DISUSUN OLEH:
BELLA DAMA SHINTA
NIM. P27820820008
KEMENTERIAN KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS SURABAYA
2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
CA NASOFARING
1.3 Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi
tipe 1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran
histologinya karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi
sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih ke arah diferensiasi baik,
tipe 3 karsinoma tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas
membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak
dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa
diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer antibodi
terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa
dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan
hubungan dengan virus Epstein-Barr (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir,
2009).
1.4 Stadium
1. T = Tumor
Tumor Primer (T)
a. TX - tumor primer tidak dapat dinilai
b. T0 - Tidak ada bukti tumor primer
c. Tis - Karsinoma in situ
d. T1 - Tumor terbatas pada nasofaring yang
e. T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan / atau hidung
fosa
f. T2a - Tanpa ekstensi parafaring
g. T2b - Dengan perpanjangan parafaring
h. T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal
i. T4 - Tumor dengan ekstensi intrakranial dan atau keterlibatan SSP,
fosa infratemporal, hypopharynx, atau orbit (Roezin,Anida, 2007
dan National Cancer Institute,2009)
2. N = Nodule
a. N – Pembesaran kelenjar getah bening regional (KGB).
b. N0 - Tidak ada pembesaran.
c. N1 - Terdapat metastesis unilateral KGB dengan ukuran kurang dari
6cm merupakan ukuran terbesar diatas fossa supraklavikular
d. N2 - Terdapat metastesis bilateral KGB dengan ukuran kurang dari
6cm merupakan ukuran terbesar diatas fossa supraklavikular
e. N3 - Terdapat metastesis
f. N3.a- KGB dengan ukuran kurang dari 6cm
g. N3.b- KGB diatas fossa supraklavikular (Roezin, Anida, 2007 dan
National Cancer Institute, 2009).
3. M = Metastasis
a. Mx = Adanya Metastesis jauh yang tidak ditentukan.
b. M0 Tidak ada metastasis jauh
c. M1 Terdapat metastasis jauh (Roezin, Anida, 2007 dan National
Cancer Institute, 2009).
4. Stadium
a. Stadium 0 – Tis, n0, M0
b. Stadium I - T1, n0, M0
c. Stadium IIA - T2a, n0, M0
d. Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0),(T2a, N1, M0 ),( T2b,
N0, M0)
e. Stadium III - ( T1, N2, M0 ),(T2a, N2, M0),( T2b, N2, M0),( T3,
N0, M0),( T3, N1, M0),( T3, N2, M0)
f. Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0),( T4, N2, M0)
g. Stadium IVB - Setiap T, N3, M0
h. Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1(Roezin, Anida, 2007 dan
National Cancer Institute, 2009).
1.5 Manifestasi kllinis
1. Gejala Klinis
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting
(Roezin,Anida, 2007). Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan
Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung
kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai
pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang
terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah
akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak,
sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat
gangguan pendengaran ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer
Institute, 2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya
rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan
hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang,
jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga
berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi
akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi
koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan
gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan
hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena
juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan
lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang
menderita radang ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute,
2009
2. Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher,
3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini
merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama
sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini
tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar
dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot
dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut
lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter (Nutrisno , Achadi, 1988 dan
Nurlita, 2009 ).
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke
arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat
mengenai saraf otak dan menyebabkan ialah penglihatan ganda
(diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul
kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan
penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat
penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat
kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan
hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada
beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima,
2006 dan Nurlita, 2009). Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker
dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis
jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi,
menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Pandi, 1983
dan Arima, 2006).
1.6 Patofisiologi
Kanker nasofaring dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satu dari
penyebab dari kanker nasofaring ini adalah adanya virus eipstein yang dapat
menyebabkan ca nasofering. Sel yang terinfeksi noleh sel EBV akan dapat
menghasilkan sel-sel tertentu yang berfungsi untuk mengadakan proliferasi
dan mempertahankan kelangsungan virus dalam sel host. Protein tersebut
dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1, dan LPM-1,
LPM-2A dan LPM-2B. EBV dapat mengaktifkan dan memmapakan zat
kasinogenik yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang
tidak terkontrol sehingga tejadilah defeensiasi dan polifeasi potein laten,
sehingga memicu petumbuhan sel kanker pada nasofaring terutama pada
fossa rossenmuller. Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh
rangsangan dan sentuhan dapat terjadi perdarahan hidung yang ditunjukan
dengan keluarnya darah secara berulang-ulang dengan jumlah yang sedikit
dan kadang-kadang bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
kemerahan. Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan
tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana.gejala menyerupai pilek
kronis,kadang-kadang disertai dengan ganggguan penciuman dan ingus
kental. Sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot dibawahnya. Kelenjar yang terus melekat pada otot dan sulit
untuk digerakan.
Nasofaring berhubungan dengan rongga terngkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan syaraf dapat juga terganggu. Jika tumor
menjalar melalui foramen laserum akan memgenai syaraf otak ke III,IV,VI
dan dapat mengenai syaraf tak ke V, sehingga dapat terjadi penglihatan
ganda (diplopia). Proses karsinoma lebih lanjut akan mengenai syaraf otak
IX,X,XI jika menjalar melalui foramen jugular dan menyebabkan syndrome
Jackson.bila sudah mengenai seluruh syaraf otak disebut sindrom unilateral
dapat juga disertai dengan destruksi tulang tengkorak. Sel-sel kanker dapat
ikut bersama aliran darah dan mengenai bagian organ tubuh yang jauh dari
nasofaring. Organ yang paling sering terkena adalah tulang, hati dan paru.
1.7 Pemeriksaan penunjang
a. Nasofaringoskopi
b. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan
dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
c. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui
keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan
ditemukan.
d. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui
infeksi virus E-B.
e. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
(Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 148 - 149).
1.8 Penatalaksanaan
1. Radioterapi :
• Merupakan penatalaksanaan pertama untuk KNF.
• Radiasi diberikan kepada seluruh stadium (I,II,III,IV lokal) tanpa
metastasis jauh dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher dan
supraklavikula.
• Macam pemberian radioterapi : radiasi eksterna , radiasi interna dan
radiasi intravena
2. Kemoterapi
Diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh
Macam kemoterapi : kemoterapi neodejuvan,kemoterapi
adjuvan,kemotrapi konkomitan
3. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus epistein bar, maka pada penderita KNF dapat diberikan
imunoterapi
4. Operasi / pembedahan
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi.
- Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan
serologi.
- Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan
pada kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak
berhasil diterapi dengan cara lain.
1.9 Komplikasi
a. Hipotiroidsme
b. Hilangnya jangkauan gerak
c. Hipoplasia struktur otak dan tulang
d. Kehilangn pendengaran sensorineural (nasir, 2009).
1.10 Pencegahan
a. Pemberian vaksin
b. Mengurangi konsumsi ikan asin
c. Makan makanan yang bernutrisi
d. Mengurangi serta mengontrol stress
e. Berolahraga secara teratur
f. Health education mengenai lingkungan yang sehat
g. Membiasakan hidup secara sehat (tirtamijaya, 2009)
WOC CA NASOFARING
a. Sistem Penglihatan
Pada penderita karsinoma nasofaring terdapat posisi bola mata klien
simetris, kelompak mata klien normal, pergerakan bola mata klien
normal namun konjungtiva klien anemis, kornea normal, sclera
anikterik, pupil mata klien isokor, otot mata klien tidak ada kelainan,
namun fungsi penglihatan kabur, tanda-tanda radang tidak ada,
reaksi terhadap cahaya baik (+/+). Hal ini terjadi karena pada
karsinoma nasofaring, hanya bagian tertentu yang mengalami
beberapa gejala yang tidak normal seperti konjungtiva klien yang
anemis disebabkan klien memiliki kekurangan nutrisi dan fungsi
penglihatan kabur.
b. Sistem pendengaran
Pada penderita karsinoma nasofaring, daun telinga kiri dan kanan
pasien normal dan simetris, terdapat cairan pada rongga telinga, ada
nyeri tekan pada telinga. Hal ini terjadi akibat adanya nyeri saat
menelan makanan oleh pasien dengan tumor nasofaring sehingga
terdengar suara berdengung pada telinga.
c. Sistem pernafasan
Jalan nafas bersih tidak ada sumbatan, klien tampak sesak, tidak
menggunakan otot bantu nafas dengan frekuensi pernafasan 26 x/
menit, irama nafas klien teratur, jenis pernafasan spontan, nafas
dalam, klien mengalami batuk produktif dengan sputum kental
berwarna kuning, tidak terdapat darah, palpasi dada klien simetris,
perkusi dada bunyi sonor, suara nafas klien ronkhi, namun tidak
mengalami nyeri dada dan menggunakan alat bantu nafas. Pada
sistem ini akan sangat terganggu karena akan mempengaruhi
pernafasan, jika dalam jalan nafas terdapat sputum maka pasien akan
kesulitan dalam bernafas yang bisa mengakibatkan pasien
mengalami sesak nafas. Gangguan lain muncul seperti ronkhi karena
suara nafas ini menandakan adanya gangguan pada saat ekspirasi.
d. Sistem Kardiovaskuler
Pada sirkulasi perifer kecepatan nadi perifer klien 82 x/menit dengan
irama teratur, tidak mengalami distensi vena jugularis, temperature
kulit hangat suhu tubuh klien 360C, warna kulit tidak pucat,
pengisian kapiler 2 detik, dan tidak ada edema. Sedangkan pada
sirkulasi jantung, kecepatan denyut apical 82 x/ menit dengan irama
teratur tidak ada kelainan bunyi jantung dan tidak ada nyeri dada.
Tumor nasofaring tidak menyerang peredaran darah pasien sehingga
tidak akan mengganggu peredaran darah tersebut.
e. Sistem saraf pusat
Tidak ada keluhan sakit kepala, migran atau pertigo, tingkat
kesadaran pasien kompos mentis dengan Glasgow Coma Scale
(GCS) E: 4, M: 6, V: 5. Tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK,
tidak ada gangguan sitem persyarafan dan pada pemeriksaan refleks
fisiologis klien normal. Tumor nasofaring juga bisa menyerang saraf
otak karena ada lubang penghubung di rongga tengkorak yang bisa
menyebabkan beberapa gangguan pada beberapa saraf otak. Jika
terdapat gangguan pada otak tersebut maka pasien akan memiliki
prognosis yang buruk.
f. Sistem pencernaan
Keadaan mulut klien saat ini gigi caries, tidak ada stomatitis lidah
klien tidak kotor, saliva normal, tidak muntah, tidak ada nyeri perut,
tidak ada diare, konsistensi feses lunak, bising usus klien 8 x/menit,
tidak terjadi konstipasi, hepar tidak teraba, abdomen lembek. Tumor
tidak menyerang di saluran pencernaan sehingga tidak ada gangguan
dalam sistem percernaan pasien.
g. Sistem endoktrin
Pada klien tidak ada pembesaran kalenjar tiroid, nafas klien tidak
berbau keton, dan tidak ada luka ganggren. Hal ini terjadi karena
tumor nasofaring tidak menyerang kalenjar tiroid pasien sehingga
tidak menganggu kerja sistem endoktrin.
h. Sistem urogenital
Balance cairan klien dengan intake 1300 ml, output 500 ml, tidak
ada perubahan pola kemih (retensi urgency, disuria, tidak lampias,
nokturia, inkontinensia, anunia), warna BAK klien kuning jernih,
tidak ada distensi kandung kemih, tidak ada keluhan sakit pinggang.
Tumor nasofaring tidak sampai melebar sampai daerah urogenital
sehingga tidak mengganggu sistem tersebut.
i. Sistem integumen
Turgor kulit klien elastic, temperature kulit klien hangat, warna kulit
pucat, keadaan kulit baik, tidak ada luka, kelainan kulit tidak ada,
kondisi kulit daerah pemasangan infuse baik, tekstur kulit baik,
kebersihan rambut bersih. Warna pucat yang terlihat pada pasien
menunjukkan adanya sumbatan yang ada di dalam tenggorokan
sehingga pasien terlihat pucat.
j. Sistem musculoskeletal
Saat ini klien tidak ada kesulitan dalam pergerakan, tidak ada sakit
pada tulang, sendi dan kulit serta tidak ada fraktur. Tidak ada
kelainan pada bentuk tulang sendi dan tidak ada kelainan struktur
tulang belakang, dan keadaan otot baik. Pada tumor ini tidak
menyerang otot rangka sehingga tidak ada kelainan yang
mengganggu sistem musculoskeletal.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan
antara dasar tujuan keperawatan pasien yang telah diterapkan dengan respon
perilaku klien yang tampil. Evalauasi ada dua macam yaitu
1. Evaluasi formatif
adalah hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien segera pada
saat/setelah dilakukan tindakan keperawatan
2. Evaluasi Sumatif
adalah rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status
kesehatan sesuai waktu pada tujuan
DAFTAR PUSTAKA
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan :
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
Phillips RS, Friend AJ, Gibson F, Houghton E, Gopaul S, Craig JV, et al.
Antiemetic medication for prevention and treatment of chemotherapy-induced
nausea and vomiting in childhood. Cochrane Database Syst Rev. 2016;2(2):1–
100. doi: 10.1002/14651858.CD007786.pub3dimana
Tirtaamijaya,N,2009.PencegahanKanker Nasopharing.Wordpress.com.
Available from: http://tirtaamijaya.wordpress.com/2009/03/04/pencegahan-
kanker - nasopharing/
g. Genogram
III. Pola – pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
SMRS : klien mengatakan bahwa klien mandi 2 kali sehari, ganti
pakaian 2 kali sehari. Klien mengatakan tidak pernaah
melakukan olahraga, klien merokok dalam sehari dapat
menghabiskaan +/- 4 pack, tidak mengkonsumsi minuman
keras.
MRS : klien mengatakan bahwa klien selama di RS mandi 1kali
sehari, ganti pakian 1 kali sehari. Sejak dinyatakan mengidap
kanker nasofaring klien sudah tidak lagi merokok,
b. Pola nutrisi dan metabolisme
SMRS : klien mengatakan makan sehari bisa 3 kali sehari dengan
lauk dan sayur. Minum cukup +/- 1500 ml perhari.
MRS : klien mengatakan saat dirawat di RS klien makan 3 kali
sehari sesuai porsi yang diberikan oleh ahli gizi. Klien
mampu menghabiskan kurang lebih 3-4 sendok makan
karena tidak nafsu makan, terkadang disertai rasa mual.
c. Pola eliminasi
SMRS : Klien mengatakan BAB rutin 1x sehari, konsistensi lembek.
BAK normal +/- 4-6 kali sehari urine berwarnah kuning, bau
khas urine.
MRS : Klien mengatakan belum BAB sejak 2 hari yang lalu
d. Pola tidur dan istirahat
SMRS : klien mengatakan kualitas tidur klien bisa 7-8 jam perhari
MRS : klien mengatakan selama dirawat di RS sedikit mengalami
gangguan tidur . klien tidur hanya +/- 5-6 jam perhari
e. Pola aktivitas
SMRS : klien mengatakan sebelum dirawat RS klien hanya bekerja
sebagai supir pengantar barang.
MRS : klien mengatakan setelah melakukan kemoterapi klien
merasa lemas dan merasakan mual muntah. Klien
menghabiskan sebagian waktunya di tempat tidur. Aktivitas
klien sebagian dibantu keluarga.
f. Pola hubungan peran
Hubungan klien dengan keluarga baik, dengan sesame klien baik,
begitupun dengan para petugas tenaga kesehatan. Klien lebih sering
bercerita dengan keluarganya. Klien kooperatif dalam setiap
tindakan medis dan keperawatan.
g. Pola sensori dan kognitif
5 5
5 5
I. Terapi
- Pro Kemoterapi I (cisplatin)
- Inf. NaCl 0,9% 500cc / 24 jam per IV
- Inj. Ondonsentron 8 mg tiap 8 jam per IV
- Inj. Ranitidine 50 mg tiap 12 jam per IV
- Diet TKTP 1900 kkal
ANALISA DATA
Nama : Tn.S
Nomor Register : 12.53.XX.XX
Umur : 55 th
Ruangan : Ruang TerataiI
Diagnosa Medis : Ca.Nasofaring T2N1M0 + Pro Kemoterapi
Tanggal Masalah
Pengelompokan data Penyebab
/jam Keperawatan
03-01- DS: Ca Nasofaring
2019
- klien mengatakan Nyeri kronis
ada benjolan di
leher sebelah kiri Metastase sel
disertai dengan kanker ke
nyeri kelenjar getah
DO: benning
P: nyeri saat ditekan
Q: seperti ditusuk-tusuk
R: leher sebelah kiri
Sel tumbuh dan
S: 5
berkembang
T: terus menerus
Menembus
kelenjar
mengenali otak
Nyeri
03-01- DS: Ca Nasofaring Defisit nutrisi
2019
- - Klien mengatakan
sulit untuk menelan
dan tidak nafsu Kemoterapi
makan karena
merasa mual dan
ingin muntah
Efek kemoterapi
DO:
- Klien lemas
Nafsu makan
- Klien habis 3-4
menurun
sdm per makan
- Turgor kulit
cukup bagus
- Albumin 3,3 Mual muntah
g/dl
- BB sebelum
sakit: 68 kg
- BB setelah Ketidakmampuan
sakit: 64 kg mengabsorbsi
- Bising usus 15 nutrien
x/menit
Defisit Nutrisi
03-01- DS: Ca Nasofaring Ansietas
2019 Klien mengatakan
bahwa klien merasa
khawatir dengan
Kemoterapi
kemoterapi
DO:
- Klien tampak
gelisah Perubahan sensori
- Hasil TTV
- RR:18x/menit
- N :80x/menit
- TD:130/85mmh Terlihat cemas
g dengan
kondisinya
Ansietas
03-01- DS: Ca Nasofaring Risiko infeksi
2019 klien mengatakan ada
benjolan di leher
sebelah kiri
Kemoterapi
DO:
- Klien Ca.
Nasofaring yang
melakukan Supresi sumsum
kemoterapi pertama tulang
- WBC: 13,66 x
10^3/uL
- Suhu:36,8oC
Gangguan
pembuluh darah
merah
Immunosupresi
Risiko infeksi
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ditemukan
Masalah Teratasi
Diagnosis keperawatan/Masalah Masalah
No.
Kolaboratif Tangga
Tanggal Paraf Paraf
l
1. D.0078Nyeri kronis berhubungan
dengan infiltrasi tumor ditandai
03-01-19
dengan adanya benjolan di leher
sebelah kiri, nyeri bila ditekan, nyeri
seperti ditusuk, skala 5 nyeri terus
menerus
D.0142
Hari/ PERENCANAAN
Diagnosa
Tanggal/
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Tindakan Keperawatan
Jam
D.0078 Tujuan: Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan
Nyeri kronis 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
selama 1 x 8 jam diharapkan
berhubungan dengan Intensitas nyeri
bersiha nyeri hilang atau
pembekakan jaringan 2. Identifikasi skala nyeri
terkontrol
ditandai dengan adanya 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
Kriteria Hasil:
Kamis, benjolan di leher 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Keluhan nyeri menurun
03/01/2019 sebelah kiri, nyeri bila 5. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
- Meringis menurun
10.00 ditekan, nyeri seperti diberikan
- Gelisah menurun
ditusuk, skala 5 nyeri 6. Monitor efek samping penggunaan analgetik
- Kesulitan tidurmenurun
terus menerus
- Frekuensi nadi membaik
Terapeutik
Kolaborasi
Kolaborasi
1.6.1 Pengkajian
Pada tahap pengkajian Tn S dengan Ca Nasofaring yang masuk rumah
sakit pada 03 Januari 2019, berdasarkan hasil wawancara didapatkan data
subjektif pada Tn S mengatakan keluhan Klien mengatakan pada 3 bulan
yang lalu dileher kiri tumbuh benjolan disertai dengan nyeri. Telinga kiri
klien mengalami penurunan pendengaran. Kemudian klien memeriksakan
kelainan tersebut ke RS terdekat dan dokter mengatakan kelainan yang
terjadi adalah klinis dari kanker nasofaring. Hal ini sesuai dengan
manifestasi klinis pada Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan
gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi
biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga
sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang ( Roezin, Anida,
2007 dan National Cancer Institute, 2009
Kemudian dokter merujuk klien untuk memeriksa lagi ke RSUD dr
Soetomo dan kontrol selama 1 bulan di poli THT. Pada tanggal 3 Januari
2019 saat dilakukan pengkajian klien masuk rumah sakit (rawat inap) di
ruang Teratai dengan tindakan pro kemoterapi yang pertama dengan
keluhan nyeri pada leher bagian kiri, nyeri ketika benjolan ditekan, nyeri
skala 5, nyeri seperti ditusuk tusuk, nyeri terus menerus. Klien juga
mengatakan tidak nafsu makan karena sakit saat menelan dan adanya rasa
mual ingin muntah .
1.6.2 Diagnosis keperawatan
Pada konsep dasar teori yang akan muncul pada klien ISPA ada
beberapa diagnosis keperawatan yang mungkin muncul menurut SDKI,
yaitu:
Abstract
The risk factors affecting chemotherapy-induced nausea and vomiting (CINV) includes antiemetic
premedication time pattern, and this study investigates the capability of enhancing this in breast cancer
patients receiving high emetogenic chemotherapy (HEC). Furthermore, this observational research
was implemented at the oncology unit of Dr. Soetomo General Hospital Surabaya over a three-month
period involving 69 female patients. The results showed unspecific antiemetic premedication timing in
comparison to those with recommended timeframes, was connected with greater occurrence of both
acute nausea in all cycles of chemotherapy (p<0.05), and acute vomiting in second and third cycles
(p<0.05) but not in the first cycle (p=0.49). However, specific time administration of antiemetic treatment
was linked with lower incidence of delayed nausea in all cycles (p<0.05), and less delayed vomiting
in second and third cycles (p<0.05) but not in first cycle (p=0.10). These findings indicate specific
time administration of antiemetic drugs causes significant advantages in mitigating CINV among breast
cancer patients treated with emetogenic chemotherapy, and significantly lessened the occurrence of
acute and delayed nausea and vomiting.
Keywords: Antiemetic premedication timing, breast cancer, CINV, nausea and vomiting
Kata kunci: CINV, kanker payudara, mual dan muntah, waktu pemberian premedikasi antiemetik
Correspondence: apt. Mahardian Rahmadi, S.Si., M.Sc., PhD., Department of Clinical Pharmacy, Universitas
Airlangga, Surabaya, East Java 60115, Indonesia, email: mahardianr@ff.unair.ac.id
Submitted: 31st March 2020, Accepted: 15th October 2020, Published: 9th December 2020
298
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020
299
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020
300
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020
The patients are The patients are The patients are The patients are The patients are The patients are
interviewed 24 interviewed 120 interviewed 24 interviewed 120 interviewed 24 interviewed 120
hours after hours after hours after hours after hours after hours after
chemotherapy chemotherapy chemotherapy chemotherapy chemotherapy chemotherapy
Figure 1 The Observation Workflow during Collecting Patient’s Data with Acute and Delayed
Nausea Vomiting after Chemotherapy
Patient interview was carried out on every cycle of chemotherapy (first cycle, second cycle, and third cycle). The patients were
interviewed twice per cycle, namely 24 hours after chemotherapy (acute chemotherapy induced nausea and vomiting (CINV))
and 120 hours after chemotherapy (delayed CINV).
301
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020
assessment of antiemetic efficacy and safety timing on the prevalence of acute nausea and
questionnaire with NCI-CTCAE version 4.03 vomiting at first, second, and third cycles of
guideline to assess the grade of nausea and chemotherapy could be seen at Table 2, 3,
vomiting.10,22,23 Mann-Whitney test was used 4, and 5. Those tables showed that either in
to analyze each variable between the groups. acute or delayed CINV, unspecific antiemetic
Statistical analysis were computed on a premedication timing significantly increased
significance level of 5%. the acute and delayed nausea and vomiting.
Unspecific antiemetic premedication timing
Results was associated with a greater prevalence
of acute nausea all cycles of chemotherapy
During the data capture period, 72 women (p<0.05) and with a greater prevalence of
proceeded to receive chemotherapy, with acute vomiting in second and third cycles
3 subjects who dropped out (one deceased, (p<0.05) but not in first cycle of chemotherapy
two declining interview) leaving 69 patients (p=0.49). Specific time administration of
who proceeded to evaluation. All patients antiemetic treatment was associated with
were women, with 17% aged <40 years old, a lower prevalence of delayed nausea in all
74% aged 40–60 years old, and 9% aged >60 cycles (p<0.05), as well as a lower prevalence
years old. A variety of chemotherapy regimens of delayed vomiting in second and third cycles
were used, all of which were classified as (p<0.05) but not in first cycle of chemotherapy
highly emetogenic (85% was treated using (p=0.10).
Cyclophosphamide, Adriamycin, Fluorouracil;
12% using Cyclophosphamide, Epirubicin, Discussion
Fluorourcil; or 3% using Cyclophosphamide,
Adriamycin). All patients received the same Breast cancer is a common malignancy in
antiemetic premedication combination. First, Indonesia and around the world.24 CINV
ranitidine 50 mg in 8 ml normal saline was associated with cytotoxic chemotherapy in
given intravenous bolus injection. Second, this context has a potentially major role upon
diphenhydramine 10 mg in 4 ml normal saline well being, treatment tolerability and overall
was given intravenous bolus injection. Third, treatment outcomes.6 The use of chemotherapy
dexamethasone 20 mg in 100 ml D5% with can produce nausea and vomiting. These
intravenous drips for 15 minutes. The fourth, particularly unpleasant impressions continue
ondansetron 8 mg in 50 ml normal saline to be a problem despite better antiemetic.25,26
administered through intravenous drips for 10 The main objective of this study was to analyze
minutes (Table 1). antiemetic premedication administration
The distribution of timing for the timing on nausea and vomiting incidence of
administration of antiemetic premedication breast cancer patients, who received high
was highly variable. The range of antiemetic emetogenic chemotherapy in oncology unit
premedication administration time was within in Dr. Soetomo General Hospital Surabaya.
15 minutes until more than 2 hours before This prospective observational study was
chemotherapy. Most of patients received carried out due to the limited number of nurses
unspecific antiemetic premedication timing, working at chemotherapy ward and the time
whereas only small amount of patients that difference between antiemetic premedication
had specific time administration of antiemetic and chemotherapy regimens transfer from
premedication. pharmacy unit to chemotherapy wards. The
The analysis of antiemetic premedication time difference caused interval between
302
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020
303
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020
304
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020
nausea and vomiting, while diphenhydramine emetic risk chemotherapy and the rates
inhibits H1 receptors and to reduce vestibular were advanced in the whole cycles.27–30 The
stimulation and thus preventing nausea incidence of acute and delayed CINV during
and vomiting.20 It was confirmed that the first, second, and third cycles of chemotherapy
administration of antiemetic premedication could reduce the occurence and severity of
was not effective on HEC. However, the acute nausea but not delayed nausea. In the
administration of antiemetic premedication incidence of vomiting, the regimentation
at a specific time might reduce nausea and could also reduce the incidence and severity
vomiting incidence on patients. of both acute and delayed vomiting (the
These findings are similar to those seen response is greater than in nausea). Patient
in previous research. It has previously been at high risk for CINV failed to achieve good
observed that the administration of high nausea control.31 The use of premedication
emetogenic chemotherapy frequently caused antiemetic has reduced the incidence of
delayed CINV rather than acute CINV. The vomiting, but 30–60% of the patients still
administration of antiemetics in controlling experienced either acute or delayed of
delayed CINV might work less optimally. nausea.4 This study focused on the timing of
Complete protection from acute and delayed antiemetic premedication for the incidence of
nausea in the initial cycle of chemotherapy acute CINV and delayed CINV. Breakthrough
were 60% and 45%, accordingly, for great CINV is nausea and vomiting incidence
305
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020
for 5 days on patients receiving emetic exploration of the effects associated with
prophylaxis that requires rescue antiemetic different category of chemotherapy regimens.
as additional therapy to control nausea and Randomized controlled trial (RCT) study
vomiting incidence. Breakthrough CINV will was not carried out since the objective of this
not be discussed in this study. Anticipatory study was to analyse the effect of antiemetic
CINV is nausea and vomiting incidence that premedication timing on nausea and vomiting
occurs between the cycles of chemotherapy incidence with the limited number of nurses.
and is associated with previous CINV.32 Future research studies could be designed
Anticipatory CINV was also excluded from to address these limitations and to provide
the discussion because it occured before each additional data to explore these aspects of
cycle of chemotherapy which was beyond this clinically important issue.
our observation time period.
The research findings here provide further Conclusion
evidence that specific time administration of
antiemetic drugs produces important benefits Specific time administration of antiemetic
in reducing CINV among people treated with premedication may minimize the incidence of
emetogenic chemotherapy for breast cancer. nausea and vomiting. This study suggests that
The results emphasize the need to schedule scheduled workflow and other approaches to
workflows to improve the timeliness of increase the timeliness of antiemetic treatment
antiemetic treatment provided in this setting. may enhance protection against CINV for
Possible approaches to explore could involve people treated with emetogenic chemotherapy
schedule workflow for dispensing and delivery for breast cancer, potentially improving quality
of antiemetic drugs, more involvement from of life and improving outcomes.
pharmacists in the processes of preparing
the medications for administration (currently Funding
undertaken by nursing staff), greater education
for nursing and medical staff about the This research is partially funded by Taher
importance of specific antiemetic treatment Professorship programme to Prof. Dr. apt.
timing, and greater standardization of practices Suharjono, MS.
overall. The effects of scheduled workflow
and changes to practice should be re-assessed Conflict of Interest
in future research. If more specific time
administration of the antiemetic drugs cannot The authors declared no potential conflicts of
produce a more robust response in reducing interest with respect to the research, authorship,
delayed phase CINV, especially in cycles after and/or publication of this article.
the initial treatment, it is also possible that
changes to the antiemetic treatment regimen References
may need to be considered and evaluated.
This research study has a range of 1. Setiowati DAI, Tanggo EH, Soebijanto RI.
limitations. The sample size was small and Hubungan antara pemakaian KB hormonal
some participants declined to participate. The dengan kejadian kanker payudara di poli
study design did not explore or document the onkologi satu atap RSUD Dr. Soetomo,
reasons for unspecific time administration of Februari-April 2015. Indones J Cancer.
antiemetic treatments, and the protocol was 2016;10(1):11–7. doi: 10.33371/ijoc.v10i
not sufficiently powered to allow detailed 1.409
306
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020
307
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020
308
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Volume 9, Issue 4, December 2020
© 2020 Rahmadi et al. The full terms of this license incorporate the Creative Common Attribution-Non Commercial License (https://creative
commons.org/licenses/by-nc/4.0/). By accessing the work you hereby accept the terms. Non-commercial use of the work are permitted without
any further permission, provided the work is properly attributed.
309
36
ISSN: 2548-1843
EISSN: 2621-8704
1
) FIK, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16426, Indonesia
E-mail : dedeh_rsp@yahoo.co.id
ABSTRAK
Myalgia dapat terjadi karena efek samping kemoterapi. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui pengaruh PMR terhadap myalgia pada pasien kanker paru yang menjalani
kemoterapi. Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment dengan pre-post test with
control group. Sampel penelitian adalah 32 orang, diambil dengan consecutive sampling.
Pengukuran intensitas myalgia dilakukan dengan menggunakan numeric rating scale.
Kelompok intervensi diberikan tindakan PMR selama 15 menit dengan frekuensi 2x sehari
dalam 5 hari berturut-turut pasca kemoterapi. Hasil penelitian didapatkan penurunan
intensitas myalgia sebelum dan setelah dilakukan intervensi pada kelompok intervensi (p
value 0,001) dan pada kelompok kontrol (p value 0,001). Namun terdapat perbedaan
penurunan intensitas myalgia antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah
diberikan intervensi dengan selisih 0,81 (p value = 0,001) . Kesimpulan, PMR dapat
membantu menurunkan myalgia pada pasien kanker paru yang menjalani kemoterapi. PMR
dapat menjadi salah satu terapi komplementer yang bisa diterapkan perawat di rumah sakit
untuk menurunkan myalgia.
ABSTRACT
Myalgia can be occured by side effect of chemotherapy. The purpose of this study was to
identify the effect of PMR against myalgia in lung cancer patients undergoing
chemotherapy. This study design was a quasi experiment, used pre and post test with
control group. Samples were 32 patients, recruited by consecutive sampling. Measuring
pain assessment used numeric rating scale. The intervention group had been provided
PMR fifteen minutes twice a day for five days post chemotherapy. The results showed
significantly different reduction of pain intensity before and after providing PMR in the
intervention group and control group as well (p value = 0,001). There was a significantly
different reduction of myalgia intensity between both group after giving intervention with
mean difference 0,81 (p value = 0,001). It can be concluded that PMR can reduce myalgia
in lung cancer patients undergoing chemotherapy. Suggestion, PMR becomes one of the
complementary therapies to overcome myalgia.
36
37
meningkat sebesar 8,2 juta. Sekitar dan bahkan alergi (Suryo, 2010).
badan sel saraf yang mengakibatkan digunakan pada pasien kanker paru
reaksi inflamasi dan elevasi enzim yang dilakukan kemoterapi dengan
otot yaitu kreatinin phospokinase myalgia adalah non opiod NSAID’s
yang menyebabkan injuri otot (n= 50).
sehingga akan menimbulkan myalgia
(Yarbro, Vucik & Gobel, 2014). Analgetik merupakan metode yang
paling umum untuk mengatasi nyeri.
Intensitas myalgia pada penelitian ini Analgetik terbagi menjadi tiga jenis
antara lain myalgia ringan (sakala 3) yaitu : opioid dan obat tambahan
yaitu 40,62% dan myalgia sedang (adjuvan) atau ko-analgesik, non
(skala 4) yaitu 59,37%. Hal ini narkotik (nonopioid) dan obat
didukung dengan penelitian yang inflamasi nonsteroid (NSAIDs),
dilakukan oleh Yosida et al (2009) (Muttaqin, 2010). Analgetik non
yang dilakukan pada 50 responden opioid adalah paracetamol dan
dan didapatkan myalgia ringan NSAID’s yang bekerja pada
sebanyak 34%, myalgia sedang yaitu rangsang nyeri pada bagian saraf
44%, myalgia berat yaitu 24% dan (Jong, 2005). Ada tujuh kelompok
tidak ada keluhan myalgia sebanyak NSAIDs antara lain : aspirin, derivat
28%. Obat kemoterapi yang asam para klorobenzoat, derivat
diberikan dengan dosis tunggal dan pirazolan, derivat asam proprionat,
dosis tinggi akan mempengaruhi oksikam, asam fenilasetat dan
tingkat keparahan myalgia (Garisson, fenamat (Hayes & Kee, 1996). Asam
2003). Semakin tinggi dosis obat mefenamat digunakan sebagai
kemoterapi yang diberikan maka analgetik dan antiinflamasi
akan semakin tinggi keluhan myalgia (Rahardja, 2004). Obat yang
yang dirasakan oleh pasien. diberikan pada pasien myalgia akibat
pemberian kemoterapi paclitacsel
Pada penelitian ini sebagian besar yaitu nonopioid untuk myalgia
obat analgetik yang digunakan ringan dan sedang, obat opioid untuk
golongan nonopioid yaitu asam myalgia berat (Yarbro, Vucik &
mefenamat sebanyak 90,6% dan Gobel, 2014).
paracetamol sebanyak 0,09%.
Penelitian yang dilakukan Yoshida et Hasil uji statistik menunjukkan
al (2009) bahwa obat analgetik yang bahwa ada pengaruh PMR terhadap
segera setelah PMR dilakukan, Falk, S., & Williams. (2010). Lung
cancer 3th Edition. New
selain itu juga perlu dikaji faktor-
York: Oxford University press
faktor yang mempengaruhi myalgia.
Greenberg, J.S. (2002).
Comprehensive stress
DAFTAR PUSTAKA management. 7th Edition.
United States:Mc Graw Hill
Badan Penelitian dan Pengembangan Company Inc
Kesehatan. (2013). Laporan
hasil riset kesehatan dasar Handoko (2008). Pengobatan
(RISKESDAS) Indonesia-tahun alternative. Jakarta: PT Elex
2013. Diakses dari Media Komutindo
depkes.go.id/downloads/riskes
das2 Hayes, R., & Kee, J.L., (1996).
013/Hasil%20Riskesdas%2020 Farmakologi proses
13. pdf keperawatan. Jakarta : EGC
Cahyono. (2008). Gaya hidup dan Hulma, M.A., Basyar, M., &
penyakit modern. Yogyakarta : Mulyani, H. (2014).
Penerbit Kanisius Hubungan karakteristik
penderita dengan gambaran
Cardoso, F.D.S., Curtolo, M., sitopatologi pada kasus
Natour, J., & Junior, I.L., karsinoma paru yang dirawat
(2011). Assesment of quality di RSUP Dr M Jamil Padang.
of life, muscle strength and Padang : Jurnal FK Unand
functional capacity in women
with fibromyalgia. Brazil : Jong W. (2005). Kanker, apakah
Elsevier Revista brasileira de itu: pengobatan, harapan
rematologi 2011;5(4) : 338 hidup dan dukungan keluarga.
Jakarta: Arcan Kubo, K.,
Davey, P. (2006). At a glance Kanehisa, H., Azuma,
medicine. Jakarta: Erlangga K.,Ishizu, M., Kuno, S.Y.,
Okada, M., & Fukunaga, K.
JKH/ Volume 2/ Nomor 2/Juli 2018 (ISSN: 2548-1843, EISSN: 2621-8704)
45
Email : ekanadyar@gmail.com
ABSTRAK
Kanker serviks merupakan masalah global terkait penyakit tidak menular yang dapat
menyebabkan kesakitan hingga kematian pada wanita. Penderita kanker serviks
umumnya mengalami keluhan nyeri dan kecemasan yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup. Salah satu bentuk penerapan perawatan paliatif dengan kualitas hidup sebagai
prioritas pengobatan untuk pasien dengan penyakit kronik seperti kanker serviks ialah
Progressive Muscle Relaxation. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh
Progressive Muscle Relaxation terhadap nyeri dan kecemasan pasien kanker serviks.
Jenis penelitian ini ialah penelitian kuantitatif dengan pra eksperimental dalam klasifikasi
one group pretest and posttest design. Sampel penelitian berjumlah 16 orang responden
kanker serviks yang diambil dengan teknik purposive sampling. Hasil analisis skala nyeri
dan skor kecemasan menggunakan uji paired t-test dan uji alternatif wilcoxon
menunjukkan bahwa Progressive Muscle Relaxation dapat menurunkan skala nyeri dan
skor kecemasan dengan p-value=0,000. Progressive Muscle Relaxation dapat
merangsang sistem saraf parasimpatis yang akan mengontrol aktivitas dan
mempengaruhi neurotransmitter yang mengantarkan ke sistem saraf pusat. Stimulus
tersebut dapat memacu pelepasan hormon endorphin yang menimbulkan ketegangan
otot berkurang sehingga tubuh menjadi relaks dan energi positif akan muncul. Energi
tersebut akan menghambat jalur ujung-ujung saraf yang menimbulkan nyeri dan
kecemasan sehingga tidak dapat diinterpretasikan oleh tubuh. Mekanisme tersebut dapat
mengatasi keluhan nyeri dan kecemasan pasien kanker serviks. Progressive Muscle
Relaxation dapat dijadikan sebagai intervensi mandiri khususnya perawatan paliatif bagi
pasien kanker serviks guna beradaptasi dengan keluhan nyeri dan kecemasan.
ABSTRACT
Cervical cancer is a global problem related to non infect diseases that cause illness until
dying to women. Cervical cancer’s patient generally fell pain and anxiety that can affect to
the quality of life. One of palliative care with quality of life as a priority treatment for
patients with chronic diseases such as cervical cancer is Progressive Muscle Relaxation.
This study aimed to analysis the effect of Progressive Muscle Relaxation on the pain and
anxiety of cervical cancer’s patient. This study design was quantitatif research with pra
experimental in one group pretest and posttest design classification. There were 16
respondents of cervical cancer’s patient as sample of research, which was taken by
purposive sampling technique. Data was analyzed by using paired t-test for pain scale
and wilcoxon test for anixety score, result of the study showed that Progressive Muscle
Relaxation can decrease pain scale and anxiety score with p-value=0,000. Progressive
Muscle Relaxation is stimulate the parasympathetic nervous system with control the
activity and affect the neurotransmitters which delivered to the central nervous system.
Stimulation can release of endorphin which causes muscle tension to be reduced so the
body becomes relax and positive’s energy will be emerge. This energy will inhibit the
nervous system that cause pain and anxiety so it can’t be interpreted by the body. This
mechanism can resolve pain and anxiety of cervical cancer’s patient. Progressive Muscle
Relaxation can be used as an independent intervention, especially palliative care for
cervical cancer’s patients to adapt pain and anxiety.
PENDAHULUAN
(Shute, 2013). Nyeri kanker serviks
Kanker serviks merupakan kanker dirasakan pada daerah panggul atau
pada wanita yang menyerang bagian dimulai dari ekstremitas bagian bawah
leher rahim yang disebabkan oleh virus dari daerah lumbal, dapat bervariasi,
Human Papilloma Virus (HPV) yang dan semakin progresif pada stadium
diperkuat keberadaannya dengan faktor lanjut (Wulandari, Effendy, & Nisman,
risiko seperti berganti-ganti pasangan 2017). Nyeri dan kecemasan
seksual >4 orang, penyakit menular merupakan dua gejala pada penderita
seksual, berhubungan seks pada usia kanker serviks yang memiliki hubungan
<20 tahun, pengguna saling berkaitan. Kecemasan pada
immunosuppressive pada penderita penderita kanker serviks muncul akibat
HIV, dan bahan karsinogen yang perasaan yang tidak pasti akan
dijumpai pada wanita perokok (Aziz, prognosa penyakit, keluhan nyeri yang
Andrijono, & Saifuddin, 2006). Data dirasakan, pemeriksaan diagnostik yang
peserta Badan Penyelenggara Jaminan dilakukan, dan pengobatan yang dijalani
Sosial (BPJS) Kesehatan Nasional terhadap pemulihan kondisi terutama
tahun 2016, jumlah kasus kanker pada pasien stadium lanjut (Wulandari,
serviks di pelayanan Rawat Jalan Effendy, & Nisman, 2017).
Tingkat Lanjutan (RJTL) mencapai Intervensi yang diberikan pada
12.820 kasus sedangkan di Rawat Inap pasien kanker serviks dapat berupa
Tingkat Lanjutan (RITL) tercatat ada terapi farmakologi dan non farmakologi.
6.938 kasus. Kasus kanker serviks Terapi farmakologis berupa analgesik
menempati urutan pertama di Provinsi yang dapat menimbulkan efek samping
Sumatera Selatan pada tahun 2015 lain dan memperparah kondisi apabila
sebesar 1.047 penderita. Data dari diberikan terus-menerus (Maryani,
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) 2009). Pengobatan terhadap keluhan
dr.Mohammad Hoesin Palembang yang penderita kanker serviks juga dapat
merupakan rumah sakit rujukan nasional dilakukan dengan terapi komplementer.
di Provinsi Sumatera Selatan Salah satu terapi komplementer yaitu
didapatkan bahwa pasien kanker serviks Progressive Muscle Relaxation (PMR)
yang menjalani rawat inap tahun 2018 yang menggabungkan latihan nafas
mengalami peningkatan selama 3 bulan dalam, serangkaian seri kontraksi serta
terakhir yaitu 25 orang pada Bulan relaksasi otot tertentu, dan distraksi.
Januari, 30 orang pada Bulan Februari, PMR merupakan salah satu dari teknik
dan 39 orang pada Bulan Maret. relaksasi yang paling mudah dilakukan,
Kejadian tersebut menandakan bahwa memiliki gerakan sederhana, telah
semakin banyak pasien kanker serviks digunakan secara luas, dan dapat
yang memerluhkan perawatan sejak meningkatkan kemandirian pasien
dini. dalam mengatasi masalah kesehatan
Nyeri merupakan salah satu gejala (Syarif & Putra, 2014). PMR dilakukan
kanker yang paling sering menjadi dengan cara menegangkan otot secara
beban berat bagi pasien selama sakit sementara, kemudian kembali
HASIL
Tabel 1. Karakteristik Responden
Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)
Usia
35 Tahun 1 6,2
36 Tahun 1 6,2
39 Tahun 2 12,5
42 Tahun 1 6,2
43 Tahun 1 6,2
47 Tahun 3 18,8
48 Tahun 1 6,2
49 Tahun 1 6,2
51 Tahun 2 12,5
52 Tahun 1 6,2
54 Tahun 2 12,5
Total 16 100%
Stadium
II A 1 6,2
II B 4 25
III B 11 68,8
Total 16 100%
Lama menderita kanker
< 1 Tahun 10 62.5
1 Tahun 6 37,5
Total 16 100%
Pendidikan
SD 12 75
SMP 1 6,2
SMA 3 18,8
Total 16 100%
Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga 7 43,8
Pedagang 6 37,5
Petani 3 18,8
Total 16 100%
Status pernikahan
Menikah 16 100
Pengobatan yang dijalani
Kemoterapi 12 75
Radioterapi 4 25
Total 16 100%
Tabel 2. Perbedaan Skala Nyeri pada Pasien Kanker Serviks Sebelum dan Setelah
diberikan Intervensi PMR dengan menggunakan Uji Paired t-test
95% Confidence
Variabel n Mean SD p-value Interval (CI)
Lower Upper
Skala Nyeri Sebelum
16 5,75 1,528
Intervensi
Skala Nyeri Setelah 0,000 2.432 2.943
16 3,06 1,692
Intervensi
Nilai mean skala nyeri sebelum perbedaan yang bermakna skala nyeri
diberikan intervensi lebih tinggi pasien kanker serviks sebelum dan
dibandingkan nilai mean skala nyeri setelah diberikan intervensi. Skala nyeri
setelah diberi intervensi menandakan pada penelitian ini berada dalam
bahwa terdapat perubahan berupa rentang 2,943 sampai 2,432 dengan
penurunan rata-rata skala nyeri tingkat kepercayaan penelitian 95%.
sehingga dapat disimpulkan adanya
Tabel 3. Perbedaan Skor Kecemasan pada Pasien Kanker Serviks Sebelum dan Setelah
diberikan Intervensi PMR dengan menggunakan Uji Wilcoxon
Median (Minimum-
Variabel n p-value
Maksimum)
Skor Kecemasan Sebelum
16 50(63-33)
Intervensi
0,000
Skor Kecemasan Setelah
16 28(54-23)
Intervensi
kanker serviks biasanya dapat gate control yaitu jika modulasi input
dirasakan di daerah pinggul atau yang melewati input nosisepsi, gerbang
terletak di dalam atau di pusat pelvis. kemudian diblok dan transmisi nosisepsi
Responden penelitian juga melaporkan berhenti atau dihalangi di substansia
bahwa nyeri yang dirasakan menyebar gelatinosa tanduk dorsal dari korda
ke daerah paha. Nyeri kanker serviks spinalis. Faktor perilaku dan emosional
menjalar ke sisi anterior sampai sisi mempengaruhi gerbang melalui
medial dari paha yang dicurigai mekanisme menghambat transmisi
terjadinya kompresi nervus femoral impuls nyeri (Butar-Butar, Yustina, &
(Suwiyoga, 2013) sehingga dapat Harahap, 2015). Hambatan transmisi
menambah keluhan rasa nyeri. impuls nyeri juga dapat dimodulasi oleh
Seluruh responden penelitian adanya opiat endogen yang penting
menjelaskan kualitas nyeri yang dalam sistem analgesik tubuh dengan
dirasakan berupa rasa panas seperti cara menutup mekanisme pertahanan
terbakar, berdenyut, kebas, dan rasa ini dengan merangsang sekresi
nyeri yang hebat. Kualitas nyeri kanker endorphin yang akan menghambat
bersifat subjektif untuk setiap responden pelepasan substansi P. Hasil penelitian
sehingga tidak dapat disamakan kualitas ini menyatakan bahwa skor kecemasan
nyeri yang dirasakan masing-masing mengalami penurunan bersamaan
responden. Responden penelitian dengan penurunan terhadap skala nyeri.
mendapatkan obat pereda nyeri Orang yang cemas dan tegang akan
(analgesik) yang diberikan maksimal membuka gerbang sehingga rangsang
dua kali dalam sehari, namun obat nyeri akan meningkat (Kaplan, Sadocks,
analgesik tersebut hanya dapat & Greb, 2007).
memberikan efek pereda nyeri selama Perubahan intensitas nyeri yang
1-2 jam setelah pemberian obat dirasakan oleh responden selain karena
termasuk dalam jenis opioid. Walsh pelepasan hormon endorphin juga
(1997) dikutip oleh Yastati (2010) disebabkan oleh distraksi yang
menyatakan semua golongan opioid mengarahkan responden harus berfokus
menimbulkan efek analgesik dan efek pada setiap gerakan yang dilakukan
lainnya melalui reseptor opiat di otak sehingga dapat mengalihkan perhatian
dan medulla spinalis. Analgesik tersebut responden. Rasa nyaman mulai
memiliki banyak jenis, namun hanya dirasakan pada gerakan ke-12 dan 13
sedikit yang terbukti memiliki nilai praktis dikarenakan pusat nyeri yang dirasakan
dalam penanganan nyeri kronis. berada pada bagian adomen (perut)
Hasil penelitian ini juga menunjukkan sehingga peneliti menganjurkan untuk
bahwa p=0,000 yang berarti bahwa memperbanyak melakukan gerakan di
secara statistik dapat diartikan terdapat daerah tersebut.
perbedaan yang bermakna antara skor Latihan PMR bekerja melibatkan
kecemasan sebelum dan setelah aktivitas sistem saraf otonom yaitu
intervensi. Kekhawatiran akan kondisi dengan meningkatkan kerja saraf
penyakit kanker yang diderita, parasimpatis dan menurunkan stimulasi
pengobatan yang dijalani, efek dari sistem saraf simpatis serta hipotalamus
pengobatan yang dijalani, belum siap sehingga pengaruh stres fisik terhadap
menerima penyakit kanker yang diderita, keduanya menjadi minimal (Haryati,
kekhawatiran terhadap kondisi keluarga, 2015). Aktivasi sistem saraf
keluhan yang dirasakan, belum siap parasimpatis akan menurunkan denyut
menerima kematian merupakan stressor jantung, memperlambat laju pernafasan,
yang menimbulkan kecemasan pada meningkatkan aliran darah ke otot dan
responden penelitian. saluran pencernaan sehingga dapat
Tingkat kecemasan dan intensitas mengurangi distress akibat gejala fisik
nyeri mempunyai korelasi yang (Ramadhani & Putra, 2008). PMR akan
signifikan (Melzack & Wall, 2006). mengontrol aktivitas kemudian stimulus
Pengaruh intensitas nyeri terhadap tersebut akan mempengaruhi
kecemasan juga dapat dilihat dari teori neurotransmitter (norephineprin,
ABSTRAK
Nyeri dan kecemasan merupakan dua gejala yang paling sering dirasakan oleh
penderita kanker. Pengobatan terhadap keluhan penderita kanker ini dapat ilakukan melalui
terapi komplementer sebagai pelengkap. Salah satu teknik relaksasi yaitu PMR yang
dilakukan dengan cara menegangkan otot secara sementara, kemudian kembali diregangkan
dimulai dari kepala sampai kaki secara bertahap. Tujuan kegiatan pengabdian kepada
masayarakat ini adalah untuk meningkatkan kemampuan adaptasi pasien kanker terhadap
nyeri dan kecemasan yang dirasakannya. Kegiatan dilakukan selama satu hari dengan latihan
bertempat di ruangan serbaguna di wisma RSMH Palembang. Sebelumnya pada awal
kegiatan dilakukan pengukuran terkait nyeri dan kecemasan. Selanjutnya akhir sesi latihan
dilakukan pengukuran lagi untuk nyeri dan kecemasan. Kegiatan pengabdian masyarakat
dilaksanakan di wisma RSMH Palembang, 12 orang pasien kanker yang menghadiri kegiatan
tersebut. Selama penyuluhan peserta penyuluhan antusias dalam mendengarkan,
melaksanakan senam, mengulangi gerakan senam dan berdiskusi dengan narasumber.
Terdapat penurunan nyeri dan kecemasan sebelum dan sesuedah dilakukan PMR. PMR
bekerja meningkatkan kerja saraf parasimpatis dan menurunkan stimulasi sistem saraf
simpatis serta hipotalamus sehingga pengaruh stres fisik terhadap keduanya menjadi minimal.
Berdasarkan pemahaman inilah latihan PMR mampu mengurangi distress akibat gejala fisik.
ABSTRACT
Pain and anxiety are two of the most common symptoms of cancer sufferers.
Treatment of the sufferer of these cancer complaints can be done through complementary
therapy as a complement. One of the relaxation techniques of PMR is done in a temporary
way of muscle strain, then re-stretched from head to toe gradually. The purpose of the
devotion to the community is to improve the ability of the cancer patient adaptation to the
pain and anxiety he felt. The activity is done for one day with an exercise in the multipurpose
room in Palembang RSMH guesthouse. Earlier activities were carried out measurements of
pain and anxiety. Furthermore the end of the training session is carried out more
measurements for pain and anxiety. Public service activities were held at the RSMH
guesthouse in Palembang, 12 cancer patients attending the event. During counseling
participants enthusiastic about listening, conducting gymnastics, repeating the movement of
gymnastics and discussing with speakers. There is a decrease in pain and anxiety before and
according to PMR. PMR works increase the work of the parasympathetic nerve and lowers
the stimulation of the sympathetic nervous system as well as the hypothalamus so that the
66
JAMALI – Volume. 02, Issue. 02, September 2020
influence of physical stress on both becomes minimal. Based on this understanding, PMR
exercises are able to reduce distress due to physical symptoms.
Keywords: pain, anxiety, Progressive Muscle Relaxation
PENDAHULUAN
Kanker merupakan pertumbuhan sel dalam tubuh yang abnormal dan tidak terkontrol
sehingga dapat menjadi suatu keganasan yang berakibat fatal bagi kehidupan seseorang
(Rasjidi, 2009). Sel-sel kanker membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang menyusup
ke jaringan di dekatnya dan dapat menyebar ke seluruh tubuh. Penyakit ini sangat kompleks
dengan berbagai manifestasi tergantung pada sistem tubuh yang dipengaruhi dan jenis sel
kanker yang terlibat (Tobing, 2012). Sel kanker dapat tumbuh dengan cepat dan
menyebabkan kematian apabila tidak segera diberikan perawatan (LeMone, & Burke, 2008).
Nyeri dan kecemasan merupakan dua gejala pada penderita kanker yang memiliki
hubungan saling berkaitan. Nyeri merupakan salah satu gejala kanker yang paling sering dan
merupakan beban berat bagi pasien selama sakit (Shute, 2013). Kecemasan pada penderita
kanker muncul akibat perasaan yang tidak pasti akan prognosa penyakit, keluhan nyeri yang
dirasakan, pemeriksaan diagnostik yang dilakukan, dan pengobatan yang dijalani terhadap
pemulihan kondisi terutama pada pasien stadium lanjut.
Pengobatan terhadap keluhan penderita kanker tidak hanya dapat dilakukan melalui
terapi farmakologi, namun terdapat terapi komplementer sebagai pelengkap. Salah satu terapi
komplementer yang dapat diberikan kepada pasien kanker serviks ialah relaksasi yang
dilakukan untuk membantu penderita berinteraksi dengan lingkungannya (Varvogli &
Darviri, 2011). Salah satu teknik relaksasi yaitu PMR yang dilakukan dengan cara
menegangkan otot secara sementara, kemudian kembali diregangkan dimulai dari kepala
sampai kaki secara bertahap (Casey, & Benson, 2012). PMR bertujuan untuk membedakan
perasaan yang dialami pada saat kelompok otot dilemaskan dan dalam kondisi tegang.
Penderita dapat merasakan hilangnya ketegangan sebagai salah satu respon nyeri dan
kecemasan di mana terapi PMR dapat merangsang pengeluaran endorphin dan merangsang
signal otak yang menyebabkan otot relaks serta dapat meningkatkan aliran darah ke otak
(Tobing, 2012).. PMR merupakan salah satu dari teknik relaksasi yang paling mudah
dilakukan, memiliki gerakan sederhana, telah digunakan secara luas, dan dapat meningkatkan
kemandirian pasien dalam mengatasi masalah kesehatan secara non farmakologik(Maryani,
2009; Syarif & Putra, 2014). Teknik relaksasi ini dapat menimbulkan keselarasan tubuh dan
pikiran yang diyakini memfasilitasi penyembuhan fisik dan psikologis (LeMone, & Burke,
67
Natosba1, Purwanto2, Jaji3, Rizona4
2008). Tujuan kegiatan pengabdian kepada masayarakat ini adalah untuk meningkatkan
kemampuan adaptasi pasien kanker serviks terhadap nyeri dan kecemasan yang dirasakannya.
METODE
Kegiatan dilakukan selama satu hari berturut-turut dengan latihan bertempat di
ruangan serbaguna di wisma RSMH Palembang. Pemilihan wisma RSMH Palembang untuk
memenuhi kebutuhan latihan Progressive Muscle Relaxational akan lingkungan yang tenang,
posisi yang nyaman, dan sikap yang baik dibandingkan ruang rawat rumah sakit. Lingkungan
yang tenang diperlukan sehingga pasien dapat berkonsentrasi pada relaksasi otot termasuk
membantasi interupsi/gangguan, suara, dan pencahayaan. Posisi yang nyaman memberikan
dukungan bagi tubuh atau berbaring di tempat tidur pada posisi yang nyaman. Pelaksanaan
PMR untuk hasil yang maksimal dianjurkan dilakukan secara rutin selama 25-30 menit
sebanyak 2 kali sehari. Sebelumnya pada awal kegiatan dilakukan pengukuran terkait nyeri
dan kecemasan. Selanjutnya akhir sesi latihan dilakukan pengukuran lagi untuk nyeri dan
kecemasan. Evaluasi dilakukan berdasarkan tahapan kegiatan pengabdian masyarakat dan
dilakukan pada setiap khalayak sasaran. Dijelaskan pada bagan dibawah ini:
68
JAMALI – Volume. 02, Issue. 02, September 2020
Relaxation. Hasilnya adalah sebagian besar berminat untuk melakukan latihan PMR tetapi
beberapa pasien kanker berhalangan hadir karena mengurus surat administrasi untuk
kemoterapi keesokan harinya. Tahap ini diperoleh 20 pasien kanker yang mau mengikuti
kegiatan penyuluhan dari total 40 kamar yang disewakan di wisma RSMH Palembang. Tidak
terlalu banyak peserta dikarenakan penghuni wisma tidak hanya pasien kanker melainkan ada
orang yang tidak sakit dan bukan pasien RSMH Palembang, menunggu istri melahirkan,
menunggu anaknya dirawat di NICU, mengantar anaknya yang masih bayi berobat karena
menderita kanker, sehingga tidak sesuai dengan kreteria peserta pada pelatihan ini.
69
Natosba1, Purwanto2, Jaji3, Rizona4
Pengetahuan seseorang tidak akan bisa bertambah dan berkembang tanpa adanya
penambahan informasi melalui media apapun.
Pemberian pendidikan kesehatan memberi dampak terhadap tingkat pengetahuan dan
berpengaruh dalam pengambilan keputusan dalam melakukan latihan PMR. Penelitian lain
membuktikan bahwa pemberian pendidikan kesehatan yang teratur dengan materi yang
sederhana, metode yang tepat, pemberi materi yang adekuat dan waktu yang sesuai dengan
waktu responden akan meningkatkan pengetahuan secara bermakna terhadap sikap, dan
perilaku (Purnamasari, 2012). Pemberian pengetahuan yang disampaikan melalui pendidikan
kesehatan akan membawa dampak tejadinya peningkatan pengetahuan dari yang tidak tahu
menjadi tahu, sehingga dengan dilakukannya pendidikan kesehatan akan mudah diterima.
Pelatihan Progressive Muscle Relaxation
Kegiatan ini juga dilakukan penilaian sebelum dan setelah pelatihan terkait nyeri dan
kecemasan. Hasil penilaian tersebut dijelaskan pada tabel 1 dan 2 Pelaksanaan latihan PMR
dapat menstimulasi tubuh dalam menghasilkan hormon endorphin yang berfungsi sebagai
obat penenang alami yang diproduksi otak sehingga menimbulkan perasaan relaks (Ramania,
Natosba & Adhisty, 2017).
Umur
Berisiko (>35 tahun) 9 75
Tidak berisiko (≤35 tahun) 3 25
Pendidikan
Pendidikan menengah dan tinggi 6 50
Pendidikan rendah 6 50
Status pekerjaan
Tidak bekerja 8 66,7
70
JAMALI – Volume. 02, Issue. 02, September 2020
Frekuensi Persentase
Variabel
(n=12) (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 5 41,7
Perempuan 7 58,3
Bekerja 4 33,3
Pendapatan
tinggi 7 58,3
Rendah 5 41,7
Status Pernikahan
Menikah dan Tinggal Bersama 7 58,3
Menikah dan Tidak Tinggal Bersama 3 25
Ditinggal Pasangan (Meninggal) 2 16,7
Tabel 2. Distribusi nyeri dan kecemasan Sebelum dan setelah penyuluhan dan pelatihan
tentang PMR
Variabel Sebelum Setelah
n=12 % n=12 %
Nyeri
Ringan 5 41,7 9 75
Sedang 7 58,3 3 25
Berat 0 0 0 0
Kecemasan
Ringan 1 8,3 8 66,7
Sedang 10 83,3 3 25
Berat 1 8,3 1 8,3
71
Natosba1, Purwanto2, Jaji3, Rizona4
Kadar endorphin yang dihasilkan karena aktivitas latihan meningkat 4-5 kali sehingga
semakin banyak melakukan latihan dapat memicu pengeluaran endorphin lebih banyak,
kemudian hormon tersebut digunakan oleh reseptor di dalam hipotalamus dan sistem limbik
untuk mengatur emosi (Simamora, Sinaga, & Olivia, 2014). Menurut penelitian Mashudi
(2012) bahwa PMR akan membantu mengurangi ketegangan otot dan stres. PMR dapat
memperlancar aliran darah dan menurunkan ketegangan otot yang berhubungan dengan
mengecilnya serabut otot sehingga memberikan efek relaksasi (Setyoadi & Kushariyadi,
2011; Soewondo, 2012).
Latihan PMR terdiri dari latihan nafas dalam, serangkaian seri kontraksi serta
relaksasi otot tertentu, dan distraksi. Proses distraksi pada latihan PMR menjadi penyebab
perubahan intensitas nyeri yang dirasakan oleh peserta pelatihan. Selama latihan PMR
distraksi mengarahkan peserta harus berfokus pada setiap gerakan yang dilakukan sehingga
dapat mengalihkan perhatian responden dan menurunkan persepsi nyeri yang dirasakan. Rasa
nyaman mulai dirasakan pada gerakan ke-12 dan 13 dikarenakan pusat nyeri yang dirasakan
berada pada bagian adomen (perut) sehingga peneliti menganjurkan untuk memperbanyak
melakukan gerakan di daerah tersebut (Ramania, Natosba & Adhisty, 2017).
Menurut Haryati (2015) latihan PMR bekerja meningkatkan kerja saraf parasimpatis
dan menurunkan stimulasi sistem saraf simpatis serta hipotalamus sehingga pengaruh stres
fisik terhadap keduanya menjadi minimal. Berdasarkan pemahaman inilah latihan PMR
mampu mengurangi distress akibat gejala fisik yang ditandai dengan denyut jantung
menurunkan, laju pernafasan menjadi lebih lambat, aliran darah ke otot dan saluran
pencernaan meningkat (Ramadhan & Putra, 2008). Penyampaian stimulus ke sistem saraf
pusat tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan endorphin yang menyebabkan ketegangan
otot menjadi berkurang sehingga membuat tubuh menjadi relaks. PMR telah membantu
pasien kanker serviks untuk meningkatkan relaksasi terhadap berbagai gejala dan keluhan
yang dirasakan sehingga pasien lebih toleran terhadap berbagai aktivitas sehari-hari
(Ramania, Natosba & Adhisty, 2017).
PMR juga terbukti dapat mengurangi kecemasan. Menurut Jacobson (1970) dikutip
Haryati (2015) kecemasan disebabkan oleh ketegangan otot dan akan berkurang dengan
relaksasi otot. PMR dapat memberikan manfaat ganda yaitu menimbulkan adaptasi individu
yang lebih positif dalam waktu yang singkat dan penurunan kecemasan yang tidak
bergantung pada proses netralisir stressor (Ramania, Natosba & Adhisty, 2017). Tingkat
kecemasan dan intensitas nyeri mempunyai korelasi yang signifikan, nyeri dapat ditingkatkan
72
JAMALI – Volume. 02, Issue. 02, September 2020
oleh kecemasan bila perhatian difokuskan pada sensasi-sensasi yang biasanya tidak dianggap
nyeri (seperti parestesi, rasa gatal dan kadang-kadang bahkan denyutan jantung atau gerakan
usus) (Melzack dan Wall, 2006).
Blindes., et al (2008) menyatakan bahwa nyeri selalu diikuti gangguan emosi seperti
cemas, depresi dan iritasi. Hasil penelitian Ramania, Natosba & Adhisty (2017) menyatakan
bahwa skor kecemasan mengalami penurunan bersamaan dengan penurunan terhadap skala
nyeri. Hasil penelitian menyatakan bahwa dari 42,3% responden yang mengalami kecemasan
berat, sebanyak 30,8% merasakan intensitas nyeri berat (Butar-Butar, Yustina, dan Harahap,
2015). Individu yang cemas dan tegang akan membuka gerbang sehingga akan
meningkatkan rangsang nyeri, yang dapat dilihat dari teori gate control yaitu jika modulasi
input melewati input nosisepsi, gerbang kemudian diblok dan transmisi nosisepsi berhenti
atau dihalangi di substansia gelatinosa tanduk dorsal dari korda spinalis (Kaplan, Sadock, &
Grebb, 2010).
SIMPULAN
Tanggal 31 Oktober 2019 merupakan pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan tentang
PMR pada pasien kanker hanya diperoleh 12 orang pasien kanker yang menghadiri kegiatan
tersebut. Materi yang diberikan terkait latihan PMR. Selama penyuluhan peserta penyuluhan
antusias dalam mendengarkan, melaksanakan senam, mengulangi gerakan senam dan
berdiskusi dengan narasumber. Hasil evaluasi menunjukan 75% peserta penyuluhan mampu
menjelaskan kembali definisi, manfaat, kondisi yang mendukung untuk pelaksanaan latihan
PMR. PMR juga terbukti dapat mengurangi nyeri dan kecemasan. PMR dapat memberikan
manfaat ganda yaitu menimbulkan adaptasi individu yang lebih positif dalam waktu yang
singkat dan penurunan kecemasan yang tidak bergantung pada proses netralisir stressor
DAFTAR PUSTAKA
Blindes, LM., Hill, OW., Merskey H. (2008). Abdominal Pain and the Emotional.
Journal Pain 5:179-191.
Butar-Butar, D., Yustina, I., Harahap, I.A. (2015). Hubungan Karakteristik Nyeri dengan
Kecemasan pada Pasien Kanker Payudara yang Menjalani Kemoterapi di RSUD Dr.
Pirngadi Medan. Idea Nursing Journal 1(1): 51-60.
Casey, A & Benson, H.(2012). Panduan Harvard Medical School:Menurunkan Tekanan
Darah, Jakarta:PT Bhuana Ilmu Populer.
73
Natosba1, Purwanto2, Jaji3, Rizona4
Haryati, Sitorus, Ratna. (2015). Pengaruh Latihan Progressive Muscle Relaxation Terhadap
Status Fungsional dalam Konteks Asuhan Keperawatan Pasien Kanker dengan
Kemoterapi di RS.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jurnal Medula 2(2):167-177.
Kaplan, H.I, Sadock, B.J,& Grebb J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Jakarta: Binarupa
Aksara.
LeMone, P., & Burke,K. (2008). Medical Surgical Nursing:Critical Thinking in Client Care
4th Ed. New Jersey:Pearson Prentice Hall.
Maryani,A. (2009). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Terhadap Kecemasan dan
Mual Muntah Setelah Kemoterapi pada Pasien Kanker Payudara di RS.dr.Hasan
Sadikin Bandung. Tesis dipublikasikan. Jakarta:Program Pascasarjana Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Mashudi. (2011). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Terhadap Kadar GLukosa Darah
Pasien Diabates Mellitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.
Tesis dipublikasikan. Jakarta:Universitas Indonesia.
Melzack, R.., Wall, P.D. (2006). Pain Mechanisms : A New Theory. Science New Series
Journal 150(36): 20-26.
NANDA International. (2011). Diagnosis Keperawatan:Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
Ramadhani, N., Putra, A.A. (2008). Pengembangan Multimedia Relaksasi.(Online).Diakses
di http://staf.ugm.ac.id/relaksasi_otot.pdf pada 30 Mei 2018.
Ramania, E.N, Natosba, J & Adhisty, K (2017). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation
Terhadap Nyeri Dan Kecemasan Pasien Kanker Serviks. Skripsi. PSIK FK UNSRI.
Tidak dipublikasikan
Rasjidi, 2010. Epidemiologi Kanker pada Wanita. Jakarta: Agung Seto.
Rasjidi, I. (2009). Deteksi dan Pencegahan Kanker pada Wanita. Jakarta: Agung Seto.
Setyoadi & Kushariyadi. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik.
Jakarta:EGC.
Shute, C. (2013). The Challenges of Cancer Pain Assessment and Management. Ulster
Medical Journal 82(1):40-42.
Simamora, L.L., Sinaga, F., Olivia, C. (2014). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif
Terhadap Nyeri Menstruasi pada Remaja di Asrama Putri STIKes Santo
Borromeus. Diakses di http://ejournal.stikesborromeus.ac.id/ pada 2 Juni 2018.
Soewondo, S. (2012). Stress, Manajemen Stress, dan Relaksasi Progresif. Jakarta: LPSP3 UI.
74
JAMALI – Volume. 02, Issue. 02, September 2020
Syarif, Hilman, & Putra, Ardia. (2014). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Terhadap
Penurunan Kecemasan pada Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi : A Randomized
Clinical Trial. Idea Nursing Journal 5(3):1-8.
Tobing, Duma Lumban. (2012). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Terhadap
Perubahan Ansietas, Depresi, Kemampuan Relaksasi, dan Kemampuan Memaknai
Hidup Klien Kanker di RS.Dharmais Jakarta. Tesis dipublikasikan. Jakarta: Pascasarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa Universitas Indonesia.
Varvogli, L. & Darviri,C. (2011). Stress Management Techniques:Evidence-Based
Procedures that Reduce Stress and Promote Health. Health Science Journal 5(2):74-89
E-ISSN:1791-809X.
75