Anda di halaman 1dari 10

Nama; nurfadila potutu

Nim; 432419004

Pengertian dan Lingkup Evolusi Molekuler

Seperti diketahui bahwa pengkajian evolusi pada masa evolusi modern saat
ini dilihat dari berbagai aspek dan pendekatan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Pada masa sekarang ini masalah evolusi
dikaji dari pendekatan genetika populasi, evolusi ekologi, sistematik, evolusi
molekuler dan paleontologi (Stearn & Hoekstra, 2003). Berbagai pendekatan dalam
mengkaji masalah evolusi ini diprediksikan akan terus berkembang sesuai dengan
dinamika perkembangan ilmu.

Dewasa ini pendekatan dari aspek evolusi molekuler banyak dilakukan


untuk mengkaji evolusi biologi. Seperti dinyatakan Waluyo (2005) bahwa pada
masa lalu, para ahli bekerja dengan data morfologi, anatomi, dan penurunan
genetika, maka masa sekarang para ahli beranjak pada pendekatan molekuler,
fisiologi, model matematika, dan lain sebagainya.

Evolusi molekuler (molecular evolution) pada dasarnya menjelaskan


dinamika daripada perubahan evolusi pada tingkat molekuler, disamping itu untuk
mendukung pemahaman tentang proses evolusi dan efek-efek berbagai macam
mekanisme molekuler, termasuk di dalamnya adalah evolusi genom, gen-gen, dan
produk- produknya (Graur & Hsiung Li, 2000). Lebih lanjut dikatakan bahwa studi
tentang evolusi molekuler berakar pada dua disiplin ilmu yang berbeda yaitu
“genetika populasi “ dan “ biologi molekuler “. Genetika populasi melengkapi
tentang dasar teori untuk proses-proses evolusi, sementara biologi molekuler
melengkapi tentang data empirik. Jadi untuk memahami evolusi molekuler tersebut
sangat diperlukan pengetahuan dasar keduanya yaitu genetika populasi dan biologi
molekuler praktis.
Selanjutnya lingkup pembahasan evolusi molekuler seperti yang disampaikan
Graur & Hsiung Li (2000) sebagai berikut. “ Molecular evolution encompasses two
areas of study: the evolution of macromolecules, and the reconstruction of the
evolutionary history of genes and organism. By the evolution of macromolecules
we refer to the characterization of the changes in the genetic material (DNA or RNA
sequences) and its products (proteins or RNA molecules) during evolutionary time,
and to the rates and patterns with which such changes occur. This area of study also
attempts to unravel the mechanisms responsible for such changes. The second area,
also known as molecular phylogenetics deals with the evolutionary history of
organism and macromolecules as inferred from molecular data and methodology of
tree reconstruction “

Berdasarkan kutipan di atas kita dapat mengetahui bahwa pembahasan,


lingkup, atau area evolusi molekuler meliputi dua area yaitu: (1) evolusi
makromolekul, dan (2) rekonstruksi sejarah evolusi gen dan organisme. Area
evolusi makromolekul menunjukkan karakteristik perubahan dalam materi genetik
(urutan DNA atau RNA) dan produk-produknya (protein atau molekul RNA) serta
terhadap rata-rata dan pola perubahan yang tampak. Sedangkan area kedua filogeni
molekuler menjelaskan sejarah evolusi organisme dan makromolekul seperti
adanya keterlibatan data-data molekuler dan metodologi pohon rekonstruksi.

Senada dengan pendapat di atas Stearn dan Hoekstra (2003) secara lebih
sederhana menyatakan bahwa evolusi molekuler mengkaji dan memandang evolusi
dari rekaman sejarah dalam urutan DNA dan protein. Berdasarkan beberapa rujukan
dan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan pengertian dan lingkup dari evolusi
molekuler adalah suatu pendekatan pengkajian masalah evolusi yang berpijak pada
populasi genetika dan biologi molekuler dengan area atau lingkup pengkajian pada
perubahan materi genetik (urutan DNA atau RNA) dan produknya (protein atau
molekul RNA) serta rata-rata dan pola perubahannya serta mengkaji pula sejarah
evolusi organisme dan makromolekul yang didukung data-data molekuler (filogeni
molekuler).
Perubahan Evolusi Berbasis Urutan Nukleotida

Pada bagian ini difokuskan pada pembicaraan mengenai mutasi karena


peristiwa mutasi (secara molekuler) sangat erat kaitannya dengan perubahan
evolusi berbasis urutan nukleotida. Mutasi itu sendiri menurut Lehninger (1982)
dapat diartikan sebagai perubahan permanen yang akan bersifat menurun pada
genom (gen- gen atau urutan nukleotida) suatu organisme. Lebih lanjut dikatakan
bahwa mutasi dapat mempengaruhi sebuah nukleotida (point mutations) atau
beberapa nukleotida yang saling berdekatan (segmental mutations). Sedangkan
Graur & Hsiung Li (2000) menyatakan mutasi adalah kesalahan-kesalahan yang
terjadi pada saat replikasi DNA.

Selanjutnya disampaikan oleh Graur & Hsiung Li ada beberapa tipe mutasi
yaitu: (1) substitution mutations, penggantian sebuah nukleotida dengan yang
lainnya, (2) recombinations, pertukaran sebuah nukleotida dengan yang lainnya, (3)
deletions, pergerakan satu atau lebih nukleotida pada DNA, (4) insertions,
penambahan satu atau lebih nukleotida ke dalam urutan (sekuen) DNA, dan (5)
inversions, perputaran 180 derajat dari segmen untai ganda (double-strand) DNA
yang berisi dua atau lebih pasangan basa.

Sejarah molecular clock

Hipotesis jam molekuler dikemukakan oleh Emile Zuckerkandl dan Linus


Pauling (1962), yang mengasumsikan laju evolusi konstan dalam analisis mereka
terhadap protein globin dari vertebrata. Mereka mengamati sekitar 18 perbedaan
asam amino antara kuda dan manusia dan memperkirakan tingkat mutasi dengan
mengasumsikan bahwa perbedaan antara kedua spesies ini terjadi 100 - 160 Ma
lalu. Setelah memperkirakan tingkat ini, Zuckerkandl dan Pau- ling (1962)
memperkirakan bahwa manusia menyimpang dari gorila sekitar 11Ma yang lalu.
Mereka juga memperkirakan bahwa salinan gen globin yang berbeda pertama kali
menyimpang satu sama lain pada akhir Prakambrium. ini perkiraan, Zuckerkandl
dan Pauling (1962) memperingatkan tentang kemungkinan efek perancu dari
sejumlah faktor, termasuk seleksi alam, variasi ukuran populasi, dan saturasi
mutase.

Pada tahun-tahun berikutnya, penelitian lebih lanjut menghasilkan bukti


evolusi seperti jam pada protein lain. Doolittle dan Blomback (1964) menemukan
hubungan sederhana antara identitas urutan dan waktu sejak divergensi
fibrinopeptida mamalia (Gambar 1). Setahun kemudian, Zuckerkandl dan Pauling
(1965) menciptakan istilah tersebut “ jam evolusi molekuler. ” Ini menjanjikan
untuk menjadi alat yang berguna dalam penelitian biologi, seperti yang ditunjukkan
tak lama kemudian oleh Sarich dan Wilson (1967a, b) dalam studi perintis mereka
tentang skala waktu evolusi hominid dan primata lainnya.

Hipotesis jam molekuler menyatakan bahwa laju evolusi molekuler,


sebagaimana tercermin dalam perubahan urutan DNA atau protein sepanjang
waktu, adalah konstan di antara garis usia (tetapi tidak di berbagai wilayah genom).
Mutasi nukleotida menyebabkan urutan DNA berubah JAM MOLEKULER 583
seiring waktu, sedangkan mutasi asam amino menyebabkan evolusi dalam protein.
Mutasi ini terjadi dengan probabilitas konstan daripada pada frekuensi konstan -
yaitu, jam molekuler lebih bersifat stokastik daripada metronomik (Zuckerkandl
dan Pauling, 1965). Terjadinya mutasi dalam sekuens DNA sering dimodelkan
menggunakan proses Poisson.

Pada saat itu, gagasan tentang tingkat substitusi yang konstan masih
kontroversial (Morgan, 1998). Jam molekuler diterima dengan tidak antusias antara
lain oleh George Gaylord Simpson (1964). Kritik terhadap jam molekuler sebagian
dimotivasi oleh ketiadaan keseragaman dalam kecepatan evolusi morfologi, yang
diduga terkait dengan evolusi molekuler. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
perubahan adaptif terjadi pada tingkat yang seragam dan tampaknya tidak masuk
akal bahwa proses evolusi molekuler yang kompleks dapat dijelaskan dengan
model statistik yang sederhana.

Sementara itu, ada bukti yang berkembang dari tingkat evolusi yang tinggi
dalam berbagai protein, yang menunjukkan bahwa sebagian besar perubahan dalam
asam amino pasti memiliki dampak yang dapat diabaikan pada kebugaran
evolusioner. Menanggapi hal tersebut, Motoo Kimura (1968) mengajukan teori
netral evolusi molekuler, yang menyatakan bahwa banyak mutasi memiliki
pengaruh yang kecil terhadap kesesuaian suatu organisme sehingga dapat dianggap
sebagai mutasi. “ netral. ” Hal ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa banyak asam
amino dalam protein dapat ditukar dengan asam amino lain dengan sifat biokimia
yang serupa, dengan dampak yang dapat diabaikan pada keseluruhan fungsi atau
struktur protein. Pada tingkat DNA, banyak mutasi pada gen penyandi protein.

Salah satu prediksi teori netral adalah bahwa laju evolusi molekuler konstan
di antara garis keturunan. Bagaimanapun, prediksi ini secara khusus mengacu pada
tingkat perubahan genetik per generasi. Akibatnya, kami memperkirakan akan
melihat efek generasi-waktu, di mana spesies dengan generasi yang lebih pendek
cenderung berevolusi lebih cepat per unit waktu. Misalnya, tarif yang lebih tinggi
akan diamati Jam Molekuler, Gambar 1 Plot identitas asam amino fibrinopeptida
dari berbagai pasangan mamalia, diplot terhadap waktu sejak divergensi. Waktu
divergensi didasarkan pada perkiraan dari catatan fosil (Data berasal dari Doolittle
dan Blomback (1964)). 584 JAM MOLEKULER pada hewan pengerat daripada
pada paus.

Jam molekuler dan analisis filogenetik

Jam molekuler biasanya digunakan dalam analisis filogenetik, yang


bertujuan untuk merekonstruksi pohon evolusi yang menunjukkan hubungan antar
spesies yang diminati. Simpul internal di pohon mewakili peristiwa divergensi
evolusi. Waktu kejadian ini dapat diperkirakan menggunakan jam molekuler.
Sejumlah metode statistik tersedia untuk menguji hipotesis jam molekuler untuk
sekuens DNA atau urutan protein tertentu. Ketika jam molekuler ditolak untuk satu
set data, seseorang dapat menggunakan model statistik untuk memperhitungkan
variasi laju saat memperkirakan skala waktu evolusioner (Welch dan Bromham,
2005).
Jam molekuler universal

Ada banyak bukti variasi laju evolusi di antara spesies, menghilangkan


harapan jam molekuler universal di sepanjang pohon kehidupan. Namun, beberapa
peneliti menerima gagasan tentang tingkat homogen evolusi mitokondria dalam
kelompok organisme tertentu, seperti burung, mamalia, dan artropoda. Ini adalah
asumsi yang tepat karena memungkinkan laju evolusi diterapkan dalam analisis jam
molekul ketika kalibrasi fosil atau geologi tidak tersedia.

Banyak penelitian tentang burung mengasumsikan bahwa genom


mitokondria berevolusi sekitar 1% per juta tahun, nilai yang pada awalnya
didasarkan pada penelitian terhadap lima spesies angsa (Shields dan Wilson, 1987).
Berbagai analisis DNA mitokondria burung telah mendukung perkiraan ini,
termasuk studi ekstensif yang melibatkan 74 kalibrasi dan data genetik dari 12 ordo
burung (Weir dan Schluter, 2008). Jam mitokondria burung telah digunakan untuk
menyelidiki pertanyaan-pertanyaan kunci dalam evolusi burung, termasuk dampak
glasiasi Pleistosen pada diversifikasi pejalan kaki. Beberapa mempertanyakan
keandalan jam ini, mengutip bukti variasi tingkat yang signifikan di antara garis
keturunan dan lintas rentang waktu (García-Moreno, 2004; Ho, 2007). Terlepas dari
kritik ini, jam mitokondria burung masih digunakan secara luas.

Jam molekuler telah mengalami evolusi yang cukup besar selama


sejarahnya yang panjang. Ini berguna sebagai hipotesis dalam evolusi molekuler
dan sebagai alat untuk memperkirakan tingkat dan skala waktu evolusi. Metode jam
molekuler baru sedang dikembangkan untuk memanfaatkan sejumlah besar data
genom yang dihasilkan. Dengan penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut,
jam molekuler akan terus memainkan peran penting dalam memahami evolusi
kehidupan di Bumi.

Seleksi alam

Seleksi alam adalah keberhasilan yang berbeda dalam reproduksi


(kemampuan individu yang tidak sama untuk bertahan hidup dan berproduksi).
Seleksi alam terjadi melalui suatu interaksi antara lingkungan dan keanekaragaman
yang melekat di antara individu-individu organisme yang menyusun suatu populasi.
Produk seleksi alam adalah adaptasi populasi organisme dengan lingkungannya.

Mari kita jelaskan lebih lanjut tentang hubungan penting yang dipahami
oleh Darwin mengenai seleksi alam, "perjuangan untuk mempertahankan diri", dan
kapasitas organisme untuk "bereproduksi secara berlebihan". Sebelumnya, Darwin
telah mengetahui perjuangan untuk mempertahankan diri ketika ia membaca sebuah
tulisan mengenai populasi manusia yang ditulis oleh Thomas Malthus pada Tahun
1978. Malthus berpendapat penderitaan, banyaknya manusia (penyakit, kelaparan,
gelandangan dan perang) merupakan akibat yang tidak dapat dihindari dari potensi
peningkatan populasi manusia yang lebih cepat dibandingkan dengan persediaan
makanan dan sumber daya alam lainnya. Kapasitas untuk bereproduksi berlebihan
kelihatannya merupakan ciri khas spesies. Di antara banyak telur yang dikeluarkan,
anak yang lahir dan benih yang ditabur, hanya sebagian kecil di antaranya yang
berhasil menyelesaikan perkembangannya dan menghasilkan keturunan. Sisanya,
dimangsa, beku, kelaparan, sakit dan tidak kawin, atau tidak mampu bereproduksi
karena alasan lain. Dalam setiap generasi, faktor lingkungan menyaring variasi
yang dapat diwariskan sehingga menguntungkan suatu variasi tertentu atas variasi
yang lain. Tetapi, dapatkah seleksi ini menyebabkan perubahan mendasar dalam
suatu populasi? Darwin menemukan bukti, hal itu bisa terjadi dalam seleksi tiruan
(artificial selection), yaitu pemuliaan tumbuhan dan ternak yang dibudiyakan.
Manusia telah memodifikasi spesies lain selama berabad-abad dengan cara
menyeleksi individu dengan sifat yang diinginkan sebagai induk dalam pembibitan.
Tumbuhan dan hewan yang kita budidayakan untuk makanan sering kali membawa
sedikit kemiripan dengan nenek moyang yang masih liar.

Ketika fakta menunjukkan banyak perubahan dapat dicapai dengan seleksi


tiruan dalam suatu periode waktu yang relatif pendek, Darwin memberikan
penegasan bahwa se1eksi alam seharusnya mampu melakukan modifikasi yang
sangat banyak pada spesies selama ratusan atau ribuan generasi. Meskipun
keuntungan beberapa sifat yang diwariskan dibandingkan dengan sifat lain hanya
sedikit, variasi yang menguntungkan akan terakumulasi dalam populasi setelah
sekian banyak generasi. Seleksi alam menghilangkan variasi yang kurang
menguntungkan. Darwin menggabungkan konsep gradualisme (suatu konsep yang
sangat penting dalam geologi Lyell), ke dalam teori evolusinya. Ia memandang
kehidupan sebagai sesuatu yang berkembang melalui suatu akumulasi perubahan
kecil secara bertahap, dan ia membuat dalil bahwa seleksi alam yang bekerja pada
konteks yang berbeda selama rentang waktu yang panjang dapat menyebabkan
keanekaragaman kehidupan secara keseluruhan. Sekarang kita dapat meringkaskan
kedua pokok pandangan Darwinian mengenai kehidupan: Bentuk kehidupan yang
beranekaragam muncul melalui pewarisan dengan modifikasi dari spesies nenek
moyangnya, dan mekanisme modifikasi itu adalah seleksi alam yang bekerja secara
terus-menerus selama periode waktu yang sangat panjang.

Beberapa Catatan Tentang Seleksi Alam adalah sebagai berikut.

1) Pentingnya populasi dalam evolusi Populasi adalah sekumpulan kelompok


individu yang saling kawin dan termasuk ke dalam suatu spesies tertentu
serta berbagi tempat di daerah geografi yang sama. Suatu populasi adalah
satuan terkecil yang dapat berkembang. Seleksi alam melibatkan interaksi
antara individu dalam lingkungannya, seleksi alam bekerja pada populasi,
bukan pada individu. Evolusi dapat diukur hanya dengan melihat perubahan
dalam pembagian relatif variasi dalam satu populasi selama beberapa
generasi.
2) Seleksi alam akan memperbesar atau memperkecil variasi yang dapat
diwariskan Seperti kita lihat, suatu organisme bisa dimodifikasi melalui hal-
hal yang dialaminya sendiri selama masa hidupnya, dan ciri yang
didapatkan seperti itu bahkan mungkin lebih mengadaptasikan organisme
tersebut dengan lingkungannya, tetapi tidak ada bukti bahwa ciri-ciri atau
sifat-sifat yang didapat selama hidup itu dapat diwariskan. Kita harus
membedakan antara adaptasi yang didapat oleh organisme melalui
tindakannya sendiri, dengan adaptasi yang diwariskan dan berkembang
dalam suatu populasi selama beberapa generasi sebagai akibat dari seleksi
alam.
3) Ciri khas seleksi alam tergantung pada situasi; faktor lingkungan berbeda
dari suatu tempat ke tempat lain dan dari suatu masa ke masa lain. Suatu
adaptasi dalam suatu situasi mungkin tidak berguna atau bahkan merugikan
pada keadaan lain yang berbeda, beberapa contoh akan memperkuat kualitas
seleksi alam yang tergantung pada situasi.

Contoh-contoh Mekanisme Seleksi Alam

Dalam suatu penyelidikan mengenai mekanisme seleksi alam, para saintis


menguji hipotesis Darwin bahwa paruh burung Finch Galapagos merupakan
hasil adaptasi evolusioner terhadap sumber makanan yang berbeda. Selama
lebih dari 20 tahun, Peter dan Rosemary Grant dari Princeton University telah
mempelajari populasi burung finch darat berukuran sedang (Geospiza fortis) di
Daphane Major, sebuah pulau yang sangat kecil dalam gugusan kepulauan
Galapagos.

Burung-burung tersebut menggunakan paruhnya yang kuat untuk


menghancurkan biji-bijian, dan mereka lebih senang memakan biji yang kecil
yang dihasilkan secara berlimpah oleh spesies tumbuhan tertentu selama tahun-
tahun banyak curah hujannya. Pada tahun-tahun kering, semua bijibijian itu
berkurang produksinya, dan burung finch tersebut terpaksa selain memakan
biji-bijian kecil yang sedikit jumlahnya juga memakan biji-bijian yang lebih
besar yang banyak jumlahnya tetapi jauh lebih sukar untuk dihancurkan.
Keluarga Grant menemukan bahwa ketebalan rata-rata paruh (jarak antara
paruh atas dan paruh bawah) pada populasi burung tersebut berubah seiring
dengan berubahnya tahun. Saat musim kering ketebalan ratarata paruh
meningkat, kemudian mengecil kembali saat musim hujan. Sifat tersebut
merupakan sifat yang dapat diturunkan. Keluarga Grant mengaitkan perubahan
itu dengan ketersediaan relatif biji-bijian kecil dari tahun ke tahun. Burung-
burung dengan paruh yang lebih kuat mungkin memiliki keuntungan lebih
selama musim kering, ketika kelangsungan hidup dan reproduksi bergantung
pada kemampuan untuk memecah biji-bijian besar. Sebaliknya, paruh yang
lebih kecil tampaknya merupakan alat yang lebih efisien untuk memakan biji-
bijian yang lebih kecil yang produksinya berlimpah selama musim hujan.
Kajian dan penelitian keluarga Grant mengenai evolusi paruh memperkuat
pendapat yang mengatakan bahwa seleksi alam tergantung pada situasi: apa
yang bekerja paling baik pada lingkungan tertentu bisa jadi kurang sesuai dalam
situasi yang berbeda. Juga penting untuk dipahami bahwa evolusi paruh di
Daphne Major tidak dihasilkan oleh pewarisan sifatsifat yang didapat.
Lingkungan tidak menciptakan paruh yang memiliki spesialisasi untuk
memakan biji-bijian yang lebih besar atau yang lebih kecil, tetapi bergantung
pada curah hujan tahunan.

Dan bukti di atas, para saintis telah menunjukkan pada kita bahwa seleksi
alam merupakan suatu mekanisme perubahan dalam populasi yang terus terjadi:
proses itu telah diperkuat secara berulang-ulang melalui kajian ilmiah yang
cermat, di mana prediksi berdasarkan hipotesis diuji melalui pengamatan dan
percobaan. Ironisnya, Darwin sendiri mengira bahwa seleksi alam selalu
bekerja terlalu lambat, sehingga tidak dapat diamati. la juga tidak dapat
memberi jawaban yang memuaskan mengenai variasi genetik. Sekarang kita
mengetahui bahwa variasi tersebut timbul melalui mekanisme mutasi acak dan
rekombinasi genetik.

Referensi;

Ho, S. Y., Tong, K. J., Foster, C. S., Ritchie, A. M., Lo, N., & Crisp, M. D.
(2015). Biogeographic calibrations for the molecular clock. Biology
letters, 11(9), 20150194.

Karmana, I. W. (2009). Kajian evolusi berbasis urutan nukleotida. GaneÇ


Swara, 3(3), 75-81.

Ristasa, R. (2015). Sejarah perkembangan teori evolusi makhluk hidup. Jurnal


repository. ut. Ac. id./4251/1/PEBI4204/Modul, 1.

Anda mungkin juga menyukai