Anda di halaman 1dari 3

Nama : Nadia Amalia Hidayat

NIM : 20105040088
Kelas : SA C
Mata Kuliah: Sosiologi Keluarga
Dosen Pengampu: Anas Shofaul Jannah, S. Sos, M.A.

Humanisme Keluarga
(Relasi, Komunikasi, Pembagian Tugas Rumah Tangga, dan Pola Asuh Anak)

Keluarga merupakan struktur organisasi paling kecil yang ada dalam susunan
masyarakat. Suasana hangat yang ada dalam keluarga sangat dibutuhkan. Karena dengannya
orang tua dan anak dapat menjalankan perannya masing-masing dengan baik. Relasi dan
komunikasi yang baik dapat mempererat hubungan kekeluargaan. Yang mana, hubungan
tersebut berlangsung berdasarkan ikatan perasaan dan batin yang kuat, dimana orang tua
berperan mengawasi serta memotivasi untuk mengembangkan tanggung jawab sosial dan
keluarga dalam masyarakat.

Semakin anak beranjak dewasa semakin berubah pula bentuk komunikasi keluarga.
Anak yang sudah beranjak dewasa biasanya mulai memiliki pendapat sendiri dan terkadang
juga memberikan saran kepada orang tua. Ada beberapa orang tua yang tidak melibatkan
anak dalam keputusan besar keluarga seperti pembelian mobil, pemilihan cat rumah, dsb.
Ada juga keluarga yang melibatkan pendapat anak dalam pengambilan keputusan besar.
Bentuk komunikasi keluarga pun juga memberikan tingkat kenyamanan dan kepuasan
tersendiri. Pasangan atau anak yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan biasanya lebih
nyaman dan puas dengan lingkungan keluarganya.

Olson, Sprenkle, dan Russel (1986) mengembangkan circumplex model dari


perkawinan yang kemudian berkembang menjadi tiga dimensi: cohesion (penyatuan),
adaptability (penyesuaian), dan communication (komunikasi). Dimensi komunikasi
merupakan unsur yang menjadi syarat terwujudnya penyatuan dan penyesuaian dalam sebuah
keluarga. Melalui komunikasi anggota keluarga dapat mengetahui bagaimana beradaptasi
antar anggota keluarga dan mengukur kemampuan mereka untuk saling memahami satu sama
lain. Olson dan kawan-kawan menyampaikan bahwa keberhasilan suatu keluarga dalam
menciptakan hubungan yang stabil dan seimbang bergantung pada gaya komunikasi yang
cenderung bersifat assertive, adanya negosiasi, saling berbagi peran dan adanya keterbukaan
dalam membuat aturan rumah tangga.

Peneliti lain, Anne Fitzpatrick melalui risetnya menjelaskan empat tipe keluarga dan
bagaimana cara mereka saling berkomunikasi. Yaitu konseptual, pluralistis, protektif, dan
laissez faire.
1. Konseptual: keluarga yang sering melakukan percakapan, namun masih memiliki
kepatuhan yang tinggi. Keluarga yang suka ngobrol bersama tetapi memegang
otoritas keluarga. Keluarga jenis ini sangat menghargai komunikasi terbuka namun
tetap menghendaki kewenangan orang tua yang jelas.
2. Pluralistis: keluarga yang sering melakukan percakapan namun memiliki kepatuhan
yang rendah. Anggota keluarga sering kali berbicara terbuka namun setiap anggota
keluarga memiliki keputusannya masing-masing. Orang tua tidak merasa perlu untuk
mengontrol anak-anak mereka karena setiap pilihan dapat dinilai dari kebaikannya,
Yaitu pendapat mana yang terbaik, dan setiap orang turut serta dalam pengambilan
keputusan.
3. Protektif: keluarga yang memiliki tingkat percakapan yang jarang namun memiliki
kepatuhan yang tinggi. Maksudnya terdapat banyak sifat patuh terhadap keluarga
tetapi memiliki sedikit komunikasi. orang tua jenis keluarga ini tidak merasa ada
banyak alasan untuk berbicara atau ngobrol, dan juga tidak ada banyak alasan untuk
menjelaskan keputusan apa yang mereka buat. Dan karena itu orang tua atau suami
istri jenis ini dikatakan sebagai terpisah (separate) dalam hal orientasi
perkawinannya.
4. Laissez-faire: keluarga yang memiliki tingkat percakapan dan kepatuhan yang rendah.
Anggota keluarga tipe ini tidak terlalu peduli dengan apa yang dikerjakan oleh
anggota keluarga lain, sekaligus mereka tidak ingin membuang waktu untuk
membicarakannya. Suami istri jenis ini biasanya memiliki orientasi yang berbeda.
Maksudnya mereka tidak memiliki skema yang menjadi dasar untuk saling
berkomunikasi. mereka memiliki orientasi yang merupakan kombinasi dari orientasi
terpisah dan independen atau kombinasi lainnya.

Keluarga merupakan agen sosialisasi primer bagi anak. Keberhasilan dalam mengasuh
salah satunya dipengaruhi oleh pola asuh. Orang tua merupakan cerminan yang dapat ditiru
oleh anaknya. Jika pola asuh terhadap anak belum tepat, kerap kali akan menimbulkan
masalah dan konflik baik dalam diri anak itu sendiri maupun anak dan orang tua begitu pula
terhadap lingkungannya.
Mengutip dari Djiwandono:2005, kita dapat membiarkan anak-anak menjadi diri
mereka sendiri dan lebih fokus pada perhatian untuk membantu anak tumbuh dengan
berbagai tantangan yang ada. Jika orang tua dapat menanggapi secara rileks dan penuh
kepercayaan, anak akan mempunyai kesempatan besar untuk percaya kepada diri sendiri,
orang tua, dan masa depan.
Menurut Santrock, gaya dan pengasuhan anak ada empat klasifikasi, yakni pola asuh
permessif indifferent, pola asuh permessif indulgent, pola asuh otoriter, dan pola asuh
otoritatif.
1. Pola asuh Permessif Indifferent: kontrol orang tua rendah, begitu pula derajat interaksi
antar orangtua dan anak. Orang tua cenderung bersikap kurang simpatik, pasif,
menunjukan jarak, dan mengabaikan emosi anak, tetapi tetap menyediakan kebutuhan
dasar mereka. Akibatnya anak kurang berkembang, cenderung immature, kurang
perhatian, terhambat penyesuaian dirinya, spontan tetapi tidak berani mencoba.
2. Pola Asuh Permessif Indulgent: orang tua memiliki kehangatan yang tinggi tetapi
kontrol terhadap perilaku anak rendah. orang tua sangat terlibat dengan kehidupan
anak, cenderung bersikap lunak dan minim arahan, tak memiliki aturan yang jelas,
terlalu memanjakan anak dan membiarkannya melakukan apapun yang ia inginkan.
akibatnya anak tidak belajar mengendalikan perilakunya dan ingin selalu dituruti,
manja, kurang dewasa, kurang teratur egois, mudah menyerah, tidak disiplin, dan
memiliki keterbatasan dalam kompetensi sosial, khususnya menyangkut pengendalian
diri.
3. Pola Asuh Otoriter: kontrol terhadap anak tinggi tetapi rendah kehangatan. Orang tua
menuntut ketaatan, bersikap kaku, penuh aturan, menetapkan batasan-batasan dan
kendali yang tegas kepada anak. Kurang memberi peluang pada anak untuk berdialog
secara verbal dan cenderung mengedepankan hukuman. Akibatnya anak kurang
memperlihatkan inisiatif, cemas terhadap perbandingan sosial, dan memiliki
komunikasi yang buruk. Kepribadiaannya mudah cemas, kurang percaya diri, kurang
komunikasi, sulit membuat keputusan, cenderung berontak, mudah sedih dan tertekan.
Tetapi di sisi lain bisa membentuk perilaku disiplin, mandiri, tanggung jawab dan
idealis.
4. Pola Asuh Otoritatif: kontrol dan kehangatan orang tua cenderung tinggi. Orang tua
memberi aturan, sikap asertif, dukungan, fleksibilitas, serta self regulation sehingga
anak bebas berkreasi dan bereksplorasi berbagai hal dengan batasan yang diberikan
orang tua. Orang tua jenis ini memberi kesempatan pada anak untuk berkomunikasi
secara verbal. Akibatnya kepribadian anak ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas,
percaya diri, terbuka pada orang tua, tidak mudah stress dan depresi, dan berprestasi
baik.

Kesimpulan

Keluarga merupakan wujud struktur sosial paling kecil di masyarakat dan merupakan agen
sosialisasi primer bagi anak. Dengan adanya komunikasi yang baik antar keluarga, dapat
mempererat hubungan batin yang ada antar anggota. Yang dengan itu akan tercipta keluarga
yang hangat dan harmonis. Pola asuh yang otoritatif juga sangat dibutuhkan untuk tumbuh
kembang baik anak, dimana orang tua berperan penting sebagai subyek yang mendukung
mereka untuk berkembang.

Daftar Pustaka:

Soemanto, R.B. Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Keluarga. hal 7.


Mareta, Mira. Pendidikan Humanis Dalam Keluarga (Konstruksi Pola Asuh Orang Tua
Dalam Mempersiapkan Generasi Masa Depan) 19-20.
Rakhmawati, Istina. (2015). Peran Keluarga Dalam Pengasuhan Anak. Jurnal Bimbingan
Konseling Islam. Vol 6. 1-3.
Nurhajati, Lestari & Damayanti, Wardyaningrum. (2012). Komunikasi Keluarga Dalam
Pengambilan Keputusan Perkawinan di Usia Remaja. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri
Pranata Sosial, Vol. 4. 240-242.

Anda mungkin juga menyukai