Diktat Etika - Versi Baru
Diktat Etika - Versi Baru
Tim Dosen
Matakuliah Etika Dasar
1 Bagus, Lorenz, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996) 217 & 672-678.
2 Bertens, K., ETIKA , (Jakarta: Gramedia, 2000). 7
3 Dewantara, Agustinus W, Filsafat Moral, Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, (Yogyakarta:
Kanisius,2017). 3
kebiasaan kolektif akan diformulasikan melalui ajaran-ajaran lisan. Artinya, ajaran-
ajaran lisan dari leluhur pun menjadi rumusan adat-kebiasaan. Sementara itu, di sisi
kelembagaan, rumusan adat atau kebiasaan kolektif hadir dalam aturan adat, hukum,
dan perundang-undangan.
Perumusan dan penerusan nilai pun mengindikasikan pentingnya sebuah nilai
yang ingin dipertahankan. Sementara itu, kebiasaan kolektif mengisyaratkan adanya
nilai-nilai yang dianggap baik oleh anggota masyarakat. Di dalam masyarakat, nilai-
nilai disusun sedemikian rupa sehingga menjadi sistem nilai.
Dalam masyarakat, nilai yang tersimpan dalam tindakan tentunya mengarah
pada hal ‘baik’, dalam tahapan atau tingkatannya entah sekedar sopan-santun sampai
dengan baik-buruk sebagai manusia. Dengan begitu, semua tindakan mempunyai nilai
yang dihidupi dalam susunan nilai-nilai. Nilai sopan-santun mendasari tindakan-
tindakan yang berhubungan dengan tata-krama dalam relasi sosial. Sementara itu,
nilai ‘baik sebagai manusia’ mendasari tindakan dengan nilai-nilai tentang ‘baik-
buruk’ manusia sebagai manusia.
Dengan penjelasan di atas, peristilahan terkait erat dengan makna yang
terkandung di dalamnya. Ada tiga komponen yang terkait: tindakan manusia, nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya, serta formulasi atau perumusan nilai-nilai dalam
norma dan aturan. Dalam tiga konsep tersebut, kita bisa meletakkan peristilahan:
etika dan moral.
Tentang etika (dan moral), K. Bertens menjelaskan bahwa ada tiga pengertian
etika: nilai, kumpulan norma, dan ilmu. Pertama, etika dipahami sebagai ‘sistem nilai’.
Sistem nilai ini menjadi pegangan perorangan atau kelopok dalam sistem tindakan
dan perilakunya. Perlu disampaikan bahwa nilai ini tertanam dalam diri, dihidupi,
atau dirumuskan oleh anggota masyarakat. Kedua, etika berarti ‘kumpulan nilai dan
asas’. Contohnya adalah kode etik. Ketiga, etika dipahami sebagai ‘ilmu tentang yang
baik dan buruk’. Sebagai ilmu pengetahuan, etika melakukan distansi atas objek
penelitiannya, yaitu tindakan manusia, nilai-nilai, dan norma moral. Oleh karenanya,
etika juga disebut sebagai filsafat (tentang) moral.
Dengan pemahaman di atas, kita bisa membandingkan pemahaman tentang
istilah ‘etika’ dan ‘moral’. Bertens menjelaskan bahwa etika dan moral merupakan
istilah yang mempunyai irisan konsep dan pemahaman. Irisan konsep tersebut
terdapat pada konsep ‘sistem nilai’ dan ‘norma (nilai dan asas)’. Beliau menegaskan
bahwa istilah ‘moral’ dan ‘etika’ mempunyai wilayah pemahaman sama, dalam
konsep, yaitu nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam negatur tingkah lakunya. Dengan begitu, ungkapan ‘pencuri tidak
bermoral’ berarti juga ‘pencuri tidak mengikuti nilai dan norma yang baik’. Untuk
pengertian yang sama, kita bisa mengatakannya dengan ungkapan ‘pencuri itu tidak
beretika’.
Walaupun mempunyai irisan konseptual, istilah ‘etika’ dan ‘moral’ mempunyai
pembeda yang cukup jelas. Bertens menegaskan bahwa ‘etika akan menjadi ilmu, bila
kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai tentang yang baik dan buruk)
yang bisa saja diterima dalam suatu masyarakat (sering kali tanpa disadari) menjadi
bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematik dan metodologis’. Dengan demikian,
etika adalah ilmu tentang moral atau filsafat moral.4
Melalui jalur lain, Piet Go juga menjelaskan bahwa ungkapan “etika merupakan
ilmu moral” merupakan pembeda etika dan moral. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa dari
segi keilmuan, etika merupakan bagian dari filsafat yaitu filsafat praktis, dan secara
metodologi berdasarkan penalaran dan kekuatan akal budi. Sementara itu, dalam
tradisi Katolik, istilah moral dipakai dimana secara metodologis bersumber atau
mendasarkan diri pada wahyu.5
Di samping dari sisi keilmuan, etika dan moral bisa dibedakan dari segi taraf
(kecenderungan). Menurutnya, etika lebih bernuansa teoritis dan moral lebih
bernuansa praktis dalam konteks praksis. 6 Masalahnya adalah batasan teoris dan
praksis dalam masyarakat sangat tipis. Masalah ‘keadilan’ merupakan masalah
teoretis karena menghadirkan banyak konsep dan gagasan tentang ‘apa itu adil’,
tetapi juga sekaligus praksis dalam berbagai masalah ketidak-adilan. Maka,
pembedaan jenis ini tidak bisa terlalu ketat atau tidak cukup kuat sebagaimana
perbedaan keduanya dari segi peristilahan (etika-ethos, Yunani dan moralis-mos,
moris, Latin).7 Apa kesimpulannya?
1) Etika dan moral mempunyai irisan konsep dan pemahaman, yaitu sama-sama
kumpulan nilai dan sistem norma.
2) Etika berbeda dengan moral dalam sifat keilmuan. Moral adalah kumpulan nilai
dan norma yang berisi baik dan buruk. Etika bisa diartikan secara khusus
sebagai ilmu pengetahuan yang meneliti dan merefleksikan nilai dan norma
moral. Maka, setiap orang perlu bermoralitas, tetapi tidak setiap orang perlu
beretika. Mengapa? Sebab, moralitas berisi tuntutan dan pedoman tindakan
baik yang penting bagi hidup manusia; etika merupakan pemikiran sistematis
tentang moralitas. Jika moralitas berujung pada perbuatan baik melalui
pedoman norma nilai moralnya, etika berujung pada ‘suatu pengertian
(kognitif) yang lebih mendasar dan kritis tentang nilai, norma, dan tindakan
moral.8
Kita telah melakukan pembedaan antara etika dan moral. Untuk memahami etika,
kita juga harus berusaha memperjelas perbedaan antara etika dan etiket. Kerancuan
penggunaan istilah-istilah tersebut terjadi sehubungan dengan konsep yang juga
9 Contoh ini adalah pola umum yang diambil dari berbagai kejadian perampokan dalam beberapa
sumber berikut ini.
a) “Perampok yang meminta maaf ke korban” di
https://www.merdeka.com/peristiwa/perampok-sopan-minta-maaf-ke-korban-saat-
beraksi.html
b) Penjahat sopan di jepang, minta izin sebelum merampok di
https://kumparan.com/@kumparannews/penjahat-sopan-di-jepang-minta-izin-sebelum-
merampok-1539498981814998821
c) Perampok Sopan, sebelum beraksi minta maaf dan janji akan kembalikan uang di
https://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/11/02/09/163153-rampok-sopan-
sebelum-beraksi-minta-maaf-dan-janji-akan-kembalikan-uang
d) Minta Izin Dulu, Tak Dapat Hasil Malah Serahkan Diri ke Polisi di
https://belitung.tribunnews.com/2018/10/19/perampok-sopan-mau-merampok-minta-izin-
dulu-tak-dapat-hasil-malah-serahkan-diri-ke-polisi
e) Perampok Sopan, Minta Maaf Sambil Todong Pistol dan Gasak Uang dari Kasir Bank. Lih:
https://medan.tribunnews.com/2017/09/09/perampok-sopan-minta-maaf-sambil-todong-
pistol-dan-gasak-uang-dari-kasir-bank
berarti menyangkut relasionalitas atau ‘saya berhubungan dengan’. Karena
menyangkut cara melakukan suatu tindakan, etiket sangat terkait-erat dengan
kehadiran pihak lain. Bahkan, pihak lain bisa jadi menjadi kriteria penilaian suatu
tindakan. Kejadian ‘mandi telanjang’ menjadi kasus yang secara etiket akan bersifat
sopan atau tidak sopan. Penilaian sopan akan diberikan jika kejadian tersebut
dilakukan tanpa orang lain; dan bersifat tidak-sopan jika orang lain hadir. 10
Sementara itu, karena menyangkut nilai, kehadiran pihak lain tidak menjadi faktor
penilaian etis. Tindakan ‘membunuh’ atau ‘mencuri’ tetap akan dinilai ‘tidak-baik’,
entah ada orang atau tidak ada orang. Penilaian yang sama akan diberikan kepada
seorang penyontek, entah diketahui atau tidak diketahui orang. 11 Hal ini terjadi
karena ‘menyontek’, ‘membunuh’, dan ‘mencuri’ mengandung nilai tidak baik, tidak
peduli hadir-tidaknya pihak lain.
Dari unsur ‘kehadiran orang lain’, kita bisa memahami bahwa etiket lebih melihat
sisi eksternal yang terindera (apa yang terdengar dan terlihat) dan bahwa etika
cenderung melihat manusia dari sisi internal. Kasus ‘perampok sopan’ memberikan
kejelasan dua sisi ini. Ia berlaku sopan; baik secara tampilan luaran. Tetapi,
perbuatannya tidak baik karena di dalam perbuatannya mengandung sifat
‘merugikan orang lain’.
Konsekuensi kedua dari cara dan nilai adalah sifat etika dan etiket. Cara adalah
suatu kesepakatan yang dilakukan oleh dan berlaku dalam suatu kelompok. Karena
itu, etiket bersifat relatif; tindakan yang dinilai sopan di satu budaya, bisa jadi dinilai
tidak-sopan di budaya lain. Lain halnya dengan nilai moral! Nilai moral lebih bersifat
universal, bagi siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Maka, etika lebih bersifat pasti
(absolut) dan unviersal.12 ‘Jangan membunuh” merupakan perintah etis yang tidak
bisa ditawar; jika dilanggar, perbuatan itu tentunya akan dinyatakan ‘tidak-baik’ di
manapun tindakan itu dilakukan.
10 Kasus ini tentunya dimaksudkan dalam kondisi umum sebab dalam kondisi khusus, kasus ini akan
bernilai lain. Contohnya, seseorang sakit, tidak bisa membersihkan diri, dan harus dibantu untuk
mandi. Contoh lain adalah seorang ibu memandikan anaknya sendiri.
11 Istilah ‘kehadiran orang lain’ tentunya tidak hanya berarti ‘hadir-ada’, tetapi bisa diperluas dalam
arti ‘diketahui orang lain’. Pemahaman ‘kehadiran orang lain’ ini tentunya diletakkan dalam
konteks umum. Maksudnya, ‘membunuh’ tentunya terjadi jika ada minimal 2 pihak atau lebih.
Satu pihak membunuh dan pihak lain dibunuh. Peristiwa ‘membunuh’ pasti mengandaikan
hadirnya pihak lain, tetapi peristiwa membunuh itu diketahui pihak ketiga atau tidak.
12 Istilah ‘absolut’, di sini, tentunya tidak dimaksudkan sebagai mutlak. Yang ingin
dikatakan adalah bahwa etika lebih bersifat ‘tetap’ atau ‘tidak relatif’ dibandingkan
dengan etiket yang ‘relatif’.
mempraktikkan cara memasak (nasi). Setelah belajar, seorang ibu mampu memasak
untuk anak dan suami di rumah. Lain halnya dengan si X. Karena bakat-nya
(kemampuan alamiah), setelah belajar dari orang tuanya, ia bisa pandai memasak dan
bahkan memasak dengan baik dan benar. Kemampuan memasak diperoleh dan bisa
diaktualisasikan.
Karena kemampuannya, banyak orang ingin belajar dari si-X. Dan karena
keinginan banyak orang dan demi efektivitas dalam membantu orang belajar, si-X
menyusun langkah-langkah dasar cara memasak dalam sebuah buku saku. Dalam
perjalanan waktu, karena banyaknya orang yang belajar darinya, si-X membuat
langkah-langkah yang relatif lengkap tentang apa saja yang harus dikuasai bagi orang
yang ingin bisa memasak secara benar, mulai tahap awal sampai tahap mahir. Ia juga
belajar dan mengembangkan cara mengajari atau metodologi pengajaran; membuat
tahap-tahap atau kelas-kelas; memberikan masukan dan penilaian kepada siswa;
memberikan tanda kelulusan per tahap/level klas; memberikan ijazah kepada siswa
yang menamatkan semua proses. Si-X telah membuat lembaga pendidikan.
Memasak merupakan kegiatan harian yang bisa dilakukan demi kebutuhan badan,
berubah menjadi kegiatan yang dipelajari secara terstruktur, sistematik, dan
dirancang secara sadar. Pada awalnya, orang melakukan aktivitas ‘memasak’ sebagai
bagian dari aktivitas dirinya. Dalam perkembangannya, orang melakukan distansi
dan menempatkan ‘memasak’ sebagai objek yang dipelajari. Aktivitas ‘memasak’
dipecah-pecah dalam bagian-bagiannya dan disusun sedemikian sistematis sehingga
terurai secara detail dan terstruktur. Memasak bukan hanya sebuah aktivitas
manusia tetapi berubah menjadi sebuah objek di hadapan manusia dalam sebuah
disiplin ilmu.
Memasak tentunya tidak perlu dinilai: apakah baik atau tidak baik. Artinya,
memasak itu sendiri bersifat netral, dan tidak berhubungan dengan baik atau buruk.
Jenis tindakan ini disebut sebagai tindakan amoral dalam arti ‘tidak mempunyai
relevansi etis’. Selain memasak, tindakan amoral ini, misalnya, adalah ‘turun tangga
dengan kaki kanan atau kiri’, ‘minum teh menggunakan gelas atau cangkir’. Semua
tindakan tersebut tidak langsung bisa dinilai secara moral. Namun, tindakan
‘memasak di dapur pengungsian’ tentunya bersifat mulia atau baik dan tindakan
‘memasak dengan menambah racun di dalamnya’ bersifat buruk. Mengapa disebut
atau dinilai demikian (baik atau buruk)? Dan, apakah yang dimaksud dengan istilah
‘baik’ dan ‘tidak-baik’? Orang pun boleh bertanya: manakah yang buruk, ‘memasak’-
nya atau ‘menambah racun’?
Semua pertanyaan ini menjadi sebuah tanda bahwa tindakan manusia yang bisa
dinilai baik-buruk menjadi sebuah objek yang bisa diurai dan dianalisa untuk
kemudian dipaparkan dan disajikan dalam sebuah struktur dan sistematikan
tertentu. dengan demikian, tindakan dan sifat baik-buruk sudah menjadi objek
sebuah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan merupakan pembentukan asosiatif yang menjejaringkan
konsep dan pemikiran sebagai kebenaran koherensif serta memvalidasikan
kebenaran tersebut dengan kenyataan. Ilmu pengetahuan menjelaskan prinsip
kausalitas secara terstruktur dan sistematik atas sebuah kajian.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, manusia melakukan banyak tindakan.
Tindakan tersebut bisa bersifat amoral (netral & tanpa perlu dihubungkan dengan
‘baik-buruk’), tetapi ada juga yang bisa bersifat etis (berkaitan dengan ‘baik-buruk),
atau bahkan bersifat immoral (tidak-baik, tidak-bermoral, melawan moralitas).
Terhadap tindakan-tindakan tersebut, kita bisa menelaah dan menilainya. Dalam
konteks ini, tindakan bukan lagi ‘kita melakukan sesuatu’, tetapi merupakan suatu
objek penelitian.
Etika merupakan sebuah ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah ilmu, etika
mempunyai objek penelitian, baik itu material ataupun formal.13
Objek material Etika adalah “segala hal yang bersangkut paut dengan tingkah laku
manusia sejauh berhubungan dengan nilai moral (baik-buruk)”, atau tingkah laku
manusia atau ‘keseluruhan perilaku manusia dalam perbuatannya’. 14 Singkatnya,
objek material etika adalah tindakan moral manusia.
Tindakan moral ini mempunyai unsur-unsur konstitutif yang sangat penting
dalam penilaian etis. Maksud dari unsur-unsur konstitutif adalah berbagai elemen
yang menjadi bagian integral dari sebuah tindakan. Melalui unsur-unsur ini, suatu
tindakan moral bisa dinilai secara moral; dan perubahan unsur akan mempengaruhi
penilaian moral atas tindakan.
Unsur-unsur konstitutif tersebut, antara lain, adalah: pelaku, motivasi, tujuan,
akibat, lingkungan atau kesempatan yang mempengaruhi. Pelaku Unsur ‘pelaku’
mengacu pada ‘usia, status sosial, kesehatan, psikologis; motivasi dan tujuan adalah
daya dorong dalam diri orang atas suatu perbuatan. Lingkungan dan kesempatan
mengacu pada faktor-faktor eksternal yang berpengaruh secara langsung atau tidak
langsung terhadap suatu perbuatan terjadi.
Objek formal adalah sudut pandang yang dipakai untuk meneliti objek material-
nya. Pemikiran kritis dan mendalam menjadi objek formal Etika. Terhadap tindakan
manusia, etika akan melihat dan menganlisanya secara filosofis-kritis. Karena objek
kajiannya (tindakan dan peristiwa) adalah konkrit (bukan konseptual), hal ini
tentunya tidak menutup diri dari berbagai sumbangan ilmu-ilmu lain sejauh
berkaitan; misalnya: sosiologi, antropologi budaya, dan teologi”.15 Sekali lagi, Etika
menggunakan “refleksi kritis yang mendalam secara sitematis dan metodis tentang
tingkah laku manusia.” Dari sisi ini pun, kita bisa menempatkan etika sebagai ilmu
13 Objek material adalah objek atau hal yang menjadi fokus penelitian; sementara itu, objek formal
merupakan sudut pandang yang digunakan atau dipakai dalam melakukan penelitian objek
material.
14 Dewantara, Agustinus W, Filsafat Moral, Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, Kanisius:
2017, hlm. 3
15 Dewantara, Agustinus W, Filsafat Moral, Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia (Yogyakarta,
Kanisius: 2017). 2
dengan sudut pandang refleksi kritis, metodis, dan sistematis (objek formal) tentang
tingkah laku manusia, sejauh berkaitan dengan norma moral (objek material).16
Akhirnya, Bertens pun merumuskan: etika merupakan ilmu (pengetahuan) yang
menyelidiki tingkah laku moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas
atau tentang ‘manusia sejauh berkaitan dengan moralitas’.
Kita bisa membagi etika terapan dalam Etika Pribadi (karena bicara
permasalahan pribadi) dan Etika Sosial (karena topik atau fokus penelitiannya
berkaitan dengan masalah sosial). Hanya saja, pembagian ini tidak bisa
dipertahankan karena 1) seorang pribadi pun adalah anggota masyarakat, dan 2)
masalah pribadi sering kali terlepas dari masalah komunitas (sosial).
Contohnya, kasus bunuh diri bisa dimasukkan dalam ‘etika pribadi’. Hanya saja,
kasus ini tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan orang lain; misalnya,
bullying, stress karena kalah caleg (calon legislatif), dll. Kasus lain adalah aborsi;
masuk kasus pribadi atau sosial? Tidak! Tindakannya bisa dilakukan oleh satu orang,
tetapi latar belakang tindakan tentunya kompleks, menyangkut pandangan etis,
paradigma kehormatan, pandangan masyarakat, dll.18
Kita juga bisa melihat fokus bidang etika. Ada dua bidang telaah yang pesat
berkembang dalam etika, yaitu 1) suatu profesi (etika kedokteran, etika politik, etika
bisnis), dan 2) suatu masalah (etika lingkungan hidup, pencemaran lingkungan,
diskriminasi, nuklir).
Kita juga bisa memilah etika dalam 4 bidang utama, yaitu: 1) etika kedokteran dan
2) etika bisnis (profesi), dan 3) etika perang-damai, serta 4) etika lingkungan hidup.
Kita pun bisa membagi etika dalam tiga bagian: 1) makroetika (masalah yang
menyangkut suatu bangsa: ekonomi dan keadilan, lingkungan; 2) mikroetika
(membicarakan pertanyaan etis pada individu, seperti kewajiban dokter ke pasien;
Etika Deskriptif menggambarkan tingkah laku moral dalam arti luas: adat
kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak
diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang ada pada individu-
individu tertentu atau masyarakat, dalam suatu budaya, dalam periode sejarah
tertentu.
Etika Deskriptif tidak menilai secara moral. Apakah aborsi itu boleh atau tidak
boleh, tidak dibicarakan oleh Etika Deskriptif. Etika Deskriptif menggambarkan
aborsi dari aneka budaya (misalnya) dan dari perjalanan sejarahnya. Ia tidak
memeriksa apakah norma itu sendiri benar atau tidak benar.
Sekarang, tugas Etika Deskriptif ini dijalankan oleh antropologi, psikologi,
sosiologi, atau sejarah. Contoh tokoh yang menjalankan fungsi ini adalah psikolog
Swiss Jean Piaget dan Psikolog Amerika Lawrence Kohlberg tentang perkembangan
kesadaran moral.23
2. Etika Normatif
Etika Normatif melibatkan diri dalam penilaian moral tentang suatu norma moral.
Ia tidak hanya memandang dan bersikap netral sebagai penonton. Contonya,
prostitusi diberi penilaian etis dalam konteks boleh atau tidak boleh. Etika Normatif
meninggalkan sikap netral dan memegang norma. Dengan demikian, Etika Normatif
Sebagai ilmu, etika juga berfungsi atau menempati posisi sebagai Meta-etika.
(Meta, Yunani, berarti melebihi ata melampaui). Maksudnya, etika (sebagai meta-
etika) tidak lagi berbicara tentang moralitas secara langsung, melainkan memeriksa
ucapan dan kata dalam konteks etis. Meta-etika bergerak pada tataran bahasa-etis.
Sekilas, bahasa dalam etika tidak berbeda jauh dari bahasa keseharian. Tetapi, kalau
ditelaah, terdapat ciri khusus dari bahasa etis. Contoh tokoh adalah George Moore,
filsuf Inggris. Ia menelaah satu kata ‘baik’ dengan (misalnya) ‘donor organ tubuh itu
baik secara moral’ dan ‘mobil itu masih dalam keadaan baik’. Etika normatif dan
meta-etika sering dibahas bersama-sama. Pada saat meneliti masalah etis (etika
normatif), mau tidak mau, kita harus menelaah arti kata (meta-etika).
Penjelasan di atas adalah jenis-jenis etika sebagai ilmu moral yang tentunya akan
mempunyai metodologinya sendiri-sendiri.
Metodologi (Methodology-Inggris; methodos-Yunani; methodus-Latin) terdiri dari
meta (setelah, mengikuti), hodos (jalan), dan logos (kata, ajaran, rasio, ilmu).
Metodologi berarti cara yang didefinisikan secara jelas dan sistematis untuk mencapai
suatu tujuan.25 Metodologi sering hanya diidentikkan dengan penelitian ilmiah yang
eksak dalam ilmu pasti. Kalau begitu, metodologi etika menjadi asing dan agak aneh.
Oleh karena itu, sebaiknya kita mulai dari yang sudah umum diterima.
Metode Kritis digunakan dalam etika normatif. Metode Kritis menyelidiki paham
filsafat moral. Meneliti sistem dan teori yang sudah ada. Yang diteliti ialah asumsi
dasarnya entah bisa diterima atau tidak. Diteliti juga asas dan prinsip yang dianut;
koherensi normanya, yaitu persesuaian atau keselarasan satu bagian dengan bagian
yang lain sehingga membentuk satu kesatuan norma yang utuh. Kalau ternyata satu
teori tidak konsisten maka perlu dicari dimana letak kesalahannya. Kalau etika
menggunakan metode kritis, artinya Etika mengkritisi norma moral yang ada dalam
masyarakat.
3. Metode Metaetis.
7. Relevansi Etika28
Dalam sosial masyarakat, banyak orang bertanya: apa relevansinya dengan dunia?
e) Keagamaan
Setiap agama pasti mempunyai sistem nilai atau moralitas. Untuk
pengembangan sistem tersebut, Etika sangat dibutuhkan untuk memberikan
dorongan dan dukungan terhadap penghidupan nilai dan moral tersebut.
9. Kesimpulan
Pertanyaan pokok bagian ini adalah apa itu etika? Jawabannya adalah:
a) Etika bukanlah etiket dan moralitas. Sementara etiket bersadar pada cara
tindakan, etika berdasar pada nilai tindakan. Sementara moral berarti nilai dan
kumpulan norma, etika berarti ilmu pengetahuan (selain nilai dan kumpulan
norma).
29 Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Seorang Pria dengan Sopan Minta Izin
untuk Merampok Supermarket",
Penulis : Ardi Priyatno Utomo
Editor : Ardi Priyatno Utomo
https://internasional.kompas.com/read/2018/10/13/10151551/seorang-pria-
dengan-sopan-minta-izin-untuk-merampok-supermarket.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dewantara, S.S., M. Hum, Dr. Agustinus W., Filsafat Moral, Pergumulan Etis
Keseharian Hidup Manusia, Kanisius: Yogyakarta, 2017
2. Albert R. Jonsen, A Short History of Medical Ethics, Oxford University Press, 2000.
3. Artikel: Creating a Climate for Long-term Ecological and organizational
Sustainable, oleh A. Arnoud & D.L.Rhoades, dalam: Eddi N. Laboy dkk (Ed),
Environmental Management, Sustainable Development and Human Health, CRC
Press., London, UK, 2009.
4. Artikel: Etika Ekonomi (Bisnis) dalam Menghadapi Pasar Bebas, dalam Jurnal
Ekonomi dan Manajemen Vol 8. Nomor 2, Juni 2007.
5. Bertens, K, ETIKA, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2000
6. Charles Foster, Choosing Life, Choosing Death, The Tyranny of Autonomy in
Medical Ethics and Law, Oxford and Portland, Oregon, 2009.
7. Charles Foster, Choosing Life, Choosing Death, The Tyranny of Autonomy in
Medical Ethics and Law, Oxford and Portland, Oregon: 2009, terkhusus pada Bab
3: Whose Autonomy?hlm. 21-30.
8. Christopher Dowrich & Lucy Frith, General Practice and Ethics, Routledge,
London, 1999.
9. Dosen Etika Unpar, Etika Dasar dan Terapan, Seri Etika No. 1, 2005 (Diktat tidak
terpublikasi)
10. Eddie N. Laboy-Nieves, cs., Environmental Management, Sustainable Development
and Human Health, CRC Press, 2009.
11. Guillermo de la Dehesa, Winners and Losers in Globalization, Blackwell Publishing
Ltd, hlm. 1
12. K. Bertens, ETIKA BIOMEDIS, Yogyakarta, Kanisius, 2011
13. K. Bertens, ETIKA, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000
14. Karl Homann, cs (Ed), Globalisation and Business Ethics, Ashgate, 2007
15. Keraf, Dr. A. Sonny, Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm.187-188
16. Magnis-Suseno, Dr. Franz, 13 TOKOH ETIKA,Kanisius, Yogyakarta, 1997
17. Magnis-Suseno, Dr. Franz, ETIKA DASAR,Kanisius, Yogyakarta, 1987.
18. Mikhel Dua, Filsafat Etkonomi, Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama,Kanisius,
Yogyakarta 2008.
19. Robert Audi (ed), The Cambridge Dictionary of Philosophy (second edition),
Cambridge University Press, 1999.
20. Tim Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa, 2008.
21. Tony Schirato & Jen Webb, Understanding Globalization, SAGE Publication, 2003
22. Velasquez, Manuel G., Etika Bisnis., Yogyakarta, ANDI, 2005.
Bab II
PRINSIP-PRINSIP DASAR MORAL DAN
KEUTAMAAN MORAL
B. Ario Tejo Sugiarto
Ada sebuah analogi yang sering dipakai untuk melukiskan hubungan antara
manusia dan tindakannya, yaitu analogi pohon dan buahnya. Manusia
dianalogikan sebagai pohon dan tindakan manusia dianalogikan sebagai
buahnya. Hubungan antara keduanya adalah sebagai berikut.
Analogi ini diatas merupakan analogi yang dipakai oleh Yesus sebagaimana
ditulis dalam Injil Matius dan Lukas untuk melukiskan hubungan antara
manusia dan tindakannya. Analogi sederhana ini dapat diartikan bahwa
manusia yang baik akan menghasilkan tindakan yang baik, sedangkan manusia
yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin manusia
yang baik menghasilkan tindakan yang tidak baik, ataupun manusia yang tidak
baik itu menghasilkan tindakan yang baik.
Analogi diatas adalah analogi yang sangat tepat untuk melukiskan hubungan
manusia dengan tindakannya. Tidak ada seorang ahli etika yang dapat
membantah kebenarannya. Namun, ada hal yang sangat penting yang perlu
diperhatikan dalam dinamika tindakan manusia. Analogi diatas dimulai dari
pohon dan tidak dimulai dari buah. Ketika dimulai dari pohon bahwa “pohon
yang baik akan menghasilkan buah yang baik”, analogi ini sangat tepat untuk
melukiskan realitas bahwa “manusia yang baik akan menghasilkan tindakan
yang baik”. Demikian juga “pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang
tidak baik” sangat tepat untuk melukiskan realitas bahwa “manusia yang tidak
baik itu menghasilkan tindakan yang tidak baik”. Ketika analogi pohon dan
buah ini dimulai dari buah, maka analogi tersebut menjadi tidak tepat lagi
untuk melukiskan hubungan antara manusia dan tindakan. Hal ini disebabkan
karena motivasi dan situasi yang mempengaruhi tindakan manusia sangatlah
dinamis dan tidak mudah ditebak.
Manusia yang baik pasti akan menghasilkan tindakan yang baik dan manusia
yang tidak baik pasti akan menghasilkan tindakan yang tidak baik. Apakah ini
berlaku sebaliknya? Apakah tindakan yang baik itu pasti dihasilkan dari
manusia yang baik dan apakah tindakan yang tidak baik itu pasti dihasilkan
dari manusia yang tidak baik? Dalam hal ini, jawabannya sudah jelas “belum
tentu”. Tindakan yang baik belum tentu dihasilkan oleh manusia yang baik
karena manusia bisa berpura-pura baik (munafik). Orang jahat-pun bisa
melakukan tindakan (yang tampaknya) baik demi tercapainya sebuah
kepentingan atau tujuan yang diharapkan. Demikian juga sebaliknya, tindakan
yang tidak baik belum tentu dihasilkan oleh manusia yang tidak baik karena
manusia bisa memiliki maksud yang baik dalam melakukan tindakan yang
dianggap tidak baik atau karena tuntutan situasional yang memaksa manusia
yang baik ini harus bertindak tidak baik.
Hal yang paling mudah dan yang paling biasa dilakukan dalam memberikan
penilaian moral terhadap manusia adalah dengan melihat tindakan manusia.
Apabila seseorang melakukan tindakan yang baik, maka orang lain akan
menilai bahwa orang itu adalah orang yang baik. Sebaliknya, apabila seseorang
melakukan tindakan yang tidak baik, maka orang lain akan menilai bahwa
orang itu adalah orang yang tidak baik. Penilaian semacam ini merupakan
penilaian yang dangkal.i Penilaian moral yang dangkal selalu berpusat pada
tindakan yang dilakukan manusia. Padahal, manusia dalam melakukan sebuah
tindakan itu bisa memiliki banyak kemungkinan motivasi, kepentingan, dan
tujuan yang tersembunyi yang jarang dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu,
dalam melakukan penilaian dan pengembangan terhadap manusia, tidak
cukup yang didasarkan pada tindakan manusia tetapi juga harus
mempertimbangkan sifat dan sikap pribadi manusia yang adalah subjek dari
tindakan itu.
Berdasarkan analogi “pohon dan buah” yang melukiskan relasi antara manusia
dan tindakannya, maka kita dapat membagi etika menjadi dua, yaitu etika
keutamaan dan etika kewajiban.
2. Etika Keutamaan dan Etika Kewajiban
Etika keutamaan dan etika kewajiban merupakan dua pendekatan dalam
penilaian etis. Pendekatan etika keutamaan selalu bertitik-tolak dari
manusianya yaitu dari sifat dan watak yang dimilikinya, sedangkan
pendekatan etika kewajiban selalu bertitik-tolak dari tindakannya yang dinilai
berdasarkan prinsip moral dan norma yang berlaku. Etika keutamaan tidak
menilai apakah tindakan manusia itu baik atau buruk, melainkan apakah
manusia itu sendiri baik atau buruk. Sebaliknya, etika kewajiban tidak menilai
apakah manusia itu baik atau buruk, melainkan apakah tindakan manusia itu
baik atau buruk.
Diantara keduanya, etika keutamaan dan etika kewajiban, manakah yang lebih
penting? Jawabannya adalah kedua-duanya sama pentingnya karena
keduanya memberikan penilaian dari perspektif yang berbeda yang saling
melengkapi. Selain membangun pribadi manusianya, manusia juga
membutuhkan pedoman untuk mengarahkan tindakannya pada tindakan yang
baik. Manusia membutuhkan pedoman untuk berlatih mengembangkan sifat
dan sikap pribadinya secara terus- menerus sehingga ia menjadi manusia yang
lebih baik. Manusia membutuhkan pedoman penilaian tindakan untuk
membedakan mana tindakan yang baik (yang harus dilakukan) dan mana
tindakan yang buruk (yang harus dihindari). Namun, jika kita kembali kepada
analogi pohon dan buah, maka pertanyaan “What kind of person should I be?”
adalah pertanyaan pertama yang harus dijawab. Setelah pertanyaan itu
terjawab maka kita baru bisa masuk ke pertanyaan berikutnya “What should I
do?”. Hal ini berarti bahwa kita harus merumuskan tujuan terlebih dahulu dan
setelah itu baru kita merumuskan bagaimana kita dapat mencapai tujuan
tersebut.iv
Dalam hal ini, manusia yang ideal adalah manusia yang memiliki sifat dan
watak yang baik dari dalam dirinya sendiri (berkeutamaan) sehingga
perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan dan perbuatan-perbuatan jahat
yang dihindari terjadi bukan karena tuntutan kewajiban dari prinsip-prinsip
dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat melainkan karena
dorongan dari dalam dirinya sendiri.
Tolok ukur yang pertama adalah norma masyarakat. Yang termasuk ke dalam
konteks masyarakat adalah lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan,
lingkungan masyarakat, lingkungan budaya, lingkungan agama, lingkungan
kerja dan lain-lain. Kelemahan tolok ukur ini adalah norma masyarakat belum
tentu dapat dibenarkan. Selain itu, norma yang berlaku di masyarakat yang
satu belum tentu berlaku di masyarakat yang lain.
Tolok ukur yang kedua adalah kesadaran moral pribadi. Kelemahan tolok ukur
ini adalah kesadaran moral bisa keliru karena kesadaran moral ini terbentuk
melalui proses pendidikan. Keyakinan moral seseorang belum tentu benar.
Karena itu, kesadaran moral tetap membutuhkan norma objektif.
Tolok ukur yang kelima adalah etika wahyu yang pada umumnya diambil dari
kitab suci. Kelemahan dari tolok ukur ini adalah isi dan rasionalitasnya. Tidak
semua orang beragama, tidak semua orang berpegang pada kitab suci yang
sama sebagai tuntunan moralnya, tidak semua orang memberikan penafsiran
yang sama terhadap kitab suci yang sama. Karena itu, kita tetap membutuhkan
norma yang bersifat objektif dan universal sebagai tuntunan moral bagi semua
orang.
Sudut pandang yang pertama adalah etika peraturan. Tuntunan moral bagi
manusia adalah peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungannya masing-
masing. Kelemahan dari tolok ukur ini adalah dasar pertanggungjawaban
moralnya karena etika peraturan hanya menuntut manusia untuk mengetahui
peraturan-peraturan yang ada dan manusia mentaati peraturan-peraturan
yang ada tersebut. Peraturan- peraturan itu sendiri merupakan inti dari
moralitas. Tidak ada nilai-nilai di dalamnya.
Sudut pandang kedua adalah etika situasi. Etika situasi merupakan lawan
ekstrem dari etika peraturan. Etika situasi sangat menekankan keunikan dan
tanggung jawab tiap-tiap orang sedemikian rupa sehingga tiap-tiap orang
tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka-kerangka, skema-skema dan
norma-norma umum. Setiap orang harus menentukan sendiri kewajiban-
kewajiban dan tanggung-jawabnya sendiri. Kelemahan dari tolok ukur ini
adalah pengabaian kodrat manusia sebagai makhluk
sosial. Dalam konteks ruang dan waktu, manusia selalu hidup bersama dengan
sesamanya manusia yang membutuhkan struktur sosial kelembagaan yang mengatur
dan menangani kehidupan bersama.
Bahan diskusi:
1. Bacalah contoh kasus di atas dengan seksama!
2. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar moral, menurut pendapat Anda,
bagaimana penilaian moral terhadap tindakan ayah yang membiarkan anak
perempuannya mati tenggelam?
3. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar moral, menurut pendapat Anda,
bagaimana penilaian moral terhadap tindakan tim penyelamat?
Keutamaan adalah sifat karakter manusia secara pribadi yang bersifat tetap yang
memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Perbuatan baik dalam
hal ini merupakan hasil dari keinginan yang keluar dari diri sendiri dan bukan karena
tuntutan dari luar. Keutamaan ini diperoleh melalui jalan membiasakan diri.
Keutamaan tidak dimiliki oleh manusia sejak lahir sehingga keutamaan merupakan
hasil latihan terus-menerus. Dalam Bahasa Inggris, keutamaan disebut virtue (latin:
virtus, perkasa). Kata ini paralel dengan istilah Yunani arete yang berarti sempurna.
Lawan kata dari virtus adalah vice (latin: vitium, cacat cela).xi Memang keutamaan
akan menggerakkan manusia untuk berbuat baik, tetapi keutamaan tidak dapat
dipakai manusia untuk memberikan penilaian moral terhadap tindakan-tindakan
konkret karena keutamaan merupakan karakter bukan peraturan yang mengatur
tindakan manusia.
TIDAK BOLEH
MELAKUKAN
TINDAK
KORUPSI
JANGAN DILARANG
MELAKUKAN MENCONTEK
PLAGIASI WAKTU UJIAN
KEJUJURAN
TIDAK BOLEH
JANGAN
BERBOHONG
MENYEBARKAN
KEPADA
HOAX
ORANG TUA
DILARANG
MENGAMBIL
BARANG MILIK
ORANG LAIN
Karakter manusia terbentuk melalui proses belajar, maka dalam proses belajar
manusia membutuhkan kewajiban moral yang bersifat praktis untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik, misalnya: tidak boleh melakukan tindak korupsi, dilarang
mencontek waktu ujian, tidak boleh berbohong kepada orang tua, dilarang
mengambil milik orang lain, jangan menyebarkan hoax, jangan melakukan plagiasi.
Karena kewajiban ini dijiwai oleh keutamaan kejujuran, maka dengan menghayati
kewajiban tersebut maka keutamaan kejujuran sedikit demi sedikit tertanam dalam
diri manusia dan menjadi karakter yang tidak pernah berubah.
8. Keutamaan-keutamaan Moral
Aristoteles berpikir bahwa tujuan manusia adalah menghayati kehidupan yang baik.
Selain mengkaitkan dengan akal budi, Aristoteles mengkaitkan kehidupan manusia
yang dikehendaki dengan virtuous life atau kehidupan yang dijalani dengan
menghayati keutamaan-keutamaan moral.xii Keutamaan-keutamaan moral akan
membentuk manusia dari dalam. Keutamaan moral adalah keutamaan dalam arti
yang sebenarnya dan menjadikan manusia baik atau sempurna.xiii Jika keutamaan-
keutamaan ini sudah terbentuk dalam diri manusia maka dengan sendirinya
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia adalah tindakan-tindakan yang baik
bagaikan pohon yang baik pasti akan menghasilkan buah yang baik. Manusia yang
berkeutamaan pasti akan menghasilkan tindakan yang baik. Berikut merupakan
keutamaan-keutamaan yang perlu dikembangkan dalam diri manusia dalam
kaitannya dengan konteks lingkungan sosial yang ada.
Contoh kasus:xvi
Bahan diskusi:
1) Bacalah contoh kasus di atas dengan seksama!
2) Berdasarkan contoh kasus di atas, jelaskan mengapa keutamaan ekologis
sangat penting!
3) Carilah satu contoh kasus lain yang dapat menunjukkan bahwa keutamaan
ekologis ini sangat penting!
Contoh kasus:xvii
JAKARTA, KOMPAS.com — Memosting gambar di media sosial ketika membeli
pakaian baru, makan di luar, atau membeli gadget terbaru mungkin tampak biasa
saja. Namun, menurut dosen senior bidang Marketing di University of Technology
Sydney, Hillbun Ho, postingan yang berorientasi pada konsumerisme bisa merusak
kesejahteraan finansial, bahkan hingga kesehatan mental. Penelitian yang dilakukan
Ho menemukan bahwa keterlibatan media sosial dengan konsumerisme membuat
beberapa orang mengalami kecemasan yang berlebih, ketidakpercayaan diri, dan
kemungkinan peningkatan pengeluaran finansial yang berlebihan. Sekitar 40 persen
masyarakat dunia menggunakan media sosial, dengan kaum muda sebagai
mayoritasnya. Jadi, memahami pengaruh media sosial pada kesehatan dan
kesejahteraan finansial sangat penting untuk mengurangi potensi bahaya yang
ditimbulkan. Berikut dampak pamer hal-hal yang konsumtif menurut Hillbun Ho: 1.
Terjadi perbandingan sosial, hal ini berdasar hasil survei 900 mahasiswa Singapura
berusia 17 hingga 24 tahun tentang aktivitas media sosial mereka untuk
mengeksplorasi apakah berbagi informasi produk memiliki pengaruh pada
kesejahteraan. Pada platform seperti Facebook dan Instagram, semua orang terlihat
senang, yakni menikmati liburan, pergi ke restoran mewah, ataupun membeli barang
mewah dan pakaian. Namun, memamerkan kehidupan yang glamour kemungkinan
memiliki dampak psikologis pada pengguna media sosial. Temuan dari riset yang
dilakukan menunjukkan bahwa ketika kaum muda menggunakan media sosial untuk
mengunggah konten produk konsumen, hal itu dapat memicu proses perbandingan
sosial. Pada akhirnya, ini akan menyakiti kesejahteraan psikologis mereka yakni
menurunkan kepercayaan diri dan meningkatkan tingkat kecemasan. Perasaan
rendah diri dan kecemasan dalam beberapa kasus menyebabkan stres yang tidak
terkendali. 2. Menjadi konsumtif, hasil studi yang dilakukan di Singapura
kemungkinan juga berlaku untuk pengguna media sosial di seluruh dunia terutama
anak muda. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa memosting hal- hal yang
konsumtif bisa mendorong pada konsumsi berlebih dan perilaku belanja berisiko.
Hasilnya, untuk memenuhi kebutuhan tersebut kaum muda akan memilih kartu
kredit sebagai pelariannya. Padahal, kondisi tersebut akan membebani mereka
dengan utang kartu kredit yang menumpuk.
Bahan diskusi:
1) Bacalah contoh kasus di atas dengan seksama!
2) Berdasarkan contoh kasus di atas, jelaskan mengapa keutamaan kerendahan
hati sangat penting!
3) Carilah satu contoh kasus lain yang dapat menunjukkan bahwa keutamaan
kerendahan hati ini sangat penting!
3) Keutamaan Keterbukaan
Keutamaan keterbukaan adalah keutamaan moral untuk menerima semua perbedaan
yang ada (sebagai contoh: perbedaan pendapat, perbedaan penampilan, perbedaan
perilaku, perbedaan keyakinan, perbedaan status dan lain-lain) sebagai sebuah
realitas yang memang seharusnya demikian dan melihatnya secara positif sebagai
sebuah realitas saling melengkapi dan bukan sebagai realitas yang saling mengancam
dan meniadakan.xviii Keutamaan keterbukaan didasarkan pada penghargaan
terhadap keluhuran martabat setiap manusia sebagai makhluk yang memiliki akal
budi dan kehendak yang bebas. Akal budi dan kehendak bebas manusia
memungkinkan manusia selalu berkreasi dan menciptakan perbedaan terus-
menerus. Karena penghargaan terhadap keluhuran martabat manusia adalah dasar
dari keutamaan keterbukaan, maka suatu perbedaan itu tidak wajib diterima dan
bahkan harus ditolak jika perbedaan itu berlaku sebaliknya yaitu melanggar
keluhuran martabat manusia. Keutamaan keterbukaan ini sangat mengandaikan
manusia memiliki keutamaan kerendahan hati.
Contoh kasus:xix
Nafsu atau hasrat ada dalam diri manusia secara alamiah. Nafsu atau hasrat ini
bukanlah hal yang buruk. Kita dapat membayangkan seandainya manusia tidak
memiliki nafsu makan maka ia akan mati. Seandainya manusia tidak memiliki nafsu
seksual maka manusia akan punah. Pada dasarnya, nafsu atau hasrat beserta
pemenuhannya ini ada demi keberlangsungan hidup manusia, misalnya: pemenuhan
nafsu atau hasrat untuk makan dan minum itu terjadi demi perkembangan,
pertumbuhan, dan kesehatan raga manusia, pemenuhan nafsu atau hasrat untuk
beristirahat atau tidur terjadi demi penyegaran dan pemulihan kembali kondisi
biologis dan psikis manusia setelah lelah bekerja, pemenuhan nafsu atau hasrat
seksual itu terjadi demi keberlangsungan hidup keturunan manusia dari generasi ke
generasi berikutnya.
Namun, apabila dalam proses pemenuhan nafsu atau hasrat ini, manusia tidak dapat
mengatur atau mengendalikan dirinya, maka proses pemenuhan ini akan berakibat
buruk, yaitu merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain. Pemenuhan nafsu
makan yang berlebihan justru akan berakibat merugikan kesehatan diri sendiri
dengan munculnya berbagai macam penyakit dan gangguan tubuh. Nafsu seksual
yang tidak dikendalikan maka dalam proses pemenuhannya bisa berakibat
merugikan orang lain, misalnya dalam kasus pemerkosaan dan kasus perselingkuhan.
Contoh kasus:xx
Bahan diskusi:
1) Bacalah contoh kasus di atas dengan seksama!
2) Berdasarkan contoh kasus di atas, jelaskan mengapa keutamaan
pengendalian atau penguasaan diri sangat penting!
3) Carilah satu contoh kasus lain yang dapat menunjukkan bahwa keutamaan
pengendalian atau penguasaan diri ini sangat penting!
5) Keutamaan Kepedulian Sosial dan Kemurahan Hati
Keutamaan kepedulian sosial adalah keutamaan moral untuk membagikan dengan
kerelaan atau keikhlasan apa yang dimiliki kepada sesama manusia yang dalam
ketidakberdayaannya dan ketidakmampuannya sangat membutuhkannya.xxi
Keutamaan kepedulian sosial ini berkaitan erat dengan kemurahan hati yaitu
keutamaan moral untuk memberikan sesuatu kepada orang lain demi kebaikan orang
lain itu sendiri dan bukan demi kebaikan atau keuntungan diri sendiri. Dalam hal ini,
orang yang murah hati tidak pernah menuntut balasan dari semua pemberian-
pemberiannya. Orang yang murah hati selalu memberikan sesuatu yang dibutuhkan
kepada orang yang tidak mampu memberikan balasan kepadanya.xxii
Contoh kasus:xxiii
Di Jawa Barat, 83 Bencana Banjir dan Longsor Terjadi Selama November, KOMPAS.com
- Sebanyak 83 insiden bencana banjir dan longsor terjadi diwilayah Jawa Barat selama
bulan November 2018. Dari catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Jabar, 83 kejadian itu meliputi 23 insiden banjir dan 60 longsor. Dari jumlah tersebut,
enam orang meninggal. "Dari tanggal 1-13 November 2018, ada 23 kejadian banjir dan
longsor 60. Dari kejadian itu enam meninggal dan satu hilang. Korban terbanyak pada
insiden banjir bandang Cipatujah," ujar Kepala BPBD Jabar Dicky Saromi, di Gedung
Sate, Jalan Diponegoro, Rabu (14/11/2018). Dia melanjutkan, sebanyak 7.099 warga
terpaksa mengungsi akibat banjir. Para korban kini telah ditempatkan di sejumlah
selter pengungsian. Baca juga: Pemprov Jabar Tetapkan Status Siaga Bencana Banjir
dan Longsor "Mereka atau pengungsi ini tidak ditempatkan di tenda tapi ditempatkan
di masjid, gedung-gedung, jadi aman. Ini adalah jumlah warga yang terkena dampak
banjir," ujar Dicky. Adapun untuk bencana longsor, sambung Dicky, 60 insiden terjadi
di 14 daerah di Jabar seperti di Kota Bogor 18 kejadian, Kabupaten Sukabumi 8
kejadian, Kabupaten Bandung Barat 8 kejadian, dan Kabupaten Bandung 5 kejadian.
Salah satu bencana paling mencolok yakni longsor di Tasikmalaya yang
mengakibatkan adanya hambatan di jalur Tasikmalaya-Bandung via Gentong. Dengan
terus meningkatnya intensitas hujan, Pemprov Jabar telah menetapkan status bencana
banjir dan longsor sejak 1 November 2018-31 Mei 2019. Penetapan status tersebut
berdasarkan SK Gubernur Jabar Nomor 362/Kep.1211-BPBD/2018. Baca juga: 2.177
Hektar Lahan Pertanian Terendam Banjir, Petani di Daerah Riau Ini Gagal Panen "Sejak
1 November 2018-31 Mei 2019 sudah kita tetapkan status siaga bencana banjir dan
longsor," ungkap Dicky. Ia pun meminta agar semua daerah untuk terus melakukan
langkah antisipatif untuk mengurangi dampak fatal. "Segera persiapkan langkah-
langkah guna menghadapi kemungkinan terjadinya bencana banjir, tanah longsor,
angin puting beliung dan gelombang tinggi. Segera menginventarisasi kesiapan dan
pengerahan sumber daya manusia, segera melaksanakan pengurangan resiko
(mitigasi)," ujar dia.
Bahan diskusi:
Contoh kasus:xxv
JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Komunikasi dan Informatika
mengidentifikasi 771 hoax pada periode Agustus 2018 hingga Februari 2019, paling
banyak berkaitan dengan isu politik. "Dari 771 total konten hoaks yang telah
diverifikasi dan divalidasi oleh Tim AIS Kemkominfo, sebanyak 181 konten hoaks
terkait isu politik, baik hoaks yang menyerang pasangan capres dan cawapres Nomor
01 dan No 02, maupun yang terkait partai politik peserta pemilu 2019," kata Plt.
Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu, dalam keterangan resmi di Jakarta,
Rabu (6/3/2019), seperti dikutip Antara. Hoax terbanyak kedua berkaitan masalah
kesehatan, yakni sebanyak 126 hoax. Sementara hoax isu pemerintahan berada di
angka 119. Kominfo juga menemukan hoax berisi fitnah terhadap individu sebanyak
110, hoax kejahatan 59, hoax isu agama 50 dan hoax penipuan dan perdagangan 19.
Terdapat juga hoax isu internasional, yaitu 21 dan hoax yang berkaitan dengan
pendidikan 3 konten. Kementerian mencatat temuan hoax selalu meningkat dari
bulan ke bulan sejak Agustus 2018, yang hanya 25 konten. Angkanya meningkat
menjadi 27 pada September dan 53 di bulan Oktober. Jumlah hoax yang terjaring
Kominfo melonjak signifikan pada Januari menjadi 175 konten dan naik lagi 353
konten pada Februari 2019. Kominfo sejak Januari 2018 memiliki tim AIS untuk
menjaring hoax dari seluruh konten yang beredar di dunia maya. Tim ini berjumlah
100 orang, didukung dengan mesin AIS yang dapat bekerja 24 jam.
Bahan diskusi:
Catatan
I Dr. Piet Go O. Carm, Teologi Moral Dasar, Penerbit Dioma, Malang, 2007, hal. 132.
Ii K. Bertens, Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hal.224.
Iii William K. Frankena, Ethics, Second Edition, Prentice Hall of India, New Delhi, 1982, hal.63- 64.
Iv Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hal.198.
v.Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1987,
hal.95-101.
viFranz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, hal.101-111.
viiJ. Sudarminta, Etika Umum, Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Kanisius,
Yogyakarta, 2013, hal.170-176.
viii J. Sudarminta, Etika Umum, Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, hal.176-
179.
ix “Demi 'Kehormatan', Ayah Ini Relakan Anaknya Tewas Tenggelam,” diunduh pada tanggal 16 Juli 2019, di
alamat https://www.liputan6.com/global/read/2291025/demi-kehormatan-ayah-ini- relakan-anaknya-
tewas-tenggelam.
x James Rachels, Filsafat Moral, diterjemahkan dari buku yang berjudul The Elements of Moral Philosophy oleh
A. Sudiarja, Kanisius, Yogyakarta, 2004, hal. 306-309.
xi Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal.457.
xii Simon Blackburn, Being Good, A Short Introduction to Ethics, Oxford University Press, Oxford, 2001, hal.112.
xiii Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal.458.
xiv Keutamaan kepedulian ekologis merupakan salah satu keutamaan yang dibutuhkan oleh manusia untuk
menjadi manusia yang utuh. Keutuhan manusia tampak dalam relasi seimbang (equilibrium) dan konstanta
antara manusia dengan Tuhan (Theos), manusia dengan alam (kosmos), dan manusia dengan manusia
(anthropos). Bdk. Lembaga Pengembangan Humaniora (LPH), SINDU, Spiritualitas dan Nilai Dasar Universitas
Katolik Parahyangan, edisi buku saku, 2019, hal.17.
xv A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2010, hal.2-3.
xvi "Indonesia Darurat Sampah", diunduh pada tanggal 16 Juli 2019, di alamat
https://properti.kompas.com/read/2016/01/27/121624921/Indonesia.Darurat.Sampah.
xvii "Suka Pamer di Medsos Picu Kecemasan dan Penurunan Kepercayaan Diri", diunduh pada tanggal 16 Juli
2019, di alamat https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/08/103500926/ suka- pamer-di-medsos-
picu-kecemasan-dan-penurunan-kepercayaan-diri.
xviii “Pluralitas adalah suatu fakta yang terberi. Pluralitas merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak,
dihindari, dan disangkal. Pluralitas dalam hal ini bisa merupakan anugerah sekaligus ancaman.” Bdk.
Lembaga Pengembangan Humaniora (LPH), SINDU, Spiritualitas dan Nilai Dasar Universitas Katolik
Parahyangan, edisi buku saku, 2019, hal.19.
“Pluralisme memandang kebenaran dengan cara korelasional sekaligus dualistik. Artinya, realitas didekati
secara dualitas yang tidak bertentangan namun secara seimbang saling melengkapi, bukan either/or tetapi
both-and.” Bdk. Lembaga Pengembangan Humaniora (LPH), SINDU, Spiritualitas dan Nilai Dasar Universitas
Katolik Parahyangan, edisi buku saku, 2019, hal.20.
“Kesadaran akan keterbukaan mendorong kita berdialog (ucap dan lampah) di antara keberagaman unsur
dalam masyarakat dan lingkungan alam. Kesadaran ini pula mendorong kita untuk membentuk universitas
sebagai kesatuan organisme yang hidup.” Bdk. Lembaga Pengembangan Humaniora (LPH), SINDU,
Spiritualitas dan Nilai Dasar Universitas Katolik Parahyangan, edisi buku saku, 2019, hal.14.
xix "Dunia Butuh Indonesia dengan Warisan Pluralisme", diunduh pada tanggal 16 Juli 2019, di alamat
https://nasional.kompas.com/read/2017/03/24/17021601/ dunia.butuh.indonesia.dengan.
warisan.pluralisme.
xx "Kominfo: Tidak Gampang Memblokir Situs Porno", diunduh pada tanggal 16 Juli 2019, di alamat
https://nasional.kompas.com/read/2012/03/15/13275544/kominfo.tidak.gampang.
memblokir.situs.porno.
xxi “Prinsip keberpihakan ditujukan sebagai bentuk kesadaran agar mengutamakan kaum lemah dan tersisih
(preferential option for the poor).” Bdk. Lembaga Pengembangan Humaniora (LPH), SINDU, Spiritualitas dan
Nilai Dasar Universitas Katolik Parahyangan, edisi buku saku, 2019, hal.26.
xxii Prinsip etis “nirlaba” mengutamakan sikap mengabdi dan melayani tanpa pamrih. Bdk. Lembaga
Pengembangan Humaniora (LPH), SINDU, Spiritualitas dan Nilai Dasar Universitas Katolik Parahyangan, edisi
buku saku, 2019, hal.28.
xxiii "Di Jawa Barat, 83 Bencana Banjir dan Longsor Terjadi Selama November", diunduh pada tanggal 16 Juli
2019, di alamat https://regional.kompas.com/read/2018/11/14/17493501/di- jawa-barat-83-bencana-
banjir-dan-longsor-terjadi-selama-november.
xxiv “Kejujuran akademik adalah kemampuan menyatakan sesuatu dengan benar seperti adanya (honesty)
dan mampu mengemukakan hal yang benar melalui proses pengujian secara objektif.” Bdk. Lembaga
Pengembangan Humaniora (LPH), SINDU, Spiritualitas dan Nilai Dasar Universitas Katolik Parahyangan, edisi
buku saku, 2019, hal.25.
xxv "Tujuh Bulan Terakhir Ada 771 Hoaks, Mayoritas Terkait Politik," diunduh pada tanggal 16 Juli 2019, di
alamat https://nasional.kompas.com/read/2019/03/06/14452651/tujuh-bulan-terakhir- ada-771-hoaks-
mayoritas-terkait-politik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996. Bertens,
K., Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011.
2. Blackburn, Simon, Being Good, A Short Introduction to Ethics, Oxford University Press,
Oxford, 2001.
3. Frankena, William K., Ethics, Second Edition, Prentice Hall of India, New Delhi, 1982.
4. Go, Piet, Teologi Moral Dasar, Penerbit Dioma, Malang, 2007. Keraf, A.
Sonny, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2010.
6. Magnis-Suseno, Franz, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Kanisius, Yogyakarta, 2000. Magnis-
Suseno, Franz, Etika Dasar, Masalah-masalah pokok Filsafat Moral,
9. Sudarminta, J., Etika Umum, Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika
Normatif, Kanisius, Yogyakarta, 2013.
Alamat-alamat website:
1. https://properti.kompas.com/
2. https://ekonomi.kompas.com/
3. https://nasional.kompas.com/
4. https://regional.kompas.com/ https://www.liputan6.com/
Bab III
KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB30
Hendrikus Endar S.
Belakangan orang senantiasa menuntut kebebasan, sampai kadang-kadang lupa apa yang
menjadi kewajiban atau tanggung jawabnya sendiri. Padahal apa yang disebut kebebasan
itu, di dalamnya terdapat apa yang disebut kewajiban atau tanggung jawab moral. Karena
itu, menjadi urgen bila kita harus membicarakan kebebasan yang tentunya dalam hubungan
dengan persoalan etis. Maka, sebenarnya berbicara tentang kebebasan mengandaikan
adanya kewajiban, atau sebaliknya berbicara tentang kewajiban moral dengan sendirinya
kita pun ingat akan kebebasan. Di sinilah persoalah etis kadang terabaikan.
Pada binatang, tidak ada kewajiban moral, sebab tidak ada kebebasan. Binatang berbuat
menurut dorongan nalurinya. Pada manusia, kita menemukan kenyataan bahwa kewajiban
moral itu memerintahkan saya secara mutlak, tetapi saya tetap bisa melaksanakan atau
mengingkarinya. Dengan kata lain, saya tetap bebas dalam memenuhi kewajiban moral.
Secara lebih tegas kita harus mengatakan bahwa sebuah kewajiban menjadi kewajiban
moral justru karena saya bebas untuk melaksanakannya atau tidak. Tetapi apakah
kebebasan itu?
1. Kebebasan
Secara negatif, kita bisa mengatakan bahwa kebebasan berarti tidak adanya paksaan
ataupun tekanan yang secara senggaja mendesak seseorang untuk bertindak melawan
kehendaknya sendiri. Secara positif, kebebasan adalah kemampuan manusia untuk
menentukan dirinya sendiri. Dari penjelasan awal ini sudah menunjukkan dua aspek
kebebasan yaitu bebas dari (freedom from) dan bebas untuk (freedom for). Sehubungan
dengan ini dibedakan dua macam kebebasan, yaitu kebebasan individual dan kebebasan
sosial.
a. Kebebasan Individual
30
Materi masih diamabil dari Diktat Etika Dasar dan Terapan, Pusat Kajian Humaniora, 2005
a.1. Kebebasan Jasmani
Kebebasan jasmani (fisik) adalah kemampuan manusia untuk bergerak dan melakukan
sesuatu secara fisik. Ia sanggup menggerakan anggota badannya sesuai dengan
kemauannya, tentu saja dalam batas-batas kodratnya sebagai manusia. Kebebasan jasmani
ini dikekang/diperkosa oleh paksaan (fisik) yang sengaja. Paksaan itu membuat seseorang
bertindak atau tidak bertindak sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, tangan yang diborgol
dan dia diseret ke penjara. Paksaan berarti orang lain menggunakan kekuatan fisik yang
lebih besar untuk menaklukan seseorang.
Yang dimaksud dengan kebebasan rohani adalah kemampuan untuk menentukan apa yang
kita pikirkan dan kehendaki. Kebebasan rohani ini secara langsung tidak dapat dibelenggu
oleh paksaan fisik. Orang tidak dapat memaksa apa yang harus saya pikirkan; begitu juga
orang tidak dapat memaksa saya untuk mencintainya. Pikiran dan kehendak adalah wilayah
rohani dimana setiap orang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Akan tetapi, secara tidak
langsung kebebasan rohani ini dapat dipengaruhi dari luar, malahan dikacaukan dan
dirusakan. Misalnya, dengan memberikan informasi-informasi politik yang tidak benar,
brainwash, sugesti, hipnosis, obat bius, narkotika, kesadaran seseorang dirusakan dan
dengan demikian juga kebebasan rohaninya.
Kebebasan rohani dan jasmani dibedakan, tetapi sama sekali tidak dapat dipisahkan.
Kebebasan jasmani sebenarnya bersumber pada kebebasan rohani, yaitu pada kemampuan
kita untuk berpikir dan berkehendak. Sebaliknya, pikiran dan kehendak manusia menjelma
dan menjadi nyata dalam tindakan kita. Seseorang yang mengatakan bahwa dia
menghendaki sesuatu tetapi tidak berikhtiar untuk melakukannya sebenarnya tidak
sungguh-sungguh berkehendak tapi hanya mempunyai keinginan. Kehendak yang sejati
menjelma dalam perbuatan. Dengan kata lain, Kebebasan rohani terjelma dalam kebebasan
jasmani, sedangkan kebebasan jasmani bersumber dalam kebebasan rohani.
b.Kebebasan Sosial
Manusia itu sekaligus individu dan makhluk sosial. Demikian juga kebebasan individul tidak
pernah kita hayati dalam suatu ruang kosong, melainkan dalam hubungan dengan sesama
dalam suatu masyarakat. Maka yang disebut kebebasan sosial adalah keadaaan dimana
kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasai dengan sengaja oleh orang lain. Atau secara
positif: keadaan dimana orang-orang lain memungkinkan saya untuk menentukan diri
sendiri.
Kebebasan sosial ini dibedakan dalam tiga macam:
1) Kebebasan Sosial dilihat dari aspek jasmani: keadaan dimana seseorang tidak
mengalamai paksaan fisik dari orang untuk bertindak dan menentukan diri sendiri di
tengah masyarakat.
2) Kebebasan Sosial dipandang dari aspek rohani: keadaan dimana seseorang tidak
mengalami tekanan psikis dari orang lain, yang secara tidak langsung dapat
mengganggu atau merusak pikiran dan kehendak orang itu.
3) Kebebasan Normatif: keadaan dimana seseorang tidak terikat oleh kewajiban sosial atau
larangan yang ditetapkan oleh masyarakat. Suatu masyarakat dapat hidup dan bertahan
melalui sejumlah ketetapan yang mengatur hidup masyarakat tersebut, baik berupa
pewajiban maupun larangan. Tetapi, semua penetapan itu haruslah dibuat demi
kepentingan seluruh masyarakat serta anggota-anggotanya. Dan karena itu setiap
pewajiban dan larangan harus dipertanggung jawabkan secara terbuka kepada anggota
masyarakat. Setiap anggota masyarakat niscaya terikat oleh aturan tertentu.
Sehubungan dengan ini, kebebasan normatif adalah kebebasan sosial yang dimiliki
seseorang sejauh ia tidak terikat oleh pewajiban ataupun larangan.
Dari penjelasan sejauh ini kita melihat bahwa kebebasan soal lebih banyak dirumuskan
secara negatif, yaitu "bebas dari" paksaan dan tekanan, serta bebas dari pewajiban dan
larangan.
Kebebasan sosial merupakan lingkup hidup yang masih kosong yang harus diisi dengan
sesuatu yang positif. Yang mengisinya ialah kebebasan individual, yaitu kemampuan
manusia untuk menentukan dirinya sendiri
Manusia itu sekaligus makhluk individu dan makhluk sosial. Perwujudan dari pribadi hanya
bisa dilaksanakan dalam hubungan dengan orang lain. Itu berarti bahwa manusia harus
hidup bersama dengan manusia-manusia yang lain dalam ruang dan waktu yang sama,
dengan menggunakan sumber alam yang terbatas sebagai dasar untuk memenuhi
kebutuhannya. Hal itu berarti bahwa, di satu pihak kita saling membutuhkan dan di lain
pihak kita bersaing satu dengan yang lain. Hak dan kebutuhan saya sebagai individu dibatasi
oleh hak dan kepentingan orang lain dalam masyarakat. Kebebasan sosial saya niscaya
terbatas. Hal ini jelas dengan sendirinya. Yang menjadi pertanyaan: Sejauh mana dan dengan
cara apa kebebasan sosial saya dibatasi?
Kebebasan sosial yang saya miliki mempunyai batas sejauh ada orang lain dengan hak-hak
yang sama dan sejauh ada kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Dengan demikian
kita melihat ada dua alasan pokok yang membatasi kebebasan sosial seseorang. Pertama,
hak setiap manusia atas kebebasan yang sama. Keadilan menuntut bahwa apa yang saya
tuntut bagi diri saya sendiri, pada prinsipnya harus saya akui sebagai hak orang lain. Oleh
karena itu hak saya atas kebebasan menemui batasnya pada hak orang lain yang sama
luasnya. Kedua, yang membatasi kebebasan pribadi saya ialah kepentingan masyarakat
sebagai satu keseluruhan. Saya sebagai pribadi membutuhkan orang lain, dan
membutuhkan pranata pranata sosial yang menolong saya untuk berkembang (seperti
sistem pendidikan, ekonomi, lalulintas, pelayanan pos, persekutuan agama, kelompok
kesenian, dan olahraga). Demi kepentingan bersama ini masyarakat berhak membatasi
kewenangan saya, baik dengan melarang saya mengambil tindakan yang dinilai merugikan
kepentingan bersama, maupun dengan meletakan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus
saya penuhi sebagai anggota masyarakat (misalnya membayar pajak).
Perlu digarisbawahi bahwa pembatasan kebebasan pribadi ini hanya boleh sejauh untuk
mencapai kepentingan bersama. Dan pembatasan ini harus dipertanggungjawabkan secara
terbuka. Suatu pembatasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan harus ditolak.
Pertama, melalui paksaan fisik: Misalnya tangan saya diborgol dan diseret ke penjara.
Kedua, melalui tekanan psikis, dimana pikiran dan kehendak seseorang dimanipulasi atau
dirusakkan sama sekali. Ketiga, melalui pewajiban dan larangan. Sebagai anggota
masyarakat orang diberi kewajiban atau dikenai larangan tertentu demi kepentingan
bersama. Cara ketiga ini disebut juga cara normatif. Inilah cara pembatasan yang paling
wajar dan paling manusiawi. Mengapa? Kalau paksaan fisik dan tekanan psikis, (cara
pertama dan kedua) mengurangi atau malahan menghilangkan kemampuan saya untuk
menentukan diri maka cara ketiga melalui pewajiban dan larangan tidak menghilangkan
kemampuan saya untuk menentukan diri.
Biarpun ada aturan saya tetap bebas untuk mentaatinya atau melanggar aturan tersebut.
Dengan kata lain, kemampuan menentukan diri tetap utuh. Kebebasan saya tetap dihormati.
Kita mengatakan bahwa cara pembatasan yang paling manusiawi ialah cara normatif,
melalui pewajiban dan pelarangan. Tetapi apa yang harus dilakukan kalau seorang anggota
masyarakat tidak mau tahu dan tidak peduli akan pewajiban dan larangan tersebut?
Kemungkinan pelanggaran aturan umum inilah yang melahirkan paham hukum. Hukum
adalah sistem peraturan kelakuan bagi masyarakat yang bersifat normatif, tetapi dengan
ancaman tambahan bahwa siapa yang tidak mentaatinya, akan ditindak.
Tindakan macam apakah yang bisa diambil sebagai sanksi? Jawabannya adalah sanksi fisik.
Tindakan fisik tidak dimaksudkan untuk memerkosa otonomi seseorang, tapi hanya untuk
mencegah dia merugikan kepentingan umum. Yang tidak pernah boleh dibenarkan adalah
sanksi melalui manipulasi psikis, yang merusakkan pikiran dan kehendak orang. Secara
moral, sanksi psikis harus dinilai jahat sebab ia merusak kepribadian orang dari dalam.
2. Tanggung Jawab
Dalam hubungan dengan tanggung jawab ini terkandung pengertian penyebab; adanya
orang bertanggungjawab atas sesuatu yang disebabkannya. Sebaliknya orang yang tidak
menjadi penyebab dari suatu akibat tidak bertanggungjawab. Tetapi adanya sarana yang
digunakan yang melahirkan akibat tertentu harus bertanggung jawab, dalam hal ini bisa
penyebab itu yang memilikinya, bisa juga orang lain (yang bukan penyebab itu sendiri).
Orang yang hanya menjadi pemilik barang penyebab terjadi sesuatu itu disebut sebagai
penyebab bebas.
Penyebab bebas ini memang tidak langsung bertanggungjawab tetapi secara moral ia harus
bertanggungjawab juga. Sebab dialah pemilik dari barang (sarana) mengakibatkan
terjadinya suatu peristiswa tertentu itu. Misalnya, kecelakaan sepeda motor. Bambang
meminjamkan sepeda motornya kepada Simon, karena ia hendak mengunjungi “gebetan
baru”-nya. Dalam perjalanan menuju rumah gebetan barunya itu, Simon menabrak seorang
anak TK yang sedang menyeberang jalan. Dalam kasus tersebut, Simonlah yang
menyebabkan terjadinya tabrakan itu, sebab dialah yang mengendarai sepeda motor. Jadi,
ia terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Sedangkan Bambang adalah penyebab bebas
atau tidak langsung, karena ia hanya pemilik sarana (sepeda motor) yang dikendarai Simon
itu. Dari kasus di atas, kita bisamengatakan bahwa Simon harus bertanggungjawab secara
hukum dan moral, sedangkan Bambang hanya bisa bertanggungjawab secara moral saja.
Dalam hubungan dengan aspek hati nurani sebagai pusat otonomi manusia maka manusia
dengan itu memiliki kebebasan. Dengan kebebasan ini manusia bisa berkreasi, berpikir dan
bertindak. Kreasi manusia melahirkan hasil yang bisa membahagiakan, bisa juga merugikan,
baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dari sinilah lahir paham tanggung jawab.
Ada dua macam tanggung jawab, yakni tanggung jawab retrospektif dan tanggungjawab
prospektif.
1) Retrospektif
Tanggung jawab retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung
dan segala konsekuensi atau akibatnya. Misalnya, seorang apoteker memberi obat yang
salah karena kurang teliti membaca resep dokter maka ia bertanggungjawab. Kalau
kemudian ketahuan, ia harus memerbaiki perbuatan itu dengan memberi obat yang betul.
Kekeliruan itu membawa akibat negatif maka sang apoteker itu harus memberi ganti rugi.
2) Prospektif
Tanggung jawab prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang. Itu
berarti sebelum perbuatan dilakukan, pelaku yang bersangkutan tentu sudah
bertanggungjawab (dalam arti prospektif sebab biasanya tanggung jawab itu baru dirasakan
betul-betul bila kita berhadapan dengan risiko, dampak dari perbuatan itu). Hanya saat itu
tanggung jawabnya masih terpendam dalam hatinya dan belum berhadapan dengan orang
lain.
Selain tanggung jawab retrospektif dan tanggung jawab prospetik, ada juga tanggung jawab
yang bersifat langsung dan tidak langsung. Hal ini bisa tampak pada contoh kasus kecelakaan
sepeda motor pada bagian pengertian tanggung jawab di atas.
Kebebasan sosial menyiapkan ruang lingkup, tetapi ruang itu hanya bisa diisi oleh
kebebasan individual, yaitu kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
Kebebasan individual secara konkret dinyatakan dalam tindakan yang disadari, yaitu yang
berdasarkan pada akal budi, kehendak, dan rasa manusiawi (rasa syukur, rasa cinta). Dalam
pembicaraan para ahli diakui bahwa manusia sebagai subjek ditentukan oleh empat faktor
yaitu, pikiran, kehendak, rasa, dan pelaksanaan diri. Pikiran, kehendak, dan rasa itu menjadi
nyata dalam tindakan (yang dilaksanakan). Setiap hari kita melaksanakan macam-macam
tindakan: belajar, berdoa, kerja kantor, menyiangi sawah ladang, membangun rumah rakyat,
membantu organisasi sosial, dsb. Dengan atau melalui pelaksanaan pelbagai kegiatan itu,
saya sesungguhnya melaksanakan diri saya sendiri. Dengan itu juga saya secara real
mewujudkan kemerdekaan atau kebebasan individual, yaitu kemampuan untuk
menentukan diri sendiri.
Sehubungan dengan pelaksanaan diri ini, timbul pertanyaa: bagaimana hubungan antara
kebebasan dan tanggung jawab?
Kebebasan sejati ini pada tingkat afektif dirasakan sebagai kegembiraan dan rasa bahagia
yang mendalam
Untuk menjelaskan hal itu kita mulai dengan pertanyaan: Apa artinya menolak
bertanggungjawab atau tidak bertanggungjawab? Menolak bertanggungjawab berarti tahu
dan sadar apa yang seharusnya dibuat, sadar bahwa hal itu baik dan bahwa dia mampu
melakukannya, tetapi ia tidak mau melakukannya. Mengapa ia tidak mau melakukannya?
Tentu karena melakukan tanggung jawab itu terasa terlalu berat: mungkin karena ia malas,
ada hobi lain yang lebih menarik, ia tidak mau susah-susah karena takut bahaya, atau karena
tergoda hal lain yang lebih menguntungkan, karena nafsu untuk mencari kesenangan, dsb.
Dengan kata lain, orang yang tidak bertanggung jawab sebenarnya tidak mau dituntun oleh
akal budi dan kehendak serta suara batinnya, dan membiarkan diri dikuasai oleh faktor-
faktor lain yang menguasai dia dari luar ataupun dibelenggu dari dalam oleh nafsunya
sendiri.
Apalagi mengabaikan kewajiban moral berarti merendahkan martabat pribadi itu sendiri.
Singkatnya; orang yang tidak bertanggungjawab menjadi kurang bebas karena ia tidak
menentukan dirinya sendiri dengan akal budi dan kehendak bebas, ia tidak dituntun oleh
hati nurani, tapi dibelenggu oleh faktor-faktor lain, entah faktor internal ataupun faktor
eksternal.
Contoh: Pertama, penjudi. Mula-mula ia berjudi kecil-kecilan sebagai hobi atau kesenangan.
Lama kelamaan dia kehilangan seluruh harta benda dan keluarganya hancur berantakan.
Kedua, seorang morfinis. Mula-mula ia ikut dalam arus kaum muda yang mau bebas dari
segala norma yang dianggap kolot, dan menghisap ganja sebagai tanda pemberontakan.
Kemudian ia ketagihan dan tidak bisa menghentikan lagi kebiasaannya itu. Kesehatan fisik
dan mentalnya merosot karena dia hidup dalam dunia fantasi dan tidak lagi menerima tugas
dan tanggung jawab dalam hidup yang konkret.
3) Kesimpulan
Dalam kebebasan sosial, yang membatasi hak adalah kondisi sosial yang bersifat eksternal.
Di dalam kebebasan sosial, realitas yang membatasi adalah hak dari pihak lain atau pihak
yang lebih berhak. Misalnya, orang dipenjara tidak bebas karena dia harus memainkan
tanggung jawabnya dalam memenuhi hak dari orang yang telah dirugikan. Setiap orang
berkewajiban menghormati kemampuan atau apa saja yang menjadi hak orang lain sebagai
rasa tangung jawabnya.
Antara kebebasan sosial dan tanggung jawab ini, masih ada satu hal yang penting juga, yakni
keadilan. Kalau kita lihat hubungan antara kebebasan sosial dan tanggung jawab secara
umum menyangkut penghormatan atau pengakuan atas hak dan kewajiban yang dimiliki
orang yang satu dengan hak dan kewajiban yang dimiliki orang yang lain. Di sinilah
kebebasan dan tanggung jawab harus memerhatikan masalah keadilan. Sehingga orang yang
bebas secara eksistensial sekalipun dan bahkan memiliki kebebasan sosial yang luas tetapi
tidakmemerhatikan masalah tangung jawab, dapat dikatakan tidak adil. Jadi, dalam
kebebasan sebenarnya diandaikan telah ada tanggung jawab. Karena itulah tidak ada
kebebasan yang sebebas-bebasnya. Dengan kata lain, kebebasan sosial saya dibatasi oleh
kebebasan orang lain. Atau kebebasan sosial saya secara individual menemukan batasan
ketika saya bersama dengan yang lain berada bersama dan menyatakan secara tegas apa
yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing kami dalam kebersamaan itu.
Contoh Kasus:
Malapetaka ini terjadi di Jalan MI Ridwan Rais, Tugu Tani, Jakarta Pusat sekitar pukul 11
siang. Bukannya syok, Afriyani malah marah-marah. Menurut pengakuan salah satu
saksi, Afriyani terlihat seperti orang mabuk. Selain Afriyani, ada tiga orang lagi dalam mobil
hitam berpelat B 2479 XI.
"Mobilnya kencang sekali, pengemudinya seperti orang mabuk. Dia marah-marah dan
mengomel, padahal sudah berapa yang dia bunuh," kata salah satu pejalan kaki, Suwarto,
31.https://www.viva.co.id/berita/metro/307882-tragedi-afriyani-dan-9-korban-tewas
sesaat setelah kejadian.
Lebih lanjut Suwarto menjelaskan, mobil Xenia datang dari arah Gambir menuju ke Tugu
Tani. Ketika mendekati Tugu Tani, mobil berkecepatan tinggi itu mendadak kehilangan
kendali. Saat itulah mobil mulai menabrak para pejalan kaki yang berada di trotoar.
Salah satu korban tewas adalah seorang ibu yang sedang hamil tiga bulan, Nanik Riyanti,
25 tahun. Nanik sedang berlibur ke Jakarta bersama enam saudaranya. Dia berasal dari
Desa Singarojo, Kecamatan Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Tak hanya Nanik yang meregang
nyawa akibat kecelakaan maut itu. Tiga kerabat lainnya pun tewas.
Korban luka:
1. Siti Mukaromah, 30
2. Keny, 8
3. Indra, 11
4. Teguh Hadi Purnomo, 30
Kepada polisi, Afriyani mengaku bahwa pada malam sebelum petaka, dia bersama ketiga
temannya tak tidur setelah semalaman mengikuti pesta perpisahan kawan yang hendak
berangkat ke Australia. "Pada pukul 20.00-22.00 WIB, mereka ada di Hotel Borobudur, ada
pesta," kata Kepala Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Pol. Nugroho Aji.
Setelah itu, mereka pindah dugem ke sebuah kafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan,
hingga pukul 02.00 WIB. Di sana mereka minum whisky dan bir. Belum puas, mereka lalu
beranjak ke Diskotek Stadium di Jalan Hayam Wuruk. Di situ, mereka urunan membeli dua
pil ekstasi dan baru keluar hari Minggu sekitar pukul 10.00 WIB. "Mereka berniat kembali
ke Kemang, tapi keburu terjadi kecelakaan," kata Nugroho.
Terungkap juga Afriyani berkendara tanpa memiliki SIM dan membawa STNK. Afriyani pun
ditetapkan sebagai tersangka dalam kecelakaan maut ini. Dia terbukti berkendara tanpa
membawa STNK, tak memiliki SIM, merusak fasilitas umum, dan menghilangkan nyawa
atas kecelakaan itu. Selain itu, polisi melapis sangkaan untuk Afriyani dengan pasal
pembunuhan.
Selain dia, ketiga temannya dalam kendaraan itu ikut terseret sebagai tersangka
penggunaan narkoba. Mereka adalah Adistria Putri Grani (26) Deny Mulyana (30), dan
Arisendi (34).
Hasil penyidikan di lapangan juga mematahkan dalih Afriyani yang semula mengaku rem
mobil tersebut blong. Setelah meneliti lokasi, tim mekanik Daihatsu memastikan kalau
mobil buatan tahun 2005 itu tidak punya masalah apapun pada komponennya, termasuk
remnya --meski mobil tak dilengkapi fitur pengereman ABS (antilock break
system). Mereka menyimpulkan, sebelum kecelakaan, Xenia tipe 1.3Xi (versi standar) ini
masih layak dikendarai dan selalu diservis berkala. (hp).
Bahan Diskusi
1. Bentuk tanggung jawab retrospektif apa yang harus dipikul oleh Afriyani
2. Tanggung jawab prospektif apa yang diabaikan oleh Afriyani?
3. Belajar apa dari kasus Tragedi Afriyani tentang kebebasan dan tanggung jawab?
DAFTAR PUSTAKA
1. Pendahuluan
1.1. Gambaran Umum
Topik ini mau membahas secara khusus sisi kelebihan manusia dari makluk lain.
Secara kasat mata, manusia berbeda dengan makluk lain karena manusia memiliki
kemampuan akal budi yang dapat menciptakan kebudayaan, yakni mengubah segala
sesuatu yang sudah disediakan alam menjadi lebih berdaya guna bagi manusia dan
memuliakan alam yang telah menyediakannya baginya. Akan tetapi, manusia
berbeda dengan makluk lain bukan karena kamampuan akal budi saja melainkan
karena manusia memiliki suara hati.
Kemampuan kemanusiawian (akal budi dan suara hati) inilah yang
memungkinan manusia dapat membedakan baik dan buruk setiap keputusan yang
dilakukannya dan menilai setiap pilihan tindakan yang sudah dan akan dilakukannya.
Untuk memudahkan pemahaman kita tentang kesadaran moral dan suara hati, maka
pembahasannya dipisah antara kesadaran moral dan suara hati.
1.2. Relevansi
Apa yang dibahas pada topik ini diharapkan memberikan penyadaran kepada
mahasiswa bahwa dalam dirinya tidak hanya kemampuan akal budi yang membedakan
dirinya sebagai manusia dengan makluk lain, akan tetapi ada kemampuan kemanusiwian
yang namanya suara hati yang melahirkan kesadaran berkewajiban moral dimana setiap
manusia sekaligus subyek dan obyek dalam setiap pilihan tindakan.
Dan kepada setiap mahasiswa yang akan menjadi praktisi di tengah masyarakat
sesuai bidang keahlian sedapat-dapatnya tidak hanya bertindak menurut takaran akal
budi dan menurut hukum keilmuannya melainkan dengan takaran suara hati juga.
Dengan takaran hati nurani apa pun pilihan tindakan kita pasti menjunjung tinggi nilai-
nilai moral yang dengannya dirimu sendiri selaku manusia dimuliakan dengan pilihan
tindakan tersebut.
2. Materi
2.1. Kesadaran Moral dan Struktur Dasarnya
2.1.1. Konsep Kesadaran Moral
Sebelum kita mendalami struktur dasar kesadaran moral, terlebih dahulu kita
mendapatkan rumusan makna kesadaran moral. Secara etimologis kesadaran berasal
dari kata bahasa Latin conscientia yang terbentuk dari kata kerja scire (mengetahui) dan
con (bersama dengan, turut). Maka, conscientia berarti mengetahui bersama atau turut
mengetahui. Maka, kesadaran merupakan kesanggupan manusia untuk mengenal
dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya. Dalam kesadarannya manusia
tidak hanya berperan sebagai subyek tetapi sekaligus juga obyek.
Maka, kesadaran moral merupakan keinsyafan bahwa saya berada di bawah
kewajiban untuk melakukan sesuatu yang tentu saja bermoral (dalam arti baik-buruk).
Kata bahasa Latin conscientia ini pun dipakai untuk menunjukan makna suara hati. Hal
ini berarti bahwa manusia tidak hanya melakukan tindakan-tindakan bermoral (dalam
arti baik-buruk) tetapi manusia turut mengetahui tentang tindakan-tindakan moralnya
itu sendiri. (Bertens, 1993: 51-53)
Proposisi ini mengandung makna bahwa: Pertama, nilai moral tidak hanya
menyangkut satu dimensi pribadi manusia. Melainkan melibatkan seluruh persona
humanae dalam keutuhannya. Kedua, Nilai moral tidak hanya menentukan baik
buruknya satu tindakan manusia. Melainkan sekaligus menentukan baik buruknya
pribadi itu. Pewujudan nilai moral menyempurnakan pribadi manusia. . (Magnis,
1987: 54-55)
c.3. Nilai Moral Mewajibkan dan Membebaskan
Dalam prakteknya, nilai moral itu sekaligus mewajibkan dan memerdekakan
manusia selaku pemilik nilai tersebut. Mengapa? Berikut ini ada tiga
pertimbangannya: Pertama, nilai moral mewajibkan manusia secara mutlak, tanpa
syarat. Dan karena itu Immanuel. Kant menyebutnya nilai moral itu bersifat imperatif
kategoris, suatu perintah tanpa syarat. Kedua, kewajiban moral itu sekaligus bersifat
universal dan personal. Universal disini berarti berlaku untuk semua manusia. Dan
bersifat personal artinya mengikat saya sebagai pribadi dalam situasi konkret saat
ini. Ketiga, kewajiban moral itu mutlak, tetapi tidak bersifat buta, melainkan rasional.
Artinya dapat dipertanggungjawabkan secara akali. . (Magnis, 1987: 56-57)
Akhirnya, kita juga harus menyadari bahwa kewajiban moral itu tidak
dipaksakan dari luar, melainkan diperintahkan dari dalam diri kita oleh suara hati
kita sendiri. Dan kewajiban moral itu hanya bisa dipenuhi dalam kemerdekaan kita.
Artinya saya bebas untuk melaksanakan atau mengingkarinya. Pelaksanaan
kewajiban moral atau perwujudan nilai moral niscaya memerdekakan manusia.
Sebab ketika ia dilaksanakan secara tepat ia menyempurnakan pribadi manusia.
Terhadap pertanyaan ini perlu dibedakan tiga keadaan, yakni keadaan sebelum
mengambil keputusan, keadaan pada saat mengambil keputusan, dan keadaan sesudah
mengambil keputusan.(Magnis, 1987: 68-73) Dengan memisahkan tiga keadaan dalam
kaitan dengan suatu pilihan tindakan bahkan terhadap tindakan itu sendiri, kita lebih bisa
memastikan letak kekeliruan dan kebenaran tindakan yang kita lakukan.
Contoh: seorang dokter diminta oleh seorang wanita Bosnia untuk menggugurkan isi
kandungannya sebagai hasil pemerkosaan oleh tentara Zerbia. Di satu pihak dokter itu
menyadari bahwa pengguguran yang sengaja merupakan tindakan terlarang. Di lain pihak,
dokter itu memahami rasa muak dan kebingungan wanita itu yang takut bahwa hidup
keluarganya akan hancur kalau suaminya tahu apa yang telah terjadi atas dirinya,
mengingat suaminya seorang pencemburu. pertanyaannya, apa yang seharusnya
dilakukan oleh dokter itu?
Kita tidak bisa memberikan jawaban yang siap pakai untuk kasus seperti ini. Yang
perlu kita jawab ialah bagaimana seharusnya sikap dokter itu supaya keputusannya dapat
dipertanggungjawabkan, pertama, sebelum mengambil keputusan mengenai kasus yang
sulit ini, dokter wajib mencari semua informasi yang relevan untuk mendapat pemecahan
yang paling tepat dari segi moral. Ia tidak boleh hanya bersandar pada suara hatinya
sendiri pada saat itu tanpa mencari pertimbangan-pertimbangan dari orang lain yang
kompeten.
Kedua, Akan tetapi apabila keputusan itu tidak dapat ditunda lagi, maka dokter
berhak dan berwajib melakukan apa yang pada saat itu diwajibkan oleh suara hatinnya.
Artinya kewajiban untuk melakukan hal itu sejauh disadari sebagai kewajibannya,
sesudah melewati banyak pertimbangan.
Ketiga, sesudah keputusan itu dilaksanakan, dokter itu perlu mencari tahu informasi
relevan lebih lanjut. Apabila kemudian ternyata bahwa tindakannya itu keliru, dokter itu
tidak bersalah secara moral pada waktu mengambil keputusan yang lalu menurut
keyakinan suara hatinya pada saat itu.
Dari pertimbangan-pertimbangan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan:
Pertama, setiap keputusan moral memang harus diambil menurut apa yang
diperintahkan oleh suara hati pada saat itu.
Kedua, suara hati harus terus menerus disesuaikan dengan apa yang sungguh benar
secara obyektif. Dan karena itu wajib memperhatikan semua argumen, informasi dan
pertimbangan-pertimbangan yang bisa diperoleh dari orang lain.
Ketiga, suara hati dapat keliru. Artinya saya dapat meyakini sesuatu secara jujur
sebagai kewajiban saya yang sebetulnya tidak merupakan kewajiban moral saya.
Atau sebaliknya, apa yang menjadi kewajiban, tidak saya sadari, karena salah
pendidikan.
Contoh: suara hati keliru karena sistem pendidikan. Sistem pendidikan
Apartheid yang berlaku di Afrika Selatan kala itu membuat seorang anak kulit putih
di Afrika Selatan tidak menyadari bahwa dia harus bertindak adil juga kepada orang
kulit hitam.
Analisanya: pertama, kalau begitu (yaitu kalau suara hati saya keliru),
apakah saya bersalah? Saya tidak bersalah kalau saya memang bertindak menurut
suara hati saya pada saat itu, biarpun kemudian ternyata bahwa suara hati saya
keliru. Tetapi saya dapat bersalah kalau sebelum mengambil keputusan saya tidak
mencari informasi yang perlu atau sengaja menutup diri dari pertimbangan-
pertimbangan orang lain. Dan kalau kemudian saya menyadari bahwa keputusan
saya keliru, maka saya wajib mengubahnya sejauh mungkin.
Kedua, mungkin sekali pada saat saya harus mengambil keputusan saya
masih bimbang. Artinya saya belum sampai kepada satu kepastian pendapat. Kalau
begitu, saya bebas memilih apa yang saya anggap tepat saat itu, biarpun dengan
kemungkinan bahwa saya keliru.
Kita memang sering bertindak dalam keadaan ragu-ragu. Manusia jarang mencapai
kepastian seratus persen. Inilah resiko yang harus diambil dalam situasi konkret. Kalau
kemudian, berdasarkan pertimbangan obyektif ternyata kita salah pilih, kita tetap tidak
bersalah secara moral ketika mengambil tindakan yang lalu. Akan tetapi, untuk saat ini,
ketika kita sudah melihat obyektivitasnya, maka tindakan yang lalu itu tetap
dipersalahkan.
2.2. Suara Hati (Hati Nurani)
Semua kita sepakat bahwa suara hati selalu harus diikuti pada saat setiap orang
mengambil keputusan moral. Suara hati disini berarti norma moral subyektif yang paling
tinggi. Karena itu kita perlu menjelaskan konsep dan fungsi.
3.a. Supra-personal
Dalam kaitan pilihan tindakan suara hati terkadang terasa melebihi pribadi
kita sendiri. Dia seolah menerangi pribadi kita dan dalam memutuskan untuk
melakukan suatu tindakan, apa lagi tindakan tersebut merupakan kewajiban moral
manusia maka tidak dapat ditawar-tawar dengan pertimbangan untung atau rugi.
Bahkan sangat mengherankan mengenai suara hati ialah bahwa ia muncul
secara spontan dari dalam diriku dan sekaligus saya merasa bahwa ia melampaui
diriku. Hal ini dimungkinkan karena saya tidak memprogramkan suara hati itu
menurut keinginan atau kemauan saya sendiri. Sebaliknya saya merasa bahwa suara
hati itu seolah-olah suatu instansi yang lebih tinggi dari diriku sendiri. Tidak saja
demikian tetapi ia juga berperan mengevaluasi, mengadili dan memerintahkan saya
dalam situasi konkret berhubungan dengan tindakan yang saya lakukan. (Bertens,
1993: 58-59)
3.b. Personal
Dalam kenyataan hidup manusia itu pasti bertindak atau melakukan tindakan,
atau sekurang-kurangnya memiliki pilihan tindakan. Sebagai makluk sosial maka
manusia bertindak pasti harus berpijak pada norma yang berlaku, entah norma adat,
norma moral, norma agama atau pun norma hukum. Tindakan yang mengacu pada
norma-norma tersebut merupakan tindakan etis minimal. Sebab, tindakan tersebut
bukan merupakan pilihan tindakannya sendiri tetapi ada semacam otoritas lain yang
mewajibkannya. Menjadi berbeda, apa bila manusia memenuhi norma-norma
tersebut dengan kesadaran penuh bahwa norma-norma tersebut dengan saya
melaksanakannya diriku pun dimuliakan.
Setiap manusia, disamping memiliki akal budi, dia juga memiliki kemampuan
suara hati yang memungkinkan setiap pilihan tindakannya itu memiliki karakter
personal.(Bertens, 1993: 56-58) Maka tindakan yang sudah baik, benar sesuai
norma yang ada seolah dipersoalkan kembali untuk memiliki individuasi yang lebih
baik, benar secara obyektif rasional.
Perlu pula disadari bahwa manusia multidimensi maka berbicara perihal
individuasi tindakan sedapat mungkin atas nama dan penilaian individu manusia itu
sendiri. Bahkan individuasi tindakan tersebut sepatutnya diwarnai dan berkembang
bersama seluruh kepribadian kita. Sehingga bila kita menilai sebuah tindakan
sedapat mungkin dinilai (dipertimbangkan) dalam konteksnya yang konkrit terkait
aspek-aspek kemanusiwian. Dengan demikian, kita dapat memastikan isi dan
perwujudan diri manusia dalam tindakannya itu.
2.3. Shame Culture & Guilt Culture
Antropologi budaya meyakini setiap manusia yang paling primitif sekalipun memiliki
budaya rasa malu dan rasa bersalah (shame culture dan guilt culture) terhadap apa yang
dilakukan tidak mencapai hasil orptimal dan apa yang diniatkan atau dijanjikan tidak
ditepatinya. Disini diyakini bahwa kedua bentuk budaya individual tersebut bersumber dari
dalam dirinya (suara hati) dan lingkungan sosial budaya yang membentuk dirinya.
(Bertens, 1993: 87-90) dan bandingkan juga Margaret Mead, Cooperation and Competition
among Primitive Peoples, Boston, Beacon Press, 1961)
1. a. Relativisme deskriptif
Relativisme ini seringkali ditemukan diantara antropolog, etnolog dan
sosiolog. Mereka menunjukan bahwa sistem-sistem moral dalam pelbagai
kebudayaan dan masyarakat itu sangat berlainan. Maka apa gunanya berbicara
tentang kemutlakan dan universalitas norma moral, kalau dalam kenyataan orang
toh hidup menurut norma-norma yang berlainan Karena itu, untuk menilai
relativisme deskriptif, lebih baik kita membuat distingsi antara norma moral konkret
dan norma moral yang lebih mendasar. Yang dimaksud dengan norma moral konkret
adalah kaidah yang menuntun tindakan empiris tertentu.
Contoh: 1) ‘Anak yang baik mengunjungi orangtuanya sekurang-kurangnya
sekali setahun waktu hari raya’. 2) ‘Jangan mengajak orang menghisap ganja, biarpun
hanya untuk percobaan’. 3) ‘Kalau orang membuat kesalahan secara tidak sengaja,
jangan mencela dia di depan umum’. 4) ‘Ketua buruh wajib memperjuangkan
perbaikan upah karyawan yang terlalu rendah’. Kalau dirumuskan lebih umum
norma-norma ini akan berbunyi: 1) ‘Hormatilah orangtuamu’. 2) ‘Lindungilah orang
lain sedapat mungkin dari bahaya’. 3) ‘Hormatilah perasaan orang lain’. 3) ‘Belalah
hak orang-orang kecil’.
2.6. Kesimpulan
Berbicara kesadaran moral kaitannya dengan suara hati. Dengan kesadaran, saya
tidak hanya mengetahui sesuatu secara inderawi melainkan saya sadar bahwa diri saya
sebagai subyek yang mengetahui itu. Demikian pula pada suara hati, bahwa saya tidak hanya
melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral tetapi saya sendiri mengetahui
tentang perbuatan-perbuatan moral itu.
Walau suara hati merupakan pusat otonomi individu dalam melakukan pilihan
tindakan, akan tetapi suara hati bisa saja keliru. Sebab setiap individu lahir dan dibentuk
dalam ruang sosial budaya yang beragam. Maka suara hati selalu dipakai dan dibina. Dengan
keseringan dipakai dia tahu mana tindakan yang baik dan mana yang buruk, disitulah suara
hati selalu diasah agar tetap tajam dalam menilai setiap tindakan yang sudah dilakukan dan
mewanti-wanti kita dalam melakukan pilihan tindakan.
2.7. Pertanyaan-pertanyaan
1. Bisakah anda membandingkan kesadaran moral dan suara hati?
2. Apa yang dimaksudkan dengan kesadaran moral bersifat mutlak
3. Apa yang dimaksudkan dengan kesadaran moral itu rasional?
4. Jelaskan hubungan nilai moral dan martabat manusia.
5. Jelaskan fungsi suara hati sebelum dan sesudah tindakan dilakukan
6. Jelaskan sifat suara hati sebagai yang personal dan adipersonal
7. Jelaskan hubungan suara hati dan shame culture dan guilt culture
8. Jelaskan sosiologisme etis dan relativisme moral
9. Jelaskan etika wahyu dan Irrasionaisme moral
10. Jelaskan perbedaan superego dan individualism etis.
11. Bisakah anda menjelaskan pembinaan suara hati dengan contoh?
32
Lawrence Kohlberg, Tahap-Tahap Perkembangan Moral, (Yogyakarta: Kanisius,1995), cetakan pertama, hlm.11.
33
Ibid,.22
34
Ibid,.23
35
John W. Santrock, Adolescence ; Perkembangan Remaja, (Jakarta : Erlangga, 1996), cetakan keenam, hlm.439s.
menyadari bahwa peraturan merupakan kesekapakatan yang disepakati bersama-sama, dan
dapat diubah jika semua menyetujuinya. Di dalam menilai suatu tindakan, seseorang yang
berada dalam moralitas otonom tidak hanya mempertimbangkan konsekuensinya tapi juga
harus melihat interaksi dengan pelaku.
Teori Piaget yang dikembangkan Kohlberg, terutama dalam hal “struktur mental
kognitif” dan “tahap”. Kohlberg mengembangkan teori tersebut dengan mengubah tiga tahap
dalam teori Dewey/Piaget menjadi “3 tingkat” yang masing-masing terdiri dari 2 “tahap”.
Pengembangan yang dilakukan Kohlberg ini menjadi langkah awalnya untuk memberikan
data penelitian empiris dalam menjelaskan “tahap”. Kohlberg mulai memperbaiki definisi
“tahap” dengan memberikan ciri khas dari dari setiap urutan-urutan tahap-tahap yang harus
dilalului setiap orang untuk mencapai kematangan moralnya.36 Dalam mencari tahu dasar
sifat dasar pemikiran moralnya, Kohlberg menggunakan tes mengenai pertimbangan moral
dari 75 anak lelaki dengan rentang usia 10 sampai 16 tahun. Metode yang ia gunakan berupa
melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut dilema moral. Salah satu cerita yang
digunakan adalah “dilema moral Heinz”. Dalam dilema moral Heinz, anak-anak yang harus
menjawab sejumlah pertanyaan yang menyangkut masalah pencurian obat demi
menyelamatkan seorang istri. Penemu obat, menjual obat tersebut sepuluh kali dari biaya
pembuatan obat tersebut. Suami dari perempuan yang sakit, Heinz, pergi untuk meminjam
uang, namun tetap ia hanya mendapatkan setengah dari harga obat seharusnya. Sementara
itu, si pemilik obat tetap menolak untuk menurunkan harga obat.
“ Ada seorang wanita di Eropa yang sedang kritis karena suatu
penyakit kangker. Hanya ada satu obat menurut dokter yang dapat
menyelamatkan dirinya. Obat tersebut berupa radium yang
ditemukan apoteker di kota tersebut. Biaya untuk membuat radium
tersebut adalah 200 dolar, sedangkan apoteker tersebut meminta
bayaran 2000 dolar untuk dosis yang kecil. Dengan kata lain,
apoteker tersebut menjual obat tersebut dengan bayaran sepuluh
kali lipat dari harga yang sebenarnya.Heinz, suami perempuan yang
sakit tersebut, mencoba mencari pinjaman dengan mendatangi
semua orang yang ia kenal. Ia hanya berhasil mendapatkan 1000
dolar, yang artinya baru setengah dari uang yang diminta oleh
apoteker tersebut. Ia meminta kepada apoteker tersebut bahwa
istrinya sedang sekarat dan memintanya agar bersedia menjual
obatnya dengan harga yang lebih murah atau memperbolehkah
membayarnya kemudian. Namun apoteker tersebut mengataka,
“Tidak saya telah menemukan obat tersebut dan saya akan
mengahasilkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi putus asa
kemudian diam-diam masuk ke toko obat tersebut dan mencuri obat
yang dibutuhakan istrinya.37
36
Ibid, hlm. 25
37
Lawrence Kohlberg, “Stages and Sequence: The Cognitive-developmental Approach to Socialization”, (Chicago:
Rand-McNally, 1969), hlm. 379.
Anak-anak yang diwancarai tersebut kemudian harus menjawab sejumlah
pertanyaan seperti : “apakah Heinz harus mencuri obat?”, “apakah mencuri obat tersebut
adalah perbuatan salah?” Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Kohlberg tidak
membedakan jawaban yang benar dan salah, melainkan cara berpikir dan dasar moral
mereka mengadakan pilihan. Dengan demikian, penekanannya terletak pada bagaimana
seseorang menanggapi dilema moral tersebut bukan pada apa yang akan dilakukan
seseorang. Dari pertimbangan-pertimbangan itulah Kohlberg menyusun tahapan-tahapan
perkembangan moral.
Tahap-Tahapan Perkembangan Moral
Tahapan perkembangan moral Kohlberg terdiri dari enam tahap yang
diorganisasikan ke dalam tiga tingkat umum perkembangan moral. Tingkat pertama adalah
prakonvensioanal yang terdiri dari tahap 1 orientasi hukuman dan kepatuhan dan tahap 2
orientasi instrumental-relativistik. Kebanyakan penalaran anak-anak di bawah 9 tahun
berada dalam tingkat prakonvensional.
Tingkat kedua adalah konvensional yang terdiri dari tahap 3 orientasi penyesuaian
diri dengan kelompok dan tahap 4 orientasi hukum dan ketertiban. Konvensional berasal
dari bahasa Latin convenire yang berarti berkumpul38. Dengan kata lain, dalam tingkatan ini
seseorang mulai menyesuaikan perilakunya dengan harapan orang lain. Dalam teori
perkembangan, seharusnya pada awal masa awal remaja penalaran mereka mulai beralih
ke tingkat konvensional.
Tingkat ketiga adalah pascakonvensional yang terdiri dari tahap 5 orientasi kontrak
sosial legalitas dan tahap 6 orientasi prinsip etika yang universal. Pada awal dewasa,
seharusnya pola penalaran mereka mulai memasuki tahap pascakonvensional. Akan tetapi,
menurut Kohlberg hanya sejumlah kecil individu yang berhasil melewatinya.
Seiring perkembangan anak maupun remaja, maka pemikiran mereka mulai bergeser
dari tingkah laku yang dikendalikan secara eksternal menjadi tingkah laku yang
dikendalaikan oleh prinsip-prinsip internal. Dengan kata lain, pemikiran moral mereka dari
setiap tahap ke tahap berikutnya menjadi lebih terinternalisasi. 39 Namun, dalam
penelitiannya Kohlberg menemukan meskipun semua orang tumbuh dengan tahapan-
tahapan dan urutan yang sama, tidak semua orang mengalami perkembangan40. Kohlberg
menemukan bahwa beberapa orang yang sepanjang hidupnya berorientasi pada usahanya
untuk menghindari hukuman dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritasnya,
maka orang tersebut berhenti pada tahap konvensional. Sedangkan sebagain besar orang
berhenti pada tahap konvensional karena sebagaian besar orang, melihat benar atau salah
sejauh apa yang didefinisikan oleh pengertian norma-norma sosial mereka namun belum
mampu mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap suatu standar moral
(pascakonvensional). Dalam penelitian Kohlberg ditemukan bahwa dua tahap terakhir
merupakan ciri khas dari 20 hingga 25 persen populasi orang dewasa, namun hanya sekitar
5 sampai 10 persen yang dapat mencapai tahap 6.
38
P.Th.L Verhoeven SVD. Dan Marcus Carvallo, “Kamus Latin-Indonesia”, (Ende: Nusa Indah, 1969), hlm. 228
39
Santrock, Op.Cit., hlm. 441
40
Manuel G.Velasquez,”Etika Bisnis: Konsep dan Kasus”, (Yogyakarta: Andi, 2005), cetakan ke 5, hlm.27
Tingkat 1 Prakonvensional (preconventional)
Kohlberg menyebut tingkat prakonvensional ini, sebagai tahap “pra-moral” karena
dalam tahap ini orang lain hanya dipandang sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan
diri. Pada tingkatan ini seseorang belum menunjukkan adanya internalisasi nilai-nilai moral.
Tahap prakonvensional, belum dapat dikatakan moralitas yang sesungguhnya, karena
belum memenuhi kriteria “pribadi yang tanpa pamrih”. Kebersamaan juga belum menjadi
nilai, karena disini yang menjadi standar adalah apa yang diperintahkan orang dewasa dan
konsenkuensi yang didapatkan apabila tidak menurutinya. Dengan kata lain, dalam tahap ini
pertimbangan moral seseorang didasarkan pada konsekuensi fisik belaka.
Apabila dikaitkan dengan dilema Heinz, anak-anak yang berada di tahap
perkembangan moral ini akan menjawab, “Heinz tidak boleh mencuri karena mencuri itu
tidak baik”, “Heinz harusnya mencuri obat karena penemu obat tersebut menjual obat
terlalu mahal”, “Heinz tidak boleh mencuri obat karena ia akan membuatnya masuk
penjara”, “Si apoteker adalah seorang pedagang yang harus mencari keuntungan” .
41
Frans Magnis Suseno, “12 Tokoh Etika Abad ke 20”, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm.157
42
Ibid.
harapan dan kepentingan orang lain tersebut.
Makna “Orang lain” pada tahap ini adalah “sarana” pemenuhan harapan, bukan
sebagai nilai pada diri sendiri (pusatnya tetap pada : kepentingan aku). Kata kunci pada
tahap ini adalah transaksi “tukar menukar”, bukan berdasarkan pada rasa terimakasih atau
rasa keadilan). Prinsip dalam tahap ini adalah “Jika kamu melakukan untukku, maka saya
juga akan melakukannya untukmu”.
Contoh:
- Seorang anak membantu ibunya mencuci piring, karena sehabis membantu ibunya,
ia diperbolehkan membeli mainan yang diinginkannya.
- Seorang mahasiswa menjawab pertanyaan yang diajukan dosennya, karena
dosennya menjanjikan nilai tambahan untuk mahasiswa yang aktif.
- Saya akan taat membayar pajak, hanya jika saya merasakan manfaat dari pajak yang
saya bayarkan tersebut.
43
Ibid., hlm.158
pentingnya “maksud” baik dalam suatu perbuatan.
Contoh:
- Seseorang anak mampu menyesuaikan gara bicaranya kepada orang yang lebih tua,
karena ia memahami bahwa dengan cara tersebut ia dapat dikatakan seorang anak
yang mengerti sopan santun.
- Seseorang membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah karena ia menyadari
bahwa dengan membantu ibunya, ia akan dapat menyenangkan hati ibunya tersebut.
44
Ibid.
45
Ibid., hlm 159
46
Ibid., hlm. 159
merupakan sesuatu yang harus ditaati dan dijalankan sebagai bagian dari kelompok dan
negaranya. Namun dalam tahap ini seseorang dituntut harus memiliki sikap kritis terhadap
segala bentuk kesepakatan, perjanjian dan hukum tersebut. Sikap kritis tersebut berupa
kesadaran untuk melakukan atau bahkan tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya.
Apabila dalam sebuah kewajiban yang harus ditaati, seseorang tersebut menyadari adanya
hak-hak asasi manusia seseorang tidak dihargai, atau adanya tindakan melanggar moral
maka ia mampu memberikan tinjauan kritis (segi hukum ditekankan, namun dimungkinkan
perubahan hukum jika menyangkut kegunaan sosial). Dalam tahap ini, kesadaran relativitas
nilai-nilai dalam mencapai konsensus dan standar yang dimiliki satu orang akan berbeda
dengan orang lain. Dengan kata lain, dalam tahap ini yang terpenting adalah bagaimana
memandang kehidupan manusia berdasarkan kesejahteraannya dan hak asasi manusia yang
bernilai universal.
Contoh:
- Seorang mahasiswa merasa bersalah pada dirinya karena telah memalsukan
kehadirannya di kelas. Ia menyesal karena ia menyadari perbuatannya melanggar
aturan, selain itu sebagai pribadi ia menyadari perbuatan tersebut adalah berbuatan
yang salah.
47
Ibid., hlm 160
48
Kohlberg, Op.cit., hlm. 238
49
Patricia J.Parson, “Etika Public Relation” (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm.53
Bab VI
ETIKA TELEOLOGIS
F.X. Rudi Setiawan, S.Ag., M.M.
Teori etika normatif mempersoalkan dasar pertanggungjawaban moral secara rasional dan
objektif. Etika normatif bertujuan mencari patokan dasariah dalam menilai suatu tindakan
atau keputusan moral dengan akal sehat. Magnis-Suseno menyatakan bahwa etika normatif
bukan dimaksudkan untuk membuat norma moral praktis yang konkret dan langsung
diterapkan dalam kehidupan (misalnya norma agama, politik, keluarga, dst.), tetapi
menyediakan acuan atau prinsip dasariah yang rasional dan mengkritisi norma-norma
konkret yang sudah ada tersebut.50
Teori etika normatif dikelompokkan menjadi dua bagian besar yakni etika
deontologis dan etika teleologis. Di bagian sebelumnya, kita telah membahas teori etika
deontologis yang menilai baik buruknya tindakan manusia berdasarkan dengan kesesuaian
pada standar moral atau aturan tertentu yang sifatnya menuntut atau mewajibkan untuk
dilakukan. Di bab ini, kita hendak membahas teori etika teleologis, yaitu etika yang menilai
baik buruknya suatu tindakan dari konsekuensi atau akibat yang ditimbulkan. Menurut etika
teleologis suatu tindakan bermoral apabila terarah pada suatu tujuan (telos) tertentu yaitu
akibat baik bagi manusia. Karena mempertimbangkan konsekuensi, etika teleologis
seringkali disebut etika konsekuensialis.
Ada banyak macam etika teleologis. Beberapa jenis etika teleologis yang akan dibahas
di bab ini meliputi egoisme etis, hedonisme etis, eudaimonisme, dan utilitarianisme. Masing-
masing teori ini memiliki ciri khas, namun mungkin saja saling tumpang tindih. Magnis
Suseno mengelompokkan hedonisme etis dan eudaimonisme ke dalam egoisme etis karena
memiliki ciri-ciri itu.51
1. EGOISME ETIS
a. Gagasan Dasar
Egoisme etis merupakan teori normatif yang menekankan bahwa prinsip moral yang
paling dasariah dan mutlak dalam bertindak adalah mengejar kepentingan diri sendiri (self-
interest). Suatu tindakan dikatakan bermoral apabila dilakukan demi kepentingan diri
sendiri. James Rachels, seorang etikawan Amerika, menyatakan bahwa egoisme etis
merupakan paham etika radikal yang menempatkan kepentingan diri sendiri sebagai prinsip
50
Frans Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 96
51
Magnis-Suseno, 1987, hlm. 113.
pokok dalam bertindak yang mendasari semua kewajiban alamiah manusia.52 Yang terbaik
dan semestinya dilakukan manusia adalah mengejar kepentingan dirinya sendiri. Bagi
egoisme etis, menolong orang lain bukanlah suatu kewajiban yang harus dilakukan.
Menolong orang lain juga tidak dilarang, bahkan malahan dianjurkan, sepanjang itu
dilakukan demi tujuan kepentingan diri sendiri.53
Egoisme etis mendasarkan diri pada egoisme psikologis, meskipun tidak sama
dengannya. 54 Egoisme psikologis merupakan pandangan bahwa semua manusia secara
kodrati cenderung hanya mengejar kepentingan dirinya saja. Jadi, pandangan ini mereduksi
motif seluruh tindakan manusia pada tujuan kepentingan diri sendiri saja (cinta diri).
Bertindak demi kepentingan orang lain (altruis) hanyalah ilusi karena pada akhirnya orang
tidak pernah benar-benar memperhatikan orang lain selain dirinya sendiri. Sementara itu,
egoisme etis lebih merupakan suatu etika normatif, yaitu teori atau pandangan yang mencari
prinsip moral dasariah tentang bagaimana semestinya semestinya orang bertindak, yang
tidak lain adalah mengejar kepentingan diri. Orang semestinya bertindak berdasarkan
prinsip tersebut.
52
James Rachels, The Elements of Moral Philosophy 4th ed. (New York: McGraw-Hill Companies, Inc., 2003); terj. oleh
A. Sudiarja sebagai Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 147.
53
Rachels, hlm. 147.
54
J. Sudarminta, Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif (Jakarta: Pusat
Kajian Filsafat dan Pancasila STF Driyarkara, 2012), hlm. 95. Bandingkan dengan Rachels, hlm. 146.
55
Sudarminta, hlm. 100. Bdk. Rachels, hlm. 148-151.
nilai hidup tiap individu karena mengutamakan pengejaran kepentingan diri masing-
masing. Dengan demikian, bagi Rand egoisme etis harus dipromosikan sebagai teori moral
sedangkan altruisme ditolak.56
Argumentasi lain untuk membela egoisme etis ialah bahwa egoisme etis memberi
satu prinsip mendasar dan sederhana yang melandasi tindakan manusia: mengejar
kepentingan diri sendiri. Menurut argumentasi ini, pada akhirnya seluruh kewajiban
manusia didasarkan pada prinsip tersebut, misalnya kewajiban untuk tidak menyakiti orang
lain, memegang janji, atau tidak berbohong.57 Kalau kita menyakiti orang lain, berbohong
atau tidak menepati janji, orang lain akan melakukan hal sama kepada kita. Kita wajib untuk
melakukan tindakan itu karena sesuai dengan akal sehat yaitu dengan melakukannya kita
akan diuntungkan (dan sebaliknya jika tidak melakukannya kita akan dirugikan).
c. Tinjauan Kritis
56
Sudarminta, hlm. 101-102. Bdk Rachels, hlm. 151-154.
57
Sudarminta, hlm. 102. Bdk. Rachels, hlm. 154-158.
58
Sudarminta, hlm 99, 104-105.
59
Rachels, hlm 150-158.
kepentingan diri sendiri saja.
Disamping itu, Rachels juga menegaskan kritik Kurt Baier –seorang etikawan Austria-
terhadap egoisme etis, yaitu tidak memadai sebagai teori moral untuk memecahkan konflik
kepentingan.60 Jika semua orang mengejar kepentingan dirinya sendiri yang terjadi justru
konflik kepentingan yang tidak dapat dipecahkan. Namun, bagi Rachels kelemahan terbesar
sekaligus kegagalan egoisme etis ialah tidak adanya alasan yang masuk akal untuk
mengistimewakan diri sendiri ketimbang orang lain. 61 Setiap orang harus diperlakukan
setara sebagai manusia. Orang dapat diistimewakan apabila ada perbedaan yang relevan.
Jika tidak ada perbedaan yang relevan antara diri sendiri dan orang lain, tidak ada alasan
untuk mengistimewakan diri sendiri ketimbang orang lain.
2. HEDONISME ETIS
a. Gagasan dasar
Hedonisme etis adalah pandangan etika yang menyatakan bahwa apa yang baik
untuk dilakukan manusia adalah yang memuaskan kesenangan atau kenikmatan.62 Menurut
hedonisme etis, manusia hendaknya hidup dengan cara mencari dan mengupayakan
kesenangan sebagai tujuan hidupnya (serta sebisa mungkin menghindari segala penderitaan
atau rasa sakit). Hedonisme menjadi aliran etika yang berkembang luas dan diikuti oleh
banyak orang karena gagasannya yang sederhana dan mudah diterima akal: manusia hidup
demi mengejar rasa nikmat dan bebas dari rasa sakit. Pandangan etika ini muncul sebagai
reaksi atas etika tradisional yang terlalu menuntut kepatuhan mutlak orang terhadap aturan
tanpa dilandasi alasan yang cukup masuk akal untuk mematuhi aturan tersebut.
Frans Magnis-Suseno dalam Etika Dasar mengungkapkan bahwa sikap hedonistik
umumnya dipahami sebagai sesuatu yang buruk atau tidak bermoral, sehingga
menempatkannya sebagai suatu bentuk etika menjadi kontradiktif. 63 Akan tetapi, Magnis
juga menegaskan bahwa hedonisme etis yang dimaksud para pemikir Yunani itu bukanlah
pengejaran nafsu atau kenikmatan secara berlebihan atau membabi buta. Mereka
berpendapat bahwa orang perlu mengejar kenikmatan, tanpa harus jatuh dikendalikan
olehnya. Maka, kenikmatan dicapai secara seimbang lewat pengendalian diri.
Hedonisme etis dibedakan dengan egoisme etis. Egoisme etis meletakkan prinsip
dasariah moral pada soal kepentingan diri, sementara hedonisme etis pada pemuasan
kenikmatan atau kesenangan. Mengejar kenikmatan (pleasure) tidak sama dengan mengejar
kepentingan diri (self-interest), meskipun kenikmatan itu bisa saja dicapai untuk
kepentingan individual. Suatu tindakan bermotif egoistik ketika dilakukan hanya untuk
kepentingan dirinya sendiri. Sementara, kenikmatan dapat diperoleh untuk kepentingan
individual maupun kepentingan umum. Orang bisa mengejar kenikmatan (atau juga bisa
menundanya) untuk kepentingan dirinya. Sebagai contohnya, seseorang memperoleh
kenikmatan dengan menonton video yang menghibur lewat aplikasi di telepon genggamnya.
60
Rachels, hlm.159-162.
61
Rachels, hlm. 164-167.
62
Istilah hedonisme itu sendiri berasal dari kata Yunani hêdonê, yang berarti kesenangan atau kenikmatan. Lihat
Kees Bertens, Etika, cetakan ke-8 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 235.
63
Magnis-Suseno, 1987, hlm. 114.
Akan tetapi, tindakan itu menjadi egoistik ketika ia menonton sedemikian rupa hingga ia
sama sekali tidak peduli lagi dengan orang lain di sekelilingnya, misalnya dengan suara yang
begitu keras dan mengganggu. Sebaliknya, orang juga bisa menunda menonton video itu
untuk kepentingan dirinya sendiri (misalnya belajar agar lulus ujian).
64
Bertens, hlm. 236.
65
Frans Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997),
hlm. 47.
66
Magnis-Suseno, 1997, hlm. 49-50.
(misalnya makan makanan enak), dan keinginan yang sia-sia (misalnya kekayaan).67 Orang
perlu hidup dengan membatasi diri atas keinginan karena sesungguhnya hanya keinginan
pertama saja yang perlu dipuaskan. Kenikmatan bagi Epikuros lebih diartikan sebagai
kebebasan dari rasa sakit atau keresahan jiwa. Untuk mencapai itu, orang perlu memiliki
kebijaksanan (phronesis), yaitu pertimbangan untuk memilih rasa nikmat yang bersifat
jangka panjang. Orang yang bijaksana mampu membatasi dan menguasai dirinya dalam
mencari kenikmatan.
c. Tinjauan Kritis
Beberapa kritik disampaikan atas hedonisme etis. Magnis Suseno menegaskan bahwa
hedonisme etis bertitik tolak dari hedonisme psikologis yang beranggapan bahwa manusia
hidup cenderung mengejar kenikmatan dan menghindari penderitaan melulu. 68
Persoalannya, apakah hidup manusia hanya selalu dilandasi motif tersebut: mengejar
kenikmatan dan menghindari penderitaan? Hedonisme psikologis sulit diterima karena
mereduksi semua motif tindakan manusia menjadi satu saja yaitu mengejar kenikmatan dan
menghindari penderitaan. Menurut Magnis, manusia tidak bertindak dari satu dorongan
tunggal saja, melainkan dari motif yang beragam. Faktanya, ada orang yang juga dengan
sengaja menunda kenikmatan untuk suatu tujuan luhur tertentu, misalnya orang yang
berpuasa atau berpantang, atau orang yang membaktikan diri tanpa pamrih demi melayani
orang lain (misalnya seperti Ibu Teresa). Hedonisme mengabaikan kemungkinan adanya
orang yang bertindak demi suatu motivasi luhur tersebut.
Kritik lainnya ialah hedonisme cenderung mereduksi kebaikan moral atau tindakan
etis sebagai kenikmatan saja. Kees Bertens mengkritik hedonisme karena menyetarafkan
kesenangan dengan kebaikan moral. 69 Bertens menyatakan bahwa hedonisme gagal
memahami konsep kebaikan, karena semestinya bukan kebaikan yang muncul dari
kesenangan, tetapi sebaliknya kesenangan muncul dari apa yang baik. Sulit untuk
membuktikan apakah suatu perbuatan mengejar kesenangan merupakan suatu kebaikan
atau perbuatan etis. Dalam kenyataannya, orang dapat saja mengejar kesenangan dengan
menghalalkan segala cara yang justru bertentangan dengan moralitas, contohnya menyiksa
orang lain. Hedonisme keliru karena mendasarkan kebaikan sebagai akibat dari perasaan
nikmat yang sifatnya sangat subjektif, padahal suatu tindakan yang bermoral harus juga
bersifat objektif.
Berikutnya, hedonisme etis dikritik karena cenderung jatuh menjadi etika yang
egoistik, seperti dinyatakan Bertens maupun Magnis. 70 Sementara itu, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya etika egoistik memiliki banyak kelemahan. Meskipun demikian,
Rachels menegaskan bahwa hedonisme dengan sendirinya tidak selalu merupakan egoisme
etis. Menurutnya, pemuasan kenikmatan umumnya memang dilakukan demi kepentingan
diri sendiri, namun bisa juga dilakukan demi kepentingan orang banyak seperti halnya
terdapat dalam utilitarianisme klasik, yang akan dibahas kemudian di bab ini.71
67
Bertens, hlm. 237.
68
Magnis-Suseno, 1987, hlm 115-117
69
Bertens, hlm. 240.
70
Bertens, hlm. 240-241, bdk. Magnis-Suseno, 1997, hlm. 113
71
Rachels, hlm. 192.
3. EUDAIMONISME
` Eudaimonisme adalah pandangan etika normatif yang menilai suatu tindakan
sebagai baik ketika menghasilkan kebahagiaan atau kesejahteraan sebagai tujuan tertinggi
hidup manusia (istilah eudaimonia berasal dari bahasa Yunani yang artinya kebahagiaan
atau kesejahteraan). 72 Oleh karena itu, eudaimonisme berperndapat bahwa hendaknya
manusia bertindak mengejar kebahagiaan tertinggi itu. Di bab ini, ada dua jenis
eudaimonisme yang akan dibahas, yakni eudaimonisme Aristoteles dan eudaimonisme
Thomas Aquinas.
a. Gagasan Dasar
Gagasan tentang eudaimonia ini berakar dari tradisi filsafat Yunani, diawali dari
Sokrates, dikembangkan Plato, lalu dirumuskan Aristoteles secara sistematis dalam
bukunya Nichomachean ethics. Menurut Aristoteles, manusia bertindak untuk mencapai
tujuan hidupnya. Setiap tindakan mengarah pada suatu tujuan tertentu. Ada tujuan yang
dicari manusia demi tujuan yang lain lagi. Misalnya, seseorang belajar rajin untuk tujuan
lulus kuliah, serta dengan itu ia mudah memperoleh pekerjaan. Namun, ada pula tujuan yang
menjadi tujuan terakhir atau tertinggi, yaitu tujuan yang tidak dikejar demi tujuan lain
melainkan demi dirinya sendiri. Tujuan terakhir itu bagi Aristoteles adalah kebahagiaan
atau kesejahteraan (eudaimonia).
Apakah kebahagiaan itu? Menurut Aristoteles kebahagiaan trediri dari unsur-unsur
muncul dalam berbagai derajat. 73 Menurutnya, unsur kebahagiaan yang pertama dan
tertinggi adalah kebijaksanaan sebagai bentuk kegiatan intelektual. Unsur kedua
kebahagiaan adalah hidup berkeutamaan. Sementara itu, unsur ketiga dalam kebahagiaan
adalah rasa nikmat atau senang yang diperoleh sebagai hasil hidup berkeutamaan.
Disamping ketiga hal itu, Aristoteles juga menunjukkan bahwa kebahagiaan diperoleh
karena adanya sahabat, kesehatan, kekayaan, maupun nasib baik/ beruntung.
Eudaimonisme Aristoteles kerap dikenal sebagai etika pengembangan diri. Menurut
Aristoteles, kebahagiaan sejati bukan sekadar rasa nikmat atau senang yang bersifat
subjektif semata. Aristoteles tidak menolak kesenangan atau kenikmatan. Akan tetapi,
baginya kesenangan atau kenikmatan bukanlah kebahagiaan sejati karena dipenuhi demi
tujuan lain yang bersifat sementara, bukan tujuan terakhir atau tujuan demi dirinya sendiri.
Suatu kebahagiaan sejati diperoleh dari tujuan terakhir atau tujuan demi dirinya sendiri,
yaitu ketika manusia dapat mewujudkan atau mengembangkan dirinya sesuai dengan
kodratnya sebagai manusia. Manusia yang bahagia adalah manusia yang hidup sesuai
dengan kodratnya, yaitu mampu dengan baik melaksanakan fungsinya (ergon) yang khas
sebagai manusia. Fungsi yang khas dari manusia yang membedakannya dari makhluk lain
adalah kemampuan rasional atau akal budi. Bagi Aristoteles, manusia selain merupakan
72
Bertens, hlm. 242.
73
Sudarminta, hlm. 108-109
zoon politikon (makhluk sosial yang hidup bermasyarakat) ia juga merupakan zoon logon
echon (makhluk yang memiliki akal budi atau logos). Jadi, manusia mencapai kebahagiaan
sebagai tujuan hidupnya yang tertinggi jika ia mampu mengembangkan dirinya,
mengaktualkan potensinya yang paling luhur yaitu akal budinya. Kebahagiaan sejati dicapai
pada bentuk hidup teoritis (theoria) yaitu kontemplasi filosofis untuk memahami
kebenaran-kebenaran abadi. Hidup yang paling membahagiakan bagi manusia adalah hidup
dalam kebijaksanaan dengan cara mengembangkan akal budinya (logos).74
Selain itu, etika Aristoteles kerap dikenal sebagai etika keutamaan. Bagi Aristoteles,
hidup baik selain diwujudkan dengan keutamaan intelektual juga dilengkapi dengan
keutamaan moral. Keutamaan moral ini diwujudkan dengan kebijaksanaan praktis
(phronêsis), yaitu menggunakan akal budi atau rasionalitas secara tepat untuk menentukan
jalan tengah di antara berbagai pilihan yang ekstrem (misalnya kemurahan hati muncul
sebagai jalan tengah di antara sikap ekstrem pelit maupun boros), dengan motif tindakan
yang murni berdasarkan sikap yang tetap.75
b. Tinjauan Kritis
Eudaimonisme Aristoteles juga dinilai sebagai etika yang bersifat manusiawi dan
duniawi.76 Etika ini bertitik tolak sepenuhnya dari kekuatan manusiawi saja, tanpa campur
tangan kekuatan yang mengatasi manusia yang sifatnya ilahiah. Kebahagiaan sejati diraih
dengan mengandalkan potensi atau kemampuan manusiawi yang direalisasikan penuh di
dalam dunia ini saja lewat kontemplasi kebenaran abadi dan keutamaan moral yang
dilakukan manusia secara pribadi. Jadi, kebahagiaan sejati direalisasikan di dunia nyata ini,
bukan di dunia ide-ide seperti halnya dikatakan Plato, bukan pula di dunia akhirat seperti
halnya disampaikan Thomas Aquinas.
Eudaimonisme Aristoteles seringkali dipandang sebagai etika yang masih bersifat
egoistik. Meskipun Aristoteles juga menekankan konsep manusia sebagai makhluk sosial
(zoon politikon), eudaimonismenya dipandang terlalu menekankan pengembangan diri
sendiri sebagai manusia. Magnis-Suseno berpendapat bahwa kelemahan eudaimonisme
Aristoteles yang paling mendasar terletak pada fokusnya pada kebahagiaan yang sifatnya
individual saja.77 Menurutnya, manusia justru tidak berkembang ketika ia hanya terpaku
pada pengembangan dirinya sendiri saja, melainkan manusia berkembang ketika ia mau
keluar dari dirinya sendiri, rela memberikan dirinya dan bertanggung jawab pada tugas-
tugasnya demi orang lain.
Eudaimonisme Aristoteles juga dikritik sebagai etika yang sulit diterapkan secara
universal dan tidak cocok dipakai menyelesaikan berbagai persoalan dilematis
kontemporer. Bertens menilai bahwa etika keutamaan Aristoteles lebih tepat dipakai untuk
mengukur kadar moral seseorang dan tidak bisa diterapkan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan dilema etis kontemporer.78 Sementara itu, Sudarminta menilai bahwa
etika ini terlalu bersifat elitis dan aristokratis dengan model Yunani klasik sehingga tidak
74
Sudarminta, hlm. 107.
75
Bertens, hlm. 244.
76
Sudarminta, hlm. 112.
77
Magnis-Suseno, 1987, hlm. 119-122. Bdk. Sudarminta, hlm. 110.
78
Bertens, hlm. 246.
dapat diterapkan kapan saja dan di mana saja, seperti ditemukan pada gagasan kontemplasi
filosofis gaya Yunani klasik dan sikap menyetujui adanya perbudakan.79 Manusia tidak hidup
hanya demi tujuan kontemplasi filosofis, sementara perbudakan kini justru ditolak karena
bertentangan secara moral.
Meskipun memiliki berbagai kelemahan, eudaimonisme Aristoteles berkembang
menjadi teori etika yang cukup populer dan menginspirasi gagasan para filsuf besar
setelahnya seperti Thomas Aquinas, Hegel, atau Marx.
a. Gagasan Dasar
Thomas Aquinas adalah seorang filsuf sekaligus teolog abad pertengahan yang
memberi sumbangan baru yang besar bagi perkembangan filsafat dan teologi di Barat. Ia
mengangkat kembali tradisi pemikiran Aristoteles yang lama tenggelam dalam filsafat dan
teologi Kristiani yang didominasi pemikiran Agustinus dengan pengaruh kuat tradisi
Neoplatonisme. Pemikiran Aristoteles sangat bersifat manusiawi dan duniawi, berbeda
dengan gaya Platonis yang cenderung teologis dan metafisik. Sejak Thomas Aquinas,
pandangan Aristoteles makin berpengaruh dan ikut menentukan modernitas di barat hingga
abad ke-17.
Eudaimonisme Thomas Aquinas merupakan pandangan etika yang menyatakan
bahwa kebahagiaan tertinggi dicapai apabila manusia hidup sesuai dengan kodratnya
dengan mengembangkan diri sebagai makhluk rohani, dan hidup sesuai dengan kodrat itu
berarti pula hidup sesuai dengan kehendak Allah karena kodrat itu berasal dari Allah.80 Di
bidang etika, Thomas Aquinas mengembangkan eudaimonisme Aristoteles dengan
menambahkan apa yang tidak menjadi perhatian Aristoteles yaitu aspek keilahian yang
mengatasi kehidupan dunia ini. Ia menggabungkan konsep kebahagiaan sebagai tujuan
hidup manusia (eudaimonisme) dengan ketaatan manusia kepada kehendak Allah yang
mengatur hidup manusia (etika teonom). Etika Thomas Aquinas ini berpengaruh besar bagi
pemikiran filsafat barat maupun tradisi pemikiran Kristen, terutama karena melandasi
konsep hak asasi manusia serta menjadi ajaran etika resmi Gereja Katolik.
Thomas Aquinas membedakan tiga jenis hukum.81 Yang pertama, Kebijaksanaan Ilahi
(Lex Aeterna) atau hukum abadi, yaitu kehendak ilahi yang mendasari kodrat atau hakekat
seluruh ciptaan. Hukum abadi adalah Allah sendiri sebagai sumber hukum kodrat. Yang
kedua, hukum kodrat (Lex naturalis) yaitu cerminan hukum abadi, yang merupakan hukum
atau norma kodrati yang berasal dari Allah untuk mengatur manusia dan segala segala
ciptaan. Hukum kodrat menjadi norma moral dasariah yang berlaku universal untuk
mengatur dan mengikat semua manusia secara sama. Yang ketiga, Lex humana yaitu segala
macam hukum positif, aturan, ataupun adat istiadat buatan manusia. Hukum ini berlaku sah
dan berdaya ikat apabila sesuai dengan hukum kodrat.
Menurut Thomas Aquinas, manusia memiliki kekhasan karena selain hidup secara
alamiah seperti halnya makhluk lainnya (punya kecenderungan instingtif, dll), manusia
79
Sudarminta, hlm. 113.
80
Magnis-Suseno, 1997, hlm. 82.
81
Sudarminta, hlm. 116-122.
adalah makhluk rohani yaitu dapat menentukan dirinya sendiri secara bebas dan
menggunakan akal budinya. Manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan memiliki
kehendak bebas ikut mengambil bagian dalam hukum abadi (kehendak ilahi) itu. Manusia
dapat memilih untuk bertindak baik (yaitu sesuai dengan kodratnya) maupun buruk atau
jahat (yaitu melawan kodratnya). Agar dapat mencapai kebahagiaan sejati, manusia harus
melakukan tindakan yang baik dan menghindari yang jahat. Kodrat bersumber dari Allah,
sehingga hidup sesuai kodrat berarti hidup sesuai dengan kehendak Allah, sebaliknya
melawan kodrat berarti melawan Allah. Allah menghendaki manusia agar mengetahui
kehendak-Nya dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya itu. Singkat kata, Thomas Aquinas
menunjukkan bahwa manusia memiliki kewajiban atau tugas untuk hidup sesuai dengan
kodratnya, yaitu mengembangkan atau menyempurnakan diri sebagai makhluk rohani
untuk mengatasi kecenderungan instingtifnya sekaligus dengan itu ia menaati kehendak
Allah, sehingga dengan cara itu ia dapat memperoleh kebahagiaan sejati kelak setelah
hidupnya di dunia.82
Ada beberapa perbedaan pokok antara eudaimonisme Aristoteles dan Thomas
Aquinas.83 Pertama, etika Aristoteles menekankan aspek manusiawi saja, sementara etika
Thomas Aquinas memasukkan aspek yang ilahi ke dalamnya. Bagi Aristoteles, kodrat
manusia dipandang dalam kerangka fungsi manusiawi saja (ergon), dan hidup manusia
sesuai dengan kodrat ketika ia merealisasikan potensi diri dengan kemampuan akal
budinya. Bagi Thomas Aquinas, kodrat manusia bukan hanya perkara fungsi manusiawi saja,
tetapi juga perkara kehendak Allah. Maka, hidup sesuai dengan kodrat selain
mengembangkan akal budi, sekaligus juga menaati kehendak Allah. Kedua, menurut
Aristoteles kebahagiaan tertinggi diperoleh dengan cara mengembangkan potensi diri di
dunia ini, yaitu melalui kontemplasi filosofis dan keutamaan moral. Menurut Thomas
Aquinas, kebahagiaan tertinggi dicapai ketika manusia memandang wajah Yang Ilahi pada
saat ia mati. Thomas Aquinas memperluas pengertian kemampuan akal budi manusia yang
terbatas pada Aristoteles menjadi akal budi untuk memahami realitas tak terbatas atau yang
Ilahi.
Etika Aristoteles melihat kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi manusia dicapai di dalam
dunia ini, sementara etika Thomas Aquinas melihat kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi
manusia bukan diperoleh di dunia melainkan di akhirat pada saat manusia mati.
Implikasinya, bagi Thomas manusia hidup bukan mencari kebahagiaan dalam dunia saat ini,
melainkan manusia hidup sesuai dengan kodratnya saja agar kelak mencapai kebahagiaan
itu di akhirat. Hidup di dunia bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan.
Kebahagiaan di dunia tidak pernah betul-betul sempurna dan tercapai penuh karena
kebahagiaan yang sempurna dan penuh itu tercapai pada saat manusia mati dan
memandang wajah Allah.
b. Tinjauan Kritis
Thomas Aquinas mengatasi keterbatasan etika duniawi Aristoteles. Aristoteles
membatasi kebahagiaan tertinggi pada tataran pemikiran filosofis manusiawi saja,
82
Magnis-Suseno, 1997, hlm. 88-89.
83
Sudarminta, hlm. 115.
sementara Thomas Aquinas memperluasnya dengan menambahkan dimensi yang
melampaui kehidupan di dunia ini. Thomas menggabungkan gagasan eudaimonisme
Aristoteles dengan gagasan ketaatan pada Allah. Menurut Thomas Aquinas kebahagiaan
tertinggi dicapai dengan cara penyempurnaan diri lewat hidup yang sesuai dengan hukum
kodrat, yang berarti memakai akal budi sekaligus menaati kehendak Allah. Menurut Magnis,
eudaimonia Thomas Aquinas memiliki keunggulan karena memberi pemahaman tentang
moralitas sebagai suatu kebijaksanaan dan kewajiban sekaligus. 84 Di satu sisi, Thomas
menyadarkan kita bahwa moralitas lebih dari pada sekadar kebijaksanaan yang bersumber
dari akal budi manusia yang sifatnya duniawi, tetapi juga ketaatan atau kewajiban kepada
kehendak yang Ilahi. Di sisi lain, Thomas juga menyadarkan kita bahwa moralitas bukan
hanya sekadar ketaatan buta pada aturan (misalnya seperti pada etika teonom murni yang
menuntut ketaatan mutlak pada Allah) tanpa mempertimbangkan peran rasionalitas.
Thomas menekankan bahwa manusia dengan akal budinya bebas untuk memilih tindakan
yang sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak. Hidup sesuai hukum kodrat berarti
memenuhi kebijaksanaan manusiawi untuk menyempurnakan diri sekaligus mau taat pada
Allah.
Thomas Aquinas berjasa dalam menginspirasi etika kontemporer. Etika Thomas
Aquinas unggul karena gagasan tentang hukum kodrat mendukung penghargaan akan
kemanusiaan secara universal dan objektif. 85 Hukum kodrat merupakan norma moral
dasariah yang berlaku universal untuk mengatur dan mengikat semua manusia yang sama
secara kodrati sebagai ciptaan Allah. Seluruh hukum positif, aturan, dan adat isitiadat
memiliki kekuatan yang sah dan mengikat di bawah payung hukum kodrat. Hukum kodrat
menegaskan bahwa manusia bernilai pada dirinya sendiri dan tidak boleh dijadikan alat
demi kepentingan tertentu, karena memiliki hak-hak kodrati yang tidak boleh dirampas
manusia lain sebagai sama-sama ciptaan Allah. Maka, etika Thomas Aquinas memberi
landasan bagi konsep hak asasi manusia, menjamin tumbuh dan berkembangnya berbagai
macam nilai yang sejalan kemanusiaan universal dan mengkritisi yang bertentangan
dengannya. Disamping itu, eudaimonisme Thomas Aquinas juga tidak didasarkan pada
keyakinan agama atau iman tertentu sehingga setiap orang dengan latar belakang apapun
(termasuk mereka yang tidak percaya kepada Tuhan) dapat mengembangkan kemanusiaan
dengan menggunakan rasionalitasnya.
Meskipun demikian, eudaimonisme Thomas Aquinas juga memiliki kelemahan.
Pengertian hukum kodrat tidak terlalu jelas. Thomas Aquinas mewajibkan manusia untuk
taat kepada kehendak Allah dengan hidup sesuai hukum kodrat, namunia tidak memberi
batasan jelas tentang tindakan mana yang sesuai dengan hukum kodrat atau tidak. Pada
prakteknya, pengertian hukum kodrat dapat berbeda-beda menurut konteks zaman,
kultural, atau masyarakat tertentu. Ketidakjelasan pengertian hukum kodrat ini
dicontohkan Magnis Suseno misalnya dengan tindakan membunuh yang di satu sisi
bertentangan kodrat manusia, namun di sisi lain menjadi cara khas atau kodrati manusia
sebagai makhluk yang memakan agar tetap bisa hidup.86
Selain itu, ada beragam pandangan tentang apakah eudaimonisme Thomas Aquinas
84
Magnis-Suseno, 1997, hlm. 91-92.
85
Sudarminta, hlm. 124-125.
86
Magnis-Suseno, 1997, hlm. 93.
bersifat egoistik atau tidak. Menurut Magnis Suseno eudaimonisme Thomas Aquinas
menekankan aspek kodrat manusia sebagai makhluk individual maupun sosial, yang berarti
keluar dari keterbatasan egoistik karena pengembangan diri manusia dilakukan secara
pribadi maupun bersama-sama. 87 Meskipun demikian, Sudarminta menilai bau egoistik
etika Thomas masih terasa karena di situ motif tindakan moral manusia adalah demi
mencapai kebahagiaan surgawi (dengan kata lain tindakan moral mungkin dilakukan demi
pamrih keselamatan akhirat yang sifatnya individual bukan demi kebaikan sosial itu
sendiri).88
4. UTILITARISME
a. Gagasan Dasar
Utilitarisme adalah teori etika normatif teleologis yang berpandangan bahwa yang
baik secara moral adalah yang memberikan akibat manfaat atau keuntungan terbesar bagi
sebanyak mungkin orang (the greatest good for the greatest number). 89 Utilitarisme
menyatakan bahwa ukuran moral suatu tindakan ialah manfaat atau kegunaan (istilah utilis
berasal dari bahasa Latin yang berarti berguna atau bermanfaat). Namun, tidak berarti
semua tindakan yang berguna adalah tindakan bermoral. Tindakan bermoral yang dimaksud
oleh utilitarisme adalah tindakan yang membawa akibat kebahagiaan terbesar bagi
sebanyak mungkin orang (sekaligus juga menghindarkan akibat buruknya).
Utilitarisme merupakan etika yang memiliki ciri utama rasional-kritis dan
universal.90 Rasional-kritis artinya selalu meminta pertimbangan atau alasan yang masuk
akal di balik setiap keputusan moralnya (yakni apakah memberi manfaat atau kebahagiaan
maksimal bagi orang banyak) sekaligus dengan itu memperkarakan maupun tidak mau
semata-mata tunduk begitu saja pada aturan atau norma yang mewajibkan orang untuk
mematuhinya. Keputusan etis dalam utilitarisme dilandasi pertimbangan rasional demi
akibat sosial yang ditimbulkan. Sementara itu, ciri universal utilitarisme nampak pada motif
moral bukan demi kepentingan egoistik diri sendiri melainkan demi kepentingan orang
banyak. Bagi utilitarisme, suatu tindakan dinyatakan bermoral ketika memberi kebahagiaan
terbesar bagi sebanyak mungkin orang sehingga utilitarianisme selalu memperhitungkan
dampak sosial. Magnis Suseno menyatakan bahwa utilitarisme merupakan etika universalis
karena patokan moral yang diambil bukanlah kepentingan pelaku moral saja, melainkan
kepentingan orang banyak (termasuk sang pelaku) sebagai akibat dari tindakan yang
dilakukan, sehingga dengan itu memunculkan semacam tanggung jawab sosial, yaitu orang
harus melakukan tindakan yang bermanfaat baik bagi orang banyak (bukan hanya diri
sendiri), dan kebalikannya mengupayakan agar akibat-akibat buruk bagi orang banyak
sebisa mungkin dicegah atau dihindari.91
Contoh pertimbangan utilitarisme dapat diamati pada salah satu adegan awal film
berjudul Vertical Limit yang dirilis Columbia Pictures tahun 2000. Di adegan tersebut
87
Magnis-Suseno, 1997, hlm. 93
88
Sudarminta, hlm. 126.
89
Sudarminta, hlm. 127.
90
Magnis-Suseno, 1987, hlm. 124-125.
91
Magnis-Suseno, 1987, hlm. 125.
dikisahkan bagaimana seorang ayah beserta dua anaknya harus mengalami peristiwa
dilematis dan tragis ketika sedang mendaki tebing yang tinggi. Kecerobohan mengakibatkan
mereka bertiga tergantung di tali yang tinggal terikat di satu pengait saja dan akan lepas
karena tidak cukup kuat menahan beban berat badan ketiganya. Dalam situasi kritis itu, sang
ayah yang tergantung pada posisi paling bawah menyuruh anak di atasnya yang membawa
pisau untuk memotong tali sang ayah demi keselamatan kedua anaknya itu. Akhirnya, tali
itu dipotong dan sang ayah jatuh hingga tewas. karena jatuh. Pertimbangan moral
utilitarisme dipakai oleh sang ayah dengan penilaian moral bahwa pada akhirnya lebih baik
satu orang dikorbankan ketimbang semuanya menjadi korban.
c. Tinjauan Kritis
Utilitarisme memiliki beberapa keunggulan. Utilitarisme memiliki ciri rasional-kritis
dan memberi kriteria dasariah yang masuk akal dalam keputusan moral: manfaat sosial.
Utilitarisme merupakan teori etika yang memberi dasar argumentatif dalam menilai suatu
92
Sudarminta, hlm. 130.
93
Sudarminta, hlm. 130.
94
Sudarminta, hlm. 131.
tindakan, tidak mau begitu saja taat buta pada suatu norma yang abstrak tetapi
mempertimbangkan dengan akal sehat terlebih dahulu berbagai aspek untuk menghitung
dampak yang ditimbulkan pada suatu keputusan moral. 95 Karena sifat rasionalnya ini,
utilitarisme dapat membantu menyelesaikan persoalan dilema etis, seperti halnya dalam
kasus memutus tali pada film Vertical Limit dengan pertimbangan kuantitatif yaitu jumlah
orang terbanyak yang dapat diselamatkan.
Keunggulan lain dari utilitarisme adalah teori ini berdimensi sosial. Utilitarisme
mengatasi teori moral yang egoistik karena memperhitungkan akibat sosial yang
ditimbulkan, yaitu yang menguntungkan (bukan merugikan) sebanyak mungkin orang.
Magnis menegaskan bahwa utilitarisme membentuk rasa tanggung jawab sosial yaitu bahwa
setiap orang memiliki tanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan bukan hanya
untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. 96 Karena sifat sosial dan universalnya itu,
utilitarisme kerap digunakan dalam membuat kebijakan sosial politis.
Disamping kelebihannya, ada beberapa kekurangan utilitarisme. Utilitarisme (baik
utilitarisme tindakan maupun utilitarisme peraturan) pada umumnya menemui persoalan
mendasar yakni kesulitan untuk menilai manfaat atau akibat yang ditimbulkan. 97 Apakah
yang dimaksud dengan manfaat? Apakah manfaat adalah kenikmatan atau kesenangan, dan
bagaimana cara mengukurnya? Kenyatannya, sulit untuk mengukur atau menilai
kenikmatan (kenikmatan makan, tidur, seks, belajar, dst.), sulit pula membandingkan nilai
kenikmatan yang dihasilkan suatu tindakan (meskipun tindakan itu sama kenikmatan yang
dihasilkan dapat berbeda), maupun sulit menentukan mana tindakan yang berbeda yang
banyak atau sedikit menghasilkan kenikmatan bagi orang banyak. Jeremy Bentham (1748-
1832), seorang tokoh utilitarian dan hedonis dari Inggris, berupaya membuat perhitungan
untuk secara kuantitatif mengukur besaran manfaat atau kenikmatan yang dihasilkan dari
suatu tindakan (hedonic calculus), dengan 7 kriteria, yaitu: intensitas, durasi, kepastian,
kedekatan dengan kecondongan pribadi, kesuburan, kemurnian, dan keluasannya. Namun,
pengukuran ini kurang meyakinkan. Contohnya, tidak terlalu jelas juga manakah tindakan
yang lebih menghasilkan rasa nikmat: menonton film selama satu jam atau makan makanan
enak selama setengah jam? John Stuart Mill (1806-1873) mengusulkan bahwa dalam
perhitungan nilai manfaat itu harus ditambahkan aspek kualitas selain juga kuantitas.
Namun, memperhitungkan unsur kualitas membuat perhitungan justru menjadi tidak
akurat. Meskipun demikian, tidak berarti orang tidak dapat menilai sama sekali manfaat
suatu tindakan. Pada prakteknya, orang dalam situasi tertentu dapat memakai common sense
untuk menilai secara praktis dan cepat manfaat suatu tindakan. Pergi ke suatu obyek wisata
bisa jadi sangat menyenangkan tetapi jika orang harus mengantri tiket berjam-jam tanpa
kepastian untuk bisa memasuki obyek wisata itu akan membuat orang lebih memilih
aktivitas lainnya.
Kelemahan terbesar utilitarisme ialah bahwa utilitarisme dapat bertentangan
dengan prinsip keadilan karena utilitarisme membenarkan mengorbankan orang atas nama
kepentingan bersama.98 Kebahagiaan bersama yang diperoleh mungkin didapat dengan cara
95
Magnis-Suseno, 1987, hlm. 124-125.
96
Magnis-Suseno, 1987, hlm. 124-125
97
Sudarminta, hlm. 132.
98
Magnis-Suseno, 1987, hlm. 127.
membuat orang lain menderita (mengorbankan orang lain). Dalam contoh kasus pendaki
tebing tadi, nyawa sang ayah dikorbankan demi keselamatan anak-anaknya. Dalam kasus
penggusuran untuk alasan pembangunan infrastruktur umum di kota-kota besar,
kepentingan sedikit orang dapat dikorbankan demi kepentingan masyarakat yang lebih
besar. Dengan kata lain, kelemahan mendasar utilitarisme adalah tidak menjamin keadilan
dan hak-hak manusia. 99 Sementara keadilan menuntut agar hak setiap orang dihargai.
Moralitas deontologis mewajibkan agar hak setiap orang dihargai karena martabat
kemanusiaannya sehingga orang tidak boleh digunakan sebagai alat melainkan tujuan.
Utilitarisme justru membolehkan untuk mengorbankan hak orang demi kepentingan umum,
orang boleh dikorbankan demi orang banyak.
Meskipun memiliki kelemahan, utilitarisme tetap merupakan etika yang layak
diperhitungkan. Utilitarisme merupakan teori etika yang baik sepanjang itu diikuti dengan
prinsip keadilan.
PENUTUP
Etika normatif ditujukan untuk menilai suatu pertanggungjawaban moral secara
rasional dan obyektif. Etika normatif tidak berupaya mengembangkan suatu norma moral
tertentu, melainkan memberi patokan atau tolok ukur dasariah untuk hidup baik, sekaligus
menilai secara kritis norma-norma moral yang sudah ada.
Ada dua jenis etika normatif, yaitu etika deontologis dan teleologis. Etika deontologis
menilai suatu tindakan sebagai bermoral dari aspek kewajiban. Etika teleologis menilai
suatu tindakan sebagai bermoral dari aspek tujuan atau akibat yang dihasilkan. Masing-
masing teori etika teleologis memiliki kekhasan tentang tolok ukur penilaian moral
berdasarkan konsekuensi atau akibat yang dihasilkan dari suatu tindakan. Tolok ukur moral
itu dapat berupa pengejaran kepentingan diri (egoisme etis), pengejaran kenikmatan dan
penghindaran atas penderitaan (hedonisme etis), kebahagiaan sebagai tujuan hidup orang
yang dicapai entah lewat pengembangan diri lewat akal budi secara duniawi (eudaimonisme
Aristoteles) maupun pengembangan diri lewat akal budi sekaligus ketaatan kepada
kehendak Allah (eudaimonisme Thomas Aquinas), maupun pencapaian kebahagiaan
terbesar bagi sebanyak mungkin orang (utilitarisme).
Daftar Pustaka:
Magnis-Suseno, Frans, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta:
Kanisius, 1987).
Magnis-Suseno, Frans, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta:
Kanisius, 1997).
Rachels, James, The Elements of Moral Philosophy 4th ed. (New York: McGraw-Hill Companies,
Inc., 2003); terj. oleh A. Sudiarja sebagai Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2004)
Sudarminta,J. Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif
(Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila STF Driyarkara, 2012).
99
Magnis-Suseno, 1987, hlm 127.
Bab VII
ETIKA DEONTOLOGI
(SISTEM FILSAFAT MORAL)
RD. Alfonsus Sutarno, Pr
Pendahuluan
Objek material dari etika adalah tindakan manusia. Etika mencermati tingkah laku
moral atau moralitas manusia100. Menurut Berten, ada beberapa pendekatan ilmiah untuk
mempelajari tindakan manusia, yakni etika deskriptif, etika normatif, dan etika analitis atau
metaetika101.
Berten, kemudian menjelaskan bahwa etika deskriptif mengkaji tindakan manusia
dengan cara melukiskan tingkah laku moral seperti adat kebiasaan, anggapan-anggapan
tentang baik dan buruk, dan tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau dilarang. Etika
deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu, dalam kebudayaan-
kebudayaan atau subkultur-subkultur tertentu, dalam suatu periode sejarah. Karena hanya
melukiskan norma-norma, etika deskriptif tidak memberi penilaian moral atau memeriksa
norma-norma itu apakah benar atau tidak.
Berbeda dengan etika deskriptif, etika normatif justru memberi penilaian moral
tentang perilaku manusia. Ia akan memeriksa norma-norma sebagai baik atau tidak. Etika
normatif akan melarang tindakan moral yang bertentangan dengan martabat manusia dan
mewajibkan suatu tindakan karena bernilai luhur. Dengan demikian, etika normatif
meninggalkan sikap netral seperti dalam etika deskriptif. Dengan mendasarkan diri pada
pendiriannya atas norma yang diterima dalam suatu masyarakat, etika normatif memberi
penilaian apakah norma-norma itu benar atau tidak.
Etika normatif juga bersifat preskriptif. Ia memerintahkan dan menentukan benar
tidaknya tindakan atau anggapan moral. Untuk itu ia mengemukakan argumentasi-
argumentasi dan alasan-alasan mengapa suatu tindakan atau anggapan moral dianggap
baik/buruk atau benar/salah. Dengan demikian, etika normatif bertujuan merumuskan
prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat
digunakan dalam praktik.
Etika analitis atau metaetika mencermati bahasa etis atau bahasa yang digunakan di
bidang moral. Dengan demikian, ia tidak membahas moralitas tindakan secara langsung.
Metaetika bergerak lebih tinggi daripada perilaku etis menuju taraf bahasa etis.
Dalam bab ini kita hanya akan mempelajari etika normatif sebagai salah satu
pendekatan ilmiah untuk mencermati tingkah laku moral manusia.
Penilaian Moral
Beberapa kekhasan dari etika normatif adalah melakukan penilaian mengenai
tindakan manusia. Etika normatif mengkaji tindakan manusia sebagai baik atau tidak. Ia juga
memeriksa dan menentukan norma-norma moral yang akan mengatur (melarang atau
100
K. Berten. 2004. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya 15. Jakarta: Gramedia. Hlm. 15.
101
Ibid., hlm. 15-22.
mewajibkan) manusia dalam bertindak. Untuk tujuan itu, etika normatif memberikan
argumen-argumen atau alasan-alasan mengapa tindakan itu disebut baik dan wajib
dilakukan atau disebut tidak baik sehingga dilarang untuk dilakukan. Akhirnya etika
normatif merumuskan prinsi-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dan
dipraktikkan.
Ada beberapa sistem filsafat moral yang berusaha menilai tindakan (moralitas)
manusia. Pertama, ada sistem filsafat moral yang menilai tindakan dengan memperhatikan
aspek dampak (konsekuensi) atau tujuan dari tindakan. Hal ini dikenal dengan etika
teleologisme. Secara umum ada tiga sistem etika yang termasuk teleologisme, yakni:
hedonisme, eudaimonisme, dan utilitarianisme. Ketiga sistem tersebut memperhatikan
baik-buruknya tindakan manusia tergantung pada kontribusinya bagi realisasi nilai-nilai:
kesenangan atau nikmat (hedonisme), kebahagiaan (eudaimonisme), dan kegunaan
(utilitarianisme).
Etika teleologisme menekankan aspek konsekuensi dari tindakan. Oleh karena itu,
sistem-sistem itu disebut juga sistem konsekuensialistis 102 . Dalam sistem filsafat ini,
pemahaman akan kebaikan moral bukanlah nilai yang ideal dan independen (nilai sangat
bergantung pada dampak/tujuan dari tindakan). Nilai-nilai itu bersifat relatif terhadap nilai-
nilai yang lain, nilai-nilai itu melayani nilai-nilai lain.
Kedua, sistem filsafat yang menilai tindakan manusia dengan menekankan aspek
motif (maksud, kehendak, kemauan) dari di pelaku tindakan, yaitu demi nilai kebaikan
moral yang mutlak yang ada di dalam dirinya. Sistem filsafat ini dikenal sebagai etika
deontologisme atau etika kewajiban. Dalam sistem filsafat ini dipahami bahwa manusia
wajib bertindak karena (didorong oleh) kebaikan moral yang bersifat intrinsik, nilai yang
sempurna, nilai yang mutlak atau tidak bergantung pada nilai-nilai lain 103 . Manusia
bertindak karena wajib bertindak. Kewajiban untuk bertindak ini muncul karena adanya
nilai yang intrinsik, sempurna, dan mutlak dari suatu tindakan.
Titik temu teleologisme dan deontologisme terdapat pada pencermatan dan
penilaian mengenai tindakan manusia. Selain itu, kedua sistem filsafat tersebut mengacu
pada prinsip-prinsip moral, seperti: hormat pada diri sendiri, prinsip keadilan, dan prinsip
bonum commune (kebaikan bersama). Dengan kata lain, semua sistem itu hanya merupakan
cara (alternatif) untuk menilai suatu tindakan atau perbuatan sebagai baik atau tidak.
DEONTOLOGI
Deontologi berusaha menakar baik-buruknya suatu perbuatan berdasarkan maksud
si pelaku tindakan dalam melakukan sesuatu. Ia memperhatikan aspek wajib tidaknya
perbuatan dan keputusan untuk dilakukan. Pemahaman ini bisa ditelusuri dari etimologi
kata “deontologi” itu sendiri yang berasal dari kata Yunani: “deon” yang berarti: apa yang
harus atau wajib dilakukan.
Dalam situasi konkret, deontologi menekankan bagaimana manusia seharusnya
bertindak, yaitu: melakukan apa yang menjadi kewajiban sebagaimana terungkap dalam
norma-norma dan nilai-nilai moral yang ada. Sejalan dengan itu, menurut etika deontologi,
102
Ibid., hlm. 254.
103
Karl-Heinz Peschke. 2003. Etika Kristiani. Pendasaran Teologi Moral (terj). I. Ende: Penerbit Ledalero. Hlm. 34.
suatu tindakan dinilai baik atau buruk bergantung pada apakah tindakan itu sesuai atau
tidak dengan kewajiban. suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik
pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus dilakukan104.
Tokoh etika deontologi yang sangat berpengaruh adalah Immanuel Kant, William
David Ross, dan John Stuart Mill. Mari kita telusuri pemikirannya lewat paparan Berten dan
Keraf.
Sebagaimana dipaparkan Berten dan Keraf105, Deontologi muncul dari filsuf Jerman
bernama Immanuel Kant (1724-1804). Kata-kata kunci deontologi kantian ini adalah:
kehendak baik, kewajiban, imperatif kategoris dan imperatif hipotetis, dan otonomi
kehendak.
Menurut Kant, kebaikan sesungguhnya adalah kehendak (niat) yang baik. Semua hal
disebut baik apabila berdasarkan pada kehendak yang baik. Sebaliknya, semua hal disebut
tidak baik apabila didasari oleh kehendak yang tidak baik.
Kehendak baik tersebut harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apa pun
juga. Maka, dalam menilai tindakan, kehendak baik harus dinilai paling pertama dan menjadi
kondisi dari segalanya. Kehendak baik harus menjadi syarat yang harus dipenuhi agar
manusia dapat bertindak secara moral, sekaligus membenarkan tindakan itu. Dengan kata
lain, bisa saja suatu tindakan menghasilkan akibat baik, tetapi kalau tindakan itu tidak
dilakukan berdasarkan kehendak baik, tindakan itu tidak bisa dinilai baik. Alasannya adalah
akibat baik dari suatu tindakan tertentu bisa saja hanya merupakan kebetulan.
Pertanyaannya adalah apa yang membuat kehendak itu menjadi baik? Menurut Kant,
kehendak menjadi baik apabila bertindak karena kewajiban. Tindakan adalah baik jika
hanya tindakan itu dilakukan karena wajib dilakukan. Tindakan seharusnya dilakukan
berdasarkan kewajiban106.
Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa wajib? Manusia bertindak selaras norma
hukum. Ia melakukan apa yang menjadi kewajiban sebagaimana terungkap dalam norma-
norma dan nilai-nilai moral yang ada. Ia memenuhi norma hukum. Manusia yang bertindak
berdasarkan kewajiban yang terungkap dalam norma-norma itu oleh Kant disebut legalitas.
Jadi kehendak baik itu identik dengan hormat pada hukum moral, karenanya wajib
dilakukan107.
Apabila perbuatan dilakukan dengan maksud atau tujuan lain, maka perbuatan tidak
bisa disebut baik, betapa pun luhur atau terpujinya motif itu. Misalnya, kalau perbuatan
dilakukan karena kecenderungan atau watak tertentu, maka perbuatan itu secara moral
tidak baik. Jadi yang paling penting adalah menunaikan kewajiban, bukan sekadar tujuan.
Sebagai contoh, seseorang tidak perlu memperhatikan tujuan membayar pajak, yang lebih
penting adalah kewajiban membayar pajak. Menurut Kant, suatu perbuatan bersifat moral
jika dilakukan semata-mata karena “hormat untuk hukum moral”, kewajiban moral.
Keraf menambahkan bahwa bagi Kant, hukum moral itu telah tertanam dalam hati
setiap orang dan karena itu hukum moral bersifat universal (berlaku bagi semua orang pada
segala situasi). Hukum moral itu dianggap sebagai perintah tak bersyarat (imperatif
104
Sonny Keraf A. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hlm. 8.
105
Lihat K. Berten, op.cit., hlm. 254-261. Bdk. Keraf, op.cit., hlm. 18-25.
106
K. Berten, op.cit., hlm. 255.
107
Ibid., hlm. 256.
kategoris)108.
Untuk menjelaskan hukum moral universal ini, papar Keraf, Kant membedakan apa
yang dikenal sebagai imperatif kategoris dan imperatif hipotetis. Imperatif kategoris berarti
perintah yang mewajibkan begitu saja, memerintahkan seseorang tanpa syarat. Sebagai
contoh, tindakan membayar utang atau menepati janji. Siapa pun wajib atau harus melunasi
utangnya atau menunaikan janjinya, terlepas dari rasa senang atau tidak senang.
Sementara imperatif hipotetis dipahami sebagai perintah yang mewajibkan, namun
perintah itu selalu mengikut-sertakan syarat. Sebagai contoh, mahasiswa yang mau lulus
ujian, harus rajin belajar. Dari contoh ini terlihat bahwa kewajiban mahasiswa untuk belajar
dengan rajin menjadi syarat bagi sebuah tujuan, yakni lulus ujian.
Selanjutnya Keraf mengungkapkan bahwa bagi Kant, ada tiga prinsip atau hukum
universal yang menjadi imperatif kategoris. Pertama, prinsip universal, yaitu manusia
bertindak hanya atas dasar perintah yang diri sendiri kehendaki akan menjadi sebuah
hukum universal. Ia berkewajiban untuk mematuhi apa yang dirinya sendiri anggap benar
sehingga orang lain juga melakukan hal yang sama.
Kedua, sikap hormat kepada manusia sebagai tujuan (bukan alat) pada dirinya
sendiri. Dalam setiap tindakannya, seseorang harus memperlakukan diri sendiri atau orang
lain itu sebagai tujuan pada dirinya sendiri, tidak pernah hanya sebagai alat. Manusia yang
bermartabat luhur tidak boleh ditindas, diperas, atau diperlakukan secara tidak adil demi
kepentingan lain. Manusia tidak boleh membiarkan dirinya diperalat, diperas, diperlakukan
sewenang-wenang. Manusia jangan membiarkan hak-haknya dirampas sebaliknya harus
menuntut agar haknya dihargai secara layak.
Ketiga, prinsip otonomi kehendak. Seseorang harus bertindak berdasarkan kehendak
dan pilihannya sendiri karena yakin hal itu baik, dan bukan karena diperintah dari luar
(heteronomi). Suatu tindakan harus berdasarkan kehendak dan pilihan bebasnya sendiri.
Seseorang mampu menentukan dirinya sendiri atau memberikan hukum moral kepada
dirinya sendiri. Dengan demikian, manusia tidak menyerahkan diri pada sesuatu yang asing
baginya atau membiarkan dirinya ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan,
emosi, atau nafsu, melainkan mengikuti hukumnya sendiri. Pembiaran diri ditentukan oleh
faktor dari luar dirinya sendiri, itulah yang dikenal dengan kehendak heteronom.
Demikianlah Kant menemukan kebebasan manusia. Otonomi kehendak pada
dasarnya sama dengan kebebasan manusia, yakni kesanggupan manusia untuk bertindak
tanpa penguasaan faktor-faktor luar atau asing.
Kant berharap agar kita tidak memperlakukan perintah moral (imperatif kategoris)
sebagai imperatif hipotetis. Selain itu, Kant menekankan otonomi kehendak dan
menghindari sikap heteronom, yakni sikap yang hanya mau bertindak secara moral karena
diperintah dari luar, atau faktor-faktor di luar diri kita.
Catatan kritis:
Dari pemikiran Kant ini, Berten membuat catatan kritis109. Menurutnya, pemikiran
Kant merupakan sistem etika yang sangat menarik. Deontologinya cocok dengan
108
Sonny Keraf A., op,cit., hlm. 8-15.
109
K. Berten, op.cit., hlm. 257-258.
pengalaman moral kita. Kewajiban merupakan aspek penting dalam hidup moral kita.
Namun demikian, masih ada dua keberatan; pertama, sistem moral Kant merupakan suatu
etika yang suram dan kaku. Ada kesan kita seolah-olah berkelakuan baik hanya semata-mata
karena melakukan kewajiban, melawan kecenderungan spontan kita. Salahkah kita apabila
berbuat baik karena senang berbuat baik? Apakah tidak mungkin kita berbuat baik karena
cinta dan belas kasih? Rupanya Kant tidak mengenal kebebasan eksistensial sebagai bentuk
kebebasan yang paling berharga di bidang moral.
Kedua, sulit diterima bahwa konsekuensi bisa diabaikan begitu saja dalam menilai
moralitas perbuatan kita. Bagaimana dengan berbohong karena cinta? Namun menurut
Kant, kita wajib mengatakan kebenaran dalam situasi apa pun juga dan tidak pernah boleh
berbohong.
Poin kedua ini senada dengan keberatan dari Keraf110. Menurut Keraf, para penganut
etika deontologi sesungguhnya tidak bisa mengelakkan pentingnya akibat dari suatu
tindakan untuk menentukan apakah tindakan itu baik atau tidak. Mereka secara diam-diam
menutup mata terhadap pentingnya akibat suatu tindakan supaya bisa memperlihatkan
pentingnya nilai suatu tindakan moral itu sendiri. Mereka hanya ingin menekankan
pentingnya tindakan sebagai bermoral karena nilai tindakan itu sendiri, mereka tidak mau
terjebak dalam tujuan menghalalkan cara. Kant ingin menekankan pentingnya hukum moral
universal dalam hati kita masing-masing sekaligus mencegah subjektivitas kita dalam
bertindak secara moral. Tanpa itu, kita bisa bertindak ssecara berubah-ubah sesuai dengan
konsekuensi yang ingin kita capai. Dengan demikian, hukum moral hanya akan menjadi
perintah bersyarat.
Selanjutnya Keraf juga menambahkan bahwa etika deontologi Kant tidak memadai
untuk menjawab pertanyaan bagaimana seseorang harus bertindak dalam situasi konkret
yang dilematis. Ketika ada dua atau lebih kewajiban yang saling bertentangan, seseorang
harus memilih salah satu sekaligus menolak yang lain; etika deontologi tidak banyak
membantu karena hanya mengatakan: bertindaklah sesuai dengan kewajibanmu.
Menurut Berten dan Keraf, kesulitan tersebut lalu dipecahkan oleh William David
Ross, yang memperkaya gagasan deontologi dengan mengajukan prinsip prima facie (pada
pandangan pertama). Menurut Ross, sebagaimana dipaparkan Berten dan Keraf, kewajiban
itu selalu prima facie, artinya suatu kewajiban untuk sementara dan hanya berlaku sampai
timbul kewajiban yang lebih penting yang mengalahkan kewajiban yang pertama. Ketika kita
menghadapi berbagai macam kewajiban moral bahkan secara bersamaan dalam situasi yang
sama, kita perlu menentukan kewajiban terbesar (summum bonum) dengan membuat
perbandingan antara kewajiban-kewajiban itu.
Kemudian Ross menyusun daftar kewajiban yang merupakan kewajiban prima facie,
yakni kewajiban kesetiaan, kewajiban ganti rugi, kewajiban terima kasih, kewajiban
keadilan, kewajiban berbuat baik, kewajiban mengembangkan diri, dan kewajiban untuk
tidak merugikan111.
Menurut Ross, setiap manusia mempunyai intuisi tentang kewajiban-kewajiban itu,
artinya semua kewajiban itu berlaku langsung bagi kita. Akan tetapi, kita tidak mempunyai
110
Sonny Keraf A., op,cit., hlm. 14-15.
111
K. Berten, op.cit., hlm. 259-260.
intuisi tentang apa yang terbaik dalam situasi konkret. Untuk itu kita perlu menggunakan
akal budi. Kita harus mempertimbangkan setiap kasus, manakah kewajiban yang paling
penting.
Pandangan Ross ini merupakan kemajuan dari pemikiran Kant. Konflik kewajiban
dapat diatasi. Tapi pandangan itu sendiri masih ada kesulitan. Ia tidak bisa menunjukkan
norma untuk menentukan kewajiban apa yang berlaku di atas kewajiban prima facie lainnya.
Tidak ada jalan lain selain mencari alasannya dalam setiap situasi konkret.
Kesimpulan
Etika deontologis merupakan bagian dari etika normatif yang menilai tindakan
sebagai baik atau tidak baik, memeriksa dan menentukan norma-norma, memerintahkan
atau melarang suatu tindakan, memberikan argumen/alasan mengapa tindakan disebut
baik atau tidak, dan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan
dan diaplikasikan.
Deontologi menilai bahwa semua hal disebut baik apabila berdasarkan pada
kehendak yang baik. Kehendak yang baik berarti manusia melakukan apa yang menjadi
kewajiban sebagaimana terungkap dalam norma-norma dan nilai-nilai moral yang ada.
Menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk bergantung pada apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. suatu tindakan dianggap baik karena
tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus
dilakukan
Contoh kasus
Seorang ibu sedang mengandung anak pertamanya. Berdasarkan data medis, janin
yang sedang dikandung itu diindikasikan memiliki cacat fisik. Apabila kelak janin ini
dilahirkan, maka ia selain akan memiliki cacat fisik permanen, ia juga akan sangat
tergantung pada orang-orang di sekitarnya.
Pada sisi lain, ayah dari anak ini merupakan sosok terpandang. Pergaulannya luas
dan dikenal oleh para pesohor. Prestasi dan reputasinya tidak ada yang meragukan. Ketika
ia mengetahui kondisi anaknya akan cacat permanen dan tergantung pada orang di
sekitarnya termasuk tergantung pada dirinya, ia dihadapkan pada kondisi dilematis;
menggugurkan atau mempertahankannya. Berdasarkan pendekatan etika deontologi,
apakah yang harus dilakukan oleh si bapak, si ibu, dan tenaga medis?
Referensi
Karl-Heinz Peschke. 2003. Etika Kristiani. Pendasaran Teologi Moral (terj). I. Ende: Penerbit
Ledalero.
K. Berten. 2004. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya 15. Yogyakarta: Gramedia: Jakarta.
Sonny Keraf A. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas: Jakarta. (Hal 8-15).
Bab VIII
ETIKA PROFESI DAN KODE ETIKA KAUM PROFESIONAL
Oscar Yasunari
Pendahuluan
Etika adalah sebuah cabang filsafat yang meninjau secara kritis sistim nilai yang ada. Sebagai
cabang filsafat, etika menekankan pada pendekatan kritis dalam melihat setiap nilai dan
norma moral yang ada. Etika bukanlah suatu ajaran namun etika adalah ilmu. Etika tidak
hanya membuat seseorang mengikuti moralitas karena moral memerintahkan begitu saja
namun lebih karena seseorang tahu apa yang dilakukannya baik dan benar bagi dirinya
setelah dikritisi dan dipahami oleh akal budinya. Seseorang sadar bahwa tindakan yang
harus dilakukannya itu lebih didasari karena alasan rasional yang telah diolah oleh akal
budinya dan bukan hanya sekedar diperintahkan oleh moralitas atau hanya sekedar ikut-
ikutan. Moral memberikan suatu petunjuk kongkrit tentang bagaimana manusia harus
hidup. Ajaran yang memberi kita norma/kaidah dalam kehidupan atau bagaimana kita harus
hidup adalah moralitas. Norma moral merupakan tolak ukur yang dipakai masyarakat dalam
menentukan baik buruknya suatu tindakan manusia. Norma moral merupakan suatu
patokan baku baik buruknya manusia bersikap sebagai manusia.
Karena etika merupakan suatu tinjauan kritis atas sistim nilai yang ada maka segala
tindakan moral yang dilakukan oleh manusia haruslah berdasarkan pertimbangan akal budi
sehingga apa yang dilakukan oleh seseorang adalah baik dan benar bagi dirinya dan bagi
masyarakat sekitarnya karena segalanya telah dipertimbangkan sesuai tuntutan akal budi.
Etika sebagai disiplin ilmu merupakan suatu pemikiran sistematis tentang moralitas. Yang
menghasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang
mendasar dan kritis 112 . Karenanya manusia dituntut untuk bertindak secara otonom 113
dimana sikap moral yang dilakukan manusia harus disadari pada kesadaran, bahwa
tindakan yang dilakukannya itu baik atau dinilai bermoral sejauh itu didasarkan pada
kehendak bebas yang dapat dipertanggungjawabkan.
112
Magnis-Suseno. Franz, 1991, Etika Dasar: Masalah-Masalah Filsafat Moral, Kanisius, Jakarta, hal: 14-15
113
Immanuel Kant, Foundations of the Metaphysics of Moral (terj.) (Indianapolis: Bobbs-Merrill Educations Pub.,
1980) menyatakan bahwa otonomi dalam tindakan moral manusia haruslah didasarkan pada kesadaran bahwa
setiap tindakan yang dilakukannya adalah suatu tindakan baik yang didasarkan pada kesadaran pribadinya yang
bersumber pada nilai atau moral yang dihayatinya dan bukan hanya sekedar mengikuti aturan moral yang bersifat
eksternal.
manusia sebagai manusia begitu saja namun juga menelaah perilaku dan kehidupan
manusia dalam kehidupan atau kegiatan khusus tertentu yang dijalani dan dijalankan. Etika
khusus/terapan merupakan refleksi kritis atas kehidupan dan kegiatan khusus tertentu
yang mempersoalkan praktek, kebiasaan dan perilaku tertentu. Jadi perilaku dan kehidupan
moral manusia ditelaah berdasarkan kekhususan situasi dan problematika kehidupan dan
kegiatan manusia dengan tetap berlandaskan pada norma dan nilai umum tertentu. Etika
khusus/terapan merupakan kontekstualisasi aturan moral umum dalam bidang dan situasi
kongkret. Pada tingkat inilah kemudian etika menjadi aktual.114
Etika profesi, sebagai bagian dari etika khusus/terapan, merupakan suatu hal yang
mendasar bagi manusia untuk menerapkan prinsip-prinsip moral dasar. Prinsip-prinsip
tersebut membawa manusia pada kesadaran tentang suatu bidang kehidupan atau kegiatan
khusus yang dilakukan setiap orang atau kelompok orang. Etika Khusus/terapan memberi
pegangan, pedoman, dan orientasi praktis bagi setiap orang dalam kehidupan dan kegiatan
khusus tertentu yang dijalaninya. Dalam etika profesi perilaku dan kehidupan moral
manusia ditelaah berdasarkan kekhususan situasi dan problematika kehidupan seperti
pendidikan, hukum, bisnis kedokteran dan lain-lain.
Pengertian Profesi dan pekerjaan pada umumnya
Dalam kehidupan manusia dewasa ini, istilah profesi sering kita dengar sehari-hari. Dalam
kesehariannya orang sering mengartikan bahwa profesi adalah pekerjaan yang digeluti oleh
seseorang untuk mendapatkan nafkah hidup. Istilah profesi seringkali mengacu pada suatu
pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan
mengandalkan suatu keahlian yang spesifik.
“Profesi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat Jakarta Balai Pustaka 2001)
berarti115:
“bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian dalam arti keterampilan atau
kejujuran tertentu”. Sementara “profesional” artinya: “a) bersangkutan dengan
profesi b) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya c) mengharuskan
adanya pembayaran (dilawankan dengan amatir)”. “Profesionalisme” artinya: “mutu
kualitas dan tindak-tanduk yang merupakan ciri Suatu profesi atau orang yang
profesional”. “Profesionalitas” artinya: “1. perihal profesi; keprofesionalan; 2.
kemampuan untuk bertindak secara profesional”.
Kaum profesional yang mempunyai profesi dalam pengertian tersebut adalah orang yang
melakukan suatu pekerjaan dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian
yang tinggi. Seorang profesional adalah seorang yang hidup dengan mempraktikkan suatu
keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menuntut
keahlian.
Dalam kehidupan manusia setiap pekerjaan seringkali diandaikan sebagai sebuah profesi.
Namun tidak semua pekerjaan dianggab sebagai sebuah profesi. Sering orang bertanya “apa
profesinya”, “Ibu Rumah Tangga”, . Disini terlihat jelas bahwa ada perbedaan antara profesi
114
Keraf, A. Sonny, “Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya”, Kanisius, Jakarta, 1998, hal: 33
115
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, “Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal: 1104
dan pekerjaan pada umumnya. Profesi adalah suatu pekerjaan yang dilakukan untuk
menghasilkan nafkah untuk hidup dan mengandalkan suatu keahlian sementara pekerjaan
pada umumnya tidak menghasilkan nafkah untuk hidup..
Profesi dalam makna yang pragmatis merujuk pada pekerjaan yang menghasilkan bayaran,
yang dimaknai positif ataupun dimaknai secara peyoratif misalnya seperti profesi
pembunuh bayaran. Dalam konteks yang umum kata profesi mengacu pada suatu pekerjaan
tertentu sehingga setiap bidang kerja bisa dikatakan sebagai suatu profesi, misalnya: profesi
dokter, profersi perawat, profesi tukang batu, profesi pemulung, dan lain-lain.
Dalam konteks tradisi agama Katolik kata “professus” merujuk pada “pernyataan umum,
pernyataan di depan umum berkenaan dengan kepercayaan opini atau tingkah laku
tertentu” 116. Di kalangan religius Gereja Katolik dalam tradisi panjangnya, pada masa yang
telah ditentukan, para kaum religius di Gereja Katolik menyatakan kaul-kaul nya (kaul hidup
selibat, hidup taat dan hidup melarat). Para kaum biarawan tersebut menyatakan kaul-
kaulnya dihadapan para pemimpin biara dan jemaat yang ada. Dengan melakukan
pernyataan kaul-kaul tersebut para biarawan melakukan suatu tindakan yang disebut
dengan “profession”. Dalam tradisi ini seorang religius disebut profesi bila sudah
menyatakan kaul nya secara publik. Profesi dalam arti yang lebih luas tidak hanya selalu
berkaitan dengan bayaran atau dengan kemampuan teknis belaka tetapi profesi juga bisa
dikatakan sebagai pernyataan di depan umum di mana seseorang menyampaikan
kepercayaan atau opini pada masyarakat. 117
Dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris mengambil kata profesi atau profession dari
bahasa latin “professio”. Dalam kamus bahasa latin-indonesia “professio” berarti118:
“1) Pernyataan di depan umum/resmi. 2) laporan resmi tentang harta kekayaan. 3)
pekerjaan jabatan keahlian hal memiliki sesuatu sebagai pekerjaan atau mata
pencaharian. 4) kaul ikrar pengakuan pernyataan”
Dalam kehidupan sehari-hari orang mengenal istilah profesi sebagai pekerjaan yang
dilakukan untuk mencari nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan
yang tinggi dan melibatkan komitmen pribadi yang mendalam. Orang profesional seringkali
diartikan orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu
dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta mempunyai komitmen
pribadi yang mendalam atas pekerjaannya atau bisa dikatakan seorang profesional adalah
orang yang melakukan suatu pekerjaan karena ahli dibidang tersebut dan meluangkan
seluruh waktu tenaga dan perhatiannya untuk pekerjaan tersebut. Dengan adanya
komitmen yang ada dalam diri seorang kaum profi maka tentunya akan menumbuhkan rasa
tanggungjawab dan jugs dalam setiap karya yang dilakukannya akan melibatkan seluruh
kemampuannya, baik keahlian dan ketrampilannnya, agar yang ia jalankan menghasilkan
suatu yang sempurna dan berguna bagi orang lain. Di dalam masyarakat ada anggapan
bahwa orang yang mempunyai profesionalitas memiliki keahlian dalam bidangnya, mampu
116
Verhoeven, P.Th L . SVD, “Kamus Latin-Indonesia”, Nusa Indah, Ende, 1969, hal: 944
117
Budi Hardiman. F (Editor), 2019, “Filsafat untuk Para Profesional”, Kompas, Jakarta, hal: 4
118
Verhoeven, P.Th L . SVD, op.cit, hal: 944
bekerja secara efisien, kompeten, dan pekerja keras. Seorang profesional juga menikmati
kerja yang telah dilaksanakan oleh kaum profi tersebut. Kaum profesional mampu memilah-
milah mana yang menjadi masalah-masalah dalam pekerjaannya dan mana yang menjadi
masalah-masalah pribadinya. Profesionalisme merupakan suatu sikap dan kemampuan
yang erat sekali hubungannya dengan struktur kepribadian, karakter atau fakta dari seorang
kaum profi.119
Dalam konteks etika profesi, profesi tidak bisa dikatakan hanya sebuah pekerjaan pada
umumnya namun profesi mempunyai tuntutan yang sangat tinggi. Profesi adalah suatu
masyarakat moral (moral Community) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama.120 Profesi
terbentuk karena adanya kesamaan keahlian dan latar belakang pendidikan yang dimiliki
oleh kelompok tersebut. Kelompok-kelompok tersebut membentuk suatu ikatan yang
memiliki cita-cita agar keluhuran martabat profesinya terjaga
Suatu profesi dilaksanakan bukan hanya sekedar untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan
dengan keahlian yang dimiliki saja namun pekerjaan tersebut juga didasari pada tanggung
jawab moral, integritas pribadi dan menghasilkan sesuatu di atas standar yang ada.
Karenanya, pekerjaan-pekerjaan yang tidak dilakukan dengan tanggung jawab moral yang
tinggi, seperti pelacur atau pembunuh bayaran, tidak bisa masuk dalam kategori sebuah
profesi. Pekerjaan-pekerjaan tersebut hanya dikatakan sebuah pekerjaan, bukan suatu
profesi, karena hanya mengandalkan keahlian dan keterampilan tanpa adanya tanggung
jawab moral dan integritas yang tinggi.
Macam-macam Profesi
Profesi umum
Pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup disebut
profesi. Namun profesi berdasarkan awal lahirnya kita perlu membedakannya atas dua
macam, yakni pertama, profesi yang muncul karena mengandalkan suatu keahlian (formal
dan nonformal) sebelum seorang profesional melakukan pekerjaan dalam dunia kerjanya.
Yang termasuk dalam kategori ini adalah para pegawai bank, sekretaris suatu kantor, para
ahli teknik, ahli kimia, dll. Orang-orang yang disebutkan ini sebelum bekerja terlebih dahulu
memiliki sertifikat/ ijazah dan diterima bekerja lewat proses rekrutmen. Kedua, profesi yang
muncul karena pembiasaan (proses habitual) dan karena alasan atau desakan ekonomi
semata. (walau profesi jenis ini memang masih diperdebatkan). Namun hal ini sudah
diterima di masyarakat kita. Dan yang termasuk dalam kategori ini adalah orang yang karena
hobinya lalu menekuni salah satu bidang dan hidup dari nafkah yang diperoleh lewat bidang
yang ditekuni tersebut. Termasuk disini: tukang batu/kuli, gamer, peternak anjing
(breeder), dll. Kelompok orang yang menjalankan pekerjaan tersebut dan sejenisnya, yang
dilakukan karena pembiasaan, karena desakan ekonomi dan karena seringkali dilakukannya
maka dari pengalamannya itu memungkinkan orang yang melakukan itu menjadi terampil
dan mungkin profesional tanpa mengandalkan suatu keahlian (formal dan nonformal)
sebelumnya. Maka, pekerjaan seperti itu belakangan diklaim sebagai sebuah profesi sama
119
Frans magnis Suseno, 1991, “Berfilsafat dari Konteks”, Gramedia, Jakarta, hal: 148
120
Paul F Camenisch, Grounding professional ethics in pluralistic Society, New York, Haven Publications, 1983, hlm:
48
dengan profesi yang lain.121
Profesi Luhur
Dalam Prosfesi luhur ini ada kekhususan dibandingkan dengan profesi pada umumnya.
Profesi luhur lebih menekankan idealisme mereka (walau kenyataan saat ini pragmatisme
hidup sudah tak terbendungkan) berupa: pengabdian atau pelayanan kepada masyarakat
yang dalam keadaan kesulitan/ kesusahan. Memang dalam kenyataannya orang-orang yang
mengemban profesi luhur ini juga butuh nafkah hidup, dan nafkah hidup itu umumnya
diperoleh dari profesinya itu. Tetapi, sasaran utama dalam menjalankan profesi luhur itu
bukan terutama untuk memeroleh nafkah hidup itu, melainkan untuk mengabdi dan
melayani kepentingan masyarakat. Karena kelebihannya dan masyarakat dalam kekurangan
atau kesulitan hidup. Hal ini terutama dijalaninya sebagai suatu panggilan hidupnya. Maka
bisa jadi nafkah hidup dilihat sebagai ‘sekadar’ sebuah dampak atau akibat dari menjalankan
profesinya.
Contoh klasik dari profesi luhur ini, adalah dokter (menolong/merawat keselamatan fisik
manusia), penasihat hukum atau pembela di pengadilan (menegakkan kebenaran hukum
sekaligus menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat), rohaniwan/wati (pelayanan
akan kebutuhan spiritual), tentara (menolong jiwa manusia dan membela keselamatan
manusia dari serbuan pihak lain). Dari profesi luhur itu terlihat bahwa orang yang bergelut
pada profesi luhur pada umumnya mereka mempertaruhkan hidupnya untuk kepentingan
masyarakat, menolong keselamatan fisik manusiamenjaga ketertiban dan keamanan
masyarakat ataupun menolong jiwa manusia.122
Namun dari antara kategori-kategori yang masuk dalam profesi luhur ini, belakangan mulai
perlahan-lahan kehilangan karakter idealisme dan nilai pengabdiannya. Hal ini sangat
dimungkinkan oleh pemikiran pragmatis dan tepat guna yang mempengaruhi pribadi
berprofesi demikian. Banyak dikalangan masyarakat yang memilih suatu profesi tertentu
karena pertimbangan profesi tersebut akan mendatangkan banyak masukan uang, bukan
didasarkan karena pertimbangan idealisme/pengabdian. Atau juga disebabkan oleh biaya
yang tinggi/mahal ketika menempuh pendidikan sehingga ada pemikiran harus balik modal
ketika orang tersebut lulus kuliah dan menjalankan profesinya. Karenanya saat bekerja,
sekalipun ia menyandang sebuah profesi luhur dengan idealisme yang kuat, sangat mungkin
ia juga terjebak pada pemikiran untuk mengembalikan uang yang pernah ia keluarkan
sewaktu di lembaga pendidikan ditambah (mungkin) dengan bunganya. Namun memang
tidak semua bisa di generalisasi dengan pemikiran tersebut. Masih ada juga orang-orang
yang berprofesi luhur memiliki idealisme yang teguh dalam melayani dan mebaktikan
secara total seperti sebagian dokte yang mengabdikan dirinya di daerah pedalaman dan
para prajurit yang meninggalkan keluarga untuk menjaga daerah perbatasan.123
121
Tim dosen etika, Diktat Kuliah Etika, Universitas Katolik Parahyangan, 2005, hal: 52
122
Burhanuddin Salam, Etika Sosia: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia, Rineka Cipta, Jakarta, hal: 139
123
Cari juga di Etika Sosial Magnis Suseno atau Tim dosen etika, Ibid, hal: 52
Ciri-ciri profesi
a. Adanya keahlian dan keterampilan khusus/spesialisasi.124
Keahlian dan keterampilan didapat lewat pendidikan formal/pelatihan. Profesi selalu
mengandalkan adanya suatu pengetahuan atau keterampilan khusus yang dimiliki oleh
sekelompok orang yang profesional untuk bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Pengetahuan atau keterampilan khusus ini umumnya tidak dimiliki oleh orang
kebanyakan lainnya, dengan tingkat dan kadar yang tinggi sebagaimana dimiliki oleh
kaum profesional itu.
Cepat tanggap atas persoalan yang dihadapi juga, termasuk hasilnya. Karena kaum
profesional memiliki kemampuan dan keterampilan yang ada maka hal tersebut
memperlihatkan bahwa kaum profesional lebih tahu mengenai bidangnya dan cepat
tanggap atas persoalan yang dihadapi dibandingkan dengan orang lain. Maka secara
tidak langsung layak dipahami bahwa masyarakat seringkalikali memertanyakan
masalah-masalah yang dihadapinya pada seseorang, yang menggeluti suatu profesi
tertentu, yang sesuai dengan masalah yang dihadapinya
Menentukan identitas dan perilaku moral. Dalam hal ini tentunya akan diperlihatkan
bahwa seorang yang profesional bukan saja ahli dan terampil, melainkan juga adalah
orang yang mempunyai komitmen moral yang tinggi, yang punya hati, dan naluri
moral.
124
Sonny keraf, etika Bisnis Tuntutan dan relevansinya, Kanisius, Jakarta, 1999, hal: 40
125
Ibid., hal: 40
126
Ibid., hal: 41
Profesinya membentuk identitasnya. Karena profesi yang digeluti melekat pada
dirinya maka secara tidak langsung profesinya membentuk identitas hidupnya. Ini
berarti seseorang menjadi dirinya berkat dan melalui profesinya. Maka, orang tersebut
tampil dan dikenal dalam masyarakat sekitarnya karena profesinya.
127
Ibid., hal: 42
128
Ibid., hal: 42
129
Ibid., hal; 43
Prinsip-prinsip etika profesi130
a. Tanggungjawab
Dengan profesinya kaum profi tidak merugikan hak dan kewajiban orang lain. Tidak ada
diskriminasi, termasuk orang yang tidak membayar jasanya. la tetap menjaga intensitas dan
mutu pelayanannya. Seorang yang profesional tentunya tidak akan membeda-bedakan
mutu layanannya hanya karena kliennya beda suku, agama atau beda golongan dengannya
sebagai wujud konkret dari prinsip keadilan.
c. Otonomi sebagai tuntulan kaum profi terhadap dunia luar/pemerintah.
Pemerintah harus menghargai otonomi profesi bersangkutan dan tidak boleh campur
tangan dalam profesional itu. Tetapi otonomi itu mempunyai batas; Dibatasi oleh tanggung
jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut dan
dampaknya pada kepentingan masyarakat. Pemerintah tetap menghargai otonomi
profesional tetapi juga tetap menjaga dan pada waktunya malah ikut campur tangan agar
dalam pelaksanaan profesi tidak merugikan kepentingan umum. Jadi otonomi itu berlaku
sejauh tidak mengganggu kepentingan umum.
130
Sonny Keraf, 1991, “Etik Bisnis: Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi yang Luhur”, Kanisius, Yogyakarta, hal:
49
131
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, “Kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal: 541
132
Verhoeven, P.Th L . SVD, 1969, “Kamus Latin-Indonesia”,Nusa Indah, Ende, hal: 561
masyarakat terhadap pelaksanaan tugas-tugas sebagai seorang profi. Integritas yang ada
pada kaum profi merupakan satu penyatuan dan keutuhan keutamaan-keutmaan
nilai/prinsip-prinsip etis yang ada dalam diri kaum profesi dan terwujud dalam seluruh
tindakannya. Karena itu perlu kita sebutkan dan membahasnya satu persatu integritas
seorang profesional.
b. Integritas Moral
Integritas Moral kaum profi diandaikan bahwak kaum profi memiliki kesadaran
berkewajiban. la mentaati tuntutan etika profesi itu sebagai suatu idealisme karena
keyakinannya bahwa apa yang dilakukannya haruslah berdasar pada prinsip-prinsip dan
keutamaan moral seperti keadilan, kebaikan, hormat pada diri sendiri, kejujuuran ataupun
kesediaan untuk bertanggungjawab. Karenanya tentu dibutuhkan keberanian
berbuatdengan ketekadan dan maju terus/tidak mundur dari apa yang diyakini benar
sebagai kewajiban, meskipun ia ditekan atau diancamkeaddan bukan karena hobi atau
mengikuti ajakan teman seprofesi atau atas tekanan pihak lain. Karena Integritas moral
inilah kaum profi memiliki idealisme yang tinggi daIam menjalankan tugas dan karyanya
tanpa pamrih. la hanya mau melayani sesama menurut jalur-jalur profesi karena prinsip
dan keutamaan moral yang ada dalam dirinya
c. Integritas spiritual
Integritas Moral kaum profi diandaikan bahwa kaum profi memiliki kesadaran akan
suatu kewajiban moral. la mentaati tuntutan etika profesi itu sebagai suatu idealisme
karena keyakinannya bahwa apa yang dilakukannya haruslah berdasar pada prinsip-
prinsip dan keutamaan moral seperti keadilan, kebaikan, hormat pada diri sendiri,
kejujuuran ataupun kesediaan untuk bertanggungjawab. Karenanya tentu dibutuhkan
keberanian berbuatdengan ketekadan dan maju terus/tidak mundur dari apa yang
diyakini benar sebagai kewajiban, meskipun ia ditekan atau diancamkeaddan bukan
karena hobi ataSeseorang dalam segala apa yang dilakukannya juga bersikap sesuai
dengan kepercayaannya. Harus disadari bahwa tak ada bidang dimana iman seseorang
diabaikan dalam setiap tindakannya. Integritas spiritual menuntut seseorang untuk
menghargai dan bertanggungjawab pada manusia lainnya seperti ia menghargai Yang-
Tak-Terhingga, Sang Maha Pencipta, yang diyakini ada. Dalam menghadapi orang lain,
saya menghadap yang-Tak-Terhingga, bukan secara langsung, seakan-akan dalam orang
lain Tuhan langsung muncul. Dalam berhadapan/bertemu dengan orang lain akan
melibatkan pengalaman transendensi. Lepas dari agama apapun yang diimaninya,
seseorang tentunya percaya bahwa manusia tidak diciptakan oleh dirinya sendiri namun
diciptakan oleh sang pengada yang diyakini dalam kepercayaan yang dianutnya. Karena
kepercayaan secara metafisik tersebut maka seseorang tentunya menghargai Sang
pencipta yang diyakininya dengan menghargai dan bertanggungjawab terhadap
ciptaannya. Menurut Levinas pertemuan dengan orang lain menjadikan diriku menjadi
aku, memberikan saya sebuah identitas unik dan tak tergantikan133
Dalam konteks profesi, seorang profesional tentunya harus menhargai dan
bertanggungjawab terhadap setiap orang yang dihadapinya karena ia berbuat yang baik
kepada manusia lainnya dalam kerangka mewujudkan dirinya sebagai saksi Yang-tak-
Terhingga dan dalam rangka mengungkapkan kebenaran yang absolut / kemuliaan dari
Yang-tak-Terhingga yang dimuliakan dari tanggungjawab ini. 134 Hal tersebut ada dan
sejalan dengan agama-agama besar yang ada di dunia. “Apa yang kau perlakukan terhadap
sesamamu manusia, kau perlakukan juga terhadap diriKu”. “Hablum Minallah Wa Hablum
Minannas”. Karena integritas Spiritual tersebut, seringkali kaum profi sering bertindak
rendah hati kepada klien atau pun ketidak-relaan memakai kekuasaan untuk memajukan
keyakinan spiritualnya. Itulah tuntutan integritas dan kejujuran religius
Integritas sebagai suatu kesatuan yang utuh tentunya melekat dalam setiap pelaksanaan
profesi yang digeluti oleh kaum profi. Ketiga integritas yang ada berjalan beriringan dalam
setiap pelaksanaan profesinya. Seorang Kaum profi tahu bahwa secara keilmuan (integritas
intelektual) ada sesuatu yang dianggab salah dan bisa menimbulkan ekses negatif bagi klien
atau orang lain namun tetap melakukan tindakan salah tersebut maka tentunya ia melanggar
integritas moral (misalnya menciptakan ketidakadilan bagi kliennya) dan melanggar
integritas spiritual (pelecehan terhadap keyakinan spiritualnya). Ketiga integritas tersebut
hubungannya sangat erat sekali. Dengan kemantapan intelektual (pemahaman ilmu) yang
memadai maka seorang profesional tentunya akan menyatakan kebenaran (secara moral)
sesuai apa yang diyakini dan dimengerti sesuai dengan kemampuan ilmu yang ada padanya
dan tentu untuk diimplementasikan kepada sesama manusia yang dilayaninya (penghayatan
spiritualnya). Diharapkan seorang yang menjalankan profesi tertentu tidaklah menyimpang
dari integritas kaum profesional agar profesinya menjadi sangat bermartabat bagi dirinya
dan juga bagi orang lain.
133
Levinas, Emanuel, 1974, “Otherwise than Bein or Beyond Essence, translated by Alphonso Lingis, Martinus
Nijhoff, Den Haag, hal: 186
134
Ibid, hal: 184
Kode Etik Profesi
Sesudah revolusi industri, awal abad 19, berbagai macam bentuk profesi mulai
bermunculan. Orang menjadi lebih bebas dan lebih luas dalam memilih pekerjaannya. Lahan
pekerjaan menjadi lebih luas karena banyak peluang-peluang kerja yang timbul karna ekses
revolusi industri. Beberapa profesi yang timbul mendorong suatu sikap baru pada etos kerja,
baik secara positif maupun negatif. Sebelum revolusi industri banyak profesi yang dilakukan
lebih karena panggilan luhur (mejadi religius, tentara, tabib/dokter, ataupun pengajar) dan
sementara yang lain mempunyai panggilan untuk berbagai macam urusan duniawi (seperti
pedagang, peternak ataupun petani). Namun setelah revolusi industri, mulai muncul sikap-
sikap baru yang mulai merendahkan kemanusiaan seseorang karena industrialisasi mulai
menciptakan budaya dimana manusia hanyalah salah satu faktor dari proses produktifitas.
Dengan gagasan tersebut maka seringkali manusia menjadi obyek dari proses produksi
manusia yang notabene hanya mencari profit yang maksimal dalam setiap pelaksanaan
profesi yang ada. 135 Dalam kondisi tersebut maka bisa menimbulkan pelecehan terhadap
kemanusiaan dari suatu pelaksanaan profesi tertentu. Suatu profesi pada akhirnya
dilaksanakan secara arogan dan bisa merendahkan martabat manusia yang lain karena para
profesional memiliki pengetahuan yang lebih dan memanipulasi ketidaktahuan para klien.
Disisi lain kaum profi inggin melindungi martabat profesinya karena banyak orang yang
merasa sebagai kaum profi tertentu namun kemampuan yang ada tidak mumpuni sehingga
membawa dampak negatif bagi martabat profesi yanga da. Karenanya kaum-kaum profi
yang ada butuh suatu peganggan yang menjadi landasan bersama agar keluhuran martabat
kaum profi dan martabat klien yang dilayaninya terjaga sesuai standart yang ada sehingga
perlulah dibentuk kode etik profesi.
Kode etik pada prinsipnya adalah suatu daftar kewajiban dalam menjalankan sebuah profesi
yang disusun oleh para anggota profesi. Kode etik mengikat kaum profi dalam
mempraktikannya. Kode etik ini merupakan kaidah moral yang bersifat tertulis yang
dilengkapi dan ditunjang oleh sanksi. Kode etik berbeda dari kaidah moral yang banyak
bersifat himbauan lisan yang tidak dilengkapi sanksi. Kode etik ini datang dari dalam diri
pribadi kaum profi dan dalam masyarakat profesional itu sendiri. Kode etika merupakan
aturan bagi kaum profi yang tertulis dan secara tegas menyatakan apa yg benar dan baik
untuk dilakukan/ tidak dilakukan bagi para pengemban profesi. Setiap profesi yang
mempunyai organisasi profesi dan mempunyai tanggungjawab moral terhadap keluhuran
martabat profesinya serta mempunyai tanggungjawab moral terhadap klien yang
dilayaninya tentu memiliki Kode Etik, khususnnya profesi-profesi yang dianggab luhur
seperti dokter, perawat, tentara, dan lain lain. Kode etik ini menjadi kaidah dan standart
Pengemban profesi
yang menjalankan suatu profesi tentunya memiliki pengetahuan dan keahlian yang dapat
diaplikasikan dalam bidang tertentu. Tujuan kode etik ini ada agar pelaku profesi dpt
menjalankan tugas dan kewajiban serta memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
pemakai jasa profesi tersebut. Kode etik akan melindungi perbuatan-perbuatan yg tidak
profesional dari kaum profi. Sasaran kode etik itu sendiri adalah melindungi masyarakat
135
Jenny Teichman, Etika Sosial, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal: 119
dari kelalaian dengan sengaja dan tidak sengaja dari kaum profesional dan tentunya juga
melindungi keluhuran martabat profesi dari tindakan bobrok orang yang mengaku diri
profesional.
Dalam dunia kedokteran kode etik profesi sudah dikenal sangat lama. Sejarah panjang etika
profesi seorang dokter sudah dimulai sejak Sumpah Hipokrates (460-377 SM) yang
dirancang untuk mencegah sikap-skap yang tidak terpuji dari para dokter sehingga dapat
merusak keluhuran martabat profesinya.
Sumpah Hipokrates:
Saya bersumpah demi Apollo, sang Tabib dan di bawah kesaksian Asclepius dan Hygieia
dan Panacceia dan semua dewa-dewi, bahwa saya akan memenuhi sebaik mungkin
menurut kemampuan dan pertimbangan saya sumpah dan janji berikut ini:
Menganggap orang yang mengajarkan kalian ini sama seperti orang tua saya dan
menghayati hidup saya dalam hubungan kerjasama dengan dia dan jikalau ia ada dalam
kesulitan keuangan, saya akan membagikan milik saya dan memandang anak-anaknya
sama seperti saudara; dan mengajarkan kepada mereka kalian ini - jikalau mereka mau
mempelajarinya - tanpa pungutan biaya menyumbangkan pengetahuan tentang aturan-
aturan dan instruksi lisan dan pembelajaran lainnya kepada anak-anak saya dan anak-
anak orang yang telah mengajari saya itu; dan kepada murid lain yang telah
menandatangani janji ini dan telah mengambil sumpah menurut hukum medis, dan
bukan kepada sembarang orang lain.
Saya tidak akan memberikan bius yang mematikan kepada siapapun kendati diminta,
juga tan saya menganjurkan untuk menggunakannya. Demikian juga saya tak akan
memberikan kepada wanita pengobatan yang bersifat abortif. Dalam kemurnian dan
kesucian saya akan menjaga hidup dan keahlian saya ini.
Saya tidak akan melakukan bedah, pun untuk sebuah batu, tetapi saya akan
menyerahkan prosedur inikepada yang ahli di bidang ini.
Rumah apapun yang saya kunjungi akan saya datangi demi kebaikan si sakit,
membebaskan diri dari maksud-maksud tidak adil, penipuan, dan khususnya dari
hubungan seksual dengan pasien pria atau wanita, baik budak maupun orang bebas.
Apa yang mungkin saya lihat atau dengar dalam rangka penanganan ataupun di luar
penanganan untuk kehidupan umat manusia, yang tidak boleh disebarluaskan demi
pertimbangan apa pun, akan saya jaga untuk diri saya, dengan berpegang prinsip bahwa
membicarakan hal-hal seperti itu memalukan.
Hipokrates seorang dokter Yunani kuno hidup dalam abad ke-5 sebelum Masehi, Diberi gelar
sebagai Bapak ilmu kedokteran. Sumpah hipokrates berasal dari kalangan profesi dokter di
Yunani yang berasal dari murid-murid hipokrates. Para murid hipokrates meneruskan
semangat profesional yang diwariskan oleh hipokrates itu sendiri. Kaidah dalam mengatur
tingkah laku para dokter zaman itu bisa dikatan sebagai kode etik pertama untuk profesi
dokter. 136 Kode etik profesi dokter pada zaman hipokrates dibuat karena kaum profi
dianggab memiliki monopoli atas suatu keahlian tertentu. Monopoli atas suatu keahlian
tersebut menjadi bahaya karena klien tidak memiliki keahlian atau kemampuan yang setara
dengan kaum profesi tersebut. Karenanya harus ada komitmen dan kompromi untuk tidak
menyalahgunakan keahliannya dalam bentuk kode etik. Kode etik bisa dikatakan suatu
produk etika terapan karena kode etik merupakan hasil dari suatu pemikiran etis yang
diterapkan pada suatu profesi tertentu dan bermanfaat bagi para klien dan kaum profi itu
sendiri.
136
Kees Bertens, 2013, “Etika”, Kanisius, Yogyakarta, hal: 219
Bab IX
TEORI-TEORI FILSAFAT TENTANG LINGKUNGAN HIDUP
Bartolomeus Samho
1. Pendahuluan
Pada prinsipnya, seperti dikatakan oleh Mahatma Gandhi; “Alam menyediakan cukup
untuk kebutuhan manusia, tapi tidak untuk keserakahannya”. Kini kita saksikan kebenaran
pernyataan Gandhi tersebut. Ketika manusia mengeksploitasi alam demi memenuhi keinginan
egoistiknya (keserakahannya), terjadilah krisis lingkungan hidup. Konon keserakahan manusia
tersebut disinyalir bermula dari kesalahan paradigma berpikirnya tentang alam.1 Akibatnya,
perilaku manusia terhadap alam pun salah, yakni mengeksploitasinya. Dampak dari tindakan
esploitatif atas alam tersebut adalah krisis lingkungan hidup yang kini disinyalir telah menjadi
masalah dan mengancam kemanusiaan global.
Karena krisis lingkungan hidup bermula dari perilaku dan pikiran manusia yang keliru
terhadap alam, menurut Keraf, untuk mengatasinya mesti bermula dari perubahan cara pandang
terhadap alam juga. Terkait dengan itu, Keraf mengajukan tesis yang dibangunnya atas dasar
Filsafat Thomas Kuhn tentang paradigm shift, sbb: “Krisis dan bencana lingkungan hidup
disebabkan oleh kesalahan perilaku manusia. Kesalahan perilaku manusia disebabkan oleh
kesalahan cara pandang atau paradigma berpikir manusia tentang alam atau karena kesalahan
paradigma antroposentrisme”.2 Karena itu, untuk mengatasi krisis dan bencana lingkungan
hidup global, dibutuhkan perubahan perilaku yang hanya bisa terjadi dengan melakukan
perubahan paradigma berpikir. Keraf menegaskan bahwa perubahan paradigma berpikir tentang
alam tersebut mesti dilakukan dengan cara atau melalui “perubahan paradigma dalam ilmu
pengetahuan yang tidak lagi bersifat mekanistis-reduksionistis tetapi bersifat holistis, juga
ekologis”.3 Bila manusia tidak segera mengubah paradigma berpikir terhadap alam maka dalam
waktu yang relatif tidak lama, masa depan manusia tidak lagi menjanjikan dan alam pun tidak
lagi bersahabat dengan manusia. Solusinya: berubah sekarang atau mati bersama. Tulisan ini
hendak mengkaji akar-akar filosofis kerusakan lingkungan hidup dan alternatif solusi untuk
mengatasinya. Dalam kerangka itu, beberapa pokok pembahasan yang disoroti secara sekilas
dalam tulisan ini adalah kajian teoretis dan filosofis mengenai lingkungan hidup, teori-teori
filsafat tentang lingkungan hidup, pengertian etika lingkungan hidup, teori-teori etika
lingkungan hidup (antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, hak asasi alam, dan
ecofeminisme), serta prinsip-prinsip etika lingkungan hidup.
Filsafat acap kali dimaknai sebagai upaya pencarian terus menerus akan kebenaran
tentang apa saja. Sementara yang dimaksudkan dengan lingkungan hidup pada hakikatnya
ekologi. Secara etimologis, istilah ekologi berasal dari kata oikos dan logos (Bahasa Yunani).
Oikos berarti habitat
1
A. Sony Keraf. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: KOMPAS, hlm. 2-3.
2
Paradigma antroposentrisme dipandang salah karena memandang manusia sebagai pusat dari segala sesuatu
sehingga berdampak kepada pengobjekan alam. Alam dipandang tidak memiliki nilai intrinsik pada dirinya
sendiri selain nilai instrumental ekonomis bagi kepentingan ekonomi manusia. Lih. A. Sonny Keraf. 2014.
Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, Yogyakarta, Kanisius., hlm. 8-9.
3
A. Sony Keraf, 2010. Op. cit., hlm. 8.
tempat tinggal atau rumah tempat tinggal atau merupakan keseluruhan alam semesta dan seluruh
interaksi saling pengaruh yang terjalin di dalamnya di antara makhluk hidup dengan makhluk
hidup lainnya dan dengan keseluruhan ekosistem atau habitat. Sementara logos berarti ilmu atau
kajian. Jadi, ekologi dapat dipahami sebagai ilmu tentang ekosistem dengan segala hubungan
saling pengaruh di antara ekosistem dan isinya serta keseluruhan dinamika dan perkembangan
yang berlangsung di dalamnya. Dengan kata lain, ekologi adalah sebuah kajian tentang organisme
atau makhluk hidup pada umumnya serta hubungan antara makhluk hidup tersebut satu sama lain
dengan ekosistem seluruhnya dalam sebuah proses kait mengait.4 Berdasarkan pemahaman
tersebut, filsafat lingkungan hidup dapat dimaknai sebagai sebuah kajian lingkungan hidup, sebuah
oikos, tempat tinggal makhluk hidup. Filsafat lingkungan hidup adalah sebuah pencarian, sebuah
pertanyaan terus menerus tentang lingkungan hidup, baik tentang makna dan hakikatnya maupun
tentang segala hal yang berkaitan dan menyangkut lingkungan hidup.
Karena itu, di satu pihak itu berarti bahwa filsafat lingkungan hidup adalah ekologi, ilmu
tentang lingkungan hidup, ilmu yang mengkaji dan memungkinkan kita untuk memahami secara
benar tentang alam semesta, ekosistem, tempat kehidupan berlangsung, dan segala interaksi yang
berlangsung di dalamnya. Tetapi, di pihak lain, filsafat lingkungan hidup bukan sekedar sebuah
kajian ilmu begitu saja. Filsafat lingkungan hidup merupakan kearifan tentang lingkungan hidup,
tentang ekosistem seluruhnya. Jadi, filsafat lingkungan hidup adalah ecosophy yang mengandung
pengertian kearifan memahami alam sebagai rumah tinggal, sekaligus sebagai sebuah kearifan
dalam menuntun secara alamiah bagaimana mengatur rumah tempat tinggal tadi agar layak dihuni
dan didiami sehingga menjadi penunjang dan sekaligus memungkinkan kehidupan dapat
berkembang di dalamnya. Dengan kata lain, filsafat lingkungan hidup tidak sekedar ilmu (science),
melainkan juga sebuah kearifan (wisdom).
Dalam konteks filsafat lingkungan hidup, terdapat berbagai kajian filosofis mengenai
lingkungan hidup, yang antara lain menempatkan alam semesta sebagai sebuah mesin raksasa dan
mengedepankan pentingnya paradigma sistematis dan ekologis untuk memahami alam. Dalam
konteks kajian filosofis, apa yang kita sebut sebagai filsafat lingkungan hidup pada dasarnya juga
dapat dimaknai sebagai etika lingkungan hidup, yakni cabang filsafat moral yang berupaya
mengkaji atau mempelajari lingkungan hidup dari perspektif filsafat. Untuk pembahasan
selanjutnya, akan ditelaah secara sekilas mengenai etika lingkungan hidup beserta teori-teori etika
lingkungan hidup yang merupakan kajian teoretis dan filosofis tentang lingkungan hidup.
3.1. Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat
dari sistem alam semesta. Antroposentrisme juga dipandang sebagai suatu teori filsafat yang
mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia. Karena itu, kebutuhan dan
kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting.7 Teori antroposentrisme
ini kemudian dipandang sebagai penyebab krisis ekologis karena berpihak kepada manusia di satu
sisi dan mengorbankan lingkungan hidup demi keberlanjutan hidup manusia di sisi lain. Karena
tekanannya kepada manusia sebagai pusat, kebutuhan dan kepentingan manusia sebagai yang
paling bernilai dan penting, teori ini dipakai pelaku bisnis untuk menjustifikasi tindakan eksploitasi
mereka terhadap lingkungan. Paradigma antroposentris memandang manusia sebagai pusat dari
sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam
tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian.
Segala sesuatu yang lain di alam semesta hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh
menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai objek,
alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Penganut teori
antroposentris memandang alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.8
Bagi paradigma antroposentris, nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, dan
bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting.
Etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan
tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang
berlebihan, tidak relevan, dan tidak pada tempatnya. Ada dua hal yang perlu kita pahami terkait
dengan teori antroposentrisme ini, yakni: teori yang menjustifikasi posisi sentral manusia di alam
semesta (argumen antroposentrisme) dan etika instrumentalistis.
1. Argumen antroposentrisme: bila ditelisik secara historik, teori antroposentrisme ini berakar
dalam agama Kristen dan filsafat Barat serta seluruh tradisi pemikiran liberal serta ilmu
pengetahuan modern. Kisah penciptaan dalam tradisi Kristen (Kej. 1: 26-28) dan pemikiran
dari para filsuf besar seperti Aristoteles, Thomas Aquinas, Rene Descartes dan Immanuel
Kant sangat memengaruhi cara pandang dan perilaku manusia modern terhadap alam.
6
Ibid., hlm.45-46.
7
Ibid., hlm. 47-49.
8
Ibid., hlm.33-34.
Dalam Kitab Kejadian pasal 1 ayat 26-29 dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia
secitra dengan Allah pada hari keenam sebagai puncak dari seluruh karya ciptaanNya.
Kemudian cara pandang antroposentrisme ini ditegaskan juga dalam kisah mengenai pohon
pengetahuan di taman Firdaus dalam Kitab Kejadian pasal 2 Ayat 9. Banyak tafsiran
mengenai kisah ini. Akan tetapi penafsiran yang memberi pendasaran teologis untuk
antroposentrisme adalah bahwa sebelum memakan buah pohon pengetahuan tersebut
manusia secara otomatis taat begitu saja kepada perintah Allah. Tetapi setelah memakan
buah pohon tersebut, mata manusia menjadi terbuka dan memiliki kemampuan untuk
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk secara moral. Sejak itu, menurut
tafsiran ini, manusia tidak lagi patuh secara otomatis kepada perintah dan kehendak Allah
melainkan memutuskan sendiri mana yang baik untuk dilakukan dan mana yang buruk
yang harus dihindari. Sejak itu juga manusia mulai membasmi makhluk-makhluk yang
jahat dan berbahaya, serta memelihara yang menunjang kepentingan hidupnya. Krisis
lingkungan hidup bermula ketika ekosistem ciptaan Allah terganggu keseimbangannya
oleh perilaku manusia yang mengintervensi ekosistem itu demi kepentingannya. Dalam
ranah ilmu pengetahuan modern, krisis ekologis bermula dari argumen mengenai rantai
kehidupan yang menempatkan manusia di posisi teratas, mendekati yang Maha Sempurna
sehingga manusia merasa dirinya lebih superior dari semua ciptaan Allah. Jadi, ada
semacam teologi rangkaian urutan menuju kesempurnaan, di mana ujung dari
kesempurnaan itu adalah Allah. Kecuali itu, krisis ekologis juga terkait dengan keyakinan
mengenai manusia sebagai makhluk yang lebih tinggi dari makhluk lain karena manusia
adalah satu-satunya makhluk yang bebas dan rasional.
2. Etika instrumentalistis. Dalam argumen ini, manusia terdorong untuk memelihara dan
menghormati alam hanya sebagai alat untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhannya.
Artinya, bukan atas dasar kesadaran bahwa alam memiliki nilai pada dirinya sendiri, tapi
karena nilai instrumental alam, yaitu demi kepentingan manusia. Argumen ini menjadi
dasar bagi eksploitasi alam yang bermuara pada krisis lingkungan hidup.
b. Etika Bumi
Gagasan etika bumi ini lahir dari teori etika lingkungan hidup Aldo Leopold, yakni the
Land Ethic atau etika bumi. Inti dari etika bumi terdiri dari dua prinsip. Prinsip pertama berintensi
kepada bagaimana mengubah cara pandang manusia yang melihat bumi dan segala isinya hanya
sebagai alat untuk memenuhi kepentingan manusia. Karena itu, prinsip ini mesti dibaca sebagai
kritik Aldo Leopold terhadap pola pandang bahwa ekonomi menentukan semua pemanfaatan
lahan. Atas dasar prinsip ini, Leopold mengklaim bahwa semua yang ada di alam semesta ini
mempunyai nilai pada dirinya sendiri terlepas dari apakah berkaitan dengan dan menunjang
kebutuhan manusia atau tidak. Bumi dan segala isisnya tidak dilihat hanya sebagai “harta milik”,
tapi sebagai subyek moral sehingga tidak boleh diperalat dan dijadikan sebatas alat untuk
memenuhi kepentingan manusia. Prinsip kedua berkaitan dengan gagasan untuk memperluas
pemberlakuan etika agar mencakup bumi. Intinya, etika tidak hanya berlaku bagi komunitas
manusia, tapi juga berlaku bagi komunitas biotis seluruhnya. Artinya, komunitas moral diperluas
cakupannya, yakni mencakup komunitas manusia, komunitas biotis di alam semesta ini, dan
komunitas abiotis. Jadi, etika bumi memperluas batas komunitas agar mencakup pula tanah, air,
batu, tumbuhan, dan binatang atau secara kolektif mencakup bumi ini.11
11
Ibid., hlm. 77.
12
Ibid., hlm. 75
13
Ibdi., hlm. 76, 82.
lingkungan dalam suatu perspektif relasional yang lebih luas dan holistik. Menurut Naess, krisis
lingkungan disebabkan oleh faktor yang lebih fundamental, suatu sebab filosofis. Kesalahan pada
cara pandang manusia tentang dirinya, alam, dan tempat manusia dalam alam. Yang dibutuhkan
adalah sebuah perubahan fundamental dan revolusioner yang menyangkut transformasi cara
pandang dan nilai, baik secara pribadi maupun budaya, yang memengaruhi struktur dan kebijakan
ekonomi dan politik.
Oleh karena itu, menurut Naess, manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala
sesuatu yang lain. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep Ecology memusatkan
perhatian pada semua spesies. Yang diperhatikannya bukan saja kepentingan jangka pendek,
melainkan juga jangka panjang. Prinsip moral yang dikembangkannya menyangkut kepentingan
seluruh komunitas ekologis.
Deep Ecology (DE)pada dasarnya merupakan sebuah etika praktis atau sebuah gerakan
yang berdimensi etik. Dalam praksisnya, gerakan tersebut berupaya menerjemahkan prinsip-
prinsip moral (dalam kaitan dengan lingkungan hidup) dalam aksi konkret di pelbagai ranah
kehidupan demi keberlanjutan lingkungan yang asri. Demi itu pula, DE selain menuntut harus
adanya suatu pemahaman yang baru tentang relasi etis yang ada dalam alam ini, juga menuntut
adanya prinsip-prinsip baru yang sejalan dengan relasi etis baru tersebut untuk kemudian
diterjemahkan dalam gerakan atau aksi nyata di lapangan. Singkatnya, DE merupakan sebuah
gerakan di antara orang-orang yang mempunyai sikap dan keyakinan yang sama, mendukung suatu
gaya hidup yang selaras dengan alam (ecosophy: sebuah kearifan bagi manusia untuk hidup dalam
jejaring alam secara holistik di mana ada saling keterkaitan dan ketergantungan dengan seluruh isi
alam sebagai sebuah rumah tangga) sehingga sama-sama memerjuangkan isu lingkungan dan
politik. Karena itu, DE merupakan suatu gerakan yang menuntut adanya dan sekaligus didasarkan
atas perubahan paradigma secara mendasar dan revolusioner, yaitu perubahan cara pandang, nilai,
atau gaya hidup.14
14
Ibid., hlm. 76-77
15
Argumen bahwa alam mempunyai hak asasi bukan tanpa kritik. Paul Taylor misalnya mengatakan bahwa yang
bisa dipahami secara logis adalah bahwa alam mempunyai hak legal, bukan hak asasi. Hak legal yang dimaksudkan
oleh Taylor tersebut pun menjadi ada sejauh ditetapkan dan disahkan oleh hukum negara sehingga hak tersebut sah
dan mempunyai kekuatan hokum untuk diberlakukan. Atas dasar itu, semua pihak, khususnya manusia, mempunyai
kewajiban untuk melindungi hak-hak tadi. Ibid., hlm. 190.
yang digagas oleh teori biosentrisme dan ekosentrisme mengenai perluasan perlakuan etika bahwa
hak asasi juga berlaku untuk semua anggota komunitas biotis, semua mahkluk hidup. Jadi, hak
asasi tidak hanya dimiliki oleh manusia, sebagai sebuah spesies khusus, tetapi juga dimiliki oleh
semua makhluk hidup dalam komunitas biotis tersebut. Berangkat dari konsep hak asasi alam ini,
setiap komunitas biotis berhak untuk mengikuti kecenderungan dan dorongan alamiah untuk
bertahan hidup dan berada.16 Binatang dan makhluk lainnya mempunyai hak atas kebebasan,
paling tidak kebebasan untuk bergerak secara fisik, untuk menggunakan fisik sesuai dengan
dorongan nalurinya. Artinya, setiap pembatasan fisik, entah itu berupa kurungan, gangguan
terhadap habitat, siksaan fisik, dan pemindahan dari lokasi adalah merupakan bentuk pelanggaran
hak asasi makhluk hidup tersebut, khususnya binatang. Karena itu, secara moral, tindakan yang
mengakibatkan kerusakan ekosistem atau terganggu kondisi ekosistem dan habitat spesies tertentu
merupakan pelanggaran hak asasi binatang untuk hidup bebas. Apalagi kalau gangguan tersebut
mengakibatkan binatang dan makhluk hidup menjadi tertekan, mati, dan terancam punah.17
Jadi, ada dua hal mendasar yang dapat dipetik dari teori hak asasi alam ini. Pertama, alam
mempunyai hak untuk tidak diganggu-gugat dan tidak dirugikan (dicemari dan dirusak, dibatasi
dan dihambat perkembangan, pertumbuhan, dan kehidupannya). Hal ini menuntut manusia untuk
tidak melakukan (a) hambatan eksternal yang bersifat positif (dikurung, diikat, disiksa, dll); (b)
hambatan eksternal negatif (tidak tersedia air, tidak tersedia makanan); (c) hambatan internal
positif (disemprotkan kimia, direkayasa secara genetik); (d) hambatan internal negatif (kelemahan
dan ketidakberdayaan karena rusaknya organ atau jaringan tertentu dalam tubuhnya). Kedua,
manusia mempunyai kewajiban untuk membiarkan organisme berkembang sesuai dengan
hakikatnya. Dengan kata lain, manusia tidak boleh berusaha memanipulasi, mengontrol,
memodifikasi atau mengelola ekosistem alamiah atau sebaliknya mengintervensi fungsi-fungsi
alamiah.18
16
Ibid., hlm. 128.
17
Ibid., hlm. 140-141.
18
Ibid., hlm. 141.
integratif, holistik, dan intersubyektif. Kedua, ecofeminisme dimaksudkan dan dikembangkan
sebagai gerakan, sebagai aksi nyata dilapangan untuk mendobrak setiap institusi dan sistem sosial,
politik, ekonomi yang mendindas pihak lain, khususnya penindasan gender (perempuan) dan
spesias (alam dan spesies bukan manusia).
Berangkat dari pemaparan di atas, mengikuti pandangan Karen J. Waren, ecofeminisme
dapat digambarkan sebagai berikut: pertama, menolak cara pandang yang menggunakan logika,
nilai, dan sikap dominasi (mengunggulkan manusia dari alam). Kedua, sebagai etika kontekstual,
ecofeminisme menolak teori etika yang mengutamakan hak, norma, dan prinsip yang diterima
sebagai teori yang benar untuk kemudian diterapkan dalam situasi konkret tertentu. Ketiga,
ecofeminisme bersifat pluralistik dalam pengertian bahwa ecofeminisme menerima dan
mempertahankan perbedaan dan keragaman di antara manusia dan di dalam alam semesta ini.
Keempat, ecofeminisme bersifat inklusif karena muncul dan berlaku dalam relasi yang
intersubyektif sehingga terbuka untuk mengakui semua pihak dalam relasi yang sejajar sebagai
subyek. Kelima, ecofeminisme menolak individualisme abstrak. Di hadapan ecofeminisme,
manusia menjadi manusia sebagaimana adanya karena ia berada bersama dengan subyek lain
dalam totalitas alam dengan segala relasi yang terjalin di dalamnya. Manusia hanya bisa menjadi
manusia kalau ia berkembang sebagai ecological-self dalam relasi dan komunitas ekologis.
Jadi, teori ecofeminisme merupakan: revolusi cara pandang sebab mempersoalkan,
mempertanyakan, dan menggugat cara pandang dominan dan berlaku umum dalam era modern;
teori yang menolak dominasi seperti yang digagas oleh etika antroposentrisme yang lebih
mengutamakan manusia daripada alam; dan mempromosikan serta mengafirmasikan etika
kepedulian dengan menawarkan kasih sayang, harmoni cinta, tanggungjawab dan saling percaya
karena mengasumsikan bahwa manusia berada dan menjadi dirinya dalam relasi yang
intersubyektif.
Dalam pembahasan di atas, krisis ekologi disinyalir bersumber dari kesalahan paradigma
berpikir manusia tentang alam (paradigma antroposentrisme), yang kemudian mengakibatkan
kesalahan perilaku terhadap alam seperti eksploitasi alam. Bila krisis ekologi ini tidak segera
diatasi, keberlanjutan manusia dan segala makhluk yang ada di alam ini terancam punah. Karena
itu, manusia perlu segera mengatasi krisis ekologi ini dengan berpegang dan berpedoman pada
prinsip-prinsip etika lingkungan hidup dengan terutama bertumpu pada dua unsur pokok dari teori
biosentrisme dan ekosentrisme, yakni: pertama, komunitas moral tidak hanya dibatasi pada
komunitas sosial, tetapi mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Kedua, hakekat manusia bukan
hanya makhluk sosial, tapi juga makhluk ekologis. Seluruh prinsip etika lingkungan hidup
diwarnai oleh kedua unsur pokok tersebut. Berikut adalah penjelasan dari prinsip-prinsip etika
lingkungan hidup tersebut.
Prinsip-prinsip etika lingkungan hidup mesti menjadi acuan bagi perilaku manusia
terhadap alam, baik secara langsung maupun secara tidak langsung (perilaku terhadap sesama
manusia yang berdampak tertentu terhadap alam), serta sebagai pedoman untuk membuat
perubahan kebijakan-kebijakan (ekonomi, politik, sosial) agar lebih berpihak terhadap lingkungan
alam dan berpotensi untuk mengatasi krisis ekologi.19 Berikut adalah 9 (sembilan) prinsip etika
lingkungan hidup yang perlu dijadikan pedoman bagi perilaku manusia tersebut.
5. Kesimpulan sementara
Dominasi manusia terhadap alam yang dijustifikasi oleh teori antroposentrisme, meski
dikritik oleh teori biosentrisme, ekosentrisme, hak asasi alam, dan ecofeminisme, tetap terasa
pengaruhnya hingga kini. Tidak dapat disangkal bahwa teori antroposentrisme masih berpengaruh
dominan dalam membentuk kerangka berpikir manusia terhadap alam. Faktanya, kini
perkembangan dunia bisnis yang mengeksploitasi alam masih tetap terjadi dan kritik-kritik yang
dilontarkan terkait dengan aktivitas bisnis yang merusak alam belum dapat dikatakan berhasil
membangun kesadaran para pelaku bisnis mengenai pentingnya memelihara alam dan menjaga
hak asasi alam. Karena itu, perlu adanya aturan legal yang berpihak kepada hak asasi alam dan
ditetapkan serta diterapkan secara menyeluruh. Dengan demikian, semua pihak wajib
menghormati hak asasi alam karena memiliki hak legal dan juga hak moral (seperti yang
ditegaskan oleh teori biosentrisme dan ekosentrisme).
Dalam konteks hak legal tadi, dunia bisnis sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
kehadiran hukum lingkungan hidup itu, harus terlibat secara aktif, baik dalam proses pembuatan
peraturan dan hukum lingkungan hidup tersebut maupun dalam pelaksanaan dan penegakkannya.
Kecuali itu, dunia bisnis juga dapat diwajibkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan
yang baik. Sebab upaya pelestarian lingkungan akan berhasil dengan baik manakala dunia bisnis
ikut serta dalam menegakkan hukum lingkungan hidup sebab erat terkait dengan tanggung jawab
moral pelaku bisnis terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Adapun tanggung jawab moral dunia bisnis untuk melestarikan lingkungan hidup itu bisa
bersifat negatif, bisa juga bersifat positif. Bersifat negatif dalam arti: bisnis tidak boleh melakukan
kegiatan yang merugikan masyarakat (walaupun menguntungkan bagi dirinya). Misalnya,
membuang limbah ke dalam sungai. Adalah tidak etis kalau dunia bisnis mencari untung dengan
membebankan kerugiannya pada orang lain. Bersifat positif dalam arti: bisnis terlibat dalam upaya
pelestarian lingkungan hidup. Bisnis wajib memberikan kontribusi kepada perbaikan dan
pelestarian lingkungan hidup. Tanggung jawab moral yang bersifat positif ini perlu dikedepankan
oleh dunia bisnis, karena: (1) Bisnis sudah merusak lingkungan hidup sejak awal era industri.
Kini bisnis wajib membantu mengoreksi tradisi yang buruk itu. (2) Alam memiliki nilai
(intrinsik) sendiri, bukan sekadar sarana untuk dimanfaatkan belaka. Dengan menghormati
dan memelihara alam, manusia juga menghormati masa depannya sendiri.
Kini, kesadaran lingkungan dari konsumen itu sudah mulai terbentuk dan bermunculan
di mana-mana. Misalnya, di Eropa Barat, kesadaran itu muncul dalam bentuk ecolabel (untuk
produk kayu tropis) dan pemboikotan terhadap produk-produk dari perusahaan yang diketahui
merusak lingkungan. Bagaimana dengan Indonesia? Itulah pertanyaan urgen buat kita.
Daftar Pustaka
PENGANTAR
Rusaknya lingkungan hidup tidak terlepas dari kiprah manusia dalam bidang
Bisnis/Ekonomi yang didukung oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), ditambah dengan belum adanya aturan di bidang hukum maupun
lemahnya upaya penegakan Hukum Lingkungan Hidup. Pandangan Filsafat dan
khususnya Filsafat Moral (= Etika) mendorong manusia untuk melakukan tindakan
korektif dalam bidang Bisnis/Ekonomi, bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta
bidang Hukum Lingkungan Hidup.
1. BIDANG BISNIS/EKONOMI
Bertens (2013: 333) menguraikan bahwa masalah lingkungan hidup – baik secara
langsung maupun secara tidak langsung – disebabkan oleh bisnis modern, khususnya
oleh cara berproduksi dalam industri yang berlandaskan kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek). Kalau dulu dampak negatif dari polusi yang terjadi
dalam proses produksi sifatnya terbatas dan berjangka pendek saja, kini dampak
negatifnya menjadi sedemikian luas
– tak terbatas (misalnya polusi udara dari penggunaan sarana transportasi) serta jangka
waktunya pun menjadi sedemikian panjang (contoh: limbah plastik dalam aneka macam
bentuknya). Pencemaran tidak hanya terjadi dalam industri manufaktur saja, karena
modernisasi industri dalam bidang pertanian dan peternakan pun ternyata memiliki
andil besar dalam merusak lingkungan hidup.
A. INTI MASALAH
Inti masalah lingkungan hidup ialah bahwa bisnis modern yang memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih telah membebani alam di atas ambang batas
toleransi. Kini alam telah dieksploitasi sedemikian rupa sehingga ekosistemnya dapat
hancur sama sekali. Meningkatnya jumlah penduduk secara pesat (antara lain karena
kemajuan di bidang kedokteran dan obat-obatan) semakin memperberat beban
ekosistem. Industri modern didasarkan pada dua buah asumsi (pengandaian), yang kini
disadari sebagai asumsi yang sangat salah (Bertens, 2013:334). Pertama, bisnis modern
mengandaikan bahwa komponen- komponen lingkungan (misalnya: tanah, air dan
udara) merupakan “barang umum” atau “the commons”, yang dapat digunakan secara
bebas (Bertens, 2013:342-343). Karena merupakan “barang umum” – bukan barang
pribadi, jadi tidak jelas siapa yang memilikinya – maka tidak ada orang yang menjaga,
merawat dan melindungi “barang umum” tadi. Oleh karenanya air dan udara (misalnya)
boleh digunakan oleh siapapun dengan sesuka hatinya, karena dianggap tidak ada satu
pihakpun yang dirugikan. Dengan semakin banyaknya jumlah manusia, “barang umum”
(khususnya tanah) menjadi “barang privat” atau milik pribadi. Dalam konteks ekonomi,
awalnya manusia berpendapat bahwa si pemilik dapat bertindak sesuka hati (sebebas-
bebasnya) atas atau dengan harta-miliknya. Baru akhir-akhir inilah manusia menyadari,
bahwa penggunaan “barang privat” harus dibatasi (dikenal dengan istilah tragedy of the
commons atau hilangnya kebebasan mutlak untuk menggunakan hak-milik pribadi) dan
bahwa “barang umum” itu perlu dijaga dan dirawat bersama demi kebaikan bersama
juga.
Kedua, bisnis modern mengandaikan bahwa barang umum” itu (misal: sumber daya
alam) tersedia dalam jumlah yang amat banyak bahkan tidak terbatas (Bertens,
2013:343-344). Pada masa itu belum terpikirkan bahwa sumber daya alam itu pada
suatu saat akan habis juga, bila dimanfaatkan manusia secara terus menerus dan dalam
jumlah yang semakin lama semakin banyak. Dalam konteks ekonomi, mula-mula
masalah lingkungan hidup dipandang sebagai “eksternalitas” (faktor yang sebetulnya
bernilai ekonomis, namun tidak dimasukkan dalam perhitungan ekonomis). Karena itu
misalnya pabrik tekstil membuang limbahnya begitu saja ke sungai, tanpa melalui
proses pengolahan limbah terlebih dahulu. Dengan demikian maka terjadilah kerusakan
lingkungan hidup. Mungkin ada juga yang berpendapat bahwa dampak rusaknya
lingkungan hidup hanya terasa di kota-kota saja, karena di desa-desa masih terasa
suasana yang asri dan udara yang segar. Bahwa lingkungan hidup yang rusak hanya
terjadi di negara-negara yang industrinya berkembang saja, sedangkan di negara-negara
lain lingkungan hidupnya masih terpelihara. Kenyataannya – pada masa kini – masalah
lingkungan hidup sudah mencapai suatu taraf global.
B. DOGMA EKONOMI
Masalah lain yang perlu diperhatikan juga adalah adanya pandangan (dogma),
bahwa ekonomi yang sehat adalah ekonomi yang mengalami pertumbuhan (Bertens,
2013:344-348). Konkritnya: Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini selalu harus lebih
besar dari tahun sebelumnya. Paham ini dianut oleh pihak yang disebut the in
dustrialists. Pandangan lama ini menjadi dasar dari perkembangan ekonomi yang
konvensional (conventional development). Jika hal ini dilakukan terus-menerus, suatu
saat sumber daya alam akan terkuras habis dan lingkungan hidup akan semakin rusak.
Oleh karena itu dogma pertumbuhan itu ditentang oleh pihak yang ingin menjaga
kelestarian lingkungan hidup (the environmentalists). Pertentangan sengit itu kemudian
diatasi dengan konsep yang disebut sustainable development (pembangunan
berkelanjutan), yang berusaha mengatasi kesenjangan antara negara yang secara
ekonomis kuat (negara-negara Utara) dengan negara yang secara ekonomis lemah
(negara-negara Selatan) serta mengupayakan pertumbuhan ekonomi seraya memberi
perhatian yang sama besarnya bagi pertumbuhan sosial-budaya dan lingkungan hidup.
Semboyan dari pembangunan berkelanjutan disebut “3 P”, mengacu pada pembangunan
yang secara seimbang memperhatikan PEOPLE (aspek sosial-budaya) – PLANET (aspek
lingkungan hidup) - PROFIT (aspek ekonomi).
GAMBAR 1: People – Planet - Profit
P ER S A M A A N
1. Keduanya merupakan alternatif yang bisa dipilih untuk diterapkan oleh suatu
negara.
2. Keduanya punya sasaran yang sama: mengintegrasikan ketiga aspek
pembangunan (ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup).
PERBEDAAN
PEMBANGUNGAN BERKELANJUTAN KEBERLANJUTAN EKOLOGIS
Memusatkan perhatian pada 1. Mengutamakan pelestarian ekologi
pembangunan ekonomi sambil memberi dengan tetap menjamin kualitas
perhatian secara proporsional kepada kehidupan ekonomi dan sosial budaya
aspek sosial-budaya dan lingkungan bagi masyarakat setempat.
hidup. 2. Melestarikan ekologi dan sosial
budaya masyarakat demi menjamin
menjamin kualitas kehidupan
masyarakat yang lebih baik; rakyat
sendiri yang mengembangkan
kemampuan ekonominya sesuai
dengan kondisi lingkungan dan
sosial-budaya; rakyat terdorong
untuk menjaga lingkungan karena
sadar bahwa kehidupan ekonomi
sangat tergantung pada
sejauh mana mereka menjaga lingkungan.
Sumber: Tim Dosen Etika Unpar, Etika Dasar dan Terapan, 2005: p. 105
C. ENAM MASALAH GLOBAL
Hal yang patut diperhatikan juga adalah mengenai enam masalah yang dengan jelas
menunjukkan dimensi global dari masalah lingkungan hidup, yang rinciannya ada dalam
uraian berikut ini Bertens, 2013:335-339).
D. PERUBAHAN IKLIM
Emil Salim (Murdiyarso, 2005:xi-xiii) mengemukakan: “Sejak dilangsungkannya
revolusi industri, lingkungan global menderita pencemaran udara yang berdampak
besar pada perubahan iklim global”. Sumber energi yang digunakan sejak revolusi
industri berasal dari batu bara dan minyak bumi, yang menghasilkan limbah gas
rumahkaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O).
Sebelum revolusi industri, matahari yang menyinari bumi menghasilkan radiasi panas
yang ditangkap oleh atmosfir sehingga udara bumi bersuhu nyaman bagi kehidupan
manusia. Apabila kemudian atmosfir bumi dijejali gas rumahkaca, terjadilah “efek
selimut”, yakni radiasi panas bumi yang lepas ke udara ditahan oleh “selimut gas
rumahkaca” sehingga suhu bumi naik menjadi panas. Semakin tebal selimut itu, semakin
panas pula suhu bumi.
Konsentrasi gas rumahkaca di masa pra-industri dalam abad ke-19 adalah 290 ppmv
(CO2), 700 ppbv (CH4) dan 275 ppbv (N2O). Pada akhir abad ke-20, tahun 1998,
keadaannya menjadi 360 ppmv (CO2), 1.745 ppbv (CH4) dan 311 ppbv (N2O). Pada abad
ke-21 gas rumahkaca akan naik dalam kecepatan yang lebih tinggi (pada tahun 2050 gas
CO2 akan mencapai 550 ppmv). Pada suhu bumi yang panas ini akan timbul gejala
pemekaran air laut serta mencairnya bongkahan es di kutub sehingga permukaan laut
naik dengan kemampuan menenggelamkan pulau dan menghalangi mengalirnya air
sungai ke laut yang menimbulkan banjir di dataran rendah.
Yang paling mencemaskan adalah berubahnya iklim sehingga berdampak buruk
pada pola pertanian Indonesia yang mengandalkan makanan pokok beras pada
pertanian sawah yang bergantung pada musim hujan. Suhu bumi yang panas akan
mengeringkan air permukaan sehingga air menjadi langka. Ini memukul pola pertanian
berbasis air.
Indonesia harus mengambil langkah proaktif untuk meredam dampak perubahan
iklim dengan mengembangkan kebijakan energi bersih dan terbarukan sebagai sumber
energi utamanya, mengembangkan pola pembangunan yang lebih ramah lingkungan,
mengembangkan pola pertanian yang mengantisipai perubahan musim hujan dan
kemarau (banyak banjir di satu sisi dan langka air tawar di lain sisi). Intinya: pola
pembangunan konvensional harus beralih ke pola pembangunan berkelanjutan.
c) PT.Unilever Indonesia
PT.Unilever Indonesia telah banyak melakukan beberapa program CSR (Corporate
Social Responsibility) sebagai bentuk tanggung jawab yang tinggi terhadap masyarakat,
secara berkelanjutan tidak hanya program korporasi tetapi juga pada brand yang
merupakan produk rumah tangga. Sukses Unilever tidak dapat diraih tanpa kepercayaan
masyarakat.
Program CSR yang sudah dilakukan PT.Unilever di antaranya adalah: Kampanye
cuci tangan dengan sabun (Lifeboy), Program edukasi kesehatan gigi dan mulut
(Pepsodent), dan Program pelestarian makanan tradisional (Bango).
Pada tanggal 31 Maret 2008, PT. Unilever Indonesia melalui Yayasan Unilever
Indonesia bersama mitra stratergisnya diantaranya Badan Pengelola Lingkungan Hidup
DKI Jakarta (BPLHD) kembali melanjutkan program Jakarta Green and Clean (JGC) di
tahun 2008 sebagai salah satu bentuk kegiatan CSR. Gerakan ini salah satunya adalah
mengelola sampah menjadi komoditi yang lebih produktif. Misalnya sampah basah yang
dahulu tidak berguna dapat diolah menjadi kompos yang dapat digunakan sendiri atau
dapat dijual. Sampah kering dapat diolah menjadi barang kerajinan. Melalui program ini
dapat menginspirasi pihak lain untuk mengelola sampah dengan baik, tidak hanya
terkait dengan aspek lingkungan saja tetapi dapat mengangkat ekonomi masyarakat
kecil.
Program CSR ini dilakukan untuk yang ketiga kalinya, sejak digulirkannya program
ini ternyata antusiasme masyarakat Jakarta sangat tinggi, hal ini terbukti oleh semakin
banyaknya jumlah peserta yang mengikuti program ini. Dan hal ini juga membuktikan
bahwa masih banyak warga masyarakat yang peduli pada lingkungan hidup. Kebersihan
dan kelestarian lingkungan hidup akan berlangsung efektif jika dimulai dari keluarga
sebagai lingkungan terkecil dan meluas kepada lingkungan masyarakat sekitar. Melalui
program ini diharapkan dapat lebih menyadarkan, memberdayakan serta menampung
keinginan masyarakat untuk kembali menghijaukan lingkungan. Berbuat bijak dengan
sampah rumah tangga yang dihasilkan dengan konsep reduce, reuse dan recycle.
3. Reduksionistis
Paradigma lama juga bersifat reduksionistis, karena cenderung mereduksi seluruh
kenyataan menjadi satu aspek saja dari keseluruhan kenyataan. Sifat ini tidak lepas
dari logika dominasi dan tertanam kuat dalam ilmu pengetahuan modern berkat
pengaruh Galileo. Contohnya: dalam biologi modern, organisme dianggap tidak
penting; yang lebih penting adalah gen dari organisme itu, gen ini kemudian bisa
dianalisis – direkayasa – dimanipulasi. Semua pengetahuan yang tidak bisa dijelaskan
dan dipahami secara rasional dengan menggunakan akal budi: tidak akan diterima
dan diakui sebagai pengetahuan. Karenanya semua kekayaan pengetahuan
masyarakat tradisional yang diperoleh melalui intuisi, tidak diterima dan diakui
sebagai pengetahuan. Dalam konteks ini, nilai dan etika tidak mempunyai tempat
dalam ilmu pengetahuan modern, karena nilai dan etika tidak didasarkan pada fakta
empiris yang bisa ditangkap dengan pancaindra. Aspek-aspek kualitatif tidak
diperhitungkan secara serius, karena yang diutamakan aspek-aspek kuantitatif yang
bisa diukur – dianalisis
– dimanipulasi.
Masalah serius dari sifat reduksionitis ini dalam kaitan dengan lingkungan hidup ialah:
i. Etika tidak mendapat tempat dalam keseluruhan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Yang penting dalam pengembangan iptek
adalah fakta empiris; nilai (etika) adalah tuntutan normatif, jadi dianggap
tidak ilmiah. Dengan demikian penilaian etis (baik-buruk) tentang
pengembangan iptek maupun hasilnya/dampaknya dianggap tidak relevan.
Penolakan atas pengembangan iptek maupun hasilnya (karena secara etis
dinilai buruk) akan dianggap sebagai hambatan dalam pengembangan iptek.
Pengembangan iptek dianggap “bebas nilai”, karena iptek memiliki otoritas
otonom.
ii. Hal kedua yang dianggap penting dalam pengembangan iptek adalah nilai
instrumentalnya, khususnya: kegunaan/manfaat ekonomis dan material.
Jadi nilai dan manfaat moral, spiritual, kultural, sosial, estetis dan ekologis,
diabaikan. Misalnya: kebijakan di bidang kehutanan, pertambangan dan
energi: tidak memperhitungkan nilai hutan, keanekaragaman hayati, dan
ekosistem bagi keutuhan budaya (tradisi religius dan spiritual) masyarakat
setempat.
iii. Hal ketiga yang dianggap penting adalah nilai kuantitatif (bukan kualitatif),
sehingga yang diutamakan adalah ilmu-ilmu keras yang mampu menyodorkan
data dan fakta kuantitatif empiris. Ilmu-ilmu sosial, khususnya etika dan
humaniora, diremehkan dan dianggap bukan ilmu pengetahuan. Nilai-nilai
terkait lingkungan hidup (misal: nilai kultural, estetis, spiritual) tidak bisa
dikuantifikasi, sehingga kepentingan lingkungan hidup selalu dikalahkan oleh
kepentingan ekonomis (yang bisa dikuantifikasi).
iv. Karena etika tidak mendapat tempat dalam pengembangan iptek, maka timbul
suatu kecenderungan: bahwa apa yang “bisa” dilakukan berarti “boleh”
dilakukan. Secara moral, apa yang “bisa” dilakukan tidak dengan sendirinya
“boleh” dilakukan. Misal: secara ilmiah manusia bisa mengembangkan bom
atom, namun tidak berarti bahwa manusia boleh begitu saja menggunakannya.
PENUTUP
Telah dipaparkan di atas, bahwa rusaknya lingkungan hidup yang sudah sedemikian
parah sangat erat kaitannya dengan kesalahan-kesalahan di bidang bisnis/ekonomi, juga
kesalahan paradigma di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta kelemahan di bidang
hukum lingkungan hidup ataupun penegakannya. Diharapkan tindakan-tindakah korektif
dapat dilakukan oleh para pihak terkait (termasuk juga mahasiswa), sehingga permasalahan
lingkungan hidup secara bertahap dapat diperbaiki demi keberlanjutan kehidupan di bumi
ini.
KEPUSTAKAAN
1) Bidang Bisnis/Ekonomi
Bertens, 2013, Pengantar Etika Bisnis – Edisi Revisi, Kanisius, Yogyakarta, pp. 333-
348
Murdiyarso, Daniel, 2005, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan
Iklim, pp. xi-xiii
Keraf, Sonny, 1998, Etika Bisnis – Edisi Baru, Kanisius, Yogyakarta, pp. 113-136
Tim Dosen Etika Unpar, Etika Dasar dan Terapan, 2005: p. 102 dan p. 105
https://ireztia.com/2018/05/11/csr-terbaik/
2) Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Keraf, 2005, Etika Lingkungan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, pp. 252-273
3) Bidang Hukum Lingkungan Hidup
Bertens, 2013, Pengantar Etika Bisnis – Edisi Revisi, Kanisius, Yogyakarta, pp. 363-
365
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
Keraf, 2005, Etika Lingkungan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, pp. 210-215
Murdiyarso, Daniel, 2005, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan
Iklim, pp. 1-2
https://fairuzinanda.blogspot.com/2015/04/kasus-pelanggaran-terhadap-uu-
mengenai. html
4) Studi kasus: Kecelakaan Kapal Tanker Exxon Valdez
Bertens, 2013, Pengantar Etika Bisnis – Edisi Revisi, Kanisius, Yogyakarta, pp. 371-
372