Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

PLASENTA PREVIA DAN HEPATITIS B


PADA KEHAMILAN

Oleh:
Putu Sinta Diahswari Widyadari (1902612129)

Kurnia Dyah Oktavia Putri (1902612152)

I Nyoman Tri Pramartha (1902612196)

Penguji:
dr. Ryan Saktika Mulyana, Sp.OG(K)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi


Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Plasenta Previa dan Hepatitis B
pada Kehamilan “ tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini dibuat sebagai prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Madya (KKM) di KSM/Departemen obstetri dan ginekologi RSUP
Sanglah Denpasar/FK Unud. Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis
memperoleh banyak bimbingan, petunjuk dan dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. T. G. A. Suwardewa, Sp.OG(K), selaku ketua Departemen/KSM
Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.

2. Dr. dr. I Gede Ngurah Harry Wijaya Surya, Sp.OG(K) selaku koordinator
pendidikan Departemen/KSM obstetri dan ginekologi FK Unud/RSUP
Sanglah Denpasar Bali.
3. dr. Ryan Saktika Mulyana, Sp.OG(K) selaku penguji dalam pembuatan
laporan ini.
4. Semua pihak yang telah membantu pembuatan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih terdapat
kekurangan, diharapkan adanya saran demi penyempurnaan karya ini. Semoga
dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi dunia kedokteran dan manfaat bagi
masyarakat. Terima kasih.

Denpasar, 22 Juni 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah


rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum. 1,3
Plasenta previa merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang
mana perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam yang terjadi pada
kehamilan diatas 28 minggu.2 Berdasarkan Survey Demografi Kesehatan
Indonesia tahun 2012 sebanyak 40-60% penyebab kematian ibu adalah
perdarahan dan 3-4% diantaranya adalah perdarahan antepartum. Perdarahan
antepartum juga merupakan penyabab peningkatan angka kejadian kesakitan dan
kematian ibu dan janin. Penyebab kematian ibu yang paling umum di Indonesia
adalah penyebab obsetri langsung yaitu perdarahan 28%, preeklamsia/eklampsia
24%, infeksi 11%, sedangkan penyebab tidak langsung adalah trauma obsetri
5% dan lain-lain 11%.5 Kasus perdarahan sebagai penyebab utama kematian ibu
dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan dan masa nifas. Salah satu
penyebab perdarahan tersebut adalah plasenta previa. Beberapa rumah sakit
umum pemerintah angka kejadian plasenta previa berkisar 1,7% sampai 2,9%,
sedangkan di negara maju kejadiannya lebih rendah yaitu <1%.5
Belum diketahui secara pasti penyebab plasenta previa namun kerusakan
dari endometrium pada persalinan sebelumnya dan gangguan vaskularisasi
desidua dianggap sebagai mekanisme yang menjadi faktor penyebab plasenta
previa.3 Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya plasenta
previa yaitu ibu hamil yang umurnya telah mencapai lebih dari 35 tahun dan ibu
hamil yang umurnya kurang dari 20 tahun. Paritas adalah istilah yang digunakan
untuk menunjukkan keadaan seseorang wanita yang pernah melahirkan
keturunan baik yang mampu hidup atau tidak.6 Banyaknya paritas meningkatkan
terjadinya faktor risiko plasenta previa, riwayat seksio sesarea dapat
meningkatkan terjadinya plasenta previa dikarenakan adanya perlukaan uterus
disegmen bawah Rahim, dan riwayat kuretase. Kuretase merupakan salah satu
faktor risiko untuk kejadian plasenta previa ibu dengan riwayat kuretase
memiliki peluang 3,4 kali untuk kejadian plasenta previa pada kehamilan
berikutnya dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat kuretase. 4
Plasenta previa dapat menimbulkan komplikasi antara lain prolaps plasenta,
plasenta melekat sehingga harus dikeluarkan secara manual dan dibersihkan
dengan kerokan, peningkatan risiko kelahiran premature dan kematian janin
mendadak, pada ibu dapat menyebabkan maternal syok sampai kematian pada
ibu akibat perdarahan.3,4
Masalah lain yang dapat timbul pada kehamilan selain plasenta previa
adalah dapat terkena virus Hepatitis B pada saat kehamilan. Hepatitis B adalah
infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B
(VHB).Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula menyebabkan
radang hati, gagal hati, serosis hati, kanker hati, dan kematian.5 Virus Hepatitis B
telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, dan sekitar 250 juta orang
diantaranya menjadi pengidap Hepatitis B kronis. Sekitar 15-40% dari pasien
yang terinfeksi kronis akan menjadi sirosis, menuju gagal hati dan atau kanker
hati. Setiap tahun, ada lebih dari 4 juta kasus klinis akut Hepatitis B virus. Dan
diperkirakan 1 juta orang meninggal setiap tahun karena infeksi kronis Hepatitis
B dan komplikasinya.7
Hampir semua jenis virus hepatitis dapat menyerang manusia. Ibu hamil
yang terserang virus ini dapat menularkannya pada bayi yang ada dalam
kandungan atau waktu menyusui bayi itu. Bentuk penularan seperti inilah yang
banyak di jumpai pada penyakit hepatitis B. Pada saat ini jenis hepatitis yang
paling banyak di pelajari ialah hepatitis B. Walaupun infeksi virus ini jarang
terjadi pada populasi orang dewasa, kelompok tertentu dan orang dengan cara
hidup tertentu memiliki risiko tinggi. Kelompok ini mencakup imigran dari
daerah endemis hepatitis B, pengguna obat secara intravena yang sering bertukar
jarum dan alat suntik, pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau
dengan orang yang terinfeksi, pria homoseksual yang secara seksual aktif, pasien
hemodialisis dan penderita hemofilia yang menerima produk tertentu dari
plasma, kontak serumah dengan karier hepatitis B, dan pekerja sosial di bidang
kesehatan, terutama yang banyak kontak dengan darah.8 Penularan virus ini pada
janin dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu melewati plasenta, kontaminasi
dengan darah dan tinja Ibu pada waktu persalinan, kontak langsung bayi baru
lahir dengan Ibunya, melewati Air Susu Ibu (ASI), dan pada masa laktasi.9
Dengan adanya masalah kesehatan seperti plasenta previa dan hepatitis B
pada kehamilan, maka pentingnya mengetahui mengenai penyakit tersebut agar
dapat menurunkan angka kasus plasenta previa dan hepatitis B pada kehamilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Plasenta Previa


Plasenta Previa adalah plasenta yang berimplantasi endah sehingga menutupi
sebagian/seluruh ostium uteri internum. (Prae = di depan; vias = jalan). Implantasi
plasenta yang normal ialah pada dinding depan, dinding belakang rahim, atau di
daerah fundus uteri.10
Plasenta previa adalah keadaan dimana sebagian atau seluruh plasenta masuk ke
segmen bawah uterus dan diklasifikasikan berdasarkaan pencitraan ultrasonografi:
apabila plasenta menutupi internal cervical os maka keadaannya disebut dengan major
praevia; apabila ujung dari plasenta berada di segmen bawah uterus tetapi tidak
menutupi cervical os disebut dengan minor atau partial praevia.11

2.1.1 Klasifikasi
Belum ada kata sepakat diantara para ahli, terutama mengenai berapa
pembukaan jalan lahir. Oleh karena pembagian tidak didasarkan pada keadaan
anatomi, melainkan pada keadaan fisiologi yang dapat berubah-ubah, maka klasifikasi
akan berubah setiap waktu. Misalnya, pada pembukaan yang masih kecil, seluruh
pembukaan ditutupi jaringan plasenta (plasenta previa totalis), namun pada
pembukaan yang lebih besar, keadaan ini akan menjadi plasenta previa lateralis.
Menurut de Snoo, berdasarkan pada pembukaan 4-5 cm:
1. Plasenta previa sentralis (totalis), bila pada pembukaan 4-5 cm teraba plasenta
menutupi seluruh ostium.
2. Plasenta previa lateralis, bila pembukaan 4-5 cm sebagian pembukaan ditutupi
oleh plasenta, dibagi 3:
a. Plasenta previa lateralis posterior: bila sebagian menutupi ostium bagian
belakang
b. Plasenta previa lateralis anterior: bila menutupi ostium bagian depan.
c. Plasenta previa marginalis: bila sebagian kecil atau hanya pinggir ostium yang
ditutupi plasenta.

Gambar 1. Tiga Variasi Plasenta Previa


Sumber: Manuaba, I.B.G., Manuaba, I.A., Manuaba, I.B.G., 2007. Pengantar Kuliah
Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

2.1.2 Etiologi
Etiologi plasenta previa sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun
ada beberapa teori dan faktor risiko yang berhubungan dengan plasenta previa,
diantaranya:
1. Ovum yang dibuahi tertanam sangat rendah di dalam rahim, menyebabkan
plasenta terbentuk dekat dengan atau di atas pembukaan serviks.
2. Lapisan rahim (endometrium) memiliki kelainan seperti fibroid atau jaringan
parut (dari previa sebelumnya, sayatan, bagian bedah seksiosesarea atau aborsi).
3. Hipoplasia endometrium : bila kawin dan hamil pada umur muda.
4. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil
konsepsi.
5. Tumor-tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium.
6. Plasenta terbentuk secara tidak normal.
7. Kejadian plasenta previa tiga kali lebih sering pada wanita multipara daripada
primipara.
8. Ibu merokok atau menggunakan kokain.
9. Ibu dengan usia lebih tua. Risiko plasenta previa berkembang 3 kali lebih besar
pada perempuan di atas usia 35 tahun dibandingkan pada wanita di bawah usia 20
tahun. Hasil Usia wanita produktif yang aman untuk kehamilan dan persalinan
adalah 20-35 tahun. Diduga risiko plasenta previa meningkat dengan
bertambahnya usia ibu, terutama setelah usia 35 tahun. Plasenta previa merupakan
salah satu penyebab serius perdarahan pada periode trimester ke III. Hal ini
biasanya terjadi pada wanita dengan usia lebih dari 35 tahun. Prevalensi plasenta
previa meningkat 3 kali pada umur ibu > 35 tahun. Plasenta previa dapat terjadi
pada umur diatas 35 tahun karena endometrium yang kurang subur dapat
meningkatkan kejadian plasenta previa. Peningkatan umur ibu merupakan faktor
risiko plasenta previa, karena sklerosis pembuluh darah arteli kecil dan arteriol
miometrium menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata sehingga
plasenta tumbuh lebih lebar dengan luas permukaan yang lebih besar, untuk
mendapatkan aliran darah yang adekuat.12,13,14

2.1.3 Faktor Risiko


Penyakit hipertensi, kebiasaan merokok, dan riwayat seksiosesarea adalah
beberapa faktor risiko dari terjadinya akreta pada pasien plasenta previa. Plasenta
previa berhubungan dengan tingginya morbiditas maternal, tetaoi keluaran nenoatus
yang mirip dibandingnkan dengan pasien dengan isolated plasenta previa. Tindakan
abortus dengan kuretasi juga merupakan faktor risiko dalam plasenta previa. Aspirasi
vakum dapat dijadikan alternative agar tidak meningkatkan faktor risiko.15,16
Riwayat plasenta previa merupakan variabel yang paling dominan
pengaruhnya terhadap kejadian plasenta previa berikutnya setelah mengendalikan
variable umur, paritas riwayat kuretase, operasi seksiosesarea dan kehamilan ganda.
Ibu yang memiliki riwayat plasenta previa sebelumnya berisiko 6,7 kali untuk
mengalami plasenta previa dibanding ibu yang tidak memiliki riwayat plasenta previa
sebelumnya.17
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wiyastuti dan Susilawati di Rumah
Sakit Umum Daerah Palembang Bari, didapatkan hasil risiko plasenta previa pada ibu
yang usianya kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun, dua kali lipat jika
dibandingkan dengan ibu yang usianya antara 20 tahun sampai 35 tahun. Dari
penelitian Abdat di Rumah Sakir Dr Moewardi Surakarta didapatkan hasil bahwa
risiko plasenta previa pada multipara 2,53 kali jika dibandingkan dengan primipara.14,18
2.1.4 Patofisiologi
Plasenta previa lebih sering ditemukan pada wanita yang berusia lebih tua,
multipara, dan memiliki riwayat seksiosesasra atau riwayat kuret uterus, sehingga
diperkirakan hal ini berpengaruh kepada perlukaan di endometrium. Luka di
endometrium akan menyebabkan terbentuknya jaringan endometrium yang abnormal,
vaskularisasi yang buruk, miometrium yang menipis dan implantasi plasenta di tempat
yang tidak diinginkan.19
Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa umumnya terjadi
pada triwulan ketiga karena saat itu segmen bawah uterus lebih mengalami perubahan
berkaitan dengan semakin tuanya kehamilan. Implantasi plasenta di segmen bawah
rahim dapat disebabkan:
1. Endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi
2. Endometrium yang tipis sehingga diperlukan perluasan plasenta untuk
3. mampu memberikan nutrisi janin
4. Villi korealis pada chorion laeve yang persisten.20
Dengan bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar
lagi, dan serviks mulai membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah
uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh
plasenta yang melekat disitu tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari dinding uterus.
Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan. Darahnya berwarna merah segar berlainan
dengan darah yang disebabkan solusio plasenta yang berwarna kehitam-hitaman.
Sumber perdarahannya ialah sinus uterus yang terobek karena terlepasnya plasenta
dari dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta.
Perdarahannnya tak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen
bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan itu, tidak sebagaimana
serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada kala III dengan plasenta yang
letaknya normal. Makin rendah letak plasenta, makin dini perdarahan terjadi. Oleh
karena itu, perdarahan pada plasenta previa totalis akan terjadi lebih dini daripada
plasenta letak rendah yang mungkin baru berdarah setelah persalinan mulai.21

2.1.5 Gambaran Klinis


1. Pendarahan
a. Perdarahan terjadi akibat terbentuknya segmen bawah rahim yang
menimbulkan pergeseran dan lepasnya plasenta dari implantasi.
b. Bagian plasenta di depan osteum uteri memungkinkan terjadinya perdarahan
c. Perdarahan dapat berulang, tergantung dari luas plasenta yang lepas dari
lingkar lumen osteum uteri.
d. Perdarahan tidak terasa sakit.
e. Perdarahan yang terjadi akibat plasenta previa totalis lebih banyak daripada
akibat plasenta previa lainnya.
f. Tergantung jumlah dan cepatnya perdarahan yang hilang dari sirkulasi umum
maternal, akan dapat menimbulkan:
 Gejala perdarahan tergantung jumlah dan cepatnya kehilangan darah dari
sirkulasi umum: terjadi perubahan hemodinamik sirkulasi, terjadi gawat
janin.
 Gejala klinik yang terjadi sesuai dengan jumlah dan cepatnya kehilangan
darah maternal dapat disesuaikan dengan kelas hilangnya darah: perdarahan
tidak menimbulkan tekanan intrauteri bertambah sehingga masih dapat
dilakukan pemeriksaan palpasi.
2. Tertutupnya segmen bawah rahim oleh plasenta.
a. Tertutupnya bagian bawah uterus oleh plasenta sehingga menghalani
masuknya bagian terendah janin sehingga janin masih mengambang di atas
pintu atas panggul.
1. Dapat menimbulkan kelainan letak janin: letak sungsang, letak lintang, kepala
belum masuk PAP atau miring.22

2.1.6 Diagnosis
1. Anamnesis
a. Gejala pertama yang membawa penderita ke dokter ialah perdarahan pada
kehamilan setelah 28 minggu atau pada kehamilan lanjut (trimester III).
b. Sifat perdarahannya tanpa sebab (causless), tanpa nyeri (painless), dan
berulang (reccurent). Perdarahan timbul sekonyong-konyong tanpa sebab
apapun. Kadang-kadang perdarahan terjadi seaktu bangun tidur, pagi hari tanpa
disadari tempat tidur sudah penuh darah. Perdarahan cenderung berulang
dengan volume yang lebih banyak dari sebelumnya. Sebab dari perdarahan
ialah karena ada plasenta dan pembuluh darah yang robek karena (a)
terbentuknya segmen bawah rahim; (b) terbukanya ostium atau oleh
manipulasi intravaginal atau rektal. Sedikit atau banyaknya perdarahan
tergantung pada besar dan banyaknya pembuluh darah yang robek dan plasenta
yang lepas. Biasanya wanita mengatakan banyaknya perdarahan dalam berapa
kain satung, berapa gelas danadanya dara-darah beku (stolsel).
2. Inspeksi
a. Dapat dilihat perdarahan yang keluar pervaginam: banyak, sedikit, darah beku,
dan sebagainya.
b. Kalau telah berdarah banyak maka ibu kelihatan pucat/anemis.

3. Palpasi abdomen
a. Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah.
b. Sering dijumpai kesalahan letak janin.
c. Bagian terbawah jain belum turun, apabila letak kepala, biasanya kepala masih
goyang atau terapung (floating) atau di atas pintu atas panggul.
d. Bila cukup pengalaman (ahli), dapat dirasakan suatu bantalan pada segmen
bawah rahim, terutama pada ibu yang kurus.

4. Pemeriksaan inspekulo
Dengan memakai speculum secara hati-hati dilihat dari mana asal perdarahan,
apakah dari dalam uterus, atau dari kelainan serviks, vagina, varises pecah, dan
lain-lain.

5. Pemeriksaan radio-isotop
a. Plasentografi jaringan lunak (soft tissue placentography); yaitu membuat foto
dengan sinar ronsen lemah unutk mencoba melokalisir plasenta.
b.  Sitografi;mula-mulakandungkemihdikosongkan,laludimasukkan40cc larutan
NaCl 12,5%, kepala janin ditekan kea rah pintu atas panggul, lalu dibuat foto.
Bila jarak kepala dan kandung kemih berselisih lebih dari 1 cm, maka terdapat
kemungkinan plasenta previa.
c. Plasentografi indirek; yaitu membuat foto seri lateral dan anteroposterior yaitu
ibu dalam posisi berdiri atau duduk setengah berdiri. Lalu foto dibaca dengan
cara menghitung jarak antara kepala-smfisis dan kepala- promontorium.
d. Arteriografi; dengan memasukkan zat kontras ke dalam arteri femoralis.
Karena plasenta sangat kaya akan pembuluh darah, maka ia akan banyak
menyerap zat kontras, ini akan jelas terlihat dalam foto dan juga lokasinya.
e. Amniografi; dengan memasukkan zat kontras ke dalam rongga amnion, lalu
dibuat foto dan dilihat dimana terdapat daerah kosong (d luar janin) dalam
rongga rahim.
f. Radioisotop plasentografi; dengan menyuntikkan zat radio aktif, biasanya
RISA (radioiodinated serum albumin) secara intravena, lalu diikuti dengan
detektor GMC.

6. Ultrasonografi
Penentuan lokasi plasenta secara ultrasonogradi sangat tepat dan tidak
menimbulkan bahaya radiasi terhadap janin. Cara ini sudah mulai banyak dipakai
di Indonesia.

7. Pemeriksaan dalam
Adalah senjata paling akhir yang paling ampuh di bidang obstetrik untuk
diagnosis plasenta previa. Indikasi pemeriksaan dalam pada perdarahan
antepartum:
a. Perdarahan banyak > 500cc.
b. Perdarahan yang sudah berulang-ulang.
c. His telah mulai dan janin sudah dapat hidup di luar rahim (viable).12

2.1.7 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan pasif
Tiap perdarahan triwulan ketida yang lebih dari show (perdarahan inisial), harus
dikirim ke rumah sakit tanpa dilakukan manipulasi apapun, baik rektal apalagi
vaginal. Apablia pada penilaian baik, perdarahan sedikit, janin masih hidup, elum
inpartu, kehamilan belum cukup 37 minggu, atau berat badan janin dibawah 2500 gr,
maka kehamilan dapat dipertahankan istirahat dan pemberian obat-obatan seperti
spasmolitika, progestin, atau progesterone. Ibu hamil tersangka plasenta previa harus
dirujuk segera ke rumah sakit di mana terdapat fasilitas operasi dan transfusi darah.
Apabila ibu kekurangan darah, diberikan transfusi darah.
2. Memilih cara persalinan pada plasenta previa a. Persalinan pervaginam
a. Amniotomi
Amniotomi atau pemecahan selaput ketuban adalah cara yang terpilih untuk
melancarkan persalinan per vaginam. Indikasi amniotomi pada plasenta previa
adalah:
 Plasenta previa lateralis atau marginalis atau letak rendah bila telah ada
pembukaan.
 Pada primigravida dengan plasenta previa lateralis atau marginalis dengan
pembukaan 4 cm atau lebih.
 Plasenta previa lateralis/marginalis dengan janin yang sudah meninggal.

b. MemasangcunamWilletGausz
Kulit kepala janin diklem dengan cunam Willet Gausz lalu cunam diiker
dengan tali dan diberi beban kira-kira 50-100 gr atau batu bata seperti katrol.
Dengan jalan ini diharapkan perdarahan berhenti dan persalinan diawasi dengan
teliti.

c. VersiBraxton-Hicks
Versi dilakukan pada janin letak kepala untuk mencari kaki supaya dapat
ditarik keluar. Bila janin letak sungsang atau letak kaki, menarik kaki keluar akan
lebih mudah. Kaki diikat dengan kain kasa, dikatrol, dam diberi beban seberat 50-
100 gr (satu batu bata).
d. Menembus plasenta diikuti dengan versi Braxton-Hicks atau Willet Gausz. Hal
ini tidak dilakukan lagi karena bahaya perdarahan yang banyak. Menembus
plasenta dilakukan pada plasenta previa sentralis.
3. Persalinan paraabdominal
Indikasi seksiosesarea pada plasenta previa adalah:
a. Semua plasenta previa sentralis, janin hidup atau meninggal; semua plasenta
previa lateralis, posterior, karena perdarahan yang sulit dikontrol dengan cara-
cara yang ada.
b. Semuaplasentaprevialateralisposterior,karenaperdarahanyangsulit dikontrol
dengan cara-cara yang ada.
c. Semua plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan tidak berhenti
dengan tindakan-tindakan yang ada.
d. Plasenta previa dnegan panggul sempit, letak lintang. Perdarahan ada bekas
insersi plasenta (placental bed) kadang-kadang berlebihan dan tidak dapat
diatasi dengan cara-cara yang ada, jika hal ini terjadi, tindakannya adalah:
Bila anak belum ada, untuk menyelamatkan alat reproduktif dilakukan ligase
arteria hipogastrika dan bila anak sudah ada dan cukup, yang paling baik
adalah histerektomi.12

2.1.8 Prognosis
Kematian maternal menjadi 0,1-5% terutama disebabkan perdarahan, infeksi,
emboli udara, dan trauma karena tindakan. Kematian perinatal sebesar 7-25%,
terutama disebabkan oleh prematuritas, asfiksia, prolapse, funikuli, dan persalinan
buatan (tindakan).
Prognosis ibu pada plasenta previa dipengaruhi oleh jumlah dan kecepatan
perdarahan serta kesegeraan pertolongannya. Kematian pada ibu dapat dihindari
apabila penderita segera memperoleh transfusi darah dan segera lakukan pembedahan
seksio sesarea. Prognosis terhadap janin lebih burik oleh karena kelahiran yang
prematur lebih banyak pada penderita plasenta previa melalui proses persalinan
spontan maupun melalui tindakan penyelesaian persalinan. Namun perawatan yang
intensif pada neonatus sangat membantu mengurangi kematian perinatal.22
Menurunya angka kematian maternal oleh plasenta previa disebabkan oleh (a)
diagnosa awal yang cepat (b) kesedian transfuse darah (c) antibiotik (d) seksio sesarea
yang dilakukan dengan anastesi yang baik (e) keterampilan dalam mengatasi kasus
Faktor-faktor diatas menurunkan angka kematian maternal karena plasenta previa
mnenjadi <1% bahkan 0%. Tetapi di negara-negara berkembang, angka kematian
maternak karena plasetna previa bervaiasi dari <1% hingga 5% disebabkan oleh
karena keterbatasan fasilitas. Penyebab kematian dari plasenta previa adalah
perdarahan dan syok. Resiko terjadinya plasenta previa berulang adalah sebesar 8 kali.
Penyebab kematian perinatal pada plasenta previa adalah prematuritas, asfiksia dan
malformasi kongenital.23

2.2 Hepatitis B pada Kehamilan


2.2.1 Definisi
Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh
virus Hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat
pula menyebabkan radang hati, gagal hati, serosis hati, kanker hati, dan
kematian. Dari beberapa penyebab Hepatitis yang disebabkan oleh virus,
Hepatitis B menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia
karena manifestasinya sebagai Hepatitis akut dengan segala komplikasinya serta
risiko menjadi kronik.5,7 Hepatitis B akut memiliki masa inkubasi 60-90
hari.Penularannya vertikal 95% terjadi masa perinatal (saat persalinan) dan 5%
intra uterine. Penularan horisontal melalui transfusi darah, jarum suntik
tercemar, pisau cukur, aktifitas seksual.5,24 Hepatitis B kronik berkembang dari
Hepatitis B akut. Infeksi hepatitis B kronis didefinisikan sebagai deteksi terus-
menerus dari Hepatitis B surface antigen (HBsAg) selama lebih dari 6 bulan
setelah paparan awal virus. Usia saat terjadinya infeksi mempengaruhi kronisitas
penyakit. Bila penularan terjadi saat bayi maka 95% akan menjadi Hepatitis B
kronis, sedangkan bila penularan terjadi pada usia balita, maka 20-30% menjadi
penderita Hepatitis B kronis dan bila penularan saat dewasa maka hanya 5%
yang menjadi penderita Hepatitis B kronis. Infeksi hepatitis B kronis dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas dari sirosis hati dan karsinoma
hepatoseluler hingga 40 persen dari orang-orang yang terkena.5,7,24
2.2.2 Epidemiologi
Hepatitis virus merupakan sebuah fenomena gunung es, dimana penderita
yang tercatat atau yang datang ke layanan kesehatan lebih sedikit dari jumlah
penderita yang sesungguhnya.Mengingat ini adalah penyakit kronis yang
menahun, dimana pada saat orang tersebut telah terinfeksi, kondisi masih sehat
dan belum menunjukkan gejala dan tanda yang khas, tetapi penularan terus
berjalan.5 Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia
termasuk di Indonesia.Virus Hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar
orang di dunia, dan sekitar 250 juta orang diantaranya menjadi pengidap
Hepatitis B kronis. Sekitar 15-40% dari pasien yang terinfeksi kronis akan
menjadi sirosis, menuju gagal hati dan atau kanker hati. Setiap tahun, ada lebih
dari 4 juta kasus klinis akut Hepatitis B virus. Dan diperkirakan 1 juta orang
meninggal setiap tahun karena infeksi kronis Hepatitis B dan komplikasinya:
sirosis atau kanker hati primer.7 Prevalensi VHB dalam kehamilan di Amerika
Serikat adalah 0.2% sampai 6%. Dalam studi yang dilakukan di Florida yang
melibatkan hampir 1,7 juta wanita hamil, prevalensi virus hepatitis B 27 kali
lebih tinggi di antara Asia-Amerika dan 5 kali lebih tinggi diantara Afrika-
Amerika dibandingkan dengan kulit putih. Prevalensi virus hepatitis B di asia
timur 8% (Cina 2-18%, Taiwan 2-18% dan Hongkong 4-10%, tergantung pada
daerah), sub-sahara afrika 8-12%, dan asia tenggara 6% ( Indonesia 2-9%,
Thailand 1-25%, dan india 1-66%, tergantung pada daerah).24
2.2.3 Etiopatogenesis
Hampir semua jenis virus hepatitis dapat menyerang manusia.Ibu hamil
yang terserang virus ini dapat menularkannya pada bayi yang ada dalam
kandungan atau waktu menyusui bayi itu. Bentuk penularan seperti inilah yang
banyak di jumpai pada penyakit hepatitis B. Pada saat ini jenis hepatitis yang
paling banyak di pelajari ialah hepatitis B. Walaupun infeksi virus ini jarang
terjadi pada populasi orang dewasa, kelompok tertentu dan orang dengan cara
hidup tertentu memiliki risiko tinggi. Kelompok ini mencakup:8
a) Imigran dari daerah endemis hepatitis B,
b) Pengguna obat secara intravena yang sering bertukar
jarum dan alat suntik,
c) Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau
dengan orang yang terinfeksi,
d) Pria homoseksual yang secara seksual aktif,
e) Pasien hemodialisis dan penderita hemofilia yang
menerima produk tertentu dari plasma,
f) Kontak serumah dengan karier hepatitis.
Bila hepatitis virus terjadi pada trimester I atau permulaan trimester II
maka gejala-gejalanya akan sama dengan gejala hepatitis virus pada wanita tidak
hamil. Meskipun gejala-gejala yang timbul relatif lebih ringan dibanding dengan
gejalagejala yang timbul pada trimester III, namun penderita hendaknya tetap
dirawat di rumah sakit. Hepatitis virus yang terjadi pada trimester III, akan
menimbulkan gejalagejala yang lebih berat dan penderita umumnya
menunjukkan gejala-gejala fulminant. Pada fase inilah hepatitis nekrosis akut
sering terjadi, dengan menimbulkan mortalitas Ibu yang sangat tinggi,
dibandingkan dengan penderita tidak hamil. Pada trimester III, adanya defisiensi
faktor lipotropik disertai kebutuhan janin yang meningkat akan nutrisi,
menyebabkan penderita mudah jatuh dalam hepatitis nekrosis akut. Suatu
penelitian mengatakan keadaan gizi ibu hamil sangat menentukan prognosa. 8
Penularan virus ini pada janin, dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu:9
1. Melewati plasenta
2. Kontaminasi dengan darah dan tinja Ibu pada waktu persalinan
3. Kontak langsung bayi baru lahir dengan Ibunya
4. 4. Melewati Air Susu Ibu, pada masa laktasi.
Virus Hepatitis B dapat menembus plasenta, sehingga terjadi hepatitis
virus in utero dengan akibat janin lahir mati, atau janin mati pada periode
neonatal. Beberapa bukti, bahwa virus hepatitis dapat menembus plasenta, ialah
ditemukannya hepatitis antigen dalam tubuh janin in utero atau pada janin baru
lahir. Selain itu telah dilakukan pula autopsi pada janin-janin yang mati pada
periode neonatal akibat infeksi hepatitis virus.Hasil autopsi menunjukkan adanya
perubahan-perubahan pada hepar, mulai dari nekrosis sel-sel hepar sampai suatu
bentuk sirosis. Perubahan-perubahan yang lanjut pada hepar ini, hanya mungkin
terjadi bila infeksi sudah mulai terjadi sejak janin dalam rahim.9
2.2.4 Patofisiologi
Transmisi virus dari ibu ke anak umumnya dikenal dengan istilah transmisi
perinatal. Berdasarkan definisinya, periode perinatal dimulai dari usia kehamilan
28 minggu dan berakhir pada hari ke-28 pasca salin. Berdasarkan definisi ini,
maka istilah transmisi perinatal tidak mencakup infeksi yang terjadi
sebelum/sesudah periode waktu tersebut, dan karenanya digunakanlah istilah
Mother to Child Transmission (MTCT) yang mencakup infeksi VHB yang
terjadi sebelum persalinan, saat persalinan, dan masa kanak-kanak. Secara
teoritis, ada 3 jalur yang memungkinkan terjadinya MTCT, yaitu:25
a) Transmisi Prenatal
Meskipun pemberian vaksinasi VHB dan titer HBIG yang tinggi
memiliki efektivitas sebagai Post-Exposure Prophylaxis (PEP) pada
bayi baru lahir, namun pemberian vaksin ini memiliki tingkat
kegagalan sebesar 3% - 9% terutama pada bayi yang lahir dari ibu
dengan serum marker VHB positif. Hal ini mungkin terjadi karena
adanya transmisi VHB intrauterin (transmisi prenatal). Mekanisme
pasti transmisi VHB prenatal sampai saat ini belum diketahui secara
pasti, namun ada beberapa hipotesa yang diduga berperan antara lain:
1. Adanya defek pada barrier plasenta
Kebocoran transplasenta terhadap darah maternal dengan HBeAg
positif, yang dapat diinduksi oleh kontraksi uteri selama hamil
atau karena gangguan barier plasenta (misalnya ancaman
persalinan preterm atau abortus spontan) merupakan jalur
tersering yang menyebabkan infeksi VHB intrauterin.Selain itu,
prosedur amniosintesis juga meningkatkan risiko transmisi virus
karena jarum yang digunakan secara transversal melalui dinding
abdomen dan uteri berisiko tercampur dengan darah ibu.
2. Infeksi plasenta dan transmisi VHB transplasenta
Plasenta yang terinfeksi VHB memiliki 2 kemungkinan, yaitu
dapat menjadi “penyebab” terjadinya transmisi VHB dari ibu ke
fetus, atau dapat terjadi karena merupakan “akibat” dari fetus
yang terinfeksi VHB melalui rute lain. Untuk membedakannya,
para peneliti telah mengukur gradien infeksi plasenta di sisi
maternal dan fetal, dan disimpulkan bahwa pada sebagian besar
kasus, infeksi transplasental merupakan “penyebab” terjadinya
infeksi VHB intrauterine.
3. VHB DNA terdapat dalam oosit/sperma
Beberapa studi mengatakan VHB DNA terdapat dalam
oosit/sperma. Oleh karena itu, fetus dapat terinfeksi VHB sejak
proses konsepsi.
4. Infeksi ascending dari sekret vagina
Kemungkinan transmisi VHB intrauterin lainnya dapat terjadi
melalui infeksi ascending dari sekret vagina ibu yang
mengandung virus.
b) Transmisi Natal
Transmisi VHB saat proses persalinan dapat terjadi karena paparan
terhadap sekret serviks atau darah maternal yang mengandung virus.
Sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai metode persalinan
terbaik untuk mencegah MTCT. Pada guideline obstetrik yang ada,
nilai HBsAg positif tidak mempengaruhi pemilihan metode
persalinan, sementara beberapa artikel merekomendasikan Cesarean
section untuk kasus-kasus dengan nilai VHB DNA maternal yang
tinggi.
c) Transmisi Post-Natal
Meskipun VHB DNA ditemui dalam ASI pada ibu yang terinfeksi,
namun pemberian ASI tidak terbukti meningkatkan risiko transmisi
asalkan bayi dibekali dengan imunoprofilaksis yang tepat saat lahir
dan sesuai jadwal.Selain itu, ASI tidak perlu ditunda sampai bayi
selesai divaksin.Menyusui tidak terbukti memberikan efek negatif
terhadap respon imun bayi terhadap vaksin VHB dan tidak
meningkatkan angka kegagalan vaksin. Hal yang perlu diperhatikan
dalam mencegah transmisi postnatal adalah cara perawatan puting
selama proses menyusui agar tidak terjadi luka atau kulit yang kering
dan pecah, mengingat proses penularan dapat terjadi melalui blood to
blood routes.25
2.2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi VHB pada ibu hamil tidak berbeda dengan
infeksi VHB pada umumnya, dengan 4 gambaran sebagai berikut:26
1. Asimtomatik
Gambaran klinis pada penderita asimtomatik tidak memberikan gambaran
yang khas.Penderita nampak sehat, namun dalam darahnya ditemukan
HBsAg positif.Jika ditemukan HBeAg positif, maka penderita tergolong
infeksius, sebab HBeAg menunjukkan adanya proses replikasi yang masih
berlangsung.
2. Hepatitis B Akut
Perjalanan klinis hepatitis B akut dibagi menjadi 4 fase yaitu:
a. Masa Inkubasi
Merupakan periode diantara penularan infeksi hingga timbulnya gejala,
berkisar antara 28 – 225 hari dengan rata-rata 75 hari.
b. Fase Pre-Ikterik
Merupakan periode diantara timbulnya gejala pertama hingga ikterik.
Keluhan awal yang biasa dirasakan antara lain lemas, malaise, anoreksia,
mual, muntah, panas, dan rasa tidak enak di daerah perut kanan atas.
Mual dan muntah pada kehamilan muda dapat dibedakan dari hepatitis,
dimana pada kehamilan muda, mual dan muntah terutama dirasakan pada
pagi hari dan semakin berkurang dan semakin membaik pada sore hari.
Sementara pada hepatitis, semakin sore mual dan muntah yang dirasakan
akan semakin berat.
c. Fase Ikterik
Fase ikterik berlangsung antara beberapa hari hingga 6 bulan, dengan
ratarata 1-3 minggu dan menghilang dalam 2-6 minggu. Saat gejala
ikterik muncul, maka gejala demam dan malaise akan menghilang. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan hepar yang teraba membesar dan menetap
selama beberapa saat setelah ikterik menghilang.
d. Fase Penyembuhan
Merupakan periode diantara menghilangnya ikterik hingga pasien
sembuh. Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan HBsAg,
HBeAg, dan VHB DNA. Anti-HBc mulai timbul disertai IgM anti-HBc
yang meningkat, sedangkan IgG anti-HBc timbul belakangan dan
menetap. Pada fase ini, sebelum HBsAg menghilang akan timbul anti-
HBe yang menandakan penurunan replikasi virus dan terjadinya resolusi.
3. Hepatitis B Kronis
Gambaran klinis hepatitis B kronis bermacam-macam, mulai dari tanpa
gejala hingga gejala yang khas dan gejala tersebut seringkali sulit dibedakan.
Keluhan yang sering terjadi pada hepatitis kronis aktif adalah lemas, mudah
lelah, nafsu makan dan berat badan menurun, dan kadang disertai demam
subfebris.
4. Karsinoma Hepatoseluler Primer
Gejala klinis KHP akan muncul dan perlu dicurigai apabila seorang penderita
sirosis mengalami perburukan kondisi. Keluhan umum berupa malaise, rasa
penuh di daerah perut, anoreksia, berat badan menurun dan demam subfebris.
Pada pemeriksaan didapatkan perut yang membengkak karena asites dan liver
yang membesar. Gambaran yang mencurigakan ke arah kanker hati bila
ditemukan hepar membesar disertai benjolan keras tidak teratur pada
abdomen kuadran kanan atas.26

2.2.6 Diagnosis
Skrining hepatitis B merupakan salah satu bagian dari upaya untuk
menurunkan transmisi vertikal dari maternal. Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) menyarankan untuk melakukan skrining hepatitis B surface
antigen (HBsAg) setiap wanita hamil pada setiap kehamilan, bahkan jika
sebelumnya terdapat riwayat skrining maupun vaksinasi. Ibu dengan hasil
skrining positif diharapkan dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk
menegakkan diagnosis hepatitis B.27
Diagnosis hepatitis B memerlukan pemeriksaan laboratorium darah pasien
untuk HBsAg, hepatitis B surface antibody (HBsAb), dan hepatitis B core
antibody (HBcAb). HBsAg adalah protein dari permukaan virus hepatitis B yang
dapat ditemukan dalam kadar yang tinggi pada serum elama infeksi akut maupun
kronis. Adanya HBsAg mengindikasikan bahwa pasien tersebut infeksius.
HBsAb atau anti-HBs adalah antibodi yang dihasilkan tubuh sebagai respon
imunitas normal terhadap infeksi. Anti-HBs dapat ditemukan pada orang yang
sembuh dan imun terhadap infeksi virus hepatitis B, baik dari infeksi
sebelumnya maupun vaksinasi. HBcAb atau anti-HBc muncul saat onset akut
hepatitis dan bertahan seumur hidup. Pemeriksaan IgM anti-HBc dapat
dilakukan untuk memberikan informasi akut tidaknya infeksi hepatitis. IgM anti-
HBc dapat ditemukan ≤ 6 bulan sejak infeksi akut. 27 Deteksi dan pengukuran
kadar DNA virus hepatitis B (VHB) dengan menggunakan PCR dapat menjadi
salah satu alat diagnosis, tolak ukur memulai terapi dan pemantauan kondisi
pasien. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi,
sehingga dijadikan sebagai standar internasional menurut World Health
Organizatiion (WHO) untuk normalisasi konsentrasi DNA VHB.
2.2.7 Tatalaksana
Kasus infeksi hepatitis B akut dan kronik perlu dibedakan dalam
penanganannya. Ibu yang mengalami infeksi akut virus hepatitis B selama
kehamilan harus di monitor ketat dan diterapi konservatif. Selama tidak terdapat
tanda-tanda kegagalan hepar, pemberian antiviral untuk ibu hamil bukanlah
sebuah indikasi.28
Tujuan utama tatalaksana infeksi virus hepatitis B kronis adalah
memperbaiki kualitas hidup dan derajat keberlangsungan hidup orang yang
terinfeksi dengan mencegah progresi penyakit ke penyakit sirosis, sirosis
terdekompensasi, penyakit liver stadium lanjut, hepatoselular karsinoma, dan
kematian; serta mencegah transmisi virus hepatitis B ke orang lain. Tujuan ini
dapat tercapai jika replikasi virus hepatitis B ditekan secara baik. Terapi yang
diberikan harus dapat mensupresi kadar virologis sehingga dapat terjadi remisi
biokimia, perbaikan secara histologis dan mencegah komplikasi. Namun, perlu
diperhatikan bahwa infeksi virus hepatitis B tidak dapat sepenuhnya dieradikasi
karena persistensi dari covalently closed circular DNA (cccDNA) di nukleus
hepatosit yang terinfeksi, dan genom virus hepatitis B mengintegrasi genom
inang dan dapat memicu onkogenesis dan perkembangan hepatoselular
karsinoma.29
Pada hepatitis B dalam kehamilan, terdapat dua indikasi dalam
memutuskan terapi, yaitu penyakit hepar kronik pada ibu dan pencegahan
transmisi vertikal. Dua faktor risiko yang berpengaruh terhadap transmisi
vertikal adalah tingginya kadar viral load VHBdan aktivitas replikasi viral yang
tinggi. Transmisi vertikal menyumbang lebih dari sepertiga kasus transmisi virus
hepatitis B, sehingga mencegah penularan ini dapat menurunkan angka
morbiditas akibat hepatitis B.30 Imunoprofilaksis virus hepatitis B pada bayi
diberikan pada semua bayi yang lahir dengan ibu HBsAg positif.
Imunoprofilaksis ini diharapkan dapat memberikan imunitas aktif dan pasif pada
bayi. Imunisasi pasif, hepatitis B immunoglobulin (HBIG) diberikan dalam 12
jam setelah lahir pada bayi. Imunisasi aktif, berupa dosis pertama vaksin
hepatitis B, diberikan dalam beberapa jam awal kehidupan. Pada ibu yang tidak
diketahui status HBsAg maternal, bayi tetap diberikan vaksin sambil menunggu
hasil dari pemeriksaan laboratorium. Pemberian imunoprofilaksis ini mampu
menurunkan rerata tranmisi vertikal dari 90% menjadi 10%. 31 Penggunaan obat
anti virus pada kasus hepatitis B dalam kehamilan, dapat dipertimbangkan sesuai
dengan kondisi yang ditemukan.
Pada kasus hepatitis B kronik, terapi antiviral analog nukleotida dan
interferon (IFN) dapat mempengaruhi kondisi janin. IFN merupakan
kontraindikasi kehamilan terutama trimester awal karena bersifat antiproliferatif.
Pemberian hanya diberikan pada ibu dengan viral load DNA VHB> 107 IU/mL
untuk pencegahan transmisi vertikal atau hepatitis B kronis dengan fibrosis atau
gejala aktif. Pemberian antiviral harus mempertimbangkan keuntungan dan
risiko dari ibu dan janin terkait risiko progresi penyakit maternal, flares SGPT,
perkembangan fetus, transmisi vertikal VHB, rencana jangka panjang untuk
terapi dan kehamilan berikutnya.32 Pemberian ASI tidak dilarang pada wanita
dengan infeksi hepatitis B kronis jika bayi telah mendapatkan imunoprofilaksis
yang sesuai. Tetapi, umumnya ibu disarankan tidak menyusui jika menggunakan
analog nukleotida karena keamanannya kepada bayi yang belum diketahui.30
2.2.8 Prognosis
Prognosis infeksi VHB tergantung dari berat ringannya penyakit dan
komplikasi komplikasi yang terjadi. Infeksi VHB pada penderita tanpa
menimbulkan gejala klinis dan juga tidak ada penyakit lain sebagai penyerta
maka prognosisnya baik. Tetapi apabila didapatkan penyakit-penyakit lain
seperti penyakit jantung, diabetes militus dan anemia maka akan memperburuk
keadaan penderita sehingga prognosisnya menjadi lebih jelek. 90% dari infeksi
VHB pada dewasa akan sembuh sempurna, baik terjadi pada kehamilan trimester
I, II maupun wanita tidak hamil. Pada kehamilan trimester III, infeksi VHB akut
memberikan prognosis yang lebih buruk, didapatkan angka kematian yang tinggi
bagi ibu dan anak, terutama apabila yerjadi hepatitis fulminan. Gizi ibu hamil
juga menentukan, bila terdapat gizi jelek maka mudah terjadi hepatitis
fulminant.33
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : NNS
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : 1 April 1993
Umur : 28 tahun
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan Terakhir : SMA
Agama : Hindu
Kebangsaan : Indonesia
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Bukit Sukadana Kubu Karangasem
No. CM : 17029111
Tanggal MRS : 16 Juni 2021
Tanggal Pemeriksaan : 17 Juni 2021
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Rencana operasi SC
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dalam keadaan sadar ke RSUP Sanglah Denpasar diantar oleh
suami pada tanggal 16 Juni 2021 pukul 19.00. Pasien merupakan rujukan dari
RS Balimed dengan diagnosis G2P2001 35 Minggu 5 hari plasenta previa totalis
dan hepatitis B kronis. Gerakan janin baik dan mulai dirasakan sejak bulan
Februari 2021. Pasien tidak memiliki keluhan penurunan nafsu makan, serta
buang air kecil dan buang air besar pasien masih normal.
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien memiliki Riwayat hepatitis B kronis sejak tahun 2016 saat hamil
anak pertama. Pasien rutin meminum tenofovir sejak tahun 2018, sempat
terhenti saat trimester pertama kehamilan ini, lanjut kembali pada trimester ke 2.
Riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma, dan penyakit jantung
disangkal oleh pasien. Pasien juga mengatakan tidak ada alergi baik terhadap
makanan maupun obat.
Riwayat Menstruasi
Pasien mengalami menstruasi pada usia 14 tahun. Menstruasi sebelum hamil
dikatakan teratur setiap bulannya dengan siklus 28 hari. Lama menstruasi dalam
1 siklus adalah 5 hari dengan volume 50 cc. Tidak ada keluhan saat menstruasi.
Riwayat Pernikahan
Pasien menikah satu kali dengan suami sekarang pada tahun 2016 dan
menikah pada saat pasien berusia 23 tahun. Usia pernikahan pasien selama 5
tahun.
Riwayat Pemakaian Kontrasepsi
Pasien memiliki riwayat pemakaian kontrasepsi jenis suntik setelah
melahirkan anak pertama.
Riwayat Obstetri
Berat Jenis Lahir
Hamil Umur Cara Abortus
Badan Kelamin Hidup
ke Kehamilan L P Persalinan
Lahir Ya Tidak / Mati
Aterm 3200
1 √ - Spontan - √ Hidup
(2015) gram
Riwayat Hamil ini
Hari pertama haid terakhir (HPHT) adalah pada 3 Oktober 2020. Tafsiran
persalinan berdasarkan pemeriksaan USG adalah tanggal 10 Juli 2021. Pasien
memeriksakan kandungannya ke dokter kandungan dan bidan lebih dari 3 kali.
Pasien tidak mendapatkan imunisasi TT.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit sistemik pada keluarga baik penyakit jantung, kencing
manis, asma, maupun hipertensi disangkal pasien.
Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pegawai swasta. Selama kehamilan, pasien sudah
mengurangi aktivitas terutama aktivitas berat dan pasien lebih banyak
berisitirahat. Selama kontrol kehamilan, pasien selalu didampingi oleh suami.
Pasien dan suami mengaku tidak pernah memiliki riwayat merokok, konsumsi
minuman beralkohol maupun obat-obatan terlarang.
3.3 Pemeriksaan Fisik (14/06/2021, pukul 12.00)
Status Present
Keadaan Umum : Baik
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Nadi : 86 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu Aksila : 36,6C
Berat Badan : 83 kg
Tinggi Badan : 160 cm
BMI : 32,42 kg/m2
VAS : 0/10
Status General
Mata : konjungtiva anemis -/-, refleks pupil (+/+), sklera ikterik (+/+)
THT : sekret (-), gusi berdarah (-), mimisan (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks :
Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : sesuai status obstetri
Ekstremitas : akral hangat ++/++, edema --/--, CRT < 2 detik
Status Obstetri
Mamae
- Inspeksi
o Hiperpigmentasi bentuk simetris, puting susu menonjol, pengeluaran
(-), kebersihan cukup

Abdomen
- Inspeksi
o Tampak perut membesar ke depan dengan disertai adanya striae
gravidarum
o Tampak adanya luka bekas operasi SC
- Auskultasi
Bising usus : 4 kali/menit (normal)
DJJ : 145x/ menit
- Palpasi
Pemeriksaan Leopold
I. Teraba bagian bulat dan lunak (kesan bokong)
II. Teraba bagian lebar, keras memanjang (kesan punggung) pada sisi
kanan ibu dan bagian-bagian kecil, mudah digerakan (kesan
ekstremitas) pada sisi kiri ibu
III. Teraba bagian bulat keras (kesan kepala)
IV. Teraba bagian kepala belum masuk PAP (Konvergen)

Tinggi Fundus Uteri : 31 cm atau 3 jari dibawah procesus xyphoideus


His : (-)
Gerak Janin : (+)
Pemeriksaan Dalam
- Inspekulo Vulva/Vagina : Tidak dilakukan
- Vaginal toucher (VT) : Tidak dilakukan
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Satuan Nilai Rujukan Ket.
WBC 9.34 103/uL 4.1 – 11.0
NE% 69.80 % 47 – 80
LY% 21.10 % 13 - 40
MO% 7.70 % 2.0 – 11.0
EO% 1.00 % 1.0 – 0.5
BA% 0.40 % 0.0 – 2.0
NE# 6.52 103/uL 2.50 – 7.50 Tinggi
LY# 1.97 103/uL 1.00 – 4.00
MO# 0.72 103/uL 0.10 – 1.20
EO# 0.09 103/uL 0.00 – 0.50
BA# 0.04 103/uL 0.0 – 0.1
RBC 3.60 103/uL 4.0 – 5.2 Rendah
HGB 10.40 g/dL 12 - 16 Rendah
HCT 32.10 % 36 – 46 Rendah
MCV 89.20 fL 80 – 100
MCH 28.90 pg 26 – 34
MCHC 32.40 g/dL 31 – 36
RDW 14.00 % 11.6 – 14.8
PLT 193.00 103/uL 140 – 440
MPV 9.30 fl 6.80 – 10.0
NLR 3.31 <= 3.13 Tinggi
PPT 9.9 detik 10.8 – 14.4
INR 0.86 0.9 – 1.1
APTT 27.7 detik 24 - 36
SGOT 26.3 U/L 5 - 34
SGPT 14.85 U/L 11.00 - 34.00
Albumin 3.46 g/dL 3.40 – 4.80
BUN 4.72 Mg/dL 8.00 – 23.00 Rendah
Creatinin 0.60 Mg/dL 0.57 – 1.11
e-LGF 124.04  90
Hasil Interpretasi PAI score
Riwayat persalinan SC 1 kali = 0
Lacunae Grade 2 = 1
Sagittal smallest myometrial thickness 1,4-1,5 mm = 0
Anterior plasenta previa = 1
Bridging vessels (-) = 0
Total Skor = 2, probability of invasion 10%
USG(17/6/2021) : T/H, FHB (+), FM (+), letsu
BPD : 8.90 ~ 36 W0D AVE : 37 WAD
HC : 33.33 ~ 38 W0D EDD : 4/7/21
AC : 34.97 ~ 38 W6D EFW : 3388 gr
FL : 7.24 ~ 37 W2D
Dengan Plasenta Corpus Anterior menutupi OUI
SDP : 5,34 cm
3.5 Diagnosis
G2P1001 35 minggu 5 hari T/H Plasenta Previa Totalis (PAI score 2, probability
of invasion 10%), Hepatitis B Kronis
3.6 Penatalaksanaan
SC elektif + Histerektomi
IVFD NaCl 0.9% ~ 20 tpm
3.7 Monitoring Pre-operatif
a) Keluhan
b) Tanda vital pasien (tekanan darah, nadi, laju napas, suhu)
c) DJJ

3.8 Monitoring Post-operatif


a) Keluhan
b) Tanda vital pasien (tekanan darah, nadi, laju napas, suhu)

3.9 Edukasi Pre-operatif


1. KIE keluarga pasien mengenai hasil pemeriksaan dan tindakan terapi yang
akan dilakukan dan risiko tindakan terhadap pasien.
2. Pasien diminta untuk memposisikan berbaring ke kiri sebelum tindakan
operatif, segera melapor apabila tidak dirasakan adanya gerakan janin dan
terjadi pendarahan.

3.10 Edukasi Post-operatif


1. KIE pasien dan keluarga pasien mengenai perawatan luka pasca operasi dan
mobilisasi bertahap

3.11 Perjalanan Penyakit


Tanggal S O A P
17/06/21 Nyeri perut St.Present G2P1001 35 Diagnostik:
(06.00) (-), Kes : CM minggu 5 hari pemeriksaan darah
BAK/BAB T : 110/80 T/H Plasenta legkap, biokimia
(+/+), Gerak mmHg Previa Totalis darah (fungsi hati,
Anak Baik, N : 80 x/menit (PAI score 2, ginjal, albumin)
Keluar cairan R : 20 x/menit probability of
pervaginam T : 36,7oC invasion 10%), Terapi:
(-) St. General Hepatitis B SC Elektif s/d
Mata: Anemis Kronis Histerektomi
(-/-)
Thoraks: cor
pulmo dbn
Ekstremitas:
akral hangat (+
+/++)
St. Obstetri
Abdomen:
TFU: 33 cm,
DJJ: 148
x/menit
Vagina:
Perdarahan (-)

18/06/21 Nyeri luka St.Present P2002 Post SC Terapi:


(12.00) operasi Kes : CM hari ke 0 + Parasetamol 500mg
minimal, T : 110/80 Hepatitis B tiap 8 jam PO
Mobilisasi mmHg Kronis Cefixime 100 mg
miring N : 80 x/menit tiap 12 jam PO
kanan-kiri, R : 22 x/menit Mobilisasi bertahap
produksi ASI T : 36oC
(-/-), St. General
BAK/BAB Mata: Anemis
(+/-), Flt (+) (-/-)
Thoraks: cor
pulmo dbn
Ekstremitas:
akral hangat (+
+/++)
St. Obstetri
Abdomen:
TFU: 2 jari di
bawah pusat
Vagina:
Perdarahan (-),
DC (+)

LAPORAN OPERASI (18/06/2021)


- RA BSA
- Septik aseptic lapangan operasi dengan povidone iodine, persempit
lapangan operasi dengan doek steril
- Lakukan insisi midline perdalam lapis demi lapis sampai dengan
peritoneum
- Tampak uterus gravida, dilakukan insisi uterus pada bagian korpus
(korpore)
- Ekstraksi kaki dan bayi dilahirkan. Pukul 11.40 WITA, lahir bayi laki-laki,
3510 gram, AS: 8-9, kelainan (-)
- Plasenta lahir spontan, kesan lengkap. Hematoma (-), ludsifikasi (-)
- Bersihkan kavum uteri, perdarahan aktif tidak ada
- Jahit sudut uterus dengan figure of eight, jahit uterus secara jelujur peston
- Cuci cavum abdomen, perdarahan aktif tidak ada
- Tutup dinding abdomen lapis demi lapis s.d kulit
- Tutup luka operasi dengan sufratule, kasa steril, hipafiks
- Operasi selesai
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien ini didiagnosis dengan Plasenta previa totalis dengan hepatitis B kronis.
Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium
uteri internum. Penyebab blastotika berimplantasi pada segmen bawah rahim belum diketahui
dengan pasti. Implantasi mungkin dipengaruhi oleh: abnormalitas vaskularisasi pada
endometrium, ovulasi yang terlambat, trauma endometrium sebelumnya, plasenta yang terlalu
besar pada kehamilan ganda, pembedahan pada uterus sebelumnya (bedah sesar,
miomektomi), paritas tinggi, dan usia > 35 tahun.34
Hal yang paling khas pada plasenta previa adalah perdarahan yang tidak nyeri, yang
biasanya belum muncul hingga menjelang akhir trimester kedua atau setelahnya. Namun,
beberapa jenis abortus dapat terjadi akibat lokasi plasenta abnormal yang sedang berkembang
tersebut. Perdarahan dari plasenta previa sering muncul tanpa peringatan, terjadi tanpa
disertai nyeri pada wanita yang riwayat pranatalnya tampak normal. Darah berwarna merah
segar. Untungnya, perdarahan awal jarang sedemikian deras sehingga menimbulkan
kematian. Perdarahan ini biasanya berhenti spontan namun kemudian kambuh.35
Pada kasus ini, pasien tidak mengeluhkan adanya keluar darah merah segar dari
kemaluan tanpa disertai rasa nyeri. Sebagaimana diketahui tapak plasenta terbentuk dari
jaringan maternal yaitu bagian desidua basalis. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi
segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi kemungkinan besar mengalami
laserasi akibat pelepasan desidua tapak plasenta. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
dinding segmen bawah rahim yang tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas,
akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta
akreta dan inkreta bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai
menembus buli-buli dan ke rektum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih
sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah bedah sectio caesarea.36
Pemeriksaan fisik untuk mendiagnosis plasenta previa yaitu:37 inspeksi: terlihat
perdarahan pervaginam berwarna merah segar. Namun pada pasien tidak ditemukan. Palpasi
abdomen: janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah; Sering disertai
kesalahan letak janin; Bagian bawah janin belum turun, apabila letak kepala, biasanya kepala
masih dapat digoyang atau terapung; Bila pemeriksa sudah cukup pengalaman dapat
dirasakan suatu bantalan pada segmen bawah rahim, terutama pada ibu yang kurus.
Inspekulo: pemeriksaan inspekulo dengan hati-hati dapat diketahui asal perdarahan, apakah
dari dalam uterus, vagina, varises yang pecah atau lain-lain. Pemeriksaan dalam hanya boleh
dilakukan di meja operasi (PDMO), karena dengan pemeriksaan dalam akan menyebabkan
perdarahan pervaginam yang lebih deras. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan dalam
ataupun dengan inspekulo. Sedangkan untuk pemeriksaan penunjangnya yaitu plasenta previa
hampir selalu dapat didiagnosa dengan menggunakan ultrasonografi (USG) abdomen, yang
95% dapat dilakukan tiap saat.38 Pada pasien ditegakkan melalui USG dan didapatkan anterior
plasenta previa.
Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk sectio caesarea (SC). Pada
multigravida yang telah mempunyai anak hidup cukup banyak dapat dipertimbangkan
dilanjutkan dengan histerektomi untuk menghindari terjadinya perdarahan postpartum yang
sangat mungkin akan terjadi, atau sekurang-kurangnya dipertimbangkan dilanjutkan dengan
sterilisasi untuk menghindari kehamilan berikutnya.39
Pada kasus ini, ditemukan hasil pemeriksaan HbsAg positif yang merupakan suatu
pertanda adanya infeksi pada hati oleh virus HBV, pertanda untuk mengetahui akut atau
kronik yaitu IgM anti-HBc yang menunjukkan adanya kerusakan hati. USG akan
menampakkan pembesaran hati serta bertambah densitas gama dari parenkim hati pada
hepatitis akut-kronik.40 Pada tatalaksana tidak ada yang membedakan prinsip terhadap
hepatitis akut pada kehamilan dengan tanpa kehamilan. Istirahat yang cukup dan terapi
simtomatik tetap menjadi dasarnya dan tenofovir dan telbivudin tetap menjadi terapi lini
pertama.41 Terminasi kehamilan hanya dilakukan atas indikasi obstetrik. Aspek yang perlu
ditimbangkan ialah tatalaksana terkait dengan kemungkinan terjadinya transmisi vertikal,
karena hal ini dapat berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas anak.42
Adanya plasenta previa totalis merupakan indikasi SC, selain itu adanya hepatitis B
kronis juga merupakan indikasi SC. Berdasarkan penelitian Pan et al. bahwa tindakan SC
dapat mencegah penularan ke bayi (MTC), dimana Infeksi HBV yang ditularkan pada bayi
yang lahir dengan operasi caesar elektif memiliki persentase yang lebih kecil (1,4%),
dibandingkan dengan persalinan pervaginam (3,4%).42
Apabila ibu mengalami HbeAg positif (HBV DNA load tinggi) sebaiknya diberikan
HBIG dan vaksin untuk bayi. Bagi bayi yang ibunya HbeAg positif berisiko tinggi menjadi
infeksi HBV kronik.42 Vaksin Hepatitis B harus segera diberikan setelah bayi lahir,
mengingat vaksinasi Hepatitis B merupakan upaya pencegahan yang efektif untuk
memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Ada dua
tipe vaksin Hepatitis B yang mengandung HbsAg, yaitu: 1) vaksin yang berasal dari plasma,
dan (2) vaksin rekombinan. Kedua ini aman dan imunogenik walaupun diberikan pada saat
lahir karena antibodi anti HbsAg tidak mengganggu respons terhadap vaksin. Sesuai dengan
kasus dimana ibu merupakan pengidap hepatitis B kronis, maka bayi yang lahir mendapatkan
0,5 ml HBIg dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 5 mcg (0,5 ml) vaksin rekombinan. Dosis
kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan.41
BAB V
SIMPULAN

Pasien NNY berusia 28 tahun datang dalam keadaan sadar ke RSUP Sanglah
Denpasar diantar oleh suami padatanggal 16 Juni 2021 pukul 19.00. Pasien merupakan
rujukan dari RS Balimed dengan diagnosis G2P2001 35 Minggu 5 hari plasenta previa totalis
dan hepatitis B kronis. Gerakan janin baik dan mulai dirasakan sejak bulan Februari 2021.
Pasien tidak memiliki keluhan penurunan nafsu makan, serta buang air kecil dan buang air
besar pasien masih normal. Riwayat mengidap hepatitis B sudah sejak tahun 2016 dan rutin
minum obat tenofovir sejak tahun 2018.
Pemeriksaan fisik status general pasien masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan
status obstetri, abdomen diawali dengan inspeksi tampak perut membesar ke depan dengan
disertai adanya striae gravidarum, pada auskultasi didapatkan bising usus ibu dalam batas
normal, DJJ bayi 145 x/menit, tinggi fundus uteri 3 jari dibawah procesus xyphoideus, serta
tidak ditemukan his adekuat. Pemeriksaan Leopold III kesan kepala.
Diagnosis pasien adalah G2P1001 35 minggu 5 hari T/H Plasenta Previa Totalis (PAI
score 2, probability of invasion 10%), Hepatitis B Kronis. Pada pasien dilakukan tatalaksana
berupa SC. Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk sectio caesarea (SC),
selain itu adanya hepatitis B kronis juga merupakan indikasi SC. Bayi yang lahir dari ibu
yang mengidap hepatitis B kronis mendapatkan 0,5 ml HBIg dalam waktu 12 jam setelah
lahir dan 5 mcg (0,5 ml) vaksin rekombinan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan
dosis ketiga pada umur 6 bulan
DAFTAR PUSTAKA

1. DeCheney AH, Nathaan L. Current obstetric and gynecologic diagnosis and


treatment. 10th Ed. New York: Mc. Graw – Hill, 2007 hal: 336-338. 2.
2. Chalik TMA. Perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan. Dalam:
Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Edisi keempat. Cetakan ketiga. Jakarta: Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010 hal: 492-503 3.
3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ and Spong CY.
Obstetri Williams, 23rd Ed, Vol 2. Terj. Pendit BU, Setia R. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC,2014 hal: 795-845. 4.
4. Davood S, Parviar K, Ebrahimi S. Selected pregnancy variables in women with
placenta previa. Res. J. Obstet Gynecol, 2008 1 hal: 1-5. 5.
5. Departemen Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku profil kesehatan
Indonesia 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Rerublik Indonesia,2015 hal:
126-147. 6.
6. Choden P,Lertbunnaphong T, Boriboonhirunsam D. Prevalence of pregnancy
7. Sharma, S., Carballo, M., Feld, J. and Janssen, H., 2015. Immigration and viral
hepatitis. Journal of Hepatology, 63(2), pp.515-522.
8. Ferrari, C., 2014. HBV and the immune response. Liver International, 35,
pp.121-128.
9. Shao, Z., Zhang, L., Xu, J., Xu, D., Men, K., Zhang, J., Cui, H. and Yan, Y.,
2011. Mother-to-infant transmission of hepatitis B virus: A Chinese
experience. Journal of Medical Virology, 83(5), pp.791-795.
10. FK Univ Padjajaran. Obstetri Patologi Edisi 2. Jakarta: EGC. p. 83-85.
11. RCOG. Placenta Praevia, Placenta Accreta and Vasa Praevia: Diagnosis and
Management. 2011. Available from:
https://www.rcog.org.uk/globalassets/documents/guidelines/gtg_27.pdf. Accessed 20
June 2016
12. Sofian, A. Rustam Mochtar Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi.
Jakarta: EGC;2011. p. 187-194.
13. Sheiner GI. Shoham-Vardi, Hallak M. Hershkowitz R. Katz M and Major M. Placenta
previa: Obstetric risk factors and pregnancy outcome. J. Matern Fetal. Med 10; 2001. p.
414-419.
14. Abdat AU. Hubungan antara paritas ibu dengan kejadian plasenta previa di rumah sakit
dr. Moewardi Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret; 2010.
15. Manuaba IBG. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC;2008.
16. Usta, Ihab M. et al. Placenta Previa-Akreta: Risk Factors and Complications. American
Journal of Obstetrics & Gynecology, Volume 193, Issue 3, 1045– 1049 Available from:
http://www.ajog.org/article/S0002-9378(05)00881- 1/fulltext. Accessed 20 June 2016
17. Johnson, L.G. et al. The Relationship of Placenta Previa and History of Induced
Abortion. International Journal of Gynecology and Obstetrics, Volume 81, Issue 2,
191–198. Available from: http://www.ijgo.org/article/S0020-7292(03)00004-3/fulltext.
Accessed 20 June 2016
18. Trianingsih I, Mardhiyah D, Duarsa AB. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada
Timbulnya Kejadian Placenta Previa. JURNAL KEDOKTERAN YARSI 23 (2);2015.
p. 103-113. Available from: http://www.google.com/url?
q=http://academicjournal.yarsi.ac.id/ojs- 2.4.6/index.php/jurnal-fk-
31yarsi/article/download/115/65&sa=U&ved=0ahUKEwiOo-
y23cPNAhUEN48KHVjxAwcQFghCMAg&sig2=ViNj9oOpurhiJi3TNsHJkg
&usg=AFQjCNGm29lgmTKWb3XXVKuuyce_WELFvg. Accessed 20 June 2016
19. Y. Widyastuti, S., & Susilawati, A. K. Hubungan Antara Umur dan Paritas Ibu Dengan
Kejadian Plasenta Previa Pada Ibu Hamil di RSUD Palembang Bari; 2007. Available
from: https://www.scribd.com/doc/130854458/Hubungan- Antara-Umur-Dan-Paritas-
Ibu-Dengan-Kejadian-Plasenta-Previa-Pada-Ibu- Hamil. Accessed 20 June 2016
20. Gibbs, Ronald S, Karlan, et al. Danforth’s Obstetrics and gynecology, 10th edition.
Lippincott Williams and Wilkins. 21;2008. p. 485-389.
21. Manuaba, I.B.G., Manuaba, I.A., Manuaba, I.B.G. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC;2007. p: 484.
22. Nasution I. Prevalensi Persalinan Seksio Sesarea atas Indikasi Plasenta Previa di RSUD
Dr. Pirngadi Medan Tahun 2010; 2012. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31399/4/Chapter%20II.pdf. Accessed
20 June 2016
23. Sumapraja S dan Rachimhadi T. Perdarahan Antepartum dalam: Wiknjosastro H. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005. pp: 365-85.
24. Berkley, Dunkelberg JC, Thie KW. 2014. Hepatitis b and c in pregnancy: a
review and recommendations for care. J Perinatol; 34(12):882-91.
25. Navabakhsh, B., Mehrabi, N., Estakhri, A., Mohamadnejad, M., & Poustchi, H.
(2011). Hepatitis B Virus Infection during Pregnancy: Transmission and
Prevention. Middle East journal of digestive diseases, 3(2), 92–102.
26. Sui, B., Huang, J., Jha, B., Yin, P., Zhou, M., Fu, Z., Silverman, R., Weiss, S.,
Peng, G. and Zhao, L., 2016. Crystal structure of the mouse hepatitis virus ns2
phosphodiesterase domain that antagonizes RNase L activation. Journal of
General Virology, 97(4), pp.880-886.
27. Centers for Disease Control and Prevention. A comprehensive immunization
strategy to eliminate transmission of hepatitis B virus infection in the United
States---recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP). Part 1: immunization of infants, children, and adolescents.
MMWR 2005;54
28. Degertekin, B. and Lok, A., 2009. Indications for therapy in hepatitis
B. Hepatology, 49(S5), pp.S129-S137.
29. Journal of Hepatology, 2012. EASL Clinical Practice Guidelines: Management
of chronic hepatitis B virus infection. 57(1), pp.167-185.
30. Sarin SK, Kumar M, Lau GK, Abbas Z, Chan HL, Chen CJ, et al. Asian-Pacific
clinical practice guidelines on the management of hepatitis B: a 2015 update.
Hepatol Int. 2016;10(1):1-98.
31. Lamberth, J., 2015. Chronic hepatitis B infection in pregnancy. World Journal
of Hepatology, 7(9), p.1233.
32. Lee, H. and Pan, C., 2013. Antiviral Therapy for Chronic Hepatitis B in
Pregnancy. Seminars in Liver Disease, 33(02), pp.138-146.
33. Depkes RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI
34. Chalik TMA. Perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan. Dalam:
Saiffudin A B, Rachimadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2010. hlm. 492-521.
35. Miller DA, Chollet JA, Goodwin TM. Clinical risk factors for placenta praevia
-placenta accreta. Am J Obstet Gynecol. 2009; 177(1):210-4.
36. Hacker N, Moore JG, Gambone J. Antepartum haemorrhage. Dalam: Essentials
of Obstetrics and Gynecology edisi ke-4. United States: Elsevier; 2004. hlm.
121-8.
37. Oppenheimer L, Armson A, Farine D, Keenan-Lindsay L, Morin V, Pressey T,
et al. Diagnosis and management of placenta previa. J Obstet Gynaecol Can
2007; 29(3):261-6.
38. Chou MM, Ho ESC, Lee YH. Prenatal Diagnosis of placenta previa accreta by
transabdominal color doppler ultrasound. Ultrasound Obstet Gynaecol. 2000;
15(1):28-35.
39. Ankur J, Avishek S, Sarin K. Prevention of peripartum hepatitis b transmission.
New Delhi : New England J Med 2017; 375(15):1496-98.
40. Ayoub WS, Cohen. Hepatitis management in the pregnant patient : an update.
USA : J Clin Trans Hepatol. 2016; (4)241-7.
41. Budihusodo U. Hepatitis Akut pada Kehamilan. Dalam: Laksmi, Purwita W,
Mansjoer A, Alwi I, Setiati S, et al. penyakit-penyakit pada kehamilan : peran
seorang internis. Jakarta : Interna Publishing; 2008. hlm. 393-405.
42. Dunkelberg JC, Berkley, Thie KW. Hepatitis b and c in pregnancy: a review and
recommendations for care. J Perinatol. 2014; 34(12):882-91.

Anda mungkin juga menyukai