Anda di halaman 1dari 135

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329801102

Pengembangan BAHAN KARBON dari Biomassa (Development of carbon -


based materials from biomass)

Book · December 2018

CITATIONS READS

0 2,827

3 authors:

D. Darminto Malik Baqiya


Institut Teknologi Sepuluh Nopember Institut Teknologi Sepuluh Nopember
263 PUBLICATIONS   922 CITATIONS    103 PUBLICATIONS   277 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Retno Asih
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
32 PUBLICATIONS   62 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Fabrication of Anti-Corrosion Materials for High-Tempertaure Media View project

Study on Formalization of Oil Palm Trunk Modified by Melamine Formaldehyde View project

All content following this page was uploaded by D. Darminto on 20 December 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pengantar

Tim penulis mengungkapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT


dengan terselesaikannya penyusunan buku ringkas ini, berjudul
“Pengembangan Bahan Karbon dari Biomassa”. Sebagai luaran dari
Penelitian Hibah Kompetensi, yang didanai oleh Direktorat Riset
dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRPM), Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), dalam kurun
2016  2018, buku ini memuat hasil penelitian yang telah kami
lakukan dengan topik seperti yang tertuang dalam judul buku. Isi
dalam buku ini diharapkan dapat memperkaya materi kuliah
sains/teknologi bahan, terutama untuk memberikan gambaran
pemanfaatan dan pemrosesan bahan alam, biomassa atau bahkan
limbah di sekitar kita. Isi buku diupayakan sederhana, tidak memuat
teori dan perumusan yang rinci, ditekankan pada hasil penelitian dan
potensi aplikasinya. Pembaca dan pembelajar disarankan utuk
mencari buku referensi pendamping bilamana menemukan atau
memerlukan uraian yang lebih mendalam.
Kami mengucapkan terima kasih atas pendanaan dan
kesempatan mendapatkan hibah serta penggunaan fasilitas penelitian
berturut - turut kepada DRPM  Kemenristekdikti, LPPM ITS, dan
Laboratorium Bahan Maju  Departemen Fisika ITS, serta para
kolaborator baik dalam maupun luar negeri. Ungkapan terima kasih
disertai penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada mitra
mahasiswa yang telah berkontribusi dalam penelitian bersama dari
program S1, S2 dan S3, yang terlalu banyak untuk kami sebutkan
satu - persatu di sini.
Akhirnya, kami berharap ada komentar, masukan, kritik dan
saran dari Sidang Pembaca, agar buku ini dapat meningkat dari
semua aspeknya, sembari menunggu hasil - hasil penelitian kami
selanjutnya untuk memperkaya isi buku dalam kesempatan

i
penyempurnaan untuk edisi berikutnya. Selamat membaca dan
semoga bermanfaat.

Surabaya, Oktober 2018.


Tim Penulis.

ii
Daftar Isi

Pengantar i
Daftar isi iii
Bab 1 : Karbon dan Biomassa
1.1 Grafena dan Hadiah Nobel 1
1.2 Sumber Biomassa 3
1.3 Isi Buku 6
Referensi Bab 1 7
Bab 2 : Ikatan Atom Karbon
2.1 Elektron Valensi Atom Karbon 9
2.2 Ikatan Kovalen 11
2.3 Ikatan Karbon dalam Kristal 16
Referensi Bab 2 17
Bab 3 : Aplikasi Senyawa Karbon
3.1 Grafit dan Intan 19
3.2 Karbon Nanotube 23
3.3 Bola Fullerene 29
3.4 Karbon Aktif 34
3.5 Grafena 35
Referensi Bab 3 43
Bab 4 : Sintesis Senyawa Karbon dari Biomassa
4.1 Potensi Biomassa sebagai Sumber Karbon 49
4.2 Sintesis Senyawa karbon dari Bio-limbah 55

iii
4.3 Sintesis Senyawa Karbon dari Bio-produk 63
4.4 Proses lanjutan karakterisasi struktur
senyawa karbon 65
Referensi Bab 4 80
Bab 5 : Sifat Fisi Senyawa Karbon dari Biomassa
5.1 Grafena Oksida Tereduksi Berukuran Nano 83
5.2 Penyerapan Cahaya 87
5.3 Kemampuan Penyimpanan Muatan 95
5.4 Sifat Anti-pantul Gelombang Mikro 103
5.5 Kemagnetan 113
Referensi Bab 5 121

iv
BAB 1 : KARBON DAN BIOMASSA
________________________________________

1.1 Grafena dan Hadiah Nobel


Pernahkah Anda memperhatikan (atau mungkin memikirkan)
sebatang arang, yakni bahan di ujung runcing pensil yang berwarna
hitam? Benda tersebut sesungguhnya tersusun dari atom – atom
karbon (C) yang membentuk struktur segi enam (hexagon) seperti
sarang lebah (honeycomb). Susunan karbon sarang lebah yang
bertumpuk – tumpuk dan membentuk kristal karbon yang dikenal
sebagai grafit (graphite). Kini, bayangkan lebih lanjut Anda
menempelkan selembar kecil plastik berperekat (selotip), setelah
menempel cukup erat lalu kelupaslah. Perhatikan, atau tepatnya
bayangkan, selapis tipis grafit yang ikut menempel di selotip setelah
Anda kelupas. Andaikan terlihat (sayang, ukurannya tak-tampak
mata), di selotip akan menempel beberapa lapis tipis grafit, bahkan
mungkin hanya selapis, yang terkelupas dan ikut menempel;
material yang terdiri dari beberapa lapis karbon ini kini dikenal
sebagai grafena (graphene). Jadi, grafena adalah selapis (bisa juga
2-3 lapis) susunan heksagon karbon berbentuk lembaran (2 dimensi),
bak selembar kertas/kain tipis yang mudah kusut, namun cukup kuat.
Terbukti kemudian bahwa grafena memiliki sejumlah
karakteristik yang istimewa, mencakup sifat – sifat optik, mekanik,
listrik, serapan gelombang elektromagnetik dan bahkan magnetik.
Sejumlah atom oksigen (O) dapat disisipkan ke dalam ikatan – ikatan
karbon guna membentuk senyawa oksida grafena (graphene oxide,
GO). Oksida grafena selanjutnya juga dapat direduksi, sehingga
atom – atom oksigen berkurang dan meninggalkan cacat ikatan
(defect) yang berupa ikatan karbon yang lepas, bentuk sarang
lebahnya mengalamai perubahan (distorsi), dan cacat – cata yang
lain, sehingga membentuk senyawa oksida grafena tereduksi
(reduced graphene oxide, rGO). Senyawa grafena dan turunannya

1
(GO dan rGO) kini sangat intesif dikembangkan untuk berbagai
aplikasi.
Senyawa grafena yang terkesan sangat mudah untuk disintesis,
seperti dalam ilustrasi di atas, sesungguhnya tidaklah semudah itu
terutama untuk membuat material grafena yang bagus dan siap untuk
aplikasi tertentu. Yang terpenting, senyawa “sederhana” tersebut
telah memenangi Hadiah Nobel bidang Fisika pada tahun 2010, oleh
dua fisikawan penemunya, yaitu Andre K. Geim dan Konstantin
Novoselov. Setelah beberapa tahun penemuan ini, sampai sekarang
sudah terbit ribuan makalah publikasi internasional terkait senyawa
grafena, turunannya, dan berbagai aspeknya. Apabila pembaca
memerlukan pustaka lebih lanjut, tulisan mereka berdua seputar
penemuan grafena dapat diakses gratis [1].
Kehadiran grafena tersebut segera memperkaya pengetahuan dan
ketersediaan akan pilihan senyawa karbon bagi para ilmuwan dan
insinyur material. Dari yang paling tradisional, intan (diamond) dan
grafit sudah sangat lama dikenal orang. Belum terlalu lama
berselang, para ahli menemukan dua senyawa karbon, yaitu molekul
bola sepak (Fullerence, bucky-ball) dan karbon tabung
berukuran nano (carbon nanotube, CNT). Disebut molekul bola
sepak karena karbon membentuk molekul yang persis seperti bola
yang dipakai sepak-bola, terbangun dari susunan segi-enam
diselingi segi-lima (pentagon), di mana atom karbon berada di setiap
sudut segi-segi tersebut dan berjumlah total 60 buah. Oleh
karenanya, molekul ini sering disebut juga C-60. Yang kedua
molekul karbon berbentuk tabung, di mana dinding tabung
merupakan susunan berbentuk segi-6 atom-atom karbon, dengan
diameter tabung sekitar ~2 nm dan panjangnya dapat dibuat sesuai
kebutuhan sampai berorde sub-mikrometer (ratusan nanimeter).
Seperti halnya grafena, senyawa-senyawa keluarga karbon ini sudah
sangat banyak diteliti dan menghasilkan ribuan makalah dan aplikasi
teknologinya dalam bentuk berbagai piranti.

2
Selain ke 5 anggota senyawa keluarga karbon di atas, masih ada
lagi senyawa karbon yang tidak membentuk susunan teratur
kristalin; atom-atom karbon membentuk ikatan yang keteraturannya
hanya sampai tetangga kedua (second nearest neighbors) dan
dikenal sebagai karbon amorf (amorphous carbon). Material ini
juga berpotensi sebagai material konduktif, mengikuti silikon amorf
yang sudah terkenal terlebih dahulu. Karbon dan silikon (Si)
kebetulan berada dalam satu golongan dalam Tabel Periodik Unsur,
sehingga ada kemiripan sifatnya.

1.2 Sumber Biomassa


Di alam ini, sumber-sumber karbon amatlah banyak. Sumber
karbon yang paling praktis berasal dari aktivitas pertambangan:
grafit, batubara, dan bahkan intan, maupun sumber alam gas dan
cairan hidrokarbon (minyak dan gas). Sebagaimana kita ketahui,
senyawa karbon dari bahan tambang terbentuk dalam kurun waktu
yang panjang, sehingga dipandang bersifat tidak dapat diperbarui
(non-renewable resources). Di pihak lain, sumber karbon di alam
juga tersedia dalam bentuk biomaterial yang berasal dari tanaman,
baik sebagai produk (bio-product) atau limbah (bio-waste). Contoh
produk dan limbah dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Dengan keanekaragaman (biodiversity) hayati yang tinggi,
Indonesia dapat dipandang sebagai sumber senyawa karbon yang
sangat kaya bersumber dari khasanah floranya. Dengan metoda yang
dapat dikembangkan berbasis teknologi tepat - guna, akan dihasilkan
senyawa karbon yang lebih ramah lingkungan dan dapat diperbaruhi
(green carbon). Produk ini dapat menggantikan karbon yang
bersumber dari bahan tambang, seperti telah disinggung sebelumnya.
Secara tradisional, bahan bakar arang (kayu, batok) sudah lama
digunakan oleh masyarakat. Tentu saja, penggunaan kayu ini dapat
dibenarkan selama itu berupa limbah (dari perkebunan, pertanian),
dan bukannya yang berasal dari pembabatan hutan atau penebangan
pohon - pohon besar!!

3
Gambar 1.1. Salah satu penulis berkesempatan “numpang berfoto”
bersama Prof. Andre Geim (kanan), dalam salah satu konferensi di
Singapura tahun 2011.

PRODUK LIMBAH

Gambar 1.2. Beberapa contoh dari produk (kiri) dan limbah (kanan)
biomassa.

4
(a) (b) (c)

(d) (e)
Gambar 1.3. Keluarga palem: (a) kelapa; (b) lontar; (c) enau; (d)
nipah; dan (e) sawit [2].

Sebagai ilustrasi, di Indonesia tumbuh subur tanaman keluarga


palem (palmae) sebagai tanaman tropis yang umumnya di daerah
pantai atau dataran rendah. Sampai-sampai mudah dikenali, bahwa
jika ada foto pantai dengan pohon kelapa (Cocos nucifera) dapat
dipastikan berlokasi di Indonesia, meskipun terkadang bisa juga di
Filipina, Malaysia, Thailand atau di kepulauan Lautan Pasifik (Fiji,
Hawai, Vanuatu, dst). Di tanah air, perkebunan kelapa terbesar ada
di Banyuwangi dan Gorontalu. Sebaliknya, di bagian Timur
Indonesia, seperti di Propinsi Nusa Tenggara Timur (Pulau Flores,
Timor, dan Rote) dan Jawa Timur (Gresik, Lamongan, Tuban dan
Pulau Madura), banyak tumbuh pohon lontar (Palmyra) atau
siwalan (sebutan di Jawa Timur), sejenis kelapa dengan bentuk buah
yang berbeda. Masih termasuk keluarga palem, dikenal juga enau
atau aren (Arenga pinnata) dengan buah seperti lontar tetapi lebih
kecil, yang disebut kolang-kaling. Ada juga jenis palmae yang
tumbuh di daerah rawa, hutan bakau, tepian sungai atau pantai, yakni

5
nipah (Nypa fruticans) dengan buah yang kecil dan keras. Di daerah
Kepulau Riau (bagian Barat Indonesia) ada sebuah pulau bernama
Pulau Nipah, tentu dengan "hutan" nipah yang lebat. Seluruh
tanaman jenis palem ini menghasilkan nira, yang dapat diolah lebih
lanjut menjadi minuman, gula merah dan bahkan alkohol. Buahnya
terbungkus oleh kulit keras yang disebut batok, mulai berukuran
kecil (nipah) sampai dengan yang besar (kelapa). Batok terbungkus
oleh sabut yang kaya akan serat (fiber). Selain keluarga palem yang
telah disebutkan, mendominasi di daerah Kalimantan, Sumatera dan
wilayah Malaysia, adalah kelapa sawit (Elaeis), tanaman yang
dikenal sebagai penghasil minyak dan bio-diesel. Dalam Gambar 1.3
ditunjukkan tanaman keluarga palem, berturut - turut : kelapa, lontar,
enau, nipah dan sawit.
Ilustrasi di atas memberikan gambaran betapa kaya sumber
biomassa di Indonesia sebagai daerah tropis, dan itu baru satu
keluarga palem. Gambaran ini dapat diperluas hampir tak terbatas
pada jenis-jenis flora lainnya. Dapat dibayangkan bahwa tanaman
tersebut menyediaan produk (daging buah, nira, kayu yang sudah
tua) dan limbah (daun, batok, lidi, sabut) sebagai sumber biomassa
dalam waktu yang lama, dan lebih penting, bersifat terbarukan, yaitu
bahwa tanaman yang sudah tua dapat digantikan yang baru. Dari
biomasa yang terbarukan inilah dapat dihasilkan senyawa karbon,
yakni produk "green carbon".

1.3 Isi Buku


Buku ini ditulis untuk maksud inventarisasi hasil "coba - coba"
(riset) mensintesis senyawa karbon dari biomassa, yang dalam hal
ini berupa tempurung (batok) kelapa dan nira keluarga palem. Upaya
ini telah secara berturut - turut menghasilkan dua jenis senyawa
karbon, yakni grafena oksida tereduksi (rGO) dan karbon amorf (a-
C). Setelah bagian awal ini (Bab 1), pembaca dapat mempelajari
beberapa jenis ikatan sesama atom karbon, atau antara atom karbon
dan atom lainnya, seperti hidrogen (Bab 2). Berlanjut ke Bab 3,

6
pembaca akan menemukan bahasan tentang berbagai senyawa
karbon yang saat ini banyak diteliti di berbagai laboratorium di dunia
internasional dan gambaran aplikasinya. Hasil-hasil riset kami
disajikan dalam 2 bab terakhir, yaitu Bab 4, yang memuat sintesis
senyawa karbon, dan Bab 5, yang merinci sifat-sifat senyawa karbon
berdasarkan hasil karakterisasinya.

Referensi Bab 1
[1] Geim, A. K, & K. Novoselov, “The Rise of Graphene”,
(https://arxiv.org/ftp/cond-mat/papers/0702/0702595.pdf,
diakses pada 4 Oktober 2018).
[2] Wikipedia Indonesia (https://id.wikipedia.org/wiki/, diakses
pada 4 Oktober 2018).

7
8
BAB 2 : IKATAN ATOM KARBON
________________________________________

Bagi pembaca yang sudah mengenal atau telah mempelajari


ikatan atom dapat melewatkan bab ini dan dipersilahkan
melanjutkan ke bab berikutnya. Bersandar pada pembahasan dalam
lingkup Kimia Dasar atau Fisika Modern, bagian ini akan
menyajikan skema dan mekanisme pembentukan orbital ikatan
dalam persenyawaan atom karbon (C) dengan atom - atom lainnya,
yang bersifat unik. Akan dapat dilihat, bahwa meskipun dalam
susunan berkala atom silikon (Si) dan germanium (Ge) terletak
dalam golongan yang sama (Gol. IVA) dengan atom karbon, mereka
berbeda dalam fleksibilitas pembentukan senyawa khususnya
hibridisasi orbital - orbital valensinya.

2.1 Elektron Valensi Atom Karbon


Dalam susunan berkala, atom karbon diberi simbul unsur 6C12,
yang artinya karbon memilik nomer atom 6 (= ada 6 buah proton
dalam inti-atom dan 6 buah elektron dalam orbital atom), dan nomer
massa 12 (ada 6 buah neutron dalam inti-atomnya, selain 6 buah
proton). Nomer massa 12 juga mengandung arti bahwa 1 mol unsur
C memiliki massa 12 gram. Selanjutnya, 6 buah elektron dari atom
karbon mengisi kulit - kulit atom yang biasanya diberi notasi n.
Untuk n = 1 disebut kulit K, n = 2 disebut kulit L, n = 3 disebut kulit
M, dan seterusnya. Untuk setiap kulit n, terdapat subkulit atau orbital
dan dicirikan oleh ℓ, yang dapat memiliki harga mulai dari 0, 1,
2...sampai dengan (n-1). Dengan syarat ini, nilai n dan ℓ
berhubungan sebagai berikut :

n = 1 --- ℓ = 0
n = 2 --- ℓ = 0, 1
n = 3 --- ℓ = 0, 1, 2
n = 4 --- ℓ = 0, 1, 2, 3 .....dst.

9
Orbital yang dicirikan oleh ℓ diberi nama : s (ℓ = 0), p (ℓ = 1), d (ℓ
= 2), f (ℓ = 3), g (ℓ = 4), dan seterusnya. Dengan penamaan ini,
selanjutnya dinyatakan orbital (nℓ ) yang mencakup : 1s, 2s, 2p, 3s,
3p, 3d, 4s, 4p, 4d, 4f, dan seterusnya. Susunan orbital diurutkan dan
dimulai dari yang berenergi terkecil (1s) yang paling dekat dengan
inti-atom. Orbital berikutnya bisa saja tidak seperti urutan di atas,
misalnya orbital 4s dapat memiliki energi yang lebih kecil daripada
orbital 3d. Setiap orbital ℓ dapat diisi oleh sejumlah 2(ℓ +1) buah
elektron, sehingga masing - masing orbital dapat menampung : s (2
elektron), p (6 elektron), d (10 elektron) dan f (14 elektron), dan
seterusnya. Penjelasan lebih rinci terkait aturan pengisian elektron
dalam orbital atom tidak disajikan di sini. Apabila pembaca berminat
mempelajari lebih lanjut dapat disimak, misalnya, buku Fisika
Modern [1]. Sebagai catatan, dalam Fisika Modern bilangan -
bilangan yang menandai kulit atom (n) dan orbital (ℓ) berturut - turut
disebut bilangan kuantum utama dan bilangan kuantum orbital.
Berdasarkan kaidah tersebut di atas, elektron - elektron dari
atom karbon akan mengisi orbital - orbital sebagaimana dapat dilihat
pada Gambar 2.1. Kulit K tersusun oleh sebuah orbital 1s dengan 2
buah elektron, tanda panah menunjukkan arah spin elektron (panah
ke atas dan panah ke bawah). Dua buah elektron dalam sebuah
orbital yang sama harus memiliki arah spin yang berlawanan
(prinsip eksklusi Pauli). Orbital 1s mempunya tingkat energi
terendah. Pada tingkat berikutnya, orbital 2s juga terisi 2 buah
elektron, sama dengan orbital 1s. Masih tersisa 2 buah elektron (dari
total 6 buah elektron) akan menempati orbital 2p (memenuhi aturan
Hund). Bagi atom C, orbital dengan nomer kulit n = 2 (orbital 2s dan
2p) merupakan orbital terluar, dengan jumlah elektron yang tidak
penuh (masih kurang 4 elektron untuk memenuhi orbital 2p), disebut
orbital valensi. Oleh karena orbital valensi berisi 4 elektron (2 buah
elektron di orbital 1s, dan 2 buah elektron di orbital 2p), maka atom
C disebut bervalensi 4, dengan orbital valensi 2s2-2p2 atau disingkat
s2p2.

10
1s 2s 2p
Gambar 2.1. Konfigurasi elektron dalam orbital atom karbon.

2.2 Ikatan Kovalen


Dalam teori ikatan antar atom, dikenal adanya ikatan primer
(kuat) dan ikatan sekunder (lemah). Salah satu jenis ikatan primer
adalah ikatan kovalen (covalent bond), di mana setiap senyawa
yang melibatkan atom karbon selalu berikatan secara kovalen ini.
jenis - jenis ikatan lain mencakup ikatan logam, ikatan ionik, ikatan
hidrogen, dan ikatan Van der Waals; yang tidak diberikan dalam
pembahasan di sini. Jika berminat, pembaca dipersilahkan
menyimak buku - buku Fisika Zat Padat atau Sains Material [25].
Ikatan kovalen antara dua atom memerlukan dua buah elektron
masing - masing berasal dari atom yang berikatan, tergabung dalam
orbital perseroan. Berdasarkan elektron valensi atom C di atas,
terdapat 2 buah elektron yang tidak berpasangan pada orbital 2p
(lihat Gambar 2.1) yang berpotensi membentuk ikatan kovalen.
Dalam keadaan ini, karbon akan membentuk molekul, misalnya
dengan atom H atau Cl yang bervalensi satu, menjadi CH2, CCl2,
atau CHCl. Kenyataannya, di alam ini tidak ditemukan senyawa-
senyawa tersebut, dan sebaliknya dapat dijumpai senyawa CH4, CCl4,
CH2Cl2, CHCl3 atau CH3Cl. Ini berarti, atom C menggunakan 4 buah
elektron valensinya untuk membentuk ikatan dengan 4 buah atom
bervalensi satu, meskipun 2 buah elektron di orbital 2s berpasangan
dengan arah spin berlawanan. Dalam ilustrasi yang ditunjukkan oleh
Gambar 2.2, hal tersebut hanya dapat terjadi bilamana 1 buah
elektron di orbital 1s berpindah ke orbital 2p yang masih kosong.
Hasilnya, di orbital 2s-2p terdapat empat elektron tidak berpasangan.
Peristiwa ini disebut hibridisasi (hybridisation), artinya persilangan

11
antara orbital s dan orbital p, dengan satu buah elektron di orbital 2s
dan tiga buah elektron di orbital 2p, atau disingkat hibridisasi sp3.

2s 2p
Gambar 2.2. Hibridisasi sp3 : 1 buah elektron di orbital 2s berpindah
ke orbital 2p.

Dengan sedikit memperdalam pembahasan, masing - masing


orbital s dan p mempunyai bentuk (dalam Fisika Kuantum :
amplitudo probabilitas menemukan elektron) seperti pada Gambar
2.3. Orbital s berbentuk bola yang berpusat pada titik pusat koordinat,
sedangkan orbital p mempunyai sepasang lobe (elipsoida) yang
mengarah ke sumbu x, y dan z, yang mencerminkan komponen p x,
py dan pz. Keempat orbital atom C, yaitu s, px, py dan pz mengalami
hibridisasi untuk membentuk orbital hibrida sp 3 menjadi 1, 2, 3
dan 4. Orientasi orbital hibrida yang baru sedemikian sehingga
setiap orbital akan berjarak sama dari orbital lainnya. Susunan
orbital 1, 2, 3 dan 4 ini membentuk struktur tetrahedral, lihat
Gambar 2.4. Jadi, molekul CH4 dalam gambar tersebut merupakan
ikatan kovalen atom C berstruktur tetrahedral.
Dari uraian di atas jelasnya bahwa atom C berikatan dengan atom
lain menggunakan keempat buah elektron valensinya, membentuk
orbital hibridisasi sp3 dan membangun struktur tetrahedral. Menarik
untuk disimak lebih lanjut jika atom C berikatan dengan sesama
atom C, misalnya dalam molekul C2H6.

12
s p  
y 1 2

p p  
z x 3 4

Orbital atom Orbital hibrida sp3


HIBRIDISASI

Gambar 2.3. Hibridisasi orbital atom menjadi orbital hibrida sp3.


Gambar diadaptasi dari Ref. [6].

H

3

 C 1H
2
H  H
4

Gambar 2.4. Struktur tetrahedral dari orbital hibrida atom C yang


sesuai dengan Gambar 2.3, membangun molekul CH4 (gambar
diadaptasi dari Ref. [6]).

Pada Gambar 2.5 dapat diperhatikan bahwa di antara ikatan yang


ada, terdapat sebuah ikatan CC dan 6 buah ikatan CH. Ikatan antar
orbital sp3 (CC) dan antara orbital sp3 dan s (CH) membentuk
ikatan yang disebut ikatan  ( bonding). Tampak dalam gambar
adanya tumpang-tindih (overlapping) di antara orbital yang

13
berikatan. Luas area tumpang-tindih ini mencerminkan kekuatan
ikatan. Hal lain yang dapat juga dilihat bahwa struktur tetrahedral
ikatan kovalen tetap terindentifikasi jika dilihat dari posisi atom C,
yang dikelilingi oleh 4 buah atom tetangga terdekat.

Ikatan 

Ikatan 
Orbital hibrida sp3 Orbital s

Gambar 2.5. Skema pembentukan ikatan  pada molekul CH4


(gambar dimodifikasi dari Ref.[7]).

Pada keadaan tertentu, tidak semua orbital hibrida dari atom C


digunakan untuk membentuk ikatan , misalnya pada molekul C2H4.
Setiap atom C dalam molekul ini hanya menggunakan 3 buah orbital
hibridanya, sehingga konfigurasi hibridisasinya menjadi sp2,
bukannya sp3 seperti dalam pembahasan sebelum ini. Situasi ini
menyisakan satu orbital (berisi satu elektron), sebut saja p z. Seperti
dapat dilihat pada Gambar 2.6, di antara orbital p z di setiap atom C
dapat membentuk ikatan satu sama lain yang disebut ikatan  (
bonding). Oleh karena luas area tumpang-tindih tidak sebesar ikatan
, maka ikatan  lebih lemah. Dalam terminologi Kimia Dasar,
ikatan jenis ini disebut ikatan rangkap atau ikatan tak-jenuh. Atas
dasar ini, molekul C2H4 sering dituliskan dengan rumus bangun:
H2C=CH2, ada ikatan rangkap di antara atom C. Dengan

14
konfigurasi sp2 ini, bangun molekul berubah dari tetrahedral menjadi
planar, artinya seluruh atom C dan H terletak dalam satu bidang.
Dengan dasar pemikiran yang sama sebagaimana diuraikan di
atas, orbital hibrida sp dapat terbentuk bersama 2 buah ikatan  yang
berasal dari orbital p sisanya. Dalam skema ini, antar atom C
terbentuk ikatan rangkap tiga, seperti dapat diperhatikan pada
molekul C2H2, yang memiliki rumus bangun : HCCH. Seluruh
atom C dan H dalam molekul ini terletak segaris, sehingga struktur
ikatannya linier. Ikatan rangkap tiga antar atom C tersusun dari satu
buah ikatan  dan dua buah ikatan , lihat Gambar 2.7.

Orbital pz Ikatan 
Ikatan 

H H
C C
H H
Orbital sp2

Gambar 2.6. Pembentukan ikatan  (rangkap) pada molekul


H2C=CH2 (gambar diadaptasi dari Ref. [8]).

Ikatan  pertama Ikatan  kedua

Orbital sp Ikatan 

Gambar 2.7. Pembentukan ikatan  ganda (rangkap tiga) pada


molekul HCCH (gambar diadaptasi dari Ref. [9]).

15
2.3. Ikatan Karbon dalam Kristal
Dalam fasa padatan, ikatan atom karbon bertipe sp2 dan sp3
banyak ditemukan. Sebagai ilustrasi, dua buah contoh dari bahan
karbon dapat disebutkan yaitu grafit (sp2) dan intan (sp3). Dalam
Gambar 2.8 (a) dan (b), ikatan 6 buah atom C membentuk struktur
heksagonal (segi-6), di mana ikatan atom - atomnya berselang -
seling antara ikatan tunggal () dan ikatan rangkap (-), yang
menyusun kisi dua dimensi. Lembaran - lembaran heksagon dapat
bertumpuk yang berikatan lemah (gaya Van der Waals) sesamanya
menyusun bahan grafit (Gambar 2.8c). Di pihak lain, ikatan yang
tersusun dari orbital hibrida sp3 membentuk kristal karbon
tetrahedral menghasilkan bahan intan (Gambar 2.8d).

Ikatan 

Ikatan 
(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2.8. Ikatan karbon dalam struktur: (a) heksagon dengan


ikatan  dan , (b) heksagonal dua-dimensi, (c) grafit, dan (d) intan.

16
C Tetahedral C:H Tetahedral

C Amorf C-H Polimer

C Grafitik

Gambar 2.9. Diagram fasa terner film karbon, menurut komposisi


sp2, sp3 dan H (gambar diadaptasi dari Ref. [10]).

Dengan variasi ikatan dan struktur bahan ini, karbon berbeda dari
unsur satu golongan (IVA) yang lain, seperti silikon (Si) dan
germanium (Ge), yang hanya memiliki struktur tetrahedral dengan
orbital hibrida sp3 saja. Dengan fakta tersebut, kini dapat dibuat
bahan karbon dengan variasi struktur, dan tentu sifatnya, menurut
diagram fasa seperti dalam Gambar 2.9, yang dapat diatur
kandungan orbital sp2/sp3 bersangkutan, juga keterlibatan atom H di
dalamnya.

Referensi Bab 2
[1] A. Beiser, "Concept of Modern Physics", 6th Ed., McGraw-Hill
Co., Boston, 2003.
[2] M. Ali Omar, "Elementary Solid State Physics : Principle and
Applications", 4th Ed., Addison-Wesley, NY, 1994.
[3] J.S. Blakemore, "Solid State Physics", 2nd Ed., Cambridge
University Press, 1985.

17
[4] Darminto & Z. Arifin, "Fisika Zat Padat", Departemen Fisika,
ITS, Surabaya, 2010.
[5] W.D. Callister, "Fundamenal of Materials Science and
Engineering", John Wiley & Sons, NY, 2001.
[6] E. Generalic, https://glossary.periodni.com/.
[7] https://sites.google.com/site/ed350201003/Task.
[8] https://teaching.ncl.ac.uk/bms/wiki/index.php/Covalent.
[9] https://chemistry.stackexchange.com/
[10] Robenston, Mater. Sci. Eng. (2001) 129-281.

18
BAB 3 : APLIKASI SENYAWA KARBON
______________________________________________

Material berbasis karbon fungsional pada beberapa dekade


terakhir ini telah berperan penting karena kombinasi unik dari sifat
kimia dan fisisnya, yang mencakup konduktivitas termal dan listrik
yang baik, kekuatan mekanik yang tinggi, dan sifat optik yang
menarik. Upaya penelitian yang luas sedang dilakukan untuk
memanfaatkan bahan-bahan ini untuk berbagai aplikasi industri,
seperti material komposit berkekuatan tinggi dan perangkat
elektronik. Sifat menguntungkan dari material berbasis karbon ini
juga sedang secara aktif diselidiki di beberapa bidang teknik
biomedis. Perspektif ini menyoroti berbagai jenis material nano
berbasis karbon (carbon-based nanomaterials, CBN) yang saat ini
bisa diaplikasikan dalam bidang biomedis. CBN telah secara luas
dianggap sebagai biomaterial yang sangat menarik karena sifatnya
yang multi-fungsional. Selain itu, memasukkan material ini ke dalam
biomaterial dapat lebih meningkatkan kinerjanya. Oleh karena itu,
CBN ini memungkinkan aplikasi di berbagai bidang, termasuk
bidang biomedis, seperti sistem pengiriman obat (drug delivery
system), penguatan jaringan, dan sensor seluler.
Material berstruktur karbon baik sp2 maupun sp3 sekarang
sedang aktif digunakan sebagai bahan awal untuk menghasilkan
berbagai jenis CBN, termasuk nanotube dinding-tunggal atau multi-
dinding, C60, intan ukuran nanometer, dan grafena beserta
turunannya. Dalam sub-sub bab selanjutnya, sifat fisis dan
aplikasinya akan dijelaskan secara rinci.

3.1 Grafit dan Intan


Grafit adalah salah satu bahan alami tertua dan yang paling
banyak digunakan. Secara tradisional, grafit ini lebih dikenal sebagai
bahan utama pensil. Namun, istilah "grafit" saat lebih banyak

19
digunakan sebagai bahan untuk beberapa aplikasi industri berskala
besar, seperti CBN, elektroda baterai, panel sel surya dan aplikasi
lain dalam industri. Karena tingginya permintaan, konsumsi grafit
sintetis saat ini telah meningkat secara signifikan. Penelitian
ekstensif terkait grafit telah mengungkapkan bahwa kombinasi unik
dari sifat fisiknya berasal dari struktur makromolekulnya, yang
terdiri dari lapisan-lapisan susunan heksagonal karbon sp2, seperti
diperlihatkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Struktur kristal grafit (kiri) beserta konfigurasi


heksagonal karbon sp2 (kanan). Gambar diadopsi dari Ref. [1].

Kata “grafit” diberikan oleh Abraham Gottlob Werner pada


tahun 1789 dan terdiri dari atom karbon yang terhubung satu sama
lain dalam jumlah besar dengan suatu struktur heksagonal yang
bertumpuk satu sama lain. Alotrop karbon ini adalah konduktor
listrik yang cukup baik dan membuatnya menjadi bahan yang cocok
untuk elektroda. Kemampuan menghantarkan listrik terjadi sebagai
akibat delokalisasi elektron-π atom karbon dalam grafit. Hal ini
merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin terjadi pada
struktur intan. Oleh karena itu, intan tidak dapat menghantarkan
listrik karena pergerakan elektron yang terbatas dalam keteraturan
kisi-kisinya. Grafit adalah kristal karbon yang paling stabil dalam
kondisi standar. Grafit sintetis pertama diproduksi oleh seorang

20
ilmuwan Amerika, Edward Acheson pada tahun 1896. Grafit
dicirikan oleh warna hitam berkilau dan secara eksperimental dapat
menjadi sangat fleksibel tetapi tidak elastis.
Perlu dicatat bahwa atom karbon dalam grafit terstruktur secara
heksagonal dalam sistem cincin planar. Selain itu, lapisan-lapisan itu
ditumpuk sejajar satu sama lain dengan ikatan kovalen mengikat erat
atom-atom karbon di dalam struktur heksagonalnya. Lebih lagi,
antar lapisan secara longgar terikat bersama melalui gaya Van der
Waals. Berdasarkan kekhasan dari ikatan lemah antar-lapisan yang
disebabkan oleh gaya Van der Waals ini, lapisan-lapisan tersebut
mampu bergerak melewati satu sama lain secara paralel dan ini
penyebab fleksibilitas dari grafit. Dengan demikian, bahan ini dapat
dipakai sebagai bahan pelumas pada dinamo dan motor listrik.
Meskipun kesulitan memproduksi grafit dalam bentuk partikel nano
(nanoparticles) atau lembaran nano (nanosheets), namun, pada
tahun 2002, suatu proses baru telah berhasil dikembangkan. Proses
ini secara efektif digunakan untuk mengelupas serpihan grafit alami
ke dalam nanosheet dengan ketebalan mulai dari 30 hingga 80 nm.
Sama seperti grafit, intan telah dikenal sejak zaman kuno.
Namun, penggunaannya hanya terbatas pada dekorasi ruangan dan
perhiasan pada saat itu. Sebagai salah satu sifat yang sangat populer,
intan dikenal memiliki konduktivitas termal tertinggi jika
dibandingkan dengan material lain. Hal ini dikaitkan dengan
hamburan fonon dan ikatan kovalen kuat yang mengikat atom-atom
karbonnya. Konduktivitas termal intan alami dilaporkan sekitar 2200
W/(mK), di mana 5 kali lipat dari tembaga. Berdasarkan sifat
konduktivitas termal yang tinggi, intan banyak digunakan dalam
industri semikonduktor untuk mencegah silikon dan bahan
semikonduktor lainnya dari panas yang berlebih (overheating).
Produksi intan sintetis menurut sejarahnya dimulai sejak tahun 1950-
an. Intan dikenal sebagai semikonduktor dengan celah pita lebar
mencapai 5,5 eV, dan dapat diberi takmurnian (doping) ke tipe-p
atau tipe-n.

21
Intan secara kimia dan fisika sangat kuat dan keras. Oleh karena
itu, perangkat elektronik yang terbuat dari intan tidak hanya bagus
dari sisi tampilan tetapi juga mampu beroperasi di lingkungan yang
ekstrim. Sehubungan dengan stabilitas termal, intan (sebagai
senyawa karbon) dapat teroksidasi di udara ketika dipanaskan lebih
dari 700 C. Namun, dalam aliran gas argon kemurnian tinggi atau
lebih tepatnya tanpa adanya oksigen, dapat dipanaskan hingga 1700
C. Shatskiy dkk. [2] melaporkan bahwa material ini dapat bertahan
pada suhu 3000 C atau bahkan lebih tinggi. Secara umum, sifat-sifat
gabungan ini membuka jalan bagi aplikasi industri intan untuk
digunakan sebagai alat pemotong dan pemoles, penyebar panas, dan
aplikasi sebagai bahan detektor optik, dan pisau intan.

Gambar 3.2. Struktur kristal intan (kiri) beserta konfigurasi


tetragonal karbon sp3 (kanan). Gambar diadopsi dari Ref. [1].

Intan berukuran nanometer (nanodiamond, ND) juga telah


menarik minat dalam bidang teknik biomedis dalam beberapa tahun
terakhir. ND ini dapat disintesis melalui perlakuan suhu tinggi dari
grafit, yakni paling sering melalui detonasi, dan dihasilkan ukuran
yang lebih kecil dari 10 nm. ND ini memiliki sifat fisik yang sama
seperti intan pada umumnya, seperti fluoresensi dan fotoluminesensi,
serta memiliki biokompatibilitas. Tidak seperti material nano

22
berbasis karbon lainnya, ND ini sebagian besar tersusun dari gugus
tetrahedral karbon-sp3, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.2. Pada
permukaan ND, dapat dilapisi dengan berbagai gugus fungsi atau
karbon-sp2 untuk stabilitas koloid, di mana dimungkinkan
modifikasi kimia untuk menempelkan obat, pengiriman gen serta
pelabelan jaringan. Lien et al. [3] menyatakan bahwa ND yang
berpendar dan ND yang bersifat magnetik baru-baru ini digunakan
untuk pelabelan sel. Zhang et al. [4] juga menunjukkan bahwa
polyethyleneimine (PEI)-ND terkonjugasi sangat efektif sebagai
pembawa gen.

3.2 Karbon Nanotube


Pada dasarnya, karbon nanotube (carbon nanotube, CNT) dibagi
menjadi dua kategori utama; nanotube berdinding tunggal (single-
walled nanotube, SWNT) dan nanotube multi-dinding (multi-walled
nanotube, MWNT), ditunjukkan dalam Gambar 3.3. Studi
eksperimental mengungkapkan bahwa struktur nanotube adalah
yang paling kuat yang pernah diproduksi, terkait sifat mekanik dan
elektronik. CNT yang sangat baik dilaporkan memiliki modulus
Young setinggi 1000 GPa, yang lebih tinggi dari baja, sementara
kekuatan tariknya bisa mencapai 100 GPa, hampir 50 kali lebih besar
dari baja yang sesungguhnya memiliki kualitas sangat baik dari segi
struktur. Untuk memaksimalkan sifat yang kepadatannya rendah,
seringkali CNT berfungsi sebagai pengisi bahan nanokomposit.
Misalnya, dalam sistem pengiriman obat, CNT telah terbukti
memperbaiki metabolisme dan meningkatkan efek terapeutik.
Dengan sistem komposit ini, kelemahan intrinsik CNT akan
memperoleh kompensasi dari material pencampurnya.
CNT umumnya disintesis melalui arc dischage atau chemical
vapor deposition (CVD) dari grafit. Senyawa karbon ini memiliki
berbagai sifat listrik dan optik yang berasal tidak hanya dari karbon-
sp2 yang meluas, tetapi juga dari sifat fisiknya yang dapat

23
ditingkatkan (misalnya, diameter, panjang, berdinding tunggal dan
multi-berdinding, fungsionalisasi permukaan, dan chirality). Karena
beragam sifat yang berguna, CNT telah dieksplorasi untuk
digunakan dalam banyak aplikasi industri. Sebagai contoh, CNT
dikenal karena kekuatan mekaniknya yang luar biasa yakni
kekakuan dan fleksibilitasnya yang terukur cukup besar
dibandingkan dengan beberapa material berkekuatan tinggi yang
tersedia secara komersial (misalnya, baja high tensile, serat karbon,
dan Kevlar®). Dengan demikian, CNT telah dipakai sebagai elemen
penguat untuk material komposit seperti plastik dan paduan logam
dalam beberapa produk komersial [5]. Namun, kemungkinan
komposit yang memfungsikan CNT sebagai pengisi (filler)
berkekuatan super belum digunakan secara efektif, karena
interaksinya yang buruk dengan matriks, yang akan menyebabkan
transfer beban yang tidak efisien dari matriks ke CNT.

Gambar 3.3 Skematik nanotube berdinding tunggal (single-walled


nanotube, SWNT) dan nanotube multi-dinding (multi-walled
nanotube, MWNT). Gambar diadaptasi dari Ref. [6].

24
Selain sebagai pengisi untuk bahan komposit, upaya penelitian
terbaru telah diarahkan untuk memfungsikan CNT ke berbagai
aplikasi yang memanfaatkan multi-fungsi CNT (sifat konduktif
listrik dan termal, serta sifat optik). Sebagai contoh, sifat listrik yang
sangat baik dari CNT sangat berguna dalam rangkaian elektronik
berukuran nano. Di samping itu, CNT memiliki medan listrik dengan
batas ambang rendah sebagai emisi medan (field emission), daripada
emiter pada umumnya. Dengan demikian, CNT secara aktif
dieksplorasi sebagai perangkat emisi elektron dengan efisiensi tinggi
seperti pada mikroskop elektron, panel layar datar, dan tabung
lucutan gas. CNT juga menampilkan luminesensi yang kuat,
sehingga dapat digunakan dalam elemen pencahayaan.
Semikonduktor SWNT telah digunakan dalam transistor efek
medan (field-effect transistor, FET), lihat Gambar 3.4, untuk
mendeteksi spesies biologis di bawah suhu dan kondisi normal.
Nanotube field-effect transistors (NTFET) diperoleh dengan
penggantian gerbang (gate, G) dengan lapisan bio-molekul
teradsorpsi yang memodulasi konduktansi nanotube. Ada dua desain
perangkat NTFET klasik. Desain pertama menggunakan CNT
tunggal sebagai saluran elektron antara elektroda sumber (source, S)
dan elektroda saluran (drain, D). Pada tipe kedua, satu set CNT
berfungsi sebagai saluran kolektif antara S dan D. Interaksi antara
nanotube dan bio-molekul memiliki salah satu dari dua efek. Efek
pertama adalah transfer muatan dari bio-molekul ke CNT. Dalam
mekanisme kedua, bio-molekul teradsorpsi di dinding CNT
menurunkan konduktansi [7]. Perbedaan antara kedua jenis
mekanisme ini diperoleh melalui pengukuran transistor. Jika transfer
muatan terjadi, ambang tegangan menjadi jauh lebih positif (melepas
elektron) atau lebih negatif (menyumbangkan elektron).
Dalam kasus penyimpanan energi, CNT telah digunakan sebagai
superkapasitor karena konduktivitas listrik yang tinggi, luas
permukaan yang besar, kekuatan mekanik yang baik, dan ringan.
Selain itu, kemungkinan memodifikasi CNT dalam sintesis kimia

25
dan kombinasinya dengan nanomaterials lain sangat penting untuk
meningkatkan kinerja superkapasitor [9-11]. Keuntungan lainnya
adalah fleksibilitas dan transparansi secara optik. Hal ini
memungkinkan pengembangan perangkat elektronik yang fleksibel,
sebagai contoh telepon atau komputer yang lebih lentur. Untuk
aplikasi ini, superkapasitor yang hanya berisi CNT menghasilkan
konduktivitas listrik yang sangat baik dan luas permukaan yang luas
namun tidak mencapai yang diharapkan karena adanya resistansi
kontak antara elektroda dan kolektor. Oleh karena itu, suatu oksida
logam (termasuk partikel nanonya) yang dimasukkan ke dalam
nanotubes dapat mengurangi resistansi kontak dan meningkatkan
densitas penyimpanan superkapasitor.

Gambar 3.4 Skematik FET berbasis karbon nanotube. Gambar


diadaptasi dari Ref. [8].

Sifat fisik CNT, seperti kekuatan mekanik, konduktivitas listrik,


dan sifat optik, dapat menjadi nilai lebih untuk menciptakan
biomaterial canggih. CNT juga dapat dimodifikasi secara kimia pada
bagian-bagian spesifik (misalnya, gugus fungsinya) untuk
memberikan sifat yang cocok dalam aplikasi biologi. Sebagai contoh,
peningkatan kelarutan dan biokompatibilitas. Aplikasinya meliputi
pelabelan sel dan jaringan, sistem pengiriman obat suntik, dan
penguatan biomaterial.

26
Kemungkinan menggunakan CNT sebagai pelabelan dan
pencitraan dalam bidang biomaterial telah dibahas karena sifat unik
optiknya. Karbon nanotube memiliki transisi optik di daerah
inframerah-dekat (near-infrared, NIR). Hal ini telah terbukti
bermanfaat dalam jaringan biologis karena NIR memiliki kedalaman
penetrasi yang lebih besar dan hamburan eksiton yang lebih rendah.
Selain itu, fluoresensi di wilayah NIR menampilkan autofluoresensi
jauh lebih rendah dari daerah ultraviolet atau cahaya tampak. Sifat-
sifat ini membuat pencitraan kuat oleh CNT dengan resolusi yang
lebih tinggi dan kedalaman jaringan yang lebih besar untuk
mikroskopi fluoresensi NIR dan tomografi koherensi optik.
Sistem pengiriman obat merupakan satu kemajuan dalam
nanoteknologi khususnya biomaterial. Karbon nanotube juga telah
diteliti secara luas sebagai sistem pengiriman obat, karena CNT telah
terbukti berinteraksi dengan berbagai biomakromolekul (yaitu,
protein dan DNA) melalui adsorpsi fisik. Karbon nanotube
ditunjukkan secara efektif terdispersi dalam media berair dalam
keberadaan DNA beruntai tunggal (single-stranded DNA, ssDNA).
Analisis spektroskopi dan mikroskopik memberikan bukti adanya
interaksi kuat antara molekul DNA dan CNT, yang menghasilkan
dispersi individual. Pemodelan dinamika molekuler menunjukkan
bahwa basis ssDNA berinteraksi dengan permukaan CNT melalui
ikatan π – π, menghasilkan pembungkus heliks dari rantai-rantai
ssDNA di sekitar CNT. Penelitian ini menyoroti potensi penggunaan
CNT untuk pengiriman gen, serta teknik pemisahan spesifik-DNA
untuk elektronika molekuler.
Penggunaan CNT sebagai penguat komposit untuk rekayasa
jaringan hingga saat ini difokuskan pada peningkatan sifat
mekaniknya. Bahan bahan yang umum digunakan, seperti hidrogel
dan bahan berserat, pada dasarnya bersifat lunak untuk meniru
kekakuan jaringan alami, mengatasi kekurangan kekuatan dan
memberikan dukungan struktural. Memasukkan CNT ke dalam
bahan-bahan ini telah terbukti meningkatkan sifat mekanik mereka.

27
Misalnya, Shin et al. [12] menunjukkan bahwa menggabungkan
CNT ke dalam hidrogel gelatin yang dapat disisipkan menghasilkan
peningkatan yang signifikan dalam kekuatan tariknya.
CNT telah dimasukkan untuk membuat bahan konduktif.
Sebagian besar biomaterial yang digunakan untuk aplikasi rekayasa
jaringan adalah berupa isolator listrik, karena umumnya terbuat dari
polimer non-konduktif. Namun, dalam aplikasi tertentu, seperti
jaringan saraf dan jantung, akan sangat diuntungkan oleh bahan
konduktif karena dapat merambatkan sinyal listrik secara efektif di
seluruh jaringan dan membangun fungsi elektrofisiologi yang tepat.
Sebagai contoh, Kam dkk. [13] telah menerapkan stimulasi listrik
untuk neural stem cells (NSC) yang ditumbuhkan pada film
komposit CNT-laminin, dan mendemonstrasikan peningkatan
potensial aksi NSC dan diferensiasi ke dalam jaringan syaraf
fungsional. Selain itu, kultur sel otot jantung pada hidrogel gelatin
yang diperkuat CNT telah diteliti dan teramati peningkatan
elektrofisiologinya dan akhirnya mengembangkan jaringan jantung
fungsional. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa CNT telah
berhasil memberikan konduktivitas listrik pada biomaterial non-
konduktif.
Sebagai kesimpulan singkat, CNT dapat digunakan dalam
industri plastik untuk material komposit, industri elektronik untuk
layar monitor atau film transparan konduktif, industri semikonduktor
untuk transistor, industri energi untuk baterai atau sel surya, dan
industri biomedis untuk biosensor. Penambahan nanomaterial CNT
dapat meningkatkan sifat struktural material komposit. Karena
konduktivitas listrik mereka, CNT juga memiliki aplikasi untuk
pembuatan solar sel murah, elektronik, dan material komposit
antistatik. Beberapa aplikasi potensial CNT kimiawi terkait dengan
gugus ikatan kovalen dan sifat spesifik lainnya dirangkum dalam
Tabel 3.1.

28
Tabel 3.1 Aplikasi potensial dari CNT yang telah dimodifikasi.
Tabel diadopsi dari Ref. [1].
Modifikasi fungsional CNT Area Aplikasinya
Modifikasi lokal pada struktur pita Alat elektronik, seperti diode
elekteonik nano
Pengenalan analit secara selektif Biokimia / sensor kimia
Penahan molekul / nanopartikel Mendukung katalis
logam
Penggabungan kimia dalam Komposit yang diperkuat secara
matriks mekanik
Interaksi kimia yang selektif Tips yang sensitif secara kimia
dengan permukaan untuk memindai pada probe
mikroskopi
Pengurangan fungsi kerja untuk Aplikasi untuk emisi medan
elektron di ujung tabung
Kontrol peralihan molekul / ion Aplikasi untuk filtrasi nano
melalui efek stearic atau interaksi
coulombic
Stabilisasi mekanik film nanotube Otot buatan
melalui ikatan silang kovalen
Biokompatibilitas; pengakuan sidik Pelepasan obat terkontrol
jari biologis
Penghambatan enzimatik / Aplikasi di farmakologi
pemblokiran saluran ionik di
membran sel
Interaksi khusus dengan Pertumbuhan sel yang diarahkan
permukaan sel pada permukaan

3.3 Bola “Fullerene”


Buckminsterfullerene (C60), juga dikenal sebagai buckyball,
adalah struktur sangkar bulat tertutup (icosahedron terpotong) yang
terbuat dari enam puluh karbon sp2, atau disebut juga molekul "bola
sepak" (dalam Bab 1), perhatikan Gambar 3.5. Penemuan C60
dipublikasikan di jurnal Nature pada bulan November 1985 oleh

29
Harry Kroto (University of Sussex, The UK) dan Richard Smalley
(Rice University, USA). C60 terdiri dari struktur karbon berukuran
bervariasi dan susunan molekul yang menyerupai bola atau tabung
berongga. C60 telah dipelajari secara komprehensif dalam kaitannya
dengan CNT, dan bersama-sama membuka teknologi pada skala
nano sebelum munculnya grafena pada tahun 2004. Secara umum
diketahui bahwa berturut - turut C60 dan CNT adalah material
berdimensi nol dan berdimensi satu. Ini memicu upaya untuk
eksplorasi lebih lanjut struktur dan sifat unik mereka.
Material yang ditemukan pada tahun 1985 ini mengarah pada
pengungkapan sifat elektronik, yang berasal dari strukturnya yang
sangat simetris, dan aplikasi potensial lainnya. Dapat dikatakan
bahwa perburuan ilmiah material nano berbasis karbon dan aplikasi
potensialnya dimulai dengan penemuan C60 ini. Popularitas C60
telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir dengan munculnya
material nano berbasis karbon yang lebih berdimensi dan praktis
seperti CNT dan grafena. Namun, ukuran dan bentuk seragamnya
serta ketersediaan untuk modifikasi secara kimia menyebabkan
banyak ilmuwan yang telah banyak mengembangkan turunan dari
C60 ini untuk tujuan terapeutik.
C60 dapat diterapkan di beberapa bidang dan, saat ini, paling
menonjol dalam sel surya organik. Afinitas elektron yang tinggi dan
kemampuan untuk membawa muatan, membuat C60 sebagai
akseptor muatan listrik terbaik untuk perangkat tipe ini. C60
memiliki orbital molekul kosong terendah (LUMO) dengan energi
rendah dibandingkan dengan donor muatan organik lain yang
memiliki afinitas elektron tinggi [13,14]. Dengan energi LUMO ini,
C60 dapat dikurangi secara reversibel hingga enam elektron, yang
menunjukkan kemampuannya untuk menstabilkan muatan negatif.
Campuran polimer yang dikombinasikan dengan C60 menunjukkan
transfer muatan foto-terinduksi ultra-cepat (pada sekitar 45 femto
detik = 45×10-15 detik). Sejauh ini, efisiensi terbesar untuk sel surya
polimer adalah karena sambungan majemuk (heterojunction)

30
polimer/C60, perhatikan Gambar 3.6. C60 bertindak sebagai
semikonduktor tipe-n (akseptor elektron) dan dikombinasikan
dengan polimer tipe-p (donor elektron), biasanya polythiophene.
campuran polimer/C60 diendapkan sebagai film untuk bertindak
sebagai lapisan aktif untuk menciptakan apa yang dikenal sebagai
bulk heterojunction[15,16].
Efisiensi sel surya selama beberapa tahun ini terus meningkat.
Meskipun efisiensi konversi energi sel surya heterojunction
polimer/C60 masih rendah (sekitar 10%), dibandingkan dengan sel
silikon konvensional (efisiensi 20%), biaya produksi sel surya jenis
ini mungkin jauh lebih rendah. Selanjutnya, sel surya organik dapat
fleksibel, digulung, dan tersebar di permukaan apa pun. Perangkat
fotovoltaik plastik dapat digunakan untuk menutupi dinding internal
dan eksternal bangunan. Selain itu, dye solar cell dengan tekstur
tertentu dapat diproduksi. Misalnya, ponsel dapat dicat dengan
bahan ini, dan baterainya dapat diisi saat seseorang berjalan saat hari
yang cerah. Sel surya organik juga diharapkan akan digunakan
dalam iklan, seperti pada spanduk ringan, display kristal cair, dan
kemasan makanan.

Gambar 3.5 Struktur bola Fullerene (C60) yang tersusun oleh 60


atom karbon sp2. Gambar diadaptasi dari Ref. [14].

31
Gambar 3.6 Skematik aplikasi C60 untuk sel surya organik. Gambar
diadaptasi dari Ref. [17].

C60 dapat digunakan di perangkat elektronik organik lainnya.


Dalam transistor efek medan organik (organic field effect transistor,
Organic FET), mereka berfungsi sebagai semikonduktor tipe-n
untuk meningkatkan mobilitas muatan dan stabilitas. Kapasitor
terpaut (interdigitated capasitor) dengan C60 digunakan dalam
sensor yang mengeksplorasi sifat akseptor elektron dari film C60.
Dalam pembatas optik, C60 menginduksi penurunan transmitansi
dengan peningkatan cahaya datang. ini memungkinkan semua
cahaya di bawah ambang aktivasi untuk melewati, misalnya,
mempertahankan transmisi cahaya pada tingkat yang konstan di
bawah ambang batas kerusakan untuk mata atau sensor optik [18].
Hidrida C60 menunjukkan kemampuannya untuk menyimpan gas
hidrogen dalam kendaraan listrik yang menggunakan sel bahan
bakar. Hal ini sangat menguntungkan karena teknologi penyimpanan
hidrogen yang tersedia, seperti penyimpanan gas terkompresi
sebagai hidrida logam, atau gas berbahaya dan/atau yang memiliki
kepadatan penyimpanan hidrogen yang rendah.
Di bidang medis dan farmasi, turunanC60 dapat digunakan
dalam terapi photodynamic untuk kanker, seperti pada agen
antibakteri dan obat neuroprotektif. Karena kemampuannya untuk

32
memasukkan atom, C60 cocok sebagai pembawa obat. Selain itu,
gas mulia dapat dikemas dalam C60 untuk digunakan dalam
resonansi magnetik nuklir (Nuclear Magnetic Resonance, NMR).
C60 juga merupakan antioksidan dan bereaksi dengan radikal bebas,
sehingga mencegah kerusakan sel atau kematian. Misalnya, C60
memiliki kinerja antioksidan 100 kali lebih efektif daripada vitamin
E. Dalam rekayasa logam, C60 digunakan untuk memperkuat
paduan logam [19].
Aspek aplikasi dari C60 yang paling menarik dan sangat
menjanjikan adalah aktivitas anti-human immunodeficiency virus
(HIV). Schinazi dkk. [20] pertama kali menemukan sekelompok
turunan C60 larut dalam air yang mampu menghambat aktivitas
protease HIV dengan mengikat ke situs aktifnya, karena adanya
struktur molekul unik dan hidrofobisitasnya. Berbagai turunan C60
telah dikembangkan dan menampilkan aktivitas anti-HIV dengan
menargetkan enzim HIV penting lainnya, seperti reverse
transcriptase. Hasil ini menunjukkan bahwa turunan C60 dapat
menjadi kelompok kuat untuk terapi AIDS di masa depan.
Secara umum, C60 dan turunannya telah menjadi kandidat
potensial untuk sejumlah aplikasi sebagai berikut: (I) Hidrogenasi
C60 menghasilkan hidrida. Reaksinya reversibel dan dapat
dikatalisis dengan logam pada tekanan rendah. (ii) C60
mengkatalisis konversi metana menjadi hidrokarbon dan mencegah
reaksi kokas (batu arang). (iii) Kapasitor berbasis C60 dapat
digunakan sebagai sensor untuk mendeteksi H2S dalam N2 dan air
dalam isopropanol pada tingkat ppm. (iv) C60 dapat diubah menjadi
intan pada tekanan tinggi pada suhu kamar dan juga dapat digunakan
sebagai pusat nukleasi intan selama proses CVD. (v) C60 digunakan
untuk memperkuat, mengeras, dan meningkatkan konduktivitas
listrik dari suatu paduan. (vi) turunan C60 beberapa aplikasi dalam
bidang biomedis seperti penghambatan replikasi HIV manusia;
antioksidan biologis (spons radikal); mengikat antibiotik spesifik
untuk struktur bakteri resisten dan bahkan menargetkan jenis sel

33
kanker tertentu seperti melanoma; dan agen antimikroba yang
diaktifkan cahaya.

3.4 Karbon Aktif


Dengan mempertimbangkan sifat dan strukturnya, karbon aktif
ditempatkan ke dalam kategori karbon amorf. Karbon aktif diyakini
sebagai bentuk karbon yang paling populer dan dapat diproduksi dari
sumber bahan-bahan alami yang mengandung unsur karbon. Secara
kimiawi, karbon aktif adalah karbon yang telah ditingkatkan
porositasnya yang berukuran mikron. Fungsi permukaan pada
karbon aktif menghasilkan bahan yang aktif dalam penyerapan
unsur-unsur kimia tertentu. Hal ini dikarenakan karbon aktif
memiliki area permukaan spesifik yang tinggi (rasio luas permukaan
terhadap volume yang tinggi), yang pada gilirannya membuatnya
sangat berguna sebagai bahan penyerap. Oleh karena itu, karbon
aktif biasanya digunakan sebagai adsorben dari kasus keracunan,
mengurangi tingkat kolesterol, dan banyak aplikasi berguna lainnya.
Sejarah telah mencatat, pada abad sebelumnya, karbon aktif
terutama digunakan untuk pemurnian air. Pada tahun 1950,
penemuan serat karbon telah mengubah sejarah karena sifat barunya
yang ringan dan kuat.
Secara konvensional, karbon aktif sebagian besar diproduksi dari
prekursor biomassa seperti bahan lignocellulic (batok kelapa sawit,
batang kelapa sawit, zaitun, serat buah kelapa sawit, kayu, batok
kelapa, biji buah kurma, dan sekam padi), berbagai jenis batubara
atau jenis karbon lainnya. Prosedur produksi biasanya memerlukan
proses anil bahan baku di bawah kondisi atmosfer oksigen rendah
untuk menghasilkan permukaan karbonasi. Untuk lebih
meningkatkan permukaan spesifik material, proses selanjutnya
adalah proses aktivasi melalui oksidasi kimia atau perlakuan termal.
Perlu dicatat bahwa tidak semua karbon yang diaktifkan dengan
metode yang sama akan memiliki sifat fisik dan kimia yang sama.

34
Banyak faktor seperti variasi pada materi awal, metode pengaktifan
dan kondisi operasional yang berbeda dapat menghasilkan material
karbon aktif dengan sejumlah sifat dan luas permukaan dalam
rentang yang luas. Sifat ini diyakini langsung dipengaruhi oleh
distribusi ukuran pori di permukaan yang diaktifkan dan jenis
kelompok fungsional yang ada dalam pori-porinya.

3.5 Grafena
Gafena adalah material nano berbasis karbon terbaru yang
memiliki potensi aplikasi yang sangat luas. Penemuan oleh Geim
dan Novoselov memberikan metode sederhana untuk mengekstraksi
grafena dari grafit melalui penyayatan lapisan dan mengeksplorasi
sifat listriknya yang unik [21], di mana secara skematik strukturnya
ditunjukkan dalam Gambar 3.7. Grafena dan CNT memiliki sifat
listrik, optik, dan termal yang sama, tetapi lembar atom dua dimensi
struktur grafena memungkinkan karakteristik elektronik yang lebih
beragam; keberadaan efek kuantum Hall dan fermion Dirac tak
bermassa membantu menjelaskan eksitasi muatan energi rendah
pada suhu kamar dan transparansi optik dalam rentang inframerah
dan spektrum cahaya tampak. Selain itu, grafena secara struktural
kuat namun sangat fleksibel, yang membuatnya menarik untuk
domanfaatkan pada teknik lapisan tipis dan bahan yang fleksibel.

Gambar 3.7 Modifikasi struktur grafena menjadi grafena oksida dan


grafena tereduksi. Gambar diadaptasi dari Ref. [22].

35
Grafena, lembaran atom-atom karbon sp2-terhibridisasi tersusun
secara heksagonal, memicu sifat listriknya yang luar biasa karena
mobilitas elektroniknya yang tinggi, kemampuan mekanik yang luar
biasa, dan karakteristik optik yang unik. Aplikasi berbasis grafena
seperti elektroda transparan, sel surya, dan photodetector ultra cepat,
dan phototransistor baru-baru ini telah diterapkan. Dispersi linear
grafena dan tidak adanya celah pita, bersama dengan sifat
pendopingan yang tidak biasa, membuatnya menjadi bahan yang
luar biasa potensial untuk aplikasi perangkat optoelektronik. Grafena
adalah konduktor yang sangat tipis, secara mekanis sangat kuat,
transparan, dan mudah terbakar. Konduktivitasnya dapat
dimodifikasi melalui berbagai cara baik oleh doping kimia atau oleh
medan listrik. Mobilitas grafena sangat tinggi membuat material itu
sangat menarik untuk aplikasi elektronik frekuensi tinggi. Baru-baru
ini, lembaran besar grafena dengan lebar 70 cm telah dapat
diproduksi dengan menggunakan metode pendekatan-industrial.
Karena grafena adalah konduktor transparan, maka dapat digunakan
dalam aplikasi seperti layar sentuh, panel cahaya, dan sel surya, di
mana ia dapat menggantikan kaca oksida indium (ITO) yang mahal.
Elektronik fleksibel dan sensor gas adalah aplikasi potensial lainnya.
Efek kuantum Hall dalam grafena juga mungkin berkontribusi pada
standar ketahanan yang lebih akurat dalam metrologi. Grafena tidak
hanya lebih ringan, lebih kuat, lebih keras, dan lebih fleksibel
daripada baja, namun juga merupakan produk yang dapat didaur
ulang dan berkelanjutan serta ramah lingkungan dan hemat biaya.
Hal ini akan memungkinkan pengembangan mobil dan pesawat yang
lebih ringan dan kuat yang menggunakan lebih sedikit bahan bakar.
Perusahaan luar angkasa besar seperti Boeing sudah mulai
mengganti logam dengan serat karbon dan bahan berbasis karbon
lainnya.
Grafena dan turunannya dapat digunakan dalam sumber energi
terbarukan dan elektroda transparan pada dye-sensitized solar cell.
Karena doping dapat mengubah posisi tingkat energi Fermi, grafena

36
dapat bertindak baik sebagai elektron akseptor dan donor. Dengan
biaya lebih rendah untuk menghasilkan grafena melalui
pengelupasan fasa cair atau termal, hal ini dapat meningkatkan
penggunaan grafena pada dye-sensitized solar cell, terutama di
aplikasi dimana fleksibilitas mekanis sangat penting [23].
Grafena telah dipelajari sebagai baterai ion-lithium generasi
berikutnya dan untuk katoda dengan konduktivitas listrik tinggi.
Dengan morfologi yang mirip dengan lembaran, grafena dapat
bertindak sebagai membran konduktif dan membentuk core-shell
atau kompoait nano dengan struktur tipe sandwich. Kenaikan
konduktivitas listrik dari morfologi mengandung grafena ini dapat
membantu mengatasi keterbatasan baterai ion-lithium, yakni
densitas daya yang rendah. Selain itu, dengan konduktivitas termal
yang tinggi, grafena dapat membantu untuk muatan arus tinggi yang
menghasilkan sejumlah panas yang signifikan dalam baterai.
Sebagai anoda, lembaran nano grafena dapat digunakan untuk
memasukkan kristal lithium di lapisan-lapisannya [24].
Perangkat elektrokimia dari material nano berbasis karbon
seperti grafena sebagai superkapasitor (perhatikan Gambar 3.8), sel
bahan bakar (fuel cell), dan sebagainya secara khusus dikenal
sebagai teknologi penyimpanan energi yang digunakan untuk
aplikasi tenaga listrik dan prosesnya dicapai melalui elektrolisis.
Ketika kita melihat jauh ke dalam pandangan energi global, timbul
masalah akibat dari penipisan cepat dari reservoir bahan bakar fosil.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bahan bakar fosil sebagai
sumber energi tidak ramah lingkungan, berkelanjutan dan umumnya
tidak terbarukan. Perangkat elektrokimia seperti superkapasitor, sel
bahan bakar, dan sebagainya ini dianggap aman dan ramah
lingkungan karena tidak menghasilkan gas berbahaya (biasanya gas
rumah kaca) yang umumnya dianggap merugikan atmosfer.
Keunggulan terbaik dari material nano berbasis karbon adalah
harganya murah dibandingkan dengan logam seperti platinum untuk

37
aplikasi katalis. Telah dilaporkan bahwa grafena quantum dots dapat
dibuat dan dirakit sendiri menggunakan grafena melalui proses
hidrotermal yang menghasilkan plat nano hibrida baru dengan sifat
katalitik yang sangat baik bahkan lebih tinggi daripada Pt/C
komersial dalam media alkalin. Dengan demikian, prospek yang
mencolok dari pembuatan material nano berbasis karbon dari sumber
terbarukan mungkin dapat memenuhi permintaan energi pada abad
ke-21, sehingga dapat menggantikan sumber bahan bakar fosil.

Gambar 3.8 Skematik aplikasi grafena oksida tereduksi untuk


superkapasitor. Gambar diadaptasi dari Ref.[25].

Kualitas dan waktu pengisian ulang yang lebih cepat dan besar
pada superkapasitor, serta superkapasitas pada baterai hibrida dan
baterai lithium yang telah teruji secara eksperimental dapat
meningkatkan sifat-sifatnya melalui mengkombinasikannya dengan
material nano berbasis karbon ini (karbon nanotube, grafena, karbon
aktif, dan material turunannya). Telah dilaporkan bahwa grafena
oksida berporos telah teruji memberikan kapasitas yang sangat tinggi

38
283 Farad/g dan 234 Farad/cm3. Menariknya, dengan
menggabungkan grafena dengan Mangan dioksida (MnO 2),
kapasitansi yang dicapai menjadi 1100 Farads/cm 3. Sangat menarik
juga untuk dicatat bahwa bahan-bahan ini mungkin dapat digunakan
untuk menyimpan sejumlah besar listrik lebih efisien yang
dihasilkan dari energi matahari melalui panel sel surya. Demikian
pula dalam hal rentang dan waktu pengisian enegi listrik akan
menjadi ditingkatkan dan jauh lebih murah.
Grafena sangat cocok untuk superkapasitor karena
fleksibilitasnya, transparansi, konduktivitas listrik yang tinggi, luas
permukaan yang besar, ketahanan mekanis, dan berat yang rendah,
yang dapat memungkinkan pengembangan perangkat elektronik
fleksibel yang dapat dimasukkan dalam pakaian atau ponsel dan
memungkinkan pengembangan lebih lanjut untuk komputer lentur.
Selain itu, grafena dapat dikombinasikan dengan nanomaterial
lainnya untuk mencari sinergi dan aplikasi lanjutan lainnya
[26,27].Oksida logam (dalam jumlah besar atau partikel nano) dapat
dimasukkan ke dalam grafena untuk menurunkan resistansi kontak
dan meningkatkan kapasitansi spesifik serta densitas energi
superkapasitor. kombinasi grafena dan oksida dalam komposit nano
dapat menghasilkan superkapasitor dengan kinerja tinggi, namun
oksida harus memiliki biaya dan toksisitas rendah. Dalam aspek ini,
magnesium oksida mungkin lebih disukai daripada rutenium oksida
karena harganya lebih murah.
Sifat elektronik unik grafena menyediakan kemampuan dalam
sirkuit logika berkinerja tinggi pada dekade mendatang, misalnya,
dalam transistor logika, transistor frekuensi tinggi, perangkat
elektronik fleksibel, seperti layar sentuh dan kertas elektronik (e-
paper), dan dioda organik pemancar cahaya (LED). Grafena juga
dapat digunakan dalam fotonik, detektor cahaya, modulator optik,
pengontrol polarisasi optik, laser solid state, dan isolator [23].

39
Grafena dapat lebih berguna daripada CNT, terutama karena
struktur dua dimensinya memfasilitasi fungsionalisasi untuk
penggabungan biomolekul dan nanopartikel. Grafena juga memiliki
biokompatibilitas yang lebih tinggi dan luas permukaan yang lebih
besar, yang dapat menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada
CNTS atau bahan karbon lainnya di aplikasi biosensor
[28,29].Karena luas permukaan ultra tinggi (sekitar 2630 m 2/g) dan
struktur sp2 hibridisasi area karbon, grafena (material nano karbon
yang sangat berlimpah) telah diaplikasikan sebagai pembawa obat
yang sangat baik untuk memuat sejumlah besar molekul obat pada
kedua sisi lembar lapisan atomnya. Aplikasi untuk pengiriman obat
ini dikonsep oleh Dai et al. [30]. Para penulis ini melaporkan bahwa
physisorption melalui π-stacking dapat diterapkan untuk memuat
obat anti kanker SN38. Selain itu, grafena berfungsi menghasilkan
perangkat ultra-sensitif yang cepat dan mampu mendeteksi molekul
biologis, seperti glukosa, kolesterol, hemoglobin, dan DNA.
Senyawa grafena bersifat biokompatibel dengan berbagai tipe sel
(seperti sel mamalia dan bakteri) baik secara in vitro maupun in vivo
dan menghasilkan efek antibakteri [31]. Perlu dicatat bahwa grafena
dan material lain yang terkait dengan grafena serta turunannya
sekarang telah banyak diteliti di bidang biomedis dan menunjukkan
masa depan yang sangat menjanjikan di bidang ini.
Penelitian dalam memanfaatkan grafena untuk aplikasi biomedis
telah berkembang hingga saat ini, namun penelitian grafena sendiri
masih dalam proses studi lebih lanjut. grafena oksida (GO), yang
dihasilkan oleh oksidasi grafit dalam kondisi asam, lebih umum
digunakan, karena menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan
menggunakan grafena murni. Pertama, GO terdispersi dalam media
berair, yang penting untuk aplikasi biologis. Kedua, GO menyajikan
gugus fungsi hidrofilik yang memungkinkan fungsionalisasi kimia.
Ketiga, GO memiliki rentang sifat fisik yang lebih luas daripada
grafena murni karena heterogenitas strukturalnya. Beberapa aplikasi
biomedis termasuk agen pelabelan seluler suntik, sistem pengiriman

40
obat, dan penguatan bahan telah dieksplorasi menggunakan GO,
sebagaimana juga dilakukan pada CNT. Sebagai contoh, penelitian
oleh Zhang et al. [32] bahwa GO difungsikan dengan asam folat
(FA) sebagai molekul penargetan kanker. FA-GO yang berisi obat
menunjukkan peningkatan kemampuan penargetan kanker dan
aktivitas anti-kanker dibandingkan dengan obat yang dikirim sendiri
atau obat-obatan yang dibawa dengan GO yang tidak termodifikasi.
Sun dkk. [33] juga menunjukkan bahwa poli(ethylene glycol)-GO
terkonjugasi dengan molekul penargetan dapat digunakan sebagai
sensor seluler dengan memanfaatkan sifat photoluminescence
intrinsik dari GO di wilayah NIR. Dalam studi lain, Zhang et al. [34]
memasukkan GO ke dalam hidrogel poli(vinil alkohol) untuk
meningkatkan kekuatan mekanisnya.
Di bidang teknologi biosensor, berbagai biosensor berdasarkan
mekanisme penginderaan yang berbeda termasuk sinyal optik dan
elektrokimia telah dibangun dari material nano berbasis karbon
(misalnya, bahan berbasis grafena) [35]. Teknik elektrokimia telah
dilaporkan sebagai salah satu metode yang paling menguntungkan
untuk deteksi biomolekul. Hal ini dikarenakan pada kesederhanaan
operasionalnya, kepekaan yang sangat baik, tidak mahal dan respon
yang cepat. Karena sifat elektrokimia yang menarik dari grafena ini,
sekarang digunakan sebagai bahan elektroda untuk meningkatkan
deteksi biomolekul. Sebagai contoh, grafena telah menunjukkan
aktivitas elektrokatalitik yang sangat baik terhadap H2O2, sehingga
membuka jalan bagi kristal karbon dua dimensi (2D) ini untuk
digunakan sebagai bahan elektroda untuk biosensor berbasis
oksidase. Jelas bahwa deteksi kadar glukosa dalam tubuh pasien
secara klinis penting untuk diagnosis diabetes. Oleh karena itu,
deteksi elektrokimia glukosa dalam darah dapat dicapai dengan
menggunakan glukosa oksidase sebagai mediator atau elemen
pendeteksi [36].
Pengembangan material nano berbasis karbon baru seperti
grafeba, karbon nanotube, dan sebagainya tidak diragukan lagi telah

41
mempromosikan ilmu nanoteknologi dalam beberapa tahun terakhir.
Sifat unik material ini tak ternilai dalam berbagai teknologi seperti
elektronik, optik, penyimpanan energi, biomedis, dan banyak
aplikasi lainnya. Secara umum, semua ini telah dicapai karena
keunikan bahan-bahan ini yang sangat terkait dengan sifat
spesifiknya yang difasilitasi oleh struktur berskala nano yang tak
luar biasa dibandingkan material lain yang diketahui. Tabel 3.2
adalah rangkuman sifat luar biasa dari material nano berbasis karbon
dan kaitannya dengan aplikasinya di dunia nanosains dan
nanoteknologi.

Tabel 3.2. Variasi tipe aplikasi material nano berbasis karbon (CBN)
dihubungkan dengan sifat-sifatnya.
Sifat-sifat CBN Aplikasi
Struktur nano, tipis, kuat, ringan, Aplikasi nanoteknologi, seperti
konduktivitas termal tinggi, pada pesawat luar angkasa,
kekuatan fisik tinggi, pertahanan, dan otomotif.
konduktivitas elektrik tinggi,
bersifat metalik/semikonduktif.
Luas permukaan spesifik yang Aplikasi bioteknologi, seperti
tinggi, adsopsi yang kuat, ikatan system pengiriman obat, bio
afinitas yang tinggi. sensor, memperkokoh jaringan
atau sel.
Mobilitas electron tinggi, Aplikasi alat elektronik, seperti
konduktivitas ternal tinggi, transistor, lapisan tipis
densitas arus tinggi, sifat konduktif transparan, dan sebagainya.
dan transparan, sifat
metalik/semikonduktif.
Struktur berskala nanometer, Aplikasi penyimpan energi,
adsopsi ionik, luas permukaan seperti sel bahan bakar,
spesifik yang tinggi, mendukung superkapasitor, baterei ion
proses katalisis. Lithium.

42
Referensi Bab 3
[1] Kumar, N., Kumbhat, S.: Carbon-Based Nanomaterials. In:
Essentials in Nanoscience and Nanotechnology. pp. 189-236.
Wiley Online, (2016)
[2] Shatskiy, A., Yamazaki, D., Morard, G., Cooray, T., Matsuzaki,
T., Higo, Y., Funakoshi, K.-i., Sumiya, H., Ito, E., Katsura, T.:
Boron-doped diamond heater and its application to large-
volume, high-pressure, and high-temperature experiments.
Review of Scientific Instruments 80(2), 023907 (2009).
doi:10.1063/1.3084209
[3] Lien, Z.-Y., Hsu, T.-C., Liu, K.-K., Liao, W.-S., Hwang, K.-C.,
Chao, J.-I.: Cancer cell labeling and tracking using fluorescent
and magnetic nanodiamond. Biomaterials 33(26), 6172-6185
(2012). doi:https://doi.org/10.1016/j.biomaterials.2012.05.009
[4] Zhang, X.-Q., Chen, M., Lam, R., Xu, X., Osawa, E., Ho, D.:
Polymer-Functionalized Nanodiamond Platforms as Vehicles
for Gene Delivery. ACS Nano 3(9), 2609-2616 (2009).
doi:10.1021/nn900865g
[5] Obradović, V., Stojanović, D.B., Živković, I., Radojević, V.,
Uskoković, P.S., Aleksić, R.: Dynamic mechanical and impact
properties of composites reinforced with carbon nanotubes.
Fibers and Polymers 16(1), 138-145 (2015).
doi:10.1007/s12221-015-0138-2
[6] Gooding, J.J.: Nanostructuring electrodes with carbon
nanotubes: A review on electrochemistry and applications for
sensing. Electrochimica Acta 50(15), 3049-3060 (2005).
doi:https://doi.org/10.1016/j.electacta.2004.08.052
[7] Allen, B.L., Kichambare, P.D., Star, A.: Carbon Nanotube
Field-Effect-Transistor-Based Biosensors. Advanced Materials
19(11), 1439-1451 (2007). doi:doi:10.1002/adma.200602043
[8] Peng, L.-M., Zhang, Z., Wang, S.: Carbon nanotube electronics:
recent advances. Materials Today 17(9), 433-442 (2014).
doi:https://doi.org/10.1016/j.mattod.2014.07.008

43
[9] Li, X., Wei, B.: Supercapacitors based on nanostructured carbon.
Nano Energy 2(2), 159-173 (2013). doi:https://doi.org/10.1016
/j.nanoen.2012.09.008
[10] Yu, G., Xie, X., Pan, L., Bao, Z., Cui, Y.: Hybrid nanostructured
materials for high-performance electrochemical capacitors.
Nano Energy 2(2), 213-234 (2013). doi:https://doi.org/10.1016
/j.nanoen.2012.10.006
[11] Lee, S.W., Kim, J., Chen, S., Hammond, P.T., Shao-Horn, Y.:
Carbon Nanotube/Manganese Oxide Ultrathin Film Electrodes
for Electrochemical Capacitors. ACS Nano 4(7), 3889-3896
(2010). doi:10.1021/nn100681d
[12] Shin, S.R., Bae, H., Cha, J.M., Mun, J.Y., Chen, Y.-C., Tekin,
H., Shin, H., Farshchi, S., Dokmeci, M.R., Tang, S.,
Khademhosseini, A.: CNT Reinforced Hybrid Microgels as
Scaffold Materials for Cell Encapsulation. ACS Nano 6(1), 362-
372 (2012). doi:10.1021/nn203711s
[13] Kam, N.W.S., Jan, E., Kotov, N.A.: Electrical Stimulation of
Neural Stem Cells Mediated by Humanized Carbon Nanotube
Composite Made with Extracellular Matrix Protein. Nano
Letters 9(1), 273-278 (2009). doi:10.1021/nl802859a
[14] Ramsden, J.J.: Chapter 9 - Carbon-Based Nanomaterials and
Devices. In: Ramsden, J.J. (ed.) Nanotechnology. pp. 189-197.
William Andrew Publishing, Oxford (2011)
[15] Thompson, B.C., Fréchet, J.M.J.: Polymer–Fullerene
Composite Solar Cells. Angewandte Chemie International
Edition 47(1), 58-77 (2008). doi:doi:10.1002/anie.200702506
[16] Günes, S., Neugebauer, H., Sariciftci, N.S.: Conjugated
Polymer-Based Organic Solar Cells. Chemical Reviews 107(4),
1324-1338 (2007). doi:10.1021/cr050149z
[17] Ganesamoorthy, R., Sathiyan, G., Sakthivel, P.: Review:
Fullerene based acceptors for efficient bulk heterojunction
organic solar cell applications. Solar Energy Materials and Solar
Cells 161, 102-148 (2017). doi:https://doi.org/10.1016
/j.solmat.2016.11.024

44
[18] Withers, J.C., Loutfy, R.O., Lowe, T.P.: Fullerene Commercial
Vision. Fullerene Science and Technology 5(1), 1-31 (1997).
doi:10.1080/15363839708011971
[19] Shenderova, O.A., Zhirnov, V.V., Brenner, D.W.: Carbon
Nanostructures. Critical Reviews in Solid State and Materials
Sciences 27(3-4), 227-356 (2002). doi:10.1080/
10408430208500497
[20] Schinazi, R.F., Sijbesma, R., Srdanov, G., Hill, C.L., Wudl, F.:
Synthesis and virucidal activity of a water-soluble,
configurationally stable, derivatized C60 fullerene.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy 37(8), 1707-1710
(1993). doi:10.1128/aac.37.8.1707
[21] Bhuyan, M.S.A., Uddin, M.N., Islam, M.M., Bipasha, F.A.,
Hossain, S.S.: Synthesis of graphene. International Nano
Letters 6(2), 65-83 (2016). doi:10.1007/s40089-015-0176-1
[22] Ke, Q., Wang, J.: Graphene-based materials for supercapacitor
electrodes – A review. Journal of Materiomics 2(1), 37-54
(2016). doi:https://doi.org/10.1016/j.jmat.2016.01.001
[23] Novoselov, K.S., Fal′ko, V.I., Colombo, L., Gellert, P.R.,
Schwab, M.G., Kim, K.: A roadmap for graphene. Nature 490,
192 (2012). doi:10.1038/nature11458
[24] Li, Y., Wu, J., Chopra, N.: Nano-carbon-based hybrids and
heterostructures: progress in growth and application for lithium-
ion batteries. Journal of Materials Science 50(24), 7843-7865
(2015). doi:10.1007/s10853-015-9429-7
[25] Bo, Z., Shuai, X., Mao, S., Yang, H., Qian, J., Chen, J., Yan, J.,
Cen, K.: Green preparation of reduced graphene oxide for
sensing and energy storage applications. Scientific Reports 4,
4684 (2014).
[26] Liu, W.-w., Yan, X.-b., Xue, Q.-j.: Multilayer hybrid films
consisting of alternating graphene and titanium dioxide for
high-performance supercapacitors. Journal of Materials
Chemistry C 1(7), 1413-1422 (2013). doi:10.1039
/C2TC00563H

45
[27] Zhi, M., Xiang, C., Li, J., Li, M., Wu, N.: Nanostructured
carbon–metal oxide composite electrodes for supercapacitors: a
review. Nanoscale 5(1), 72-88 (2013).
doi:10.1039/C2NR32040A
[28] Kuila, T., Bose, S., Khanra, P., Mishra, A.K., Kim, N.H., Lee,
J.H.: Recent advances in graphene-based biosensors.
Biosensors and Bioelectronics 26(12), 4637-4648 (2011).
doi:https://doi.org/10.1016/j.bios.2011.05.039
[29] Shao, Y., Wang, J., Wu, H., Liu, J., Aksay, I.A., Lin, Y.:
Graphene Based Electrochemical Sensors and Biosensors: A
Review. Electroanalysis 22(10), 1027-1036 (2010).
doi:doi:10.1002/elan.200900571
[30] Liu, Z., Robinson, J.T., Sun, X., Dai, H.: PEGylated
Nanographene Oxide for Delivery of Water-Insoluble Cancer
Drugs. Journal of the American Chemical Society 130(33),
10876-10877 (2008). doi:10.1021/ja803688x
[31] Pinto, A.M., Gonçalves, I.C., Magalhães, F.D.: Graphene-based
materials biocompatibility: A review. Colloids and Surfaces B:
Biointerfaces 111, 188-202 (2013). doi:https://doi.org/10.1016
/j.colsurfb.2013.05.022
[32] Zhang, L., Xia, J., Zhao, Q., Liu, L., Zhang, Z.: Functional
Graphene Oxide as a Nanocarrier for Controlled Loading and
Targeted Delivery of Mixed Anticancer Drugs. Small 6(4), 537-
544 (2010). doi:doi:10.1002/smll.200901680
[33] Sun, X., Liu, Z., Welsher, K., Robinson, J.T., Goodwin, A.,
Zaric, S., Dai, H.: Nano-Graphene Oxide for Cellular Imaging
and Drug Delivery. Nano research 1(3), 203-212 (2008).
doi:10.1007/s12274-008-8021-8
[34] Zhang, L., Wang, Z., Xu, C., Li, Y., Gao, J., Wang, W., Liu, Y.:
High strength graphene oxide/polyvinyl alcohol composite
hydrogels. Journal of Materials Chemistry 21(28), 10399-10406
(2011). doi:10.1039/C0JM04043F

46
[35] Liu, Y., Dong, X., Chen, P.: Biological and chemical sensors
based on graphene materials. Chemical Society Reviews 41(6),
2283-2307 (2012). doi:10.1039/C1CS15270J
[36] Kang, X., Wang, J., Wu, H., Aksay, I.A., Liu, J., Lin, Y.:
Glucose Oxidase–graphene–chitosan modified electrode for
direct electrochemistry and glucose sensing. Biosensors and
Bioelectronics 25(4), 901-905 (2009). doi:https://doi.org/
10.1016/j.bios.2009.09.004

47
48
BAB 4 : SINTESIS SENYAWA KARBON
DARI BIOMASSA
________________________________________

4.1 Potensi Biomassa sebagai Sumber Karbon


Biomassa adalah bahan-bahan organik berumur relatif muda
yang berasal dari organisme atau makhluk hidup, baik yang
terbentuk dari hasil produksinya (bio-produk) maupun dari limbah
yang dihasilkan (bio-limbah). Sumber biomassa dapat diperoleh dari
berbagai bidang budidaya, mencakup pertanian, perkebunan,
kehutanan, peternakan dan perikanan. Biomassa merupakan salah
satu sumber daya hayati yang dapat dirubah menjadi sumber energi
terbarukan. Sumber energi biomassa yang telah diberdayakan
diantaranya berasal dari limbah pertanian dan pengolahan pangan
seperti jerami dan ampas tebu; sisa metabolisme makhluk hidup
semisal kotoran hewan; tanaman sumber energi biomassa seperti
jagung, gandung, kedelai; dan kayu bakar [1].
Selain sebagai sumber energi, biomassa juga berpotensi besar
sebagai sumber karbon. Karbon (C) merupakan salah satu unsur
organik dasar selain Hidrogen (H), Nitrogen (N) dan Oksigen (O)
yang merupakan unsur utama yang terkandung dalam biomassa.
Tabel 4.1 memperlihatkan kandungan dari beberapa biomassa
limbah dengan kadar air tinggi berdasarkan hasil analisis kimia.
Terlihat bahwa unsur karbon merupakan unsur terbanyak yang
terkandung dalam biomassa tersebut. Selain kandungan senyawa
organik, biomassa juga memiliki kandungan unsur logam primer,
termasuk Fe, K, Ca, P, Mg, Al, Si dan Na, tergantung pada jenis
bahan baku yang digunakan dalam pembuatannya.
Siklus biomassa berkaitan erat dengan siklus karbon, suatu
siklus yang secara luas diketahui sebagai penyebab degradasi
lingkungan akibat efek rumah kaca. Pengolahan biomassa

49
merupakan salah satu cara untuk mengurangi kerusakan lingkungan
yang disebabkan dari siklus karbon. Skematik siklus karbon
ditunjukan dalam Gambar 4.1. Karbon dioksida (CO2) yang
dihasilkan dari proses respirasi makhluk hidup, pembakaran bahan
bakar fosil dan penguraian limbah organik digunakan tumbuhan
dalam proses fotosintesis dan merubahnya menjadi Oksigen.
Berlebihnya karbon dioksida di atmosfer terutama akibat
pembakaran bahan bakar fosil dapat menimbulkan pengaruh buruk
terhadap lingkungan seperti pengingkatan suhu bumi atau
pemanasan global. Karena biomassa diproduksi dari bahan-bahan
organik yang mudah terurai maka polusi akibat CO 2 berlebih dapat
dikurangi serta energi alternatif yang terbarukan dapat diciptakan.

Tabel 4.1. Analisis kimia dari beberapa biomassa limbah dengan


kadar air tinggi (% bobot). a)Berbasis bobot kering dan b)berbasis
kadar organik [1].
Bahan baku Sisa Sisa fermentasi Lumpur Mikroalga Eceng Lumpur
biomassa fermentasi alkohol (ubi- pati (Dunaliella) gondok limbah
alkohol (padi) jalar)

Kadar air 76,7 88,6 82,2 78,4 85,2 76,7


Abu (a) 1,3 4,4 23 23,6 19,6 16,4
Lemak (b) 8,3 1,8 0,7 20,5 2,5 12,9
Protein (b) 56,5 28,5 59,6 63,6 24,4 42,3
Serat kasar (b) 2,1 11,9 5,4 1,2 20,6 18,1
Karbohidrat 33 57,8 34,3 14,7 52,5 26,7
(b)

C 47,9 47,3 44,6 53,3 47,6 51,4


H 6,7 7 7,2 5,2 6,1 7,9
N 7,5 4,2 9 9,8 3,7 6,5
O 37,9 48,2 48,2 48,2 42,1 40,7

50
Sumber biomassa yang menjadi fokus pembahasan dalam buku
ini adalah kelapa (cocos nucifera). Dalam bahasa Spanyol,
cocos/koko berarti “wajah monyet” karena lekukan pada buah
kelapa yang menyerupai kepala dan wajah seekor monyet, dan
nucifera berarti “biji berbuah”. Pohon kelapa termasuk dalam
kingdom Plantae (tumbuhan), divisi Magnoliophyta (biji tertutup),
kelas Liliopsida (monokotil/ berkeping satu), ordo Arecales
(palem/palma), keluarga Arecaceae (pinang-pinangan), dan genus
Cocos. Kelapa merupakan tumbuhan tahunan yang dapat berbunga
dan menghasilkan buah sepanjang tahun. Pohon ini tumbuh dengan
sangat baik di daerah tropis pada ketinggian 0 – 600 m di atas
permukaan laut [2], dengan suhu rata-rata 27 oC dan distribusi curah
hujan sekitar 1.300 – 2.500 mm per tahun. Secara umum varietas
kelapa dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu kelapa genjah
dan kelapa dalam. Kelapa genjah dapat menghasilkan buah dalam
waktu yang relatif pendek, antara usia 4 – 6 tahun. Yang termasuk
dalam kelompok ini adalah kelapa gading (varietas Eburnia), kelapa
raja (varietas Regia), kelapa raja Malabar (varietas Pretiosa) dan
kelapa puyuh (varietas Pumila). Sedangkan kelapa dalam dapat
menghasilkan buah dalam waktu yang relatif lama yaitu setelah
mencapai usia 15 tahun. Pohon dari jenis ini dapat mencapai
ketingggian hingga 30 meter. Kelapa hijau (varietas Viridis) dan
kelapa merah (varietas Rubescens) termasuk dalam kelompok kelapa
dalam. Selain kedua jenis tersebut, terdapat jenis kelapa baru yang
disebut sebagai kelapa hibrida. Kelapa hibrida merupakan hasil
persilangan antara kelapa genjah dan kelapa dalam yang memiliki
sifat-sifat unggul dari keduanya [4].
Hampir seluruh bagian tanaman kelapa, termasuk akar, batang,
daun dan buah, dapat dimanfaatkan dan oleh karenanya pohon ini
mendapat julukan sebagai “tree of life” [5]. Buah kelapa terdiri dari
35% sabut (mesocarp dan epicarp), 12% tempurung (endocarp),
28% daging buah (endosperm) dan 25% air [7]. Gambar 4.2
menggambarkan neraca biomassa dalam pengolahan kelapa. Baik

51
produk maupun limbah yang dihasilkan dari pengolahan kelapa
merupakan sumber biomassa sekaligus sebagai sumber karbon.
Kandungan kimia tempurung kelapa terdiri dari selulosa (34%),
hemiselulosa (21%) dan lignin (27%), sedangkan komposisi
unsurnya terdiri dari karbon (74,3%), oksigen (21,9%), silikon
(0,2%), kalium (1,4%), sulfur (0,5%) dan fosfor (1,7%) [8].
Tempurung kelapa tua memiliki kualitas yang lebih baik untuk
dijadikan sebagai sumber karbon dari pada tempurung kelapa muda
karena kandungan unsur non-karbonnya yang lebih rendah.

Karbon dioksida
(CO2)
Fotosintesis di atmosfer Pembakaran

Respirasi

Tumbuhan Hewan Pabrik/ pembangkit


listrik/ emisi kendaraan
Penguraian

Bahan bakar
fosil

Gambar 4.1. Siklus karbon. Karbon dioksida berlebih yang


dihasilkan dari proses respirasi makhluk hidup, pembakaran bahan
bakar fosil dan penguraian limbah organik mendorong terjadinya
pemanasan global (gambar diadaptasi dari Ref. [3]).

52
BUAH
KELAPA
100 %
Produk utama Produk samping

DAGING TEMPURUNG
KELAPA 12 %

MINYAK SABUT
KELAPA 35 %

AMPAS
DAGING

Gambar 4.2. Neraca biomassa pada pengolahan kelapa (gambar


diadaptasi dari Ref. [6]).

Selain bio-limbah tempurung kelapa, produk kelapa yang juga


berpotensi sebagai sumber karbon adalah nira. Nira merupakan
cairan manis yang terdapat didalam kuncup bunga tanaman palma
seperti aren, kelapa dan lontar, dan diperoleh melalui proses
penyadapan. Nira umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan gula merah ataupun sebagai minuman segar. Hasil
fermentasi dan penyulingan nira akan menghasilkan minuman
beralkohol (tuak) ataupun alkohol untuk keperluan medis. Di
Indonesia, potensi produksi nira kelapa cukup besar mencapai
360.000 – 720.000 liter/tahun/hektar. Tabel 4.2 menyajikan
komposisi dari nira kelapa segar. Selain zat gula berupa sukrosa, nira
kelapa segar juga mengandung vitamin C yang cukup tinggi, yaitu
sekitar 16 – 30 %, dan sejumlah kecil protein. Karena sifatnya yang
sangat cepat terfermentasi, nila kelapa kurang menguntungkan untuk
diolah menjadi gula [9].
Tanaman palma lain yang juga berpotensi sebagai sumber
karbon adalah pohon lontar. Pohon lontar (Borassus flabelliformus

53
atau pamyra palm) merupakan salah satu tumbuhan palma bergenus
Borassus L. yang paling banyak dijumpai Asia selatan dan Asia
tenggara [12]. Tumbuhan ini masih dala satu keluarga yang sama
dengan pohon kelapa yaitu keluarga Arecaceae (pinang-pinangan).
Sebagaimana pohon kelapa, hampir semua bagian dari lontar dapat
dimanfaatkan. Lontar juga dikenal dengan sebutan siwalan, buah
lontar yang memiliki daging buah berwarna putih, kenyal, manis dan
berair.

Tabel. 4.2. Komposisi nira kelapa segar (g/100 ml) [10].

Komposisi Bahan Kandungan (%)


Total padatan 15,20 – 19,70
Sukrosa 12,30 – 17,40
Abu 0,11 – 0,41
Protein 0,23 – 0,32
Vitamin C 16,00 – 30,00

Tabel 4.3. Komposisi nira lontar [11].


Komposisi Bahan Kandungan (%b.b)
Protein 1,04
Lemak 0,19
Sukrosa 76,86
Glukosa 1,66
Mineral 315
Kalsium 0,861
Fosfor 0,052
Besi 11,01 mg/ 100 g

54
Pohon lontar mulai berbunga setelah mencapai umur 12 – 20
tahun dengan tinggi sekitar 15 – 40 meter. Di Indonesia, tanaman
lontar tumbuh melimpah di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) provinsi NTT
pada tahun 2009, jumlah populasi lontar di NTT sekitar 10406,409
ha [13]. Nira hasil ekstraksi dari batang lontar merupakan produk
lontar yang tersedia dalam jumlah besar. Pohon lontar yang telah
produktif dapat menghasilkan nira rata-rata 6 liter/ hari atau sekitar
720 liter/pohon setiap tahunnya. Nira dari pohon lontar/ siwalan
mengandung mineral yang tinggi sebagaimana ditunjukan dalam
Tabel 4.3. Nira siwalan dapat diolah (direbus) menjadi produk
minuman yang disebut dengan legen, difermentasikan menjadi
alkohol dan dikristalisasikan menjadi gula [11]. Dalam buku ini, bio-
produk yang digunakan sebagai sumber karbon meliputi nira kelapa,
nira siwalan, legen dan gula merah.

4.2 Sintesis Senyawa Karbon dari Bio-limbah


Proses konversi termokimia biomassa sebagai sumber energi
dilakukan melalui berbagai proses seperti pembakaran, gasifikasi,
pirolisis, karbonasi, gasifikasi hidrotermal dan pencairan
hidrotermal. Dalam proses pembakaran, unsur-unsur yang
terkandung dalam biomassa akan bereaksi dengan oksigen (reaksi
oksidasi) dan menghasilkan panas. Bentuk dan metode pembakaran
sangat beragam dan relatif mudah yang dapat disesuaikan dengan
kebutuhan. Gasifikasi dilakukan untuk mengkonversi biomassa
padat menjadi bahan bakar gas atau bahan baku gas kimia (gasifikasi
termokimia). Jika gasifikasi dilakukan dalam air panas terkompresi,
pada suhu diatas 350 C dan tekanan diatas 20 MPa, prosesnya
disebut sebagai gasifikasi hidrotermal. Pirolisis merupakan proses
pemanasan tanpa atau dengan sedikit oksigen yang mengakibatkan
terjadinya dekomposisi unsur-unsur penyusun biomassa. Selama
proses pirolisis, kandungan air menguap pada suhu 100 C,
kemudian terjadi dekomposisi hemiselulosa pada suhu sekitar 200 –

55
260 C, diikuti dengan selulosa (240 – 340 C) dan lignin (280 – 500
C). Ketika suhu mencapai 500 C, reaksi pirolisis hampir selesai.
Proses ini menghasilkan residu padatan berupa arang sekitar 10 –
25 %. Proses pirolisis yang dilakukan dalam air panas terkompresi
pada suhu sekitar 300 C dan tekanan sekitar 10 MPa disebut sebagai
pencairan hidrotermal [1].
Sebagaimana proses pembakaran, karbonasi juga merupakan
proses konversi energi klasik dari biomassa. Perbedaan mendasar
dari keduanya adalah dalam proses karbonasi pemanasan dilakukan
tanpa oksigen (oksigen dibatasi) sehingga hanya senyawa yang
mudah menguap saja yang akan hilang dan hanya tersisa unsur
karbon berupa arang. Tujuan utama dari proses karbonasi adalah
untuk meningkatkan nilai kalor dari produk arang. Proses karbonasi
serupa dengan proses pirolisis yang dilakukan di dalam suatu gas
seperti nitrogen. Misalnya untuk bio-limbah kayu, hampir semua
kandungan air diuapkan pada suhu di bawah 200 C, selanjutnya
selulosa, hemiselulosa dan lignin terdekomposisi menghasilkan
fraksi cair dan gas yang terdiri atas CO dan CO 2 pada suhu 200 –
500 C dan menyebabkan penurunan berat yang signifikan. Dalam
tahap ini, komponen berbobot molekul rendah dipecah menjadi
produk cair dan gas, sedangkan komponen berbobot molekul tinggi
yang terbentuk melalui proses kondensasi diarangkan bersama
dengan bagian yang tidak terdekomposisi. Di atas 500 C,
kehilangan berat semakin kecil dan karbon aromatik
terpolikondensasi meningkat disertai dengan evolusi H2 sampai suhu
700 C. Dengan peningkatan suhu lebih lanjut, struktur karbon
terpolikondensasi semakin berkembang dan jumlah unsur karbon
meningkat tanpa disertai peningkatan H2. Gambar 4.3 menunjukan
skema dari proses karbonasi berdasarkan model Broido-Shafizadeh.
Pada tahap pertama terjadi dekomposisi dari volatil primer yang
dihasilkan dari bio-limbah kayu menjadi fraksi padat (arang), cair
(tar) dan gas. Dekomposisi lebih lanjut dari fraksi cair (tar) terjadi
pada tahap kedua. Distribusi produk dari proses karbonasi

56
bergantung pada kedua tahapan tersebut serta ratio antara konstanta
kelajuan pada tahap pertama (K2) dan tahap kedua (K3). Selain itu,
kelembaban dan ukuran bahan, laju pemanasan, suhu dan tekanan
juga berpengaruh pada distribusi produk. Pada suhu pemanasan yang
lebih tinggi, produk arang yang dihasilkan semakin sedikit [1].

Gambar 4.3. Skema Broido-Shafizadeh pada proses karbonasi


biomassa (gambar diadaptasi dari Ref. [1]).

Cakupan pembahasan dalam buku ini terfokus pada sintesis


senyawa karbon dari tempurung kelapa. Tempurung kelapa yang
digunakan adalah tepurung kelapa tua yang berwarna coklat gelap.
Tempurung kelapa tua memiliki kandungan karbon yang lebih tinggi
dari pada tempurung kelapa muda. Senyawa karbon hasil
pembakaran tempurung kelapa muda mengandung fasa impuritas
berupa sylvite (KCl) yang mudah larut dalam air. Proses pencucian
lebih lanjut diperlukan untuk menghilangkan fasa impuritas ini.
Tempurung kelapa tua tersebut selanjutnya dibersihkan dari serabut
kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari. Tempurung kelapa
ini kemudian dihaluskan dengan menggunakan bor untuk
menjadikannya serbuk yang selanjutnya digunakan untuk pengujian
komposisi unsur menggunakan Energy Dispersive X-ray
Spectroscopy (EDX). Serbuk ini kemudian dipanaskan dengan

57
berbagai variasi suhu dan lingkungan atmosfer untuk mendapatkan
fasa dari senyawa karbon yang diharapkan. Metode sintesis ini
selanjutnya dinamakan sebagai metode 1. Tabel 4.4 menunjukan
hasil pengujian EDX dari serbuk tempurung kelapa tua yang
mengindikasikan bahwa unsur karbon merupakan unsur yang paling
dominan dengan persentase massa 51 %. Oksigen merupakan unsur
terbanyak kedua setelah karbon dengan persentase sekitar 48 wt%.
Cara lain dalam sintesis senyawa karbon adalah dengan
melakukan pembakaran terhadap tempurung kelapa untuk
memperoleh arang. Arang yang dihasilkan kemudian dihaluskan
dengan menggunakan mortar lalu diayak menggunakan ayakan
berukuran 200 mesh untuk mendapatkan serbuk dengan ukuran yang
homogen. Serbuk arang ini selanjutnya diberi perlakuan panas lebih
lanjut untuk memperoleh fasa tertentu dari senyawa karbon. Metode
kedua ini relatif lebih mudah karena arang hasil pembakaran lebih
mudah untuk dihaluskan dibandingkan dengan tempurung kelapa
mentah. Pembakaran tempurung kelapa menjadi arang dapat
meningkatkan kandungan karbon hingga 50 %. Mozammel dkk. [14]
melaporkan bahwa tempurung kelapa mengandung komponen
karbon sebesar 18,29%, moisture sebesar 10,46%, volatil sebesar
67,67% dan abu sebesar 3,58%, sedangkan arang tempurung kelapa
mengandung komponen karbon sebesar 76,32%, volatil sebesar
10,60% dan abu sebesar 13,08%. Hal ini menunjukan bahwa
pembakaran tempurung kelapa menjadi arang dapat meningkatkan
kandungan karbon, mengurangi kandungan volatil, sedikit
meningkatkan kandungan abu dan menghilangkan kelembaban
(moisture). Rangkaian proses sintesis senyawa karbon dari
tempurung kelapa tua ditunjukan pada Gambar 4.4. Alur 1 dan 2
berturut-turut menggambarkan skema sintesis senyawa karbon dari
tempurung kelapa dengan metode pertama dan kedua.
Analisis thermal dilakukan pada serbuk tempurung kelapa
untuk mengetahui perubahan sifat fisik dan thermal, termasuk
perubahan massa, suhu dan fasa, yang terjadi terhadap perubahan

58
suhu yang diberikan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan
Differential Thermal Analysis (DTA) dan Thermogravimetric
Analysis (TGA). DTA merupakan suatu teknik dimana suhu dari
suatu sampel dibandingkan dengan material standart. Pada mulanya
suhu sampel dan material pembanding sama sampai dengan adanya
kejadian yang mengakibatkan perubahan suhu seperti pelelehan,
penguraian, atau perubahan struktur kristal sehingga suhu keduanya
berbeda. Apabila suhu sampel lebih tinggi daripada suhu material
pembanding maka perubahan yang terjadi adalah eksotermal dan
begitu pula sebaliknya. TGA merupaka suatu teknik yang mengukur
perubahan massa dari suatu material sebagai fungsi suhu.
Kurva hasil pengujian DTA/TGA dari serbuk tempurung kelapa
ditunjukan pada Gambar 4.5. Berdasarkan kurva TGA, diketahui
bahwa penurunan massa terjadi dua kali pada rentang suhu 250 – 340
C sebagaimana diindikasikan dengan adanya dua puncak pada
kurva turunan pertama dari grafik TGA [Gambar 4.5 (b)]. Penurunan
massa pertama terjadi pada suhu 256,25 – 301,90 C sebanyak 2,26
mg, dan penurunan kedua terjadi pada suhu 315,81 – 336,53 C
sebanyak 2,87 mg. Kurva DTA menunjukan adanya penurunan
berkelanjutan pada suhu 300 – 1000 C. Penurunan pada kurva
DTA menandakan adanya proses endotermik (penyerapan kalor)
sehingga terjadi proses penguraian melalui pemutusan beberapa
ikatan molekul yang mengakibatkan perubahan fasa dari serbuk
tempurung kelapa hingga menjadi arang. Berdasarkan pengujian
DTA/TGA, analisis thermal pada serbuk tempurung kelapa dapat
dijelaskan secara umum sebagai berikut:
 pada suhu 100 – 120 C terjadi penguapan air (moisture
content) yang terkandung dalam serbuk tempurung kelapa,
 pada suhu 200 – 600 C terjadi penguraian selulosa,
hemiselulosa, lignin berupa senyawa alifatik dan aromatik
hidrokarbon seperti asam asetat dan fenol serta bau khas
berupa gas serta cairan coklat pekat (bio-oil). Perubahan wujud

59
menjadi arang juga terjadi pada rentang suhu ini. Pada suhu
600 C, beberapa atom Oksigen dan Hidrogen terlepas dari
ikatan antar atomnya menjadi CO2, CO dan CH4.
 pada suhu 600 – 1000 C terjadi pengurangan senyawa-
senyawa pengotor yang terbawa oleh adanya pengeringan gas
sehingga mengalami tahap pemurnian atau peningkatan kadar
karbon [15].
Berdasarkan hasil analisa tersebut, maka dipilih suhu 400 C sebagai
suhu pemanasan karena pada sekitar suhu inilah terjadi perubahan
signifikan pada sampel. Selain itu juga dipilih suhu 600, 800 dan
1000 C sebagai pembanding yang diharapkan dapat lebih
mengurangi gugus fungsi Oksigen dan Hidrogen dan meningkatkan
jumlah ikatan karbon.

Perlakuan panas pada suhu yang sama juga dilakukan pada


arang hasil pembakaran tempurung kelapa. Pengujian X-ray
Fluorosence (XRF) pada serbuk arang tempurung kelapa
menunjukan bahwa melalui proses pembakaran unsur karbon
meningkat sekitar 30 % menjadi 81 %, sedangkan unsur oksigen
berkurang drastis sebagaimana ditunjukan pada Tabel 4.5. Sejumlah
kecil impuritas magnetik berupa Fe dan Ni juga teramati, yaitu
berturut-turut sebesar 0,04 % dan 0,03 %. Pengujian X-ray
Diffractometer (XRD) selanjutnya dilakukan untuk mengetahui
kandungan fasa dari serbuk karbon hasil sintesis. Seperti yang telah
diketahui, berbagai senyawa karbon seperti karbon aktif, oksida
grafit, dan oksida grafena dapat terbentuk dalam proses pemanasan
senyawa organik. Pengujian Fourier Transform Infrared (FTIR)
juga dilakukan untuk mengamati ikatan gugus fungsi yang terbentuk
dalam senyawa karbon. Karakterisasi struktur mikro juga dilakukan
dengan menggunakan Transmission Electron Microscopy (TEM)
untuk mengetahui struktur morfologi dan ukuran butir dari serbuk
karbon.

60
Tabel. 4.4 Kandungan unsur dari serbuk tempurung kelapa tua
berdasarkan hasil analisis Energy Dispersive X-ray Spectroscopy
(EDX).
Unsur Persen Massa (%) Persen Atom (%)
Karbon (C) 51,09 58,38
Oksigen (O) 48,22 41,37
Sulfur (S) 0,13 0,06
Khlorin (Cl) 0,11 0,04
Kalium (K) 0,46 0,16

Tabel 4.5. Kandungan unsur dari serbuk arang tempurung kelapa


berdasarkan hasil analisis X-ray Fluorosence (XRF) [16].
Unsur Persentase (%) Unsur Persentase (%)
Karbon (C) 81,84 Besi (Fe) 0,04
Hidrogen (H) 7,61 Nikel (Ni) 0,03
Oksigen (O) 9,02 Seng (Zn) 0,01
Nitrogen (N) 0,53 Rubidium (Rb) 0,01
Sulfur (S) 0,01 Barium (Ba) 0,03
Fosfor (P) 0,02 Tembaga (Cu) 0,05
Kalium (K) 0,87

61
Gambar 4.4. Skema sistesis senyawa karbon dari tempurung kelapa
tua. Metode pertama (1) dilakukan dengan membuat serbuk
tempurung kelapa yang selanjutnya dipanaskan untuk mendapatkan
serbuk karbon. Metode kedua (2) dilakukan dengan pembakaran
tempurung kelapa sehingga diperoleh arang. Arang tersebut
selanjutnya dihaluskan dan diayak untuk menghasilkan serbuk arang.
Serbuk arang ini selanjutnya dipanaskan dengan berbagai variasi
suhu sehingga diperoleh senyawa karbon dengan fasa yang
diharapkan.

62
Gambar 4.5. (a) Kurva DTA (merah) dan TGA (hitam) dari serbuk
tempurung kelapa tua. (b) Kurva TGA dan turunan pertamanya yang
menunjukan penurunan massa yang signifikan pada suhu sekitar 250
- 340 C.

4.3 Sintesis Senyawa Karbon dari Bio-produk


Sintesis senyawa karbon dari bio-produk dilakukan dengan
metode pemanasan. Nira kelapa, nira siwalan, legen dan gula merah
diaduk serta dipanaskan dengan menggunakan magnetic stirrer pada
suhu 100 C selama 8 jam hingga berbentuk karamel. Proses ini
bertujuan untuk mengurangi kadar air terutama yang terkandung
dalam nira kelapa, nira siwalan dan legen. Karamel yang dihasilkan
kemudian dipanaskan lebih lanjut pada suhu 250 C selama 1,5 jam
di dalam sebuah furnace tabung sehingga terbentuk arang. Arang
tersebut selanjutnya ditumbuk untuk mendapatkan serbuk karbon.
Rangkaian proses sintesis senyawa karbon dari bio-produk
ditunjukan dalam Gambar 4.6.

63
Komposisi unsur dari serbuk yang dihasilkan kemudian
dianalisis menggunakan EDX. Tabel 4.6 menunjukan hasil analisis
unsur dari serbuk hasil pemanasan nira kelapa, nira siwalan, legen
dan gula merah. Terlihat jelas bahwa unsur karbon (C) merupakan
unsur terbanyak yang terkandung dalam serbuk tersebut diikuti
dengan unsur oksigen (O). Serbuk hasil pemanasan legen hanya
mengandung kedua unsur utama tersebut, sedangkan serbuk hasil
pemanasan nira dan gula merah mengandung unsur lainnya seperti
kalium (K), natrium (Na), dan klorin (Cl). Sejumlah kecil fosfor (P),
sulfur (S) dan silikon (Si) juga ditemukan dalam serbuk hasil
pemanasan nira siwalan. Variasi unsur yang terkandung dalam
serbuk-serbuk tersebut menunjukan bahwa kandungan unsur dari
hasil pengolahan bio-produk tergantung pada bahan baku yang
digunakan. Kesemua serbuk hasil pemanasan ini selanjutkan
dikarakterisasi dengan menggunakan XRD, FTIR dan SEM untuk
mengetahui fasa karbon, ikatan gugus fungsi dan struktur mikro
yang terbentuk.

Tabel 4.6. Hasil analisis unsur dari serbuk hasil pemanasan nira
kelapa, nira siwalan, legen dan gula merah menggunakan EDX.
(%wt: persen massa, %at: persen atom)
Nira kelapa Nira siwalan Legen Gula merah
Unsur
%wt %at %wt %at %wt %at %wt %at
C 51,92 60,54 53,66 61,94 50,67 57,78 59,84 66,90
O 42,68 37,36 41,36 35,84 49,33 42,22 38,91 32,66
Cl 1,27 0,50 1,73 0,68 - - 0,28 0,11
Na 0.35 0,21 1,35 0,81 - - 0,04 0,02
K 3,34 1,19 1,34 0,48 - - 0,92 0,32
P - - 0,40 0,18 - - - -
S 0,44 0,19 0,13 0,06 - - - -
Si - - 0,03 0,01 - - - -

64
Gambar 4.6. Skema sistesis senyawa karbon dari nira kelapa, nira
siwalan, legen dan gula merah. (a) Bahan-bahan tersebut diaduk dan
dipanaskan pada suhu 100 C selama 8 jam sehingga didapatkan (b)
karamel. Karamel dipanaskan pada suhu 250 C selama 1,5 jam
menghasilkan arang (c). Arang ditumbuk untuk mendapatkan serbuk
karbon (d).

4.4 Proses Lanjutan Karakterisasi Struktur Senyawa Karbon


Pola XRD dari berbagai senyawa karbon seperti grafit
(Graphite), oksida grafena (Graphene Oxide/ GO) dan oksida
grafena tereduksi (reduced Graphene Oxide/ rGO) ditunjukan pada
Gambar 4.7. Grafit memiliki puncak yang tajam pada 2   26,5.
Puncak tajam ini menandakan bahwa grafit yang merupakan sistem
3D dari lapisan karbon heksagonal memiliki kristalinitas yang cukup
tinggi dibandingkan graphene dan GO. Oksida grafena (GO)
memiliki puncak utama pada 2 sekitar 10 yang berkaitan dengan
bidang [002] dan puncak kecil lainnya pada 2 sekitar 45. Proses
reduksi lebih lanjut dari GO menghasilkan oksida grafena tereduksi
(rGO) yang memiliki puncak lebar dan berintensitas lemah pada
24 dan 43. rGO memiliki domain ikatan karbon heksagonal
(sp2) yang lebih kecil karena keberadaan cacat dan gugus fungsi

65
oksigen pada permukaan lapisannya dan oleh karenanya rGO
memiliki puncak yang lebih lebar dan lemah dibandingkan GO [17].
Dengan mencocokkan pola diffraksi yang teramati dengan pola
referensi tersebut dapat diketahui jenis senyawa karbon yang
terbentuk dalam sampel.

Gambar 4.7. Pola diffraksi dari grafit (Graphite), oksida grafena


(Graphene Oxide/ GO) dan oksida grafena tereduksi (reduced
Graphene Oxide/ rGO) (gambar diadopsi dari Ref. [18]).

Karakterisasi struktur juga dilakukan dengan FTIR untuk


mengetahui ikatan gugus fungsi yang terbentuk dalam sampel. FTIR
merupakan sebuah alat spektroskopi yang menggunakan metode
transformasi Fourier untuk mengukur resapan spektrum inframerah
yang dipancarkan dari sumber menuju material uji pada berbagai
bilangan gelombang. Dari hasil pengujian FTIR ini didapatkan
keluaran berupa grafik pola puncak-puncak dari interaksi setiap
molekul dalam material uji yang menyerap energi dari spektrum
inframerah yang ditunjukan dengan grafik hubungan persentase
transmisi (%T) terhadap bilangan gelombang (cm-1). Setiap atom
atau molekul yang saling berikatan memiliki nilai resapan energi
spektrum inframerah masing-masing.

66
Tabel 4.7. Jenis ikatan berdasarkan bilangan gelombang pada
pengujian Fourier Transform Infrared /FTIR [19].
Ikatan Tipe senyawa Bilangan gelombang Intensitas
(cm-1)
2850-2970 Kuat
CH Alkana
1340-1470 Kuat
3010-3095 Sedang
CH Alkena CC
675-995 Kuat
CH Alkuna CC 3300 Kuat
3010-3100 Sedang
CH Cincin aromatik
690-900 Kuat
3590-3650 Berubah-
Fenol, monomer
ubah
alkohol, alkohol ikatan
3200-3600 Berubah-
hidrogen, fenol
ubah
OH
Monomer asam 3500-3650 Sedang
karboksilat, ikatan 2500-2700 Melebar
hidrogen asam
hidroksilat
NH Amina, Amida 3300-3500 Sedang
CC Alkena 1610-1680 Berubah-
ubah
CC Cincin aromatik 1500-1600 Berubah-
ubah
CC Alkuna 2100-2260 Berubah-
ubah
CN Amina, Amida 1180-1360 Kuat
CN Nitril 2210-2280 Kuat
CO Alkohol, Eter, Asam 1050-1300 Kuat
karboksilat, Ester
CO Aldehid, Keton, Asam 1690-1760 Kuat
karboksilat, Ester
1500-1570 Kuat
NO2 Senyawa Nitro
1300-1370 Kuat

67
Tabel. 4.7 menunjukan daftar jenis-jenis ikatan berdasarkan
bilangan gelombangnya. Jenis ikatan gugus fungsi yang terbentuk
dalam sampel dapat diketahui dengan mencocokan bilangan
gelombang dari setiap puncak yang terdeteksi terhadap referensi.

4.4.1 Karakterisasi struktur pada senyawa karbon hasil sintesis dari


tempurung kelapa tua
Gambar 4.8 menunjukan pola XRD dari serbuk karbon hasil
pemanasan dengan berbagai variasi suhu dalam atmosfer nitrogen
dan udara bebas. Sampel hasil pemanasan di dalam atmosfer udara
bebas dikelompokkan menjadi dua yaitu serbuk karbon tanpa
pencucian dan dengan pencucian, dimana proses pencucian
dilakukan dengan menggunakan aquades. Serbuk tempurung kelapa
memiliki puncak-puncak pada 2 sekitar 15, 23 dan 35 yang
bersesuain dengan pola difraksi selulosa (PDF 00-056-1718).
Gambar 4.8 (a) menunjukan pola difraksi dari sampel yang
dipanaskan dalam atmosfer Nitrogen. Dengan meningkatnya suhu
pemanasan, intensitas puncak-puncak selulosa semakin berkurang
dan secara total menghilang pada suhu 1000 C. Meskipun demikian,
sebuah puncak baru pada 2  21,28 muncul ketika dipanaskan
pada suhu 400 C, dan intensitasnya semakin berkurang dengan
peningkatan suhu pemanasan. Puncak baru ini diindikasikan sebagai
fasa impuritas berupa Sulfur yang tidak mampu terdekomposisi
selama proses pemanasan di dalam atmosfer Nitrogen. Puncak
impuritas ini tidak ditemukan pada pemanasan di udara bebas
sebagaimana ditunjukan pada Gambar 4.8 (b) dan (c). Dua puncak
lebar pada 2  24 dan 43 muncul di semua variasi suhu
pemanasan. Kedua puncak ini merupakan puncak utama dari oksida
grafena tereduksi (rGO) sebagaimana puncak-puncak yang
ditampilkan pada Gambar 4.7. Puncak pada 24 merupakan refleksi
bidang [002], dan puncak pada 43 merupakan refleksi bidang [10].
Dengan semakin meningkatnya suhu pemanasan, intensitas kedua

68
puncak ini meningkat, dan posisi puncak bergeser ke daerah 2  yang
lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa kristalinitas rGO
semakin baik, semakin banyak lapisan karbon heksagonal, dan jarak
antar lapisan heksagonal tersebut menjadi semakin lebar. Tidak ada
perbedaan signifikan antara sampel dengan dan tanpa proses
pencucian dengan aquades.
Grafik FTIR dari semua sampel ditunjukan pada Gambar 4.9.
Pola FTIR dari serbuk grafit murni (®Merck, M = 12,01 g/mol) dan
lapisan tipis oksida grafena (®XFNANO) juga ditampilkan sebagai
pembanding. Pola FTIR dari serbuk tempurung kelapa menunjukan
adanya ikatan gugus fungsi lain seperti CH, CO, CC, CO,
CH dan OH selain ikatan rangkap CC. Vibrasi regangan CC
terdeteksi pada rentang bilangan gelombang 1430 – 1680 cm-1 yang
termasuk dalam kelompok senyawa aromatik dan gugus fungsi
alkena. CC merupakan ikatan karbon heksagonal dengan keadaan
terhibridisasi sp2. Hibridisasi sp2 berarti bercampurnya elektron
dalam orbital 2s dan 2p sehingga menghasilkan hibridisasi pada tiga
orbital gabungan yaitu antara orbital 2s dengan 2px dan 2py serta satu
orbital 2pz yang tak terhibridisasi. Tiga orbital 2p yang terhibridisasi
membentuk struktur trigonal yang menunjukan adanya tiga atom
karbon dengan tiga orbital sp2 dan satu orbital p tak terhibridisasi
yang tegak lurus dengan orbital sp2. Hibridisasi sp2 ini merupakan
dasar dari semua struktur grafena dan senyawa aromatik. Ikatan
rangkap lain yang juga termati adalah CO yang merupakan gugus
karbonil. Gugus karbonil berbentuk planar di sekeliling atom karbon
sp2 trigonal. Vibrasi regangan CH teramati pada dua rentang
bilangan gelombang, yaitu pada 600 – 1000 cm-1 dan 1300 – 1400
cm-1. Keduanya memiliki jenis tekukan ikatan yang berbeda, rentang
pertama merupakan tekukan keluar bidang (out of bending)
sedangkan rentang kedua merupakan tekukan pada bidang (in plane
bending).
Sebagaimana lapisan tipis oksida grafena, serbuk tempurung
kelapa juga memiliki vibrasi regangan gugus fungsi hidroksil (OH)

69
dengan puncak transmitansi yang dalam dan lebar. Hal ini
mengindikasikan adanya energi serapan yang besar dari spektrum
inframerah terhadap sampel. Melalui proses pemanasan, baik dalam
atmosfer nitrogen maupun udara bebas, vibrasi regangan OH
menjadi semakin lemah yang mengindikasikan adanya proses
deoksigenisasi selama pemanasan. Dengan semakin meningkatnya
suhu pemanasan, intensitas puncak-puncak transmitansi semakin
melemah yang menyebabkan vibrasi regangan yang terdeteksi
semakin sedikit. Hal ini menunjukan bahwa proses pemanasan dapat
menghilangkan gugus fungsi oksigen.

Gambar 4.8. Pola difraksi dari serbuk karbon yang dipanaskan pada
berbagai variasi suhu, 400, 600, 800 dan 1000 C, di dalam atmosfer
(a) Nitrogen, (b) udara bebas tanpa pencucian dan (c) udara bebas
dengan pencucian menggunakan.

70
(a) (b)

(d) (c)

Gambar 4.9. Pola transmitansi Fourier Transform Infrared (FTIR)


dari sampel yang dipanaskan pada berbagai variasi suhu di dalam
atmosfer (a) nitrogen, (b) udara bebas dengan pencucian dan (c)
udara bebas tanpa pencucian menggunakan aquades. (d) Pola FTIR
pada serbuk tempurung kelapa, grafit (®Merck) dan lapisan tipis
oksida grafena (®XFNANO).

71
Vibrasi regangan ikatan OH tetap muncul pada semua variasi suhu
pemanasan di dalam atmosfer udara bebas yang diikuti dengan
proses pencucian/pembilasan menggunakan aquades. Puncak
transmitansi CO2 yang teramati merupakan kontribusi dari
background yang muncul pada posisi bilangan gelombang sekitar
2350 cm-1 dan 667 cm-1. Tabel 4.8 menampilkan perincian dari
puncak puncak transmitansi yang terdeteksi pada sampel hasil
pemanasan di dalam atmosfer nitrogen dan udara bebas dengan dan
tanpa proses pencucian.

Tabel 4.8. Puncak-puncak transmitansi yang terdeteksi pada grafik


FTIR dari serbuk karbon yang dipanaskan pada berbagai variasi
suhu di dalam atmosfer nitrogen dan udara bebas.
Atmosfer: Nitrogen
Posisi/ bilangan gelombang (cm-1)
Ikatan
400 C 600 C 800 C 1000 C
CH (out of 756; 818; 872 754; 804; 795
bending) 874
CO 1219 1165 1051
CH (in plane 1342; 1371,
bending) 1429
CC 1580 1547 1535 1514
CO 1691 1691
OH 3398; 3996 3439
Atmosfer: Udara bebas tanpa pencucian menggunakan aquades
Posisi/ bilangan gelombang (cm-1)
Ikatan
400 C 600 C 800 C 1000 C
CH (out of 611; 752; 820; 752; 816;
bending) 862 876
CO 1119; 1165; 1175 1049; 1115
1223 1134
CH (in plane 1367 1420
bending)
CC 1431

72
CC 1512; 1599 1551 1533 1560
CO 1697 1691
CH 2922
OH 3398; 3998 3433
Atmosfer: Udara bebas dengan pencucian menggunakan aquades
Posisi/ bilangan gelombang (cm-1)
Ikatan
400 C 600 C 800 C 1000 C
CH (out of 698; 754; 824; 752; 808; 611; 700;
bending) 883 874 872
CO 1199 1211; 1224 1094 1148
CH (in plane 1423
bending)
CC 1564 1524; 1570 1547
1533; 1572
CO 1690 1691
Kombinasi NH 2010; 2041
dan OH
OH 3526 3398 3381; 3412
3998

Gambar 4.10 menunjukan morfologi serbuk karbon dari hasil


pemanasan pada suhu 400 C di dalam atmosfer udara bebas tanpa
proses pencucian menggunakan aquades. Berdasarkan hasil
pengujian Transmission Electron Microscopy (TEM) beserta pola
difraksi elektron (Electron Diffraction Pattern/ EDP), diketahui
bahwa senyawa karbon yang dihasilkan memiliki bagian-bagian
dengan struktur kristalin dan juga amorf. Terlihat pada Gambar 4.10
bahwa morfologi serbuk karbon meyerupai bulatan tipis dengan
diameter sekitar 30-50 nm. Gambar 4.10 (d) menunjukan pola
difraksi elektron yang terkait dengan foto TEM pada Gambar 4.10
(c). Titik-titik putih beraturan yang berkaitan dengan refleksi bidang
[002] dan [10] terlihat jelas pada pola difraksi elektron. Hal ini sesuai
dengan hasil difraksi sinar-X dimana keduanya diindikasikan dengan
dua puncak yang masing-masing teramati pada 2  24 dan 43.

73
Gambar 4.10. Foto hasil pengujian Transmission Electron
Microscopy (TEM) pada serbuk karbon dari hasil pemanasan serbuk
tempurung kelapa tua pada suhu 400 C di dalam atmosfer udara
bebas tanpa proses pencucian menggunakan aquades. (c) Bagian
berstruktur kristalin dari serbuk karbon dan (d) pola difraksi elektron
(Electron Diffraction Pattern/ EDP) yang menunjukan adanya titik-
titik putih berkaitan refleksi bidang [002] dan [100]. (e) Bagian
berstuktur amorf dan (f) pola difraksi elektronnya.

74
Keberadaan titik-titik putih pada gambar EDP ini menandakan
bahwa bagian sampel yang diamati memiliki struktur kristalin yang
berupa lapisan-lapisan karbon heksagonal. Pada bagian lain dari
sampel, struktur amorf juga teramati sebagaimana ditunjukan dalam
Gambar 4.10 (d) dan (e). Walaupun secara morfologi serupa dengan
bagian kristalin, tetapi tidak ada titik-titik putih yang termati pada
pola difraksi elektron. Ini mengindikasikan bahwa fasa yang
terbentuk pada bagian ini adalah fasa amorf. Fasa amorf ini
dimungkinkan akan tersusun membentuk fasa kristalin yang lebih
teratur seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan.

4.4.2 Karakterisasi struktur pada senyawa karbon hasil sintesis dari


bio-produk (nira kelapa, nira siwalan, legen dan gula merah)
Gambar 4.11 menunjukan pola difraksi dari serbuk karbon
hasil pemanasan bio-produk; nira kelapa, nira lontar/siwalan, legen
dan gula kelapa. Puncak lebar dalam rentang 10-30 teramati pada
semua sampel, dimana intensitas tertinggi terlihat pada serbuk
karbon hasil pemanasan dari bio-produk legen. Pola difraksi seperti
ini merupakan karakter dari karbon amorf. Selain itu, terdapat dua
puncak tajam lain yang teramati pada sampel hasil pemanasan gula
merah, nira kelapa dan nira siwalan pada 2  28 dan 40. Puncak-
puncak ini diindikasikan sebagai puncak dari sylvite (KCl) yang
masing-masing merupakan refleksi bidang [200] dan [220]. KCl
merupakan garam yang mudah larut dalam air sehingga bisa dengan
mudah dihilangkan dengan membilas sampel mengunakan aquades.
Keberadaan garam KCl ini juga didukung dengan data EDX dimana
sampel dari hasil pemanasan nira kelapa, nira siwalan dan gula
merah mengandung unsur klor (Cl) dan kalium (K). Ketidakhadiran
garam KCl pada sampel hasil pemanasan legen dan puncak KCl
yang lemah pada sampel hasil pemanasan gula merah dapat
dimengerti karena keduanya telah melalui proses pengolahan
sebelumnya.

75
Gambar 4.11. Pola difraksi dari serbuk karbon hasil pemanasan nira
kelapa, nira lontar/ siwalan, legen dan gula merah.

Gambar 4.12 menampilkan grafik FTIR dari serbuk karbon hasil


pemanasan nira kelapa, nira siwalan, legen dan gula merah.
Kesemua sampel memiliki gugus fungsi yang hampir sama, yaitu
ikatan CC, OH, CH, CO, dan CH, dengan nilai transmitansi
yang berbeda-beda. Sampel dari hasil pemanasan nira kelapa
memiliki nilai transmitansi yang lebih besar sehingga puncak-
puncak yang terdeteksi terlihat lebih tajam dibandingkan dengan
sampel-sampel lain. Senyawa cincin aromatik dengan ikatan CC
(ikatan karbon heksagonal) teramati pada semua sampel. Vibrasi
regangan dari CC ini muncul pada bilangan gelombang 1500 –
1600 cm-1. Vibrasi regangan dari ikatan OH teramati pada 3400
cm-1. Pelemahan vibrasi regangan OH dapat menjadi sebuah
indikasi adanya deoksigenasi yaitu berkurangnya oksigen dalam
sampel yang sering terjadi pada proses sintesis rGO dari oksida grafit.

76
Gambar 4.12. Pola transmitansi Fourier Transform Infrared (FTIR)
dari serbuk karbon hasil pemanasan nira kelapa, nira siwalan, legen
dan gula merah.

Pemanasan merupakan salah satu penyebab proses deoksigenasi, dan


oleh karenanya vibrasi regangan OH semakin melemah dalam
sampel hasil pemanasan legen dan gula merah karena kedua bahan
ini telah mengalami proses pemanasan sebelum proses sintesis
senyawa karbon dilakukan.
Vibrasi regangan dari CH teramati pada dua rentang bilangan
gelombang, yaitu pada 2850 – 2970 cm-1 dan 1340 – 1470 cm-1.
Vibrasi pertama merupakan regangan asimetris, sedangkan vibrasi
kedua merupakan regangan simetris. Pada rentang 1050 – 1300 cm-
1
muncul tiga puncak yang merupakan vibrasi regangan CO. Pada
bilangan gelombang yang lebih rendah, 675 – 995 cm-1, vibrasi

77
bengkokan ke luar bidang dari gugus fungsi alkena CH muncul.
Perincian dari puncak-puncak transmitansi pada setiap sampel
ditunjukan pada Tabel 4.9.

Tabel. 4.9. Daftar puncak pada pola transmitansi FTIR dari serbuk
karbon hasil pemanasan nira kelapa, nira siwalan, legen dan gula
merah.
Posisi/ bilangan gelombang (cm -1)
Ikatan Nira kelapa Nira Legen Gula merah
siwalan
OH 3408 3412 3408 3433
CH 2943 2930 2930 2916
(regangan 2895 2893 2850
asimetris)
1587 1630 1514 1640
CC
1589 1614
CH 1408 1408 1379
(regangan 1309
simetris)
1217 1213 1205 1207
1080 1076 1159
CO
1045 1057 1105
1087
927 981 783 789
CH
862 925

Karakterisasi struktur morfologi juga dilakukan dengan


menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Gambar 4.13
menunjukan foto SEM dari serbuk karbon hasil pemanasan nira
kelapa, nira siwalan, legen dan gula merah. Struktur morfologi
berupa gumpalan-gumpalan terlihat pada semua sampel. Hal ini
mengindikasikan belum teraturnya susunan atom karbon. Sampel
dari hasil pemanasan legen menunjukan morfologi yang menyerupai

78
lempengan tipis dengan ketebalan sekitar 10 µm, sedangkan sampel
dari hasil pemanasan gula merah menunjukan morfologi bongkahan
yang memiliki ketebalan sekitar 100 µm. Ketidakhadiran pengotor
garam KCl dalam sampel hasil pemanasan legen membuat
penampakan morfologi yang lebih jelas, begitu pula dalam sampel
hasil pemanasan gula merah yang mengandung sedikit pengotor KCl.
Proses penyayatan lebih lanjut diperlukan ntuk mendapatkan
lempengan yang lebih tipis dari senyawa karbon ini.

Gambar 4.13. Foto hasil pengujian Scanning Electron Microscopy


(SEM) pada serbuk karbon hasil pemanasan (a) nira kelapa, (b) nira
siwalan, (c) legen dan (d) gula merah.

79
Referensi Bab 4
[1] Yokayama, S. and Matsumura, Y.: Panduan untuk produksi dan
pemanfaatan biomassa- proyek bantuan untuk pembangunan
kerjasama Asia untuk pertanian sadar lingkungan. Kementrian
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, the Japan Institute of
Energy (2008).
[2] Allen, James A.: Cocos Nucifera L. In: Vozzo, J., ed. Tropical
Tree Seed Manual: Part II, Species Descriptions. Agric. Handb.
712. pp. 399-401. Washington DC. Department of Agriculture
(2002).
[3] Tersedia online di http://www.biomass.net/Biomass-and-The-
CarbonCycle.html, diakses pada 31 Mei 2018, pukul 08.15
WIB.
[4] Arsa, M.: Kandungan Natrium dan Kalium larutan isotonik
alami air kelapa (Cocos Nucifera) varietas Eburnia, Viridis dan
Hibrida. Denpasar. Universitas Udayana (2011).
[5] Sutardi, Umar Sant, Anggia.: Pengaruh pemanasan kelapa parut
dan teknik pengunduhan terhadap rendemen dan mutu virgin
coconut oil (VCO). Jurnal Keteknikan Pertanian 22(2), 135-
142 (2008).
[6] Tajalli, Arief.; Panduan penilaian potensi biomassa sebagai
sumber energi alternatif di Indonesia. Penabulu Alliance
(2015).
[7] Palungkung, R.: Aneka produk olahan kelapa. Penebar
Swadaya. Jakarta (2004).
[8] Bledzki, A.K., Mamun, A.A., Volk, J.: Barley husk and coconut
shell reinforced polypropylene composites: The effects of fibre
physical, chemical and surface properties. Composite Science
and Technology. 70, 840-846 (2010).
[9] Wijaya, I., Arthawan, I., dan Sari, A.N.: Potensi nira kelapa
sebagai bahan baku bioetanol.” Bumi Lestari 12 (1), 85 – 92
(2012).

80
[10] Mukhlisin, Imam.: Laporan praktikum pengetahuan bahan
pangan. Purwokerto: Universitas Jendral Soedirman (2013).
[11] Cahyaningsih, Ho Efie.: Identifikasi bakteri aslam laktat dari
nira lontar serta aplikasinya dalam medis. Bogor, Institut
Pertanian Bogor (2006).
[12] Bayton, R. P.: A revision of Borassus L. (Arecaceae). Kew
Bulletin, 561-585 (2007).
[13] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (BPPK)
Kementrian Kehutanan.: Lontar (Borassus Flabellifer) sebagai
sumber energi bioetanol potensial (2010).
[14] Mozammel, H.M., Masahiro, O., Bhattacharya, S.C.: Activated
charcoal from coconut shell using ZnCl2 activation. Biomass
and Bioenergy 22, 397-400 (2002).
[15] Rampe, M. J., Setiaji, B., Trisunaryanti, W., dan Triyono.: The
effect of temperature on the crystal growth of coconut shell
carbon. The third international conference and natura science
(ICMNS) ITB Bandung, 276-284 (2010).
[16] Islamiyah, W., Nashirudin, L., Baqiya, M.A., Cahyono, Y., dan
Darminto.: Sulfuric acid intercalated-mechanical exfoliation of
reduced graphene oxide from old coconut shell. AIP Conf. Proc.
1945, 020054 (2018). doi: 10.1063/1.5030276
[17] Sarkar, S.K., Raul, K.K., Pradhan, S.S., Basu, S., dan Nayak,
A.: Magnetic properties of graphite oxide and reduced graphene
oxide. Physica E. 64, 78-82 (2014).
[18] Mishra, S.K., Tripathi, S.N., Choudhary, V., Gupta, B.D.: SPR
based fibre optic ammonia gas sensor utilizing nanocomposite
film of PMMA/reduced graphene oside prepared by in situ
polymerization. Sensor and Actuators B. 199, 190-200 (2014).
[19] Skoog, D.A., Holler, F.J., dan Nieman, T.A.: Principle of
Instrumental Analysis. Philadelphia: Saunders College Pub.;
Orlando, Fla.: Harcourt Brace College Publishers (1998).
[20] Nugraheni, A.Y., Nashrullah, M., Prasetya, F.A., Astuti, F.,
Darminto.: Study on phase, molecular bonding, and bandgap of

81
reduced graphene oxide prepared by heating coconut shell.
Materials Science Forum 827, 285-289 (2015).

82
BAB 5 : SIFAT FISIS SENYAWA KARBON
DARI BIOMASSA
________________________________________

5.1 Oksida Grafena Tereduksi Berukuranan Nano


Oksida grafena tereduksi (reduced graphene oxide, rGO)
merupakan senyawa turunan grafena yang memiliki gugus fungsi
oksigen yang lebih sedikit dibandingkan oksida grafena (graphene
oxide, GO). Akan tetapi rGO juga tidaklah sama dengan grafena
murni (pristine graphene) karena sejumlah oksigen masih tersisa di
dalamnya. Secara umum rGO dihasilkan dari proses reduksi GO baik
secara kimiawi, thermal ataupun elektrokimia. Dalam proses sintesis
grafena skala besar, rGO menawarkan solusi yang menjanjikan
karena proses produksinya yang relatif mudah untuk mendapatkan
level kualitas grafena yang diinginkan.
Sebagaimana telah dijabarkan dalam bab IV, proses sintesis dan
reduksi untuk menghasilkan rGO dari tempurung kelapa dilakukan
secara thermal. Serbuk arang tempurung kelapa dipanaskan dalam
atmosfer udara pada 400 C (rGO-400), 600 C (rGO-600), 800 C
(rGO-800) dan 1000 C (rGO-1000). Menariknya, serbuk arang
yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa telah
mengandung fasa rGO yang dominan dengan sedikit fasa selulosa
[1,2]. Keberadaan fasa selulosa ini dapat dimengerti karena suhu
pembakaran tidak cukup tinggi untuk menghilangkannya. Analysis
x-ray diffraction (XRD) mengkonfirmasi puncak lebar dari rGO
pada 2  24 dan 43 pada semua variasi pemanasan. Puncak lebar
ini menandakan derajat kristalinitas sampel yang rendah dan adanya
ketidakteraturan (disorder state) pada lapisan grafena. Foto TEM
(Gambar 4.10) mengkonfirmasikan bahwa serbuk rGO yang
dihasilkan melalui proses reduksi thermal memiliki ukuran partikel
50 nm dengan ketebalan lapisan yang tipis.

83
Selain proses reduksi secara thermal, proses penyayatan
(exfoliation) juga dilakukan untuk menipiskan lapisan rGO. Proses
penyayatan dilakukan secara mekanik menggunakan ultrasonic
cleanser. Dalam proses ini, lama waktu penyayatan dan medium
yang digunakan dapat divariasikan. Medium yang umum digunakan
dalam proses penyayatan adalah aquades dan larutan asam seperti
HCl dan H2SO4. Islamiyah dkk. [2] melaporkan bahwa penggunaan
H2SO4 dalam proses penyayatan dapat mengecilkan ukuran partikel
rGO yang terbentuk secara lebih efektif dibandingkan dengan
medium HCl. Melalui penambahan H2SO4 dan HCl, atom S, O
maupun Cl akan menyisip diantara lapisan rGO yang kemudian
dapat melemahkan atau bahkan memecah ikatan Van der Waals dan
akan berikatan dengan atom C.

Gambar 5.1. (a) Pola FTIR dari sampel rGO-400 setelah melalui
proses penyayatan dalam medium H2SO4 1 M selama 6 jam. (b)
Grafik distribusi ukuran partikel rGO setelah melalui proses
penyayatan dalam medium HCl dan H2SO4 yang diamati
menggunakan Particle Size Analyzer/PSA.

84
Gambar 5.2. (a) Spektrum Raman dari rGO hasil sintesis melalui
pemanasan serbuk arang tempurung kelapa pada suhu 400 C (rGO-
400), 600 C (rGO-600), 700 C (rGO-700), 800 C (rGO-800) dan
1000 C (rGO-1000) selama 5 jam diikuti dengan proses penyayatan
mekanik dalam medium aquades selama 10 jam. (b) Perbandingan
antara intensitas puncak D dan G (ID/IG) pada semua sampel terhadap
variasi lama pemanasan.

Gambar 5.1 (a) menunjukan pola FTIR dari sampel rGO-400


setelah melalui proses penyayatan dalam H2SO4 1 M selama 6 jam.
Tersisipnya atom S pada lapisan rGO ditandai dengan munculnya
vibrasi regangan dari ikatan C-S yang teramati pada bilangan
gelombang 871,11 cm-1. Gambar 5.1 (b) menampilkan perbedaan
distribusi ukuran partikel rGO dengan penambahan HCl dan H2SO4
pada proses penyayatan yang ditentukan melalui analisis PSA
(Particle Size Analyzer). Distribusi partikel rGO dengan

85
penambahan H2SO4 menunjukan puncak dominan pada ukuran
partikel 10 nm, sedangkan distribusi partikel dengan penambahan
HCl menunjukan puncak dominan pada ukuran partikel yang lebih
besar yaitu 200 nm. Ion SO42- yang berukuran lebih besar dari pada
Cl- diperkirakan mampu memecah ikatan Van der Waals antar
lapisan rGO secara lebih efektif. Teramatinya beberapa puncak
dengan orde ukuran yang berbeda-beda baik dalam puluhan dan
ratusan nanometer bahkan mikrometer menunjukan ukuran partikel
dalam larutan uji PSA cukup beragam dan tidak homogen.
Pengujian lain yang juga penting untuk mengkonfirmasi
keberadaan ketidakteraturan (disorder), cacat (defect) dan struktur
sp2 (graphitic) adalah spektroskopi Raman. Spektroskopi ini
merupakan alat penting untuk mengkarakterisasi material berbasis
karbon yang memiliki keteraturan dan ketidakteraturan dalam
strukturnya. Spektrum Raman dari rGO secara umum menunjukan
adanya puncak D dan puncak G serta sebuah puncak kecil 2D.
Puncak D berada pada daerah panjang gelombang 1350 cm-1 yang
menunjukan keberadaan cacat dalam material. Cacat ini dapat
berupa ganguan pada ikatan sp2 yaitu kekosongan, kerutan (wrinkle),
heptagon dan pentagon, dan juga adanya gugus fungsional lain
seperti O dan H. Puncak G berada pada panjang gelombang 1550
cm-1 yang menunjukan adanya karakteristik grafitik dari material.
Puncak ini muncul karena adanya pergerakan peregangan dari ikatan
sp2 pada atom karbon. Puncak lemah 2D terletak pada daerah
panjang gelombang yang lebih besar 2700 cm-1. Puncak ini
menandakan terbentuk struktur 2 dimensi dari ikatan sp 2 karbon.
rGO memiliki puncak D dan G yang lebar, menunjukan bahwa rGO
memiliki ketidakteraturan yang lebih besar dari pada grafit. Pada
rGO, intensitas puncak D lebih tinggi dari pada puncak G, sedangkan
pada oksida grafit, intensitas puncak D lebih rendah dari pada
puncak G [3].
Gambar 5.2 (a) menunjukan spektrum Raman dari rGO yang
disintesis melalui pemanasan serbuk arang tempurung kelapa pada

86
suhu 400 C (rGO-400), 600 C (rGO-600), 700 C (rGO-700), 800
C (rGO-800) dan 1000 C (rGO-1000) selama 5 jam diikuti dengan
proses penyayatan mekanik dalam medium aquades selama 10 jam.
Puncak D dan G teramati pada semua sampel, dimana intensitas
puncak D lebih tinggi dari puncak G sebagaimana referensi.
Perbandingan antara intensitas puncak D dan G (ID/IG) pada semua
sampel terhadap variasi lama pemanasan ditunjukan pada Gambar
5.2 (b). Perbandingan ini menandakan jumlah relatif cacat di dalam
sampel. Pada umumnya rGO memiliki nilai ID/IG>1 dikarenakan
intensitas puncak D lebih besar dari pada puncak G, sebaliknya
oksida grafit biasanya memiliki nilai ID/IG<1. Rajagopalan dan
Chung [4] melaporkan bahwa oksida grafena (GO) dan rGO yang
direduksi secara kimia memiliki nilai ID/IG berturut-turut 0,97 dan
1,4. Penelitian lain oleh Liu dkk. [5] melaporkan nilai ID/IG pada GO
dan rGO yang disintesis dengan metode Hummer berturut-turut 0,90
dan 1,12. Sebagaimana terlihat pada Gambar 5.2 (b), nilai ID/IG
meningkat dengan meningkatnya suhu pemanasan. Hal ini
menandakan bahwa pemanasan dapat menginduksi peningkatan
jumlah cacat di dalam sampel rGO. Keberadaan cacat ini
diperkirakan dapat mempengaruhi sifat magnetik dan elektronik dari
rGO. Dalam sub-bab selanjutnya akan dibahas beberapa sifat rGO
hasil sintesis dari tempurung kelapa meliputi sifat penyerapan
cahaya, kemampuan menyimpan muatan, sifat anti pantul
gelombang mikro dan kemagnetan.

5.2 Penyerapan Cahaya


Fenomena yang melibatkan penyerapan energi dan diikuti
emisi cahaya diklasifikasikan secara umum dengan istilah
luminesensi (luminescence). Salah satu bentuk dari luminesensi
adalah fotoluminensi (Photoluminescence, PL), yaitu emisi cahaya
dari segala bentuk materi setelah penyerapan foton. PL diawali
dengan fotoeksitasi (photoexcitation), suatu fenomena dimana foton

87
mengeksitasikan elektron untuk berpindah ke tingkat energi yang
lebih tinggi di dalam atom. Ketika cahaya (monokromatis) diarahkan
ke sebuah sampel, elektron-elektron di dalam sampel akan menyerap
cahaya sehingga terjadi peningkatan energi sebesar ha dan eksitasi
elektron valensi dari keadaan dasar (ground state, S0) ke keadaan
dengan tingkat energi yang lebih tinggi (excited state). Ketika
elektron sudah mencapai keseimbangannya, maka kelebihan energi
akan dilepaskan melalui proses emisi cahaya (radiasi) yang disebut
dengan fotoluminensi dan elektron kembali ke keadaan dasar.

Gambar 5.3. [kiri] Diagram Joblanski, menunjukan terjadinya


absorpsi foton, fluoresensi dan fosforesensi. [kanan] Konfigurasi
elektron pada berbagai keadaan spin (diadaptasi dari [6,7]).

Sebagaimana ditunjukan dalam diagram Joblanski pada


Gambar 5.3, PL dibagi menjadi 2 kategori yaitu fluorosensi
(Fluorescence; F) dan fosforesensi (Phosphorescence; P). Apabila
emisi foton terjadi antar keadaan yang memiliki keadaan spin yang
sama (misal: dari S1 ke S0), maka PL yang terjadi disebut sebagai
fluorosensi (F). Demikian sebaliknya, apabila emisi foton terjadi
antar keadaan yang memiliki keadaan spin yang berbeda (misal: dari

88
T1 ke S0), maka PL yang terjadi dinamakan fosforesensi (P). Disini
S merujuk pada keadaan spin singlet, sepasang elektron yang
memiliki arah spin yang berlawanan, sedangkan T merujuk pada
keadaan spin triplet yaitu sepasang elektron dengan arah spin yang
sama.
Pada kebanyakan molekul, fluorosensi lebih sering terjadi dari
pada fosforesensi. Fluorosensi terjadi dalam waktu yang sangat
singkat (10-5 sampai 10-8 detik), sedangkan fosforesensi terjadi
dalam jangka waktu yang lebih lama (10-4 detik bahkan sampai
beberapa jam). Selain proses radiasi berupa fluoresensi (F) dan
fosforesensi (P), proses deaktivasi non radiatif yang mengkin terjadi
adalah konversi internal (Internal Conversion; IC) yaitu transisi
tanpa radiasi antar keadaan yang memiliki keadaan spin yang sama,
dan persimpangan antar sistem (Intersystem Crossing; ISC) yaitu
transisi tanpa radiasi antar keadaan yang memiliki keadaan spin yang
berbeda [6]. Spektrum PL direkam dengan mengukur intensitas
emisi radiasi sebagai fungsi dari panjang gelombang eksitasi atau
panjang gelombang emisi. Spektrum PL memberikan informasi
tentang energi transisi yang dapat digunakan untuk menentukan
tingkat energi elektronik. Intensitas PL memberikan informasi
ukuran tingkat relatif dari rekombinasi radiasi dan non radiasi [7].
Oksida grafena memiliki sifat PL yang menarik dan bervariasi.
Suspensi dan lapisan tipis padat dari oksida grafena hasil sintesis
menunjukan fluoresensi energi-rendah dalam rentang panjang
gelombang merah sampai mendekati infra merah yaitu pada 600 -
1100 nm [8,9]. Lapisan tunggal grafena yang disiapkan dengan
perlakuan plasma oksigen dan eksfoliasi mekanik menunjukan
perilaku luminensi yang lebar pada panjang gelombang 400 – 800
nm [10]. Fluorosensi pada daerah panjang gelombang biru dengan
lebar pita yang relatif sempit terdeteksi pada rGO yang direduksi
secara kimiawi dan pada quantum dots grafena [12,13]. Chien dkk.
[11] melaporkan evolusi PL dan mekanisme emisi dari oksida grafit
ke rGO. Proses reduksi oksida grafit dilakukan melalui iradiasi

89
lampu Xenon (Xe) dengan daya tetap (500 W) sehingga proses
transformasi dari oksida grafit ke rGO dapat dikontrol secara akurat
dengan mengatur waktu paparan. Dengan menggunakan X-ray
Photoemission Spectroscopy (XPS), mereka mengkonfirmasi bahwa
fraksi karbon dengan ikatan sp2 (C=C) meningkat dengan
meningkatnya waktu paparan.

Gambar 5.4. (a) Spektrum PL ternormalisasi dari suspensi oksida


grafit (GO) setelah proses reduksi fototermal menggunakan iradiasi
lampu Xe dengan waktu paparan yang berbeda-beda (0-180 menit).
(b) Foto emisi PL dari oksida grafit (GO) yang menunjukan
terjadinya perubahan warna dari merah kekuningan (0 menit) ke
hijau (75 menit) dan akhirnya menjadi biru (180 menit) pada oksida
grafena tereduksi (rGO) (gambar diadaptasi dari Ref. [11]).

Sebagaimana ditunjukan dalam Gambar 5.4 (a), oksida grafit


mempunyai perilaku PL yang lebar, yaitu dalam rentang 400-800 nm.
Puncak PL secara bertahap bergeser ke arah panjang gelombang
yang lebih pendek dan lebar pita menjadi semakin sempit dengan

90
proses reduksi, yaitu dengan meningkatnya waktu paparan. Selain
itu, warna dari emisi PL juga secara bertahap berubah dari merah
kekuningan pada larutan oksida grafit menjadi biru pada larutan rGO
setelah proses reduksi selama 3 jam sebagaimana terlihat pada
Gambar 5.4 (b). Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku PL pada
rGO dapat diatur dengan mengontrol proses reduksi.

Gambar 5.5. Usulan mekanisme emisi PL dari (a) emisi IP1 dominan
dalam oksida grafit yang berasal dari keadaan terlokalisasi yang
diinduksi oleh ketidakteraturan, dan (b) emisi IP2 dominan dalam
rGO yang berasal dari kluster-kluster domain sp2 (gambar diadaptasi
dari Ref. [11]).

Fiting terhadap puncak PL menunjukan adanya dua puncak


terdeteksi, IP1 dan IP2. Puncak IP1 berada pada panjang gelombang
yang lebih besar dari pada IP2. Intensitas puncak IP1 berkurang seiring
meningkatnya waktu paparan, sebaliknya intensitas puncak IP2
semakin meningkat dengan proses reduksi. Peningkatan fraksi I P2
terhadap IP1 ini bersesuian dengan peningkatan fraksi sp2 yang
teramati dalam spektrum XPS, menandakan bahwa keduanya

91
berkaitan erat. Melalui analisis lebih lanjut, Chien dkk. [11]
mengusulkan sebuah mekanisme untuk menjelaskan evolusi PL dari
oksida grafit akibat proses reduksi sebagaimana ditunjukan pada
Gambar 5.5. Oksida grafit terdiri dari sejumlah besar cacat yang
diinduksi oleh ketidakteraturan di dalam celah -* dan memiliki
spektrum PL yang lebar berpusat pada daerah panjang gelombang
yang lebih besar [Gambar 5.5 (a)]. Setelah proses pelepasan oksigen
akibat reduksi, jumlah cacat dalam celah -* berkurang dan terjadi
peningkatan jumlah kluster dari domain sp 2 terisolasi yang baru
terbentuk [Gambar 5.5 (b)]. Rekombinasi elektron-hole diantara
kluster sp2 ini memiliki fluoresensi biru pada daerah panjang
gelombang yang lebih pendek dengan celah pita yang lebih sempit.
Oleh karena itu, kemampuan berubah dari spektrum PL selama
proses reduksi dikaitkan dengan variasi perbandingan intensitas
relatif dari emisi PL yang berasal dari dua keadaan elektronik
tereksitasi yang berbeda, sebagai akibat dari perubahan
keheterogenan struktur elektronik dengan hibridisasi sp 2 dan sp3
yang berubah melalui proses reduksi [11]. Pengaruh doping
Nitrogen terhadap perilaku PL rGO telah dilaporkan oleh Ming dkk.
rGO murni memiliki PL ultraviolet yang kuat pada panjang
gelombang 367 nm. PL dari rGO dapat dipadamkan dengan doping
N, dan efisiensinya (quenching efficiency) bergantung pada jumlah
piridina [C5H5N] [14].
Pengujian PL juga telah dilakukan pada sampel rGO hasil
sintesis dari tempurung kelapa. Gambar 5.6 menunjukan spektrum
PL dari suspensi rGO hasil sintesis dari serbuk tempurung kelapa
dengan proses reduksi termal pada suhu 800 C. Konsentrasi larutan
yang digunakan dalam pengujian PL harus cukup rendah (0,001 –
0,003 mg/ml) untuk mencegah terjadinya penyerapan radiasi yang
tidak seragam. Pengujian dilakukan dalam beberapa variasi panjang
gelombang eksitasi (ex) untuk membuat elektron-elektron dalam
material rGO teremisikan. Elektron-elektron tersebut memancarkan
emisi cahaya berupa panjang gelombang emisi (em) yang terdeteksi

92
pada detektor. Panjang gelombang eksitasi yang digunakan berada
dalam kisaran panjang gelombang 296 – 352 nm. Sebagaimana
terlihat dalam Gambar 5.6 (a)-(c), spektrum emisi bergeser ke arah
panjang gelombang yang lebih besar, bergeser ke daerah merah,
dengan meningkatnya ex yang diberikan. Selain itu, intensitas emisi
juga berkurang secara bertahap.
Gambar 5.6 (d) menunjukan spektrum PL dari suspensi rGO-
800 dalam berbagai konsentrasi pada ex = 343 nm. Pada semua
konsentrasi larutan, puncak emisi PL teramati pada rentang panjang
gelombang 650 – 710 nm, yaitu di dalam rentang daerah merah pada
spektrum cahaya tampak, tanpa disertai dengan adanya pergeseran
puncak. Intensitas PL cenderung meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi larutan. Peningkatan intensitas ini menandakan bahwa
jumlah elektron yang mampu tereksitasi dan teremisi menjadi lebih
banyak. Keadaan tereksitasi merupakan keadaan yang tidak stabil,
dimana elektron hanya bertahan beberapa saat pada keadaan ini.
Elektron akan kembali ke keadaan dasar mengisi kembali
kekosongan yang semula ditinggalkan (rekombinasi/ de-eksitasi).
Pada proses rekombinasi ini, sejumlah energi digunakan elektron
untuk mengalami vibrasi sebelum kembali ke keadaan dasar,
akibatnya elektron akan berada di level-level energi di dalam daerah
energi gap. Dalam proses ini, terjadi transisi radiatif yaitu dengan
memancarkan gelombang elektromagnetik (spektrum emisi). Dalam
hal ini, hasil intensitas emisi yang meningkat menandakan bahwa
pada keadaan tersebut elektron-elektron berada pada keadaan
maksimum di level-level energi pada daerah energi gap
Spektrum emisi PL pada beberapa sampel rGO pada ex = 343
nm dalam berbagai konsentrasi larutan ditunjukan dalam Gambar
5.7. Puncak emisi teramati pada rentang panjang gelombang emisi
650 – 710 nm. Dalam suspensi rGO dengan konsentrasi 0,001 mg/ml,
pergeseran kecil ke daerah panjang gelombang yang lebih besar
teramati pada sampel rGO-600, rGO-800 dan rGO-1000. Pergeseran
ini dimungkinkan akibat meningkatnya jumlah cacat dalam sampel

93
rGO yang dipanaskan pada suhu yang lebih tinggi. Tidak ada
pergeseran berarti yang teramati pada suspensi rGO dengan
konsentrasi 0,002 mg/ml dan 0,003 g/ml, tetapi terjadi peningkatan
intensitas pada sampel rGO-1000.

Gambar 5.6. Spektrum PL dari sampel yang disiapkan melalui


proses pemanasan pada suhu 800 C (rGO-800) dalam berbagai
konsentrasi larutan: (a) 0,001 mg/ml, (b) 0,002 mg/ml, dan (c) 0,003
mg/ml, pada beberapa panjang gelombang eksitasi. (d)
Perbandingan spektrum PL dari rGO-800 pada panjang gelombang
eksitasi yang tetap ex = 343 nm (gambar diadaptasi dari Ref. [15]).

94
Gambar 5.7. Spektrum emisi dari suspensi rGO (rGO-400, rGO-600,
rGO-800 dan rGO-1000) pada panjang gelombang eksitasi ex = 343
nm pada konsentrasi (a) 0,001 mg/ml, (b) 0,002 mg/ml dan (c) 0,003
mg/ml (gambar diadaptasi dari Ref. [15]).

Tidak teramatinya pergeseran puncak ke daerah panjang gelombang


spektrum biru sebagaimana dilaporkan oleh Chien dkk. [11]
dimungkinkan karena di dalam sampel rGO hasil sintesis dari
tempurung kelapa telah terdapat sejumlah besar cacat yang diinduksi
oleh ketidakteraturan di dalam celah -*, sehingga spektrum PL
berada pada daerah panjang gelombang besar (warna merah).
Sebagaimana yang telah dikonfirmasi dengan Raman spektroskopi,
jumlah cacat dalam sampel rGO meningkat dengan meningkatnya
suhu pemanasan, dan oleh karenanya tidak ada pergeseran biru yang
teramati. Hasil ini menegaskan bahwa karakteristik perilaku PL dari
rGO bervariasi bergantung sejarah pembuatan yang pada akhirnya
mempengaruhi keheterogenan struktur sp2 dan sp3 di dalam sampel.

5.3 Kemampuan Penyimpanan Muatan


Material berbasis grafena, termasuk oksida grafena tereduksi
(rGO), memiliki kemampuan penyimpanan muatan yang baik karena
keunggulan sifatnya seperti sifat listrik, thermal, konduktivitas dan
mekanik serta memiliki luas permukaan yang besar. Salah satu
aplikasi potensial berkaitan dengan kemampuan penyimpanan
muatan ini adalah superkapasitor. Superkapasitor merupakan

95
terobosan dalam bidang energi karena superkapasitor memiliki
kapasitas penyimpanan yang jauh lebih besar dari kapasitor biasa,
proses pengisian yang relatif cepat serta tahan lama. Superkapasitor
memanfaatkan permukaan elektroda yang luas dan bahan dielektrik
yang tipis untuk mencapai nilai kapasitansi yang jauh lebih besar
dari pada kapasitor konvensional.
Gambar 5.8 (a) menunjukan skematik struktur sebuah
superkapasitor yang tersusun dari dua elektroda (electrode) berbasis
karbon, pemisah (separator) dan elektrolit [16]. Ketika elektroda
terpolarisasi akibat adanya tegangan, ion-ion dalam elektrolit akan
berdifusi melintasi dinding pemisah masuk ke dalam pori-pori
elektroda dan selanjutnya membentuk lapisan ganda elektrik yang
memiliki polaritas berlawanan terhadap polaritas elektroda.
Elektroda dengan polaritas negatif akan memiliki lapisan yang
tersusun dari ion-ion positif, sebaliknya elektroda dengan polaritas
positif memiliki lapisan yang tersusun dari ion-ion negatif. Adanya
lapisan ganda ini meningkatkan luas permukaan dan mengurangi
jarak antar elektroda sehingga superkapasitor memiliki rapat energi
yang lebih besar dari pada kapasitor konvensional.

(a) (b)

Gambar 5.8. (a) Skematik struktur dari sebuah superkapasitor. (b)


Grafik Ragone yang menunjukan rapat daya dari beberapa perangkat
penyimpan energi (diadaptasi dari [17]).

96
Gambar 5.8 (b) menampilkan grafik Ragone yang menunjukan
rapat daya dari beberapa perangkat penyimpan energi.
Superkapasitor menempati daerah diantara kapasitor konvensional
dan baterai. Superkapasitor memiliki rapat energi yang lebih kecil
dan rapat daya yang lebih besar dibandingkan baterai, sehingga
superkapasitor dapat digunakan sebagai alternatif ketika ada
kebutuhan daya yang mendesak.
Berdasarkan mekanisme penyimpanan energinya,
superkapasitor dikelompokan menjadi dua jenis yaitu kapasitor
elektrokimia dwi lapis (electrochemical double layers capacitors/
EDLC) dan pseudokapasitor. EDLC tersusun atas dua elektroda
berbasis karbon, pemisah dan elektrolit sebagaimana ditunjukan
pada Gambar 5.8 (a). EDLC menyimpan muatan secara elektrostatis
(non-Faradaic) tanpa ada transfer muatan antar elektroda dan
elektrolit, dan oleh karenanya proses penyimpanan muatan pada
EDLC bersifat reversible yang memungkinkan muatan mencapai
kestabilan siklus [18]. Pada umumnya EDLC beroperasi dengan
performa yang stabil dengan banyak siklus pengisian-pelucutan
(charging-discharging) bahkan terkadang mencapai 106 siklus.
Karena sifatnya yang stabil ini, EDLC sangat cocok digunakan pada
wilayah yang sulit dijangkau seperti laut dan pegunungan. Performa
EDLC dapat disesuaikan dengan mengubah sifat elektrolit. Larutan
elektrolit yang biasa digunakan dalam EDLC adalah H2SO4 dan
KOH, karena kedua larutan ini memiliki resistansi-seri-efektif
(effective series resistance/ ESR) yang lebih rendah dan memiliki
ukuran pori yang lebih kecil [19]. Pseudokapasitor menyimpan
muatan secara Faradaic yaitu melalui transfer muatan antara
elektroda dan elektrolit yang terjadi melalui proses electrosorption,
reaksi reduksi-oksidasi dan proses interkalasi. Proses penyimpanan
muatan pada pseudokapasitor ini memungkinkan mencapai nilai
kapasitansi dan rapat energi yang lebih besar dibandingkan EDLC.
Material yang biasa digunakan dalam menyimpan muatan pada
pseudokapasitor adalah polimer konduktif dan oksida logam [20].

97
Di dalam buku ini, kemampuan penyimpanan muatan dari rGO
yang disintesis dari tempurung kelapa akan dibahas secara khusus.
Proses penyayatan mekanik dari serbuk rGO dilakukan di dalam
medium asam khlorida (HCl) menggunakan ultrasonic cleanser.
Glukosa ditambahkan bersama rGO untuk membuat komposit
rGO/Glukosa. Dalam komposit ini, glukosa bertindak sebagai
matriks serta sebagai pemberi sekat (spacer) antar lapisan rGO
sehingga dapat meningkatkan luas permukaan dan pada akhirnya
juga meningkatkan nilai kapasitansi rGO. Untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi HCl sebagai medium penyayatan/eksfoliasi
dan pengaruh penambahan glukosa terhadap nilai kapasitansi
komposit rGO, disiapkan beberapa sampel dengan rincian dan
penamaan sebagaimana ditunjukan pada Tabel 5.1. Beberapa
penelitian terdahulu telah melaporkan potensi rGO sebagai bahan
elektroda superkapasitor. Ma dkk. [21] melaporkan bahwa komposit
Sugar-derived/Carbon graphene memiliki kapasitansi tinggi
mencapai 203 F/g. Penambahan nikel (Ni) dilaporkan meningkatkan
nilai komposit rGO/Glukosa secara signifikan, dimana komposit
rGO/Glukosa dan rGO/Glukosa/Ni memiliki kapasitansi berturut-
turut 50 F/g dan 251 F/g [22]. Putra dkk. [23] melaporkan kapasitansi
rGO yang disintesis dari tempurung kelapa sebesar 13 F/g.
Penambahan sukrosa justru mengurangi nilai kapasitansi rGO
menjadi 4 F/g.
Pengukuran nilai kapasitansi dilakukan dengan menggunakan
voltametri siklik (cyclic voltammetry/CV). Pengujian ini akan
menghasilkan kurva respon arus terhadap tegangan yang diberikan
pada elektroda uji [24]. CV mempunyai 3 buah elektroda yang
bekerja secara simultan yaitu elektroda referensi (reference
electrode) untuk mengukur beda potential, elektroda uji (working
electrode), dan elektroda penghitung (counter electrode). Larutan
KOH 6 M digunakan sebagai parameter pengujian. Pengujian
dilakukan pada rentang tegangan (potential window) dengan batas
bawah sebesar -1 Volt dan batas atas sebesar 1 Volt, serta

98
menggunakan scan rate 50 mV/s. Nilai kapasitansi spesifik (C) dan
rapat energi (W) dihitung menggunakan Persamaan (5.1) dan (5.2).

𝑍 𝑉2
𝐶= ∫ 𝐼(𝑉 )𝑑𝑉 (5.1)
𝑚𝑣 𝑉1
1
𝑊 = 𝐶𝑉 2 (5.2)
2

C dan W berturut-turut menyatakan kapasitansi spesifik (F/g) dan


rapat energi (J/g). Z adalah faktor impedansi, m menyatakan massa
elektroda (g), dan v ialah scan rate (V/s). I(V) merupakan persamaan
respon arus terhadap tegangan yang diukur dari batas bawah
tegangan (V1) ke batas atas tegangan (V2). Berdasarkan persamaan
(5.1) tersebut, nilai kapasitansi akan bergantung pada luasan kurva
yang teramati apabila massa elektroda dan scan rate yang digunakan
dibuat tetap.

Tabel 5.1. Daftar sampel yang diukur nilai kapasitansinya beserta


peyebutannya. Nama ini digunakan dalam penjelasan terkait
kemampuan penyimpan muatan rGO dalam subbab 5.3.
Komposisi Perbandingan Penamaan
rGO : HCl 1:1 RC-11
rGO : HCl 1:5 RC-15
rGO : HCl 1 : 10 RC-110
rGO : HCl : Glukosa 1:1:1 RCG-111
rGO : HCl : Glukosa 1:5:1 RCG-151
rGO : HCl : Glukosa 1 : 10 : 1 RCG-1101
rGO : HCl : Glukosa 1: 1 : 2 RCG-112
rGO : HCl : Glukosa 2:2:1 RCG-221

99
Gambar 5.9 menampilkan kurva kebergantungan arus respon
terhadap tegangan masukan (kurva voltammogram) dari hasil
pengujian CV pada semua sampel dengan berbagai variasi. Gambar
5.9 (a) merupakan kurva voltammogram dari sampel rGO:HCl (RC)
dengan variasi konsentrasi HCl. Tidak ada “duck shape” yang
teramati pada kurva tersebut, yang ditandai dengan ketidakhadiran
puncak arus katoda dan puncak arus anoda. Arus respon secara
umum meningkat dengan meningkatnya tegangan yang diberikan,
akan tetapi peningkatannya tidak linear. Pada daerah tegangan
tertentu, peningkatan arus yang terukur cukup tajam, dan pada
daerah lain, arus meningkat secara perlahan. Hal ini mengakibatkan
adanya sebuah lekukan/gundukan yang teramati pada kurva
voltammogram yang dihasilkan. Pada analisis voltammetri, arus
yang diukur terjadi akibat adanya reaksi redoks (reduksi-oksidasi)
pada permukaan elektroda. Oleh karenanya adanya lekukan ini
diindikasikan berkaitan dengan adanya reaksi antara larutan
elektrolit dengan ikatan-ikatan utama dari rGO, seperti C=C, C=O,
C-H, C-O dan O-H. Luasan kurva terukur ditunjukan pada Gambar
5.9 (b). Terlihat jelas bahwa luasan kurva bertambah besar dengan
meningkatnya konsentrasi HCl yang digunakan dalam proses
eksfoliasi/penyayatan. Sampel RC-110 memiliki luasan kurva
terbesar dibandingkan dua sampel lainnya, yaitu sekitar 0,0043. Satu
hal yang perlu dicatat bahwa massa elektroda rGO yang digunakan
dalam pengujian CV tidaklah tepat sama, sehingga nilai
kapasitansinya tidak serta merta sebanding dengan luasan kurva.
Dengan menerapkan persamaan (5.1), nilai kapasitansi sampel RC-
11, RC-15 dan RC-110 berturut-turut sebesar 20,8 F/g, 17,4 F/g dan
21,3 F/g. Nilai kapasitansi ini sedikit lebih besar dari pada elektroda
rGO yang disiapkan tanpa proses eksfoliasi di dalam medium HCl
yang memiliki kapasitansi sebesar 13 F/g [23]. Hal ini
mengindikasikan penggunaan HCl dapat membantu meningkatkan
nilai kapasitansi elektroda rGO yang disiapkan dari tempurung
kelapa. Dalam hal ini, HCl dimungkinkan lebih efektif sebagai
medium eksfoliasi untuk memecah lapisan rGO.

100
Gambar 5.9. Kurva voltammogram hasil pengujian cyclic
voltammetry (CV) pada (a) sampel rGO:HCl (RC) dengan variasi
konsentrasi HCl, (b) sampel rGO:HCl:Glukosa (RCG) dengan
variasi konsentrasi HCl, dan (c) sampel rGO:HCl:Glukosa (RCG)
dengan variasi massa glukosa dan rGO. Luas daerah masing-masing
kurva secara bersesuaian ditunjukan dalam (b), (d) dan (f).

101
Gambar 5.9 (c) dan (d) menunjukan kurva voltammogram dari
sampel rGO:HCl:Glukosa (RCG) dengan variasi HCl. Dengan cara
yang sama, nilai kapasitansi spesifik dari sampel RCG-111, RCG-
151 dan RCG-1101 secara berturut-turut adalah 39,7 F/g, 32,3 F/g
dan 29,7 F/g. Nilai kapasitansi ini lebih besar jika dibandingkan
dengan sampel rGO tanpa penambahan glukosa. Glukosa sebagai
spacer atau pemberi sekat antar lapisan rGO dapat meningkatkan
luas permukaan, dan sebagai hasilnya dapat meningkatkan nilai
kapasitansi spesifik. Kurva voltammogram dari sampel
rGO:HCl:Glukosa (RCG) dengan variasi massa rGO dan glukosa
ditunjukan dalam Gambar 5.9 (e) dan (f). Nilai kapasitansi spesifik
berkurang secara signifikan ketika massa glukosa yang ditambahkan
lebih kecil dari pada massa rGO (sampel RCG-221). RCG-221
memiliki nilai kapasitansi spesifik sebesar 2,3 F/g.

Tabel 5.2. Nilai kapasitansi spesifik dan rapat energi pada setiap
sampel dengan berbagai variasi.

Variasi Label Kapasitansi Rapat energi


sampel spesifik (F/g) (Wh/g)
rGO dengan RC-11 20,8 0,282
variasi RC-15 17,5 0,235
konsentrasi HCl RC-110 21,3 0,288
RCG-111 39,7 0,537
rGO/Glukosa
RCG-151 32,3 0,437
dengan variasi
RCG-
konsentrasi HCl 29,7 0,401
1101
rGO/Glukosa RCG-111 39,7 0,537
dengan variasi RCG-112 22,8 0,309
komposisi RCG-221
2,3 0,031
massa

102
Tabel 5.2 menunjukan nilai kapasitansi spesifik dan rapat energi
dari setiap sampel. Berdasarkan hasil ini, nilai kapasitansi terbaik
diperoleh pada sampel rGO/glukosa yang dieksfoliasi dalam
medium HCl dengan perbandingan rGO:HCl:Glukosa sebesar 1:1:1.
Selain RCG-221, nilai rapat energi elektroda rGO yang disiapkan
dari tempurung kelapa berada dalam kisaran 0,2 – 0,5 Wh/g. Nilai
ini termasuk ke dalam rentang rapat energi untuk superkapasitor
EDLC yang berada dalam kisaran 0,1 – 5 Wh/g. Riset lebih lanjut
sangat diperlukan untuk meningkatkan performa rGO hasil sintesis
dari bahan alam (tempurung kelapa) sebagai bahan elektroda
superkapasitor.

5.4 Sifat Anti-pantul Gelombang Mikro


Salah satu aplikasi material berbasis grafena yang dipelajari
secara intensif dalam beberapa tahun terakhir adalah sebagai
material penyerap gelombang elektromagnetik. Material nano
berbasis karbon, seperti karbon nanotubes, karbon nanocoils, dan
grafit nanosheets, diprediksikan memiliki atenuasi gelombang
elektromagnetik dengan efisiensi tinggi karena sifat hopping
pembawa muatan di dalamnya yang dapat diaktifkan secara thermal.
Hal ini dikaitkan dengan keadaan cacat di dalam material. Karena
luas permukaan spesifik dan mobilitas pembawa muatan yang tinggi
dengan keberadaan cacat yang signifikan didalamnya, oksida
grafena tereduksi (rGO) merupakan kandidat yang menjanjikan
untuk mendapatkan loss tangent tinggi dan pelindung interferensi
elektromagnetik (Electromagnetic Interference/ EMI) yang effisien
pada suhu tinggi [25].
Secara lebih khusus, rGO dapat digunakan sebagai material
penyerap gelombang mikro. Gelombang mikro merupakan
gelombang elektromagnetik berfrekuensi tinggi, yaitu dalam rentang
1-100 GHz. Berdasarkan frekuensinya, gelombang mikro dibagi
menjadi beberapa pita frekuensi (frequency bands) meliputi L-, S-,

103
C-, X-, Ku-, K-, Ka-, Q-, U-, V-, W-, F- dan D- bands. X-band yang
biasanya digunakan dalam aplikasi radar berada dalam rentang 8 –
12 GHz. Panjang gelombang pendek dari X-band mampu
menghasilkan pencintraan dengan resolusi tinggi untuk diskriminasi
dan identifikasi target [26]. Dalam hal ini, rGO dapat digunakan
sebagai material penyerap radar (Radar Absorbing Material/ RAM).
Penyerapan gelombang mikro terjadi karena adanya interaksi antara
gelombang dengan material absorber, sehingga akan menghasilkan
disipasi energi dalam bentuk panas. Material absorber dibagi
menjadi dua yaitu dielektrik dan magnetik. Pada bahan dielektrik,
energi gelombang elektromegnet disepar oleh dipol-dipol listrik
sehingga terjadi polarisasi yang mengikuti arah medan listrik luar.
Arah polarisasi ini akan berubah seiring dengan perubahan arah
gelombang yang mengakibatkan terjadinya gesekan antar molekul
dan menimbulkan panas. Hal yang sama terjadi pada bahan magnetik
[27].
Besar kemampuan suatu material dalam menyerap gelombang
mikro direpresentasikan dengan nilai rugi refleksi (Reflection Loss/
RL) sebagaimana dinyatakan dalam persamaan 5.3. Z0 adalah
impedansi udara yang besarnya sekitar 377 , dan Zin adalah
impedansi karakteristik dari bahan yang besarnya dinyatakan dalam
persamaan 5.4.

𝑍𝑖𝑛 − 𝑍0
𝑅𝐿 = 20 log | | (5.3)
𝑍𝑖𝑛 + 𝑍0

𝜇𝑟 2𝜋𝑓𝑑
𝑍𝑖𝑛 = √ tanh {𝑗 ( ) √𝜇𝑟 𝜀𝑟 } (5.4)
𝜀𝑟 𝑐

f, d dan c berturut-turut merupakan frekuensi, tebal lapisan material


absorber dan kecepatan cahaya (3108 m/s). µ r adalah permeabilitas
relatif bahan, dan ɛr adalah permitivitas relatif bahan [28]. Rugi
refleksi (RL) dinyatakan dalam satuan decibel (dB) dan berharga

104
negatif. RL akan bernilai besar ketika nilai impedansi karakteristik
dari material absorber (Zin) mendekati nilai impedansi medium
gelombang yang dalam hal ini berupa udara (Z0). Oleh karenanya
material absorber yang baik memiliki nilai µ r dan ɛr yang sesuai
dengan permeabilitas (µ) dan permitivitas (ɛ) udara. Kesesuaian
impedansi (impedance matching) ini merupakan faktor penting
selain karakteristik lain seperti rugi dielektrik atau magnetik [29].
rGO dilaporkan memiliki kemampuan menyerap gelombang
mikro yang lebih baik dibandingkan grafit. Lapisan rGO dengan
ketebalan 2 mm menghasilkan rugi refleksi yang lebih besar dari
pada grafit, yaitu mencapai -6.9 dB pada frekuensi 7 GHz
sebagaimana ditunjukan pada Gambar 5.10 [30]. Nilai ini masih
relatif kecil sebagai material penyerap gelombang mikro.
Untuk meningkatkan nilai rugi refleksi dari rGO, strategi efektif
yang dapat dilakukan yaitu dengan mencampurkan material
magnetik. Ma dkk. [31] melaporkan bahwa komposit Co3O4/rGO
merupakan material penyerap gelombang elektromagnetik yang baik.
Rugi refleksi mencapai -61 dB pada frekuensi 11 GHz mampu
diperoleh pada perbandingan Co3O4 : rGO sebesar 2:1. Frekuensi
absorpsi juga dapat disesuaikan dengan mengatur rasio Co 3O4 : rGO
dan ketebalan lapisan komposit. RL dari komposit ini relatif stabil,
dan lebar pita menjadi semakin besar meliputi hampir seluruh
rentang frekuensi pengamatan (2 – 18 GHz) dengan meningkatnya
suhu yaitu pada 80 – 200 C. Hasil ini mengindikasikan bahwa
komposit Co3O4/rGO merupakan penyerap gelombang mikro yang
efisien bahkan pada lingkungan yang ekstrim. Zhang dkk. [32] juga
melaporkan bahwa penambahan partikel magnetik berupa NiFe 2O4
pada lapisan rGO mampu mengoptimalkan kemampuan penyerapan
gelombang mikro sehingga diperoleh rugi refleksi mencapai -58 dB.
Dengan berkurangnya partikel magnetik pada lapisan rGO, puncak
absorpsi bergeser dari 4.6 ke 16 GHz mencakup hampir 72% dari
rentang ferkuensi terukur. Karena daerah frekuensi serapan yang
lebar ini, NiFe2O4-rGO dapat dijadikan sebagai alternatif material

105
penyerap gelombang mikro multiguna dalam berbagai bidang mulai
dari penggunaan sipil dan komersial hingga teknologi militer dan
kedirgantaraan.

Gambar 5.10. Nilai rugi refleksi dari grafit dan oksida grafena
tereduksi/rGO (gambar diadopsi dari Ref. [30]).

Gambar 5.11. Beberapa situasi yang menunjukan respon dari


material penyerap gelombang mikro berbasis karbon terhadap
gelombang elektromagnetik: (a) material absorber yang memiliki
kesesuaian impedansi (impedansi matching) yang baik dengan
atenuasi yang lemah, (b) material absorber ideal yang memiliki
kesesuaian impedansi baik dan atenuasi kuat, dan (c) material
absorber yang memiliki kesesuaian impedansi buruk dengan
atenuasi kuat (gambar diadopsi dari Ref. [29]).

106
Gambar 5.11 menunjukan beberapa situasi dari respon material
penyerap gelombang mikro berbasis karbon terhadap gelombang
elektromagnetik. Material absorber ideal ditunjukan pada Gambar
5.11 (b) yang memiliki kesesuaian impedansi yang baik dan atenuasi
yang kuat. Loncatan (hopping) elektron diindikasikan dengan anak
panah putus-putus berwarna hitam, sedangkan hamburan jamak
elektron ditunjukan dengan anak panah berwarna kuning. Ketika
rasio material absorber tidak cukup banyak dalam lapisan pelindung,
maka kapasitas atenuasi akan menjadi lemah. Hal ini menyebabkan
gelombang yang menembus permukaan lapisan tidak dapat
terdisipasi secara sempurna, dan akan dipantulkan kembali oleh
permukaan logam dan selanjutnya akan terdeteksi oleh radar
[Gambar 5.11 (a)]. Sebaliknya, ketika rasio meterial absorber yang
terdapat dalam lapisan pelindung terlalu banyak, maka akan memicu
adanya ketidaksesuaian impedansi yang selanjutnya dapat memicu
munculnya sinyal kuat dari gelombang pantul yang dapat dideteksi
oleh radar [Gambar 5.11 (c)]. Salah satu alternatif yang dapat
dilakukan untuk mendapatkan material absorber yang ringan dengan
efisiensi tinggi dan lebar pita yang besar adalah melalui pembuatan
lapisan jamak [29].
Pengujian rugi refleksi (RL) pada serbuk rGO hasil sintesis dari
tempurung kelapa telah dilakukan dengan menggunakan Vector
Network Analyzer (VNA). Grafik hasil pengukuran berupa
hubungan antara frekuensi dan rugi refleksi sebagaimana ditunjukan
dalam Gambar 5.12. Beberapa puncak absorpsi teramati pada
rentang frekuensi pengukuran yaitu pada 7 – 14 GHz. Serbuk arang
hasil pembakaran tempurung kelapa (fasa rGO) dan serbuk rGO
hasil pemanasan pada suhu 400 C (rGO-400) dengan berbagai
variasi lama pemanasan memiliki puncak absorpsi yang tajam
dengan rugi refleksi maksimum mencapai -40 dB pada frekuensi 8
GHz. Berbeda dengan rGO-400, serbuk rGO yang dipanaskan pada
suhu 1000 C (rGO-1000) dengan berbagai variasi lama pemanasan
memiliki puncak absorpsi lemah dengan nilai rugi maksimum sekitar

107
-15 dB pada frekuensi 8 GHz. Pada daerah frekuensi X-band (8,2 –
12,4 GHz), rugi refleksi maksimum sebesar -26,5 dB pada frekuensi
10,63 GHz teramati pada sampel rGO-400 yang disiapkan dengan
pemanasan selama 4 jam (rGO-400 4 jam). Sampel rGO-1000
memiliki rugi refleksi yang relatif kecil pada rentang frekuensi X-
band, yaitu sekitar -7 dB pada frekuensi 10,36 GHz. Nilai RL ini
hanya sekitar 1/3 dari nilai RL pada sampel rGO-400.

Gambar 5.12. Grafik hubungan frekuensi terhadap rugi refleksi dari


beberapa sampel rGO yang disintesis melalui proses pemanasan
tempurung kelapa pada suhu 400 C (rGO-400) dan 1000 C (rGO-
1000) pada berbagai variasi lama pemanasan.

Tabel 5.3 menampilkan secara lebih terperinci nilai rugi refleksi


dari beberapa sampel rGO yang disintesis dari tempurung kelapa.
Berkurangmya nilai RL pada rGO-1000 dispekulasikan berkaitan
dengan ukuran dan struktur lapisan rGO. Sebagaimana yang telah
dikonfirmasi dengan spektroskopi FTIR dan Raman, rGO-1000

108
memiliki gugus fungsi oksigen dan C=C yang lebih sedikit dan
jumlah cacat yang lebih banyak dibandingkan rGO-400. Hal ini
mengindikasikan bahwa rGO-1000 memiliki luas lapisan
heksagonal sp2 yang lebih kecil dari pada rGO-400, sehingga
dimungkinkan dapat memperlemah kapasitas atenuasi.

Tabel 5.3. Rugi refleksi (Reflection Loss/RL) beberapa sampel rGO


yang disintesis melalui proses pemanasan tempurung kelapa.

Sampel Frekuensi RL (dB)


(GHz)
Serbuk arang tempurung 10,63 -24,20
kelapa (rGO)
rGO-400 C, 3 jam 8,05 -20,28
rGO-400 C, 4 jam 10,63 -26,50
rGO-400 C, 5 jam 10,63 -25,30
rGO-1000 C, 3 jam 10,08 -4,46
rGO-1000 C, 4 jam 10,69 -6,33
rGO-1000 C, 5 jam 10,36 -7,18

Untuk mengetahui pengaruh medium eksfoliasi terhadap


kemampuan penyerapan gelombang mikro pada rGO, serangkaian
sampel rGO yang di eksfoliasi dalam medium HCl dan H2SO4 juga
disiapkan. Gambar 5.13 (a) menunjukan kurva hubungan frekuensi
terhadap nilai rugi refleksi (RL) dari beberapa sampel rGO yang
disintesis melalui proses pemanasan tempurung kelapa pada suhu
400 C (rGO-400) dan 700 C (rGO-700) diikuti dengan proses
eksfoliasi dalam medium HCl dengan berbagai variasi konsentrasi.
Pengukuran dilakukan dalam rentang frekuensi X-band yaitu pada 8
– 12 GHz. Terlihat bahwa puncak absorpsi dengan lebar-pita
(bandwidth) yang lebar teramati pada frekuensi sekitar 10,5 GHz.
Lebar pita ini hampir mencakup seluruh rentang frekuensi

109
pengukuran dan lebih besar dibandingkan lebar-pita sampel rGO
yang disiapkan tanpa melalui proses eksfoliasi. Walaupun demikian,
nilai RL yang dihasilkan lebih kecil. Nilai RL terbesar teramati pada
serbuk arang tempurung kelapa dengan nilai sekitar -10 dB pada
frekuensi 10,5 GHz. Pada proses eksfoliasi dalam medium HCl
dengan perbandingan rGO:HCl = 1:1, RL bernilai sekitar -8,42 dB
pada frekuensi 10,52 GHz untuk rGO-400, dan -5,69 dB pada
frekuensi 10,46 GHz untuk rGO-700. Dalam semua variasi
konsentrasi HCl, rGO-700 memiliki nilai RL yang lebih kecil dari
pada rGO-400. Berkurangnya jumlah gugus fungsi dan
bertambahnya jumlah cacat pada lapisan rGO akibat proses
pemanasan dan eksfoliasi diduga sebagai penyebab berkurangnya
nilai RL.

Gambar 5.13. (a) Grafik hubungan frekuensi terhadap rugi refleksi


(reflection loss, RL) dari beberapa sampel rGO yang disintesis
melalui proses pemanasan tempurung kelapa pada suhu 400 C
(rGO-400) dan 700 C (rGO-700) diikuti dengan proses eksfoliasi
dalam medium HCl dengan berbagai variasi konsentrasi. (b)
Distribusi ukuran partikel dari serbuk arang, dan rGO-400 dan rGO-
700 pada perbandingan konsentrasi rGO : HCl = 1:1.

110
Gambar 5.14. (a) Grafik hubungan frekuensi terhadap rugi refleksi
(reflection loss, RL) dari beberapa sampel rGO yang disintesis
melalui proses pemanasan tempurung kelapa pada suhu 400 C
(rGO-400) dan 700 C (rGO-700) diikuti dengan proses eksfoliasi
dalam medium H2SO4 dengan berbagai variasi konsentrasi. (b)
Distribusi ukuran partikel dari serbuk arang, dan rGO-400 dan rGO-
700 pada perbandingan konsentrasi rGO:H2SO4 = 1:1.

Keberadaan gugus fungsi seperti C-O, C-H, C=O dan O-H


dimungkinkan berperan penting dalam proses polarisasi sebagai
penyebab adanya beda keelektronegatifan sehingga terbentuk dipol-
dipol listrik. Oleh karena itu, dengan berkurangnya jumlah gugus
fungsi, kemampuan penyerapan gelombang mikro juga semakin
berkurang. Hal lain yang dapat menjadi penyebab potensial
berkurangnya nilai RL adalah karena melemahnya kapasitas
atenuasi. Sampel rGO yang dipanaskan pada suhu tinggi dan
dieksfoliasi pada medium asam pekat cenderung memiliki ukuran
lapisan sp2 yang lebih kecil dan konsentrasi cacat yang lebih besar.
Hal ini pada akhirnya mempengaruhi proses disipasi gelombang
mikro yang melewati material absorber. Berkurangnya ukuran
partikel ditunjukan dengan pergeseran distribusi ukuran partikel

111
kearah ukuran yang lebih kecil dengan meningkatnya suhu
pemanasan sebagaimana Gambar 5.13 (b).
Pengaruh medium eksfoliasi berupa larutan asam sulfat
(H2SO4) terhadap kemampuan anti pantul gelombang mikro juga
diamati. Gambar 5.14 menunjukan grafik nilai rugi refleksi pada
sampel rGO yang disiapkan melalui proses pemanasan pada suhu
400 C (rGO-400) dan 700 C (rGO-700) diikuti dengan proses
eksfoliasi dalam medium H2SO4. Posisi puncak absorpsi serta nilai
RL secara terperinci ditunjukan dalam Tabel 5.4. Sebagaimana yang
teramati pada sampel rGO yang dieksfoliasi dalam medium HCl,
nilai RL berkurang dengan meningkatnya suhu pemanasan.

Tabel 5.4. Rugi refleksi (Reflection Loss/RL) beberapa sampel rGO


yang disintesis melalui proses pemanasan arang tempurung kelapa
diikuti dengan proses eksfoliasi dalam medium H2SO4 dalam
berbagai variasi perbandingan konsentrasi.

Suhu Frekuensi
H2SO4 : rGO RL (dB)
pemanasan (GHz)
Tanpa perlakuan 10,64 -10,62
1:1 10,44 -5,47
400 C 1:5 10,42 -5,92
1:10 10,48 -7,19
1:1 10,48 -2,51
700 C 1:5 10,54 -1,95
1:10 10,54 -2,68

Proses eksfoliasi dalam medium H2SO4 juga cenderung


mengurangi nilai RL. Puncak absopsi teramati pada frekuensi sekitar
10,5 GHz. Hasil ini menguatkan dugaan bahwa ukuran lapisan sp 2
dan konsentrasi cacat berpengaruh pada kapasitas atenuasi dari
material absorber. Perlu dicatat bahwa faktor-faktor lain juga

112
dimungkinkan berpengaruh terhadap berkurangnya nilai RL.
Analisis lebih lanjut diperlukan untuk memastikan hal ini. Dari hasil
pengujian RL yang didapatkan saat ini, secara umum diketahui
bahwa proses reduksi rGO melalui metode pemanasan pada suhu
tinggi dan eksfoliasi pada medium asam pekat dapat mengurangi
nilai rugi refleksi dan pada akhirnya mengurangi kemampuan anti
pantul gelombang mikro dari sampel rGO.

5.5 Kemagnetan
Sifat kemagnetan material berbasis karbon telah menjadi pokok
bahasan yang sangat menarik baik dari sisi teori fundamental
maupun aplikasinya. Karbon memiliki konfigurasi elektron pada
keadaan dasar berupa 1s2 2s2 2p2. Ini menunjukan bahwa pada
keadaan dasar karbon memiliki dua spin yang tak berpasangan dalam
orbital p terluar. Walaupun demikian, karbon memiliki sifat
diamagnetik karena sifat ikatan yang terbentuk antar atom karbon.
Berdasarkan konsep dari teori orbital molekular (the molecular
orbital theory), empat elektron dapat berpasangan di dalam orbital
ikatan  karbon, sebagaimana ditunjukan pada Gambar 5.15. Ini
berarti bahwa karbon selalu membentuk empat buah ikatan sehingga
tidak ada elektron tak-berpasangan. Hal inilah yang menyebabkan
momen magnetik dari karbon hanya menunjukan kontribusi
diamagnetik, yang berasal dari gerakan elektron-elektron dalam
orbital, tanpa adanya kontribusi paramagnetik. Itulah sebabnya
semua alotrop karbon, yang memiliki ikatan antar atom karbon
dengan sifat serupa, tidak memiliki fitur magnetik apapun. Perilaku
diamagnetik pada grafit dan grafena murni, yang memiliki
hibridisasi sp2, disebabkan oleh delokalisasi elektron yang bergerak
sepanjang rantai grafitik pada bidang (delokalisasi ikatan ). Grafit
memiliki suseptibilitas diamagnetik yang sangat anisotropik karena
kontribusi dari pergerakan elektron dalam arah tegak lurus rantai
grafitik sangat kecil. Intan (hibridisasi sp3) dan carbyne (hibridisasi
sp) juga bersifat diamagnetik [33].

113
Gambar 5.15. (a) Diagram tingkatan-energi orbital molekular secara
umum untuk dua tingkat energi pertama yang menunjukan
pembentukan orbital molekul ikatan/ bonding (, ) dan orbital
molekul antiikatan/ antibonding (*, *). (b) Skema ikatan untuk
dua atom karbon yang membuktikan bahwa semua spin berpasangan,
mengkonfirmasikan sifat diamagnetik dari C-C (gambar diadopsi
dari Ref. [33]).

Salah satu cara untuk menjadikan struktur karbon murni


memiliki spin tak-berpasangan yang pada akhirnya memiliki sifat
magnetik adalah dengan membuat alotrop karbon yang memiliki
keadaan hibridisasi campuran, misalkan sp2 dan sp3, dimana
beberapa elektron valensi tidak terlibat dalam ikatan. Fullerene yang
memiliki ikatan sp2 dan sp3 semu memiliki sifat diamagnetik
sekaligus paramagnetik. Oksida grafena tereduksi dan karbon amorf
juga merupakan alotrop karbon yang memiliki hibridisasi campuran
antara sp2 dan sp3 sehingga sangat mungkin keduanya memiliki fitur
magnetik. Keberadaan cacat dalam lapisan grafena diprediksikan
berperan penting terhadap sifat magnetik yang termati. Cacat ini

114
dapat berupa gangguan topologi lokal, kekosongan, cacat Stone-
Wales (SW), pasangan pentagonal-oktagon, substitusi atom non-
karbon dalam kisi grafena, adatoms (atom yang menempel pada
permukaan lapisan grafena), hibridisasi campuran sp 2/sp3
(fungsionalisasi sp3 kovalen) dan tepi dengan bentuk zigzag.

Gambar 5.16. Berbagai jenis cacat yang dapat berperan sebagai


penyebab munculnya kemagnetan pada grafena. (a) kekosongan, (b)
substitusi atom non-karbon dalam kisi grafena, (c) fungsionalisasi
sp3, dan (d) tepi dengan bentuk zigzag (gambar diadopsi dari Ref.
[33]).

Gambar 5.16 menunjukan beberapa jenis cacat yang berperan


menimbulkan kemagnetan pada grafena. Cacat-cacat ini
dimanifestasikan sebagai keadaan “midgap”  yang semi
terlokalisasi atau flat bands dalam stuktur pita elektronik grafena
dengan puncak rapat keadaan (density of states, DOS) terletak pada
tingkat energi Fermi (EF) yang menunjukan polarisasi spin. Keadaan
ini menimbulkan momen magnetik terlokalisasi. Untuk memahami

115
mekanisme kemagnetan yang diinduksi oleh keberadaan berbagai
cacat pada grafena secara lebih detail, pembaca disarankan merujuk
pada ulasan artikel oleh Tuček dkk. [33].
Keberadaan cacat telah diprediksikan secara teoretik dapat
menginduksi medan magnet lokal yang memiliki interaksi
feromagnetik dan antiferomagnetik. Perilaku feromagnetik
diprediksikan muncul pada grafena dengan tepi berbentuk zigzag
(zigzag-edge graphene) dan pada lapisan grafena yang
terhidrogenasi sebagian [34,35]. Sebuah cacat atom tunggal dapat
menginduksi feromagnetisme dalam grafena berstuktur acak dan
grafit teriradiasi [36]. Momen magnetik sebesar 1 B dapat
berkembang karena adanya cacat berupa kekosongan dan
chemisorption hidrogen [37]. Selain jenis cacat, konsentrasi cacat
juga berpengaruh terhadap interaksi magnetik yang teramati.
Apabila konsentrasi cacat relatif kecil, akan teramati perilaku
paramagnetik karena momen magnetik terinduksi mampu terpisah
dengan baik [38]. Sebaliknya, apabila konsentrasi cacat tinggi,
perilaku feromagnetik dan/atau antiferomagnetik akan terinduksi
melalui interaksi pertukaran (exchange interaction) atau interaksi
Ruderman-Kittel-Kasuya-Yosida (RKKY) [39-41]. Hal ini
mengindikasikan bahwa sifat kemagnetan grafena bergantung pada
metode penyiapannya. Sarkar dkk. [42] melaporkan bahwa oksida
grafit dan oksida grafena tereduksi (rGO) yang disintesis melalui
metode kimia standar memiliki sifat superparamagnetik lemah.
Sampel rGO yang disiapkan melalui proses anealing suhu tinggi
pada oksida grafena dalam lingkungan oksidasi lemah dilaporkan
memiliki feromagnetisme suhu ruang yang lebih kuat dari pada
sampel rGO yang disiapkan dalam lingkungan oksidasi kuat [43].
Melalui proses reduksi thermal, Khurana dkk. [44] melaporkan
bahwa suhu anealing dapat mengontrol jumlah cacat yang dapat
menginduksi kemagnetan rGO. Pada suhu tertentu (600 C), proses
anealing mendorong terjadinya mekanisme perbaikan diri sehingga
jumlah cacat berkurang dan ikatan sp2 meningkat.

116
Untuk sampel rGO yang disiapkan dengan metode green
synthesis melalui proses pemanasan tempurung kelapa, Kurniasari
dkk. [45] dan Darminto dkk. [46] mengkonfirmasi bahwa
kemagnetan rGO diinduksi oleh keberadaan cacat di dalamnya.
Konsentrasi cacat meningkat dengan meningkatnya suhu pemanasan.
Sebagaimana ditunjukan pada Gambar 5.17 (a), rGO yang disiapkan
melalui proses pemanasan pada suhu 1000 C (rGO-1000) memiliki
magnetisasi yang lebih kuat, dimana nilai magnetisasi saturasi (Msat)
meningkat sekitar 35 kali dari pada rGO yang disiapkan pada 400 C
(rGO-400) dan 600 C (rGO-600). rGO-400, rGO-600 dan rGO-
1000 memiliki nilai Msat berturut-turut 2,2 emu/g, 0,06 emu/g dan
0,07 emu/g. Gambar 5.17 (b) menunjukan perbesaran kurva
magnetisasi sebagai fungsi medan magnet [M(H)]. rGO-1000
memiliki kurva histeresis magnetik yang lebih lebar dari pada rGO-
400 dan rGO-600. Sebagaimana Msat, nilai magnetisasi remanensi
(Mr) dan medan koersivitas (HC) meningkat drastis pada rGO-1000
menjadi 0,3 emu/g dan 140 Oe.
Pengukuran x-ray fluorescence (XRF) mengkonfirmasi bahwa
konsentrasi maksimum dari impuritas magnetik, berupa Fe dan Ni,
sebesar 0,07 %, serta tidak ada peningkatan yang signifikan dari
impuritas magnetik dengan meningkatnya suhu pemanasan.
Esquinazi dkk. [47] melaporkan bahwa 1 g impuritas Fe per 1 gram
grafit berkontribusi sekitar 2,2  10-4 emu/g terhadap magnetisasi
apabila terbentuk dalam kluster Fe, atau sekitar 1,4  10-4 emu/g
apabila terbentuk dalam kluster Fe3O4. Jika diasumsikan Ni
memberikan kontribusi magnetik yang sama sebagaimana Fe, maka
0,07% impuritas magnetik hanya akan berkontribusi terhadap
magnetisasi sekitar 0,3  10-2 emu/g. Dengan demikian, nilai
magnetisasi yang teramati pada sampel rGO sebagian besar berasal
dari sifat intrinsik sampel. Hal ini mengindikasikan bahwa
peningkatan M(H) disebabkan adanya peningkatan jumlah cacat.

117
Gambar 5.17. (a) Magnetisasi sebagai fungsi medan magnet, M(H),
dari serbuk arang, rGO-400, rGO-600, dan rGO-1000 pada suhu
ruang (300 K). Gambar sisipan menampilkan kebergantungan suhu
pemanasan terhadap nilai saturasi magnetisasi (Msat). (b) Perbesaran
M(H) pada serbuk arang, rGO-400 dan rGO-1000. Gambar sisipan:
kebergantungan suhu pemanasan terhadap magnetisasi remanensi
(Mr) dan medan koersivitas (HC). (c) M(H) dari serbuk arang pada
suhu 300 K dan 5 K. Gambar sisipan menunjukan perbesaran kurva.
(d) M(H) dari rGO-600 yang menunjukan adanya kontribusi
diamagnetik (Mdia) dan feromagnetik (MFM) dengan Msat  0,07
emu/g. Pada seluruh kurva yang ditampilkan, kontribusi
diamagnetik dari plastik parafilm dan kapsul pembungkus sampel
telah dikurangkan (gambar diadaptasi dari Ref. [46]).

Gambar 5.17 (c) menunjukan kurva magnetisasi sebagai fungsi


medan magnet, M(H), dari serbuk arang pada suhu 300 K dan 5 K.

118
Pada suhu 300 K, M(H) sedikit berkurang pada daerah medan
magnet H  3 kOe, yang mengindikasikan adanya kontribusi
diamagnetik. Perilaku diamagnetik ini merupakan sifat intrinsik
karena kontribusi diamagnetik yang berasal dari plastik parafilm dan
kapsul pemungkus sampel telah disubtrak pada semua kurva M(H).
Pada suhu 5 K, kontribusi diamagnetik tidak lagi muncul, tetapi
teramati kenaikan kurva M(H) pada daerah medan magnet tinggi
yang mengindikasikan karakteristik paramagnetik. Kontribusi
diamagnetik teramati pada semua sampel pada suhu ruang. Gambar
5.17 (d) menunjukan kurva M(H) pada rGO-600. Terlihat bahwa dua
fitur magnetik, diamagnetik dan feromagnetik, terdapat dalam rGO-
600. Komponen ferromagnetik berkaitan erat dengan keberadaan
cacat, sedangkan komponen diamagnetik pada sampel rGO
dimungkinkan berasal dari lapisan grafena yang acak. Kontribusi
diamagnetik grafena sangat bergantung pada sudut antara medan
magnet yang diberikan saat pengukuran dan lapisan grafena, dan
akan mencapai minimum ketika sudutnya mendekati 0 atau
keduanya paralel [47].
Gambar 5.18 menampilkan kurva kebergantungan suhu
terhadap suseptibilitas magnetik, (T) = M(T)/H dari serbuk arang
dan rGO-1000 ketika diberikan medan magnet luar berturut-turut
100 Oe dan 10 Oe. Pengukuran dilakukan dalam kondisi
pendinginan tanpa medan magnet (zero field cooling, ZFC) dan
dengan medan magnet (field cooling, FC). Pada serbuk arang, kurva
ZFC dan FC secara bertahap terpisah degan semakin berkurangnya
suhu pengukuran. Kenaikan kedua kurva pada suhu dibawak 20 K
menandakan munculnya kontribusi paramagnetik, sebagaimana
yang diindikasikan pada Gambar 5.17 (c). Pada rGO-1000,
terpisahnya kurva ZFC dan FC telah teramati pada suhu 300 K.
Dengan turunnya suhu pengukuran, kurva FC meningkat secara
perlahan sedangkan kurva ZFC semakin berkurang. Pengurangan
secara progresif dari kurva ZFC diawali pada suhu 120 K. Sebuah
puncak lebar yang lemah teramati pada kurva FC pada suhu 60 K,

119
yang menandakan adanya order magnetik yang statik dibawah suhu
ini. Pemisahan kurva ZFC dan FC pada kurva (T) ini dapat
dikaitkan dengan dua hal. Pertama adalah adanya ketidakteraturan
spin atau momen magnetik yang anisotropi sebagaimana yang
teramati pada sistem magnetik frustrasi, dan yang kedua berkaitan
dengan adanya kluster feromagnetik yang berasal dari cacat.

Gambar 5.18. Kurva kebergantungan suhu terhadap suseptibilitas


magnetik, (T) = M(T)/H, dari (a) rGO-1000 dalam medan magnet
tetap H = 10 Oe, dan (b) serbuk arang dalam medan magnet tetap H
= 100 Oe (gambar diadaptasi dari Ref. [46]).

Meskipun hasil pengukuran yang ada telah berhasil


mengkonfirmasi beberapa hal seperti kenaikan magnetisasi dari rGO
akibat meningkatnya jumah cacat karena proses pemanasan dan
koeksistensi dari komponen diamagnetik, ferromagnetik dan
diamagnetik, akan tetapi informasi lain terkait jenis cacat yang
muncul, mekanisme kemagnetan yang diinduksi oleh cacat dan
struktur spin dalam sampel rGO yang dihasilkan masih belum cuku
jelas. Pengukuran lebih lanjut dengan menggunakan metode
penyelidikan mikroskopik, seperti difraksi neutron dan/atau
spektroskopi muon, sangat diperlukan untuk mengklarifikasi hal-hal
tersebut.

120
Referensi Bab 5
[1] A. Y. Nugraheni, M. Nashrullah, F. A. Prasetya, F. Astuti,
Darminto: Study on phase, molecular bonding, and bandgap od
reduced graphene oxide prepared by heating coconut shell.
Materials Science Forum 827, 285-289 (2015).
[2] W. Islamiyah, L. Nashirudin, M. A. Baqiya, Y. Cahyono,
Darminto: Sulfuric acid intercalated-mechanical exfoliation of
reduced graphene oxide from old coconut shell. AIP Conf.
Proc.1945 (020054), 1-5 (2018).
[3] B. Wen, M. Cao, M. Lu, W. Cao, H. Shi, J. Liu, X. Wang, H.
Jin, X. Fang, W. Wang, and J. Yuan: Reduced Graphene
Oxides: Light-Weight and High-Efficiency Electromagnetic
Interference Shielding at Elevated Temperatures. Adv. Mater.
26, 3484-3489 (2014).
[4] B. Rajagopalan, J.S. Chung: Reduced chemically modified
graphene oxide for supercapacitor electrode. Nanoscale Res.
Lett. 9, 535 (2014).
[5] H. Liu, G. Zhang, Y. Zhou, M. Gao, F. Yang: One-step
potentiodynamic synthesis of poly(1,5-diaminoanthraquinone)/
reduced graphene oxide nanohybrid with improved
electrocatalytic activity. J. Mater. Chem. A. 1, 13902-13913
(2013). doi:10.1039/C3TA13600K
[6] T.G. Chasteen. 1995. http://www.shsu.edu/chm_tgc/
chemilumdir/JABLONSKI.html, diakses pada tanggal 3 Agustus
2018, pukul 11.50 WIB.
[7] D. Harvey. 2016. https://chem.libretexts.org/Textbook_
Maps/Analytical_Chem-istry/Book%3A_Analytical_ Chemistry
_2.0_(Harvey)/10_Spectroscopic_Methods/10.6%3A_Photolu
minescence_Spectroscopy, diakses pada tanggal 6 Agustus
2018, pukul 10.30 WIB.
[8] X. Sun, Z. Liu, K. Welsher, J.T. Robinson, A. Goodwin, S.
Zaric, and H. Dai: Nano-Graphene Oxide for Cellular Imaging
and Drug Delivery. Nano Res.1(3), 203-212 (2008).

121
[9] Z. Luo, P.M. Vora, E.J. Mele, A.T.C. Johnson and J.M.
Kikkawa: Photomininescence and band gap modulation in
graphene oxide. Applied Physics Letters 94 (111909), 1-3
(2009).
[10] T. Gokus, R. R. Nair, A. Bonetti, M. Böhmler, A. Lombardo,
K. S. Novoselov, A. K. Geim, A. C. Ferrari, amd A. Hartschuh:
Making Graphene Luminescent by Oxygen Plasma Treatment.
ACS Nano 3(12), 3963-3968 (2009).
[11] C.-T. Chien, S.-S. Li, W.-J. Lai, Y.-C. Yeh, H.-A. Chen, I.-S.
Chen, L.-C. Chen, K.-H. Chen, T. Nemoto, S. Isoda, M. Chen,
T. Fujita, G. Eda, H. Yamaguchi, M. Chhowalla, and C.-W.
Chen: Tunable Photoliminescence from Graphene Oxide.
Angew. Chem. Int. Ed. 51, 6662-6666 (2012).
[12] G. Eda, Y.-Y. Lin, C. Mattevi, H. Yamaguchi, H.-A. Chen, I.-
S. Chen, C.-W. Chen, and M. Chhowalla: Blue
Photoluminescence from Chemically Derived Graphene Oxide.
Adv. Mater. 21, 1-5 (2009).
[13] D. Pan, J. Zhang, Z. Li, M. Wu: Hydrothermal route for cutting
graphene sheets into blue-luminescent graphene quantum dots.”
Adv. Mater. 22(6), 734-738 (2010).
[14] L. Ming, Z. Wu, W. Ren, H. Cheng, N. Tang, W. Wu, W.
Zhong, Y. Du: The doping of reduced graphene oxide with
nitrogen and its effect on the quenching of the material’s
photoluminescence. Carbon 50, 5286-5291 (2012).
[15] D. N. Jayanti, A. Y. Nugraheni, Kurniasari, M. A. Baqiya and
Darminto: Photoluminescence of reduced graphene oxide
prepared from old coconut shell with carbonization process at
varying temperatures. IOP Conf. Ser.: Mater. Sci. Eng.
196(012005), 1-4 (2017).
[16] V. K. Yadav and N. Bhardwaj: Introduction to Supercapacitors
and Supercapacitor Assisted Engine Starting System.
International Journal of Scientific & Engineering Research 4,
issue 8, 583 (2013).

122
[17] R. Kötz and M. Carlen. Principles and applications of
electrochemical capacitors.” Electrochimica Acta 45, issues 15-
16, 2483-2498 (2000).
[18] B.E. Conway: Electrochemical Supercapacitors: Scientific
Fundamentals and Technological Applications.” New York:
Kluwer-Plenum, (1999).
[19] I.-H. Kim and K.B. Kim: Ruthenium Oxide Thin Film
Electrodes for Supercapacitors. Electrochem. Solid-State Lett.
4(5), A62-A64 (2001).
[20] M. Mastragostino, C. Arbizzani, F. Soavi. Polymer-based
Supercapacitors. J. Power Sources 97, 812-815 (2001).
[21] Jia Ma, Tao Xue, and Xue Qin: Sugar-derived
Carbon/Graphene Composite Materials as Electrodes for
Supercapacitors. Electrochimica Acta 115, 566-572 (2014).
[22] Minh-Hai Tran and Hae-Kyung Jeong: One-pot Synthesis of
Graphene/Glucose/Nickel Oxide Composite for the
Supercapacitor Application. Electrochimica Acta 180, 679-689
(2015).
[23] G. B. A. Putra, H. Y. Pradana, D. E. T. Soenaryo, M. A. Baqiya
and Darminto: Synthesis of green Fe 3+/glukosa/rGO electrode
for supercapacitor application assisted by chemical exfoliation
process from burning coconut shell. AIP Conf. Proc. 1945,
020040 (2018). doi: 10.1063/1.5030262.
[24] N. Elgrishi, K. J. Rountree, B. D. McCarthy, E. S. Rountree, T.
T. Eisenhart, and J. L. Dempsey: A Practical Beginner’s Guide
to Cyclic Voltammetry. J. Chem. Educ. 95, 197-206 (2018).
[25] B. Wen, M. Cao, M. Lu, W. Cao, H. Shi, J. Liu, X. Wang, H.
Jin, X. Fang, W. Wang, and J. Yuan: Reduced Graphene
Oxides: Light-Weight and High-Efficiency Electromagnetic
Interference Shielding at Elevated Temperatures. Adv. Mater.
26, 3484-3489 (2014).
[26] R. Sorrentino and Bianchi, Giovanni (2010) Microwave and
RF Engineering, John Wiley & Sons, p. 4, ISBN 047066021X.
diakses pada tanggal 27 Agustus 2018 pukul 17.11 WIB.

123
[27] K. Gaylor: Radar Absorbing Materials – Mechanism and
Materials. Australia: DSTO Materials Research Laboratory
(1989).
[28] Z. Durmus, D. Ali, K. Huyesin: Synthesis and Characterization
of Structural and Magnetic Properties of Graphene/Hard Ferrite
Nanocomposites as Microwave Absorbing Material. New York:
Springer Science, (2015). doi: 10.1007/s10853-014-8676-3.
[29] M. Cao, C. Han, X. Wang, M. Zhang, Y. Zhang, J. Shu, H.
Yang, X. Fang, and J. Yuan: Graphene nanohybrids: excellent
electromagnetic properties for the absorbing and shielding of
electromagnetic waves.” J. Mater. Chem. C 6, 4586-4602
(2018).
[30] C. Wang, X. J. Han, et al.: The electromagnetic property of
chemically reduced graphene oxide and its application as
microwave absorbing material. China: Department oof
Chemistry Laboratory Center, Harbin Institute of Technology
(2011).
[31] J. Ma, X. Wang, W. Cao, C. Han, H. Yang, J. Yuan, M. Cao: A
facile fabrication and highly tunable microwave absorption of
3D flower-like Co3O4-rGO hybrid-architectures. Chemical
Engineering Journal 339, 487-498 (2018).
[32] Y. Zhang, X. Wang, and M. Cao: Confinedly implanted
NiFe2O4-rGO: Cluster tailoring and highly tunable
electromagnetic properties for selective-frequency microwave
absorption. Nano Research 11(3), 1426-1436 (2018).
[33] J. Tuček, P. Błoński, J. Ugolotti, A. K. Swain, T. Enoki, and R.
Zbořil: Emerging chemical strategeis for imprinting magnetism
in graphene and related 2D materials for spintronic and
biomedical applications. Chem. Soc. Rev. 47, 3899-3990
(2018).
[34] D. Soriano, F. Muñoz-Rojas, J. Fernández-Rossier, J.J.
Palacios: Hydrogenated graphene nanoribbons for spintronics.
Phys. Rev. B 81, 165409 (2010).

124
[35] J. Zhou, Q. Wang, Q. Sun, X.S. Chen, Y. Kawazoe, P. Jena:
Ferromagnetism in semihydrogenated graphene sheet. Nano
Lett. 9(11), 3867-3870 (2009).
[36] O. V. Yazyev: Magnetism in disordered graphene and irradiated
graphite. Phys. Rev. Lett. 101(3), 037203 (2008).
[37] O. V. Yazyev and L. Helm: Defect-induced magnetism in
graphene. Phys. Rev. B, Condens. Matter 75(12), 125408
(2007).
[38] M. Sepioni, et al.: Limits on intrinsic magnetism in graphene.
Phys. Rev. Lett. 105(20), 207205 (2010).
[39] Y. Wang, et al.: Room-temperature ferromagnetism of
graphene. Nano Lett. 9(1), 220-224 (2009).
[40] H.S.S.R. Matte, K. S. Subrahmanyam, and C. N. R. Rao: Novel
magnetic properties of graphene: Presence of both
ferromagnetic and antiferromagnetic features and other aspects.
J. Phys. Chem. C 113(23), 9982-9985 (2009).
[41] L. Xie, et al.: Room temperature ferromagnetism in partially
hydrogenated epitaxial graphene. Appl. Phys. Lett. 98(19),
193113 (2011).
[42] S. K. Sarkar, K. K. Raul, S. S. Pradhan, S. Basu, and A. Nayak.:
Magnetic properties of graphite oxide and reduced graphene
oxide. Phys. E, Low-Dimensional Syst. Nanostruct. 64, 78-82
(2014).
[43] S. Qin, X. Guo, Y. Cao, Z. Ni, and Q. Xu: Strong
ferromagnetism of reduced graphene oxide. Carbon 78, 559-
565 (2014).
[44] G. Khurana, N. Kumar, R. K. Kotnala, T. Nautiyal, and R. S.
Katiyar: Temperature tuned defect induced magnetism in
reduced graphene oxide. Nanoscale 5(8), 3346–3351 (2013).
[45] Kurniasari, et al.: Defect and magnetic properties of reduced
graphene oxide prepared from old coconut shell. Proc. IOP
Conf. Mater, Sci. Eng.196, 012021 (2017).
[46] Darminto, R. Asih, Kurniasari, M. A. Baqiya, S. Mustofa,
Suasmoro, T. Kawamata, M. Kato, I. Watanabe, Y Koike:

125
Enhanced magnetism by temperature induced defects in
reduced graphene oxide prepared from coconut shells. IEEE
Transactions on Magnetics 54(10), 1-5 (2018). doi:
10/1109/TMAG.2018.2864946.
[47] P. Esquinazi, et al.: Ferromagnetism in oriented graphite
samples. Phys. Rev. B, Condens. Matter 66(2), 024429 (2002).

126
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai