Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Tinjauan Umum tentang Robot Pembunuh (Killer Robot)

a. Pengertian Robot Pembunuh (Killer Robot)

Menurut kamus Oxford, pengertian robot adalah “A machine capable of carrying

out a complex series of actions automatically, especially one programmed by a

computer”.1 Adapun robot, dalam pengertian militer adalah “a powered machine that

(1) senses, (2) thinks (in a deliberative, non-mechanical sense), and (3) acts.”2 Robot

sering kali digambarkan sebagai mesin yang dibangun di atas paradigma sense-think-

act: mereka memiliki sensor yang memberikan tingkat kesadaran situasional,

prosesor atau kecerdasan buatan yang memutuskan bagaimana menanggapi

rangsangan yang diberikan dan efektor yang melaksanakan keputusan tersebut. 3

Ukuran otonomi yang diberikan prosesor kepada robot harus dilihat sebagai kontinum

dengan keterlibatan manusia di satu sisi yang signifikan, seperti robot pembunuh

(killer robot) yang merupakan “human out of the loop”. Proses pengambilan

keputusan robot sering diukur dalam nano detik dan dasar informasi dari keputusan

tersebut mungkin tidak dapat diakses secara praktis oleh supervisior. Dalam keadaan

1
“Robot”, Oxford Dictionaries, Oxford University Press, http://oxforddictionaries.com/definition/
english/robot.
2
Patrick Lin, Ph.D, George Bekey, Ph.D, Keith Abney, M.A., Autonomous Military Robotics: Risk,
Ethics, and Design, California: California Polythecnic State University, San Luis Obispo, hal.4 dalam
Sarah Marisi Ireney Sidauruk, 2019, Penggunaan Autonomous Weapon System Dalam Konflik
Bersenjata Internasional Menurut Hukum Humaniter Internasional, Skripsi Universitas Diponegoro,
Semarang, Hal.9-10.
3
Peter Singer, 2009, Wired for War, Penguin Group USA Incorporated. Hal 67 dalam Christof Heyns,
2013, Report of the Special Rapporteur oon extrajudicial, summary or arbitrary executions, United
Nations General Assembly. Hal.8.
seperti itu, manusia secara de facto berada di luar kendali dan mesin secara efektif

membentuk robot pembunuh (killer robot).4

Sampai saat ini, belum ada definisi yang disepakati tentang robot pembunuh

(killer robot) yang digunakan di forum internasional. Fakta bahwa sebuah lembaga

penelitian PBB menolak untuk menangani masalah terminologi dan defenisi robot

pembunuh (killer robot), menunjukkan kesulitan yang luas dalam mencoba bergerak

maju pada suatu topic ketika negara-negara bangsa itu sendiri bahkan tidak

sepenuhnya menyetujui apa yang bahkan mereka perdebatkan. Hal ini diperparah

dengan kurangnya kesepakatan antara individu, akademisi, industry, lembaga

swadaya masyarakat, dan lembaga pemerintah, tidak hanya di dalam negeri, tetapi

juga internasional. Sebagaimana dibuktikan dalam pertukaran di Pertemuan Ahli

CCW tentang robot pembunuh (killer robot).5 Meskipun ada sejumlah besar definisi

robot pembunuh (killer robot) yang tersedia untuk dipertimbangkan, namun pada

umumnya hanya variasi kecil antara satu sama lain.

Professor Christof Heyns, mendefinisikan robot pembunuh (killer robot) sebagai:

“The term LAR’s refers to robotic weapon systems that, once activated, can
select and engage targets without further intervention by a human operator. The
important element is that the robot has an autonomous “choice” regarding
selection of a target and the use of lethal force.”6

Defenisi ini menyatakan bahwa sistem senjata robotik yang setelah diaktifkan dapat
4
Lihat Christof Heyns, 2013, Report of the Special Rapporteur oon extrajudicial, summary or
arbitrary executions, United Nations General Assembly. Hal.8 yang menyatakan bahwa “The power
to override may in reality be limited because the decision-making processes of robots are often
measured in nanoseconds and the informational basis of those decisions may not be practically
accessible to the supervisor. In such circumstances humans are de facto out of the loop and the
machines thus effectively constitute LARs.”
5
Pertemuan Ahli Hukum 2016 tentang Lethal Autonomous Weapon System, United Nations Geneva,
http://www.unog.ch/80256EE600585943/%28httpPages
%29/37D51189AC4FB6E1C1257F4D004CAFB 2?OpenDocument.
6
Christof Heyns, Op.cit. Hal.7-8
memilih dan melibatkan target tanpa intervensi lebih lanjut oleh operator manusia.

Elemen pentingnya adalah bahwa robot memiliki pilihan otonom mengenai pemilihan

target dan penggunaan kekuatan mematikan.

Takhta suci telah mendefinisikan sistem senjata otonom sebagai “a weapon

system capable of identifying, selecting and triggering action on a target without

human supervision.” Defenisi tersebut menyatakan sistem senjata yang mampu

mengidentifikasi, memilih, dan memicu tindakan pada target tanpa pengawasan

manusia.7 The Center for New American Security Department of Defence Directive

(DODD) 3000.09 (the directive), sebuah lembaga pemikir berbasis internasional di

Washington yang telah banyak menulis tentang masalah robot pembunuh (killer

robot), memberikan defenisi tentang robot pembunuh (killer robot) sebagai sistem

senjata yang setelah diaktifkan, dapat memilih dan melibatkan target tanpa intervensi

lebih lanjut oleh operator manusia. Ini termasuk sistem senjata otonom yang diawasi

manusia dan dirancang untuk memungkinkan operator manusia mengabaikan operasi

sistem senjata, tetapi dapat memilih dan menyerang target tanpa masukan manusia

lebih lanjut setelah aktivasi.8 Dalam empat definisi di atas, mereka memiliki

kesamaan bahwa robot pembunuh (killer robot) adalah sistem senjata yang dapat

memilih dan melibatkan target tanpa campur tangan manusia dan secara umum

berlaku untuk sebagian besar definisi yang diusulkan.

7
The Holy See, 2016, “Elements Supporting the Prohibition of Lethal Autonomous Weapons
Systems,”http://www.unog.ch/80256EDD006B8954/%28httpAssets
%29/752E16C02C9AECE4C1257F8F0040D05A
/$file/2016_LAWSMX_CountryPaper_Holy+See.pdf, Hal.1 dalam Kenneth Brandon Turner, 2016,
Lethal Autonomous Weapons Systems: The Case For International Prohibition, MSU Graduate
Theses, Hal.14.
8
US Department of Defense Directive, 2019, Defense Primer: U.S. Policy on Lethal Autonomous
Weapon Systems, Congressional Research Service. Hal.1.
Robot Pembunuh (killer robot) merupakan jenis robot militer otonom yang dapat

secara independen mencari dan melibatkan target berdasarkan batasan dan deskripsi

yang deprogram.9 Alih-alih mengandalkan keputusan manusia, robot pembunuh

(killer robot) akan bertindak berdasarkan program komputer. Ini berarti sistem senjata

otonom akan bertindak berdasarkan algoritme yang telah deprogram sebelumnya,

bukan kecerdasan dan penilaian manusia.10 Mereka meningkatkan jangkauan

kekhawatiran tentang perlindungan kehidupan selama perang dan perdamaian. Ini

termasuk pertanyaan tentang sejauh mana mereka dapat diprogram untuk memenuhi

persyaratan internasional hukum humaniter dan standar yang melindungi kehidupan

di bawah hukum hak asasi manusia internasional. Di luar ini, penempatan mereka

mungkin tidak dapat diterima karena tidak ada sistem hukum yang memadai

akuntabilitas dan robot seharusnya tidak memiliki kekuatan atas hidup dan kematian

manusia.11

b. Penggunaan Robot Pembunuh (Killer Robot)

Penggunaan robot dalam perang akan menimbulkan tantangan mendasar

terhadap hukum humaniter internasional yang mungkin akan menimbulkan ancaman

besar bagi warga sipil. Seperti yang dikatakan oleh fiksi ilmiah dan professor

biokimia, Isaac Asimov, “The saddest aspect of life right now is that science gathers

knowledge faster than society gathers wisdom”.12 Menurut Isaac, aspek paling

9
Rebecca Crootof, 2015, The Killer Robots are Here: Legal and Policy Implications, Vol.36. No.5.
Hal.1837.
10
Merel Ekelhof dan Miriam Struyk, 2014, Deadly Decisions 8 Objections to Killer Robots, PAX: The
Netherlands, Hal.4.
11
Christof Heyns, Op.cit. Hal.1.
12
Asimov, I. dan Shulman, J. 1988, Isaac Asimov’s Book of Science and Nature Questions. New York,
Weidenfeld, Hal. 281 dalam Merel Ekelhof dan Miriam Struyk, 2014, Deadly Decisions 8 Objections
to Killer Robots, PAX: The Netherlands, Hal.4.
menyedihkan dari kehidupan saat ini adalah bahwa sains mengumpulkan pengetahuan

dan kebijaksanaan lebih cepat daripada masyarakat. Penggunaan robot dalam

peperangan sedang diteliti sebagai kemungkinan cara masa depan untuk berperang.

Pada saat ini, robot telah banyak dipakai oleh militer, penggunaan robot yang canggih

sangat mungkin memberikan keuntungan di medan perang. Di berbagai negara telah

menggunakan robot dan kendaraan udara yang mampu mengumpulkan intelijen, atau

mencari, dan dapat mengeliminasi target. Saat ini keputusan semacam itu diambil

oleh seorang operator melalui kendali jarak jauh. 13 Namun, robot dan kendaraan

udara sudah dapat diprogram untuk bermanuver sepenuhnya secara otonom.

Contohnya pada Jet tempur X-47B yang masih dalam uji coba, namun begitu siap

tempur, pesawat tanpa awak tersebut akan mampu menggelar misi sendiri tanpa

kendali manusia;14 Negara Rusia yang sedang mengembangkan robot militer; yaitu

robot tempur, robot biomorfik, robot penjaga, dan kompleks perobotan bergerak;15

Negara Spanyol dengan ‘TechnoRobot: RiotBot’ yang digunakan khusus untuk

mengontrol kerusuhan. Robot ini di desain untuk melakukan berbagai operasi militer,

polisi, dan menjaga kemanan secara umum terutama dalam kondisi dimana

keselamatan pribadi para penegak hukum berada dalam bahaya jika terjun langsung

ke lapangan;16 Negara Israel dengan Israeli Harpy Loitering Weapon, senjata ini

13
Robot Tempur Siap Menggantikan Tentara, https://www.dw.com/id/robot-tempur-siap-
menggantikan-tentara/a-16828962 diakses pada tanggal 8 November 2020 Pukul 17.26.
14
Ibid.
15
6 Robot Militer Yang Sedang Dikembangkan Rusia,
https://www.liputan6.com/global/read/3068710 /terkuak-ini-6-robot-militer-yang-sedang-
dikembangkan-rusia, diakses pada tanggal 8 November 2020 Pukul 17.20.
16
Sarah Marisi Ireney Sidauruk, dkk, 2019, Penggunaan Autonomous Weapons System dalam Konflik
Bersenjata Internasional Menurut Hukum Humaniter Internasional, Diponegoro Law Jurnal, Volume
8 Nomor 2. Hal 1493-1494.
secara mandiri dapat mendeteksi, menyerang dan menghancurkan pemancar radar

milik musuh serta menyembunyikan ranjau torpedo, sebuah jenis ranjau air yang

ketika diaktifkan oleh kapal maka akan melepas torpedo untuk mengunci target.17

Robot pembunuh (killer robot) merupakan senjata yang dapat memilih dan

menyerang target secara mandiri. Sistem senjata itu sendiri memilih dan menyerang

target tanpa campur tangan manusia, validasi atau persetujuan lebih lanjut. Senjata itu

menggunakan sensor, pemrograman dan senjata onboard-nya untuk melakukan tugas-

tugas yang biasanya dilakukan langsung oleh manusia. Dengan demikian, terjadi

pergeseran proses pengambilan keputusan (atau tindakan) atas penggunaan kekuatan

dari manusia ke mesin.18 Fungsi yang memungkinkan sistem senjata beroperasi

dengan cara ini adalah fungsi yang secara langsung mengontrol proses pernagetan. Ini

yang digambarkan oleh ICRC sebagai fungsi kritis dari memilih (yaitu mencari,

mendeteksi, mengidentifikasi, melacak, memilih) dan menyerang (yaitu mencegat,

menggunakan kekuatan melawan, menetralkan, merusak, atau menghancurkan)

target.19

Pihak-pihak yang menentang perkembangan killer robot menganggap bahwa

killer robot memiliki efek destruktif yang lebih hebat karena hanya dengan algoritma,

teknologi bisa membunuh atau merusak secara massif dan bersamaan. Noel E.

Sharkey, seorang Professor dalam bidang Artificial Intelligence and Robotics and

Public Engagement di Universitas Sheffield menyatakan bahwa ia telah mengikuti

17
Ibid hal 1494.
18
Neil Davison, 2017, ‘A Legal Perspective: Autonomous Weapon Systems under International
humanitarian law, Scientific and Policy Advicer, Arms Unit Legal Division, International Committee
of The Red Cross. Hal 1.
19
Ibid.
perkembangan pembuatan teknologi robot pada lebih dari 50 negara yang saat ini

sedang mengembangkan teknologi Autonomous Weapons Systems, termasuk

Canada.20 Hal ini didasari fakta bahwa jika keberadaan Unmanned Aerial Vehicles

(UAV) saja pada saat ini telah menjadi perlengkapan militer yang paling serbaguna

dalam peperangan modern, maka merupakan keniscayaan bahwa kedepannya

peperangan yang terjadi akan melibatkan robot pembunuh.

Pada dasarnya penggunaan robot pembunuh (killer robot) diperuntukkan dalam

medan perang. Salah satunya untuk menggantikan tentara dalam situasi beresiko

tinggi, mengikuti dan melacak target secara otomatis, dan melindungi fasilitas

penting. Pengoperasian robot membutuhkan sedikit biaya dibandingkan dengan

manusia dalam penggunaan senjata serta dapat beroperasi secara terus-menerus, tanpa

adanya kebutuhan untuk beristirahat.21 Penggunaan teknologi ini pun dapat

memproses informasi lapangan lebih cepat dan efisien daripada manusia, sehingga

dapat meminimalisir peranan manusia dan mengurangi jumlah korban jiwa dalam

peperangan.

c. Dampak penggunaan Robot Pembunuh (Killer Robot)

Menurut Professor Arkin, robot otonom di masa depan mungkin dapat bekerja

lebih baik daripada manusia, karena alasan berikut:22

20
Noel E. Sharkey, Automation and Proliferation, (International Review of the Red Cross No. 886,
2012), hal.231 dalam Sarah Marisi Ireney Sidauruk, dkk, 2019, Penggunaan Autonomous Weapons
System dalam Konflik Bersenjata Internasional Menurut Hukum Humaniter Internasional, Diponegoro
Law Jurnal, Volume 8 Nomor 2. Hal 1490.
21
Major Michael A Guetlin, Lethal Autonomous Weapons – Ethical and Doctrinal Implications,
(JMO Department, Naval War College, 2005) at 18, Defence Technical Information Center. Hal. 2
dalam Sarah Marisi Ireney Sidauruk, 2019, Penggunaan Autonomous Weapon System Dalam Konflik
Bersenjata Internasional Menurut Hukum Humaniter Internasional, Skripsi Universitas Diponegoro,
Semarang, Hal.11.
22
Arkin R. Op.cit. Hal.2.
1. Kemampuan untuk bertindak secara konservatif, yaitu mereka tidak perlu

melindungi diri mereka sendiri dalam kasus identifikasi target yang rendah. Jika

ada, robot otonom tidak perlu mempertahankan diri sebagai penggerak utama.

Mereka dapat digunakan dengan cara yang rela berkorban jika diperlukan dan

sesuai tanpa syarat oleh seorang komandan. Tidak perlu pendekatan ‘shoot first,

ask-questions later’.

2. Perkembangan dan penggunaan berbagai sensor robotik yang dilengkapi untuk

pengamatan medan perang lebih baik daripada yang dimiliki manusia saat ini. Hal

ni termasuk kemajuan teknologi dalam elektro-optik, bukan sintesis atau radar

penembus dinding, akustik, dan penginderaan seismik.

3. Sistem robotik otonom dapat dirancang tanpa emosi yang mengaburkan penilaian

mereka atau mengakibatkan kemarahan dan frustasi dengan peristiwa medan

perang yang sedang berlangsung. Selain itu, ketakutan dan histeria selalu

tersembunyi dalam pertempuran, seringkali nyata, dan mereka menekan ke arah

tindakan menakutkan dan perilaku kriminal.

4. Menghindari masalah psikologis manusia dari pemenuhan skenario, sebuah faktor

yang diyakini sebagian berkontribusi pada jatuhnya sebuah pesawat Iran oleh

USS Vincennes pada tahun 1988. Fenomena ini menyebabkan distorsi atau

pengabaian informasi yang kontradiktif dalam situasi stress, di mana manusia

menggunakan infromasi baru yang masuk dengan cara yang hanya sesuai dengan

pola kepercayaan yang sudah ada sebelumnya, suatu bentuk penutupan kognitif

dini. Robot tidak perlu rentan terhadap pola perilaku seperti itu.

5. Mereka dapat mengintegrasikan lebih banyak informasi dari banyak sumber jauh
yang lebih cepat sebelum merespon dengan kekuatan mematikan daripada yang

mungkin bisa dilakukan manusia secara real-time. Data ini dapat muncul dari

berbagai sensor jarak jauh dan sumber intelijen (termasuk manusia), sebagai

bagian dari konsep peperangan yang berpusat pada jaringan Angkatan Darat dan

pengembangan bersamaan dari Jaringan Informasi Global. Sistem militer

(termasuk senjata) sekarang di cakrawala akan terlalu cepat, kecil, banyak, dan

akan menciptakan lingkungan yang terlalu kompleks untuk diarahkan manusia.

6. Saat bekerja dalam tim gabungan tentara manusia dan sistem otonom sebagai

asset organik, mereka memiliki kemampuan potensial secara mandiri dan objektik

untuk memantau perilaku etis di medan perang, lalu melaporkan pelanggaran

yang mungkin diamati. Kehadiran ini mungkin dapat mengurangi pelanggaran

etika manusia.

Selain pertimbangan di atas, sistem robotik otonom menawarkan banyak manfaat

operasional lainnya bagi militer yaitu: penyelesaian misi yang lebih cepat, murah dan

lebih bak; jarak yang lebih jauh, ketekunan yang lebih besar, daya tahan lebih lama,

presisi lebih tinggi; keterlibatan target yang lebih cepat; dan kekebalan terhadap

senjata kimia dan biologi lainnya. Semua ini dapat meningkatkan efektivitas misi dan

berfungsi sebagai pendorong penerapan sistem ini secara berkelanjutan.23

Berdasarkan sudut pandang militer, langkah menuju tentara mekanis amatlah

logis karena robot tidak kenal lelah, mereka dapat melakukan manuver yang lebih

berisiko daripada pilot manusia, yang selalu menghadapi ancaman tertembak jatuh. 24

Ibid. Hal 2-3.


23

Robot Tempur Siap Menggantikan Tentara, https://www.dw.com/id/robot-tempur-siap


24

menggantikan-tentara/a-16828962 diakses pada tanggal 8 November 2020 Pukul 17.26. Loc.cit.


Menurut laporan terbaru dari PBB, mereka memperingatkan adanya suatu ancaman

nyata jika teroris menggunakan killer robots atau robot pembunuh. Terkait dengan

laporan yang didasarkan dari hasil pertemuan yang membahas mengenai senjata itu

mengatakan bahwa Lethal Autonomous Weapons Systems (LAWS) atau senjata

otonom pada masa depan yang dapat melakukan serangan. Sistem robot pembunuh

mungkin telah tersedia dengan teknologi maju pada tahap awal, namun ada

kemungkinan bahwa mereka akan berkembang.25

Para ahli dari beberapa negara berkumpul di Jenewa melakukan pertemuan untuk

mempertimbangkan dampak LAWS robot yang dirancang untuk memilih dan

menyerang target militer, baik orang maupun bangunan, tanpa adanya intervensi

manusia. Tujuan pertemuan tersebut adalah memulai proses pengaturan ketat dalam

mengatur penggunaan robot pembunuh. Hal itu untuk memastikan robot tak

digunakan sebagai senjata dalam perang.26

Menurut Bonnie Docherty peneliti senior Human Rights Watch, mesin memang

memiliki peran penting sebagai alat perang, namun ditilik dari sejarah, manusia

memiliki kemampuan untuk mengatur bagaimana mesin itu digunakan. Saat ini

terdapat ancaman nyata bahwa manusia akan melepaskan kontrolnya dan

melimpahkan keputusan hidup dan mati kepada mesin.27

Menurut Yunizar Adiputera, M.A ketua tim Campaign to Stop Killer

Robots Insitute of International Studies (IIS) UGM, senjata otonom merupakan suatu

25
Robot Pembunuh Mengancam Masa Depan Manusia, https://www.liputan6.com/global/read
/2544230 /robot-pembunuh-mengancam-masa-depan-manusia diakses pada Hari Senin 12 Oktober
2020 Pukul 19.00 WIB
26
Ibid.
27
Ibid.
perangkat yang berbeda dengan drone, di mana, selain memiliki tingkat

pengendalian, pemilihan sasaran dan akurasi serangan yang berbeda secara

fundamental, drone juga belum tentu digunakan sebagai sarana militer. Senjata

otonom merupakan sistem senjata mandiri yang didesain secara khusus untuk

keperluan militer. Senjata otonom diproyeksikan untuk dapat melahirkan revolusi

peperangan, meminimalisir korban dari pihak militer, serta dapat menyerang sasaran

tanpa tenaga manusia sehingga dapat disebut sebagai revolusi senjata ketiga setelah

penemuan bubuk mesiu dan bom atom. Namun, senjata ini mendapatkan banyak

penolakan dari dunia internasional karena rawan akan kesalahan sistem operasi,

minimnya kapabilitas untuk memilih target, serta tingkat kerusakan yang dapat

ditimbulkan.28

Menurut Sugeng Riyanto dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), sistem senjata otonom merupakan sebuah

keniscayaan, di mana peperangan selalu mendorong perkembangan dan evolusi

persenjataan sebagai alat pertahanan. Sistem senjata otonom merupakan evolusi

peperangan modern, di mana dengan menggunakan senjata berbasis AI yang minim

intervensi manusia, militer berusaha untuk menghilangkan batasan fisik dan psikis

manusia yang rawan faktor human error sehingga melahirkan  peperangan yang lebih

efisien. Namun, Sugeng juga memaparkan bahwa seiring dengan terobosan dan

kemajuan yang dibawanya, sistem senjata otonom membawa beberapa aspek negatif,

seperti sulitnya menentukan subjek hukum ketika ada korban di kalangan sipil,

Killer Robots Evolusi Peperangan Atau Ancaman Kemanusiaan, https://iis.fisipol.ugm.ac.id/


28

2019/11/29/killer-robots-evolusi-peperangan-atau-ancaman-kemanusiaan/ diakses pada hari Senin 12


Oktober 2020 Pukul 19.10 WIB
hilangnya sifat kesatriaan sebagai salah satu elemen humaniter, serta lenyapnya

norma karena penghilangan nyawa oleh senjata yang tidak dikontrol langsung oleh

manusia. Oleh karena itu, Sugeng menyimpulkan bahwa kelebihan yang dimiliki

sistem senjata otonom membuat penggunaan senjata ini oleh militer sulit untuk

dihindari sehingga diperlukan sebuah aturan yang legally binding dan dapat mengatur

penggunaan senjata tersebut.29

Menurut Dr. Muhammad Rifqi Muna, MDefstud peneliti Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI), teknologi militer memang mendorong perkembangan

teknologi sipil, di mana perkembangan teknologi pada 15 hingga 20 tahun terakhir

jauh melampaui apa yang dicapai dalam lingkup 300 tahun sebelumnya. 

Perkembangan teknologi yang pesat ini tentunya merupakan sebuah kemajuan yang

positif, namun juga memiliki dampak-dampak negatif yang menyertainya. Dampak

negatif ini dapat dilihat dari beberapa kasus, contohnya Stanislav Petrov yang

berhasil mencegah Perang Nuklir pada tahun 26 September 1983 karena malfungsi

sistem peringatan nuklir Uni Soviet, pada kasus ini, penilaian manusialah yang dapat

menentukan dan mencegah korban di kalangan sipil, sementara AI tidak memiliki

aspek tersebut. Penggunaan AI pada sistem senjata otonom memaksa manusia

terjebak dalam skema out of the loop, di mana manusia tidak dapat campur tangan

dalam pengambilan keputusan oleh AI. Hal ini menjadi problematik karena

seharusnya skema yang digunakan adalah human in the loop (manusia sebagai

pengambil keputusan) atau human on the loop (manusia bisa melakukan intervensi

pada proses pengambilan keputusan yang otonom). Hal ini membuat martabat

29
Ibid.
manusia dipertaruhkan ketika proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan

nyawa manusia diputuskan oleh AI.30

Direktur advokasi Human Rights Watch (HRW) Mary Wareham percaya

penggunaan senjata otonom muncul sebagai salah satu ancaman paling mendesak

bagi kemanusiaan di dunia saat ini, ia menegaskan negara-negara terkemuka karena

gagal mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah tersebut. Sementara itu,

para pakar pun telah mengeluarkan peringatan bahwa robot pembunuh berpotensi

menyingkirkan populasi manusia dengan serangan yang tidak bertanggung jawab.31

Menjabarkan risiko kecerdasan buatan (AI) di medan perang, direktur advokasi

divisi senjata HRW menulis dalam surat terbuka yang diterbitkan oleh HRW, dikutip

dari Sputnik:

“(Negara dengan) kekuatan militer besar berlomba untuk menciptakan senjata


yang bisa memilih dan menembak sasaran tanpa kontrol manusia terlebih
dahulu. Ini meningkatkan momok tentang sistem senjata, tidak bertanggung
jawab, tidak terkendali, yaitu robot pembunuh. Ini juga mendorong
kekhawatiran proliferasi yang meluas dan ketidakstabilan global dan
regional.”32

2. Tinjauan Umum tentang Autonomous Weapon System (AWS)

a. Pengertian Autonomous Weapon System

Autonomous Weapons System menurut International Committee of the Red Cross

(ICRC) adalah “Any weapon system with autonomy in its critical functions—that is, a

weapon system that can select (search for, detect, identify, track or select) and attack

(use force against, neutralize, damage or destroy) targets without human


30
Ibid
31
Eropa Gencar Produksi Robot Pembunuh, https://www.liputan6.com/global/read/4119868/eropa-
gencar-produksi-robot-pembunuh-kemanusiaan-terancam diakses pada hari Senin 12 Oktober 2020
Pukul 19.15 WIB
32
Ibid.
intervention.”33

Berdasarkan definisi tersebut, AWS merupakan sistem senjata yang memiliki

sifat otonom dalam fungsi kritikalnya, sehingga dapat memilih dan menyerang satu

atau lebih target tanpa intevensi manusia lebih lanjut. Dalam definisi yang lebih

sempit, AWS merupakan sistem senjata dengan kecerdasan buatan (artificial

intelligence) yang diprogram untuk secara independen menentukan tindakannya atau

mengambil keputusan penyerangan sendiri tanpa memerlukan pengawasan atau

keterlibatan manusia secara langsung.34

Kementerian Pertahanan Britania Raya mendefinisikan Autonomous Weapon

System sebagai:35

“A capable of understanding higher level intent and direction. From this


understanding and its perception of its environment, such a system is able to take
appropriate action to bring about a desired state. It is capable of deciding a
course of action, from a number of alternatives, without depending on human
oversight and control, although these may still be present. Although the overall
activity of an autonomous unmanned aircraft will be predictable, individual
actions may not be.”

Terjemahan tidak resmi dari definisi diatas ialah Autonomous Weapon System yang

mampu memahami maksud dan arah pada tingkat yang lebih tinggi. Berdasarkan

pemahaman dan persepsi dari lingkungannya, sistem seperti ini mampu mengambil

tindakan yang tepat untuk mencapai keadaan yang diinginkan. Sistem senjata ini

mampu memutuskan suatu tindakan, dari sejumlah alternatif, tanpa tergantung pada

33
Merujuk kepada Footnote No 7 Views of the International Committee of the Red Cross (ICRC) on
autonomous weapon system – Convention on Certain Conventional Weapons (CCW), Meeting of
Experts on Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS)
34
ICRC, 2014, Autonomous Weapon Systems: Technical, Military, Legal and Humanitarian Aspects
(Expert Meeting), Hal.13.
35
Rebecca Crootof, Op.cit. Hal.1853.
pengawasan dan kontrol manusia.36

Terlepas dari definisi apa yang lebih tepat, dilihat dari definisi yang diberikan

diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Autonomous Weapon System intinya ialah

sistem senjata yang secara independen dapat memilih, menentukan, dan menyerang

target serta mempunyai kemampuan untuk menilai sendiri suatu situasi. 37 Senjata ini

tidak diatur dan ditentukan sebelumnya spesifik target dan parameter untuk dapat

bertindak, melainkan menilai sendiri suatu keadaan dan memutuskan secara

independen apakah akan bertindak atau tidak. Senjata ini digunakan dalam situasi

atau keadaan yang dinamis dan terstruktur, khususnya seperti dalam peperangan atau

konflik bersenjata yang bisa chaotic.38 Autonomous Weapon System memilih dan

menyerang targetnya dalam situasi peperangan atau konflik bersenjata secara

independen tanpa intervensi manusia sedikitpun. Senjata ini dilengkapi dengan suatu

kecerdasan buatan dan dapat dengan sendirinya menilai suatu kondisi, dan

menentukan sendiri target dan metode yang tepat untuk menyerang.39

b. Sistem Autonomous Weapon menurut Para Ahli

Noel Sharkey mengatakan “they (vision systems) can just about tell the

difference between a human and a car, but they cannot tell the difference between a

dog standing on its legs or a statue and a human.”40 Autonomous Weapon System

tidak dapat diprogram dalam sedemikian rupa sehingga mereka dapat membuat
36
Pekerti, Adriawan Anugrah, 2017, Urgensi Pengaturan Autonomous Weapon System dalam Hukum
Humaniter, Skripsi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Hal.23-24.
37
Ibid, hal 24.
38
Roni A. Elias, 2016, Facing The Brave New World of Killer Robots: Adapting The Development of
Autonomous Weapon System Into The Framework of The International Law of War, 21 Trinity L. Rev.
70, Spring, Hal. 72.
39
Pekerti, Adriawan Anugrah, Op.cit. Hal.27
40
Merel Ekelhof dan Miriam Struyk, Op.cit. Hal.12-13.
keputusan yang tepat tentang siapa pejuang dan siapa warga sipil. Saat ini, cara

kecerdasan mekanis mereka tidak memungkinkan untuk menerapkan aturan

perbedaan.41

Paul Scharre dan Michael C.Horrowitz dalam The Center for a New American

Security, percaya akan lebih bermanfaat untuk berpikir tentang otonomi tidak dalam

satu skala, tetapi lebih pada beberapa skala independen. 42 Saran mereka adalah bahwa

skala untuk otonomi harus setidaknya berfokus pada hubungan manusia dengan

mesin, kompleksitas mesin, dan jenis proses menjadi otomatis. Mereka berpendapat

bahwa menentukan peran dan tingkat keterlibatan manusia dalam otomatisasi mesin,

mengenali betapa sederhana atau kompleksnya mesin yang diotomatiskan, dan

mengidentifikasi jenis proses atau proses yang sedang diotomatiskan, memungkinkan

pemisahan banyak argumen di atas kategorisasi selimut.43

The International Committee of the Red Cross (ICRC) menyatakan bahwa

pengembangan sistem senjata yang benar-benar otonom yang dapat menerapkan IHL

merupakan tantangan pemrograman monumental yang mungkin terbukti mustahil. 44

ICRC mencatat bahwa sebagian besar literatur tentang otonomi dalam sistem

persenjataan cenderung membedakan tiga tingkatan umum yaitu: “remote controlled

(or tele-operated), automated, and autonomous.”45

Dalam perkembangannya, terdapat beberapa bentuk senjata yang dilengkapi


41
Ibid. Hal.13.
42
Paul Scharre and Michael C. Horrowitz, 2015, An Introduction to Autonomy in Weapon Systems,
Center for a New American Security, Hal.5-7.
43
Ibid.
44
International Committee of the Red Cross, 2011, International Humanitarian Law and the
challenges of contemporary armed conflicts, Hal.40.
45
International Committee of the Red Cross, 2014, Autonomous Weapon Systems: Technical, Military,
Legal and Humanitarian Aspects, Hal.62.
dengan sistem otonom, yang kemudian senjata tersebut akan dikategorikan

berdasarkan tingkat otonomi dan tingkat pengawasan manusia, yang sebagai berikut:

1) Sistem Senjata Otomatis (Automated Weapon Systems).

Sistem senjata otomatis merupakan sistem senjata yang dilengkapi dengan sistem

otonom dengan tingkat yang sangat rendah, karena senjata dengan sistem tersebut

hanya mengikuti instruksi yang telah diprogram sebelumnya, tanpa menggunakan

informasi yang dikumpulkan untuk secara independen menarik kesimpulan untuk

merespon atau bereaksi.46

2) Senjata Semi-Otonom (Semi-Autonomous Weapon Systems).

Senjata semi otonom merupakan sistem senjata yang akan secara otomatis

menarget objek militer yang potensial dan memberi sinyal kepada operator manusia,

yang selanjutnya operator tersebut akan memutuskan apakah serangan akan

diluncurkan terhadap target atau tidak.47

3) Senjata Otonom Penuh (Fully-Autonomous Weapon Systems).

Fully Autonomous Weapons System atau Human out-the-loop system merupakan

senjata independen untuk menentukan dan menyerang sasarannya tanpa intervensi

manusia dalam penggunaannya.48 Senjata ini dapat diaktifkan untuk menilai konteks

situasional di medan perang dan memutuskan serangan yang diperlukan sesuai

46
Umesh Chandra Jha, 2016, Killer Robots: Lethal Autonomous Weapon Systems Legal, Ethical, and
Moral Challenges Vij Books India Pvt Ltd dalam Aulia Putri Yunanda, 2019, Autonomous Weapon
Systems dan Legalitas Penggunaannya Dalam Hukum Humaniter Internasional, Volume 2 No 2,
Hal.379
47
Adja Hosseini Ghasemi, 2014, Semi-Autonomous Weapon Systems in International Humanitarian
Law - A study of the new decision-making and responsibility issue in International Humanitarian Law
relating to Semi-Autonomous Weapon Systems, Tesis Lund University. Hal.15 dalam Aulia Putri
Yunanda, 2019, Autonomous Weapon Systems dan Legalitas Penggunaannya Dalam Hukum
Humaniter Internasional, Volume 2 No 2, Hal.379
48
Human Rights Watch, Op.cit.Hal 15.
dengan informasi yang diproses. Fully Autonomous Weapons System akan bertindak

atas dasar kecerdasan buatan.49

Human Rights Watch (HRW) dalam artikelnya yang berjudul “Losing Humanity:

The Case Against Killer Robots” membagi sistem robot tak berawak dalam tiga jenis

otonomi:50

a) Human in-the-loop weapons, yaitu senjata robot yang dapat menentukan dan

menyerang sasaran setelah diarahkan oleh manusia. Sistem ini telah digunakan

oleh militer di seluruh dunia selama beberapa dekade, contoh paling dasar adalah

amunisi terpandu. Seorang operator menembakkan amunisi dan secara otomatis

amunisi tersebut memperbaiki kesalahan penembakan dan menyerang target.

b) Human on-the-loop weapons, yaitu senjata yang dapat secara mandiri

menentukan dan menyerang sasaran, namun disaat bersamaan berada dalam

pengawasan manusia yang dapat mengambil alih senjata itu. Sistem ini

menargetkan dan menggunakan proyektil yang masuk tanpa masukan dari

operator, tetapi operator mengetahui operasi sistem dan dapat menonaktifkannya.

Contoh penggunaan sistem ini yaitu pada rudal yang aktif.

c) Human out-the-loop weapons, yaitu senjata yang dapat memilih, menentukan dan

menyerang sasaran tanpa intervensi maupun interaksi oleh manusia. Sistem ini

pada sebagian militer tidak ada pada saat ini, contoh yang memungkinkan yaitu

pada amunisi berkeliaran seperti Harpy Israel.

Autonomous weapon system yang dimaksud HRW diatas ialah Human on-the-loop

49
Fully Autonomous Weapons, https://www.reachingcriticalwill.org/resources/fact-sheets/critical-
issues/7972-fully-autonomous-weapons, diakses pada tanggal 15 November 2020 Pukul 23.48.
50
Human Rights Watch, Loc.cit.
weapons dan Human out-the-loop weapons. Sistem Human in-the-loop weapons tidak

termasuk dalam kategori senjata Autonomous Weapon System atau senjata yang

autonomous karena masih mensyaratkan adanya peran manusia dalam menentukan

dan menyerang sasaran. Human in-the-loop weapons ini bisa disamakan dengan jenis

senjata yang automated.51

Kedua sistem Human on-the-loop weapons dan Human out-theloop weapons

memenuhi kriteria sebagai Autonomous Weapon System atau sistem senjata yang

autonomous karena mampu menentukan dan menyerang sasarannya tanpa intervensi

dan arahan dari manusia, walaupun Human-on-the-loop weapons masih

memungkinkan untuk diambil alih oleh manusia dan sama dengan Human-supervised

Autonomous Weapon System yang dijelaskan oleh Badan Pertahanan Amerika Serikat

sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya.52

c. Keberadaan Autonomous Weapon System dalam Hukum Humaniter Internasional.

Perubahan dalam kehidupan bermasyarakat merupakan sesuatu yang tidak dapat

dihindari. Adanya perubahan didalam masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

ada didalam masyarakat itu sendiri, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor

internal ini termasuk pemikiran manusia, anggota masyarakat yang bersangkutan,

kebutuhan hidup anggota masyarakat, dan cara hidup masyarakat yang bersangkutan.

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kebutuhan hidup masyarakat, misalnya

datangnya teknologi modern, masuknya alat-alat komunikasi dan transportasi didalam

masyarakat. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi perubahan ius constitutum

51
Pekerti, Adriawan Anugrah, Op.cit, Hal.86.
52
Ibid, Hal.86-87.
dan ius constituendum.53

Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa berdasarkan kriteria waktu

berlakunya hukum dibagi menjadi:54

1) Ius Constitutum, yaitu hukum yang berlaku di masa sekarang. Dalam Glossarium

di buku yang sama, Sudikno menambahkan bahwa ius constitutum adalah hukum

yang telah ditetapkan.55

2) Ius Constituendum, yaitu hukum yang dicita-citakan (masa mendatang).

Kemudian dalam Glossarium disebutkan bahwa ius constituendum adalah hukum

yang masih harus ditetapkan; hukum yang akan datang.56

Soerjono Soekonto dan Purnadi Purbacaraka menjelaskan bahwa:57

a) Ius Constitutum merupakan hukum yang dibentuk dan berlaku dalam suatu

masyarakat negara pada suatu saat. Ius Constitutum adalah hukum positif.

b) Ius Constituendum adalah hukum yang dicita-citakan dalam pergaulan hidup

negara, tetapi belum dibentuk menjadi undang-undang atau ketentuan lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, Autonomous Weapon System termasuk kedalam

ius constituendum karena Autonomous Weapon System merupakan teknologi modern

terhadap senjata baru yang akan digunakan pada masa mendatang dan perlu adanya

pengaturan mengenai Autonomous Weapon System tersebut.


53
Anggreiyani Fenny, 2015, Politik Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Penyedotan
Pulsa, Tesis Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Sleman, Hal. 15.
54
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2006), Hal. 25,
dalam Syamsi Achmad Badarus, 2017, Transformasi Hukum Ekonomi Islam Ssebagai Ius
Constituendum Menjadi Ius Constitutum, Jurnal Hukum dan Bisnis Syariah, Vol.4, No.1, Hal.7.
55
Ibid
56
Ibid
57
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1994, Aneka Cara Pembedaan Hukum, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, Hal. 5 dalam Syamsi Achmad Badarus, 2017, Transformasi Hukum Ekonomi
Islam Ssebagai Ius Constituendum Menjadi Ius Constitutum, Jurnal Hukum dan Bisnis Syariah, Vol.4,
No.1, Hal.7.
Pada senjata baru seperti Autonomous Weapon System, pasal 36 protokol

tambahan ke-1 tahun 1977 dari Konvensi Jenewa 1949 mengamanatkan bahwa:

“Dalam studi, pengembangan, akuisisi, atau adopsi terhadap senjata baru, alat
atau cara dalam peperangan, para pihak dalam konvensi ini berkewajiban
untuk menentukan apakah penggunaan akan, dalam beberapa atau semua
keadaan, dilarang oleh protokol ini atau aturan hukum internasional lain yang
berlaku bagi para pihak.”

Hal ini jika dikaitkan dengan Autonomous Weapon System maka mengandung arti

bahwa para pihak dalam konvensi berkewajiban untuk menentukan apakah

pengembangan atau penggunaan senjata baru seperti Autonomous Weapon System

dalam beberapa atau semua keadaan sesuai dengan protokol tambahan ke-1 tahun

1977 dari Konvensi Jenewa 1949 atau aturan hukum internasional lain yang berlaku

bagi para pihak. Bahkan bukan hanya para pihak dalam konvensi itu saja, melainkan

semua negara berkewajiban untuk menaruh perhatiannya terhadap Autonomous

Weapon System karena kaitannya dengan nilai-nilai yang sudah menjadi suatu

customary law serta jus cogen seperti nilai-nilai kemanusiaan dan kejahatan terhadap

perang.58

Pengaturan mengenai suatu senjata atau metode baru dalam perang menjadi

sangat penting karena berkaitan dengan nilai-nilai diatas. Hal ini dilakukan sebagai

sebuah tindakan pencegahan dan tujuan proaktif untuk menegakkan suatu standar

mengenai senjata atau metode baru dalam berperang. 59 Dengan menentukan suatu

standar mengenai suatu senjata atau metode baru, diharapkan hal itu akan sesuai

nantinya dengan aturanaturan yang ada dalam HHI atau aturan-aturan internasional

58
Pekerti, Adriawan Anugrah, Op.cit, Hal.87.
59
Bradan T. Thomas, Autonomous Weapon System: The Anatomy of Autonomy and The Legality of
Lethality, 37 Hous. J. Int'l L. 235, hal 258.
lain yang terkait dan berlaku. Maka dari itu setiap negara, bukan hanya negara peserta

dalam konvensi atau negara pihak dalam konflik, wajib untuk ikut merenungkan dan

memikirkan mengenai suatu senjata atau metode baru agar dapat sesuai dan tidak

melanggar hukum yang berlaku seperti yang disebutkan diatas.60

Setiap sistem senjata otonom dapat digunakan tetapi harus sesuai dengan hukum

humaniter internasional. Tanggung jawab untuk memastikan hal ini terletak pada

setiap negara yang mengembangkan, menyebarkan dan menggunakan senjata.

Sementara subjek utama hukum humaniter internasional adalah pihak-pihak yang

terlibat dalam konflik bersenjata. Aturan dalam perilaku permusuhan, terutama aturan

perbedaan, proporsionalitas, dan kewaspadaan dalam serangan, ditujukan kepada

mereka yang merencanakan, memutuskan, dan melakukan serangan. Aturan hukum

humaniter internasional ini menciptakan kewajiban bagi kombatan dalam penggunaan

senjata untuk melakukan serangan, dan kombatan-lah yang bertanggung jawab untuk

menghormati aturan ini, dan yang akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap

pelanggaran.61

Bagi mereka yang merencanakan, memutuskan dan melakukan serangan dengan

menggunakan autonomous weapon system harus memastikan bahwa sistem senjata

tersebut dalam cara penggunaannya mampu menjaga mereka untuk membuat

keputusan hukum yang diperlukan, dan dapat memastikan kepatuhan terhadap hukum

humaniter internasional. Kewajiban untuk melakukan tinjauan hukum terhadap

senjata baru berdasarkan pasal 36 Protokol Tambahan 1 Konvensi Jenewa, penting

60
Ibid.
61
Neil Davidson, Op.cit, Hal 7.
untuk memastikan bahwa angkatan bersenjata suatu negara mampu melakukan

perang sesuai dengan kewajiban internasional.62

Seperti halnya semua senjata, menilai keabsahan autonomous weapon system

akan bergantung pada karakteristik spesifiknya dan apakah dengan karakteristik

tersebut dapat digunakan dalam semua keadaan sesuai dengan aturan hukum

humaniter internasional. Secara khusus, aturan umum hukum humaniter internasional

yang berlaku untuk semua senjata, sarana dan metode perang harus

mempertimbangkan perjanjian dan larangan dan pembatasan pada senjata tertentu. Ini

termasuk aturan yang ditujukan untuk melindungi warga sipil dari efek senjata dan

kombatan yang tidak pandang bulu dari cedera dan penderitaan yang tidak perlu.63

d. Autonomous Weapon System dan Kaitannya Dengan Killer Robot

3. Tinjauan Umum tentang Hukum Humaniter Internasional

a. Pengertian Hukum Humaniter Internasional

Hukum humaniter internasional (International Humanitarian Law), IHL), yang

juga dikenal dengan hukum perang (the law of war) dan hukum konflik bersenjata

(The Law of Armed Conflict, LOAC), adalah bagian dari hukum publik internasional

yang mengatur konflik-konflik bersenjata, baik yang bersifat internasional maupun

non internasional.

Menurut KPHG. Haryomataram yang dimaksud dengan hukum humaniter adalah

seperangkat aturan yang didasarkan atas perjanjian internasional dan kebiasaan

62
Ibid, hal 8.
63
Ibid, hal 9-10.
internasional yang membatasi kekuasaan pihak yang berperang dalam menggunakan

cara dan alat berperang untuk mengalahkan musuh dan mengatur perlindungan

korban perang.64

Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian:

1) Jus ad Bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal

bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;

2) Jus in Bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi :

a) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (the conduct of war). Bagian ini

biasanya disebut The Hague Laws.

b) Hukum yang mengatur perlindungan orang - orang yang menjadi korban perang.

Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.65

Hukum Humaniter Internasional merupakan salah satu cabang (branch) dari

hukum internasional (international law). Dengan demikian Hukum Humaniter

merupakan bagian dari hukum internasional. Oleh karena itu, karakteristik Hukum

Humaniter tidak berbeda dengan hukum internasional, misalnya yang berkaitan

dengan sumber-sumber hukumnya yang juga mengacu kepada Pasal 38 ayat (1)

Statuta Mahkamah Internasional (The Statuta of International Court of Justice/ICJ),

yaitu meliputi: perjanjian internasional (treaty), hukum kebiasaan internasional

(customary international law), prinsipprinsip umum hukum (general principlesof

law), yurisprudensi (judicial decisions) dann doktrin (doctrine) atau pendapat para

ahli yang telah diakui kepakarannya atau reputasinya (teaching of the most highly

64
Andrey Sujatmoko, 2016, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, PT RajaGrafindo, Jakarta, Cetakan
ke-2, hal.171.
65
Haryomataram, 1994, Hukum Humaniter, CV. Rajawali Press, Jakarta, hal.2-3.
qualified piblicistsi).66

b. Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional telah mengalami perkembangan yang sangat

panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-

upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat

usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman

perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihak-pihak yang terlibat dalam

perang. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang terdapat dalam pengaturan

tentang tingkah laku, moral dan agama.

Terdapat 3 (tiga) tahapan dalam perkembangan hukum humaniter, yaitu:

1) Zaman Kuno

Pada masa ini, perang memberikan dampak negatif bagi para pihak yang

berperang serta orang-orang yang berada di daerah peperangan. Karena di masa ini,

seluruh pemimpin militer memberi perintah kepada para pasukan untuk menyelamat

musuh yang tertangkap, memperlakukan setiap mereka dengan baik, dan

menyelamatkan penduduk sipil dari pihak musuh.67

Jean Pictet mengemukakan upaya-upaya yang terus berkembang pada masa ini,

diantaranya:

a. Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang telah menjadi suatu lembaga yang

terorganisir. Hal ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, arbitrasi,

kekebalan utusan musuh serta perjanjian perdamaian.

66
Andrey Sujatmoko, Op.Cit. Hal.169.
67
Frits Kalshoven, Constraint on the Waging of War, ICRC, 1991, hlm 7
b. Dalam kebudayaan Mesir Kuno, tergambar adanya perintah untuk

memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh.

Juga perintah untuk merawat setiap orang yang sakit dan menguburkan yang

mati.

c. Dalam kebudayaan bangsa Hittie, perang dilakukan dengan sangat manusiawi

karena hukum yang mereka miliki didasarkan keadilan serta integritas. Para

penduduk yang menyerah tidak akan diganggu serta apabila terdapat

penduduk yang melakukan perlawanan akan ditindak tegas.

d. Dalam kebudayaan India, para satria dilarang keras untuk membunuh musuh

yang cacat atau yang menyerah. Apabila ada yang luka, maka mereka harus

dipulangkan ke tempat tinggal mereka setelah sebelumnya diobati.

Pemakaian senjata yang dapat menusuk hati ataupun senjata yang beracun

dan panah api sangat dilarang.

2) Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari

agama Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya

memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” atau just war.68

Sedangkan dalam ajaran agama islam, hukum humaniter mendapat pengaruh berupa

pandangan bahwa perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan

kemungkaran. Ajaran Islam tentang tentang perang dapat dilihat dalam Al Qur’an

surah al Baqarah: 190, 191, al Anfal: 39, at Taubah: 5, al Haj: 39. 69 Prinsip ksatria

68
Ibid hal. 15.
69
Masjur Effendi,, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional,
IKIP Malang, Malang, 1995, hal. 16.
juga turut memberi pengaruhnya kepada hukum humaniter. Bentuk pengaruh yang

diberikan oleh prinsip ini ialah mengajarkan pentingnya pengumuman perang serta

larangan penggunaan senjata tertentu.

3) Zaman Modern

Secara umum, diketahui bahwa Hukum Humaniter Internasional modern, sebagai

bagian atau cabang dari hukum internasional publik, mulai diformulasikan pada tahun

1864 dalam Konvensi Jenewa Tentang Perawatan Terhadap Orang-Orang Angkatan

Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Medan Perang (selanjutnya disebut Konvensi

Jenewa 1864).70

Zaman modern ditandai dengan praktek-praktek dari berbagai negara yang

kemudian berubah menjadi suatu hukum serta kebiasaan dalam berperang. Keadaan

ini terjadi di abad ke 18 setelah berakhirnya perang Napoleon sampai kepada

pecahnya Perang Dunia I. Yang menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah

lahirnya serta perkembangan hukum humaniter ialah berdirinya suatu organisasi

kemanusiaan, yaitu Palang Merah yang di promotori oleh Henry Dunant. Selain

berdirinya organisasi ini, penandatanganan Konvensi Jenewa 1864 juga menjadi

tonggak penting terhadap perkembangan hukum humaniter. Konvensi Jenewa 1864

merupakan Konvensi mengenai Perbaikan Keadaan Tentara yang Luka di Medan

Perang Darat. Tahun 1864 menjadi titik lahir untuk mengawali Konvensikonvensi

Jenewa yang berikutnya, yang berhubungan tentang Perlindungan terhadap Korban

Perang.71

70
Ambarwati, dkk, Op.cit, hal. 30.
71
Arlina Permanasari, dkk., Op.cit, hal. 16.
c. Prinsip-Prinsip Penggunaan dalam Hukum Humaniter Internasional

Pada prinsipnya Hukum Humaniter Internasional hanya berlaku selama konflik

bersenjata. Aturan Hukum Humaniter Internasional secara garis besar mengatur

perilaku permusuhan selama konflik bersenjata agar dapat meminimalisir penderitaan

manusia. Prinsip umum lainnya adalah bahwa Hukum Humaniter Internasional pada

dasarnya “tidak melarang semua jenis kekerasan” dan tidak melarang perang itu

sendiri.72

Prinsip – prinsip umum (general principles) tersebut dijabarkan dalam prinsip-

prinsip dasar (basic principles) Hukum Humaniter Internasional,73 yaitu sebagai

berikut:

1) Prinsip pembedaan

Prinsip pembedaan adalah prinsip yang menetapkan bahwa selalu harus

dibedakan antara penduduk sipil dengan peserta tempur, antara objek sipil dengan

objek militer, sehingga serangan hendaknya hanya diarahkan ke sasaran militer. 74

Dengan kata lain, dengan adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa

yang boleh turut serta dalam permusuhan sehingga dijadikan objek kekerasan, dan

siapa yang harus dilindungi karena tidak turut serta dalam permusuhan. 75 Prinsip ini

mewajibkan setiap Negara harus dapat membedakan antara kombatan dengan

penduduk sipil, hanya kombatan yang berperang dapat dijadikan target dalam

72
Dr. Umar Suryadi Bakry, 2019, Hukum Humaniter Internasional Sebuah Pengantar, Prenadamedia
Group, Jakarta, hal. 12.
73
Ibid.
74
Insarullah, 2010, Pemahaman Dasar Hukum Humaniter Internasional, Edukasi Mitra Grafika, Palu,
hal. 14.
75
Haryomataram, 2002, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hal. 3.
peperangan.

Pasal 48 dan 52 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 menetapkan:

kombatan dan objek militer adalah yang secara sah dapat diserang. Setiap serangan

langsung terhadap penduduk sipil dan/atau objek warga sipil dikategorikan sebagai

kejahatan perang (war crimes). Setiap senjata yang tidak mampu membedakan antara

warga sipil/objek sipil dan pejuang/objek militer juga dilarang di bawah hukum

humaniter internasional.76

Menurut Jean Pictet prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang

dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan bahwa penduduk

sipil dan orang-orang sipil harus mendapatkan perlindungan umum bahaya yang

ditimbulkan akibat operasi militer. Asas Umum ini selanjutnya dijabarkan lebih lanjut

ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principles of application), yakni:

a) Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara kombatan

dan penduduk sipil guna menyelematkan penduduk sipil dan objek – objek sipil;

b) Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan tidak boleh dijadikan

objek serangan (walaupun) dalam hal reprisals (pembalasan);

c) Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan

terror terhadap penduduk sipil adalah dilarang;

d) Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang

memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidak-tidaknya untuk

menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin;

76
ICRC, Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, (Geneva: ICRC, 2010),
hal. 36-38.
e) Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan

musuh.77

Untuk dapat membedakan penduduk sipil dan peserta tempur terdapat beberapa

kriteria sebagai berikut, bahwa peserta tempur.78

(1) Membawa senjata secara terbuka;

(2) Memakai seragam dan tanda khusus yang dapat dikenali dari jarak tertentu;

(3) Mempunyai seorang komandan yang bertanggung jawab terhadap bawahannya,

dan

(4) Mematuhi ketentuan-ketentuan hukum humaniter internasional (hukum dan

kebiasaan perang).

Tujuan prinsip pembedaan dalam konflik bersenjata internasional adalah semua

orang yang bukan anggota angkatan bersenjata dari pihak peserta konflik dan bukan

peserta levee en masse adalah orang sipil. Sedangkan untuk kategori konflik

bersenjata non-internasional, semua orang yang bukan anggota angkatan bersenjata

negara dan bukan anggota kelompok bersenjata terorganisasi dari pihak peserta

konflik adalah penduduk sipil.79

2) Prinsip larangan terhadap hors de combat

Hors de combat adalah kombatan yang tidak lagi terlibat dalam pertempuran

karena sakit, terluka, terdampar, dan menjadi tawanan perang. Dalam pasal 41

Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 bahwa seseorang yang diakui, atau

dalam keadaan harus diakui, sebagai hors de combat, dilarang menjadi objek
77
Arlina Permanasari, dkk., Op.cit, hal. 74.
78
Insarullah, Op.Cit., hal. 15.
79
Denny Ramdhany, dkk., 2015, Konteks dan Perspektif Politik Terkait Hukum Humaniter
Internasional Kontemporer, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 265.
serangan.80

3) Prinsip larangan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu (prohibition on the

infliction of unnecessary suffering).

Pada dsasarnya Hukum Humaniter Internasional tidak melarang perang atau

konflik bersenjata, dan setiap perang pasti menggunakan kekerasan (the use of

violence).81 Meskipun dalam perang, penggunaan kekerasan diizinkan, tetapi

penggunaan kekerasan dilarang menimbulkan penderitaan yang tidak perlu dan

cedera yang berlebihan.

4) Prinsip proporsionalitas (the principle of proportionality).

Prinsip proporsionalitas (the principle of proportionality), yaitu: “prinsip yang

diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan

mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda berperang yang digunakan tidak

boleh tidak proporsional (harus proporsional) dengan keuntungan militer yang

diharapkan.”82

Prinsip Proporsional bertujuan melindungi warga sipil dari potensi yang

membahayakan dengan cara menuntut bahwa sedikit mungkin jumlah kerugian yang

ditimbulkan untuk warga sipil, dan ketika membahayakan warga sipil terjadi harus

sebanding dengan keuntungan militer. Misalnya, serangan langsung terhadap warga

sipil dilarang dan karenanya penilaian proporsionalitas bukan sebuah penilaian

hukum yang relevan, bahkan setiap serangan langsung terhadap seorang warga sipil

yang tidak mengambil bagian dalam permusuhan, jelas melanggar Hukum Humaniter
80
Dr. Umar Suryadi Bakry, Op.Cit., hal 13.
81
Ibid.
82
Pietro Verri, 1992, Dictionary of International Law of Armed Conflict, International Committee of
the Red Cross, Geneva, hlm. 90.
Internasional.

Pelaksanaan prinsip proporsionalitas ini juga ditujukan untuk melindungi

lingkungan. Artinya setiap serangan yang dilakukan dalam konflik bersenjata harus

mempertimbangkan keselamatan lingkungan.83

5) Prinsip Kemanusiaan (the principle of humanity)

Prinsip kemanusiaan menetapkan bahwa semua manusia memiliki kapasitas dan

kemampuan untuk menunjukkan rasa hormat dan kepedulian untuk semua, temasuk

musuh sekalipun. 84Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang bersengketa diharuskan

untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk

menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan (superfluous

injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering principle).

83
Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Bec, 2007, Customary International Humanitarian Law
Volume I, Cambridge: Cambridge University Press, hal. 48.
84
Dr. Umar Suryadi Bakry, Op.Cit., hal 14.

Anda mungkin juga menyukai