Anda di halaman 1dari 224

MANAJEMEN KOLEKSI SPESIMEN

BIOTA LAUT

Editor

Rianta Pratiwi

Pusat Penelitian Oseanografi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jakarta, 2013
ISBN: xxxxxxxxx

Editor:

Rianta Pratiwi

Desain sampul dan layout:


M. Farel Adirianto
Indra Bayu Vimono

Kontributor:

Rianta Pratiwi (Crustacea)


Indra Bayu Vimono (Echinodermata)
Ucu Yanu Arbi (Moluska)
Fahmi (Ikan)
Tri Aryono (Spons dan karang)
Susi Rahmawati (Lamun)
Tri Handayani (Algae)
Pramuji (Mangrove)

Kontak:

Rianta Pratiwi
Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI
Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur
Jakarta Utara 14430
rianta.pratiwi@lipi.go.id
r_pratiwi_99@yahoo.com

Diterbitkan oleh: Puslit Oseanografi LIPI, Jakarta, 2013.


MANAJEMEN KOLEKSI
SPESIMEN BIOTA LAUT

Editor

Rianta Pratiwi

Pusat Penelitian Oseanografi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jakarta, 2013
ISBN: xxxxxxxxx

Editor:

Rianta Pratiwi

Desain sampul dan layout:


M. Farel Adirianto
Indra Bayu Vimono

Kontributor:

Rianta Pratiwi (Crustacea)


Indra Bayu Vimono (Echinodermata)
Ucu Yanu Arbi (Moluska)
Fahmi (Ikan)
Tri Aryono (Spons dan karang)
Susi Rahmawati (Lamun)
Tri Handayani (Algae)
Pramuji (Mangrove)

Kontak:

Rianta Pratiwi
Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI
Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur
Jakarta Utara 14430
rianta.pratiwi@lipi.go.id
r_pratiwi_99@yahoo.com

Diterbitkan oleh: Puslit Oseanografi LIPI, Jakarta, 2013.


Prakata

Kegiatan penelitian di Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI


yang berjalan setiap tahunnya di hampir seluruh perairan Indonesia
telah menghasilkan beberapa koleksi spesimen biota laut baik yang
memiliki nilai penting dapat dimakan (edible species) maupun yang
non ekonomi (yang tidak dapat dimakan) serta beberapa koleksi
spesimen yang dapat dikategorikan sebagai herbarium dan hiasan.
Semua biota laut tersebut disimpan di dalam ruang Koleksi Rujukan
P2O-LIPI, Jakarta (Ancol) dalam bentuk koleksi basah, kering
ataupun herbarium. Koleksi spesimen telah disertai dengan
informasi yang lengkap mengenai nomor katalog, nama jenis,
lokasi, posisi, tanggal koleksi, nama kolektor, tanggal identifikasi
dan nama identifikator. Diharapkan koleksi spesimen biota laut
tersebut dapat memberikan informasi ilmiah yang dapat bermanfaat
bagi semua kalangan pada umumnya (pelajar, mahasiswa,
masyarakat umum, pemerhati, dan hobbies atau peminat fauna laut )
serta para peneliti P2O pada khususnya. Meskipun Koleksi Rujukan
P2O bukan berupa museum, hanya merupakan “kumpulan dari
biota laut yang disimpan dan dirawat di ruangan tersendiri”
sebagai bahan rujukan ilmiah bagi peneliti-peneliti P2O, akan tetapi
semua aturan dan prinsip-prinsip koleksi mengikuti aturan
international. Keberadaan Koleksi Rujukan sangat penting, sehingga
tidak hanya sebagai koleksi yang disimpan dan dirawat saja, tetapi
koleksi spesimen tersebut digunakan pula sebagai bahan rujukan
pembuatan berbagai tulisan ilmiah Adapun jenis-jenis biota laut

iii
yang dikoleksi adalah dari kelompok taksa: crustacea,
echinodermata, moluska, ikan, karang, spons, gorgonian, lamun,
algae, mangrove.
Buku Manajemen Koleksi Spesimen Biota Laut ini,
berisikan bagaimana mengelola koleksi spesimen dengan baik dan
benar berstandar international serta hal-hal yang menyangkut
tatakelola koleksi spesimen, keselamatan spesimen, ruang
penyimpanan, pengaturan penyimpanan, bahan dan alat untuk
penyimpanan spesimen, administrasi pengelolaan spesimen hingga
manajemen data (data base). Penanganan koleksi spesimen setiap
takson berbeda-beda caranya, sehingga di dalam buku ini dituliskan
tersendiri dalam masing-masing bab yang ditulis oleh para peneliti
dibidangnya. Besar harapan buku ini dapat bermanfaat dan
dipergunakan sebagai sumbangan bagi ilmu pengetahuan yang
dapat digunakan sebagai pegangan atau acuan di dalam mengelola
biota laut yang ada di lembaga, instansi ataupun di universitas yang
terkait dengan kelautan. Diharapkan buku ini juga dapat
dimanfaatkan oleh siapa saja yang berminat untuk membangun
koleksi rujukan ilmiah biota laut maupun koleksi spesimen fauna
untuk kepentingan hobi.

Jakarta, 3 Februari 2013

Dra. Rianta Pratiwi MSc.

iv
Kata Pengantar

Keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut sangatlah penting,


karena disamping sebagai tempat penyimpanan koleksi spesimen
biota laut, dapat juga dijadikan sebagai koleksi rujukan ilmiah bagi
peneliti, dosen, mahasiswa, pelajar, maupun masyarakat umum yang
tertarik dalam bidang kelautan. Koleksi Rujukan Biota Laut
merupakan aset negara yang dapat menjadi sejarah bagi anak
bangsa, dengan dikoleksinya biota laut dihampir seluruh perairan
Indonesia, maka informasi keberadaan dan sebaran dari biota
tersebut dapat diketahui dengan baik.
Semua koleksi spesimen disimpan dan dirawat di dalam
Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut, Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI dengan mengikuti aturan-aturan koleksi spesimen
di museum secara international, sehingga informasi dan database
dari spesimen dapat dikelola, dirujuk serta digunakan dengan mudah
dan termanajemen. Tata kelola dan manajemen spesimen dilakukan
dengan runtun dan dicoba untuk dituangkan dalam sebuah buku
manajemen koleksi.
Kehadiran buku Manajemen Koleksi Rujukan Biota Laut
sangat membantu bagi semua pihak yang ingin membangun Koleksi
Spesimen Biota Laut. Buku yang dibuat oleh beberapa peneliti ini
berisikan bagaimana melakukan kegiatan sampling di lapangan,
analisis di laboratorium hingga menjadi koleksi spesimen biota laut.
Penataan dan perawatan serta manajemen koleksi dari spesimen
biota laut juga diterangkan secara rinci di dalam buku ini, oleh sebab

i
itu sangat diperlukan sebagai penambah pengetahuan untuk
mengelola koleksi spesimen biota laut.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pengelola
Koleksi Rujukan Biota Laut P2O, semua peneliti yang telah
berkontribusi dalam penulisan buku ini dan khususnya kurator serta
teknisi Koleksi Rujukan Biota Laut yang telah membantu di dalam
pengelolaan Koleksi Spesimen, semoga semua yang telah dilakukan
menjadi contoh baik bagi orang lain dan koleksi spesimen dapat
terjaga dengan baik.

Jakarta, 2 Maret 2013

Dr. Ir. Zainal Arifin MSc.


Kepala Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar ......................................................................................... i

Prakata .................................................................................................... iii

Daftar Isi .................................................................................................. v

Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut Pusat Penelitian Oseanografi-


LIPI (Oleh: Rianta Pratiwi) ............................................................... 1

Bab II. Tatakelola Koleksi Spesimen Biota Laut P20-LIPI


(Oleh: Rianta Pratiwi) ..................................................................... 29

Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea


(Oleh: Rianta Pratiwi) ..................................................................... 62

Bab. IV. Koleksi dan Penanganan Sampel Echinodermata


(Oleh: Indra Bayu Vimono) ............................................................ 90

Bab. V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca


(Oleh: Ucu Yanu Arbi) ................................................................. 105

Bab. VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan


(Oleh: Fahmi) ............................................................................... 128

Bab. VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons


(Oleh: Tri Aryono) ....................................................................... 144

Bab. VIII. Panduan Koleksi Herbarium Lamun


(Oleh: Susi Rahmawati) ................................................................ 160

Bab. IX. Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut / Makroalgae /


Seaweed, (Oleh: Tri Handayani) ......................................................... 172

Bab. X. Pengertian Mangrove dan Pegangan Koleksi Spesimen


(Oleh: Pramudji) ………………………………………………....... 184

v
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

Bab I

Koleksi Rujukan Biota Laut


Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI

Rianta Pratiwi

Pendahuluan
Ancaman kehilangan populasi dan spesies biota laut yang
komersial maupun non komersial semakin besar seiring dengan
memburuknya perekonomian Indonesia, makin banyaknya polusi dan
transformasi lahan serta perubahan iklim yang mempengaruhi karakter
oseanografi laut kita. Oleh sebab itu keberadaan koleksi spesimen biota laut
sangat diperlukan sebagai bahan informasi ilmiah yang harus disimpan dan
sebagai aset sejarah yang sangat penting artinya dalam dunia ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini Pusat Penelitian Oseanografi, khususnya
“Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut, Pusat Penelitian
Oseanografi (P2O)-LIPI” merasa perlu mengumpulkan semua spesimen
biota laut dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti P2O, ekspedisi
ataupun kerjasama dengan pihak luar (peneliti asing) dan merawatnya
hingga menjadi koleksi spesimen ilmiah yang dapat dirujuk dengan mudah
oleh peneliti ataupun pihak lain yang akan memanfaatkan koleksi spesimen
tersebut sebagai bahan ajar mengajar, pameran, peminjaman, tukar menukar
dan lain sebagainya.

1
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

Sebagai negara besar yang dikenal dengan keanekaragaman hayati


yang berlimpah, bervariasi dan tidak dimiliki oleh negara-negara lain, maka
sangat tepatlah bila Indonesia disebut negara “Mega Diversity in the
World”. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat disayangkan apabila
kekayaan yang telah dimiliki tidak dapat dikelola dengan baik dan
bijaksana. Marilah kita telaah gambaran mengenai biota laut mulai dari
sejarah terbentuknya Koleksi Rujukan Biota Laut di P2O-LIPI, mengenal,
mengkoleksi dan merawat koleksi spesimen biota laut baik di lapangan
maupun di laboratorium hingga menjadi koleksi rujukan biota laut serta hal-
hal yang berkaitan dengan koleksi spesimen sampai database spesimen
pada bab-bab berikutnya.
Koleksi spesimen biota laut yang tersimpan di ruang
(Laboratorium) Koleksi Rujukan Biota Laut P2O diperkirakan berjumlah
lebih dari 7.000 koleksi spesimen. Koleksi spesimen tersebut diharapkan
bisa menambah jumlah keanekaragaman biota laut yang ada di Indonesia
dimana jumlah fauna dan floranya masih belum bisa diketahui atau
diprediksi secara tepat. Untuk sementara diprediksi jumlah biota laut yang
ada seperti coral sekitar 590 jenis, seagrass 12 jenis, mangrove 43 jenis,
sponge 850 jenis, ikan karang 2057 jenis, crustacean 1512 jenis,
echinodermata 1412 jenis dan moluska 2500 jenis. Sedangkan menurut fish
base (2011) memperkirakan ikan di Indonesia keseluruhan berjumlah 4512
jenis dengan rincian: ikan tawar 1167 jenis, ikan laut 3429 jenis, ikan
pelagis 99 jenis, ikan laut dalam 308 jenis, ikan karang 1998 jenis dan ikan
komersial 705 jenis. Untuk jenis crustacea rinciannya sebagai berikut:

2
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

Stomatopoda/udang pengko, Brachyura/kepiting dan Anomura/kelomang),


dengan rincian udang pengko (Stomatopoda) 450 (di dunia) telah
dideskripsikan dan di Indonesia sekitar 118 (26%) (Moosa, 2000; Ahyong
et al. 2008). Sementara dari jenis ekonomis penting seperti beberapa jenis
udang dan kepiting dari suku Penaeidae (udang niaga, dunia diperkirakan
sebanyak 343 spesies yang potensial secara komersil, 110 spesies di
Indonesia), Portunidae (rajungan dan kepiting bakau, 72 jenis (Irawan &
Soegianto, 2006). Syllaridae (udang pasir dan udang kipas, 2 jenis) dan
Palinuridae (udang karang atau lobster 7 jenis) (Moosa & Aswandy 1984).
Di dalam ruang koleksi rujukan biota laut juga disimpan beberapa
koleksi jenis “tipe” yang penyimpanannya sangat khusus (tersendiri)
dalam lemari besi dan dipisahkan dari spesimen utama (reguler). Selain
merupakan spesimen yang telah dipublikasi secara international oleh
peneliti asing dan berupa koleksi tipe yang dipercayakan untuk disimpan
P2O, maka perawatannya harus lebih berhati-hati dan khusus.

1. Sejarah Koleksi Rujukan Biota Laut Di Pusat Penelitian


Oseanografi- LIPI

Sejarah berdirinya Koleksi Rujukan Biota Laut, dalam hal ini tidak
dibahas dari mulai berdirinya cikal bakal Pusat Penelitian Oseanografi (yang
dahulu bernama Visscherij Laboratorium te Batavia/ Laboratorium
Perikanan di Batavia) pada pertengahan Desember 1905 saat dipimpim Dr.
J.C. Koingsberger, seorang peneliti fauna darat dan laut hingga
kepemimpinan Dr. Klaus Wyrtki peneliti fisika oseanografi dari Jerman.
Tetapi sejarah Koleksi Rujukan Biota Laut dibahas mulai dari berkantornya

3
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

lembaga tersebut di Pasar Ikan, Jakarta Utara dengan nama Laboratorium


Penyelidikan Laut (1949-1955). Dimana pada tahun 1955 berubah nama
menjadi “Lembaga Penyelidikan Laut (LPL 1955-1961)”. Pada saat itu
penelitian-penelitian atau ekspedisi perairan nusantara terdahulu sudah
banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti asing yang melibatkan peneliti-
peneliti Indonesia melalui ekspedisi-ekspedisi Nusantara diantaranya:
Siboga (1899-1900, penelitian laut dalam), Galathea (1950-1952), Operasi
Baruna (1964,1967 dan 1970), International Indian Ocean Expedition (1964
dan 1985), Mariel King Memorial Expedition (1970), Rumphius I-IV
(1973,1975,1977 dan 1980), Snellius II (1984-1985), ASEAN-
AUSTRALIA Regional Ocean Dynamic (1987 dan 1994), Ekspedisi
Karubar (1993), Ekspedisi Pulau Moyo (1993), Marine Biodiversity in
Indonesia Waters (MARBIW, 2001-2003), Census of Marine Life (CoML,
2004-2010) dan hingga sekarang penelitian-penelitian atau ekspedisi EWIN
(Ekspedisi Widya Nusantara, 2011-2013) dan lain sebagainya. Sudah
banyak dikumpulkan jenis-jenis biota laut yang berasal dari hasil-hasil
penelitian atau ekspedisi tersebut dan keberadaan koleksi spesimen saat itu
ada yang berada di berbagai museum diantaranya: di Leiden Belanda,
Jerman, Perancis, Jepang, Amerika Serikat (Smithsonian), Canada,
Singapore (Raffles Museum), Indonesia (MZB, Bogor) dan Inventarisasi
Biota Laut, P3O-LIPI (saat itu).
Saat berkantor di Pasar Ikan pada tahun 1958 hingga 1970 belum
terbentuk koleksi spesimen biota laut dan koleksi masih berada pada
laboratorium masing-masing. Pada tahun 1970 LPL berubah menjadi
“Lembaga Oseanologi Nasional” (LON, 1970-1986) dan dipindahkan ke

4
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

Ancol Timur menempati sebuah gedung bertingkat tiga atas hadiah (hibah)
dari Gubernur DKI, Ali Sadikin yang ingin menyatukan lembaga-lembaga
kelautan dan universitas agar berada dalam satu lingkungan kelautan
(berintegrasi) di Ancol. Adapun fungsinya selain sebagai sarana rekreasi
terdapat juga sarana pendidikan dan penelitian yang saat itu telah juga
berdiri Gelanggang Samudera Ancol (GSA) di lokasi tersebut (Kompleks
Bina Samudera). GSA dijadikan aset nasional dan dibentuk Dewan Kurator
yang diketuai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, selaku Menteri Ekuin,
yang beranggotakan beberapa tokoh nasional, beberapa ketua Lembaga
Pemerintah, Rektor dan Pengusaha.
Setelah berada di Ancol, koleksi spesimen mendapat ruangan yang
sangat kecil, sehingga semua koleksi digabungkan menjadi satu, tetapi
setiap koleksi spesimen berada di bawah pengawasan, perawatan dan
tanggungjawab dari masing-masing laboratorium yang ada saat itu, karena
belum dibentuk struktural yang harus bertanggungjawab dalam hal tersebut.
Seiring dengan perubahan struktur organisasi di lingkungan LIPI,
pada tahun 1986 LON berubah menjadi Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi (1986-2001) merupakan salah satu Pusat
Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang)” yang berada di bawah ke-
“Deputi-an Bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)”.
Mengingat begitu pentingnya laut bagi kehidupan Bangsa
Indonesia, maka dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1993,
khususnya dalam Pembangunan Lima Tahun Ke-enam (Pelita VI),
pembagunan di bidang kelautan merupakan sektor yang berdiri sendiri,
yang dalam Pelita sebelumnya digabung dalam sektor Ilmu Pengetahuan

5
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

dan Teknologi. Pembangunan sektor kelautan berusaha meningkatkan


sarana dan prasarana kelautan agar laut memenuhi fungsinya sebagai media
penghubung, pemersatu bangsa dan lahan penghidupan rakyat serta lebih
berperan dalam segenap aspek kehidupan rakyat dan bangsa. Disamping itu
juga menggali data dan informasi kelautan melalui peningkatan kegiatan
survey dan penelitian dalam rangka inventarisasi kekayaan laut.
Berkaitan dengan pembangunan sektor kelautan tersebut maka
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI (P3O-LIPI)
mempunyai tugas untuk melakukan penelitian dan pengembangan di bidang
kelautan yang diarahkan untuk memenuhi tujuan dan untuk menjawab
tantangan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat, khususnya di dalam
menyediakan data dan informasi ilmiah untuk melandasi rencana
pengembangan sumberdaya laut, juga untuk memajukan ilmu pengetahuan
serta usaha dalam penguasaan teknologi yang dapat dikembangkan di
Indonesia.
Untuk itulah data dan informasi yang ada dikumpulkan berupa:
contoh spesimen biota laut, baik fauna maupun flora dari perairan Indonesia
yang didapatkan dari hasil survei penelitian P3O sendiri dan dari hasil-hasil
ekspedisi yang dilaksanakan di perairan Indonesia bersama dengan peneliti
asing. Data yang dijadikan acuan/rujukan di dalam pengenalan biota laut
tersebut disimpan di ruang “Inventarisasi Biota laut di Balitbang Biologi,
Puslitbang Oseanologi –LIPI”. Seksi Inventarisasi Biota Laut yang
bernaung di bawah Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut
(Balitbang Biologi) dan dikepalai oleh seorang eselon empat sebagai
strukturalnya, memiliki tugas fungsi: merawat, menata, mengelola dan

6
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

bertanggungjawab terhadap koleksi spesimen biota laut. Saat itu


Inventarisasi Biota Laut siap untuk melakukan peremajaan dan penataan
kembali koleksi biota laut secara runtun dan berkesinambungan.
Kegiatan tersebut dilakukan kembali dan hanya dapat berjalan 2
tahun (1998 dan 2000 dari rencana 5 tahun anggaran 1997-2001), sudah
tidak berjalan lagi disebabkan keterbatasan dana yang tidak dapat kontinyu
setiap tahunnya. Karena sulitnya dana, disepakati sebagian dari koleksi
spesimen yang dimiliki oleh P3O dihibahkan ke Widya Satwa Loka,
Cibinong untuk dapat dirawat dan dikelola dengan baik. Dengan bantuan
dana dari Global Environmental Facility (GEF) di tahun 2000 akhir atau
awal tahun 2001 beberapa koleksi spesimen biota laut (yang sudah selesai
dikerjakan) dipindahkan. Telah disepakati bersama antara Puslibang
Oseanografi (P3O) dan Puslibang Biologi (P3B) bahwa koleksi spesimen
yang ada di P3O hanya yang masih dikerjakan “(Working Specimens)” dan
yang telah selesai dikerjakan “(Non Working Specimens)” berada di P3B.
Hal ini pun tidak berjalan secara kontinyu dan hanya berjalan saat itu saja
(tahun 2001).
Di tahun 2001 hingga sekarang Puslitbang Oseanologi berubah
menjadi “Pusat Penelitian Oseanografi (P2O)” di bawah naungan
“Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian”. Seksi Inventarisasi
Biota Laut yang dahulu berada di bawah Balitbang Biologi Laut, Puslitbang
Oseanologi-LIPI dan mempunyai tugas pokok menyimpan serta merawat
berjenis-jenis Biota Laut dari berbagai perairan Indonesia dihapuskan atau
dihilangkan kedudukannya di dalam struktur keorganisasian tersebut
di Pusat Penelitian Oseanografi.

7
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

Dalam kondisi tersebut Tim Ex-Seksi Inventarisasi Biota Laut


tetap bekerja dengan dedikasi yang tinggi, baik dan setia menjalankan
tugasnya untuk mengelola (merawat dan menjaga) agar koleksi spesimen
tetap terawat dan tertata dengan baik. Tertatih tatih dan jatuh bangun
kembali, itulah kondisi yang dirasakan saat itu, akan tetapi meskipun
kedudukannya dihapuskan di dalam struktur organisasi, dengan bantuan
dana rutin yang kadang-kadang kondisi dan jumlahnya tidak jelas dan tidak
tetap, Tim Ex-Inventarisasi Biota Laut tetap menjalankan tugasnya
melakukan perawatan biota laut dan mengeluarkan luaran-luaran berupa
buku Katalog Biota Laut.
Koleksi spesimen biota laut yang tersimpan di ruang koleksi
diperkirakan berjumlah lebih dari 7.000 spesimen terdiri dari: Crustacea,
Moluska, Ikan, Echinodermata, Karang, Lamun, Mangrove, Algae dengan
jumlah terbesar adalah koleksi spesimen ikan.
Jumlah biota laut yang ada sebagian telah banyak yang hilang,
rusak ataupun hancur dikarenakan mengalami perpindahan berkali-kali,
mulai dari Pasar Ikan ke Ancol, di Ancol pindah ruangan dari lantai bawah
(1) ke lantai dua (2) dan kemudian dipindahkan lagi dari lantai dua (2) ke
lantai bawah (1) hingga kini berada di lantai satu (1). Semua jenis-jenis
tersebut sebagian besar sudah dituangkan ke dalam terbitan buku katalog.
Buku katalog berisikan informasi mengenai koleksi spesimen lengkap
dengan nomor registrasi, nama jenis, lokasi, kolektor, identifikator dan lain-
lainnya yang berkaitan dengan spesimen. Hingga kini telah berhasil
diterbitkan sebanyak 12 jilid dan yang terakhir diterbitkan tahun 2011.
Lambat laun dengan tidak kontinyunya dana maka, perawatan koleksi

8
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

spesimen praktis terhenti hingga 4 tahun yang menyebabkan rusaknya


beberapa koleksi. Buku katalogpun tidak lagi terbit secara kontinyu setiap
tahun anggaran, dikarenakan tidak adanya dana untuk menunjang
pembuatannya. Buku Katalog Biota Laut yang telah berhasil diterbitkan
adalah: Jilid I (1999), Jilid II dan III (2000), Jilid IV dan V (2002) dan Jilid
VI (2005).
Namun mengingat banyaknya tambahan spesimen baru hasil
penelitian dan survey lapangan, serta sample biota laut yang masih belum
ditata dan belum bernomor katalog serta masih banyaknya sample yang
belum diidentifikasi ataupun harus di reidentifikasi. Selain itu juga terdapat
beberapa spesimen tipe titipan peneliti asing yang merupakan duplikat
spesimen dari perairan di dalam maupun luar Indonesia. Dimana spesimen-
spesimen tersebut telah memiliki nomor katalog dan telah dikemas dalam
bentuk database yang harus terus dirawat dengan baik, maka dirasakan perlu
dilakukan atau dicoba kembali untuk melakukan kegiatan pengelolaan,
penataan, perawatan dan penyusunan buku katalog biota laut di Pusat
Penelitian Oseanografi.
Pada akhirnya pada tahun 2006 hingga kini terbentuklah “Koleksi
Rujukan Biota Laut atau Reference Collection of Marine Biota” di
bawah Bidang Sumberdaya Laut yang dikepalai oleh “Kepala
Laboratorium”, tidak memiliki struktural dan hanya bersifat kerja
tambahan agar koleksi spesimen tetap bisa terawat dengan baik. Dana yang
ada tidak lagi dari dana rutin kantor (sudah ditiadakan) melainkan dari
kegiatan projek yang dibuat melalui proposal setiap tahunnya dan masuk ke
dana DIPA-P2O-LIPI.

9
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

Penambahan koleksi spesimen semakin banyak, sehingga ruangan


koleksi semakin sempit dan sumpek dikarenakan belum bisa mendapatkan
ruangan baru yang lebih besar dan representatif sebagai Ruang Koleksi
Rujukan Biota Laut yang bertaraf nasional. Dengan adanya dana proyek
yang bersifat rutin (Top down kelembagaan) maka koleksi spesimen tetap
bisa terawat, tertata serta buku katalogpun berturut-turut bisa diterbitkan
kembali mulai: Jilid VII (2009), VIII (2008), IX (2010), X (2010) dan XI
(2011) hingga kini akan terbit jilid XII (2013) juga luaran-luaran lain seperti
poster-poster biota laut dan banner-banner tentang koleksi rujukan biota
laut.
Koleksi biota laut diharapkan dapat membantu memberikan
informasi dan dapat dijadikan sebagai Koleksi Rujukan Biota Laut Biologi
Ilmiah melalui buku katalog, poster dan banner yang telah diterbitkan
sehingga mempermudah pengguna untuk menelusuri biota (sebagai sarana
penelusuran biota) yang diinginkan. Oleh karenanya Koleksi Rujukan Biota
Laut sangat penting artinya bagi suatu lembaga penelitian kelautan di
Indonesia khususnya untuk menunjang perkembangan ilmu kelautan di
bidang taksonomi, biodiversitas dan konservasi.

2. Konsep Pembangunan Koleksi Rujukan Biota Laut


Sebelum dilakukan pembangunan Koleksi Rujukan Biota Laut,
sebaiknya diketahui lebih dahulu bagaimana konsep-konsep atau prinsip-
prinsip dan definisi dari Koleksi Rujukan Biota Laut tersebut.
Koleksi Rujukan Biota Laut adalah: spesimen koleksi biota laut
yang dikumpukan dari laut (perairan laut) berupa hasil penelitian untuk

10
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

dikelola (disimpan, dirawat, dipelihara dan ditata) sehingga menjadi koleksi


spesimen yang berfungsi atau penggunaannya sebagai Koleksi Rujukan
Biota Laut (acuan) dan penelitian, serta berbagai pemanfaatan lain yang
bernilai ilmiah dan edukatif. Koleksi spesimen biota laut tersebut disimpan
di dalam ruangan khusus yang berfungsi sebagai ruang koleksi
(laboratorium) dalam bentuk koleksi basah, kering dan atau herbarium yang
tertata (disusun) secara rapih di rak-rak besi, lemari dan laci-laci
berdasarkan sistematik (hirarki secara taksonomi) untuk masing-masing
taksonnya.
Koleksi spesimen seyogjanya dapat dimanfaatkan oleh berbagai
pihak: kalangan siswa (pelajar, mahasiswa), kalangan ilmuwan dalam dan
luar negeri (peneliti), pemerintah, swasta, LSM, pemerhati (individu,
hobbiest) dan masyarakat umum yang terkait dalam ilmu kelautan. Koleksi
spesimen yang berfungsi sebagai koleksi ilmiah secara keseluruhan dapat
digunakan untuk bermacam-macam kepentingan misalnya sebagai berikut:
1. Sebagai bahan rujukan ilmiah untuk indentifikasi jenis-jenis
biota laut dari perairan Indonesia.
2. Sebagai bahan acuan penelitian biosistematik, taksonomi dan
konservasi.
3. Sebagai bahan ajar dan mengajar bagi pelajar, mahasiswa dan
masyarakat umum, individu dalam bidang biologi (teori dan
praktek).
4. Sebagai bahan untuk pameran edukasi bagi berbagai
kalangan: peneliti, pelajar, mahasiswa, individu dan
masyarakat umum (hobbiest).

11
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

5. Sebagai bahan pembuatan buku (sumber data) fauna dan flora


Indonesia yang dapat disebarluaskan sebagai informasi ilmiah
kepada semua pihak.
6. Sebagai bank data (database) biota laut kelautan milik P2O-
LIPI yang dapat disimpan sebagai sumber data kelautan yang
otentik (sebagai aset sejarah kehidupan biota laut dari perairan
Indonesia).
Adapun definisi dari Ruang Koleksi Biota Laut adalah: ruangan
khusus penyimpanan biota laut yang diatur sedemikian rupa (bersuhu udara
200-210C, kelembaban 45-60%), bebas jamur dan kebersihan yang
terpantau, sehingga keselamatan koleksi spesimen dapat tetap terjaga
dengan baik.
Prinsip dasar dari ruang koleksi rujukan biota laut merupakan
“final destination (tujuan/tempat akhir penyimpanan)” artinya: spesimen
telah terdaftar dalam buku registrasi, ditempatkan dalam wadah tertentu
(satu tempat satu spesies dan telah lengkap dengan label yang berisi semua
informasi) untuk kemudian disimpan di dalam ruang koleksi biota laut
dalam bentuk koleksi basah, kering ataupun herbarium. Oleh karenanya
spesimen-spesimen yang belum diidentifikasi dan/atau spesimen yang
belum dipisahkan menurut spesiesnya (masih tercampur) atau spesimen
yang masih dalam pengerjaan ataupun spesimen yang belum terdaftar,
belum dapat disebut sebagai koleksi spesimen dan tidak dapat ditempatkan
di ruang khusus koleksi.
Di dalam ruang Koleksi Rujukan Biota Laut dibagai dalam dua
ruangan yaitu: 1). Ruang Koleksi Basah: adalah ruangan yang

12
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

diperuntukkan bagi penyimpanan biota laut yang diawetkan dengan


menggunakan bahan pengawet alkohol (96%) dan 2) Ruang Koleksi
Kering: adalah ruangan yang diperuntukkan bagi penyimpanan biota laut
yang diawetkan dengan tidak menggunakan bahan pengawet (dalam
bentuk kering atau herbarium).
Koleksi rujukan biota laut mempunyai konsep yang berbeda
dengan koleksi yang ada di museum, meskipun beberapa kaidah-kaidahnya
mengikuti museum. Koleksi Rujukan Biota Laut merupakan representatif
(perwakilan) dari museum dimana, koleksi spesimen yang ada tidak terlalu
banyak dan besar seperti yang dimikili oleh sebuah museum yang bertaraf
nasional atau bahkan international. Museum memiliki koleksi spesimen
dalam skala yang lebih besar, ruanganpun sangat besar, memiliki kurator-
kurator dan manajer yang bertanggungjawab pada masing-masing koleksi,
database terkelola sendiri serta gedung dengan lahan yang luas.

3. Kerangka Ilmiah Bagaimana Koleksi Rujukan Biota Laut


Harus Dilaksanakan

Banyaknya manfaat Koleksi Rujukan Biota Laut yang telah


disebutkan di atas bisa pula dirasakan oleh berbagai pihak sebagai contoh,
bila ditinjau dari segi kearsipan Koleksi Rujukan Biota Laut dapat
merupakan Arsip Statis. Arsip Statis merupakan arsip yang dapat
dimanfaatkan untuk kehidupan bangsa di masa kini dan masa mendatang.
Oleh sebab itu Koleksi Rujukan Biota Laut yang usianya sudah lebih dari
100 tahun dari sejak berdirinya Pusat Penelitian Oseanografi (P2O)-LIPI
tahun 1906 (menurut sejarah berdirinya) dapat dikatagorikan ke dalam

13
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

“Arsip Hasil Penelitian” yang mempunyai Nilaiguna Ilmiah (Sumarni,


2008).
Berdasarkan manfaat-manfaat itulah, mengapa Koleksi Rujukan
Biota Laut itu penting dan harus dilakukan sebagai penunjang ilmu
kelautan??. Pertama adalah, koleksi spesimen biota laut merupakan pusat
data (bank data) yang perlu dikumpulkan. Informasi keberadaan jenis biota
laut tersebut dapat dikumpulkan dengan cara mengumpulkan
keanekaragaman hayati laut (biodiversity) melalui informasi database dan
kedua adalah, sistem database (jejaring database) harus dikembangkan
untuk mengetahui distribusi spesies, melacak spesimen, mengelola koleksi
serta menyediakan informasi secara menyeluruh bagi para ilmuwan,
pengelola dan industri.
Jumlah biota laut di perairan Indonesia yang sangat banyak dan
bervariasi masih belum banyak diketahui sehingga, jumlah biota laut
Indonesia yang dapat disurvei sangat bergantung pada tenaga manusia, oleh
sebab itu pengetahuan tentang taksonomi harus terus didorong atau
dimotivasi. Harus disadari bahwa data keanekaragaman hayati laut sangat
sulit dan mahal untuk dikumpulkan. Para pengelola sumberdaya alam harus
terus menjalin kerjasama dan koordinasi erat dengan para pengambil
kebijakan atau keputusan, khususnya yang terkait dengan kegiatan
pemanfaatan. Keputusan-keputusan harus cepat diambil, meskipun
kesediaan data sangat kurang. Seperti berkoordinasi dengan Unit Tenaga
Teknis (UPT) yang dimiliki P2O-LIPI di daerah-daerah untuk bersama-
sama membangun database koleksi spesimen dan membangun simpul-
simpul Koleksi Rujukan Biota Laut di daerah masing-masing.

14
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

Kebijakan dan keputusan untuk membangun Koleksi Rujukan


Biota Laut ilmiah dapat digambarkan dalam empat pilar (Gambar 1.1)
sebagai berikut:

Gambar 1.1. Kerangka Umum Pengembangan Koleksi Rujukan Biota


Laut. Gambar: R. Pratiwi.

Langkah-langkah kebijakan atau keputusan seperti yang telah


diilustrasikan dalam empat pilar di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

15
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

1. Terdapatnya sumberdaya manusia yang mempunyai kemampuan


untuk bekerja dalam bidang kelauatan (biologi, biositematik, genetika
dan lainnya yang terkait).
2. Kegiatan penelitian dan survei laut yang saat ini telah diselenggarakan
oleh berbagai lembaga harus dilanjutkan, didukung dan dikembangkan
lebih jauh.
3. Meningkatkan produktivitas tenaga-tenaga taksonomi dengan
memberikan dukungan, fasilitas dan insentif untuk mengembangkan
karier yang lebih baik.
4. Menciptakan jejaring pusat dan daerah untuk mengumpulkan
spesimen laut yang akan disimpan dan diidentifikasi.
5. Memulai dan memperluas program pendidikan dan pelatihan ilmiah
serta manajemen Koleksi Rujukan Biota Laut yang berkaitan dengan
keanekaragaman hayati laut, terutama taksonomi, genetika dan
sistematika laut.
6. Mengembangkan suatu database untuk dokumentasi dan pelacakan
spesimen.

Kegiatan empat pilar tersebut dan hasilnya harus dikoordinasikan dan


dievaluasi (MONEV) secara kontiyu, sehingga dapat mendukung
pendidikan dan pelatihan yang hasilnya harus bisa memfasilitasi database
keanekaragaman hayati laut dan membuka peluang penyusunan
inventarisasi yang sistematis mengenai sumberdaya keanekaragaman hayati
laut Indonesia. Keterkaitan yang berkesinambungan dari semua unsur
tersebut sangat dibutuhkan untuk membangun koleksi rujukan biota laut.

16
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

Inventarisasi hanya mungkin dilakukan melalui survei sistematis


yang memerlukan tenaga-tenaga terlatih dan terampil termasuk taksonomis
dan parataksonomis. Parataksonomis dapat dilatih dan ditugaskan di pusat-
pusat penelitian daerah untuk mengkoleksi dan mengidentifikasi sebagian
spesimen atau membantu mengerjakan identifikasi awal spesimen yang
dikumpulkan. Parataksonomis dapat direkrut dari masyarakat pencinta
alam, LSM, perkumpulan-perkumpulan selam ataupun pemerhati (hobbiest)
untuk dapat ikut serta mengumpulkan spesimen dan terlibat dalam
kegiatan-kegiatan ilmiah, sehingga membuat mereka tertarik pada bidang
taksonomi. Jejaring database spesimen dikembangkan untuk membantu
pelacakan spesimen dan pembuatan katalog. Jurnal-jurnal ilmiah yang ada
di Indonesia juga harus lebih banyak memuat tulisan-tulisan taksonomi.

4. Dilema Koleksi Rujukan Biota Laut


Koleksi Rujukan Biota Laut merupakan subsistem dari
pengelolaan sumberdaya laut yang terintegrasi dalam sistem birokrasi dan
administrasi P2O. Dengan demikian tata kelola koleksi rujukan biota laut ini
sebaiknya dapat dilakukan dengan strategi yang tepat dan didukung oleh
perencanaan strategik yang baik.
Seringkali tata kelola Koleksi Rujukan Biota Laut terkendala oleh
paradigma para pemangku kepentingan yang tidak pernah bersentuhan
dengan Koleksi Rujukan Biota Laut, sehingga pemangku kepentingan
seperti ini memiliki pandangan keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut
hanya sebagai kegiatan yang menghamburkan dana. Pandangan seperti ini
tidak dapat disalahkan, karena Koleksi Rujukan Biota Laut baru akan terasa

17
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

berfungsi dan bermanfaat manakala digunakan untuk kepentingan


pengelolaan sumberdaya laut. Disisi lain keberadaan Koleksi Rujukan Biota
Laut harus dijaga dan kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit
serta membutuhkan tenaga yang memiliki kinerja khusus. Dilema inilah
yang menyebabkan Koleksi Rujukan Biota Laut menempati prioritas
terendah dan kadangkala diabaikan dalam pengelolaan sumberdaya laut.
Jalan keluar yang dapat diupayakan untuk menghadapi dilema
seperti ini adalah:
1. Mengubah paradigma para pemangku kepentingan baik yang
terkait langsung dan atau tidak langsung terhadap Koleksi Rujukan
Biota Laut dengan meningkatkan pengetahuan dan sikap mereka
bahwa Koleksi Rujukan Biota Laut merupakan mata rantai yang
penting dalam pengelolaan sumberdaya laut. Upaya ini dapat
dilakukan melalui kegiatan yang terprogram secara berkala dan
kontinyu. Adapun kegiatan tersebut dapat berupa advokasi bagi
para pemangku kepentingan yang memiliki jabatan struktural;
lokakarya dan pelatihan bagi para peneliti kelautan lintas sektoral
terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut baik dikalangan
pemerintahan maupun swasta; dan sosialisasi bagi para pemangku
kepentingan yang tidak terkait langsung dengan upaya pengelolaan
sumberdaya laut seperti misalnya: institusi pendidikan, sektor
swasta, LSM dan masyarakat umum (hobbiest).
2. Menempatkan pengelolaan Koleksi Rujukan Biota Laut dalam
birokrasi struktural yang sistemik. Dalam hal ini dapat dilakukan
misalnya menjadi sub bidang dari sarana dan prasarana dan atau

18
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

sub bidang pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian dukungan


kebijakan menjadi lebih pasti dan masif, sehingga secara otomatis
dukungan dana untuk pengelolaan koleksi rujukan biota laut dapat
dialokasikan secara berkala dan kontinyu.

5. Komunikasi Informasi dan Edukasi


Salah satu strategi yang perlu digagas dalam pengelolaan Koleksi
Rujukan Biota Laut adalah memanfaatkan “Komunikasi Informasi dan
Edukasi (KIE)”.
KIE dalam perspektif Koleksi Rujukan Biota Laut dapat dipahami
sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam
rangka mengubah sikap dan perilaku pemangku kepentingan, sehingga
diharapkan menyadari, memahami bahwa keberadaan Koleksi Rujukan
Biota Laut merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam
pengelolaan sumberdaya laut. Dengan demikian KIE- Koleksi Rujukan
Biota Laut harus mampu menumbuhkan motivasi, memberikan advokasi,
dan pelayanan yang berkualitas dalam arti harus berorientasi kepada upaya
memenuhi kebutuhan terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut. KIE ini
dapat dilakukan secara profesional, informatif, terbuka, rasional, jujur dan
mempunyai rujukan yang benar tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan KIE- Koleksi Rujukan
Biota Laut yang berkualitas, maka upaya ini diarahkan kepada koordinasi
dan keterpaduan pengelolaan serta pengembangan hubungan kemitraan
antar institusi pemerintah, swasta dan tokoh-tokoh kunci pemegang
kebijakan dengan tujuan sebagai berikut:

19
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

Tahapan Pengembangaan KIE-Koleksi Rujukan Biota Laut.


KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut dapat dikembangkan dengan
memetakan lima unsur sesuai dengan kerangka pengembangan di bawah ini
(Gambar 1.2) sebagai berikut:

Gambar 1.2. Kerangka Pengembangan Komunikasi Informasi Edukasi


(KIE) Koleksi Rujukan Biota Laut. Gambar: R. Pratiwi.

1. Who (?): unsur ini memetakan pihak yang mempunyai kebutuhan


terkait dengan keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut. Dapat bersifat
individu, kelompok, institusi yang mencakup secara lokal, nasional dan
intenational. Hasil dari pemetaan ini adalah: target, sasaran pengguna
Koleksi Rujukan Biota Laut.
2. What (?): pemetaan unsur ini bertujuan untuk menyusun pesan sesuai
dengan stratifikasi target sasaran. Dapat berupa pesan, simbol verbal

20
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

dan non verbal serta juga dapat dalam bentuk data. Menurut bentuknya
dapat berupa:
 Informatif menyampaikan penerangan berdasarkan fakta dan data-
data yang benar. Untuk mengisi pengetahuan target sasaran
tentang sesuatu yang belum diketahui terkait dengan Koleksi
Rujukan Biota Laut tanpa mempengaruhi persepsi mereka,
misalnya: siaran berita di radio dan televisi.
 Persuasif, pesan KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut yang
difokuskan pada perubahan pengetahuan dan sikap serta
diutamakan bagi target sasaran yang terkait pemanfaatan Koleksi
Rujukan Biota Laut secara langsung, misalnya: para peneliti,
pendidik, LSM, siswa, pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum
(hobbiest).
 Edukatif, bertujuan merubah perilaku target sasaran secara
sengaja, teratur dan terencana. Dapat berupa pemaparan dari data-
data yang telah dirangkum oleh Koleksi Rujukan Biota Laut, fakta
lapangan yang terkait dengan Koleksi Rujukan Biota Laut dan atau
dapat pula berupa pengalaman seseorang terkait peran dan fungsi
Koleksi Rujukan Biota Laut.
Untuk mengelola pesan di atas sebaiknya diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
 Susunan pesan menarik.
 Simbol pesan mudah dipahami.

21
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

 Pesan mampu membangkitkan motivasi dalam meningkatkan


pengetahuan dan sikap tentang peran dan fungsi Koleksi Rujukan
Biota Laut.
 Pesan sedapat mungkin memiliki alteratif agar kebutuhan akan
Koleksi Rujukan Biota Laut dapat dipahami secara layak.
 Isi pesan mudah diimplimentasikan.
3. When (?): kapan saatnya KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut dapat
dilakukan. Terkait dengan unsur ini, maka KIE- Koleksi Rujukan Biota
Laut dapat dilakukan:
 Berkala, misalnya: di saat pelatihan, sosialisasi dan advokasi.
 Berdasarkan event (kegiatan) tertentu (khusus), misalnya:
pameran, talk show radio dan televisi.
 Secara terus menerus, dapat dilakukan dengan menyusun poster-
poster, banner, brosur dan leaf flat.
4. Where (?): dimana KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut akan dilakukan,
karena ibarat pepatah “lain lubuk lain pula ikannya”. Secara umum
ada dua kelompok sasaran yang terkait dengan KIE- Koleksi Rujukan
Biota Laut:
 Sasaran yang langsung menggunakan perubahan pengetahuan dan
sikap untuk dirinya sendiri yakni: peneliti, akademisi dan hobbiest.
 Sasaran selain yang dapat menggunakan perubahan pengetahuan
dan sikap untuk diri sendiri, berpotensi atau berperan untuk
merubah pengetahuan dan sikap, misalnya: pemangku kebijakan,
para dosen, guru dan hobbiest.

22
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

5. Why (?): merupakan latar belakang dan tujuan mengapa KIE Koleksi
Rujukan Biota Laut perlu diselenggarakan bagi target sasaran tertentu,
sehingga dapat merubah paradigma perilaku pemangku kepentingan,
untuk dapat menyadari pentingnya keberadaan Koleksi Rujukan Biota
Laut dalam pengelolaan sumberdaya laut.
6. How (?): bagaimana KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut harus
dilakukan. Unsur ini lebih ditekankan pada metoda dan media yang
digunakan untuk KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut. Metoda KIE-
koleksi rujukan biota laut merupakan cara untuk mendekatkan target
sasaran dengan komponen-komponen Koleksi Rujukan Biota Laut.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan adalah:
a) Metoda yang dipilih mampu merangsang target sasaran untuk
berfikir kreatif.
b) Metoda dilaksanakan dilingkungan pekerjaan (kegiatan target
sasaran).
c) Kegiatan KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut akan lebih efisien
diselenggarakan bagi pemangku kepentingan yang langsung terkait
dengan keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut.
d) Metoda harus mampu menciptakan hubungan yang akrab dengan
target sasaran.
e) Metoda sedapat mungkin dapat merangsang target sasaran untuk
meningkatkan pengetahuan dan sikap serta mengubah
paradigmannya terhadap fungsi dan manfaat Koleksi Rujukan
Biota Laut.

23
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

Prinsip-prisnip tersebut di atas senantiasa dipertimbangkan dalam


menetapkan metoda. Ada tiga pendekatan dalam memilih metoda KIE-
Koleksi Rujukan Biota Laut:
1. Metoda KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut menurut jenis media yang
digunakan, yaitu:
a. Media lisan (langsung atau tidak langsung).
b. Media cetak (poster, selebaran, majalah dll).
c. Media terproyeksi (slide, film, animasi dll).
2. Metoda KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut berdasarkan sumber dan
kelompok sasaran dibedakan atas:
a. Komunikasi langsung (sosialisasi).
b. Komunikasi tidak langsung (surat menyurat).
3. Berdasarkan jumlah sasaran maka metoda KIE- Koleksi Rujukan Biota
Laut dibedakan atas:
a. Pendekatan individu.
b. Pendekatan kelompok.
c. Pendekatan massal.

Pemilihan media yang digunakan untuk menyelenggarakan KIE-


Koleksi Rujukan Biota Laut diharapkan mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
 Saluran komunikasi mana yang paling banyak penerimanya tetapi
murah biayanya, misalnya: talks show radio dan konfrensi pers.

24
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

 Saluran komunikasi mana yang paling sesuai dengan ketersedian dana


dan kemampuan mengoperasikannya, misalnya: on line, blog dan web
site.
 Saluran komunikasi mana yang paling besar dampaknya terhadap
capaian KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut, misalnya: pelatihan,
sosialisasi, dan workshop.
 Saluran komunikasi mana yang paling cocok dengan tujuan dan target
sasaran KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut, misalnya: advokasi,
sosislisasi, dan pelatihan.

6. Keberlanjutan Koleksi Rujukan Biota Laut

Massa depan Koleksi Rujukan Biota Laut P2O ditentukan oleh


beberapa faktor, baik yang terkait dengan kelengkapan spesimen Koleksi
Rujukan Biota Laut yang tersimpan (tersedia), data-data pendukung,
pelayanan kurator maupun prasarana dan sarana pendukung lainnya yang
kondusif bagi pengguna.
Terkait dengan faktor-faktor tersebut, maka perlu dilakukan hal-
hal sebagai berikut:
1. Menata tata letak ruang Koleksi Rujukan Biota Laut sedemikian rupa,
sehingga memberikan motivasi positif bagi pengguna dan pengelola.
2. Sistem koleksi yang komputerisasi, sehingga memudahkan pengguna
dan pengelola dalam mengakses Koleksi Rujukan Biota Laut sesuai
dengan tujuan masing-masing.

25
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

3. Memetakan standard minimal pelayanan yang menjadi pedoman bagi


pengelolaan sehingga fungsi dan manfaat keberadaan Koleksi Rujukan
Biota Laut menjadi efektif.
4. Menyusun pedomen KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut yang fleksibel
dan dapat mengadopsi dinamika perkembangan penelitian kelautan dan
kebutuhan-kebutuhan yang mengikutinya. Dengan demikian KIE-
Koleksi Rujukan Biota Laut selalu terbarui (ter-up date) sesuai dengan
perkembangan ilmu kelautan.
5. Mengimplemantasikan Standard Operational Procedure (SOP) yang
sudah disusun dan menyempurnakan Instruksi-instruksi Kerja (IK)
sesuai dengan pedoman layanan minimal. SOP tersebut harus
disempurnakan agar selaras dengan prosedur International Standard
Operating (ISO).
6. Pengendalian mutu pelayanan diselenggarakan dengan mengadopsi
prinsip-prinsip Management Total Quality (TQM) sesuai dengan yang
dikatakan oleh Ishikawa (1993) yang berpendapat bahwa perpaduan
semua fungsi pelayanan ke dalam falsafah holistik yang dibangun
berdasarkan konsep kualitas, team work, produktivitas dan pengertian
serta kepuasan pelanggan.
Produk dan jasa pelayanan Koleksi Rujukan Biota Laut adalah
titik pusat untuk pencapaian peran dan manfaat keberadaan Koleksi
Rujukan Biota Laut. Jasa dan pelayanan tidak dapat terpisahkan dari
sumbedaya yang mendukungnya, lembaga pengelola yang menyediakan
pelayan-pelayan Koleksi Rujukan Biota Laut serta pengguna yang
menuntut pelayanan yang maksimal. Dengan demikian program-program

26
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

yang terintegrasi dan sinergis bagi keberlanjutan Koleksi Rujukan Biota


Laut perlu diprioritaskan.

Daftar Pustaka

Ahyong, S, Chen T, dan Liao Y., 2008. A Catalog of The Mantis Shrimps
(Stomatopoda) of Taiwan. Taiwan: National Taiwan Ocean
University. 200 pp.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), 2012. Modul Materi Uji
Perpindahan Jabatan Fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan
Terampil ke Ahli Pegawai Negeri Sipil (PNS). Badan Pom RI,
Mata Pelajaran Komunikasi Informasi dan Edukasi.
(http//pengawasfarmasidanmakanan.files.wordpress.com/2012/06/
modul-kd-kebijakan-dan penilaian-angka-kredit2.pdf. (diakses,
tanggal 23 Maret 2013).

Ishikawa, K., 1993. Introduction to Quality Control. J.A. Lofetus (Trans.


Tokyo 3A Cooperation).
http://en.wirkipedia.org/wikikaoru_ishikawa (diakses tanggal 23
Maret, 2013).

Irawan, B. dan A. Soegianto, 2006. Kekayaan Jenis Portunidae di Sisi


Shipping Line Selat Madura. Berk. Penel. Hayati: 11: 93–96.

Kantor Lingkungan Hidup (KLH), 2003. Strategi Nasional Pengelolaan


Keanekaragaman Hayati Laut. Didukung oleh Environmetal
Management Development in Indonesia (EMDI) Project. 55 hal.

Moosa, MK. dan I. Aswandy 1984. Udang karang (Panulirus spp.) dari
perairan Indonesia. Lembaga Oseanologi. Nasional, LIPI, Jakarta:
40 hal.

27
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI

Moosa, M.K, 2000. Marine biodiversity of the South China Sea: a checklist
of Stomatopod Crustacea. Raffles Bulletin of Zoology, supplement
8, 405-457.

Nontji, A., 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa
ke Masa. Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Penetahuan
Indonesia, 433 hal.

Soegiarto, K.A., 1987. Menelusuri Tonggak-Tonggak Sejarah Puslitbang


Oseanologi-LIPI. Oseana: XII (3) Edisi Khusus, 52 hal.

Soemodihardjo, S., Soegiarto. K.A., Moosa, M.K., dan Mulyanto., 2005.


Seratus Tahun Lembaga Penelitian Bidang Ilmu Kelautan-LIPI
(1905-2005). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI Press,
Jakarta, 195 hal.

Suhardjono, Y.R., 1999. Buku Pegangan Pengelolaan koleksi spesimen


Zoologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Zoologi, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, 218 hal.

Sumarni, 2008. Koleksi Rujukan Biota Laut (Refence Collection of Marine


Biota) Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Ditinjau dari Segi
Kearsipan. Warta Oseanografi, XXII (2): 16-20.

28
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

Bab II

Tata Kelola Koleksi Spesimen Biota Laut

Rianta Pratiwi

Pendahuluan
Perairan Indonesia memiliki kekayaan biota laut yang jenisnya
sangat beranekaragam dan sangat besar jumlahnya serta tiada duanya di
dunia. Dengan kondisi tersebut lautan mempunyai peranan yang sangat
penting bagi kehidupan Bangsa Indonesia, hal ini baik ditinjau dari segi
alamnya, sebagai sarana transportasi, sarana rekreasi, pendidikan dan
penelitian, konservasi alam serta sarana pertahanan keamanan negara.
Bahkan untuk masa depan akan lebih banyak ditentukan pada kemampuan
kita untuk memanfaatkan sumberdaya laut. Oleh karena itu pendayagunaan
lautan nusantara secara penuh dan bijaksana sangat mendukung
pembangunan ekonomi serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan
berusaha serta sangat memerlukan pendalaman IPTEK untuk menggali
potensi-potensi yang terkandung di dalamnya.
Sebagai negara yang berkembang dan dikenal pula sebagai negara
yang mempunyai keanekaragaman biota laut yang tinggi, sangat
disayangkan apabila tidak dibarengi oleh pengetahuan dasar mengenai
keanekaragaman biota laut serta ilmu-ilmu yang terkait dengan bidang
kelautan. Seiring dengan kemajuan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, terjadi pula kerusakan lingkugan yang memungkinkan terjadinya

29
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

variasi di dalam spesies atau bahkan hilangnya jenis-jenis tertentu dari


habitatnya. Keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut semakin perlu,
sehingga generasi penerus kita pun masih dapat mempelajari dan memiliki
pengetahuan tentang kekayaan biota yang terdapat di laut kita. Dengan
terbentuknya Koleksi Rujukan Biota Laut tersebut maka gambaran
mengenai kekayaan hayati laut Indonesia serta sebaran dari biota dapat
diketahui; informasi mengenai keanekaragamannya dapat disebar luaskan
kepada masyarakat umum, instansi-instansi, mahasiswa dan pelajar untuk
ikut membantu pelestarian biota laut, selain juga untuk menunjang
pengetahuan biosistematik, biologi dan ekologi.
Di dalam pengelolaan Koleksi Rujukan Biota Laut, koleksi
spesimen di bagi ke dalam delapan (8) kelompok taksa utama yaitu:
Crustacea, Moluska, Echinodermata, Coral, Ikan, Algae (Seaweed), Lamun
(Seagrass) dan Mangrove. Tetapi kini sedang dipersiapan untuk kelompok
micro benthik yang terdiri dari: Cacing (Polychaeta), Moluska dan
Crustacea tingkat rendah (Amphipoda, Isopoda, Ostracoda dan lain-lain).
Belum semua taksa memiliki kurator yang bertanggungjawab atas koleksi
spesimen (karena Koleksi Rujukan Biota Laut bukan sebuah museum), dan
hanya berupa laboratorium yang bertugas mengelola, merawat dan menata
spesimen biota laut hingga menjadi sebuah Koleksi Rujukan Biologi Ilmiah
bagi para peneliti dan pengguna lainnya. Kelompok taksa Crustacea,
Moluska, Echinodermata dan Botani (Algae, Mangrove dan Lamun) saja
yang sudah memiliki kurator, kelompok lainnya masih di bawah
pengawasan kepala laboratorium dan peneliti dibidangnya masing-masing)

30
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

Dalam hal ini pengaturan dan penataannya diatur semudah


mungkin agar kurator dapat mengambil dan mengembalikan spesimen
dengan cepat dan mudah dari tempatnya. Penggunapun dapat dengan mudah
merujuk dengan cara melihat Buku Katalog ataupun meminta bantuan
kurator untuk melihat spesimen. Semua hal-hal yang menyangkut tatakelola
koleksi spesimen dibahas satu persatu di dalam buku ini sebagai acuan
untuk mengatur Manajemen Koleksi Spesimen demi keselamatan spesimen
dan semua sarana prasarana yang digunakan bagi semua pengguna baik
secara langsung maupun tidak langsung.

A. Jenis-jenis Koleksi
1. Koleksi Utama
Koleksi utama adalah koleksi berbagai takson yang biasa disimpan
pada umumnya di museum-museum. Di ruang atau Laboratorium Koleksi
Rujukan Biota Laut P2O terdiri dari dua (2) macam koleksi dan satu (1)
koleksi herbarium yaitu: 1). Koleksi Basah (menggunakan bahan pengawet
alkohol dan atau formalin), 2). Koleksi kering dapat berupa tubuh binatang
seutuhnya seperti: Coral (karang), cangkang moluska, dan spesimen awetan
kaca (slide) dan Koleksi Herbarium berupa daun, bunga atau akar dari
tumbuhan algae (seaweed), lamun (seagrass) dan mangrove yang
dikeringkan dan ditempel pada kertas khusus sehingga menjadi herbarium.
Bervariasinya macam koleksi menyebabkan dibutuhkannya berbagai
persyaratan unit penyimpanan untuk masing-masing jenis koleksi. Dengan
demikian koleksi utama ini merupakan satu rangkaian unit penyimpanan
yang berbeda antara satu takson dan lainnya.

31
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

Masing-masing takson ditata dalam satu sistem standar sistematik


atau klasifikasi termasuk semua bahan acuannya. Hal ini dimaksud untuk
memudahkan para pengguna dalam mencari takson yang dikehendaki dan
juga bagi pengelola untuk merawatnya. Diantara koleksi yang dimiliki,
beberapa takson hanya diidentifikasi sampai taraf tertentu (bangsa, suku,
marga) atau bahkan kelas. Spesimen-spesimen tersebut masih dinilai
sebagai koleksi utama yang sangat berguna, karena masih dapat diproses
lebih lanjut.
Terdapat beberapa kasus koleksi, dimana spesimen yang tercatat
pada buku katalog lama saat rehabilitasi dan sensus koleksi hilang, sudah
tidak dapat ditemukan spesimennya. Hal ini disebabkan karena spesimen
sudah tidak ada sejak lama atau sulit untuk ditelusur. Biasanya spesimen
tersebut dinyatakan sebagai spesimen hilang, tetapi tidak dihilangkan dari
catatan. Data spesimen hilang ini tetap tercatat di dalam buku katalog,
tetapi tidak tercatat di dalam database koleksi.

2. Koleksi Spesimen Tipe


Merupakan spesimen yang secara international telah dikategorikan
dan dipublikasikan menjadi tipe untuk jenis yang bersangkutan. Berlaku
untuk semua spesimen, dan koleksi spesimen tipe ini mendapat perlakuan
yang istimewa dalam artian pengelolaan sangat khusus dan keselamatan,
perawatan serta penangannya lebih berhati-hati dibandingkan jenis koleksi
lainnya. Hal ini disebabkan nama dan tempat penyimpanannya telah
dipublikasikan secara international. Bila terdapat kerusakan dari spesimen
tipe tersebut dapat memperburuk lembaga penelitian atau museum dimana

32
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

koleksi tersebut disimpan dimata internaional. Itulah sebabnya koleksi tipe


(holotype) maupun tipe lainnya (paratype, lektotype dll) dipisahkan
penyimpanannya dari koleksi utama dan lainnya. Untuk mempermudah
pengawasannya, koleksi spesimen tipe disimpan tidak jauh dari lokasi
utama masing-masing kelompok takson.

(a) (b)

(c)

Gambar 2.1. Contoh Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI. Atas kiri (a)
Koleksi basah, atas kanan (b): Koleksi kering. Foto: I.B
Vimono dan bawah (c): Koleksi herbarium. Foto: R. Pratiwi.

33
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

(a) (b)
Gambar 2.2. Contoh Koleksi Tipe Rujukan Biota Laut (a), dengan Pita-pita
Merah Sebagai Koleksi Holotipe (b). Foto: D.L. Rahayu.

3. Koleksi Pertukaran dan atau Sumbangan


Merupakan koleksi dari hasil tukar menukar atau sumbangan yang
diterima dari lembaga penelitian lain atau meseum, bahkan individu
(hobbiest) tanpa ikatan perjanjian apapun. Penyimpanan koleksi sumbangan
dapat disatukan atau dibedakan dengan koleksi utama, tergantung kepada
data yang terkandung didalamnya serta keadaan fisik spesimen yang
bersangkutan. Hal penting yang harus dilakukan adalah sterilisasi terlebih
dahulu setelah proses penukaran

4. Koleksi Baru dari Lapangan


Merupakan koleksi dari hasil penelitian, pengumpulan, eksplorasi
atau ekspedisi oleh staf dan teknisi suatu lembaga penelitian. Spesimen
baru ini masih memerlukan proses pemilahan dan pengawetan lebih lanjut
sebelum digabungkan dengan koleksi utama. Prosedur pemrosesan harus
mengikuti ketentuan yang sudah dibakukan. Spesimen yang sudah selesai

34
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

proses pengawetan dan pencatatan datanya secara baku dapat digabungkan


dalam ruang koleksi.

(a) (b)
Gambar 2.3. Koleksi Lapangan Dalam Proses Pemilahan (a), Identifikasi
dan Pengawetan (b). Foto: R. Pratiwi.

5. Koleksi Pinjaman (loan)


Merupakan spesimen yang dipinjam dari institusi lain baik dalam
negeri maupun luar negeri untuk kepentingan penelitiannya. Spesimen ini
terikat perjanjian peminjaman antar dua lembaga. Spesimen jenis ini tidak
dimasukkan ke dalam database koleksi, tetapi cukup dicatat secara
administrasi dalam arsip pinjam meminjam koleksi. Oleh karena
keterikatannya dengan perjanjian antar instansi, maka penanganannya juga
harus hati-hati sebagaimana koleksi utama lainnya

6. Koleksi Pengembalian dari Peminjaman


Merupakan koleksi yang baru datang atau dikembalikan oleh
lembaga lain setelah dipinjam dalam periode tertentu sesuai perjanjian
peminjaman. Koleksi ini memerlukan proses lebih lanjut, misalnya

35
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

registrasi ulang, menghapus dokumen peminjaman sebelum disatukan atau


dikembalikan ke tempat penyimpanan semula. Catatan: khusus untuk
spesimen kering dan herbarium pembebasan hama mutlak harus dilakukan
sebelum koleksi disatukan dengan koleksi utama.

7. Koleksi Pembagian
Merupakan sejumlah spesimen pembagian dari hasil penelitian
kerjasama atau eksplorasi bersama antara peneliti dengan peneliti dari
instansi lain. Spesimen ini dapat digabungkan dengan koleksi utama lainnya
setelah mengalami proses sebagaimana yang ditentukan.

Gambar 2.4. Koleksi Pembagian Hasil Penelitian antara P20-LIPI dengan


Naturalis Museum Belanda. Foto: U.Y. Arbi.

8. Koleksi Bukti
Kumpulan spesimen atau bagian dari tubuh binatang hasil
penelitian ekologi atau biologi lainnya yang mungkin dilengkapi atau tidak

36
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

memiliki data sebagaimana mestinya sebagai koleksi spesimen ilmiah.


Pengawetan spesimen bukti ini diproses sesuai standar yang berlaku.
Spesimen jenis ini dapat disimpan sebagai koleksi ilmiah (bila keadaan fisik
spesimen bagus dan data yang terkandung lengkap), atau disiapkan untuk
bahan pameran atau bahan belajar mengajar. Koleksi bukti dapat ditiadakan
atau dibuang setelah proses analisa dan atau penelitian selesai.

Gambar 2.5. Spesimen Bukti Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI


(Rahang dan Gigi Hiu). Foto: Fahmi.

9. Koleksi untuk Belajar Mengajar atau Pameran.


Merupakan spesimen yang khusus disediakan untuk melayani
berbagai permintaan pelayanan, misalnya pelatihan atau pameran. Koleksi
ini memang dibedakan dari koleksi utama dan disediakan khusus, yang
umumnya tidak bernomor registrasi atau tanpa keterangan (label).
Kebijakan ini ditempuh karena resiko spesimen akan rusak oleh tangan
peserta pelatihan atau pengunjung pameran sangat besar.

37
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

Gambar 2.6. Spesimen Pamer (Display) Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-
LIPI. Foto: I.B.Vimono.

10. Koleksi Pelengkap atau Penunjang


Merupakan koleksi hasil rekaman dari binatang dan kegiatannya.
Rekaman ini dapat berupa suara, gambar tangan, gambar terawang (foto
slide), film, video, dan foto cetak (positif dan negatif). Penyimpanan
koleksi pelengkap ini dilakukan ditempat terpisah dari koleksi spesimen.
Data atau informasi hasil rekaman spesimen dapat dicatatkan di dalam
database masing-masing spesimen.

B. Bahan-bahan yang Terkait dalam Koleksi


Semua barang, peralatan, sarana atau segala sesuatu yang
berkaitan dengan koleksi spesimen seperti kartu katalog, buku registrasi,
literatur atau bahan pustaka dan komputer untuk database merupakan
bahan-bahan yang berkenaan dengan koleksi. Oleh karena fungsinya yang
penting dalam pengelolaan koleksi dan untuk mempermudah
penggunaannya, maka bahan-bahan yang terkait dengan koleksi
ditempatkan berdekatan dengan ruang koleksi. Disamping hal-hal yang

38
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

sudah disebutkan, buku lapangan juga merupakan bahan yang terkait


dengan koleksi. Dari cacatan yang terekam di dalam buku lapangan,
informasinya dapat dimanfaatkan untuk pelengkap data di dalam pengisian
database spesimen.
Evaluasi terhadap kondisi spesimen tergantung pula oleh tempat
atau spesimen itu sendiri. Tempat penyimpanan dibedakan berdasarkan cara
pengawetan spesimen (basah atau kering), kondisi spesimen akan baik
apabila persyaratan penyimpanan telah memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan. Macam-macam tempat penyimpanan dan persyaratannya
sebagai berikut:
1. Lemari Besi: lemari yang terbuat dari besi, kedap udara dengan
pintu yang bisa digeser-geser maju dan mundur secara mekanis
dengan ringan dan mudah.
2. Lemari Kayu: lemari yang terbuat dari kayu dengan beberapa laci-laci
untuk menyimpan koleksi kering seperti herbarium dan koleksi kering
lainnya (koleksi moluska).
3. Kotak plastik: kotak yang terbuat dari plastik dengan ukuran sebesar
kartu nama untuk tempat koleksi kering (koleksi moluska), sehingga
bisa dimasukkan ke dalam laci lemari kayu. Atau yang berukuran agak
besar (kotak kue dari plastik) untuk tempat penyimpanan coral
(karang). Kotak tersebut kemudian disimpan di dalam lemari besi.
4. Rak Besi: terbuat dari besi yang kuat untuk tempat botol-botol koleksi
spesimen.
5. Botol Kaca: terbuat dari kaca yang bening, tidak berwarna tutup rapat
dari mika atau polietilen.

39
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

6. Vial/tube: botol berukuran kecil atau yang telah baku, bening, tidak
berwarna dan tanpa tutup digunakan untuk koleksi spesimen berukuran
kecil (mikro bentik). Spesimen dimasukkan dalam vial atau tube
tersebut, kemudian ditutup oleh kapas dan dimasukkan ke dalam botol
yang lebih besar.
7. Slide: lempeng kaca (object glass) dengan ukuran yang telah baku,
tanpa tutup (cover glass), sebagai media spesimen cacing atau bentik.
8. Kantong Plastik: terbuat dari polietilen, berwarna bening dengan clips
dibagian ujung, berukuran baku dan digunakan untuk spesimen kering
(moluska, coral dan bintang laut).
9. Kertas“Samson”: ketas berwarna coklat, permukaan halus, digunakan
untuk alas spesimen herbarium (lamun atau seagrass).
Setiap koleksi spesimen hendaknya memiliki kode-kode khusus
berkaitan dengan kondisi dari tempat (unit) penyimpanan, hal ini sangat
berguna sebagai informasi bahwa unit penyimpanan rusak, jelek atau
kondisinya tidak baik. Sebagai contoh diambil dari koleksi di Museum
Zoologi Bogor (MZB) yang memiliki kode-kode sebagai berikut:
A-1 : unit penyimpanan dalam kriteria ini sudah tidak memenuhi syarat
digunakan untuk penyimpanan karena kondisinya sudah jelek. Harus
segera diganti sebab dapat menyebabkan koleksi rusak dalam waktu
dekat.
A-2 : unit penyimpanan dalam kriteria ini tidak terlalu jelek, tetapi dalam
waktu beberapa tahun (5 tahun) diperkirakan akan rusak, sehingga
diperlukan pemantauan terus menerus.

40
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

A-3 : unit penyimpanan dalam kriteria ini sudah bagus sesuai standar
baku, karena spesimen sudah dapat dipastikan dijamin
keselamatannya.
Sedangkan untuk status penataan juga sebaiknya mengikuti apa
yang dilakukan oleh MZB dengan kode-kode sebagai berikut:
B-0 : koleksi spesimen belum dipilah
B-1: koleksi utama yang sudah dipilah ampai tahap kelompok besar
(filum, bangsa, suku).
B-2: koleksi utama yang dipilah sampai tahap marga dan jenis sehubungan
dengan revisi taksonomi.
B-3: materi pinjaman dari dan untuk institusi lain, yang dipisahkan atau
terpisah, siap untuk dikirim atau siap disatukan dengan koleksi utama.
B-4: spesimen tipe yang dipisahkan dari koleksi utama, tersimpan dalam unit
penyimpanan khusus.
Kondisi spesimen kering hendaknya bersih, kering, tidak berjamur,
utuh dan tidak ada cairan. Sedangkan untuk koleksi basah, harus berupa
spesimen utuh, tidak busuk, tidak lembek ataupun hancur, beralkohol
jernih, berbau khas alkohol dan diawetkan dengan konsentrasi 96 %.
Kode-kode lain yang juga penting sebagai informasi yang
berkaitan dengan koleksi perlu dibuatkan, contoh diambil dari museum
MZB sebagai berikut:
C-1: tanpa data lokasi
C-2: data lokasi sangat terbatas, misalnya: hanya ada nama pulau saja
C-3: data lokasi lengkap, termasuk informasi tanggal, kolektor,
identifikator dan lain-lain

41
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

C-4: data lokasi sangat lengkap termasuk informasi tipe habitat, cara
koleksi dan posisi (kordinat).
C-5: tahap identifikasi masih sampai marga ke atas bangsa atau suku,
khusus untuk lokasi C3 dan C4.
C-6: tahap identifikasi sampai jenis, khusus untuk lokasi C3 dan C4.
C-7: tahap identifikasi sampai jenis, tetapi dilengkapi dengan Informasi
tentang identifikasi dan publikasi khusus untuk lokasi C3 dan C4.

C. Kebijakan Berkaitan Spesimen dan Pengelola Spesimen


1. Koleksi Rujukan Biota Laut Pusat Penelitian Oseanografi-
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berkewajiban mengelola
secara menyeluruh dan sebaik-baiknya terhadap semua jenis
koleksi spesimen yang dimiliki baik sebagai koleksi utama ilmiah
ataupun koleksi spesimen jenis tipe.
2. Pengelolaan koleksi utama ilmiah (mencakup pengawetan,
perawatan, database dan pengawasan penggunaan koleksi
spesimen ilmiah) dilakukan dengan teliti, cermat dan hati-hati
untuk menjaga keselamatannya berdasarkan SOP (Standard
Operation Procedur) yang telah ditentukan dalam setiap kegiatan.
3. Semua koleksi spesimen disimpan di dalam botol (koleksi basah),
kotak plastik (koleksi kering) atau katong plastik (koleksi
herbarium) dan diberikan label yang berisikan semua informasi
tentang spesimen yang bersangkutan. Label diletakkan bersama
spesimen di dalam botol, kotak atau kantong plastik.

42
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

4. Ruang Koleksi Rujukan Biota Laut harus bersih, berpendingin


(AC) dengan suhu yang telah ditentukan, memiliki alat pemadam
kebakaran dan terjaga dengan baik.
5. Tidak semua orang dapat masuk ke dalam Ruang Koleksi Rujukan
Biota Laut kecuali, petugas atau pengelola Koleksi Rujukan Biota
Laut yang dapat masuk dan bertanggungjawab penuh terhadap
koleksi spesimen.

D. Penanggung Jawab Koleksi


Sesuai dengan SOP yang berlaku dan telah ditentukan di
lingkungan P2O, semua tanggungjawab Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-
LIPI berada di bawah Kepala Bidang Sumberdaya Laut. Sedangkan untuk
pelaksana harian di bawah pengawasan Kepala Laboratorium Koleksi
Rujukan Biota Laut yang dibantu oleh beberapa kurator yang
bertanggungjawab terhadap kelompok taksanya masing-masing.
Penggunaan dana untuk perawatan dan pengelolaan biota laut
berasal dari dana proyek yang setiap tahunnya diajukan, oleh sebab itu
Kepala Laboratorium harus selalu mengajukan proposal kegiatan agar
manajemen koleksi dan pembuatan buku katalog serta luaran-luaran lainnya
(poster-poster, banner biota laut dan lain-lain) dapat diterbitkan.
Izin penggunaan atau peminjaman koleksi untuk berbagai kegiatan
(pameran, bahan ajar dan lain-lain) telah diatur dan harus seizin Kepala
Bidang Sumberdaya Laut yang kemudian diketahui oleh Kepala
Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut setelah adanya jaminan
keamanan dan keselamatan bagi spesimen.

43
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

E. Penyimpanan Koleksi
Di dalam koleksi ilmiah Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
hanya ada 2 macam jenis koleksi (basah dan kering) dan 1 jenis koleksi
herbarium. Untuk lebih jelasnya setiap kelompok taksa akan
menjelaskannya pada bab-bab tersendiri, tetapi dalam halaman ini akan
diulas sedikit mengenai hal tersebut sebagai berikut:
1. Koleksi Kering
a. Ruangan
- Memiliki suhu ruangan yang terus terkontrol sekitar 20o-
21oC, serta kelembaban sekitar 45-60%.
- Sarana penyimpanan selalu dijaga kebersihannya (kotak
plastik kantong plastik, botol-botol, laci-laci,lemari besi
dan lain-lain).
- Ruangan diupayakan bebas hama (bersih hama), dipantau
terus menerus.
- Usahakan lampu tidak menyala terus, hanya menyala saat
bekerja saja dan bila tidak ada kegiatan sebaiknya
dimatikan.
- Bebas dari makanan dan minuman (dilarang makan dan
minum saat bekerja di dalam ruangan).

b. Tempat (unit) Penyimpanan


- Koleksi disimpan dalam lemari yang kedap udara.
- Pintu harus selalu dalam kondisi tertutup apabila tidak
ada kegiatan/pekerjaan.

44
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

- Laci-laci, botol-botol dan kotak tempat spesimen selalu


dalam kondisi tertutup rapat.
- Pada kotak spesimen hanya boleh diberikan 2 butir
kamper saja.
- Apabila meninggalkan kotak spesimen di luar lemari,
usahakan kotak selalu dalam kondisi tertutup.
- Bila spesimen dalam bentuk slide, usahakan
meletakkannya tidak terbalik-balik. Kotak slide disusun
berdiri dan slidenya diletakan mendatar dengan penutup
slide berada di permukaan atas.

2. Koleksi Basah
a. Ruangan
- Memiliki suhu ruangan yang terus terkontrol sekitar 20o-
21oC, serta kelembaban sekitar 45-60%.
- Ruangan harus gelap, matikan lampu bila tidak ada yang
bekerja (tidak ada kegiatan).
- Kebersihan ruangan selalu terjaga (bersih).
- Tidak diperbolehkan makan dan minum di dalam
ruangan.

b. Tempat (unit) Penyimpanan


- Lemari sebaiknya sering dibuka, agar ada pertukaran
udara pada masing-masing deret rak.

45
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

- Kebersihan rak, lemari besi dan laci-laci dalam lemari


selalu dijaga kebersihannya (bebas debu dan jamur).
- Botol-botol penyimpanan juga harus bersih dari debu dan
jamur.
- Alkohol seharusnya merendam penuh spesimen dan harus
jernih dengan kadar 96 %.
- Pengecekan dan penggantian alkohol diusahakan 3 bulan
sekali dan kebersihannya tetap terjaga.

3. Koleksi Herbarium
a. Ruangan
- Memiliki suhu ruangan yang terus terkontrol sekitar 20o-
21oC.
- Ruangan harus gelap, matikan lampu bila tidak ada yang
bekerja (tidak ada kegiatan).
- Kebersihan ruangan selalu terjaga (bersih).
- Tidak diperbolehkan makan dan minum di dalam
ruangan.
b. Tempat (unit) Penyimpanan
- Lemari sebaiknya sering dibuka, agar ada pertukaran
udara dan tidak lembab.
- Kebersihan rak, lemari besi dan laci-laci dalam lemari
selalu dijaga kebersihannya (bebas debu dan jamur).
- Plastik dan kertas alas herbarium juga harus bersih dari
debu dan jamur.

46
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

- Plastik dan kertas jangan sampai berubah warna (kuning


atau kecoklatan). Harus diganti dengan yang baru. Hati-
hati saat melepaskan plastik dan kertas, jangan sampai
merobek spesimen. Pengecekan dan penggantian plastik
diusahakan 3 bulan sekali dan kebersihannya tetap terjaga
(bebas dari hama). Label juga harus diganti, letakkan
label dalam kantong plastik tersendiri kemudian
masukkan dalam kantong herbarium.

47
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

Alur Penanganan Koleksi (Basah dan Kering/Herbarium)

Gambar 2.7. Alur Kerja Spesimen Koleksi Basah. Gambar: R. Pratiwi.

48
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

Gambar 2.8. Alur Kerja Spesimen Koleksi Kering/Herbarium. Gambar:


R. Pratiwi.

F. Penataan Spesimen
Setiap rak koleksi diberikan nama dari kelompok taksa masing-
masing, misalnya: rak untuk kelompok crustacea, rak ikan, rak
echinodermata dan sebagainya. Botol-botol spesimen disusun berdasarkan
nomor urut registrasi sesuai yang tertulis dalam buku katalog. Masing-
masing taksa mempunyai kode-kode tersendiri yang berbeda antara
kelompok satu dengan taksa lainnya.

49
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

Susunan klasifikasi juga berbeda antar taksa, ada kelompok yang


mulai dari kelas hingga jenis, tetapi ada juga yang mulai dari bangsa hingga
jenis, sementara ada pula yang dari suku hingga jenis, semua tergantung
dari kuratorial masing-masing yang bertanggungjawab atas klasifikasi
spesimennya. Biasanya buku yang digunakan berdasarkan bahan acuan
klasifikasi yang sudah baku.

G. Tata Tertib yang Terkait dengan Koleksi


1. Penggunaan Koleksi
a. Koleksi Rujukan Biota Laut ilmiah dapat digunakan oleh
siapa saja untuk bahan rujukan ilmiah (penelitian, pembuatan
karya tulis ilmiah, skripsi, thesis dan lain-lain).
b. Penggunaan Koleksi Rujukan Biota Laut harus melalui proses
yang sudah ditentukan dan harus mengajukan permohonan
penggunaan kepada Kepala Bidang Sumbedaya Laut secara
tertulis dan resmi.
c. Penggunaan Koleksi Rujukan Biota Laut juga harus
sepengetahuan Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan Biota
Laut sebagai penanggungjawab koleksi yang kemudian akan
diteruskan kepada kuratorial bidang taksa masing-masing
koleksi.
d. Para penggunaan diharapkan dan diwajibkan mentaati
peraturan/kekentuan/SOP yang diberlakukan pada masing-
masing kelompok/kuratorial

50
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

e. Para penggunaan Koleksi Rujukan Biota Laut diharapkan


berhati-hati di dalam pengunaan spesimen.
f. Apabila pengguna tidak berhati-hati atau lalai dan abai dalam
menangani spesimen serta tidak mentaati SOP atau aturan
yang telah ditentukan, maka Kepala Laboratorium dapat
menegur atau melarang pengguna untuk melanjutkan
pekerjaannya atau kegiatannya yang berkaitan dengan koleksi.

2. Pengambilan/Pemotretan Spesimen
a. Para pengguna yang akan melakukan pemotretan spesimen
atau merekamnya dengan video, harus seizin Kepala Bidang
SDL dan diketahui oleh Kepala Laboratorium Koleksi
Rujukan Biota Laut serta kuratorial masing-masing kelompok
taksa atas spesimen yang diinginkan.
b. Para pengguna yang akan melakukan pemotretan spesimen
atau merekamnya dengan video, harus mentaati peraturan atau
mengikuti SOP yang berlaku.
c. Para pengguna baru dapat melakukan pemotretan spesimen
atau merekamnya apabila persyaratan kedinasan telah selesai.
d. Pelaksanaan pengambilan gambar/potret atau merekam tidak
boleh dilakukan di dalam ruang koleksi, tetapi di ruangan lain
atau tempat yang sudah disetujui oleh Kepala Laboratorium
atau kurator yang ditugasi serta dalam pengawasan keduanya.
Pemotertan di dalam ruang laboratorium dapat merusak
koleksi spesimen.

51
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

e. Hanya spesimen yang telah ditentukan atau dipilih untuk


diambil foto atau gambarnya yang boleh keluar dari ruang
koleksi rujukan dan spesimen harus/masih tetap berada dalam
wadahnya (botol, kotak plastik ataupun kantong plastik).
f. Apabila pengguna tidak berhati-hati atau lalai dan abai dalam
menangani spesimen sehingga dapat merusak spesimen, maka
proses pemotretan atau perekaman video dapat dibatalkan
oleh Kepala Laboratorium.
g. Setelah selesai proses pemotretan atau perekaman video
spesimen dapat dikembalikan dan segera serahkan kepada
petugas/kurator untuk dikembalikan ditempat semula.
3. Pelayanan Identifikasi
a. Layanan jasa identifikasi dilakukan oleh individu/peneliti
yang telah disetujui oleh dinas secara resmi dan sesuai
dengan permintaan jenis apa yang akan diidentifikasi
berdasarkan kelompok taksanya.
b. Permintaan jasa identifikasi diajukan kepada Kepala
Pusat Penelitian Oseanografi secara resmi.
c. Ketentuan layanan jasa identifikasi selanjutnya diatur
dalam kebijakan Pelayanan Jasa P2O oleh Bagian Jasa
dan Informasi.
d. Layanan jasa identifikasi dapat diberikan apabila telah
disetujui oleh Kepala Bidang Sumberdaya Laut.

52
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

4. Pelayanan Peminjaman Spesimen.


a. Peminjaman koleksi ilmiah hanya dapat dilakukan antar
instansi bukan individu dengan cara mengajukan
permohonan secara resmi ke dinas (Kepala P2O-LIPI).
b. Persetujuan peminjaman koleksi ilmiah diberikan oleh
Kepala Laboratorium Biota Laut atas pertimbangan
keadaan koleksi dan jumlah spesimen yang tersedia dan
harus seizin Kepala P2O-LIPI.
c. Peminjaman hanya diberikan untuk kepentingan ilmiah
d. Peminjam harus menandatangani surat bukti/blanko
peminjaman.
e. Peminjam dapat menerima spesimen untuk dipinjam
setelah surat izin peminjaman ditandatangani Kepala
Bidang SDL dan diketahui Kepala Laboratorium Biota
Laut.
f. Peminjaman paling lama 6 bulan dimulai dari tanggal izin
pimpinan dikeluarkan.
g. Peminjam dapat memperpanjang waktu pinjaman dengan
mengajukan surat permohonan perpanjangan secara resmi
kepada kepala P2O-LIPI.
h. Keselamatan spesimen menjadi tanggungjawab
sepenuhnya oleh peminjam.
i. Peminjaman spesimen tidak boleh dipindahalihkan
kepada peminjam yang lain tanpa sepengetahuan atau
seizin Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut.

53
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

j. Apabila terjadi kerusakan pada spesimen, akan dikenakan


sanksi berupa: denda, mengganti spesimen atau sanksi
yang lebih berat lagi tergantung dari kondisi
kerusakkannya dan kesepakatan dari pimpinan.

5. Akses Database Koleksi


Database Koleksi Rujukan Biota Laut yang ada di P2O-LIPI,
seyogyanya bisa diakses oleh siapa saja yang membutuhkan, akan
tetapi untuk sementara waktu belum bisa diakses bagi kepentingan di
luar lingkungan P2O. Hal ini disebabkan karena jejaring di P2O masih
untuk kalangan peneliti di dalam lingkungan P2O, sehingga peminat
dari luar P2O yang membutuhkan hanya bisa melihat dengan cara
langsung datang ke Ruang Koleksi Rujukan Biota Laut untuk melihat
database yang diperlukan. Peminat yang ingin menggunakan harus
mendapat izin (mengajukan permohononan) secara resmi terlebih
dahulu kepada Kepala P2O yang kemudian diteruskan kepada Kepala
Bidang SDL dan Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut.
Proses penggunaan/pengaksesan database koleksi biota laut
akan diatur oleh Kepala Laboratorium dan kurator yang ditugasi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan pengaksesan database akan
diatur dengan ketentuan tersendiri, seperti: data semua biota laut (fauna
dan flora) yang boleh diakses hanya yang telah selesai dikerjakan dan
telah diterbitkan dalam buku katalog atau jurnal-jurnal ilmiah nasional
maupun international. Sedangkan spesimen yang masih dalam proses

54
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

pengerjaan belum bisa untuk diakses, karena harus menunggu


diterbitkan terlebih dahulu.

6. Penerimaan Sumbangan atau Hibah Spesimen


1. Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI menerima sumbangan
atau hibah dari siapa saja baik individu maupun dari instansi
pemerintah/swasta, mahasiswa, universitas ataupun LSM.
2. Spesimen sumbangan atau hibah dapat berupa spesimen hidup
atau mati, baik dengan data lengkap maupun tidak dari
spesimen tersebut.
3. Penyerahan spesimen dilakukan dengan pengesahannya secara
serah terima surat berita acara yang telah ditandatangi kedua
belah pihak: penyumbang dan Koleksi Rujukan Biota Laut
P2O-LIPI.
4. Spesimen yang sudah disumbangkan dicatat dalam database
dan tidak dapat diminta kembali dengan alasan apapun dan
oleh siapapun.

7. Pemberian Sumbangan Spesimen


Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI, dapat
memberikan sumbangan spesimen kepada lembaga penelitian,
universitas, dan sekolah untuk kepentingan ilmiah dan atau
pendidikan. Permohonan spesimen dapat diajukan kepada Kepala
Pusat Penelitian Oseanograli-LIPI dengan menyebutkan spesimen

55
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

yang diinginkan atau ditentukan sesuai dengan ketersedian koleksi


spesimen.
Penerima sumbangan harus bersedia merawat spesimen
tersebut dan menandatangani surat serah terima. koleksi spesimen
dapat dikembalikan apabila lembaga, universitas atau sekolah yang
peminjam telah ditutup/bangkrut atau merasa tidak sanggup lagi
untuk merawatnya. Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI dapat
menerimanya kembali dengan persyaratan koleksi spesimen masih
dalam kondisi baik (50%) dan terawat, apabila kondisi sudah rusak
lebih dari 50%, maka koleksi spesimen tidak dapat lagi diterima.

8. Penghapusan atau Peniadaan Spesimen


Kerusakan koleksi spesimen merupakan hal yang harus
diperhatikan dan sebisa mungkin untuk dihindari, diusahakan agar
koleksi spesimen tetap terus terjaga kondisinya dan perawatannya
dengan baik. Spesimen yang sudah tidak memenuhi persyaratan
baku, yaitu sudah rusak parah, busuk, hancur, tanpa data dan tidak
lagi dapat dikenali, maka dapat dihapus/ditiadakan dalam daftar
buku katalog koleksi. Namun demikian penghapusan atau
peniadaannya harus seizin Kepala Pusat Penelitian Oseanografi-
LIPI dan Kepala Bidang Sumberdaya Laut.
Permohonan izin penghapusan harus dilakukan secara
resmi melalui surat permohonan yang dibuat oleh Kepala
Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut kepada Kepala Pusat
Penelitian Oseanografi- LIPI yang diteruskan kepada Kepala

56
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

Bidang Sumberdaya Laut (sebagai tembusannya). Rekomendasi


penghapusan dapat diberikan atau diputuskan setelah ada
pertimbangan dan persetujuan dari tim yang dibentuk oleh Kepala
Pusat Penelitian Oseanografi- LIPI.

9. Kesehatan dan Keselamatan Spesimen


Petugas yang bekerja dengan koleksi spesimen
diharapkan dapat mematuhi kententuan-ketentuan kerja dan
keselamatannya yang telah tertuang di dalam SOP. Pemakaian jas
lab, masker dan sarung tangan karet serta penggunaan bahan
pengawet di dalam fume hood dan lain sebagainya merupakan
beberapa syarat yang ada dalam SOP.

10.Penanggulangan Bencana
Ruang Koleksi Rujukan Biota Laut keamananya harus
terjaga terutama dari bahan- bahan yang mudah menyebabkan
bencana seperti:
1. Kebakaran:
- Dilarang merokok di Ruangan Koleksi Rujukan Biota
Laut (basah, kering ataupun herbarium), ruang database
maupun ruangan berAC lainnya yang memiliki bahan
kimia yang mudah terbakar.
- Buanglah puntung rokok yang mati pada tempatnya,
pastikan sudah benar-benar mati apinya.

57
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

- Kebersihan sampah juga harus diperhatikan, buanglah


sampah pada tempat sampah yang telah disediakan.
- Matikan lampu apabila meninggalkan ruangan koleksi
dan hematlah tidak menggunakan listrik di ruangan
lainnya bila tidak digunakan atau dalam keadaan kosong.
- Setelah selesai mengerjakan pekerjaan hendaknya
membersihkan semua limbah-limbah bekas pemakaian
alkohol, formalin ataupun bahan-bahan lainnya. Pastikan
kondisi ruangan koleksi semua telah bersih dan rapih,
setelah itu dapat meninggalkan ruangan.
- Laporkan segera kepala Kepala Laboratorium ataupun
Kepala Bidang Sumberdaya Laut, apabila terjadi hal-hal
yang mencurigakan dan dapat menimbulkan kebakaran.

2. Banjir:
- Sebaiknya ruang kolesi rujukan berada di tempat yang
bebas banjir.
- Periksalah saluran-saluran pembuangan limbah setiap kali
melakukan pekerjaan di dalam ruang koleksi.
- Selamatkan botol-botol koleksi yang masih berada di lantai,
apabila belum sempat atau masih dalam proses pengerjaan,
letakkan di atas meja.
- Buanglah sampah pada tempat sampah yang telah
disediakan.

58
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

- Pastikan tidak ada kabel-kabel atau aliran listrik yang


menyala dan dapat menimbulkan sengatan listrik (sentrum)
dalam ruangan.
- Laporkan segera kepala Kepala Laboratorium ataupun
Kepala Bidang Sumberdaya Laut, apabila terjadi hal-
hal yang mencurigakan dan dapat menimbulkan banjir.
3. Kecelakaan Kerja
Semua pengguna diharapkan selalu berhati-hati dalam
melakukan pekerjaan, apabila terkena bahan kimia
segeralah mencuci bagian yang terkena dengan air
mengalir. Apabila bagian yang terkena sangat parah
segera bawa ke dokter dan laporkan kepada Kepala
Laboratorium Koleksi Rujukan serta Kepala Subagian
Umum P2O-LIPI.

4. Pengamanan Lingkungan Kerja


- Kuncilah ruangan-ruangan kerja, laboratorium dan
matikan semua lampu-lampu ketika akan pulang atau
sudah tidak ada lagi kegiatan dalam ruangan tersebut.
Pastikan tidak ada aliran listrik yang masih menyala,
kecuali AC yang harus tetap menyala.
- Jangan menyimpan uang atau barang berharga dalam
ruangan kerja atau ruangan laboratorium.
- Laporkan kepada Kepala Laboratorium dan Kepala
Bagian Umum apabila melihat atau mengetahui hal-hal

59
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

yang mencurigakan, atau bila terjadi kehilangan alat-alat


atau barang-barang di dalam ruangan/laboratorium.
- Staff peneliti atau teknisi apabila membawa tamu
sebaiknya dicatat di buku tamu oleh petugas atau satpam
di meja depan dan mintalah tanda pengenal bagi tamunya.
- Segera laporkan kepada satpam apabila melihat atau
mengetahui ada pendatang/tamu yang mencurigakan
disekitar gedung atau kantor P2O-LIPI.
- Staff peneliti atau teknisi yang akan bekerja lembur atau
bekerja di hari libur sebaiknya mengajukan izin kepada
Kepala Balai Bidang Sumberdaya Laut, Kepala
Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut dan diketahui
oleh Kepala Subagian Umum. Tanpa izin dari pejabat
berwenang, yang bersangkutan tidak diizinkan bekerja
lembur. Petugas keamanan atau satpam berhak
menolaknya dan tidak mengizinkan masuk bila tidak
dapat menunjukan surat izin lembur atau namanya sudah
tercatat dalam buku daftar rencana lembur pegawai.
- Petugas keamanan/satpam berhak mengecek/memeriksa
bawaan/bungkusan, tas, koper/kotak dan lain-lainnya
yang dibawa keluar masuk dari gedung P2O-LIPI.
- Jika ada barang yang mencurigakan dalam bawaan
tersebut, petugas keamanan atau satpam berhak menyita
atau menahan barang tersebut serta segera laporkan
kepada Kepala Subagian Umum, Kepala Balai Bidang

60
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut

Sumberdaya Laut dan Kepala Laboratorium Koleksi


Rujukan untuk ditindaklanjuti.

Daftar Pustaka
Anonimus, tanpa tahun. Collection Policy. FWC-Fish and Wildlife
Research Institute. http://myfwc.com/about/inside-fwc/fwri/
(diakses 2 Maret 2013).

Bureu, J.C & A.L. Rice., 1980. Instruction Manual for the Collection,
Preservation and Curation of A Marine Reference
Collection.United Nations Educational Scientific and Cultural
Organization. 64 pp.

Eldredge, L.G. & C.M.Smith, 2001. A Guidebook of Introduced Marine


Species in Hawaii. Bishop Museum Techinical Report 21, 70 pp.

Martin, A, L.V. Guelpen, G. Pohle & M.J. Costello, 2004. Develompmen


of an Atlantic Canada Marine Species Information System Based
on A Museum ollection: A Case Study. Berghe, V., M. Brown,
M.J. Costello, C. Heip, S.Levitus and P. Pissierssens (Eds).
Proceeding of “The Colour of Ocean Data “Symposium, Brussels.
71-76.

Suhardjono, Y.R., 1999. Buku Pegangan Pengelolaan koleksi spesimen


Zoologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Zoologi, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, 218 hal.

United Nations Environment Programme Mediterranean Action Plan,


Priority Actions Programme, 2001. Good Practices Guidelines for
Integrated Coastal Area Management in the Mediterranean.
UNEP/MAP/PAP: Good Practices Guidelines for Integrated
Coastal Area Management in the Mediterranean, Split. Priority
Actions Programme, 58 pp.

61
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

Bab III

Manajemen Koleksi Crustacea

Rianta Pratiwi

Pendahuluan
Crustacea adalah binatang tak bertulang belakang yang
termasuk ke dalam Phylum Arthropoda, sub phylum Crustacea dan
sangat dekat hubungannya dengan insekta, laba-laba dan kaki seribu.
Tubuhnya beruas-ruas atau bersendi-sendi, setiap sendi dihubungkan
oleh otot sehingga mudah bergerak. Selain itu crustacea mempunyai
“exoskeleton” atau tulang luar (karapas) yang dibentuk oleh chitin atau
zat kapur. Cangkang yang keras terbuat dari lapisan chitin berfungsi
untuk melindungi dirinya. Istilah crustacea berasal dari bahasa Romawi
yaitu crusta yang berarti cangkang yang keras (kerak).
Kelompok hewan ini terdiri dari udang dan kepiting
umumnya hidup di lubang-lubang, celah-celah terumbu karang atau di
balik bongkahan batu dan karang. Crustacea merupakan kelompok
binatang yang memiliki bentuk tubuh sangat beragam, hidup di kolom
air (pelagik) dan di dasar (benthik) baik di air tawar ataupun di air laut
dengan kedalaman ribuan meter. Ada sekitar 50-60 ribu jenis crustacea
di seluruh dunia. Crustacea dapat hidup di air tawar (sampai pada
ketinggian 2.800 m) dan di laut (sampai kedalaman antara 2.500-
10.000 m), suhu antara 0oC atau kurang, sampai dengan suhu antara

62
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

150oC-400oC di daerah hydrothermal Pasifik dan Atlantik, dengan


salinitas 0 sampai dengan 395 PSU.
Secara fisiologi fluktuasi temperatur dan salinitas adalah dua
faktor yang penting bagi kehidupan kepiting di daerah estuarin.
Sebagai habitat dari beberapa hewan, mangrove di daerah tropik
mempunyai temperatur permukaan yang dapat mencapai 44oC, dimana
1-3oC merupakan batas suhu kematian dari kepiting-kepiting penggali
lubang di mangrove seperti Uca spp. Aktivitas kelompok hewan ini
dilakukan pada malam hari, misalnya waktu mencari makan dan
kegiatan lainnya, sedangkan siang hari dipergunakan untuk
bersembunyi.
Banyak macam sifat kehidupan dalam kelompok hewan ini,
diantaranya ada yang hidup bersimbiose dengan hewan-hewan lain,
misalnya dengan ikan, anemon, karang batu dan “sponge” (Pratiwi,
1993a). Ada juga yang hidup sebagai: planktonik, perenang, di dasar,
dan mengubur diri. Sebagian besar dari crustacea yang hidup di laut
adalah binatang bentik (bergerak) atau menetap di dasar. Pada jenis
jenis perenang seperti rajungan tetap selalu berhubungan dengan dasar
laut. Jenis yang benar benar perenang adalah Copepod dan kelompok
udang-udangan.
Crustacea yang hidup di daerah mangrove selalu
memperhatikan tingkah laku atau memfokuskan aktivitasnya di dalam
lubang galian, dimana lubang tersebut dapat dijadikan sebagai habitat
dan memberikan perlindungan yang aman terhadap temperatur,

63
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

predator, salinitas yang ekstrem dan serangan dari sesama kepiting.


Lubang-lubang tersebut mula-mula sangat dangkal, tetapi kemudian
digali lagi hingga bagian dalam lubang/dasar memiliki temperatur lebih
dingin, sehingga beberapa jenis kepiting lebih senang tinggal di dalam
lubang. Kepiting Uca spp dan ocypod akan menggali lubang dan
berdiam di dalam lubang untuk melindungi tubuhnya dari temperatur
yang tinggi, karena air yang berada dalam lubang galian dapat
membantu pengaturan suhu tubuh melalui evaporasi (Smith & Miller,
1973).
Secara fisiologi kepiting-kepiting mangrove lebih dapat
beradaptasi dengan baik, karena dapat mengatasi stress dari lingkungan
disekelilingnya. Selain itu hewan tersebut juga cenderung berkembang
dengan cepat dan dapat beradaptasi dengan salinitas yang bervariasi
(Pratiwi, 2002).

A. Tempat Hidup di Laut


1. Daerah Pantai: Littoral dan Dasar
1.1. Substrat keras.
- Di bawah batu-batuan, pada bongkahan koral atau di dalam
rongga-rongga batu karang, di bawah dermaga, atau benda
benda keras lain.
- Meliang di dalam kayu, mengubur diri di batu batuan.
- Hidup di dalam cangkang moluska.
- Membuat liang perlindungan dari pasir, atau di dalam sponge

64
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

dan Algae.
1.2. Substrat lunak.
- Membuat liang di pasir atau di lumpur.
- Membenamkan diri di pasir atau di lumpur.
1.3. Di dalam air daerah pasang surut.
1.4. Pada daun dari tumbuhan laut.
1.5. Pada daerah dengan salinitas sangat tinggi.
1.6. Pada daerah anchihalin yaitu: daerah terpisah dari laut tetapi
mempunyai salinitas di atas nol.
1.7. Pada daerah payau seperti estuaria dan bakau.

2. Daerah Laut Dalam.


1. Hidup sebagai binatang bentik di substrat keras atau lunak.
2. Hidup pada daerah hydrothermal.
3. Hidup secara pelagik.

3. Di Air Tawar.
1. Sungai dan danau.
2. Air tawar hangat.
3. Air bawah tanah seperti aliran sungai di gua.
4. Air yang tergenang pada saat musim hujan.
5. Air dengan salinitas sangat tinggi.
6. Menempel pada tumbuhan air.

65
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

4. Di Darat.
Walaupun hidup di darat tetapi tetap memiliki kemampuan
untuk selalu “berhubungan” dengan air (baik sungai maupun laut) saat
memijah. Jadi pada dasarnya pembagian biota-biota di laut bukan
berdasarkan ukuran besar atau kecil, tetapi berdasarkan pada kebiasaan
atau sifat hidupnya secara umum, seperti gerakan berjalan, pola hidup
dan sebaran menurut ekologi. Banyak biota laut yang di dalam siklus
hidupnya mempunyai lebih dari satu sifat, yaitu sewaktu larva hidup
sebagai planktonik dan berubah sifat menjadi nektonik atau bentik saat
juvenile (juwana) ataupun saat dewasa (contohnya udang, kepiting,
ikan dan lain-lain) (Nybakken, 1993).
Beberapa jenis crustacea memimiliki nilai ekonomi yang
penting yaitu “lobster” atau udang karang (Panulirus sp), udang windu
(Penaeus monodon) dan Ketam kelapa (Birgus latro) (Gambar 3.1),
selalu diburu karena merupakan sumber daya laut yang sangat
potensial. Padahal di alam keberadaan jenis ini sudah semakin
mendekati kepunahan dan perlu dilindungi seperti juga halnya dengan
mimi, Tachypleus gigas (Horse shoe crab) (Gambar 3.2) banyak diburu
oleh “suku laut” yang hidup di pinggiran pantai Kabupaten Riau dan
Bengkalis. Masyarakat Riau menyebutnya “Tapak Kuda” karena
memiliki makna tersendiri bagi keluarga yang diturun temurunkan ke
anak cucu. Mereka menganggap binatang tersebut sebagai “Jimat”
penolak bala bagi anak-anaknya, dengan cara menggantungkan mimi di

66
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

leher anak-anak, agar tidak terserang penyakit dan tidak didekati roh
jahat (Pratiwi, 1993b).

Gambar 3.1. a). Crustacea Birgus latro (Ketam kelapa) (Budiyanto,


2010) dan b). Panulirus ornatus (Lobster mutiara). Foto:
Arbi

Gambar 3.2. a) Sepasang Mimi dan b). Tachypleus gigas (Horse shoe
crab/Mimi). Foto: Pratiwi

67
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

B. Tata Kerja.
Di dalam mengkoleksi spesimen crustacea diperlukan beberapa
persyaratan-persyaratan yang harus dilakukan kaitannya untuk
penyelamatan dan keamanan dari koleksi spesimen itu sendiri. Koleksi
spesimen harus tetap terjaga (jangan sampai rusak) dimulai dari
pengumpulan koleksi di lapangan, analisa di laboratorium hingga
menjadi koleksi spesimen rujukan ilmiah.
Selain itu penanganan spesimen untuk peminjaman,
pemotretan dan penggunaan lainnya sebagai bahan rujukan ilmiah
benar-benar harus ditangani dengan profesional dan berhati-hati,
karena apabila sampai terjadi kerusakan dapat dikenakan sanksi yang
telah diatur oleh Pengelola Koleksi Rujukan Biota Laut.
Keberhasilan pengelolaan spesimen tergantung dari
penangannya dan terdiri dari beberapa langkah-langkah diantaranya
sebagai berikut:

1. Cara Pengumpulan Koleksi.


Sebelum mengkoleksi sebaiknya diketahui dahulu habitat dari
crustacea dan alat tangkap apa saja yang akan digunakan. Pada
dasarnya ada dua cara yaitu secara langsung ditangkap dengan tangan
atau dengan menggunakan alat. Apabila kita menginginkan crustacea
yang hidup di pantai hingga rataan terumbu (kelompok Portunidae,
Ocypodidae, Xanthidae, Alpheidae), maka dapat menggunakan alat-
alat seperti: jaring pantai, jaring insang, seser, bubu, serok (tanggok),

68
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

rakang-rakang dan alat lainnya yang biasa digunakan untuk menangkap


udang dan kepiting.
Sedangkan untuk crustacea yang hidup di dalam lubang, dapat
menggunakan pancing atau dengan cara menggali lubang dan
ditemukan kepiting kemudian ditangkap dengan tangan.
Hermit crabs atau yang lebih dikenal dengan sebutan
kelomang atau umang-umang, dapat langsung diambil dengan tangan,
karena sangat mudah ditemukan di pantai berpasir, pecahan batu
karang, di bawah batu-batu karang atau terumbu karang, di bawah kayu
yang lapuk dan sampah atau di bawah pohon-pohon di tepi pantai.
Crustacea yang hidup bersama dengan karang, dapat dilakukan dengan
cara memecah batu karang dengan menggunakan martil (palu),
kemudian mengeluarkannya dari karang tersebut dengan pisau atau alat
cungkil (pinset).

Untuk crustacea yang hidup di daerah mangrove (bakau)


yang bersubstrat lumpur, dapat dilakukan penangkapan langsung
dengan tangan. Kebanyakan dari kepiting mangrove (kelompok
Grapsidae dan Sesarmidae) hidup di akar-akar mangrove atau naik ke
atas pohon, sehingga penangkapannya agak sulit dan memerlukan
kesabaran, ketenangan serta teknik tersendiri untuk menangkapnya.
Kepiting Uca spp. yang banyak dijumpai di lantai hutan mangrove
(dalam lubang) dengan substrat lumpur yang kering, dapat ditangkap
dengan cara kepiting dibiarkan keluar di mulut lubang. Kemudian
secara perlahan-lahan lubang diserok dengan sekop dan diangkat

69
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

kepitingnya hingga keluar, segera ditangkap menggunakan tanggok


atau tangan. Lakukan disaat air laut surut rendah, sehingga banyak
kepiting Uca yang ke luar dari lubang. Dalam hal ini diperlukan
kecepatan dan ketangkasan yang handal. Sedangkan kepiting bakau
(Scylla spp.) ditangkap dengan cara menggunakan bubu yang diberi
umpan di dalamnya dan ditinggal satu malam. Setelah satu malam,
dilakukan pengambilan kepiting bakau yang berada dalam bubu.

Berbeda dengan crustacea yang berada di laut, maka alat yang


digunakan adalah: trawl, jaring plankton (net plankton), box core, grab
dan alat tangkap lainnya yang tersedia dalam kapal penelitian. Alat-alat
tersebut akan diturunkan ke dalam laut, sesuai dengan kedalaman yang
diinginkan, setelah kurang lebih satu jam diangkat dan dilakukan
pensortiran terhadap biota yang didapat.

Setiap individu crustacea yang ditemukan pada lokasi tersebut


sebaiknya dicatat posisinya menggunakan alat “GPS (Global
Positioning System)” agar dapat dilakukan perekaman data, sehingga
apabila diperlukan atau ingin diulang kembali dapat diketahui letak
posisinya dengan cepat dan benar. Kadangkala di dalam kegiatan
pengambilan sampel diperlukan berenang bahkan menyelam ke bagian
yang agak dalam, hal ini disesuaikan dengan kelompok crustacea yang
akan dikoleksi.

70
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

Gambar 3.3. Jenis-jenis Alat Tangkap Crustacea di Lapangan: (a).


Rakang-rakang; (b). Jaring Sirang; (c). Jala; (d).Serok;
(e). Pancing dan (f). Bubu. Foto: Adirianto.

2. Penanganan Spesimen di Lapangan.


Setelah pengambilan koleksi crustacea selesai, maka langkah
awal yang harus dilakukan adalah bagaimana cara untuk
mematikannya. Cara yang biasa dilakukan untuk jenis crustacea
berukuran besar dapat langsung dimasukkan ke dalam larutan fiksatif
(zat pengawet) alkohol dengan konsentrasi tinggi yaitu 90-96 %.
Sekitar tahun 1970an pengawetan koleksi masih menggunakan
formalin, akan tetapi sejak formalin banyak digunakan untuk hal-hal
yang tidak dibenarkan, maka tidak lagi digunakan. Selain itu sangat
merusak kesehatan bila banyak bekerja menggunakan formalin,

71
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

sehingga pengawetan mulai diganti menggunakan alkohol murni


dengan konsentrasi yang tinggi, terkecuali untuk spesimen ikan yang
besar masih menggunakan formalin (untuk sementara waktu agar tidak
busuk). Setelah perendaman beberapa hari, dan bila telah sampai di
laboratorium segera diganti dengan alkohol. Tidak semua crustacea
dapat dilakukan dengan cara demikian, seperti kepiting-kepiting kecil
akan melepaskan kaki-kakinya bila dimasukkan ke dalam larutan
dengan konsentrasi tinggi, oleh sebab itu konsentrasi harus dikurangi
hingga 30-40%. Pembunuhan atau cara mematikan spesimen koleksi
crustacea dapat dilakukan sebagai berikut:
- Masukkan ke dalam larutan fiksatif (alkohol) secara langsung,
apabila berukuran lebih besar maka harus disuntikan alkohol
ke dalam tubuhnya.
- Untuk kepiting yang berukuran kecil, masukkan ke dalam
alkohol 30%, diamkan hingga tidak bergerak lagi (mati), lalu
pindahkan ke dalam alkohol konsentrasi lebih tinggi (90%-
96%).
- Masukkan crustacea laut ke dalam air tawar, dan sebaliknya
masukkan crustacea air tawar ke dalam air laut, lakukan
sampai tidak bergerak. Dapat pula dilakukan dengan
merendamnya dengan es batu, hingga pingsan (tidak
bergerak), setelah itu masukkan ke dalam alkohol. Cara ini
biasanya dilakukan untuk jenis udang dan kepiting yang kecil

72
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

atau kepiting yang akan difoto agar warnanya tidak hilang saat
pemotretan.

Pemotretan Spesimen
Pemotretan dapat dilakukan secara langsung sebelum warna
aslinya hilang, biasanya dilakukan di alam dengan habitat yang
sesungguhnya (menggunakan kamera dalam air/under water camera)
atau di laboratorium. Lakukan perlahan-lahan, hati-hati dan sabar agar
crustacea yang akan dipotret tidak lari atau masuk ke dalam lubang
ataupun karang batu. Pemotretan dilaboratorium untuk crustacea
berukuran besar dapat menggunakan kamera digital secara langsung
atau yang berukuran kecil dapat dilakukan menggunakan mikroskop
yang memiliki kapasitas kamera untuk memotret.
Bila spesimen telah mati dan warnanya belum berubah, segera
lakukan pemotretan dengan cara mengatur tubuhnya (karena masih
lentur) di atas stereoform (papan gabus) yang dilapisi dengan kain
beludru ber warna-warni (biasanya warna gelap, hitam, biru, hijau
ataupun merah) sebagai background, yang disesuaikan dengan warna
kepiting (agar kontras) dan menghasilkan hasil foto yang memuaskan.
Spesimen diatur posisinya dengan tubuh yang proporsional, capit, kaki-
kaki, antena diatur sedemikian rupa sesuai dengan aslinya, ditusuk
jarum pentul, hingga posisinya sudah benar dan bagus. Bila telah
sesuai dengan yang diinginkan jarum pentul dapat dicabut dan lakukan
pemotretan beberapa kali. Apabila ingin menggunakan ukuran atau

73
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

nama jenis dari spesimen tersebut dapat diletakkan mistar atau nama
jenisnya di bagian bawah dari spesimen.

(a) (b)
Gambar 3.4. Contoh Pemotretan Koleksi Spesimen dengan
menggunakan Nama Spesies (a) dan Pemotretan
Koleksi Spesimen dengan Menggunakan Mistar
Sebagai Ukuran dari Spesimen (b). Foto: Pratiwi

Fiksasi adalah proses pengawetan secara cepat terhadap


spesimen koleksi (binatang) agar tidak membusuk. Semua spesimen
yang hidup hasil tanggkapan atau membeli di pasar untuk dikoleksi
harus segera difiksatif: yaitu dimasukkan ke dalam larutan pengawet
alkohol atau formalin. Fiksasi dapat dilakukan dalam wadah (botol
plastik) untuk beberapa hari atau minggu sampai akan diproses menjadi
koleksi rujukan.

74
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

Pengepakan Spesimen Untuk Pengiriman.


Apabila pekerjaan sampling atau pengambilan koleksi di
lapangan telah selesai dan pengawetanpun telah dilakukan, maka
langkah selanjutnya adalah pengepakan (packing) untuk di bawa ke
laboratorium atau ke tempat lain (ahlinya) untuk diidentifikasi.
Pengepakan harus benar dan dikemas berhati-hati agar spesimen tidak
rusak saat pengiriman, yang terpenting adalah kotak, botol atau wadah
apapun yang digunakan dapat melindungi spesimen dari kerusakan
(guncangan-guncangan) selama proses pengiriman. Apabila spesimen
akan dikirim ke luar negeri atau dalam negeri melalui pesawat terbang,
maka pastikan bahwa spesimen benar-benar telah terawetkan dan
terbungkus dengan baik. Periksa kembali, tidak ada bahan pengawet
yang bocor dan atau tercium keluar, karena apabila hal itu sampai
terjadi maka, spesimen tidak akan terkirim bahkan akan disita oleh
petugas di bandara.
Tubuh crustacea yang bersegmen-segmen, dengan rostrum,
capit, kaki jalan, kaki renang dan antena yang panjang, membuat
tubuhnya mudah rapuh dan patah bila terkena guncangan, sehingga
pengemasan harus berhati-hati dan benar. Spesimen yang berkualitas
baik dari lapangan akan berkurang nilainya apabila memiliki kemasan
dan pengiriman yang kurang baik. Karena bila terjadi kerusakan pada
anggota tubuh seperti: kaki, capit, rostrum dan organ-organ penting
lainnya, sangatlah sulit untuk proses identifikasi.

75
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

Di dalam pengepakan atau mengemas spesimen diperlukan


beberapa alat dan bahan sebagai berikut: kain kasa, perban, kapas,
handuk kecil atau sedang, tali, benang kasar/halus, karet gelang, kertas
label/kertas tahan air (under water paper), alat tulis (pinsil, pena
dengan tinta tahan air), kantong plastik berbagai ukuran, pinset,
gunting, sarung tangan karet, lakban bening/hitam/coklat, kertas
pembungkus, bubble plastic, (pembungkus gelembung plastik untuk
melindungi barang/spesimen dari benturan), botol plastik bertutup
lebar berbagai ukuran, tabung kecil (tube) tanpa tutup dan wadah
plastik lainnya yang bertutup rapat. Bahan pengawet yang digunakan
adalah alkohol dan formalin (bila diperlukan). Sebaiknya dihindari
pemakaian wadah yang berbahan kaleng, karena dapat menyebabkan
korosi, berlubang dan kebocoran.
Cara pengepakan atau pengemasan yang baik adalah:
spesimen direndam dengan alkohol 30 % selama beberapa hari (2-3
hari). Setelah spesimen terawetkan, alkohol dapat diganti dengan yang
lebih tinggi konsentrasinya. Berhati-hati jangan sampai ada anggota
tubuh yang hilang, bila putus harus disimpan bersama-sama dengan
tubuhnya. Untuk crustacea jenis besar bisa dibungkus dengan kain
kasa, perban atau handuk kecil/sedang yang tipis (jangan yang tebal),
sesuaikan dengan ukurannya. Sebelumnya kain kasa/perban atau
handuk dibasahi dengan alkohol, susun crustacea secara rapih, capit,
kaki-kaki, rostrum atau antena dengan baik, sehingga kerusakan dapat
dihindari. Berikan label didalamnya, setiap individu berasal dari satu

76
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

lokasi memiliki satu label dan dibungkus bersama-sama, hal ini untuk
menghindari tercampurnya atau kerancuan apabila dibuka oleh petugas
yang menerima spesimen saat itu. Sebaiknya satu bungkus hanya
terdiri dari satu individu besar utuh, atau bila ada yang ukuran sedang
bisa dimasukkan bersama asalkan dari jenis yang sama dan dari lokasi
yang sama pula.
Setelah spesimen dibungkus dengan kain kasa/perban atau
handuk yang basah oleh alkohol, maka bungkuslah kain yang basah
tersebut dengan bubble plastik (pembungkus yang bergelembung) atau
bila sulit mencarinya bisa dimasukan dalam kantong plastik biasa
dengan ukuran yang lebih besar. Maksudnya adalah agar kain
kasa/perban atau handuk yang basah dengan alkohol tidak kering (agar
alkohol tidak menguap dan tetap basah). Ikat dengan karet gelang, lalu
masukkan kantong plastik tersebut ke dalam kotak plastik (kontainer)
yang besarnya telah disesuaikan dengan ukurannya, tutup dengan rapat
menggunakan lakban bening sekeliling kotak, bungkus dengan kertas
pembungkus dan siap untuk dikirimkan.
Untuk spesimen-spesimen yang berukuran kecil, hingga
bentik harus dimasukan ke dalam botol-botol kecil (tube) yang bertutup
ataupun tidak bertutup. Bila tidak bertutup dapat menggunakan kapas
yang telah digulung-gulung sebagai penutupnya. Masukan botol-botol
kecil tersebut ke dalam botol yang lebih besar dan berisi penuh
alkohol, maksudnya adalah agar spesimen tetap terendam. Pastikan
semua spesimen telah memiliki label dan masukkan ke dalam satu

77
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

botol untuk pengambilan spesimen yang berasal dari lokasi yang sama.
Terakhir adalah masukkan botol-botol tersebut ke dalam
konteiner/kotak plastik yang lebih besar, susun sedemikian rupa agar
rapih, pas sesuai ukurannya dan tidak rusak bila berbenturan. Susunan
botol sebaiknya tidak bertumpuk-tumpuk melebihi kapasitas dari
konteiner/kotak plastik, tutup dengan lakban hitam sekeliling kotak dan
tuliskan bahwa kotak ini harus ditangani dengan hati-hati, karena
mudah hancur (AWAS HATI-HATI MUDAH PECAH/HANCUR/
FRAGILE!!!) dan siap untuk dikirimkan. Kalau ingin aman cara yang
terbaik adalah membawanya sendiri.

3. Penanganan Spesimen di Laboratorium.


Setelah sampai di laboratorium semua kemasan dibuka dan
sebelumnya siapkan dahulu wadah (botol-botol) untuk tempat
spesimen crustacea. Apabila ada spesimen yang menggunakan
formalin, buang formalin pada tempat yang sudah disediakan,
kemudian lakukan perendaman dengan air tawar bersih hingga bau
formalin hilang. Berikutnya bilas atau ganti air rendaman beberapa kali
hingga benar-benar tidak ada lagi pengaruh formalin, pencucian atau
pembersihan spesimen dilakukan selama kurang lebih 24 jam. Cuci
bersih dengan air mengalir sambil disikat atau dibersihkan kotoran-
kotoran atau lumpur yang melekat di tubuh crustacea. Setelah itu
barulah dimasukkan ke dalam botol dengan pengawet alkohol 90-96%
untuk kemudian dilakukan pemilahan. Jangan lupa masukkan semua

78
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

label yang tertulis untuk nanti diganti dengan label yang telah tersedia.
Sedangkan spesimen yang menggunakan pengawet alkohol, setelah
disikat dan dibersihkan bisa langsung dimasukkan ke dalam alkohol
yang berkonsentrasi 90-96%, untuk kemudian diberikan label.
Perhatikan apabila ada anggota tubuh yang putus atau patah selama
proses pencucian, harus dimasukkan semua ke dalam botol tidak boleh
dibuang dan harus disimpan bersama anggota tubuh lainnya dari
individu yang sama dalam satu wadah (botol).
Pemilahan Spesimen atau pensortiran dilakukan
berdasarkan takson, dapat sampai suku, marga atau jenis. Apabila
belum bisa diketahui taksonnya, spesimen dapat dipisahkan dan
dikelompokkan dengan spesimen yang memiliki morfologinya sama.
Identifikasi Spesimen, adalah proses penamaan atau
pemberian nama koleksi spesimen yang dicocokan dengan karakter-
karakter atau morfologi hewan tersebut berdasarkan buku acuan yang
berkaitan dengan spesimen tersebut. Setelah dilakukan identifikasi,
maka dibuatkan label yang telah lengkap dengan nama jenisnya dan
semua data yang telah jelas termasuk posisi kordinat geografinya.
Untuk melakukan identifikasi diperlukan beberapa buku-buku sebagai
acuan serta kunci-kunci determinasi berkaitan dengan kelompok takson
diantaranya: Banner & Banner (1982); Banner & Banner (10985);
Barnard, (1950); Buitendijk, (1960); Estampador, (1949a,b;) Holthuis,
(1953); Holthuis, (1992); Keenan, et al., (1998); Ng, et al., (2008);
Miya, (1972); Sakai (1976a, b); Serène, (1984) dan lain-lainnya.

79
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

4. Pengelolaan Koleksi.
Pengelolaan koleksi meliputi kegiatan-kegiatan sebagai
berikut: pengawetan, perawatan dan penyimpanan spesimen.
- Pengawetan Spesimen adalah: proses mengawetkan spesimen
koleksi menggunakan cairan kimia sebagai larutan pengawet. Larutan
pengawet adalah cairan yang digunakan untuk menyimpan spesimen
dalam jangka waktu lama (tidak berbatas). Bahan pengawet yang
digunakan memiliki konsentrasi tinggi dengan maksud menghindari
pembusukan, memusnahkan bakteri dan jamur yang melekat serta
menjaga kerusakan lainnya pada spesimen. Spesimen dijaga agar
tidak rusak karena zat-zat pengawet tersebut, oleh karena itu
konsentrasi zat pengawet harus diperhatikan dan disesuaikan dengan
kondisi spesimen.
Bahan pengawet yang paling baik untuk koleksi crustacea
adalah yang murni yaitu 95-96%. Sedangkan untuk yang berukuran
kecil dapat diencerkan hingga 70% dengan cara ditambahkan
aquades. Agar tubuh crustacea tetap lentur dapat ditambahkan
gliserin 10 ml dalam 1 liter alkohol.

- Perawatan Spesimen adalah: kegiatan merawat atau menjaga koleksi


spesimen agar tetap baik, tidak rusak, bersih, kondisinya utuh dan
dapat dijadikan sebagai koleksi rujukan ilmiah. Kondisi alkohol
dalam botol spesimen harus tetap dipantau agar volumenya tidak

80
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

berkurang. Alkohol yang berkurang volume dan kadarnya dapat


ditambahkan dengan alkohol baru 96%, sehingga botol menjadi
penuh dan kadarnya menjadi 96 % kembali. Apabila alkohol telah
keruh dan menguning warnanya dan karena keselamatan koleksi
sangat penting, maka harus segera diganti dengan yang baru, minimal
(3 bulan sekali). Perubahan warna menunjukkan adanya perubahan
kadar atau terjadi proses kimia atau biologi misalnya terdapatnya
jamur, sehingga harus segera diganti dengan alkohol yang baru.
Penggunaan botol spesimen juga perlu diperhatikan, ukuran
botol sebaiknya disesuaikan dengan ukuran spesimennya, jangan
bertumpuk-tumpuk dalam satu botol, karena membuat spesimen jadi
berdesakkan, padat, tidak enak dilihat dan sangat sulit untuk
pengecekan label dan lainnya berkaitan dengan spesimen tersebut.
Dalam satu botol sebaiknya diisi 2 atau 3 crustacea besar, sedangkan
yang berkuran kecil dan sedang bisa disatukan dalam satu botol dan
jumlahnya tidak terlalu padat. Botol yang hanya berisi beberapa
spesimen dan tidak terlalu padat dapat memperpanjang waktu
penyimpanan koleksi dan menjaga kondisi spesimen tetap baik.
Botol-botol atau kotak dan wadah spesimen lainnya harus
tetap dijaga kebersihannya dari debu dan jamur yang menempel.
Harus sering dilap atau dibersihkan. Selain itu yang juga tidak kalah
penting adalah pengecekan label dan menggantinya bila telah rusak.
Label lama harus diganti dengan label baru. Semua keterangan yang
ada pada label lama harus dituliskan semua sesuai dengan yang

81
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

tertera pada label lama. Setelah disalin, label lamapun tidak boleh
dibuang dan tetap dimasukkan kembali ke dalam botol semula
bersama dengan label yang baru.

- Penyimpanan Spesimen.
Setelah semua spesimen selesai diproses sesuai dengan tata
kelola koleksi rujukan berdasarkan standard yang dimiliki oleh
Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI, maka tahap
berikutnya adalah penyimpanan spesimen. Botol-botol spesimen
koleksi ditata di rak besi sesuai dengan nomor registrasi dan
dikelompokan ke dalam taksonnya yang sudah mempunyai kode-
kode dan nomor-nomor tersendiri serta dituliskan pada rak masing-
masing.
Penataan botol spesimen dilakukan dengan rapih dan diatur
sedemikian rupa agar mudah untuk ditemukan dan dilihat. Koleksi
dapat mudah dikeluarkan atau dimasukkan dalam susunan rak
dengan tidak merusak koleksi tersebut atau mengganggu susunan
botol lainnya. Botol-botol atau wadah tempat penyimpanan spesimen
seharusnya sesuai dengan standar yaitu: terbuat dari gelas, berwarna
bening tidak buram, bermulut lebar agar mudah memasukkan
spesimen koleksi yang berukuran besar, kuat, tahan panas, dasar
botol rata dan berdinding rata tidak beralur atau bergelombang.
Tutup botol juga harus rapat, kuat, tidak mudah pecah karena
pengaruh alkohol dan dijamin alkohol tidak akan menguap.

82
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

Pencahayaan dan suhu ruangan koleksi rujukan juga harus


diatur. Cahaya akan mempengaruhi spesimen, sehingga bila tidak
digunakan sebaiknya ruangan tidak dibiarkan dalam kondisi lampu
menyala. Spesimen koleksi yang besar dalam akuarium dan tidak
bisa masuk dalam rak, sebaiknya ditutup dengan kain beludru yang
tebal dan berwarna gelap (hitam atau biru tua) agar tidak terganggu
dengan cahaya yang terang. Suhu udara di ruang koleksi juga harus
tetap terjaga (240C – 250C). Ruang koleksi harus selalu tertutup agar
suhu tetap stabil.

5. Pendataan (Entri data).


Pendataan adalah kegiatan perekaman data yang dimiliki oleh
setiap spesimen yang terkumpul. Data yang diperoleh dicatat dalam
buku lapangan dan label. Setelah selesai masukan pula di buku katalog
besar label pemanen dan terakhir database. Tahapan-tahapan pendataan
adalah sebagai berikut:
- Label dan Catatan Lapangan.
Pada saat di lapangan semua koleksi spesimen diberi label
lapangan (labeling) yang bersifat sementara. Data di label berisi
informasi: nomor stasiun pengambilan, lokasi, tanggal koleksi, posisi
kordinat, cara pengambilan dan kolektor. Peneliti yang melakukan
pengambilan harus mempunyai buku catatan (buku lapangan) yang
berisikan data dan semua informasi mengenai atau yang berkaitan
dengan spesimen secara lengkap seperti: waktu (tanggal/jam)

83
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

pengambilan, kondisi pasang surut, suhu, salinitas, kecerahan,


kedalaman, substrat, pH, parameter kualitas air lainnya, cara
sampling/metode, kondisi habitat dan lainnya yang berkaitan dengan
spesimen yang dikoleksi.
- Pengkatalogan.
Pengkatalogan adalah kegiatan menyimpan atau mencatat
data dengan rapih dan benar tentang spesimen koleksi crustacea yang
dikoleksi dari lapangan untuk bermacam-macam kebutuhan
pengetahuan ataupun penelitian. Ada beberapa cara pengkatalogan
yaitu:
1. Menggunakan Buku Katalog Besar.
Setiap jenis crustacea dari satu lokasi yang sama dan
dikumpulkan pada waktu yang sama, diberi nomor, dicatat dalam
buku katalog. Buku katalog dibuat lajur-lajur yang bertuliskan
data sebagai berikut: nomor urut, nomor katalog, kode spesimen,
nama jenis (nama ilmiah), author, kelompok takson (suku),
jumlah spesimen, lokasi penangkapan, macam habitat, posisi
kordinat, tanggal koleksi, kolektor, identifikator, tanggal
idetifikasi, nama ekspedisi/penyumbang (bila ada), macam tipe
(kalau spesimen tipe) dan catatan atau keterangan lainnya bila
ada (musim/saat penangkapan, tipe habitat/substrat, pasang surut
dan lain-lain).
Dari data di buku katalog dapat dibuatkan label permanen

84
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

secara manual berdasarkan data yang ada dan dituliskan pada


kertas label (kertas kalkir/kertas tahan asam) menggunakan pena
dengan tinta cina yang tahan terhadap air/tidak larut dalam
alkohol. Data yang dituliskan hanya yang penting saja sebagai
informasi, tidak lengkap seperti dalam buku katalog misalnya:
nomor katalog, kode katalog, nama jenis (nama ilmiah), lokasi,
tanggal koleksi, jumlah spesimen, kolektor, tanggal identifikasi
dan identifikator.

2. Menggunakan Komputer.
Memasukkan data dan semua informasi spesimen yang
berasal dari buku katalog dengan menggunakan komputer. Data
yang dimasukkan adalah sama dengan yang ada di dalam buku
katalog, dengan maksud agar memudahkan pemasukan data (Data
Entry) dan sebagai back up data.
Label permanen juga dapat dibuatkan dengan pengetikan
menggunakan komputer. Semua label permanen harus
dimasukkan atau disertakan pada spesimen yang bersangkutan
dalam botol koleksi.

C. Tata Tertib Spesimen Koleksi Crustacea.


Dalam pengelolaan spesimen koleksi Crustacea diatur
beberapa tata tertib di dalam pengelolaanya diantaranya yaitu:
1. Peminjaman spesimen

85
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

2. Pengembalian
3. Penerimaan pemberian/hibah
4. Pemberian hadiah/tukar menukar
Semua tata cara tersebut di atas sudah diatur oleh kebijakan
yang dikeluarkan oleh Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan Biota
Laut, P2O-LIPI sesuai dengan SOP yang ada dan tertulis dalam Bab 1.
Akan tetapi terdapat beberapa catatan khusus untuk spesimen koleksi
crustacean yaitu:
- Spesimen yang akan dipinjam dipisahkan dari dalam botol
koleksi dan masukkan dalam botol lain, catat kondisi
spesimen saat sebelum dipinjamkan. Kondisi tersebut dapat
dijadikan sebagai bahan untuk pemantauan saat koleksi
dikembalikan. Label juga harus dicatat dan selalu berada
dengan spesimen dalam botol koleksi.
- Pembungkusan spesimen sama dengan tata cara yang telah
disebutkan di atas, usahakan tidak ada yang rusak saat
pengiriman ke tempat peminjaman ataupun saat dikembalikan
ke tempat asalnya.
- Administrasi data (tetap dicatat) siapa yang meminjam dan
kapan waktu pengembalian serta penanggungjawab dari
spesimen koleksi, semua dicatat dalam buku peminjaman.

86
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

Daftar Pustaka
Barnard, K.H., 1950. Descriptive catalogue of South African Decapod
Crustacea (Crabs and Shrimps). Annals of the South African
Museum, 38: 1-837, figs 1-154.

Banner, D. M. and A.H. Banner, 1982. The alpheid shrimp of


Australia. Part III. The remaining alpheids, principally the
genus Alpheus, and the family Ogyrididae. Rec. Australian
Mus., 34(1) : 1-357, 95 figs.

Banner, A.H. and D. M. Banner, 1985. The alpheid shrimp of


Indonesia, based upon J.G. De Man's. "The Decapoda of the
Siboga Expedition, Part II. Family Alpheidae" (1911). Mar.
Res. Indonesia, 25 : 1-79, 6 figs.

Buitendijk, A.M., 1960. Biological results of the Snellius Expedition.


XXI. Brachyura of the families Atelecyclidae and Xanthidae.
Part I. Temminckia, 10: 252-335, figs 1-9.

Estampador, E.P., 1949a. Studies on Scylla (Crustacea : Portunidae).


I.Revision of the genus. Philipp. J. Sci. 78 : (95) 108-353.

Estampador, E.P., 1949b. Studies on Scylla (Crustacea: Portunidae). II.


Comparative studies on spermatogenesis and oogenesis.
Philipp. J. Sci. (78): 301-353.

Holthuis, L.B., 1953. Enumeration of the Decapod and Stomatopod


Crustacea from Pacific Coral Islands. Atoll Research Bulletin,
24: 1-66, 2 maps. Mimeogr.

Holthuis, L.B., 1992. Marine Lobster of the World. FAO Fisheries


Synopsis, 13 (125). FAO Rome: 139-141. URL:
(http://www.lobster.org. diakses 19 Maret 2008).

Keenan, C.P., P.J.F. Davie, & D.L. Mann, 1998. A Revision of the
genus Scylla De Haan, 1983 (Crustacea: Decapoda:

87
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology 46


(1): 217-245.

Miya, Y., 1972. The Alpheidae (Crustacea, Decapoda) of Japan and its
adjacent waters. Part I. Publications from the Amakusa
Marine Biology Laboratory, Kyushu University, 3 (1): 23-101.

Ng, P.K.L., D. Guinot & P.J.F. Davie, 2008. Systema Brchyurorum:


Part I. An annotated checklist of extant brachyuran crabs of
the world. Raffles Bulletin of Zoology, Supplement 17: 1-286.

Nybakken, J. W. 1993. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT.


Gramedia, Jakarta: 325 hal.

Pratiwi, R., 1993a. Beberapa Catatan Mengenai Kehidupan Udang


Pistol. Oseana: XXVIII (2) 77- 85.

Pratiwi, R., 1993b. Mimi (Horse shoe crab)”the death spreader which
is protected ”. Oseana, XVIII (1): 25-34.

Pratiwi, R., 2002. Adaptation physiology, reproduction and ecology of


crustacean (Decapoda) in mangrove. Oseana, XXVII (2): 1-
10.

Sakai, T. 1976a. Crabs of Japan and The Adjacent Seas Plates.


Kodarian LTD. Japan. 773.

Sakai, T. 1976b. Crabs of Japan and The Adjacent Seas. Kodarian


LTD. Japan. 251 pp.

Serène, R., 1984. Crustacés Décapodes Brachyoures de l'Océan Indien


occidental et de la Mer Rouge, Xanthoidea: Xanthidae et
Trapeziidae. Avec un addendum par Crosnier (A): Carpiliidae
et Menippidae. Faune Tropicale, no. XXIV: 1-349, figs A-C +
1-243, pls 1-48. (In French) (Translated into English by R.W.
Ingle).

88
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea

Smith, W.K. & Miller, P.C. 1973. The thermal ecology of two South
Florida fiddler crabs: Uca rapax Smith and U. pugilator.
Bosc. Physiol. Zool. 46: 186-207.

Wowor, D., & Mulyadi, 1999. Pengelolaan Koleksi Krustasea. Dalam:


Buku Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi.
Suhardjono, Y.R. (ed). Balai Penelitian dan Pengembangan
Zoologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 119-135.

89
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

Bab IV

Koleksi Dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

Indra Bayu Vimono

Pendahuluan
Ekhinodermata merupakan biota bentik yang hanya ditemukan di
laut, mulai dari daerah pasang-surut hingga di laut dalam. Ekhinodermata
juga dapat ditemukan pada terumbu karang, padang lamun dan daerah pasir.
Hewan dari filum ini meliputi: lili laut (kelas Crinoidea), bintang laut (kelas
Asteroidea), bintang mengular (kelas Ophiuroidea), bulu babi/landak laut
(kelas Echinoidea) dan timun laut (kelas Holothuroidea). Hewan ini
tersebar di perairan laut di seluruh dunia, baik tropis maupun kutub. Kata
Echinodermata berasal dari bahasa Yunani, yaitu Echinos (Indonesia:
duri/landak) dan Derma (Indonesia: kulit), yang berarti hewan yang
memiliki kulit berduri.
Ekhinodermata merupakan hewan unik yang memiliki bermacam-
macam bentuk. Seluruh anggota filum Echinodermata memiliki simetri
pentaradial, dimana simetri tubuh yang berkelipatan lima tersebut nampak
jelas kecuali pada kelas Holothuroidea. Lili laut memiliki sebuah “cakram”
centrodorsal dengan lengan yang bercabang serta memiliki struktur
pencengkeram yang di sebut cirri pada bagian dorsal yang berfungsi untuk
mencengkeram substrat. Bintang laut memiliki bentuk dasar bintang segi
lima dengan celah ambulacral di sisi oral dan pada umumnya memiliki 5
lengan ataupun berkelipatan 5, walaupun ada yang terlihat memiliki 4 atau
6 lengan. Bintang mengular memiliki satu cakram (disc) dengan mulut di

90
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

bagian ventral berupa celah bergigi dan lima buah lengan yang rapuh dan
relatif panjang di sisi cakram. Anggota kelas Echinoidea (termasuk
bulubabi) memiliki cangkang dengan duri-duri yang menutupi permukaan
tubuhnya. Timun laut memiliki kesan simetri bilateral, umumnya dengan
bentuk memanjang dan pada sebagian spesies tentakel pada sisi oral terlihat
jelas.

Gambar 4.1. Foto representasi dari lima kelas Echinodermata. a) lili laut
(Crinoidea), b)bintang laut (Asteroidea) c) bintang mengular
(Ophiuroidea), d) bulu babi (Echinoidea) dan e) timun laut
(Holothuroidea). Foto: I.B.Vimono.

Hewan-hewan Ekhinodermata memiliki endoskeleton berupa


ossicle yang bervariasi bentuk dan ukurannya. Ossicle dapat berupa
lempengan-lempengan (plates), microscopic ossicles, maupun lempengan
yang menyatu membentuk cangkang (test). Microsopic ossicles dimiliki
oleh kelas Holothuroidea sedangkan ossicle yang bersatu membentuk
cangkang dimiliki oleh anggota kelas Echinoidea. Ossicle memiliki peranan
penting dalam identifikasi, sehingga pada beberapa kelas pengamatan

91
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

terhadap ossicles memerlukan cara khusus, misalnya microscopic ossicles


pada holothuroidea memerlukan cuplikan jaringan tubuh dengan perlakuan
khusus sebelum pengamatan bentuk-bentuk ossicle di bawah mikroskop.
Pada kelas Echinoidea, pengamatan bentuk dan jumlah lempengan ossicle
dilakukan setelah menghilangkan duri-duri dan jaringan dipermukaan
cangkang.
Ekhinodermata memiliki kaki tabung yang juga berperan sebagai
karakter identifikasi. Kaki tabung memiliki berbagai macam fungsi,
misalnya, sebagai alat gerak, menangkap makanan dan beberapa
termodifikasi untuk pertukaran gas. Kaki tabung bekerja dengan kombinasi
antara otot dan gaya hidrolik dari system pembuluh air di dalam tubuh
Ekhinodermata. Kaki tabung pada sebagian besar anggota kelas Asteroidea
(bintang laut) memiliki pengisap (sucker) untuk melekat pada substrat dan
berjalan, serta mencari makanan. Pada kelas Echinoidea (bulu babi), kaki
tabung dapat berfungsi sebagai alat gerak dan menangkap partikel makanan
yang melayang di kolom air, bahkan pada spesies Colobocentrotus atratus,
kaki tabung termodifikasi menjadi alat penghisap yang kuat untuk
menempel pada tebing.

Selain peran ekologis dalam ekosisten, beberapa anggota


Ekhinodermata memiliki peranan dalam kehidupan manusia termasuk
sebagai makanan. Teripang merupakan anggota kelas Holothuroidea yang
dikonsumsi sebagai obat dan makanan oleh masyarakat, baik masyarakat
Indonesia maupun manca negara. Di Indonesia, penangkapan teripang di
alam masih terus dilakukan sehingga populasi teripang mulai berkurang di
alam. Selain teripang, gonad dari beberapa spesies bulu babi juga dapat
dikonsumsi oleh masyrakat, namun penangkapan di alam liar masih

92
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

menjadi tumpuan utama di Indonesia. Ancaman overfishing dan kerusakan


lingkungan menjadikan inventarisir jenis-jenis Echinodermata menjadi
penting. Untuk mengetahui jenis-jenis Ekhinodermata yang ada di alam
maka koleksi dan identifikasi perlu dilakukan.

Gambar 4.2. Tanda panah menunjukkan obyek: a) keping-keping ossicle


yang menyatu membentuk cangkang pada kelas Echinoidea,
b) micro ossicles pada kelas Holothuroidea, c) kaki tabung
pada bagian ventral kelas Asteroidea dan d) kaki tabung
untuk menempel pada bagian ventral Colobocentrotus atratus
(kelas Echinoidea). Foto: I.B.Vimono.

93
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

Hewan-hewan Ekhinodermata bergerak lambat dan relatif mudah


dikoleksi, namun membutuhkan kecermatan karena sebagian anggota
Echinodermata bersembunyi di balik bebatuan, celah-celah kecil maupun
berkamuflase dengan lingkungannya. Koleksi Echinodermata di daerah
pasang-surut maupun di daerah rataan terumbu relatif mudah dilakukan,
terutama pada saat air surut. Pinset maupun kaos tangan tebal perlu
digunakan untuk menjaga keamanan. Ekhinodermata berduri tajam seperti
bulu babi (kelas Echinoidea) dikoleksi dengan menggunakan pinset besar
secara hati-hati, karena duri-durinya mampu melukai kulit bahkan beberapa
diantaranya beracun. Snorkling dan SCUBA diving juga diperlukan untuk
melakukan koleksi Ekhinodermata di daerah subtidal.
Koleksi Echinodermata dapat pula disesuaikan dengan metode dan
alat sampling yang digunakan dalam penelitian, terutama sampling untuk
bentos. Seperti halnya sampling bentos lainnya, sampling Echinodermata di
daerah pasang surut dapat menggunakan transek dan kuadrat dengan
peralatan sederhana hingga sampling laut dalam dengan peralatan khusus
seperti bottom trawl, Ekman grab (Gmbar 3) dan peralatan lainnya. Dalam
tulisan ini di bahas langkah-langkah melakukan koleksi Ekhinodermata
secara umum.

Proses Koleksi Di Lapangan


Koleksi sampel di lapangan sangat berguna untuk identifikasi dan
penulisan karya tulis taksonomi. Namun demikian, koleksi yang legal dan
bijaksana harus diutamakan. Kegiatan koleksi sampel hendaknya memiliki
izin resmi dari instansi terkait, sehingga pengambilan biota secara liar dapat
diminimalisir. Koleksi sampel juga tidak harus mengeruk semua biota yang

94
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

ada, namun cukup seperlunya sesuai kebutuhan penelitian dan ramah


lingkungan sehingga kelestarian biota dan lingkungannya dapat terjaga.

a) b)

c)

Gambar 4.3. Koleksi Ekhinodermata: a) di dalam laut dengan cara


menyelam menggunakan SCUBA, b) koleksi
Ekhinodermata di daerahpasang-surut bersubstrat pasir
menggunakan ayakan dan kuadrat dan c) awak kapal
mempersiapkan Ekman grab untuk koleksi di laut dalam.
Foto: I.B.Vimono.

Dalam melakukan koleksi Echinodermata di lapangan, beberapa


hal perlu dilakukan agar informasi yang penting dapat tercatat. Hal-hal
tersebut antara lain seperti yang tertera di bawah.

95
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

1. Persiapan koleksi sampel. Persiapan tidak hanya mencakup persiapan


alat-alat dan pelaksanaan penelitian, namun juga mencakup kesehatan
dan pengenalan medan lingkungan. Memastikan bahwa kolektor cukup
sehat, perbekalan yang cukup serta pakaian yang sesuai sangat penting,
karena pengambilan sampel di laut berpotensi untuk terpapar sinar dan
panas matahari serta dehidrasi. Pengenalan medan sangat dibutuhkan
untuk efisiensi waktu koleksi serta keamanan dalam melakukan koleksi
sesuai slogan “safety first” dimana keamanan sebaiknya diutamakan.
Persiapan peralatan yang akan digunakan sebaiknya dilakukan agar
tidak lupa membawa alat-alat yang dibutuhkan selama di lapangan.
Pengambilan data lokasi berupa titik kordinat menggunakan GPS
relevan untuk dilakukan dan menunjang data lokasi.

2. Foto in situ. Pengambilan foto biota hidup secara in situ atau di habitat
aslinya sebelum melakukan koleksi biota, penting untuk dilakukan.
Foto tersebut akan berguna untuk memberi informasi tentang habitat
dan kondisi hidup dari biota tersebut sebelum berubah karena
penyimpanan, misalnya kondisi habitat, bentuk morfologi, maupun
warna. Pengambilan foto in situ di daerah intertidal sebaiknya
menggunakan kamera tahan air. Pengambilan foto biota daerah subtidal
melalui snorkeling dan SCUBA disarankan menggunakan kamera
khusus tahan air dengan rentang kedalaman 10 meter atau lebih.
Kamera dengan underwater housing umumnya dipilih untuk SCUBA
karena menyediakan perlindungan terhadap kamera hingga kedalaman
40 meter atau lebih. Untuk koleksi biota dari laut dalam, pengambilan
foto sebaiknya dilakukan segera setelah biota diambil dari alat koleksi
(Ekman grab maupun bottom trawl) saat kondisi fisik biota masih baik

96
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

dan belum mengalami perubahan, baik dalam hal bentuk maupun


warna.

3. Koleksi biota secara cermat dan hati-hati. Koleksi Ekhinodermata


perlu dilakukan secara hati-hati karena beberapa anggota filum ini
sangat rapuh dan pada beberapa spesies bintang laut memiliki
kecenderungan utuk memutuskan anggota tubuhnya ketika mengalami
stress. Contoh lain adalah lengan bintang mengular yang rapuh, sering
rusak/putus ketika koleksi dilakukan secara sembarangan. Koleksi
Ekhinodermata di daerah intertidal dapat dilakukan dengan melihat
celah bebatuan dan dibalik bebatuan karena sebagian Echinodermata
menyembunyikan diri di celah-celah dan di balik bebatuan. Pada
beberapa spesies juga terkamuflase karena memiliki kebiasaan untuk
menutupi tubuh dengan alga dan serasah lamun. Pengayakan substrat
berupa pasir/lumpur perlu dilakukan dalam koleksi Ekhinodermata di
daerah intertidal, untuk mendapatkan hewan yang berukuran kecil atau
dalam tahap juvenile.

4. Pengemasan sementara. Mengemas spesimen sebagai upaya


penyimpanan sementara perlu dilakukan untuk menjaga kondisi sampel
tetap baik dan segar selama proses koleksi dilapangan berlangsung.
Sampel dapat dikemas dalam kantong plastik maupun wadah khusus
yang telah diberi air laut dan sejumlah substrat tempat hidup biota.
Sampel dipisahkan atau dikumpulkan berdasarkan jenis untuk
memudahkan pemberian label.

97
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

a) b)

c) d)

Gambar 4.4. a) Pengambilan data titik GPS, pengenalan medan dan diskusi
mengenai pelaksanaan sampling, b) foto in situ bintang laut
(Choriaster granulatus) di kedalaman 20 meter, c) kamera
dengan housing underwater dengan maksimum kedalaman 40
meter, dan d) bulu babi (Mespilia globulus) yang berlindung
di balik serasah dan algae. Foto: I.B.Vimono.

5. Pemberian label. Label untuk masing-masing spesimen perlu


diberikan sebagai tanda pengenal bagi sampel tersebut. Label sebagai
tanda pengenal bagi sampel dapat dilakukan dengan menuliskan nama
spesiesnya apabila spesies tersebut adalah spesies umum dan mudah
dikenali dengan identifikasi cepat. Pemberian kode dapat dilakukan
untuk sampel yang belum teridentifikasi. Label juga berfungsi sebagai
media informasi untuk tanggal koleksi, lokasi pengambilan spesimen,
identitas kolektor, serta informasi lainnya. Pastikan untuk mencatat
hal-hal tersebut di dalam label sampel. Sebaiknya label di tulis pada
kertas underwater maupun media lain yang tidak mudahsobek, luntur,

98
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

ataupun hancur apabila terkena air ataupun alkohol. Pada umumnya


digunakan underwater paper sebagai label dan digunakan pensil dalam
penulisan label.

6. Pembiusan, fiksasi, dan pengawetan. Pembiusan, fiksasi dan


pengawetan spesimen dilakukan apabila kolektor dan spesimen telah
sampai di basecamp. Spesimen dikeluarkan dari wadah berisi air laut
dan substrat untuk dipindahkan ke wadah baru yang bersih dengan
media pembius, larutan fiksatif ataupun dengan alkohol/etanol. Etanol
95% digunakan untuk spesimen atau untuk sampel jaringan
Ekhinodermata yang akan diambil sampel uji genetik, sedangkan untuk
sampel basah biasa hanya perlu disimpan di dalam alkohol 70% setelah
menggunakan pembiusan dan fiksasi spesimen. Prosedur pembiusan
hanya berlaku untuk anggota kelas Holothuroidea dan Ophiuroidea
untuk mendapatkan bentuk spesimen yang sempurna bagi kepentingan
penyimpanan. Pembiusan dapat dilakukan dengan menggunakan 7%-
10% larutan menthol atau larutan kristal Magnesium Sulfat atau
Magnesium Chloride dalam pelarut air laut, kemudian posisi dan
bentuk tubuh diatur. Pada keadaan mendesak karena ketiadaan bahan,
beberapa spesies dapat dilemaskan dan diatur tubuhnya di dalam air
laut yang didinginkan. Setelah posisi dan bentuk tubuh spesimen telah
sesuai dengan yang kita inginkan, maka proses fiksasi untuk
mematikan spesimen secara cepat dilakukan dengan menggunakan
buffered formalin 10% atau menggunakan alkohol absolut. Sebagai
catatan, fiksasi menggunakan formalin (tanpa buffer) dalam waktu
lama dapat merusak skeleton Echinodermata, terutama melarutkan
spikula dari Holothuroidea karena formalin memiliki pH rendah

99
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

(asam). Formalin untuk fiksasi pada umumnya di campur dengan borax


sebagai buffer dan menaikkan pH, walaupun demikian fiksasi dengan
buffered formalin hanya dilakukan dalam waktu singkat karena dapat
merusak ossicle dari Echinodermata. Mengingat bahaya dari
penggunaan formalin, baik untuk kesehatan manusia dan resiko
kerusakan spesimen Ekhinodermata, maka fiksasi dapat pula
menggunakan alcohol absolut (atau minimal 70%). Proses pengawetan
dilakukan dengan menyimpan spesimen dan label di dalam alkohol
70% pada wadah tertutup.

Gambar 4.5. a) Timun laut yang baru dikoleksi dari lapangan disimpan
sementara di dalam kantong plastik berisi air laut, b)
beberapa bulu babi dikumpulkan di dalam ember yang berisi
air laut, c) bintang mengular yang telah di bius dapat dengan
mudah diatur posisinya sehingga dapat tersimpan dengan
rapi, d) specimen yang tersimpan di dalam botol tertutup
berisi alkohol. Foto: I.B.Vimono.

100
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

Wadah berisi ethanol atau alkohol beserta spesimen ditutup rapat agar
alkohol tidak menguap atau tumpah selama perjalanan. Alkohol adalah zat
yang mudah terbakar, sehingga dalam proses transfer menggunakan alat
transportasi, perlu diperhatikan pengemasan dan pemberian alkohol selama
perjalanan.

Proses Identifikasi Dan Penyimpanan Di Ruang Koleksi

Setelah perjalanan dari lokasi sampling, pada umumnya alkohol


pada wadah spesimen berwarna keruh maupun berubah warna. Beberapa
penanganan perlu dilakukan, mulai melakukan dari sortir sampel hingga
memasukkannya ke dalam ruang koleksi sebagai spesimen yang memiliki
nomor registrasi

1. Sortir dan penggantian alkohol. Sampel dari lapangan di sortir


(untuk kelompok sampel) dan dimasukkan ke dalam wadah yang lebih
baik dan di rendam dalam alkohol baru dengan konsentrasi yang
dibutuhkan (70% atau 96%). Pastikan memasukkan kembali label
lapangan ke dalam wadah yang baru dan wadah harus tertutup rapat
sehingga alkohol tidak menguap.
2. Identifikasi. Spesimen yang ada di identifikasi kembali dengan
ketelitian yang lebih cermat. Penggunaan mikroskop dan buku
identifikasi yang tepat sangat membantu dalam melakukan identifikasi
secara baik dan benar. Perlu diingat bahwa identifikasi bukanlah
sekedar mencocokkan gambar, namun perlu juga mengenali karakter-
karakter suatu spesies berdasarkan petunjuk identifikasi, baik berupa
buku, file pdf, maupun petunjuk identifikasi online dari sumber yang

101
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

sesuai dan terpercaya. Dalam melakukan identifikasi, sebaiknya


menjaga kelembaban sampel agar sampel tidak mudah rusak. Setelah
melakukan identifikasi, kembalikan sampel ke dalam wadah dan
alkohol. Pastikan sampel masuk dalam wadah dan label yang sesuai
serta wadah tertutup rapat. Memperhatikan ossicle, bentuk kaki tabung,
serta ornament-ornamen dalam morfologi hewan sangat penting dalam
proses identifikasi dan memerlukan kejelian. Mikroskop perbesaran
lemah dan kaca pembesar sangat berguna dalam melihat detail dari
morfologi Echinodermata. Membuat gambar dan pengambilan foto
merupakan bagian penting dari identifikasi untuk untuk mendukung
deskripsi biota.
3. Pemberian label. Buat label baru berdasarkan label lama dengan
tambahan informasi yang lebih terperinci, seperti koordinat lokasi
sampling, habitat sampel, dan lain sebagainya. Pasang label di wadah,
pada tempat yang aman sehingga label tidak mudah lepas, terkelupas,
atau sobek. Penulisan label di atas kertas kalkir maupun media yang
tahan air dan alkohol sangat dianjurkan karena label bisa dimasukkan
bersama spesimen di dalam wadah. Pastikan label lapangan dan label
yang baru tetap ada dalam satu wadah.
4. Registrasi specimen. Spesimen yang telah memiliki label lapangan
dan label baru di bawa kepada petugas ruang penyimpanan koleksi
spesimen atau kurator untuk diberi nomor registrasi dan dicatat data-
datanya. Peneliti ataupun kolektor wajib mengisi form atau log book
penyimpanan sampel sebagai arsip pengelola ruang koleksi spesimen.
5. Pemberian kode dan nomor. Pemberian nomor registrasi sebaiknya
mencantumkan kode taksa sehingga memudahkan penempatas
spesimen dan pengelompokan katalog. Kode taksa dalam nomor

102
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

registrasi dapat mencakup filum, kelas maupun tingkat yang lebih teliti
selama tidak mempersulit pengelompokan dan pendataan. Contoh
pengkodean dan nomor registrasi misalnya: EE.123 yaitu kode untuk
filum Echinodermata dari Echinoidea (EE) dan nomor registrasinya
adalah 123, atau EA.032 yaitu kode untuk filum Echinodermata dari
kelas Asteroidea (EA) dan nomor registrasinya adalah 032.
6. Penyimpanan. Spesimen yang telah memiliki label lengkap dan
teregistrasi disimpan dalam ruangan penyimpanan yang memiliki suhu
ruangan konstan, kering, gelap dan memiliki sirkulasi udara yang baik.
Kondisi tersebut biasanya didapatkan pada ruangan yang menggunakan
Air Conditioner (AC).

Spesimen kering dapat juga dilakukan untuk keperluan display.


Langkah-langkah di atas tetap dilakukan, namun perlu dilakukan proses
pengeringan dan pemberian label sebelum sampel diserahkan ke ruang
koleksi spesimen untuk diregistrasi. Pengeringan dapat dilakukan dengan
mengambil spesimen dari alkohol dan memasukkannya ke dalam oven
dalam suhu hangat (+ 600C) hingga spesimen benar-benar kering.

Data-data spesimen sebaiknya terekam atau tercatat secara fisik pada


buku katalog dan terekam secara digital dengan cara memasukkan data
register dalam format file melalui ms.excel, ms.word ataupun program
khusus. Pencatatan secara fisik dalam buku katalog saja terkadang tidak
cukup mengingat buku katalog dapat rusak secara fisik karena air, api,
jamur dan ngengat. Backup data secara digital dapat mempermudah
pencarian dan pengelompokan data spesimen secara cepat walaupun dapat
juga mengalami kerusakan dan terhapus secara tidak sengaja ataupun
karena virus computer. Hal-hal tersebut mendasari perlunya pencatatan

103
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata

pada beberapa media yang berbeda, minimal dalam bentuk buku katalog
dan file data digital.

Daftar Pustaka

Aziz, A. 1981. Fauna Ekhinodermata Dari Terumbu Karang Pulau Pari,


Pulau-pulau Seribu. Oseanologi di Indonesia, (14):41-50

Clark, A.M. and F.W.E. Rowe. 1971. Monograph of Shalow Water Indo-
West Pasific Echinoderms. London: Trustees of the British
Museum (Natural History), 300 pp.

Hurme, A.K., R.M. Yancey, & E.J. Pullen. 1979. Sampling


Macroinvertebrates on High-Energy Sand Beaches - Coastal
Engineering Technical Aid. 79 (3). U.S. Army Corps Of
Engineers-Coastal Engineering Research Center. Springfield-
Virginia. 41pp

Khanna, D.R. & P.R. Yadav.2005. Biology Of Ekhinodermata. New Delhi:


Discovery Publishing House, 334 pp

Lane, D.J.W. & D. Vandenspiegel. 2003. A Guide To Sea Stars And Other
Echinoderms Of Singapore. Singapore: Singapore Science
Centre, 187 pp.

Lawrence, J.M. 2007. Edible Sea Urchins: Biology and Ecology.


Amsterdam: Elsevier, 419 pp.

Lincoln, R. J. & J. G. Sheals. 1979. Invertebrate Animals: Collection And


Preservation. Cambridge Univ. Press. 150pp

Miskelly, A. 1969. Sea Urchin of Australia and The Indo-Pacific. Sydney:


Capricornica Publications. 180pp

Robert D. & P, Darsono. 1984. Zonation Of Reef Flat Echinoderm At Pari


Island, Seribu Island, Indonesia. Oseanologi Dan Limnologi Di
Indonesia, 17: 33-41.

104
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Bab V

Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Ucu Yanu Arbi

Pendahuluan

Invertebrata merupakan kelompok biota yang memiliki


keanekaragaman jenis yang sangat tinggi di kawasan Indo Pasifik. Sebagian
dari invertebrata yang telah diketahui memiliki sebaran ekologi sangat sempit
karena pengaruh dari berbagai macam faktor pembatas distribusi. Salah satu
anggotanya adalah kelompok organisme yang tergabung dalam Filum
Mollusca, yaitu filum terbesar kedua dalam dunia hewan setelah Filum
Arthropoda. Diperkirakan, Filum Mollusca memiliki keanekaragaman lebih
dari 200 ribu spesies yang dapat ditemukan di berbagai tipe habitat di seluruh
dunia. Dari jumlah tersebut, 100 ribu spesies (atau kurang dari 50%) yang
baru diketahui dan diidentifikasi, dan 35 ribu spesies diantaranya hanya dapat
ditemukan dalam bentuk fosilnya saja (telah mengalami kepunahan).
Mollusca merupakan kelompok hewan bertubuh lunak yang
dilindungi oleh lapisan mantel dan struktur cangkang kapur. Mollusca secara
etimologi (asal usul kata) berasal dari Bahasa Latin (molluscus = lunak).
Berdasarkan bentuk dan struktur tubuhnya, Mollusca dibedakan menjadi 7
kelas, yaitu Gastropoda, Pelecypoda, Schaphopoda, Aplacophora,
Polyplacophora, Monoplacophora dan Cephalopoda. Beberapa jenis Mollusca
telah dikenal dengan baik dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan oleh
masyarakat, antara lain sebagai bahan makanan, obat-obatan maupun
kerajinan tangan.

105
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Gambar 5.1. Peta distribusi Gastropoda di seluruh dunia (Meyer, 1998).

Mollusca memiliki rentang habitat yang sangat lebar karena mampu


hidup di air laut, air tawar, air payau, darat maupun di atas pohon. Mollusca
juga mampu menempati berbagai macam tipe habitat dan ekosistem seperti,
mangrove, lamun, karang dan substrat pasir/lumpur, dari palung laut dalam
sampai puncak pegunungan, bahkan di sekitar pemukiman. Hal ini
menjadikan keanekaragaman jenis Mollusca sangat tinggi, walaupun terdapat
spesifikasi jenis Mollusca untuk masing-masing habitat dan ekosistem karena
adanya perbedaan kebutuhan hidup maupun tingkat toleransi terhadap
habitatnya. Misalnya, jenis-jenis yang hidup di air tawar berbeda dengan
jenis-jenis yang hidup di air laut, jenis-jenis yang hidup di terumbu karang
berbeda dengan jenis-jenis yang hidup di mangrove, dan sebagainya.
Pemanfaatan Mollusca bukan hanya untuk bahan pangan saja,
namun juga sebagai bahan baku kerajian, benda koleksi, maupun sebagai
objek pendidikan dan penelitian. Mengkoleksi cangkang Mollusca merupakan
bentuk kegemaran yang telah berkembang sejak dahulu, baik untuk
pengembangan ilmu pengetahuan maupun sebatas kegemaran. Beberapa suku
di pedalaman memanfaatkan cangkang Mollusca sebagai salah satu benda
untuk kegiatan ritual, atau sebagai alat jual beli barang sebelum mengenal
mata uang. Ilmu yang mempelajari tentang cangkang Mollusca adalah

106
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

conchology, sedangkan ilmu yang mempelajari tentang Mollusca sebagai


biota adalah malacology.
Mollusca dapat disimpan dalam waktu lama jika menerapkan
prosedur pengawetan yang baik. Berdasarkan cara pengawetannya, spesimen
koleksi Mollusca dapat dibedakan menjadi dua, yaitu koleksi basah dan
koleksi kering. Koleksi basah merupakan spesimen koleksi yang disimpan
dan diawetkan dalam larutan pengawet. Larutan pengawet yang umum
digunakan adalah menggunakan larutan alkohol atau formalin. Sedangkan
koleksi kering merupakan spesimen koleksi yang disimpan dan diawetkan
dalam kemasan kering tanpa larutan pengawet. Koleksi kering biasanya
berupa cangkang atau bagian kasar lainnya dari Mollusca, sedangkan koleksi
basah berupa seluruh bagian tubuh termasuk bagian lunak Mollusca.

Kekayaan dan keanekaragaman jenis biota tidak akan pernah


diketahui secara pasti bila tidak ada upaya untuk melakukan pencacahan dan
pendokumentasian yang baik. Beberapa negara modern telah memiliki
kesadaran untuk melakukan monitoring biota dan menyimpan spesimen
koleksi di museum dengan menerapkan manajemen yang cukup baik terhadap
pengelolaan dan pemeliharaannya. Di Indonesia, terdapat sebuah museum
dengan manajemen spesimen koleksi berstandar internasional (Pusat
Penelitian Biologi LIPI: Museum Zoology Bogor) dan beberapa lokasi
penyimpanan biota laut (Pusat Penelitian Oseanografi LIPI: Jakarta, Ambon,
Bitung, Tual dan Biak) serta beberapa universitas. Hal ini membuktikan
bahwa Indonesia dengan kekayaan alam yang dimiliki dan posisi geografis
yang sangat strategis telah memiliki peran untuk merekam sejarah alamnya
melalui spesimen koleksi yang disimpan dengan manajemen yang baik.

107
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Gambar 5.2. Mollusca pada berbagai habitat: A) Chiton di tebing batu cadas;
B) Kerang kapak di substrat pasir rataan terumbu; C) Kima di
ekosistem terumbu karang; D) Lola di ekosistem terumbu
karang; E) Keong di pantai berbatu; F) Keong di substrat
berlumpur hutan mangrove; G) Keong di batang mangrove; H)
Kerang di ekosistem padang lamun; I) Sontong di ekosistem
terumbu karang; J) Nudibranch di karang mati rataan terumbu.
Foto: U.Y.Arbi.

Sampling Mollusca
Sampling diartikan sebagai suatu proses menyeleksi porsi dari
populasi untuk dapat mewakili populasi. Sedangkan teknik atau cara yang
digunakan dalam pengambilan sampel penelitian disebut sebagai teknik
sampling. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian adalah quota
sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara menetapkan sejumlah
anggota sampel. Anggota populasi manapun yang akan diambil tidak
masalah, yang penting jumlah quotum yang sudah ditetapkan sebelumnya

108
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

dapat dipenuhi. Teknik sampling adalah bagian dari metodologi statistika


yang berhubungan dengan pengambilan sebagian dari populasi. Jika sampling
dilakukan dengan metode yang tepat, analisis statistik dari suatu sampel dapat
digunakan untuk menggeneralisasikan keseluruhan populasi.
Berbagai teknik sampling dikembangkan untuk penelitian sosial
yang kemudian dimodifikasi dan diterapkan untuk teknik sampling biologi
dan lingkungan, antara lain:

A. Probability Sampling (Menggunakan Prinsip Random)


1) Cluster Random Sampling
Teknik sampling ini digunakan apabila ukuran populasinya tidak
diketahui dengan pasti.
2) Stratified Random Sampling
Teknik sampling ini digunakan bila kondisi populasi tidak homogen,
terdiri dari:
a) Proporsional Stratified Sampling
Teknik ini digunakan jika proporsi ukuran subpopulasi setiap
strata relatif sama besar.
b) Disproporsional Stratified Sampling
Pada teknik ini, ukuran sampel yang diambil dari setiap strata
sama besarnya, yang berbeda adalah pecahan samplingnya.
c) Simple Random Sampling
Sampel diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian
atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk dipilih sebagai sampel.

109
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

d) Systematic Random Sampling


Teknik ini digunakan apabila ukuran populasi sangat besar yang
tidak memungkinkan dilakukan pemilihan sampel dengan cara
pengundian.

B. Non Probability Sampling (Tidak Menggunakan Prinsip Random)


1) Accidental Sampling
Teknik ini digunakan jika sampel tidak memungkinkan untuk
didapatkan apabila menggunakan teknik sampling yang berdasarkan
prinsip random.
2) Quota Sampling
Teknik ini digunakan ketika mengambil sampel dari setiap strata
tidak menggunakan cara-cara random, tetapi menggunakan cara-cara
kemudahan (convenience).
3) Purposeful Sampling
Teknik ini digunakan jika memerlukan sumber data yang memilki
kualifikasi spesifik.
4) Snowball Sampling
Teknik ini memilih unit-unit yang mempunyai karakterisitik langka.

Sampel yang didapatkan dengan metode sampling kuantitatif dapat


diperoleh dengan cara transek kuadrat, transek garis, belt transect, point
stationary transect, grab, dredge, core, trawl, beach seine, trap dan lainnya.
Sedangkan untuk sampel yang didapat dengan metode sampling kualitatif
dapat diperoleh dengan koleksi bebas.

110
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Gambar 5.3. Sampling Mollusca dengan Transek garis yang juga untuk belt
transect di beberapa ekosistem: A) Padang lamun; B) Hutan
mangrove; C) Terumbu karang; D) Rataan terumbu. Foto:
U.Y.Arbi.

Gambar 5.4. Transek sampling Mollusca dengan hand core: A) Pengambilan


sedimen sampai sekitar 30 cm; B) Sedimen diletakkan pada

111
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

ayakan atau saringan bertingkat; C) Pengayakan; D)


Penyortiran. Foto: U.Y.Arbi.

Gambar 5.5. Sampling Mollusca dengan core untuk perairan deep sea
digabung dengan sampling geologi: A) Pengambilan sedimen
dari kapal riset; B) Core yang berisi sedimen; C)
Pengambilan sedimen dari dalam core; D) Penyortiran sampel
Mollusca dengan saringan bertingkat. Foto: U.Y.Arbi.

Gambar 5.6. Sampling dengan box core: A) Satu set box core untuk
pengambilan sampel laut dalam; B) Box core diturunkan dari
kapal riset; C) Box core yang telah ditarik kembali; D)
Contoh hasil pengambilan sampel dengan box core.Foto:
U.Y.Arbi.

112
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Penanganan Sampel Mollusca di Lapangan


Sampel yang telah didapatkan dengan menggunakan berbagai
metode sampling sebelum dibawa ke laboratorium hendaknya telah
diperlakukan dengan standar agar tidak cepat mengalami kerusakan.
Kerusakan sampel yang telah didapatkan berarti kerugian atas waktu, tenaga
dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sampel tersebut. Di sisi lain,
beberapa sampel mungkin bersifat langka, dengan kemungkinan untuk
mendapatkannya kembali adalah sesuatu yang sulit. Sampel sebenarnya
adalah data yang berisi informasi yang sangat banyak apabila dianalisa lebih
lanjut. Dengan kata lain, sampel yang telah didapatkan dari hasil penelitian
tidak ubahnya sebagai harta bagi seorang peneliti yang sudah selayaknya
dijaga dengan baik.
Penanganan pertama terhadap sampel agar tidak cepat mengalami
kerusakan adalah dengan memasukkannya ke dalam larutan pengawet.
Larutan pengawet yang biasanya digunakan adalah formaldehyde (formalin)
4% atau ethanol (alkohol) 70%, tergantung dari pemanfaatan sampel
selanjutnya. Jika sampel tersebut selanjutnya akan dianalisa secara molekuler
untuk mendapatkan data hasil sekuensi DNA, maka pengawetan dilakukan
dengan alkohol 70%, dan setelah sampai di laboratorium segera diganti
dengan alkohol 96% untuk pengawetan dalam jangka panjang. Apabila
sampel hanya sebatas dimanfaatkan sebagai spesimen koleksi tanpa dilakukan
analisa molekuler, maka pengawetan bisa dilakukan dengan formalin, dan
setelah sampai di laboratorium segera diganti dengan alkohol 70%. Sampel
yang telah diawetkan dengan menggunakan formalin akan sangat sulit,
bahkan tidak bisa dianalisa molekuler karena protein menjadi susah dipecah
sehingga sulit mendapatkan DNA untuk disekuensi. Pengawetan dengan
formalin pada dasarnya hanya digunakan untuk jangka pendek saja sebagai

113
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

bahan fiksasi sampel agar sampel tidak mengkerut, sedangkan preferensi


utama untuk pengawetan jangka panjang adalah dengan alkohol 70%. Selain
pengawetan, penanganan sampel saat di lapangan yang terpenting adalah
pengemasan dan pelabelan. Pengemasan yang baik turut serta menjaga
kondisi sampel tetap terjaga kualitasnya. Pelabelan di lapangan, walau
sifatnya sementara, sangat penting agar tidak terjadi pertukaran antara sampel
satu dengan yang lainnya. Label sementara tersebut biasanya tetap diletakkan
bersama spesimen sampai seterusnya.

Penanganan Sampel Mollusca di Laboratorium


Spesimen yang baru diperoleh di lapangan saat penelitian perlu
segera diproses, diberi label sementara, diberi catatan kecil, diawetkan dan
dikemas. Label sementara saat masih di lapangan penting untuk menghindari
tertukarnya spesimen dengan spesimen lainnya. Catatan kecil yang berisi
informasi yang berkaitan dengan spesimen dan kondisi lingkungan menjadi
informasi yang berguna untuk analisa lebih lanjut. Spesimen yang diperoleh
harus segera diawetkan dalam larutan pengawet (etanol atau formaldehida)
agar spesimen tidak membusuk dan tetap utuh. Kemasan spesimen menjadi
bagian penting, terutama jika jarak antara lokasi penelitian dan museum jauh
dan memakan waktu lama untuk pengiriman. Kemasan yang baik akan
memastikan spesimen tidak rusak selama perjalanan atau pengiriman,
misalnya, dilapisi dengan jaring pengaman plastik yang dapat mencegah
kebocoran cairan pengawet. Kerusakan spesimen bisa terjadi karena teknik
pengemasan spesimen yang kurang baik. Spesimen dari taksa yang berbeda
biasanya juga memiliki teknik pengemasan yang berbeda pula. Setiap peneliti
sudah seharusnya telah memiliki cukup pengetahuan dalam hal teknik
pengemasan spesimen sesuai dengan taksa yang menjadi objek penelitiannya.

114
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Sampel yang baru diperoleh dari lapangan seharusnya segera


diproses sesuai dengan standar yang berlaku sebelum disimpan dalam ruang
penyimpanan. Sampel dibersihkan dari kotoran, sedimen maupun bagian
organisme lain yang menempel yang dapat menyebabkan kerusakan, dan
kemudian dipisahkan menurut taksa masing-masing. Sampel yang masih
tercampur dengan sedimen biasanya disaring menggunakan saringan.
Spesimen yang telah bersih dan dipisahkan berdasarkan taksa yang dianalisis
oleh para ahli di bidangnya. Sampel yang baru disimpan dan dikumpulkan di
tempat khusus yang belum diidentifikasi serta diberi label spesimen. Sampel
yang telah diidentifikasi kemudian diawetkan dan disimpan sesuai dengan
standar yang berlaku. Sampel yang telah diidentifikasi namun belum yakin
dengan kebenaran nama spesiesnya juga disimpan di tempat khusus.

Analisa dan Proses Identifikasi Sampel Mollusca


Sebelum disimpan dalam koleksi, spesimen harus diberi label, dan
label diusahakan juga mencakup nama spesies secara jelas. Untuk
menemukan nama yang benar dari spesies, spesimen harus diidentifikasi dan
dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Semua sampel diamati dan
diidentifikasi di bawah mikroskop. Analisis dan proses identifikasi spesimen
dilakukan di laboratorium enggunakan perlengkapan sesuai dengan yang
dibutuhkan dari kelompok taksanya. Proses identifikasi untuk setiap
organisme sesuai dengan aturan dalam taksonomi dan sistematika. Selama
proses analisis spesimen dilakukan juga dokumentasi spesimen (foto-
menggunakan mikroskop). Identifikasi dilakukan oleh taksonom atau
parataxonom untuk kepentingan analisis secara taksonomi. Kolaborasi dan
kerjasama dengan peneliti asing sangat penting, tetapi harus dengan ikatan
perjanjian yang disepakati bersama.

115
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Jika ternyata spesimen yang dianalisa merupakan spesies baru, atau


diduga spesies baru, atau berpotensi sebagai spesies baru maka diproses
secara khusus untuk kepentingan penelitian lanjutan. Karakterisasi pada
bagian-bagian khusus dari spesimen yang diamati yang akan membedakan
dengan spesies yang sebelumnya telah dideskripsi sebagai spesies. Sehingga
diperlukan deskripsi menyeluruh secara detail dari setiap karakter kunci yang
dimiliki. Kemudian dibandingkan dengan spesimen type dari spesies yang
memiliki hubungan paling dekat dengan spesimen tersebut. Spesimen type
biasanya dapat dipinjam dari museum yang menyimpan spesimen type
tersebut. Jika tidak memungkinkan untuk meminjam spesimen type, biasanya
dapat mendatangi langsung museum, atau meminta bantuan kurator di
museum tersebut untuk memotret bagian-bagian kunci dari spesimen type
yang dimaksud. Selain membandingkan langsung dengan spesimen type,
proses analisa juga dilakukan dengan membandingkan dengan deskripsi yang
diberikan pada publikasi yang merujuk ke spesies yang dimaksud. Setelah
semua proses tersebut dilewati, dan deskripsi spesimen yang diduga spesies
baru tersebut dikerjakan, kemudian akan disimpulkan apakah spesimen
tersebut merupakan spesies baru atau bukan. Apabila spesimen tersebut
disimpulkan sebagai spesies baru, maka segera dilakukan penyusunan tulisan
taksonomi untuk dipublikasikan secara internasional. Hasil publikasi tersebut
harus didistribusikan ke minimal tiga perpustakaan yang dapat diakses secara
internasional. Setelah publikasi, status spesies baru tersebut baru akan diakui
secara internasional.

116
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Preservasi Spesimen Koleksi Mollusca

Setelah dilakukan proses identifikasi, spesimen kemudian diawetkan


dan disimpan dalam ruang koleksi. Berdasarkan cara pengawetannya, koleksi
spesimen pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok koleksi, koleksi
basah dan kering. Koleksi kering diawetkan dalam kantong plastik bebas
asam dan/atau dimasukkan ke dalam toples plastik atau kotak karton bebas
asam. Koleksi basah dilarutkan dengan etanol teknis 70% untuk koleksi biasa
atau 96% untuk koleksi dengan tujuan studi molekuler. Wadah penyimpanan
adalah botol kaca dan ditutup rapat untuk mencegah penguapan dan
mencegah masuknya hama yang dapat menyebabkan kerusakan spesimen.
Label yang dimasukkan ke dalam tempat penyimpanan biota diusahakan
terbuat dari bahan yang awet dan bebas asam agar tidak mudah hancur dan
tumbuh jamur. Pengawetan spesimen untuk jangka panjang tidak dapat
menggunakan formalin. Formalin 4% atau MgCl2 hanya digunakan untuk
fiksasi, bahkan tidak digunakan sama sekali untuk spesimen dengan tujuan
analisa molekuler. Formalin digunakan hanya untuk pengawetan spesimen
untuk waktu yang tidak lama, dan kemudian dipindahkan ke dalam larutan
alkohol 70%.

Pelabelan Spesimen Koleksi Mollusca

Label adalah bagian paling penting dari koleksi spesimen karena


dalam label terkandung informasi penting tentang spesimen yang dimaksud
tersebut. Sistem pelabelan diterapkan pada semua botol maupun tempat
penyimpanan sampel lainnya. Setiap koleksi spesimen didaftarkan
menggunakan sistem nomor katalog yang diterapkan di suatu museum atau
institusi. Data yang tercatat pada label terdiri dari jumlah spesimen, nomor
katalog, nama spesies, nama keluarga, tempat koleksi, tanggal koleksi, waktu

117
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

pengumpulan, stasiun, kedalaman, informasi habitat, komposisi substrat,


posisi GPS, dan catatan khusus yang berhubungan dengan spesimen. Label
terbuat dari bahan khusus yang awet dan tidak mudah hancur oleh larutan
pengawet serta sedapat mungkin terbuat dari bahan bebas asam, misalnya
terbuat dari kulit kambing. Tinta yang digunakan untuk merekam pada label
adalah tinta khusus yang tidak luntur dalam alkohol. Label harus dijaga agar
tidak rusak. Pelabelan diikuti dengan pencatatan data dalam buku katalog dan
database yang dilakukan secara komputerisasi.

Gambar 5.7. Contoh format label: A) Label koleksi basah ukuran besar di
Raffles Museum, Singapura; B) Label koleksi kering di Raffles
Museum, Singapura; C) Label koleksi basah ukuran kecil di
Raffles Museum, Singapura; D) Label koleksi hasil kerjasama
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dengan PT Newmont Nusa
Tenggara. Foto: U.Y.Arbi.

Dokumentasi Spesimen Koleksi Mollusca

Saat masih di lapangan, umumnya spesimen yang dikumpulkan


sudah difoto terlebih dahulu agar dapat menggambarkan kondisi saat masih di
habitat aslinya. Namun, pada saat akan penanganan sampel di laboratorium,

118
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

terutama saat proses identifikasi, dokumentasi (foto atau gambar) perlu


dilakukan kembali. Tujuannya adalah untuk membuat dokumentasi spesimen
sehingga berguna untuk publikasi, terutama publikasi taksonomi.
Pengambilan gambar bukan hanya bagian dari tubuh spesimen secara
keseluruhan, tetapi juga bagian penting dari tubuh spesimen tersebut dengan
tujuan untuk memperoleh detail dari bagian tubuh yang diinginkan.
Pengambilan gambar dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari
kamera saku, kamera digital, kamera terintegrasi dengan mikroskop dan
sebagainya. Gambar yang dihasilkan juga tidak selalu berupa foto, tetapi juga
bisa berupa video maupun gambar sketsa dengan menggunakan tangan.

Gambar 5.8. Pendokumentasian spesimen di ekosistem mangrove dengan


kamera Digital SLR: A) Persiapan pemotretan; B) Penggunaan
flash eksternal untuk pencahayaan; C) Pengecekan hasil
jepretan; D) Kondisi di alam yang menuntut untuk kerja keras
agar mendapatkan gambar yang alami. Foto: U.Y.Arbi.

119
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Gambar 5.9. Dokumentasi di dalam laut: A) Penggunaan alat selam SBUBA


sampai kedalaman 40 meter; B) Fotografi biota laut di
habitatnya; C) Vidoegrafi biota laut di habitatnya; D) Robot
ROV yang dikendalikan dari atas kapal riset NOAA, Amerika
Serikat; E) ROV dengan beberapa kamera untuk dokumentasi
hingga kedalaman ratusan meter. Foto: U.Y. Arbi.

Gambar 5.10. Pendokumentasian dengan bantuan mikroskop: A) Spesimen


yang akan difoto; B) Spesimen ketika dilihat di bawah
mikroskop; C) Proses pendokumentasian dengan kamera
poket; D) Hasil foto setelah dilakukan sedikit koreksi foto
dengan bantuan software tertentu. Foto: U.Y.Arbi.

120
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Penyimpanan Spesimen Koleksi Mollusca

Spesimen yang telah melalui setiap proses (termasuk spesies baru)


kemudian bisa disimpan bersama Koleksi Utama untuk masing-masing taksa
dalam rak dan lemari penyimpanan di ruang koleksi. Semua koleksi disimpan
di tempat gelap tanpa cahaya (sinar matahari atau cahaya lampu) untuk
menjaga pigmen (warna alami) dari spesimen tidak memudar atau berubah
warna pada suhu 18oC. Terutama untuk spesimen type, koleksi disimpan di
tempat yang lebih khusus, dengan tanda khusus, dan dipisahkan dari koleksi
lain. Setiap unit penyimpanan (lemari, rak, botol, laci, kotak) diberi nomor
sebagai kode penempatan. Penomoran dimaksudkan untuk mempermudah
pelacakan spesimen, terutama bagi pengguna yang belum terbiasa dengan
model susunan rak dan lemari penyimpanan spesimen. Penyusunan dapat
dilakukan secara sistematis sesuai dengan klasifikasi berdasarkan buku
referensi dari klasifikasi standar suatu kelompok organisme.

Katalogisasi dan Pangkalan Data Spesimen Koleksi Mollusca


Pencatatan mengenai spesimen koleksi dan semua informasi yang
berkaitan dengan spesimen koleksi merupakan kegiatan yang sangat penting
dilakukan. Pencatatan awalnya dilakukan secara manual di dalam sebuah
buku dengan format tertentu (buku katalog spesimen koleksi). Selanjutnya,
pencatatan dilakukan secara komputerisasi dengan format yang sama atau
sedikit berbeda dengan yang ada di buku katalog (pangkalan data spesimen
koleksi). Tujuan pembuatan buku katalog dan pangkalan data adalah untuk
memudahkan pencatatan spesimen koleksi yang telah dimasukkan ke dalam
ruang koleksi. Informasi yang ditampilkan pada buku katalog merupakan
pengembangan yang lebih lengkap dari informasi yang ada di label spesimen
koleksi. Sistem penomoran dan data yang dimasukkan pada buku katalog dan

121
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

pangkalan data spesimen koleksi dibuat mengikuti aturan yang dibuat oleh
pengelola ruang koleksi spesimen yang dikerjakan oleh seorang kurator.

Gambar 5.11. Contoh penyimpanan spesimen koleksi: A) penataan rak dan


lemari spesimen koleksi di Museum Zoolog Bogor; B)
penyimpanan koleksi basah dalam alkohol di Museum
Zoology Bogor; C) penyimpanan koleksi kering di Raffles
Museum, NUS, Singapore. Foto: U.Y.Arbi.

Pencegahan Jamur, Hama, Kerusakan dan Kecelakaan


Berbagai pencegahan dan pengendalian harus dilakukan secara
berkala agar hama tidak cepat merusak spesimen. Koleksi kering harus dijaga
agar tidak menjadi lembab dan berdebu, sedangkan koleksi basah harus
disimpan dalam keadaan terendam dalam alkohol. Suhu dan kelembaban
koleksi merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan sedemikian rupa
sehingga tetap dalam kisaran ruang yang dibutuhkan untuk koleksi spesimen.
Pengemasan, penyimpanan spesimen dan label yang digunakan juga
menggunakan bahan yang memiliki pH netral dan bebas lignin.

122
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Kebersihan ruang spesimen koleksi sangat penting untuk dijaga,


pintu selalu tertutup untuk meminimalkan debu dan hama yang memasuki
ruang koleksi. Tidak diperbolehkan membawa makanan dan minuman ke
dalam ruang koleksi karena akan mengundang serangga, jamur dan bakteri.
Tangan berminyak dan kotor tidak diperbolehkan memegang spesimen karena
dapat menyebabkan kerusakan spesimen akibat aktivitas bakteri. Kondisi
spesimen, tempat penyimpanan spesimen, larutan alkohol, kehadiran hama,
dan hal-hal lain yang mengindikasikan kerusakan spesimen harus dipantau.
Insektisida dan zat penolak serangga (misalnya kapur barus) diberikan
secukupnya sangat bermanfaat untuk pencegahan hama.

Gambar 5.12. Katalogisasi dan penyusunan pangkalan data spesimen koleksi:


A) Entry data oleh kurator atau ternisi; B) Pembahasan format
buku katalog spesimen koleksi; C) Pembentukan pangkalan
data; D) Contoh informasi yang ada di dalam buku katalog
spesimen koleksi di Raffles Museum, Singapura; E) Contoh
buku katalog spesimen koleksi di Stasiun Lapangan LIPI
Bitung, Sulawesi Utara. Foto: U.Y. Arbi.

123
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Pengolahan dan pemeliharaan secara rutin dilakukan sesuai dengan


aturan yang ditetapkan. Selain mempertimbangkan spesimen, kegiatan yang
dilakukan juga mempertimbangkan kepentingan orang yang bekerja, terutama
berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan jiwa. Bekerja di laboratorium
dan di ruang koleksi biasanya dilengkapi dengan jas lab, masker, sarung
tangan dan pelindung mata. Langkah pencegahan, terutama dari bahaya
kebakaran juga perlu dilakukan, seperti tidak merokok di ruang kerja,
terutama dekat dengan bahan kimia di dalam ruang koleksi dan di dalam
ruang yang terdapat fasilitas AC. Lampu dan peralatan elektronik yang tidak
diperlukan dipadamkan untuk membantu mencegah kebakaran.

Gambar 5.13. Pencegahan terhadap jamur, hama, kerusakan dan kecelakaan:


A) Tangga darurat untuk antisipasi jika terjadi kecelakaan; B)
Halaman berbatu, bukan berumput, untuk menekan
perkembangbiakan serangga; C) Penyemprot air untuk
antisipasi kebakaran; D) Kemasan spesimen dari bahan bebas
asam untuk mencegah aktivitas jamur dan bakteri; E) Kapur
barus untuk mengurangi kelembaban. Foto: U.Y.Arbi.

124
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Penanganan Spesimen Koleksi Mollusca Rusak atau Hilang


Kerusakan spesimen selain disebabkan oleh kecerobohan saat
penanganan spesimen juga sering disebabkan oleh pengaruh hama, terutama
akibat serangan jamur dan bakteri. Setiap spesimen memiliki potensi untuk
menyebabkan kerusakan kerusakan pada spesimen lain, terutama yang rusak
oleh hama, sehingga harus segera ditangani. Spesimen kering yang terkena
hama dilakukan penanganan dengan cara dibungkus dengan plastik dan
ditempatkan ke dalam freezer selama 2 x 24 jam untuk menghilangkan hama.
Sedangkan untuk spesimen basah yang diawetkan dalam alkohol setelah
dilakukan penggantian alkohol kemudian spesimen dan botol dibersihkan dari
hama dengan cara direndam dalam larutan kalium permanganat (KMnO4)
selama 24 jam untuk kemudian diganti dengan alkohol dan botol baru.
Spesimen yang telah dibersihkan dapat disimpan kembali ke koleksi
spesimen. Spesimen yang rusak karena kondisi fisiknya yang dislokasi dapat
direhabilitasi atau diganti dengan cara menyambung dengan bagian yang
sama dari spesimen lain. Zat adhesif (lem atau tali) yang digunakan juga tidak
boleh sembarangan, tetapi menggunakan perekat yang memiliki pH netral.
Koleksi spesimen yang tidak memenuhi standar untuk penyimpanan, yang
sudah rusak parah (> 70% rusak), busuk, dan tidak ada label dapat dihapuskan
dari ruang koleksi. Penghapusan spesimen harus dengan pengetahuan dan izin
dari kepala museum, dan atas izin resmi, sedangkan untuk penghancuran atas
izin dari manajer koleksi. Rekomendasi atau izin penghancuran akan
diberikan setelah mendapatkan pertimbangan dari tim khusus yang dibentuk
oleh kepala museum.
Pada dasarnya, spesimen yang rusak maupun yang hilang karena
berbagai sebab tidak bisa digantikan dengan spesimen lain. Spesimen yang
rusak atau hilang tersebut tetap akan tercatat pada buku katalog dan/atau

125
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

database sebagai spesimen yang pernah dikoleksi dari suatu lokasi tertentu,
walaupun bentuk fisik dari spesimen tersebut sudah tidak ada lagi.
Penggantian tidak bisa dilakukan karena spesimen yang dimaksudkan sebagai
pengganti spesimen yang rusak atau hilang tersebut memiliki informasi yang
berbeda meskipun diambil dari lokasi yang sama. Hal ini terutama informasi
yang ada apabila dilakukan analisa pada tingkat molekuler. Dua spesimen
pada satu spesies yang sama yang diambil lokasi yang sama tetapi pada waktu
yang berbeda sangat mungkin akan dijumpai hasil analisa molekuler yang
berbeda. Hal ini terjadi karena perubahan evolusioner secara bertahap dalam
waktu yang relatif lama yang diyakini terjadi pada setiap spesies sebagai
bentuk adaptasi terhadap setiap perubahan lingkungannya yang terjadi dari
waktu ke waktu. Alasan inilah terutama yang menjadi dasar ketidaktepatan
dilakukan penggantian spesimen koleksi yang rusak maupun hilang.

Daftar Pustaka

Arbi, U.Y. 2010. Taxonomy training, comparative study and collection


management at Raffles Museum. Report of on job training at Raffles
Museum of Biodiversity Research, National University of Singapore,
Singapore 2010. Not published.

Cedhagen, T. 1989. A method for dissaggregating clay concentration and


elimining formalin smell in the processing of the sediment sample.
Sarsia 74: 221-222.

Dauer, D.M. 2004. Quality assurance/quality control plan benthic biological


monitoring program of the Lower Chesapeake Bay. Manual of Field
Ecology Project, Department of Biological Science, Old Dominian
Univ., Norfolk-Virginia: 41 pp.

126
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca

Harmeon, J.D. 1993. Integrated pest management in museum, library and


archival facilities. Harmon Presentation Pest Management,
Indianapolis: 138 pp.

Janus, H. 1979. The young specialist looks at molluscs. Burke Books, London
& Toronto: 180 pp.

Marine Biological Association. 1957. Plymouth marine fauna (3rd Edition),


Marine Biological Association of the United Kingdom. 457 pp.

Palma, R.L., 1976. Slide mounting of lice, a detailed description of Canada


Balsam Technique, New Zealand Entomol. 6(4): 432-435.

Rothwell, R.G. 2001. Marine sample collections: Their value, use and future.
IACMST Information Document no. 8: 1-56.

Suhardjono, Y.R. 1999. Buku Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen


Zoologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Zoologi, P2B-LIPI,
Cibinong: 218 hal.

Tagliapietra, D. and M. Sigovini. 2010. Benthic fauna: Collection and


identification of macrobenthic invertebrates. Terre et Environment vol.
88: 253-261.

127
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

Bab. VI

Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

Fahmi

Pendahuluan
Pengertian mengenai istilah ‘ikan’ pada umumnya adalah
hewan akuatik yang memiliki tulang belakang (vertebra), bernafas
dengan insang, memiliki struktur tulang yang terdiri dari tulang
sejati ataupun rawan (cartilage), serta umumnya memiliki sirip (Hart
& Reynold, 2002; Nelson, 2006). Ikan merupakan salah satu
kelompok terbesar dari biota akuatik dengan ukuran tubuh yang
sangat bervariasi, mulai dari yang terkecil dengan ukuran hanya
beberapa sentimeter saja, hingga ukuran terbesar yang dapat
mencapai belasan meter. Adapun pengelompokkannya secara umum
berdasarkan kelas besar (Nelson, 2006), yaitu:
1. Chondrichthyes (ikan bertulang rawan)
2. Actinopterygii (ikan bertulang sejati); dan
3. Sarcopterygii (termasuk coelacanths, lungfishes, dan tetrapoda)
Jumlah jenis ikan yang ada di dunia dengan nama ilmiah
yang valid mencapai lebih dari 28 ribu spesies. Jumlah tersebut
masih mungkin bertambah seiring dengan ditemukannya jenis-jenis
baru dari tahun ke tahun. Indonesia sebagai salah satu pusat
keanekaragaman hayati dunia, memiliki jumlah jenis ikan lebih dari

128
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

4500 spesies yang sudah terdaftar di dalam Fish Base, yang terdiri
dari sekitar lebih dari seribu jenis ikan air tawar dan lebih dari 3500
jenis ikan air laut. Jumlah jenis ikan air laut yang sangat tinggi
tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi akademisi, peneliti,
taksonom dan kurator Indonesia di dalam mengoleksi, menyimpan
dan mengelola koleksi rujukan ikan laut, yang berguna bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang taksonomi, ekologi, dan
keragaman hayati Indonesia.
Koleksi biota laut di dalam sebuah koleksi referensi
(refference collection) merupakan salah satu bukti secara ilmiah
terhadap kekayaan keragaman jenis biota di suatu daerah.Umumnya
tujuan dari koleksi spesimen adalah untuk alasan taksonomi, yang
menjadikan spesimen koleksi sebagai rujukan, bukti atau
pembanding terhadap keberadaan suatu spesies dari daerah atau
lokasi tertentu. Deskripsi ilmiah suatu jenis biota membutuhkan
pengamatan, pengukuran dan dekripsi secara detail terhadap
spesimen tipe yang dijadikan rujukan utama atau sejumlah spesimen
yang disimpan, terdaftar dan terawat. Koleksi spesimen umumnya
disimpan di dalam sebuah museum zoologi atau institusi penelitian
dan pendidikan untuk jangka waktu yang lama serta dapat diakses
oleh pihak-pihak yang membutuhkannya. Prosedur dan metode
dalam pengelolaan koleksi spesimen ikan laut dibahas dengan detail
di bawah ini.

129
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

Koleksi Spesimen
Spesimen ikan yang cocok untuk dijadikan sebagai
spesimen koleksi adalah spesimen yang masih dalam keadaan segar,
tidak cacat (kondisi sirip dan sisik masih lengkap), warnanya masih
cerah, serta isi perut yang belum membusuk. Oleh sebab itu,
spesimen koleksi sebaiknya berasal dari ikan-ikan yang baru
ditangkap, bahkan untuk ikan-ikan yang berukuran kecil lebih baik
apabila masih dalam keadaan hidup agar hasil pengawetannya
sempurna. Penanganan spesimen yang hati-hati dan sesuai prosedur
sangat diperlukan agar kondisi spesimen tetap baik dan tidak
rusak.Bagian-bagian tubuh yang penting untuk keperluan
identifikasi, seperti kelengkapan jumlah sirip, jumlah gurat sisi,
kelengkapan gigi dan insang, harus tetap dijaga kondisi dan
kelengkapannya karena merupakan kunci-kunci karakter dalam
mengidentifikasi jenis ikan. Bagian-bagian tubuh tersebut sangat
mudah rusak walaupun sudah dalam kondisi diawetkan.
Spesimen ikan dapat diperoleh melalui berbagai cara, baik
pengambilan secara langsung maupun tidak langsung. Pengambilan
spesimen secara langsung di lapangan dilakukan dengan
menggunakan beberapa alat penangkap ikan. Alat tangkap yang
digunakan untuk mengoleksi sampel ikan dibagi ke dalam dua
kategori, yaitu aktif dan pasif. Alat tangkap aktif adalah alat tangkap
yang pengoperasiannya dalam keadaan bergerak, baik yang
digerakkan oleh mesin maupun oleh tenaga manusia. Sedangkan alat
tangkap pasif merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya secara
pasif atau tidak bergerak dan dipasang dalam periode waktu tertentu.

130
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

Beberapa contoh alat tangkap yang dibagi berdasarkan kedua


kategori tersebut disajikan pada Tabel.1.

Tabel 1. Beberapa contoh alat tangkap untuk mengoleksi spesimen


ikan
Alat tangkap aktif Alat tangkap pasif
Trawl Bubu
Jaring insang hanyut Jaring insang tetap
Jaring pantai Bagan
Jaring lingkar Sero
Pancing rawai
Pancing tangan
Jala lempar
Seser

Penanganan Spesimen
Spesimen yang baru ditangkap dari lapangan apabila dalam
keadaan mati sebaiknya segera diproses dengan langkah-langkah
berikut.Spesimen yang baru tertangkap oleh alat tangkap segera
dibersihkan dan dikelompokkan berdasarkan jenisnya, kemudian
dimasukkan ke dalam plastik atau wadah tertentu dan diberi label.
Label berisikan informasi mengenai lokasi penangkapan (sertakan
posisi koordinatnya jika ada), kedalaman perairan, tipe substrat, alat
tangkap yang digunakan, tanggal dan stasiun pengambilan sampel
jika ada. Hindari penumpukan sampel terlalu banyak dalam satu
wadah yang dapat mengakibatkan kerusakan pada spesimen,

131
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

terutama bagi spesimen yang berukuran kecil. Foto ikan dalam


keadaan segar sebaiknya diambil sehingga dapat diketahui warna
agar warna asli ikan sewaktu hidup walaupun ikan yang dikoleksi
sudah kehilangan warna dan coraknya setelah diawetkan. Apabila
posisi lapangan jauh dari tempat pemrosesan spesimen atau
laboratorium, hendaknya sampel disimpan di dalam kotak pendingin
yang diberi es batu agar kesegarannya tetap terjaga.
Ketika spesimen telah berada di laboratorium, maka
langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan
identifikasi jenis dan pengukuran morfologi ikan, yang terdiri dari
panjang total, panjang standar, panjangcagak (fork length) jikaada,
dan berat ikannya.Pengukuran panjang biasanya menggunakan
satuan milimeter (mm), sedangkan untuk pengukuran berat tubuh
menggunakan satuan gram (gr). Sertakan informasi tambahan
apabila ada ciri-ciri atau karakter khusus yang perlu disertakan untuk
mempermudah pengidentifikasian. Setiap spesimen ikan diberi label
yang terdiri dari nomor katalog/koleksi, nama ilmiah ikan, tanggal
koleksi, lokasi penangkapan, alat yang digunakan, dan nama
kolektor atau identifikator.
Setelah melakukan pengukuran dan pelabelan, ikan
dipersiapkan (diset) untuk diambil sampel genetika dan
gambarnya.Pengambilan sampel jaringan tubuh untuk genetika
dilakukan dengan mengambil jaringan otot atau sirip dada yang ada
di bagian sisi kanan tubuh ikan. Posisi standar untuk pengambilan
gambar ikan adalah dengan meletakkan ikan dalam posisi
menyamping dan menghadap ke arah kiri.Sirip-sirip ikan diatur

132
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

dalam kondisi normal dan terbuka, sedangkan mulut dalam keadaan


tertutup (Gambar 6.1).

Gambar 6.1. Cara pengukuran panjang tubuh ikan (Sumber: PBC,


1997).

133
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

Agar hasil gambar spesimen sempurna, letakkan ikan di atas


steroform dengan posisi menghadap ke kiri. Setiap sirip ikan
dikembangkan dan dibantu dengan menusukkan jarum (pin) di sirip-
sirip keras pertama. Oleskan larutan formalin tipis-tipis pada setiap
bagian sirip dengan menggunakan kuas halus agar sirip menjadi
kaku. Tunggu sekitar lima sampai sepuluh menit lalu lepaskan
jarum-jarum yang menancap di sirip-sirip tersebut. Letakkan
spesimen yang telah diset di alas foto, disertai dengan alat pengukur
(penggaris) dan label spesimen. Pengambilan foto harus dalam
posisi tegak lurus. Sebaiknya gunakan tripod agar hasil foto lebih
tajam dan tidak kabur.

Pengawetan Spesimen
Penanganan yang tepat dan prosedur pengawetan spesimen
yang benar baik di lapangan maupun di laboratorium, sangatlah
penting dalam mendapatkan sebuah spesimen koleksi yang
berkualitas dan tahan lama. Penanganan dan perawatan yang benar
terhadap suatu spesimen koleksi dapat memperpanjang umur dan
kegunaannya. Pengawetan suatu spesimen sangat tergantung dari
tujuan dan manfaatnya. Suatu spesimen koleksi yang digunakan
untuk jangka waktu yang lama dan dijadikan koleksi rujukan bagi
jenis biota tertentu di suatu daerah, biasanya disimpan di dalam
larutan alkohol 70% dan selalu diganti secara berkala. Sedangkan
koleksi spesimen yang dijadikan sebagai koleksi sementara dan
bertujuan untuk tetap mempertahankan warna dasar dari spesimen
tersebut, maka larutan formalin merupakan pilihan yang paling tepat.

134
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

Formalin merupakan larutan fiksatif yang paling umum digunakan


dan tersedia hampir di seluruh daerah. Namun, penggunaan formalin
sebagai pengawet secara permanen tidak dianjurkan karena sifat
formalin yang asam dan sulit dalam penanganannya.Selain
berbahaya bagi manusia karena dapat menyebabkan kanker,
penggunaan formalin dengan waktu yang lama pada spesimen
koleksi akan merusak struktur tulang dari spesimen tersebut (proses
deosifikasi). Disarankan untuk menambahkan beberapa buah
kamper, serpihan kerang ataupun beberapa mililiter borax untuk
menetralisasi larutan formalin tersebut dan membuat pH larutan
menjadi normal.
Prosedur yang paling tepat dalam mengawetkan spesimen ikan
adalah sebagai berikut:
 Siapkan wadah penyimpanan spesimen yang sesuai dengan
ukuran spesimen. Spesimen ikan yang memiliki ukuran
kurang dari 25 cm sangat cocok untuk disimpan dalam
wadah gelas seperti toples. Sedangkan untuk ukuran
spesimen di atas 25 cm dan memiliki bentuk tubuh yang
khusus, disarankan disimpan dalam kontainer kaca yang
berbentuk seperti akuarium;
 Buat larutan formalin 10% (setara dengan 4%
Formaldehida) sebagai bahan pengawet spesimen.
Umumnya formalin yang dijual di pasaran memiliki
konsentrasi kurang dari 100% (setara dengan 40%
Formaldehida), yaitu hanya sekitar 37%. Sehingga tidak
jarang apabila kita membuat larutan formalin 10% dengan

135
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

cara mencampurkan satu bagian formalin dengan sembilan


bagian air, konsentrasi formalin menjadi cenderung terlalu
rendah, sehingga proses pengawetan spesimen menjadi
tidak sempurna. Untuk itu, dalam melakukan pengenceran
larutan formalin, disarankan dengan mencampurkan satu
bagian formalin pekat (yang baru dibeli di toko kimia)
dengan lima bagian air. Komposisi tersebut terbukti cocok
untuk spesimen koleksi di daerah tropis (Gambar 6.2);
 Spesimen ikan yang telah dipersiapkan untuk dijadikan
spesimen koleksi sebaiknya disuntik terlebih dahulu dengan
larutan formalin pekat di bagian abdomen dan bagian tubuh
lain yang relatif tebal (kepala, badan). Hal tersebut perlu
dilakukan terutama bagi spesimen ikan yang relatif tebal
untuk menghindari pembusukan organ bagian dalamnya;
 Spesimen dimasukkan ke dalam toples atau kontainer
dengan hati-hati. Posisi kepala ikan dimasukkan terlebih
dahulu sehingga berada di bagian bawah toples. Sedangkan
apabila diletakkan di dalam kontainer, disesuaikan
posisinya dengan bentuk tubuh ikannya. Untuk ikan yang
berbentuk pipih, sebaiknya diberi tambahan penyangga
terbuat dari kaca, sedangkan untuk spesimen ikan yang
berbentukgepeng (depress), dapattangsungdiletakkan di
dasar kontainer. Gunakan sarung tangan karet dan masker
serta kacamata sebagai prosedur keselamatan;
 Masukan label yang berisi keterangan lengkap mengenai
spesimen ke dalam toples. Label sebaiknya dibuat dari

136
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

bahan yang tahan air dan bebas asam. Untuk label yang
berisi nama spesimen dan nomor katalog dapat dibuat
dalam kertas kecil atau kain yang diikatkan pada spesimen.
Bagian luar toples atau kontainer sebaiknya juga ditempeli
label yang berisi nomor botol dan nomor katalog;
 Isi toples atau kontainer dengan larutan formalin yang
sudah disiapkan dengan hati-hati agar tidak ada larutan
formalin yang tumpah atau mengenai badan. usahakan
seluruh bagian tubuh spesimen terendam oleh larutan
formalin. Apabila spesimen terlalu ringan sehingga
mengambang, masukkan secarik kain katun di bagian
permukaan formalin sehingga seluruh bagian tubuh
spesimen yang mengambang menjadi ikut terendam atau
tertutup oleh kain yang lembab oleh larutan formalin;
 Tutup bagian atas toples dengan rapat agar bau formalin
tidak tercium keluar. Celah antara tutup dan toples dapat
ditutup oleh selotip, lakban atau cairan lilin;
 Simpan spesimen di rak koleksi sesuai dengan nomor
koleksi atau nomor botolnya.

137
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

Gambar 6.2. Cara membuat larutan pengawet yang ideal antara


formalin dengan air (Sumber: AMNH, 2007).

Pemeliharaan Spesimen
Spesimen ikan yang diawetkan dan disimpan dalam suatu
koleksi rujukan di museum, instansi penelitian maupun perguruan
tinggi, dapat menjadi pusat informasi dalam menjelaskan keragaman
hayati perairan Indonesia dari waktu ke waktu. Keberadaan
spesimen koleksi tersebut mungkin tidak dapat tergantikan lagi oleh
spesimen baru dari jenis yang sama karena bisa jadi keberadaan jenis
dari spesimen tersebut di alam telah punah karena kerusakan habitat
atau faktor-faktor lainnya. Mengingat pentingnya nilai spesimen

138
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

koleksi tersebut, maka pemeliharaan spesimen koleksi menjadi


mutlak adanya.
Spesimen yang akan disimpan dalam jangka waktu yang
lama, hendaknya disimpan di dalam larutan alkohol (ethanol 70%
atau isopropyl alkohol 50%). Untuk memindahkan spesimen dari
larutan formalin ke dalam larutan alkohol diperlukan langkah-
langkah sebagai berikut:
 Spesimen disimpan di dalam larutan formalin setidaknya
selama satu minggu (untuk spesimen kecil) hingga tiga minggu
(untuk spesimen berukuran besar atau berbadan dan berkulit
tebal);
 Setelah spesimen menjadi awet, keluarkan spesimen dari
larutan formalin dan rendam dengan air selama kurang lebih
satu hari. Cara lain adalah dengan merendam spesimen dalam
air dan setiap satu jam air diganti dengan yang baru hingga bau
formalin hilang dari tubuh spesimen;
 Cuci toples atau kontainer tempat spesimen hingga larutan
formalin benar-benar hilang, kemudian tiriskan hingga kering.
Masukkan spesimen yang sudah direndam air ke dalam toples
atau kontainer beserta labelnya. Beri label tambahan yang
berisikan tanggal penggantian larutan pengawet;
 Isi toples atau kontainer dengan larutan alkohol hingga
keseluruhan bagian tubuh spesimen terendam, tutup dan
rapatkan agar alkohol tidak mudah menguap.
 Periksa kadar alkohol setiap tiga bulan atau satu tahun sekali;

139
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

 Apabila larutan alkohol berubah warna dan menjadi keruh,


segera periksa kadar alkoholnya dan ganti dengan larutan
alkohol baru;
 Simpan spesimen di tempat yang sejuk dan kering (minimal
20oC) serta hindari paparan langsung sinar matahari. Untuk
spesimen yang berharga, sebaiknya disimpan dalam ruang
gelap atau ditutup dengan kain gelap agar kondisi spesimen
tetap terjaga.

Penataan Koleksi
Spesimen yang disimpan di dalam ruang koleksi sebaiknya
ditata dengan baik untuk memudahkan pemeliharaan. Ada beberapa
cara pengaturan penyimpanan koleksi rujukan yang dapat diterapkan
sesuai dengan keperluannya. Apabila spesimen ikan yang dimiliki
cukup banyak dan beragam, penyimpanan dapat dilakukan dengan
membuat urutan sesuai tingkatan taksanya. Sebagai contoh,
spesimen dapat disimpan di dalam rak penyimpanan dan
dikelompokkan berdasarkan sukunya. Cara lain adalah
penyimpanan yang disesuaikan dengan urutan nomor botol atau
nomor katalog spesimennya. Kedua cara ini lebih mudah dilakukan,
namun apabila kita ingin mencari spesimen jenis tertentu, harus
melihat daftar katalog atau database koleksi rujukan untuk
mengetahui nomor katalog dan di bagian mana spesimen tersebut
disimpan. Kunci utama dari penataan koleksi rujukan tersebut adalah
adanya keteraturan dan kemudahan untuk memelihara dan
mengakses spesimen koleksi yang kita miliki.

140
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

Pengiriman Spesimen
Spesimen koleksi yang bernilai penting dalam bidang
taksonomi (khususnya spesimen tipe) kadang kala dipinjam oleh
taksonom lain baik di dalam maupun luar negeri dengan tujuan
melakukan eksaminasi atau pengecekan secara morfologi dan
meristik untuk dibandingkan dengan spesimen yang mereka miliki.
Untuk itu, prosedur pengiriman spesimen juga harus diperhatikan
agar spesimen tidak menjadi rusak di dalam perjalanan.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengeluarkan
spesimen dari dalam toples atau kontainer dengan hati-hati. Apabila
spesimen masih berada di dalam larutan formalin, maka spesimen
harus direndam dahulu dengan air semalaman untuk menghilangkan
bekas-bekas formalinnya. Sedangkan untuk spesimen yang sudah
diawetkan dalam larutan alkohol dapat langsung dipersiapkan untuk
pengiriman.
Siapkan kain katun (bahan kaos) yang sudah dibasahi oleh
air dan diperas sehingga kondisinya menjadi lembab. Bungkus
spesimen dan labelnya dengan hati-hati oleh kain tersebut, kemudian
bungkus kembali dengan plastik sebanyak dua atau tiga lapis
(Gambar 6.3). Rapatkan dengan menggunakan selotip atau lakban.
Untuk keperluan pengiriman, bungkus kembali spesimen tadi
dengan plastik bubble, masukan ke dalam kotak karton atau kardus
yang seukuran dan bungkus dengan rapi. Kirimkan spesimen yang
dilengkapi dengan dokumen dan surat-surat pendukung untuk
keperluan pengiriman, sebaiknya meminta surat rekomendasi dari

141
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

lembaga otoritas keilmuan seperti LIPI dan bagian karantina hewan


apabila dikirimkan ke luar negeri.

Gambar 6.3. Teknik pengepakan spesimen koleksi yang akan


dikirimkan (Sumber AMNH, 2007).

142
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan

Daftar Pustaka
American National Museum of History (AMNH). 2007. Methods
How To Preserve Fish Specimens for Long-Term Storage
or Shipment. .
http://research.amnh.org/vz/ichthyology/congo/other05.ht
ml. Diakses tanggal 11 April 2013.
Hart, P.J. and Reynolds, J.D. 2002. Handbook of Fish Biology and
Fisheries.Vol.1, Fish Biology. Blackwell Publishing
Company, USA. 390p.
Lim, K.P. and Sivasothi, N. 1994. A guide to methods of preserving
animal specimens in liquid preservatives.Source:
http://preserve.sivasothi.com/. Diakses tanggal 11 April
2013.
Nelson, J.S. 2006.Fishes of The world.4th edition. John Wiley &
Sons Inc., New Jersey. 601 p.
Province of British Columbia. 1997. Fish Collection Methods and
Stadards. Resource Inventory
Committe.http://archive.ilmb.gov.bc.ca/risc/pubs/aquatic/f
ishcol/index.htm. Diakses tanggal 11 April 2013.

143
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

Bab VII

MANAJEMEN KOLEKSI SAMPEL


KARANG BATU DAN SPONS
Tri Aryono Hadi

Pendahuluan

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling


komplek dan mempunyai produktivitas paling tinggi di perairan. Ekosistem
ini dibentuk oleh biota-biota yang mampu menghasilkan zat kapur, yang
paling utama adalah karang batu (Scleractinia), dan biota-biota lainnya yang
berasosiasi, salah diantaranya adalah spons (Porifera), gorgonian dan karang
lunak. Kedua jenis biota tersebut mempunyai peranan dan fungsi masing-
masing dalam membentuk ekosistem terumbu karang. Pada tulisan kali ini
akan dibahas mengenai pengetahuan umum tentang karang batu dan spons
terutama dalam penanganan untuk koleksi rujukan.

A. Karang Batu (Scleractinia)


 Struktur
Karang merupakan binatang yang menyerupai anemon dan mampu
menghasilkan skeleton (Veron, 2000). Bentuknya sederhana yaitu
mempunyai satu lubang yang berfungsi sebagai mulut dan anus. Lubang
tersebut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap
makanan. Makanan masuk melalui mulut kemudian dilanjutkan ke
tenggorokan dan akhirnya akan dicerna di dalam rongga mesentrium. Untuk
tegaknya jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur sebagai penyangga
(Suharsono, 2008). Kerangka kapur untuk tiap polip disebut koralit yang

144
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

merupakan sebuah tabung yang terdiri dari lempeng-lempeng vertikal


tersusun secara radial. Tabung-tabung merupakan dinding koralit dan
lempeng-lempengnya disebut sebagai septo-costae.Tabung-tabung tersebut
terkoneksi satu sama lain oleh lempeng-lempeng horizontal dan struktur
yang lain, secara kolektif keduanya disebut coenosteum (Veron, 2000)
(Gambar 7.1).

Gambar 7.1. Struktur polip dan kerangka karang (Veron, 2000).

Dinding polip karang terdiri dari tiga lapisan yaitu ektodermis,


mesoglea dan endodermis/gastrodermis. Ektoderma merupakan jaringan
terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel yang antara lain sel mucus dan sel

145
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

penyengat (nematocyst). Mesoglea merupakan jaringan yang di tengah


berupa lapisan seperti jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril-fibril,
sedangkan di lapisan luar terdapat semacam sel otot. Jaringan
endodermis/gastrodermis berada di bagian dalam yang sebagian besar
selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang (Suharsono, 2008).
Karang juga mempunyai jaringan otot dan syaraf yang sederhana.
Jaringan syaraf tersebar baik di ektodermis maupun endodermis serta
mesoglea yang dikoordinasikan oleh sel junction. Sel ini bertanggung jawab
memberi respon baik mekanis maupun khemis terhadap stimuli cahaya.
Sedangkan Jaringan otot terdapat diantara jaringan mesoglea yang
bertanggung jawab atas gerakan polip untuk mengembang atau mengkerut
sebagai respon dari perintah syaraf. Sinyal dari jaringan ini tidak hanya di
dalam satu polip, tetapi juga diteruskan ke polip yang lain (Suharsono,
2008).

 Reproduksi
Karang bereproduksi baik secara seksual maupun aseksual.
Koloni-koloni tumbuh dengan dua tipe pembelahan aseksual dari polip,
yaitu dari satu koralit kemudian membelah menjadi dua (intratentakuler)
maupun koralit baru muncul di luar dari koralit dewasa (extratentakuler).
Bentuk lain dari reproduksi secara aseksual yaitu polip karang yang stres
meninggalkan kerangka kapur yang ditempatiya untuk pindah ke tempat
lain dengan melayang mengikuti arus kemudian menempel pada substrat
dan berkembang menjadi koloni baru (polyp bailout). Beberapa karang juga
membentuk tunas kecil yang berbentuk seperti koloni asli dan pada
akhirnya akan terpisah membentuk koloni-koloni baru (satellite), seperti

146
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

Goniopora stokessi. Untuk reproduksi secara seksual, karang mempunyai


beberapa variasi. Beberapa karang bersifat hermaprodit, sedangkan lainnya
mempunyai alat perkembangbiakan yang terpisah. Fertilisasi dapat terjadi
secara internal maupun eksternal. Hasil dari kedua fertilisasi tersebut adalah
larva (planulae) yang bersilia dan mempunyai kemampuan bertahan hidup
hingga beberapa bulan sebelum akhirnya menempel di substrat untuk
tumbuh menjadi individu baru (Colin & Arneson, 1995).

 Sistematika
Karang batu dimasukkan ke dalam phylum Cnidaria (cnida =
jelatang). Keluarga besar ini misalnya hydroid, ubur-ubur, kipas laut,
pentacula, karang lunak dan anemon. Keluarga besar jelatang dalam sejarah
evolusinya adalah biota-biota laut yang dapat menghasilkan kerangka kapur
di dalam jaringan tubuhnya. Dalam perkembangan terakhir yang dimaksud
Cnidaria adalah biota-biota penghasil kapur saja (Suharsono, 2008).
Cnidaria dibagi menjadi dua kelas yaitu Hydrozoa dan Anthozoa
yang merupakan biota-biota yang mempunyai skeleton dalam tubuhnya.
Hydrozoa terdiri dari Millepora (mille = seribu, pora= lubang) dan
Stylasterina (Style=paku, aster=bintang). Sedangkan yang termasuk dalam
kelompok Anthozoa yang umum dikenal adalah Stolonifera, Ctenothecalia
dan Scleractinia. Karang batu yang merupakan jenis-jenis karang penyusun
terumbu dimasukkan ke dalam Scleractinia (Suharsono, 2008).
Dalam sistenatika, karang batu (Scleractinia) merupakan hewan
dari anggota Phylum Cnidaria, Class Anthozoa dan Ordo Scleractinia.
Lebih lanjut, Karang batu terbagi ke dalam 15 famili, yaitu: Acroporidae,
Agracidae, Astercoeniidae,Caryophyllidae, Dendrophyllidae, Faviidae,

147
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

Fungiidae, Merulinidae, Mussidae, Oculinidae, Pectiniidae, Pocilloporidae,


Poritidae, Siderastreidae dan Trachyphyllidae.

B. Spons
 Struktur
Spons merupakan hewan multiseluler yang paling primitif. Hal ini
ditandai dari tidak dimilikinya jaringan maupun organ. Untuk seluruh
proses fisiologisnya hanya mengandalkan pada sel-sel yang mempunyai
fungsi yang berbeda-beda. Beberapa fungsi sel-sel tersebut diantaranya
adalah menyaring air untuk memperoleh makanan, membentuk skeleton
dari kolagen dan mineral dan untuk reproduksi (Cheng et. al., 2008).
Bagian terluar spons terdiri atas sebuah lapisan tipis dari sel-sel
pinacocyte, lapisan ini disebut pinacodermis. Sedangkan sel-sel porocyte
merupakan sel penyusun pori-pori kecil (ostium) yang berbentuk seperti
tabung. Lapisan dalam merupakan substansi yang mirip jelly yang terbuat
dari kolagen dan diperkuat oleh serat-serat fiber yang rapat. Lapisan
mesohyl merupakan tempat untuk pembentukan berbagai jenis sel. Sel
lophocyte di dalam mesohyl berfungsi memproduksi serat-serat kolagen. Sel
oocytes atau spermatocytes berfungsi dalam reproduksi seksual. Sel
sclerocytes memproduksi spikula yang akan membentuk kerangka spons
dan pada beberapa spesies memberikan pertahanan melawan pemangsa. Sel
archaeocyte merupakan sel yang menyerupai amoeba dan bersifat totipoten
atau mampu bertransformasi menjadi tipe-tipe sel yang lain (Brusca &
Brusca, 1990). Spons mempunyai sel-sel choanocyte, yang berfungsi
mengatur aliran air yang masuk ke dalam tubuh spons yaitu melalui flagella
yang memiliki banyak mikrovilar. Jutaan flagella ini bergerak mencambuk
air di dalam kanal dengan pola yang sama. Hal ini memicu aliran air dari

148
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

luar tubuh spons masuk ke dalam. Ketika air bergerak ke dalam, mikrovilar
bekerja menyaring dan mengambil makanan. Sistem aliran air yang
sederhana ini juga berfungsi dalam pertukaran gas, pembuangan sisa
metabolisme serta pelepasan sel sperma dan larva (Cheng et al., 2008)
(Gambar 7.2).

Gambar 7.2. Struktur spons secara umum (Mather & Benneth, 1994).

 Sistem aliran air


Spons secara aktif memompa air masuk dan keluar dari tubuhnya
melalui perbedaan tekanan air antara di luar dan di dalam tubuh spons.

149
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

Tekanan air lingkungan lebih besar daripada tekanan air di dalam tubuh
spons. Hal ini memungkinkan air untuk masuk ke dalam tubuh spons. Air
masuk melauli ostium dan akan dipompa ke luar tubuh spons melalui
oskulum. Hal ini akan berlangsung terus menerus, namun adakalanya spons
menghentikan aliran air yang masuk pada beberapa bagian tubuhnya. Hal
ini untuk menghindari partikel-partikel maupun senyawa berbahaya masuk
ke dalam tubuh spons (Levi et al., 1998). Spons mampu menyaring air 10
kali volume tubuhnya untuk tiap jam. Hal ini menjadikan mereka filter
feeder paling efisien saat ini (Hooper, 2000).
Ada tiga macam bentuk struktur tubuh spons yaitu asconoid,
syconoid dan leuconoid. Struktur asconoid adalah bentuk yang paling
sederhana. Strukturnya sangat tipis tanpa lipatan tubuh dan dimiliki oleh
Kelas Calcare dan sebagian kecil Demospongia. Struktur syconoid
mempunyai lipatan pada kedua sisi eksterior dan interior sehingga terbentuk
choanocyte chamber yang letaknya berdekatan dengan pinacoderm.
Choanocyte chamber secara langsung menghadap ke arah sentral atrium.
Syconoid banyak dimiliki oleh Kelas Calcarea. Leuconoid merupakan
struktur yang kompleks. Struktur ini mempunyai banyak celah-celah kecil
yang menuju maupun keluar dari choanocyte chamber yang berbentuk oval.
Struktur leuconoid banyak dimiliki oleh sebagian besar Kelas Demospongia
dan seluruh Hexatinellida (Mather & Bennet, 1994).

 Reproduksi
Semua spons mampu melakukan perkembangbiakan baik secara
seksual maupun aseksual. Spons umumnya bersifat hermaprodit dan mereka
melepaskan sel sperma dan telur dalam waktu yang berbeda. Sel sperma
akan dikeluarkan ke perairan melalui oskulum, dan peristiwa ini

150
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

tersinkronisasi dalam satu populasi atau terbatas pada individu-individu


tertentu saja. Kemudian sel sperma akan ditangkap dari spesies yang sama
melalui ostium sebelum akhirnya masuk ke mesohyl untuk melebur
bersama sel telur. Embrio yang dihasilkan akan segera dilepaskan atau
ditahan di lapisan mesohyl untuk berkembang terlebih dahulu. Embrio yang
telah dilepaskan pada dasarnya adalah larva yang motile. Larva tersebut
dapat menempel secara langsung pada substrat atau akan berenang untuk
beberapa jam atau hari sebelum akhirnya menempel pada substrat yang
sesuai. Secara umum, spons yang berada di daerah pasang surut melepaskan
larva planktonic, sementara pada spons yang berada di daerah subtidal akan
melepaskan larva yang mampu menempel langsung atau mampu berpindah-
pindah di dasar perairan untuk beberapa hari sebelum akhirnya menetap.
Reproduksi secara aseksual menitik beratkan pada kemampuan dari
fragment untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu baru. Selain hal
itu, reproduksi aseksual juga dapat melibatkan pembentukan tunas ataupun
gemmule. (Brusca & Brusca, 1990).

 Sistematika
Spons dimasukkan ke dalam phylum Porifera karena struktur
tubuhnya yang berpori. Saat ini spons dibagi menjadi empat kelas
berdasarkan komposisi kimia dan kerangka mineralnya. Kelas Calcarea
mempunyai spikula yang terbuat dari kalsium karbonat dan tersusun sebagai
calcite. Elemen kerangkanya tidak dibedakan menjadi megaskleres taupun
mikroskleres. Struktur tubuhnya meliputi asconoid, synconoid dan
leuconoid. Semua Calcarea hidup di laut. Kelas Hexatinellida atau disebut
spons gelas mempunyai spikula silikat dan pada umumnya mempunyai
enam percabangan, tidak mempunyai serat-serat spongin dalam

151
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

kerangkanya. Semua Hexactinellida hidup di laut, dan kebanyakan


mendiami laut dalam. Kelas Demospongia merupakan kelas yang paling
banyak dijumpai di perairan laut, payau maupun perairan tawar, dan
ditemukan di semua kedalaman perairan. Pada Kelas Demospongiae,
spikula tersusun dari komponen silikat dan mempunyai jaringan kolagen
(spongin) yang menyusun kerangkanya. Bentuk spikulanya dibendakan
menjadi megaskleres dan mikroskleres Kelas Homoscleromorpha
mempunyai komponen skeleton yang tersusun atas spikula silikat dan
spikulanya hanya terbatas pada bentuk monaxonic dan tertraxonic. Kelas ini
hanya terdiri 2 famili ( Brusca & Brusca, 1990; van Soest et. al., 2013).

Tabel 7.1. Hirarki phylum Porifera (Spons)


Kingdom Phylum Class Order
Animalia Porifera Calcarea Baerida
Lecosolenida
Lithonida
Clathrinida
Murrayonida
Hexactinellida Amphidiscosida
Aulocalycoida
Hexactinosida
Lychniscosida
Lyssacinosida
Demospongiae Agelasida
Astrophorida
Chondrosida

152
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

Demospongiae incertae sedis


Dendroceratida
Dictyoceratida
Hadromerida
Halichondrida
Haplosclerida
Lithistida
Poecilosclerida
Spirophorida
Verongida
Homoscleromorpha Homoscleromorphorida

I. TEKNIK SAMPLING
A. Karang Batu
Karang paling banyak ditemukan di rataan terumbu dan daerah
tubir. Pada rataan terumbu, umumnya karang dapat dijumpai pada
kedalaman 50 cm dari surut terendah, sehingga teknik samplingnya relatif
lebih mudah karena tidak perlu menyelam. Sedangkan di daerah tubir, perlu
dilakukan penyelaman dengan peralatan SCUBA untuk mengambil sampel
karang. Beberapa peralatan perlu dipersiapkan sebelum melakukan
sampling. Pahat besi dan palu digunakan untuk membelah atau memotong
karang. Keranjang sampel untuk mengangkut sampel karang. Kertas label
dan pengaitnya untuk memberikan informasi terkait dengan sampel karang
yang diambil, seperti lokasi, tanggal, kolektor, kedalaman dan nama spesies
apabila langsung bisa dikenali. Kamera underwater juga sangat diperlukan
untuk memotret karang yang akan dijadikan sampel, sehingga dapat

153
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

diketahui kondisi sebenarnya di habitat aslinya. Sebelum sampel diambil,


pastikan untuk memotret seluruh bagian dari sampel. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui kondisi sampel di habitat asli, seperti bentuk morfologi,
warna, tentakel, substrat dan kondisi lingkungan sekitarnya.
Pada saat pelaksanaan sampling, hal yang perlu diperhatikan
adalah ukuran sampel. Apabila sampel terlalu besar, maka dipilih dari jenis
yang sama dengan ukuran yang lebih kecil. Apabila terdapat karakter
khusus, misalnya adanya adaptasi morfologi atau adanya penyakit, maka
sampel dapat diambil secara keseluruhan. Namun apabila tidak terdapat
karakter khusus dan ukurannya terlalu besar, maka perlu dilakukan
pemotongan dengan menggunakan pahat untuk mengambil sebagian dari
koloni sampel. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian dari biota yang
diambil.
Pemberian label underwater juga sebaiknya dilakukan pada saat
pengambilan. Label dapat dibuat sendiri dengan menuliskan beberapa
informasi seperti tanggal, lokasi, kolektor, kedalaman dan kode foto. Untuk
lebih mempermudah, tanggal, lokasi dan kolektor diisi terlebih dahulu
sebelum menyelam, sehingga pada saat mengambil sampel, tinggal
menuliskan kedalaman dan kode foto. Pemberian nama ilmiah dapat
dilakukan pada saat pengambilan sampel di bawah air jika langsung dapat
dikenali, jika tidak maka diidentifikasi setelah di laboratorium.
Sampel setelah diambil dari laut, segera mungkin direndam dalam
air tawar. Bila memungkinkian dapat ditambah Natrium Hipoklorit untuk
mempercepat proses pembusukan dari jaringan karang. Rendam selama
kurang lebih satu hari agar karang mudah dibersihkan dengan hanya
menyemprotkan air saja. Setelah bersih, karang kemudian dijemur selama
kurang lebih satu hari sampai kering.

154
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

B. Spons
Spons umumnya ditemukan mulai dari daerah intertidal hingga
perairan dalam. Pengambilan sampel spons di daerah sub tidal ataupun tubir
maka perlu menggunakan peralatan SCUBA. Meskipun habitatnya berbeda-
beda, namun dalam pengambilan sampel spons hampir semuanya
menggunakan metode yang sama. Metode yang dipakai hampir sama
dengan karang khususnya ukuran sampel. Apabila ukuran terlalu besar,
maka sebaiknya dipilih ukuran yang lebih kecil dari spesies yang sama.
Apabila ada karakter-karakter khusus (adaptasi morfologi), maka dapat
diambil keseluruhan. Namun apabila tidak ada karakter khusus dan
ukurannya terlalu besar, maka harus dilakukan pemotongan namun
mencakup semua bagian sampel, dari bawah hingga atas.
Sebelum sampel diambil, perlu dilakukan pemotretan. Hal ini
untuk merekam kondisi sampel di habitat aslinya, sehingga dapat diketahui
warna, bentuk morfologi dan substratnya. Sampel spons sangat cepat
berubah warna, oleh sebab itu sangat diperlukan suatu foto underwater
untuk memudahkan dalam proses identifikasi.
Pada saat di dalam air, tepatnya saat mengambil sampel, spons
yang diambil sebaiknya langsung dimasukkan ke dalam kantong plastik
diikuti dengan label underwater yang dapat dibuat sendiri sebelumnya.
Tempatkan satu sampel spons dalam satu kantong plastik yaitu untuk
menghindari terjadinya percampuran spikula spons yang berbeda jenis.
Pada saat di darat yaitu setelah mengambil sampel, sebaiknya
perlu dilakukan proses preservasi awal yaitu dengan memberi alkohol 96 %
ke masing-masing sampel. Namun sebelumnya, air laut yang masuk ke
dalam kantong plastik perlu dibuang terlebih dahulu sehingga tidak
mengencerkan alkohol yang diberi. Selanjutnya, sampel-sampel tersebut

155
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

dapat dimasukkan ke dalam container kedap udara untuk dikirim ke


laboratorium.

II. PRESERVASI

Preservasi karang tidaklah begitu sukar dilakukan. Karang yang


sudah kering harus dibungkus rapih dengan plastik agar tidak mudah kotor
dan berdebu. Kemudian diletakkan dalam box plastik transparan yang
ukurannya disesuaikan dengan ukuran karang. Label lama yang dibuat di
lapangan harus diganti label baru yang berlogo institusi (Gambar 7.3a).
Preservasi spons juga mudah dilakukan. Sampel spons dapat
langsung dimasukkan ke dalam botol sampel kedap udara yang terbuat dari
gelas atau plastik yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran sampel.
Selanjutnya botol diisi dengan alkohol 96% hingga merendam seluruh
bagian spons. Penggunaan botol kedap udara dimaksudkan untuk
mengurangi proses penguapan yang terjadi. Label berlogo institusi
dimasukkan untuk memberikan informasi sampel (Gambar 7.3b).

a b
Gambar 7.3. a. Preservasi karang; b. Preservasi spons. Foto: T. A. Hadi.

156
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

III. REGISTRASI DAN PENATAAN SAMPEL

Agar sampel yang sudah dikoleksi tertata dengan baik, maka perlu
suatu manajemen sistem yang mampu mengelola hal tersebut. Setelah
preservasi, sampel baik karang maupun spons diregistrasi ke dalam suatu
log book yang mencakup nomor katalog sampel, nama ilmiah, famili,
tanggal ditemukan, lokasi, kolektor, kedalaman, orang yang
mengidentifikasi dan tanggal identifikasi, serta catatan khusus. Untuk
pemberian nomor katalog mengikuti kode dari taksa-taksa yang ada dan
nomor urut registrasi. Sebagai contoh nomor katalog CC001, menandakan
bahwa CC adalah “Coral Collections” dan 001 artinya nomor urut “1”. Hal
ini dimaksudkan agar sampel mudah langsung diketahui dengan memanggil
nomor katalognya saja.

Sampel yang sudah diregistrasi, selanjutnya ditempatkan pada rak


yang disusun secara rapih berdasarkan nomor urut katalog atau famili. Hal
ini untuk memudahkan dalam mencari spesimen, sehingga tidak perlu
memeriksa secara keselurahan dari koleksi spesimen yang ada (Gambar
7.4). Selain itu, untuk memudahkan dalam mengetahui sejauh mana koleksi
sampel yang dimiliki apakah sudah bisa mewakili keseluruhan spesies
karang ataupun spons yang ada di Indonesia.

157
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

a b
Gambar 7.4. Penempatan sampel dalam rak: a. Sampel karang; b. Sampel
spons. Foto: T.A.Hadi.

Daftar Pustaka

Brusca, R. C dan G. J. Brusca 1990. Invertebrates. Courier Vestford Inc,


Massachusetts: 922 hal.

Cheng, L. S. , N. De Voogd dan T. K. Siang 2008. A Guide to Sponge of


Singapore. Science Center, Singapore: 173 hal.

Colin, P. L. dan C. Arneson 1995. Tropical Pacific Invertebrates. Coral


Reefs Press, California: 296 hal.

Hooper, J. N. A. 2000. “Spongeuide”.Guide to Sponge Collection and


Identification.
(http://www.qm.qld.gov.au/organisation/sections/SessileMarineI
nvertebrates/spong.pdf. Accessed on 18 Juli 2009).

Levi, C., P. Laboutte, G. Bargibant and J.L. Menou 1998. Sponge of The
New Caledonian Lagoon. Ostrum editions, Paris: 214 hal.

Mather, P. and I. Bennet 1994. A Coral Reef Handbook. Surrey Beatty and
Sons Pty Limited, Australia: 263 hal.

Suharsono. 2008. Jenis-jenis karang di Indonesia. COREMAP, Jakarta.

158
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons

Van Soest, R.W.M, N. Boury-Esnault, J. N. A. Hooper, K. Rützler, N. J. de


Voogd, B. A. de Glasby, E. Hajdu, A. B. Pisera, R. Manconi, C.
Schoenberg, D. Janussen, K. R. Tabachnick, M. Klautau, B.
Picton, M. Kelly, J. Vacelet, M. Dohrmann and M. C. Díaz.
2013. World Porifera Database.
(http://www.marinespecies.org/porifera Accessed on 03-
January-2013).

Veron J.E.N. 2000. Corals of the world 1st edition. Australian Institute of
Marine Science, Townsville, Australia. 463 hal.

159
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

Bab VIII
Panduan Koleksi Herbarium Lamun
Susi Rahmawati

Pendahuluan
Lamun adalah tumbuhan angiospermae (berbunga) yang mampu
tumbuh dan berkembang di lingkungan laut. Adapatasi lamun terhadap
lingkungan bersalinitas menurut Green dan Short (2003) dan Hemminga
dan Duarte (2000) dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
a. Mampu tumbuh di bawah permukaan air laut.
b. Berdaptasi dan bertahan pada perairan bersalinitas tinggi atau
bervariasi.
c. Sistem perakaran dan rimpang yang luas, semua jenis mejadi
clonal (klon) dan tumbuhan berimpang, untuk bertahan terhadap
pergerakan air (gelombang dan arus), yaitu.
d. Mekanisme polinasi di bawah permukaan air laut.
e. Kemampuan untuk berkompetisi dengan jenis lainnya di dalam
lingkungan laut.
Lamun tersebar di seluruh dunia, kecuali di Antartika dengan
perkiraan luas 164.000 Km2. Di Indonesia, lamun diperkirakan tersebar
seluas 30.000 Km2 yang membentuk vegetasi tunggal atau campuran.
Namun dekimian, luasan total lamun diduga melebihi nilai yang sudah
tercatat (Green and Short, 2003).
Keanekaragaman jenis lamun di Indonesia relatif tinggi dan
distribusinya melingkupi hampir seluruh wilayah pesisir (Gambar 8.1). Dari
60 jenis lamun tercatat di dunia, Indonesia memiliki 13 jenis yang meliputi
2 suku, 5 marga, dan 13 jenis (Tabel 8.1, Gambar 8.2).

160
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

Gambar 8.1. Keanekaragaman dan distribusi lamun secara global. Warna


hijau menunjukkan jumlah jenis per area, titik biru dan
poligon menunjukkan dokumentasi kehadiran lamun (UNEP-
WCMC, 2005 dalam Short et al., 2007).

Tabel 8.1. Suku, marga, dan jenis lamun di Indonesia.


Suku Marga Jenis
Cymodoceaceae Halodule Halodule pinifolia (Miki) Hartog
Halodule uninervis (Forssk.) Boiss.
Cymodocea Cymodocea serrulata (R.Br.) Asch. &
Magnus
Cymodocea rotundata Asch. & Schweinf.
Syringodium isoetifolium (Asch.) Dandy
Thalassodendron ciliatum (Forssk.) Hartog
Hydrocharitaceae Enhalus Enhalus acoroides (L.f.) Royle
Thalassia Thalassia hemprichii (Ehrenb. ex Solms)
Asch.
Halophila Halophila ovalis (R.Br.) Hook.f.
Halophila minor (Zoll.) Hartog
Halophila decipiens Ostenf.
Halophila spinulosa R.Br.) Asch.
Halophila sulawesii J. Kuo

161
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

(a) Halodule pinifolia (b) Halophila sp.

(c) Enhalus acoroides (d) Thalassodendrom ciliatum

Gambar 8.2. Beberapa jenis lamun di Indonesia. Foto: S. Rahmawati

Distribusi lamun yang luas di Indonesia memungkinkan terdapatnya


perbedaan karakteristik lamun yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti sedimen, nutrisi, dan arus. Lamun biasanya ditemukan di perairan
yang relatif tertutup, namun di beberapa wilayah terbuka dan berenergi
gelombang tinggi tercatat juga adanya padang lamun seperti di pesisir
Gunungkidul, Yogyakarta dan Pameumpeuk, Garut, Jawa Barat.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, keberadaan koleksi herbarium
sangat penting menurut Huisman dan Parker (2005) karena beberapa faktor,
yaitu:

162
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

1. Bersifat permanen, merupakan referensi keanekaragaman hayati,


distribusi biogeografi, serta variasi struktur dan ekologi yang dapat
diverifikasi.
2. Spesimen herbarium merupakan indikasi dari indentitas tumbuhan
yang berdasarkan penelitian, sehingga dapat digunakan sebagai
rujukan jenis tumbuhan pada suatu lokasi.
3. Spesimen herbarium juga berperan sebagai acuan dalam identifikasi
karena klasifikasi tumbuhan yang dinamis dan perubahan konsep yang
sering terjadi akibat tersedianya bukti-bukti baru.
Koleksi herbarium di Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI dimulai
sejak tahun 1984. Saat ini, terdapat total 926 spesimen, 12 jenis lamun yang
berasal dari hampir seluruh periaran Indonesia.

Metode koleksi herbarium


Metode koleksi herbarium berikut ini umumnya mengacu pada buku
How to collect and document marine plants (Huisman dan Parker, 2005).
Koleksi spesimen lamun, sebaiknya bersifat kering dan disimpan bersama
dengan informasi koleksi. Preparasi spesimen yang adalah tepat terlindung
dari kerusakan serangga dan kerusakan fisik sehingga spesimen herbarium
dapat bertahan hingga ratusan tahun.

A. Koleksi sampel di lapangan


1. Kriteria pencuplikan spesimen
Spesimen lamun dapat dikoleksi dari zona intertidal dan subtidal.
Koleksi spesimen di zona intertidal relatif lebih mudah dilakukan yaitu
pada saat surut, sedangkan di zona subtidal pengambilan sampel dapat
dilakukan dengan snorkelling atau menggunakan peralatan menyelam

163
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

SCUBA (Self-Contained Underwater Breathing Apparatus). Selain itu,


spesimen juga dapat dikoleksi dari serasah segar yang melayang di pantai.
Spesimen koleksi herbarium sebaiknya merepresentasikan
keseluruhan populasi. Spesimen terdiri dari keseluruhan bagian tumbuhan,
yaitu: daun, rimpang, akar, dan organ reproduksi (jantan dan betina), serta
buah apabila tersedia). Pilih spesimen yang baik, misalnya tidak terdapat
tanda aktivitas herbivori seperti gigitan ikan pada daun.

2. Teknik Koleksi
Jumlah spesimen setiap jenis dicuplik sesuai ukurannya, jenis lamun
yang berukuran kecil dicuplik sejumlah 2-3 tegakan, sedangkan yang
berukuran besar cukup satu tegakan lamun. Spesimen diambil dengan
menggunakan pisau selam atau sekop. Kemudian, spesimen disimpan di
dalam kantong plastik berisi air laut dan diberi label (tanggal, lokasi, jenis,
dan kolektor). Jangan biarkan lamun kekeringan atau kepanasan karena
dapat menghilangkan warna lamun.
Proses herbarium sampel lamun sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin (kurang dari 2 jam). Apabila spesimen tidak dikeringkan dengan
segera, spesimen dapat dimasukan ke dalam lemari pendingin untuk
mencegah dekomposisi (tidak lebih dari 2 hari) atau ditambahkan
formalin/air laut 5%. Spesimen sebaiknya disimpan di tempat gelap untuk
mencegah pemudaran warna.
Sampel lamun dicuci dengan air tawar bersih, kemudian lamun
dibersihkan dari kotoran, epifit, dan partikel sedimen dengan hati-hati.
Identifikasi lamun dapat dilakukan berdasarkan bentuk hidup vegetatifnya
(daun dan rimpang) sehingga memungkinkan identifikasi lamun secara
langsung di lapangan.

164
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

Spesimen untuk koleksi analisis DNA dipreservasi dengan cara yang


berbeda, yaitu dengan memotong bagian tumbuhan lamun (± 2 cm),
selanjutnya dikeringkan dan ditambah silika gel. Spesimen dapat juga
dipreservasi dalam alkohol lebih dari 90% di lemari pembeku, atau di
simpan dalam lemari pendingin.

3. Pemberian label
Spesimen yang dikoleksi diberi label dengan mencantumkan nama
(singkatan/initial) dan nomor koleksi, contoh “Budi23” (Budi = nama dan
23 = nomor koleksi). Koleksi jenis lamun yang sama pada waktu dan lokasi
yang sama dapat dianggap sebagai satu koleksi dan diberikan nomor yang
sama. Spesimen dikoleksi kembali dengan jenis yang sama pada waktu
yang berbeda diberi nomor yang baru. Spesimen jenis yang sama dikoleksi
pada lokasi yang berbeda diberi nomor yang berbeda.

Tabel 8.2. Contoh pemberian nomor koleksi


No label Lokasi Waktu Jenis
1 Pulau Pari 01 Agustus 2013 Thalassia hemprichii
Pulau Pari 01 Agustus 2013 Thalassia hemprichii
2 Pulau Pari 10 Agustus 2013 Thalassia hemprichii
3 Pulau Pramuka 12 Agustus 2013 Thalassia hemprichii

4. Pencatatan rona lingkungan


Sebuah spesimen memiliki nilai ilmiah dengan catatan yang lengkap
pada saat koleksi sehingga pencatatan rona lingkungan perlu dilakukan,
seperti habitat, kedalaman, komunitas asosiasi kemudian di catat di buku
lapangan dan lembar data.

165
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

5. Lembar data lapangan


Pencatatan informasi sebaiknya menggunakan lembar data karena
memiliki beberapa keunggulan seperti penyerapan informasi yang lebih
banyak dan konsistensi pengumpulan data. Selain informasi utama seperti
nama jenis, tanggal koleksi, dan nama kolektor, variasi morfologis,
misalnya warna, tinggi, atau tahap reproduksi yang berbeda perlu dicatat
sebagai informasi tambahan. Deskripsi dari habitat, kedalaman, dan
komunitas asosiasi pada lokasi spesimen ditemukan, serta koordinat sangat
diperlukan untuk kelengkapan informasi herbarium. Contoh lembar data
adalah seperti gambar 8.3.

B. Pengeringan dan persiapan herbarium


Herbarium merupakan metode yang paling baik untuk membuat
koleksi tumbuhan laut karena bersifat permanen, efektif dan informatif
dalam menampilkan data (Gambar 8.4). Hapus, diganti Presevasi yang
benar dan tepat dalam pembuatan herbarium akan menghasilkan koleksi
herbarium yang dapat bertahan hingga ratusan tahun. Namun, herbarium
memiliki kerugian yaitu sangat sulit mengamati struktur anatomi tumbuhan
karena jenis pengawetan yang kering.

166
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

Gambar 8.3. Contoh lembar data di lapangan


(Huisman dan Parker, 2005)

167
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

(a) Sumber: Koleksi herbarium lamun, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI

(b) Sumber : Seagrasswatch.org (c) Sumber : Atlas of Florida vascular


plants: Institute for systematic
botany
Gambar 8.4. Contoh koleksi herbarium lamun. Foto: S. Rahmawati

Pembuat koleksi herbarium yang paling baik adalah pada saat


sampel yang masih segar dibandingkan sampel yang sudah diawetkan.
Tumbuhan laut biasanya dikeringkan pada saat basah dengan cara
pengepresan di atas kertas yang kaku, misalnya karton (berukuran 42x26
cm2) atau kertas gambar A3.

168
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

Spesimen lamun diletakan di atas kertas. Lebarkan daun lamun


dan akar sehingga setiap bagiannya dapat dibedakan. Beri label pada sisi
kanan bagian bawah dengan informasi sbb.:
1. Nama jenis lamun (ilmiah dan umum/lokal)
2. Nomor katalog
3. Lokasi koleksi dan koordinat
4. Nama kolektor dan pengidentifikasi
5. Tanggal koleksi
6. Habitat

Selanjutnya, selembar kain kasa atau selembar kertas putih lainnya


diletakan di atas spesimen lamun. Selanjutnya, sampel dilapisi dengan
beberapa lembar kertas koran, dan kertas kardus pada kedua sisi (atas dan
bawah). Selanjutnya, susun sampel menjadi suatu bundel dan ditempatkan
diantara dua buku yang berat atau alat pengepres (Gambar 8.6). Spesimen
dikeringkan di tempat yang kering, gelap, dan hangat minimum selama dua
minggu. Kertas koran diganti setelah 2-3 hari.

(a) (b)

Gambar 8.5. Bahan dan susunan herbarium lamun (a) dan pengepresan
spesimen (b) (Huisman dan Parker, 2005).

169
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

C. Penyimpanan
Koleksi herbarium disimpan di lemari yang kering, gelap, dan bebas
dari hama, misalnya serangga dan tikus.

Gambar 8.6. Lemari Penyimpanan Herbarium, Ruang Referensi Koleksi,


P2O LIPI . Foto: Hadiyanto

United States National Herbarium, Smithsonian


Gambar 8.7. Contoh ruang penyimpanan koleksi herbarium tumbuhan laut
(Krupnick, 2013)

170
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun

D. Pencatatan data base


Koleksi herbarium dicatat dalam buku katalog dengan
mencantumkan nomor referensi sesuai dengan urutan pengambilan sampel.
Buku katalog mengadung informasi sbb.:
1. Nomor katalog 8. Tanggal sampling
2. Nomor spesimen 9. Pengidentifikasi
3. Nama kelas 10. Tanggal identifikasi
4. Nama suku 11. Tanggal penerimaan spesimen
5. Nama jenis 12. Keterangan habitat
6. Lokasi 13. Catatan tambahan
7. Pengkoleksi

Daftar Pustaka

Green, E. P. & F. T. Short, 2003, World Atlas of Seagrasses, University of


California Press. 310 pp.

Hemminga, M. A. and C. M. Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Cambrige


Universiti Press. Cambrige, UK. 298 pp.

Huisman, J. dan C. Parker. 2005. How to collect and document marine


plants. Western Australian Herbarium. Australia. 18 pp.

Krupnick, G. 2013. 10 botanical treasures exemplify herbarium dalam


Smithsonian: Nationaal Museum of Natural History. The Plant
Press. http://nmnh.typepad.com/

Short, F., T. Carruthers, W. Dennison, M. Waycott. 2007. Global seagrass


distribution and diversity: A bioregional model. Journal of
Experimental Marine Ecology, 350: 3-20.

171
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

Bab IX

Cara Koleksi dan Pengawetan


Rumput Laut/ Makroalgae / Seaweed

Tri Handayani

PENDAHULUAN

Makroalgae atau yang lebih umum disebut sebagai rumput laut ini
termasuk ke dalam golongan Thalophyta, yaitu organisme yang tidak dapat
dibedakan antara akar, batang dan daun. Seluruh bagian tubuhnya disebut
sebagai thalus. Makroalgae dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu
Chlorophyceae (makroalgae hijau), Phaeophyceae (makroalgae coklat) dan
Rhodophyceae (makroalgae merah).
Pengelompokkan makroalgae menjadi tiga kelas ini berdasarkan
kandungan pigmen dominan yang terkandung di dalam thalus. Phycoeritrin
dan phycosianin dominan pada makroalgae merah, fucoxantin dominan
pada makroalgae coklat dan klorofil b dominan pada makroalgae hijau.
Berbeda halnya dengan makroalgae coklat yang umumnya di lapangan
berwarna coklat dan makroalgae hijau berwarna hijau. Di alam, makroalgae
merah tidak selalu memperlihatkan warna merah, melainkan menampakkan
berbagai warna lain, seperti hijau, coklat, kuning atau kadang-kadang
berwarna kombinasi dari warna-warna tersebut. Untuk mengetahui bahwa,
makroalgae tersebut merupakan makroalgae merah indikasinya adalah
apabila makroalgae tersebut mengalami kekeringan maka warnanya akan
berubah menjadi warna merah atau keungu-unguan (Atmadja & Wijaya,
1996).

172
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

Selain pengelompokkan makroalgae berdasarkan warna, ada juga


pengelompokkan berdasarkan kandungan kimianya yaitu agarofit, alginofit
dan karaginofit. Agarofit adalah sebutan untuk makroalgae penghasil agar-
agar, seperti Gracilaria, Gelidiella. Alginofit adalah sebutan untuk
makroalgae penghasil alginat, seperti Sargassunm, Turbinaria. Sedangkan
karaginofit adalah sebutan untuk makroalgae penghasil karaginan, seperti
Eucheuma, Kappaphycus (Atmadja & Wijaya, 1996). Pengelompokkan lain
adalah berdasarkan tempat menempelnya yang disebut juga sebagai bentuk
hidup (life form). Dalam Zakaria et al. (2006), makroalgae dikelompokkan
dalam lima kategori bentuk hidup (life form) yaitu (1) makroalgae
rhizophitik/apipelik, tumbuh menancap pada substrat lumpur dan pasir, (2)
makroalgae lithophitik/epilitik, hidup pada substrat batu, karang hidup dan
karang mati, (3) makroalgae epipithik, tumbuh menempel pada daun, batang
dan rhizoma lamun serta hidup pada makroalgae lainnya, (4) makroalgae
epizoik, menempel pada cangkang moluska, tabung polikaeta dan (5)
makroalgae drift (loose-lying), tumbuh melayang bebas.

CARA PENGAMBILAN SAMPEL MAKROALGAE


Rumput laut atau makroalgae bentik dapat kita temukan di hampir
seluruh perairan pantai Indonesia. Makroalgae di alam bebas hidup
menempel pada substrat baik berupa pasir, lumpur, batu masif, karang
maupun menempel pada lamun atau makroalgae yang lebih besar. Sehingga
cara pengambilan sampel makroalgae di alam bebas berbeda dengan
pengambilan panen rumput laut.
Pengambilan contoh untuk kebutuhan taksonomi (identifikasi)
memerlukan aturan-aturan khusus agar berhasil baik dalam pengawetannya
sebagai material acuan. Persiapan untuk keperluan koleksi makroalgae

173
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

antara lain: pisau atau alat pemotong, alat tulis (pencil), kertas tahan air dan
alas tulis), kertas tahan air, marker dan snorkel, karung waring yang dapat
diikat pada bagian atasnya untuk menyimpan koleksi yang sudah terkumpul
sehingga mudah membawanya, dan sepatu lapangan (Atmadja & Wijaya,
1996).
Koleksi dapat dilakukan diberbagai tempat di perairan terumbu
(Gambar 9.1). Biasanya dilakukan di daerah rataan terumbu (reef flat),
daerah parit (moat), pinggir luar rataan (outer reef edge), di pinggir goba
(lagoon) dan di padang lamun (seagrass bed). Pertumbuhan makroalgae
umumnya lebih banyak terdapat di daerah bersubstrat dasar batu misalnya
di daerah parit (moat) yang umumnya masih terendam walaupun pada saat
surut terendah. Pengambilan sampel makroalgae dapat dilakukan dengan
cara berjalan kaki di daerah paparan terumbu pada saat air surut terendah.
Pada perairan yang agak dalam (2-3 meter), pengambilan sampel
makroalgae dapat dilakukan dengan snorkeling, sedangkan di perairan yang
dalam dilakukan dengan “scuba diving” (Atmadja & Wijaya, 1996).

Gambar 9.1. Diagramatik penampakan umum topografi terumbu (APT =


air pasang tinggi, ASR = air surut rendah) (Atmadja &
Wijaya, 1996).

174
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

METODE SURVEI RUMPUT LAUT


Transek merupakan metode atau alat ekologi yang dipergunakan
untuk kuantifikasi kepadatan relatif dari suatu organisme dalam suatu area.
Transek adalah jalur sempit melintang lahan yang akan dipelajari/ diselidiki
yang bertujuan untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan
perubahan lingkungannya atau untuk mengetahui jenis vegetasi yang ada di
suatu lahan secara cepat. Menurut Oosting (1956), menyatakan bahwa
transek merupakan garis sampling yang ditarik menyilang pada sebuah
bentukan atau beberapa bentukan. Transek dapat juga digunakan untuk studi
altitude dan mengetahui perubahan komunitas yang ada. Ukuran dari
transek tergantung pada beberapa kondisi. Transek pada komunitas yang
kecil penarikan garis menyilang hanya beberapa meter panjangnya.
Menurut English et. al (1994) terdapat beberapa metode transek
yang dapat digunakan dalam menggambarkan kondisi makroalgae di suatu
perairan, yaitu:
1. Metode Transek Garis
Transek garis digunakan untuk menggambarkan struktur
komunitas makroalgae dengan melihat tutupan makroalgae, bentuk
substrat (pasir, lumpur), dan keberadaan biota lain. Spesifikasi
makroalgae yang dicatat adalah berupa bentuk tumbuh rumput laut
(life form) dan dibolehkan bagi peneliti yang telah memiliki
keahlian untuk mencatat rumput laut hingga tingkat genus atau
spesies.
Peralatan yang dibutuhkan dalam survei ini adalah rol
meter, peralatan scuba, alat tulis bawah air, tas nilon, pisau untuk
mengambil sampel rumput laut yang belum bisa diidentifikasi, dan

175
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

kapal. Garis transek dimulai dari kedalaman dimana masih


ditemukan makroalgae (± 15 m) sampai di daerah pantai mengikuti
pola kedalaman garis kontur. Panjang transek yang digunakan
disesuaikan lebar pantai yang penempatannya sejajar dengan garis
pantai.
Pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian
mendekati centimeter. Dalam penelitian ini satu klon dianggap
satu individu. Jika satu klon dari jenis yang sama dipisahkan oleh
satu atau beberapa bagian yang mati maka tiap bagian yang hidup
dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua klon atau lebih
tumbuh di atas klon yang lain, maka masing-masing klon tetap
dihitung sebagai klon yang terpisah. Panjang tumpang tindih klon
dicatat yang nantinya akan digunakan untuk menganalisa
kelimpahan jenis. Metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan,
seperti tercantum dalam Tabel 9.1.

2. Metode Transek Kwadrat


Metode transek kuadrat digunakan untuk memantau
komunitas makrobentik di suatu perairan. Pada survei makroalgae,
pengamatan biasanya meliputi kondisi biologi, pertumbuhan, dan
substrat dasar. Survei biasanya dimonitoring secara rutin.
Pengamatan didukung dengan pengambilan underwater photo
sesuai dengan ukuran kuadrat yang ditetapkan sebelumnya.
Peralatan yang dibutuhkan adalah kapal kecil, peralatan
scuba, tanda kuadrat 1 m x 1 m dan sudah dibagi setiap 25 cm,
kaliper, GPS dan underwater camera. Data yang diperoleh dengan

176
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

metoda ini adalah persentase tutupan relatif, jumlah klon, frekuensi


relatif dan keanekaragaman jenis.

Tabel 9.1. Kelebihan dan kekurangan penggunaan metode transek garis.


Kelebihan Kekurangan
 Akurasi data dapat diperoleh  Membutuhkan tenaga peneliti
dengan baik yang banyak
 Data yang diperoleh juga jauh  Survei membutuhkan waktu
lebih baik dan lebih banyak yang lama
 Penyahian struktur komunitas  Dituntut keahlian peneliti
seperti persentase tutupan dalam identifikasi rumput
rumput laut, kekayaan jenis, laut, minimal life form dan
dominasi, frekuensi kehadiran, sebaliknya genus atau spesies
ukuran klon dan  Peneliti dituntut sebagai
keanekaragaman jenis dapat penyelam yang baik
disajikan secara lebih  Biaya yang dibutuhkan juga
menyeluruh relatif lebih besar
 Struktur komunitas biota yang
berasosiasi dengan makroalgae
juga dapat disajikan dengan
baik

177
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

Tabel 9.2. Kelebihan dan kekurangan penggunaan metode transek kwadrat.


Kelebihan Kelemahan
 Data yang diperoleh lengkap  Proses kerjanya lambat dan
dengan mengambar posisi membutuhkan waktu lebih
biota yang ditemukan pada lama.
kuadrat, dengan bantuan  Peralatan yang digunakan tidak
underwater photo praktis dan susah bekerja pada
 Sumber informasi yang bagus lokasi yang berarus
dalam pemantauan laju  Metode ini cocok hanya pada
pertumbuhan, tingkat luasan perairan yang kecil
kematian  Sedimen trap tidak bisa
ditinggal dalam waktu lama dan
tidak efektif pada daerah yang
berarus

Metode yang umum digunakan dalam pengambilan data untuk


makroalgae adalah metode transek kwadrat. Perkiraan visual dalam kuadrat:
tempatkan kuadrat di sepanjang titik yang telah ditentukan sepanjang garis
transek, estimasi dan rekam (catat) berapa persen setiap sampel yang
diambil dalam frame (berukuran 1x1 M) (misalnya 75% spesies A, 25%
spesies B). Kuadrat divisi juga dapat digunakan untuk memperkirakan apa
yang ada di masing-masing kotak yang lebih kecil (misalnya 12 kotak
spesies A, 5 kotak spesies B, 0,5 kotak spesies C, dll). Organisme yang
sedikit di daerah pengambilan sampel dapat dicatat sebagai <1% atau
<0,5% dari kotak. Penggunaan metode kwadrat ini membutuhkan waktu
lebih lama, tetapi kita akan mendapatkan data biomassa dari makroalgae.

178
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

Metode lain yang dapat digunakan adalah photoquadrat. kita dapat


membandingkan dua metode kuadrat dengan menggunakan photoquadrat:
foto-foto daerah dari lokasi penelitian harus seukuran agar sesuai dengan
kuadrat bingkai. Metode ini dapat digunakan pada lokasi pengambilan
sampel di perairan dalam dan memungkinkan untuk dikerjakan lebih cepat.
Namun dalam metode ini, kita akan mengalami kendala dalam identifikasi
makroalgae dan juga kita tidak akan mendapatkan data biomassa, hal ini
disebabkan karena data yang diperoleh hanya berupa foto.

Cara Pengawetan Sampel Makroalgae


Pengawetan makroalgae pada dasarnya hampir sama dengan
pengawetan biota laut lainnya. Pengawetan makroalgae dapat dilakukan
melalui dua cara yaitu pengawetan basah dan pengawetan kering.
Pengawetan kering dapat berupa herbarium maupun makroalgae yang
dikeringkan dengan sinar matahari secara langsung. Membuat awetan
makroalgae kering sangat sederhana yaitu dengan cara mengeringkan
dibawah cahaya matahari secara langsung maupun dengan cara dikeringkan
dengan oven. Namun dedimikian, cara pengawetan contoh makroalgae
untuk herbarium memerlukan beberapa tahapan untuk mendapatkan hasil
yang baik. Tahapan pembuatan herbarium dimulai dari pemilihan
makroalgae yang akan dibuat herbarium, pemilihan kertas herbarium yang
dipakai sampai teknik pembuatan herbarium. Sedangkan awetan
makroalgae basah dapat dilakukan dengan merendam dalam larutan
pengawet yaitu alkohol maupun formalin.

179
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

Cara Pembuatan Herbarium Makroalgae


Dalam membuat herbarium, diperlukan persiapan bahan dan alat
yang akan dipergunakan, yaitu: presan herbarium dari kayu atau besi, kertas
herbarium (kertas khusus untuk herbarium), kertas isap, kertas koran, kain
kasa dan amplop atau map folio. Sampel makroalgae untuk herbarium
sebaiknya digunakan sampel makroalgae yang masih baru dan segar karena
memiliki daya lekat yang lebih kuat. Rumput laut yang sudah lama (lebih
dari 1 hari) akan menghasilkan herbarium yang kurang baik. Hal tersebut
dikarenakan makroalgae sudah layu dan agak kering sehingga akan
mengurangi daya rekat makroalgae saat dipres menjadi herbarium dan
hasilnya herbarium akan mudah lepas (Atmadja & Wijaya, 1996).
Makroalgae yang akan dibuat herbarium harus bebas dari kotoran,
sehingga sampel yang diperoleh dari perairan perlu untuk dibersihkan dari
kotoran berupa lumpur dan pasir. Pembersihan kotoran ini bertujuan untuk
mendapatkan herbarium yang lebih bersih, selain itu kotoran dan lumpur
akan mengurangi daya rekat makroalgae sehingga herbarium yang diperoleh
akan mudah lepas. Selain dibersihkan dari kotoran, harus bersih juga dari
makroalgae lain yang menempel. Hal ini bertujuan untuk membuat
herbarium dengan spesimen yang murni tanpa ada penempelan oleh spesies
lainnya.
Tahapan selanjutnya adalah penataan spesimen pada kertas
herbarium. Penataan ini bertujuan untuk membuat spesimen menempel pada
kertas herbarium dalam keaadaan utuh, tidak saling bertumpukan, dan
morfologi thalus masih terlihat seperti aslinya. Setelah semua spesimen
diatur pada kertas herbarium, herbarium siap untuk dipress. Penataan kertas
herbarium sebelum dipress sangat penting. Kertas herbarium yang diatasnya
telah terdapat sampel yang akan dipress, ditata dengan susunan kertas

180
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

herbarium, sampel, kain kasa, kertas isap, dan terakhir kertas koran.
Penyusunan ini dilakukan secara berulang-ulang sampai sampel yang akan
dibuat herbarium habis. Setelah itu dilakukan pengepressan dengan alat
press. Herbarium dapat dikeluarkan dari alat press minimal satu hari
pengepressan atau sampai herbarium kering dan menempel pada kertas
herbarium.
Beberapa jenis makroalgae apabila dipress sering terjadi
penumpukan di salah satu tempat atau bagian tertentu. Hal ini disebabkan
oleh percabangan yang terlalu banyak. Untuk menghindari hal ini, maka
perlu dilakukan pengurangan percabangan sebalum dipress. Beberapa jenis
makroalgae yang memiliki banyak percabangan antara lain: Amphiroa,
Acanthophora, Laurencia, Gracilaria, Caulerpa (Atmadja & Wijaya,
1996).
Herbarium yang baru dikeluarkan dari alat press sebaiknya tidak
langsung disimpan, sebaiknya diangin-anginkan dahulu dengan tujuan
diperoleh herbarium yang benar-benar kering. Harbarium yang masih basah
akan mudah terserang jamur dan akan merusak herbarium. Herbarium yang
baru diambil dari alat press juga tidak boleh terkena sinar matahari
langsung. Sinar matahari dapat membuat herbarium menjadi bergelombang
atau mengkerut sehingga makroalgae yang telah menempel akan mudah
terlepas kembali (Atmadja & Wijaya, 1996).

Cara Penyimpanan dan Perawatan Herbarium


Herbarium makroalgae sebaiknya sebelum dimasukkan ke dalam
amplop atau map, dimasukkan terlebuh dahulu ke dalam plastik bening
tembus pandang atau ke dalam amplop kertas, kemudian disimpan di dalam
rak khusus yang ditempatkan di dalam ruangan sejuk (ruangan AC).

181
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

Ruangan yang memiliki AC dapat mencegah munculnya jamur yang dapat


merusak herbarium. Cara penyimpanan herbarium sebaiknya disesuaikan
menurut klasifikasi dan penomoran, misalnya khusus untuk Chlorophyta
(makroalgae hijau), Phaeophyta (makroalgae coklat) dan Rhodophyta
(makroalgae merah) (Atmadja & Wijaya, 1996).
Dengan cara penyimpanan herbarium yang teratur, baik dan aman
akan mempermudah kita dalam mencarinya pada saat diperlukan (Atmadja
& Wijaya, 1996). Perawatan herbarium juga harus diperhatikan, dengan
tujuan herbarium yang tersimpan tetap baik dan bagus tanpa munculnya
jamur maupun kerusakan fisik lainnya. Perawatan herbarium dapat
dilakukan dengan membersihkan herbarium secara teratur dan dapat
dilakukan juga dengan pemberian anti jamur pada tempat penyimpanan
herbarium.

Cara Pembuatan Awetan Basah Makroalgae


Pengawetan basah makroalgae dapat dilakukan dengan merendam
sampel dalam larutan alkohol 70% atau formalin 4%. Material yang
diawetkan biasanya akan berubah warna dalam jangka waktu lama.
Perubahan warna ini disebabkan karena terlarutnya pigmen ke dalam
pelarut seperti alkohol dan formalin. Hilangnya pigmen pada awetan basah
tidak menjadi masalah besar karena warna thalus sudah dicatat pada saat
koleksi. Tujuan utama pengawetan basah ini adalah untuk mempertahankan
bentuk morfologinya dalam identifikasi (Atmadja & Wijaya, 1996).

Cara Penyimpanan dan Perawatan Awetan Basah Makroalgae


Cara penyimpanan dan perawatan awetan basah sudah pasti
berbeda dengan herbarium, namun demikian prinsipnya sama. Makroalgae

182
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut

dimasukkan dalam botol kaca bening dan direndam dalam larutan alkohol
70% atau formalin 4%. Botol-botol tersebut ditempatkan di rak khusus di
dalam ruangan dingin (ruangan AC). Cara penyimpanan awetan basah ini
sama dengan herbarium, yaitu disesuaikan menurut klasifikasi dan
penomoran, misalnya khusus untuk Chlorophyta (makroalgae hijau),
Phaeophyta (makroalgae coklat) dan Rhodophyta (makroalgae merah).
Perawatan awetan basah makroalgae dapat dilakukan dengan mengganti
atau menambah alkohol 70% atau formalin 4% secara teratur, dengan tujuan
sampel tidak rusak dan tetap terjaga kualitasnya.

Daftar Pustaka

Atmadja W.S. & Widjaya. 1996. Cara koleksi dan pengawetan rumput laut.
Dalam: Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut di Indonesia
(Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar, Eds). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

English S., C. Wilkinson & V. Baker. 1994. Survey manual for tropical
marine resources. ASEAN-Australia Marine Science Project:
Living Coastal Resources.

Zakaria, M.H., J.P. Bujang, R. Amit, S.A. Awing & H. Ogawa. 2006.
Marine macrophyte: macroalgae species and life form from Golden
Beach, Similajau National park, Bintulu, Serawak, Malaysia.
Coastal marine science 30 (1): 243-246.

183
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Bab X
Pengertian Mangrove Dan Pegangan
Koleksi Spesimen.

Pramudji

Pendahuluan
1. Pengertian mangrove
Pada awalnya, pengertian hutan mangrove dikenal hanya
dikalangan ilmuwan saja, khususnya yang tertarik pada kawasan pesisir,
namun saat ini sudah banyak peneliti maupun mahasiswa yang tertarik
pada bidang tersebut. Allen (1973) mengetengahkan bahwa hutan
mangrove dikenal sebagai coastal woodland atau hutan bakau atau rawa
garaman atau “intertidal zone”. Beberapa pakar mangrove, telah
mendefinisikan hutan mangrove secara berbeda-beda, namun demikian
memiliki maksud yang sama. Misalnya Seanger et al. (1983),
mendefinisikan hutan mangrove sebagai formasi dari tumbuhan daerah
litoral yang khas di kawasan pesisir tropik dan subtropik. Snedaker
(1978) memberikan pengertian bahwa hutan mangrove merupakan suatu
kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis
pantai tropika dan subtropika yang selalu terlindung dari hempasan
ombak, serta memiliki bentuk lahan pantai yang landai dengan tipe tanah
anaerob. Hutan mangrove merupakan sekumpulan hutan halofil yang
umumnya tumbuh pada daerah intertidal dikawasan tropik dan subtropik
yang membentuk hamparan rawa yang selalu dipengaruhi oleh air
pasang-surut (Moore, 1977). Sedangkan menurut Tomlinson (1986)

184
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

mangrove adalah sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang-


surut, maupun sebagai komunitas. Namun demikian, pada intinya
pengertian hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang mampu
tumbuh dan berkembang di daerah tropik dan subtropik pada lingkungan
pesisir yang berkadar garam sangat ekstrim, jenuh air, kondisi tanah
yang tidak stabil dan anaerob yang selalu dipengaruhi pasang-surut.

2. Habitat dan Daya Adaptasi Mangrove


Seperti yang disebutkan di atas, bahwa secara umum mangrove
tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang selalu dipengaruhi
oleh aliran air tawar, serta terlindung dari pukulan ombak. Oleh karena
itu, mangrove banyak tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir teluk
yang dialiri sungai dan pulau-pulau kecil. Untuk mempertahankan
eksistensinya, mangrove memiliki daya adaptasi physiologi yang tinggi
terhadap lingkungan pesisir yang sangat ekstrim. Mangrove sangat
cocok tumbuh pada kawasan yang terlindung dan memiliki lingkungan
yang memungkinkan terjadinya endapan (sedimen), misalnya daerah
muara sungai atau delta. Secara umum, mangrove dicirikan tumbuh pada
substrat yang memiliki kadar garam (salinitas) dan suhu yang tinggi,
kadar oksigen yang rendah, serta substrat tanah berlumpur yang
mengandung sisa-sisa bahan organik.

Secara rinci tentang kemampuan tumbuhan mangrove beradaptasi


terhadap lingkungan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Adaptasi terhadap salinitas dan suhu yang tinggi: Untuk
mensiasati hidup pada lingkungan dengan salinitas yang tinggi,

185
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

maka beberapa jenis mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp., dan


Sonneratia sp.), memiliki daun yang tebal dan kuat yang berfungsi
untuk mengatur keseimbangan garam. Pada daun terdapat sel
khusus yang berfungsi untuk menyimpan garam, serta struktur
stomata yang berfungsi untuk membantu mengurangi penguapan.
b. Adaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah: Dengan kondisi
hutan mangrove yang memiliki kandungan oksigen yang rendah,
maka untuk memperoleh oksigen dari udara, beberapa jenis
mangrove memiliki akar nafas (aerial root) dengan bentuk perakaran
yang khas. Lenti sel berfungsi sebagai jalan masuknya udara yang
berguna untuk persediaan dalam daun, batang maupun pada akar.
Selain itu, kebutuhan oksigen juga ditopang oleh adanya lubang-
lubang tanah yang dibuat oleh berbagai biota, seperti kepiting,
moluska dan hewan lainnya (Ewuise, 1980).
c. Adaptasi terhadap substrat: Terkait dengan tempat tumbuhnya,
jenis mangrove memiliki adapatasi morfologi dengan struktur
perakaran yang unik selain berfungsi untuk memperkokoh batang,
mengambil hara atau nutrien, akar tersebut juga mampu untuk
menahan dan mengendapkan sedimen yang terbawa oleh arus
sungai atau laut, sehingga dapat membantu dalam proses
pembentukan teras-teras pantai (Bird, 1977; Bird & Barson, 1979).

3. Struktur, Fungsi dan Peran Mangrove


Struktur dalam ekosistem mangrove memiliki dua komponen,
yakni komponen abiotik dan komponen biotik. Komponen abiotik
terdiri dari substansi anorganik dan substansi organik. Selain itu, bagian

186
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

komponen abiotik yang juga sangat penting adalah kondisi iklim seperti
hujan, suhu, serta kelembaman. Komponen biotik, terdiri dari 3
kelompok sesuai dengan fungsinya dalam suatu ekosistem, antara lain
adalah kelompok organisme produser, kelompok organisme konsumer
(herbivora, karnivora, omnivora dan kelompok pemakan detritus), serta
kelompok organisme dekomposer (kelompok pengurai).
Ekosistem hutan mangrove adalah salah satu ekosistem pesisir
yang merupakan peralihan antara darat dan laut yang memiliki peran dan
fungsi yang sangat besar, karena secara biologis hutan mangrove ikut
berperan dalam mengatur perputaran mata rantai makanan di suatu
perairan. Serasah mangrove yang jatuh ke lantai hutan akan menjadi
habitat yang baik bagi mikroorganisme (bakteri dan fungi), sekaligus
membantu dalam proses dekomposisi, dimana pada akhirnya menjadi
sumber makanan bagi Amphiphoda, Mysidaceae dan pemakan detritus
lainnya dan selanjutnya menjadi makanan bagi larva ikan, kepiting dan
udang (Heald & Odum, 1972).
Terkait dengan gugur serasah mangrove, maka perlu diketahui
bahwa selama terjadi proses dekomposisi serasah mangrove akan
semakin diperkaya oleh protein. Selanjutnya, dari proses dekomposisi
tersebut menjadi sumber pakan dari berbagai organisme, misalnya
kepiting, moluska, polychaeta, udang dan ikan. Proses dekomposisi
serasah mangrove tersebut, menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh Pramudji (2001a; 2001b) di kawasan pesisir Teluk Un, Maluku
Tenggara, bahwa serasah jenis Bruguiera gymnorrhiza akan terurai habis
dalam waktu kurang lebih sekitar 13 bulan. Kemudian untuk jenis
Rhizophora sp., proses dekomposisinya memerlukan waktu sekitar 12

187
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

bulan (Pramudji, 2003). Sedangkan untuk jenis Avicennia officinalis,


penguraiannya membutuhkan waktu sekitar 8 bulan (Wafar et al., 1999
). Perbedaan laju dekomposisi tersebut adalah berkaitan dengan
kandungan unsur nitrogen dan karbon dalam serasah mangrove. Semakin
tinggi kandungan karbonnya, maka proses dekomposisi serasah
mangrove akan semakin lama. Selain itu, perbedaan laju penguraian
serasah mangrove tersebut, juga dipengaruhi beberapa faktor antara lain,
oksigen terlarut, pH tanah, kehadiran mikroorganisme, pasang-surut,
lama penggenangan dan kadar garam atau salinitas air.
Berdasarkan aspek ekologinya, hutan mangrove memiliki
peranan dan fungsi yang cukup penting, baik terhadap fauna maupun
ekosistem kawasan pesisir secara luas, antara lain adalah sebagai
sumber nutrisi, karena didalamnya terjadi proses biologi yang
dimanfaatkan oleh biota laut. Odum (1971), menyebutkan bahwa serasah
mangrove yang jatuh di lantai hutan menghasilkan antara 35-60% unsur
hara yang terlarut pada ekosistem mangrove. Mangrove juga dapat
berperan sebagai tempat memijah, pembesaran, mencari makan, tempat
berlindung dan habitat dari berbagai biota laut.
Demikian juga apabila dilihat dari aspek ekonomi, hutan
mangrove memiliki fungsi yang sangat besar bagi kehidupan
masyarakat, khususnya masyarakat pesisir yang berdomisili disekitar
hutan mangrove. Peran hutan mangrove tersebut antara lain adalah
sebagai penyedia keperluan rumah tangga, misalnya sebagai kayu
bangunan, kayu bakar dan arang; Sebagai areal untuk budidaya atau
pertambakan udang dan ikan; Sebagai bahan keperluan industri,
misalnya sebagai bahan baku kertas, bahan baku penyamak kulit dan

188
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

juga sebagai bahan baku kayu lapis; Sebagai tempat penghasil bibit
ikan, udang, kepiting dan kerang; dan Sebagai daerah ekowisata
(ecotourism), lokasi pendidikan bagi pelajar, mahasiswa maupun sebagai
tempat penelitian.

4. Jenis Tumbuhan Mangrove


Sejauh ini, di Indonesia tercatat setidaknya 203 jenis tumbuhan
mangrove yang melipuri 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis
pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 2 jenis paku. Dari 203
jenis tersebut, 43 jenis ditemukan sebagai magrove sejati (true
mangrove). Sementara jenis lain yang ditemukan disekitar mangrove
dikenal sebagai jenis mangrove yang hidup berasosiasi dengan mangrove
(asociate mangrove). Di seluruh dunia, Saenger, et al. (1983) mencatat
sebanyak 60 jenis tumbuhan mengrove sejati. Dengan demikian terlihat
bahwa Indonesia memiliki keragaman jenis yang paling tinggi.
Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan dalam hal keragaman
jenis mangrove antara satu pulau degan pulau lainnya. Dari 203 jenis
tumbuhan mangrove yang telah diketahui, 166 jenis terdapat di Jawa,
157 jenis di Sumatera, 150 jenis di Kalimantan, 142 jenis di Irian, 135
jenis di Sulawesi, 133 jenis di Maluku dan 120 jenis di Kepulauan Sunda
Kecil. Jenis tumbuhan mangrove yang sering ditemukan diberbagai
tempat di Indonesia termasuk dalam kelompok sebagai berikut (Noor,
dkk.1999):

189
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Mangrove Sejati (true mangrove).


1. Suku Acanthaceae meliputi marga Acanthus.
2. Suku Areceae meliputi marga Nypa.
3. Suku Asclepiadaceae meliptui marga Gymnanthera,
Sarcolobus.
4. Suku Euphorbiaceae meliputi marga Excoecaria.
5. Suku Bombacaceae meliputi marga Camptostemon.
6. Suku Combretaceae meliputi marga Lumnitzera.
7. Suku Pteridaceae meliputi marga Acrostichum.
8. Suku Lythraceae meliputi marga Phempis.
9. Suku Meliaceae meliputi marga Xylocarpus.
10. Suku Myrtaceae meliputi marga Osbornia.
11. Suku Myrsinaceae meliputi marga Aegiceras.
12. Suku Rhizophoraceae meliputi marga Rhiziphora,
Bruguiera, Ceriops dan Kandelia.
13. Suku Rubiaceae meliputi marga Scyphiphora.
14. Suku Sonneratiaceae meliputi marga Sonneratia.
15. Suku Sterculiaceae meliputi marga Heritiera.
16. Suku Verbenaceae (Avicenniaceae) meliputi marga
Avicennia.

Tumbuhan yang Berasosiasi Dengan Mangrove (asociate mangrove).


1. Suku Aizoaceae meliputi marga Sesuvium.
2. Suku Asclepiadaceae meliputi marga Calotropis.
3. Suku Apocynaceae meliputi marga Cerbera.
4. Suku Asteraceae meliputi marga Wedelia.

190
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

5. Suku Clusiaceae meliputi marga Calophyllum.


6. Suku Combretaceae meliputi marga Terminalia.
7. Suku Convolvulaceae meliputi marga Ipomoea.
8. Suku Euphorbiaceae meliputi marga Ricinus.
9. Suku Fabaceae meliputi marga Derris, Pongamia.
10. Suku Goodeniaceae meliputi marga Scaevola.
11. Suku Lecythidaceae meliputi marga Barringtonia.
12. Suku Malvaceae meliputi marga Hibiscus, Thespesia.
13. Suku Melastomataceae meliputi marga Melastoma.
14. Suku Pandanaceae meliputi marga Pandanus.
15. Suku Passifloraceae melipuri marga Passiflora.
16. Suku Rubiaceae meliputi marga Morinda.
17. Suku Verbenaceae meliputi marga Stachytarpheta.

5. Sistematika
a. Karakterisasi
Tumbuhan mangrove memiliki keanekaragaman jenis
tumbuhan yang tinggi serta memilki habitus pohon dan perdu, sehingga
dalam penyusunan kunci perlu kita batasi dan perlu prioritas sesuai
dengan jenis yang ditemukan (Pramudji & Suhardjono, 2008). Pada
umumnya penyusunan kunci identifikasi di hutan mangrove diutamakan
jenis-jenis pohon. Jenis-jenis pohon tumbuhan mangrove memiliki ciri
yang dapat membantu dalam identifikasi jenis, antara lain sebagai
berikut:

191
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Habitus
- Pohon meliputi marga Aegiceras, Avicennia, Bruguiera,
Ceriops, Excoecaria, Heritiera, Lumnitzera, Osbornia,
Pemphis, Rhizophora, Scyphiphora, Sonneratia, Xylocarpus,
Barringtonia, Calophyllum, Cerbera, Hibiscus, Pandanus,
Pongamia, Terminalia, Thespesia.
- Perdu meliputi marga Aegiceras, Avicennia, Ceriops,
Lumnitzera, Osbornia, Pemphis, Scyphiphora, Calotropis,
Clerodendrum, Hibiscus, Scaevola, Vitex.
Sistem Perakaran
- Akar tunjang (still root) ditemukan pada marga Rhizophora.
- Akar lutut (knee roots) ditemukan pada marga Bruguiera,
Ceriops.
- Akar nafas (pneumatophores) ditemukan pada marga
Avicennia, Lumnitzera, Sonneratia.
- Akar papan (plank roots) ditemukan pada marga Xylocarpus.
- Banir (buttress) ditemukan pada marga Bruguiera, Ceriops,
Heritiera, Lumnitzera, Xylocarpus.

Komposisi Daun
- Tunggal meliputi marga Aegiceras, Avicennia, Bruguiera,
Ceriops, Excoecaria, Heritiera, Lumnitzera, Osbornia,
Pemphis, Rhizophora, Scyphiphora, Sonneratia, Barringtonia,
Calophyllum, Cerbera, Hibiscus, Pandanus, Pongamia,
Terminalia, Thespesia.
- Majemuk meliputi marga Xylocarpus.

192
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

b. Klasifikasi
Berdasarkan buku Hsuan Keng 1978. Orders and Families of
Malayan Seed Plants. Singapore University Press 437 Halaman,
kebanyakan tumbuhan mangrove masuk dalam:

Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Order : Myrtales
Family : Rhizophoraceae
Combretaceae
Myrtaceae
Lecythidaceae
Lythraceae
Melastomataceae

Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Order : Palmales
Family : Arecaceae/Palmae

c. Contoh Kunci Identifikasi


Identifikasi jenis tumbuhan adalah suatu kegiatan untuk
penentuan nama yang benar dari suatu jenis dan penempatannya dalam
sistem klasifikasi tumbuhan (Pramudji & Suhardjono, 2008).
Identifikasi dengan bantuan kunci dilakukan secara bertahap, yaitu dari
Divisi, Clasisi, Subclasisi, Familia, Genus dan Species. Kunci
identifikasi sering dikenal dengan kunci dikotom yang pada prinsipnya
terdiri dari sederet bait atau penuntun.

193
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

1a. Tumbuhan paku-pakuan, berspora............................... Achostichum


1b. Tumbuhan berbiji .......................................................................... 2

2a. Biji berkeping satu, batang seperti palm, pendek..................... Nypa


2b. Biji berkeping dua .......................................................................... 3

3a. Daun majemuk menyirip ............................................................... 4


3b. Daun tunggal.................................................................................. 7

4a. Buah besar, memiliki diameter 10-25 cm, batang umumnya


berlubang .................................................................... Xylocarpus
4b. Buah kecil, diameter kurang dari 10 cm....................................... 5

5a. Bunga kupu-kupu, buah polong ........................................... Derris


5b. Bunga berbentu lain ....................................................................... 6

6a. Bunga majemuk di ketiak daun atau batang, buah polong, memiliki
stamen 10 atau lebih ...........................................................
Cynometra
6b. Bunga majemuk, posisi di ujung,besar, memanjang (30-70 mm),
stamen 4..........................................................................
Dolichandrone

7a. Batang bergetah............................................................................ 8


7b. Batang tidak bergetah................................................................... 9

8a. Bunga biseksual .............................................................. Cerbera


8b. Bunga uniseksual ....................................................... Excoecaria

9a. Daun duduk (sessilis), bulat telur terbalik, lanset, ujung dan pangkal
membulat, tepi rata, buah persegi empat, warna coklat ...............
................................................................................... Baringtonia
9b. Daun bertangkai, susunan bervariasi......................................... 10

10a. Daun berhadapan (oposite) ...................................................... 11


10b. Daun tersebar atau alternate ..................................................... 17

11a. Daun bergifgi dan berduri, bunga zigomorf ................ Acanthus


11b. Daun tidak bergigi, bunga aktinomorf ..................................... 12

194
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

12a. Tumbuhan dengan akar nafas, permukaan daun berwarna seperti


perak ........................................................................................ 13
12b. Tumbuhan dengan akar banir, akar lutut, permukaan daun tidak
perak ........................................................................................ 14

13a. Permukaan bawah daun berwarna perak, abu-abu atau coklat, bunga
kecil, ungu kekuningan, buah kapsul, ablique ...............Avicennia
13b. Permukaan bawah tidak berwarna perak, bunga warna merah,
bunga beryy, globosa ................................................. Sonneratia

14a. Buah berdiameter lebih kecil 1 cm, daun dengan kelenjar minyak
berupa titik .......................................................................Osbornea
14b. Buah berdiameter 1 cm atau lebih, daun tidak berkelenjar ..... 15

15a. Buah turbinate aau corong, akar papan atau lutut, memiliki tajuk
kelopak 8-15................................................................. Bruguiera
15b. Buah berbentuk peer, tajuk berkelopak 4-5 ........................... 16

16a. Kelopak bertaju 4, hipokotil tebal, silindris, tinggi akar 1 m,


permukaan bawah daun berbintik coklat .................. Rhizophora
16b. Kelopak bertaju 5, hipokotil langsing, akar jangkar dekat batang,
tinggi maksimum 12 m, jumlah benang sari 10, permukaan bawah
daun tidak berbintik ........................................................ Ceriops

17a. Susunan bunga panikel/malai, panjang 18 cm, daun bungan


bersisik, obovate, eleptik
(10 - 31) x (5-15) cm ..................................................... Heritiera
17b. Susunan bunga payung, bulir, daun dan bunga tidak
bersisik.................................................................................... 18

18a. Buah melengkung seperti pisang, bunga payung, daun


obovate.......................................................................... Aegiceras
18b. Buah langsing, daun obovate-elips ........................... Lumnitzera

195
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

6. Metode Koleksi
a. Metode aktif
Dalam bidang taksonomi, koleksi spesimen merupakan langkah
yang paling awal. Beberapa metode koleksi spesimen yang lazim
digunakan selama ini adalah metode aktif dan metode pasif, namun
untuk spesimen tumbuh-tumbuhan tidak menggunakan metode pasif
(Pramudji & Suhardjono, 2008). Metode aktif biasanya digunakan untuk
mengkoleksi spesimen yang sifatnya non-mobil atau statis, contohnya
adalah koleksi tumbuh-tumbuhan. Inventarisasi atau koleksi jenis
tumbuhan mangrove biasanya dilakukan dengan bebas, yakni menyusur
seluruh hutan mangrove mulai dari garis pantai hingga ke perbatasan
antara hutan manrove dengan hutan darat. Area untuk koleksi spesimen
tersebut diupayakan seluas mungkin, sesuai dengan kemampuan si
kolektor.
Pengambilan contoh tumbuhan mangrove dilakukan secara aktif
dengan mengambil seluruh tumbuhan secara lengkap, yakni termasuk
daun, bunga dan buahnya. Contoh yang berbuah biasanya tidak bergitu
bernilai bila dibandingkan dengan contoh-contoh yang sedang berbunga,
karena lebih sulit mengenalnya. Moto yang perlu dipahami adalah “
lebih baik mengumpulkan sedikit, tapi lengkap daripada mengumpulkan
banyak tapi tidak lengkap” Satu hal yang perlu dicamkan dalam koleksi
adalah tidak boleh mencampur-baurkan contoh-contoh atau bagian-
bagian dari beberapa tumbuhan yang berlainan, atau yang diambil dari
tempat yang berbeda atau yang dikumpulkan pada hari yang berlainan.
Dalam beberapa kelompok tumbuhan, untuk mengenalnya perlu
diketahui ciri khas dari struktur tumbuhan tersebut. Daftar bagian-bagian

196
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

tumbuhan yang diperlukan untuk dapat mengenalinya, antara lain


sebagai berikut :

 Acanthaceae: Bunga-bunganya cepat layu setelah dipetik,


buah-buahnya penting.

 Arecaceae/Palmae (yang tegak): satu susunan daun lengkap


dengan pelepah; pelepah dari inflorescense, bunga-bunga dan
bauh-buah serta sketsa untuk kelopak bunganya, permukaan
batang dan catatan perkiraan ukurannya penting (yang
menjalar): ujung batang beserta 2 buku-bukunya dan daun
lengkap dengan pelepah serta flagellumnya; juga buah penting.
Struktur inflorescens sangat penting. Kalau catatan lengkap
tentang struktur sudah dibuat, bahan-bahan dapat dipotong-
potong dan dibentuk dalam ukuran lebih kecil.

 Asclepiadaceae: contoh yang sedang berbuah tidak berguna.

 Convolvulaceae: buah-buah yang masak penting.


 Euphorbiaceae: tumbuhan berumah dua; yang dikehendaki
adalah contoh contoh dengan buah-buah yang masak.

 Fabaceae/Leguminosae: bunga dan bila mungkin buah


kacang-kacangannya.
 Loranthaceae: tumbuhan yang sedang berbuah dan yang
mandul biasanya tidak berguna; tumbuhan induknya perlu perlu
dicatat.
 Malvaceae: contoh yang sedang berbuah sangat penting.

197
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

 Melastomataceae: contoh yang mandul tidak berguna;


diperlukan contoh-contoh yang sedang berbuah.

 Meliaceae: contoh yang mandul tidak berguna.

 Myrsinaceae: contoh yang sedang berbuah dan yang mandul


tidak berguna.

 Myrtaceae: buahnya penting, contoh yang mandul tidak


berguna.

 Pandanaceae: Tumbuhan berumah dua, buah yang masak lebih


penting daripada bunganya; sketsa bentuk tumbuh; lebar batang
dan ujung daunnya juga penting.

 Pteridophyta: contoh yang subur (pembawa spora) penting dan


daun-daunnya sebaiknya jangan dipisahkan dari rangkaian akar-
akarnya; daun-daunnya dimorphous; bagi tumbuhanpaku-
pakuan diperlukan sekali tangkai daunnya yang lengkap.

 Rubiaceae: bahan yang mandul biasanya tidak berguna;


contoh-contoh yang sedang berbuah sangat penting.

b. Keterangan lapangan yang penting adalah:


Morfologi : tinggi dan diameter, bagian-bagian dalam tanah, ujud
hidup, warna bunga dan buah, dimensi
bagian-bagian berdaging, bau bunga-bunga, rasa buah dan
cairan sari buahnya, atau hal-hal lain
yang akan hilang setelah tumbuhan dikeringkan.
Manfaat setempat: misalnya umbi, buah atau tunas dapat dimakan,
tumbuhan sebagai makanan ternak, tumbuhan sebagai

198
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

ramuan obat-obatan, atau manfaat lain sebagai pencegah


erosi, dsb.
Nama setempat: cantumkan pula dalam catatatan anda: bahasa atau
logat setempat, kadang-kadang nama daerah hanya
dikenal di daerah yang bersangkutan saja dan tidak
bernilai ilmiah.
Habitat: tempat tumbuh, misalnya ditepi sungai, tepi kolam, dilapangan
yang tidak terpelihara, di tempat-tempat berlumpur, di
tempat teduh atau terpat terbuka; jenis vegetasi yang
terbanyak terdapat disekitranya dan jenis tanah, bila anda
kenal betul sebaiknya dicatat.
Altitude: tinggi letak dari permukaan laut.
Lokasi: Sebutkan dengan tepat provinsi, distrik, atau desa mana
anda temukan tumbuhan tersebut, misalnya di Lereng
Gunung Gede 2 Km sebelah timur Cibodas. Lokasi itu
harus dengan mudah dapat ditentukan dalam peta dunia.
Koordinasi pada garis lintang dan garis bujur juga
berguna dicatat.
Tanggal koleksi: kapan tanggal koleksi dilakukan Nama pengeumpul:
(Kolektor).
Nomor koleksi: setiap tumbuhan yang dikumpulkan harus diberi nomor
urut. Setiap Kolektor (Pengumpul) hanya boleh
memakai satu seri (urutan) nomor saja; jangan sesekali
memakai nomor yang sama untuk beberapa tumbuhan
yang berbeda-beda, setiap nomor hanya dipakai satu kali
saja. Berilah contohnya

199
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

c. Prosesing Spesimen
1. Cara mengawetkan tumbuhan
Perlengkapan yang diperlukan adalah koran-koran tua, karton
bergelombang (dapat diperoleh dari potongan berkas kotak karton) dan
penekan herbarium (press) dari anyaman bambu atau kayu. Contoh-
contoh yang sudah diberi nomor diletakkan dalam lipatan koran.
Lipatan koran disusun menjadi sebuah susunan, di antara dua lipatan
koran diletakkan sehelai karton bergelombang. Susunan tadi dijepit di
antara sepasang penekan herbarium (press) lalu diikat dengan tali atau
kawat. Kemudian susunan tersebut dikeringkan dalam oven pengering
atau dalam panas matahari. Kertas-kertas koran harus diganti dengan
teratur agar pengeringan lebih cepat; kertas koran dipakai sebagai
penyerap cairan. Dalam sebuah perjalanan yang pendek kita dapat
membawa koran, karton, dan press ke lapangan. Persiapan- persaiapan
dapat dilakukan setempat (di lapangan) dan pengeringan dilakukan
dalam laboratorium atau tempat lain yang mempunyai sarana untuk itu.
Bila perjalanan yang akan ditempuh cukup panjang (lebih dari
satu minggu) dan di lapangan tidak ada saran untuk mengeringkan atau
cuaca sangat basah, metode seperti tersebut di atas kurang tepat. Kalau
contoh-contoh disimpan begitu saja dalam lipatan koran tanpa
dikeringkan, contoh-contoh itu cepat membusuk, berjamur dan rusak.
Untuk menghindari hal tersebut digunakan metoda basah, yang lebih
menguntungkan dalam keadaan seperti diterangkan tadi.
Perlengkapan untuk metoda basah adalah : kontong-kantong
plastik besar, kertas koran, tali dan ethyl alkohol 96%. Contoh-contoh
yang telah diberi nomor dibungkus dengan kertas koran lalu diikat

200
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

dengan tali. Bungkusan-bungkusan ini diletakkan di dalam sebuah


kantong palstik yang besar, kemudian alkohol dituangkan ke dalam
kantong plastik tadi sehingga bungkusan-bungkusan di dalamnya basah
semua. Kantong-kantong plastik yang sudah penuh harus ditutup baik-
baik serapat mungkin. Contoh-contoh tumbuhan yang disimpan dengan
cari ini tidak cepat menjadi busuk, berjamur dan rusak dan tahan sampai
kira-kira lebih dari 1 bulan. Persiapan contoh-contoh herbarium dan
pengeringan dikerjakan di dalam laboratorium setelah perjalanan koleksi
selesai.

2. Keuntungan Metoda Basah:


 menghemat waktu; bersih dan cepat
 contoh-contoh aman, terutama bila harus sering dipindahkan
dari satu tempat ke tempat yang lain

 contoh-contoh dapat dibongkar dan dikeringkan dengan cermat


di laboratorium; contoh-contoh yang masih basah, misalnya
bunga, buah atau bagian tumbuhan yang lain dapat selanjutnya
diawetkan dalam cairan

 alkohol segera mematikan contoh tumbuhan dan membuatnya


tetap utuh. Metoda kering seperti yang diuraikan sebelumnya
menyebabkan daun-daun, tunas-tunas dan bunga-bunga gugur,
seperti pada Santalaceae, beberapa Euphorbiaceae, Araliaceae
dan Leguminosae/Fabaceae.

Pengeringan contoh-contoh tumbuhan dapat dilakukan dalam oven


dengan bahan bakar listrik, arang, minyak tanah atau gas. Pengeringan

201
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

perlahan-lahan menghasilkan contoh herbarium yang lebih baik daripada


pengeringan yang terlalu cepat.

Daftar Pustaka
Allen, J.R.L. 1973. Physical processes of sedimentation. Earth Science
Series 1. George Allen and Unwin Ltd., London. 248
hal.
Bird, E.C.F. 1972. Mangrove and coastal morphology in North
Queensland. Journal Trop. Geogr. 32: 32-16.
Bird, E.C.F. and M.M. Barson. 1982. Stability of mangrove system In:
Mangrove ecosystem in Australia: Structure, function
and management. Proc. Aust. Mangrove Workshop. 265-
274.
Coulter, D. F and W. G. Allaway. 1979. Litter fall and decomposition
in mangrove stand Avicennia maria (Forsh) Vierh in
Middle Harbour, Sydney. Austr. J. Mar. Fresh. Res. 30:
27-37.
Dorenbosch, M. 2006. Conectivity between fish assemblages of seagrass
beds, mangroves and coral reefs evidence from the
Carribean and the western Indian Ocean. Published by
the university Library, Radboud University Nijmegen,
The Netherlands. pp 216.
Ewuise, J.Y. 1980. Specialized ecosystem within the tropical forest and
along the sea coast. Element of Tropical Ecology : 155-
166.

202
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Heald, E.J. and W.E. Odum 1972. The contribituon of mangrove


swamps to Florida fisheries. In: Gulf and Caribian
fisheries Institute Proceedings, 22nd. Sess.: 130-135
Kasri, A. 1982. Pengelolaan hutan DAS Rokan – hutan mangrove
Kabupaten Bengkalis dan kemunduran perikanan di
Bagansiapi-api dan sekitarnya. Dalam: Proseding
Seminar II Ekosistm mangrove, Baturaden: 41-49.
Martosubroto, P. and N. Naamin 1977. Relationship between tidal forest
(mangrove) and commercial shrimp production in
Indonesia. Mar. Res. Indonesia 18: 81-86.
Martosubroto, P. and Sudradjat. 1974. Study on some ecological aspects
and fisheries of Segara Anakan in Indonesia. Fish. Res.
Inst. LPPL 1/73: 63-74.
Moore, W.G. 1977. A dictionary of geography. Penguin Book,
Hardmonds-worth. 246 hal.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of ecology. 3rd edn. W.B. Sounders,
Philadelphia, Pennsylvania USA.
Pramudji 2001a. Produktivitas dan dekomposisi serasah Bruguiera
gymnorrhyza (L.) Lamk. di pesisir Teluk Un, Tual,
Maluku Tenggara. TORANI, Vol. 1 (11): 32-38.
Pramudji. 2001b. Potensi dan produktivitas hutan mangrove di Teluk
Kotania, Seram Barat, Propinsi Maluku. Perairan dan
Pantai Indonesia. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta
Vol 6 (2): 9-18.

203
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Pramudji 2003. Studi produktivitas dan laju dekomposisi serasah


mangrove di pesisir Pelita Jaya, Piru, Seram Barat.
TORANI, Vol 13, No. 2: 95-101.
Pramudji dan Suhardjono. 2008. Pelatihan Taksonomi Indonesia. Pusat
Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta (tidak diterbitkan).
Seanger, P., E.J. Hegerl and J.D.S. Davie. 1983. Global status of
mangrove ecosystems. IUCN Commision on Ecology
Papers No. 3. pp 88.
Snedaker, S. C. 1978. Mangrove: Their values and perpetuation.
National Resources 14: 6-80.
Sukardjo. S. 1999. Mangrove untuk pembangunan nasional – Dalil siap
pakai. Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama.
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. 97 hal.
Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangrove. Cambridge University
Press, Cambridge, UK. 419 hal.
Trorhaug, A. and C.B. Austin 1986. Restoration of seagrass with
economic analysis. Envir. Conserv. 3 (4) : 259-267.
Wafar, S., A.G. Untawale and M. Wafar. 1977. Litter fall and energy
flux in a mangrove ecosystem. Estuarine, Coastal and
Shelf Science 44: 111-124.

204
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Lampiran gambar Mangrove.


Foto: Pramudji

Acanthus ilicifolius L.
Family: Acanthaceae

Acrostichum aureum Linn.


Family: Pteridaceae

205
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Family: Myrsinaceae

Avicennia marina (Forsk.) Vierh.


Family: Aviceniaceae
Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk

Bruguiera sexangula

206
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob.


Marga: Rhizophoraceae
Bunga

Excoecaria agallocha L.
Marga: Euphorbiaceaerga : Sterculiaceae

Heritiera littoralis Dryand. Ex W. Ait.


Family : Sterculliaceae

207
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

208
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Lumnitzera littorea (Jack) Voigt


Marga: Combretaceae

Nypa fruticans (Turb.) Wurb.


Marga: Palmae

Pemphis acidula Forst.


Marga: Lythraceae

209
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Rhizophora apiculata BL.


Marga : Rhizophoraceae

Rhizophora mucronata Griff.


Marga: Rhizophoraceae

210
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Scyphiphora hydrophyllacea Gaerth.


Family: Rubiaceae

Sonneratia alba J.E. Smith


Marga: Sonneratiaceae

211
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Sonneratia casiolaris (L.) Engl.


Marga : Sonneratiaceae

Xylocarpus moluccensis.
Family: Meliaceae

212
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen

Daun

Hibiscus tiliaceus L.
Marga: Malvaceae

Daun dan kuncup bunga

Ipomea pes-caprae (L.) Sweet


Marga: Convolvulaceae

213

Anda mungkin juga menyukai