Wacana koalisi PDI-P dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terbukti hanya
sebagai bunga politik. Dalam kongres ke-3 PDI-P, gaung wacana itu sontak sirna oleh pidato
Megawati yang menggetarkan. Menjelang kongres ke-3 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P) 6-8 April 2010, santer terdengar adanya upaya menarik partai berlambang banteng
Gaung tersebut terasa nyaring karena disuarakan oleh petinggi partai tersebut, yakni Ketua
Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P Taufiq Kiemas yang notabene adalah suami dari Ketua
Tidak bisa dipungkiri, sejak Pemilihan Presiden 2009 lalu, Taufiq Kiemas memang
terlihat sangat serius mendorong PDI-P untuk bergabung atau berkoalisi dengan pemerintahan
SBY. Seperti disebutkan di atas, menjelang Kongres ke-3 PDI-P, Taufiq juga kembali
menggaungkan wacana tersebut. “Masak kalah terus. Kalau berubah wacana, mungkin bisa lebih
efektif,” kata Taufik ketika itu. Menurut feeling-nya, suara dari bawah yang menginginkan PDI-
P berkoalisi cukup besar. Ia juga mengatakan keyakinannya bahwa perolehan suara PDI-P akan
bertambah pada pemilu 2014 bila berkoalisi dengan pemerintahan SBY. Setelah mendegar
ketegasan pidato Megawati dan sikap politik ‘partai penyeimbang’ yang dirumuskan Kongres III
PDIP, Taufik ternyata belum berubah pendirian juga. Dia bersikeras menilai pintu koalisi dengan
pemerintahan SBY masih tetap terbuka. “Siapa yang bisa menduga. Kalau Demokrat satu
ideologi dan satu jenis, tidak tertutup. Kalau dia pro rakyat kan tidak tertutup,” katanya usai
pelantikan Megawati menjadi Ketum DPP PDIP 2010-2015, di Inna Grand Bali Beach, Sanur,
Di lain pihak, sejak awal Megawati bersikukuh mengusung PDI-P tetap sebagai partai
oposisi atau penyeimbang. Menanggapi wacana yang disampaikan Taufik Kiemas tersebut,
Megawati dengan halus tapi cukup jelas sudah mengatakan, “Mereka yang senior punya hak
bicara, tapi tak punya suara. Jadi tentu boleh-boleh saja berbicara,” katanya usai membuka
Konferda di Jakarta, Minggu (21/3). Dia juga menegaskan, bahwa yang akan menentukan arah
partainya berkoalisi atau tidak adalah peserta kongres yang berasal dari utusan berbagai daerah.
Sekjen PDIP Pramono Anung juga ber-pendapat, PDIP akan tetap menjadi bagian penyeimbang
dari pemerintah. “Opo-sisi atau koalisi mendapat kajian yang mendalam dalam kongres. Dalam
sistem presidensial tidak ada istilah itu. Ke depannya PDIP tetap konsisten sebagai
Dia mengatakan, dengan menjadi ke-kuatan penyeimbang, maka jika ada ke-bijakan yang pro
rakyat, PDI-P akan mendukung. Kekuatan tersebut menurut-nya tidak ada urusannya dengan
apakah ada kursi PDIP di kabinet atau tidak. Dari daerah, DPD PDI-P Jawa Timur misalnya,
mendesak DPP PDI-P tidak mengubah haluan dengan menjadi partai koalisi pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono-Boediono. “Dalam konteks pendidikan rakyat, saya kira oposisi lebih
bagus dibandingkan koalisi yang hanya bertujuan kekuasaan,” kata Sekretaris PDI-P Jawa
Timur, Kusnadi kepada pers, Selasa (23/3). “Lebih baik oposisi. Kalau akhirnya harus susah, ya
dalam pidato pembukaan kongres pada 6/4. Di situ, Megawati secara tegas mengatakan pilihan
PDI-P menjadi partai penyeimbang bagi pemerintahan yang berkuasa dengan tidak memasuki
kursi kekuasaan, melainkan sebagai mitra pemerintah yang kritis yang berada di luar
pemerintahan.
Artis kini bukan hanya menjadi “pemanis” bagi partai politik. Sebagian di antara mereka
bahkan bisa membuat politisi kawakan menjadi ‘keringat dingin’ karena kalah populer. Sosok
yang rupawan, cantik, dan tampan kini berseliweran di berbagai partai politik. Para artis yang
kerap muncul di media cetak dan media elektronik itu kini berlomba-lomba ikut dalam bursa
calon legislatif (caleg) pada pemilu 2009. Besar kemungkinan, para artis yang hanya
bermodalkan popularitas tersebut lebih bisa mendulang suara dibandingkan politisi kawakan
yang sudah banyak ‘berkeringat’. Setidaknya hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI)
LSI mencatat komedian Eko Patrio mengungguli sosok politisi kawakan dari Golongan
Karya (Golkar) Prio Budi Santoso dengan persentase, Eko 5,6% dan Prio 0,2 %. Pemilik nama
asli Eko Hendro Purnomo ini berada di bawah satu tingkat dengan ketua DPR Agung Laksono
dengan persentase 18%. Hasil survei LSI ini dilakukan pada 8-20 September 2008 yang
melibatkan 1.249 responden dengan tingkat kepercayaan 95% dan margin of error 3%. Dalam
hal ini LSI melakukan survei mengenai seberapa besar faktor popularitas artis dalam menentukan
pilihan pemilih dibandingkan dengan kalangan politisi. LSI melakukan eksperimentasi dengan
memasang 10 caleg artis dan 10 caleg politisi. Setidaknya fenomena hasil LSI bisa dikatakan
sebagai petunjuk bahwa popularitas bisa menjadi salah satu faktor penting ketimbang
Pengamat politik Daniel Sparingga melihat, artis lebih banyak dipilih daripada politisi,
karena posisi artis lebih mudah dikenal dan diingat. Mereka (artis) menurut Daniel umumnya
berpenampilan eye catching dan menghibur. Sementara, kesan sosok politisi cenderung trouble
maker dan sarat KKN, apalagi dengan banyaknya kasus suap yang terungkap yang melibatkan
beberapa politisi senior negeri ini. Walau demikian, Daniel menilai peluang antara artis dan
politisi dalam bursa perolehan suara terbanyak dalam pemilihan caleg 2009 sangat tergantung
dan dipengaruhi oleh karakteristik daerah pemilihan dan juga tingkat pendidikan sang pemilih.
Lontaran senada disampaikan pula Anas Urbaningrum, ketua DPP Partai Demokrat. Anas
mengakui popularitas artis ini lebih tinggi, karena pengaruh media lebih tinggi dalam
pemberitaan mereka (artis) ketimbang pemberitaan mengenai kinerja politik para politisi.
3. TNI Digoda Arena Politik
Hak pilih prajurit masih dalam kawasan polemik. Masih dihitung-hitung untung dan rugi
bilamana prajurit TNI menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu 2009. Memang sebuah
ironi. Membuka rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono kembali mengingatkan pihak militer agar tidak terlibat aktif dalam kegiatan politik
praktis, tetapi lebih mengutamakan keutuhan dan keselamatan bangsa. Pernyataan ini ironis
dengan munculnya keinginan untuk memberi hak pilih kepada para prajurit TNI dalam Pemilu
Dalam sebuah pernyataan yang menyiratkan peringatan tentang kekuasaan militer yang
eksesif di masa lalu, Susilo mengatakan: “Kita harus meneruskan agenda reformasi, dan
demokrasi harus tetap mekar di negeri ini. Jangan terlibat politik praktis, hormati hukum dan
HAM.” Rapim digelar berkenaan ulang tahun ke 61 TNI, tanggal 5 Oktober ini, diikuti oleh
1.300 perwira tinggi dan seluruh Kepala Staf Angkatan. Hadir pada pembukaan Rapim, Menhan
Juwono Sudarsono, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, Kepala Bappenas Paskah Suzetta,
Menko Perekonomian Boediono, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menteri ESDM Purnomo
Susilo mencemaskan keterlibatan militer dalam kegiatan politik praktis karena cenderung
mengabaikan keamanan nasional. Padahal, tantangan keamanan di masa datang tertuju pada
kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Kata Susilo, visi bangsa Indonesia
pada pertengahan abad XXI, menjadi negara maju yang mampu menyejahterakan rakyat dan
mampu melindungi diri dari berbagai gangguan keamanan. Suara yang menghendaki hak pilih
bagi prajurit pertama kali dilontarkan oleh Jenderal Endriartono Sutarto semasih menjabat
Panglima TNI. Endriartono waktu itu menegaskan bahwa TNI bisa memahami bilamana tidak
diberi hak pilih pada Pemilu 2004. Tetapi tidak ada alasan untuk tidak memberikan hak pilih
tersebut pada Pemilu 2009. Anggota TNI berjumlah 366.900 prajurit, terdiri dari TNI-AD
Namun Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto mengatakan, bukan TNI yang
memutuskan apakah para prajurit memilih atau tidak, di dalam Pemilu 2009. Hal itu diputuskan
oleh pemerintah dan DPR. “Kalau TNI diperbolehkan memilih, kami akan menyiapkan aturan
internal yang berisi prosedur, tata krama, dan etikanya,” kata Djoko dalam wawancara dengan
Koran Tempo (27/9). Aturan ini berkaitan dengan pelaksanaan hak pilih, dan kata Djoko, para
prajurit wajib mematuhi tiga syarat tetap menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, mementingkan
kepentingan bangsa, dan tetap netral. Netral, artinya secara makro institusi TNI tidak boleh
memihak. Mengantisipasi hal tersebut, TNI bekerjasama dengan lembaga peneliti Pusat
Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Universitas Airlangga, Surabaya, sejak Maret lalu
melaksanakan survei jajak pendapat. Hasilnya, menurut Panglima, masih dirumuskan, karena itu
dia belum tahu persentasenya. Tetapi Djoko mengakui memang ada yang setuju dan ada yang
tidak. Jajak pendapat itu tidak hanya mencakup responden prajurit tetapi juga dari LSM, Ormas,
mahasiswa dan pengamat. Kata Djoko: “TNI tidak dalam posisi menentukan boleh memilih atau
tidak. Tetapi hanya mempersiapkan, kalau boleh memilih, begini, kalau tidak boleh, begini.”
4. Kader Golkar Pecundangi Diri Sendiri
Rasa tidak puas para kader Partai Golkar terhadap pemerintahan SBY, sepertinya sudah
berada di atas ubun-ubun. Aspirasi untuk menarik dukungan yang semula laksana genderang
perang, berakhir senyap. Isu penarikan dukungan Golkar terhadap pemerintah, mengemuka
selama berbulan-bulan, dan semakin menguat menjelang Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas)
Partai Golkar, akhirnya tidak menjadi kenyataan. Rapimnas Golkar 2006 malah mempertegas
dukungan partai pemenang Pemilu 2004 itu pada pemerintahan SBY-JK. Padahal posisi titik
balik Golkar menjadi salah satu isu terpenting, dan paling ditunggu-tunggu publik selama
adil dari pemerintah terhadap partai Golkar. Perlawanan terhadap pemerintah menajam lantaran
keputusan SBY untuk membentuk UKP3R tanpa melibatkan JK yang notabene pucuk pimpinan
Golkar. Publik sempat menduga bahwa kali ini, Golkar benar-benar serius menarik dukungannya
pada pemerintah. Ini pulalah yang membuat Rapimnas Golkar tahun ini menjadi isu sentral,
karena diduga akan mengubah arah perjalanan pemerintahan SBY-JK. Jika penarikan dukungan
benar terwujud, maka akan terjadi pergeseran politik yang signifikan yang mewarnai perjalanan
pemerintahan tiga tahun ke depan. Tidak sedikit yang berharap agar Golkar benar-benar
bidang. Ternyata, hubungan antara pemerintah dan Golkar tidak berubah. Kader-kader partai
yang tadinya bersuara lantang seolah telah mempecundangi diri sendiri. Teriakan-teriakan
Ketua Dewan Penasehat Gokar Surya Paloh, justru mencoba bersikap kritis sembari
mengkritik ide pencabutan dukungan partai terhadap pemerintah. “Melihat besarnya pernyataan-
pernyataan kader Partai Gokar untuk mencabut dukungan dari pemerintah, tentunya hal ini perlu
dipikirkan matang-matang,” kata Surya. Jika kompak dan konsekuen, maka berarti Golkar harus
Kejaksaan Negeri Tarakan pun dilaporkan ke Komisi Kejaksaan. Masalah tindak pidana korupsi
bisa menjadi urusan pelik. Inilah kelihatannya yang akan menerpa Walikota Tarakan dan
sejumlah pejabat teras di lingkungan Pemerintahan Kota (Pemkot) Tarakan, DPRD, serta
sejumlah pengusaha rekanan Pemkot di Tarakan, Kalimantan Timur. Keterlibatan mereka dalam
kasus korupsi kini sedang dipersoalkan mantan Kabag Perlengkapan Pemkot Tarakan, Rasid, SH
bin H Abdullah kepada Komisi Kejaksaan Republik Indonesia di Jakarta. Lelaki kelahiran
Tidung Pala Bulungan, 45 tahun lalu ini, menilai tindakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tarakan
yang menyeretnya ke pengadilan dalam kasus tindak pidana korupsi telah mengebiri hak-haknya
“Selama persidangan, hak-hak saya selaku terdakwa telah dikebiri. Itu sebabnya mengapa
saya melaporkan JPU kepada Komisi Kejaksaan Republik Indonesia,” katanya dalam jumpa pers
yang diselenggarakan di kolam pemancingan miliknya di Juata Tarakan, Jumat dua pekan lalu.
Sementara Walikota Tarakan dr. H. Jusuf SK saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa, dua pekan
lalu menolak memberi keterangan. Mantan Dirut RSUD Wahab Syahrani Samarinda hanya
berkomentar, no comment. “Silakan media sendiri yang menelusurinya. Saya masih banyak
pekerjaan,” ujarnya ketus kepada Berita Indonesia saat mengkonfirmasi kebenaran kasus ini.
Sementara Kepala Kejaksaan Negeri Tarakan, Zainul Djafrin, SH. MH selaku instansi yang
dilaporkan mengatakan, langkah yang ditempuh Rasid merupakan hak yang bersangkutan.
Dalam suratnya ke Ketua Komisi Kejaksaan RI yang tembusannya disampaikan kepada Presiden
RI, Ketua MA, Kepala Kejaksaan Agung, Kapolri, Mendagri, Ketua KPK, dan Tim
Pemberantasan Korupsi di Jakarta, kemudian, fotokopinya dibagikan kepada wartawan dan LSM
di Tarakan, Rasid mengatakan, tidak bermaksud menuduh Walikota, dan DPRD Tarakan
melakukan korupsi. “Saya hanya ingin menceritakan kedudukan saya sebagai Kabag
Perlengkapan Pemkot Tarakan, serta meluruskan peristiwanya. Secara etika maupun hukum
Pemerintahan, saya kan harus loyal dan tunduk pada perintah atasan,” akunya.
1. Mengatur Masa Kerja Pemilu
Guna mengatur masa kerja menghadapi pemilu yang akan datang, ditambah kinerja yang
dinilai buruk, KPU direncanakan akan diberhentikan sebelum habis masa kerjanya. Masa tugas
anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2007-2012 seyogianya baru berakhir tiga
tahun lagi. Namun, lantaran kinerjanya dinilai kurang baik selama menyelenggarakan Pemilu
Legislatif 9 April 2009 dan Pemilu Presiden 8 Juli 2009 lalu, di samping untuk mengatur masa
kerja KPU menghadapi Pemilu 2014, baru-baru ini banyak pihak menginginkan mereka diganti
sebelum berakhir masa kerjanya. Bahkan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK), Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga Panitia Hak Angket DPR periode 2004-2009, juga telah
Keinginan ini belakangan semakin mengerucut setelah sebagian anggota Komisi II DPR
2009-2014 juga menginginkan hal yang sama. Depdagri juga diberitakan sedang menyiapkan
RUU berkaitan dengan pemberhentian tersebut. Sebelum hingga sesudah penyelengaraan Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden, kinerja KPU memang selalu menjadi sorotan akibat berbagai
kekurangan lembaga ini dalam melaksanakan tugasnya. Dari sekian banyak kekurangan, noda
yang paling mendapat protes adalah masalah daftar pemilih tetap (DPT). Ketika itu, di berbagai
daerah, banyak ditemukan penyimpangan berupa, banyak warga yang tidak masuk DPT, adanya
komisi ini membuat spanduk kampanye pemilu presiden yang bertanda contreng nomor 2 –
nomor urut pasangan SBY-Boediono. Dan yang terbaru, KPU juga dinilai lambat dalam
merumuskan aturan mengenai pengisian kursi anggota DPRD di daerah pemekaran. Padahal,
sesuai UU 10/2009 tentang Pemilu Legislatif dan UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD, komisi inilah yang berwenang membuat aturan tentang pengisian kursi legislatif itu.
Menyikapi berbagai pelanggaran kode etik dan kekurangan yang dilakukan KPU pusat maupun
KPU daerah itu, sebelumnya juga sudah banyak tuntutan untuk memeriksa dan mengontrol
kinerja KPU ini. Bawaslu misalnya, jauh-jauh hari sudah mengusulkan agar dibentuk Dewan
Kehormatan (DK) KPU. Namun dengan berbagai alasan, dewan itu tidak pernah jadi dibentuk
KPU. Terkait DPT yang simpang siur, DPR periode 2004-2009 bahkan sempat membentuk
panitia Khusus Hak Angket Penghilangan Hak Konstitusional Warga Negara dalam Pemilu
Legislatif 2009 (Angket DPT). Belakangan, rekomendasi panitia khusus inilah kemudian
dilanjutkan oleh Komisi II DPR periode 2009-2014 pada rapat internalnya 2 November lalu yang
pulalah diyakini yang menggerakkan pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri
Pasca pengunduran diri Sri Mulyani, proses politik dan hukum Indonesia, khususnya
kasus bailout Bank Century memasuki episode baru. Sri Mulyani Indrawati awal Mei 2010
mengajukan pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI untuk pindah kerja sebagai salah
satu direktur di Bank Dunia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun merestui.
Direncanakan, mulai 1 Juni 2010, Sri sudah bekerja di bank yang berkedudukan di Washington
DC, AS itu. Terpilihnya Sri jadi orang nomor dua setelah Presiden Bank Dunia Robert Zoellick,
tentu membuat bangga masyarakat Indonesia. Namun mengingat masalah yang ditinggalkannya,
Menurut Sri Mulyani sendiri, kalau pun dia akan berkarya di luar negeri selama periode
tertentu, semua itu dilakukan tetap untuk kebaikan Indonesia. Ia mengatakan, jabatan barunya itu
merupakan bentuk perjuangan secara pribadi untuk membangun Indonesia. “Semoga apa yang
saya lakukan ini menjadi hal terbaik bagi Indonesia karena saya yakin Tuhan yang menentukan
semua rencana manusia,” katanya seperti dilaporkan Antara. Mengingat besarnya masalah
hukum dan politik yang sedang dan akan dihadapi Sri Mulyani saat ini, kemundurannya pun jadi
polemik nasional. Ada yang menduga langkah itu adalah upaya Sri “lari” dari berbagai tekanan
yang sedang dihadapinya di dalam negeri. Ada juga yang menduga adanya transaksi politik di
balik kemunduran tersebut. Kemudian, ada juga dugaan bahwa langkah itu sebagai upaya
pemerintah untuk “menjinakkan” DPR yang sedang berupaya mengajukan hak menyatakan
timbulnya kasus bailout Bank Century, Sri Mulyani sebagai ketua KSSK dan Wapres Boediono
sebagai mantan gubernur BI adalah dua orang yang paling disasar oleh DPR. Hasil rapat
paripurna DPR terkait hak angket dalam kasus bailout Bank Century sudah mengatakan bahwa
ada pelanggaran dalam pemberian dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun kepada Bank Century itu.
Atas dasar itu, DPR telah menyerahkan masalah tersebut kepada penegak hukum untuk
ditindaklanjuti. Karena ada kelambanan gerak penegak hukum, DPR pun telah membentuk
Badan Pengawas yang bertugas mengawasi tindak lanjut kasus tersebut ketika dalam proses
hukum.
Oktober ini usia Kabinet Indonesia Bersatu genap dua tahun. Para elit politik sudah mulai
berancang-ancang untuk menghadapi Pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun 2009.
Wacana batas suara terendah tiga persen dari 550 kursi parlemen merupakan syarat yang
diusulkan pucuk pimpinan Golkar Jusuf Kalla agar sebuah partai politik berhak didaftar sebagai
peserta Pemilu legislatif 2009. Sekarang, partai-partai yang pasti masuk hitungan: Golkar, PDIP,
PPP, PKB, PKS, Demokrat dan PAN. Partai-partai yang berada di ambang batas tak lolos: PBB,
PDS dan PBR. Puluhan partai lain tak diperkenankan lagi untuk bertarung dengan bendera
Pemilu 2004. Seperti yang sudah terjadi sebelumnya, mereka harus mengubah nama. Tetapi
muncul gagasan agar jumlah yang ikut Pemilu dibatasi dalam jumlah satu digit.
Sebenarnya syarat yang disampaikan Kalla, juga Wakil Presiden, sudah diatur oleh UU
Pemilu (No.12/2003). Bilamana ketentuan tersebut benar-benar diterapkan, maka partai politik
yang ikut Pemilu haruslah memiliki paling sedikit 17 kursi di DPR. Kata Kalla: “Bilamana
ketentuan ini tidak bisa dipenuhi, maka Parpol tersebut tidak berhak ikut Pemilu.” Boleh jadi
yang lolos butuh hanya tujuh partai papan atas tersebut. Meski berbicara sesuai ketentuan
undang-undang, Kalla masih digugat oleh partai-partai kecil yang memang bakal tercoret, seperti
Partai Bintang Reformasi (PBR). Wakil Sekjen PBR yang juga mantan pimpinan PRD, Yusuf
Lakaseng, mengatakan usulan perampingan jumlah partai peserta Pemilu 2009 sengaja diusung
partai besar untuk melanggengkan kekuasaan. “Saya melihat, partai yang meributkan itu
paranoid dengan eksistensi kekuasaannya,” kata Lakaseng. Dia tidak mengindahkan ketentuan
undang-undang ketika menyebut konsep penyederhanaan sepihak itu tidak harus datang dari
partai besar.
Menurut Lakaseng permasalahan utama dalam sistem politik Indonesia adalah minimnya
kader partai berkualitas yang duduk di pemerintahan dan parlemen. Bukan pada banyaknya
Parpol peserta Pemilu. Dia menambahkan: “Parpol-parpol yang besar semestinya bertanggung
jawab melahirkan politisi, tidak menyalahkan sistem multipartai. Suara senada juga menggaung
dari kubu PKS. Wakil Sekjen Fahri Hamzah, tidak setuju dengan gagasan pembatasan jumlah
Parpol. Kata Fahri, ketentuan batas minimuma bukan untuk memangkas jumlah Parpol. Sebab
aspirasi masyarakat tidak boleh dipangkas dari atas. Yang bisa dilakukan, katanya, konfigurasi
dalam koalisi kekuatan yang kira-kira seide dengan tema-tema besar bangsa ini. Meski tidak
mencapai batas minimum tiga persen, kata Fahri, partai seperti PBB harus tetap diperkenankan
bertarung kembali dalam Pemilu 2009 agar berkesempatan membangun solidaritas. “Haram
hukumnya melarang lahirnya partai politik baru,” kata Fahri. Ketua Dewan Kehormatan PAN,
Prof. Amien Rais sefaham dengan Kalla bahwa jumlah 12 Parpol sudah cukup untuk mengikuti
4. Info Pemilu
Sebanyak 38 partai politik bersaing memperebutkan suara rakyat dalam Pemilu 2015.
Parpol baru menerapkan strategi menjual popularitas tokoh guna memikat pemilih. Persoalannya,
apakah rakyat benar-benar mengerti apa manfaat dan makna Pemilu itu sendiri? Rustam Effendi
(42), sopir taksi di Jakarta, mengaku bingung mengapa sampai ada sebanyak 38 partai politik
(Parpol) yang akan berlaga dalam Pemilu 2015. Dari 38 Parpol tersebut setidaknya ada 20 Parpol
lama peserta Pemilu 2009 dan selebihnya adalah pendatang baru (new comer). Bukan hanya
pada persoalan jumlah Parpol yang kelewat banyak, kebingungan pria perantauan dari Sumatera
Barat itu bersumber juga dari sejumlah pertanyaan sangat mendasar, antara lain: Parpol mana
yang mesti ia pilih? Mengapa ia harus memilih Parpol tersebut? Kompensasi apa yang ia akan
peroleh dari pilihan politiknya itu? “Boro-boro mikir Pemilu, pikiran dan perasaan sudah ibarat
habis tersedot oleh kesulitan hidup yang dibuat lebih parah oleh kenaikan harga BBM dan
kenaikan harga pangan. Dalam suasana pikiran dan perasaan kecewa dan galau semacam itu,
masuk akal sekiranya publik gamang, ragu, dan bertanya apa makna Pemilu 2015 dan mana
baginya selaku warga dan rakyat yang lebih penting Pemilu atau perbaikan kondisi hidup dewasa
ini?”
Berkaitan dengan tema kritis tersebut, maka menarik untuk dicermati, berdasarkan hasil
survei Indo Barometer, mayoritas masyarakat Indonesia ternyata tidak bisa membedakan satu
Parpol dengan Parpol lain, tidak bisa membedakan pemimpin satu Parpol dengan pemimpin
Parpol lain, tidak bisa membedakan kebijakan politik dan ekonomi yang diusung satu Parpol
dengan Parpol lain. Singkatnya, tidak ada perbedaan signifikan dan konkret pada platform, misi,
dan visi masing-masing Parpol. Kesimpulan dari survei yang dilakukan Indo Barometer tersebut
bisa jadi membuat kita tercengang sebab menyiratkan makna bahwa jumlah Parpol yang
politisnya.
5. Kampanye Partai
Partai Amanat Nasional (PAN) ingin menjadi partai yang prorakyat, dengan mereposisi
diri sebagai partai bebas dan kritis terhadap pemerintah. Sikap itu disampaikan ketua umumnya,
Soetrisno Bachir, kepada wartawan di sela-sela kegiatan gerak jalan di Gelora Bung Karno,
Senayan, Jakarta (26/8) dalam rangka memperingati hari jadi ke-9 PAN. Menurut Soetrisno,
PAN tidak akan mendukung kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi kepada kepentingan
rakyat. PAN bahkan akan menentang dengan keras. Manuver PAN ini agaknya tidak terlepas
kepentingan rakyat dan kepentingan nasional. “Kalau berbagai program pemerintah berpihak
kepada rakyat, tentu kami juga akan fair mendukungnya,” kata Soetrisno seraya menambahkan
bahwa sikap kritis yang diambil PAN masih dalam koridor yang konstruktif.
Selama ini, PAN yang memiliki dua kader di Kabinet Indonesia Bersatu (Mendiknas
Bambang Sudibyo dan Mensesneg Hatta Rajasa), merupakan salah satu partai pendukung
pemerintahan SBY-JK. Apa pun kebijakan yang diambil pemerintah sepenuhnya didukung PAN.
Misalnya saja dalam kebijakan menaikkan harga BBM dan impor beras yang sempat
menimbulkan polemik karena dianggap memberatkan rakyat. Soal keberadaan kader PAN di
kabinet, Soetrisno dalam suatu kesempatan menyatakan kedua kadernya itu sudah ‘diwakafkan’
untuk kepentingan bangsa dan negara. Apakah keduanya tetap akan dimanfaatkan, sepenuhnya
terserah kepada Presiden SBY. “Mau dimanfaatkan monggo (silakan), mau tidak dimanfaatkan
Amin Rais sendiri mengaku tidak akan mengintervensi kebijakan Ketua Umum DPP
PAN tersebut yang merupakan hasil Mukernas PAN di Palembang bulan Juni lalu. Kendati
begitu, menurutnya, perubahan posisi PAN terhadap pemerintahan SBY-JK, dari mitra kritis
menjadi bebas kritis, mengharuskan PAN mengamati secara jeli semua kebijakan pemerintah.
1. Terpilih Jadi Pemimpin
Fauzi Bowo - Prijanto akhirnya terpilih memimpin Jakarta lima tahun ke depan. Warga
menunggu kiprahnya seperti yang dijanjikan pada masa kampanye. Menata dan membangun
Jakarta untuk semua. Pilkada DKI Jakarta telah usai. KPUD DKI Jakarta juga sudah secara resmi
mengumumkan hasilnya. Pemenangnya, pasangan Fauzi Bowo - Priyanto. Beberapa jam setelah
pencoblosan, penghitungan suara yang dilakukan secara quick count, yang diselenggarakan oleh
beberapa lembaga survei memang sudah memprediksi kemenangan pasangan ini. Pasangan ini,
dengan dukungan 20 parpol besar dan kecil, berhasil meraih suara 2.109.511 (57,87 persen).
Yang menjadi catatan banyak pihak, kekalahan pasangan Adang Daradjatun-Dani terpaut tipis.
Pasangan yang hanya didukung PKS (Partai Keadilan Sejahtera) ini ternyata mampu meraih
suara 1.535.555 (42,13 persen). Persentase angka ini jauh melampaui perolehan suara PKS
dalam Pemilu 2004 lalu yang hanya sebesar 23 %. Dengan presentasi perolehan suara ini, tidak
salah bila disebut bahwa pasangan Foke - Priyanto dan PKS sama-sama peroleh kemenangan,
sedangkan yang kalah hanya pasangan Adang - Dani. Direktur Eksekutif Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) Danny JA menilai figur Adang ternyata mampu menggalang dukungan suara
dari berbagai lapisan masarakat di luar PKS. Bahkan dari kalangan muda, pegusaha, etnis Cina
berlangsung happy ending karena yang menang pun menang secara elegan,” kata Danny seperti
dikutip Sinar Harapan (9/8). Catatan lain adalah besarnya suara yang tidak digunakan atau suara
yang diberikan namun ternyata tidak sah. Sebab dari data yang disampaikan KPUD DKI Jakarta,
dari 5.719.285 pemilih yang terdaftar mengikuti pilkada, hanya 3.607.037 suara sah. Sementara
2.112.248 pemilih atau 36,93 persen pemilih kemungkinan tidak menggunakan haknya dengan
berbagai alasan atau menggunakan haknya tetapi suara yang diberikan dianggap tidak sah.
Sebuah suguhan ironi yang jadi tontonan masyarakatnya Kedudukan pemimpin ibarat berdiri di
puncak bukit yang gampang terlihat oleh kerumunan masyarakat banyak. Sekali bertindak
ceroboh, maka jadi tontonan masyarakat. Tontonan inilah yang dipentaskan pimpinan Kota
Cimahi, pasca menjadi daerah otonomi tanggal 18 Oktober 2001 silam. Padahal ajang Pilkada
baru akan digelar pertengahan tahun 2007 nanti. Adalah pasangan Walikota Itoc Tochija dan
Wakil Walikota Dedih Djunaedi - yang seharusnya menjadi panutan dalam menegakkan panji-
panji keteladanan dan kewibawaan sebagai pelayan masyarakat - justru menabuh genderang
dan IV yang berjumlah 93 orang baru-baru ini. Yang dipersoalkan bukan figur-figurnya yang tak
pantas dan tak layak. Namun SK Walikota Cimahi No. 821.9/Kep.24-KKD/2007 tertanggal 13
Februari 2007, tentang Pengangkatan Pejabat Pemerintahan Kota Cimahi itu yang tanpa terlebih
dahulu meminta persetujuan dirinya dan dianggap menodai eksistensinya sebagai Wakil
Walikota. Mestinya kata Dedih, bila merujuk SK Walikota Cimahi No. 180/Kep. 111-Huk/2004
tertanggal 14 Agustus 2004, tentang Rincian Tugas Wakil Walikota, implementasinya setiap
pejabat yang diangkat harus juga mendapat persetujuan dari wakil walikota. Dengan alasan SK
pengangkatan itu tidak sah dan cacat hukum, Dedih menggugat Itoc membatalkan SK Walikota
Cimahi No. 821.9/ Kep.24-KKD/2007 itu. Dia juga menggugat Walikota Itoc Tochija ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung terkait dengan dugaan pelanggaran SK
Walikota Cimahi No. 180/Kep. 111-Huk/2004 tertanggal 14 Agustus 2004 tentang Rincian
Dedih bahkan berencana melayangkan surat pengaduan atas tindakan Itoc tersebut
kepada Presiden, Mendagri, Menpan dan Gubernur Jawa Barat serta DPRD Kota Cimahi. Dedih
berkilah gugatannya itu bukan hal yang negatif. Dirinya siap menyajikan bukti-bukti di
Partai Golkar dan PDIP menggelar silaturahmi kebangsaan. Kegiatan yang mengarah
pada koalisi ini menimbulkan sejumlah penafsiran. Gedung Pertemuan Tiara, Medan, Sumatera
Utara, Rabu (20/6) lalu dipadati kader Partai Golkar (PG) dan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP). Ketua Dewan Penasehat PG Surya Paloh dan Ketua Dewan Pertimbangan
Pusat PDIP Taufik Kiemas yang hadir di acara ‘Silaturahmi Kebangsaan PG-PDIP’ itu
tersenyum ceria. Acara yang dihadiri pengurus teras kedua partai juga diisi dengan pidato politik.
Silaturahmi PG-PDIP yang mengarah pada koalisi kedua partai besar pemenang pemilu 1999 dan
2004 itu punya makna khusus. Karena PG dikenal sebagai pendukung pemerintah dan PDIP
merupakan partai oposisi. Di parlemen sekarang, dari 550 kursi yang ada, PG menempati urutan
teratas dengan 128 kursi (21%) sementara PDIP 109 kursi (19%).
Seperti dikatakan Taufik Kiemas, silaturahmi ini digagas karena kedua partai memiliki
visi yang sama. Yakni tetap mempertahankan NKRI, Pancasila dan UUD 45 dan sama-sama
menyusun APBN yang prorakyat. “Jika dijinjing bersama rasanya akan lebih ringan dibanding
dibawa sendiri,” kata suami Megawati itu. Sedangkan Surya Paloh menyatakan, silaturahmi ini
bukan hanya menuju Pemilu 2009, tapi lebih jauh lagi hingga dua atau tiga generasi. “Mulai hari
ini antara PG dan PDIP tercapai kesepakatan saling asah, saling asuh dan saling asih,” katanya
seperti ditulis Kompas (21/6). Koalisi ini, menurut Sekjen PDIP Pramono Anung, bukan hanya
sekadar wacana. Tapi sudah diimplementasikan dalam pemilihan kepala daerah. Dalam Pilkada
Banten dan DKI Jakarta, kedua partai sepakat mengusung calon gubernur yang sama. “Jika PG
dan PDIP bersaing, yang untung partai lain. “Itu yang terjadi. Ke depan kita terus melakukan
konsolidasi dengan tetap mengedepankan kepentingan bangsa dan negara,” kata Pramono.
Namun apa agenda yang ada di balik koalisi ini hanya mereka yang tahu. Banyak analisa dan
penilaian dikemukakan pakar dan pengamat politik. Para politisi dari partai-partai lain pun
Ketua Umum DPP PG Jusuf Kalla menyatakan, koalisi antara PG dan PDIP tidak akan
bersifat permanen. Koalisi antarpartai merupakan hal biasa yang juga dilakukan partai lain.
Kendati berkoalisi, saat menghadapi pemilu, kedua partai akan tetap bersaing dengan konsep
kebangsaan. Ketua DPP Partai Hanura Suaidi Marasabesy berpendapat, pembentukan koalisi itu
akan lebih menguntungkan PDIP yang selama ini menjadi oposisi pemerintah. Karena PG
soliditas pemerintah.
perundingan perdagangan bebas di Doha Round, tetap menimbulkan berbagai spekulasi. Salah
satu persoalan genting yang dikhawatiran adalah langkah masing-masing negara memproteksi
perdagangannya. Wacana perdagangan bebas dunia (free trade), sebenarnya sudah mulai bergulir
sejak dekade 60-an, tepatnya saat kepemimpinan Presiden Amerika Serikat (AS) John F.
Kennedy. Perdagangan bebas dipandang menjadi solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi
Pewacanaan perdagangan bebas dunia, pada awalnya dirintis Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa Barat. Sebagai negara yang menguasai 80% Global Netto Produc (GNP),
AS dan negara-negara Eropa Barat, merupakan pihak yang paling menyadari banyaknya faktor-
dalam perdagangan antarnegara, maka kinerja perdagangan dunia akan semakin lamban dan
Hambatan yang terjadi dalam sistem perdagangan dunia, merupakan akibat langsung dari
menggunakan kebijakan dan prosedur perizinan yang ketat untuk barang-barang impor,
menghilangkan kebijakan dan peraturan yang berbeda di masing-masing negara, hingga dapat
di masing-masing negara.
antarnegara, perdagangan dunia akan jauh lebih efisien. Maka pada tahun 1962, AS dan negara-
negara Eropa Barat mulai merundingkan bentuk-bentuk dasar Organisasi Pedagangan Dunia
dengan nama Putaran Kennedy (Kennedy Round). Di atas kertas, pada saat awal dirintis,
perdagangan bebas didesain agar menguntungkan bagi semua pihak, termasuk negara
berkembang yang kemudian diikutkan dalam organisasi perdagangan dunia tersebut. Dengan
mekanisme perdagangan yang paling ideal. Masing-masing negara yang selama ini merasa
kesulitan mengakses pasar global, terutama karena hambatan tarif di negara tujuan ekspor, akan
5. Konfederasi Parpol
Konfederasi atau akuisisi partai politik (parpol), solusi untuk menampung suara parpol
kecil atau hanya untuk merebut kue kekuasaan? Pemilu 2014 masih 4 tahun lagi, namun
dan atau electoral threshold) sebagai syarat menjadi pemenang pemilu, sejumlah partai politik
beberapa gagasan, seperti konfederasi parpol. Jika ambang batas parliamentary threshold (PT)
pada Pemilu Legislatif 2014 menjadi 5% jadi disahkan dalam revisi paket UU Politik yang akan
datang, maka sesuai hasil rekapitulasi Pemilu 2009, partai yang lolos kemungkinan hanya tinggal
enam. Seiring dengan itu, akan banyak pula suara partai politik yang hilang atau tidak terwakili.
Berpijak dari perhitungan tersebut, di samping alasan menjaga stabilitas perpolitikan nasional,
beberapa kader Partai Amanat Nasional (PAN) mewacanakan ide dilakukannya penyederhanaan
“Ada 40 persen suara yang hilang yang bisa mendatangkan instabilitas politik,” kata
Ketua DPP Partai Amanat Nasional Bima Arya Sugiarto dalam diskusi “Penyederhanaan Parpol:
parpol adalah salah satu jalan keluar bagi partai-partai kecil apabila parliamentary threshold (PT)
dan electoral threshold( ET) disahkan dalam revisi paket UU Politik. PAN sendiri menyatakan
sudah mengajukan dua model konfederasi yaitu konfederasi permanen yang akan terbentuk
sebelum pemilu digelar, dan konfederasi parsial yang akan dibentuk setelah pemilu. Menanggapi
ide ini, para politisi dan pengamat politik memberi tangapan berbeda. Direktur Lingkar Madani
untuk Indonesia, Ray Rangkuti misalnya memperkirakan, wacana konfederasi partai ini akan
laris manis karena sejumlah parpol tidak ingin kehilangan suaranya. Menurut perkiraannya,
Suryadharma Ali bertekad membesarkan PPP. Kendati tak menjadi oposisi, partai ini
akan tetap kritis. Untuk itu perlu mereviltalisasi perannya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
punya nakhoda baru, Suryadharma Ali. Pria kelahiran Jakarta 19 September 1956 ini mendapat
amanah sebagai Ketua Umum DPP PPP periode 2007–2012 setelah meraih 365 suara dari 1.168
total suara muktamirin di Muktamar VI PPP di Jakarta awal Februari lalu. Alumnus IAIN
Syarief Hidayatullah Jakarta (1977-1984) ini unggul atas 7 kandidat lainnya. Sebagai ketua
umum, Surya berkomitmen membawa partai PPP sebagai instrumen revitalisasi sosial-
keagamaan. “Selama ini, PPP lebih banyak menggunakan pendekatan politik,” tegas Surya yang
termasuk para kandidat yang dinilainya sejalan dengan arah pola pikirnya. “Saya akan
mengakomodasi semua kandidat yang belum beruntung, sepanjang mereka bisa mengikuti pola
pikir kami untuk membesarkan partai,” jelasnya sesaat seusai pemilihan yang berlangsung dalam
satu kali putaran itu. Ia pun kemudian merekrut Endin A.J Soefihara dan Arief Mudatsir Madan
dalam kepengurusannya dan mengajak semua pihak untuk menutup perbedaan dan bersatu
membesarkan PPP. Kemenangan ayah empat anak ini menduduki kursi ketua umum, sekaligus
mentasbihkan partai belambang Ka’bah ini tidak akan menjadi oposisi pemerintah. Seperti diakui
sendiri oleh Surya, partai yang dipimpinnya akan tetap menjadi pendukung pemerintah sekarang
dan tidak ada niat untuk menjadi partai oposisi. “Saya mau jadi menteri apa tidak, partai ini tetap
tidak akan menjadi oposisi,” tegas Surya yang kini menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM
Bursa calon peserta Pilkada DKI makin hangat. Sejumlah bakal calon gubernur
menyiapkan sekoci cadangan. Makin dekatnya waktu penentuan bakal calon gubernur (cagub)
yang akan diajukan partai dalam Pilkada DKI Jakarta membuat banyak cagub bagaikan duduk di
kursi panas. Terlebih di partai yang menjaring banyak nama bakal calon. Di DPD PDIP
misalnya, tercatat enam nama bakal Cagub. Yakni Sarwono Kusumaatmadja, Bibit Waluyo,
Fauzi Bowo, Agum Gumelar, Faisal Basri dan Eddi Waluyo. Sedangkan untuk Cawagub muncul
10 nama. Diantaranya Biem Benyamin, Prabowo Sunirman, Eddie Kusuma dan Hasanuddin.
Nasib mereka akan ditentukan dalam Rakerdasus. Itu pun belum final karena masih akan
dikonsultasikan ke DPP PDIP. Meski yang akan tampil cuma satu nama, tapi semua calon
mengaku optimis akan diusung oleh partai berlambang banteng gemuk bermoncong putih itu.
Fauzi Bowo misalnya. Dia berujar : “Pokoknya saya tetap optimis dan yakin akan menjadi
tidak lolos penjaringan PDIP. Dia tetap bertekad mencalonkan diri dalam Pilkada 2007. Untuk
itu ‘sekoci cadangan’ disiapkan sebagai kendaraan politiknya mendaftar ke KPU DKI Jakarta.
“Saya kasih tahu, sudah ada lima partai yang siap menyatakan serempak mendukung saya untuk
maju. Dalam waktu dekat ini mereka akan menyampaikan semuanya,” ujar Foke, panggilan
akrab Fauzi. Namun birokrat yang juga Ketua Bamus Betawi ini enggan menyebutkan nama-
Video esek-esek menjungkalkan Yahya Zaini. Karier politiknya kandas. Aib ini pun
berimbas ke partainya. Konon perilaku mesum juga terjadi di kalangan anggota Dewan lainnya.
Ibarat pepatah tangan mencencang bahu memikul, itulah resiko yang dihadapi Yahya Zaini.
Tokoh partai berlambang pohon beringin ini harus menanggung segala konsekuensi dari buah
perbuatannya. Padahal kariernya sedang meroket. Dia bahkan disebut-sebut berpeluang menjadi
menteri melalui reshuffle kabinet. Terjungkalnya karier politik Yahya berawal dari beredarnya
video mesum berdurasi 42 detik awal Desember lalu. Cuplikan adegan dirinya bersama penyanyi
dangdut Maria Eva Ulfa itu bahkan ditayangkan di layar kaca. Kasus ini membuat banyak orang
terkaget-kaget, termasuk kalangan anggota Dewan. Saat video itu beredar, Yahya dan isterinya,
Sarmilah, tengah berada di Sidney, Australia. Mengikuti studi banding bersama sejumlah
anggota Dewan lainnya. Tak ayal, merebaknya kasus video itu - seperti dituturkan Tiurlan
Basaria Hutagaol, anggota DPR dari F-PDS yang satu rombongan bersama Yahya - membuat
politisi Golkar itu terlihat shock. Seharian dia dan isterinya mengurung diri di dalam kamar
Masih menurut Tiurlan, isteri Yahya yang curhat kepadanya mengaku ada unsur
pemerasan di balik beredarnya video esek-esek itu. Konon selama empat tahun berhubungan
dengan Maria Eva, selalu ada yang memeras Yahya dan terakhir meminta uang Rp 5 miliar.
“Kalau uang itu tidak dikeluarkan, video itu akan dibeberkan ke publik. Tapi permintaan itu
tidak dikabulkan karena Yahya tak punya uang segitu”, ujar Tiurlan menirukan pengakuan
Sarmilah. Terlepas dari adanya unsur pemerasan, perbuatan memalukan yang dilakukan anggota
Dewan itu membuat berbagai pihak merasa gerah. Lebih-lebih setelah Maria Eva didampingi
dengan politisi itu. Maria mengaku dua tahun lalu dirinya sempat hamil.Tapi atas desakan isteri
Yahya, ia menggugurkan kandungannya di sebuah rumah sakit dengan diantar Yahya. Perilaku
tak terpuji anggota Dewan itu mengundang protes HMI MPO. Melalui Sekjennya, Ilham
Munayat Wijaya, kasus ini dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK) DPR. Menurut Ilham, sebagai
lembaga tinggi negara, DPR mestinya menjaga integritas moral anggotanya. “Kasus ini tidak
harus segera ditekan, seiring dengan diratifikasinya Konvensi PBB Melawan Korupsi. Jika tidak,
Bank Dunia dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya tidak akan sudi memberikan
pinjaman pada Indonesia, yang berakibat pada melambatnya pembangunan. Sebuah surat
bertanggal 26 Juni 2006 mendarat di meja Sri Mulyani Indrawati. Perempuan yang belum
setahun menjabat Menteri Keuangan RI itu tentu sangat terkejut dengan surat dari Bank Dunia
itu. Seperti dilaporkan Harian Kompas, Kamis (31/8), surat Bank Dunia itu berisi pemberitahuan
indikasi korupsi di jajaran Departemen Pekerjaan Umum RI yang menerima suap dari WSP
International Ltd.
Dalam suratnya, Bank Dunia mengindikasikan Perusahaan asal Inggris itu telah menyuap
para pejabat di jajaran Departemen Pekerjaan Umum RI agar dapat memenangkan kontrak
pengerjaan proyek jalan di Sulawesi yang dibiayai dengan pinjaman Bank Dunia. Bahkan Bank
Dunia sempat mengancam akan membatalkan sejumlah pinjaman Indonesia lainnya yang belum
sempat dicairkan pemerintah melalui fasilitas pinjaman dalam East Indonesia Region-Transport
Project (EIR-TP) dari Bank Dunia tersebut. Diminta Mengembalikan Dana Pinjaman
Yang mungkin membuat Bu Ani, panggilan Akrab Sri Mulyani itu resah, bukan saja latar
belakang kedatangan surat itu, melainkan tujuan Bank Dunia mengirimkan suratnya. Dalam surat
itu, Bank Dunia meminta pemerintah Indonesia mengembalikan dana yang mereka kucurkan
sebesar 4,7 juta dolar AS, sebagai sanksi atas penyuapan dalam proyek itu. Itu sama artinya
dengan merongrong APBN, karena pemerintah harus mengeluarkan dana yang tidak kecil untuk
Untung saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil membujuk Bank Dunia agar
tidak melanjutkan penjatuhan sanksinya meminta kembali dana sebesar 4.7 miliar dolar AS,
hingga KPK menyelesaikan penyelidikan atas indikasi suap pada proyek Transportasi Wilayah
Indonesia Timur dan proyek Infrastruktur Jalan Strategis. “Jangan sampai hanya ulah segelintir
orang, keuangan negara dan rakyat harus menanggung akibatnya,” kata Wakil Ketua KPK Erry
Riyana Hardjapamekas.
Tidak ada keseimbangan dan kompetisi antara lembaga perwakilan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Haruskah lembaga perwakilan yang baru ini dibubarkan? Sistem dua
kamar (bikameral) yang menjadi produk sah dari amandemen ketiga UUD 1945 bukanlah
bikameralisme murni yang menjamin proses checks and balances. Buktinya, Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) yang 128 anggotanya merupakan hasil pilihan langsung
rakyat Indonesia, berdasarkan wilayah masing-masing, belum menunjukkan kinerja optimal.
Pangkal persoalannya, menurut sebagian besar anggota DPD, terbatasnya fungsi, tugas, dan
wewenang yang dimiliki sebagaimana tersurat dalam Pasal 22D UUD 1945. UUD 1945 memberi
DPD wewenang untuk mengajukan RUU yang sebatas berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Tak aneh bila belakangan ini kerapkali bermunculan
pertanyaan yang menggugat eksistensi lembaga yang kini diketuai Ginandjar Kartasasmita itu,
termasuk kepada para anggotanya. Masa depan DPD RI kini menjadi taruhan. Dalam sebuah
diskusi bertajuk “Satu Tahun Masa Sidang DPD RI: Ke mana arah hendak dituju?”, yang
Kinerja Satu Tahun Masa Sidang Intsiawati Ayus, Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Riau, tiga
pekan silam, di Gedung DPD-RI, Senayan, semua gugatan dan kecaman kepada DPD menjadi
pokok bahasan.
Dengan pertimbangan efisiensi biaya dan waktu, Wapres Jusuf Kalla mengusulkan
pemilihan presiden/wakil presiden dan pemilihan kepala daerah digelar bersamaan. Mengapa
PKS menolak? Julukan–‘Tokoh Inovasi Politik’ agaknya pantas diberikan kepada Wakil
Presiden (Wapres) M. Jusuf Kalla. Beliau sering melontarkan ide yang inovatif seputar dinamika
politik di Indonesia. Sebelumnya, Wapres pernah mengusulkan agar pegawai negeri sipil (PNS)
sebaiknya bergabung ke partai politik. Alasan Wapres, kalangan PNS banyak yang profesional.
1. Pilpres-Pilkada Serentak
Awal Februari silam, Wapres mengusung gagasan baru. Apa itu? Ketua Umum DPP
Partai Golkar itu mengusulkan agar sejumlah pemilihan kepala daerah (Pilkada) diselenggarakan
secara serentak atau bersamaan dengan pemilihan presiden/wakil presiden (Pilpres) 2009.
Alasannya, selama ini hampir sepanjang tahun, waktu habis tersita untuk pelaksanaan Pilkada di
daerah-daerah sehingga tidak ada lagi waktu untuk memikirkan hal-hal lainnya. Alasan lain, kata
Sebagaimana dikutip Suara Karya (11/02), Wapres Jusuf Kalla mengusulkan penyatuan
penyelenggaraan Pilpres dan sejumlah Pilkada demi efisiensi nasional. “Saya sebagai Ketua
Umum Partai Golkar sudah meminta kepada F-PG (DPR, red.) untuk membicarakan itu
secepatnya demi efisiensi nasional. Intinya agar ada suatu penyederhanaan peristiwa politik
nasional, demokrasi kita sederhanakan, jangan bertele-tele seperti sekarang,” tandas Wapres.
Lebih jauh, tulis koran milik Partai Golkar itu, Wapres Jusuf Kalla menginginkan agar Pemilu
hanya dua kali saja: Pemilu Legislatif (DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota) dan Pemilu
Eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota). Jadi, rakyat cukup dua kali memilih dan
Bekas menteri kehutanan Muslimin Nasution mengeritik DPR yang menetapkan dana
reses tambahan sebagai perbuatan yang tidak tahu diri. Sementara rakyat yang mereka wakili
ditimpa masalah yang bertubi-tubi. Entah apa yang ada di benak anggota dewan ketika
menetapkan dana penyerapan aspirasi masyarakat (DPAM). Dana tambahan yang mereka ambil
tidak tanggung-tanggung, Rp 40,5 juta per anggota. Kalikan saja dengan 550, jumlahnya Rp 22
miliar lebih sekali reses. “Ketika rakyat ditimpa bala, mereka pesta pora,” kata Muslim
Abdurahman, “ di mana hati nurani dan kepedulian mereka pada penderitaan rakyat kecil?”
Sebenarnya anggota dewan tidak patut menerima dana tersebut, karena aspirasi masyarakat
sudah tersebar luas dengan berbagai cara seperti melalui media massa, unjuk rasa hingga
selebaran. Mereka tidak perlu repot-repot datang ke daerah untuk menyerap aspirasi masyarakat.
Hampir tiap hari masyarakat dari berbagai pelosok tanah air mendatangi gedung dewan untuk
menyampaikan aspirasi. Yang sering terjadi aspirasi mereka jarang ditanggapi. “Dewan malah
buang-buang uang untuk menyerap aspirasi rakyat di daerah. Itu namanya pemborosan,” kata
oSekretaris Jenderal DPR Faisal Djamal menjelaskan, sebanyak 300 anggota DPR sudah
mengambil DPAM (dana penyerapan aspirasi masyarakat). Tetapi seorang staf perjalanan DPR
mengatakan jumlahnya sudah hampir mencapai 400 orang sampai 28 Juli. Direktur Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan Hanif Suranto, mengingatkan anggota Dewan yang menerima
DPAM memberi laporan pertanggungjawaban serinci mungkin. Sehingga penggunaan dana ini
bisa diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Ia juga mengungkapkan, dari 300 lebih jumlah
rapat yang digelar di DPR pada masa sidang ketiga 2006, hanya 18% yang menyampaikan
aspirasi masyarakat yang diserap dari kunjungan kerjanya ke komisi. Jadi, bukan hanya
mekanisme pertanggungjawaban yang tak jelas, hasil kegiatannya juga tidak jelas.
Genderang perjuangan “Bekerja untuk Keunggulan Bangsa” telah ditabuh. Partai Hati
Nurani Rakyat (Hanura) pun dideklarasikan. Tantangan bagi Wiranto untuk mewujudkan tujuan
sebagaimana nama partainya. Ruangan di Hotel Kartika Chandra, Kamis (21/12) siang itu penuh
sesak. Ruangan berkapasitas sekitar 2.000 orang itu tak mampu menampung mereka yang
datang. Semula Panitia hanya mengeluarkan sekitar 600 undangan. Namun karena besarnya
permintaan dan minat menghadiri acara tersebut, kemudian ditambah hingga 1.000 undangan.
Ternyata, yang hadir membludak, mencapai 4.000 orang. Akibatnya, sebagian hadirin tak bisa
masuk. Mereka hanya bisa menyaksikan acara itu melalui layar monitor yang ada di luar sisi kiri
ruang pertemuan. Adalah Jenderal TNI (Purn) Wiranto SH dkk yang punya hajat. Mantan Menko
Polkam dan Menhankam/Pangab ini mendeklarasikan berdirinya partai baru. Partai Hati Nurani
Rakyat (Hanura). Ia pun duduk sebagai Ketua Umum dengan Sekjen Yus Usman. Sumanegara,
SE. MBA. Sejumlah tokoh sipil dan mantan petinggi militer bergabung dalam partai ini.
Diantaranya mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, mantan Menteri Peranan Wanita DR
Hj.Tuty Alawiyah, pengacara kondang Elsya Syarief, mantan politis Partai Bintang Rerformasi
(PBR) H Djafar Badjeber, Nico Daryanto, H.FR.Ghanty Sjahabuddin SH, H Anwar Fuady, dan
Hj.Uga Wiranto. Mantan petinggi militer antara lain Jenderal TNI (Purn) H.Fahrul Razi, Jenderal
TNI (Purn) Subagio HS, Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh, Jenderal Pol (Purn)
Chaeruddin Ismail, Marsdya TNI (Purn) Budhy Santoso, Letjen TNI (Purn) Suadi Marasabessy
dan Letjen TNI (Purn) Ary Mardjono yang mantan Sekjen DPP Golkar.
Pencopotan Zaenal Ma’arif sebagai wakil ketua dan anggota DPR oleh DPP PBR
berimbas di kalangan DPR. Wacana kocok ulang kembali mengemuka. Ada pihak lain yang
tergusur jika itu dilakukan. Poligami yang dilakukan Zaenal Ma’arif, dengan menikahi Yenni
Natalia Lodewijk, janda beranak tiga, di bulan Desember 2006 lalu menjadi pemicu konflik
internal di tubuh Partai Bintang Reformasi (PBR). Momentum itu menjadi alasan pengurus DPP
PBR menariknya dari kursi wakil ketua DPR. Keputusan itu ditetapkan melalui rapat pleno DPP
PBR di Jakarta, Kamis (28/12) yang dipimpin Ketua Umum Bursah Zarnubi. Dihadiri, Ketua
Ade Daud Nasution dan Sekjen Rusman Ali. Kinerja Zaenal dianggap buruk selama menjabat
Menurut Rusman, ada sejumlah alasan menarik Zaenal sebagai wakil ketua DPR.
Diantaranya, yang bersangkutan jarang berkoordinasi dengan DPP dan tidak memperhatikan
kepentingan partai. Di kala reses jarang mengunjungi daerah pemilihannya di Sumut untuk
menyerap aspirasi konstituen. Selain itu, keberpihakan partai melindungi hak-hak perempuan
sehingga PBR tidak menganjurkan anggota partai berpoligami. Apalagi hal itu dilakukan secara
demonstratif. Zaenal yang merasa poligami merupakan masalah pribadi, tak menggubris
keputusan itu. Dia mengecam tindakan pencopotannya sebagai tidak sah dan bertentangan
dengan AD/ART partai. Zaenal kemudian membentuk partai tandingan dengan merangkul putra
pembela Zaenal Ma’arif, Fahmi H Bachmid, gugatan diajukan Zaenal selaku pribadi. Gugatan
ditujukan kepada Bursah Zarnubi (Ketua Umum DPP PBR), Rusman HM Ali (Sekjen) dan
Yusuf Lakaseng (Wasekjen). Kubu Bursah nampaknya juga tidak mau kehilangan pamor. Dalam
rapat kilat yang dilakukan di Kantor DPP PBR di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (8/1)
lalu, Bursah dkk memperkuat sanksi dengan mencopot (recall) Zaenal sebagai anggota dewan.
Dasar alasannya pun bertambah. Selain dinilai melanggar disiplin partai, Zaenal dianggap
membangkang lewat rencananya mengambil alih PBR, menggugat ke pengadilan dan menolak
hadir saat akan diklarifikasi. “Langkah lunak DPP PBR dengan menarik dari jabatan wakil ketua
Partai Golkar menggelar sarasehan antargenerasi. Kritikan pun muncul dari para sesepuh
partai berlambang pohon beringin ini. Aula Kantor DPP Partai Golkar Sabtu (3/2) lalu dipenuhi
tokoh-tokoh senior dan sesepuh partai berlambang pohon beringin itu. Suasana terasa meriah.
Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla yang juga Wakil Presiden itu terlihat ceria. Dia
menyalami para mantan petinggi Golkar yang datang menghadiri acara sarasehan antargenerasi
yang digelar pada siang hari itu. Di antara tokoh-tokoh senior Golkar yang hadir tampak
Soekardi. Kendati dalam suasana santai, namun topik pembicaraan yang mengemuka di forum
itu sangat serius. Yakni bagaimana Partai Golkar bisa unggul dalam memimpin perjalanan
bangsa ke depan.
Seperti dikemukakan Jusuf Kalla, tantangan sekarang dan ke depan bagi Golkar cukup
berat. “Sekarang tidak bisa Golkar langsung mengklaim keberhasilan pemerintah. Tidak seperti
dulu,” paparnya. Karena dalam sistem multipartai, hampir tidak mungkin partai menjadi peraih
suara absolut dan menguasai pemerintahan serta parlemen. Sejumlah kritik juga dilontarkan para
mantan petinggi Golkar. Harmoko misalnya, mengkritisi konsolidasi partai yang hingga saat ini
dinilainya belum maksimal. Menurut mantan Ketua Umum DPP Golkar ini, partai ini perlu
bekerja keras dalam sisa waktu sebelum tahun 2009. “Kalau tidak bekerja keras, saya khawatir
perolehan suara Golkar akan turun lagi,” tegasnya. Sedangkan mantan Ketua DPP Golkar
terbaik Golkar yang ‘hijrah’ dan berjuang untuk partai politik lain. “Tjahjo Kumolo itu dulu
kader saya, sekarang dia kerja untuk partai lain dan masih banyak lagi lainnya,” ujar mantan
Menteri Negara Peranan Wanita dan mantan anggota DPA di era Orde Baru itu.
Perempuan ini juga mengkritisi belum dicapainya komitmen menempatkan 30 persen kuota
perempuan di parlemen. Menurutnya, pada masanya dulu sempat mencapai 16,4 persen, tapi
Kritikan ini spontan disanggah Jusuf Kalla. “Bu Moer, partai kita paling banyak
perempuannya di parlemen. Kita punya 21 orang di DPR,” jelasnya, seperti diberitakan Indo Pos
(4/2). Dengan sistem pemilihan saat ini, menurut Jusuf Kalla, Partai Golkar masih belum
masa lalu menjadi masukan penting untuk menyiapkan strategi di masa depan. “Kita belajar dari
keberhasilan sekaligus kegagalan masa lalu. Tidak semua Orde Baru itu jelek,” ujarnya
mengingatkan.AM,SP
umum legislatif mulai marak di seluruh pelosok Tanah Air. Sebanyak 38 partai nasional dan 6
partai lokal Aceh sudah memulai kampanye yang menampilkan aksesoris partai, seperti bendera,
spanduk dan baliho. Partai-partai yang berduit melancarkan kampanye di media massa, baik
cetak maupun elektronik. Tujuan utama mereka, menangguk suara sebanyak mungkin dalam
Pemilu April 2009. Untuk itu, sejumlah partai sedang menimbang koalisi permanen atau tidak
permanen.
Waktu berlalu bak hembusan angin. Tak terasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dari partai Demokrat dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla dari partai Golkar, berlalu
bersama waktu. Ketika Presiden Susilo dan Wapres Kalla (SBY-JK) mengambil sumpah 21
Oktober 2004 untuk masa jabatan sampai Oktober 2009, atmosfir di setiap penjuru negeri dibuai
angin perubahan yang membawa sejuta harapan. Tetapi apa yang terjadi selama hampir 4 tahun
ini? Angin perubahan itu lebih banyak membawa balada duka bagi warga negara yang tak
beruntung, jumlahnya puluhan juta orang. Laporan PBB bahkan mendata, lebih dari 100 juta
orang hidup dengan penghasilan hanya 2 dolar AS (setara Rp 18.000) per hari. Apakah yang bisa
dilakukan dengan penghasilan sebesar itu? Harga seliter beras saja sudah mencapai Rp 5.000
program bantuan langsung tunai (BLT) yang dikritik banyak pihak. Namun pemerintahan SBY-
JK tak bergeming, tetap mengalokasikan anggaran tidak kurang dari Rp 19 triliun untuk BLT.
Jumlah mereka yang menerima BLT antara 16-19 juta kepala keluarga. Padahal masih jutaan KK
miskin lainnya yang semestinya berhak menerima BLT. Namun mereka tidak kebagian BLT,
karena nama mereka tidak terdata dalam statistik. Pemerintah, dengan BLT-nya, hanya
memotivasi mereka yang miskin untuk bertahan hidup. Tak peduli taraf hidup model apa yang
harus mereka jalani. Padahal dengan dana puluhan triliun itu, pemerintah bisa menciptakan
jutaan lapangan kerja, misalnya lewat proyek-proyek padat karya. Dengan cara itu, rakyat miskin
tertolong dan proyek terbangun atau terpelihara. Agaknya pemerintah lebih memilih jalan pintas
(crash way out) untuk keluar dari kemelut ekonomi akibat tiga kali kenaikan harga BBM. Jalan