Anda di halaman 1dari 41

1.

Wacana Koalasi PDI-P

Wacana koalisi PDI-P dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terbukti hanya

sebagai bunga politik. Dalam kongres ke-3 PDI-P, gaung wacana itu sontak sirna oleh pidato

Megawati yang menggetarkan. Menjelang kongres ke-3 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

(PDI-P) 6-8 April 2010, santer terdengar adanya upaya menarik partai berlambang banteng

gemuk itu merapat (berkoalisi) dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Gaung tersebut terasa nyaring karena disuarakan oleh petinggi partai tersebut, yakni Ketua

Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P Taufiq Kiemas yang notabene adalah suami dari Ketua

Umum Megawati Soekarnoputri.

Tidak bisa dipungkiri, sejak Pemilihan Presiden 2009 lalu, Taufiq Kiemas memang

terlihat sangat serius mendorong PDI-P untuk bergabung atau berkoalisi dengan pemerintahan

SBY. Seperti disebutkan di atas, menjelang Kongres ke-3 PDI-P, Taufiq juga kembali

menggaungkan wacana tersebut. “Masak kalah terus. Kalau berubah wacana, mungkin bisa lebih

efektif,” kata Taufik ketika itu. Menurut feeling-nya, suara dari bawah yang menginginkan PDI-

P berkoalisi cukup besar. Ia juga mengatakan keyakinannya bahwa perolehan suara PDI-P akan

bertambah pada pemilu 2014 bila berkoalisi dengan pemerintahan SBY. Setelah mendegar

ketegasan pidato Megawati dan sikap politik ‘partai penyeimbang’ yang dirumuskan Kongres III

PDIP, Taufik ternyata belum berubah pendirian juga. Dia bersikeras menilai pintu koalisi dengan
pemerintahan SBY masih tetap terbuka. “Siapa yang bisa menduga. Kalau Demokrat satu

ideologi dan satu jenis, tidak tertutup. Kalau dia pro rakyat kan tidak tertutup,” katanya usai

pelantikan Megawati menjadi Ketum DPP PDIP 2010-2015, di Inna Grand Bali Beach, Sanur,

Bali, Kamis (8/4/2010).

Di lain pihak, sejak awal Megawati bersikukuh mengusung PDI-P tetap sebagai partai

oposisi atau penyeimbang. Menanggapi wacana yang disampaikan Taufik Kiemas tersebut,

Megawati dengan halus tapi cukup jelas sudah mengatakan, “Mereka yang senior punya hak

bicara, tapi tak punya suara. Jadi tentu boleh-boleh saja berbicara,” katanya usai membuka

Konferda di Jakarta, Minggu (21/3). Dia juga menegaskan, bahwa yang akan menentukan arah

partainya berkoalisi atau tidak adalah peserta kongres yang berasal dari utusan berbagai daerah.

Sekjen PDIP Pramono Anung juga ber-pendapat, PDIP akan tetap menjadi bagian penyeimbang

dari pemerintah. “Opo-sisi atau koalisi mendapat kajian yang mendalam dalam kongres. Dalam

sistem presidensial tidak ada istilah itu. Ke depannya PDIP tetap konsisten sebagai

penyeimbang,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Senin (22/3).

Dia mengatakan, dengan menjadi ke-kuatan penyeimbang, maka jika ada ke-bijakan yang pro

rakyat, PDI-P akan mendukung. Kekuatan tersebut menurut-nya tidak ada urusannya dengan

apakah ada kursi PDIP di kabinet atau tidak. Dari daerah, DPD PDI-P Jawa Timur misalnya,

mendesak DPP PDI-P tidak mengubah haluan dengan menjadi partai koalisi pemerintahan Susilo

Bambang Yudhoyono-Boediono. “Dalam konteks pendidikan rakyat, saya kira oposisi lebih

bagus dibandingkan koalisi yang hanya bertujuan kekuasaan,” kata Sekretaris PDI-P Jawa

Timur, Kusnadi kepada pers, Selasa (23/3). “Lebih baik oposisi. Kalau akhirnya harus susah, ya

untuk kepentingan rakyat tidak apa-apa susah dulu,” tambahnya.


Sesuai dengan aspirasi pengurus cabang, sikap tersebut akhirnya tegas disampaikan Megawati

dalam pidato pembukaan kongres pada 6/4. Di situ, Megawati secara tegas mengatakan pilihan

PDI-P menjadi partai penyeimbang bagi pemerintahan yang berkuasa dengan tidak memasuki

kursi kekuasaan, melainkan sebagai mitra pemerintah yang kritis yang berada di luar

pemerintahan.

2. Mendulang Suara Lewat Pesona

Artis kini bukan hanya menjadi “pemanis” bagi partai politik. Sebagian di antara mereka

bahkan bisa membuat politisi kawakan menjadi ‘keringat dingin’ karena kalah populer. Sosok

yang rupawan, cantik, dan tampan kini berseliweran di berbagai partai politik. Para artis yang

kerap muncul di media cetak dan media elektronik itu kini berlomba-lomba ikut dalam bursa

calon legislatif (caleg) pada pemilu 2009. Besar kemungkinan, para artis yang hanya

bermodalkan popularitas tersebut lebih bisa mendulang suara dibandingkan politisi kawakan

yang sudah banyak ‘berkeringat’. Setidaknya hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI)

bisa dijadikan salah satu contoh.

LSI mencatat komedian Eko Patrio mengungguli sosok politisi kawakan dari Golongan

Karya (Golkar) Prio Budi Santoso dengan persentase, Eko 5,6% dan Prio 0,2 %. Pemilik nama

asli Eko Hendro Purnomo ini berada di bawah satu tingkat dengan ketua DPR Agung Laksono
dengan persentase 18%. Hasil survei LSI ini dilakukan pada 8-20 September 2008 yang

melibatkan 1.249 responden dengan tingkat kepercayaan 95% dan margin of error 3%. Dalam

hal ini LSI melakukan survei mengenai seberapa besar faktor popularitas artis dalam menentukan

pilihan pemilih dibandingkan dengan kalangan politisi. LSI melakukan eksperimentasi dengan

memasang 10 caleg artis dan 10 caleg politisi. Setidaknya fenomena hasil LSI bisa dikatakan

sebagai petunjuk bahwa popularitas bisa menjadi salah satu faktor penting ketimbang

profesionalitas seorang politisi kawakan dalam memengaruhi para pemilih.

Pengamat politik Daniel Sparingga melihat, artis lebih banyak dipilih daripada politisi,

karena posisi artis lebih mudah dikenal dan diingat. Mereka (artis) menurut Daniel umumnya

berpenampilan eye catching dan menghibur. Sementara, kesan sosok politisi cenderung trouble

maker dan sarat KKN, apalagi dengan banyaknya kasus suap yang terungkap yang melibatkan

beberapa politisi senior negeri ini. Walau demikian, Daniel menilai peluang antara artis dan

politisi dalam bursa perolehan suara terbanyak dalam pemilihan caleg 2009 sangat tergantung

dan dipengaruhi oleh karakteristik daerah pemilihan dan juga tingkat pendidikan sang pemilih.

Lontaran senada disampaikan pula Anas Urbaningrum, ketua DPP Partai Demokrat. Anas

mengakui popularitas artis ini lebih tinggi, karena pengaruh media lebih tinggi dalam

pemberitaan mereka (artis) ketimbang pemberitaan mengenai kinerja politik para politisi.
3. TNI Digoda Arena Politik

Hak pilih prajurit masih dalam kawasan polemik. Masih dihitung-hitung untung dan rugi

bilamana prajurit TNI menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu 2009. Memang sebuah

ironi. Membuka rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia, Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono kembali mengingatkan pihak militer agar tidak terlibat aktif dalam kegiatan politik

praktis, tetapi lebih mengutamakan keutuhan dan keselamatan bangsa. Pernyataan ini ironis

dengan munculnya keinginan untuk memberi hak pilih kepada para prajurit TNI dalam Pemilu

legislatif dan pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2009.

Dalam sebuah pernyataan yang menyiratkan peringatan tentang kekuasaan militer yang

eksesif di masa lalu, Susilo mengatakan: “Kita harus meneruskan agenda reformasi, dan

demokrasi harus tetap mekar di negeri ini. Jangan terlibat politik praktis, hormati hukum dan

HAM.” Rapim digelar berkenaan ulang tahun ke 61 TNI, tanggal 5 Oktober ini, diikuti oleh

1.300 perwira tinggi dan seluruh Kepala Staf Angkatan. Hadir pada pembukaan Rapim, Menhan

Juwono Sudarsono, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, Kepala Bappenas Paskah Suzetta,

Menko Perekonomian Boediono, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menteri ESDM Purnomo

Yusgiantoro dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.

Susilo mencemaskan keterlibatan militer dalam kegiatan politik praktis karena cenderung

mengabaikan keamanan nasional. Padahal, tantangan keamanan di masa datang tertuju pada
kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Kata Susilo, visi bangsa Indonesia

pada pertengahan abad XXI, menjadi negara maju yang mampu menyejahterakan rakyat dan

mampu melindungi diri dari berbagai gangguan keamanan. Suara yang menghendaki hak pilih

bagi prajurit pertama kali dilontarkan oleh Jenderal Endriartono Sutarto semasih menjabat

Panglima TNI. Endriartono waktu itu menegaskan bahwa TNI bisa memahami bilamana tidak

diberi hak pilih pada Pemilu 2004. Tetapi tidak ada alasan untuk tidak memberikan hak pilih

tersebut pada Pemilu 2009. Anggota TNI berjumlah 366.900 prajurit, terdiri dari TNI-AD

281.000 prajurit, TNI-AL 58.600 prajurit dan TNI-AU 27.300 prajurit.

Namun Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto mengatakan, bukan TNI yang

memutuskan apakah para prajurit memilih atau tidak, di dalam Pemilu 2009. Hal itu diputuskan

oleh pemerintah dan DPR. “Kalau TNI diperbolehkan memilih, kami akan menyiapkan aturan

internal yang berisi prosedur, tata krama, dan etikanya,” kata Djoko dalam wawancara dengan

Koran Tempo (27/9). Aturan ini berkaitan dengan pelaksanaan hak pilih, dan kata Djoko, para

prajurit wajib mematuhi tiga syarat tetap menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, mementingkan

kepentingan bangsa, dan tetap netral. Netral, artinya secara makro institusi TNI tidak boleh

memihak. Mengantisipasi hal tersebut, TNI bekerjasama dengan lembaga peneliti Pusat

Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Universitas Airlangga, Surabaya, sejak Maret lalu

melaksanakan survei jajak pendapat. Hasilnya, menurut Panglima, masih dirumuskan, karena itu

dia belum tahu persentasenya. Tetapi Djoko mengakui memang ada yang setuju dan ada yang

tidak. Jajak pendapat itu tidak hanya mencakup responden prajurit tetapi juga dari LSM, Ormas,

mahasiswa dan pengamat. Kata Djoko: “TNI tidak dalam posisi menentukan boleh memilih atau

tidak. Tetapi hanya mempersiapkan, kalau boleh memilih, begini, kalau tidak boleh, begini.”
4. Kader Golkar Pecundangi Diri Sendiri

Rasa tidak puas para kader Partai Golkar terhadap pemerintahan SBY, sepertinya sudah

berada di atas ubun-ubun. Aspirasi untuk menarik dukungan yang semula laksana genderang

perang, berakhir senyap. Isu penarikan dukungan Golkar terhadap pemerintah, mengemuka

selama berbulan-bulan, dan semakin menguat menjelang Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas)

Partai Golkar, akhirnya tidak menjadi kenyataan. Rapimnas Golkar 2006 malah mempertegas

dukungan partai pemenang Pemilu 2004 itu pada pemerintahan SBY-JK. Padahal posisi titik

balik Golkar menjadi salah satu isu terpenting, dan paling ditunggu-tunggu publik selama

pelaksanaan Rapimnas II tersebut.

Gelombang protes daerah-daerah merupakan wujud ketidakpuasan atas perlakuan tidak

adil dari pemerintah terhadap partai Golkar. Perlawanan terhadap pemerintah menajam lantaran

keputusan SBY untuk membentuk UKP3R tanpa melibatkan JK yang notabene pucuk pimpinan

Golkar. Publik sempat menduga bahwa kali ini, Golkar benar-benar serius menarik dukungannya

pada pemerintah. Ini pulalah yang membuat Rapimnas Golkar tahun ini menjadi isu sentral,

karena diduga akan mengubah arah perjalanan pemerintahan SBY-JK. Jika penarikan dukungan

benar terwujud, maka akan terjadi pergeseran politik yang signifikan yang mewarnai perjalanan

pemerintahan tiga tahun ke depan. Tidak sedikit yang berharap agar Golkar benar-benar

memfokuskan peran politiknya di parlemen, memperkuat fungsi kontrol terhadap


penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, pemerintahan SBY-JK dipaksa bekerja keras untuk

menyelesaikan sejumlah permasalahan mendasar yang menghambat laju pembangunan di segala

bidang. Ternyata, hubungan antara pemerintah dan Golkar tidak berubah. Kader-kader partai

yang tadinya bersuara lantang seolah telah mempecundangi diri sendiri. Teriakan-teriakan

lantang mereka akhirnya dinilai publik sebagai gertakan sambal.

Ketua Dewan Penasehat Gokar Surya Paloh, justru mencoba bersikap kritis sembari

mengkritik ide pencabutan dukungan partai terhadap pemerintah. “Melihat besarnya pernyataan-

pernyataan kader Partai Gokar untuk mencabut dukungan dari pemerintah, tentunya hal ini perlu

dipikirkan matang-matang,” kata Surya. Jika kompak dan konsekuen, maka berarti Golkar harus

siap meminta JK mundur dari jabatan Wakil Presiden.

5. Tindakan Jaksa Menangani Korupsi

Tindakan Jaksa menangani masalah korupsi di Pemkot Tarakan dinilai menyimpang.

Kejaksaan Negeri Tarakan pun dilaporkan ke Komisi Kejaksaan. Masalah tindak pidana korupsi

bisa menjadi urusan pelik. Inilah kelihatannya yang akan menerpa Walikota Tarakan dan

sejumlah pejabat teras di lingkungan Pemerintahan Kota (Pemkot) Tarakan, DPRD, serta

sejumlah pengusaha rekanan Pemkot di Tarakan, Kalimantan Timur. Keterlibatan mereka dalam

kasus korupsi kini sedang dipersoalkan mantan Kabag Perlengkapan Pemkot Tarakan, Rasid, SH
bin H Abdullah kepada Komisi Kejaksaan Republik Indonesia di Jakarta. Lelaki kelahiran

Tidung Pala Bulungan, 45 tahun lalu ini, menilai tindakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tarakan

yang menyeretnya ke pengadilan dalam kasus tindak pidana korupsi telah mengebiri hak-haknya

untuk mendapat perlakuan adil.

“Selama persidangan, hak-hak saya selaku terdakwa telah dikebiri. Itu sebabnya mengapa

saya melaporkan JPU kepada Komisi Kejaksaan Republik Indonesia,” katanya dalam jumpa pers

yang diselenggarakan di kolam pemancingan miliknya di Juata Tarakan, Jumat dua pekan lalu.

Sementara Walikota Tarakan dr. H. Jusuf SK saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa, dua pekan

lalu menolak memberi keterangan. Mantan Dirut RSUD Wahab Syahrani Samarinda hanya

berkomentar, no comment. “Silakan media sendiri yang menelusurinya. Saya masih banyak

pekerjaan,” ujarnya ketus kepada Berita Indonesia saat mengkonfirmasi kebenaran kasus ini.

Sementara Kepala Kejaksaan Negeri Tarakan, Zainul Djafrin, SH. MH selaku instansi yang

dilaporkan mengatakan, langkah yang ditempuh Rasid merupakan hak yang bersangkutan.

Dalam suratnya ke Ketua Komisi Kejaksaan RI yang tembusannya disampaikan kepada Presiden

RI, Ketua MA, Kepala Kejaksaan Agung, Kapolri, Mendagri, Ketua KPK, dan Tim

Pemberantasan Korupsi di Jakarta, kemudian, fotokopinya dibagikan kepada wartawan dan LSM

di Tarakan, Rasid mengatakan, tidak bermaksud menuduh Walikota, dan DPRD Tarakan

melakukan korupsi. “Saya hanya ingin menceritakan kedudukan saya sebagai Kabag

Perlengkapan Pemkot Tarakan, serta meluruskan peristiwanya. Secara etika maupun hukum

Pemerintahan, saya kan harus loyal dan tunduk pada perintah atasan,” akunya.
1. Mengatur Masa Kerja Pemilu

Guna mengatur masa kerja menghadapi pemilu yang akan datang, ditambah kinerja yang

dinilai buruk, KPU direncanakan akan diberhentikan sebelum habis masa kerjanya. Masa tugas

anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2007-2012 seyogianya baru berakhir tiga

tahun lagi. Namun, lantaran kinerjanya dinilai kurang baik selama menyelenggarakan Pemilu

Legislatif 9 April 2009 dan Pemilu Presiden 8 Juli 2009 lalu, di samping untuk mengatur masa

kerja KPU menghadapi Pemilu 2014, baru-baru ini banyak pihak menginginkan mereka diganti

sebelum berakhir masa kerjanya. Bahkan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK), Badan

Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga Panitia Hak Angket DPR periode 2004-2009, juga telah

memberi rekomendasi penggantian.

Keinginan ini belakangan semakin mengerucut setelah sebagian anggota Komisi II DPR

2009-2014 juga menginginkan hal yang sama. Depdagri juga diberitakan sedang menyiapkan

RUU berkaitan dengan pemberhentian tersebut. Sebelum hingga sesudah penyelengaraan Pemilu

Legislatif dan Pemilu Presiden, kinerja KPU memang selalu menjadi sorotan akibat berbagai

kekurangan lembaga ini dalam melaksanakan tugasnya. Dari sekian banyak kekurangan, noda

yang paling mendapat protes adalah masalah daftar pemilih tetap (DPT). Ketika itu, di berbagai

daerah, banyak ditemukan penyimpangan berupa, banyak warga yang tidak masuk DPT, adanya

pemilih ganda, pemilih di bawah umur, dan pemilih misterius.


Di samping itu, KPU juga pernah dinilai melakukan pelanggaran kode etik, seperti ketika

komisi ini membuat spanduk kampanye pemilu presiden yang bertanda contreng nomor 2 –

nomor urut pasangan SBY-Boediono. Dan yang terbaru, KPU juga dinilai lambat dalam

merumuskan aturan mengenai pengisian kursi anggota DPRD di daerah pemekaran. Padahal,

sesuai UU 10/2009 tentang Pemilu Legislatif dan UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan

DPRD, komisi inilah yang berwenang membuat aturan tentang pengisian kursi legislatif itu.

Menyikapi berbagai pelanggaran kode etik dan kekurangan yang dilakukan KPU pusat maupun

KPU daerah itu, sebelumnya juga sudah banyak tuntutan untuk memeriksa dan mengontrol

kinerja KPU ini. Bawaslu misalnya, jauh-jauh hari sudah mengusulkan agar dibentuk Dewan

Kehormatan (DK) KPU. Namun dengan berbagai alasan, dewan itu tidak pernah jadi dibentuk

KPU. Terkait DPT yang simpang siur, DPR periode 2004-2009 bahkan sempat membentuk

panitia Khusus Hak Angket Penghilangan Hak Konstitusional Warga Negara dalam Pemilu

Legislatif 2009 (Angket DPT). Belakangan, rekomendasi panitia khusus inilah kemudian

dilanjutkan oleh Komisi II DPR periode 2009-2014 pada rapat internalnya 2 November lalu yang

menyepakati rencana pemberhentian komisioner KPU. Selanjutnya, desakan Komisi II ini

pulalah diyakini yang menggerakkan pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri

menyiapkan beleid tentang tata cara pemberhentian KPU.


2. Pengunduran diri Sri Muliani

Pasca pengunduran diri Sri Mulyani, proses politik dan hukum Indonesia, khususnya

kasus bailout Bank Century memasuki episode baru. Sri Mulyani Indrawati awal Mei 2010

mengajukan pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI untuk pindah kerja sebagai salah

satu direktur di Bank Dunia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun merestui.

Direncanakan, mulai 1 Juni 2010, Sri sudah bekerja di bank yang berkedudukan di Washington

DC, AS itu. Terpilihnya Sri jadi orang nomor dua setelah Presiden Bank Dunia Robert Zoellick,

tentu membuat bangga masyarakat Indonesia. Namun mengingat masalah yang ditinggalkannya,

tidak sedikit masyarakat yang mempertanyakan bahkan yang mencibir kepergiannya.

Menurut Sri Mulyani sendiri, kalau pun dia akan berkarya di luar negeri selama periode

tertentu, semua itu dilakukan tetap untuk kebaikan Indonesia. Ia mengatakan, jabatan barunya itu

merupakan bentuk perjuangan secara pribadi untuk membangun Indonesia. “Semoga apa yang

saya lakukan ini menjadi hal terbaik bagi Indonesia karena saya yakin Tuhan yang menentukan

semua rencana manusia,” katanya seperti dilaporkan Antara. Mengingat besarnya masalah

hukum dan politik yang sedang dan akan dihadapi Sri Mulyani saat ini, kemundurannya pun jadi

polemik nasional. Ada yang menduga langkah itu adalah upaya Sri “lari” dari berbagai tekanan

yang sedang dihadapinya di dalam negeri. Ada juga yang menduga adanya transaksi politik di
balik kemunduran tersebut. Kemudian, ada juga dugaan bahwa langkah itu sebagai upaya

pemerintah untuk “menjinakkan” DPR yang sedang berupaya mengajukan hak menyatakan

pendapat dalam kasus bailout Bank Century.

Berbagai praduga tersebut memang tidaklah berlebihan. Seperti diketahui, sejak

timbulnya kasus bailout Bank Century, Sri Mulyani sebagai ketua KSSK dan Wapres Boediono

sebagai mantan gubernur BI adalah dua orang yang paling disasar oleh DPR. Hasil rapat

paripurna DPR terkait hak angket dalam kasus bailout Bank Century sudah mengatakan bahwa

ada pelanggaran dalam pemberian dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun kepada Bank Century itu.

Atas dasar itu, DPR telah menyerahkan masalah tersebut kepada penegak hukum untuk

ditindaklanjuti. Karena ada kelambanan gerak penegak hukum, DPR pun telah membentuk

Badan Pengawas yang bertugas mengawasi tindak lanjut kasus tersebut ketika dalam proses

hukum.

3. Kalla Gagas Diet Parpol

Oktober ini usia Kabinet Indonesia Bersatu genap dua tahun. Para elit politik sudah mulai

berancang-ancang untuk menghadapi Pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun 2009.

Wacana batas suara terendah tiga persen dari 550 kursi parlemen merupakan syarat yang

diusulkan pucuk pimpinan Golkar Jusuf Kalla agar sebuah partai politik berhak didaftar sebagai
peserta Pemilu legislatif 2009. Sekarang, partai-partai yang pasti masuk hitungan: Golkar, PDIP,

PPP, PKB, PKS, Demokrat dan PAN. Partai-partai yang berada di ambang batas tak lolos: PBB,

PDS dan PBR. Puluhan partai lain tak diperkenankan lagi untuk bertarung dengan bendera

Pemilu 2004. Seperti yang sudah terjadi sebelumnya, mereka harus mengubah nama. Tetapi

muncul gagasan agar jumlah yang ikut Pemilu dibatasi dalam jumlah satu digit.

Sebenarnya syarat yang disampaikan Kalla, juga Wakil Presiden, sudah diatur oleh UU

Pemilu (No.12/2003). Bilamana ketentuan tersebut benar-benar diterapkan, maka partai politik

yang ikut Pemilu haruslah memiliki paling sedikit 17 kursi di DPR. Kata Kalla: “Bilamana

ketentuan ini tidak bisa dipenuhi, maka Parpol tersebut tidak berhak ikut Pemilu.” Boleh jadi

yang lolos butuh hanya tujuh partai papan atas tersebut. Meski berbicara sesuai ketentuan

undang-undang, Kalla masih digugat oleh partai-partai kecil yang memang bakal tercoret, seperti

Partai Bintang Reformasi (PBR). Wakil Sekjen PBR yang juga mantan pimpinan PRD, Yusuf

Lakaseng, mengatakan usulan perampingan jumlah partai peserta Pemilu 2009 sengaja diusung

partai besar untuk melanggengkan kekuasaan. “Saya melihat, partai yang meributkan itu

paranoid dengan eksistensi kekuasaannya,” kata Lakaseng. Dia tidak mengindahkan ketentuan

undang-undang ketika menyebut konsep penyederhanaan sepihak itu tidak harus datang dari

partai besar.

Menurut Lakaseng permasalahan utama dalam sistem politik Indonesia adalah minimnya

kader partai berkualitas yang duduk di pemerintahan dan parlemen. Bukan pada banyaknya

Parpol peserta Pemilu. Dia menambahkan: “Parpol-parpol yang besar semestinya bertanggung

jawab melahirkan politisi, tidak menyalahkan sistem multipartai. Suara senada juga menggaung

dari kubu PKS. Wakil Sekjen Fahri Hamzah, tidak setuju dengan gagasan pembatasan jumlah

Parpol. Kata Fahri, ketentuan batas minimuma bukan untuk memangkas jumlah Parpol. Sebab
aspirasi masyarakat tidak boleh dipangkas dari atas. Yang bisa dilakukan, katanya, konfigurasi

dalam koalisi kekuatan yang kira-kira seide dengan tema-tema besar bangsa ini. Meski tidak

mencapai batas minimum tiga persen, kata Fahri, partai seperti PBB harus tetap diperkenankan

bertarung kembali dalam Pemilu 2009 agar berkesempatan membangun solidaritas. “Haram

hukumnya melarang lahirnya partai politik baru,” kata Fahri. Ketua Dewan Kehormatan PAN,

Prof. Amien Rais sefaham dengan Kalla bahwa jumlah 12 Parpol sudah cukup untuk mengikuti

Pemilu 2009, dan batasan minimum dinaikkan menjadi lima persen.

4. Info Pemilu

Sebanyak 38 partai politik bersaing memperebutkan suara rakyat dalam Pemilu 2015.

Parpol baru menerapkan strategi menjual popularitas tokoh guna memikat pemilih. Persoalannya,

apakah rakyat benar-benar mengerti apa manfaat dan makna Pemilu itu sendiri? Rustam Effendi

(42), sopir taksi di Jakarta, mengaku bingung mengapa sampai ada sebanyak 38 partai politik

(Parpol) yang akan berlaga dalam Pemilu 2015. Dari 38 Parpol tersebut setidaknya ada 20 Parpol

lama peserta Pemilu 2009 dan selebihnya adalah pendatang baru (new comer). Bukan hanya

pada persoalan jumlah Parpol yang kelewat banyak, kebingungan pria perantauan dari Sumatera

Barat itu bersumber juga dari sejumlah pertanyaan sangat mendasar, antara lain: Parpol mana

yang mesti ia pilih? Mengapa ia harus memilih Parpol tersebut? Kompensasi apa yang ia akan
peroleh dari pilihan politiknya itu? “Boro-boro mikir Pemilu, pikiran dan perasaan sudah ibarat

habis tersedot oleh kesulitan hidup yang dibuat lebih parah oleh kenaikan harga BBM dan

kenaikan harga pangan. Dalam suasana pikiran dan perasaan kecewa dan galau semacam itu,

masuk akal sekiranya publik gamang, ragu, dan bertanya apa makna Pemilu 2015 dan mana

baginya selaku warga dan rakyat yang lebih penting Pemilu atau perbaikan kondisi hidup dewasa

ini?”

Berkaitan dengan tema kritis tersebut, maka menarik untuk dicermati, berdasarkan hasil

survei Indo Barometer, mayoritas masyarakat Indonesia ternyata tidak bisa membedakan satu

Parpol dengan Parpol lain, tidak bisa membedakan pemimpin satu Parpol dengan pemimpin

Parpol lain, tidak bisa membedakan kebijakan politik dan ekonomi yang diusung satu Parpol

dengan Parpol lain. Singkatnya, tidak ada perbedaan signifikan dan konkret pada platform, misi,

dan visi masing-masing Parpol. Kesimpulan dari survei yang dilakukan Indo Barometer tersebut

bisa jadi membuat kita tercengang sebab menyiratkan makna bahwa jumlah Parpol yang

demikian banyak justru menimbulkan kebingungan masyarakat dalam menentukan pilihan

politisnya.

5. Kampanye Partai
Partai Amanat Nasional (PAN) ingin menjadi partai yang prorakyat, dengan mereposisi

diri sebagai partai bebas dan kritis terhadap pemerintah. Sikap itu disampaikan ketua umumnya,

Soetrisno Bachir, kepada wartawan di sela-sela kegiatan gerak jalan di Gelora Bung Karno,

Senayan, Jakarta (26/8) dalam rangka memperingati hari jadi ke-9 PAN. Menurut Soetrisno,

PAN tidak akan mendukung kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi kepada kepentingan

rakyat. PAN bahkan akan menentang dengan keras. Manuver PAN ini agaknya tidak terlepas

dengan kepentingan partai ke depan. Namun tetap membungkusnya dengan semangat

kepentingan rakyat dan kepentingan nasional. “Kalau berbagai program pemerintah berpihak

kepada rakyat, tentu kami juga akan fair mendukungnya,” kata Soetrisno seraya menambahkan

bahwa sikap kritis yang diambil PAN masih dalam koridor yang konstruktif.

Selama ini, PAN yang memiliki dua kader di Kabinet Indonesia Bersatu (Mendiknas

Bambang Sudibyo dan Mensesneg Hatta Rajasa), merupakan salah satu partai pendukung

pemerintahan SBY-JK. Apa pun kebijakan yang diambil pemerintah sepenuhnya didukung PAN.

Misalnya saja dalam kebijakan menaikkan harga BBM dan impor beras yang sempat

menimbulkan polemik karena dianggap memberatkan rakyat. Soal keberadaan kader PAN di

kabinet, Soetrisno dalam suatu kesempatan menyatakan kedua kadernya itu sudah ‘diwakafkan’

untuk kepentingan bangsa dan negara. Apakah keduanya tetap akan dimanfaatkan, sepenuhnya

terserah kepada Presiden SBY. “Mau dimanfaatkan monggo (silakan), mau tidak dimanfaatkan

ya monggo,” kata Ketua Majelis Penasehat Partai PAN Amien Rais

Amin Rais sendiri mengaku tidak akan mengintervensi kebijakan Ketua Umum DPP

PAN tersebut yang merupakan hasil Mukernas PAN di Palembang bulan Juni lalu. Kendati

begitu, menurutnya, perubahan posisi PAN terhadap pemerintahan SBY-JK, dari mitra kritis

menjadi bebas kritis, mengharuskan PAN mengamati secara jeli semua kebijakan pemerintah.
1. Terpilih Jadi Pemimpin

Fauzi Bowo - Prijanto akhirnya terpilih memimpin Jakarta lima tahun ke depan. Warga

menunggu kiprahnya seperti yang dijanjikan pada masa kampanye. Menata dan membangun

Jakarta untuk semua. Pilkada DKI Jakarta telah usai. KPUD DKI Jakarta juga sudah secara resmi

mengumumkan hasilnya. Pemenangnya, pasangan Fauzi Bowo - Priyanto. Beberapa jam setelah

pencoblosan, penghitungan suara yang dilakukan secara quick count, yang diselenggarakan oleh

beberapa lembaga survei memang sudah memprediksi kemenangan pasangan ini. Pasangan ini,

dengan dukungan 20 parpol besar dan kecil, berhasil meraih suara 2.109.511 (57,87 persen).

Yang menjadi catatan banyak pihak, kekalahan pasangan Adang Daradjatun-Dani terpaut tipis.

Pasangan yang hanya didukung PKS (Partai Keadilan Sejahtera) ini ternyata mampu meraih

suara  1.535.555 (42,13 persen). Persentase angka ini jauh melampaui perolehan suara PKS

dalam Pemilu 2004 lalu yang hanya sebesar 23 %. Dengan presentasi perolehan suara ini, tidak

salah bila disebut bahwa pasangan Foke - Priyanto dan PKS sama-sama peroleh kemenangan,

sedangkan yang kalah hanya pasangan Adang - Dani. Direktur Eksekutif Lingkaran Survei

Indonesia (LSI) Danny JA menilai figur Adang ternyata mampu menggalang dukungan suara

dari berbagai lapisan masarakat di luar PKS. Bahkan dari kalangan muda, pegusaha, etnis Cina

maupun dari partai-partai yang notabene mendukung Fauzi.


“Saya menilai Adang kalah terhormat. Ini memperlihatkan pilkada pertama di DKI

berlangsung happy ending karena yang menang pun menang secara elegan,” kata Danny seperti

dikutip Sinar Harapan (9/8). Catatan lain adalah besarnya suara yang tidak digunakan atau suara

yang diberikan namun ternyata tidak sah. Sebab dari data yang disampaikan KPUD DKI Jakarta,

dari 5.719.285 pemilih yang terdaftar mengikuti pilkada, hanya 3.607.037 suara sah. Sementara

2.112.248 pemilih atau 36,93 persen pemilih kemungkinan tidak menggunakan haknya dengan

berbagai alasan atau menggunakan haknya tetapi suara yang diberikan dianggap tidak sah.

2. Silih Silang di Akhir Jabatan

Duet kepemimpinan pemerintah Kota Cimahi terlibat perseteruan di penghujung jabatan.

Sebuah suguhan ironi yang jadi tontonan masyarakatnya Kedudukan pemimpin ibarat berdiri di

puncak bukit yang gampang terlihat oleh kerumunan masyarakat banyak. Sekali bertindak

ceroboh, maka jadi tontonan masyarakat. Tontonan inilah yang dipentaskan pimpinan Kota

Cimahi, pasca menjadi daerah otonomi tanggal 18 Oktober 2001 silam. Padahal ajang Pilkada

baru akan digelar pertengahan tahun 2007 nanti. Adalah pasangan Walikota Itoc Tochija dan

Wakil Walikota Dedih Djunaedi - yang seharusnya menjadi panutan dalam menegakkan panji-

panji keteladanan dan kewibawaan sebagai pelayan masyarakat - justru menabuh genderang

perseteruan silih sengketa soal kewenangan jabatan yang mereka sandang.


Perseteruan ini bermula dari ketidakpuasan Dedih atas pengangkatan pejabat eselon III

dan IV yang berjumlah 93 orang baru-baru ini. Yang dipersoalkan bukan figur-figurnya yang tak

pantas dan tak layak. Namun SK Walikota Cimahi No. 821.9/Kep.24-KKD/2007 tertanggal 13

Februari 2007, tentang Pengangkatan Pejabat Pemerintahan Kota Cimahi itu yang tanpa terlebih

dahulu meminta persetujuan dirinya dan dianggap menodai eksistensinya sebagai Wakil

Walikota. Mestinya kata Dedih, bila merujuk SK Walikota Cimahi No. 180/Kep. 111-Huk/2004

tertanggal 14 Agustus 2004, tentang Rincian Tugas Wakil Walikota, implementasinya setiap

pejabat yang diangkat harus juga mendapat persetujuan dari wakil walikota. Dengan alasan SK

pengangkatan itu tidak sah dan cacat hukum, Dedih menggugat Itoc membatalkan SK Walikota

Cimahi No. 821.9/ Kep.24-KKD/2007 itu. Dia juga menggugat Walikota Itoc Tochija ke

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung terkait dengan dugaan pelanggaran SK

Walikota Cimahi No. 180/Kep. 111-Huk/2004 tertanggal 14 Agustus 2004 tentang Rincian

Tugas Wakil Walikota.

Dedih bahkan berencana melayangkan surat pengaduan atas tindakan Itoc tersebut

kepada Presiden, Mendagri, Menpan dan Gubernur Jawa Barat serta DPRD Kota Cimahi. Dedih

berkilah gugatannya itu bukan hal yang negatif. Dirinya siap menyajikan bukti-bukti di

pengadilan bila Itoc (walikota, red) memintanya.


3. Kemesraan Partai Golkar Dengan PDIP

Partai Golkar dan PDIP menggelar silaturahmi kebangsaan. Kegiatan yang mengarah

pada koalisi ini menimbulkan sejumlah penafsiran. Gedung Pertemuan Tiara, Medan, Sumatera

Utara, Rabu (20/6) lalu dipadati kader Partai Golkar (PG) dan Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (PDIP). Ketua Dewan Penasehat PG Surya Paloh dan Ketua Dewan Pertimbangan

Pusat PDIP Taufik Kiemas yang hadir di acara ‘Silaturahmi Kebangsaan PG-PDIP’ itu

tersenyum ceria. Acara yang dihadiri pengurus teras kedua partai juga diisi dengan pidato politik.

Silaturahmi PG-PDIP yang mengarah pada koalisi kedua partai besar pemenang pemilu 1999 dan

2004 itu punya makna khusus. Karena PG dikenal sebagai pendukung pemerintah dan PDIP

merupakan partai oposisi. Di parlemen sekarang, dari 550 kursi yang ada, PG menempati urutan

teratas dengan 128 kursi (21%) sementara PDIP 109 kursi (19%).

Seperti dikatakan Taufik Kiemas, silaturahmi ini digagas karena kedua partai memiliki

visi yang sama. Yakni tetap mempertahankan NKRI, Pancasila dan UUD 45 dan sama-sama

menyusun APBN yang prorakyat. “Jika dijinjing bersama rasanya akan lebih ringan dibanding

dibawa sendiri,” kata suami Megawati itu. Sedangkan Surya Paloh menyatakan, silaturahmi ini

bukan hanya menuju Pemilu 2009, tapi lebih jauh lagi hingga dua atau tiga generasi. “Mulai hari

ini antara PG dan PDIP tercapai kesepakatan saling asah, saling asuh dan saling asih,” katanya

seperti ditulis Kompas (21/6). Koalisi ini, menurut Sekjen PDIP Pramono Anung, bukan hanya
sekadar wacana. Tapi sudah diimplementasikan dalam pemilihan kepala daerah. Dalam Pilkada

Banten dan DKI Jakarta, kedua partai sepakat mengusung calon gubernur yang sama. “Jika PG

dan PDIP bersaing, yang untung partai lain. “Itu yang terjadi. Ke depan kita terus melakukan

konsolidasi dengan tetap mengedepankan kepentingan bangsa dan negara,” kata Pramono.

Namun apa agenda yang ada di balik koalisi ini hanya mereka yang tahu. Banyak analisa dan

penilaian dikemukakan pakar dan pengamat politik. Para politisi dari partai-partai lain pun

mencermatinya. Karena dalam politik segala sesuatu memang serba mungkin.

Ketua Umum DPP PG Jusuf Kalla menyatakan, koalisi antara PG dan PDIP tidak akan

bersifat permanen. Koalisi antarpartai merupakan hal biasa yang juga dilakukan partai lain.

Kendati berkoalisi, saat menghadapi pemilu, kedua partai akan tetap bersaing dengan konsep

kebangsaan. Ketua DPP Partai Hanura Suaidi Marasabesy berpendapat, pembentukan koalisi itu

akan lebih menguntungkan PDIP yang selama ini menjadi oposisi pemerintah. Karena PG

merupakan pendukung pemerintah, maka pembentukan koalisi tentunya berpengaruh terhadap

soliditas pemerintah.

4. Putaran Doha WTO: Terhambatnya Perundingan Mengenai Hambatan

Walau sudah diduga sebelumnya, gagalnya negara-negara WTO menyepakati paket

perundingan perdagangan bebas di Doha Round, tetap menimbulkan berbagai spekulasi. Salah
satu persoalan genting yang dikhawatiran adalah langkah masing-masing negara memproteksi

perdagangannya. Wacana perdagangan bebas dunia (free trade), sebenarnya sudah mulai bergulir

sejak dekade 60-an, tepatnya saat kepemimpinan Presiden Amerika Serikat (AS) John F.

Kennedy. Perdagangan bebas dipandang menjadi solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi

semua negara, berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional.

Pewacanaan perdagangan bebas dunia, pada awalnya dirintis Amerika Serikat dan

negara-negara Eropa Barat. Sebagai negara yang menguasai 80% Global Netto Produc (GNP),

AS dan negara-negara Eropa Barat, merupakan pihak yang paling menyadari banyaknya faktor-

faktor yang menghambat perdagangan internasional. Asumsinya, semakin banyak hambatan

dalam perdagangan antarnegara, maka kinerja perdagangan dunia akan semakin lamban dan

secara langsung akan mempengaruhi tingkat kesejahteran masyarakat di masing-masing negara.

Hambatan yang terjadi dalam sistem perdagangan dunia, merupakan akibat langsung dari

kebijakan yang berbeda di masing-masing negara. Secara umum, masing-masing negara

menggunakan kebijakan dan prosedur perizinan yang ketat untuk barang-barang impor,

khususnya menyangkut kepabeanan dan syarat-syarat administratif. Dengan kesepakatan

menghilangkan kebijakan dan peraturan yang berbeda di masing-masing negara, hingga dapat

mendorong laju perdagangan internasional, secara maksimal. Dengan meningkatnya laju

perdagangan dunia, dengan sendirinya akan menyumbang peningkatan kesejahteraan masyarakat

di masing-masing negara.

Dari Kennedy Round hingga Doha Round Dengan menyeragamkan peraturan

antarnegara, perdagangan dunia akan jauh lebih efisien. Maka pada tahun 1962, AS dan negara-

negara Eropa Barat mulai merundingkan bentuk-bentuk dasar Organisasi Pedagangan Dunia

dengan nama Putaran Kennedy (Kennedy Round). Di atas kertas, pada saat awal dirintis,
perdagangan bebas didesain agar menguntungkan bagi semua pihak, termasuk negara

berkembang yang kemudian diikutkan dalam organisasi perdagangan dunia tersebut. Dengan

pengurangan hambatan tarif (tariff barrier) perdagangan antarnegara, dipandang sebagai

mekanisme perdagangan yang paling ideal. Masing-masing negara yang selama ini merasa

kesulitan mengakses pasar global, terutama karena hambatan tarif di negara tujuan ekspor, akan

semakin mendapatkan kemudahan.

5. Konfederasi Parpol

Konfederasi atau akuisisi partai politik (parpol), solusi untuk menampung suara parpol

kecil atau hanya untuk merebut kue kekuasaan? Pemilu 2014 masih 4 tahun lagi, namun

mengingat kemungkinan dinaikkannya ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold

dan atau electoral threshold) sebagai syarat menjadi pemenang pemilu, sejumlah partai politik

(parpol) sudah mulai mengkonsilidasikan diri untuk mempertahankan eksistensinya dengan

beberapa gagasan, seperti konfederasi parpol. Jika ambang batas parliamentary threshold (PT)

pada Pemilu Legislatif 2014 menjadi 5% jadi disahkan dalam revisi paket UU Politik yang akan

datang, maka sesuai hasil rekapitulasi Pemilu 2009, partai yang lolos kemungkinan hanya tinggal

enam. Seiring dengan itu, akan banyak pula suara partai politik yang hilang atau tidak terwakili.
Berpijak dari perhitungan tersebut, di samping alasan menjaga stabilitas perpolitikan nasional,

beberapa kader Partai Amanat Nasional (PAN) mewacanakan ide dilakukannya penyederhanaan

partai dengan melakukan konfederasi atau penggabungan parpol.

“Ada 40 persen suara yang hilang yang bisa mendatangkan instabilitas politik,” kata

Ketua DPP Partai Amanat Nasional Bima Arya Sugiarto dalam diskusi “Penyederhanaan Parpol:

Konfederasi atau Akuisisi” di Pancoran Jakarta, Selasa (6/7/2010). Menurutnya, konfederasi

parpol adalah salah satu jalan keluar bagi partai-partai kecil apabila parliamentary threshold (PT)

dan electoral threshold( ET) disahkan dalam revisi paket UU Politik. PAN sendiri menyatakan

sudah mengajukan dua model konfederasi yaitu konfederasi permanen yang akan terbentuk

sebelum pemilu digelar, dan konfederasi parsial yang akan dibentuk setelah pemilu. Menanggapi

ide ini, para politisi dan pengamat politik memberi tangapan berbeda. Direktur Lingkar Madani

untuk Indonesia, Ray Rangkuti misalnya memperkirakan, wacana konfederasi partai ini akan

laris manis karena sejumlah parpol tidak ingin kehilangan suaranya. Menurut perkiraannya,

parpol-parpol akan lebih siap melepas ideologinya ketimbang kehilangan suara.


1. Surya Pimpin PPP

Suryadharma Ali bertekad membesarkan PPP. Kendati tak menjadi oposisi, partai ini

akan tetap kritis. Untuk itu perlu mereviltalisasi perannya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

punya nakhoda baru, Suryadharma Ali. Pria kelahiran Jakarta 19 September 1956 ini mendapat

amanah sebagai Ketua Umum DPP PPP periode 2007–2012 setelah meraih 365 suara dari 1.168

total suara muktamirin di Muktamar VI PPP di Jakarta awal Februari lalu. Alumnus IAIN

Syarief Hidayatullah Jakarta (1977-1984) ini unggul atas 7 kandidat lainnya. Sebagai ketua

umum, Surya berkomitmen membawa partai PPP sebagai instrumen revitalisasi sosial-

keagamaan. “Selama ini, PPP lebih banyak menggunakan pendekatan politik,” tegas Surya yang

meneruskan estafet kepemimpinan di PPP yang sebelumnya dijabat Hamzah Haz.

Dalam struktur kepemimpinannya, Surya pun mengakomodasi seluruh elemen partai,

termasuk para kandidat yang dinilainya sejalan dengan arah pola pikirnya. “Saya akan

mengakomodasi semua kandidat yang belum beruntung, sepanjang mereka bisa mengikuti pola

pikir kami untuk membesarkan partai,” jelasnya sesaat seusai pemilihan yang berlangsung dalam

satu kali putaran itu. Ia pun kemudian merekrut Endin A.J Soefihara dan Arief Mudatsir Madan

dalam kepengurusannya dan mengajak semua pihak untuk menutup perbedaan dan bersatu

membesarkan PPP. Kemenangan ayah empat anak ini menduduki kursi ketua umum, sekaligus

mentasbihkan partai belambang Ka’bah ini tidak akan menjadi oposisi pemerintah. Seperti diakui
sendiri oleh Surya, partai yang dipimpinnya akan tetap menjadi pendukung pemerintah sekarang

dan tidak ada niat untuk menjadi partai oposisi. “Saya mau jadi menteri apa tidak, partai ini tetap

tidak akan menjadi oposisi,” tegas Surya yang kini menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM

dalam pemerintahan SBY-JK.

2. Pilkada DKI: Walau Optimis, Siapkan Sekoci Cadangan

Bursa calon peserta Pilkada DKI makin hangat. Sejumlah bakal calon gubernur

menyiapkan sekoci cadangan. Makin dekatnya waktu penentuan bakal calon gubernur (cagub)

yang akan diajukan partai dalam Pilkada DKI Jakarta membuat banyak cagub bagaikan duduk di

kursi panas. Terlebih di partai yang menjaring banyak nama bakal calon. Di DPD PDIP

misalnya, tercatat enam nama bakal Cagub. Yakni Sarwono Kusumaatmadja, Bibit Waluyo,

Fauzi Bowo, Agum Gumelar, Faisal Basri dan Eddi Waluyo. Sedangkan untuk Cawagub muncul

10 nama. Diantaranya Biem Benyamin, Prabowo Sunirman, Eddie Kusuma dan Hasanuddin.

Nasib mereka akan ditentukan dalam Rakerdasus. Itu pun belum final karena masih akan

dikonsultasikan ke DPP PDIP. Meski yang akan tampil cuma satu nama, tapi semua calon

mengaku optimis akan diusung oleh partai berlambang banteng gemuk bermoncong putih itu.

Fauzi Bowo misalnya. Dia berujar : “Pokoknya saya tetap optimis dan yakin akan menjadi

Cagub yang bakal terpilih dengan suara signifikan”.


Kendati begitu, Wagub DKI Jakarta ini juga mengantisipasi kemungkinan terburuk jika

tidak lolos penjaringan PDIP. Dia tetap bertekad mencalonkan diri dalam Pilkada 2007. Untuk

itu ‘sekoci cadangan’ disiapkan sebagai kendaraan politiknya mendaftar ke KPU DKI Jakarta.

“Saya kasih tahu, sudah ada lima partai yang siap menyatakan serempak mendukung saya untuk

maju. Dalam waktu dekat ini mereka akan menyampaikan semuanya,” ujar Foke, panggilan

akrab Fauzi. Namun birokrat yang juga Ketua Bamus Betawi ini enggan menyebutkan nama-

nama partai yang akan mendukungnya itu.

3. Kandasnya Karir Politik Yahya

Video esek-esek menjungkalkan Yahya Zaini. Karier politiknya kandas. Aib ini pun

berimbas ke partainya. Konon perilaku mesum juga terjadi di kalangan anggota Dewan lainnya.

Ibarat pepatah tangan mencencang bahu memikul, itulah resiko yang dihadapi Yahya Zaini.

Tokoh partai berlambang pohon beringin ini harus menanggung segala konsekuensi dari buah

perbuatannya. Padahal kariernya sedang meroket. Dia bahkan disebut-sebut berpeluang menjadi

menteri melalui reshuffle kabinet. Terjungkalnya karier politik Yahya berawal dari beredarnya

video mesum berdurasi 42 detik awal Desember lalu. Cuplikan adegan dirinya bersama penyanyi

dangdut Maria Eva Ulfa itu bahkan ditayangkan di layar kaca. Kasus ini membuat banyak orang
terkaget-kaget, termasuk kalangan anggota Dewan. Saat video itu beredar, Yahya dan isterinya,

Sarmilah, tengah berada di Sidney, Australia. Mengikuti studi banding bersama sejumlah

anggota Dewan lainnya. Tak ayal, merebaknya kasus video itu - seperti dituturkan Tiurlan

Basaria Hutagaol, anggota DPR dari F-PDS yang satu rombongan bersama Yahya - membuat

politisi Golkar itu terlihat shock. Seharian dia dan isterinya mengurung diri di dalam kamar

hotel. (Republika, 6/12).

Masih menurut Tiurlan, isteri Yahya yang curhat kepadanya mengaku ada unsur

pemerasan di balik beredarnya video esek-esek itu. Konon selama empat tahun berhubungan

dengan Maria Eva, selalu ada yang memeras Yahya dan terakhir meminta uang Rp 5 miliar.

“Kalau uang itu tidak dikeluarkan, video itu akan dibeberkan ke publik. Tapi permintaan itu

tidak dikabulkan karena Yahya tak punya uang segitu”, ujar Tiurlan menirukan pengakuan

Sarmilah. Terlepas dari adanya unsur pemerasan, perbuatan memalukan yang dilakukan anggota

Dewan itu membuat berbagai pihak merasa gerah. Lebih-lebih setelah Maria Eva didampingi

pengacaranya, Ruhut Sitompul SH, menggelar konperensi pers membeberkan hubungannya

dengan politisi itu. Maria mengaku dua tahun lalu dirinya sempat hamil.Tapi atas desakan isteri

Yahya, ia menggugurkan kandungannya di sebuah rumah sakit dengan diantar Yahya. Perilaku

tak terpuji anggota Dewan itu mengundang protes HMI MPO. Melalui Sekjennya, Ilham

Munayat Wijaya, kasus ini dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK) DPR. Menurut Ilham, sebagai

lembaga tinggi negara, DPR mestinya menjaga integritas moral anggotanya. “Kasus ini tidak

sekadar pelanggaran kode etik”, tegasny


4. Mengontrol Nafsu Korupsi Pejabat

Nafsu korupsi di kalangan penyelenggara administasi publik di Indonesia, tampaknya

harus segera ditekan, seiring dengan diratifikasinya Konvensi PBB Melawan Korupsi. Jika tidak,

Bank Dunia dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya tidak akan sudi memberikan

pinjaman pada Indonesia, yang berakibat pada melambatnya pembangunan. Sebuah surat

bertanggal 26 Juni 2006 mendarat di meja Sri Mulyani Indrawati. Perempuan yang belum

setahun menjabat Menteri Keuangan RI itu tentu sangat terkejut dengan surat dari Bank Dunia

itu. Seperti dilaporkan Harian Kompas, Kamis (31/8), surat Bank Dunia itu berisi pemberitahuan

indikasi korupsi di jajaran Departemen Pekerjaan Umum RI yang menerima suap dari WSP

International Ltd.

  Dalam suratnya, Bank Dunia mengindikasikan Perusahaan asal Inggris itu telah menyuap

para pejabat di jajaran Departemen Pekerjaan Umum RI agar dapat memenangkan kontrak

pengerjaan proyek jalan di Sulawesi yang dibiayai dengan pinjaman Bank Dunia. Bahkan Bank

Dunia sempat mengancam akan membatalkan sejumlah pinjaman Indonesia lainnya yang belum

sempat dicairkan pemerintah melalui fasilitas pinjaman dalam East Indonesia Region-Transport

Project (EIR-TP) dari Bank Dunia tersebut. Diminta Mengembalikan Dana Pinjaman

Yang mungkin membuat Bu Ani, panggilan Akrab Sri Mulyani itu resah, bukan saja latar

belakang kedatangan surat itu, melainkan tujuan Bank Dunia mengirimkan suratnya. Dalam surat
itu, Bank Dunia meminta pemerintah Indonesia mengembalikan dana yang mereka kucurkan

sebesar 4,7 juta dolar AS, sebagai sanksi atas penyuapan dalam proyek itu. Itu sama artinya

dengan merongrong APBN, karena pemerintah harus mengeluarkan dana yang tidak kecil untuk

mengembalikan pinjaman dana Bank Dunia, tidak pada waktunya.

Untung saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil membujuk Bank Dunia agar

tidak melanjutkan penjatuhan sanksinya meminta kembali dana sebesar 4.7 miliar dolar AS,

hingga KPK menyelesaikan penyelidikan atas indikasi suap pada proyek Transportasi Wilayah

Indonesia Timur dan proyek Infrastruktur Jalan Strategis. “Jangan sampai hanya ulah segelintir

orang, keuangan negara dan rakyat harus menanggung akibatnya,” kata Wakil Ketua KPK Erry

Riyana Hardjapamekas.

5. Gugatan dari ‘Seberang’ DPR

Tidak ada keseimbangan dan kompetisi antara lembaga perwakilan dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia. Haruskah lembaga perwakilan yang baru ini dibubarkan? Sistem dua

kamar (bikameral) yang menjadi produk sah dari amandemen ketiga UUD 1945 bukanlah

bikameralisme murni yang menjamin proses checks and balances. Buktinya, Dewan Perwakilan

Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) yang 128 anggotanya merupakan hasil pilihan langsung
rakyat Indonesia, berdasarkan wilayah masing-masing, belum menunjukkan kinerja optimal.

Pangkal persoalannya, menurut sebagian besar anggota DPD, terbatasnya fungsi, tugas, dan

wewenang yang dimiliki sebagaimana tersurat dalam Pasal 22D UUD 1945. UUD 1945 memberi

DPD wewenang untuk mengajukan RUU yang sebatas berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah. Tak aneh bila belakangan ini kerapkali bermunculan

pertanyaan yang menggugat eksistensi lembaga yang kini diketuai Ginandjar Kartasasmita itu,

termasuk kepada para anggotanya. Masa depan DPD RI kini menjadi taruhan. Dalam sebuah

diskusi bertajuk “Satu Tahun Masa Sidang DPD RI: Ke mana arah hendak dituju?”, yang

dibarengi acara peluncuran buku Menapak Tahun Pertama. Laporan Pertanggungjawaban

Kinerja Satu Tahun Masa Sidang Intsiawati Ayus, Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Riau, tiga

pekan silam, di Gedung DPD-RI, Senayan, semua gugatan dan kecaman kepada DPD menjadi

pokok bahasan.

Dengan pertimbangan efisiensi biaya dan waktu, Wapres Jusuf Kalla mengusulkan

pemilihan presiden/wakil presiden dan pemilihan kepala daerah digelar bersamaan. Mengapa

PKS menolak? Julukan–‘Tokoh Inovasi Politik’ agaknya pantas diberikan kepada Wakil

Presiden (Wapres) M. Jusuf Kalla. Beliau sering melontarkan ide yang inovatif seputar dinamika

politik di Indonesia. Sebelumnya, Wapres pernah mengusulkan agar pegawai negeri sipil (PNS)

sebaiknya bergabung ke partai politik. Alasan Wapres, kalangan PNS banyak yang profesional.
1. Pilpres-Pilkada Serentak

Awal Februari silam, Wapres mengusung gagasan baru. Apa itu? Ketua Umum DPP

Partai Golkar itu mengusulkan agar sejumlah pemilihan kepala daerah (Pilkada) diselenggarakan

secara serentak atau bersamaan dengan pemilihan presiden/wakil presiden (Pilpres) 2009.

Alasannya, selama ini hampir sepanjang tahun, waktu habis tersita untuk pelaksanaan Pilkada di

daerah-daerah sehingga tidak ada lagi waktu untuk memikirkan hal-hal lainnya. Alasan lain, kata

Wapres, efisiensi waktu dan biaya.

Sebagaimana dikutip Suara Karya (11/02), Wapres Jusuf Kalla mengusulkan penyatuan

penyelenggaraan Pilpres dan sejumlah Pilkada demi efisiensi nasional. “Saya sebagai Ketua

Umum Partai Golkar sudah meminta kepada F-PG (DPR, red.) untuk membicarakan itu

secepatnya demi efisiensi nasional. Intinya agar ada suatu penyederhanaan peristiwa politik

nasional, demokrasi kita sederhanakan, jangan bertele-tele seperti sekarang,” tandas Wapres.

Lebih jauh, tulis koran milik Partai Golkar itu, Wapres Jusuf Kalla menginginkan agar Pemilu

hanya dua kali saja: Pemilu Legislatif (DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota) dan Pemilu

Eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota). Jadi, rakyat cukup dua kali memilih dan

biayanya menjadi lebih efisien dan murah.


2. Berpesta Dari Keringat Rakyat

Bekas menteri kehutanan Muslimin Nasution mengeritik DPR yang menetapkan dana

reses tambahan sebagai perbuatan yang tidak tahu diri. Sementara rakyat yang mereka wakili

ditimpa masalah yang bertubi-tubi. Entah apa yang ada di benak anggota dewan ketika

menetapkan dana penyerapan aspirasi masyarakat (DPAM). Dana tambahan yang mereka ambil

tidak tanggung-tanggung, Rp 40,5 juta per anggota. Kalikan saja dengan 550, jumlahnya Rp 22

miliar lebih sekali reses. “Ketika rakyat ditimpa bala, mereka pesta pora,” kata Muslim

Abdurahman, “ di mana hati nurani dan kepedulian mereka pada penderitaan rakyat kecil?”

Sebenarnya anggota dewan tidak patut menerima dana tersebut, karena aspirasi masyarakat

sudah tersebar luas dengan berbagai cara seperti melalui media massa, unjuk rasa hingga

selebaran. Mereka tidak perlu repot-repot datang ke daerah untuk menyerap aspirasi masyarakat.

Hampir tiap hari masyarakat dari berbagai pelosok tanah air mendatangi gedung dewan untuk

menyampaikan aspirasi. Yang sering terjadi aspirasi mereka jarang ditanggapi. “Dewan malah

buang-buang uang untuk menyerap aspirasi rakyat di daerah. Itu namanya pemborosan,” kata

Muslimin sebagaimana dikutip Indo Pos, 29/7.

oSekretaris Jenderal DPR Faisal Djamal menjelaskan, sebanyak 300 anggota DPR sudah

mengambil DPAM (dana penyerapan aspirasi masyarakat). Tetapi seorang staf perjalanan DPR

mengatakan jumlahnya sudah hampir mencapai 400 orang sampai 28 Juli. Direktur Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan Hanif Suranto, mengingatkan anggota Dewan yang menerima

DPAM memberi laporan pertanggungjawaban serinci mungkin. Sehingga penggunaan dana ini

bisa diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Ia juga mengungkapkan, dari 300 lebih jumlah

rapat yang digelar di DPR pada masa sidang ketiga 2006, hanya 18% yang menyampaikan

aspirasi masyarakat yang diserap dari kunjungan kerjanya ke komisi. Jadi, bukan hanya

mekanisme pertanggungjawaban yang tak jelas, hasil kegiatannya juga tidak jelas.

3. Wiranto dan Hati Nurani Rakyat

Genderang perjuangan “Bekerja untuk Keunggulan Bangsa” telah ditabuh. Partai Hati

Nurani Rakyat (Hanura) pun dideklarasikan. Tantangan bagi Wiranto untuk mewujudkan tujuan

sebagaimana nama partainya. Ruangan di Hotel Kartika Chandra, Kamis (21/12) siang itu penuh

sesak. Ruangan berkapasitas sekitar 2.000 orang itu tak mampu menampung mereka yang

datang. Semula Panitia hanya mengeluarkan sekitar 600 undangan. Namun karena besarnya

permintaan dan minat menghadiri acara tersebut, kemudian ditambah hingga 1.000 undangan.

Ternyata, yang hadir membludak, mencapai 4.000 orang. Akibatnya, sebagian hadirin tak bisa

masuk. Mereka hanya bisa menyaksikan acara itu melalui layar monitor yang ada di luar sisi kiri

ruang pertemuan. Adalah Jenderal TNI (Purn) Wiranto SH dkk yang punya hajat. Mantan Menko
Polkam dan Menhankam/Pangab ini mendeklarasikan berdirinya partai baru. Partai Hati Nurani

Rakyat (Hanura). Ia pun duduk sebagai Ketua Umum dengan Sekjen Yus Usman. Sumanegara,

SE. MBA. Sejumlah tokoh sipil dan mantan petinggi militer bergabung dalam partai ini.

Diantaranya mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, mantan Menteri Peranan Wanita DR

Hj.Tuty Alawiyah, pengacara kondang Elsya Syarief, mantan politis Partai Bintang Rerformasi

(PBR) H Djafar Badjeber, Nico Daryanto, H.FR.Ghanty Sjahabuddin SH, H Anwar Fuady, dan

Hj.Uga Wiranto. Mantan petinggi militer antara lain Jenderal TNI (Purn) H.Fahrul Razi, Jenderal

TNI (Purn) Subagio HS, Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh, Jenderal Pol (Purn)

Chaeruddin Ismail, Marsdya TNI (Purn) Budhy Santoso, Letjen TNI (Purn) Suadi Marasabessy

dan Letjen TNI (Purn) Ary Mardjono yang mantan Sekjen DPP Golkar.

4. Zaenal Dicopot, Zaenal Menggugat

Pencopotan Zaenal Ma’arif sebagai wakil ketua dan anggota DPR oleh DPP PBR

berimbas di kalangan DPR. Wacana kocok ulang kembali mengemuka. Ada pihak lain yang

tergusur jika itu dilakukan. Poligami yang dilakukan Zaenal Ma’arif, dengan menikahi Yenni

Natalia Lodewijk, janda beranak tiga, di bulan Desember 2006 lalu menjadi pemicu konflik

internal di tubuh Partai Bintang Reformasi (PBR). Momentum itu menjadi alasan pengurus DPP

PBR menariknya dari kursi wakil ketua DPR. Keputusan itu ditetapkan melalui rapat pleno DPP
PBR di Jakarta, Kamis (28/12) yang dipimpin Ketua Umum Bursah Zarnubi. Dihadiri, Ketua

Ade Daud Nasution dan Sekjen Rusman Ali. Kinerja Zaenal dianggap buruk selama menjabat

wakil ketua DPR.

Menurut Rusman, ada sejumlah alasan menarik Zaenal sebagai wakil ketua DPR.

Diantaranya, yang bersangkutan jarang berkoordinasi dengan DPP dan tidak memperhatikan

kepentingan partai. Di kala reses jarang mengunjungi daerah pemilihannya di Sumut untuk

menyerap aspirasi konstituen. Selain itu, keberpihakan partai melindungi hak-hak perempuan

sehingga PBR tidak menganjurkan anggota partai berpoligami. Apalagi hal itu dilakukan secara

demonstratif. Zaenal yang merasa poligami merupakan masalah pribadi, tak menggubris

keputusan itu. Dia mengecam tindakan pencopotannya sebagai tidak sah dan bertentangan

dengan AD/ART partai. Zaenal kemudian membentuk partai tandingan dengan merangkul putra

Da’i Sejuta Umat Zainuddin MZ dalam kepengurusannya.

Sebelumnya, Zaenal juga mengajukan gugatan ke PN Jakarta Selatan. Menurut tim

pembela Zaenal Ma’arif, Fahmi H Bachmid, gugatan diajukan Zaenal selaku pribadi. Gugatan

ditujukan kepada Bursah Zarnubi (Ketua Umum DPP PBR), Rusman HM Ali (Sekjen) dan

Yusuf Lakaseng (Wasekjen). Kubu Bursah nampaknya juga tidak mau kehilangan pamor. Dalam

rapat kilat yang dilakukan di Kantor DPP PBR di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (8/1)

lalu, Bursah dkk memperkuat sanksi dengan mencopot (recall) Zaenal sebagai anggota dewan.

Dasar alasannya pun bertambah. Selain dinilai melanggar disiplin partai, Zaenal dianggap

membangkang lewat rencananya mengambil alih PBR, menggugat ke pengadilan dan menolak

hadir saat akan diklarifikasi. “Langkah lunak DPP PBR dengan menarik dari jabatan wakil ketua

DPR tidak diterima Zaenal secara legowo.


5. Golkar Tak Seperti Dulu

Partai Golkar menggelar sarasehan antargenerasi. Kritikan pun muncul dari para sesepuh

partai berlambang pohon beringin ini. Aula Kantor DPP Partai Golkar Sabtu (3/2) lalu dipenuhi

tokoh-tokoh senior dan sesepuh partai berlambang pohon beringin itu. Suasana terasa meriah.

Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla yang juga Wakil Presiden itu terlihat ceria. Dia

menyalami para mantan petinggi Golkar yang datang menghadiri acara sarasehan antargenerasi

yang digelar pada siang hari itu. Di antara tokoh-tokoh senior Golkar yang hadir tampak

H.Harmoko, Soelasikin Moerpratomo, Oetoyo Oesman, Moerdiono, Rachmat Witoelar dan R.

Soekardi. Kendati dalam suasana santai, namun topik pembicaraan yang mengemuka di forum

itu sangat serius. Yakni bagaimana Partai Golkar bisa unggul dalam memimpin perjalanan

bangsa ke depan.

Seperti dikemukakan Jusuf Kalla, tantangan sekarang dan ke depan bagi Golkar cukup

berat. “Sekarang tidak bisa Golkar langsung mengklaim keberhasilan pemerintah. Tidak seperti

dulu,” paparnya. Karena dalam sistem multipartai, hampir tidak mungkin partai menjadi peraih

suara absolut dan menguasai pemerintahan serta parlemen. Sejumlah kritik juga dilontarkan para

mantan petinggi Golkar. Harmoko misalnya, mengkritisi konsolidasi partai yang hingga saat ini

dinilainya belum maksimal. Menurut mantan Ketua Umum DPP Golkar ini, partai ini perlu

bekerja keras dalam sisa waktu sebelum tahun 2009. “Kalau tidak bekerja keras, saya khawatir
perolehan suara Golkar akan turun lagi,” tegasnya. Sedangkan mantan Ketua DPP Golkar

Soelasikin Moerpratomo menyoroti lemahnya sistem pengkaderan. Menurutnya, banyak kader

terbaik Golkar yang ‘hijrah’ dan berjuang untuk partai politik lain. “Tjahjo Kumolo itu dulu

kader saya, sekarang dia kerja untuk partai lain dan masih banyak lagi lainnya,” ujar mantan

Menteri Negara Peranan Wanita dan mantan anggota DPA di era Orde Baru itu.

Perempuan ini juga mengkritisi belum dicapainya komitmen menempatkan 30 persen kuota

perempuan di parlemen. Menurutnya, pada masanya dulu sempat mencapai 16,4 persen, tapi

sekarang turun jadi sekitar 14 persen.

Kritikan ini spontan disanggah Jusuf Kalla. “Bu Moer, partai kita paling banyak

perempuannya di parlemen. Kita punya 21 orang di DPR,” jelasnya, seperti diberitakan Indo Pos 

(4/2). Dengan sistem pemilihan saat ini, menurut Jusuf Kalla, Partai Golkar masih belum

menemukan formula yang tepat untuk memenuhi kuota 30 persen tersebut.

Sementara Moerdiono mengemukakan perlunya keberhasilan sekaligus kegagalan Golkar di

masa lalu menjadi masukan penting untuk menyiapkan strategi di masa depan. “Kita belajar dari

keberhasilan sekaligus kegagalan masa lalu. Tidak semua Orde Baru itu jelek,” ujarnya

mengingatkan.AM,SP

5. Koalisi Permanen Demi Perubahan


Kemiskinan dan pengangguran jadi topik tajam dalam kampanye. Kampanye pemilihan

umum legislatif mulai marak di seluruh pelosok Tanah Air. Sebanyak 38 partai nasional dan 6

partai lokal Aceh sudah memulai kampanye yang menampilkan aksesoris partai, seperti bendera,

spanduk dan baliho. Partai-partai yang berduit melancarkan kampanye di media massa, baik

cetak maupun elektronik. Tujuan utama mereka, menangguk suara sebanyak mungkin dalam

Pemilu April 2009. Untuk itu, sejumlah partai sedang menimbang koalisi permanen atau tidak

permanen.

Waktu berlalu bak hembusan angin. Tak terasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dari partai Demokrat dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla dari partai Golkar, berlalu

bersama waktu. Ketika Presiden Susilo dan Wapres Kalla (SBY-JK) mengambil sumpah 21

Oktober 2004 untuk masa jabatan sampai Oktober 2009, atmosfir di setiap penjuru negeri dibuai

angin perubahan yang membawa sejuta harapan. Tetapi apa yang terjadi selama hampir 4 tahun

ini? Angin perubahan itu lebih banyak membawa balada duka bagi warga negara yang tak

beruntung, jumlahnya puluhan juta orang. Laporan PBB bahkan mendata, lebih dari 100 juta

orang hidup dengan penghasilan hanya 2 dolar AS (setara Rp 18.000) per hari. Apakah yang bisa

dilakukan dengan penghasilan sebesar itu? Harga seliter beras saja sudah mencapai Rp 5.000

sekilogram dan minyak tanah untuk memasak Rp 4.000 lebih seliter.


Pemerintah membuai di tengah ketidakberdayaan masyarakat miskin dengan melanjutkan

program bantuan langsung tunai (BLT) yang dikritik banyak pihak. Namun pemerintahan SBY-

JK tak bergeming, tetap mengalokasikan anggaran tidak kurang dari Rp 19 triliun untuk BLT.

Jumlah mereka yang menerima BLT antara 16-19 juta kepala keluarga. Padahal masih jutaan KK

miskin lainnya yang semestinya berhak menerima BLT. Namun mereka tidak kebagian BLT,

karena nama mereka tidak terdata dalam statistik. Pemerintah, dengan BLT-nya, hanya

memotivasi mereka yang miskin untuk bertahan hidup. Tak peduli taraf  hidup model apa yang

harus mereka jalani. Padahal dengan dana puluhan triliun itu, pemerintah bisa menciptakan

jutaan lapangan kerja, misalnya lewat proyek-proyek padat karya. Dengan cara itu, rakyat miskin

tertolong dan proyek terbangun atau terpelihara. Agaknya pemerintah lebih memilih jalan pintas

(crash way out) untuk keluar dari kemelut ekonomi akibat tiga kali kenaikan harga BBM. Jalan

ini lebih dikenal dengan istilah, “kompensasi kenaikan harga BBM.

Anda mungkin juga menyukai