ETIKA PROFESI
NAMA NIM
PUTRI SEFRABELA 161100102
THARIQ YEVANDRA 161100108
ZUL PATLI 161100120
HAFIZUDDIN 161100131
YUHIBBUL IKHSAN 161100137
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Teori-teori yang berkaitan dengan
etika berkomunikasi”. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Etika Profesi.
Melalui kesempatan yang sangat berharga ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan pembuatan makalah ini, dan
terutama kepada Ibu Elizamiharti, M.Hum., selaku dosen mata kuliah Etika Profesi dan
semua pihak yang telah memberikan bantuan baik berupa moral ataupun materil dalam proses
penyelesaian makalah ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang setimpal atas segala
bantuan yang telah diberikan. Serta penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat,
khususnya bagi penulis sendiri, umumnya bagi semua pihak.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Bagi Pembaca:
1) Menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca.
2) Pembaca dapat mengetahui lebih mendalam mengenai Etika Komunikasi.
Bagi Penulis:
1) Penulis menjadi lebih mengetahui secara mendalam mengenai Etika Komunikasi.
2) Sebagai acuan dalam membuat makalah selanjutnya.
1.3. Manfaat
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap semua
pihak dalam mempelajari tentang Etika Komunikasi. Selain itu dapat menambah wawasan
kita semua mengenai berkomunikasi dengan baik yang selalu diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2) Kebahagiaan (Hedonisme)
Yang menjadi ukuran baik atau buruk menurut paham ini yaitu apakah suatu
perbuatan tersebut melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan / kelezatan. Dalam paham ini
terbagi lagi menjadi:
a) Aliran hedonisme individualistis
Maksud dari aliran ini yaitu suatu kebahagiaan yang bersifat individualistis (egoistik
hedonism), jika suatu keputusan baik bagi pribadinya maka disebutlah baik, dan sebaliknya.
b) Kebahagiaan rasional (Rasionalistik Hedonism)
Aliran ini berpendapat, bahwa kebahagiaan atau kelezatan individu itu haruslah
berdasarkan pertimbangan akal sehat.
c) Kebahagiaan Universal (Universalistic Hedonism)
Lain halnya dengan aliran ini, yang menjadi tolak ukur apakah suatu perbuatan baik
atau buruk dapat melihat kepada suatu akibat perbuatan tersebut apakah melahirkan
kesenangan atau kebahagiaan terhadap seluruh makhluk (bukan untuk diri sendiri/pribadi).
4) Evolusi
Paham ini berpendapat bahwa segala sesuatunya yang ada di alam ini selalu (secara
berangsur-angsur) mengalami perubahan yakni berkembang menuju ke arah kesempurnaan.
Adapun seorang Filsuf Herbert Spencer (1820-1903) mengemukakan bahwa perbuatan
akhlak itu tumbuh secara sederhana kemudian dengan berlakunya (evolusi) akan menuju ke
arah cita-cita , dan cita-cita inilah yang dianggap sebagai tujuan. Yang menjadi tujuan dari
cita-cita manusia adalah kebahagiaan dan kesenangan, sehingga suatu kesenangan atau
kebahagiaan itu akan selalu berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi sosial.
5) Paham eudaemonisme
Kata eudaemonisme di ambil dari istilah Gerika, yaitu “eudaemonia” dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan dengan “kebahagiaan, untuk bahagia”. Prinsip pokok paham ini
adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles,
untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal, yakni:
a) Kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan
b) Kemauan
c) Perbuatan baik
d) Pengetahuan batiniah
6) Aliran Vitalisme
Aliran ini merupakan bantahan terhadap aliran Naturalism, sebab menurut penganut
paham ini ukuran baik atau buruk itu bukanlah alam tetapi “vitae” yakni yang sangat
diperlukan untuk hidup. Tokoh terpenting dari aliran ini yaitu F. Niettsche, dia banyak sekali
memberi pengaruh terhadap tokoh revolusioner seperti Hitler. Pada akhir hayatnya ia menjadi
seorang ateis dan mati dalam keadaan gila, dia memproklamirkan gagasan “God is dead”,
Tuhan telah mati, Tuhan itu tidak ada lagi, maka jauhkanlah diri (putuskan hubungan dengan
Tuhan). Aliran vitalisme ini dikelompokkan menjadi:
a) Vitalisme Pessimistis (Negatif Vitalistis). Disebut pesimis karena manusia yang
dilahirkan adalah celaka, maksudnya karena ia telah dilahirkan dan hidup, sedangkan
lahir dan hidupnya manusia itu tiada guna. Terdapat ungkapan yakni “homohomini
lupus”, artinya manusia yang satu adalah segala bagi manusia yang lainnya.
b) Vitalisme Optimisme. Menurut aliran ini, hidup atau kehidupan adalah berarti
pengorbanan diri karena itu hidup yang sejati adalah kesediaan dan kerelaan untuk
melibatkan diri dalam setiap kesusahan, yang paling baik adalah segala sesuatu yang
menempa kemauan manusia untuk berkuasa. Oleh karena itu, perang adalah halal, sebab
orang yang berperang itulah (yang menang) yang akan memegang kekuasaan.
7) Aliran Pragmatisme
Aliran ini menitik beratkan pada hal yang berguna dari diri sendiri,baik yang bersifat
moril maupun materil. Serta menitikberatkan padapengalaman, oleh karena itu penganut ini
tidak mengenal istilah kebenaran, sebab kebenaran itu bersifat abstrak dan tidak diperoleh
dalam dunia empiris.
8) Aliran Gessingnungsethik
Aliran ini diprakarsai oleh Albert Schweitzer. Yang terpenting menurut ajaran ini
adalah “penghormatan akan kehidupan”, yaitu sedapat mungkin setiap makhluk harus saling
menolong dan berlaku baik. Ukuran kebaikannya yakni pemeliharaan akan kehidupan, dan
yang buruk yakni setiap usaha yang berakibat binasa dan menghalang-halangi hidup.
9) Aliran Idealisme
Istilah tersebut berasal dari bahasa Gerika (Yunani), yaitu dari kata “idea” yang secara
etimologis berarti: akal, pikiran, atau sesuatu yang hadir dalam pikiran, atau dapat juga
disebut sesuatu bentuk yang masih ada dalam alam pikiran manusia. Aliran ini berpendapat
bahwa segala yang ada hanyalah tiada, sebab yang ada itu hanya gambaran dari alam pikiran
(bersifat tiruan), sebaik apa pun suatu tiruan tentunya tidak akan seindah aslinya (ide).
Dengan demikian, yang baik itu hanya apa yang ada di dalam ide itu sendiri.
Selain itu, aliran etika lainnya diuraikan oleh John C. Merill (1975:79-88) yang dapat
digunakan sebagai standar menilai tindakan etis, antara lain deontologis, teleologis, egoisme,
dan utilitarisme.
Aliran deontologis (deon = yang harus/wajib, Yunani) melakukan penilaian atas
tindakan dengan melihat tindakan itu sendiri. Artinya, suatu tindakan secara hakiki
mengandung nilai sendiri apakah baik atau buruk. Kriteria etis ditetapkan langsung pada jenis
tindakan itu sendiri. Ada tindakan/perilaku yang langsung dikategorikan baik, tetapi juga ada
perilaku yang langsung dinilai buruk.
Ukuran etis yang berbeda, dikemukakan oleh aliran teleologis (telos berarti tujuan).
Aliran ini melihat nilai etis bukan pada tindakan itu sendiri, tetapi dilihat atas tindakan itu.
Jika tujuannya baik dalam arti sesuai dengan norma moral, maka tindakan itu digolongkan
sebagai tindakan etis. Jadi apabila suatu tindakan betujuan jelek, akan dikategorikan tidak
etis.
Etika egoisme menetapkan norma moral pada akibat yag diperoleh oleh pelakunya
sendiri. Artinya tindakan dikategorikan etis dan baik, apabila menghasilkan terbaik bagi diri
sendiri.
Etika utilitarisme (utilitis = berguna) adalah kebalikan dari paham egoisme, yaitu
yang memandang suatu tindakan itu baik jika akibatnya baik bagi orang banyak. Dengan
demikian, tindakan itu tidak diukur dari kepentingan subyektif individu, melainkan secara
obyektif pada masyarakat umum. Semakin universal akibat baik dari tindakan itu, maka
dipandang semakin etis.
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu:
1) Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat
pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2) Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku
profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3) Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus
meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4) Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan
dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan,
keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi
harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5) Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kaum
profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas rata-
rata. Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada suatu
kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat.
Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu standar
profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang
semakin baik.
Prinsip-prinsip etika profesi :
1) Tanggung jawab
a) Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
b) Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada
umumnya.
2) Keadilan.
Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya.
3) Otonomi.
Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri kebebasan
dalam menjalankan profesinya.
Kode etik merupakan standar moral bagi setiap anggota profesi yang dituangkan
secara formal, tertulis dan normatif dalam suatu bentuk aturan main. Disusunnya kode etik
profesi ialah merupakan komitmen terhadap tanggung jawab pelaksanaan tugas dan
kewajiban. Fungsi kode etik profesi ialah memandu, mendampingi, memberi arah tingkah
laku anggota profesi agar tidak keluar dari etika yang menjadi panutan. Kode etik profesi
memberi gambaran nyata tentang:
1) Bagaimana seharusnya para anggota berperilaku
2) Bagaimana sepatutnya para anggota bertindak
3) Manakah tindakan yang benar dan salah
4) Manakah tindakan yang baik dan buruk
5) Apakah hak dan kewajiban anggota profesi
Untuk mendapatkan atau melakukan kebenaran tindakan, maka kita harus taat etika.
Untuk mendapatkan kebenaran hukum, para profesional di bidang ini harus taat pada kode
etik hukum. Untuk melaksanakan kebenaran jurnalistik, maka para anggota profesi wartawan
harus memperhatikan kode etik profesinya.
Pada hakikatnya tindakan yang benar hanya satu, tetapi yang tidak benar banyak tidak
terhingga. Oleh karena itu, tindakan profesional perlu dipandu oleh etika profesi. Melalui
pemahaman, penghayatan dan pengamalan etika profesi, diharapkan semua anggota
perkantoran memiliki kualifikasi etis yang meliputi:
1) Pengetahuan etis (ethical cognitive)
Memiliki pengetahuan, wawasan dan cara berpikir yang sesuai dengan norma etika
yang berlaku bagi prefesinya. Ia perlu memahami dan mengetahui ketentuan-ketentuan etis
yang menyangkut tindakan profesi. Pengetahuan ini menjadi beka; penting untuk kualifikasi
selanjutnya yang dituntut, ialah kesadaran etis. Apabila orang mengetahui norma etika,
diharapkan memiliki kesadaran yang tinggi untuk mematuhinya.
3.1. Kesimpulan
Komunikasi ialah suatu proses pengiriman pesan atau simbol-simbol yang
mengandung arti dari seseorang komunikator kepada komunikan dengan tujuan tertentu.
Komunikasi mempunyai komponen-komponen agar komunikasi dapat berjalan dengan baik,
yaitu:
1) Komunikator atau pengirim pesan
2) Pesan atau informasi
3) Media atau saluran
4) Komunikan atau penerima pesan
5) Umpan balik atau feedback
6) Gangguan
Etika menurut para ahli adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Pengertian lain tentang etika ialah sebagai studi atau ilmu yang membicarakan perbuatan atau
tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana pula yang dinilai buruk. Etika dalam
perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika pada akhirnya membantu
kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru
kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan
kita.
Aliran etika menurut John C. Merill (1975: 79-88) antara lain deontologis, teleologis,
egoisme, dan utilitarisme. Deontologis artinya suatu tindakan secara hakiki mengandung nilai
sendiri apakah baik atau buruk. Aliran teleologis melihat nilai etis bukan pada tindakan itu
sendiri, tetapi dilihat atas tindakan itu. Aliran egoisme artinya tindakan dikategorikan etis dan
baik, apabila menghasilkan terbaik bagi diri sendiri. Aliran utilitarisme yaitu yang
memandang suatu tindakan itu baik jika akibatnya baik bagi orang banyak. Profesi menurut
De George adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan
nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Kode etik merupakan standar moral
bagi setiap anggota profesi yang dituangkan secara formal, tertulis dan normatif dalam suatu
bentuk aturan main. Disusunnya kode etik profesi ialah merupakan komitmen terhadap
tanggung jawab pelaksanaan tugas dan kewajiban. Fungsi kode etik profesi ialah memandu,
mendampingi, memberi arah tingkah laku anggota profesi agar tidak keluar dari etika yang
menjadi panutan.
Etika komunikasi perkantoran merupakan suatu rangkuman istilah yang mempunyai
pengertian tersendiri, yakni norma, nilai atau ukuran tingkah laku yang baik dalam kegiatan
komunikasi dalam kegiatan komunikasi di suatu perkantoran. Untuk menjaga agar proses
komunikasi tersebut berjalan baik, agar tidak menimbulkan dampak negatif, maka diperlukan
etika berkomunikasi. Cara paling mudah menerapkan etika komunikasi perkantoran ialah,
semua anggota dan pimpinan perkantoran perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1) Tata krama pergaulan yang baik
2) Norma kesusilaan dan budi pekerti
3) Norma sopan santun dalam segala tindakan
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/9149963/Etika_Komunikasi_BAB_I_PENDAHULUAN (diakses
pada hari Senin, 14 April 2019, pukul 23:10 WIB)