Anda di halaman 1dari 4

Membaca Karya Terjemahan Itu seperti Mandi dengan Memakai Jas Hujan:

Analisis Drama Terjemahan “Pagi Bening”

Sayyidatul Imamah

180110190040

Kelas A

Dalam film Paterson (2016), ada adegan ketika Paterson (tokoh utama dalam cerita)
bertemu dengan penyair dari Jepang. Salah satu percakapan mereka yang paling berkesan
adalah ketika Paterson bertanya pada penyair itu apakah dia menulis puisi, dan penyair itu
mengiyakan. Lalu, penyair itu melanjutkan bahwa puisinya hanya ada dalam bahasa Jepang,
dan tidak ada terjemahannya. Dia berkata: Poetry in translations is like taking a shower with
a raincoat on.

Kalimat itu sepertinya tidak hanya berlaku untuk puisi, melainkan seluruh karya
terjemahan. Membaca karya terjemahan artinya membaca sebuah “ide” dengan lapisan asing
bernama bahasa yang dimengerti oleh pembaca terjemahan. Ketika seseorang mandi dengan
jas hujan, itu artinya ada suatu penghalang antara keseluruhan tubuhnya dengan air yang
mengguyur. Bisa saja wajahnya yang tidak tertutup jas hujan terkena percikan air, tetapi
kepalanya, perutnya, atau lengannya tidak pernah merasakan lembapnya air, dan hanya
merasakan tekanan air dari luar jas hujan. Jas hujan itu sendiri adalah penerjemah.

Ada banyak sekali jenis jas hujan, ada yang transparan, tipis, tebal, dan lainnya.
Begitu pun dengan penerjemah. Kualitas dan jenis jas hujan menentukan tersampainya
guyuran air ke tubuh. Kualitas dan preferensi penerjemah juga menentukan hasil karya
terjemahannya.

Dalam drama Pagi Bening karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero yang
diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono, dialog adalah hal yang paling penting karena
drama ini didominasi dialog.

Dialog adalah bagian drama yang memuat suatu percakapan antara satu tokoh dengan
tokoh lain. Dalam drama Pagi Bening, Laura dan Gonzalo adalah tokoh yang paling banyak
berdialog.

Drama ini sendiri menceritakan tentang pertemuan dua orang yang sudah tua bernama
Laura dan Gonzalo, pertemuan mereka diawali dengan pertengkaran kecil yang kemudian
merambah menjadi hal yang lebih dalam ketika keduanya sadar bahwa mereka sebenarnya
saling mengenal.

Drama ini sendiri adalah drama komedi satu babak, jadi ada beberapa percakapan
konyol yang dibuat untuk membuat penonton atau pembaca terhibur.

Sapardi Djoko Damono menerjemahkan drama ini dengan bahasa yang mudah
dipahami. Yang menarik dari terjemahan beliau adalah ketika beliau menerjemahkan puisi
yang ada dalam drama ini. Mungkin, karena Sapardi sendiri adalah penyair, puisi yang ada
dalam drama ini terasa bernyawa. Dibandingkan dengan terjemahan dialog, sepertinya
Sapardi lebih mahir membangun kalimat yang hidup dalam terjemahan puisi. Beberapa
dialog yang diterjemahkannya terasa canggung dan kadang terasa ragu-ragu.

Namun, dalam salah satu bait puisi tersebut, Sapardi menerjemahkannya begini:

Ya Allah, di mana orangnya itu?

Drama ini sendiri dikarang oleh dramawan Spanyol bernama Serafin Alvarez
Quintero dan Joaqin Alvarez Quintero—dua bersaudara yang berkolaborasi menulis sekitar
200 drama selama hidup mereka. Keduanya lahir dan besar di Spanyol. Jadi, saya agak ragu
ketika Sapardi menyebut “Ya Allah” dalam syair tersebut.

Puisi yang ada dalam drama ini adalah karya Ramon de Campoamor, penyair yang
berasal dari Spanyol. Ketika melihat terjemahan puisi ini dalam bahasa Inggris, bait tersebut
tertuliskan:

Heavens, is it she?

Heavens adalah tempat yang dianggap dalam berbagai agama sebagai tempat tinggal
Tuhan, dewa, dan malaikat. Atau, tempat yang baik setelah kematian, dan seringkali
digambarkan secara tradisional berada di atas langit, atau singkatnya: surga.

Dalam syair bahasa Spanyol itu sendiri, Campoamor menulis: el cielo!

Yang bisa diartikan sebagai surga, Tuhan, dan hal-hal firdaus.

Lalu, Sapardi menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia sebagai “Ya Allah”, dan
bukannya “Ya Tuhan”, “Oh, Firdaus”, atau “Oh, Surga”. Tentu hal ini menunjukkan bahwa
Sapardi sebagai penerjemah memiliki kontrol, preferensi, dan sudut pandang sendiri terhadap
karya yang diterjemahkannya. Mungkin, Sapardi ingin mendekatkan pembaca Indonesia
terhadap puisi ini dengan menerjemahkan el cielo! menjadi “Ya Allah”. Atau, Sapardi merasa
bahwa heavens adalah “Ya Allah”.

Hal ini membuktikan bahwa Sapardi sebagai jas hujan telah melingkupi tubuh
manusia di baliknya dengan kualitasnya sendiri, sehingga air yang mengguyur di atas jas
hujan mengalir dengan tenang dan mudah.

Meskipun ada beberapa dialog dalam terjemahan Sapardi yang terasa canggung, tetapi
sepertinya itu adalah konsekuensi bagi pembaca yang mandi dengan memakai jas hujan.
Maksudnya, pembaca yang membaca karya terjemahan.

Untuk isi drama ini sendiri, meskipun disebut sebagai drama komedi, saya merasa
bahwa drama ini lebih mengandung banyak unsur “moralitas” dan “absurditas” daripada
komedi.

Pertemuan dua orang yang tampaknya asing pada awalnya, lalu berubah menjadi
sebuah kesadaran bahwa mereka saling kenal, tetapi mereka menutupi identitas masing-
masing walaupun sebenarnya sudah saling tahu—adalah suatu absurditas yang menghantam
isi drama ini.

Kehidupan dua makhluk saling bersinggungan untuk akhirnya memutuskan bahwa


mereka ingin bertemu sebagai orang asing daripada orang yang dulunya pernah saling kenal.
Percakapan Gonzalo dan Laura memang terkadang konyol, tetapi ketika dianalisis lebih jauh,
percakapan mereka mengandung makna yang lebih dalam.

Seperti ketika Gonzalo berkata: Ya, Senora. Tiap Minggu saya menyandang bedil
bersama anjing saya pergi ke Arazaca. Iseng-iseng berburu! Membunuh waktu!

Lalu, dijwab Laura dengan: Ya, membunuh waktu! Apa hanya waktu saja yang bisa
Tuan bunuh?

Percakapan itu tentu akan mengundang tawa, tetapi ketika dipikirkan lagi kenyataan
bahwa mereka membicarakan waktu seolah merupakan makhluk hidup adalah sesuatu yang
mengesankan. Hal itu membuat saya bertanya-tanya, apakah waktu benar-benar ada? Apa
artinya sebenarnya membunuh waktu jika waktu tidak pernah benar-benar ada? Menciptakan
waktu artinya nantinya bisa membunuh waktu? Jika waktu bisa dibunuh apakah juga bisa
dimakamkan, tetapi kenapa setelah dibunuh waktu dianggap terus ada?
Itulah kekuatan gabungan kata. Sapardi menerjemahkannya dengan baik sehingga
pembaca seperti saya dapat langsung mengerti dan menangkap maksudnya. Meskipun ada
beberapa kalimat yang membuat saya mengernyit karena saya rasa Sapardi bisa memilih kata
lain untuk menerjemahkan suatu kata tertentu.

Namun, itulah karya terjemahan. Membaca karya terjemahan artinya membaca sudut
pandang penerjemah terhadap karya asli tersebut. Atau, seperti kata penyair Jepang di film
Paterson: seperti mandi dengan memakai jas hujan.

Kalau kendala “jas hujan” atau bahasa dalam suatu karya sudah teratasi, mungkin
pembaca bisa dengan leluasa membuka jas hujannya dan mandi dengan tubuh setelanjang
mungkin untuk menerima guyuran air sepuas dan senikmatnya.

Anda mungkin juga menyukai