Buku Manajemen Koleksi Rujukan Biota Laut
Buku Manajemen Koleksi Rujukan Biota Laut
BIOTA LAUT
Editor
Rianta Pratiwi
Editor:
Rianta Pratiwi
Kontributor:
Kontak:
Rianta Pratiwi
Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI
Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur
Jakarta Utara 14430
rianta.pratiwi@lipi.go.id
r_pratiwi_99@yahoo.com
Editor
Rianta Pratiwi
Editor:
Rianta Pratiwi
Kontributor:
Kontak:
Rianta Pratiwi
Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI
Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur
Jakarta Utara 14430
rianta.pratiwi@lipi.go.id
r_pratiwi_99@yahoo.com
iii
yang dikoleksi adalah dari kelompok taksa: crustacea,
echinodermata, moluska, ikan, karang, spons, gorgonian, lamun,
algae, mangrove.
Buku Manajemen Koleksi Spesimen Biota Laut ini,
berisikan bagaimana mengelola koleksi spesimen dengan baik dan
benar berstandar international serta hal-hal yang menyangkut
tatakelola koleksi spesimen, keselamatan spesimen, ruang
penyimpanan, pengaturan penyimpanan, bahan dan alat untuk
penyimpanan spesimen, administrasi pengelolaan spesimen hingga
manajemen data (data base). Penanganan koleksi spesimen setiap
takson berbeda-beda caranya, sehingga di dalam buku ini dituliskan
tersendiri dalam masing-masing bab yang ditulis oleh para peneliti
dibidangnya. Besar harapan buku ini dapat bermanfaat dan
dipergunakan sebagai sumbangan bagi ilmu pengetahuan yang
dapat digunakan sebagai pegangan atau acuan di dalam mengelola
biota laut yang ada di lembaga, instansi ataupun di universitas yang
terkait dengan kelautan. Diharapkan buku ini juga dapat
dimanfaatkan oleh siapa saja yang berminat untuk membangun
koleksi rujukan ilmiah biota laut maupun koleksi spesimen fauna
untuk kepentingan hobi.
iv
Kata Pengantar
i
itu sangat diperlukan sebagai penambah pengetahuan untuk
mengelola koleksi spesimen biota laut.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pengelola
Koleksi Rujukan Biota Laut P2O, semua peneliti yang telah
berkontribusi dalam penulisan buku ini dan khususnya kurator serta
teknisi Koleksi Rujukan Biota Laut yang telah membantu di dalam
pengelolaan Koleksi Spesimen, semoga semua yang telah dilakukan
menjadi contoh baik bagi orang lain dan koleksi spesimen dapat
terjaga dengan baik.
ii
Daftar Isi
v
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Bab I
Rianta Pratiwi
Pendahuluan
Ancaman kehilangan populasi dan spesies biota laut yang
komersial maupun non komersial semakin besar seiring dengan
memburuknya perekonomian Indonesia, makin banyaknya polusi dan
transformasi lahan serta perubahan iklim yang mempengaruhi karakter
oseanografi laut kita. Oleh sebab itu keberadaan koleksi spesimen biota laut
sangat diperlukan sebagai bahan informasi ilmiah yang harus disimpan dan
sebagai aset sejarah yang sangat penting artinya dalam dunia ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini Pusat Penelitian Oseanografi, khususnya
“Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut, Pusat Penelitian
Oseanografi (P2O)-LIPI” merasa perlu mengumpulkan semua spesimen
biota laut dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti P2O, ekspedisi
ataupun kerjasama dengan pihak luar (peneliti asing) dan merawatnya
hingga menjadi koleksi spesimen ilmiah yang dapat dirujuk dengan mudah
oleh peneliti ataupun pihak lain yang akan memanfaatkan koleksi spesimen
tersebut sebagai bahan ajar mengajar, pameran, peminjaman, tukar menukar
dan lain sebagainya.
1
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
2
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Sejarah berdirinya Koleksi Rujukan Biota Laut, dalam hal ini tidak
dibahas dari mulai berdirinya cikal bakal Pusat Penelitian Oseanografi (yang
dahulu bernama Visscherij Laboratorium te Batavia/ Laboratorium
Perikanan di Batavia) pada pertengahan Desember 1905 saat dipimpim Dr.
J.C. Koingsberger, seorang peneliti fauna darat dan laut hingga
kepemimpinan Dr. Klaus Wyrtki peneliti fisika oseanografi dari Jerman.
Tetapi sejarah Koleksi Rujukan Biota Laut dibahas mulai dari berkantornya
3
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
4
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Ancol Timur menempati sebuah gedung bertingkat tiga atas hadiah (hibah)
dari Gubernur DKI, Ali Sadikin yang ingin menyatukan lembaga-lembaga
kelautan dan universitas agar berada dalam satu lingkungan kelautan
(berintegrasi) di Ancol. Adapun fungsinya selain sebagai sarana rekreasi
terdapat juga sarana pendidikan dan penelitian yang saat itu telah juga
berdiri Gelanggang Samudera Ancol (GSA) di lokasi tersebut (Kompleks
Bina Samudera). GSA dijadikan aset nasional dan dibentuk Dewan Kurator
yang diketuai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, selaku Menteri Ekuin,
yang beranggotakan beberapa tokoh nasional, beberapa ketua Lembaga
Pemerintah, Rektor dan Pengusaha.
Setelah berada di Ancol, koleksi spesimen mendapat ruangan yang
sangat kecil, sehingga semua koleksi digabungkan menjadi satu, tetapi
setiap koleksi spesimen berada di bawah pengawasan, perawatan dan
tanggungjawab dari masing-masing laboratorium yang ada saat itu, karena
belum dibentuk struktural yang harus bertanggungjawab dalam hal tersebut.
Seiring dengan perubahan struktur organisasi di lingkungan LIPI,
pada tahun 1986 LON berubah menjadi Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi (1986-2001) merupakan salah satu Pusat
Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang)” yang berada di bawah ke-
“Deputi-an Bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)”.
Mengingat begitu pentingnya laut bagi kehidupan Bangsa
Indonesia, maka dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1993,
khususnya dalam Pembangunan Lima Tahun Ke-enam (Pelita VI),
pembagunan di bidang kelautan merupakan sektor yang berdiri sendiri,
yang dalam Pelita sebelumnya digabung dalam sektor Ilmu Pengetahuan
5
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
6
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
7
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
8
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
9
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
10
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
11
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
12
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
13
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
14
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
15
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
16
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
17
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
18
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
19
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
20
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
dan non verbal serta juga dapat dalam bentuk data. Menurut bentuknya
dapat berupa:
Informatif menyampaikan penerangan berdasarkan fakta dan data-
data yang benar. Untuk mengisi pengetahuan target sasaran
tentang sesuatu yang belum diketahui terkait dengan Koleksi
Rujukan Biota Laut tanpa mempengaruhi persepsi mereka,
misalnya: siaran berita di radio dan televisi.
Persuasif, pesan KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut yang
difokuskan pada perubahan pengetahuan dan sikap serta
diutamakan bagi target sasaran yang terkait pemanfaatan Koleksi
Rujukan Biota Laut secara langsung, misalnya: para peneliti,
pendidik, LSM, siswa, pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum
(hobbiest).
Edukatif, bertujuan merubah perilaku target sasaran secara
sengaja, teratur dan terencana. Dapat berupa pemaparan dari data-
data yang telah dirangkum oleh Koleksi Rujukan Biota Laut, fakta
lapangan yang terkait dengan Koleksi Rujukan Biota Laut dan atau
dapat pula berupa pengalaman seseorang terkait peran dan fungsi
Koleksi Rujukan Biota Laut.
Untuk mengelola pesan di atas sebaiknya diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
Susunan pesan menarik.
Simbol pesan mudah dipahami.
21
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
22
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
5. Why (?): merupakan latar belakang dan tujuan mengapa KIE Koleksi
Rujukan Biota Laut perlu diselenggarakan bagi target sasaran tertentu,
sehingga dapat merubah paradigma perilaku pemangku kepentingan,
untuk dapat menyadari pentingnya keberadaan Koleksi Rujukan Biota
Laut dalam pengelolaan sumberdaya laut.
6. How (?): bagaimana KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut harus
dilakukan. Unsur ini lebih ditekankan pada metoda dan media yang
digunakan untuk KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut. Metoda KIE-
koleksi rujukan biota laut merupakan cara untuk mendekatkan target
sasaran dengan komponen-komponen Koleksi Rujukan Biota Laut.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan adalah:
a) Metoda yang dipilih mampu merangsang target sasaran untuk
berfikir kreatif.
b) Metoda dilaksanakan dilingkungan pekerjaan (kegiatan target
sasaran).
c) Kegiatan KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut akan lebih efisien
diselenggarakan bagi pemangku kepentingan yang langsung terkait
dengan keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut.
d) Metoda harus mampu menciptakan hubungan yang akrab dengan
target sasaran.
e) Metoda sedapat mungkin dapat merangsang target sasaran untuk
meningkatkan pengetahuan dan sikap serta mengubah
paradigmannya terhadap fungsi dan manfaat Koleksi Rujukan
Biota Laut.
23
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
24
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
25
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
26
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Daftar Pustaka
Ahyong, S, Chen T, dan Liao Y., 2008. A Catalog of The Mantis Shrimps
(Stomatopoda) of Taiwan. Taiwan: National Taiwan Ocean
University. 200 pp.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), 2012. Modul Materi Uji
Perpindahan Jabatan Fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan
Terampil ke Ahli Pegawai Negeri Sipil (PNS). Badan Pom RI,
Mata Pelajaran Komunikasi Informasi dan Edukasi.
(http//pengawasfarmasidanmakanan.files.wordpress.com/2012/06/
modul-kd-kebijakan-dan penilaian-angka-kredit2.pdf. (diakses,
tanggal 23 Maret 2013).
Moosa, MK. dan I. Aswandy 1984. Udang karang (Panulirus spp.) dari
perairan Indonesia. Lembaga Oseanologi. Nasional, LIPI, Jakarta:
40 hal.
27
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Moosa, M.K, 2000. Marine biodiversity of the South China Sea: a checklist
of Stomatopod Crustacea. Raffles Bulletin of Zoology, supplement
8, 405-457.
Nontji, A., 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa
ke Masa. Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Penetahuan
Indonesia, 433 hal.
28
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Bab II
Rianta Pratiwi
Pendahuluan
Perairan Indonesia memiliki kekayaan biota laut yang jenisnya
sangat beranekaragam dan sangat besar jumlahnya serta tiada duanya di
dunia. Dengan kondisi tersebut lautan mempunyai peranan yang sangat
penting bagi kehidupan Bangsa Indonesia, hal ini baik ditinjau dari segi
alamnya, sebagai sarana transportasi, sarana rekreasi, pendidikan dan
penelitian, konservasi alam serta sarana pertahanan keamanan negara.
Bahkan untuk masa depan akan lebih banyak ditentukan pada kemampuan
kita untuk memanfaatkan sumberdaya laut. Oleh karena itu pendayagunaan
lautan nusantara secara penuh dan bijaksana sangat mendukung
pembangunan ekonomi serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan
berusaha serta sangat memerlukan pendalaman IPTEK untuk menggali
potensi-potensi yang terkandung di dalamnya.
Sebagai negara yang berkembang dan dikenal pula sebagai negara
yang mempunyai keanekaragaman biota laut yang tinggi, sangat
disayangkan apabila tidak dibarengi oleh pengetahuan dasar mengenai
keanekaragaman biota laut serta ilmu-ilmu yang terkait dengan bidang
kelautan. Seiring dengan kemajuan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, terjadi pula kerusakan lingkugan yang memungkinkan terjadinya
29
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
30
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
A. Jenis-jenis Koleksi
1. Koleksi Utama
Koleksi utama adalah koleksi berbagai takson yang biasa disimpan
pada umumnya di museum-museum. Di ruang atau Laboratorium Koleksi
Rujukan Biota Laut P2O terdiri dari dua (2) macam koleksi dan satu (1)
koleksi herbarium yaitu: 1). Koleksi Basah (menggunakan bahan pengawet
alkohol dan atau formalin), 2). Koleksi kering dapat berupa tubuh binatang
seutuhnya seperti: Coral (karang), cangkang moluska, dan spesimen awetan
kaca (slide) dan Koleksi Herbarium berupa daun, bunga atau akar dari
tumbuhan algae (seaweed), lamun (seagrass) dan mangrove yang
dikeringkan dan ditempel pada kertas khusus sehingga menjadi herbarium.
Bervariasinya macam koleksi menyebabkan dibutuhkannya berbagai
persyaratan unit penyimpanan untuk masing-masing jenis koleksi. Dengan
demikian koleksi utama ini merupakan satu rangkaian unit penyimpanan
yang berbeda antara satu takson dan lainnya.
31
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
32
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
(a) (b)
(c)
Gambar 2.1. Contoh Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI. Atas kiri (a)
Koleksi basah, atas kanan (b): Koleksi kering. Foto: I.B
Vimono dan bawah (c): Koleksi herbarium. Foto: R. Pratiwi.
33
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
(a) (b)
Gambar 2.2. Contoh Koleksi Tipe Rujukan Biota Laut (a), dengan Pita-pita
Merah Sebagai Koleksi Holotipe (b). Foto: D.L. Rahayu.
34
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
(a) (b)
Gambar 2.3. Koleksi Lapangan Dalam Proses Pemilahan (a), Identifikasi
dan Pengawetan (b). Foto: R. Pratiwi.
35
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
7. Koleksi Pembagian
Merupakan sejumlah spesimen pembagian dari hasil penelitian
kerjasama atau eksplorasi bersama antara peneliti dengan peneliti dari
instansi lain. Spesimen ini dapat digabungkan dengan koleksi utama lainnya
setelah mengalami proses sebagaimana yang ditentukan.
8. Koleksi Bukti
Kumpulan spesimen atau bagian dari tubuh binatang hasil
penelitian ekologi atau biologi lainnya yang mungkin dilengkapi atau tidak
36
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
37
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Gambar 2.6. Spesimen Pamer (Display) Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-
LIPI. Foto: I.B.Vimono.
38
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
39
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
6. Vial/tube: botol berukuran kecil atau yang telah baku, bening, tidak
berwarna dan tanpa tutup digunakan untuk koleksi spesimen berukuran
kecil (mikro bentik). Spesimen dimasukkan dalam vial atau tube
tersebut, kemudian ditutup oleh kapas dan dimasukkan ke dalam botol
yang lebih besar.
7. Slide: lempeng kaca (object glass) dengan ukuran yang telah baku,
tanpa tutup (cover glass), sebagai media spesimen cacing atau bentik.
8. Kantong Plastik: terbuat dari polietilen, berwarna bening dengan clips
dibagian ujung, berukuran baku dan digunakan untuk spesimen kering
(moluska, coral dan bintang laut).
9. Kertas“Samson”: ketas berwarna coklat, permukaan halus, digunakan
untuk alas spesimen herbarium (lamun atau seagrass).
Setiap koleksi spesimen hendaknya memiliki kode-kode khusus
berkaitan dengan kondisi dari tempat (unit) penyimpanan, hal ini sangat
berguna sebagai informasi bahwa unit penyimpanan rusak, jelek atau
kondisinya tidak baik. Sebagai contoh diambil dari koleksi di Museum
Zoologi Bogor (MZB) yang memiliki kode-kode sebagai berikut:
A-1 : unit penyimpanan dalam kriteria ini sudah tidak memenuhi syarat
digunakan untuk penyimpanan karena kondisinya sudah jelek. Harus
segera diganti sebab dapat menyebabkan koleksi rusak dalam waktu
dekat.
A-2 : unit penyimpanan dalam kriteria ini tidak terlalu jelek, tetapi dalam
waktu beberapa tahun (5 tahun) diperkirakan akan rusak, sehingga
diperlukan pemantauan terus menerus.
40
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
A-3 : unit penyimpanan dalam kriteria ini sudah bagus sesuai standar
baku, karena spesimen sudah dapat dipastikan dijamin
keselamatannya.
Sedangkan untuk status penataan juga sebaiknya mengikuti apa
yang dilakukan oleh MZB dengan kode-kode sebagai berikut:
B-0 : koleksi spesimen belum dipilah
B-1: koleksi utama yang sudah dipilah ampai tahap kelompok besar
(filum, bangsa, suku).
B-2: koleksi utama yang dipilah sampai tahap marga dan jenis sehubungan
dengan revisi taksonomi.
B-3: materi pinjaman dari dan untuk institusi lain, yang dipisahkan atau
terpisah, siap untuk dikirim atau siap disatukan dengan koleksi utama.
B-4: spesimen tipe yang dipisahkan dari koleksi utama, tersimpan dalam unit
penyimpanan khusus.
Kondisi spesimen kering hendaknya bersih, kering, tidak berjamur,
utuh dan tidak ada cairan. Sedangkan untuk koleksi basah, harus berupa
spesimen utuh, tidak busuk, tidak lembek ataupun hancur, beralkohol
jernih, berbau khas alkohol dan diawetkan dengan konsentrasi 96 %.
Kode-kode lain yang juga penting sebagai informasi yang
berkaitan dengan koleksi perlu dibuatkan, contoh diambil dari museum
MZB sebagai berikut:
C-1: tanpa data lokasi
C-2: data lokasi sangat terbatas, misalnya: hanya ada nama pulau saja
C-3: data lokasi lengkap, termasuk informasi tanggal, kolektor,
identifikator dan lain-lain
41
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
C-4: data lokasi sangat lengkap termasuk informasi tipe habitat, cara
koleksi dan posisi (kordinat).
C-5: tahap identifikasi masih sampai marga ke atas bangsa atau suku,
khusus untuk lokasi C3 dan C4.
C-6: tahap identifikasi sampai jenis, khusus untuk lokasi C3 dan C4.
C-7: tahap identifikasi sampai jenis, tetapi dilengkapi dengan Informasi
tentang identifikasi dan publikasi khusus untuk lokasi C3 dan C4.
42
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
43
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
E. Penyimpanan Koleksi
Di dalam koleksi ilmiah Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
hanya ada 2 macam jenis koleksi (basah dan kering) dan 1 jenis koleksi
herbarium. Untuk lebih jelasnya setiap kelompok taksa akan
menjelaskannya pada bab-bab tersendiri, tetapi dalam halaman ini akan
diulas sedikit mengenai hal tersebut sebagai berikut:
1. Koleksi Kering
a. Ruangan
- Memiliki suhu ruangan yang terus terkontrol sekitar 20o-
21oC, serta kelembaban sekitar 45-60%.
- Sarana penyimpanan selalu dijaga kebersihannya (kotak
plastik kantong plastik, botol-botol, laci-laci,lemari besi
dan lain-lain).
- Ruangan diupayakan bebas hama (bersih hama), dipantau
terus menerus.
- Usahakan lampu tidak menyala terus, hanya menyala saat
bekerja saja dan bila tidak ada kegiatan sebaiknya
dimatikan.
- Bebas dari makanan dan minuman (dilarang makan dan
minum saat bekerja di dalam ruangan).
44
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
2. Koleksi Basah
a. Ruangan
- Memiliki suhu ruangan yang terus terkontrol sekitar 20o-
21oC, serta kelembaban sekitar 45-60%.
- Ruangan harus gelap, matikan lampu bila tidak ada yang
bekerja (tidak ada kegiatan).
- Kebersihan ruangan selalu terjaga (bersih).
- Tidak diperbolehkan makan dan minum di dalam
ruangan.
45
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
3. Koleksi Herbarium
a. Ruangan
- Memiliki suhu ruangan yang terus terkontrol sekitar 20o-
21oC.
- Ruangan harus gelap, matikan lampu bila tidak ada yang
bekerja (tidak ada kegiatan).
- Kebersihan ruangan selalu terjaga (bersih).
- Tidak diperbolehkan makan dan minum di dalam
ruangan.
b. Tempat (unit) Penyimpanan
- Lemari sebaiknya sering dibuka, agar ada pertukaran
udara dan tidak lembab.
- Kebersihan rak, lemari besi dan laci-laci dalam lemari
selalu dijaga kebersihannya (bebas debu dan jamur).
- Plastik dan kertas alas herbarium juga harus bersih dari
debu dan jamur.
46
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
47
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
48
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
F. Penataan Spesimen
Setiap rak koleksi diberikan nama dari kelompok taksa masing-
masing, misalnya: rak untuk kelompok crustacea, rak ikan, rak
echinodermata dan sebagainya. Botol-botol spesimen disusun berdasarkan
nomor urut registrasi sesuai yang tertulis dalam buku katalog. Masing-
masing taksa mempunyai kode-kode tersendiri yang berbeda antara
kelompok satu dengan taksa lainnya.
49
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
50
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
2. Pengambilan/Pemotretan Spesimen
a. Para pengguna yang akan melakukan pemotretan spesimen
atau merekamnya dengan video, harus seizin Kepala Bidang
SDL dan diketahui oleh Kepala Laboratorium Koleksi
Rujukan Biota Laut serta kuratorial masing-masing kelompok
taksa atas spesimen yang diinginkan.
b. Para pengguna yang akan melakukan pemotretan spesimen
atau merekamnya dengan video, harus mentaati peraturan atau
mengikuti SOP yang berlaku.
c. Para pengguna baru dapat melakukan pemotretan spesimen
atau merekamnya apabila persyaratan kedinasan telah selesai.
d. Pelaksanaan pengambilan gambar/potret atau merekam tidak
boleh dilakukan di dalam ruang koleksi, tetapi di ruangan lain
atau tempat yang sudah disetujui oleh Kepala Laboratorium
atau kurator yang ditugasi serta dalam pengawasan keduanya.
Pemotertan di dalam ruang laboratorium dapat merusak
koleksi spesimen.
51
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
52
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
53
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
54
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
55
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
56
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
10.Penanggulangan Bencana
Ruang Koleksi Rujukan Biota Laut keamananya harus
terjaga terutama dari bahan- bahan yang mudah menyebabkan
bencana seperti:
1. Kebakaran:
- Dilarang merokok di Ruangan Koleksi Rujukan Biota
Laut (basah, kering ataupun herbarium), ruang database
maupun ruangan berAC lainnya yang memiliki bahan
kimia yang mudah terbakar.
- Buanglah puntung rokok yang mati pada tempatnya,
pastikan sudah benar-benar mati apinya.
57
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
2. Banjir:
- Sebaiknya ruang kolesi rujukan berada di tempat yang
bebas banjir.
- Periksalah saluran-saluran pembuangan limbah setiap kali
melakukan pekerjaan di dalam ruang koleksi.
- Selamatkan botol-botol koleksi yang masih berada di lantai,
apabila belum sempat atau masih dalam proses pengerjaan,
letakkan di atas meja.
- Buanglah sampah pada tempat sampah yang telah
disediakan.
58
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
59
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
60
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Daftar Pustaka
Anonimus, tanpa tahun. Collection Policy. FWC-Fish and Wildlife
Research Institute. http://myfwc.com/about/inside-fwc/fwri/
(diakses 2 Maret 2013).
Bureu, J.C & A.L. Rice., 1980. Instruction Manual for the Collection,
Preservation and Curation of A Marine Reference
Collection.United Nations Educational Scientific and Cultural
Organization. 64 pp.
61
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Bab III
Rianta Pratiwi
Pendahuluan
Crustacea adalah binatang tak bertulang belakang yang
termasuk ke dalam Phylum Arthropoda, sub phylum Crustacea dan
sangat dekat hubungannya dengan insekta, laba-laba dan kaki seribu.
Tubuhnya beruas-ruas atau bersendi-sendi, setiap sendi dihubungkan
oleh otot sehingga mudah bergerak. Selain itu crustacea mempunyai
“exoskeleton” atau tulang luar (karapas) yang dibentuk oleh chitin atau
zat kapur. Cangkang yang keras terbuat dari lapisan chitin berfungsi
untuk melindungi dirinya. Istilah crustacea berasal dari bahasa Romawi
yaitu crusta yang berarti cangkang yang keras (kerak).
Kelompok hewan ini terdiri dari udang dan kepiting
umumnya hidup di lubang-lubang, celah-celah terumbu karang atau di
balik bongkahan batu dan karang. Crustacea merupakan kelompok
binatang yang memiliki bentuk tubuh sangat beragam, hidup di kolom
air (pelagik) dan di dasar (benthik) baik di air tawar ataupun di air laut
dengan kedalaman ribuan meter. Ada sekitar 50-60 ribu jenis crustacea
di seluruh dunia. Crustacea dapat hidup di air tawar (sampai pada
ketinggian 2.800 m) dan di laut (sampai kedalaman antara 2.500-
10.000 m), suhu antara 0oC atau kurang, sampai dengan suhu antara
62
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
63
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
64
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
dan Algae.
1.2. Substrat lunak.
- Membuat liang di pasir atau di lumpur.
- Membenamkan diri di pasir atau di lumpur.
1.3. Di dalam air daerah pasang surut.
1.4. Pada daun dari tumbuhan laut.
1.5. Pada daerah dengan salinitas sangat tinggi.
1.6. Pada daerah anchihalin yaitu: daerah terpisah dari laut tetapi
mempunyai salinitas di atas nol.
1.7. Pada daerah payau seperti estuaria dan bakau.
3. Di Air Tawar.
1. Sungai dan danau.
2. Air tawar hangat.
3. Air bawah tanah seperti aliran sungai di gua.
4. Air yang tergenang pada saat musim hujan.
5. Air dengan salinitas sangat tinggi.
6. Menempel pada tumbuhan air.
65
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
4. Di Darat.
Walaupun hidup di darat tetapi tetap memiliki kemampuan
untuk selalu “berhubungan” dengan air (baik sungai maupun laut) saat
memijah. Jadi pada dasarnya pembagian biota-biota di laut bukan
berdasarkan ukuran besar atau kecil, tetapi berdasarkan pada kebiasaan
atau sifat hidupnya secara umum, seperti gerakan berjalan, pola hidup
dan sebaran menurut ekologi. Banyak biota laut yang di dalam siklus
hidupnya mempunyai lebih dari satu sifat, yaitu sewaktu larva hidup
sebagai planktonik dan berubah sifat menjadi nektonik atau bentik saat
juvenile (juwana) ataupun saat dewasa (contohnya udang, kepiting,
ikan dan lain-lain) (Nybakken, 1993).
Beberapa jenis crustacea memimiliki nilai ekonomi yang
penting yaitu “lobster” atau udang karang (Panulirus sp), udang windu
(Penaeus monodon) dan Ketam kelapa (Birgus latro) (Gambar 3.1),
selalu diburu karena merupakan sumber daya laut yang sangat
potensial. Padahal di alam keberadaan jenis ini sudah semakin
mendekati kepunahan dan perlu dilindungi seperti juga halnya dengan
mimi, Tachypleus gigas (Horse shoe crab) (Gambar 3.2) banyak diburu
oleh “suku laut” yang hidup di pinggiran pantai Kabupaten Riau dan
Bengkalis. Masyarakat Riau menyebutnya “Tapak Kuda” karena
memiliki makna tersendiri bagi keluarga yang diturun temurunkan ke
anak cucu. Mereka menganggap binatang tersebut sebagai “Jimat”
penolak bala bagi anak-anaknya, dengan cara menggantungkan mimi di
66
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
leher anak-anak, agar tidak terserang penyakit dan tidak didekati roh
jahat (Pratiwi, 1993b).
Gambar 3.2. a) Sepasang Mimi dan b). Tachypleus gigas (Horse shoe
crab/Mimi). Foto: Pratiwi
67
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
B. Tata Kerja.
Di dalam mengkoleksi spesimen crustacea diperlukan beberapa
persyaratan-persyaratan yang harus dilakukan kaitannya untuk
penyelamatan dan keamanan dari koleksi spesimen itu sendiri. Koleksi
spesimen harus tetap terjaga (jangan sampai rusak) dimulai dari
pengumpulan koleksi di lapangan, analisa di laboratorium hingga
menjadi koleksi spesimen rujukan ilmiah.
Selain itu penanganan spesimen untuk peminjaman,
pemotretan dan penggunaan lainnya sebagai bahan rujukan ilmiah
benar-benar harus ditangani dengan profesional dan berhati-hati,
karena apabila sampai terjadi kerusakan dapat dikenakan sanksi yang
telah diatur oleh Pengelola Koleksi Rujukan Biota Laut.
Keberhasilan pengelolaan spesimen tergantung dari
penangannya dan terdiri dari beberapa langkah-langkah diantaranya
sebagai berikut:
68
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
69
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
70
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
71
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
72
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
atau kepiting yang akan difoto agar warnanya tidak hilang saat
pemotretan.
Pemotretan Spesimen
Pemotretan dapat dilakukan secara langsung sebelum warna
aslinya hilang, biasanya dilakukan di alam dengan habitat yang
sesungguhnya (menggunakan kamera dalam air/under water camera)
atau di laboratorium. Lakukan perlahan-lahan, hati-hati dan sabar agar
crustacea yang akan dipotret tidak lari atau masuk ke dalam lubang
ataupun karang batu. Pemotretan dilaboratorium untuk crustacea
berukuran besar dapat menggunakan kamera digital secara langsung
atau yang berukuran kecil dapat dilakukan menggunakan mikroskop
yang memiliki kapasitas kamera untuk memotret.
Bila spesimen telah mati dan warnanya belum berubah, segera
lakukan pemotretan dengan cara mengatur tubuhnya (karena masih
lentur) di atas stereoform (papan gabus) yang dilapisi dengan kain
beludru ber warna-warni (biasanya warna gelap, hitam, biru, hijau
ataupun merah) sebagai background, yang disesuaikan dengan warna
kepiting (agar kontras) dan menghasilkan hasil foto yang memuaskan.
Spesimen diatur posisinya dengan tubuh yang proporsional, capit, kaki-
kaki, antena diatur sedemikian rupa sesuai dengan aslinya, ditusuk
jarum pentul, hingga posisinya sudah benar dan bagus. Bila telah
sesuai dengan yang diinginkan jarum pentul dapat dicabut dan lakukan
pemotretan beberapa kali. Apabila ingin menggunakan ukuran atau
73
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
nama jenis dari spesimen tersebut dapat diletakkan mistar atau nama
jenisnya di bagian bawah dari spesimen.
(a) (b)
Gambar 3.4. Contoh Pemotretan Koleksi Spesimen dengan
menggunakan Nama Spesies (a) dan Pemotretan
Koleksi Spesimen dengan Menggunakan Mistar
Sebagai Ukuran dari Spesimen (b). Foto: Pratiwi
74
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
75
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
76
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
lokasi memiliki satu label dan dibungkus bersama-sama, hal ini untuk
menghindari tercampurnya atau kerancuan apabila dibuka oleh petugas
yang menerima spesimen saat itu. Sebaiknya satu bungkus hanya
terdiri dari satu individu besar utuh, atau bila ada yang ukuran sedang
bisa dimasukkan bersama asalkan dari jenis yang sama dan dari lokasi
yang sama pula.
Setelah spesimen dibungkus dengan kain kasa/perban atau
handuk yang basah oleh alkohol, maka bungkuslah kain yang basah
tersebut dengan bubble plastik (pembungkus yang bergelembung) atau
bila sulit mencarinya bisa dimasukan dalam kantong plastik biasa
dengan ukuran yang lebih besar. Maksudnya adalah agar kain
kasa/perban atau handuk yang basah dengan alkohol tidak kering (agar
alkohol tidak menguap dan tetap basah). Ikat dengan karet gelang, lalu
masukkan kantong plastik tersebut ke dalam kotak plastik (kontainer)
yang besarnya telah disesuaikan dengan ukurannya, tutup dengan rapat
menggunakan lakban bening sekeliling kotak, bungkus dengan kertas
pembungkus dan siap untuk dikirimkan.
Untuk spesimen-spesimen yang berukuran kecil, hingga
bentik harus dimasukan ke dalam botol-botol kecil (tube) yang bertutup
ataupun tidak bertutup. Bila tidak bertutup dapat menggunakan kapas
yang telah digulung-gulung sebagai penutupnya. Masukan botol-botol
kecil tersebut ke dalam botol yang lebih besar dan berisi penuh
alkohol, maksudnya adalah agar spesimen tetap terendam. Pastikan
semua spesimen telah memiliki label dan masukkan ke dalam satu
77
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
botol untuk pengambilan spesimen yang berasal dari lokasi yang sama.
Terakhir adalah masukkan botol-botol tersebut ke dalam
konteiner/kotak plastik yang lebih besar, susun sedemikian rupa agar
rapih, pas sesuai ukurannya dan tidak rusak bila berbenturan. Susunan
botol sebaiknya tidak bertumpuk-tumpuk melebihi kapasitas dari
konteiner/kotak plastik, tutup dengan lakban hitam sekeliling kotak dan
tuliskan bahwa kotak ini harus ditangani dengan hati-hati, karena
mudah hancur (AWAS HATI-HATI MUDAH PECAH/HANCUR/
FRAGILE!!!) dan siap untuk dikirimkan. Kalau ingin aman cara yang
terbaik adalah membawanya sendiri.
78
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
label yang tertulis untuk nanti diganti dengan label yang telah tersedia.
Sedangkan spesimen yang menggunakan pengawet alkohol, setelah
disikat dan dibersihkan bisa langsung dimasukkan ke dalam alkohol
yang berkonsentrasi 90-96%, untuk kemudian diberikan label.
Perhatikan apabila ada anggota tubuh yang putus atau patah selama
proses pencucian, harus dimasukkan semua ke dalam botol tidak boleh
dibuang dan harus disimpan bersama anggota tubuh lainnya dari
individu yang sama dalam satu wadah (botol).
Pemilahan Spesimen atau pensortiran dilakukan
berdasarkan takson, dapat sampai suku, marga atau jenis. Apabila
belum bisa diketahui taksonnya, spesimen dapat dipisahkan dan
dikelompokkan dengan spesimen yang memiliki morfologinya sama.
Identifikasi Spesimen, adalah proses penamaan atau
pemberian nama koleksi spesimen yang dicocokan dengan karakter-
karakter atau morfologi hewan tersebut berdasarkan buku acuan yang
berkaitan dengan spesimen tersebut. Setelah dilakukan identifikasi,
maka dibuatkan label yang telah lengkap dengan nama jenisnya dan
semua data yang telah jelas termasuk posisi kordinat geografinya.
Untuk melakukan identifikasi diperlukan beberapa buku-buku sebagai
acuan serta kunci-kunci determinasi berkaitan dengan kelompok takson
diantaranya: Banner & Banner (1982); Banner & Banner (10985);
Barnard, (1950); Buitendijk, (1960); Estampador, (1949a,b;) Holthuis,
(1953); Holthuis, (1992); Keenan, et al., (1998); Ng, et al., (2008);
Miya, (1972); Sakai (1976a, b); Serène, (1984) dan lain-lainnya.
79
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
4. Pengelolaan Koleksi.
Pengelolaan koleksi meliputi kegiatan-kegiatan sebagai
berikut: pengawetan, perawatan dan penyimpanan spesimen.
- Pengawetan Spesimen adalah: proses mengawetkan spesimen
koleksi menggunakan cairan kimia sebagai larutan pengawet. Larutan
pengawet adalah cairan yang digunakan untuk menyimpan spesimen
dalam jangka waktu lama (tidak berbatas). Bahan pengawet yang
digunakan memiliki konsentrasi tinggi dengan maksud menghindari
pembusukan, memusnahkan bakteri dan jamur yang melekat serta
menjaga kerusakan lainnya pada spesimen. Spesimen dijaga agar
tidak rusak karena zat-zat pengawet tersebut, oleh karena itu
konsentrasi zat pengawet harus diperhatikan dan disesuaikan dengan
kondisi spesimen.
Bahan pengawet yang paling baik untuk koleksi crustacea
adalah yang murni yaitu 95-96%. Sedangkan untuk yang berukuran
kecil dapat diencerkan hingga 70% dengan cara ditambahkan
aquades. Agar tubuh crustacea tetap lentur dapat ditambahkan
gliserin 10 ml dalam 1 liter alkohol.
80
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
81
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
tertera pada label lama. Setelah disalin, label lamapun tidak boleh
dibuang dan tetap dimasukkan kembali ke dalam botol semula
bersama dengan label yang baru.
- Penyimpanan Spesimen.
Setelah semua spesimen selesai diproses sesuai dengan tata
kelola koleksi rujukan berdasarkan standard yang dimiliki oleh
Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI, maka tahap
berikutnya adalah penyimpanan spesimen. Botol-botol spesimen
koleksi ditata di rak besi sesuai dengan nomor registrasi dan
dikelompokan ke dalam taksonnya yang sudah mempunyai kode-
kode dan nomor-nomor tersendiri serta dituliskan pada rak masing-
masing.
Penataan botol spesimen dilakukan dengan rapih dan diatur
sedemikian rupa agar mudah untuk ditemukan dan dilihat. Koleksi
dapat mudah dikeluarkan atau dimasukkan dalam susunan rak
dengan tidak merusak koleksi tersebut atau mengganggu susunan
botol lainnya. Botol-botol atau wadah tempat penyimpanan spesimen
seharusnya sesuai dengan standar yaitu: terbuat dari gelas, berwarna
bening tidak buram, bermulut lebar agar mudah memasukkan
spesimen koleksi yang berukuran besar, kuat, tahan panas, dasar
botol rata dan berdinding rata tidak beralur atau bergelombang.
Tutup botol juga harus rapat, kuat, tidak mudah pecah karena
pengaruh alkohol dan dijamin alkohol tidak akan menguap.
82
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
83
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
84
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
2. Menggunakan Komputer.
Memasukkan data dan semua informasi spesimen yang
berasal dari buku katalog dengan menggunakan komputer. Data
yang dimasukkan adalah sama dengan yang ada di dalam buku
katalog, dengan maksud agar memudahkan pemasukan data (Data
Entry) dan sebagai back up data.
Label permanen juga dapat dibuatkan dengan pengetikan
menggunakan komputer. Semua label permanen harus
dimasukkan atau disertakan pada spesimen yang bersangkutan
dalam botol koleksi.
85
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
2. Pengembalian
3. Penerimaan pemberian/hibah
4. Pemberian hadiah/tukar menukar
Semua tata cara tersebut di atas sudah diatur oleh kebijakan
yang dikeluarkan oleh Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan Biota
Laut, P2O-LIPI sesuai dengan SOP yang ada dan tertulis dalam Bab 1.
Akan tetapi terdapat beberapa catatan khusus untuk spesimen koleksi
crustacean yaitu:
- Spesimen yang akan dipinjam dipisahkan dari dalam botol
koleksi dan masukkan dalam botol lain, catat kondisi
spesimen saat sebelum dipinjamkan. Kondisi tersebut dapat
dijadikan sebagai bahan untuk pemantauan saat koleksi
dikembalikan. Label juga harus dicatat dan selalu berada
dengan spesimen dalam botol koleksi.
- Pembungkusan spesimen sama dengan tata cara yang telah
disebutkan di atas, usahakan tidak ada yang rusak saat
pengiriman ke tempat peminjaman ataupun saat dikembalikan
ke tempat asalnya.
- Administrasi data (tetap dicatat) siapa yang meminjam dan
kapan waktu pengembalian serta penanggungjawab dari
spesimen koleksi, semua dicatat dalam buku peminjaman.
86
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Daftar Pustaka
Barnard, K.H., 1950. Descriptive catalogue of South African Decapod
Crustacea (Crabs and Shrimps). Annals of the South African
Museum, 38: 1-837, figs 1-154.
Keenan, C.P., P.J.F. Davie, & D.L. Mann, 1998. A Revision of the
genus Scylla De Haan, 1983 (Crustacea: Decapoda:
87
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Miya, Y., 1972. The Alpheidae (Crustacea, Decapoda) of Japan and its
adjacent waters. Part I. Publications from the Amakusa
Marine Biology Laboratory, Kyushu University, 3 (1): 23-101.
Pratiwi, R., 1993b. Mimi (Horse shoe crab)”the death spreader which
is protected ”. Oseana, XVIII (1): 25-34.
88
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Smith, W.K. & Miller, P.C. 1973. The thermal ecology of two South
Florida fiddler crabs: Uca rapax Smith and U. pugilator.
Bosc. Physiol. Zool. 46: 186-207.
89
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
Bab IV
Pendahuluan
Ekhinodermata merupakan biota bentik yang hanya ditemukan di
laut, mulai dari daerah pasang-surut hingga di laut dalam. Ekhinodermata
juga dapat ditemukan pada terumbu karang, padang lamun dan daerah pasir.
Hewan dari filum ini meliputi: lili laut (kelas Crinoidea), bintang laut (kelas
Asteroidea), bintang mengular (kelas Ophiuroidea), bulu babi/landak laut
(kelas Echinoidea) dan timun laut (kelas Holothuroidea). Hewan ini
tersebar di perairan laut di seluruh dunia, baik tropis maupun kutub. Kata
Echinodermata berasal dari bahasa Yunani, yaitu Echinos (Indonesia:
duri/landak) dan Derma (Indonesia: kulit), yang berarti hewan yang
memiliki kulit berduri.
Ekhinodermata merupakan hewan unik yang memiliki bermacam-
macam bentuk. Seluruh anggota filum Echinodermata memiliki simetri
pentaradial, dimana simetri tubuh yang berkelipatan lima tersebut nampak
jelas kecuali pada kelas Holothuroidea. Lili laut memiliki sebuah “cakram”
centrodorsal dengan lengan yang bercabang serta memiliki struktur
pencengkeram yang di sebut cirri pada bagian dorsal yang berfungsi untuk
mencengkeram substrat. Bintang laut memiliki bentuk dasar bintang segi
lima dengan celah ambulacral di sisi oral dan pada umumnya memiliki 5
lengan ataupun berkelipatan 5, walaupun ada yang terlihat memiliki 4 atau
6 lengan. Bintang mengular memiliki satu cakram (disc) dengan mulut di
90
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
bagian ventral berupa celah bergigi dan lima buah lengan yang rapuh dan
relatif panjang di sisi cakram. Anggota kelas Echinoidea (termasuk
bulubabi) memiliki cangkang dengan duri-duri yang menutupi permukaan
tubuhnya. Timun laut memiliki kesan simetri bilateral, umumnya dengan
bentuk memanjang dan pada sebagian spesies tentakel pada sisi oral terlihat
jelas.
Gambar 4.1. Foto representasi dari lima kelas Echinodermata. a) lili laut
(Crinoidea), b)bintang laut (Asteroidea) c) bintang mengular
(Ophiuroidea), d) bulu babi (Echinoidea) dan e) timun laut
(Holothuroidea). Foto: I.B.Vimono.
91
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
92
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
93
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
94
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
a) b)
c)
95
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
2. Foto in situ. Pengambilan foto biota hidup secara in situ atau di habitat
aslinya sebelum melakukan koleksi biota, penting untuk dilakukan.
Foto tersebut akan berguna untuk memberi informasi tentang habitat
dan kondisi hidup dari biota tersebut sebelum berubah karena
penyimpanan, misalnya kondisi habitat, bentuk morfologi, maupun
warna. Pengambilan foto in situ di daerah intertidal sebaiknya
menggunakan kamera tahan air. Pengambilan foto biota daerah subtidal
melalui snorkeling dan SCUBA disarankan menggunakan kamera
khusus tahan air dengan rentang kedalaman 10 meter atau lebih.
Kamera dengan underwater housing umumnya dipilih untuk SCUBA
karena menyediakan perlindungan terhadap kamera hingga kedalaman
40 meter atau lebih. Untuk koleksi biota dari laut dalam, pengambilan
foto sebaiknya dilakukan segera setelah biota diambil dari alat koleksi
(Ekman grab maupun bottom trawl) saat kondisi fisik biota masih baik
96
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
97
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
a) b)
c) d)
Gambar 4.4. a) Pengambilan data titik GPS, pengenalan medan dan diskusi
mengenai pelaksanaan sampling, b) foto in situ bintang laut
(Choriaster granulatus) di kedalaman 20 meter, c) kamera
dengan housing underwater dengan maksimum kedalaman 40
meter, dan d) bulu babi (Mespilia globulus) yang berlindung
di balik serasah dan algae. Foto: I.B.Vimono.
98
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
99
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
Gambar 4.5. a) Timun laut yang baru dikoleksi dari lapangan disimpan
sementara di dalam kantong plastik berisi air laut, b)
beberapa bulu babi dikumpulkan di dalam ember yang berisi
air laut, c) bintang mengular yang telah di bius dapat dengan
mudah diatur posisinya sehingga dapat tersimpan dengan
rapi, d) specimen yang tersimpan di dalam botol tertutup
berisi alkohol. Foto: I.B.Vimono.
100
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
Wadah berisi ethanol atau alkohol beserta spesimen ditutup rapat agar
alkohol tidak menguap atau tumpah selama perjalanan. Alkohol adalah zat
yang mudah terbakar, sehingga dalam proses transfer menggunakan alat
transportasi, perlu diperhatikan pengemasan dan pemberian alkohol selama
perjalanan.
101
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
102
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
registrasi dapat mencakup filum, kelas maupun tingkat yang lebih teliti
selama tidak mempersulit pengelompokan dan pendataan. Contoh
pengkodean dan nomor registrasi misalnya: EE.123 yaitu kode untuk
filum Echinodermata dari Echinoidea (EE) dan nomor registrasinya
adalah 123, atau EA.032 yaitu kode untuk filum Echinodermata dari
kelas Asteroidea (EA) dan nomor registrasinya adalah 032.
6. Penyimpanan. Spesimen yang telah memiliki label lengkap dan
teregistrasi disimpan dalam ruangan penyimpanan yang memiliki suhu
ruangan konstan, kering, gelap dan memiliki sirkulasi udara yang baik.
Kondisi tersebut biasanya didapatkan pada ruangan yang menggunakan
Air Conditioner (AC).
103
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
pada beberapa media yang berbeda, minimal dalam bentuk buku katalog
dan file data digital.
Daftar Pustaka
Clark, A.M. and F.W.E. Rowe. 1971. Monograph of Shalow Water Indo-
West Pasific Echinoderms. London: Trustees of the British
Museum (Natural History), 300 pp.
Lane, D.J.W. & D. Vandenspiegel. 2003. A Guide To Sea Stars And Other
Echinoderms Of Singapore. Singapore: Singapore Science
Centre, 187 pp.
104
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Bab V
Pendahuluan
105
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
106
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
107
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Gambar 5.2. Mollusca pada berbagai habitat: A) Chiton di tebing batu cadas;
B) Kerang kapak di substrat pasir rataan terumbu; C) Kima di
ekosistem terumbu karang; D) Lola di ekosistem terumbu
karang; E) Keong di pantai berbatu; F) Keong di substrat
berlumpur hutan mangrove; G) Keong di batang mangrove; H)
Kerang di ekosistem padang lamun; I) Sontong di ekosistem
terumbu karang; J) Nudibranch di karang mati rataan terumbu.
Foto: U.Y.Arbi.
Sampling Mollusca
Sampling diartikan sebagai suatu proses menyeleksi porsi dari
populasi untuk dapat mewakili populasi. Sedangkan teknik atau cara yang
digunakan dalam pengambilan sampel penelitian disebut sebagai teknik
sampling. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian adalah quota
sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara menetapkan sejumlah
anggota sampel. Anggota populasi manapun yang akan diambil tidak
masalah, yang penting jumlah quotum yang sudah ditetapkan sebelumnya
108
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
109
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
110
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Gambar 5.3. Sampling Mollusca dengan Transek garis yang juga untuk belt
transect di beberapa ekosistem: A) Padang lamun; B) Hutan
mangrove; C) Terumbu karang; D) Rataan terumbu. Foto:
U.Y.Arbi.
111
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Gambar 5.5. Sampling Mollusca dengan core untuk perairan deep sea
digabung dengan sampling geologi: A) Pengambilan sedimen
dari kapal riset; B) Core yang berisi sedimen; C)
Pengambilan sedimen dari dalam core; D) Penyortiran sampel
Mollusca dengan saringan bertingkat. Foto: U.Y.Arbi.
Gambar 5.6. Sampling dengan box core: A) Satu set box core untuk
pengambilan sampel laut dalam; B) Box core diturunkan dari
kapal riset; C) Box core yang telah ditarik kembali; D)
Contoh hasil pengambilan sampel dengan box core.Foto:
U.Y.Arbi.
112
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
113
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
114
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
115
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
116
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
117
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Gambar 5.7. Contoh format label: A) Label koleksi basah ukuran besar di
Raffles Museum, Singapura; B) Label koleksi kering di Raffles
Museum, Singapura; C) Label koleksi basah ukuran kecil di
Raffles Museum, Singapura; D) Label koleksi hasil kerjasama
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dengan PT Newmont Nusa
Tenggara. Foto: U.Y.Arbi.
118
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
119
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
120
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
121
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
pangkalan data spesimen koleksi dibuat mengikuti aturan yang dibuat oleh
pengelola ruang koleksi spesimen yang dikerjakan oleh seorang kurator.
122
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
123
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
124
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
125
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
database sebagai spesimen yang pernah dikoleksi dari suatu lokasi tertentu,
walaupun bentuk fisik dari spesimen tersebut sudah tidak ada lagi.
Penggantian tidak bisa dilakukan karena spesimen yang dimaksudkan sebagai
pengganti spesimen yang rusak atau hilang tersebut memiliki informasi yang
berbeda meskipun diambil dari lokasi yang sama. Hal ini terutama informasi
yang ada apabila dilakukan analisa pada tingkat molekuler. Dua spesimen
pada satu spesies yang sama yang diambil lokasi yang sama tetapi pada waktu
yang berbeda sangat mungkin akan dijumpai hasil analisa molekuler yang
berbeda. Hal ini terjadi karena perubahan evolusioner secara bertahap dalam
waktu yang relatif lama yang diyakini terjadi pada setiap spesies sebagai
bentuk adaptasi terhadap setiap perubahan lingkungannya yang terjadi dari
waktu ke waktu. Alasan inilah terutama yang menjadi dasar ketidaktepatan
dilakukan penggantian spesimen koleksi yang rusak maupun hilang.
Daftar Pustaka
126
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Janus, H. 1979. The young specialist looks at molluscs. Burke Books, London
& Toronto: 180 pp.
Rothwell, R.G. 2001. Marine sample collections: Their value, use and future.
IACMST Information Document no. 8: 1-56.
127
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Bab. VI
Fahmi
Pendahuluan
Pengertian mengenai istilah ‘ikan’ pada umumnya adalah
hewan akuatik yang memiliki tulang belakang (vertebra), bernafas
dengan insang, memiliki struktur tulang yang terdiri dari tulang
sejati ataupun rawan (cartilage), serta umumnya memiliki sirip (Hart
& Reynold, 2002; Nelson, 2006). Ikan merupakan salah satu
kelompok terbesar dari biota akuatik dengan ukuran tubuh yang
sangat bervariasi, mulai dari yang terkecil dengan ukuran hanya
beberapa sentimeter saja, hingga ukuran terbesar yang dapat
mencapai belasan meter. Adapun pengelompokkannya secara umum
berdasarkan kelas besar (Nelson, 2006), yaitu:
1. Chondrichthyes (ikan bertulang rawan)
2. Actinopterygii (ikan bertulang sejati); dan
3. Sarcopterygii (termasuk coelacanths, lungfishes, dan tetrapoda)
Jumlah jenis ikan yang ada di dunia dengan nama ilmiah
yang valid mencapai lebih dari 28 ribu spesies. Jumlah tersebut
masih mungkin bertambah seiring dengan ditemukannya jenis-jenis
baru dari tahun ke tahun. Indonesia sebagai salah satu pusat
keanekaragaman hayati dunia, memiliki jumlah jenis ikan lebih dari
128
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
4500 spesies yang sudah terdaftar di dalam Fish Base, yang terdiri
dari sekitar lebih dari seribu jenis ikan air tawar dan lebih dari 3500
jenis ikan air laut. Jumlah jenis ikan air laut yang sangat tinggi
tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi akademisi, peneliti,
taksonom dan kurator Indonesia di dalam mengoleksi, menyimpan
dan mengelola koleksi rujukan ikan laut, yang berguna bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang taksonomi, ekologi, dan
keragaman hayati Indonesia.
Koleksi biota laut di dalam sebuah koleksi referensi
(refference collection) merupakan salah satu bukti secara ilmiah
terhadap kekayaan keragaman jenis biota di suatu daerah.Umumnya
tujuan dari koleksi spesimen adalah untuk alasan taksonomi, yang
menjadikan spesimen koleksi sebagai rujukan, bukti atau
pembanding terhadap keberadaan suatu spesies dari daerah atau
lokasi tertentu. Deskripsi ilmiah suatu jenis biota membutuhkan
pengamatan, pengukuran dan dekripsi secara detail terhadap
spesimen tipe yang dijadikan rujukan utama atau sejumlah spesimen
yang disimpan, terdaftar dan terawat. Koleksi spesimen umumnya
disimpan di dalam sebuah museum zoologi atau institusi penelitian
dan pendidikan untuk jangka waktu yang lama serta dapat diakses
oleh pihak-pihak yang membutuhkannya. Prosedur dan metode
dalam pengelolaan koleksi spesimen ikan laut dibahas dengan detail
di bawah ini.
129
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Koleksi Spesimen
Spesimen ikan yang cocok untuk dijadikan sebagai
spesimen koleksi adalah spesimen yang masih dalam keadaan segar,
tidak cacat (kondisi sirip dan sisik masih lengkap), warnanya masih
cerah, serta isi perut yang belum membusuk. Oleh sebab itu,
spesimen koleksi sebaiknya berasal dari ikan-ikan yang baru
ditangkap, bahkan untuk ikan-ikan yang berukuran kecil lebih baik
apabila masih dalam keadaan hidup agar hasil pengawetannya
sempurna. Penanganan spesimen yang hati-hati dan sesuai prosedur
sangat diperlukan agar kondisi spesimen tetap baik dan tidak
rusak.Bagian-bagian tubuh yang penting untuk keperluan
identifikasi, seperti kelengkapan jumlah sirip, jumlah gurat sisi,
kelengkapan gigi dan insang, harus tetap dijaga kondisi dan
kelengkapannya karena merupakan kunci-kunci karakter dalam
mengidentifikasi jenis ikan. Bagian-bagian tubuh tersebut sangat
mudah rusak walaupun sudah dalam kondisi diawetkan.
Spesimen ikan dapat diperoleh melalui berbagai cara, baik
pengambilan secara langsung maupun tidak langsung. Pengambilan
spesimen secara langsung di lapangan dilakukan dengan
menggunakan beberapa alat penangkap ikan. Alat tangkap yang
digunakan untuk mengoleksi sampel ikan dibagi ke dalam dua
kategori, yaitu aktif dan pasif. Alat tangkap aktif adalah alat tangkap
yang pengoperasiannya dalam keadaan bergerak, baik yang
digerakkan oleh mesin maupun oleh tenaga manusia. Sedangkan alat
tangkap pasif merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya secara
pasif atau tidak bergerak dan dipasang dalam periode waktu tertentu.
130
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Penanganan Spesimen
Spesimen yang baru ditangkap dari lapangan apabila dalam
keadaan mati sebaiknya segera diproses dengan langkah-langkah
berikut.Spesimen yang baru tertangkap oleh alat tangkap segera
dibersihkan dan dikelompokkan berdasarkan jenisnya, kemudian
dimasukkan ke dalam plastik atau wadah tertentu dan diberi label.
Label berisikan informasi mengenai lokasi penangkapan (sertakan
posisi koordinatnya jika ada), kedalaman perairan, tipe substrat, alat
tangkap yang digunakan, tanggal dan stasiun pengambilan sampel
jika ada. Hindari penumpukan sampel terlalu banyak dalam satu
wadah yang dapat mengakibatkan kerusakan pada spesimen,
131
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
132
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
133
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Pengawetan Spesimen
Penanganan yang tepat dan prosedur pengawetan spesimen
yang benar baik di lapangan maupun di laboratorium, sangatlah
penting dalam mendapatkan sebuah spesimen koleksi yang
berkualitas dan tahan lama. Penanganan dan perawatan yang benar
terhadap suatu spesimen koleksi dapat memperpanjang umur dan
kegunaannya. Pengawetan suatu spesimen sangat tergantung dari
tujuan dan manfaatnya. Suatu spesimen koleksi yang digunakan
untuk jangka waktu yang lama dan dijadikan koleksi rujukan bagi
jenis biota tertentu di suatu daerah, biasanya disimpan di dalam
larutan alkohol 70% dan selalu diganti secara berkala. Sedangkan
koleksi spesimen yang dijadikan sebagai koleksi sementara dan
bertujuan untuk tetap mempertahankan warna dasar dari spesimen
tersebut, maka larutan formalin merupakan pilihan yang paling tepat.
134
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
135
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
136
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
bahan yang tahan air dan bebas asam. Untuk label yang
berisi nama spesimen dan nomor katalog dapat dibuat
dalam kertas kecil atau kain yang diikatkan pada spesimen.
Bagian luar toples atau kontainer sebaiknya juga ditempeli
label yang berisi nomor botol dan nomor katalog;
Isi toples atau kontainer dengan larutan formalin yang
sudah disiapkan dengan hati-hati agar tidak ada larutan
formalin yang tumpah atau mengenai badan. usahakan
seluruh bagian tubuh spesimen terendam oleh larutan
formalin. Apabila spesimen terlalu ringan sehingga
mengambang, masukkan secarik kain katun di bagian
permukaan formalin sehingga seluruh bagian tubuh
spesimen yang mengambang menjadi ikut terendam atau
tertutup oleh kain yang lembab oleh larutan formalin;
Tutup bagian atas toples dengan rapat agar bau formalin
tidak tercium keluar. Celah antara tutup dan toples dapat
ditutup oleh selotip, lakban atau cairan lilin;
Simpan spesimen di rak koleksi sesuai dengan nomor
koleksi atau nomor botolnya.
137
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Pemeliharaan Spesimen
Spesimen ikan yang diawetkan dan disimpan dalam suatu
koleksi rujukan di museum, instansi penelitian maupun perguruan
tinggi, dapat menjadi pusat informasi dalam menjelaskan keragaman
hayati perairan Indonesia dari waktu ke waktu. Keberadaan
spesimen koleksi tersebut mungkin tidak dapat tergantikan lagi oleh
spesimen baru dari jenis yang sama karena bisa jadi keberadaan jenis
dari spesimen tersebut di alam telah punah karena kerusakan habitat
atau faktor-faktor lainnya. Mengingat pentingnya nilai spesimen
138
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
139
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Penataan Koleksi
Spesimen yang disimpan di dalam ruang koleksi sebaiknya
ditata dengan baik untuk memudahkan pemeliharaan. Ada beberapa
cara pengaturan penyimpanan koleksi rujukan yang dapat diterapkan
sesuai dengan keperluannya. Apabila spesimen ikan yang dimiliki
cukup banyak dan beragam, penyimpanan dapat dilakukan dengan
membuat urutan sesuai tingkatan taksanya. Sebagai contoh,
spesimen dapat disimpan di dalam rak penyimpanan dan
dikelompokkan berdasarkan sukunya. Cara lain adalah
penyimpanan yang disesuaikan dengan urutan nomor botol atau
nomor katalog spesimennya. Kedua cara ini lebih mudah dilakukan,
namun apabila kita ingin mencari spesimen jenis tertentu, harus
melihat daftar katalog atau database koleksi rujukan untuk
mengetahui nomor katalog dan di bagian mana spesimen tersebut
disimpan. Kunci utama dari penataan koleksi rujukan tersebut adalah
adanya keteraturan dan kemudahan untuk memelihara dan
mengakses spesimen koleksi yang kita miliki.
140
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Pengiriman Spesimen
Spesimen koleksi yang bernilai penting dalam bidang
taksonomi (khususnya spesimen tipe) kadang kala dipinjam oleh
taksonom lain baik di dalam maupun luar negeri dengan tujuan
melakukan eksaminasi atau pengecekan secara morfologi dan
meristik untuk dibandingkan dengan spesimen yang mereka miliki.
Untuk itu, prosedur pengiriman spesimen juga harus diperhatikan
agar spesimen tidak menjadi rusak di dalam perjalanan.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengeluarkan
spesimen dari dalam toples atau kontainer dengan hati-hati. Apabila
spesimen masih berada di dalam larutan formalin, maka spesimen
harus direndam dahulu dengan air semalaman untuk menghilangkan
bekas-bekas formalinnya. Sedangkan untuk spesimen yang sudah
diawetkan dalam larutan alkohol dapat langsung dipersiapkan untuk
pengiriman.
Siapkan kain katun (bahan kaos) yang sudah dibasahi oleh
air dan diperas sehingga kondisinya menjadi lembab. Bungkus
spesimen dan labelnya dengan hati-hati oleh kain tersebut, kemudian
bungkus kembali dengan plastik sebanyak dua atau tiga lapis
(Gambar 6.3). Rapatkan dengan menggunakan selotip atau lakban.
Untuk keperluan pengiriman, bungkus kembali spesimen tadi
dengan plastik bubble, masukan ke dalam kotak karton atau kardus
yang seukuran dan bungkus dengan rapi. Kirimkan spesimen yang
dilengkapi dengan dokumen dan surat-surat pendukung untuk
keperluan pengiriman, sebaiknya meminta surat rekomendasi dari
141
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
142
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Daftar Pustaka
American National Museum of History (AMNH). 2007. Methods
How To Preserve Fish Specimens for Long-Term Storage
or Shipment. .
http://research.amnh.org/vz/ichthyology/congo/other05.ht
ml. Diakses tanggal 11 April 2013.
Hart, P.J. and Reynolds, J.D. 2002. Handbook of Fish Biology and
Fisheries.Vol.1, Fish Biology. Blackwell Publishing
Company, USA. 390p.
Lim, K.P. and Sivasothi, N. 1994. A guide to methods of preserving
animal specimens in liquid preservatives.Source:
http://preserve.sivasothi.com/. Diakses tanggal 11 April
2013.
Nelson, J.S. 2006.Fishes of The world.4th edition. John Wiley &
Sons Inc., New Jersey. 601 p.
Province of British Columbia. 1997. Fish Collection Methods and
Stadards. Resource Inventory
Committe.http://archive.ilmb.gov.bc.ca/risc/pubs/aquatic/f
ishcol/index.htm. Diakses tanggal 11 April 2013.
143
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Bab VII
Pendahuluan
144
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
145
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Reproduksi
Karang bereproduksi baik secara seksual maupun aseksual.
Koloni-koloni tumbuh dengan dua tipe pembelahan aseksual dari polip,
yaitu dari satu koralit kemudian membelah menjadi dua (intratentakuler)
maupun koralit baru muncul di luar dari koralit dewasa (extratentakuler).
Bentuk lain dari reproduksi secara aseksual yaitu polip karang yang stres
meninggalkan kerangka kapur yang ditempatiya untuk pindah ke tempat
lain dengan melayang mengikuti arus kemudian menempel pada substrat
dan berkembang menjadi koloni baru (polyp bailout). Beberapa karang juga
membentuk tunas kecil yang berbentuk seperti koloni asli dan pada
akhirnya akan terpisah membentuk koloni-koloni baru (satellite), seperti
146
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Sistematika
Karang batu dimasukkan ke dalam phylum Cnidaria (cnida =
jelatang). Keluarga besar ini misalnya hydroid, ubur-ubur, kipas laut,
pentacula, karang lunak dan anemon. Keluarga besar jelatang dalam sejarah
evolusinya adalah biota-biota laut yang dapat menghasilkan kerangka kapur
di dalam jaringan tubuhnya. Dalam perkembangan terakhir yang dimaksud
Cnidaria adalah biota-biota penghasil kapur saja (Suharsono, 2008).
Cnidaria dibagi menjadi dua kelas yaitu Hydrozoa dan Anthozoa
yang merupakan biota-biota yang mempunyai skeleton dalam tubuhnya.
Hydrozoa terdiri dari Millepora (mille = seribu, pora= lubang) dan
Stylasterina (Style=paku, aster=bintang). Sedangkan yang termasuk dalam
kelompok Anthozoa yang umum dikenal adalah Stolonifera, Ctenothecalia
dan Scleractinia. Karang batu yang merupakan jenis-jenis karang penyusun
terumbu dimasukkan ke dalam Scleractinia (Suharsono, 2008).
Dalam sistenatika, karang batu (Scleractinia) merupakan hewan
dari anggota Phylum Cnidaria, Class Anthozoa dan Ordo Scleractinia.
Lebih lanjut, Karang batu terbagi ke dalam 15 famili, yaitu: Acroporidae,
Agracidae, Astercoeniidae,Caryophyllidae, Dendrophyllidae, Faviidae,
147
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
B. Spons
Struktur
Spons merupakan hewan multiseluler yang paling primitif. Hal ini
ditandai dari tidak dimilikinya jaringan maupun organ. Untuk seluruh
proses fisiologisnya hanya mengandalkan pada sel-sel yang mempunyai
fungsi yang berbeda-beda. Beberapa fungsi sel-sel tersebut diantaranya
adalah menyaring air untuk memperoleh makanan, membentuk skeleton
dari kolagen dan mineral dan untuk reproduksi (Cheng et. al., 2008).
Bagian terluar spons terdiri atas sebuah lapisan tipis dari sel-sel
pinacocyte, lapisan ini disebut pinacodermis. Sedangkan sel-sel porocyte
merupakan sel penyusun pori-pori kecil (ostium) yang berbentuk seperti
tabung. Lapisan dalam merupakan substansi yang mirip jelly yang terbuat
dari kolagen dan diperkuat oleh serat-serat fiber yang rapat. Lapisan
mesohyl merupakan tempat untuk pembentukan berbagai jenis sel. Sel
lophocyte di dalam mesohyl berfungsi memproduksi serat-serat kolagen. Sel
oocytes atau spermatocytes berfungsi dalam reproduksi seksual. Sel
sclerocytes memproduksi spikula yang akan membentuk kerangka spons
dan pada beberapa spesies memberikan pertahanan melawan pemangsa. Sel
archaeocyte merupakan sel yang menyerupai amoeba dan bersifat totipoten
atau mampu bertransformasi menjadi tipe-tipe sel yang lain (Brusca &
Brusca, 1990). Spons mempunyai sel-sel choanocyte, yang berfungsi
mengatur aliran air yang masuk ke dalam tubuh spons yaitu melalui flagella
yang memiliki banyak mikrovilar. Jutaan flagella ini bergerak mencambuk
air di dalam kanal dengan pola yang sama. Hal ini memicu aliran air dari
148
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
luar tubuh spons masuk ke dalam. Ketika air bergerak ke dalam, mikrovilar
bekerja menyaring dan mengambil makanan. Sistem aliran air yang
sederhana ini juga berfungsi dalam pertukaran gas, pembuangan sisa
metabolisme serta pelepasan sel sperma dan larva (Cheng et al., 2008)
(Gambar 7.2).
Gambar 7.2. Struktur spons secara umum (Mather & Benneth, 1994).
149
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Tekanan air lingkungan lebih besar daripada tekanan air di dalam tubuh
spons. Hal ini memungkinkan air untuk masuk ke dalam tubuh spons. Air
masuk melauli ostium dan akan dipompa ke luar tubuh spons melalui
oskulum. Hal ini akan berlangsung terus menerus, namun adakalanya spons
menghentikan aliran air yang masuk pada beberapa bagian tubuhnya. Hal
ini untuk menghindari partikel-partikel maupun senyawa berbahaya masuk
ke dalam tubuh spons (Levi et al., 1998). Spons mampu menyaring air 10
kali volume tubuhnya untuk tiap jam. Hal ini menjadikan mereka filter
feeder paling efisien saat ini (Hooper, 2000).
Ada tiga macam bentuk struktur tubuh spons yaitu asconoid,
syconoid dan leuconoid. Struktur asconoid adalah bentuk yang paling
sederhana. Strukturnya sangat tipis tanpa lipatan tubuh dan dimiliki oleh
Kelas Calcare dan sebagian kecil Demospongia. Struktur syconoid
mempunyai lipatan pada kedua sisi eksterior dan interior sehingga terbentuk
choanocyte chamber yang letaknya berdekatan dengan pinacoderm.
Choanocyte chamber secara langsung menghadap ke arah sentral atrium.
Syconoid banyak dimiliki oleh Kelas Calcarea. Leuconoid merupakan
struktur yang kompleks. Struktur ini mempunyai banyak celah-celah kecil
yang menuju maupun keluar dari choanocyte chamber yang berbentuk oval.
Struktur leuconoid banyak dimiliki oleh sebagian besar Kelas Demospongia
dan seluruh Hexatinellida (Mather & Bennet, 1994).
Reproduksi
Semua spons mampu melakukan perkembangbiakan baik secara
seksual maupun aseksual. Spons umumnya bersifat hermaprodit dan mereka
melepaskan sel sperma dan telur dalam waktu yang berbeda. Sel sperma
akan dikeluarkan ke perairan melalui oskulum, dan peristiwa ini
150
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Sistematika
Spons dimasukkan ke dalam phylum Porifera karena struktur
tubuhnya yang berpori. Saat ini spons dibagi menjadi empat kelas
berdasarkan komposisi kimia dan kerangka mineralnya. Kelas Calcarea
mempunyai spikula yang terbuat dari kalsium karbonat dan tersusun sebagai
calcite. Elemen kerangkanya tidak dibedakan menjadi megaskleres taupun
mikroskleres. Struktur tubuhnya meliputi asconoid, synconoid dan
leuconoid. Semua Calcarea hidup di laut. Kelas Hexatinellida atau disebut
spons gelas mempunyai spikula silikat dan pada umumnya mempunyai
enam percabangan, tidak mempunyai serat-serat spongin dalam
151
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
152
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
I. TEKNIK SAMPLING
A. Karang Batu
Karang paling banyak ditemukan di rataan terumbu dan daerah
tubir. Pada rataan terumbu, umumnya karang dapat dijumpai pada
kedalaman 50 cm dari surut terendah, sehingga teknik samplingnya relatif
lebih mudah karena tidak perlu menyelam. Sedangkan di daerah tubir, perlu
dilakukan penyelaman dengan peralatan SCUBA untuk mengambil sampel
karang. Beberapa peralatan perlu dipersiapkan sebelum melakukan
sampling. Pahat besi dan palu digunakan untuk membelah atau memotong
karang. Keranjang sampel untuk mengangkut sampel karang. Kertas label
dan pengaitnya untuk memberikan informasi terkait dengan sampel karang
yang diambil, seperti lokasi, tanggal, kolektor, kedalaman dan nama spesies
apabila langsung bisa dikenali. Kamera underwater juga sangat diperlukan
untuk memotret karang yang akan dijadikan sampel, sehingga dapat
153
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
154
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
B. Spons
Spons umumnya ditemukan mulai dari daerah intertidal hingga
perairan dalam. Pengambilan sampel spons di daerah sub tidal ataupun tubir
maka perlu menggunakan peralatan SCUBA. Meskipun habitatnya berbeda-
beda, namun dalam pengambilan sampel spons hampir semuanya
menggunakan metode yang sama. Metode yang dipakai hampir sama
dengan karang khususnya ukuran sampel. Apabila ukuran terlalu besar,
maka sebaiknya dipilih ukuran yang lebih kecil dari spesies yang sama.
Apabila ada karakter-karakter khusus (adaptasi morfologi), maka dapat
diambil keseluruhan. Namun apabila tidak ada karakter khusus dan
ukurannya terlalu besar, maka harus dilakukan pemotongan namun
mencakup semua bagian sampel, dari bawah hingga atas.
Sebelum sampel diambil, perlu dilakukan pemotretan. Hal ini
untuk merekam kondisi sampel di habitat aslinya, sehingga dapat diketahui
warna, bentuk morfologi dan substratnya. Sampel spons sangat cepat
berubah warna, oleh sebab itu sangat diperlukan suatu foto underwater
untuk memudahkan dalam proses identifikasi.
Pada saat di dalam air, tepatnya saat mengambil sampel, spons
yang diambil sebaiknya langsung dimasukkan ke dalam kantong plastik
diikuti dengan label underwater yang dapat dibuat sendiri sebelumnya.
Tempatkan satu sampel spons dalam satu kantong plastik yaitu untuk
menghindari terjadinya percampuran spikula spons yang berbeda jenis.
Pada saat di darat yaitu setelah mengambil sampel, sebaiknya
perlu dilakukan proses preservasi awal yaitu dengan memberi alkohol 96 %
ke masing-masing sampel. Namun sebelumnya, air laut yang masuk ke
dalam kantong plastik perlu dibuang terlebih dahulu sehingga tidak
mengencerkan alkohol yang diberi. Selanjutnya, sampel-sampel tersebut
155
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
II. PRESERVASI
a b
Gambar 7.3. a. Preservasi karang; b. Preservasi spons. Foto: T. A. Hadi.
156
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Agar sampel yang sudah dikoleksi tertata dengan baik, maka perlu
suatu manajemen sistem yang mampu mengelola hal tersebut. Setelah
preservasi, sampel baik karang maupun spons diregistrasi ke dalam suatu
log book yang mencakup nomor katalog sampel, nama ilmiah, famili,
tanggal ditemukan, lokasi, kolektor, kedalaman, orang yang
mengidentifikasi dan tanggal identifikasi, serta catatan khusus. Untuk
pemberian nomor katalog mengikuti kode dari taksa-taksa yang ada dan
nomor urut registrasi. Sebagai contoh nomor katalog CC001, menandakan
bahwa CC adalah “Coral Collections” dan 001 artinya nomor urut “1”. Hal
ini dimaksudkan agar sampel mudah langsung diketahui dengan memanggil
nomor katalognya saja.
157
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
a b
Gambar 7.4. Penempatan sampel dalam rak: a. Sampel karang; b. Sampel
spons. Foto: T.A.Hadi.
Daftar Pustaka
Levi, C., P. Laboutte, G. Bargibant and J.L. Menou 1998. Sponge of The
New Caledonian Lagoon. Ostrum editions, Paris: 214 hal.
Mather, P. and I. Bennet 1994. A Coral Reef Handbook. Surrey Beatty and
Sons Pty Limited, Australia: 263 hal.
158
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Veron J.E.N. 2000. Corals of the world 1st edition. Australian Institute of
Marine Science, Townsville, Australia. 463 hal.
159
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
Bab VIII
Panduan Koleksi Herbarium Lamun
Susi Rahmawati
Pendahuluan
Lamun adalah tumbuhan angiospermae (berbunga) yang mampu
tumbuh dan berkembang di lingkungan laut. Adapatasi lamun terhadap
lingkungan bersalinitas menurut Green dan Short (2003) dan Hemminga
dan Duarte (2000) dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
a. Mampu tumbuh di bawah permukaan air laut.
b. Berdaptasi dan bertahan pada perairan bersalinitas tinggi atau
bervariasi.
c. Sistem perakaran dan rimpang yang luas, semua jenis mejadi
clonal (klon) dan tumbuhan berimpang, untuk bertahan terhadap
pergerakan air (gelombang dan arus), yaitu.
d. Mekanisme polinasi di bawah permukaan air laut.
e. Kemampuan untuk berkompetisi dengan jenis lainnya di dalam
lingkungan laut.
Lamun tersebar di seluruh dunia, kecuali di Antartika dengan
perkiraan luas 164.000 Km2. Di Indonesia, lamun diperkirakan tersebar
seluas 30.000 Km2 yang membentuk vegetasi tunggal atau campuran.
Namun dekimian, luasan total lamun diduga melebihi nilai yang sudah
tercatat (Green and Short, 2003).
Keanekaragaman jenis lamun di Indonesia relatif tinggi dan
distribusinya melingkupi hampir seluruh wilayah pesisir (Gambar 8.1). Dari
60 jenis lamun tercatat di dunia, Indonesia memiliki 13 jenis yang meliputi
2 suku, 5 marga, dan 13 jenis (Tabel 8.1, Gambar 8.2).
160
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
161
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
162
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
163
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
2. Teknik Koleksi
Jumlah spesimen setiap jenis dicuplik sesuai ukurannya, jenis lamun
yang berukuran kecil dicuplik sejumlah 2-3 tegakan, sedangkan yang
berukuran besar cukup satu tegakan lamun. Spesimen diambil dengan
menggunakan pisau selam atau sekop. Kemudian, spesimen disimpan di
dalam kantong plastik berisi air laut dan diberi label (tanggal, lokasi, jenis,
dan kolektor). Jangan biarkan lamun kekeringan atau kepanasan karena
dapat menghilangkan warna lamun.
Proses herbarium sampel lamun sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin (kurang dari 2 jam). Apabila spesimen tidak dikeringkan dengan
segera, spesimen dapat dimasukan ke dalam lemari pendingin untuk
mencegah dekomposisi (tidak lebih dari 2 hari) atau ditambahkan
formalin/air laut 5%. Spesimen sebaiknya disimpan di tempat gelap untuk
mencegah pemudaran warna.
Sampel lamun dicuci dengan air tawar bersih, kemudian lamun
dibersihkan dari kotoran, epifit, dan partikel sedimen dengan hati-hati.
Identifikasi lamun dapat dilakukan berdasarkan bentuk hidup vegetatifnya
(daun dan rimpang) sehingga memungkinkan identifikasi lamun secara
langsung di lapangan.
164
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
3. Pemberian label
Spesimen yang dikoleksi diberi label dengan mencantumkan nama
(singkatan/initial) dan nomor koleksi, contoh “Budi23” (Budi = nama dan
23 = nomor koleksi). Koleksi jenis lamun yang sama pada waktu dan lokasi
yang sama dapat dianggap sebagai satu koleksi dan diberikan nomor yang
sama. Spesimen dikoleksi kembali dengan jenis yang sama pada waktu
yang berbeda diberi nomor yang baru. Spesimen jenis yang sama dikoleksi
pada lokasi yang berbeda diberi nomor yang berbeda.
165
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
166
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
167
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
168
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
(a) (b)
Gambar 8.5. Bahan dan susunan herbarium lamun (a) dan pengepresan
spesimen (b) (Huisman dan Parker, 2005).
169
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
C. Penyimpanan
Koleksi herbarium disimpan di lemari yang kering, gelap, dan bebas
dari hama, misalnya serangga dan tikus.
170
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
Daftar Pustaka
171
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
Bab IX
Tri Handayani
PENDAHULUAN
Makroalgae atau yang lebih umum disebut sebagai rumput laut ini
termasuk ke dalam golongan Thalophyta, yaitu organisme yang tidak dapat
dibedakan antara akar, batang dan daun. Seluruh bagian tubuhnya disebut
sebagai thalus. Makroalgae dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu
Chlorophyceae (makroalgae hijau), Phaeophyceae (makroalgae coklat) dan
Rhodophyceae (makroalgae merah).
Pengelompokkan makroalgae menjadi tiga kelas ini berdasarkan
kandungan pigmen dominan yang terkandung di dalam thalus. Phycoeritrin
dan phycosianin dominan pada makroalgae merah, fucoxantin dominan
pada makroalgae coklat dan klorofil b dominan pada makroalgae hijau.
Berbeda halnya dengan makroalgae coklat yang umumnya di lapangan
berwarna coklat dan makroalgae hijau berwarna hijau. Di alam, makroalgae
merah tidak selalu memperlihatkan warna merah, melainkan menampakkan
berbagai warna lain, seperti hijau, coklat, kuning atau kadang-kadang
berwarna kombinasi dari warna-warna tersebut. Untuk mengetahui bahwa,
makroalgae tersebut merupakan makroalgae merah indikasinya adalah
apabila makroalgae tersebut mengalami kekeringan maka warnanya akan
berubah menjadi warna merah atau keungu-unguan (Atmadja & Wijaya,
1996).
172
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
173
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
antara lain: pisau atau alat pemotong, alat tulis (pencil), kertas tahan air dan
alas tulis), kertas tahan air, marker dan snorkel, karung waring yang dapat
diikat pada bagian atasnya untuk menyimpan koleksi yang sudah terkumpul
sehingga mudah membawanya, dan sepatu lapangan (Atmadja & Wijaya,
1996).
Koleksi dapat dilakukan diberbagai tempat di perairan terumbu
(Gambar 9.1). Biasanya dilakukan di daerah rataan terumbu (reef flat),
daerah parit (moat), pinggir luar rataan (outer reef edge), di pinggir goba
(lagoon) dan di padang lamun (seagrass bed). Pertumbuhan makroalgae
umumnya lebih banyak terdapat di daerah bersubstrat dasar batu misalnya
di daerah parit (moat) yang umumnya masih terendam walaupun pada saat
surut terendah. Pengambilan sampel makroalgae dapat dilakukan dengan
cara berjalan kaki di daerah paparan terumbu pada saat air surut terendah.
Pada perairan yang agak dalam (2-3 meter), pengambilan sampel
makroalgae dapat dilakukan dengan snorkeling, sedangkan di perairan yang
dalam dilakukan dengan “scuba diving” (Atmadja & Wijaya, 1996).
174
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
175
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
176
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
177
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
178
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
179
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
180
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
herbarium, sampel, kain kasa, kertas isap, dan terakhir kertas koran.
Penyusunan ini dilakukan secara berulang-ulang sampai sampel yang akan
dibuat herbarium habis. Setelah itu dilakukan pengepressan dengan alat
press. Herbarium dapat dikeluarkan dari alat press minimal satu hari
pengepressan atau sampai herbarium kering dan menempel pada kertas
herbarium.
Beberapa jenis makroalgae apabila dipress sering terjadi
penumpukan di salah satu tempat atau bagian tertentu. Hal ini disebabkan
oleh percabangan yang terlalu banyak. Untuk menghindari hal ini, maka
perlu dilakukan pengurangan percabangan sebalum dipress. Beberapa jenis
makroalgae yang memiliki banyak percabangan antara lain: Amphiroa,
Acanthophora, Laurencia, Gracilaria, Caulerpa (Atmadja & Wijaya,
1996).
Herbarium yang baru dikeluarkan dari alat press sebaiknya tidak
langsung disimpan, sebaiknya diangin-anginkan dahulu dengan tujuan
diperoleh herbarium yang benar-benar kering. Harbarium yang masih basah
akan mudah terserang jamur dan akan merusak herbarium. Herbarium yang
baru diambil dari alat press juga tidak boleh terkena sinar matahari
langsung. Sinar matahari dapat membuat herbarium menjadi bergelombang
atau mengkerut sehingga makroalgae yang telah menempel akan mudah
terlepas kembali (Atmadja & Wijaya, 1996).
181
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
182
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
dimasukkan dalam botol kaca bening dan direndam dalam larutan alkohol
70% atau formalin 4%. Botol-botol tersebut ditempatkan di rak khusus di
dalam ruangan dingin (ruangan AC). Cara penyimpanan awetan basah ini
sama dengan herbarium, yaitu disesuaikan menurut klasifikasi dan
penomoran, misalnya khusus untuk Chlorophyta (makroalgae hijau),
Phaeophyta (makroalgae coklat) dan Rhodophyta (makroalgae merah).
Perawatan awetan basah makroalgae dapat dilakukan dengan mengganti
atau menambah alkohol 70% atau formalin 4% secara teratur, dengan tujuan
sampel tidak rusak dan tetap terjaga kualitasnya.
Daftar Pustaka
Atmadja W.S. & Widjaya. 1996. Cara koleksi dan pengawetan rumput laut.
Dalam: Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut di Indonesia
(Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar, Eds). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
English S., C. Wilkinson & V. Baker. 1994. Survey manual for tropical
marine resources. ASEAN-Australia Marine Science Project:
Living Coastal Resources.
Zakaria, M.H., J.P. Bujang, R. Amit, S.A. Awing & H. Ogawa. 2006.
Marine macrophyte: macroalgae species and life form from Golden
Beach, Similajau National park, Bintulu, Serawak, Malaysia.
Coastal marine science 30 (1): 243-246.
183
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Bab X
Pengertian Mangrove Dan Pegangan
Koleksi Spesimen.
Pramudji
Pendahuluan
1. Pengertian mangrove
Pada awalnya, pengertian hutan mangrove dikenal hanya
dikalangan ilmuwan saja, khususnya yang tertarik pada kawasan pesisir,
namun saat ini sudah banyak peneliti maupun mahasiswa yang tertarik
pada bidang tersebut. Allen (1973) mengetengahkan bahwa hutan
mangrove dikenal sebagai coastal woodland atau hutan bakau atau rawa
garaman atau “intertidal zone”. Beberapa pakar mangrove, telah
mendefinisikan hutan mangrove secara berbeda-beda, namun demikian
memiliki maksud yang sama. Misalnya Seanger et al. (1983),
mendefinisikan hutan mangrove sebagai formasi dari tumbuhan daerah
litoral yang khas di kawasan pesisir tropik dan subtropik. Snedaker
(1978) memberikan pengertian bahwa hutan mangrove merupakan suatu
kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis
pantai tropika dan subtropika yang selalu terlindung dari hempasan
ombak, serta memiliki bentuk lahan pantai yang landai dengan tipe tanah
anaerob. Hutan mangrove merupakan sekumpulan hutan halofil yang
umumnya tumbuh pada daerah intertidal dikawasan tropik dan subtropik
yang membentuk hamparan rawa yang selalu dipengaruhi oleh air
pasang-surut (Moore, 1977). Sedangkan menurut Tomlinson (1986)
184
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
185
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
186
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
komponen abiotik yang juga sangat penting adalah kondisi iklim seperti
hujan, suhu, serta kelembaman. Komponen biotik, terdiri dari 3
kelompok sesuai dengan fungsinya dalam suatu ekosistem, antara lain
adalah kelompok organisme produser, kelompok organisme konsumer
(herbivora, karnivora, omnivora dan kelompok pemakan detritus), serta
kelompok organisme dekomposer (kelompok pengurai).
Ekosistem hutan mangrove adalah salah satu ekosistem pesisir
yang merupakan peralihan antara darat dan laut yang memiliki peran dan
fungsi yang sangat besar, karena secara biologis hutan mangrove ikut
berperan dalam mengatur perputaran mata rantai makanan di suatu
perairan. Serasah mangrove yang jatuh ke lantai hutan akan menjadi
habitat yang baik bagi mikroorganisme (bakteri dan fungi), sekaligus
membantu dalam proses dekomposisi, dimana pada akhirnya menjadi
sumber makanan bagi Amphiphoda, Mysidaceae dan pemakan detritus
lainnya dan selanjutnya menjadi makanan bagi larva ikan, kepiting dan
udang (Heald & Odum, 1972).
Terkait dengan gugur serasah mangrove, maka perlu diketahui
bahwa selama terjadi proses dekomposisi serasah mangrove akan
semakin diperkaya oleh protein. Selanjutnya, dari proses dekomposisi
tersebut menjadi sumber pakan dari berbagai organisme, misalnya
kepiting, moluska, polychaeta, udang dan ikan. Proses dekomposisi
serasah mangrove tersebut, menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh Pramudji (2001a; 2001b) di kawasan pesisir Teluk Un, Maluku
Tenggara, bahwa serasah jenis Bruguiera gymnorrhiza akan terurai habis
dalam waktu kurang lebih sekitar 13 bulan. Kemudian untuk jenis
Rhizophora sp., proses dekomposisinya memerlukan waktu sekitar 12
187
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
188
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
juga sebagai bahan baku kayu lapis; Sebagai tempat penghasil bibit
ikan, udang, kepiting dan kerang; dan Sebagai daerah ekowisata
(ecotourism), lokasi pendidikan bagi pelajar, mahasiswa maupun sebagai
tempat penelitian.
189
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
190
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
5. Sistematika
a. Karakterisasi
Tumbuhan mangrove memiliki keanekaragaman jenis
tumbuhan yang tinggi serta memilki habitus pohon dan perdu, sehingga
dalam penyusunan kunci perlu kita batasi dan perlu prioritas sesuai
dengan jenis yang ditemukan (Pramudji & Suhardjono, 2008). Pada
umumnya penyusunan kunci identifikasi di hutan mangrove diutamakan
jenis-jenis pohon. Jenis-jenis pohon tumbuhan mangrove memiliki ciri
yang dapat membantu dalam identifikasi jenis, antara lain sebagai
berikut:
191
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Habitus
- Pohon meliputi marga Aegiceras, Avicennia, Bruguiera,
Ceriops, Excoecaria, Heritiera, Lumnitzera, Osbornia,
Pemphis, Rhizophora, Scyphiphora, Sonneratia, Xylocarpus,
Barringtonia, Calophyllum, Cerbera, Hibiscus, Pandanus,
Pongamia, Terminalia, Thespesia.
- Perdu meliputi marga Aegiceras, Avicennia, Ceriops,
Lumnitzera, Osbornia, Pemphis, Scyphiphora, Calotropis,
Clerodendrum, Hibiscus, Scaevola, Vitex.
Sistem Perakaran
- Akar tunjang (still root) ditemukan pada marga Rhizophora.
- Akar lutut (knee roots) ditemukan pada marga Bruguiera,
Ceriops.
- Akar nafas (pneumatophores) ditemukan pada marga
Avicennia, Lumnitzera, Sonneratia.
- Akar papan (plank roots) ditemukan pada marga Xylocarpus.
- Banir (buttress) ditemukan pada marga Bruguiera, Ceriops,
Heritiera, Lumnitzera, Xylocarpus.
Komposisi Daun
- Tunggal meliputi marga Aegiceras, Avicennia, Bruguiera,
Ceriops, Excoecaria, Heritiera, Lumnitzera, Osbornia,
Pemphis, Rhizophora, Scyphiphora, Sonneratia, Barringtonia,
Calophyllum, Cerbera, Hibiscus, Pandanus, Pongamia,
Terminalia, Thespesia.
- Majemuk meliputi marga Xylocarpus.
192
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
b. Klasifikasi
Berdasarkan buku Hsuan Keng 1978. Orders and Families of
Malayan Seed Plants. Singapore University Press 437 Halaman,
kebanyakan tumbuhan mangrove masuk dalam:
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Order : Myrtales
Family : Rhizophoraceae
Combretaceae
Myrtaceae
Lecythidaceae
Lythraceae
Melastomataceae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Order : Palmales
Family : Arecaceae/Palmae
193
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
6a. Bunga majemuk di ketiak daun atau batang, buah polong, memiliki
stamen 10 atau lebih ...........................................................
Cynometra
6b. Bunga majemuk, posisi di ujung,besar, memanjang (30-70 mm),
stamen 4..........................................................................
Dolichandrone
9a. Daun duduk (sessilis), bulat telur terbalik, lanset, ujung dan pangkal
membulat, tepi rata, buah persegi empat, warna coklat ...............
................................................................................... Baringtonia
9b. Daun bertangkai, susunan bervariasi......................................... 10
194
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
13a. Permukaan bawah daun berwarna perak, abu-abu atau coklat, bunga
kecil, ungu kekuningan, buah kapsul, ablique ...............Avicennia
13b. Permukaan bawah tidak berwarna perak, bunga warna merah,
bunga beryy, globosa ................................................. Sonneratia
14a. Buah berdiameter lebih kecil 1 cm, daun dengan kelenjar minyak
berupa titik .......................................................................Osbornea
14b. Buah berdiameter 1 cm atau lebih, daun tidak berkelenjar ..... 15
15a. Buah turbinate aau corong, akar papan atau lutut, memiliki tajuk
kelopak 8-15................................................................. Bruguiera
15b. Buah berbentuk peer, tajuk berkelopak 4-5 ........................... 16
195
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
6. Metode Koleksi
a. Metode aktif
Dalam bidang taksonomi, koleksi spesimen merupakan langkah
yang paling awal. Beberapa metode koleksi spesimen yang lazim
digunakan selama ini adalah metode aktif dan metode pasif, namun
untuk spesimen tumbuh-tumbuhan tidak menggunakan metode pasif
(Pramudji & Suhardjono, 2008). Metode aktif biasanya digunakan untuk
mengkoleksi spesimen yang sifatnya non-mobil atau statis, contohnya
adalah koleksi tumbuh-tumbuhan. Inventarisasi atau koleksi jenis
tumbuhan mangrove biasanya dilakukan dengan bebas, yakni menyusur
seluruh hutan mangrove mulai dari garis pantai hingga ke perbatasan
antara hutan manrove dengan hutan darat. Area untuk koleksi spesimen
tersebut diupayakan seluas mungkin, sesuai dengan kemampuan si
kolektor.
Pengambilan contoh tumbuhan mangrove dilakukan secara aktif
dengan mengambil seluruh tumbuhan secara lengkap, yakni termasuk
daun, bunga dan buahnya. Contoh yang berbuah biasanya tidak bergitu
bernilai bila dibandingkan dengan contoh-contoh yang sedang berbunga,
karena lebih sulit mengenalnya. Moto yang perlu dipahami adalah “
lebih baik mengumpulkan sedikit, tapi lengkap daripada mengumpulkan
banyak tapi tidak lengkap” Satu hal yang perlu dicamkan dalam koleksi
adalah tidak boleh mencampur-baurkan contoh-contoh atau bagian-
bagian dari beberapa tumbuhan yang berlainan, atau yang diambil dari
tempat yang berbeda atau yang dikumpulkan pada hari yang berlainan.
Dalam beberapa kelompok tumbuhan, untuk mengenalnya perlu
diketahui ciri khas dari struktur tumbuhan tersebut. Daftar bagian-bagian
196
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
197
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
198
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
199
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
c. Prosesing Spesimen
1. Cara mengawetkan tumbuhan
Perlengkapan yang diperlukan adalah koran-koran tua, karton
bergelombang (dapat diperoleh dari potongan berkas kotak karton) dan
penekan herbarium (press) dari anyaman bambu atau kayu. Contoh-
contoh yang sudah diberi nomor diletakkan dalam lipatan koran.
Lipatan koran disusun menjadi sebuah susunan, di antara dua lipatan
koran diletakkan sehelai karton bergelombang. Susunan tadi dijepit di
antara sepasang penekan herbarium (press) lalu diikat dengan tali atau
kawat. Kemudian susunan tersebut dikeringkan dalam oven pengering
atau dalam panas matahari. Kertas-kertas koran harus diganti dengan
teratur agar pengeringan lebih cepat; kertas koran dipakai sebagai
penyerap cairan. Dalam sebuah perjalanan yang pendek kita dapat
membawa koran, karton, dan press ke lapangan. Persiapan- persaiapan
dapat dilakukan setempat (di lapangan) dan pengeringan dilakukan
dalam laboratorium atau tempat lain yang mempunyai sarana untuk itu.
Bila perjalanan yang akan ditempuh cukup panjang (lebih dari
satu minggu) dan di lapangan tidak ada saran untuk mengeringkan atau
cuaca sangat basah, metode seperti tersebut di atas kurang tepat. Kalau
contoh-contoh disimpan begitu saja dalam lipatan koran tanpa
dikeringkan, contoh-contoh itu cepat membusuk, berjamur dan rusak.
Untuk menghindari hal tersebut digunakan metoda basah, yang lebih
menguntungkan dalam keadaan seperti diterangkan tadi.
Perlengkapan untuk metoda basah adalah : kontong-kantong
plastik besar, kertas koran, tali dan ethyl alkohol 96%. Contoh-contoh
yang telah diberi nomor dibungkus dengan kertas koran lalu diikat
200
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
201
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Daftar Pustaka
Allen, J.R.L. 1973. Physical processes of sedimentation. Earth Science
Series 1. George Allen and Unwin Ltd., London. 248
hal.
Bird, E.C.F. 1972. Mangrove and coastal morphology in North
Queensland. Journal Trop. Geogr. 32: 32-16.
Bird, E.C.F. and M.M. Barson. 1982. Stability of mangrove system In:
Mangrove ecosystem in Australia: Structure, function
and management. Proc. Aust. Mangrove Workshop. 265-
274.
Coulter, D. F and W. G. Allaway. 1979. Litter fall and decomposition
in mangrove stand Avicennia maria (Forsh) Vierh in
Middle Harbour, Sydney. Austr. J. Mar. Fresh. Res. 30:
27-37.
Dorenbosch, M. 2006. Conectivity between fish assemblages of seagrass
beds, mangroves and coral reefs evidence from the
Carribean and the western Indian Ocean. Published by
the university Library, Radboud University Nijmegen,
The Netherlands. pp 216.
Ewuise, J.Y. 1980. Specialized ecosystem within the tropical forest and
along the sea coast. Element of Tropical Ecology : 155-
166.
202
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
203
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
204
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Acanthus ilicifolius L.
Family: Acanthaceae
205
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Family: Myrsinaceae
Bruguiera sexangula
206
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Excoecaria agallocha L.
Marga: Euphorbiaceaerga : Sterculiaceae
207
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
208
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
209
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
210
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
211
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Xylocarpus moluccensis.
Family: Meliaceae
212
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Daun
Hibiscus tiliaceus L.
Marga: Malvaceae
213