Anda di halaman 1dari 175

Cetakan ke 2

SAMBUTAN MENTERI
SOSIAL RI

Assalammualaikum wr.wb

Salam sejahtera bagi kita semua

Puji dan syukur kami panjatkan


kehadirat Allah SWT, atas ridho Nya
yang selalu memberikan semangat dan kekuatan kepada kita semua
sehingga menjadi pelaku penyelenggaraan pembangunan
kesejahteraan sosial. Keikhlasan, amanah serta peduli dan berbagi
mengentaskan permasalahan sosial tidak mudah tanpa didasari rasa
tanggungjawab bersama menuju Indonesia Emas yang bebas dari
segala permasalahan sosial

Indonesia saat ini tengah dilanda masalah besar yang berdampak pada
stabilitas nasional generasi muda yaitu permasalahan miras dan
narkoba/NAPZA. Hasil dari PUSLITKES Universitas Indonesia dan
BNN tahun 2011 bahwa angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di
Indonesia telah mencapai 2,23% atau 4,2 juta orang dari populasi
penduduk berusia 10-59 tahun dan diproyeksikan tahun 2015, jumlah
pengguna Napza kurang lebih 2,8% atau setara dengan 5,6 juta jiwa
dari populasi penduduk Indonesia. Data tersebut menggerakkan saya
selaku Menteri Sosial untuk cepat berfikir, bertindak, mencegah

i
pertumbuhan yang lebih besar dan berujung kepada ancaman stabilitas
negara.

Undang-undang nomor 11 tahun 2009 Bab 5 pasal 25 telah


mengamanatkan Kementerian Sosial sebagai penyelenggara
kesejehteraan sosial mempunyai tugas dan fungsi dalam menciptakan
kesejahteraan sosial. Kementerian Sosial RI sebagai salah satu
institusi negara yang turut berperan dalam penanganan permasalahan
miras dan narkoba/NAPZA perlu berperan aktif dengan suatu karya
yang dapat diterima manfaatnya oleh masyarakat. Permasalahan
penyalahgunaan Miras dan Narkoba/NAPZA akan dapat diselesaikan
apabila seluruh komponen bangsa berkomitmen untuk berupaya
mencegah dan menanggulangi peredaran miras dan narkoba/NAPZA
dengan mempersempit ruang gerak dalam masyarakat terhadap
berbagai modus operandi yang direncanakan oleh sindikat jaringan.

Saya menyambut baik atas tersusunnya modul yang membahas


tentang pencegahan bahaya serta dampak dari Miras dan
Narkoba/Napza, sebagai buku panduan penyuluhan dalam
mengkampanyekan lebih baik mencegah daripada mengobati, dan
katakan TIDAK serta menolak miras, Narkoba/NAPZA. Sebagai
komitmen bersama untuk mewujudkan Indonesia bebas
Narkoba/NAPZA.

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang


telah membantu penyusunan modul. Semua yang telah dicapai akan

ii
memberi manfaat besar bagi diri sendiri dan orang lain dan ini
merupakan bagian dari komitmen dan pengabdian kepada masyarakat.

Wassalamualaikum wr.wb.

JAKARTA, MEI 2015


MENTERI SOSIAL RI

KHOFIFAH INDAR PARAWANSA

iii
PRAKATA

Assalamu’alaikum wr. wb.

Dengan hormat,

Pertama-tama marilah kita


munajatkan puji dan syukur ke hadirat
Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas perkenan-Nya-lah buku
Panduan Penyuluhan Sosial tentang Pencegahan
Penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA dapat diterbitkan.

Buku panduan ini amat penting bagi para penyuluh sosial


dalam mensosialisasikan bahaya penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA. Dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat,
para penyuluh hendaknya dapat memberikan pemahaman tentang
bahaya Miras dan Narkoba/NAPZA, gejala awal, gangguan mental
dan perilaku. Selain daripada itu para penyuluh juga dibekali tentang
strategi pencegahan, terapi dan rehabilitasi.

Besar harapan kami dengan bekal buku panduan ini, para


penyuluh dapat berpartisipasi dalam menanggulangi dampak
penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA yang merupakan salah
satu masalah sosial di negeri yang kita cintai ini.

v
Akhirulkalam, atas perhatian dan perkenannya kami haturkan
banyak terima kasih. Semoga Allah SWT. memberikan petunjuk,
taufiq dan hidayah serta lindungan-Nya kepada kita sekalian. Amin.

Wabillahitaufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum wrwb.

Hormat kami,

Prof. Dr. dr. H. Dadang


Hawari, Psikiater

vi
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan


Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya,
serta atas kerjasama dari berbagai pihak,
Kementerian Sosial melalui Pusat Penyuluhan
Sosial telah berhasil menerbitkan modul
Pencegahan Penyalahgunaan Miras dan
Narkoba/NAPZA. Kementerian Sosial RI sebagai
salah satu institusi negara yang turut berperan dalam penanganan
permasalahan miras dan narkoba/NAPZA yang saat ini banyak
disalahgunakan oleh masyarakat yang tidak memahami bahaya atau dampak
dari penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA.

Pembuatan modul ini dimaksudkan untuk memberikan panduan penyuluhan


tentang pencegahan penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA sehingga
memudahkan bagi pihak-pihak yang berkomitmen untuk mewujudkan
Indonesia bebas narkoba/NAPZA. Permasalahan penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA akan dapat diselesaikan apabila seluruh komponen bangsa
berkomitmen dalam upaya pencegahan dan penanggulangan peredaran miras
dan narkoba/NAPZA dengan mempersempit ruang gerak dalam masyarakat
terhadap berbagai modus operandi yang direncanakan oleh sindikat jaringan.

Saya bangga penyuluhan sosial telah dapat membuat modul tentang


pencegahan penyalahgunaan Miras dan Narkoba/NAPZA sesuai dengan
tugas dan fungsi penyuluhan sosial sebagai unit penunjang untuk

vii
melaksanakan penyuluhan sosial tentang program-program penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial di seluruh unit teknis Kementerian Sosial RI. Semoga
modul ini dapat dijadikan pedoman penyuluhan sosial oleh seluruh pihak-
pihak yang berkomitmen dalam pencegahan dan penyalahgunaan Miras,
Narkoba/NAPZA.

JAKARTA, MEI 2015


SEKRETARIS JENDERAL

TOTO UTOMO BUDI SANTOSA

viii
DAFTAR ISI

Halaman
Sambutan Menteri Sosial RI ………………………………...……... i
Prakata ………………………………………………………..……. v
Kata Pengantar ……………………………………………..………. vii
Daftar Isi……………………………………………...…..…………. ix
BAB I Pendahuluan…………………………………...…...………... 1
BAB II Alur Kegiatan Penyuluhan Sosial …………….......……….. 7
BAB III Modul 1 : Pemahaman Tentang Miras Dan Narkoba /
Napza ………………………………………………………….……. 13
BAB IV Modul 2 : Deteksi Dini Penyalahgunaan Miras Dan
Narkoba……………………………………………………….…...... 39
BAB V Modul 3 : Strategi Pencegahan Penyalahgunaan Miras
Dan Narkoba…………………………………….......................…… 53
BAB VI Modul 4 : Terapi Dan Rehabilitasi…………………...…… 99
BAB VII Penutup …………………………………………...…..….. 131
Lampiran 1 : Pre dan Post Test ……………………………………. 133
Lampiran 2 : Simulasi Permainan ………………………………….. 139
Lampiran 3 : Data IPWL Kementerian Sosial RI …………….....…. 147

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Miras (Minuman Keras) dan Narkoba (Narkotika,


Obat-obatan dan Bahan Berbahaya Lainnya) atau dalam
bahasa ilmiah dikenal dengan istilah NAPZA (Narkotika,
Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya) pada mulanya
ditemukan dan dikembangkan untuk pengobatan dan
penelitian. Namun seiring dengan globalisasi dan
perkembangannya, berbagai jenis obat tersebut kemudian
disalahgunakan untuk mencari kenikmatan sementara dan
untuk menghindar dari masalah yang akhirnya menyebabkan
ketagihan dan kecanduan atau ketergantungan. Bermula dari
rasa ingin tahu, dan bersenang-senang pemakai sering kali
pada awalnya berpikir bahwa kalau hanya coba-coba saja tidak
mungkin kecanduan atau ketagihan, namun tanpa disadari akan
meningkat dan pada akhirnya menjadi ketergantungan.

Penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA di


Indonesia telah sampai pada tahap yang sangat
menghawatirkan. Data tahun 2011 menyebutkan bahwa jumlah
pengguna Miras dan Narkoba/NAPZA di Indonesia mencapai
4,2 juta (BNN, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Hawari,
dkk. (1998) menyebutkan bahwa angka sebenarnya adalah 10
kali lipat dari angka resmi (dark number=10). Atau dengan
kata lain bila ditemukan 1 orang penyalahguna/ketergantungan
miras dan narkoba/NAPZA artinya ada 10 orang lainnya yang
tidak terdata resmi. Sedangkan jumlah korban penyalahgunaan
miras dan narkoba/NAPZA dalam kurun waktu tahun 2010
sampai dengan 2014 yang sudah direhabilitasi hanya sebanyak
34.467 (BNN,2014). Melihat data tersebut maka pemerintah
menetapkan Indonesia dalam keadaan darurat Narkoba.

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009


tentang narkotika, bahwa miras dan narkoba/NAPZA tidak
diperbolehkan disalahgunakan dan diedarkan secara gelap.
Masih menurut undang-undang tersebut bahwa miras dan
narkoba/NAPZA boleh digunakan dan boleh diedarkan dalam
dunia pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Sekarang ini banyak jenis-jenis obat dan zat tergolong miras
dan narkoba/NAPZA yang tidak dikenal dalam dunia
pengobatan dan dunia pengembangan ilmu pengetahuan yang
disalahgunakan dan diedarkan secara gelap. Ketergantungan
(ketagihan) terhadap miras dan narkoba/NAPZA dapat
menimbulkan gangguan kesehatan jasmani, kesehatan jiwa,
dan kesehatan sosial.

Kementerian Sosial menyikapi berbagai fenomena


sosial yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat yang
rentan menjadi sasaran peredaran penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA. Kondisi tersebut akan menjadi akut apabila
tidak dilakukan upaya-upaya intervensi untuk meminimalisir
ruang gerak peredaran penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab terhadap komponen bangsa khususnya
generasi muda. Kondisi darurat yang paling krusial dalam
konteks analisis sosial, bahwa penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA memberikan dampak yang sangat signifikan,
tidak hanya dalam konteks kesehatan individunya, tetapi yang
sangat mengancam adalah pada konteks perilaku sosial
individu yang berdampak kepada perilaku sosial lingkungan.
Sisi lain miras dan narkoba/NAPZA yang disalahgunakan
merupakan salah satu kejahatan yang merusak tatanan mental
masyarakat yang akan berpengaruh besar terhadap eksistensi
suatu negara.

Masalah miras dan narkoba/NAPZA di tanah air


merupakan masalah multidimensi dan multi sektoral, sehingga
untuk mengatasinya diperlukan komitmen dan kerjasama
dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang
terkait, baik pemerintah maupun masyarakat. Berpijak dari
persoalan darurat miras dan narkoba/NAPZA, Kementerian
Sosial sebagai salah satu institusi pemerintah yang memiliki
tanggung jawab dibidang sosial sesuai mandat Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial,
memandang perlu untuk melibatkan unsur terkait, meliputi
pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam meminimalisir
permasalahan sosial diantaranya korban penyalahgunaan
napza.

Pusat Penyuluhan Sosial memandang perlu membuat


modul penyuluhan sosial yang dapat digunakan oleh semua
pihak yang memiliki komitmen untuk mencegah peredaran
maupun penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA. Modul
tersebut disusun secara bersama-sama dengan stakeholder,
baik dari unsur pemerintah maupun unsur masyarakat.

B. LANDASAN HUKUM

1. Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika


2. Undang-undang No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan
sosial.
3. Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika
4. Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2012 tentang
penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
5. Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 2013 tentang
pelaksanaan Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika
6. Permensos No. 56 tahun 2009 tentang Pelayanan dan
Rehabillitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika, dan zat adiktif lainnya

C. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud
Maksud diterbitkannya modul ini adalah tersedianya metode,
teknik dan materi penyuluhan yang digunakan untuk
melaksanakan kegiatan penyuluhan tentang bahaya
penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA di lingkungan
masyarakat umum, lembaga, dan instansi yang memiliki
komitmen untuk mencegah peredaran maupun penyalahgunaan
Miras dan narkoba/NAPZA.

2. Tujuan
Modul penyuluhan sosial tentang Pencegahan dan Penanganan
Penyalahgunaan Miras dan narkoba/NAPZA, bertujuan untuk:
a. Sebagai buku acuan kepada semua pihak yang memiliki
komitmen untuk melakukan penyuluhan pencegahan
peredaran maupun penyalahgunaan Miras dan
narkoba/NAPZA.
b. Memberikan pemahaman yang sama kepada semua pihak
yang memiliki komitmen untuk melakukan penyuluhan
pencegahan peredaran maupun penyalahgunaan Miras dan
narkoba/NAPZA.
D. SASARAN

1. Relawan Anti Narkoba dari seluruh lapisan masyarakat


2. Penyuluh sosial
3. Kader Rehabilitasi Berbasis Masyarakat
4. Fasilitator
5. Aparat Pemerintah
6. Konselor adiksi Napza.

E. SISTEMATIKA MODUL

Modul ini memiliki sistematika sebagai berikut:


Sambutan Menteri Sosial RI
Prakata
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
BAB II Alur Kegiatan Penyuluhan Sosial
BAB III Modul 1 : Pemahaman Tentang Miras Dan Narkoba /
Napza
BAB IV Modul 2 : Deteksi Dini Penyalahgunaan Miras Dan
Narkoba
BAB V Modul 3 : Strategi Pencegahan Penyalahgunaan
Miras Dan Narkoba
BAB VI Modul 4 : Terapi Dan Rehabilitasi
BAB VII Penutup
Lampiran
Lampiran 1 : Pre dan Post Test
Lampiran 2 : Permainan Simulasi
Lampiran 3 : Data dan Alamat IPWL Kemensos RI
BAB II

ALUR KEGIATAN PENYULUHAN SOSIAL

A. DASAR PEMIKIRAN

Ban (1999) menyatakan bahwa penyuluhan


merupakan sebuah intervensi sosial yang melibatkan
penggunaan komunikasi informasi secara sadar untuk
membantu masyarakat membentuk pendapat mereka sendiri
dan mengambil keputusan dengan baik. Margono Slamet
(2000) menegaskan bahwa inti dari kegiatan penyuluhan
adalah untuk memberdayakan masyarakat. Memberdayakan
berarti memberi daya kepada yang tidak berdaya dan atau
mengembangkan daya yang sudah dimiliki menjadi sesuatu
yang lebih bermanfaat bagi masyarakat yang bersangkutan.

Penyuluhan dapat pula diartikan sebagai: proses


perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk
memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat
melalui proses belajar bersama yang partisipati, agar terjadi
perubahan perilaku pada diri semua stakeholders (individu,
kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses
pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin
berdaya, mandiri, dan partisipatif yang semakin sejahtera
secara berkelanjutan. Proses belajar bersama dalam
penyuluhan, sebenarnya tidak hanya diartikan sebagai
kegiatan belajar secara insidental untuk memecahkan
masalah yang sedang dihadapi, tetapi yang lebih penting
dari itu adalah penumbuhan dan pengembangan semangat
belajar seumur hidup (long life learning) secara mandiri dan
berkelanjutan.

Penyuluhan Sosial adalah suatu proses pengubahan


perilaku yang dilakukan melalui penyebarluasan informasi,
komunikasi, motivasi dan edukasi oleh Penyuluh Sosial baik
secara lisan, tulisan maupun peragaan kepada kelompok
sasaran sehingga muncul pemahaman yang sama,
pengetahuan dan kemauan guna berpartisipasi secara aktif
dalam pembangunan kesejahteraan sosial (Peraturan
Bersama Menteri Sosial dan Kepala Badan Kepegawaian
Negara Nomor 41/Huk-PPS/2008, Nomor 13 Tahun 2008
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh
Sosial dan Angka Kreditnya).

Dari definisi penyuluhan sosial tersebut maka


Penyuluhan narkoba adalah sebuah upaya secara sadar dan
berencana yang dilakukan untuk mengubah perilaku
manusia, sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan, yakni
pada tingkat sebelum seseorang menggunakan narkoba, agar
mampu menghindar dari penyalahgunaannya. Upaya ini
diharapkan efektif karena ditujukan pada mereka yang
belum pernah menggunakan atau sudah menggunakan pada
tingkat coba-coba. Sebaliknya perlu kewaspadaan dalam
memberikan informasi dan penyuluhan tentang narkoba
kepada anak dan remaja karena dapat membangkitkan
keingintahuan dan mencoba. Sasaran dari upaya ini juga
termasuk orang-orang dengan resiko tinggi yang memiliki
masalah yang tidak mampu dipecahkan sendiri, sehingga
dalam kehidupannya sering mencari pemecahan keliru,
seperti perilaku untuk mencari kepuasan sementara melalui
penggunaan narkoba
B. DIAGRAM ALUR PROSES PENYULUHAN

PEMBUKAAN

PRE TEST

MEMBANGUN KOMITMEN

PENYAMPAIAN MODUL

1. MODUL I : PEMAHAMAN TENTANG MIRAS DAN NARKOBA /


NAPZA
2. MODUL II : DETEKSI DINI PENYALAHGUNAAN MIRAS DAN
NARKOBA
3. MODUL III : STRATEGI PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN MIRAS
DAN NARKOBA
4. MODUL IV : TERAPI DAN REHABILITASI
*) menggunakan metode dan alat bantuyang sesuai pada masing-
masing modul
POST TEST

PENUTUPAN
C. URAIAN ALUR PROSES PENYULUHAN

1. Pembukaan

Proses ini meliputi beberapa kegiatan sebagai berikut:


a. Pengarahan
Pengarahan dilaksanakan oleh pengguna modul atau
penanggung jawab kegiatan penyuluhan sosial
b. Perkenalan
Perkenalan antara pengguna modul atau penanggung
jawab kegiatan penyuluhan sosial dengan peserta
penyuluhan

2. Pre Test

Pelaksanaan Pree Test dimaksudkan untuk mengetahui


sejauh mana pemahaman awal peserta terhadap materi
yang diberikan pada setiap modul.

Proses ini meliputi kegiatan sebagai berikut :


a. Penjelasan pengisian pre test
b. Membagikan lembar pre test
c. Peserta mengisi lembar pre test
d. Peserta mengumpulkan lembar pre test kepada
pengguna modul

3. Membangun Komitme n

Kegiatan ini ditujukan untuk mempersiapkan peserta


dalam mengikuti proses penyuluhan sosial pada
penyampaian setiap modul. Proses ini meliputi kegiatan
sebagai berikut:
a. Penjelasan oleh pengguna modul tentang tujuan
penyuluhan sosial yang akan dilakukan.
b. Perkenalan antara peserta pengguna modul,
narasumber dan penanggung jawab.
(kegiatan ini dilakukan dengan permainan sehingga
seluruh peserta terlibat aktif)
c. Mengemukakan kebutuhan/harapan,
hambatan/masalah, dan komitmen masing-masing
peserta selama penyuluhan sosial
d. Kesepakatan antara peserta, pengguna modul,
narasumber dan penanggung jawab

4. Penyampaian Modul

Setelah membangun komitmen pada setiap modul,


kegiatan dilanjutkan dengan memberikan penjelasan
materi sesuai dengan modul yang disuluhkan.
Penyampaian materi tersebut menggunakan metode dan
alat bantu yang sesuai pada setiap modul.

Pengguna modul dapat mengembangkan materi


penyuluhan sosial pada setiap modul dalam mencapai
tujuan penyuluhan sosial.

5. Post Test

Post Test adalah kegiatan evaluasi yang dilakukan


setelah penyampaian materi pada setiap modul dengan
cara mereview pemahaman dari materi yang
disampaikan.

Proses ini meliputi kegiatan sebagai berikut :


a. Penjelasan pengisian post test
b. Membagikan lembar post test
c. Peserta mengisi lembar post test
d. Peserta mengumpulkan lembar post test kepada
pengguna modul

6. Penutupan

Penutupan kegiatan dapat dijadikan sebagai upaya untuk


mendapatkan masukan dari peserta ke pengguna modul
dan penanggung jawab penyuluhan sosial guna
perbaikan kegiatan di masa mendatang.
BAB III
MODUL 1 : PEMAHAMAN TENTANG MIRAS DAN
NARKOBA / NAPZA

A. DESKRIPSI SINGKAT

Miras dan narkoba/NAPZA merupakan zat yang sangat


membahayakan kesehatan bahkan mengancam keselamatan jiwa dan
raga manusia. Peredaran miras dan narkoba/NAPZA pun semakin
“menggila”. Mengincar semua kalangan usia. Mulai usia muda sampai
usia tua. Tidak kenal pria maupun wanita. miras dan narkoba/NAPZA
semakin membuat hancur dan mematikan karakter bangsa.

Modul ini berisikan materi tentang definisi, jenis dan dapak


miras dan narkoba/NAPZA untuk membekali para pengguna modul.

B. TUJUAN

1. Peserta mengerti definisi penyalahgunaan miras dan


narkoba/NAPZA
2. Peserta mengerti jenis dan dampak penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA

C. LANGKAH-LANGKAH

Sesi pertama : Pengguna modul menjelaskan tujuan dari


dilakukannya sesi ini
Metode: Ceramah dan Simulasi permainan ice
breaking “hai hallo”
Alat bantu: Sound system, microphone
Waktu: 10 menit
Sesi kedua : Pengguna modul memberikan pre test (formulir
terlampir)
Metode: Ceramah dan permainan
Alat bantu: formulir lembar pre test
Waktu: 10 menit
Sesi ketiga : Pengguna modul menjelaskan tentang pengertian,
dan jenis-jenis Miras dan Narkoba/NAPZA
Metode: Ceramah, visualisasi gambar dan
permainan simulasi
Alat bantu: Slide powerpoint, mobile aplikasi,
infocus, laptop, sound system, microphone, film
“Indonesia Darurat Narkoba”, slide games
simulasi, Brosur, Poster
Waktu: 45 menit
Sesi Keempat : Pengguna modul menggali pemahaman peserta
tentang miras dan narkoba/NAPZA dengan cara
meminta komentar, penilaian, saran dan pertanyaan
Metode: Ceramah, tanya jawab, visualisasi gambar,
dan permainan simulasi
Alat bantu: Slide powerpoint, mobile aplikasi,
infocus, laptop, sound system, microphone, slide
simulasi, Brosur, Poster
Waktu: 30 menit
Sesi kelima : Pengguna modul memberikan post test (format
terlampir)
Metode: Penugasan pengisian lembar post test
Alat bantu: Formulir post test
Waktu: 10 menit
D. URAIAN MATERI

1. Definisi Miras dan narkoba/NAPZA

Definisi miras dan narkoba/NAPZA menurut para ahli :


a. Pengertian miras dan narkoba/NAPZA tertera dalam UU No.
35 tahun 2009: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi
sintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
b. Menurut Jackobus (2005), Narkoba adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
c. Menurut Ghoodse (2002), Narkoba adalah zat kimia yang
dibutuhkan untuk merawat kesehatan, ketika zat tersebut
masuk kedalam organ tubuh maka terjadi satu atau lebih
perubahan fungsi didalam tubuh. Lalu dilanjutkan lagi
ketergantungan secara fisik dan psikis pada tubuh, sehingga
bila zat tersebut dihentikan pengkonsumsiannya maka akan
terjadi gangguan secara fisik dan psikis.
d. Menurut Smith Kline dan French Clinical (1968), Narkoba
adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan
ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut
bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam
definisi ini sudah termasuk jenis candu dan turunan candu
(morphine, codein, heroine) dan candu sintesis (meperidine
dan methadone).
2. Jenis dan Dampak

Mereka yang mengkonsumsi miras dan narkoba/NAPZA


akan mengalami Gangguan Mental dan Perilaku, sebagai akibat
terganggunya sistem neuro-transmitter pada sel-sel susunan saraf
pusat di otak. Gangguan pada sistem neuro-transmitter tadi
mengakibatkan terganggunya fungsi kognitif (alam fikiran),
afektif (alam perasaan/mood/emosi) dan psikomotor (perilaku)
sebagaimana yang telah diuraikan dari sudut pandang
organobiologik.

Berbagai jenis miras dan narkoba/NAPZA dalam uraian


berikut ini adalah alkohol (minuman keras), ganja, opiat
(morphine, heroin/ “putaw”), kokain, amphetamine (ekstasi,
“shabu-shabu”), sedativa/hipnotika (nitrazepam, barbiturat) dan
tembakau (rokok).

a. Alkohol (Miras/Minuman Keras)

(www.harianjogja.com)

Kampanye Anti Miras di AS. Presiden


Ronald Reagan (1988) : “SAY NO TO ALCOHOL”
Miras atau Minuman Keras adalah jenis NAPZA dalam
bentuk minuman yang mengandung alkohol tidak peduli berapa
kadar alkohol didalamnya. Bahkan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sudah mengeluarkan fatwa bahwa setetes alkohol saja
dalam minuman hukumnya sudah haram.

Alkohol termasuk zat adiktif,


artinya zat tersebut dapat
menimbulkan adiksi (addiction)
yaitu ketagihan dan dependensi
(ketergantungan). Penyalahgunaan
/ketergantungan NAPZA jenis
alkohol ini dapat menimbulkan
Gangguan Mental Organik yaitu
gangguan dalam fungsi berfikir, www.infobdg.com
Allah Swt. melarang miras (QS. Al Maidah 5 : 90), haram
berperasaan dan berperilaku. hukumnya, tetapi di Indonesia miras dihalalkan. (Pilpres Pro
Gangguan Mental Organik ini Miras no.74, 6 Desember 2013)

disebabkan reaksi langsung alkohol pada neuro-transmitter sel-sel


saraf pusat (otak). Karena sifat adiktifnya itu, maka orang yang
meminumnya lama-kelamaan tanpa disadari akan menambah
takaran/dosis sampai pada dosis keracunan (intoksikasi) atau
mabuk. Gangguan Mental Organik yang terjadi pada diri
seseorang ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut :
1) Terdapat dampak berupa perubahan perilaku, misalnya
perkelahian dan tindak kekerasan lainnya, ketidakmampuan
menilai realitas dan gangguan dalam fungsi sosial dan
pekerjaan (perilaku maladaptif).
2) Terdapat gejala fisiologik sebagai berikut :
a) Pembicaraan cadel (slurred speech).
b) Gangguan koordinasi.
c) Cara jalan yang tidak mantap.
d) Mata jereng (nistakmus).
e) Muka merah.
3) Tampak gejala-gejala psikologik sebagai berikut :
a) Perubahan alam perasaan (afek/mood), misalnya euforia
atau disforia.
b) Mudah marah dan tersinggung (iritabilitas).
c) Banyak bicara (melantur).
d) Hendaya atau gangguan perhatian/konsentrasi. Hendaya ini
besar pengaruhnya bagi kecelakaan lalu lintas.

Bagi mereka yang sudah ketagihan atau ketergantungan


NAPZA jenis alkohol ini, bila pemakiannya dihentikan akan
menimbulkan sindrom putus alkohol, yaitu gejala ketagihan atau
ketergantungan yang ditandai dengan gejala-gejala sebagai
berikut:
1) Gemetaran (tremor), kasar pada tangan, lidah dan kelopak
mata.
2) Tampak gejala fisik sebagai berikut :
a) Mual dan muntah.
b) Lemah, letih dan lesu.
c) Hiperaktivitas saraf otonom, misalnya jantung berdebar-
debar, keringat berlebihan dan tekanan darah meninggi.
d) Hipotensi ortostatik (tekanan darah menurun karena
perubahan posisi tubuh : berbaring, duduk dan berdiri).
3) Tampak gejala psikologik sebagai berikut :
a) Kecemasan dan ketakutan.
b) Perubahan alam perasaan (afektif/mood), menjadi
pemurung dan mudah tersinggung. Banyak diantara
peminum berat jatuh dalam keadaan depresi berat, timbul
fikiran ingin bunuh diri dan melakukan tindakan bunuh
diri.
c) Mengalami halusinasi dan delusi.
Sindrom putus alkohol merupakan gejala yang tidak
mengenakkan baik psikis maupun fisik, untuk mengatasinya yang
bersangkutan meminum alkohol dengan takaran yang lebih banyak
dan lebih sering (penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol
semakin bertambah baik dari segi kuantitas maupun kualitas).

Penelitian membuktikan bahwa penyalahgunaan NAPZA


jenis alkohol ini tidak hanya menimbulkan gangguan mental dan
perilaku, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan
gangguan pada organ otak, liver (hati), alat pencernaan, pankreas,
otot, janin, endokrin, nutrisi, metabolisme dan resiko kanker.

b. Ganja

Rokok Ganja mengandung zat tetrahidrocanabinol


(THC), menyebabkan gangguan mental dan perilaku

Mereka yang mengkonsumsi miras dan narkoba/NAPZA


jenis ganja akan memperlihatkan perubahan-perubahan mental dan
perilaku sebagai berikut :
1) Jantung berdebar-debar (palpitasi).
2) Gejala psikologik :
a) Euforia, yaitu rasa gembira tanpa sebab dan tidak wajar.
b) Halusinasi dan delusi.
Halusinasi adalah pengalaman panca-indera tanpa adanya
sumber stimulus (rangsangan) yang menimbulkannya.
Misalnya seseorang mendengar suara-suara padahal
sebenarnya tidak ada sumber suara itu berasal; hal ini
disebut sebagai halusinasi pendengaran. Demikian pula
halnya dengan halusinasi penglihatan, penciuman, rasa dan
raba.
Delusi adalah suatu keyakinan yang tidak rasional;
meskipun telah diberikan bukti-bukti bahwa fikiran itu
tidak rasional, yang bersangkutan tetap meyakininya.
Misalnya yang disebut dengan delusi paranoid; yang
bersangkutan yakin benar bahwa ada orang yang akan
berbuat jahat kepadanya, padahal dalam kenyataannya
tidak ada orang yang dimaksud.
c) Perasaan waktu berlalu dengan lambat; misalnya 10 menit
bisa dirasakan sebagai 1 jam lamanya.
d) Apatis.
Yang bersangkutan bersikap acuh tak acuh, masa bodoh,
tidak peduli terhadap tugas atau fungsinya sebagai
makhluk sosial; seringkali lebih senang menyendiri dan
melamun, tidak ada kemauan atau inisiatif dan hilangnya
dorongan kehendak.

3) Gejala fisik.
a) Mata merah (kemerahan konjungtiva).
Orang yang baru saja menghisap NAPZA jenis ganja
ditandai dengan warna bola mata yang memerah. Hal ini
disebabkan karena pembuluh darah kapiler pada bola mata
mengalami pelebaran (dilatasi).
b) Nafsu makan bertambah.
Orang yang mengkonsumsi NAPZA jenis ganja nafsu
makannya bertambah karena ganja (zat aktif tetra-hydro-
cannabinol/THC) merangsang pusat nafsu makan di otak.
c) Mulut kering.
Orang yang mengkonsumsi ganja akan mengalami
kekeringan pada mulut (air liur berkurang), hal ini
disebabkan THC mengganggu sistem saraf otonom yaitu
saraf yang mengatur kelenjar air liur.
d) Perilaku maladaptif.
Perilaku maladaptif artinya yang bersangkutan tidak lagi
mampu menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan
keadaan secara wajar. Misalnya yang bersangkutan
memperlihatkan ketakutan, kecurigaan (paranoid),
gangguan menilai realitas, gangguan dalam fungsi sosial
dan pekerjaan. Perilaku maladaptif ini sering menimbulkan
konflik, pertengkaran, tindak kekerasan dan perilaku
antisosial lainnya terhadap orang-orang di sekelilingnya.

Dalam pengalaman praktek sehari-hari ternyata


penyalahgunaan NAPZA jenis ganja dapat merupakan pencetus

(www.dunia.vivanews.com)

Euforia, halusinasi, delusi dan apatis akibat


menghisap ganja (gangguan mental dan perilaku).
bagi terjadinya gangguan jiwa (psikosis) yang menyerupai
gangguan jiwa skizofrenia, yang ditandai dengan adanya gangguan
menilai realitas dan pemahaman diri (insight) serta adanya delusi
(waham) mirip dengan delusi yang terdapat pada gangguan jiwa
skizofrenia.

Bagi mereka yang sudah ada faktor predisposisi (misalnya


pada kepribadian skizoid), maka penyalahgunaan NAPZA jenis
ganja akan mempercepat munculnya gangguan skizofrenia
tersebut. Hal ini juga dibuktikan dalam penelitian yang
menyebutkan bahwa pada umumnya pasien gangguan jiwa
skizofrenia sebelumnya memakai ganja terlebih dahulu.

Pada umumnya orang menghisap NAPZA jenis ganja ini


dengan maksud untuk melarikan diri dari kenyataan, ingin
membebaskan diri dari beban fikiran yang sedang kusut, ingin
memperoleh kegembiraan (semu) dan masa bodoh terhadap
sekeliling. Tanpa disadari pelarian ini justru menjerumuskan ke
dalam dunia khayal sampai pada gangguan jiwa mirip skizofrenia;
bahkan merupakan langkah awal gangguan jiwa skizofrenia yang
sesungguhnya.

c. Opiat (Morphine,Heroin/”Putaw”

(www.ahealthfullifestyle.blogspot.com)

Larutan heroin (“putaw”) disuntikkan melalui


pembuluh darah balik (vena).
Peralatan pecandu heroin (“putaw”) dengan cara
suntikan intravena.
Mereka yang mengkonsumsi NAPZA jenis opiat baik
dengan cara menghirup asap setelah bubuk opiat dibakar atau
disuntikkan setelah bubuk opiat dilarutkan dalam air akan
mengalami hal-hal berikut ini :

1) Pupil mata mengecil atau sebaliknya melebar.


Reaksi pupil mata dapat dilihat dengan melakukan tes sorotan
cahaya pada mata yang bersangkutan. Misalnya bila pada mata
diberikan sorotan cahaya, maka reaksi yang normal adalah
pupil mata akan mengecil, tetapi yang terjadi tidaklah
demikian pupil mata bahkan melebar. Sebaliknya dalam
keadaan gelap atau kurang cahaya biasanya pupil mata
melebar, tetapi yang terjadi pupil mata mengecil.
2) Euforia atau sebaliknya disforia.
Euforia adalah gangguan pada afektif (alam perasaan/mood),
yang bersangkutan merasakan kegembiraan dan kenyamanan
tanpa sebab dan tidak wajar (fly).
Disforia adalah gangguan pada afektif (alam perasaan/mood),
yang bersangkutan merasakan kemurungan, ketidak-
nyamanan, tidak dapat merasa senang atau gembira dan
cenderung merasa sedih serta merasa lesu tak berdaya.
3) Apatis.
Yang bersangkutan bersikap acuh tak acuh, masa bodoh, tidak
peduli dengan sekitar, malas, kehilangan dorongan kehendak
atau inisiatif, tidak ada kemauan dan tidak merawat diri.
Misalnya malas belajar/bekerja, tidak mau mandi, tidak mau
makan sehingga penampilan fisiknya lesu, kumuh dan kurus.
4) Retardasi psikomotor.
Yang bersangkutan merasakan kelesuan dan ketiadaan tenaga.
Gerak dan aktivitas fisik merosot sehingga terkesan malas.
5) Mengantuk/tidur.
Yang bersangkutan setelah mengkonsumsi NAPZA jenis opiat
ini cenderung mengantuk dan tidur berkepanjangan. Pada
umumnya penyalahguna tidak dapat tidur pada malam hingga
dini hari, tetapi setelah mengkonsumsi NAPZA jenis opiat ini
yang bersangkutan dapat tertidur hingga siang atau sore
keesokan harinya. Kemudian yang bersangkutan keluar rumah
mencari lagi NAPZA jenis opiat ini dan kembali ke rumah
pada dini hari dan kemudian tertidur hingga keesokan harinya;
demikianlah siklus hidup selanjutnya berulang.
6) Pembicaraan cadel (slurred speech).
Yang bersangkutan kalau berbicara tidak jelas, hal ini
disebabkan karena gerakan lidah terganggu (kelu/pelo).
7) Gangguan pemusatan perhatian atau konsentrasi.
Yang bersangkutan tidak lagi mampu untuk berkonsentrasi dan
memusatkan perhatian pada sesuatu objek, misalnya pelajaran
atau pembicaraan. Oleh karenanya prestasi pelajaran maupun
pekerjaan merosot dan komunikasi seringkali terganggu (kalau
bicara “tidak nyambung”).
Akibat lain dari terganggunya pemusatan perhatian dan
konsentrasi ini adalah resiko kecelakaan (terutama kecelakaan
lalu lintas) tinggi.
8) Daya ingat menurun.
Yang bersangkutan akan mengalami penurunan daya ingat
(memori) sehingga keluhan pelupa (tidak ingat) cukup
menonjol. Oleh karenanya peringatan atau nasehat dan
larangan yang diberikan kepadanya, seringkali dilanggar
berulang kali karena ia sesungguhnya tidak ingat terhadap
pesan-pesan yang telah diterimanya.
9) Tingkah laku maladaptif.
Yang bersangkutan berperilaku yang menunjukkan ketidak-
mampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar;
seperti ketakutan, kecurigaan (paranoid), gangguan menilai
realitas, gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan.

(Repro BNN)
Kematian adalah akhir dari kehidupan
pecandu heroin (“putaw”).

Mereka yang sudah ketagihan dan ketergantungan


NAPZA jenis opiat ini, bila pemakaiannya dihentikan akan timbul
gejala putus opiat (withdrawal symptoms) atau “sakaw” yaitu
gejala ketagihan dan ketergantungan sebagai berikut :

1) Air mata berlebihan (lakrimasi).


2) Cairan hidung berlebihan (rhinorea).
3) Pupil mata melebar (dilatasi pupil).
4) Keringat berlebihan, kedinginan, menggigil.
5) Mual, muntah dan diare.
6) Bulu rambut dan kuduk berdiri/bergidik (piloereksi).
7) Mulut menguap (yawning).
8) Tekanan darah naik (hipertensi).
9) Jantung berdebar-debar (palpitasi).
10) Suhu badan meninggi (demam).
11) Sukar tidur (insomnia).
12) Nyeri otot (kejang) dan nyeri tulang belulang.
13) Nyeri kepala.
14) Nyeri/ngilu sendi-sendi.
15) Mudah marah, emosional dan agresif-destruktif.

Sindrom putus opiat merupakan gejala yang tidak


mengenakkan baik psikis maupun fisik, untuk mengatasinya yang
bersangkutan akan mengkonsumsi kembali opiat dalam jumlah
takaran/dosis yang semakin bertambah dan semakin sering
(penyalahgunaan dan ketergantungan opiat semakin meningkat
baik dari segi kuantitas maupun kualitas).

Gejala-gejala putus NAPZA jenis opiat ini yang dalam


istilah awam disebut “sakaw” (berasal dari kata “sakit”) sangat
menyiksa yang bersangkutan. Oleh karena itu yang bersangkutan
berupaya dengan jalan dan resiko apapun juga untuk
memperolehnya guna menghilangkan gejala “sakaw” tadi.
Misalnya dengan mencuri, menjual barang-barang milik pribadi
maupun orangtuanya sampai pada tindak kriminal lainnya untuk
mendapatkan uang guna membeli “putaw” tadi. Banyak diantara
remaja putri yang terlibat pelacuran hanya sekedar untuk
memperoleh kebutuhan terhadap “putaw” tadi manakala gejala
“sakaw” tadi datang.

Kematian seringkali disebabkan karena overdosis dengan


akibat berupa komplikasi medik yaitu oedema (pembengkakan)
paru akut sehingga pernafasan berhenti.
d. Kokain

Mereka yang mengkonsumsi NAPZA jenis kokain dengan


cara dihidu (bubuk kokain disedot/dihirup melalui hidung) akan
mengalami gangguan:
1) Agitasi psikomotor.
Yang bersangkutan menunjukkan kegelisahan, tidak tenang,
tidak dapat diam dan agitatif.
2) Rasa gembira (elation).
Yang bersangkutan merasakan kegembiraan yang berlebihan
sehingga ketelitian dan ketekunan menurun, fungsi kontrol diri
menurun.
3) Rasa harga diri meningkat (grandiosity).
Yang bersangkutan merasa dirinya hebat (superior) sehingga
permasalahan-permasalahan kehidupan yang dihadapinya tidak
ditanggapi secara wajar dan cenderung meremehkan. Banyak
kesalahan yang dilakukan disebabkan karena ia mempunyai
rasa percaya diri berlebihan (over confidence).
4) Banyak bicara.
Yang bersangkutan banyak bicara yang seringkali tidak tentu
ujung pangkalnya dan melompat-lompat (flight of ideas); atau
dalam bahasa awamnya tidak “nyambung” dan tidak “fokus”.
Hal-hal yang bersifat pribadi atau rahasia bisa bocor karena
fungsi sensor (pengendalian diri) terganggu.
5) Kewaspadaan meningkat.
Yang bersangkutan merasa dirinya tidak aman dan terancam.
Oleh karenanya sikap prasangka buruk, curiga sampai pada
tingkatan paranoid terhadap orang-orang sekitarnya
menyebabkan hubungan interpersonal terganggu. Tidak jarang
yang bersangkutan selalu dalam keadaan “siap” atau “pasang
kuda-kuda” karena khawatir akan terjadi sesuatu pada dirinya.
6) Jantung berdebar-debar (palpitasi).
7) Pupil mata melebar (dilatasi pupil).
8) Tekanan darah naik (hipertensi).
9) Berkeringat berlebihan dan kedinginan.
10) Mual dan muntah.
11) Perilaku maladaptif.

Yang bersangkutan tidak mampu menyesuaikan diri


(beradaptasi) dengan lingkungan sekitar disebabkan terganggunya
daya nilai realitas yang berakibat pada terganggunya fungsi sosial
dan pekerjaan, terganggunya hubungan interpersonal dalam
bentuk kecurigaan (paranoid), percekcokan/pertengkaran sampai
perkelahian (tindak kekerasan).

Mereka yang sudah ketagihan dan ketergantungan NAPZA


jenis kokain ini, bila pemakaiannya dihentikan akan timbul
sindrom putus kokain yaitu gejala ketagihan dan ketergantungan
sebagai berikut :

1) Depresi.
Yang bersangkutan mengalami gangguan alam perasaan
(afektif/mood) yang ditandai dengan murung, sedih, tidak
dapat merasa senang, rasa bersalah dan berdosa sampai pada
keinginan bunuh diri.
2) Rasa lelah, lesu, tidak berdaya dan kehilangan semangat.
3) Gangguan tidur (insomnia).
4) Gangguan mimpi bertambah.
Yang bersangkutan selain sukar tidur, kalaupun bisa tidur
seringkali mengalami banyak mimpi-mimpi sehingga tidur
yang sudah berkurang itu dirasakan tidak nyaman.

Sindrom putus kokain merupakan keluhan yang tidak


mengenakkan baik psikis maupun fisik, dan untuk mengatasinya
yang bersangkutan memakai lagi kokain dengan takaran semakin
bertambah dan pemakaian semakin sering (penyalahgunaan dan
ketergantungan semakin bertambah dari segi kuantitas maupun
kualitas).

Bila seseorang dalam mengkonsumsi NAPZA jenis kokain


itu berlebihan (overdosis/intoksikasi) ia akan mengalami gejala-
gejala gangguan jiwa seperti halusinasi dan delusi. Juga terjadi
hendaya (impairment) dalam fungsi sosial atau pekerjaan,
misalnya : perkelahian, kehilangan kawan-kawan, tidak masuk
sekolah/kerja, dikeluarkan dari sekolah (drop out), kehilangan
pekerjaan atau terlibat pelanggaran hukum (tindak kekerasan,
perkosaan, pembunuhan dan sejenisnya).

e. Amphetamine (“Ecstasy”, “Shabu-Shabu”, “Ubas”)

Narkoba jenis MDMA = 3,4 – Methyline-Dioxy-Meth-


Amphetamine, dikenal pula dengan nama “SHABU-SHABU”
bentuknya seperti tawas, dikonsumsi melalui alat “Bong”.
Mereka yang mengkonsumsi NAPZA jenis amphetamine
(Psikotropika golongan I), misalnya pil ekstasi (ditelan) atau
shabu-shabu (dengan cara dihirup dengan alat khusus yang disebut
“bong”) akan mengalami gejala-gejala sebagai berikut :

1) Gejala psiklogik :
a) Agitasi psikomotor. Yang bersangkutan berperilaku
hiperaktif, tidak dapat diam selalu bergerak.
b) Rasa gembira (elation). Yang bersangkutan dalam suasana
gembira yang berlebihan (euforia) seringkali lepas kendali
dan melakukan tindakan-tindakan yang bersifat asusila.
Hal ini terjadi karena NAPZA jenis amphetamine ini
menghilangkan hambatan dorongan atau impulse
agresivitas seksual atau dengan kata lain fungsi
pengendalian diri (self-control) seksual melemah. Mereka
seringkali melakukan seks bebas atau terlibat di dalam
berbagai pesta erotis.
c) Harga diri meningkat (grandiosity).
d) Banyak bicara (melantur).
e) Kewaspadaan meningkat (paranoid).
f) Halusinasi penglihatan (melihat sesuatu/bayangan yang
sebenarnya tidak ada).

2) Gejala fisik :
a) Jantung berdebar-debar (palpitasi).
b) Pupil mata melebar (dilatasi pupil).
c) Tekanan darah naik (hipertensi).
d) Keringat berlebihan atau kedinginan.
e) Mual dan muntah.

3) Tingkah laku maladaptif seperti perkelahian, gangguan daya


nilai realitas, gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan.
4) Gangguan dilusi (waham) amphetamine yang ditandai dengan
gejala-gejala :
a) Waham kejaran yaitu ketakutan yang tidak rasional
(paranoid), yang bersangkutan yakin bahwa dirinya
terancam karena ada orang-orang yang mengejar ingin
mencelakakan dirinya.
b) Kecurigaan terhadap lingkungan sekitar yang menyangkut
dirinya sendiri (ideas of reference). Yang bersangkutan
yakin bahwa pembicaraan orang ataupun berita serta
peristiwa yang terjadi ditujukan terhadap dirinya.
c) Agresivitas dan sikap bermusuhan.
d) Kecemasan dan kegelisahan.
e) Agitasi psikomotor (tidak dapat diam, tidak dapat tenang
dan mudah terprovokasi).

(Repro BNN).

Menghisap “Shabu-Shabu” dengan alat yang


disebut “Bong”.

Bagi mereka yang sudah ketagihan atau ketergantungan


bila pemakaiannya dihentikan akan menimbulkan gejala sindrom
putus amphetamine atau gejala ketagihan dan ketergantungan
sebagai berikut :
1) Perubahan alam perasaan (afektif/mood) yaitu murung, sedih,
tidak dapat merasakan senang dan keinginan bunuh diri.
2) Rasa lelah, lesu , tidak berdaya dan kehilangan semangat.
3) Gangguan tidur (tidak dapat tidur/insomnia).
4) Mimpi-mimpi bertambah sehingga mengganggu kenyamanan
tidur.

Sindrom putus amphetamine merupakan gejala yang tidak


mengenakkan baik psikis maupun fisik, untuk mengatasinya yang
bersangkutan mengkonsumsi amphetamine dengan takaran
semakin bertambah dan semakin sering (penyalahgunaan dan
ketergantungan amphetamine meningkat baik dari segi kuantitas
maupun kualitas).

Kematian seringkali terjadi karena overdosis yang


disebabkan karena rangsangan susunan saraf otak berlebihan
dengan akibat : kegelisahan, pusing, refleks meninggi, gemetar
(tremor), tidak dapat tidur, mudah tersinggung/pemarah, bingung,
halusinasi, panik, tubuh menggigil, kulit pucat atau kemerah-
merahan, keringat berlebihan, berdebar-debar, tekanan darah
meninggi atau sebaliknya merendah, denyut jantung tidak teratur,
nyeri dada, sistem peredaran darah kolaps, mual muntah, diare,
kejang otot perut, kejang-kejang, dan kehilangan kesadaran
(koma) dan akhirnya meninggal.
f. Sedativa/Hipnotika

Nitrazepam zat aktif dalam obat tidur yang dikenal pula


dengan “pil BK”, sudah merasuk ke semua lini.

Di dunia kedokteran terdapat jenis obat yang berkhasiat


sebagai “obat tidur” (sedativa/hipnotika) yang mengandung zat
aktif nitrazepam atau barbiturat atau senyawa lain yang khasiatnya
serupa. Golongan ini tidak termasuk kelompok narkotika
melainkan masuk dalam kelompok psikotropika golongan IV.

Golongan sedativa/hipnotika ini sangat bermanfaat bagi


pengobatan mereka (pasien) yang menderita stres dengan gejala-
gejala kecemasan dan gangguan tidur (insomnia). Penggunaan
obat jenis ini harus di bawah pengawasan dokter dan hanya boleh
dibeli dengan resep dokter di apotik (golongan daftar G).
Penggunaan sedativa/hipnotika ini yang seharusnya
sebagai pengobatan (medicine) bila disalah-gunakan dapat juga
menimbulkan adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan),
apalagi bila dosisnya melampaui batas (overdosis).

Penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA jenis


sedativa/hipnotika ini dapat menimbulkan gangguan mental dan
perilaku bagi pemakainya dengan gejala-gejala sebagai berikut :

1) Gejala psikologik :
a) Emosi labil.
b) Hilangnya hambatan dorongan/impulse seksual dan
agresif.
Yang bersangkutan kehilangan pengendalian diri sehingga
sering terlibat tindak kekerasan dan hubungan seks bebas
sampai pada perkosaan.
c) Mudah tersinggung dan marah.
d) Banyak bicara (melantur).

2) Gejala neurologik (saraf) :


a) Pembicaraan cadel (slurred speech).
b) Gangguan koordinasi.
c) Cara jalan yang tidak mantap.
d) Gangguan perhatian atau daya ingat.

3) Efek perilaku maladaptif.


Misalnya gangguan daya nilai realitas, perkelahian,
halangan/hendaya (impairment) dalam fungsi sosial atau
pekerjaan dan gagal bertanggungjawab.

Bagi mereka yang sudah ketagihan NAPZA jenis


sedativa/hipnotika ini, bila pemakaiannya dihentikan akan timbul
gejala-gejala putus sedativa/hipnotika yaitu berupa gejala-gejala
ketagihan dan ketergantungan sebagai berikut :
1) Mual dan muntah.
2) Kelelahan umum atau keletihan.
3) Hiperaktivitas saraf otonom, misalnya berdebar-debar, tekanan
darah naik dan berkeringat.
4) Kecemasan (rasa takut dan gelisah).
5) Gangguan alam perasaan (afektif/mood) atau iritabilitas,
misalnya murung, sedih atau mudah tersinggung dan marah.
6) Hipotensi ortostatik (tekanan darah rendah bila yang
bersangkutan berdiri).
7) Tremor kasar (gemetar) pada tangan, lidah dan kelopak mata.

Sindrom putus sedativa/hipnotika merupakan gejala yang


tidak mengenakkan baik psikis maupun fisik, untuk mengatasinya
yang bersangkutan akan menelan tablet sedativa/hipnotika dengan
takaran/dosis semakin bertambah dan semakin sering
(penyalahgunaan dan ketergantungan sedativa/hipnotika semakin
meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas).

Dari penelitian menunjukkan bahwa penyalahgunaan


NAPZA jenis sedativa/hipnotika ini merupakan pemula bagi
seseorang (remaja) untuk melanjutkan terlibat dalam
penyalahgunaan NAPZA yang lebih berat misalnya jenis narkotika
(ganja, heroin, kokain), alkohol (minuman keras) dan zat adiktif
lainnya (amphetamine).
g. Tembakau (Rokok)

(www.eel2011.student.umm.ac.id)

Pecandu rokok pada usia remaja laki-laki,


mengapa tidak dilarang?.

Tembakau atau rokok termasuk zat adiktif karena


menimbulkan adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan).
Oleh karena itu tembakau (rokok) termasuk dalam golongan
NAPZA. Mereka yang sudah ketagihan dan ketergantungan
tembakau (rokok) bila pemakaiannya dihentikan akan timbul
sindrom putus tembakau atau ketagihan dan ketergantungan
dengan gejala-gejala sebagai berikut:
1) Ketagihan tembakau (craving).
2) Mudah tersinggung dan marah.
3) Cemas dan gelisah.
4) Gangguan konsentrasi.
5) Tidak dapat diam, tidak tenang.
6) Nyeri kepala.
7) Mengantuk.
8) Gangguan pencernaan.

Sindrom putus tembakau merupakan gejala yang tidak


mengenakkan baik psikis maupun fisik, untuk mengatasinya yang
bersangkutan akan menghisap kembali tembakau (rokok) dengan
jumlah semakin banyak dan semakin sering (penyalahgunaan dan
ketergantungan tembakau semakin bertambah baik dari segi
kuantitas maupun kualitas).

Dari penelitian menunjukkan bahwa tembakau/rokok


adalah :
1) Pintu pertama ke narkotika (NAPZA).
2) Rokok merupakan pembunuh nomor 3 setelah jantung koroner
dan kanker.
3) Satu batang rokok umur memendek 12 menit.
4) 10.000 orang per hari mati karena merokok (dunia).
5) 57.000 orang per tahun mati karena merokok (Indonesia).
6) Kenaikan konsumsi rokok di Indonesia tertinggi di dunia
(44%).

Selanjutnya dikemukakan bahwa bagi mereka yang tidak


merokokpun tetapi terkena asap rokok dari mereka yang merokok
(perokok pasif) juga akan mengalami gangguan pada kesehatan
dengan resiko yang sama. Oleh karena itu tembakau (rokok)
disebut pula sebagai “racun” yang menular.

E. SUMBER PUSTAKA

1. Hawari, Dadang. 2012. Miras dan Narkoba “Penyalahgunaan


dan Ketergantungan. Badan Penerbit: Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia, Edisi kedua cetakan ketiga.

2. Hawari, Dadang. 2008. Terapi dan Rehabilitasi Miras dan


Narkoba. Badan Penerbit: Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi keenam cetakan kedua.

3. Hawari, Dadang. 2014. Petunjuk Praktis Prevensi, Terapi dan


Rehabilitasi Miras, Narkoba, HIV/Aids dan Epilepsi. Badan
Penerbit: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
BAB IV
MODUL 2 : DETEKSI DINI PENYALAHGUNAAN MIRAS
DAN NARKOBA

A. DESKRIPSI SINGKAT

Seringkali dijumpai orangtua tidak mengetahui dan tidak


menyadari bahwa anak/remajanya terlibat penyalahgunaan/
ketergantungan miras dan narkoba/NAPZA. Banyak dari mereka
yang sudah terlibat penyalahguna/ketergantungan NAPZA
bertahun-tahun lamanya (3-5 tahun) tanpa diketahui oleh kedua
orangtuanya. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama
ketidaktahuan orangtua (ignorancy) dan “kepandaian” si
anak/remaja dalam memanipulasi keterlibatannya dalam
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA sehingga orangtua
terperdaya (dibohongi)

Modul ini berisikan materi tentang gejala fisik korban, alat-


alat yang digunakan, perubahan perilaku korban serta cara-cara
memotivasi korban penyalahgunaan NAPZA

B. TUJUAN

1. Peserta mengerti gejala fisik korban penyalahgunaan miras dan


narkoba/ NAPZA
2. Peserta mengetahui alat-alat yang digunakan untuk
penyalahgunaan penyalahgunaan miras dan narkoba/ NAPZA
3. Peserta mengetahui perubahan prilaku korban penyalahgunaan
miras dan narkoba/ NAPZA
4. Peserta mengerti cara memotivasi korban penyalahgunaan
miras dan narkoba/ NAPZA untuk memeriksakan kesehatan
C. LANGKAH-LANGKAH

Sesi pertama : Pengguna modul menjelaskan tujuan dari


dilakukannya sesi ini
Metode: Ceramah dan Simulasi permainan
simulasi “pegang dagu”
Alat bantu: Sound system, microphone
Waktu: 10 menit
Sesi kedua : Pengguna modul memberikan pre test (formulir
terlampir)
Metode: Ceramah dan permainan
Alat bantu: formulir lembar pre test
Waktu: 10 menit
Sesi ketiga : Pengguna modul menjelaskan tentang dampak
bagi tubuh, dampak psikologis, dampak sosial
dan dampak perubahan perilaku penyalahguna
Miras dan Narkoba/NAPZA. Peserta juga di
informasikan cara mendeteksi dini
penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA
Metode: Ceramah, visualisasi gambar dan
permainan simulasi
Alat bantu: Slide powerpoint, mobile aplikasi,
infocus, laptop, sound system, microphone, film
jenis dan dampak narkoba “There’s something
behind drugs”, brosur, poster
Waktu: 45 menit
Sesi Keempat : Pengguna modul menggali pemahaman peserta
tentang dampak, dan deteksi dini penyalahgunaan
miras dan narkoba/NAPZA dengan cara meminta
komentar, penilaian, saran dan pertanyaan
Metode: Ceramah, tanya jawab, visualisasi
gambar, diskusi, kuis interaktif dan permainan
simulasi
Alat bantu: Slide powerpoint, mobile aplikasi,
infocus, laptop, sound system, microphone, film
jenis dan dampak narkoba “There’s something
behind drugs”, slide games simulasi “segitiga”,
brosur, poster.
Waktu: 30 menit
Sesi kelima : Pengguna modul memberikan post test (format
terlampir)
Metode: Penugasan pengisian lembar post test
Alat bantu: Formulir post test
Waktu: 10 menit

D. URAIAN MATERI

Semakin lama anak/ remaja terlibat


penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA semakin berat
penyakitnya yang ditandai dengan cara pemakaian dari yang
semula di hisap beralih ke suntikan; prestasi akademik semakin
merosot sampai pada drop out; semakin banyak uang yang
dibelanjakan guna membeli NAPZA; terlibat hutang, penggadaian,
menjual barang-barang, pencurian dan tindak kriminal lainnya;
terdapatnya komplikasi medik seperti kelainan paru, lever,
jantung, ginjal sampai pada HIV/AIDS.

Para orangtua harus mewaspadai gejala-gejala dini


anak/remajanya apakah terlibat penyalahgunaan/ketergantungan
NAPZA atau tidak; bagaimana mengenali, memeriksakan ke
dokter, mengobati dan merehabilitasinya. Orangtua harus
mengetahui seluk beluk penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.
Uraian berikut ini khusus disusun sebagai Tips Untuk Orangtua
sebagai panduan praktis manakala anak/remajanya terlibat
penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA.

1. Mengenali gejala fisik korban penyalahgunaan miras dan


narkoba/NAPZA.

Sepintas lalu tidak mudah untuk mengenali gejala-


gejala fisik seorang penyalahguna /ketergantungan NAPZA
kecuali bagi orang yang sudah ahli atau bilamana gejala fisik
itu amat menyolok. Oleh karena itu yang paling mudah untuk
mengenalinya adalah dengan memperhatikan perubahan-
perubahan perilaku dan gangguan mental dan perilaku yang
lebih spesifik dari masing-masing jenis NAPZA sebagaimana
diuraikan sebelumnya.

Tergantung dari jenis NAPZA maka gejala-gejala fisik


yang ditimbulkannya berbeda pula. Misalnya pada
penyalahguna/ketergantungan NAPZA jenis opiat dan amphe-
tamine yang bersangkutan kehilangan nafsu makan sehingga
berat badan semakin menurun (kurus), muka pucat pasi, mata
cekung dan kuyu.

Pada penyalahguna/ketergantungan NAPZA jenis opiat


(“putaw”/heroin) selain badan-nya semakin kurus, ia tidak lagi
memperhatikan kebersihan dirinya, misalnya tidak mau mandi,
tidak berganti pakaian, tidak merawat dan menggunting
rambut dan lain sebagainya sehingga penampilannya lusuh dan
kumuh. Tubuh yang kurus ini seringkali dijuluki dengan nama
junkies (dalam bahasa jalanan junkies artinya “jangkung, kurus
dan najis”).

Selain gejala fisik di atas, dapat pula dijumpai bekas-


bekas luka di sepanjang pembuluh darah balik (venna) di
lengan, di punggung tangan dan di tempat-tempat lainnya,
sebagai akibat suntikan jarum yang berulang kali dan tidak
steril. Seringkali dijumpai pula pada penyalahguna/
ketergantungan NAPZA itu terdapat gambar tatoo pada kulit di
berbagai bahagian tubuhnya.

2. Alat-alat yang digunakan dalam penyalahgunaan Miras


dan Narkoba/Napza

Orangtua harus waspada dan curiga manakala


menemukan benda-benda yang tidak lazim di kamar atau laci
meja belajar dan tempat-tempat yang tersembunyi lainnya;
antara lain:
a) Kertas timah (aluminium foil) yang berasal dari rokok
atau bekas bungkus permen /coklat. Kertas timah ini
biasanya ditemukan sudah berkerut-kerut dan kehitam-
hitaman (bekas dibakar).
b) Korek api/pemantik api atau lilin yang digunakan untuk
membakar kertas timah tadi yang di atasnya telah ditaburi
bubuk “putaw” tadi.
c) Kertas atau uang yang digulung/dilinting sehingga
menyerupai sedotan atau berbentuk kue semprong, yang
gunanya untuk menghisap asap “putaw” hasil pembakaran
di atas kertas timah tadi.
d) Sendok makan lazimnya berada di dapur atau di ruang
makan, bukan di meja atau laci di kamar belajar. Sendok
makan ini dipergunakan sebagai tempat untuk melarutkan
bubuk/serbuk “putaw” yang sudah dicampur dengan air,
dan kemudian cairan/larutan “putaw” tadi dihangatkan
dengan pemantik api di bawah sendok. Serbuk “putaw”
yang sudah larut tadi (di atas sendok) kemudian “di sedot”
melalui jarum suntik ke dalam tabung alat suntik; yang
kemudian disuntikkan ke tubuh melalui pembuluh darah
balik (venna).
e) Alat suntikan, gunanya untuk menyuntikkan larutan
“putaw” yang sudah dihangatkan di atas sendok makan
(lihat butir d).
f) Kapas yang digunakan untuk membersihkan darah dari
luka bekas suntikan.
g) Karet/tali pengikat, gunanya untuk mengikat lengan
bagian atas sehingga pembuluh darah balik (venna) di
lekuk siku dan di lengan bagian bawah membesar untuk
memudahkan penyuntikkan.
h) Plastik bekas tempat kaset atau CD/VCD yang digunakan
sebagai tempat atau alas untuk memilah-milah atau
membagi-bagi serbuk “putaw” menjadi “paket-paket”
kecil .
i) Kartu telpon bekas atau silet bekas gunanya sebagai alat
untuk memilah-milah serbuk “putaw” (lihat butir h).
j) Alat yang disebut “bong”, alat ini khusus untuk meghisap
“shabu-shabu”. Terdiri dari tabung gelas yang
setengahnya berisi air dengan dua buah sedotan yang satu
terendam dalam air dan yang satunya lagi di atas
permukaan air. Serbuk/kristal “shabu-shabu” di bakar dan
asapnya dihirup. Asap yang dihirup ini melalui sedotan
yang masuk ke dalam air di dalam tabung gelas tadi
kemudian keluar dari air dan dihisap melalui sedotan
kedua masuk ke dalam mulut si pemakai.
3. Perubahan Perilaku Korban penyalahgunaan miras dan
narkoba/Napza

Selain perubahan-perubahan perilaku sebagaimana


diuraikan dalam butir 1 di atas, ada beberapa kebiasaan yang
tidak lazim, yaitu antara lain :
a. Mengurung dan mengunci diri berlama-lama dalam kamar
baik sendirian atau bersama temannya. Kebiasaan ini bila
diperhatikan cukup menyolok dan tidak lazim, dan selama
itu ia/mereka sedang “menikmati” NAPZA dengan cara
menghisap atau menyuntik.
b. Berlama-lama dan mengunci diri di kamar mandi/kamar
kecil (WC), kebiasaan ini juga tidak lazim. Selama di
kamar mandi ia “menikmati” NAPZA dengan cara
menghisap atau menyuntik. Kebiasaan mengkonsumsi
NAPZA ini tidak hanya dilakukan di WC rumah tetapi
juga di WC sekolah/kampus dan di WC umum.
Sehubungan dengan hal tersebut ada baiknya pihak
pengelola sekolah/kampus ataupun fasilitas umum sekali-
sekali melakukan pemeriksaan (“razia”) di WC yang
dimaksud.

4. Cara-cara memotivasi korban/keluarga korban


penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA

1) Memotivasi untuk memeriksakan diri.


Bila orangtua mencurigai anak/remajanya terlibat
penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA, biasanya ia
enggan di bawa ke dokter untuk menentukan apakah benar
atau tidak ia terlibat penyalahgunaan/ketergantungan miras
dan narkoba/NAPZA. Orangtua hendaknya jangan
langsung menuduh sampai ternyata ada bukti-bukti dan
konfirmasi dari pemeriksaan dokter dan hasil tes urin.
Dalam hal tes urin agar dapat dipercaya hasilnya
(valid), contoh urin (air seni) haruslah benar-benar air seni
dari anak/remaja yang bersangkutan itu sendiri dan bukan
air seni orang lain. Urin yang layak diperiksa adalah bila
urin itu hangat dan bau amoniak (bau pesing). Hal ini perlu
diperhatikan karena seringkali contoh urin yang diberikan
ke laboratorium bukan air seni sesungguhnya, melainkan
air ledeng, atau air ledeng yang telah diwarnai dengan teh
celup.

Ada juga contoh air seni yang hangat dan bau


amoniak tetapi merupakan akal-akalan dari anak/remaja
yang bersangkutan. Hasil tes urin negatif, tetapi secara
klinis ia masih mengkonsumsi NAPZA, yang artinya tes
urin seharusnya positif. Adapun akal-akalan (trick) atau
manipulasi contoh urin tersebut adalah sebagai berikut :

Sehari sebelum dilakukan tes urin anak/remaja


yang bersangkutan terlebih dahulu menampung air seninya
dalam botol. Dalam waktu satu hari/satu malam air seni
dalam botol tersebut akan mengendap; terdapat dua lapisan
yaitu air seni lapisan atas jernih sedangkan air seni lapisan
bawah keruh karena zat NAPZA dan lainnya mengendap di
lapisan bawah. Keesokan harinya pada waktu mau
dilakukan tes urin anak/remaja yang bersangkutan
mengambil air seni lapisan atas dari botol tadi dan di WC
tempat pemeriksaan (laboratorium) contoh air seni tadi
dituang di atas sendok makan (yang sudah dipersiapkan
dari rumah) dan dipanaskan dengan pemantik api.
Demikianlah hal ini dilakukan berulang-ulang sehingga
jumlah air seni cukup banyak ditampung dalam pot plastik
yang disediakan oleh pihak laboratorium. Dengan
demikian contoh air seni tadi menjadi hangat dan bau
pesing (uap amoniak hasil pemanasan). Di sini pihak
laboratorium dapat terkecoh.

Untuk menghindari manipulasi urin sebagaimana


diuraikan diatas, maka pemeriksaan klinis oleh dokter
menjadi lebih penting. Dari pihak orangtua yang
mengetahui anak/remajanya terlibat
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA hendaknya lebih
bijaksana dan waspada bilamana hendak memeriksakan
anak/remajanya ke dokter dan juga tes urin. Caranya
adalah jangan diberitahu waktu/kapan tes urin akan
dilakukan atau dengan kata lain tes urin dapat dilakukan
sewaktu-waktu dan tiba-tiba sehingga si anak/remaja tidak
berkesempatan untuk memanipulasi. Atau bisa juga dikala
si anak/remaja buang air seni di WC, WC tidak dikunci
dan orangtua menunggu di pintu WC, sehingga si
anak/remaja tidak berkesempatan untuk memanipulasi air
seninya.

Agar anak/remaja mau diperiksa cara yang terbaik


adalah dengan persuasi (bujukan) dengan mengatakan
bahwa dewasa ini sedang ada wabah penyakit, bukan
wabah “muntaber”, bukan pula wabah penyakit demam
berdarah, tetapi wabah NAPZA yang menular di kalangan
anak/remaja. Orangtua hendaknya menunjukkan kepada si
anak/remaja kekhawatirannya jangan-jangan anak/
remajanya tertular penyakit NAPZA. Untuk
menghilangkan kekhawatiran itu, orangtua membujuk si
anak/remaja untuk memeriksakan diri ke dokter sekaligus
tes urin. Katakan kepadanya bahwa bila dalam
pemeriksaan itu (termasuk tes urin negatif) yang dapat
disimpulkan si anak/remaja ternyata tidak terlibat
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA, hal ini akan
melegakan orangtua dan juga si anak/remaja sehingga
tidak merasa dicurigai.

Bila dalam pemeriksaan ternyata si anak/remaja


terlibat penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA, tidak
perlu dimarahi karena mungkin penyakit NAPZA ini
diperoleh bukan karena kesalahan si anak/remaja itu
sendiri melainkan karena “ketularan” dari temannya; untuk
itu dibujuk supaya mau berobat.

2) Memotivasi untuk berobat.


Tidak jarang orangtua mengalami kesulitan
membawa anak/remajanya berobat manakala diketahui
baik dengan bukti-bukti atau pengakuan si anak/remaja
bahwa ia seorang penyalahguna/ketergantungan NAPZA.
Seringkali si anak/remaja menyatakan sanggup berhenti
sendiri meskipun dalam kenyataannya selalu gagal.

Sebagaimana halnya pada butir 6 di atas, maka


persuasi (bujukan) dari orangtua adalah cara yang terbaik.
Kepada si anak/remaja dikatakan bahwa dalam berobat ini
tidak hanya membersihkan tubuh dari racun NAPZA
(detoksifikasi) dan meng-hilangkan rasa sakit (“sakaw”)
tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah mengobati
komplikasi medik seperti kelainan paru, lever dan organ
tubuh lainnya yang seringkali tidak disadari oleh si
anak/remaja.

Bila si anak/remaja tadi juga tidak mau dibawa ke


dokter, masih ada jalan lain. Orangtua (tanpa si
anak/remaja) datang ke dokter menyampaikan kesulitan
membawa anak/remajanya berobat. Dokter yang bijaksana
tidak akan memakai cara paksa (misalnya dengan bantuan
hansip/polisi) melainkan akan memberikan “obat khusus”
sebagai “pancingan” agar si anak/remaja mau berobat
setelah mengalami efek samping dari obat khusus tadi.
Efek samping (“gejala ekstra piramidal”) obat khusus ini
tidak berbahaya tapi dirasakan tidak enak dengan keluhan-
keluhan kekakuan pada otot ataupun pada lidah. Obat
khusus ini berupa cairan tidak berwarna, tidak berbau dan
tanpa rasa, diberikan dalam bentuk tetesan ke dalam
minuman atau makanan si anak/remaja tanpa
sepengetahuannya. Setelah gejala efek samping timbul dan
si anak/remaja merasakan kelainan pada otot tubuhnya,
dengan mudah si anak/remaja mau dibawa berobat.
Kemudian dokter akan memberikan obat yang
menghilangkan efek samping tadi dan selajutnya
digantikan dengan obat khusus untuk terapi detoksifikasi.

3) Memotivasi terapi (detoksifikasi).


Berobat artinya membersihkan racun NAPZA dari
tubuh si pasien dan mengobati berbagai komplikasi medik
yang timbul; serta mengobati pula gangguan mental dan
perilaku akibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA

Bertobat artinya mohon ampun kepada Allah swt dan


berjanji untuk tidak mengulanginya lagi mengkonsumsi
NAPZA; karena NAPZA haram hukumnya baik dari segi
agama maupun UU.

Memotivasi si pasien untuk mau berobat dan bertobat


ini amat penting bagi keberhasilan terapi dan mencegah
kekambuhan. Bila dengan cara tersebut di atas si pasien
masih juga ragu, bila perlu “ditakut-takuti” yaitu bahwa
kalau ia tidak mau berobat dan bertobat maka hanya ada
dua kemungkinan dalam kehidupannya; yaitu suatu saat
ditangkap oleh polisi dan dipenjarakan atau kemungkinan
lain meninggal karena over dosis. Contoh kasus-kasus baik
yang ditangkap/dipenjarakan maupun yang sudah
meninggal sudah cukup banyak, suatu kematian yang sia-
sia di usia muda.

Contoh lain dalam memotivasi si pasien (yang


beragama Islam) adalah misalnya dengan mengatakan
kalau ia makan babi hukumnya haram dan berdosa, tidak
mengalami sakit karena komplikasi medik, polisi tidak
akan menangkap dan tidak akan memenjarakannya. Lain
halnya kalau ia mengkonsumsi NAPZA, selain haram dan
berdosa, akan sakit karena komplikasi medik, bahkan bisa
sampai mati bila over dosis, polisi akan menangkap dan
memenjarakannya.

4) Memotivasi Pasca Detoksifikasi.


Penyalahguna/ketergantungan NAPZA yang telah
menjalani terapi detoksifikasi (1 minggu) di RSU,
dianjurkan untuk melanjutkan tahapan berikutnya yaitu
pasca detoksifikasi (2 minggu) di wisma/transit
house/Pusat rehabilitasi. Hal ini diperlukan sebagai
pemantapan terapi yang sifatnya holistik yaitu terapi
medik, psikiatrik, sosial dan spiritual (agama) dan
konsultasi keluarga.

5) Memotivasi Rehabilitasi.
Penyalahguna/ketergantungan NAPZA setelah
menjalani fase pasca detoksifikasi tersebut di atas, dapat
melanjutkan ke fase berikutnya yaitu rehabilitasi (fisik,
psikologik, sosial dan spiritual/keimanan). Fase rehabilitasi
ini amat bermanfaat bagi mereka yang sedang mengalami
cuti sekolah/kuliah; agar mereka tidak menganggur dengan
resiko kekambuhan, maka sebaiknya menghabiskan
waktunya di pusat rehabilitasi.).

6) Memotivasi Forum Silaturahmi.


Secara periodik diselenggarakan forum silaturahmi
bagi para mantan penyalahguna /ketergantungan NAPZA
bersama keluarganya dan dengan para nara sumber untuk
saling bertukar fikiran, saling memberi informasi dan
saling berbagi rasa (sharing). Dalam forum ini peserta
dipacu kemampuannya untuk mengatasi berbagai problem
kehidupan sehingga resiko kekambuhan dapat dihindari.
Forum ini berguna bagi fase pemeliharaan (maintenance)
agar anak/remaja mantan penyalahguna/ketergantungan
NAPZA selalu di dalam pemantauan (monitoring)
sehingga terkontrol dan terkendali (controllable and
manageable). Konsensus internasional menyatakan apabila
seorang anak/remaja mantan penyalahguna/ketergantungan
NAPZA selama 2 tahun berturut-turut tidak lagi
mengkonsumsi NAPZA, maka ia baru dikatakan sembuh.

7) Memotivasi Program Terminal. (Re-entry Program)


Bagi mantan penyalahguna/ketergantungan NAPZA
setelah menjalani fase rehabilitasi, dapat melanjutkan ke
dalam program terminal, yang merupakan persiapan untuk
kembali ke rumah, ke sekolah/kampus, ke tempat kerja dan
lingkungan sosialnya. Dalam program terminal ini
diberikan berbagai keterampilan dan hal-hal lainnya yang
terkait sehingga mereka siap kembali ke lingkungan asal,
memiliki kekebalan baik fisik maupun mental terhadap
NAPZA. Sehingga bagi mereka ini masih ada hari esok.
8) Memotivasi Keluarga Bahagia.
Kepada keluarga/orangtua dari anak/remaja
penyalahguna/ ketergantungan NAPZA perlu dimotivasi
untuk mewujudkan keluarga sakinah, yaitu keluarga yang
harmonis, sehat, bahagia dan religius. Sebagaimana telah
diuraikan di muka bahwa anak/remaja yang hidup atau
dibesarkan dalam keluarga sakinah, resiko terlibat
penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA sangat kecil,
demikian pula dengan resiko kekambuhan.

Dalam hal permasalahan penyalahguna/


ketergantungan NAPZA yang amat kompleks ini kita para
orangtua tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, karena
sesungguhnya anak /remaja kita merupakan korban
(victim) dari tatanan sosial yang tidak kondusif. Oleh
karena itu kita sendiri sebagai orangtua (ayah dan ibu)
yang harus melindungi dan menyelamatkan anak/remaja
kita, bukan orang lain.

E. SUMBER PUSTAKA

1. Hawari, Dadang. 2012. Miras dan Narkoba “Penyalahgunaan


dan Ketergantungan. Badan Penerbit: Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia, Edisi kedua cetakan ketiga.

2. Hawari, Dadang. 2008. Terapi dan Rehabilitasi Miras dan


Narkoba. Badan Penerbit: Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi keenam cetakan kedua.

3. Hawari, Dadang. 2014. Petunjuk Praktis Prevensi, Terapi dan


Rehabilitasi Miras, Narkoba, HIV/Aids dan Epilepsi. Badan
Penerbit: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
BAB V
MODUL 3 : STRATEGI PENCEGAHAN
PENYALAHGUNAAN
MIRAS DAN NARKOBA

A. DESKRIPSI SINGKAT

Modul ini berisikan materi tentang strategi pencegahan


penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA dengan pendekatan
pengenalan diri, pendekatan keluarga, pertemanan, pendidikan,
agama, hukum, dan sosial.

B. TUJUAN

1. Peserta mengerti strategi pencegahan penyalahgunaan miras


dan narkoba/NAPZA dengan pengenalan terhadap diri
2. Peserta mengerti strategi pencegahan penyalahgunaan miras
dan narkoba/NAPZA dengan pendekatan keluarga
3. Peserta mengerti strategi pencegahan penyalahgunaan miras
dan narkoba/NAPZA dengan pendekatan pertemanan
4. Peserta mengerti strategi pencegahan penyalahgunaan miras
dan narkoba/NAPZA dengan pendekatan pendidikan
5. Peserta mengerti strategi pencegahan penyalahgunaan miras
dan narkoba/NAPZA dengan pendekatan agama
6. Peserta mengerti strategi pencegahan penyalahgunaan miras
dan narkoba/NAPZA dengan pendekatan hukum
7. Peserta mengerti strategi pencegahan penyalahgunaan miras
dan narkoba/NAPZA dengan pendekatan sosial
C. LANGKAH-LANGKAH

Sesi pertama : Pengguna modul menjelaskan tujuan dari


dilakukannya sesi ini
Metode: Ceramah dan Simulasi permainan ice
breaking
Alat bantu: Sound system, microphone
Waktu: 10 menit
Sesi kedua : Pengguna modul memberikan pre test (formulir
terlampir)
Metode: Ceramah dan permainan
Alat bantu: formulir lembar pre test
Waktu: 10 menit
Sesi ketiga : Pengguna modul menjelaskan tentang strategi
pencegahan Korban penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA dengan Pendekatan keluarga,
pertemanan, pendidikan, agama, hukum, dan
berbasis masyarakat
Metode: Ceramah, visualisasi gambar dan
permainan simulasi
Alat bantu: Slide powerpoint, Mobile aplikasi
infocus, laptop, sound system, microphone, film
“Keluarga sejahtera tanpa narkoba”, slide games
simulasi, Brosure, Poster
Waktu: 45 menit
Sesi Keempat : Pengguna modul menggali pemahaman peserta
tentang strategi
pencegahan korban penyalahgunaan miras dan
narkoba
/NAPZA dengan pendekatan keluarga,
pertemanan, pendidikan,
agama, hukum, dan berbasis masyarakat dengan
cara meminta
komentar, penilaian dan saran
Metode: Ceramah, tanya jawab, visualisasi
gambar, diskusi, kuis interaktif dan permainan
simulasi
Alat bantu: Slide powerpoint, Mobile aplikasi,
infocus, laptop, sound system, microphone, Film
penguatan jati diri “Stop narkoba di kampung
kita”, slide simulasi, Brosure, Poster
Waktu: 30 menit
Sesi kelima : Pengguna modul memberikan post test (format
terlampir)
Metode: Penugasan pengisian lembar post test
Alat bantu: Formulir post test
Waktu: 10 menit

D. URAIAN MATERI

Pola pencegahan penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA


dapat dilihat dari dua aspek yaitu upaya supply reduction dan
demand reduction; dengan pendekatan security approach dan
welfare approach.

Yang dimaksud dengan supply reduction adalah upaya-


upaya untuk mengurangi sebanyak mungkin pengadaan dan
peredaran NAPZA. Termasuk upaya ini misalnya pemberantasan
penyelundupan dan razia terhadap peredaran NAPZA; dan kepada
mereka yang terlibat dikenakan sanksi hukum yang maksimal,
bahkan kalau perlu sampai pada hukuman mati. Upaya supply
reduction ini dilakukan oleh aparat penegak hukum dan instansi
yang terkait dengan pendekatan security approach yaitu
pendekatan keamanan
Yang dimaksud dengan demand reduction adalah upaya-
upaya untuk mengurangi sebanyak mungkin permintaan atau
kebutuhan terhadap NAPZA oleh para penyalahguna. Upaya
demand reduction ini dilakukan oleh kalangan kedokteran dan
kesehatan maupun masyarakat serta instansi yang terkait. Upaya
ini dilaksanakan dengan pendekatan welfare approach yaitu
pendekatan kesejahteraan; misalnya memberikan penyuluhan
kepada masyarakat, terapi dan rehabilitasi terhadap para
penyalahguna/ketergantungan NAPZA.

Upaya pencegahan dapat dilakukan apabila diketahui pola


penyebaran dan penularan “penyakit NAPZA”. Pencegahan atau
prevensi terbagi dalam 3 bagian yaitu:
1. Prevensi primer, adalah pencegahan agar orang yang sehat
tidak terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.
2. Prevensi sekunder, adalah terapi (pengobatan) terhadap
mereka yang terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA
(pasien).
3. Prevensi tersier, adalah rehabilitasi bagi
penyalahguna/ketergantungan NAPZA setelah memperoleh
terapi.

Untuk dapat melakukan pencegahan, pemberantasan serta


penanggulangan penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA secara
terpadu, maka pola pemberantasan malaria dapat dijadikan model.

Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh


parasit malaria, disebar luaskan oleh nyamuk malaria yang
menggigit dari satu orang ke orang lain. Nyamuk malaria ini
berkembang biak di lingkungan yang tidak bersih yang dijadikan
sebagai sarang berkembang biaknya nyamuk tersebut.
Dalam kaitannya dengan analogi di atas, maka parasit
malaria dapat disamakan dengan NAPZA, nyamuk malaria dapat
disamakan dengan pengedar NAPZA, sarang nyamuk malaria
dapat disamakan dengan tempat-tempat yang rawan seperti
diskotik dan tempat –tempat hiburan malam yang sejenis.
Sementara itu penderita penyakit malaria (pasien) dapat
disamakan dengan penyalahguna /ketergantungan NAPZA yang
merupakan korban atau penderita (pasien).

Penderita penyakit malaria (pasien) perlu pengobatan dan


perawatan, sementara penderita (pasien) NAPZA perlu juga terapi
(pengobatan dan perawatan) dan rehabilitasi dengan prinsip
berobat dan bertobat. Mengapa selain berobat juga harus bertobat,
alasannya adalah bahwa NAPZA ini haram hukumnya dari segi
agama dan Undang-Undang.

Parasit malaria dimusnahkan dengan obat anti malaria,


sementara NAPZA itu sendiri juga perlu dimusnahkan dengan cara
misalnya dibakar dan dihancurkan sedemikian rupa sehingga tidak
dapat digunakan lagi. Nyamuk malaria juga dimusnahkan
misalnya dengan semprotan insektisida (obat anti nyamuk)
sehingga tidak lagi dimungkinkan penularan penyakit malaria
tersebut dari satu orang ke orang lain.

Demikian pula halnya dengan para penyelundup dan


pengedar (“nyamuk NAPZA”) juga harus “dimusnahkan” dengan
jalan hukuman penjara sampai pada hukuman mati; sehingga
rantai peredaran dan penyebarannya dapat dihentikan. Sementara
itu sarang-sarang nyamuk malaria pun harus dibersihkan, dalam
hal ini tempat-tempat rawan seperti diskotik dan tempat hiburan
malam yang sejenis (misalnya tempat-tempat maksiat/pelacuran)
yang merupakan sarang dan transaksi NAPZA juga harus
ditertibkan dan dibersihkan.
Analogi pemberantasan penyakit malaria dengan NAPZA
ini adalah diputusnya segitiga mata rantai antara penderita (pasien
atau korban) dengan nyamuk malaria (pengedar) dan tempat
bersarang / berkembang biaknya nyamuk malaria (tempat rawan
atau tempat transaksi). Pola pemberantasan NAPZA dengan
analogi pola pemberantasan malaria tersebut di atas bila
dilaksanakan dengan baik dan terpadu maka upaya-upaya supply
reduction dengan pendekatan security approach dan upaya-upaya
demand reduction dengan pendekatan welfare approach dapat
diterapkan.

Dari penelitian yang telah dilakukan (Hawari, dkk., 1997)


permasalahan penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA sudah
sedemikian kompleks sehingga dapat merupakan ancaman dari
sudut pandang mikro (keluarga) maupun makro (masyarakat,
bangsa dan negara) yang pada gilirannya membahayakan
ketahanan nasional. Oleh karena itu rekomendasi berikut ini perlu
mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat secara sungguh-
sungguh, yaitu antara lain :
1. Kasus-kasus internal affair yang terjadi dan melibatkan oknum
aparat perlu ditindaklanjuti dan diselesaikan sesuai dengan
hukum yang berlaku. Hal ini berhubungan dengan national
security. Ibaratnya kalau hendak menyapu lantai yang kotor
tentunya memakai sapu yang bersih bukan yang kotor pula.
2. Perlunya dibentuk institusi khusus di bidang
penanggulangan/pemberantasan NAPZA yang berwibawa dan
disegani langsung di bawah Presiden, semacam DEA (Drugs
Enforcement Agency) di Amerika Serikat.
3. Bila ada Indonesian Corruption Watch, maka perlu ada
Indonesian Drugs and Alcohol Watch yang merupakan LSM
yang dapat memberikan tekanan kepada pemerintah.
4. Anggaran operasional dan kesejahteraan dari aparat kepolisian
hendaknya ditingkatkan dan disesuaikan. Hal ini dimaksudkan
untuk memperkecil terjadinya “kolusi”.
5. Meningkatkan kesadaran aparat kejaksaan dan kehakiman
untuk memberikan sanksi maksimal terhadap pidana NAPZA,
kalau perlu dengan hukuman mati.
6. Memberdayakan potensi masyarakat untuk secara swakarsa,
swadaya, swasembada dan swadana memerangi NAPZA di
lingkungannya masing-masing untuk menciptakan lingkungan
bebas NAPZA (Drug Free Environment); mulai dari RT, RW,
Kelurahan dan seterusnya. Sistem Keamanan Lingkungan
(Siskamling) yang sekarang ini perlu diperluas cakupannya
antara lain mencegah/menanggulangi peredaran NAPZA di
lingkungannya masing-masing.
7. Perlu pendidikan dan penyuluhan sejak dini mulai dari rumah,
sekolah/kampus, tempat kerja dan di masyarakat bahwa
NAPZA haram hukumnya baik dari segi agama maupun dari
segi UU.
8. Ada 3 kategori penyalahaguna/ketergantungan NAPZA :
a. sebagai pasien, yang perlu mendapat terapi dan rehabilitasi
dan bukannya hukuman.
b. sebagai korban, yang perlu mendapat terapi dan rehabilitasi
dan bukannya hukuman.
c. sebagai pemakai sekaligus pengedar, perlu mendapat
terapi, rehabilitasi dan dilanjutkan dengan proses hukum
(hukuman).
9. Terhadap penyelundup, pengedar dan sejenisnya perlu
dikenakan sanksi berat (penjara dan denda), kalau perlu sampai
pada hukuman mati.

Upaya pencegahan dalam arti prevensi primer dapat


diupayakan di rumah, di sekolah/kampus, di tempat kerja dan di
lingkungan sosial/masyarakat. Prevensi primer dalam bentuk
penyuluhan terhadap bahaya penyalahgunaan/ketergantungan
NAPZA perlu secara intensif, berkesinambungan dan konsisten
dilaksanakan kepada mereka yang masih sehat (belum telibat
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA). Dari pengamatan
diketahui bahwa mereka yang semula sehat kemudian terlibat
penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA itu disebabkan karena
ketidak-tahuannya terhadap bahaya NAPZA (ignorancy) dan
kurangnya sosialisasi di bidang hukum dan perundang-undangan
yang berkaitan dengan bahaya NAPZA

Orangtua (ayah dan ibu) hendaknya memiliki pengetahuan


tentang bahaya NAPZA dan bagaimana cara menghindarinya.
Pengetahuan ini diteruskan kepada putra dan putrinya terutama
yang memasuki usia remaja agar mereka dapat dicegah
keterlibatannya dalam penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.

Ciptakan suasana rumah tangga yang sehat, harmonis dan


bahagia (keluarga sakinah) yang religius sifatnya dan komunikasi
antar anggota keluarga cukup hangat dan penuh pengertian.

Upaya pencegahan (prevensi primer) merujuk pada


pemahaman mengenai mekanisme terjadinya penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA yaitu dari sudut pandang psikodinamik,
psikososial dan organobiologik. Termasuk psikodinamik yaitu
faktor predisposisi, kontribusi dan pencetus; faktor psikososial
yaitu kutub keluarga, kutub sekolah dan kutub masyarakat;
sedangkan termasuk organobiologik yaitu terapi medik-psikiatrik.

Uraian berikut ini meliputi bahasan faktor-faktor


kepribadian, kecemasan dan depresi, kondisi keluarga, teman
kelompok dan NAPZA-nya itu sendiri, serta faktor sekolah dan
masyarakat, agar dengan demikian pemahaman terhadap faktor-
faktor tersebut akan memudahkan upaya-upaya pencegahannya
agar resiko penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA dapat
diperkecil.

1. Strategi Pencegahan Penyalahgunaan Miras dan


Narkoba/NAPZA Dengan Pengenalan Terhadap Diri

a. Kepribadian

Kepribadian menurut faham kesehatan jiwa adalah “segala


corak kebiasaan manusia yang terhimpun dalam dirinya, yang
digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap
segala rangsangan, baik yang timbul dari lingkungannya (dunia
luar) maupun yang datang dari dirinya sendiri (dunia dalam),
sehingga corak dan kebiasaan itu merupakan satu kesatuan
fungsional yang khas untuk individu itu". Seseorang dikatakan
mengalami gangguan kepribadian adalah (apabila) kepribadian
seseorang itu tidak lagi fleksibel dan sulit untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan hidupnya sehingga mengakibatkan hendaya
(impairment) dalam fungsi dan hubungan sosial, pekerjaan atau
sekolahnya, dan biasanya disertai penderitaan subyektif bagi
dirinya (kecemasan dan atau depresi).

Mereka yang mengalami gangguan kepribadian khususnya


kepribadian antisosial akan mengalami resiko relatif (estimated
relative risk) 19,9 dibandingkan dengan mereka yang tidak
mengalami gangguan kepribadian (Hawari, 1990)

Sharoff (1969) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa


orang dengan kepribadian dan kondisi kejiwaan tertentu atau
dengan kata lain kepribadian yang rawan (vulnerable personality),
cenderung menggunakan NAPZA jenis zat tertentu pula daripada
zat lainnya. Misalnya pada penyalahguna/ketergantungan NAPZA
jenis alkohol (juga sedativa /hipnotika) gangguan kepribadiannya
berbeda dengan penyalahguna NAPZA jenis opiat ataupun jenis
halusinogen (zat yang menimbulkan halusinasi), yaitu :

1) Penyalahguna NAPZA jenis alkohol dan sedativa/hipnotika.


Orang yang menyalahgunakan alkohol dan juga
sedativa/hipnotika adalah orang dengan gangguan kepribadian
yang ditandai dengan ketidak mampuan menyelesaikan konflik
dalam dirinya (coping mechanism). Konflik yang tidak
terselesaikan ini menjelma dalam bentuk tindakan keluar yang
bersifat agresif baik fisik maupun seksual.
2) Penyalahguna NAPZA jenis opiat.
Orang yang menyalahgunakan zat opiat adalah orang yang
tidak mampu mengatasi berbagai problem hidup (coping
mechanism) sehubungan dengan tidak adanya pemahaman diri
(insight). Penyalahgunaan zat opiat adalah sebagai upaya
pemecahan, penarikan diri dari masyarakat, dan hidup dalam
suasana yang dimusuhi masyarakat sebagai konsekuensi
perilaku antisosialnya.
3) Penyalahguna NAPZA jenis halusinogen (ganja,
amphetamine).
Orang yang menyalahgunakan zat halusinogen adalah orang
yang berupaya mengatasi problem hidupnya (coping
mechanism) dengan cara mencoba memahami dirinya dan
mengembalikan harga diri dalam kehidupan masyarakat yang
dipandangnya sangat kompetitif (persaingan) dan munafik.
Penyalahgunaan zat halusinogen dimaksudkan agar mereka
memperoleh kembali rasa cinta dan menganggap bahwa apa
yang diimpikannya itu benar-benar suatu realita.

Dari sudut psikoanalisa Lubis (1979) menggolongkan


orang dengan ketergantungan NAPZA kedalam neurosis impulse.
Hal ini ditandai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukannya
seolah-olah didesak oleh impuls (dorongan dari dalam) yang sukar
dikendalikan. Gejala ini sepintas lalu mirip dengan gejala
kompulsi yaitu perbuatan yang diulang-ulang (compulsive drug
taking) di satu pihak.

Selanjutnya dikemukakan bahwa pasien ketergantungan


NAPZA merupakan representasi impulsivitas (penjelmaan
dorongan) yang paling karakteristik (khas) dan murni,
eksternalisasi (pengungkapan) yang menjelma dalam defensi
(pertahanan) berupa tindakan (defence by acting). Sumber dan
sifat ketergantungan NAPZA tidak ditentukan oleh khasiat
kimiawi NAPZA, melainkan oleh struktur kepribadian seseorang.
Terjadinya ketergantungan fisik, merupakan komplikasi sekunder.
Orang akan menjadi ketergantungan NAPZA apabila jenis zat
dalam NAPZA itu mempunyai signifikansi spesifik baginya,
artinya zat tertentu mempunyai efek (pengaruh) yang bermakna
dan khas bagi seseorang berbeda dengan orang lainnya. Sebagai
contoh misalnya ada orang yang lebih cocok memakai ganja atau
opiat atau alkohol atau amphetamine dibandingkan dengan jenis
zat lainnya, masing-masing orang berbeda.

b. Kecemasan dan Depresi

Kecemasan adalah gangguan dalam alam perasaan yang


ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang
mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam
menilai realitas, kepribadian tetap utuh, perilaku dapat terganggu
tetapi dalam batas-batas normal. Orang yang mengalami
kecemasan mempunyai resiko relatif (estimated relative risk) 13,8
terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA di- bandingkan
dengan orang tanpa kecemasan (Hawari, 1990).
Depresi adalah gangguan dalam alam perasaan yang
ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan
berkelanjutan sehingga kegairahan hidup menurun, tidak
mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian tetap
utuh, perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas
normal. Orang yang mengalami depresi mempunyai resiko relatif
(estimated relative risk)18,8 terlibat penyalahgunaan
/ketergantungan NAPZA dibandingkan dengan orang tanpa
kecemasan (Hawari, 1990).

Seseorang yang mengalami kecemasan dan atau depresi


merasa sering tidak puas dengan efektivitas dari perilakunya
terhadap orang lain atau dengan ketidakmampuannya untuk dapat
berfungsi secara wajar dan efektif dalam kehidupannya sehari-hari
di rumah, di sekolah/kampus, di tempat kerja dan di lingkungan
sosialnya. Untuk mengatasi kecemasan dan atau depresinya itu
seyogianya yang bersangkutan minta pertolongan ke psikiater;
namun yang seringkali terjadi adalah mereka mencoba mengobati
dirinya sendiri (self medication) dengan mula-mula menggunakan
NAPZA lalu terjadi penyalahgunaan yang pada gilirannya
ketergantungan NAPZA.

Kaplan dan Sadock (1982) menyatakan bahwa


penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA terjadi pada mereka
yang mengalami gangguan psikologik (kejiwaan) yaitu berupa
ketegangan, kecemasan, depresi, perasaan ketidakwajaran, dan
hal-hal lain yang tidak menyenangkan. Selain dari gangguan
afektif (alam perasaan) tersebut diatas, dikemukakan pula adanya
faktor kepribadian yang digambarkannya sebagai kepribadian
pasif-agresif, dan pasif-dependen.

Yang dimaksud dengan kepribadian pasif-agresif adalah


ciri kepribadian yang ditandai dengan adanya dorongan
agresivitas namun dimanifestasikan dalam sikap dan tindakan
yang pasif. Sebagai contoh misalnya seorang karyawan yang
dikecewakan oleh atasannya merasa jengkel dan ingin
melampiaskan kejengkelannya itu dalam bentuk tindak kekerasan
(agresivitas) yang ditujukan kepada atasannya. Namun karena
ketidakmampuan melakukan tindakan kekerasan yang dimaksud,
ia merubah agresivitasnya itu dalam bentuk tidak menjalankan
atau melambat-lambatkan pekerjaan atau tugas yang diberikan
kepadanya (sikap pasif) atau yang disebut dalam bahasa asing
sebagai tindakan slow dow

Yang dimaksud dengan kepribadian pasif-dependen


adalah ciri kepribadian yang ditandai dengan sikap ketergantungan
pada orang lain dan dimanifestasikan dalam sikap dan tindakan
pasif (tidak melakukan sesuatu). Sebagai contoh misalnya seorang
karyawan yang semula penuh inisiatif dan kreatif dalam
menjalankan tugas-tugas yang dibidanginya, namun bukan
penghargaan yang diterima dari atasannya melainkan cemoohan
dan selalu dipersalahkan. Sebagai akibatnya ia bersikap menunggu
(pasif) dan menggantungkan diri pada instruksi dari atasannya
(dependen), inisiatif dan daya kreatif hilang.

2. Strategi Pencegahan Penyalahgunaan Miras dan


Narkoba/NAPZA Melalui Pendekatan Keluarga

Keluarga sebagai matriks (unit) sosial terkecil dalam


masyarakat mempunyai peranan penting sebagai latar belakang
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA. Peran orangtua dan
kondisi keluarga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.
Apakah kepribadian anak akan rentan (vulnerable personality)
atau tidak terhadap penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA
tergantung dari cara pendidikan orangtua (ayah dan ibu) dan
suasana rumah tangga kondusif atau tidak. Keadaan keluarga yang
tidak kondusif atau dengan kata lain disfungsi keluarga
mempunyai resiko relatif (estimated relative risk) 7,9 bagi
anak/remaja terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA
dibandingkan dengan anak/remaja yang dididik dalam keluarga
yang sehat dan harmonis (kondusif)

Gerber (1983) dalam penelitiannya menyatakan bahwa


penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA sering berkaitan dengan
kelainan dalam sistem keluarga, yang mencerminkan adanya
kelainan (psikopatologik) dari satu atau lebih anggota keluarga.
Sehubungan dengan itu, masalah penyalahgunaan/ketergantungan
NAPZA juga diidentifikasikan sebagai penyakit endemik dalam
masyarakat modern (endemic disease in the modern society) dan
sebagai penyakit keluarga (family disease)

Rutter (1980) melakukan penelitian terhadap


perkembangan anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang mengalami disfungsi keluarga (tidak kondusif). Dalam
penelitiannya itu dinyatakan bahwa anak tersebut mempunyai
resiko menjadi anak dengan gangguan kepribadian dan perilaku
menyimpang (antisosial) yang lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan anak yang dibesarkan dalam keluarga tanpa disfungsi
(kondusif); yang pada gilirannya anak itu rentan (vulnerable)
terlibat penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA. Beberapa
contoh disfungsi keluarga yang menggambarkan terganggunya
hubungan antar anggota keluarga (ayah-ibu-anak) dengan resiko
gangguan kepribadian dan penyimpangan perilaku anak, antara
lain sebagai berikut :
a. Kematian orangtua (broken home by death) : kematian
ibu pada anak laki-laki dan anak perempuan resiko
sama 17%; kematian ayah pada anak laki-laki resiko
35%, pada anak perempuan resiko 14%.
b. Kedua orangtua bercerai atau berpisah (broken home
by divorce or separation) : resiko pada anak laki-laki
50%, pada anak perempuan 20%.
c. Hubungan kedua orangtua (ayah dan ibu) tidak
harmonis (poor marriage) : resiko pada anak laki-laki
40%, pada anak perempuan 15%.
d. Hubungan antara orangtua dan anak tidak harmonis
(poor parent-child relationship): resiko pada anak laki-
laki 25%, pada anak perempuan 10%.
e. Suasana rumah tangga yang tegang (high tension) :
resiko pada anak laki-laki 50%, pada anak perempuan
20%.
f. Suasana rumah tangga tanpa kehangatan (low warm) :
resiko pada anak laki-laki 40%, pada anak perempuan
15%.
g. Orangtua sibuk dan jarang di rumah (absence) : bila
ayah jarang di rumah pada anak laki-laki resiko 35%,
pada anak perempuan 15%; bila ibu jarang di rumah
resiko anak laki-laki 24%, pada anak perempuan 22%.
h. Orangtua mempunyai kelainan kepribadian
(personality disorder) : resiko pada anak laki-laki 80%,
pada anak perempuan 40%.

Hawari (1990) dalam penelitiannya terhadap 150


responden laki-laki yang terdiri dari 75 kasus
penyalahguna/ketergantungan NAPZA dan 75 kasus bukan
penyalahguna NAPZA, mendapatkan persentase resiko
penyalahgunaan NAPZA akibat suasana keluarga yang tidak
kondusif sebagai berikut :
a. Ketidak-utuhan keluarga (broken home by death)
mempunyai pengaruh 26,7% pada anak/remaja
terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.
b. Kesibukan dan ketidakberadaan ayah di rumah
mempunyai pengaruh 38,7% pada anak/remaja
terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.
c. Kesibukan dan ketidakberadaan ibu di rumah
mempunyai pengaruh 30,6% pada anak/remaja
terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.
d. Hubungan interpersonal (antar pribadi) antara ayah
dan ibu yang tidak baik mempunyai pengaruh 22,6%
pada anak/remaja terlibat penyalahgunaan
/ketergantungan NAPZA.
e. Hubungan interpersonal (antar pribadi) antara ayah
dan anak yang tidak baik mempunyai pengaruh 53,3%
pada anak/remaja terlibat penyalahgunaan
/ketergantungan NAPZA.
f. Hubungan interpersonal (antar pribadi) antara ibu dan
anak yang tidak baik mempunyai pengaruh 24,1%
pada anak/remaja terlibat penyalahgunaan
/ketergantungan NAPZA.
g. Hubungan interpersonal (antar pribadi) antara anak
dan sesama saudara kandungnya yang tidak baik
(sibling rivalry) mempunyai pengaruh 34,2% pada
anak/remaja terlibat penyalahgunaan/ketergantungan
NAPZA.

Dalam penelitian tersebut di atas anak/remaja yang


beresiko tadi terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA
yang diperolehnya dari teman kelompoknya (81,3%) dan dari
pengedar (61,3%). Pada umumnya alasan anak/remaja
menggunakan NAPZA sehingga terlibat penyalahgunaan hingga
ketergantungan NAPZA adalah sebagai berikut :
a. Kepercayaan bahwa NAPZA dapat mengatasi semua
persoalan (26,7%).
b. Untuk memperoleh kesenangan/kenikmatan (36,1%).
c. Untuk menghilangkan rasa sakit atau tidak
senang/tidak enak (lesu, kurang bergairah, dan
sejenisnya) 40,2%.
d. Untuk memperoleh ide, fikiran baru atau ilham
(13,3%).
e. Agar dapat diterima oleh teman kelompok sebaya
(peer group) 17,3%.
f. Untuk menghilangkan rasa rendah diri dan supaya
bisa bergaul (34,7%).
g. Rasa ingin tahu dan ikut-ikutan (62,7%).
h. Sebagai pernyataan ketidakpuasan atau kekecewaan
terhadap orangtua, sekolah atau keadaan (44,1%).
i. Untuk menghilangkan kecemasan, kegelisahan,
ketakutan, kemurungan, sukar tidur dan kesakitan
(88,1%).
j. Alasan lain (iseng dan coba-coba) 6,7%.

Selanjutnya dikemukakan oleh Hawari (1990) bahwa pada


anak/remaja penyalahguna/ketergantungan NAPZA tersebut
permasalahan yang ditimbulkannya antara lain : prestasi sekolah
yang merosot (96,2%), terganggunya hubungan silaturahmi
kekeluargaan (93,3%), perkelahian dan tindak kekerasan (65,3%)
dan kecelakaan lalu lintas (58,7%)

Dari data-data hasil penelitian di atas dapat disimpulkan


bahwa untuk mengurangi resiko seminimal mungkin agar anak
tidak cenderung berkepribadian rentan (vulnerable personality)
maka hendaknya diciptakan suasana rumah tangga yang harmonis
(kondusif).

Untuk menciptakan keluarga yang harmonis dua peneliti


Stinnet dan John DeFrain (1987) dalam bukunya yang berjudul
The National Study on Family Strength membuat rumusan
keluarga yang bahagia dan sehat (happy and healthy family)
sebagai berikut :

a. Kehidupan beragama dalam keluarga.


Suasana kehidupan beragama dalam keluarga ditandai dengan
rasa aman dan kasih sayang antar anggota keluarga saling
mencintai dan dicintai (security feeling and love to be loved).
Berasarkan etika, moral dan hukum agama maka masing-
masing anggota keluarga (terutama anak dan remaja) akan
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mana
yang boleh dan yang tidak, dan mana yang halal dan haram.
Salah satu diantaranya adalah bahwa NAPZA haram
hukumnya baik dari segi agama maupun dari segi hukum
(UU). Penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1990)
anak/remaja yang komitmen agamanya lemah mempunyai
resiko lebih tinggi (4 kali) untuk terlibat
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA bila dibandingkan
dengan anak/remaja yang komitmen agamanya kuat. Hal
serupa dikemukakan oleh peneliti-peneliti lainnya seperti
Cacellaro, Larson, Wilson (1982). Penelitian ilmiah lainnya
membuktikan bahwa anak/remaja yang dibesarkan dalam
keluarga yang tidak religius, resiko anak untuk terlibat
penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA jauh lebih besar
daripada anak yang dibesarkan dalam keluarga yang religius
(Stinnet, J. DeFrain, 1987; Hawari, 1990).

b. Mempunyai waktu bersama sesama anggota keluarga.

Sesibuk-sibuknya ayah dan ibu hendaknya dapat meluangkan


waktu untuk kumpul bersama dengan putera-puterinya.
Kebersamaan ini amat penting agar jalinan silaturahmi antar
anggota keluarga tetap terpelihara. Para pengamat
mengatakan bahwa warisan yang paling berharga yang dapat
diberikan orangtua kepada anak-anaknya adalah waktu
beberapa menit setiap harinya

c. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga


Komunikasi antar anggota keluarga amat penting selain untuk
menghilangkan kesalahpahaman, juga untuk secepatnya
menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh
anak/remaja. Komunikasi dua arah antara orangtua dan anak
dalam suasana yang kondusif akan membuat anak selalu
terikat secara psikologis dengan kedua orangtuanya. Bila
terdapat permasalahan pada diri anak, maka anak akan
berkonsultasi kepada kedua orangtuanya dan tidak kepada
temannya. Bila terjadi gangguan komunikasi antara orangtua
dan anak, maka anak akan “lari” kepada temannya, dan
disinilah letak kerawanannya si anak mudah terpengaruh oleh
tawaran NAPZA dari temannya itu.

4. Saling harga menghargai sesama anggota keluarga.


Apresiasi atau penghargaan mempunyai arti penting secara
psikologis. Rasa hormat (respect) anak terhadap orangtua dan
kewibawaan orangtua dapat ditegakkan dengan cara
memberikan apresiasi terhadap prestasi anak. Keberadaan
(existency) anak dan “ke-aku-an” anak, akan membuat anak
menemukan jati dirinya yaitu melalui proses imitasi dan
identifikasi anak terhadap orangtuanya. Pada umumnya anak
jatuh dalam penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA karena
ingin mencari jati dirinya.

5. Keluarga sebagai ikatan kelompok.


Masing-masing anggota keluarga merasa terikat dalam
keluarga sebagai suatu ikatan kelompok; ikatan kelompok ini
kuat, erat dan tidak longgar (sense of belonging). Keterikatan
ini amat penting agar masing-masing anggota keluarga tidak
berjalan sendiri-sendiri; misalnya ayah ke mana, ibu ke mana
dan anak ke mana, masing-masing dengan kesibukannya
sendiri-sendiri. Hal ini dapat memberikan peluang bagi si anak
terlibat dalam penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.

6. Kemampuan menyelesaikan masalah.


Bila terjadi permasalahan dalam keluarga, mampu
menyelesaikannya secara positif dan konstruktif. Hal ini tentu
tergantung dari faktor kepribadian kedua orangtua, orangtua
harus menjadi panutan suri tauladan bagi anak-anaknya. Bila
oleh sesuatu sebab tidak dapat diselesaikan, maka jangan ragu-
ragu untuk berkonsultasi kepada orang yang ahli (profesional)
misalnya kepada psikiater/psikolog.

Selanjutnya dikemukakan bahwa dengan kondisi keluarga


yang sehat dan bahagia, resiko anak terlibat
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA dapat diperkecil.
Rumusan tersebut di atas didukung oleh hasil penelitian
Jacobsen (1987) terhadap studi banding pada kelompok
keluarga yang anaknya terlibat penyalahgunaan/
ketergantungan NAPZA dengan kelompok keluarga yang
anaknya tidak terlibat penyalahgunaan NAPZA.

3. Strategi Pencegahan Penyalahgunaan Miras dan


Narkoba/NAPZA di Lingkungan Pertemanan

Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgunaan/


ketergantungan miras dan narkoba/NAPZA, teman kelompok
sebaya (peer group) mempunyai pengaruh yang dapat mendorong
atau mencetuskan penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA pada
diri seseorang. Perkenalan pertama dengan NAPZA justru
datangnya dari teman kelompok, 81,3% (Hawari, 1990).
Pengaruh teman kelompok ini dapat menciptakan keterikatan dan
kebersamaan, sehingga yang bersangkutan sukar melepaskan diri.
Pengaruh teman kelompok ini tidak hanya pada saat perkenalan
pertama dengan NAPZA, melainkan juga yang menyebabkan
seseorang tetap menyalahgunakan /ketergantungan NAPZA, dan
yang menyebabkan kekambuhan (relapse).

Sebagaimana uraian di muka bila hubungan orangtua dan


anak tidak baik, maka anak akan terlepas ikatan psikologisnya
dengan orangtua dan anak akan mudah jatuh dalam pengaruh
teman kelompok. Berbagai cara teman kelompok ini
mempengaruhi si anak, misalnya dengan cara membujuk, ditawari
bahkan sampai dijebak dan seterusnya sehingga anak turut
menyalahgunakan/ketergantungan NAPZA dan sukar melepaskan
diri dari teman kelompoknya.

Marlatt dan Gordon (1980) dalam penelitiannya terhadap


para penyalahguna /ketergantungan NAPZA yang kambuh,
menyatakan bahwa mereka kembali kambuh karena ditawari oleh
teman-temannya yang masih menggunakan NAPZA (mereka
kembali bertemu dan bergaul). Kondisi pergaulan sosial dalam
lingkungan yang seperti ini merupakan kondisi yang dapat
menimbulkan kekambuhan. Pengaruh teman kelompok sebagai
penyebab kekambuhan dalam penelitian ini mencapai 34%.
Penelitian serupa dilakukan oleh Hawari (2000) menyebutkan
bahwa teman kelompok sebagai penyebab faktor kekambuhan
sebesar 58,36%.

Masyarakat perlu dilibatkan dan diberdayakan (social


participation, involvement and encouragement) dalam upaya
pencegahan penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA. Anggota
masyarakat perlu dihimpun di dalam suatu organisasi Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai program di bidang
pencegahan (berupa penyuluhan, pelatihan dan sejenisnya) serta
rehabilitasi sosial.

Masyarakat juga harus mendapat penyuluhan dari


pemerintah dan tenaga profesional (dokter/psikiater) agar di
dalam mencari pertolongan pengobatan (terapi) tidak sampai jatuh
ke pihak-pihak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terapi
dan rehabilitasi bagi penyalahguna dan ketergantungan NAPZA
haruslah rasional metodologinya. Hawari (1997) telah
menemukan metode terapi yang rasional di bidang terapi dan
rehabilitasi, yang merupakan integrasi terapi medik, psikiatrik,
sosial dan religi (agama).

Selain daripada upaya tersebut di atas lembaga RT dan RW


perlu pula diberdayakan agar lingkungan pemukiman keluarga
bebas dari NAPZA (drug free environment). Berbagai poster,
stiker, billboard, slide di bioskop dan TV yang berisikan pesan
tentang bahaya NAPZA perlu disebarluaskan untuk
memperingatkan dan membangkitkan kewaspadaan masyarakat
(public awareness). Juga perangkat perundang-undangan dan
ancaman hukuman perlu disosialisasikan ke masyarakat luas.

Peringatan keras berupa ancaman hukuman mati (death


penalty) perlu disampaikan kepada setiap orang yang hendak
masuk ke Indonesia melalui pelabuhan dan bandara, agar mereka
mengetahui bahwa barangsiapa membawa/menyelundupkan
NAPZA dapat dikenakan hukuman penjara (+ denda) sampai
hukuman mati.
4. Strategi Pencegahan Penyalahgunaan Miras dab
Narkoba/NAPZA Dalam Pendekatan Pendidikan

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang


diharapkan anak didik tidak hanya memiliki kemampuan di
bidang iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) tetapi juga
pengamalan di bidang imtaq (iman dan taqwa). Dari pengamatan
ternyata sebahagian besar penyalahguna/ketergantungan NAPZA
adalah peserta anak didik tingkat SLTP, SLTA dan Perguruan
Tinggi. Pada umumnya mereka terlibat penyalahgunaan
/ketergantungan NAPZA selain karena pengaruh teman kelompok
sebaya, juga karena ketidaktahuannya (ignorancy) bahwa NAPZA
itu haram hukumnya baik dari segi agama maupun UU dan bahwa
NAPZA itu merusak kesehatan, terutama gangguan pada susunan
saraf pusat (otak) yang mengakibatkan gangguan mental dan
perilaku, yang pada gilirannya dapat mengganggu kelancaran
studi bahkan sampai dapat gagal (drop out)

Oleh karena itu sudah sewajarnya pendidikan pencegahan


NAPZA (preventive drug education) dimasukkan dalam
kurikulum sekolah. Tujuan akhir (output) dari kurikulum NAPZA
ini adalah peserta anak didik akan menjauhi dan tidak
mengkonsumsi NAPZA (say no to drugs). Selain daripada itu
dilakukan pula upaya-upaya agar lingkungan sekolah bebas dari
NAPZA (drug free school environment).

Kerjasama yang baik antara guru dan orangtua dalam


organisasi POMG (Persatuan Orangtua Murid dan Guru) di dalam
upaya pendidikan pencegahan NAPZA ini sangat diperlukan
mengingat bahwa pendidikan anak tidak semata-mata merupakan
tanggungjawab guru tetapi juga orangtua murid. Untuk itu
konsultasi secara berkala antara orangtua dan guru bermanfaat
bagi pemantauan (monitoring) anak agar sedini mungkin dapat
diketahui (terdeteksi) gejala-gejala awal manakala seorang anak
terlibat penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA.

Bila seseorang anak dicurigai menyalahgunakan/


ketergantungan NAPZA yaitu dari pemantauan perubahan
perilaku dan prestasi belajar yang merosot serta absensi yang
tinggi, sebaiknya dilakukan konsultasi dengan orangtua yang
bersangkutan dan bila perlu dilakukan tes air seni anak yang
bersangkutan untuk mengetahui apakah ia mengkonsumsi
NAPZA atau tidak. Bilamana diketahui secara positif ia
penyalahguna/ketergantungan NAPZA maka sebaiknya ia
dicutikan dahulu dari sekolah dan disuruh berobat hingga
dinyatakan sembuh oleh dokter, baru dizinkan kembali masuk
sekolah. Khusus terhadap anak didik yang pernah terlibat
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA ini pemantauannya
lebih intensif lagi, misalnya dengan melakukan pemeriksaan
ulang air seni (check and re-check) secara berkala. Jadi ia tidak
perlu dikeluarkan dan masih berkesempatan untuk melanjutkan
studi kembali, sebab penyakit penyalahgunaan /ketergantungan
NAPZA ini meskipun sering kambuhan, sesungguhnya dapat
disembuhkan, dikendalikan dan dikontrol (curable, controlable
and manageable).

5. Strategi Pencegahan Penyalahgunaan Miras dan


Narkoba/NAPZA Melalui Pendekatan Agama

Pada tahun 1984 WHO (World Health Organization)


menyatakan, bahwa dimensi spiritual sama pentingnya dengan
dimensi fisik, psikologis, psikososial, dalam perawatan dan
pemulihan kesehatan pasien. The American Psychiatric
Association (APA) mengadopsi gabungan empat dimensi tersebut
dengan istilah paradigm BPSS (bio-psiko-sosial-spiritual), yang
disebut dengan pendekatan terapi holistik. Integrasi agama dalam
kesehatan ini sangat dibutuhkan seperti pada pencegahan
penyalahgunaan terhadap miras dan narkoba/NAPZA.

Pentingnya kerjasama lembaga keagamaan dengan


lembaga kesehatan sangat penting. Kowalski, J.A dan Daniel X.
Fremedmen, mengatakan ada dua lembaga besar yang
berkepentingan dalam kesehatan mental dan kesejahteraan
manusia, yaitu profesi kedokteran jiwa (psikiatri) dan lembaga
keagamaan. Hal ini memperkuat pemikiran, yang menyatakan
pentingnya peran rohaniawan dibidang pelayanan kesehatan jiwa,
individual dan keluarga.Hal ini sangat beralasan, karena
sebahagiaan besar pasien adalah orang yang memiliki keyakinan
beragama.

Ajaran agama dapat menjadi sumber spiritual, karena


agama mengajarkan sikap penyerahan diri terhadap suatu
kekuasaan maha tinggi (Tuhan). Sikap pasrah ini akan memberi
sikap optimis pada pasien, sehingga muncul perasaan positif,
seperti rasa bahagia, rasa senang, puas, sukses, merasa dicintai,
atau rasa aman, yang dilakukan dapat mengarahkan pada
kesabaran, kelembutan (grace), ibadah, meditasi, harapan,
memaafkan, dan persahabatan. Dengan demikian, pengalaman
spiritual-keagamaan yang tepat, dapat membantu mengatasi
berbagai masalah kejiwaan dalam proses penyembuhan pasien,
seperti menghadapi penderitaan, menemukan makna, dan harapan
untuk kesembuhan dari penyakitnya. Sebaliknya, pemahaman dan
pengamalan agama yang keliru dapat menyebabkan konflik dan
kecemasan pada diri seseorang

Clinebell (1981) yang berjudul “Basic Spiritual Needs”:


The Role of Religion In the Prevention and Treatment of
Addictions the Growth and Counseling Prespectives, menyatakan
bahwa Agama memberikan ketentraman dan kenyamanan dalam
hidup. Ketika seseorang mengalami problem kehidupan yang
mengakibatkan dirinya mengalami stress, maka seringkali
“melarikan diri” ke miras dan narkoba/NAPZA.

Kebutuhan dasar spiritual tersebut tidak terpenuhi maka


suasana hati akan gelisah dan mudah terperangkap ke dalam hal-
hal negative termasuk menggunakan narkoba sebagi pelarian atau
tempat mencari kesenangan sesaat. Sedangkan bagi orang yang
beragama kebutuhan dasar spiritual bisa terpenuhi oleh keimanan
dalam agamanya. Larson et. Al (1990) yang dikutip dalam prof.
Dr. Dadang Hawari (2002), mengemukakan bahwa remaja yang
komitmen terhadap kepercayaan dalam agamanya lemah/kurang,
mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk cenderung
menyalahgunakan narkoba dibandingkan dengan remaja yang
komitmen agamanya kuat. Lebih lanjut Hawari (1990)
menemukan bahwa ketaatan beribadah dapat mencegah
penyalahgunan narkoba.

Dari kajian yang telah dilakukan oleh para ahli kesehatan


jiwa yang disampaikan oleh H. Clinebell, diperoleh inventarisasi
10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia. Kebutuhan
kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan akan makna hidup dan
tujuan hidup (meaning), komitmen peribadatan dan hubungannya
dalam hidup, kebutuhan akan pengisian keimanan, kebutuhan
akan bebas dari rasa bersalah dan berdosa, kebutuhan akan
penerimaan diri dan harga diri (selfacceptancedan self-estem),
kebutuhan rasa aman, selamat dan harapan masa depan,
kebutuhan sebagai pribadi yang utuh (integrated personality),
kebutuhan interaksi dengan alam dan sesama manusia, kebutuhan
bermasyarakat dengan nilai-nilai religiusitas

Spiritualitas-keagamaan selain berdampak positif terhadap


kesehatan mental, juga berdampak positif terhadap kesehatan fisik
bahkan berdampak positif terhadap aspek psikososial. Barbara
Kirk Jackson menyebutkan salah satu dalam kesimpulannya,
menyampaikan bahwa religious coping seperti keyakinan
beragama, keimanan, ibadah, dan meditasi membantu dalam
mengatur sterss untuk mencegah penyakit kronis

Demikian pula didukung oleh hasil penelitian tentang


hubungan komitmen keagamaan dengan tingkat kekambuhan
yang disampaikan oleh Dadang Hawari dalam penelitian yang
berjudul “Pendekatan Psikiatrik Klinis Pada Penyalahgunaan
Zat”, berkesimpulan bahwa metode integrasi medis-psikiatrik-
sosial-spiritual (BPSS), dapat menurunkan angka kekambuhan
hingga 12,21% dan apabila pasien menjalankan ibadah angka
kekambuhan dapat lebih kecil lagi 6,82%, angka yang lebih
rendah dari angka yang diperoleh Pattison (1980) yaitu 43,9%
tanpa unsur agama.

a. Pandangan agama-agama tentang masalah


penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA

1) Agama Islam memandang penyalahgunaan miras dan


narkoba/NAPZA
a) AI Quran:
Surat Al Baqarah ayat 195:
“...Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri
dengan tanganmu ke dalam kebinasaan” (Al Baqorah
195).

Surat Annisa ayat 29:


“ ... dan janganlah kamu membunuh dirimu (jangan
mencapai sesuatu yang membahayakan). Karena
sesungguhnya Alllah Maha Sayang Kepadamu “. (An
Nisa 29)
Surat Al Maidah ayat 90:
“ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum/arak) khamar, berjudi, berkorban untuk
berhala, mengundi nasib (dengan panah) adalah
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan perbuatan
¡tu agar kamu mendapat keberuntungan” (AI Maidah
90).

b) Hadits:
Hadits Ummu Salamah berbunyi:
“... Rasulullah SAW melarang dan setiap barang yang
memabukan dan yang melemahkan akal dan badan “.
(HR. Ahmad dalam Musnadnya, dan Abu Daud dalam
Sunannya, dengan sanad yang shohih).

2) Agama Katolik memandang penyalahgunaan miras dan


narkoba/NAPZA
Lukas 2l :34
“Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta
pora dan kemabukan serta kepentingan kepentingan
duniawi dan supaya han Tuhan jangan dengan tiba-tiba
jatuh keatas dirimu seperti suatu jerat”.

Korintus 6: 10
“Pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu
tidak akan mendapat bagian dalam kerajaan Allah”.

Kejadian 9:21
“Orang yang mabuk tidak mempunyal rasa malu sehingga
mudah berbuat perkara-perkara yang hina dan keji”

3) Agama Kristen Protestan memandang penyalahgunaan


miras dan narkoba/NAPZA
Panggilan umat Kristen ikut memberantas penyalahgunaan
miras dan narkoba sangat bersangkut paut dengan seruan
TUHAN kepada umatnya yang menyatakan: “Kuduslah
kamu. Sebab AKU, TUHAN, ALLAH mu, kudus.”
(Imamat 19:2).

“Bersukarialah hai pemuda dalam kemudaanmu,


biarkanlah hatimu bersuka dalam masa mudamu dan
turutilah keinginan hatimu dan matamu, tetapi ketahuilah
bahwa karena segala hal ini ALLAH akan membawa
engkau ke pengadilan.”
(Pengkhotbah 11:9)

“Orang yang suka bersenang-senang akan berkekurangan,


orang yang gemar kepada minyak dan anggur tidak akan
menjadi kaya.”
(Amsal 21:17)

4) Agama Hindu memandang penyalahgunaan miras dan


narkoba/NAPZA
Rg Veda Vlll.2.l2 menyatakan:
“Hrtsu piraso yudhyante durmadaso na surayam”.
Terjemahan:
“Para pecandu yang sedang mabuk akan berkelahi di
antara mereka, menciptakan keonaran”.
Dalam kitab suci agama Hindu Sarasamuccaya Sloka 256
dijelaskan:
“Janganlah hendaknya mengambil barang orang lain.
Janganlah meminum minuman keras dan obat-obatan
terlarang, melakukan pembunuhan, berdusta, karena akan
menghalangimu untuk menyatu dengan Tuhan”.
Slokantara, Sloka 16 menyebutkan:
“Braima wadah sulapanam Suwarna steyarnewa ca
Kanyawighnam gurarwadho Mohapalakamucyate”.
Terjemahan:
“Menbunuh Brahmana, meminum minuman keras,
mencuri emas, memperkosa gadis perawan dan
membunuh guru ini dinamai dosa besar (malapetaka)”.
Narkoba dan miras dalam kitab suci Veda disebut
“SURAPANAM” yaitu konsumsi yang memabukkan.
Juga disebut “MADYA” yaitu minuman beralkohol/berzat
adiktif tinggi. Mereka yang mengkonsumsinya untuk
pemuasan nafsu, tergolong melakukan “dosa besar” yang
setara dengan perbuatan mencuri emas, membunuh
pendeta ,maupun guru dan memperkosa gadis dibawah
umur.

5) Agama Budha memandang penyalahgunaan miras dan


narkoba/NAPZA
Pancasila Buddhis terdiri dan 5 (lima) latihan moral yaitu:
a) Menghindari pembunuhan mahluk hidup.
b) Menghindari pengambilan barang yang tidak diberi
oleh pemiliknya.
c) Menghindari perbuatan asusila
d) Menghindari ucapan yang tidak benar.
e) Menghindari segala minuman keras yang dapat
menyebabkan Iemahnya kewaspadaan.
Agama Buddha dalam pandangannya tentang narkoba,
menyebutkannya dengan istilah yang terdiri dan 4 kosa
kata, yaitu:
a) Sura; Sesuatu yang membuat nekat, mengacu pada
minuman keras yang mengandung alkohol.
b) Meraya; Sesuatu yang membuat mabuklkurangnya
kewaspadaan, seperti minuman keras yang
memabukkan.
c) Majja; Sesuatu yang membuat tidak sadarkan diri,
seperi ganja, morphin.
d) Pamadatthana; yang menjadi dasar kelengahan dan
kecerobohan.

Pelanggaran Sila kelima dan Pancasila Buddhis yaitu


menghindari segala minuman keras berbunyi:
“Surameraya Majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam
Samadiyami”
Artinya:
“Aku bertekad akan melatih diri menghindari minuman
keras yang dapat melenyapkan Iemahnya kesadaran”.
Paritta Suci, 24)

6. Strategi Pencegahan Penyalahgunaan Miras dan


Narkoba/NAPZA Melalui Pendekatan Hukum

Permasalahan penyalahgunaan dan ketergantungan


NAPZA tidak akan terjadi bila tidak ada NAPZA -nya itu sendiri.
Dalam pengamatan ternyata banyak tersedia NAPZA dan mudah
diperoleh baik di pasaran resmi maupun tidak resmi. Hawari
(1990) dalam penelitiannya menyatakan bahwa urutan mudahnya
NAPZA diperoleh (secara terang-terangan, diam-diam atau
sembunyi-sembunyi) adalah alkohol (88%), sedativa/hipnotika
(44%), ganja, opiat dan amphetamine (31%). Selanjutnya
dikemukakan bahwa 81,3% dari mereka
(penyalahguna/ketergantungan NAPZA) memperoleh NAPZA
dengan cara terang-terangan, dengan cara diam-diam (81,3%),
dengan cara sembunyi-sembunyi (72,3%). Sebanyak 78,7%
mereka memperoleh NAPZA dari pasaran resmi dan 86.7% dari
pasaran tidak resmi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas upaya-upaya


supply reduction harus ditingkatkan oleh aparat penegak hukum;
termasuk upaya penyempurnaan UU dan PP tentang NAPZA,
pelaksanaan atau implementasi UU dan PP NAPZA di lapangan
oleh kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Tindakan tegas
terhadap penyelundup dan pengedar harus dilaksanakan, selain
denda atau kurungan penjara, kalau perlu sampai pada hukuman
mati.

Internal affair yaitu keterlibatan aparat penegak hukum


harus ditindaklanjuti sesuai dengan UU dengan demikian
supremasi hukum yang hendak ditegakkan itu tidak hanya tertuju
pada anggota masyarakat sipil saja tetapi benar-benar tidak
pandang bulu. Baik sipil maupun non sipil (polisi dan TNI) sama
kedudukannya di mata hukum.

Narkotika dan psikotropika telah menjadi kejahatan yang


berdimensi internasional (international crime) dan pada pokok
persoalannya, menjadi sorotan/ perhatian dunia internasional.
Dewan Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nation) telah
mengadakan konvensi mengenai pemberantasan peredaran
psikotropika (Convention on psychotropic substances) yang
diselenggarakan di Vienna dari tanggal 11 Januari sampai 21
Februari 1971, diikuti oleh 71 negara, ditambah dengan 4 negara
sebagai peninjau.

Sebagai reaksi yang didorong oleh rasa keprihatinan yang


mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan,
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika,
serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja(deliquent)
digunakan sebagai pasar pemakai Narkotika dan psikotropika
secara gelap, sebagai sasaran produksi, distribusi, dan
perdagangan gelap Narkotika dan psikotropika. Telah mendorong
lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988. Konvensi
tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran, sebagai
berikut:
a. Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu
memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah
pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika.
b. Pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika
merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara
bersama pula.
c. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal
Narkotika 1961, Protokol 1972 Tentang Perubahan Konvensi
Tunggal Narkotika 1961, dan Konvensi Psikotropika 1971,
perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum
untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika
dan psikotropika.
d. Perlunya memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang
lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang
kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan
transnasional dalam kegiatan peredaran gelap Narkotika dan
psikotropika.

Sementara, negara Indonesia meratifikasi Konvensi


Tunggal Narkotika pada Tahun 1961 beserta Protocol Tahun 1972
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976. Pada tahun 1997
juga diratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika Dan Psikotropika,
1988 (United Nation Convention Against Illicit Traffic In Narcotic
Drug And Psychotropic Substances, 1988)
Sikap negara indonesia yang meratifikasi konvensi tersebut
(aliran dualisme keberlakuan hukum internasional, lih: Kusuma
Atmadja, 1998) menunjukan keseriusan Indonesia dalam
menangani segala kejahatan dan penyalahgunaan Narkotika dan
psikoterapika secara spesifik bagi penduduk Indonesia, dari
ancaman peredaran gelap Narkotika.

Alasan pengaturan socio-legal Narkotika kedalam Undang-


undang Normor 35 tahun 2009 adalah bahwa mengimpor,
mengekspor, memproduksi, menanan, menyimpan, mengedarkan
dan/ atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana
Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang
sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan
negara serta ketahanan nasional Indonesia.

Dalam perkembangan pengaturan masalah Narkotika


kemudian, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika direvisi menjadi Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009, dengan dalih bahwa tindak pidana telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus
operandi yang tinggi, tekhnologi canggih, didukung oleh jaringan
organisasi yang luas, dan sudah menimbulkan korban terutama
dikalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, maka undang-undang
Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk
menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.

Pertemuan Internasional negara anggota komisi obat-obatan


Narkotika (Commission on Narcotic Drugs) PBB di Wina,
Austria. Menyepakati 7 negara yakni Indonesia, China, Jepang,
Malaysia, Thailand, Filipina, Pakistan memfokuskan
koordinasinya terkait dengan sindikat Afrika Barat yang
menggunakan remaja dan wanita sebagai kurir narkoba.

Merujuk dari perwakilan Media Indonesia, Lisa Luhur


Schad, rapat mengakui adanya kesamaan kasus dan tren jalur
Trafficking narkoba di Asia Tenggara, yaitu naiknya jumlah anak
dan perempuan sebagai kurir narkoba. Indonesia menegaskan
perlu prioritas pencegahan dan perawatan pengguna amphetamine
tipe stimulants (ATS) seperti metamfetamin dan ekstasi.

Hingga kini penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan


Zat Adiktif lainnya (NARKOBA) tidak mengenal batas negara,
oleh karena itu hampir seluruh bangsa saat ini merasakan
pengaruh penyalahgunaan obat berbahaya tersebut. Narkotika
telah lama menjadi keprihatinan bangsa-bangsa di dunia. Zat–zat
yang semestinya digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan telah disalah gunakan oleh
mereka yang tidak bertanggungjawab demi memperoleh
keuntungan tanpa menghiraukan akibat yang dapat ditimbulkan
dan merugikan baik terhadap masyarakat, maupun bangsa dan
negara.

Terungkap dengan tertangkapnya Deni Sastorin alias


Densos juni 2010 lalu karena terbukti melakukan pemufakatan
jahat, peredaran Narkotika bukan tanaman di atas 5 kilogram dan
berskala internasional. Ia merupakan sipir LP Cipinang dan
sekaligus direktur PT Kaisar yang bergerak di bidang konveksi.
Tapi ternyata perusahaan tersebut hanya sebagai kedok untuk
mengelabui petugas dari sebuah pabrik shabu rumahan yang ia
miliki.
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
narkotika sebagai pengganti Undang-Undang Rebublik Indonesia
No. 22 tahun 1997, bahwa narkoba tidak diperbolehkan
disalahgunakan dan diedarkan secara gelap. Undang-Undang
narkotika sebagai suatu peraturan yang mengatur mengenai
penyalahgunaan narkotika merupakan suatu peraturan hukum yang
tergolong dalam hukum pidana, sanksi-sanksi yang tercantum di
dalamnya pun haruslah sesuai dengan tujuan-tujuan pemidanaan
yang berlaku di Indonesia, termasuk sanksi pidana mati yang
berlaku di dalam Undang-Undang tersebut.

Pihak-pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan dan


peredaran miras dan narkoba/NAPZA sesuai dengan Undang
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat
dikenakan sanksi pidana dan denda. Berkenaan dengan hal
tersebut, sasaran penerima penyuluhan sosial perlu memahami
tentang aturan dan sanksi terhadap penyalahgunaan dan peredaran
miras dan narkoba/NAPZA, sehingga mereka dapat
mensosialisasikan kembali tentang aturan dan sanksi tersebut
kepada masyarakat di lingkungan sosialnya untuk mencegah
terjadinya kasus-kasus penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA yang dapat dikenakan sanksi pidana mati.

a. Aturan penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA

Penyalahgunaan narkotika disertai dengan sanksi pidana terdapat


dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, tercantum dalam pasal 111, unsur-
unsurnya yaitu :
1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).

b. Sanksi Penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA


Sanksi penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA:
Sanksi untuk pelaku penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan
Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, hal ini
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Sebagai Pengguna
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 112 Undang-
undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dengan
ancaman hukuman paling lama 20 tahun.
a) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah).
b) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).

2) Sebagai Pengedar
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 114 Undang-
Undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, dengan
ancaman denda dan atau hukuman paling lama 20 tahun atau
seumur hidup atau hukuman mati.
a) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
b) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan
tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
3) Sebagai Produsen
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 113 Undang-
Undang No. 35 tahun 2009, dengan ancaman denda dan atau
hukuman paling lama 20 tahun atau seumur hidup atau
hukuman mati.
a) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
b) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan
tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).

7. Strategi Pencegahan Penyalahgunaan Miras dan


Narkoba/NAPZA Melalui Pendekatan Sosial

Bentuk kegiatan sosialisasi, edukasi, dan kerjasama


pencegahan dan penanganan pengaruh pornografi diantaranya
melalui kegiatan penyuluhan sosial yang dilaksanakan melalui
pendekatan komperhensif, baik dari aspek pendekatan keluarga,
keagamaan, kesehatan, pendidikan dan Hukum, serta untuk
memperluas jangkauan sasaran penerima penyuluhan sosial sesuai
dengan kewenangan dan tugas sektor terkait. Berkenaan dengan
hal tersebut, pada materi modul penyuluhan sosial tentang
pencegahan dan aksesibilitas pelayanan sosial penanaganan
penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA dipandang perlu dan
strategis menyampaikan materi penyuluhan sosial dari aspek
strategi pencegahan penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA
melalui pendekatan sosial.

Strategi pencegahan penyalahgunaan miras dan


narkoba/NAPZAmelalui pendekatan sosial sangat efektif dan
memberikan multi player effect yang luas mengingat tumbuhnya
peran aktif masyarakat untuk peduli, mau berbagi dan toleransi
dalam pencegahan dan penanganan penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA menjadi suatu ketahanan sosial yang
melembaga, dimana pencegahan dan penanganan penyalahgunaan
miras dan narkoba/NAPZA dilaksanakan oleh masyarakat, dari
masyarakat dan untuk masyarakat dengan mendayagunakan
kearifan lokal sebagai modal sosial

a. Kelembagaan Sosial bagi para pecandu miras dan


narkoba/NAPZA

Solusi Bagi penderita yang telah mengalami kecanduan


narkoba adalah dengan melalui tahapan rehabilitasi. Pelayanan
sosial yang diberikan merupakan bentuk upaya membantu
penderita untuk bisa terlepas dari kecanduan dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Rehabilitasi
sosial bagi pecandu narkoba dapat diakses kebeberapa panti
sosial yang menangani korban penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA Kementerian Sosial telah menetapkan 90
lemabaga/panti sosial yang menangani korban penyalahgunaan
miras dan narkoba/NAPZA yang terdiri dari 8 panti milih
pemerintah dan 82 lembaga/panti sosial milik masyarakat.
Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) “Galih Pakuan” Bogor
merupakan salah satu panti dibawah Direktorat Jenderal Bina
Rehabilitas Sosial Kementerian sosial yang merehabilitasi
korban penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA.
Masyarakat dapat langung mengakses informasi dan pelayanan
rehabilitasi di panti tersebut.

Panti sosial Pamardi Putra (PSPP) Memberikan


Bimbingan, Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang bersifat
Kuratif, Rehabilitatif, Promotif, dalam bentuk konseling,
bimbingan pengetahuan dasar, pendidikan fisik, mental, sosial,
pelatihan keterampilan, resosialisasi serta bimbingan lanjut
bagi eks korban Narkotika dan pengguna Psikotropika
Sindroma ketergantungan agar mampu mandiri dan berperan
aktif dalam kehidupan bermasyarakat, serta pengkajian dan
penyiapan standar pelayanan dan rujukan.

Dalam menangani permasalahan korban penderita


miras dan narkoba/NAPZA, Kementerian Sosial melalui
Direktorat Jenderal Rehabilitasi memiliki Institusi Penerima
Wajib Lapor (IPWL). Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial
yang ditunjuk oleh Pemerintah. Peranan IPWL adalah
menerima laporan dari individu, orang tua, wali atau keluarga
dari pecandu narkoba untuk menerima pengobatan dan atau
perawatan melalui rehabilitas medis dan rehabilitas sosial.
Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu
Berbasis Kelembagaan

 Asistensi (bantuan kebutuhan dasar bagi kelayan sebanyak


Rp. 1.009.000/kelayan/tahun)
 Bantuan sarana dan prasarana (1 kali)
 Rehabilitasi sosial berdasarkan pasal 55-59 UU. Nomor 35
Tahun 2009
 Cara mengakses pelayanan secara langsung dan online
 IPWLyang berbadan hukum dan ada izin dari dinas sosial
kab/kota (nama, alamat) berjumlah 105
 Tim pencegahan penyalahgunaan Miras dan
narkoba/NAPZA berbasis masyarakat
 AFTER CARE

CALL CENTER

Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan MIRAS dan


NAPZA

(021) 3100341

Peran Masyarakat Dalam Mengatasi Penyalahgunaan Miras


dan narkoba/NAPZA
1) Menjalin hubungan dengan masyarakat dan masyarakat
dan kelompok sasaran dengan cara Berinteraksi dengan
masyarakat
2) Mengunjungi tempat berkumpulnya kelompok sasaran
(Penyalah guna MIRAS DAN NAPZA, keluarga,
lingkungan masyarakat)
3) Membiasakan hadir di tempat sasaran
4) Mengenali karakteristik kelompok sasaran dan
masyarakat wilayah tersebut
5) Menjalin hubungan dengan jaringan sosial kelompok
sasaran

e. Jangkau Damping / Penjangkauan


Dalam melakukan kegiatannya penjangkauan perlu
memperhatikan hal hal sebagai berikut:
1) Ketika melakukan identifikasi wilayah dan kelompok
sasaran, perhatikan :
a) Mulai dengan satu atau beberapa orang dari kelompok
sasaran yang
b) sudah dikenal di suatu lokasi tertentu
c) Memperkenalkan diri dengan orang-orang disekitar
tempat nongkrong
d) Secara rutin datang ke lokasi untuk mengenali
kebiasaan harian kelompok sasaran
e) Memetakan lokasi beserta jumlah kelompok sasaran
yang biasa nongkrong
f) Mengidentifikasi tokoh kunci sasaran di masing masing
lokasi
2) Perhatikan norma/nilai yang berlaku pada wilayah
tongkrongan
a) Berpakaian sepatutnya
b) Berbicara sepantasnya
c) Menjaga emosi
d) Patuhi aturan
3) Memperkenalkan diri secara jujur
4) Mempergunakan pendekatan langsung dan sederhana
5) Memperbincangkan dampak buruk MIRAS DAN NAPZA,
jika dimungkinkan
6) Terjalinnya hubungan dengan masyarakat dan kelompok
sasaran
7) Terbentuknya pos penjangkauan (field station) jika
dimungkinkan

f. Penguatan Kelembagaan Sosial/Struktur Sosial


Masyarakat

Perananan kelembagaan sosial masyarakat sangat


penting dalam mencegah masuknya Miras dan Napza.
Penguatan lembaga-lembaga sosial dan struktrur sosial
masyarakat mulai dari pemerintahan desa/kelurahan, RW, RT,
organisasi sosial masyarakat sera kelompok-kelompok sosial
akan membentuk sosial control dalam menjaga, mengawasi,
melindungi dan membantu menyelesaikan permasalahan sosial
secara bersama-sama. Penyadaran akan bahaya napza kepada
masyarakat membutuhkan waktu dan proses yang panjang.
Oleh karena itu proses pencegahan perlu melibatkan pihak-
pihak (stakeholder) sebagai sumber yang bisa
mengajak/menggerakkan masyarakat terlibat dalam
pencegahan miras dan penyalahgunaan napza. Masyarakat
perlu membentuk ketahanan sosialnya sendiri sehinggaa
masyarakat sendiri yang diharapkan bisa saling bekerja sama
menyelesaikan permasalahan yang menjadi ancaman bagi desa
mereka. Untuk membentuk kesadaran terbesebut maka
diperlukan peran dari tokoh-tokoh masyarakat serta
kelembagaan sosial masyarakat dalam mengajak masyarakat
untuk sadar sehingga ikut berpartisipasi dalam penyelesaiaan
masalah sosial termasuk masalah penyalahgunaan miras dan
napza.
E. SUMBER PUSTAKA

1. Hawari, Dadang. 2012. Miras dan Narkoba “Penyalahgunaan


dan Ketergantungan. Badan Penerbit: Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia, Edisi kedua cetakan ketiga.

2. Hawari, Dadang. 2008. Terapi dan Rehabilitasi Miras dan


Narkoba. Badan Penerbit: Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi keenam cetakan kedua.

3. Hawari, Dadang. 2014. Petunjuk Praktis Prevensi, Terapi dan


Rehabilitasi Miras, Narkoba, HIV/Aids dan Epilepsi. Badan
Penerbit: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
BAB VI
MODUL 4 : TERAPI DAN REHABILITASI

A. DESKRIPSI SINGKAT

Modul ini berisikan materi tentang jenis-jenis dan langkah


terapi serta rehabilitasi yang digunakan terhadap penyalahgunaan
dan ketergantungan miras dan narkoba/NAPZA.

B. TUJUAN

1. Peserta mengetahui jenis-jenis dan langkah-langkah terapi


yang digunakan terhadap penyalahgunaan dan ketergantungan
miras dan narkoba/NAPZA
2. Peserta mengetahui jenis-jenis dan langkah-langkah
rehabilitasi yang digunakan terhadap penyalahgunaan dan
ketergantungan miras dan narkoba/NAPZA

C. LANGKAH-LANGKAH

Sesi pertama : Pengguna modul menjelaskan tujuan dari


dilakukannya sesi ini
Metode: Ceramah dan Simulasi permainan ice
breaking
Alat bantu: Sound system, microphone
Waktu: 10 menit
Sesi kedua : Pengguna modul memberikan pre test (formulir
terlampir)
Metode: Ceramah dan permainan
Alat bantu: formulir lembar pre test
Waktu: 10 menit
Sesi ketiga : Pengguna modul menjelaskan tentang jenis-jenis
serta langkah-langkah terapi dan rehabilitasi
korban penyalahguna miras dan narkoba/NAPZA
Metode: Ceramah, visualisasi gambar dan
permainan simulasi
Alat bantu: Slide powerpoint, mobile aplikasi,
infocus, laptop, sound system, microphone,
film/video proses rehabilitasi “Lets get rehab!”,
slide games simulasi, Brosure, Poster
Waktu: 45 menit
Sesi Keempat : Pengguna modul menggali pemahaman peserta
tentang terapi dan rehabilitasi korban
penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA
Metode: Ceramah, tanya jawab,visualisasi
gambar, diskusi, kuis interaktif dan permainan
simulasi
Alat bantu: Slide powerpoint, mobile aplikasi,
infocus, laptop, sound system, microphone, slide
simulasi, film terapi dan rehabilitasi “Lets get
Rehab!”, brosure, poster
Waktu: 30 menit
Sesi kelima : Pengguna modul memberikan post test (format
terlampir)
Metode: Penugasan pengisian lembar post test
Alat bantu: Formulir post test
Waktu: 10 menit

D. URAIAN MATERI

1. Terapi (pengobatan)
Terapi (pengobatan) terhadap penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA haruslah rasional dan dapat
dipertanggungjawabkan dari segi medik, psikiatrik, sosial dan
agama. Terapi yang dimaksud tersebut di atas terdiri dari 2
tahapan yaitu detoksifikasi dan pasca detoksifikasi
(pemantapan) yang mencakup komponen-komponen sebagai
berikut :
a. Terapi medik-psikiatrik (detoksifikasi, psikofarmaka dan
psikoterapi).
b. Terapi medik-somatik (komplikasi medik).
c. Terapi psikososial.
d. Terapi psikoreligius.

Keempat jenis terapi tersebut di atas merupakan


pendekatan holistik (holistic approach) di dalam dunia
kedokteran dan kesehatan, yang artinya tidak semata-mata
hanya mengobati jasmani (fisik) si pasien penyalahguna dan
ketergantungan NAPZA tetapi juga dari segi kejiwaan, sosial
dan keimanan (pendekatan bio-psiko-sosio-spiritual, WHO
1984, APA 1992).

Hawari (1997) dalam penelitiannya telah menemukan


suatu metode terapi dan rehabilitasi pasien penyalahguna dan
ketergantungan NAPZA yang dikenal sebagai Metode Prof.
Dadang Hawari dengan pendekatan holistik tersebut di atas.
Prinsip terapi Metode Prof. Dadang Hawari adalah berobat
dan bertobat. Berobat artinya membersihkan NAPZA dari
tubuh (detoksifikasi) dan mengobati komplikasi medik,
psikiatrik dan sosial; sedangkan bertobat artinya mohon ampun
kepada Allah swt dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Mengapa harus bertobat, sebab NAPZA adalah haram
hukumnya baik dari segi agama maupun dari Undang-Undang
(UU).
a. Terapi Medik-Psikiatrik (Detoksifikasi)

Terapi (detoksifikasi) Metode Prof. Dadang Hawari


adalah bentuk terapi untuk menghilangkan “racun” (“toksin”)
NAPZA dari tubuh pasien penyalahguna dan ketergantungan
NAPZA. Metode detoksifikasi ini tidak hanya berlaku untuk
NAPZA jenis heroin (“putaw”) saja melainkan juga berlaku
untuk jenis zat-zat lainnya misalnya cannabis (ganja), kokain,
alkohol (minuman keras), amphetamine (“shabu-shabu”,
ekstasi) dan zat adiktif lainnya.

Sebagaimana diketahui bahwa penyalahgunaan dan


ketergantungan NAPZA adalah termasuk bidang psikiatri
(kedokteran jiwa), karena akibat penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA ini menimbulkan gangguan mental
dan perilaku. Hal ini disebabkan karena NAPZA mengganggu
sistem neuro-transmitter dalam susunan saraf pusat (otak).
Selain daripada itu pada pasien penyalahguna dan
ketergantungan NAPZA sering pula dijumpai komplikasi
medik, misalnya kelainan pada paru, lever, jantung dan organ
tubuh lainnya.

Dalam terapi detoksifikasi ini digunakan jenis obat-


obatan yang tergolong major tranquilizer yang ditujukan
terhadap gangguan sistem neuro-transmitter susunan saraf
pusat (otak). Pemikiran rasional penggunaan obat golongan
major tranquilizer ini adalah bahwa gangguan sistem neuro-
transmitter susunan saraf pusat tadi mengakibatkan gangguan
mental dan perilaku yang dikategorikan dalam Gangguan
Mental Organik yang ditandai dengan gejala-gejala gangguan
jiwa (“psikosis organik”). Kategori “psikosis” ini dapat dilihat
dengan adanya gangguan pada daya nilai realitas (reality
testing ability/RTA) yang buruk dan pemahaman diri (insight)
yang buruk pula pada pasien penyalahguna/ketergantungan
NAPZA.

Gangguan jiwa (psikosis) ada 2 macam yaitu psikosis


organik di mana gangguan jiwa itu terjadi disebabkan adanya
kelainan organik (susunan saraf pusat/otak) misalnya karena
NAPZA. Sedangkan gangguan jiwa lain adalah psikosis
fungsional di mana gangguan jiwa itu terjadi disebabkan oleh
stresor psikososial. Kedua bentuk gangguan jiwa tersebut di
atas sama pengaruhnya yaitu terganggunya sistem neuro-
transmitter pada susunan saraf pusat (otak) yang berakibat
pada gangguan pada fungsi kognitif (alam fikir), afektif (alam
perasaan) dan psikomotor (perilaku). Oleh karena itu
penggunaan obat jenis major tranquilizer diberikan tidak
hanya pada gangguan jiwa psikosis fungsional saja tapi juga
dapat diberikan pada gangguan jiwa psikosis organik karena
penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA.

Selain daripada itu diberikan pula analgetika non opiat,


yaitu jenis obat anti nyeri (pain killer) yang potensi dan
efektivitasnya setara dengan opiat tetapi tidak mengandung
opiat dan turunannya serta tidak menimbulkan adiksi dan
dependensi (tidak menimbulkan ketagihan dan
ketergantungan). Pada penyalahguna/ketergantungan NAPZA
tidak diberikan obat-obatan yang mengandung turunan opiat
karena meskipun obat turunan opiat ini pada orang lain (bukan
penyalahguna/ketergantungan NAPZA) tidak berpengaruh;
namun pada penyalahguna/ketergantungan NAPZA
pengaruhnya tetap ada dan dapat merupakan pencetus (trigger)
bagi terjadinya kekambuhan. Dengan diberikannya obat-
obatan yang mengandung turunan opiat tadi, proses yang
terjadi adalah substitusi dan bukan menghilangkan secara total
opiat dan turunannya dari tubuh penyalahguna/ketergantungan
NAPZA. Hal ini tidak sesuai dengan metode Prof. Dadang
Hawari yang menggunakan sistem blok total (detoksifikasi).
Selain daripada itu dari sudut pandang agama, NAPZA jenis
opiat ini haram hukumnya dan karenanya turunannya pun
haram pula untuk dikonsumsi.

Pada proses detoksifikasi ini juga diberikan obat anti


depresi yang tidak menimbulkan adiksi (ketagihan) dan
dependensi (ketergantungan). Alasan rasional diberikannya
obat anti depresi ini adalah pada penyalahguna/ketergantungan
NAPZA akan mengalami depresi karena yang bersangkutan
akan kehilangan rasa euforia manakala NAPZA dibersihkan
dari tubuhnya. Pemberian obat anti depresi ini sesuai dengan
hasil penelitian oleh Hawari (1990) yang menyatakan 88%
penyalahguna/ketergantungan NAPZA mengalami depresi dan
86,6% mengalami kecemasan. Untuk mengatasi kecemasan
yang dialami oleh penyalahguna/ketergantungan NAPZA tidak
diberikan obat-obatan dari golongan minor tranquilizer karena
pada umumnya bersifat adiktif meskipun dalam UU
Psikotropika termasuk golongan IV. Dalam pengalaman klinis
pemberian obat-obatan jenis major tranquilizer dan anti
depresi itu sendiri sudah dapat mengatasi kecemasan. Obat-
obatan anti cemas yang bersifat adiktif (sedativa/hipnotika)
misalnya kelompok benzodiazepine (UU Psikotropika
golongan IV) tidak diberikan pada penyalahguna
/ketergantungan NAPZA karena sebagaimana diketahui pada
penyalahguna /ketergantungan NAPZA yang terjadi adalah
proses gangguan mental adiktif (Hawari, 1990). Oleh
karenanya semua jenis zat yang bersifat adiktif tidak diberikan
dalam terapi metode Prof. Dadang Hawari bagi penyalahguna
/ketergantungan NAPZA. Sedangkan pada orang lain (bukan
penyalahguna/ketergantungan NAPZA) hal ini tidak menjadi
masalah.

Metode detoksifikasi ini memakai sistem blok total


(abstinentia totalis), artinya pasien
penyalahguna/ketergantungan NAPZA tidak boleh lagi
menggunakan NAPZA atau turunannya (derivates), dan juga
tidak menggunakan obat-obatan sebagai pengganti /substitusi
(substitution). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka
proses detoksifikasi yang terjadi adalah sebagai berikut :
1) Dengan terapi detoksifikasi di atas pasien
penyalahguna/ketergantungan NAPZA lebih banyak
ditidurkan (bukan dibius).
2) Gejala mental dalam bentuk disorientasi akan muncul
bila pasien penyalahguna /ketergantungan NAPZA
bangun, misalnya mengigau, bicara cadel dan “tidak
nyambung”, atau mencari-cari “sesuatu” (“ngeratak”)
dan sebagainya.
3) Gejala putus NAPZA (withdrawal symptoms) atau
“sakaw” akan hilang pada hari pertama atau kedua;
gejala disorientasi akan hilang hari ketiga atau
keempat.
4) Kesadaran penuh dicapai pada hari kelima atau
keenam.
5) Hasil tes urin akan bersih dari NAPZA (tes urin
negatif) pada hari ketujuh atau bisa lebih tergantung
dari dosis, jenis atau kombinasi NAPZA yang dipakai.

6) Bila tes urin negatif maka proses detoksifikasi selesai,


pasien penyalahguna /ketergantungan NAPZA dapat
melanjutkan berobat jalan (di rumah) atau di rumah-
singgah (half-way/transit house). Lamanya perawatan
untuk terapi detoksifikasi selama 1 minggu, sedangkan
perawatan lanjutan yang merupakan terapi untuk
pemantapan (program pasca detoksifikasi) lamanya 2
minggu di rumah atau di rumah-singgah (half-
way/transit house).

Terapi detoksifikasi tersebut di atas dapat dilakukan di


rumah maupun di Rumah Sakit Umum (RSU). Bila pasien
penyalahguna/ketergantungan NAPZA tidak mampu dirawat
di RSU, dan ingin dirawat di rumah saja, harus mentaati
petunjuk sebagai berikut :
1) Harus minum obat sesuai dengan petunjuk dokter.
2) Tidak boleh keluar rumah (sebaiknya di kamar saja).
3) Tidak boleh bertemu dengan temannya/tidak boleh
dikunjungi untuk mencegah kemungkinan
“diselundupkannya” NAPZA.
4) Tidak boleh menelpon atau menerima telpon untuk
mencegah kemungkinan terjadinya transaksi NAPZA.
5) Tidak boleh merokok.

Bila pasien penyalahguna/ketergantungan NAPZA


dirawat di RSU, ketentuan-ketentuannya adalah sebagai
berikut :
1) Sebaiknya satu orang satu kamar dan tidak dicampur
dengan pasien lainnya, agar privacy dapat dijaga.
2) Harus ditunggu oleh keluarga untuk menjaga agar tidak
ada orang lain yang masuk kamar, yang mungkin akan
“menyelundupkan” NAPZA.
3) Tidak boleh dikunjungi oleh temannya agar dapat
dicegah kemungkinan teman itu membawa NAPZA.
4) Tidak boleh menelpon atau menerima telpon untuk
mencegah kemungkinan terjadinya perjanjian transaksi
NAPZA.
5) Tidak boleh merokok.

Keuntungan perawatan di RSU adalah pada pasien


penyalahguna/ketergantungan NAPZA dapat dilakukan
sekaligus pemeriksaan fisik, rontgen paru, rekaman jantung
(EKG), pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya
komplikasi medik seperti infeksi, kelainan paru, kelainan
lever, hepatitis C, HIV/AIDS dan sebagainya.

Selain daripada itu keuntungan lainnya adalah antara


lain selain kunjungan oleh psikiater, juga oleh dokter ahli
penyakit dalam, dokter ahli penyakit lainnya yang terkait dan
agamawan/rohaniawan.

Dengan metode detoksifikasi tersebut di atas di mana


pasien panyalahguna/ ketergantungan NAPZA dalam keadaan
tertidur, tidak merasa kesakitan, sehingga lebih manusiawi
penanganannya; sekaligus metode ini mencapai tiga sasaran
yaitu terapi medik, psikiatrik dan agama.

b. Terapi Medik-Psikiatrik (Psikofarmaka)

Telah diuraikan di muka bahwa akibat NAPZA adalah


terganggunya sistem neuro-transmitter pada susunan saraf
pusat otak yang menimbulkan gangguan mental dan perilaku.
Gangguan mental dan perilaku ini masih berlanjut meskipun
NAPZA sudah hilang dari tubuh setelah menjalani terapi
detoksifikasi. Selain daripada itu pada pasien
penyalahguna/ketergantungan NAPZA proses mental adiktif
masih berjalan; artinya rasa ingin (craving) masih belum
hilang, sehingga kekambuhan dapat terulang kembali.

Untuk mengatasi gangguan tersebut di atas digunakan


obat-obatan yang berkhasiat memperbaiki gangguan dan
memulihkan fungsi neuro-transmitter pada susunan saraf pusat
(otak), yaitu yang dinamakan psikofarmaka golongan major
tranquilizer yang tidak menimbulkan adiksi dan dependensi
(tidak berakibat ketagihan dan ketergantungan). Selain
psikofarmaka golongan major tranquilizer tadi pada pasien
penyalahguna /ketergantungan NAPZA juga diberikan jenis
obat anti-depressant. Obat anti-depresi perlu diberikan karena
dengan diputuskannya NAPZA seringkali pada pasien
penyalah-guna/ketergantungan NAPZA akan timbul gejala
depresi.

Dengan terapi psikofarmaka baik dari golongan major


tranquilizer maupun anti-depressant tadi, maka gangguan
mental dan perilaku dapat diatasi.

c. Terapi Medik-Psikiatrik (Psikoterapi)

Pada pasien penyalahguna/ketergantungan NAPZA


selain terapi dengan obat (psikofarmaka) juga diberikan terapi
kejiwaan (psikologik) yang dinamakan psikoterapi. Psikoterapi
ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan,
misalnya :
1) Psikoterapi suportif, yaitu memberikan dorongan,
semangat dan motivasi agar pasien
penyalahguna/ketergantungan NAPZA tidak merasa
putus asa untuk berjuang melawan ketagihan dan
ketergantungannya.
2) Psikoterapi re-edukatif, yaitu memberikan pendidikan
ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan
pendidikan di waktu lalu dan juga dengan pendidikan
ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama
dengan baru yang kebal (imun) terhadap
penyalahgunaan NAPZA.
3) Psikoterapi rekonstruktif, yaitu memperbaiki kembali
(rekonstruksi) kepribadian yang telah mengalami
gangguan akibat penyalahgunaan/ketergantungan
NAPZA, menjadi kepribadian semula.
4) Psikoterapi kognitif, yaitu memulihkan kembali fungsi
kognitif (daya fikir) rasional yang mampu membedakan
nilai-nilai moral etika, mana yang baik dan buruk, mana
yang boleh dan tidak dan mana yang haram dan halal.
5) Psikoterapi psiko-dinamik, yaitu menganalisa dan
menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat
menjelaskan mengapa seseorang terlibat
penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA dan upaya
untuk mencari jalan keluarnya.
6) Psikoterapi perilaku, yaitu memulihkan gangguan
perilaku (maladaptif) akibat
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjadi
perilaku yang adaptif, yaitu mantan
penyalahguna/ketergantungan NAPZA dapat berfungsi
kembali secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari
baik di rumah, di sekolah/kampus, di tempat kerja dan
lingkungan sosialnya.
7) Psikoterapi keluarga, yaitu ditujukan tidak hanya
kepada individu penyalahguna /ketergantungan NAPZA
tetapi juga kepada keluarganya. Dengan terapi ini
diharapkan hubungan kekeluargaan dapat pulih kembali
dalam suasana harmonis dan religius sehingga resiko
kekambuhan dapat dicegah.

Secara umum tujuan dari psikoterapi tersebut di atas


adalah untuk memperkuat struktur kepribadian mantan
panyalahguna/ketergantungan NAPZA, misalnya
meningkatkan citra diri (self esteem), mematangkan
kepribadian (maturing personality), memperkuat “ego” (ego
strength), mencapai kehidupan yang berarti dan bermanfaat
(meaningfulness of life), memulihkan kepercayaan diri (self
confidence), mengembangkan mekanisme pertahanan diri
(defense mechanism) dan lain sebagainya. Keberhasilan
psikoterapi dapat dilihat apabila mantan
penyalahguna/ketergantungan NAPZA tadi mampu mengatasi
problem kehidupan tanpa harus “melarikan diri” ke NAPZA.
Selama proses psikoterapi berlangsung, terapi psikofarmaka
dan terapi psikoreligius dapat diintegrasikan secara bersamaan.

d. Terapi Medik-Somatik

Yang dimaksud dengan terapi medik-somatik adalah


penggunaan obat-obatan yang berkhasiat terhadap kelainan-
kelainan fisik baik sebagai akibat dilepaskannya NAPZA dari
tubuh (detoksifikasi) yaitu gejala putus NAPZA (withdrawal
symptoms) maupun komplikasi medik berupa kelainan organ
tubuh akibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.

Misalnya gejala putus NAPZA jenis opiat yang terjadi


adalah rasa sakit yang luar biasa, oleh karenanya perlu
diberikan analgetika yaitu obat anti nyeri (pain killer) yang
potensi dan efektivitasnya setara dengan opiat tetapi tidak
mengandung opiat dan turunannya. Dengan sistem blok total
yaitu dengan menggunakan psikofarmaka langsung ke sentral
saraf pusat maka gejala-gejala seperti air mata berlebihan
(lakrimasi), cairan hidung berlebihan (rhinorea), keringat
berlebihan, demam, tidak bisa tidur (insomnia), mual, muntah
dan diare dapat dihentikan.

Bila ditemukan komplikasi medik pada organ tubuh,


diberikan terapi medik-somatik yang sesuai dengan kelainan
yang ditemukan, misalnya kelainan paru, fungsi lever, hepatitis
C, ginjal dan lainnya. Pada kelainan jantung (endocarditis)
yang menyebabkan kelainan pada katup jantung, dapat
dilakukan operasi jantung. Sedangkan pada
penyalahguna/ketergantungan NAPZA dengan HIV/AIDS
diberikan obat-obat simtomatis dan paliatif (yang berkhasiat
meredakan dan meringankan penderitaan). Dengan demikian
dari sudut pandang terapi medik-somatik ini melibatkan
banyak keahlian disiplin ilmu kedokteran (multi disciplinary
approaches).

Pada umumnya pasien penyalahguna/ketergantungan


NAPZA kondisi fisiknya/gizi tidak baik, oleh karena itu perlu
diberikan makanan dan minuman yang berkalori dan bergizi
tinggi; juga terapi fisik misalnya olah raga untuk memulihkan
daya tahan (stamina) yang bersangkutan.

Termasuk terapi medik-somatik ini adalah larangan


merokok bagi pasien penyalahguna/ketergantungan NAPZA.
Selain rokok (tembakau) akan memperburuk kelainan paru
sebagai komplikasi medik, dari data-data yang diperoleh dari
WHO, 1983, 1998; WFU, 1998; WHO/SEARO, 1998 dan
Ahmad Sujudi, 1999 terbukti bahwa rokok adalah :
1) Pintu pertama ke NAPZA.
2) Pembunuh nomor 3 sesudah penyakit jantung koroner
dan kanker.
3) Satu batang umur memendek 12 menit
4) Termasuk zat adiktif (menimbulkan ketagihan dan
ketergantungan).
5) Racun yang menular, artinya “perokok pasif” pun akan
mengalami akibat yang sama.
6) 10.000 orang perhari mati karena merokok (dunia).
7) 57.000 orang pertahun mati karena merokok
(Indonesia).
8) Kenaikan konsumsi rokok di Indonesia 44% (tertinggi
di dunia).

Dalam konferensi WHO/SEARO (1998) di kota


Bangkok yang membahas tentang peraturan dan perundang-
undangan mengenai kontrol/pengendalian konsumsi alkohol
dan tembakau merekomendasikan antara lain :
1) Perlu dibentuk lembaga advokasi anti alkohol
(minuman keras) dan tembakau (rokok).
2) Perlu disusun perundang-undangan dan peraturan yang
pada intinya pelarangan /pembatasan konsumsi
minuman keras dan rokok.
3) Pembatasan dan kontrol/pengendalian produksi,
perdagangan dan peredaran minuman keras dan rokok.
4) Pembatasan umur, mereka yang berumur di bawah 18
tahun dilarang mengkonsumsi minuman keras dan
rokok.
5) Tidak diperkenankan iklan minuman keras dan rokok di
mass media cetak maupun elektronik, termasuk iklan
yang terpampang di “billboard”, spanduk dan ditempat-
tempat umum lainnya (misalnya tempat rekreasi,
hiburan, bioskop, diskotik/klub malam dan sejenisnya).
6) Kampanye (penyuluhan) kepada masyarakat luas
terhadap bahaya minuman keras dan rokok perlu
digalakkan.

Dalam hal kampanye anti NAPZA seyogyanya juga


dilakukan kampanye anti rokok dan juga anti alkohol karena
kedua hal ini oleh pemerintah masih “dihalalkan” tidak
sebagaimana narkotika dan psikotropika yang sudah ada UU-
nya namun belum ada PP-nya. Dari sudut kedokteran dan
kesehatan baik rokok maupun alkohol “diharamkan” untuk
dikonsumsi.

e. Terapi Psikososial

Yang dimaksud dengan terapi psikososial adalah upaya


untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi
penyalahguna/ketergantungan NAPZA ke dalam kehidupannya
sehari-hari. Sebagaimana diketahui akibat penyalahgunaan
/ketergantungan NAPZA adalah gangguan mental dan perilaku
yang bercorak antisosial. Dengan terapi psikososial ini
diharapkan perilaku antisosial tersebut dapat berubah menjadi
perilaku yang secara sosial dapat diterima (adaptive behavior).

f. Terapi Psikoreligius

Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap para pasien


penyalahguna /ketergantungan NAPZA ternyata memegang
peranan penting, baik dari segi pencegahan (prevensi), terapi
maupun rehabilitasi.

Clinebell (1981) menyampaikan hasil penelitiannya


st
pada 1 Pan Pacific Conference on Drugs and Alcohol di
Canberra, Australia. Judul penelitiannya adalah The Role of
Religion in the Prevention and Treatment of Addiction – the
Growth and Councelling Perspectives.

Dari hasil penelitiannya itu ditemukan bahwa pada


setiap diri manusia (meskipun ia atheis sekalipun) terdapat
kebutuhan dasar spiritual (basic spiritual needs). Kebutuhan
dasar spiritual ini adalah kebutuhan kerohanian, keagamaan
dan ke-Tuhan-an yang karena faham materialisme dan
sekulerisme menyebabkan kebutuhan dasar spiritual tadi
terabaikan dan terlupakan tanpa disadari.

Pada waktu seseorang mengalami problem kehidupan


yang mengakibatkan dirinya mengalami stres karena tidak
menemukan jalan keluar, maka seringkali ia “melarikan diri”
ke NAPZA. Sebenarnya salah satu kebutuhan dasar manusia
adalah rasa terlindung dan aman (security feeling) yang artinya
manusia itu memerlukan “Pelindung” yaitu Tuhan yang dapat
memberikan rasa ketentraman dan kenyamanan dalam hidup
ini dan memberikan petunjuk (guidance) dalam penyelesaian
berbagai problem kehidupan. Dalam banyak hal seringkali
manusia lupa memohon taufiq hidayah Tuhan dalam
menyelesaikan permasalahan kehidupannya, sehingga takut
menghadapi kenyataan, dan karenanya kemudian terlibat
penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA.

Moore (1990) dalam penelitiannya yang dimuat di


dalam American Journal of Medicine (1990;80:332-6)
berkesimpulan bahwa orang yang tidak mempunyai komitmen
agama akan beresiko 4 kali lebih besar terlibat penyalahgunaan
dan ketergantungan NAPZA Hasil penelitian ini mendukung
hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Comstock
dan Partridge (1972), dan juga oleh Stack, Stark, Doyle dan
Rushing (1983). Kendler, et al (1997) dalam penelitiannya
yang berjudul “Religion, Psychopathology, and Substances
Use and Abuse” berkesimpulan pentingnya peranan agama di
dalam terapi dan rehabilitasi para pasien
penyalahguna/ketergantungan NAPZA (American Journal of
Psychiatry, 1997,154 :3 , 322-329)

Penelitian yang dilakukan oleh Cancerellaro, Larson


dan Wilson (1982) menyatakan bahwa terapi keagamaan
dalam arti sembahyang, do’a dan dzikir (mengingat Tuhan)
terhadap para pasien panyalahguna/ketergantungan NAPZA
ternyata membawa hasil yang jauh lebih baik daripada hanya
terapi medik-psikiatrik saja.

Di dalam konferensi tahunan The American Psychiatric


Association, Chicago (2000), Sierra dan Vex (1998)
mengemukakan hasil penelitiannya yang mengintegrasikan
unsur agama dalam terapi penyalahgunaan/ketergantungan
NAPZA. Dikemukakan bahwa efektivitas terapi hasilnya lebih
baik daripada hanya menggunakan terapi medik-psikiatrik
saja. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang
dilakukan oleh Snydermann (1996) yang berkesimpulan bahwa
terapi medik saja tanpa agama, tidaklah lengkap; sebaliknya
terapi agama saja tanpa medik tidak akan efektif.

Hawari, dkk. (2000) telah melakukan penelitian


terhadap 2.400 pasien penyalahguna /ketergantungan NAPZA
dengan metode integrasi medik-psikiatrik, sosial dan agama.
Mereka yang kambuh (dalam arti dirawat ulang) sebanyak 293
(12,21%), angka ini lebih rendah dari angka yang diperoleh
oleh Pattison (1980) yaitu 43,9% tanpa unsur agama.

Selanjutnya dalam penelitian Hawari tersebut dari 293


orang penyalahguna /ketergantungan NAPZA yang kambuh
tadi diteliti lebih mendalam tentang ketaatannya dalam
menjalankan ibadah agama (komitmen agama). Diperoleh
hasil bahwa mereka yang taat menjalankan ibadah (ritual
agama : sembahyang, do’a dan dzikir) resiko kekambuhan
6,83%, mereka yang hanya kadang-kadang saja menjalankan
ibadah resiko kekambuhan 21,5%; sedangkan yang tidak
menjalankan ibadah sama sekali resiko kekambuhan mencapai
71,67%.

Perihal terjadinya kekambuhan (relapse), penelitian


yang dilakukan oleh Hawari (1999) menyebutkan ada 3 faktor,
yaitu :
1) Pasien penyalahguna/ketergantungan NAPZA yang
telah selesai menjalani terapi detoksifikasi bergaul
kembali dengan dengan teman-teman sesama
penyalahguna /ketergantungan NAPZA atau bandarnya
(pusher) . Untuk mengatasinya, jauhi dan hindari
komunikasi dengan mereka.
2) Pasien penyalahguna/ketergantungan NAPZA yang
telah selesai menjalani terapi detoksifikasi tidak mampu
menahan keinginan atau “sugesti” (craving) untuk
mengkonsumsi kembali NAPZA. Untuk mengatasinya
sembahyang, do’a dan dzikir harus dilakukan secara
teratur setiap hari untuk memperkuat iman agar mampu
menahan “godaan setan” NAPZA itu, kalau perlu segera
kembali lagi ke dokter /psikiater untuk memperoleh
resep obat yang berkhasiat memblokir “sugesti” nya itu.
3) Pasien penyalahguna/ketergantungan NAPZA yang
telah selesai menjalani terapi detoksifikasi, oleh sesuatu
sebab mengalami stres atau frustrasi, agar tidak
“melarikan diri” ke NAPZA lagi hendaknya segera
kembali ke dokter/psikiater untuk memperoleh
psikoterapi, terapi psikoreligius dan resep obat yang
berkhasiat mengatasi stres atau frustrasinya itu.

Unsur agama dalam terapi bagi para pasien


penyalahguna/ketergantungan NAPZA mempunyai arti
penting dalam mencapai keberhasilan penyembuhan. Unsur
agama yang mereka terima akan memulihkan dan memperkuat
rasa percaya diri (self confidence), harapan (hope) dan
keimanan (faith). Hal ini sesuai dengan beberapa firman Allah
swt, hadits Nabi dan pakar kedokteran, antara lain sebagai
berikut :
1) “Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a,
apabila berdo’a kepada-Ku” (Q.S. 2:186).
2) “Dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkan”
(Q.S. 26:80).
3) “Katakanlah: Al Qur’an itu adalah petunjuk dan
penawar (penyembuh) bagi orang-orang yang beriman”
(QS. 41:44).
4) “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu tepat
mengenai sasarannya maka dengan izin Allah, penyakit
itu akan sembuh” (HR. Muslim dan Ahmad).
5) “Berobatlah kalian, maka sesungguhnya Allah swt tidak
mendatangkan penyakit kecuali mendatangkan juga
obatnya, kecuali penyakit tua” (HR. At Tirmidzi).
6) Dokter yang mengobati, tetapi Allah swt yang
menyembuhkan (Hawari).

Unsur agama ini tidak hanya penting bagi pasien


penyalahguna /ketergantungan NAPZA saja tapi juga penting
bagi keluarganya dalam menciptakan suasana rumah tangga
yang religius penuh kasih sayang ungkapannya adalah
“rumahku sorgaku” (baiti jannati), sehingga anak/remaja dan
anggota keluarga lainnya masing-masing betah (kerasan) di
rumah, dan tidak pergi ke tempat-tempat yang rawan.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa


terapi atau pengobatan terhadap pasien penyalahguna/
ketergantungan NAPZA lamanya 3 minggu yaitu minggu I
untuk menjalani terapi detoksifikasi dan komplikasi medik;
sedangkan pada minggu II dan III merupakan terapi
pemantapan yang mencakup terapi medik, terapi psikiatrik,
terapi psikoreligius, terapi fisik dan konsultasi keluarga.
Sedangkan terapi psikososial yaitu rehabilitasi dibahas dalam
Bab VI.

2. Rehabilitasi
Sesudah pasien penyalahguna/ketergantungan NAPZA
menjalani program terapi (detoksifikasi) dan komplikasi medik
selama 1 minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan
(pasca detoksifikasi) selama 2 minggu, maka yang
bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu
rehabilitasi. Bila oleh sesuatu sebab mereka tidak mengikuti
program rehabilitasi (misalnya ingin kembali
sekolah/kuliah/kerja), mereka harus tetap melakukan kontrol
berobat jalan dan menjalani tes urin secara berkala, dengan
maksud agar kemungkinan kambuh dapat ditekan seminimal
mungkin sesuai dengan petunjuk buku panduan yaitu “Terapi
(Detoksifikasi) dan Rehabilitasi (Pesantren) Mutakhir (Sistem
Terapadu) Pasien “NAPZA” (Narkotika,
Alkohol,Psikotropika & Zat Adiktif) Metode Prof. Dadang
Hawari”, Edisi III, UI Press, 2000.

Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya


memulihkan dan mengembalikan kondisi para mantan
penyalahguna/ketergantungan NAPZA kembali sehat dalam
arti sehat fisik, psikologik, sosial dan spiritual/agama
(keimanan). Dengan kondisi sehat tersebut diharapkan mereka
akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam
kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di sekolah/kampus, di
tempat kerja dan di lingkungan sosialnya.

Program rehabilitasi lamanya tergantung dari metode


dan program dari lembaga yang bersangkutan; biasanya
lamanya program rehabilitasi antara 3-6 bulan. Pusat atau
Lembaga Rehabilitasi yang baik haruslah memenuhi beberapa
persyaratan antara lain :
a. Sarana dan prasarana yang memadai, termasuk gedung,
akomodasi, kamar mandi/WC yang higienis, makanan dan
minuman yang bergizi dan halal, ruang kelas, ruang
rekreasi, ruang konsultasi individual maupun kelompok,
ruang konsultasi keluarga, ruang ibadah, ruang olah raga,
ruang keterampilan dan lain sebagainya.
b. Tenaga yang profesional (psikiater, dokter umum, psikolog,
pekerja sosial, perawat, agamawan/rohaniawan dan tenaga
ahli lainnya/instruktur). Tenaga profesional ini untuk
menjalankan program yang terkait.
c. Manajemen yang baik.
d. Kurikulum/program rehabilitasi yang memadai sesuai
dengan kebutuhan.
e. Peraturan dan tata tertib disiplin yang ketat agar tidak
terjadi pelanggaran ataupun kekerasan.
f. Keamanan (security) yang ketat agar tidak memungkinkan
peredaran NAPZA di dalam pusat rehabilitasi (termasuk
rokok dan minuman keras).

Adapun hasil yang diharapkan setelah mereka selesai


menjalani program rehabilitasi adalah antara lain :
a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME.
b. Memiliki kekebalan fisik maupun mental terhadap NAPZA.
c. Memiliki keterampilan.
d. Dapat kembali berfungsi secara wajar (layak) dalam
kehidupan sehari-hari baik di rumah (keluarga), di
sekolah/kampus, di tempat kerja maupun di masyarakat.

Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas


diperlukan program rehabilitasi yang meliputi rehabilitasi
medik, psikiatrik, psikososial dan psikoreligius sesuai dengan
definisi sehat dari WHO (1984) dan American Psychiatric
Association/APA (1992).

a. Rehabilitasi Medik

Dengan rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar


mantan penyalahguna /keter-gantungan NAPZA benar-benar
sehat secara fisik dalam arti komplikasi medik diobati dan
disembuhkan; atau dengan kata lain terapi medik masih dapat
dilanjutkan. Hal ini berdasarkan hasil penelitian (Hawari,
dkk,1999) yang menyatakan bahwa pada para
penyalahguna/ketergantungan NAPZA, 53,57% mengalami
kelainan paru, 55,10% kelainan lever, 56,63% hepatitis C dan
infeksi HIV 33,33% (Hawari, dkk, 2000). Selain daripada itu
dari penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1990) para
penyalahguna /ketergantungan NAPZA seringkali terlibat
tindak kekerasan (65,3%) dan mengalami
kecelakaan/kecelakaan lalu lintas (58,7%), yang
mengakibatkan cidera dan cacat fisik. Bila diantara peserta
rehabilitasi itu mengalami cacat fisik maka perlu dilakukan
rehabilitasi medik agar yang bersangkutan dapat hidup normal
meskipun mengalami kecacatan pada tubuhnya (handicap
person).
Termasuk dalam program rehabilitasi medik ini ialah
memulihkan kondisi fisik yang lemah, tidak cukup diberikan
gizi makanan yang bernilai tinggi, tetapi juga kegiatan olah
raga yang teratur disesuaikan dengan kemampuan masing-
masing yang bersangkutan. Misalnya saja bagi mereka yang
masih menjalani terapi untuk penyakit lever, paru ataupun
organ tubuh lainnya, tentunya jenis olah raganya cukup yang
ringan-ringan saja, tidak sama dengan mereka yang secara
fisik benar-benar sehat.

b. Rehabilitasi Psikiatrik

Dengan rehabilitasi psikiatrik ini dimaksudkan agar


peserta rehabilitasi yang semula berperilaku maladaptif
berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan
tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat
bersosialisasi dengan baik dengan sesama rekannya maupun
personil yang membimbing dan mengasuhnya.

Meskipun mereka telah menjalani terapi sebagaimana


diuraikan pada Bab V, seringkali perilaku maladaptif tadi
belum hilang, rasa ingin memakai NAPZA lagi atau “sugesti”
(craving) masih sering muncul, juga keluhan lain seperti
kecemasan dan atau depresi serta tidak bisa tidur (insomnia)
merupakan keluhan yang sering disampaikan di kala menjalani
konsultasi dengan psikiater/dokter. Oleh karena itu terapi
psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis
obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif
(menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan dependensi
(ketergantungan).

Dalam rehabilitasi psikiatrik ini yang penting adalah


psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok.
Untuk mencapai tujuan psikoterapi, waktu 2 minggu (program
pasca detoksifikasi) memang tidak cukup; oleh karena itu perlu
dilanjutkan dalam kurun waktu 3-6 bulan (program
rehabilitasi). Dengan demikian dapat dilaksanakan bentuk-
bentuk psikoterapi apa saja yang cocok bagi masing-masing
peserta rehabilitasi.

Termasuk rehabilitasi psikiatrik ini adalah


psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai
“rehabilitasi” keluarga terutama bagi keluarga-keluarga broken
home. Hal ini penting dilakukan oleh psikiater , psikolog
ataupun pekerja sosial mengingat bahwa bila ada salah satu
anggota keluarga yang terlibat penyalahgunaan/ketergantungan
NAPZA artinya terdapat kelainan (psikopatologik) dalam
sistem keluarga (Gerber, 1983). Konsultasi keluarga ini
penting dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek
kepribadian anaknya yang terlibat
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA, bagaimana cara
menyikapinya bila kelak ia telah kembali ke rumah dan upaya
pencegahan agar tidak kambuh (lihat aspek keluarga pada Bab
IV halaman 31-35).

c. Rehabilitasi Psikososial

Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar


peserta rehabilitasi dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam
lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di sekolah/kampus dan
di tempat kerja. Program rehabilitasi psikososial merupakan
persiapan untuk kembali ke masyarakat (re-entry program).
Oleh karena itu mereka perlu dibekali dengan pendidikan dan
keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun balai latihan
kerja dapat diadakan di pusat rehabilitasi. Dengan demikian
diharapkan bila mereka telah selesai menjalani program
rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau
bekerja.

d. Rehabilitasi Psikoreligius

Sebagaimana telah dikemukakan, rehabilitasi


psikoreligius masih perlu dilanjutkan karena waktu 2 minggu
(program pasca detoksifikasi) itu tidak cukup untuk
memulihkan peserta rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai
dengan keyakinan agamanya masing-masing. Pentingnya
peranan agama telah diuraikan dalam Bab V.

Misalnya bagi peserta rehabilitasi yang beragama Islam


pelajaran yang diberikan dimaksudkan untuk memperkuat
keimanan yang memberikan keyakinan bahwa NAPZA haram
hukumnya baik dari segi agama maupun UU. Sebagai contoh
kalau ia makan babi memang haram dan berdosa tetapi tidak
akan ditangkap polisi dan tidak akan dipenjarakan. Lain halnya
kalau mengkonsumsi NAPZA, kecuali berdosa, melanggar
hukum dengan akibat ditangkap dan dipenjarakan.

Termasuk dalam rehabilitasi psikoreligius ini adalah


semua bentuk ritual keagamaan, misalnya dalam agama Islam
antara lain:
1. Menjalankan sembahyang wajib 5 waktu dan ditambah
dengan sembahyang sunah.
2. Berdo’a dan berdzikir (memohon dan mengingat Allah
swt), membaca dan mengamalkan buku berjudul “Do’a
dan Dzikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis”
(karangan Prof. Dadang Hawari).
3. Mengaji (membaca dan mempelajari isi kandungan Al
Qur’an).
4. Mempelajari buku “Konsep Islam Memerangi
NAPZA” (karangan Prof. Dadang Hawari).
5. Mempelajari buku “Konsep Islam Memerangi AIDS
”(karangan Prof. Dadang Hawari).
6. Mempelajari buku “Al Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa
dan Kesehatan Jiwa” (karangan Prof. Dadang Hawari).
7. Mempelajari buku “Terapi (Detoksifikasi) dan
Rehabilitasi (Pesantren) Mutakhir (Sistem Terpadu)
Pasien NAPZA (Narkotika, Alkohol & Zat Adiktif).
Metode Prof. Dadang Hawari” (karangan Prof. Dadang
Hawari).
8. Pendalaman keagamaan dari ustad
pembimbing/pengasuh dan dari buku-buku agama yang
terkait khususnya di bidang keimanan, kesehatan dan
perilaku yang sholeh dan terpuji (akhlaqul karimah).

Pendalaman, penghayatan dan pengamalan keagamaan


atau keimanan ini akan menumbuhkan kekuatan kerohanian
(spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu
menekan resiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA. Hawari (2000)
dalam penelitiannya memperoleh data bahwa para mantan
penyalahguna/ketergantungan NAPZA apabila taat dan rajin
menjalankan ibadah, resiko kekambuhan hanya 6,83%; bila
kadang-kadang beribadah, resiko kekambuhan 21,50%; dan
apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah agama, resiko
kekambuhan mencapai 71.67%.

3. Forum Silaturahmi

Forum silaturahmi merupakan program lanjutan (pasca


rehabilitasi) yaitu program atau kegiatan yang dapat diikuti
oleh mantan penyalahguna /ketergantungan NAPZA (yang
telah selesai menjalani tahapan rehabilitasi) dan keluarganya
(ayah dan ibu). Forum silaturahmi ini dijalankan secara
periodik (1-2 kali dalam sebulan) dan berkesinambungan
selama 2 tahun.

Tujuan yang hendak dicapai dalam forum silaturahmi


ini adalah untuk memantapkan terwujudnya rumah
tangga/keluarga sakinah yaitu keluarga yang harmonis dan
religius, sehingga dapat memperkecil kekambuhan
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA. Tenaga pemandu
forum silaturahmi ini terdiri dari tenaga-tenaga profesional
yang telah memahami permasalahan penyalahgunaan/
ketergantungan NAPZA dengan merujuk pada metode Prof.
Dadang Hawari. Tenaga profesional tersebut terdiri dari
psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja sosial, agamawan
dan ahli lainnya yang terkait.

Forum silaturahmi ini merupakan forum dialog


interaktif antara sesama peserta forum yang terdiri dari para
mantan penyalahguna /ketergantungan NAPZA dan
keluarganya dengan dipandu oleh tenaga ahli sebagai
fasilitator. Hasil yang diharapkan dari forum silaturahmi ini
adalah kemampuan untuk mengatasi segala permasalahan
kehidupan dalam keluarga sehingga memperkecil resiko
kekambuhan. Seseorang mantan penyalahguna/ketergantungan
NAPZA baru dikatakan sembuh bilamana selama 2 tahun ia
tidak lagi mengkonsumsi NAPZA Selama kurun waktu 2 tahun
itu ia masih dalam pengawasan, pemantauan dan tes urin
secara periodik (monitoring); sehingga sesungguhnya
monitoring tersebut sifatnya terkontrol dan terkendali
(manageable and controllable).
Pada dasarnya forum silaturahmi ini merupakan wadah
bagi para mantan penyalahguna/ketergantungan NAPZA dan
keluarganya (orangtua) dalam membina, mewujudkan dan
memantapkan rumah tangga/keluarga sakinah. Analogi forum
silaturahmi ini adalah sama dengan POMG (Persatuan
Orangtua Murid dan Guru), dan OSIS (Organisasi Siswa Intra
Sekolah). Dari forum silaturahmi ini dapat dilahirkan suatu
organisasi misalnya, Klub Pemuda Anti NAPZA dan Klub
Orangtua Anti NAPZA.

4. Program Terminal (Re-Entry Program)

Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari mereka


sesudah menjalani program rehabilitasi dan kemudian
mengikuti forum silaturahmi, mengalami kebingungan untuk
program selanjutnya. Khususnya bagi pelajar dan mahasiswa
yang karena keterlibatannya pada
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA di masa lalu terpaksa
putus sekolah menjadi pengangguran; perlu menjalani program
khusus yang dinamakan program terminal (re-entry program),
yaitu program persiapan untuk kembali melanjutkan
sekolah/kuliah atau bekerja baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Dengan adanya program ini maka bagi para
mantan penyalahguna/ketergantungan NAPZA tidak perlu
pesimis menghadapi masa depannya karena sesungguhnya
masih ada hari esok.

Program terminal ini berisikan kurikulum yang cukup


padat agar peserta program tidak banyak waktu luang guna
mengejar ketinggalan di masa lalu, antara lain :
a. Berbagai macam kursus, misalnya bahasa Inggeris,
bahasa Arab, komputer dan lain-lain yang terkait sesuai
dengan minat atau jurusan sekolah/pekerjaan.
b. Berbagai macam keterampilan, misalnya kerajinan,
perbengkelan, pertukangan dan lain sebagainya (sesuai
dengan program Balai Latihan Kerja/BLK).
c. Pendalaman keagamaan untuk memperkuat keimanan
dan ketaqwaan kepada Tuhan YME.
d. Dan lain-lain yang terkait.

Mereka yang mengikuti program terminal ini harus


tinggal di wisma dengan sarana prasarana yang memenuhi
persyaratan dan personil yang profesional di bidangnya
masing-masing sebagaimana halnya mereka yang mengikuti
program terapi pasca detoksifikasi (terapi pemantapan) di
rumah singgah (wisma)/half-way/transit house (lihat halaman
40). Lamanya program terminal ini antara 1-2 bulan.

5. Keluarga Sakinah

Seluruh tahapan program bagi penyalahguna/


ketergantungan NAPZA yang dimulai dari :
a. Tahapan terapi (detoksifikasi) dan terapi komplikasi
medik selama lebih kurang 1 minggu baik di rumah
maupun di RSU, dan dilanjutkan dengan;
b. Tahapan pemantapan selama 2 minggu di wisma/rumah
singgah (half-way/transit house) dengan terapi medik,
terapi psikiatrik/psikologik, terapi psikoreligius, terapi
fisik dan konsultasi keluarga, dan dilanjutkan dengan;
c. Tahapan rehabilitasi selama 3-6 bulan di wisma/pusat
rehabilitasi dengan lanjutan terapi medik, terapi
psikiatrik/psikologik, terapi psikoreligius, terapi fisik,
keterampilan dan konsultasi keluarga, dilanjutkan
dengan;
d. Forum silaturahmi yang merupakan dialog interaktif
sesama mantan penyalahguna/ketergantungan NAPZA
dan keluarganya dengan dipandu oleh tenaga
profesional sebagai fasilitator, dilanjutkan dengan;
e. Program terminal yang merupakan tahapan akhir
sebagai persiapan kembali ke masyarakat untuk
melanjutkan sekolah/bekerja (re-entry program).

Kelima program tersebut di atas diharapkan akan


menghasilkan keluarga yang sakinah artinya suasana keluarga
kembali menjadi harmonis dan religius, gangguan mental dan
perilaku penyalahguna/ketergantungan NAPZA sudah kembali
normal, dan masing-masing anggota keluarga sudah dapat
menjalankan fungsinya dengan baik (adaptif); dan anak/remaja
mantan penyalahguna/ketergantungan NAPZA menjadi SDM
(Sumber Daya Manusia) yang berkualitas, mampu mandiri dan
produktif serta tidak konsumtif.

SDM yang berkualitas ditandai dengan :


a. Tingkat kecerdasan atau IQ (Intelligence Quotient)
yang tinggi, yang dapat dicapai dengan rajin belajar
dan banyak membaca.
b. Tingkat emosional atau EQ (Emotional Quotient) yang
tinggi, artinya SDM tersebut mampu mengendalikan
diri, sabar serta tekun; yang dapat dicapai dengan
menjalani psikoterapi sehingga SDM tersebut dalam
sikap dan tindakannya lebih rasional daripada
emosional.
c. Tingkat kreatifitas atau CQ (Creativity Quotient) yang
tinggi, artinya SDM tersebut memiliki daya
cipta/kreatifitas yang menghasilkan hal-hal baru
bermanfaat bagi dirinya, keluarga dan masyarakat.
Setiap SDM mempunyai bakat kreatif yang terpendam,
oleh karena itu bakat ini harus dimotivasi untuk
berkembang.
d. Tingkat keagamaan atau RQ (Religiousity Quotient)
yang tinggi, artinya SDM tersebut tidak hanya
beragama tetapi juga beriman dan bertaqwa dalam
pengamalan kehidupannya sehari-hari. Untuk
memperoleh RQ yang tinggi ini SDM yang
bersangkutan harus memperoleh pendidikan dengan 3
sasaran yaitu kognitif (menguasai ilmu agama), afektif
(menghayati ilmu agama) dan psikomotor
(mengamalkan ilmu agama yang telah dikuasai dan
dihayatinya itu).

Bila semua anggota keluarga tanpa kecuali memiliki


sifat-sifat SDM yang berkualitas sebagaimana diuraikan di
atas, maka diharapkan keluarga sakinah yang diidam-idamkan
itu akan terwujud. Dan keluarga sakinah ini mempunyai
ketahanan dan kemampuan untuk menghadapi dan
menyelesaikan semua problematik kehidupan karena selalu
mendapat kemudahan serta taufiq dan hidayah dari Tuhan
YME.

Dalam keluarga yang sakinah ini anak/remaja akan


tumbuh kembang sehat fisik, psikologik, sosial dan spiritual
(WHO, 1984; APA, 1992). Dari anak yang bertumbuh
kembang sehat ini diharapkan akan memiliki ketahanan dan
kekebalan kepribadian yang tinggi (personality resilience)
terhadap penyalahgunaan /ketergantungan NAPZA.
E. SUMBER PUSTAKA

1. Hawari, Dadang. 2012. Miras dan Narkoba “Penyalahgunaan


dan Ketergantungan. Badan Penerbit: Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia, Edisi kedua cetakan ketiga.

2. Hawari, Dadang. 2008. Terapi dan Rehabilitasi Miras dan


Narkoba. Badan Penerbit: Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi keenam cetakan kedua.

3. Hawari, Dadang. 2014. Petunjuk Praktis Prevensi, Terapi dan


Rehabilitasi Miras, Narkoba, HIV/Aids dan Epilepsi. Badan
Penerbit: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
BAB VII
PENUTUP

Modul penyuluhan, pencegahan, dan


penanganan korban penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA merupakan panduan materi
yang bersifat umum sehingga diharapkan
mudah dipahami oleh semua pihak dalam
melakukan penyuluhan, pembekalan dan
penguatan kearifan lokal.

Konsep modul ini disertai dengan berbagai metode dan teknik


serta pemanfaatan alat media penunjang lainnya sehingga dalam
penyampaian materi dapat disampaikan dengan cepat dan mudah
dipahami serta tetap pada peraturan yang telah ditentukan di dalam
modul. Dalam pelaksanaannya modul ini dapat dikembangkan sesuai
dengan, kebutuhan, kondisi, sasaran serta situasi wilayah masing-
masing, namun tetap mengacu kepada ketentuan dan peraturan yang
berlaku.

Kami sangat berterima kasih kepada ibu Menteri Sosial,


Sekretaris Jenderal dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, atas dukungan, bimbingan, dan arahan serta perhatian
sehingga modul ini dapat cepat terselesaikan. Kami menyadari modul
ini belum sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan suatu
kritikan dan masukan dari seluruh pembaca, untuk penyempurnaan
dan perbaikan modul ini.

Kepala Pusat Penyuluhan Sosial

Tati Nugrahati, S
LAMPIRAN 1
PRE DAN POST TEST

A. PRE TEST DAN POST TEST MODUL 1

1. Jenis-jenis miras dan narkoba/NAPZA , kecuali :


a) Minuman keras/miras
b) Ekstasy
c) inex
d) Sabu-sabu
e) nikotin

2. Narkotika Alkohol Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya,


disingkat dengan:
a) Narkoba
b) NAPZA
c) NAZA
d) Miras
e) NIKOTIN

3. Menurut Anda, apa penyebab terjadinya seseorang


menyalahgunakan miras dan narkoba/NAPZA, kecuali:
a) Lingkungan yang buruk
b) Kurangnya nilai agama
c) Kurangnya nilai moral
d) Keluarga tidak harmonis
e) Kurangnya sosialisasi

4. Istilah-istilah di dalam dunia penyalahgunaan Miras dan


Narkoba/NAPZA,
kecuali :
a) Bong
b) CD4
c) Boti
d) Etep
e) Ubas

5. Penyakit yang disebabkan oleh penyalahgunaan Miras dan


Narkoba/NAPZA
kecuali:
a) Skizofrenia
b) HIV / AIDS
c) Hepatitis
d) Kanker
e) Diare

B. PRE TEST DAN POST TEST MODUL 2

1. Gejala fisik dan psikologis seseorang yang menggunakan


ganja, kecuali
a) Tertawa tawa tanpa sebab
b) Nafsu makan bertambah
c) Menggaruk-garuk hidung
d) Berhalusinasi
e) Mata memerah

2. Perubahan perilaku yang disebabkan oleh penyalahgunaan


miras dan narkoba/NAPZA, kecuali
a) Emosional
b) Mencuri
c) Curiga
d) Ceria
e) Depresi

3. Salah satu indikator anak sekolah menggunakan narkoba


adalah:
a) bolos sekolah
b) pulang larut malam
c) berbohong
d) Berkelahi
e) semua benar

4. Gejala fisik dan psikologis seseorang yang menggunakan


narkoba jenis shabu-shabu , kecuali :
a) Gangguan tidur/sulit tidur
b) Agitasi psikomotor (tidak bisa diam/selalu bergerak)
c) Sakit pada setiap persendian (sakaw)
d) Kewaspadaan meningkat (paranoid)
e) Jantung berdebar-debar

5. Alat bantu dalam menggunakan narkoba jenis shabu-shabu


adalah:
a) Kertas papir
b) Lilin
c) Bong
d) Kain basah
e) Kaca

C. PRE TEST DAN POST TEST MODUL 3

1. Strategi pencegahan penyalahgunaan miras dan narkoba di


mulai dari tahapan:
a) Sekolah
b) Pengenalan Diri
c) Keluarga
d) Lingkungan sosial
e) Lingkungan pertemanan
1. Salah satu indikator anak sekolah menggunakan narkoba
adalah:
a) bolos sekolah
b) pulang larut malam
c) berbohong
d) Berkelahi
e) semua benar

2. Jika Anda menjumpai seseorang yang menjadi pecandu dan


membutuhkan pengobatan/terapi, kemanakah Anda akan
membawanya
a) Kantor polisi
b) Pusat rehabilitasi
c) Puskesmas
d) Tokoh masyarakat
e) Kantor KUA

4. Undang-undang yang mengatur tentang penyalahgunaan


miras dan narkoba/NAPZA
a) Undang-undang No. 35 tahun 2009
b) Undang-undang No. 20 tahun 2008
c) Undang-undang No. 18 Tahun 1999
d) Undang-undang No. 22 Tahun 1997
e) Undang-undang No. 3 Tahun 2006

5. Menurut undang undang No 35 tahun 2009 pengguna


narkoba harus :
a) Dipasung
b) Dipenjara
c) Direhabilitasi
d) Dibunuh
e) Diusir
D. PRE TEST DAN POST TEST MODUL 4

1. Dibawah ini adalah beberapa pencetus seseorang menjadi


penyalahguna miras dan narkoba/NAPZA, kecuali
a) Kedua orangtua bercerai
b) Orangtua meninggal
c) Orangtua harmonis
d) Orangtua sibuk dan jarang dirumah
e) Hubungan antara orang tua dan anak tidak harmonis

2. Dibawah ini adalah jenis-jenis metode


pengobatan/pemulihan korban penyalahgunaan miras dan
narkoba, kecuali:
a) Terapeutic Comunity
b) BPSS (Bio-Psiko-Sosial-Spiritual)
c) NA (Narcotic Anonymus)
d) Spiritual
e) Dipasung

3. Tahapan pertama penanganan pada korban pengguna


narkoba :
a) Detoksifikasi
b) Rehabilitasi
c) Aftercare
d) Konseling
e) Jangkau damping

4. Lembaga rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan Napza


yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial disebut :
a) IPWL
b) WIL
c) MUI
d) LKS
e) PBB

5. Unsur terapi yang harus ada pada sebuah tempat rehabilitasi


adalah kecuali :
a) Teman pecandu
b) dokter
c) peksos
d) psikolog
e) Agamawan
LAMPIRAN II
SIMULASI PERMAINAN

A. Games simulasi segitiga

Petunjuk:
a. Perlihatkan gambar games simulasi di bawah ini kepada
peserta.

b. Tanyakan kepada peserta penyuluhan ‘Berapa jumlah segitiga


yang ada di gambar tersebut?”
c. Peserta akan menjawab bahwa di dalam gambar ada segitiga.
Ada yang menjawab 2, 4, 8, 10 dan seterusnya.
d. Setelah peserta di beri kesempatan menjawab, kemudian
penyuluh memberitahukan bahwa di dalam gambar tersebut
TIDAK ADA segitiga. Jelaskan apa yang dimaksud dengan
segitiga. Segitiga adalah bagun ruang yang mempunyai tiga
sisi. sedang dalam gambar tidak ada sisi-sisi segitiganya.
e. Jelaskan kepada peserta bahwa segitiga yang disebutkan oleh
peserta adanya hanya di persepsi, adanya hanya di dalam
pikiran.
f. Terangkan bahwa Problem pecandu narkoba sebagian besar
adalah kesalahan dalam membuat persepsi. Persepsi negatif
terhadap sesuatu hal yang menjadi pemicu untuk
menggunakan miras dan narkoba
B. Games Simulasi Pegang Dagu

Petunjuk:
a. Bersama penyuluh, ajak seluruh peserta untuk mengangkat
tinggi-tinggi salah satu tangannya.
b. Beri arahan bahwa peserta harus mengikuti kata-kata
penyuluh.
c. Sambil mengarahkan para peserta untuk menggerakkan tangan
ke kiri, ke kanan, ke atas, kebawah.
d. Setelah beberapa saat dan peserta hanyut dalam menggerakkan
tangannya hingga mengikuti gerakan tangan penyuluh. lalu
diakhiri instruksi penyuluh untuk “Pegang Dagu” tetapi
penyuluh mengarahkan tangannya ke arah kuping, jidat, atau
yang lainnya. Maka para peserta akan spontan mengikuti
tangan penyuluh.
e. Beri pemahaman bahwa simulas ini menunjukkan bagaimana
seseorang bisa terkena narkoba. Gaames simulasi ini
menunjukkan yaitu tentang kuatnya pengaruh lingkungan

C. Games Simulasi ‘SIAPA DIA ?’

Petunjuk :
a. Minta semua peserta untuk berdiri dan membentuk lingkaran.
b. Minta seorang peserta untuk memperkenalkan nama dan satu
hal lain mengenai dirinya dalam bentuk satu kalimat pendek
(tidak boleh lebih dari 6 kata), misal: Nama saya Retno,
fasilitator P2KP. Nama saya Rachman, Kader Komunitas.
c. Mintalah peserta kedua untuk mengulang kalimat peserta
pertama, baru kemudian memperkenalkan dirinya sendiri,
misal : teman saya Retno, fasilitator, saya Mika, guru sekolah.
d. Peserta ketiga harus mengulang kalimat 2 peserta sebelumnya
sebelum memperkenalkan diri, demikian seterusnya sampai
seluruh peserta memperoleh gilirannya.
e. Apabila peserta tidak dapat mengingat nama dan apa yang
dikatakan 2 peserta lainnya, maka ia harus menanyakan
langsung pada yang bersangkutan : 'siapa nama anda?' atau
'siapa nama anda dan apa yang anda katakan tadi ?’

D. Games simulasi “Penyeimbang Otak”

Petunjuk:
a. Perlihatkan gambar simulasi penyeimbang fungsi otak
dibawah ini secara bergantian:

b. Minta peserta penyuluhan untuk menyebutkan warna dari


gambar-gambar yang disajikan.
c. Kemungkinan besar peserta akan salah menyebutkan saat
objek menjadi tulisan
d. Hal ini terjadi karena ketidak stabilan fungsi otak dari peserta.
Dikarenakan tidak focus.
e. Berikan arahan bahwa focus adalah masalah terbesar dari
seorang pecandu.

E. Games Ice Breaking “BADAI BERHEMBUS”

Petunjuk:
Strategi ini merupakan icebreaker yang dibuat cepat yang
membuat para peserrta latihan bergerak tertawa. Strategi tersebut
merupakan cara membangun team yang baik dan menjadikan para
peserta lebih mengenal satu sama lain.

Petunjuk :
a. Aturlah kursi – kursi ke dalam sebuah lingkaran. Mintalah
peserta untuk duduk di kursi yang telah disediakan.
b. Jelaskan kepada peserta aturan permainan, untuk putaran
pertama pemandu akan bertindak sebagai angin.
c. Pemandu sebagai angin akan mengatakan ' angin berhembus
kepada yang memakai – misal : kacamata' (apabila ada
beberapa peserta memakai kacamata).
d. Peserta yang memakai kacamata harus berpindah tempat
duduk, pemandu sebagai angin ikut berebut kursi.
e. Akan ada satu orang peserta yang tadi berebut kursi, tidak
kebagian tempat duduk. Orang inilah yang menggantikan
pemandu sebagai angin.
f. Lakukan putaran kedua, dan seterusnya. Setiap putaran yang
bertindak sebagai angin harus mengatakan “angin berhembus
kepada yang …(sesuai dengan karakteristik peserta, misal :
baju biru, sepatu hitam, dsb).

F. Games Simulasi Ice Breaking “PERCAYA TEMAN”.

Petunjuk:
Buatlah lingkaran-lingkaran kecil yang terdiri dari 5 – 6 orang. Dalam
satu lingkaran ada satu orang berdiri di tengah lingkaran. Satu orang
yang berdiri di tengah lingkaran tersebut menutup mata dan
menyilangkan tangan di depan dada. Kemudian, orang berdiri di
tengah lingkaran menjatuhkan diri dengan mata tertutup dan tangan
dilipat di depan dada ke arah manapun. Menjatuhkan diri dengan
bebas dan tidak kaku. Cara menjatuhkan badan adalah kaki tetap tidak
berpindah, namun badan yang jatuh. Orang-orang yang berdiri
mengelilinginya harus siap sedia menyangga tubuh orang yang jatuh
ke arahnya. Lakukan bergantian. Setiap orang mendapatkan
kesempatan untuk berdiri di tengah lingkaran dan menjatuhkan diri
secara bebas.

Permainan ini dijamin menghilangkan kejenuhan dan rasa ngantuk.


Tapi yang paling penting dari permainan ini adalah membangun rasa
kepercayaan satu sama lain bahwa kita semua bisa saling melindungi.
Fasilitator menanyakan pada semua peserta, apa yang dirasakan ketika
menjatuhkan badan? Apakah ada perasaan takut atau sangat percaya
dengan teman yang selalu siap melindungi?

G. Games Simulasi ‘BOOM, BUZZ, DOOR, DUEER’

Cara Bermain :
a. Peserta disuruh membuat lingkaran yang besar (sesuai dengan
kondisi tempat).
b. Peserta disuruh berhitung mulai dari angka 1 sampai dengan
seterusnya, namun dengan aturan:
 Jika peserta harus mengucapkan angka kelipatan 2, maka dia
tidak boleh mengucapkan angka tersebut, namun diganti
dengan meneriakkan “BOOM” dengan suara lantang.
 Jika peserta harus mengucapkan angka kelipatan 3, maka dia
tidak boleh mengucapkan angka tersebut, namun diganti
dengan meneriakkan “BUZZ” dengan suara lantang.
 Jika peserta harus mengucapkan angka kelipatan 5, maka dia
tidak boleh mengucapkan angka tersebut, namun diganti
dengan meneriakkan “DOOR” dengan suara lantang.
 Jika peserta harus mengucapkan angka kelipatan 7, maka dia
tidak boleh mengucapkan angka tersebut, namun diganti
dengan meneriakkan “DUEER” dengan suara lantang.
Contoh :
Jika peserta mengucapkan angka 6 dan karena angka itu merupakan
angka kelipatan 2 dan 3, maka peserta tersebut harus mengucapkan
“BOOM” dan “BUZZ” dengan suara lantang. Begitu juga dengan
angka 14 yang merupakan angka kelipatan 2 dan 7, maka peserta
harus mengucapkan “BOOM dan “DUEER”. Begitu juga seterusnya.
Peserta yang salah mengucapkan dianggap gugur dan hitungan
dimulai kembali dari angka 1 lagi.

H. Games simulasi “TEBAK APA YANG SAYA KATAKAN”

Prosedur :
a. Sampaikan instruksi permainan ini: “tebak apa yang saya
katakan”
b. Sambil menunjukkan jempol, trainer mengucapkan ini ayam
c. Ketika menunjukkan telunjuk trainer mengucapkan yang ini
sapi
d. Kemudian ketika menunjukkan jari tengah trainer
mengucapkan kalo yg ini kerbau.
e. Tanyakan kepada peserta sudah paham atau belum, praktekan
sekali untuk mengetest kepahaman mereka, setelah dirasa
paham, barulah trainer menjalankan aksinya.
f. Peserta diminta menebak apa yang trainer katakan, katakan
seperti contoh diatas, setelah selesai, katakan” Kalo yang ini”
tetapi kita menunjuk pada jari kelingking. Biasanya peserta
akan bingung dan protes. Ulangi lagi dengan variasi lain.
Sampai terjawab dengan benar.
g. Ketika peserta telah memahami instruksi diatas, maka ia akan
mengikuti kata kunci tanpa memperhatikan jari mana yang kita
tunjukkan. Jawaban yang benar adalah bila trainer
menyebutkan “ini”, maka jawabannya adalah “ayam” dst,
seperti dibawah ini:
Pertanyaan Jawaban
Ini…………ayam
yang ini…………..sapi
kalo yang ini……….. kerbau

Nama hewan dan urutan bisa terserah trainer, jadi letak seru atau
tidaknya permainan ini adalah bagaimana peserta bingung menjawab
pertanyaan trainer karena tidak memperhatikan instruksi.

I. Games Simulasi “BERCERMIN”

Langkah - langkah :
a. Minta setiap peserta untuk berpasangan, 1 orang menjadi
bayangan di cermin dan 1 orang menjadi seseorang yang
sedang berdandan di depan cermin.
b. Bayangan harus mengikuti gerak – gerik orang yang
berdandan.
c. Keduanya harus bekerja sama agar bisa bergerak secara
kompak dengan kecepatan yang sama.
d. Minta peserta untuk mendiskusikan apa pesan dalam
permainan ini.
LAMPIRAN III
DAFTAR INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR (IPWL)
KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA

1 Yakita Aceh, Jl. Tuan Keramat No.1, Desa Stui,


Kec. Lamteumen Timur, Banda Aceh
2 Yayasan Tabina, Tgk. Imeum Lueng Bata No. 7c,
Kel. Lamseupeng, Kec. Lueng Bata, Kota Banda Aceh 23247,
Prov. Aceh
3 PSPP Insyaf, Jl. Berdikari, Desa. Lau Bakeri,
Kec. Kutalimbaru, Kota Deli Serdang
4 Lembaga Rehab Sibolangit, Jl. Suka Makmur Km.12,
Desa. Suka Makmur, Kec. Sibolangit, Deli Serdang
5 Yayasan Nazar, Jl. Bajak II Gg Jaya No. 11, Ds. Harjosari II,
Kec. Medan Amplas, Medan
6 Minar Christ, Jl. Penampungan Ds. III Namorambe,
Deli Serdang
7 Medan Plus, Jl. Jamin Ginting Pasar VII No. 45 Padang Bulan
Medan
8 Yayasan Sungai Jordan, Jl. Sandang Pangan Ujung No. 2
Perdagangan, Kab. Simalungun
9 Yayasan Kuasa Pemulihan, Jl. Bunga Anggrek
Kel. Simalingkar B, Kec. Medan Tuntungan Kab. Simalungun
10 Bukit Doa Taman Getsemane, Jl. Tuntungan Golf No. 120
Desa Jurin Jangak, Kec. Pancur Batu, Kab. Deli Serdang
11 Getsemane, Jl. Tuntungan Golf No. 120 Desa Jurin Jangak,
Kec. Pancur Batu, Kab. Deli Serdang
12 YR. Menara Doa Ministry, Jl. Bah Kapul Kiri Gg. Muslim
No. 2 Kel. Sigulang-gulang Kec. Siantar Utara, P. Siantar
13 Amanat Agung, Jl. Qubah Gg. Sosial No. 2 Ds. Kuala Bekala,
Kec. Medan Johor, Medan
14 Kolam Bethesda, Jl. Bunga Cempaka II No. 29 Pasari II P.
Bulan, Ds. P. Bulan Selayang II Kec. Medan Selayang, Medan
15 Persekutuan Doa Matius 5, Jl. Bapelkes Lingkungan III No.
18, Ds. Namo Gajah, Kec. Medan Tuntungan, Medan
16 Kasih Anugrah, Jl. Letjen Jamin Ginting No. 69 Bersama Ling
IV, Kab. Binjai
17 Rahmani Kasih, Jl. Sidomulyo Pasar IX, Dusun V Desa Rotan
Kec. Pecut Sei Rotan
Kab. Deli Serdang
18 Pondok Trenkely, Jl. Glugur Rimbun No. 135 Ds. Sei Glugur
Kec. Pancur Batu, Kab. Deli Serdang Kec. Pancur Batu,
Kab. Deli Serdang
19 Yayasan Pemulihan Kasih Bangsa, Huta Simpang IV Nagori
Bosar Panombeian Panei,
Kab. Simalungun Kab. Simalungun
20 Minyak Narwastu, Jl. Sibatu-batu Blok I, Bahsorma,
Kec. Siantar Sitalasari, Pematang Siantar, Prov. Sumatera Utara
Pematang Siantar
21 Yayasan Keris Sakti, Jl. Asahan Gg. Air Bersih Nagori
Perdagangan II Kec. Bandar, Kab. Simalungun
22 Yayasan Datuk Etam, Jl. Negara Km. 18,5 Dusun II Tanjung
Morawa, Kab. Deli Serdang
23 Caritas PSE, Jl. Sei Asahan No. 42 Padang Bulan Selayang I,
Medan
24 Yayasan Rumah Idaman, Jl. Pendeta J. Wismar Saragih
Gg. Rindung No. 2
25 Yayasan Satu Bumi, Jl. Sei Geringging/ Jl. Serasi, Simpang
Tiga, Kec. Bukitraya, Kota Pekanbaru, Prov. Riau
26 Yayasan Mercusuar Riau, Jl. Mustika Gg. Mustika No. 32
Pekanbaru
27 Yayasan Suci Hati, Jl. Kapuk Terpadu RT 004 /IV
Kel. Kalumbuk Kec. Kuranji, Padang
28 New Padoe Jiwa, Jl. H. Abd. Manan No. , Rt. 01/01 Sarojo-
Mandiangin, Kel. Campago Guguk Bulek, Kec. Mandiangin
Koto Salayan, Bukittingi, Prov. Sumatera Barat
29 RBM Cimpago, Jl. Ujung Pandan No. 55C, Koto Merapak,
Kec. Padang Barat, Kota Padang 25117, Prov. Sumatera Barat
30 Al Baroah, Jl. Perumahan Mawar Putih Rt. 34, Ds. Kasang
Pudak, Kec. Kumpeh Ulu, Kab. Muaro Jambi, Prov. Jambi
31 Sahabat Jambi, Jl. Sentot Ali Basa No. 49 Jambi
32 Yayasan Kalimosodo, Jl. Rasan Indah Tambang Emas,
Kec. Pemenang Selatan, Kab. Merangin
33 Yayasan Ar Rahman, Jl. Tegal Binangun Rt.20/10,
Komp. Ponpes, Kec. Plaju Darat
34 Yayasan Mitra Mulia, Jl. Talang Buluh, Kel. Talang Buluh,
Kec. Talang Kelapa, Banyuasin 30761, Prov. Sumatera Selatan
35 Yayasan Hidayatul Mubtadien, Jl. Rinjani I No. 20,
Kel. Jembatan Kecil, Kec. Singaranpati, Kota Bengkulu 38224,
Prov. Bengkulu
36 Yayasan KIPAS, Jl. Semarak 11 Gang 13 No. 35,
Kel. Bentiring, Kota Bengkulu, Prov. Bengkulu
37 Yayasan Lintas Nusa, Jl. Taman Dotamana Indah Blok F
No. 02, Kel. Belian, Kec. Batam Kota, Kota Batam 29464,
Provinsi Kepulauan Riau
38 LSM Sahabat Anak Indonesia, Perumahan Balai Garden Blok
D5 No. 29 Karimun
39 Yayasan Sinarjati, Jl. Marga No.200, Desa. Sambirejo,
Kec. Kemiling, Bandar Lampung
40 Wisma Ataraxis, Jl. RA. Basyid Gg. Kelapa III, Fajar Baru, Jati
Agung, Lampung Selatan
41 PSPP Khusnul Khotimah, Jl. Pocis Bakti Jaya Kecamatan Setu
Tangerang Selatan 15315
42 Yayasan Kapeta, Jl. Warga No. 5 Kel. Ulujami, Jakarta Selatan
12251
43 Yayasan Karisma, Jl. Layur Selatan No. 21 Rawamangun
Jakarta Timur
44 Madani Mental Health Care, Jl. Pancawarga III Rt. 03/04
No.34, Desa Cipinang Besar Selatan, Kec. Jatinegara, Jakarta
Timur
45 Yayasan Kelima, Jl. Jagur Rt.006/004, Desa Cipinang Melayu
Kampung Makasar, Jakarta Timur
46 Natura, Lebak Bulus I No. 9, Kel. Lebak Bulus, Kec. Cilandak,
Kota Jakarta Selatan, Prov. DKI Jakarta
47 Al Jahu, Jl. Raya Tanjung Barat No 3, Pasar Minggu, Jakarta
Selatan, Prov. DKI Jakarta
48 Yayasan Stigma, Jl. Anggrek vi No. 5, Kel. Pesanggrahan,
Kec. Kebayoran Lama, Kota Jakarta Selatan 12330, Prov. DKI
Jakarta
49 Yayasan Sembilan, Jl. DR. Muwardi III No.31 Rt.02/03,
Grogol, Jakarta Barat, Prov. DKI Jakarta
50 GMDM, Jl. Malaka Merah III Blok D No. 22 Komp. Ruko
Malaka Country Estate Kel. Pondok Kopi, Jakarta Timur
51 Yayasan Sahabat Rekan Sebaya, Jl. Raya Pasar Minggu,
Komplek Simpang Tiga Kalibata No. 16-17 RT 005 RW 03
Kel. Duren Tiga Kec. Pancoran Jakarta Selatan
52 Yayasan Hikmah Syahadah, Jl. KH. Isman, Ds. Pasir Nangka,
Kec. Tigaraksa Tangerang, Tangerang, Prov. Banten
53 Bani Syifa, Kp. Panyabrangan Rt. 015/03 Serang
54 Nururrohman, Jl. Sawahluhur Km. 10, Kel. Sawahluhur,
Kec. Kasemen, Kota Serang 42191, Banten
55 YRM Dira Sumantriwintoha, Kp. Pabuaran, Kab. Serang
56 PSPP Galih Pakuan, Jl. H. Miing No. 71, Desa Putat Nutug,
Kec. Parung, Bogor
57 BRSPP Lembang, Jl. Maribaya No.22, Desa Kayu Abon,
Kec. Lembang, Kabupaten Bandung Barat
58 Yayasan Untuk Segala Bangsa, Kel. Tugu Utara, Kel. Cisarua,
Kota Bogor
59 YAKITA Bogor, Jl. Ciasin No. 21 Ds. Bendungan Kec. Ciawi,
Bogor
60 Yayasan Adiksifitas, Jl. Lapangan Tembak, Gg. Rukun 1
No.90, Rt.006/02, Cibubur, Jakarta Timur/ Rumah Kebun
Cigombong (Villa Orchid Cigombong) Kav. 16A, Desa Tugu
Jaya, Kab. Bogor 16110, Prov. Jawa Barat
61 PSKN Penuai, Kp. Ciguntur Rt.06/03, Desa. Cipendawa,
Kec. Pacet, Cianjur
62 Yayasan PEKA Bogor, Jl. Cifor No.50, Sindang Barang Jero,
Rt.01/06, Kota Bogor
63 Yayasan Sekarmawar, Jl. Surya Kencana No.2, Kel. Lebak
Gede, Kec. Coblon, Kota Bandung 40132, Prov. Jawa Barat
64 Yayasan Al Karomah, Jl. Pelabuhan Ratu Km. 28 No. 33
Kp. Baeud RT 03/03 Ds. Warung Kiara, Sukabumi
65 Rumah Cemara, Jl. Geger Kalong Girang No.52, Desa Suka
Maju, Kec. Cimenyan, Kota Bandung
66 Inabah II Puteri, Desa. Ciceuri, Ciomas, Kec. Panjulu, Ciamis
67 Yayasan Nurul Jannah, Jl. Swadaya No.65 Rt.03/06, Desa.
Karang Asih, Kec. Cikarang Utara, Bekasi
68 Ianatush Syibyan, Babakan RT 012/01 Sindangjaya,
Mangunjaya, Kab. Ciamis
69 Inabah XV, Jl. Pagerageung Wetan Rt.01/10, Pagerageung,
Kec. Pagerageung, Kab. Tasikmalaya 46158, Prov. Jawa Barat
70 Yayasan Maha Kasih, Jl. Ir. H. Juanda No. 72,
Kel. Awirarangan, Kec. Kuningan, Kab. Kuningan 4551,
Prov. Jawa Barat
71 Breakthrough Missions, Jl. Bali Raya No. 31, Kel. Bojong
Koneng, Kec Babakan Madang, Bogor 16810, Prov. Jawa Barat
72 Yayasan As Sabur (Bumi Kaheman), Komp. Banda Asri Blok
C3/6, Banda Sari, Kab. Bandung, Prov. Jawa Barat
73 Yayasan Rumah Asa Anak Bangsa, Kampung Citugu,
Desa Tugu Jaya, Kec. Cigombong Rt. 01/11 No. 52, Kab. Bogor
16740
74 Yayasan Pelita Bangsa, Jl. Raya Babakan Madang,
Ds. Kadungmangu, Kab. Bogor, Prov. Jawa Barat
75 Yayasan Pelayanan Agape, Jl. Citeko No. 96 Rt.02/04,
Desa Citeko, Kec. Cisarua, Kab. Bogor, Prov. Jawa Barat 16750
76 Balai Rehabilitasi Sosial Mandiri, Jl. Amposari II No.4,
Desa. Sendangguwo, Kec. Tembalang, Semarang
77 Rumah Damai, Desa Cepoko Rt.004/001, Desa. Cepoko,
Kec. Gunungpati, Semarang
78 YPI Nurul Ichsan Al Islami, Legoksari RT 04/02, Karangsari,
Kalimanah, Purbalingga
79 PA. Rehabilitasi At Tauhid, Jl. Gayamsari Selatan II RT
03/03, Sendangguwo, Sendang, Tembalang - Semarang
80 Yayasan Cinta Kasih Bangsa, Jl. Kol. Sugiono No. 65,
Ds. Susukan, Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang 50518,
Jawa Tengah
81 Pemulihan Pelita, Jl. Jangli 16A, Kel. Karanganyar G Cincing,
Kec. Candisari, Kota Semarang, Jawa Tengah
82 Maunatul Mubarok, Kel. Trimulyo, Kec. Genok, Semarang
83 Nurussalam, Jl. Ngepreh, Ds. Sayung, Rt 02/6, Kec. Sayung,
Demak 59563, Jawa Tengah
84 Sinai, Jl. Kutu Rt. 02/08, Telukan, Kec. Grogol, Sukoharjo
57552, Prov. Jawa Tengah
85 An Nur, Jl. Raya Bungkanel, Ds. Bungkanel,
Kec. Karanganyar, Purbalingga 53354, Jawa Tengah
86 Yayasan Mitra Alam, Jl. Sidomukti Utara No. 14 Rt. 4 Rw. V,
Kel. Pajang, Kec. Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah
87 Ponpes Al Ma'la, Jl. Purwodadi - Blora Km. 1 No. 50 RT 2 RW
2 Getasrejo Purwodadi, Grobogan
88 PSPP Yogyakarta, Karangrejo, Desa Purwomartani,
Kec. Kalasan, Kota. Sleman
89 Yayasan Rehabilitasi Kunci, Rt.01/38, Nandan, Sariharjo,
Desa. Nandan, Kec. Sariharjo, Sleman
90 Yayasan Griya Pemulihan Siloam, Jl. Godean, Tempel Km. 3
Klangkapan II, RT 01/05, Margoluwih - Sleman
91 Yayasan Indo Charis, Ds. Kowang Solo Km. 5 RT 01/01
Taman Martini, Kalasan, Sleman
92 Al Islami, Jl. Padakan, Banjarharho, Kec. Kalibawang,
Kulonprogo, DIY Yogyakarta
93 Tetirah Dzikir, Jl. Wonosari KM 10, Kuton Rt. 02/15,
Kel. Tegaltirjo, Kec. Berbah, Sleman 55573, Prov. DIY
Yogyakarta
94 Galilea Elkana, Jl. Panggang-Wonosari Km. 7, Giri Sekar,
Kec. Panggang, Gunung Kidul, Yogyakarta
95 UPT Rehsos ANKN Surabaya, Jl. Balongsari Dalam No.1,
Kec. Balongsari, Surabaya
96 Inabah XIX Surabaya, Jl. Raya Semampir 43-47 Surabaya,
Desa. Semampir, Kec. Semampir, Surabaya
97 Yayasan Pemulihan Doulos, Jl. Arumdalu No. 47 Songgoriti,
Batu, Malang
98 Yayasan Corpus Christi, Argopuro Gg. Manyar No. 1 RT
10/12 Ds. Kalirejo, Kec. Lawang, Malang
99 Yayasan Orbit, Jl Bratang Binangun V c No. 19 dan 54
Surabaya
100 Yayasan Bambu Nusantara, Jl. Salak Tengah II/1,
Kel. Taman, Kec. Taman, Kota Madiun 63131,
Prov. Jawa Timur
101 Yayasan Kasih Kita Bali, Jl. Tukad Pancoran Gg. III-A/11
Denpasar
102 Yakeba, Jl. Ciung Wanara IV B No.2, Kel. Renon,
Kec. Denpasar Selatan, Kota Denpasar 80226, Prov. Bali
103 Aksi NTB, Jl. Jepara No. 16 Perum Tanah Aji Mataram,
Kel. Punia, Kota Mataram 83216, Prov. NTB
104 Yayasan Warna Kasih, Jl. TPU RT 45 RW 01 Kel. Liliba
Kec. Oebobo, Kupang
105 Yayasan Lingkar Harapan Banua, Jl. Pangeran Hidayatullah
Ged. BNNK Komp Perkantoran, Banjarmasin
106 Yayasan Serba Bakti, Jl. Banua Anyar, Kel. Banua Anyar,
Kec. Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin, Prov. Kalimantan
Timur
107 Yayasan Galilea, Jl. Cilik Riwut Km.18, Desa. Marang,
Kec. Bukit Batu, Palangkaraya
108 Pondok Modern Ibadurrahman, L3 Blok C Rt.21, Jl. Tsani
Karim, Desa Bangun Rejo, Kec. Tenggarong
109 Yayasan Laras, Jl. Suwandi No. 46 Rt. 24
110 RBM Khatulistiwa, Jl. Gusti Hamzah Gg. Nur 3 No. 2A,
Kel. Sei Jani, Kec. Pontianak Kota, Kota Pontianak,
Prov. Kalbar
111 LSM Merah Putih, Jl. Gunung Merapi No.89, Singkawang
Kalimantan Barat
112 Amada, Jl. Letjend Hertasning No. 141, Kel. Binanga,
Kec. Mamuju, Kota Mamuju 91511, Prov. Sulawesi Barat
113 YKP2N, Jl. Faisal XII No. 48, Kec. Rappocini, Kota Makassar
90126, Prov. Sulawesi Selatan
114 Yayasan Doulos Perwakilan Makassar, Jl. Arung Teko,
Sudiang, Kec. Biringkanaya, Kota Makassar, Prov. Sulawesi
Selatan
115 Yayasan Pelayanan Kristen Bunga Bakung, Jl. 5 September
(Sea Raya) Kel. Malalayang Kota Manado
116 Yayasan Jameela Husein Ministry, Jl. Politeknik, Kel. Kairagi
II, Kec. Mapanget, Kota Manado 95254, Prov. Sulut
117 Yayasan Family Rekan Sebaya, Jl. La Ode Hadi No. 9
Kota Kendari/ Jl. Y. Wayong 91, Pondambea, Kec. Kadia,
Kota Kendari, Prov. Sulawesi Tenggara
118 Lembaga Pengabdian Pemuda Bangsa, Belakang Kantor
BIP/Karantina Ikan, RT 05 RW 03 Waiheru, Ambon
PRE TEST MODUL 1

1. Jenis-jenis miras dan narkoba/NAPZA , kecuali :


a. Minuman keras/miras
b. Ekstasy
c. inex
d. Sabu-sabu
e. Nikotin

2. Narkotika Alkohol Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya, disingkat


dengan:
a. Narkoba
b. NAPZA
c. NAZA
d. Miras
e. NIKOTIN

3. Menurut Anda, apa penyebab terjadinya seseorang


menyalahgunakan miras dan narkoba/NAPZA, kecuali:
a. Lingkungan yang buruk
b. Kurangnya nilai agama
c. Kurangnya nilai moral
d. Keluarga tidak harmonis
e. Kurangnya sosialisasi

4. Istilah-istilah di dalam dunia penyalahgunaan Miras dan


Narkoba/NAPZA , kecuali :
a. Bong
b. CD4
c. Boti
d. Etep
e. Ubas

5. Penyakit yang disebabkan oleh penyalahgunaan Miras dan


Narkoba/NAPZA kecuali:
a. Skizofrenia
b. HIV / AIDS
c. Hepatitis
d. Kanker
e. Diare
PRE TEST MODUL 2

1. Gejala fisik dan psikologis seseorang yang menggunakan ganja,


kecuali
a. Tertawa tawa tanpa sebab
b. Nafsu makan bertambah
c. Menggaruk-garuk hidung
d. Berhalusinasi
e. Mata memerah

2. Perubahan perilaku yang disebabkan oleh penyalahgunaan miras


dan narkoba/NAPZA, kecuali
a. Emosional
b. Mencuri
c. Curiga
d. Ceria
e. Depresi

3. Salah satu indikator anak sekolah menggunakan narkoba adalah:


a. bolos sekolah
b. pulang larut malam
c. berbohong
d. Berkelahi
e. semua benar

4. Gejala fisik dan psikologis seseorang yang menggunakan narkoba


jenis shabu-shabu , kecuali :
a. Gangguan tidur/sulit tidur
b. Agitasi psikomotor (tidak bisa diam/selalu bergerak)
c. Sakit pada setiap persendian (sakaw)
d. Kewaspadaan meningkat (paranoid)
e. Jantung berdebar-debar

5. Alat bantu dalam menggunakan narkoba jenis shabu-shabu adalah:


a. Kertas papir
b. Lilin
c. Bong
d. Kain basah
e. Kaca
PRE TEST MODUL 3

1. Bagaimana peran keluarga didalam menanggulangi bahaya


penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA?
a) Sangat penting
b) penting
c) biasa saja
d) tidak perlu

2. Salah satu indikator anak sekolah menggunakan narkoba adalah:


a) bolos sekolah
b) pulang larut malam
c) berbohong
d) Berkelahi
e) semua benar

3. Jika Anda menjumpai seseorang yang menjadi pecandu dan


membutuhkan pengobatan/terapi, kemanakah Anda akan
membawanya
a) Kantor polisi
b) Pusat rehabilitasi
c) Puskesmas
d) Tokoh masyarakat
e) Kantor KUA

4. Undang-undang yang mengatur tentang penyalahgunaan miras dan


narkoba/NAPZA
a) Undang-undang No. 35 tahun 2009
b) Undang-undang No. 20 tahun 2008
c) Undang-undang No. 18 Tahun 1999
d) Undang-undang No. 22 Tahun 1997
e) Undang-undang No. 3 Tahun 2006

5. Menurut undang undang No 35 tahun 2009 pengguna narkoba


harus :
a) Dipasung
b) Dipenjara
c) Direhabilitasi
d) Dibunuh
e) Diusir
PRE TEST MODUL 4

1. Bagaimana peran lembaga rehabilitasi didalam menanggulangi


bahaya penyalahgunaan miras dan narkoba/NAPZA?
a. Sangat penting
b. penting
c. biasa saja
d. tidak perlu

2. Bagaimana peran nilai-nilai agama dan spiritualitas didalam


menanggulangi bahaya penyalahgunaan miras dan
narkoba/NAPZA?
a. Sangat penting
b. penting
c. biasa saja
d. tidak perlu

3. Tahapan pertama penanganan pada korban pengguna narkoba :


a. Detoksifikasi
b. Rehabilitasi
c. Aftercare
d. Konseling
e. Jangkau damping

4. lembaga rehabilitasi yang diakui oleh KEMENSOS disebut :


a. IPWL
b. WIL
c. MUI
d. LKS
e. PBB
5. Unsur terapi yang harus ada pada sebuah tempat rehabilitasi
adalah kecuali :
a. Teman pecandu
b. dokter
c. peksos
d. psikolog
e. Agamawan

Anda mungkin juga menyukai