Anda di halaman 1dari 11

SPIRITUALITAS DI TEMPAT KERJA

A. Defenisi Spiritualitas Di Tempat Kerja

“Spiritualitas di tempat kerja bukanlah agama atau penggantinya, dan bukan tentang
menemukan orang yang menerima suatu sistem kepercayaan tertentu. Marques (2001)
menjelaskan bahwa spiritualitas adalah melihat ke dalam batin menuju kesadaran akan nilai-nilai
universal, sedangkan agama formal melihat keluar menggunakan ritus formal dan kitab suci.”1
Senada dengan pernyataan itu Cacioppe (2000) mengatakan bahwa agama formal
memiliki orientasi eksternal, sedangkan spiritualitas mencakup seseorang yang memandang ke
dalam batinnya dan oleh karenanya dapat dijangkau oleh semua orang, baik yang religius
maupun yang tidak.
Kajian spiritualitas di tempat kerja yang berlandasakan semangat tersebut, menawarkan
kondisi psikologis dalam bekerja yang jika dimiliki dan dikembangkan dalam sebuah organisasi,
maka dapat membawa dampak yang positif pada kehidupan individu sendiri maupun organisasi
tempat ia bekerja.
Chandra dalam Aburahman dan Agustini (2011: 529) mengemukakan bahwa spritualitas
adalah kesediaan dan kemampuan untuk menggali makna dan kenyataan-kenyataan hidup.
Sedangkan Gibon dalam Dent, et al., (2005: 34) mendefinisikan spritualitas sebagai “the search
of direction, meaning, inner wholeness dan connection to others, to non-human creation, and to a
trancedent”.
Berdasarkan definisi spritualitas tersebut menunjukan bahwa makna spritualitas
berdasarkan pada aktivitas individual yang berorientasi pada kemampuannya dalam mencari
makna dalam kehidupannya. Artinya, spritualitas yang bersifat universal.
Namun demikian, jika dihubungkan dengan tempat kerja atau spirituality in the
workplace (spritualitas ditempat kerja) menurut Robbins dan Judge (2011:529) sama sekali tidak
berhubungan dengan praktik religious yang terorganisasi atau bukan tentang tuhan dan teologi.
Robbins dan Judge (2011:529) mendefinisikan “workplace spirituality as the recognition that
people have an inner life that nourishes and is nourished by meaningful work that takes place in
the context of community”.

1
Leo Agung Manggala Yogatama dan Nilam Widyarini, “Kajian Spiritualitas Di Tempat Kerja Pada Kontek
Organisasi Bisnis”. Jurnal Psikologi Volume 42, No. 1, April 2015, hal.2.
Artinya, spritualitas ditempat kerja adalah kesadaran bahwa orang memiliki kehidupan
batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna yang berlangsung dalam
konteks komunitas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, organisasi yang mendukung budaya
spritualitas mengakui bahwa manusia memiliki pikiran dan jiwa, berusaha mencari makna dan
tujuan dalam pekerjaan mereka, dan hasrat yang berhubungan dengan orang lain, serta menjadi
bagian dari sebuah komunitas.

Berikut adalah beberapa pegertian spiritualitas ditempat kerja menurut para ahli

1. “Ashmos dan Duchon (2000) mendefinisikan secara sistematis bahwa spiritualitas di


tempat kerja merupakan pemahaman diri individu sebagai makhluk spiritual yang
jiwanya membutuhkan pemeliharaan di tempat kerja dengan segala nilai yang ada dalam
dirinya; mengalami pengalaman akan rasa bertujuan dan bermakna dalam pekerjaannya;
serta juga mengalami perasaan saling terhubung dengan orang lain dan komunitas di
tempat individu bekerja. Menurut Ashmos dan Duchon (2003); ”Spiritualitas bukan
merupakan hal yang baru dalam pengalaman manusia. Dalam semua tradisi-tradisi agama
besar pada level tertentu mendorong kehidupan kontemplatif, di mana pencarian makna
dan tujuan merupakan hal yang utama dan bahwa hidup dalam harmoni dengan orang
lain dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting. Dalam kehidupan pribadi,
spiritualitas semacam itu wajar berkembang meski harus berhadapan dengan arus nilai-
nilai lain yang cenderung memacu perolehan materi. Namun ketika berada dalam dunia
kerja, seseorang yang menghidupi spiritualitas seringkali terbentur dengan batasan
manajemen dan organisasi klasik yang memandang manajemen sebagai alat impersonal
untuk memperoleh tujuan akhir yakni materi dan melakukan fungsi kontrol terhadap
karyawan. Konsep birokrasi dari Weber yang berkembang luas penerapannya jelas
menggambarkan hal itu.”2
2. “Menurut Milliman dkk, 2003 dalam Amalia dan Yunizar, dan Yogatama dan Widyarini ,
ada tiga dimensi utama workplace spirituality, yaitu purpose in one’s work atau

2
Leo Agung Manggala Yogatama dan Nilam Widyarini, “Kajian Spiritualitas Di Tempat Kerja Pada
Kontek Organisasi Bisnis”. Jurnal Psikologi Volume 42, No. 1, April 2015, hal.3.
”meaningful work”, having a ”sense of community”, dan being in ”alignment with the
organization’s values” and mission. Masing-masing dimensi tersebut mewakili tiga level
dari workplace spirituality, yaitu (1) individual level, (2) group level, dan (3)
organizational level.”3 Penjelasan adalah sebagai berikut:
a. Meaningful work mewakili level individu. Hal ini adalah aspek fundamental dari
workplace spirituality, terdiri dari memiliki kemampuan untuk merasakan makna
terdalam dan tujuan dari pekerjaan seseorang. Dimensi ini merepresentasikan
bagaimana pekerja berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di tingkat
individu. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia memiliki motivasi
terdalamnya sendiri, kebenaran dan hasrat untuk melaksanakan aktivitas yang
mendatangkan makna bagi kehidupannya dan kehidupan orang lain. Bagaimanapun
juga, spiritualitas melihat pekerjaan tidak hanya sebagai sesuatu yang menyenangkan
dan menantang, tapi juga tentang hal-hal seperti mencari makna dan tujuan terdalam,
menghidupkan mimpi seseorang, memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup seseorang
dengan mencari pekerjaan yang bermakna, dan memberikan kontribusi pada orang
lain.
b. Sense of community mewakili level kelompok. Dimensi ini merujuk pada tingkat
kelompok dari perilaku manusia dan fokus pada interaksi antara pekerja dan rekan
kerja mereka. Pada level ini spiritualitas terdiri dari hubungan mental, emosional, dan
spiritual pekerja dalam sebuh tim atau kelompok di sebuah organisasi. Inti dari
komunitas ini adalah adanya hubungan yang dalam antar manusia, termasuk
dukungan, kebebasan untuk berekspresi, dan pengayoman.
c. alignment with organizational values yang mewakili level organisasi. Aspek ke tiga ini
menunjukkan pengalaman individu yang memiliki keberpihakan kuat antara nilai-nilai
pribadi mereka dengan misi dan tujuan organisasi. Hal ini berhubungan dengan premis
bahwa tujuan organisasi itu lebih besar daripada dirinya sendiri dan seseorang harus
memberikan kontribusi kepada komunitas atau pihak lain.

3
Leo Agung Manggala Yogatama dan Nilam Widyarini, “Kajian Spiritualitas Di Tempat Kerja Pada
Kontek Organisasi Bisnis”. Jurnal Psikologi Volume 42, No. 1, April 2015, hal.3.
3. Duchon dan Plowman menjelaskan ”Spiritualitas di tempat kerja merupakan salah satu
jenis iklim psikologis di mana orang-orang (pekerja) memandang dirinya memiliki suatu
kehidupan internal yang dirawat dengan pekerjaan yang bermakna dan ditempatkan
dalam konteks suatu komunitas. Unit kerja yang memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi
berarti mengalami iklim tersebut, dan dapat diduga bahwa unit kerja tersebut akan
mengalami kinerja yang lebih tinggi.

4. Petchsawanga & Duchon, menurut beliau indikator spritual tempat kerja terdiri dari (1)
kerja yang bermakna, yaitu hasil dari pekerjaan yang memberikan dampak bagi karyawan
tersebut dan organiasi tempat dia bekerja. (2) komunitas atau kelompok kerja, yaitu
kumpulan manusia yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling
berinteraksi. (3) tujuan organisasi, yaitu untuk mencapai suatu tujuan secara lebih efektif
dan efesien karena dilakukan bersama-sama dan mengembangkan sumber daya dan
tekhnologi bersama-sama.

5. Menurut Gibbons dalam hakim bahwa, spiritualitas di tempat kerja termasuk konsep
integritas dan solidaritas dalam bekerja dan memahami nilai-nilai yang mendalam dalam
pekerjaan.

6. Menurut Mitroff dan Denton bahwa, spiritualitas di tempat kerja yaitu upaya untuk
mencari dan menemukan makna tertinggi kehidupan untuk kehidupan kerja, untuk
berkomunikasi antara individu dan rekan-rekan mereka serta orang-orang lain yang entah
bagaimana berkontribusi terhadap pekerjaan, juga harmoni atau kesatuan antara
kepercayaan individu dengan nilai organisasi mereka.

7. Kinjerski dan Skrypnek (2004) dalam hakim dan Azlimin spiritualitas di tempat kerja
adalah pengalaman yang berbeda dicirikan oleh fitur kognitif, dimensi interpersonal,
kehadiran spiritual, dan komponen mistis.

8. Menurut Giacolone & Jurkiewics dalam dalam Nurtjahjanti spritualitas ditempat kerja
merupakan kerangka kerja dari nilai-nilai budaya organisasi yang mampu mendorong
karyawan untuk tetap bekerja secara konsisten, dimana organisasi perlu untuk
memfasilitasi kepentingan karyawan secara komprehensif untuk memenuhi totalitas
kepuasan kerja karyawan.

9. Sedangkan menurut Neck dan Milliman dalam Litzsey mengemukakan bahwa


spiritualitas dalam pekerjaan adalah tentang mengekspresikan keinginan diri untuk
mencari makna dan tujuan dalam hidup dan merupakan sebuah proses menghidupkan
satuan set nilai-nilai pribadi yang sangat dipegang oleh seseorang. Hal ini menunjukan
bahwa, seseorang yang mampu memaknai secara positif tujuan kehidupan pekerjaannya,
maka ia akan mampu memberikan kontribusi positif kepada organisasi atau tempat
kerjanya. Dengan kata lain, spiritualitas dalam pekerjaan akan menghasilkan hal-hal
positif bagi karyawan dan organisasi. Hal ini sebagaimana pendapat Litzsey (2003)
bahwa mengintegrasikan spiritualitas di tempat kerja, akan membuat karyawan
merasakan makna dan perasaan bertujuan dalam kehidupannya. Lebih lanjut dijelaskan,
organisasi tidak hanya membuat karyawan merasa utuh sebagai pribadi, tetapi juga
memberikan keuntungan bagi perusahaan dalam hal keuntungan, moral yang tinggi dan
penurunan tingkat absensi karyawan.

10. Mitroff dan Denton dalam Miliman et al.menjelaskan bahwa, “workplace spirituality
involves the effort to find one’s ultimate purpose in life, to develop a strong connection to
coworkers and other people associated with work, and to have consistency (or aligment)
between one’s core beliefs and values of their organization”. Maksud dari pernyataan ini
adalah spiritualitas di tempat kerja merupakan usaha organisasi untuk menemukan tujuan
hidup yang sangat penting, mengembangkan hubungan kemitraan kerja yang kuat, dan
mempertahankan konsistenan antara keyakinan inti pegawai dengan nilai-nilai
organisasinya. Dengan kata lain, spritualitas di tempat kerja pada prinsipnya merupakan
sinergitas usaha organisasi dan anggota organisasi dalam memaknai dan mencapai tujuan
dari pekerjaan.

Penjelasan di atas menunjukan bahwa, spritualitas di tempat kerja tidak hanya berkaitan
dengan usaha atau upaya individual untuk memaknai tujuan dari sebuah pekerjaan di tempat
kerja, akan tetapi organisasi perlu untuk mensinergikannya melalui proses fasilitasi berbagai
keperluan anggotanya untuk tetap bekerja sesuai dengan tujuan organisasi.
Sejalan dengan hal ini, menurut Parvar (2008) dalam Mulyono (2010:25) bahwa
workplace spirituality dipandang dalam dua perspektif, yaitu perspektif individual yakni,
pengalaman individu dalam menerapkan nilai-nilai spiritualitas pribadi dalam organisasi.
Sedangkan perspektif organisasional yaitu suatu kerangka nilai organisasi yang dibuktikan
dengan adanya budaya yang memfasilitas individu untuk menerapkan spritualitas dalam
organisasi (menikmati kesenangan bekerja dan merasa terhubung satu sama lain). Lebih lanjut
Kolodinsky, dkk., (2008) menambahkan persepktif yang ketiga yaitu, suatu proses interaksi dari
keduanya (individual dan organisasi). Spiritualitas merupakan kemampuan dasar manusia dalam
membentuk makna, nilai, dan keyakinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa spiritualitas
memberikan nilai-nilai yang dapat dipahami dan dipegang bersama (contoh: kejujuran,
integritas) dan agama memberikan jalan untuk pelaksanaannya di tingkat individu sesuai dengan
ajarannya masing-masing.
Workplace spirituality adalah sebuah konsep yang membahas tentang kaitan aspek-aspek
spiritualitas dengan lingkungan kerja. Spiritualitas dalam pekerjaan bukan tentang membawa
agama ke dalam ranah pekerjaan, melainkan kemampuan karyawan sebagai makhluk spiritual
untuk menghadirkan keseluruhan dirinya untuk bekerja. Robbins (2008:282) menjelaskan
bahwa: “Spiritualitas di tempat kerja menyadari bahwa manusia memiliki kehidupan batin yang
tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna yang berlangsung dalam konteks
komunitas. Organisasi yang mendukung kultur spiritual mengakui bahwa manusia memiliki
memiliki pikiran dan jiwa, berusaha mencari makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka, dan
hasrat untuk berhubungan dengan orang lain, serta menjadi bagian dari sebuah komunitas”

B. Pentingnya spiritualitas ditempat kerja


“Karakas (2010) mengemukakan bahwa workplace spirituality mempunyai peran penting dalam
tiga sudut pandang.

1. sudut pandang manajemen sumber daya manusia. Manajemen sumber daya manusia
memandang spiritualitas dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup karyawan.
Pada sudut pandang ini, spiritualitas dapat meningkatkan moralitas, produktivitas, dan
komitmen pada organisasi. Sebaliknya, ketiadaan spiritualitas di tempat kerja dapat
membuat karyawan menjadi stres, tingkat kehadiran rendah, dan kelelahan fisik maupun
mental sehingga komitmen dalam bekerja menjadi berkurang.
2. sudut pandang filosofis. Secara filosofis, spiritualitas akan memberikan karyawan
perasaan terdalam tentang tujuan dan makna dalam pekerjaan. Karyawan tidak lagi
berorientasi pada uang atau materi dalam bekerja, sehingga kreatifitas akan meningkat
ketika karyawan menemukan makna dari pekerjaan itu sendiri.
3. sudut pandang hubungan personal. Spiritualitas memberikan karyawan rasa keterikatan
terhadap komunitas lingkungan kerja, loyalitas, dan rasa kepemilikan terhadap
organisasi.”4

Studi literatur yang telah dilakukan oleh Karakas (2010) terhadap lebih dari 140
artikel mengenai spiritualitas di tempat kerja menunjukkan bagaimana spiritualitas
memberikan keuntungan terhadap karyawan dan mendukung kinerja organisasi, yaitu (1)
spiritualitas meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup karyawan, (2) spiritualitas
memberikan kepekaan akan tujuan dan makna bekerja, dan (3) spiritualitas menghadirkan
kepekaan karyawan akan keterikatan pada kehidupan sosial.

C. Peningkatan spiritualitas ditempat kerja

Orang yang bekerja biasanya mempertimbangkan spiritualitas sebagai alat untuk meningkatkan
kesempurnaan, motivasi, dan kepuasan pekerjaan. Agama juga membantu kelangsungan
spiritualitas meskipun dapat memisahkan orang dari satu sama lain. Kemampuan spiritualitas
untuk mendorong kebiasaan baik dan moral yang merupakan kriteria yang tepat untuk menguji
pengaruh spiritualitas dalam bisnis. Banyak manajer yang sukses mewakili spiritualitas dengan
cara meningkatkan kebiasaan etis yang menyenangkan bagi mereka (Cavanagh & Banduch,
2002)

“Menurut Ashmos Duchon (2000), terdapat beberapa indikator dalam workplace spirituality ini,
antara lain:

4
Aditya Ramadhan Prakoso,dkk , “pengaruh spiritualitas ditempat kerja (workplace spirituality) terhadap
komitmen organisasional”, Administrasi Bisnis, Vol.65, N0. 1 Desember 2018, hal.3.
a. Kondisi lingkungan atau kelompok. mencakup penilaian terkait dukungan dari komunitas.
Komunitas disini adalah tempat dimana individu mengalami pertumbuhan pribadi yang beharga
untuk diri mereka sendiri sebagai individu, dan memiliki rasa untuk bekerja sama

b. Kebermaknaan pada pekerjaan.

c. Hakikat yang dirasakan dalam diri.

d. Pemahaman spiritualitas yang jelas.

e. Tanggungjawab secara pribadi.

f. Menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.”5

D. Penelitian yang mendukung


1. Penelitan Ammy Apriany (2016), “ditemukan bahwa spiritual ditempat kerja yang
dikemukakan oleh millimen Dkk dapat digambarkan lewat tradisi-tradisi, sibol-
simbol keagamaan yang ada pada PT. BPRS Bumi Rinjani Kepanjen. Spiritual di
tempat kerja tersebut dicerminkan dengan tingginya rasa bertambahnya produktivitas
antara masing-masing karyawan, tingginya loyalitas terhadap perusahaan, masih
terjaganya tradisi tersebut dan strata social yang rendah antara pemimpin perusahaan
dengan karyawan. Spiritual ditempat kerja di perusahaan ini tradisi masih
dipertahankan untuk memperkokoh organisasi dan kinerja karyawan seperti halnya
acara istighosah pembacaan doa, pengajian tour religious pengajian dengan
masyarakatdan santunan anak yatim piatu tetap rutin dilakukan.”6
2. “Penelitian Muhammad Arief (2010) ditemukan bahwa dalam konteks spiritualitas
perusahaan, pengalaman yang dimiliki oleh individu melalui penerapan nilai – nilai
budaya akan terkait langsung dengan kesadaran spiritual individu. Pada titik ini,
kesadaran spiritual menjadi jembatan yang akan menghubungkan budaya perusahaan
5
Hanif Arrasyidu, Skripsi : “Hubungan antara spiritualitas ditempat kerja dengan komitmen organisasi pada
karyawan palang merah Indonesia (PMI) kota malang,( Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 2018), hal.6.
6
Ammy Apriany, Skripsi: “Praktik Penerapan Spiritualitas Karyawan Pada PT.BPRS Bumi Rinjani
Kepanjen”(Malang:UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016) Hal.163.
sehingga akan memberikan makna terhadap kehidupan, peningkatan kepekaan
tentang tujuan dan hubungan antar individu sehingga akan membawa pengalaman
individu untuk berorganisasi.”7 konsepsi pengembangan kedalam dari model spiritual
perusahaan telah dikemukakan oleh Husain dan Khan (2010). Melalui studi yang
dilakukan, Husain dan Khan (2010) memperpanjang mekanisme pembentukan
spiritual individu dengan mengidentifikasi beberapa sumber nilai – nilai spiritualitas,
meliputi naturalism, ethical relativism, ethical hedonism dan positivism. Asumsi yang
ada pada sumber – sumber nilai tersebut dianggap dapat digunakan untuk
mengembangkan organisasi.
a. Naturalism
Naturalism merupakan suatu bentuk keyakinan bahwa universalitas dari alam semesta
adalah kemandirian yang adanya tidak disebabkan karena supranatural dan
pengawasan”. Asumsi yang dikemukakan pada naturalism adalah bahwa manusia dan
alam semesta dapat dipahami tanpa mengembalikan penjelasan spiritual dan bahwa
penjelasan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan adalah satu – satunya penjelasan
yang memuaskan dari realitas yang dihadapi. Asumsi ini menyebabkan para ilmuwan
perilaku banyak yang menyimpulkan bahwa semua nilai – nilai moral adalah fana dan
berasal dari manusia.
b. Ethical Relativism
Ethical relativism mempunyai keyakinan bahwa “tidak ada prinsip universalitas yang
valid, ketika semua prinsip moral bersifat relatif terhadap budaya dan nilai – nilai
individu”. Selanjutnya, “budaya atau masyarakat akan mempertahankan kebenaran
atau kesalahan, jika memang hal itu baik bagi mereka”. Ethical relativism juga
berpendapat bahwa jika nilai bersifat relatif, maka perusahaan seharusnya meletakkan
titik berat nilai – nilai yang ada pada karyawan.
c. Ethical Hedonism
Ethical hedonism merupakan bentuk keyakinan dimana seseorang harus mencari
kesenangan sendiri dan bahwa kebaikan tertinggi bagi seseorang adalah mendapatkan
kesenangan secara bersama – sama dengan perasaan sakit yang sangat sedikit.
Menurut beberapa ahli perilaku, pada dasarnya hidup manusia hanyalah mencari
7
Muhammad Arief,”Spiritual Manajemen : sebuah Refleksi Dari Pengembangan Ilmu Manajemen” Modernisasi,
Volume 6, Nomor 2, Juni 2010, hal.191-192.
kesenangan dalam bentuk perilaku yang hedonistik dan mencari pahala. Argumentasi
ini menjadi alasan yang bertentangan dengan asumsi relativisme etis yang
mendukung nilai – nilai etis. Berdasarkan pada asumsi tersebut, maka organisasi akan
mendorong individu yang ada didalamnya untuk menghilangkan belenggu agama dan
lebih menerima kecenderungan hedonistik mereka.
d. Positivism
Sumber nilai positivism berpendapat bahwa “pengetahuan adalah terbatas pada fakta
yang diamati dan adanya interaksi yang terjadi diantara manusia”. Sumber ini juga
dikatakan memenuhi unsur ilmiah jika terdapat bukti yang melandasinya. Positivist
beranggapan bahwa pengamatan empiris pada akhirnya akan mengarah pada
pemahaman yang lengkap dari suatu realitas. Secara tajam, positivist akan
membedakan antara fakta dan nilai – nilai yang terkandung didalamnya, karena kaum
positivist menganjurkan bahwa hanya dengan pemikiran yang ilmiah dan pernyataan
yang logis maka kognitif akan lebih bermakna, bernilai dan intelektual dianggap
sebagai sesuatu yang berarti.

Asumsi tersebut diatas dapat membawa pengaruh besar pada keyakinan individu
didalam memaknai suatu kehidupan, meningkatkan kepekaan pada tujuan hidup dan
menjalin hubungan dengan orang lain. Selanjutnya keyakinan yang dimiliki oleh individu
harus dapat dikelola dengan baik oleh organisasi jika organisasi ingin meningkatkan
hubungan interpersonal dan membuka jalan bagi perubahan organisasi.

E. Penemuan Dilapangan

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa dosen ditemukan ada beberapa dosen
yang kurang solit dalam bekerja, dikarenakan adanya perbedaan dari tipe-tipe individu dalam
bekerja seperti tipe pemikir melimpahkan pekerjaan yang terkait dilapangan kepada
rekannya. Ada juga sebagian dosen yang tidak ikut andil secara penuh walaupun yang
diadakan adalah kegiatan terkait jurusan sehingga atasan lah yang harus turun langsung.
Masalah lain adalah soal kedisiplinan yang kurang diterapkan pada pribadi dosen seperti
hadir yang tidak tepat waktu. Kemudian salah seorang narasumber memaparkan keadaan di
FUAD IAIN Pontianak sebenarnya sudah memiliki nilai dan budaya organisasi yang baik
akan tetapi penerapannya yang masih kurang maksimal. Dari beberapa data tersebut dapat
diketahui masih perlunya peningkatan spiritualitas ditempat kerja karena menurut
“Khasawneh (2011) menjelaskan bahwa nilai-nilai spiritual tersebut memfasilitasi perasaan
karyawan untuk terhubung dengan yang lain sehingga memberikan perasaan kesempurnaan
kehidupan batin dan rasa bahagia. Suatu perusahaan yang menerapkan spiritualitas di tempat
kerja akan menjadikan karyawan merasa terhubung dan bermakna di tempat kerja, karyawan.
akan tampil lebih baik, muncul lebih sering dan memberikan kontribusi yang lebih
terhadap suasana yang baik di tempat kerja. Selanjutnya, karyawan ingin lebih mengontrol
pekerjaan mereka, lebih menyeimbangkan kehidupan kerja dan karyawan akan lebih
meningkatkan makna dalam pekerjaan mereka.”8 Dari penjelasan Khasawneh tersebut seolah
mengatakan bahwa masih rendahnya spiritualitas di tempat kerja pada dosen FUAD IAIN
Pontianak.

8
Siti Rahayu, “Kontribusi Kepemimpinan Spiritual Terhadap Komitmen Efektif Melalui Spiritualitas Ditempat Kerja
Pada Karyawan Bank Syariah Di kota Yogyakarta”, Psikologika Volume 21 Nomor 1 Tahun 2016, hal.4.

Anda mungkin juga menyukai