Anda di halaman 1dari 30

Bagian Obstetri dan Ginekologi Referat

April 2019

SOLUSIO PLASENTA

Disusun Oleh :
Tirza Glady Rengkung
N 111 16 102

Pembimbing Klinik :
dr. Djemi, Sp.OG., MARS

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Solusio plasenta atau disebut juga abruptio placenta atau ablasio placenta
adalah separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya di uterus (korpus
uteri) dalam masa kehamilan lebih dari 20 minggu dan sebelum janin lahir. Dalam
plasenta terdapat banyak pembuluh darah yang memungkinkan pengantaran zat
nutrisi dari ibu ke janin, jika plasenta ini terlepas dari implantasi normalnya dalam
masa kehamilan maka akan mengakibatkan perdarahan yang hebat. Hebatnya
perdarahan tergantung pada luasnya area plasenta yang terlepas.1
Insidens solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Frekuensi solusio plasenta
di Amerika Serikat dan di seluruh dunia mendekati 1%. Saat ini kematian maternal
akibat solusio plasenta mendekati 6%. Di negara sedang berkembang penyebab
kematian yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan, nifas atau
penanganannya (direct obstetric death) adalah perdarahan, infeksi,
preeklamsi/eklamsi. Solusio plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan
antepartum yang memberikan kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di
Indonesia. Penyebab solusio plasenta tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada kasus-
kasusberat terdapat korelasi dengan penyakit hipertensi vaskuler menahun, dan15,5%
disertai pula oleh preeklamsia. Faktor-faktor lain yang ikut memegang peranan
penting yaitu kekurangan gizi, anemia, paritas tinggi, dan usia lanjut pada ibu hamil.2
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian
maternal di Indonesia pada tahun 1998-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka tersebut masih cukup jauh dari tekad pemerintah yang menginginkan
penurunan angka kematian maternal menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup untuk
tahun 2010. Angka kematian maternal ini merupakan yang tertinggi di antara Negara
negara ASEAN. Angka kematian maternal di Singapura dan Malaysia masing-masing
5 dan 70 orang per 100.000 kelahiran hidup.3

2
Di Indonesia, yang paling banyak menyebabkan kematian maternal adalah
perdarahan. Perdarahan pada ibu hamil dibedakan atas perdarahan antepartum
(perdarahan sebelum janin lahir) dan perdarahan post partum (setelah janin
lahir).Solusio plasenta merupakan 30% dari seluruh kejadian perdarahan antepartum
yang terjadi.3
Usia reproduksi sehat adalah usia 20-35 tahun. Usia kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun meningkatkan risiko terjadinya komplikasi dalam kehamilan,
salah satunya solusio plasenta.2
Solusio plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang
memberikan kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di Indonesia.
Terdapat faktor-faktor lain yang ikut memegang peranan penting yaitu kekurangan
gizi, anemia, paritas tinggi, dan usia lanjut pada ibu hamil. Di negara yang sedang
berkembang penyebab kematian yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan,
persalinan, nifas atau penangannya (direct obstetric death) adalah perdarahan,
infeksi, preeklamsi/eklamsi. Selain itu kematian maternal juga dipengaruhi faktor-
faktor reproduksi, pelayanan kesehatan, dan sosioekonomi. Salah satu faktor
reproduksi ialah ibu hamil dan paritas.1
Solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada plasenta previa bagi ibu
hamil dan janinnya. Pada perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage) yang luas
dimana perdarahan retroplasenta yang banyak dapat mengurangi sirkulasi utero-
plasenta dan menyebabkan hipoksia janin. Disamping itu, pembentukan hematoma
retroplasenta yang luas bisa menyebabkan koagulopati komsumtif yang fatal bagi
ibu.3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari
implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum
janin lahir. Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta sebagai
separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri sebelum
janin lahir.4

Gambar 1. Solusio plasenta (placental abruption)


Terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari
tempat implantasinya yang normal pada sebelum waktunya yakni antara minggu
20 dan lahirnya anak. Plasenta secara normal terlepas setelah bayi lahir.
Nama lain yang sering dipergunakan, yaitu abruptio placentae, ablatio
placentae, accidental haemorrhage, premature separation of the normally
implanted placenta.2

4
Gambar 2. Solusio Plasenta

2.2 Epidemiologi
Insidens solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Penelitian di
Norwegia menunjukkan insidensi 6,6 per 1000 kelahiran. Frekuensi solusio
plasenta di Amerika Serikat dan di seluruh dunia mendekati 1 %. Saat ini
kematian maternal akibat solusio plasenta mendekati 6 %.2
Solusio plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum
yang memberikan kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di
Indonesia. Pada tahun 1988 kematian maternal di Indonesia diperkirakan 450 per
100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut tertinggi di ASEAN (5-142 per
100.000) dan 50-100 kali lebih tinggi dari angka kematian maternal di negara
maju.2
Solusio plasenta terjadi sekitar 1% dari semua kehamilan di seluruh
dunia. Melihat latar belakang yang sering dianggap sebagai faktor risiko diyakini
bahwa insidensi solusio plasenta semakin menurun dengan semakin baiknya
perawatan antenatal sejalan dengan semakin menurunnya jumlah ibu hamil usia
dan paritas tinggi dan membaiknya kesadaran masyarakat berperilaku lebih

5
higienis. Transportasi yang lebih mudah memberi peluang pasien cepat sampai
ke tujuan sehingga keterlambatan dapat dihindari dan solusio plasenta tidak
sampai menjadi berat dan mematikan bagi janin. Dalam kepustakaan dilaporkan
insidensi solusio plasenta 1 dalam 155 sampai 1 dalam 225 persalinan (yang
berarti < 0,5%) di negara-negara Eropa untuk solusio plasenta yang tidak sampai
mematikan janin. Untuk solusio yang lebih berat sampai mematikan janin
insidennya lebih rendah dari 1 dalam 830 persalinan (1974-1989) dan turun
menjadi 1 dalam 1.550 persalinan (1988-1999). Namun, insidensi solusio
plasenta diyakini masih lebih tinggi di negara berkembang seperti Indonesia
dibanding dengan negara maju.5

2.3 Klasifikasi
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus
marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio parsialis), atau bisa seluruh
permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang
terjadi dalam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan miometrium
untuk seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya
memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan keluar melalui vagina (revealed
hemorrhage). Akan tetapi, ada kalanya, walaupun jarang, perdarahan tersebut
tidak keluar melalui vagina (concealed hemorrhage) jika:3
- Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim
- Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
- Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah ketuban pecah
karenanya
- Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen
bawah rahim.3
Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran
klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solusio

6
plasenta ringan, solusio plasenta sedang dan solusio plasenta berat. Yang ringan
biasanya baru di ketahui setelah plasenta lahir dengan adanya hematoma yang
tidak luas pada permukaan maternal atau adanya ruptura sinus marginalis.
Pembagian secara klinik ini baru definitif bila ditinjau retrospektif karena solusio
plasenta sifatnya berlangsung progresif yang berarti solusio plasenta yang ringan
bisa berkembang mejadi lebih berat dari waktu ke waktu. Keadaan umum
penderita bisa menjadi buruk apabila perdarahannya cukup banyak pada kategori
concealed hemorrhage.
Berdasarkan gejala klinik yang ditimbulkan5:
a. Kelas 0 : Asimptomatik. Diagnosis ditegakkan secara retrospektif dengan
menemukan hematoma atau daerah yang mengalami pendesakan pada
plasenta. Ruptur sinus marginal juga dimasukkan dalam kategori ini.
b. Kelas 1 : Gejala klinis ringan dan terdapat pada hampir 48 % kasus. Gejala
meliputi: tidak ada perdarahan pervaginam sampai perdarahan pervaginam
ringan; uterus sedikit tegang; tekanan darah dan denyut jantung maternal
normal; tidak ada koagulopati; dan tidak ditemukan tanda-tanda fetal
distress.
c. Kelas 2 : Gejala klinik sedang dan terdapat + 27 % kasus. Perdarahan
pervaginam bisa ada atau tidak ada; ketegangan uterus sedang sampai berat
dengan kemungkinan kontraksi tetanik; takikardi materna dengan perubahan
ortostatik tekanan darah dan denyut jantung; terdapat fetal distress, dan
hipofibrinogenemi (150-250 mg/dl).
d. Kelas 3 : Gejala berat dan terdapat pada hampir 24% kasus, perdarahan
pervaginam dari tidak ada sampai berat; uterus tetanik dan sangat nyeri; syok
maternal; hipofibrinogenemi (<150 mg/dl); koagulopati serta kematian janin.
Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam:5
a. Solusio plasenta yang nyata/tampak (revealed). Terjadinya perdarahan
pervaginam, gejala klinis sesuai dengan jumlah kehilangan darah, tidak
terdapat ketegangan uterus, atau hanya ringan.

7
b. Solusio plasenta yang tersembunyi (concealed). Tidak terdapat perdarahan
pervaginam, uterus tegang dan hipertonus, sering terjadi fetal distress berat.
Tipe ini sering disebut Perdarahan Retroplasental.
c. Solusio plasenta tipe campuran (mixed) Terjadi perdarahan baik
retroplasental atau pervaginam; uterus tetanik.5
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus
marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa
seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis).
Perdarahan yang terjadi akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk
seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan
ke kanalis servikalis dan keluar melalui vagina, menyebabkan perdarahan
eksternal (revealed hemorrhage).5

Gambar 3. Solusio Plasenta Dengan Perdarahan Eksternal

8
Yang lebih jarang, jika bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat
pada dinding rahim, darah tidak keluar dari uterus, tetapi tertahan di antara
plasenta yang terlepas dan uterus sehingga menyebabkan perdarahan
tersembunyi (concealed hemorrhage) yang dapat terjadi parsial atau total.5

Gambar 4. Solusio Plasenta Parsial Disertai Perdarahan Tersembunyi


Solusio plasenta dengan perdarahan tertutup terjadi jika:5
1. Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim
2. Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
3. Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah
4. Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen
bawah rahim.
Perdarahan yang tersembunyi biasanya menimbulkan bahaya yang lebih
besar bagi ibu, tidak saja karena kemungkinan koagulopati konsumptif tetapi
juga karena jumlah darah yang keluar sulit diperkirakan.5

9
Gambar 5. Solusio Plasenta Total Disertai Perdarahan Tersembunyi
Berdasarkan jumlah perdarahan yang terjadi:5
a. Solusio plasenta ringan: perdarahan pervaginam <100 ml.
b. Solusio plasenta sedang: perdarahan pervaginam 100-500 ml,
hipersensitifitas uterus atau peningkatan tonus, syok ringan, dapat terjadi
fetal distress.
c. Solusio plasenta berat: perdarahan pervaginam luas > 500 ml, uterus tetanik,
syok maternal sampai kematian janin dan koagulopati.5
Berdasarkan luasnya bagian plasenta yang terlepas dari uterus:5
a. Solusio plasenta ringan: kurang dari ¼ bagian bagian plasenta yang terlepas.
Perdarahan kurang dari 250 ml.
b. Solusio plasenta sedang: Plasenta yang terlepas ¼ - 2/3 bagian. Perdarahan
<1000 ml, uterus tegang, terdapat fetal distress akibat insufisiensi
uteroplasenta.

10
c. Solusio plasenta berat: Plasenta yang terlepas > 2/3 bagian , perdarahan
>1000 ml., terdapat fetal distress sampai dengan kematian janin, syok
maternal serta koagulopati.5

Gambar 6. Solusio Plasenta. Terlepasnya permukaan maternal plasenta


sebelum waktunya setelah umur kehamilan 20 minggu.
A. Revealed Hemorrhage. B. Concealed Hemmorrhage

2.4 Etiologi
Hingga saat ini penyebab utama dari solusio plasenta tidak diketahui.
Tetapi terdapat beberapa keadaan patologik yang lebih sering bersama dengan
atau menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor risiko (lihat tabel 1).
Usia ibu dan paritas yang tinggi berisiko lebih tinggi. Perbedaan suku kelihatan
berpengaruh pada risiko.3

11
Tabel 1. Faktor Risiko Solusio Plasenta

FAKTOR RISIKO RISIKO RELATIF


Pernah solusio plasenta 10 – 25
Ketuban pecah pretern/korioamnionitis 2,4 – 3,0
Sindroma pre-eklamsia 2,1 – 4,0
Hipertensia kronik 1,8 – 3,0
Merokok/nikotin 1,4 – 1,9
Merokok + hipertensi kronik atau pre- 5–8
eklamsia
Pecandu kokain 13 %
Mioma di belakang plasenta 8 dari 14
Gangguan sistem pembekuan darah berupa Meningkat s/d 7x
single-gene mutation/trombofilia
Trauma abdomen dalam kehamilan Jarang
Sejauh ini, kondisi yang paling sering berkaitan adalah beberapa tipe
hipertensi, antara lain mencakup preeklamsia, hipertensi gestasional, atau
hipertensi kronik.3
Terdapat peningkatan insiden solusio pada ketuban pecah dini preterm.
Dalam sebuah meta-analisis 54 studi tahun 2016 mendapatkan peningkatan
risiko solusio sebesar tiga kali lipat pada ketuban pecah dini.3
Pada studi-studi awal, dari Collaborative Perinatal Project, merokok
dikaitkan dengan peningkatan risiko solusio. Dalam sebuah meta-analisis
terhadap 1,6 juta kehamilan mendapatkan risiko solutio sebesar dua kali lipat
pada perokok. Angka ini meniungkat menjadi lima sampai delapan kali lipat
apabila perkok tersebut mengidap hipertensi kronik dan/ preeklamsi berat.3
Seperti diperlihatkan di Grafik 2.1, insidensinya meningkat seiring
dengan usia ibu. Meski Prtichard dkk. (2006) juga memperlihatkan bahwa

12
insiden lebih tinggi pada wanita dengan paritas tinggi, Toohey dkk. (2006) tidak
mendapatkan hal ini pada wanita yang memiliki 5 anak atau lebih.3

Grafik 1. Insidensi Solusio Plasenta dan Plasenta Previa

2.5 Patofisiologi
Sesungguhnya solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses
yang bermula dari suatu keadan yang mampu memisahkan vili-vili korialis
plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi
perdarahan. Oleh karena itu patosiologinya bergantung pada etilogi. Pada trauma
abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah desidua.5
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis)
yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat
menyebabkan pembekuan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam
vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang
menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai
hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali
selapisan tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikian, pada
tingkat permulaan sekali dari proses terdiri ataspembentukan hematom yang bisa

13
menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian
plasenta kecuali terdapat hematom pada bagian belakang plasenta yang baru
lahir. Dalam beberapa kejadian pembentukan hematom retroplasenta disebabkan
oleh putusnya arteria spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta
mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta
ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan
melepaskan plasenta lebih luas/banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah
yang keluar merembes antara selaput ketuban dan miometrium untuk selanjutnya
keluar melalui serviks ke vagina (revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa
berhenti karena uterus yang lagi mengandung tidak mampu berkontraksi untuk
menjepit pembuluh arteria spiralis yang terputus. Walaupun jarang, terdapat
perdarahan tinggal terperangkap di dalam uterus (concealed hemorrhage). 5
Akibatnya hematoma retroplasenter akan bertambah besar, sehingga
sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan terlepas. Sebagian akan
menyelundup di bawah selaput ketuban keluar dari vagina atau menembus
selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban, atau mengadakan ekstravasasi
di antara serabut otot uterus. Bila ekstravasasi berlangsung hebat, maka seluruh
permukaan uterus akan berbercak ungu atau biru dan terasa sangat tegang serta
nyeri. Hal ini disebut uterus couvelaire. 5
Akibat kerusakan jaringan miometrium dan terbentuknya hematoma
retroplasenter, mengakibatkan pelepasan tromboplastin ke dalam peredaran
darah. Tromboplastin bekerja mempercepat perombakan protrombin menjadi
trombin. Trombin yang terbentuk dipakai untuk mengubah fibrinogen menjadi
fibrin untuk membentuk lebih banyak bekuan darah terutama pada solusio
plasenta berat. Melalui mekanisme ini apabila pelepasan tromboplastin cukup
banyak dapat menyebabkan terjadi pembekuan darah intravaskular yang luas
(disseminated intravascular coagulation) yang semakin menguras persediaan
fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan lain. Akibat lain dari pembekuan darah
intravaskular ialah terbentuknya plasmin dari plasminogen yang dilepaskan pada

14
setiap kerusakan jaringan. Karena kemampuan fibrinolisis dari plasmin ini maka
fibrin yang terbentuk dihancurkannya. Penghancuran butir-butir fibrin yang
terbentuk intravaskular oleh plasmin mengakibatkan hancurnya bekuan-bekuan
darah dalam pembuluh darah kecil yang berguna mempertahankan keutuhan
sirkulasi mikro. Namun, di lain pihak penghancuran fibrin oleh plasmin memicu
perombakan lebih banyak fibrinogen menjadi fibrin agar darah bisa membeku.
Dengan jalan ini pada solusio palenta berat dimana telah terjadi perdarahan
melebihi 2.000 ml dapat dimengerti kalau akhirnya akan terjadi kekurangan
fibrinogen dalam darah sehingga persediaan fibrinogen lambat laun mencapai
titik kritis ( ≤ 150 mg/100 ml darah) dan terjadi hipofibrinogenemia. Pada kadar
ini telah terjadi gangguan pembekuan darah (consumtive coagulopathy) yang
secara laboratoris terlihat pada memanjangnya waktu pembekuan melebihi 6
menit dan bekuan darah yang telah terbentuk mencair kembali. Pada keadaan
yang lebih parah darah tidak mau membeku sama sekali apabila kadar fibrinogen
turun dibawah 100 mg%. Pada keadaan yang berat ini telah terjadi kematian
janin dan pada pemeriksaan laboratorium dijumpai kadar hancuran faktor-faktor
pembekuan darah dan hancuran fibrinogen meningkat dalam serum mencapai
kadar yang berbahaya yaitu di atas 100 μg per ml. Kadar fibrinogen normal 450
mg % turun menjadi 100 mg % atau lebih rendah. Untuk menaikkan kembali
kadar fibrinogen ke tingkat di atas nilai krisis lebih disukai memberikan transfusi
darah segar sebanyak 2.000 ml sampai 4.000 ml karena setiap 1.000 ml darah
segar diperkirakan mengandung 2 gram fibrinogen.5
Akibatnya, terjadi hipofibrinogenemia yang menyebabkan gangguan
pembekuan darah pada uterus maupun alat-alat tubuh lainnya. Perfusi ginjal akan
terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguria dan proteinuria
akan terjadi akibat nekrosis tubuli ginjal mendadak yang masih dapat sembuh
kembali, atau akibat nekrosis korteks ginjal mendadak yang biasanya berakibat
fatal. Nasib janin tergantung dari luasnya plasenta yang lepas. Apabila sebagian
besar atau seluruhnya terlepas, anoksia akan mengakibatkan kematian janin.

15
Apabila sebagian kecil yang lepas, mungkin tidak berpengaruh sama sekali atau
mengakibatkan gawat janin.5
Waktu adalah hal yang sangat menentukan dalam beratnya gangguan
pembekuan darah, kelainan ginjal dan nasib janin. Makin lama sejak terjadinya
solusio plasenta sampai persalinan selesai, makin hebat komplikasinya.5

2.6 Gambaran Klinik


Gambaran klinik penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat
ringannya atau luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Belum ada uji
coba yang khas untuk menentukan diagnosisnya. Gejala dan tanda klinisnya yang
klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua
keluar melalui vagina (80% kasus), rasa nyeri perut dan uterus tegang terus-
menerus mirip his partus prematurus. Sejumlah penderita bahkan tidak
menunjukkan tanda atau gejala klasik, gejala yang lahir mirip tanda persalinan
prematur saja. Oleh karena itu, kewaspadaan atau kecurigaan yang tinggi
diperlukan dari pihak pemeriksa.5
1. Solusio Plasenta Ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana
terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak.
Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan
sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya
terus menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba.
Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi, karena dapat saja menjadi
semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung.5
2. Solusio Plasenta Sedang
Dalam hal ini plasenta terlepas lebih dari 1/4 bagian, tetapi belum 2/3 luas
permukaan Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio
plasenta ringan, tetapi dapat juga secara mendadak dengan gejala sakit perut
terus menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan

16
pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi
perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah
jatuh ke dalam syok, demikian pula janinnya yang jika masih hidup mungkin
telah berada dalam keadaan gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-
menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar untuk diraba.
Jika janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan
darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi,walaupun hal tersebut lebih
sering terjadi pada solusio plasenta berat.5
3. Solusio Plasenta Berat
Plasenta telah terlepas lebih dari 2/3 permukaannnya. Terjadi sangat tiba-tiba.
Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya telah meninggal.
Uterus sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam
tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, terkadang perdarahan
pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan-keadaan di atas
besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan
kelainan/gangguan fungsi ginjal.5

2.7 Diagnosis
Berdasarkan gejala dan tanda klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri
pada uterus, kotraksi tetanik pada uterus, dan pada solusio plasenta yang berat
terdapat kelainan denyut jantung janin pada pemeriksaan dengan KTG. Namun
adakalanya pasien datang dengan gejala mirip persalinan prematur , ataupun
datang dengan perdarahan tidak banyak dengan perut tegang, tetapi janin telah
meninggal. Diagnosis definitif hanya bisa ditegakkan secara resrospektif yaitu
setelah partus dengan melihat adanya hematoma retroplasenta.5
Pemeriksaan dengan ultrasonografi berguna untuk membedakannya
dengan plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan dengan USG
tidak memberikan kepastian berhubung kompleksitas gambaran retroplasenta
yang normal mirip dengan gambaran perdarahan retroplasenta pada solusio

17
plasenta. Kompleksitas gambar normal retroplasenta, kompleksitas vaskular
rahimsendiri, desidua dan mioma semuanya bisa mirip dengan solusio plasenta
dan memberikan hasil pemeriksaan positif palsu. Di samping itu solusio plasenta
sulit dibadakan dengan plasenta itu sendiri. Pemeriksaan ulang pada perdarahan
baru sering bisa menbantu karena gambaran ultrasonografi dari darh yang telah
membeku akan berubah menurut waktu menjadi lebih ekogenik pada 48 jam
kemudian menjadi hipogenik dalam waktu 1-2 minggu.5
Diagnosis solusio plasenta bisa ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan
tanda klinis berupa perdarahan (≥ 20 minggu), nyeri pada uterus, dan adanya
kontraksi tetanik pada uterus. Namun adakalanya pasien datang dengan gejala
mirip persalinan prematur, ataupun datang dengan perdarahan tidak banyak
dengan perut tegang, tetapi janin telah meninggal. Diagnosis definitif hanya bisa
ditegakkan secara retrospektif yaitu setelah partus dengan melihat adanya
hematoma retroplasenta.5
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang berguna untuk membedakan
dengan plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan dengan USG
tidak memberikan kepastian berhubung kompleksitas gambaran retroplasenta
yang normal mirip dengan gamparan perdarahan retroplasenta pada solusio
plasenta Kompleksitas gambaran normal retroplasenta, kompleksitas vaskular
rahim, desidua dan mioma semuanya bisa mirip dengan solusio plasenta dan
memberikan hasil pemeriksaan positif palsu. Disamping itu, solusio plasenta sulit
dibedakan dengan plasenta itu sendiri. Pemeriksaan ulang pada perdarahan baru
sering bisa membantu karena gambaran ultrasonografi dari darah yang telah
membeku akan berubah menurut waktu menjadi lebih ekogenik pada 48 jam
kemudian menjadi hipogenik dalam waktu 1 sampai 2 minggu.5
Penggunaan color Doppler bisa membantu diagnosis solusio plasenta di
mana tidak terdapat sirkulasi darah yang aktif padanya, sedangkan pada
kompleksitas lain, baik kompleksitas retroplasenta yang hiperekoik maupun yang
hipoekok seperti mioma dan kontraksi uterus, terdapat sirkulasi darah yang aktif

18
padanya. Pada kontraksi uterus terdapat sirkulasi aktif didalamnya, pada mioma
sirkulasi aktif terdapat lebih banyak pada bagian perifer daripada bagian
tengahnya.5
Dalam banyak hal diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda
klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, dan pada solusio
plasenta yang berat terdapat kelainan denyut jantung janin pada pemeriksaan
dengan KTG. Namun kadang pasien datang dengan gejala perdarahan tidak
banyak dengan perut tegangan tetapi janin telah meninggal. Diagnosis pasti
hanya bisa ditegakkan dengan melihat adanya perdarahan retroplasenta setelah
partus.5

Gambar 7. Perdarahan Retroplasenta

Ditekankan bahwa tanda dan gejala pada solusio plasenta dapat sangat
bervariasi. Sebagai contoh, pedarahan eksternal dapat deras, namun plasenta
yang terlepas tidak terlalu luas sehingga belum membahayakan janin secara
langsung. Walaupun jarang, mungkin tidak terjadi perdarahan eksternal tetapi
plasenta terlepas total dan sebagai akibatnya janin meninggal. Hurd dkk. (2006)
dalam sebuah penelitian prospektif yang relatif kecil tentang solusio plasenta,
mengidentifikasi frekuensi berbagai gejala dan tanda yang berhubungan (Tabel

19
2). Perdarahan dan nyeri abdomen adalah temuan tersering. Temuan lain yang
didapatkan adalah perdarahan serius, nyeri punggung, nyeri tekan uterus,
kontraksi uterus yang sering.5
Pada penelitian-penelitian lama, USG jarang mengkonfirmasi diagnosis
solusio plasenta. Sebagai contoh, Sholl (2000) memastikan diagnosis secara
sonografis hanya pada 25% wanita. Hal yang sama dikemukakan oleh Glantz
dan Purnell (2002), yang mengkalkulasi hanya 24% dari 149 wanita yang
melakukan USG dapat menyingkirkan kemungkinan adanya solusio plasenta.
Yang penting, temuan negatif pada pemeriksaan USG tidak menyingkirkan
solusio plasenta.3,5
Gejala dan Tanda Frekuensi (%)

Perdarahan pervaginam 78

Uterus tegang atau nyeri pinggang 66

Gawat janin 60

Partus prematurus 22

Kontraksi yang terus menerus 17


tinggi

Hipertonus 17

Kematian janin 15

Tabel 2. Gejala dan Tanda yang Terdapat pada 59 Wanita Solusio Plasenta

20
2.8 Diagnosis Banding

Pada kasus solusio plasenta yang parah, diagnosis biasanya jelas. Bentuk-
bentuk solusio yang lebih ringan dan lebih sering terjadi sulit diketahui dengan
pasti dan diagnosis sering ditegakkan berdasarkan eksklusi. Karena itu, pada
kehamilan variabel dengan penyulit perdarahan pervaginam, perlu
menyingkirkan plasenta previa dan penyebab lain perdarahan dengan
pemeriksaan klinis dan evaluasi USG. Telah lama diajarkan, mungkin dengan
beberapa pembenaran, bahwa perdarahan uterus yang nyeri adalah solusio
plasenta sementara perdarahan uterus yang tidak nyeri mengindikasikan plasenta
previa. Sayangnya, diagnosis banding tidak sesederhana itu. Persalinan yang
menyertai plasenta previa dapat menimbulkan nyeri yang mengisyaratkan
solusio plasenta. Perbedaan solusio plasenta dengan plasenta previa dapat dilihat
pada tabel 3 berikut:6
Kriteria Solusio Plasenta Plasenta Previa

Perdarahan Merah tua s/d coklat hitam Merah segar, Berulang ,


Terus menerus Tidak nyeri
Disertai nyeri

Uterus Tegang, Bagian janin tak Tak tegang


teraba, Nyeri tekan Tak nyeri tekan

Syok/Anemia Lebih sering Jarang


Tidak sesuai dengan jumlah Sesuai dengan jumlah
darah yang keluar darah yang keluar

Fetus 40% fetus sudah mati Biasanya fetus hidup


Tidak disertai kelainan letak Disertai kelainan letak

21
Pemeriksaan Ketuban menonjol Teraba plasenta atau
dalam walaupun tidak his perabaan fornik ada
bantalan antara bagian
janin dengan jari
pemeriksaan
Tabel 3. Perbedaan Solusio Placenta dan Placenta Previa

2.9 Penanganan
Semua pasien yang tersangka menderita solusio plasenta harus dirawat
dirumah sakit yang berfasilitas cukup. Ketika masuk lansung lakukan
pemeriksaan darah lengkap lansung Hb dan golongan darah serta gambaran
pembekuan darah dengan memeriksa waktu pembekuan darah, waktu
protrombin, kadar fibrinogen dan kadar hancuran fibrinogen dalam plasma.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi berguna terutama untuk membedakanya
dengan plasenta previa dan memastikan janin masih hidup.6
Terapi solusio plasenta akan berbeda-beda tergantung pada usia kehamilan
serta status ibu dan janin. Pada janin yang hidup dan matur, dan apabila
persalinan pervaginam tidak terjadi dalam waktu dekat, sebagian besar akan
memilih seksio sesaria darurat.6
a. Solusio plasenta ringan
Ekspektatif, bila kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada
perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin
hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan
spontan. Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio
plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta
bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup,
lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus
oksitosin untuk mempercepat persalinan.5,6

22
b. Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan,
penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus
oksitosin dan jika perlu seksio sesaria. Apabila diagnosis solusio plasenta
dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000
ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan. Amniotomi akan
merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan
amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan
mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin
akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik.
Persalinan juga dapat dipercepat dengan infus oksitosin yang memperbaiki
kontraksi uterus.5,6
Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan
pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari
bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada
penderita yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan
melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah
kelainan pembekuan darah. Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak
berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan,
walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya
cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria. Uterus Couvelaire tidak
merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat
dikendalikan setelah dilakukan seksio sesaria, tindakan histerektomi perlu
dilakukan.5,6
c. Tokolitik
Hurd dkk. (2006) mendapatkan bahwa solusio berlangsung dalam waktu yang
lama dan membahayakan apabila diberikan tokolitik. Towers dkk. (2002)
memberikan magnesium sulfat, terbutalin, atau keduanya kepada 95 di antara
131 wanita dengan solusio plasenta yang didiagnosis sebelum minggu ke-36.

23
Angka kematian perinatal sebesar 5% dan tidak berbeda dari kelompok yang
tidak diterapi. Namun, penggunaan tokolitik pada penatalaksanaan solusio
plasenta masih kontroversial.6
d. Seksio Sesarea
Pelahiran secara cepat janin yang hidup tetapi mengalami gawat janin hampir
selalu berarti seksio sesarea. Kayani dkk. (2003) meneliti hubungan antara
cepatnya persalinan dan prognosis janinnya pada 33 wanita hamil dengan
gejala klinis berupa solusio plasenta dan bradikardi janin. 22 bayi secara
neurologis dapat selamat, 15 bayi dilahirkan dalam waktu 20 menit setelah
keputusan akan dilakukan operasi. 11 bayi meninggal atau berkembang
menjadi Cerebral Palsy, 8 bayi dilahirkan di bawah 20 menit setelah
pertimbangan waktu, sehingga cepatnya respons adalah faktor yang penting
bagi prognosis bayi ke depannya. Seksio sesarea pada saat ini besar
kemungkinan dapat membahayakan ibu karena mengalami hipovolemia berat
dan koagulopati konsumtif yang parah.5,6
e. Persalinan Pervaginam
Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parah sehingga menyebabkan janin
meninggal, lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali apabila
perdarahannya sedemikian deras sehingga tidak dapat diatasi bahkan dengan
penggantian darah secara agresif, atau terdapat penyulit obstetri yang
menghambat persalinan pervaginam. Defek koagulasi berat kemungkinan
besar dapat menimbulkan kesulitan pada seksio sesarea. Insisi abdomen dan
uterus rentan terhadap perdarahan hebat apabila koagulasi terganggu. Dengan
demikian, pada persalinan pervaginam, stimulasi miometrium secara
farmakologis atau dengan massage uterus akan menyebabkan pembuluh-
pembuluh darah berkontraksi sehingga perdarahan serius dapat dihindari
walaupun defek koagulasinya masih ada. Lebih lanjut, perdarahan yang sudah
terjadi akan dikeluarkan melalui vagina.6

24
f. Amniotomi
Pemecahan selaput ketuban sedini mungkin telah lama dianggap penting
dalam penatalaksanaan solusio plasenta. Alasan dilakukannya amniotomi ini
adalah bahwa keluarnnya cairan amnion dapat mengurangi perdarahan dari
tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin dan mungkin
faktor-faktor pembekuan aktif dari bekuan retroplasenta ke dalam sirkulasi
ibu. Namun, tidak ada bukti keduanya tercapai dengan amniotomi. Apabila
janin sudah cukup matur, pemecahan selaput ketuban dengan mempercepat
persalinan. Apabila janin imatur, ketuban yang utuh mungkin lebih efisien
untuk mendorong pembukaan serviks daripada tekanan yang ditimbulkan
bagian tubuh janin yang berukuran kecil dan kurang menekan serviks.5,6
g. Oksitosin
Walaupun pada sebagian besar kasus solusio plasenta berat terjadi
hipertonisitas yang mencirikan kerja miometrium, apabila tidak terjadi
kontraksi uterus yang ritmik, pasien diberi oksitosin dengan dosis standar.
Stimulasi uterus untuk menimbulkan persalinan pervaginam memberikan
manfaat yang lebih besar daripada risiko yang didapat. Pemakaian oksitosin
pernah dipertanyakan berdasarkan anggapan bahwa tindakan ini dapat
meningkatkan masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu sehingga
memacu atau memperparah kaogulopati konsumtif atau sindroma emboli
cairan amnion.5,6

2.10 Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang
terus berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti
anemia, syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, ganguan pembekuan
darah, gagal ginjal mendadak, dan uterus Couvelaire disamping komplikasi
sindroma insufiensi fungsi plasenta pada janin berupa angka kematian perinatal
yang tinggi. Sindroma Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang terhindar

25
dari kematian setelah penderita syok yang berlangsung lama yang menyebabkan
iskemia dan nekrosis adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta.1,6
Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal merupakan
koplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Solusio plasenta
berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 25 % perempuan yang pernah
menderita solusio plasenta sebelumnya.1,6
Fungsi plasenta akan terganggu apabila peredaran darah keplasenta
mengalami penurunan yang berarti. Sirkulasi darah keplasenta menurun
manakala ibu mengalami perdarahan banyak dan akut seperti pada syok.1,6
Syok pada solusio plasenta diperkirakan terjadi akibat pelepasan
tromboplastin dari desidua dan plasenta masuk kedalam sirkulasi maternal dan
mendorong pembentukan koagualsi intravaskular beserta gambaran klinik lain
sindroma emboli cairan ketuban termasuk hipotensi.1,6
Kegagalan fungsi ginjal akut bisa terjadi apabila keadaan syok
hipovolemik yang berlama-lama, terlambat atau tidak memperoleh penanganan
yang sempurna. Penyebab kegagalan fungsi ginjal pada solusio polasenta belum
jelas, tetapi beberapa faktor dikemukakan sebagai penyebab utama terjadinya
kegagalan fungsi ginjal akut. Curah jantung yang menurun dan penyempitan
pembuluh darah ginjal akibat tekanan intrauterina yang meninggi keduanya
menyebabkan perfusi ginjal menjadi sangat menurun dan menyebabkan
anoksia. Koagulasi intravaskular dalam ginjal memberi kontribusi tambahan
kepada pengurangan perfusi ginjal selanjutnya. Penyakit hipertensi akut atau
kronik yang sering bersama atau bahkan sebagai penyebab solusio plasenta
berperan memperburuk fungsi ginjal pada waktu yang sama. Keadaan yang
umum terjadi adalah nekrosis tubulus-tubulus ginjal secara akut yang
menyebabkan kegagalan fungsi ginjal (acute tubular renal failure). Apabila
korteks ginjal ikut menderita anoksia karena iskemia dan nekrosis yang
menyebabkan kegagalan fungsi ginjal (acute cortical renal failure) maka
prognosisnya sangat buruk karena pada keadaan yang demikian angka kematian

26
(case spesific mortality rate) bisa mencapai 60%. Transfusi darah yang cepat
dan banyak serta pemberian infus cairan elektrolit seperti larutan ringer laktat
dapat mengatasi komplikasi ini dengan baik. Pemantauan fungsi ginjal salaah
satunya melalui pengamatan diuresis sangat berperan dalam menilai kemajuan
penyembuhan. Pengeluaran urin 30 ml atau lebih dalam satu jam menunjukkan
perbaikan fungsi ginjal.1,6
Couvelaire dalam permulaan tahun 1990 menamakan komplikasi ini
apoplexie uteroplacentaire. Pada keadaan ini perdarahan retroplasenta
menyebabkan darah menerobos melaului sela-sela serabut miometrium dan
bahkan bisa sampai ke bawah perimetrium dan ke dalam jaringan pengikat
ligamentum latum, ke bawah perisalping dan ke dalam ovarium bahkan bisa
mengalir sampai ke rongga peritonei. Keadaan miometrium yang telah
mengalami infiltrasi darah ini dilaporkan jarang menganggu kontraksinya
sampai menjadi atonia yang bisa menyebabkan perdarahan berat
pascapersalinan. Keadaan uterus yang demikian kemudian disebut uterus
Couvelaire. Uterus Couvelaire yang tidak sangat berat masih dapat berkontraksi
dengan baik jika isinya telah keluar, dan akan berkontraksi jika diberi oksitosin.
Dengan perkataan lain, uterus Couvelaire umumnya tidak akan menyebabkan
perdarahan berat dalam kala tiga dan kala empat dan oleh karena itu bukan
semua uterus Couvelaire merupakan indikasi histerektomi.1,6
Fungsi plasenta akan terganggu apabila peredaran darah ke plasenta
mengalami penurunan yang berarti. Sirkulasi darah ke plasenta menurun
manakala ibu mengalami perdarahan banyak dan akut seperti pada syok.
Peredaran darah ke plasenta juga menurun apabila telah terbentuk hematom
retroplasenta yang luas. Pada keadaan yang begini darah dari arteriola spiralis
tidak lagi bisa mengalir ke dalam ruang intervillus. Kedua keadaan tersebut
menyebabkan penerimaan oksigen oleh darah janin yang berada dalam kapiler
vili berkurang yang pada akhirnya menyebkan hipoksia janin. Sirkulasi darah ke
plasenta juga menurun disertai penurunan tekanan perfusi pada penderita

27
hipertensi kronik atau pre-eklamsia. Semua perubahan tersebut sangat
menurunkan permeabilitas plasenta yang punya kontribusi besar dalam proses
terjadinya sindroma insufisiensi fungsi plasenta yang mengakibatkan gawat
janin dan kematian janin tanpa terduga. Gawat janin oleh hipoksia disebabkan
oleh insufisiensi fungsi plasenta yang umumnya sudah terjadi pada solusio
plasenta sedang dan pada solusio plasenta berat umumnya telah terjadi kematian
janin.1,6
Fetal to Maternal Hemorrhage, pada solusio plasenta perdarahan
yang terjadi umumnya berasal dari peredaran darah ibu. Namun pada sekitar
20% solusio plasenta terutama bila solusio plasenta terjadi akibat trauma tumpul
pada abdomen menyebabkan kerusakan demikian rupa sampai sejumlah kapiler
vili ikut rusak dan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi janin masuk ke
dalam ruang intervillus dari plasenta untuk seterusnya masuk ke dalam sirkulasi
maternal.1,6

2.11 Prognosis
Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik bagi ibu hamil
dan lebih buruk lagi bagi janin. Solusio plasenta ringan masih mempunyai
prognosis yang baik bagi ibu dan janin karena tidak ada kematian dan
morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedangmempunyai prognosis yang lebih
buruk terutama terhadap janinnya karena morbiditas ibuyang lebih berat.
Solusio plasenta berat mempunyai prognosis paling buruk terhadap ibu lebih-
lebih terhadap janinnya. Umumnya pada keadaan yang demikian janin telah
mati dan mortalitas maternal meningkat akibat salah satu komplikasi. Pada
solusio plasenta sedang dan berat prognosisnya juga tergantung pada kecepatan
dan ketepatan bantuan medik yang diperoleh pasien. Transfusi darah yang
banyak dengan segera dan terminasi kehamilan tepat waktu sangat menurunkan
morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal.6

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Sulaiman Sastrawinata. Obstetri Fisiologi. Bandung : Eleman. Hal 102-122.


2005.

2. Prawirohardjo, Sarwono. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan;


Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan Bayi Baru Lahir
(Masalah Ibu); Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi ke-4. Jakarta: Penerbit P.T. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 492-513. 2008.
3. Mose, Johanes C. Penyulit Kehamilan; Perdarahan Antepartum; Dalam: Obstetri
Patologi, edisi ke-2. Editor: Prof. Sulaiman Sastrawinata, dr, SpOG(K), Prof. Dr.
Djamhoer Martaadisoebrata, dr, MPSH, SpOG(K), Prof. Dr. Firman F.
Wirakusumah, dr, SpOG(K). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC dan
Padjadjaran Medical Press. h. 91-96. 2004.
4. Suyono, Lulu, Gita, Harum, Endang. Hubungan Antara Umur Ibu Hamil Dengan
Frekuensi Solusio Plasenta di RSUD Dr. Moewardi Surakarta; Dalam: Cermin
Dunia Kedokteran vol.34 no.5.h 233-238. 2016.
5. Leveno, Kenneth J. MD; Cunningham, F. Gary MD; Alexander, James M. MD;
Bloom, Steven L. MD; Casey, Brian M. MD; Dashe, Jodi. S MD; et al.
Obstetrical Complications Section VII, Chapter 35. Obstetrical Hemorrhage. In:
Williams, 22nd edition. Editor: Anne Sydor, Marsha Loeb, Peter J. Boyle. United
States of America: McGraw-Hill Companies, Inc. 2007.
6. Miller David A.. Obstretric Hemmorhage. February, 2012. Available from :
<http//www.obfocus.com/.../bleeding/hemorrhagepa.htm>. Diakses pada 17
April 2019.

29
30

Anda mungkin juga menyukai