Anda di halaman 1dari 10

Perspektif Critical Theory dalam Studi Kasus Foreign Aid to Indonesia

Oleh : Nurainun Ulil Albab/185120407111024/Hubungan Internasional/Universitas


Brawijaya

Nurainulil@student.ub.ac.id

Abstract

The critical theory perspective is an alternative perspective in international relations that


discusses a social phenomenon which then tries to peel it down to the root of the
phenomenon. This perspective sees things to the bottom so that in general this perspective
then presents a solution to a problem, which often touches on aspects of society or the world
order. The critical theory perspective which emphasizes emancipatory criticism and
emphasizes the consequences of a world order that favors certain people, the use of critical
theory is quite interesting and is expected to be able to find a bigger picture of the case,
namely foreign aid received by Indonesia as a form of implementation of the washington
consensus .

Keyword : critical theory, phenomenon, washington consensus

Abstrak

Perspektif teori kritis merupakan perspektif alternatif dalam hubungan internasional yang
membahas mengenai suatu fenomena sosial yang kemudian berusaha mengupasnya hingga
ke akar fenomena tersebut. Perspektif ini melihat sesuatu hingga ke dasarnya sehingga
secara garis besar perspektif ini kemudian menyajikan suatu solusi tentang suatu masalah,
yang mana sering sekali menyinggung aspek tatanan masyarakat atau dunia. Perspektif
teori kritis yang menekankan pada kritik yang emansipatoris dan penekanan pada akibat
dari tatanan dunia yang berpihak pada kaum tertentu, penggunaan teori kritis cukup
menarik dan diharapkan mampu menemukan gambaran yang lebih besar terhadap kasus
yaitu bantuan luar negeri yang diterima Indonesia sebagai bentuk dari implementasi
washington consensus.

Kata kunci : teori kritis, fenomena, washington consensus


Pendahuluan

Perspektif alternatif dalam ilmu hubungan internasional ataupun yang lebih


diketahui dengan perspektif post- positivist ialah perspektif yang membagikan pendekatan
baru dalam mengkaji fenomena hubungan internasional. Salah satu perspektif yang
tercantum dalam aliran post- positivist merupakan teori kritis, atau critical theory.
Perspektif teori kritis yang pula mempromosikan emansipasi di masyarakat, dengan cara-
cara berbentuk penumpasan pemakaian kekerasan dan sebagainya hingga bisa dikatakan
sebagai perspektif yang sangat humanis. Jadi, penggunaan perspektif teori kritis bisa
digunakan untuk memandang suatu fenomena serta mencari permasalahan sesungguhnya
dengan metode memandang asal- usul ataupun awal mula fenomena tersebut.

Washington consensus ialah suatu produk dari institusi keuangan besar di Amerika
Serikat. Mengulas lebih jauh dalam ulasan, singkatnya dari washington consensus
merupakan keadaan perekonomian suatu negeri yang diasumsikan sanggup untuk
tingkatkan perekonomian negeri tersebut menjadi lebih baik serta membuat lebih
sejahtera. Washington consensus ini kemudian dipopulerkan serta dipromosikan ke
negara- negara tumbuh untuk setelah itu membiasakan dengan keadaan tersebut guna
memperbaiki ekonomi negeri tersebut. Washington consensus bisa dikatakan ialah suatu
wujud perekonomian kapitalisme. Salah satu negeri yang ikut mengaplikasikan washington
consensus merupakan Indonesia. Akibatnya, ada dorongan luar negara yang diberikan
kepada Indonesia berbentuk utang luar negara dengan ketentuan Indonesia menjajaki
kondisi- kondisi sebagaimana tercantum dalam washington consensus.

Kerangka Pemikiran

Critical Theory

Pada dasarnya, teori kritis( critical theory) dalam teori- teori hubungan
internasional merupakan sejenis teori alternatif baru yang dimaksudkan untuk
memberikan gambaran teoritikal alternatif dari teori- teori arus utama lain yang kerapkali
digunakan dalam riset hubungan internasional, semacam teori realisme serta liberalisme.
Tidak hanya teori kritis berdiri mandiri dari teori- teori yang yang lain, teori kritis juga
berupaya mengkritik teori- teori lain yang telah mapan keberadaannya dalam riset
hubungan internasional, di mana aspek- aspek internal dari teori- teori arus utama yang
kerap digunakan merupakan fokus utama kritik oleh teori kritis.

Untuk lebih jelasnya, aspek- aspek non- politik serta ekonomi yang kerapkali
diabaikan oleh paham- paham realisme serta liberalisme semacam budaya serta gender
ikut berupaya dilibatkan oleh teori kritis untuk menjamin ulasan yang merata dari segala
aspek dinamika hubungan internasional. Di sini, teori kritis banyak memperoleh
inspirasinya dan ialah suatu kelanjutan dari teori Marxisme Critical Theory, in; Scott
Burchill, et angkatan laut(AL), Theories of International Relations yang dicetuskan oleh
pemikir Jerman Karl Marx, yang meyakini akan adanya dan selalu hadirnya sistem
eksploitasi materiil dalam sistem penciptaan di tengah masyarakat. Menurutnya,
ketimpangan ekonomi serta sosial yang diakibatkan oleh praktek kapitalisme dalam
perekonomian negeri hendak memperluas kemelaratan serta kemiskinan finansial
masyarakat, yang memancing respon keras dari kelas pekerja terhadap para pemilik modal
yang sudah mengeksploitasi mereka.

Pendekatan Marxisme oleh Marx yang sifatnya ekonomik ini setelah itu diperdalam
lebih jauh oleh Antonio Gramsci( seorang Marxis Italia). Menurut Gramsci, Marxisme yang
memanglah diperuntukan untuk menggapai emansipasi serta persamaan ekonomi kepada
seluruh lapisan strata masyarakat( emancipation) yang menuntut adanya kebebasan
manusia dari kekangan hegemoni serta kekuatan lain yang menghindari mereka untuk
menggapai kemauan individu mereka. Ashley, Richard K. Political Realism and Human
Interests. Dari situ, teori kritis menitikberatkan pada kepercayaan jika sistem
internasional, tidak seperti yang dipercaya oleh kalangan realis serta liberal sebagai
sesuatu yang taken for granted, merupakan gambaran dari kekuatan- kekuatan politik
serta sosial yang berupaya melindungi keamanan serta kekuasaannya terhadap entitas-
entitas lain yang tidak sekuat mereka. Sterling- Folker, Jennifer, 2006. Making Sense of
Internatioanl Relations Theory,

Mengacu pada struktur hegemoni yang ialah dasar anggapan utama kekuatan yang
berupaya melaksanakan eksploitasi di tengah sistem internasional, terciptalah blok- blok
politik, ekonomi, serta kelas sosial yang terus dikelola oleh negara- negara hegemonik,
yang mencerminkan terdapatnya suatu tatanan dunia yang hendak memudahkan proses
eksploitasi ekonomi oleh negara- negara hegemonik. Teori kritis menyangka bahwa
tatanan dunia tersebutlah yang jadi pangkal dari kasus. Teori kritis berupaya mengkritik
tatanan tersebut serta berupaya mengganti serta menghasilkan tatanan dunia yang dirasa
lebih adil untuk seluruh manusia.

Melalui uraian diatas, teori kritis memanglah terdengar mirip dengan perspektif
marxisme. Perihal tersebut bukanlah salah sebab teori kritis menekuni banyak pemikir
serta filsuf tidak terkecuali Karl Marx. Teori kritis sebagaimana dipaparkan oleh Robert
Cox, ialah teori yang berupa antitesis dari teori- teori tradisional. BURCHILL Teori
tradisional semacam realisme memandang tatanan dunia sebagai perihal yang terdapat
sejak dulu, kaku, serta sebagaimana adanya. Tetapi, teori kritis memandang bahwa terlebih
lagi teori- teori tradisional memiliki asal- usul ialah tempat serta waktu tertentu dimana
para pemikirnya terpengaruh oleh kondisi sosial yang ada. Dengan kata lain, teori kritis
memandang kalau seluruh teori ialah hasil interaksi sosial serta tentu memiliki pangkal
permulaan.

Walaupun teori kritis berorientasi pada pemecahan permasalahan, tetapi pada


dasarnya teori kritis hanya mempertanyakan asal- usul bagaimana sesuatu permasalahan
tersebut terjalin. Teori kritis memandang seluruh aspek sosial masyarakat semacam
budaya serta sejarah masyarakat sehingga pangkal dari permasalahan maupun tatanan
yang terdapat bisa diidentifikasi. Teori kritis menarangkan jika tiap peristiwa ataupun
fenomena tidak berasal dari suatu yang diberikan secara alamiah, namun ialah suatu
produk dari interaksi sosial, budaya, serta sejarah manusia. Terlebih lagi, setiap teori
mempunyai subjektifitasnnya sendiri disaat suatu teori serta penelitinya harus bebas dari
nilai- nilai tertentu. Perihal ini yang menjadikan teori kritis sebagai teori post- positivist
sebab teori kritis memandang bahwa segala sesuatu tentu mempunyai pembuat ataupun
pencipta yang mana bisa ditelusuri serta dikritik. BURCHILLTetapi pada kesimpulannya,
teori kritis menarangkan kalau sistem ataupun tatanan dunia yang terbuat bersumber pada
suasana tertentu merupakan sumber dari permasalahan dan jika tatanan tersebut wajib
direkonstruksi ulang. Oleh sebab itu, teori kritis sangat berorientasi pada kesejahteraan
manusia serta berupaya membuat dunia adil pada seluruh orang, maka dari itu teori kritis
senantiasa mempromosikan nilai- nilai emansipasi. Hanya saja secara praktek teori kritis
masih lebih menekankan pada kritik- kritik terhadap sumber permasalahan dibandingkan
berikan pemecahan konkret.

Pembahasan
Pandangan Perspektif Critical Theory terhadap Foreign Aid ke Indonesia

Saat sebelum teori kritis berupaya memaparkan pemikirannya terhadap


permasalahan tersebut. Washington consensus sendiri juga mengalami sebagian kritikan
dalam penerapannya. Dalam perkembangannya, terjadi krisis global yang menimbulkan
negara hadapi keterpurukan ekonomi, termasuk sebagian negara berkembang di Asia.
Untuk sebagian negara, metode yang sangat cepat digunakan untuk menuntaskan
kekacauan yang terjadi yakni dengan meminjam dana, disisi lain ketentuan yang diberikan
oleh pemberi hutang terbanyak didunia, ialah IMF serta World Bank sangat terpaku pada
poin- poin Washington Consensus. Sehingga pemecahan yang ditawarkan untuk negara-
negara tersebut hanya satu.

Keberadaan Washington Consensus awal mulanya berjalan dengan baik dengan


memberi dorongan ke negara- negara tumbuh ataupun negara yang mengalami krisis. Akan
tetapi masyarakat Indonesia memperhitungkan keberadaan Washington Consensus ada
tekanan pada penggalian dana serta pembangunan luar negara. Terdapatnya tekanan
tersebut menimbulkan pengabaian konsumsi bayaran pembangunan dalam negara.
Washington Consensus cenderung membiarkan defisit pada transaksi berjalan( Current
Account Deficit), hingga sepatutnya dibutuhkan pengaturan neraca modal( Capital Account
Control) serta perlu diberlakukan sistem nilai tukar yang terkendalikan. Perihal ini
nantinya hendak tingkatkan keyakinan masyarakat akan mata uang dalam negara dan
dimungkinkan. Kritikan terhadap Washington Consensus yakni sangat dominan dalam
menagani krisis yang dirasakan oleh sebagian negara. Washington Consensus menemukan
kritikan sebab utang luar negara/ PDB besar, defisit transaksi berjalan, liberalisasi neraca
modal, keyakinan pada mata uang dalam negara rendah, suku bunga besar, jumlah kredit
uang beredar rendah, sistem perbankan lemah, investasi rendah, perkembangan ekonomi
rendah. Sebaliknya kondisi perekonomian yang ditawarkan oleh Herr Pierwe merupakan
utang luar negara/ PDB rendah, surplus transaksi berjalan, sistem nilai tukar dikontrol,
keyakinan mata uang dalam negara besar, suku bunga rendah, jumlah kredit duit beredar
besar, sistem perbankan kokoh, investasi besar, perkembangan ekonomi besar.

Washington Consensus lebih mencermati efisiensi serta disiplin fiskal yang


mengacu pada pemotongan bayaran yang sepatutnya untuk sosial serta tidak mencermati
kebijakan sosial. Tugas pemerintah semestinya mengusahakan pembangunan masyarakat
social untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Millenium Development Goal’ s( MDG’
s) 2015 ialah salah satu upaya yang bisa menanggulangi kemiskinan. Indonesia tertipu
dalam debt trap yang dianjurkan oleh IMF setelah Indonesia melaksanakan privatisasi,
liberalisasi, serta deregulasi. Akibat perihal tersebut memperburuk krisis, sebab proses
privatisasi ataupun penjualan BUMN yang dicoba oleh negara membuat masyarakat miskin
kehabisan ruang untuk mengakses apa yang selama ini jadi tanggung jawab pemerintah
terhadap masyarakat miskin. Privatisasi, liberalisasi, serta stabilisasi memanglah berarti,
akan tetapi dalam implementasinya kerapkali dicoba secara terburu- buru tanpa
memperhitungkan masyarakat yang belum siap terhadap ketiga perihal tersebut.
Washington consensus juga kurang mencermati keadilan di dalam masyarakat, sehingga
jumlah masyarakat yang pengangguran terus bertambah akibat kompetisi yang terjalin di
masa globalisasi yang menimbulkan adanya privatisasi.IMF

Penerapan ketentuan yang diajukan sesuai dengan konsensus tersebut tampaknya


tidak senantiasa berhasil, sebab sebagian negara malah terus menjadi dilanda
keterpurukan akibat pada sebagian poin, negara belum siap mempraktikkan kebijakan
tersebut. Dari sinilah asumsi- asumsi washington consensus dipertanyakan. Ide kritis
terhadap konsep washington consensus ini disebut juga sebagai post- washington
konsensus. Kritiknya merupakan pelaksanaan satu pemecahan untuk seluruh
permasalahan yang ditawarkan oleh washington consensus dikira sangat mengabaikan
fakta- fakta bahwa tiap permasalahan memerlukan satu pemecahan yang khusus.

Post- washington consensus ini mengkritik jika kebijakan ekonomi yang


disyaratkan dicoba sangat ekstrem pada suatu negara yang tengah terserang krisis,
sehingga negara yang bersangkutan belum tentu sudah siap dengan perihal tersebut.
Misalnya mengenai poin bahwa negara wajib membuka akses investasi asing sebesar-
besarnya serta berikan akses swasta untuk mengelola sumber energi vital untuk
masyarakat, sehingga dengan demikian modal asing secara besar- besaran hendak masuk
kedalam negara, tidak hanya berbentuk modul, tetapi pula teknologi yang mempermudah
proses penciptaan maupun distribusi. Dengan adanya perihal tersebut, masyarakat dalam
daerah tersebut belum pasti siap terhadap pergantian tersebut, misalnya keahlian mereka
yang kurang terlatih, sehingga besar kesempatan mereka hendak termarjinalkan dari dunia
pekerjaan, disisi lain mereka tetap harus bekerja keras untuk dapat mengakses kebutuhan
pokok yang sudah dikelola oleh pihak swasta, dengan kemungkinan besar biayanya lebih
mahal dibandingkan pada saat dikelola oleh negara. Sehingga dalam prakteknya sangat
memimpikan GDP yang besar tentang pemerataan pemasukan serta kesehjateraan
masayarakat.

Bila dilihat secara teoritis, hingga pemikiran post- washington consensus sangat
dekat dengan paham Keynesian yang menekankan pada state rule spesialnya pada
kebijakan ekonomi yang mengedepankan kepada pemerataan kesehjateraan masyarakat.
Kedudukan negara dalam perekonomian tidak dapat dihilangkan seluruhnya serta
kedudukan swasta pula wajib dibatasi. Swasta tidak serta merta diberikan kebebasan
untuk melaksanakan usahanya sebab mereka merupakan kalangan yang berorientasi profit
semata. Negara hendak senantiasa membagikan regulasi- regulasi tertentu yang hendak
menguntungkan pihak swasta serta tidak merugikan masyarakat serta negara. Hingga,
washington consensus bisa dilihat sebagai metode negara besar yang didominasi oleh
negara- negara pemeluk liberalisme serta kapitalisme ekonomi. Kritik terhadap
washington consensus diatas pula mencerminkan kritik- kritik yang bisa diutarakan
melalui perspektif teori kritis. Negara- negara besar yang berfungsi dalam sistem
internasional pasti mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan kedaulatannya
sebagai negara hegemon. Perihal ini dibtuktikan dengan keahlian negara- negara besar
dalam menghasilkan tatanan dunia dimana pusat serta sumber dari tatanan tersebut
berasal dari negara- negara ini. Setelah itu terciptalah tatanan dunia yang dikehendaki oleh
negara- negara tersebut yang mana setelah itu disebarkan ke negara- negara lain.
Washington consensus ialah salah satu produk dari tatanan dunia yang dikontrol negara
hegemon, lebih khusus negara barat.

Jadi, menurut teori kritis washington consensus merupakan suatu produk yang
berasal dari pemikiran negara- negara barat yang mana memakai pandangan hidup liberal
serta kapitalis. Masalah- masalah yang setelah itu timbul seperti munculnya utang luar
negara, minimnya kendali pemerintah terhadap pasar dalam negeri bukan ialah kasus yang
mencuat akibat segi ekonomi. Kasus sesungguhnya terletak di washington consensus itu
sendiri yang ialah produk kekuasaan negeri barat yang sudah terdapat serta diamini oleh
kebanyakan penduduk dunia tanpa menyadari bahwa sesungguhnya perihal tersebutlah
yang jadi akar kasus sesungguhnya. Washington Consensus secara sederhana merupakan
perlengkapan untuk mengatur ekonomi negara- negara kecil serta berkembang dengan
dalih jika perihal tersebut merupakan formula untuk menghasilkan keadaan perekonomian
negeri yang baik. Pada nyatanya tidak demikian, washington consensus ialah wujud
penyebaran ideologi- ideologi negeri barat yang hanya mempersulit serta apalagi
mengekang masyarakat negara berkembang. Akibatnya, tatanan dunia sangat
ketergantungan terhadap perihal tersebut serta bahwa metode untuk memberikan
solusinya merupakan menawarkan sistem baru ataupun merekonstruksi ulang agar
keadilan serta kesejahteraan masyarakat secara universal bisa tercapai.

Oleh sebab itu, Indonesia yang menyetujui syarat- syarat yang diajukan IMF dalam
meminta dorongan luar negara yang mana ialah wujud dari washington consensus
membuat Indonesia menjajaki kemauan ataupun keadaan yang didasari pada orientasi
negara barat serta kalau nyatanya perihal tersebut merupakan salah satunya opsi rasional
yang diseleksi oleh pemerintah membuktikan jika tatanan dunia pada saat itu dipahami
oleh negara- negara barat yang menghasilkan washington consensus. IMFKasus yang
kemudian mencuat di kemudian hari bisa kita kritik jika sesungguhnya berakar dari
washington consensus itu sendiri yang mana tidak dikaji lebih dulu terhadap
kecocokannya di sistem ekonomi masyarakat Indonesia. Indonesia yang telah bergantung
dengan ekonomi pasar menjadi sulit untuk setelah itu mencapai kontrol kembali ketika
intensitas dari kondisi- kondisi yang dipromosikan oleh washington consensus telah
berlaku secara universal serta terus menjadi besar.
Kesimpulan

Melalui ulasan diatas, teori kritis memandang jika washington consensus


merupakan metode yang dicoba oleh negara- negara besar untuk mengendalikan negara-
negara kecil serta berkembang melalui pengaturan sistem ekonomi negeri tersebut.
Masalah- masalah yang mencuat di negeri berkembang semacam menumpuknya utang luar
negara ataupun kalah bersaingnya produk lokal ialah permasalahan yang kerap dilihat
sebagai wujud ketidakmampuan negeri mengelola pasar nasionalnya. Namun, teori kritis
memandang permasalahan tersebut sesungguhnya bersumber dari negara- negara barat
yang merancang tatanan dunia untuk bergantung pada sistem kapitalisme serta liberalisme
pasar yang mana menguntungkan mereka.

Dominasi negeri barat menimbulkan kerugian bagi negara- negara kecil serta
berkembang sebab mereka sulit untuk memajukan ekonomi yang berefek pada
kesejahteraan masyarakat sebab terlilit belenggu sistem yang memperbudak mereka.
Tatanan dunia yang terdapat ialah rancangan dari negeri barat yang memegang pandangan
hidup liberalisme serta mengincar keuntungan sekaligus mempertahankan power mereka
di dunia internasional. Oleh sebab itu, dengan memakai teori kritis hingga riset
permasalahan menimpa dorongan luar negara yang diterima oleh Indonesia sebagai wujud
aplikasi washington consensus hanyalah merupakan perlengkapan negara- negara barat
untuk mengendalikan ekonomi Indonesia serta masalah- masalah seperti yang dipaparkan
di ulasan ialah akibat dari ketidakadilan oleh sistem yang terus dihiraukan dalam menjadi
sumber permasalahan serta kesimpulannya mencari jalur yang salah dalam usaha
penyelesaian.
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai