Oleh
Latar Belakang
Industri pariwisata merupakan salah satu sarana yang tepat dalam
meningkatkan kemajuan ekonomi baik lokal maupun global. Industri
kepariwisataan adalah industri yang ada hubungannya dengan pariwisata. Industri
perhotelan, industri kerajinan/cinderamata, dan sebagainya merupakan rangkuman
dari macam bidang usaha yang secara bersama-sama menghasilkan produk
maupun jasa/layanan, baik secara langsung ataupun tidak langsung akan
dibutuhkan oleh para wisatawan selama perlawatannya.
Salah satu destinasi wisata terbesar di Provinsi Jawa Barat adalah Kota
Bandung, yang merupakan destinasi wisata unggulan Provinsi Jawa Barat.
Perkembangan pariwisata Kota Bandung ditopang oleh ketersediaan dan variasi
produk wisata perkotaan, pendidikan, sejarah, dan budaya yang didukung
prasarana dan sarana pariwisata yang memadai.
Kota Bandung sebagai kota wisata didukung oleh kota/kabupaten
sekitarnya (Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat,
Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang) dengan potensi
wisata alamnya. Destinasi alam ini jika dipromosikan di Kota Bandung, maka
Kota Bandung akan menjadi tujuan wisatawan, baik untuk wisatawan nusantara
maupun mancanegara.
Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang kota
bersejarah, sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai sektor, salah satunya
adalah sektor pariwisata. Sektor pariwisata, selain merupakan salah satu tumpuan
untuk menambah penerimaan asli daerah, sektor pariwisata juga menyediakan
kesempatan kerja yang sangat dominan.
Keindahan alam yang ditawarkan di Kota Bandung menjadi satu diantara
banyak daya tarik yang ditawarkan kepada wisatawan nusantara maupun
wisatawan asing, oleh karenanya diperlukan adanya pelestarian lingkungan alam
dan budaya yang menjadi sumber bagi pengembangan sektor wisata.
Kota Bandung merupakan salah satu destinasi wisata unggulan pariwisata
Provinsi Jawa Barat. Kondisi daya tarik yang dimiliki Kota Bandung sebagai
“pullfactor” (baik sebagai daya tarik bagi penarik maupun sebagai daya tarik
penahan) wisatawan yang mengunjungi Kota Bandung.
Potensi produk pariwisata yang signifikan terhadap pengembangan dan
peningkatan struktur perekonomian daerah yang mampu memacu percepatan
pertumbuhan usaha-usaha pariwisata (seperti: akomodasi, makan dan minum, biro
dan agen perjalanan wisata, hiburan dan rekreasi daya tarik wisata di destinasi,
tersedianya moda angkutan dan jejaring, referensi yang diperoleh, lifestyle,
berbagai kemudahan perjalanan antar wilayah dan negara seperti jalan tol, alat
transport yang lebih nyaman, ‘low cost airline’, kebijakan visa on arrival) dan
usaha lain yang terkait dengan pariwisata (usaha perdagangan, usaha jasa
telekomunikasi dan informasi, usaha jasa transportasi serta usaha sarana umum)
yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai pemerataan dan peningkatan
kesejahteraan daerah dan masyarakat.
Sedangkan push factor seperti: kebutuhan psikologis, rasa ingin tahu,
kemampuan finansial, waktu luang yang dimiliki, informasi global yang mudah
diperoleh bagi calon wisatawan, menjadikan pariwisata suatu bisnis besar.
Dalam upaya menciptakan Kota Bandung sebagai destinasi wisata yang
berdaya saing, diperlukan upaya nyata pengembangan dan pengelolaan produk
wisata secara terintergrasi oleh seluruh stakeholders pariwisata di kota Bandung,
yang salah satunya adalah sarana industri pariwisata sebagai unsur penting dalam
amenitas produk pariwisata.
Pemerintah Kota Bandung memiliki aset gedung pertunjukan yaitu
Padepokan Seni yang sumber dananya merupakan hasil dari penyelenggaraan
Festival Film Indonesia (FFI) yang dilaksanakan di Kota Bandung pada tahun
1985 maka dibangun sebuah gedung pertunjukan yang terletak di Jl. Peta No. 209
Bandung dan pada tahun 1987, Gedung tersebut diresmikan oleh Gubernur Jawa
Barat yang waktu itu dijabat oleh Bapak Yogi S Memed. Pada tahun 2012 nama
Gedung tersebut diubah menjadi Padepokan Seni Mayang Sunda, hasil dari
sayembara nama dan logo yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Bandung.
KAJIAN TEORI
A. Seni
Kata seni berasal dari Bahasa Sansekerta “sani” yang artinya adalah
persembahan, pelayanan, atau pemberian. Dalam Bahasa Jawa Kuno juga dikenal
dengan kata “sanindya” yang memiliki arti pemusatan pikiran. Maka dari itu
dalam penciptaan karya seni tentu memerlukan pemusatan pikiran .
Berdasar Peraturan Menteri Pariwisata RI No.17 tahun 2015 tentang
Standar usaha gedung pertunjukan seni, menjelaskan mengenai definisi Pusat Seni
Budaya dan berbagai aspek aktivitas yang harus ditampung. Diuraikan bahwa
Pusat Seni Budaya merupakan sebuah wadah yang menghimpun kebudayaan
suatu daerah, kota maupun dalam skala kecil di tingkat kabupaten, serta
mengakomodasi berbagai kegiatan kesenian, mulai dari seni musik, seni rupa, seni
pertunjukan, seni budaya tradisional serta seni kerajinan. Pusat seni juga dapat
difungsikan sebagai tempat latihan, diskusi antar pelaku seni dan budaya,
pertunjukan dan pameran budaya serta sumber informasi tentang seni dan budaya
setempat
B. Fasilitas Seni
Guna mendukung kegiatan pementasan diperlukan ruang yang mampu
mewadahi kegiatan pementasan yang meiliputi kegiatan pemain dan penonton
pementasan, serta fasilitas penunjang yang berkaitan dengan seni pertunjukan.
Fasilitas yang diperlukan dalam sebuat gedung seni pertunjukan adalah sebagai
berikut.
1. Area publik, merupakan fasilitas yang dirancang untuk pengunjung gedung.
Area public terdiri atas area parkir, loket, ruang tunggu, kafe, restoran, dan
ruang serba guna
2. Auditorium, merupakan bagian dari sebuah gedung pertunjukan atau teater
yang diatur sedemikian rupa untuk kegiatan melihat dan mendengar
3. Panggung, merupakan tempat bagi pemain untuk menampilkan pementasan.
Penataan panggung dalam sebuah auditorium sangat oleh letak panggung
terhadap tempat duduk penonton, yaitu semakin besar pengelilingan maka
semakin besar pula keterlibatan emosi
4. Area persiapan pertunjukan, merupakan fasilitas untuk mendukung proses
kegiatan pementasan. Ruang-ruang pendukung tersebut antara lain adalah
ruang tata rias, tata busana, lavatory, ruang crew panggung, dan manajer
control panggung
C. Ruang Publik
Tinjauan Ruang Interaksi Interaksi sosial merupakan hubungan yang
dinamis menyangkut hubungan antar orang, antar kelompok, maupun antar
individu dengan kelompok. Tidak selalu interaksi sosial berupa tindakan yang
bersifat kerjasama, contohnya adalah pertengkaran yang merupakan salah satu
contoh interaksi sosial. Hal tersebut termasuk interaksi sosial karena keduanya
melakukan hubungan timbal balik meskipun dalam bentuk pertengkaran. Interaksi
dibedakan menjadi dua macam, yaitu asosiatif (menguatkan ikatan sosial) dan
disosiatif (merusak ikatan sosial).
Ruang publik sebagai ruang interaksi sosial merupakan ruang bersama
suatu komunitas yang di dalamnya terdapat aktivitas sosial secara rutin maupun
terdapat aktivitas tertentu .Ruang publik dapat berbentuk cluster maupun linear
dalam ruang terbuka maupun ruang tertutup. Tipologi kontemporer dari suatu
ruang public perkotaan yaitu taman-taman public, jalan, lapangan bermain, ruang
terbuka, jalur hijau, atrium, dan ruang di lingkungan bertetangga .
Di dalam sebuah ruang tercakup banyak unsur dan elemen pembentuknya,
arsitektur dan desain hanyalah menjadi salah satu bagain penyusunnya. Elemen
lain yang utama adalah komunitas. Sebagai wadah aktivitas interaksi sosial bagi
komunitas, ruang di sini dipahami dalam pengertian fisik dan non-fisik. Dalam
dunia arsitektur, dikenal istilah “ruang-ruang temporal”, yaitu ruang-ruang
informal yang lebih dibentuk oleh elemen-elemen non-fisik. Sebagai contoh pasar
tradisional kaya akan ruang-ruang informal yang membentuk spatio temporal.
Konstruksi sosial dalam penciptaan tempat terjadi karena ruang para pelaku
memberikan perhatian khusus dalam ruang yang tercipta . Terdapat lima prinsip
dalam menciptakan interaksi dalam sebuah ruang publik dalam hal ini
mengkhususkan prinsip dalam membuat ruang yang mendorong untuk
berinteraksi, yaitu menghindari ruang bersifat territorial, meminimalisir aturan
dalam suatu area, visibilitas, aktivitas yang sama, dan suasana yang familiar.
Terbentuknya interaksi yang mendorong terjadinya kolaborasi pada
berbagai aktor yang terlibat diaharapkan mendorong untuk terciptanya berbagai
karya hasil inovasi bersama. Etzkowitz berpendapat dalam penciptaan suatu
inovasi diperlukan sebuah neutral space yang mana di dalamnya berbagai pihak
dengan latar belakang berbeda-beda dapat berpartisipasi dalam pengembangan
ide-ide baru. Selanjutnya neutral space ini biasa disebut dengan Consensus Space.
Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan
consensus space ini, tetapi semuanya bermuara kepada satu alasan utama, yaitu
kekuatan hubungan antar pihak dalam proses inovasi .
D. Standar Gedung Pertunjukan
Berdasarkan Time-Saver Standards for Building Types, sebuah gedung
pertunjukan dibagi menjadi tiga area/ zonasi, yaitu Front of the House, House, dan
Back of The House. Area Front of the House merupakan bagian depan dari
gedung pertunjukan sebagai perantara menuju auditorium utama. Area ini dibagi
menjadi dua bagian utama yaitu meliputi lobby dan parkir. Pada area lobby
terdapat ticketing, toilet penonton, dan area konsensi serta berfungsi sebagai ruang
sosialisasi penonton sehingga area ini harus menciptakan kesadaran pengunjung
akan ruang serta kemudahan akses pada seluruh fasilitas yang ada. Selain itu, pada
area parkir yang terdiri dari drop-off dan tempat parkir, haruslah memiliki
kemudahan dalam akesibilitas, mewadahai seluruh penonton yang berkendara
serta terlindung dari cuaca. Area yang didominasi sebagai kegiatan pengunjung
ini, haruslah memperhatikan kenyamanan dan kemudahan pencapaian dalam
mengakses setiap fasilitas yang ada. Oleh karena itu, konfigurasi antar ruang harus
jelas yang ditandai dengan efesiensi sirkulasi untuk menciptakan kemudahan
wayfinding.
Area utama pada gedung pertunjukan berupa auditorium, yang disebut
sebagai zona House. Sesuai dengan arti gedung pertunjukan itu sendiri, sebagai
tempat mempertunjukan seni kepada penonton, maka kualitas auditorium harus
memberi kenyaman visual serta audial bagi penonton. Beberapa prinsip yang
mempengaruhi kualitas visual berupa jarak panggung dengan tempat duduk baris
pertama minimal 1,5 meter, tinggi panggung minimal 75 – 100 sentimeter, tinggi
setiap baris kursi penonton minimal 24- 30 sentimeter dengan jarak semakin
tinggi ke belakang, dan rancangan tempat duduk berbentuk radial untuk mencegah
terhalangnya pandangan penonton. Sedangkan kualitas audial diperoleh dari
perancangan akustik yang memperhatikan sifat pemantulan dan penyerapan bunyi.
Pemantulan bunyi dihasilkan melalui material dengan permukaan keras dan
diaplikasikan dengan perundakan pada langit- langit bangunan sedangkan
penyerapan bunyi dihasilkan melalui material lunak dan berpori yang
diaplikasikan pada dinding bangunan.
Area Back of the House, merupakan area khusus bagi performer sebagai
pengisi kegiatan pada gedung pertunjukan itu sendiri. Area ini meliputi ruang
ganti yang terbagi menjadi ruang ganti utama (untuk satu orang dengan kamar
mandi dalam) dan umum (untuk beberapa orang dan tidak selalu beserta kamar
mandi), toilet performer yang berada di belakang panggung dan mudah diakses
dari panggung dan ruang ganti, ruang penyimpanan alat, loading dock dengan
akses langsung ke panggung tanpa terlihat oleh sirkulasi penonton, dan kantor
produksi untuk mengatur aspek produksi seperti pencahayaan dan suara. Oleh
karena fungsi ruang pada area ini yang ditujukan bagi performer, maka
peletakannya harus memperhatikan sirkulasi performer dan saling berdekatan satu
sama lain untuk memudahkan mobilisasi dalam berkegiatan
E. Ruang Publik Berdasarkan Sifatnya
Menurut Stephen Carr terdapat 3 (tiga) kualitas utama sebuah ruang
publik, yaitu:
1. Tanggap (responsive),berarti bahwa ruang tersebut dirancang dan dikelola
dengan mempertimbangkan kepentingan para penggunanya.
2. Demokratis (democratic), berarti bahwa hak para pengguna ruang publik
tersebut terlindungi, pengguna ruang publik bebas berekspresi dalam ruang
tersebut, namun tetap memiliki batasan tertentu karena dalam penggunaan
ruang bersama perlu ada toleransi diantara para pengguna ruang.
3. Bermakna (meaningful), berarti mencakup adanya ikatan emosional antara
ruang tersebut dengan kehidupan para penggunanya.
F. Peran Ruang Publik
Menurut Carr, ruang publik dalam suatu permukiman akan berperan secara
baik jika mengandung unsur antara lain :
1. Comfort, Merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan ruang publik. Lama
tinggal seseorang berada di ruang publik dapat dijadikan tolok ukur
comfortable tidaknya suatu ruang publik. Dalam hal ini kenyamanan ruang
publik antara lain dipengaruhi oleh : environmental comfort yang berupa
perlindungan dari pengaruh alam seperti sinar matahari, angin; physical
comfort yang berupa ketersediannya fasilitas penunjang yang cukup seperti
tempat duduk; social and psychological comfort.
2. Relaxation, Merupakan aktifitas yang erat hubungannya dengan psychological
comfort. Suasana rileks mudah dicapai jika badan dan pikiran dalam kondisi
sehat dan senang. Kondisi ini dapat dibentuk dengan menghadirkan unsur-
unsur alam seperti tanaman / pohon, air dengan lokasi yang terpisah atau
terhindar dari kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan di sekelilingnya.
3. Passive engagement, Aktifitas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungannya. Kegiatan pasif dapat dilakukan dengan cara duduk-duduk atau
berdiri sambil melihat aktifitas yang terjadi di sekelilingnya atau melihat
pemandangan yang berupa taman, air mancur, patung atau karya seni lainnya.
4. Active engagement Suatu ruang publik dikatakan berhasil jika dapat mewadahi
aktifitas kontak/interaksi antar anggota masyarakat (teman, famili atau orang
asing) dengan baik.
5. Discovery Merupakan suatu proses mengelola ruang publik agar di dalamnya
terjadi suatu aktifitas yang tidak monoton.
PEMBAHASAN
Anita, J., Gustya, F., Rahayu Erawati, L., & Dewi Sukma, M. (2012). Kajian
Terhadap Ruang Publik Sebagai Sarana Interaksi Warga di Kampung
Muararajeun Lama, Bandung. In Teknik Arsitektur Itenas | No.I |.
Ario, B., Sugiarto, T., Siswantara, Y., Filsafat, J., & Filsafat, F. (n.d.). RUMAH
BUDAYA SEBAGAI RUANG PUBLIK UNTUK MENGEMBANGKAN KEGIATAN
KEPARIWISATAAN DI DESA WISATA RAWABOGO, KECAMATAN CIWIDEY,
KABUPATEN BANDUNG.
Dedi Mulyadi, S. E. (2021). PEMBERDAYAAN PASAR TRADISIONAL
DITENGAH KEPUNGAN PASAR MODERN. Media Sains Indonesia.
Fajri, D. Al, Noraduola, D. R., Ode, L., & Syukur, A. (2019). Penerapan konsep
ruang publik pada perencanaan pusat pertunjukan seni di kota kendari 1* 1.
261–272.
Hantono, D., & Ariantantrie, N. (2018). Kajian Ruang Publik Dan Isu Yang
Berkembang Di Dalamnya. Vitruvian, 8(1), 43.
https://doi.org/10.22441/vitruvian.2018.v8i1.005
Hantono, D., Sidabutar, Y. F., & Irma Maulina Hanafiah, U. (2018). KAJIAN RUANG
PUBLIK KOTA ANTARA AKTIVITAS DAN KETERBATASAN. In Langkau Betang
(Vol. 5, Issue 2).
Kasus, S., Seni, P., Di, P., Sriwedari, K., Ghozali, S. A., Ekomadyo, A. S., Arsitektur, )
Prodi, & Teknologi Bandung, I. (n.d.). IMPLEMENTASI RUANG KOLABORASI
PADA DESAIN PUSAT SENI PERTUNJUKAN Title: Implementation of
Collaboration Space in the Design of the Performing Arts Center Case Study:
Performing Arts Center in Sriwedari Area, Surakarta.
Prosiding-kompilasi_ASE. (n.d.).
Studi Arsitektur, P., Arsitektur, S., & Pengembangan Kebijakan, dan. (2007).
informalitas dalam formalitas pada ruang terbuka publik (studi kasus
lapangan gasibu, bandung) rr dhian damajani (vol. 35, issue 2).
http://earth.google.com
Suciningtyas, A. (n.d.). visualisasi perjuangan tandak ludruk dalam bentuk
pertunjukan ruang publik melalui karya tari “ tandak lanang ” abstrak
pendahuluan hasil penelusuran makna kata ludruk berdasarkan studi naskah
dan kamus kuno ludruk merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan
rakyat di wilayah jawa timur . menurut kasemin kasiyanto dalam bukunya
ludruk sebagai teater sosial : kajian kritis terhadap kehidupan , peran dan
fungsi ludruk sebagai media komunikasi oleh suripan sadi hutomo . kamus
kuno lainnya yang dipelajari adalah baoe sastra djawa yaitu kamus sastra
Jawa Karya W . J . S menjelaskan makna ludruk adalah tledhek lanang ;
badut , dan pada cetakan tahun 1939 ada beberapa perubahan , ludruk
diartikan menyebutkan bahwa : 1–13.
Suminar, L., Setiawan, B., & Nugrahandika, W. H. (2017). Pemanfaatan Galeri
Seni Sebagai Ruang Publik di Yogyakarta. June, E001–E006.
https://doi.org/10.32315/ti.6.e001
Wulandari, A. (2021). pemanfaatan ruang luar untuk berkesenian di lahan eks-
parkir graha bhakti budaya, dengan pendekatan neo vernakular. jurnal
penelitian dan karya ilmiah arsitektur usakti, 17(01), 10–15.