Pudarnya Pesona Academic Honesty Usep Taryana
Pudarnya Pesona Academic Honesty Usep Taryana
Suatu waktu, saya (dan atau lebih tepatnya, kelas saya) mendapatkan tugas
dari dosen pengampu mata kuliah Kewarganegaraan untuk membuat sebuah
makalah yang bertemakan „hak asasi manusia‟. Tugas tersebut nantinya akan
menjadi bahan penilaian bagi Uji Kompetensi Dasar (UKD) yang kedua. Oleh
karena tugasnya menjadi bahan UKD, saya menjadi termotivasi untuk membuat
sebuah makalah yang benar-benar bagus, dengan harapan nilai yang saya peroleh
nantinya akan membantu nilai akumulatif saya di akhir semester.
Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari
Pendidikan Nasional 2015
Setelah melalui pemikiran yang matang, akhirnya saya menemukan satu
topik yang lebih spesifik yang erat kaitannya dengan tema yang diminta oleh
dosen tersebut. „Hukuman mati bagi koruptor‟, itulah topik yang saya temukan,
yang pada saat itu memang sedang ramai dibicarakan orang. Dengan begitu, judul
makalah saya hasil dari korelasi keduanya ialah „Hukuman Mati bagi Koruptor
dalam Perspektif Hak Asasi Manusia‟. Menarik. Lantas, apakah ada hubungannya
antara makalah tersebut dengan penulisan esai ini?
Ya, ada. Akan tetapi, hubungannya bukan berkaitan dengan seberapa lama
saya menulis makalah setebal 26 halaman itu, atau seberapa lelah saya mencari
bahan-bahan untuk referensi nantinya, melainkan sejauh mana saya melihat nilai-
nilai kejujuran itu tertanam dalam diri teman-teman saya ketika menghadapi
situasi seperti itu (mendapatkan tugas). Dan kesimpulannya? Sudah bisa ditebak.
Kritis. Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat praktik-praktik
ketidakjujuran yang mereka tunjukkan dalam pengerjaan tugas makalah tersebut.
Diantaranya, bisa saya sebutkan, semisal ada yang menyadur sebuah makalah di
internet, ada yang mengutip sebagian dari tulisan orang tanpa menyertakan
sumbernya, dan bahkan, ada yang secara utuh memplagiat karya orang lain.
Ironis! Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan fenomena tersebut.
Terlebih, fenomena ketidakjujuran itu terjadi di tempat dimana orang seharusnya
berlaku jujur, dimana orang dapat menemukan kejujuran. Dan yang lebih ironis
lagi, nilai yang saya dapatkan dari hasil penilaian atas makalah yang saya buat
sendiri itu, lebih rendah jika dibandingkan dengan yang mereka dapatkan. Hal
inilah yang membuat pertanyaan menggelitik dalam benak saya muncul, “Jikalau
nilai menjadi alasan mereka bertindak curang, apa bedanya mereka dengan
koruptor yang memuja uang? Lantas untuk apa saya bekerja keras mengerjakan
tugas sedemikian rupa, jika ternyata ada dosen yang lebih menyukai suatu hal
yang sempurna meskipun itu hasil ketidakjujuran?”
Baiklah, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pendidikan formal di
Indonesia (sampai saat ini), ukuran keberhasilan seseorang itu memang sangat
tergantung pada tinggi-rendahnya nilai yang mereka dapatkan, baik itu melalui
kegiatan evaluasi nilai yang ditentukan oleh pendidiknya, sekolah maupun oleh
pemerintah pusat. Implikasi paradigma pendidikan yang berorientasi nilai seperti
Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari
Pendidikan Nasional 2015
itu mau tak mau membuat orang berfikir untuk mencari cara agar dapat dikatakan
berhasil melalui pemenuhan nilai yang seoptimal mungkin, termasuk dengan
melakukan praktik cheating (kecurangan). Padahal, salah satu esensi pendidikan
yang ideal ialah menciptakan manusia yang berkualitas dan berintegritas melalui
penerapan nilai-nilai agama, kejujuran dan tanggung jawab.
Dalam dunia pendidikan, istilah kejujuran meluas dengan munculnya
istilah baru, yakni kejujuran akademik atau academic honesty. Kejujuran
akademik itu sendiri merupakan salah satu aspek dalam integritas akademik
(academic integrity). Dr. Tracey Bretag, seorang peneliti dari University of South
Australia, menjelaskan integritas akademik sebagai tindakan yang berdasarkan
pada nilai kepercayaan, keadilan, menghargai, tanggung jawab, rendah hati, dan
kejujuran itu sendiri1. Dalam praktiknya, masalah kejujuran dinilai paling banyak
mendapatkan sorotan dari para akademisi dunia. Hal ini didasari dengan
banyaknya kasus yang mencerminkan rendahnya nilai-nilai kejujuran dalam diri
seseorang, tanpa terkecuali pelajar dan pendidik.
Contoh yang saya alami diatas merupakan satu dari sekian banyak kasus
penyimpangan terhadap kejujuran akademik, yakni berupa kecurangan akademik
(academic cheating). Kecurangan akademik itu sendiri, menurut Deighton,
merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan
dengan cara-cara yang tidak jujur. Dengan kata lain, perbuatan seperti menyontek,
plagiarisme, mencuri dan/atau memalsukan sesuatu yang berhubungan dengan
akademik itu dengan tujuan untuk mendapatkan keberhasilan dapat dikategorikan
sebagai kecurangan akademik, dan/atau bentuk penyimpangan terhadap kejujuran
akademik. Lantas, bagaimana dengan kondisi empiris kejujuran akademik di
Indonesia?
Jujur saja, saya sangat prihatin dengan kondisi pendidikan di Indonesia
saat ini. Banyaknya kasus kecurangan akademik yang saya temukan, baik itu
secara langsung maupun melalui data-data empiris di berbagai media informasi,
seakan-akan memperlihatkan pudarnya pesona kejujuran akademik yang
senantiasa menghiasi citra pendidikan Indonesia dulu kala. Belakangan ini, bangsa
1
Anonim, 2014, Integritas Akademik Menjadi Sorotan, http://www.pikiran-
rakyat.com/pendidikan/2014/07/16/289607/integritas-akademik-menjadi-sorotan, diakses pada
Sabtu 25 April 2015 pukul 13:00 WIB.
Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari
Pendidikan Nasional 2015
kita seperti sedang mengalami krisis moral yang akut dan berkepanjangan, apalagi
sejak semakin mudahnya orang mendapatkan informasi, kecenderungan untuk
melakukan penyimpangan itu semakin melebar. Plagiarisme misalnya, perbuatan
yang dikategorikan sebagai kejahatan intelektual itu, sering dilakukan dan bahkan
sudah seperti sebuah tradisi di masyarakat kita. Ironisnya, plagiarisme bukan
hanya dilakukan oleh pelajar saja, melainkan juga dilakukan oleh pendidik, seperti
dosen misalnya. Data yang saya dapatkan dari Kemdikbud, pada tahun 2013 saja,
dalam proses sertifikasi dosen terdapat 808 dosen yang melakukan plagiat. Ya, ini
adalah realita. Realita buruk yang harus secepatnya mendapat perhatian kita
semua. Saya menilai, perlu adanya upaya komprehensif yang dilakukan bersama
untuk menumbuhkan karakter jujur dalam diri setiap manusia di Indonesia.
2
Adjat Sudrajat, Mengapa Pendidikan Karakter, Kearsipan Fakultas Ilmu Sosial UNY,
hlm. 9-10
Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari
Pendidikan Nasional 2015
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kalimat yang sering diungkapkan
oleh negarawan dunia, “Lebih baik jadi orang gagal yang jujur, daripada orang
sukses tapi pembohong.” Hmm.. manakah yang akan kita pilih??