Anda di halaman 1dari 98

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PADA KLIEN DENGAN CARSINOMA NASOFARING
DI RUANG BEDAH TERATAI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

DISUSUN OLEH:
BELLA DAMA SHINTA
NIM. P27820820008

KEMENTERIAN KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS SURABAYA
2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
CA NASOFARING

A. Konsep Teori CA Nasofaring


1.1 Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring
(Arima, 2006 dan Nasional Cancer Institute, 2009).
Kanker nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel nasofaring di
ringga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut yang
tumbuh dari jaringan epitel yang meliputi jaringa limfoit denga predileksi
di fosa rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional
dimana epitel kuboid berubah menjadi skuamusa dan atap nasofaring
(Brunner & Suddarth.2002)
Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari
epitel mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring.
Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT.
Sebagian besar klien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium
lanjut.Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di
daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap
nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala
dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001)
1.2 Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan
timbulnya KNF adalah:
1. Kerentanan Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk
tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada
kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi
familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte
antigen) dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring,
mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma nasofaring (Pandi, 1983
dan Nasir, 2009) .
2. Infeksi Virus Eipstein-Barr Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan
langsung antara karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody virus
Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan
karsinoma nasofaring primer maupun sekunder telah dibuktikan
mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan
seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA
(VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat
pada pasien di Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-
bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma nasofaring tidak
berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi
(nonkeratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya
tidak Universitas Sumatera Utara berhubung dengan tumor sel skuamosa
atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasir, 2009 dan Nasional
Cancer Institute, 2009).
3. Faktor Lingkungan Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut
berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan
Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin,
Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat (Roezin,
Anida, 2007 dan Nasir, 2009).

1.3 Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi
tipe 1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran
histologinya karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi
sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih ke arah diferensiasi baik,
tipe 3 karsinoma tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas
membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak
dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa
diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer antibodi
terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa
dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan
hubungan dengan virus Epstein-Barr (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir,
2009).
1.4 Stadium
1. T = Tumor
Tumor Primer (T)
a. TX - tumor primer tidak dapat dinilai
b. T0 - Tidak ada bukti tumor primer
c. Tis - Karsinoma in situ
d. T1 - Tumor terbatas pada nasofaring yang
e. T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan / atau hidung
fosa
f. T2a - Tanpa ekstensi parafaring
g. T2b - Dengan perpanjangan parafaring
h. T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal
i. T4 - Tumor dengan ekstensi intrakranial dan atau keterlibatan SSP,
fosa infratemporal, hypopharynx, atau orbit (Roezin,Anida, 2007
dan National Cancer Institute,2009)
2. N = Nodule
a. N – Pembesaran kelenjar getah bening regional (KGB).
b. N0 - Tidak ada pembesaran.
c. N1 - Terdapat metastesis unilateral KGB dengan ukuran kurang dari
6cm merupakan ukuran terbesar diatas fossa supraklavikular
d. N2 - Terdapat metastesis bilateral KGB dengan ukuran kurang dari
6cm merupakan ukuran terbesar diatas fossa supraklavikular
e. N3 - Terdapat metastesis
f. N3.a- KGB dengan ukuran kurang dari 6cm
g. N3.b- KGB diatas fossa supraklavikular (Roezin, Anida, 2007 dan
National Cancer Institute, 2009).
3. M = Metastasis
a. Mx = Adanya Metastesis jauh yang tidak ditentukan.
b. M0 Tidak ada metastasis jauh
c. M1 Terdapat metastasis jauh (Roezin, Anida, 2007 dan National
Cancer Institute, 2009).
4. Stadium
a. Stadium 0 – Tis, n0, M0
b. Stadium I - T1, n0, M0
c. Stadium IIA - T2a, n0, M0
d. Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0),(T2a, N1, M0 ),( T2b,
N0, M0)
e. Stadium III - ( T1, N2, M0 ),(T2a, N2, M0),( T2b, N2, M0),( T3,
N0, M0),( T3, N1, M0),( T3, N2, M0)
f. Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0),( T4, N2, M0)
g. Stadium IVB - Setiap T, N3, M0
h. Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1(Roezin, Anida, 2007 dan
National Cancer Institute, 2009).
1.5 Manifestasi kllinis
1. Gejala Klinis
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting
(Roezin,Anida, 2007). Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan
Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung
kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai
pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang
terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah
akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak,
sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat
gangguan pendengaran ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer
Institute, 2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya
rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan
hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang,
jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga
berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi
akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi
koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan
gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan
hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena
juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan
lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang
menderita radang ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute,
2009
2. Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher,
3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini
merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama
sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini
tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar
dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot
dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut
lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter (Nutrisno , Achadi, 1988 dan
Nurlita, 2009 ).
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke
arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat
mengenai saraf otak dan menyebabkan ialah penglihatan ganda
(diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul
kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan
penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat
penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat
kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan
hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada
beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima,
2006 dan Nurlita, 2009). Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker
dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis
jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi,
menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Pandi, 1983
dan Arima, 2006).
1.6 Patofisiologi
Kanker nasofaring dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satu dari
penyebab dari kanker nasofaring ini adalah adanya virus eipstein yang dapat
menyebabkan ca nasofering. Sel yang terinfeksi noleh sel EBV akan dapat
menghasilkan sel-sel tertentu yang berfungsi untuk mengadakan proliferasi
dan mempertahankan kelangsungan virus dalam sel host. Protein tersebut
dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1, dan LPM-1,
LPM-2A dan LPM-2B. EBV dapat mengaktifkan dan memmapakan zat
kasinogenik yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang
tidak terkontrol sehingga tejadilah defeensiasi dan polifeasi potein laten,
sehingga memicu petumbuhan sel kanker pada nasofaring terutama pada
fossa rossenmuller. Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh
rangsangan dan sentuhan dapat terjadi perdarahan hidung yang ditunjukan
dengan keluarnya darah secara berulang-ulang dengan jumlah yang sedikit
dan kadang-kadang bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
kemerahan. Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan
tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana.gejala menyerupai pilek
kronis,kadang-kadang disertai dengan ganggguan penciuman dan ingus
kental. Sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot dibawahnya. Kelenjar yang terus melekat pada otot dan sulit
untuk digerakan.
Nasofaring berhubungan dengan rongga terngkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan syaraf dapat juga terganggu. Jika tumor
menjalar melalui foramen laserum akan memgenai syaraf otak ke III,IV,VI
dan dapat mengenai syaraf tak ke V, sehingga dapat terjadi penglihatan
ganda (diplopia). Proses karsinoma lebih lanjut akan mengenai syaraf otak
IX,X,XI jika menjalar melalui foramen jugular dan menyebabkan syndrome
Jackson.bila sudah mengenai seluruh syaraf otak disebut sindrom unilateral
dapat juga disertai dengan destruksi tulang tengkorak. Sel-sel kanker dapat
ikut bersama aliran darah dan mengenai bagian organ tubuh yang jauh dari
nasofaring. Organ yang paling sering terkena adalah tulang, hati dan paru.
1.7 Pemeriksaan penunjang
a. Nasofaringoskopi
b. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan
dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
c. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui
keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan
ditemukan.
d. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui
infeksi virus E-B.
e. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
(Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 148 - 149).
1.8 Penatalaksanaan
1. Radioterapi :
• Merupakan penatalaksanaan pertama untuk KNF.
• Radiasi diberikan kepada seluruh stadium (I,II,III,IV lokal) tanpa
metastasis jauh dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher dan
supraklavikula.
• Macam pemberian radioterapi : radiasi eksterna , radiasi interna dan
radiasi intravena
2. Kemoterapi
Diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh
Macam kemoterapi : kemoterapi neodejuvan,kemoterapi
adjuvan,kemotrapi konkomitan
3. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus epistein bar, maka pada penderita KNF dapat diberikan
imunoterapi
4. Operasi / pembedahan
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi.
- Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan
serologi.
- Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan
pada kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak
berhasil diterapi dengan cara lain.
1.9 Komplikasi
a. Hipotiroidsme
b. Hilangnya jangkauan gerak
c. Hipoplasia struktur otak dan tulang
d. Kehilangn pendengaran sensorineural (nasir, 2009).
1.10 Pencegahan
a. Pemberian vaksin
b. Mengurangi konsumsi ikan asin
c. Makan makanan yang bernutrisi
d. Mengurangi serta mengontrol stress
e. Berolahraga secara teratur
f. Health education mengenai lingkungan yang sehat
g. Membiasakan hidup secara sehat (tirtamijaya, 2009)
WOC CA NASOFARING

Sumber: (Elizabeth Ari (2010);, Nurarif(2013), Norbaiti Iskandar(2006)


B. Konsep Asuhan Keperawatan Teori Pada Pasien CA Nasofaring
2.1 Pengkajian
1. Identitas pasien
a. Nama
Terdapat nama lengkap dari pasien penderita penyakit tumor
nasofaring.
b. Jenis Kelamin
Penyakit tumor nasofaring ini lebih banyak di derita oleh laki-laki
daripada perempuan.
c. Usia
Tumor nasofaring dapat terjadi pada semua usia dan usia terbanyak
antara 45-54 tahun.
d. Alamat
Lingkungan tempat tinggal dengan udara yang penuh asap dengan
ventilasi rumah yang kurang baik akan meningkatkan resiko
terjadinya tumor nasofaring serta lingkungan yang sering terpajan
oleh gas kimia, asap industry, asap kayu, dan beberapa ekstrak
tumbuh-tumbuhan.
e. Agama
Agama tidak mempengaruhi seseorang terkena penyakit tumor
nasofaring.
f. Suku Bangsa
Karsinoma nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa,
Amerika, ataupun Oseania.Namun relatif sering ditemukan di
berbagai Asia Tenggara dan China.
g. Pekerjaan
Seseorang yang bekerja di pabrik industry akan beresiko terkena
tumor nasofaring, karena akan sering terpajan gas kimia, asap
industry, dan asap kayu.
3. Status Kesehatan
a. Keluhan Utama
Biasanya di dapatkan adanya keluhan suara agak serak, kemampuan
menelan terjadi penurunan dan terasa sakit waktu menelan atau nyeri
dan rasa terbakar dalam tenggorok.Pasien mengeluh rasa penuh di
telinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan
pendengaran.Terjadi pendarahan dihidung yang terjadi berulang-ulang,
berjumlah sedikit dan bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
kemerahan.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan informasi sejak timbulnya keluhan sampai klien dirawat di
RS. Menggambarkan keluhan utama klien, kaji tentang proses
perjalanan penyakit samapi timbulnya keluhan, faktor apa saja
memperberat dan meringankan keluhan dan bagaimana cara klien
menggambarkan apa yang dirasakan, daerah terasanya keluhan, semua
dijabarkan dalam bentuk PQRST. Penderita tumor nasofaring ini
menunjukkan tanda dan gejala telinga kiri terasa buntu hingga
peradangan dan nyeri, timbul benjolan di daerah samping leher di bawah
daun telinga, gangguan pendengaran, perdarahan hidung, dan bisa juga
menimbulkan komplikasi apabila terjadi dalam tahap yang lebih lanjut
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji tentang penyakit yang pernah dialami klien sebelumnya yang ada
hubungannya dengan penyait keturunan dan kebiasaan atau gaya hidup.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit tumor
nasofaring maka akan meningkatkan resiko seseorang untuk terjangkit
tumor nasofaring pula.
4. Pemeriksaan Fisik

a. Sistem Penglihatan
Pada penderita karsinoma nasofaring terdapat posisi bola mata klien
simetris, kelompak mata klien normal, pergerakan bola mata klien
normal namun konjungtiva klien anemis, kornea normal, sclera
anikterik, pupil mata klien isokor, otot mata klien tidak ada kelainan,
namun fungsi penglihatan kabur, tanda-tanda radang tidak ada,
reaksi terhadap cahaya baik (+/+). Hal ini terjadi karena pada
karsinoma nasofaring, hanya bagian tertentu yang mengalami
beberapa gejala yang tidak normal seperti konjungtiva klien yang
anemis disebabkan klien memiliki kekurangan nutrisi dan fungsi
penglihatan kabur.
b. Sistem pendengaran
Pada penderita karsinoma nasofaring, daun telinga kiri dan kanan
pasien normal dan simetris, terdapat cairan pada rongga telinga, ada
nyeri tekan pada telinga. Hal ini terjadi akibat adanya nyeri saat
menelan makanan oleh pasien dengan tumor nasofaring sehingga
terdengar suara berdengung pada telinga.
c. Sistem pernafasan
Jalan nafas bersih tidak ada sumbatan, klien tampak sesak, tidak
menggunakan otot bantu nafas dengan frekuensi pernafasan 26 x/
menit, irama nafas klien teratur, jenis pernafasan spontan, nafas
dalam, klien mengalami batuk produktif dengan sputum kental
berwarna kuning, tidak terdapat darah, palpasi dada klien simetris,
perkusi dada bunyi sonor, suara nafas klien ronkhi, namun tidak
mengalami nyeri dada dan menggunakan alat bantu nafas. Pada
sistem ini akan sangat terganggu karena akan mempengaruhi
pernafasan, jika dalam jalan nafas terdapat sputum maka pasien akan
kesulitan dalam bernafas yang bisa mengakibatkan pasien
mengalami sesak nafas. Gangguan lain muncul seperti ronkhi karena
suara nafas ini menandakan adanya gangguan pada saat ekspirasi.
d. Sistem Kardiovaskuler
Pada sirkulasi perifer kecepatan nadi perifer klien 82 x/menit dengan
irama teratur, tidak mengalami distensi vena jugularis, temperature
kulit hangat suhu tubuh klien 360C, warna kulit tidak pucat,
pengisian kapiler 2 detik, dan tidak ada edema. Sedangkan pada
sirkulasi jantung, kecepatan denyut apical 82 x/ menit dengan irama
teratur tidak ada kelainan bunyi jantung dan tidak ada nyeri dada.
Tumor nasofaring tidak menyerang peredaran darah pasien sehingga
tidak akan mengganggu peredaran darah tersebut.
e. Sistem saraf pusat
Tidak ada keluhan sakit kepala, migran atau pertigo, tingkat
kesadaran pasien kompos mentis dengan Glasgow Coma Scale
(GCS) E: 4, M: 6, V: 5. Tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK,
tidak ada gangguan sitem persyarafan dan pada pemeriksaan refleks
fisiologis klien normal. Tumor nasofaring juga bisa menyerang saraf
otak karena ada lubang penghubung di rongga tengkorak yang bisa
menyebabkan beberapa gangguan pada beberapa saraf otak. Jika
terdapat gangguan pada otak tersebut maka pasien akan memiliki
prognosis yang buruk.
f. Sistem pencernaan
Keadaan mulut klien saat ini gigi caries, tidak ada stomatitis lidah
klien tidak kotor, saliva normal, tidak muntah, tidak ada nyeri perut,
tidak ada diare, konsistensi feses lunak, bising usus klien 8 x/menit,
tidak terjadi konstipasi, hepar tidak teraba, abdomen lembek. Tumor
tidak menyerang di saluran pencernaan sehingga tidak ada gangguan
dalam sistem percernaan pasien.
g. Sistem endoktrin
Pada klien tidak ada pembesaran kalenjar tiroid, nafas klien tidak
berbau keton, dan tidak ada luka ganggren. Hal ini terjadi karena
tumor nasofaring tidak menyerang kalenjar tiroid pasien sehingga
tidak menganggu kerja sistem endoktrin.
h. Sistem urogenital
Balance cairan klien dengan intake 1300 ml, output 500 ml, tidak
ada perubahan pola kemih (retensi urgency, disuria, tidak lampias,
nokturia, inkontinensia, anunia), warna BAK klien kuning jernih,
tidak ada distensi kandung kemih, tidak ada keluhan sakit pinggang.
Tumor nasofaring tidak sampai melebar sampai daerah urogenital
sehingga tidak mengganggu sistem tersebut.
i. Sistem integumen
Turgor kulit klien elastic, temperature kulit klien hangat, warna kulit
pucat, keadaan kulit baik, tidak ada luka, kelainan kulit tidak ada,
kondisi kulit daerah pemasangan infuse baik, tekstur kulit baik,
kebersihan rambut bersih. Warna pucat yang terlihat pada pasien
menunjukkan adanya sumbatan yang ada di dalam tenggorokan
sehingga pasien terlihat pucat.
j. Sistem musculoskeletal
Saat ini klien tidak ada kesulitan dalam pergerakan, tidak ada sakit
pada tulang, sendi dan kulit serta tidak ada fraktur. Tidak ada
kelainan pada bentuk tulang sendi dan tidak ada kelainan struktur
tulang belakang, dan keadaan otot baik. Pada tumor ini tidak
menyerang otot rangka sehingga tidak ada kelainan yang
mengganggu sistem musculoskeletal.

4. Pola aktifitas sehari-hari


a. Pola Persepsi Kesehatan manajemen Kesehatan
Tanyakan pada klien bagaimana pandangannya tentang penyakit
yang dideritanya dan pentingnya kesehatan bagi klien? Biasanya
klien yang datang ke rumah sakit sudah mengalami gejala pada
stadium lanjut, klien biasanya kurang mengetahui penyebab
terjadinya serta penanganannya dengan cepat.
b. Pola Nutrisi Metabolic
Kaji kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahan pengawet),
anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi
makanan,perubahan berat badan, perubahan kelembaban/turgor
kulit. Biasanya klien akan mengalami penurunan berat badan akibat
inflamasi penyakit dan proses pengobatan kanker.
c. Pola Eliminasi
Kaji bagaimana pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan
eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen. Biasanya
klien tidak mengalami gangguan eliminasi.
d. Pola aktivas latihan
Kaji bagaimana klien menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya klien
mengalami kelemahan atau keletihan akibat inflamasi penyakit.
e. Pola istirahat tidur
Kaji perubahan pola tidur klien selama sehat dan sakit, berapa lama
klien tidur dalam sehari? Biasanya klien mengalami perubahan pada
pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti
nyeri, ansietas.
f. Pola kognitif persepsi
Kaji tingkat kesadaran klien, apakah klien mengalami gangguan
penglihatan,pendengaran, perabaan, penciuman,perabaan dan kaji
bagaimana klien dalam berkomunikasi? Biasanya klien mengalami
gangguan pada indra penciuman.
g. Pola persepsi diri dan konsep diri
Kaji bagaimana klien memandang dirinya dengan penyakit yang
dideritanya? Apakah klien merasa rendah diri? Biasanya klien akan
merasa sedih dan rendah diri karena penyakit yang dideritanya.
h. Pola peran hubungan
Kaji bagaimana peran fungsi klien dalam keluarga sebelum dan
selama dirawat di Rumah Sakit? Dan bagaimana hubungan social
klien dengan masyarakat sekitarnya? Biasanya klien lebih sering
tidak mau berinteraksi dengan orang lain.
i. Pola reproduksi dan seksualitas
Kaji apakah ada masalah hubungan dengan pasangan? Apakah ada
perubahan kepuasan pada klien?. Biasanya klien akan mengalami
gangguan pada hubungan dengan pasangan karena sakit yang
diderita.
j. Pola koping dan toleransi stress
Kaji apa yang biasa dilakukan klien saat ada masalah? Apakah klien
menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan stres?. Biasanya
klien akan sering bertanya tentang pengobatan.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Kaji bagaimana pengaruh agama terhadap klien menghadapi
penyakitnya? Apakah ada pantangan agama dalam proses
penyembuhan klien? Biasanya klien lebih mendekatkan diri pada
Tuhan Yang Maha Kuasa.
l. pola kebersihan diri
Kaji bagaimana klien tentang tindakan dalam menjaga kebersihan
diri.
5. Pemeriksaan penunjang
Hasil dari beberapa pemeriksaan diagnostik yang abnormal.
6. Penatalaksanaan
Pemberian terapi atau pengobatan untuk KNF,seperti
radioterapi,kemoterapi serta obat-obatan.
2.2 Diagnosa keperawatan
1. Nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi tumor ditandai dengan klien
mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah , tidak mampu menuntaskan
aktivitas (D.0078 hal 174)
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrient ditandai dengan klien mengalami penurunan nafsu makan,
klien mengalami kram/ nyeri abdomen, serum albumin menurun, berat
badan menurun 10% di bawah rentang ideal (D.0019 hal 56)
3. Gangguan integritas jaringan berhubunngan dengan efek samping
terapi radiasi ditandai dengan kerusakan jaringan atau kulit , nyeri,
oerdarahan, hematoma, kemerahan.(D.0129)
4. Ansietas berhubungan dengan terpapar bahay lingkunan ditandai
dengan merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi ,
tampak gelisah tampak tegang, RR meningkat, N meningkat, TD
meningkat
5. Resiko Infeksi berhubungan dengan penyakit kronis

2.3 Intervensi Keperawatan


1. Diagnosa : Nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi tumor ditandai
dengan klien mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah , tidak mampu
menuntaskan aktivitas (D.0078 hal 174)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
hilang atau terkontrol
Kriteria hasil :
- Keluhan nyeri menurun
- Meringis menurun
- Gelisah menurun
- Kesulitan tidurmenurun
- Frekuensi nadi membaik
Intervensi :
MANAJEMEN NYERI (I.08238)
1. Observasi
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
Intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respons nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
e. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
f. Monitor efek samping penggunaan analgetik
2. Terapeutik
a. Berikan teknik nonfamakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajlnasi terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain) .
b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrient ditandai dengan klien mengalami penurunan nafsu makan,
klien mengalami kram/ nyeri abdomen, serum albumin menurun, berat
badan menurun 10% di bawah rentang ideal (D.0019 hal 56)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
menunjukkan status nutrisi adekuat
Kriteria hasil :
- Porsi makanan yang dihabiskan meningkat
- Bising usus membaik
- Nafsu makan membaik
- Usaha menelan meningkat
- Gelisah menurun
Intervensi :
1. Observasi
a. Identifikasi intoleransi makan
b. Identifikasi makanan yang disukai
c. Monitor asupan makanan
d. Monitor berat badan
e. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
2. Terapeutik
a. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
b. Berikan makanan tinggi serat
c. Berikan makanan tinggi protein dan kalori
3. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan

Kolaborasi dengan ahligizi untuk menentukan jumlah kalori dan


jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu

3. Gangguan integritas jaringan berhubunngan dengan efek samping


terapi radiasi ditandai dengan kerusakan jaringan atau kulit , nyeri,
oerdarahan, hematoma, kemerahan.(D.0129)

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan


menunjukkan integritas jaringan/kulit membaik
Kriteria hasil (L.14125)
- Kerusakan jaringan menurun
- Hidrasi membaiik
- Elastisitas meningkat
- Kerusakan kulit menurun
- Nyeri menurun
Intervensi ( I. 13353)
1. Observasi
Identifikasi penyebab ganggaun integritas kulit
2. Terapeutik
Ubah posisi tiap 2jma jika tirah baring
Bersihkan perineal dengan air hangat
Gunakan produk berbahan petroleum atau minyak pada kulit kering
Gunakan produk berbahan ringan atau alami dan hipoalergenik
pada kulit sensitif
3. Edukasi
Anjurkan menfggunakan pelembab
Anjurkan minum air yang cukup
Anjurkan meningkatkan asuapn nutrisi
Anjurkan menngunakan tabir surya

4. Ansietas berhubungan dengan terpapar bahaya lingkunan ditandai


de)ngan merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi ,
tampak gelisah tampak tegang, RR meningkat, N meningkat, TD
meningkat

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan


menunjukkan ansietas menurun
Kriteria hasil (L.14125)
- Perilaku gelisah menurun
- Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun
- Perilaku tegang menurun
- TTV dalam batas normal
Intervensi ( I. 09314)
1. Observasi
- Identifikasi saat tingkat asnsietas berubah
- Iddentifikasi kemampuan mengambil keputusan
- Monitor tanda- tanda ansietas
2. Terpaeutik
- Ciptakan suasan terapeutik untuk menumbuhakn kepercayaan
- Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
- Pahami situasi yang membuat ansietas
- Dengarkan dengan [penuh perhatiaan
3. Edukasi
- Latih Teknik relaksasi
- Latih penggunaan mekanisme pelatihan diri yang tepat
- Anjurkan mengunkapkakn perasaan dan persepsi
4. Kolaborasi
- Kolaborasi dalam oemberian obat antiansietas
D. Implementasi Keperawatan
Merupakan pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang telah dibuat
untuk mencapai hasil yang efektif. Pada implementasi maka tindakan yang
dilakukan mengacu pada intervensi yang dibuat.

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan
antara dasar tujuan keperawatan pasien yang telah diterapkan dengan respon
perilaku klien yang tampil. Evalauasi ada dua macam yaitu
1. Evaluasi formatif
adalah hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien segera pada
saat/setelah dilakukan tindakan keperawatan
2. Evaluasi Sumatif
adalah rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status
kesehatan sesuai waktu pada tujuan
DAFTAR PUSTAKA

Arima, Aria, C. (2006). Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma


Nasofaring. Diunduh dari : http://library.usu.ac.

Brunner & Suddart.(2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Edisi


Delapan Vol Pertama dan Kedua Cetakan Pertama. Jakarta: EGC

Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan :
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001

Komalawati Dedeh, Lestari Sukmarini, Tuti Herawati 2018pengaruh


Progressive Muscle Relaxation (Pmr) Terhadap Myalgia Pada Pasien Kanker
Paru Yang Menjalani Kemoterapi Fik, Universitas Indonesia, Kampus Ui
Depok, Jkh/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (Issn: 2548-1843, Eissn: 2621-
8704)

Nasir,N.(2009). Karsinoma Nasofaring Kedokteran Islam. Diunduh dari:


http://www.nasiriyadinasyir.co.cc Pada Tanggal 20 JAnuari 2021

Nastoba Jum , Sigit Purwanto , Jaji , Firnaliza Rizona Aplikasi Progressive


Muscle Relaxation Sebagai Upaya Reduksi Nyeri Dan Kecemasan JAMALI -
Jurnal Abdimas Madani dan Lestari Vol. 02, Issue. 02, September 2020, Hal
66-75 (e-ISSN: 2686-097X; p-ISSN: - ) https://journal.uii.ac.id/JAMALI

National Cancer Institute,(2009). Nasopharyngeal Cancer Treatment.


U.S.A: National Cancerinstitute. Diunduh dari : http://www.cancer.gov. Pada
Tanggal 20 Januari 2021

Nurlita,N.(2009). Karsinoma Nasofaring. Ilmu Keperawatan. Diunduh dari:


http://ilmukeperawatan.usu.

Pandi, Purnama S.(1983). Aspek Klinis Tumor Ganas Telinga –Hidung


Tenggorok.In Himawan, Sustina.Tumor Kepala dan Leher: Diagnosis dan
Terapi. Jakarta: FKUI

Phillips RS, Friend AJ, Gibson F, Houghton E, Gopaul S, Craig JV, et al.
Antiemetic medication for prevention and treatment of chemotherapy-induced
nausea and vomiting in childhood. Cochrane Database Syst Rev. 2016;2(2):1–
100. doi: 10.1002/14651858.CD007786.pub3dimana

Rahmania Nadya Eka, Jum Natosba, Karolin Adhisty. 2020 Pengaruh


Progressive Muscle Relaxation Sebagaipenerapan Palliatif Care Terhadap
Nyeri Dan Kecemasan Pasien Kanker Serviks Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya:Jurnal Keperawatan
BIMIKI Volume 8 No 1 Januari – Juni 2020 E - ISSN : 2722 – 127X
Roezin, A, Anida, S.(2007). Karsinoma Nasofaring Dalam: Buku Ajar
Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6, Jakarta: FKUI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia Drfinisi Dan Indicator Diagnostic. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan


Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus
PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standart Intervensi Keperawatan


Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPP

Tirtaamijaya,N,2009.PencegahanKanker Nasopharing.Wordpress.com.
Available from: http://tirtaamijaya.wordpress.com/2009/03/04/pencegahan-
kanker - nasopharing/

C. Laporan Kasus Asuhan Keperawatan Pada Pasien Ca. Nasofaring

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PADA PASIEN DENGAN Ca.NASOFARING
DI RUANG TERATAI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Nama mahasiswa : Bella Dama Shinta


NIM : P27820820008
Ruangan : Bedah THT (ruang Teratai)
Nomor Register : 1253XXXX
Tanggal masuk Rumah Sakit : 03 Januari 2019
Tanggal pengkajian : 03 Januari 2019 pukul 09.30 WIB
I. Identitas penderita
Nama : Tn.S
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku bangsa : Madura
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan : Tamat SLTA
Status : Menikah
Alamat : Bangkalan
Tanggal masuk rumah sakit : 03 Januari 2019
Diagnosa : Ca Nasofaring T2N1M0 + pro Kemoterapi
ke 1

II. Riwayat keperawatan


a. Keluhan Utama
Klien mengatakan nyeri pada benjolan yang besar pada leher sebelah kiri
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien mengatakan pada 3 bulan yang lalu dileher kiri tumbuh benjolan
disertai dengan nyeri. Telinga kiri klien mengalami penurunan
pendengaran. Kemudian klien memeriksakan kelainan tersebut ke RS
terdekat dan dokter mengatakan kelainan yang terjadi adalah klinis dari
kanker nasofaring. Kemudian dokter merujuk klien untuk memeriksa lagi
ke RSUD dr Soetomo dan kontrol selama 1 bulan di poli THT. Pada
tanggal 3 Januari 2019 saat dilakukan pengkajian klien masuk rumah
sakit (rawat inap) di ruang Teratai dengan tindakan pro kemoterapi yang
pertama dengan keluhan nyeri pada leher bagian kiri, nyeri ketika
benjolan ditekan, nyeri skala 5, nyeri seperti ditusuk tusuk, nyeri terus
menerus. Klien juga mengatakan tidak nafsu makan karena sakit saat
menelan dan adanya rasa mual ingin muntah.
c. Upaya yang telah dilakukan
Klien mengatakan setelah seminggu tumbuh benjolan dan terasa nyeri
klien langsung memeriksakan kelainan tersebut ke RSA bangkalan
kemudian dirujuk ke RS dr Soetomo Surabaya.
d. Terapi / Operasi yang pernah dilakukan
Klien mengatakan bahwa dirinya tidak pernah di operasi atau
dikemoterapi sebelumnya.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Klien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit keturunan seperti
diabetes, HT dan penyakit menurun maupun menular lainnya.
f. Keadaan kesehatan lingkungan
Klien mengatakan tinggal didaerah perkampungan yang cukup bersih.
Juah dari TPA, sungai, jalan raya dan pabrik.

g. Genogram
III. Pola – pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
SMRS : klien mengatakan bahwa klien mandi 2 kali sehari, ganti
pakaian 2 kali sehari. Klien mengatakan tidak pernaah
melakukan olahraga, klien merokok dalam sehari dapat
menghabiskaan +/- 4 pack, tidak mengkonsumsi minuman
keras.
MRS : klien mengatakan bahwa klien selama di RS mandi 1kali
sehari, ganti pakian 1 kali sehari. Sejak dinyatakan mengidap
kanker nasofaring klien sudah tidak lagi merokok,
b. Pola nutrisi dan metabolisme
SMRS : klien mengatakan makan sehari bisa 3 kali sehari dengan
lauk dan sayur. Minum cukup +/- 1500 ml perhari.
MRS : klien mengatakan saat dirawat di RS klien makan 3 kali
sehari sesuai porsi yang diberikan oleh ahli gizi. Klien
mampu menghabiskan kurang lebih 3-4 sendok makan
karena tidak nafsu makan, terkadang disertai rasa mual.
c. Pola eliminasi
SMRS : Klien mengatakan BAB rutin 1x sehari, konsistensi lembek.
BAK normal +/- 4-6 kali sehari urine berwarnah kuning, bau
khas urine.
MRS : Klien mengatakan belum BAB sejak 2 hari yang lalu
d. Pola tidur dan istirahat
SMRS : klien mengatakan kualitas tidur klien bisa 7-8 jam perhari
MRS : klien mengatakan selama dirawat di RS sedikit mengalami
gangguan tidur . klien tidur hanya +/- 5-6 jam perhari
e. Pola aktivitas
SMRS : klien mengatakan sebelum dirawat RS klien hanya bekerja
sebagai supir pengantar barang.
MRS : klien mengatakan setelah melakukan kemoterapi klien
merasa lemas dan merasakan mual muntah. Klien
menghabiskan sebagian waktunya di tempat tidur. Aktivitas
klien sebagian dibantu keluarga.
f. Pola hubungan peran
Hubungan klien dengan keluarga baik, dengan sesame klien baik,
begitupun dengan para petugas tenaga kesehatan. Klien lebih sering
bercerita dengan keluarganya. Klien kooperatif dalam setiap
tindakan medis dan keperawatan.
g. Pola sensori dan kognitif

SMRS : klien mengatakan sebelum muncul benjolan dan rasa nyeri


klien sudah mengalami gangguan pendengaran.

MRS ; klien mengatakan indra pendengarannya mengalami


gangguan total pendengaran (telinga kiri) saat bersamaan
setelah munculnya benjolon selama 3 bulan lamanya.

h. Pola persepsi dan konsep diri


Status emosi klien stabil. Klien mengatakan mengalami kecemasan
karena penyakit yang diderita. Tetapi klien yakin akan mendapkan
kesembuhan dengan usaha yang telah dilakukan.
i. Pola reproduksi seksual
Klien sudah menikah, tidak ada gangguan dalam pola reproduksi
seksualnya.
j. Pola penanggulangan stress
Klien mengatakan apabila stress bermunculan,klien akan menceritakan
masalahnya kepada istri dan saudara kandungnya.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien beragama islam, setiap harinya mengerjakan sholat 5 waktu. Saat
di RS klien tidak sholat karena keadaan yang diderita klien.
IV. Observasi dan pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Composmentis
2. Berat badan
Sebelum sakit : 68 kg
Saat sakit : 64 kg
3. Tinggi badan : 167 cm
4. IMT : 22,94
5. Tanda tanda vital :
Tekanan darah : 130 / 85 mmHg
Suhu : 36,8 C
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 18x/menit
6. Pernapasan (Breathing : B1)
Tidak ada polip, tidak memakai alat bantu pernapasan, tidak ada lendir di
hidung, bunyi napas vasikuler, tidak terdapat suara nafas tambahan, Klien
dapat bernapas dengan adekuat.

7. Cardiovasculer (Bleeding : B2)


TD : 130/85 mmHg, nadi 80x/menit, suara jantung S1, S2 reguler, tidak
ada suara murmur dan split, tidak ada sianosis, CRT <2 detik, akral
hangat-kering- merah, sirkulasi perifer normal, konjungtiva tidak anemis
8. Persyarafan (Brain : B3)
Kesadaran composmentis. GCS Eye: 4; Verbal: 5; Motorik: 6. Tidak
terdapat luka di kepala, wajah simetris
9. Perkemihan eliminasi urin (Bladder : B4)
Tidak ada masalah pada perkemihan. Produksi urin kurang lebih 1000
ml/hari, warna kuning pekat, bau menyengat. Klien tidak terpasang
kateter urine
10. Pencernaan – eliminasi alvi (Bowel – B5)
Pada mulut terdapat karies gigi, tidak terdapat perdarahan gusi, tidak
terdapat pembesaran tonsil pada tenggorokan. Pada abdomen tidak
terdapat kelainan. Klien dapat buang air besar dengan normal 1x/hari.
11. Tulang – otot – integumen (Bone – B6)
Terpasang IV line pada ekstremitas atas bagian kiri. Kemampuan sendi
baik,pergerakan sendi bebas, Terapat benjolan pada leher. turgor kulit
baik, akral hangat. Tonus otot:

5 5

5 5

I. Terapi
- Pro Kemoterapi I (cisplatin)
- Inf. NaCl 0,9% 500cc / 24 jam per IV
- Inj. Ondonsentron 8 mg tiap 8 jam per IV
- Inj. Ranitidine 50 mg tiap 12 jam per IV
- Diet TKTP 1900 kkal

II. Pemeriksaan penunjang


- Hasil pemeriksaan kimia klinik dilakukan pada tanggal 03 Januari 2019

No Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


1 Glukosa puasa 97 mg/dL Dewasa : Normal : < 100
DM : >=126
2 Glukosa Darh 110 mg/dL Dewasa : Normal <140,
2 JPP DM >200
3 SGOT 20,0 U/L L : 0-50 P : 0-35
4 SGPT 22,0 U/L L : 0-50 P : 0-35
5 Albumin 3,3 g/dL 3,4 – 5,0
6 BUN 10 mg/dL 7 – 18
7 Kreatinin 0,76 mg/dL 0,6 – 1,3
Serum
8 Kalium 4,1 mmol/ 3,5 – 5,1
l
9 Natrium 145,0 mmol/ 136 – 145
l
10 Klorida 108 mmol/ 98 – 107
l
11 Kalsium 8,8 mg/dL 8,5 – 10,1
12 Fosfat 2,6 mg/dL 2,5 – 4,9
13 Kolesterol 105 mg/dL 00 – 200
Total
14 Trigliserida 63 mg/dL 30 – 150

- Hasil pemeriksaan imunologi dilakukan pada tanggal 03 Januari 2019


No Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan
1. HbsAg Non Reactive index <=0,99 (NR) 1-50
0,12 (Equivocal) >50
(R) Repeated :
<=50 (NR) : >50
(R)

- Hasil pemeriksaan patologi klinik dilakukan pada tanggal 03 Januari


2019
No Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan
1. HGB 13,6 g/dL L 13,3-16,6
P 11,0-14,7
2. RBC 4,74 10^6/uL 3,69-5,46
3. HCT 42,6 % L 41,3-52,1
P 35,2-46,7
4. MCV 89,7 fL 86,7-102,3
5. MCH 27,3 pg 27,1-32,4
6. MCHC 30,4 g/dL 29,7-33,1
7. RDW-SD 43,9 fL 41,2-53,6
8. RDW-CV 13,2 % 12,2-14,8
9. WBC 13,66 10^3/uL 3,37-10
10. PLT 225 10^3/uL 150-450
11. PDW 14,5 fL 9,6-15,2
12. MPV 11,7 fL 9,2-12,0
13. P-LCR 36,9 % 19,7-42,4
14. PCT 0,15 % 0,19-0,39

ANALISA DATA

Nama : Tn.S
Nomor Register : 12.53.XX.XX
Umur : 55 th
Ruangan : Ruang TerataiI
Diagnosa Medis : Ca.Nasofaring T2N1M0 + Pro Kemoterapi
Tanggal Masalah
Pengelompokan data Penyebab
/jam Keperawatan
03-01- DS: Ca Nasofaring
2019
- klien mengatakan Nyeri kronis
ada benjolan di
leher sebelah kiri Metastase sel
disertai dengan kanker ke
nyeri kelenjar getah
DO: benning
P: nyeri saat ditekan
Q: seperti ditusuk-tusuk
R: leher sebelah kiri
Sel tumbuh dan
S: 5
berkembang
T: terus menerus

Massa pada leher


samping

Menembus
kelenjar
mengenali otak

Melekat pada otot


dan sulit
digerakkan

Nyeri
03-01- DS: Ca Nasofaring Defisit nutrisi
2019
- - Klien mengatakan
sulit untuk menelan
dan tidak nafsu Kemoterapi
makan karena
merasa mual dan
ingin muntah
Efek kemoterapi

DO:

- Klien lemas
Nafsu makan
- Klien habis 3-4
menurun
sdm per makan
- Turgor kulit
cukup bagus
- Albumin 3,3 Mual muntah
g/dl
- BB sebelum
sakit: 68 kg
- BB setelah Ketidakmampuan
sakit: 64 kg mengabsorbsi
- Bising usus 15 nutrien
x/menit

Defisit Nutrisi
03-01- DS: Ca Nasofaring Ansietas
2019 Klien mengatakan
bahwa klien merasa
khawatir dengan
Kemoterapi
kemoterapi
DO:
- Klien tampak
gelisah Perubahan sensori
- Hasil TTV
- RR:18x/menit
- N :80x/menit
- TD:130/85mmh Terlihat cemas

g dengan
kondisinya

Ansietas
03-01- DS: Ca Nasofaring Risiko infeksi
2019 klien mengatakan ada
benjolan di leher
sebelah kiri
Kemoterapi
DO:
- Klien Ca.
Nasofaring yang
melakukan Supresi sumsum
kemoterapi pertama tulang
- WBC: 13,66 x
10^3/uL
- Suhu:36,8oC
Gangguan
pembuluh darah
merah

Immunosupresi

Risiko infeksi

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ditemukan
Masalah Teratasi
Diagnosis keperawatan/Masalah Masalah
No.
Kolaboratif Tangga
Tanggal Paraf Paraf
l
1. D.0078Nyeri kronis berhubungan
dengan infiltrasi tumor ditandai
03-01-19
dengan adanya benjolan di leher
sebelah kiri, nyeri bila ditekan, nyeri
seperti ditusuk, skala 5 nyeri terus
menerus

D.0019Defisit nutrisi berhubungan


dengan ketidakmampuan mencerna
2.
makanan ditandai dengan sulit
menelan, nafsu makan menurun dan
03-01-19
rasa mual muntah

D.0080Ansietas berhubungan dengan


terpapar bahaya lingkunan ditandai
dengan merasa khawatir (pro
3. Kemoterapi dibuktikan dengan klien,
tampak gelisah tampak tegang,

D.0142

Risiko infeksi berhubungan dengan


03-01-19
tindakan invasive
INTERVENSI KEPERAWATAN

Hari/ PERENCANAAN
Diagnosa
Tanggal/
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Tindakan Keperawatan
Jam
D.0078 Tujuan: Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan
Nyeri kronis 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
selama 1 x 8 jam diharapkan
berhubungan dengan Intensitas nyeri
bersiha nyeri hilang atau
pembekakan jaringan 2. Identifikasi skala nyeri
terkontrol
ditandai dengan adanya 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
Kriteria Hasil:
Kamis, benjolan di leher 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Keluhan nyeri menurun
03/01/2019 sebelah kiri, nyeri bila 5. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
- Meringis menurun
10.00 ditekan, nyeri seperti diberikan
- Gelisah menurun
ditusuk, skala 5 nyeri 6. Monitor efek samping penggunaan analgetik
- Kesulitan tidurmenurun
terus menerus
- Frekuensi nadi membaik
Terapeutik

1. Berikan teknik nonfamakologis untuk mengurangi rasa nyeri


(mis. TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi, teknik imajlnasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain) .
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan strategi meredakan nyeri
2. Anjurkan menggunakan analgetic secara tepat
3. Ajarkan Teknik nonfarmakalogis untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

D.0130 Tujuan: Setelah dilakukan Observasi


Kamis, tindakan keperawatan
Defisit nutrisi 1. Identifikasi intoleransi makan
03/01/2019 selama 3 x 8 jam diharapkan
berhungan dengan 2. Identifikasi makanan yang disukai
10.00 suhu tubuh dalam rentang
adanya massa pada 3. Monitor asupan makanan
normal.
leher ditandai dengan Kriteria Hasil: 4. Monitor berat badan
sulit menelan, nafsu - Porsi makanan yang 5. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
makan menurun dan dihabiskan meningkat
Terapeutik
rasa mual muntah - Bising usus membaik
- Nafsu makan membaik
1. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
- Usaha menelan meningkat
2. Berikan makanan tinggi serat
- Gelisah menurun
3. Berikan makanan tinggi protein dan kalori
Edukasi
Anjurkan posisi duduk jika mampu

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan


2. Kolaborasi dengan ahligizi untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

No. Dx Tanggal/jam Tindakan Keperawatan TTD dan Nama


Dan Respon Px Perawat
D.0078 04/01/2019 - Mengidentifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
09.00
frekuensi, kualitas,
Intensitas nyeri dan skala
nyeri
- R: klien mengatakan nyeri
pada bagian leher
dikarenakan terdapat
benjolan, nyeri seperti
ditekan, nyeri terus
menerus, skala nyeri 5 ,
nyeri
09.15 - Mengidentifikasi respons
nyeri non verbal
- R: Klien tampak meringis
- Mengidentifikasi faktor
09.20
yang memperberat dan
memperingan nyeri
- R: Kfaktor yang
memperberat nyeri saat
beraktivitas dan yang
memperingan nyeri saat
beristirahat
- Memonitor keberhasilan
09.30
terapi komplementer yang
sudah diberikan
- R: klien tampak lebih
sedikit lebih nyaman
09.40 - Memberikan teknik
nonfamakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajlnasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain) .
- R:Klien kooperatif dengan
melalukan teknik
komplementer yaitu PMR
09.45
- Mengontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
- R:Klien kooperatif
09.50 - Memfasilitasi istirahat dan
tidur
- R:Klien tidur hanya pada 6-
7 jam
09.55 - Menjelaskan strategi
meredakan nyeri
- R: klien dijelaskan tentang
terapi relaksasi nafas dalam
(PMR)
- Mengajarkan Teknik
10.15
nonfarmakalogis untuk
mengurangi rasa nyeri
- R: Klien diajrkan untuk
Latihan nafas dalam
D.0019 04/01/2019 - Mengidentifikasi
09.15
intoleransi makan
- R: Klien biasanya makan 3
klai sehari setelah dirawat
di RS klien mengalami
penurunan nafsu makan
serta mual dan muntah
- Mengidentifikasi makanan
09.30
yang disukai
- R: Klien biasnya makan
suka ayam goreng serta
junkfood
09.45 - Memonitor asupan
makanan
- R: Klien SMRS makan
lebih dari 2-3 kali tiap hari
Dan setelah klien MRS
klien hanya mengabiskan
½ posrsi makanan
- Memonitor berat badan
10.20
R: berat badan sebelum
sakit BB:68 dan sekrang
BB 64 kg
- Memonitor hasil
11.00
pemeriksaan laboratorium
- Albumin: 3,3 g/dl
- Menyajikan makanan
12.00
secara menarik dan suhu
yang sesuai
- R: klien diberikan dengan
makanan yang hangat
- Memberikan makanan
12.15
tinggi protein dan kalori
- R: Klien diberikan diet
TKTP 1900 kkal
12.20 - Menganjurkan makan
dengan posisi duduk
- R: Klien kooperatif
12.30
- Berkolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
- R: pemberian antiemetic
Injeksi Ondansentron
- Injeksi Ranitidin
12.45 - Berkolaborasi dengan
ahligizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan,
jika perlu
- R: pemberian diet TKTP
- Sebanyak 1900 kkal

No. Dx Tanggal/jam Tindakan Keperawatan TTD dan Nama


Dan Respon Px Perawat
D.0078 05/01/2019 - Mengidentifikasi lokasi,
09.00
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
Intensitas nyeri dan skala
nyeri
- R: klien mengatakan nyeri
pada bagian leher
dikarenakn terdapat
benjolan , nyeri seperti
ditekan , nyeri hilang
timbul, skala nyeri 3 , nyeri
09.15 - Mengidentifikasi respons
nyeri non verbal
- R: Klien masih tampak
sedikit
- Mengidentifikasi faktor
09.20
yang memperberat dan
memperingan nyeri
- R: saat klien beristirahat
nyeri sedikit berkurang
- Memonitor keberhasilan
09.30
terapi komplementer yang
sudah diberikan
- R: Klien diajrkan Teknik
relaksasi nafas dalam
09.40
- Memberikan teknik
nonfamakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajlnasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain) .
- R:Klien kooperatif dengan
melalukan teknik
komplementer yaitu PMR
09.45 - Mengontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
- R:Klien kooperatif
- Memfasilitasi istirahat dan
09.50
tidur
- R:Klien tidur hanya pada 6-
7 jam
- Menjelaskan strategi
09.55
meredakan nyeri
- R: klien dijelaskan tentang
terapi komplementer
(PMR)
- Menganjurkan
10.15
menggunakan analgetic
10.20 secara tepat
- R: Klien kooperatif
- Mengajarkan Teknik
nonfarmakalogis untuk
mengurangi rasa nyeri
- R: Klien diajrkan untuk
Latihan nafas dalam dan
PMR

D.0019 05/01/2019 - Mengidentifikasi


09.15
intoleransi makan
- R: Klien biasanya makan 3
klai sehari setelah dirawat
di RS klien mengalami
penurunan nafsu makan
serta mual dan muntah
- Mengidentifikasi makanan
09.30
yang disukai
- R: Klien biasnya menyukai
makanan seperti ayam
goreng
- Memonitor asupan
09.45
makanan
- R: Klien SMRS makan
lebih dari 2-3 kali tiap hari
Dan setelah klien MRS
klien hanya mengabiskan
½ posrsi makanan
- Memonitor berat badan
10.20
R: berat badan sebelum
sakit BB:68 dan sekrang
BB 64 kg
- Memonitor hasil
11.00
pemeriksaan laboratorium
- Albumin: 3,3 g/dl
- Menyajikan makanan
12.00 secara menarik dan suhu
yang sesuai
- R: klien diberikan dengan
makanan yang hangat
- Memberikan makanan
tinggi protein dan kalori
12.15
- R: Klien diberikan diet
TKTP ( kkal)
- Menganjurkan makan
dengan posisi duduk
- R: Klien kooperatif
- Berkolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
- R: pemberian antiemetic
Injeksi Ondansentron
- Injeksi Ranitidin
- Berkolaborasi dengan
12.30
ahligizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan,
jika perlu
- R: pemberian diet TKTP
- Sebanyak
EVALUASI KEPERAWATAN

Diagnosa Catatan dan hasil perkembangan klien


Tanggal TTD
keperawatan
D.0078 S : Klien mengatakan nyeri sedikit
berkurang
Nyeri kronis
O : - klien tampak sedikit tenang
berhubungan
- Skala Nyeri menunjukkan skala 3
dengan infiltrasi
- Nyeri sedikit berkurang
tumor ditandai
- Klien tidur +/- 6 jam/ perhari
dengan adanya
A : Masalah keperawatan belum teratasi
benjolan di leher
P : Intervensi dilanjutkan
sebelah kiri, nyeri
bila ditekan, nyeri
seperti ditusuk,
skala 5 nyeri terus
03/01/2019 menerus
Bella
14.30

D.0019 S : Klien mengatakan klien masih mual


dan muntah namun sedikit berkurang
Defisit nutrisi
O: - Klien sedikit tampak lemas
berhungan dengan
- Klien mengalami penurunan BB
adanya massa pada
dari 68 kg menjadi 64 kg
leher ditandai
- Makan hanya ½ porsi habis
dengan sulit
- Serum albumin 3,3 g/dl
menelan, nafsu
A : Masalah keperawatan belum teratasi
makan menurun
P : Intervensi dilanjutkan
dan rasa mual
muntah

05-01-2019 D.0078 S : Klien mengatakan nyeri sedikit


Bella
14.30 berkurang
Nyeri kronis O : - klien masih tampak meringisdan
berhubungan sedikit gelisah
dengan infiltrasi - Skala Nyeri menunjukkan skala 2
tumor ditandai - Nyeri sudah menurun
dengan adanya - Klien tidur +/- 6 jam/ perhari
benjolan di leher A : Masalah keperawatan teratasi
sebelah kiri, nyeri P : Intervensi dilanjutkan
bila ditekan, nyeri
seperti ditusuk,
skala 5 nyeri terus
menerus

D.0019 S : Klien mengatakan klien masih mual


dan muntah namun sedikit berkurang
Defisit nutrisi
O: - Keadaan klien cukup
berhungan dengan
- Klien mengalami penurunan BB
adanya massa pada
dari 68 kg menjadi 64 kg
leher ditandai
- Makan 1 porsi habis
dengan sulit
- Serum albumin 3,3 g/dl
menelan, nafsu
A : Masalah keperawatan belum teratasi
makan menurun
P : Intervensi dilanjutkan
dan rasa mual
muntah
PEMBAHASAN

Dari hasil pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn S dengan


kasus Ca Nasofaring di Ruang Teratai RSUD Dr.Soetomo pada tanggal
03 Januari 2019 ditemukan beberapa persamaan dan kesenjangan antara
teori yang ada dengan data yang didapatkan.

1.6.1 Pengkajian
Pada tahap pengkajian Tn S dengan Ca Nasofaring yang masuk rumah
sakit pada 03 Januari 2019, berdasarkan hasil wawancara didapatkan data
subjektif pada Tn S mengatakan keluhan Klien mengatakan pada 3 bulan
yang lalu dileher kiri tumbuh benjolan disertai dengan nyeri. Telinga kiri
klien mengalami penurunan pendengaran. Kemudian klien memeriksakan
kelainan tersebut ke RS terdekat dan dokter mengatakan kelainan yang
terjadi adalah klinis dari kanker nasofaring. Hal ini sesuai dengan
manifestasi klinis pada Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan
gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi
biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga
sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang ( Roezin, Anida,
2007 dan National Cancer Institute, 2009
Kemudian dokter merujuk klien untuk memeriksa lagi ke RSUD dr
Soetomo dan kontrol selama 1 bulan di poli THT. Pada tanggal 3 Januari
2019 saat dilakukan pengkajian klien masuk rumah sakit (rawat inap) di
ruang Teratai dengan tindakan pro kemoterapi yang pertama dengan
keluhan nyeri pada leher bagian kiri, nyeri ketika benjolan ditekan, nyeri
skala 5, nyeri seperti ditusuk tusuk, nyeri terus menerus. Klien juga
mengatakan tidak nafsu makan karena sakit saat menelan dan adanya rasa
mual ingin muntah .
1.6.2 Diagnosis keperawatan

Pada konsep dasar teori yang akan muncul pada klien ISPA ada
beberapa diagnosis keperawatan yang mungkin muncul menurut SDKI,
yaitu:

1. D.0078 Nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi tumor ditandai dengan


adanya benjolan di leher sebelah kiri, nyeri bila ditekan, nyeri seperti
ditusuk, skala 5 nyeri terus menerus
2. D.0019 Defisit nutrisi berhungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan ditandai dengan sulit menelan, nafsu makan menurun dan rasa
mual muntah
3. D.0080 Ansietas berhubungan dengan terpapar bahaya lingkunan ditandai
dengan merasa khawatir (pro Kemoterapi dibuktikan dengan klien, tampak
gelisah tampak tegang
4. D.00142 Risiko infeksi berhubungan dengan Tindakan invasive(Pro
kemoterapi I)
Diagnosis keperawatan yang diangkat pada kasus ISPA An N pada
pengkajian yang dilakukan pada tanggal 06 Oktober 2018 adalah sebagai
berikut:

1) Nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi tumor ditandai dengan


adanya benjolan di leher sebelah kiri, nyeri bila ditekan, nyeri seperti
ditusuk, skala 5 nyeri terus menerus Dari hasil pengkajian ditemukan
data yang mendukung untuk menegakan diagnosis Nyeri kronis yang
dirasakan klien. Diagnosis ini ditegakan sebagai diagnosis aktual karena
memiliki data yang mendukung sesuai dengan teori yakni klien
mengalami nyeri dikarenakan benjolan yang besar di leher
2) Defisit nutrisi berhungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
ditandai dengan sulit menelan, nafsu makan menurun dan rasa mual
muntah Dari hasil pengkajian ditemukan data yang mendukung untuk
menegakan diagnosis deficit nutirisi yang dirasakan klien. Diagnosis ini
ditegakan sebagai diagnosis aktual karena memiliki data yang
mendukung sesuai dengan teori yakni klien yang ,engalami penurunan
BB seblum sakit 68 saat sakit menjadi 64 kg, Serum albumin yang turun
menjadi 3,3 g/dl, klien juga mengalami penurunan nafsu makan serta
mual dan ntah
3) Ansietas berhubungan dengan terpapar bahaya lingkunan ditandai dengan
merasa khawatir (pro Kemoterapi dibuktikan dengan klien, tampak gelisah
tampak tegang Dari hasil pengkajian ditemukan data yang mendukung
untuk menegakan diagnosis ansietas yang dirasakan klien. Diagnosis ini
ditegakan sebagai diagnosis aktual karena memiliki data yang mendukung
sesuai dengan teori yakni klien mengalami khekhawatiran dikarenakan
inimemoterapi pertama an dilakukannya seerta klien juga

Diagnosis keperawatan yang tidak terjadi pada kasus CA Nasofaring Tn


M adalah sebagai berikut:

1) Resiko Infeksi berhubungan dengan peradangan (proses inflamasi


dikarenakn kuien tidak mengalami tanda tanda infeski dan hasil lab
WBC masi dalam batas normal

1.6.3 Intervensi keperawatan


Intervensi keperawatan klien dengan CA Nasofaring dilakukan
sesuai dengan perencanaan menurut teori yang sesuai dengan diagnosis
keperawatan yang telah ditentukan pada masalah Nyeri Kronis
diberikan Tindakan relaksasi dengan PMR (progressive muscle
Relaxation dalam manajemen nyeri dan kecemasan sehingga pada
penelitian yang dilakukan Nastoba et al 2020 bahwa PMR juga terbukti
dapat mengurangi nyeri dan kecemasan. PMR dapat memberikan
manfaat ganda yaitu menimbulkan adaptasi individu yang lebih positif
dalam waktu yang singkat dan penurunan kecemasan yang tidak
bergantung pada proses netralisir stressor Terdapat penurunan nyeri dan
kecemasan sebelum dan sesuedah dilakukan PMR. PMR bekerja
meningkatkan kerja saraf parasimpatis dan menurunkan stimulasi
sistem saraf simpatis serta hipotalamus sehingga pengaruh stres fisik
terhadap keduanya menjadi minimal. Berdasarkan pemahaman inilah
latihan PMR mampu mengurangi distress akibat gejala fisik. Selain itu
penelitian Komalawati et al 2018 Menyatakan bahwa PMR dapat
membantu menurunkan myalgia pada pasien kanker paru yang
menjalani kemoterapi. PMR dapat menjadi salah satu terapi
komplementer yang bisa diterapkan perawat di rumah sakit untuk
menurunkan myalgia.
Dan Rahmania Et al 2020 juga Progressive Muscle Relaxation
dapat merangsang sistem saraf parasimpatis yang akan mengontrol
aktivitas dan mempengaruhi neurotransmitter yang mengantarkan ke
sistem saraf pusat. Stimulus tersebut dapat memacu pelepasan hormon
endorphin yang menimbulkan ketegangan otot berkurang sehingga
tubuh menjadi relaks dan energi positif akan muncul. Energi tersebut
akan menghambat jalur ujung-ujung saraf yang menimbulkan nyeri dan
kecemasan sehingga tidak dapat diinterpretasikan oleh tubuh.
Mekanisme tersebut dapat mengatasi keluhan nyeri dan kecemasan
pasien kanker serviks.
Progressive Muscle Relaxation dapat dijadikan sebagai intervensi
mandiri khususnya perawatan paliatif bagi pasien kanker serviks guna
beradaptasi dengan keluhan nyeri dan kecemasan. Dan pada diagnose
deficit nutrisi dilakukan pemberian antiemtik sebleum pemberian
kemmoterapi hal ini sesuai dengan penelitian mahardian (2020)
premedikasi antiemetik yang diberikan dengan waktu spesifk
memberikan manfaat dalam mengurangi kejadian CINV yang
berpotensi pada pasien kanker payudara yang mendapatkan kemoterapi
dengan tingkat emetogenik tinggi. Selain itu penelitian Phillip et all
2016 juga menyatakan Sintesis naratif menunjukkan bahwa antagonis
5-HT3 lebih efektif daripada agen antiemetik yang lebih lama, bahkan
ketika agen ini digabungkan dengan steroid. Kanabinoid mungkin
efektif tetapi sering menghasilkan efek samping.
1.6.3 Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan 2 hari yakni pada tanggal 04 Januari
2019 dan 05 januari 2019.Pada 2 hari itu, semua perencanaan telah
dilaksanakan sesuai sebagaimana mestinya. Pada diagnose nyeri kronis
telah dilakukan Tindakan Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, Intensitas nyeri dan skala nyeri, Mengidentifikasi
respons nyeri non verbal , Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri, Memonitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan, Memberikan teknik nonfamakologis untuk mengurangi
rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi, teknik imajlnasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain), Mengontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan) ,
Memfasilitasi istirahat dan tidur, Menjelaskan strategi meredakan nyeri,
Mengajarkan Teknik nonfarmakalogis untuk mengurangi rasa nyeri
Sedangkan pada diagnose deficit nutsrisi telah dilakukan,
Mengidentifikasi intoleransi makan, Mengidentifikasi makanan yang
disukai, Memonitor asupan makanan, Memonitor berat badan,
Memonitor hasil pemeriksaan laboratorium, Menyajikan makanan secara
menarik dan suhu yang sesuai, Memberikan makanan tinggi protein dan
kalori, Menganjurkan makan dengan posisi duduk, Berkolaborasi
pemberian medikasi sebelum makan, Berkolaborasi dengan ahligizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu
1.6.5 Evaluasi

Evaluasi dilakukan 2 hari yakni pada tannggal 04 januari 2019


hingga 05 januari 2019 pada diagnose nyeri kronis suah teratasi namun
yang deficit nutirisi intervensi masih dilanjutkan . dikarenakan pada
kriteria hasil masih belum terpenuhi namun pada tanggal 06 Januari
pasien sudah KRS sehingga klien hanya diberi pendidiknaan kesehatan
supaya teratur minum obat , jika terdapat nyeri juga harus melakukan
Teknik Teknik yang dapat menghilangkan nyeri contoh seperti PMR
dan Teknik distraksi lainnya
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy, December 2020 Available online at:
Vol. 9 Iss. 4, pg 298–309 http://ijcp.or.id
ISSN: 2252–6218, e-ISSN: 2337-5701 DOI: 10.15416/ijcp.2020.9.4.298
Research Article

Analysis of Antiemetic Premedication Administration Timing on


Nausea and Vomiting Incidence among Breast Cancer Patients
Receiving Chemotherapy
Mahardian Rahmadi1, Indira D. Kharismawati2, Heru Purwanto3, Irvina Harini4,
Suharjono1, Chris Alderman1,5
1
Department of Clinical Pharmacy, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia, 2Master of Clinical
Pharmacy, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia, 3Division of Oncology Surgery,
Department of Surgery, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, Indonesia/Faculty of Medicine,
Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia, 4Department of Pharmacy, Installation of Pharmacy,
Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, Indonesia, 5School of Pharmacy and Medical Sciences,
University of South Australia, Adelaide, Australia

Abstract
The risk factors affecting chemotherapy-induced nausea and vomiting (CINV) includes antiemetic
premedication time pattern, and this study investigates the capability of enhancing this in breast cancer
patients receiving high emetogenic chemotherapy (HEC). Furthermore, this observational research
was implemented at the oncology unit of Dr. Soetomo General Hospital Surabaya over a three-month
period involving 69 female patients. The results showed unspecific antiemetic premedication timing in
comparison to those with recommended timeframes, was connected with greater occurrence of both
acute nausea in all cycles of chemotherapy (p<0.05), and acute vomiting in second and third cycles
(p<0.05) but not in the first cycle (p=0.49). However, specific time administration of antiemetic treatment
was linked with lower incidence of delayed nausea in all cycles (p<0.05), and less delayed vomiting
in second and third cycles (p<0.05) but not in first cycle (p=0.10). These findings indicate specific
time administration of antiemetic drugs causes significant advantages in mitigating CINV among breast
cancer patients treated with emetogenic chemotherapy, and significantly lessened the occurrence of
acute and delayed nausea and vomiting.

Keywords: Antiemetic premedication timing, breast cancer, CINV, nausea and vomiting

Analisis Waktu Pemberian Premedikasi Antiemetik terhadap


Kejadian Mual Muntah pada Pasien Kanker Payudara yang
Mendapatkan Kemoterapi
Abstrak
Kemoterapi dapat menginduksi mual muntah (chemotherapy-induced nausea and vomiting, CINV) yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah waktu pemberian premedikasi antiemetik
yang dapat meningkatkan kejadian CINV pada pasien kanker payudara yang menerima kemoterapi.
Studi ini menganalisis waktu pemberian premedikasi antiemetik terhadap kejadian mual dan muntah
yang terjadi pada pasien kanker payudara yang mendapatkan kemoterapi dengan tingkat emetogenik
yang tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional prospektif dilakukan di Poli Onkologi
Satu Atap RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode pengambilan data tiga bulan dan melibatkan 69
wanita kanker payudara yang mendapat kemoterapi dengan tingkat emetogenik yang tinggi. Pemberian
premedikasi antiemetik dengan waktu yang tidak spesifik, meningkatkan kejadian mual akut pada
semua siklus dengan p<0,05 dan pada kejadian muntah akut pada siklus kedua dan ketiga (p<0,05),
namun tidak pada siklus pertama kemoterapi (p=0,49). Pemberian premedikasi antiemetik dengan
waktu spesifik dapat menurunkan kejadian mual tertunda di siklus pertama hingga ketiga (p<0,05)
dan pada kejadian muntah tertunda pada siklus kedua dan ketiga (p<0,05), namun tidak pada siklus
pertama (p=0,10). Penelitian ini memberikan bukti bahwa premedikasi antiemetik yang diberikan
dengan waktu spesifik memberikan manfaat dalam mengurangi kejadian CINV yang berpotensi
pada pasien kanker payudara yang mendapatkan kemoterapi dengan tingkat emetogenik tinggi.

Kata kunci: CINV, kanker payudara, mual dan muntah, waktu pemberian premedikasi antiemetik

Correspondence: apt. Mahardian Rahmadi, S.Si., M.Sc., PhD., Department of Clinical Pharmacy, Universitas
Airlangga, Surabaya, East Java 60115, Indonesia, email: mahardianr@ff.unair.ac.id
Submitted: 31st March 2020, Accepted: 15th October 2020, Published: 9th December 2020

298
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020

Introduction regimen, the common patient-related factors


including younger age, female, lower history
One of the most prevalent types of neoplasm of alcohol use (<5 standard drinks per week),
is breast cancer. About 50% of Indonesian emesis with prior chemotherapy and a dosing
women suffered from breast cancer have their schedule of premedication antiemetic that
disease diagnosed at an advanced stage.1,2 The covers both acute and delayed emesis.7,8
standard treatment for breast cancer involves CINV can be subdivided as acute and delayed.
the use of chemotherapy.3 Combination Acute onset nausea and vomiting usually
chemotherapy regimens are associated with follow within a few minutes to several hours
higher response rates compared to single- after drug administration. In addition, this
agent therapies. In addition, it is often commonly resolves within the first 24 hours.
associated with chemotherapy induced After 5 to 6 hours, the intensity of acute
nausea and vomiting (CINV), serious adverse emesis generally is at its peak. The incidence
effect that is able to negatively impact upon of acute emesis related to CINV is high on
patients quality of life (QoL) and how they younger women with lower ethanol usage
could allow and comply with therapy.4–6 The and had experienced CINV before. The dose
known patient-related risk factors involves of emetogenic agent and antiemetic regimen
young age, female gender, low alcohol also contribute to the incidence of CINV. On
intake history, and prior adverse experience the other hand, delayed nausea and vomiting
with chemotherapy.7–9 Anthracycline-based usually occurs in the period 24–120 hours
chemotherapy is categorized as a highly after chemotherapy.8,10,15
emetogenic chemotherapy (HEC).10 Some National Comprehensive Cancer Network
chemotherapy drugs are highly emetogenic (NCCN) guidelines provide a classification
(>90% frequency of emesis, for instance, that addresses the likelihood of CINV that is
cisplatin and combination anthracycline primarily related to the emetogenic potential
with cyclophosphamide), moderate emetic of the specific chemotherapeutic agents
risk (30–90% frequency of emesis, for applied. Patient who got acute emesis and
instance, cyclophosphamide, carboplatin, did not take any antiemetic prophylaxis,
and epirubicin), low emetic risk (10–30% therefore the chemotherapeutic agents can
frequency of emesis, for instance, etoposide) be classified into four types. The first is high
and minimal emetic risk (<10% frequency emetic risk (higher than 90% of patients
of emesis, for instance, bleomycin).11–13 The experiencing acute emesis: e.g. combination
combinations of several chemotherapeutics of anthracycline and cyclophosphamide,
agents can increase CINV activity. CINV cisplatin, and cyclophosphamide >1500 mg/
prevention and treatment is a prevention m2); the second one is moderate emetic risk
against CINV and antiemetic given to patients (30–90% of patients suffering acute emesis:
receiving chemotherapy.14 e.g. carboplatin, cyclophosphamide 1500
CINV is associated with significant decline mg/m2, daunorubicin, doxorubicin, epirubicin,
in their life quality and is perceived by patients and ifosfamide); the third one is low emetic
as one of the most important adverse effects risk (10–30% of patients with acute emesis:
associated with cancer treatment.6 Risk e.g. cytarabine 100–200 mg/m2, docetaxel,
factors for developing CINV are classified etoposide, 5-fluorouracil, gemcitabine, and
as patient or treatment-related. Meanwhile, paclitaxel); and the fourth is minimal emetic
some variability could be observed in patient risk (fewer than 10% of patients experience
risk factors on the basis of chemotherapy acute emesis: e.g. bleomycin, vinblastine,

299
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020

vincristine, and vinorelbine).8,13,15 The by chemotherapy with low emetogenic


common way to prevent chemotherapy- potential, previous study suggests that this
induced nausea and vomiting is by performing approach may not be effective for patients
antiemetic therapy before chemotherapy. The who received chemotherapy with moderate
antiemetic therapy should also be continued and high emetogenic levels.13,19
for the same period as the duration of the Antiemetic premedication timing is one of
emetic activity of the chemotherapeutic agent the risk factors increasing CINV incidence.
being used.16 The acute CINV occurs within According to US National Cancer Institute,
1–2 hours of chemotherapy administration and antiemetic premedication (ondansetron)
can last for up to 24 hours, the delayed CINV must be administered within 15–30 minutes
presents more than 24 hours until 120 hours before chemotherapy to prevent nausea
periods after chemotherapy administration.17 and vomiting.21 The administration timing
The antiemetic premedication has reduced is determined based on ondansetron onset
the vomiting prevalence considerably, but of action to prevent nausea and vomiting.
the evaluation shows that approximately Based on this introduction, this study
60.7% of patients still undergo either acute or analyzes whether specific time administration
delayed nausea following the chemotherapy.18 of antiemetic premedication can reduce
At oncology unit of Dr. Soetomo General nausea and vomiting incidence of breast
Hospital, antiemetic regimen used during cancer patients receiving high emetogenic
highly emetogenic chemotherapy includes chemotherapy.
a 5-Hydroxytrptamine (5-HT3) receptor
antagonist (ondansetron), a corticosteroid Methods
(dexamethasone), an antihistamine
(diphenhydramine) and an H2 receptor This was a prospective observational
antagonist (ranitidine). Dr. Soetomo General study analyzing antiemetic premedication
Hospital adopts antiemetic premedication administration timing on nausea and vomiting
protocol of NCCN version 2.2017 guideline. incidence of breast cancer patients, who
The protocol is applied on cancer patients receiving high emetogenic chemotherapy
receiving high emetogenic chemotherapy at oncology unit of Dr. Soetomo General
(HEC), namely 5-HT3 (ondansetron 8–16 mg Hospital Surabaya. However, the purpose of
intravenous administration), antagonist NK-1 this study was not to investigate differential
(aprepitant 125 mg per oral administration), effect of antiemetic premedication timing on
and dexamethasone 12 mg (intravenous or per nausea and vomiting incidence. This study
oral administration).19 However, antagonist was declared ethical by the health research
NK-1 (aprepitant) is not widely available in ethics committee of Dr. Soetomo General
Indonesia, therefore the protocol is modified Hopital Surabaya with approval number 100/
by adding ranitidine and diphenhydramine. Panke.KKE/II/2016.
Ranitidine inhibits H2 receptors and The participants recruited in this study
minimizes gastric acids secretion resulting were women with breast cancer underwent
in preventing nausea and vomiting, while their first chemotherapy cycle with antiemetic
diphenhydramine inhibits H1 receptors premedication as prophylaxis between March
and to reduce vestibular stimulation and to April 2016. The inclusion criteria of this
thus preventing nausea and vomiting.20 study were breast cancer patients receiving
Although this type of regimen is known to be chemotherapy since the first cycle, who never
effective in preventing nausea and vomiting done any chemotherapy before and receiving

300
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020

antiemetic premedication as prophylaxis of the interval between the end of antiemetic


emesis. All patients were observed from first (ondansetron) administration to the start of
until the third cycle of chemotherapy and chemotherapy. The subjects were followed
interviewed from the first cycle through the from first until third chemotherapy cycle
third cycle of chemotherapy. The exclusion and underwent structured interview by
criteria were breast cancer patients that a pharmacist to evaluate the response to
receives chemotherapy without antiemetic antiemetic treatment. After completing
premedication and the breast cancer patients each cycle of chemotherapy, patient filled
receiving chemotherapy but not from the questionnaire. The observation was conducted
first cycle. Meanwhile, the drop out criteria for five days after chemotherapy being held.
were breast cancer patients who passed The interview was carried out on every
away during the research, withdrawing their cycle of chemotherapy (first cycle, second
participation from this research, and those cycle, and third cycle). The patients are
who were not continuing their chemotherapy interviewed twice per cycle, namely 24 hours
treatment. after chemotherapy (acute CINV) and 120
Antiemetic premedication (ondansetron) hours after chemotherapy (delayed CINV)
was given 15 until 30 minutes before (Figure 1). Then, the analysis of antiemetic
chemotherapy which was considered specific premedication timing on nausea and vomiting
time, while less than 15 minutes and more was performed. The incidence of nausea and
than 30 minutes of antiemetic administration vomiting that occurred during the acute and
was considered unspesific time. Antiemetic delayed time frames was assessed using a
premedication administration time refers to shortened Indonesian language version of the

First cycle of Second cycle of Third cycle of


chemotherapy chemotherapy chemotherapy
3 weeks 3 weeks

The observation by The observation by The observation by


patients conducted for patients conducted for patients conducted for
five days after five days after five days after
chemotherapy being chemotherapy being chemotherapy being
held held held

The patients are The patients are The patients are The patients are The patients are The patients are
interviewed 24 interviewed 120 interviewed 24 interviewed 120 interviewed 24 interviewed 120
hours after hours after hours after hours after hours after hours after
chemotherapy chemotherapy chemotherapy chemotherapy chemotherapy chemotherapy

Figure 1 The Observation Workflow during Collecting Patient’s Data with Acute and Delayed
Nausea Vomiting after Chemotherapy
Patient interview was carried out on every cycle of chemotherapy (first cycle, second cycle, and third cycle). The patients were
interviewed twice per cycle, namely 24 hours after chemotherapy (acute chemotherapy induced nausea and vomiting (CINV))
and 120 hours after chemotherapy (delayed CINV).

301
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020

assessment of antiemetic efficacy and safety timing on the prevalence of acute nausea and
questionnaire with NCI-CTCAE version 4.03 vomiting at first, second, and third cycles of
guideline to assess the grade of nausea and chemotherapy could be seen at Table 2, 3,
vomiting.10,22,23 Mann-Whitney test was used 4, and 5. Those tables showed that either in
to analyze each variable between the groups. acute or delayed CINV, unspecific antiemetic
Statistical analysis were computed on a premedication timing significantly increased
significance level of 5%. the acute and delayed nausea and vomiting.
Unspecific antiemetic premedication timing
Results was associated with a greater prevalence
of acute nausea all cycles of chemotherapy
During the data capture period, 72 women (p<0.05) and with a greater prevalence of
proceeded to receive chemotherapy, with acute vomiting in second and third cycles
3 subjects who dropped out (one deceased, (p<0.05) but not in first cycle of chemotherapy
two declining interview) leaving 69 patients (p=0.49). Specific time administration of
who proceeded to evaluation. All patients antiemetic treatment was associated with
were women, with 17% aged <40 years old, a lower prevalence of delayed nausea in all
74% aged 40–60 years old, and 9% aged >60 cycles (p<0.05), as well as a lower prevalence
years old. A variety of chemotherapy regimens of delayed vomiting in second and third cycles
were used, all of which were classified as (p<0.05) but not in first cycle of chemotherapy
highly emetogenic (85% was treated using (p=0.10).
Cyclophosphamide, Adriamycin, Fluorouracil;
12% using Cyclophosphamide, Epirubicin, Discussion
Fluorourcil; or 3% using Cyclophosphamide,
Adriamycin). All patients received the same Breast cancer is a common malignancy in
antiemetic premedication combination. First, Indonesia and around the world.24 CINV
ranitidine 50 mg in 8 ml normal saline was associated with cytotoxic chemotherapy in
given intravenous bolus injection. Second, this context has a potentially major role upon
diphenhydramine 10 mg in 4 ml normal saline well being, treatment tolerability and overall
was given intravenous bolus injection. Third, treatment outcomes.6 The use of chemotherapy
dexamethasone 20 mg in 100 ml D5% with can produce nausea and vomiting. These
intravenous drips for 15 minutes. The fourth, particularly unpleasant impressions continue
ondansetron 8 mg in 50 ml normal saline to be a problem despite better antiemetic.25,26
administered through intravenous drips for 10 The main objective of this study was to analyze
minutes (Table 1). antiemetic premedication administration
The distribution of timing for the timing on nausea and vomiting incidence of
administration of antiemetic premedication breast cancer patients, who received high
was highly variable. The range of antiemetic emetogenic chemotherapy in oncology unit
premedication administration time was within in Dr. Soetomo General Hospital Surabaya.
15 minutes until more than 2 hours before This prospective observational study was
chemotherapy. Most of patients received carried out due to the limited number of nurses
unspecific antiemetic premedication timing, working at chemotherapy ward and the time
whereas only small amount of patients that difference between antiemetic premedication
had specific time administration of antiemetic and chemotherapy regimens transfer from
premedication. pharmacy unit to chemotherapy wards. The
The analysis of antiemetic premedication time difference caused interval between

302
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020

Table 1 Patients Characteristic


Characteristics Total Percentage (%)
Age
<40 years 12 17.00
40–60 years 51 74.00
>60 years 6 9.00
(Average±SD) (48±8.92)
(Range min-max) (22–66)
Gender
Female 69 100.00
Male 0 0.00
Type of Cancer
Breast cancer 69 100.00
Chemotherapy Regimen
Cyclophosphamide, Adriamycin, Fluorouracil (CAF) 59 85.00
Cyclophosphamide, Epirubicin, Fluorourcil (CEF) 8 12.00
Cyclophosphamide, Adriamycin (CA) 2 3.00

Level of Emetogenic Chemotherapy


High emetogenic chemotherapy 69 100.00
Moderate emetogenic chemotherapy 0 0.00
Low emetogenic chemotherapy 0 0.00
Minimal emetogenic chemotherapy 0 0.00
Dose of Chemotherapy
CAF 600/60/600 1 1.45
CAF 600/70/750 1 1.45
CAF 605/60/600 1 1.45
CAF 700/70/700 12 17.39
CAF 750/75/750 16 23.18
CAF 790/79/790 1 1.45
CAF 800/70/750 4 5.80
CAF 800/70/1000 6 8.69
CAF 800/75/750 1 1.45
CAF 800/80/800 14 20.29
CAF 850/85/850 1 1.45
CAF 900/90/900 1 1.45
CA 70/800 2 2.90
CEF 700/70/700 2 2.90
CEF 750/75/750 2 2.90
CEF 800/80/800 2 2.90
CEF 850/85/850 1 1.45
CEF 1000/80/1000 1 1.45
Combination Antiemetic Premedication
Ranitidine 50 mg in 8 ml normal saline
Diphenhydramine 10 mg in 4 ml normal saline 69 100.00
Dexamethasone 20 mg in 100 ml D5%
Ondansetron 8 mg in 50 ml normal saline
Different doses of chemotherapy did not significantly affect emetogenic level of the chemotherapy. All chemotherapy
combinations administered were categorized as high emetogenic chemotherapy.

303
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020

Table 2 The Analysis of Antiemetic Premedication Timing on Incident of Acute Nausea


Nausea Negligible
Cycle Antiemetic Premedication Timing p
n (patient) n (patient)
1 Specific time 0 6
<0.05
Unspecific time 36 27
2 Specific time 0 13
<0.05
Unspecific time 32 24
3 Specific time 2 29
<0.05
Unspecific time 25 13
*This research used Mann-Whitney test; Unspecific antiemetic premedication timing was associated with a greater prevalence
of acute nausea all cycles of chemotherapy with p<0.05.

antiemetic premedication (ondansetron) and Dr. Soetomo General Hospital adopts


chemotherapy drugs administration. This antiemetic premedication protocol of NCCN
study also intended to observe and evaluate version 2.2017 guideline, which is applied
the nurses awareness of the important of time on cancer patients receiving HEC, namely
interval between antiemetic premedication 5-HT3 (ondansetron 8–16 mg intravenous
and chemotherapy regimens administration. administration), antagonist NK-1 (aprepitant
This study controlled several risk factors 125 mg per oral administration), and
including all patients were female breast dexamethasone 12 mg (intravenous or per
cancer patients, and all of them received HEC. oral administration).19 Since aprepitant is not
This observation was carried out starting from available in Indonesia, Dr. Soetomo General
the first cycle of chemotherapy in order to Hospital adjusts antiemetic premedication
have the same history of CINV, and all patients protocol by administering 5-HT3 (ondansetron
received the same antiemetic premedication. 8 mg), dexamethasone 20 mg, H2 blocker
This was controlled to obtain homogeneous (ranitidine 50 mg), and (diphenhydramine
patients thereby reducing the bias. This 10 mg). Ranitidine and diphenhydramine
research has demonstrated that unspecific time are modifications added to antiemetic
administration of antiemetic premedication premedication protocol to prevent nausea and
was associated with compromised antiemetic vomiting incidence on patient. Ranitidine
treatment efficacy, to some extent in the acute inhibits H2 receptors and minimizes gastric
stage and more prominently in the late phase. acids secretion resulting in preventing

Table 3 The Analysis of Antiemetic Premedication Timing on Incident of Acute Vomiting


Vomiting Negligible
Cycle Antiemetic Premedication Timing p
n (patient) n (patient)
1 Specific time 0 6
0,498
Unspecific time 11 52
2 Specific time 0 13
<0.05
Unspecific time 16 40
3 Specific time 0 31
<0.05
Unspecific time 8 30
*This research used Mann-Whitney test; Unspecific antiemetic premedication timing was associated with a greater prevalence
of acute vomiting in second and third cycles of chemotherapy with p<0.05, but not in first cycle of chemotherapy with p=0.498.

304
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020

Table 4 The Analysis of Antiemetic Premedication Timing on Incident of Delayed Nausea


Nausea Negligible
Cycle Antiemetic Premedication Timing p
n (patient) n (patient)
1 Specific time 3 3
<0.05
Unspecific time 59 4
2 Specific time 6 7
<0.05
Unspecific time 53 3
3 Specific time 21 10
<0.05
Unspecific time 35 3
*This research used Mann-Whitney test; Specific time administration of antiemetic treatment was associated with lower
prevalence of delayed nausea all cycles chemotherapy with p<0.05.

nausea and vomiting, while diphenhydramine emetic risk chemotherapy and the rates
inhibits H1 receptors and to reduce vestibular were advanced in the whole cycles.27–30 The
stimulation and thus preventing nausea incidence of acute and delayed CINV during
and vomiting.20 It was confirmed that the first, second, and third cycles of chemotherapy
administration of antiemetic premedication could reduce the occurence and severity of
was not effective on HEC. However, the acute nausea but not delayed nausea. In the
administration of antiemetic premedication incidence of vomiting, the regimentation
at a specific time might reduce nausea and could also reduce the incidence and severity
vomiting incidence on patients. of both acute and delayed vomiting (the
These findings are similar to those seen response is greater than in nausea). Patient
in previous research. It has previously been at high risk for CINV failed to achieve good
observed that the administration of high nausea control.31 The use of premedication
emetogenic chemotherapy frequently caused antiemetic has reduced the incidence of
delayed CINV rather than acute CINV. The vomiting, but 30–60% of the patients still
administration of antiemetics in controlling experienced either acute or delayed of
delayed CINV might work less optimally. nausea.4 This study focused on the timing of
Complete protection from acute and delayed antiemetic premedication for the incidence of
nausea in the initial cycle of chemotherapy acute CINV and delayed CINV. Breakthrough
were 60% and 45%, accordingly, for great CINV is nausea and vomiting incidence

Table 5 The Analysis of Antiemetic Premedication Timing on Incident of Delayed Vomiting


Vomiting Negligible
Cycle Antiemetic Premedication Timing p
n (patient) n (patient)
1 Specific time 0 6
0.100
Unspecific time 26 37
2 Specific time 2 11
<0.05
Unspecific time 26 30
3 Specific time 8 23
<0.05
Unspecific time 23 15
*This research used Mann-Whitney test; Specific time administration of antiemetic treatment was associated with lower
prevalence of delayed vomiting in second and third cycles chemotherapy with p<0.05, but not in first cycle of chemotherapy
with p=0.100.

305
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020

for 5 days on patients receiving emetic exploration of the effects associated with
prophylaxis that requires rescue antiemetic different category of chemotherapy regimens.
as additional therapy to control nausea and Randomized controlled trial (RCT) study
vomiting incidence. Breakthrough CINV will was not carried out since the objective of this
not be discussed in this study. Anticipatory study was to analyse the effect of antiemetic
CINV is nausea and vomiting incidence that premedication timing on nausea and vomiting
occurs between the cycles of chemotherapy incidence with the limited number of nurses.
and is associated with previous CINV.32 Future research studies could be designed
Anticipatory CINV was also excluded from to address these limitations and to provide
the discussion because it occured before each additional data to explore these aspects of
cycle of chemotherapy which was beyond this clinically important issue.
our observation time period.
The research findings here provide further Conclusion
evidence that specific time administration of
antiemetic drugs produces important benefits Specific time administration of antiemetic
in reducing CINV among people treated with premedication may minimize the incidence of
emetogenic chemotherapy for breast cancer. nausea and vomiting. This study suggests that
The results emphasize the need to schedule scheduled workflow and other approaches to
workflows to improve the timeliness of increase the timeliness of antiemetic treatment
antiemetic treatment provided in this setting. may enhance protection against CINV for
Possible approaches to explore could involve people treated with emetogenic chemotherapy
schedule workflow for dispensing and delivery for breast cancer, potentially improving quality
of antiemetic drugs, more involvement from of life and improving outcomes.
pharmacists in the processes of preparing
the medications for administration (currently Funding
undertaken by nursing staff), greater education
for nursing and medical staff about the This research is partially funded by Taher
importance of specific antiemetic treatment Professorship programme to Prof. Dr. apt.
timing, and greater standardization of practices Suharjono, MS.
overall. The effects of scheduled workflow
and changes to practice should be re-assessed Conflict of Interest
in future research. If more specific time
administration of the antiemetic drugs cannot The authors declared no potential conflicts of
produce a more robust response in reducing interest with respect to the research, authorship,
delayed phase CINV, especially in cycles after and/or publication of this article.
the initial treatment, it is also possible that
changes to the antiemetic treatment regimen References
may need to be considered and evaluated.
This research study has a range of 1. Setiowati DAI, Tanggo EH, Soebijanto RI.
limitations. The sample size was small and Hubungan antara pemakaian KB hormonal
some participants declined to participate. The dengan kejadian kanker payudara di poli
study design did not explore or document the onkologi satu atap RSUD Dr. Soetomo,
reasons for unspecific time administration of Februari-April 2015. Indones J Cancer.
antiemetic treatments, and the protocol was 2016;10(1):11–7. doi: 10.33371/ijoc.v10i
not sufficiently powered to allow detailed 1.409

306
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020

2. Lee HB, Han W. Unique features of young 2013.06.012


age breast cancer and its management. J 10. Kawazoe H, Murakami A, Yamashita M,
Breast Cancer. 2014;17(4):301–7. doi: 10. Nishiyama K, Kobayashi K, Komatsu S,
4048/jbc.2014.17.4.301 et al. Patient-related risk factors for nausea
3. Klein J, Tran W, Watkins E, Vesprini D, and vomiting with standard antiemetics
Wright FC, Hong NJL, et al. Locally in patients with breast cancer receiving
advanced breast cancer treated with anthracycline-based chemotherapy: A
neoadjuvant chemotherapy and adjuvant retrospective observational study. Clin
radiotherapy: A retrospective cohort Ther. 2018;40(12):2170–9. doi: 10.1016/
analysis. BMC Cancer. 2019;19(1):306. j.clinthera.2018.10.004
doi: 10.1186/s12885-019-5499-2 11. Hesketh PJ, Kris MG, Basch E, Bohlke K,
4. Rao KV, Faso A. Chemotherapy- Barbour SY, Clark RA, et al. Antiemetics:
induced nausea and vomiting: Optimizing American Society of Clinical Oncology
prevention and management. Am Health clinical practice guideline update. J Clin
Drug Benefits. 2012;5(4):232–40. Oncol. 2017;35(28):3240–61. doi: 10.120
5. Dipiro J, Burns M, Scwinghammer 0/JCO.2017.74.4789
T, Wells B, Malone P, Kolesar J. 12. Jordan K, Warr DG, Hinke A, Sun L,
Pharmacotherapy principles and practice Hesketh PJ. Defining the efficacy of
4th edition. New York: The McGraw-Hill neurokinin-1 receptor antagonists in
Companies Inc; 2016. controlling chemotherapy-induced nausea
6. Aapro M. CINV: Still troubling patients and vomiting in different emetogenic
after all these years. Support Care Cancer. settings—A meta-analysis. Support Care
2018;26(1):5–9. oi: 10.1007/s00520-018- Cancer. 2016;24(5):1941–54. doi: 10.100
4131-3 7/s00520-015-2990-4
7. Hayashi T, Shimokawa M, Matsuo K, 13. Zaidan M, Soufi L, Hafeez M,
Miyoshi T, Toriyama Y, Yokota C, et al. Abdelwahid M, Rasul KI. Assessing
Risk factors for delayed chemotherapy- prescribing patterns for the prevention
induced nausea and vomiting with low- of chemotherapy-induced nausea and
emetic-risk chemotherapy: A prospective, vomiting in the national center for
observational, multicenter study. Cancer cancer care and research. Saudi Pharm
Manag Res. 2018;10:4249–55. doi: 10.21 J. 2015;23(4):381–7. doi: 10.1016/j.jsps.
47/CMAR.S176574 2015.01.003
8. Pluzanski A, Kalinka E, Lacko A, 14. Bourdeanu L, Frankel P, Yu W, Hendrix G,
Rubach M. Prevention of chemotherapy- Pal S, Badr L, et al. Chemotherapy-induced
induced nausea and vomiting—standards nausea and vomiting in Asian women with
versus clinical practice. Oncol Clin Pract. breast cancer receiving anthracycline-
2016;12(4):153–7. doi: 10.5603/OCP.201 based adjuvant chemotherapy. J Support
6.0002 Oncol. 2012;10(4):149–54. doi: 10.1016/j.
9. Molassiotis A, Aapro M, Dicato M, Gascon suponc.201 1.10.0 07
P, Novoa SA, Isambert N, et al. Evaluation 15. Tageja N, Groninger H. Chemotherapy-
of risk factors predicting chemotherapy- induced nausea and vomiting #285. J
related nausea and vomiting: Results from Palliative Med. 2014;17(12):1400–2. doi:
a European prospective observational 10.1089/jpm.2014.9392
study. J Pain Symptom Manage. 2014;47 16. Costa AL, Abreu C, Pacheco TR, Macedo
(5):839–48. doi: 10.1016/j.jpainsymman. D, Sousa AR, Pulido C, et al. Prevention

307
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020

of nausea and vomiting in patients Available at: http://www.bccancer.bc.ca/


undergoing oral anticancer therapies for nursingsite/Documents/11.%20Nausea%
solid tumors. Biomed Res Int. 2015;2015: 20and%20Vomiting.pdf
309601. doi: 10.1155/2015/309601 24. Setyowibowo H, Purba FD, Hunfeld JA,
17. Rapoport BL. Delayed chemotherapy- Iskandarsyah A, Sadarjoen SS, Passchier
induced nausea and vomiting: J, et al. Quality of life and health status
Pathogenesis, incidence, and current of Indonesian women with breast cancer
management. Frontiers Pharmacol. 2017; symptoms before the definitive diagnosis:
8:19. doi: 10.3389/fphar.2017.00019 A comparison with Indonesian women in
18. Schwartzberg LS, McLaughlin T, Geller general. PLoS One. 2018;13(7):e0200966.
RB, Gabrail NY, Marks SM. Real-world doi: 10.1371/journal.pone.0200966
efficacy: Intravenous palonosetron 25. Phillips RS, Friend AJ, Gibson F, Houghton
three-drug regimen for chemotherapy- E, Gopaul S, Craig JV, et al. Antiemetic
induced nausea and vomiting with highly medication for prevention and treatment
emetogenic chemotherapy. J Comp Eff of chemotherapy-induced nausea and
Res. 2018;7(12):1161–70. doi: 10.2217/ vomiting in childhood. Cochrane
cer-2018-00 89. Database Syst Rev. 2016;2(2):1–100. doi:
19. Berger MJ, Ettinger DS, Aston J, Barbour 10.1002/14651858.CD007786.pub3
S, Bergsbaken J, Bierman PJ, et al. 26. Salihah N, Mazlan N, Lua PL.
NCCN Guidelines Insights: Antiemesis, Chemotherapy-induced nausea and
version 2.2017 featured updates to the vomiting: Exploring patients’ subjective
NCCN guidelines. J Natl Compr Canc experience. J Multidiscip Healthc. 2016;
Netw. 2017;15(7):883–93. doi: 10.6004/ 9:145–51. doi: 10.2147/JMDH.S97695
jnccn.2017.0117 27. Lihara H, Fujii H, Yoshimi C, Yamada M,
20. Corbett A, Dana W, Fuller M, Gallagher Suzuki A, Matsuhashi N, et al. Control of
J, Golembiewski J, Gonzales J, et al. Drug chemotherapy-induced nausea in patients
information handbook with international receiving outpatient cancer chemotherapy.
trade names index twenty 3rd edition. Int J Clin Oncol. 2016;21(2):409–18. doi:
United States: Wolters Kluwer Health; 10.1007/s10147-015-0908-2
2015. 28. Yap KYL, Low XH, Chan A. Exploring
21. Lilley L, Snyder J, Collins S. chemotherapy-induced toxicities through
Pharmacology and the nursing process, multivariate projection of risk factors:
9th edition. USA: Elsevier Inc; 2020. Prediction of nausea and vomiting. Toxicol
22. Ueda H, Shimono C, Nishimura T, Res. 2012;28(2):81–91. doi: 10.5487/TR.
Shimamoto M, Yamaue H. Palonosetron 2012.28.2.081
exhibits higher total control rate compared 29. Janicki P. Management of acute and
to first generation serotonin antagonists delayed chemotherapy-induced nausea
and improves appetite in delayed phase and vomiting: Role of netupitant–
chemotherapy induced nausea and palonosetron combination. Ther Clin Risk
vomiting. Mol Clin Oncol. 2014;2(3): Manag. 2016;12:693–9. doi: 10.2147/TC
375–9. doi: 10.3892/mco.20 4.263 R M.S81126
23. National Cancer Institute. In: Agency BC 30. Escobar Y, Cajaraville G, Virizuela J,
cancer system management guidelines: Álvarez R, Muñoz A, Olariaga O, et al.
Cancer related nausea and vomiting Incidence of chemotherapy-induced
2010 [Accessed on: 12 December 2019]. nausea and vomiting with moderately

308
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020

emetogenic chemotherapy: ADVICE vomiting control in breast cancer patients


(Actual Data of Vomiting Incidence by with multiple risk factors. Support Care
Chemotherapy Evaluation) study. Support Cancer. 2016;24(4):1563–9. doi: 10.1007
Care Cancer. 2015;23(9):2833–40. doi: /s00520-015-2944-x
10.1007/s0 0520-015-2809-3 32. Navari RM. Treatment of breakthrough
31. Dranitsaris G, Mazzarello S, Smith S, and refractory chemotherapy-induced
Vandermeer L, Bouganim N, Clemons nausea and vomiting. Biomed Res Int.
M. Measuring the impact of guideline- 2015;2015:595894. doi: 10.1155/2015/59
based antiemetic therapy on nausea and 5894

© 2020 Rahmadi et al. The full terms of this license incorporate the Creative Common Attribution-Non Commercial License (https://creative
commons.org/licenses/by-nc/4.0/). By accessing the work you hereby accept the terms. Non-commercial use of the work are permitted without
any further permission, provided the work is properly attributed.

309
36
ISSN: 2548-1843
EISSN: 2621-8704

PENGARUH PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION (PMR)


TERHADAP MYALGIA PADA PASIEN KANKER PARU YANG
MENJALANI KEMOTERAPI

Dedeh Komalawati1), Lestari Sukmarini1), Tuti Herawati1)

1
) FIK, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16426, Indonesia
E-mail : dedeh_rsp@yahoo.co.id

ABSTRAK

Myalgia dapat terjadi karena efek samping kemoterapi. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui pengaruh PMR terhadap myalgia pada pasien kanker paru yang menjalani
kemoterapi. Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment dengan pre-post test with
control group. Sampel penelitian adalah 32 orang, diambil dengan consecutive sampling.
Pengukuran intensitas myalgia dilakukan dengan menggunakan numeric rating scale.
Kelompok intervensi diberikan tindakan PMR selama 15 menit dengan frekuensi 2x sehari
dalam 5 hari berturut-turut pasca kemoterapi. Hasil penelitian didapatkan penurunan
intensitas myalgia sebelum dan setelah dilakukan intervensi pada kelompok intervensi (p
value 0,001) dan pada kelompok kontrol (p value 0,001). Namun terdapat perbedaan
penurunan intensitas myalgia antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah
diberikan intervensi dengan selisih 0,81 (p value = 0,001) . Kesimpulan, PMR dapat
membantu menurunkan myalgia pada pasien kanker paru yang menjalani kemoterapi. PMR
dapat menjadi salah satu terapi komplementer yang bisa diterapkan perawat di rumah sakit
untuk menurunkan myalgia.

Kata kunci : Kanker paru, kemoterapi, myalgia, progressive muscle relaxation

ABSTRACT

Myalgia can be occured by side effect of chemotherapy. The purpose of this study was to
identify the effect of PMR against myalgia in lung cancer patients undergoing
chemotherapy. This study design was a quasi experiment, used pre and post test with
control group. Samples were 32 patients, recruited by consecutive sampling. Measuring
pain assessment used numeric rating scale. The intervention group had been provided
PMR fifteen minutes twice a day for five days post chemotherapy. The results showed
significantly different reduction of pain intensity before and after providing PMR in the
intervention group and control group as well (p value = 0,001). There was a significantly
different reduction of myalgia intensity between both group after giving intervention with
mean difference 0,81 (p value = 0,001). It can be concluded that PMR can reduce myalgia
in lung cancer patients undergoing chemotherapy. Suggestion, PMR becomes one of the
complementary therapies to overcome myalgia.

Keywords: Chemotherapy, lung cancer, myalgia, progressive muscle relaxation

JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)

36
37

PENDAHULUAN kerusakan berlebih pada sel-sel


normal (Black & Hawk, 2014). Efek
Kanker menjadi satu masalah
kesehatan utama baik di dunia samping kemoterapi antara lain

maupun di Indonesia. Insiden kanker myagia, mual, muntah, rambut

di dunia dari tahun 2008 sampai rontok sampai botak, mukositis,

2012 meningkat 14,1 juta kasus, kesemutan, diare, menurunkan

sedangkan jumlah kematian produksi sel darah, lelah/fatigue,

meningkat sebesar 8,2 juta. Sekitar dan bahkan alergi (Suryo, 2010).

1,59 juta diantaranya meninggal Efek samping kemoterapi dengan

karena kanker paru. Kanker paru obat carboplatin dan paclitacsel

menempati posisi pertama dengan yang sering dikeluhkan pasien


jumlah kematian terbanyak. Kanker adalah myalgia dan arthralgia
paru termasuk dalam 5 jenis kanker (Yoshida at al., 2009). Efek samping
terbanyak di dunia (WHO, 2013). dari carboplatin dan etoposide
adalah myalgia ringan sampai
Penatalaksanaan pada kanker paru sedang (Philips, 2013).
yaitu pembedahan, radiasi dan
kemoterapi (Smeltzer, 2008). Myalgia adalah sensasi
Kemoterapi merupakan pilihan ketidaknyamanan kram, rasa nyeri
pengobatan pada pasien kanker paru seperti ditusuk-tusuk (Rohkamm,
terutama Small Cell Lung Cancer 2013). Myalgia merupakan nyeri
(PDPI, 2011). Adapun obat yang berasal dari otot dan
kemoterapi yang biasa digunakan berhubungan dengan lokasi otot
pada kanker paru adalah carboplatin, yang terkena (Davey, 2006).
cisplatin, etoposide, docetaxel, Myalgia adalah proses inflamasi dan
gemcitabine, paclitacsel, pada umumnya terjadi karena reaksi
pemetrexed, irinotecan dan reflek spasme otot dan bisa terjadi di
vinorelbin seluruh bagian tubuh (Handoko,
(Falk & Williams, 2010). 2008). Adapun gejala myalgia
adalah pegal, linu, berdenyut dan
Tujuan kemoterapi adalah terasa sakit bila ditekan (Handoko,
menghancurkan sel-sel tumor tanpa 2008).

JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)


38

Rasa nyeri merupakan pengalaman 2002). PMR memodifikasi nyeri,


emosional dan sensori yang tidak memungkinkan terjadi relaksasi otot
menyenangkan serta berhubungan yang akan merangsang pengeluaran
dengan kerusakan jaringan baik endorfin dan menghambat transmisi
bersifat aktual maupun potensial nyeri ke medulla spinalis serta otak
(Otto, 2001). Nyeri harus sebagai pusat rasa sakit sehingga
diidentifikasi sebelum dilakukan persepsi nyeri menurun (Rohads,
terapi, saat dilakukan terapi dan 2013). Penelitian ini dilakukan untuk
setelah dilakukan terapi (Strong et mengetahui pengaruh PMR terhadap
al, 2002). Apabila klien mengeluh myalgia pada pasien kanker paru
nyeri perlu dilakukan penilaian rasa yang menjalani kemoterapi.
nyeri yang bisa dilakukan dengan
pengkajian PQRST yaitu: provoking METODE
incident, quality of pain, region Penelitian ini merupakan penelitian
radiation, relief severity (scale) of kuantitatif yang emnggunakan
pain dan time (Muttaqin, 2008). rancangan quasi experiment control
Pengukuran nyeri dari aspek group yaitu untuk mengetahui
severity atau scale dapat dilakukan pengaruh PMR terhadap myalgia
dengan numeric rating scale, face pada pasien kanker paru yang
pain rating scale dan visual analog menjalani kemoterapi. Sampel
scale. penelitian ini terdiri dari 32 pasien
kanker paru yang menjalani
Penatalaksanaan myalgia pada kemoterapi dan instrumen yang
pasien yang menjalani kemoterapi digunakan yaitu form numeric rating
terdiri dari terapi farmakologi dan scale untuk mengukur intensitas
nonfarmakologi. Terapi farmakologi myalgia. Pada kelompok intervensi
yaitu nonopioid dan opiate. Terapi yaitu memberikan PMR selama 15
nonfarmakologi Progressive muscle menit dengan frekuensi 2x sehari
relaxation (PMR) merupakan dalam 5 hari berturut-turut pasca
metode yang berfokus pada relaksasi kemoterapi. sedangkan pada
otot, diciptakan pertama kali oleh dr kelompok kontrol yaitu memberikan
Edmund Jacobson (Greenberg, analgetik kemudian dilakukan postest

JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)


39

baik pada kelompok intervensi dengan selisih 0,81 (p value =


maupun kelompok kontrol untuk 0,001).
mengetahui intensitas myalgia.
Tabel 1. Perbedaan rerata intensitas
HASIL myalgia antara responden pada
kelompok intervensi dan kelompok
1. Analisis univariat kontrol sebelum dan sesudah diberikan
PMR ( n=32)
Pada penelitian ini rerata usia
Variable Pengukuran Median p
responden yaitu 50,13 SD±12,66 (Min- value
dengan rerata 46.69 SD±14.10, jenis Max)
Intensitas Pre 3,5
kelamin mayoritas laki-laki (81,3%), myalgia (3-4)
kelompok Post 2,0
jenis analgetik mayoritas asam kontrol (1-2) 0,001
mefenamat (90,6%), obat Intensitas Pre 4,0
myalgia (3-4)
kemoterapi yang dugunakan kelompok Post 1,0
intervensi (0-1)
carboplatin dan paklitaksel (68,7%),
siklus kemoterapi mayoritas kurang Tabel 2. Perbedaan rerata
dari 3 (81,3%). intensitas myalgia antara
responden pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol
2. Analisis bivariat sesudah diberikan PMR (n=32)

Variable Mean Median p value


Pada penelitian ini intensitas ± SD (Min-Max)
myalgia pre dan post test pada Intensitas
Myalgia 1,69±0,479 2,0 (1-2)
kelompok kontrol maupun Kelompok
kontrol 0,001
intervensi pada tabel 1 Intensitas
menunjukkan pengaruh intervensi Myalgia 0,88±0,324 1,0 (0-1)
Kelompok
yang diberikan pada kelompok intervensi

kontrol dan kelompok intervensi.


Hasil uji statistik menunjukkan ada PEMBAHASAN
perbedaan rerata intensitas myalgia
Rerata usia responden pada penelitian
pada kelompok kontrol dan
ini adalah berusia 40 tahun ke atas
kelompok intervensi (p value =
sebanyak 75%. Hal ini juga didukung
0,001). Pada tabel 2 menunjukkan
dengan penelitian menurut Hulma
perbedaan intensitas myalgia setelah
(2014) menyatakan bahwa 97%
dilakukan intervensi pada kelompok
pasien kanker paru berusia 40 tahun
intervensi dan kelompok kontrol
JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)
40

ke atas. Menurut Doherty (2001) maupun intervensi adalah berjenis


bahwa semakin bertambahnya usia kelamin laki-laki yaitu 81,25 %
maka akan semakin berkurangnya dengan perokok aktif. Penelitian
masa otot yang akan berpengaruh yang dilakukan Yosida et al (2009)
terhadap kekuatan otot. adalah pasien kanker paru dengan
jenis kelamin laki-laki sebanyak 82
Penurunan fungsi fisiologis, %. Menurut Davey (2006) faktor
perubahan oksidatif jaringan otot risiko kanker paru yang paling
dan faktor sosial budaya umum adalah merokok, di mana
mempengaruhi sensitifitas myalgia perokok berat mempunyai peluang
pada usia tua, sehingga sensitifitas sekitar 10 kali lebih besar
nyeri menurun dibandingkan pada mengalami kanker paru di banding
usia muda (Bennet, 2002). Menurut bukan perokok.
Hensing (2003) myalgia yang terjadi
setelah pemberian kemoterapi Menurut Riskesdas (2013) perilaku
dengan carboplatin dan paclitacsel merokok penduduk Indonesia 15
pada usia kurang dari 70 tahun dan tahun keatas dari 2007 ke 2013,
diatas 70 tahun mempunyai cenderung meningkat 36,3 % yaitu
toksisitas yang sama. Efek samping 64,9 % pada laki-laki dan 2,1 % pada
kemoterapi tidak dipengaruhi oleh perempuan. Sebagian besar kanker
usia, karena frekuensi dan beratnya paru berisiko terjadi pada laki-laki,
toksisitas berkaitan dengan dosis karena faktor merokok lebih banyak
obat, jadwal pemberian dan penyakit pada laki-laki sehingga asap rokok
penyerta yang dialami, sehingga yang berdampak terhadap jaringan
dalam pemberian kemoterapi harus paru-paru sehingga memicu
menggunakan pengukuran dosis terjadinya kanker paru. Semakin
yang spesifik untuk mencegah dan lama dan semakin banyak rokok
meminimalkan toksisitas (Yarbro et yang dikonsumsi maka akan semakin
al, 2011). tinggi risiko terjadi kanker paru
(Cahyono, 2008).
Mayoritas responden pada penelitian
ini baik pada kelompok kontrol Penatalaksanaan kanker paru yaitu

JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)


41

dengan pembedahan, radioterapi dan keempat. Keluhan myalgia setelah


kemoterapi (PDPI, 2011). Salah satu pemberian kemoterapi bervariasi dari
efek samping kemoterapi adalah satu siklus kemoterapi dengan siklus
myalgia (Yarbro, Vucik & Gobel, berikutnya yaitu dari tingkat ringan
2014). Menurut Mense & Simon sampai berat dan pada setiap siklus
(2001) perempuan lebih sensitif kemoterapi pasien akan merasakan
dibandingkan laki-laki terhadap myalgia (Yarbro, Vucik & Gobel,
myalgia. 2014).

Sensitifitas myalgia selain Sebagian besar obat kemoterapi yang

dipengaruhi oleh kekuatan otot, digunakan adalah carboplatin dan

dipengaruhi juga oleh ketebalan otot. paclitacsel yaitu sebanyak 68,75%


dan yang menggunakan carboplatin
Otot laki-laki lebih kuat
dan etoposide yaitu sebanyak
dibandingkan dengan otot
31,25%. Pada penelitian yang
perempuan (Cardoso, 2011). Selain
dilakukan oleh Yoshida et al (2009)
itu otot laki-laki juga lebih tebal
yaitu obat kemoterapi yang
dibandingkan perempuan (Kubo et
digunakan pada pasien kanker paru
al, 2003). Semakin kuat dan tebal
yaitu carboplatin dan paclitacsel
otot individu maka sensitifitas
(n=50). Paclitacsel dapat
myalgia akan menurun (Pain, 2011).
menimbulkan myalgia (Yarbro,
Vucik & Gobel, 2014).
Sebagian besar myalgia terjadi pada
siklus kemoterapi kurang dari 3.
Myalgia akibat pemberian
Berdasarkan penelitian menurut
kemoterapi paclitacsel terjadi karena
Loprinzi, Duffy & Ingle (1993) yaitu
tertimbunnya sampah metabolik di
myalgia terjadi pada kemoterapi
dalam otot yang menyebabkan iritasi
siklus kedua sampai siklus keempat.
sehingga terjadi spasme otot yang
Hal yang sama diungkapkan oleh
menimbulkan rasa nyeri dan pegal-
Straus (2004) bahwa myalgia akibat
pegal pada otot. Selain itu akan
efek samping kemoterapi dengan
menyebabkan terjadinya peningkatan
carboplatin dan paclitacsel yaitu
kadar kalsium di intrasel, mendorong
pada siklus kedua sampai siklus
sitoksisitas ke dalam akson dan
JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)
42

badan sel saraf yang mengakibatkan digunakan pada pasien kanker paru
reaksi inflamasi dan elevasi enzim yang dilakukan kemoterapi dengan
otot yaitu kreatinin phospokinase myalgia adalah non opiod NSAID’s
yang menyebabkan injuri otot (n= 50).
sehingga akan menimbulkan myalgia
(Yarbro, Vucik & Gobel, 2014). Analgetik merupakan metode yang
paling umum untuk mengatasi nyeri.
Intensitas myalgia pada penelitian ini Analgetik terbagi menjadi tiga jenis
antara lain myalgia ringan (sakala 3) yaitu : opioid dan obat tambahan
yaitu 40,62% dan myalgia sedang (adjuvan) atau ko-analgesik, non
(skala 4) yaitu 59,37%. Hal ini narkotik (nonopioid) dan obat
didukung dengan penelitian yang inflamasi nonsteroid (NSAIDs),
dilakukan oleh Yosida et al (2009) (Muttaqin, 2010). Analgetik non
yang dilakukan pada 50 responden opioid adalah paracetamol dan
dan didapatkan myalgia ringan NSAID’s yang bekerja pada
sebanyak 34%, myalgia sedang yaitu rangsang nyeri pada bagian saraf
44%, myalgia berat yaitu 24% dan (Jong, 2005). Ada tujuh kelompok
tidak ada keluhan myalgia sebanyak NSAIDs antara lain : aspirin, derivat
28%. Obat kemoterapi yang asam para klorobenzoat, derivat
diberikan dengan dosis tunggal dan pirazolan, derivat asam proprionat,
dosis tinggi akan mempengaruhi oksikam, asam fenilasetat dan
tingkat keparahan myalgia (Garisson, fenamat (Hayes & Kee, 1996). Asam
2003). Semakin tinggi dosis obat mefenamat digunakan sebagai
kemoterapi yang diberikan maka analgetik dan antiinflamasi
akan semakin tinggi keluhan myalgia (Rahardja, 2004). Obat yang
yang dirasakan oleh pasien. diberikan pada pasien myalgia akibat
pemberian kemoterapi paclitacsel
Pada penelitian ini sebagian besar yaitu nonopioid untuk myalgia
obat analgetik yang digunakan ringan dan sedang, obat opioid untuk
golongan nonopioid yaitu asam myalgia berat (Yarbro, Vucik &
mefenamat sebanyak 90,6% dan Gobel, 2014).
paracetamol sebanyak 0,09%.
Penelitian yang dilakukan Yoshida et Hasil uji statistik menunjukkan

al (2009) bahwa obat analgetik yang bahwa ada pengaruh PMR terhadap

JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)


43

myalgia pada kelompok intervensi (p KESIMPULAN


value = 0.001). Hal tersebut Hasil penelitian menunjukkan
menunjukkan bahwa penurunan pemberian progressive muscle
intensitas myalgia merupakan relaxation (PMR) terhadap
pengaruh dari perlakuan progressive penurunan myalgia pada pasien
muscle relaxation pada kelompok kanker paru yang menjalani
intervensi. Penelitian yang dilakukan kemoterapi adalah signifikan
oleh Pathak (2013) menunjukkan (p<0,05) dan didapatkan selisih
bahwa PMR efektif menurunkan penurunan intensitas myalgia yang
nyeri dan fatigue pada pasien kanker bermakna antara kelompok yang
yang menjalani radioterapi (p value tidak mendapatkan PMR dan
< 0.001). kelompok yang yang diberikan PMR
yaitu 0.81. Hal tersebut
Pada saat dilakukan PMR,
membuktikan bahwa tindakan PMR
mekanisme pertahanan ditutup,
efektif dalam membantu
sehingga pesan yang dihasilkan akan
menurunkan myalgia pada pasien
menstimulasi mekanoreseptor yang
kanker paru yang menjalani
akan membuka pertahanan dan
kemoterapi.
mempersepsikan nyeri. Saat impuls
nyeri dihantarkan ke otak, PMR
memodifikasi nyeri dengan SARAN

merangsang sekresi endorfin yang


Hasil penelitian menguatkan bahwa
akan menghambat pelepasan
terapi PMR menjadi komplementer
substansi P (Rohads, 2013). Saat
keperawatan mandiri dan
endorfin dikeluarkan maka akan
memperkaya asuhan keperawatan
memblokir lepasnya substansi P dari
yang berkualitas yang menjadi
neuron sensorik sehingga sensasi
inspirasi untuk penelitian selanjutnya
nyeri menjadi berkurang (Potter &
dalam menggali intervensi
Perry, 2008).
keperawatan klinik terkait myalgia.
Pada penelitian yang akan datang
perlu antisipasi dalam melakukan
observasi dan evaluasi langsung

JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)


44

segera setelah PMR dilakukan, Falk, S., & Williams. (2010). Lung
cancer 3th Edition. New
selain itu juga perlu dikaji faktor-
York: Oxford University press
faktor yang mempengaruhi myalgia.
Greenberg, J.S. (2002).
Comprehensive stress
DAFTAR PUSTAKA management. 7th Edition.
United States:Mc Graw Hill
Badan Penelitian dan Pengembangan Company Inc
Kesehatan. (2013). Laporan
hasil riset kesehatan dasar Handoko (2008). Pengobatan
(RISKESDAS) Indonesia-tahun alternative. Jakarta: PT Elex
2013. Diakses dari Media Komutindo
depkes.go.id/downloads/riskes
das2 Hayes, R., & Kee, J.L., (1996).
013/Hasil%20Riskesdas%2020 Farmakologi proses
13. pdf keperawatan. Jakarta : EGC

Bennet, R. M. (2002). The clinical Hensing, T.A., Peterman, A.H.,


neurobiologi of fibromialgia Schell, M.J., Lee, J.H., &
and myofascial pain : Socinski, M.A. (2003). The
therapeutic implications. impact of age on toxicity,
USA : The Haworth Medical response rate, quality of life,
Press. and survival in patients with
advanced, stage IIIb or iv
Black, J.M., & Hawk, J.H. nonsmall cell lung carcinoma
(2014). Medical surgical treated with carboplatin and
nursing: clinical paclitaxel. Chicago : Center
management for positif on Outcomes Research and
outcomes.8th Edition. St. Education,Northwestern
Louis: Elsevier Inc University.

Cahyono. (2008). Gaya hidup dan Hulma, M.A., Basyar, M., &
penyakit modern. Yogyakarta : Mulyani, H. (2014).
Penerbit Kanisius Hubungan karakteristik
penderita dengan gambaran
Cardoso, F.D.S., Curtolo, M., sitopatologi pada kasus
Natour, J., & Junior, I.L., karsinoma paru yang dirawat
(2011). Assesment of quality di RSUP Dr M Jamil Padang.
of life, muscle strength and Padang : Jurnal FK Unand
functional capacity in women
with fibromyalgia. Brazil : Jong W. (2005). Kanker, apakah
Elsevier Revista brasileira de itu: pengobatan, harapan
rematologi 2011;5(4) : 338 hidup dan dukungan keluarga.
Jakarta: Arcan Kubo, K.,
Davey, P. (2006). At a glance Kanehisa, H., Azuma,
medicine. Jakarta: Erlangga K.,Ishizu, M., Kuno, S.Y.,
Okada, M., & Fukunaga, K.
JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)
45

(2003). Muscle architectural Jakarta: Balai Penerbit FKUI.


characteristics in young and
elderly men and women. Philips. (2013). Antibody drug
Japan : US National Library conjugates and imunotoxins :
Of Medicine National Institut from pre clinical developement
of Health. to therapeutic applications.
South San Fransisco, CA, USA
Loprinzi, C.L., Duffy., & Ingle. : Springer New York
(1993). Postchemotherapy Heidelberg Dordrecht London
rheumatism USA : American
Society of Clinical Oncology Potter, P.A., & Perry, A.G.
(2008). Fundamental of
Mense, S. & Simons, D. (2001). nursing : concepts, process
Muscle pain : Understanding and practice. St. Lois
its nature, diagnosis and Missiouri: Mosby Company.
treatment. Philadelpia USA :
Lippincott Williams & Rahardjo, R. (2004). Kumpulan
Wilkins kuliah farmakologi. Jakarta :
EGC
Muttaqin. (2008). Asuhan
keperawatan klien dengan Rohads C.J,. (2013). Mechanism of
gangguan sistem persarafan pain relief through tai chi and
Jakarta: Salemba Medika qigong. USA : J Pain An Open
Access Journal. 2(1): 115
Otto, S.E. (2001). Oncologi
Nursing. (4nd Ed). St Louis: Rohkamm (2003). Colour atlas of
Mosby Inc. neurology. German: Georg
Thieme verlag
Pain, C.J. (2011). Effects of adipose
thickness and muscle hardness Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle,
on pressure pain sensitivity. J.L., Cheever, K.H. (2008).
USA : Pubmed. Brunner & Suddarth,s textbook
of medical surgical nursing.
Pathak, P., Mahal., Kohli A., (12th ed.). Philadelpia :
Nimbron. (2013). Progressive Lippincott William & Wilkins
muscle relaxation : an adjuvant
therapy for reducing pain and Straus, G.M., Herndon, J., Maddaus,
fatigue among hospitalized A., Johnstone, D.W., Johnson,
cancer patients receiving E.A., Watson, D.M.,
raditherapy. International Sugarbaker, R.L., Schilsky,
journal of nursing studies, R.L. & Green, M.R. (2004).
2(2)58-65. Diunduh tanggal 15 Randomized clinical trial of
februari 2015 adjuvant chemotherapy with
paclitacxel and carboplatin
PDPI. (2011). Kanker Paru: following resection in stage IB
Pedoman Diagnosis dan non small cell lung cancer
Penatalaksanaan di Indonesia. (NSCLC): Report of Cancer
and Leukemia Group B
JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)
46

(CALGB) Protocol 9633. Bartlett Learning,LL.


America : Journal of Clinical
Oncology Ylimaz, U., Polat, G., Anar, C. &
Halilcolar. (2011). Carboplatin
Strong J., Wright A., Unruh ,Baxter plus etoposide for extensive
(eds). 2002 . Pain: A Textbook stage small-cell lung cancer: an
for Therapist. London: experience with AUC 6 doses
Churchil Livingstonepp : 4-19. of carboplatin. India: Indian J
Cancer
Tjay & Rahardja. (2007). Obat-obat Yoshida, T,. Sawa, T., Ishiguro, T.,
Penting, PT Gramedia, Jakarta. Horiba, A., Minatoguchi, S., &
Fujiwara, H (2009). The
World Health Organization (2013). efficacy of prophylactic
Cancer. Available from: shakuyaku kanzo to for
http://www.who.int/topics/can myalgia and arthralgia
cer/e n/index.html. Diunduh following carboplatin and
tanggal 1 April 2014. paclitaxel combination
chemotherapy for non small
Yarbro, C.H., Wujcik, D. & Gobel, cell lung cancer. Japan:
B.H (2014). Cancer symptom Second department of internal
management. (4th Ed.). United medicine
States Of America: Jones &
,

JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)


E - ISSN : 2722 – 127X
P - ISSN : 2338 – 4700

Penelitian PENGARUH PROGRESSIVE MUSCLE


RELAXATION SEBAGAI PENERAPAN
PALLIATIF CARE
TERHADAP NYERI DAN KECEMASAN
PASIEN KANKER SERVIKS
1
Eka Nadya Rahmania, 2Jum Natosba, 3Karolin Adhisty
1,2,3
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya
Jalan Lintas Palembang-Prabumulih Km.32 Zona F Gedung Abdul
Muthalib,
Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir 30662

Email : ekanadyar@gmail.com

ABSTRAK

Kanker serviks merupakan masalah global terkait penyakit tidak menular yang dapat
menyebabkan kesakitan hingga kematian pada wanita. Penderita kanker serviks
umumnya mengalami keluhan nyeri dan kecemasan yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup. Salah satu bentuk penerapan perawatan paliatif dengan kualitas hidup sebagai
prioritas pengobatan untuk pasien dengan penyakit kronik seperti kanker serviks ialah
Progressive Muscle Relaxation. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh
Progressive Muscle Relaxation terhadap nyeri dan kecemasan pasien kanker serviks.
Jenis penelitian ini ialah penelitian kuantitatif dengan pra eksperimental dalam klasifikasi
one group pretest and posttest design. Sampel penelitian berjumlah 16 orang responden
kanker serviks yang diambil dengan teknik purposive sampling. Hasil analisis skala nyeri
dan skor kecemasan menggunakan uji paired t-test dan uji alternatif wilcoxon
menunjukkan bahwa Progressive Muscle Relaxation dapat menurunkan skala nyeri dan
skor kecemasan dengan p-value=0,000. Progressive Muscle Relaxation dapat
merangsang sistem saraf parasimpatis yang akan mengontrol aktivitas dan
mempengaruhi neurotransmitter yang mengantarkan ke sistem saraf pusat. Stimulus
tersebut dapat memacu pelepasan hormon endorphin yang menimbulkan ketegangan
otot berkurang sehingga tubuh menjadi relaks dan energi positif akan muncul. Energi
tersebut akan menghambat jalur ujung-ujung saraf yang menimbulkan nyeri dan
kecemasan sehingga tidak dapat diinterpretasikan oleh tubuh. Mekanisme tersebut dapat
mengatasi keluhan nyeri dan kecemasan pasien kanker serviks. Progressive Muscle
Relaxation dapat dijadikan sebagai intervensi mandiri khususnya perawatan paliatif bagi
pasien kanker serviks guna beradaptasi dengan keluhan nyeri dan kecemasan.

Kata kunci : Progressive Muscle Relaxation, Nyeri, Kecemasan, Kanker Serviks

ABSTRACT

Cervical cancer is a global problem related to non infect diseases that cause illness until
dying to women. Cervical cancer’s patient generally fell pain and anxiety that can affect to
the quality of life. One of palliative care with quality of life as a priority treatment for
patients with chronic diseases such as cervical cancer is Progressive Muscle Relaxation.
This study aimed to analysis the effect of Progressive Muscle Relaxation on the pain and
anxiety of cervical cancer’s patient. This study design was quantitatif research with pra
experimental in one group pretest and posttest design classification. There were 16
respondents of cervical cancer’s patient as sample of research, which was taken by
purposive sampling technique. Data was analyzed by using paired t-test for pain scale

BIMIKI Volume 8 No 1 Januari – Juni 2020 25


E - ISSN : 2722 – 127X
P - ISSN : 2338 – 4700

and wilcoxon test for anixety score, result of the study showed that Progressive Muscle
Relaxation can decrease pain scale and anxiety score with p-value=0,000. Progressive
Muscle Relaxation is stimulate the parasympathetic nervous system with control the
activity and affect the neurotransmitters which delivered to the central nervous system.
Stimulation can release of endorphin which causes muscle tension to be reduced so the
body becomes relax and positive’s energy will be emerge. This energy will inhibit the
nervous system that cause pain and anxiety so it can’t be interpreted by the body. This
mechanism can resolve pain and anxiety of cervical cancer’s patient. Progressive Muscle
Relaxation can be used as an independent intervention, especially palliative care for
cervical cancer’s patients to adapt pain and anxiety.

Keyword : Progressive Muscle Relaxation, Pain, Anxiety, Cervical Cancer

PENDAHULUAN
(Shute, 2013). Nyeri kanker serviks
Kanker serviks merupakan kanker dirasakan pada daerah panggul atau
pada wanita yang menyerang bagian dimulai dari ekstremitas bagian bawah
leher rahim yang disebabkan oleh virus dari daerah lumbal, dapat bervariasi,
Human Papilloma Virus (HPV) yang dan semakin progresif pada stadium
diperkuat keberadaannya dengan faktor lanjut (Wulandari, Effendy, & Nisman,
risiko seperti berganti-ganti pasangan 2017). Nyeri dan kecemasan
seksual >4 orang, penyakit menular merupakan dua gejala pada penderita
seksual, berhubungan seks pada usia kanker serviks yang memiliki hubungan
<20 tahun, pengguna saling berkaitan. Kecemasan pada
immunosuppressive pada penderita penderita kanker serviks muncul akibat
HIV, dan bahan karsinogen yang perasaan yang tidak pasti akan
dijumpai pada wanita perokok (Aziz, prognosa penyakit, keluhan nyeri yang
Andrijono, & Saifuddin, 2006). Data dirasakan, pemeriksaan diagnostik yang
peserta Badan Penyelenggara Jaminan dilakukan, dan pengobatan yang dijalani
Sosial (BPJS) Kesehatan Nasional terhadap pemulihan kondisi terutama
tahun 2016, jumlah kasus kanker pada pasien stadium lanjut (Wulandari,
serviks di pelayanan Rawat Jalan Effendy, & Nisman, 2017).
Tingkat Lanjutan (RJTL) mencapai Intervensi yang diberikan pada
12.820 kasus sedangkan di Rawat Inap pasien kanker serviks dapat berupa
Tingkat Lanjutan (RITL) tercatat ada terapi farmakologi dan non farmakologi.
6.938 kasus. Kasus kanker serviks Terapi farmakologis berupa analgesik
menempati urutan pertama di Provinsi yang dapat menimbulkan efek samping
Sumatera Selatan pada tahun 2015 lain dan memperparah kondisi apabila
sebesar 1.047 penderita. Data dari diberikan terus-menerus (Maryani,
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) 2009). Pengobatan terhadap keluhan
dr.Mohammad Hoesin Palembang yang penderita kanker serviks juga dapat
merupakan rumah sakit rujukan nasional dilakukan dengan terapi komplementer.
di Provinsi Sumatera Selatan Salah satu terapi komplementer yaitu
didapatkan bahwa pasien kanker serviks Progressive Muscle Relaxation (PMR)
yang menjalani rawat inap tahun 2018 yang menggabungkan latihan nafas
mengalami peningkatan selama 3 bulan dalam, serangkaian seri kontraksi serta
terakhir yaitu 25 orang pada Bulan relaksasi otot tertentu, dan distraksi.
Januari, 30 orang pada Bulan Februari, PMR merupakan salah satu dari teknik
dan 39 orang pada Bulan Maret. relaksasi yang paling mudah dilakukan,
Kejadian tersebut menandakan bahwa memiliki gerakan sederhana, telah
semakin banyak pasien kanker serviks digunakan secara luas, dan dapat
yang memerluhkan perawatan sejak meningkatkan kemandirian pasien
dini. dalam mengatasi masalah kesehatan
Nyeri merupakan salah satu gejala (Syarif & Putra, 2014). PMR dilakukan
kanker yang paling sering menjadi dengan cara menegangkan otot secara
beban berat bagi pasien selama sakit sementara, kemudian kembali

BIMIKI Volume 8 No 1 Januari – Juni 2020 26


E - ISSN : 2722 – 127X
P - ISSN : 2338 – 4700

diregangkan dimulai dari kepala sampai purposive sampling. Penelitian ini


kaki secara bertahap (Casey & Benson, dilakukan pada bulan Maret-April 2018
2012). Teknik relaksasi ini dapat di Ruang Rambang 2.2 Instalasi Rawat
menimbulkan keselarasan tubuh dan Inap G RSUP dr.Mohammad Hoesin
pikiran yang diyakini memfasilitasi Palembang. Pemberian latihan PMR
penyembuhan fisik dan psikologis dilakukan secara rutin sebanyak 2 kali
(LeMone & Burke, 2008). sehari selama 25-30 menit dalam waktu
PMR merupakan salah satu bentuk 5 hari.
penerapan perawatan paliatif untuk Instrumen penelitian ini terdiri atas
pasien kanker serviks. Menurut lembar screening awal responden,
KEPMENKES RI No.812 Tahun 2007, lembar karakteristik responden, lembar
tujuan perawatan paliatif ialah observasi pengukuran nyeri dan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan kecemasan, alat pengukuran nyeri
keluarga dalam menghadapi masalah menggunakan Visual Analog Scale
yang berhubungan dengan penyakit (VAS), alat pengukuran kecemasan
terminal dan kronik dengan pencegahan menggunakan kuesioner Zung Self-
melalui identifikasi dini dan penilaian Rating Anxiety Scale (SAS/SRAS), dan
yang tertib serta penanganan nyeri dan panduan pelaksanaan PMR. Analisa
masalah-masalah lain meliputi fisik, data penelitian terdiri atas dua jenis,
psikososial dan spiritual. Tujuan dari yaitu analisis univariat dan analisis
penelitian ini ialah untuk mengetahui bivariat yang menggunakan uji Shapiro
pengaruh Progressive Muscle Wilk sebagai uji normalitas data dan
Relaxation terhadap nyeri dan didapatkan bahwa data pengukuran
kecemasan pasien kanker serviks di skala nyeri terkategori normal (p>0,05)
RSUP dr.Mohammad Hoesin sehingga dilanjutkan dengan
Palembang. menggunakan uji paired t-test
sedangkan data pengukuran skor
METODE kecemasan terkategori tidak normal
(p<0,05) sehingga dilanjutkan dengan
Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan uji alternatif Wilcoxon.
kuantitatif dengan pra eksperimental Peneliti telah mengajukan penelitian ini
dalam klasifikasi one group pretest and ke komite etik penelitian untuk
posttest design. Sampel penelitian mendapatkan persetujuan etik (ethical
berjumlah 16 orang responden kanker clearence) dalam melakukan penelitian.
serviks yang diambil dengan teknik

HASIL
Tabel 1. Karakteristik Responden
Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)
Usia
35 Tahun 1 6,2
36 Tahun 1 6,2
39 Tahun 2 12,5
42 Tahun 1 6,2
43 Tahun 1 6,2
47 Tahun 3 18,8
48 Tahun 1 6,2
49 Tahun 1 6,2
51 Tahun 2 12,5
52 Tahun 1 6,2
54 Tahun 2 12,5
Total 16 100%
Stadium
II A 1 6,2

BIMIKI Volume 8 No 1 Januari – Juni 2020 27


E - ISSN : 2722 – 127X
P - ISSN : 2338 – 4700

II B 4 25
III B 11 68,8
Total 16 100%
Lama menderita kanker
< 1 Tahun 10 62.5
1 Tahun 6 37,5
Total 16 100%
Pendidikan
SD 12 75
SMP 1 6,2
SMA 3 18,8
Total 16 100%
Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga 7 43,8
Pedagang 6 37,5
Petani 3 18,8
Total 16 100%
Status pernikahan
Menikah 16 100
Pengobatan yang dijalani
Kemoterapi 12 75
Radioterapi 4 25
Total 16 100%

Tabel 2. Perbedaan Skala Nyeri pada Pasien Kanker Serviks Sebelum dan Setelah
diberikan Intervensi PMR dengan menggunakan Uji Paired t-test
95% Confidence
Variabel n Mean SD p-value Interval (CI)
Lower Upper
Skala Nyeri Sebelum
16 5,75 1,528
Intervensi
Skala Nyeri Setelah 0,000 2.432 2.943
16 3,06 1,692
Intervensi

Nilai mean skala nyeri sebelum perbedaan yang bermakna skala nyeri
diberikan intervensi lebih tinggi pasien kanker serviks sebelum dan
dibandingkan nilai mean skala nyeri setelah diberikan intervensi. Skala nyeri
setelah diberi intervensi menandakan pada penelitian ini berada dalam
bahwa terdapat perubahan berupa rentang 2,943 sampai 2,432 dengan
penurunan rata-rata skala nyeri tingkat kepercayaan penelitian 95%.
sehingga dapat disimpulkan adanya

Tabel 3. Perbedaan Skor Kecemasan pada Pasien Kanker Serviks Sebelum dan Setelah
diberikan Intervensi PMR dengan menggunakan Uji Wilcoxon
Median (Minimum-
Variabel n p-value
Maksimum)
Skor Kecemasan Sebelum
16 50(63-33)
Intervensi
0,000
Skor Kecemasan Setelah
16 28(54-23)
Intervensi

Nilai median pada skor kecemasan diberikan intervensi, dengan selisih


sebelum diberikan intervensi lebih tinggi median sebelum dan setelah diberikan
dibandingkan skor kecemasan setelah intervensi sebesar 22 yang menandakan

BIMIKI Volume 8 No 1 Januari – Juni 2020 28


E - ISSN : 2722 – 127X
P - ISSN : 2338 – 4700

terdapat perubahan berupa penurunan kanker serviks sebelum dan setelah


skor kecemasan sehingga dapat diberikan intervensi PMR.
disimpulkan adanya perbedaan yang
bermakna skor kecemasan pasien

PEMBAHASAN penelitian Prandana dan Rusda (2013)


yang menyatakan penderita kanker
Karakteristik responden pada serviks dengan status pendidikan
penelitian ini ditinjau berdasarkan usia, terbanyak digolongkan dalam tingkat
stadium kanker, pendidikan terakhir sedang (SMP-SMA). Pendidikan dapat
responden, pekerjaan, status menentukan pengetahuan seseorang
pernikahan, lama menderita kanker, dan mengenai penyakit yang diderita dan
pengobatan yang akan dijalani. Usia tindakan yang akan dilakukan dalam
responden pada penelitian ini berkisar mengatasi keluhan fisik dan psikologis
35-54 tahun. Hal ini sejalan dengan yang dirasakan.
penelitian Susilowati dan Sirait (2014) Pekerjaan terbanyak responden
bahwa jumlah wanita penderita kanker penelitian sebagai Ibu Rumah Tangga
serviks terbanyak dalam golongan usia (IRT) sebanyak 7 orang (43,8%).
35-54 tahun. Wanita berusia 35-55 Penelitian dari Lasut, Rarung, dan
tahun yang masih aktif berhubungan Suparman (2015) sejalan dengan
seksual (prevalensi 5-10%) terkategori penelitian ini bahwa ibu yang bekerja
rawan mengidap kanker serviks sebagai IRT terbanyak menderita
dikarenakan peningkatan usia selalu kanker serviks yaitu 37 kasus (92,5%).
diiringi dengan penurunan kinerja organ- Individu yang bekerja dapat dengan
organ dan kekebalan tubuh sehingga mudah mengetahui informasi dari luar
menimbulkan tubuh lebih rentan baik informasi yang berhubungan
terserang infeksi. dengan kebutuhan sehari-hari maupun
Karakteristik responden juga dilihat informasi kesehatan (Susilawati, 2013).
dari status pernikahan, didapatkan Faktor lain yang mempengaruhi
dalam penelitian ini seluruh responden kejadian kanker serviks ialah lama
berstatus menikah. Penelitian Prandana menderita kanker dan pengobatan yang
dan Rusda (2013) di RSUP H.Adam akan dijalani. Responden penelitian
Malik Medan sejalan dengan penelitian yang menderita kanker serviks lebih dari
ini bahwa semua responden kanker 1 tahun telah menjalani pengobatan
serviks sebanyak 367 orang (100%) kemoterapi sebanyak 6 kali dalam siklus
berstatus menikah. Responden setiap 20 hari dan radioterapi sebanyak
penelitian ini berada pada tingkatan 25 kali dalam siklus setiap hari.
stadium IIA-IIIB. Penelitian Lasut, Keberhasilan pengobatan dan
Rarung, dan Suparman (2015) sejalan kepatuhan dalam menjalani terapi yang
dengan penelitian ini bahwa stadium IIA, dianjurkan dapat membuat kondisi fisik
IIB, dan IIIB merupakan tiga tingkatan pasien menjadi stabil serta pasien yang
stadium tertinggi di RSUP lama menderita suatu penyakit akan
Prof.DR.R.D.Kandou. Tumor yang telah mengalami penerimaan terhadap
menyebar ke luar serviks dan kondisi dan penyakit yang diderita
melibatkan jaringan di rongga pelvis seiring berjalan waktu.
dapat dijumpai pada stadium lanjut Hasil penelitian ini menunjukkan
sehingga penderita akan mengetahui bahwa p=0,000 yang berarti bahwa
diagnosa kanker serviks ketika telah secara statistik dapat diartikan terdapat
berada di stadium lanjut (Aziz, perbedaan yang bermakna antara skala
Andrijono, & Saifuddin, 2006). nyeri sebelum dan setelah diberikan
Pendidikan terakhir responden intervensi PMR. Responden penelitian
penelitian ini terbanyak pada tingkat melaporkan nyeri yang dirasakan
Sekolah Dasar (SD) dan paling sedikit terlokalisir di daerah sekitar rahim dan
pada tingkat Sekolah Menengah (SMP pelvis. Hal tersebut sejalan dengan teori
dan SMA). Penelitian ini sejalan dengan Berek (2012) yang menyatakan nyeri

BIMIKI Volume 8 No 1 Januari – Juni 2020 29


E - ISSN : 2722 – 127X
P - ISSN : 2338 – 4700

kanker serviks biasanya dapat gate control yaitu jika modulasi input
dirasakan di daerah pinggul atau yang melewati input nosisepsi, gerbang
terletak di dalam atau di pusat pelvis. kemudian diblok dan transmisi nosisepsi
Responden penelitian juga melaporkan berhenti atau dihalangi di substansia
bahwa nyeri yang dirasakan menyebar gelatinosa tanduk dorsal dari korda
ke daerah paha. Nyeri kanker serviks spinalis. Faktor perilaku dan emosional
menjalar ke sisi anterior sampai sisi mempengaruhi gerbang melalui
medial dari paha yang dicurigai mekanisme menghambat transmisi
terjadinya kompresi nervus femoral impuls nyeri (Butar-Butar, Yustina, &
(Suwiyoga, 2013) sehingga dapat Harahap, 2015). Hambatan transmisi
menambah keluhan rasa nyeri. impuls nyeri juga dapat dimodulasi oleh
Seluruh responden penelitian adanya opiat endogen yang penting
menjelaskan kualitas nyeri yang dalam sistem analgesik tubuh dengan
dirasakan berupa rasa panas seperti cara menutup mekanisme pertahanan
terbakar, berdenyut, kebas, dan rasa ini dengan merangsang sekresi
nyeri yang hebat. Kualitas nyeri kanker endorphin yang akan menghambat
bersifat subjektif untuk setiap responden pelepasan substansi P. Hasil penelitian
sehingga tidak dapat disamakan kualitas ini menyatakan bahwa skor kecemasan
nyeri yang dirasakan masing-masing mengalami penurunan bersamaan
responden. Responden penelitian dengan penurunan terhadap skala nyeri.
mendapatkan obat pereda nyeri Orang yang cemas dan tegang akan
(analgesik) yang diberikan maksimal membuka gerbang sehingga rangsang
dua kali dalam sehari, namun obat nyeri akan meningkat (Kaplan, Sadocks,
analgesik tersebut hanya dapat & Greb, 2007).
memberikan efek pereda nyeri selama Perubahan intensitas nyeri yang
1-2 jam setelah pemberian obat dirasakan oleh responden selain karena
termasuk dalam jenis opioid. Walsh pelepasan hormon endorphin juga
(1997) dikutip oleh Yastati (2010) disebabkan oleh distraksi yang
menyatakan semua golongan opioid mengarahkan responden harus berfokus
menimbulkan efek analgesik dan efek pada setiap gerakan yang dilakukan
lainnya melalui reseptor opiat di otak sehingga dapat mengalihkan perhatian
dan medulla spinalis. Analgesik tersebut responden. Rasa nyaman mulai
memiliki banyak jenis, namun hanya dirasakan pada gerakan ke-12 dan 13
sedikit yang terbukti memiliki nilai praktis dikarenakan pusat nyeri yang dirasakan
dalam penanganan nyeri kronis. berada pada bagian adomen (perut)
Hasil penelitian ini juga menunjukkan sehingga peneliti menganjurkan untuk
bahwa p=0,000 yang berarti bahwa memperbanyak melakukan gerakan di
secara statistik dapat diartikan terdapat daerah tersebut.
perbedaan yang bermakna antara skor Latihan PMR bekerja melibatkan
kecemasan sebelum dan setelah aktivitas sistem saraf otonom yaitu
intervensi. Kekhawatiran akan kondisi dengan meningkatkan kerja saraf
penyakit kanker yang diderita, parasimpatis dan menurunkan stimulasi
pengobatan yang dijalani, efek dari sistem saraf simpatis serta hipotalamus
pengobatan yang dijalani, belum siap sehingga pengaruh stres fisik terhadap
menerima penyakit kanker yang diderita, keduanya menjadi minimal (Haryati,
kekhawatiran terhadap kondisi keluarga, 2015). Aktivasi sistem saraf
keluhan yang dirasakan, belum siap parasimpatis akan menurunkan denyut
menerima kematian merupakan stressor jantung, memperlambat laju pernafasan,
yang menimbulkan kecemasan pada meningkatkan aliran darah ke otot dan
responden penelitian. saluran pencernaan sehingga dapat
Tingkat kecemasan dan intensitas mengurangi distress akibat gejala fisik
nyeri mempunyai korelasi yang (Ramadhani & Putra, 2008). PMR akan
signifikan (Melzack & Wall, 2006). mengontrol aktivitas kemudian stimulus
Pengaruh intensitas nyeri terhadap tersebut akan mempengaruhi
kecemasan juga dapat dilihat dari teori neurotransmitter (norephineprin,

BIMIKI Volume 8 No 1 Januari – Juni 2020 30


E - ISSN : 2722 – 127X
P - ISSN : 2338 – 4700

serotonin, GABA) yang mengatur intervensi didapatkan rata-rata dan


perasaan dan pikiran seseorang. nilai tengah sebesar 49,88 dan
Penyampaian stimulus ke sistem saraf 50(63-30) serta 31,31 dan 28(54-
pusat tersebut menyebabkan terjadinya 23).
pelepasan endorphin yang 2. Hasil penelitian menyatakan
menyebabkan ketegangan otot menjadi terdapat perbedaan yang bermakna
berkurang sehingga membuat tubuh skala nyeri dan skor kecemasan
menjadi relaks (Syarif & Putra, 2014). sebelum dan setelah dilakukan
Endorphin bekerja dengan mengikat intervensi PMR (p-value=0,000).
reseptor opiat dan opiat endogen yang 3. Latihan PMR sebagai salah satu
kemudian akan membentuk suatu terapi non farmakologi terbukti dapat
sistem penekanan nyeri intrinsik. Ikatan menurunkan nyeri dan kecemasan
tersebut dapat mengurangi nyeri dengan pada pasien kanker serviks.
mencegah dibebaskan reseptor sebagai
neurotransmitter penghasil nyeri. SARAN
PMR merupakan intervensi perilaku
yang dapat mengurangi kecemasan. Hasil penelitian dapat menjadi bahan
Teori ini didukung bahwa kecemasan masukan bagi perawat dalam
dan relaksasi otot menghasilkan kondisi memberikan asuhan keperawatan
fisiologis yang berlawanan dan tidak maternitas khususnya memberikan
dapat timbul bersama-sama. Respon edukasi mengenai terapi PMR dalam
neurologis terhadap kecemasan berupa mengatasi nyeri dan kecemasan pada
ketegangan otot, maka ketegangan ini pasien kanker serviks. Peneliti
dapat dipulihkan dengan relaksasi otot selanjutnya dapat melakukan penelitian
dan kecemasan akan berkurang lebih lanjut khususnya pada responden
(Haryati, 2015). dengan karakteristik yang sama dengan
Rasionalisasi penggunaan PMR mempertimbangkan penggunaan
untuk mengurangi kecemasan juga kelompok kontrol sebagai pembanding
didukung oleh model stress-koping yang yang kuat untuk penelitian serta
menyatakan bahwa individu berhadapan menggunakan desain penelitian yang
dengan stressor akan menimbulkan berbeda dengan tujuan untuk menggali
respon afektif dan fisiologis pada pengalaman pasien dalam mengatasi
aktivitas neurologis, seperti peningkatan nyeri dan kecemasan yang diakibatkan
tekanan darah atau denyut jantung pada karena kanker serviks.
penilaian pertama. PMR dapat
memberikan manfaat ganda yaitu DAFTAR PUSTAKA
menimbulkan adaptasi individu yang
lebih positif dalam waktu yang singkat 1. Aziz, F., Andrijono, Saifuddin., A.B.
dan penurunan kecemasan yang tidak (2006). Onkologi Ginekologi : Buku
bergantung pada proses netralisir Acuan Nasional. Jakarta: Bina
stressor (Haryati, 2015). PMR telah Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
membantu pasien kanker serviks untuk 2. Badan Penyelenggara Jaminan
meningkatkan relaksasi terhadap Kesehatan Nasional. (2016). Profil
berbagai gejala dan keluhan yang BPJS Kesehatan Nasional pada
dirasakan sehingga pasien lebih toleran Pasien Kanker. (Online). Diakses di
terhadap berbagai aktivitas sehari-hari. http://bpjs-kesehatan.go.id/ pada 15
November 2017.
KESIMPULAN 3. Berek, J.S. (2012). Berek’s & Nova’s
Gynecology, Ed 15th. Philadelphia:
1. Skala nyeri pasien kanker serviks Lippincott William & Wilkins.
sebelum dan setelah diberikan 4. Butar-Butar, D., Yustina, I.,
intervensi didapatkan rata-rata Harahap, I.A. (2015). Hubungan
sebesar 5,75 dan 3,06. Skor Karakteristik Nyeri dengan
kecemasan pasien kanker serviks Kecemasan pada Pasien Kanker
sebelum dan setelah diberikan Payudara yang Menjalani

BIMIKI Volume 8 No 1 Januari – Juni 2020 31


E - ISSN : 2722 – 127X
P - ISSN : 2338 – 4700

Kemoterapi di RSUD Dr. Pirngadi Relaksasi. (Online). Diakses di


Medan. Idea Nursing Journal 1(1): http://staf.ugm.ac.id/relaksasi_otot.p
51-60. df pada 30 Mei 2018.
5. Casey, A., Benson, H. (2012). 15. Shute, C. (2013). The Challenges of
Panduan Harvard Medical Cancer Pain Assessment and
School:Menurunkan Tekanan Management. Ulster Medical
Darah. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Journal 82(1):40-42.
Populer. 16. Susilowati, E., Sirait, A.M. (2014).
6. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Pengetahuan Tentang Faktor
Selatan. (2015). Profil Kesehatan Risiko, Perilaku dan Deteksi Dini
Provinsi Sumsel. (Online). Diakses Kanker Serviks dengan Inspeksi
di http://dinkes.sumselprov.go.id/ Visual Asam Asetat (IVA) pada
pada 15 November 2017. Wanita di Kecamatan Bogor Tengah
7. Haryati, Sitorus, R. (2015). Kota Bogor. Jurnal Peneliti
Pengaruh Latihan Progressive Kesehatan 42(3):193-202.
Muscle Relaxation Terhadap Status 17. Susilawati, D. (2013). Hubungan
Fungsional dalam Konteks Asuhan Dukungan Keluarga dengan Tingkat
Keperawatan Pasien Kanker Kecemasan Penderita Kanker
dengan Kemoterapi di Serviks Paliatif di RSUP dr. Sardjito
RS.dr.Wahidin Sudirohusodo Yogyakarta. Jurnal Keperawatan
Makassar. Jurnal Medula 2(2):167- Diponegoro 4(2):87-99. (Online).
177. Diakses di http://ejournal.umm.ac.id
8. Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, pada 25 Mei 2018.
J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri Jilid 2. 18. Suwiyoga, I.K. (2013). Penanganan
Jakarta: Binarupa Aksara. Nyeri pada Kanker Serviks Stadium
9. Lasut, E., Rarung, M., Suparman, E. Lanjut. (Online). Jurnal Studi Jender
(2015). Karakteristik Penderita Srikandi. Diakses di
Kanker Serviks di BLU RSUP Prof. http://ojs.unud.ac.id/ pada 26
DR.R.D.Kandou. Jurnal e-Clinic Oktober 2017.
3(1): 83-86. 19. Syarif, H., Putra, A. (2014).
10. LeMone, P., Burke, K. (2008). Pengaruh Progressive Muscle
Medical Surgical Nursing:Critical Relaxation Terhadap Penurunan
Thinking in Client Care Ed 4th. New Kecemasan pada Pasien Kanker
Jersey: Pearson Prentice Hall. yang Menjalani Kemoterapi : A
11. Maryani, A. (2009). Pengaruh Randomized Clinical Trial. Idea
Progressive Muscle Relaxation Nursing Journal 5(3):1-8.
Terhadap Kecemasan dan Mual 20. Wulandari, M.S.R.., Effendy, C.,
Muntah Setelah Kemoterapi pada Nisman, W.A. (2017). Kualitas
Pasien Kanker Payudara di Hidup, Nyeri, dan Kecemasan pada
RS.dr.Hasan Sadikin Bandung. Wanita Penderita Kanker Serviks
Tesis. Jakarta: Program dan Kanker Ovarium di RSUP Dr.
Pascasarjana Fakultas Ilmu Sardjito Yogyakarta: Studi
Keperawatan Universitas Indonesia. Komparasi. Thesis. (Online).
12. Melzack, R.., Wall, P.D. (2006). Pain Diakses di
Mechanisms : A New Theory. http://etd.repository.ugm.ac.id pada
Science New Series Journal 1 April 2018.
150(36): 20-26. 21. Yastati, S.C. (2010). Evaluasi
13. Prandana, D.A., Rusda, M. (2013). Penggunaan Obat Anti Nyeri pada
Pasien Kanker Serviks di RSUP Pasien Kanker Serviks Rawat Inap
dr.H.Adam Malik Medan Tahun di RSUP dr.Sardjito Yogyakarta
2011. Jurnal Fakultas Kedokteran Periode Januari-Juli 2009. Skripsi.
Universitas Sumatera Utara 1(2): 1- Surakarta: Fakultas Farmasi
4. Universitas Muhammadiyah
14. Ramadhani, N., Putra, A.A. (2008). Surakarta.
Pengembangan Multimedia

BIMIKI Volume 8 No 1 Januari – Juni 2020 32


JAMALI - Jurnal Abdimas Madani dan Lestari
Vol. 02, Issue. 02, September 2020, Hal 66-75
(e-ISSN: 2686-097X; p-ISSN: - )
https://journal.uii.ac.id/JAMALI

Aplikasi Progressive Muscle Relaxation Sebagai Upaya Reduksi Nyeri Dan


Kecemasan
Jum Natosba1, Sigit Purwanto2, Jaji3, Firnaliza Rizona4
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya1,2,3,4
Corresponding Email: jumnatosba_bayd@yahoo.co.id

ABSTRAK

Nyeri dan kecemasan merupakan dua gejala yang paling sering dirasakan oleh
penderita kanker. Pengobatan terhadap keluhan penderita kanker ini dapat ilakukan melalui
terapi komplementer sebagai pelengkap. Salah satu teknik relaksasi yaitu PMR yang
dilakukan dengan cara menegangkan otot secara sementara, kemudian kembali diregangkan
dimulai dari kepala sampai kaki secara bertahap. Tujuan kegiatan pengabdian kepada
masayarakat ini adalah untuk meningkatkan kemampuan adaptasi pasien kanker terhadap
nyeri dan kecemasan yang dirasakannya. Kegiatan dilakukan selama satu hari dengan latihan
bertempat di ruangan serbaguna di wisma RSMH Palembang. Sebelumnya pada awal
kegiatan dilakukan pengukuran terkait nyeri dan kecemasan. Selanjutnya akhir sesi latihan
dilakukan pengukuran lagi untuk nyeri dan kecemasan. Kegiatan pengabdian masyarakat
dilaksanakan di wisma RSMH Palembang, 12 orang pasien kanker yang menghadiri kegiatan
tersebut. Selama penyuluhan peserta penyuluhan antusias dalam mendengarkan,
melaksanakan senam, mengulangi gerakan senam dan berdiskusi dengan narasumber.
Terdapat penurunan nyeri dan kecemasan sebelum dan sesuedah dilakukan PMR. PMR
bekerja meningkatkan kerja saraf parasimpatis dan menurunkan stimulasi sistem saraf
simpatis serta hipotalamus sehingga pengaruh stres fisik terhadap keduanya menjadi minimal.
Berdasarkan pemahaman inilah latihan PMR mampu mengurangi distress akibat gejala fisik.

Kata kunci: Nyeri, kecemasan, Progressive Muscle Relaxation

ABSTRACT
Pain and anxiety are two of the most common symptoms of cancer sufferers.
Treatment of the sufferer of these cancer complaints can be done through complementary
therapy as a complement. One of the relaxation techniques of PMR is done in a temporary
way of muscle strain, then re-stretched from head to toe gradually. The purpose of the
devotion to the community is to improve the ability of the cancer patient adaptation to the
pain and anxiety he felt. The activity is done for one day with an exercise in the multipurpose
room in Palembang RSMH guesthouse. Earlier activities were carried out measurements of
pain and anxiety. Furthermore the end of the training session is carried out more
measurements for pain and anxiety. Public service activities were held at the RSMH
guesthouse in Palembang, 12 cancer patients attending the event. During counseling
participants enthusiastic about listening, conducting gymnastics, repeating the movement of
gymnastics and discussing with speakers. There is a decrease in pain and anxiety before and
according to PMR. PMR works increase the work of the parasympathetic nerve and lowers
the stimulation of the sympathetic nervous system as well as the hypothalamus so that the

66
JAMALI – Volume. 02, Issue. 02, September 2020

influence of physical stress on both becomes minimal. Based on this understanding, PMR
exercises are able to reduce distress due to physical symptoms.
Keywords: pain, anxiety, Progressive Muscle Relaxation

PENDAHULUAN
Kanker merupakan pertumbuhan sel dalam tubuh yang abnormal dan tidak terkontrol
sehingga dapat menjadi suatu keganasan yang berakibat fatal bagi kehidupan seseorang
(Rasjidi, 2009). Sel-sel kanker membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang menyusup
ke jaringan di dekatnya dan dapat menyebar ke seluruh tubuh. Penyakit ini sangat kompleks
dengan berbagai manifestasi tergantung pada sistem tubuh yang dipengaruhi dan jenis sel
kanker yang terlibat (Tobing, 2012). Sel kanker dapat tumbuh dengan cepat dan
menyebabkan kematian apabila tidak segera diberikan perawatan (LeMone, & Burke, 2008).
Nyeri dan kecemasan merupakan dua gejala pada penderita kanker yang memiliki
hubungan saling berkaitan. Nyeri merupakan salah satu gejala kanker yang paling sering dan
merupakan beban berat bagi pasien selama sakit (Shute, 2013). Kecemasan pada penderita
kanker muncul akibat perasaan yang tidak pasti akan prognosa penyakit, keluhan nyeri yang
dirasakan, pemeriksaan diagnostik yang dilakukan, dan pengobatan yang dijalani terhadap
pemulihan kondisi terutama pada pasien stadium lanjut.
Pengobatan terhadap keluhan penderita kanker tidak hanya dapat dilakukan melalui
terapi farmakologi, namun terdapat terapi komplementer sebagai pelengkap. Salah satu terapi
komplementer yang dapat diberikan kepada pasien kanker serviks ialah relaksasi yang
dilakukan untuk membantu penderita berinteraksi dengan lingkungannya (Varvogli &
Darviri, 2011). Salah satu teknik relaksasi yaitu PMR yang dilakukan dengan cara
menegangkan otot secara sementara, kemudian kembali diregangkan dimulai dari kepala
sampai kaki secara bertahap (Casey, & Benson, 2012). PMR bertujuan untuk membedakan
perasaan yang dialami pada saat kelompok otot dilemaskan dan dalam kondisi tegang.
Penderita dapat merasakan hilangnya ketegangan sebagai salah satu respon nyeri dan
kecemasan di mana terapi PMR dapat merangsang pengeluaran endorphin dan merangsang
signal otak yang menyebabkan otot relaks serta dapat meningkatkan aliran darah ke otak
(Tobing, 2012).. PMR merupakan salah satu dari teknik relaksasi yang paling mudah
dilakukan, memiliki gerakan sederhana, telah digunakan secara luas, dan dapat meningkatkan
kemandirian pasien dalam mengatasi masalah kesehatan secara non farmakologik(Maryani,
2009; Syarif & Putra, 2014). Teknik relaksasi ini dapat menimbulkan keselarasan tubuh dan
pikiran yang diyakini memfasilitasi penyembuhan fisik dan psikologis (LeMone, & Burke,

67
Natosba1, Purwanto2, Jaji3, Rizona4

2008). Tujuan kegiatan pengabdian kepada masayarakat ini adalah untuk meningkatkan
kemampuan adaptasi pasien kanker serviks terhadap nyeri dan kecemasan yang dirasakannya.

METODE
Kegiatan dilakukan selama satu hari berturut-turut dengan latihan bertempat di
ruangan serbaguna di wisma RSMH Palembang. Pemilihan wisma RSMH Palembang untuk
memenuhi kebutuhan latihan Progressive Muscle Relaxational akan lingkungan yang tenang,
posisi yang nyaman, dan sikap yang baik dibandingkan ruang rawat rumah sakit. Lingkungan
yang tenang diperlukan sehingga pasien dapat berkonsentrasi pada relaksasi otot termasuk
membantasi interupsi/gangguan, suara, dan pencahayaan. Posisi yang nyaman memberikan
dukungan bagi tubuh atau berbaring di tempat tidur pada posisi yang nyaman. Pelaksanaan
PMR untuk hasil yang maksimal dianjurkan dilakukan secara rutin selama 25-30 menit
sebanyak 2 kali sehari. Sebelumnya pada awal kegiatan dilakukan pengukuran terkait nyeri
dan kecemasan. Selanjutnya akhir sesi latihan dilakukan pengukuran lagi untuk nyeri dan
kecemasan. Evaluasi dilakukan berdasarkan tahapan kegiatan pengabdian masyarakat dan
dilakukan pada setiap khalayak sasaran. Dijelaskan pada bagan dibawah ini:

1 Penilaian nyeri dan kecemasan awal pada Kuesioner nyeri dan


pasien kanker serviks kecemasan

Latihan dilakukan selama


2
Penyuluhan dan pelatihan tentang 30 menit
Progressive Muscle Relaxation pada pasien
kanker serviks

Penilaian nyeri dan kecemasan akhir pada Kuesioner nyeri dan


3
pasien kanker serviks kecemasan

PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN


Survei pasien
Kegiatan pengabdian masyarakat dilaksanakan di wisma RSMH Palembang dengan
fasilitator kepala rumah singgah yang juga bekerja di bagian K3 RSMH Palembang. Tahap
awal kegiatan dengan mencari pasien kanker yang menginap di wisma RSMH Palembang.
Kegiatan ini dibantu oleh mahasiswa program studi ilmu keperawatan dan alumni. Pada tahap
ini sudah mulai dilakukan pengkajian minat untuk melakukan latihan Progressive Muscle

68
JAMALI – Volume. 02, Issue. 02, September 2020

Relaxation. Hasilnya adalah sebagian besar berminat untuk melakukan latihan PMR tetapi
beberapa pasien kanker berhalangan hadir karena mengurus surat administrasi untuk
kemoterapi keesokan harinya. Tahap ini diperoleh 20 pasien kanker yang mau mengikuti
kegiatan penyuluhan dari total 40 kamar yang disewakan di wisma RSMH Palembang. Tidak
terlalu banyak peserta dikarenakan penghuni wisma tidak hanya pasien kanker melainkan ada
orang yang tidak sakit dan bukan pasien RSMH Palembang, menunggu istri melahirkan,
menunggu anaknya dirawat di NICU, mengantar anaknya yang masih bayi berobat karena
menderita kanker, sehingga tidak sesuai dengan kreteria peserta pada pelatihan ini.

Gambar 1. Tempat pelaksanaan penyuluhan


Penyuluhan kesehatan
Tanggal 31 Oktober 2019 merupakan pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan tentang
PMR pada pasien kanker hanya diperoleh 12 orang pasien kanker yang menghadiri kegiatan
tersebut. Kegiatan penyuluhan dilakukan oleh ketua pelaksana dibantu oleh anggota dan 4
orang alumni. Materi yang diberikan terkait latihan PMR Selama penyuluhan peserta
penyuluhan antusias dalam mendengarkan, melaksanakan senam, mengulangi gerakan senam
dan berdiskusi dengan narasumber. Hasil evaluasi menunjukan 75% peserta penyuluhan
mampu menjelaskan kembali definisi, manfaat, kondisi yang mendukung untuk pelaksanaan
latihan PMR.
Suasana penyuluhan dan pelatihan senam berlangsung kondusif kondusif. Penyuluhan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran peserta untuk
melakukan pelatihan PMR. Harapan yang ingin dicapai adalah peserta dapat menerapkan
pengetahuan yang dimiliki dalam perilaku hidup sehat, diantaranya dengan kesadaran
melakukan latihan PMR. Penelitian menunjukan bahwa dengan dilakukan intervensi akan
menambah tingkat pengetahuan seseorang terhadap suatu objek tertentu (Saraswati, 2012).

69
Natosba1, Purwanto2, Jaji3, Rizona4

Pengetahuan seseorang tidak akan bisa bertambah dan berkembang tanpa adanya
penambahan informasi melalui media apapun.
Pemberian pendidikan kesehatan memberi dampak terhadap tingkat pengetahuan dan
berpengaruh dalam pengambilan keputusan dalam melakukan latihan PMR. Penelitian lain
membuktikan bahwa pemberian pendidikan kesehatan yang teratur dengan materi yang
sederhana, metode yang tepat, pemberi materi yang adekuat dan waktu yang sesuai dengan
waktu responden akan meningkatkan pengetahuan secara bermakna terhadap sikap, dan
perilaku (Purnamasari, 2012). Pemberian pengetahuan yang disampaikan melalui pendidikan
kesehatan akan membawa dampak tejadinya peningkatan pengetahuan dari yang tidak tahu
menjadi tahu, sehingga dengan dilakukannya pendidikan kesehatan akan mudah diterima.
Pelatihan Progressive Muscle Relaxation
Kegiatan ini juga dilakukan penilaian sebelum dan setelah pelatihan terkait nyeri dan
kecemasan. Hasil penilaian tersebut dijelaskan pada tabel 1 dan 2 Pelaksanaan latihan PMR
dapat menstimulasi tubuh dalam menghasilkan hormon endorphin yang berfungsi sebagai
obat penenang alami yang diproduksi otak sehingga menimbulkan perasaan relaks (Ramania,
Natosba & Adhisty, 2017).

Gambar 2. Proses penyuluhan

Tabel 1. Gambaran karakteristik responden


Frekuensi Persentase
Variabel
(n=12) (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 5 41,7
Perempuan 7 58,3

Umur
Berisiko (>35 tahun) 9 75
Tidak berisiko (≤35 tahun) 3 25

Pendidikan
Pendidikan menengah dan tinggi 6 50
Pendidikan rendah 6 50

Status pekerjaan
Tidak bekerja 8 66,7

70
JAMALI – Volume. 02, Issue. 02, September 2020

Frekuensi Persentase
Variabel
(n=12) (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 5 41,7
Perempuan 7 58,3

Bekerja 4 33,3

Pendapatan
tinggi 7 58,3
Rendah 5 41,7

Lama menderita kanker


˃1 tahun 9 75
≤ 1 tahun 3 25

Status Pernikahan
Menikah dan Tinggal Bersama 7 58,3
Menikah dan Tidak Tinggal Bersama 3 25
Ditinggal Pasangan (Meninggal) 2 16,7

Pengobatan Yang Dijalani


Kemoterapi 5 41,7
Radioterapi 4 33,3
Kemoterapi dan Radioterapi 3 25

Tabel 2. Distribusi nyeri dan kecemasan Sebelum dan setelah penyuluhan dan pelatihan
tentang PMR
Variabel Sebelum Setelah
n=12 % n=12 %
Nyeri
Ringan 5 41,7 9 75
Sedang 7 58,3 3 25
Berat 0 0 0 0

Kecemasan
Ringan 1 8,3 8 66,7
Sedang 10 83,3 3 25
Berat 1 8,3 1 8,3

Gambar 3. Proses pelatihan Progressive Muscle Relaxation

71
Natosba1, Purwanto2, Jaji3, Rizona4

Kadar endorphin yang dihasilkan karena aktivitas latihan meningkat 4-5 kali sehingga
semakin banyak melakukan latihan dapat memicu pengeluaran endorphin lebih banyak,
kemudian hormon tersebut digunakan oleh reseptor di dalam hipotalamus dan sistem limbik
untuk mengatur emosi (Simamora, Sinaga, & Olivia, 2014). Menurut penelitian Mashudi
(2012) bahwa PMR akan membantu mengurangi ketegangan otot dan stres. PMR dapat
memperlancar aliran darah dan menurunkan ketegangan otot yang berhubungan dengan
mengecilnya serabut otot sehingga memberikan efek relaksasi (Setyoadi & Kushariyadi,
2011; Soewondo, 2012).
Latihan PMR terdiri dari latihan nafas dalam, serangkaian seri kontraksi serta
relaksasi otot tertentu, dan distraksi. Proses distraksi pada latihan PMR menjadi penyebab
perubahan intensitas nyeri yang dirasakan oleh peserta pelatihan. Selama latihan PMR
distraksi mengarahkan peserta harus berfokus pada setiap gerakan yang dilakukan sehingga
dapat mengalihkan perhatian responden dan menurunkan persepsi nyeri yang dirasakan. Rasa
nyaman mulai dirasakan pada gerakan ke-12 dan 13 dikarenakan pusat nyeri yang dirasakan
berada pada bagian adomen (perut) sehingga peneliti menganjurkan untuk memperbanyak
melakukan gerakan di daerah tersebut (Ramania, Natosba & Adhisty, 2017).
Menurut Haryati (2015) latihan PMR bekerja meningkatkan kerja saraf parasimpatis
dan menurunkan stimulasi sistem saraf simpatis serta hipotalamus sehingga pengaruh stres
fisik terhadap keduanya menjadi minimal. Berdasarkan pemahaman inilah latihan PMR
mampu mengurangi distress akibat gejala fisik yang ditandai dengan denyut jantung
menurunkan, laju pernafasan menjadi lebih lambat, aliran darah ke otot dan saluran
pencernaan meningkat (Ramadhan & Putra, 2008). Penyampaian stimulus ke sistem saraf
pusat tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan endorphin yang menyebabkan ketegangan
otot menjadi berkurang sehingga membuat tubuh menjadi relaks. PMR telah membantu
pasien kanker serviks untuk meningkatkan relaksasi terhadap berbagai gejala dan keluhan
yang dirasakan sehingga pasien lebih toleran terhadap berbagai aktivitas sehari-hari
(Ramania, Natosba & Adhisty, 2017).

PMR juga terbukti dapat mengurangi kecemasan. Menurut Jacobson (1970) dikutip
Haryati (2015) kecemasan disebabkan oleh ketegangan otot dan akan berkurang dengan
relaksasi otot. PMR dapat memberikan manfaat ganda yaitu menimbulkan adaptasi individu
yang lebih positif dalam waktu yang singkat dan penurunan kecemasan yang tidak
bergantung pada proses netralisir stressor (Ramania, Natosba & Adhisty, 2017). Tingkat
kecemasan dan intensitas nyeri mempunyai korelasi yang signifikan, nyeri dapat ditingkatkan

72
JAMALI – Volume. 02, Issue. 02, September 2020

oleh kecemasan bila perhatian difokuskan pada sensasi-sensasi yang biasanya tidak dianggap
nyeri (seperti parestesi, rasa gatal dan kadang-kadang bahkan denyutan jantung atau gerakan
usus) (Melzack dan Wall, 2006).
Blindes., et al (2008) menyatakan bahwa nyeri selalu diikuti gangguan emosi seperti
cemas, depresi dan iritasi. Hasil penelitian Ramania, Natosba & Adhisty (2017) menyatakan
bahwa skor kecemasan mengalami penurunan bersamaan dengan penurunan terhadap skala
nyeri. Hasil penelitian menyatakan bahwa dari 42,3% responden yang mengalami kecemasan
berat, sebanyak 30,8% merasakan intensitas nyeri berat (Butar-Butar, Yustina, dan Harahap,
2015). Individu yang cemas dan tegang akan membuka gerbang sehingga akan
meningkatkan rangsang nyeri, yang dapat dilihat dari teori gate control yaitu jika modulasi
input melewati input nosisepsi, gerbang kemudian diblok dan transmisi nosisepsi berhenti
atau dihalangi di substansia gelatinosa tanduk dorsal dari korda spinalis (Kaplan, Sadock, &
Grebb, 2010).

SIMPULAN
Tanggal 31 Oktober 2019 merupakan pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan tentang
PMR pada pasien kanker hanya diperoleh 12 orang pasien kanker yang menghadiri kegiatan
tersebut. Materi yang diberikan terkait latihan PMR. Selama penyuluhan peserta penyuluhan
antusias dalam mendengarkan, melaksanakan senam, mengulangi gerakan senam dan
berdiskusi dengan narasumber. Hasil evaluasi menunjukan 75% peserta penyuluhan mampu
menjelaskan kembali definisi, manfaat, kondisi yang mendukung untuk pelaksanaan latihan
PMR. PMR juga terbukti dapat mengurangi nyeri dan kecemasan. PMR dapat memberikan
manfaat ganda yaitu menimbulkan adaptasi individu yang lebih positif dalam waktu yang
singkat dan penurunan kecemasan yang tidak bergantung pada proses netralisir stressor

DAFTAR PUSTAKA
Blindes, LM., Hill, OW., Merskey H. (2008). Abdominal Pain and the Emotional.
Journal Pain 5:179-191.
Butar-Butar, D., Yustina, I., Harahap, I.A. (2015). Hubungan Karakteristik Nyeri dengan
Kecemasan pada Pasien Kanker Payudara yang Menjalani Kemoterapi di RSUD Dr.
Pirngadi Medan. Idea Nursing Journal 1(1): 51-60.
Casey, A & Benson, H.(2012). Panduan Harvard Medical School:Menurunkan Tekanan
Darah, Jakarta:PT Bhuana Ilmu Populer.

73
Natosba1, Purwanto2, Jaji3, Rizona4

Haryati, Sitorus, Ratna. (2015). Pengaruh Latihan Progressive Muscle Relaxation Terhadap
Status Fungsional dalam Konteks Asuhan Keperawatan Pasien Kanker dengan
Kemoterapi di RS.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jurnal Medula 2(2):167-177.
Kaplan, H.I, Sadock, B.J,& Grebb J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Jakarta: Binarupa
Aksara.
LeMone, P., & Burke,K. (2008). Medical Surgical Nursing:Critical Thinking in Client Care
4th Ed. New Jersey:Pearson Prentice Hall.
Maryani,A. (2009). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Terhadap Kecemasan dan
Mual Muntah Setelah Kemoterapi pada Pasien Kanker Payudara di RS.dr.Hasan
Sadikin Bandung. Tesis dipublikasikan. Jakarta:Program Pascasarjana Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Mashudi. (2011). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Terhadap Kadar GLukosa Darah
Pasien Diabates Mellitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.
Tesis dipublikasikan. Jakarta:Universitas Indonesia.
Melzack, R.., Wall, P.D. (2006). Pain Mechanisms : A New Theory. Science New Series
Journal 150(36): 20-26.
NANDA International. (2011). Diagnosis Keperawatan:Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
Ramadhani, N., Putra, A.A. (2008). Pengembangan Multimedia Relaksasi.(Online).Diakses
di http://staf.ugm.ac.id/relaksasi_otot.pdf pada 30 Mei 2018.
Ramania, E.N, Natosba, J & Adhisty, K (2017). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation
Terhadap Nyeri Dan Kecemasan Pasien Kanker Serviks. Skripsi. PSIK FK UNSRI.
Tidak dipublikasikan
Rasjidi, 2010. Epidemiologi Kanker pada Wanita. Jakarta: Agung Seto.
Rasjidi, I. (2009). Deteksi dan Pencegahan Kanker pada Wanita. Jakarta: Agung Seto.
Setyoadi & Kushariyadi. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik.
Jakarta:EGC.
Shute, C. (2013). The Challenges of Cancer Pain Assessment and Management. Ulster
Medical Journal 82(1):40-42.
Simamora, L.L., Sinaga, F., Olivia, C. (2014). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif
Terhadap Nyeri Menstruasi pada Remaja di Asrama Putri STIKes Santo
Borromeus. Diakses di http://ejournal.stikesborromeus.ac.id/ pada 2 Juni 2018.
Soewondo, S. (2012). Stress, Manajemen Stress, dan Relaksasi Progresif. Jakarta: LPSP3 UI.

74
JAMALI – Volume. 02, Issue. 02, September 2020

Syarif, Hilman, & Putra, Ardia. (2014). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Terhadap
Penurunan Kecemasan pada Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi : A Randomized
Clinical Trial. Idea Nursing Journal 5(3):1-8.
Tobing, Duma Lumban. (2012). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Terhadap
Perubahan Ansietas, Depresi, Kemampuan Relaksasi, dan Kemampuan Memaknai
Hidup Klien Kanker di RS.Dharmais Jakarta. Tesis dipublikasikan. Jakarta: Pascasarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa Universitas Indonesia.
Varvogli, L. & Darviri,C. (2011). Stress Management Techniques:Evidence-Based
Procedures that Reduce Stress and Promote Health. Health Science Journal 5(2):74-89
E-ISSN:1791-809X.

75

Anda mungkin juga menyukai