12 Maret 2019 dijadikan Muhammad Nuh (Menteri Pendidikan pada saat itu)
sebagai hari deklarasi UNNES sebagai Universitas Konservasi Hal ini berarti
dalam pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat UNNES
harus memiliki konsep yang mengacu pada prinsip-prinsip konservasi
(perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari ) baik konservasi
terhadap sumber daya alam, seni dan budaya. Setidaknya ada 7 pilar konservasi
yaitu: keanekaragaman hayati, energi bersih, bangunan hijau & transportasi
internal, nirkertas/efisiensi, pengolahan limbah, etika, seni dan budaya, dan kader
konservasi (Ikayanti, 2015).
Riset yang kami lakukan melalui wawancara singkat dan pengamatan secara
langsung dengan beberapa rumah makan, burjo, dan stand minuman yang ada di
sekitar UNNES. Menjadi suatu hal yang lumrah apabila sebuah lingkungan
kampus banyak terdapat tempat makan, tempat nongkrong, cafe bahkan toko
kelontong di sepanjang jalannya. Hal tersebut tentunya untuk menunjang
kehidupan mahasiswa dan menjadi mata pencaharian warga sekitar, sama halnya
seperti UNNES. hal yang sudah dijelaskan tersebut tentu terjadi pula di sekitar
UNNES.
Riset ini berawal dari gerbang depan UNNES sekitar Sekaran dan berakhir di
daerah sekitar Patemon. Adapun beberapa rumah makan dan burjo yang kami
ambil datanya antara lain sebagai berikut, Burjo Asep 5 (melalui wawancara),
Burjo BMS depan lapangan Banaran (melalui wawancara), Warteg Bu Dewi
(melalui wawancara), Bursky (melalui wawanncara), Burjo Boim (melalui
wawancara), Ayam Geprek Sambal Brewok (melalui pengamatan), Homie Geprek
(melalui pengamatan), Dapur Gboy (melalui wawancara), Burjo Laskar 2 (melalui
pengamatan) dan Stand minuman di sepanjang jalan Sekaran, Banaran, dan
Patemon (melalui pengamatan).
Data hasil riset secara keseluruhan terbagi menjadi dua yaitu data melalui
pengamatan dan data melalui wawancara. Adapun data melalui pengamatan adalah
sebagai berikut, Ayam Geprek Sambal Brewok, Homie Geprek, Burjo Laskar 2
serta Stand minuman di sepanjang jalan sekaran, banaran dan patemon masih
menggunakan sedotan plastik. Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan
UNNES sebagai Universitas Konservasi. banyak hal yang mungkin mendasari hal
tersebut terjadi, salah satunya adalah kurangnya pemahaman atas permasalahan
sampah sedotan plastik yang berbahaya terhadap lingkungan.
Adapun data melalui wawancara adalah sebagai berikut, Burjo Asep 5: tidak
mengetahui bahaya sedotan plastik dan sampah sedotan plastik langsung dibuang,
Burjo BMS depan lapangan Banaran: tidak mengetahui bahaya sedotan plastik dan
sampah sedotan plastik diminta oleh pihak ke-3, Warteg Bu Dewi : tidak
mengetahui sampah sedotan plastik dan sampah sedotan plastik langsung dibuang,
Bursky : mengetahui bahaya sedotan plastik dan sampah sedotan plastik langsung
dibuang, Burjo Boim : tidak mengetahui bahaya sedotan plastik dan sampah
sedotan plastik langsung dibuang, serta yang terakhir Dapur Gboy: tidak
mengetahui bahaya sedotan plastik dan sampah sedotan plastik langsung dibuang.
Dari hasil riset secara keseluruhan banyak yang belum mengetahui bahaya sedotan
plastik. Bukan hanya kecil, tetapi juga murah menjadi sebuah alasan atas
banyaknya pemikiran masyarakat yang tidak menyadari bahaya dibalik hal kecil
tersebut. Pada riset yang telah dilakukan terdapat satu fakta unik, salah satu tempat
makan yaitu Bursky mengetahui bahaya dari sedotan plastik, tetapi sayangnya
kembali ke persoalan awal: penggunaan sedotan plastik merupakan tuntutan
pekerjaan. Selain itu, banyak kalangan pembeli terutama mahasiswa UNNES yang
ternyata meminta sedotan plastik jika tidak disediakan sedotan plastik.
Dalam riset dengan skala kecil ini, dapat diambil simpulan bahwa penggunaan
sedotan plastik di sekitar UNNES yang menjadi salah satu permasalahan sampah
global di dunia terutama Indonesia masih banyak yang belum mengetahui
bahayanya. Selain belum adanya edukasi secara spesifik untuk sedotan plastik,
tuntutan pekerjaanlah yang menjadi faktor lain sedotan plastik ini tetap digunakan.
UNNES sebagai Universitas konservasi ternyata belum memberi positive impact
terhadap masyarakat sekitar terutama mahasiswa dalam pemahaman sedotan
plastik yang berbahaya.
solusi
Ganti Sedotan Plastik dengan Sedotan Ramah Lingkungan: Less Waste for
Saving Our Earth
Rasanya, gerakan #NoStrawMovement yang telah terjadi pada 2018 sudah mulai
pudar. Belum usai permasalahan pandemi yang tiap harinya menghasilkan limbah
infeksius, diperparah dengan permasalahan sedotan plastik yang tidak kunjung
membaik. Seharusnya, penularan virus Covid-19 menjadi warning tentang bahaya
penularan virus melalui sedotan, karena banyaknya oknum-oknum nakal yang
tidak membuang sedotan plastik setelah digunakan tetapi justru dipakai ulang
untuk pengunjung selanjutnya. Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Saatnya berubah, berbenah, bukan hanya untuk lingkungan tetapi untuk kesehatan
tubuh kita. Kita tau bahwa penggunaan produk berbahan dasar plastik tidak dapat
dihilangkan dari kehidupan sehari-hari khususnya sedotan plastik, namun pada era
yang modern ini telah ada alternatif dalam menguranginya. Banyak sedotan ramah
lingkungan yang dapat menjadi pilihan tepat sebagai langkah awal. Beberapa
sedotan yang dapat digunakan sebagai pengganti sedotan plastik yaitu sedotan
stainless, sedotan bambu, sedotan berbahan dasar sari singkong dan juga edible
straw atau sedotan yang dapat dimakan.
Mari kita bahas apa perbedaan dari ke-4 sedotan yang sudah disebutkan. Yang
pertama, sedotan stainless merupakan sedotan yang berbahan stainless steel yang
dapat digunakan berulang kali. Sedotan stainless dibuat dari besi yang tidak
bersifat korosif, sehingga tidak akan berkarat jika digunakan terus-menerus selain
itu sedotan stainless ini sangat mudah untuk dibersihkan. Selanjutnya sedotan
bambu, sedotan bambu tentunya terbuat dari bambu khusus yang sduah
dihilangkan seratnya sehingga tidak akan melukai penggunanya, sama seperti
sedotan stainless sedotan bambu juga dapat digunakan berkali-kali dan mudah
untuk dibawa.
Kemudian ada sedotan yang berbahan dasar sari singkong. Berbeda dengan kedua
sedotan tadi, sedotan ini mirip dengan sedotan plastik yang hanya digunakan
sekali. Namun, sedotan berbahan dasar sari singkong ini dapat terurai oleh tanah
karena mengingat bahannya yang alami. Yang terakhir ada edible straw atau
sedotan yang dapat dimakan. Sesuai dengan namanya, edible straw tentunya dapat
dimakan setelah digunakan. Sehingga edible straw ini tidak menghasilkan sampah
pada penggunaannya.
Melihat dari penjelasan ke-4 sedotan tadi kamu lebih tertarik yang mana? Yang
manapun menjadi pilihan yang baik karena sebagai langkah awal dalam
menyelamatkan lingkungan. Apakah alternatif sedotan plastik tersebut sudah
dilakukan dan berhasil? Jawabannya iya, berdasarkan hasil observasi terdapat
coffee shop yang sudah mengganti sedotan plastik dengan sedotan ramah
lingkungan. Coffee shop tersebut adalah Encycoffedia yang terletak di Jl. Dr.
Wahidin №37A, Candi, Kec. Candisari, Kota Semarang. Encycoffedia
menggunakan sedotan stainless pada pelayanannya. Hal ini menjadi contoh yang
baik untuk coffee shop yang lain. Semakin banyak coffee shoop yang mengganti
sedotan plastik maka semakin baik pula manfaat yang diterima lingkungan.
Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa sedotan hanyalah sebuah produk plastik
kecil yang mungkin menurut kalian tidak berarti. Tapi dengan data yang telah
dipaparkan sebelumnya mengenai sampah sedotan plastik jika tidak ditangani
secara serius, maka pencemaran sampah plastik terutama sedotan ini akan sangat
berbahaya bagi keberlanjutan planet bumi. Kita sebagai manusia seharusnya
menjaga alam tempat tinggal kita, banyak hal yang dapat dilakukan dalam menjaga
alam salah satunya dengan mengganti sedotan plastik dengan sedotan ramah
lingkungan sebagai upaya pengurangan sampah plastik. Jika kita masih tidak
peduli dengan keadaan alam sekitar, akan jadi apa tempat tinggal kita dimasa yang
akan datang? Jangan biarkan anak cucu kita hidup berdampingan dengan sampah
yang ditabung oleh kita.