Anda di halaman 1dari 16

ETIKA PROFESI JURNALISME DAN REGULASI PER DI INDONESIA

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Reportase Media

Massa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Pada Fakultas

Ushuluddin dan Dakwah

Oleh

Kelompok I

INTAN ROSITA
NIM. 03182027
SESILIA TIAS
NIM. 03182006
JUSLIANA
NIM. 03182015

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE


2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil

menyelesaikan tugas ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul

“Etika Profesi Jurnalisme dan Regulasi Pers di indonesia”.

Harapan penulis semoga tugas ini membantu menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk

maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna, kritik dan

saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi

kesempurnaan makalah ini dan makalah kami kedepannya.

Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga

Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.

Watampone, 6 juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................2
C. Tujuan ......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................3

A. Peranan Profesi Jurnalisme untuk Menjaga tegaknya etika pada


kehidupan publik......................................................................................3
B. Regulasi Media di Indonesia menurut Undang-Undang No. 40
Tahun 1999 Tentang Pers.........................................................................9

BAB III PENUTUP...........................................................................................11

A. Kesimpulan .............................................................................................11
B. Saran........................................................................................................11

DAFTAR RUJUKAN .......................................................................................12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada awalnya, komunikasi antarmanusia sangat bergantung


pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan
penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.
Pria berkebangsaan Jerman itu (sekitar 1398-3 Februari 1468) adalah seorang
pandai logam dan penemu yang memperoleh ketenaran berkat sumbangannya di
bidang teknologi percetakan pada 1450-an, termasuk aloy logam huruf (type
metal) dan tinta berbasis-minyak, cetakan untuk mencetak huruf secara tepat, dan
sejenis mesin cetak baru yang berdasarkan pencetak yang digunakan dalam
membuat anggur.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda.
Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan
sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timoer, Bintang Barat, Java
Bode, dan Medan Prijaji terbit. Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih
kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media
yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari,
dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi kewartawanan. Pemerintah
Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi.
Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek
televisi. Sejak 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi
layar hitam putih. Masa kekuasaan Presiden Soeharto, banyak terjadi
pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah
Tempo (yang saat ini masih eksis) merupakan dua contoh kentara dalam sensor
kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan
dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian
memunculkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang mendeklarasikan diri di

1
2

Wisma Tempo Sirna Galih (salah satu tempat pendidikan wartawan Tempo), Jawa
Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara. Titik kebebasan pers mulai
terasa lagi saat Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) menggantikan Soeharto.
Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-
satunya organisasi profesi. Kegiatan kewartawanan diatur dengan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dikeluarkan Dewan Pers dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dikeluarkan oleh
Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah peranan Profesi jurnalisme untuk menjaga tegaknya etika
pada kehidupan publik?
2. Bagaimanakah Pengkajian Regulasi Media di Indonesia menurut Undang-
Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui peranan Profesi jurnalisme untuk menjaga tegaknya
etika pada kehidupan publik
2. Untuk Mengetahui Bagaimanakah Pengkajian Regulasi Media di
Indonesia menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peranan Profesi Jurnalisme untuk Menjaga Tegaknya Etika pada


Kehidupan Publik
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos
dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa;
padang rumput, kandang; kebiasan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap,
cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan.
Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
etika yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM.) sudah
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri
pada asal-usul kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Melihat keterangan etimologis ini, mungkin kita teringat bahwa
dalam bahasa Indonesia pun kata ethos cukup banyak dipakai, misalnya
dalam kombinasi ethos kerja, ethos profesi dan sebagainya. Memang ini
suatu kata yang diterima dalam bahasa Indonesia dari bahasa Yunani (dan
karena itu sebaiknya dipertahankan ejaan aslinya ethos), tapi tidak
langsung melainkan melalui bahasa Inggris, di mana -- seperti dalam
banyak bahasa modern lain -- kata itu termasuk kosakata yang baku.
Kata yang cukup dekat dengan etika adalah moral. Kata terakhir ini
berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga kebiasaan,
adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa
Indonesia (pertama kali dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1988), kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi, etimologi
kata etika sama dengan etimologi kata moral, karena keduanya berasal dari
kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang

3
pertama berasal dari bahasa Yunani, sedangkan yang kedua dari bahasa
Latin.1

1
Bertens, K.,.Etika. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993), hal. 4

4
5

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang lama


(Poerwadarminta, sejak 1953), etika dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral).Jadi, kamus yang lama hanya mengenal
satu arti, yaitu etika sebagai ilmu. Jika kita melihat dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1988), etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3)
nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.2
Manfaat etika adalah memberikan sesuatu seperti apa yang diberikan oleh
setiap ilmu pengetahuan, yaitu memenuhi keingintahuan manusia. Manusia ingin
mengetahui dan mendapatkan pengetahuan yang sistematik, teratur dan mengenai
gejala-gejala yang bersangkutan dengan dirinya.Salah satu di antaranya ialah
kesusilaan. Oleh sementara ahli filsafat, gejala ini dianggap merupakan sesuatu
yang sangat penting dan menarik karena ia menyebabkan kita bersentuhan dengan
segi hakiki kehidupan manusia. Sesungguhnya manusia memang merupakan
makhluk yang paling menarik bagi manusia itu sendiri. Jadi, tidak mengherankan
bahwa hasrat terhadap pengetahuan terarah kepada manusia sebagai makhluk
susila.
Selanjutnya kita membahas mengenai profesi. Secara etimologis, istilah
profesi (bahasa Inggris: profession) bersumber dari bahasa Latin, professio, yang
secara harfiah berarti sumpah keagamaan. Kini, pengertian profesi tersebut tidak
hanya mengandung makna keagamaan lagi, tetapi keilmuan. Pendapat lain
mengartikan kata professio sebagai pengakuan atau pernyataan di depan umum
atau semacam kesaksian di depan umum. Tampaknya, sekarang ini telah terjadi
pergeseran arti kata profesi.
Misalnya Kamus Inggris-Indonesia milik Echols dan Shadily, kata
profession hanya diartikan sebagai: 1) pekerjaan; dan 2) pernyataan. Sedangkan
kata professional diartikan sebagai 1) ahli; 2) sport: pemain bayaran. Dalam

2
Bertens, K.,.Etika. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993), hal. 5
6

Kamus Besar Bahasa Indonesia 1995 pun kata profesi hanya disebutkan sebagai
bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan,
dsb.) tertentu.
Padahal kata profesi, professio, profession atau professional tidak
menunjukkan pekerjaan, keahlian serta mata pencaharian dan yang serupa semata-
mata.Kata tersebut sebenarnya berarti lebih luas daripada hanya pekerjaan,
keahlian serta mata pencaharian tertentu.Secara terminologis, profesi dapat
diartikan sebagai suatu jabatan atau kedudukan, khususnya yang mensyaratkan
pendidikan yang ekstensif dalam suatu cabang ilmu atau pekerjaan yang
didasarkan pada kehlian suatu disiplin ilmu yang dapat diaplikasikan baik pada
manusia maupun benda dan seni atau suatu jenis pekerjaan yang karena sifatnya
menuntut pengetahuan yang tinggi, khusus dan latihan yang istimewa.3
Dalam prakteknya, penggunaan kata profesi masih agak kacau karena
acapkali dikaitkan dengan pekerjaan seseorang yang memiliki mata pencaharian
atau pekerjaan tukang parker, makelar, tukang las, rentenir bahkan WTS. Karena
itu, agar suatu lapangan kerja dapat dikategorikan sebagai profesi, paling tidak
diperlukan: 1) pengetahuan; 2) penerapan keahlian;3) tanggung jawab sosial; 4)
pengawasan diri; dan 5) pengakuan oleh masyarakat. Bahkan definisi lain
menyebutkan bahwa profesi harus memenuhi tiga persyaratan, yaitu pengetahuan,
ijazah dan lisensi serta badan pengawas.
Selain profesi, istilah lain yang juga acapkali disebut adalah profesional.
Kamus Besar Bahasa Indonesia 1995 mengartikan kata profesional sebagai 1)
bersangkutan dengan profesi; 2) memerlukan kepandaian khusus untuk
menjalankannya; dan 3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya
(lawannya amatir).
Pengertian dan pembahasan kata profesional yang lebih jelas dapat kita
temukan dalam buku karya David J. Leroy, Journalism as a Profession. Ia berujar
bahwa ketika Walter Concrite (komentator televisi kenamaan) mengatakan “saya
adalah seorang profesional”, baginya itu berarti ia mampu mengontrol emosi dan
bias pada saat melakukan tugasnya. Ia mencari bahan siaran berita, lalu

3
Bertens, K.,.Etika. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993), hal. 75-76
7

melaporkannya seadil dan seobjektif mungkin. Istilah tersebut juga menunjukkan


bahwa seseorang dapat berperan dalam kondisi penuh tekanan.
Tidak lupa kita juga membahas mengenai jurnalisme. Saat Abad
Pertengahan berakhir, berita datang dalam bentuk lagu dan cerita, dalam balada-
balada yang disenandungkan pengamen keliling.Apa yang mungkin kita anggap
sebagai jurnalisme modern mulai muncul pada awal abad ke-17 dan betul-betul
lahir dari perbincangan, terutama di tempat publik seperti kafe di Inggris,
kemudian di pub atau kedai minum di Amerika. Surat kabar pertama muncul dari
kafe-kefe ini sekitar 1609, ketika percetakan mulai mengumpulkan berita
perkapalan, gossip dan argumen politik dari kafe dan mencetaknya di atas kertas.
Dengan evolusi surat kabar pertama, politisi Inggris mulai membicarakan
sebuah fenomena baru yang mereka sebut opini publik. Pada awal abad ke-18,
wartawan/penerbit mulai memformulasikan teori kebebasan berbicara dan pers
bebas. Terdapat ide yang terkenal bahwa kebenaran harus bisa menjadi pertahanan
melawan pencemaran nama baik.4
Pada tahun 1960-an muncul jurnalisme baru yang dirintis oleh para
wartawan enior di Amerika. Hal ini dikarenakan kebosanan mereka terhadap
standar baku dalam melakukan tugas peliputan dan penulisan berita. Kebosanan
itu juga melanda terkait tata kerja jurnalisme lama yang dianggap kaku dan
membatasi ruang gerak wartawan, teknik penulisan dan bentuk laporan berita.
Era jurnalisme lama -- bisa juga disebut dengan jurnalisme konvensional --
menempatkan ideologi objektivitas sebagai landasan utama dalam
beroperasi.Tolok ukurnya adalah dua dimensi, yaitu faktualitas (factuality) dan
imparsialitas (impartiality).5
Cara kerja wartawan hanya terfokus pada kegiatan reportase berupa
pencatatan peristiwa berdasarkan fakta dan memuat pemberitaannya di media
massa. Kebosanan pada ritme kerja yang monoton ini membuat para perintis
jurnalisme baru mulai melakukan inovasi dalam penyajian berita sehingga tak
4
Kovach, Bill & Tom Rosenstiel.Sembilan Elemen Jurnalisme. Terj. Yusi A. Pareanom.
Ed. Andreas Harsono. Jakarta: Yayasan Pantau, Institut Studi Arus Informasi dan Kedutaan Besar
Amerika Serikat. 2003, hal 17-18
5
Masduki & Muzayin Nazaruddin.Media, Jurnalisme dan Budaya Populer. (Yogyakarta:
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia & UII Press, 2008), hal. 172
8

melulu realtime terhadap fakta peristiwa dalam gaya penulisan straight news.
Mereka melakukan inovasi dalam bentuk tulisan, penyajian serta teknik liputan
lebih mendalam dan menyeluruh. Jurnalisme baru merupakan respon global
mengusung kritik tajam atas klaim objektivitas-positivisme sehingga
memunculkan genre baru dalam jurnalisme.
Kini, wartawan dapat mengembangkan berbagai bentuk teknik jurnalisme
baru dalam peliputan dan pelaporan berita ke dalam gaya jurnalisme yang lebih
bersemangat dan memberi pengetahuan tambahan bagi khalayak untuk ikut
berperan aktif dalam menganalisa berita. Di dalam jurnalisme baru ini, wartawan
dapat membuat berbagai bentuk pencarian berita sesuai teknik jurnalistiknya
dengan gaya atau kreasi masing-masing sehingga berita menjadi lebih luwes dan
tidak kaku. Bagaimanapun, di era jurnalisme baru ini wartawan dapat berfungsi
menciptakan opini publik dan meredam konflik yang terjadi di tengah
masyarakat.Melalui senjata berupa tulisannya itulah wartawan menjadi mediator
antara masyarakat dengan pemerintah atau instansi tertentu yang bertikai.
Tujuan utama di antara semua tujuan jurnalisme adalah menyediakan
informasi yang diperlukan orang agar bebas dan bisa mengatur diri sendiri.
Untuk memenuhi tugas ini:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
2. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga.
3. Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verufikasi.
4. Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita.
5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun
dukungan warga.
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan
relevan.
8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional.
9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.6
6
Kovach, Bill & Tom Rosenstiel.Sembilan Elemen Jurnalisme. Terj. Yusi A. Pareanom.
Ed. Andreas Harsono. Jakarta: Yayasan Pantau, Institut Studi Arus Informasi dan Kedutaan Besar
Amerika Serikat. 2003, hal . 6
9

Jurnalisme berkaitan erat dengan pelayanan publik. Ada tiga ciri umum
yang menandai publik.Pertama, ada perbedaan kualitatif antara kegiatan yang
diakui sebagai pelayanan publik dan kegiatan yang datang dari inisiatif dan tujuan
pribadi atau swasta.Kedua, perbedaan pelayanan publik ini berarti lebih penting
dibanding dengan kegiatan lain sejenis, maka diatur secara khusus.Dan ketiga,
pelayanan publik mempunyai legitimasi publik yang melekat pada kekuasaan
negara.
Ranah jurnalisme memang mempunyai kekhasannya dibandingkan dengan
bentuk produksi budaya yang lain. Ada tiga hal yang menandai kekhasan
jurnalisme yang terkait langsung dengan etika komunikasi. Pertama, jurnalisme
sangat tergantung pada tekanan kekuatan dari luar, yaitu hukum permintaan.
Maka sangat ditentukan oleh sanksi pasar dan plebisit pemirsa. Kedua,
pembedaan kutub dengan orientasi komersial atau tidak terasa sangat kuat
sehingga keuntungan lebih dinikmati oleh orientasi komersial, bahkan kualitas
sering diukur dari kekuatan finansialnya; kecenderungannya lalu menganggap
kemampuan membentuk opini publik disamakan dengan kekuatan finansial.
Ketiga, suasana profesi sangat diwarnai oleh berlakunya keadilan imanen
(semacam hukum karma). Prinsip ini mau meyakinkan bahwa mereka yang
melanggar larangan tertentu akan terkena tulah dengan sendirinya, sedangkan
yang menyesuaikan diri dengan aturan main sangat dipuji dan dihargai. Ketiga
warna kekhasan jurnalisme ini kuat terkait dengan etika komunikasi karena bila
terlalu menekankan pasar, plebisit akan mendatangkan sanksi. Interaksi di antara
wartawan dan rekan seprofesi yang memperhitungkan secara serius berlakunya
keadilan imanen akan makin memperkuat deontologi profesi.

B. Regulasi Media di Indonesia Menurut Undang-Undang No.40 Tahun 1999


tentang Pers.
Regulasi yang mengatur pers di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor
40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa: “Pers
10

adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan


kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara,
gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya
dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia”.
Secara umum, pers adalah seluruh industri media yang ada, baik cetak
maupun elektronik. Namun secara khusus, pengertian pers adalah media cetak
(printed media).
Dengan demikian, Undang-Undang Pers berlaku secara general untuk
seluruh industri media, dan secara khusus untuk media cetak. Prinsip-prinsip
pengelolaan pers di Indonesia menurut undang-undang ini adalah:
1. Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
2. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan, dan kontrol sosial. Selain itu, pers juga berfungsi sebagai lembaga
ekonomi.
3. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
4. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
5. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
6. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Wartawan memiliki dan
menaati Kode Etik Jurnalistik. Dalam melaksanakan profesinya wartawan
mendapat perlindungan hukum.
7. Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan
pers. Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan
karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba
bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. Penambahan modal asing pada
perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
11

8. Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung


jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk
penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
9. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan
kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
Sebagai penjabaran Undang-Undang Pers, juga ditetapkan Kode Etik
Jurnalistik (KEJ) untuk wartawan/organisasi pers. KEJ telah diatur dalam
Peraturan Dewan Pers No.6/Peraturan-DP/V/2008 tentang pengesahan SK Dewan
Pers tahun 2006 tentang KEJ. Dalam KEJ 2006, kode etik wartawan / organisasi
pers, berisi 11 pasal yang ditandatangani oleh 29 organisasi wartawan /
perusahaan pers Indonesia. Prinsip-prinsip KEJ, antara lain:
1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang
akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk (Pasal 1)
2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik (Pasal 2).
3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduga tak bersalah (Pasal 3).
4. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku,
ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat
jasmani (Pasal 8).7

7
Muhammad Ansar Akil, Regulasi Media di Indonesia (Tinjauan UU Pers dan UU
Penyiaran) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar ansharakil@yahoo.com
Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 2, Desember 2014 : 137 - 145
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Adanya kode etik yang terdapat dalam profesi jurnalisme terkait
dengan pelayanan publik. Hal itu dapat terlihat dalam publikasi kode etik
yang diusulkan “Nilai dan Prinsip Etika Pelayanan Publik” oleh Institut
Josephson untuk Kemajuan Etika. Ditambah pula dengan pedoman
sembilan elemen jurnalisme yang dikemukakan oleh Kovach &
Rosenstiel. Diharapkan bagi yang terlibat dalam profesi jurnalisme dapat
mengamalkan kode etik tersebut dengan sebaik-baiknya.
Regulasi yang mengatur kehidupan pers di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, juga
ditetapkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) untuk wartawan/industri media
yang diatur oleh Dewan Pers.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis mengharapkan kritik serta
saran karena makalah ini jauh dari kata sempurna.

12
DAFTAR RUJUKAN

Bertens, K.,.Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993


Kovach, Bill & Tom Rosenstiel.Sembilan Elemen Jurnalisme. Terj. Yusi A.
Pareanom. Ed. Andreas Harsono. Jakarta: Yayasan Pantau, Institut Studi
Arus Informasi dan Kedutaan Besar Amerika Serikat. 2003
Masduki & Muzayin Nazaruddin.Media, Jurnalisme dan Budaya Populer.
Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Indonesia & UII Press, 2008
Muhammad Ansar Akil, Regulasi Media di Indonesia (Tinjauan UU Pers dan UU
Penyiaran) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar
ansharakil@yahoo.com Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 2,
Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai