Anda di halaman 1dari 20

TATALAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI

PADA OPERASI DI DAERAH LEHER

Oleh:
Ida Ayu Shinta Nadia Utami
dr. Ida Bagus Gde Sujana,SpAn.M.Si

BAGIAN/SMF ILMU ANESTESIA DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/
RSUP SANGLAH
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2
1. BATASAN 2
2. MASALAH ANESTESI DAN REANIMASI 2
3. PENATALAKSANAAN 2
4. PENATALAKSANAAN TIROID 15
5. HUBUNGAN BETA BLOKER DENGAN ANESTESI 16
BAB III PENUTUP 17
DAFTAR PUSTAKA 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Leher merupakan bagian tubuh yang terletak antara kepala dan dada,
tempat pembuluh darah besar, saraf dan jalan nafas atau trakea berada. Operasi
pada daerah leher meliputi: operasi tumor, tiroidektomi, adenektomi,
otolaringologi, trakeostomi, laminektomi, laringektomi, yang dapat menimbulkan
berbagai masalah maupun komplikasi. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan
ketrampilan yang memadai untuk menghindari komplikasi yang mungkin dapat
terjadi. Menurut penelitian Wong dkk pada tahun 2016 menyebutkan bahwa
komplikasi yang terjadi pada jalan nafas berkisar 39% menyebabkan kerusakan
otak, sebagian besar terjadi saat pembedahan pada leher akibat kurang mampunya
untuk mempertahankan jalan nafas pasien, dan kasus yang berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas berkisar 60%. Gangguan pertukaran gas, bahkan hanya
beberapa menit dapat menyebabkan gangguan pada otak, seperti kerusakan atau
kematian. Faktor-faktor kesulitan tercapainya jalan nafas yang maksimal,
tergantung dari faktor anatomi saluran nafas individu, dan identifikasi pasien
dengan kesulitan jalan nafas adalah penting dalam manajemen perencanaan
anestesi sehingga intubasi endotrakeal, dan tekanan ventilasi positif yang dapat
dicapai dengan aman. Beberapa kriteria klinis yang dapat dinilai secara rutin pada
pasien dengan operasi di daerah leher sebelum anestesi, termasuk evaluasi
membuka mulut, klasifikasi mallampati, gerakan kepala atau leher, jarak
tiromental, menghitung indeks massa tubuh, dan riwayat kesulitan intubasi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi kelenjar tiroid, dan
kelenjar limpa yang mengalami pembesaran, deseksi leher radikal, dan operasi
laringeoktomi. Manajemen pada pasien dengan pembedahan kepala dan leher
berkaitan erat dengan meningkatnya angka morbiditas, dan mortalitas sehingga
antisipasi terjadinya sumbatan jalan nafas merupakan hal yang penting.
Pembedahan pada kepala dan leher merupakan pembedahan berisiko tinggi yang
dapat menyebabkan kerusakan otak, dan berakhir meninggal. Kesulitan intubasi
berhubungan dengan peningkatan morbiditas, dan komplikasi pembedahan.
Prosedur manajemen pada jalan nafas, pipa endotrakeal tidak lebih dari 6mm
untuk mengurangi edema pada jalan nafas pasca bedah. Intubasi melalui
endotrakeal dapat dijadikan sebagai pilihan alternatif.1
2.2.Masalah anestesi dan reanimasi2
1. Ancaman sumbatan jalan nafas.
2. Kemungkinan sulit intubasi
3. Ancaman refleks vagal.
4. Perdarahan luka operasi.
5. Operasi berlangsung lama.
6. Kemungkinan terjadi “badai tiroid” pada tirotoksikosis.
7. Kelumpuhan pita suara pada operasi kelenjar tiroid.
8. Trakeomalase bisa terjadi pada keganasan kelenjar tiroid.
2.3.Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
Penatalaksaan pada anestesi dan reanimasi dapat dilakukan dengan evaluasi,
yaitu:2,3
2.3.1. Evaluasi praoperatif
Evaluasi terlebih dahulu status presen termasuk riwayat medis sebelum
melakukan pembedahan, dan pemeriksaan generalis dengan pemantauan khusus
untuk gangguan pada jalan nafas sebelum dilakukan rencana anestesi pada operasi
di daerah leher. Beberapa evaluasi praoperatif yang dapat dilakukan, meliputi:

2
3

1. Penilaian status presen, yaitu penilaian kesadaran, frekuensi nafas, tekanan


darah, nadi, suhu tubuh, berat, dan tinggi badan untuk menilai status
gizi/indeks massa tubuh.
2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik, dan penunjang yang
lain sesuai dengan indikasi, meliputi pemeriksaan status:
2.1.Pemeriksaan fisik
1) Psikis: melihat dari suasana hati pasien, seperti gelisah, takut,
atau kesakitan.
2) Saraf (otak, medulla spinalis, dan saraf tepi): kehilangan
kesadaran, kejang, paralisis, tremor atau gerakan involunter
lainnya.
3) Kardiovaskuler: evaluasi apakah terdapat gangguan pada
jantung, seperti murmur jantung, nyeri dada atau rasa tidak
nyaman, palpitasi, dispnea, ortopnea, nocturnal paroksimal,
edema, riwayat hasil pemeriksaan jantung elektrokardiografi.
4) Respirasi: batuk, dahak (warna, kuantitas), hemoptisis, dispnea,
mengi, pleuritis, riwayat melakukan X-Ray. Evaluasi gangguan
suara seperti suara serak, stridor, dan hemoptisis. Masalah
umum pada laring dan faring, seperti sakit tenggorokan, adanya
benda asing, tidur apnea, suara stridor. Pemeriksaan faring, dan
laring dapat dilakukan dengan menggunakan endoskopi. Pada
leher dilakukan pemeriksaan fisik dengan melihat apakah
ditemukan nodul tiroid, massa, kekakuan pada leher, dan
lakukan evaluasi struktur anatomi permukaan leher yang
normal, seperti arteri karotis, kelenjar tiroid, kelenjar saliva,
struktur laring. Lakukan juga evaluasi khusus terhadap jalan
nafas, apakah anatomi saluran nafas abnormal, struktur jalan
nafas terdistorsi, aspirasi benda asing pada tubuh, trauma pada
saluran aerodigestif, papillomas, trakea stenosis, tumor, dan
disfungsi pita suara.
5) Hemodinamik: tanda-tanda vital.
4

6) Penyakit darah: anemia, mudah memar atau perdarahan, dan


memiliki riwayat transfusi darah sebelumnya.
7) Kulit: ruam, benjolan, luka, gatal-gatal, perubahan warna,
perubahan rambut atau kuku.
8) Gastrointestinal: dapat melakukan evaluasi dengan melihat
apakah kesulitan menelan, nyeri ulu hati, nafsu makan, mual,
buang air besar (warna dan ukuran tinja), perubahan kebiasaan
buang air besar, perdarahan rektum atau tinja berwarna hitam,
wasir, sembelit, diare, sakit perut, intoleransi makanan,
penyakit kuning, hati atau masalah kandung empedu.
9) Hepato-bilier
10) Urogenital, dan saluran kencing: frekuensi buang air kecil,
poliuria, nokturia, urgensi, rasa terbakar atau nyeri saat buang
air kecil, hematuria, infeksi saluran kencing, batu ginjal, dan
inkontinensia. Genital pada laki-laki: hernia, keluarnya cairan
atau luka pada penis, nyeri testis atau massa, riwayat penyakit
menular seksual, riwayat perawatan sebelumnya, kebiasaan
seksual, dan apakah terpapar infeksi HIV. Sedangkan genital
pada perempuan dapat mengevaluasi dengan melihat usia saat
haid pertama (keteraturan, frekuensi, dan durasi periode haid),
jumlah perdarahan saat haid, perdarahan antara periode atau
setelah hubungan seksual, haid terakhir, dismenore, apabila
pasien berusia tua dapat ditambah dengan melihat usia
menopause, dan gejala menopause, perdarahaan saat menuju
menopause.
11) Metabolik, dan endokrin: masalah tiroid, intoleransi panas atau
dingin, keringat berlebihan, rasa haus yang berlebihan atau
kelaparan, poliuria.
12) Muskuloskeletal: nyeri atau kaku pada otot dan sendi, artritis,
asam urat, adanya pembengkakan, kemerahan, tenderness,
kelemahan atau terbatasnya gerakan, termasuk waktu gejala
5

muncul (misalnya, gejala muncul saat pagi atau malam), durasi


gejala, dan memiliki riwayat trauma.
2.2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang ditujukan pada pasien yang dipersiapkan untuk
operasi kecil, dan sedang. Hal-hal yang dapat diperiksa, yaitu:
1) Pemeriksaan laboratorium lengkap, meliputi: fungsi hati, fungsi
ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi, dan faal
hemostasis lengkap, sesuai dengan indikasi.
2) Pemeriksaan radiologi: foto thoraks, dan yang lainnya sesuai
indikasi
3) Evaluasi kardiologi terutama untuk pasien yang berumur diatas
usia 35 tahun.
2.3.2. Persiapan praoperatif
Persiapan praoperatif baik atas dasar indikasi sesuai gambaran klinis
pasien ataupun tidak, telah menjadi sebuah bagian dari praktek klinik. Tujuan
persiapan praoperatif ini adalah melakukan identifikasi kondisi yang tidak
terduga yang mungkin melakukan terapi sebelum operasi atau perubahan
dalam penatalaksanaan operasi.2,3
1. Persiapan rutin
Menurut checklist dari World Health Organization (WHO) menyebutkan
bahwa semua staf yang akan melakukan pembedahan dianjurkan untuk
berpartisipasi dalam memastikan bahwa tim bekerja secara efektif, dan
pasien benar mendapatkan prosedur pembedahan yang tepat yang pasien
telah setujui sebelumnya. Selain itu, untuk masalah jalan nafas pada pasien
perlu diantisipasi sebelumnya, dan memastikan peralatan yang diperlukan
dalam prosedur pembedahan tersedia.4 Sedangkan untuk tempat persiapan
pra anestesia dan reanimasi dapat dilakukan, diantaranya:
1.1.Persiapan pada pasien rawat jalan di poliklinik dan di rumah:
1.1.1. Persiapan psikis: berikan penjelasan pada pasien, dan
keluarganya supaya mengerti perihal rencana anestesi dan
pembedahan yang direncanakan sehingga dengan demikian
diharapkan pasien dan keluarganya bias tenang.
6

1.1.2. Persiapan fisik


Diinformasikan agar pasien melakukan:
a) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok,
minuman keras, dan obat-obatan tertentu minimal dua
minggu sebelum anestesia atau minimal dimulai sejak
evaluasi pertama kali di poliklinik.
b) Melepas segala macam aksesoris.
c) Tidak menggunakan kosmetik misalnya cat kuku atau
cat bibir.
d) Lakukan puasa sebelum pembedahan dengan aturan
sebagai berikut:
Usia Makanan padat Cairan jernih
susu formula/ASI tanpa partikel
< 6 bulan 4 jam 2 jam
6-36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam
1.1.3. Diharuskan agar pasien mengajak ikut serta salah satu
keluarganya atau orang tuanya atau teman dekatnya untuk
menemaninya/menunggunya selama mengikuti rangkaian
prosedur pembedahan, dan pada saat kembali pulan untuk
menjaga kemungkinan penyulit yang tidak diinginkannya.
1.1.4. Membuat surat persetujuan tindakan medic
1.1.5. Dibuat setelah pasien tiba di ruang penerimaan pasien rawat
jalan.
1.1.6. Pada pasien dewasa bisa dibuat sendiri dengan menanda
tangani lembaran formulir yang sudah tersedia pada bendel
catatan medik dan disaksikan oleh petugas yang ditunjuk
untuk itu.
1.1.7. Pada pasien bayi, anak-anak dan orang tua dibuat oleh salah
satu keluarganya yang menanggung dan juga disaksikan
oleh petugas yang ditunjuk.
7

1.1.8. Mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan


pakaian khusus kamar operasi.
1.2.Persiapan di ruang perawatan
1.2.1. Persiapan psikis: berikan penjelasan pada pasien dan
keluarganya agar mengerti perihal rencana anestesi dan
pembedahan yang direncanakan sehingga dengan demikian
diharapkan pasien dan keluarganya bisa tenang.
Berikan obat sedatif pada pasien yang menderita stres yang
berlebihan atau pada pasien tidak kooperatif, misalnya pada
pasien pediatrik.
1.2.2. Pemberian obat sedatif dapat dilakukan secara:
a) Oral, pada malam hari menjelang tidur, dan pada pagi
hari, 60-90 menit sebelum ke IBS.
b) Rektal, khusus untuk pasien pediatrik pada pagi hari
sebelum ke IBS.
1.2.3. Persiapan fisik
a. Hentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok, minuman
keras, dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu
sebelum anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi
pertama kali di poliklinik.
b. Tidak menggunakan cat kuku atau cat bibir.
c. Program puasa untuk pengosongan lambung, dapat
dilakukan sesuai dengan aturan tersebut diatas.
d. Pasien dimandikan pagi hari menjelang ke kamar bedah,
pakaian ganti dengan pakaian khusus kamar bedah, dan
kalau perlu pasien diisi label.
1.2.4. Persiapan di ruang persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS)
Pasien diterima oleh petugas khusus kamar persiapan.
1) Di kamar persiapan dilakukan:
1.3.Evaluasi ulang status presen, dan catatan medik pasien serta
perlengkapan lainnya.
1.4.Konsultasi di tempat apabila diperlukan.
8

1.5.Ganti pakaian dengan pakaian khusus kamar operasi.


1.6.Memberi premedikasi.
1.7.Memasang infus.
2) Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan pemberian obat-obatan
pendahuluan dalam rangka pelaksanaan anestesia, dengan
tujuan:
a. Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu:
menghilangkan rasa cemas, memberi ketenangan, membuat
amnesia, bebas nyeri, dan mencegah mual/muntah.
b. Memudahkan dan memperlancar induksi.
c. Mengurangi dosis obat anestesia.
d. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan.
e. Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar.
2. Persiapan khusus
Pasien yang menjalani pembedahan pada daerah leher memiliki masalah
lain yang dapat menyebabkan tersumbatnya jalan nafas, misal ukuran dan
lokasi tumor. Pasien dengan tumor faringolaringeal sering terdapat residu sisa-
sisa makanan pada laringoskopi yang dapat mengganggu visual. Pada
umumnya pasien dengan kanker pada daerah kepala dan leher dapat
menyebabkan kontraktur yang dihasilkan dari pengobatan sebelumnya,
terdapat kecacatan eksternal yang jelas dan memiliki gerakan yang terbatas,
seperti ekstensi leher terbatas. Kekakuan, dan distorsi pada jaringan
orofaringeal dapat mengganggu ventilasi sungkup muka. Pasien dengan
pembedahan pada daerah leher harus memperhatikan jalan nafas dengan
melakukan pemeriksaan jalan nafas diantaranya penilaian gerakan leher di
semua bagian (terutama antlanto-aksial fleksi, dan ekstensi), estimasi jarak
tiromental, dan tingkat mallampati.4 Klasifikasi tampakan faring pada saat
mulut terbuka maksimal, dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati
dibagi menjadi 4 gradasi, diantaranya:
a. Mallampati gradasi I : tampak adanya pilar faring, uvula, dan palatum
molle.
9

b. Mallampati gradasi II : tampak adanya uvula, dan palatum molle.


c. Mallampati gradasi III: hanya tampak palatum molle.
d. Mallampati gradasi IV: tidak tampak adanya pilar faring, uvula, dan
palatum molle.
3. Premedikasi
Premedikasi merupakan tindakan awal anestesi dengan pemberian obat
sebelum induksi anestesi untuk menghilangkan kecemasan, menghasilkan efek
sedasi, dan memfasilitasi pemberian anestesi terhadap pasien disebut
premedikasi. Tujuan dari premedikasi pada dasarnya terdiri dari dua, yaitu:3,5
a) Mempengaruhi pasien, yaitu dengan menimbulkan rasa nyaman,
menghilangkan rasa nyeri, dan mati ingatan atau amnesia.
b) Membantu ahli anestesi, yaitu memudahkan atau memperlancar proses
induksi, mengurangi jumlah obat anestesi, mencegah efek samping dari
obat anestesi umum, mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, menekan
refleks vagus, mencegah muntah, dan aspirasi.
Premedikasi dapat diberikan dengan menggunakan satu atau kombinasi
dari dua obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan dari
premedikasi itu sendiri. Waktu adalah yang paling penting dalam pemberian
premedikasi dimana waktu yang tepat dalam pemberian premedikasi akan
menghasilkan manfaat yang besar. Secara umum waktu pemberian secara oral
adalah 60-90 menit sebelum pembedahan, bila diberikan secara intramuskular
dapat diberikan 30-60 menit sebelum induksi anestesi, dan jika diberikan
secara intravena dapat diberikan 5-10 menit sebelum pembedahan.3,5
Pada pembedahan tiroid, pasien dapat diberikan short-acting opioid
sebagai analgesik, seperti fentanil, remifentanil, dan sufentanil dapat
digunakan, namun ketersediaan obat ini sangat terbatas, kecuali fentanil.
Teknik anestesi menggunakan opioid terutama dapat menurunkan minimum
alveolar concentration (MAC) secara signifikan memberikan respon tumpul
pada trakea, dan pipa endotrakeal (PET). Opioid diberikan dengan dosis
tinggi, yaitu fentanil loading dose 3-10 mcg/kg iv, sunfentanil loading dose
0,5-1,5 mcg/kg iv, diikuti dengan bolus intermiten atau infus secara kontiyu.
Untuk prosedur yang memberikan stimulasi tinggi, tetapi dengan
10

ketidaknyamanan yang minimal pasca operasi, seperti operasi laser pada jalan
nafas, opioid short-acting lebih direkomendasikan. Remifentanil dengan
loading dose 0,5-1,0 mcg/kg BB secara intravena, infus 0,1-0,3 mcg/kg
BB/menit melalui intravena.5 Pada pembedahan tiroid, penggunaan rutin
glikopirolat, dan atropin dapat diberikan sebagai bagian dari premedikasi
karena dapat menghambat sekresi mukosa jalan nafas sehingga menyebabkan
sulit menelan, dan kulit terasa kering.6
Pemeliharaan pada pasien dengan hipotensi terkendali sedang (60-70
mmHg) bertujuan untuk menjaga kondisi pasien tetap optimal saat operasi.
Berbagai pendekatan farmakologis telah berhasil digunakan untuk
pemeliharaan pada pasien hipotensi. Penggunaan remifentanil sangat efektif
pada pasien hipotensi, dan berguna baik untuk teknik inhalasi, dan total
intravena anestesi (TIVA). TIVA, dan penggunaan propofol sebagai induksi
anestesi telah dikenal secara luas untuk prosedur pembedahan tiroid. Hal itu
menunjukkan karakteristik klinis yang sangat baik, dan tindakan farmakologis
seperti sebagai anti-muntah, onset, dan pemulihan yang cepat. Propofol
sebagai obat pilihan induksi anestesi dalam dosis 2 mg/kg BB.5
Pada pasien dengan kesulitan jalan nafas dapat menggunakan suksinilkolin
sebagai pilihan obat relaksasi otot, namun umumnya penggunaan vekuronium
yang paling sering digunakan untuk pembedahan karena dapat menstabilkan
fungsi kardiovaskuler. Aksi sinergis dari penggunaan opioid sebagai
analgesik, dengan kombinasi fentanil, dan propofol sebagai komponen TIVA.6
4. Pilihan anestesi
Pertimbangan anestesi yang diberikan pada pasien yang akan menjalani
pembedahan, dapat memperhatikan terlebih dahulu beberapa faktor ini, yakni
umur, jenis kelamin, status fisik, dan jenis operasi. Berdasarkan dari faktor
umur, pilihan anestesi pada pasien bayi, dan anak dapat diberikan anestesi
umum karena golongan pasien ini cenderung kurang kooperatif. Sedangkan
untuk orang dewasa dapat dilakukan anestesi umum atau analgesia regional,
tergantung dari jenis operasi yang akan dilakukan. Perlu diperhatikan juga dari
faktor jenis kelamin, faktor emosional, dan rasa malu yang lebih dominan
terlihat pada pasien perempuan merupakan pendukung pilihan anestesi umum,
11

sebaliknya pada pasien laki-laki dapat diberikan anestesi umum atau analgesia
regional. Apabila dilakukan anestesi regional pada pasien perempuan,
dianjurkan untuk memberikan tambahan obat sedatif terlebih dahulu. Untuk
faktor dari status fisik, perlu diperhatikan penyakit sistemik yang diderita
pasien, komplikasi dari penyakit primer, dan terapi yang sedang dijalaninya.
Hal ini sangat penting, mengingat adanya interaksi antara penyakit
sistemik/pengobatan yang sedang dijalani dengan tindakan/obat anestesi yang
digunakan. Apabila dilihat dari jenis operasi, terdapat 4 masalah yang perlu
dipertimbangkan untuk menentukan pilihan anestesi, yakni lokasi, posisi,
manipulasi, dan durasi operasi.3 Pada umumnya, anestesi intravena total
digunakan terutama untuk prosedur pembedahan. Anestesi intravena total
dapat meningkatkan stabilitas hemodinamik dengan waktu pemulihan yang
cepat, dan penurunan postoperative nausea and vomiting (PONV). Prosedur
anestesi yang paling aman digunakan pada operasi daerah leher yaitu anestesi
umum dengan intubasi endotrakeal, dan preoksigenasi 100% dapat
meningkatkan fungsional volume residu.6
5. Pemantauan selama anestesi
Tenaga kesehatan yang berkualifikasi harus berada di dalam kamar bedah
selama pemberin anestesia/analgesia bertujuan untuk memantau pasien, dan
memberikan antisipasi segara terhadap perubahan abnormal yang terjadi.
Beberapa pemantauan yang dapat dilakukan, yaitu:3,5
5.1.Jalan nafas
Jalan nafas selama anestesia baik dengan teknik sungkup atau intubasi
trakea harus dipantau secara ketat, dan kontinyu untuk mempertahankan
kebutuhan jalan nafas. Sungkup muka (face mask) mengantar udara/gas
anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan nafas pasien.
Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk
bernafas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor, dan gas masuk
semua ke trakea lewat mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat
beragam tergantung usia, yaitu:
a. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir.
b. Ukuran 02, 01, 1 untuk anak kecil.
12

c. Ukuran 2, 3 untuk anak besar.


d. Ukuran 4, 5 untuk dewasa.
Pada pola nafas spontan, pemantauan dilakukan dengan melihat gejala
atau tanda, seperti terdengar suara jalan nafas patologis, gerakan kantong
reservoir terhenti atau menurun, tampak gerakan dada paradoksal. Pada
nafas kendali gejala atau tanda yang dapat dilihat, yaitu tekanan inflasi
terasa berat, tekanan positif inspirasi meningkat. General Endo Tracheal
Anesthesia (GETA) yang paling banyak digunakan dalam tindakan
pembedahan. Penampang melintang trakea bayi, anak kecil dibawah 5
tahun hampir bulat, digunakan tanpa kaf, sedangkan dewasa seperti huruf
D menggunakan dengan kaf supaya tidak bocor. Intubasi trakea
merupakan tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira pertengahan trakea
antara pita suara, dan bifurkasio trakea. Indikasi dari intubasi trakea,
diantaranya menjaga patensi jalan nafas, mempermudah ventilasi positif,
oksigenasi, dan pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Perlunya
mengevaluasi tingkat kesulitan intubasi dengan melakukan pemeriksaan L-
E-M-O-N, yaitu L= Look, E= Evaluation, M= Mallampati, O=
Obstruction, N= Neck mobility. Sedangkan penggunaan laryngeal mask
airway (LMA) juga sering untuk pembedahan, selain itu penggunaan
LMA tidak memerlukan neuromuscular blocker (NMB), dan memfasilitasi
ventilasi spontan kembali. Teknik menggunakan teknik LMA dapat
meminimalkan risiko aspirasi atau insulfasi lambung, terutama jika
tekanan ventilasi positif telah direncanakan. Ada atau tidak adanya
insuflasi lambung harus dicatat dalam catatan anestesi setelah melakukan
auskultasi pada daerah epigastrium. Tahap yang lebih dalam dari anestesi
biasanya diperlukan sampai akhir prosedur untuk menumpulkan respon
laringo-trakea.
5.2.Oksigenasi
Oksigenasi yang dilakukan bertujuan untuk memastikan kadar zat di dalam
udara/gas inspirasi, dan di dalam darah. Hal ini dilakukan terutama pada
anestesia umum inhalasi dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni:
13

1. Memeriksa kadar oksigen gas inspirasi, dilakukan dengan


mempergunakan alat pulse oxymeter yang mempunyai alarm batas
minimum, dan maksimum.
2. Oksigenasi darah, diperiksa secara klinis dengan melihat warna darah
luka operasi, dan permukaan mukosa, secara kualitatif dengan alat
oksimeter denyut, dan pemeriksaan analisis gas darah.
5.3.Ventilasi
Ventilasi dapat dilakukan dengan diagnostik fisik yaitu dengan mengawasi
gerakan naik turunnya dada, kembang kempisnya kantong reservoir, atau
dengarkan suara nafas menggunakan auskultasi. Dapat juga dilakukan
dengan memantau end tidal CO2 terutama pada operasi lama, misalnya
bedah kraniotomi. Pemantauan menggunakan sistem alarm pada alat bantu
nafas mekanik yang mampu mengeluarkan sinyal/tanda yang terdengar
jika nilai ambang tekanan dilampaui. Kesulitan ventilasi dapat dilakukan
dengan melakukan evaluasi O-B-E-S-E, yaitu O= Overweight, B=
Bearded, E= Eldery, S= Stridor, E= Edentulous.
5.4.Sirkulasi
Pemantauan fungsi sirkulasi dapat dilakukan dengan mengukur tekanan
darah secara invasif, EKG, dan disertai dengan oksimeter denyut.
Pemantauan ini dilakukan pada pasien berisiko tinggi pada anestesia atau
bedah ekstensif, dan dilakukan secara kontinyu selama tindakan
berlangsung. Yang kedua pemantauan dapat dilakukan melihat dari
produksi urin, ditampung, dan diukur volumenya setiap jam terutama pada
operasi besar, dan lama.
5.5.Suhu tubuh
Apabila dicurigai atau diperkirakan akan atau ada terjadi perubahan suhu
tubuh, maka suhu harus diukur secara kontinyu pada daerah sentral tubuh
melalui esophagus atau rectum dengan termometer khusus yang
dihubungkan dengan alat pantau yang mampu menayangkan secara
kontinyu.
14

6. Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi


Terapi cairan, dan elektrolit adalah salah satu terapi yang sangat penting,
dan dapat menentukan keberhasilan pada penanganan pasien kritis. Tindakan
ini merupakan langkah life saving pada pasien yang kehilangan banyak cairan,
seperti dehidrasi karena syok. Terapi cairan bertujuan untuk mengganti cairan
yang hilang, mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, dan
mengoreksi dehidrasi.3,4
Pengukuran hemoglobin intra-operatif, dan tekanan vena sentral dapat
membantu dalam memantau transfusi darah. Pada perdarahan yang terjadi
<20% dan perkiraan volume darah pasien berikan cairan pengganti kristaloid
atau koloid, tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan volume
darah pasien, berikan transfusi darah.
7. Pemulihan anestesi3
7.1.Segera setelah selesai operasi, hentikan aliran obat anestesi, berikan
oksigen 100%.
7.2.Berikan obat penawar pelumpuh otot.
7.3.Bersihkan jalan nafas.
7.4.Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan adekuat, serta jalan
nafas sudah bersih.
8. Pasca bedah3
8.1. Dirawat di ruang pulih menunggu pemulihan anestesia.
8.2. Awasi kemungkinan terjadi perdarahan luka operasi dan sumbatan jalan
nafas akibat perdarahan, kelumpuhan pita suara dan malase pada trakea.
8.3. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria pemulihan.
3. Penatalaksanaan Tiroid
1. Penatalaksanaan Hipotiroid7
Secara umum, pasien dengan hipotiroidisme dapat diberikan levotiroksin
sodium atau l-tiroksin sebagai pengganti obat pilihan pertama, dengan
diterapkan dosis 0,25 mg setiap hari, dan dititrasi sesuai dengan respon pasien
pada interval perbulan. Dosis awal yang tepat berkisar 1,6 mcg/ kg BB. Dosis
ekstra diperlukan pada wanita hamil atau saat dikombinasikan dengan
rifampisin, dan antikonvulsan. Dokter harus melakukan pemantauan karena
15

kemungkinan menyebabkan hipertiroidisme iatrogenik dengan terapi yang


tidak terkendali. Hormon T3 dapat digunakan dalam kasus pasien dengan
defisiensi hormon T3, dan ada pilihan terapi untuk menggabungkan kedua
terapi untuk hormon T4, dan T3 ketika kedua hormon tersebut sangat kurang
dalam tubuh. Seperti yang disebutkan sebelumnya, l-tiroksin menjadi agen
disukai karena efek yang tidak diinginkan dari hormon T3, dan pemberian
pada pasien berusia tua (terutama dengan komplikasi jantung). Orang yang
memiliki angina pektoris yang merupakan penyakit jantung iskemik, harus
diberikan l-tiroksin di pagi hari; setidaknya 30 menit atau lebih sebelum
sarapan; dan setidaknya satu jam sebelum atau setelah mendapatkan suplemen
zat besi, antasida atau dosis hormon sukralfat. Tes fungsi tiroid dilakukan
pada enam minggu setelah pengobatan dimulai. Efektivitas terapi diukur
dengan alat tes sensitifitas TSH, dimana TSH dengan nilai tinggi
menunjukkan pengobatan yang tidak memadai.
2. Penatalaksanaan Hipertiroid7
Pengobatan untuk hipertiroidisme meliputi propiltiourasil (300-600
mg/hari total dengan interval jam) atau methimazole (30-60 mg/ hari,
diberikan dalam dua dosis), yang dimana thioamides yang menghambat
biosintesis hormon. Dosis awal untuk propiltiourasil adalah 100 mg setiap
enam sampai delapan jam. Methimazole lebih efektif daripada propiltiourasil,
tetapi memiliki efek samping yang lebih besar. Tujuan utama dari terapi ini
adalah untuk mengurangi hormon yang bersirkulasi.
4. Hubungan Beta Bloker dengan Anestesi
Pengobatan pasien dengan pemberian B-bloker secara signifikan dapat
menjaga keseimbangan hemodinamik, menurunkan denyut jantung, dan
tekanan darah yang akan berespon baik pada saat intubasi trakea, dan
pembedahan. Saat B-bloker diberikan intraoperatif, B-bloker adrenergik,
seperti penggunaan esmolol, mengurangi kebutuhan anestesi, dan mengurangi
penggunaan opioid perioperatif. Pengurangan pengunaan opioid berdampak
baik untuk pasien selama anestesi berlangsung karena efek samping dari
penggunaan opioid dapat menyebabkan depresi respirasi, mual, dan muntah.
Selain itu, penggunaan esmolol dapat menurunkan mual, dan muntah pasca
16

operasi. Untuk mengontrol tekanan darah, dan denyut jantung selama


perioperatif, B-bloker liposoluble tidak boleh digunakan, seperti metoprolol,
pindolol, dan labetalol karena sebagian besar di metabolisme di hati.
Sedangkan lebih dipilih penggunaan dengan beta blocker hidrosoluble, seperti
atenolol dan nadolol.8
BAB III

PENUTUP

3.1.Simpulan

Leher merupakan bagian tubuh yang terletak antara kepala dan dada, tempat
pembuluh darah besar, saraf dan jalan nafas atau trakea berada. Operasi pada
daerah leher meliputi: operasi tumor, tiroidektomi, adenektomi, otolaringologi,
trakeostomi, laminektomi, laringektomi, yang dapat menimbulkan berbagai
masalah maupun komplikasi. Kriteria klinis yang dapat dinilai secara rutin pada
pasien dengan operasi di daerah leher sebelum anestesi, termasuk evaluasi
membuka mulut, klasifikasi mallampati, gerakan kepala atau leher, jarak
tiromental, menghitung indeks massa tubuh, dan riwayat kesulitan intubasi.

3.2.Saran
Manajemen pada pasien dengan pembedahan kepala dan leher berkaitan erat
dengan meningkatnya angka morbiditas, dan mortalitas sehingga antisipasi
terjadinya sumbatan jalan nafas merupakan hal yang penting. Untuk itu diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan yang memadai bagi tenaga medis untuk dapat
menghindari komplikasi yang mungkin dapat terjadi.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Wong P, Iqbal R, Light K, Williams E, Hayward J. Head and neck surgery in


a tertiary centre: Predictors of difficult airway and anaesthetic management.
Proceedings of Singapore Healthcare. 2016;25(1):19-26.
2. Bickley LS, Szilagyi PG. 2013. Bates Guide to Physical Examination and
History Taking. Edisi 11. Aptara, Inc.
3. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. PT
Indeks; 2017.
4. Charters P, Ahmad I, Patel A, Russell S. Anaesthesia for head and neck
surgery: United Kingdom National Multidisciplinary Guidelines. The Journal
of Laryngology & Otology. 2016;130(S2):S23-S27.
5. Jaffe RA, Samuel, Stanley L, Schmiesing, Clifford A, Golianu et al.
Anesthesiologist’s Manual of Surgical Procedures. Lippincott Williams &
Wilkins; 2009.
6. Bajwa S, Sehgal V. Anesthesia and thyroid surgery: The never ending
challenges. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism. 2013;17(2):228.
7. Pinto A, Glick M. Management of patients with thyroid disease. JADA.
2002;133:849-858.
8. Harless M, Depp C, Collins S, Hewer I. Role of Esmolol in Perioperative
Analgesia and Anesthesia: A Literature Review. AANA Journal.
2015;83(3):167-177.

18

Anda mungkin juga menyukai