Oleh:
yang tengah fokus untuk memutus rantai penyebaran virus COVID-19 malah dihadapkan dengan
kejahatan siber atau cybercrime yang kian meningkat dan menargetkan kelompok-kelompok
yang terkait dengan COVID-19. Rasa haus akan informasi mengenai virus ini membuat
cybercriminals atau penjahat siber memanfaatkannya guna melancarkan aksinya dan meraup
pundi-pundi keuntungan yang tentunya illegal. Tanpa mengindahkan etika, para penjahat siber
ini menargetkan miliaran orang yang was-was dan berperan penting dalam menanggapi pandemi
ini, seperti pemerintah dan lembaga lainnya yang terkait seperti rumah sakit. Selain itu mereka
juga turut menyerang perusahaan-perusahaan yang pekerjanya melakukan work for home akibat
Fenomena seperti ini memang sudah tidak asing lagi di dunia siber. Interpol dalam
mengatakan bahwa pandemi COVID-19 menjadi konteks berbagai jenis serangan siber yang
ditunjukan untuk mencuri data, menyebabkan gangguan sampai penghentian sistem untuk
meminta tembusan, menipu korban, dan menyebarkan infromasi yang tidak benar (disinformasi).
Unit 42, tim intelijen ancaman global lembaga Palo Alto Networks dalam artikelnya “Studying
656 persen dalam pendaftaran nama domain terkait virus Corona dari Februari ke Maret. Pada
akhir Maret saja, Unit 42 mencatat 116.357 nama domain baru terkait virus Corona. Sayangnya,
tidak semua domain secara sukarela memberikan informasi mengenai wabah tetapi juga
berbahaya dan 40.261 domain berisiko tinggi. Domain-domain berbahaya adalah sarana dalam
berbagai serangan siber. Ada yang memanfaatkan popularitas virus Corona untuk semata
mengincar dan meningkatkan trafik kunjungan suatu situs untuk kemudian dijual. Ada pula yang
digunakan untuk melangsungkan penipuan jual beli keperluan medis hingga web phishing.
Web phishing merupakan suatu metode penipuan daring yang dilancarkan dengan meniru
situs-situs populer untuk menipu dan mencuri informasi. Interpol dalam “Cybercrime: COVID-
19 Impact” mengungkapkan, penjahat siber tak segan meniru tampilan portal layanan publik
seperti situs resmi pemerintah, perusahaan telekomunikasi, lembaga kesehatan, bank, otoritas
pajak sampai bea cukai nasional. Dalam “Cybercrime: COVID-19 Impact” Interpol
maraknya disinformasi berupa klaim, rumor dan spekulasi palsu mengenai situasi COVID-19.
Menurut studi Reuters Institute yang dikutip dalam publikasi yang sama, topik terkait COVID-19
yang kerap muncul dalam berita palsu mencakup tindakan otoritas publik, penyebaran dalam
masyarakat, berita medis umum, dan teori konspirasi. Penularan virus, kesiapsiagaan publik, dan
pengembangan vaksin. Disinformasi ini umumnya disebarkan melalu media sosial seperti
menjadi perhatian khusus Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada tahun
ini. Hingga 5 Mei lalu, Tim AIS Direktorat Jendral Aplikasi Informatika (Aptika) mengklaim
telah berhasil mengidentifikasi 1.401 konten hoaks dan disinformasi terkait COVID-19. Lebih
lanjut dalam siaran persnya, Kemkominfo menjelaskan mayoritas konten hoaks merajalela di
Facebook yang berjumlah 999, disusul Twitter dengan 375 unggahan hoaks.
2020” mengungkapkan, Indonesia menjadi target serangan phishing tertinggi di ASEAN pada
2019. Indonesia dilaporkan memiliki PDB gabungan lebih dari 2,7 triliun dolar AS dan
diperkirakan akan mencapai 4 triliun dolar AS pada 2022. Ekonomi digital Indonesia juga
diproyeksikan berpotensi menyumbang 1 triliun dolar AS terhadap PDB nasional dalam 10 tahun
ke depan. Status Indonesia sebagai pasar terbesar ke tujuh dunia dengan kemajuan infrastruktur
dan teknologi dalam meningkatkan perekonomian, serta minimnya keamanan siber dan
kebersihan dalam berinternet menjadikannya destinasi berharga bagi kejahatan siber. Kejahatan
siber terkait COVID-19 juga diprediksi Interpol akan terus melonjak terlebih jika vaksinasi atau
pengobatan COVID-19 sudah tersedia. Pelaku kejahatan siber akan lebih memanfaatkan
momentum ini untuk melangsungkan phishing terkait jual beli vaksin hingga penawaran
vaksinasi gratis yang menggiurkan. Pada skala yang lebih besar, Interpol menyebut kejahatan
siber dapat menyebabkan kekacauan yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya seperti
merusak kepercayaan dan ketahanan dalam ekonomi digital, serta mencegah negara-negara
Langkah-langkah pencegahan yang mengandalkan pada kerja Badan Siber Nasional dan
Kominfo, upaya untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban cybercrime tentu juga
tergantung pada kemampuan dan literasi infomasi masyarakat itu sendiri. Melatih kepekaan dan
sikap kritis masyarakat agar tidak membuka e-mail dan tautan yang mencurigakan atau berasal
dari sumber tidak terpercaya. Dan, selalu bersikap waspada terhadap setiap file elektronik yang
dilampirkan. Karena bisa saja mengandung konten yang berbahaya, yakni hal-hal yang
seharusnya otomatis dilakukan masyarakat yang sadar dan memiliki literasi informasi yang
memadai. Di tengah booming informasi dan meningkatnya kecemasan masyarakat akan bahaya
COVID-19, jangan sampai kita terperangkap dan menjadi korban untuk kedua kalinya akibat
ulah penjahat siber. Biasakan diri hanya membuka situs-situs resmi untuk mendapatkan update
mengenai kondisi terbaru COVID-19, demi menghindari infeksi malware, dan tidak menjadi
korban cybercrime.