Pada pembacaan pembelaan oleh pihak Terdakwa yaitu Riska Kartina Dewi, amar
pembelaan yang dimintakan pada hakim adalah melepaskan Riska dari segala tuntutan hukum
(onslag van recht vervolging) karena terdapat pembelaan terpaksa ( noodweer) yang menjadi
dasar perbuatan Riska. Pengujian ketepatan pertimbangan hakim mengenai pembelaan
terpaksa pada perbuatan Riska terhadap syarat-syarat pembelaan terpaksa menggunakan teori
Van Hamel yang dielaborasikan dengan berbagai pendapat ahli hukum lainnya.
Teori van Hamel dipilih karena penyusunan persyaratan pembelaan terpaksa yang
sistematis dan pembagian persyaratan yang komprehensif dari unsur serangan atau ancaman
serangan serta unsur pembelaan. Berikut ini pengujian pertimbangan hakim mengenai
pembelaan terpaksa pada perbuatan Riska menggunakan syarat-syarat pembelaan terpaksa
menurut teori Van Hamel:
1. Dilakukan terhadap suatu serangan atau ancaman serangan yang ditujukan pada tiga
kepentingan hukum, yakni kepentingan badan, kehormatan kesusilaan, atau harta benda
milik sendiri atau orang lain.
1
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, hlm. 488
bahaya dari ancaman tersebut. Oleh karena itu, syarat pertama pembelaan terpaksa mengenai
ancaman serangan yang ditujukan pada kepentingan hukum badan telah terpenuhi.
2. Dilakukan untuk mengatasi adanya serangan atau ancaman serangan seketika yang bersifat
melawan hukum
Pada syarat pembelaan terpaksa yang kedua ini, terdapat dua ketentuan yang harus
dipenuhi yaitu ancaman serangan atau serangan seketika dan bersifat melawan hukum. Syarat
ini dapat dikatakan terpenuhi jika kedua ketentuannya dipenuhi. Meskipun demikian, masing-
masing ketentuan tetap harus dipertimbangkan secara tepat pembahasannya
Ketentuan pertama mengenai serangan seketika jika diinterpretasikan dalam kasus a quo
adalah, bahwa Terdakwa menerima pukulan dari korban secara berulang-ulang sampai
Terdakwa terjatuh. Menurut Remmelink, ketika seorang pembunuh mendatangi seseorang
dengan pisau teracung maka ancaman terhadap kepentingan badannya tidak lagi sekedar
mengacam secara langsung, tetapi jika seseorang tersebut tidak melarikan diri atau membela
dirinya, serangan terhadap nyawanya akan menjadi nyata.
Pembelaan terpaksa terhadap ancaman serangan seketika juga dibenarkan ketika antara
pembelaan yang dilakukan dengan ancaman serangan yang terjadi dilakukan dalam sekejap
atau tanpa ada jeda waktu. Pada kasus a quo, Riska sempat membalas memukul kearah wajah
korban sebanyak sekali sebagai refleks dari pemukulan berkali-kali oleh korban. Bahwa saat
sebelum tertusuknya si korban, Riska mendapat ancaman dari korban dengan kata-kata “loe
mati di tangan gua loeh”.
Selanjutnya, ketentuan kedua mengenai suatu serangan atau ancaman serangan yang
bersifat melawan hukum. Mengenai ketentuan ini, hal ini merujuk kepada pendapat Van Hamel,
orang yang mendapat serangan itu mengalami suatu penderitaan atau dapat mengalami suatu
penderitaan, padahal menurut hukum orang tersebut tidak berhak mendapatkan penderitaan
semacam itu.
Pada perkara ini, Terdakwa telah dipukul oleh korban beberapa kali di bagian wajah hal
ini menyebabkan terjatuhnya terdakwa dan korban berinisiatif untuk mengambil pisau didapur
dan mengancam akan membunuh Terdakwa, hal ini tentunya merupakan serangan yang
bersifat melawan hukum, yaitu mengancam nyawa korban.
Pada syarat ini, maksud dari perbuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan
yang mengancam adalah cara yang digunakan dalam melakukan pembelaan terpaksa,
termasuk alat yang dipakai untuk membela haruslah sebanding dengan serangan atau ancaman
serangan yang terjadi.
Tujuan Riska dalam melakukan perbuatannya adalah untuk melindungi dirinya dari
ancaman yang dilakukan oleh korban. Cara yang dilakukan oleh Riska untuk mencapai tujuan
tersebut adalah dengan merebut pisau dari tangan korban yang berakibat tertusuknya dada
korban. Cara Riska melanggar kepentingan badan dari korban untuk melindungi kepentingan
badannya sendiri, hal tersebut memenuhi asas proporsional. Jadi pada syarat terakhir
pembelaan terpaksa ini adalah terpenuhi.
2
Utrecht, E. Hukum Pidana I, hlm. 370-371