Anda di halaman 1dari 126

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN FAKTOR DEMOGRAFI DAN MOTIVASI


TERHADAP PARTISIPASI KADER ASUHAN MANDIRI
DI PUSKESMAS KECAMATAN CAKUNG JAKARTA TIMUR
TAHUN 2020

TESIS

GABE GUSMI APRILLA


1806254112

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
Januari 2021

i
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN FAKTOR DEMOGRAFI DAN MOTIVASI


TERHADAP PARTISIPASI KADER ASUHAN MANDIRI
DI PUSKESMAS KECAMATAN CAKUNG JAKARTA TIMUR
TAHUN 2020

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister


Kesehatan Masyarakat

GABE GUSMI APRILLA


1806254112

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
Januari 2021
KATA PENGANTAR

Kader merupakan ujung tombak masyarakat dalam membantu tenaga kesehatan


Puskesmas mempromosikan program kesehatan kepada komunitasnya. Program
kader telah berlangsung lama dan dilaksanakan karena masih kurangnya tenaga
kesehatan termasuk masih kurangnya tenaga kesehatan yang mempromosikan
upaya pengembangan kesehatan tradisional. Upaya pengembangan kesehatan
tradisional sangat penting dipromosikan karena manfaatnya sudah terbukti secara
turun temurun dan negara kita memiliki sumber daya hayati tanaman obat
tradisional kedua terbesar di dunia. Pengembangan kesehatan tradisional melalui
asuhan mandiri pemanfaatan Taman Obat Keluarga (TOGA) dan akupresur
merupakan program yang mulai dikembangkan sejak tahun 2016 dan ternyata
tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga mendorong dilakukannya
penelitian partisipasi kader. Penelitian ini dilakukan sebagai syarat untuk
mencapai gelar Magister Kesehatan Masyarakat dan pengabdian peneliti sebagai
abdi negara. Penelitian ini tidak akan terlaksana tanpa ridho Allah SWT, maka
dengan rasa syukur penulis mengucapkan terima kasih kepada:
[1] Prof.Dr.dr.Rachmadi Purwana,SKM sebagai pembimbing telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis.
[2] Dr.dra.Dumilah Ayuningtyas, MARS sebagai penguji dan dosen Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
[3] Dr. Dian Ayubi, SKM, MQIH sebagai penguji, reviewer kaji etik dan dosen
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
[4] dr Nur Indah, MKM sebagai penguji dari Direktorat Pelayanan Kesehatan
Tradisional Kementerian Kesehatan RI
[5] dr Aliyah Cendanasari, MKM sebagai penguji dari Suku Dinas Kesehatan
Kota Administrasi Jakarta Timur
[6] Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan Bapak Sugi staf Dinkes
Provinsi yang telah membantu peneliti
[7] Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Timur dan Ibu
Nurmi Sukimin staf Sudinkes yang telah membantu peneliti

iii
Universitas Indonesia
[8] Kepala Puskesmas Kecamatan Cakung, Bapak Bambang penanggungjawab
program pelayanan kesehatan tradisional dan Ibu Ninuk staf Puskesmas yang
telah membantu peneliti
[9] Ketua kader RW 01 & RW 11 Kelurahan Penggilingan, Ketua kader & Ibu
RW 07 Kelurahan Jatinegara, kader RW 08 Kelurahan Pulo Gebang, RW 01
Kelurahan Cakung Barat dan Kelurahan Ujung Menteng Kecamatan Cakung
yang bersedia menjadi responden dan membantu peneliti
[10] Kepala Puskesmas Kecamatan Matraman dan Ibu Sulastri penanggungjawab
program pelayanan kesehatan tradisional
[11] Ketua kader asman Cempaka Kelurahan Utan Kayu Selatan, kader asman
Sakura Kelurahan Pisangan Baru dan kader asman Kelurahan Kayu Manis.
[12] Direktur dan staf Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional Kementerian
Kesehatan RI
[13] Kepala Pusat Peningkatan Mutu Badan PPSDM Kesehatan Kementerian
Kesehatan sebagai penyelenggara Tugas Belajar Angkatan 2018
[14] Pelayanan Terpadu Jakarta Timur yang telah memberikan pelayanan ijin
penelitian online yang sangat memuaskan, efektif dan efisien
[15] Bapak Asep Saiful dan Ibu Tuti staf akademik dan Bapak Arief Perpustakaan
FKM
[16] Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral
[17] Teman Mutu 2018 dan Tugas Belajar 2018 yang selalu kompak saat pertama
bertemu di PSAF, saat kuliah hingga menjelang pemberkasan judicium
[18] drg Laksmi TP-PKK Pusat yang menyediakan waktunya memberikan
gambaran tentang program PKK kepada peneliti
Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga tesis ini dapat memberikan
manfaat bagi pengembangan kesehatan tradisional di Puskesmas.

Depok, 13 Januari 2021

Penulis
ABSTRAK

Nama : Gabe Gusmi Aprilla


Program Studi : Mutu Layanan Kesehatan
Judul : “Hubungan Faktor Demografi dan Motivasi Terhadap Partisipasi
Kader Asuhan Mandiri di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta
Timur Tahun 2020”

Pada tahun 2017 dan 2018, Puskesmas Kecamatan Cakung telah melakukan
orientasi asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan akupresur kepada 77 orang
kader dari 5 kelurahan yaitu Penggilingan, Pulo Gebang, Jatinegara, Ujung
Menteng dan Cakung Barat. Dalam kurun waktu 3-6 bulan selesai orientasi,
diharapkan kader membentuk kelompok asuhan mandiri. Namun baru terbentuk
satu kelompok asuhan mandiri yaitu di RW 01 Kelurahan Penggilingan, sehingga
peneliti tertarik untuk menganalisa hubungan faktor demografi dan motivasi
terhadap partisipasinya. Penelitian ini menggunakan data primer dengan mengisi
kuisioner. Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif non
eksperimen dengan desain cross sectional. Hasil penelitian diperoleh sebagian
besar kader asuhan mandiri berstatus ibu rumah tangga, menikah, berusia > 46
tahun, berpendidikan menengah, pendapatan < UMP DKI tahun 2020 dan lama
kerja < 5 tahun. Sebagian besar motivasi rendah 39 orang (60%) dan sisanya
motivasi tinggi 26 orang (40%) dan partisipasi rendah 33 orang (50,8%) dan
sisanya partisipasi tinggi 32 orang (49,2%). Faktor lama kerja kader asuhan
mandiri > 5 tahun dapat meningkatkan 4 kali partisipasi, sedangkan penghargaan
meningkatkan 0,1 kali. Kesimpulan: lama kerja > 5 tahun dan penghargaan
meningkatkan partisipasi kader asuhan mandiri. Saran: perlu bantuan bibit
tanaman obat tradisional, pelatihan berjenjang dan berkala, pembinaan berkala,
studi banding, penilaian kelompok asuhan mandiri dan family gathering untuk
meningkatkan motivasi kader asuhan mandiri.

Kata kunci: Faktor Demografi, Motivasi, Partisipasi, Kader, Pelayanan Kesehatan


Tradisional

v
Universitas Indonesia
ABSTRACT

Name : Gabe Gusmi Aprilla


Study Program: Quality of Health Service
Title : “The relationship between Demographic Factors and Motivation
of Self Care Community Health Worker at the Community
Health Center of Cakung, East Jakarta in 2020”

In 2017 and 2018, the Cakung Community Health Center has given self care
orientation using the herbal garden and acupressure for 77 cadres from 5 sub-
district namely Penggilingan, Pulo Gebang, Jatinegara, Ujung Menteng and West
Cakung. Within 3-6 months of orientation, community health worker are expected
to form self care groups. However, only one self care group was formed, namely
in the Penggilingan sub-district, so the researchers were interested in analyzing
the relationship between demographic factors and motivation of self care
community health worker and their participation. This study uses primary data by
filling out questionnaires. The research design used a non-experimental
quantitative approach with a cross sectional design. The results showed that most
of them were housewives, married, > 46 years old, middle school education,
income < minimum wage DKI and length of work < 5 years. Most of the low
motivation 39 people (60%) and the remaining high motivation 26 people (40%)
and low participation 33 people (50.8%) and the remaining high participation 32
people (49.2%). The length of work factor > 5 years increased participation 4
times, while the reward motivation increased 0.1 times. Conclusions : length of
work and rewards for increasing participation. Suggestions : need for seed herbal
plant, training, supervision, study tours, competitions the self care group and
family gatherings to increase motivation for self care community health worker.

Key words: Factor Demography, Motivation, Participation, Community Health

Worker, Traditional Medicine


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. v


DAFTAR ISI ................................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………… ..... 14
1.3 Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 15
1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 15
1.4.1 Tujuan Umum ....................................................................................... 15
1.4.2 Tujuan Khusus ...................................................................................... 15
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 16
1.5.1 Bagi Institusi ......................................................................................... 16
1.5.2 Bagi Peneliti .......................................................................................... 17
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................ 17
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR ..................................................................... 19
2.1 Pusat Kesehatan Masyarakat ........................................................................ 19
2.2 Mutu Pelayanan Kesehatan .......................................................................... 20
2.3 Upaya Pengembangan Kesehatan Tradisional ............................................. 21
2.4 Partisipasi ..................................................................................................... 25
2.5 Motivasi ........................................................................................................ 29
2.6 Karakteristik Demografi ............................................................................... 43
2.7 Karakteristik Biografis……………………………………………………..47
2.8 Kerangka Teori ............................................................................................. 48
BAB 3 KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS ............................................................................................................... 54
3.1 Kerangka Konsep ......................................................................................... 54
3.2 Definisi Operasional ..................................................................................... 57
3.3 Hipotesis ....................................................................................................... 61
vii
Universitas Indonesia
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 601
4.1 Desain Penelitian .......................................................................................... 61
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 61
4.3 Populasi dan Sampel .................................................................................... 63
4.3.1 Populasi ................................................................................................. 63
4.3.2 Sampel ................................................................................................... 63
4.4 Besar Sampel ................................................................................................ 63
4.5 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 65
4.6 Uji Coba Kuisioner ......................................................................................... 64
4.7 Pengolahan Data .......................................................................................... 65
4.7.1 Analisis Univariat.................................................................................. 67
4.7.2 Analisis Bivariat .................................................................................... 67
4.7.3 Analisis Multivariat............................................................................... 68
BAB 5 HASIL PENELITIAN ............................................................................ 70
5.1 Analisis Univariat ......................................................................................... 70
5.2 Analisis Bivariat ........................................................................................... 79
5.3 Analisis Multivariat ...................................................................................... 85
BAB 6 PEMBAHASAN ...................................................................................... 82
6.1 Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 98
6.1.1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 98
6.1.2 Populasi dan Sampel ............................................................................. 98
6.1.3 Instrumen Pengumpulan Data ............................................................... 98
6.2 Pembahasan Hasil Penelitian........................................................................ 99
6.3 Implikasi Terhadap Upaya Pengembangan Kesehatan Tradional Asuhan
dan Penelitian ....................................................................................................... 116
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 117
7.1 Kesimpulan ................................................................................................. 117
7.2 Saran ........................................................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 121
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Potensi di wilayah tempat tinggal kader Kecamatan Cakung yang
belum membentuk kelompok asuhan mandiri ……………………………………9
Tabel 1.2 Rekapitulasi Hasil Penjaringan Kesehatan Peserta Didik SD di wilayah
Puskesmas Kecamatan Cakung Tahun 2019…………………..…………………11
Tabel 3.1.Definisi Operasional…………………………………………………..57
Tabel 4.1 Besar Sampel…………………………………………………………..63
Tabel 5.1 Jumlah Responden…………………………………………………….70
Tabel 5.2 Distribusi Demografi Kader………………………………..……….…71
Tabel 5.3 Distribusi Nilai Jawaban Kader Asman Puskesmas Kecamatan Cakung
Terhadap Pertanyaan Partisipasi Tahun 2020………………………..………….73
Tabel 5.4. Distribusi Statistik Kader Berdasarkan Penilaian Partisipasi Kader Di
Kecamatan Cakung Jakarta Timur………………………….……………………81
Tabel 5.5. Distribusi Kader Berdasarkan Penilaian Partisipasi Kader Di
Kecamatan Cakung Jakarta Timur……………………………………………….82
Tabel 5.6. Distribusi Nilai Jawaban Kader Asman Puskesmas Kecamatan Cakung
Terhadap Pertanyaan Motivasi Tahun 2020……………………………….….…82
Tabel 5.7. Distribusi Statistik Kader Menurut Motivasi Kader ………………....84
Tabel 5.8. Distribusi Motivasi Kader Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur…....84

ix
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Gambaran jumlah kelompok asuhan mandiri Kecamatan Cakung


Jakarta Timur……………………………………………………………………...6
Gambar 1.2 Kontribusi dan Partisipasi…………………………………..………10

Gambar 1.3 Teori Hirarki dan Kebutuhan……………………………………….13

Gambar 2.1 Diagram Alur Pembentukan Kelompok Asuhan Mandiri…………..24

Gambar 2.2 Kontribusi dan Partisipasi…………………………………….…….10

Gambar 2.3 Teori Hirarki dan Kebutuhan…………………………………….…13

Gambar 2.4 Skema Tinjauan Teori………………………………………………54

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ...............................................................................55

Gambar 4.1 Lokasi Penelitian Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta Timur..…61


Gambar 5.1 Distribusi Motivasi Kader di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta
Timur……………………………………………………………………………..79

Gambar 5.2 Diagram Partisipasi Kader Di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta


Timur…………………………………………………..…………………………84
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sehat merupakan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang
sempurna dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau cacat [1]. Sehat
merupakan hak asasi manusia dan setiap orang berhak mendapatkan
standar pelayanan kesehatan setinggi mungkin yang dapat dicapai [2].
Pada tahun 1978, Deklarasi Alma-Ata mengakui pengobatan tradisional
sebagai salah satu pelayanan kesehatan primer dan petugas kesehatan
komunitas sebagai bagian dari tim yang beragam dan berkelanjutan yang
merespon secara efektif kebutuhan kesehatan komunitas [3].

Definisi WHO (2007) petugas kesehatan komunitas merupakan


petugas kesehatan yang telah menerima pelatihan terstandarisasi di luar
kurikulum keperawatan dan kebidanan dan mereka memberikan pelayanan
kesehatan untuk komunitasnya serta mereka adalah bagian dari tim
kesehatan. Definisi sebelumnya petugas kesehatan komunitas merupakan
seseorang yang dipilih oleh komunitas, bekerja dan bertanggungjawab
untuk komunitasnya, mendapat pelatihan singkat dan terbatas serta bukan
bagian dari tim organisasi kesehatan [4].

Istilah petugas kesehatan komunitas sangat beragam dan di


Indonesia disebut kader. Setiap kader menjalankan fungsi terkait dengan
pemberian perawatan kesehatan, dilatih untuk program intervensi tertentu
dan tidak memiliki pendidikan formal atau pelatihan bersertifikat atau
bergelar [5]. Sejarah timbulnya program kader timbul karena adanya
peran yang tidak dapat dipenuhi baik oleh layanan kesehatan formal
maupun oleh komunitas sendiri. Idealnya, kader menggabungkan fungsi
layanan dan promosi kesehatan dan non kesehatan. Peran paling penting
program kader adalah sebagai jembatan antara komunitas dan pelayanan
kesehatan formal dalam semua aspek pembangunan kesehatan. Kegiatan

1
Universitas Indonesia
yang dilakukan kader menjembatani dan meningkatkan efektivitas layanan
kuratif dan preventif dan membantu komunitas dan fasilitas kesehatan.
Kader mungkin merupakan satu-satunya hubungan yang layak dan dapat
diterima antara sektor kesehatan dan masyarakat yang dapat
dikembangkan untuk memenuhi tujuan peningkatan kesehatan dalam
waktu dekat [6].

Banyak negara telah memanfaatkan peran kader dalam program


kesehatannya, termasuk Pemerintah Indonesia memanfaatkan peran kader
dalam upaya pemanfaatan Taman Obat Keluarga (TOGA) dan akupresur.
Pemanfaatan TOGA pertama kali diprakarsa oleh Isriati Moenadi tahun
1967, isteri Gubenur Jawa Tengah yang prihatin terhadap kehidupan
masyarakat Jawa Tengah yang menderita busung lapar dan beliau
membentuk Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
mulai dari Provinsi hingga kelurahan atau desa. Karena program PKK
berhasil, maka tahun 1987 dibentuk kelompok PKK di tingkat RT/RW dan
kelompok dasa wisma atas persetujuan Presiden Soeharto. Dalam program
kerjanya, PKK memperhatikan kesehatan dan lingkungan serta memiliki
program unggulan yaitu Pemanfaatan lahan melalui Program Halaman
Asri Teratur Indah dan Nyaman (Hatinya) PKK [7]

Peran kader PKK tidak hanya menggerakan dan memberdayakan


masyarakat dalam program kesehatan, namun juga berperan dalam
menjaga kelestarian tanaman obat tradisional. Indonesia mempunyai
potensi tanaman obat kedua terbesar di dunia setelah Brazil. Dari total
sekitar 40.000 jenis tanaman obat yang telah dikenal di dunia, 30.000-nya
disinyalir berada di Indonesia. Jumlah tersebut mewakili 90% dari
tanaman obat yang terdapat di wilayah Asia. Dari jumlah tersebut, 25%
diantaranya atau sekitar 7.500 jenis sudah diketahui memiliki khasiat
herbal atau tanaman obat. Namun hanya 1.200 jenis tanaman yang sudah
dimanfaatkan untuk bahan baku obat-obatan herbal atau jamu [8].

Sejak jaman ribuan tahun lalu pengobatan tradisional telah lama


digunakan. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010
3

penduduk Indonesia yang pernah menggunakan jamu 59,12% terdiri atas


tanaman obat jahe (50,36%), kencur (48,77%), temulawak (39,65%),
meniran (13,93%), dan pace (11,17%) serta tanaman obat lain 72,51%.
Masyarakat Indonesia menyukai bentuk sediaan jamu dalam bentuk cairan,
diikuti seduhan/serbuk, rebusan/ rajangan, dan bentuk kapsul/pil/tablet.
Sebanyak 95,60 % yang mengkonsumsi jamu merasakan manfaatnya baik
yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan dan berlaku untuk semua
kelompok umur dan status ekonomi [9]. Hasil Riskesdas tahun 2013,
anggota rumah tangga yang menggunakan pengobatan tradisional
sebanyak 30,4% [10]. Proporsi masyarakat seluruh Indonesia yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional dan melakukan upaya
sendiri 44,3%, sedangkan Provinsi DKI 10,97% dan proporsi masyarakat
Indonesia yang memanfaatkan TOGA tahun 2018 sebesar 24,6%,
sedangkan Provinsi DKI 9,13% [11, 12].

Dalam rangka mengembangkan kesehatan tradisional melalui


asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan akupresur maka Pemerintah
melalui Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan,
menyelenggarakan pelatihan bagi petugas Puskesmas dan kader dan
sosialisasi serta advokasi kepada lintas program dan lintas sektor
kementerian terkait yaitu Kementerian Dalam Negeri dan Pertanian.
Kebijakan yang telah ditetapkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 103
tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2016 tentang Upaya Pengembangan
Kesehatan Tradisional Asuhan Mandiri Pemanfaatan Taman Obat
Keluarga (TOGA) dan Keterampilan [13]. Dengan telah ditetapkannya
kebijakan pengobatan tradisional, maka diharapkan dapat bersinergi
dengan pelayanan kesehatan modern di fasilitas pelayanan kesehatan,
memberikan pelindungan kepada masyarakat, meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan tradisional dan memberikan kepastian hukum bagi
pengguna dan pemberi pelayanan kesehatan tradisional [14].

Universitas Indonesia
Saat ini Kementerian Kesehatan telah melakukan pelatihan bagi
petugas Puskesmas. Petugas Puskesmas yang telah dilatih, selanjutnya
menyelenggarakan orientasi kepada kader tentang pemanfaatan TOGA dan
akupresur dengan panduan buku saku asuhan mandiri. Kader yang telah
diberi orientasi diharapkan dapat berpartisipasi mengembangkan
pelayanan kesehatan tradisional seperti membentuk kelompok asuhan
mandiri, membagikan ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada
masyarakat dan lain-lain. Menurut Brandon (2017), pelatihan yang efektif
bagi kader sukarelawan dapat meningkatkan partisipasi kader dan
keberlanjutan program [15].

Jumlah Puskesmas yang telah dilatih sebagai fasilitator sebanyak 1.521.


Jumlah Puskesmas yang telah memiliki kelompok asuhan mandiri sebanyak
316. Salah satu Provinsi yang telah dilatih dan memiliki kelompok asuhan
mandiri adalah DKI Jakarta. Jumlah Puskesmas DKI yang telah dilatih dan
memiliki kelompok asuhan mandiri sebanyak 14 Puskesmas Kecamatan.
Empat Puskesmas berada di Jakarta Selatan dan masing-masing Puskesmas
memiliki satu kelompok asuhan mandiri antara lain Puskesmas Kecamatan
Cilandak, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama dan Srengseng Sawah.
Sedangkan sisanya 10 Puskesmas Kecamatan berada di Jakarta Timur dan
masing-masing Puskesmas bervariasi jumlah kelompoknya. Puskesmas
Kecamatan Duren Sawit memiliki jumlah kelompok terbanyak yaitu
sebanyak 18 kelompok, sedangkan Puskesmas Kecamatan Cakung dan
Makassar memiliki kelompok paling sedikit yaitu sebanyak 1 kelompok.
Kelompok asuhan mandiri yang terbentuk merupakan indikator partisipasi
kader asman dalam mengembangkan kesehatan tradisional asuhan mandiri.
Agar pembentukan kelompok asuhan mandiri dapat tercapai, petugas
Puskesmas mesti menggerakan mesin birokrasi (Lurah) dan mesin sosial
(masyarakat).

Dalam penelitian ini, peneliti memilih Puskesmas Kecamatan


Cakung karena Puskesmas tersebut telah dilatih dan cukup terpapar
dengan baik program pelayanan kesehatan tradisional. Pada tahun 2017
dan 2018 Puskesmas telah menyelenggarakan orientasi kepada 77 orang
5

kader yang berasal dari 5 (lima) kelurahan yaitu Penggilingan, Jatinegara,


Pulo Gebang, Cakung Barat dan Ujung Menteng. Namun kader hanya
membentuk satu kelompok asuhan mandiri yang dibuktikan adanya Surat
Keputusan Lurah Penggilingan tentang pembentuk kelompok asuhan
mandiri. Menurut Nutbeam, D (2001), dalam melakukan monitoring dan
evaluasi pelaksanaan dan pengawasan mutu program, maka perlu
mengukur dampak promosi kesehatan antara lain pengaruh dan aksi
masyarakatnya seperti partisipasi dan mengukur praktik organisasi dan
kebijakan kesehatan publik seperti adanya regulasi [16]. Regulasi program
kesehatan tradisional asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan Akupresur
di Puskesmas Kecamatan Cakung baru satu yaitu adanya SK Lurah
Penggilingan tentang Pembentukan Kelompok Asuhan Mandiri.

FASILITATOR PUSKESMAS
KECAMATAN CAKUNG

MELAKUKAN ORIENTASI
ASUHAN MANDIRI
PEMANFAATAN TOGA DAN
AKUPRESUR KEPADA KADER

KEL.PULO KEL KEL CAKUNG KEL UJUNG


KEL MENTENG
GEBANG PENGGILINGAN BARAT
JATINEGARA

RW 01 RW 11

TERBENTUK SATU
KELOMPOK ASUHAN
MANDIRI

Gambar 1.1
Gambaran jumlah kelompok asuhan mandiri Kecamatan Cakung
Jakarta Timur Tahun 2020
Kecamatan Cakung merupakan daerah padat penduduk yang
terletak di kota administrasi DKI Jakarta Timur terdiri atas 7 kelurahan, 87
Rukun Warga (RW) dan 1002 Rukun Tetangga (RT). Fasilitas kesehatan
Puskesmas, klinik dan Rumah Sakit sangat dekat dari tempat tinggal

Universitas Indonesia
penduduk dan jumlahnya sangat memadai. Penduduk yang tinggal di
Kecamatan Cakung sangat pluralistik. Kecamatan Cakung terdiri atas 7
kelurahan yaitu kelurahan Penggilingan, Pulo Gebang, Jatinegara, Ujung
Menterng, Cakung Barat, Cakung Timur dan Rawa Terate.

Menurut Jane dkk (2013), dalam program kader terdapat 4 dimensi


yaitu intervensi, peran, layanan dan komunitas [17]. Dalam program ini,
salah satu peran kader adalah membentuk kelompok asuhan mandiri
dengan memanfaatkan kelompok komunitas yang telah ada. Di wilayah
tempat tinggal kader asuhan mandiri terdapat potensi kelompok yang dapat
diajak bergabung untuk membentuk kelompok asuhan mandiri seperti
Dasa Wisma, kelompok wanita tani dan kader kesehatan seperti Jumantik.

Kecamatan Cakung termasuk pemukiman padat, namun ternyata di


beberapa RW terdapat lahan terbatas yang dikelola oleh kelompok wanita
tani. Kelompok wanita tani terdapat di RW 01 Kelurahan Penggilingan
dan baru kelompok ini yang dengan sukarela membentuk kelompok
asuhan mandiri pada tahun 2017. Kelompok wanita tani lain berada di
kelurahan Jatinegara dan Pulo Gebang. Biasanya di dalam kelompok
wanita tani terdapat tokoh masyarakat seperti isteri Ketua RW/RT yang
menjadi penggerak kaum wanita untuk menanam TOGA, sayur-sayuran,
buah-buahan serta memelihara budidaya ikan. Kelompok wanita tani
biasanya juga merupakan kader Dasa Wisma atau Jumantik.

Kelompok wanita tani RW 01 Penggilingan diberi fasilitas lahan


umum yang sangat terbatas, berada di depan rumah ketua kelompok dan
telah ditanam tanaman obat dan sayur-saturan. Kelompok ini pernah
mengikuti perlombaan Hatinya PKK Tingkat Kecamatan, namun tidak
menang. Pada tahun 2017, kelompok wanita tani ini mendapat pelatihan
pemanfaatan TOGA dan akupresur dari fasilitator Puskesmas Kecamatan
Cakung dan kemudian membentuk kelompok asuhan mandiri yang dibukti
dengan adanya Surat Keputusan Lurah Penggilingan tentang pembentukan
kelompok asuhan mandiri. Kelompok ini mendapat pembinaan dan
pelatihan pemanfaatan TOGA seperti pembuatan jamu cair dan instan serta
7

akupresur. Kelompok RW 01 Penggilingan sudah terampil dalam


membuat jamu, namun tidak setiap hari laku karena banyak kendala antara
lain antusias masyarakat membeli produk jamu kelompok ini masih
kurang. Biasanya jamu dijual saat ada pesanan dan pameran. Pemanfaatan
TOGA dan akupresur pada kelompok ini untuk diri sendiri, keluarga dan
masyarakat kurang optimal, terutama akupresur. Semua kelompok masih
belum mengenal akupresur dan masih takut untuk mempraktik kepada
keluarga dan lingkungan sekitarnya. Di luar kegiatan kelompok asuhan
mandiri, hanya ada tiga orang yang terampil membuat jamu dan bahkan
menjual bila ada pesanan salah satunya ketua kelompok. Kelompok ini
cukup kompak walau kadang-kadang ada kegiatan seperti jadwal tugas
anggota menyiram dan merawat tanaman tidak dilakukan secara rutin.

Di wilayah tempat tinggal kader di Kelurahan Pulo Gebang dan


Jatinegara juga terdapat kelompok wanita tani tepatnya di RW 08
kelurahan Pulo Gebang dan RW 07 Kelurahan Jatinegara. Di RW 08
kelurahan Pulo Gebang kelompok wanita tani sudah menanam lidah buaya
Kalimantan dan memproduksi minuman lidah buaya, namun sayangnya
saat ini lahan kelompok ini sudah tidak ada karena lahan sebelumnya milik
orang lain dan sudah diambil alih. Kelompok wanita tani lain yaitu di RW
07 kelurahan Jatinegara sudah menanam tanaman obat di pot-pot yang
mereka taruh di pinggir jalan yang sangat sempit dan bahkan mereka
membudidaya ikan lele yang dipelihara di dalam bak kecil ditaruh di
pinggir jalan. Kelompok wanita tani RW 07 Kelurahan Jatinegara belum
memproduksi jamu, namun kelompok ini dapat berpotensi untuk diajak
bergabung membentuk kelompok asuhan mandiri.

Di wilayah tempat tinggal kader lain belum ada kelompok wanita


tani dan belum membentuk kelompok asuhan mandiri. Di wilayah RW 11
kelurahan Penggilingan terdapat lahan milik orang lain yang diijinkan
untuk ditanami tanaman obat, sayur-sayuran dan buah-buahan, namun
kurang terawat dengan baik. Di wilayah tersebut, setiap RT diwajibkan
untuk memberi tanaman dan di taruh di lahan tersebut. Di RW 11

Universitas Indonesia
Penggilingan ini, kader yang dilatih belum membentuk kelompok dan
mereka berharap adanya kegiatan rutin pelatihan pembuatan jamu dan
praktik akupresur. Kader asuhan mandiri masih belum paham dengan
akupresur dan masih takut mempraktik untuk keluarga dan masyarakat
sekitarnya.

Di Kelurahan Cakung Barat dan Ujung Menteng juga belum


terbentuk kelompok asuhan mandiri. Salah satu kendala kader pekarangan
rumah yang terbatas dan lahan untuk kelompok tidak ada. Sebagian besar
kader belum paham pemanfaatan TOGA dan akupresur karena pelatihan
hanya satu kali dan pembinaan baru dilakukan pada kelompok yang
terbentuk. TP-PKK Kelurahan sebagai pembinaa langsung kader RT/RW
belum pernah membina terkait program kesehatan tradisional, sehingga
Puskesmas perlu melakukan koordinasi secara berkala. Berikut tabel
potensi pembentukan kelompok asuhan mandiri di Kecamatan Cakung.

Tabel 1.1

Potensi di wilayah tempat tinggal kader Kecamatan Cakung yang belum


membentuk kelompok asuhan mandiri

No Kelurahan Potensi Keterangan


Kelompok Lahan umum
masyarakat untuk TOGA
1 RW 11 Dasa ada di lahan tersebut
Penggilingan wisma sudah dibuat TOGA,
tapi kurang terawat.
2 Pulo Gebang wanita tani sebelumnya kelompok ini telah
ada, saat ini menanam tanaman
tidak ada obat tradisional
seperti lidah buaya
dan membuat
minuman lidah buaya
3 Jatinegara wanita tani tidak ada kelompok ini
menanam tanaman
obat tradisional di pot
dan membuat taman
dengan
memanfaatkan jalan
9

depan rumah yang


minimalis
4 Cakung Barat Dasa tidak ada belum ada TOGA
wisma
5 Ujung Dasa tidak ada belum ada TOGA
Menteng wisma

Selain potensi kelompok yang sudah terbentuk di masyarakat,


potensi kelompok juga ada di Posyandu seperti ibu menyusui, ibu yang
memiliki bayi di bawah lima tahun (Balita) dan pasien usia lanjut. Di
kelurahan Cakung Barat belum terbentuk kelompok asuhan mandiri,
namun sudah ada kader yang mempromosikan pemanfaatan TOGA bagi
ibu menyusui di Posyandu.

Menurut Notoatmodjo, partisipasi masyarakat adalah ikutsertanya


seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan masyarakat
tersebut. Di dalam partisipasi, setiap anggota diwajibkan suatu kontribusi
yang diwujudkan 4 M, yakni manpower (tenaga), money (uang), material
(bahan seperti tanaman obat, pot, alat-alat membuat jamu dan lain-lain)
dan mind (ide atau gagasan).[18]
Kontribusi

Man power Program


Health
Money Status
Kesehatan
Material (Derajat
Mind/Ideas kesehatan)
Gambar 1.2
Kontribusi dan Partisipasi
Partisipasi masyarakat timbul karena keterbatasan fasilitas dan
tenaga kesehatan. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat dapat
menciptakan fasilitas dan tenaga kesehatan. Menurut Notoatmodjo,
program kesehatan yang diciptakan dari partisipasi masyarakat didasarkan
kepada 3 (tiga) idealisme yaitu adanya kebutuhan masyarakat, swadaya
masyarakat dan dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.

Universitas Indonesia
Partisipasi kader dalam memberdayakan kesehatan komunitas
menjadi program yang terus diupayakan karena adanya hasil kajian
ternyata 70% sumber daya pembangunan berasal dari partisipasi
masyarakat, perilaku masyarakat hanya dapat diselesaikan oleh masyarakat
sendiri, keterbatasan Pemerintah dalam sumber daya kesehatan, adanya
potensi dan kemampuan masyarakat meningkatkan kesehatan dan
mencegah penyakit [19]. Puskesmas Kecamatan Cakung memiliki satu
orang petugas pengelola program pelayanan kesehatan tradisional dan
memiliki beban tugas cukup tinggi, sehingga diharapkan kader asuhan
mandiri berpartisipasi menyumbangkan tenaga, pikiran, dana dan material
kepada komunitasnya melalui asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan
akupresur.

Manfaat TOGA dan akupresur sangat baik untuk kesehatan


termasuk aktivitas membuat TOGA dan adanya tanaman juga baik untuk
kesehatan fisik dan mental. Menurut Mathew Dennis (2020) bahwa
terdapat perbedaan signifikan dalam aktivitas fisik yang berlangsung di
kebun rumah tangga dibandingkan di taman kota. Praktik hortikultura di
kebun rumah tangga melibatkan tingkat aktivitas fisik yang lebih besar dan
interaksi dengan proses ekologi yang menunjukkan bahwa ruang seperti
itu mungkin sangat bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental. Manfaat
kebun dan berkebun untuk kesejahteraan dianggap sangat efektif dan dapat
dipercaya untuk pemulihan pasien dalam situasi perawatan kesehatan [20]

Upaya pemanfaatan TOGA dan akupresur dapat mendukung


program kesehatatan ibu dan anak, gizi dan usia lanjut serta kesehatan
lingkungan. Beberapa ramuan obat tradisional dapat digunakan untuk
mengatasi nafsu makan anak, gizi kurang dan anemia dan terapi akupresur
tertentu dapat menstimulasi anak yang sulit makan. Di Kecamatan Cakung
ternyata masih ada peserta didik yang beresiko anemia dan memiliki status
gizi kurang. Berikut hasil rekapitulasi hasil penjaringan kesehatan peserta
didik SD di wilayah Puskesmas Kecamatan Cakung Tahun 2019.

Tabel 1.3
11

Rekapitulasi hasil penjaringan kesehatan peserta didik SD


di wilayah Puskesmas Kecamatan Cakung Tahun 2019

Sumber: Profil Puskesmas Kecamatan Cakung

Partisipasi kader dalam upaya mengembangkan kesehatan tradisional


asuhan mandiri bergantung pada faktor motivasi dan demografi. Menurut
Djuhaeni (2010) salah satu komponen sistem kesehatan di Indonesia
adalah pemberdayaan masyarakat dan keberhasilannya bergantung pada
faktor motivasi kader [21]. Menurut Azwar (1994), dalam melaksanakan
rencana ternyata tidak mudah karena bukan saja satu sama lain saling
berhubungan, tetapi bersifat komplek dan majemuk. Salah satu yang mesti
dimiliki oleh seseorang adalah pengetahuan dan keterampilan motivasi.
Pekerjaan motivasi hanya akan berhasil dengan sempurna jika (1) tujuan
organisasi menjadi tujuan perorangan atau kelompok masyarakat; (2)
tujuan organisasi mampu dilaksanakan perorangan dan ataupun kelompok
masyarakat [22].

Motivasi merupakan proses yang menjelaskan mengenai kekuatan,


arah dan ketekunan seseorang dalam upaya untuk mencapai tujuan. Tujuan
yang dimaksud adalah tujuan seseorang menjadi kader asuhan mandiri
terkait partisipasinya mengembangkan kesehatan tradisional melalui
asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan akupresur. Kekuatan
menggambarkan seberapa kerasnya seorang kader dalam berpartisipasi.
Kekuatan kader menentukan mutu upaya pengembangan kesehatan
tradisional apabila disalurkan dalam suatu arahan yang memberikan

Universitas Indonesia
keuntungan bagi komunitasnya. Oleh karenanya kader harus
mempertimbangkan kualitas agar sejalan dengan kekuatannya. Upaya yang
diarahkan menuju dan konsisten pada tujuan program kesehatan tradisional
adalah upaya yang harus ditemukan. Ketekunan mengukur berapa lama
seorang dapat mempertahankan upayanya. Kader yang termotivasi akan
bertahan cukup lama dengan tugasnya untuk mencapai tujuan program
kesehatan tradisional [23].
Salah satu teori motivasi adalah teori hirarki kebutuhan dari
Abraham Maslow. Maslow membuat hipotesis bahwa di dalam setiap
manusia terdapat hirarki lima kebutuhan. Pertama fisiologis meliputi
kelaparan, kehausan, tempat perlindungan dan kebutuhan fisik lainnya.
Kedua rasa aman meliputi keamanan dan perlindungan dari bahaya fisik
dan emosional. Ketiga sosial meliputi kasih sayang, rasa memiliki,
penerimaan dan persahabatan. Keempat penghargaan yaitu faktor-faktor
internal misalnya rasa harga diri, kemandirian dan pencapaian, serta
faktor-faktor eksternal misalnya status, pengakuan dan perhatian. Kelima
aktualisasi diri seperti dorongan yang mampu membentuk seseorang untuk
menjadi apa; meliputi pertumbuhan, mencapai potensi dan pemenuhan
diri.

Gambar 1.4
Teori Hirarki Kebutuhan
Penelitian yang dilakukan oleh Svea Closser dkk (2020),
keterlibatan kader karena keinginan memiliki peranan penting dalam
masyarakat sebagai individu yang tidak mementingkan diri dan perhatian,
memperkuat ikatan dengan orang lain dan meningkatkan jaringan sosial
13

dan media sosial serta keinginan dukungan sosial, ekonomi dan psikologis
dari Pemerintah setempat karena terkait dengan ketidakamanan pangan, air
dan peristiwa kehidupan yang penuh tekanan [24]. Menurut Indrani Saran
dkk (2020), motivasi kader yang paling signifikan adalah keinginannya
meningkatkan pengetahuan anggota masyarakat dan mendapatkan
pengakuan atas kontribusinya dari masyarakat [25]. Penelitian yang
dilakukan oleh Ade Iva Murty (2014), partisipasi kader yang bertahan
lama karena karena keinginannya secara sukarela dan tidak ada paksaan
untuk berperan sebagai kader, memiliki jiwa sosial yang tinggi, ramah dan
bersahabat, keinginan untuk mendapatkan kesempatan belajar dan
keinginan untuk tetap beraktualisasi karena adanya perasaannya bahwa
dirinya merupakan bagian dari komunitasnya [26].
Partisipasi kader dipengaruhi faktor demografi kader asuhan
mandiri. Menurut Ronald M.Andersen (1995), faktor predisposisi yaitu
faktor demografi, stuktur sosial dan keyakinan mempengaruhi masyarakat
dalam menggunakan pelayanan kesehatan [27]. Menurut Syahmasa
(2003), faktor demografi dan motivasi mempengaruhi peran serta kader
meningkatkan pelayanan keperawatan di Posyandu [28]. Menurut
Penelitian yang dilakukan oleh Germaine (2020), kader merupakan
sukarelawan dipilih oleh komunitasnya dan tinggal bersama
komunitasnya, memiliki kualitas yang baik, lama kerja yang lama,
memiliki integritas yang baik dapat menjaga rahasia, memiliki rasa
tanggung jawab, memiliki jiwa sosial dan rasa kebersamaan [29].
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, kader asuhan mandiri belum
memanfaatkan kelompok masyarakat yang sudah ada seperti kelompok
wanita tani dan dasa wisma dalam upaya pembentukan kelompok asuhan
mandiri dan partisipasi kader dalam upaya mengembangkan kesehatan
tradisional melalui asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan akupresur
kepada keluarga dan masyarakat tempat tinggalnya belum optimal.
Berdasarkan permasalahan ini, maka peneliti tertarik ingin menganalisis
hubungan faktor demografi dan motivasi terhadap partisipasi kader asuhan
mandiri di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta Timur tahun 2020.

Universitas Indonesia
1.2 Rumusan Masalah
Dalam program ini indikator kinerja adalah Puskesmas yang membina
kelompok asuhan mandiri dan tidak ada cakupan jumlah kelompok asuhan
mandiri yang dibina dalam satu wilayah kerja Puskesmas. Puskesmas
Kecamatan Cakung merupakan Puskesmas yang telah dilatih dan cukup
baik terpapar program pelayanan kesehatan tradisional, sehingga menurut
asumsi peneliti Puskesmas tersebut dapat memiliki jumlah kelompok
asuhan mandiri di tiap kelurahan. Dalam pedoman pengembangan
kesehatan tradisional melalui asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan
keterampilan tahun 2016, terdapat batas kurun waktu pembentukan
kelompok asuhan mandiri yaitu dalam batas kurun waktu 3-6 bulan sejak
kader diberi orientasi. Program kader sukarelawan merupakan program
yang rentan dan tidak berkembang secara optimal, sehingga peneliti perlu
menggali partisipasi kader sebagai ujung tombak dalam program ini.

Pada tahun 2017 dan 2018, Puskesmas Kecamatan Cakung telah


melakukan orientasi asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan akupresur
kepada 77 orang kader dari 5 kelurahan yaitu Penggilingan, Pulo Gebang,
Jatinegara, Ujung Menteng dan Cakung Barat. Dalam kurun waktu 3-6
bulan setelah diberi orientasi, diharapkan kader melakukan identifikasi
kelompok masyarakat di tempat tinggalnya seperti kelompok wanita tani,
dasa wisma, arisan dan lain-lain. Identifikasi ini bertujuan untuk
pembentukan kelompok asuhan mandiri. Sejak diberi orientasi,
pembentukan kelompok baru satu yaitu di wilayah kelurahan Penggilingan
yang dibuktikan dengan adanya SK Lurah tentang Pembentukan
Kelompok Asuhan Mandiri. Sedangkan di wilayah lain belum ada
pembentukan kelompok asuhan mandiri, padahal di masing-masing
kelurahan terdapat kelompok masyarakat seperti dasa wisma dan beberapa
kelurahan memiliki kelompok wanita tani.

Partisipasi kader dalam mempromosikan pemanfaatan TOGA dan


akupresur kepada keluarga sendiri dan masyarakat sekitarnya belum
optimal. Oleh karenanya, peneliti tertarik menganalisa faktor demografi
15

dan motivasi terhadap partisipasi kader asuhan mandiri di Puskesmas


Kecamatan Cakung Tahun 2020.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Bagaimana hubungan faktor demografi dan motivasi terhadap partisipasi
kader asuhan mandiri di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta Timur
2020?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum


Menganalisis hubungan faktor demografi dan motivasi terhadap partisipasi
kader asuhan mandiri di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta Timur
2020?

1.4.2 Tujuan Khusus


1) Diketahuinya gambaran tentang partisipasi kader asuhan mandiri di
wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta Timur.

2) Diketahuinya gambaran tentang demografi kader asuhan mandiri di


wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta Timur.

3) Diketahuinya gambaran tentang motivasi kader asuhan mandiri di


wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta Timur.

4) Diketahuinya gambaran hubungan demografi dan motivasi terhadap


partisipasi kader asuhan mandiri untuk di Puskesmas Kecamatan
Cakung tahun 2020.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Kementerian Kesehatan


Penelitian ini sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi pengambilan
keputusan di Kementerian Kesehatan untuk membuat kebijakan

Universitas Indonesia
pengembangan kesehatan tradisional melalui asuhan mandiri pemanfaan
TOGA dan akupresur.

1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

Penelitian ini sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi pengambilan


keputusan di Dinas Kesehatan Provinsi untuk melakukan monitoring dan
evaluasi pengembangan kesehatan tradisional melalui asuhan mandiri
pemanfaan TOGA dan akupresur.

1.5.3 Suku Dinas Jakarta Timur


Penelitian ini sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi pengambilan
keputusan di Suku Dinas Jakarta Timur untuk melakukan monitoring dan
evaluasi pengembangan kesehatan tradisional melalui asuhan mandiri
pemanfaan TOGA dan akupresur di Puskesmas Kecamatan Cakung
Jakarta Timur.

1.5.4 Bagi Puskesmas


Penelitian ini sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi pimpinan
Puskesmas untuk melakukan monitoring dan evaluasi pengembangan
kesehatan tradisional melalui asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan
akupresur di Puskesmas Kecamatan Cakung tahun 2020.

1.5.5 Civitas Akademik

Hasil penelitian ini mencoba memberikan kontribusi berupa pemikiran dan


temuan yang teruji tentang pengembangan kesehatan tradisional melalui
asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan akupresur.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


Berdasarkan judul penelitian ini, maka ruang lingkup penelitian ini hanya
sebatas hubungan faktor demografi dan motivasi terhadap partisipasi kader
asuhan mandiri di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta Timur Tahun
2020. Upaya pengembangan kesehatan tradisional dapat diukur dari
partisipasi kader mengajak kelompok masyarakat di tempat tinggalnya
17

seperti dasa wisma, wanita tani, arisan dan lain-lain untuk membentuk
kelompok asuhan mandiri, paling lambat 3-6 bulan sejak kader tersebut
dilatih oleh fasilitator Puskesmas Kecamatan Cakung. Pembentukan
kelompok dibuktikan dengan adanya SK Lurah tentang Pembentukan
Kelompok Asuhan Mandiri. Partisipasi lain yang dilakukan kader antara
lain adanya kegiatan membagikan ilmu pengetahuan dan keterampilan
kepada keluarga dan komunitasnya, mampu menyediakan tanaman obat
tradisional dan peralatan akupresur jika diperlukan serta peralatan
mengolah TOGA yang dibutuhkan. Partisipasi yang dilakukan kader
dipengaruhi oleh faktor demografi dan motivasi.

Penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan dengan


mengisi kuesioner. Responden penelitian adalah kader asuhan mandiri
yang aktif dan bersedia dilakukan penelitian. Desain penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif non eksperimen dengan desain cross
sectional di mana semua variabel independen maupun dependen
dikumpulkan pada satu waktu yang bersamaan. Variabel independen pada
penelitian ini adalah faktor demografi dan motivasi kader, sedangkan
variabel dependen adalah partisipasi kader asuhan mandiri. Tahap pertama
diawali pengukuran faktor demografi dan motivasi selanjutnya dianalisa
hubungannya dengan partisipasi kader. Pengukuran variabel penelitian
dilakukan pada seluruh kader asuhan mandiri yang telah diberi orientasi di
Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta Timur melalui pengisian kuisioner
pada bulan Juli 2020.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN LITERATUR

2.1 Partisipasi
Partisipasi masyarakat adalah proses yang dilakukan individu dan keluarga
memikul tanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan mereka sendiri
dan bagi masyarakat, dan berkontribusi mengembangkan kapasitas untuk
pengembangan dirinya dan komunitas. Partisipasi dipandang sebagai
strategi utama dalam promosi kesehatan masyarakat dan berhubungan
dengan peningkatan dalam pemberian layanan, pemantauan dan
manajemen. Keterlibatan masyarakat, khususnya dengan kelompok yang
marginal adalah kunci kebijakan publik untuk mengurangi kesenjangan
kesehatan. Menurut Brown dan Zavestoki (2005), saat ini terjadi
pergeseran paradigma di mana masyarakat dipandang sebagai pusat.
Partisipasi masyarakat diakui sejak Deklarasi Alma-Ata tahun 1978 yang
isi deklarasinya rakyat memiliki hak dan tugas untuk berpartisipasi secara
inividu dan kolektif dalam perencanaan dan implementasi perawatan
kesehatan diri mereka dan perawatan kesehatan primer bergantung pada
tingkat lokal dan rujukan, tenaga kesehatan termasuk dokter, perawat,
bidan dan pekerja masyarakat sebagaimana berlaku serta penyehat
tradisional sesuai kebutuhan, dilatih secara sosial dan teknis agar bekerja
sebagai tim kesehatan dan dalam rangka menanggapi kebutuhan kesehatan
masyarakat [30].
Piagam Ottawa (WHO 1986) juga menyatakan partisipasi dan penguatan
prinsip komunitas masyarakat dan tingkat sentral dari tindakan untuk
promosi kesehatan. Konferensi Jakarta tentang Promosi Kesehatan abad
ke-21 (WHO 1997) juga menyoroti perlunya meningkatkan kapasitas
komunitas dan memberdayakan individu sebagai prioritas. Pemberdayaan
dan pelibatan masyarakat menimbulkan tantangan nyata bagi para praktisi.
Meskipun perawatan berfokus pada klien, namun budaya layanan
profesional enggan membiarkan komunitas atau pengguna memimpin.
Untuk meningkatkan keterlibatan berarti menjangkau secara sadar dan
18
Universitas Indonesia
19

bersikap proaktif dalam memungkinkan masyarakat untuk bermain peran


nyata dalam perencanaan layanan dan program. Menemukan kebutuhan
kesehatan komunitas dan prioritas dan kemudian mendukung dan
memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan kesehatan.

Partisipasi itu harus bermanfaat. Jika diaktifkan, semua yang terlibat juga
akan menghargainya, dan hanya bisa mendapatkan dari itu. Menurut
Notoatmodjo, partisipasi masyarakat adalah ikutsertanya seluruh anggota
masyarakat dalam memecahkan permasalahan masyarakat tersebut.
Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh
anggota masyarakat dan memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri.
Di dalam hal ini, masyarakat sendirilah yang akan memikirkan,
merencanakan dan mengevaluasi program-program kesehatan mereka.
Fasilitator Puskesmas hanya sekedar memotivasi dan membimbing.

Di dalam partisipasi, setiap anggota diwajibkan suatu kontribusi yang


diwujudkan 4 M, yakni manpower (tenaga), money (uang), material
(bahan seperti tanaman obat, pot, alat-alat membuat jamu dan lain-lain)
dan mind (ide atau gagasan) [17]

Kontribusi

Health
Man power Program Status
Money (Derajat
Material Kesehatan kesehatan)
Mind/Ideas
Gambar 2.2
Kontribusi dan Partisipasi

Dasar-dasar filosofi partisipasi masyarakat adalah:

1) kebutuhan masyarakat

2) adanya partisipasi masyarakat dalam bentuk organisasi pelayanan atau


program kesehatan masyarakat

3) dilaksanakan oleh masyarakat sendiri

Universitas Indonesia
Metode partisipasi masyarakat

1) partisipasi dengan paksaan

2) partisipasi dengan persuasi dan edukasi

Nilai-nilai partisipasi masyarakat:

1) partisipasi masyarakat merupakan cara yang paling efisien

2) bila partisipasi berhasil, bukan hanya salah satu bidang saja yang dapat
dipecahkan tetapi dapat menghimpun dana dan daya untuk
memecahkan masalah di bidang lain

3) partisipasi masyarakat membuat semua orang belajar bertanggungjawab

4) partisipasi masyarakat di dalam pelayanan kesehatan adalah sesuatu


yang alamiah bukan paksaan

5) partisipasi masyarakat akan menjamin suatu perkembangan yang


langgeng

6) partisipasi merangsang masyarakat untuk berorganisasi

7) partisipasi masyarakat sejalan dengan deklarasi Alma Atta 1978 bahwa


masyarakat mempunyai hak dan tanggungjawab berpartisipasi secara
individu dan Bersama dalam perencanaan dan pelaksanaan pelayanan
kesehatan

Elemen-elemen partisipasi masyarakat adalah sebagai berikut:

a) motivasi

persyaratan utama untuk masyarakat berpartisipasi adalah motivasi.


Tanpa motivasi masyarakat sulit untuk berpartisipasi di segala program

b) komunikasi

suatu komunikasi yang baik adalah yang dapat menyampaikan pesan,


ide dan informan kepada masyarakat
21

c) koperasi

kerja sama dengan intansi-instansi di luar kesehatan masyarakat

d) mobilisasi

partisipasi masyarakat dapat dimulai seawal mungkin sampai ke akhir


mungkin dan identifikasi masalah, menentukan prioritas, perencanaan
program, pelakasanaan sampai dengan monitoring dan program.

Menurut Attree dan French tahun 2007 dalam Naido (2010). Partisipasi
dapat dilakukan melalui cara [31]:

a) memanfaatkan pengetahuan pengalaman masyarakat setempat

untuk merancang atau meningkatkan layanan, sehingga tepat, efektif,


hemat biaya dan layanan berkelanjutan

b) memberdayakan masyarakat agar berpartisipasi dalam program


kesehatan

c) bekerja sama dengan lembaga pemerintah.

d) meningkatkan akuntabilitas dan pembaruan demokratis

e) berkontribusi untuk mengembangkan dan mempertahankan jaringan


dukungan sosial

f) mendorong perilaku peningkatan kesehatan dan tingkah laku.

Menurut Pretty dalam Ferdinand (2015), partisipasi terbagi atas 7 tingkatan


berbeda, mulai dari partisipasi pasif hingga mobilisasi [32].

1) Partisipasi pasif.

Masyarakat berpartisipasi melalui pesan yang disampaikan tentang apa


yang akan terjadi dan apa yang telah terjadi. Penyampaian pesan ini
adalah sepihak oleh administrator atau pemimpin proyek tanpa
mendengar tanggapan masyarakat. Informasi yang dibagikan hanya
menjadi milik professional luar (bukan masyarakat).

Universitas Indonesia
2) Partisipasi informatif.

Masyarakat berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan yang diajukan


oleh peneliti dengan menggunakan pertanyaan survey atau pendekatan
serupa. Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam
proses, seperti temuan riset yang tidak bisa dibagi atau dicek
kebenarannya.

3) Partisipasi melalui konsultasi.

Masyarakat berpartisipasi dengan dikonsultasikan dan orang luar


mendengar pendapat mereka. Profesional luar ini mendefinisikan
problem dan solusinya, dan memodifikasi sesuai dengan respon
masyarakat. Proses konsultasi ini tidak melibatkan dalam pembuatan
keputusan, dan profesional luar tidak berkewajiban menampung aspirasi
masyarakat.

4) Partisipasi karena insentif material.

Masyarakat berpartisipasi dengan memberi sumberdaya seperti tenaga


sebagai imbalan makanan, uang atau bentuk insentif lain. Pendekatan
ini banyak digunakan dalam pengelolaan lahan pertanian termasuk
dalam kategori ini, petani menyediakan lahan tetapi tidak terlibat dalam
proses eksperimen dan pembelajaran. Peran serta seperti ini biasa
terlihat tapi penduduk tidak punya kepentingan lagi untuk
memperpanjang aktifitas ini begitu insentifnya habis.

5) Partisipasi fungsional.

Masyarakat berpartispasi dengan membentuk kelompok untuk


memenuhi tujuan yang berkaitan dengan proyek, atau menginisiasi
organisasi sosial dari luar. Keterlibatan seperti ini cenderung tidak
terjadi pada tahap awal siklus proyek atau perencanaan tapi setelah
keputusan besar dibuat. Keterlibatan seperti ini cenderung tergantung
pada fasilitator dan orang luar, walaupun mungkin nantinya bisa
berubah menjadi mandiri.
23

6) Partisipasi interaktif.

Masyarakat berpartisipasi melalui pengamatan bersama, yang ditujukan


pada penyusunan rencana kerja dan pembentukan organisasi lokal yang
baru atau memperkuat lembaga yang ada. Ini cenderung melibatkan
metodologi antar disiplin ilmu yang berasal dari berbagai perspektif dan
mempergunakan proses pembejaran sistematis dan terstruktur.
Kelompok ini mengambil kendali atas keputusan, sehingga masyarakat
dapat mempertahankan struktur-struktur atau praktek-prakteknya.

7) Mobilisasi diri.

Masyarakat berpartisipasi dengan berinisiatif tanpa ketergantungan


pada lembaga luar untuk mengubah sistem. Mereka mengembangkan
kontak dengan institusi luar untuk sumberdaya dan saran-saran yang
mereka perlukan tapi tetap mempertahankan kontrol atas penggunaan
sumber daya tersebut. Mobilisasi dan cara kerja kolektif seperti ini
dapat atau tidak menyelesaikan ketimpangan distribusi baik terhadap
kekayaan dan kekuasaan yang ada

2.1.2. Hubungan Partisipasi dengan Motivasi

Partisipasi kader dalam upaya pengembangan kesehatan tradisional asuhan


mandiri dipengaruhi oleh motivasi kader. Motivasi sebagai proses yang
menjelaskan kekuatan, arah dan ketekunan seseoarang dalam upaya untuk
mencapai tujuan. Oleh karenanya motivasi secara umum adalah berkaitan
dengan upaya menuju setiap tujuan. Untuk mencapai tujuan yang
diharapkan dibutuhkan motivasi yang kuat, sejalan dengan tujuan dan
ketekunan. Ketekunan mengukur berapa lama seseorang dapat bertahan
cukup lama dengan tugasnya untuk mencapai tujuan.

Universitas Indonesia
2.2 Motivasi
2.2.1. Konsep Motivasi

Di berbagai aktivitas sosial, motivasi merupakan hal yang paling sering


dibicarakan, demikian juga halnya dalam pembahasan perilaku organisasi.
Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa teori-teori
motivasi yang telah ada belum mampu menyelesaikan berbagai persoalan,
dalam arti masih harus terus digali dan dikembangkan. Berikut akan
dikemukakan beberapa hal yang berkaitan dengan motivasi, terutama
kaitannya dengan perilaku organisasi.

2.2.2. Definisi Motivasi

Motivasi merupakan proses yang menjelaskan mengenai intensitas, arah


dan kegigihan seseorang mencapai tujuan. Sebenarnya, motivasi berkaitan
erat dengan sasaran apapun, karena motivasi di sini bersifat umum. Dalam
mendefinisikan motivasi yang berkaitan dengan usaha mencapai tujuan
pekerjaan terdapat tiga hal pokok, yaitu intensitas, arah dan berlangsung
lama. Intensitas, terkait dengan kadar usaha seseorang. Hal inilah yang
menjadi unsur utama yang sering mendapat perhatian apabila motivasi
diperbincangkan. Semakin tinggi kadar usaha seseorang, semakin tinggi
pula motivasi yang ia miliki. Hal ini mengandung arti bahwa usaha keras
merupakan indikator utama bagi motivasi yang dimiliki seseorang, karena
yang tidak memiliki motivasi aktivitasnya akan lamban, bahkan mungkin
tidak ada sama sekali. Tetapi, kerja keras saja tidak cukup apabila tidak
disalurkan ke arah yang benar dan menguntungkan organisasi. Arah,
adalah sasaran yang dituju oleh seseorang dalam mencapai cita-citanya.
Arah yang benar adalah arah yang menguntungkan organisasi dan individu
yang bersangkutan. Di samping itu, arah yang dituju harus konsisten dan
relevan dengan sasaran organisasi. Berlangsung lama, yaitu ukuran tentang
seberapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya. Individu yang
termotivasi akan tetap bertahan dengan pekerjaannya dalam waktu yang
cukup lama untuk mencapai sasaran mereka. Menurut Mangkunegara
(2005) “motivasi adalah kondisi (energi) yang menggerakkan dalam diri
25

individu yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi”. Motivasi


tersebut terdiri atas dua dorongan, yakni dari dalam (internal motivation),
dan dari luar (external motivation). Dilihat dari tingkatannya, terdapat
motivasi rendah, sedang, dan tinggi. Beberapa para ahli sepakat bahwa
antara motivasi dan prestasi kerja memiliki hubungan yang signifikant.
Oleh karena itu, para manajer harus berusaha agar para pekerja memiliki
motivasi yang tinggi yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi
kerja.

Menurut David McClelland (1961), terdapat enam karakteristik individu


yang memiliki motivasi berprestasi, yaitu:

a) Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi

b) Berani mengambil dan memikul resiko

c) Memiliki tujuan yang realistis

d) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk


merealisasikan tujuan

e) Memanfaatkan umpan balik yang konkret dalam semua kegiatan yang


diperlukan

f) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah


diprogramkan.

Di samping itu, untuk mencapai tujuan organisasi dengan baik bukan


hanya memerlukan motivasi dari para pekerja, melainkan diperlukan juga
motivasi dari unsur pimpinan, yaitu:

a) Memiliki tanggungjawab pribadi yang tinggi.

b) Memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang


realistik serta berjuang untuk merealisasikannya.

c) Memiliki kemampuan untuk mengambil risiko yang dihadapinya.

Universitas Indonesia
d) Melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan
hasil yang memuaskan.

e) Memiliki keinginan menjadi orang terkenal yang menguasai bidang


tertentu.

Eratnya hubungan antara motivasi dengan prestasi kerja telah


dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli seperti
David McClelland, Edward Murray, dan Miller, Gordon, yang
menyimpulkan bahwa ”terdapat hubungan yang positif antara motivasi
berprestasi dengan pencapaian prestasi”. Dengan demikian, baik bagi
pimpinan maupun karyawan diperlukan motivasi yang tinggi guna
mencapai prestasi yang dikehendaki.

2.2.3. Teori tentang motivasi

1) Menurut Notoatmodjo (2012), pembagian motif ada 3 yaitu


berdasarkan kebutuhan manusia, bentuk motif dan penyebabnya

a) Kebutuhan manusia.

• biologis seperti minum, makan, bernafas, bekerja dan


beristirahat.

• darurat seperti dorongan menyelamatkan diri, berusaha dan


membalas

• objektif seperti kebutuhan untuk melakukan eksplorasi,


manipulasi.

b) Bentuk motif

• Bawaan sejak lahir seperti dorongan untuk minum, makan,


bernafas, bekerja dan beristirahat.

• Dapat dipelajari seperti dorongan untuk belajar sesuatu,


dorongan untuk mengejar kedudukan dan sebagainya
27

c) Penyebab

• Ekstrinsik yaitu motif yang berfungsi karena adanya


rangsangan dari luar seperti adanya penyuluhan gizi kader
posyandu

• Intrinsik yaitu motif yang berfungsi tanpa rangsangan dari


luar tetapi sudah dengan sendirinya terbentuk.

2) Teori Hirarki Kebutuhan (Abraham Maslow)

Dalam aktivitas sosial, mencari pekerjaan sudah merupakan istilah


yang lazim didengar dan semua orang memahaminya. Pada
hakekatnya yang dicari bukan pekerjaan, melainkan imbalan dari
pekerjaan itu, yakni penghasilan (uang) yang akan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, Abraham Maslow
memberikan sorotan tajam terhadap kebutuhan manusia, yang dapat
dijadikan titik tolak berbagai pemikiran yang berkaitan dengan
masalah-masalah sosial termasuk ketenagakerjaan. Menurut
Abraham Maslow, kebutuhan manusia tersebut tidak sama dan
bervariasi. Dari keseluruhan aspek yang menjadi dasar kebutuhan
manusia, disusun secara hirarki piramidal sebagai berikut.

1) Kebutuhan dasar (basic need), meliputi sandang, pangan, dan


papan. Kebutuhan ini diperlukan oleh semua lapisan
masyarakat, mulai dari kalangan bawah sampai kepada kalangan
atas yang erat kaitannya dengan usaha mempertahankan
eksistensi manusia.

2) Keamanan (safety need), meliputi keamanan jasmani dan rohani,


termasuk keamanan sosial, agar setiap keluarga dihormati
kedaulatannya.

3) Sosial (social need), apabila kebutuhan dasar dan kebutuhan


keamanan terpenuhi, setiap orang membutuhkan kebebasan
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Siapa pun bebas

Universitas Indonesia
berkelompok, berserikat atau bergabung kepada organisasi
tertentu di lingkungannya.

4) Penghargaan (esteem need), tingkatan berikutnya adalah


kebutuhan akan penghargaan. Bagi seseorang yang telah
terpenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan keamanan, dan kebutuhan
sosialnya masih memerlukan kebutuhan tingkat selanjutnya,
yaitu ingin diakui, dihargai, dan dihormati. Bagi seseorang yang
memerlukan kebutuhan ini, apa yang ia dikerjakan tidak lagi
bergantung kepada imbal jasa atau kompensasi kebendaan.
Bahkan apabila diperlukan ia bersedia menyumbangkan
sebagian hartanya guna memperoleh penghargaan dari
masyarakat sekelilingnya, atau ia bersedia aktif di suatu
organisasi sosial tanpa mengharapkan upah. Baginya, diakui dan
dipercaya oleh kelompoknya sudah merupakan kepuasan
tersendiri.

5) Aktualisasi diri (self actualization), yaitu kebutuhan manusia


yang paling atas. Pada tahapan ini, seseorang tidak lagi
membutuhkan uang, keamanan, sosial, dan penghargaan, karena
memang sudah diraihnya. Pada tahapan ini, yang ia butuhkan
adalah aktualisasi diri, ingin diakui keberadaannya, dan ingin
diakui bahwa ia masih berguna bagi masyarakat luas. Diminta
advis, saran, atau pendapat, diangkat sebagai penasihat, atau
sekedar diundang untuk bincang-bincang berbagi pengalaman
dengan generasi berikutnya, merupakan salah satu kebutuhan
yang sangat penting dan berharga baginya.

Teori ini banyak dijadikan rujukan oleh pakar pada disiplin ilmu
yang lain, terutama ilmu-ilmu sosial. Namun demikian bukan
berarti tanpa kelemahan, karena ada juga para ahli yang tidak
sependapat dengan teori hirarki kebutuhan ini, dan
mengemukakan teorinya sebagai kritik atas teori Maslow
tersebut.
29

Meskipun tidak perlu dipuaskan sepenuhnya, kebutuhan yang


terpenuhi secara substansial tidak lagi memotivasi. Jadi karena
masing-masing menjadi puas secara substansial, yang
berikutnya menjadi dominan. Jadi jika ingin memotivasi
seseorang, menurut Maslow perlu memahami tingkat hierarki
yang menjadi fokus dan fokus orang saat ini memenuhi
kebutuhan di atau di atas level itu, bergerak naik langkah dalam
Maslow memisahkan lima kebutuhan menjadi pesanan yang
lebih tinggi dan lebih rendah. Fisiologis dan kebutuhan
keselamatan, di mana teori mengatakan orang mulai, adalah
kebutuhan tingkat rendah

Gambar 2.3
Teori Hirarki Kebutuhan

3) Teori X dan Teori Y (Robbins, 2015).

Menurut Douglas Mc Gregor ada dua sudut pandang berbeda


mengenal manusia; satu sisi secara mendasar negatif, diberi label teori
X dan yang satunya lagi secara mendasar positif diberi label teori Y.
Setelah mempelajari para manager yang berurusan dengan para
pekerjanya, McGregor menyimpulkan bahwa sudut pandang sifat
manusia para manager tersebut didasarkan pada asumsi tertentu yang
membentuk perilaku para manajer terhadap pekerjanya. Di bawah
teori X, para manajer meyakini bahwa para pekerja pada dasarnya

Universitas Indonesia
tidak menyukai bekerja, sehingga harus diarahkan atau bahkan
dipaksa untuk melakukan pekerjaannya. Sebaliknya di bawah teori Y,
para manajer beranggapan bahwa para pekerja memandang
pekerjaannya sebagai suatu hal yang alamiah seperti beristirahat, atau
bermain dan maka dari itu rata-rata orang yang dapat belajar untuk
menerima dan bahkan mencari tanggung jawab. Teori Y menyatakan
bahwa urutan kebutuhan yang lebih tinggi akan mendominasi para
individu. McGregor sendiri meyakini bahwa asumsi teori Y lebih
valid daripada Teori X. Maka dari itu dia mengusulkan gagasan
tersebut sebagai pengambil keputusan yang partisipasif,
bertanggungjawab dan pekerjaan yang lebih menantang, serta
keterkaitan kelompok yang baik dengan memaksimalkan motivasi
seorang pekerja.

3) Teori kebutuhan McCelland (David McClelland)

Menurut McClelland, kebutuhan manusia mencakup tiga hal, yaitu


kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan kekuasaan, dan kebutuhan
akan pertemanan.

a) Kebutuhan akan prestasi, disebut juga nAch (achievement need).


Kebutuhan akan prestasi ini merupakan dorongan untuk
mengungguli, berprestasi berdasarkan seperangkat standar dan
berusaha keras supaya sukses.

b) Kebutuhan akan kekuasaan, disebut juga nPow (need for power).


Kebutuhan untuk membuat orang-orang lain berprilaku dalam
suatu cara yang orang-orang itu (tanpa dipaksa) tidak akan
berprilaku demikian.

c) Kebutuhan akan kelompok pertemanan, disebut juga nAff (need for


affiliation), yaitu hasrat akan hubungan antarpribadi yang ramah
dan akrab. Menurut teori di atas, seseorang yang sukses meraih
prestasi akan mendorong keinginan untuk mengelola pekerjaan
yang lebih besar. Terpenuhinya kebutuhan akan kekuasaan erat
31

kaitannya dengan manajerial sehingga memotivasi seseorang untuk


meraih jabatan yang lebih tinggi. Sedangkan kesuksesan seseorang
dalam berprestasi dan manajerial akan memotivasi dirinya untuk
sukses dalam pergaulan. Berdasarkan teori kebutuhan ini, para
manajer dapat menganalisis, merencanakan, dan memprediksi
prestasi kerja karyawan guna meningkatkan motivasi karyawan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kader menurut


Deborah (2014) adalah mengisi waktu luang, menyalurkan hobi
berorganisasi dan keinginan membantu orang lain [32].

4) Teori Dua Faktor.

Teori ini disebut juga teori motivasi-higiene yang dikemukakan oleh


Frederick Herzberg. Menurut teori ini:” Hubungan individu dengan
pekerjaan merupakan hubungan dasar dan sikap seseorang terhadap
kerja dapat menentukan kesuksesan atau kegagalan individu itu”.
Penemu teori ini mengamati suatu pertanyaan singkat, yakni ”Apa yang
diinginkan oleh orang-orang dari pekerjaan mereka? Kemudian ia
meminta orang-orang untuk menguraikan secara rinci tentang situasi-
situasi di mana mereka merasa luar biasa baik atau buruk menyangkut
pekerjaan mereka, selanjutnya respon-respon tersebut ditabulasikan dan
dikategorikan. Setelah jawaban dianalisis, diketahui bahwa mengenai
situasi yang membuat mereka tidak puas kebanyakan dikaitkan dengan
faktor-faktor ekstrinsik, seperti pengawasan, gaji, kebijakan perusahaan,
atau kondisi kerja. Sedangkan situasi yang membuat mereka puas
kebanyakan dikaitkan dengan faktor intrinsik, seperti kemajuan,
pengakuan, prestasi, dan tanggungjawab. Namun perlu diketahui bahwa
lawan dari kepuasan bukan ketidakpuasan seperti yang diyakini banyak
orang. Karena andaikata hal-hal yang membuat mereka tidak puas
disingkirkan atau dihilangkan tidak serta merta mereka menjadi puas.
Hal ini berbeda dengan peristiwa lain, misalnya lalu lintas jalan raya
terhenti karena jalan terhalang pohon tumbang, begitu pohon tumbang
disingkirkan sertamerta lalu lintas normal kembali. Dalam hal

Universitas Indonesia
ketidakpuasan kerja tidak demikian adanya, karena menurut Herzberg
terdapat kontinuum ganda, yakni : Lawan kepuasan adalah tidak ada
kepuasan, dan lawan ketidakpuasan adalah tidak ada ketidakpuasan.
Implikasinya, manajer harus berusaha menghilangkan faktor-faktor
yang menimbulkan ketidakpuasan, agar tercipta ketentraman kerja,
tetapi belum tentu merupakan motivasi. Dengan kata lain, hasil
sementara yang akan dicapai adalah menentramkan pegawai dan belum
tentu mereka termotivasi. Untuk meningkatkan motivasi, harus
dilakukan peningkatan sesuatu yang berhubungan langsung dengan
pekerjaan, misalnya peluang promosi, peluang pertumbuhan personal,
pengakuan, tanggungjawab, dan prestasi.

Teori dua faktor yang dikemukakan di atas sama dengan teori lainnya,
yakni memiliki kelebihan dan kelemahan. Kritik yang ditujukan kepada
teori ini antara lain :

a) Terbatas oleh metodologi, sehingga apabila prosedur berjalan baik,


orang akan menganggap bahwa hal itu berkat mereka, apabila
sebaliknya (gagal), akan menyalahkan pihak lain.

b) Penafsiran terhadap data bersifat subyektif, atau respon lain yang


serupa akan ditafsirkan dengan cara yang berbeda.

c) Pengukuran kepuasan tidak menyangkut pekerjaan secara total,


dalam arti pekerjaan itu tetap dilakukan walaupun ada bagian yang
tidak ia sukai. Namun demikian, terlepas dari kritik tersebut banyak
juga para manajer yang merencanakan dan mengendalikan para
pekerja yang dihubungkan dengan teori ini. Hanya sebagian kecil
saja yang kurang menyukainya.

5) Teori Penetapan Sasaran (Gene Broadwater).

Menurut teori ini “sasaran khusus dan sulit akan menghasilkan


kinerja lebih tinggi”. Sasaran khusus ini dapat diungkapkan dalam
berbagai bentuk, sesuai dengan tujuan dari pekerjaan masing-
masing. Misalnya, seorang pelari harus selalu diingatkan agar ia
33

harus mencapai target waktu sekian menit. Seorang pelajar selalu


diingatkan agar ia harus meraih nilai lebih dari 85. Atau seorang
pelintas alam harus mampu meraih puncak gunung tertentu.
Demikian juga halnya dalam dunia kerja, sasaran khusus harus
ditetapkan oleh manajer. Kaitannya dengan teori dasar motivasi,
seseorang yang telah memiliki komitment terhadap pencapaian
sasaran, didorong oleh tiga faktor, yaitu:

a) Komitment terhadap sasaran (memiliki niat yang kuat). Niat


untuk bekerja menuju sasaran merupakan sumber utama dari
motivasi kerja. Artinya, sasaran akan memberitahukan kepada
pegawai apa yang perlu dikerjakan dan berapa banyak upaya
yang harus dilakukan. Sasaran khusus akan lebih baik dalam
meningkatkan kinerja, bahwa sasaran yang sulit bila diterima
baik akan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada
sasaran yang lebih mudah. Dalam hal ini, bagi karyawan tertentu
sasaran yang sulit menjadi sesuatu yang menantang dirinya
untuk bekerja lebih baik. Dalam menentukan sasaran, akan lebih
baik lagi apabila karyawan diikutsertakan dalam proses
perencanaan. Mereka akan berusaha keras, karena merasa bahwa
pekerjaan itu merupakan bagian yang menjadi
tanggungjawabnya. Dalam kasus tertentu, karyawan akan
memiliki kinerja yang jauh lebih tinggi, apabila ia ditugasi oleh
atasannya untuk mencapai sasaran tertentu.

b) Keefektifan diri (memiliki keyakinan bahwa ia mampu). Dalam


hal ini, sasaran yang ingin dituju oleh perusahaan ditentukan
sendiri oleh karyawan yang akan mengerjakannya. Karyawan
merasa dirinya mampu, dan ia akan bertanggungjawab
sepenuhnya dalam mencapai sasaran itu. Keefektifan diri
merujuk kepada keyakinan individu bahwa ia mampu
menyelesaikan tugas tertentu. Makin tinggi keefektifan diri,
akan semakin besar pula kepercayaan diri terhadap kemampuan

Universitas Indonesia
untuk mencapai keberhasilan dalam penyelesaian tugas. Jadi,
dalam situasi-situasi sulit, orang yang keefektifan dirinya rendah
cenderung mengurangi intensitas kerjanya sehingga pencapaian
tujuan pun menjadi rendah.

c) Budaya nasional (menyangkut hubungan atasan-bawahan yang


dipengaruhi budaya masing-masing). Di negara barat, bawahan
merasa bahwa ia akan berdiri sendiri dalam mencapai sasaran.
Hubungan atasan bawahan tidak terlalu mengikat, sehingga
antara bawahan dan atasan masing-masing akan mencari sasaran
yang menantang dan terjadi persaingan. Di Chili dan Portugal
terdapat hal yang berbeda, keberhasilan kerja bawahan sangat
bergantung kepada atasan. Dengan demikian, budaya nasional
masing-masing negara ikut berpengaruh terhadap motivasi
seorang karyawan. Di Indonesia, hubungan antara atasan
bawahan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berlaku,
bahkan nilai-nilai budaya etnis pun ikut berpengaruh. Implikasi
bagi manajer: Dengan teori ini manajer mengetahui variabel-
variabel yang mempengaruhi kinerja karyawan. Sedangkan
masalah mangkir, keluar-masuk karyawan, dan kepuasan kerja
tidak dapat diprediksi oleh teori ini.

6) Teori Penguatan

Teori penguatan merupakan lawan dari pendapat teori penetapan


sasaran. Beranggapan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh
lingkungan. Teori ini mengabaikan keadaan internal individu,
sehingga tidak termasuk teori motivasi melainkan memberikan
analisis tentang apa yang mengendalikan prilaku untuk
memprediksi kualitas atau kuantitas kerja. Intinya, yang
mempengaruhi prilaku adalah penguatan. Penguatan memiliki
pengaruh yang kuat terhadap prilaku, tetapi sedikit sekali kaum
terpelajar yang menerima argumen seperti ini. Penguatan yang
diterima pegawai adalah pengaruh lingkungan, baik lingkungan
35

fisik maupun teman sekerja. Ungkapan yang diucapkan teman


sekerja akan sangat berpengaruh kepada prilaku seseorang.
Misalnya ada yang berkata ”Sudah, tidak perlu didengar, kita maju
saja”. Implikasi bagi manajer: Teori ini dapat digunakan untuk
menganalisa dan memprediksi tentang kualitas kerja, kuantitas
kerja, ketekunan kerja, kadar keselamatan kerja, keterlambatan, dan
kemangkiran karyawan.

2.2.4. Kategori Motif

Para ahli psikologi telah melakukan penelitian tentang kategori motif yang
mendorong manusia untuk melakukan kegiatan dan mempengaruhi
tingkah lakunya. Hasil dari penelitian tersebut ditemukan beberapa jenis
motif, antara lain sebagai berikut:

1) Motif Dasar

disebut juga dorongan-dorongan biologis (biological drives). Dorongan


ini sesuai dengan namanya, motif ini merupakan motif yang berasal dari
kebutuhan biologis atau dorongan yang bersifat jasmaniah. meliputi :

a. Motif dasar untuk makan, minum, bernapas. Kebutuhan makan dan


minum tidak berlaku secara terus-menerus, sehingga banyak
dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Misalnya, cara makan
dipengaruhi oleh etiket, norma agama, norma hukum, dan norma
lainnya. Sedangkan kebutuhan untuk bernapas berlaku secara terus-
menerus tetapi sering tidak disadari, karena dianggap mudah dan
tersedia.

b. Motif dasar untuk memperoleh perlindungan diri atau rasa aman


(security drive), dipandang sebagai hak yang paling azasi. Motif ini
merupakan dorongan keinginan yang didasarkan atas kebutuhan
seseorang untuk melindungi dirinya dari segala bentuk ancaman
terhadap integritas dan eksistensi kehidupannya.

Universitas Indonesia
c. Motif dasar untuk istirahat dan bergerak (rest and activity drives),
karena individu tidak dapat terus menerus melakukan aktivitas.
Kegiatan yang terus menerus tanpa henti akan mengakibatkan
kelelahan yang membutuhkan istirahat. Apabila kelelahan telah
hilang, diperlukan lagi aktivitas untuk bekerja dalam upaya
memenuhi kebutuhan lainnya, dan begitu seterusnya.

d. Motif dasar untuk berkembang biak (sex drive), motif ini erat
kaitannya dengan kehidupan hormon-hormon yang dalam
penyalurannya dibatasi oleh norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Dari kebutuhan ini akan muncul pula motif untuk
saling mengasihi, mengasihi anak atau mengasihi lawan jenis.
Untuk menarik atau memuaskan lawan jenis membutuhkan juga
berhias atau bersolek. Selanjutnya berkembang kepada kebutuhan
lain untuk melengkapinya, misalnya kebutuhan akan benda-benda
perhiasan.

b) Motif Sosial, disebut juga jenis motif yang dapat dipelajari yang
bentuknya berbeda-beda bagi setiap kelompok masyarakat atau bangsa.
Motif sosial ini merupakan perkembangan dari motif dasar. Misalnya,
kebutuhan akan keamanan menimbulkan kebutuhan akan rumah yang
aman dan nyaman. Kebutuhan mengembangkan keturunan memerlukan
pakaian yang layak, hubungan antar sesama yang harmonis, mencari
napkah untuk memenuhi orang yang dikasihi, dan sebagainya. Maka
motif ini meliputi motif untuk :

a) Dikenal, baik oleh kelompoknya maupun kelompok lain agar


terjamin keamanan dirinya. Di samping itu akan bermanfaat bagi
pengembangan kebutuhan lainnya. Di zaman modern, menjadi
orang terkenal merupakan kebanggaan tersendiri.

b) Dibutuhkan oleh orang lain, karena setiap individu sadar bahwa ia


tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Maka ia ingin
merasa dibutuhkan karena suatu saat ia sendiri akan membutuhkan
orang lain.
37

c) Memperoleh penghargaan, merupakan kebutuhan sosial yang amat


penting. Seseorang tidak ingin diperlakukan tidak adil apalagi
dianaktirikan, ia ingin dihargai dan diakui keberadaannya.

d) Berkelompok, sudah menjadi pembawaan manusia yang tidak


sanggup hidup sendiri. Dalam kajian sosiologi dinamakan zoon
politicon.

e) Memperoleh status dalam lingkungan sosial, hal ini dapat diperoleh


melalui pendidikan atau pencapaian prestasi tertentu yang berguna
bagi masyarakat. Di lingkungan masyarakat yang dibatasi kasta-
kasta pengakuan atas status sosial kurang berkembang dengan baik.

f) Berhubungan dengan sistem-sistem nilai, merupakan suatu


kebutuhan mendasar dalam bermasyarakat. Setiap individu yang
normal senantiasa mendambakan agar dirinya menjadi bagian dari
masyarakat yang berada dalam sistem nilai tertentu.

3) Motif Objektif (objektive motive) timbul dan ditujukan untuk berinteraksi


secara efektif dengan lingkungan. motif ini meliputi untuk:

a) Menyelidiki untuk memperoleh kebenaran yang lebih obyektif,


misalnya penelitian ilmiah.

b) Memanfaatkan sesuatu yang ada di lingkungan, sehingga dapat berguna


bagi kelangsungan hidupnya.

c) Memusatkan perhatian terhadap suatu obyek tertentu, terutama hal-hal


yang berkaitan dengan dirinya. Misalnya petani memfokuskan
perhatiannya terhadap jenis tanaman, pupuk, dan teknologi.

2.3. Karakteristik Demografi

Model ketiga Andersen memasukkan hubungan fungsi tiga karakteristik


faktor predisposisi, faktor memungkinkan dan faktor kebutuhan. Model
ketiga dikembangkan untuk memahami mengapa keluarga menggunakan

Universitas Indonesia
pelayanan kesehatan, menentukan dan mengukur akses yang baik menuju
pelayanan kesehatan dan membantu dalam mengembangkan kebijakan
untuk menuju akses yang baik.

Menurut Ronald M.Andersen (1995) dalam Behavioral Model of Families


Use of Health Services, perilaku orang sakit berobat ke pelayanan
kesehatan secara bersama dipengaruhi oleh predisposing factors (faktor
predisposisi), enabling factors (faktor pemungkin), dan need factors
(faktor kebutuhan). Model penggunaan pelayanan kesehatan individu
sebagian besar sebagai fungsi karakteristik sosio-demografi dan ekonomi
dari sebuah unit keluarga [33].

a. Faktor Predisposisi
Setiap individu mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda dalam
menggunakan pelayanan kesehatan. Faktor predisposisi adalah ciri-
ciri yang telah ada pada individu dan keluarga sebelum menderita
sakit, yaitu pengetahuan, sikap, dan kepercayaan terhadap kesehatan.
Faktor ini berkaitan dengan karakteristik individu yang mencakup:
1) Ciri demografi seperti : usia, jenis kelamin, status perkawinan, dan
jumlah anggota keluarga. Variabel ini digunakan sebagai ukuran
mutlak atau indikator fisiologis yang berbeda dan siklus hdup
dengan asumsi bahwa perbedaan derajat kesehatan, derajat
kesakitan, dan penggunaan pelayanan kesehatan sedikit banyak
berhubungan dengan variable tersebut. Ciri demografi juga
mencerminkan atau berhubungan dengan karakteristik social
(perbedaan social dari jenis kelamin mempengaruhi tipe dan ciri
sosial)

a) Jenis kelamin
Meskipun pengeluaran untuk pemanfaatan pelayanan kesehatan
yng kurang lebih sama untuk kedua jenis kelamin pada tahun-tahun
awal, ada perbedaan dalam kebutuhan pelayanan kesehatan antara
pria dan wanita dikemudian hari, pengeluaran yang dikeluarkan
39

oleh perempuan melebihi dari yang dikeluarkan oleh laki-laki


terutama karena biaya kandungan.
b) Umur
Hubungan antara umur dan penggunaan peayanan medis,
bagaimanapun tidak linier juga tidak sama untuk setiap jenis
pelayanan kesehatan karena semakin bertambah umur akan
semakin membutuhkan pelayanan kesehatan
c) Status perkawinan dan jumlah anggota keluarga
Seseorang dengan status belum menikah lebih banyak
menggunakan pelayanan Rumah Sakit dibandingkan dengan
seseorang yang sudah menikah. Selain status perkawinan, jumlah
orang dalam keluarga juga mempengaruhi permintaan untk
pelayanan kesehatan. Orang yang belum berkeluarga umumnya
menggunakan perawatan di Rumah Sakit lebih dari yang dilakukan
oleh orang yang sudah menikah. Ketersediaan orang di rumah
untuk merawat seseorang mungkin pengganti hari tambahan di
Rumah Sakit. Besarnya keluarga juga mempengaruhi permintaan,
sebuah keluarga besar memiliki pendapatan perkapita yang lebih
rendah (meskipun tidak selalu proporsional) daripada sebuah
keluarga kecil dengan pendapatan yang sama.
2) Struktur sosial, seperti: status sosial, ras, pendidikan, jenis
pekerjaan, suku, agama dan lama tinggal. Variable ini
mencermnkan keadaan sosial dan individu atau keluarga di
masyarakat. Pendekatan struktur sosial didasarkan asumsi bahwa
orang dengan dengan latar belakang sosial yang berentangan akan
menggunakan pelayanan kesehatan dengan cara tertentu.
Pendidikan juga diyakini dapat mempengaruhi permintaan
pelayanan medis. Sebuah jumlah yang lebih besar dari pendidikan
di rumah tangga dapat memungkinkan keluarga untuk mengenali
gejala awal penyakit sehingga kesediaan yang lebih besar untuk
mencari pelayanan kesehatan awal. Tingginya tingkat pendidikan

Universitas Indonesia
juga dapat menyebabkan peningkatan efisiensi dalam pembelian
dan penggunaan pelayanan medis.
3) Sikap dan keyakinan individu terhadap pelayanan
kesehatan, misalnya kepercayaan terhadap dokter, petugas
kesehatan, nilai terhadap penyakit, sikap dan kemampuan petugas
kesehatan, fasilitas kesehatan, pengetahuan tentang penyakit.
Referensi yang dimiliki pasien biasanya didapatkan melalui iklan,
orang sekitar dan dokter yang dapat mempengaruhi pelayanan
kesehatan yang diinginkan oleh pasien.
b. Faktor pemungkin
Merupakan kondisi yang memungkinkan orang sakit memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang mencakup status ekonomi keluarga, akses
terhadap sarana pelayanan kesehatan yang ada, dan penanggung biaya
berobat/aspek logistic untuk mendapatkan perawatan yang meliputi:
a. Pribadi/keluarga (Family resources)
Adanya sumber pembiayaan dari diri sendiri maupun keluarga,
sarana dan tahu mengakses pelayanan kesehatan, cakupan asuransi
kesehatan, perjalanan, kualitas hubungan social. Karakteristik ini
untuk mengukur kesanggupan dari individu dan keluarga untuk
memperoleh pelayanan kesehatan mereka.
b. Sumber daya masyarakat (Community resouces)
SDM dalam konteks ini adalah penyedia pelayanan kesehatan dan
sumber-sumber di dalam masyarakat, dan ketercapaian dari
pelayanan kesehatan yang tersedia. SDM selanjutnya adalah suplay
ekonomis yang berfokus pada ketersediaan sumber-sumber
kesehatan. SDM mencakup Tenaga kesehatan, fasilitas yang
tersedia serta kecepatan pelayanan.

c. Pendapatan

Sejumlah penelitian telah mengungkapkan hubungan antara


pendapatan keluarga dan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan.
Ketika studi ini didasarkan pada data survey sering ditemukan
41

bahwa keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi memiliki


pengeluaran yang lebih besar untuk pelayanan kesehatan.

c. Faktor Kebutuhan
Teori pemanfaatan pelayanan kesehatan berkaitan erat dengan
permintaan akan pelayanan kesehatan justru selama ini meningkat. Hal
ini dikarenakan masyarakat sudah benar-benar mengeluh sakit serta
mencari pengobatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
pelayanan kesehatan diantaranya adalah pengetahuan tentang
kesehatan, sikap terhadap kemampuan fasilitas kesehatan tersebut.
Karakteristik ini merupakan persepsi kebutuhan dari seseorang
terhadap penggunaan pelayanan kesehatan. Faktor predisposisi dan
faktor pendukung dapat terwujud menjadi tindakan pencarian
pengobatan, apabila tindakan itu dirasakan sebagai kebutuhan.
Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk
menggunakan pelayanan kesehatan. Kebutuhan pelayanan kesehatan
dapat dikategorikan menjadi:
1. Kebutuhan yang dirasakan (perceived need), yaitu keadaan
kesehatan yang dirasakan oleh keluarga.
2. Evaluated/clinical diagnosis yang merupakan penilaian keadaan
sakit didasarkan oleh penilaian petugas.

2.6. Karakteristik Biografis Pekerja (Robbins 2015)

Beberapa perbedaan yang nyata pada para pekerja adalah umur, jenis
kelamin, ras, disabilitas dan lama kerja. Faktor ini paling mudah menilai
produktivitas, absensi, perputaran pekerja (turn over), penyimpangan,
kewargaan dan kepuasan kerja.

a. umur

Menurut teori umur, penuaan umumnya dikaitkan dengan keuntungan


dan kerugian. Ketika orang bertambah tua kesehatan dan kemampuan
biologis menurun, sedangkan pengetahuan dan pengalaman umumnya

Universitas Indonesia
akan meningkat. Selain itu, seiring bertambahnya usia orang,
perspektif waktu masa depan mereka menurun dan perasaan bahwa
waktu hampir habis menjadi lebih menonjol. Persepsi pekerja yang
akan pensiun dicirikan upaya membuat pengalaman menjadi lebih
positif. Pekerja yang lebih muda mungkin kurang peduli dengan
bagaimana hubungan kerja mereka berakhir, karena mereka mungkin
memiliki kesempatan untuk bekerja di organisasi lain, dibandingkan
pekerja yang lebih tua yang cenderung memiliki lebih sedikit pilihan
untuk pindah pekerjaan. Ada bukti bahwa orang tua menjadi lebih
baik dalam mengatur emosi. Pekerja yang lebih tua dan lebih
berpengalaman memiliki psikologis yang lebih stabil. Bertambahnya
usia, psikologis semakin stabil, lebih tahan terhadap perubahan
daripada pekerja yang lebih muda dan lebih tidak
berpengalaman. Perubahan situasi pekerjaan, seperti pelanggaran
kontrak, mungkin memiliki dampak yang lebih intens pada kaum
muda karena psikologis pekerja muda kurang stabil dibandingkan
pekerja yang lebih tua. Akhirnya, pekerja yang lebih tua mungkin
memiliki psikologis yang berbeda dari pekerja yang lebih
muda. Sebagai konsekuensi dari perubahan lingkungan dan pribadi,
psikologis akan berkembang dan berubah seiring waktu. Orang-orang
muda sering memasuki dunia kerja dengan harapan yang tinggi, tetapi
setelah waktu mereka menyesuaikan harapan mereka sesuai dengan
kenyataan. Pekerja yang lebih tua mungkin memiliki harapan yang
lebih realistis tentang apa yang akan diterima daripada pekerja yang
lebih muda [34].

Sejumlah pekerja memiliki kualitas yang positif terhadap pekerjaan


dikarenakan pengalaman, penilaian, etika kerja yang baik dan
komitmen terhadap kualitas. Tetapi pekerja yang lebih tua juga dinilai
kurang fleksibel dan sulit menerima teknologi baru. Ketika organisasi
secara aktif mencari individu yang mudah beradaptasi dan terbuka atas
perubahan, hal-hal negatif yang diasosiakan dengan umur secara jelas
dan menghalangi perekrutan awal pekerja tua. Semakin tua semakin
43

kecil mengundurkan diri dari pekerjaan, tingkat absensi lebih rendah,


cenderung lebih puas dengan pekerjaannya, memiliki hubungan yang
baik dengan rekan kerja dan lebih berkomitmen dengan organisasi
yang mempekerjakannya.

b. jenis kelamin

Tidak ada perbedaan pria-wanita yang konsisten dalam kemampuan


memecahkan masalah, keahlian analitis, dorongan kompetitif,
motivasi, kemampuan bersosialisasi atau kemampuan belajar

c. lama kerja

Jika kita mengartikan senioritas sebagai waktu dalam pekerjaan


tertentu, bukti terkini menunjukan sebuah hubungan yang positif
antara senioritas dan produktivitas kerja. Jadi lama kerja dinyatakan
sebagai pengalaman kerja, sebagai sebuah prediktor yang baik dalam
produktivitas pekerja. Sebuah studi menunjukan lama kerja dan absen
cukup jelas dan kuat. Semakin lama seseorang dalam suatu pekerjaan,
semakin kecil kemungkinan untuk keluar. Lebih jauh lagi, pekerja
yang memiliki lama kerja yang lalu sangat baik di masa akan datang
memiliki lama kerja yang baik. Ada bukti lama kerja berhubungan
kepuasan kerja.

2.4. Upaya Pengembangan Kesehatan Tradisional Asuhan Mandiri


Salah satu prinsip Puskesmas dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan adalah paradigma sehat dan salah satu upayanya adalah
pengembangan kesehatan tradisional asuhan mandiri. Orang yang sehat
diupayakan selalu sehat dengan selalu menjaga dan memelihara kesehatan.

Asuhan mandiri berasal dari bahasa Inggris yaitu self care artinya dapat
melakukan perawatan secara mandiri. Konsep self care diperkenalkan oleh
Dorothea Orem yang dikenal dengan teori defisit perawatan diri. Konsep
ini mengembangkan kemampuan masing-masing individu untuk
melakukan perawatan diri yang didefinisikan sebagai praktik kegiatan

Universitas Indonesia
yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu dalam rangka
mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini terdiri
atas tiga teori yaitu (1) teori perawatan diri; (2) teori defisit perawatan diri;
(3) teori sistem keperawatan. Perawatan diri merupakan praktik kegiatan
yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu untuk menjaga kehidupan,
kesehatan dan kesejahteraan. Agen perawatan diri adalah individu yang
memiliki kemampuan melakukan perawatan secara mandiri dan
dipengaruhi oleh faktor pengkondisian dasar. Faktor pengkondisian dasar
adalah usia, jenis kelamin, keadaan perkembangan, keadaan kesehatan,
sosial budaya, sistem kesehatan, keluarga, pola hidup, lingkungan dan
kecukupan dan ketersediaan sumber daya.

Dalam melakukan tindakan perawatan diri menggunakan metode yang


aman, bermanfaat dan dapat dipercaya. Upaya pengembangan kesehatan
tradisional asuhan mandiri dilakukan oleh petugas kesehatan Puskesmas
kepada kader dengan menggunakan panduan buku saku TOGA dan
akupresur Kementerian Kesehatan. Isi buku saku merupakan kumpulan
pengetahuan yang sudah terbukti secara empiris dan ilmiah serta aman
diterapkan oleh masyarakat awam.

Upaya pengembangan kesehatan tradisional asuhan mandiri bertujuan agar


asuhan mandiri dapat diterapkan oleh individu, keluarga dan masyarakat
dengan melakukan perawatan secara mandiri dengan memanfaatkan
TOGA dan akupresur. Terselenggaranya upaya ini melalui:

a) pembentukan kelompok dan pengembangan kelompok asuhan mandiri

b) adanya kegiatan kelompok secara benar dan berkesinambungan

c) adanya pembinaan secara berjenjang

2.4.1. Pembentukan kelompok asuhan mandiri


Pembentukan kelompok asuhan mandiri memiliki 6 (enam) prinsip yaitu:

1) kesadaran dan keinginan sendiri ditandai tidak ada paksaan dari


siapapun dan mempunyai motivasi
45

2) saling berbagi pengetahuan dan kemampuan

3) saling kerjasama dan berperan aktif dengan fasilitator Puskesmas

4) mandiri ditandai dengan mampu menolong dirinya sendiri dan


keluarga dan tersedia tanaman obat serta peralatan keterampilan
jika dibutuhkan

5) berorientasi kepada kebutuhan masyarakat ditandai dengan


dukungan kebijakan dan dukungan petugas

6) komitmen

Persyaratan pembentukan kelompok asuhan mandiri:

1) saling percaya

2) saling terbuka

3) mengakui kelebihan dan kelemahan anggota lain

4) menerima umpan balik

5) saling belajar

6) memupuk rasa kebersamaan

Pembentukan kelompok di tingkat masyarakat:

1) Kader melakukan identifikasi kelompok masyarakat seperti


kelompok wanita tani, dasa wisma, arisan dan lain-lain

2) Melakukan sosialisasi asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan


akupresur bersama fasilitator dan mitra seperti TP-PKK Kelurahan
kepada kelompok masyarakat

3) Kader membentuk kelompok asuhan mandiri dengan kriteria 1


kelompok asuhan mandiri terdiri atas 5 sampai 10 kepala keluarga
melalui langkah-langkah:

1) forming

Universitas Indonesia
Kader memfasilitasi keluarga binaan dalam kelompok agar
keluarga binaan saling mengenal dengan cara menceritakan
pengalaman memanfaatkan TOGA atau memberikan
informasi tentang TOGA yang mereka punya di pekarangan
rumah masing-masing

2) storming

Kader memfasilitasi kelompok untuk membicarakan


rencana kegiatan kelompok dan semua kelompok diberikan
kesemptan untuk berbicara dan mengeluarkan ide masing-
masing.

3) norming

Setelah semua anggota kelompok saling kenal, kader


mengajak kelompok membentuk struktur organisasi
misalnya ketua, wakil, sekretaris, bendahara dan tugas
masing-masing serta membuat tata tertib

4) performing

Setelah struktur organisasi terbentuk, setiap anggota


memiliki peran dan tugas masing-masing, sehingga setiap
orang merasa saling tergantung dan membutuhkan satu
sama lain.

Pembentukan kelompok terbentuk paling lama 3-6 bulan


sejak dilakukan orientasi kader asuhan mandiri. Berikut alur
pembentukan kelompok asuhan mandiri:
47

KADER ASUHAN MANDIRI MULAI


MENGIDENTIFIKASI KELOMPOK YANG
SUDAH ADA DI MASYARAKAT

MEMUTUSKAN
KELOMPOK
MASYARAKAT YANG
BERSEDIA DIBENTUK

MELAKUKAN SOSIALISASI ASUHAN MANDIRI


PEMANFAATAN TOGA DAN AKUPRESUR KEPADA
KELOMPOK MASYARAKAT

MELAKUKAN PROSES PEMBENTUKAN


KELOMPOK ASUHAN MANDIRI

PEMBENTUKAN KELOMPOK ASUHAN MANDIRI


DIPUTUSKAN MELALUI SURAT KEPUTUSAN LURAH
TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK ASUHAN
MANDIRI

PEMBENTUKAN KELOMPOK ASUHAN


MANDIRI SELESAI

Gambar 2.1
Diagram Alur Pembentukan Kelompok Asuhan Mandiri

2.4.2. Kegiatan kelompok asuhan mandiri


Setelah terbentuk kelompok asuhan mandiri, kader didampingi fasilitator
Puskesmas dan mitra melakukan pendekatan dengan kelompok yang
bertujuan untuk menghapus rasa cemas, menciptakan suasana yang
nyaman, menumbuhkan rasa percaya diri, memberi kesempatan dan
mengadakan evaluasi terhadap perbedaan pendapat.

Kader membina kelompok dengan cara membagikan ilmu pengetahuan


dan keterampilan secara rutin satu bulan sekali dan berkesinambungan
disesuaikan dengan jadwal kegiatan yang telah dibuat bersama didampingi
fasilitator Puskesmas dan mitra.

Universitas Indonesia
2.4.3. Pembinaan
Pembinaan dilakukan secara berjenjang mulai dari Pusat sampai ke tingkat
kelurahan bersama dengan mitra. Pelaksana pembina di tingkat Puskesmas
adalah pemegang program kesehatan tradisional, lintas program dan lintas
sektor terkait. Bentuk pembinaan di Puskesmas antara lain:

a) membuat kebijakan di Puskesmas terkait pelaksanaan asuhan


mandiri

b) melakukan orientasi kepada kader

c) mendampingi kader melaksanakan penyuluhan kepada kelompok


masyarakat

d) melakukan pembinaan, pengawasan kepada kader dan keluarga


binaan dalam melaksanakan kegiatan di kelompok

e) melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan

2.5. Kerangka Teori


Dari teori di atas dan penelitian sebelumnya, maka faktor motivasi, umur,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, lamanya tinggal dan
masa kerja berhubungan dengan partisipasi.

1) Motivasi

Motivasi adalah suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang


menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu
guna mencapai suatu tujuan. Motiv tidak dapat diamati, yang dapat
diamati adalah kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan tersebut.

a. Kebutuhan Dasar (basic need) meliputi adanya bantuan kebutuhan


pokok dan hunian

b. Keamanan (safety need) meliputi adanya rasa aman dari ancaman,


penyakit dan kecemasan. Menurut Suprapti (2007), ada hubungan
negatif yang signifikan antara kebutuhan rasa aman dengan
partisipasi kader [35]. Dalam teori kontemporer mengenai motivasi
49

model keadilan organisasional, keadilan pada pekerja memiliki


efek positif karena perlakuan adil akan mendorong komitmen pada
organisasi dan membuat para pekerja merasa diperhatikan. Pekerja
yang merasa diperlakukan dengan adil akan menurun rasa takut
dieksploitasi oleh organisasi dan akhirnya akan mendorong
perilaku merasa memiliki organisasi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Imam Sunarno (2012),


hubungan dengan keluarga dan sanak saudara dan tetangga yang
baik serta mampu memerankan fungsi sosial dalam keluarga
maupun masyarakat merupakan konsep sehat sakit pada
masyarakat Jawa Blitar [36].

c. Sosial (social need) seperti keinginan bermasyarakat, dukungan


teman dan teman kompak.

d. Penghargaan (esteem need) seperti dilibatkan dalam tugas


bermasyarakat, dukungan masyarakat, adanya pertemanan, adanya
persahabatan, mendapat prioritas berobat, mendapat prioritas di
kelurahan, pujian dari Puskesmas atau dari kelurahan, sukarela dan
tidak mengharapkan pujian, mendapatkan bea siswa, dorongan
untuk maju, adanya bantuan berupa dana/sarana dan bibit
pertanian,

e. Aktualisasi Diri (self actualization) seperti ingin menjadi kader,


memiliki potensi, penyuluhan, menggerakkan masyarakat,
berorganisasi, mendapatkan pelatihan, studi banding, bertanggung
jawab, belajar TOGA dan akupresur, mendapatkan pembinaan,
dikenal masyarakat, memiliki peranan di sekitar tempat tinggal.

2) umur

Umur dapat mempengaruhi keaktifan kader, semakin bertambah usia


seseorang, produktivitasnya akan semakin menurun. Pendapat ini juga
diperkuat oleh penelitian oleh Rizky (2011) yang menyatakan bahwa

Universitas Indonesia
usia kader yang kurang dari 40 tahun cenderung lebih aktif sebagai
kader Posyandu dalam meningkatkan partisipasi masyarakat [37].
Secara psikologi semakin dewasa usia seseorang dalam bekerja
semakin meningkat demikian juga kedewasaan dalam bekerja semakin
meningkat juga kedewasaan psikologisnya akan semakin matang.

3) jenis kelamin

Walaupun jumlah kader kesehatan pada umumnya adalah perempuan,


tetapi kader laki-laki juga memiliki peranan sama pentingnya. Jenis
kelamin juga mempengaruhi motivasi kader, terutama bila kader itu
laki-laki maka selain ia harus melayani masyarakat dengan sukarela ia
juga memiliki beban dan tanggung jawab bagi keluarganya (bila sudah
berkeluarga). Penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2016), laki-
laki dapat berperan sebagai kader karena tidak semua tugas kader
dapat dilakukan oleh para ibu [38].

4) status kawin

Seorang kader yang telah berkeluarga akan mendapat halangan lebih


besar untuk melanjutkan pekerjaannya dibandingkan dengan kader
yang belum berkeluarga karena kader tersebut harus
mempertimbangkan waktu, perhatian dan tenaga yang ia berikan
kepada masyarakat dengan keluarganya seperti yang dikemukan oleh
Ilyas (2001), adanya pengaruh tanggung jawab keluarga baik wanita
atau pria dan akan mengurangi jam kerja karena meningkatnya
tanggung jawab keluarga tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh
Marita (2013), ada hubungan antara status perkawinan dengan
curahan jam kerja wanita. Wanita yang memiliki status belum
menikah, lebih banyak mencurahkan waktunya pada pekerjaan [39].

5) pendidikan
51

Kader yang ada saat ini memang direkrut secara sukarela dan
mendapatkan pelatihan sebelumnya. Pendidikan kader sebagian besar
adalah pendidikan dasar. Menurut Umi (2012), ada hubungan
pendidikan dengan peran kader Posyandu [40].

6) pekerjaan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Arina, ada hubungan antara


pekerjaan dengan keaktifan kader. Hasil penelitian menunjukan kader
yang bekerja bersedia diberi tugas . Pekerjaan kader dapat menjadi
faktor yang berhubungan dengan keaktifan kader [41].

7) lama kerja kader

Kinerja masa lalu cenderung dihubungkan pada hasil seseorang,


semakin lama ia bekerja maka semakin terampil dalam melaksanakan
tugasnya sehingga senioritas dalam bekerja akan lebih terfokus jika
dibandingkan dengan orang yang baru bekerja. Menurut Artathi
(2016), ada hubungan antara lama kerja dengan peran kader [42].

8) pendapatan

Salah satu alasan rendahnya motivasi kader adalah masalah kritis


ekonomi yang dialami oleh kader di mana penghasilan keluarga tidak
mencukupi sehingga kader harus mencari tambahan lain misalnya
berdagang yang akhirnya kader berhenti atau drop out. Menurut
penelitian Suhat (2014), ada hubungan antara pendapatan dengan
keaktifan kader Posyandu. Pendidikan kader dalam kategori rendah
dan sebagian besar tidak bekerja atau hanya bekerja sebagai buruh tani
yang pendapatannya tidak tetap, menyebabkan Posyandu sering
ditinggal saat musim panen [43].

9) lama tinggal

Universitas Indonesia
Faktor-faktor mempengaruhi partisipasi kader kesehatan dalam upaya
pengembangan kesehatan keluarga adalah motivasi, pendidikan, umur,
pekerjaan dan penghasilan dan lamanya tinggal. Kader yang lama
tinggal di daerah tempat tinggal akan lebih mengenal kondisi
masyarakat di sekitarnya. Hal ini diperkuat oleh penelitian oleh
Debora (2014), bahwa lama tinggal mempengaruhi partisipasi dalam
memberikan pelayanan di Posyandu Lansia [32].

10) Partisipasi Kader meliputi mengajak masyarakat membentuk


kelompok asuhan mandiri, menanam tanaman obat di pekarangan
rumah, membagikan ilmu pengetahuan dan keterampilan, membantu
petugas melakukan penyuluhan, melakukan akupresur jika diminta,
bekerja sama dengan kader, petugas Puskesmas, Lurah, melakukan
survey kebutuhan masyarakat, membuat perencanaan, menyediakan
tempat pertemuan, meminjamkan peralatan sendiri, membagikan
jamu dan tanaman, memberikan sumbangan dan menggalang dana.

Penelitian Syaefuddin (2019), menunjukkan bahwa ada salah satu


bentuk partisipasi yang dilakukan oleh kader, seperti tenaga dan uang.
Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, seperti
pengetahuan, usia, pekerjaan, keluarga dan lokasi posyandu, serta
upaya yang dilakukan kader untuk meningkatkan kesehatan balita
[44].

Berdasarkan pemahaman konsep yang telah diuraikan, maka kerangka


pemikiran teoritis dikembangkan dalam penelitian bermuara pada
faktor demografi antara umur, jenis kelamin, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, lama kerja, pendapatan dan lama tinggal.
Sedangkan konsep motivasi yang berpengaruh terhadap partisipasi
adalah kebutuhan dasar, rasa aman, sosial, penghargaan dan
aktualisasi diri.
53

2.8. Kerangka Teori

Karakter Biografis Pekerja


(Robbins 2015):
1.umur
2.jenis kelamin
3.lama kerja

Faktor predisposisi menurut


Andersen Partisipasi
1) umur (Notoatmodjo,2012):
2) jenis kelamin 1. Man
3) status kawin 2. Mind
4) pendidikan 3. Material
5) pekerjaan 4. Money
6) pendapatan
7) lamanya tinggal

Motivasi (Maslow):
1) fisiologis
2) rasa aman
3) sosial
4) penghargaan
5) aktualisasi diri.

Gambar 2.4 Skema Tinjauan Teori

Universitas Indonesia
BAB 3

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1.Kerangka Konsep

Variabel Demografi Kader


1) umur
2) jenis kelamin
3) status kawin
4) lamanya tinggal
5) lama kerja
6) pendidikan
7) pekerjaan
8) pendapatan

Partisipasi Kader
Variabel Motivasi Kader
a. Kebutuhan Dasar (basic need)

b. Keamanan (safety need)

c. Sosial (social need)


d. Penghargaan (esteem need)
e. Aktualisasi Diri (self
actualization)

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


55

Kader adalah anggota masyarakat yang dipilih dari dan oleh


masyarakat, mau dan mampu bekerja sama berpartisipasi dalam berbagai
kegiatan kemasyarakatan secara sukarela. Kader asuhan mandiri telah
diberi orientasi tentang ilmu pengetahuan dan keterampilan pemanfaatan
Taman Obat Keluarga dan akupresur oleh fasilitator Puskesmas.

Partisipasi kader adalah ikutsertanya kader dalam mengembangkan


program kesehatan, memecahkan permasalahan kesehatan komunitasnya
dan bersedia berkontribusi untuk komunitasnya. Partisipasi kader di
bidang upaya pengembangan kesehatan tradisional asuhan mandiri berarti
keikutsertaan kader dalam mengembangkan kesehatan tradisional asuhan
mandiri dengan cara mengajak kelompok masyarakat di tempat tinggalnya
untuk membentuk kelompok asuhan mandiri, membagikan ilmu
pengetahuan dan keterampilan, mampu menyediakan bahan (tanaman
obat) dan peralatan pijat keterampilan, bekerja sama dengan petugas
Puskesmas dan masyarakat.

Dalam melaksanakan partisipasi sebagai kader asuhan mandiri,


maka dibutuhkan faktor motivasi dan dipengaruhi faktor demografi.
Motivasi adalah kondisi yang menggerakan kader asuhan mandiri agar
mampu melaksanakan tugasnya dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Motivasi juga sebagai alat pembangkit energi bagi kader dari
dalam dirinya agar bekerja sesuai dengan program kerja yang telah
ditentukan. Di dalam hal ini, kader sendirilah yang akan memikirkan,
merencanakan dan mengevaluasi program-program kesehatan mereka.
Fasilitator Puskesmas hanya sekedar memotivasi dan membimbing. Di
dalam partisipasi, setiap kader dituntut saling berbagi pengetahuan dan
kemampuan kepada orang lain; kerjasama dan memiliki peran aktif dengan
fasilitator Puskesmas; mandiri; berorientasi dengan kebutuhan masyarakat
dan berinisiatif merencanakan kegiatan asuhan mandiri.

Peningkatan motivasi harus selalu dapat ditingkatkan atau paling


tidak dipertahankan, Seorang fasilitator Puskesmas perlu
mempertimbangkan berbagai faktor yang berhubungan dengan berbagai

Universitas Indonesia
variabel yang dapat meningkatkan motivasi kerja kader asuhan mandiri
seperti beberapa konsep yang digunakan oleh peneliti tentang motivasi
yang mempengaruhi partisipasi. Untuk memberikan gambaran yang lebih
jelas dan terarah akan alur penelitian ini digambarkan dalam kerangka
konsep penelitian.

3.2.Definisi Operasional
Definisi Operasional merupakan deskripsi dari variable penelitian
sehingga bersifat spesifik (tidak berinterpretasi ganda) dan terukur
(observable atau measurable). Definisi Operasional peneliatian ini adalah
sebagai berikut:

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabe Definisi Cara Alat Skal Hasil Ukur


l Operasional Uku Ukur a
r Ukur
1 Partisip Adanya men kuisi ordin Partisipasi rendah,
asi keikutsertaan gisi oner al total score < nilai
Kader kader dalam kueo median
mengembangkan ner
kesehatan Partisipasi tinggi,
tradisional total score > nilai
melalui asuhan median
mandiri seperti
berbagi 0:partisipasi
pengetahuan dan rendah
kemampuan;kerja 1:partisipasi tinggi
sama dan
memiliki peran
aktif;mandiri;bero
rientasi dengan
kebutuhan
masyarakat ;
memiliki
perencanaan
kegiatan asuhan
mandiri.
2 Jenis gender responden men kues Nom 1.Perempuan
kelamin yang dibawa gisi ioner inal 2.Laki-laki
sejak lahir kuisi
oner
3 Umur waktu lamanya men kues ordin 1.dewasa akhir< 45
57

hidup atau ada gisi ioner al tahun


(sejak dilahirkan kues 2. lansia awal > 46
atau diadakan) ione tahun
kategori depkes r
(2009)
masa remaja
akhir: 17-25
tahun
masa dewasa
awal: 26-35 tahun
masa dewasa
akhir: 36-45
tahun
masa lansia awal:
46-55 tahun
masa lansia akhir:
56-65 tahun
4 Lamany waktu lamanya men kues ordin 1 baru, jika < nilai
a tinggal sejak gisi ioner al median
tinggal menetap dan kues 2 lama, jika > nilai
menempati daerah ione median
tersebut r
5 Pendidi Sekolah formal men kues Ordi 1Pendidikan dasar
kan yang terakhir gisi ioner nal (SD,SMP)
sudah kues 2Pendidikan
diselesaikan ione Menengah (SMU,
menurut r Perguruan Tinggi)
pernyataan kader
6 Pekerja Aktivitas yang men kues ordin 1.Bekerja
an dilakukan oleh gisi ioner al 2. Tidak bekerja
kader secara kues
individu maupun ione
secara r
berkelompok,
baik secara
terbuka maupun
tertutup kemudian
dari kegiatan
tersebut bisa
mengahsilkan
suatu barang atau
jasa sehingga
dapat
memperoleh uang
dan dijadikan
sebagai mata
pencaharian.

Universitas Indonesia
7 Status Pernyataan kader men kues nomi 1.kawin
Perkawi tentang gisi ioner nal 2 belum kawin
nan sudah/belum kues 3 janda/duda
menikah ione
r
8 lama lamanya bekerja men kues Ordi 1 baru, jika < nilai
kerja menjadi kader gisi ioner nal median
terhitung mulai kuisi 2 lama > nilai
aktif atau dilantik oner median
menjadi kader
9 Pendap pendapatan men kues Ordi 1< Rp.4.276.349
atan keluarga kader gisi ioner nal 2> 4.276.349
dalam satu bulan kuisi
berdasarkan oner
UMR Provinsi
DKI Jakarta
tahun 2020
sebesar
Rp.4.276.349
10 Motivas Gambaran hirarki men kues ordin 1.motivasi tinggi,
kebutuhan gisi ioner al total score < nilai
i
manusia menurut kues median
tingkat kebutuhan ione
hidup (Maslow r 2.motivasi rendah,
dalam Robbins total score > nilai
2015) median

Kebutu Adanya motivasi men kues ordin 1.kebutuhan tinggi,


menjadi kader gisi ioner al total score < nilai
han
karena kebutuhan kuisi median
Dasar sandang, pangan oner
dan papan 2.kebutuhan
(basic rendah, total score
need) > nilai median

Kebutu Adanya motivasi men kues ordin 1.kebutuhan tinggi,


menjadi kader gisi ioner al total score < nilai
han
karena kebutuhan kues median
rasa rasa aman dan ion
perlindungan dari 2.kebutuhan
aman rendah, total score
kerusakan fisik
(safety dan emosional. > nilai median

need)

Kebutu Adanya motivasi men kues ordin 1.kebutuhan tinggi,


menjadi kader gisi ioner al total score < nilai
59

han karena kebutuhan kues median


rasa kasih sayang, ion
sosial
rasa memiliki, 2.kebutuhan
(social penerimaan, dan rendah, total score
persahabatan. > nilai median
need)

Kebutu Adanya motivasi men kuisi ordin 1.kebutuhan tinggi,


menjadi kader gisi oner al total score < nilai
han
karena kebutuhan kues median
penghar penghargaan diri, ione
keinginan r 2.kebutuhan
gaan rendah, total score
berprestasi,
(esteem pengakuan status > nilai median
dan perhatian.
need)

Kebutu Adanya motivasi men kues ordin 1.kebutuhan tinggi,


han karena dorongan gisi ioner al total score < nilai
aktualis untuk menjadi kues median
asi diri apa yang kita ione
(self mampu menjadi; r 2.kebutuhan
actualiz termasuk rendah, total score
ation) pertumbuhan, > nilai median
mencapai potensi
kita, dan
pemenuhan diri.

3.3.Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep penelitian yang telah disusun, maka
hubungan variabel bebas dan terikat akan diuraikan dalam bentuk hipotesis
yang selanjutnya akan dibuktikan kemaknaannya melalui uji hipotesis.
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ada hubungan antara faktor demografi dan motivasi terhadap partisipasi
kader asuhan mandiri di Puskesmas Kecamatan Cakung Tahun 2020.

Universitas Indonesia
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1.Desain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif non eksperimen
dengan desain cross sectional di mana semua variabel independen maupun
dependen dikumpulkan pada satu waktu yang bersamaan. Penelitian ini
untuk menganalisis hubungan demografi dan motivasi kader terhadap
partisipasi kader asuhan mandiri di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta
Timur Tahun 2020. Variabel independen pada penelitian ini adalah faktor
demografi dan motivasi kader, sedangkan variabel dependen adalah
partisipasi kader asuhan mandiri. Tahap pertama diawali pengukuran
faktor demografi dan motivasi selanjutnya dianalisa hubungannya dengan
partisipasi kader. Pengukuran variabel penelitian dilakukan pada seluruh
kader asuhan mandiri yang telah diberi orientasi di Puskesmas Kecamatan
Cakung Jakarta Timur melalui pengisian kuisioner.

4.2.Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta
Timur. Waktu pelaksanaan penelitian direncanakan pada bulan Juli 2020.

Gambar 4.1 Lokasi Penelitian

4.3Populasi dan Sampel

4.3.1.Populasi
Populasi adalah keseluruhan unit analisis yang karakteristiknya akan
diduga. Unit populasi disebut elemen populasi. Populasi dari penelitian ini
61

adalah kader asuhan mandiri di wilayah Puskesmas Kecamatan Cakung


Jakarta Timur sebanyak 77 orang [45].

4.3.2.Sampel
Pengertian sampel adalah sebagian populasi yang ciri-cirinya diselidiki
dan diukur. Sampel juga sebagian atau wakil populasi yang diteliti.
Kriteria inklusi adalah kader asuhan mandiri yang bersedia mengisi
kuesioner, sedang eksklusi adalah kader asuhan mandiri yang tidak
bersedia mengisi kuesioner.

4.3.3.Besar Sampel
Besar sampel kader asuhan mandiri yang akan diteliti menggunakan rumus
Slovin dengan tingkat kesalahan 5%, berikut rumus Slovin:

n sama dengan N

1+N( e )2

n adalah ukuran sampel

N adalah ukuran populasi

e adalah batas toleransi kesalahan (error tolerance)

Penelitian ini menggunakan rumus Slovin, ukuran sampel dapat di hitung


sebagai berikut:

n= N = 77/1+77 (5%)2= 77/1,1925=64,57 orang=65 orang

1+N( e )2

Pengambilan sampel dilakukan pada satu kecamatan yang terdiri dari 5


kelurahan, teknik sampling digunakan cara proporsional random sampling
terhadap kader asuhan mandiri Kecamatan Cakung Jakarta Timur,
perhitungan secara proporsional disajikan dalam tabel 4.1

No Kelurahan Jumlah Kader N=sampel Jumlah


Asuhan Mandiri Universitas Indonesia
1 Pulo Gebang 7 7/77x65 6
2 Penggilingan 25 25/77x65 21
3 Jatinegara 17 17/77x65 14
4 Cakung Barat 15 15/77x65 13
5 Ujung Menteng 13 13/77x65 11
Jumlah 77 65
Tabel 4.1 Besar Sampel

4.4.Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa kuesioner.
Kuesioner yang telah dibuat terlebih dahulu diuji coba untuk mengecek
apakah responden dapat memahami pertanyaan di dalam kuesioner dan
dapat mengisinya secara lengkap. Setelah itu dilakukan uji validitas dan
reliabitas. Uji reliabiltas digunakan untuk mengukur kekonsistenan alat
ukur. Uji validitas adalah sejauh mana pengukuran dapat mengukur apa
yang hendak diukur.
Uji coba dilakukan terhadap 30 responden yang memiliki karakteristik
yang sama dengan sampel penelitian, yaitu Puskesmas yang telah dilatih
dan membentuk kelompok asuhan mandiri. Uji validitas tiap butir
pertanyaan menggunakan analisis item, yaitu dengan mengkorelasikan
skor setiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah skor butir.
Sugiyono (2018) menyatakan bahwa item yang mempunyai korelasi positif
dengan skor total serta korelasi yang tinggi, menunjukkan bahwa item
tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula. Biasanya syarat minimum
untuk dianggap memenuhi syarat adalah kalau r=0,3. Jika korelasi antara
butir pertanyaan dengan skor total kurang dari 0,3 maka butir instrumen
tersebut dikatakan tidak valid [46].

Pertanyaan yang tidak valid akan dibuang. Sebelumnya setiap responden


diberikan informed consent yang berisikan tentang tujuan penelitian
dilakukan, jaminan kerahasiaan terhadap informasi yang diberikan dalam
kuesioner.
63

4.5. Uji Coba kuesioner


Uji coba dilakukan di wilayah Puskesmas Kecamatan Matraman Jakarta
Timur yang tidak digunakan dalam sampel penelitian serta mempunyai
karakteristik yang hampir sama dengan wilayah Kecamatan Cakung.
Dilakukan pada bulan Juli 2020. Jumlah sampel adalah 30 orang, hal ini
ini dilakukan agar dapat mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas
instrument. Uji coba menggunakan Cronbach Alpha.

Dari hasil analisis nilai alpha dari masing-masing variabel pada kuesioner
didapatkan adalah sebagai berikut:

a. variabel kebutuhan dasar dengan nilai alpha 0,648

b. variabel kebutuhan rasa aman dengan nilai alpha 0,824

c. variabel kebutuhan sosial dengan nilai alpha 0,892

d. variabel kebutuhan penghargaan dengan nilai alpha 0,897

e. variabel kebutuhan aktualisasi dengan nilai alpha 0,936

f. variabel partisipasi dengan nilai alpha 0,949

Dari hasil analisis semua variabel yang terdiri dari 53 pertanyaan semua
mempunyai nilai r hasil (corrected item total correlation) berada di atas
dari nilai r table (r=0,361), sehingga dapat disimpulkan dari 53 pertanyaan
tersebut adalah valid. Kemudian dilanjutkan pada uji reliabilitas dengan
mempunyai nilai r alpha lebih besar dibandingkan dengan nilai 0,6, maka
6 variabel di atas adalah reliabel [47].

4.6. Pengolahan Data


Pengolahan data merupakan salah satu rangkaian kegiatan penelitian
setelah pengumpulan data. Data yang masih mentah (raw data) perlu
diolah sedemikian rupa sehingga menjadi informasi yang akhirnya dapat
digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Agar hasil penelitian
menghasilkan informasi yang benar paling tidak ada empat tahapan dalam
pengolahan data, yaitu :

Universitas Indonesia
1 Editing
adalah proses memeriksa kembali jawaban isian kuesioner sudah
lengkap, jelas, relevan dan konsisten.
2 Coding
adalah proses mengubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka/bilangan. Manfaat coding memudahkan analisis data dan
mempercepat pada saat entry data.
3 Processing,
Setelah semua kuisioner diisi penuh dan benar dan telah diberi kode,
maka kegiatan selanjutnya memproses data agar data yang sudah
dientry dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan mengentry
data dari kuesioner ke program SPSS for Window.
4 Cleaning
Cleaning adalah kegiatan mengecek Kembali data yang sudah dientry
apakah ada kesalahan atau tidak. Cara mengcleaning data dengan
mengetahui missing data, mengetahui variasi data dan konsistensi
data.

4.6.1. Uji Validitas Data dan Reliabilitas Kuisioner

4.6.1.1. Uji Validitas


Untuk mengetahui validitas suatu instrument dilakukan dengan cara
melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor
totalnya. Suatu variabel (pertanyaan) dikatakan valid bila skor variable
tersebut berkorelasi signifikan dengan skor totalnya. Tehnik korelasi yang
digunakan korelasi Pearson Product Moment. Validitas kuisioner
dilakukan dengan membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hitung. Bila r
hitung lebih besar dari r tabel artinya variabel valid. Bila r hitung lebih
kecil atau sama dengan r tabel artinya variabel tidak valid. Langkah
selanjutnya melakukan analisis lagi dengan mnegeluarkan pertanyaan yang
tidak valid. Setelah dilakukan analisis diperoleh nilai r hasil (Corrected
item-Total Correlation) berada di atas dari nilai r tabel (r=0,361), sehingga
dapat disimpulkan uji kuisioner tersebut valid.
65

4.6.1.2. Reliabilitas
Pengukuran reliabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebih dahulu.
Pertanyaan-pertanyaan yang sudah valid kemudian diukur secara
reliabilitasnya. Untuk mengetahui reliabilitas dilakukan dengan cara
dilakukan uji Cronbach Alpha. Ketentuannya nilai Cronbach Alpha
dengan nilai standar yaitu 0,6 dan nilai alfa ≥ Cronbach Alpha maka
pertanyaan tersebut reliabel.

4.7. Analisis Data

4.7.1. Fungsi
Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian,
karena dengan analisis data dapat mempunyai makna yang dapat
bermanfaat untuk memecahkan masalah penelitian.

4.7.2 Tujuan Analisis

Analisis data bertujuan memperoleh gambaran/deskripsis masing-masing


variable; membandingkan dan menguji teori atau konsep dengan informasi
yang ditemukan; menemukan adanya konsep baru data yang dikumpulkan
dan mencari informasi apakah konsep baru diuji berlaku umum atau hanya
berlaku pada kondisi tertentu.

4.7.3 Langkah analisis

4.7.3.1 Analisis Deskriptif/Univariabel


Bertujuan untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variabel yang
diteliti. Bentuknya tergantung dari jenis datanya. Untuk data numerik
digunakan nilai mean (rata-rata), median, standar deviasi dan inter kuartil
range, minimal dan maksimal.
Analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan distribusi frekuensi
dari seluruh variabel karakteristik demofrafi meliputi umur, jenis kelamin,
status perkawinan, lama tinggal, lama menjadi kader, tingkat pendidikan,
pekerjaan dan penghasilan dan motivasi partisipasi kader asuhan mandiri

Universitas Indonesia
serta penilaian partisipasi kader dalam mengembangkan asuhan mandiri
melalui pemanfaatan TOGA dan akupresur.

4.7.3.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat ditujukan untuk seleksi variabel kandidat. Masing-masing
variabel independent dihubungkan dengan variabel dependen (bivariat),
bila hasil uji bivariat mempunyai p < 0,25, maka variabel tersebut masuk
dalam model multivariat. Untuk variabel yang p valuenya > 0,25, maka
variabel tersebut masuk ke dalam model multivariat. Untuk variabel yang
p valuenya > 0,25 namun secara substansi penting, maka variabel tersebut
dapat masuk ke multivariat.

4.7.3.3 Analisis Multivariat


Dilakukan untuk melihat hubungan beberapa variabel independen secara
bersamaan dengan variabel dependen. Dengan analisis ini kita dapat
mengetahui variabel independen mana yang memiliki hubungan paling
kuat dengan variabel dependen. Kita juga dapat mengetahui apakah
hubungan variabel independen dengan variable dependen dipengaruhi
variable lain. Kita perlu tahu apakah hubungan variabel independen
dengan variable dependen berhubungan langsung atau tidak. Kegunaan
analisis multivariat untuk mengetahui pengaruh murni masing-masing
variable dan mengetahui faktor paling dominan.

Analisis mutivariat dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor karakteristik


demografi dan motivasi kader yang paling berhubungan terhadap
partisipasi kader asuhan mandiri di Puskesmas Kecamatan Cakung dengan
uji regresi logistic (logistic regression), akan terlihat pengaruh yang
tertinggi sampai yang terendah.

Setelah didapatkan hasil uji bivariat selanjutnya dilakukan analisis


multivariat untuk mengetahui variabel yang paling berhubungan dari
variabel bebas dengan variabel terikat. Analisis multivariat pada penelitian
ini akan menggunakan uji regresi logistik ganda.

4.7.4. Penentuan Variabel Kandidat


67

Hasil uji tersebut kemudian dilakukan secara bertahap untuk mengetahui


variabel ini yang pealing berhubungan dengan variabel dependen. Variabel
independent yang menjadi kandidat dapat dimasukkan ke dalam model
multivariat harus memenuhi syarat yaitu p value < 0,25 pada analisis
bivariat dimasukkan semua ke dalam model, yaitu dengan cara
memasukkan satu persatu variabel kovariat.

4.7.5. Analisis interaksi


Analisis interaksi dilakukan untuk melihat apakah di antara variabel
independen saling berinteraksi dan secara substansi/biologis diduga ada
interaksi.

Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 1 bulan pada bulan Juli 2020 di
Kecamatan Cakung Jakarta Timur yang terdiri dari dari 5 kelurahan. Jumlah
responden sebanyak 65 orang dari populasi kader asuhan mandiri sebanyak 77
orang.

Tabel 5.1
Distribusi Responden Menurut Kelurahan Cakung Jakarta Timur

Kelurahan Jumlah Kader


Asuhan Mandiri

Pulo Gebang 6
Penggilingan 21
Jatinegara 14
Cakung Barat 13
Ujung 11
Menteng
Jumlah 65

Penyajian hasil penelitian meliputi: 1) analisis univariat ditampilkan dalam bentuk


distribusi frekuensi yang meliputi karakateristik demografi kader dan motivasi
kader 2) analisis bivariat untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan
variabel terikat 3) analisis multivariat untuk melihat variabel yang paling
berhubungan antara karakateristik demografi dan motivasi dengan partisipasi
kader.

5.1. Gambaran karakteristik demografi kader


Karakteristik kader meliputi jenis kelamin, umur, lama menetap,
pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, lama kerja dan
pendapatan keluarga dalam satu bulan dapat dilihat pada tabel 5.2
69

Tabel 5.2
Distribusi Responden Menurut Karakteristik Demografi Kader
Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur Tahun 2020 (n = 65)
Karakteristik Demografi Frekuensi %
Umur
dewasa akhir< 45 tahun 27 41,5
lansia awal > 46 tahun 38 58,5
(Mean= 46,89; Median=48;SD=8,552)
Lamanya tinggal
≤30 tahun 38 58,5
>30 tahun 27 41,5
(Mean =30,72;Median=30;SD=30)
Pendidikan
1.Dasar (SD,SMP) 20 30,8
2.Menengah(SMU,Perguruan Tinggi) 45 69,2
SD=2(3,1%)
SMP=18(27,7%)
SMU=43(66,2%)
Perguruan Tinggi=2(3,1)
Pekerjaan
1.Bekerja (Karyawan swasta,wiraswasta) 6 9,2
2.Tidak bekerja (Ibu Rumah Tangga) 59 90,8
Karyawan swasta=2 (3,1)
Wiraswasta=4 (6,2)
Ibu Rumah Tangga=59 (90,8)
Status Perkawinan
1.Kawin 61 93,8
2 Janda 4 6,2
Lama kerja
≤5 tahun 33 50,8
>5 tahun 32 49,2
(Mean=8,29;Median=5;SD=6,876)
Pendapatan
≤Rp.4.276.000 57 87,7
>Rp.4.276.000 8 12,3
(Mean=2,421jutaRp.;Median=500ribuRp;SD=1,92jutaRp)

Tabel 5.2 menunjukkan sebagian besar responden berumur di atas > 46


tahun. Itu menunjukan di usia lansia awal para kader masih memanfaatkan
waktunya untuk melakukan pekerjaan sukarela menjadi kader. Sebagian
besar responden berpendidikan menengah yaitu SMU, namun masih ada
responden berpendidikan dasar yaitu SMP dan SD walaupun telah lama
menetap di Kecamatan Cakung. Hampir sebagian besar kader merupakan

Universitas Indonesia
ibu rumah tangga, berstatus kawin, lama kerja < 5 tahun dan memiliki
pendapatan di bawah upah minimum Provinsi DKI Jakarta tahun 2020.

5.1.2. Gambaran Partisipasi kader


Tabel 5.3
Distribusi Nilai Jawaban Kader Asman Puskesmas Kecamatan Cakung Terhadap
Pertanyaan Partisipasi Tentang Tenaga Tahun 2020 (n=65)
Pertanyaan Jawaban Responden
Tenaga Tidak Jarang Kadang- Sering Total
Pernah kadang
Frek % Frek % Frek % Frek % Frek %
Mengajak 19 29,2 24 36,9 10 15,4 12 18,5 65 100
masyarakat
membentuk
kelompok asman
Mengajak 6 9,2 15 23,1 25 38,5 19 29,2 65 100
masyarakat
menanam TOGA
Membagikan ilmu 8 12,3 19 29,2 20 30,8 18 27,7 65 100
pengetahuan dan
keterampilan
Membantu petugas 10 15,4 27 41,5 14 21,5 14 21,5 65 100
melakukan
penyuluhan
Melakukan 37 56,9 19 29,2 4 6,2 5 7,7 65 100
akupresur kepada
orang lain
Bekerja sama 1 1,5 3 4,6 22 22 39 60 65 100
dengan kader
Bekerja sama 2 3,1 15 23,1 20 30,8 28 43,1 65 100
dengan Puskesmas
Bekerja sama 8 12,3 19 29,2 12 18,5 26 40 65 100
dengan Lurah

Pikiran Tidak Jarang Kadang- Sering Total


Pernah kadang
Frek % Frek % Frek % Frek % Frek %
Melakukan survey 8 12,3 19 29,2 12 18,5 26 40 65 100
kebutuhan
masyarakat
Membuat 10 15,4 18 27,7 25 38,5 12 18,5 65 100
perencanaan

Material Tidak Jarang Kadang- Sering Total


Pernah kadang
71

Frek % Frek % Frek % Frek % Frek %

Menyediakan 23 35,4 18 27,7 17 26,2 7 10,8 65 100


rumah untuk
pertemuan
Meminjamkan 31 47,7 17 26,2 11 16,9 6 9,2 65 100
peralatan sendiri
untuk promosi
Membagikan jamu 40 61,5 15 23,1 7 10,8 3 4,6 65 100
gratis
Membagikan 16 24,6 27 41,5 14 21,5 8 12,3 65 100
tanaman obat
Dana Tidak Jarang Kadang- Sering Total
Pernah kadang
Frek % Frek % Frek % Frek % Frek %

Memberikan 7 10,8 26 40 20 30,8 12 18,5 65 100


sumbangan
Menggalang dana 19 29,2 27 41,5 11 16,9 8 12,3 65 100
sehat

5.1.3.2 Data Karakteristik Kader

Gambaran partisipasi karakteristik kader disajikan dengan nilai mean,


median, minimal/maksimal dan standar deviasi dapat dilihat dalam tabel
5.4 berikut:

Tabel 5.4
Deskripsi Nilai Partisipasi Kader Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur
Tahun 2020 ( n = 65)
Variabel Min-Maks Mean Median Standar Deviasi
Tenaga 10-32 21,51 22 4,77
Pikiran 2-8 4,8 5 1,81
Material 4-16 7,8 7 2,9
Dana 2-8 4,6 5 1,5
Total Partisipasi 19-64 38,89 39 9,37

Tabel 5.4 di atas menunjukan bahwa variabel partisipasi kader meliputi tenaga,
pikiran, material dan dana mempunyai sumber perbedaan nilai mean dan median

Universitas Indonesia
yang sangat kecil, sehingga diasumsikan data tersebut berdistribusi normal.
Selanjutnya nilai median hasil analisis dipergunakan untuk membuat kategori
partisipasi yang disajikan pada tabel 5.5

Tabel 5.5

Deskripsi Nilai Partisipasi Kader


Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur
Tahun 2020 ( n = 65)
Partisipasi Frekuensi %
Tenaga
1.Tinggi 26 40
2. Rendah 39 60
Pikiran
1. Tinggi 26 40
2. Rendah 39 60
Material
1.Tinggi 28 43,1
2Rendah 37 56,9
Dana
1.Tinggi 20 30,8
2.Rendah 45 69,2
Partisipasi
1.Rendah 33 50,8
2.Tinggi 32 49,2

Tabel 5.5 menunjukkan sebagian besar kader memiliki partisipasi rendah dalam hal
tenaga, pikiran, material dan dana. Separuh kader memiliki partisipasi rendah
seperti yang ditunjukan dalam diagram 5.2

Gambar Diagram 5.2


Distribusi Partisipasi Kader
di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta Timur Tahun 2020
73

5.1.2 Gambaran Karakteristik Motivasi Kader

Hasil pengolahan data primer motivasi kader asuhan mandiri yang bersifat
deskriptif dari penelitian berdasarkan pernyataan yang terdapat dalam
kuesioner dapat dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 5.6
Distribusi Nilai Jawaban Kader Asuhan Mandiri Puskesmas Kecamatan
Cakung Terhadap Pertanyaan Motivasi berdasarkan Kebutuhan Dasar Tahun 2020
(n=65)
Pertanyaan Jawaban Responden
Kebutuhan Dasar SS S TS STS Total
Frek % Frek % Frek % Frek % Frek %
Mendapatkan 28 43,1 31 47,7 5 7,7 1 1,5 65 100
bantuan
kebutuhan pokok
Mendapatkan 19 29,2 38 58,5 7 10,8 1 1,5 65 100
bantuan
kebutuhan hunian
Kebutuhan Rasa SS S TS STS Total
Aman
Frek % Frek % Frek % Frek % Frek %
Mendapatkan rasa 16 24,6 44 67,7 5 7,7 0 0 65 100
aman dari
ancaman
Mendapatkan rasa 28 43,1 28 43,1 7 10,8 0 0 65 100
aman dari
penyakit
Mendapatkan rasa 14 21,5 40 61,5 8 12,3 3 4,6 65 100
aman dari rasa
cemas
Kebutuhan Rasa SS S TS STS Total
Sosial
Frek % Frek % Frek % Frek % Frek %
Ingin 28 43,1 32 49,2 1 1,5 4 6,2 65 100
bermasyarakat

Adanya dukungan 28 43,1 35 53,8 1 1,5 1 1,5 65 100


teman

Adanya teman 15 23,1 47 72,3 0 0 3 4,6 65 100


kompak

Universitas Indonesia
Adanya dukungan 26 40 26 40 12 18,5 1 1,5 65 100
masyarakat

Adanya 17 26,2 47 72,3 0 0 1 1,5 65 100


kebutuhan
pertemanan
Adanya 22 33,8 42 64,6 1 1,5 0 0 65 100
kebutuhan
persahabatan
Ingin dilibatkan 2 3,1 10 15,4 26 40 27 41,5 65 100
tugas asuhan
mandiri
Kebutuhan SS S TS STS Total
Penghargaan
Frek % Frek % Frek % Frek % Frek %
Ingin mendapat 27 41,5 26 40 10 15,4 2 3,1 65 100
prioritas berobat
di Puskesmas
Ingin mendapat 26 40 26 40 12 18,5 1 1,5 65 100
prioritas
mengurus surat di
kelurahan
Ingin mendapat 13 20 30 46,2 19 29,2 3 4,6 65 100
pujian dari
Puskesmas
Tidak mengharap 5 7,7 4 6,2 43 66,2 13 20 65 100
pujian dari
Puskesmas
Ingin 14 21,5 40 61,5 10 15,4 1 1,5 65 100
mendapatkan
beasiswa buat
keluarga
Mengharapkan 0 0 4 6,2 46 70,8 15 23,1 65 100
imbalan

Mengharapkan 26 40 38 58,5 0 0 1 1,5 65 100


perhatian
Puskesmas
Mengharapkan 17 26,2 43 66,2 4 6,2 1 1,5 65 100
perhatian Lurah

Mengharapkan 21 32,3 38 58,5 5 7,7 1 1,5 65 100


perhatian Dinas
Pertanian
Menjadi kader 2 3,1 3 4,6 38 58,5 22 33,8 65 100
karena orang lain

Menjadi kader 2 3,1 9 13,8 46 70,8 8 12,3 65 100


bukan keinginan
sendiri
Kebutuhan SS S TS STS Total
Aktualisasi Frek % Frek % Frek % Frek % Frek %
75

Memiliki potensi 28 43,1 32 49,2 1 1,5 4 6,2 65 100


sebagai kader

Mampu 28 43,1 35 53,8 1 1,5 1 1,5 65 100


melakukan
penyuluhan
Mampu 15 23,1 47 72,3 0 0 3 4,6 65 100
menggerakkan
masyarakat
Mampu 27 41,5 26 40 10 15,4 2 3,1 65 100
berorganisasi

Mengisi waktu 26 40 26 40 12 18,5 1 1,5 65 100


senggang

Mendapatkan 28 43,1 32 49,2 4 6,2 1 1,5 65 100


pelatihan

Mendapatkan 28 43,1 32 49,2 1 1,5 4 6,2 65 100


studi banding

Memiliki 2 3,1 10 15,4 26 40 27 41,5 65 100


tanggungjawab
sebagai kader
asman
Ingin belajar 15 23,1 46 70,8 4 6,2 0 0 65 100
TOGA dan
akupresur
Senang 3 4,6 19 29,2 30 46,2 13 20 65 100
mengelola TOGA
sendiri
Ingin selalu 26 40 26 40 12 18,5 1 1,5 65 100
dibina

Ingin dikenal 14 21,5 40 61,5 10 15,4 1 1,5 65 100


masyarakat

Ingin berperan di 15 23,1 46 70,8 4 6,2 0 0 65 100


masyarakat

Ingin menjadi 26 40 26 40 12 18,5 1 1,5 65 100


panutan
masyarakat

Universitas Indonesia
Tabel 5.7
Deskripsi Motivasi Kader Asman
Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur
Tahun 2020 (n = 65)
Variabel Min-Maks Mean Median Standar Deviasi
Kebutuhan Dasar (Basic Need) 2-7 3,52 4,0 1,13
Keamanan (Safety Need) 3-10 5,56 6,0 1,61
Rasa Sosial (Social Need) 8-22 16,87 17,0 2,54
Penghargaan (Esteem Need) 12-35 25,32 25,0 3,73
Aktualisasi Diri (Self Actualization) 19-50 36,03 35 5,93
Total Motivasi 52-113 87,32 88 11,46

Tabel 5.7 di atas menunjukan bahwa variabel motivasi kader meliputi


kebutuhan dasar (basic need), keamanan (safety need), sosial (social need),
penghargaan (esteem need) dan aktualisasi diri (self actualization)
mempunyai sumber perbedaan nilai mean dan median yang sangat kecil,
sehingga diasumsikan data tersebut berdistribusi normal. Selanjutnya nilai
median hasil analisis dipergunakan untuk membuat kategori motivasi yang
disajikan pada tabel 5.8

Tabel 5.8
Deskripsi Motivasi Kader Asman
Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur
Tahun 2020 (n = 65)
Motivasi Frekuensi %
Kebutuhan Dasar (Basic Need)
1.Tinggi 58 89,2
2. Rendah 7 10,8
Keamanan (Safety Need)
1. Tinggi 54 83,1
2. Rendah 11 16,9
Rasa Sosial (Social Need)
1.Tinggi 41 63,1
2Rendah 24 36,9
Penghargaan (Esteem Need)
1.Tinggi 35 53,8
2.Rendah 30 46.2
77

Aktualisasi Diri (Self Actualization)


1.Tinggi 31 47,7
2.Rendah 34 52,3
Motivasi
1.Rendah 39 60
2.Tinggi 26 40

Tabel 5.8 menunjukkan distribusi motivasi kader asuhan mandiri memiliki


kebutuhan dasar, keamanan, rasa sosial dan penghargaan yang tinggi,
sedangkan aktualisasinya rendah. Motivasi kader sebagian besar rendah
seperti yang gambar diagram 5.1.
Diagram 5.1
Distribusi Motivasi Kader Asman
di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta Timur Tahun 2020

5.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk menemukan jawaban dari


hipotesis yang telah ditegakkan yaitu mengetahui hubungan antara
variabel independent dengan variabel dependen. Variabel
independent ialah kebutuhan dasar (basic need), keamanan (safety
need), sosial (social need), penghargaan (esteem need) dan
aktualisasi diri (self actualization). Variabel dependen ialah
partisipasi kader. Uji statistik yang digunakan yaitu kai kuadrat
(X2) dengan tingkat kepercayaan 95%. Untuk menarik kesimpulan
apakah ada tidaknya hubungan antara variabel independent dengan
variabel dependen, dilihat dari nilai p dari hasil hitung kai kuadrat.
Dinyatakan kedua variabel tersebut ada hubungan yang bermakna
apabila nilai p kurang dari 0,05. Hasil analisis bivariat berikut

Universitas Indonesia
disajikan mulai demografi dan motivasi kader dengan
partisipasinya.

5.2.1 Hubungan Demografi Kader dengan Partisipasi


Dalam penelitian ini sub variabel demografi kader meliputi jenis
kelamin, umur, lama menetap, pendidikan, status pekerjaan, status
perkawinan, lama kerja dan pendapatan keluarga. Karena semua kader
adalah perempuan, maka variabel jenis kelamin tidak diteliti. Hasil
analisis disajikan dalam tabel 5.9

Tabel 5.9
Distribusi Kader Menurut Hubungan Karakteristik Demografi Dengan Partisipasi
Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur
Tahun 2020
Karakteristik Demografi Partisipasi P- OR
Kader Value (95% Cl)

Rendah Tinggi %
n (%) n (%)
Umur :
dewasa akhir < 45 tahun 15(55,6%) 12(44,4%) 27 0,690 1,389 (0,516 – 3,741)
lansia awal >46 tahun 18(47,4%) 20(51,6%) 38
Lamanya tinggal
< 30 tahun 20(52,6%) 18(47,4%) 38 0,917 1,197 (0,446 – 3,213)
>30 tahun 13 (48,1%) 14 (51,9%) 27
Pendidikan
1.Dasar 7 (35%) 13(65%) 20 0,154 0,393(0,132 – 1,174)
2.Menengah 26 (57,8%) 19 (42,2%) 45
Pekerjaan
1.Bekerja 1 (16,7%) 5 (83,3%) 6 0,185 0,169 (0,019 – 1,534)
2.Tidak bekerja 32 (54,2%) 27 (45,8%) 59
Status Perkawinan
1.Kawin 32 (52,5%) 29 (47,5%) 61 0,584 3,310 (0,326 – 33,627)
2 Janda 1 (25%) 3 (75%) 4
Lama kerja
< 5 tahun 22 (66,7%) 11 (33,3%) 33 0,019 3,818 (1,366 – 10,669)
>5 tahun 11 (34,4%) 21 (65,6%) 32
Pendapatan
< Rp.4.276.000 29 (50,9%) 28 (49,1%) 57 0,963 1,036 (0,236 – 4,550)
>Rp.4.276.000 4 (50%) 4 (50%) 8

Dari hasil uji chi square didapatkan hubungan umur, lama menetap, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan dan pendapatan tidak memiliki hubungan bermakna
79

dengan partisipasi, sedangkan lama kerja memiliki hubungan bermakna dengan


partisipasi dengan nilai p value 0,019.
Tabel 5.10

Distribusi Kader Menurut Hubungan Karakteristik Motivasi Dengan Partisipasi


Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur
Tahun 2020
Karakteristik Partisipasi P- OR
Motivasi Kader Value (95% Cl)
Tinggi Rendah n
n (%) n (%)
Kebutuhan dasar
1. Tinggi 29 (50%) 29 (50%) 58 0,721 0,750 (0,154 – 3,652)
2. Rendah 3 (42,9%) 4 (57,1%) 7
Kebutuhan rasa
aman
1.Tinggi 26 (48,1%) 28 (51,9%) 54 0,955 1,292 (0,352 – 4,748)
2.Rendah 6 (54,5%) 5 (45,5%) 11
Kebutuhan Sosial
1. Tinggi 25 (61%) 16 (39%) 41 0,027 0,264 (0,089 – 0,777)
2. Rendah 7 (29,2%) 17 (70,8%) 24
Kebutuhan
Penghargaan 0,224 (0,078 – 0,637)
1. Tinggi 23(65,7%) 12 (34,3%) 35 0,009
2. Rendah 9 (30%) 21 (70%) 30
Kebutuhan
aktualisasi diri
1. Tinggi 10(32,3%) 21 (67,7%) 31 0,018 0,260 (0,093 – 0,728)
2. Rendah 22 (64,7%) 12 (35,3%) 34

Dari hasil uji chi square didapatkan hubungan kebutuhan dasar dan rasa
aman tidak memiliki hubungan bermakna dengan partisipasi, sedangkan
hubungan kebutuhan rasa sosial, penghargaan dan aktualisasi memiliki
hubungan yang bermakna dengan partisipasi.

5.3. Analisis Multivariat


Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan variabel independent
yang paling signifikan hubungannya dengan variabel dependen melalui uji
regresi logistic.

Universitas Indonesia
a. Langkah pertama uji multivariat adalah pemilihan kandidat dari seluruh
variabel independent yang analisis bivariat mempunyai nilai p kurang
dari 0,25 dan uji regresi logistic sederhana untuk mendapat variabel
yang akan masuk dalam uji regresi logistic ganda. Variabel yang dapat
dimasukkan ke dalam uji regresi logistic ganda adalah yang mempunyai
nilai p kurang dari 0,25.

b. Selanjutnya kandidat yang memenuhi syarat dilakukan uji bersama-


sama dengan uji regresi logistic ganda dengan metode Enter. Variabel
yang valid adalah variabel yang p valuenya < 0,05. Bila dalam model
multivariat dijumpai variabel p valuenya > 0,05, maka varibel tersebut
harus dikeluarkan dalam model. Pengeluaran variabel tidak dikeluarkan
secara serempak melainkan satu persatu dikeluarkan di mulai dari p
valuenya yang terbesar.

c. Analisis Regresi Logistik Sederhana terhadap variabel didapatkan 4 sub


variabel yang memenuhi syarat yaitu dari demografi masa kerja
menjadi kader, sedangkan dari motivasi yaitu kebutuhan sosial,
penghargaan dan aktualisasi diri. Hasil Langkah awal pertama
multivariat regresi logistic ganda disajikan dalam tabel 5.18 sebagai
berikut.

Tabel 5.11

Hasil Langkah Awal Regresi Logistik Ganda


Meliputi Demorafi dan Motivasi

Variabel B p value OR 95% C.I


Lama kerja 1,340 0,011 3,818 1,366 – 10,669
H
Kebutuhan sosial -1,334 0,016 0,264 0,089-0,777
a
Kebutuhan -1,498 0,005 0,224 0,078-0,637
penghargaan
s
Kebutuhan -1,348 0,010 0,260 0,093-0,728
i
aktualisasi diri

Hasil uji regresi logistic ganda terhadap 4 variabel indenpenden


didapatkan variabel lama kerja mempunyai nilai p value 0,011,
kebutuhan sosial p value 0,016, kebutuhan penghargaan p value 0,005
81

dan aktualisasi diri p value 0,010. Semua variabel dapat dilakukan


pengujian regresi logistik lebih lanjut yang disajikan dalam tabel 5.19

Tabel 5.12

Hasil akhir analisis multivariat regresi logitsik antara masa kerja, kebutuhan
sosial, penghargaan dan aktualisasi diri.

Variabel B p value OR 95% C.I


Lama kerja 1,475 0,01 4,371 1,413–13,526
Penghargaan -1,623 0,005 0,197 0,063–0,615
Constant 0,127 0,908 1,135

Berdasarkan tabel 5.9 di atas menunjukkan bahwa sub variabel lama kerja p value
= 0,01 paling dominan terhadap partisipasi kader dan diikuti oleh penghargaan p
value = 0,005. Nilai OR lama kerja 4,371 mempunyai arti bahwa lama kerja kader
> 5 tahun mempunyai peluang berpartisipasi lebih tinggi dibanding dengan kader
yang lama kerja < 5 tahun. Partisipasi kader menjadi lebih baik jika lama kerja > 5
tahun. Begitupula dengan motivasi penghargaan nilai OR 0,197 mempunyai arti
bahwa kader yang diberi penghargaan dapat memberi partisipasi 0,1 kali.

Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan menguraikan hasil penelitian ini berdasarkan tujuan penelitian.
Penulisan dibuat tiga bagian yaitu pertama menjelaskan tentang keterbatasan
penelitian, kedua membahas tentang hasil penelitian dari variabel demografi dan
motivasi kader dengan partisipasi upaya pengembangan kesehatan tradisional
asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan Akupresur diintegrasikan dengan konsep
dan dari hasil peneliti lain. Ketiga adalah implikasi untuk keperawatan.

6.1.Keterbatasan Penelitian
6.1.1 Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian jenis analitik kuantitatif
dengan pendekatan cross sectional, dimana pengukuran partisipasi
merupakan variabel dependen dilakukan bersamaan dengan variabel
independen meliputi demografi dan motivasi dan observasi dokumen
kegiatan kelompok. Kelemahan rancangan ini hanya menunjukkan
gambaran kondisi subyek yang dilakukan pada saat pengamatan saja.
Dengan cross sectional hasil penelitian dapat menunjukkan keterkaitan
atau hubungan antara variabel independent dengan variabel dependen.

6.1.2 Populasi dan Sampel


Populasi dan sampel yang diteliti adalah kader yang telah diberi orientasi
asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan Akupresur oleh Petugas
Puskesmas Kecamatan Cakung. Latar belakang pendidikan kader sebagian
besar bukan Perguruan Tinggi dan kebanyakan SMU dan SMP, sehingga
kemungkinan bias dapat terjadi karena kader dalam mengisi kuesioner
merasa diamati. Pengisian angket tergantung objektifitas dan kejujuran
responden.

6.1.3 Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen pengumpulan data untuk partisipasi yang dikembangkan peneliti
mengacu pada buku promosi kesehatan dan pedoman upaya pengembangan
83

kesehatan tradisional asuhan mandiri, sehingga bias sangat mungkin terjadi


dalam penelitian ini karena kemampuan peneliti masih terbatas.
Kemungkinan penyebab bias yang lain kualitas instrument sangat
dipengaruhi kemampuan peneliti dalam mengaplikasikan partisipasi kader
kedalam kalimat yang dapat dipahami oleh responden. Instrumen ini baru
pertama kali digunakan sehingga jumlah pertanyaan dalam kuesioner kurang
memadai dan belum menyentuh substansi area penelitian sebagaimana
mestinya. Peneliti berusaha agar penelitian ini menjadi bermanfaat karena
itu dilakukan uji validitas dan reliabilitas atas item pernyataan yang
diajukan.

6.2. Faktor Demografi Kader Asuhan Mandiri


1. Jenis kelamin
Dari hasil analisis univariat, distribusi kader berdasarkan
karakteristik demografi menggambarkan bahwa seluruh kader yang
menjadi responden di Kecamatan Cakung adalah perempuan 65
orang (100%), sehingga variabel jenis kelamin tidak diteliti lebih
lanjut karena tidak ada pembandingnya. Kader asuhan mandiri di
Puskesmas Kecamatan Cakung merupakan kader dasa wisma dan
wanita yang merupakan kader program Tim Penggerak
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga serta juga merupakan kader
kesehatan yang programnya sebagian besar adalah program
kesehatan ibu dan anak.

2. Umur
Separuh kader berumur < 45 tahun 27 orang (41,5%) dan > 46
tahun 38 orang (58,5%), data tersebut menunjukkan bahwa di usia
lansia awal para kader masih memanfaatkan waktunya untuk
melakukan pekerjaan sukarela menjadi kader. Umur kader
dikategorikan berdasarkan kategori menurut Depkes (2009), maka
didapatkan gambaran bahwa dari 27 orang kader berumur < 45
tahun mempunyai partisipasi tinggi 12 (44,4%) dan partisipasi

Universitas Indonesia
rendah 15 (55,6%). Sedangkan dari 38 orang yang berumur > 46
tahun mempunyai partisipasi tinggi 20 (52,6%) dan partisipasi
rendah 18 (47,4%). Dari hasil uji chi square didapatkan p value
0,690 berarti tidak ada hubungan bermakna antara umur dengan
partisipasi.

Penelitian yang dilakukan Nita (2020), umur tidak memiliki


pengaruh terhadap peran kader dalam pencegahan kejadian TBC
[48]. Begitupula penelitian yang dilakukan oleh Trisnaniyanti
(2010), tidak ada hubungan antara umur dengan aktifitas kader
dalam mencegah dan memberantas demam berdarah dengue.
Dikarenakan tingkat senioritas pada saat sekarang ini sudah tidak
berlaku lagi, umur tidak banyak mempengaruhi seseorang dalam
melakukan tugas sebagai kader Jumantik [49]. Menurut
pengamatan peneliti, beberapa kader yang berusia lansia
menghormati peran ibu RW dalam kegiatan kader, sehingga peran
ibu RW sangat menonjol dalam kegiatan kelompok masyarakat.

Selain itu, upaya pemanfaatan TOGA sangat erat terkait dengan


budaya, sehingga orang dewasa yang tidak memperoleh
pengetahuan dan pengalaman pemanfaatan TOGA dari keluarga
agak kesulitan melakukan penyuluhan kepada masyarakat.
Penelitian yang dilakukan pada anak suku Maya tentang
pembelajaran pemanfaatan tanaman obat menunjukan bahwa anak
suku Maya belajar mengetahui tanaman obat dengan terlibat
langsung mencari tanaman obat saat keluarganya ada yang sakit.
Pengetahuan pemanfaatan tanaman obat dapat dimiliki oleh anak-
anak [50].

3. Lama menetap
Sebagian besar kader menetap <30 tahun 38 orang (58,5%) dan >
30 tahun 27 orang (41,5%). Distribusi hubungan antara lama
menetap kader dengan partisipasi didapatkan gambaran bahwa dari
38 orang kader dengan lama menetap < 30 tahun mempunyai
85

partisipasi tinggi 18 (47,4%) dan partisipasi rendah 20 (52,6%).


Sedangkan dari 27 orang dengan lama menetap > 30 tahun
mempunyai partisipasi tinggi 14 (51,9%) dan partisipasi rendah 13
(48,1%). Dari hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,917
berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara lama menetap
dengan partisipasi. Menurut pengamatan peneliti, Kecamatan
Cakung merupakan daerah padat penduduk dan sering terjadi
keluar masuk pendatang baru menetap di daerah tersebut, sehingga
hal ini merupakan kendala dalam upaya pembentukan kelompok.
Disamping itu, kelompok kader dasa wisma merupakan anggota
masyarakat yang dengan sukarela ditunjuk oleh ibu ketua RT,
keanggotaannya bersifat tidak tetap dan dapat berubah tiap tahun.

4. Status pendidikan
Status pendidikan kader SD 2 orang (3,1%), SMP 18 orang
(27,7%), SMU 43 orang (66,6%). Atau pendidikan dasar (SD dan
SMP) 20 orang (30,8%) dan pendidikan menengah (SMU dan
Peguruan Tinggi) 45 orang (69,2%).

Distribusi hubungan antara pendidikan kader dengan partisipasi


didapatkan gambaran bahwa dari 20 orang kader dengan
pendidikan dasar mempunyai partisipasi tinggi 13(65%) dan
partisipasi rendah 7 (35%). Sedangkan 45 orang dengan pendidikan
menengah didapatkan partisipasi tinggi 19 (42,2%) dan partisipasi
rendah 26 (57,8%). Dari hasil uji square didapatkan p value 0,154
berarti tidak ada hubungan antara status pendidikan dengan
partisipasi. Menurut Hanum (2015), tidak terdapat hubungan antara
pendidikan dan keaktifan kader posyandu [51] Begitupula
penelitian yang dilakukan Maharani (2015), tidak ada hubungan
pendidikan dengan keaktifan kader Posyandu [52]. Menurut
pengamatan peneliti, latar belakang pendidikan kader bukan berasal
sekolah kejuruan pertanian atau kesehatan, sehingga tidak ada

Universitas Indonesia
pengetahuan cara merawat tanaman atau meracik tanaman obat dan
pengetahuan tentang manfaat akupresur.

5. Status Bekerja

Distribusi hubungan antara pekerjaan kader dengan partisipasi


didapatkan gambaran bahwa dari 6 orang kader dengan status
bekerja mempunyai partisipasi tinggi 5 (83,3%) dan partisipasi
rendah (16,7%). Sedangkan 59 orang dengan status sebagai ibu
rumah tangga didapatkan partisipasi tinggi 27 (45,8%) dan
partisipasi rendah 32 (54,2%). Dari hasil uji square didapatkan p
value 0,185 berarti tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan
partisipasi

Menurut penelitian Linda (2017), tidak ada hubungan antara status


bekerja dengan partisipasi kader dalam penyelenggaran kelas ibu
hamil [53]. Sebanyak 59 orang kader (90,8%) adalah ibu rumah
tangga yang memiliki motivasi sebagai kader untuk mengisi waktu
senggang sebesar 52 (80%).

6. Status perkawinan

Status perkawinan kader kawin sebanyak 61 orang (93,8%) dan


janda sebanyak 4 orang (6,2%). Distribusi hubungan antara
pekerjaan kader dengan partisipasi didapatkan gambaran bahwa
dari 6 orang kader dengan status bekerja mempunyai partisipasi
tinggi 5 (83,3%) dan partisipasi rendah (16,7%). Sedangkan 59
orang dengan status sebagai ibu rumah tangga didapatkan
partisipasi tinggi 27 (45,8%) dan partisipasi rendah 32 (54,2%).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukandar dkk
(2019), tidak ada hubungan antara status perkawinan dengan
tingkat aktifitas kader Posyandu dikarena semua kader telah
menikah [54]. Menurut pengamatan peneliti, kader yang telah
menikah memiliki tanggungjawab terhadap keluarga sedangkan
upaya pengembangan kesehatan tradisional asuhan mandiri
87

pemanfaatan TOGA dan akupresur seperti merawat dan menyiram


tanaman sangat menyita waktu.

7. Lama kerja kader

Separuh kader memiliki lama kerja < 5 tahun sebesar 33 orang


(50,8%) dan separuhnya > 5 tahun sebesar 32 orang (49,2%).
Distribusi hubungan antara lama kerja kader dengan partisipasi
didapatkan gambaran bahwa dari 33 orang kader dengan lama kerja
kader < 5 tahun mempunyai partisipasi tinggi 11 (33,3%) dan
partisipasi rendah 22 (66,7%). Sedangkan dari 32 orang dengan
lama kerja kader > 5 tahun mempunyai partisipasi tinggi 21
(65,6%) dan partisipasi rendah 11 (34,4%). Dari hasil uji chi square
didapatkan nilai p value 0,019 berarti ada hubungan yang bermakna
antara masa kerja kader dengan partisipasi.

Penelitian yang dilakukan dilakukan Wardhani (2012) terdapat


hubungan antara lama menjadi kader Posyandu dengan tingkat
partisipasi masyarakat [55]. Penelitian yang dilakukan oleh
Kusumawardhani dan Pudji (2018) ada hubungan antara lama kerja
dengan kinerja kader. Pengalaman yang cukup lama memengaruhi
tingkat dari pengetahuan kader. Rata-rata kader sudah bekerja
diatas 5 tahun yang dapat diindikasikan kader sudah mampu
mandiri dalam mengerjakan tugasnya. Pengalaman yang dimiliki
ini mampu menunjukkan bagaimana kader merespon dengan baik
fenomena kesehatan yang ada di lingkungannya. Sikap inilah yang
dimiliki berdasarkan pengalaman kader selama bekerja menjadi
unit pelayanan masyarakat [56].

Kader asuhan mandiri merupakan anggota masyarakat yang dipilih


oleh komunitasnya dan bekerja untuk komunitasnya. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Maryse (2016), kader dipilih oleh
masyarakat karena ramah, suka menolong baik berupa tenaga
maupun material dan uang, dapat menjaga rahasia, dapat bekerja

Universitas Indonesia
sama, mendapat dukungan dari pimpinan komunitas dan memiliki
pengetahuan dan keterampilan dalam mengobati [57].

Individu yang merasa dihargai dan dihormati cenderung membalas


dengan kepercayaan dan keterlibatan emosional dalam pertukaran
mereka dengan orang lain. Individu yang memiliki tingkat
komitmen organisasi afektif yang tinggi akan memiliki niat yang
lebih besar untuk membalas ke organisasi melalui keterlibatan
dalam bekerja. Lama kerja yang lebih lama kemungkinan besar
terkait secara positif dengan komitmen dan kinerja. Individu yang
memperoleh lama kerja lebih lama cenderung memiliki
keterampilan dan pengetahuan yang baik untuk meningkatkan
potensi produktivitas dan kesuksesan. Dengan lebih lama dengan
organisasi tertentu, pekerja memperoleh pengetahuan yang lebih
luas tentang lingkungan organisasi spesifik yang pada gilirannya
dapat memfasilitasi kinerja. Dengan lama kerja lebih lama dengan
organisasi, karyawan memperoleh pengetahuan yang lebih besar
tentang tujuan organisasi dan oleh karena itu dapat membuat saran
yang lebih konstruktif. Sumber daya manusia khusus perusahaan
(misalnya, pengetahuan tentang proses dan strategi bisnis) akan
meningkat dengan masa jabatan organisasi. Individu yang telah
bekerja lebih lama dalam suatu organisasi cenderung telah
membangun hubungan sosial yang lebih banyak dan hubungan
yang lebih kuat dengan rekan kerja baik di dalam maupun di luar
departemen mereka. Individu dengan lama kerja organisasi yang
lebih lama, yang telah mengembangkan lebih banyak hubungan
dengan orang lain di tempat kerja, mungkin lebih sering meminta
bantuan dari rekan kerja dan mungkin lebih efektif dalam
memberikan bantuan semacam itu. Pada tahap awal karir, tugas
utama individu adalah mempelajari berbagai macam keterampilan,
membangun hubungan dengan orang lain di tempat kerja dan di
industri, dan maju ke tingkat tanggung jawab yang baru. Namun,
ketika individu memasuki tahap pertengahan karir (atau
89

pemeliharaan), perhatian utama mereka menjadi melestarikan


konsep diri mereka, berpegang pada pencapaian karir yang telah
dicapai dan mencapai keseimbangan kerja-non-kerja yang lebih
baik. Karyawan dengan masa kerja organisasi yang sangat panjang
mungkin memiliki minat atau kemauan yang lebih sedikit untuk
terlibat dalam tugas-tugas di luar tugas pekerjaan yang disyaratkan.
Selain itu, karyawan dengan masa kerja organisasi yang sangat
lama mungkin memiliki energi fisik dan emosional yang lebih
sedikit untuk terlibat dalam bekerja [58].

Penelitian yang dilakukan oleh Langelihle (2015), keberlangsungan


kader melakukan tugasnya pada dasarnya karena keinginannya
memiliki peran sebagai kader. Sebelum menjadi kader, mereka
telah terbiasa memiliki kepedulian merawat anak, tetangga, ibu,
ayah, teman dan komunitas. Kader memiliki kepedulian untuk
merawat dan mendidik anggota masyarakat tentang kesehatan.
Sebagian besar kader dimotivasi oleh rasa peduli dan komitmen
untuk melayani komunitas mereka. Kedua, mereka merupakan
bagian dari komunitas dan merasa memiliki tanggung jawab.
Mereka lahir dan besar di komunitasnya. Kepedulian kader
dipengaruhi juga oleh sifat religius. Ketiga status kader
memberikan status yang lebih tinggi di komunitasnya karena
komunitasnya akan memandang kader memiliki pengetahuan
kesehatan. Kader merasa bahwa mereka memiliki kemampuan
mengajar tentang masalah kesehatan. Keempat peran kader sebagai
jembatan antara komunitas dengan fasilitas kesehatan dan instansi
lain [59].

Kader yang memiliki lama kerja > 5 tahun memiliki partisipasi


lebih tinggi karena memiliki pengalaman, pengetahuan dan
keterampilan yang baik, ingin menjadi kader, memiliki hubungan
sosial yang baik, mau meluangkan waktunya, tenaga, memberi
sumbangan dan material, dapat bekerja sama dengan Puskesmas,

Universitas Indonesia
Lurah dan TP-PKK Kelurahan dan memiliki rasa tanggung jawab
terhadap komunitas karena telah lama menetap dengan
komunitasnya. Kader yang memiliki lama kerja > 5 tahun mau
mengembangkan diri sebagai kader dibuktikan dengan adanya SK
Tugas sebagai kader dan SK Tugas sebagai kelompok wanita tani
serta memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai
dibuktikan dengan adanya dokumentasi pelatihan dan pembinaan
dari Puskesmas dan TP-PKK Kelurahan. Kader tersebut juga mau
memberikan sumbangan material seperti membagikan tanaman
obat kepada komunitasnya dibuktikan dengan adanya laporan
kelompok asuhan mandiri.

8. Status pendapatan
Sebagian besar kader memiliki pendapatan < UMR sebanyak 57
orang (Rp.4.276.000) sebesar 87,7% dan sisanya memiliki
pendapatan > UMP sebanyak 8 orang (12,3%). Distribusi
hubungan antara pendapatan kader dengan partisipasi didapatkan
gambaran bahwa dari 57 orang kader dengan pendapatan kurang
dari UMP (Rp.4.276.000) mempunyai partisipasi tinggi 28 (49,1%)
dan partisipasi rendah 29 (50,9%). Sedangkan dari 8 orang dengan
pendapatan di atas UMP mempunyai partisipasi tinggi 4 (50%) dan
partisipasi rendah 4 (50%). Dari hasil uji chi square didapatkan
nilai p value 0,963 berarti tidak ada hubungan yang bermakna
antara pendapatan dengan partisipasi

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyutomo (2010), tidak ada


hubungan antara pendapatan dengan peran kader Posyandu dalam
pemantauan balita [60]. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh
Fawzia (2012), tidak ada hubungan antara penghasilan dengan
partisipasi kader Jumantik dalam upaya pemberantasan sarang
nyamuk [61]. Tidak ada hubungan antara pendapatan dengan
partisipasi, dikarenakan pendapatan kader bersumber dari sumber
lain.
91

6.2.2 Faktor Motivasi Kader Asuhan Mandiri


a. Kebutuhan Dasar

Sebagian besar kader mengharapkan adanya kebutuhan dasar


sebanyak 58 orang (89,2%), hal ini wajar mengingat adanya situasi
krisis ekonomi karena adanya wabah yang masih berlangsung yang
sangat dirasakan oleh masyarakat.

Distribusi hubungan antara motivasi kebutuhan dasar dengan


partisipasi didapatkan gambaran bahwa dari 58 orang kader dengan
kebutuhan dasar tinggi mempunyai partisipasi tinggi 29 (50%) dan
partisipasi rendah 29 (50%). Sedangkan dari 7 orang dengan
kebutuhan dasar rendah mempunyai partisipasi tinggi 3 (42,9%)
dan partisipasi rendah 4 (57,1%). Dari hasil uji chi square
didapatkan nilai p value 0,721 berarti tidak ada hubungan yang
bermakna antara kebutuhan dasar dengan partisipasi.

Menurut Robbins (2015), meskipun tidak ada kebutuhan yang


terpuaskan sepenuhnya, kebutuhan yang pada dasarnya telah
terpenuhi tidak lagi memotivasi. Dengan begitu, sebagaimana
setiap kebutuhan pada dasarnya telah tercukupi, maka kebutuhan
berikutnya menjadi lebih dominan [15]. Tidak ada hubungan antara
kebutuhan dasar dengan partisipasi kemungkinan ketersediaan
bahan pokok makanan di pasar yang cukup dan masih terjangkau
oleh kader.

b. Kebutuhan Rasa Aman


Sebagian besar kader mengharapkan adanya rasa aman sebanyak
54 orang (83,1%), kader berharap adanya rasa aman dari ancaman,
kecemasan dan rasa aman dari penyakit.

Distribusi hubungan antara motivasi kebutuhan rasa aman dengan


partisipasi didapatkan gambaran bahwa dari 54 orang kader dengan
kebutuhan tinggi rasa aman mempunyai partisipasi tinggi 26
(48,1%) dan partisipasi rendah 26 orang (51,9%). Sedangkan dari

Universitas Indonesia
11 orang dengan kebutuhan rendah rasa aman mempunyai
partisipasi tinggi 6 (54,5%) dan partisipasi rendah 5 (45,5%). Dari
hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,955 berarti tidak ada
hubungan yang bermakna antara kebutuhan akan rasa aman dengan
partisipasi. Tidak ada hubungan antara kebutuhan rasa aman
dengan partisipasi karena Pemerintah DKI Jakarta telah
menyediakan fasilitas kesehatan yang bermutu dan dapat dijangkau
oleh masyarakat Kecamatan Cakung dan lingkungan cukup
kondusif.

c. Kebutuhan Sosial

Sebagian besar dapat bertahan menjadi kader karena adanya


kebutuhan sosial sebesar 41 (63,1%) seperti keinginan
bermasyarakat, pertemanan dan persahabatan.

Distribusi hubungan antara motivasi kebutuhan sosial dengan


partisipasi didapatkan gambaran bahwa dari 41 orang kader dengan
kebutuhan tinggi sosial mempunyai partisipasi tinggi 25 (61%) dan
partisipasi rendah 16 orang (39%). Sedangkan dari 14 orang
dengan kebutuhan rendah sosial mempunyai partisipasi tinggi 7
(29,2%) dan partisipasi rendah 17 (70,8%). Dari hasil uji chi
square didapatkan nilai p value 0,027 berarti ada hubungan yang
bermakna antara kebutuhan akan rasa sosial dengan partisipasi.

Menurut Suparman (2016), motivasi karena adanya hubungan


sosial memiliki pengaruh yang bermakna terhadap keaktifannya
sebagai kader aktif [62].

Menurut Mc Celland, kebutuhan akan afiliasi adalah keinginan


untuk hubungan yang penuh persahabatan dan interpersonal yang
dekat. Kebutuhan akan afiliasi dan kekuasan cenderung erat terkait
dengan keberhasilan manajerial.

Menurut S.Kironde (2002), faktor motivasi kader dalam program


tuberkulosis antara lain adanya kepedulian terhadap orang lain,
93

kebutuhan untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan


waktu luang, mendapatkan pengalaman kerja, dan hal baru dari
program TB berbasis komunitas [63].

d. Kebutuhan Penghargaan

Separuh kader memiliki kebutuhan akan penghargaan sebesar 35


orang (53,8%) seperti ingin diprioritas ketika berobat ke
Puskesmas, mengurus surat di kelurahan, ingin dipuji oleh
Puskesmas, mendapat bantuan beasiswa bagi keluarga, ingin
diperhatikan oleh Puskesmas, Lurah dan Dinas Pertanian.

Distribusi hubungan antara motivasi kebutuhan penghargaan


dengan partisipasi didapatkan gambaran bahwa dari 35 orang kader
dengan kebutuhan penghargaan tinggi mempunyai partisipasi
tinggi 23 (65,7%) dan partisipasi rendah 12 orang (34,3%).
Sedangkan dari 30 orang dengan kebutuhan rendah sosial
mempunyai partisipasi tinggi 9 (30%) dan partisipasi rendah 21
(70%). Dari hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,009
berarti ada hubungan yang bermakna antara kebutuhan
penghargaan dengan partisipasi. Penelitian ini sejalan dengan
Hermiyanti (2016) yang menunjukan ada hubungan antar
penghargaan dengan partisipasi kader dalam kegitan Posyandu [6].
Penelitian yang dilakukan oleh Febria (2009), ada hubungan antara
penghargaan dengan keaktifan kader RW Siaga [64].

Menurut Patricia Duthie (2012), tujuh kunci sukses supervisi kader


antara lain (1) advokasi kepada kader; (2) rekrut dengan bijaksana;
(3) peka terhadap kebutuhan kader; (4) percaya dan menghormati
kader; (5) memperjelas batas dan ruang lingkup kerja kader; (6)
kembangkan struktur; dan (7) mendorong terus belajar. Supervisi
yang efektif dapat meningkatkan dan mendukung kemampuan
kader saat dia membantu komunitasnya mengatasi tantangan hidup.
Ketika kekuatan budaya dan interpersonal kader digabungkan

Universitas Indonesia
dengan supervisi yang efektif dan dukungan, kader menjadi
anggota penting dari tim kesehatan [65].

Penelitian yang dilakukan oleh Maritza (2013), partisipasi kader


dapat berhasil karena (1) adanya pengakuan dan penghargaan dari
fasilitas kesehatan, Pemerintah dan mitra bahwa kader memiliki
peran penting di masyarakat; (2) kader mendapatkan pelatihan
sesuai tugasnya dan saling bertukar pengetahuan dan keterampilan
dengan kader lain; (3) kader memiliki akses ke pejabat dan
pendapat mereka didengar; (4) kader memiliki kesempatan
berkontribusi dalam program pelatihan kader; (5) adanya supervisi
dari fasilitator fasilitas kesehatan dan mitra yang kompeten [66].

Menurut Megawati (2014), kinerja kader posyandu dapat


diperbaiki dengan meningkatkan insentif dan memperbanyak
pelatihan untuk kader. Maksud diadakannya pelatihan yaitu untuk
meningkatkan keterampilan dan kemampuan kerja seseorang atau
sekelompok orang [67].

Penelitian yang dilakukan Husniyah (2016), kader yang memiliki


motivasi dengan keyakinan akan diberi imbalan insentif atau uang
transport, pujian atas keberhasilan kerja, kesempatan
mengambangkan diri dan penghargaan dapat meningkatkan kinerja
kader. Selama ini penghargaan yang diberikan kepada kader berupa
sertifikat dari Walikota [68].

Berdasarkan hasil penelitian Rahayu dkk (2020), penghargaan


memiliki hubungan dengan partisipasi kader jumantik di wilayah
kerja Puskesmas Indralaya. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa sebagian besar (51,2%) kader jumantik di wilayah kerja
Puskesmas Indralaya tidak pernah mendapatkan penghargaan.
Penghargaan dapat berupa imbalan. Imbalan yang baik adalah
sistem yang mampu menjamin kepuasan anggota-anggotanya,
memelihara dan mempekerjakan orang dengan berbagai sikap
perilaku positif dan produktif bagi kepentingan organisasi
95

misalnya pergerakan, kemampuan, pengetahuan, keterampilan,


dan waktu tenaga para pekerja [69].

Penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati (2012), pengakuan atas


prestasi kader seperti pemberian reinforcement, promosi atau
prioritas pelayanan kesehatan dapat meningkatkan peran serta
kader [70].

Penelitian yang dilakukan oleh Shifa (2020), salah satu faktor


penghambat kader Lansia dalam memberikan pelayanan Posbindu
adalah kurangnya dana snack dan fasilitas seperti alat tulis [71].

Menurut Hertzberg, faktor-faktor yang mengarahkan pada


kepuasan kerja adalah terpisah dan berbeda dari faktor-faktor yang
mengarahkan pada ketidakpuasan pekerjaan. Oleh karena itu, para
manajer berupaya menghilangkan faktor-faktor yang dapat
menghilangkan faktor-faktor yang dapat menciptakan
ketidakpuasan pekerjaan. Upaya itu lebih menenangkan tetapi tidak
memotivasi para pekerjanya. Sebagai hasilnya Herztberg
mengategorikan kondisi seperti mutu pengawasan, gaji, kebijakan
perusahaan, kondisi fisik kerja, hubungan dengan orang lain dan
keamanan pekerjaan sebagai faktor murni (hygiene factor). Ketika
faktor-faktor itu memadai, orang tidak akan tidak puas; tetapi juga
mereka tidak akan dipuaskan. Jika kita ingin memotivasi orang atas
pekerjaan mereka, Hertzberg menyarankan penekanan ada faktor-
faktor yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri seperti
kesempatan kenaikan pangkat, peluang pertumbuhan pribadi,
pengakuan, tanggungjawab dan pencapaian, Hal ini karakteristik
orang-orang yang menemukan pemberian imbalan secara
instrinsik.

Selain teori motivasi Herzberg, ada juga teori kontemporer


motivasi yaitu model keadilan organisasi. Menurut definisinya
keadilan organisasi adalah persepsi keseluruhan dari apa yang adil

Universitas Indonesia
di tempat kerja. Model keadilan organisasi terdiri atas tiga yaitu
keadilan distribusi, prosedural dan interaksi. Keadilan distribusi
yaitu memusatkan perhatian pada kewajaran hasil misalnya
pengakuan yang diterima pekerja. Keadilan prosedural yaitu
melibatkan pekerja dalam tugasnya secara adil. Keadilan interaksi
adalah keinginan diperlakukan dengan rasa hormat dan
bermartabat. Keadilan memiliki efek yang positif terhadap
fisiologis manusia seperti rasa nyaman pekerja saat tidur dan
kondisi kesehatan yang lebih baik saat diperlakukan adil.

Berdasarkan tabel 5.9, penghargaan memiliki nilai OR 0,197 yang


artinya kader yang diberi penghargaan dapat memberi partisipasi
hanya 0,1 kali. Menurut peneliti, hal tersebut dikarena pelatihan
baru satu kali dan pembinaan dari petugas Puskesmas Kecamatan
Cakung baru di kelompok asuhan mandiri yang sudah terbentuk
yaitu di RW 01 Kelurahan Penggilingan. Studi pendahuluan yang
dilakukan peneliti, kader masih belum paham dengan asuhan
mandiri pemanfaatan TOGA dan Akupresur serta maksud dan
tujuan program, sehingga perlu adanya pembinaan berkala dari
Puskesmas untuk meningkatkan motivasi kader dalam
berpartisipasi mengembangkan asuhan mandiri pemanfaatan
TOGA dan akupresur bagi komunitasnya.

Dari hasil penelitian, penghargaan akan meningkatkan partisipasi.


Penghargaan yang diberikan kepada kader dalam bentuk adanya
dukungan dari masyarakat, Puskesmas, Lurah dan Pertanian. Studi
pendahuluan, masyarakat masih mengharapkan adanya bantuan
dari kader asuhan mandiri dan hal ini menjadi beban bagi kader.
Kader juga berharap adanya bantuan bibit, pot dan pupuk serta
pembinaan yang rutin untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam memanfaatkan TOGA dan akupresur.

e. Kebutuhan Aktualisasi
97

Dalam aktualisasi diri sebagai kader, sebagian besar 34 orang


(52,3%) kurang mengaktualisasi diri dan hal ini wajar karena kader
merupakan tenaga sukarela dan kebanyakan kader mengisi
pekerjaan sebagai kader hanya untuk mengisi waktu senggang.

Distribusi hubungan antara motivasi kebutuhan dengan partisipasi


didapatkan gambaran bahwa dari 31 orang kader dengan kebutuhan
aktualisasi tinggi mempunyai partisipasi tinggi 10 (32,3%) dan
partisipasi rendah 21 orang (67,7%). Sedangkan dari 34 orang
dengan kebutuhan aktualisasi rendah mempunyai partisipasi tinggi
22 (64,7%) dan partisipasi rendah 12 (35,3%). Dari hasil uji chi
square didapatkan nilai p value 0,018 berarti ada hubungan yang
bermakna antara kebutuhan akan rasa aman dengan partisipasi.

Menurut Maslow, aktualisasi merupakan urutan kebutuhan


tertinggi dan dipenuhi secara internal (di dalam diri seseorang),
sedangkan kebutuhan yang lebih rendah sebagian besar akan
dipuaskan secara eksternal (dengan imbalan misalnya gaji, kontrak
serikat dan kedudukan tetap).

Di Jepang, Yunani dan Meksiko, di mana karakteristik


ketidakpastian-penghindaran kuat, kebutuhan terhadap keamanan
berada di urutan teratas hirarki. Negara-negara yang memiliki skor
tinggi atas karakteristik pendidikan. Denmark, Swedia, Norwegia,
Belanda dan Finlandia memiliki kebutuhan sosial dan aktualisasi
diri urutan teratas.

Penelitian yang dilakukan oleh Nonhlanhla (2013), keberhasilan


dan keberlanjutan program kader membutuhkan komitmen sumber
daya manusia yang berkelanjutan, termasuk investasi dalam
pelatihan berkualitas, pengawasan, pendampingan, dan dukungan
organisasi. Selain itu, sumber daya lain diperlukan untuk
mendukung kader dalam menjalankan layanan pemerintah yang
tidak terkoordinasi dan terfragmentasi. Pada akhirnya, memperkuat

Universitas Indonesia
program kabupaten dan kecamatan sangat penting untuk program
kader yang dipimpin pemerintah yang efektif. Program nasional
tidak mungkin mencapai hasil yang diharapkan kecuali ada
kapasitas yang memadai untuk mendukung kader agar beroperasi
secara efektif pada antarmuka antara masyarakat dan sistem
kesehatan [72].

Penelitian yang dilakukan Zachari (2019) tentang motivasi kader


dalam pengobatan diare kepada masyarakat sekitarnya. Sebagian
besar kader lebih memilih pengobatan diare gratis daripada
pengobatan diare dengan sistem wirausaha. Banyak kader segan
meminta biaya obat diare kepada tetangganya [73].

6.2.3 Partisipasi Kader Asuhan Mandiri


Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar kader memiliki
partisipasi rendah dalam hal tenaga 39 (60%), pikiran 39 (60%),
material 37 (56,9%) dan dana 45 (69,2%). Separuh kader memiliki
partisipasi rendah 33 (50,8%).

Partisipasi kader asuhan mandiri mempromosikan upaya kesehatan


tradisional asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan akupresur masih
rendah. Dari hasil observasi dokumen, baru kader di RW 01
Penggilingan yang telah memiliki kegiatan asuhan mandiri
pemanfaatan TOGA dan akupresur seperti merawat taman kelompok
secara bergiliran, membagikan tanaman obat kepada warga sekitar
yang meminta dan mempromosikan jamu instan.

Menurut Notoatmodjo (2012), dalam partisipasi kader sendirilah yang


akan memikirkan, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasikan
program kesehatan mereka. Institusi kesehatan hanya sekedar
memotivasi dan membimbingnya. Di dalam partisipasi, setiap kader
memberikan kontribusi atau sumbangan. Menurut filosofi partisipasi,
partisipasi masyarakat akan timbul bila adanya kelangkaan fasilitas
kesehatan dan tenaga kesehatan. Program kesehatan yang diciptakan
dari partisipasi kader didasarkan kepada idealisme:
99

1) community felt need

Program kesehatan diciptakan oleh masyarakat karena adanya


kebutuhan dari masyarakat. Sehingga adanya program kesehatan
bukan karena diturunkan dari atas, tetapi tumbuh dari bawah yang
diperlukan masyarakat dan untuk masyarakat.

2) organisasi pelayanan atau program kesehatan adalah masyarakat itu


sendiri

3) program kesehatan akan dikerjakan oleh masyarakat itu sendiri.

Dalam teori penentuan nasib sendiri (self determination theory), teori


motivasi yang memusatkan perhatian pada pengaruh yang
menguntungkan dari motivasi secara ekstrinsik. Teori ini berpendapat
bahwa orang-orang lebih suka jika merasakan memiliki kontrol atas
tindakan mereka, sehingga segala hal yang menjadikan tugas yang
sebelumnya dinikmati berubah menjadi sebuah kewajiban daripada
aktivitas yang dipilih dengan bebas akan meruntuhkan motivasi.

Dalam partisipasi, dibutuhkan keterlibatan dalam pekerjaan (job


engagement) yang tinggi, berinvestasi atas fisik, kognitif dan energi
emosional dalam melakukan upaya pengembangan kesehatan
tradisional. Kunci beberapa orang terlibat dalam pekerjaan, mereka
meyakini manfaat untuk terlibat dengan pekerjaan. Hal ini sebagian
ditentukan oleh karakteristik pekerjaan dan akses pada sumber daya
yang memadai untuk dapat bekerja secara efektif. Faktor lainnya
adalah kesesuaian di antara nilai organisasi. Perilaku kepemimpinan
yang menginspirasi para pekerja terhadap semangat misi yang lebih
tinggi juga dapat meningkatkan keterlibatan pekerjanya.

Teori penetapan tujuan merupakan teori yang mengatakan bahwa


tujuan yang spesifik dan sulit, dengan umpan balik, akan mengarahkan
pada kinerja yang lebih tinggi. Teori penetapan tujuan pada
kenyataannya mengungkapkan efek yang mencengangkan atas

Universitas Indonesia
ketegasan tujuan, tantangan dan umpan balik pada kinerja. Tahun
1960-an, Edwin Locke mengusulkan bahwa niat untuk bekerja
mengarah pada tujuan adalah sumber utama dari motivasi kerja. Bukti
yang kuat menyarankan bahwa tujuan yang spesifik akan
meningkatkan kinerja; merupakan tujuan yang sulit, ketika diterima,
memghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada tujuan yang
digeneralisasikan “lakukan yang terbaik”. Orang-orang yang
melakukan dengan lebih baik ketika mereka memperoleh umpan balik
pada seberapa baik kemajuan mereka terhadap tujuan mereka karena
hal ini dapat membantu mengidentifikasi kesenjangan antara apa yang
dilakukan dengan apa yang ingin dikerjakan. Umpan balik yang
dihasilkan diri sendiri dapat memonitor kemajuan mereka sendiri
adalah lebih kuat daripada umpan balik yang dihasilkan secara
eksternal. Orang yang menetapkan tujuan akan melakukan yang
terbaik ketika tujuan ditetapkan.

6.3 Implikasi Terhadap Mutu Pengembangan Kesehatan Tradisional


Melalui Asuhan Mandiri dan Penelitian.
Penelitian tentang hubungan faktor demografi dan motivasi terhadap
partisipasi kader asuhan mandiri di Puskesmas Kecamatan Cakung Jakarta
Timur Tahun 2020 memiliki implikasi bahwa faktor demografi dan motivasi
kader asuhan mandiri memiliki hubungan langsung dengan partisipasi kader.
Kader asuhan mandiri merupakan ujung tombak masyarakat dalam
mengembangkan program kesehatan tradisional. Kader dipilih oleh
masyarakat karena atas keinginan sendiri dan tanpa paksaan dan
berpartisipasi mengembangkan kesehatan tradisional melalui asuhan mandiri
pemanfaatan TOGA dan akupresur kepada komunitasnya. Kader asuhan
mandiri berperan secara langsung dengan mengajak kelompok masyarakat di
lingkungan tempat tinggalnya membentuk kelompok asuhan mandiri dan
mengajak keluarga, kelompok masyarakat dan komunitasnya memanfaatkan
TOGA dan akupresur.
101

Agar program ini dalam berkembang optimal, maka menurut Philip B


Crosby ada empat hal yang mutlak (absolut) menjadi bagian dari integral dari
manajemen mutu, yaitu bahwa:
1) mutu adalah kesesuaian terhadap persyaratan

2) sistem mutu adalah pencegahan

3) penampilan mutu adalah zero defects

4) ukuran mutu adalah harga ketidaksesuaian

Dalam setiap program kesehatan perlu adanya sasaran program, kegiatan,


indikator dan cakupan yang jelas dan terukur. Dalam rencana strategi
Kementerian Kesehatan 2020-2024 sasaran program, kegiatan dan indikator
pelayanan kesehatan tradisional jelas dan terukur, namun cakupan yang
terukur belum dibuat. Walaupun dalam pedoman pengembangan kesehatan
tradisional asuhan mandiri disebutkan bahwa dalam kurun waktu paling lama
3-6 bulan sejak dilakukan orientasi kader, diharapkan adanya pembentukan
kelompok. Namun ternyata pedoman ini tidak dapat menjadi standar dalam
perencanaan pembiayaan pengembangan kesehatan tradisional asuhan
mandiri di tingkat Puskesmas Kecamatan. Padahal wilayah Kecamatan
Cakung cukup luas, sehingga kurang optimal bila pembentukan kelompok
hanya di satu RW.

Program kesehatan yang dilakukan oleh kader merupakan program yang


rentan tidak berjalan optimal, sehingga diperlukan adanya desain program
kader yang jelas. WHO sendiri telah membuat rekomendasi dalam rangka
meningkatkan mutu program kesehatan yang dilakukan oleh kader dan
rekomendasi tersebut disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara
anggota [74]

1) adanya seleksi kepribadian kader, pendidikan minimal dan pelatihan


atau pengalaman sebelumnya yang dibuktikan dengan sertifikat

2) adanya manajemen dan pengawasan program kader seperti pelatihan


dan supervisi.

Universitas Indonesia
3) terintegrasi dan adanya dukungan sistem kesehatan seperti adanya
dukungan tenaga kesehatan yang melatih kader, fasilitas yang
dibutuhkan oleh kader dan remunerasi untuk kader.

Menurut Juran, ada tiga hal yang berkaitan dengan mutu yaitu perencanaan,
pengendalian dan peningkatan mutu. Dalam perencananaan ada tahap yang
dilalui yaitu menetapkan siapa pelanggan, kebutuhan pelanggan,
mengembangkan keistimewaan produk, mengembangkan proses dan
mengarahkan perencanaan. Dalam pengendalian mutu melakukan control
mutu, menyesuaikan dengan standar dan prosedur serta mengoreksi dan
memperbaiki dari berbagai masalah. Sedangkan untuk meningkatkan mutu
ada dua hal yang diperhatikan, fitness for use dan mengurangi tingkat
kesalahan. Keduanya menyangkut pelanggan internal dan eksternal.

Terkait dengan partisipasi kader di Kecamatan Cakung Jakarta Timur


dalam upayanya meningkatkan mutu pengembangan kesehatan tradisional
asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan akupresur, maka perlu adanya
perencanaan yang dibuat oleh Puskesmas bersama kader dan TP-PKK
Kelurahan:

1) identifikasi kelompok masyarakat yang akan dibentuk kelompok asuhan


mandiri.

Kecamatan Cakung merupakan masyarakat pluralistik, sehingga dalam


kegiatan partisipasi program kesehatan akan lebih efektif bila mengajak
tokoh masyarakat seperti ketua RT/RW, dasa wisma dan kelompok
wanita tani.

2) identifikasi kebutuhan kelompok masyarakat seperti panduan buku


pemanfaatan TOGA dan akupresur, bibit tanaman, pupuk, pelatihan
menanam tanaman di pekarangan yang terbatas dan lain-lain

3) mengembangkan keistimewaan produk merespon kebutuhan pelanggan


seperti adanya fasilitas pemasaran hasil produk kelompok asuhan
mandiri.
103

4) mengembangkan proses yang mampu menghasilkan keistimewaan


produk seperti adanya pelatihan bagi kader dan supervisi berkala yang
dilakukan oleh Puskesmas dan TP-PKK Kelurahan.

5) mengarahkan perencanaan ke kegiatan-kegiatan seperti pembentukan


kelompok, pembinaan kelompok, pemberian bantuan bibit tanaman,
lomba penilaian kelompok asuhan mandiri

Dalam kegiatan kontrol program ini ada langkah-langkah yang dapat


dilakukan antara lain:

1) evaluasi pengetahuan dan keterampilan kader dan kelompok asuhan


mandiri

2) evaluasi kebutuhan kader dan kelompok asuhan mandiri

3) melakukan perbaikan terhadap evaluasi yang sudah dilakukan

Dalam peningkatan mutu program, maka Puskesmas perlu:

1) Mengidentifikasikebutuhan kader dan kelompok asuhan mandiri

2) Memfasilitasi kebutuhan kader dengan melakukan koordinasi dengan


Lurah, Suku Dinas Pertanian dan TP-PKK Kelurahan

3) Melakukan seleksi kader yang dapat berpartisipasi program ini

4) Melakukan pelatihan dan pembinaan secara berkala

5) Membagikan panduan pemanfaan TOGA dan akupresur

Universitas Indonesia
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran mengacu pada tujuan penelitian serta pembahasan dalam
bab 6, maka dapat dibuat kesimpulan dan saran sebagai berikut:

7.1 Kesimpulan
1) Semua responden kader asuhan mandiri adalah wanita, sebagian besar
berstatus ibu rumah tangga, menikah, sebagian besar berusia di atas 46
tahun, berpendidikan menengah, memiliki pendapatan di bawah upah
minimum pendapatan DKI Jakarta tahun 2020, telah menetap cukup lama
dan memiliki lama kerja kurang dari 5 tahun

2) Sebagian besar kader asuhan mandiri memiliki motivasi rendah 39 orang


(60%), sedangkan yang memiliki motivasi tinggi 26 orang (40%).
Motivasi yang rendah karena masih adanya kebutuhan dasar, rasa aman,
rasa sosial dan penghargaan yang belum tercukupi, sehingga aktualisasi
kader masih rendah.

3) Partisipasi tinggi kader hanya separuh 32 orang (49,2%). Partisipasi kader


dalam promosi program ini masih kurang karena kurangnya dukungan
masyarakat dalam menanam TOGA, kurangnya dukungan bantuan bibit
tanaman, pot dan pupuk dari Lurah dan Suku Dinas Pertanian dan
pembinaan belum dilakukan secara berkala kepada semua kader.

4) Kader yang memiliki lama kerja lebih dari lima tahun mempunyai peluang
4,371 kali berpartisipasi dalam upaya pengembangan kesehatan tradisional
asuhan mandiri dibandingkan dengan kader yang mempunyai lama kerja
kurang dari lima tahun. Kader yang memiliki lama kerja > 5 tahun
memiliki partisipasi lebih tinggi karena memiliki pengalaman,
pengetahuan dan keterampilan yang baik, ingin menjadi kader, memiliki
hubungan sosial yang baik, mau meluangkan waktunya, tenaga, memberi
sumbangan dan material, dapat bekerja sama dengan Puskesmas, Lurah
dan TP-PKK Kelurahan dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap
105

komunitas karena telah lama menetap dengan komunitasnya. Kader yang


memiliki lama kerja > 5 tahun mau mengembangkan diri sebagai kader
dibuktikan dengan adanya SK Tugas sebagai kader dan SK Tugas sebagai
kelompok wanita tani serta memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai dibuktikan dengan adanya dokumentasi pelatihan dan pembinaan
dari Puskesmas dan TP-PKK Kelurahan. Kader tersebut juga mau
memberikan sumbangan material seperti membagikan tanaman obat
kepada komunitasnya dibuktikan dengan adanya laporan kelompok asuhan
mandiri.

5) Penghargaan mempunyai peluang berpartisipasi 0,197 kali, hal tersebut


karena pelatihan kader baru satu kali dan pembinaan hanya dilakukan pada
kelompok asuhan mandiri yang sudah terbentuk. Sebagian besar kader
masih belum paham tentang pemanfaatan TOGA dan akupresur, sehingga
perlu adanya pembinaan secara rutin dari Puskesmas.

7.2 Saran
1) Partisipasi kader dalam upaya pengembangan kesehatan tradisional
melalui asuhan mandiri pemanfaatan TOGA dan akupresur merupakan
program yang sangat rentan untuk tidak berkembang, sehingga
Kementerian Kesehatan perlu melakukan evaluasi terhadap program,
antara lain:

a. Membuat jumlah baku cakupan jumlah kelompok asuhan mandiri


dalam setiap wilayah kerja Puskesmas. Jumlah baku ini dapat mengacu
kepada jumlah Posyandu yang aktif. Dengan adanya jumlah baku, maka
Puskesmas dapat mempunyai acuan perencanaan pembiayaan kegiatan
program.

b. Meninjau rekomendasi WHO tentang panduan program petugas


kesehatan komunitas. Kader sebagai ujung tombak program perlu
dilakukan seleksi pendidikan dan sertifikasi pengalaman sebelumnya,

Universitas Indonesia
adanya manajemen dan pengawasan yang baik dan dukungan sistem
kesehatan

c. Membuat standar tenaga kesehatan yang dapat melatih dan membina


kader asuhan mandiri, pelatihan kader yang terakreditasi dan panduan
buku pemanfaatan TOGA dan akupresur yang sesuai kebutuhan
masyarakat.

2) Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta perlu melakukan sosialisasi dan


koordinasi program pengembangan kesehatan tradisional dengan Dinas
Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta dan TP-
PKK Provinsi, sehingga diharapkan dapat memberikan bantuan fasilitas dan
pembinaan kepada kelompok asuhan mandiri yang sudah terbentuk secara
berkala.

3) Dinas Kesehatan Provinsi dan Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi


Jakarta Timur dapat mengadakan perencanaan studi banding dan
penghargaan penilaian kelompok asuhan mandiri tingkat Provinsi untuk
meningkatkan motivasi kader asuhan mandiri.

4) Suku Dinas Kesehatan Kota Jakarta Timur bersama Puskesmas memberi


perhatian melalui acara gathering family untuk meningkatkan motivasi
kader asuhan mandiri.

5) Puskesmas bersama Lurah dan TP-PKK Kelurahan memberi motivasi


kepada kader asuhan mandiri secara rutin untuk:

a. membentuk kelompok asuhan mandiri dengan mengajak tokoh


masyarakat seperti ketua RT/RW, kelompok masyarakat seperti dasa
wisma dan wanita tani di wilayah tempat tinggal kader

b. membuat TOGA dengan memanfaatkan kaleng bekas, kantong


minyak plastik bekas dan lain-lain sebagai pengganti pot

6) Puskesmas memfasilitasi kader asuhan mandiri, agar Lurah dan Suku


Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Timur dapat memberi bantuan
107

bibit tanaman obat tradisional yang memiliki nilai jual, pot, pupuk dan
pendidikan dan pelatihan budidaya tanaman.

7) Puskesmas bersama TP-PKK Kelurahan melakukan supervisi secara


berkala dan memberi penghargaan kader asuhan mandiri sebagai ujung
tombak masyarakat dan tim dalam upaya mengembangkan kesehatan
tradisional melalui asuhan mandiri pemanfaatkan TOGA dan akupresur.

8) Saran Teoritis

Bagi peneliti yang tertarik dengan program kader mengembangkan


kesehatan tradisional, maka disarankan melakukan fokus grup diskusi
dengan kader terlebih dahulu. Dengan fokus grup diskusi tersebut, maka
peneliti lebih mudah melakukan variabel penelitian kuantitatif yang paling
signifikan.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

[1] Tee L. Guidotti . The Literal Meaning of Health, Archives of


Environmental & Occupational Health, 2011,66:3, 189-
190, DOI: 10.1080/19338244.2011.585096

[2] Tony Evans . A human right to health?, Third World


Quarterly, 2002,23:2, 197-215, DOI: 10.1080/01436590220126595

[3] World Health Organization (WHO). Primary Health Care. Report of the
International Conference on Primary Health Care, Alma-Ata, USSR, 6-12
September 1978.

[4] Gabrielle Appleford. Community health workers – motivation and


incentives, Development in Practice, 2013, 23:2, 196-
204, DOI: 10.1080/09614524.2013.772117

[5] Lehmann U, Sanders D. Community health workers: what do we know


about them. The state of the evidence on programmes, activities, costs and
impact on health outcomes of using community health workers. Geneva:
World Health Organization. 2007 Jan:1-42.

[6] Abimbola Olaniran, Helen Smith, Regine Unkels, Sarah Bar-Zeev &
Nynke van den Broek. Who is a community health worker? – a systematic
review of definitions, Global Health Action, 2017,
10:1, DOI: 10.1080/16549716.2017.1272223

[7] Sejarah Singkat TP-PKK diakses dari https://tppkk-pusat.org/tentangkami/


pada tanggal 15 Januari pukul 19:00

[8] Ernawati Munadi. Tanaman Obat, Sebuah Tinjauan Singkat. Info


Komoditi Tanaman Obat. Badan Pengkajian dan Pengembangan
Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2017

[9] Riset Kesehatan Dasar 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010.

[10] Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013.

[11] Laporan Nasional. Riset Kesehatan Dasar 2018. Lembaga Penerbit Badan
109

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2019. Kementerian Kesehatan


RI.

[12] Laporan Provinsi DKI Jakarta. Riset Kesehatan Dasar 2018. Lembaga
Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2019.
Kementerian Kesehatan RI.

[13] Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun


2016 tentang Upaya Pengembangan Kesehatan Tradisional Mandiri
Melalui Asuhan Mandiri Pemanfaatan Taman Obat Keluarga dan
Keterampilan

[14] Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Presiden Nomor 103 Tahun 2014
tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional.

[15] Brandon A. Knettel, Shay E. Slifko, Arpana G. Inman & Iveta Silova.
Training community health workers: an evaluation of effectiveness,
sustainable continuity, and cultural humility in an educational program in
rural Haiti, International Journal of Health Promotion and
Education, 55:4, 177-188, DOI: 10.1080/14635240.2017.1284014

[16] Liza Cragg, Maggie Davies and Wendy Macdowall, Health Promotion
Theory, Open University Press McGraw- Hill Education McGraw- Hill
House Shoppenhangers Road Maidenhead Berkshire England SL6 2QL,
First published 2013

[17] South J, Meah A, Bagnall AM, Jones R. Dimensi program pekerja


kesehatan awam: hasil studi pelingkupan dan produksi kerangka
deskriptif. Promosi Kesehatan Global . 2013; 20 (1): 5-15. doi: 10.1177 /
1757975912464248

[18] Notoatmodjo Soekidjo. Promosi Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan.


Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 2012

[19] Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Pedoman


Pelaksanaan dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Di Bidang
Kesehatan.

[20] Matthew Dennis, Philip James, Evaluating the relative influence on

Universitas Indonesia
population health of domestic gardens and green space along a rural-urban
gradient, Landscape and Urban Planning, Volume 157, 2017, Pages 343-
351, ISSN 0169-2046,https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2016.08.009.
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0169204616301621)

[21] Djuhaeni H, Gondodiputro S, Suparman R. Motivasi Kader Meningkatkan


Keberhasilan Kegiatan Posyandu. Maj Kedokt Bandung. 2010;42(4):140–
8.

[22] Azwar Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi Ketiga. Bina Rupa
Aksara. Jakarta. 1999

[23] Robbins Stephen, Timothy A Judge. Perilaku Organisasi. Edisi 16.


Penerbit Salemba Empat. 2015.

[24] Svea Closser, Kenneth Maes, Erick Gong, Neha Sharma, Yihenew
Tesfaye, Roza Abesha, Mikayla Hyman, Natalie Meyer, Jeffrey Carpenter.
Political connections and psychosocial wellbeing among Women's
Development Army leaders in rural amhara, Ethiopia: Towards a holistic
understanding of community health workers' socioeconomic status, Social
Science & Medicine, Volume 266, 2020,113373,ISSN 0277-9536,
https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2020.113373.

[25] Indrani Saran, Laura Winn, Joseph Kipkoech Kirui, Diana Menya, Wendy
Prudhomme O'Meara (2020). The relative importance of material and non-
material incentives for community health workers: Evidence from a
discrete choice experiment in Western Kenya,Social Science &
Medicine,Volume 246,2020,112726,ISSN 0277-
9536,https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2019.112726

[26] Ade Iva Murty. Partisipasi Sukarela dan Diri Dialogis Studi
Fenomenologis Pada Kader Kesehatan Komunitas Di Kabupaten Garut,
Jawa Barat. Fakultas Psikologi Program Studi Doktor Universitas
Indonesia, 2014.

[27] Ronald M.Andersen. Revisiting the Behaviour and Access to Medical


Care: Does it Matter. Journal of Health and Social Behaviour,Mar.1995,
Vol.36.No.1 (1995),pp.1-10
111

[28] H. Syahmasa. Tesis Analisis Hubungan Faktor Demografi dan Motivasi


Dengan Kinerja Kader Dalam Berperan Serta Meningkatkan Pelyanan
Keperawatan Di Posyandu Wilayah Puskesmas Kecamatan Cipayung
Jakarta Timur Tahun 2002.

[29] Germaine Tuyisenge, Valorie A. Crooks, Nicole S. Berry . Using an ethics


of care lens to understand the place of community health workers in
Rwanda's maternal healthcare system,Social Science & Medicine,Volume
264,2020,113297,ISSN 0277-
9536,https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2020.113297

[30] Naidoo, J., & Wills, J. Developing Practice For Public Health and Health
Promotion. Third Edition. Bailliere Tindal Elsevier. 2010

[31] Ferdinand Kalesaran, Ventje V Rantung, Novi R Pioh. Partisipasi Dalam


Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan
Kelurahan Taas Kota Manado. Journal Acta Diurna Volume IV No.5.
Tahun 2015

[32] Debora Priskila dan Wisni Bantarti.Partisipasi Kader Lansia Dalam


Memberikan Layanan di Posyandu Lansia Tahun 2014. FISIP UI

[33] Andersen RM. Revisiting the behavioral model and access to medical care:
does it matter? J Health Soc Behav. 1995;36(1):1–10. 1. Andersen RM.
Revisiting the behavioral model and access to medical care: does it matter?
J Health Soc Behav. 1995;36(1):1–10.

[34] P.Matthijs Bal, Annet H. De Lange, Paul G.W. Jansen, Mandy E.G.Vander
Velde. Psychological contract breach and job attitudes: A meta-
analysis of age as a moderator. Journal of Vocational Behavior. 2008.

[35] Suprapti, K., & Nashori, F.Hubungan Antara Kebutuhan Rasa Aman
Dengan Partisipasi Politik Pada Kader Partai. 2007

[36] Sunarno, I. Konsep Sehat Menurut Perspektif Budaya Jawa (Studi


Perilaku Masyarakat Jawa dalam Menjaga dan Meningkatkan Kesehatan
di Blitar Jawa Timur. Universitas Airlangga, Surabaya 2012. (p. 307).

[37] Rizky Ayu Wulandari, Retno Andriani,ST. Skripsi Faktor-faktor yang

Universitas Indonesia
berhubungan dengan keaktifan kader Posyandu dalam menunjang
keberhasilan pencapaian tingkat partisipasi masyarakat. 2011.

[38] Wicaksono, M.Arief. Ibuisme Masa Kini: Suatu Etnografi tentang


Posyandu dan Ibu Rumah Tangga. Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN
2528-1569 pISSN 2528-2115

[39] Marita, Waridin. Analisis Pengaruh Upah, Pendidikan, Jumlah


Tanggungan Keluarga dan Status Perkawinan Terhadap CUrahan Jam
Kerja Wanita Di Kecamatan Pedurungan dan Kecamatan Tembalang Kota
Semarang. 2013.

[40] Umi Susilawati.Pengaruh Pendidikan Terhadap Penegtahuan Kader


Tentang Tugas Kader Posyandu. 2012

[41] Arina Candra Profita. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan


Keaktifan Kader Posyandu Di Desa Pengadegan Kabupaten Banyumas.
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia. 2018.Volume 6 No.2 Juli-
Desember 2018. Universitas Airlangga.

[42] Arthathi Eka Suryandari, Osie Happinasari. Factor Affecting The


Posyandu Strata. The 4th university Research Coloquium. 2016.

[43] Suhat, Ruyatul Hasanah. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan


Keaktifan KAder Dalam Kegiatan Posyandu. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 2014.

[44] Syaefuddin, S., Danial, A., & Yuliani, L. Partisipasi PLS Melalui Kader
Pos Pelayanan (Posyandu)“Seruni” Dalam Penyuluhan Pembangunan
Kesehatan di Masyarakat RW 10 Kelurahan Kahuripan Kecamatan
Tawang Kota Tasikmalaya. Comm-Edu (Community Education
Journal), 2019, 2(2), 142-146.

[45] Hastono, Sutanto Priyo. Statistik Kesehatan. Rajawali Pers. PT


RajaGrafindo Persada. Depok 2018.

[46] Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Penerbit Alfa Beta Bandung. 2019.

[47] Hastono, Sutanto Priyo. Analisis Data pada Bidang Kesehatan. Rajawali
Pers. PT RajaGrafindo Persada. Depok 2018.
113

[48] Sumartini, N. Penguatan Peran Kader Kesehatan Dalam Penemuan Kasus


Tuberkulosis (Tb) Bta Positif Melalui Edukasi Dengan Pendekatan Theory
Of Planned Behaviour (Tpb). Jurnal Kesehatan Prima, 8(1), 1246-1263.
2018. Doi:Https://Doi.Org/10.32807/Jkp.V8i1.47.

[49] Trisnaniyanti, I., & Prabandari, Y. S. Persepsi dan Aktifitas Kader PSN
DBD terhadap Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue. Berita Kedokteran Masyarakat, 2010, 26(3), 132.

[50] Deira Jimenez Balam, Lucia Alcala, Dania Salgado. Maya children's
medicinal plant knowledge: Initiative and agency in their learning process.
Learning, Culture and Social InteractionVolume 22 September 2019

[51] Hanum Tri Hapsari, Vilda Ana Veria. Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Keaktifan Kader Posyandu Di Wilayah Kerja Puskesmas Slawi
Tahun 2015.

[52] Maharani Ratih. Pengaruh Pendidikan Terhadap Keaktifan Kader


Posyandu Di Kelurahan Sumber Kecamatan Banjarsari Surakarta. 2015.

[53] Linda Agustinawati, Besar Tirto Husodo, Syamsulhuda Budi Musthofa.


Faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi kader dalam
penyelenggaraan kelas ibu hamil di kelurahan Ngesrep Kota Semarang.
2017

[54] Sukandar, H., Faiqoh, R., & Effendi, J. S. Hubungan Karakteristik


terhadap Tingkat Aktivitas Kader Posyandu Kecamatan Soreang
Kabupaten Bandung. 2019. Jurnal Sistem Kesehatan, 4(3).

[55] WARDHANI, ANDHINA KUSUMA . Hubungan Pengetahuan Gizi Dan


Lama Menjadi Kader Posyandu Dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat
Di Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasar Kliwon Kota
Surakarta. Diploma thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.2012

[56] Kusumawardani, Ade Sintya, and Pudji Muljono. "Hubungan Sikap dan
Motivasi Kerja dengan Kinerja Kader Posyandu (Kasus: Desa Coper dan
Desa Kutuwetam, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo)." Jurnal Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM] 2.2 (2018): 223-

Universitas Indonesia
238.

[57] Maryse C. Kok, Hermen Ormel, Jacqueline E. W. Broerse, Sumit Kane,


Ireen Namakhoma, Lilian Otiso, Moshin Sidat, Aschenaki Z. Kea, Miriam
Taegtmeyer, Sally Theobald & Marjolein Dieleman (2017) Optimising the
benefits of community health workers’ unique position between
communities and the health sector: A comparative analysis of factors
shaping relationships in four countries, Global Public Health, 12:11, 1404-
1432, DOI: 10.1080/17441692.2016.1174722

[58] Thomas WH Ng, Daniel C. Fieldman.


Affective organizational commitment and citizenship behavior: Linear and
non-linear moderating effects of organizational tenure. 2011.
https://doi.org/10.1016/j.jvb.2011.03.006

[59] Langelihle Mlotshwa, Bronwyn Harris, Helen Schneider & Mosa


Moshabela. Exploring the perceptions and experiences of community
health workers using role identity theory, Global Health
Action, 8:1,2015, DOI: 10.3402/gha.v8.28045

[60] Wahyutomo AH. Hubungan Karakteristik dan Peran Kader Posyandu


Dengan Pemantauan Tumbuh Kembang Balita di Puskesmas Kalitidu
Bojonegoro. 2010;1–103.

[61] Fawzia, H. R. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Kader


Jumantik Dalam Upaya Pemberantaan Sarang Nyamuk Di Desa
Wirogunan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta). 2012.

[62] Suparman, R. (2018). Pengaruh Faktor Motivasi Peran Serta Kader dan
Masyarakat Dalam Kegiatan Posyandu di Kabupaten Kuningan. Jurnal
Ilmu Kesehatan Bhakti Husada: Health Sciences Journal, 1(1). Retrieved
from https://ejournal.stikku.ac.id/index.php/stikku/article/view/16

[63] Kironde S, Klaasen S. What motivates lay volunteers in high burden but
resource-limited tuberculosis control programmes? Perceptions from the
Northern Cape province, South Africa. The International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease. 2002 Feb 1;6(2):104-10.
115

[64] Hermiyanty, Nurdiana. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Partisipasi Kader dalam Kegiatan Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas
Donggala Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala. Med Tadulako J Ilm
Kedokt Fak Kedokt dan Ilmu Kesehat [Internet]. 2016;3(3):60–77.
Available from:
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/MedikaTadulako/article/view/927
5

[65] Febria Kartika Irtiani. Skripsi Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan


Keaktifan Kader Rukun Warga Siaga di Wilayah Kecamatan Jatisampurna
Kota Bekasi Tahun 2009.

[66] Patricia Duthie, Janet S Hahn, Evelyn Philippi & Celeste Sanchez. Keys to
Successful Community Health Worker Supervision, American Journal of
Health Education, 43:1, 62-
64,2012, DOI: 10.1080/19325037.2012.10599220

[67] Maritza Concha & Maria Elena Villar. Effective Pluralistic Participation:
Case Study of a Community Health Worker Partnership in Miami,
Florida, Journal of Community Practice, 21:1-2, 28-
42, 2013,DOI: 10.1080/10705422.2013.788329

[68] Megawati Simanjutak. Karakteristik Sosial Demografi dan Faktor


Pendorong Peningkatan Kinerja Kader Posyandu. Jurnal Penyuluhan
Vol.10. No1.2014

[69] Husniyawati, Y. R. Analisis Pengaruh Motivasi, Komitmen Dan Faktor


Organisasi Terhadap Kinerja Kader Posyandu (Studi Tentang
Peningkatan Partisipasi Ibu Balita Di Posyandu Wilayah Kerja
Puskesmas Sidotopo Wetan Kota Surabaya) (Skripsi, Universitas
Airlangga). 2016.

[70] Rahayu Y, Stia Budi I, Yeni. Analisis Partisipasi Kader Jumantik Dalam
Upaya Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Wilayah
Kerja Puskesmas Indralaya. Jikm [Internet]. 2017nov.1 [Cited
2020dec.25];8(3):200-7. Available From:

Universitas Indonesia
Http://103.208.137.59/Index.Php/Jikm/Article/View/239

[71] Fatmawati, Nur L. Hubungan Motivasi Kader Dengan Pelaksanaan Peran


Kader Posyandu Di Kelurahan Sumbersari Kecamatan Sumbersari
Kabupaten Jember. Skripsi. Prodi Ilmu Keperawatan. Universitas Negeri
Jember, 2012.

[72] Shifa Mutia.Partisipasi Kader Lansia Dalam Memberikan Pelayanan Pos


Binaan Terpadu (Posbindu) Di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak
(RPTRA) Anggrek Bintaro Jakarta Selatan. Program Studi Kesejahteraan
Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Universitas Negeri
Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020.

[73] Nonhlanhla Nxumalo, Jane Goudge & Liz Thomas. Outreach Services To
Improve Access To Health Care In South Africa: Lessons From Three
Community Health Worker Programmes, Global Health Action, 6:1, 2013,
Doi: 10.3402/Gha.V6i0.19283

[74] Zachary Wagner, John Bosco Asiimwe, David I. Levine,When Financial


Incentives Backfire: Evidence From A Community Health Worker
Experiment In Uganda,Journal Of Development Economics,Volume
144,2020,102437,Issn 0304-
3878,Https://Doi.Org/10.1016/J.Jdeveco.2019.102437.

[75] WHO Guideline On Health Policy And System Support To Optimize


Community Health Worker Programmers 2018

Anda mungkin juga menyukai