Reni
Nurhayati
Agung Santoso
Abstract. This study aims to determine how the dimensions of Draw A Person test (DAP) is able
to uncover traits from the 16 PF test (The Sixteen Personality Factor Questionnaire). Data from
200 subject who filled the DAP and 16 PF tests were processed and analyzed using exploratory
factor analysis and regression. From the analysis of factor analysis to people's image expression
data, we obtained 8 sets of factors, namely Factor I - VIII from DAP. From the regression test
between Factor 16 PF and the factor image test of the person, it was found several Factors 16 PF
which can be used to predict some expressions of people's images. These factors include Factor
Q3 which is able to predict Factor VII and Factor Q4 that is able to predict Factor I.
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar dimensi-dimensi penilaian
tes ekspresi gambar orang (DAP/Draw A Person) mampu mengungkap traits dari tes 16 PF (The
Sixteen Personality Factor Questionnaire). Sebanyak 200 data subjek yang berasal dari tes DAP
dan 16 PF diolah dan dianalisis menggunakan analisis faktor eksploratori dan regresi. Dari
pengujian analisis faktor terhadap data ekspresi gambar orang didapatkan 8 kumpulan faktor
yaitu Faktor I – VIII dari DAP. Dari pengujian regresi antara Faktor 16 PF dengan Faktor tes
gambar orang, didapatkan beberapa Faktor 16 PF yang dapat digunakan untuk memprediksi
beberapa ekspresi gambar orang. Faktor tersebut antara lain adalah Faktor Q 3 yang mampu
memprediksi Faktor VII dan Faktor Q4 yang mampu memprediksi Faktor I.
165
PSIKOLOGIKA: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi E-ISSN: 2579-6518
Korespondensi: Reni Nurhayati. E-mail: reni_rere89@yahoo.co.id.
165
Reni Nurhayati & Agung Santoso
Tes grafis saat ini masih banyak subjek yang sedang mengalami masalah,
digunakan sebagai alat asesmen maka hasil tes yang dapat dibaca adalah
kepribadian di Indonesia. Salah satu jenis bagian pola subjek sewaktu menghadapi
tes grafis yang peka terhadap masalah dan bukan merupakan pola
kecenderungan kepribadian seseorang kepribadian yang utuh pada subjek. Jika
secara personal adalah tes DAP (Draw A masalah yang kedua ini diinterpretasi oleh
Person) (Etikawati, komunikasi pribadi, 10 orang belum memiliki pengalaman dan
Mei 2010). Baum misalnya, hanya belum memiliki jam terbang yang tinggi,
mengungkap fungsi okupasi individu dan dikhawatirkan akan menghasilkan interpre-
tes House Tree Person (HTP) yang hanya tasi yang bersifat hanya membaca subjek
mengungkap tentang pola keluarga pada saat itu saja tanpa memperhatikan
individu. Dapat disimpulkan bahwa DAP kondisi subjek yang sesungguhnya
memiliki kemam-puan menyeluruh untuk (Etikawati, komunikasi pribadi, 10 Mei
melihat bagaimana subjek menghadapi 2010). Kelemahan yang kedua adalah tes ini
stimulus yang ada di hadapannya dan di bersifat subjektif, sehingga jika hasil tes ini
sekitarnya (Hooker & McAdams, 2003). diinterpretasi oleh orang yang belum
Menurut Machover, DAP juga mampu banyak memiliki jam terbang dan belum
mengungkap beberapa hal yang terkait banyak memiliki pengalaman dalam
dengan subjek secara spesifik, antara lain menginterpretasi tes grafis maka hasilnya
umur, sekolah, ambisi, karakteristik akan menjadi kurang valid (Groth-Marnat &
kepribadian, kehidupan serta perilaku di Robert, 1984).
dalam kehidupan keluarga pada subjek Berdasarkan kelemahan tersebut,
yang menggambar (Groth-Marnat & Robert, maka perlu dilakukan penelitian untuk
1984). Melengkapi pernyataan Machover, memberi alternatif metode pemberian skor
Sidney Levy menambahi bahwa DAP juga pada DAP. Alternatif ini diharapkan dapat
dianggap mampu mengungkap simbol mengisi objektivitas penilaian untuk DAP.
ekspresi atau ekspresi yang dituangkan Penilaian ini dilakukan dengan cara
subyek pada hasil gambarannya (Edwin & menggunakan ekspresi gambar pada DAP
Bellak, 1950). untuk mengungkap traits atau sifat pada
Tes grafis memiliki beberapa seseorang (Hooker & McAdams, 2003).
kelemahan yang dapat menggangu validitas Ekspresi gambar tersebut didapat dari
penggunaannya. Kelemahan yang pertama melihat dan menginterpretasi dimensi DAP.
adalah hasil tes grafis yang didapatkan Konsep-konsep yang mendasari
sangat tergantung pada situasi psikologis teknik-teknik analisis gambar DAP
subjek. Misalnya tes grafis diberikan pada dikembangkan dengan cara meneliti ribuan
kurang bermutu, pelan serta kurang tegas, Skor yang rendah, yakni disebut
kurang menyukai kontak sosial, lebih Zeppia (J-) dan skor yang tinggi, yaitu
memilih memiliki satu sedikit teman dekat Coasthenia (J+) merupakan bagian dari
daripada berkumpul dalam kelompok Faktor J. Zeppia (J-) memiliki beberapa
besar, dan tidak mampu menjaga kontak karakteristik, antara lain senang berada di
dengan semua yang ada di sekitarnya. Shy, dalam kelompok, senang memperhatikan,
timid, restrained, dan threat-sensitive penuh semangat, dan menerima keadaan
merupakan karakteristik yang tertera di standar yang biasa (Cattel, dkk., 1970).
lembar grafik 16 PF (Cattel, dkk., 1970). Coasthenia (J+) memiliki karakteristik,
Parmia (H+) memiliki beberapa antara lain cenderung memikirkan
karakteristik, antara lain merasa bebas kesalahnnya serta bagaimana menghindari
untuk ikut berpartisipasi, menyukai masalah tersebut, memelihara rasa lelah
keramahan, suka bertemu dengan orang, ketika bangun di pagi hari, cenderung
periang, dan aktif. Adventurous, “thick- curang, dan memperlihatkan kepribadian
skinned,” dan socially bold merupakan yang berbeda ketika berada di dalam
karakteristik yang tertera di lembar grafik keolompok. Faktor J merupakan faktor yang
16 PF (Cattel, dkk., 1970). tidak dimasukkan ke dalam skala 16 PF
Faktor I terdiri dari skor yang tetapi faktor ini penting di dalam HSPQ.
rendah, yakni disebut Harria (I-) dan skor Faktor ini melengkapi deskripsi dari
yang tinggi, yaitu Premsia (I+). Harria (I-) sumber sifat primer. Penelitian mem-
memiliki beberapa karakteristik, antara lain buktikan satu dari beberapa pola sulit
maskulin, menyukai hal-hal yang praktis, untuk diinterpretasikan dari sifatnya
cenderung dewasa, memiliki solidaritas (Cattel, dkk., 1970).
kelompok, dan realistis. Thought-minded Faktor L memiliki dua skor, antara
dan rejects Illusions merupakan lain skor yang rendah, yakni disebut Alaxia
karakteristik yang tertera di lembar grafik (L-) dan skor yang tinggi, yaitu Protension
16 PF (Cattel, dkk., 1970). Beberapa (L+). Tidak memiliki ambisi serta tidak
karakteristik yang berada pada Premsia bekerja keras, mudah berubah, siap untuk
(I+), antara lain menyukai perjalanan serta melupakan kesulitan, suka memberi
pengalaman, cenderung labil, kurang toleransi serta pemahaman, dan tidak
realistis, imaginatif, dan menyukai hal yang menaruh curiga, merupakan beberapa
dramatis. Tender-minded, sensitive, karakteristik yang dimiliki Alaxia (L-).
dependent, dan overprotected merupakan Trusting, accepting, dan conditions
karakteristik yang tertera di lembar grafik merupakan karakteristik yang tertera di
16 PF (Cattel, dkk., 1970). lembar grafik 16 PF (Cattel, dkk., 1970).
Protension (L+) juga memiliki beberapa terampil dalam menganalisis suatu sebab.
karakteristik, antara lain senang dengan hal Forthright dan unpretentious merupakan
yang berkitan dengan dogma, cenderung karakteristik yang tertera di lembar grafik
curiga pada gangguan, senang diam ketika 16 PF (Cattel, dkk., 1970). Pada Shrewdness
mengalami frustasi, dan kejam. Suspecting (N+) terdapat beberapa karakteristik,
dan jealous merupakan karakteristik yang antara lain memiliki dasar sosial, menyukai
tertera di lembar grafik 16 PF (Cattel, dkk., hal yang berkaitan dengan hal eksak
1970). (misalnya berhitung), pengertian terhadap
Skor yang rendah, yakni disebut diri sendiri maupun dengan orang lain,
Praxernia (M-) dan skor yang tinggi, yaitu ambisius, tegas, dan pandai. Astute dan
Autia (M+) adalah skor yang dimiliki Faktor worldly merupakan karakteristik yang
M. Praxernia (M-) memiliki beberapa tertera di lembar grafik 16 PF (Cattel, dkk.,
karakteristik, antara lain menyukai hal yang 1970).
praktis, fokus pada hasil, mudah bosan, Skor yang rendah, disebut dengan
menyukai hal yang realistis, dan Unstroubled Adequacy (O-) dan skor yang
bersungguh-sungguh. Practical dan has tinggi, yaitu Guilt Proneness (O+)
“down to earth” concerns merupakan merupakan bagian dari Faktor O.
karakteristik yang tertera di lembar grafik Unstroubled Adequacy (O-) memiliki
16 PF (Cattel, dkk., 1970). Autia (M+) beberapa karakteristik, antara lain percaya
memiliki beberapa karakteristik, antara lain pada diri sendiri, ulet serta tabah,
memiliki ide, tertarik dengan seni, teori, cenderung tenang, bijaksana, tidak begitu
dasar keprcayaan, imaginatif, dan memiliki terbuka, cenderung kurang sopan, dan tidak
fantasi dari pendapat praktis. Imaginative mudah khawatir. Self-assured, placid, secure,
dan absent-minded merupakan dan complacent merupakan karakteristik
karakteristik yang tertera di lembar grafik yang tertera di lembar grafik 16 PF (Cattel,
16 PF (Cattel, dkk., 1970). dkk., 1970). Pada Guilt Proneness (O+)
Faktor N memiliki dua skor yaitu memiliki beberapa karakteristik, antara lain
skor yang rendah, biasa disebut Naivete (N- mudah khawatir, mudah tertekan, mudah
) dan skor yang tinggi, yaitu Shrewdness tersentuh, memiliki pengertian yang kuat
(N+). Naivete (N-) memiliki beberapa pada orang lain, cermat, dan cenderung
karakteristik, antara lain kagok pada dunia suka sendiri. Apprehensive, self-reproaching,
sosial, orang yang tidak begitu jelas, insecure, worrying, dan troubled merupakan
emosionalnya hangat, spontan serta karakteristik yang tertera di lembar grafik
natural, memiliki selera yang sederhana, 16 PF (Cattel, dkk., 1970).
kurang memiliki insight diri, dan kurang
merupakan skor yang ada pada Faktor Q 4. layanan psikologi, berupa hasil tes grafis
Cenderung santai, tenang, cenderung dan tes 16 PF. Data tes grafis kemudian
lamban, kurang melakukan pencegahan, diinterpretasi oleh 2 orang psikolog dengan
dan senang menyusun sesuatu merupakan menggunakan skala diferensial semantik
beberapa karakter yang dimiliki Low Ergic yang mengukur masing-masing dimensi
Tension (Q4-). Relaxed, tranquil, torpid, pada tes DAP. Hasil interpretasi ini
unfrustrated, dan composed merupakan kemudian diuji reliabilitasnya dengan cara
karakteristik yang tertera di lembar grafik mengorelasikan skor dari psikolog pertama
16 PF (Cattel, dkk., 1970). High Ergic dengan skor psikolog kedua. Dimensi tes
Tension (Q4+) memiliki beberapa DAP yang memiliki reliabilitas rendah
karakteristik, antara lain cenderung senang digugurkan, kemudian skor dari dimensi
melakukan pencegahan, mampu mengge- yang tidak gugur dikorelasikan dengan skor
rakkan, terlalu mudah lelah, dan cenderung dari setiap faktor pada tes 16 PF.
suka bertingkah. Tense, frustrated, driven,
overwrought, dan fretful merupakan Subjek penelitian
karakteristik yang tertera di lembar grafik Sampel dalam penelitian ini
16 PF (Cattel, dkk., 1970). melibatkan data 200 orang yang mengikuti
Pada penelitian ini masing-masing seleksi kerja. Data tersebut berasal dari
dimensi DAP akan dikorelasikan dengan sebuah pusat layanan psikologi Yogyakarta.
masing-masing faktor yang ada pada 16 PF. Kesamaan keadaan subjek tersebut dimak-
Semakin besar korelasi yang terjadi antara sudkan agar ada keseragaman keadaan
dimensi yang telah ditemukan pada DAP tekanan pada subjek yang sedang
dan item yang ada di dalam 16 PF, maka mengerjakan tes DAP dan 16PF sehingga
dimensi tersebut dapat digunakan sebagai diharapkan bisa mengurangi variabel lain
standard dimensi untuk tes DAP. Standard yang mempengaruhi hasil tes dan
dimensi ini diharapkan dapat digunakan menghasilkan data yang dapat digunakan
untuk mening-katkan objektifitas para sebagai standar.
penginterpretasi dalam menginterpretasi
Metode pengumpulan data
tes DAP.
Metode pengumpulan data yang
penelitian kuantitatif dengan beberapa Metode data arsip dapat diperoleh melalui
tahapan. Pada tahap pertama, peneliti catatan atau dokumen yang mencatat
mengumpulkan data yang diperoleh dari aktivitas individu, institusi, pemerintah, dan
dokumen yang ada dipelajari untuk pada setiap rangkaian, kemudian diikuti
memperoleh data dan informasi dalam kontinum-kontinum psikologis dimana
penelitian ini, yaitu berupa data tes DAP kedua kutubnya berisi kata sifat yang
dan 16 PF pada 200 subjek dari suatu Biro berlawanan. Kata sifat yang berlawanan ini
Psikologi di Yogyakarta. meliputi kata sifat yang favorable dan kata
Penilaian dimensi pada DAP sifat yang tidak favorable (unfavorable)
dilakukan dengan menggunakan skala (Azwar, 1997). Pada penelitian ini, peneliti
diferensial semantik yang disusun oleh menggunakan skala yang menyediakan
peneliti. Skala yang digunakan terdiri dari pilihan jawaban dengan skor 1-7. Dimana
serangkaian kata sifat yang dapat menun- angka 1 memiliki nilai yang paling rendah
jukkan karakteristik stimulus yang dan angka 7 memiliki nilai yang paling
disajikan kepada sampel. Apabila tinggi dari masing-masing pernyataan.
serangkaian kata sifat yang menunjukkan Beberapa contoh dimensi yang digunakan
karakteristik stimulus atau objek sikap dalam skala, antara lain:
telah dipilih dan ditentukan, maka objek
sikap disajikan sebagai stimulus tungggal
1 2 3 4 5 6 7
b. Ukuran figur
Sangat kecil Sangat besar
1 2 3 4 5 6 7
2. Berdasarkan fungsional
a. Kepala
Sangat kecil Sangat besar
1 2 3 4 5 6 7
b. Mata
Tertutup Terbuka
1 2 3 4 5 6 7
Pembahasan
Faktor Q3 memiliki p = 0,050, hal
ini memasuki kriteria taraf signifikansi p ≤
0,05. Hal ini memperlihatkan bahwa
Faktor
VII memiliki hubungan yang cukup Faktor Q4 memiliki p = 0,006, hal ini
signifikan dan cukup mampu memprediksi memasuki kriteria taraf signifikansi p ≤
Faktor Q3 ( B = 0,069, T = 2,758, p = 0,006) 0,05. Hal ini memperlihatkan bahwa Faktor
yang memenuhi kriteria taraf signifikasi I memiliki hubungan yang signifikan dan
yang baru p ≤ 0,006. Beta (B) pada cukup mampu memprediksi Faktor Q 4 (B = -
hubungan signifikan antara Faktor VII pada 0,061, T = -3,513, p = 0,001) yang
DAP dengan Faktor Q3 pada 16 PF memiliki memenuhi kriteria taraf signifikasi yang
nilai yang positif. Hal ini memiliki arti jika baru p ≤ 0,006. Beta (B) pada hubungan
nilai Faktor VII meningkat maka nilai signifikan antara Faktor I pada DAP dan
Faktor Q3 juga meningkat, begitu pula jika Faktor Q4 pada 16 PF memiliki nilai yang
nilai Faktor VII menurun maka nilai Faktor negatif. Hal ini memiliki arti jika nilai Faktor
Q3 juga menurun. Berdasarkan pernyataan I meningkat maka nilai Faktor Q4 menurun,
tersebut, dapat dikatakan jika dimensi begitupun jika nilai Faktor I menurun maka
Faktor VII pada DAP, yaitu semakin panjang nilai Faktor Q4 meningkat. Berdasarkan
gambar alis, semakin rapi gambar alis, pernyataan tersebut, dapat dikatakan juga
semakin jelas gambar jari kaki maka dapat jika dimensi Faktor I pada DAP, yaitu
memprediksi Faktor Q3 pada 16 PF, yaitu penempatan gambar makin ke bawah, tipe
kontrol diri yang dimiliki seseorang garis semakin bertumpuk, semakin panjang
semakin baik, seseorang semakin terbuka gambar hidung, semakin besar gambar
pada peraturan sosial yang ada di hidung, maka dapat memprediksi Faktor Q4
sekitarnya, semakin tekun, semakin pada 16 PF, yaitu seseorang kurang cekatan
memiliki pemikiran pada masa depan, dalam melakukan suatu kegiatan, seseorang
memiliki perhatian pada orang lain, dan kurang memiliki perilaku dalam hal
memiliki ketelitian. Begitupun sebaliknya, pencegahan terhadap suatu hal,
semakin pendek gambar alis, semakin kecenderungan kurang suka bertingkah,
berantakan gambar alis, dan semakin tidak dan kecenderungan orang yang tidak
jelas gambar jari kaki, maka dapat mudah lelah. Begitupun sebaliknya, gambar
memprediksi Faktor Q3 pada 16 PF, yaitu lengan semakin menjauhi tubuh, semakin
seseorang yang memiliki kontrol diri yang kabur gambar tangan, semakin pendek
kurang baik, seseorang semakin tertutup gambar jari tangan, semakin tumpul
pada peraturan sosial yang ada di gambar jari tangan, semakin samar tipe
sekitarnya, semakin kurang tekun, kurang garis dalam gambar, dan semakin terbuka
memiliki pemikiran pada masa depan, gambar mulut, maka dapat memprediksi
kurang memiliki perhatian pada orang lain, Faktor Q4 pada 16 PF yaitu seseorang
dan kurang memiliki ketelitian. cekatan dalam melakukan suatu kegiatan,
Saran
Daftar Pustaka
Dari hasil analisis faktor dan analisis
Agnes, I. E. (2010). Pendapat tentang Draw-A-
regresi, ada beberapa dimensi Draw-A- Person (DAP) (Rekaman Seluler).
Yogyakarta: Fakultas psikologi
Person (DAP) yang dapat diprediksi oleh
Universitas Sanata Dharma.
Faktor 16 PF. Pengguna atau
Azwar, S. (1997). Reliabilitas dan validitas.
penginterpretasi Draw-A-Person (DAP) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
sebaiknya mempertimbangkan dimensi
Boyle, G. J. (1989). Re-examination of the
yang dapat diprediksi sebagai dimensi valid major personality factors in the
Cattel, Comrey, and Eysenck scales:
yang dapat digunakan untuk
Were the factor solutions of Noller
menginterpretasi tes Draw-A-Person (DAP). et al. optimal? Personality and
Individual Differences, 10(12), 1289-
Hal ini juga bisa dilakukan dengan cara 1299.
penginterpretasi menggunakan tes
(2004). 16 PF: Personality. Sage
kepribadian lain yang lebih valid untuk Benchmarks in Psychology
mendampingi interpretasi tes Grafis.
Carnivez, G. L., & Allen, T. J. (2005).
Saran untuk peneliti selanjutnya Convergent and factorial validity of
the 16 PF anf the NEO-PI-R. Naskah
adalah, berdasarkan beberapa kelemahan
dipresentasikan pada pada Konvensi
penelitian yang telah diuraikan pada bab Tahunan American Psychological
Association, Washington, DC.
sebelumnya, peneliti selanjutnya dapat
menambahkan jumlah sampel, sehingga Cattell, H. E. P. (1996). The original big five: A
historical perspective. European
sampel yang digunakan untuk analisis Review of Applied Psychology, 46(1),
dapat ideal. Peneliti selanjutnya juga bisa 5-14.
menambahkan dimensi DAP yang belum Cattel, R. B. (1975). Personality and motivation
structure and measurement. New
digunakan dalam penelitian ini. Kemudian, York: Harcourt, Brace and World.
peneliti selanjutnya bisa juga
(1973). Personality and mood by
mengorelasikan tes DAP dengan questionnaire. San Fransisco: Jossey-
menggunakan tes Kepribadian lain yang Bass.
mengungkap aspek yang berbeda dari Cattel, R. B., Eber, H. W., & Tatsuoka, M. M.
(1970). Handbook for the sixteen
atribut dari 16 PF. Peneliti selanjutnya juga
personality factor questionnaire.
dapat menggunakan teknik-teknik yang lain Champaign, Illinois: Institute for
Personality and Ability Testing.
untuk mendapatkan faktor-faktor yang
lebih objektif dari dimensi yang telah Conn, S. R. & Rieke, M. L. (1994). The 16 PF
fifth edition technical manual.
ditemukan oleh Machover, misalnya Champaign, Illinois: Institute for
menggunakan Multi Dimentional Scale Personality and Ability Testing.
(MDS).
JURNAL PSIKOLOGI 22
3
Jurnal Psikologi
Volume 44, Nomor 3, 2017: 223 – 235
DOI: 10.22146/jpsi.28243
Abstract. The availability of quality human resources was important for the continuity
excellence of company and for gaining competitive advantage in company. It could be obtained
by operationalizing development or placement as part of HR management practices based on
potential review. This led to the use of psychological tests. The accuracy of psychological tests
was required in potential review in order to predict future behavior. HR practitioners and
psychologists showed appreciation and confidence in psychological tests. However, it had not
been fully supported by empirical evidence regarding the accuracy of the tests for selecting
employees. The purpose of this study was to figure out the extent both tools in predicting
emotion control. The finding from 159 subjects showed that the activity factor PAPI-Kostick
and crown of tree predicted the emotion control.
Keywords: emotion control; predictive validity
Dewasa ini, dalam rangka pencapaian 2016). Hal ini mengarahkan pada penting-
kesinambungan kinerja perusahaan dan nya manajemen atau pengelolaan SDM yang
pencapaian keuntungan kompetitif, selain baik pula (Schermerhorn, 2010; Albrecht,
berfokus pada peningkatan teknologi dan Bakker, Gruman, Macey, & Saks, 2015). Salah
inovasi, perusahaan juga perlu menjamin satu bentuk praktik manaje- men SDM adalah
ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) potential review untuk mengevaluasi
yang baik (Schermerhorn, 2010; Koopmans, kapasitas baik kognitif maupun kepribadian
Hildebrandt, Bernaards, & Schaufeli, 2011; seorang karyawan (Dharmaraj & Sulaiman,
Almatrooshi & Singh, 2015). Evaluasi terhadap kedua hal tersebut
akan dijadi- kan dasar untuk menentukan
1
Korespondensi mengenai artikel ini dapat melalui:
kebutuhan pengembangan dan kecocokan
alice.whita.s@mail.ugm.ac.id, dengan
2
r.hidayat@ugm.ac.id
JURNAL PSIKOLOGI 22
4
PREDIKTIF PAPI-KOSTICK DAN BAUM, EMOSI KARYAWAN
JURNAL PSIKOLOGI 22
5
ada bukti penelitian yang menunjukkan labor. Cronbach’s Alpha skala ini = 0,96.
validitas dan reliabiitas alat tes PAPI-I.
Tes BAUM (tes gambar pohon) sama Analisis
seperti tes proyektif lainnya merepresen- Analisis regresi berganda dan diskiri- minan
tasikan struktur kepribadian id-ego-super ego digunakan dalam penelitian ini. Analisis
dari pandangan Freud. Id terdiri dari bagian regresi berganda digunakan untuk mengukur
yang tidak terorganisir dari struktur kekuatan hubungan antara predikor dan
kepribadian yang mengungkap kebutuhan kriteria juga menun- jukkan arah hubungan
dasar, insting, impuls, dan dorongan. Id antara keduanya. Analisis diskriminan untuk
diinterpretasi melalui bagian akar. Ego menentukan bobot dari prediktor yang paling
mengungkap hal-hal sadar yang berkaitan baik untuk membedakan karyawan dengan
dengan tindakan sadar dan terencana dalam pengendalian emosi baik dan kurang baik.
memenuhi id. Ego mencakup persepsi,
intelektual kognitif, dan fungsi defensif
Hasil
(Castillo, Kacprzyk, & Pedrycz, 2010). Hal ini
diinterpretasi melalui bagian batang. Tabel 1
Sedangkan superego mengacu pada kontrol Data demografis
terhadap id dan ego, pengendalikan impuls,
yang bertugas untuk menyempurnakan.
Superego mencakup fungsi kritik atau
melarang dorongan, perasaan, fantasi,
maupun tindakan (Castillo et al., 2010). Data
BAUM yang diambil adalah data yang ada
dalam proses potential review tahun 2015.
Hingga penelitian ini dilakukan, belum ada
bukti penelitian yang menunjukkan validitas
dan reliabiitas alat tes BAUM.
Pengendalian emosi diukur melalui
penilaian dari atasan, kolega, dan self report.
Penilaian pengendalian emosi disusun
dengan referensi skala emotional
Deskripsi Keterangan Jumlah
Jumlah Responden 159
Jenis Kelamin Laki-Laki 125
Perempuan 34
Tempat Penelitian Wisma MM 47
S1 19
PPAK 8
P2EB 10
MSI DOKTOR 8
MM JOG 12
MM JKT 41
MEP 6
MAKSI 8
Tabel 2
Reliabilitas alat ukur
Reliabilitas
Penilaian Perilaku
Instrumen BAUM PAPI-Kostick
Pengendalian Emosi
Alat Tes
Konsistensi internal rekan kerja rxx’ = 0,877
Konsistensi internal diri sendiri rxx’ = 0,768
Konsistensi internal atasan rxx’ = 0,646
Komposit rxx’ = 0,947
Inter-rater rxx’ = 0,069 rxx’ = 0,58
Reliabilitas alat ukur penilaian perila- ku prediktor (baik PAPI-Kostick secara
pengendalian emosi oleh rekan kerja, diri keseluruhan, BAUM secara keseluruhan,
sendiri, dan atasan masing-masing. Namun faktor-faktor PAPI-Kostick, ataupun bagian
demikian, tidak ada inter-korelasi diantara dan sub-bagian BAUM) yang mampu
ketiganya (Tabel 2). Hal ini didukung oleh membedakan karyawan dengan pengendalian
proses eksplorasi melalui analisis faktor yang emosi baik dan kurang baik. Namun
menunjukkan bahwa masing-masing rater demikian, koefisien Standardized Canonical
menginterpretasi hal yang berbeda dalam Discriminant menunjukkan hal yang selaras
setiap pernyataan aitem. Hasil ini, dengan hasil pada analisis regresi dimana
mengarahkan peneliti untuk menggunakan faktor aktivitas pada PAPI- Kostick dan
nilai total dari ketiga rater bukan mahkota (bentuk, kualitas garis mahkota, dan
menggunakan nilai rata-rata (Stemler, 2008). kontur mahkota) adalah faktor/bagian/sub-
Reliabilitas PAPI-Kostick menunjukkan sub bagian yang memiliki nilai fungsi yang
reliabilitas komposit yang baik. Berkebalikan lebih tinggi dibandingkan
dengan reliabilitas PAPI-Kostick, pada BAUM faktor/bagian/sub-
menunjukkan reliabilitas inter-rater yang sub bagian lainnya dari masing-masing alat
kurang baik (Tabel 2). tes PAPI-Kostick dan BAUM dalam memben-
Analisis diskriminan yang dilakukan tuk fungsi diskriminan.
dalam penelitian ini tidak menghasilkan
Tabel 3
Uji F analisis regresi
Model Summary R2 F p
PAPI-Kostick terhadap Pengendalian Emosi 0.052 1.184 0.135
BAUM terhadap Pengendalian Emosi 0.083 3.496 0.009
Tabel 4
Uji t analisis regresi
PAPI Kostick terhadap Pengendalian Emosi BAUM terhadap Pengendalian Emosi
Faktor B p Bagian B p
Arah kerja .177 .568 Kesan umum .193 .714
Kepemimpinan -.079 .782 Batang .392 .336
Aktivitas -.846 .040 Mahkota .806 .011
Pergaulan -.215 .542 Dahan -.295 .428
Gaya kerja -.354 .283
Sifat Temperamen .268 .391
Ketaatan .025 .955
Tabel 5
Uji korelasi sub bagian BAUM terhadap pengendalian emosi
Uji Korelasi r p
Proporsi -.020 .400
Lokasi .037 .322
Kualitas garis batang .165 .019
Kontur batang .169 .017
Shading batang .117 .071
Bentuk mahkota .183 .010
Kualitas garis mahkota .281 .000
Kontur mahkota .211 .004
Bentuk dahan -.037 .323
Kualitas garis dahan .194 .007
Kontur dahan .149 .031
Article
Value of the Goodenough
Drawing Test as a research tool
to detect developmental delay
in South African preschool
children
Abstract
There is a need for simple, cost-effective research tools to detect developmental delay in preschool
children in low- and middle-income countries where insufficient resources are often a barrier
to detection and management. The Goodenough Draw-a-Person test is freely available, easily
administered, and requires limited language ability and equipment; it is thus potentially useful in
resource-constrained settings. We aimed to determine the diagnostic accuracy of the Draw-a-
Person test to identify developmental delay in 5-year-old preschool children using the
Griffiths Mental Developmental Scales-Extended Revised eye-hand coordination subquotient as
the gold standard. This was a cross-sectional analysis of drawings by South African preschool
children from low-income families, whose Griffiths Mental Developmental Scales-Extended Revised
assessments included a human figure drawing. Draw-a-Person test quotients were estimated
independently by a developmental paediatrician and two medical officers to calculate inter-
rater agreement. The paediatrician’s scores were used to determine the diagnostic accuracy of the
Draw-a-Person test quotient (<85) to predict developmental delay with the eye-hand
coordination subquotient (<75). A total of 125 children were included, with a mean age of 60.8
months (range 59–66 months) of which 48.8% were boys. The mean Draw-a-Person test score
was 94 (standard deviation 15) with 28 Draw-a-Person test scores below 85. Applying the Draw-
a-Person test cut-off of 85, sensitivity
1Department of Paediatrics and Child Health and Tygerberg Children’s Hospital, Faculty of Medicine and Health Sciences,
Stellenbosch University
2Centre for Infectious Disease Epidemiology & Research, School of Public Health & Family Medicine, University of Cape Town,
South Africa
3Department of Psychology, Stellenbosch University, South Africa
4Division of Clinical Pharmacology, Department of Medicine, Faculty of Health Sciences, University of Cape Town, South
Africa
5Family Clinical Research Unit and Tygerberg Hospital,Department of Paediatrics and Child Health, Faculty of Medicine and Health
Keywords
Developmental delay, draw-a-person, fine motor delay, human figure drawing, preschool child,
research tool
Method
This was a cross-sectional neurodevelopmental sub-study linked to the Children
with HIV Early Antiretroviral Therapy (CHER) trial (Cotton et al., 2013). The
primary aim of the CHER study was to evaluate different antiretroviral regimens
over time in children from Cape Town and Soweto.
Participants
The participants were enrolled in two prospective interlinking studies during
2005–2006 at the Children’s Infectious Diseases Clinical Research Unit (KID-CRU)
(Laughton et al., 2012; Madhi et al., 2010). HIV+ children enrolled in the CHER
study at the Cape Town site and a control group of HIV-exposed uninfected (HEU)
and HIV-unexposed (HU) children from a concurrent vaccine trial (Madhi et al.,
2010) were recruited for a longitudinal neurodevelopmental sub-study. The
neurodevelopmental study inclusion criteria were birth weight greater than 2000
g, and no dysmor- phism or central nervous system insults such as foetal alcohol
syndrome, perinatal asphyxia, or metabolic abnormalities. HIV+ children were
enrolled in the CHER study before 12 weeks of age with a normal neurological
examination at that time. A total of 128 participants from the neurode- velopmental
sub-study with Griffiths assessments that included HFDs at 5 years of age were
Table 1. Characteristics of study participants (n = 125).
Characteristic Mean SD or n (%)
Age (months) 60.8 (SD = 1.2)
Sex
Male (%) 61 (48.8%)
Female (%) 64 (51.2%)
HIV status 76 HIV+ (60.8%)
21 HEU (16.8%)
28 HU (22.4%)
No preschool attendance 28 (22.4%)
Crèche 61 (48.8%)
Preschool (structured programme) 33 (26.4%)
Missing 3 (2.4%)
Abnormality on neurological exam Spastic 5 (4%)
Diplegia
Table 2. Correlation between Draw-a-person test and Griffiths mental developmental-extended revised subscale
quotients.
eligible for the study. Three drawings were excluded as they consisted of illegible
scribbles. Mean age was 60.8 months ranging from 59 to 66 months, and 48.8%
were boys (Table 1). The majority (76%) were attending a daycare or preschool
facility.
Instruments
The GMDS-ER is a comprehensive paediatric developmental assessment tool from
the United Kingdom (UK), which has been adapted and used extensively in South
Africa (Luiz et al., 2006). Training and certification are required to administer the
tests. It is a criterion and norm-referenced tool that assesses various developmental
domains in children from 2 to 8 years of age based on six sub- scales detailed in
Table 2. The raw scores are converted to z-scores, percentiles, and age-equivalents
derived from UK normative data. A subscale quotient is estimated by dividing the age-
equivalent by the chronological age expressed as a percentage. The general quotient
(GQ) is calculated by averaging all six subscale quotients.
Developmental delay is defined as a score more than two standard deviations
(−2 SD) below the expected mean (Davies et al., 2011). Thus, a general or
subquotient score below 70 indicates defi- nite developmental impairment by
British norms. However, there is no universally accepted defini- tion of delay, with
uncertainty as to which cut-off score is most relevant in the South African context.
The referral criteria vary, and are set by therapists based on local experience. For
this analysis, the conservative EHQ threshold of 75 (as opposed to 70) was set as
the score requiring referral for fur- ther diagnostic evaluation, to allow for the
imprecision of subquotient determination.
The human figure in the Goodenough DAP instrument is scored against 51
specified character- istics and applies a quantitative scoring system to the drawing
(Goodenough, 1926). This is expressed as a mental age and converted to a
standardised score or quotient. It therefore provides a non-verbal measure of
mental development for children 3–10 years old. A standard score below 85 was
taken to represent significant delay requiring referral (Ireton et al., 1971).
Procedure
All children were tested with the GMDS-ER at 5years of age by one of two
developmental paediatricians (B.L. and H.S.) assisted by a Griffiths-trained
translator (L.R.K.). The GMDS-ER Eye and Hand Coordination Subscale (EHQ)
includes an HFD which is scored differently to the DAP. Participants were tested
individually in the presence of their caregiver, who sat in the background but was
requested not to help or make comments. The children were instructed in their home
language to draw a person with a pencil in the Griffiths (1970) record book using the
standardised administration instructions outlined in the manual. They sat in a quiet
room and the assessor encouraged them ‘to draw the best possible person’ but did
not offer assistance and applied no time limit. Vision was assessed using a Snellen’s
picture chart and tiny cake decorations. Participants were excluded if any item on the
EHQ was missing.
Copies of each drawing were placed in three separate files with no identifying
information apart from a participant code. Drawings were then scored
independently according to the Goodenough DAP scoring system (Goodenough,
1926) by a third developmental paediatrician (P.S.) and two medical officers (E.K.
and H.E.). The assessors did not collaborate and were blinded to GMDS-ER findings
and to the HI and HIV-exposure status of the children. The medical officers had no
experi- ence with the Goodenough DAP scoring system prior to the study and used
the DAP instruction sheet for scoring. The DAP scores together with the de-
identified GMDS-ER data were converted into quotients and entered into an Excel
database.
Ethical considerations
The study was approved by the Stellenbosch University Health Research
Committee (N05/05/092). Informed consent was obtained in person from the
child’s legal guardian in their preferred lan- guage according to Good Clinical
Practice guidelines. Parents remained with their children for reassurance during
the assessments and only children who remained cooperative were tested.
Children with developmental problems were referred with parental consent to
relevant services. Clinical files were stored at the study site. No identifying data
were accessed during the analysis and data were stored on a password-protected
database.
Data analysis
Data were analysed using Stata version 14 (StataCorp LP, College StationTX).
Continuous data were described using mean and standard deviation (SD) if
symmetrically distributed; otherwise the median and interquartile range (IQR).
Pearson’s correlation analysis of all the GMDS-ER
subscales was used to assess the relationship between continuous variables, and
the associated confidence interval (CI) was derived using Fisher’s tranformation.
CIs which show the likely degree of correlation in the population were calculated
rather than p is values, which only test whether the correlation is significantly
different from zero. If the 95% CI provided does not include a zero, the correlation
is significantly different from zero at the 5% level of significance.
Intraclass correlations (ICCs) between the DAP and the EHQ and GQ were also
calculated. The correlation coefficients were used to determine strength of the
relationship between variables. Cohen (1992) suggested that effect sizes could be
categorised as small (r = 0.10), medium (r = 0.30), and large (r = 0.50). We used
two-way random effects ICC to measure the inter-rater agreement between DAP
values by the three scoring clinicians. Sensitivity and specificity and 95% CI and
positive and negative predictive values were calculated for DAP quotient less than
85 versus EHQ using an EHQ threshold of 75.
Optimal cut-off points for DAP versus the EHQ as gold standard were explored
using receiver oper- ating characteristic (ROC) curves. The area under the ROC curve
and its significance were examined using a non-parametric assumption. Various
thresholds were tested to identify the optimal values.
Results
Participant characteristics
A total of 128 drawings were available. Three consisted of illegible scribbles and
were excluded and these children all had EHQs below 75 (i.e., 62, 72, and 58.3),
confirming definite developmen- tal delay. The DAP scores was calculated on the
remaining 125 drawings. GMDS-ER EHQ scores were available for all 125, and GQ
scores for 123 participants.
Inter-rater agreement
Agreement on overall DAP scoring between the developmental paediatrician and
medical officers was fair (ICC = 0.73, 95% CI = [0.43–0.86]. The medical officers
tended to give higher scores than the developmental paediatrician. For participants
with DAP less than 85 the ICC was 0.66, 95% CI = [0.56–0.81], whereas amongst
those with DAP⩾ 85, ICC was 0.58, 95% CI = [0.18–0.78].
Diagnostic accuracy
Using a DAP threshold of 85 as specified by Ireton to indicate developmental delay
we generated optimal sensitivity and specificity for an EHQ below 75. The
threshold of 85 was tested using the experienced scorer (P.S.). Sensitivity of the
DAP:EHQ was 80% and specificity 89%. In all, 19
Table 3. Diagnostic properties of the Goodenough Draw-a-Person score <85 when predicting scores
<75 on Griffiths eye-hand coordination subscale.
(68%) of the 28 participants with developmental delay on the DAP were also
delayed on EHQ, while 91 of 97 (93.8%) participants scoring above 85 on the DAP
were not delayed on the EHQ (Table 3). Thus, when comparing the DAP with the
GMDS-ER there was concordance between the two tests in classifying participants
as delayed versus non-delayed in 110 (92.8%) participants, that is, giving positive
and negative predictive values of 64.5% and 94.7% (Tables 3).
There were six false negative results using the DAP threshold of 85 i.e., DAP
greater than/equal to 85 but EHQ less than 75 (range 69.9–74.8). Two of these
children had a borderline DAP score of 85. Only one child with DAP⩾ 85 had an
EHQ less than 70 (definite developmental delay). This child also had severe
language delay (language subquotient 56.9), an EHQ of 69.9, and GQ of 70.7 but a
DAP score of 102.
We identified optimal cut-off points for DAP versus the EHQ gold standard using
ROC curves. Various thresholds were tested to identify the optimal values. Using
the area under the ROC curve the variable DAP threshold of 85.6 was the best
predictor for EHQ < 75 (ROC = .87; p =< .001) versus the DAP threshold of 85
(ROC = .84, p < .001) (Table 3).
Diagnostic accuracy was initially also estimated for the DAP versus GQ, however,
the low prevalence of global developmental delay (3%) in the cohort precluded the
diagnostic accuracy analysis of DAP/GQ, as it undermined positive predictive value
determinations.
Discussion
We assessed the diagnostic accuracy of the Goodenough DAP instrument as a
research tool, to detect developmental delay, against the gold standard GMDS-ER
assessment in 125, 5-year-old South African children from low-income families. The
correlation between the DAP and the EHQ (eye-hand coordination quotient) was the
strongest according to Cohen’s criteria (Cohen, 1992), and less so for the GMDS-ER
GQ. Burger, who tested 30 children with a wider age range using the DAP:IQ version,
found a strong correlation with GMDS-ERGQ (r = .76) (Burger, 2008). However
although the DAP:IQ has better psychometric properties than the Goodenough DAP
(Miles et al., 2016), it requires longer administration time and the need to import
and pay for manuals, often unfeasible in LMIC.
The DAP threshold score of 85 yielded optimal sensitivity and specificity and a
high negative predictive value for the EHQ, demonstrating its value to screen for
delayed eye-hand coordination. By identifying children with a DAP score <85 we
would have detected 76% of those with signifi- cant developmental delay as
indicated by an EHQ < 75. Of the remaining 34%, only one had severe delay, that is,
EHQ < 70.
Inter-rater agreement was good when identifying DAP scores < 85 but less so on
higher scores. The three assessors interpreted certain descriptors differently, for
example, ‘Firm lines without overlapping at junctions’. These disparities in scoring
require further analysis.
The mean Griffiths GQ and EHQ of our cohort were significantly below average,
that is, more than one SD below the standardised UK norms (Griffiths, 1970).
Similar findings were reported by Lowick, Sawry, and Meyers (2012), who
compared neurodevelopment of 31 HIV+ South African children (mean EHQ 77.2)
with 30 ‘apparently healthy’ children (mean EHQ 82.8). Allan (1992) reported that
lower socio-economic status adversely affected performance, with South African
children from a higher socio-economic bracket performing better. Our cohort were
all of lower socio-economic status, some with additional risks for cognitive delay,
that is, HIV infection (50%), and exposure (20%), and would thus require
developmental surveillance (Potterton, Hilburn, & Strehlau, 2015).
The South African Road to Health Book (RTHB) is a caregiver-held document in
which the child’s routine immunisations, growth parameters, and unscheduled
clinic visits are recorded. It includes a developmental milestone checklist to be
completed by primary healthcare nurse practi- tioners (Western Cape Government
Department of Health, 2011). In the 2011 version, it listed ‘Ability to draw a stick
person’ as the only developmental criterion for fine motor development at 5–6
years, however, there were no accompanying administration or scoring guidelines.
It would, however, be impractical to use the Goodenough DAP in this setting, as the
scoring system is time- consuming and requires standardised instruction sheets
and training.
The DAP is currently used in developmental assessment clinics in South Africa as
an informal component of a more comprehensive assessment. However, the DAP
may have additional clinical applications, for example, for doctors working in busy
community-based paediatric clinics. Children with a DAP below 85 could be
referred to an occupational therapist for further assessment and therapy.
Validation of the DAP as a research tool could thus inform its clinical use. Children
with mild versus severe delay comprise 85% of those with developmental delay
and intellectual disability and have the potential to make significant gains with
early intervention (Sadock, Sadock, Ruiz, & Kaplan, 2009).
A recent study involving 345 American preschoolers found that while the
DAP:IQ scores were not a valid measure of cognitive ability, they were useful to
screen for fine motor delay in at-risk children (Rehrig & Stromswold, 2018).
Likewise, Tü kel et al. (2018) also reported that the HFD was influenced largely by
visual perception and visuomotor control at 5.5 years in a group of Swedish
children. These latter two studies concur with our findings.
The strengths of our study are as follows: first the DAP scores were calculated by
independent assessors blinded to the child’s GMDS-ER results as well as their HIV
infection or exposure status. Second, although the age-band of the cohort was
narrow, it represents an age at which children require school readiness testing and
would benefit from intervention prior to school entry. In addi- tion, this cohort was
representative of children needing developmental surveillance, that is, HIV+, HEU,
and HU children from LMICs. Children from economically disadvantaged
environments with developmental impairment who receive therapeutic input prior
to school entry show improved scholastic achievement (Heckman, 2006). Finally,
children scoring below the cut-off point (DAP less than 85) had mild to moderate
(vs severe) developmental delay on the GMDS-ER, a group often undetected at an
earlier age.
The study was, however, limited by the low prevalence of global developmental
delay in the sample (3%). Paediatric HIV clinics have previously reported higher
prevalence of global delay (55%) which probably relates to much later
antiretroviral therapy initiation than in the CHER cohort (Potterton et al., 2015).
Also, our cohort included HEU and HU children not expected to
have severe developmental problems. Second, the findings are not generalisable to
all South African preschool children as this cohort had a narrow age range. Finally,
the inclusion of the HFD task in the GMDS-ER, even though the scoring method
differs from the DAP, could have con- founded the diagnostic assessments.
Conclusion
Our findings support using the DAP as a research tool to detect fine motor and
visuoperceptual delay in 5-year-old children. It could complement a more
comprehensive assessment including verbal and non-verbal tasks. In addition there
are clinical contexts where the DAP may be useful, that is, for medical practitioners
in resource-constrained outpatient settings. Children with DAP scores ⩽ 85 or
those unable to draw a person could be referred to an occupational therapist for
assessment and intervention where indicated. However, we recommend that future
studies should initially focus on a full standardisation of the DAP to include a
broader cross-section of South African society with a wider age range. One could
then evaluate the ability of the DAP to predict later scholastic performance in
reading, writing, and mathematics.
Acknowledgements
The authors acknowledge Dr Henriette Saunders and Ms Lungiswa Khethelo for their assistance with
the Griffiths assessments, Dr Hesti van Huyssteen for her assistance with the scoring of the human
figure draw- ings and Ms Tonya Esterhuizen for her statistical support.
Funding
The authors declared receipt of the following financial support for the research, authorship, and/or
publication of this article: Support for the CHER study, which provided the infrastructure for the
neurodevelopmental sub-study, was provided by the US National Institute of Allergy and Infectious
Diseases through the CIPRA network, Grant U19 AI53217; the Departments of Health of the Western
Cape and Gauteng, South Africa; and GlaxoSmithKline. Additional support was provided with Federal
funds from the National Institute of Allergy and Infectious Diseases, National Institutes of Health,
United States Department of Health and Human Services, under Contract No. HHSN272200800014C.
Permission to conduct the neurodevelopmental sub-study on this cohort was granted by Avy Violari,
Shabir Madhi, Mark Cotton and the CHER steering committee. Neurodevelopmental assessments from
were funded through grants from the Harry Crossley Foundation and the South African Medical
Research Council (MRC), the National Research Foundation of South Africa and CIPRA-SA.
ORCID iD
Priscilla Estelle Springer https://orcid.org/0000-0001-8882-5688
References
Allan, M. M. (1992). The performance of South African normal pre-school children on the Griffiths Scales
of mental development: A comparative study (Unpublished MA dissertation). Nelson Mandela
Metropolitan University, Port Elizabeth, South Africa.
Arden, R., Trzaskowski, M., Garfield, V., & Plomin, R. (2014). Genes influence young children’s human
figure drawings and their association with intelligence a decade later. Psychological Science, 25,
1843– 1850.
Burger, R. (2008). Human figure drawings and the general mental development of South African
chil- dren (Unpublished MA dissertation), Nelson Mandela Metropolitan University, Port
Elizabeth, South Africa.
Cohen, J. (1992). Quantitative methods in psychology. Psychological Bulletins, 112, 155–159.
Cotton, M. F., Violari, A., Otwombe, K., Panchia, R., Dobbels, E., Rabie, H., & Lazarus, E. (2013). Early
time-limited antiretroviral therapy versus deferred therapy in South African infants infected with
HIV: Results from the children with HIV early antiretroviral (CHER) randomised trial. The Lancet,
382, 1555–1563. doi:10.1016/S0140-6736(13)61409-9
Davies, L., Dunn, M., Chersich, M., Urban, M., Chetty, C., Olivier, L., & Viljoen, D. (2011). Developmental
delay of infants and young children with and without fetal alcohol spectrum disorder in the
Northern Cape Province, South Africa. African Journal of Psychiatry, 14, 298–305.
Goodenough, F. (1926). Measure of intelligence by drawing. New York, NY: World Book.
Griffiths, R. (1970). The abilities of young children (Child Development Research Centre). London,
England: University of London Press.
Harris, D. (1963). Children’s drawings as measures of intellectual maturity (A revision and extension of
the goodenough draw-a-man Test (DAP)). New York, NY: Harcourt Brace Jovanovich.
Heckman, J. J. (2006). Skill formation and the economics of investing in disadvantaged children.
Science, 312, 1900–1902.
Hunkin, V. (1950). Validation of the goodenough draw-a-man test for African children. Journal for
Social Research, 1, 52–63.
Imuta, K., Scarf, D., Pharo, H., & Hayne, H. (2013). Drawing a close to the use of human figure drawings
as a projective measure of intelligence. PLoS ONE, 8(3), e58991.
doi:10.1371/journal.pone.0058991
Ireton, H., Quast, W., & Gantsher, P. (1971). The draw-a-man test as an index of developmental
disorders in a pediatric outpatient population. Child Psychiatry and Human Development, 2, 42–
49.
Kamphaus, R. W., & Pleiss, K. L. (1991). Critiques of school psychological materials draw-a-person
tech- niques tests in search of a construct. Journal of School Psychology, 29, 395–401.
Koppitz, E. M. (1968). Psychological evaluation of children’s human figure drawings. New York, NY:
Grune & Stratton.
Laughton, B., Cornell, M., Grove, D., Kidd, M., Springer, P. E., Dobbels, E., & Cotton, M. F. (2012). Early
antiretroviral therapy improves neurodevelopmental outcomes in infants. AIDS, 26, 1685–1690.
Lowick, S., Sawry, S., & Meyers, T. (2012). Neurodevelopmental delay among HIV-infected preschool
chil- dren receiving antiretroviral therapy and healthy preschool children in Soweto, South
Africa. Psychology, Health & Medicine, 17, 599–610. doi:10.1080/13548506.2011.648201
Luiz, D. M., Faragher, B., Barnard, A., Knoesen, N., Kotras, N., Burns, L. E., & Challis, D. (2006). Griffiths
mental development scales-extended revised, (GMDS-ER) two to eight years (Analysis manual).
Oxford, UK: Hogrefe.
Luiz, D. M., Foxcroft, C. D., & Tukulu, A. N. (2004). The Denver II scales and the Griffiths Scales of men-
tal development: A correlational study. Journal of Child and Adolescent Mental Health, 16, 77–81.
doi:10.2989/17280580409486573
Madhi, S. A., Adrian, P., Cotton, M. F., Mcintyre, J. A., Jean, P., Meadows, S., & Klugman, K. P. (2010).
Effect of HIV infection status and ant-retroviral treatment on quantitative and qualitative
antibody responses to pneumococcal conjugate vaccine in infants. The Journal of Infectious
Disease, 202, 355– 361. doi:10.1086/653704
McCarthy, D. (1972). Manual for the McCarthy scales of children’s abilities. New York, NY:
Psychological Corporation.
Miles, S., Fulbrook, P., & Mainwaring-Magi, D. (2016). Evaluation of standardized instruments for use
in universal screening of very early school-age children: Suitability, technical adequacy, and
usability. Journal of Psychoeducational Assessment, 36, 99–119. doi:10.1177/0734282916669246
Oates, L. (1938). Goodenough drawing test and its application to Zulu children (MA dissertation).
University of Stellenbosch, Stellenbosch, South Africa.
Potterton, J., Hilburn, N., & Strehlau, R. (2015). Developmental status of preschool children receiving
cART: A descriptive cohort study. Child: Care, Health and Development, 42, 410–414.
doi:10.1111/cch.12321 Rehrig, G., & Stromswold, K. (2018). What does the DAP: IQ measure?
Drawing comparisons between
drawing performance and developmental assessments. Journal of Genetic Psychology, 179, 9–18.
Reynolds, C. R., & Hickman, J. (2004). Draw-a-person intellectual ability test for children, adolescents,
and adults, examiners manual (DAP:IQ). Austin, TX: Pro-ed.
SEMINAR ASEAN
2nd PSYCHOLOGY & HUMANITY
© Psychology Forum UMM, 19 – 20 Februari 2016
Richter, L., Mabaso, M., & Hsiao, C. (2015). Predictive power of psychometric assessments to identify young
learners in need of early intervention data from the birth to twenty plus cohort, South Africa. South African
Journal of Psychology, 46, 1–16. doi:10.1177/0081246315599476
Richter, L. M., Griesel, R. D., & Wortley, M. (1989). The draw-a-man test: A 50-year perspective on draw- ings
done by black South African children. South African Journal of Psychology, 19, 1–5.
Sabanathan, S., Wills, B., & Gladstone, M. (2015). Child development assessment tools in low-income and middle-
income countries how can we use them more appropriately. Archives of Disease in Childhood, 100, 482–488.
doi:10.1136/archdischild-2014-308114
Sadock, B. J., Sadock, V. A., Ruiz, P., & Kaplan, H. I. (2009). Kaplan & Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry
(9th ed., pp. 3444–3474). Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins.
Sherr, L., Macedo, A., Cluver, L. D., Meinck, F., Skeen, S., Hensels, I. S., & Tomlinson, M. (2017). Parenting, the other
oldest profession in the world – A cross-sectional study of parenting and child outcomes in South Africa and
Malawi. Health Psychology and Behavioral Medicine, 5, 145–165. doi:10.1080/2164 2850.2016.1276459
Stroud, L., Foxcroft, C., & Green Bloomfield, E. C. J. (2016). Griffiths III. Oxford, UK: Hogrefe.
Tü kel, Ş., Eliasson, A. C., Bő hm, B., & Smedler, A. C. (2018) Simple categorization of human figure drawings at 5
years of age as an indicator of developmental delay. Developmental Neurorehabilitation. Retrieved from
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17518423.2018.1532969?journalCode=ipdr20
Venter, A., & Bham, A. (2003). The usefulness of commercially available culture fair tests in the assessment of
educational success in Grade 1 Black pupils in South Africa — An explorative study. Journal of Child and
Adolescent Mental Health, 15, 33–37. doi:10.2989/17280580309486538
Western Cape Government Department of Health. (2011). Minister Botha launches road to health booklet.
Jonga. Retrieved from www.exploregov.za
Zeegers, I., Rabie, H., Swanevelder, S., Edson, C., Cotton, M., & van Toorn, R. (2009). Attention deficit hyperactivity
and oppositional defiance disorder in HIV-infected South African children. Journal of Tropical Pediatrics, 56,
97–102. doi:10.1093/tropej/fmp072
23
SEMINAR ASEAN
2nd PSYCHOLOGY & HUMANITY
© Psychology Forum UMM, 19 – 20 Februari 2016
Abstrak. Tes Wartegg merupakan salah satu asesmen tes psikologi untuk mengungkap kepribadian.
Hingga sekarang tes ini masih digunakan sebagai salah satu pemeriksaan psikologis pada bidang psikologi
industri organisasi. Tujuan dari penelitian ini untuk menggambarkan profil kepribadian calon karyawan
yang ditinjau dari Tes Wartegg. Penelitian ini menggunakan 22 responden yang melamar kerja di
perusahaan. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan
dengan dokumentasi data calon karyawan yang mengikuti pemeriksaan psikologis pada tahun 2015 di
salah satu Biro Psikologi Kota Malang. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa hal; yang pertama, jika
dibandingkan 4 fungsi kepribadian dalam tes wartegg, hasil frekuensi tertinggi ada pada fungsi activity
yaitu aspek controlled dengan prosentase 17,1% dan hasil terendah pada fungsi intellect yaitu aspek
practical dengan prosentase 15,1%. Temuan lain dalam penelitian ini adalah data IQ dari Culture Fair
Intelligence Test (CFIT) yang tidak memiliki pengaruh dengan skor fungsi intellect pada tes wartegg.
Kata kunci : Profil kepribadian, tes wartegg, seleksi karyawan
Pendahuluan
Asesmen menggunakan instrumen psikologis telah digunakan secara luas dalam berbagai bidang yang
berbeda, seperti industri dan organisasi, sekolah, klinis, pusat konseling dan lain sebagainya. Pada bidang
industri dan organisasi, asesmen tes psikologi ini sering digunakan untuk seleksi karyawan. Sehingga
mampu membantu mengklasifikasikan kondisi psikologis calon karyawan dan disesuaikan dengan
kebutuhan perusahaan.
Pada bidang industri dan organisasi, instrumen psikologis yang sering digunakan dalam melakukan
seleksi pada karyawan yaitu, Culture Fair Intelligence Test (CFIT), Tes Kemampuan Differensial (TKD),
Pemahaman (A1), Dominan Influence Steadiness Conscientiousness (DISC), Papi Kostick, Kraepelin, Tes
Wartegg dan Grafis. Masing- masing instrumen psikologis ini mempunyai makna yang berbeda-beda, Tes
Wartegg sendiri menggali mengenai kepribadian individu. Menurut Sunberg (1977) asesmen
kepribadian yaitu prosedur yang digunakan untuk mengembangkan impresi dan gambaran, membuat
keputusan dan menguji hipotesis mengenai pola dari karakter individu yang menentukan perilakunya
ketika berinteraksi dengan lingkungan.
Tes Wartegg masih menjadi salah satu andalan alat tes yang digunakan dalam seleksi karyawan,
karena sampai saat ini masih diyakini mampu menggambarkan profil kepribadian seseorang. Tes
Wartegg mengungkapkan fungsi-fungsi dan aspek-aspek di dalamnya. Fungsi Emotion memiliki dua aspek,
yaitu aspek Open dan Seclusive. Fungsi Imagination juga memiliki dua aspek, yaitu aspek Combinate dan
aspek Creative. Fungsi Intellect memiliki dua aspek, yaitu aspek Practical dan Speculative. Fungsi Activity
juga memiliki dua aspek di dalamnya, yaitu aspek Dinamic dan aspek Controlled. Hasil penelitian oleh Aulia,
Kustimah dan Frerick (2007) tentang “Hubungan antara Hasil Tes Rorschach dengan Wartegg Zeihen
Test (WZT) dalam Menggali Aspek Emosi dari Kepribadian” menyebutkan bahwa stimulus emosi dari
lingkungan memiliki korelasi yang positif dengan eksekusi seseorang untuk memberikan respon yang
menggambarkan indikator content emosi Outgoing. Hal ini menunjukkan bahwa kepribadian seseorang
dapat ditinjau dari instrumen psikologi, salah satunya adalah tes wartegg.
24
SEMINAR ASEAN
2nd PSYCHOLOGY & HUMANITY
© Psychology Forum UMM, 19 – 20 Februari 2016
Tes Wartegg berkembang sejak awal 1920-an dan 1930-an, dipelopori oleh Ehrigg Wartegg bermula
di negara Jerman hingga saat ini di Indonesia masih berkembang dan terus digunakan. Tes Wartegg
menggunakan teknik proyektif, yaitu teknik yang diberikan melalui stimulus-stimulus yang tidak
terstruktur dan ambigu (Roivainen, 2009). Setiap individu diminta untuk merespon stimulus dari 8 kotak
pada Tes Wartegg dan dari hal tersebut akan diperoleh berbagai respon yang menggambarkan sisi
ketidaksadaran (unconsiousness) diri individu. Sehingga Tes Wartegg ini tidak mampu dimanipulasi,
meskipun dimanipulasi tetap akan memproyeksikan apa yang sedang dirasakan individu tersebut.
Dilansir dari hasil penelitian Soilevuo dan Cato (2011) mengenai “Wartegg Zeichen Test: A Literature
Overview and a Meta-Analysis of Reliability and Validity” menyebutkan bahwa meski Tes Wartegg memiliki
validitas dan reliabilitas yang tinggi, namun Tes Wartegg belum mampu
25
membangun pengetahuan yang kumulatif, karena memiliki bias budaya yang tinggi. Hal ini membuktikan
bahwa Tes Wartegg memiliki kelemahan yang tidak dapat diabaikan, namun tingkat reliabilitas dan
validitasnya bisa dipertanggungjawabkan. Karena Tes Wartegg dapat di interpretasi melalui analisa
kuantitatif dan analisa kualitatif.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil kepribadian pada calon karyawan dengan
menggunakan Tes Wartegg, yaitu penggambaran kepribadian calon karyawan melalui tes seleksi kerja.
Tinjauan Pustaka
Definisi Tes Wartegg
Tes Wartegg merupakan salah satu asesmen tes psikologi yang digunakan untuk evaluasi
kepribadian (personality assessment). Tes ini adalah tes proyektif yang merupakan kombinasi dari teknik
completions dan expressions karena telah memiliki stimulus-stimulus yang perlu diselesaikan dengan
mengekspresikan suatu gambar (nieizel & bemstein,1987). Teknik proyektif dalam tes wartegg adalah
teknik konstitutif yaitu subjek diberikan materi yang belum berstuktur, yang kemudian subjek diminta
untuk memberi struktur (Frank, dalam Karmiyati & Suryaningrum, 2008).
Materi tes yang digunakan dalam tes wartegg bertujan untuk menghindarkan faktor-faktor
yang mengancam, misalnya dari tes yang ambigu dan asing, yang mungkin menimbulkan keragu-raguan.
Ukuran segi empat bertujuan membantu subjek memusatkan perhatiannya pada tempat yang terbatas
pada stimulus. Bingkai hitam segiempat bertujuan untuk memusatkan perhatian pada stimulus.
Hasil karya wartegg kemudian lebih dikenal dengan istilah drawing completion test, hal ini karena
subyek harus melengkapi gambar-gambar kecil yang telah tersedia dengan tujuan mengeksplorasi struktur
kepribadian/ fungsi-fungsi dasar.
Cakupan diagnostik dari tes wartegg adalah menggali fungsi dasar kepribadian seperti emosi,
imajinasi, dinamika, kontrol dan fungsi realitas yang dimiliki oleh individu (Kinget, 1964). Dasar dari tes ini
adalah bahwa tiap individu memiliki cara-cara yang berbeda di dalam mempersepsi dan bereaksi terhadap
situasi yang tidak terstruktur dan cara-cara ini merupakan pembeda bagi masing-masing kepribadian
(Kinget, 1964).
Teori Wartegg
Tes Wartegg dikembangkan pada tahun 1920 dan 1930-an. Tes Wartegg merupakan tes yang berakar
dari psikoanalisis dan psikologi Gestalt (Roivainen, 2009). Psikologi Gestalt berasumsi bahwa keseluruhan
terdiri dari bagian-bagian dan bagian-bagian adalah keseluruhan, bahwa objek atau gambar dalam tes
wartegg adalah sebuah kesatuan yang merupakan cerminan dari pengalaman seseorang yang
menggambar.
Psikologi Gestalt dikembangkan dari Teori Psikoanalisa yang menekankan bahwa manusia dibentuk
oleh pengalaman masa lalunya yang tidak bisa lepas dari dirinya saat ini. Begitupun dalam menggambar,
saat subjek memunculkan respon stimulus jelas merupakan pengalaman masa lalu atau apa yang pernah ia
lihat sebelumnya. Respon-respon yang muncul dalam gambar merupakan suatu ide yang dapat
memunculkan ide-ide baru, hal ini terkait dengan teori psikologi asosiasi, yaitu semua gambar memiliki
hubungan dengan ide-ide pertama yang muncul dan sebagai simbol-simbol tertentu merespon
stimulus.
Profil Kepribadian pada Tes Wartegg
Ada 4 fungsi dasar menurut wartegg yang dimiliki oleh manusia dengan intensitas yang berbeda-beda.
Keempat fungsi dasar tersebut adalah emosi, imajinasi, intelek dan aktivitas. Empat fungsi dasar tersebut
dibagi menjadi 8 aspek/ tipe kepribadian yaitu ;
a. Emotion
Open atau Outgoing (extraversion) : Individu berorientasi pada dunia luar dan mudah berhubungan
dengan orang lain. Mereka biasanya penggembira, easy going dan bebas dari ketegangan, yang
memudahkan penyesuaian dirinya tetapi cenderung membuat mereka secara emosionil agak datar.
Seclusive (introversion) : Kurang berorientasi pada lingkungan di luar dirinya, perhatiannya lebih terarah
pada dirinya sendiri, cenderung melihat sesuatu dari sudut pandang dan sikap pribadi, sangat
sensitive dan mudah menjadi terlalu sensitive atau depresi.
b. Imagination
Combining : Tipe combining mengambil materi langsung dari sekelilingnya dan diorganisir sesuai
dengan standar yang obyektif serta menghasilkan bentuk yang sesuai dengan dunia luar. Imajinasi ini
didasarkan atas persepsi dan berorientasi pada realitas.
Creative : Ditandai dengan kurangnya hubungan dengan realitas. Individu lebih menyukai hal-hal abstrak
atau simbol-simbol emosional, filosifis atau mistikly. Kalau berlebihan imajinasi ini akan merupakan
hambatan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari.
c. Intellect
Practical : Individu dengan practical intellect bertindak terutama berdasarkan persepsi, observasi dan
ditandai antara lain oleh cara berpikir yang teratur. Orientasinya tertuju pada fakta, hal-hal yang
konkrit dan penalaran induktif.
Speculative : Mengutamakan prinsip-prinsip, penalaran, teori lebih ditekankan daripada fakta, observasi
dan hal yang tidak praktis.
d. Activity
Dinamic : Aktivitas yang dinamis mencakup semua bentuk dan tingkat dorongan energi dari yang
mobil sampai yang impulsive. Individu dengan aktivitas yang dinamis senang akan hal-hal yang baru,
percaya diri, antusias, berani. Individu memiliki energi yang memungkinkan melakukan bermacam-macam
aktivitas dalam waktu yang sama.
Controlled : Aktivitas yang ditandai dengan konsistensi bertingkah laku dan kemampuan untuk
mengambil keputusan secara tegas. Individu membuat perencanaan sebelum bertindak. Perhatiannya
terpusat, mereka menyukai ketenangan dan keteraturan. Tingkah lakunya tampak konsisten dan
tenang. Jika berlebihan mungkin berkembang menjadi fiksasi, terhambat dan kompulsif.
Metode Penelitian
Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif deskriptif, yaitu menginterpretasikan data yang
diperoleh dari sampel populasi penelitian yang dianalisis sesuai dengan metode statistik (Sugiyono, 2003).
Subjek penelitian
Subjek penelitian ini merupakan pelamar pekerja yang mengikuti pemeriksaan psikologis di salah satu Biro
Psikologi Kota Malang pada tahun 2015. Jumlah sampel penelitian ini adalah 22 responden. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik simple random sampling, yaitu data yang diambil secara
acak tanpa memperhatikan strata yang ada pada responden (Winarsunu, 2009).
Variabel dan intrumen penelitian
Peneliti mengkaji variabel profil kepribadian dari Tes Wartegg, yang terdiri dari 4 fungsi kepribadian, yaitu Emotion,
Imagination, Intellect, dan Activity. Masing-masing fungsi tersebut memiliki dua aspek, yaitu pada Emotion terdapat Outgoing
dan Seclusive, Imagination terdapat Combining dan Creative, Intellect terdapat Practical dan Speculative, Activity terdapat
Dinamic dan Controlled.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah teknik analisa kuantitatif pada Tes Wartegg, yaitu
analisa content dan execution. Analisa content dan execution pada kuantitatif setiap stimulus diberi skor antara ½
sampai 3, setelah itu dijumlahkan. Dan didapatkan skor yang kemudian hasil tiap skor tiap subjek
dilakukan analisa deskriptif.
Prosedur dan analisa data penelitian
Prosedur penelitian yaitu mengumpulkan data dilakukan dengan dokumentasi data peserta calon
karyawan yang mengikuti pemeriksaan psikologis di salah satu Biro Psikologi Kota Malang pada tahun
2015. Metode analisa data menggunakan teknik deskriptif yaitu dengan mengkategorisasikan tingkat fungsi
dan aspek menggunakan T-score.
Tahapan yang dilakukan peneliti dalam analisa data, pertama memberikan skor pada tiap-tiap
stimulus sesuai dengan analisa kuantitatif Tes Wartegg. Kedua, mengkategorisasikan berdasarkan fungsi
dan aspek pada Tes Wartegg dengan menggunakan T-score sehingga ditemukan kategori tinggi dan rendah.
Ketiga, peneliti melakukan analisa profil kepribadian berdasarkan kategorisasi tersebut.
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan ISSN 2579-6348 (Versi
Seni Vol. 4, No. 1, April 2020: hlm 1-8 Cetak) ISSN-L 2579-6356 (Versi
Elektronik)
IQ
Berdasarkan tabel 1 mengenai deskripsi subjek penelitian diatas terlihat bahwa usia 21 - 30 tahun
memiliki prosentase yang paling banyak yaitu 36% disusul dengan usia 41 - 50 tahun sebanyak 32%. Hal ini
menunjukkan bahwa responden dengan usia 21 - 30 tahun paling banyak yang sedang mencari pekerjaan. Tidak
jauh berbeda dengan usia 41 - 50 tahun yang ternyata terbukti terbanyak kedua yang sedang mencari pekerjaan.
Pada aspek jenis kelamin, ditemukan bahwa pelamar lebih banyak berjenis kelamin laki-laki, yaitu dengan
prosentase 59%, dan untuk pelamar kerja yang berjenis kelamin perempuan memiliki prosentase 41%. Pada
aspek pendidikan terakhir, ditemukan bahwa responden ada yang lulusan SD hingga lulusan S2, dengan
prosentase pelamar kerja terbanyak pada lulusan S1 yang memiliki prosentase 36%. Pada aspek IQ yang
dibuktikan dengan hasil skor Tes Culture Fair Intelligence Test (CFIT) bahwa responden memiliki keseimbangan
IQ, yaitu 50% yang memiliki IQ diatas rata-rata, dan 50% yang memiliki IQ dibawah rata-rata. Dari deskripsi
subjek diatas bisa dikatakan bahwa responden pada penelitian ini memiliki keragaman latar belakang, yaitu usia,
pendidikan terakhir, jenis kelamin dan IQ. Maka keragaman ini bisa menjadi salah satu latar belakang untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran profil kepribadian responden sebagai calon karyawan.
Tabel 2. Deskripsi fungsi kepribadian
Fungsi Prosentase Total
Tinggi Rendah
Emotion 38,7% 61,3% 100%
Imagination 40,9% 59,1% 100%
Intellect 34% 66% 100%
Activity 45,4% 54,6% 100%
https://doi.org/10.24912/ 2
jmishumsen.v4i1.3870
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan ISSN 2579-6348 (Versi
Seni Vol. 4, No. 1, April 2020: hlm 1-8 Cetak) ISSN-L 2579-6356 (Versi
Elektronik)
ABSTRACT
Aggression is a behavior that includes intention to hurt others both physically and psychologically. Some risk
factors that play an important role in aggression are lack of anger control and problem solving. Anger
management training and problem solving training can improve the ability to manage and express anger in a
socially competent behavior, and solve problems with the right considerations without involving aggressive
behavior. Problem solving skills are important for adolescents. This study aims to determine whether the
application of group anger management and problem solving training can reduce aggressive behavior among
male adolescents in LPKA. The five study participants had records of aggressive behavior from young age to
adolescence and often resolved problems through aggressive behavior. The anger management and problem
solving training group lasted for 8 sessions. This study uses mixed method one group pre-test post-test design.
Evaluations were conducted using Draw-A-Person Test, BAUM, and Aggressive Behavior Scale before and after
the intervention. The results of this study indicate that the five participants showed a decrease in aggressive
behavior scores. Changes between pre-test and post-test of Draw- A-Person Test and BAUM can be seen from
changes in drawing of person made by participants based on the size, location of the drawing, shape, lines, and
attributes of the drawing.
Keywords: Anger management, problem solving, aggressive behavior, adolescents, Correctional Institution
ABSTRAK
Perilaku agresi adalah suatu kategori perilaku yang ditunjukkan dengan niat untuk menyakiti orang lain baik
secara fisik maupun secara psikologis. Beberapa faktor risiko yang memainkan peran penting dalam perilaku
agresi adalah kurangnya kemampuan pengendalian kemarahan dan pemecahan masalah. Pelatihan anger
management dan problem solving training dapat meningkatkan kemampuan mengelola dan
mengekspresikan kemarahan dalam bentuk perilaku yang kompeten secara sosial, serta memecahkan
masalah dengan pertimbangan yang tepat tanpa melibatkan perilaku agresi. Kemampuan pemecahan
masalah juga merupakan komponen dalam keterampilan hidup yang penting bagi remaja. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui seperti apakah penerapan group anger management dan problem solving
training dapat menurunkan perilaku agresi pada remaja pria di LPKA. Kelima partisipan penelitian ini
memiliki latar belakang perilaku agresi sejak usia sekolah hingga remaja dan seringkali menyelesaikan
masalah dengan melibatkan perilaku agresi. Group anger management dan problem solving training yang
dijalankan oleh partisipan berlangsung selama 8 sesi. Penelitian ini menggunakan mixed method one group
pre-test post-test design. Evaluasi dilakukan menggunakan Draw-A-Person Test, BAUM, dan Skala Perilaku
Agresi sebelum dan sesudah intervensi dilaksanakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelima
partisipan mengalami penurunan skor perilaku agresi. Perubahan dalam evaluasi pre-test dan post-test
Draw-A-Person Test dan BAUM dapat dilihat dari perubahan gambar orang yang dibuat oleh partisipan
berdasarkan aspek ukuran, letak gambar, bentuk, coretan garis, dan atribut pada gambar.
Kata Kunci: Anger management, problem solving, perilaku agresi, remaja, Lembaga Permbinaan
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perilaku agresi pada remaja dianggap sebagai topik yang semakin penting untuk diteliti, karena
banyak penelitian telah menunjukkan bahwa perilaku agresi dapat mewakili faktor risiko untuk
beberapa dampak yang destruktif, termasuk putus sekolah, penyalahgunaan zat dan aktivitas
kriminal terutama pada remaja (Babore, Carlucci, Cataldi, Phares, & Trumello, 2016). Buss dan
Perry (1992) menyatakan perilaku agresi sebagai perilaku yang ditunjukkan dengan niat untuk
https://doi.org/10.24912/ 4
jmishumsen.v4i1.3870
menyakiti orang lain baik secara fisik maupun secara psikologis. Meskipun dapat terjadi di seluruh
lapisan masyarakat, remaja merupakan kelompok yang sangat rentan untuk melakukan perilaku
agresi. Sebagian besar remaja berhasil mengatasi masalah perilakunya dan tidak menjadi perilaku
kriminal, Sebaliknya, remaja yang tidak berhasil mengatasinya cenderung mengembangkan
perilaku antisosial dan kekerasan ketika dewasa (Papalia & Martorell, 2014).
Cillessen, Lansu, dan Berg (2014) menjelaskan bahwa remaja dengan status yang rendah
cenderung menunjukkan agresi permusuhan (hostile aggression) yang dipahami sebagai agresi
yang impulsif, tidak dipikirkan, muncul dari kemarahan dan memberikan cedera pada orang lain.
Sedangkan, agresi instrumental lebih ditunjukkan pada remaja dengan status tinggi. Agresi
instrumental dapat dipahami sebagai agresi dengan dorongan atau motivasi yang direncanakan
untuk mencapai beberapa tujuan. Remaja cenderung menampilkan bentuk agresi yang terlihat
(overt aggression), yaitu tindakan konfrontasi dari agresi fisik seperti perkelahian fisik, bullying,
penggunaan senjata tajam dalam tindakan kejam, dan menentang aturan sosial dengan sengaja
(Connor et al., 2004). Perilaku agresi yang terjadi dikalangan remaja, tidak terlepas dari pengaruh
kepribadian seseorang. Salah satu faktor yang berperan timbulnya perilaku agresi adalah jenis
kelamin. Remaja yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai kecenderungan untuk berperilaku
agresi lebih tinggi dan terlibat dalam agresi fisik (Santrock, 2011).
Faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku agresi pada remaja yaitu faktor internal maupun
faktor eksternal. Faktor internal tersebut meliputi perasaan frustasi, gangguan pengamatan dan
tanggapan remaja atas situasi, gangguan berpikir dan inteligensi remaja, serta gangguan
perasaan/emosional remaja. Faktor eksternal meliputi faktor media, pengaruh alkohol dan
narkoba, serta faktor lingkungan, seperti keluarga, sekolah, dan tempat tinggal (Kartono, 2011).
Remaja mempunyai sifat yang cenderung lebih agresi, emosi tidak stabil, dan sulit menahan
dorongan. Pada masa pubertas atau masa menjelang dewasa, remaja mengalami banyak pengaruh-
pengaruh dari luar yang menyebabkan remaja terbawa pengaruh oleh lingkungan tersebut. Hal
tersebut mengakibatkan remaja yang tidak bisa menyesuaikan atau beradaptasi dengan lingkungan
yang selalu berubah-ubah akan melakukan perilaku yang maladaptif, seperti contohnya perilaku
agresi yang dapat merugikan orang lain dan juga diri sendiri (Silva, Soares, & Oliveira, 2014). Relasi
dengan teman sebaya tampaknya memainkan peran penting dalam perilaku agresi remaja.
Menampilkan perilaku agresi dapat menjadi cara untuk mendapatkan popularitas atau status sosial
yang tinggi dengan menunjukkan kekuatan atau kontrol. Tekanan teman dapat menyebabkan
tingkah laku agresi karena takut terisolasi atau kehilangan kedudukan sosial (Liu, Lewis, & Evans,
2012).
Salah satu pemicu yang umum dari perilaku agresi adalah emosi marah. Meskipun emosi marah
merupakan sesuatu yang alamiah dan perlu untuk diekspresikan, namun seringkali marah yang
tidak diekspresikan dengan tepat memiliki konsekuensi yang berpotensi merusak dan merugikan
(Lok, Bademli, & Canbaz, 2018). Beberapa studi menunjukkan perilaku agresi ini telah dianggap
sebagai prediktor ketidaksesuaian remaja yang menunjukkan bahwa mereka juga berisiko tinggi
untuk kesulitan mengelola emosi negatif, masalah psikologis, dan masalah relasi sosial dalam
jangka pendek dan panjang Estévez, Jiménez, & Moreno, 2018). Ketidakmampuan mengelola emosi
negatif juga mengarahkan pada ketidakmampuan menyelesaikan masalah dengan tepat tanpa
melibatkan perilaku agresi. Seringkali remaja dengan emosi yang cenderung tidak stabil (Santrock,
2011) menyelesaikan masalah dengan melibatkan agresi yang dianggap sebagai reaksi wajar sesuai
situasi-situasi yang sering mereka lihat di lingkungan sekitar dan media (Merrill, Smith, Cumming,
& Daunic, 2016). Meskipun tidak secara eksplisit reaktif, pengaruh teman sebaya dalam jejaring
sosial menunjukkan agresi adalah perilaku yang dapat diserap melalui
pemodelan kontak yang melibatkan agresi oleh orang-orang sekitar, terutama teman sebaya (Faris
& Ennett, 2012).
Terkait dengan maraknya kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia, setiap pelaku kekerasan tentu
akan diproses secara hukum. Hal ini juga berlaku bagi pelaku yang masih berusia remaja, termasuk
remaja di LPKA Tangerang. Agresi merupakan sesuatu yang sulit diubah tanpa bantuan intervensi
(Krahe, 2013). Oleh sebab itu, anak didik di Lembaga Permbinaan Khusus Anak (LPKA) rentan
untuk menunjukkan tingkat agresi yang tetap tinggi, baik selama di dalam Lapas maupun saat
bebas. Perilaku agresi salah satunya dapat dikurangi dengan penanganan Anger Management.
Dalam hal ini, anger management, didasarkan oleh teori sosial kognitif yang menjelaskan bahwa
kemarahan yang tidak dapat dikontrol dengan baik dapat ditampilkan dalam bentuk agresi,
sehingga individu tersebut perlu belajar kembali cara-cara mengurangi atau menahan amarahnya
dengan mengamati atau mempelajari perilaku baru yang lebih positif (Down, Willner, Watts, &
Griffiths, 2010). Selain anger management, keterampilan pemecahan masalah juga dianggap sebagai
keterampilan manajemen diri yang penting karena merupakan komponen dalam keterampilan
hidup. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah pada remaja telah banyak berhubungan
dengan munculnya perilaku agresi. Kemampuan pemecahan masalah diperlukan bagi remaja untuk
memecahkan masalah dengan tepat tanpa melibatkan agresi (Mirzaei, Meimandi, Mousavi, Raesi, &
Masoudi, 2016). Hal ini dikarenakan perilaku agresi yang tidak ditangani akan cenderung stabil
bertahan dan dilakukan oleh remaja sebagai cara untuk menyelesaikan masalah hingga dewasa
kelak (Krahe, 2013). Oleh karena itu, peneliti ingin memberikan intervensi kelompok dengan
menggunakan anger management dan problem solving training kepada kelima anak ini agar dapat
meningkatkan kontrol perilaku agresi yang ditampilkan oleh masing-masing anak dengan mampu
mengontrol amarah dan memecahkan masalah dengan tepat. Intervensi kelompok diberikan dalam
bentuk pelatihan sebagai salah satu bentuk pendekatan intervensi yang terbukti efektif pada target
perilaku dan peningkatan keterampilan (Fredberg & Brelsford, 2013). Dengan demikian
permasalahannya “Apakah anger management dan problem solving training dapat menurunkan
perilaku agresi pada remaja di LPKA?”
2. METODE PENELITIAN
Partisipan
Partisipan penelitian lima remaja laki-laki yang berpartisipasi dalam anger management dan
problem solving training memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) berada dalam tahapan usia
remaja akhir (15-18 tahun), (b) merupakan anak didik LPKA (Andikpas) (c) memiliki latar belakang
dan menunjukkan perilaku agresi secara verbal maupun fisik (d) dan memiliki skor IQ setidaknya
mendekati rata-rata ke atas.
Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan mixed method one group pre-test post-test design yang dilakukan
dengan menggunakan wawancara semi terstruktur, serta alat ukur kala Perilaku Agresi, Draw-A-
Person, dan BAUM. Pada desain tersebut, dilakukannya pengukuran terhadap variabel terikat
kepada partisipan dalam satu kelompok penanganan yang sama sebelum dan sesudah intervensi
diberikan. Partisipan mengisi alat ukur Skala Perilaku Agresi, Draw-A-Person, dan BAUM. Lalu,
partisipan menjalankan 8 sesi terapi kelompok anger management dan problem solving training.
Setelah terapi kelompok selesai dijalankan, partisipan mengisi alat ukur Skala Perilaku Agresi, tes
Draw-A-Person, dan tes BAUM kembali yang dianalisa untuk mengetahui perbandingan hasil
sebelum dan sesudah pemberian intervensi.
Instrumen penelitian
Tes Grafis: Draw-A-Person dan BAUM
Tes grafis dilakukan untuk mengetahui gambaran perkembangan kepribadian anak, emosi, dan
perilaku. Selain itu, tes grafis juga digunakan untuk melihat indikasi agresi pada anak (Machover,
1949). Analisa gambar dilakukan berdasarkan beberapa prinsip interpretasi Ogdon (1974).
Perlengkapan penelitian
Selama melakukan penelitian, terdapat beberapa perlengkapan yang perlu dipersiapkan. Sebelum
penelitian dilakukan, partisipan diberikan lembar informed consent. Selain itu, hal yang diperlukan
untuk melakukan pretest dan posttest adalah lembar alat ukur Skala Perilaku Agresi, kertas HVS
berukuran A4, pensil HB, dan penghapus. Pada saat terapi kelompok berlangsung, perlengkapan
yang harus disediakan adalah kertas A3, karton, spidol, pensil warna, pulpen, kertas memo, laptop,
video, lem, beberapa lembar kerja, dan reward poin keaktifan.
Prosedur penelitian
Peneliti pertama-tama melakukan screening kepada 50 Andikpas di LPKA Tangerang dengan
menggunakan tes Draw-A-Person, BAUM, dan CFIT. Kemudian peneliti mendapatkan 5 orang siswa
memiliki kecenderungan perilaku agresi. Berdasarkan hasil anamnesa dengan kelima partisipan
diketahui bahwa kelima partisipan memang memiliki latar belakang perilaku agresi sejak usia
kanak-kanak hingga remaja. Hal yang memicu perilaku agresi para partisipan adalah adanya suatu
situasi atau orang yang mengancam atau mengganggu mereka, perasaan frustrasi, serta pengaruh
lingkungan tempat tinggal dan kelompok pertemanan yang marak dengan perilaku agresi. Setelah
itu, peneliti memberikan lembar informed consent untuk meminta kesediaan partisipan menjalani
proses terapi kelompok. Lalu, partisipan diminta mengisi alat ukur Skala Perilaku Agresi untuk
mengetahui tingkat agresi dari kelima partisipan. Selanjutnya, kelima
partisipan menjalani terapi kelompok anger management dan problem solving training selama 8
sesi. Setelah selesai diberikan program intervensi, kelima partisipan mengisi kembali alat ukur
state Skala Perilaku Agresi, tes Draw-A-Person, dan BAUM sebagai posttest. Hasil pretest dan
posttest kemudian dibandingkan untuk mengetahui dampak dari program intervensi terhadap
tingkat agresi dari kelima remaja.
Pelaksanaan intervensi
Metode intervensi kelompok diberikan dengan mengenalkan problem solving training dengan
tujuan partisipan belajar menyelesaikan masalah tanpa melibatkan agresi. Selain itu, anger
management juga diberikan untuk membantu partisipan mengelola kemarahan yang diharapkan
dapat menurunkan kecenderungan agresi pada remaja laki-laki di LPKA Tangerang. Tahapan yang
akan dilakukan pada saat terapi dirancang berdasarkan intervensi problem solving training dan
anger management yang diterapkan oleh Mirzaei, et al. (2016) untuk meningkatkan kemampuan
kontrol agresi pada narapidana. Mirzae, et al. (2016) menerapkan 6 sesi inti terapi, sedangkan
peneliti menambahkan dua sesi tambahan yaitu sesi pembuka dan penutup (terminasi), sehingga
menjadi 8 sesi terapi. Sesi pembuka diberikan bertujuan untuk membangun komitmen dan
memberikan pemahaman yang seragam terkait proses terapi kepada setiap partisipan. Sedangkan
sesi penutup ditambahkan untuk merangkum dan mengevaluasi proses terapi bersama seluruh
partisipan.
Sesi pertama dimulai dari perkenalan kelompok, tujuan dan gambaran kegiatan terapi, serta
membangun komitmen kelompok. Sesi kedua merupakan awal sesi inti yang merupakan pengantar
dan perkenalan kemampuan pemecahan masalah, tujuan dan tahapan pemecahan masalah. Sesi
ketiga dilanjutkan lebih mendalam memahami aplikasi pemecahan masalah dengan media video,
diskusi kelompok, dan analisa. Sesi keempat bertujuan untuk membangun pemahaman partisipan
mengenai amarah dan agresi, yaitu perbedaan dan kaitan keduanya, serta pemicu, perilaku, dan
konsekuensinya. Sesi kelima dilanjutkan dengan pendalaman pemahaman tentang faktor serta
konsekuensi dari amarah dan agresi melalui sharing dan self-analysis. Sesi keenam, partisipan
diperkenalkan dan mencoba teknik-teknik kontrol amarah dengan role play serta brainstorming
(relaksasi, bersikap asertif, dan self-talk). Sesi ketujuh, partisipan mencoba mengaplikasikan
kontrol amarah dan pemecahan masalah dengan tepat dikaitkan dengan masalah atau pengalaman
hidup mereka sebelumnya. Sesi kedelapan adalah sesi terminasi.
Tabel 1. Skor Total Alat Ukur Skala Perilaku Agresi pada Pre-test dan Post-
test
Pre-test Post-
test
Partisipan Skor Total Partisipa Skor Total
Skala Perilaku n Skala Perilaku
Agresi Agresi
R 42 R 39
NF 46 NF 29
D 46 D 37
A 44 A 36
F 49 F 37
50
40
30
20
10
0
R NF D A F
Pre-test Post-test
Grafik 1. Skor Total Alat Ukur Skala Perilaku Agresi Pre-test dan Post-test
Terjadi perubahan pada mean skor total Skala Perilaku Agresi partisipan penelitian pada posttest
jika dibandingkan dengan skor pada saat pre-test (lihat Grafik 1). Rata-rata dari total skor alat ukur
Skala Perilaku Agresi jika pre-test dan post-test dibandingkan mengalami penurunan skor.
Partisipan menunjukkan kontrol diri yang lebih baik dan menjangkau relasi sosial dengan cara yang
lebih positif dibandingkan sebelumnya dengan menurunnya skor pada item-item perilaku agresi
yang melibatkan orang lain. Namun, hasil pengukuran menggunakan AQ-SF tidak dapat
memastikan penurunan kecenderungan agresi partisipan karena kecenderungan faking good. Hal
ini berkaitan dengan evaluasi alat ukur AQ-SF yang memiliki beberapa kerentanan terhadap respon
faking dari partisipan, di antaranya bentuk alat ukur berupa self-report dan hanya melibatkan
unfavorable item. Maka, penilaian penurunan kecenderungan agresi perlu dikaji pula dengan
perbandingan pre dan post-test Grafis.
Evaluasi Partisipan
Sebelum menjalani terapi kelompok, beberapa partisipan dipengaruhi emosi negatif dalam
menentukan solusi masalah dan melibatkan perilaku agresi sebagai salah satu cara merespon
masalah. Selama mengikuti kegiatan sesi pada sesi ketujuh yang menuntut partisipan untuk
mengaplikasikan cara kontrol amarah dan penyelesaian masalah yang tepat sesuai dengan kasus
maupun berdasarkan pengalaman partisipan masing-masing, secara keseluruhan partisipan
dapat menerapkan cara kontrol amarah dan penyelesaian masalah yang lebih positif dengan
menghindari perilaku agresi. Hal ini merupakan perubahan yang lebih positif dibandingkan
awal sesi. Secara umum, insight yang ditunjukkan partisipan memerlihatkan pemahaman
mereka mengenai pentingnya kontrol amarah dan penyelesaian masalah yang tepat sebagai
beberapa cara untuk menghindari agresi, yaitu dengan berpikir sebelum bertindak dan
menyelesaikan masalah dengan tenang.
Berdasarkan evaluasi data secara keseluruhan, tidak semua partisipan memperlihatkan tipe agresi
yang serupa, serta pemecahan masalah bukan merupakan masalah utama partisipan, sehingga
intervensi problem solving skill training dinilai kurang tepat mengatasi masalah agresi partisipan. Di
sisi lain, pelatihan problem solving menjadi edukasi baru yang positif dengan mengarahkan para
partisipan untuk mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih tepat masalah. Selain itu,
kegiatan kelompok selama intervensi mengarahkan partisipan semakin mampu untuk berinteraksi
secara positif dengan banyaknya kegiatan yang mendorong mereka untuk bekerja sama. Hal ini
mengarahkan pada penghayatan partisipan yang lebih positif terkait relasi sosial dan diri sendiri.
REFERENSI
Babore, A., Carlucci, L., Cataldi, F., Phares, V., & Trumello, C. (2017). Aggressive behaviour in
adolescence: Links with self-esteem and parental emotional availability. Social
Development, 26(4), 740–752.
Friedberg, R. D., & Brelsford, G. M. (2013). Training methods in cognitive behavioral
therapy: tradition and invention. Journal of Cognitive Psychotherapy, 27(1), 19–29.
Bryan, F., & Smith, B. (2011). Refining the architecture of aggression: A measurement
model for the Buss Perry aggression questionnaire. Journal of Research in
Personality 35, 138-167.
Cattell, R. (1979). Are culture fair intelligence tests possible and necessary? Journal of
Research and Development in Education, 2, 2-13.
Cillessen, A., Lansu., & Berg, Y. (2014). Aggression, hostile attributions, status, and
gender: A continued quest. Development and Psychopathology, 26, 635-644.
Connor, D.F., Steingard, R.J., Cunningham, J.A., Anderson, J.J., & Melloni, R.H. (2004).
American Journal of Orthopsychiatry, 74(2), 129–136.
Down, R., Willner, P., Watts, L., & Griffiths, J. (2010). Anger management groups for
adolescents: A mixed-methods study of efficacy and treatment preferences.
Clinical Child Psychology and Psychiatry, 16(1), 33–52.
Estévez, E., Jiménez, T.I., & Moreno, D. Aggressive behavior in adolescence as a predictor of
personal, family, and school adjustment problems. Psicothema, 30(1), 66-73.
Faris, R., & Ennett, S. (2012). Adolescent aggression: the role of peer group status motives,
peer aggression, and group characteristics. Social Networks, 34(4), 371–378.
Irena, F. (2014). Penerapan solution focused brief therapy untuk menurunkan tingkat
agresivitas remaja di lembaga permasyarakatan anak pria Tangerang. Masters thesis,
Universitas Tarumanagara.
Kartono, K. (2011). Patologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Krahe, B. (2013). The Social Psychology of Aggression. (ed 2). London: Psychology Press.
Liu, J., Lewis, G., & Evan s, L. (2012). Understanding aggressive behavior across the life span.
Journal Psychiatry Mental Health Nursing, 20(2): 156–168.
Lö ka, N., Bademlib, K., & Canbaz, M. (2017). The effects of anger management education on
adolescents' manner of displaying anger and self-esteem: a randomized controlled
trial. Archives of Psychiatric Nursing, 32, 75-81.
Machover, K. (1949). Personality projection in the drawing of the human figure.
Illanois: Charles C Thomas.
Merrill, K. L., Smith, S. W., Cumming, M. M., & Daunic, A. P. (2016). A review of social
problem-solving interventions. Review of Educational Research, 87(1), 71–102.
Mirzaei, R., Meimandi, N.I., Mousavi, E., Raesi, Z., & Masoudi, S. (2016). Effectiveness of
training problem solving and anger management on improve of problem solving
ability and aggression control ability in prisoners. Journal of Applied Environment
Biological Science, 6(5), 167-172.
Nenty, H. J., & Dinero, T. E. (1981). A cross-cultural analysis of the fairness of the Cattell
Culture Fair Intelligence Test using the rasch model. Applied Psychological
Measurement, 5(3), 355–368.
Ogdon, D. (1974). Psychodiagnostics and personality assessment: A handbook (2nd Ed.). Los
Angeles: Western Psychological Services.
Papalia, D. E., & Martorell, G. (2014). Human development (13th ed.). New York:
McGraw-Hill. Santrock, J.W. (2011). Life Span Development, (13th ed.). New York:
McGraw-Hill Education.
Silva, R.J., Soares, N.M.M., & Oliveira, A.C.C. (2014). Factors associated with violent behavior
among adolescents in northeastern Brazil. The Scientific World Journal, 1-7.