Anda di halaman 1dari 20

Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.

SiskaMegdy/2021

Sajak Putih
Chairil Anwar

Bersandar pada tari warna pelangi


Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba


Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka


Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

1.
Penerapan Pendekatan Parafrastis dalam
penggalan puisi berjudul Sajak Putih karya
Chairil Anwar

Dengan memparafrase sebuah puisi, dimungkinkan akan mampu mempermudah pemahaman


terhadap aspek makna dan pesan dari isi puisi tersebut. Parafrastis bisa dilakukan dengan dua
macam teknik, yaitu melengkapi bagian-bagian yang terelipsis dari puisi tersebut baik
yang berupa ejaan maupun kata/frase, dan menulis kembali dengan kalimat lain maksud
dari baris-baris puisi tersebut.

Berikut adalah contoh penerapannya:

Penggalan puisi di atas dapat diparafrase dengan cara melengkapi bagian kalimat yang
dielipsiskan menjadi:
NASKAH ASLI HASIL PARAFRASE
Bersandar pada tari warna pelangi Bersandar pada tari-an yang ber-warna pelangi
Kau depanku bertudung sutera senja Kau di depanku bertudung dengan kain sutera pada
waktu senja
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

Atau bisa pula dilakukan dengan cara mencoba memahami secara keseluruhan teks puisi tersebut
kemudian menyampaikannya kembali dalam bentuk kalimat yang lain. Untuk teks di atas dapat
diuraikan menjadi:

Ketika aku berada di bayang-bayang keindahan seperti keindahan para penari dan pelangi, saat
itulah kau ada di depanku, berdiri memperlihatkan kecantikanmu di bawah bayang-bayang
senja.

Puisi merupakan bagian dari karya seni yang mengemban fungsi, misi, dan visi tersendiri. Karya
puisi tentu harus memiliki kandungan makna yang relevan dengan pesan yang hendak
disampaikan oleh penyair kepada pembaca. Makna yang terkandung dalam sebuah puisi bisa
bersifat tersurat (eksplisit) dan tersirat (implisit). Makna tersirat dalam sebuah puisi
ditunjukkan dalam makna denotatif/makna lugas, yaitu makna apa adanya yang melekat dan
tampak nyata dalam sebuah kata. Makna denotatif merupakan dasar yang dengan pemahaman
secara awam bisa dimengerti dengan mudah.
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

2.
Contoh Analisis Pendekatan Analitis
pada Penggalan Puisi Prologue
karya Sapardi Djoko Darmono

Dalam pelaksanaannya kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang
terkandung dalam suatu cipta sastra. Dalam hal ini pembaca dapat membatasi diri pada analisis
unsur intrinsik. Misalnya, dengan menganalisis citraan dan gaya bahasa seperti pada contoh puisi
Prologue karya Sapardi Djoko Darmono.

PROLOGUE
Karya Sapardi Djoko Damono

Masih terdengar sampai di sini


dukaMu abadi. Malampun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar

kueja setia, semua pun yang sempat tiba


sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis mencecap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga.

1. Citraan
Dalam puisi tersebut Sapardi menggunakan jenis imaji citra auditif yang dapat dibuktikan dengan
adanya kata terdengar, yang berarti melibatkan indera pendengaran pada baris pertama yang
berbunyi Masih terdengar sampai disini. Baris kempat pada bait pertama juga membuktikna bahwa
penyair menggunakan imaji visual yang berbunyi di luar langit yang membayang samar. Hal ini
berarti penyair mengetahui di luar sana langit membayang samar karena adanya penglihatan. Bait
kedua pada baris kelima, ketujuh yaitu kata kusapa dan terbaca. Hal itu juga menunjukkan adanya
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

indera penglihatan yang dilakukan penyair pada waktu itu. Penyair bisa menyapa dan membaca
karena melihat.

Selain itu, Sapardi juga menggunakan jenis imaji citra pencecapan yang dapat dibuktikan dengan
adanya kata mencecap, yang berarti penyair juga melibatkan indera pengecapan dalam puisinya
pada baris ke tujuh yang berbunyi sehabis mencecap beribu kata, di sini. Hal ini membuktian
bahwa seseorang yang digambarkan dalam puisi tersebut ikut mengucap beribu kata duka yang telah
dialami seseorang. Beribu kata maksudnya doa-doa untuk orang yang meninggal.

Secara umum dalam puisi PROLOGUE, penyair menggunakan imaji perasaan yang melibatkan
pendengaran, penglihatan dan pencecapan. Penyair mengungkapkan perasaan sedih, duka melalui
pendengaran, penglihatan dan perasaan. Sapardi sangat piawai dalam menggunakan kata-kata, untuk
mengungkapkan perasaannya tersebut, penyair memilih dan menggunakan kata-kata tertentu untuk
menggambar dan mewakili perasaannya itu. Pada setiap baris dalam puisi tersebut, penyair mampu
menarik pembaca ikut larut dalam perasaan penyair. Pada bait yang pertama penyair menghadirkan
suasana duka, sehingga pembaca seakan-akan juga ikut merasakan suatu hal yang dirasakan penyair.

2. Gaya Bahasa
Dalam puisi ini, penyair menggunakan majas personifikasi yang terlihat pada baris pertama,
dan kedua. Baris pertama Masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi. Hal itu menunjukkan
bahwa kata dukaMu seolah-olah hidup dan dapat mengeluarkan suara, sehingga dapat didengar.
Begitu pula dengan baris kedua Malampun sesaat terhenti sewaktu dingin pun terdiam, kata
malam dan dingin seolah-olah sesuatu yang hidup, padahal kata malam merupakan keterangan,
dan dingin adalah kata sifat. Selain itu, ditemukan lagi majas personifikasi pada:

kueja setia, semua pun yang sempat tiba


sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis mencecap beribu kata

Pada kata yang bercetak miring dalam syair tersebut menunjukkan bahwa kata setia merupakan
kata sifat yang hanya bisa dirasakan, sedangkan dalam puisi tersebut dieja. Dieja maksudnya
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

dihitung semua orang yang datang dalam proses pemakaman orang Kristen untuk mengucap doa-
doa tertentu.
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf

Pada kata kusapa dukaMu, menunjukkan majas personifikasi karena duka itu merupakan
suatu hal yang dirasakan, sehingga tidak bisa disapa. Pada kata meniupkan zarah, juga terlihat
bahwa kata duka seolah-olah hidup dan dapat meniupkan zarah, padahal duka merupakan suatu
perasaan yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan.
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

3.
Pendekatan Emotif pada Puisi
“Ketika Burung Merpati Sore Melayang”
Karya Taufik Ismail
Ketika Burung Merpati Sore Melayang”
Taufik Ismail

Langit akhlak telah roboh di atas negeri


Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini
Negeriku sesak adegan tipu-menipu
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku

Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan


Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan


Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan
Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan
Berjuta belalang menyerang lahan pertanian
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api


Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti
Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini
Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga


Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri
Seluruh korban empat tahun revolusi
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri


Aku termangu mengenang ini
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

Ada burung merpati sore melayang


Adakah desingnya kau dengar sekarang
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?

Ada burung merpati sore melayang


Adakah desingnya kau dengar sekarang

1998

Pendekatan Emotif

Pada puisi Ketika Burung Merpati Sore Melayang, penulis menggambarkan bahwa dirinya
sedang berada diantara keramaian kejahatan yang ada di muka bumi ini. Sehingga dengan
spontan, pembaca juga dapat merasakan bahwa dirinya sedang menjadi tokoh “aku” seperti di
dalam puisi tersebut. Pembaca juga dapat merasakan bahwa dirinya sedang berada diantara
kejahatan yang menimpa buminya.

Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku


Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku

Lalu, penulis menggambarkan bahwa betapa mudahnya bencana alam terjadi, ketika pembaca
telah sampai dalam bait puisi tersebut, pembaca dapat melihat gambaran tentang bencana
tersebut terjadi, sehingga menaikkan emosi pembaca, bagaimana bisa hal tersebut terjadi,
sedangkan kita sama-sama makhluk yang berasal dari tanah. Membara sudah hatinya, ingin
membalas orang-orang tidak bertanggungjawab seperti mereka yang telah membunuh rekan-
rekannya hanya karena haus akan apa yang ada di dunia ini.

Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan


Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

Penulis mengajak pembaca untuk merasakan hal yang dirasakan penulis, bahwa ketika itu telah
terjadi pemboman yang sangat dahsyat. Mengajak pembaca untuk memutar waktu, ke zaman
dahulu, dimana peristiwa tersebut terjadi, yang kini hanya bisa ditemui melalui tulisan-tulisan
dan video rekaan. Ketika bait puisi ini dibaca, kita dapat merasakan perjuangan para pahlawan
terdahulu hingga harus mati mempertahankan negerinya. Menggugah semangat pembaca untuk
terus berjuang, karena kita harus berjuang terus hingga tetes darah penghabisan. Digambarkan
bahwa yang tertimpa musibah bukanlah hanya manusia atau orang-orang yang tidak salah,
melainkan para tumbuhan dan hewan-hewan. Dari sini dapat ditemukan bahwa sebagai makhluk
di muka bumi ini kita harus menjaga ketentraman agar bumi ini tetap bersih, sehat, dari tangan-
tangan jahil yang merusak bumi.

Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga


Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri
Seluruh korban empat tahun revolusi
Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri
Aku termangu mengenang ini
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

Dari bait puisi dibawah, pengarang mengajak pembaca agar masuk ke dalam dirinya, menjadi
dirinya, yang sedang merasakan kesusahan akibat terjadinya marabahaya yang terjadi ketika itu.
Oleh karena itu, pembaca dapat merasakan secara mendalam bagaimana penulis merasakan
dirinya yang tertekan kesakitan.

Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga


Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri
Seluruh korban empat tahun revolusi
Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri
Aku termangu mengenang ini
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

4.
Pendekatan Historis pada Puisi
“Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono

Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman pemahaman
tentang biografi pengarang, peristiwa yang melatarbelakangi terwujudnya karya sastra
serta perkembangan kehidupan penciptaan sastra itu sendiri dari zaman ke zaman.
Pemahaman yang baik terhadap puisi akan diperoleh dengan melakukan pendekatan historis.
Dengan pemahaman tersebut pula dapat membantu dalam proses pengapresiasian puisi.
Dalam mengapreasiasi sastra dengan pendekatan historis terdapat ciri-ciri antara lain:
a) Berusaha memahami biografi pengarang.
b) Berusaha memahami peristiwa sejarah yang melatarbelakangi terwujudnya puisi.
c) Berusaha memahami perkembangan puisi pada suatu jaman.

Berikut adalah contoh apresiasi puisi dengan pendekatan historis.

HUJAN BULAN JUNI

tak ada yang lebih tabah


dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak


dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif


dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

Penggunaan gaya bahasa yang sangat dominan dalam puisi disebabkan oleh adanya media yang
sangat terbatas. Kesatuan puisi, yang disebut sebagai bait adalah totalitas yang sama dengan
bentuk cerpen, novel, dan drama. Perbedaannya, satu bait puisi terdiri dari satu atau dua
halaman, sedangkan sebuah novel terdiri atas ratusan bahkan ribuan halaman. Dalam puisi Hujan
Bulan Juni setiap bait memiliki keterkaitan.

Judul puisi itu sendiri yaitu “Hujan Bulan Juni”. Pada awal mengetahui dan membaca puisi
ini pasti kita bingung, dari judulnya saja Hujan Bulan Juni padahal sepengetahuan kita bersama
bulan juni merupakan musim kemarau yang berarti jarang sekali turun hujan pada bulan tersebut.
Dalam puisi ini di gambarkan kalau hujan pada bulan juni begitu indah dan damai, kata hujan
seperti dekat sekali dengan kita apalagi pada puisi hujan bulan juni ini tidak hanya
penggambaran hujan pada umumnya yaitu air yang turun dari langit, tetapi ada sifat tabah, bijak,
dan arif yang seharusnya ada pada diri manusia. Andai ketiga sifat pada puisi ini ada dalam diri
kita pasti akan terasa indah hidup kita, tetapi sifat tersebut jarang dimiliki setiap manusia seperti
hujan pada bulan Juni yang pasti jarang sekali turun ke bumi.

Hujan Bulan Juni bisa dikatakan menunjukan simbol dari sebuah penantian. Apalagi bulan juni
merupakan bulan di musim kemarau yang jarang terjadi hujan. Walaupun memang pada akhir-
akhir ini tidak demikian. Hal yang dinantikan pada bulan juni musim kemarau adalah hujan. Jadi
dari situlah bisa diambil kesimpulan bahwa Hujan Bulan Juni dari puisi yang berjudul sama
karya Sapardi Djoko Damono adalah Penantian.

Puisi Hujan Bulan Juni merupakan puisi berirama eufoni atau kombinasi bunyi yang enak di
dengar. Pada puisi ini bunyinya harmonis serta lembut. Tiap baris disajikan dengan kata yang
halus dan dengan gaya bahasa kiasan yang personifikasi yang didapat dalam kata hujan
dikiaskan seperti manusia yang bersikap tabah, arif, dan bijak.

Puisi Hujan Bulan Juni terdiri dari 12 baris. Puisi ini mempunyai ide-ide atau tema tertentu
seperti, penantian yang tabah, kerinduan yang dirahasiakan, penantian yang bijak, penghapusan
masa lalu yang menimbulkan keraguan, kearifan penantian, penantian yang berujung
kebahagiaan.
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

Pada baris pertama dan kedua puisi ini berbunyi “Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan
Juni” menggambarkan ketabahan seseorang yang terus menanti sesuatu yang dinantinya. Tabah
artinya tetap dan kuat hati. Jadi orang ini menanti tanpa henti dan dengan kuat walau apapun
terjadi. Kata tak ada menerangkan bahwa dia yang paling tabah dalam menanti, tidak ada
seorangpun yang bisa melebihi penantiannya.

Pada baris ketiga dan keempat “Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu”.
Pohon berbunga dimaksudkan meskipun lama menanti tetapi pada suatu hari hal yang indah
akan menghampiri bagi orang yang menanti dengan tabah. Dirahasiakannya rintik rindunya
menunjukan bahwa dia rindu ingin bertemu dengan hal indah yang dilambangkan dengan pohon
berbunga tetapi kerinduan itu hanya dapat dirahasiakannya.

Pada baris kelima dan keenam “Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni.” menunjukan
penantian yang bijak. Bijak dalam kamus bahasa Indonesia adalah selalu menggunakan akal
budinya, pandai, mahir. Jadi seseorang itu menanti dengan menggunakan akal budinya.

Baris kelima dan keenam diperjelas dengan baris ke tujuh dan kedelapan “Dihapusnya jejak-
jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu.” yang menyatakan penghapusan masa lalu yang penuh
keraguan serta pengharapan. Jejak-jejak kaki menandakan sesuatu yang pernah didapatkan atau
ditemukan yang berbekas mungkin dalam puisi ini adalah sebuah memori yang diperjelas dengan
baris kedelapan yaitu memori yang ragu-ragu.

Pada baris kesembilan dan sepuluh “Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni.” Pengarang
kembali lagi memuji penantian yang dilakukan seseorang demi mendapatkan suatu hal yang
indah yaitu dengan kata arif yang berarti cerdik, pandai dan berilmu menurut kamus Bahasa
Indonesia.

Pada baris kesebelas dan duabelas “dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga
itu.” menggambarkan kalau penantian yang dilakukan dengan tabah akan berbuah manis. Bisa
dikatakan demikian setelah melihat akhir baris keduabelas yaitu diserap akar pohon bunga itu
yang mengacu kepada air hujan yang diserap oleh akar pohon bunga, ketika bunga layu mungkin
akan kurang indah tetapi, apabila bunga sudah mekar karena tidak kekurangan air maka akan
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

terlihat sangat indah. Dibiarkannya yang tak terucapkan menunjukan bahwa dia tak peduli
dengan apa yang dulu dia rasakan pada masa penantian, karena kini hujan telah diserap akar
pohon dari bunga yang akan membuatnya mekar menjadi sangat indah.
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

5.
Pendekatan Sosiopsikologis pada Puisi
“Jalan-Jalan Bersama Presiden”
karya Joko Pinurbo

Jalan-Jalan Bersama Presiden


Joko Pinurbo

Saya dan presiden menyusuri jalanan kota


yang tadi siang dipadati ribuan pengunjuk rasa

Desember dingin dan basah. Negara lelah.

Payung bergelantungan di dahan pohon.


Malam menggigil bersama ribuan slogan
yang menumpuk di tempat sampah.

Saya dan presiden tertegun di depan patung


yang sedang merenung. Presiden tiba-tiba
membacakan sepotong sajak Rendra:

“Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku


menghadapi kemerdekaan tanpa cinta.”*

Sepi setuju. Saya dan patung terharu.


Angin membelai-belai jaket presidenku.

Berikut contoh apresiasi puisi “Jalan-Jalan Bersama Presiden” dengan Pendekatan


Sosiopsikologis yang diidentifikasi dari satuan makna puisi serta tema, nada, perasaan yang
menyiratkan peristiwa sosial.

1. Identifikasi satuan makna puisi serta tema, nada, perasaan yang menyiratkan peristiwa sosial
puisi Jalan-Jalan Bersama Presiden dapat dilihat pada makna bait dan totalitas makna
berikut.

Aku liris jalan-jalan bersama presiden ke kota setelah terjadi demonstrasi.


Pada bulan desember dimusim hujan dan masyarakat maupun presidennya lelah.
Bekas demonstrasi terlihat dari slogan-slogan yang dibuang di tempat sampah.
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

Ketika sedang tertegun memikirkan semua ini tiba-tiba presiden mencurahkan isi hatinya
Presiden merasakan kesepian ketika menghadapi kemerdekaan yang terjadi tanpa adanya cinta.
Aku liris setuju dan merasa terharu juga kasihan kepada presiden.

Totalitas makna dari puisi tersebut sebagai berikut.


Digambarkan setelah terjadinya demonstrasi yang diikuti ribuan orang pada bulan desember
dimusim hujan. Masyarakat maupun presidennya sudah lelah. Bekas demonstrasi yaitu slogan-
slogan berceceran di tempat sampah pinggir jalan. Ketika sedang melamun presiden tiba-tiba
mencurahkan isi hatinya tentang rasa kesepiannya menghadapi kemerdekaan tanpa cinta. Aku
liris merasa terharu dan juga kasihan kepada presiden.

Dari totalitas makna tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema puisi tersebut adalah “curahan hati
presiden tentang keadaan negaranya”. Nada yang tersirat dalam puisi tersebut, yakni
menunjukkan kekhawatiran pada keadaan negara pada saat ini. Perasaan yang tergambar di
dalamnya, yakni penyair ingin mengungkapkan perasaan prihatinnya kepada keadaan di negara
Indonesia.

2. Identifikasi peristiwa sosial di luar puisi yang diduga terkait.

Identifikasi peristiwa di luar puisi Jalan-Jalan Bersama Presiden yang diduga terkait dapat
dilihat pada penjelasan berikut.

Pada puisi Jalan-Jalan Bersama Presiden bait pertama dan kedua.


Saya dan presiden menyusuri jalanan kota
yang tadi siang dipadati ribuan pengunjuk rasa
Desember dingin dan basah. Negara lelah.

Puisi dengan judul Jalan-Jalan Bersama Presiden ini diciptakan oleh Joko Pinurbo tahun 2016. Pada bulan
Desember tahun 2016 terjadi demonstrasi besar-besaran tepatnya pada tanggal 2 Desember 2016 yang
disebut aksi damai 212. Sebanyak tiga juta orang diperkirakan mengikuti aksi damai yang
dipusatkan di Monas, Jakarta Pusat. Sebab, banyak warga dari luar Jakarta yang ke Ibu Kota
menuntut agar Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ditahan
terkait dugaan penistaan agama. Pada saat itu demo berlangsung mulai pukuk 08.00 WIB hingga
13.00 WIB

Pada baris kelima dan keenam.


Malam menggigil bersama ribuan slogan
yang menumpuk di tempat sampah.

Pada saat demo berlangsung para pengunjuk rasa membawa slogan-slogan yang bertuliskan
protes mereka atas tindakan Ahok yang dianggap menistakan agama. Pengunjuka rasa menuntut
agar Ahor segera dipenjarakan. Aksi demo pada 2 Desember yang merupakan lanjutan dari aksi
demo pada tanggal 4 November 2016 ini membuat Indonesia mengalami krisi politik. Aksi ini
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

dianggap merugikan banyak pihak dan sangat kontroversial. Sebab Ahok merupakan warga
negara Indonesia yang memeluk agama kristen sedangkan para pendemo mayoritas adalah warga
negara Indonesia yang memeluk agama islam.

3. Menghubungkan peristiwa sosial dalam puisi dan di luar puisi.

Hubungan peristiwa sosial dalam puisi dan di luar puisi Jalan-Jalan Bersama Presiden dapat
dilihat pada penjabaran berikut.

Peristiwa sosial yang ada di dalam puisi ini sangat jelas menggambarkan peristiwa aksi damai
yang terjadi pada tanggal 2 Desember 2016. Aksi damai ini dilaksanakan di sekitar Monas yang
diperkirakan hingga jutaan pengunjuk rasa yang mengikuti aksi tersebut. Aksi damai ini
dimaksudkan untuk menuntut agar Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau
Ahok ditahan terkait dugaan penistaan agama. Aksi ini berlangsung mulai pukul 08.00 WIB
hingga 13.oo WIB karena merupakan sudah kesepakatan dari GNPF MUI dan Kepolisian
Republik Indonesia.

Pada saat itu Presiden Joko Widodo yang biasa dipanggil pak Jokowi dan wakilnya Jusuf Kalla
ikut turun untuk berjalan dan hujan-hujanan demi salat Jumat berjemaah di jalan dengan para
peserta aksi damai 2 Desember 2016.

4. Menyimpulkan/menafsirkan sikap penyair terhadap peristiwa sosial (tema, nada,


perasaan).

Sikap penyair terhadap persitiwa sosial yang diketahui dari tema, nada, dan perasaan pada puisi
Jalan-Jalan Bersama Presiden dapat dilihat pada penjabaran sebagai berikut.

Pada puisi ini Joko Pinurbo menempatkan dirinya sebagai masyarakat biasa yang melihat
peristiwa aksi damai. Penyair berpihak kepada presiden yang menanggapi hal ini secara netral,
tidak memihak kesiapapun. Tema puisi yang diketahui adalah curahan hati presiden tentang
keadaan negaranya. Nada yang tersirat dalam puisi tersebut, yakni menunjukkan kekhawatiran
pada keadaan negara pada saat ini. Perasaan yang tergambar di dalamnya, yakni penyair ingin
mengungkapkan perasaan prihatinnya kepada keadaan di negara Indonesia.

Dari tema, nada, dan perasaan yang disampaikan terlihat penyair merasa khawatir dengan apa
yang sedang terjadi di Indonesia. Negara Indonesia memang sudah merdeka namun masih
banyak hal-hal yang terjadi seperti demonstrasi besar-besaran. Penyair berpandangan bahwa hal
ini seperti menunjukkan kemerdekaan Indonesia yang tanpa disertai rasa cinta diantaran warga
negaranya.
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

6.
Pendekatan Didaktis pada Puisi
“Sajak Seonggok Jagung”
karya W.S. Rendra

SAJAK SEONGGOK JAGUNG


W.S. Rendra

Seonggok jagung di kamar


dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar ………..
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium kuwe jagung
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bek erja
Tetapi ini :
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.


Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”

Pendekatan Didaktis
Pendekatan didaktis adalah pendekatan apresiasi karya sastra dengan cara memahami gagasan,
tanggapan evaluatif dan sikap pengarang terhadap kehidupan (Aminudin, 2011:47) Dalam
penerapannya, pendekatan didaktis menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa,
maupun sikap yang mapan dari pembacanya. Penggunaan pendekatan ini diawali dengan upaya
pemahaman satuan-satuan pokok pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok
pikiran itu pada dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang.
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

Bagi pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam tingkatan pemilihan bahan
yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkatan kematangannya akan terasa lebih
mengasyikkan. Hal ini terjadi karena pembaca umumnya berusaha mencari petunjuk dan
keteladanan lewat teks yang dibaca.

Pendekatan didaktis ini akan coba diterapkan pada Sajak Seonggok Jagung Karya W.S
Rendra, keseluruhan puisinya yang menarik dan juga jalan puisinya yang seperti narasi
membuat puisi ini menarik dikaji. Puisi Sajak Seonggok Jagung ini secara keseluruhan adalah
tentang kritikkan untuk para anak tamat sekolah yang mungkin tidak bisa bekerja dan kembali ke
desanya menjadi pengangguran.

Puisi ini bisa dikatakan sebagai kritik pendidikan pada masa sekarang, ini terlihat pada
penggalan puisi Sajak Seonggok Jagung sebagai berikut.

Seonggok jagung di kamar


dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
(Sajak Seonggok Jagung Bait ke-27 sampai bait ke-33)

Makna didaktis dari puisi tersebut adalah seorang siswa tamat SLTA (zaman dulu) yang hanya
terkatung-katung tanpa bisa berbuat seseutu dengan seonggok jagung di kamarnya. Inti dari
petikan puisi “Sajak Seonggok Jagung,” tidak hanya bicara soal kemiskinan itu sendiri pada satu
sisi, tetapi pada sisi lainnya bicara juga soal gagalnya pendidikan, yang menyebabkan macetnya
daya kreativitas di dalam diri seseorang – karena keberhasilan selalu diandaikan dengan lulus
dari perguruan tinggi. Padahal pada kenyataannya di dalam kehidupan sehari-hari, banyak yang
lulus dari perguruan tinggi tidak bisa mendapat pekerjaan, dan malah jadi parasit bagi
lingkungan hidupnya. Inilah yang dikritik Rendra.

Lebih jauh, puisi yang ditulis oleh Rendra itu hendak berbicara bahwa seorang pemuda dengan
seoonggok jagung di kamar itu sesungguhnya bisa hidup jika ia kreatif, yakni dengan cara
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

mengolah jagung itu sendiri. Jagung dalam puisi tersebut adalah serupa simbol, atau metafora,
atau apa pun, yang bisa diolah, yang bisa dijadikan bahan sebagai sumber penghidupan.

Seonggok jagung di kamar


tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
(Sajak Seonggok Jagung bait ke-42 sampai bait ke- 45)

Dari bait tersebut jelas tergambar bahwa nilai didaktis yang bisa kita ambil langsung tersurat
dalam puisi tersebut yaitu pandangan hidup atau bekal hidup bukan hanya dari buku tapi juga
dari kehidupan sebenarnya yang terjati. Inti dari bait ini adalah ketika seorang siswa yang tamat
sekolah dan hanya bisa memahami kehidupan berdasarkan teori tapi buka secara praktik
langsungnya maka dia kan gagal dalam kehidupannya. Dalam sebuah hidup bukan hanya
pendidika saja yag perlu kita utamakan tapi bagaimana rasa sosial kita terhadap sesama, terhadap
kehidupan sekitar , bila kita bisa beradaptasi dengan kehidupan sekitar maka kehidupan ini akan
lebih muda dan terbantu.

Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
(Sajak Seonggok Jagung Bait ke- 51 sampai ke-64)

Dalam puisi tersebut tertulis “apagunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang kektoa
menjadi layang-layang di Ibu Kota” penyair menuliskan ini karena seorang pemuda dari desa
yang jauh -jauh dari desa untuk mencari ilmu namun, karena ilmu tersebut dia menjadi kuper
atau kurang pergaulan, seta menjadi suatu pajangan yang hanya terombang ambing ditengah ibu
Diadaptasi dari berbagai sumber/dok.SiskaMegdy/2021

kota. Ilmu sejati adalah imu yang bermanfaat untuk kehidupan kita di dunia luar, yaitu dunia
kerja dan dunia bermasyarakat.

Rasa keterasingan muncul adari seorang pemuda itu karena dulunya yang saat dia dikota dan
hanya memikirkan tentang ilmu pelajarannya saja seperti IPA,IPS, Filsafat atau apalah. Namun
segala ilmu itu tidak akan ada artinya bila tidak ada hubungannya dengan kehidupan kita
nantinya. Pendidikan memang nomer satu yang penting untuk ditempuh namun alangkah
baiknya jika pendidikan itu bukan hanya pendidikan secara formal seperti pelajaran namun juga
pendidikan secara non formal yang diselipakan pada sekolah tersebut. Pendidikan non formal ini
bisa berupa pelatihan tataboga, pramuka, pmi, atau sebgainya yang menimbuhka jiwa sosial
tinggi dan juga kreatifitas tinggi.

Dalam sajak Sajak Seonggok Jagung mengaskan bahwa pendidikan kita tak mampu memberikan
apa-apa. Pendidikan kita hanya membuat siswa/mahasiswa terasing dan tercerabut dari
kehidupan. Pendidikan hanya menambah pengangguran di Ibukota, dan dengan bahasa yang
amat liris Rendra menyindir para mahasiswa yang setelah lulus malah merasa asing dan sepi
ketika telah pulang ke daerahnya. Pertanyaan-pertanyaan yang sekaligus penegasan realitas
tersebut adalah problem pendidikan nasional yang sulit terpecahkan. Keterasingan hasil
pendidikan terhadap masyarakat diakibatkan oleh tidak ilmiahnya kurikulum yang diberikan.
Istilah ilmiah menandakan bahwa pendidikan harus bisa dibuktikan kebenarannya. Ia harus
direlevansikan atau berkaitan langsung dengan kebutuhan dan realitas masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai