Anda di halaman 1dari 6

Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari

Pendidikan Nasional 2015


Menengok Pudarnya Pesona Academic Honesty
Oleh : Usep Taryana

Mengawali penulisan kali ini mengenai pendidikan dan problematikanya


yang begitu rumit untuk dicerna, ada baiknya kita mengingat kembali ungkapan
sarat makna dari Plato, seorang Filsuf Yunani terbesar di zamannya, “Arah yang
diberikan pendidikan adalah untuk mengawali hidup seseorang dalam menentukan
masa depannya.”. Dari kalimatnya tersebut, Plato menyadari pentingnya
pendidikan bagi manusia dalam mengejar masa depannya. Ibarat sebuah peta,
pendidikan dapat memberikan petunjuk dan/atau arah mana yang dapat dilalui
untuk dapat sampai di tempat yang kita inginkan. Adapun tempat yang kita
inginkan itu semisal masa depan yang cerah, kesuksesan yang banyak dituai,
kepribadian yang terhormat, dan tentunya kebahagiaan dalam menjalani
kehidupan.
Secara implisit, arah yang dimaksud Plato dalam ungkapannya tersebut
cenderung mengenai kejujuran. Ya, tak dapat dipungkiri lagi bahwa kejujuran
merupakan investasi utama dalam membangun masa depan yang baik. Seperti
kata pepatah, “Honesty brings success and success”, atau yang artinya kurang
lebih ialah keberhasilan dan kesuksesan masa depan seseorang tergantung sejauh
mana kejujuran itu tertanam dalam dirinya. Dalam hal ini, Plato menilai bahwa
kejujuran dapat terbentuk melalui pendidikan, baik itu dalam proses
pembelajarannya, maupun sistem dan/atau pola pendidikan yang diterapkan. Akan
tetapi, bagaimana jika pendidikan yang diharapkan dapat membentuk kejujuran
itu menjadi terhambat? Bahkan menjadi sarang bagi terciptanya ketidakjujuran?

Suatu waktu, saya (dan atau lebih tepatnya, kelas saya) mendapatkan tugas
dari dosen pengampu mata kuliah Kewarganegaraan untuk membuat sebuah
makalah yang bertemakan „hak asasi manusia‟. Tugas tersebut nantinya akan
menjadi bahan penilaian bagi Uji Kompetensi Dasar (UKD) yang kedua. Oleh
karena tugasnya menjadi bahan UKD, saya menjadi termotivasi untuk membuat
sebuah makalah yang benar-benar bagus, dengan harapan nilai yang saya peroleh
nantinya akan membantu nilai akumulatif saya di akhir semester.
Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari
Pendidikan Nasional 2015
Setelah melalui pemikiran yang matang, akhirnya saya menemukan satu
topik yang lebih spesifik yang erat kaitannya dengan tema yang diminta oleh
dosen tersebut. „Hukuman mati bagi koruptor‟, itulah topik yang saya temukan,
yang pada saat itu memang sedang ramai dibicarakan orang. Dengan begitu, judul
makalah saya hasil dari korelasi keduanya ialah „Hukuman Mati bagi Koruptor
dalam Perspektif Hak Asasi Manusia‟. Menarik. Lantas, apakah ada hubungannya
antara makalah tersebut dengan penulisan esai ini?
Ya, ada. Akan tetapi, hubungannya bukan berkaitan dengan seberapa lama
saya menulis makalah setebal 26 halaman itu, atau seberapa lelah saya mencari
bahan-bahan untuk referensi nantinya, melainkan sejauh mana saya melihat nilai-
nilai kejujuran itu tertanam dalam diri teman-teman saya ketika menghadapi
situasi seperti itu (mendapatkan tugas). Dan kesimpulannya? Sudah bisa ditebak.
Kritis. Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat praktik-praktik
ketidakjujuran yang mereka tunjukkan dalam pengerjaan tugas makalah tersebut.
Diantaranya, bisa saya sebutkan, semisal ada yang menyadur sebuah makalah di
internet, ada yang mengutip sebagian dari tulisan orang tanpa menyertakan
sumbernya, dan bahkan, ada yang secara utuh memplagiat karya orang lain.
Ironis! Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan fenomena tersebut.
Terlebih, fenomena ketidakjujuran itu terjadi di tempat dimana orang seharusnya
berlaku jujur, dimana orang dapat menemukan kejujuran. Dan yang lebih ironis
lagi, nilai yang saya dapatkan dari hasil penilaian atas makalah yang saya buat
sendiri itu, lebih rendah jika dibandingkan dengan yang mereka dapatkan. Hal
inilah yang membuat pertanyaan menggelitik dalam benak saya muncul, “Jikalau
nilai menjadi alasan mereka bertindak curang, apa bedanya mereka dengan
koruptor yang memuja uang? Lantas untuk apa saya bekerja keras mengerjakan
tugas sedemikian rupa, jika ternyata ada dosen yang lebih menyukai suatu hal
yang sempurna meskipun itu hasil ketidakjujuran?”
Baiklah, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pendidikan formal di
Indonesia (sampai saat ini), ukuran keberhasilan seseorang itu memang sangat
tergantung pada tinggi-rendahnya nilai yang mereka dapatkan, baik itu melalui
kegiatan evaluasi nilai yang ditentukan oleh pendidiknya, sekolah maupun oleh
pemerintah pusat. Implikasi paradigma pendidikan yang berorientasi nilai seperti
Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari
Pendidikan Nasional 2015
itu mau tak mau membuat orang berfikir untuk mencari cara agar dapat dikatakan
berhasil melalui pemenuhan nilai yang seoptimal mungkin, termasuk dengan
melakukan praktik cheating (kecurangan). Padahal, salah satu esensi pendidikan
yang ideal ialah menciptakan manusia yang berkualitas dan berintegritas melalui
penerapan nilai-nilai agama, kejujuran dan tanggung jawab.
Dalam dunia pendidikan, istilah kejujuran meluas dengan munculnya
istilah baru, yakni kejujuran akademik atau academic honesty. Kejujuran
akademik itu sendiri merupakan salah satu aspek dalam integritas akademik
(academic integrity). Dr. Tracey Bretag, seorang peneliti dari University of South
Australia, menjelaskan integritas akademik sebagai tindakan yang berdasarkan
pada nilai kepercayaan, keadilan, menghargai, tanggung jawab, rendah hati, dan
kejujuran itu sendiri1. Dalam praktiknya, masalah kejujuran dinilai paling banyak
mendapatkan sorotan dari para akademisi dunia. Hal ini didasari dengan
banyaknya kasus yang mencerminkan rendahnya nilai-nilai kejujuran dalam diri
seseorang, tanpa terkecuali pelajar dan pendidik.
Contoh yang saya alami diatas merupakan satu dari sekian banyak kasus
penyimpangan terhadap kejujuran akademik, yakni berupa kecurangan akademik
(academic cheating). Kecurangan akademik itu sendiri, menurut Deighton,
merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan
dengan cara-cara yang tidak jujur. Dengan kata lain, perbuatan seperti menyontek,
plagiarisme, mencuri dan/atau memalsukan sesuatu yang berhubungan dengan
akademik itu dengan tujuan untuk mendapatkan keberhasilan dapat dikategorikan
sebagai kecurangan akademik, dan/atau bentuk penyimpangan terhadap kejujuran
akademik. Lantas, bagaimana dengan kondisi empiris kejujuran akademik di
Indonesia?
Jujur saja, saya sangat prihatin dengan kondisi pendidikan di Indonesia
saat ini. Banyaknya kasus kecurangan akademik yang saya temukan, baik itu
secara langsung maupun melalui data-data empiris di berbagai media informasi,
seakan-akan memperlihatkan pudarnya pesona kejujuran akademik yang
senantiasa menghiasi citra pendidikan Indonesia dulu kala. Belakangan ini, bangsa

1
Anonim, 2014, Integritas Akademik Menjadi Sorotan, http://www.pikiran-
rakyat.com/pendidikan/2014/07/16/289607/integritas-akademik-menjadi-sorotan, diakses pada
Sabtu 25 April 2015 pukul 13:00 WIB.
Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari
Pendidikan Nasional 2015
kita seperti sedang mengalami krisis moral yang akut dan berkepanjangan, apalagi
sejak semakin mudahnya orang mendapatkan informasi, kecenderungan untuk
melakukan penyimpangan itu semakin melebar. Plagiarisme misalnya, perbuatan
yang dikategorikan sebagai kejahatan intelektual itu, sering dilakukan dan bahkan
sudah seperti sebuah tradisi di masyarakat kita. Ironisnya, plagiarisme bukan
hanya dilakukan oleh pelajar saja, melainkan juga dilakukan oleh pendidik, seperti
dosen misalnya. Data yang saya dapatkan dari Kemdikbud, pada tahun 2013 saja,
dalam proses sertifikasi dosen terdapat 808 dosen yang melakukan plagiat. Ya, ini
adalah realita. Realita buruk yang harus secepatnya mendapat perhatian kita
semua. Saya menilai, perlu adanya upaya komprehensif yang dilakukan bersama
untuk menumbuhkan karakter jujur dalam diri setiap manusia di Indonesia.

Academic Honesty sebagai Modal Dasar Menuju Generasi Emas


Kejujuran erat kaitannya dengan kebenaran dan moralitas. Bersikap jujur
merupakan salah satu tanda kualitas moral seseorang. Dengan menjadi seorang
pribadi yang berkualitas, kita mampu membangun sebuah masyarakat ideal.
Masyarakat yang ideal akan menghasilkan generasi yang ideal pula, yakni
generasi emas. Istilah generasi emas sebenarnya merupakan istilah yang
digunakan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud),
Muhammad Nuh, pada perayaan Hari Pendidikan Nasional tahun 2012 silam.
M. Nuh (sapaan) mengatakan, sejak tahun 2010 sampai 2035 nanti, bangsa
Indonesia akan dikarunai potensi sumber daya manusia (SDM) berupa populasi
usia produktif yang jumlahnya luar biasa, atau yang lebih dikenal dengan istilah
bonus demografi. Apabila kesempatan tersebut dapat kita manfaatkan dengan
baik, hal itu tentu akan berdampak positif bagi kemajuan bangsa Indonesia dari
segi sumber daya manusianya. Maka disinilah peran strategis pembangunan
pendidikan untuk mewujudkan hal tersebut menjadi sangat penting.
Pendidikan sejatinya haruslah menjadi investasi sumber daya manusia
(human capital inveshment) yang dapat menciptakan iklim kompetitif yang
memungkinkan semua masyarakat ikut serta dalam penyelenggaraan dan
pembangunan negara melalui SDM-nya yang mumpuni. Itulah inti generasi emas,
yakni generasi yang mampu membawa perubahan dengan berdiri di kaki sendiri.
Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari
Pendidikan Nasional 2015
Generasi emas juga tidak melulu berbicara mengenai kecerdasan
intelektual SDM-nya saja, melainkan karakter yang terbangun dalam SDM itu
juga haruslah karakter emas. Hakaketnya, karakter emas itulah yang merupakan
pondasi utama untuk membangun generasi emas. Salah satu indikator karakter
emas yang harus dimiliki oleh kita semua ialah kejujuran, terutama dalam bidang
pendidikan, yakni kejujuran akademik. Untuk itu, investasi SDM-nya juga harus
merambah pada karakter manusianya, yakni manusia yang jujur.

Menumbuhkan Academic Honesty melalui Character Education


Pendidikan Karakter atau Character Education merupakan suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter manusia yang ideal di lingkungan pendidikan.
Pendidikan karakter ini sering juga disebut sebagai pendidikan akhlak dan/atau
pendidikan moral, yakni pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam
diri manusia. Salah satu nilai yang ditanamkan dalam pendidikan karakter ialah
nilai kejujuran, terutama kejujuran akademik. Pendidikan karakter dapat
menumbuhkan kejujuran akademik dalam diri seseorang. Oleh karenanya, sangat
diperlukan strategi yang efektif dari pelaksanaan pendidikan karakter tersebut.
Adapun strategi pelaksanaan pendidikan karakter untuk menumbuhkan
kejujuran akademik yang dapat dilakukan di setiap sekolah/kampus itu dapat
melalui empat cara yang berkesinambungan, yakni2: (1) Pembelajaran, artinya
nilai-nilai kejujuran akademik itu harus disampaikan oleh guru melalui proses
pembelajaran, (2) Keteladanan, artinya kejujuran akademik itu harus
diaplikasikan atau dimodelkan oleh para komponen pendidikan di
sekolah/kampus. (3) Penguatan, sekolah/kampus dapat membuat program
khusus, seperti pembuatan banner/spanduk yang menjelaskan pentingnya
kejujuran akademik dengan tujuan untuk memperkuat nilai kejujuran tersebut. (4)
Pembiasaan, sekolah harus membuat pembiasaan terhadap kejujuran akademik
itu, seperti misalnya melarang plagiarisme, melarang mencontek, berlaku curang,
dan sebagainya. Keempat cara itu akan terlaksana dengan baik apabila semua
komponen pendidikan mampu menerapkannya dengan baik pula.

2
Adjat Sudrajat, Mengapa Pendidikan Karakter, Kearsipan Fakultas Ilmu Sosial UNY,
hlm. 9-10
Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari
Pendidikan Nasional 2015
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kalimat yang sering diungkapkan
oleh negarawan dunia, “Lebih baik jadi orang gagal yang jujur, daripada orang
sukses tapi pembohong.” Hmm.. manakah yang akan kita pilih??

Anda mungkin juga menyukai