TINJAUAN KEPUSTAKAAN
computer”.1 Adapun robot, dalam pengertian militer adalah “a powered machine that
(1) senses, (2) thinks (in a deliberative, non-mechanical sense), and (3) acts.”2 Robot
sering kali digambarkan sebagai mesin yang dibangun di atas paradigma sense-think-
Ukuran otonomi yang diberikan prosesor kepada robot harus dilihat sebagai kontinum
dengan keterlibatan manusia di satu sisi yang signifikan, seperti robot pembunuh
(killer robot) yang merupakan “human out of the loop”. Proses pengambilan
keputusan robot sering diukur dalam nano detik dan dasar informasi dari keputusan
tersebut mungkin tidak dapat diakses secara praktis oleh supervisior. Dalam keadaan
1
“Robot”, Oxford Dictionaries, Oxford University Press, http://oxforddictionaries.com/definition/
english/robot.
2
Patrick Lin, Ph.D, George Bekey, Ph.D, Keith Abney, M.A., Autonomous Military Robotics: Risk,
Ethics, and Design, California: California Polythecnic State University, San Luis Obispo, hal.4 dalam
Sarah Marisi Ireney Sidauruk, 2019, Penggunaan Autonomous Weapon System Dalam Konflik
Bersenjata Internasional Menurut Hukum Humaniter Internasional, Skripsi Universitas Diponegoro,
Semarang, Hal.9-10.
3
Peter Singer, 2009, Wired for War, Penguin Group USA Incorporated. Hal 67 dalam Christof Heyns,
2013, Report of the Special Rapporteur oon extrajudicial, summary or arbitrary executions, United
Nations General Assembly. Hal.8.
seperti itu, manusia secara de facto berada di luar kendali dan mesin secara efektif
Sampai saat ini, belum ada definisi yang disepakati tentang robot pembunuh
(killer robot) yang digunakan di forum internasional. Fakta bahwa sebuah lembaga
penelitian PBB menolak untuk menangani masalah terminologi dan defenisi robot
pembunuh (killer robot), menunjukkan kesulitan yang luas dalam mencoba bergerak
maju pada suatu topic ketika negara-negara bangsa itu sendiri bahkan tidak
sepenuhnya menyetujui apa yang bahkan mereka perdebatkan. Hal ini diperparah
swadaya masyarakat, dan lembaga pemerintah, tidak hanya di dalam negeri, tetapi
CCW tentang robot pembunuh (killer robot).5 Meskipun ada sejumlah besar definisi
robot pembunuh (killer robot) yang tersedia untuk dipertimbangkan, namun pada
“The term LAR’s refers to robotic weapon systems that, once activated, can
select and engage targets without further intervention by a human operator. The
important element is that the robot has an autonomous “choice” regarding
selection of a target and the use of lethal force.”6
Defenisi ini menyatakan bahwa sistem senjata robotik yang setelah diaktifkan dapat
4
Lihat Christof Heyns, 2013, Report of the Special Rapporteur oon extrajudicial, summary or
arbitrary executions, United Nations General Assembly. Hal.8 yang menyatakan bahwa “The power
to override may in reality be limited because the decision-making processes of robots are often
measured in nanoseconds and the informational basis of those decisions may not be practically
accessible to the supervisor. In such circumstances humans are de facto out of the loop and the
machines thus effectively constitute LARs.”
5
Pertemuan Ahli Hukum 2016 tentang Lethal Autonomous Weapon System, United Nations Geneva,
http://www.unog.ch/80256EE600585943/%28httpPages
%29/37D51189AC4FB6E1C1257F4D004CAFB 2?OpenDocument.
6
Christof Heyns, Op.cit. Hal.7-8
memilih dan melibatkan target tanpa intervensi lebih lanjut oleh operator manusia.
Elemen pentingnya adalah bahwa robot memiliki pilihan otonom mengenai pemilihan
manusia.7 The Center for New American Security Department of Defence Directive
Washington yang telah banyak menulis tentang masalah robot pembunuh (killer
robot), memberikan defenisi tentang robot pembunuh (killer robot) sebagai sistem
senjata yang setelah diaktifkan, dapat memilih dan melibatkan target tanpa intervensi
lebih lanjut oleh operator manusia. Ini termasuk sistem senjata otonom yang diawasi
sistem senjata, tetapi dapat memilih dan menyerang target tanpa masukan manusia
lebih lanjut setelah aktivasi.8 Dalam empat definisi di atas, mereka memiliki
kesamaan bahwa robot pembunuh (killer robot) adalah sistem senjata yang dapat
memilih dan melibatkan target tanpa campur tangan manusia dan secara umum
7
The Holy See, 2016, “Elements Supporting the Prohibition of Lethal Autonomous Weapons
Systems,”http://www.unog.ch/80256EDD006B8954/%28httpAssets
%29/752E16C02C9AECE4C1257F8F0040D05A
/$file/2016_LAWSMX_CountryPaper_Holy+See.pdf, Hal.1 dalam Kenneth Brandon Turner, 2016,
Lethal Autonomous Weapons Systems: The Case For International Prohibition, MSU Graduate
Theses, Hal.14.
8
US Department of Defense Directive, 2019, Defense Primer: U.S. Policy on Lethal Autonomous
Weapon Systems, Congressional Research Service. Hal.1.
Robot Pembunuh (killer robot) merupakan jenis robot militer otonom yang dapat
secara independen mencari dan melibatkan target berdasarkan batasan dan deskripsi
(killer robot) akan bertindak berdasarkan program komputer. Ini berarti sistem senjata
termasuk pertanyaan tentang sejauh mana mereka dapat diprogram untuk memenuhi
di bawah hukum hak asasi manusia internasional. Di luar ini, penempatan mereka
mungkin tidak dapat diterima karena tidak ada sistem hukum yang memadai
akuntabilitas dan robot seharusnya tidak memiliki kekuatan atas hidup dan kematian
manusia.11
besar bagi warga sipil. Seperti yang dikatakan oleh fiksi ilmiah dan professor
biokimia, Isaac Asimov, “The saddest aspect of life right now is that science gathers
knowledge faster than society gathers wisdom”.12 Menurut Isaac, aspek paling
9
Rebecca Crootof, 2015, The Killer Robots are Here: Legal and Policy Implications, Vol.36. No.5.
Hal.1837.
10
Merel Ekelhof dan Miriam Struyk, 2014, Deadly Decisions 8 Objections to Killer Robots, PAX: The
Netherlands, Hal.4.
11
Christof Heyns, Op.cit. Hal.1.
12
Asimov, I. dan Shulman, J. 1988, Isaac Asimov’s Book of Science and Nature Questions. New York,
Weidenfeld, Hal. 281 dalam Merel Ekelhof dan Miriam Struyk, 2014, Deadly Decisions 8 Objections
to Killer Robots, PAX: The Netherlands, Hal.4.
menyedihkan dari kehidupan saat ini adalah bahwa sains mengumpulkan pengetahuan
peperangan sedang diteliti sebagai kemungkinan cara masa depan untuk berperang.
Pada saat ini, robot telah banyak dipakai oleh militer, penggunaan robot yang canggih
menggunakan robot dan kendaraan udara yang mampu mengumpulkan intelijen, atau
mencari, dan dapat mengeliminasi target. Saat ini keputusan semacam itu diambil
oleh seorang operator melalui kendali jarak jauh. 13 Namun, robot dan kendaraan
Contohnya pada Jet tempur X-47B yang masih dalam uji coba, namun begitu siap
tempur, pesawat tanpa awak tersebut akan mampu menggelar misi sendiri tanpa
kendali manusia;14 Negara Rusia yang sedang mengembangkan robot militer; yaitu
robot tempur, robot biomorfik, robot penjaga, dan kompleks perobotan bergerak;15
mengontrol kerusuhan. Robot ini di desain untuk melakukan berbagai operasi militer,
polisi, dan menjaga kemanan secara umum terutama dalam kondisi dimana
keselamatan pribadi para penegak hukum berada dalam bahaya jika terjun langsung
ke lapangan;16 Negara Israel dengan Israeli Harpy Loitering Weapon, senjata ini
13
Robot Tempur Siap Menggantikan Tentara, https://www.dw.com/id/robot-tempur-siap-
menggantikan-tentara/a-16828962 diakses pada tanggal 8 November 2020 Pukul 17.26.
14
Ibid.
15
6 Robot Militer Yang Sedang Dikembangkan Rusia,
https://www.liputan6.com/global/read/3068710 /terkuak-ini-6-robot-militer-yang-sedang-
dikembangkan-rusia, diakses pada tanggal 8 November 2020 Pukul 17.20.
16
Sarah Marisi Ireney Sidauruk, dkk, 2019, Penggunaan Autonomous Weapons System dalam Konflik
Bersenjata Internasional Menurut Hukum Humaniter Internasional, Diponegoro Law Jurnal, Volume
8 Nomor 2. Hal 1493-1494.
secara mandiri dapat mendeteksi, menyerang dan menghancurkan pemancar radar
milik musuh serta menyembunyikan ranjau torpedo, sebuah jenis ranjau air yang
ketika diaktifkan oleh kapal maka akan melepas torpedo untuk mengunci target.17
Robot pembunuh (killer robot) merupakan senjata yang dapat memilih dan
menyerang target secara mandiri. Sistem senjata itu sendiri memilih dan menyerang
target tanpa campur tangan manusia, validasi atau persetujuan lebih lanjut. Senjata itu
tugas yang biasanya dilakukan langsung oleh manusia. Dengan demikian, terjadi
dengan cara ini adalah fungsi yang secara langsung mengontrol proses pernagetan. Ini
yang digambarkan oleh ICRC sebagai fungsi kritis dari memilih (yaitu mencari,
target.19
killer robot memiliki efek destruktif yang lebih hebat karena hanya dengan algoritma,
teknologi bisa membunuh atau merusak secara massif dan bersamaan. Noel E.
Sharkey, seorang Professor dalam bidang Artificial Intelligence and Robotics and
17
Ibid hal 1494.
18
Neil Davison, 2017, ‘A Legal Perspective: Autonomous Weapon Systems under International
humanitarian law, Scientific and Policy Advicer, Arms Unit Legal Division, International Committee
of The Red Cross. Hal 1.
19
Ibid.
perkembangan pembuatan teknologi robot pada lebih dari 50 negara yang saat ini
Canada.20 Hal ini didasari fakta bahwa jika keberadaan Unmanned Aerial Vehicles
(UAV) saja pada saat ini telah menjadi perlengkapan militer yang paling serbaguna
medan perang. Salah satunya untuk menggantikan tentara dalam situasi beresiko
tinggi, mengikuti dan melacak target secara otomatis, dan melindungi fasilitas
manusia dalam penggunaan senjata serta dapat beroperasi secara terus-menerus, tanpa
memproses informasi lapangan lebih cepat dan efisien daripada manusia, sehingga
dapat meminimalisir peranan manusia dan mengurangi jumlah korban jiwa dalam
peperangan.
Menurut Professor Arkin, robot otonom di masa depan mungkin dapat bekerja
20
Noel E. Sharkey, Automation and Proliferation, (International Review of the Red Cross No. 886,
2012), hal.231 dalam Sarah Marisi Ireney Sidauruk, dkk, 2019, Penggunaan Autonomous Weapons
System dalam Konflik Bersenjata Internasional Menurut Hukum Humaniter Internasional, Diponegoro
Law Jurnal, Volume 8 Nomor 2. Hal 1490.
21
Major Michael A Guetlin, Lethal Autonomous Weapons – Ethical and Doctrinal Implications,
(JMO Department, Naval War College, 2005) at 18, Defence Technical Information Center. Hal. 2
dalam Sarah Marisi Ireney Sidauruk, 2019, Penggunaan Autonomous Weapon System Dalam Konflik
Bersenjata Internasional Menurut Hukum Humaniter Internasional, Skripsi Universitas Diponegoro,
Semarang, Hal.11.
22
Arkin R. Op.cit. Hal.2.
1. Kemampuan untuk bertindak secara konservatif, yaitu mereka tidak perlu
melindungi diri mereka sendiri dalam kasus identifikasi target yang rendah. Jika
ada, robot otonom tidak perlu mempertahankan diri sebagai penggerak utama.
Mereka dapat digunakan dengan cara yang rela berkorban jika diperlukan dan
sesuai tanpa syarat oleh seorang komandan. Tidak perlu pendekatan ‘shoot first,
ask-questions later’.
pengamatan medan perang lebih baik daripada yang dimiliki manusia saat ini. Hal
3. Sistem robotik otonom dapat dirancang tanpa emosi yang mengaburkan penilaian
perang yang sedang berlangsung. Selain itu, ketakutan dan histeria selalu
yang diyakini sebagian berkontribusi pada jatuhnya sebuah pesawat Iran oleh
USS Vincennes pada tahun 1988. Fenomena ini menyebabkan distorsi atau
menggunakan infromasi baru yang masuk dengan cara yang hanya sesuai dengan
pola kepercayaan yang sudah ada sebelumnya, suatu bentuk penutupan kognitif
dini. Robot tidak perlu rentan terhadap pola perilaku seperti itu.
5. Mereka dapat mengintegrasikan lebih banyak informasi dari banyak sumber jauh
yang lebih cepat sebelum merespon dengan kekuatan mematikan daripada yang
mungkin bisa dilakukan manusia secara real-time. Data ini dapat muncul dari
berbagai sensor jarak jauh dan sumber intelijen (termasuk manusia), sebagai
bagian dari konsep peperangan yang berpusat pada jaringan Angkatan Darat dan
(termasuk senjata) sekarang di cakrawala akan terlalu cepat, kecil, banyak, dan
6. Saat bekerja dalam tim gabungan tentara manusia dan sistem otonom sebagai
asset organik, mereka memiliki kemampuan potensial secara mandiri dan objektik
etika manusia.
operasional lainnya bagi militer yaitu: penyelesaian misi yang lebih cepat, murah dan
lebih bak; jarak yang lebih jauh, ketekunan yang lebih besar, daya tahan lebih lama,
presisi lebih tinggi; keterlibatan target yang lebih cepat; dan kekebalan terhadap
senjata kimia dan biologi lainnya. Semua ini dapat meningkatkan efektivitas misi dan
logis karena robot tidak kenal lelah, mereka dapat melakukan manuver yang lebih
berisiko daripada pilot manusia, yang selalu menghadapi ancaman tertembak jatuh. 24
nyata jika teroris menggunakan killer robots atau robot pembunuh. Terkait dengan
laporan yang didasarkan dari hasil pertemuan yang membahas mengenai senjata itu
otonom pada masa depan yang dapat melakukan serangan. Sistem robot pembunuh
mungkin telah tersedia dengan teknologi maju pada tahap awal, namun ada
Para ahli dari beberapa negara berkumpul di Jenewa melakukan pertemuan untuk
menyerang target militer, baik orang maupun bangunan, tanpa adanya intervensi
manusia. Tujuan pertemuan tersebut adalah memulai proses pengaturan ketat dalam
mengatur penggunaan robot pembunuh. Hal itu untuk memastikan robot tak
Menurut Bonnie Docherty peneliti senior Human Rights Watch, mesin memang
memiliki peran penting sebagai alat perang, namun ditilik dari sejarah, manusia
memiliki kemampuan untuk mengatur bagaimana mesin itu digunakan. Saat ini
25
Robot Pembunuh Mengancam Masa Depan Manusia, https://www.liputan6.com/global/read
/2544230 /robot-pembunuh-mengancam-masa-depan-manusia diakses pada Hari Senin 12 Oktober
2020 Pukul 19.00 WIB
26
Ibid.
27
Ibid.
perangkat yang berbeda dengan drone, di mana, selain memiliki tingkat
otonom merupakan sistem senjata mandiri yang didesain secara khusus untuk
peperangan, meminimalisir korban dari pihak militer, serta dapat menyerang sasaran
tanpa tenaga manusia sehingga dapat disebut sebagai revolusi senjata ketiga setelah
penemuan bubuk mesiu dan bom atom. Namun, senjata ini mendapatkan banyak
penolakan dari dunia internasional karena rawan akan kesalahan sistem operasi,
minimnya kapabilitas untuk memilih target, serta tingkat kerusakan yang dapat
ditimbulkan.28
intervensi manusia, militer berusaha untuk menghilangkan batasan fisik dan psikis
efisien. Namun, Sugeng juga memaparkan bahwa seiring dengan terobosan dan
kemajuan yang dibawanya, sistem senjata otonom membawa beberapa aspek negatif,
seperti sulitnya menentukan subjek hukum ketika ada korban di kalangan sipil,
norma karena penghilangan nyawa oleh senjata yang tidak dikontrol langsung oleh
manusia. Oleh karena itu, Sugeng menyimpulkan bahwa kelebihan yang dimiliki
sistem senjata otonom membuat penggunaan senjata ini oleh militer sulit untuk
jauh melampaui apa yang dicapai dalam lingkup 300 tahun sebelumnya.
Perkembangan teknologi yang pesat ini tentunya merupakan sebuah kemajuan yang
negatif ini dapat dilihat dari beberapa kasus, contohnya Stanislav Petrov yang
berhasil mencegah Perang Nuklir pada tahun 26 September 1983 karena malfungsi
sistem peringatan nuklir Uni Soviet, pada kasus ini, penilaian manusialah yang dapat
terjebak dalam skema out of the loop, di mana manusia tidak dapat campur tangan
dalam pengambilan keputusan oleh AI. Hal ini menjadi problematik karena
pada proses pengambilan keputusan yang otonom). Hal ini membuat martabat
29
Ibid.
manusia dipertaruhkan ketika proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
penggunaan senjata otonom muncul sebagai salah satu ancaman paling mendesak
divisi senjata HRW menulis dalam surat terbuka yang diterbitkan oleh HRW, dikutip
dari Sputnik:
(ICRC) adalah “Any weapon system with autonomy in its critical functions—that is, a
weapon system that can select (search for, detect, identify, track or select) and attack
sifat otonom dalam fungsi kritikalnya, sehingga dapat memilih dan menyerang satu
atau lebih target tanpa intevensi manusia lebih lanjut. Dalam definisi yang lebih
System sebagai:35
Terjemahan tidak resmi dari definisi diatas ialah Autonomous Weapon System yang
mampu memahami maksud dan arah pada tingkat yang lebih tinggi. Berdasarkan
pemahaman dan persepsi dari lingkungannya, sistem seperti ini mampu mengambil
tindakan yang tepat untuk mencapai keadaan yang diinginkan. Sistem senjata ini
mampu memutuskan suatu tindakan, dari sejumlah alternatif, tanpa tergantung pada
33
Merujuk kepada Footnote No 7 Views of the International Committee of the Red Cross (ICRC) on
autonomous weapon system – Convention on Certain Conventional Weapons (CCW), Meeting of
Experts on Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS)
34
ICRC, 2014, Autonomous Weapon Systems: Technical, Military, Legal and Humanitarian Aspects
(Expert Meeting), Hal.13.
35
Rebecca Crootof, Op.cit. Hal.1853.
pengawasan dan kontrol manusia.36
Terlepas dari definisi apa yang lebih tepat, dilihat dari definisi yang diberikan
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Autonomous Weapon System intinya ialah
sistem senjata yang secara independen dapat memilih, menentukan, dan menyerang
target serta mempunyai kemampuan untuk menilai sendiri suatu situasi. 37 Senjata ini
tidak diatur dan ditentukan sebelumnya spesifik target dan parameter untuk dapat
independen apakah akan bertindak atau tidak. Senjata ini digunakan dalam situasi
atau keadaan yang dinamis dan terstruktur, khususnya seperti dalam peperangan atau
konflik bersenjata yang bisa chaotic.38 Autonomous Weapon System memilih dan
independen tanpa intervensi manusia sedikitpun. Senjata ini dilengkapi dengan suatu
kecerdasan buatan dan dapat dengan sendirinya menilai suatu kondisi, dan
Noel Sharkey mengatakan “they (vision systems) can just about tell the
difference between a human and a car, but they cannot tell the difference between a
dog standing on its legs or a statue and a human.”40 Autonomous Weapon System
tidak dapat diprogram dalam sedemikian rupa sehingga mereka dapat membuat
36
Pekerti, Adriawan Anugrah, 2017, Urgensi Pengaturan Autonomous Weapon System dalam Hukum
Humaniter, Skripsi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Hal.23-24.
37
Ibid, hal 24.
38
Roni A. Elias, 2016, Facing The Brave New World of Killer Robots: Adapting The Development of
Autonomous Weapon System Into The Framework of The International Law of War, 21 Trinity L. Rev.
70, Spring, Hal. 72.
39
Pekerti, Adriawan Anugrah, Op.cit. Hal.27
40
Merel Ekelhof dan Miriam Struyk, Op.cit. Hal.12-13.
keputusan yang tepat tentang siapa pejuang dan siapa warga sipil. Saat ini, cara
perbedaan.41
Paul Scharre dan Michael C.Horrowitz dalam The Center for a New American
Security, percaya akan lebih bermanfaat untuk berpikir tentang otonomi tidak dalam
satu skala, tetapi lebih pada beberapa skala independen. 42 Saran mereka adalah bahwa
skala untuk otonomi harus setidaknya berfokus pada hubungan manusia dengan
mesin, kompleksitas mesin, dan jenis proses menjadi otomatis. Mereka berpendapat
bahwa menentukan peran dan tingkat keterlibatan manusia dalam otomatisasi mesin,
pengembangan sistem senjata yang benar-benar otonom yang dapat menerapkan IHL
ICRC mencatat bahwa sebagian besar literatur tentang otonomi dalam sistem
berdasarkan tingkat otonomi dan tingkat pengawasan manusia, yang sebagai berikut:
Sistem senjata otomatis merupakan sistem senjata yang dilengkapi dengan sistem
otonom dengan tingkat yang sangat rendah, karena senjata dengan sistem tersebut
Senjata semi otonom merupakan sistem senjata yang akan secara otomatis
menarget objek militer yang potensial dan memberi sinyal kepada operator manusia,
manusia dalam penggunaannya.48 Senjata ini dapat diaktifkan untuk menilai konteks
46
Umesh Chandra Jha, 2016, Killer Robots: Lethal Autonomous Weapon Systems Legal, Ethical, and
Moral Challenges Vij Books India Pvt Ltd dalam Aulia Putri Yunanda, 2019, Autonomous Weapon
Systems dan Legalitas Penggunaannya Dalam Hukum Humaniter Internasional, Volume 2 No 2,
Hal.379
47
Adja Hosseini Ghasemi, 2014, Semi-Autonomous Weapon Systems in International Humanitarian
Law - A study of the new decision-making and responsibility issue in International Humanitarian Law
relating to Semi-Autonomous Weapon Systems, Tesis Lund University. Hal.15 dalam Aulia Putri
Yunanda, 2019, Autonomous Weapon Systems dan Legalitas Penggunaannya Dalam Hukum
Humaniter Internasional, Volume 2 No 2, Hal.379
48
Human Rights Watch, Op.cit.Hal 15.
dengan informasi yang diproses. Fully Autonomous Weapons System akan bertindak
Human Rights Watch (HRW) dalam artikelnya yang berjudul “Losing Humanity:
The Case Against Killer Robots” membagi sistem robot tak berawak dalam tiga jenis
otonomi:50
a) Human in-the-loop weapons, yaitu senjata robot yang dapat menentukan dan
menyerang sasaran setelah diarahkan oleh manusia. Sistem ini telah digunakan
oleh militer di seluruh dunia selama beberapa dekade, contoh paling dasar adalah
pengawasan manusia yang dapat mengambil alih senjata itu. Sistem ini
c) Human out-the-loop weapons, yaitu senjata yang dapat memilih, menentukan dan
menyerang sasaran tanpa intervensi maupun interaksi oleh manusia. Sistem ini
pada sebagian militer tidak ada pada saat ini, contoh yang memungkinkan yaitu
Autonomous weapon system yang dimaksud HRW diatas ialah Human on-the-loop
49
Fully Autonomous Weapons, https://www.reachingcriticalwill.org/resources/fact-sheets/critical-
issues/7972-fully-autonomous-weapons, diakses pada tanggal 15 November 2020 Pukul 23.48.
50
Human Rights Watch, Loc.cit.
weapons dan Human out-the-loop weapons. Sistem Human in-the-loop weapons tidak
termasuk dalam kategori senjata Autonomous Weapon System atau senjata yang
dan menyerang sasaran. Human in-the-loop weapons ini bisa disamakan dengan jenis
memenuhi kriteria sebagai Autonomous Weapon System atau sistem senjata yang
memungkinkan untuk diambil alih oleh manusia dan sama dengan Human-supervised
Autonomous Weapon System yang dijelaskan oleh Badan Pertahanan Amerika Serikat
ada didalam masyarakat itu sendiri, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor
kebutuhan hidup anggota masyarakat, dan cara hidup masyarakat yang bersangkutan.
51
Pekerti, Adriawan Anugrah, Op.cit, Hal.86.
52
Ibid, Hal.86-87.
dan ius constituendum.53
1) Ius Constitutum, yaitu hukum yang berlaku di masa sekarang. Dalam Glossarium
di buku yang sama, Sudikno menambahkan bahwa ius constitutum adalah hukum
a) Ius Constitutum merupakan hukum yang dibentuk dan berlaku dalam suatu
masyarakat negara pada suatu saat. Ius Constitutum adalah hukum positif.
terhadap senjata baru yang akan digunakan pada masa mendatang dan perlu adanya
tambahan ke-1 tahun 1977 dari Konvensi Jenewa 1949 mengamanatkan bahwa:
“Dalam studi, pengembangan, akuisisi, atau adopsi terhadap senjata baru, alat
atau cara dalam peperangan, para pihak dalam konvensi ini berkewajiban
untuk menentukan apakah penggunaan akan, dalam beberapa atau semua
keadaan, dilarang oleh protokol ini atau aturan hukum internasional lain yang
berlaku bagi para pihak.”
Hal ini jika dikaitkan dengan Autonomous Weapon System maka mengandung arti
dalam beberapa atau semua keadaan sesuai dengan protokol tambahan ke-1 tahun
1977 dari Konvensi Jenewa 1949 atau aturan hukum internasional lain yang berlaku
bagi para pihak. Bahkan bukan hanya para pihak dalam konvensi itu saja, melainkan
Weapon System karena kaitannya dengan nilai-nilai yang sudah menjadi suatu
customary law serta jus cogen seperti nilai-nilai kemanusiaan dan kejahatan terhadap
perang.58
Pengaturan mengenai suatu senjata atau metode baru dalam perang menjadi
sangat penting karena berkaitan dengan nilai-nilai diatas. Hal ini dilakukan sebagai
sebuah tindakan pencegahan dan tujuan proaktif untuk menegakkan suatu standar
mengenai senjata atau metode baru dalam berperang. 59 Dengan menentukan suatu
standar mengenai suatu senjata atau metode baru, diharapkan hal itu akan sesuai
nantinya dengan aturanaturan yang ada dalam HHI atau aturan-aturan internasional
58
Pekerti, Adriawan Anugrah, Op.cit, Hal.87.
59
Bradan T. Thomas, Autonomous Weapon System: The Anatomy of Autonomy and The Legality of
Lethality, 37 Hous. J. Int'l L. 235, hal 258.
lain yang terkait dan berlaku. Maka dari itu setiap negara, bukan hanya negara peserta
dalam konvensi atau negara pihak dalam konflik, wajib untuk ikut merenungkan dan
memikirkan mengenai suatu senjata atau metode baru agar dapat sesuai dan tidak
Setiap sistem senjata otonom dapat digunakan tetapi harus sesuai dengan hukum
humaniter internasional. Tanggung jawab untuk memastikan hal ini terletak pada
terlibat dalam konflik bersenjata. Aturan dalam perilaku permusuhan, terutama aturan
senjata untuk melakukan serangan, dan kombatan-lah yang bertanggung jawab untuk
menghormati aturan ini, dan yang akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap
pelanggaran.61
keputusan hukum yang diperlukan, dan dapat memastikan kepatuhan terhadap hukum
60
Ibid.
61
Neil Davidson, Op.cit, Hal 7.
untuk memastikan bahwa angkatan bersenjata suatu negara mampu melakukan
tersebut dapat digunakan dalam semua keadaan sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku untuk semua senjata, sarana dan metode perang harus
mempertimbangkan perjanjian dan larangan dan pembatasan pada senjata tertentu. Ini
termasuk aturan yang ditujukan untuk melindungi warga sipil dari efek senjata dan
kombatan yang tidak pandang bulu dari cedera dan penderitaan yang tidak perlu.63
juga dikenal dengan hukum perang (the law of war) dan hukum konflik bersenjata
(The Law of Armed Conflict, LOAC), adalah bagian dari hukum publik internasional
non internasional.
62
Ibid, hal 8.
63
Ibid, hal 9-10.
internasional yang membatasi kekuasaan pihak yang berperang dalam menggunakan
cara dan alat berperang untuk mengalahkan musuh dan mengatur perlindungan
korban perang.64
1) Jus ad Bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal
2) Jus in Bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi :
a) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (the conduct of war). Bagian ini
b) Hukum yang mengatur perlindungan orang - orang yang menjadi korban perang.
merupakan bagian dari hukum internasional. Oleh karena itu, karakteristik Hukum
dengan sumber-sumber hukumnya yang juga mengacu kepada Pasal 38 ayat (1)
law), yurisprudensi (judicial decisions) dann doktrin (doctrine) atau pendapat para
ahli yang telah diakui kepakarannya atau reputasinya (teaching of the most highly
64
Andrey Sujatmoko, 2016, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, PT RajaGrafindo, Jakarta, Cetakan
ke-2, hal.171.
65
Haryomataram, 1994, Hukum Humaniter, CV. Rajawali Press, Jakarta, hal.2-3.
qualified piblicistsi).66
panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-
upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat
perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihak-pihak yang terlibat dalam
perang. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang terdapat dalam pengaturan
1) Zaman Kuno
Pada masa ini, perang memberikan dampak negatif bagi para pihak yang
berperang serta orang-orang yang berada di daerah peperangan. Karena di masa ini,
seluruh pemimpin militer memberi perintah kepada para pasukan untuk menyelamat
Jean Pictet mengemukakan upaya-upaya yang terus berkembang pada masa ini,
diantaranya:
66
Andrey Sujatmoko, Op.Cit. Hal.169.
67
Frits Kalshoven, Constraint on the Waging of War, ICRC, 1991, hlm 7
b. Dalam kebudayaan Mesir Kuno, tergambar adanya perintah untuk
Juga perintah untuk merawat setiap orang yang sakit dan menguburkan yang
mati.
karena hukum yang mereka miliki didasarkan keadilan serta integritas. Para
d. Dalam kebudayaan India, para satria dilarang keras untuk membunuh musuh
yang cacat atau yang menyerah. Apabila ada yang luka, maka mereka harus
Pemakaian senjata yang dapat menusuk hati ataupun senjata yang beracun
2) Abad Pertengahan
agama Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya
memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” atau just war.68
Sedangkan dalam ajaran agama islam, hukum humaniter mendapat pengaruh berupa
kemungkaran. Ajaran Islam tentang tentang perang dapat dilihat dalam Al Qur’an
surah al Baqarah: 190, 191, al Anfal: 39, at Taubah: 5, al Haj: 39. 69 Prinsip ksatria
68
Ibid hal. 15.
69
Masjur Effendi,, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional,
IKIP Malang, Malang, 1995, hal. 16.
juga turut memberi pengaruhnya kepada hukum humaniter. Bentuk pengaruh yang
diberikan oleh prinsip ini ialah mengajarkan pentingnya pengumuman perang serta
3) Zaman Modern
bagian atau cabang dari hukum internasional publik, mulai diformulasikan pada tahun
Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Medan Perang (selanjutnya disebut Konvensi
Jenewa 1864).70
kemudian berubah menjadi suatu hukum serta kebiasaan dalam berperang. Keadaan
pecahnya Perang Dunia I. Yang menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah
kemanusiaan, yaitu Palang Merah yang di promotori oleh Henry Dunant. Selain
Perang Darat. Tahun 1864 menjadi titik lahir untuk mengawali Konvensikonvensi
Perang.71
70
Ambarwati, dkk, Op.cit, hal. 30.
71
Arlina Permanasari, dkk., Op.cit, hal. 16.
c. Prinsip-Prinsip Penggunaan dalam Hukum Humaniter Internasional
manusia. Prinsip umum lainnya adalah bahwa Hukum Humaniter Internasional pada
dasarnya “tidak melarang semua jenis kekerasan” dan tidak melarang perang itu
sendiri.72
berikut:
1) Prinsip pembedaan
dibedakan antara penduduk sipil dengan peserta tempur, antara objek sipil dengan
Dengan kata lain, dengan adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa
yang boleh turut serta dalam permusuhan sehingga dijadikan objek kekerasan, dan
siapa yang harus dilindungi karena tidak turut serta dalam permusuhan. 75 Prinsip ini
penduduk sipil, hanya kombatan yang berperang dapat dijadikan target dalam
72
Dr. Umar Suryadi Bakry, 2019, Hukum Humaniter Internasional Sebuah Pengantar, Prenadamedia
Group, Jakarta, hal. 12.
73
Ibid.
74
Insarullah, 2010, Pemahaman Dasar Hukum Humaniter Internasional, Edukasi Mitra Grafika, Palu,
hal. 14.
75
Haryomataram, 2002, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hal. 3.
peperangan.
kombatan dan objek militer adalah yang secara sah dapat diserang. Setiap serangan
langsung terhadap penduduk sipil dan/atau objek warga sipil dikategorikan sebagai
kejahatan perang (war crimes). Setiap senjata yang tidak mampu membedakan antara
warga sipil/objek sipil dan pejuang/objek militer juga dilarang di bawah hukum
humaniter internasional.76
Menurut Jean Pictet prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang
sipil dan orang-orang sipil harus mendapatkan perlindungan umum bahaya yang
ditimbulkan akibat operasi militer. Asas Umum ini selanjutnya dijabarkan lebih lanjut
dan penduduk sipil guna menyelematkan penduduk sipil dan objek – objek sipil;
b) Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan tidak boleh dijadikan
menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin;
76
ICRC, Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, (Geneva: ICRC, 2010),
hal. 36-38.
e) Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan
musuh.77
Untuk dapat membedakan penduduk sipil dan peserta tempur terdapat beberapa
(2) Memakai seragam dan tanda khusus yang dapat dikenali dari jarak tertentu;
dan
kebiasaan perang).
orang yang bukan anggota angkatan bersenjata dari pihak peserta konflik dan bukan
peserta levee en masse adalah orang sipil. Sedangkan untuk kategori konflik
negara dan bukan anggota kelompok bersenjata terorganisasi dari pihak peserta
Hors de combat adalah kombatan yang tidak lagi terlibat dalam pertempuran
karena sakit, terluka, terdampar, dan menjadi tawanan perang. Dalam pasal 41
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 bahwa seseorang yang diakui, atau
dalam keadaan harus diakui, sebagai hors de combat, dilarang menjadi objek
77
Arlina Permanasari, dkk., Op.cit, hal. 74.
78
Insarullah, Op.Cit., hal. 15.
79
Denny Ramdhany, dkk., 2015, Konteks dan Perspektif Politik Terkait Hukum Humaniter
Internasional Kontemporer, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 265.
serangan.80
konflik bersenjata, dan setiap perang pasti menggunakan kekerasan (the use of
diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan
mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda berperang yang digunakan tidak
diharapkan.”82
membahayakan dengan cara menuntut bahwa sedikit mungkin jumlah kerugian yang
ditimbulkan untuk warga sipil, dan ketika membahayakan warga sipil terjadi harus
hukum yang relevan, bahkan setiap serangan langsung terhadap seorang warga sipil
yang tidak mengambil bagian dalam permusuhan, jelas melanggar Hukum Humaniter
80
Dr. Umar Suryadi Bakry, Op.Cit., hal 13.
81
Ibid.
82
Pietro Verri, 1992, Dictionary of International Law of Armed Conflict, International Committee of
the Red Cross, Geneva, hlm. 90.
Internasional.
lingkungan. Artinya setiap serangan yang dilakukan dalam konflik bersenjata harus
kemampuan untuk menunjukkan rasa hormat dan kepedulian untuk semua, temasuk
musuh sekalipun. 84Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang bersengketa diharuskan
83
Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Bec, 2007, Customary International Humanitarian Law
Volume I, Cambridge: Cambridge University Press, hal. 48.
84
Dr. Umar Suryadi Bakry, Op.Cit., hal 14.