Maulida Azizah & Ummu Rahayu 0
Maulida Azizah & Ummu Rahayu 0
2B
(Sebuah Novel)
Penulis
Maulida Azizah
Ummu Rahayu
Penerbit Digital
Pustaka Hanan
Publikasi
Pustaka E-Book
www.pustaka-ebook.com
Informasi:
pustakahanan@gmail.com
©2012
Lisensi Dokumen
E-book ini dapat disebarkan secara bebas untuk tujuan non-
komersial (nonprofit) dan tidak untuk diperjualbelikan, dengan syarat
tidak menghapus atau merubah sedikitpun isi, atribut penulis dan
pernyataan lisensi yang disertakan
Daftar Isi 2
Prolog 3
Chapter 1 4
Chapter 2 18
Chapter 3 29
Chapter 4 37
Chapter 5 49
Chapter 6 59
Chapter 7 72
Chapter 8 79
Chapter 9 90
Chapter 10 102
Chapter 11 110
Chapter 12 118
Chapter 13 130
Chapter 14 135
Catatan Penulis 1 142
Catatan Penulis 2 144
Tentang Penulis 147
Tentang PNBB 148
“Kau tahu Bit, kita memiliki awal nama yang sama,” Bara
berkata sambil memainkan pensil 2b yang ada di tangannya waktu
itu. Posisi bangku ujiannya saat itu berada di depanku. Sembari
menunggu ujian paket C selanjutnya, Bara berbalik menghadap
mejaku, menopang wajah pada kursi. “Sama-sama berawalan B
kan? Bita dan Bara!” Tegasnya lagi kemudian, masih memandang
pensil 2bnya. Pensil itu berputar-putar, mengikuti perintah tangan
Bara yang asyik memainkannya.
Bara menghembuskan nafas, matanya tak bosan
memandang pensil itu. “Melalui pensil 2B ini, kita pun memiliki takdir
yang sama.”
Aku memperhatikannya, menunggu lanjutan yang entah
sebuah filosofi atau bukan.
“Tapi Bit, takdir kita dilalui oleh dua jalan yang berbeda,”
masih diputar-putarnya pensil itu dan kemudian wajahnya berubah
sendu, “Kurasa, kita sama-sama tahu akan dua jalan itu.”
Aku ikut menghela nafas, mendengar setiap bait kata yang
dikeluarkannya. Ya, kali ini aku banyak setuju dengannya. Manusia
selalu dipilihkan pada banyak jalan. Takdir sepenuhnya berada di
tangan Tuhan. Bagaimana cara kita menuju takdir adalah sebuah
pilihan. Tinggal pilih, jalan mana kemudian yang ingin kita ambil.
Seperti takdirku dengan Bara, itulah yang dikatakan Bara waktu itu.
Semoga takdir kita, kita lalui dengan cara yang mulia.
***
***
***
***
***
***
1
Inisial tempat
***
***
***
***
***
Aku tak peduli dan masih berdiri pada pendirianku. Aku tak
akan membukakan pintu itu walau seberapa keras ibu mengetuk
pintuku. Aku terlanjur sakit, itulah yang kurasa ketika mendengar
rangkaian kata-kata tajam dari mulut ibu. Hatiku perih ketika
kudengar percakapan ibu dan ayah. Ibu bercerita tentang tetangga
yang sibuk membicarakanku dan anak-anak lain yang tidak lulus
ujian nasional.
Maafkan ibu..
Kejujuran adalah ketenangan, sementara kebohongan
adalah kegelisahan. Sejatinya, hal yang sangat mahal dan sulit dicari
adalah kejujuran. Jika kau terluka, bersabarlah. Ibu doakan ujian
paket Cmu sukses.
***
Aku menggerutu dalam hati. Kembali kehilangan Bara.
Terlalu kunikmati sujud tadi. Hingga ku keluar, rupanya Bara sudah
meninggalkan mushola. Bahkan anak Rohis tadi yang kulihat pun
sudah tak ada. Bel tanda masuk berbunyi. Wajar jika tak kulihat lagi
batang hidung anak-anak Rohis. Satu persatu anak perempuan
sholat di sampingku pun sudah tak tahu kemana.
Kuputuskan untuk kembali ke kelas. Intensif kedua akan
dimulai. Hari ini kami diberikan dua kali intensif. Pertama untuk
Fisika dan setelah ini aku belum tahu untuk mata pelajaran apa.
Leluasa kulangkahkan kaki di koridor hingga kemudian kudapati
yang kucari. Bara. Kulihat dia duduk di bangku depan kelas.
Sesekali dia mengangguk, melempar senyum pada adik-adik kelas
yang menyapanya. Lega kurasa. Akhirnya kudapati juga dia.
“Bara,” aku memanggilnya dan dia menoleh ke arahku.
Sebentar sekali. Dia kemudian memalingkan muka.
Kudekati saja dia. Aku ikut duduk agak jauh darinya, tapi
masih di bangku yang sama. Kulihat dia yang kemudian menunduk,
menahan murung. Dia menghembuskan nafas masih menatap ke
bawah. Entah menatap lantai atau sepatunya yang dia gerak-
gerakkan.
“Kau boleh menghinaku sekarang,” Bara berujar, masih
menunduk dalam.
***
***
Aku termenung di depan kelas. Mungkin perlu banyak waktu
kubutuhkan untuk menghayati apa yang terjadi. Tapi, semakin
kuhayati semakin aku ingin sekali mengutuki diri. Wajah murung, ya.
Kupasang saja wajah itu yang memang mewakili suramnya hatiku.
“Kamu kenapa?” kudengar kaki melangkah, mendekatiku.
Resi datang lalu duduk di sampingku.
Aku menghembuskan nafas. Jika kukatakan alasannya, apa
dia akan mengerti?
“Gara-gara kunci tadi?”
Rupanya aku salah. Resi bisa membaca apa yang terjadi
padaku. Mungkin air wajahku benar-benar sudah
menggambarkannya.
“Sudahlah Bit.” Hanya kata itu yang kemudian keluar dari
mulut Resi. “Aku juga mengggunakan kunci tadi. Habis, aku benar-
benar tidak mengerti,” Resi menyeruput minumannya.
Aku masih menghayati diri. Akhirnya, kuputuskan juga untuk
menggunakan separuh kunci itu. Aku terjepit. Lama kupikirkan untuk
menentukan huruf apa yang akan kucentang. A, b, c, d ataukah e?
***
***
Kemana kau?
Di rumah Bit
Hmmm…
***
Usai ujian, kepalaku sedikit penat. Tapi kali ini tak ada tangis
yang menyisa. Soal ujian matematika tadi begitu mudah kukerjakan.
Sangat sederhana, tak memerlukan logika yang tinggi. Berbeda.
Kurasakan sekali perbedaan soal ujian paket C ini dengan soal
Matematika Ujian Nasional kemarin.
Jika dulu di menit-menit pertama, aku tak dapat
mengaplikasikan rumus dengan sederhana, kali ini aku bisa. Dulu,
tak berhasil ku utak-atik rumus logaritma. Jawaban memang
kudapat, masuk dalam opsi pilihan. Sayang, ternyata hasilnya salah
saat dibahas pada intensif lalu. Tapi tadi, begitu mudahnya
kumainkan logaritma itu. Yakin kudapat jawaban yang benar.
“Ayo pulang Bit,” Resi mengajakku. Aku mengikuti, tepatnya
aku harus segera pulang sebelum pengamen itu kembali
membuntutiku.
Kurapikan semua peralatan, kumasukkan dalam tas. Aku
berdiri, sembari menyelempangkan tasku. Kuikuti Resi. Kulirik Bara
yang kemudian mengikuti kami.
Bit, doakan
ujian SNMPTNku
berhasil ya..
~~~~~~~~~~ TAMAT~~~~~~~~~~
Tak disangka, tak diduga, tak dinyana, novel ini selesai juga
setelah proses penantian panjang. Penantian itu berupa
penundaan, hilang ide, mood mampet dan sebagainya. Ini novel
pertama bagi saya, setidaknya novel pertama yang diterbitkan.
Berawal dari program menulis estafet yang dibuat Forum Lingkar
Pena (FLP) Malang, kami terpacu untuk merevisi kembali novel yang
pernah ditulis oleh Maulida Azizah ini.
Kesan pertama saya saat membaca novel terdahulu dari
Maulida Azizah ini adalah iri. Iri dalam bentuk apa? Iri pada
seseorang yang berhasil menyelesaikan novelnya, konsisten dalam
mencapai apa yang diinginkan. Sementara, saya adalah pribadi
yang sering dijatuhi ide tetapi mengandalkan mood untuk
menuliskannya. Jadilah tulisan saya kerap putus di tengah jalan.
Bergantung pada mood seperti bergantung pada ketidakjelasan,
sehingga saya tak dapat tergantung, tetapi jatuh.
Pada proses penggarapan novel yang satu ini saya belajar
mengalahkan sesuatu, yaitu mood. Bagaimana caranya? Yaitu
dengan memaksa. Pertama, saya memaksa diri saya dengan janji
kepada Moli, panggilan akrab Maulida Azizah. Misalnya, janji untuk
mengumpulkan sekian bagian naskah. Walaupun kadang lepas juga
dari target, setidaknya itu memaksa saya untuk berjalan meski
selangkah demi selangkah, meski sebatas paragraf demi paragraf.
PNBB? Mmmm...
Oleh: Hazil Aulia
Bila ada yang bertanya tentang apa itu PNBB, maka hal tersebut
adalah suatu kewajaran, karena bisa jadi orang itu memang belum
ngeh dengan PNBB, bisa jadi pula karena sepanjang yang mereka
ketahui hanyalah PBB, bahkan karenanya mungkin pula
menyalahkan, sebab penulisan yang benar adalah PBB bukan
PNBB, padahal mereka belum tahu bahwa PNBB itu benar adanya,
dan berbeda sama sekali dengan PBB. Jauh jek!
Bukankah tak kenal maka tak sayang, dan bila sudah sayang maka
kasih pun menjelang?
Informasi Komunitas
Facebook Group:
Proyek Nulis Buku Bareng
http://www.facebook.com/groups/proyeknulisbukubareng/
proyeknulisbukubareng@groups.facebook.com
Website: www.proyeknulisbukubareng.com