanya, oh diriku, diriku, diriku, pergilah ke selainku, pergilah ke Muhammad.
Mereka mendatangi Muhammad lalu berkata: Wahai Muhammad, engkau adalah
utusan Allah, penutup para nabi, dosamu yang telah lalu dan yang kemudian telah
diampuni, berilah kami syafaat kepada Rabbmu, apa kau tidak lihat kondisi kami. Lalu
aku pergi hingga sampai di bawah ‘arsy, aku tersungkur sujud pada Rabbku lalu Allah
memulai dengan pujian dan sanjungan untukku yang belum pernah disampaikan pada
seorang pun sebelumku, kemudian dikatakan: Hai Muhammad, angkatlah kepalamu,
mintalah pasti kau diberi, berilah syafaat nicaya kau diizinkan untuk memberi syafaat.
Maka aku mengangkat kepalaku, aku berkata: Wahai Rabb, ummatku, wahai Rabb,
ummatku, wahai Rabb, ummatku. Ia berkata: Hai Muhammad, masukkan orang yang
tidak dihisab dari ummatmu melalui pintu-pintu surga sebelah kanan dan mereka
adalah sekutu semua manusia selain pintu-pintu itu.” Setelah itu beliau bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, jarak antara dua daun pintu-pintu
surga seperti jarak antara Makkah dan Himyar atau seperti jarak antara Makkah dan
Bashrah.”219
Di dalam Shahihain dari Abu Said, ia berkata; Kami mengatakan; Wahai

219 Al Bukhari (3712) dan Muslim (194)

92 | Al-Furuq
Rasulullah, apa kami melihat Rab kami di hari kiamat?...sampai akhir hadits. Pada
hadits ini beliau  menyebutkan sesembahan-sesembahan para pengikut setiap
ummat dan kondisi muslimin yang melewati shirath dan bahwa orang yang paling
terakhir lewat disambar sambar. Kemudian beliau berkata; “Maka kalian tidak lebih
keras permintaannya berkenaan dengan hak orang-orang beriman di hadapan Al
Jabbar, sekalipun telah jelas bagi kalian. Dan apabila mereka lihat bahwa mereka
telah selamat di tengah teman-teman mereka, mereka berkata; Wahai Rabb kami
saudaara-saudara kami dahulu mereka shalat bersama kami, berpuasa bersama kami,
dan beramal bersama kami. Maka Allah Ta’aala berkata; Pergilah, maka siapa yang
kalian dapati di dalam hatinya terdapat seberat dinar dari iman, maka keluarkanlah
dia. Dan Allah mengharamkan wajah-wajah mereka atas api neraka. Maka mereka
mendatangi kawan-kawannya, sebagian mereka telah tenggelam ke dalam api sampai
kakinya, dan sampai setengah betisnya, maka mereka pun mengeluarkan orang-orang
yang mereka kenali, kemudian mereka kembali dan Allah berkata; Pergilah, maka
siapa pun yang kamu dapati di dalam hatinya ada sebesar jagung dari keimanan
maka keluarkanlah dia, maka mereka pun mengeluarkan orang-orang yang mereka
kenal.”
Abu Said berkata; Apabila kalian tidak percaya bacalah,
َ َ َۡ ۡ َ‫َّ هَّ َ ا‬
ٖ ‫ٱلل ل َيظل ُِم مِثقال ذ َّرة‬ ‫إِن‬
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarah…” (QS.
An-Nisaa’: 40)
Rasulullah  bersabda; “Maka para nabi, malaikat dan orang-orang beriman
memberikan syafaatnya. Lalu al-Jabbar (Allah) berkata; Tersisa syafaat-Ku. Maka
Allah mengambil segenggam dari neraka, maka keluarlah sekumpulan kaum yang
telah terbakar, lalu diletakkanlah mereka di sebuah sungai di bibir surga, sungai ini
dinamakan; air kehidupan. Lalu mereka tumbuh pada kedua sisinya seperti benih
yang tumbuh di tepi aliran sungai kalian telah melihatnya di pinggiran bebatuan, di
pinggiran pepohonan. Mana yang dekat dengan sinar matahari warnanya hijau dan
mana yang terlindungi warnanya putih. Mereka keluar seolah-olah mutiara. Maka
dijadikan di leher-leher mereka tanda. Mereka memasuki surga. Penduduk surga
berkata; Mereka adalah utaqa’ ar-Rahman (orang-orang yang dibebaskan oleh Ar-
Rahman), Allah memasukkan mereka ke dalam surga tanpa amalan yang mereka
kerjakan, tanpa kebaikan yang mereka hadapkan. Maka dikatakan kepada mereka;
Ambillah apa yang kalian lihat, dan dua kali lipatnya.”220
Pada riwayat Muslim terdapat; “maka ada yang selamat dan ada yang selamat
tapi tubuhnya tercabik-cabik dan ada yang terlempar ke neraka Jahannam. Hingga
220 Al Bukhari (7439) dan Muslim (183)

Al-Furuq | 93
apabila orang-orang beriman telah selesai dari neraka. Sungguh demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari kalian yang lebih keras
permintaannya kepada Allah dalam menunaikan hak, dari orang-orang beriman
kepada Allah di hari kiamat terhadap teman-teman mereka yang berada di neraka.
Mereka berkata; Wahai Rab kami! Mereka dahulu berpuasa bersama kami, shalat
dan haji. Maka dikatakan kepada mereka; Keluarkanlah siapa yang kalian kenal.
Maka wajah-wajah mereka diharamkan atas api neraka. Maka mereka mengeluarkan
manusia yang banyak, ada yang telah dimakan api sampai setengah betisnya, dan
sampai ke lututnya. Kemudian mereka berkata; Wahai Rab kami, tidak tersisa seorang
pun dari mereka yang Kamu perintahkan. Lalu Allah berkata; Kembalilah, siapa
yang kamu dapati di dalamnya kebaikan sebesar dinar keluarkan dia. Maka mereka
mengeluarkan manusia yang banyak. Kemudian mereka berkata; Wahai Rab kami,
kami tidak menyisakan seorang pun dari orang-orang yang telah Kamu perintahkan.
Kemudian Allah berkata; Kembalilah, maka siapa yang kamu dapati di dalam hatinya
kebaikan sebesar dinar maka keluarkanlah dia. Maka mereka mengeluarkan manusia
yang banyak. Kemudian mereka berkata; Wahai Rab kami, kami tidak menyisakan
seorang pun dari orang-orang yang Kamu perintahkan. Kemudian Allah berkata;
Kembalilah, siapa yang kamu dapati di dalam hatinya kebaikan sebesar zarrah maka
keluarkanlah. Kemudian mereka mengeluarkan manusia yang banyak. Kemudian
mereka berkata; Wahai Rab kami, kami tidak menyisakan seorang pun di dalamnya
dari orang-orang yang kamu perintahkan kami. Kemudian Allah berkata; Kembalilah,
siapa yang kamu dapati di dalam hatinya kebaikan sebesar zarah maka keluarkan
dia. Maka mereka mengeluarkan manusia yang banyak. Kemudian mereka berkata;
Wahai Rab kami, kami tidak menyisakan di dalamnya...” sampai pada perkataannya;
“Maka Allah mengambil segenggam dari neraka, Dia mengeluarkan darinya kaum
yang tidak mengerjakan kebaikan sedikit pun, mereka telah menjadi arang, Allah
meletakkan mereka di sebuah sungai di bibir surga....” sampai pada perkataannya;
“Maka mereka keluar seperti mutiara, di leher-leher mereka terdapat tanda-tanda
yang dikenali oleh penduduk surga. Merekalah orang-orang yang dibebaskan oleh
Allah, Allah memasukkan mereka ke dalam surga tanpa satu pun amalan yang mereka
kerjakan, dan tanpa satu pun kebaikan yang mereka hadapkan...”221
Dan di dalam Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa orang-
orang berkata; Wahai Rasulullah, apa kami bisa melihat Rab kami hari kiamat...
sampai pada akhir hadits, dan di dalamnya terdapat; “Hingga ketika Allah telah
selesai memutuskan perkara hamba-hamba-Nya dan Dia ingin mengeluarkan dengan
rahmat-Nya siapa yang Dia kehendaki dari penghuni neraka, Allah memerintahkan
para malaikat untuk mengeluarkan dari neraka siapa saja yang tidak menyekutukan

221 Muslim (183)

94 | Al-Furuq
Allah dengan suatu apa pun dari orang-orang yang Allah kehendaki dengan rahmat-
Nya, dari orang-orang yang bersaksi dengan Laa ilaaha Illallah, para malaikat
mengenali mereka di neraka melalui bekas sujud, anak Adam dimakan oleh api
kecuali bekas sujud. Allah mengharamkan atas api memakan bekas sujud. Maka
mereka keluar dari neraka dalam keadaan telah terbakar, lalu mereka diguyur dengan
air kehidupan sehingga mereka tumbuh dari bawah seperti tumbuhnya benih di tepi
aliran sungai.”222
Dan hadits Bithaqah, dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhuma,dan
di dalamnya terdapat keterangan bahwa Rasulullah  bersabda; “Akan dipanggil
seorang dari umatku di hari kiamat, lalu digelar di hadapannya sembilan puluh
sembilan catatan, masing-masingnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah
Ta’aala berkata; “Apa ada yang kamu ingkari dari ini semua?” Orang itu menjawab;
Tidak, wahai Rab. Lalu Allah berkata; Apa kedua malaikat penjaga yang mencatat
menzalimimu? Kemudian Allah berkata; Apa kamu punya satu kebaikan? Orang ini
malu dan berkata; Tidak. Maka Allah berkata; Bahkan sesungguhnya ada padamu
satu kebaikan. Dan kamu tidak dizalimi hari ini. Maka dikeluarkan di hadapannya
satu kartu padanya terdapat “Asyhadu Allaa ilaaha Illallah, wa Anna Muhammadan
Abduhu wa Rasuluh” Orang ini berkata; Wahai Rab, apa gunanya kartu ini di
samping catatan-catatan ini. Allah berkata; Sesungguhnya kamu tidak dizalimi. Maka
diletakkan catatan-catatan di satu anak timbangan, dan kartu di anak timbangan
lain, maka terbanglah catatan-catatan itu dan menjadi beratlah kartu.”223
Dan hadits terkikisnya Islam, dari Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata; Rasulullah  berkata; “Islam terkikis seperti terkikisnya hiasan baju hingga
tidak diketahui apa itu puasa, shalat, haji dan sedekah. Dan pada malam hari terjadi
pada Kitabullah, maka tidak tersisa di muka bumi dari Kitabullah walau satu ayat.
Dan tinggallah sekelompok dari manusia; kakek yang renta, wanita jompo, mereka
berkata; Kami dapati bapak-bapak kami di atas kalimat ini; Laa ilaaha Illallah,
maka kami mengucapkannya. Lalu Shilah berkata kepadanya; Apa manfaat yang
mereka dapat dari Laa ilaaha Illallah, sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu
shalat, puasa, haji dan sedekah. Lalu Hudzaifah berpaling darinya, kemudian Shilah
mengulanginya sebanyak tiga kali. Setiap kali ditanya Hudzaifah berpaling. Kemudian
ia menghadap kepadanya pada kali yang ketiga dan berkata; Wahai Shilah, kalimat
itu menyelamatkan mereka dari neraka, diucapkan tiga kali.”224
222 Al Bukhari (6347) dan Muslim (182)
223 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2639) dan dia berkata; hasan gharib. Diriwayatkan juga oleh Ibnu
Majah (4300) dan ini lafal Ibnu Majah. Ahmad (6994), Al Hakim dalam Mustadrak (1937) dan dia
berkata; “Shahih isnad dan belum dikeluarkan keduanya...”
224 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (4049) dan Al Hakim di dalam Al Mustadrak (8549) dan ia berkata;
“Hadits shahih menurut syarat Muslim dan belum dikeluarkan oleh keduanya. Ibnu Hajar berkata
di dalam Al Fath (13/16); Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang kuat. Al Bushiri berkata

Al-Furuq | 95
Kesimpulan yang telah ditetapkan oleh para ahli ilmu225 sebagai jawaban terhadap
orang-orang yang berdalil dengan hadits-hadits ini dalam membela kebid’ahan irja’
mereka, dan hadits-hadits lainnya yang berbicara tentang syafaat bagi ahli tauhid
dari orang-orang yang mengucapkan Laa ilaaha Illlallah adalah sebagai berikut;
1. Hadits-hadits ini berbicara tentang orang-orang yang melakukan kemaksiatan-
kemaksiatan dan dosa-dosa besar, tapi tidak menyekutukan Allah dengan suatu
apa pun. Keimanan mereka tidak batal disebabkan kekufuran, yakni orang-
orang yang memiliki sedikit keimanan dan amalan shalih meski tidak banyak
seberat gandum atau zarrah.
2. Hadits-hadits ini tentang orang yang memiliki udzur yang menghalanginya dari
mengerjakan amal karena ketidak mampuan atau yang lainnya.
3. Keumuman hadits-hadits ini termasuk persoalan yang musytabah (musykil)
yang pemahamannya dikembalikan kepada yang muhkam dari nash-nash Al
Kitab, As-Sunnah dan apa yang telah disepakati oleh para ulama bahwa orang
yang meninggalkan amal sama sekali tanpa udzur dia kafir, tidak berguna
baginya ucapannya Laa ilaaha Illallah.
4. Bahwa ucapan; “belum mengerjakan satu pun kebaikan” adalah dari jenis kalam
Arab yang menafikan nama dari sesuatu karena kurang dari kesempurnaan dan
kelengkapan, bukan karena hilangnya amal sama sekali.
Para ahli ilmu telah menjelaskan hal ini. Maka di antara ucapan para ahli ilmu
yang datang dengan iqtidhab (ringkas) adalah sebagai berikut;
Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah berkata; “Apabila ada yang
mengatakan; Bagaimana bisa dikatakan; tidak beriman, sedangkan nama keimanan
tidak hilang darinya? Dijawab; Ini adalah kalam Arab yang tersebar di tengah kami,
tidak salah dikatakan amalannya hilang dari orang yang mengerjakannya apabila
amalannya tidak sesuai hakikatnya. Tidakkah kalian lihat mereka mengatakan
kepada seorang pengrajin apabila pekerjaannya tidak sempurna; Kamu tidak berbuat
apa-apa, kamu tidak mengerjakan apa-apa. Maksudnya adalah tidak sempurna
bukan tidak ada hasilnya. Orang ini bagi mereka berbuat secara penamaan, tapi
tidak berbuat sesuai standar kesempurnaan hingga mereka berbicara berlebihan.
Yang demikian seperti seorang laki-laki yang durhaka kepada bapaknya dan sampai
menyakitinya, maka dikatakan; Dia bukan anaknya, padahal mereka tahu bahwa dia
anak sulbinya. Kemudian dikatakan seperti itu pada saudara, istri, budak. Karena
yang menjadi mazhab mereka dalam hal ini adalah hilangnya amal yang diwajibkan
di dalam Az-Zawaid (1/247); “Sanadnya shahih, rijalnya tsiqah.” Dan dishahihkan oleh Al Albani
dalam Shahih Al Jami (7933). Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah (1/172)
225 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam (35/165), dan (7/613-614) dan (7/187-188), Ash-Sharim Al
Maslul (3/967-969) dan Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah oleh Syaikhul Islam (6/218-220) dan
Ibthal At-Tandiid oleh Al ‘Allamah Hamad bin ‘Atiq (halaman 21-24)

96 | Al-Furuq
atas mereka dari berupa ketaatan dan kebajikan.”226
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata; “Lafal ini “mereka belum mengerjakan
satu pun kebaikan” adalah dari jenis yang diucapkan Arab berupa menafikan nama
dari sesuatu karena kurang dari kesempurnaan dan kelengkapan. Maka makna dari
ucapan ini sesuai asalnya; belum mengerjakan satu pun kebaikan secara sempurna
dan lengkap, bukan atas yang Allah wajibkan atau perintahkan. Telah saya jelaskan
makna ini pada beberapa tempat dari tulisan-tulisanku.”227
Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata; “Adapun ucapannya; “tidak pernah
mengerjakan satu pun kebajikan” telah diriwayatkan “belum mengerjakan satu pun
kebaikan”, bahwa Allah tidak mengazabnya sedangkan dia tidak memiliki kebaikan-
kebaikan dan kebajikan selain tauhid, berdasarkan dalil hadits Abu Rafi’ yang telah
disebutkan. Dan yang seperti ini biasa didapati pada lisan Arab, di mana mereka
menggunakan lafal keseluruhan sedangkan yang dimaukan adalah sebagian. Orang
Arab kadang mengatakan; tidak berbuat sama sekali, maksudnya tidak berbuat lebih
dari yang telah dikerjakan. Tidakkah kalian lihat kepada ucapan Nabi ; “Dia tidak
meletakkan tongkat dari pundaknya” maksudnya bahwa dia banyak memukul wanita
bukan tongkatnya siang dan malam ada di pundaknya. Kami telah menjelaskan
makna ini pada lebih dari satu tempat dari kitab kami ini.”228
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Banyak orang telah
tinggal di tempat-tempat dan masa-masa yang terjadi di sana kemerosotan nilai-
nilai nubuwah, sehingga tidak didapati orang yang menyampaikan ajaran yang Allah
utus rasul-Nya berupa Al Kitab dan Al Hikmah. Dia tidak mengetahui banyak dari
ajaran yang Allah utus rasul-Nya dan tidak didapati di sana yang menyampaikan
itu kepadanya. Dan yang seperti ini seseorang tidak menjadi kafir. Telah disepakat
bahwa barangsiapa tinggal di pedalaman yang jauh dari para ahli ilmu dan iman,
dan dia orang yang baru masuk Islam, kemudian mengingkari sesuatu dari hukum-
hukum yang lahir dan mutawatir maka sesungguhnya dia tidak dihukumi kafir
sampai diberitahu ajaran yang dibawa oleh Rasul. Keterangan akan hal ini telah
datang di dalam hadits229; “Akan datang kepada manusia suatu zaman, dimana mereka
tidak mengenal di sana shalat, zakat, puasa dan haji. Kecuali seorang kakek renta dan
nenek jompo. Mereka mengatakan; Laa ilaaha Illallah, dan mereka tidak mengetahui
shalat, zakat, dan haji. Nabi berkata; dan tidak puasa, Allah menyelamatkan mereka
dari neraka.”230

226 Al Iman (halaman 26-27)


227 Kitab At-Tauhid (2/732)
228 Al Istidzkar (3/94)
229 Sudah berlalu takhrij-nya
230 Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam (11/407-408)

Al-Furuq | 97
Para ulama al-Lajnah ad-Daa’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’
berkata; “Adapun yang terdapat pada hadits; “Sesungguhnya ada kaum yang masuk
surga dan belum mengerjakan satu pun kebaikan” bukan berlaku untuk semua orang
yang meninggalkan amalan sedangkan dia mampu mengerjakannya. Melainkan ia
khusus untuk orang-orang yang memiliki udzur yang menghalanginya dari beramal,
atau alasan lainnya yang selaras dengan maksud-maksud syariat.”231
Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata; “Telah datang
berkenaan hal ini hadits-hadits yang banyak dari Nabi , yang menunjukkan bahwa
orang yang mengucapkan; “Laa ilaaha Illallah jujur dari dalam hatinya masuk
surga” dan pada sebagiannya; “ikhlas dari dalam hatiya” dan pada sebagiannya;
“Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengucapkan; Laa ilaaha
Illallah, maka apabila mereka mengucapkannya terlindungi dariku darah-darah
mereka dan harta-harta mereka kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka
kepada Allah.” Pada sebagiannya beliau  bersabda; “Aku diperintahkan untuk
memerangi manusia sampai mereka bersaksi dengan Laa ilaaha Illallah, wa Anna
Muhammadan Rasulullah, dan menegakkan shalat, menunaikan zakat. Maka apabila
mereka mengerjakan itu mereka terlindungi dariku; darah-darah mereka dan harta-
harta mereka kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka kepada Allah.”
Hadits-hadits semuanya saling menafsirkan satu dengan lainnya. Maka maknanya,
barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha Illallah dengan jujur dari dalam hatinya, ikhlas
karena Allah semata, menunaikan haknya dengan mengerjakan apa yang Allah
perintahkan, meninggalkan apa yang Allah haramkan dan mati diatas demikian,
maka dia masuk surga dan darah serta hartanya terlindungi semasa hidupnya kecuali
dengan hak Islam.”232
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata; “Orang-orang yang
diselamatkan dari neraka oleh kalimat (Laa ilaaha Illallah) diberi udzur karena
meninggalkan syariat-syariat Islam, karena mereka tidak mengetahuinya. Maka apa
yang mereka lakukan adalah puncak kemampuan mereka. Keadaan mereka seperti
orang yang wafat sebelum turunnya kewajiban syariat-syariat, atau sebelum mampu
untuk mengerjakannya, seperti orang yang wafat setelah mengucapkan syahadat,
sebelum mampu mengerjakan syariat-syariat, atau masuk Islam sebelum mengetahui
syariat-syariat.”233
Guru kami asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzahullah berkata;
“Bukan maksud dari ucapan; Laa ilaaha Illallah hanya dengan lisan saja tanpa
memahami maknanya. Harus mempelajari apa makna Laa ilaaha Illallah. Adapun

231 Majmu’ Fatawa Al Lajnah Ad-Daa’imah (2/132)


232 Situs Asy-Syaikh di internet http://www.binbaz.org.sa/fatawa/3323
233 Hukum Taarikis Shalat oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah (halaman 25-26)

98 | Al-Furuq
jika kamu mengucapkan dan kamu tidak mengetahui maknanya, maka sesungguhnya
kamu tidak meyakini apa yang terkandung di dalamnya. Karena bagaimana
mungkin kamu meyakini sesuatu yang kamu tidak mengetahuinya. Maka harus
kamu mengetahui maknanya agar kamu meyakininya. Kamu meyakininya dengan
hatimu apa yang kamu ucapkan dengan lisanmu. Maka harus kamu mempelajari
makna Laa ilaaha Illallah. Adapun sekedar pengucapan lisan tanpa diikuti dengan
memahami maknanya, maka yang seperti ini tidak berguna sama sekali. Begitu juga
tidak cukup hanya meyakini dengan hati dan mengucapkan dengan lisan. Tapi harus
disertai pengamalan akan kandungannya. Yaitu dengan mengikhlaskan ibadah
hanya untuk Allah dan meninggalkan peribadahan kepada selain Dia Subhanahu
wa Ta’aala. Maka Laa ilaaha Illallah adalah kalimat lisan, ilmu dan amal. Bukan
kalimat lisan saja.”
Adapun Murji’ah mereka mengatakan; cukup melafalkan Laa ilaaha Illallah,
atau cukup melafalkannya dengan meyakini maknanya. Sedangkan amal bukan
keharusan. Barangsiapa mengucapkannya tapi tidak mengamalkan sesuatu,
termasuk dari konsekuensinya dia termasuk ahli surga walaupun tidak pernah
shalat, tidak pernah berzakat, tidak pernah pergi haji, tidak pernah puasa. Walaupun
dia mengerjakan kekejian-kekejian, dosa-dosa besar, zina, mencuri, minum
khamr, mengerjakan semua yang dia inginkan dari kemaksiatan-kemaksiatan, dan
meninggalkan ketaatan-ketaatan seluruhnya, karena sudah cukup baginya Laa
ilaaha Illallah menurut Murji’ah.
Ini adalah madzhab Murji’ah yang mengeluarkan amalan dari hakikat
keimanan dan menganggap amalan apabila didatangkan maka itu yang terbaik, tapi
apabila tidak didatangkan maka sesungguhnya cukup Laa ilaaha Illallah menurut
mereka. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang mengabarkan bahwa orang
yang mengucapkan Laa ilaaha Illallah masuk surga. Tapi Rasulullah  tidak hanya
menyampaikan hadits-hadits ini saja. Rasulullah  menyampaikan hadits-hadits lain
yang mengikat hadits-hadits tadi. Maka harus dikompromikan ucapan Rasulullah 
semuanya, tidak mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Karena
ucapan Rasulullah  saling menafsirkan. Adapun orang yang mengambil sebagian
dan meninggalkan yang lainnya sesungguhnya dia termasuk dari pengekor kesesatan
yang mengikuti
َۡ ٓ َ ۡ َٓ ٰ َ َ ‫َما ت‬
‫ش َب َه م ِۡن ُه ٱبۡتِغا َء ٱلفِ ۡت َنةِ َوٱبۡتِغا َء تأوِيلِهِۦ‬
“...sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari ta`wilnya...” (QS. Ali Imran: 7)
Rasulullah  mengatakan; “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha Illallah dan
dia kufur kepada apa-apa yang diibadahi selain Allah” diriwayatkan oleh Muslim

Al-Furuq | 99
dari hadits Thariq bin Usyaim Radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih, kenapa kalian
melalaikannya. Nabi  bersabda; “Sesungguhnya Allah mengharamkan dari neraka
orang yang mengucapkan Laa ilaaha Illallah dengannya dia mencari wajah Allah.”
Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari hadits Itban bin Malik Radhiyallahu
‘anhu.
Adapun orang yang mengucapkan Laa ilaaha Illallah, namun tidak kufur
kepada apa-apa yang diibadahi selain Allah, dan menyeru para wali dan orang-orang
shalih, maka sesungguhnya orang ini tidak bermanfaat baginya Laa ilaaha Illallah.
Karena ucapan Rasulullah  saling menafsirkan dan saling mengikat. Maka jangan
kamu mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Allah Subhanahu
wa Ta’aala berfirman;
َ َ ٌ َ َ َ ُ َ ُ َ َ ۡ ُّ ُ َّ ُ ٌ َ َ ُّۡ‫ُ ذَّ ٓ َ َ َ َ َ ۡ َ ۡ َ َ ۡ ُ َ ٌ ح‬
‫تۖ فأ َّما‬ ٰ ‫ب وأخ ُر مت‬
ٰ ‫شبِه‬ َ
ِ ٰ‫هو ٱلِي أنزل عليك ٱلكِتٰب مِنه ءايٰت مكمٰت هن أم ٱلكِت‬
َ
َ ُ َّ َ َ ٌ ۡ َ ۡ ُ ُ
ٰ َ َ ‫ون َما ت‬
‫ش َب َه‬ َ ‫ذَّٱل‬
‫ِين يِف قلوب ِ ِهم زيغ فيتبِع‬
“Dia-lah yang menurunkan Alkitab (Alquran) kepada kamu. Di antara (isi)nya
ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Alquran dan yang lain (ayat-
ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat...” (QS.
Ali Imran:7)
Mereka mengambil yang sesuai dan meninggalkan yang tidak sesuai selera
mereka. Mereka mengatakan; “Kami telah berdalil dengan al-Quran.” Kami katakan;
Kamu tidak berdalil dengan al-Quran, karena al-Quran apabila telah mengatakan
begitu dan sesungguhnya Dia juga telah mengatakan demikian. Kenapa kamu
mengambil sebagian dan meninggalkan yang lainnya?!
ٌّ ُ‫ل‬ َ ُ ُ ۡ ۡ َ ُ َّ َ
‫ٱلرٰسِخون يِف ٱلعِل ِم َيقولون َء َام َّنا بِهِۦ ك ّم ِۡن عِن ِد َر ّب ِ َنا‬‫و‬
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” (QS. Ali Imran: 7).
Yang muhkam dan yang mutasyabih. Mereka mengembalikan yang mutasyabih
kepada yang muhkam dan menafsirkan yang mutasyabih dengan yang muhkam dan
mengikatnya dengannya, merincinya. Adapun mereka mengambil yang mutasyabih
dan meninggalkan yang muhkam yang seperti ini adalah jalannya para pengekor
kesesatan.
Maka orang-orang yang mengambil hadits bahwa orang yang mengucapkan
“Laa ilaaha Illallah masuk surga”, membatasi kepadanya saja dan kemudian tidak
mengambil hadits-hadits yang terang yang padanya terdapat ikatan-ikatan dan
perincian-perincian maka mereka adalah para pengekor kesesatan.

100 | Al-Furuq
Maka wajib atas seorang penuntut ilmu untuk mengenali kaidah yang agung ini.
Karena dia kunci agama dan pondasi keislaman. Bukan maksudnya kamu mengambil
satu hadits dan meninggalkan lainnya. Bahkan maksudnya kamu mengambil al-
Quran semuanya, dan mengambil as-Sunnah semuanya. Begitu pula para ahli ilmu.
Seorang alim apabila mengucapkan perkataan jangan kamu ambil begitu saja sampai
kamu kembalikan kepada ucapannya semuanya dan kamu meneliti ucapannya pada
karya-karyanya, karena ucapannya saling mengikat, karena mereka berada di atas
sunnah-sunnah Kitabullah dan sunnah Rasulullah. Maka kamu kembalikan yang
mutlak kepada yang muqayyad dari ucapannya. Maka seorang penuntut ilmu wajib
atasnya mengambil kaidah ini selalu bersamanya dan berhati-hati dari jalannya
para pengekor kesesatan yang mengambil apa yang sesuai selera dari Al Kitab,
dari As-Sunnah dan dari ucapan para ahli ilmu, membuang nukilan-nukilan dan
meninggalkan ucapannya yang lain, atau meninggalkan ucapannya yang kedua yang
menerangkan (maksudnya), mengambil perkataannya yang samar dan meninggalkan
perkataan yang terang.
Banyak orang yang mengaku berilmu lalai dari hal ini, apakah karena niatnya
menyesatkan, atau karena kebodohan. Maka wajib mengenali persoalan-persoalan
ini, agar hal ini menjadi pondasi-pondasi dan kaidah-kaidah disisi seorang penuntut
ilmu.234
Maka ini sedikit dari penegasan para ahli ilmu yang menerangkan pemahaman
terhadap nash-nash janji yang dijadikan pegangan oleh Murji’ah dahulu dan sekarang.
Maka nash-nash ini jelas dan terang, tidak ada kerancuan dan kesamaran bagi yang
memahaminya dengan pemahaman salaf dan tidak condong kepada hawa-hawa
nafsu dan bid’ah-bid’ah. Maka ia jelas kecuali bagi orang yang hatinya menyimpang
dan berpaling dari nash-nash yang muhkam dari al-Quran, sunnah-sunnah dan
ijma’ para ahli ilmu. Hanya kepada Allah kita minta keselamatan.
Maka berdasarkan ini diketahuilah kedustaan dan kontradiktif orang-orang
yang terpapar syubhat irja’ di zaman kita di mana mereka mengakui pendapat salaf
tentang keterkaitan lahir dan batin namun kemudian menganggap bahwa salaf
berbeda pendapat tentang hukum kafirnya orang yang meninggalkan kewajiban-
kewajiban yang lahir, dan bahwa persoalan ini adalah persoalan ijtihadiyah. Hal
ini berdasarkan apa yang telah lalu nukilan-nukilannya yang menegaskan secara
nash akan ijma’ salaf bahwa amalan bagian dari iman, dimana keimanan menjadi
hilang dengan hilangnya amalan. Bahwa orang yang menolak untuk tunduk secara
lahir dan meninggalkan kewajiban-kewajiban lahir tanpa ada halangan dan udzur
kemudian dia wafat, maka dia wafat di atas kekufuran sekalipun dia menyangka
bahwa dia beriman dengan hatinya dan bahwa dia seorang muwahhid, semua ini

234 Silsilah Syarah Ar-Rasa’il, Tafsir Kalimat At-Tauhid (halaman 135-139)

Al-Furuq | 101
tidak berguna baginya. Maka pendapat ini bukan pendapat salaf, bahkan dia adalah
pendapat Murji’ah sebagaimana yang telah kami terangkan.
Perbedaan Kelima
Salaf mengakui bahwa kekufuran terjadi dengan keyakinan, ucapan, perbuatan,
dan keraguan. Berbeda dengan Murji’ah.
Kekufuran terjadi dengan keyakinan, ucapan, perbuatan dan keraguan. Dalil
akan hal ini adalah al-Quran dan as-Sunnah. Seperti inilah keyakinan salaf dan ijma’
mereka yang berbeda dengan Murji’ah.
Adapun terjadinya kekufuran pada hati, yaitu dengan apa yang terdapat di
dalam hati berupa keyakinan-keyakinan yang mengkafirkan, dinamakan dengan
kufur i’tiqadi (keyakinan) karena muaranya kepada keyakinan, seperti juhud
(penolakan),235 sebagaimana firman Allah Ta’aala;
َ َۡ ْ ُ َ َ َّ‫ۡ ُ ۡ َ ذ‬ َ َ ُ َۡ‫َ ٰٓ َ ُّ َ َّ ُ ُ اَ ح‬
َ ‫نك ذَّٱل‬
ٰ َ ُ ‫ِين ي‬
‫س ِر ُعون يِف ٱلكف ِر مِن ٱل‬
‫ِين قال ٓوا َء َام َّنا بِأف َوٰهِ ِه ۡم َول ۡم‬ ‫يأيها ٱلرسول ل يز‬
ُ ُ‫تُ ۡؤمِن قُل‬
‫وب ُه ۡم‬
“Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera
(memperlihatkan) kekafirannya, yaitu Di antara orang-orang yang mengatakan
dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman.”
(QS. Al-Maidah: 41)
Adapun terjadinya kekufuran pada ucapan, yakni disebabkan apa yang
diucapkan oleh lisan dari perkataan-perkataan yang mengkafirkan, maka dia adalah
kekufuran tersendiri seperti mencaci Allah dan rasul-Nya, ayat-ayat Allah dan
mengolok-olok syariat-Nya236 sebagaimana yang Allah Ta’aala firmankan;
َ َ ُ ُ َ َّ‫َ َ َ َ تۡ َ ُ ۡ يَ َ ُ ُ َّ َّ َ ُ َّ خَ ُ ُ َ َ ۡ َ ُ ُ ۡ َ ه‬
‫نت ۡم ت ۡس َت ۡه ِز ُءون‬ ِ‫ب قل أبِٱللِ َو َءايٰتِهِۦ َو َر ُس ه‬
‫ولِۦ ك‬ ۚ ‫ولئِن سألهم لقولن إِنما كنا نوض ونلع‬
ُ َ َ ۡ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ ْ ُ َ ۡ َ َ‫ا‬
‫يمٰن ِك ۡم‬ِ ‫ ل تعتذِروا قد كفرتم بعد إ‬.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan
bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-
Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66)
Adapun terjadinya kekufuran pada perbuatan, yakni disebabkan apa yang
terdapat pada anggota badan dari perbuatan-perbuatan yang merupakan kekufuran.

235 Lihat Madarij As-Saalikin (1/337-338) dan Al Mughni karya Ibnu Qudamah (12/275-276)
236 Ash-Sharim Al Maslul (halaman 523) dan Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam (7/220)

102 | Al-Furuq
Maka dia adalah kekufuran tersendiri237 seperti peribadahan kepada selain Allah
seperti berdoa, menyembelih, bernadzar dan sujud. Hal ini sebagaimana yang Allah
Ta’aala firmankan;
َ ۡ َ َّ َ ُ َ َ‫َ ۡ َ رۡ َ ۡ َ يَ َ ۡ َ َ َّ َ َ ُ َ َ ت‬
َ ‫خٰ رِس‬
‫ين‬ ِ ‫لئِن أشكت لحبطن عملك ولكونن مِن ٱل‬
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah
kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar:65).
Dan Allah Ta’aala berfirman;
ۡ َ‫َّ ا‬ َ ‫اخ َر اَل بُ ۡر َهٰ َن هَ ُلۥ بهِۦ فَإ َّن َما ح َِسابُ ُهۥ ع‬
‫ِند َر ّبِهِۚۦٓ إِن ُهۥ ل ُيفل ُِح‬
َ َ ً ٰ َ َّ‫َ َ َ ۡ ُ َ َ ه‬
‫ومن يدع مع ٱللِ إِلها ء‬
ِ ِ
َ َ ۡ
‫ٱلكٰفِ ُرون‬
“Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada sua­
tu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (QS. Al-Mu’minun: 117)
Inilah yang disepakati oleh salaf, berbeda dengan Murji’ah. Sesungguhnya
Murji’ah dengan beragam macam faksinya menyelisihi salaf dalam bab takfir
sebagaimana mereka menyelisihi salaf dalam bab iman. Begitulah pada Jahmiyah,
ketika mereka menegaskan bahwa keimanan adalah ma’rifah mereka menjadikan
kekufuran adalah lawannya yaitu kejahilan. Maka keimanan tidak hilang dengan
sebab salah satu dari pembatal-pembatalnya kecuali disertai dengan hilangnya
ma’rifah dan tercapainya kejahilan! Maka barangsiapa menganggap bahwa dia jahil
tentang Allah, Jahmiyah menilainya kafir secara lahir, sambil memberi kemungkinan
tidak kafir secara batin.238
Adapun Asya’irah dan Maturidiyah dan yang semisal dengan mereka,
mereka menjadikan iman itu tashdiq (pembenaran) dan kekufuran sebatas juhud
(penolakan). Adapun amalan mereka tidak menyifatinya sebagai kekufuran yang
berdiri sendiri, tapi berdasarkan apa yang ditunjuki oleh hilangnya ma’rifah dan
tashdiq (pembenaran), disertai adanya kemungkinan tidak kafir secara batin. Maka
penghukuman amalan sebagai kekufuran adalah hukum lahir bukan batin!
Adapun Murji’ah Fuqaha’ menjadikan keimanan adalah tashdiq (pembenaran)
kekufuran adalah juhud (penolakan) dan meninggalkan perkataan. Adapun perbuatan
dan perkataan-perkataan yang kufur mereka tidak menyifatinya sebagai kekufuran,

237 Lihat Kitab Ash-Shalat oleh Ibnul Qayyim (halaman 63) dan A’lam As-Sunnah Al Manshurah oleh
Al Hafidz Hakami (halaman 100)
238 Maqalat Al Islamiyin oleh Al Asy’ariy (1/214), Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah (7/146), (7/401), (7/544), (7/557). Dan Al Milal wan Nihal oleh Asy-Syahrustani
(1/142)

Al-Furuq | 103
bahkan pelakunya disifati kafir dikarenakan ucapan dan perbuatannya menunjukkan
akan kekufuran batin! Sebagaimana telah berlalu penjelasan sebelumnya.
Berdasarkan (penjelasan) ini, diketahuilah perbedaan antara salaf dan
Murji’ah dalam persoalan bahwasanya salaf menjadikan kekufuran berdiri sendiri
dengan keyakinan, berdiri sendiri dengan amal perbuatan, berdiri sendiri dengan
ucapan dan berdiri sendiri dengan keraguan, berbeda dengan Murji’ah yang tidak
menjadikan kekufuran dengan ucapan atau perbuatan sebagai kekufuran yang
berdiri sendiri terpisah dari keyakinan, bahkan mereka tidak mengkafirkan selain
dengan keyakinan, sebagaimana telah dijelaskan.
Di antara hal-hal yang ditegaskan kaum salaf bahwa kekufuran ada dua;239
Kufur akbar; yang mengeluarkan dari millah dan mengekalkan pelakunya di
neraka. Kekufuran ini adalah lawannya keimanan.
Kufur asghar; ini adalah kekufuran yang mengurangi keimanan dan menjadikan
pelakunya berhak mendapatkan ancaman di neraka tapi tidak kekal di dalamnya.
Kekufuran ini tidak menafikan dasar keimanan.
Kekufuran akbar yang mengeluarkan pelakunya dari millah ada 6;
Pertama; Kufur inkar wat-takdzib (pengingkaran dan pendustaan)
Kekufuran yang lahir dari pengingkaran terhadap apa yang dibawa oleh para
rasul, mendustakannya dan meyakini mereka tidak jujur. Inilah pendustaan secara
lahir dan batin. Sebagaimana firman Allah Ta’aala;
ٗ ۡ َ َ َّ َ َ َ ۡ َ َ ٓ ُ َ ٓ َ َّ َ ّ َ ۡ‫ح‬ َ َّ َ ۡ َ ً َ َّ‫َ َ ۡ َ ۡ َ ُ َّ ۡ رَ َ ٰ لَىَ ه‬
‫ومن أظلم مِم ِن ٱفتى ع ٱللِ كذِبا أو كذب بِٱل ِق لما جاءه ۚۥ أليس يِف جهنم مثوى‬
َ ‫كٰفِر‬َ ّۡ
‫ين‬ ِ ‫ل ِل‬
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan
kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang
kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang
kafir?” (QS. Al-Ankabut: 68).
Ibnul Qayyim rahimahullah telah menjelaskan dengan nash bahwa jenis
kekufuran ini sedikit jumlahnya pada orang-orang kafir.240
Kedua; Kufur juhud wal kitman (penolakan dan menyembunyikan)
Kekufuran yang lahir dari penolakan dan menyembunyikan kebenaran yang

239 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam (7/353-355) dan Iqtidha’ Ash-Shiraat Al Mustaqim oleh
Syaikhul Islam (1/237) dan Miftah Daar As-Sa’aadah oleh Ibnul Qayyim (1/94) dan Madaarij As-
Saalikin oleh Ibnul Qayyim (1/337) dan yang setelahnya, dan kitab Ash-Shalat oleh Ibnul Qayyim
(halaman 51) dan Al Qaul Al Mufid oleh Ibnu Utsaimin (2/216)
240 Lihat Tafsir Al Baghawi (1/48) dan Madarij As-Salikin (1/337)

104 | Al-Furuq
dibawa oleh para rasul seluruhnya atau sebagiannya disertai dengan pengakuan
hati akan kebenaran. Maka kufur ini adalah pendustaan secara lahir tanpa batin.241
Sebagaimana firman Allah Ta’aala;
ُٗ ۡ ُ ُ َٓ َ َ ۡ َ َ ْ ُ َ َ َ
‫ٱست ۡيق َن ۡت َها أنف ُس ُه ۡم ظل ٗما َو ُعل ّوا‬‫وجحدوا بِها و‬
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati
mereka meyakini (kebenaran)nya...” (QS. An-Naml: 14).
Dan Allah Ta’aala berfirman;
َ َ َۡ‫هَّ ج‬ َ َ َّ َ َ َ ّ َ َ‫َ َّ ا‬
‫ح ُدون‬ ِ ٰ ‫فإِن ُه ۡم ل يُكذِبُونك َول‬
ِ ٰ ‫ك َّن ٱلظٰل ِ ِمني أَ‍ِبي‬
‫ت ٱللِ ي‬
“...karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang
yang zalim itu mengingkari ayat ayat Allah.” (QS. Al-An’am: 33)
Ketiga; Kufur iba’ wal istikbar (enggan dan sombong) disertai dengan pembenaran
tanpa ketundukan.
Kekufuran yang lahir dari sombong dari menerima kebenaran dan keengganan
untuk tunduk kepadanya baik seluruhnya atau sebagiannya, disertai dengan
pengakuan akan kebenaran dan pembenarannya. Termasuk ke dalam jenis kekufuran
ini adalah kekufuran orang yang mengenali kejujuran Rasulullah  dan kebenaran
ajaran yang beliau bawa, tapi dia menyombongkan diri dan enggan untuk tunduk
kepadanya. Ibnul Qayyim rahimahullah telah menegaskan secara nash bahwa
kebanyakan musuh-musuh Allah kafir dari jenis kekufuran ini, dan termasuk ke
dalamnya kufur nifaq yang pelakunya menampakkan pembenaran secara lahir
disertai dengan keengganan dan kekufuran di dalam batin.242 Sebagaimana firman
Allah Ta’aala;
َ ۡ َ َ َ‫ۡ ُ ۡ َ ۡ َ َ ٰٓ َ ۡ ُ ُ ْ َ َ َ َ َ ُ ٓ ْ اَّ ٓ ۡ َ َ ىَ ٰ َ ۡ َ ۡ رَ َ َ ا‬
َ ‫كٰفِر‬
‫ين‬ِ ‫ِإَوذ قلنا ل ِلملئِكةِ ٱسجدوا ٓأِلدم فسجدوا إِل إِبل ِيس أب وٱستكب وكن مِن ٱل‬
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, “Sujudlah kamu kepada
Adam,” maka sujudlah mereka kecuali iblis; dia enggan dan takabur dan adalah dia
termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)
Dan Allah Ta’aala berfirman;
ْ ََ ْ ُ َ ُ ٓ ََ
ِ‫فل َّما َجا َءهم َّما ع َرفوا كف ُروا بِه‬
“Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, lalu mereka
ingkar kepadanya.” (QS. Al-Baqarah: 89)

241 Lihat Tafsir Al Baghawi (1/48) dan Ma’aarij Al Qabul (2/593)


242 Lihat Madarij As-Saalikin (1/337)

Al-Furuq | 105
Dan Allah Ta’aala berfirman;
ُۡ‫ُ ُ ۡ ُ ۡ َ ۡ ُ ٓ ْ َّ هَّ َ خ‬ َ ُ َ ُ ۡ ۡ َ َ َ َّ َ‫حَۡ َ ُ ۡ ُ َ ٰ ُ َ َ ُ ز‬
‫ٱلل م ِر ٌج‬ ‫ورةٌ تن ّب ِ ُئ ُهم ب ِ َما يِف قلوب ِ ِه ۚم ق ِل ٱسته ِزءوا إِن‬ ‫يذر ٱلمنفِقون أن تنل علي ِهم س‬
َ َ َۡ‫ح‬
‫َّما تذ ُرون‬
“Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang
menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka:
“Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah
akan menyatakan apa yang kamu takuti.” (QS. At-Taubah: 64)
Dan Allah Ta’aala berfirman;
َّ ۡ ُ َّ‫َ َ ٓ َ َ ۡ ُ َ ٰ ُ َ َ ُ ْ َ ۡ َ ُ َّ َ َ َ ُ ُ هَّ َ هَّ ُ َ ۡ َ ُ َّ َ َ َ ُ هُ ُ َ ه‬
‫ٱلل يَش َه ُد إِن‬ ‫إِذا جاءك ٱلمنفِقون قالوا نشهد إِنك لرسول ٱللِۗ وٱلل يعلم إِنك لرسولۥ و‬
َ َ َ َ َٰ ُۡ
‫ني لكٰذِبُون‬ ِ‫ٱلمنفِق‬
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al-
Munafikun: 1)
Keempat; Kufur dzan was-syak (menduga-duga dan ragu-ragu)
Kekufuran yang lahir dari keraguan dalam membenarkan apa yang dibawa
para rasul dan tidak yakin dalam membenarkan mereka pada asal risalah atau pada
sesuatu yang wajib diimani. Sebagaimana yang Allah Ta’aala firmankan;
ٗ ٓ َ َ َ َّ ُّ ُ َ ٓ َ َ ٗ َ َ ٓ ٰ َ َ َ َ ُّ ُ َ ٓ َ َ َ ۡ ّ َ ُ َ َّ َ َ َ
‫اعة قائ ِ َمة‬ ‫ وما أظن ٱلس‬. ‫سهِۦ قال ما أظن أن تبِيد ه ِذه ِۦ أبدا‬ ِ ‫َودخل َجنت ُهۥ َوه َو ظال ٌِم نِلَف‬
َ ‫ك َف ۡر‬ َ َ ٓ ُ ُ َ ُ‫َ َ ُّ ُّ ىَ ٰ َ ّ أَ َ َ َّ َيرۡ ٗ ّ ۡ َ ُ َ َ ٗ َ َ هَ ُ َ ُ ُ َ ُ َ ح‬
‫ت‬ ‫ قال لۥ صاحِبهۥ وهو ياوِرهۥ أ‬. ‫جدن خ ا مِنها منقلبا‬ ِ ‫ولئِن ردِدت إِل ر يِب ل‬
ۡ‫ر‬ ُ ٓ َ‫ا‬ َ ‫ٱلل َر ّب‬ ۠ َّ ٗ‫ا‬ َ ٰ َّ َ َّ ُ َ ۡ ُّ
ُ َّ‫ لٰك َِّنا ُه َو ه‬. ‫ك َر ُجل‬ َّ ‫ك مِن تُ َراب ُث‬ َ ََ َ َّ‫ذ‬
‫ش ُك‬ِ ‫أ‬ ‫ل‬ ‫و‬ ِ‫ي‬ ‫ى‬‫و‬ ‫س‬ ‫م‬ ‫ث‬ ‫ة‬
ٖ ‫ف‬‫ط‬ ‫ن‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫م‬ ٖ ‫ق‬ ‫ل‬ ‫خ‬ ‫ِي‬‫ٱل‬ ِ‫ب‬
َ
ٗ ٓ َ ّ
‫ب أ َحدا‬ِ‫بِر ي‬
“Dan dia memasuki kebunnya sedang ia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata:
“Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari
kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti
aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”.
Kawannya (yang mu`min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya:
“Apakah kamu kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian
dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna.
Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan

106 | Al-Furuq
seorangpun dengan Rabbku.” (QS. Al-Kahfi: 35-38)
Ibnul Qayyim rahimahullah telah menegaskan dengan nash bahwa keraguan ini
tidak bertahan kecuali apabila seseorang memaksakan dirinya berpaling dari melihat
terhadap ayat-ayat Allah dan tanda-tanda kebenaran Rasulullah . Adapun jika
dia memfungsikan pikirannya terhadap ayat-ayat Allah dan tanda-tanda kebenaran
Rasulullah  maka keraguan tidak akan tinggal bersamanya. Maka barangsiapa
yang ragu dan tidak memastikan kebenaran Rasulullah  dia kafir.243
Kelima; Kufur i’radh (keberpalingan)
Kekufuran yang lahir dari keberpalingan hati dan anggota badan dari perintah
Allah Ta’aala, sehingga tidak membenarkan apa yang dibawa para rasul dan tidak
mendustakannya, tidak loyal kepada utusan-utusan Allah dan tidak memusuhi
mereka. Keberpalingan dari melihat kepada ayat-ayat kebenaran ajaran yang
dibawa para rasul secara keseluruhan, dia tidak melirik kepadanya sehingga dia
berpaling secara keseluruhan dengan keberpalingan dari keimanan, pembenaran,
dan pendustaan. Atau berpaling dari beramal di samping dirinya membenarkan dan
beriman dengan hati. Maka dia meninggalkan amal yang wajib disertai pengakuan
akan kebenaran di lisannya. Dia duduk sepanjang hidupnya tanpa beramal dengan
anggota badannya sama sekali, maka ini termasuk keberpalingan yang mengeluarkan
dari agama berdasarkan ijma’ ulama.244 Seperti yang Allah Ta’aala firmankan;
َ ُ ْ ُ ٓ َ ْ َ َ َ َّ‫َ ذ‬
‫ِين كف ُروا ع َّما أنذ ُِروا ُم ۡع ِرضون‬
‫وٱل‬
“Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.”
(QS. Al-Ahqaf: 3)
Keenam; kufur nifaq (kemunafikan)
Kekufuran yang lahir dari mengingkari apa yang dibawa para rasul di dalam
batin, disertai dengan pengakuan lisan terhadapnya. Sehingga berbeda padanya antara
lahir dan batinnya. Dia menampakkan keimanan secara lahir dan menyembunyikan
kekufuran245 sebagaimana yang Allah Ta’aala firmankan;
َ َ ۡ َ‫َ ا‬ ُ ُ ٰ َ‫َ ٰ َ َ َّ ُ ۡ َ َ ُ ْ ُ َّ َ َ ُ ْ َ ُ َ لَى‬
‫ع قلوب ِ ِه ۡم ف ُه ۡم ل َيفق ُهون‬ ‫ذل ِك بِأنهم ءامنوا ثم كفروا فطبِع‬
“Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman,
kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak
dapat mengerti.” (QS. Al-Munafikun: 3)

243 Lihat Madarij As-Salikin (1/338) dan lihat Ad-Durar As-Sanniyyah (2/71)
244 Lihat Madarij As-Salikin (1/338) dan lihat Ad-Durar As-Sanniyyah (2/71)
245 Lihat Madarij As-Salikin (1/338) dan lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam (28/434)

Al-Furuq | 107
Adapun kekufuran yang asghar dia adalah kufur perbuatan dari perkara-
perkara yang tidak mengeluarkan pelakunya dari millah, seperti dosa-dosa yang
datang penamaannya di dalam al-Quran dan as-Sunnah sebagai kekufuran disertai
dengan tetapnya keislaman pelakunya berdasarkan nash-nash al-Quran, as-Sunnah
dan ijma’. Maka dosa-dosa yang tidak sampai kepada batas kekufuran besar seperti
kufur nikmat disebut kufur, sebagaimana yang terdapat pada firman Allah Ta’aala;
ۡ َ َ َ َ‫َ رَ َ َ هَّ ُ َ َ اٗ َ ۡ َ ٗ اَ َ ۡ َ َ ٗ ُّ ۡ َ َّ ٗ َ ۡ َ ۡ ُ َ َ َ ٗ ّ لُ ّ ا‬
‫ك َمك ٖن فكف َرت‬
ِ ‫وضب ٱلل مثل قرية كنت ءامِنة مطمئِنة يأتِيها رِزقها رغدا مِن‬
َّ‫ه‬ َۡ
ِ‫بِأن ُع ِم ٱلل‬
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang
dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari
segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah...” (QS. An-
Nahl: 112)
Maka yang menjadi pondasi pada persoalan ini 246 bahwa seorang muslim
mungkin terkumpul padanya kekufuran kecil dan keimanan, syirik kecil dan tauhid,
ketakwaan dan kemaksiatan. Di antara hal inilah persoalan terbesar di mana salaf
menyelisihi ahli bid’ah dari kalangan Khawarij dan Murji’ah. Khawarij menjadikan
keimanan sebagai satu kesatuan apabila hilang sebagiannya hilang seluruhnya,
sehingga mereka mengeluarkan pelaku dosa besar dari millah, sedangkan Murji’ah
menjadikan keimanan sebagai satu kesatuan yang tidak bertambah dan tidak
berkurang, dan dosa tidak membahayakan keimanan, sebagaimana telah berlalu
rincian tentang hal ini.
Di antara persoalan yang diakui salaf dalam bab pengkafiran adanya perbedaan
antara kufur nau’ dan kufur mu’ayyan, berbeda dengan Khawarij dan Murji’ah247
Kufur nau’ adalah menilai kufurnya suatu amalan dari amalan-amalan, atau
ucapan dari ucapan-ucapan, seperti ucapan seseorang: meninggalkan shalat kufur,
atau barangsiapa meninggalkan shalat maka dia telah kafir.
Adapun mu’ayyan adalah menilai kufur kepada person pelaku, seperti ucapan:
“Si Fulan kafir”.
Kumpulan persoalan-persoalan yang telah diakui oleh salaf dalam perkara ini
adalah:
Pertama; Kafir asli seperti Yahudi dan Nasrani di mana agama mereka telah
dihapus dengan diutusnya Nabi Muhammad .

246 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam (7/353-355) dan kitab Ash-Shalat oleh Ibnul Qayyim
(halaman 51)
247 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (7/619), (11/407), (12/487),
(35/165) dan Ad-Durar As-Sanniyyah (10/434)

108 | Al-Furuq
Kedua; Pelaku kesyirikan para penyembah berhala dari para penyembah
patung dan kuburan-kuburan seperti penganut agama Budha, Hindu, Shikh dan
penyembah sapi-sapi dan selain mereka dari orang-orang yang minta keselamatan
kepada selain Allah, dari orang-orang yang tidak mengakui tauhid dan tidak bersaksi
dengan Laa ilaaha Illallah.
Hukum atas mereka adalah dikafirkan mutlak dan mu’ayyan. Barangsiapa
abstain dalam hal ini atau ragu akan kekafiran mereka atau tidak mengkafirkan
mereka maka dia kafir. Karena dia telah mendustakan nash-nash al-Quran dan as-
Sunnah yang menerangkan kekafiran mereka dan menegaskan akan hal ini secara
nash yang terang dan jelas dan tidak memberi ruang kepada takwil.
Ketiga; Orang-orang Musyrik yang mengaku beragama Islam dan bersaksi
dengan Laa ilaaha Illallah, mengerjakan shalat, puasa, haji dan menunaikan
syi’ar-syi’ar keislaman.
Keempat; Orang yang melakukan salah satu pembatal dari pembatal-
pembatal keislaman, dari persoalan yang ma’lum minad-diin bid-dharurah (dikenal
populer dalam agama) seperti mencaci Allah, mengolok-olok syariat-Nya, meyakini
bolehnya beragama dengan selain Islam, membela orang kafir dalam memerangi
muslimin, mengaku mengetahui ilmu ghaib, mendustakan al-Quran dan as-Sunnah,
atau membantah keduanya, atau menolaknya, ridha terhadap hukum thaghut, atau
ingin mencari keadilan kepadanya, atau membolehkan berhukum dengannya, atau
melebihkannya dari hukum Allah dan rasul-Nya  dan seterusnya dari hal-hal yang
termasuk ke dalam persoalan-persoalan yang terang yang populer dikenal bagian
dari agama Islam secara darurat.
Hukum atas mereka adalah dikafirkan secara mutlak dan mu’ayyan apakah
dia alim atau jahil. Barangsiapa abstain dalam hal ini atau ragu akan kekafiran
mereka atau tidak mengkafirkan mereka maka dia kafir. Karena dia telah
mendustakan nash-nash al-Quran, as-Sunnah dan ijma’ ulama. Namun, selagi orang
yang melakukan pembatal-pembatal ini orang yang baru masuk Islam, atau tumbuh
di pedalaman dari orang-orang yang bisa dibenarkan darinya kejahilan bukan karena
lalai dari mencari tahu. Maka orang ini diberitahu dan diterangkan kepadanya bukti
dan ditegakkan kepadanya hujjah. Apabila dia berpaling dari hujjah-hujjah syar’i
dia dihukumi kafir dan murtad lahir dan batin, karena telah tegaknya hujjah syar’i
atasnya. Adapun orang yang belum sampai kepadanya hujjah syar’i, sesungguhnya
sikap abstain adalah berkenaan dengan menilainya kafir secara batin. Keadaannya
seperti keadaan ahli fatrah. Adapun secara lahir maka tidak seorang pun ahli
ilmu yang mengambil sikap abstain dalam menghukuminya dengan yang sesuai
perbuatannya, kekufuran, dan kesyirikan. Dan ini telah baku dan terurai secara
mutawatir dari ucapan ahli ilmu dan disepakati, kamu bisa dapati sebagian darinya
pada risalah ini.
Al-Furuq | 109
Kelima; orang yang melakukan pembatal dari pembatal-pembatal keislaman
yang termasuk ke dalam perkara ma’lum minad-diin bid-dharurah dari persoalan-
persoalan yang terhitung ke dalam perkara-perkara yang terang dan dikenal dari
agama Islam secara darurat dikarenakan dipaksa, atau lupa, atau keliru (tidak
sengaja). Maka orang ini diberi udzur selagi hatinya tetap tenang dengan keimanan
seperti yang Allah Ta’aala firmankan,
َ َ ۡ‫ن ب إ‬ۢ ُّ ‫كرهَ َوقَ ۡل ُب ُهۥ ُم ۡط َمئ‬ۡ ُ ۡ َ َّ‫َ ٰ ٓ ا‬ َۡ َّ‫َ َ َ ه‬
‫كن َّمن‬
ِ ٰ ‫ٱليم ٰ ِن َول‬
ِ ِ ِ ِ ‫من كفر بِٱللِ ِم ۢن بع ِد إِيمنِهِۦ إِل من أ‬
َ
ٌ ‫اب َع ِظ‬ َّ‫رَ َ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ٗ َ َ َ ۡ ۡ َ َ ٌ ّ َ ه‬
ٌ ‫ٱللِ َول َ ُه ۡم َع َذ‬
‫يم‬ ‫شح بِٱلكف ِر صدرا فعلي ِهم غضب مِن‬
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,
maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl:
106)
Keenam; Orang yang melakukan kekufuran dari persoalan-persoalan yang
samar yang butuh kepada penjelasan, pada kasus ini pelakunya tidak dihukumi
kafir sekalipun perbuatannya dinilai kufur sampai ditegakkan atasnya hujjah dengan
keterangan dan penjelasan. Maka apabila dia bertahan setelah mengetahui, dia
dihukumi kafir dan murtad secara personal.
Inilah yang telah diakui salafus shalih dan orang-orang yang berjalan di atas
jalan mereka dari orang-orang shalih di kalangan khalaf dan mereka sepakat di
atas hal ini.
Al-Qarrafi berkata; “Oleh karena itu Allah tidak memberi udzur dengan
kejahilan dalam pokok-pokok agama berdasarkan ijma’.”248
Asy-Syaikh Hamad bin Mu’ammar rahimahullah berkata; “Para ulama telah
sepakat bahwa barangsiapa sudah sampai dakwah Rasul  kepadanya maka hujjah
Allah telah tegak atasnya.”249
Asy-Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata; “Siapa saja yang
hari ini mengerjakan hal itu (kesyirikan) di sisi petilasan-petilasan maka dia musyrik
kafir berdasarkan petunjuk al-Quran dan as-Sunnah dan ijma’. Kami mengetahui
bahwa siapa yang melakukan itu dari orang-orang yang mengaku muslim, tidak ada
yang menjadikan mereka terjatuh ke situ selain kejahilan, yang mana seandainya
mereka mengetahui bahwa hal itu menjauhkan dari Allah dengan sejauh-jauhnya
dan bahwa itu termasuk kesyirikan yang Allah haramkan, mereka tidak akan
melakukannya. Maka mereka ini dikafirkan oleh semua ulama dan tidak ada yang

248 Tanqih Al Fushul (halaman 439)


249 Al Masa’il An-Najdiyyah (halaman 637)

110 | Al-Furuq
mengudzur mereka dengan kejahilan seperti yang dikatakan oleh sebagian orang-
orang sesat: ”Sesungguhnya mereka diberi udzur karena mereka jahil.”250
Al-‘Allamah Sulaiman bin Abdillah rahimahullah berkata; “Kalau seseorang
mengucapkan dua kalimat syahadat dan dia tidak mengetahui maknanya, dia
shalat, puasa dan haji karena dia melihat orang-orang mengerjakannya maka dia
mengerjakannya, dan dia tidak melakukan sedikit pun kesyirikan. Maka tidak
seorang pun ragu bahwa dia bukan muslim. Maka bagaimana lagi dengan para
penyembah kuburan?! Yang mereka tidak mengenal maknanya dan mengerjakan
pembatal-pembatalnya. Maka mereka lebih jelek lagi, karena keyakinan mereka
akan adanya hak ibadah pada sesembahan yang berbeda-beda.”251
Al-‘Allamah Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata; “Para ulama
semoga Allah merahmati mereka, telah menempuh manhaj yang lurus dan
menyebutkan bab hukum orang yang murtad. Tidak seorang pun dari mereka
mengatakan bahwa apabila seseorang mengucapkan kekufuran atau mengerjakan
kekufuran dan dia tidak tahu bahwa itu bertentangan dengan dua kalimat syahadat
bahwa dia tidak kafir karena kejahilannya. Allah Ta’aala telah menerangkan di dalam
kitab-Nya bahwa sebagian orang-orang musyrik itu jahil, ikut-ikutan, hal itu tidak
mengangkat hukuman Allah karena kejahilan dan taklid mereka.”252
Al-‘Allamah asy-Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman bin Hasan Alu asy-
Syaikh rahimahullah berkata; “Para ahli ilmu dan iman tidak berselisih bahwa
barangsiapa muncul darinya satu ucapan atau perbuatan yang menjadikannya
kufur atau musyrik, atau fasik dia dihukumi sesuai apa yang tampak sebagaimana
tuntutannya sekalipun dia termasuk orang yang mengakui dua kalimat syahadat
dan mendatangkan sebagian rukun-rukunnya. Sesungguhnya menahan diri dari
orang kafir asli adalah apabila dia mendatangkan keduanya (syahadatain) dan tidak
tampak darinya penyelisihan dan pelanggaran terhadap keduanya. Hal ini tidak
tersembunyi bagi pelajar pemula.”253
Al-‘Allamah Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan Alu asy-Syaikh rahimahullah
berkata; Perkaranya adalah wifaqiyyah (ijma’), dan tidak menjadi samar kecuali
pada orang yang akidahnya terpapar.254
Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang perselisihan
dalam persoalan-persoalan ‘udzur bil jahl apakah ia termasuk persoalan khilafiyah?

250 Ad-Durar As-Sanniyyah (10/405)


251 Taysir Al Aziz Al Hamid (halaman 80)
252 Ad-Durar As-Sanniyyah (11/479)
253 Idem (12/345)
254 Lihat risalah Takfir Mu’ayyan dalam kitab ‘Aqidah Al Muwahhidin war-Radd ‘Ala Ad-Dhullal
wal Mubtadi’in, dihimpun oleh Asy-Syaikh Abdullah Al Ghamidi, dengan kata pengantar dari Al
‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (halaman 178)

Al-Furuq | 111
Beliau rahimahullah menjawab; Pada asalnya tidak ada udzur bagi orang yang ada di
antara muslimin, atau orang yang telah sampai kepadanya al-Quran dan as-Sunnah.
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman;
ََ ُ ُ ُ ُ ۡ َ َ َ‫َ ُ َ ي‬
‫وح إ ِ َّل هٰذا ٱلق ۡر َءان أِلنذ َِركم بِهِۦ َو َم ۢن بَلغ‬
ِ‫وأ ي‬
“Dan al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan
kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya).” (QS. Al-
An’am: 19)
Maka barangsiapa sampai kepadanya al-Quran dan as-Sunnah tidak diberi
udzur, karena itu berasal dari sikap meremehkan dan ketidakpeduliannya.
Beliau berkata menjawab pertanyaan; Apakah dikatakan ini perkara khilafi­
yah? Beliau menjawab; “Bukan khilafiyah kecuali pada persoalan-persoalan yang
detail yang mungkin samar, seperti kisah orang yang berkata kepada keluarganya;
bakarlah aku.”255
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata; “Telah tersamarkan pada
sebagian penuntut ilmu sekarang, mereka mengatakan; Apabila kamu lihat orang
yang tidak shalat jangan kamu kafirkan personnya. Bagaimana personnya tidak
dikafirkan?! Apabila kamu lihat orang sujud kepada berhala jangan kamu kafirkan
personnya, karena bisa jadi hatinya tenang dengan keimanan! Maka dikatakan; Ini
kekeliruan yang besar. Kami menilai sesuai lahir, maka apabila kami dapati seseorang
tidak shalat, kami katakan; Orang ini kafir dengan sepenuh mulut kami. Dan jika
kami lihat orang yang sujud kepada berhala, kami katakan; Orang ini kafir dan
kami pastikan personnya. Kami minta dia untuk berpegang dengan hukum-hukum
Islam. Apabila dia tidak mau melakukannya, kami perangi dia. Adapun berkenaan
dengan persoalan akhirat, maka iya. Kami tidak mempersaksikan seorang pun tidak
dengan surga atau neraka, kecuali yang dipersaksikan oleh Nabi  atau datang
keterangannya di dalam al-Quran.”256
Beliau rahimahullah berkata; “Hujjah tegak atas seseorang dari semenjak
sampainya. Maka dengan itu seseorang masuk ke dalam taklif dan tidak diberi
udzur dengan kejahilan. Karena sesungguhnya yang wajib atas seseorang adalah
mempelajari syariat Allah yang dia butuhkan.”257
Guru kami asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzahullah ditanya;
Apakah persoalan udzur bil jahl perkara khilafiyah? Beliau menjawab; Bukan, namun
hal ini menjadi perkara khilafiyah di tengah-tengah muta’akhirin itu. Kejahilan ada

255 Syarah Kasyf Syubuhat (halaman 26-27)


256 Tafsir Surat Al Ma’idah (14/ side b)
257 Syarah Riyadh As-Shalihin, jilid pertama; penjelasan hadits; Allah Ta’aala memberi udzur kepada
seseorang yang Allah tangguhkan ajalnya hingga mencapai 60 tahun.

112 | Al-Furuq
dua; kejahilan yang mungkin hilang. Yang seperti ini seseorang tidak diberi udzur
dengan kejahilan. Yakni dia bisa bertanya kepada ahli ilmu, mencari ilmu, belajar,
membaca. Yang seperti ini mungkin hilang. Seseorang tidak diberi udzur apabila
tetap di atas ajarannya. Adapun kejahilan yang tidak mungkin hilang, tidak ada
disisinya seorang pun, tidak mendengar apa pun, tidak tahu, tinggal terisolir dan
tidak mendengar apa pun. Ini tidak mungkin hilang. Ini diberi udzur dan menjadi
termasuk ashhabul fatrah. Tidak dianggap muslim, tapi termasuk dari ashhabul
fatrah, nasibnya diserahkan kepada Allah;
َ َ ٰ َّ‫َ َ ُ َّ ُ َ ّ َ َ ى‬
‫ت ن ۡب َعث َر ُسول‬‫وما كنا معذِبِني ح‬
“...dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-
Israa’: 15)258
Beliau hafidzahullah berkata; “Barangsiapa menyekutukan Allah dengan
ucapan, atau perbuatan secara lahir; menyembelih untuk selain Allah, atau bernadzar
kepada selain Allah, atau sujud untuk selain Allah, kami menilai dengan kekufuran
atas dirinya karena perbuatan-perbuatannya, atau mengucapkan kata-kata kufur,
dan kami nilai dengan kekufuran atas dirinya karena amalan-amalannya, tidak ada
bagi kami selain yang tampak.”259
Berdasarkan ini jelaslah kebenaran pada persoalan ini sehingga tidak lagi
meninggalkan problematika dihadapan seorang pencari kebenaran.
Di sini terdapat beberapa persoalan;
Persoalan pertama: Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ menegaskan
bahwa lafal; tidak sah pengkafiran kepada mu’ayyan (person) sampai terpenuhi
atasnya syarat-syarat dan terhalau penghalang-penghalang 260, pemberlakuannya
secara mutlak kepada semua kekufuran.
Ini tidak benar, karena di antara kekufuran-kekufuran ada yang pelakunya
dihukumi kafir dengan sekedar perbuatan yang termasuk ke dalam masa’il dzahirah
(persoalan-persoalan yang terang) dari perkara-perkara yang ma’lum minad-diin
bid-dharurah, dan dari hal-hal yang kejahilan tidak dibenarkan. Di antara persoalan-
persoalan, ada yang perlu ditinjau dulu ada tidaknya penghalang-penghalang seperti

258 Lihat https://www.youtube.com/watch?v=pHF_DGmVNTo


259 Lihat situs Asy-Syaikh http://alfawzan.af.org.sa/node/9646
260 Yang saya maksud dengan terpenuhinya syarat-syarat dan terhalaunya penghalang-penghalang
adalah apa yang dianggap oleh ahli ilmu berupa syarat-syarat pengkafiran seperti ilmu dan faktor
kesengajaan. Adapun penghalang-penghalang seperti kejahilan dan dipaksa bukan syarat-syarat
ahliyah seperti berakal dan baligh. Karena ini bukan letak pembahasannya . Perbincangan disini
tentang memberlakukan kaidah; tidak sah pengkafiran terhadap mu’ayyan sampai terpenuhi
padanya syarat-syarat dan tidak terdapat penghalang-penghalang, pada semua jenis pelanggaran
yang mengkafirkan, pada semua keadaan dan kepada semua orang.

Al-Furuq | 113
kejahilan, lupa, dipaksa, takwil dan salah. Sebagaimana perlu ditinjau terpenuhi
tidaknya syarat-syarat pengkafiran atasnya. Yang demikian ini adalah di antara
persoalan yang butuh kepada penjelasan dan keterangan serta penyingkapan dari
persoalan-persoalan yang termasuk ke dalam masa’il khafiyah (permasalahan samar)
sebagaimana telah lalu.
Dan di atas hal ini kesepakatan kaum salaf, berbeda dengan Khawarij yang
ekstrem pada bab takfir dan Murji’ah yang abai.
Yang menjelaskan hal ini adalah ucapan al-Imam al-Mujaddid al-Muhaqqiq
asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah; “Seorang person
tertentu apabila mengucapkan perkataan yang melahirkan kekufuran, sesungguhnya
dia tidak dihukumi kafir sampai hujjah yang orang meninggalkannya menjadi kafir
tegak atasnya. Hal yang seperti ini pada masa’il khafiyah yang dalilnya mungkin
tersamarkan para sebagian orang. Adapun pada persoalan yang mereka terjatuh
ke dalamnya dari masa’il dzahirah jaliyyah (persoalan-persoalan yang terang), atau
persoalan yang dikenal ma’lum minad-diin bid-dharurah maka yang seperti ini tidak
boleh abstain dalam mengkafirkan pelakunya.”261
Persoalan kedua; Sebagian orang melontarkan ungkapan : “Peringatan dari
takfir”.
Memutlakkan ungkapan “peringatan dari takfir” tidak tepat. Tapi yang utama
adalah mengatakan; peringatan dari sikap ghuluw (berlebihan) dalam takfir.
Karena takfir adalah hukum syar’i yang terdapat (dalam agama) tidak mungkin
menghilangkannya atau mengubahnya. Bahkan di antaranya ada yang wajib yaitu
dari perkara-perkara yang termasuk pokok-pokok agama dan kaidahnya yaitu kufur
kepada thaghut dan berlepas diri darinya secara benar apabila benar penerapannya.
Oleh karena memutlakkan ungkapan ini (peringatan dari takfir) bisa menjadi pintu
bagi ahli syubhat dari Murji’ah dan selain mereka, guna menafikan pengkafiran
orang-orang yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya dan ditunjuki orang ijma’ akan
kekafirannya dan juga memutlakkan ungkapan ini bisa berakibat melemparkan
tuduhan takfir kepada salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka dari orang-
orang yang mengkafirkan para penyembah kubur dan yang semisalnya dari orang-
orang yang terjatuh kepada pembatal-pembatal keislaman, sehingga menuduh
mereka sebagai takfiri.
Karena itu yang wajib adalah menggunakan istilah syar’i. Maka kami katakan;
peringatan dari ghuluw, atau peringatan dari ghuluw dalam takfir, dan ungkapan
yang semisal ini agar ungkapan itu lengkap dan menyeluruh.
Persoalan ketiga; Sebagian orang memutlakkan ajakan untuk berhati-hati
dalam masuk ke dalam bab takfir.
261 Ad-Durar As-Sanniyyah (8/244)

114 | Al-Furuq
Dan ini baik pada babnya. Karena yang menjadi asal adalah wajib atas setiap
muslim bersikap wara’ (hati-hati) dari berbicara atas agama Allah pada semua
persoalan dari persoalan-persoalan agama. Karena Allah Ta’aala berfirman;
َ َ َ‫ۡ ٌ َّ َّ ۡ َ َ بۡ َ رَ َ ۡ ُ َ َ لُ ُّ ُ َ َ ا‬ َ َ َ ُ ۡ َ َ‫ا‬
‫ص َوٱلفؤاد ك أ ْو ٰٓلئِك كن ع ۡن ُه‬ ‫َول تقف َما ل ۡي َس لك بِهِۦ عِل ۚم إِن ٱلسمع وٱل‬
ٗ‫َ ُ ا‬
‫سۡ‍ٔول‬ ‫م‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggunganjawabnya.” (QS. Al-Israa’: 36)
Sedangkan takfir adalah hukum syar’i, maka wajib tatsbabbut , tabayyun
(krosscek) dan berhati-hati agar seorang muslim tidak mengatakan atas agama Allah
apa yang tidak dia ketahui, sehingga terjatuh ke dalam kesesatan yang besar.
Maka yang wajib adalah berhati-hati dari tergesa-gesa dalam melontarkan takfir
kepada orang yang tidak terpenuhi sifatnya. Karena pada sikap tergesa-gesa dalam
hal ini terdapat bahaya yang besar dan dampak yang buruk. Hanya saja sikap kehati-
hatian tidak boleh dijadikan alasan dalam membela orang-orang kafir dan murtad
dengan alasan tidak tergesa-gesa dalam takfir. Bahkan yang wajib adalah seorang
muslim tidak canggung dalam mengkafirkan orang yang melakukan kekufuran
yang terang dan jelas seperti para penyembah kuburan dari orang-orang yang telah
disepakati oleh para ulama akan kekufuran dan kemurtadan mereka.
Yang menjadi bukti akan hal ini adalah bahwa para ulama al-Lajnah ad-
Daa’imah di bawah kepemimpinan al-’Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
telah berfatwa bahwa ucapan aadzirun (orang-orang yang memberi udzur) kepada
quburiyun adalah ucapan kufur. Karena pada yang demikian itu terdapat sikap
abstain dalam mengkafirkan orang-orang yang telah disepakati oleh ulama akan
kekafirannya, dan kekafirannya ma’lum minad-diin bid-dharuurah.
Para ulama al-Lajnah berkata; “Dengan ini diketahui, bahwasanya tidak
boleh bagi sekelompok muwahhidin yang meyakini kafirnya penyembah kuburan
untuk mengkafirkan saudara-saudara mereka para muwahhidin yang abstain dalam
mengkafirkan mereka sampai ditegakkan atas mereka hujjah, karena sikap abstain
mereka dari mengkafirkan penyembah kuburan terdapat syubhat, yaitu mereka
meyakini bahwa harus ditegakkan hujjah atas para penyembah kuburan itu sebelum
mereka dikafirkan. Berbeda dengan orang (kafir) yang kekufurannya tidak ada
syubhat seperti Yahudi, Kristen dan orang-orang komunis dan yang semisal dengan
mereka. Mereka ini tidak ada syubhat dalam kekafirannya dan juga dalam kekafiran
orang yang tidak mau mengkafirkannya.”262

262 Majmu’ Al Fatawa (2/151)

Al-Furuq | 115
Fatwa ini dijelaskan kembali oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
dengan perkataannya; Yang dimaksud adalah muwahhid yang abstain dari
mengkafirkan para penyembah berhala tidak dikafirkan sampai hujjah itu tegak atas
dia dan sampai diterangkan kepada dia sebab-sebab kufurnya penyembah kubur dan
sampai jelas baginya sebab-sebab kekufuran mereka. Karena dia mungkin abstain
karena menyangka mereka bukan orang-orang kafir. Maka apabila telah dijelaskan
kepadanya hal ini dan menjadi jelas baginya hal ini, jadilah dia seperti orang yang
tidak mengkafirkan Yahudi dan Kristen. Maka barangsiapa mengatakan bahwa
Yahudi dan Kristen bukan kafir sedangkan dia termasuk orang yang mengetahui
dalil-dalil syar’i dan termasuk dari ahli ilmu, maka harus dijelaskan kepadanya
sampai mengetahui bahwa mereka kafir. Apabila dia ragu akan kekafiran mereka,
maka dia kafir. Dikarenakan orang yang ragu akan kekafiran orang kafir yang jelas
kekafirannya, maka dia kafir.263
Maka berdasarkan ini jelaslah bahwa kehati-hatian ada babnya yaitu para
perkara yang ada kerancuan dan kesamaran. Adapun dalam perkara yang jelas
berdasarkan nash-nash Al Kitab, As-Sunnah dan ijma’ ulama, sikap kehati-hatian
dalam hal ini ini adalah tipu daya setan, setan menipu sebagian orang agar berpaling
dari mengamalkan nash-nash yang terang dan ijma’ ulama.
Adapun perkara yang mengandung kesamaran, maka yang wajib adalah berhati-
hati dari tergesa-gesa mengambil sikap dalam mengkafirkan muslimin karena
persoalan itu. Karena yang menjadi hukum asal pada seorang muslim adalah bersih
dari kekufuran dan keislamannya tetap selagi dia tidak mendatangkan kekufuran
yang terang. Oleh karena itu terdapat pada nash-nash dan ucapan para ulama yang
menunjukkan bahayanya tergesa-gesa dalam takfir. Hal yang demikian berlaku pada
kondisi berbicara tentangnya tanpa alasan yang benar dan tanpa landasan ilmu.
Maka menjadi jelaslah bahwa menilai kufur terhadap keyakinan, atau perbuatan,
atau ucapan dan memberlakukannya kepada person-person, sumbernya adalah Al
Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman dan kaidah-kaidah salafus shalih, bukan
berdasarkan pemikiran dan pandangan-pandangan atau prasangka dan hawa nafsu.
Maka orang kafir adalah orang yang dijadikan kafir oleh Allah dan rasul-Nya
, sebagaimana mukmin adalah orang yang Allah dan rasul-Nya  jadikan dia
mukmin.264
Maka di antara nash dan perkataan ulama yang datang seputar persoalan
ini:

263 Fatawa Nurun ‘Ala Ad-Darb. Silahkan lihat ke situs Asy-Syaikh di internet; http://www.binbaz.org.
sa/noor/9252
264 Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah oleh Syaikhul Islam (5/92) dan lihat Ar-Rad ‘Alal Bakri (halaman
259) dan Al ‘Aqidah Ath-Thahawiyah oleh Ibnu Abil Izz (halaman 357)

116 | Al-Furuq
Allah Ta’aala berfirman;
َ‫ٱلس َلٰم‬ ُ َۡ‫هَّ َ َ َ َّ ُ ْ َ اَ َ ُ ُ ْ َ ۡ َ ۡ ىَ ٰٓ ي‬
َّ ‫ك ُم‬ َ ۡ ُ ۡ َ َ‫َ ٰٓ َ ُّ َ ذَّ َ َ َ ُ ٓ ْ َ ر‬
‫يل ٱللِ فتبينوا ول تقولوا ل ِمن ألق إِل‬ ِ ِ ‫يأيها ٱلِين ءامنوا إِذا ضبتم يِف سب‬
ُ ۡ َ ّ ُ ُ َ ٰ َ َ ٌ َ َ ُ َ َ َّ‫حۡ َ َ ٰ ُّ ۡ َ َ َ ه‬ َ َ َ ُ َ ۡ َ َۡ
‫ت ُمؤم ِٗنا ت ۡب َتغون ع َرض ٱليوة ِ ٱدلنيا فعِند ٱللِ مغان ِم كثِرية ۚ كذل ِك كنتم مِن قبل‬ ‫لس‬
ٗ ‫ون َخب‬ ُ َ‫ا‬ ْ
َ َ ۡ َ َ َ َ َّ‫َ َ َّ هَّ ُ َ ۡ ُ ۡ َ َ َّ ُ ٓ َّ ه‬
َ َ
‫ريا‬ِ ‫فمن ٱلل عليكم فتبين ۚوا إِن ٱلل كن بِما تعمل‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka
telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam”
kepadamu: “Kamu bukan seorang mu`min”(lalu kamu membunuhnya), dengan
maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang
banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-
Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. An-Nisaa’: 94)
Di dalam Shahihain dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata; Rasulullah
 bersabda; “Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya; Hai kafir, maka berarti
ucapan itu telah berhak atas salah seorangnya. Apabila saudaranya seperti yang ia
tuduhkan, dan jika tidak maka kembali kepadanya.”265
Dan pada riwayat Muslim dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar
Rasulullah  bersabda; “Barangsiapa memanggil seseorang dengan kekafiran, atau
mengatakan; musuh Allah! Sedangkan dia tidak demikian, maka (tuduhan itu)
kembali kepadanya.”266
Dan di dalam Shahihain dari Abu Dhabyan ia berkata; Aku mendengar Usamah
bin Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘anhu berkisah; Rasulullah  mengutusku ke
Harqah dari Juhainah, maka kami kagetkan mereka di waktu subuh dan kami serang
mereka. Kemudian aku bersama seorang teman dari Anshar bertemu seorang laki-
laki dari mereka. Maka ketika kami akan menghabisinya, dia mengucapkan Laa
ilaaha Illallah. Lalu kawanku orang Anshar ini menahan diri, tapi aku menusuknya
dengan tombakku hingga aku membunuhnya. Maka ketika kami telah kembali,
peristiwa itu sampai kepada Nabi .. Beliau berkata kepadaku; Wahai Usamah,
apa kamu tetap membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa ilaaha Illallah? Aku
menjawab; Wahai Rasulullah, saat itu dia hanya berlindung. Nabi berkata; Apa kamu
tetap membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa ilaaha Illallah? Usamah berkata;
Nabi terus saja mengulang-ulang ucapannya kepadaku sampai-sampai aku berharap
saat itu aku baru masuk Islam.”267

265 Al Bukhari (5753) dan Muslim (111) dan ini lafal Muslim.
266 Muslim (112)
267 Al Bukhari (6478) dan Muslim (159)

Al-Furuq | 117
Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata; “Dari sisi pandangan yang lurus yang
tidak dipungkiri lagi; bahwa semua orang yang telah tetap baginya keislaman pada
satu waktu berdasarkan ijma’ muslimin, kemudian dia melakukan satu dosa, atau
melakukan takwil, lalu diperdebatkan setelah itu tentang keluarnya dia dari Islam,
setelah ada kesepakatan mereka perselisihan mereka tentangnya ini tidak menjadi
hujjah dan tidak mengeluarkan dari keislaman yang disepakati kecuali dengan
kesepakatan lain, atau sunnah yang tetap yang tidak diperdebatkan.”268
Asy-Syathibi rahimahullah berkata; “Sesungguhnya landasan penilaian
sesuai yang lahir berlaku pada hukum-hukum secara khusus, dan terkait persoalan
keyakinan orang lain secara umum. Karena sesungguhnya penghulu manusia di
samping turun kepadanya wahyu, beliau memberlakukan perkara-perkara sesuai
yang lahir (tampak) pada orang-orang munafik dan selain mereka.”269
Al-Baghawi rahimahullah berkata; “Barangsiapa menampakkan syi’ar-syi’ar
agama, diberlakukan atas dia hukum-hukumnya, dan tidak disingkap akan batin
perkaranya. Maka jika didapati seorang dikhitan Di antara orang-orang yang terbunuh
yang tidak dikhitan, orang ini dipisahkan dari mereka dalam pekuburan. Apabila
didapati janin yang keguguran di negeri muslimin, dinilai sebagai muslim.”270
Asy-Syaukani rahimahullah berkata; “Ketahuilah bahwa menilai seorang
muslim keluar dari agama Islam dan menganggapnya masuk ke dalam kekufuran,
tidak sepatutnya seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir
memberanikan diri kecuali berdasarkan bukti yang lebih terang dari matahari di
siang hari. Karena sesungguhnya telah terdapat pada hadits-hadits yang shahih
yang diriwayatkan dari sekumpulan sahabat bahwa siapa saja mengatakan kepada
saudaranya; Hai kafir, berarti telah berhak atasnya salah seorangnya.”271
Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
berkata; “Maka kesimpulannya, wajib atas siapa saja yang sayang kepada dirinya
untuk tidak berbicara seputar masalah ini kecuali berdasarkan ilmu dan bukti dari
Allah. Hendaknya seseorang berhati-hati dari mengeluarkan orang lain dari Islam
dengan sekedar pemahamannya dan akalnya yang menurutnya baik. Dikarenakan
mengeluarkan seseorang dari Islam, atau memasukkannya ke dalamnya adalah
di antara persoalan-persoalan agama yang paling besar. Sungguh setan telah
menggelincirkan kebanyakan manusia dalam persoalan ini, sebagian mereka
dilalaikan hingga menghukumi dengan keislaman kepada orang-orang yang
ditunjuki oleh nash-nash Al Kitab dan As-Sunnah serta ijma’ akan kekafirannya.

268 At-Tamhid (12/315)


269 Al Muwafaqat (2/271-272)
270 Syarhus Sunnah (1/70)
271 As-Sailul Jarrar (4/578)

118 | Al-Furuq
Di mana sekelompok lainnya dijadikan ekstrem hingga mengkafirkan orang-orang
yang dihukumi oleh al-Quran dan as-Sunnah serta ijma’ bahwa dia muslim.”272
Asy-Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata
dalam risalahnya; “Aku mendapati pada tahun enam puluh empat dua orang yang
serupa dengan kalian yang berlebihan di Ahsa’. Mereka telah meninggalkan shalat
Jum’at dan jamaah dan mengkafirkan orang-orang yang ada di negeri tersebut dari
kaum muslimin. Alasan mereka persis seperti alasan kalian. Mereka mengatakan;
Penduduk Ahsa’ duduk-duduk bersama Ibnu Fairuz, bergaul dengannya dan orang
yang serupa dengannya dari orang-orang yang tidak mengkafirkan thaghut-thaghut.
Dia tidak terang-terangan mengkafirkan kakeknya yang telah membantah dakwah
Asy-Syaikh Muhammad dan tidak menerimanya dan memusuhinya. Mereka berdua
mengatakan; Barangsiapa tidak terang-terangan mengkafirkannya maka dia kafir
kepada Allah dan belum kufur kepada thaghut-thaghut, dan barangsiapa bergaul
dengannya maka dia sepertinya. Mereka membangun di atas dua mukadimah
dusta dan sesat ini hukum-hukum yang lahir dari kemurtadan yang terang sampai-
sampai mereka menolak menjawab salam...hingga sampai pada perkataannya; Dan
telah sampai kepadaku dari kalian yang semisal dengan ini, dan kalian menyelami
persoalan-persoalan bab ini, seperti pembicaraan seputar al-wala’ wa al-bara’,
perjanjian damai dan kesepakatan-kesepakatan, mengucurkan dana dan memberi
hadiah-hadiah dan yang semisal ini dari perkataan-perkataan orang-orang yang
musyrik kepada Allah dan para pengekor kesesatan, dan berhukum dengan selain
yang Allah turunkan pada masyarakat badui dan yang semisal mereka dari orang-
orang yang menelantarkan, padahal tidak boleh berbicara tentang hal ini selain ulama
dari orang-orang yang berakal dan orang-orang yang Allah berikan pemahaman dari
Allah dan hikmah serta ucapan yang baik. Pembicaraan tentang hal ini tergantung
kepada pengetahuan terhadap apa yang sudah kami kedepankan dan pengetahuan
akan pokok-pokok umum yang menyeluruh. Maka tidak boleh berbicara seputar
persoalan ini dan selainnya orang yang tidak mengetahuinya dan berpaling darinya
dan dari perincian-perinciannya. Karena sesungguhnya keumuman dan pemutlakan
serta hilangnya pengetahuan akan poin-poin persoalan dan rinciannya akan
menimbulkan kesamaran dan kekeliruan serta hilangnya pemahaman dari Allah
sehingga merusak keyakinan-keyakinan dan mencerai-beraikan pikiran-pikiran dan
menghalangi orangnya dari memahami as-Sunnah dan al-Quran. Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata dalam Kafiyah nya;
Maka wajib atasmu memegang yang rinci dan jelas, karena
Pemutlakan dan keumuman tanpa penjelasan
Telah merusak keadaan ini dan mengacaukan

272 Ad-Durar As-Sanniyyah (8/217)

Al-Furuq | 119
Pikiran-pikiran dan pandangan-pandangan pada setiap zaman”273
Beliau rahimahullah berkata; “Barangsiapa melontarkan lisannya dengan
pengkafiran berdasarkan permusuhan atau hawa nafsu atau perbedaan mazhab
seperti yang terdapat pada kebanyakan orang-orang jahil, maka yang seperti ini
termasuk kekeliruan yang jelas. Berani dalam mengkafirkan atau mencap orang fasik
dan menyesat-nyesatkan, tidak boleh kecuali bagi orang yang melihat kekufuran
yang terang.”274
Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata; “Berani mengkafirkan
atau mencap orang fasik tanpa hujjah yang menjadi sandaran dari Kitabullah atau
sunnah Rasul-Nya  tidak diragukan yang demikian ini termasuk kelancangan atas
nama Allah dan atas agama-Nya, dan termasuk berbicara atas-Nya tanpa ilmu. Hal
ini menyelisihi metode ahli ilmu dan iman dari para salafus shalih Radhiyallahu
‘anhum. Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang mengikuti mereka
di atas kebaikan.”275
Maka berdasarkan ini takfir adalah hukum syar’i. Tenggelam ke dalamnya
tanpa ilmu adalah ketergelinciran kaki. Maka yang wajib adalah menetapi sunnah
pada bab ini dan pada semua bab dari bab-bab agama. Dan mengambil dari ulama
yang kokoh dan berhati-hati dari tergesa-gesa mengatakan tentang agama Allah
tanpa landasan ilmu atau bukti atau penelitian akan kaidah-kaidah syar’i dan pokok-
pokok yang ada pada bab-bab syariat.
Persoalan keempat; Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman kita
memutlakkan tidak mengkafirkan orang yang melakukan salah satu dari pembatal-
pembatal keislaman yang terang kecuali setelah diyakini kesesuaian lahir dan
batinnya yang menginginkan kekufuran dan menghendakinya!
Dan ini berasal dari pondasi akidah irja’-nya yaitu tidak ada kekufuran kecuali
dengan keyakinan. Mereka menyelewengkan makna firman Allah Ta’aala;
َّ ٰ َ َ ٰ َ ۡ‫َ ٰ ٓ اَّ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ ۡ ُ ُ ُ ۡ َ ُّ ۢ إ‬ َۡ َّ‫َ َ َ ه‬ َ
‫كن من‬ ِ ‫ٱليم ِن ول‬ِ ِ ‫من كفر بِٱللِ ِم ۢن بع ِد إِيمنِهِۦ إِل من أكرِه وقلبهۥ مطمئِن ب‬
ْ ُّ َ َ ۡ ُ ُ َّ َ َ ٰ َ ٌ َ ٌ َ َ ۡ ُ َ َ َّ‫رَ َ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ٗ َ َ َ ۡ ۡ َ َ ٌ ّ َ ه‬
‫ ذل ِك بِأنهم ٱستحبوا‬. ‫شح بِٱلكفرِ صدرا فعلي ِهم غضب مِن ٱللِ ولهم عذاب ع ِظيم‬
َ ۡ َۡ َۡ ۡ َ َ‫َ َ َ َّ هَّ َ ا‬ َ‫حۡ َ َ ٰ َ ُّ ۡ لَى‬
َ‫كٰفِرين‬
ِ ‫ٱدلن َيا ع ٱٓأۡلخِرة ِ وأن ٱلل ل يهدِي ٱلقوم ٱل‬ ‫ٱليوة‬
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,
maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian
273 Ad-Durar As-Sanniyyah (1/466)
274 Ad-Durar As-Sanniyyah (12/262)
275 Majmu’ Al Fatawa wal Maqalat (1/265)

120 | Al-Furuq
itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari
akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.”
(QS. An-Nahl: 106-107)
Mereka menjadikan perkataan-Nya “akan tetapi orang yang melapangkan
dadanya untuk kekafiran” sebagai syarat terjatuhnya person tertentu kepada
kekafiran! Dan mereka mengatakan; Kami tidak mengkafirkan pelaku kecuali
apabila ada dalil yang menunjukkan akan kafirnya batin dan lapangnya dada dengan
kekufuran! Padahal tidak ada di dalam ayat yang mendukung pendapat mereka ini.
Karena syarat tersebut khusus untuk orang yang dipaksa. Maka maksud ayat adalah;
Barangsiapa mengatakan kekufuran, atau melakukannya dia kafir kecuali apabila
dia dipaksa maka tidak kafir selagi hatinya tenang di atas keimanan. Adapun jika
hatinya lapang dengan kekufuran, maka dia kafir.
Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang mengucapkan kekufuran atau
mengerjakannya dengan sengaja tanpa paksaan berarti hatinya lapang dengan
kekufuran, sekalipun dia tidak memaksudkan kufur, atau benci kepada Islam.
Seperti orang yang mengucapkan kekufuran, atau mengerjakannya karena dunia,
atau bercanda dan main-main, atau selainnya. Dalil yang menunjukkan akan hal ini
adalah firman Allah Ta’aala;
َ ُ َۡ َۡ ُۡ ُ ُ َ َ ٰ َ َ َ َّ‫َ َ َ َ تۡ َ ُ ۡ يَ َ ُ ُ َّ َّ َ ُ َّ خَ ُ ُ َ َ ۡ َ ُ ُ ۡ َ ه‬
ِ‫ه‬
‫ب قل أبِٱللِ وءايتِهِۦ ورسولِۦ كنتم تستهزِءون‬ ۚ ‫ولئِن سألهم لقولن إِنما كنا نوض ونلع‬
ُ َ َ ۡ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ ْ ُ َ ۡ َ َ‫ا‬
‫يمٰن ِك ۡم‬ِ ‫ ل تعتذِروا قد كفرتم بعد إ‬.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan
bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-
Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman...” (QS. At-Taubah: 65-66)
Maka mereka menjadi kafir disebabkan ucapan. Mereka menyampaikan udzur
bahwa mereka tidak memaksudkan kekufuran, namun Allah tidak menerima udzur
mereka dan menghukumi mereka kafir secara lahir dan batin.
Pada keterangan ini terdapat bantahan kepada Murji’ah yang menafikan
keterkaitan antara lahir dan batin. Karena apa yang terdapat di dalam hati berupa
pembenaran yang sempurna menghalangi adanya perkataan kufur, atau perbuatan
kufur tanpa paksaan, dan apa yang terdapat pada lisan dan anggota badan dari
kekufuran berkonsekuensi akan kufurnya batin. Hal ini merupakan ijma’ salaf
sebagaimana telah berlalu.276

276 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (7/220) dan (7/559-560) dan Ash-Sharim Al
Maslul (3/975) dan Ad-Durar As-Sanniyyah (10/141) dan Ad-Dalaa’il oleh Sulaiman bin Abdillah

Al-Furuq | 121
Persoalan kelima; Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman kita
memutlakkan pendapat bahwa siapa yang sujud kepada selain Allah dari berhala-
berhala dan yang semisalnya karena dunia maka tidak kafir!
Telah berlalu penukilan ijma’ salaf bahwa kekufuran terjadi dengan perbuatan,
sebagaimana terjadi pada keyakinan dan ucapan. Maka barangsiapa mengatakan
kekufuran dikafirkan dan dinilai sesuai yang tampak dari kekufuran dan kemurtadan
sekalipun dia mengklaim tidak bermaksud memilih kekufuran. Begitu pula orang
yang melakukannya, sekalipun dia motivasinya adalah dunia dan selainnya. Hal
ini sesuai dengan apa yang Allah terangkan secara nash di dalam kitab-Nya. Dia
Subhanahu wa Ta’aala berfirman;
َ َ ۡ‫ن ب إ‬
ۢ ُّ ‫كرهَ َوقَ ۡل ُب ُهۥ ُم ۡط َمئ‬ ۡ ُ ۡ َ َّ‫َ ٰ ٓ ا‬ َۡ َّ‫َ َ َ ه‬
‫كن َّمن‬ ِ ٰ ‫ٱليم ٰ ِن َول‬
ِ ِ ِ ِ ‫من كفر بِٱللِ ِم ۢن بع ِد إِيمنِهِۦ إِل من أ‬
َ
ْ ُّ َ َ ۡ ُ ُ َّ َ َ ٰ َ ٌ َ ٌ َ َ ۡ ُ َ َ َّ‫رَ َ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ٗ َ َ َ ۡ ۡ َ َ ٌ ّ َ ه‬
‫ ذل ِك بِأنهم ٱستحبوا‬. ‫شح بِٱلكف ِر صدرا فعلي ِهم غضب مِن ٱللِ ولهم عذاب ع ِظيم‬
َ ‫كٰفِر‬
‫ين‬
َ ۡ َۡ َۡ
‫ٱل‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ق‬ ‫ٱل‬ ‫ِي‬
‫د‬ ‫ه‬ َ َّ‫ع ٱٓأۡلخ َِرة ِ َوأَ َّن ه‬
ۡ ‫ٱلل اَل َي‬ َ‫حۡ َ َ ٰ َ ُّ ۡ َ لَى‬
‫ٱليوة ٱدلنيا‬
ِ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,
maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian
itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari
akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.”
(QS. An-Nahl: 106-107)
Pada ayat ini terdapat bantahan kepada sebagian orang yang sok pintar dari
orang-orang yang membedakan antara sujud untuk berhala dengan sujud kepadanya!
Dan mengklaim bahwa sujud untuk berhala tidak ada hukum lain selain kufur yang
mengeluarkan dari millah. Adapun sujud menghadapnya, yakni menjadikannya
di depannya, bukan untuknya bukan kekufuran. Sehingga dia menjadikan sujud
kepada berhala termasuk perkara-perkara yang memiliki kemungkinan yang mana
seseorang tidak menjadi kafir karenanya kecuali setelah diperjelas!
Muara dari pendapat ini adalah akidah Murji’ah yang mengatakan tidak ada
kekufuran kecuali dengan keyakinan. Karena faktor yang melandasi perbedaan ini
adalah anggapan bahwa sujud untuk berhala, masuk ke dalamnya pertama-tama
faktor kesengajaan, keinginan, dan ilmu. Sehingga muara pengkafiran terdapat di
dalam hati berupa maksud untuk kafir dari ilmu dan kehendak untuk kufur. Adapun
sujud kepadanya atau menghadapnya mengandung kemungkinan hilangnya ilmu
tentangnya, atau tidak terpenuhinya kehendak! Ini adalah filsafat yang bid’ah dan

(halaman 30) dan Sabil An-Najah wal Fikak oleh Hamad bin Atiq (halaman 62)

122 | Al-Furuq
penyimpangan irja’. Seandainya kami mengikutinya kami tidak akan mengkafirkan
pada sekumpulan persoalan-persoalan yang mengkafirkan dengan alasan kondisinya
mengandung banyak kemungkinan.
Maka barangsiapa sujud untuk patung, atau di hadapan berhala tanpa paksaan
maka dia dinilai sesuai lahiriyah perbuatannya, berdasarkan nas-nas Al Kitab dan
As-Sunnah dan ijma’ ulama yang menunjukkan kepadanya.
Dengan seperti kaidah-kaidah ini yang muncul dari orang-orang yang terpapar
syubhat irja’ di zaman kita mereka menipu umat Islam dan menyusupi akidah
Ahlussunnah dan dengannya mereka meremehkan sebab-sebab kemurtadan.
Kaidah-kaidah ini paling berbahaya yang bisa menghancurkan akidah salaf, dan
racun terhadap keyakinan dan amal kaum muslimin.
Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata;
“Kemudian sesungguhnya kami mengatakan; Apa ukuran kekufuran? Karena
sebagian orang mungkin melihat ini kekufuran, sementara sebagian lainnya tidak
melihatnya sebagai kekufuran. Oleh sebab itu Nabi  mengaitkan hal itu dengan
sabdanya; “Kekufuran yang terang” tidak terdapat padanya kemungkinan, seperti jika
kamu melihatnya sujud kepada berhala, atau kamu mendengarnya mencaci Allah,
atau rasul-Nya, atau yang semisal dengan ini.”277 Beliau rahimahullah menegaskan
dengan nash bahwa sujud kepada berhala adalah kekufuran besar yang terang,
seperti mencaci Allah dan rasul-Nya ..
Beliau rahimahullah berkata; “Telah tersamarkan pada sebagian penuntut ilmu
sekarang, mereka mengatakan; Apabila kamu lihat orang yang tidak shalat jangan
kamu kafirkan personnya. Bagaimana personnya tidak dikafirkan?! Apabila kamu
lihat orang sujud kepada berhala jangan kamu kafirkan personnya, karena bisa jadi
hatinya tenang dengan keimanan! Maka dikatakan; Ini kekeliruan yang besar. Kami
menilai sesuai lahir, maka apabila kami dapati seseorang tidak shalat, kami katakan;
Orang ini kafir dengan sepenuh mulut kami. Dan jika kami lihat orang yang sujud
kepada berhala, kami katakan; Orang ini kafir dan kami pastikan personnya. Kami
minta dia untuk berpegang dengan hukum-hukum Islam. Apabila dia tidak mau
melakukannya, kami perangi dia.”278
Guru kami asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzahullah berkata
tentang sujud menghadap berhala karena Allah dengan motivasi dunia; “Tidak ada
yang mengatakan ini kecuali seorang yang cacat atau rusak akidahnya.”279
Beliau hafidzahullah berkata; “Mereka mengatakan; Apabila kamu lihat
seseorang shalat kepada berhala jangan kamu kafirkan dia, karena kamu tidak tahu

277 Syarah Al Arba’in An-Nawawiyah (halaman 142-143)


278 Tafsir surat Al Ma’idah, kaset rekaman no 14 side b
279 Lihat situs Asy-Syaikh http://www.alfawzan.af.org.sa/node/10347

Al-Furuq | 123
barangkali dia menjadikannya sebagai sutrah! Apakah dia tidak mendapati sutrah
selain berhala?! Ya subhanallah! Ini ucapan Murji’ah, ucapan Murji’ah, tinggalkan
mereka!”280
Persoalan keenam; Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ memutlakkan
pendapat memberi udzur dengan kejahilan kepada para penyembah kuburan.
Telah berlalu penukilan dari para imam panji kebenaran yang menerangkan
persoalan ini dengan kadar yang cukup. Pengusung irja’ menjadikan sikap kehati-
hatian dalam takfir sebagai alasan dalam memberi udzur kepada para penyembah
kuburan. Kemudian ditambah lagi menyifati orang-orang yang mengkafirkan para
penyembah kuburan sebagai khariji!
Maka kami katakan; Subhanallah, ini adalah kedustaan yang besar! Perbedaan
antara pengkafiran muslimin dan pengkafiran terhadap penyembah kuburan terang
dan jelas. Yang pertama jalannya Khawarij dan manhaj mereka, sedangkan yang
kedua adalah jalannya salaf dan manhaj mereka.
Persoalan ketujuh; Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman kita
bersikap ghuluw pada persoalan paham hujjah. Kamu dapati sebagian mereka
memperlebar pemberian udzur kepada para penyembah kuburan dalam rangka
membela quburiyun, menolak pengkafiran kepada musyrikin sekalipun al-Quran
telah sampai kepada mereka dan sekalipun mereka telah memahami kebenaran.
Mereka mengatakan; ((pemahaman yang cukup adalah yang tidak menyisakan bagi
seorang hamba alasan untuk menolak ilmu, yakni dengan hilang darinya syubhat
yang menghalangi. Adapun jika tercapai jenis pemahaman yang tidak menghilangkan
syubhat, maksud dari upaya menjadikannya menerima belum tercapai))
Maka memperhatikan ucapan ini cukup dalam membatalkannya dan
menolaknya, ditambah lagi nash-nash al-Quran dan as-Sunnah serta ijma’ salaf
menunjukkan bahwa pendapat ini di antara pendapat yang paling rusak, paling
sesat dan paling jauh dari kebenaran! Yang demikian karena yang mengucapkannya
memperlebar pemberian udzur kepada musyrikin dan mengaitkan pengkafiran kepada
person-person mereka dengan hilangnya syubhat yang menghalangi dan menerima
kebenaran, lalu membangkang dan memilih kekufuran daripada keislaman, dan
sekalipun telah didapati olehnya jenis pemahaman terhadap dalil-dalil syar’i udzur
tidak hilang dan dia tidak kafir! Sehingga tidak tersisa selain memilih kekufuran
dengan suka rela dan kebencian terhadap Islam di atas pengetahuan, di mana hal
itu adalah kekufuran dan menyengaja memilih kekufuran! Inilah pendapat kaum
Murji’ah itu, tidak ada kekufuran selain dengan keyakinan.
Pendapat ini menjadikan kekufuran hanya terbatas pada keyakinan sebagaimana
ajaran Murji’ah pertama, seperti yang telah dijelaskan. Meskipun mereka mengaku
280 Lihat https://www.youtube.com/watch?v=v77C13bClmI

124 | Al-Furuq
berbeda pada lahiriyah ucapannya dalam rangka menipu dan mengelabui. Tapi siapa
saja yang mengikuti penegasan-penegasan mereka dan orang-orang yang sejalan
dengan mereka mendapati kenyataan hal ini dengan sangat terang.
Ma’aali asy-Syaikh Shalih Alu asy-Syaikh hafidzahullah telah memperingatkan
dari jalan-jalan Murji’ah pada bab ini. Beliau menerangkan keterkaitan Murji’ah
dengan memberi udzur kepada quburiyun sebagaimana terdapat pada mukadimah
beliau terhadap kitab Misbah adz-Dzhalam karya al-Imam Abdul Lathif bin
Abdurrahman bin Hasan, di mana ia berkata; “Sesungguhnya di antara persoalan-
persoalan syar’i yang paling penting di mana perlu dipahami dan dipelajari adalah
persoalan-persoalan takfir yang karenanya dua kelompok menjadi sesat;
Satu kelompok ekstrem mereka adalah Khawarij. Mereka berpendapat bahwa
iman akan hilang dengan hilangnya amal perbuatan atau sebagian darinya. Karena
itu mereka menilai setiap orang yang melakukan salah satu dari dosa-dosa besar
–sekalipun tidak menghalalkannya- seperti zina, minum khamr, memakan riba
sebagai kafir murtad dan di akhirat kekal di neraka.
Kelompok lainnya menelantarkan, mereka adalah Murji’ah. Mereka berpendapat
bahwa amalan tidak termasuk ke dalam penamaan iman. Keimanan menurut
mereka adalah pembenaran saja, karena menurut mereka apabila amalan termasuk
ke dalam penamaan iman berarti iman hilang dengan hilangnya sebagian amal.
Dari sini mereka menilai semua orang yang membenarkan dengan hatinya beriman,
sekalipun orang itu menyekutukan Allah. Mereka mengatakan; Apabila seseorang
menyeru selain Allah dalam perkara yang tidak disanggupi kecuali oleh Allah
dan beristigasah kepadanya, atau bertawakal kepadanya, atau bernazar untuknya,
atau menjadikannya sebagai perantara antara Allah dengan makhluk-Nya, karena
menurut mereka kesyirikan ada pada iradah (kehendak untuk kufur), apabila
kesyirikan tidak terkandung pada keyakinan, maka bukan kesyirikan! Ini adalah
pendapat yang rusak dan pandangan yang buruk. Karena orang-orang musyrikin
yang sesat saat menjadikan berhala-berhala sebagai tandingan-tandingan Allah
Ta’aala mereka mengatakan;
ۡ َّ‫َ َ ۡ ُ ُ ُ ۡ اَّ ُ َ ّ ُ َ ٓ ىَ ه‬
ٰٓ َ‫ٱللِ ُزل ى‬
‫ف‬ ‫ما نعبدهم إِل يِلق ِربونا إِل‬
“...kami tidak beribadah kepada mereka selain agar mereka mendekatkan kami kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya...” (QS. Az-Zumar: 3)
Mereka berdalil bahwa mereka tidak beribadah kepada sesembahan-
sesembahan itu, melainkan hanya menjadikan mereka sebagai perantara dan jalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah.”281

281 Dinukil darimukaddimah Asy-Syaikh terhadap kitab; Mishbah Adz-Dzalam fi Ar-Radd ‘Ala Kadzibi
‘Ala Asy-Syaikh Al Imam wa Nasabihi li Takfiri Ahlil Iman wal Islam. Tahqiq Abdullah bin Abdul

Al-Furuq | 125
Maka perhatikanlah perkataannya; (Dari sini mereka menilai semua orang yang
membenarkan dengan hatinya beriman, sekalipun orang itu menyekutukan Allah.
Mereka mengatakan; Apabila seseorang menyeru selain Allah dalam perkara yang
tidak disanggupi kecuali oleh Allah dan beristigasah kepadanya, atau bertawakal
kepadanya, atau bernazar untuknya, atau menjadikannya sebagai perantara antara
Allah dengan makhluk-Nya, karena menurut mereka kesyirikan ada pada iradah
(kehendak untuk kufur), apabila kesyirikan tidak terkandung pada keyakinan, maka
bukan kesyirikan!) sesungguhnya ucapannya ini berguna sekali bagi siapa yang
diberikan basirah dan akal sehat.
Persoalan kedelapan; Penipuan sebagian orang yang terpapar syubhat irja’
di zaman ini di hadapan orang-orang yang tidak memiliki ilmu dalam persoalan
ini dengan berpegang kepada sebagian nukilan-nukilan yang datang dari Imam
Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dari perkataan-perkataannya
yang samar. Di antaranya perkataan beliau rahimahullah; (Dan apabila kami tidak
mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di atas (kuburan)
Abdul Qadir dan berhala yang ada di atas kuburan Ahmad al-Badawi dan yang
semisalnya karena kejahilan mereka dan tidak ada yang mengingatkan mereka...)282
Mereka menjadikan ucapan ini dan ucapan-ucapan beliau yang semisal sebagai
pondasi mazhab dan kaidahnya dalam memberi udzur kepada para penyembah
kuburan dan berpaling dari nash-nash muhkam dari al-Quran, as-Sunnah dan ijma’
salaf. Berpaling dari nash-nash ucapan Al Imam yang muhkam dan terang seputar
hal ini, dan berpaling dari ucapan-ucapan para murid beliau dan para imam-imam
dakwah yang lebih mengetahui tentang kedudukan-kedudukan ucapan beliau.
Telah berlalu (keterangannya) bahwa seorang alim mungkin didapati pada
ucapannya yang menimbulkan kesamaran dan kerancuan. Para pengekor hawa nafsu
sering memanfaatkan yang demikian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
telah menyebutkan bagaimana sikap yang benar terkait ucapan para ahli ilmu yang
seperti ini, maka silakan diperiksa kembali.283
Asy-Syaikh rahimahullah, terkadang terdapat pada sebagian lafal-lafalnya
sesuatu yang dipahami bahwa beliau memberi udzur dengan kejahilan. Akan tetapi
dengan melihat kepada seluruh ucapan-ucapannya serta penjelasan murid-muridnya
dan para imam-imam dakwah terhadap lafal tersebut menjadi jelas bahwa ungkapan-
ungkapan yang dijadikan pegangan sebagian orang ini, bukan maksudnya memberi
udzur dengan semua kekafiran, apalagi sampai menghadiahi keislaman kepada
para penyembah kuburan, dan dengan apa yang mereka lakukan dari peribadahan

Aziz Az-Zubair Alu Hamad. Mukaddimah tahqiq oleh Asy-Syaikh Hafidzahullah.


282 Ad-Durar As-Sanniyah (1/66)
283 Lihat Majmu’ Al Fatawa Syaikhul Islam (20/185-186)

126 | Al-Furuq
kepada selain Allah, mereka disebut muslim, sebagaimana sangkaan para pembual
yang suka berdusta. Semoga Allah menimpakan mereka hukuman yang layak.
Maka di antara kemungkinan yang bisa diberikan dalam memahami perkataan
Asy-Syaikh yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang, termasuk di antaranya
ungkapan yang telah lalu ini:
1. Udzur yang diberikan untuk orang yang melakukan kekufuran yang termasuk
dari perkara-perkara khafiyah (samar)
2. Udzur yang diberikan untuk orang yang berbicara atau melakukan (kekufuran)
yang diduga kuat jahil akan hukumnya seperti orang yang tinggal di pedalaman
yang jauh, atau baru masuk Islam.
3. Udzur yang diberikan berkenaan dengan hukum batin
4. Udzur yang diberikan berkenaan dengan hukum akhirat
Kemungkinan-kemungkinan ini dan selainnya diberlakukan terhadap ucapan
Imam Mujaddid rahimahullah yang dianggap rancu oleh sebagian, dan sebagian
lainnya menjadikannya sebagai hujjah dalam memberi udzur kepada para
penyembah kuburan. Sehingga mereka berpegangan dengannya dan meninggalkan
yang muhkam dari nash-nash al-Quran, as-Sunnah dan ijma’ para ulama serta
ucapan Imam Mujaddid yang muhkam dan terang.
Agar semakin jelas, di sini kami akan menjawab dengan dua jawaban; global
dan terperinci. Adapun jawaban yang global ia adalah yang menerangkan persoalan
ini dari perkataan Al Imam Al Mujaddid secara global, di antaranya;
Beliau rahimahullah berkata; “Person tertentu apabila mengucapkan perkataan
yang menjadikannya kafir sesungguhnya dia tidak dihukumi kafir sampai tegak atas
dia hujjah yang mana orang yang meninggalkannya menjadi kafir. Hal ini dalam
persoalan-persoalan yang samar yang terkadang samar dalilnya atas sebagian orang.
Dan adapun yang mereka terjatuh ke dalamnya dari perkara-perkara yang terang
lagi jelas, atau perkara yang dikenal populer di dalam agama maka yang seperti ini
tidak boleh abstain dalam mengkafirkan pelakunya.”284
Pada suratnya kepada sebagian murid-muridnya di mana terjadi pada mereka
keraguan dan kesamaran dalam pengkafiran para penyembah kuburan, dari sisi
bahwa kebanyakan mereka adalah orang-orang jahil dan ikut-ikutan hujjah belum
tegak atas mereka. Beliau rahimahullah berkata; “Apa yang telah kalian sebutkan
dari ucapan Asy-Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah ((siapa saja yang mengingkari
ini dan itu dan telah tegak atasnya hujjah...)) dan kalian menjadi ragu berkenaan
thaghut-thaghut itu dan para pengikutnya, bahwa apakah hujjah telah tegak atas
mereka? Ini sangat mengherankan. Bagaimana kalian ragu dalam hal ini padahal

284 Ad-Durar As-Sanniyah (8/244)

Al-Furuq | 127
aku telah jelaskan kepada kalian berulang kali, bahwa orang yang belum tegak hujjah
adalah orang yang baru masuk Islam dan orang yang tinggal di pedalaman, atau
pelanggarannya dalam persoalan yang samar seperti perkara sharf dan athf (pelet),
pelakunya tidak kafir sampai diberi tahu. Adapun pokok-pokok agama yang telah
Allah terangkan dan sempurnakan penjelasannya di dalam kitab-Nya, sesungguhnya
hujjah Allah adalah al-Quran. Maka siapa saja yang telah sampai kepadanya al-
Quran maka telah sampai kepadanya hujjah. Akan tetapi yang menjadi sumber
persoalan adalah kalian tidak membedakan antara tegak hujjah dan paham hujjah.
Karena sesungguhnya kebanyakan orang-orang kafir dan munafik dari muslimin
tidak memahami hujjah Allah sekalipun hujjah telah tegak atas mereka, seperti yang
Allah Ta’aala firmankan;
ً‫َ ۡ حَۡ َ ُ َ َّ َ ۡ رَ َ ُ ۡ َ ۡ َ ُ َ َ ۡ َ ۡ ُ َ ۡ ُ ۡ اَّ َ أۡ َ ۡ َ ٰ َ ۡ ُ ۡ َ َ ُّ َ ا‬
‫ون إِن هم إِل كٱلنع ِم بل هم أضل سبِيل‬ ۚ ‫أم تسب أن أكثهم يسمعون أو يعقِل‬
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan: 44)
Maka tegak hujjah persoalan, dan sampainya hujjah persoalan lain, dan
hujjah telah tegak atas mereka, dan pemahaman mereka kepadanya persoalan lain
lagi. Kafirnya mereka adalah dengan sampainya hujjah sekalipun mereka belum
memahaminya.”285
Adapun jawaban terperinci sebagai tambahan atas yang telah lalu adalah dari
beberapa sisi;
Sisi pertama; Asy-Syaikh dimusuhi karena mengkafirkan para penyembah
kuburan dan thaghut-thaghut.
Bagaimana bisa dibilang bahwa Asy-Syaikh tidak mengkafirkan penyembah
kuburan, sedangkan beliau rahimahullah dimusuhi dan disakiti, dan peperangan-
peperangan (yang terjadi), dakwahnya dihinakan, hanya karena beliau benar-
benar merealisasikan makna Laa ilaaha Illallah dengan ucapan dan perbuatan,
dan karena beliau terang-terangan mengkafirkan musyrikin!! Seandainya beliau
meninggalkan pengkafiran kepada para penyembah kuburan dari orang-orang
yang mengucapkan Laa ilaaha Illallah, mengerjakan shalat, puasa dan haji, orang-
orang yang menentangnya seperti Ibnu Jirjis dan selainnya tentu tidak akan
memusuhinya. Mereka tentu akan menjadi orang-orang spesialnya Asy-Syaikh dan
para penolongnya!
Beliau rahimahullah telah menegaskan dengan nash bahwa permusuhan
mereka kepadanya adalah karena beliau mengkafirkan musyrikin. Ia berkata;

285 Idem (10/93-94)

128 | Al-Furuq
“Maka ketika mereka melihatku mengajak orang-orang kepada yang Nabi mereka
 perintahkan, yakni jangan beribadah kecuali kepada Allah dan bahwa siapa
saja yang menyeru Abdul Qadir maka dia kafir dan Abdul Qadir berlepas darinya.
Dan begitu juga siapa saja yang menyeru orang-orang shalih atau para nabi atau
memanggil-manggil mereka, atau sujud kepada mereka, bernazar untuk mereka,
atau memberikan mereka salah satu dari macam-macam ibadah.”286
Di antaranya juga ucapan beliau rahimahullah; ”Jika kamu bertanya tentang
sebab perselisihan antara kita dengan orang-orang, kami tidak berselisih pada salah
satu dari syariat-syariat Islam seperti shalat, zakat, puasa, haji dan seterusnya. Bukan
pula pada salah satu dari hal-hal yang diharamkan. Sesuatu yang menurut kami
baik, menurut orang-orang juga baik. Sesuatu yang menurut mereka jelek, menurut
kami juga jelek. Persoalannya kami mengerjakan yang baik dan menekan orang
yang kami jangkau untuk mengerjakannya. Kami melarang dari yang jelek dan
menghukum orang yang mengerjakannya. Kemudian balasan mereka kepada kami
seperti balasan mereka kepada penghulu anak Adam (Nabi Muhammad)  dan
kepada semua rasul sebelum beliau;
َّ ُ‫ُ َّ َ ۡ َ ۡ َ ُ ُ َ َ َ رۡ َ ل‬
ُ‫ك َما َجا ٓ َء أُ َّم ٗة َّر ُسول ُ َها َك َّذبُوه‬ ۖ‫ثم أرسلنا رسلنا تتا‬
“Tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya...” (QS.
Al-Mukminun: 44)
Dan seperti perkataan Waraqah kepada Nabi ; “Demi Allah, tidak seorang
pun membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan dimusuhi”.
Maka pokok perkara bagi kami serta pondasinya adalah mengikhlaskan agama
ini untuk Allah. Kami katakan; Tidak boleh diseru selain Allah, tidak boleh diberikan
nazar selain Allah, tidak boleh menyembelih kurban kecuali untuk Allah, dan tidak
boleh takut dengan takut ibadah kecuali dari Allah. Barangsiapa memberikan sedikit
saja dari ini semua untuk selain Allah, kami katakan; ini kesyirikan kepada Allah,
yang telah Allah katakan tentangnya;
َ
َ ۡ‫ٱلل اَل َي ۡغفِ ُر أن ي ُ ر‬
‫ش َك‬ َ َّ‫إ َّن ه‬
ِ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik.” (QS. An-Nisaa’: 48)
Orang-orang kafir yang diperangi Nabi  dan darah mereka dihalalkan adalah
yang mengakui bahwa Allah adalah Pencipta satu-satunya tidak ada sekutu bagi-
Nya, yang memberi manfaat, yang mencelakakan, dan yang mengatur semua urusan.
Bacalah firman Allah Subhanahu kepada nabi-Nya ;

286 Idem (1/75)

Al-Furuq | 129
َ َ ۡ‫أ‬ َّ ‫ۡرض أَ َّمن َي ۡمل ُِك‬َ ۡ‫ُ ۡ َ َ ۡ ُ ُ ُ ّ َ َّ ٓ أ‬
‫ٱلس ۡم َع َوٱلبۡص ٰ َر‬ ِ ‫ٱلس َماءِ َوٱل‬ ‫قل من يرزقكم مِن‬
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau
siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan...” (QS. Yunus: 31)
َ ُ ُ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ ُ‫َ َ ُ ُ لُ ّ يَۡ َ ُ َ جُ ُ َ اَ ج‬ َ َ ُۡ
‫ َس َيقولون‬. ‫نت ۡم ت ۡعل ُمون‬ ‫ار َعل ۡيهِ إِن ك‬ ‫يري ول ي‬ ِ ‫ك شءٖ وهو‬ ِ ‫قل م ۢن بِي ِده ِۦ ملكوت‬
َّ‫للِه‬
ِ
“Katakanlah: “Sipakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu
sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika
kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” (QS. Al-Mu’minun:
88-89)
Allah mengabarkan tentang orang-orang kafir bahwa mereka mengikhlaskan
untuk Allah agama pada waktu-waktu sempit. Ingatlah firman-Nya;
ّ ‫ني هَ ُل‬
َ ‫ٱدل‬
‫ِين‬
ُۡ‫َ َ َ ُ ْ ۡ ُ ۡ َ َ ُ ْ هَّ َ خ‬
َ ‫مل ِص‬ ‫ك دعوا ٱلل‬ ِ ‫فإِذا رك ِبوا يِف ٱلفل‬
ِ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya...” (QS. Al-Ankabut: 65)
Dan ayat yang lain;
ّ ‫ني هَ ُل‬
َ ‫ٱدل‬
‫ِين‬
ُۡ‫َ َ َ ُ َّ ۡ ٌ َ ُّ َ َ َ ُ ْ هَّ َ خ‬
َ ‫مل ِص‬ ‫ِإَوذا غشِ يهم موج كٱلظل ِل دعوا ٱلل‬
ِ
“Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya...” (QS. Luqman: 32)
Allah menerangkan puncak kekafiran dan tujuan mereka, bahwa mereka
minta syafaat. Bacalah awal surat Az-Zumar, kalian akan dapati Allah Subhanahu
telah menerangkan agama Islam dan menerangkan agama orang-orang kafir dan
tujuannya. Ayat-ayat di dalam Al Qur’an tentang hal ini tidak terhitung dan tidak
berbilang.”287
Sisi kedua: Bahwa asy-Syaikh rahimahullah telah menjelaskan bahwa siapa saja
membela para penyembah kuburan dan memusuhi ahli tauhid karenanya, maka
dia seperti mereka dan digolongkan kepada mereka.
Beliau rahimahullah berkata; “Apabila seseorang mereka berkata; Sesungguhnya
mereka mengkafirkan secara global. Maka kami katakan; Maha suci Allah, ini adalah
kedustaan yang besar. Yang kami kafirkan adalah orang yang bersaksi bahwa tauhid
adalah agama Allah, dan agama rasul-Nya, dan bahwa menyeru selain Allah adalah
batil, kemudian setelah itu dia mengkafirkan ahli tauhid dan menamakan mereka
287 Idem (1/58)

130 | Al-Furuq
Khawarij. Bersama-sama dengan para penyembah kubah dalam memusuhi ahli
tauhid.”288
Beliau rahimahullah berkata; “Dan makna kufur kepada thaghut-thaghut
adalah kamu berlepas diri dari semua yang diyakini selain Allah, dari jin, atau
manusia, atau pohon, atau batu, atau selainnya, dan bersaksi bahwa itu semua kufur
dan sesat, sekalipun pelakunya adalah bapakmu, atau saudaramu. Adapun yang
mengatakan; Kami tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kami tidak mengusik
para sayyid (yang disembah) dan kubah-kubah yang berada di atas kuburan-kuburan
dan alasan yang semisalnya, maka orang ini pendusta, berdusta pada ucapannya
Laa ilaaha Illallah dan dia belum beriman kepada Allah dan belum kufur kepada
thaghut-thaghut.”289
Sisi ketiga: Bahwa As-Syaikh rahimahullah telah menetapkan nash pada
ucapannya yang banyak dan keterangannya yang jelas dan nyata bahwa dia
mengkafirkan musyrikin dan tidak memberi udzur karena sebab kejahilan dalam
perkara pokok-pokok agama, Di antaranya;
Ucapan beliau rahimahullah pada kitab Kasyf asy-Syubuhat; “Sesungguhnya
apabila kamu telah mengetahui bahwa seseorang menjadi kafir karena kalimat yang
dia keluarkan dari lisannya, dan mungkin dia mengucapkannya karena jahil, maka
tidak diberi udzur dengan sebab kejahilan.”
Beliau rahimahullah berkata setelah menyampaikan tentang wajibnya ijtihad
dalam mengenal tauhid dan apa-apa yang Allah turunkan; “Barangsiapa berpaling
dari ini, maka Allah kunci hatinya dan dia mendahulukan dunia atas agama, Allah
tidak memberinya udzur karena kejahilan.”290
Beliau rahimahullah berkata; “Maka jika kamu telah mengetahui hal ini, dan
mengetahui bahwa perbuatan mereka menyeru orang-orang shalih dan bergantung
kepada mereka dengan alasan katanya; tidak ada yang kami inginkan selain syafaat.
Bahwa nabi  memerangi mereka agar mereka mengikhlaskan doa hanya untuk
Allah, mengikhlaskan ibadah seluruhnya untuk Allah, kamu telah mengetahui
bahwa inilah tauhid yang lebih wajib daripada shalat dan puasa, dan bahwa Allah
mengampuni bagi siapa saja yang datang dengannya di hari kiamat dan tidak
mengampuni bagi siapa yang jahil tentangnya sekalipun dia seorang ahli ibadah,
dan kamu telah mengetahui bahwa itu adalah kesyirikan kepada Allah yang Allah
tidak ampuni bagi siapa saja yang mengerjakannya, dan dosanya disisi Allah lebih
besar daripada zina, membunuh, padahal orang yang melakukannya hanya ingin
dekat kepada Allah. Kemudian di samping ini semua kamu telah mengetahui

288 Ad-Durar As-Sanniyyah (1/63)


289 Idem (2/122)
290 Idem (2/122)

Al-Furuq | 131
persoalan lain, yaitu mayoritas orang yang sudah mengenal agama ini menamakan
para ulama di Sudair, Wasyam dan selain mereka apabila mereka mengatakan; kami
adalah orang-orang yang menauhidkan Allah, kami mengetahui tidak ada yang
memberi manfaat dan mencelakakan selain Allah dan bahwa orang-orang shalih
tidak bisa memberi manfaat dan tidak bisa mencelakakan. Namun kamu tahu bahwa
mereka tidak mengetahui dari tauhid ini selain tauhidnya orang-orang kafir, tauhid
rububiyah. Maka, tahulah kamu besarnya nikmat Allah atasmu, terlebih lagi jika
telah jelas olehmu bahwa orang yang telah menghadap kepada Allah dan dia tidak
mengenal tauhid, atau mengenalnya tapi tidak mengamalkannya bahwa dia kekal
di neraka sekalipun dia termasuk orang yang paling tinggi ibadahnya, seperti yang
Allah firmankan;
ۡ
‫ار‬ َ ۡ‫ٱلل َعلَ ۡيهِ ج‬
ُ َّ‫ٱل َّن َة َو َمأ َوى ٰ ُه ٱنل‬ ُ َّ‫ٱللِ َف َق ۡد َح َّر َم ه‬
َّ‫َّ ُ َ ُ رۡ ۡ ه‬
ِ ‫شك ب‬
ِ ‫إِنهۥ من ي‬
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka.” (QS. Al-
Maidah: 72)”291
Beliau rahimahullah berkata saat menceritakan kisah ahli riddah...; “Dan
yang menerangkan hal itu dari kisah ahli riddah, bahwa orang-orang yang murtad
(saat itu) mereka menjadi murtad dengan sebab yang berbeda-beda. Di antara
mereka ada yang mendustakan Nabi  dan kembali beribadah kepada berhala-
berhala, dan mereka mengatakan; kalau benar dia (Muhammad) nabi, dia tidak
mati. Di antara mereka ada yang tetap berada di atas syahadatain, tapi mengakui
kenabian Musailamah karena menyangka bahwa nabi  mengikut sertakan dia
dalam kenabian. Dikarenakan Musailamah membawa saksi-saksi yang memberikan
kesaksian-kesaksian palsu atas pengakuannya sehingga banyak manusia yang percaya
kepada saksi-saksi itu. Sekalipun begitu para ulama sepakat bahwa mereka orang-
orang murtad meskipun mereka jahil akan hal ini. Barangsiapa yang meragukan
kemurtadan mereka maka dia kafir.”292
Beliau rahimahullah telah menegaskan dengan nash bahwa kandungan kalimat
tauhid Laa ilaaha Illallah ada dua. Beliau rahimahullah berkata; “Pokok agama Islam
dan kaidahnya ada dua perkara;
Pertama; Perintah beribadah kepada Allah semata tidak ada sekutu baginya,
dan membangkitkan semangat kepadanya, dan memberikan kesetiaan terhadapnya
dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya.
Kedua; Peringatan dari kesyirikan dalam peribadahan kepada Allah, dan
bersikap keras dalam hal ini, dan membangun permusuhan kepadanya dan meng­
291 Idem (2/72)
292 Ad-Durar As-Sanniyyah (8/118)

132 | Al-Furuq
kafirkan orang yang melakukannya.
Orang-orang yang melanggar hal ini ada banyak macamnya:
■ Orang yang paling jauh pelanggarannya adalah yang menyelisihi keduanya.
■ Di antara manusia ada yang beribadah kepada Allah semata tapi belum
mengingkari kesyirikan dan belum memusuhi pelakunya.
■ Di antara mereka ada yang memusuhi mereka (pelaku kesyirikan) tapi belum
mengkafirkan mereka.
■ Di antara mereka ada yang belum mencintai tauhid dan belum membencinya
■ Di antara mereka ada yang mengkafirkan mereka (orang-orang yang menau­
hidkan Allah) dan menuduh bahwa itu (tauhid) adalah celaan terhadap orang-
orang shalih.
■ Di antara mereka ada yang belum membenci kesyirikan dan belum men­
cintainya.
■ Di antara mereka ada yang belum mengetahui kesyirikan dan belum meng­
ingkarinya.
■ Di antara mereka ada yang belum mengenal tauhid dan belum meng­
ingkarinya.
■ Di antara mereka –ini yang paling berbahaya- ada yang mengamalkan tauhid
tapi tidak mengenal kedudukannya dan belum membenci orang yang mening­
galkannya dan belum mengkafirkan mereka.
■ Di antara mereka ada yang telah meninggalkan kesyirikan dan membencinya,
tapi belum mengenal kedudukannya dan belum memusuhi pelakunya dan
belum mengkafirkan mereka.
Mereka (semua) telah melanggar apa yang dibawa para nabi berupa agama
Allah Subhanahu wa Ta’aala.”293
Beliau rahimahullah berkata setelah menyebutkan sebagian hadits-hadits
tentang keutamaan syahadatain, hadits-hadits shahih ini apabila dilihat oleh orang
jahil ini atau sebagiannya atau didengar olehnya dari orang lain hatinya senang dan
berbinar matanya dan ditambah lagi dengan dorongan-dorongan lainnya padahal
kondisi yang sebenarnya tidak seperti yang disangka oleh orang jahil musyrik ini!
Beliau rahimahullah berkata saat menyebutkan enam pelajaran dari sirah
nabawiyah; Pelajaran keenam; Kisah Riddah Setelah Wafatnya Nabi . “Barangsiapa
mendengarnya tidak tinggal di hatinya seberat biji sawi dari syubhat setan-setan yang
mereka namakan dengan (sebutan) : “ulama” yaitu ucapan mereka: Ini kesyirikan,
tapi mereka mengucapkan “Laa ilaaha Illallah” dan barangsiapa mengucapkannya
tidak menjadi kafir dengan sebab apa pun!

293 Idem (2/22)

Al-Furuq | 133
Lebih besar dan dahsyat dari ini adalah pengakuan mereka bahwa tidak terdapat
pada orang-orang badui itu satu pun syi’ar keislaman, tapi mereka mengucapkan
“Laa ilaaha Illallah” sehingga dengan sebab syahadat ini mereka ahli Islam. Islam
melindungi harta dan darah mereka. Padahal mereka mengakui bahwa orang-orang
badui telah meninggalkan Islam seluruhnya, dan mereka tahu bahwa orang-orang
badui itu mengingkari hari kebangkitan dan mengolok-olok orang-orang yang
beriman dengannya, (mereka) mengolok-olok syariat-syariat (Islam) dan memuliakan
agama leluhur mereka yang bertentangan dengan ajaran Nabi . Namun bersamaan
dengan ini semua, setan-setan yang jahil dan membangkang ini terang-terangan
menyatakan: Sesungguhnya orang-orang badui adalah muslim, walaupun terdapat
pada mereka pelanggaran itu semua, karena mereka mengucapkan; “Laa ilaaha
Illallah”. Konsekuensi ucapan mereka (ini) berarti orang- Begitu juga orang Yahudi
adalah muslim, karena mereka juga mengucapkan “Laa ilaaha Illallah”. Kekufuran
mereka lebih dahsyat dari kekufuran Yahudi berkali-kali lipat, dan yang saya maksud
adalah orang-orang badui yang telah saya sebutkan sifatnya.
Hal yang memperjelas dari kisah riddah adalah bahwa orang-orang murtad
(di masa itu) murtad dengan sebab yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang
(murtad karena) mendustakan Nabi  dan kembali kepada peribadatan kepada
berhala. Mereka mengatakan: Kalau benar (Muhammad) nabi, dia tidak akan mati!
Dan Di antara mereka ada yang tetap di atas dua kalimat syahadat, tapi mengakui
Musailamah sebagai nabi. Mereka mengira bahwa Nabi  mengikutsertakan dia
dalam kenabian karena Musailamah membawa saksi-saksi palsu yang memberi
kesaksian bahwa dia seorang nabi. Kemudian banyak orang yang membenarkan
saksi-saksi itu. Kendati begitu ulama sepakat bahwa mereka (ini) murtad, walau
mereka jahil (bodoh) akan hal ini. Barangsiapa yang ragu akan kemurtadan mereka
maka ia kafir.
Maka jika kamu tahu ulama telah sepakat bahwa orang-orang yang mendustakan
Nabi , atau kembali kepada peribadahan terhadap berhala dan mencaci Rasulullah
 kedudukan mereka sama dengan orang-orang yang mengakui kenabian
Musailamah, walau tetap berada di atas (nilai-nilai) keislaman lainnya.
Di antara mereka ada juga yang mengakui syahadatain dan membenarkan
Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi yang mengaku sebagai nabi. Di antara mereka
ada juga yang membenarkan al-Ansi dari Shan’a. Tentang mereka semua ulama telah
sepakat bahwa mereka adalah orang-orang murtad. Selain itu, di antara mereka ada
juga yang melakukan jenis-jenis (kemurtadan) lainnya.
Yang terakhir adalah al-Fuja’ah as-Sulami, ketika ia datang menemui Abu
Bakar dan mengatakan bahwa ia ingin memerangi orang-orang muttad dan minta
kepada Abu Bakar untuk mempersenjatainya. Maka diberikan kepadanya senjata

134 | Al-Furuq
dan kendaraan, kemudian dia mengganggu orang-orang muslim dan kafir dan
mengambil harta-harta mereka. Maka Abu Bakar mempersiapkan bala tentara
memerangi orang ini. Maka saat ia merasakan (kedatangan) pasukan (Abu Bakar),
ia berkata kepada amir (pasukan ini): Kamu amirnya Abu Bakar dan aku amirnya
dia (juga), dan aku tidak kafir. Kemudian amir ini berkata: Kalau kamu benar,
lemparkan senjata! Kemudian dia pun melemparkannya, dan dia dikirim menghadap
Abu Bakar, kemudian Abu Bakar memerintahkan untuk membakar orang ini hidup-
hidup dengan api.
Maka jika seperti ini hukum para sahabat tentang orang ini, padahal dia
mengakui rukun-rukun Islam yang lima. Maka apa menurutmu tentang orang yang
tidak mengakui Islam selain satu kalimat (saja)?! Dia hanya mengucapkan “Laa ilaaha
Illallah” dengan lisannya, ditambah lagi terang-terangan mendustakan maknanya,
terang-terangan berlepas diri dari agama Muhammad  dan dari Kitabullah?!
Mereka mengatakan: ini agama orang kota, sedangkan agama kita warisan leluhur.
Kemudian para pembangkang jahil itu mengatakan: Sesungguhnya mereka itu
muslim! Walaupun mereka terang-terangan melakukan pelanggaran itu semua, selagi
mereka mengucapkan “Laa ilaaha Illallah”! Maha suci Allah, ini adalah kedustaan
yang besar!! Alangkah indah apa yang diucapkan salah seorang penduduk badui,
saat ia datang kepada kami dan mendengar sedikit tentang Islam. Ia berkata: Saya
bersaksi bahwa kami –maksudnya penduduk badui- adalah kafir. Dan saya bersaksi
bahwa muthawwi (ustadz/da’i) yang mengatakan kami muslim bahwa ia telah
kafir!”294
Beliau menegaskan bahwa barangsiapa beristigasah kepada selain Allah seperti
Abdul Qadir al-Jailani, Zaid bin al-Khattab, dan Az-Zubair dan yang lebih agung
dari mereka seperti Rasulullah  adalah orang-orang musyrik, apalagi orang yang
beristigasah kepada orang-orang kafir, para thaghut seperti Syimsan dan selainnya.
Beliau rahimahullah berkata; ”Kalian saksikan orang-orang musyrik di zaman
kita, sepertinya sebagian mereka mengaku sebagai ahli ilmu dan padanya terdapat
sifat zuhud dan kesungguhan dan ibadah. Apabila ditimpa kesulitan dia beristigasah
kepada selain Allah, seperti Ma’ruf, Abdul Qadir Al Jailani dan yang lebih agung
dari mereka seperti Zaid bin al-Khattab dan Az-Zubair dan yang lebih agung lagi
seperti Rasulullah . Hanya kepada Allah kita minta pertolongan!. Yang lebih buruk
daripada itu mereka beristigasah kepada thaghut-thaghut dan orang-orang kafir para
pembangkang seperti Syimsan, Idris, Yusuf dan yang semisal dengan mereka.”295

294 Majmu’ah Rasa’il fi At-Tauhid wal Iman, dicetak dalam kompilasi karya-karya Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab (1/360)
295

Al-Furuq | 135
Beliau rahimahullah berkata; “Barangsiapa beribadah kepada Allah siang dan
malam, kemudian menyeru seorang nabi atau wali di sisi kuburannya, maka dia
telah mengambil dua ilah dan belum bersaksi dengan Laa ilaaha Illallah. Karena ilah
artinya yang diseru. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin sekarang di
samping kuburan Az-Zubair, atau Abdul Qadir, atau selain keduanya. Dan seperti
yang dilakukan di samping kuburan Zaid dan selainnya...”296
Beliau rahimahullah berkata; “Ketika mereka melihat aku mengajak manusia
kepada apa yang diperintahkan nabi mereka  agar jangan beribadah kecuali kepada
Allah, bahwa siapa saja yang menyeru Abdul Qadir maka dia kafir dan Abdul Qadir
berlepas diri darinya. Begitu pula siapa saja yang menyeru orang-orang shalih, atau
para wali, atau memanggil-manggil mereka atau sujud kepada mereka, atau bernazar
untuk mereka, atau memberikan kepada mereka salah satu dari macam-macam
ibadah....sampai pada ucapannya; Apabila kamu tanya, kamu dapati bahwa nabi
 berlepas diri dari orang-orang yang memiliki keyakinan kepada para nabi dan
orang-orang shalih. Beliau memerangi mereka, menawan mereka dan anak-anak
mereka, menjadikan harta mereka sebagai ghanimah dan menghukumi mereka kafir,
maka ketahuilah bahwa nabi  tidak mengatakan selain kebenaran, tidak mengajak
kepada selain kebenaran, dan wajib atas setiap orang beriman mengikutinya pada
semua yang beliau ajarkan.
Beliau rahimahullah berkata; Wahai hamba-hamba Allah, pikirkanlah pada
ucapan Rabb kalian Tabaraka wa Ta’aala. Apabila Dia menyebutkan tentang orang-
orang kafir yang Rasulullah  perangi bahwa agama mereka yang beliau kafirkan
adalah keyakinan kepada orang-orang shalih, di samping mereka takut kepada Allah,
berharap kepada-Nya, pergi haji, bersedekah. Akan tetapi mereka kafir disebabkan
keyakinan terhadap orang-orang shalih, dan mereka mengatakan; Keyakinan kami
terhadap orang-orang shalih itu bahwa mereka bisa mendekatkan kami kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya dan memberi syafaat kepada kami, seperti yang
Allah firmankan;
ۡ َّ‫ُ ٓ َ ۡ َ ٓ َ َ َ ۡ ُ ُ ُ ۡ اَّ ُ َ ّ ُ َ ٓ ىَ ه‬ ْ ُ َ َّ‫َ ذَّ َ خ‬
ٰٓ َ‫ٱللِ ُزل ى‬
‫ف‬ ‫ِين ٱتذوا مِن دونِهِۦ أو يِلاء ما نعبدهم إِل يِلق ِربونا إِل‬ ‫وٱل‬
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3)
dan firman-Nya;
َّ‫َ ه‬ َ ُ ٰٓ َ َ ُ ٓ َ‫هَّ َ اَ َ رُ ُّ ُ ۡ َ اَ َ َ ُ ُ ۡ َ َ ُ ُ َ َ ٰٓ ُ ا‬ ُ َ ََُُۡ
ِ‫ِند ٱلل‬‫عؤنا ع‬ ‫ون ٱللِ ما ل يضهم ول ينفعهم ويقولون هؤلءِ شف‬ ِ ‫ويعبدون مِن د‬

296 Idem (10/61)

136 | Al-Furuq
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan
kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa`atan, dan mereka berkata:
“Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
Maka wahai hamba-hamba Allah, apabila Allah telah menyebutkan di dalam
kitab-Nya bahwa agama orang-orang kafir adalah keyakinan terhadap orang-orang
shalih, menyebutkan bahwa mereka berkeyakinan terhadap mereka dan menyeru
mereka dan memanggil-manggil mereka karena mereka bisa mendekatkan mereka
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, apakah setelah penjelasan ini masih butuh
penjelasan (lagi)?!
Maka apabila orang yang punya keyakinan terhadap Isa bin Maryam, padahal
Isa adalah nabi dari nabi-nabi Allah, dia menyerunya, memanggil-manggilnya maka
dia telah kafir. Maka bagaimana dengan orang yang keyakinannya kepada setan-
setan seperti anjing; Abu Hudaidah, dan Utsman yang ada di wadi, serta anjing-
anjing lainnya di Kharj dan selain mereka di segenap negeri yang memakan harta-
harta manusia dengan cara-cara yang batil dan menghalangi manusia dari jalan
Allah?!”297
Beliau rahimahullah berkata; “Tapi aku pastikan bahwa kufurnya orang yang
beribadah kepada kubah Abu Thalib tidak mencapai sepersepuluh kufurnya al-
Muwais dan yang semisalnya...”298
Maka ini adalah nash-nash yang jelas dari Asy-Syaikh rahimahullah yang telah
ditinggalkan oleh orang-orang yang berdalil dengan ucapannya yang barusan dan
orang-orang yang menentang berpaling dari nash-nash yang terang dari beliau
rahimahullah, sehingga menyangka bahwa orang-orang musyrik itu tidak kafir
personnya (mu’ayyan)! Sungguh mereka telah membuat kedustaan besar atas Asy-
Syaikh Al Imam dan menisbatkan kepada beliau pendapat yang dia sendiri berlepas
diri darinya. Beliau rahimahullah telah berkata; “Barangsiapa menyangka bahwa
Allah tidak menuntut kita beribadah dengan mengkafirkan orang-orang murtad dan
Allah tidak akan menanyakan kepada kita tentang mereka dan tentang pengkafiran
terhadap siapa saja yang terjatuh kepada kesyirikan berarti dia telah membuat
kedustaan atas nama Allah.”299
Sisi keempat: Terdapat bantahan para imam dakwah kepada orang-orang yang
berpegang dengan ucapan Asy-Syaikh yang musytabah (samar).
Sekumpulan dari imam dakwah dan murid-murid al-Imam yang lebih
mengetahui posisi-posisi ucapan beliau, sebab-sebabnya, momentum-momentumnya
serta pemberlakuannya seperti yang sudah kami sebutkan telah menegaskan secara

297 Idem (1/75)


298 Ad-Durar As-Sanniyyah (10/116)
299 Idem (2/120)

Al-Furuq | 137
nash dan membatalkan hujjah orang-orang yang berpegangan dengan kutipan
perkataan Asy-Syaikh yg telah lalu dan (ucapan lain) yang semisal dengannya. Di
antara (nash dan sanggahan itu adalah);
Apa yang telah dikatakan oleh dua orang asy-Syaikh; Abdullah dan
Ibrahim anak dari asy-Syaikh Abdullatif dan asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman
rahimahumullah; “Adapun perkataannya tentang Asy-Syaikh Muhammad
rahimahullah, bahwa ia tidak mengkafirkan orang yang beribadah di atas kubah al-
Kawwaz dan yang semisalnya, dan tidak mengkafirkan al watsani (quburi) sampai
dia mengajaknya dan menyampaikan kepadanya hujjah, dikatakan (kepada orang
ini); Iya, karena Asy-Syaikh Muhammad rahimahullah tidak mengkafirkan manusia
secara spontan kecuali setelah tegak hujjah dan dakwah. Karena beliau saat itu
berada di zaman fatrah dan hilangnya ilmu tentang peninggalan risalah. Karena itu
beliau berkata; “karena kejahilan mereka dan tidak ada yang memberitahu mereka.”
Adapun apabila hujjah telah tegak, maka tidak ada halangan dari mengkafirkan
mereka meskipun mereka belum memahami.”300
Al ‘Allamah Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh
rahimahullah berkata; “Telah sampai (berita) kepada kami, dan kami (juga)
mendengar yaitu tentang sekelompok orang yang mengaku berilmu, beragama
dan (mereka) menyangka bahwa mereka adalah pengikut Asy-Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullah, (mereka bilang): bahwa orang yang melakukan
kesyirikan kepada Allah dan beribadah kepada berhala tidak dikatakan kafir dan
musyrik secara ta’yin (personal)....sampai pada perkataan beliau yang membantah
mereka dan menyamakan mereka dengan kisah yang menimpa Imam Mujaddid.
Beliau rahimahullah melanjutkan; Dan orang yang menceritakan kepadaku akan
kasus ini menyebutkan, bahwa sebagian penuntut ilmu telah bertanya kepadanya
tentang hal ini dan tentang dalil mereka, ia berkata: (Orang-orang itu bilang:) Kami
mengkafirkan nau’ (jenis/perbuatan) dan tidak menta’yin orang (mengkafirkan
personnya) kecuali setelah dijelaskan. Dan sandaran kami adalah apa yang kami
lihat pada sebagian risalah-risalah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
semoga Allah menyucikan ruhnya, bahwa beliau tidak mengkafirkan orang-orang
jahil yang beribadah kepada kubah al-Kawwaz dan Abdul Qadir karena tidak ada
orang yang memberikan penjelasan kepada mereka.
Lihat dan saksikanlah keajaiban (ini), kemudian mintalah kepada Allah
keselamatan agar Dia menyelamatkanmu dari mundur ke belakang setelah
kemajuan. Alangkah serupanya (ini) dengan hikayat yang masyhur dari Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah bahwa suatu hari beliau menanamkan
pokok-pokok agama (tauhid) dan menerangkan kandungannya, dan ada seseorang

300 Idem (10/434-435)

138 | Al-Furuq
dari yang duduk tidak bertanya, tidak terperanjat dan tidak membahasnya. Sampai
ketika datang beberapa kalimat yang di situ terdapat sesuatu, berkatalah orang ini:
Apa ini? Bagaimana begitu? Lalu kurang lebih asy-Syaikh (Muhammad) rahimahullah
berkata (kepadanya): Celaka kamu! Telah berlalu pembicaraan kita sejak pagi tadi
sedangkan kamu tidak paham dan tidak bertanya tentangnya, tapi ketika datang
ungkapan ini baru kamu menyadari. Kamu seperti lalat yang tidak hinggap kecuali
pada kotoran! Atau seperti ini. Sampai pada ucapan beliau rahimahullah setelah
membawakan sekian ucapan al-Mujaddid yang mengkafirkan seorang musyrik secara
ta’yin (personnya);.Sungguh alangkah mengherankan. Bagaimana dia meninggalkan
ucapan Asy-Syaikh pada sekian tempat disertai dengan dalil al-Quran dan as-
Sunnah, ucapan-ucapan Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim, seperti yang terdapat
pada ucapannya; “Barangsiapa telah sampai kepadanya al-Quran maka hujjah telah
tegak atasnya”, tapi menerima (ucapannya) pada satu tempat padahal global.”301
Beliau rahimahullah berkata; “Maka perhatikanlah, jika kamu termasuk orang
yang mencari kebenaran dengan dalilnya. Adapun jika anda termasuk orang yang
bertahan di atas kebatilan dan ingin berdalil membelanya dengan perkataan ulama
yang global, maka tidak heran.”302
Asy-Syaikh Ibrahim bin Abdullatif rahimahullah menerangkan dalam
penjelasannya yang indah; “Tidak semua kejahilan menjadi udzur bagi orangnya.
Orang-orang yang jahil dan ikut-ikutan kepada orang kafir hukumnya kafir
berdasarkan ijma’ umat, kecuali orang yang tidak mampu mengenali kebenaran
dan tidak sampai kepadanya, serta tidak berdaya sama sekali di samping
kecintaan, keinginan dan upayanya (dalam mencari kebenaran) dan tidak ada yang
menunjukinya, atau orang yang baru masuk Islam, atau tumbuh di pedalaman yang
jauh. Inilah yang disebutkan oleh ahli ilmu bahwa dia diberi udzur. Karena hujjah
belum tegak atasnya. Maka seorang person tertentu tidak dikafirkan sampai hujjah
dan keterangan tegak atasnya.
Adapun pengelabuan dan pengaburan dari sebagian mereka bahwa Syaikhul
Islam abstain dari mengkafirkan person yang jahil, maka ini di antara talbis
(penipuan) dan pengelabuan atas orang-orang yang lemah bashirahnya. Karena
sesungguhnya yang dimaksud dengannya adalah dalam persoalan-persoalan
yang khusus, yang dalilnya kadang tersamarkan atas sebagian orang. Seperti
dalam persoalan-persoalan takdir dan irja’ dan yang semisalnya dari pendapat-
pendapat para pengekor hawa nafsu. Karena sebagian ucapan-ucapan mereka
terkandung perkara-perkara kufur berupa penolakan terhadap dalil-dalil al-Quran
301 Lihat risalah beliau Takfir Al Mu’ayan yang terdapat dalam kitab ‘Aqidah Al Muwahhidin war-Radd
‘Ala Ad-Dullal wal Mubtadi’in, kompilasi Asy-Syaikh Abdullah Al Ghamidi yang diberi mukaddimah
oleh Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (halaman 181-182)
302 Idem (halaman 170-171)

Al-Furuq | 139
dan as-Sunnah yang mutawatir. Sehingga ucapan yang mengandung penolakan
terhadap sebagian nash-nash adalah kekufuran. Tapi orang yang mengucapkannya
tidak dihukumi kafir karena mungkin ada penghalang yang menghalangi dari hukum
itu seperti bodoh (jahil), dan tidak mengetahui nash yang berkenaan dengan hal
itu, atau sisi pendalilannya. Karena syariat-syariat tidak berlaku melainkan setelah
sampainya. Oleh karena itu beliau menyebutkan hal ini dalam konteks kebid’ahan-
kebid’ahan para pengekor hawa nafsu. Beliau telah menegaskan secara nash akan
hal ini. Ia berkata dalam pengkafiran kepada orang-orang tertentu dari ahli kalam
setelah menegaskan kaidah dalam persoalan ini;
“Yang demikian ini apabila dalam persoalan-persoalan yang samar. Pelakunya
kadang dikatakan tidak kafir. Adapun perkara yang sebagian mereka terjatuh ke
dalamnya dari persoalan-persoalan yang terang dan jelas, atau persoalan yang dikenal
populer secara darurat di dalam agama (ma’lum minad-diin bid-dharurah), maka
yang seperti ini tidak boleh abstain dalam mengkafirkan pelakunya”.
Orang-orang jahil itu menggeneralisasi persoalan dan menjadikan semua
kejahilan sebagai udzur dan tidak merincinya. Mereka menjadikan persoalan-
persoalan yang terang lagi jelas dan persoalan-persoalan yang disebut ma’lum
minad-diin bid-dharurah seperti persoalan-persoalan yang samar yang dalilnya
kadang tersamarkan atas sebagian orang. Begitu juga (mereka menjadikan) orang-
orang yang ada di tengah muslimin, seperti orang yang tumbuh di pedalaman yang
jauh atau baru masuk Islam, sehingga mereka sesat dan menyesatkan banyak orang
dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.”303
Sisi kelima: Ucapan-ucapan itu dikatakan dalam konteks tawriyah
Di antara penjelasan yang diberikan tentang ucapan itu juga adalah keterangan
sebagian ulama bahwa ucapan asy-Syaikh al-Mujaddid al-Mushlih rahimahullah dan
selainnya dari perkataan-perkataan yang dijadikan pegangan dalam memberi udzur
kepada para penyembah kuburan dan menghukumi mereka muslim di samping
perbuatan syirik mereka bahwa ucapan itu konteksnya tawriyah yang ditempuh
untuk mengalah di hadapan lawan agar kejahatannya berkurang dan makna yang
benar dari ucapan itu tidak sampai bergeser kepada yang batil.
Sisi keenam; Bahwa ucapan Asy-Syaikh ini pendapatnya yang lama
Di antara penjelasan yang diberikan sebagian ulama berkenaan hal ini, bahwa
apa yang dinukil dari Asy-Syaikh adalah ucapannya yang lama dan kebenaran baru
tampak olehnya. Hal yang seperti ini seorang alim tidak dicela dan tidak direndahkan
kedudukannya, di mana dia berpendapat demikian kemudian tampak olehnya yang
benar adalah sebaliknya kemudian dia mengikuti yang benar. Di situ sebagian orang
menganggap ada kontradiksi dan bersandarlah karenanya akidah-akidah pengekor
303 Ijma’ Ahlussunnah An-Nabawiyah ‘Ala Takfir Al Mu’aththilah Al Jahmiyah (1/116)

140 | Al-Furuq
kebatilan disebabkan karena berpegang kepadanya dengan memahaminya secara
semena-mena dan meninggalkan kebenaran serta mencampakkannya, seperti yang
Allah Ta’aala firmankan;
َۡ ٓ َ ۡ َٓ َ ُ َّ َ َ ٌ ۡ َ ۡ ُ ُ
ٰ َ َ ‫ون َما ت‬
‫ش َب َه م ِۡن ُه ٱبۡتِغا َء ٱلفِ ۡت َنةِ َوٱبۡتِغا َء تأوِيلِهِۖۦ‬ َ ‫فَأَ َّما ذَّٱل‬
‫ِين يِف قلوب ِ ِهم زيغ فيتبِع‬
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan
untuk mencari-cari ta`wilnya...” (QS. Ali Imran: 7)
Maka barangsiapa mengetahui hal ini dan membaca apa yang telah lalu
penukilannya dari keterangan Al ‘Allamah Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan
rahimahullah akan mengetahui bahwa ia mengingatkan akan persoalan manhaji
(metodologi) yang penting sekali dalam bermu’amalah di hadapan ucapan ahli ilmu
yang samar. Di antaranya adalah ucapannya;
“Dan kami katakan; Alhamdulillah, milik-Nya pujian dan kami minta
pertolongan dan petunjuk kepada kebenaran. Kami tidak mengatakan selain apa
yang telah dikatakan oleh guru-guru kami asy-Syaikh Muhammad dalam Ifadah al-
Mustafid dan cucu beliau dalam bantahannya kepada al-‘Iraqi. Begitu pula ini adalah
pendapat para imam-imam agama sebelum mereka dan telah dikenal populer dalam
agama Islam bahwa rujukan dalam persoalan-persoalan ushuluddin (pokok-pokok
agama) adalah kepada al-Quran dan as-Sunnah serta ijma’ umat yang muktabar yaitu
ijma’ para sahabat. Bukan ukurannya dalam persoalan ini pendapat alim tertentu.
Barangsiapa telah jelas disisinya pondasi ini di mana tidak ada satu pun syubhat yang
bisa menggesernya dan dia memantapkan hatinya, entenglah ketika itu atasnya apa
yang mungkin dia dapati dari perkataan-perkataan yang samar pada sebagian karya-
karya imam-imamnya. Karena tidak ada yang maksum kecuali Nabi .”304
Maka dengan ini diketahuilah batilnya hujjah para penipu sesat.
Persoalan kesembilan: Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman ini
memutlakkan pendapat bahwa orang yang personnya dihukumi kafir disebabkan
karena suatu perbuatan, dia dihukumi demikian karena perbuatan kufur yang
dilakukannya menunjukkan akan kekufuran batin!
Telah berlalu sanggahan terhadap hal ini dan penjelasan akan kebatilannya, dan
bahwa kaum salaf mengkafirkan dengan sebab perbuatan yang kufur tanpa menilai
maksud yang terdapat di dalam hati atau diketahuinya niat kekufuran di dalam batin.
Bahasa kaum salaf telah menegaskan bahwa kekufuran lahir melahirkan kekufuran

304 Lihat risalah beliau Takfir Al Mu’ayan yang terdapat dalam kitab ‘Aqidah Al Muwahhidin war-Radd
‘Ala Ad-Dullal wal Mubtadi’in, kompilasi Asy-Syaikh Abdullah Al Ghamidi yang diberi mukaddimah
oleh Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (halaman 181-182)

Al-Furuq | 141
batin. Hal ini berbeda dengan tipu daya yang dilancarkan oleh orang-orang yang
terpapar syubhat Murji’ah yang beranggapan bahwa kekufuran lahir tidak terjadi
melainkan didahului oleh kekufuran batin! Mereka melihat perbuatan sebagai
kekufuran dari sisi bahwa ia menunjukkan akan kekufuran batin.
Orang-orang Murji’ah terdahulu telah menegaskan tidak terjadi kekufuran pada
amal perbuatan tetapi pelakunya dihukumi kafir apabila perbuatannya menunjukkan
akan kekufuran batin. Adapun orang-orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman
kita di antara mereka ada yang menegaskan seperti apa yang telah ditegaskan kaum
salaf di mana kekufuran terjadi dengan ucapan, perbuatan, keyakinan dan keraguan.
Tapi mereka membatalkan kaidah ini dengan ucapannya yang mengatakan; “semua
kekufuran secara lahir didahului oleh kekufuran di dalam batin”, dan ucapannya;
“Pelaku tidak dikatakan kafir kecuali apabila perbuatan kekufuran yang ia lakukan
menunjukkan akan kekufuran batin!!”
Ini kontradiktif yang sangat buruk, lucu sekaligus menyedihkan. Kami minta
kepada Allah keselamatan. Karena sesungguhnya amal perbuatan disifati sebagai
kekufuran apabila nash-nash al-Quran dan as-Sunnah menunjukkan bahwa ia
adalah kekufuran. Sebagaimana pelakunya disifati sebagai kafir sekalipun perbuatan
itu tidak menunjukkan akan kekufuran batin. Inilah akidah kaum salaf berdasarkan
ijma’, berseberangan dengan kelompok Murji’ah sebagaimana telah berlalu
penjelasannya.
Hal yang paling berbahaya yang dilakukan oleh para pengusung pendapat-
pendapat irja’ ini adalah perbuatan mereka menyelewengkan nash-nash al-Quran
dan as-Sunnah serta ijma’ dan ucapan-ucapan para ulama agar sesuai dengan hawa
nafsu mereka dan dijadikan sebagai argumen yang membela kebatilan mereka!
Contohnya; Apa yang dinukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah di mana ia berkata; “Perbuatan-perbuatan yang kufur dari perkara-
perkara yang terang seperti sujud kepada berhala, mencaci rasul dan semisalnya.
Hal yang demikian itu karena ia berakibat kekufuran batin.”305
Lalu mereka menjadikan nukilan ini sebagai kaidah pijakan dalam membentuk
pondasi irja’ mereka, di mana menurutnya semua perbuatan kekufuran seperti sujud
kepada berhala bukan kekufuran kecuali apabila ia menunjukkan akan kufur batin!
Sesuai sangkaan mereka apabila seseorang terjatuh melakukan perbuatan yang tidak
menunjukkan akan kekufuran batin, dan kekufuran batin menurut mereka adalah
sengaja terjatuh kepada kekufuran dan kehendak untuk murtad dari Islam, dengan
sekedar yang tampak darinya si pelaku tidak dianggap kafir. Ini adalah pendapat
Murji’ah yang menegaskan bahwa tidak ada kekufuran selain dengan keyakinan.
Padahal –wallahu a’lam- yang dimaksud dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu
305 Majmu’ Al Fatawa (14/120)

142 | Al-Furuq
Taimiyah rahimahullah yang dijadikan sandaran oleh orang ini dan yang semisal
dengannya; bahwa barangsiapa terpenuhi padanya sifat kekufuran lahir, maka
konsekuensinya batinnya kafir. Karena tidak terbayangkan seseorang kafir lahir tapi
batinnya selamat. Maka tidak dikatakan; Dia kafir secara lahir, tapi beriman di dalam
batin. Berbeda dengan ucapan bahwa semua kekufuran secara lahir didahului dengan
kekufuran batin! Yang seperti ini tidak ada dalilnya dan tidak ada pendahulunya
dari ucapan para ulama. Bahkan nash yang ada menunjukkan kebalikannya, seperti
yang terdapat pada firman Allah Ta’aala;
ُ َ َ ۡ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ ْ ُ َ ۡ َ َ‫ا‬
‫يمٰن ِك ۡم‬ِ ‫ل تعتذِروا قد كفرتم بعد إ‬
“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah:
66)
Maka Allah menetapkan kekafiran mereka secara lahir dan batin setelah
keimanan mereka. Bukanlah kekufuran mereka secara lahir sebagai bukti akan
kekafiran mereka pada asalnya secara batin, seperti yang dikatakan orang yang
bermain-main kata dan orang lain yang semisal dengannya. Semoga Allah selamatkan
kita dari bencana yang menimpanya.
Persoalan kesepuluh: Salaf menegaskan bahwa orang-orang kafir dalam menilai
mereka kafir lahir dan batin, atau batin saja tanpa lahir ada beberapa macam:
Pertama; Orang yang dihukumi kafir lahir dan batin dari mereka yang terjatuh
kepada kesyirikan dan pembatal-pembatal dan hujjah syar’i telah tegak atasnya.
Maka yang seperti ini kafir lahir dan batin.
Maka barangsiapa menampakkan kekufuran dan melakukan salah satu dari
pembatal-pembatal keislaman di samping tegaknya hujjah syar’i atasnya, maka
orang ini dihukumi kafir lahir dan batin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; Orang-orang yang
mengambil pendapat Jahm dan Shalihi, mereka telah terang-terangan mengatakan
bahwa orang yang mencaci Allah dan rasul-Nya dan berpendapat dengan pendapat
trinitas serta semua ucapan dari perkataan-perkataan kufur bukan kekufuran di
dalam batin. Melainkan bukti pada yang lahir akan kekufuran. Berdasarkan ini
maka orang yang mencaci dan memaki (Allah) juga mengenal Allah, menauhidkan-
Nya dan beriman kepada-Nya. Maka jika hujjah ditegakkan atasnya dengan nash
atau ijma’ baru kafir lahir dan batin. Mereka mengatakan; perbuatan ini berarti ada
pendustaan di dalam batinnya. Sedangkan keimanan mengharuskan hilangnya hal
itu.
Maka dikatakan kepada mereka; Di sini ada dua persoalan yang dikenal.
Pertama, perkara yang darurat diketahui dari agama. Kedua, perkara yang darurat
diketahui dari diri kita apabila kita memperhatikannya.

Al-Furuq | 143
Adapun yang pertama; Kita mengetahui bahwa siapa saja yang mencaci Allah
dan rasul-Nya dengan sukarela tanpa paksaan, bahkan siapa saja yang mengucapkan
kata-kata kufur dengan sukarela tanpa paksaan, dan orang yang mengolok-olok
Allah dan ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya maka dia kafir lahir dan batinnya. Adapun
orang yang mengatakan; yang seperti ini bisa saja di dalam batinnya dia beriman
kepada Allah meskipun kafir secara lahir. Sesungguhnya dia telah mengatakan
ucapan yang dikenal kerusakannya secara darurat dari agama. Karena Allah telah
menyebutkan perkataan-perkataan orang kafir di dalam al-Quran dan menghukumi
mereka kafir dan berhak mendapat ancaman karenanya. Karena seandainya ucapan-
ucapan mereka yang kufur ini seperti kesaksian atas mereka atau seperti pengakuan
yang mana seseorang bisa keliru tentu Allah tidak menjadikan mereka sebagai
orang-orang yang terancam karena kesaksian yang bisa benar dan bisa salah. Bahkan
seharusnya Dia tidak mengazab mereka kecuali dengan syarat benarnya kesaksian.
Ini seperti firman Allah Ta’aala;
َ ْ َ َ ۡ َّ
‫نت ُهوا ع َّما‬ ٌ َ ٌ َ ٓ َّ‫ك َف َر ذَّٱل َ َ ُ ْ َّ هَّ َ َ ُ َ َ َ َ َ ۡ َ ا‬ َ ۡ َ َّ
ۚ ‫ِين قال ٓوا إِن ٱلل ثال ِث ثلٰثةٖ ۘ وما مِن إِل ٰ ٍه إِل إِلٰه وٰح‬
‫ِد ِإَون لم ي‬ ‫لقد‬
َ ٌ َ َ ۡ ُ ۡ ْ َ َ َ َّ‫َ ُ ُ َ يَ َ َّ َّ ذ‬
‫يقولون لَمسن ٱلِين كف ُروا مِنهم عذاب أ يِل ٌم‬
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwanya Allah salah satu
dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Ilah (yang kelak berhak disembah) selain
Ilah Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti
orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-
Maidah: 73)
Dan firman-Nya;
ْ ُ ُ ۡ َ ٰٓ َ ۡ ٓ َ َ ُ َ ۡ َ َ َ َ َ ۡ َ ُ ۡ ُ َ ۡ َ ُ َ َّ‫َ َ ۡ َ َ َ ذَّ َ َ ُ ٓ ْ َّ ه‬
‫لقد كفر ٱلِين قالوا إِن ٱلل هو ٱلمسِيح ٱبن مريمۖ وقال ٱلمسِيح يٰب يِن إِسرءِيل ٱعبدوا‬
ۡ
َ‫ار َوما‬ َ ۡ‫ٱلل َعلَ ۡيهِ ج‬
ُۖ َّ‫ٱل َّن َة َو َمأ َوى ٰ ُه ٱنل‬ ُ َّ‫ٱللِ َف َق ۡد َح َّر َم ه‬
َّ‫هَّ َ َ ّ َ َ َّ ُ ۡ َّ ُ َ ُ رۡ ۡ ه‬
ِ ‫شك ب‬
ِ ‫ٱلل ر يِب ورب َكمۖ إِنهۥ من ي‬
َ ۡ َ َّ
ٖ‫ل ِلظٰل ِ ِمني مِن أنصار‬
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah
Al-Masih putera Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil,
sembahlah Allah Rabbku dan Rabbmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”
(QS. Al-Maidah: 72) dan ayat-ayat lain yang semisal.306
Kedua: Orang yang dihukumi kafir lahir bukan batin, sesuai apa yang dia

306 Majmu’ Al Farawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (7/757)

144 | Al-Furuq
tampakkan dari kekufuran. Maka orang ini tidak dipastikan kekufurannya secara
batin. Karena batinnya kembali kepada Allah seperti ahli fatrah dan orang-orang
yang dihukumi sama seperti mereka karena terjatuh kepada pembatal-pembatal
disebabkan kejahilan dan tidak terpenuhi sebab untuk mencari tahu.
Maka barangsiapa melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman dan
dia termasuk orang yang punya udzur antara dia dan Rabbnya, dia dihukumi sesuai
yang dia tampakkan di dunia. Adapun batinnya dihukumi seperti ahli fatrah.
Adapun orang yang belum sampai dakwah kepadanya, dan mereka ahli fatrah
dari orang-orang yang belum sampai kepadanya risalah, tidak mendengar ada rasul,
al-Quran, dan orang-orang yang serupa dengan mereka, mereka diperlakukan sesuai
yang tampak darinya dari kesyirikan dan kekufuran. Sedangkan batin mereka kembali
kepada Allah. Karena ahli fatrah dan orang-orang yang serupa dengan mereka di
akhirat diuji, sebagaimana yang ditegaskan oleh para ulama dalam persoalan ini.
Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata; Barangsiapa yang
telah tetap bahwa dia termasuk ahli fatrah dan belum sampai kepadanya risalah
atau dakwah, maka nasibnya kembali kepada Allah. Tapi hukum dia di dunia
adalah hukum orang-orang kafir, hukum jahiliyah, (mayatnya) tidak dimandikan,
tidak dishalatkan, diperlakukan seperti orang jahiliyah (kafir). Akan tetapi apabila
bersamaan dengan itu dia belum sampai kepadanya dakwah dan risalah, maka orang
ini diberlakukan sesuai hukum terhadap ahli fatrah, mereka diuji di hari kiamat
berdasarkan pendapat yang shahih. Barangsiapa yang taat dia dimasukkan ke dalam
surga dan barangsiapa yang bermaksiat masuk ke neraka. Kesimpulannya ini hadits
shahih.307
Beliau rahimahullah berkata; Barangsiapa dikenal memiliki akidah yang rusak,
syirik, sembelihannya tidak diterima. Apabila dia ada di tengah-tengah muslimin
maka tidak ada udzur baginya. Karena dia tidak bertanya dan tidak peduli. Maka
apabila diketahui bahwa dia beribadah kepada selain Allah, dari pihak-pihak yang
mereka namakan dengan sebutan wali-wali, seperti orang-orang yang beribadah
kepada al-Badawi dan orang-orang yang beribadah kepada al-Husain, al-Hasan dan
Ali Radhiyallahu ‘Anhum seperti orang-orang yang beribadah kepada Ibnu ‘Arabi
dan selain mereka dari pihak-pihak yang mereka namakan dengan sebutan wali-
wali. Mereka adalah orang-orang kafir, sembelihan mereka tidak boleh dimakan.
Dan begitu juga selain mereka dari orang-orang yang beribadah kepada selain Allah,
bernazar kepadanya, menyembelih untuknya, minta keselamatan melaluinya. Karena
ini adalah kesyirikan yang besar dan ini adalah perbuatan orang-orang jahiliyah,
perbuatan Quraisy dan orang-orang yang semisal dengan mereka kepada Hubal,
Latta dan Uzza. Dan ini adalah perbuatan kaum Nuh kepada Wad, Suwa’ dan yang

307 Lihat situs Asy-Syaikh di internet; http://www.binbaz.org.sa/noor/3264

Al-Furuq | 145
semisal dengan mereka. Mereka tergolong orang-orang yang telah tegak hujjah,
karena mereka berada di tengah-tengah muslimin. Al Qur’an dan As-Sunnah telah
sampai kepada mereka, dan telah sampai kepada mereka keterangan-keterangan
para ulama. Maka barangsiapa yang tidak sampai kepada mereka ini semua maka
dia berpaling, tidak peduli, tidak bertanya.
Adapun orang-orang yang jauh dari muslimin dia tergolong ahli fatrah yang
dakwah belum sampai kepadanya. Belum mendengar perkataan Allah dan perkataan
rasul-Nya. Hukum atas mereka adalah hukum orang-orang kafir di dunia, sedangkan
nasibnya di akhirat kembali kepada Allah. Hukum di dunia sembelihannya tidak
boleh dimakan selagi dia masih mengerjakan perbuatan orang-orang kafir, tapi
nasibnya di hari kiamat kembali kepada Allah. Dia akan diuji di hari kiamat. Apabila
dia menyambut perintah-perintah dia masuk surga, tapi apabila dia bermaksiat dia
masuk neraka. Inilah pendapat yang benar berkenaan dengan ahli fatrah.308
Persoalan kesebelas: Sebagian orang yang terpapar syubhat irja’ di zaman kita
memutlakkan ungkapan; “tidak ada kekafiran kecuali dengan i’tiqad (keya­
kinan)”.
Ungkapan ini mengandung sisi kebenaran dan sisi-sisi lainnya berupa penge­
labuan dan pengaburan. Yang benar ungkapan ini tidak mengandung selain akidah
Murji’ah. Adapun salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka mengatakan
kekufuran terjadi dengan keyakinan, ucapan, perbuatan, dan keraguan. Hal ini
kesepakatan (ijma’) mereka, sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata saat berbicara tentang firman Allah
Ta’aala;
ُ َ َ ۡ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ ْ ُ َ ۡ َ َ‫ا‬
‫يمٰن ِك ۡم‬ِ ‫ل تعتذِروا قد كفرتم بعد إ‬
“Jangan kalian mencari-cari alasan, kalian telah menjadi kafir setelah keimanan
kalian.” (QS. At-Taubah: 66)
Beliau rahimahullah berkata; Barangsiapa mengucapkan dengan lisannya
ucapan kekufuran, tanpa hajat, dengan sengaja dan dia mengetahui bahwa itu
ucapan kekufuran, maka dia kafir dengan sebab ucapannya itu dengan kekufuran
lahir dan batin, dan tidak boleh mengatakan; orang itu di dalam batinnya mungkin
saja beriman. Barangsiapa mengatakan itu maka dia telah keluar dari Islam.
Allah Ta’aala berfirman;

‫كن َّمن‬
َ ۢ ُّ َ ۡ ُ ُ ُ ۡ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َّ‫ا‬
َ ۡ‫ن ب إ‬ َ َۡ َّ‫َ َ َ ه‬ َ
ِ ٰ ‫ٱليم ٰ ِن َول‬
ِ ِ ِ ‫من كفر بِٱللِ ِم ۢن بع ِد إِيمٰنِهِۦٓ إِل من أك ِره وقلبهۥ مطمئ‬
ٌ ‫اب َع ِظ‬ َّ‫رَ َ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ٗ َ َ َ ۡ ۡ َ َ ٌ ّ َ ه‬
ٌ ‫ٱللِ َول َ ُه ۡم َع َذ‬
‫يم‬ ‫شح بِٱلكف ِر صدرا فعلي ِهم غضب مِن‬
308 Lihat situs Asy-Syaikh di internet; http://www.binbaz.org.sa/noor/10921

146 | Al-Furuq
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,
maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl:
106)
Dan telah diketahui Allah tidak memaksudkan dengan kekufuran pada ayat ini
keyakinan hati saja. Karena hati seseorang tidak bisa dipaksa. Dia mengecualikan
orang yang dipaksa dan tidak memaksudkan orang yang mengucapkan dan
menyakini, karena dia mengecualikan orang yang dipaksa. Seseorang tidak dipaksa
atas keyakinan dan ucapan, tapi atas ucapan saja. Maka diketahui bahwa Allah
(pada ayat ini) memaksudkan orang yang ingin mengucapkan perkataan kekufuran,
maka atas dia kemurkaan dari Allah dan baginya azab yang besar, dan bahwa dia
menjadi kafir karena hal itu, kecuali orang yang dipaksa sedangkan dia tetap tenang
dengan keimanan. Adapun orang yang hatinya lapang dengan kekufuran dari orang-
orang yang dipaksa sesungguhnya dia kafir juga. Maka jadilah semua orang yang
mengucapkan perkataan kekufuran hukumnya kafir, kecuali orang yang dipaksa
kemudian dia mengucapkan dengan lisannya ucapan kekufuran sedangkan hatinya
tenang diatas keimanan.
Allah Ta’aala berkata tentang orang-orang yang mengolok-olok agama;
ُ َ َ ۡ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ ْ ُ َ ۡ َ َ‫ا‬
‫يمٰن ِك ۡم‬ِ ‫ل تعتذِروا قد كفرتم بعد إ‬
“Jangan kalian mencari-cari alasan, kalian telah menjadi kafir setelah keimanan
kalian.” (QS. At-Taubah: 66)
Dia menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang kafir dikarenakan ucapan,
sekalipun mereka tidak meyakini kebenaran ucapannya. Hal ini adalah bab yang
luar dan pemahamannya sebagaimana yang telah lalu, bahwa pembenaran dengan
hati menghalangi keinginan berucap dan melakukan apa pun yang padanya terdapat
sikap meremehkan dan merendahkan. Sebagaimana ia mengharuskan adanya
kecintaan dan pengagungan. Kondisi dia mengharuskan adanya ini dan tidak terdapat
padanya ini adalah sunnatullah pada makhluk ciptaan-Nya, sebagaimana orang
yang mencocoki akan mendapat nikmat dan yang menyelisihi mendapat kepedihan.
Maka apabila tidak terdapat akibat maka berarti tidak terdapat sebab. kapan
terdapat salah satu yang berseberangan maka itu berarti tidak didapati lawannya.
Maka ucapan dan perbuatan yang mengandung perendahan dan penghinaan berarti
karena tidak didapatinya pembenaran yang bermanfaat dan hilangnya ketundukan
dan penyerahan diri. Karena itu hal ini hukumnya kekufuran.309

309 Ash-Shaarim Al Maslul (halaman 524)

Al-Furuq | 147
Beliau rahimahullah berkata; Maka kesimpulannya; barangsiapa mengatakan
atau melakukan sesuatu yang merupakan kekufuran dia menjadi kafir karenanya,
sekalipun dia tidak bermaksud ingin kafir. Karena tidak ada seorang pun yang
menginginkan kekufuran kecuali yang dikehendaki Allah.310
Guru kami asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzahullah ditanya;
benarkah perkataan berikut ini (barangsiapa mengatakan iman ucapan, perbuatan
dan keyakinan, bertambah dan berkurang, berarti dia telah berlepas dari irja’
semuanya) sekalipun dia mengatakan; tidak ada kekufuran kecuali dengan keyakinan
dan pengingkaran?
Beliau menjawab; “Ini tanaqudh (kontradiktif) karena apabila dia mengatakan;
tidak ada kekufuran kecuali dengan keyakinan atau pengingkaran, maka ini
membatalkan ucapannya; bahwa iman ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati,
dan amalan dengan anggota badan. Karena apabila iman adalah ucapan dengan
lisan dan keyakinan dengan hati dan amalan dengan anggota badan, bertambah
dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, ini artinya bahwa orang yang
berlepas dari amalan sama sekali, dia bukan orang beriman. Karena keimanan
adalah kumpulan dari ini semua, sebagiannya saja tidak cukup. Dan kekufuran
tidak terbatas kepada pengingkaran. Tapi pengingkaran adalah salah satu dari jenis-
jenisnya. Kekufuran terjadi dengan ucapan, perbuatan, keyakinan, dan keraguan
seperti yang telah disebutkan oleh ulama. Lihatlah bab hukum-hukum orang yang
murtad dari kitab-kitab fikih.”311
Maka berdasarkan ini diketahuilah batilnya anggapan sebagian Murji’ah di
zaman kita bahwa ucapan; “tidak ada kekufuran kecuali dengan i’tiqad (keya­
kinan)” di antara pendapat Ahlussunnah, sehingga seseorang yang mengatakan
hal itu tidak dicela. Karena tidak ada kekufuran pada yang lahir kecuali didahului
dengan kekufuran batin! Dan bahwa kekafiran lahir menjadi kekufuran karena
menunjukkan akan kekufuran batin! Dan yang lain sebagainya dari kaidah-kaidah
irja’ yang dipoles oleh para pengusungnya dengan polesan salaf, padahal salaf
berlepas diri dari yang demikian, sebagaimana yang telah lalu penjelasannya.
Dengan ini juga diketahui perbedaan antara akidah salaf dalam persoalan takfir
dengan akidah Murji’ah. Perbedaan Murji’ah dengan salaf dengan perbedaan yang
jauh, serta jauhnya mereka dari akidah yang benar seperti jauhnya antara dua kutub
timur.

310 Idem (184)


311 Masa’il Iman, dijawab oleh Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan, dikeluarkan oleh Abdurrahman bin
Muhammad Al Harafi (halaman 23)

148 | Al-Furuq
TAHDZIR KAUM SALAF DARI
KELOMPOK MURJI’AH

A
da banyak atsar yang diriwayatkan dari kaum salaf yang menerangkan
tentang hakikat iman dan bantahan serta peringatan dari irja’ dan Murji’ah,
baik dari sifatnya dan personnya.
Sekumpulan imam dan para ulama dari kalangan salaf serta orang-orang yang
mengikuti jejak langkah mereka juga telah membuat tulisan-tulisan yang banyak
dalam menerangkan hakikat keimanan dan bantahan kepada Murji’ah, di antaranya
sebagai berikut:
1. Kitab al-Iman, karya Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam rahimahullah
2. Kitab al-Iman, karya al-Hafidz Abu Bakr bin Abi Syaibah rahimahullah
3. Kitab al-Iman al-Kabir, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan banyak
dari tulisan-tulisan beliau lainnya serta fatwa-fatwanya yang menerangkan
hakikat irja’ dan memperingatkan dari Murji’ah. Di samping itu beliau juga
menerangkan hakikat iman dan akidah kaum salaf.
4. Kitab ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah, karya Utsman bin Sa’id ad-Darimi
5. Para ahli hadits membawakan pada kitab-kitab ash-Shahih, dan al-Masanid
serta Sunan bab-bab yang menerangkan hakikat iman.
6. Kitab-kitab i’tiqad yang bersanad, seperti kitab as-Sunnah karya Abdullah bin
al-Imam Ahmad, as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim, as-Sunnah karya Harb bin
Ismail al-Karmani, asy-Syari’ah karya al-Ajurri, al-Ibanah al-Kubra karya Ibnu
Baththah, Syarh I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah karya al-Lalika’i, ‘Aqidatus
Salaf wa Ashhabil Hadits karya Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni dan yang
lainnya.
Kitab-kitab ini dan selainnya dari kitab-kitab ulama salaf merupakan sumber
terpenting bagi siapa saja yang ingin mengetahui akidah salaf tentang iman dan
persoalan lainnya dari perkara-perkara akidah dan juga sebagai rujukan utama
dalam mengetahui hakikat akidah rusak kaum Murji’ah.
Maka di antara riwayat dan atsar yang terdapat pada kitab-kitab tersebut yang
mencela Murji’ah dan peringatan dari mereka adalah:

Al-Furuq | 149
Dari ‘Atha bin as-Sa’ib, ia berkata; “Said bin Jubair membicarakan Murji’ah, ia
membuat permisalan. Katanya; Perumpamaan mereka seperti kaum Sha’ibah yang
mendatangi kaum Yahudi seraya berkata; Apa agama kalian? Yahudi itu menjawab;
Yahudi. Mereka berkata; Apa kitab kalian? Yahudi itu menjawab; Taurat. Mereka
bertanya lagi; Siapa nabi kalian? Yahudi itu menjawab; Musa. Mereka bertanya lagi:
Apa yang didapatkan oleh orang yang mengikuti kalian? Yahudi itu menjawab; Surga.
Kemudian mereka mendatangi kaum Nashara dan bertanya; Apa agama kalian?
Nashara menjawab; Nashrani. Mereka bertanya lagi; Apa kitab kalian? Nashara
menjawab; Injil. Mereka bertanya lagi; Siapa nabi kalian? Nashara menjawab; Isa.
Kemudian mereka bertanya lagi; Apa yang didapat oleh orang yang mengikuti
kalian? Nashara menjawab; Surga. Lalu kaum Sha’ibah ini berkata; Kami berada Di
antara dua agama.”312
Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata; “Murji’ah itu yahudinya ahli kiblat.”313
Dari Ayub ia berkata: “Said bin Jubair berkata tanpa ada yang bertanya dan
mengingatkan; Jangan dekati Thalq. Yakni karena dia mengikuti pendapat Murji’ah.
Pada riwayat yang lain ia berkata: Said bin Jubair berkata kepadaku; Bukankah aku
pernah lihat kamu bersama Thalq? Saya katakan: Iya, kenapa dia? Said berkata: Jangan
dekati dia karena dia seorang Murji’ah. Ayub berkata: Dan aku tidak mendebatnya
dalam hal ini, karena sudah kewajiban bagi seorang muslim apabila melihat dari
temannya yang dia tidak suka untuk memerintahkan dan melarangnya.”314
Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata; “Sungguh fitnah Murji’ah lebih
aku khawatirkan kepada ummat daripada fitnahnya Azariqah.”315
Ia juga berkata; “Kaum Murji’ah lebih aku khawatirkan atas muslimin dari
banyaknya Azariqah.”316
Dan ia berkata; “Aku tidak mengetahui yang lebih bodoh pandangannya
melebihi Murji’ah ini.”317
Dari Abu Hamzah At-Tammar, ia berkata; “Saya berkata kepada Ibrahim:
Apa pandanganmu tentang akidah kaum Murji’ah? Ia berkata; Cis! Mereka
mencampuradukkan pandangan. Aku mengkhawatirkan mereka atas umat ini.

312 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/312-323) dan Al Aajurri
dalam Asy-Syari’ah (3/680)
313 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/341) dan Al Aajurri dalam
Asy-Syari’ah (3/681) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra (1/377)
314 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/314) dan Al Aajurri dalam
Asy-Syari’ah (3/681) dan Al Laalika’i dalam Syarah Al I’tiqad (5/1062)
315 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/313) dan Al Khallal dalam
As-Sunnah (3/562) dan Al Aajurri dalam Asy-Syari’ah (3/678)
316 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/313) dan Al Aajurri dalam
Asy-Syari’ah (2/678) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah (2/376)
317 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/327)

150 | Al-Furuq
Kejahatan dari mereka sangat banyak. Berhati-hatilah kamu dari mereka.”318
Dari seorang tabi’in yang mulia Mujahid bin Jabr rahimahullah: “Pada mulanya
mereka Murji’ah, kemudian menjadi Qadariyah, kemudian menjadi Majusi.”319
Dari al-Auza’i ia berkata: “Dahulu Yahya dan Qatadah mengatakan; Tidak ada
satu pun hawa nafsu yang paling ditakuti mereka atas umat ini daripada irja’ 320 Dari
al-Auza’i dari az-Zuhri, ia berkata: Tidak ada bid’ah di dalam Islam yang dibuat-buat
paling membahayakan umat daripada ini, yakni bid’ah irja’.”321
Dari Ja’far Al Ahmar ia berkata; Manshur bin al-Mu’tamir berkata; “Aku tidak
sependapat dengan pandangan Muji’ah yang sesat ahli bid’ah.”322
Dari Al Aswad bin Amir ia berkata; “Aku mendengar Abu Bakar bin Ayyas
menyebut perihal Abu Hanifah dan para sahabatnya yang menyelisihi. Ia berkata;
al-A’masy berkata; Demi Allah, Dzat yang tidak ada ilah selain Dia. Aku tidak
mengetahui yang lebih buruk daripada mereka.”323
Dari Abdullah bin Numair, ia berkata; “Aku mendengar Sufyan yang
membicarakan Murji’ah. Ia berkata; Pandangan yang muhdats (bid’ah), aku dapati
orang-orang tidak seperti mereka. Dalam riwayat al-Khallal ia berkata; Aku
mendengar Sufyan berkata; Agama yang muhdats (bid’ah) adalah agama irja’.”324
Dari Ibrahim bin al-Mughirah, ia berkata; “Aku bertanya kepada Sufyan ats-
Tsauri; Bolehkan aku shalat di belakang orang yang berpandangan iman adalah
ucapan tanpa amal? Sufyan berkata; Tidak, tidak ada kehormatan baginya.”325
Dari Ma’n bin Isa bahwa seseorang di Madinah yang dikenal dengan panggilan
Abu al-Juwairiyah berpandangan irja’. Malik bin Anas berkata; “Jangan nikahi
dia.”326
Muhammad bin Ali bin Al Hasan berkata; “Aku mendengar Fudhail bin
Iyadh berkata; Ahli irja’ mengatakan; Iman adalah ucapan tanpa perbuatan, dan
Jahmiyah mengatakan; Iman adalah ma’rifah (pengenalan) tanpa ucapan dan

318 Diriwayatkan oleh Al Aajurri dalam Asy-Syari’ah (3/678) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al
Kubra (1/379)
319 Diriwayatkan oleh Al Laalika’i dalam Syarh Al I’tiqad (5/1060)
320 Diriwayatkan oleh Al Aajurri dalam Asy-Syari’ah (3/682) dan Al Laalika’i dalam Syarh Al I’tiqad
(5/1064)
321 Diriwayatkan oleh Al Aajurri dalam Asy-Syari’ah (3/676) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al
Kubra (1/376)
322 Diriwayatkan oleh Al Aajurri dalam Asy-Syari’ah (3/682) dan Al Laalika’i dalam Syarah Al I’tiqad
(5/1064) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra (1/376)
323 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/190)
324 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/311) dan Al Khallal dalam
As-Sunnah (3/563) dan Al Aajurri dalam Asy-Syari’ah (3/681)
325 Diriwayatkan oleh Al Laalika’i dalam Syarah Al I’tiqad (5/1064)
326 Idem (5/1067)

Al-Furuq | 151
perbuatan. Sedangkan Ahlussunnah mengatakan; Iman adalah ma’rifah, ucapan dan
perbuatan.”327
Sufyan bin Uyainah rahimahullah ditanya tentang irja’, ia berkata; “Irja’ ada
dua; yaitu kaum yang menunda persoalan Ali dan Utsman, dan mereka telah punah.
Adapun Murji’ah sekarang mengatakan iman adalah ucapan tanpa perbuatan. Jangan
dekati mereka, jangan makan bersama mereka, jangan minum bersama mereka,
jangan shalat bersama mereka, dan jangan shalati jenazah mereka.328
Dari Muhammad bin Aslam ia berkata; “Aku mendengar Yazid bin Harun
mengatakan: Barangsiapa yang mengajak kepada irja’ maka shalat di belakangnya
diulang.”329
Dari Abu Al Harits ia berkata: Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata; “Dahulu
Syababah mengajak kepada paham irja’ dan kami telah menulis darinya sebelum
mengetahui bahwa ia berpegang dengan pemahaman ini. Dahulu dia mengatakan;
iman adalah ucapan dan perbuatan. Maka apabila seseorang sudah berucap maka
dia sudah berbuat dengan lisannya. (Ini) pandangan yang rendah.”330
Dalam riwayat al-Atsram ia berkata; “Aku mendengar Abu Abdillah, dikatakan
dihadapannya; Syababah, apa pendapatmu tentangnya? Ia berkata; Syababah
dulu mengajak kepada irja’. Ia berkata; Dihikayatkan dari Syababah ucapan
lebih buruk dari ucapan-ucapan ini. Aku tidak pernah mendengar seorang pun
(mengatakannya) dari yang semisal dengannya. Ia berkata; Syababah bilang; Apabila
seseorang telah mengucapkan dia telah berbuat (beramal). Ia berkata; Iman adalah
ucapan dan perbuatan seperti yang mereka katakan. Maka apabila seseorang sudah
mengucapkan maka dia telah berbuat dengan anggota badannya yakni lisannya
saat dia berkata-kata! Kemudian Abu Abdillah berkata; Ini perkataan keji, aku
tidak pernah mendengar seorang pun mengatakan ini, dan tidak juga seorang pun
menyampaikan kepadaku.”331
Dari al-Husain bin Muhammad bin Wadhdhah, dan Makki bin Khalaf bin Affan,
keduanya mengatakan; “Kami mendengar Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) ia
berkata; Aku menulis dari lebih seribu orang ulama dan aku tidak menulis kecuali
dari orang yang mengatakan iman adalah ucapan dan perbuatan, dan aku tidak
menulis dari orang yang mengatakan iman adalah ucapan.”332
Ya’qub bin Sufyan rahimahullah mengatakan; “Iman menurut Ahlussunnah

327 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad dalam As-Sunnah (1/347)
328 Diriwayatkan oleh At-Thabari dalam Tahdzib Al Atsar (2/181)
329 Diriwayatkan oleh Al Laalika’i dalam Syarh Al I’tiqad (5/1067)
330 Diriwayatkan oleh Al Khallal dalam As-Sunnah (3/570)
331 Idem (3/571)
332 Diriwayatkan oleh Al Laalika’i dalam Syarah Al I’tiqad (5/959)

152 | Al-Furuq
adalah keikhlasan untuk Allah dengan hati dan lisan serta anggota badan. Ia adalah
ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Di atas hal ini kami dapati semua
yang kami temui di zaman kami di Makkah, Madinah, Syam dan Kufah. Di antara
mereka adalah:
■ Abu Bakar al-Humaidi dan Abdullah bin Yazid al-Muqri di tengah-tengah
ulama lainnya di Makkah
■ Isma’il bin Abi Uwais, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Majisun dan Mutharrif
bin Abdul Yasari di tengah-tengah ulama lainnya di Madinah
■ Muhammad bin Abdillah al-Anshari, ad-Dhahhak bin Makhlad, Sulaiman bin
Harb, Abu al-Walid ath-Thanafisi, Abu an-Nu’man dan Abdullah bin Maslamah
di tengah-tengah ulama lainnya di Bashrah
■ Ubaidullah bin Musa, Abu Nu’aim, Ahmad bin Abdillah bin Yunus di tengah
ulama lainnya yang banyak di Kufah.
■ ‘Amr bin ‘Aun bin Uwais dan ‘Ashim bin Ali bin ‘Ashim di tengah ulama lainnya
di Wasith.
■ Ibnu Abi Iyas di tengah ulama lainnya di ‘Asqalan.
■ Abdul A’la bin Mushir, Hisyam bin ‘Ammar, Sulaiman bin Abdurrahman dan
Abdurrahman bin Ibrahim di tengah ulama lainnya di Syam.
■ Abu al-Yaman Al Hakam bin Nafi’ dan Haywah bin Syuraih di tengah ulama
lainnya di Himsh
■ Makki bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih dan Shadaqah bin al-Fadhl di tengah
ulama lainnya di Khurasan.
Semua mereka mengatakan: Iman adalah ucapan dan perbuatan. Mereka
mencela Murji’ah dan mengingkari pandangan mereka.”333
Berdasarkan hal ini, barangsiapa memperhatikan atsar-atsar ini ,memahaminya
dan merujuk kembali kitab-kitab yang ditulis para ulama yang memperingatkan
dari paham irja’ dan Murji’ah dan menerangkan kesesatan serta penyimpangan
mereka, akan mengetahui kerasnya kaum salaf dalam memperingatkan manusia
dari paham irja’ dan kaum Murji’ah serta kokohnya sikap dan perlawanan mereka
dalam menangkal hawa nafsu yang hina ini.

333 Idem (5/1035)

Al-Furuq | 153
Pembahasan Kelima
TAHDZIR ULAMA KONTEMPORER
DARI PAHAM IRJA’

P
ara ulama Ahlussunnah kontemporer yang mapan dalam keilmuannya
memiliki sikap yang tegas dalam mentahdzir (mewaspadai) dari fitnah paham
irja’ dan kelompok Murji’ah dalam wujudnya yang baru. Karena sesungguhnya
para ulama adalah pewaris para nabi dalam kebenaran, kejujuran, ilmu dan amal.
Mereka melakoni posisi para rasul dalam menerangkan kebenaran, amar ma’ruf nahi
munkar dan membongkar kerancuan-kerancuan para pengekor kebatilan. Akan
senantiasa ada satu kelompok dari umat ini yang tegak menyampaikan kebenaran,
sebagai jihad, pemberi penjelasan jalan kebenaran, dan penyingkap kebatilan sampai
Allah mewariskan bumi ini dan segenap isinya.
Al-Imam Bukhari rahimahullah mengatakan pada Bab sabda Nabi ; “Akan
senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang tampil di atas kebenaran.” Mereka
adalah para ahli ilmu. Ia menyebutkan di situ dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ia
berkhutbah katanya; Aku mendengar dari Nabi  bersabda; “Barangsiapa Allah
kehendaki padanya kebaikan, Dia pahamkanlah orang itu persoalan agama.
Sesungguhnya Aku adalah pembagi dan Allah-lah yang memberikan (kebaikan).
Keadaan umat ini akan senantiasa baik sampai datang kiamat, atau sampai datang
keputusan Allah.”334
Di dalam ash-Shahihain dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘Anhu
dari Nabi  beliau bersabda; “Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku
yang menampakkan (kebenaran) sampai datang keputusan Allah dan mereka terus
menampakkannya.”335
Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Tsauban Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata;
Rasulullah  bersabda; “Akan senantiasa ada satu golongan dari umatku di atas
kebenaran, tidak mencelakakan mereka orang-orang yang memperdaya mereka
sampai datang keputusan Allah dan mereka terus demikian.”336
Para ulama yang mana mereka adalah sisa dari yang tersisa, yang Allah Ta’aala
katakan tentang mereka;
334 Al Bukhari (6882)
335 Al Bukhari (6881) dan Muslim (1921)
336 Muslim (1920)

Al-Furuq | 155
ٗ‫اَّ َ ا‬ َ ۡ‫أ‬ ْ ُ ُ ُ
َۡ َ َ
ِ ‫ون مِن ق ۡبل ِك ۡم أ ْولوا بَقِ َّي ٖة َي ۡن َه ۡون َع ِن ٱلف َسادِ يِف ٱل‬
‫ۡرض إِل قل ِيل‬ ُ ُ ۡ َ َ َ‫َ َ ۡ اَ ا‬
ِ ‫فلول كن مِن ٱلقر‬
َ
‫ّم َِّم ۡن أجنَ ۡي َنا م ِۡن ُه ۡم‬
“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang
mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka
bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di
antara mereka...” (QS. Hud: 116)
Telah menunaikan kewajibannya dalam menghalau lajunya Murji’ah dan
menerangkan kebatilan mereka. Di antara di antara persoalan yang dijelaskan ulama
sebagai berikut :
(1) Dengan judul “Penyebaran Akidah Irja’ dan Ajakan Kepadanya”337
Pertanyaan; Telah tampak belakangan ini paham irja’ dalam bentuk yang
mengkhawatirkan. Paham ini disebarkan oleh jumlah yang banyak dari para penulis.
Mereka bersandar kepada nukilan-nukilan yang mengalami pemenggalan dari
perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, di mana hal ini menyebabkan kerancuan
pada banyak orang tentang penamaan iman. Orang-orang yang menyebarkan paham
ini berusaha mengeluarkan amalan dari pengertian iman. Mereka beranggapan
orang yang meninggalkan semua amalan selamat. Hal ini mengesankan kepada
manusia ringannya melakukan kemungkaran, perkara kesyirikan, dan kemurtadan.
Karena menurut mereka iman tercapai sekalipun mereka tidak menunaikan
kewajiban-kewajiban, meninggalkan keharaman-keharaman, walaupun mereka
tidak mengerjakan syariat-syariat agama, sesuai pondasi mazhab ini. Maka tidak
diragukan bahwa mazhab ini berbahaya atas masyarakat Islam dan perkara akidah
dan ibadah. Maka kami berharap kepada Anda menerangkan hakikat mazhab ini
dan pengaruh-pengaruhnya yang buruk dan menerangkan yang benar sesuai al-
Quran dan as-Sunnah dan tahqiq nukilan dari Syaikhul Islam agar seorang muslim
berada di atas bashirah akan agamanya.
Jawaban; Setelah al-Lajnah lil Istifta’ mempelajari (hal ini) ia memberikan
jawaban sebagai berikut;
Paham yang disebutkan ini adalah paham Murji’ah yang mengeluarkan amalan
(perbuatan) dari pengertian iman. Mereka mengatakan; Iman adalah pembenaran
dengan hati, atau pembenaran dengan hati disertai dengan pengucapan dengan lisan
saja. Adapun amalan (perbuatan) menurut mereka syarat kesempurnaan iman saja
dan bukan bagian darinya. Maka barangsiapa telah membenarkan dengan hatinya
dan mengucapkan dengan lisannya, maka dia beriman dengan iman yang sempurna

337 Majmu’ Fatawa Al Lajnah (28/126)

156 | Al-Furuq
menurut mereka walaupun meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan
hal-hal yang haram, dan (orang itu) berhak masuk surga, walaupun tidak melakukan
kebaikan sama sekali.
Maka lahir dari kesesatan ini konsekuensi yang batil. Di antaranya membatasi
kekufuran kepada kufur takdzib (pendustaan) dan istihlal qalbi (penghalalan di
hati). Tidak diragukan bahwa ini pendapat yang batil dan kesesatan yang nyata,
menyelisihi Al Kitab dan As-Sunnah serta ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dahulu
dan sekarang. Paham ini membuka jalan kepada orang-orang jahat dan pelaku
kerusakan untuk berlepas dari agama dan ketidakterikatan kepada perintah-
perintah dan larangan-larangan serta khauf dan khasyah kepada Allah Subhanahu,
menelantarkan kehormatan jihad di jalan Allah, amar ma’ruf nahi munkar dan
menyamakan antara orang shalih dan jahat, orang yang taat dan pelaku maksiat,
orang yang istiqamah di atas agama dan orang fasik yang berlepas dari perintah-
perintah agama dan larangannya, selagi amalan mereka ini tidak mencederai
keimanan, sebagaimana ajaran mereka.
Karena itu para imam di dalam Islam dahulu dan sekarang sangat perhatian
dalam menerangkan batilnya mazhab ini, membantah para pengusungnya dan
menjadikan persoalan ini dalam sebuah bab yang khusus dalam kitab-kitab akidah.
Bahkan mereka menulis tentang hal ini pada karya-karya yang terpisah seperti yang
dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan selainnya.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata dalam kitab Al ‘Aqidah Al Washitiyah;
Di antara pokok-pokok ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bahwa agama dan
iman adalah ucapan dan perbuatan. Ucapan hati dan (ucapan) lisan, perbuatan hati,
perbuatan lisan dan perbuatan anggota badan. Bahwasanya keimanan itu bertambah
dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Beliau berkata pada kitab al-Iman; Termasuk dari bab ini; perkataan-perkataan
kaum salaf dan para imam as-Sunnah dalam menafsirkan iman. Sesekali mereka
mengatakan Iman adalah ucapan dan perbuatan. Sesekali mengatakan (iman itu)
ucapan, perbuatan dan niat. Sesekali mengatakan (iman itu) ucapan, perbuatan,
niat dan mengikuti sunnah. Sesekali mengatakan (iman itu) ucapan dengan lisan,
keyakinan dengan hati dan perbuatan dengan anggota badan, dan semua (perkataan)
ini benar.
Beliau rahimahullah berkata; Adapun salaf sangat keras pengingkarannya kepada
Murji’ah ketika mereka mengeluarkan amalan dari iman, dan tidak diragukan bahwa
paham mereka yang menyamakan semua keimanan manusia di antara merupakan
kesalahan yang paling buruk, sedangkan manusia tidak sama dalam hal pembenaran,
kecintaan, khasyah dan ilmu, melainkan mereka bertingkat-tingkat dari sisi yang
banyak.

Al-Furuq | 157
Beliau rahimahullah berkata; Murji’ah telah berpaling pada pokok ini dari
keterangan Al Kitab dan As-Sunnah, perkataan-perkataan para sahabat dan orang-
orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dalam kebaikan. Mereka bersandar kepada
pandangan sendiri dan hasil penakwilan mereka berdasarkan pemahaman mereka
terhadap bahasa. Hal ini adalah metodenya ahli bid’ah.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa amalan termasuk ke dalam hakikat
keimanan, bertambah dan berkurang adalah firman Allah Ta’aala;
َ َ ُ ُ ٰ َ َ ۡ ۡ َ َ ۡ َ ُ َ ۡ ُ ُ ُ ُ ۡ َ َ ُ َّ‫َّ َ ۡ ُ ۡ ُ َ ذَّ َ َ ُ َ ه‬
َ ‫اد ۡت ُه ۡم إ‬
‫يم ٰ ٗنا‬ِ ‫جلت قلوبهم ِإَوذا تل ِيت علي ِهم ءايتهۥ ز‬ ِ ‫إِنما ٱلمؤمِنون ٱلِين إِذا ذكِر ٱلل و‬
َ ۡ ۡ ُ َ َ ُ َ ُ ۡ َ َ ُ ُ َ َّ‫َ لَىَ ٰ َ ّ ۡ َ َ َ لَّ ُ َ ذ‬
‫ أ ْو ٰٓلئِك ه ُم ٱل ُمؤم ُِنون‬. ‫ٱلصل ٰوةَ َوم َِّما َر َزق َنٰ ُه ۡم يُنفِقون‬َّ ‫ون‬ ‫ ٱلِين يقِيم‬. ‫وع رب ِ ِهم يتوكون‬
َ ٌ ۡ
ٌ ‫ِند َر ّبه ۡم َو َمغ ِف َرةٌ َور ۡزق كر‬
‫يم‬ َ ‫تع‬ َ ‫َح ّٗقا ل َّ ُه ۡم َد َر‬
ٌ ٰ‫ج‬
ِ ِ ِِ ۚ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-
ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka
bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan
sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang
beriman dengan sebenar-benarnya.” (QS. Al-Anfal: 2-4)
Dan firman-Nya;
َ ُ ۡ َّ ُ َ َّ‫َ اَ ۡ َ ٰ ُ َ َ ذ‬ ُ َ َّ‫َ ۡ َ ۡ َ َ ۡ ُ ۡ ُ َ ذ‬
‫ِين ه ۡم َع ِن ٱللغوِ ُم ۡع ِرضون‬ ‫ وٱل‬. ‫ِين ه ۡم يِف صلت ِ ِهم خشِ عون‬ ‫ ٱل‬. ‫قد أفلح ٱلمؤمِنون‬
َ َ َ‫لَى‬ َّ‫ا‬ َّ‫ذ‬ ُ َ َ َّ ۡ ُ َ َّ‫َ ذ‬
‫ج ِه ۡم أ ۡو َما‬ َ ۡ ٰٓ ‫ إل‬. ‫ون‬ َ ُ َٰ ۡ ُُ ۡ ُ َ َ َ
ِ ٰ ‫ع أزو‬ ِ ‫ج ِهم حفِظ‬ ِ ‫ وٱلِين هم ل ِفرو‬. ‫ وٱلِين هم ل ِلزك ٰوة ِ فٰعِلون‬.
َ ُ ۡ ُ َ َ ُ َ َ َ ٓ ٰ َ‫َ َ َ ۡ َ ۡ َ ٰ ُ ُ ۡ َ َّ ُ ۡ َ يرۡ ُ َ ُ َ َ َ ۡ َ ى‬
. ‫غ َو َرا َء ذٰل ِك فأ ْو ٰٓلئِك ه ُم ٱل َعادون‬ ‫ فم ِن ٱبت‬. ‫ملكت أيمنهم فإِنهم غ ملومِني‬
َ ُ ُ‫ح‬ َ َ‫لَى‬
ٰ ‫ِين ُه ۡم‬ َ ُ ٰ َ ۡ ۡ َ َ ۡ ٰ َ ٰ َ َ ۡ ُ َ َّ‫َ ذ‬
َ ‫ َو ذَّٱل‬. ‫ون‬
‫ع َصل َوٰت ِ ِه ۡم يَاف ِظون‬ ‫وٱلِين هم أِلمنت ِ ِهم وعه ِدهِم رع‬
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang
khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan
dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat,
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS. Al-
Mu’minun: 1-9)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Iman ada tujuh puluh sekian
cabang. Yang tertinggi ucapan Laa ilaaha Illallah, yang paling rendah menyingkirkan

158 | Al-Furuq
gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang dari keimanan.”
Syaikhul Islam rahimahullah berkata di dalam kitab al-Iman juga; Pokok
keimanan terdapat di dalam hati, dia adalah ucapan hati dan amalannya. Hal ini
merupakan pengakuan dengan pembenaran, kecintaan dan ketundukan. Apa
yang terdapat di dalam hati harus menampakkan konsekuensi dan tuntutannya
pada anggota badan. Apabila seseorang tidak mengamalkan konsekuensi dan
tuntutannya, maka menunjukkan hilangnya atau lemahnya keimanan. Oleh karena
itu amalan-amalan perbuatan yang tampak termasuk tuntutan keimanan hati dan
konsekuensinya. Hal ini merupakan pembenaran terhadap apa yang ada di dalam
hati dan bukti atasnya dan sebagai saksi baginya. Hal ini merupakan salah satu
cabang keimanan mutlak dan bagian darinya.
Beliau juga berkata; Bahkan siapa saja yang memperhatikan apa yang
dikatakan kaum Khawarij dan Murji’ah tentang makna keimanan akan mengetahui
secara darurat bahwa hal itu menyelisihi Rasul. Dia mengetahui secara darurat
bahwa ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya termasuk keutuhan iman, dan bahwa
dia tidak menjadikan semua orang yang melakukan dosa itu kafir. Dia mengetahui
bahwa seandainya satu kaum berkata kepada Nabi ; [kami beriman kepada apa
yang engkau bawa dengan hati kami tanpa keraguan, mengakuinya dengan lisan-
lisan kami dengan syahadatain ,namun kami tidak menaatimu pada satu pun
dari yang kamu perintahkan dan larang. Kami tidak shalat, tidak puasa, tidak
haji, tidak membenarkan berita-berita, tidak menunaikan amanah dan janji, tidak
menyambung silaturrahim, tidak mengerjakan sedikit pun kebaikan yang kamu
perintahkan. Kami minum khamr, menikahi mahram dengan melakukan zina
terang-terangan, membunuh siapa yang bisa kami bunuh dari sahabat-sahabatmu,
umatmu dan kami merampas harta mereka, bahkan kami memerangimu juga dan
ikut berperang bersama musuh-musuhmu]. Apakah ada orang berakal mengira
bahwa Nabi  berkata kepada mereka kalian orang-orang beriman, iman kalian
sempurna dan kalian termasuk orang-orang yang mendapatkan syafaatku di hari
kiamat, diharapkan bagi kalian bahwa tidak seorang pun masuk ke dalam neraka!
Bahkan semua muslim tahu secara darurat bahwa beliau berkata kepada mereka;
Kalian orang yang paling kafir terhadap apa yang aku bawa. Leher-leher kalian
dipenggal apabila tidak bertaubat dari hal itu.
Beliau juga berkata; Lafal keimanan apabila dimutlakkan di dalam al-Quran
dan as-Sunnah yang dimaksud adalah lafal birr (kebajikan), takwa dan diin
sebagaimana telah lalu. Nabi  telah menjelaskan bahwa iman ada tujuh puluh
sekian cabang, yang paling utamanya adalah ucapan Laa ilaaha illallah, yang paling
rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Oleh karena itu apa saja yang
dicintai Allah apabila dimutlakkan masuk ke dalam penamaan iman termasuk lafal

Al-Furuq | 159
birr, takwa dan diin atau diinul Islam. Begitu juga telah diriwayatkan bahwa mereka
bertanya tentang iman, maka Allah menurunkan ayat ini;
ۡ‫هَّ ي‬ َّ ۡ ‫ك َّن ٱل‬ َ ۡ َۡ َ ۡ‫َّ ۡ َ ۡ َّ َ ُ َ ُّ ْ ُ ُ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ ر‬
‫ب َم ۡن َء َام َن بِٱللِ َوٱلَ ۡو ِم‬ ِ‫ر‬ ِ ٰ ‫ب َول‬ ِ ‫ش ِق وٱلمغ ِر‬ِ ‫ليس ٱل رِب أن تولوا وجوهكم ق ِبل ٱلم‬
ۡ‫ي‬ َ‫ى‬ ُ ۡ َ َ‫لَى‬ َ ۡ َ‫ى‬ ّ ۡ َ ٰٓ َ َ ۡ َ
‫م‬ ٰ َ‫ب َوٱلَ َتٰ ى‬ٰ ‫ع ُح ّبِهِۦ ذوِي ٱلق ۡر‬ ٰ ‫ي َۧن َو َءات ٱل َمال‬ ‍ ِ ِ ‫ب َوٱنلَّب‬ ِ ٰ‫كةِ َوٱلك َِت‬ ِ ‫ٱٓأۡلخ ِِر وٱلملئ‬
َ ُ ۡ َ َ‫ى‬ َ َ
َ َ‫ٱلرقَاب َوأق‬ ٓ َ َۡ َ
‫ٱلزك ٰوةَ َوٱل ُموفون‬ َّ ‫ٱلصل ٰوةَ َو َءات‬ َّ ‫ام‬
ِ
ّ ‫ِني َوف‬
ِ ِ‫ي‬
َ ‫ٱلسائل‬
ِ
َّ ‫ٱلسبيل َو‬
ِ ِ
َّ ‫ِني َو ۡٱب َن‬ َ ‫سك‬ٰ ‫وٱلم‬
ْ ُ َ َ َ َّ‫بۡ َ ۡ َ ٓ َ رَّ َّ ٓ َ َ بۡ َ ۡ ُ ْ َ َ ذ‬ َّ ْ َ َ
َ ٰ ‫ب َع ۡه ِده ِۡم إذا ع ٰ َه ُد ۖوا َوٱلص‬
‫س أو ٰٓلئِك ٱلِين صدق ۖوا‬ ۗ ِ ‫بين يِف ٱلأساءِ وٱلضاءِ وحِني ٱلأ‬ ِ ِ‫ر‬ ِ ِ
َ ُ َّ ُ ۡ ُ ُ َ ٰٓ َ ْ ُ َ
‫وأولئِك هم ٱلمتقون‬
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)
...sampai pada perkataannya: Yang diinginkan di sini adalah bahwa tidak ada
pujian kecuali terhadap keimanan yang disertai amal perbuatan, bukan terhadap
keimanan yang kosong dari amal perbuatan.
Inilah perkataan Syaikhul Islam tentang iman. Barangsiapa menukil darinya
selain ini maka dia telah berdusta atas namanya.
Adapun yang terdapat pada hadits bahwa ada satu kaum yang masuk surga
sedangkan mereka tidak pernah mengerjakan satu pun kebaikan, hadits ini tidak
berlaku umum atas semua yang meninggalkan amalan sedangkan dia mampu
mengerjakannya. Hadits ini khusus bagi mereka yang memiliki udzur yang
menghalangi dari beramal, atau alasan lain yang sesuai dengan maksud-maksud
syariat.
Al-Lajnah ad-Da’imah setelah menjelaskan hal ini bahwa sesungguhnya mereka
melarang dan memperingatkan dari berbantah-bantahan dalam pokok-pokok
akidah karena hal ini akan menimbulkan keburukan-keburukan yang besar dan
mewasiatkan dalam hal ini untuk merujuk kepada kitab-kitab salafus shalih dan
para imam dalam agama yang dibangun di atas al-Quran, as-Sunnah dan pendapat-
pendapat salaf. Sebagaimana ia juga memperingatkan dari merujuk kepada kitab-
kitab yang menyelisihi hal ini dan buku-buku kontemporer yang muncul dari orang-

160 | Al-Furuq
orang yang sok pintar yang tidak mengambil ilmu dari ahlinya dan dari sumber-
sumbernya yang asli. Sungguh mereka telah merusak pendapat pada pokok yang
agung ini dari pokok-pokok akidah, membangun mazhab Murji’ah, kemudian
menisbatkannya secara zalim kepada Ahlussunnah wal Jama’ah dan menipu manusia,
dan menguatkannya di atas permusuhan dengan nukilan yang dipenggal-penggal
dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan selainnya dari para imam salaf.
Demikian juga dengan ucapan-ucapan yang samar dan tidak mengembalikannya
kepada yang muhkam dari perkataan mereka. Sesungguhnya kami menasihati
mereka untuk bertakwa kepada Allah pada diri-diri mereka sendiri, agar mereka
kembali kepada jalan hidayah dan tidak membelah barisan dengan mazhab sesat
ini.
Al Lajnah juga memperingatkan muslimin dari tertipu dan terjatuh ke dalam
barisan orang-orang yang menyelisihi apa yang dipegang oleh jamaah muslimin,
Ahlussunnah wal Jama’ah.
Semoga Allah memberi taufik kepada semua untuk meraih ilmu yang ber­
manfaat, amalan shalih dan memahami agama. Hanya kepada Allah kita minta
taufik. Semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepada nabi kita Muhammad dan
keluarganya serta para sahabatnya.

Al-Lajnah Ad-Daa’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota Anggota Anggota Ketua


Bakr Abu Zaid Shalih Al Fauzan Abdullah bin Abdul Aziz bin
Ghudayyan Abdillah Alu Asy-Syaikh

Fatwa ini menunjukkan hal-hal berikut :


1. Keterangan bahwa di antara pendapat Murji’ah adalah mengeluarkan amalan
dari pengertian iman.
2. Keterangan bahwa iman menurut Murji’ah adalah pembenaran dengan hati,
atau pembenaran hati dan ucapan lisan saja.
3. Keterangan bahwa di antara pendapat Murji’ah adalah amal perbuatan syarat
sempurna iman, dan bukan bagian dari iman.
4. Keterangan bahwa di antara pendapat Murji’ah adalah seseorang berhak masuk
surga sekalipun dia tidak pernah melakukan satu kebajikan.
5. Keterangan bahwa di antara pendapat Murji’ah adalah membatasi kekufuran
hanya kepada kufur takdzib (mendustakan) dan istihlal qalbi (penghalalan
hati).

Al-Furuq | 161
6. Keterangan kerusakan-kerusakan mazhab irja’ dan dampaknya kepada umat.
7. Keterangan bahwa para imam muslimin dahulu dan sekarang telah bersung­
guh-sungguh menerangkan batilnya mazhab Murji’ah dan membantah para
pengusungnya.
8. Keterangan bahwa di antara pokok ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah
bahwa diin dan iman adalah ucapan dan perbuatan. Ucapan hati dan lisan,
perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Bahwa keimanan bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
9. Keterangan bahwa dalil-dalil jelas dan tidak terbantahkan bahwa amal per­
buatan termasuk ke dalam hakikat keimanan, dan bahwa iman bertambah dan
berkurang dengan amal perbuatan.
10. Keterangan bahwa apa yang terdapat di dalam hati harus tampak bukti dan kan­
dungannya pada anggota badan. Apabila seseorang tidak mengerjakan tuntutan
dan konsekuensinya itu menunjukkan tidak ada iman, atau lemah sesuai yang
tampak.
(2) Dengan judul; [Tahdzir dari kitab Ahkaam At-Taqriir karya Syukri
Murad]338
Pertanyaan; Di negeri ini Kerajaan Saudi Arabia kami berada di dalam
kenikmatan yang besar, di antaranya adalah kenikmatan tauhid. Dalam persoalan
takfir kami menolak madzhab Khawarij dan Murji’ah. Akan tetapi beberapa hari ini
saya punya sebuah kitab berjudul Ihkam At-Taqrir fi Ahkam At-Takfir karya Murad
Syukri berkebangsaan Jordania. Saya tahu bahwa dia bukan termasuk ulama dan
pendidikannya bukan dalam ilmu syar’i. Pada kitab ini disebarkan madzhab Murji’ah
ekstrem yang batil yaitu anggapan bahwa tidak ada kekufuran selain kufur takdzib
saja. Sesuai yang telah kami ketahui hal ini tidak benar dan menyelisihi dalil yang
ditunjuki Ahlussunnah wal Jama’ah dan yang telah dipopulerkan oleh para imam
dakwah di negeri yang berkah ini. Sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama
bahwa kekufuran terjadi dengan ucapan, perbuatan, keyakinan dan keraguan. Kami
berharap ada penjelasan agar tidak tertipu dengan kitab ini, di mana sekelompok
orang yang mengaku salafi di Jordan mengajak kepada apa yang terkandung di
dalamnya. Semoga Allah menolong kalian. Wassalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Jawab; Setelah memperhatikan kitab yang disebutkan, didapati bahwa kitab
ini mengandung apa yang telah disebutkan berupa penegasan madzhab Murji’ah
dan menyebarkannya. Bahwa tidak ada kekufuran selain kufur juhud dan takdzib
dan menampakkan madzhab rendah ini dengan mengatas-namakan sunnah, dalil
dan pendapat ulama salaf. Semua ini adalah kejahilan akan kebenaran, pengelabuan
338 Majmu’ Fatawa Lajnah (28/133)

162 | Al-Furuq
dan penyesatan terhadap akal generasi penerus bahwa ini adalah ucapan salaf umat
dan para ahli tahqiq dari para ulamanya. Padahal ia adalah mazhab Murji’ah yang
mengatakan kemaksiatan tidak mencederai keimanan. Keimanan menurut mereka
adalah pembenaran dengan hati, kekufuran adalah takdzib (pendustaan) saja. Ini
adalah sikap ghuluw (berlebihan) dalam penelantaran. Lawannya adalah madzhab
Khawarij yang batil yang merupakan sikap ghuluw dalam pengamalan dalam
persoalan takfir. Kedua madzhab ini sama-sama batil, rendah dan termasuk madzhab-
madzhab yang sesat. Lahir dari keduanya konsekuensi yang batil sebagaimana hal
ini telah dimaklumi.
Allah telah memberi petunjuk kepada Ahlussunnah wal Jama’ah kepada
pendapat yang benar, madzhab yang jujur dan keyakinan yang tidak berlebihan di
antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri berupa menjaga kehormatan seorang muslim
dan agamanya. Bahwasanya tidak boleh mengkafirkan kecuali dengan alasan yang
benar yang didukung oleh dalil dan kekufuran terjadi dengan ucapan, perbuatan,
tark (meninggalkan perbuatan), keyakinan, dan keraguan sebagaimana hal ini
didukung oleh dalil-dalil dari al-Quran dan as-Sunnah.
Sebagaimana yang telah lalu, sesungguhnya kitab ini tidak boleh dicetak,
disebarkan dan menisbatkan kebatilan yang ada padanya kepada dalil dari al-
Quran dan as-Sunnah. Ini bukan madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah dan wajib atas
penulisnya dan yang menyebarkannya mengumumkan taubat kepada Allah, karena
taubat menghapus kesalahan. Maka wajib atas siapa saja yang pijakannya di dalam
ilmu syar’i belum kokoh untuk tidak menyelami seperti persoalan-persoalan ini
hingga tidak terjadi musibah dan merusak akidah-akidah melebihi apa yang dia
harapkan dari manfaat dan perbaikan.
Hanya kepada Allah taufik, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah
kepada Nabi kita, keluarganya dan shahabatnya.

Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota Anggota Anggota


Bakr Abu Zaid Shalih Al Fauzan Abdullah bin Ghudayyan
Wakil Ketua Ketua
Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Fatwa ini menunjukkan hal-hal berikut :


1. Keterangan bahwa mazhab Murji’ah adalah tidak ada kekufuran selain kufur
juhud dan takdzib

Al-Furuq | 163
2. Termasuk kejahilan akan kebenaran dan bentuk pengelabuan serta penyesatan
akal-akal generasi penerus adalah pendapat bahwa ucapan Murji’ah yang
membatasi kekufuran kepada juhud dan takdzib adalah pendapat salaf umat
dan ahli tahqiq dari para ulamanya, dan menampakkan hal ini atas nama
sunnah dan dalil dan bahwa ia adalah pendapat mayoritas salaf!
3. Penjelasan bahwa mazhab Murji’ah adalah ucapan mereka bahwa dosa tidak
mencederai keimanan
4. Penjelasan bahwa keimanan menurut Murji’ah adalah pembenaran dengan hati
dan kekufuran adalah takdzib (pendustaan) saja.
5. Penjelasan bahwa keyakinan Ahlussunnah adalah kekufuran terjadi dengan
ucapan, perbuatan, tark (meninggalkan perbuatan), keyakinan dan keraguan.
6. Peringatan bagi orang yang pijakannya di dalam ilmu syar’i belum kokoh agar
tidak menyelami persoalan-persoalan iman dan selainnya dari persoalan agama,
kecuali dengan ilmu.
(3) Dengan judul: [Tahdzir dari kitab Hakikat Al Iman baina Ghuluw Al
Khawarij wa Tafrith Al Murji’ah] karya Adnan Abdul Qadir
Pertanyaan; Seseorang bertanya tentang kitab yang berjudul Hakikat Al-Iman
baina Ghuluw Al-Khawarij wa Tafrith Al-Murji’ah, karya Adnan Abdul Qadir yang
diterbitkan oleh Jam’iyyah Asy-Syari’ah di Kuwait.
Jawab; Kitab ini membela madzhab Murji’ah yang mengeluarkan amal
(perbuatan) dari pengertian iman dan hakikatnya. Amal menurut mereka syarat
sempurna (iman). Penulisnya telah membela mazhab yang batil ini dengan nukilan-
nukilan dari ahli ilmu dengan cara memotong-motong ucapan dan memisah-
misahkannya. Serta memberlakukan perkataan mereka pada selain tempatnya di
samping kesalahan dalam penisbatan;
• Seperti yang terdapat pada halaman 9 di mana ia menisbatkan sebuah ucapan
kepada al-Imam Ahmad rahimahullah, padahal itu ucapan Abu Ja’far al-Baqir.
Penulisnya juga membuat judul yang tidak sesuai dengan pembahasan di
bawahnya. Di antaranya yang terdapat pada halaman 9 di mana dia mengatakan;
“Asal keimanan ada di dalam hati saja, barangsiapa membatalkannya kafir.”
kemudian ia membawakan teks perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang
tidak sesuai dengan apa yang dia telah sebutkan.
• Di antara nukilan-nukilannya yang telah dipenggal adalah penggalannya
terhadap perkataan Ibnu Taimiyah (halaman 9) dari Al-Fatawa (7/644, 7/377).
• Pada halaman 17 dia menukil dari Uddah as-Saabirin karya Ibnul Qayyim dan
menyembunyikan perkataannya yang tidak sesuai dengan madzhab irja’nya.
• Pada halaman 33 dia menyembunyikan sebagian ucapan Ibnu Taimiyah dari

164 | Al-Furuq
Al-Fatawa (11/87).
• Begitu pula pada halaman 34 dari Al-Fatawa (7/638-639).
• Pada halaman 37 dia menyembunyikan ucapan Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa
(7/494).
• Pada halaman 38 dia menyembunyikan lanjutan ucapan Ibnul Qayyim dari
Kitab ash-Shalat (halaman 59).
• Pada halaman 64 dia menyembunyikan lanjutan perkataan Ibnu Taimiyah
dalam kitab Ash-Sharim al-Maslul (3/967-969).
• Pada halaman 67 dia menyembunyikan lanjutan perkataan Ibnu Taimiyah
dalam kitab Ash-Sharim al-Maslul (3/971).
Sampai seterusnya dari penyimpangan yang terdapat pada kitab ini yang telah
membela madzhab Murji’ah dan menyebarkannya ke tengah manusia atas nama
madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Berdasarkan ini maka kitab ini wajib dihalangi
dan tidak disebarkan. Kami menasihati penulisnya untuk mengintrospeksi diri dan
bertakwa kepada Allah dengan merujuk kepada kebenaran dan menjauh dari sebab-
sebab kesesatan.
Hanya kepada Allah taufik. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah
kepada Nabi kita Muhammad dan keluarganya serta para sahabatnya.

Al Lajnah Ad-Daa’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota Anggota Anggota


Bakr Abu Zaid Abdullah bin Ghudayyan Shalih Al-Fauzan
Ketua
Abdul Aziz bin Abdillah Alu Asy-Syaikh

Fatwa ini menunjukkan hal-hal berikut;


1. Madzhab Murji’ah mengeluarkan amal perbuatan dari pengertian iman
2. Hakikat iman menurut Murji’ah bahwa amal perbuatan adalah syarat sempurna
iman
3. Bid’ah semakin berbahaya saat ditampilkan ke tengah manusia atas nama
madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah dan ini yang ditempuh oleh banyak pengikut
Murji’ah.
4. Wajib menghalangi kitab-kitab Murji’ah dan selainnya dari ahli bid’ah dan tidak
menyebarluaskannya.
5. Wajib atas setiap muslim menjauh dari sebab-sebab kesesatan.

Al-Furuq | 165
(4) Dengan judul; [Tahdzir dari dua kitab; Fitnah At-Takfir dan Shayhatu
Nadzir karya Ali Al Halabi]339
Pertanyaan ; Sebagian orang bertanya tentang dua kitab; Tahdzir min Fitnah
At-Takfir dan Shayhatun Nadzir, yang disusun oleh Ali Hasan Al-Halabi, di mana
kedua tulisan ini mengajak kepada madzhab irja’ bahwa amalan bukan syarat sah
dalam keimanan. Penulisnya menisbatkan hal itu kepada Ahlussunnah wal Jama’ah,
di samping itu kedua kitab ini dibangun di atas nukilan-nukilan yang diselewengkan
dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al-Hafidz Ibnu Katsir dan selain mereka
rahimahumullah. Mereka menyambut pemberi nasihat agar diharapkan penjelasan
tentang apa yang terdapat pada kedua kitab ini sehingga para pembaca mengetahui
kebenaran dari kebatilan...dstnya.
Jawab; Setelah al-Lajnah mempelajari kedua kitab yang disebutkan, jelas bagi
al-Lajnah bahwa kitab At-Tahdzir min Fitnah At-Takfir yang disusun oleh Ali Hasan
Al-Halabi, berkenaan dengan apa yang dia sandarkan kepada perkataan para ulama
di mukadimah dan catatan kakinya mengandung hal-hal berikut;
1. Penulisnya membangun kitab ini di atas madzhab Murji’ah ahli bid’ah yang
batil yang membatasi kekufuran hanya kepada kufur juhud dan takdzib serta
istihlal qalbi. Sebagaimana didapati pada halaman 6, catatan kaki 2, halaman
22. Hal ini berseberangan dengan keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa
kekufuran terjadi dengan keyakinan, ucapan, perbuatan, dan keraguan.
2. Penulisnya menyelewengkan penukilan dari Ibnu Katsir rahimahullah di dalam
Al-Bidayah wan Nihayah (13/118) di mana dia menyebutkan di dalam catatan
kakinya halaman 15 bahwa Jenghis Khan mengklaim bahwa Ilyasiq datang
dari sisi Allah dan bahwa ini yang menjadi sebab kekafirannya. Padahal ketika
diperiksa ke tempat yang disebutkan tidak didapati apa yang dinisbatkan kepada
Ibnu Katsir rahimahullah ini.
3. Kedustaannya terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pada
halaman 17-18 di mana penulisnya menisbatkan kepada Ibnu Taimiyah bahwa
mengubah hukum (Allah) menurut Syaikhul Islam bukan kekufuran kecuali
apabila berdasarkan ilmu, keyakinan dan penghalalan. Hal ini murni kedustaan
penulis atas nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, padahal beliau
menyebarkan madzhab salaf Ahlussunnah wal Jama’ah dan madzhab mereka
sebagaimana yang telah berlalu, sedangkan ini adalah madzhab Murji’ah.
4. Penyimpangannya terhadap maksud Samahah asy-Syaikh Muhammad bin
Ibrahim rahimahullah pada risalahnya Tahkim Al-Qawanin Al-Wadh’iyyah, di
mana penyusun kitab yang telah disebutkan di atas menyangka bahwa Asy-
Syaikh mensyaratkan istihlal qalbi (penghalalan) padahal perkataan Asy-
339 Majmu’ Fatawa Lajnah (28/137-139) nomor 21517

166 | Al-Furuq
Syaikh jelas seterang matahari pada risalahnya tersebut, berada di atas jalan
Ahlussunnah wal Jama’ah.
5. Komentarnya terhadap ucapan para ahli ilmu yang dia sebutkan dengan
membawa ucapan mereka kepada makna yang jauh, sebagaimana yang terdapat
pada halaman 108 catatan kaki 1, dan halaman 109 catatan kaki 21, dan halaman
110 catatan kaki 2.
6. Sebagaimana terdapat pada kitab ini menganggap remeh persoalan berhukum
dengan selain yang Allah turunkan. Terlebih lagi pada halaman 5 catatan
kaki nomor 1. Di mana penulisnya mengklaim bahwa memberi perhatian
pada penerapan tauhid pada persoalan ini serupa dengan Syi’ah Rafidhah. Ini
merupakan kekeliruan yang sangat buruk.
Berdasarkan penelitian terhadap buku yang kedua Shayhatun Nadzir didapati
bahwa buku ini seperti pendukung terhadap kitab yang sebelumnya di mana
keadaannya seperti yang telah disebutkan.
Oleh karena itu sesungguhnya al-Lajnah ad-Da’imah menilai bahwa kedua
kitab ini tidak boleh dicetak, tidak boleh disebarkan dan dibiarkan tersebar karena
terdapat pada keduanya kebatilan dan penyelewengan. Kami nasihatkan penulisnya
agar bertakwa kepada Allah pada dirinya dan pada kaum muslimin, terlebih anak
mudanya. Hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu syar’i melalui
bimbingan ulama yang ilmunya diakui dan akidahnya lurus. Bahwasanya ilmu
adalah amanah, tidak boleh menyebarkannya kecuali yang sesuai dengan Al Kitab
dan As-Sunnah. Hendaknya dia berlepas dari pandangan-pandangan seperti ini dan
jalan kehinaan dalam menyelewengkan perkataan ahli ilmu. Telah dimaklumi bahwa
kembali kepada kebenaran adalah keutamaan dan kemuliaan bagi seorang muslim.
Hanya kepada Allah taufik. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah
kepada Nabi kita Muhammad dan keluarga beliau beserta para sahabatnya.

Al-Lajnah Ad-Daa’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota Anggota Anggota


Bakr Abu Zaid Shalih Al Fauzan Abdullah bin Ghudayyan
Ketua
Abdul Aziz bin Abdillah Alu Asy-Syaikh

Fatwa ini menunjukkan hal-hal berikut;


1. Kitab At-Tahdzir min Fitnah At-Takfir dibangun di atas madzhab Murji’ah ahli
bid’ah yang batil

Al-Furuq | 167
2. Kaum Murji’ah membatasi kekufuran kepada kufur juhud dan takdzib dan
istihlal qalbi.
3. Kekufuran menurut Ahlussunnah terjadi dengan keyakinan, dan dengan
ucapan, dan dengan perbuatan, dan dengan keraguan.
4. Penulisnya telah menyelewengkan ucapan para ahli ilmu dan berdusta atas
nama mereka serta merendahkan madzhab salaf dalam persoalan iman.
5. Kitab Shayhatun Nadzir merupakan tulisan yang dibangun di atas paham irja’.
6. Al-Lajnah Ad-Da’imah menilai kedua kitab ini tidak boleh dicetak, tidak boleh
disebarkan dan dibiarkan tersebar.
(5) Dengan judul; [Bayan wa Tahdzir]340
Segala puji hanya milik Allah Rab semesta alam. Shalawat teriring salam semoga
tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga dan para sahabatnya
sekalian. Wa ba’du;
Sesungguhnya Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’ telah
memeriksa kitab yang berjudul Dhabt Ad-Dhawabith fil Iman wa Nawaqiduh, tulisan
Ahmad bin Shalih Az-Zahrani. Al-Lajnah mendapati kitab ini sebagai kitab yang
mengajak kepada madzhab irja’ yang tercela. Karena penulisnya tidak menganggap
amalan dzhahirah (anggota badan) termasuk ke dalam hakikat iman. Pandangan ini
berseberangan dengan apa yang dianut oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa iman
adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati dan amalan dengan anggota
badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Maka berdasarkan ini, sesungguhnya kitab ini tidak boleh disebarkan dan
dipasarkan, dan wajib atas penulisnya dan penerbitnya bertaubat kepada Allah Azza
wa Jalla.
Kami peringatkan kaum muslimin dari apa yang terkandung di dalam kitab
ini berupa mazhab yang batil sebagai perlindungan terhadap akidah mereka
dan menjaga kesucian agama mereka. Sebagaimana kami memperingatkan dari
mengikuti ketergelinciran para ulama, terlebih lagi selain mereka dari para penuntut
ilmu pemula yang belum mengambil ilmu dari pokok-pokoknya yang diakui.
Semoga Allah memberi taufik untuk semua kepada ilmu yang bermanfaat dan
amalan yang shalih.
Shalawat teriring salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan
kepada keluarga beserta para sahabatnya semuanya.

340 Fatwa ini disebarkan dalam kitab At-Tahdzir min Al Irja’ wa Ba’dhil Kutub Ad-Daa’iyah ilaihi (19-
20)

168 | Al-Furuq
Al Lajnah Ad-Daa’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota Anggota Anggota Anggota


Bakr Abu Zaid Shalih Al Fauzan Abdullah bin Abdul Aziz bin
Ghudayyan Abdillah Alu Asy-Syaikh

Ketua
Abdul Aziz ibn Baz

Fatwa ini menunjukkan hal-hal berikut :


1. Kitab Dhabt Ad-Dhawabith mengajak kepada madzhab irja’ yang tercela karena
penulisnya tidak menganggap amalan dzhahirah (anggota badan) termasuk ke
dalam hakikat iman
2. Tidak menganggap amalan dzhahirah ke dalam hakikat iman menyelisihi apa
yang dianut oleh Ahlussunnah wal Jama’ah
3. Iman menurut ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah ucapan dengan lisan,
dan keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan. Bertambah
dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
4. Tidak boleh menyebarkan kitab-kitab irja’ dan memasarkannya
5. Peringatan dari mengikuti ketergelinciran para ulama dan menisbatkannya
kepada akidah salaf.

Dengan ini tercapai sudah maksud (penulisan buku ini)


Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad
dan keluarga berserta para sahabatnya.

Al-Furuq | 169

Anda mungkin juga menyukai