Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA

ANAK TERANIAYA

Disusun Oleh:

- Adelia irfiyani

- Andika pratama

- Daliah

- Dwi agung ratna ningsih

- Maryati

- Mirasyah lestari

- Ruth tiar nauli sihombing

STIKES IMC BINTARO

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberi rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah tentang "Asuhan
keperawatan pada anak yang teraniaya”. Ini dapat terselesaikan. Makalah ini
diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah keperawatan jiwa 2 . Saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat


untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Penyusun

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Dalam pembuatan makalah pengkajian ini, Mahasiswa/mahasiswi
stikes Imc bintaro agar dapat memahami atau mengetahui asuhan
Keperawatan jiwa. Khususnya pada Asuhan keperawatan jiwa pada anak
yang teraniaya.
1.2. Tujuan umum & khusus
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu :

 Tujuan Umum : Agar mahasiswa mampu memahami tentang Asuhan


keperawatan jiwa pada anak yang teraniaya.
 Tujuan Khusus :

- Mahasiswa dapat mengetahui pengertian, tujuan, dan asuhan


keperawatan jiwa pada anak yang teraniaya
- Mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan jiwa pada anak yang
teraniaya
- Mahasiswa dapat mempraktekkan asuhan keperawatan jiwa pada anak
yang teraniaya
BAB II

TEORI LANDASAN

KEPERAWATAN JIWA PADA ANAK TERANIAYA

A. FAKTOR PREDISPOSISI PENGANIAYAAN


Menurut Townsend (1996), ada beberapa teori yang dapat menjelaskan
tentang faktor predisposisi, yaitu teori biologi, teori psikologi, dan teori
sosiokultural, yaitu :

1. Teori Biologi
Teori biologi terdiri atas tiga pandangan, yaitu pengaruh neurofisiologis,
biokimia, genetik, dan gangguan otak.
a. Pengaruh Neurofisiologis
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik secara jelas
terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.
b. Pengaruh Biokimia
Berbagai neurotransmitter sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif.
c. Pengaruh Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan keterkaitan dengan genetik.
d. Gangguan Otak
Penelitian membuktikan bahwa sindrom otak organik berhubungan
dengan berbagai gangguan serebral merupakan faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan sehingga terjadi penganiayaan.
2. Teori Psikologi
a. Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan
untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Perilaku agresif dan
tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka tehadap rasa
ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan
sehingga terjadi penganiayaan.
Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting.
Insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas dan insting kematian yang
diekspresikan dengan agresivitas.
b. Teori Pembelajaran
Anak-anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
yakni orang tua, kemudian mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman dan
orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau yang
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan mereka dengan hukuman fisik akan
cenderung berperilaku keras setelah dewasa.
3. Teori Sosiokultural
Selain pengaruh biologis dan psikologis, faktor budaya dan struktural
sosial juga berpengaruh terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara menyelesaikan
masalah.

Jenis penganiayaan terdiri atas penganiayaan terhadap wanita,


penganiayaan terhadap anak-anak, dan penganiayaan terhadap orang tua (Boyd
& Nihart, 1998).

1. Penganiayaan Terhadap Wanita


Berdasarkan hasil penelitian, ternyata wanita yang tidak menikah, wanita
yang bercerai atau berpisah dari suaminya cenderung lebih beresiko mengalami
penganiayaan daripada wanita yang menikah (Sassetti, 1993).
Penganiayaan pada wanita tidak hanya bersifat fisik atau seksual, tetapi
juga emosional, membatasi kebebasan, merusak properti, mengancam, atau
mengisolasi dari keluarga dan teman.
2. Penganiayaan Terhadap Anak
Semua tindak penganiayaan pada anak merupakan tindakan yang
merenggut semua hak yang seharusnya dimiliki oleh anak-anak. Termasuk hak
anak untuk berperilaku sebagai anak, merasa aman dan dilindungi dari bahaya,
diberi makan dan pakaian serta diasuh dengan kasih sayang sehingga anak dapat
tumbuh dan berkembang.
Anak-anak yang pernah mengalami penganiayaan atau menyaksikan
penganiayaan terhadap ibunya, cenderung akan bertindak kejam pada usia
dewasa.
Penganiayaan pada anak umumnya meliputi penganiayaan fisik, seksual,
penelantaran, dan penganiayaan emosional.

a. Penganiayaan Fisik
Penganiayaan fisik dapat berupa tindakan memukul menendang,
melempar, menyundut dengan rokok, dan berbagai bentuk
kekerasan/penganiayaan lainnya yang dapat menimbulkan cedera. Cedera fisik
yang mungkin dialami korban meliputi cedera pada kulit atau jaringan lunak,
fraktur, gigi rontok, luka bakar, kebiruan karena dicambuk, rambut rontok
karena dijambak, luka tembak, tusuk pisau, perdarahan pada retina dan
perdarahan di conjungtiva (Fontaine, 1996).

b. Penganiayaan Seksual
Ada dua kategori penganiayaan seksual, yakni inses (incest) dan
penganiayaan seksual yang dilakukan bukan oleh anggota keluarga.
Inses merupakan semua bentuk kegiatan seksual antara anak di bawah
usia 18 tahun dengan anggota keluarga dekat (orang tua kandung, orang tua tiri,
saudara kandung), anggota keluarga besar (kakek/ nenek, paman, bibi, sepupu),
atau orang tua angkat (Rappley & Speare, 1993).
Penganiayaan seksual di luar keluarga adalah bentuk kontak seksual
antara bukan anggota keluarga dengan anak di bawah usia 18 tahun.
Penganiayaan seksual akan menimbulkan trauma. Reaksi negatif dari
orang yang dekat dengan korban, tenaga kesehatan, atau orang lain dapat
memperparah trauma.
c. Penelantaran Anak
Ada beberapa jenis penelantaran anak, yakni gagal melindungi anak,
penelantaran fisik, dan penelantara medik.
Gagal melindungi anak seperti terminum racun, kesetrum listrik, jatuh
dan terbakar. Penelantaran fisik meliputi gagal memberi makan, pakaian, dan
tempat tinggal. Penelantaran medik mencakup gagal memberi kebutuhan
pelayanan kesehatan pada anak.
d. Penganiayaan Emosional
Lima kategori penelantaran emosional terhadap anak adalah menolak,
mengisolasi, meneror, mengabaikan, dan mengorupsi anak.
Menolak untuk mengakui betapa bernilainya seorang anak. Mengisolasi
dengan memutus lingkungan anak dengan lingkungan sosial. Meneror dengan
menciptakan lingkungan yang menakutkan bagi anak. Mengabaikan kebutuhan
psikologis anak sehingga anak merasa kelaparan secara emosional. Mengorupsi
dengan melibatkan anak pada perilakudestruktif dan antisosial serta mendukung
perilaku menyimpang.

3. Penganiayaan Terhadap Lansia


Pengniayaan terhadap lansia mengakibatkan cedera fisik atau
penelantaran emosional  meliputi menentang keinginan lansia, mengintimidasi,
atau membuat keputusan yang kejam. Penganiayaan terhadap lansia umumnya
dilakukan oleh anak-anak mereka.

B. RESPON KORBAN TINDAK KEKERASAN ATAU PENGANIAYAAN


Respon korban tindak kekerasan atau penganiayaan sangat bergantung
pada tingkat perkembangan korban pada saat terjadi tindak kekerasan tersebut.
Foley cit Shives (1994), menjelaskan reaksi korban tindak kekerasan atau
penganiayaan sesuai dengan tingkat perkembangan mulai dari masa bayi sampai
usia dewasa tua. Rasa percaya pada orang dewasa akan terguncang selama masa
bayi (0-3 tahun); preokupasi dengan tindakan yang salah dan benar pada masa
kanak-kanak (4-7 tahun); persepsi yang salah terhadap tindak kekerasan selama
masa laten (7 tahun hingga remaja); kerancuan terhadap perilaku tindak
kekerasan dan akibatnya sebagai remaja (pubertas sampai 18 tahun); kepedulian
terhadap kredibilitas, gaya hidup dan nilai moral terjadi pada masa dewasa
muda (18-24 tahun); kepedulian bagaimana tindak kekerasan dapat
mempengaruhi kehidupan keluarga dan gaya hidup selama masa dewasa (25-45
tahun); serta kepedulian terhadap keselamatan diri, takut mati, reputasi dan
kehormatan, dirasakan oleh orang yang sudah tua (45 tahun dan lebih tua).
Respon penganiayaan dapat ditinjau dari respon fisik, biologis,
psikologis, perilaku dan respon interpersonal (Boyd & Nihart, 1998).

1. Respon Fisik
Korban tindak penganiayaan menderita sejumlah konsekuensi fisik dari
yang ringan hingga berat. Cedera ringan berupa abrasi atau lecet. Cedera berat
berupa trauma gandu, fraktur yang parah, dan cedera pada bagian dalam tubuh.
2. Respon Biologis
Depresi merupakan salah satu respon yang paling sering terjadi akibat
penganayaan. Respon tubuh terhadap stress bersifat kompleks, sistem reaksi
yang terintegrasi mempengaruhi tubuh dan jiwa.
3. Respon Psikologis
Respon psikologis terdiri atas harga diri rendah, rasa bersalah, malu dan
marah.
4. Respon Perilaku
Wanita yang pernah mengalami penganiayaan, terutama penganiayaan
seksual pada masa kanak-kanak, sering kali menjadi peminum alkohol atau
menyalahgunakan zat lainnya.
5. Respon Interpersonal
Sebagai akibat dari penganiayaan yang sering dilakukan oleh keluarga
dekat bahkan orang tua yang seharusnya menyayangi dan melindungi mereka,
anak-anak korban penganiayaan akan tumbuh sebagai orang dewasa yang sulit
menjalin hubungan rasa percaya dan intim.
C. PROSES ADAPTASI
Proses adapatasi untuk mengembalikan keseimbangan dengan
membebaskan diri dari perasaaan takut dan perasaan tidak berdaya disebut
dengan sindrom trauma tindak kekerasan. Sindrom trauma tindak kekerasan
terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap akut atau disorganisasi dan tahap jangka panjang
atau reorganisasi.

1. Adaptasi Tahap Akut atau Disorganisasi


Tahap disorganisasi meliputi reaksi pertama yang diekpresikan atau
reaksi yang ditahan/ dikendalikan, reaksi fisik, dan reaksi emosional terhadap
situasi yang mengancam kehidupan korban.
Pada tahap akut ini, wanita yang mengalami tindak kekerasan biasanya
merasa cemas, marah, merasa bersalah, merasa terhina, mengingkari, syok,
tidak percaya, atau merasa takut mati, bahkan merasa ingin balas dendam.
Reaksi fisik bergantung pada cedera tubuh yang dialami. Merasa sakit pada
bagian tertentu yang terkena serangan atau bersifat umum, seperti merasakan
otot yang tegang. Reaksi emosional berupa perasaan takut, takut
membahayakan tubuh, takut mati, disertai perasaan lain seperti marah, terhina
dan menyalahkan diri sendiri.
2. Adaptasi Tahap Jangka Panjang atau Reorganisasi
Reorganisasi adalah proses penyesuaian atau adaptasi selama beberapa
bulan setelah terjadi tindak kekerasan atau penganiayaan. Stuart & Sundeen
(1995) dan Johnson (1996) menyatakan bahwa korban tindak kekerasan atau
penganiayaan mengalami masalah psikologis yang berkepanjangan. Pemulihan
keseimbangan fisik, psikologis, sosial, spiritual dan seksual terjadi berbulan
atau bertahun kemudian.
Pada tahap ini, yang penting dialami adalah :
a. Mendapatkan kembali rasa aman
b. Mengatasi perasaan takut
c. Mengakhiri perasaan kehilangan, seperti kehilangan harga diri dan rasa
percaya
d. Menyatukan kejadian di dalam diri secara menyeluruh.
BAB III
PEMBAHASAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA ANAK YANG
TERANIAYA

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data, analisa data, dan perumusan
masalah atau kebutuhan klien atau diagnosa keperawatan.
Apabila telah terjadi penganiayaan, perawat kemungkinan besar akan menhadapi
orang tua yang menolak. Karena itu, perlu tetap tegas dengan nada suara terkendali, dan tidak
bersikap mengancam. Kerja sama yang baik dengan orang tua akan sangat menguntungkan
proses pemulihan anak.
Menurut Beck, Rawlins & Williams (1993), pengkajian meliputi dimensi atau aspek
fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual, sebagai berikut:
a. Aspek fisik
Gambar penting yang terdapat pada tubuh anak yang teraniaya adalah berbekasnya
akibat tindakan yang terjadi berulang kali. Terlihat bekas trauma yang sering diikuti dengan
petunjuk lain berupa bekas luka atau patah tulang. Perawat perlu memeriksa seluruh bagian
tubuh anak dengan hati-hati sehingga tidak ada bagian yang terlepas dari pengamatan. Semua
tanda-tanda trauma eksternal dicatat meliputi bentuk, ukuran, lokasi, dan warna.
Trauma kepala merupakan penyebab utama kematian pada anak usia 2 tahun ke
bawah. Karena itu, perawat perlu memeriksa bagian dalam. Semua lubang yang terdapat pada
tubuh anak diperiksa untuk menemukan indikasi trauma.
Pada umumnya, luka yang ditemukan pada anak yang teraniaya, antara lain :
1) Luka kepala akibat pukulan bagian atas tubuh dengan benda tumpul atau dengan
membanting anak ke dinding.
2) Luka internal akibat tendangan atau dilempar dari tangga.
3) Laserasi dan kontusio akibat pukulan dengan ikat pinggang atau gantungan pakaian.
4) Kontusio multipel karena tusukan.
5) Luka bakar karena sundutan rokok, disiram air panas, atau dipaksa untuk meletakkan
tangannya pada kompor berapi.
6) Hematoma.
7) Bekas gigitan manusia.
b. Aspek emosional
Anak yang biasa dianiaya oleh orang yang seharusnya melimpahkan kasih sayang,
sering mengalami kesulitan untuk mempercayai orang lain. Dalam hal ini, perawat harus
sabar dan tidak terlalu menuntut anak untuk memberi keterangan sesegera mungkin. Mereka
menjadi korban penganiayaan, karena mereka tidak mampu memenuhi harapan dan tuntutan
orang tuanya, walaupun sebenarnya tuntutan tersebut tidak realistis.
Pengkajian emosional meliputi rasa takut, sedih, tidak berdaya, putus asa, depresi,
malu, tidak percaya, menarik diri, agresif, bermusuhan, melawan, dan berperilaku aneh.
c. Aspek intelektual
Tugas utama perawat dalam mengkaji aspek intelektual anak adalah memahami arti
ucapan anak. Untuk itu, perawat harus mengerti proses perkembangan kognitif anak.
Penganiayaan dan penelantaran menghambat proses perkembangan dan kematangan anak.
d. Aspek sosial
Perawat perlu mengamati dengan cermat interaksi antara orang tua dan anak.
Perhatikan apakah orang tua tidak bersedia meninggalkan anaknya sendirian dengan perawat
atau tenaga kesehatan lainnya? Apakah orang tua tampak terlalu melindungi anak? Apakah
orang tua membiarkan anaknya menjawab langsung pertanyaan perawat atau cenderung
memotong pembicaraan dan selalu ingin menjawab pertanyaan? Orang tua mungkin saja
takut anaknya akan menceritakan kejadian sebenarnya.
e. Aspek spiritual
Pada awalnya anak belajar tentang nilai dari orang tua atau pengasuhnya. Apabila
anak telah belajar mengenai konsep “Yang Maha Kuasa”, mungkin ia akan mengalami
kesulitan untuk mengintegrasikan penganiayaan dengan konsep tersebut. Berbeda dengan
anak yang lebih tua, ia mungkin mempertanyakan mengapa “Yang Maha Kuasa”
membiarkan penganiayaan yang dialaminya.
Dalam tahap pengkajian, perawat perlu memperhatikan dan mencatat riwayat
terjadinya luka/ memar, pemeriksaan fisik, keadaan gizi, keadaan emosional, tingkat tumbuh
kembang anak secara menyeluruh, interaksi keluarga, interaksi interpersonal, dan riwayat
kesehatan.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang biasa diterapkan pada anak yang teraniaya dan terlantar,
antara lain:
1) Perubahan rasa nyaman berkaitan dengan luka sundutan rokok.
2) Potensi untuk cedera karena diusir.
3) Gangguan konsep diri berkaitan dengan penganiayaan.
4) Perubahan keadaan gizi karena penelantaran.
5) Penyelesaian masalah yang tidak efektif karena tingkat stress yang tinggi.

3. Perencanaan
Tujuan jangka panjang adalah membina lingkungan yang aman bagi anak. Tujuan
berikutnya yaitu mengakhiri trauma akibat penganiayaan orang tua. Perawat harus hati-hati
ketika menentukan tujuan yang ingin dicapai.

4. Implementasi
Peran utama perawat adalah memberikan asuhan keperawatan dan melindungi anak,
tanpa mengesampingkan keluarga. Empati dan kematangan jiwa perawat sangat diperlukan
dalam memberi asuhan keperawatan pada anak teraniaya, komunikasi harus tetap terbuka
bagi anak, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
a. Aspek fisik
Walaupun Rumah Sakit merupakan tempat yang paling aman bagi anak, sebaiknya
perawat tidak mengabaikan kemungkinan kekerasan tetap dilakukan orang tua anak tersebut,
karena orang tua merasa perlu untuk tetap mengendalikan anaknya.
b. Aspek emosional
Pengalama terapeutik memungkinkan anak untuk menggali perasaan terhadap
keluarganya yang telah menganiaya dirinya sehingga perasaan ambivalen dapat dimodifikasi.
Dengan demikian, ia akan mampu bermasyarakat tanpa merasa takut.
c. Aspek sosial
Perawat membantu anggota keluarga untuk memperluas interaksi mereka dengan
masyarakat. Keluarga dianjurkan untuk mengembangkan bantuan masyarakat dan jaringan
sosial. Begitu pula anak diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan orang dewasa di
sekitarnya sehingga memberi kesempatan pada anak untuk menimbulkan kembali rasa
percaya pada orang lain.
d. Aspek spiritual
Anak mungkin meyakini  bahwa penganiayaan yang dialaminya merupakan hukuman
Tuhan. Perawat membantu anak mempertebal sumber spiritual dalam dirinya dengan
menekankan pada rasa berharga dan bernilai sebagai manusia.

5. Evaluasi
Indikator keberhasilan dalam rencana keperawatan menuntun perawat dalam proses
evaluasi. Indikator keberhasilan disusun dengan menggunakan istilah yang dapat diukur.
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Dengan mempelajari asuhan keperawatan jiwa pada anak yang teraniaya ini
sebagaimana disampaikan dimuka maka dapat disimpulkan bahwa perawat harus memahami
apa yang harus dilakukan secara tepat dan akurat sehingga klien dapat memperoleh haknya
secara tepat dan benar. Asuhan keperawatan jiwa pada anak yang teraniaya sesuai dengan
karakteristik dapat memberikan asuhan keperawatan yang relevan .

4.2 SARAN
Dengan mengetahui asuhan keperawatan jiwa pada anak yang teraniaya diharapkan
perawat bisa mengetahiu metode mana yang pantas dan harus kita terapkan dalam keadaan
dan situasi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Kperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
2. http://nersjiwa.blogspot.com/2008_04_20_archive.html
3. http://kdrt.webs.com/pendahuluandefinisibent.htm
4. http://magetanonline.com/bentuk-bentuk-penganiayaan/
6. http://mieraswitz.wordpress.com/2011/10/11/penganiayaan/

Anda mungkin juga menyukai