Anda di halaman 1dari 32

KEPANITERAAN KLINIK REFERAT

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM SEPTEMBER 2020


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DIABETES INSIPIDUS

Oleh:
Sitti Naiman Ayu Muliana Aksa
K1A1 15 132

Pembimbing : dr. Fercee Primula, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Sitti Naiman Ayu Muliana Aksa

Stambuk : K1A1 15 132

Judul : Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Insipidus

Telah menyelesaikan pembacaan referat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian Interna
Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada bulan Juni 2020.

Kendari, September 2020


Menyetujui,
Pembimbing

dr. Fercee Primula, Sp.PD

2
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Insipidus
Sitti Naiman Ayu Muliana Aksa, Fercee Primula

A. PENDAHULUAN
Neurohipofiseal hormon antidiuretik vasopresin merupakan salah pengatur utama
keseimbangan air dan memegang peranan penting dalam menentukan respon homeostasis
terhadap berbagai stimulus. Gangguan dalam produksi dan efek vasopresin akan
menyebabkan berbagai keluhan1.
Gangguan pada keseimbangan air sering ditemukan dalam praktek klinik. Pemahaman
tentang fisiologi dan pologi pelepasan vasopresin pada tingkat sentral dan persepsi haus
merupakan kunci diagnosis dan manajemen berbagai gangguan keseimbangan air. Pasien
dewasa dengan diabetes insipidus nefrogenik kongenital yang diakibatkan hilangnya
fungsi reseptor V2 vasopresin memiliki keadaan ekskresi air yang lebih dari 12 liter
sehari, dan setelah restriksi air singkat pasien akan merasakan haus yang luar biasa2.
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan. Penyakit ini
diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat mengganggu mekanisme
neurohypophyseal-renal reflex sehingga mengakibatkan kegagalan tubuh dalam
mengkonversi air. Kebanyakan kasus-kasus yang pernah ditemui merupakan kasus
idiopatik yang dapat bermanifestasi pada berbagai tingkatan umur dan jenis kelamin3.
Diabetes insipidus dijelaskan pertama kali pada abad ke-18. Kelainan ini ditandai
dengan rasa haus yang hebat meskipun mendapat banyak asupan cairan (polidipsi), dan
berkemih berlebihan (poliuri). Hal ini terjadi karena tubuh tidak cukup menghasilkan anti-
diuretic hormone (ADH)/arginine vasopressin (AVP), atau karena ginjal tidak dapat
merespons hormon tersebut. Diabetes insipidus juga dapat terjadi saat kehamilan (diabetes
insipidus gestasional), namun sangat jarang4.

B. DEFINISI
Diabetes insipidus adaah penyakit di mana dieksresinya urin dalam volume besar akibat
defisinesi vasopresin (diabetes insipidus sentral), resistensi vasopresin (diabetes insipidus
nefrogenik) atau kelebihan intake air (polidipsi primer). Poliuri adalah volume urin yang
melebihi 21/m2/24 jam atau sekitar 150 ml/kg/24 pada bayi baru lahir, 100-110 ml/kg/24
jam hingga usia 2 tahun dan 40-50 ml/kg/24 jam pada anak yang lebih tua dan dewasa4.

3
C. EPIDEMIOLOGI
Diabetes insipidus merupakan penyakit langka, dengan prevalensi 1:25.000. Diabetes
insipidus dapat ditemukan pada semua usia dan prevalensinya sama terhadap kedua jenis
kelamin. Usia munculnya gejala tergantung dari etiologi. Kurang dari 10% diabetes
insipidus merupakan penyakit herediter X-linked nephrogenic mencakup 90% dari seluruh
kasus congenital nephrogenic diabetes insipidus dengan frekuensi 4-8/1 juta kelahiran
laki-laki hidup. Autosomal nephrogenic diabetes insipidus sebanyak 10% dari seluruh
kasus nephrogenic diabetes insipidus2. Prosedur neurosurgical, tumor, traumatic brain
injury, lesi infiltrative, dan malformasi merupakan penyebab tersering diabetes insipidus5.

D. ETIOLOGI
Diabetes insipidus sentral  Familial
Autosomal dominan/resesif (AVP-
defek gen neurophysin), X-linked
resesiv dan DIDMOAD sindrome
 Malformasi kongenital
 Trauma
Neurosurgery dan head surgery
 Neoplasma
Craniopharyngioma, germinoma,
meningioma, pituitary adenoma
dengan suprasellar ekstension, CNS
lymphoma, leukimia, dan metastatik
 Idiopatik
 Granuloma
Neurosarcoidosis, langerhans
histiositosis, tuberkulosis dan
wegener’s disease
 Lymphocytic neurohypophysitis
 Vaskular
Internal carotid aneurysm, abberant
inferior hypophyseal arterial system
 Infeksi

4
Meningitis kronik, encephalitis viral
dan toxoplasmosis
 Toxin
 Hypoxic/ischemic
 Familial
Autosomal dominant/recessive (defek
gen aquaporin 2), X-linked recessive
(defek gen reseptor V2)
 Obat-obatan
Lithium, demeclocycline, foscarnet,
clozapine, methoxyflurane,
amphotericin B, rifampicin, cisplatin
da ifosfamide
 Metabolik
Hiperkalemi, hiperkalsiuri,
Diabetes insipidus nefrogenik
hipokalemi
 Postobstructive uropathy
 Infiltrative
Amyloidosis, sarcoidosis
 Vascular
Sickle cell disease dan ischemia
 Neoplasm
Sarcoma
 Infection
Chronic pyelonephritis
 Idiophatic
Polidipsi primer  Psychigenic
Schizophrenia, obsessive compulsive
disorder
 Compulsive or habitual
 Dipsogenic (abnormal thirst)
Head trauma, neurosarcoidosis,
tuberculosis, multiple sclerosis, obat-

5
obatan dan idiopatik.
Diabetes insipidus gestasional  AVP Degradation

E. KLASIFIKASI
Berdasarkan etiologi, diabetes insipidus dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:
1. Diabetes insipidus neurogenic
Diabetes insipidus neurogenik dikenal juga sebagai diabetes insipidus sentral.
Pada diabetes insipidus sentral seseorang tidak mampu menyimpan air akibat
penurunan sintesis hormon antidiuretik (ADH) atau arginin vasopresin (AVP).
Diabetes insipidus sentral dapat berbahaya akibat adanya komplikasi hipernatremi
dan osmolalitas plasma yang sangat tinggi6.
Penyebab utama diabetes insipidus sentral adalah traumatic brain injury yang
menyebabkan kerusakan regio hypothalamo-neurohypophyseal. Operasi dan tumor
supraoptik dan regio nuklear paraventrikular juga dapat menyebabkan diabetes
insipidus sentral. Diabetes insipidus sentral juga dapat disebabkan secara kongenital
melalui mutasi gen prepro-vasopressin-neurophysin II yang mengganggu substitusi
glisin untuk valin. Penyebab lain juga dapat berupa autoimun, histositosis,
granulomatosis, sarcodosis dan alkohol6.
2. Nefrogenik diabetes insipidus
Diabetes insipidus nefrogenik diakibatkan oleh insensitivitas respon renal
terhadap ADH. Kebanyak orang dewasa dengan diabetes insipidus termasuk
nefrogenik diabetes insipidus didapat namun penyebabnya juga dapat kongenital6.
Penyebab kongenital diabetes insipidus nefrogenik yaitu mutasi gen reseptor
V2 (X-linked), gen aquaporin-2 (AQP2) (autosomal resesif) dan gen urea
transporter-B (UT-B). Yang diturunkan secara X-linked merupakan keadaan yang
ditemukan pada laki-laki dan pasien-pasien tersebut tidak berespon terhadap
DDAVP atau desmopresin. Diabetes insipidus nefrogenik didapat umumnya akibat
penggunaan lithium yang biasanya digunakan dalam pengobatan kelainan bipolar.
Obat-obatan lain yang dapat menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik yaitu
amphotericin B, colchicines, gentamicin, methoxyflurane dan demaclocycline.
Penyebab diabetes insipidusyang didapat lain seperti chronic renal failure,
pyelonephritis, polycystic kidney disease, renal transplantation, obstructive
uropathy, chronic renal medullary disease, chronic hypokalemia dan chronic
hypercalemia. Diet rendah protein juga dapat menurunkan protein AQP26.

6
3. Diabetes insipidus gestasional
Diabetes insipidus gestasional merupakan tipe yang jarang ditemukan dan
hanya didapatkan pada wanita hamil. Vasopresin (enzim) yang diproduksi oleh
plasenta memetabolisme hormon pituitari posterior yaitu ADH dan oksitosin6.
Plasenta memproduksi sebuah vasopresinase. Vasopresinase adalah sebuah
antipeptidase cysteine yang mengdegradasi ADH dan oksitosin. Ketika peptidase
cysteine ini terproduksi dalam jumlah yang besar, enzim tersebut mengkatabolisme
hingga 99% jumlah oksitosin dan ADH yang diproduksi dan mengakibatkan
diabetes insipidus gestasional6.
4. Diabetes insipidus adipsik
Adipsia adalah penyakit tidak adanya rasa haus tidak meskipun tubuh dalam
keadaan dehidrasi dan osmolalitas plasma tinggi. Lesi di pusat haus pada
hipotalamus mengakibatkan hilangnya rasa haus yang disebut adipsia. Adipsia
sering berhubungan dengan diabetes insipidus sentral karena lesi hipotalamus juga
dapat mengenai regio supraoptik dan paraventrikular (tempat pelepasan ADH).
Meskipun demikian, adipsia dan diabetes insipidus sentral secara bersamaan dikenal
sebagai diabetes insipidus adipsik3.
Penyebab utama diabetes insipidus adipsik adalah lesi pada pusat haus yang
berlokasi di hipotalamus. Craniopharyngioma yang mengenai pusat haus dan regio
supraoptik serta paraventrikular krusial dalam menyebabkan diabetes insipidus
adipsik4.
5. Polidipsi primer
Polidipsi primer dikarakteristikkan sebagai intake cairan dengan volume
sangat besar. Besarnya volume intake cairan ini mengakibatkan rendahnya
osmolalitas plasma dan produksi ADH berhenti sebagai respon terhadap rendahnya
osmolalitas plasma. Sebagai akibatnya kemampuan ginjal untuk memekatkan urin
menurun dan seseorang akan mengekskresikan dilute urin dalam volume yang
sangat besar dengan osmolalitas yang rendah4.
Polidipsi primer umumnya disebabkan oleh intake cairan yang berlebihan.
Diabetes insipidus adipsik biasanya disebabkan gangguan pada pusat haus
sedangkan kelainan dan pengobatan psikiatrik penting dalam kejadian diabetes
insipidus psikogenik. Efek samping pengobatan psikiatrik mempunyai peranan
yang penting dalam diabetes insipidus karena pengobatan tersebut menyebabkan

7
mulut kering yang berujung pada tingginya intake cairan. Polidipsi primer juga
dapat diakibatkan beberapa penyebabkan behavioral4.
Berdasarkan penyebabnya, polidipsi primer mempunya dua subvarian antara lain:
1. Diabetes insipidus dipsogenik, merupakan varian dari polidipsi primer yang
disebabkan defek pada pusat haus yang berlokasi di hipotalamus. Sebagai akibat
dari adanya defek tersebut, mekanisme haus menjadi overactive dan seseorang
mengonsumsi cairan dalam volume yang sangat besar dan mengeluarkan urin yang
hipotonik4.
2. Diabetes insipidus psiokogenik, merupakan subvarian dari polidipsi primer yang
utamanya disebabkan kelainan psikiatrik seperti skizofrenia. Kelainan psikiatrik
tersebut mengakibatkan seseorang untuk meningkatkan intake cairan dan orang
tersebut kemudian mengeluarkan urin dalam jumlah besar4.

F. PATOGENESIS
Secara patogenesis diabetes insipidus dibagi menjadi 2 jenis, yaitu diabetes insipidus
sentral dan diabetes insipidus nefrogenik.

1. Diabetes Insipidus Sentral.


Diabetes insipidus sentral (DIS) disebabkan oleh kegagalan penglepasan hormon
antidiuretik ADH yang secara fisiologi dapat merupakan kegagalan sintesis atau
penyimpanan. Secara anatomis, kelainan ini terjadi akibat kerusakan nukleus
supraoptik, paraventrikular dan flliformis hipotalamus yang menyintesis ADH. Selain
itu DIS juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson
traktus supraoptikohipofisealis dan akson hipofisis posterior di mana ADH disimpan
untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan.
Secara biokimiawi, DIS teriadi karena tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis
ADH yang kuantitatif tidak mencukupi kebutuhan. atau kuantitatif cukup tetapi
merupakan ADH yang tidak dapat berfungsi sebagaimana ADH yang normal. Sintesis
neurofisin suatu binding protein yang abnormal, juga dapat mengganggu penglepasan
ADH. Selain itu diduga terdapat pula DIS akibat adanya antibodi terhadap ADH.
Karena pada pengukuran kadar ADH dalam serum secara radioimmunoassay, yang
menjadi marker bagi ADH adalah neurofisin yang secara fisiologis tidak berfungsi,
maka kadar ADH yang normal atau menfngkat belum dapat memastikan bahwa fungsi
ADH itu adalah normal atau meningkat. Termasuk dalam klasifikasi DIS adalah

8
diabetes insipidus yang diakibatkan oleh kerusakan osmoreseptor yang terdapat pada
hipotalamus anterior dan disebut Verney.s omoreceptor cells yang berada di luar sawar
darah otak.
2. Diabetes Insipidus Nefrogenik
Istilah diabetes insipidus nefrogenik (DIN) dipakai pada diabetes insipidus yang tidak
responsif terhadap ADH eksogen. Secara fisiologis DIN dapat disebabkan oleh :

 Kegagalan pembentukan darn pemeiiharaan gradient osmotik dalam meduta


renalis.
 Kegagalan utilisasi gradient pada keadaan di mana ADH berada dalam jumlah
yang cukup dan berfungsi normal.
3. Fisiologi Mekanisme Ekskresi Air
Dalam mengatur ekskresi air, ginjal mengikut sertakan mekanisme
neurohypophyseal-renal reflex. Komponen humeral dalam mekamsme ini adalah ADH
yang disebut juga arginin vasopresin (AVP). AVP disintesis oIeh suatu molekul
prekursor dalam nukleus supraoptlk, paraventnkular dan sedikit pada nukleus
filiformis htpotalamus. Setelah disintesis. AVP dnbungkus ke dalam semacam
neurosecretoy granules pada retukulum endoplasmik di mana setiap granul tersebut
mengandung baik AVP maupun suatu molekul comer yang dlsebut neurofisin. GranuI-
granul tadi ditransportasskan melalui akson neuron hipotalamus yang berakhir pada
hipofisis posterior. Penglepasan AVP oleh hipofisis Posterior terjadi melalui proses
eksositosis di mana baik AVP maupun neurofisin dilepaskan ke dalam sirkulasi.
4. Regulasi Arginin Vasopresin (Avp) Secara Osmotik Dan Non-Osmotik
DaIam mengatur sintesis dan penglepasan AVP dipakai dua macam jalur yaitu
jalur osmotik dan non-osmotik. Jalur osmotik mengikut sertakan Verney's
osmoreceptor cells yang berada di hipotalamus anterior, di luar sawar darah otak.
Dengan adanya deplesi cairan, terjadi peningkatan osmolalitas cairan ekstra sel (ECF)
yang menyebabkan penurunan volume sel-sel osmoreseptor sehingga teriadi stimulasi
listrik yang mengakibatkan depolarisasi membran sel. eksositosis dan penglepasan A
VP. Sebaliknya jika terjadi pemasukan air maka osmolalitas ECF akan menurun dan
pengembangan sel-sel osmoreseptor akan menghambat terjadinya stimulasi listrik dan
depoiarisasi membran sel. timulasi non-osmotik utama yang menyebabkan
penglepasan AVP tanpa adanya perubahan osmolalitas ECF adalah deplesi volume
ECF dan hipotensi. Stimulasi lain adalah keadaan-keadaan dimana teriadi peningkatan

9
stimulasi adrenergik termasuk rasa nyeri, takut, payah jantung dan hipoksia. Evolusi
tiiogenetik jalur non-osmotik agaknya merupakan bagian yang integral dengan reaksi
terhadap stress. Dengan demikian AVP akan dilepaskan juga pada keadaan stress di mana
seiain berfungsi sebagai ADH, AVP juga mempunyai efek vasokonstriksi.
5. Mekanisme Haus
Peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus. sebaliknya
penurunan osmolalitas plasma akan Menekan pusat haus. Seperti pada mekanisme
penglepasan AVP, pengaturan osmotik rasa haus dipengaruhi oleh Volume sel pusat
haus di hipotalamus. Ambang rangsang pusat haus (295 mOsmoI/kg berat badan)
ternyata labih tinggi daripada ambang rangsang osmotik penglepasan AVP (280
mOsmong berat badan). Hal ini merupakan Suatu perlindungan terhadap deplesi air.
Terdapat juga suatu JaIur non-osmotik terhadap sumulasi pusat haus. Diduga
sistem renin-angiotensm Mempakan salah satu mediator sistem ini dan telah
dubuktukan renin atau angiotensin eksogen dapat Menimbuikan rasa haus dan
nefrektomi dapa‘ menghnlangkan rasa haus aklbat deplesi ECF.
6. Mekanisme Aksi Selular Arginin Vasopresin (Avp)
Mekanisme yang pasti bagaimana AVP dapat menmgkadran permeabilitas
epithet collecting duct terhadap air sampa. sekarang beIum ielas. Kemungkinan
setelah dilepaskan dari hIpOfiSiS posterior, AVP masuk ke dalam sirkulas. ginjal dan
terikat pada reseptornya di sisi contralummal (plasma) collecting duct. Penggabungan
AVP dengan reseptornya mengaktifkan adenilsiklase membran sel yang mengkatalisis
perubahan ATP menjadi CAMP. CAMP protem kinase kemudian muncul untuk
melakukan fosforilasi protein membran sel yang kemudian meningkatkan
permeabilitas dengan cara melebarkan ukuran pori dan memperbanyakjumlah pori.
Terdapat suatu fosfatase pada membran yang dapat mengembalikan proses tersebutdi
atas. Integritas mikrotubulus dan mikrofilamen merupakan faktor yang penting pula
dalam proses peningkatan permeabilitas selain proses pembentukan CAMP.
Demeklotetrasiklin, hipokalemia, lithium dan prostaglandin dapat juga
mengganggu pembentukan CAMP.
7. Mekanisme Konsentrasi

ADH meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan collecting duct terhadap


air sehingga dapat berdifusi secara pasif akibat adanya perbedaan konsentrasi. Dengan
demikianjika terdapat ADH dalam sirkulasi, misalnya pada keadaan hidropenia, akan

10
tejadi difusi pasif di mana air keluar dari tubulus distal sehingga terjadi keseimbangan
osmotik antara isi tubulus dan korteks yang isotonis. Sejumlah kecil urin yang
isotonis memasuki collecting duct melewati medula yang hipertonis. Karena ADH
juga menyebabkan keseimbangan osmotik antara collecting ductdan jaringan
interstisial medula, maka air secara progresif akan direabsorbsi kembali sehingga
terbentuk urin yang terkonsentrasi.

8. Mekanisme Dilusi (Pelarutan)


Jika ADH tidak disekresi, misalnya pada orang yang terhidrasi baik, struktur-
struktur distal tetap tidak permeabel terhadap air. Dengan demikian sewaktu urin
yang hipotonis melewati tubulus distal, Na+ akan lebih banyak dikeluarkan sehingga
osmolalitas urin semakin berkurang. Selanjutnya urin yang sangat hipotonis
memasuki collecting duct yangjuga relatif tidak permeabel sehingga memungkinkan
ekskresi sejumlah besar urin yang terdilusi.

G. DIAGNOSIS DIABETES INSIPIDUS


1. Manifestasi Klinis, Gejala dan Tanda
Manifestasi klinis dapat memberikan petunjuk yang penting tentang penyebab
yang mendasari diagnosis. Usia dimana gejala mulai timbul bersama dengan bentuk
intake cairan, mungkin dapat mempengaruhi pemeriksaan selanjutnya dari diabete
insipidus. Gejala primer dari diabetes insipidus adalah poliuri dan polidipsi yang
persisten, dapat pada anak dapat dengan dehidrasi yang berat, muntah, konstipasi,
demam, iritabilitas, gangguan tidur, gagal tumbuh dan retardasi pertumbuhan.
Nokturia pada anak sering muncul sebagai enuresis. Dehidrasi berat pada onset awal
pada laki-laki sangat menggambarkan diabetes insipidus nefrogenik; retardasi mental
telah dilaporkan dari beberapa kasus, yang dapat disebabkan akibat dehidrasi yang tak
dikenali dan berulang sebelum diagnosis ditegakan1.
Pada penelitian kohort pada pasien dengan diabetes indipidus hipotalamik
dengan etiologi yang berbeda, 40% pasien mempunyai gejala selain poliuri dan
polidipsi saat ditemukan, sedangkan nyeri kepala bukan merupakan factor pembeda,
defek visual dihubungkan dengan tumor intracranial. Retardasi pertumbuhan secara
tidak signifikan ditemukan secara umum pada pasien tumor system saraf pusat,
berbeda dengan laporan sebelumnya yang menyatakan bahwa pertumbuhan yang
lambat menandakan tumor intrakanial sebagai penyebab diabetes insipidus
hipotalamik. Sebagai tambahan, pasien yang tidak memiliki tumor intracranial secara

11
signifikan didapatkan pada yang lebih muda dari pada pasien yang memiliki tumor
pada system saraf pusat, dan tidak ada pasien dengan tumor intrakaranial yang
berumur di bawah lima tahun1.
Pada autosomal dominan diabetes mellitus, onset klinis tipikal penyakit
berentang dari tahun pertama hingga tahun ke enam kehidupan, namun beberapa
kasus dari early atau late onset telah dilaporkan. Biasanya gejala memburuk dengan
pertambahn usia pada pasien dengan dengan onset poliuri dan polidipsi yang lebih
awal, terutama sebelum usia sepuluh tahun, namun juga dapat mungkin diabetes
insipidus komplit terlihat dari periode neonatal. Variabilitas yang luas onset usia dan
keparahan defisiensi AVP pada pasien dengan mutasi yang sama dapat berasal pada
perbedaan individu pada pasien tersebut, seperti laju produksi precursor mutan,
intensitas stimulus yang diterima neurohipofiseal, kerentanan individual terhadap efek
toksik precursor mutan, kapasitas untuk mendegradasi precursor mutan dan variasi
dalam kapasitas sekresi cadangan atau perkembangan dari glandula itu sendiri1.
Pada Wolfram sindrom, diabetes mellitus telah dilaporkan sebagai gejala awal
yang biasa yang ditemukan pada pertengahan usia 6 tahun, yang diikuti dengan onset
atrofi optic pada pertengahan usia 11tahun. Hubungan fenotip genotip pada 9 sindrom
Wolfram familial ditemukan usia rata-rata onset diabetes mellitus adalah 8,4 tahun,
yang juga ditemukan pada penelitian-penelitian lain. Perkembangan poliuri dan/atau
enuresis dapat mengindikasikan diabetes insipidus dengan variasi onset yang luas,
biasanya tidak muncul pada usia hingga decade kedua atau ketiga. Frekuensi diabetes
insipidus sentral bervariasi dari 48 hingga 78%1.
2. Penentuan Osmolalitas
Tonisitas dan osmolalitas sodium dan elektrolit lain bersifat identic, urea dan
glukosa darah menunjukkan variasi antara tekana osmotic yang ditentukan dengan
depresi freezing point dan efektivitas osmolalitas in vivo. Keakuratan penentuan
osmolalitas plasma dengan pemeriksaan rutin di rumah sakit dan dengan depresi
freezing point biasanya tidak cukup tinggi untuk dapat mmenuhi kualitas krtieria yang
dibutuhkan (variasi koefisiensi 1% atau kurang dari 290 mOsm/kg H 2O), terutama
ketika osmolalitas ditentukan dengan serum atau frozen plasma1.
Osmolalitas plasma dan ektraseluler layak dipertimbangkan untuk disamakan
dengan garam sodium. Oleh karena itu, osmolalitas plasma dapat ditentukan dengan
baik dengan 2 x konsentrasi sodium plasma. Meskipun demikian, kontribusi dua zat
terlarut lainnya yaitu glukosa dan urea harus dimasukkan untuk lebih mendekati nilai

12
osmolaitas plasma sehingga osmolalitas plasma = 2[Na+] + (glukosa darah) +
[urea] 1.
Berat molekul glukosa adalah 180, dan dua nitrogen pada urea sebesar 28.
Kandungan plasma dari keduanya biasanya ditulis dalam satuan mg/dL (daripada
mg/L), sehingga berat molekul harus dibagi 10. Sehingga, glukosa dapat ditentukan
dengan kandungan glukosa plasma (dalam mg/dL)/18 dan urea dapat ditentukan
dengan blood urea nitrogen (BUN; dalam mg/dL)/2.81.
Sehingga, estimasi osmolalitas plasma, biasanya akurat dengan rentang perbedaan
1-3% (misalnya 9 mosm/kg H2O) denga pemeriksaan langsung menggunakan
osmometri, dapat didapatkan dengan rumus sebagai berikut1:
P=2 ¿
3. Deprivation Test dan Desmopressin Challenge
Dalam konfirmasi poliuri penting untuk menampung urin selama 24 jam.
Rentang baseline diinvestigasi termasuk elektrolit plasma, osmolalitas plasma random
dan osmolalitas urin, bersamaan dengan menentukan fungsi ginjal, dapat
mengarahkan ke diagnosis yang benar. Ketika tidak didapat dilakukan diagnosis
segera, intake dan output cairan pada anak harus diamat dengan detail. Kemampuan
system saraf pusat untuk memproduksi AVP dan ginjal untuk merespon harus
ditentukan dengan rata-rata dari formal water deprivation test dan desmopresin
(DDAVP) trial1.
Deprivation test selama 7 jam cukup untuk diagnosis, kecuali dalam kasus
polidipsi primer, dimana periode dehidrasi yang lebih lama dibutuhkan. Tes harus
dihentikan jika terjadi penurunan berat badan lebih dari 5% dari berat badan awal
dan /atau Na+ plasma ditemukan lebih dari 295 mosm/kg H 2O dan/atau osmolalitass
urin meningaat hingga menjadi normal. Penting untuk mendapatkan hasil
pemeriksaan secepat mungkin, sehingga kolaborasi yang ketat dalam feedback dari
laboratorium sangat dibutuhkan1.
Diagnosis diabetes insipidus sentral berdasarkan hiperosmolalitas plasma
(>300 mosm/L) yang berhubungan dengan hipoosmolalitas urin (<300 mosm/L atau
rasio osmolalitas urin /plasma <1) dan poliuri (volume urin >4-5 ml/kg/jam untuk 2
jam (berturut-turut) setelah operasi). Defisiensi adrenokortikotropin dapat
menyamarkan tanda dari diabetes insipidus sentral parsial dan poliuri dapat
bermanifestasi setelah pemberian terapi pengganti kortikosteroid. Pemberian DDAVP
akan membantu untuk membuat diagnosis banding antara diabetes insipidus sentral

13
dan diabetes insipidus nefrogenik. Copeptin dan AQP2 telah digunakan untuk
membuat diagnosis banding antara diabetes insipidus sentral dan diabetes insipidus
nefrogenik. Aquaporin disintesis di renal dan dieksresikan ke urin sebagai respon
terhadap AVP. Pasien dengan diabetes insipidus sentral tidak menunjukkan
peningkatan AQP2 dengan dehidrasi, tetapi ekskresi meningkat dengan pemberian
DDAVP, menandakan bahwa ekskresi AQP2 persisten pada diabetes insipidus
sentral. Oleh karena itu, nilai utama AQP2 dalam diagnosis banding diabetes
insipidus akan mengindikasikan diabetes insipidus nefrogenik di mana tidak terjadi
peningkatan eksresi AQP2 setelah pemberian DDAVP1.
Interpretasi water deprivation test dan deprivation test serta DDAVP test
Urine osmolality, mosm/kg
Diagnosis
after fluid deprivation after DDAVP
<300 >750 CDI
<300 <300 NDI
>750 - PP
300-750 <750 ? Partial CDI
? Partial NDI
? PP
PP = Primary Polidipsi

4. Imaging
Ketika diagnosis diabetes insipidus sentral telah ditegakkan, investigasi
dengan pemeriksaan lain diperlukan, termasuk tumor marker, survey skeletal ( pada
Langerhans cell histiocytosis (LCH), melibatkan skull hingga pada 85 kasus), dan
terutama neuroimaging otak. Pada MRI, pituitari posterior dapat terlihat hiperintens
signal pada sagittal T1-weighted imaging pada kondisi basal. Kurangnya hiperintens
pituitary posterior (meskipun tidak spesifik), merupakan hallmark hypothalamic-
posterior pituitary disorders dan dapat menandakan early stage tumor local yang
tersamarkan. Pada autosomal dominan diabetes insipidus sentral, identifikasi
hiperintensitas pituitary posterior tidak diperlukan untuk mengindikasikan bahwa
integritas fungsional hypothalamic-neurohypophyseal axis dalam keadaan baik.
Ketika ditemukan diwaktu awal, signal akan hilang dalam follow up berikutnya1.
Penebalan pituitary stalk (PS) atau infundibulum, didefinisikan sebagai
penebalan lebih dari 3 mm, meskipun tidak spesifik ( kadang proksimal stalk kurang
dari 3 mm tebalnya dibanding dengan bagian distal), dilakukan pada satu dari tiga
anak dengan diabetes insipidus sentral. Ukuran PS pada saat dating bervariasi dan

14
dapaat berubah seiring waktu. Pada anak dengan diabetes insipidus sentral idipatik,
penebalan PS ditemukan pada 50-60% anak. Evolusi spontan penebalan PS similar
dengan laporan kasus terhadap tiada perubahan (30%), reduksi (30-50%) atau
pembesaran (10-20%) dari ukuran stalk. Di antara pasien dengan diabetes insipidus
idiopatik dan penebalan PS, 90-04% berkembang menjadi deficit hormone pituitary
anterior dengan defisiensi hormone pertumbuhan terisolasi mencapai 60% kasus.
Deficit hormone pituitary anterior yang multiple ditemukan pada 30-50% pasien
dengan pelebaran PS hanya 10% dari 19 pasien dengan normal PS yang memiliki
deficit hormonal tambahan. Pemeriksaan otak untuk menapis lokalisasi sistems saraf
pusat, juga untuk mencari tanda lain seperti otitis media rekuren atau dyspnea,
merupakan sebuah keharusan untuk menapis keterlibatan multiorgan1.
Pemeriksaan klinis, radiologi, dan endokrin dibutuhkan saat follow up. Secara
khususm follow up radiologi direkomendasikan pada semua pasien dengan pelebaran
PS (setiap 3-6 bulan) dan biopsy PS direkomendasikan jika MRI mendapatkan
pembesaran lesi PS (>6.5 mm) atau anterior pituitary (AP) gland (ukuran AP sangat
tergantung dengan usia) atau keterlibatan ventrikel ke tiga (gambar 1). MRI dinamik
dapat mengindentifikasi kasus diabetes insipidus sentral dan ukuran PS normal yang
berhubungan dengan suplai darah abnormal ke pituitary posterior1.
5. Diabetes Insipidus Sentral dan Sensasi Haus Abnormal
Adipsic diorders dikarakteristikkan dengan kurangnya sensasi haus, dengan
konsekuensi kegagalan intake yang berujung dengan hiperosmolalitas. Insiden
diabetes insipidus sentral postoperative dan abnormalitas sensasi haus dilaporkan
sekitar 1/3 dari pasien dengan craniopharyngioma. Diabetes insipidus sentral adipsik
dikarakteristikkan dengan thirst score rendah yang abnormal dan tidak ada respon
haus sebagai respon hyperosmolar plasma selama infus salin hipertonik1.
Pasien dengan craniopharyngioma yang berkembang menjadi sindrom adipsik
dan postoperative diabetes insipidus sentral yang gagal untuk meningkatkan AVP
serum sebagai respon terhadap hipotensi induksi obat; tidak ada respon sensasi haus
setelah penurunan tekanan darah atau infus saline hipertonik, mengindikasikan
keterlibatan jalur osmotic dan nonosmotik. Kegagalan mensekresi AVP sebagai
respon hipotensi atau hipovolemia dapat meningkatkan risiko dehidrasi dan
hypernatremia yang mengancam jiwa. Pada pasien adipsik, harus diketahui daily fluid
intake dengan pasti, sesuai dengan berat badan di mana pasien akan menjadi
eunatremik dan euvolemik. DDAVP kemudian diberikan dengan dosis dan frekuensi

15
yang tepat untuk menjaga urin output dan neutral fluid balance yang optimal, yang
memungkinkan insensile losses; penimbangan berat badan dan pemeriksaan sodium
serum merupakan keharusan1.

Gambar. 2. Alur diagnosis poliuri-polidipsi (rasio normal: Uosm/Posm > 1.5). BW: berat bedan; Posm:
osmolalitas plasma; Uosm: osmolalitas urin. aLaboratorium; bkonfirmasi khususnya pada diabetes insipidus
parsial; cpolidipsi primer mempunyai bentuk plasma Na dan Posm di mana tidak mencapai batas yang telah
dilaporkan1.

16
Meskipun hanya sedikit yang diketahui tentang bagaimana otak menyusun
osmoregulasi sistemik, perkembangan terbaru telah diketahui mekanisme molekuler,
seluler dan jaringan yang memediasi kontrol sentral dalam homeostasis osmotic.
Meskipun faktanya osmoreseptor serebral mempunyai fungsi determinan dalam kontrol

respon osmoregulator, osmoreseptor perifer juga berkontribusi dalam keseimbangan


cairan. Pasien dengan abnormalitas complex midline CNS seperti septo-optic dysplasia
umumnya mengalami defektif AVP osmoregulasi dibanding dengan frank diabetes
insipidus sentral, di mana menunjukkan bahwa gangguan mekanisme osmoreseptor
berkontribusi sebagai setiologi gangguan homeostasis.
Gambar 3. Alur diagnosis diabetes inpidus sentral. PLAP = Placental alkaline phosphatase; PPHS =
posterior hyperintense signal1.

17
H. DIAGNOSIS BANDING
Manajemen diabetes insipidus yang efektif tergantung dari penentuan tipe diabetes
insipidus. Diferensial diagnosis dapat dengan mudah atau menantang tergantung
keparahan defek dan metode yang dipakai. Presentasi klinis saat diabetes insipidus terjadi
sudah cukup untuk menentukan tipe diabetes inspidus. Sebagai contoh, diabetes insipidus
yang mulai terjadi selama kehamilan dan membaik beberapa minggu setelah persalinan
hamper dengan pasti merupakan diabetes insipidus gestasional. Meskipun demikian,
beberapa kelainan seperti neurosarcoid atau trauma kapitis telah diketahui berhubungan
dengan lebih dari satu jenis diabetes insipidus dan beberapa hubungan dapat bersifat
aksidental daripada kausatif. Walapun clear-cut riwayat diabetes insipidus dalam keluarga
tidak dapat membedakan antara tipe pituitary dan tipe nefrogenik karena kedua tipe
tersebut dapat diturunkan secara autosomal dominan, resesif X-linked atau autosomal
resesif. Oleh karena itu, dalam kebanyakan kasus, metode yang dapat diandalkan untuk
membedakan antara diabetes insipidus pituitary, polidipdi primer dan diabetes insipidus
nefrogenik harus dilakukan sebelum menentukan tatalaksana atau pemeriksaan untuk
mencari penyebab8.
Metode yang digunakan untuk menentukan diferensial diagnosis bervariasi tergantung
pada presentasi klinis dan sumber yang tersedia. Pada pasien yang jarang dan hadir dengan
kenaikan osmolalitas plasma/sodium yang abnormal, polidipsi primer dan pituitary parsial
dan nefrogenik parsial dapat disingkirkan dan kemungkinan yang tersisa, pituitary yang
berat atau nefrogenik yang berat dapat dibedakan dengan mudah dengan menentukan efek
terhadapa osmolalitas urin setelah injeksi dosis standar tes AVP (0.05 unit Aqueous
Pitressin) atau desmopresin (1µg DDAVP) 8.
Pada pasien dengan dengan diabetes inspidus, meskipun osmolalitas plasma/sodium
pada unrestricted fluid intake dalam batas normal. Oleh karena itu, merupakan hal biasa
untuk melakukan tes deprivasi dengan injeksi AVP atau DDAVP. Akibat adanya risiko
untuk membuat kondisi dehidrasi yang berat pada pasien diabetes insipidus pituitary yang
berat atau nefrogenik yang berat, deprivasi cairan harus dimulai dipagi hari dengan
monitoring yang ketat oleh petugas yang terlatih pada fasilitas dengan akses ke
laboratorium yang dapat menghitung dan melaporkan osmolalitas plasma dan/atau sodium
dan juga osmolalitas urin dalam waktu yang simultan kurang dari 30 menit. Detail metode
dapat bervariasi namun pendekatan secara umum adalah untuk menghentikan semua
intake cairan dan memonitor berat badan, sodium plasma dan osmolalitas plasma setiap

18
jam hingga konsentrasi urin berkembang menjadi hipertonik/hipernatremi, manapun yang
ditemukan lebih dahulu. Jika deprivasi volume tidak tidak meningkatkan osmolalitas urin
diatas 300 mosm/L sebelum hipernatremi muncul, polidipsi primer dan juga diabetes
insipidus pituitary parsial dan diabetes insipidus nefrogenik parsial dapat disingkirkan.
Dalam keadaat tersebut, restriksi cairan dapat dan harus dihentikan untuk mencegah
dehidrasi yang lebih lanjut dan injeksi AVP atau DDAVP yang diikuti dengan pengukuran
berulang osmolalitas urin setiap jam untuk 2 jam dapat membedakan antara diabetes
insipidus pituitary yang berat dan diabetes insipdisu nefrogenik yang berat8.

Gambar 4. Algoritma diferensial diagnosis diabetes insipidus dengan menggunakan tes deprivasi cairan yang
dimodifikasi8.
Tradisional tes deprivasi cairan AVP/DDAVP kurang dapat dipercaya untuk
diferensial diagnosis ketika deprivasi cairan menyebabkan prosses konsentrasi urin terjadi
sebelum osmolalitas plasma dan/atau sodium meningkat di atas rentang normal. Pada
keadaan tersebut, perubahan osmolalitas urin disebabkan oleh injeksi AVP atau DDAVP
tidak dapat membedakan secara jelas antara polidipsi primer, diabetes insipidus pituitary
parsial dan diabetes insipidus nefrogenik parsial. Meskipun demikian, beberapa pendekatan
lain untuk menetapkan diferensial diagnosis dibutuhkan dalah keadaan tersebut8.
Polidipsi primer, diabetes insipidus pituitary parsial dan diabetes insipidus nefrogenik

19
parsial dapat dibedakan dengan menambahkan pengukuran AVP plasma terhadap tes
deprivasi cairan. Dengan menggunakan metode ini, pasien dalam kondisi deprivasi cairan
sebagai tes tradisional namun, jika proses konsentrasi urin terjadi, prosedur selanjutnya
berbeda. Bukannya meninjeksikan AVP atau DDAVP dan mengulang pengukuran
osmolalitas urin, sampel darah untuk penghitungan plasma AVP dan osmolalitas
plasma/sodium diambil dan tes deprivasi dilanjutkan dengan menginfuskan saline
hipertonik (3%) dengan dosis 0.05 mL per kilogram berat badan per menit. Selama
menginfuskan hipertonik saline, osmolalitas plasma/sodium diukur tiap 30 menit. Ketika
hasilnya meningkat di atas nilai batas normal, biasanya 60-90 menit setelah infus saline
hipertonik, sampel darah tambahan diambil kembali untuk mrnghitung plasma AVP dan tes
diakhiri. Hasilnya diinterpretasikan dengan meletakkkan hasilnya pada nomogram yang
menggambarkan hubungan yang normal antara plasma AVP dan osmolalitas
plasma/sodium atau osmolalitas urin. Metode dapat diandalkan untuk membedakan
polidipsi primer, diabetes insipidus pituitary parsial dan diabetes insipidus nefrogenik
parsial namun tes tersebut memiliki kekurangan praktikal. Seperti metode tradisional,
hanya dapat dilakukan dengan monitoring yang ketat oleh staff terlatih pada rumah sakit
dengan fasilitas akses ke laboratorium yang dapat menghitung dengan cepat dan
melaporkan osmolalitas plasma/sodium dan juga osmolalitas urin. Dibutuhkan pula
laboratorium rujukan yang dapat memeriksa plasma AVP dan menyediakan metode
nomogram spesifik untuk menginterpretasikan hasilnya. Oleh karena itu, tes deprivasi
cairan termodifikasi merupakan pemeriksaan terbaik untuk kasus sulit yang dikonsultasikan
dengan sumber khusus yang dibutuhkan8.
Pendekatan terbaru yang tidak membutuhkan deprivasi cairan memungkinkan cara
yang sederhana namun dapat dipercaya untuk membedakan antara 3 tipe mayor diabetes
insipidus tanpa memperhatikan keparahan defek yang mendasarinya. Pemeriksaan tersebut
berdasarkan dua pengamatan; pertama, bahwa AVP plasma basal selalu normal atau
meningakat pada diabetes insipidus nefrogenik namun rendah atau tak dapat dideteksi pada
diabetes insipidus pituitary dan polidipsi primer; kedua, signal hiperintens (“bright spot”)
secara normal terlihat pada pituitary posterior pada T-1 MRI otak akan hilang atau kecil
abnormal pada diabetes insipidus pituitary namun nampak atau membesar secara abnormal
pada polidipsi primer. Oleh karena itu, 3 tipe diabetes insipdius dapat diidentifikasi melalui
dua langkah. Langkah pertama yaitu mnghitung AVP plasma basal dan osmolalitas urin
secara bersamaan dalam kondisi intake cairan yang tidak dibatasi. Jika AVP plasma normal
atau meningkat (>2,5 pg/mL) ketika osmolalitas urin rendah (<300 mosm/L), pasien

20
memiliki diabetes insipidus nefrogenik dan hanya pemeriksaan tambahan saja yang
sibutuhkan untuk mencari tahu penyebabnya. Walaupun demikian, jika AVP plasma rendah
atau tak terdeteksi (<1 pg/L) ketika osmolalitas urin juga rendah, MRI otak dapat dilakukan
untuk menetukan apakah bright spot pada pituitary anterior tak nampak atau kecil,
mengindikasikan diabetes insipidus pituitary, atau normal atau pembesaran,
mengindikasikan polidipsi primer. Sebagai tambahan MRI juga dapat memperlihatkan
patologi penyebab setiap penyakit tersebut8.

Gambar 5. Algoritma diferensial diagnosis diabetes insipidus dengan metode plasma AVP-MRI 8.

Gambar 6. MRI T-1 potongan sagittal pada pasien dengan tipe diabetes insipidus yang berbeda. Perhatikan
bahwa signal hiperintens normalnya ditemukan pada pituitary posterior akan hilang pada diabetes insipidus
pituitary (A), pudar pada diabetes insipidus nefrogenik (B) dan nampak pada polidipsi primer (C)8.
Keuntungan utama metode AVP-MRI dalam menetukan diferensial diagnosis adalah
metode tersebut dapat dilakukan pada pasien rawat jalan, tidak membutuhkan staf terlatih,

21
kurang stressful untuk pada pasien dan mungkin adalah paling hemat biaya dibandingkan
dengan metode lain. Namun, terdapat beberapa peringatan. Pertama adalah kemungkinan
stimulus non-osmotik yang terlalu kuat seperti vaso-vagal reflex yang diprovokasi oleh
flebotomi dapat meningkatkan AVP plasma yang cukup untuk salah diagnosis diabetes
insipidus nefrogenik pada pasien dengan polidipsi primer atau bahkan diabetes inispidus
pituitary parsial. Untuk menghindari terjadinya kesalahan ini, yang melakukan flebotomi
harus memberi perhatian khusus pada setiap gejala atau reaksi lain dari pasien. Masalah
yang berpotensi yang lain adalah misinterpretasi MRI. Pada T-1, jaringan lemak pada
dorsum sella juga memberi gambaran signal hiperintensyang dapat dimisinterpretasi
sebagai lesi yang berasal dari pituitary posterior. Jika ada keraguan dalam menentukan hal
tersebut, penggunaan metode supresi lemak dapa mambantu. MRI juga tidak dapat
diandalkan untuk diferensiap diagnosis pada pasien dengan dorsum sella yang kosong
karena kurang nampaknya adanya bright spot di pituitary posterior meskipun ketika bukan
pada pasien dengan diabetes insipidus. Bright spot juga tidak didapatkan, kabur atau kecil
pada kebanyakan pasien dengan diabetes insipidus nefrogenik yang dicurigai akibat sekresi
AVP yang sangat banyak mengurangi penyimpanan AVP oleh pituitary. Sehingga, ada atau
tidak adanya bight spot pada pituitary posterior pada pemeriksaan MRI tidaklah cukup
untuk menentukan diferensial diagnosis diabetes nsipidus kecuali diikuti dengan
pemeriksaan AVP atau tes fungsi AVP yang lain8.
Pendekatan lain untuk diferensial diagnosis adalah monitor ketat trial terapi AVP atau
DDAVP. Jika dilakukan dengan benar, metode ini dapat membedakan tipe diabetes
insipidus antara polidipsi primer, diabetes insipidus pituitary dan diabetes inispidus
nefrogenik tanpa melihat keparahan dengan akurasi hingga 90%. Pada diabetes insipidus
pituitary terapi akan menghilangkan keluhan polyuria dan sedikit menurunkan osmolalitas
plasma/sodium yang menghilangkan sensasi haus dan polidipsi serta menstabilkan balance
cairan dalam batas normal. Pada polidipsi primer terapi juga menghilangakn poliuri namun
jumlah penurunan osmolalitas plasma/sodium tidak atau sedikit berefek pada polidipsi.
Oleh karena itu, kelebihan cairan dipertahankan menyebabkan hipoosmolemia dan
hiponatremi, kadang-kadang menjadi berat, dalam 24 – 48 jam. Pada diabetes insipidus
nefrogenik terapi tersebut sedikit atau tidak tidak berefek sama sekali pada semua variabel
di tersebut. Meskipun sederhana dalam konsepnya, biaya, ambiguitas, dan risiko pada
pemeriksaan tersebut akan lebih besar dibanding dengan metode lain untuk menentukan
diferensial diagnosis. Trial tersebut harus dilakukan di rumah sakit dengan monitoring
volume urin, osmolalitas urin dan osmolalitas plasma/sodium yang ketat. Sebagai

22
tambahan, untuk mendiferensiasi dengan jelas antara polidipsi primer dan diabetes
insipidus pituitary, dosis optimum terapi harus ditentukan dengan titrasi untuk
meningkatkan osmolalitas urin 24 jam ke angka sekitar 300-700 mosm/L karena dosis
cukup besar untuk memproduksi antidiuresis maksimal (osmolalitas urin >1000 mosm/L)
sehingga memberikan efek intoksikasi cairan pada pasiend dengan diabetes inispidus
pituitary dan juga pada 25% subjek yang sehat8.

Gambar 7. Efek terapi desmopresin pada 3 pasien dewasa dengan tipe diabetes insipidus yang berbeda.
Panel kiri (A) adalah pasien dengan diabetes insipidus pituitary parsial. Panel tengah (B) adalah diabetes
insipidus nefrogenik parsial. Panel kanan (C) adalah pasien dengan dipsogenik dari polidipsi primer.
Diagram abu-abu mengindikasikan volume urin dan diagram putih mengindikasikan intake cairan dalam
mL/8 jam. Segitiga abu-abu memperlihatkan osmolalitas tiap urin tampung 8 jam. Lingkaran hitam
mengindikasikan konsentrasi sodium plasma pada awal periode tampungan. Stippled boxes pada bagian atas
mengindikasikan periode terapi desmopresin, 200 µg per oral tiap 8 jam. Kotak dengan label FR pada panel
C mengindikasikan restriksi cairan. Pada ketiga pasien, intake cairan cenderung lebih tinggi dibanding
dengan volume urin akibat adanya insensible water loss. Pada pasien dengan diabetes insipidus pituitary,
desmopresin menormalkan osmolalitas urin dan volume dalam 8 jam. Pada saat yang sama, desmopressin
juga mengurangi sensasi haus dan intake cairan untuk membawa ke keadaan balance dengan output urin dan
menstabilkan plasma sodium dalam rentang normal. Pada pasien dengan diabetes insipidus nefrogenik,
desmopressin tidak memiliki efek yang cukup besar pada variabel tersebut. Pada diabetes insipidus
dipsogenik, desmopressin juga menormalkan osmolalitas urin dan volume dalam 8 jam namun pengurangan
sensasi haus dan intake cairan lebih kecil dan cenderung tetap tinggi dalam 32 jam berikutnya, menyebabkan
retensi air yang progresif dan menyebabkan hiponatremia yang dikoreksi dengan penghentian desmopresin
dan restriksi cairan (RFI) 8.

I. TATA LAKSANA
Diabetes insipidus adalah gangguan yang dapat mengancam jiwa jika usia pasien atau
keadaan lain yang mengganggu mekanisme kompensasi untuk mencegah gangguan berat

23
akibat dehidrasi. Diabetes insipidus juga dapat sebagai pertanda keadaan serius yang
mendasari yang butuh untuk diidentifikasi dan diterapi. Biasanya, walaupun, diabetes
insipidus adalah gangguan kecil bagi pasien. Poliuri, nocturia, enuresis, sensasi haus dan
polidipsi merupakan keluhan yang menjengkelkan, kadang memalukan dan kadang
membatasi aktivitas sehari-hari. Namun baiknya, kebanyakan dari gangguan ini dapat
dielikinasi atau dihilangkan dengan terapi yang tepat untuk tipe diabetes insipidus dan
karakteristik pasien yang lain8.
1. Diabetes Insipidus Pituitary
Poliuri, sensasi haus dan polidipsi pada diabetes insipidus pituitary dapat
dikontrol dengan sempurna dengan terapi dengan hormone pitressin (AVP) atau
desmopresin (DDAVP, Ferring), sebuah analog spesifik untuk reseptor V2. Pilihan
terapi umumnya tergantung dari tampilan klinis. Jika pasien dirawat inap, penurunan
kesadaran, sakit akut atau hal lain yang menyebabkan tidak mampu untuk mengatur
intake cairan melalui sensasi haus, infus aqueous pitressin intravena dapat dilakukan
karena pitressin mempunyai durasi efek yang lebih pendek dari pada DDAVP dan,
akibatnya, dapat dikurangi dengan cepat jika terjadi hiponatremia atau cairan intravena
harus ditingkatkan untuk alas an terapeutik lain. Pada dewasa dan anak lebih dari 2
tahun, infus AVP dengan kecepatan sekitar 2µU/kg berat badan per jam biasanya
mempertahankan osmolalitas urin dan volume dalam batas normal yaitu sekitar 400-
800 mosm/L dan 0.5-1.0 mL/kg/jam, secara berurutan. DDAVP menyebabkan tingkat
antidiuresis yang similar ketika pasien diberikan intravena atau subkutan dengan dosis
1µg sekali hingga dua kali sehari8.
Pada pasien yang sadar dan dapat mengatur intake cairan secara mandiri dengan
mekanisme haus, terapi yang dianjurkan untuk diabetes insipidus pituitary adalah
DDAVP. Karena memiliki durasi efek yang lebih panjang dari AVP, DDAVP tersedia
dalam sediaan paraenteral, intranasal, oral atau sublingual. Bioavailability tiap sediaan
berbeda dalam hal rasio yaitu 1:10:100:60 secara berurutan. Pada dewasa dan anak
dengan usai lebih dari 2 tahun, oral atau sublingual lebih dianjurkan untuk terapi
jangka panjang. Dosis rekomendasi berentang 100 hingga 200 µg satu hingga tiga kali
sehari. Meskipun demikian, dosis optimum harus ditentukan tiap pasien dengan titrasi
akibat adanya variasi bioavailabilitynya. Tujuan terapi adalah untuk mempertahankan
osmolalitas urin dan volume 24 jam dalam rentang normal 400-800 mosm/L dan 20-30
mL/kg/hari karena pada tingkat antidiuresis seperti itu sensasi haus ditekan dan
kebanyakan pasien mengurangi intake cairan total yang cukup untuk mencegah

24
terjadinya intoksikasi air. Sebagai tambahan tindakan pencegahan intoksikasi air,
pasien dengan terapi antidiuretic harus dinasehati untuk minum hanya untuk
menghilangkan rasa haus karena volume yang besar tidak dapat diekskresi dengan
segera jika urin output diatur secara normal dengan perubahan osmolalitas
plasma/sodium8.
Diabetes insipidus pituitary dapat pula diterapi dengan chlorpropamide
(Diabinase), carbamazepine (Tegretol) dan clofibrate (Atromid). Terapi tersebut
kurang efektif daripada DDAVP dan lebih banyak efek samping namun harus tetap
dipertimbangkan jika tidak ada pilihan lain8.
Penyebab yang mendasari diabetes insipidus pituitary harus diinvestigasi.
Kebanyakan didapat namun beberapa kasus adalah genetic dan sekitar setengahnya
masih idiopatik. Kebanyakan kasus dengan penyebab yang didapat dibuktikan dengan
adanya riwayat atau MRI otak saat dating. Meskipun demikian, penyebab lain seperti
histiocytosis, tidak akan bermanifestasi diawal. Oleh karena itu MRI berulang dapat
bermanfaat terutama pada anak-anak, jika MRI awal negative dan juga pemeriksaan
lain, analisis genetic sangat jarang dilakukan. Tidak adanya riwayat keluarga bukan
merupakan sebuah kontraindikasi untuk analisis genetic karena beberapa mutasi yang
menyebabkan diabetes insipidus pituitary terjadi de novo atau resesif. Identifikasi
mutasi berguna bukan hanya untuk konseling keluarga secara umum namun juga
dalam banyak kasus, untuk menetukan saat keluarga apakah keturunannya oleh
orangtua yang menderita akan atau tidak akan menderita diabetes insipidus8.
Terdapat sekurangnya 5 bentuk yang berbeda dari diabetes insipidus pituitary
familial. Sejauh ini bentuk paling umum, dari lebih dari 100 keluarga yang
dilaporkan, diturunkan secara mode penetran autosomal dominan komplit. Hal
tersebut berhubungan dengan sekurangnya 70 mutasi yang berbeda pada satu alel
pada gene AVP pada kromosom 20p13 yang mengkode AVP-neurophysin II-copeptin
precursor. Mutasi ditemukan diseluruh coding region kecuali bagian exon 3 yang
mengkode copeptin. Kesemuanya mengganti atau menghapus satu atau lebih residu
amino yang dipercaya sangat penting dalam mengoreksi processing dan/atau folding
protein precursor. Meskipun demikian, mutasi tersebut diperkirakan sebagai
penyebab mutan precursor untuk mengalami misfold, akumulasi dan pada akhirnya
akan merusak neuron, sehingga mencegah ekspresi alel normal. Usia munculnya
gejala diabetes insipidus tidak dapat dijadikan sebagai patokan, namun onset gejala
muncul bervariasi dari 6 bulan hingga 6 tahun atau bahkan lebih tua lagi dalam

25
beberapa kasus. Pada awalnya defisiensi AVP bersifat parsial dan dapat menetap
untuk beberapa tahun. Akhirnya, hamper selalu berkembang menjadi parah jika tidak
kekurangan komplit AVP. Penelitian autopsy pada dewasa dengan autosomal
dominan familial diabetes insipidus pituitary memperlihatkan degenerasi selektif dari
neuron magnoseluler yang memproduksi AVP. Neuron yang memproduksi oksitosin
tetap bertahan. Fungsi pituitary anterior tetap normal8.
4 tipe lain diabetes insipidus familial merupakan penyakit yang sangat jarang.
Dua diantaranya autosomal resesif dan juga sebagai akibat mutasi gen AVP. Tipe
yang pertama, mutasi terjadi pada bagian gene yang mengkode posisi 7 pada separuh
AVP. Mutasi tidak disebabkan akibat misfold atau atau prosesing precursor namun
sebagai akibat produksi dan sekresi AVP mutan yang secara biologic inaktif,
homozigot hanya memproduksi mutan AVP inaktif secara biologic. Heterozigot
sepertinya tidak bermanifestasi diabetes insipidus karena adanya alel normal yang
dapat memproduksi AVP yang cukup untuk mempertahankan konsentrasi urin. Tipe
kedua dari autosomal resesif diabetes insipidus pituitary terjadi akibat delesi yang
luas gen AVP dan intergenik region antara gen precursor AVP dan oksitosin. Mutasi
diperkirakan akan menghilangkan transkripsi gen AVP. Homozigot memiliki diabetes
insipidus namun heterozigot tidak, mengindikasikan lagi bahwa satu alel normal
dapat memproduksi AVP yang cukup untuk mencegah diabetes insipidus8.
Tipe ketiga autosomal resesif diabetes insipidus pituitary terjadi pada sindrom
Wolfram, sangat jarang, penyakit neurodegenerative komplit dan progresif yang juga
termasuk insulin dependent diabetes mellitus onset awal. Diabetes insipidus biasanya
muncul sejak remaja namun dapat terjadi pada usia berapapun dan dihubungakn
dengan defisiensi sekresi AVP, respon yang baik terhadap DDAVP, bukti histologi
degenerasi pituitary posterior dan defek proses pembentukan precursor AVP.
Kebanyakan pasien adalah homozigot atau gabungan heterozigot pada mutasi gen
WFS1 pada kromosom 4p16.1. Heterozigot nampaknya tidak terpengaruh8.
Tipe kelima diabetes insipidus familial diturunkan dengan X-linked recessive.
Tipe ini dikarakteristikan adanya onset diabetes insipidus pituitary pada laki-laki
selama neonates dan awal masa kanak-kanak, progresi yang bervariasi pada defisiensi
AVP dan kontrol penuh diabetes inisipidus dengan dosis standar DDAVP. Wanita
karier obligat mensekresi AVP secara normal dan tidak mengalami diabetes
insipidus. Peran gen tersebut sebagai penyebab diabetes insipidus namun belum dapat
diidentifikasi namun gen tersebut berhubungan dengan kromosom Xq28, region yang

26
sama di mana terdapat gen reseptor V2. Meskipun demikian, gen AVPR2 dan juga
gen AVP keduanya normal8.
2. Diabetes Insipidus Gestasional
Tipe diabetes insipidus ini harus diterapi dengan DDAVP karena lebih resisten
daripada AVP. Pencegahan diberikan seperti pada diabetes insipidus pituitary.
Perbedaannya adalah target level osmolalitas plasma/sodium sekitar 2-3% lebih
rendah dari pada status non-gravid dan terapi dapat dihentikan 4-6 minggu setelah
persalinan. Jika diabetes insipidus berulang maka harus diinvestigasi lebih jauh
sebagai diabetes insipidus pituitary8.
3. Diabetes Insipidus Nefrogenik
Terapi diabetes insipidus bervariasi tergantung dari penyebab. AVP dan
DDAVP tidak efektif kecuali pada pemberian dalam dosis yang sangat tinggi dengan
resistensi parsial terhadap hormone tersebut. Meskipun demikian, biaya dan
ketidaknyamanan yang ditimbulkan membuat investigasi menggunakan teknik
tersebut tidak rutin dilakukan untuk jangka waktu lama. Beberapa bentuk diabetes
insipidus nefrogenik yang didapat dapat disembuhkan dengan mengatasi masalah
yang mendasari. Seperti contoh, diabetes insipidus nefrogenik yang diinduksi lithium
dapat sembuh sempurna jika pengobatan dihentikan dalam satu atau dua tahun
pertama terapi. Diabetes insipidus nefrogenik yang disebabkan hypokalemia membaik
ketika defisiensi potassium dikoreksi. Pada kebanyakan pasien, bagaiamanpun,
penyebab dasar tidak dapat dikoreksi dan metode lain yang kurang efektif harus
digunakan. Mengurangi diet sodium dan protein mengurangi poliuri dan polidipsi
dengan menurunkan beban zat terlarut urin, khususnya sodium dan urea. Meskipun
demikian, efek dari pendekatan tersebut terbatas dengan ketidaknyamanan restriksi
diet dan, pada anak, dengan adanya kebutuhan untuk pertumbuhan yang normal.
Pemberian dosis standar chlorothiazide (Diuril) dan/atau amiloride (Midamor)
meningkatkan osmolalitas urin dan menurunkan volume urin. Mekanisme kerjanya
dengan mengurangi reabsorbsi sodium pada loop Henle (sehingga mengganggu dilusi
urin) dan dan sebagai kompensasi meningkatkan reabsorbsi sodium, klorida, dan air
pada tubulus proksimal (sehingga mengurangi volume urin). Besarnya efek
antidiuretic bervariasi namun, pada kebanyakan kasus, efeknya dapat meningkatkan
osmolalitas urin dua kali lipat dan mengurangi volume urin hingga setengahnya. Efek
samping utama adalah hypokalemia (chlorothiazide) atau hyperkalemia (amiloride).
Meskipun demikian, kedua obat tersebut diberikan secara bersamaan untuk

27
menetralkan efek eksresi potassium. Terapi dengan sintesis prostaglandin inhibitor
indomethacin (Indocin) atau cyclooxogenas-2 inhibitor, juga meningkatkan
osmolalitas urin dan mengurangi volume urin pada diabetes insipidus nefrogenik.
Efek antidiuretic juga bervariasi dan sangat mirip dengan besarnya efek
chlorothiazide dan/atau amiloride. Meskipun demikian, efeknya lemah dan harus
diberikan bersamaan untuk meningkatkan efek antidiuresis. Pada beberapa pasien
terutama pada mereka diabetes insipidus nefrogenik parsial, terapi kombinasi
mengurangi urin output dan intake cairan kembali ke normal. Efek samping utama
indomethacin adalah gastiritis, yang dapat diminimalkan dengan konsumsi obat
bersamaan dengan makan. Pada kebanyakan kasus, terapi yang ada hanya
memberikan perbaikan parsial dari poliuri, sensasi haus dan polidipsi dan pendekatan
alternative masih dalam penelitian8.
Penyebab diabetes insipidus neforgenik harus diinvestigasi. Penyebab yang
didapat biasanya terbutki dari temuan klinis yang lain. Jika tidak penyebab yang
ditemukan, analisis genetic diindikasikan walaupun tidak ada riwayat keluarga sebab
kebanyakan mutasi yang berperan dalam diabetes insipidus nefrogenik bersifat
resesif. Terdapat beberapa bentuk diabetes insipidus nefrogenik familial. Bentuk yang
paling umum, yang menyumbang sekitar 90% dari jumlah pasien, adalah
ditransmisikan dalam bentuk resesif X-linked. Hal tersebut disebabkan oleh mutasi
gen AVPR2 pada kromosom Xq28 yang mengkode reseptor V2. Lebih dari 200
mutasi yang berbeda telah diidenifikasi hingga saati ini. Mutasi tersebut menyebabkan
diabetes insipidus dengan mengganggu pengangkutan intraseluler atau bahan-bahan
pengikat dari reseptor V2. Laki-laki dengan mutasi mengalami diabetes inispidus
sejak lahir. Keadaan tersebut dapat sangat parah atau bersifat parsial. Wanita karier
biasanya tidak mengalami diabetes insipidus namun dapat menunjukkan diabetes
insipidus nefrogenik familial parsial akibat cenderung terjadi inaktivasi kromosom X.
Resesif X-linked dari diabetes insipidus nefrogenik familial dapat membingungkan
dengan bentuk resesif X-linked dari diabetes insipidus pituitary falimial karena bentuk
penurunan yang identic dan gen yang terkena pada keduanya adalah kromosom
Xq288.
Diabetes insipidus nefrogenik familial juga dapat disebabkan oleh mutasi gen
AQP2 pada kromosom 12q13 yang mengkode aquaporin-2. Aquaporin-2 adalah
sebuah protein homotetramerik yang berperan sebagai water channel. Ketika
diaktivasi oleh aksi AVP, aquaporin-2 dilepaskan ke dalam permukaan luminal sel

28
principal yang menyebabkan reabsorbsi air dari urin dilusi pada collecting duct ginjal.
Terdapat sekitar 50 lebih mutasi gen AQP2 yang telah teridentifikasi hingga saat ini.
Mutasi tersebut terletak di seluruh coding region dan kebanyakan adalah resesif.
Mutasi tersebut menyebabkan aquaporin-2 gagal berproliferasi dan dan tertahan pada
reticulum endoplasmic. Pada keadaan homozygous, mutasi menyebabkan diabetes
insipidus nefrogenik yang berat pada prian dan wanita. Beberapa mutasi bersifat
dominan. Mutasi tersebut terletak C-terminal ujung intraseluler aquaporin-2 dan
nampaknya menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik dengan membentuk tetramer
dengan tipe wild aquaporin-2 menyebabkan water channel salah arah ke permukaan
yang salah dari sel principal. Pada pasien-pasien dengan keadaan seperi tersebut
diabetes insipidus nefrogenik biasanya bersifat parsial atau tidak parah dibanding
dengan mutasi resesif yang perkirakan karena fraksi kecil dari water channel dibentuk
dengan sempurna oleh tetramer dari aquaporin-2 tipe wild, dan sebagai
konsekuensinya, mengarah kea rah yang benar pada permukaan luminal sel principal8.
4. Polidipsi Primer
Tatalaksana polidipsi primer dengan AVP dan DDAVP menghilangkan poliuri
namun memiliki sedikit atau bahkan tidak terdapat efek pada polidipsi walaupun
terapi tersebut mengurangi osmolalitas plasma/sodium. Sehinggam intake air yang
berlebihan tetap terus berlangsung namun tak lagi diekskresi akibat terapi antidiuretic.
Meskipun demikian, intoksikasi air, kadang berat, berlangsung cepat. Medikasi lain,
seperti chlorothiazide, yang juga mengganggu ekskresi urin air bebas mempunyai
efek yang sama dan juga harus dihindari. Terapi satu-satunya yang aman dan efektif
untuk terapi polidipsi primer adalah dengan menghilangkan kemauan pasien untuk
mengonsumsi air secara berlebihan. Edukasi dapat berhasil sekurangnya ketika
polidipsi termotivasi dengan kesalahpahaman yang popular tentang manfaat kesehatan
konsumsi air dalam jumlah yang besar. Meskipun demikian, biasanya keberhasilan
kecil ketika keinginan untuk minum didorong oleh factor psikologik atau sensasi haus
yang abnormal. Dalam keadaan tersebut, pendekatan terbaik adalah dengan
memperingati pasien dan/atau yang merawat pasien tentang penyebab, tanda dan
gejala intoksikasi air dan pentingnya untuk mencari sarana pelayanan kesehatan jika
hal tersebut terjadi8.
Penyebab polidipsi primer harus dicari ketika keadaan tersebut dimotivasi oleh
sensasi haus yang abnormal. Sebagai tambahan untuk anamnesis riwayat trauma
kapitis dan patologi lain yang diketahui dapat berhubungan dengan diabetes insipidus

29
dipsogenik, investigasi harus menyertakan MRI otak. Penyebab genetic belum peranh
ditemukan8.

J. KOMPLIKASI
Komplikasi utama diabetes insipidus adalah dehidrasi jika hilangnya cairan lebih besar
dari pada intake cairan. Tanda dehidrasi seperti
 Rasa haus
 Kulit kering
 Fatigue
 Lesu
 Pusing
 Penurunan kesadaran
 Mual
Dehidrasi yang berat dapat memicu kejang, kerusakan otak permanen, dan bahkan
kematian9.
K. PROGNOSIS
Diabetes insipidus hipotalamik mempunyai prognosis yang baik dan pasien dapat
mempunyai kualitas hidup yang normal. Ketika diabetes insipidus berhubungan dengan
defisiensi hormone pituitary, structural atau penyakit sistemik, prognosis ditentukan
riwayat perjalanan penyakit yang mendasari dan komorbid. Diabetes insipidus hipotalamik
dapat diikuti dengan trauma.diabetes insipidus nefrogenik sulit untuk diterapi, dan
gejalanya terkadang tidak berespon dengan sempuran. Pengembangan lebih jauh
diharapkan dapat menolong diagnosis yang lebih awal dan panduan intervensi yang
sesuai6.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Ball, S.G. 2007. Vasopressin and disorders of water balance: the physiology and
patophysiology of vasopressin. Annals of Clinical Biochemistry 44(5): 417-431
2. Bichet, D.G. 2019. Regulation of Thirst and Vasopressin Release. Annual Review of
Physiology 81(1): 359-373)
3. Abbas, M.W., Iqbal, M.A., Iqbal, M.N, Javaid, R., Ashraf, M.A. 2016. Diabetes
insipidus: the basic and clinical review. International Journal of Research in Medica
Science 4(1): 5-11.
4. Kalra, S., Zargar, A.H., Jain, S.M., Sethi, B., Chowdhury, S., Singh, A.K., Thomas, N.,
Unnikrishnan, A.G., Thakkar, P.B., Malve, H. 2016. Diabetes Insipidus: The other
diabetes. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism 20(1): 9-21.
5. Salfan, C., Nasr, R., Mehta, S., Acharya, P.S., Perrera, I., Faddoul, G., Nalluri, N.,
Kesavan, M., Azzi, Y., El-Sayegh, S. 2013. Diabetes Insipidus: A Challenging
Diagnosis with New Drug Therapies. ISRN Nephrology 2013: 1-7.
6. Sja’bani M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Interna Publishing. Jakarta.
2014.
7. Ball, S. 2013. Diabetes insipidus. Medicine 41(9): 519-521.
8. Di Iorgi, N., Napoli, F., Allegri, A. E. M., Olivieri, I., Bertelli, E., Gallizia, A. Maghnie,
M. (2012). Diabetes Insipidus Diagnosis and Management. Hormone Research in
Paediatrics, 77(2), 69–84
9. Kusuma,F.,2016. Diabetes Insipidus- Diagnosis dan Terapi. CDK-246/ vol. 43 no. 11
th. 2016
10. Robertson, G. L. 2016. Diabetes insipidus- Differential diagnosis and management. Best
Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism, 30(2), 205–218

31
11. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2015. Diabetes
Insipidus. https://www.niddk.nih.gov/health-information/kidney-disease/diabetes-
insipidus. Diakses 04 Mei 2019.
12. Ishikawa, S.E., dan Schrier, R.W. 2003. Pathophysiological roles of arginine vasopresin
and aquaporin-2 in impaired water excretion. Clin Endocrinol 58: 1-17.

32

Anda mungkin juga menyukai