Anda di halaman 1dari 6

Evaluasi Terhadap Pelaksanaan Pemilihan Umum Pada Era Reformasi di

Indonesia. 
Makalah Teori Parpol dan Sistem Pemilu

Oleh:
Yoga Bambang W (F1D019010)

ILMU POLITIK

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

2021
BAB I

PENDAHULUAN

Pemilu sesuai Undang-undnag Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
diuraikan sebagai suatu sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan Adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Secara
Teoritis Pemilihan Umum merupakan suaru tahap paling awal dari berbagai rangkaian kehidupan
tata Negara yang Demokratis. Dengan kata lain Pemilu merupakan sistem politik yang pentng
menjadi penggerak hingga sekarang dianggap suatu peristiwa kenegaraan yang penting.

Secara historis, Pemilu di Indonesia sudah diselenggarakan sebanyak dua belas kali yaitu
Pemilu 1955 di masa Orde Lama, Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu
1992, Pemilu 1997 dimasa Orde Baru, serta Pemilu di masa Orde Reformasi yaitu Pemilu 1999,
Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014. Pemilu selanjutnya di era Reformasi yaitu Pemilu
2019 akan diselenggarakan pada tahun 2019 mendatang. Sebelum menerangkan mengenai
pemilu di era Reformasi terlebih dahulu dibahas mengenai latar belakang lahirnya era Reformasi
yang dimulai pada 1998 menjadi awal pemilu demokratis di Indonesia. Latar belakang dari
terselenggaranya Pemilu di era Reformasi adalah melemahnya pemerintah Orde Baru hingga
turunnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 serta terjadinya peralihan kekuasaan ke era
Reformasi. [CITATION Pan18 \l 1033 ]

Pemilihan umum di era reformasi terjadi ditandai dengan runtuhnya kekuasaan rezim
pemerintahan Presiden Soeharto. Krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis multi dimensional
membawa dampak yang sangat besar bagi Bangsa Indonesia. Dengan kehancuran ekonomi yang
menjadi senjata utama membungkam gerakan pro demokrasi maka harapan akan
keberlangsungan Pemerintahan Soeharto menjadi sirna. [ CITATION Akb08 \l 1033 ] Pemilihan
umum pertama pada era reformasi terjadi pada Tahun 1999. Pemilu ini dilaksanakan tiga tahun
lebih awal dari yang seharusnya yakni pada Tahun 2002. Hal ini berdasarkan keputusan
pemerintah atas besarnya tekanan rakyat atas pemerintahan Presiden Habibie yang dianggap
sebagai pewaris orde baru sehingga tidak memiliki legitimasi yang kuat di mata masyarakat.
BAB II

PEMBAHASAN

Pelaksanaan Pemilu era Reformasi sejatinya ditandai dengan runtuhnya rezim Presiden
Soeharto yang menjadi awal era reformasi dimulai pada tahun 1999 dilanjutkan oleh Presiden
B.J Habibie kala itu, tepatnya pada 7 Juni 1999 atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, pemilu
dilaksanakan kembali, dengan kepentingan mendapat pengakuan publik dan dunia Internasional,
hal itu kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan siding umum MPR untuk menetapkan
presiden dan wakil presiden yang baru dan sekaligus memangkas masa jabatan presiden Habibie
yang harusnya sampai tahun 2003, [ CITATION Ima14 \l 1033 ]. Berikut diuraikan pelaksanaan dan
evaluasi Pemilu era Reformasi :

 Pemilu 1999

Dalam pelaksanaan pemilu 1999 tersebut, penggunaan sistem pemilu masih mendasarkan
kepada sistem proporsional (tertutup) yang berarti pemilih hanya memilih salah satu partai
politik peserta pemilu. Namun demikian beberapa kalangan tetap menyatakan bahwa pemilu
1999 berlangsung cukup demokratis karena memberikan ruang yang lebih terbuka bagi rakyat
dalam memilih partai politik. Untuk diketahui bahwa jumlah partai politik peserta pemilu tahun
1999 adalah 48 partai politik, sehingga rakyat diberikan sangat banyak pilihan partai politik –
meskipun di sisi lain masyarakat menjadi bingung [ CITATION Ind14 \l 1033 ]. Dari segi presyaratan
dan prosedur pendaftaran yang relative mudah dipenuhi yang dimana kriteria tersebut cabang
terlalu ringan dan longgar itulah yang menyebabkan banyaknya partai politik yang lolos ikut
pemilu, seharusnya digunakan sistem yang memiliki kepengurusan lengkap yakni biro dan
mempunyai kantor. Waktu yang tersedia untuk melakukan verifikasi terhadap 141 partai politik
yang mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilu untuk 27 propinsi seluruh Indonesia hanya satu
bulan, maka Tim Sebelas yang bertindak atas nama Lembaga Pemilihan Umum (LPU) terpaksa
melakukan verifikasi secara acak menurut metodologi tertentu. Akibatnya, 12 partai politik
menyampaikan protes keras terhadap Tim Sebelas/LPU/ KPU karena menganggap memenuhi
persyaratan yang ditentukan undang-undang tetapi tidak termasuk yang lolos sebagai peserta
Pemilu [ CITATION Mas13 \l 1033 ] . Dari uraian tersebut pemilu era 1999 merupakan titik
perbaikan yang terbilanh susah sehingga pemerintah dengan segala keterbatasan legitimasinya
membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (P3KPU) terdiri dari 11
orang sebagai acuan Pemilihan Umum kedepannya.

 Pemilu 2004 dan 2009

Berdasarkan penyelenggaraan pemilu 2004, terlihat masih adanya beberapa kelemahan mendasar
yang menurut partai politik serta fraksi-fraksinya di DPR perlu dilakukan perbaikan. Beberapa
kelemahan tersebut diantarnya terkait dengan memperdebatkan sistem proporsional terbuka. Hal
ini dinilai masih belum optimalnya karena adanya beberapa partai politik yang memiliki peran
yang sentral. Tentang pembentukan daerah pemilihan beserta alokasi kursi tiap-tiap daerah
dengan rakyat serta konversi sura menjadi suatu kursi yang dinilai tidak turut adil oleh bebrapa
partai besar [ CITATION Ind14 \l 1033 ]. Selain itu, persiapan Pemilu 2009 dirasakan banyak
menemui kendala dan hambatan. Hal itu diakui oleh Ketua KPU saat itu Abdul Hafiz Anshari
yang menyatakan bahwa aturan dalam UU No. 10 Tahun 2008 sangat ketat dan detil, namun
ternyata banyak kendala dalam menerapkannya [ CITATION Ind14 \l 1033 ]. Salah satunya adalah
banyaknya Putusan Mahkamah Konstitusi yang kemudian mengubah berbagai aturan KPU.
Kemudian ada empat bentuk kerawanan yang harus diwaspadai pada tahap verifikasi parpol di
era 2004 dan 2009 untuk menjadi peserta Pemilu. Pertama, kemungkinan adanya permainan
uang atau suap dari oknum calon peserta Pemilu kepada petugas verifikasi. Kedua, kemungkinan
pemanfaatan situasi oleh pihak ketiga khususnya terhadap calon peserta Pemilu. Ketiga,
kecurangan terhadap masyarakat baik dalam bentuk bujukan materi, pemaksaan, atau tipu
muslihat. Keempat, gugatan sengketa dari pihak yang gagal dalam verifikasi [CITATION Top04 \l
1033 ]. Upaya untuk menghindari hal tersebut ialah perlu dilakukannya jaminan kesiapan,
kredibilitas, kejujuran, serta independensi pada petugas terkait dan pengawasan secara langsung
oleh pengawas di lapangan. Namun dengan hadirnya ratusan calon anggota DPD dan dengan
berubahnya sistem serta aturan main Pemilu, bisa dikatakan persoalan-persoalan Pemilu bukan
menurun, malah mungkin justru meningkat. Paling tidak lima jebakan Pemilu mesti mendapat
perhatian bersama, yakni pertama, potensi maraknya praktik korup (kecurangan) Pemilu ; kedua
“Lapangan Bermain” bagi peserta pemilu yang masih “belum rata” ; ketiga masih banyaknya
rakyat yang “buta huruf” terhadap aturan Pemilu dan pelaksana serta fungsinya; keempat, belum
lengkapnya sejumlah aturan main Pemilu; dan kelima, ada potensi perbedaan persepsi dalam
penegakkan hukum Pemilu[ CITATION Mas13 \l 1033 ].
BAB III

KESIMPULAN

Dari pelaksaanaan pemilu yang dilaksankaan pada era Reformasi merupakan suatu gambaran
umum untuk menarik benang merah yang dihadapkan oleh persoalan di era mendatang dengan
memahami persoalan-persoalan terkait dengan menjadi suatu analisis dan evaluasi menyeluruh.
Dari pemilu Era 1999, 2004, dan 2009 setidaknya memiliki suatu artian dalam menyusun
prosedur diawal yang terlalu bilang mudah sehingga banyaknya pendaftar partai politik kala itu
di era 1999, kemudian era 2004 terdapat praktik yang money politic yang bermunculan dari segi
kecurangan-kecurangan pemilu lainnya sudah dialami era sebelumnya namun lebih
menitikberatkan pada persoalan partai sehingga penguatan KPU kala itu menjadi pengawas di
titikberatkan. Dan di era 2009 lebih tepatnya munculnya persoalan putusan Mahkamah
Konstitusi sehingga kembali menitikberatkan Pemilu hal ini dinilai sebagai suatu langkah
menjanan demokrasi yang substansial atau lebih mengarah pada demokrasi yang terkonsolidasi.
Oleh karena itu dengan masuknya evaluasi pada setiap tahunnya menjadikan pelaksaan
pemilihan umum menjadi corong memajukan demokrasi yang sepenuhnya terkesan demokratis
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Imansyah, (2014).” Sejarah Pemilu, Pemilu Era Reformasi (1998- Sekarang)” anataranews.com,
https://www.antaranews.com/berita/421351/sejarah-pemilu-pemilu-era-reformasi-1998-
sekarang.

Masyofah, (2013). Arah Perubahan Sistem Pemilu Dalam Undang-undang Politik Pasca
Reformasi (Usulan Perubahan Sistem Pemilu dalam Undang-Undang Politik Pasca
Reformasi), Cita Hukum, Vol. I No.2, https://media.neliti.com/media/publications/40862-
ID-arah-perubahan-sistem-pemilu-dalam-undang-undang-politik-pasca-reformasi-
usulan.pdf.

Pahlevi, Indra, (2014). “Dinamika Sistem Pemilu Masa Transisi di Indoneisa”, Politica Vol. 5
No, 2, file:///C:/Users/ASUS/Downloads/339-658-1-SM.pdf.

Santoso, Topo & Didik Supriyanto, (2004). “Mengawal Pemilu Mengawal Demokrasi”, Jakarta,
Raja Grafindo.

Supriyadi, Pandji. (2018). “Sejarah Pemilu Demokratis di Indonesia Tahun 1999-2014”,


http://repository.upi.edu/34913/3/S_SEJ_1304331_Chapter1.pdf.

Tandjung, Akbar, (2008). “The Golkar Ways : Survival Partai Golkar di Tengah Turbelensi
Politik Era Tansisi”. Jakarta, PT Gramedia, Hal. 7

Anda mungkin juga menyukai