Anda di halaman 1dari 7

179

STANDARDISASI FARMASITIKAL BAHAN ALAM MENUJU


FITOFARMAKA UNTUK PENGEMBANGAN
OBAT TRADISIONAL INDONESIA
(NATURAL PRODUCTS PHARMACEUTICAL STANDARDIZATION TOWARDS
PHYTOPHARMACA FOR INDONESIAN TRADITIONAL MEDICINE DEVELOPMENT)

Euis Reni Yuslianti*, Boy.M. Bachtiar**, Dewi Fatma Suniarti**, Afifah. B.Sutjiatmo***

*Departemen Biologi Oral


Fakultas Kedokteran, Universitas Jenderal Ahmad Yani.
**
Departemen Biologi Oral
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia.
***Departemen Farmakologi
Fakultas Farmasi, Universitas Jenderal Ahmad Yani
Jl. Terusan Jenderal Sudirman PO BOX 148 Cimahi Jawa Barat
e-mail: ery.unjani@yahoo.co.id

Abstract

There is a tendency back to nature treatment in Indonesian community because modern/synthetic medicines is expensive
and have a various alarming side effects. That is why natural products medicine becomes more popular, aside from mass
media promotions. Researches on natural products such as herbal medicine increases along with the desire to get
phytofarmaca that can compete with modern medicines. The aims of this literature review are to discuss and provides
information on pharmaceutical standardization of natural products toward phytopharmaca for developing Indonesian
traditional medicine. Pharmaceutical standardization will strengthen the basic of pharmaceutical science in producing
safe, efficacy, and qualify traditional medicine products. The pharmaceutical standardization consists of standardizing
simplicial quality, safety, efficacy, and stable formulation of medicines for use in health services.

Key words: natural product. phytopharmaca, pharmaceutical standardization

Abstrak

Saat ini di masyarakat terdapat kecenderungan pengobatan kembali ke alam (back to nature) karena harga obat
modern/sintetis mahal dan banyak efek samping yang mengkhawatirkan. Hal ini menyebabkan obat bahan alam menjadi
semakin populer, disamping faktor promosi melalui media masa. Penelitian bahan alam di Indonesia meningkat seiring
dengan keinginan mendapatkan fitofarmaka yang bisa disejajarkan dengan obat modern. Tujuan penulisan ini membahas
dan memberikan informasi mengenai standardisasi farmasitikal bahan alam yang berpotensi fitofarmaka untuk
pengembangan obat tradisional Indonesia. Pembahasan standardisasi farmasitikal akan memperkuat dasar ilmu farmasi
dalam menghasilkan produk obat tradisional yang aman, berkhasiat, dan berkualitas sesuai metode ilmiah. Standardisasi
farmasitikal terdiri dari standardisasi mutu simplisia, keamanan, dan khasiat serta formulasi obat dari bahan alam yang
stabil untuk digunakan pada pelayanan kesehatan.

Kata kunci: bahan alam, fitofarmaka, standardisasi farmasitikal

PENDAHULUAN

Penduduk di Indonesia banyak menggunakan pe- dapat dipertanggungjawabkan baik dari asal bahan,
ngobatan tradisional utnuk pengobatan sendiri (self- metode pembuatan, maupun produk akhirnya. Obat
medication) akan tetapi profesi kesehatan/dokter tradisional yang beredar dan digunakan masyarakat
umumnya masih enggan untuk meresepkan ataupun Indonesia sebagian besar merupakan hasil standar
menggunakannya karena banyak produk bahan obat produk konsumsi tidak berdasarkan hasil standardi-
tradisional tidak dihasilkan dari metode ilmiah yang sasi farmasitikal.1 Departemen kesehatan telah mem-
180 dentika Dental Journal, Vol 19, No. 2, 2016: 179-185

buat aturan supaya pengembangan obat tradisional Standardisasi farmasitikal obat tradisional merupa-
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pe- kan hal yang perlu diperhatikan dalam rangka pe-
ngembangan obat tradisional harus terdiri enam ta- ngembangan obat tradisional Indonesia menjadi obat
hap yaitu seleksi, penyaringan zat biologik, peng- herbal terstandar dan fitofarmaka. Persyaratan mutu
ujian farmako-dinamik, pengujian toksisitas, pe- ekstrak/simplisia terdiri atas berbagai parameter
ngembangan sediaan formulasi obat, dan pengujian standar umum dan parameter spesifik. Standardisasi
klinik pada manusia.2 menjamin bahwa produk akhir obat tradisional
Standar farmasitikal harus sesuai mutu kefarmasi- mempunyai nilai parameter yang konstan dan dite-
an dalam arti memenuhi persyaratan standar kimia, tapkan terlebih dahulu.
biologi, dan farmasi. Standardisasi memberikan ja- Standardisasi farmasitikal terdiri dari standardisasi
minan bahwa produk akhir obat tradisional (obat, simplisia, standardisasi metode pembuatan sediaan
ekstrak, produk ekstrak) yang dihasilkan melalui termasuk pelarut yang digunakan, dan standardisasi
metode ilmiah mempunyai nilai parameter tertentu sediaan jadi. Persyaratan mutu simplisia sejumlah ta-
konstan dan ditetapkan dalam formulasi terlebih da- naman tertera dalam buku Farmakope Indonesia,
hulu.3 Ekstra Farmakope Indonesia, dan Materia Medika
Tujuan penulisan ini untuk membahas mengenai Indonesia. Standardisasi farmasitikal juga dilanjut-
standardisasi farmasitikal bahan alam yang berpo- kan dengan tahapan pengujian keamanan, pengujian
tensi fitofarmaka untuk pengembangan obat tradi- khasiat preklinik (in vitro dan in vivo) serta penguji-
sional Indonesia. Mempelajari standardisasi farmasi- an klinik ke manusia menuju obat fitofarmaka yang
tikal akan memberikan dasar ilmu farmasi sesuai dapat dipakai dipelayanan kesehatan seperti terlihat
metode ilmiah dalam tahapan yang benar untuk pada Gambar 1.
menghasilkan produk obat tradisional aman, berkha-
siat, berkualitas dan bisa dipertanggungjawabkan.

Gambar 1. Tahapan standardisasi farmasitikal bahan alam menuju fitofarmaka


Yuslianti: Standardisasi Farmasitika Bahan Alami Menuju Fitofarmaka 181
Untuk Pengembangan Obat Tradisional Indonesia

Parameter standar spesifik yang harus pertama di- pewarna, pemanis, bahan kimia obat), kadar etanol,
jelaskan dan diinventarisasi adalah identitas asal dan stabilitas sediaan.
simplisia dan uji organoleptik. Identitas simplisia Simplisia merupakan bahan baku berasal dari tum-
meliputi nama latin yang divalidasi dengan hasil de- buhan yang belum mengalami pengolahan, kecuali
terminasi tumbuhan atau simplisia dari institusi ter- pengeringan. Standardisasi simplisia dibutuhkan ka-
akreditasi dan asal daerah simplisia berasal. Uji or- rena kandungan kimia tumbuhan obat sangat ber-
ganoleptik terdiri dari bau simplisia dengan indra variasi tergantung banyak faktor. Standardisasi sim-
penciuman, rasa simplisia dengan indra pengeca- plisia diperlukan untuk mendapatkan efek yang da-
pan, serta warna dan bentuk simplisia dengan indra pat diulang (reproducible). Kandungan kimia yang
penglihatan.4 dapat digunakan sebagai standar adalah kandungan
Parameter standar non-spesifik atau parameter kimia berkhasiat, atau kandungan kimia sebagai pe-
standar umum yaitu hasil uji laboratorik terdiri dari tanda (marker), atau memiliki sidik jari (fingerprint)
uji simplisia secara makroskopik dan mikroskopik. pada kromatogram. Dewasa ini industri obat tra-
Pemeriksaan diantaranya, melakukan pemeriksaan disional disarankan dan didorong untuk melakukan
irisan atau serbuk yang berguna untuk menganalisis budidaya dan mengembangkan sendiri tumbuhan
penyusun/komposisi fragmen, karakteristik, menda- sumber simplisianya sehingga diharapkan diperoleh
patkan informasi kebenaran simplisia, adanya pe- simplisia dengan mutu standar yang relatif homo-
ngotoran fragmen, dan kemungkinan penggantian/ gen.4 Standardisasi tidak saja diperlukan pada simp-
pemalsuan obat. Parameter standar mutu simplisia lisia, tetapi juga pada metode pembuatan sediaan ter-
antara lain mencakup kadar abu (kadar abu total, ka- masuk pelarut yang digunakan dan standardisasi se-
dar abu larut dalam air, kadar abu tidak larut dalam diaan jadinya terlihat pada Gambar 2.
asam), kadar zat terekstraksi air, kadar zat, ter- Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa ta-
ekstraksi etanol, bahan organik asing, cemaran mik- naman utuh, bagian tanaman eksudat tanaman atau
roba termasuk bakteri patogen, cemaran jamur/ ka- kombinasi ketiganya. Simplisia hewani adalah simp-
pang, cemaran aflatoksin, cemaran residu pestisida, lisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang
cemaran logam berat, kadar air, kadar zat aktif/zat dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan ki-
identitas.4 Parameter standar mutu ekstrak selain hal mia murni. Simplisia pelikan atau mineral adalah
di atas juga mencakup konsistensi ekstrak, sedang- simplisia yang belum diolah/diolah dengan cara
kan parameter untuk sediaan termasuk di antaranya sederhana dan belum berupa bahan kimia murni,
waktu hancur, kadar bahan tambahan (pengawet, contoh ferro sulfat, sulfur presipitat.4

Gambar 2. Standardisasi farmasitikal simplisia 4


182 dentika Dental Journal, Vol 19, No. 2, 2016: 179-185

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan Obat dari bahan alam berbeda dengan obat mo-
berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mi- dern yang mengandung satu atau beberapa zat aktif
neral, sediaan sarian (galenik) atau campuran bahan beridentitas dan jumlah jelas, obat tradisional/obat
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan herbal mengandung banyak kandungan kimia dan
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.4 Obat umumnya tidak diketahui atau tidak dapat dipastikan
tradisional yang secara medis dapat dipertanggung- zat aktif yang berperan dalam menimbulkan efek te-
jawabkan terus dibina dalam rangka perluasan dan rapi atau menimbulkan efek samping. Selain itu kan-
pemerataan kesehatan. Pengembangan obat tradisio- dungan kimia obat herbal ditentukan oleh banyak
nal sebagai warisan budaya bangsa terus ditingkat- faktor. Hal itu disebabkan tumbuhan merupakan or-
kan dan didorong pengembangan serta penemuan ganisme hidup sehingga letak geografis/tempat tum-
obat-obatan termasuk budidaya obat tradisional de- buh tanaman, iklim, cara pembudidayaan, cara dan
ngan tiga syarat yaitu aman, berkhasiat, dan bermu- waktu panen, cara perlakuan pasca-panen (penge-
tu.5 ringan dan penyimpanan) dapat mempengaruhi kan-
Pemerintah Indonesia serius dalam mengembang- dungan kimia obat herbal sehingga potensi pengem-
kan obat tradisional karena pertumbuhan dari tahun bangan obat tradisional lndonesia masih sangat ter-
ke tahun semakin meningkat sehingga perlu penga- buka luas.7
turan dan standardisasi yang baik. Penggunaan obat Pengelompokan dan penandaan obat bahan alam
tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak ri- Indonesia menurut Badan Pengawas Obat dan Ma-
buan tahun yang lalu, sebelum obat modern ditemu- kanan (BPOM) berdasarkan tingkat pembuktian
kan dan dipasarkan. Hal itu tercermin antara lain pa- khasiat, persyaratan bahan baku yang digunakan,
da lukisan di relief Candi Borobudur dan resep tum- dan pemanfaatannya, obat bahan alam Indonesia di-
buhan obat yang ditulis dari tahun 991 sampai 1016 kelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: jamu,
pada daun lontar di Bali.6 obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.8

Gambar 3 Penandaan obat bahan alam Indonesia menurut BPOM8


Yuslianti: Standardisasi Farmasitika Bahan Alami Menuju Fitofarmaka 183
Untuk Pengembangan Obat Tradisional Indonesia

Pengembangan bahan obat tradisional ditujukan dari obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan
agar dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/ secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara
profesi dokter dimana bukti empirik harus didukung pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk
oleh bukti ilmiah. Bukti tersebut hanya dapat dipero- sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada
leh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik. manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo
Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fi- pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perki-
tofarmaka adalah sebagai berikut.4 raan kemungkinan efek pada manusia.8
Tahap seleksi dilakukan sebelum memulai peneli- Tahap uji klinis obat tradisional dilakukan pada
tian untuk memilih jenis obat tradisional/obat herbal manusia untuk dapat menjadi fitofarmaka dengan di-
yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tra- buktikan khasiat dan keamanannya. Uji klinis pada
disional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisi-
dan dikembangkan adalah diharapkan berkhasiat un- onal/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan
tuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam berkhasiat pada uji preklinis. Pada uji klinis obat tra-
angka kejadiannya (berdasarkan pola penyakit), ber- disional prinsip etika uji klinis harus dipenuhi. Stan-
dasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit ter- dardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk
tentu serta merupakan alternatif jarang untuk pe- dapat menimbulkan efek yang terulangkan.10
nyakit tertentu seperti AIDS dan kanker.4 Uji klinis dibagi empat fase yaitu: Fase I, obat tra-
Tahap uji preklinis merupakan persyaratan uji un- disional diujikan pada sukarelawan sehat, pada fase
tuk calon obat. Hasil dari uji ini diperoleh informasi ini ditentukan keamanan suatu obat dan tolerabilitas
tentang efek farmakologi, farmakokinetik, farmako- obat tradisional. Fase II awal, dilakukan pada pasien
dinamik untuk memprediksi efek pada manusia, tok- dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding. Fase II
sisitas untuk melihat keamanannya, kemudian pe- akhir, dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan
ngujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel pembanding. Pada fase II diamati efikasi pada pe-
terisolasi atau organ terisolasi secara in vitro dan pe- nyakit yang diobati dan diharapkan dari obat adalah
ngujian pada hewan secara in vivo. Uji preklinis di- mempunyai efek potensial dengan efek samping ren-
laksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradi- dah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan
sional yang akan dikembangkan menjadi fitofar- pengembangan dan uji stabilitas bentuk persediaan
maka. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada he- obat. Fase III, uji klinis definitif, melibatkan kelom-
wan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pok besar pasien, di sini obat baru dibandingkan efek
pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji dan keamanannya terhadap obat pembanding yang
klinis obat tradisional Direktorat Jenderal POM De- sudah diketahui. Fase IV, pascapemasaran, untuk
partemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan mengamati efek samping yang jarang atau lambat
untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, se- timbulnya.11 Obat tradisional yang sudah lama ber-
dangkan WHO menganjurkan pada dua spesies.4 edar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan efek
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, samping yang merugikan, setelah mengalami uji
subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus yang preklinis dapat langsung dilakukan uji klinis dengan
meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsi- pembanding. Obat tradisional yang belum diguna-
nogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk kan secara luas harus melalui uji klinis pendahuluan
menentukan DL50 (Dosis Letal50) yaitu dosis yang (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien
mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai ge- terhadap obat tradisional tersebut.8-7
jala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan ca-
ra kematian. Uji DL50 perlu dilakukan untuk semua PEMBAHASAN
jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk
pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji tok- Obat asli Indonesia adalah obat-obatan yang dida-
sisitas akut. Pada uji toksisitas sub-kronik obat pat langsung dari bahan-bahan alamiah di Indonesia
diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan terolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan
pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama dipergunakan dalam pengobatan tradisional. Pe-
enam bulan atau lebih. Uji toksisitas sub-kronik dan ngembangan obat tradisional mempunyai tujuan
kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat menghasilkan produk obat yang dapat digunakan
tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pem- masyarakat secara luas. Produk obat tradisional yang
berian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan dihasilkan dapat berstandar produk untuk konsumsi
berdasarkan lama pemberian obat pada manusia.9 umum (Product Grade) dan obat tradisional dapat
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertu- berstandar farmasitikal (Pharmaceutical Grade) un-
juan untuk meneliti efek farmakodinamik dan mene- tuk pemakaian di pelayanan kesehatan. Standar far-
lusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek masitikal merupakan standardisasi dalam kefarma-
184 dentika Dental Journal, Vol 19, No. 2, 2016: 179-185

sian meliputi serangkaian parameter, prosedur, dan dan khasiat secara ilmiah dengan uji pre-klinis dan
cara pengukuran yang hasilnya mengandung unsur- uji klinis, bahan baku dan produk jadinya harus di-
unsur terkait paradigma mutu kefarmasian. standardisasi farmasitikal. Minat untuk melakukan
Direktorat Pengawasan Obat Tradisional telah penelitian dan pengembangan obat tradisional men-
membuat standardisasi dengan memuat persaratan jadi fitofarmaka cukup baik namun seringkali ter-
baku mutu simplisia yang banyak dipakai oleh peru- bentur acuan standardisasi farmasitikal dan masalah
sahaan obat tradisional. Pemeliharaan mutu harus di- dana penelitian yang sulit didapat. Pengembangan
upayakan dari hulu ke hilir mulai dari budidaya, obat berpotensi fitofarmaka melibatkan multidisiplin
pemanenan dan pengolahan pasca panen, pembuatan bidang ilmu farmakognosi, etnobotani, etnofarmako-
bahan baku, sampai ke pembuatan sediaan dan se- logi, argoindustri, argonomi, fitokimia, farmakologi
diaannya. BPOM RI telah mensyaratkan bahwa pe- dan toksikologi, teknologi farmasi, dan kedokteran
nandaan bahan alam yang terdiri dari jamu, obat her- termasuk kedokteran gigi. Penelitian-penelitian ba-
bal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu harus meme- han alam menuju farmasitikal telah banyak dilaku-
nuhi kriteria yaitu aman sesuai persyaratan ditetap- kan tetapi hasil yang diperoleh seringkali tidak me-
kan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data em- ngikuti acuan standardisasi farmasitikal.
piris dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Disimpulkan bahwa standardisasi farmasitikal me-
Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria yaitu liputi uji mutu bahan alam yaitu standardisasi sim-
aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, plisia, standardisasi metode pembuatan sediaan ter-
klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah /preklinis, masuk pelarut yang digunakan, dan standardisasi se-
dan dilakukan standardisasi bahan baku yang digu- diaan jadi. Standardisasi pengujian keamanan bahan
nakan dalam produk jadi. Fitofarmaka harus meme- alam dan pengujian khasiat bahan alam pre-klinik
nuhi kriteria yaitu aman sesuai dengan persyaratan dan klinik. Disarankan bahwa perlu koordinasi pene-
yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara uji litian antar departemen, perguruan tinggi, lembaga/
klinis, dilakukan standardisasi bahan baku yang di- pusat penelitian perlu ditingkatkan agar penelitian
gunakan dalam produk jadi, dan memenuhi per- mengacu pada standardisasi farmasitikal, tidak ter-
syaratan mutu dengan menggunakan mesin-mesin jadi duplikasi, dan pemborosan dana penelitian. Pe-
berteknologi tinggi. merintah, perguruan tinggi, dan organisasi non pe-
Fitorfarmaka sangat diharapkan oleh peneliti ba- merintah perlu menyediakan dana untuk mening-
han alam karena dapat disejajarkan dengan obat mo- katkan kualitas dan kuantitas penelitian, termasuk in-
dern/kimia. Diperlukan pembuktian khasiat dan kea- formasi mengenai tahapan standardisasi farmasitikal,
manan bahan alam berpotensi fitofarmaka pada ma- penelitian, dan pengembangan obat tradisional men-
nusia melalui uji klinik perlu agar diterima dan digu- jadi fitofarmaka sehingga dapat dimanfaatkan pada
nakan pada pelayanan kesehatan formal. Sediaan pelayanan kesehatan.
obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Para- 5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kebi-
meter standar umum ekstrak tumbuhan obat. jakan obat tradisional nasional tahun 2007 Keputu-
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Maka- san Menteri Kesehatan Republik Indonesia No:
nan. Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. Ce- 381/menkes/SK/III/2007.Jakarta: 2007:1-42.
takan Pertama. Jakarta. 2000: 1-5. 6. Pringgoutomo S. Riwayat perkembangan pengo-
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Obat batan dengan tanaman obat di dunia timur dan ba-
kelompok fitoterapi. Rencana kerangka tahap-tahap rat. Buku ajar Kursus Herbal Dasar untuk Dokter.
pengembangan obat tradisional. Jakarta. 1985. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007: 1-5.
3. Sardjono SO. Perkembangan obat tradisional da-lam 7. Timmermans K. ASEAN Workshop on the TRIPS
ilmu kedokteran Indonesia dan upaya pe- agreement and traditional Medicine; 2001.
ngembangannya sebagai obat alternatif. Jakarta. <http://www.who.or.id/eng/products/ow5/sub1/
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1994. display. asp?id=4> (4 April 2015)
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Para- 8. Ritiasa K. Kebijakan pengembangan obat herbal
meter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Di- Indonesia. Disampaikan pada Seminar nasional obat
rektorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. herbal dan akupunktur, 3 Juli 2004.
Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. Cetakan 9. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik In-
Pertama. Jakarta. 2000: 9-32. donesia. Pedoman uji toksisitas nonklinik secara in
vivo. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Yuslianti: Standardisasi Farmasitika Bahan Alami Menuju Fitofarmaka 185
Untuk Pengembangan Obat Tradisional Indonesia

Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014. 11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pe-
Jakarta.2014:1-30. doman pelaksanaan uji klinik obat tradisional.
10. Saefudin A, Rahayu V, Teruna HY. Standarisasi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Maka-
bahan obat alam. Edisi pertama. Yogyakarta. Graha nan. Direktorat Pengawasan Obat Tradisional.
Ilmu.2011. Jakarta. 2000.

Anda mungkin juga menyukai