Anda di halaman 1dari 10

Jambu biji sering juga disebut jambu batu, atau jambu klutuk memiliki nama latin

Psidium guajava Linn merupakan tanaman tropis yang berasal dari Brazil, disebarkan ke
Indonesia melalui Thailand. Jambu biji memiliki buah berwarna hijau dengan daging buah
berwarna putih atau merah yang berasa asam – manis(Siregar, 2016). Sebagai buah segar
yang mengandung banyak zat gizi, jambu biji termasuk komoditi yang mudah rusak
(persibel) sehingga tanpa penanganan yang baik hanya dapat disimpan dalam beberapa hari
(Rukmana, 1996 dalam Afani, 2016). Potensi gizi yang terkandung dalam 100 gram buah
jambu biji merah mengandung vitamin C yaitu sebanyak 87 mg (Hadisaputra, 2012 dalam
Afani, 2016). Jumlah tersebut dua kali lipat dibandingkan jeruk manis (49 mg /100 g), lima
kali lipat dibandingkan jeruk sunkist, serta delapan kali lipat dibanding lemon (10,5 mg /100
g). Dibandingkan jambu air dan jambu bol, kadar vitamin C pada jambu biji jauh lebih besar,
yaitu 17 kali lipat dari jambu air (5 mg/100 g) dan empat kali lipat dari jambu bol (22 mg/100
g). Selain tinggi vitamin C, buah ini kaya akan serat pangan 5,6 g per 100 g daging buah.
Jenis serat yang cukup terkandung dalam jambu biji yaitu pektin. Tingginya kandungan zat
gizi buah jambu biji, sehingga memiliki khasiat sebagai pengobatan seperti menurunkan
kadar kolesterol, menurunkan tekanan darah, mencegah diare, meningkatkan trombosit pada
pasien demam berdarah, dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan
penyakit(Budiana, 2013).
Buah jambu biji yang memiliki kandungan vitamin, mineral, serat, dan antioksidan,
biasanya dikonsumsi secara langsung maupun diolah menjadi jus, selai, jelly, atau manisan
buah kering (Cabral, 2007 dalam Ramadhan, 2017). Dengan adanya olahan tersebut buah
jambu biji juga dapat di jadikan olahan inovasi baru yaitu selai lembaran jambu biji.
Buah jambu biji merupakan salah satu buah tropis yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia. Buah jambu biasanya dikonsumsi dalam bentuk buah segar, juice, sari
buah, dan selai. Selain karena rasa buah yang segar, jambu biji ternyata memiliki banyak
manfaat bagi kesehatan tubuh, yakni besarnya kandungan vitamin C dan kandungan kimia
lain yang ikut berperan penting dalam proses metabolisme tubuh. Berdasarkan hal tersebut,
saat ini di wilayah Indonesia telah banyak pembudidayaan buah jambu biji berbagai varietas,
namun di pasar tradisional dan supermarket jambu biji bangkok dan merah getas menduduki
peringkat pertama sebagai buah yang banyak dikonsumsi. Namun ternyata pesatnya
pembudidayaan jambu biji tidak diimbangi dengan teknik pengolahan buah setelah panen,
mengingat bahwa buah jambu biji termasuk dalam golongan buah klimaterik, yakni buah
yang tergolong aktif menghasilkan gas etilen setelah pertumbuhannya, sehingga buah cepat
matang dan mengalami pembusukan. Rata-rata lama hari penyimpanan buah jambu biji
berdaging merah hanya berkisar 7-8 hari (varietas beda membutuhkan waktu simpan yang
berbeda pula). Oleh karena itu penanganan pasca panen menjadi salah satu titik terpenting
dalam memperpanjang lama hari penyimpanan buah jambu biji. Selain itu ternyata waktu
simpan jambu biji juga mempengaruhi kandungan kimia buah jambu, yakni padatan total
terlarut dan vitamin C, hal ini berkaitan dengan proses metabolisme di dalam buah yang terus
terjadi walaupun buah telah dipetik atau tidak lagi menempel di pohon. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui interaksi antara pengaruh pembungkusan dan suhu simpan terhadap
sifat fisik buah jambu biji (Psidium guajava L.), untuk mengetahui interaksi antara
pembungkusan dan suhu simpan terhadap sifat kimia buah jambu biji (Psidium guajava L.),
dan untuk mengetahui apakah hasil penelitian tentang pengaruh pembungkusan dan suhu
simpan terhadap sifat fisiko-kimia buah jambu biji (Psidium guajava L.) layak dijadikan
sebagai buku suplemen. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Botani Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Laboratorium Rekayasa Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Jember, Laboratorium Analisis Pangan Politeknik Jember.
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor
perlakuan. Faktor pertama adalah suhu penyimpanan terdiri atas dua suhu simpan yaitu suhu
kamar atau ambien (24-250C) dan suhu dingin (15-180C). ix ix Faktor kedua adalah
pembungkusan buah yang terdiri atas tiga perlakuan yakni perlakuan pembungkusan dengan
lapisan lilin lebah 6%, pembungkusan dengan plastic polietilen, dan buah tanpa
pembungkusan. Pengamatan dilakukan pada parameter lama hari penyimpanan; lama hari
pencapaian tingkat warna kematangan; susut bobot buah pada pengamatan hari setelah
perlakuan (HSP) ke 3, 5, 7, 13, 17, dan 21; kelunakan buah pada pengamatan tingkat warna
ke 4 dan 6; kadar vitamin C dan kadar padatan terlarut total pada pengamatan tingkat warna
ke 4, 5, dan 6; serta kualitas rasa, aroma dan kesukaan panelis pada pengamatan tingkat
warna ke 4, 5, dan 6. Analisis statistik hasil pengukuran dengan ANOVA. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pembungkusan dengan lapisan lilin yang disimpan pada suhu dingin
mampu memperpanjang lama hari penyimpanan buah hingga hari ke 28, namun tidak mampu
menekan laju kelunakan buah. Perlakuan pembungkusan dengan polietilen yang disimpan
dalam suhu dingin dan ruang paling baik dalam menekan peningkatan susut bobot namun
hanya buah yang dibungkus dengan polietilen dan disimpan dalam suhu ruang yang mampu
menekan sedikit proses pelunakan buah. Terjadi interaksi antara perlakuan pembungkusan
dan suhu simpan terhadap kadar vitamin C dan kadar padatan terlarut total. Perlakuan buah
yang dibungkus dengan lapisan lilin dan disimpan dalam suhu ruang mampu menekan
penurunan kadar vitamin C pada tingkat warna keenam (seluruh permukaan buah berwarna
kuning), sedangkan buah yang dibungkus lapisan lilin dan disimpan dalam suhu dingin
mampu menekan penurunan kadar padatan terlarut total pada tingkat warna keenam (seluruh
permukaan buah berwarna kuning). Terjadi interaksi perlakuan pembungkusan dan suhu
simpan pada parameter kualitas rasa pada tingkat warna keenam (seluruh permukaan buah
berwarna kuning), dan kesukaan panelis pada tingkat warna kelima (seluruh permukaan kulit
buah berwarna kuning, bagian ujung masih hijau) dan keenam. Buah tanpa pembungkusan
yang disimpan pada suhu ruang memiliki kualitas rasa tertinggi pada tingkat warna keenam.
Sedangkan buah yang dibungkus lapisan lilin dan disimpan pada suhu dingin memiliki nilai
kesukaan panelis tertinggi pada tingkat warna kelima (seluruh permukaan kulit buah
berwarna kuning, bagian ujung masih hijau), dan buah yang dibungkus lapisan lilin dan
disimpan pada suhu ruang memiliki nilai kesukaan panelis tertinggi pada tingkat warna
keenam.
Pengawetan buah-buahan dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara antara lain
dengan fermentasi. Cider (Anggur buah) merupakan salah satu minuman beralkhohol yang
rasanya manis. Mempunyai aroma yang harum dan khas dibuat melalui fermentasi khamir
jenis Sacharomyces cerevisiae. Buah jambu biji mempunyai kadar vitamin C tinggi yaitu
87% dan vitamin A 25% serta kandungan karbohidrat 12,2%, selain itu juga mengandung zat
mineral, besi, fosfat dan kapur. Rismunandar (1997) mengatakan buah jambu biji umumnya
digunakan oleh masyarakat untuk mencegah penyakit sariawan dan untuk meningkatkan daya
tahan terhadap infeksi. Cider telah lama dikenal sejak berabad-abad yang lalu sebagai
minuman tradisional Negara Timur Tengah dan Eropa. Adanya kemajuan teknologi kini
minuman anggur tidak hanya dibuat dari beras atau buah anggur namun buah -buahan yang
rasanya manis juga dapat dibuat cider. Jambu biji banyak dijumpai di pasaran. Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara tahun 2000 bahwa rata –rata produksi tanaman
jambu biji adalah 16,43 ton meningkat dari tahun sebelumnya. Dengan demikian salah satu
upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis jambu biji adalah dengan pembuatan cider atau
anggur buah. Dari hal tersebut penulis mencoba meneliti pembuatan cider dari jambu biji
dengan varietas yang berbeda, yaitu dengan menggunakan jambu biji biasa dibandingkan
dengan jambu biji bangkok yang selanjutnya akan dinilai mutu organoleptiknya.
Indonesia sebagai negara beriklim tropis menghasilkan banyak jambu biji (psidium
guajava), tetapi sampai saat ini yang menjadi masalah yaitu bagaimana proses pasca panen
agar jambu tidak cepat busuk sehingga memiliki kualitas dan kuantitas yang tinggi. Jambu
biji termasuk komoditi yang mudah rusak (persibel) sehingga tanpa penanganan yang baik
hanya dapat disimpan beberapa hari saja, apabila disimpan dalam suhu kamar (Rukmana,
1996). Kerusakan yang terjadi pada buah -buahan diakibatkan proses metabolisme seperti
respirasi dan transparasi. Proses metabolisme tersebut akan terus berlangsung se hingga akan
terjadi perubahan-perubahan yang dapat mengakibatkan penurunan mutu bahan pangan
tersebut. Disamping itu banyak kerusakan yang terjadi disebabkan oleh perlakuan mekanis
fisis dan biologis (Winarno, 1981) Selama proses respirasi berlangsung ,buah menggunakan
oksigen dari lingkungan sekitar dan menghasilkan karbondioksida. Oleh karena itu laju
respirasi 1 6 dapat diukur melalui peningkatan karbondioksida dan penurunan oksigen.
Apabila dilihat dari pola respirasinya jambu biji termasuk kedalam kelo mpok buah
Klimakterik. Hal tersebut ditunjukan oleh adanya peningkatan respirasi yang menyolok
sesudah dipanen bersamaan dengan saat pemasakan disertai perubahan warna , cita rasa dan
tekstur (Apandi 1984). Saat komoditas mencapai masak fisiologis, respir asinya mencapai
klimakterik dan sudah siap panen. Agar buah -buahan tidak mudah rusak setelah dipanen dan
sampai ke konsumen, maka diperlukan penanganan pasca panen yang baik terutama pada saat
penyimpanan (Satuhu dan Supriyadi 1999). Terdapat dua cara peny impanan yaitu secara
alami dan penggunaan sarana -sarana tertentu. Jenis penyimpanan yang kedua terbagi
menjadi empat macam, antara lain penyimpanan suhu rendah, penggunaan bahan kimia,
kontrol atmosfir, dan iradiasi.
Cara menyimpan:
Jambu biji dapat dimatangkan dengan cara menyimpannya pada suhu ruang atau disimpan
pada kulkas dengan dibungkus plastik yang telah dilubangi. Jambu biji yang telah matang
namun berwarna hijau dapat disimpan di kulkas selama beberapa minggu dan akan matang
selama 1 hingga 5 hari pada suhu kamar.
Untuk mempercepat proses pematangan jambu biji, mom bisa meletakkan jambu biji pada
kantong kertas (paper bag). Buah yang telah matang dan berubah warnanya mudah rusak dan
busuk, sehingga harus segera dikonsumsi ya, Mom.

JERUKKKKKKKKK
Jeruk (Citrus sp) merupakan salah satu komoditas buah unggulan nasional yang
keberadaanya menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Jeruk digemari oleh seluruh
lapisan masyarakat yang umumnya dikonsumsi dalam bentuk buah segar. Jeruk bermanfaat
untuk membantu memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Zat gizi yang umum terdapat dalam
buah-buahan adalah zat gizi mikro yaitu vitamin dan mineral. Nilai ekonomi tanaman jeruk
termasuk tinggi dan dapat mengangkat tingkat kesejahteraan petaninya menjadi relatif lebih
baik. Buah jeruk tidak semuanya dapat dipanen sekaligus dalam satu pohon, tergantung pada
kematangannya. Jeruk termasuk buah yang kandungan patinya rendah sehingga bila dipanen
masih muda tidak akan menjadi masak seperti mangga. Jika panen dilakukan setelah
melampaui tingkat kematangan optimum atau buah dibiarkan terlalu lama pada pohon, sari
buah akan berkurang dan akan banyak energi yang dikuras dari pohon sehingga mengganggu
kesehatan tanaman dan produksi musim berikutnya. Panen yang tepat adalah pada saat buah
telah masak dan belum memasuki fase akhir pemasakan buah. Dalam penyimpanan, rasa
asam akan berkurang karena terjadi penguraian persenyawaan asam lebih cepat dari pada
peruraian gula (Sutopo, 2016). Tanaman jeruk merupakan komoditas buah unggulan nasional
karena memiliki nilai ekonomi tinggi, adaptasinya sangat luas, sangat populer dan digemari
hampir seluruh lapisan masyarakat, dan nilai impornya cenderung meningkat (balitbang,
2016). Produksi jeruk Indonesia pada tahun 2010, 2011, dan 2012 berturut-turut mencapai
2.028.904 ton, 1.818.949 ton, dan 1.609.482 ton. Indonesia merupakan negara ke-10
penghasil jeruk setelah Mesir dengan total produksi 2.102.560 ton. Nilai produksi tersebut
mencakup semua jenis jeruk, mulai dari jeruk manis, siam, keprok, dan pamelo (Sutopo,
2016). (http://repository.unpas.ac.id/29883/5/11.%20BAB%20I.pdf)
Tanaman jeruk merupakan salah satu tanaman buah yang sudah lama dikenal dan
dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Menurut Sarwono (1994) dalam Andriani (2007)
di Indonesia terdapat beberapa jenis jeruk yang umum dibudidayakan, yaitu jeruk keprok,
jeruk siam, jeruk besar, jeruk nipis, dan jeruk lemon. Jeruk siam termasuk salah satu varietas
jeruk yang paling banyak diusahakan dan mendominasi 70-80% pasar jeruk nasional. Secara
umum jeruk yang dihasilkan di dalam negeri mutunya rendah dan masih kalah bersaing
dengan jeruk impor, sehingga harga jualnya relatif lebih rendah. Masalah yang mendasar dari
rendahnya mutu buah jeruk salah satunya adalah serangan patogen pasca panen. Patogen
yang banyak menyerang buah jeruk adalah jamur. Alfarez 1980 dan Nishijima (1987) dalam
Turang dan Tuju (2004) menyebutkan bahwa banyak mikroorganisme terutama jamur yang
menyerang buah jeruk, antara lain Colletotrichum sp., Penicillium sp., dan beberapa jamur
lainnya. Penyakit pasca panen pada komoditas hortikultura hingga kini belum mendapat
perhatian yang memadai. Di negara berkembang, fasilitas penanganan pasca panen sangat
minim dan tuntutan mutu masih rendah sehingga diduga kehilangan hasil mencapai 50% atau
lebih (Suhardi, 2009). Aktivitas jamur selama pertumbuhannya pada komoditi pangan dapat
menyebabkan kerugian dan penurunan kualitas pangan. Hal ini disebabkan karena aktivitas
metabolisme jamur tersebut dapat menghasilkan racun yang berbahaya bagi kesehatan
manusia sehingga produk pangan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi dan diperdagangkan
(Sardjono, 2011). Dengan demikian diperlukan upaya inventarisasi penyebab suatu penyakit
sebagai suatu langkah awal dalam studi penyakit guna menentukan langkah-langkah
selanjutnya (Suhardi, 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginventarisasi jamur-
jamur patogen yang berasosiasi dengan buah jeruk di beberapa pasar tradisional dan modern
di Bandar Lampung dan mengetahui perbedaan jenis dan jumlah jamur dari buah jeruk yang
berasal dari pasar tradisional dan pasar modern.
(https://media.neliti.com/media/publications/232906-inventarisasi-jamur-jamur-patogen-
pada-b-60ac6292.pdf )

Jeruk Pontianak (citrus nobilis var. microcarpa) merupakan jenis jeruk siam dengan ciri fisik
kulitnya tipis dan licin mengkilat. Jeruk Pontianak mempunyai rasa yang manis dan merupakan
salah satu komoditas unggulan Kota Pontianak.
Sebenarnya jeruk ini bukanlah hasil produksi pertanian Kota Pontianak. Sentra
tanaman jeruk justru berasal dari Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas. Namun sejak lama
jeruk ini telah dikenal dengan merek dagang "Jeruk Pontianak". Dalam istilah bahasa Melayu,
"Tebas punye jeruk, Pontianak punye name". (WIKIPEDIA)

Jeruk Siam Kampar adalah jeruk jenis Siam yang dibudidayakan di Kabupaten
Kampar. Kabupaten Kampar pada awal tahun 2002 merupakan sentra penghasil
jeruk terbesar di Provinsi Riau dengan jenis Citrus nobilis Lour. yang lebih dikenal
dengan nama jeruk Siam Kampar (Cahyati dkk., 2016). Jeruk Siam memiliki sifat
unggul seperti berkulit tipis, aroma harum dan rasa yang manis (Fatonah dkk., 2016)
sehingga menjadi ciri khas yang membedakannya dari jenis jeruk manis lain. Jeruk
Siam yang telah dipanen masih melakukan proses hidup. Beberapa proses hidup
yang penting pada jeruk Siam adalah respirasi, transpirasi dan proses pematangan
buah. Proses biokimia tersebut menurunkan mutu kesegaran jeruk yang dapat dilihat
dari penampakan, susut bobot dan penurunan nilai gizinya (Sjafrina, 2008).
Perubahan kandungan berbagai macam zat yang terus berlangsung setelah produk
dipanen dapat menyebabkan penurunan daya tarik bagi konsumen. Jeruk yang
bermutu baik atau memenuhi standar akan disukai konsumen dan mudah
dipasarkan. Mutu buah yang akan dipasarkan ke luar daerah harus terjaga hingga
sampai ke tangan konsumen, sehingga diperlukan usaha-usaha untuk
memperpanjang umur simpan buah. Hasil penelitian Marisi dkk., (2016) menyatakan
bahwa lama penyimpanan jeruk Siam Brastagi memberikan pengaruh berbeda
sangat nyata terhadap kadar air, susut bobot, total padatan terlarut, kadar vitamin C,
total asam, uji kekerasan, uji organoleptik warna, uji organoleptik aroma, uji tekstur,
uji rasa. Semakin lama penyimpanan akan mengakibatkan kadar air, kadar vitamin
C, total asam semakin menurun tetapi pada susut bobot semakin meningkat.
Penelitian Sjafrina (2008) menyatakan penyimpanan jeruk pada suhu kamar sampai
hari ke 20 mengalami perubahan mutu yaitu penurunan laju respirasi, kekerasan
buah, vitamin C, total padatan terlarut (TPT) jeruk meningkat dan warna buah
menjadi kuning kecoklatan dan kuning kusam. Penyimpanan pada suhu 15 oC dapat
mempertahankan warna buah, kesegaran buah, TPT dan kekerasan buah
sedangkan vitamin C buah menurun sampai 40 hari penyimpanan. Semakin tinggi
umur simpan jeruk akan menguntungkan pedagang dan konsumen. Perlu dilakukan
perlakuan untuk menjamin jeruk mampu sampai kepada konsumen. Penggunaan
suhu rendah dalam penyimpanan merupakan perlakuan yang cukup murah untuk
memperlambat proses fisiologis. Helmiyesi dkk., (2008) menyatakan kadar vitamin C
tertinggi jeruk Siam varietas Microcarpa pada penyimpanan 5 hari (18,97 mg/100g)
dibandingkan dengan penyimpanan 10 hari (18,06 mg/100g) dan 15 hari (17,18
mg/100g). Kerugian jeruk Mandarin selama panen, transportasi, grading,
pengemasan dan pemasaran yang ditemukan masing-masing menjadi 7, 25, 3, 1
dan 5%. Kerugian penyimpanan yang ditemukan menjadi 5% selama 2 sampai 4
hari di Krish Bazar sementara 40,1% selama 21 hari kondisi eksperimental di kamar
(Bhattarai et al., 2013). Sifat kimia merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan mutu suatu bahan. Analisis kimia yang dilakukan terhadap jeruk
meliputi kadar air, kadar sari buah, TPT dan kadar vitamin C (Umar dkk., 2008).
Kurangnya penelitian mengenai suhu dan lama penyimpanan jeruk Siam dapat
mengakibatkan tingginya kehilangan maupun kerusakan mutu kimia hasil panen
jeruk sehingga kondisi ini akan menimbulkan kerugian yang sangat besar pada
petani. Penyimpanan dengan udara terkendali merupakan salah satu dari teknologi
yang paling penting dalam penyimpanan buah-buahan (Marisi, 2016). Oleh karena
itu penulis telah melakukan penelitian tentang analisis mutu kimia jeruk Siam (Citrus
nobilis Lour.) selama penyimpanan pada suhu dingin

(http://repository.uin-suska.ac.id/21885/1/SKRIPSI%20Hikmah%20Rizky%20Utami.pdf)
Vitamin C berperan sebagai zat antioksidan yang dapat menetralkan radikal bebas hasil
oksidasi lemak, sehingga dapat mencegah beberapa penyakit seperti kanker, jantung dan
penuaan dini. Namun vitamin sangat mudah mengalami oksidasi, sehingga dapat hilang atau
berkurang selama proses pengolahan maupun penyimpanan. Kecepatan degradasi vitamin C
sangat tergantung kondisi penyimpanannya. Menurut Faramade (2007), degradasi vitamin
pada sari buah jeruk sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, pada suhu 7oC kecepatan
degradasi lebih kecil dibandingkan pada suhu 28oC. Sedangkan menurut Helmiyesi et al.
(2008), penyimpanan buah jeruk selama 15 hari akan menurunkan kadar vitamin C dari 18,90
mg/110 g menjadi 17,18 mg/100 g.
Pembusukan Buah
Utama (2001: 3) menyatakan bahwa buah mengandung air dalam jumlah yang banyak dan
nutrisi yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Buah yang baru dipanen
sebenarnya telah ditumbuhi oleh berbagai macam mikroorganisme (mikroflora) dari yang
tidak menyebabkan pembusukan sampai yang menyebabkan pembusukan. Mikroorganisme
pembusuk dapat tumbuh bila kondisinya memungkinkan seperti adanya pelukaan-pelukaan,
kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai dan sebagainya. Mikroorganisme pembusuk pada
buah dan sayuran merupakan faktor pembatas utama di dalam memperpanjang masa simpan
buah. Mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan susut pascapanen buah dan sayuran
secara umum disebabkan oleh jamur dan bakteri. Infeksi awal dapat terjadi selama
pertumbuhan dan perkembangan produk tersebut masih di lapangan akibat adanya kerusakan
mekanis selama operasi pemanenan, atau melalui kerusakan fisiologis akibat dari
kondisi penyimpanan yang tidak baik. Pembusukan pada buah-buahan umumnya sebagai
akibat infeksi jamur sedangkan pada sayur-sayuran lebih banyak diakibatkan oleh bakteri.
Hal ini diperkirakan disebabkan oleh pH yang rendah (kurang dari 4,5) atau keasamannya
yang tinggi dibandingkan dengan sayuran dengan rata-rata pH lebih besar dari 5. Infeksi
mikroorganisme terhadap produk dapat terjadi keika tumbuh di lapangan, namun
mikroorganisme tersebut tidak tumbuh dan berkembang, hanya berada di dalam jaringan.
Bila kondisinya memungkinkan terutama setelah produk tersebut dipanen dan mengalami
penanganan dan penyimpanan lebih lanjut, maka mikroorganisme tersebut segera dapat
tumbuh dan berkembang dan menyebabkan pembusukan yang serius. Infeksi mikroorganisme
tersebut dinamakan infeksi laten. Mikroorganisme ada yang hanya tumbuh pada bagian
permukaan produk namun belum mampu menginfeksi. Infeksi baru dilakukan bila ada
pelukaan-pelukaan akibat operasi pemanenan, pasca panen dan pendistribusiannya.
Mikroorganisme seperti bakteri pembusuk, seperti Erwinia carotovora dan Pseudomonas
marginalis (penyebab penyakit busuk lunak) pada sayuran mampu menghasilkan enzim yang
mampu melunakkan jaringan dan setelah jaringan tersebut lunak baru infeksi dilakukannya.
Jadi jenis mikroorganisme ini tidak perlu menginfeksi lewat pelukaan, namun infeksi akan
sangat jauh lebih memudahkan bila ada pelukaan-pelukaan

Pencucian buah tidak dapat membunuh semua mikroorganisme pada buah. (Sapers, 2001:
305 ) melaporkan pencucian dan sanitasi buah konvensional tidak dapat menghilangkan atau
menginaktivasi mikroorganisme patogen lebih dari 90 atau 99%. Respon mikroorganisme
tergantung kondisi kontaminasi yang mempengaruhi pengikatan dan ketahanan buah. Faktor
pembatas utama dekontaminasi adalah kekuatan dan kecepatan attachment mikrobia,
inaksesbilitas sisi attachment, pertumbuhan di bagian potongan atau luka pada buah,
internalisasi mikrobia kontaminan dalam jaringan buah, dan pembentukan biofilm.

Kapang berhasil diisolasi dari berbagai buah. Aspergillus sp., A. niger, Penicillium
sp.,P.italicum, P.digitatum, Gloeosporium musae, Fusarium sp, Monocillium spp ditemukan
mengkontaminasi buah pisang (Matashi & Kentarou, 2009: 107). Kapang merupakan
kontaminan pada komoditas buah-buahan dan dapat menyebabkan berbagai kerusakan. Tabel
1 menunjukkan kerusakan buah oleh kapang dan tipe-tipe kerusakannya yang bervariasi.
Bakteri dapat ditemukan di berbagai substrat termasuk buah-buahan. Tabel 2 menunjukkan
berbagai jenis bakteri patogen yang berhasil diisolasi dari berbagai jenis buah segar dan juice.
Bakteri termotoleran asam asetat pada buah apel, nanas, rambutan, mangga, cheri dan longan.
Jenis bakteri yang ditemukan termasuk genus Acetobacter dan Gluconobacter. Moryadee &
Pathom (2008: 209). Escherichia coli pada buah apel (Gastier, 2000: 1). Listeria
monocytogenes, Aeromonas hydrophila, dan Escherichia coli O157: H7 pada buah segar;
Aeromonas hydrophila pada buah yang digunakan untuk salad bersifat psikrotrofik dan
fakultatif anaerob serta tahan terhadap disinfektan termasuk klorin. L.monocytogenes mampu
tumbuh pada suhu refrigerator. E. coli O157: H7 bersifat patogen (Alzamora et al dalam
FAO, 2009: 1). Bakteri noncoliform dan coliform diisolasi dari buah mangga menandakan
adanya kontaminasi mikroorganisme fekal (Torres, 2007: 2). Micrococcus, Staphylococcus,
Streptococcus, Bacillus, rod-shaped bacteria, chained-rod-shaped bacteria berhasil diisolasi
dari buah pisang (Matashi & Kentarou, 2009: 207). E. sakazakii diteliti mampu tetap tumbuh
pada potongan buah apel segar, melon, wortel, ketimun, dan tomat (Kim & Beuchat, 2005:
1).

Anda mungkin juga menyukai