Anda di halaman 1dari 28

Lapkas

ATRESIA ANI
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:
Miskah Chairani (1607101030167)

Dokter Pembimbing:
dr. Muntadhar, Sp.B, Sp.BA

BAGIAN/SMF BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


SYIAH KUALA RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T. yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi dan berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas lapkas ini. Shalawat beriring salam penulis
sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW, atas semangat perjuangan dan
panutan bagi umatnya.
Adapun tugas lapkas ini berjudul “Atresia Ani”. Diajukan Sebagai Salah
Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian /SMF
Bedah Fakultas Kedokteran Unsyiah RSUD dr. Zainoel Abidin – BandaAceh.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Muntadhar, Sp.B, Sp.BA
yang telah meluangkan waktu untuk memberi arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan
penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran
dan bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, Juli 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BABA I PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................. 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 12
Anatomi........................................................................................................ 12
Fisiologi........................................................................................................ 14
Definisi......................................................................................................... 14
Epidimiologi................................................................................................. 15
Etiologi dan Fraktor Predisposisi................................................................. 15
Klasifikasi..................................................................................................... 15
Patogenesis................................................................................................... 16
Diagnosis...................................................................................................... 18
Pemeriksaan Penunjang................................................................................ 19
Tatalaksanan................................................................................................. 22

BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 31

BAB I

3
PENDAHULUAN

Atresia ani atau anus imperforate, atau sering disebut juga malformasi
anorektal adalah suatu kelainan kongenital yang menunjukkan keadaan tanpa anus
atau dengan anus yang tidak sempurna.1 Atresia ani merupakan kelainan
kongenital yang sering dijumpai pada kasus bedah anak.2

Etiologi atresia ani belum dikatahui secara pasti. Beberapa ahli


berpendapat bahwa kelainan ini sebagai akibat dari abnormalitas perkembangan
embriologi anus, rektum, dan traktus urogenital, dimana septum tidak membagi
membran kloaka secara sempurna.1 Atresia ani terjadi pada 1 dari 4000-5000
kelahiran baru, frekuensi laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. 2
Fistula rektouretra merukapan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi
laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan jenis
atresia ani yang paling banyak ditemukan adalah atresia ani yang disertai fistula
rektovestibular dan fistula perineal.3

Biasanya anak dengan atresia ani disertai dengan sindrom VACTERL,


yaitu kumpulan kelainan/kecacatan bagian tubuh yang terdiri dari ( Vertebrae,
Anal, Cardial, Esofageal, Renal, dan Limb).4 Klasifikasi atresia ani yang sekarang
digunakan adalah berdasarkan klasifikasi Pena, yaitu jenis kelamin, keperluan
dilakukannya kolostomi atau tidak, serta letak lesinya yaitu letak tinggi dan letak
rendah. Klasifikasi tersebut paling banyak dipakai saat ini karena mempunyai
dasar terapeutik dan prognosis.5

Penatalaksanaan atresia ani tergantung dari klasifikasinya. Pada atresia ani


letak tinggi dilakukan kolostomi terlebih dahulu yang bertujuan untuk dekompresi
dan diversi, pada tahap berikutnya dilakukan operasi definitif. Sedangkan pada
atresia ani letak rendah dapat langsung dilakukan anoplasti tanpa kolostomi.2

4
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 ANAMNESIS

2.1.1 Identitas Pasien

Nama : BY.Sakdiah

No. RM : 1.17.53.46

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 0 tahun 2 hari (18 Juni 2018)

Alamat : Labuhan Haji, Aceh Selatan

Pekerjaan : Belum/Tidak Bekerja

Agama : Islam

Tanggal Masuk RS : 20 Juni 2018

2.1.2 Keluhan Utama

Lahir tanpa anus

2.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Daerah Tapak Tuan dengan

keluhan tidak memiliki anus sejak lahir. Pasien juga mengalami muntah berwarna

hijau sejak 1 hari SMRS. Pasien merupakan anak pertama, lahir dibantu oleh

bidan secara pervaginam dengan berat badan lahir 2600 gram , ibu dengan riwayat

ANC (+).

2.1.4 Riwayat Kehamilan, Kelahiran, dan Tumbuh kembang

Pasien merupakan anak pertama lahir cukup masa kehamilan 35-36


minggu secara pervaginam dibantu oleh bidan dengan berat badan lahir 2600gr.
Ibu pasien dengan riwayat ANC (+).

5
2.1.5 Riwayat penyakit keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang sedang mengalami atau pernah mengalami

penyakit yang serupa dengan pasien.

2.2 PEMERIKSAAN FISIK

2.2.1 Keadaan Umum : Sakit sedang, BB = 2600 gr, PB = 48 cm

2.2.2 Kesadaran : Compos Mentis

2.2.3 Vital sign : - Respiratory Rate : 35 x / menit

- Suhu : 36,5ºC (Axilla)

- Heart Rate : 120 x / menit

2.2.4 Status generalisata

1. Kepala

Normochepali, rambut hitam terdistribusi merata, sukar dicabut.

2. Mata

Dalam batas normal.

3. Hidung

Bentuk normal, deviasi septum (-), krepitasi (-), rinorrhea (-), pernafasan

cuping hidung (-), konka hipertropi (-), perdarahan (-).

4. Mulut

Sianosis (-), stomatitis (-).

5. Telinga

Bentuk normal, nyeri tekan tragus (-/-), sekret (-/-), perdarahan (-/-).

6. Leher

Pembesaran KGB dan tiroid (-/-), kaku kuduk (-), TVJ R-2 cm H2O.

6
7. Thoraks

Paru-paru

Inspeksi : Simetris, jejas (-)

Auskultasi : Vesikuler (N/N), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra

Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

8. Abdomen

Inspeksi : Simetris, distensi (+)

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), organomegali (-)

Perkusi : Timpani

9. Genetalia dan Anus

Anal (-), anal dimple (+), bucket handle (-), fistula (-)

10. Ekstremitas

Superior Inferior
Akral dingin - /- - /-
Edema - /- -/-
Sianosis - /- - /-

2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hasil Laboratorium

HEMATOLOGI
Pemeriksaan Hasil Hasil Nilai Rujukan Satuan
(20/6/2018) (21/6/2018)
Hb 14,6 12,5 12,7 – 18,7 g/dL
Ht 39* 34* 53 – 63 %
Eritrosit 3,9* 3,3* 4,4 – 5,8 106/mm3
Leukosit 11,5 5,6 5,0 – 21,0 103/mm3

7
Trombosit 267 229 150 – 450 fL
MCV 101 101 80 – 100 Pg
MCH 38* 38* 27 – 31 %
MCHC 37 37 32 – 36 %
RDW 18,2* 17,6* 11,5 – 14,5 fL
PDW 9,2 9,1
MPV 8,9 9,7 7,2 – 11,1 fL
Hitung jenis:
Eosinofil 2 1 0–6 %
Basofil 0 1 0–2 %
Netrofil batang 0* 0* 2–6 %
Netrofil segmen 66 65 50 – 70 %
Limfosit 17* 19* 20 – 40 %
Monosit 15* 14* 2–8 %

KIMIA KLINIK
Hati & Empedu
Pemeriksaan Hasil (20/6/2018) Nilai Rujukan Satuan
Albumin 3,64 3,5 – 5,2 g/dL

Diabetes
Pemeriksaan Hasil (20/6/2018) Nilai Rujukan Satuan
GDS 88 < 200 mg/dL

Ginjal – Hipertensi
Pemeriksaan Hasil (20/6/2018) Nilai Rujukan Satuan

Ureum 25 13 – 43 mg/dL
Kreatinin 0.96 0,51 – 0,95 mg/dL

Elektrolit – Serum
Pemeriksaan Hasil (20/6/2018) Nilai Rujukan Satuan

Na 141 132 – 146 mmol/L


K 3,6 3,6 – 6,1 mmol/L
Cl 109 95 – 116 mmol/L

2. Pemeriksaan Radiologi

8
Pemeriksaan Babygram (20 Juni 2018)

Kesimpulan : Ditemukan dilatasi usus dan distribusi udara di usus yang tidak

sampai ke bagian distal.

Pemeriksaan Knee chest position (20 Juni 2018)

Kesimpulan : Jarak antara gambaran udara di distal colon ke arah marker >1cm.

9
2.4 RESUME

Telah diperiksa seorang pasien bayi laki-laki, usia 2 hari. Pasien


merupakan rujukan dari Rumah Sakit Daerah Tapak Tuan dengan keluhan tidak
memiliki anus sejak lahir. Pasien juga mengalami muntah berwarna hijau sejak 1
hari SMRS. Pasien merupakan anak pertama, lahir dibantu oleh bidan secara
pervaginam dengan berat badan lahir 2600 gram , ibu dengan riwayat ANC (+).
Pada pemeriksaan fisik khususnya pada abdomen dari inspeksi didapatkan
adanya perut distensi, bising usus normal. Pada pemeriksaan Genetalia dan Anus
tidak ditemukan adanya anus , tampak lekukan anus, dan tidak ditemukan adanya
fistel. Pada kasus tersebut dapat didiagnosis dengan atresia ani tanpa fistel.
Pemeriksaan laboratorium tidak didapatkan kelainan. Pada hasil
pemeriksaan penunjang foto babygram yang dilakukan pada pasien tampak
adanya dilatasi usus dan gambaran udara pada colon yang tidak sampai ke distal,
dan pada pemeriksaan foto knee chest position didapatkan jarak antara gambaran
udara di distal colon ke arah marker >1cm.

2.5 Follow Up

10
Tanggal S O A P
13/6/2018 BAB berlendir Ku : sedang Invaginasi -IVFD RL 750 cc/24 jam
dan darah HR : 120 x/i -Inj. Ceftriaxone 250 mg/12
RR : 48 x/i jam
T : 38,8 C -Inj. Novalgin 70 mg/8 jam

S/L ar abdomen p/ pro laparatomi eksploriasi


I : distensi (+) + pemasangan stoma
A : bunyi usus (+)
P : timpani
P : Banana Sign (+)
Dance sign (+)

14/5/2018 Lemas dan Ku : sedang Invaginasi -observasi tanda-tanda akut


rewel HR : 110 x/i Ileocolica post abdomen
RR : 28 x/i laparatomi + -diet clear water ad libitum
T : 36,5 C wilkey prosedure -Inj. Cefotaxime 300 mg/12
POD : 1 + riseksi kolon jam
transversum + -Drip. Metronidazole 55
S/L ar abdomen ileostomy dobble mg/8 jam
I : distensi (-), barel -Inj. Novalgin 100 mg/8
simetris, luka operasi jam
kesan kering,
produksi (+)
A : bunyi usus (+)
P : timpani
P : soepell (+)

15/6/2018 Lemas dan Ku : sedang Invaginasi -observasi tanda-tanda akut


rewel HR : 112 x/i Ileocolica post abdomen
RR : 30 x/i laparatomi + -diet clear water ad libitum
T : 36,5 C wilkey prosedure -Inj. Cefotaxime 300 mg/12
POD : 2 + riseksi kolon jam
transversum + -Drip. Metronidazole 55
S/L ar abdomen ileostomy dobble mg/8 jam
I : distensi (-), barel -Inj. Novalgin 100 mg/8
simetris, luka operasi jam
kesan kering,
produksi (+)
A : bunyi usus (+)
P : timpani
P : soepell (+)

16/6/2018 Lemas dan Ku : sedang Invaginasi -observasi tanda-tanda akut


rewel HR : 110 x/i Ileocolica post abdomen
berkurang RR : 28 x/i laparatomi + -diet ASI ad libitum
T : 36,5 C wilkey prosedure -Inj. Cefotaxime 300 mg/12
POD : 3 + riseksi kolon jam
transversum + -Drip. Metronidazole 55
S/L ar abdomen ileostomy dobble mg/8 jam
I : distensi (-), barel -Inj. Novalgin 100 mg/8 jam
simetris, luka operasi
kesan kering, p/ aff OGT + cateter
produksi (+) edukasi perawatan luka
A : bunyi usus (+)
P : timpani
P : soepell (+)

11
17/6/2018 lemas Ku : sedang Invaginasi -observasi tanda-tanda akut
perbaikan HR : 116 x/i Ileocolica post abdomen
RR : 27 x/i laparatomi + -diet ASI ad libitum
T : 36,5 C wilkey prosedure -Inj. Cefotaxime 300 mg/12
POD : 4 + riseksi kolon jam
transversum + -Drip. Metronidazole 55
S/L ar abdomen ileostomy dobble mg/8 jam
I : distensi (-), barel -Inj. Novalgin 100 mg/8 jam
simetris, luka operasi
kesan kering, p/ PBJ
produksi (+)
A : bunyi usus (+)
P : timpani
P : soepell (+)

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi
Usus halus merupakan tabung kompleks, berlipat-lipat yang membentang
sepanjang pylorus sampai katup ileosekal. Panjang usus halus sekitar 12 kaki.
Usus halus terbagi 3 bagian :5,6
a. Duodenum
Bentuknya melengkung menyerupai kuku kuda. Panjang sekitar 25 cm,
dimulai dari pylorus sampai jejunum. Dinding duodenum mempunyai
lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar brunner untuk
memprodukdi getah intestinum.
b. Jejunum
Panjannya sekitar 2-3 m dan berkelok-kelok, terletak disebelah kiri atas
intestinum minor. Dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk
kipas (mesentrium) memungkinkan keluar masuknya arteri dan vena
mesenterika superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara lapisan
peritoneum.
c. Ileum
Ujung batas antara ileum dan jejunum tidak begitu jelas, panjangnya
berkisara 4-5 m. Usus ini terletak disebelah kanan bawah berhubungan
dengan sekum melalui perantara lubang orifisium ileosekalis yang
diperkuat dengan sfingter dan katup valvula ceicalis (valvula bauchini)
yang berfungsi mencegah cairan dalam kolon agar tidak masuk lagi ke
dalam ileum.

13
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar
5 kaki (± 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani, dengan diameter
sekitar 2,5 inci (± 6,5 cm). Lapisan usus besar dari dalam ke luar adalah selaput
lendir, lapisan otot memanjang, dan jaringan ikat. Serabut otot longitudinal dalam
muskulus ekstran membentuk tiga pita, taenia coli yang menarik kolon menjadi
kantong-kantong besar yang disebut dengan haustra. Usus besar terdiri dari5 :
a. Sekum
Kantong tertutup yang menggantung di bawah area katup ileosekal
apendiks. Apendiks vermiformis, yaitu suatu tabung sempit yang berisi
jaringan limfosit, menonjol dari ujung sekum.
b. Kolon
Merupakan bagian usus besar dari sekum sampai rectum. Terbagi 3 divisi:
i. Kolon Ascendens
ii. Kolon Transversum
iii. Kolon Descendens
c. Rectum
Merukana bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12-13
cm. Rectum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus.

3.2 Fisiologi

14
Usus halus memiliki dua fungsi utama yaitu pencernaan dan penyerapan
bahan-bahan nutrisi, air, elektrolit, dan mineral. Isi usus digerakkan oleh
peristaltik yang terdiri atas dua jenis gerakan, yaitu segmental dan peristaltik yang
diatur oleh saraf autonom dan hormon. Pergerakan segmental usus halus
mencampur zat-zat dimakan dengan sekret pancreas, hepatobilier, sekresi usus,
dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainnya
dengan kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal. Absorbsi adalah
pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein (gula
sederhana, asam-asam lemak, dan asam-asam amino) melalui dinding usus ke
sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel di jaringan seluruh tubuh.5
Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan
proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah mengabsorbsi
air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon
sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah
dehidrasi sampai defekasi berlangsung.5,6

3.3 Definisi
Invaginasi (intussusception) adalah suatu keadaan masuknya suatu segmen
usus bagian proksimal (intussusceptum) ke segmen bagian distalnya
(intususcipiens) yang umumnya akan berakhir dengan obstruksi usus
strangulasi.7,8,9

3.4 Epidimiologi

15
Invaginasi atau intususepsi merupakan penyebab obstruksi usus yang
sering terjadi pada anak-anak. Invaginasi dapat terjadi pada setiap umur. Insidens
terbesar terjadi pada penderita usia 5 hingga 9 bulan, namun sebagian literatur
menyebutkan usia 3 hingga 6 bulan. Lebih dari separuh dari seluruh kasus terjadi
pada usia dibawah 1 tahun dan hanya 10-25% terjadi pada usia lebih dari 2 tahun.
Mayoritas dari pasien dengan invaginasi adalah bayi yang sehat, pria lebih sering
daripada wanita dengan perbandingan 2:1.9

3.5 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Invaginasi (intususepsi) dapat terjadi karena adanya sesuatu di usus yang


menyebabkan peristaltik yang berlebiha, biasanya terjadi pada anak-anak tetapi
tidak menutup kemungkinan dapat pula terjadi pada semua usia. Pada anak-anak
hampir 95% penyebabnya adalah tidak diketahui atau idiopatik, hanya 5% yang
mempunyai kelaianan pada ususnya sebagai penyebab. Misalnya Diverticulum
Meckell, Polyp, serta Hemangioma.5,6

3.6 Klasifikasi

Invaginasi dibedakan menjadi 4 tipe, yaitu sebagai berikut :6


a. Enterik (6,7%) : usus halus ke usus halus

16
b. Ileosekal (39%) : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps
ke sekum dan menarik ileum dibelakangnya. Valvula tersebut merupakan
apex dari intususepsi.
c. Kolokolika (4,7%) : kolon ke kolon
d. Ileokolika (31,5%) : ileum prolaps melalui valvula ileosekal ke kolon

3.7 Patogenesis
Lebih dari 80% kasus invaginasi berupa ileokolika. Meskipun jarang,
Invaginasi bisa juga terjadi secara ileoileal, sekokolika, kolokolika, dan
yeyunoyeyunal.9,10

Invaginasi terjadi ketika suatu segmen usus berikut mesenterium masuk ke


dalam lumen usus bagian distalnya oleh suatu kausa. 90% kausa tersebut masih
belum diketahui secara pasti, tetapi diduga oleh penebalan dinding usus,
khususnya ileum.8,11 Pada hampir setiap pemeriksaan usus saat operasi, ditemukan
hipertropi jaringan limfoid pada dinding ileal intususeptum. Invaginasi seringkali
terjadi pada saat penderita mengalami infeksi pernapasan atau suatu episode
gastroenteritis yang kemudian menyebabkan hipertropi plak Peyer, menginisiasi
terjadinya invaginasi. Adenovirus dan rotavirus diketahui berimplikasi pada 50%
kasus.9

Dugaan kedua dari kausa invaginasi adalah adanya ketidakseimbangan


dari gerakan longitudinal dinding perut. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya
massa usus atau memang terdapat disorganisasi pola peristaltis (misal, ileus pada
kondisi pascaoperasi). Akibatnya, sebagian dinding usus dapat mengalami
invaginasi ke dalam lumen berikut dengan bagian usus disekitarnya. Jika proses
ini terus berlanjut, maka usus bagian proksimal (intususeptum) akan terus
mengalami invaginasi ke dalam intususipiens.11,12

Penyebab lain yang dapat dijumpai adalah adanya kelainan anatomis,


seperti divertikulum Meckel, polip, perdarahan submukosa pada penyakit
Henoch-Schonlein purpura, limfoma non-Hodgkin, pankreas atau mukosa gaster
yang ektopik, neoplasma seperti leiomioma dan leiomiosarkoma.8,9

Mesenterium dari intususeptum yang tertarik ke bagian distal usus dan


terjepit pada awalnya akan menganggu aliran balik pembuluh limfe dan

17
menimbulkan edema. Hal ini meninggikan tekanan pada dinding intususeptum
hingga kemudian aliran vena ikut terganggu dan usus akan semakin edema. Jika
hal ini terus berlanjut, maka pembuluh arteri akan terjepit hingga terjadi
insufisiensi arteri dan selanjutnya nekrosis dinding usus. Mukosa sangat rentan
mengalami iskemia karena lokasinya berada paling jauh dari suplai arteri.
Mukosa yang iskemik kemudian akan luruh dan bercampur dengan darah segar
dan mukus, memberikan gambaran currant jelly stool.11,12 Proses ini dinamakan
proses strangulasi, tersirat oleh adanya perdarahan per rektal dan rasa sakit.
Serangan rasa sakit mula-mula hilang-timbul kemudian menetap dan sering
disertai serangan muntah. Jika strangulasi tidak dapat diatasi, selanjutnya dapat
terjadi gangren dan perforasi.

Selain proses strangulasi, pada invaginasi didapatkan juga proses obstruksi


yang sudah dimulai sejak invaginasi terjadi, tetapi penampilan klinik obstruksi
memerlukan waktu. Umumnya setelah 10-12 jam hingga menjelang 24 jam gejala
dan tanda-tanda obstruksi seperti perut kembung dan muntah hijau atau fekal baru
terjadi.8

Infeksi virus adeno


Pembengkakan bercak jaringan limfoid
Peristaltik usus meningkat
Usus berinvaginasi ke dalam usus dibawahnya
Edema dan perdarahan perifer peregangan usus
Sumbatan/obstruksi usus pemajanan reseptor nyeri
Akumulasi gas dan cairan di dalam lumen
Sebelah proksimal dari letak obstruksi nyeri
Distensi
Muntah
Kehilangan cairan dan elektrolit
Volume ecf menurun
Syok hipovolemik

Gambar 1. Pathway Invaginasi

3.8 Diagnosis

18
Manifestasi klinik dan temuan klinis sangat bergantung pada berapa lama
invaginasi telah berlangsung. Umumnya bayi dalam keadaan sehat, gizi baik.
Mungkin beberapa hari sebelumnya terdapat peradangan saluran nafas bagian atas
atau diare.

Awalnya, bayi dapat tiba-tiba menangis karena merasa sakit pada perut,
menarik kaki ke perut, dan muntah berisi makanan atau minuman yang masuk.
Beberapa menit kemudian jika serangan telah berlalu, bayi akan tampak normal,
bermain-main atau tertidur kembali. Hal ini seringkali disalahartikan oleh dokter
umum sebagai gastroenteritis, hingga kemudian timbul gejala lebih lanjut.
Beberapa jam kemudian, serangan akan timbul semakin sering dan bayi menjadi
letargik. Bayi defekasi berupa feses disertai darah segar dan lendir, selanjutnya
hanya darah dan lendir (currant-jelly stools). Muntah yang pada awalnya berisi
makanan yang belum dicerna, berlanjut menjadi muntah hijau (bilious emesis) jika
obstruksi telah lanjut.10,11

Pada pemeriksaan fisik, sementara gejala dan tanda-tanda obstruksi belum


tampak, pada pemeriksaan abdomen mungkin teraba massa di perut kanan atau
kiri atas sementara perabaan pada abdomen bawah terus kosong (Dance’s sign).8,13
Pada pemeriksaan colok dubur terdapat darah segar serta lendir dan mungkin
masih terdapat feses pada sarung tangan.

Menjelang 24 jam sesudah invaginasi terjadi, dapat ditemukan tanda-tanda


obstruksi usus, seperti abdomen yang kembung dan terlihat kontur dan peristalsis
usus. Muntah sudah berwarna hijau atau bahkan berupa fekal. Massa
intraabdomen sulit teraba lagi. Pada pemeriksaan colok dubur dapat ditemukan
ampula yang kolaps dan pada sarung tangan hanya terdapat darah dan lendir.
Penderita sudah terdapat tanda-tanda dehidrasi yang berakibat takikardi dan
mungkin juga kenaikan suhu tubuh sehingga terkadang gambaran pertama pada
pasien demikian adalah seperti syok septik atau hipovolemik. 7,8 Demam beserta
leukositosis mengindikasikan adanya gangren dan infark usus3 yang dapat
menyebabkan sepsis enterik.14

Pada suatu kondisi yang jarang, ujung invaginasi dapat juga teraba saat
pemeriksaan colok dubur. Ujung invaginasi tersebut teraba seperti perabaan pada

19
portio, yang disebut sebagai pseudoporsio.8 Kadang, ujung invaginasi tersebut
dapat mengalami prolaps hingga ke dalam anus. Hal ini merupakan keadaan
gawat, khususnya jika warna dari intususeptum adalah biru-kehitaman. Prolaps
ileum ke dalam rektum atau anus megindikasikan adanya suplai darah yang sangat
kompromais serta kerusakan usus yang parah. Pada pasien yang demikian tanda-
tanda sistemik pasti sudah terjadi. Sayangnya, prolaps invaginasi ke anus ini dapat
dikira sebagai prolaps rektum biasa. Untuk membedakannya, spaltel tongue yang
sudah dilubrikasi dimasukkan ke dalam anus menyusuri bagian tepi antara massa
prolaps dan rektum. Jika ujung dari spaltel tongue dapat dimasukkan lebih dari
satu atau dua sentimeter, diartikan sebagai invaginasi. Selain itu, prolaps rektum
tidak disertai muntah ataupun tanda-tanda sepsis.9

3.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dapat menunjang diagnosis invaginasi.
Leukositosis dapat merupakan indikasi gangren pada proses lanjut. Pemeriksaan
elektrolit diperlukan untuk melihat ketidakseimbangan elektrolit pada kondisi
dehidrasi.10,12,15

2. Foto Polos Abdomen


Pada lebih dari separuh kasus, diagnosis invaginasi dapat ditunjang
melalui foto polos abdomen. Meskipun demikian, foto polos abdomen ini hanya
dapat menunjukkan adanya obstruksi usus (adanya massa abdominalis, distribusi
udara dan feses yang abnormal, udara di dalam usus yang melebar, gambaran
Herring bone, dan air-fluid level) atau perforasi (gambaran udara bebas). 9,10,11,12

3. Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG dapat ditemukan gambaran karakteristik
invaginasi berupa lesi target dan gambaran pseudokidney. Lesi target terlihat pada
potongan transversal, terdiri atas dua cincin hipoekoik di antara sebuah cincin
hiperekoik. Gambaran pseudokidney terlihat pada potongan longitudinal dan
terlihat sebagai lapisan-lapisan hipoekoik dan hiperekoik yang saling tumpang-
tindih, menandakan adanya edema pada dinding usus. Pemeriksaan USG ini
cukup akurat, sayangnya sangat bergantung pada operator sehingga gambaran

20
yang diberikan tergantung dari kemampuan operator melakukan pemeriksaan
USG. Pemeriksaan USG juga tidak memerlukan kontras enema serta tidak ada
paparan radiasi.9

Gambar 2. (a) posisi supinasi memperlihatkan gambaran gas usus


nonobstruktif. (b) posisi dekubitus memperlihatkan kolon ascendens lebih
jelas mengalami intususepsi caekal.

Gambar 3. (a) gambaran radiologi target sign. (b) pseudokidney sign pada
USG

4. Computed Tomography

21
Invaginasi pada pemeriksaan CT scan tampak sebagai massa intraluminal
dengan lapisan yang karakteristik. Mesipun demikian, pemeriksaan CT scan
ini memiliki risiko terkait dengan pemberian kontras, paparan radiasi, dan
sedasi. 9,12

Gambar 4. CT scan menunjukkan target sign

5. Pemeriksaan dengan kontras enema ( kontras berupa Barium atau Udara)


Pemeriksaan radiologik dengan kontras dapat digunakan untuk diagnostik
sekaligus terapi pada pasien yang stabil. Untuk tujuan diagnostik hanya
dikerjakan jika terdapat keraguan diagnosa. Pada foto terlihat gambaran
cupping dan coil spring.8 Pemeriksaan maupun terapi dengan enema
merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gejala perforasi atau
peritonitis.14

Gambar 5. Kontras enema udara menunjukkan adanya intususepsi/invaginas


3.10 Tatalaksana

22
Prinsip tatalaksana: tindakan perbaikan keadaan umum mutlak perlu
dikerjakan sebelum melakukan tindakan apapun.
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi dan mencegah aspirasi
2. Rehidrasi melalui cairan intravena. Perlu diperhatikan
bahwa kadang-kadang tanda dehidrasi tidak begitu jelas tampak pada bayi
dengan gizi baik dan gemuk. Jika akan dilakukan tindakan operatif,
sebaiknya bayi sudah terehidrasi dalam empat atau enam jam, ditandai
dengan keluaran urin 1-2 cc/kgBB/jam.
3. Pemasangan kateter urin untuk memonitor produksi urin
ditandai dengan keluaran urin normal anak 1-2 cc/kg/bb/jam.
4. Pemberian antibiotik ”broad spectrum” sebagai profilaksis
terjadinya infeksi nosokomial
5. Obat-obat penenang untuk penahan sakit, misal
phenobarbital dan valium.
6. Lakukan pemeriksaan darah perifer lengkap dan
elektrolit.10,11

Setelah keadaan umum baik, dilakukan tindakan pembedahan, bila jelas


terdapat tanda-tanda obstruksi usus. Indikasi dilakukannya tindakan reduksi
operatif adalah:

Tanda awal dari peritonitis atau perforasi

Terjadi perforasi saat dilakukan reduksi radiologis

Kegagalan dari reduksi radiologis

Tiga kali mengalami gejala klinis yang sama seperti intususepsi.11

Tindakan Non-Operatif
1. Reposisi Dengan Enema Barium (Reduksi Hidrostatik)
Reposisi dengan enema Barium dikerjakan dengan tekanan hidrostatik
untuk mendorong bagian usus yang masuk (intususeptum) ke arah proksimal.
Tindakan ini dikerjakan jika belum terdapat tanda-tanda obstruksi usus yang jelas
seperti buncit abdomen dan muntah hijau atau fekal. Peritonitis merupakan
kontraindikasi melakukan reposisi dengan enema Barium.8

23
Reposisi dengan enema barium dilakukan dengan cara memasukkan
kontras melalui kateter Foley yang sudah dilubrikasi dan dimasukkan ke dalam
rektum. Agar tidak mengalir lagi keluar, barium ditahan dengan cara merapatkan
kedua bokong, tidak dengan balon kateter. Materi kontras mengalir ke rektum dari
ketinggian tiga kaki (100 cm) dari bokong. Pengisian kontras ke dalam usus
diawasi secara fluroskopik. Tekanan hidrostatik yang konstan dilanjutkan hingga
terjadi reduksi, yang ditandai dengan terdorongnya invaginasi secara retrograd
melewati valvula ileosekal dan kontras mengalir bebas mengisi ileum terminalis.
Jika reposisi dengan enema barium mengalami kegagalan, dapat diulangi lagi
hingga dua-tiga kali.9

Reposisi dengan enema barium memiliki beberapa keuntungan


dibandingkan dengan tindakan bedah antara lain mengurangi morbiditas, biaya,
dan lama perawatan di rumah sakit. Prosedur dengan enema barium ini
merupakan metode standar hingga pertengahan 1980-an, hingga ditemukannya
kontras isotonik larut air untuk reduksi hidrostatik. Risiko perforasi dan

ekstravasasi barium dilaporkan sebesar 0,5-2,4 % kasus, terutama terjadi pada


pasien usia di bawah 6 bulan, invaginasi terjadi lebih 72 jam, dan telah terjadi
obstruksi total.15

2. Reposisi Dengan Udara (Reduksi Pneumatik)


Reposisi dengan enema udara mulai dikenal pada tahun 1980 dilaporkan
memiliki angka keberhasilan lebih tinggi. Prosedur dilakukan dengan cara udara
ditiupkan ke dalam rektum seraya dimonitor secara fluroskopik. Tekanan udara

24
maksimum yang diberikan adalah 110-120 mmHg. Prosedur ini dipercaya lebih
cepat, lebih aman, dan menurunkan lamanya paparan radiasi. Risiko dilakukannya
reposisi dengan enema udara adalah tension pneumoperitonium, lapang pandang
invaginasi dan proses reduksi kurang baik, dan reduksi false-positif.

Baik reduksi hidrostatik maupun reduksi pneumatik tetap dilanjutkan


sepanjang ditemukan perbaikan pada pasien, meskipun terjadi kegagalan refluks
kontras ke dalam ileum terminalis. Prosedur kedua dapat dilakukan beberapa jam
sesudah yang pertama jika pasien tidak menunjukkan tanda abdomen akut dan
gejala-gejala berkurang.

Setelah tindakan reposisi dengan kontras berhasil, pasien diobservasi


selama beberapa jam dan tidak boleh makan lewat mulut, melainkan melalui
cairan intravena. Orang tua juga perlu diberitahu mengenai kemungkinan
terjadinya rekurensi.9 Angka rekurensi dilaporkan sebesar 10-21% dan paling
sering terjadi dalam 72 jam pertama.12

Tindakan Operatif
Tindakan bedah berupa laparotomi dilakukan pada pasien dengan gejala
syok atau peritonitis, kegagalan tindakan reduksi hidrostatik atau pneumatik, 3 atau
pasien dengan gejala-gejala obstruksi yang jelas.8 Persiapan preoperatif antara
lain adalah dekompresi dengan NGT, resusitasi intravena, dan pemberian
antibiotik profilaksis. Insisi transversal dilakukan pada kuadaran kanan bawah.
Reduksi secara manual dilakukan dengan lembut, yaitu secara milking
menggunakan jari-jari tangan ke arah proksimal. Seringkali suplai darah ke
apendiks berkurang, sehingga dilakukan apendiktomi setelah proses reduksi
berhasil. Meskipun proses reduksi berhasil, adakalanya viabilitas usus masih
meragukan. Hal ini bisa dikurangi dengan cara pengaplikasian normal saline
hangat sehingga meningkatkan sirkulasi dan mengurangi keraguan apakah perlu
dilakukan reseksi.9

Jika usus sudah mengalami gangren dan mengalami gangguan vaskuler


yang parah, atau invaginasi tidak dapat direduksi secara komplit, dilakukan
reseksi dengan anostomosis primer end-to-end atau pembuatan stoma double-
barrel sementara12. Pilihan bergantung dari status hemodinamik pasien, ekstensi

25
usus, dan preferensi dokter bedah. Jika dilakukan enterostomi, stoma ditutup saat
kondisi pasien membaik (10-94 hari). Komplikasi pascaoperasi antaralain demam,
prolonged ileus, infeksi luka, dan abses intra-abdomen (pada kasus perforasi
kolon). Insiden rekurensi invaginasi setelah pembedahan sangat rendah, antara 0-
3%.15

Baru-baru ini mulai dikembangkan teknik laparoskopi sebagai tatalaksana


invaginasi dengan menggunakan laparoskop 5 mm yang diletakkan melalui
umbilikus dan dua laparoskop tambahan di kuadran kanan dan kiri bawah. Usus
kemudian diinspeksi, dan jika tampak viabel, maka dilakukan milking dengan
menggunakan traksi.13

Diet
Setelah beberapa jam reduksi non-operatif, bayi mulai diberi makanan
sesuai dengan usianya. Jika reduksi dilakukan secara operatif, pemberian makanan
dimulai sama seperti pada pasien pascaoperasi secara umum.16

BAB IV
PEMBAHASAN

26
Pasien An. SH, perempuan, usia 6 bulan, dengan diagnosis invaginasi
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesis, didapatkan riwayat buang air besar berupa darah dan
lendir sejak satu hari yang lalu. Pasien sudah mulai diberi makan pendamping ASI
berupa pisang yang dihaluskan sejak usia pasien 2 bulan. Menurut ibu pasien,
pasien awalnya rewel dan lemas namun pasien masih mau minum ASI. Dari
anamnesis dipikirkan kemungkinan diagnosis non-infeksi berupa invaginasi
dengan diagnosis banding infeksi berupa gastroenteritis, disentri.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah. Pada


pemeriksaan abdomen ditemukan abdomen membuncit, teraba tegang, bising usus
menurun. Pada pemeriksaan fisik palpasi abdomen ditemukan adanya Banana
dan Dance sign (+). Dari pemeriksaan colok dubur ditemukan sfingter ani ketat,
mukosa licin, ampula recti kolaps, serta pada handscoon ditemukan darah (+), dan
lendir (+).

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai Hemoglobin yang rendah


disertai penurunan nilai MCV dan MCHC yang menunjukkan pasien mengalami
anemia hipokrom mikrositer yang dapat disebabkan karena kehilangan darah
melalui BAB. Serta adanya nilai leukosit yang meningkat dapat disebabkan
karena adanya infeksi pada pasien ini, dari hasil pemeriksaan foto polos thorak
ditemukan adanya kesan bronkopneumonia yang dapat menjadi alasan terjadinya
leukositosis pada pasien.

Diagnosis kerja invaginasi ini dapat dipertajam dengan pemeriksaan


penunjang berupa radiologi dan ultrasonografi untuk melihat adanya gambaran
khas invaginasi berupa lesi target. Dari data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang di atas, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pada pasien
ini adalah invaginasi.

Penatalaksanaan pada pasien ini berupa perbaikan keadaan umum


dekompresi, dan pembebasan invaginasi. Perbaikan keadaan umum dilakukan
dengan cara pemberian cairan rehidrasi berupa Ringer Laktat. Setelah itu

27
dilakukan dekompresi dengan cara pemasangan OGT. Kemudian pada pasien ini
dilakukan laparatomi ekploriasi.

Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam didasarkan pada tidak
ditemukannya komplikasi berupa peritonitis atau sepsis yang dapat mengancam
nyawa. Prognosis quo ad fungsionam bonam karena hasil produksi pasien yang
terus membaik. Prognosis quo ad sanactionam adalah bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pena, A. Atlas of surgical management of anorectal malformation. New


York: Spinger-Verlag.1990.p. 1-95.
2. Pena, A., Levit M. 2012. Anorectal malformations. New York: Spinger-
Verlag.p. 310.
3. Moore SW, Sidler D. Anorectal malformation in Africa. SAJS articles.
2005.p. 43.
4. Sjamjuhidayat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.
2004.h.671.
5. Bhatnagar V. 2005. Assessment of postoperative results in malformation
anorectal. J Indian Assoc Pediatr Surg.10:80-5.

28

Anda mungkin juga menyukai