Anda di halaman 1dari 9

BAB XIII

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN EKONOMI

A. Sumber Kekuatan Ekonomi Muhammadiyah


Dari segi ekonomi Muhammadiyah memiliki beberapa sumber daya; pertama
sumberdaya manusia. Ada beberapa macam sumber daya manusia di Muhammadiyah,
yaitu (a) dari segi social; sumber daya anggota Muhammadiyah terdiri dari pengusaha,
pedagang, cendekiawan, kaum professional, perempuan, pemuda, petani dan mahasiswa,
beberapa di antaranya diwadahi dalam organisasi otonom, (b) dari segi ekonomi,
sumberdaya tersebut juga berperan sebagai konsumen, produsen dan distributor. Kedua,
sumberdaya kelembagaan, berupa organisasi Muhammadiyah itu sendiri baik tingkat pusat,
wilayah, daerah, cabang dan ranting. Demikian juga berupa amal usaha Muhammadiyah
baik bidang pendidikan (formal/non formal); bidang social, berupa panti asuhan/jompo dll;
bidang kesehatan, seperti rumah sakit, klinik, balai pengobatan dll.
Amal-amal usaha Muhammadiyah di atas mengandung nilai ekonomi, karena
selain menyediakan lapangan kerja juga menghasilkan dana bagi persyarikatan. Sekolah
dan perguruan tinggi telah menghasilkan surplus yang bias menjadi income bagi
Muhammadiyah. Demikian juga rumah sakit banyak yang sudah menjadi unit bisnis dan oleh
karenanya harus dikelola layaknya perusahaan.
Selain nilai ekonomis di atas, amal usaha Muhammadiyah juga bisa menghasilkan
bisnis sampingan. Sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah bisa mengorder pakaian
seragam dan pembelian alat-alat kantor dalam jumlah yang amat besar. Rumah sakit-rumah
sakit memiliki kebutuhan akan obat-obatan sehingga ada pemikiran bagaimana mendirikan
perusahaan farmasi sendiri. (M. Dawam Raharjo dalam Hamid, Hamid dan Sairin, 2000:
147-148)
Jumlah anggota yang banyak dan amal usaha melimpah dapat dijadikan modal
atau sumberdaya yang merupakan comparative advantage bagi Muhammadiyah.
Sumberdaya tersebut telah menjadikan Muhammadiyah tidak saja sebagai gerakan social-
keagamaan, namun juga sebagai kekuatan ekonomi.
Syafrudin Anhar, Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah
2010–2015 menyatakan:

10
“Pada sektor finansial, Muhammadiyah memiliki cash flow/ dan aset yang luar
biasa besar. Diperkirakan cash flow Muhammadiyah mencapai Rp 15 triliun dan
aset tidak bergeraknya Rp 80 triliun–Rp 85 triliun. Sumber daya finansial dan
aset ini dapat dikonsolidasikan, diintegrasikan dengan sumber daya lain, seperti
dengan 174 perguruan tinggi, baitut tamwil Muhammadiyah atau BPRS milik
Muhammadiyah untuk penciptaan, peningkatan, dan pengembangan industri dan
teknologi informasi. Sumber daya anggota, kader, dan simpatisannya yang
mencapai 30 juta orang merupakan individual consumers sebagai market table-
nya”. (Anhar, 2015: 1)
Haidar Nashir menjelaskan bahwa Muhammadiyah telah berhasil menggerakkan
sumber-sumber pemberdayaan baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun layanan
social (serta ekonomi tentunya, pen.). Ke depan Muhammadiyah akan lebih focus pada pilar
ekonomi. Lembaga perekonomian Muhammadiyah yang sudah ada, misalnya Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) jumlahnya sekitar 525 di seluruh Indonesia. (Wachidah
Handasah, Republika Edisi 20 November 2017: 12).
B. Muhammadiyah dan Kelas Menengah
Fenomena penting dalam perjalanan sejarah masyarakat Indonesia adalah ketika
masyarakat perkotaan menggeser peranan komunitas pedesaan sebagai aktor perubahan.
Di kota-kota ini, terjadi kebangkitan golongan kelas menengah. Kelas menengah baru ini
terdiri dari atas kaum pengusaha dan cendekiawan yang menguasai cakrawala kehidupan
perkotaan. Hanya kota-kota yang kuat kejawennya seperti Surakarta dan Yogyakarta, kaum
bangsawan tua masih menikmati kedudukan tinggi di masyarakat. (Kuntowijoyo, 2000: 130)
Keberadaan kelas menengah baru sedang tumbuh di Indonesia seiring dengan
perkembangan ekonomi nasional. Kemunculan kelas menengah baru ini tidak bisa
dilepaskan dari bermunculnya pendidikan tinggi di Indonesia yang kebanyakan berdiri pada
tahun 70-80-an. Kondisi itu melahirkan masyarakat menengah di negara ini. Karenanya,
lembaga pendidikan memberikan kontribusi lahirnya kelas menengah. Kelas menengah
yang memiliki pendidikan ini, memiliki daya dorong untuk melakukan perubahan. (Yudi Latif,
2005: 623)
Mekanisme kehidupan masyarakat industrial diatur dan dan dikelola menurut
prinsip logika ekonomis dan teknologis yang efisien dan produktif, serta tidak memiliki
kesadaran ruhaniah kelas menengah baru memiliki minat yang tinggi dalam memahami

11
agama, sehingga menghasilkan kaum religius juga rasional. Kehausan spiritual kaum urban
yang hidup serba tercukupi secara materi dengan pola pikir rasional jelas membutuhkan
siraman spiritual. Di tengah gaya hidup yang materialistik dalam peradaban global industrial,
muncul kesadaran baru tentang wilayah kehidupan yang bersifat spiritual. (Mulkhan, 2010:
21)
Ada asumsi bahwa Muhammadiyah belum begitu pro-aktif kepada kelas
menengah baru, meski para aktivisnya sendiri, menurut kategori sosiologis banyak yang
termasuk kelas menengah. Asumsi tersebut, tanpa didasari penelitian di lapangan yang
muncul dari wacana pengajian Ramadlan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2012 ini
membicarakan tentang kelas menengah. Berkaitan dengan fenomena kelas menengah
baru, apakah dakwah Muhammadiyah telah memahami bahasa dan kebutuhan kelas
menengah ini? Bagaimana strategi dakwah Muhammadiyah yang sistematis, terstruktur,
namun efektif yang ditujukan kepada kelas menengah baru ini?
Kalau Muhammadiyah tidak menggarap ini, maka masyarakat kelas menengah
baru akan terjebak pada “ pseudosufism”, yaitu relegiusitas palsu, bukan religiusitas asli.
Jika Muhammadiyah tidak menggarap ini maka kelas menengah kita akan kehilangan arah,
padahal mereka memerlukan pencerahan keagamaan. Mereka memiliki pendidikan dan
uang yang banyak, mau diapakan mereka maka tergantung materi apa yang mereka terima.
Maka dalam pengajian ramadhan 2013 ini Pimpinan Pusat Muhammadiyah menawarkan
konsep “spiritualitas ihsan yang berkemajuan”, sebagai jawaban dakwah kelas menengah.
(Khoerudin, 2017: 3)
Selanjutnya, kelas menengah baru sebagai manifestasi kaum terdidik. Mobilitas
sosial yang terjadi sejak diberlakukannya wajib belajar telah membawa naik masyarakat
bawah dari pedesaan menuju ke segala arah. Anak-anak desa yang mempunyai budaya
egalitarian1 sekarang berada di banyak tempat dan di dunia akademis. Mereka menjadi
teknokrat2 baru pemasaok gagasan untuk birokrasi, bisnis, ormas, dan orsos. Kelas
menengah baru pada dasarnya ialah elitis, artinya siapa yang berkualitaslah yang memiliki
kekuasaan. Dengan munculnya orang-orang berkualitas, masyarakat akan beruntung,
karena urusannya dijalankan oleh orang terbaik. (Kuntowijoyo, 2000: 672-679).

1
2
cendekiawan yang berkiprah dalam pemerintahan
12
Indonesia diprediksi pada tahun 2025 akan menyumbang 145 juta warga kelas
menengah baru untuk dunia, di mana pada tahun ini, kelas menengah Indonesia bisa
mencapai angka 50 juta. Dengan kekuatan ekonomi Indonesia, dipastikan menjadi awal
kekuatan ekonomi nasional. Hal ini harus disikapi dan direspon secara baik oleh
Muhammadiyah. Karena Muhammadiyah merupakan gerakan tajdid, maka sudah tentu
harus selalu responsif dengan realitas yang terus berkembang dan berubah dengan begitu
cepat. (Hamid, 2012: 28)
C. Pasang-surut Gerakan Ekonomi Muhammadiyah
Pada masa lalu Muhammadiyah mempunyai tradisi kewirausahaan yang bagus,
dan kantong-kantong kewirausahaan Muhammadiyah itu bisa menjadi “pundi-pundi”
persyarikatan. (Wiratmo dan Hamid dalam Hamid, Hamid dan Sairin, 2000: 166).
Jiwa ekonomi Muhammadiyah, sebetulnya sudah terlihat dari profil kehidupan
pendirinya. Adalah KH. Ahmad Dahlan yang bekerja sebagai pedagang batik
(bussinessman) di samping kegiatan sehari-harinya sebagai guru mengaji dan khatib. KH.
Ahmad Dahlan sering melakukan perjalan-an ke berbagai kota untuk berdagang. Dalam
perjalanan bisnisnya, KH. Ahmad Dahlan selalu membawa misi dakwah Islamiyah. Naluri
dan aktivitas bisnisnya tentu disinari oleh ajaran Islam, sehingga tingkah laku yang
dilakukannya dicontoh dan menjadi inspirasi bagi para pengikutnya.
Dalam awal sejarahnya, gerakan Muhammadiyah lebih banyak didukung dari
kontribusi kelas menengah pengusaha. Tercatat pada 1916, komposisi keanggotaan
Muhammadiyah lebih didominasi oleh para saudagar yang jumahnya mencapai 47 persen,
urutan kedua adalah pegawai atau pamong praja 18,1 persen, diikuti oleh ulama 10,7
persen, kaum buruh 8,7 persen, dan kalangan wartawan 0,7 persen.(Anhar, 2015: 2).
Warga Muhammadiyah di kota-kota Industri, seperti Yogyakarta, Pekalongan,
Solo, Tasikmalaya, Tulungagung, dan kota lainnya merupakan tulang punggung gerakan
koperasi, terutama koperasi batik. Tetapi aktivitas mereka tidak atas nama Muhammadiyah,
walaupun langkah tokoh-tokoh koperasi tersebut sangat jelas keberpihakannya kepada
Muhammadiyah. Sebagai penjelas penulis cuplikkan sejarah Muhammadiyah Nitikan
Yogyakarta.
Muhammadiyah yang sebelumnya telah dikenal melalui pengajian-pengajian di
kampung Nitikan, lahir secara resmi sebagai organisasi formal di kampung Nitikan pada
1954. Geliat Muhammadiyah yang di awal kelahirannya masih berjalan pelan dengan

13
mencoba menggerakkan kegiatan dakwah dan sosial keagamaan di wilayah Nitikan dengan
penyelenggaraan pengajian dan kegiatan hari besar Islam, perlahan bisa menyita perhatian
para wirausahawan. Sebagian dari wirausahawan itu akhirnya mau bergabung menjadi
pengurus Muhammadiyah Nitikan.
Para pengurus Muhammadiyah di Nitikan periode awal terdiri dari gabungan
antara pegawai, wirausahawan serta kiai. Mereka adalah Muh. Qasdani, R. Mursyid Syafi’i,
Masyhudi, R. Djurjani Muthohhar, Djiwosuharto, H. Ilyas, Masyhuri, dan Marsudi (Tim
Penulis Sejarah Nitikan, 2010).
Hampir setengah dari mereka adalah wirausahawan serta orang yang karyawan
terpandang sebagai tokoh masyarakat. Sama halnya dengan di wilayah pedesaan lain, di
Nitikan, figur ketokohan seseorang belum bisa dilepaskan dari kekayaaan dan kedudukan di
masyarakat. Faktor ketokohan para pemimpin Muhamadiyah di awal periode itulah yang
membuat organisasi baru itu bisa berjalan lebih cepat.
Dalam perkembangan Muhammadiyah di Nitikan, ada tiga keluarga besar
pedagang Pasar Beringharjo yang memberikan kontribusi besar dalam perkembangan
Muhammadiyah di Nitikan, terutama dalam sumbangsih ekonomi, yakni keluarga besar Hj.
Partinah Djiwosuharto, Hj. Baniyah Ilyas, dan Hj. Kistodiharjo. Partinah Djiwosuharto
memulai usaha di Beringharjo pada 1952, melanjutkan usaha neneknya Wiryosuharto.
Wiryosuharto berputrakan satu orang, yakni Djami’an Harjosudiro (Pawirosuharto) dan
Djami’an berputrikan satu orang, yakni Partinah Djiwosuharto. (Ghifari,Yuristiadhi, : 79)
Uraian di atas menjelaskan bahwa Muhammadiyah lahir dari para pedagang
(entrepreneur), dan ternyata Muhammadiyah pada masa perkembangannya hingga
mencapai tingkat kejayaan, juga diwarnai oleh para pebisnis yang memiliki misi yang jelas
terhadap perjuangan amar ma’ruf nahi munkar. Fakta tersebut tentu berimplikasi positif pada
eksistensi lembaga dan pemberdayaan ekonomi bagi tubuh Muhammadiyah.
D. Mencari Model Gerakan Ekonomi Muhammadiyah
Kepada para aktivis organisasi dan para pendukung gerakannya, KH. Ahmad
Dahlan berwanti-wanti: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan hidup dari
Muhammadiyah”. Himbauan ini menimbulkan konsekuensi tertentu. Warga Muhammadiyah
tidak bisa memperjuangkan kepentingan ekonominya lewat organisasi ini. Mereka hanya
menyumbangkan harta dan tenaganya untuk dakwah dan amal usaha, misalnya mendirikan
sekolah dan panti asuhan anak yatim piatu atau menyantuni fakir miskin. Konsekuensi yang

14
lain adalah bahwa untuk memperjuangkan kepentingan ekonominya, mereka harus
memajukan usahanya agar bisa membayar zakat, shadaqah, infaq atau memberi wakaf,
warga Muhammadiyah harus menengok ke organisasi lain. Pada waktu itu, yang bergerak di
bidang sosial-ekonomi adalah Sarekat Dagang Islam (SDI), yang kemudian bernama
Sarekat Islam (SI) itu. Itulah sebabnya warga Muhammadiyah sering berganda
keanggotaan; Muhammadiyah dan Sarekat Islam. (Dawam Rahardjo, 1995:48).
KH. Ahmad Dahlan juga selalu mengajarkan dalam pengajiannya bahwa Islam
tidak hanya bersifat ucapan, akan tetapi harus diaplikasikan dalam serangkaian aksi nyata
berupa amalan yang konkrit dalam berbagai bidang. Sebagai organisasi gerakan Islam, di
samping mengembangkan bidang pendidikan, sebenarnya Muhammadiyah pun telah
merintis gerakan-gerakan sosial sejak didirikan. Namun secara kelem-bagaan,
Muhammadiyah baru melakukan aksi sosial berupa pembagian zakat fitrah khususnya untuk
fakir miskin sejak tahun 1926. Pada tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1921,
Muhammadiyah memprogramkan perbaikan ekonomi rakyat, salah satunya adalah dengan
membentuk komisi penyaluran tenaga kerja pada tahun 1930. Pada perkembangan
selanjutnya, tahun 1959 mulai dibentuk jama’ah Muhammadiyah di setiap cabang dan
terbentuknya dana dakwah.
Usaha Muhammadiyah memperbaiki ekonomi anggota dan umat mendorong
rencana kongres besar produksi dan niaga Muhammadiyah pada tahun 1966. Dua tahun
berikutnya, tahun 1968, Muktamar ke-37 di Yogyakarta menetapkan program Pemasa
(Pembangunan Masyarakat Desa), sehingga dibentuk Biro pemasa sebagai pelaksana.
Pokok pandangan Muhammadiyah terhadap pembangunan desa tersebut merupakan
strategi dakwah pengembangan masyarakat yang berorientasi pedesaan. Selanjutnya
dalam menanggapi permasalahan bidang ekonomi khususnya Bank, Muhammadiyah
menetapkan bahwa bunga Bank yang dikelola oleh swasta hukumnya haram. Sementara
Bank Pemerintah, Muhammadiyah mengambil keputusan bahwa hukumnya mutasyabihaat
(Mulkhan, 1990:115).
Dalam hal kerjasama bidang perbankan, Muhammadiyah pernah
menandatangani kerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia di Jakarta. Pertimbangan sikap
Muhammadiyah terhadap bunga Bank dan kerjasama tersebut waktu itu adalah kepentingan
umum. Permasalahan ekonomi dan bank kembali muncul ke permukaan dalam Muktamar

15
Tarjih di Malang pada tahun 1989 dalam pokok acara Asuransi dan Koperasi Simpan
Pinjam.
Program-program ekonomi yang dirancang ternyata menjadi dorongan untuk
terbentuknya Majelis Ekonomi Muhammadiyah. Penegasan peran Muhammadiyah untuk
terlibat dalam problematika perekonomian nasional, terlahir pada Muktamar ke-41 di Solo
tahun 1985 dengan terbentuknya Majelis Ekonomi Muhammadiyah secara resmi. Namun
yang sangat disayangkan adalah perkembangan Majelis Ekonomi tersebut mengalami
kevakuman lebih dari sepuluh tahun. Anwar Ali Akbar dan Mas’ud (2002:117)
mengemukakan bahwa kevakuman majelis ini karena memang hanya diorientasikan
sebagai advokasi bagi problem-problem perekonomian nasional. Sadar akan hal itu,
tepatnya pada Muktamar ke-43 di Banda Aceh, akhirnya nama Majelis Ekonomi
Muhammadiyah diubah menjadi Majelis Pembina Ekonomi Muhammadiyah (MPEM).
Tentunya hal ini mempunyai tujuan agar terjadi perubahan orientasi yang terfokus pada misi
pem-berdayaan dan pembinaan ekonomi umat.
Majelis Pembina Ekonomi Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Amien Rais
merumuskan visi dan misinya ke dalam tiga jalur, yaitu: 1) mengembangkan badan usaha
milik Muhammadiyah (BUMM) yang merepresentasikan kekuatan ekonomi organisasi
Muhammadiyah, 2) mengembangkan wadah koperasi bagi anggota Muhammadiyah, dan 3)
memberdayakan angota Muhammadiyah di bidang ekonomi dengan mengembangkan
usaha-usaha milik anggota Muhammadiyah.
Sebagaimana dikemukakan Anwar Ali Akbar dan Mas’ud (2002:117), selama ini
Muhammadiyah sudah banyak memiliki aset atau sumberdaya yang bisa dijadikan modal, di
antaranya: pertama, sumberdaya manusia. Sebagai organisasi yang berbasis massa
masyarakat perkotaan, Muhammadiyah mempunyai SDM maju yang sangat beragam dan
berpendidikan; kedua, lembaga yang telah didirikan. Pada awal perkembangannya,
Muhammadiyah telah berhasil mendirikan berbagai macam bangunan sesuai dengan fungsi
dan orientasi masing-masing yang juga bisa dioptimalkan sebagai wadah pemberdayaan
eko-nomi umat; ketiga, organisasi Muhammadiyah, dari pusat sampai ke ranting. Majelis
Pembina Ekonomi Muhammadiyah (MPEM) kembali berubah nama menjadi Majelis
Ekonomi PP Muhammadiyah pada Muktamar ke-44 di Jakarta.
Menurut Mu’arif (2005:223), dalam persoalan ekonomi ini, Persyarikatan
Muhammadiyah mengalami posisi dilematis. Di satu sisi, visi ekonomi ketika hendak

16
membangun perekonomian yang tangguh haruslah didasarkan pada profesionalisme.
Adapun untuk mengantarkannya pada profesionalisme itu biasanya menggunakan cara
yang mengarah pada dunia bisnis kapitalis. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan visi
kerakyatan yang pada awal berdirinya persyarikatan menjadi agenda utama.
Muhammadiyah perlu melakukan revitalisasi yang diwujudkan dalam berbagai
langkah aksi yang strategis dalam mengembangkan bidang tersebut. Terobosan yang
dilakukan hendaknya sistematis dan mempertimbangkan kondisi realitas secara matang.
Beberapa langkah di bawah ini nampaknya perlu dipertimbangkan Muhammadiyah untuk
bangkit dari nol, serta menata kembali pranata ekonomi yang mengalami degradasi dan
menyedihkan itu. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
Pertama, kembali ke khittah atau paradigma awal dalam pengembangan ekonomi
Muhammadiyah, yaitu bottom up. Di samping itu, adalah mempersiapkan sumberdaya
manusia yang jujur dan amanah. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak sedikit manusia
cerdas yang bergabung dan turut berkiprah di Muhammadiyah. Namun kenapa terjadi
keterpurukan? Salah satu sebab utamanya adalah kurangnya amanah dan kejujuran pada
mereka yang mengelola lembaga-lembaga yang ada di Muhammadiyah. Menanamkan sikap
tersebut bukan sesuatu yang sederhana, seluruh anggota Muhammadiyah perlu melakukan
re-thinking tentang Muhammadiyah itu sendiri. Ideologi Perjuangan Muhammadiyah “amar
ma’ruf nahi munkar” harus benar-benar tertanam dalam jiwa seluruh anggota
Muhammadiyah.
Kedua, revitalisasi Majelis/ lembaga/ badan usaha yang dimiliki dari pusat sampai
ke ranting. Jika dicermati secara seksama, terlihat jelas bahwa lembaga ekonomi yang
dimiliki –dari pusat sampai ranting– telah kehilangan elan vitalnya serta kehilangan orientasi.
Hal ini harus menjadi perhatian yang serius bagi semua warga Muhammadiyah.
Ketiga, menjalin kerjasama ekonomi dengan lembaga yang jelas, sehingga
terciptanya sebuah kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak (simbiosis
mutualisme). Kerjasama bisnis yang dibangun harus terbuka dengan lembaga manapun
asalkan dalam kerangka kemaslahatan.
Keempat, membentuk badan usaha yang secara realitas dapat dikem-bangkan.
Sebenarnya, membuka mini market bukanlah sesuatu yang rumit bagi Muhammadiyah.
Namun mengapa tidak dilakukan?. Mungkin paradigma kita lebih senang memandang langit
dari pada menginjak bumi.

17
Kelima, dibentuknya Lembaga Audit sebut saja Majelis Pemeriksaan Keuangan
Muhammadiyah (MPK-M) yang dapat memeriksa dan meng-evaluasi kondisi keuangan
seluruh amal usaha Muhammadiyah. Majelis tersebut –yang tentunya diisi oleh personal
yang jujur dan amanahpun dapat menjadi dewan pertimbangan terhadap rencana-rencana
ekonomi Muhammadiyah. “Kasak-kusuk” yang terjadi pada awal pendirian Bank
Persyarikatan semestinya tidak boleh terjadi, karena jika MPKM hadir di Muhammadiyah,
tentunya Bank Swansarindo yang dikonversi menjadi Bank Persyarikatan terlebih dahulu
harus masuk laboratorium MPK-M.

18

Anda mungkin juga menyukai