Anda di halaman 1dari 9

Nama : Nur Muhamad Sidik Purnomo (Kelompok 10)

Erlangga 1512620027

Eep Shahibul Abrary 1512620065

NIM : 1502620072

Prodi : Pendidikan Vokasional Teknik Mesin


LATAR BELAKANG

Manusia seperti yang kita ketahui sangat erat sekali hubungannya dengan kebudayaan dan pendidikan.
Pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan, “ Education as Cultural Conservation ”.
Disini peran pendidikan sebagai pelestarian budaya dan pendidikan harus didasarkan kepada nilai – nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Sebab kebudayaan tersebut telah
teruji dalam segala zaman, kondisi dan sejarah. Kebudayaan adalah esensial yang mampu mengemban
hari kini dan masa depan umat manusia ( Mohammad Noor Syam, 1984 ). Pendidikan merupakan suatu
sistem untuk meningkatkan kualitas hidup dalam segala aspek kehidupan dan sekaligus sebagai upaya
pewarisan nilai – nilai budaya bagi kehidupan manusia.

Hakikat manusia dalam melestarikan dan menjaga kebudayaan adalah suatu keharusan agar tidak
terpengaruh oleh kebudayaan lainnya. Kita harus menjaga keaslian budaya kita karena kebudayaan
tersebut merupakan warisan dari nenek moyang kita dahulu. Kebudayaan itu di ibaratnya seperti ciri
khas dari manusia yang menggunakan kebudayaan tersebut. Namun akhir – akhir ini kita pasti sudah
tahu kalau banyak dari kebudayaan Negara kita ini telah terpengaruh oleh kebudayaan luar, khususnya
kebudayaan barat. Ini merupakan efek dari arus globalisasi yang sangat kencang sehingga banyak
kebudayaan – kebudayaan dari luar yang bebas keluar masuk ke dalam Negara kita ini sehingga
kebudayaan kita sedikit terpengaruh.

Pendidikan secara sederhana dikatakan sebagai sebuah proses “memanusiakan manusia”, Abdurrahman
Shalih (t.th;47) mengatakan “man is the core of the educational process”, bahwa manusia adalah inti
dari sebuah proses pendidikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah obyek dan sekaligus
pelaku pendidikan. Sebab itu sejauh mana pendidikan itu diformulasikan dan diimplementasikan harus
selalu disandarkan pada konsepsi tentang hakekat manusia. Merumuskan dan mengembangkan tujuan
pendidikan, materi pendidikan, metode, kurikulum, evaluasi pendidikan, dan seterusnya harus selalu
dikonsultasikan pada filsafat dan pemahaman tentang hakekat manusia itu sendiri. Pembahasan ini
berusaha memahami hakekat manusia sebagai sebuah kajian ontologi Pendidikan Islam. Ada beberapa
hal yang dikaji dalam tulisan ini yaitu; pemahaman tentang hakekat manusia, poses kejadian manusia,
potensi-potensi dasar manusia, tugas dan fungsi penciptaan manusia, serta implikasinya dalam
pendidikan.

PEMBAHASAN

A. Pemahaman tentang hakekat manusia

Para ahli mempunyai pemahaman yang beragam dalam memahami hakekat tentang manusia, hal ini
dapat kita lihat dari berbagai pendapat berikut;
Charles Robert Darwin (1809-1882) menetapkan manusia sejajar dengan binatang, karena terjadinya
manusia dari sebab-sebab mekanis, yaitu lewat teori descendensi (ilmu turunan) dan teori natural
selection (teori pilihan alam)

Ernest Haeckel (1834-1919) menyatakan manusia dalam segala hal menyerupai binatang beruas tulang
belakang, yakni binatang menyusui

Aristoteles (384-322) memeberikan devinisi manusia sebagai binatang yang berakal sehat yang mampu
mengeluarkan pendapatnya, dan berbicara berdasarkan pikirannya (the animal than reasons).
Disamping itu manusia juga binatang yang berpolitik (zoon politicon) dan binatang yang bersosial (social
animal)

Harold H. Titus menempatkan manusia sebagai organisme hewani yang mampu mempelajari dirinya
sendiri dan mampu menginterpretasi terhadap bentuk-bentuk hidup serta dapat menyelidiki makna
eksistensi insani (Endang Saifudin, dalam Muhaimin, 1993;31)

Ahli mantiq mendevinisikan manusia sebagai “al-insan hayawanun nathiq” (manusia adalah hewan yang
berbahasa)

Dalam Islam manusia dipandang sebagai manusia, bukan sebagai binatang, karena manusia memiliki
derajat yang tinggi, bertanggung jawab atas segala yang diperbuat, serta makhluk pemikul amanah yang
berat. Berikut pemahaman para pemikir Islam tentang manusia;

Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd menyatakan bahwa hakekat manusia itu terdiri dari dua komponen
penting, yaitu;

1) Komponen jasad. Menurut Farabi, komponen ini berasal dari alam ciptaan yang mempunyai
bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam, serta berjasad dan terdiri atas organ. Al-Ghazali
memberikan sifat jasad manusia yang ada dalam bumi ini yaiu, dapat bergerak, memiliki rasa, berwatak
gelap dan kasar, dan ini tidak berbeda dengan benda-benda lain, sedangkan Ibnu Rusyd berpendapat
bahwa komponen jasad merupakan komponen materi. (Ahmad Daudy, 1989:58-59)

2) Komponen jiwa. Menurut farabi, komponen jiwa berasal dari alam perintah (alam kholiq) yang
mempunyai sifat berbeda dengan jasad manusia. Hal ini karena jiwa merupakan roh dari perintah Tuhan
walaupun tidak menyamai Dzat-Nya. Menurut al-Ghazali, jiwa ini dapat berfikir, mengingat, mengetahui,
dan sebagainya, sedangkan unsur jiwa merupakan unsur rohani sebagai penggerak jasad untuk
melakukan kerjanya yang termasuk alam ghaib. Bagi Ibnu Rusyd jiwa adalah sebagai kesempurnaan awal
bagi jasad alami yang organik (Ahmad Daudy, 1989; 59)

Ibnu Miskawih, menambahkan satu unsur lagi disamping unsur jasad dan jiwa, yaiu unsur hayah (unsur
hidup). Hal ini karena pada diri manusia ketika dalam bentuk embrio (perpaduan antara ovum dan
sperma) sudah terdapat kehidupan walaupun roh belum ditiupkan, sedangkan hayah sendiri terdapat
pada sperma dan ovum yang membuat embrio hidup dan berkembang. Jadi hayah bukan komponen
jasmanai yang berasal dari tanah dan bukan pula komponen jiwa atau rohani yang ditiupkan oleh Allah.
(Syahminan Zaini, 1984:23)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia pada dasarnya dapat ditempatkan dalam tiga
kategori, yaitu;

Manusia sebagai makhluk biologis (al-Basyar) pada hakekatnya tidak berbeda dengan makhluk-makhluk
biotik lainnya walaupun struktur organnya berbeda, karena struktur organ manusia lebih sempurna
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.

Manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah, qolb, ‘aqal. Potensi
tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang tertinggi martabatnya, yang berbeda dengan
makhluk lainnya, artinya apabila potensi psikis tersebut tidak digunakan, manusia tak ubahnya seperti
binatang bahkan lebih hina.

Manusia sebagai mahluk sosial mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial terhadap alam semesta, ini
disebabkan karena manusia tidak hanya sebagai Abdullah tetapi juga sebagai khalifatullah untuk
mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akherat.

B. Proses kejadian manusia dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang berbicara tentang proses kejadian manusia, ada yang
menerangkan secara global, seperti pada ayat; Qs.al-Insan ayat 2, Qs. As-Sajdah ayat 8-9, Qs. An-Najm
ayat 32, dan seterusnya. Kemudian ada yang menerangkan secara rinci seperti Qs. Al-Mu’minun ayat 12-
14, dan Qs. Al-Hajj ayat ;5. Diantara ayat-ayat tersebut banyak yang memakai redaksi “khalaqa” dari
pada “ja’ala”, hal ini mengandung makna tersendiri dalam konteks pembicaraan penciptaan manusia.
Kata “khalaqa” mengandung pengertian “ibda’ al-syai’ min ghairi ashl, wa la ihtida” (penciptaan sesuatu
tanpa asal/pangkal dan tanpa contoh terlebih dahulu), sedangkan kata “ja’ala” yang biasa diartikan
menjadikan, merupakan lafadz yang bersifat umum yang berkaitan dengan semua aktivitas dan
perbuatan. M.Quraish Syihab, mengatakan lafadz “khalaqa” memberikan aksentuasi tentang kehebatan
dan kebesaran atau keagungan Allah dalam ciptaan-Nya, sedangkan “ja’ala” mengandung aksentuasi
terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu. Seperti pada Qs. Ar-
rum; 21 dan Ali Imran ; 190-191. Secara umum manusia berasal dari tanah (thin, turab atau al-ardl), ini
dapat dipahami bahwa ternyata dalam tubuh manusia itu terdapat unsur kimiawi yang ada dalam tanah.
Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dibentuk dari komponen-komponen yang dikandung dalam
tanah, yaitu komponen atom yang membentuk molekul yang terdapat dalam tanah dan jasat manusia.
Kata thin dan turab, memiliki makna yaitu tanah yang mengandung air, dari sinilah tumbuh segala
tanaman yang sangat dibutuhkan oleh manusia sebagai makanan. Intisari makanan tersebut
sebagiannya akan membentuk spermatozoa, yakni sel mani (ma’in mahin/ air yang hina) yang apabila
masuk ke dalam sel telor bisa menimbulkan pembuahan, inilah barangkali yang ditunjukkan oleh ayat
“min sulalah min thin”. Selanjutnya proses penciptaan manusia, seperti yang ditunjukkan dalam Qs.al-
Mu’minun, dilakukan dalam dua fase, fase pertama, yaitu fase fisik/materi, melalui tahapan;

1 nuthfah
2 ’alaqah

3 mudlghah atau pembentuk organ-organ penting

4 'idham (tulang) dan

5 pahm (daging).

Dan fase kedua yaitu fase non-materi/immateri, seperti yang ditunjuk oleh ayat “tsumma ansya’nahu
khalqan akhar”. Tahapan-tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut; Pertama, tahap nuthfah.
Tahap atau periode ini biasa dinamakan “periode ovum” dimana pertemuan antara sel kelamin bapak
(sperma) dan sel kelamin ibu (ovum) bersatu kedua intinya dan membentuk suatu zat baru dalam rahim
ibu (fii qaraarin makiin). Pertemuan antara kedua sel tersebut dalam al-Qur’an disebut “nuthfah amsaj”,
yakni percampuran air mani laki-laki dan sel telor perempuan, melalui suatu proses sehingga
memunculkan “ma’in da-fiq” atau air yang terpancar ketika berkumpul (bersenggama). Kedua, tahap
‘alaqah. Para mufassir menerjemahkan ‘alaqah dengan segumpal darah atau darah yang membeku,
seperti al-Lusi, al-Maraghi, Ath-Thabathaba’I HAMKA, dan sebagainya. Tetapi sementara ahli
kedokteran, antara lain Mauricce Bucaille menyatakan bahwa terjemahan yang tepat untuk ‘alaqah
adalah “sesuatu yang melekat”, dan ini sesuai dengan penemuan sains moderen, bahwa setelah proses
nuthfah atau periode ovum terjadilah zat baru yang kemudian membelah menjadi dua, empat, delapan
dan seterusnya sambil bergerak menuju ke kantong kehamilan dan melekat, berdempet serta masuk ke
dinding rahim, inilah yang kemudian disebut ‘alaqah. Ketiga, tahap mudlghah. Ibnu Katsir mengatakan
mudlghah sebagai “qit’ah ka al-bidl’ah min al-lahm la syaki fiha wala takhthith”, yakni sepotong daging
yang tidak berbentuk dan tidak berukuran, mudlghah inilah yang kemudian membentuk organ-organ
penting dalam perkembangan selanjutnya. Proses selanjutnya, keempat, yaitu ‘idham (tulang) yang
dibentuk dari elemen-elemen atau bahan-bahan yang terdapat dalam mudlghah, dan Kelima adalah
lahm (daging) yang juga dibentuk dari elemen mudlghah. Setelah itu Allah menjadikannya makhluk yang
berbntuk lain (…tsumma ansya’naahu khalqan akhar”), yakni bukan sekedar fisik/materi/jasad, tetapi
juga non-fisik/immateri. “al—insya’” disini mengandung arti “I-jad al-syai’ wa tarbiyatuh”
(mewujudkan/mengadakan sesuatu dan memeliharanya). Redaksi ayat tersebut tidak memakai kata “al-
khalq” yang berarti juga menciptakan, hal ini menurut ath-Thabathaba’I, karena pemakaian kata “al-
insya’” menunjukkkan terjadinya sesuatu hal yang baru yang tidak dicakup dan tidak diiringi oleh materi
sebelumnya. Pada tahap inilah, menurut Sayyid Qutub, merupakan tahap yang membedakan manusia
dengan hewan atau makhluk lainnya, pada tahap tersebut manusia memiliki ciri-ciri istimewa. Dari
uraian tentang proses kejadian manusia tersebut, maka dapat ditemukan nilai-nilai pendidikan sebagai
berikut;

Bahwa salah satu cara yang ditempuh oleh al-Qur’an dalam menghantarkan manusia untuk menghayati
petunjuk-petunjuk Allah ialah dengan cara memperkenalkan jati diri manusia itu sendiri, bagaimana asal
kejadiannya, dari mana datangnya, dan seterusnya. Di sisi lain juga ditegaskan bahwa mengenal manusia
merupakan media untuk mengenal Tuhan-Nya (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”).

Bahwa proses kejadian manusia menurut al-Qur’an pada dasarnya melalui dua proses dengan enam
tahap, yaitu proses fisik/jasad dan prodses non-fisik/immateri. Secara fisik manusia berproses dari
nuthfah, kemudian ‘alaqah, mudlghah, ‘idham dan lahm yang membungkus ‘idham atau mengikuti
bentuk rangka yang menggambarkan bentuk manusia. Sedangkan secara non-fisik, yaitu merupakan
tahap penghembusan/peniupan roh pada diri manusia sehingga ia berbeda dengan makhluk lainnya.
Pada saat ini menusia memiliki berbagai potensi, fitrah dan hikmah yang hebat dan unik, baik lahir
maupun batin. Pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan pada pengembangan jasmani dan rohani
manusia secara harmonis, serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu.

Bahwa proses kejadian manusia yang tertuang dalam al-Qur’an tersebut ternyata semakin diperkuat
oleh penemuan-penemuan ilmiah, sehingga lebih memperkuat keyakinan manusia akan kebenaran al-
Qur’an sebagai wahyu Allah. Pendidikan dalam Islam antara lain juga diarahkan kepada pengembangan
semangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran ayat-ayatNya

C. Potensi-potensi dasar manusia

Dalam diri manusia terdapat alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar yang harus diperhatikan
dalam pendidikan, Abdul fatah Jalal (1977;103), mengkaji ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan
alat-alat potensial yang dianugerahkan Allah kepada manusia sebagai berikut;

Al-lams dan al-syum (alat peraba dab alat pembau), seperti dalam Qs. Al-An’am;7, dan Qs.Yusuf; 94

Al-Sam’u (alat pendengaran), seperti; Qs. Al-Isra’;36, al-Mu,minun; 78

Al-Abshar (penglihatan) seperti; Qs.al-A’raf; 185, Yunus; 101 dan As-Sajdah; 27)

Al-Aql (akal atau daya fikir), seperti; Ali Imran; 191, al-An’am; 50, Ar-Ra’d; 19, dan Thaha; 53-54.

Al-Qalb (kalbu), seperti Qs. Al-Hajj; 46, Qs.Muhammad; 24, Asy-Syu’ara; 192-194.

Dalam diskursus para filosof Islam, manusia mempunyai bermacam-macam alat potensial yang
mempunyai kemampuan yang sangat unik, menurut mereka terdapat tiga macam jiwa dalam diri
manusia yang didalamnya terdapat beberapa potensi/daya yaitu;

1) Jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), mempunyai tiga daya yaitu; daya makan, daya
tumbuh, dan daya membiak.

1) Jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah), mempunyai dua daya, yaitu; daya penggerak (al-
muharrikah) berbentuk nafsu (al-syahwah), amarah (al-ghadlab) dab berbentuk gerak tempat (al-harkah
al-makaniyah), dan daya mencerap (al-mudrikah), berbentuk indera indera lahir (penglihatan,
pendengaran, penciuman, dst.) dan indera bathin (indera penggambar, indera pengreka, indera
pengingat, dst.)

3) Jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah), yang hanya mempunyai daya pikir yang disebut dengan akal.
Akal terbagi menjadi dua; akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi yang sifatnya
particulars, dan akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi, seperti
Tuhan, roh, malaikat, dst. Akal ini bersifat metafisis yang mencurahkan perhatian pada dunia immateri
dan menangkap keumuman. Selanjutnya, dalam diri manusia juga terdapat potensi-potensi dasar antara
lain berupa fitrah. Fitrah mempunyai beberapa pengertian, dan para ahli di kalangan Islam pun telah
memberikan berbagai macam formulasinya tentang fitrah, sehingga dapat disimpulkan bahwa fitrah
adalah merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk
menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran. Disamping
fitrah, terdapat juga potensi lainnya, yaitu nafsu yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan
kejahatan (qs. 12:53), untuk itu fitrah harus tetap dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh
dan berkembang apabila disuplay oleh wahyu, sebab itu diperlukan pemahaman al-Islam secara kaffah
(universal). Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang kepada al-Islam, semakin baik pula perkembangan
fitrahnya. Dengan demikian komponen-komponen fitrah yang merupakan potensi-potensi dasar
manusia adalah meliputi hal-hal sebagai berikut;

1) Bakat dan kecerdasan, kemampuan pembawaan yang potensial mengacu pada perkembangan
kemampuan akademis (ilmiah), dan keahlian (profesional) dalam berbagai kehidupan

2) Instink atau ghorizah, suatu kemampuan berbuat tanpa melalui proses belajar-mengajar, misalnya
instink melarikan diri karena perasaan takut, ingin tahu (curiosity), merendahkan diri karena perasaan
mengabdi, dst.

3) Nafsu dan dorongan-dorongan (drives), misalnya nafsu lawwamah yang mendorong pada
perbuatan tercela, nafsu amarah yang mendorong pada perbuatan merusak, membunuh, nafsu birahi
(eros) mendorong pada pemuasan seksual, dan nafsu muthmainnah (religios) yang mendorong ke arah
ketaatan pada Yang Maha Kuasa.

4) Karakter atau tabiat, merupakan kemampuan psikologis manusia yang terbawa sejak lahir, yang
berkaitan dengan tingkah laku moral, sosial serta etis seseorang, berhubungan dengan personalitas
(kepribadian) seseorang.

5) Heriditas atau keturunan, merupakan faktor menerima kemampuan dasar yang diwariskan oleh
orang tua.

6) Intuisi, kemampuan psikologi manusia untuk menerima ilham Tuhan, biasanya hanya dirasakan
oleh orang yang bersih atau ahli sufi.

Gambar tersebut mempunyai arti bahwa fitrah adalah kemampuan dasar perkembangan manusia yang
terbawa sejak lahir dan berpusat pada potensi dasar untuk berkembang secara menyeluruh dan
menggerakkan seluruh aspek yang secara mekanistis saling mempengaruhi, dan masing-masing
komponen tersebut bersifat dinamis, responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk
lingkungan pendidikan. Sebab itulah untuk mengembangkan dan mengarahkan potensi-potensi tersebut
perlu dilakukan melalui proses pendidikan. Semua potensi-potensi manusia baik potensi fisik, psikis
maupun potensi rohani, pada akhirnya harus difungsikan untuk menjalankan fungsi-fungsi sebagai
“abdullah” (Qs.Adz-Dzariyat; 56, al-A’raf; 172) dan “khalifatullah fi al-ard” (Qs. Al-Fathir; 39, al-An’am;
165, al-Fathir; 39, ).
D. Implikasi Terhadap Pendidikan

Alat-alat potensial dan berbagai potensi dasar atau fitrah manusia tersebut harus ditumbuh
kembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia diberi
kebebasan/kemerdekaan untuk berikhtiar mengembangkan alat-alat potensial untuk berikhtiar
mengembangkan alat-alat potensial dan potensi dasar tersebut. Namun dalam perkembangannya tidak
bisa dilepaskan dari adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap
menguasai alam, atau hukum-hukum yang biasa disebut dengan taqdir (keharusan universal atau
kepastian umum sebagai batas akhir dari ikhtiar manusia dalam kehidupannya di dunia). Disamping itu,
pertumbuhan dan perkembangan alat-alat potensial dan fitrah manusia itu juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor heriditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio-cultural, sejarah dan faktor-faktor
temporal. Sebab itu pendidikan yang dilakukan harus juga melihat faktor millieu (lingkungan) disamping
faktor-faktor yang lain; faktor tujuan, pendidik, peserta didik, dan alat pendidikan. Semuanya saling
berkaitan dan mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor lainnya. Dalam kaitannya dengan tugas
dan tujuan penciptaan manusia, yakni sebagai ‘abdullah (Qs.Adz-Dzariyat; 56), dan juga sebagai
khalifatullah (al-fathir; 39, al-An’am; 165), maka pendidikan dalam Islam antara lain adalah untuk
membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanat dari Allah yaitu menjalankan
tugas-tugas hidupnya sebagai ‘abdullah (hamba Allah yang harus tunduk dan taat terhadap segala
aturan dan kehendak-Nya serta mengabdi hanya kepada-Nya) dan juga sebagai khalifatullah.(berupa
tugas terhadap diri sendiri, keluarga/rumah tangga, dalam masyarakat dan tugas kekhalifahan terhadap
alam dengan “mengkulturkan natur dan menaturkan kultur”), Wa Allah ‘A’lam

E. Hubungan manusia dan pendidikan

Manusia sebagai makhluk yang diberikan kelebihan oleh Allah dengan suatu bentuk akal pada diri
manusia yang tidak dimiliki makhluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal
pikirannya manusia memerlukan pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran. Hubungan
manusia dengan pendidikan sangat erat karena mempunyai ikatan yang tidak dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia
yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidupnya.
Manusia disebut juga “ Homo Sapiens ” yang artinya sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan
untuk berilmu pengetahuan. Salah satu insting manusia adalah selalu cenderung ingin mengetahui
segala sesuatu disekelilingnya, yang belum diketahuinya. Berawal dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari
yang tidak bisa menjadi bisa. Dari rasa ingin tahu maka timbulah ilmu pengetahun yang bermanfaat
untuk manusia itu sendiri.

Dalam hidupnya manusia digerakan sebagian oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu dan sebagian lagi
oleh tanggung jawab sosial dalam bermasyarakat. Manusia bukan hanya mempunyai kemampuan –
kemampuan, tetapi juga mempunyai keterbatasan – keterbatasan. Manusia tidak hanya memiliki sifat –
sifat yang baik namun juga mempunyai sifat – sifat yang kurang baik. Menurut pandangan pancasila
manusia mempunyai keinginan untuk mempertahankan hidup dan menjaga kehidupan lebih baik. Setiap
manusia itu membutuhkan pendidikan. Karena melalui pendidikan manusia dapat mempunyai
kemampuan – kemampuan untuk mengatur dan mengontrol serta menentukan dirinya sendiri. Melalui
pendidikan pula perkembangan kepribadian manusia dapat diarahkan kepada yang lebih baik. Dan
melalui pendidikan kemampuan tingkah laku manusia dapat didekati dan di analisis secara murni.
Kemampuan seperti itulah yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lainnya. Manusia dapat tumbuh
dan berkembang melalui pendidikan, karena manusia dapat tumbuh berkembang melalui suatu proses
alami menuju kedewasaan baik itu bersifat jasmani maupun bersifat rohani. Oleh sebab itu manusia
memerlukan Pendidikan demi mendapatkan perkembangan yang optimal sebagai manusia. Dalam
ajaran Agama Islam memandang bahwa manusia sebagai tubuh, akal dan hati nurani. Potensi dasar
manusia yang dikembangkan itu tidak lain adalah bertuhan dan cenderung kepada kebaikan bersih dari
dosa, berilmu pengetahuan serta bebas memilih dan berkreasi. Kemampuan kreatif manusia pun
berkembang secara bertahap sesuai ukuran tingkat kekuatan dan kelemahan unsur penunjang
kerativitas seperti pendengaran, pengelihatan serta pola piker manusia tersebut. Berdasarkan undang –
undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 BAB I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Anda mungkin juga menyukai