Anda di halaman 1dari 280

Taubat dari Zina dan Lalai Shalat Jumat

Kamis, 27/05/2010 11:28 WIB | email | print | share


Assalamuallaikum wr.wb

Segala Puji Bagi Allah Tuhan Pencipta Alam Semesta

Tiada satupun dzat mulia yang menyamainya...

Saya seorang remaja berumur 21th, saya pernah melakukan hubungan diluar batas dengan
seorang gadis... (zina) tetapi saya akan menikahinya dan bertanggungjawab setelah saya
mendapatkan pekerjaan dan saya jarang sekali shalat jum'at apakah Allah akan mengampuni dosa
saya?? bagaimana cara menjalani taubat.. lalu niat untuk bertaubat bagaimana dan syarat2nya??
apakah salah zina akan tetapi suatu saat bila waktu sudah tiba menikahi gadis tersebut untuk
bertanggung jawab atas segala dosa yang saya lakukan?saya sangat ingin sekali bertaubat saya
takut Allah tidak akan mengampuni dosa saya T_T terima kasih sebelumnya

Waallaikumsalam wr.wb

ven
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Bertaubat dari Zina


Sesungguhnya diantara kemurahan Allah swt terhadap hamba-hamba-Nya adalah menerima
taubat setiap hamba-Nya yang berdosa dan mau kembali kepada-Nya, sebagaimana ditegaskan
didalam firman-Nya :

ِ ‫السيِّئ‬ ِِ ِ ِ
‫ات َو َي ْعلَ ُم َما َت ْف َعلُو َن‬َ َّ ‫َو ُه َو الَّذي َي ْقبَ ُل الت َّْوبَةَ َع ْن عبَاده َو َي ْع ُفو َع ِن‬

Artinya : “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-
kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. Asy Syuraa : 25)

Meski seorang hamba telah melakukan dosa terhadap-Nya dengan melanggar perintah-perintah-
Nya atau melakukan larangan-larangan-Nya, melupakan-Nya dan mengabaikan rambu-rambu-Nya
kemudian orang itu mau bertaubat atasnya maka sesungguhnya kegembiraan Allah dengan
taubatnya melebihi kegembiraan salah seorang yang kehilangan ontanya lalu menemukannya
kembali.
Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Mu'adz Al 'Anbari telah menceritakan kepada
kami bapakku telah menceritakan kepada kami Abu Yunus dari Simak dia berkata; An Nu'man bin
Basyir berkhuthbah, maka dia berkata; Sungguh kegembiraan Allah karena taubatnya hamba-Nya
melebihi kegembiraan salah seorang dari kalian yang pada suatu ketika dia membawa perbekalan
dan minumannya di atas unta lalu dia berjalan di padang pasir yang luas. kemudian dia
beristirahat sejenak dan tidur di bawah pohon. Tiba-tiba untanya lepas, dia pun mencarinya ke
perbukitan, namun dia tidak melihat sesuatu sama sekali, kemudian ia mencari lagi di perbukitan
yang lain, namun juga tidak melihatnya, ia pun naik lagi keperbukitan yang lain, tapi tetap tidak
menemukan sesuatupun. Akhirnya dia kembali ke tempat istirahatnya. Tatkala dia sedang duduk,
tiba-tiba untanya datang kepadanya seraya menyerahkan tali kekangnya ke tangannya. Maka
sungguh kegembiraan Allah dengan taubatnya seorang hambanya melebihi kegembiraan orang ini
ketika dia mendapatkan untanya kembali dalam keadaan seperti semula.” (HR. Muslim)

Karena itu dilarang bagi setiap muslim yang berdosa berputus asa dari rahmat Allah swt.
Sesungguhnya Allah tidak akan pernah bosan memberikan ampunan-Nya kepada setiap hamba-
Nya yang mau beristighfar, kembali kepada-Nya dan bertaubat atas dosanya dengan sebenar-
benar taubat sekalipun dosanya termasuk besar di sisi-Nya.

Bahkan ketika seorang hamba bertaubat dengan taubat nasuha maka tidak hanya ampunan saja
yang didapatnya akan tetapi juga akan dimasukkan kedalam surga-Nya, sebagaimana disebutkan
didalam firman-Nya :

ٍ ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا تُوبوا إِىَل اللَِّه َتوبةً نَّصوحا عسى ربُّ ُكم أَن ي َكفِّر عن ُكم سيِّئاتِ ُكم وي ْد ِخلَ ُكم جن‬
‫َّات‬ َ ْ َُ ْ َ َ ْ َ َ ُ ْ َ َ َ ً ُ َْ ُ َ َ َ َ
‫جَتْ ِري ِمن حَتْتِ َها اأْل َْن َه ُار‬

Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-
kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai."
(QS. At Tahrim : 8)

Tentunya taubat yang diinginkan Allah swt adalah taubat yang benar-benar tulus dari dalam
hatinya yang dibarengi dengan penyesalan mendalam akan dosanya itu serta bertekad untuk tidak
mengulangi lagi.

Suatu ketika Umar bin Khottob pernah berkhutbah dengan membacakan firman-Nya:
ِ ِ َّ
‫وحا‬ ُ ‫ين َآمنُوا تُوبُوا إِىَل اللَّه َت ْوبَةً ن‬
ً ‫َّص‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬

Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya)." (QS. At Tahrim : 8) –lalu Umar mengatakan,”yaitu : orang
yang melakukan dosa kemudian tidak mengulanginya lagi.”

Ats Tsaury dari Simak dari an Nu’man dari Umar berkata bahwa taubat nasuha adalah bertaubat
dari dosa kemudian tidak kembali melakukannya.”

Dengan demikian jika anda ingin mendapatkan pengampunan dari Allah atas dosa zina yang anda
lakukan maka bertaubatlah dengan taubat nasuha, dengan cara :

1. Menyesali perbuatan zina yang telah lalu.

2. Tidak melakukan perbuatan zina lagi sejak sekarang.

3. Bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi pada masa-masa yang akan datang.
4. Tidak menceritakan aib tersebut kepada orang lain.

5. Hendaklah anda segera menikahi wanita yang telah anda zinahi itu demi menghindari terjadinya
perbuatan keji itu lagi.

ِِ ِ ِ ‫الزانِيةُ اَل ي‬ ِ ِ
‫ني‬ َ ‫نك ُح َها إِاَّل َز ٍان أ َْو ُم ْش ِر ٌك َو ُحِّر َم َذل‬
َ ‫ك َعلَى الْ ُم ْؤمن‬ َ َ َّ ‫الزايِن اَل يَنك ُح إاَّل َزانيَةً أ َْو ُم ْش ِر َكةً َو‬
َّ

Artinya : “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin.” (QS. An Nuur : 3)

Hukum Meninggalkan Shalat Jum’at


Begitu juga dengan kebiasaan anda meninggalkan shalat jum’at maka ia adalah perbuatan dosa
besar jika anda termasuk kedalam orang-orang yang terkena kewajiban melaksanakan shalat
jum’at seperti : mukallaf (baligh dan berakal), merdeka bukan budak, laki-laki, orang yang mukim
(menetap) bukan sedang melakukan perjalanan (safar), tidak sedang sakit atau terkena uzur-uzur
lainnya yang tidak memungkinkan pergi melaksanakannya serta mendengar suara adzan.
Bahkan seorang yang meninggalkan shalat jum’at sebanyak tiga kali dengan sengaja tanpa ada
halangan yang dibenarkan menurut syariat maka ia termasuk kedalam orang-orang yang lalai dan
terkunci hatinya.

Sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang meninggalkan tiga kali shalat jum’at dengan mudahnya
(tanpa ada uzur) maka Allah akan kunci hatinya.” (HR. Abu Daud)

Sabdanya saw yang lain,”Sungguh janganlah orang-orang meninggalkan beberapa jum’at atau
betul-betul Allah akan mengunci hati mereka kemudian menjadikan mereka termasuk orang-orang
yang lalai.” (HR. Muslim)

Karena itu hendaklah anda juga segera bertaubat dengan taubat nasuha—seperti cara-cara diatas
—karena anda telah melalaikan sebuah kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslim lalu
tunaikanlah shalat jum’at sejak sekarang dan janganlah pernah anda meninggalkannya secara
sengaja kecuali jika anda mendapatkan uzur yang dibenarkan secara syariat.

Semoga Allah swt senantiasa mengarahkan kita kepada jalan-Nya yang lurus dan diberikan
kekuatan untuk tetap berada diatasnya hingga akhir hayat kita. Amin

Wallahu A’lam

Hukum Hadiah dari Uang


Haram
Rabu, 19/05/2010 13:21 WIB
| email | print | share
asslm... ustd. semoga tetap dalam
lindungan Allah swt... Amin... Gini ustd.
saya mau bertanya tentang gimana
hukumnya memakai atau memanfaatkan
suatu barang yang diberikan oleh orang
lain dimana semula kita tidak mengetahui
kalo barang tersebut diperoleh secara tidak
halal namun setelah kita mengambil
manfaatnya baru kita mengetahui kalo
barang tersebut didpt dgn cara tdk halal.
MIsalnya kita diberi rumah oleh teman
atau saudara kita tapi kita tdk tahu dari
mana uang tuk membangun rumah
tersebut. Setelah sekian puluh tahun kita
tempati tuk tinggal baru kita mengetahui
kalo rumah ini dibangun dari uang yang
diperoleh secara tidak halal. Gimana
perlakuannya terhadap benda/brng
tersebut kita buang atau kita kembalikan
atau bagaimana ustad....?
muba
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Muba yang dimuliakan Allah swt

Pada dasarnya setiap penerima hadiah


tidaklah dibebankan untuk mencari tahu
asal muasal hadiah yang diberikan oleh si
pemberinya kecuali apabila dirinya
meyakini bahwa hadiah itu bersumber dari
yang haram atau dicari dengan cara-cara
yang diharamkan Allah swt.

Dan tentunya tidaklah menjadi persoalan


(dibolehkan) bagi anda menerima dan
memanfaatkan pemberian rumah tersebut
selama anda meyakini kehalalannya atau
tidak mengetahui bahwa rumah itu
dibangun dengan uang yang tidak halal.

Akan tetapi ketika anda mengetahui bahwa


rumah tersebut ternyata dibangun dari
uang-uang yang haram maka ada dua
kemungkinan :

1. Seluruh pembiayaan yang digunakan


oleh si pemberi hadiah untuk membangun
rumah itu berasal dari uang-uang haram.

Jika keadaannya seperti ini maka


diharuskan bagi anda untuk
mengembalikan rumah tersebut kepada si
pemberinya selama anda mengetahui
bahwa si pemberi itu akan mengembalikan
rumah itu—mungkin setelah diuangkan—
kepada orang-orang yang harta-harta
mereka diambil olehnya dengan cara yang
tidak syar’i untuk membangun rumah
tersebut.

Jika anda mengetahui bahwa si pemberi


tidak ingin mengembalikannya kepada
orang-orang tersebut maka hendaklah
anda mengembalikannya sendiri kepada
mereka jika anda mengetahuinya dan
memiliki kesanggupan untuk menemui
mereka.
Dan jika si pemberi tidak ingin
mengembalikannya dan anda tidak
mengetahui keberadaan mereka maka
anda bisa bersedekah sejumlah uang yang
diambilnya ke tempat-tempat kebaikan
atas nama diri para pemilik harta itu.

2. Pembiayaan yang digunakan oleh si


pemberi hadiah dalam membangun rumah
tersebut tidak seluruhnya haram akan
tetapi didalamnya terdapat percampuran
antara uang-uang haram dan uang-uang
halal.

Dalam keadaan seperti ini maka


dibolehkan bagi anda menggunakan dan
memanfaatkan pemberiannya (baca :
rumah) itu dan hendaklah anda meniatkan
untuk memanfaatkan bagian yang halal
dari rumah tersebut, sebagaimana
dikatakan oleh sebagian ulama bahwa
seyogyanya orang yang ingin
memanfaatkan bagian (hadiah) dari harta
seseorang yang didalamnya terdapat
percampuran itu meniatkan untuk
memanfaatkan bagian yang halal dari
hadiah itu.

Diantara dalil-dalil yang digunakan dalam


permasalahan ini adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ali ra
bahwasanya Rasulullah saw pernah
menerima hadiah dari Kisra, Kaisar dan
juga para raja.
Wallahu A’lam

Hukum Dokter Pria Menangani


Proses Kelahiran
Rabu, 12/05/2010 16:40 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum Wr.Wb

Ustadz Sigit Yang dimuliakan Allah SWT.

Keluarga istri saya, ada yang mau


melahirkan minggu-minggi ini,menurut
dokter kemungkinan harus dilakukan
dioperasi karena kondisi fisik lemah

Pertanyaannya :
1. bagaimana hukumnya jika diantara tim
medisnya ada dokter laki laki yang ikut
dalam proses bedahnya

2.adakah do'a khusus untuk melahirkan


yang dapat diamalkan yang sesuai dngan
anjuran Rosulullah/dimudahkan melahirkan
(mohon dikirimkan)

3.Mohon do'a dari Ustadz terhadap kluarga


kami yang hendak melahirkan

Demikian disampaikan Jazakallah atas


Jawabannya

Bekasi
Gus Aa
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Gus Aa yang dimuliakan Allah swt

Dokter Lelaki Menangangi Operasi


Persalinan
Pada dasarnya seorang wanita muslimah
diharamkan menampakkan auratnya
kepada lelaki asing sebagaimana dikatakan
jumhur ulama bahwa seluruh tubuh wanita
adalah aurat terhadap seorang lelaki asing
kecuali wajah dan telapak tangan,
sebagaimana firman Allah swt :
Artinya : “Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya.” (QS. An
Nuur : 31)

Sedangkan aurat seorang wanita muslimah


terhadap wanita muslimah lainnya adalah
sepertihalnya aurat seorang lelaki muslim
dengan lelaki muslim lainnya, yaitu antara
pusar dan kedua lutut, sebagaimana
dikatakan oleh para fuqaha.

Jadi pada dasarnya seorang wanita


muslimah yang hendak melahirkan tidak
dibolehkan operasi persalinannya ditangani
oleh selain dokter wanita atau bidan yang
muslimah. Jika dokter wanita atau bidan
muslimah tidak ada maka bisa ditangani
oleh seorang dokter wanita atau bidan non
muslimah. Namun jika memang mereka
semua tidak ada atau ada akan tetapi tidak
bisa melakukan pengoperasian persalinan
tersebut atau dikhawatirkan akan terjadi
kemudharatan terhadap si wanita yang
hendak melahirkan itu dikarenakan
ketidakmampuannya maka dibolehkan
baginya untuk dioperasi oleh seorang
dokter lelaki yang muslim yang jujur dan
bisa dipercaya dan jika memang dokter
lelaki muslim tidak ada batu kemudian
dokter lelaki non muslim, demikianah
urutan-urutannya.
Tidak diperbolehkan berkhalwat (berdua-
duaan) antara wanita tersebut dengan
dokter lelaki yang ingin menangani
persalinannya itu kecuali dengan kehadiran
suaminya atau wanita lainnya.

Doa Khusus untuk Memudahkan


Kelahiran
Tidak ada dalil secara khusus yang
menunjukkan bahwa adanya bacaan-
bacaan tertentu baik bacaan surat-surat
atau ayat-ayat tertentu di dalam al Qur’an
atau dzikir-dzikir tertentu yang bisa
memudahkan seorang wanita yang hendak
melahirkan seorang anak, baik bacaan
yang dibaca oleh si wanita itu sendiri, atau
oleh suaminya atau oleh kedua-duanya
kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibnu
Sinni dengan sanad lemah menurut Imam
Nawawi, yaitu apa yang diriwayatkan dari
Fatimah bahwa Rasulullah saw ketika
dirinya (Fatimah) hendak melahirkan lalu
beliau saw memerintahkan Ummu Salamah
dan Zainab binti Jahsy agar membacakan
di sisinya ayat kursi dan ‫ إن ربكم هللا‬hingga
akhir ayat itu (Surat Al A’raf : 54) dan agar
melindunginya dengan al muawwidzatain
(surat Al Falaq dan An Naas, pen).”

Namun demikian Imam Nawawi didalam


kitabnya “al Azkar” tentang fasal apa yang
dibaca seorang yang ingin melahirkan dan
ketika si wanita merasakan sakitnya
mengatakan bahwa seyogyanya dirinya
memperbanyak berdoa dengan doa-doa di
saat-saat mendapatkan kesulitan atau
kesusahan.

Diantara doa-doa yang bisa dibaca ketika


seseorang ditimpa suatu kesulitan atau
kesusahan—di bagian lain dari bukunya ‘Al
Azkar” ini—adalah :

1. Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw


berdoa disaat mendapatkan kesulitan
dengan :

‫اهلل‬ ‫ال‬ِ
‫إ‬ ‫ه‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ‫ال‬ ، ‫يم‬ِ‫ل‬‫احل‬ ‫يم‬ ِ ‫ال إِلَه إِال اهلل الع‬
‫ظ‬
ُ ُ َ ُ َ ُ َ
ُّ ‫ ال إِلَهَ إِال اهللُ َر‬، ‫الع ِظيم‬
‫ب‬ َ ِ
‫رش‬ ‫الع‬
َ ‫ب‬ ُّ ‫َر‬
 ‫رش ال َك ِرمي‬
ِ ‫الع‬ ‫ب‬ ‫ر‬ ِ
‫َرض‬
‫أل‬‫ا‬ ‫ب‬ ِ
ُّ َ َ ‫الس َم َو‬
‫ر‬‫و‬ ‫ات‬
َ ُّ َ َّ

(Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha


Agung lagi Maha Penyantun, Tidak ada
Tuhan selain Allah Tuhan Arsy yang agung,
Tidak ada Tuhan selain Allah Tuhan langit
dan Tuhan bumi dan Tuhan ‘arsy yang
mulia.” (HR. Bukhori dan Muslim)

2. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Anas


dari Nabi saw jika beliau saw ditimpa suatu
perkara kesulitan maka beliau berdoa :
‫يث‬ِ ‫َست‬
‫أ‬ ‫ك‬ِ
ُ َ َ َ َ‫ ب‬، ‫وم‬
‫غ‬ ‫ت‬‫مح‬ ‫ر‬ِ ٌ ُّ‫يَا َح ٌّي يَا َقي‬

(Wahai Allah Yang Maha Hidup dan Yang


terus mengurus makhluk-Nya, aku
memohon pertolongan-Mu dengan rahmat-
Mu). Sementara Hakim mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih.

3. Diriwayatkan didalam “Sunan an Nasai”


dan kitab Ibnu as Sinni dari Abdullah bin
Ja’far dari Ali berkata,”Rasulullah saw
mengajarkan beberapa kalimat dan
memerintahkanku jika aku ditimpa suatu
kesusahan atau kesulitan agar membaca:
، ُ‫بحانَه‬ ‫س‬ ، ‫يم‬ ِ ‫ال إِلَه إِاَّل اهلل ال َك ِرمي الع‬
‫ظ‬
َ ُ ُ َ ُ ُ َ
‫مد لِلَّ ِه‬
ُ َ‫احل‬ ، ‫يم‬ ِ
‫ظ‬ ‫الع‬
َ ِ
‫رش‬ ‫الع‬
َ ‫ب‬ ُّ ‫َتبَ َار َك اهللُ َر‬
‫ني‬ ِ‫ب العامل‬
َ َ َ ِّ ‫َر‬

(Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha


Mulia dan Maha Agung, Maha Suci Dia,
Maha Suci Allah Tuhan arsy yang agung,
segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam)

Jadi dibolehkan bagi saudara anda yang


akan melahirkan membaca doa-doa diatas
atau ayat-ayat yang ada didalam al Qur’an
karena pada dasarnya al Qur’an adalah
obat baik obat buat hati, fisik atau ketika
seseorang menghadapi kesulitan,
sebagaimana firman Allah swt :

Artinya : “Dan Kami turunkan dari Al


Quran suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman
dan Al Quran itu tidaklah menambah
kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian.” (QS. Al Isra : 82)

Semoga Allah swt memberikan kemudahan


dan kesabaran kepada beliau saat
melahirkan dan menganugerahkan
kepadanya anak yang shaleh dan berguna
bagi kedua orang tuanya dan umat islam
seluruhnya.

Wallahu A’lam

Menjawab Pertanyaan
Seorang Atheis tentang Tuhan
Selasa, 11/05/2010 08:52 WIB
| email | print | share
assalamualaikum..

Pak ustadz yang saya hormati, saya


mempunyai pikiran yang mengganjal
dalam benak saya. pemikiran ini berawal
dari sebuah forum dimana salah satu
anggotanya berkomentar "benarkah alam
semesta diciptakan oleh tuhan? lalu siapa
pencipta Tuhan sehingga Tuhan itu ada?"
Menurut PakUstadz bagaimana saya
menjawab pertanyaan seperti diatas
apabila ada seseorang yang bertanya
seperti kalimat diatas kepada saya.

sekian pertanyaan dari saya. mohon maaf


bila ada kata yang kurang berkenan

wassalamualaikum

Hamba Allah
Jawaban

Waaalaikumussalam Wr Wb

Jika orang-orang atheis berkeyakinan


bahwa segala sesuatu haruslah masuk akal
agar bisa dipercayai justru pertanyaan
yang diajukan olehnya tidaklah masuk
akal. Hal ini menandakan bahwa
pertanyaan tersebut bukanlah muncul dari
akal sehat karena akal sehat tidaklah
bertabrakan dengan kebenaran. Akan
tetapi pertanyaan itu muncul dari bisikan
setan didalam hatinya.

Syeikh Muhammad Shaleh al Munjid


mengatakan jika kita membuka
perdebatan terhadap pertanyaan Siapa
Pencipta tuhan ? maka si penanya akan
bertanya lagi : Siapa Pencipta yang
Menciptakan Tuhan ? lalu Siapa Pencipta
yang menciptakan si Pencipta Tuhan ?
begitu seterusnya tanpa ada akhirnya, dan
ini tidaklah masuk akal.

Sedangkan seluruh makhluk yang ada


berujung pada Sang Pencipta Yang
menciptakan segala sesuatu dan tak ada
satu pun yang menciptakannya akan tetapi
Dia lah Sang Pencipta yang tidak ada
selain-Nya, dan inilah yang sesuai dengan
akal dan logika. (www.islam-qa.com)

Pertanyaan tersebut hanyalah bersumber


dari setan sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairoh
bahwa Nabi saw bersabda,”Setan akan
mendatangi seorang dari kalian lalu
mengatakan,’Siapa yang menciptakan ini ?
Siapa yang menciptakan ini? sehingga dia
akan berkata,’Siapa yang menciptakan
Tuhanmu? Dan apabila dia
menghinggapinya maka berlindunglah
kepada Allah darinya dan hendaklah dia
menyudahinya.”

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu


Hurairoh berkata bahwa Nabi saw
bersabda,”Manusia akan senantiasa
bertanya hingga yang dikatakan,’Ini adalah
Allah yang menciptakan makluh lalu
siapakah yang menciptakan Allah?’ dan
barangsiapa yang mendapatkan sedikit
saja tentang hal ini maka katakanlah ‘Aku
beriman kepada Allah.”
Nabi saw bersabda,”Manusia senantiasa
bertanya hingga seorang dari mereka
berkata,”Ini Allah yang menciptakan
makhluk lalu siapakah yang menciptakan
Allah?’ Apabila mereka mengatakan
demikian maka katakanlah :

‫ َو َمل‬،‫ ملَ يَلِد َوملَ يُولَد‬،‫الص َم ُد‬


َّ ُ‫ اهلل‬،‫َح ٌد‬
‫أ‬
َ ُ‫اهلل‬
‫َحد‬
َ ‫يَ ُكن لَهُ ُك ُفواً أ‬

(Allah Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang


bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun
yang setara dengan Dia.)
Kemudian meludahlah ke sebelah kiri tiga
kali dan berlindunglah (kepada Allah) dari
godaan setan.”

Dengan demikian jelaslah bahwa


pertanyaan semacam itu adalah dari setan
yang ingin merusak agama dan akal
sehatnya dan mejauhkannya dari Allah swt
dan kebenaran.
Mungkin saja jawaban seperti ini tidak
diterima oleh seorang yang kafir kepada
Allah dikarenakan sifat inkar dan dusta
yang ada didalam hatinya telah menutupi
kebenaran dan akal sehatnya namun tidak
bagi seorang mukmin yang hatinya
senantiasa hidup dengan mengingat Allah
serta meyakini bahwa Allah adalah Sang
Pencipta seluruh makhluk-Nya dan Dia lah
Yang Awal dan Yang Akhir.

ِ ‫اهر والْب‬
‫اط ُن َو ُه َو‬ ِ َّ‫هو اأْل ََّو ُل واآْل ِخر والظ‬
َ َُ َُ َ َُ
‫يم‬ ِ‫بِ ُكل شي ٍء عل‬
ٌ َ ْ َ ِّ

Artinya : “Dialah yang Awal dan yang akhir


yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia
Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al
Hadid : 3)

Nabi saw apabila hendak tidur maka beliau


berbaring diatas bagian sebelah kanan
tubuhnya lalu berdoa :
‫ب‬ ‫ب األ ِ‬
‫َرض َو َر َّ‬ ‫السمو ِ‬
‫ات َو َر َّ‬ ‫َّ‬ ‫ب‬
‫َّ‬ ‫ر‬ ‫‪،‬‬ ‫م‬
‫َّ‬ ‫ه‬ ‫َّ‬
‫ل‬ ‫ال‬
‫ََ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬
‫يء‪ ،‬فَالِ َق‬ ‫ب ُكل ش ٍ‬ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ن‬‫ب‬ ‫ر‬ ‫يم‪،‬‬ ‫ِ‬
‫ظ‬ ‫الع‬ ‫ِ‬
‫رش‬ ‫الع‬
‫َ ََّ َ َ َّ ِّ َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫َّور ِاة َوا ِإل ِجن ِيل‬
‫َ‬ ‫ت‬ ‫ال‬ ‫ل‬ ‫َ‬ ‫ِ‬
‫ز‬ ‫ب َوالن ََّوى‪َ ،‬و ُمن‬ ‫احلَ ِّ‬
‫ك ِمن َشِّر ُك ِّل ِذي َشِّر‬ ‫ِ‬
‫َوال ُفرقَ ُ ُ َ‬
‫ب‬ ‫ذ‬ ‫و‬ ‫َع‬‫أ‬ ‫‪،‬‬ ‫ِ‬
‫ان‬
‫يس‬ ‫ل‬
‫َ‬ ‫ف‬
‫َ‬ ‫ل‬
‫ُ‬ ‫َو‬
‫َّ‬ ‫أل‬‫ا‬ ‫َنت‬ ‫أ‬ ‫‪،‬‬ ‫م‬
‫َّ‬ ‫ه‬ ‫َّ‬
‫ل‬ ‫ال‬ ‫‪،‬‬ ‫ِ‬
‫ه‬ ‫ِ‬
‫ت‬ ‫ي‬ ‫ِ‬
‫اص‬ ‫ن‬
‫َ‬‫ِ‬‫ب‬ ‫ذ‬‫ُ‬ ‫ِ‬
‫آخ‬ ‫َنت‬ ‫أ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫اآلخر َفلَيس بعد َك ش ٍ‬
‫يء‪،‬‬ ‫ِ‬ ‫َنت‬ ‫أ‬ ‫و‬ ‫‪،‬‬ ‫قَبلَك ش ٍ‬
‫يء‬
‫ُ َََ َ‬ ‫َ َ َ َ‬
‫َنت‬ ‫أ‬‫و‬ ‫‪،‬‬ ‫اهر َفلَيس فَوقَك ش ٍ‬
‫يء‬ ‫وأَنت الظَّ ِ‬
‫ُ َ َ َ َ َ‬ ‫َ َ‬
،‫َّين‬
‫الد‬ ‫َّا‬
‫ن‬ ‫ع‬ ِ
‫اقض‬ ، ٍ ‫اطن َفلَيس دونَك ش‬
‫يء‬ ِ ‫الب‬
َ َ َ َ ُ َ ُ َ
".‫َوأَغنِنَا ِم َن ال َفق ِر‬

“Wahai Allah Tuhan langit dan Tuhan bumi


serta Tuhan arsy yang agung. Wahai
Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu,
Yang menumbuhkan butir tumbuh-
tumbuhan dan biji buah-buahan, Yang
menurunkan taurat, injil dan al Furqon.
Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan
setiap pemilik kejahatan. Engkaulah yang
menggenggam ubun-ubunnya. Wahai
Allah, Engkaulah Yang Awal dan tidaklah
ada sesuatu sebelum-Mu. Engkaulah Yang
Akhir dan tidaklah ada sesuatu setelah-Mu.
Engkaulah Yang Zhahir dan tidaklah ada
sesuatu diatas-Mu, Engkaulah Yang Bathin
dan tidaklah ada sesuatu tanpa-Mu maka
tunaikanlah hutang kami dan cukupkanlah
kami daripada kefakiran.”

Wallahu A’lam

Menunda Shalat Berjamaah


karena Syuro dan Ta'lim
Selasa, 04/05/2010 10:12 WIB
| email | print | share
Assalamu;alaikum tadz...

Saya pernah menjumpai ketika dalam


sebuah majelis syuro, kemudian waktu
sholat sudah masuk dan terdengar adzan,
akan tetapi ternyata oleh pimpinan syuro
acara tetap dilanjutkan untuk syuro sampai
beberapa menit, kemudian syuro
dihentikan sementara untuk sholat, tapi
karena agak lama jeda antara adzan dan
penghentian sementara tadi,maka
sesampainya dimasjid sholat jama'ah telah
selesai dan akhirnya anggota syuro
melaksanakan jama;ah sendiri.

Setelah saya konfirmasi kepada pimpina


syuro, beliau berargumen bahwa ketika
syuro dan ta'lim boleh mengakhirkan
sholat walaupun sudah berkumandang
adzan. apakah hal ini diperbolehkan
ustadz? hal tersebut selain sholat isya,
kalau sholat isya kan boleh ya
mengakhirkan, nah...bagaimana ni ustadz?
jazakallah sebelumnya.

ibnu imkan
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Ibnu Imkan yang dimuliakan Allah


swt

Memang tidak jarang terdapat anggapan


dikalangan masyarakat bahkan di sebagian
aktivis da’wah bahwa dibolehkan menunda
shalat berjamaah di masjid dikarenakan
tengah melaksanakan syuro, rapat,
halaqoh, ta’lim atau sejenisnya.
Sesungguhnya anggapan tersebut tidaklah
berdasar dan tidak memiliki argumentasi
syar’i dikarenakan tidaklah ada amal
ketakwaan yang lebih tinggi daripada
melaksanakan shalat berjamaah di masjid
tatkala seseorang mendengar adzan
kecuali terhadap orang-orang yang
memiliki uzur yang menghalanginya
mendatangi masjid, seperti sakit berat,
nyawanya terancam jika pergi ke masjid,
hujan lebat, tanah becek yang sulit sekali
di pijak untuk berjalan, banjir atau seorang
dokter yang tengah melakukan operasi
pembedahan terhadap pasien atau
sejenisnya.

Al Lajnah ad Daimah didalam fatwanya


mengatakan bahwa diantara uzur-uzur
yang membolehkan seseorang
meninggalkan shalat berjama’ah adalah
sakit berat yang menyulitkannya pergi ke
masjid, orang yang takut jika dirinya
melaksanakan shalat di masjid maka akan
dibunuh oleh orang-orang yang mengintai
perjalanannya menuju masjid atau
(dibunuh) ketika di masjid atau dirinya
akan ditangkap dan dipenjarakan oleh
orang-orang zhalim dan yang
memusuhinya, seorang perawat yang
seandainya dirinya meninggalkan orang
yang dirawatnya untuk melaksanakan
shalat berjamaah maka akan
mencelakakan atau memperparah sakitnya
atau sejenisnya. (al Lajnah ad Daimah li al
Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta, fatwa No.
4324)

Lantas apakah syuro, rapat, ta’lim sudah


sedemikian daruratnya sehingga perlu
untuk menunda atau tidak mendatangi
shalat berjama’ah di masjid padahal
mereka mendengar suara adzan? Apakah
yang menghalangi mereka untuk
melanjutkan syuro atau ta’lim tersebut
setelah melaksanakan shalat berjama’ah di
masjid? Tidaklah dibenarkan jika hanya
beralasan “Tanggung, karena
pembahasannya sedang seru!” atau “Kalau
syuro ini ditunda dengan shalat maka
agendanya akan terganggu” atau “Kalau
syuro ditunda dengan shalat maka ide-ide
yang akan muncul akan hilang lagi” atau
alasan-alasan lainnya!

Sesungguhnya begitu banyak dalil-dalil


yang menunjukkan pentingnya
melaksanakan shalat berjama’ah di masjid
bahkan sebagian ulama menganggapnya
fardhu a’in bagi setiap muslim untuk
menghadirinya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairoh berkata :


“Telah datang kepada Nabi saw seorang
laki-laki buta dan berkata,”Wahai
Rosulullah sesungguhnya aku tidak
memilki seorang penuntun pun yang bisa
mengajakku ke masjid.’ Dan dia meminta
kepada Rasulullah saw agar
memberikannya rukhshoh (keringanan)
agar dirinya sholat di rumah maka
kemudian Rasulullah pun memberikan
rukhshoh kepadanya. Namun ketika orang
itu membalikkan badannya Rasulullah saw
memanggilnya dan berkata,”Apakah
engkau mendengar panggilan (adzan)
untuk sholat? dia menjawab,’ya’, Beliau
saw berkata,’Sambutlah”. (HR. Muslim)

Sabda Rasulullah saw


bersabda,”Seandainya manusia
mengetahui keutamaan dari adzan dan
shaff pertama dan mereka mengetahui
bahwa mereka tidak akan mendapatinya
kecuali dengan susah payah maka pasti
mereka akan bersusah payah. Dan
seandainya mereka megetahui keutamaan
dari tiba lebih awal pasti mereka akan
berlomba-lomba mendapatkannya. Dan
seandainya mereka mengetahui
keutamaan didalam sholat isya dan shubuh
pasti mereka akan mendatanginya
walaupun harus dengan merangkak.” (HR.
Bukhrori Muslim)

Imam Muslim meriwayatkan didalam


“Shahih” nya dari Abdullah bin Mas’ud
berkata,”Barangsiapa yang bergembira
bertemu dengan Allah besok sebagai
seorang muslim maka hendaklah dirinya
menjaga shalat-shalatnya ketika diseru
(adzan) untuk melaksanakannya.
Sesungguhnya Allah telah memberikan
syariat kepada Nabi kalian sunnah-sunnah
petunjuk dan sesungguhnya (shalat-shalat
berjamaah di masjid itu) adalah diantara
sunnah-sunnah petunjuk. Dan seandainya
kalian melaksanakan shalat di rumah-
rumah kalian sebagaimana orang yang
berpaling—dari shalat berjamaah—
melaksanakan shalatnya di rumah maka
sesungguhnya kalian telah meninggalkan
sunnah nabi kalian dan seandainya kalian
meninggalkan sunnah Nabi kalian maka
kalian telah sesat. Dan tidaklah seseorang
yang bersuci (berwudhu) dengan
membaguskan wudhunya lalu sengaja
pergi ke suatu masjid kecuali Allah
menuliskan baginya pada setiap
langkahnya adalah sebuah kebaikan dan
mengangkatnya satu derajat serta
menghapuskan satu kesalahan. Dan kalian
melihat kami dan tidaklah seseorang
meninggalkannya (shalat berjamaah di
masjid) kecuali dia adalah seorang munafik
yang telah diketahui kemunafikannya. Dan
sungguh bahkan ada seorang laki-laki yang
dipapah oleh dua orang lelaki lainnya agar
dirinya bisa berdiri di shaf (berjama’ah).

Dan hendaklah setiap muslim waspada dan


berhati-hati untuk tidak memudahkan
permasalahan ini—meninggalkan shalat
berjamaah di masjid hanya karena syuro’,
rapat atau lainnya—karena hal ini bisa
menjadi celah bagi setan untuk
memperdayanya hingga bisa
memalingkannya dari mengingat Allah atau
melalaikan panggilan adzan atau seruan-
Nya.

Sabda Rasulullah saw,”Tidaklah tiga orang


yang berada di suatu kampung atau desa
yang tidak menunaikan sholat berjamaah
disitu kecuali setan telah menguasai diri
mereka, maka hendaklah kalian tunaikan
sholat berjamaah. Sesungguhnya seekor
srigala akan memakan kambing yang
menyendiri.” (HR. Abu Daud)

‫ودي لِلصَّاَل ِة ِمن َي ْوِم‬


ِ ُ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنوا إِ َذا ن‬
َُ َ َ َ
‫اس َع ْوا إِىَل ِذ ْك ِر اللَّ ِه‬ ِ
ْ َ ‫اجْلُ ُم َع‬
‫ف‬ ‫ة‬
Artinya : “Hai orang-orang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah.” (QS. Al Jumu’ah : 9)

Wallahu A’lam

Hukum Mempercantik Gigi


dengan Crown
Rabu, 28/04/2010 12:43 WIB
| email | print | share
Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Apakah diperbolehkan kalau seorang


mempercantik giginya dengan cara di
crown.
Sedangkan sepengetahuan saya, Islam
tidak memperbolehkan kita merubah
pemberian Alloh SWT, bagaimana ketika
meninggal ?

Terimakasih atas penjelasannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Hamba Alloh SWT


Jawaban

Walaikumussalam Wr Wb

Apabila tujuan seseorang melakukan crown


pada giginya adalah untuk pengobatan,
seperti dikhawairkan lobang pada gigi yang
dikarenakan proses keries akan semakin
membesar dan dapat menimbulkan
penyakit atau dapat menggangunya
didalam mengunyah makanan atau
sejenisnya maka hal tersebut dibolehkan
berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dari Abdurrahman bin Tharafah
bahwa kakeknya ‘Arfajah bin As’ad
terpotong hidungnya pada hari al Kulab
lalu dia mengambil hidung perak namun ia
menjadi busuk lalu Nabi saw
memerintahkannya agar mengambil
hidung emas.”

Akan tetapi apabila tujuan seseorang


melakukan crown tersebut adalah untuk
mempercantik atau memperindah
penampilan maka hal ini tidaklah
dibolehkan karena termasuk didalam
perbuatan merubah ciptaan Allah swt yang
terlarang dilakukan berdasarkan sabda
Rasulullah saw,”Allah melaknat wanita-
wanita yang mengikir (gigi) agar lebih
cantik dan wanita-wanita yang merubah
ciptaan Allah.” (Muttafaq Alaih)

Firman Allah swt :

َّ‫إِن يَ ْدعُو َن ِمن ُدونِِه إِالَّ إِنَاثًا َوإِن يَ ْدعُو َن إِال‬

﴾١١٧﴿ ‫يدا‬ ِ
ً ‫َشْيطَانًا َّم‬
‫ر‬
ِ َ‫ال أَل َخَّتِ َذ َّن ِمن ِعب ِاد َك ن‬
‫صيبًا‬ َ َ‫ق‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ل‬
ّ ‫ال‬ ‫ه‬ ‫ن‬
َ ‫ع‬ َّ
‫ل‬
َ ْ َ ُ ُ َ
﴾١١٨﴿ ‫وضا‬
ً ‫َّم ْف ُر‬
‫آلمَرنَّ ُه ْم َفلَيُبَتِّ ُك َّن‬‫و‬ ‫م‬ ‫َّه‬
‫ن‬ ‫ِّي‬
‫ن‬ ‫ُم‬
‫أل‬‫و‬ ‫م‬ ‫َّه‬
‫ن‬ َّ
‫ل‬ ِ ‫وأل‬
‫ُض‬
ُ َ ُْ ََ َ ُْ َ
‫آلمَرنَّ ُه ْم َفلَُيغَِّي ُر َّن َخ ْل َق اللّ ِه‬‫و‬
ُ َ َ
ِ ‫آ َذا َن األَْنع‬
‫ام‬
ِ ‫َّخ ِذ الشَّيطَا َن ولِيًّا ِّمن د‬
‫ون اللّ ِه َف َق ْد‬ ِ ‫ومن يت‬
ُ َ ْ َ ََ
﴾١١٩﴿ ‫َخ ِسَر ُخ ْسَرانًا ُّمبِينًا‬

Artinya : “Yang mereka sembah selain


Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan
(dengan menyembah berhala itu) mereka
tidak lain hanyalah menyembah syaitan
yang durhaka, yang dila'nati Allah dan
syaitan itu mengatakan: "Saya benar-
benar akan mengambil dari hamba-hamba
Engkau bahagian yang sudah ditentukan
(untuk saya), dan aku benar-benar akan
menyesatkan mereka, dan akan
membangkitkan angan-angan kosong pada
mereka dan menyuruh mereka (memotong
telinga-telinga binatang ternak), lalu
mereka benar-benar memotongnya, dan
akan aku suruh mereka (mengubah
ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka
merubahnya". Barangsiapa yang
menjadikan syaitan menjadi pelindung
selain Allah, Maka Sesungguhnya ia
menderita kerugian yang nyata.” (QS. An
Nisaa : 117 – 119)
Ibnu Jarir ath Thabariy mengatakan bahwa
tidak diperbolehkan bagi seorang wanita
merubah sesuatu dari fisiknya yang telah
diciptakan Allah swt kecuali anggota tubuh
yang sakit atau membuatnya sakit, seperti
orang yang memiliki gigi tonggos atau
panjang yang menghalanginya makan atau
memiliki jari lebih yang membuatnya sakit
maka hal itu dibolehkan, dan laki-laki
dalam hal terakhir ini seperti perempuan.

Adapun bagi orang yang meninggal


sementara terdapat crown pada giginya
maka tidaklah diwajibkan untuk
melepaskan atau mencongkelnya dari si
mayit selama bahan yang digunakan
adalah bahan yang suci bukan najis.
Ibnu Qudamah didalam kitabnya “al
Mughni” mengatakan jika untuk
menguatkan tuluang diperlukan tulang
juga maka lakukanlah kemudian dirinya
meninggal maka (tulang sanggahan itu,
pen) tidak perlu dilepaskan apabila ia
termasuk bahan yang suci.”

Alasan lainnya juga adalah apabila


pelepasan crown tersebut dapat menyakiti
si mayit maka pelepasan itu tidaklah perlu
dilakukan.

Wallahu A’lam

Cara Mengasuh Anak Angkat


Sabtu, 24/04/2010 08:51 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum wr.wb.

Ustad Sigit yang dirahmati Allah SWT.


Saya Bapak yang sudah menikah 3 Tahun,
tetapi sampai saat ini apa yang kami
inginkan bersama belum dikabulkan oleh
Allah SWT. Kami berdua belum diberi anak.
Yang saya tanyakan apabila saya dan istri
ingin mengambil atau mengadopsi anak
syarat apakah yang sesuai dengan Syariat
yang harus kami lakukan. Dan bagaimana
hukum seorang anak angkat kalau dia
sudah Balig, kan kami berdua bukan orang
tua kandung dari anak tersebut. Mohon
penjelasan tata cara dan tuntunan secara
Syariat apabila seseorang harus
mengadopsi anak. Atas jawaban dan
pencerahannya kami sekularga
mengucapkan Jazzakallah khair.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

AG
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Pengangkatan anak (tabanni) adalah


perbuatan yang biasa dilakukan oleh
masyarakat jahiliyah sebelum islam yang
kemudian dilarang oleh islam dikarenakan
penghilangan nasab anak angkatnya itu
dengan menasabkannya kepada ayah
angkatnya, berdasarkan dalil-dalil berikut :
‫‪Firman Allah swt :‬‬

‫َو َما َج َع َل أ َْد ِعيَاء ُك ْم أ َْبنَاء ُك ْم َذلِ ُك ْم َق ْولُ ُكم‬


‫ول احْلَ َّق َو ُه َو َي ْه ِدي‬
‫بِأَ ْف َو ِاه ُك ْم َواللَّهُ َي ُق ُ‬
‫يل ﴿‪﴾٤‬‬‫السبِ‬
‫َّ َ‬
‫ند اللَّ ِه فَِإن ْمَّل‬
‫َ‬ ‫ِ‬
‫ع‬ ‫ط‬‫ُ‬ ‫س‬ ‫ق‬
‫ْ‬ ‫َ‬
‫أ‬ ‫و‬ ‫ه‬
‫ُ‬ ‫م‬ ‫ِ‬
‫ه‬ ‫ِ‬
‫ائ‬‫ب‬
‫َ‬
‫آِل‬ ‫م‬ ‫وه‬
‫ْ ْ‬
‫ُ‬ ‫ع‬
‫ُ‬ ‫اد‬
‫ْ َ َ‬
‫اءه ْم فَِإ ْخ َوانُ ُك ْم يِف الدِّي ِن َو َم َوالِي ُك ْم‬
‫َت ْعلَ ُموا آبَ ُ‬
‫َخطَأْمُت بِِه َولَ ِكن َّما‬ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫يم‬ ‫ولَيس علَي ُكم جناح فِ‬
‫َ ْ َ َ ْ ْ َُ ٌ َ ْ‬
﴿ ‫يما‬ ِ ‫َتع َّم َدت ُقلُوب ُكم و َكا َن اللَّه َغ ُفورا َّر‬
‫ح‬
ً ً ُ َْ ُ ْ َ
﴾٥

Artinya : “..dan Dia tidak menjadikan


anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu
hanyalah perkataanmu dimulutmu saja.
dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, Maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu dan tidak
ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu. dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Ahzab : 4 – 5)

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam


Bukhoti dari Sa’ad bahwasanya dia telah
mendengar Nabi saw
bersabda,”Barangsiapa yang memanggil
dengan selain bapaknya padahal dia
mengetahui bahwa dirinya adalah bukan
bapaknya maka haram baginya surga.”
Jika makna diatas yang anda maksudkan
dengan mengangkat anak (adopsi) maka
tidaklah diperbolehkan. Akan tetapi jika
yang anda maksudkan dengan adopsi
adalah memeliharanya serta membiayai
seluruh kebutuhan anak itu dan
mendidiknya maka diperbolehkan karena
hal ini termasuk perbuatan mulia tanpa
mengadakan perubahan nasab anak itu
kepada diri anda, berdasarkan firman Allah
swt :

‫الت ْق َوى‬
َّ ‫َوَت َع َاونُواْ َعلَى الْ ِّرب َو‬

Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu


dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa.” (QS. Al Maidah : 2)

Terlebih lagi jika anak yang akan anda


asuh dan biayi kebutuhan hidupnya
termasuk anak yatim maka bagi anda
pahala yang besar, sebagaimana apa yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Sahl
bahwa Rasulullah saw bersabda,”Aku dan
orang yang memeliharara anak yatim di
surga seperti ini” beliau saw
mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan
tengah dengan sedikit memisahkan
diantara kedua jari itu.

Tentang hadits ini, al Hafizh Ibnu Hajar


mengatakan bahwa hadits itu merupakan
isyarat bahwa derajat antara Nabi saw
dengan orang yang memelihara anak yatim
hanyalah sebatas jarak antara dua jari
saja, yaitu jari telunjuk dan tengah.

Tidak ada persyaratan-persyaratan khusus


didalam mengambil anak untuk diasuh
atau dipelihara kecuali memberikan
pemeliharaan dan pendidikan yang baik
kepadanya karena setelah itu ia menjadi
amanah bagi anda.

Kemudian anak yang anda adopsi


(pelihara) itu tetaplah orang asing yang
ada di rumah anda sehingga ketika dirinya
baligh maka tidak diperbolehkan baginya
menampakkan auratnya atau melihat aurat
orang-orang yang berlawanan jenis
dengannya walaupun mereka semua satu
rumah karena anak itu bukanlah mahram
bagi anda sekeluarga.

Mungkin ada sebuah solusi agar anak asuh


anda menjadi mahram bagi anda berdua
dengan jalan susuan selama anak itu
belum sampai usia dua tahun. Yaitu
dengan meminta kepada ibu istri anda atau
saudara perempuan kandung istri anda
untuk menyusuinya jika anak asuh anda
adalah seorang laki-laki atau meminta ibu
anda atau saudara perempuan kandung
anda untuk meyusuinya jika ia adalah
seorang wanita.
Apabila yang menyusui anak asuh itu
adalah ibu istri anda maka istri anda
menjadi saudara sesusuan baginya dan
jika yang menyusuinya adalah ibu anda
maka anda menjadi saudara sesusuan
baginya.

Jika yang menyusuinya adalah saudara


perempuan kandung istri anda atau
saudara perempuan kandung anda maka
anda menjadi paman dan isri anda menjadi
bibi baginya karena susuan.

Dalam dua kedudukan tersebut maka anak


asuh anda menjadi mahram bagi anda atau
istri anda. Akan tetapi hal ini
(kemaahraman) tidaklah berlaku bagi anak
kandung anda jika kelak Allah swt
memberikan kalian anak kandung. Anak
asuh itu tetaplah orang asing bagi anak
kandung anda dan diharuskan untuk tetap
menjaga aurat dan tidak membukanya
diantara mereka.

Wallahu A’lam

erlilit Utang, Musibah atau


Ujian
Selasa, 20/04/2010 13:56 WIB
| email | print | share
assalaamualaikum.

Ustadz, saya sedang dilanda hutang yang


cukup rumit. Saya merasa orang-orang di
sekitar saya yang kurang berilmu dan
awam bahkan tidak sholat tidak mengalami
seperti saya. Saya sadar barangkali ini
salah saya, tapi yang sudah terjadi ini
bukankah sudah takdir? apakah ini
musibah atau ujian? Jika memang ini
musibah karena kelalaianku, bagaimana
caranya agar Allah cepat memberikan jalan
keluar? karena penagihan hutang tersebut
selalu memburu.

terima kasih Ustadz atas jawabannya.


semoga Allah merahmati Anda.

Wawan Abu Sami


Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Wawan Abu Sami yang dimuliakan
Allah

Semoga Allah swt segera memberikan


kemudahan dan jalan keluarnya kepada
anda agar segera terlepas dari beban-
beban utang yang tengah anda hadapi.

Apa yang tengah anda alami saat ini


merupakan takdir Allah swt atas anda dan
dikarenakan apa yang telah anda lakukan
yaitu mencari solusi dengan jalan
berutang. Setiap manusia diberikan
kebebasan untuk menentukan pilihannya,
seperti halnya anda yang diberikan
kebebasan untuk menentukan pilihan
apakah berutang atau tidak meskipun pada
akhirnya anda mengambil pilihan untuk
berutang.

Apa yang terjadi pada anda saat ini


merupakan musibah dan ujian sekaligus.
Musibah dikarenakan itu semua adalah
hasil dari kehendak dan perbuatan anda
sendiri dan tidaklah sesuatu di sebut
musibah kecuali ia berupa ketidak-enakan,
kesulitan, kesusahan atau sejenisnya
sedangkan disebut ujian atau cobaan
dikarenakan makna ujian atau cobaan
lebih luas daripada musibah yaitu
mencakup tidak hanya ketidak-enakan,
kesulitan atau kesusahan tetapi juga
mencakup kesenangan, kemudahan dan
sejenisnya.
firman-Nya :

‫ت أَيْ ِدي ُك ْم‬ َ ‫ا‬ ‫م‬ِ‫ب‬‫ف‬ ٍ


‫ة‬ ‫يب‬‫ص‬ِ
ْ َ َ َ َ َ ‫َصابَ ُكم ِّمن ُّم‬
‫ب‬‫س‬ ‫ك‬ َ ‫َو َما أ‬
‫َو َي ْع ُفو َعن َكثِ ٍري‬

Artinya : “Dan apa saja musibah yang


menimpa kamu maka adalah disebabkan
oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy
Syura : 30)

Dan tidaklah ujian atau cobaan tersebut


kecuali untuk memberikan kebaikan
kepada anda manakala anda bersabar
didalam menghadapinya dan berusaha
mencari solusi atau jalan keluar yang tidak
bertentangan dengan syariat.

Untuk keluar dari permasalahan berat yang


tengah anda hadapi saat ini maka tidaklah
ada yang terbaik anda lakukan kecuali
mengembalikan semuanya kepada Allah
swt, berserah diri dan bertawakal kepada-
Nya.

Firman Allah swt :


‫صيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّ ِه َوإِنَّا‬
ِ ‫الَّ ِذين إِ َذا أَصابْتهم ُّم‬
ََُ َ
﴾١٥٦﴿ ‫إِلَْي ِه َر ِاجعو َن‬
‫ات ِّمن َّرهِّبِ ْم َو َرمْح َ ٌة‬ ‫ص‬ ‫م‬ ِ
ٌ َ َ َ ْ ََْ َ ‫أُولَئ‬
‫و‬ ‫ل‬ ‫ه‬ ‫ي‬‫ل‬‫ع‬ ‫ك‬ ِ

﴾١٥٧﴿ ‫ك ُه ُم الْ ُم ْهتَ ُدو َن‬ ِ


َ ‫َوأُولَئ‬

Artinya : “(yaitu) orang-orang yang apabila


ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"
(Sesungguhnya kami adalah milik Allah
dan kepada-Nya-lah kami kembali).
Mereka Itulah yang mendapat keberkatan
yang sempurna dan rahmat dari Tuhan
mereka dan mereka Itulah orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqoroh
: 156 – 157)

Dan jangan lupa untuk terus berdoa


kepada Allah swt agar dibebaskan dari
utang-utang tersebut, sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Said
al Khudriy berkata,”Suatu hari Rasulullah
saw memasuki masjid dan tampaklah
seorang dari Anshar yang disebut dengan
Abu Umamah. Lalu Nabi saw
bertanya,’Wahai Abu Umamah, apa yang
menyebabkanmu sehingga aku melihat
dirimu duduk di masjid di luar waktu shalat
?’ Abu Umamah menjawab,’Kegundahan
yang menimpaku serta utang-utang (ku)
wahai Rasulullah saw.’ Rasulullah saw
bersabda,’Maukah aku ajarkan kepadamu
suatu perkataan yang jika engkau
membacanya maka Allah akan
menghilangkan kegundahanmu serta
melunasi utang-utangmu?’ si perawi
berkata,’Abu Umamah berkata,’Tentu
wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw
bersabda,’Katakanlah pada waktu pagi dan
petang (sore) :

ِ ‫ك ِمن اهل ِّم واحل‬


‫ َوأَعُو ُذ‬،‫زن‬ ِ
‫ب‬ ‫ذ‬ ‫و‬ ‫َع‬
‫أ‬ ِ‫إ‬ ‫م‬ ‫ه‬ َّ
َ َ َ َ َ ُ ُ ‫يّن‬ َّ ُ ‫الل‬
‫ك ِم َن‬ ِ
‫ب‬ ‫ذ‬
ُ
َ ُ َ ‫و‬ ‫َع‬
‫أ‬ ‫و‬ ، ِ
‫سل‬ ‫ك‬
َ ‫ال‬ ‫و‬ ِ
‫ز‬
َ َ َ‫ج‬ ‫الع‬ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ك‬َ ِ
‫ب‬
‫ك ِمن َغلَبَ ِة الدَّي ِن‬ِ‫ب‬ ‫ذ‬
ُ
َ ُ َ ‫و‬ ‫َع‬
‫أ‬ ‫و‬ ، ِ
‫خل‬ ‫الب‬
ُ َ ُ‫و‬ ِ
‫نب‬ ‫اجل‬
،‫الر َج ِال‬
ِّ ‫َوقَه ِر‬

(Wahai Allah sesungguhnya aku berlindung


kepada-Mu dari kegundahan dan
kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari
kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung
kepada-Mu dari sifah penakut dan
kebakhilan. Aku berlindung kepada-Mu dari
lilitan utang dan tekanan orang-orang)

Abu Umamah berkata,’Aku pun


mengamalkannya (doa) lalu Allah
menghilangkan kegundahanku dan
melunasi utangku.”
Kemudian hendaklah anda meningkatkan
ketakwaan didalam diri anda dengan
memperbanyak ibadah dan amal shaleh
serta mencari solusi dengan cara-cara
yang dibenarkan dan dihalalkan didalam
syariat. Ketakwaan yang ada didalam diri
anda adalah modal utama untuk bisa
mendapatkan jalan keluar dari
permasalahan dan kemudahan dari segala
kesulitan yang tengah anda hadapi,
sebagaimana disebutkan didalam firman-
Nya :

 ‫َو َمن َيت َِّق اللَّهَ جَيْ َعل لَّهُ خَمَْر ًجا‬
‫ب‬ ِ َ‫ث اَل حَي ت‬
‫س‬ ُ ‫ي‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ه‬ ‫ق‬
ْ ‫ز‬ ‫ر‬ ‫ي‬‫و‬
ُ ْ ْ َ ْ ُ ُ َْ َ
Artinya : “Barangsiapa bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-
sangkanya.” (QS. Ath Thalaq : 2 -3)

 ‫َو َمن َيت َِّق اللَّهَ جَيْ َعل لَّهُ ِم ْن أ َْم ِر ِه يُ ْسًرا‬

Artinya : “Dan barangsiapa yang bertakwa


kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.”
(QS. Ath Thalaq : 4)

Wallahu A’lam
Menceritakan Aib Masa Lalu
ke Isteri
Kamis, 15/04/2010 09:45 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum. Pak ustadz, mohon
dijelaskan agar saya bisa mengikutinya.

Begini, masa lalu saya tamat kuliah banyak


berbuat dosa besar, yaitu pernah main
perempuan, zina, berganti pasangan. Lalu
saya insaf, dengan melakukan nikah
dengan istri saya sekarang, tujuan saya
agar terhindar dari dosa besar.

Cuman di awal pernikahan kami, saya


tergoda bisikan syetan, saya sempet
selingkuh dengan seorang janda. Saya
melakukan hubungan suami istri, walaupun
dengan pengaman (pake kondom), lalu
pernah dengan istri orang. Kami
melakukan sama-sama suka, dan saya
selalu berbohong kepada istri saya, supaya
tidak ketahuan.

Setelah saya punya anak dari istri sah


saya, saya bertobat pak ustadz, karena
saya mendapat azab dari Allah SWT, yaitu
PHK dari tempat kerja, mentabrak orang,
dikejar hutang sampai harta saya ludes.
Sekarang saya hidup penuh sederhana dan
masih di kejar-kejar hutang.

Tolong, saya pak ustadz, bagimana jalan


keluarnya, saya mau tobat nashua, kapok
banget, saya mau utuh dengan istri saya
dan kedua anak saya. Agar rejeki
dikembalikan lagi seperti dulu saat saya
masih jaya, dapat kerjaan yang bagus
dengan gaji yang besar. Mohon
penjelasannya, saya tunggu.

Wassalamu'alaikum.

salam s
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Sebagaimana diketahui perzinahan adalah


salah satu dosa besar di sisi Allah swt yang
ditandai dengan pernyataan Allah dengan
mengatakan bahwa zina adalah perbuatan
yang keji dan jalan yang buruk,
sebagaimana didalam firman-Nya :

‫ي‬ِ
‫ب‬ ‫س‬ ‫اء‬ ‫س‬‫و‬ ‫ة‬ ‫ش‬ ِ
ً َ َ َ ً َ َ ُ ‫الزىَن إ‬
‫ال‬ ‫اح‬َ‫ف‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ك‬
َ ‫ه‬َّ
‫ن‬ ِ ِّ ْ‫َوالَ َت ْقَربُوا‬

Artinya : ”Dan janganlah kamu mendekati


zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk.” (QS. Al Israa : 32)

Perbuatan zina yang dilakukan seseorang


menjadikan dirinya berhak mendapatkan
adzab di dunia dan akherat. Adzab baginya
di dunia adalah dihukum dengan cambuk
seratus kali dan diasingkan jika dirinya
belum menikah serta dirajam bagi yang
telah menikah berdasarkan dalil-dalil
berikut :

‫اح ٍد ِّمْن ُه َما ِمئَ َة‬ ِ ‫الزايِن فَاجلِ ُدوا ُك َّل و‬


َ ْ َّ ‫و‬ ‫ة‬
َ َّ
ُ ‫ي‬
َ
ِ‫ان‬ ‫الز‬
‫َج ْل َد ٍة َواَل تَأْ ُخ ْذ ُكم هِبِ َما َرأْفَةٌ يِف ِدي ِن اللَّ ِه إِن‬
‫ُكنتُ ْم ُت ْؤ ِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوِم اآْل ِخ ِر َولْيَ ْش َه ْد‬
‫ني‬ ِ‫ع َذابهما طَائَِفةٌ ِّمن الْم ْؤ ِمن‬
َ ُ َ َ َُ َ

Artinya : “Perempuan yang berzina dan


laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali
dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat,
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-
orang yang beriman.” (QS. An Nuur : 2)

1. Dari Abu Hurairoh ra bahwasanya


Rasulullah saw pernah memberikan
hukuman kepada orang yang berzina
(belum menikah) dengan hukuman
dibuang (diasingkan) satu tahun dan
pukulan seratus kali.” (HR. Bukhori)

2. Rasulullah saw menanyakan kepada


seorang laki-laki yang mengaku
berzina,”Apakah engkau seorang muhshon
(sudah menikah)? Orang itu
menjawab,’Ya’. Kemudian Nabi bersabda
lagi,’Bawalah orang ini dan rajamlah.” (HR
Bukhori Muslim)

Adapun adzab baginya di akherat adalah


apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Abu Hurairoh berkata,”Rasulullah saw
bersabda,’Tiga orang yang Allah tidak
mengajak mereka berbicara pada hari
kiamat, tidak mensucikan mereka—Abu
Muawiyah berkata,”tidak melihat
mereka.”—serta bagi mereka adzab yang
pedih : (yaitu) Orang tua yang berzina,
penguasa yang berdusta, orang miskin
yang sombong.”
Namun demikian Allah swt adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penerima taubat
selama hamba-Nya mau kembali kepada
Allah dengan bertaubat dan memohon
ampunan dari-Nya atas dosa besar
tersebut dengan taubat nasuha,
menyesalinya, bertekad untuk tidak
mengulanginya lagi serta mengganti
perbuatan buruknya itu dengan perbuatan-
perbuatan baik, mudah-mudahan Allah swt
akan menerima pertaubatannya dan
mengampuni dosanya tersebut.

‫آخَر َواَل‬ ‫ا‬ ‫هَل‬ِ‫إ‬ ِ َّ‫والَّ ِذين اَل ي ْدعو َن مع الل‬


‫ه‬
َ ً ََ ُ َ َ َ
‫س الَّيِت َحَّر َم اللَّهُ إِاَّل بِاحْلَ ِّق َواَل‬
َ ‫ف‬
ْ ‫الن‬
َّ ‫ن‬
َ ‫و‬ ‫ل‬
ُ ‫ت‬
ُ ‫ق‬
ْ ‫ي‬
َ
‫ك َي ْل َق أَثَ ًاما ﴿‪﴾٦٨‬‬‫يزنُو َن ومن ي ْفعل َذلِ‬
‫َْ َ َ َ َ ْ َ‬
‫اب َي ْو َم الْ ِقيَ َام ِة َوخَي ْلُ ْد فِ ِيه‬
‫ف لَهُ الْ َع َذ ُ‬
‫اع ْ‬
‫ضَ‬ ‫يُ َ‬
‫ُم َهانًا ﴿‪﴾٦٩‬‬
‫صاحِلًا‬ ‫اًل‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ل‬ ‫إِاَّل من تَاب وآمن وع ِ‬
‫م‬
‫َ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ‬
‫ات َو َكا َن‬ ‫ِّل اللَّه سيِّئاهِتِم حسنَ ٍ‬ ‫ُ‬ ‫د‬ ‫ب‬‫ي‬ ‫ك‬
‫َ‬ ‫ِ‬
‫ئ‬‫َ‬‫ل‬ ‫ُو‬‫أ‬‫ف‬
‫َ‬
‫َ‬
‫َ ْ َ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫ْ‬
‫يما ﴿‪﴾٧٠‬‬ ‫ح‬‫اللَّه َغ ُفورا َّر ِ‬
‫ً‬ ‫ُ ً‬
‫وب إِىَل اللَّ ِه‬ ‫َّ‬ ‫ِ‬ ‫حِل‬ ‫ِ‬
‫اب َو َع َ َ ً َ ُ َُ ُ‬
‫ت‬‫ي‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫إ‬‫ف‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ص‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫َو َمن تَ َ‬
‫َمتَابًا‬
Artinya : “Dan orang-orang yang tidak
menyembah Tuhan yang lain beserta Allah
dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali
dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barang siapa yang melakukan
yang demikian itu, niscaya Dia mendapat
(pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan
dilipat gandakan azab untuknya pada hari
kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu,
dalam Keadaan terhina, kecuali orang-
orang yang bertaubat, beriman dan
mengerjakan amal saleh; Maka itu
kejahatan mereka diganti Allah dengan
kebajikan. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
orang-orang yang bertaubat dan
mengerjakan amal saleh, Maka
Sesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah
dengan taubat yang sebenar-benarnya.”
(QS. Al Furqon : 68 – 71)

Dengan begitu tidak ada yang terbaik anda


lakukan saat ini terhadap perbuatan-
perbuatan zina yang pernah anda lakukan
kecuali bertaubat dengan sebenar-
benarnya kepada Allah swt selagi Dia swt
masih memberikan kesempatan kepada
anda dengan sisa umur yang ada.

Bertaubatlah dengan penuh penyesalan


dan keikhlasan kepada-Nya bukan semata-
mata karena berbagai musibah yang
menimpa anda selama ini. Perbaharuilah
keimanan dan perkuatlah ketakwaan anda
mulai saat ini dengan berbagai ibadah dan
amal shaleh sebagai sarana mendapatkan
jalan keluar dari Allah swt atas segala
permasalahan yang tengah anda hadapi
saat ini sebagaimana janji-Nya :

﴾٢﴿ ‫َو َمن َيت َِّق اللَّهَ جَيْ َعل لَّهُ خَمَْر ًجا‬
‫ب َو َمن َيَت َو َّك ْل‬ ِ َ‫ث اَل حَي ت‬
‫س‬ ُ ‫ي‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ه‬ ‫ق‬
ْ ‫ز‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫و‬
ُ ْ ْ َ ْ ُ ُ ََْ
‫َعلَى اللَّ ِه َف ُه َو َح ْسبُهُ إِ َّن اللَّهَ بَالِ ُغ أ َْم ِر ِه قَ ْد‬
﴾٣﴿ ‫َج َع َل اللَّهُ لِ ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ْد ًرا‬
Artinya : ”Barangsiapa bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar. dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-
sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah Mengadakan ketentuan bagi
tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath Thalaq : 2 – 3)

Selanjutnya jika memang anda telah


bertaubat kepada Allah swt atas apa yang
anda lakukan itu maka hendaklah anda
tidak menceritakan aib tersebut kepada
siapa pun dan semoga Allah swt menutupi
aib anda itu, berdasarkan sabda Nabi
saw,”Setiap umatku mendapat pemaafan
kecuali orang yang menceritakan (aibnya
sendiri). Sesungguhnya diantara perbuatan
menceritakan aib sendiri adalah seorang
yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di
malam hari dan sudah ditutupi oleh Allah
swt kemudian dipagi harinya dia sendiri
membuka apa yang ditutupi Allah itu.”
(HR. Bukhori dan Muslim)

Adapun terhadap istri anda dikarenakan


perzinahan yang anda lakukan merupakan
penodaan terhadap tali ikatan pernikahan
anda berdua maka jika anda melihat
bahwa dengan membuka aib tersebut
kepadanya justru akan memunculkan
kemudharatan bagi kehidupan rumah
tangga anda sementara anda sudah
bertaubat kepada Allah maka dibolehkan
bagi anda untuk tidak menceritakan aib
tersebut kepadanya kecuali apabila anda
melihat sebaliknya maka dibolehkan bagi
anda membukanya dan meminta maaf
kepadanya. Hal yang demikian apabila istri
anda tidak bertanya kepada anda tentang
permasalahan (perzinahan) tersebut.

Akan tetapi apabila istri anda bertanya


tentang permasalahan tersebut maka anda
tidak diperbolehkan berbohong
tentangnya. Anda harus menceritakan dan
meminta maaf kepadanya. Untuk itu
hendaklah anda mempersiapkan istri anda
sejak dini untuk siap menerima kenyataan
manakala dia bertanya kepada anda
tentangnya dan tunjukan bahwa anda
benar-benar telah bertaubat kepada Allah
dengan memperbanyak ibadah dan amal
shaleh.

Semoga Allah swt memudahkan urusan


anda dan mengarahkan anda kepada jalan-
Nya.

Wallahu A’lam

Shalat Jumat Kurang dari 40


Orang
Jumat, 09/04/2010 09:48 WIB
| email | print | share
Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya bekerja sebagai PNS disuatu daerah
Kal-Bar kebetulan daerah itu mayoritas
paling banyak adalah non muslim
Katolik,tetap walaupun begitu masih ada
mesjid untuk kami Umat Muslim untuk
menjalankan Sholat Jum'at.

Dengan jumlah yang tidak banyak (paling


banyak 2 shaf dalam sholat jum'at)
Alhamdulillah kami melaksanakan Sholat
Jum'at, nah suatu waktu Imam kami
membeitahukan bahwa sholat Jum'at yang
kami kerjakan tidak sah karena jumlahnya
kurang dari 40 orang,dan harus ditambah
dengan sholat Zuhur 4 rakaat dan
hukumnya adalah fardu kifayah.
1. Apakah itu benar pak ustad?

2. Minta tolong kalau ada Hadist


ataupun Firman Allah yang
bekenaan dengan Sholat Jum'at
tersebut

Sekian dan terima kasih atas Jawaban Pak


Ustad

Wassalammualaikum Wr. Wb.

hazbi putra
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Hazby Putra yang dimuliakan
Allah swt

Diantara dalil-dalil yang menyebutkan


kewajiban shalat jum’at adalah firman
Allah swt :

‫ودي لِلصَّاَل ِة ِمن َي ْوِم‬


ِ ُ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنوا إِ َذا ن‬
َُ َ َ َ
‫اس َع ْوا إِىَل ِذ ْك ِر اللَّ ِه َو َذ ُروا الَْبْي َع‬ ِ
ْ َ ‫اجْلُ ُم َع‬
‫ف‬ ‫ة‬
‫َذلِ ُك ْم َخْيٌر لَّ ُك ْم إِن ُكنتُ ْم َت ْعلَ ُمو َن‬

Artinya : “Hai orang-orang beriman,


apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah : 9)

Diriwayatkan dari Jabir bahwasanya


Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir
maka wajib atasnya shalat jum’at pada
hari jum’at kecuali orang sakit, musafir,
wanita, anak kecil, atau budak.
Barangsiapa yang sedang mencari
kekayaan dengan berdagang cukuplah
Allah baginya. Dan Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji.” (HR. ad Daruquthni)
Sedangkan dalam batas minimal jama’ah
dibolehkannya shalat jum’at telah terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama :

1. Abu Hanifah dan Muhammad


berpendapat bahwa shalat jum’at bisa
dilakukan minimal oleh tiga orang selain
imam, walaupun mereka orang yang
musafir atau orang sakit.

‫َاس َع ْوا إِىَل ِذ ْك ِر اللَّ ِه‬


ْ

Artinya : “Maka bersegeralah kamu kepada


mengingat Allah.” (QS. Al Jumu’ah : 9)
2. Para ulama Maliki memberikan
persyaratan jumlah minimal yang hadir
adalah 12 orang dalam shalat dan
khutbah, sebagaimana riwayat dari Jabir
bahwa Nabi saw pernah berkhutbah
dengan berdiri pada hari jum’at kemudian
datang rombongan dagang dari Syam dan
para jama’ah menghampirinya sehingga
yang tersisa hanya tinggal dua belas orang
saja, kemudian turun firman Allah swt
dalam surat al Jumu’ah

ُّ ‫َ إِ َذا َرأ َْوا جِت َ َار ًة أ َْو هَلًْوا ان َف‬


‫ضوا إِلَْي َها‬
‫وك قَائِ ًما‬
َ ‫َوَتَر ُك‬
Artinya : “dan apabila mereka melihat
perniagaan atau permainan, mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka
tinggalkan kamu sedang berdiri
(berkhotbah).” (QS. Al Jumu’ah : 11)

3. Para ulama Syafi’i dan Hambali


berpendapat bahwa shalat jum’at bisa
dilakukan dengan jumlah 40 orang atau
lebih dengan imamnya adalah penduduk
setempat yang baligh, berakal, merdeka,
laki-laki.. mereka membolehkan imam
seorang musafir apabila jumlah jama’ah
lebih dari 40 orang. Dalil yang digunakan
oleh mereka adalah apa yang diriwayatkan
oleh Baihaqi dari Ibnu Mas’ud bahwasanya
Nabi saw melakukan shalat jum’at di
Madinah sedangkan jumlah mereka adalah
40 orang. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu
juz II hal 1295 – 1297)

Sebetulnya perselisihan para ulama


tentang batas minimal jumlah jama’ah
shalat jum’at tidak hanya kepada tiga
pendapat diatas namun mencapai 15
pendapat, sebagaimana dikatakan al
Hafizh Ibnu Hajar didalam kitabnya “Fathul
Bari”.

Sesungguhnya hadits yang diriwayatkan


oleh al Baihaqi dari Ibnu Mas’ud diatas
atau hadits lainnya yang diriwayatkan oleh
Abu Daud bahwa As’ad bin Zurarah adalah
orang yang pertama mengumpulkan kami
di daerah Hazmin Nabit di daerah Harrah
Bani Bayadhah di daerah Naqi’ ada juga
yang mengatkan Naqi’i al Khushumat (1
mil dekat Madinah) dan jumlah mereka
pada saat itu 40 orang menjadi dalil
sahnya shalat jum’at yang dilakukan oleh
40 orang atau lebih akan tetapi tidak
terdapat dalil baik didalam hadits-hadits
tersebut maupun yang lainnya yang
menyatakan secara tegas bahwa shalat
jum’at tidak sah manakala dilakukan
kurang dari 40 orang.

Diantara kewajiban shalat jum’at adalah


dilakukan secara berjama’ah dan jika kita
kembalikan kepada makna jama’ah
didalam shalat maka cukuplah hanya
dengan dua orang, yaitu imam dan
makmum sebagaimana ijma’ ulama dan
didalam shalat jum’at maka bisa dilakukan
dengan dua orang makmum pendengar
dan satu orang khotib (3 orang),
sebagaimana pendapat Abu Hanifah diatas
dan keumuman ayat 9 surat al Jumu’ah :

Artinya : “Hai orang-orang beriman,


apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah : 9)
Dengan begitu shalat jum’at yang kalian
lakukan bahkan mampu menghadirkan
hingga dua shaff jama’ah di daerah yang
mayoritas non muslim adalah sah dan
tidak perlu menggantikannya dengan
shalat zhuhur.

Wallahu A’lam

Hadits Manusia Paling


Bermanfaat
Rabu, 31/03/2010 11:54 WIB
| email | print | share
Assalamualaikum wrwb

Ustadz, saya sering membaca tentang


hadits yang singkatnya berbunyi "sebaik-
baik manusia adalah yang paling
bermanfaat untuk orang lain." Saya
kesulitan untuk menemukan teks haditsnya
yang lengkap. Mohon penjelasan ustadz
tentang teks lengkap hadits ini.

Jazakumullah khairan.

Wassalamualaikum wrwb

eva

Dwi
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Eva yang dimuliakan Allah swt


‫ قال رسول اهلل صلى اهلل‬: ‫عن جابر قال‬
‫ وال‬، ‫ « املؤمن يألف ويؤلف‬: ‫عليه وسلم‬
‫ وخري الناس‬،‫ وال يؤلف‬، ‫خري فيمن ال يألف‬
» ‫أنفعهم للناس‬

Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah


saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap
ramah dan tidak ada kebaikan bagi
seorang yang tidak bersikap ramah. Dan
sebaik-baik manusia adalah orang yang
paling bermanfaat bagi manusia.” (HR.
Thabrani dan Daruquthni)
‫‪Hadits ini dishahihkan oleh al Albani‬‬
‫‪didalam “ash Shahihah” nya.‬‬

‫عن ابن عمر ‪ ،‬أن رجال جاء إىل رسول اهلل‬


‫صلى اهلل عليه وسلم ‪ ،‬فقال ‪ :‬يا رسول اهلل‬
‫أي الناس أحب إىل اهلل ؟ وأي األعمال‬
‫أحب إىل اهلل عز وجل ؟ فقال رسول اهلل‬
‫صلى اهلل عليه وسلم ‪ « :‬أحب الناس إىل اهلل‬
‫أنفعهم للناس ‪ ،‬وأحب األعمال إىل اهلل‬
‫سرور تدخله على مسلم ‪ ،‬أو تكشف عنه‬
‫كربة ‪ ،‬أو تقضي عنه دينا ‪ ،‬أو تطرد عنه‬
‫جوعا ‪ ،‬وألن أمشي مع أخ يل يف حاجة‬
‫أحب إيل من أن أعتكف يف هذا املسجد ‪،‬‬
‫يعين مسجد املدينة ‪ ،‬شهرا ‪ ،‬ومن كف‬
‫غضبه سرت اهلل عورته ‪ ،‬ومن كظم غيظه ‪،‬‬
‫ولو شاء أن ميضيه أمضاه ‪ ،‬مأل اهلل عز وجل‬
‫قلبه أمنا يوم القيامة ‪ ،‬ومن مشى مع أخيه يف‬
‫حاجة حىت أثبتها له أثبت اهلل عز وجل قدمه‬
» ‫على الصراط يوم تزل فيه األقدام‬

Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki


mendatangi Nabi saw dan berkata,”Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling
diicintai Allah ? dan amal apakah yang
paling dicintai Allah swt?” Rasulullah saw
menjawab,”Orang yang paling dicintai
Allah adalah orang yang paling bermanfaat
buat manusia dan amal yang paling dicintai
Allah adalah kebahagiaan yang engkau
masukkan kedalam diri seorang muslim
atau engkau menghilangkan suatu
kesulitan atau engkau melunasi utang atau
menghilangkan kelaparan. Dan
sesungguhnya aku berjalan bersama
seorang saudaraku untuk (menuaikan)
suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada
aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid
Madinah—selama satu bulan. Dan
barangsiapa yang menghentikan
amarahnya maka Allah akan menutupi
kekurangannya dan barangsiapa menahan
amarahnya padahal dirinya sanggup untuk
melakukannya maka Allah akan memenuhi
hatinya dengan harapan pada hari kiamat.
Dan barangsiapa yang berjalan bersama
saudaranya untuk (menunaikan) suatu
keperluan sehingga tertunaikan
(keperluan) itu maka Allah akan
meneguhkan kakinya pada hari tidak
bergemingnya kaki-kaki (hari
perhitungan).” (HR. Thabrani)

Hadits ini dihasankan oleh Syeikh al Albani


didalam kitab “at Targhib wa at Tarhib”
(2623)

Wallahu A’lam

Hukum Pembatas dalam


Shalat
Selasa, 30/03/2010 08:05 WIB
| email | print | share
Assallaamu 'Alaikum..

Mohon penjelasan tentang


sutroh/pembatas dalam sholat...
Jazaakallahu khoiron..

Syahrul
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Syahrul yang dimuliakan Allah swt

Sutroh menurut bahasa berarti sesuatu


yang digunakan untuk membatasinya.
Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu
yang dijadikan oleh Imam shalat sebagai
pembatas, seperti : tongkat atau yang
lainnya atau sesuatu yang diletakkan
dihadapan seorang yang melaksanakan
shalat untuk menghalangi seseorang
melintas dihadapannya.

Disunnahkan bagi seorang yang


melaksanakan shalat sendirian atau
menjadi imam agar meletakkan sutroh
dihadapannya untuk menghalangi seorang
yang akan melintas dihadapannya dan hal
itu dapat mengokohkan kekhusyuannya
didalam gerakan-gerakan shalatnya,
sebagaimana riwayat dari Abu Said al
Khudriy bahwa Nabi saw bersabda,”Apabila
seorang dari kalian melaksanakan shalat
hendaklah shalat dengan (menggunakan)
sutroh, dan mendekatlah darinya dan
janganlah biarkan seseorang melintas
dihadapannya.” Serta sabda Rasulullah
saw,”Hendaklah seorang diantara kalian
menjadikan sutroh didalam shalatnya
walaupun dengan sebuah anak panah.”

Perintah didalam hadits tersebut


merupakan sebuah anjuran bukan
kewajiban. Ibnu Abidin mengatakan,”
Ditegaskan didalam kitab “al Maniyah”
bahwa meninggalkannya adalah makruh
tanzih.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari al Fadhl


bin al Abbas berkata,”Rasulullah saw
mendatangi kami, sementara kami tengah
berada di suatu perkampungan lalu beliau
saw melaksanakan shalat di padang pasir
dan tidak tampak dihadapannya sutroh.”
Hal yang sama juga dikatakan oleh para
ulama Hambali.

Al Bahutiy mengatakan bahwa bukanlah


sebuah kewajiban berdasarkan hadits Ibnu
Abbas bahwa Nabi saw melaksanakan
shalat di suatu tempat terbuka dan tidak
ada sesuatu pun (sutroh) dihadapannya.”
Sementara itu para ulama Hanafi dan
Maliki didalam pendapat mereka yang
mayhur disebutkan bahwa hal itu adalah
sunnah baik bagi imam maupun orang
yang shalat sendirian jika dirinya khawatir
ada orang yang akan melintas
dihadapannya dan jika tidak ada
kekhwatiran tersebut maka hal itu
bukanlah sunnah. 
Sedangkan para ulama Hambali
mengatakan bahwa sutroh adalah sunnah
bagi imam dan orang yang melaksanakan
shalat sendirian walaupun dirinya tidak
khawatir akan ada orang yang
melintasinya.

Adapun makmum maka tidaklah


dianjurkan baginya mengambil sutroh
berdasarkan kesepakatan para ulama
karena sutroh imam adalah sutroh bagi
orang yang ada dibelakangnya atau karena
imam adalah sutroh baginya, meski di sini
terdapat perbedaan di kalangan para
fuqaha.
Kemudian para fuqaha bersepakat bahwa
diperbolehkan bagi seorang yang
melaksanakan shalat untuk menjadikan
segala sesuatu yang berdiri (tegak)
sebagai sutroh, seperti : dinding, pohon,
tiang, pilar, atau segala sesuatu
ditusukkan, seperti : tongkat, tombak,
anak panah atau yang sejenisnya. Dan
seyogyanya menggunakan sesuatu yang
kokoh sehingga tidak menyibukkan
seorang yang shalat dari kekhusyuannya.

Para ulama Maliki mengecualikan sutroh


dengan sebuah batu. Mereka mengatakan
bahwa menggunakan batu apabila ada
sesuatu selainnya maka hal itu adalah
makruh karena menyerupai penyembahan
berhala akan tetapi apabila tidak ada
selainnya maka hal itu dibolehkan…

Sementara itu para ulama berbeda


pendapat tentang ukuran dan sifat dari
sutroh : 
Para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat
apabila seorang melaksanakan shalat di
padang pasir atau tempat-tempat yang
dikhawatirkan ada orang yang melintas
dihadapannya maka dianjurkan baginya
untuk meletakkan sutroh dengan panjang
satu hasta atau lebih. Para ulama Hanafi
mengatakan bahwa hitungan satu hasta
atau kurang maka terdapat perselisihan.
Yang dimaksud dengan satu hasta di sini
adalah hasta tangan yaitu dua jengkal.
Sedangkan para ulama Syafi’i mengatakan
bahwa panjang sutroh adalah sekitar dua
pertiga hasta atau lebih.

Sementara itu para ulama Hambali


mengatakan apabila seseorang shalat di
tempat terbuka dengan sutroh yang
tingginya paling tidak sekitar satu hasta.

Adapun ukuran ketebalannya maka para


ulama Syafi’i dan Hambali tidaklah
membatasinya. Bisa saja dia tebal seperti
dinding dan onta atau tipis seperti anak
panah karena Rasulullah saw
melaksanakan shalat dengan sutrohnya
yaitu tombak dan onta.
Sedangkan para ulama Hanafi menegaskan
didalam banyak matannya bahwa sutroh
tebalnya atas seperti ketebalan jari jemari.
Ini adalah ukuran minimalnya karena
apabila kurang dari itu maka sutroh
tidaklah bisa terlihat sehingga tujuan dari
sutroh itu tidaklah kesampaian. Namun
Ibnu Abidin berkata,”Didalam kitab “al
Bada’i” penjelasan ketebalan sutroh adalah
pendapat yang lemah..”

Para ulama Maliki mengatakan bahwa


ketebalan sutroh adalah paling tidak
seperti ketebalan lembing dan tidak cukup
sutroh apabila kurang dari ukuran itu.
Dinukil dari Ibnu Habib bahwa dia
mengatakan,”Tidak mengapa sutroh
kurang dari tinggi tongkat dan tidak
setebal lembing.’ (al Mausu’ah al Fiqhiyah
juz II hal 8486 – 8490)

Wallahu A’lam

Syafaat Anak Kecil bagi


Orangtuanya
Rabu, 10/03/2010 14:00 WIB
| email | print | share
Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun… putri kami


yang berumur 3 tahun telah dipanggil Allah
SWT di pertengahan Februari 2010 karena
sakit DBD.. kami sangat terpukul dan
merasa sedih yang sangat mendalam… tapi
kami sedikit terhibur dengan nasehat dari
tetangga bahwa anak kami itu akan masuk
surga dan akan menjadi syafa’at bagi kami
orangtuanya kelak di hari kiamat… tapi
kami juga sedikit bingung karena dalam
AlQur'an surah Luqman ayat 33 yang
artinya : “Wahai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu dan
takutilah akan hari akhirat yang padanya
seorang ibu atau bapak tidak dapat
melepaskan anaknya dari azab dosanya
dan seorang anak pula tidak dapat
melepaskan ibu atau bapaknya dari azab
dosa masing-masing sedikitpun.“ Mohon
penjelasan dari pak Ustadz.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Prasetyo
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Prasetyo yang dimuliakan Allah


swt

Semoga Allah swt melimpahkan pahala dan


kebaikan kepada anda dengan
meninggalnya putri anda. Dan semoga
kelak putri anda akan memberikan syafaat
kepada anda berdua sebagai orang tuanya,
sebagaimana diriwayatkan oleh Nasai
dengan sanad baik,”Bahwa pada hari
kiamat anak-anak kecil akan berdiri lalu
dikatakan kepada mereka,’Masuklah ke
surga.’ Maka mereka mengatakan,’(Saya
akan masuk) sehingga bapak-bapak kami
masuk (juga) ke surga.’ Dikatakan kepada
mereka,’Masuklah kalian dan bapak-bapak
kalian ke surga.” (baca : Syafaat dari
Orang Shaleh)
Adapun firman Allah swt didalam surat
Luqman ayat 33

‫اخ َش ْوا َي ْو ًما اَّل‬ ْ ‫َّاس َّات ُقوا َربَّ ُك ْم َو‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫ه‬
َ ‫ي‬
َُّ‫أ‬ ‫ا‬َ‫ي‬
ُ
‫ود ُه َو َجا ٍز َعن‬ ِ ِ ِ
ٌ ُ ْ َ ‫جَيْ ِزي َوال ٌ َ َ َ َ اَل‬
‫ل‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫د‬ ‫ل‬‫و‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫د‬
‫َوالِ ِد ِه َشْيئًا إِ َّن َو ْع َد اللَّ ِه َح ٌّق فَاَل َتغَُّرنَّ ُك ُم‬
‫ور‬ ‫ر‬ َ‫غ‬ْ‫ل‬ ‫ا‬ ِ
‫ه‬ َّ
‫ل‬ ‫ال‬ِ‫الد ْنيا واَل يغَُّرنَّ ُكم ب‬
ُّ ‫ة‬
ُ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫حْل‬ ‫ا‬
ُ ُ َ َ َ ََ
Artinya : “Hai manusia, bertakwalah
kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari
yang (pada hari itu) seorang bapak tidak
dapat menolong anaknya dan seorang
anak tidak dapat (pula) menolong
bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji
Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-
kali kehidupan dunia memperdayakan
kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan)
memperdayakan kamu dalam (mentaati)
Allah.”

Ibnul Jauziy didalam kitabnya “Zaad al


Masir” menyebutkan firman Allah swt ‫يا أيها‬
‫“ الناس اتقوا ربكم‬Hai manusia, bertakwalah
kepada Tuhanmu” bahwa para mufasir
mengatakan,”Ayat ini ditujukan untuk
orang-orang kafir di Mekah.” Dan firman
Allah swt “‫“ ال يجزي والد عن ولده‬seorang bapak
tidak dapat menolong anaknya sedikit pun
dari kejahatan dan kezhalimannya. Muqotil
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
orang-orang kafir. (Zaad al Masir juz V hal
112)

Tentang firman Allah : ً ‫از َعن َوالِ ِد ِه َشيْئا‬


ٍ ‫ه َُو َج‬
“(seorang anak) tidak dapat menolong
bapaknya sedikit pun” al Baidhowi didalam
tafsirnya mengatakan bahwa (pada kalimat
itu) terdapat perubahan susunan sebagai
dalil bahwa apa lagi seorag anak yang
dilahirkan maka dia tidak akan dapat
memberikan pertolongan. Dan hal ini
menghilangkan bahwa orang-orang
beriman bisa memberikan manfaat
(pertolongan) kepada bapak-bapaknya
yang kafir di akherat.

Senada dengan ayat diatas adalah firman


Allah swt :

Artinya : “Dan jagalah dirimu dari (azab)


hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang
tidak dapat membela orang lain, walau
sedikitpun; dan (begitu pula) tidak
diterima syafa'at dan tebusan dari
padanya, dan tidaklah mereka akan
ditolong.” (QS. Al Baqoroh : 48)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna ‫َوال‬


‫اع ٌة‬
َ ‫“ ُي ْق َب ُل ِم ْن َها َش َف‬dan tidak diterima syafaat”
adalah terhadap orang-orang kafir. Firman
Allah swt :

Artinya ; “ Maka tidak berguna lagi bagi


mereka syafa'at dari orang-orang yang
memberikan syafa'at.” (QS. Al Mudatsir :
48)

Dari ayat-ayat tersebut bisa difahami


bahwa tidak semua syafaat diterima Allah
swt akan tetapi ada darinya yang tidak
diterima dikarenakan tidak memenuhi
persyaratan untuk itu, seperti syafaat
orang-orang beriman untuk orang-orang
kafir karena Allah tidak akan pernah
meredhoi orang-orang kafir.
Seperti juga syafaat Nabi Ibrahim untuk
ayahnya yang kemudian ditolak Allah swt
seperti apa yang diriwayatkan dari Abu
Hurairoh dari Nabi saw,”Pada hari kiamat
Ibrahim menemui ayahnya Azar dan
tampak wajahnya gelap dan tertutupi
debu. Lalu Ibrahim berkata kepadanya,
’Bukankah aku telah mengatakan
kepadamu untuk tidak maksiat.’

Ayahnya berkata, ’Hari ini aku tidak akan


maksiat terhadapmu.’ Ibrahim pun
berkata, ’Wahai Allah, sesungguhnya
Engkau pernah berjanji kepadaku bahwa
Engkau tidak akan menghinakanku pada
hari mereka dibangkitkan maka kehinaan
yang mana yang lebih hina dari yang
didapat ayahku yang jauh (dari rahmat-
Mu).’ Lalu Allah berkata,’Sesungguhnya
Aku mengharamkan surga buat orang-
orang kafir.’ Kemudian dikatakan kepada
Ibrahim, ’Wahai Ibrahim apa yang ada
dibawah kedua kakimu.’ Lalu Ibrahim pun
melihatnya dan ternyata ia adalah seekor
srigala berbintik-bintik maka dipeganglah
kaki-kakinya dan dilemparkan ke neraka.”
(HR. Bukhori)

Dengan demikian ada syafaat yang


diterima Allah swt dan ada juga yang
ditolak. Dan persyaratan diterimanya
syafat adalah :
1. Izin dari Allah swt kepada pihak
yang memberikan syafaat dan pihak
yang mendapatkannya.

2. Ridho Allah kepada pihak yang


memberikan syafaat.

3. Ridho Allah kepada pihak yang


mendapatkan syafaat.

Hal-hal tersebut berdasarkan dalil-dalil


berikut :

Artinya : “Dan berapa banyaknya Malaikat


di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak
berguna, kecuali sesudah Allah
mengijinkan bagi orang yang dikehendaki
dan diridhai (Nya).” (QS. An Najm : 26)

Artinya : “Pada hari itu tidak berguna


syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang
Allah Maha Pemurah telah memberi izin
kepadanya, dan Dia telah meridhai
perkataannya.” (QS. Thaha : 109)

Artinya : “Allah mengetahui segala sesuatu


yang dihadapan mereka (malaikat) dan
yang di belakang mereka, dan mereka
tiada memberi syafaat melainkan kepada
orang yang diridhai Allah, dan mereka itu
selalu berhati-hati karena takut kepada-
Nya.” (QS. Al Anbiya : 28)
Wallahu A’lam

Berbohong karena Maslahat


Organisasi
Selasa, 09/03/2010 10:18 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz Sigit, langsung saja saya ingin


menanyakan tentang perbuatan berbohong
atau  melakukan kebohongan. Bolehkan
kita melakukan kebohongan?

Apabila kita mendapati bahwa seorang


pemimpin kelompok melakukan
kebohongan, bolehkah kita keluar dari
kelompok tersebut? Karena saya akhir-
akhir ini merasa resah terhadap kelompok
yang saya ikuti tersebut, terus terang saya
secara pribadi merasa kuatir terkena
hukum "ikut mendukung kebathilan" jika
terus mengikuti kelompok tersebut.
Apalagi pemimpin kelompok yang saya
ikuti itu pernah berkata dan berpendapat,
bahwa berbohong itu boleh asalkan untuk
kebaikan (kemaslahatan) kelompok.

Demikian, atas jawaban dari ustadz, saya


ucapkan jazakumullah khoiron katsir.
wassalam.

Abi Zaid - Jakarta


Jawaban

Waalaikumusalam Wr Wb
Saudara Abi Zaid yang dimuliakan Allah
swt

Berbohong adalah akhlak tercela yang


tidak boleh dijadikan sebagai sarana untuk
berdakwah kepada Allah swt. Terdapat
berbagai nash yang mencela sifat bohong
ini, diantaranya firman Allah swt :

‫اب‬ َّ ِ ِ َّ َّ ِ
ٌ َ ٌ ْ ُ َُ ْ َ َْ َ ‫إ‬
‫ذ‬ ‫ك‬ ‫ف‬‫ر‬ ‫س‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ي‬‫د‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫اَل‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ن‬

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak


menunjuki orang-orang yang melampaui
batas lagi pendusta.” (QS. Al Mukmin : 28)
Sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya
kejujuran adalah perbuatan baik dan
sesungguhnya perbuatan baik
menunjukkan kepada surga.
Sesungguhnya seorang hamba yang
berusaha untuk jujur sehingga dituliskan
sebagai seorang yang jujur di sisi Allah
swt. dan sesungguhnya berbohong adalah
kejahatan dan sesungguhnya kejahatan
menunjukkan kepada neraka dan
sesungguhnya seorang hamba yang
berusaha untuk berbohong sehingga
dituliskan sebagai pendusta (di sisi Allah).”
(Muttafaq Alaih dan lafazh dari Imam
Muslim)
Ummul Mukminin, Aisyah
berkata,”Tidaklah satu akhlak yang paling
dibenci oleh Rasulullah daripada
berbohong. Ada seorang lelaki yang
berbicara dekat Nabi saw dengan
berbohong dan berbohong itu senantiasa
ada didalam dirinya sehingga beliau saw
mengetahui bahwa orang itu telah
menunjukkan pertaubatan.” (HR. Tirmidzi
dan dihasankannya juga Ahmad yang telah
dishahihkan oleh al Al Bani)

Dan orang yang pertama untuk berusaha


berbuat jujur dan menjauhi kebohongan
adalah para da’i yang menyeru kepada
Allah swt yang menjadi contoh bagi
umat….
Berbohong seluruhnya diharamkan kecuali
dalam hal-hal yang telah dikecualikan oleh
syara’, seperti didalam sabda Rasulullah
saw,”Tidak dihalalkan berbohong kecuali
dalam tiga hal : perkataan seorang suami
kepada istrinya demi menyenangkannya,
berbohong didalam peperangan dan
berbohong untuk mendamaikan manusia.”
(HR. Tirmidzi dan dihasankannya)

Dari Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah


berkata,”Aku tidak mendengar Rasulullah
saw memberikan rukhshah (keringanan)
sedikitpun dalam hal berbohong kecuali
dalam tiga perkara. Rasulullah
bersabda,’Aku tidak menganggapnya
sebuah kebohongan, yaitu : seorang lelaki
yang mendamaikan antara manusia yang
mengatakan suatu perkataan dan tidaklah
dia menginginkan darinya kecuali
perdamaian. Seorang lelaki yang
mengatakannya didalam peperangan dan
seorang lelaki yang mengatakannya
kepada istrinya dan istri yang
mengatakannya kepada suaminya.” (HR.
Abu Daud dan dishahihkan oleh al Albani)
–(www.islamweb.net)

Sesungguhnya islam tidaklah mengenal


istilah mencapai tujuan dengan segala cara
dan islam juga tidak dibolehkan
menggunakan cara-cara yang diharamkan
syariat untuk mencapai tujuan yang baik
menurut syariat.
Ibnul Qoyyim didalam kitabnya “Ighotsah
al Lahfan” mengatakan bahwa
sesungguhnya yang diharamkan adalah
mencapai tujuan-tujuan yang disyariatkan
melalui cara-cara yang tidak disyariatkan
oleh Allah dan Rasul-Nya yang berarti
orang itu telah menipu Allah swt dan
Rasul-Nya dan memperdaya agamanya,
membuat makar terhadap syariatnya.
Sesungguhnya tujuannya untuk
mendapatkan sesuatu yang diharamkan
Allah swt dan Rasul-Nya dengan cara tipu
daya seperti itu dan menghilangkan apa-
apa yang diwajibkan Allah (kepadanya)
dengan cara tipu daya itu.” (Ighotsah al
Lahfan juz I hal 388)
Dan jika saja berbohong itu dibolehkan
untuk kemaslahatan da’wah atau jama’ah
tentulah Rasulullah saw akan
melakukannya padahal betapa besar ujian
dan cobaan yang dihadapinya dan generasi
pertama islam didalam menyebarkan
da’wah islam dan mengajak manusia ke
jalan-Nya.

Jadi perkataan bahwa kebohongan


dibolehkan untuk kemaslahatan da’wah
atau kelompok adalah perkataan yang
keliru atau tidak benar serta tidak memiliki
landasan syar’i.

(Baca : Hukum Berhenti dari Jama’ah)


Wallahu A’lam
Hukum Pemecatan dalam
Harakah Dakwah
Jumat, 05/03/2010 14:37 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz Sigit, bagaimana penyikapan kita


sebagai seorang muslim terhadap "pecat-
memecat" dalam harakah da'wah?

Apakah contoh ini ada dalam siroh nabi,


sahabat atau siroh lainnya? Apakah dalam
berda'wah harus ada tindakan ini? Apakah
tindakan ini dibenarkan?

Saya masih bingung dengan fenomena ini,


mohon jawaban dan pencerahan ustadz.
abu thariq
Jawaban

Walaikumussalam Wr Wb

Saudara Abu Thariq yang dimuliakan Allah


swt

Jama’ah memiliki dua pemahaman yaitu


dari aspek itiqodiy (aqidah) dan dari aspek
siyasi (politik). Dari aspek itiqody berarti
bahwa jama’ah itu diharuskan mengikuti
manhaj ahlus sunnah wal jamaah.
Sedangkan dari aspek siyasi bahwa
keikutserataan mereka didalam jama’ah
tersebut berada dibawah sebuah aturan
atau sistem yang ditetapkan oleh jama’ah
tersebut serta berkomitmen dengan
prinsip-prinsipnya didalam perkara-perkara
yang tidak maksiat kepada Allah swt dan
tidaklah keluar darinya kecuali dikarenakan
adanya kekufuran yang nyata demi
menjaga keberlangsungan jamaah.

Sebagaimana diketahui bahwa setiap


jama’ah atau harokah da’wah yang ada
hari ini hanyalah satu diantara sekian
banyak jama’ah atau harokah da’wah yang
bertujuan membentengi kaum muslimin
dari serangan musuh-musuhnya serta
mengembalikan kejayaan kaum muslimin
kedalam satu pemerintahan islam (khilafah
islamiyah). Karena itu setiap jama’ah atau
harokah yang ada saat ini hanyalah
jama’ah minal muslimin yang tidak berhak
untuk menafikan jama’ah atau harokah
selainnya selama tetap berpegang teguh
dengan prinsip-prinsip islam. Banyaknya
jama’ah dan harokah saat ini adalah akibat
dari ketidakberadaan jamatul muslimin
yang mengumpulkan seluruh kaum
muslimin dibawah satu pemerintahan islam
(khalifah) yang mencakup dua pemahaman
baik dari aspek itiqodiy maupun siyasi.

Diwajibkan bagi seorang muslim untuk


tetap berkomitmen dengan jamaatul
muslimin ketika jama’ah seperti ini ada
dan tidak diperbolehkan baginya untuk
keluar atau meletakkan ketaatan
terhadapnya dan juga tidak berhak bagi
pemerintahan islam atau imam
mengeluarkannya (memecatnya) dari
jama’atul muslimin kecuali dikarenakan
alasan-alasan yang dibenarkan dan setelah
dilakukan upaya penyadaran atas
kesalahannya.

Diantara hal-hal yang bisa mengeluarkan


seseorang dari jamaatul muslimin :

1. Upaya mengkudeta pemerintahan yang


sah atau disebut juga dengan bughot
(pemberontak), sebagaimana firman Allah
swt :

Artinya : “Dan kalau ada dua golongan dari


mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara
keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah
yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada
perintah Allah. kalau Dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut
keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku
adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-
orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Hujurat :
9)

2. Memerangi pemerintahan yang sah


dengan cara melakukan kekacauan di
dalam negeri seperti : perampokan,
pengrusakan, penjarahan atau sejenisnya,
sebagaimana disebutkan didalam firman-
Nya :

Artinya : “Sesungguhnya pembalasan


terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal balik,
atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka didunia,
dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar,” (QS. AL Maidah : 33)

3. Kekufuran baik keufurannya


dikarenakan tidak mau menerima prinsip-
prinsip islam untuk menghalalkan apa-apa
yang dihalalkan Allah swt atau pun
mengharamkan apa-apa yang diharamkan-
Nya maka ia termasuk didalam kategori
orang yang disebutkan didalam hadits
“(yaitu) orang yang meninggalkan
agamanya lagi berpisah dengan jama’ah” .
Atau kekufuran tehadap islam,
menentangnya, memberikan loyalitas
kepada musuh-musuh islam, memerangi
islam dan mereka adalah orang-orang
yang murtad yang telah meletakkan ikatan
islam dari leher-leher mereka lalu
bergabung dengan musuh-musuh islam,
seperti yang terjadi pada masa Abu Bakar
ketika banyak orang-orang yang murtad,
meninggalkan agama dan memerangi
kaum muslimin.

Sedangkan berkaitan dengan pemecatan


yang dilakukan suatu jama’ah atau
harokah da’wah saat ini yang notabene
adalah jama’ah minal muslimin terhadap
anggotanya dikembalikan kepada aturan-
aturan atau AD/ART dari jama’ah tersebut.

Yang tentunya apabila jama’ah tersebut


adalah jama’ah yang bercita-cita
mengembalikan kejayaan kaum muslimin
dan kepemimpinan islam (khilafah
islamiyah) maka AD/ART yang dimilikinya
haruslah bersesuaian dengan prinsip-
prinsip yang dimiliki islam bukan semata-
mata hasil pemikian para pemimpinanya.

Sebagaimana islam yang melihat sebuah


kemaksiatan tidak berada didalam satu
garis akan tetapi ada yang tergolong dosa
kecil dan ada juga yang besar dengan
sangsi-sangsi yang berbeda diantara
keduanya atau bahkan dosa besar sekali
pun ketika dia bertaubat maka akan dapat
pemaafan dari Allah swt. Maka begitu pula
seharusnya sebuah jama’ah da’wah untuk
tidak melihat segala kesalahan anggotanya
dalam satu garis apabila memang dia
berbuat kesalahan. Ketika memang
seorang anggotanya ada yang melakukan
pelanggaran syari’ah maka berhak bagi
jama’ah untuk memberikan sangsi sesuai
dengan jenis dan bobot kesalahan
syari’ahnya itu. Bisa saja si pelaku
dikenakan sangsi berat atau bahkan
pemecatan dikarenakan bobot pelanggaran
yang dilakukannya juga berat atau telah
keluar dari prinsip-prinsip islam.

Dan perlu juga diketahui kesalahan atau


kekeliruan bukan hanya milik anggotanya
sehingga jama’ah tampak suci tanpa ada
kesalahan. Sesungguhnya kesalahan dan
kekeliruan juga bisa terjadi pada
jama’ahnya. Karena itu diperlukan adanya
kebersamaan didalam menjaganya agar
jama’ah tetap berada diatas tracknya yang
benar melalui saling ingat-mengingatkan,
nasihat menasihati atau wasiat mewasiati
baik diantara anggota atau antara anggota
dengan pemimpinnya.

Para pemimpin jama’ah atau harokah


diharuskan siap mendengarkan berbagai
masukan, nasihat atau kritikan dari para
anggotanya dan dilarang baginya bersikap
emosional dan cepat marah didalam
menanggapinya apalagi jika berujung
pemecatan orang tersebut dari jama’ah
hanya karena tidak siap
mendengarkannya. Karena sesungguhnya
didalam kritikan dan masukan tersebut ada
kebaikan bagi jama’ah itu sendiri.
Syeikh Mustafa Masyhur, didalam kitabnya
“Min Fiqh ad Da’wah”
mengatakan,”Diantara sifat mukmin ialah
suka nasihat menasihati dengan kebenaran
dan wasiat mewasiati dengan kesabaran.
Ketinggian kedudukan pimpinan tidak
boleh menjadi penghalang untuk untuk
saling menasihati ke arah kebenaran dan
kesabaran dengan tujuan memperbaiki
amal dan mengelakkan hal-hal yang
negatif dan tidak benar. Tidak boleh
merasa berat memberikan nasihat kepada
pimpinan dan pemimpin tidak boleh
keberatan menerima nasihat baik bahkan
dia harus menerimannya dengan lapang
dan dada terbuka.
Pemimpin seharusnya bersyukur atas
nasihat anggota karena manfaat
kebaikannya berguna untuk da’wah dan
dirinya sendiri. Hadits Rasulullah saw
berikut menunjukkan betapa pentingnya
persoalan naesihat menasihati.

Rasulullah saw bersabda,”Agama adalah


nasihat. Kami bertanya,’Bagi siapa?’
Rasulullah saw menjawab,’Bagi Allah,
Rasul-Nya, Kitab-Nya, para pemimpin
kaum muslimin dan orang-orang
awamnya.”

Tentang perlunya para pemimpin


menjauhkan dirinya dari sifat cepat marah
telah diingatkan oleh Syeikh Mustafa
Mayhur juga di bagian lain dari buku itu
dengan mengatakan,”Jika seorang
pemimpin mudah marah, kemungkinan
besar ia akan melakukan berbagai
kesalahan, bahkan meletakkan dia dalam
kedudukan yang tidak sesuai sebagai
pemimpin jama’ah. Ini tak syak lagi, akan
mendatangkan bencana terhadap da’wah
dan jama’ah.”

Dua sifat diatas yaitu mau menerima


nasihat atau kritikan—sekeras apa pun ia
disampaikan atau bagaimana pun cara
penyampaiannya—dan tidak cepat marah
terhadap siapa pun orang yang menasehati
atau mengkritiknya maka akan menjadikan
seorang pemimpin terhindar dari kesalahan
dan semua adalah demi kemaslahatan
jama’ah itu sendiri.

Ketika Umar bin Khottob diangkat menjadi


khalifah kaum muslimin, dia langsung
mendapatkan nasehat ‘keras’ dari salah
seorang rakyatnya yang hadir sambil
mengangkat pedangnya dan meminta agar
Umar tetap istiqomah diatas kebenaran
bahkan orang itu mengancam Umar
dengan pedangnya jika menyimpang dari
jalan-Nya. Mendengar nasehat tersebut
Umar tidaklah marah terhadapnya apalagi
memecatnya dari jama’atul muslimin.
Namun Umar justru berterima kasih
kepadanya dan bersyukur kepada Allah
karena masih ada dari rakyatnya yang siap
meluruskan (menasihati) nya jika dirinya
melanggar dari kebenaran.

Begitu pula Rasulullah saw yang senantiasa


mendengarkan nasihat atau masukan yang
disampaikan oleh para sahabatnya, seperti
: nasihat Abu Bakar dan Umar dalam
permasalahan tawanan perang badar, al
Hubab bin al Mundzir dalam pemilihan
lokasi kaum muslimin dalam perang badar.
Bahkan Rasulullah saw memaafkan apa
yang dilakukan Hatib bin Abi Balta’ah yang
telah membocorkan rahasia kepada orang-
orang Quraisy karena Hatib termasuk
orang yang ikut didalam peperangan
badar.
Pemecatan yang dilakukan jama’ah minal
muslimin terhadap anggotanya tidaklah
memiliki efek syar’i, seperti : kelak jika dia
mati maka matinya jahiliyah atau orang itu
pensiun jadi da’i!

Dipecatnya seseorang dari jama’ah atau


harokah da’wah tidak berarti orang itu juga
dipecat dari da’wah atau pensiun jadi da’i
karena keberadaan jama’ah saat ini
hanyalah mengambil fungsi idariyan
(administrasi) dan tanzhimiyan (penataan)
saja. Dia tetap harus berda’wah walaupun
hanya sendirian karena da’wah ini milik
Allah. Allah yang telah memberikannya
hidayah kepada islam dan hidayah untuk
menjadi seorang da’i yang menyeru
manusia kepada jalan-Nya.

Wallahu A’lam

Mengeluarkan Air Mani di


Luar Isteri
Kamis, 04/03/2010 08:50 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum wr. wb.,

Alhamdulillah, saya pria 31 tahun dan telah


menikah selama 4 tahun. Ustadz saya
ingin menanyakan apakah hukumnya
mengeluarkan air mani di luar, bukan di
dalam istri kita.
Apakah perbedaannya dengan
menggunakan alat kontrasepsi seperti
kondom? Mohon diberikan jawaban
sejelas-jelasnya Ustadz. Terima kasih
sebelumnya. Mohon maaf lahir dan batin.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Hamba Allah Yang Ingn Bertaubat


Sungguh-sungguh
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Diperbolehkan ‘azl atau mengeluarkan air


mani di luar kemaluan istrinya saat
berhubungan apabila dirinya tidak
menginginkan anak dan dibolehkan juga
baginya menggunakan kondom dengan
syarat mendapatkan izin dari istrinya
karena istrinya memiliki hak untuk
mendapatkan kenikmatan dan
mendapatkan anak.

Dalil dari hal tersebut adalah apa yang


diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah
berkata,”Kami dahulu melakukan ‘azl pada
masa Rasulullah saw. Lalu berita ini sampai
kepada Rasulullah saw namun beliau saw
tidaklah melarang kami.” Bukhori (250)
dan Muslim (160)

Namun demikian perbuatan diatas


terkategorikan makruh yang kuat
berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh
Muslim (1442) bahwa Nabi saw pernah
ditanya tentang ‘azl maka dia
bersabda,”Itu (‘azl) adalah (penguburan
bayi hidup-hidup) secara tersembunyi.” Ini
merupakan dalil sangat dimakruhkannya
perbuatan tersebut.

Imam Nawawi mengatakan bahwa ‘azl


adalah seseorang yang melakukan jima’
(persetubuhan) yang ketika air maninya
akan tertumpahkan maka ia mengeluarkan
(kemaluannya) lalu menumpahkannya di
luar kemaluan (istri) nya. Perbuatan ini
adalah makruh menurut kami dalam setiap
keadaan dan setiap wanita baik istrinya itu
ridho atau tidak karena perbuatan tersebut
adalah jalan memutuskan keturunan,
karena itu didalam hadits perbuatan
tersebut dinamakan dengan penguburan
bayi secara tersembunyi karena ia
memutus jalan kelahiran sebagaimana
seorang anak yang dibunuh dengan cara di
kubur hidup-hidup. Adapun haram maka
para sahabat kami (madzhab Syafi’i, pen)
mengatakan bahwa ia tidaklah
diharamkan…

Kemudian hadits-hadits ini digabungkan


dengan hadits lainnya menunjukkan bahwa
larangan tersebut adalah makruh tanzih
dan perizinan di situ menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut tidaklah diharamkan
dan maknanya bukanlah berarti
menghilangkan kemakruhannya.

Seyogyanya bagi seorang muslim untuk


tidak melakukan hal demikian kecuali jika
ada keperluan untuk melakukannya seperti
jika istrinya dalam keadaan sakit yang
tidak sanggup hamil, mengalami
kepayahan jika hamil atau kehamilan akan
membahayakan dirinya. Hal itu juga
dikarenakan ‘azl dapat menghilangkan
sebagian tujuan dari pernikahan yaitu
memperbanyak keturunan dan anak-anak
serta ia juga menghilangkan
kesempurnaan kenikmatan bagi si istri.
(Fatawa al Islam Sual wa Jawab juz I hal
862)
Wallahu A’lam

Maksud Sabar terhadap


Pimpinan yang Jahat
Selasa, 02/03/2010 08:03 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum wr. wb.

Saya bekerja di sebuah dinas, saya sudah


membaca pertanyaan yang terdahulu
tentang tidak bolehnya membuat laporan
dana yang fiktif, ketika saya sampaikan ke
temen yang juga ngaji tapi beliau malah
ngasih hadist yang seperti ini :

Dari lbnu Abbas radhiallahu 'anhuma


bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa yang membenci sesuatu
tindakan dari amirnya - yang memegang
pemerintahannya, maka hendaklah ia
bersabar, sebab sesungguhnya saja
barangsiapa yang keluar - yakni
membangkang - dari seseorang sultan -
penguasa negara - dalam jarak sejengkal,
maka matilah ia dalam keadaan mati
jahiliyah." (Muttafaq 'alaih)
Ini yang dijadikan dasar beliau untuk diam
saja kalo disuruh membuat dana-dana
fiktif dikantor. Nah maksud sabar di hadist
tersebut itu sampai dimana tadi? dan
apabila amir tersebut menyuruh ke yang
bathil seperti membuat dana fiktif apa
yang bisa kita lakukan? jazakallah.

Wassalamualaikum wr. wb.


ibnu imkan
Jawaban

Waaalaikumussalam Wr Wb

Saudara Ibnu Imkan yang dimuliakan Allah


swt

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari


Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa
yang tidak menyukai sesuatu dari amir
(pemimpinnya) maka hendaklah bersabar.
Tidaklah seseorang yang keluar dari sultan
(penguasa) sejengkal saja lalu dia mati
kecuali ia mati seperti kematian jahiliyah.”
(HR. Muslim)
Amir atau penguasa yang dimaksudkan
didalam hadits ini adalah khalifah kaum
muslimin yang telah dipilih oleh Ahlul Halli
Wal Aqdi yang merupakan perwakilan dari
seluruh kaum muslimin. Kepemimpinan di
sini adalah kepemimpinan yang
menyeluruh bagi kaum muslimin sehingga
khalifah ini dikatakan juga sebagai
pemimpin jamaatul muslimin.

Dan siapa pun yang menyaksikan adanya


kepemimpinan jama’atul muslimin ini maka
diwajibkan baginya untuk berbaiat atau
tunduk dan menaatinya serta dilarang
baginya untuk membangkang atau
meninggalkan ketaatan terhadapnya.
Imam Ahmad mengatakan,”Barangsiapa
yang mati dan diatas tengkuknya tidak ada
baiat, maka ia mati jahiliyah.” Apa
maksudnya? Ia menjawab,”Tahukah kamu,
siapakah imam itu? Dia adalah imam
seluruh umat islam bersatu dibawahnya
dan semua mengakui bahwa dia adalah
imam.

Ibnu Taimiyah juga menyebutkan bahwa


para pembangkang yang keluar dari
ketaatan terhadap penguasa dan dari
Jamaatul Muslimin dan jika setiap mereka
yang membangkang mati maka matinya
seperti mati orang jahiliyah. Sesungguhnya
orang-orang jahiliyah, mereka tidak
memiliki para imam. (Majmu’ Fatawa juz
VI hal 421)

Dan ketika seorang imam atau khalifah ini


melakukan suatu kezhaliman maka
diwajibkan bagi seseorang yang
melihatnya atau merasakan kezhalimannya
pada saat itu untuk bersabar terhadapnya
atau menahan diri untuk tidak
memeranginya karena hal ini dapat
berakibat munculnya fitnah, kekacauan
dan perpecahan didalam tubuh umat ini.
Inilah yang diinginkan dari hadits Ibnu
Abbas diatas.

DR Shalah Shawi menyebutkan pula bahwa


Imam Ahmad dalam kitab Al i’tiqad telah
megatakan,”Adalah wajib mendengar dan
taat kepada para imam dan amirul
mukminin, baik yang adil atau zhalim, dan
kepada orang yang memegang tampuk
khilafah dimana umat bersatu dan ridha
kepadanya.”

Ia (Imam Ahmad) juga


mengatakan,”Barangsiapa memberontak
imam kaum muslimin padahal umat telah
bersatu dibawahnya dan mengakui
kekhalifahannya, baik dengan kerelaan
maupun dengan kekuatan maka ia telah
memecah-belah kesatuan umat islam dan
menyalahi hadits-hadits Rasulullah saw.
Kalau ia mati, maka ia mati dengan
kematian jahiliyah. Tidak halal bagi
seorang pun memerangi dan menyerang
sultan (penguasa). Barangsiapa
melakukannya, maka ia adalah pelaku
bid’ah, menyimpang dari sunnah dan
jalannya.” (Prinsip-prinsip Gerakan Da’wah
hal 257 – 258)

Adapun maksud dari ”bersabar dari suatu


kezhaliman seorang amir (khalifah)”—
sebagaimana disebutkan diatas—adalah
tidak menentangnya dengan melakukan
perlawanan terhadapnya dengan
mengangkat senjata.

Imam asy Syaukani memasukan hadits


yang diriwayatkan Ibnu
Abbas ,”Barangsiapa yang tidak menyukai
sesuatu dari amir (pemimpinnya) maka
hendaklah bersabar. Tidaklah seseorang
yang keluar dari sultan (penguasa)
sejengkal saja lalu dia mati kecuali ia mati
seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)
kedalam bab “Sabar terhadap Kezhaliman
Para Imam, Tidak Memerangi mereka dan
Menahan Diri dari Mengangkat Senjata”

Hal itu dikuatkan oleh hadits lainnya yang


diriwayatkan dari Auf bin Malik dari
Rasulullah saw bersabda,”Pemimpin
terbaik dari kalian adalah yang kalian
mencintai mereka dan mereka mencintai
kalian, mereka mendoakan kalian dan
kalian mendoakan mereka. Sedangkan
pemimpin terburuk dari kalian adalah yang
kalian membenci mereka dan mereka
membenci kalian, kalian mencaci mereka
dan mereka mencaci kalian.” Beliau saw
ditanya,”Wahai Rasulullah apakah (boleh)
kami memerangi mereka dengan pedang
(senjata)?’ beliau saw menjawab,”Tidak
selama mereka (para pemimpin) itu masih
melaksanakan shalat. Dan jika kalian
melihat sesuatu (perbuatan) dari para
pemimpin kalian yang kamu benci maka
janganlah tanganmu melepaskan dari
ketaatan (kepadanya).” (HR. Muslim)

Akan tetapi bersabar di sini bukan berarti


redho dengan kezhalimana yang dilakukan
seorang muslim sekali pun ia adalah
seorang khalifah atau imam padahal ia
juga berhak mendapatkan nasehat dan
peringatan meskipun nasehat itu datang
dari rakyatnya, sebagaimana diriwayatkan
dari Tamim ad Dariy berkata, ”Rasulullah
saw bersabda, ’Agama adalah nasehat.’ —
tiga kali— lalu kami bertanya, ’Bagi siapa
wahai Rasulullah?’ beliau saw
menjawab,’Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-
Nya, para imam (pemimpin) kaum
muslimin dan orang-orang awam dari
mereka (kaum muslimin).” (HR. Muslim)

Jadi lafazh “Amir atau sultan” didalam


hadits yang anda maksudkan adalah
bermakna khusus yaitu khalifah kaum
muslimin dan bukan bermakna umum atau
semua bentuk kepemimpinan. Ia bukanlah
dimaksudkan kepada para pemimpin
perusahaan, proyek sosial, organisasi,
partai, jama’ah atau lainnya.

Kemudian yang juga perlu dicatat adalah


bahwa kesabaran terhadap kerusakan,
kemaksiatan kezhaliman yang dilakukan
seorang pemimpin bukanlah berarti orang
tersebut berdiam diri, menunggu dengan
pasif sambil berharap akan adanya
perubahan tanpa melakukan suatu upaya
perubahan atau mengatakan,”Bersabarlah,
terima aja nanti juga dia berhenti.” Atau
ucapan-ucapan pesimis lainnya. Sungguh
ini bukanlah kesabaran yang dimaksud dan
orang yang membiarkan perbuatan
kemaksiatan dihadapannya dan tidak
menerangkan kebenaran kepadanya
bagaikan setan yang bisu.

Imam Nawawi di dalam “Syarh” nya


mengutip pendapat Abu Ali ad Daqqoq
bahwa orang yang diam terhadap
kebenaran adalah setan bisu.”

Firman Allah swt :

ِ ‫لُعِن الَّ ِذين َك َفرواْ ِمن بيِن إِسرائِيل علَى لِس‬


‫ان‬ َ َ َ َْ َ ُ َ َ
‫صوا‬ ‫ع‬ ‫ا‬‫ك َمِب‬ِ‫داوود و ِعيسى اب ِن مر َذل‬
َ َ َ َ‫َ ُ َ َ َ ْ َ ْ مَي‬
﴾٧٨﴿ ‫َّو َكانُواْ َي ْعتَ ُدو َن‬
‫س َما‬ ‫ئ‬
ْ ِ‫اهو َن َعن ُّمن َك ٍر َف َعلُوهُ لَب‬
َ َ‫ن‬‫ت‬َ ‫ي‬ ‫ال‬
َ ‫ا‬
ْ ‫و‬ُ‫ن‬ ‫ا‬‫ك‬َ
َ ْ َ
﴾٧٩﴿ ‫َكانُواْ َي ْف َعلُو َن‬

Artinya : “Telah dila'nati orang-orang kafir


dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa
putera Maryam. yang demikian itu,
disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain
selalu tidak melarang tindakan munkar
yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat
buruklah apa yang selalu mereka perbuat
itu.” (QS. Al Maidah : 78 – 79)

Wallahu A’lam
Mengganti Sholat Jumat
Dengan Sholat Zuhur
Rabu, 17/02/2010 10:37 WIB
| email | print | share
Assalamualaikum wr. wb.,

Ustadz yang dirahmati Allah swt saya ingin


bertanya tentang mengganti sholat jumat
dengan sholat zuhur. Saya sejak tahun
2000 sampai sekarang bermukim di
Jepang. Dari tahun 2000-2008 karena
masih mahasiswa maka alhamdulillah
masih bisa menunaikan sholat jumat
seadanya bersama kawan-kawan yang lain
di musholla.

Nah, sejak taun 2008-sekarang menjadi


pekerja pada sebuah company di Jepang
ini. Masalahnya sejak menjadi pekerja saya
kesulitan bahkan hampir dikatakan
mustahil untuk bisa sholat jumat
berjamaah bersama kawan-kawan di
mushola tempat kami tinggal.

Di perusahaan saya cuma saya sendiri yg


muslim dan jam istirahat siang dari 11.40-
12.30, sedangkan waktu solat jumat biasa
dilakukan sekitar jam 12.30an.

Begitu pula jarak musola dari perusahaan


saya sekitar 10 km jarak tempuh 1 jam
pulang pergi dengan sepeda (belom bisa
mengendarasi mobil). Pertanyaannya
apakah saya berdosa meninggalkan sholat
jumat dengan mengganti ke sholat zuhur
tiap minggunya?

Terima kasih atas jawabannya ustadz.

Wassalamualaikum wr. wb.

dell
Jawaban

Wa'alaykumsalam wr. wb.

Shalat jum’at adalah kewajiban bagi setiap


muslim, baligh, berakal, mukim (tidak
dalam keadaan safar) dan sehat (tidak
memiliki halangan) dan mendengar suara
adzan untuk shalat jum’at, sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits,”Shalat
jum’at wajib bagi setiap muslim dengan
cara berjama’ah kecuali terhadap empat
golongan, yaitu : budak, seorang wanita,
anak-anak dan orang yang sakit.” (HR. Abu
Daud)
Bahkan terhadap orang buta sekalipun
tetap diwajibkan atasnya mengerjakan
shalat jum’at selama dia mendapatkan
orang lain yang bisa menuntunnya ke
masjid, demikian menurut Imam Syafi’i.

Kewajiban terhadap shalat jum’at ini juga


diikuti dengan adanya ancaman dari
Rasulullah saw yang akan membakar
rumah-rumah mereka yang tidak
menunaikan shalat jum’at, sebagaimana
disebutkan didalam hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi
saw bersabda tentang orang-orang yang
meninggalkan shalat jum’at dengan
mengatakan, ”Sebenarnya aku berniat
memerintahkan seseorang untuk menjadi
imam shalat bersama masyarakat dan aku
pergi membakar rumah orang-orang yang
meninggalkan shalat jum’at itu.” (HR.
Muslim dan Ahmad)
Diriwayatkan dari Abu Hurairoh dan Ibnu
Umar bahwa keduanya pernah mendengar
Nabi saw bersabda diatas mimbar
bersabda, ”Hendaklah orang-orang itu
menghentikan perbuatan meninggalkan
shalat jum’at atau Allah akan mengunci
hati mereka kemudian mereka menjadi
orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim)
DR. Husam ‘Afanah—Ustadz bidang study
Fiqih dan Ushul di Universitas al Quds
Palestina—mengatakan, ”Sebagaimana
telah diketahui bahwa shalat jumat adalah
kewajiban terhadap setiap orang yang
mukallaf berdasarkan firman-Nya :

‫ودي لِلصَّاَل ِة ِمن َي ْوِم‬


ِ ُ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنوا إِ َذا ن‬
َُ َ َ َ
‫اس َع ْوا إِىَل ِذ ْك ِر اللَّ ِه َو َذ ُروا الَْبْي َع‬ ِ
ْ َ ‫اجْلُ ُم َع‬
‫ف‬ ‫ة‬
﴾٩﴿ ‫َذلِ ُك ْم َخْيٌر لَّ ُك ْم إِن ُكنتُ ْم َت ْعلَ ُمو َن‬
Artinya : “Hai orang-orang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah :
9)
Shalat jum’at adalah yang diwajibkan pada
waktu hari jum’at dan bukanlah shalat
zhuhur sebagaimana difahami oleh
sebagian manusia. Jadi shalat jum’at
asalnya sedangkan shalat zhuhur adalah
penggantinya.

Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim


mukallaf meninggalkan shalat jum’at tanpa
adanya uzur syar’i bahkan Rasulullah saw
mengancam orang yang meninggalkannya
tanpa uzur bahwa Allah akan mengunci
hatinya sehingga hatinya seperti hati
seorang munafik.

Setelah beliau menyebutkan berbagai


hadits tentang ancaman bagi orang-orang
yang meninggalkan shalat jum’at—
sebagian telah saya sebutkan diatas—lalu
mengatakan,”..Dari hadits-hadits datas
maka tampaklah bagi kita bahwa tidak
diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at
dan suatu pekerjaan yang dilakukan pada
hari jum’at tidak bisa dijadikan sebagai
uzur untuk bisa meninggalkannya dan
tidaklah dibolehkan bagi seorang muslim
disibukkan dengan suatu pekerjaan yang
dapat menghalanginya dari menunaikan
segala yang diwajibkan Allah swt
terhadapnya yang apabila dikerjakan maka
kewajiban tersebut akan ditinggalkan.

Allah swt berfirman :

﴾٢﴿ ‫ َو َمن َيت َِّق اللَّهَ جَيْ َعل لَّهُ خَمَْر ًجا‬...
﴾٣﴿...‫ب‬ ِ َ‫ث اَل حَي ت‬
‫س‬ ُ ‫ي‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ه‬ ‫ق‬
ْ ‫ز‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫و‬
ُ ْ ْ َ ْ ُ ُ ََْ

Artinya : “Barangsiapa bertakwa kepada


Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-
sangkanya.” (QS. Ath Thalaq : 2 – 3)
Didalam Fatwa al Lajnah ad Daimah li al
Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta, Saudi Arabia
disebutkan :
Pada dasarnya kewajiban shalat jum’at
adalah fardhu ‘ain berdasarkan firman
Allah swt :

Artinya : “Hai orang-orang beriman,


apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah :
9)
Serta apa yang diriwayatkan oleh Ahmad
dan Muslim dari Ibnu Mas’ud bahwa Nab
saw bersabda terhadap suatu kaum yang
meninggalkan shalat
jum’at,” ,”Sebenarnya aku berniat
memerintahkan seseorang untuk menjadi
imam shalat bersama masyarakat dan aku
pergi membakar rumah orang-orang yang
meninggalkan shalat jum’at itu.” (HR.
Ahmad (1/402) dan Muslim (1/452)
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu
Hurairoh dan Ibnu Umar, keduanya
mendengar Rasulullah saw bersabda diatas
mimbarnya,”Hendaklah orang-orang itu
menghentikan perbuatan meninggalkan
shalat jum’at atau Allah akan mengunci
hati mereka kemudian mereka menjadi
orang-orang yang lalai.”
Serta ijma para ahli ilmu.
Akan tetapi apabila terdapat uzur syar’i
bagi orang yang terkena kewajiban jum’at,
seperti : seorang pemimpin yang diberikan
tanggung jawab langsung terhadap suatu
pekerjaan yang berkaitan dengan
keamanan masyarakat dan menjaga
kemaslahatannya yang penunaiannya juga
pada waktu shalat jum’at, seperti :
seorang penjaga keamanan, lalu lintas,
listrik maupun operator telepon atau
sejenisnya yang bekerja pada saat
panggilan adzan shalat jum’at atau iqomat
shalat berjama’ah maka ia mendapatkan
uzur untuk meninggalkan shalat jum’at dan
jama’ah berdasarkan keumuman firman
Allah swt :
‫ا‬ ‫م‬ ‫ه‬َّ
ْ َ َ ‫فَ َّات ُقوا الل‬
‫استَطَ ْعتُ ْم‬

Artinya : “Maka bertakwalah kamu kepada


Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. Ath
Thaghabun : 16)
Serta sabda Rasulullah saw,”Apa saja yang
aku larang kepada kalian maka jauhilah
dan apa saja yang aku perintahkan kepada
kalian maka lakukanlah sesuai dengan
kesanggupan kalian.”
Karena itu tidak ada uzur yang lebih kecil
daripada orang-orang yang
mengkhawatirkan dirinya atau hartanya
atau sejenisnya. Dan para ulama
menyebutkan bahwa seseorang
mendapatkan pemaafan meninggalkan
shalat jum’at dan berjamaah selama
terdapat uzur.

Dan terhadap apa yang anda alami berupa


kesulitan melaksanakan shalat jum’at
dikarenakan pekerjaan bahkan anda
memperkirakan bahwa melaksanakan
shalat jum’at berjamaah adalah sesuatu
yang mustahil bagi anda selama maka
apabila anda bisa mendapatkan pekerjaan
selain pekerjaan anda saat ini yang masih
bisa memberikan kesempatan kepada anda
untuk bisa melaksanakan shalat jum’at
walaupun hanya sebatas mendapatkan
rakaat kedua saja dari shalat jum’at maka
hal itu lebih baik bagi anda.
Jika memang pekerjaan lainnya belum
anda dapatkan maka anda bisa tetap
bekerja di tempat anda sekarang dengan
senantiasa berusaha mengejar shalat
jum’at berjamaah, mungkin dengan
meminta sedikit kelonggaran dari company
anda agar sedikit diundur istirahatnya
hingga selesai shalat jum’at atau upaya-
upaya lainnya. Dan jika upaya itu semua
tidak berhasil maka anda termasuk orang
yang mendapatkan uzur sehingga bisa
menggantikannya dengan shalat zhuhur.

Anda bisa manggantikan shalat jum’at


dengan shalat zhuhur sewaktu-waktu saja
dikarenakan adanya uzur syar’i akan tetapi
tidak sepatutnya bagi anda untuk
meninggalkannya secara terus-menerus
sepanjang anda bekerja di company
tersebut.

Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari


Abdul Ja’ad adh Dhamri dan seorang
sahabat bahwa Rasulullah saw bersabda,
”Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat
jum’at karena menganggap enteng maka
Allah akan menutup hatinya.”
Wallahu A’lam

Hukum Pengucapan
Shodaqollohul'azim
Senin, 08/02/2010 13:50 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum Ustadz,
Saya ingin bertanya hukum dari
pengucapan Shodaqollohul'adzim bila kita
selesai membaca al-Qur'an, apakah did'ah
atau tidak, mohon penjelasannya
disertakan hadits yang menjelaskan
tentang perkara ini. Terimakasih atas
jawabannya ustadz.

Assalamu'alaikum.

Muhammad Rismayahna
Jawaban

Wa'alaykumsalam wr wb,

Saudara Muhammad yang dimuliakan Allah


swt
Perkataan “Shodaqollahul ‘Azhim” dari
seorang yang membaca al-Qur’an atau dari
seorang yang mendengarkannya setelah
selesai membacanya atau tatkala
mendengar suatu ayat dari Al Qur’an
bukanlah termasuk bid’ah yang tercela.

1. Dikarenakan tidak terdapat


larangan tentang permasalahan ini
secara khusus.

2. Karena ia termasuk didalam


dzikrullah dan berdzikir
diperintahkan untuk diperbanyak.

3. Karena para ulama telah


membicarakan hal ini dan
menganggapnya diantara adab
membaca al Qur’an. Mereka
menegaskan bahwa perkataan
tersebut jika disaat shalat maka
tidaklah membatalkan shalatnya.

4. Bahwa bentuk kalimat seperti ini


atau yang mirip dengannya terdapat
didalam Al Qur’an. Dan ditegaskan
bahwa ia adalah perkataan orang-
orang beriman ketika berperang.

‫يم َحنِي ًفا َو َما‬ ِ ‫قُل صد َق اللّه فَاتَّبِعواْ ِملَّةَ إِبر‬


‫اه‬
َ َْ ُ ُ ََ ْ
‫ني‬ِ‫َكا َن ِمن الْم ْش ِرك‬
َ ُ َ
Artinya : “Katakanlah: "Benarlah (apa
yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah
agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah
Dia Termasuk orang-orang yang
musyrik.” (QS. ali-Imran : 95)

‫اب قَالُوا َه َذا َما‬ ِ


َ َ ْ َ ُ ‫َولَ َّما َرأَى الْ ُم ْؤ‬
‫ز‬ ‫َح‬ ‫أْل‬‫ا‬ ‫ن‬ ‫و‬‫ن‬‫م‬
‫ص َد َق اللَّهُ َو َر ُسولُ ُه‬ ‫و‬ ‫ه‬ُ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬‫ر‬‫و‬ ‫ه‬َّ
َ َ ُ ُ َ َ ُ ‫َو َع َدنَا الل‬

Artinya : “Dan tatkala orang-orang


mukmin melihat golongan-golongan yang
bersekutu itu, mereka berkata : "Inilah
yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya
kepada kita". dan benarlah Allah dan
Rasul-Nya.” (QS. al-Ahzab : 22)
Al-Qurthubi menyebutkan didalam
muqoddimah tafsirnya bahwa al-Hakim at-
Tirmidzi telah membicarakan tentang
adab-adab membaca al-Qur’an dan
diantaranya adalah ketika selesai
membacanya dengan mengucapkan
“Shodaqollahul ‘Azhim” atau satu ayat
yang seperti makna ini.

Teks ungkapannya (juz I hal 27) adalah


bahwa diantara bentuk penghormatannya
apabila selesai membacanya hendaklah
membenarkan Tuhannya dan bersaksi
dengan penyampaian dari Rasul-Nya saw,
seperti mengatakan “Shodaqollohul ‘Azhim
wa Ballagho Rosuluhul Karim” dan bersaksi
bahwa ia (al Qur’an) itu benar dengan
mengatakan, ”Shoddaqta Robbanaa wa
Ballaghta Rusulaka wa Nahnu ‘ala Dzalika
Minasy Syahidin” (Maha Benar Engkau
wahai Tuhan kami dan Engkau telah
mengutus rasul-rasul-Mu dan kami
termasuk dari orang-orang yang bersaksi
atas itu semua). “Wahai Allah jadikanlah
kami para syuhada kebenaran dan para
penegak keadilan.” kemudian berdoa
dengan berbagai doa-doa.

Didalam “Fiqh al Madzahib al Arba’ah” yang


diterbitkan oleh “Awqof Mishr”; Para ulama
Hanafi mengatakan bahwa seandainya
seorang yang melaksanakan shalat
berbicara dengan bertasbih seperti :
Shodaqollohul ‘Azhim tatkala selesai
membaca maka tidaklah membatalkan
shalatnya jika hanya bermaksud untuk
memuji, dzikir atau tilawah.

Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa


perkataan itu tidaklah membatalkan shalat
sama sekali. Bagaimana mungkin
kemudian perkataan “Shodaqollahul
A’zhim” setelah membaca al Qur’an disebut
bid’ah? Syeikh ‘Athiyah Saqar juga
mengatakan bahwa hendaklah tidak
tergesa-gesa didalam mengeluarkan
hukum fiqh sebelum memastikan
kebenarannya. Allah swt berfirman :
‫ب َه َذا‬ ِ ‫صف أَلْ ِسنت ُكم الْ َك‬
‫ذ‬ ِ ‫ت‬
َ ‫ا‬‫م‬ ِ
‫ل‬ ‫ا‬
ْ ‫و‬‫ل‬
ُ ‫و‬ ‫ق‬
ُ ‫ت‬
َ ‫ال‬
َ ‫و‬
َ ُ َُ ُ َ َ
‫ب‬ ِ ‫حالَ ٌل وه َذا حرام لِّت ْفترواْ علَى اللّ ِه الْ َك‬
‫ذ‬
َ َ َُ َ ٌ ََ َ َ َ
‫ب َال‬ ِ ‫إِ َّن الَّ ِذين ي ْفترو َن علَى اللّ ِه الْ َك‬
‫ذ‬
َ َ َُ َ َ
‫يُ ْفلِ ُحو َن‬

Artinya : “Dan janganlah kamu


mengatakan terhadap apa yang disebut-
sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal
dan ini haram", untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah Tiadalah beruntung.” (QS. an-Nahl :
116)
Wallahu A’lam.

Zakat untuk Uang Hilang


Selasa, 02/02/2010 12:59 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum

Pak ustadz, bagaimanakah hukumnya


zakat uang yang hilang?. Dimana sebelum
hilang kita sempat tahu jumlahnya, dan
sudah layak untuk dizakati?

Sekian. Jazakallah atas jawabannya.

Wassalam
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Harta yang tidak ada; yaitu segala harta


yang pemiliknya tidak mempunyai
kesanggupan memanfaatkannya
dikarenakan harta itu tidak berada
ditangannya.

Madzhab Abu Hanifah dan kedua


muridnya,pendapat Syafi’i yang tidak
masyhur, riwayat para ulama Hambali
bahwa harta itu tidak dizakatkan, seperti :
keledai yang tersesat, harta yang hilang,
harta yang terjatuh ke laut, harta yang
disita penguasa, utang-utang yang
diingkari jika si pemiliknya tidak dapat
menunjukkan bukti-bukti, harta yang
dirampas jika si pemiliknya tidak memiliki
kesanggupan untuk mengambilnya
kembali, harta yang dicuri yang tidak
diketahui siapa pencurinya, harta yang
ditimbun di padang pasir jika si pemiliknya
tidak mengetahui lagi tempatnya akan
tetapi jika ditimbun di rumah maka wajib
baginya zakat menurut para ulama Hanafi
karena harta itu berada di tempat yang
masih terbatas.

Mereka berargumentasi dengan yang


diriwayatkan dari Ali bahwa dia
mengatakan,”Terhadap harta yang tidak
ada maka tidak ada atasnya zakat. Karena
setiap harta yang tidak bisa dimanfaatkan
atau dipergunakan maka tidaklah
menjadikan pemiliknya kaya.”

Mereka mengatakan bahwa ini berbeda


dengan Ibnu Sabil atau musafir.
Sesungguhnya zakat tetap diwajibkan
terhadap hartanya karena pemilknya
memiliki kesanggupan untuk
memanfaatkannya…
Imam Malik berpendapat bahwa harta
yang hilang atau sejenisnya seperti
terkubur di padang pasir ketika hilang dari
pemiliknya atau harta yang berada di
suatu tempat yang tidak diketahui maka
harta tersebut dizakatkan pada tahun
pertama ketika diketemukan oleh
pemiliknya walaupun harta itu telah hilang
selama beberapa tahun sebelumnya.

Imam Syafi’i dalam pendapatnya yang


masyhur serta riwayat dari para ulama
Hambali berpendapat bahwa zakat
diwajibkan pada harta yang hilang akan
tetapi kewajiban tersebut tidak dibayarkan
sehingga harta itu kembali. Jika harta itu
kembali maka pemiliknya harus
mengeluarkannya terhadap beberapa
tahun yang lalu karena sebab wajib zakat
adalah kepemilikan dan kepemilikan itu
sesungguhnya ada pada diri orang itu.

Mereka mengatakan,”akan tetapi


seandainya harta itu rusak atau lenyap lalu
tidak diketemukan maka tidak ada
zakatnya.”

Demikianlah menurut mereka tentang


harta yang tidak diketahui keberadaannya
oleh pemiliknya. (al Mausu’ah al Fiqhiyah
juz II hal 8167 – 8168)

Dengan demikian terhadap uang anda


yang hilang tersebut maka tidak ada
kewajiban zakat atasnya sebelum uang itu
kembali ke tangan anda atau ditemukan
kembali oleh anda.

Wallahu A’lam
Doa dan Shalat Sunnah di
Malam Pertama
Selasa, 26/01/2010 13:53 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum wr wb

Ustad, insyaAllah sebentar lagi saya


menikah. Ada dua hal yang ingin saya
tanyakan berkenaan dengan malam
pertama (maaf jika pertanyaannya terlalu
vulgar)

1. Apakah doa "Allahumma


jannibnas syaithoona, dan
seterusnya" itu dibaca menjelang
jima' atau sebelum menyentuh
(mencium) istri?
2. Jika pada saat ijab qabul istri
sedang haid, bagaimana dengan
sholat sunnah berjama'ahnya?
Apakah harus dilakukan setelah istri
suci? atau langsung mendoakannya
dengan memegang ubun-ubun istri?

Terimakasih sebelumnya.

rahman
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Doa Ingin Berjima’


Dari Ibnu Abbas berkata.”Rasulullah saw
bersabda,’Seandainya seorang dari kalian
ingin mendatangi keluarganya (hendaklah
dia ) berdoa : Allahumma Jannibnasy
Syaithon wa Jannibisy Syaithon Maa
Rozaqtanaa (Wahai Allah jauhilah kami dari
setan dan jauhilah setan dari kami
terhadap rezeki yang Engkau berikan
kepada kami). Sesungguhnya jika
dikehendaki diantara mereka berdua
seorang anak saat itu maka setan tidaklah
dapat mencelakakannya selamanya.”
(Muttafaq Alaihi)

Ash Shan’aniy mengatakan bahwa ini


merupakan lafazh dari Imam Muslim.
Hadits ini merupakan dalil agar berdoa
sebelum berhubungan dengan istri ketika
muncul keinginan untuk itu. Riwayat ini
menafsirkan riwayat ,”Seandainya seorang
dari kalian berdoa saat mendatangi istrinya
—dikeluarkan oleh Bukhori—bahwasanya
maksud dari saat adalah ingin. Kata ganti
dari jannibna adalah untuk laki-laki
(suami) dan perempuan (istri). (Subul as
Salam juz III hal 273)

Jadi doa tersebut dibaca seseorang ketika


hendak menggauli istrinya sebelum
berbagai muqoddimah (permainan) jima’
dilakukan.

Mendoakan Istri dan Shalat Dua


Rakaat Setelah Ijab Kabul
DIanjurkan bagi seorang suami setelah
melangsungkan akad nikahnya untuk
meletakkan tangannya di kening istrinya
sambil berdoa,” Allahumma Innii Asaluka
Min Khoiriha wa Khoiri Ma Jabaltaha Alaihi.
Wa Audzu bika Min Syarri wa Syarri Ma
Jabaltaha Alaih—Wahai Allah
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu
kebaikannya dan kebaikan dari apa yang
Engkau berikan kepadanya serta Aku
berlindung kepada-Mu daripada
keburukannya dan keburukan yang Engkau
berikan kepadanya..”

Selain itu dianjurkan bagi mereka berdua


untuk melaksanakan shalat dua rakaat dan
berdoa kepada Allah agar diberikan
kebaikan dan dihindarkan dari keburukan.
Diriwayatkan Ibnu Syaibah dari Ibnu
Masud, dia mengatakan kepada Abi
Huraiz,”Perintahkan dia untuk shalat dua
rakaat dibelakang (suaminya) dan
berdoa,”Allahumma Barik Lii fii Ahlii dan
Barik Lahum fii. Allahummajma’ Bainanaa
Ma Jama’ta bi Khoirin wa Farriq Bainana
idza Farroqta bi Khoirin—Wahai Allah
berkahilah aku didalam keluargaku dan
berkahilah mereka didalam diriku. Wahai
Allah satukanlah kami dengan kebaikan
dan pisahkanlah kami jika Engkau
menghendaki (kami) berpisah dengan
kebaikan pula.”

Dari Syaqiq berkata,”Datang seorang laki-


laki yang dipanggil dengan Abu Huraiz lalu
dia berkata kepada Ibnu
Mas’ud,’Sesungguhnya aku menikahi
seorang budak perempuan perawan.
Sesungguhnya aku takut dia akan
membenciku.’ Lalu Abdullah (bin Mas’ud)
mengatakan, ’Seungguhnya rasa cinta
berasal dari Allah dan kebencian dari setan
yang ingin menjadikan kebencian kepada
kalian terhadap apa-apa yang dihalalkan
Allah. maka jika dia mendatangimu maka
shalatlah dua rakaat dibelakangmu.”
(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah)

Jika seorang wanita yang baru


melangsungkan akad nikah sedang dalam
keadaan haidh maka cukuplah dirinya dan
suaminya berdoa kepada Allah swt
meminta kebaikan dari-Nya bagi mereka
berdua dan keluarganya.

Wallahu A’lam

Hukum Hadiah dari Murid/Ortu


Murid
Rabu, 20/01/2010 11:03 WIB
| email | print | share
Ass.ww.

Saya seorang PNS guru.Pertanyaan saya


"apa hukumnya pemberian/hadiah dari
orang tua siswa?"

 Terima kasih atas jawabannya.Ass.ww      

Nelti Safrida
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Nelti yang dimuliakan Allah swt

Sesungguhnya hadiah yang diberikan


seorang siswa kepada gurunya yang
bertujuan menaikkan nilainya didalam
ujian atau lainnya maka diharamkan bagi
guru itu untuk mengambilnya karena ia
termasuk suap yang dilarang Rasulullah
saw,”Allah melaknat orang yang
memberikan dan menerima suap.” (HR,
Ahmad dan Abu Daud)
Diharuskan bagi seorang guru untuk
menunaikan amanahnya karena dirinya
bertanggung jawab atasnya dan kelak dia
akan dihisab terhadap pengabaiannya.
Rasulullah saw bersabda,”Tidaklah seorang
hamba yang telah dijadikan Allah sebagai
seorang pemimpin kemudian meninggal
dan pada hari meninggalnya dia berlaku
curang terhadap orang-orang yang
dipimpinnya kecuali Allah haramkan
atasnya surga.” (HR. Muslim)

Suatu hadiah untuk suatu tujuan yang


buruk bisa juga termasuk didalam kategori
pengkhianatan, sabda Rasulullah
saw,”Hadiah para pekerja adalah
pengkhianatan.” (dishahihkan oleh al
Albani)—Markaz al Fatwa no. 32482

Syeikh Ibnu al Utsaimin pernah ditanya


tentang sebagian siswa yang memberikan
hadiah kepada guru-guru perempuannya
bertepatan dengan adanya suatu moment
tertentu, sebagian dari guru-guru itu ada
yang masih mengajarkan mereka,
sebagian lainnya tidak sedang mengajar
mereka akan tetapi ada kemungkinan
kelak guru-guru tersebut akan
mengajarkan mereka di tahun-tahun
berikutnya dan sebagian lagi adalah guru-
guru yang tidak mungkin akan
mengajarkan mereka seperti guru-guru
yang sudah keluar. Maka apakah
hukumnya ?

Syeikh Ibnu Al Utsaimin menjawab bahwa


untuk keadaan yag ketiga maka tidaklah
mengapa. Adapun untuk keadaan yang
lainnya—pertama dan kedua—maka
tidaklah dibolehkan walaupun hanya
sekedar hadiah melahirkan atau yang
lainnya karena hadiah semacam itu dapat
menjadikan hati guru tersebut condong
kepadanya. (Fatawa al Islam Sual wa
Jawab juz I hal 5066)

Wallahu A’lam
Bingung dengan Banyaknya
Firqah Jamaah.
Kamis, 14/01/2010 10:52 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum ustadz..

saya hendak minta penjelasan


ustadz.akhir-akhir ini saya mulai sering
ikut kajian-kajian islam sebuah majelis
yang mengaku paling konsisten
mejalankan Al-Qur'an dan Assunnah.selain
itu saya juga rutin mencari ilmu lewat
berbagi macam media.namun pada
akhirnya saya dibenturkan pada
kebingungan yang belum terjawab,saat
dimana begitu banyak pendapat yang
berbeda dan terkesan tidak ada yang mau
mengalah malah saling menghujat dan
menjatuhkan.tolong uastadz?lantas apa itu
firqah annajiah? dan mana saja yang
termasuk didalamnya dari begitu banyak
jama'ah-jama'ah saat ini..?

sebelumnya terima kasih ustadz..

abu alfi
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Abu Alfi yang dimuliakan Allah swt

Diantara dampak ketidakberadaan


Jamaatul Muslimin yang menyatukan
seluruh kaum muslimin adalah perpecahan
di tubuh umat islam. Jamaatul Muslimin lah
yang menyatukan mereka semua dibawah
satu kepemimpinan atau khalifah yang
menerapkan hukum-hukum Allah yang
memberikan kemaslahatan bagi umat
manusia.

Ketidakberadaan Jamaatul Muslimin ini


membuat kehidupan umat ini penuh
dengan kehinaan dan hilang kekuatan dan
izzahnya sehingga mudah diombang-
ambingkan zaman dan dan dipermainkan
musuh-musuhnya. Hal itu dikarenakan
dengan tidak adanya Jamaatul Muslimin
menjadikan hukum-hukum Allah
ditinggalkan atau mungkin dicampakkan
bahkan oleh para penguasa muslim sendiri
dan mereka lebih memilih hukum-hukum
buatan manusia didalam memimpin dan
mengadili rakyatnya dari pada hukum Allah
swt.

Dengan lepasnya ikatan hukum Allah


menjadikan umat ini hidup dibawah suatu
kondisi yang tidak berpegang dengan
syariah dan rambu-rambu Ilahiy dan umat
tumbuh tanpa memiliki kesadaran
terhadap perkara-perkara yang halal dan
haram, baik dan buruk sehingga kehidupan
mereka berjalan tanpa adanya suatu
aturan yang lama-kelamaan akan
mengeluarkan mereka dari agama.
Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu
Umamah al Bahiliy dari Rasulullah saw
bersabda,”Kelak akan terurai ikatan-ikatan
islam satu per satu. Dan setiap kali suatu
ikatan terurai maka manusia bergantung
pada ikatan yang berikutnya. Dan ikatan
yang pertama kali terurai adalah hukum
sedangkan yang terakhir adalah shalat.”

Mengembalikan Jamaatul Muslimin yang


menyatukan umat ini dibawah satu
kepemimpinan yaitu khalifah yang
mengurusi berbagai perkara mereka,
melindungi mereka, menjaga persatuan
mereka dan menyebarkan aqidah mereka
serta yang menggelorakan semangat jihad
mereka untuk meninggikan kalimat Allah
dan merendahkan kalimat orang-orang
kafir dan kaum musyrikin merupakan
sebuah kewajiban yang dibebankan Allah
kepada seluruh kaum muslimin karena
tidaklah ada khalifah tanpa jamaah (baca :
Jamaatul Muslimin) dan tidak ada jamaah
tanpa khalifah.

Tentunya menwujudkan kewajiban


tersebut bukanlah perkara mudah terlebih
lagi musuh-musuh Allah bersatu padu dan
saling bekerja sama untuk menghalanginya
dan sebaliknya jika umat ini berdiam diri
dan tidak mau berbuat untuk menghadapi
mereka maka pastilah fitnah di bumi ini
semakin hari akan semakin besar,
sebagaimana yang saat ini terjadi.
ٍ ‫ض ُه ْم أ َْولِيَاء َب ْع‬
َّ‫ض إِال‬ ُ ْ َ ُ َ ‫َوال‬
‫ع‬ ‫ب‬ ‫ا‬
ْ ‫و‬ ‫ر‬ ‫ف‬
َ ‫ك‬
َ ‫ذين‬َّ

‫اد َكبِ ٌري‬ ‫س‬ ‫ف‬ ‫و‬ ِ


‫ض‬ ‫َر‬
‫أل‬‫ا‬ ‫يِف‬ ِ
ٌ َ ْ‫َت ْف َعلُوهُ تَ ُكن ف‬
‫ة‬ ‫ن‬‫ت‬
ٌ َ ََ ْ

Artinya : “Adapun orang-orang yang kafir,


sebagian mereka menjadi pelindung bagi
sebagian yang lain. jika kamu (hai para
muslimin) tidak melaksanakan apa yang
telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan
terjadi kekacauan di muka bumi dan
kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfal : 73)

Dan tidak mungkin menghadapi kekuatan


musuh yang sedemikian kuat hanya
dengan perseorangan akan tetapi
dibutuhkan pula suatu kekuatan bersama
yang berhimpun didalam suatu ikatan
jama’ah yang solid yang berpegang teguh
dengan Al Qur’an dan Sunnah serta
memiliki akhlak yang kuat. Jamaah yang
dimaksud di sini adalah Jamaah Minal
Muslimin yang berjuang mewujudkan
Jamatul Muslimin.

Keberadaan berbagai Jama’ah Minal


Muslimin seperti itu tidaklah dilarang oleh
syariat di masa tidak adanya Jamatul
Muslimin bahkan sebagian kaum muslimin
mengatakan bahwa hal ini juga merupakan
kewajiban sebagaimana disebutkan
didalam kaidah ushul “Suatu kewajiban
tidak akan sempurna tanpa sesuatu yang
lain maka (mengadakan) sesuatu yang lain
itu adalah wajib.”

Hendaklah seluruh jam’ah itu berupaya


menjaga nilai-nilai ukhuwah islamiyah
karena meskipun mereka berbeda jama’ah
dan uslub (cara) dalam berda’wah dan
selama itu semua tidak keluar dari prinsip-
prinsip islam maka mereka semua adalah
saudara se-islam yang diikat oleh ikatan
aqidah.

‫إِمَّنَا الْ ُم ْؤ ِمنُو َن إِ ْخ َو ٌة‬

Artinya : “Orang-orang beriman itu


sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al
Hujurat : 10)

Dan hendaknya setiap jama’ah


menghindari pelebelan kepada suatu
jama’ah minal muslimin selainnya yang
masih berpegang teguh dengan prinsip-
prinsip islam telah sesat atau keluar dari
islam dan hanya jama’ahnya saja lah yang
benar dan selamat, atau yang sering
disebut dengan al Firqoh an Najiyah.

Rasulullah saw bersabda,”Ketahuilah


bahwa orang-orang Ahli Kitab sebelum
kalian telah terpecah menjadi 72 golongan.
Dan sesungguhnya golongan ini (kaum
muslimin) akan terpecah menjadi 73 : 72
nya di neraka sedangkan satu yang di
surga, yaitu al Jama’ah.” (HR. Abu Daud,
Tirmidzi dan Ibnu Majah dan Tirmidzi
mengatakan : hadits hasan shahih)

Sabdanya saw yang lain,”Umatku akan


terpecah menjadi 73 kelompok dan
seluruhnya di neraka kecuali satu.’ Para
sahabat bertanya,’Apa kelompok yang satu
itu?’ beliau saw menjawab,’Siapa yang
berada diatas (ajaran) ku dan para
sahabatku.” (HR. Tirmidzi, Hakim dan
Thabrani dan orang-orangnya bisa
dipercaya)

al ‘Alamah al Abadi didalam kitabnya


“Aunul Ma’bud” mengatakan,”Golongan
yang ke-73 adalah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah dan dia lah al Firqoh an Najiyah
(golongan yang selamat).” Ungkapan yang
sama juga dikatakan oleh Al Imam al
Mubarokfuriy didalam kitabnya “Tuhfah al
Ahwadziy”

Lantas bagaimanakah sifat dari al Firqoh


an Najiyah ini ? Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatkan didalam Muqoddimah
al Wasithiyah mengatakan,”Amma Ba’du.
Maka inilah aqidah al Firqoh an Najiyah al
Manshuroh (Golongan yang selamat dan
dimenangkan) hingga hari kiamat, Ahlus
Sunnah wal Jama’ah yang beriman kepada
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para Rasul-Nya, hari kebangkitan setelah
kematian, beriman dengan takdir yang
baik dan buruk.” (al Aqidah al Wasithiyah
hal 6)

Demikianlah sifat-sifatnya secara


umumnya, artinya bahwa setiap jama’ah
yang berpegang teguh dengan prinsip-
prinsip Islam, Al Qur’an dan Sunnah dan
istiqomah diatasnya didalam
perjuangannya maka mereka termasuk
didalam ‘al Firqoh an Najiyah”

Wallahu A’lam

Tempat Bersetubuh yang


Terlarang
Senin, 11/01/2010 11:28 WIB
| email | print | share
Assalamualaikum wr.wb

Pak ustadz yang di rahmati Allah saya


pernah mendengar ceramah seorang
ustazd yang menerangkan tentang tempat-
tempat bersetubuh yang dilarang yaitu :

1. Di bawah pohon, karena bila Allah


berkehendak menjadikan anak dari hasil
hubungan itu maka kelak anaknya akan
jadi paranormal atau dukun.

2.Di hari-hari besar umat muslim (idul


fitri,idul adha, 1 muharram, dlsb), karena
bila Allah berkehendak maka kelak anak
yang dilahirkan akan mempunyai jari lebih
baik di tangan atau di kaki.
3.Dengan posisi berdiri, karena bila Allah
berkehendak maka kelak anaknya akan
sering ngompol.

Tolong tanggapannya Pak Ustadz, terima


kasih sebelumnya.

nry
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Islam adalah agama Allah swt yang


lengkap dan mengatur segala sesuatu yang
berkaitan dengan kebutuhan umat
manusia, termasuk didalamnya adalah
kebutuhan seksualnya. Tidak jarang dari
kaum muslimin yang masih menganggap
tabu membicarakan permasalahan ini
meskipun sebetulnya hal diperbolehkan
sebagai sebuah pengetahuan sehingga
pergaulan seksual yang dilakukannya
sesuai dengan rambu-rambu syariah dan
tidak terjatuh kedalam hal-hal yang
dilarang atau diharamkan.

Hal lainnya adalah bahwa tidak jarang


permasalahan yang muncul diantara suami
istri juga dipicu oleh ketidakmampuan
salah satunya memberikan kepuasan
didalam bercinta kepada pasangannya atau
kurangnya variasi menggauli pasangannya
itu.
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Ya’la dari Anas bin Malik
bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”
Apabila salah seorang diantara kalian
menyetubuhi istrinya maka lakukanlah
dengan penuh semangat. Jika dia sudah
hendak ejakulasi sementara isterinya
belum sampai pada klimaksnya maka
janganlah tergesa-gesa untuk
menyudahinya sehingga isterinya
mencapai klimaksnya.”

Untuk itu tidaklah dilarang bagi setiap


muslim untuk melakukan berbagai variasi
didalam hubungan seksualnya dengan
pasangannya, baik variasi didalam memilih
tempat berhubungan, seperti tempat tidur,
lantai, mobil, kamar mandi atau lainnya
selama tempat-tempat itu tertutup rapat
dari pandangan orang lain.

Begitu pula dengan hubungan seksual yang


dilakukan dibawah pohon maka pada
dasarnya tidaklah ada larangan
terhadapnya selama tertutup rapat dari
penglihatan orang lain. Akan tetapi pada
umumnya tempat seperti ini sangatlah
terbuka sehingga tidaklah ada jaminan
bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak
akan terlihat oleh orang lain. Untuk itu
sebaiknya bagi seorang muslim untuk
menghindari berhubungan di tempat-
tempat yang terbuka seperti ini.
Kemudian juga dibolehkan bagi pasangan
suami istri untuk melakukan berbagai
variasi gaya didalam berhubungan selama
penumpahan maninya dilakukan
dikemaluan istrinya bukan pada duburnya
baik variasi itu dilakukan dalam keadaan
tiduran, duduk, jongkok maupun berdiri
serta dari arah manapun dia ingin
menumpahkannya baik dari depan,
samping maupun belakang sebagaimana
firman Allah swt :

‫ث لَّ ُك ْم فَأْتُواْ َح ْرثَ ُك ْم أَىَّن ِشْئتُ ْم‬


ٌ َْ ْ ُ ُ َ ‫ن‬
‫ر‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ك‬‫ؤ‬ ‫آ‬ ‫س‬ِ

Artinya : “Isteri-isterimu adalah (seperti)


tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka
datangilah tanah tempat bercocok-
tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki.” (QS. Al Baqoroh : 223)

Dibolehkan bagi pasangan suami istri


untuk melakukan hubungan seksnya di
waktu apapun baik di malam lailatul qodr,
awal muharam, di dua hari raya, yaitu idul
fitri dan idul adha ataupun di hari-hari
lainnya karena tidak adanya dalil yang
melarangnya kecuali apabila hal itu
dilakukan di siang hari bulan Ramadhan,
saat ihrom haji atau umroh atau pada saat
istrinya dalam keadaan haidh atau nifas.
Adapun berbagai alasan berupa akibat dari
perbuatan-perbuatan yang anda
ditanyakan diatas seperti : kelak anaknya
akan menjadi paranormal atau dukun,
anak akan terlahir dengan jari lebih baik di
tangan atau di kaki atau ia akan sering
ngompol dan lain sebagainya adalah tidak
berdasar karena tidak adanya nash-nash
baik dari al Qur’an maupun sunnah yang
menunjukkan tentang hal tersebut.

Wallahu A’lam

Sunnah Tidaknya Shalat


Ba'diyah Jumat
Kamis, 07/01/2010 10:40 WIB
| email | print | share
Assalamualaikum wr wb
Ustad sigit yang dimuliakan allah swt, saya
pernah membaca buku yang berjudul
"Kesalahan seputar sholat jum'at" disana
dikatakan bahwa nabi melakukakn sholat
sunnah ba'diyah jumat adalah 4 rakaat,
namun nabi mengerjakan 2 rakaat apabila
dirumah. apakah hal tersebut  benar ?
sekarang ini saya lihat kebanyakan
masyarakat maupun ustad mengerjakan
sholat ba'diyah jumat 2 rakaat di msjid.

mohon jawabannya ustad

raufan
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Raufan yang dimuliakan Allah swt

Menurut para ahli ilmu terdapat shalat


sunnah setelah shalat jum’at akan tetapi
tidak ada shalat tertentu sebelumnya.

Terdapat riwayat bahwa shalat sunnah


setelah jum’at dilakukan dengan dua
rakaat. Ada riwayat yang menyebutkan
empat rakaat dan ada juga riwayat yang
menyebutkan enam rakaat dari hadits-
hadits dan atsar-atsar berikut :

Dari Ibnu Umar bahwa “Nabi saw


melaksanakan shalat ba’diyah jum’at
dengan dua rakaat di rumahnya.” (HR.
Bukhori Muslim)
Didalam riwayat Muslim dari Ibnu Umar
bahwa dia mensifati shalat sunnah
Rasulullah saw. Ibnu Umar berkata bahwa
beliau saw tidaklah shalat setelah jum’at
hingga beliau pulang lalu melaksanakan
shalat dua rakaat di rumahnya.”

Dari Abu Hurairoh berkata,”Rasulullah saw


bersabda,’Apabila seorang dari kalian
melaksanakan shalat jum’at maka
shalatlah setelahnya empat rakaat.” (HR.
Muslim)

Dari Ibnu Umar bahwa apabila dia berada


di Mekah dan melaksanakan shalat jum’at
kemudian dia maju ke depan untuk shalat
dua rakaat lalu dia maju ke depan untuk
shalat empat rakaat. Sedangkan apabila
dia di Madinah dan melaksanakan shalat
jum’at lalu dia pulang ke rumah kemudian
melaksanakan shalat dua rakaat dan
(sebelumnya) dia tidaklah melaksanakan
shalat di masjid. Dia pun ditanya tentang
itu. Dia menjawab bahwa Rasulullah saw
melakukan yang seperti ini.” (HR. Tirmidzi,
al Iraquy mengatakan sanadnya shahih)

Ibnu Umar melakukan shalat sunah dua


rakaat kemudian empat rakaat dan ada
kemungkinan bahwa apa yang
dilakukannya itu juga berasal dari
perkataan Rasulullah saw tentangnya dan
juga perbuatan Nabi saw. Diriwayatkan
dari Ali bahwa Nabi saw
bersabda,”Barangsiapa yang melaksanakan
shalat setelah jum’at maka lakukanlah
enam rakaat.” Diriwayatkan dari Abu
Abdurrahman berkata,”Ibnu Mas’ud telah
mengajarkan orang-orang agar
melaksanakan shalat setelah jum’at
dengan empat rakaat. Dan pada saat
kedatangan Ali bin Abi Thalib maka beliau
mengajarkan mereka untuk shalat enam
rakaat.”

Kemudian ath Thahawi berkata,”Terdapat


riwayat sebagaimana yang kami sebutkan
bahwa shalat sunnah yang tidak
seharusnya ditinggalkannya setelah jum’at
adalah enam rakaat.” Ini adalah pendapat
Abu Yusuf hanya saja dia
mengatakan,”Yang paling aku sukai adalah
mengawali dengan empat rakaat kemudian
dua rakaat... “ (Syarh Ma’ani al Atsar
1/337)

Tentang kandungan dari hadits-hadits


diatas para ahli ilmu mengatakan,”Tirmidzi
menyebutkan setelah meriwayatkan hadits
Ibnu umar bahwa Nabi saw melakukan
shalat setelah juma’at dua rakaat. (dan
sebagian ahli ilmu mengamalkan hal ini,
demikian dikatakan oleh Syafi’i dan
Ahmad) Sunan at Tirmidzi dengan Syarh
“at Tuhfah” (3/46)

Hal itu juga dinukil dari Umar dan Imron


bin Hushain serta an Nakh’i. Dan Tirmidzi
setelah meriwayatkan hadits Abu Hurairoh
bahwa Nabi saw bersabda,”Barangsiapa
dari kalian yang melaksanakan shalat
jum’at maka shalatlah empat rakaat.”
Sebagian ahli ilmu mengamalkan ini.
Kemudian Tirmidzi menyebutkan bahwa
Abdullah bin Mas’ud melakukan shalat
setelah jum’at dengan empat rakaat. Dia
juga menyebutkan bahwa Ali
melaksanakan shalat setelah jum’at dua
rakaat kemudian empat rakaat. (at Tuhfah
3/47 – 49)

Dinukil dari Alqamah dan Abu Hanifah


bahwa dia melaksanakan shalat (setelah
jum’at) dengan empat rakaat. Sekelompok
ahli ilmu lainnya berpendapat bahwa shalat
setelah jum’at dengan dua rakaat
kemudian empat rakaat. Hal ini
diriwayatkan dari Ali dan Ibnu umar serta
Abu Musa, ini juga pendapat Atho’, Thawus
dan Abu Yusuf dari ulama Hanafi.

Diantara para ahli ilmu ada yang


memberikan pilihan kepada orang yang
shalat diantara tiga pilihan. Dia bisa
melaksanakan shalat dengan dua rakaat
atau empat rakat atau enam rakaat.
Syeikh Ibnu Qudamah mengatakan dari
Imam Ahmad bahwa dia mengatakan,”Jika
dia ingin maka dia bisa shalat setelah
jum’at dengan dua rakaat dan jika dia
ingin maka dia bisa dengan empat rakaat
dan didalam riwayat jika dia ingin maka dia
bisa shalat dengan enam rakaat.” Ibnu
Qudamah berargumentasi dengan
perkataan,”..bahwa Nabi saw melakukan
itu semua hal ini berdasarkan berita-berita
yang telah diriwayatkan. Diriwayatkan dari
Ibnu Umar,”Bahwa Rasulullah saw
melaksanakan shalat setelah jum'at
dengan dua rakaat,.” (Muttafaq Alaih
dengn lafazh dari Muslim)

Nabi saw tidaklah melaksanakan shalat di


masjid sehingga beliau beranjak pulang
lalu melaksanakan dua rakaat di
rumahnya.” Ini menunjukkan bahwa
melakukan hal yang demikian adalah baik.
Ahmad didalam sebuah riwayat Abdullah
mengatakan,”Jika seseorang shalat dengan
seorang imam kemudian dia tidak
melaksanakan shalat sedikit pun hingga
dia shalat ashar maka ini dibolehkan
sebagaimana dilakukan oleh ‘Imron bin
Hushain. Dan didalam riwayat Abu
Daud,”Aku terperanjat dengan shalat—
yaitu setelah jum’at.” (al Mughni 2/269 –
270).

Ishaq bin Rohuyah berkata bahwa jika


seseorang shalat di masjid pada hari
jum’at maka hendaklah empat rakaat dan
jika dia shalat di rumahnya maka
hendaklah dua rakaat. Tirmidzi
menyebutkan di dalamnya “Sunan” nya
dan al Iraqiy didalam kitab “Tharhu at
Tatsriib” 3/83. Hal ini menjadi pilihan
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Ibnu al Qayyim mengatakan : Syeikh kami


Abu al Abbas ibnu Taimiyah
mengatakan,”Jika shalat di masjid maka
shalat lah empat rakaat dan jika shalat di
rumahnya maka shalatlah dua rakaat.” Aku
berkata,”Inilah yang ditunjukkan oleh
hadits-hadits dan Abu Daud menyebutkan
dari Ibnu Umar bahwa apabila dia shalat di
masjid maka dia shalat empat rakaat dan
jika shalat di rumahnya maka dia shalat
dua rakaat.” (Zaad al Ma’ad 1/440)

Al Lajnah ad Daimah Li al Buhuts al


Ilmiyah wa al Iftaa as Su’udiyah memilih
pendapat diatas dan mengatakan bahwa
dengan menggabungkan antara hadits
yang menyebutkan disyariatkannnya
empat rakaat juga hadits yang
menyebutkan disyariatkannnya dua rakaat
setelah jum’at maka shalat empat rakaat
jika di masjid dan dua rakaat jika shalat di
rumahnya. Ada juga penggabungan yang
lain dari dua hadits itu yaitu bahwa sunat
rawatib setelah jum’at minimal dua rakaat
dan maksimal empat rakaat baik dilakukan
di rumah atau pun di masjid.” (Ghayah al
Murom-7/257)

Al Hafizh Ibnu Abdil Barr setelah


menyebutkan berbagai riwayat tentang
sunnah ba’diyah jum’at bahwa terjadi
perselisihan dikalangan para ulama salaf
didalam permasalahan ini yaitu suatu
perbedaan yang diperbolehkan dan
mengandung kebaikan bukan perbedaan
yang dilarang dan diharamkan. Dan semua
itu adalah baik, insya Allah.” Fath al Malik
3/254

Al Hafizh Abu Zur’ah al Iraqiy


mengatakan : Ibnu Abdil Barr
mengatakan : Abu Hanifah mengatakan
bahwa Shalat setelah jum’at adalah empat
rakaat. Pada bagian lain, dia mengatakan
enam rakaat. Ats Tsauriy
mengatakan,”Jika engkau shalat empat
rakaat atau enam rakaat maka itu baik.”al
Hasan bin Hayy berkata,”Shalat empat
rakaat.” Ahmad bin Hambal
mengatakan,”Yang paling aku sukai adalah
shalat setelah jum’at dengan enam rakaat
akan tetapi jika dia shalat dengan empat
rakaat maka itu baik dan tidak mengapa.”
Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa seluruh
pendapat tersebut diriwayatkan dari para
sahabat baik lewat perkataan maupun
perbuatan. Dan tidak ada perselisihan
diantara para ulama bahwa hal itu adalah
pilihan.

Ibnu Batthal mengatakan : Sekelompok


orang yang mengatakan,”Shalat setelah
jum’at dua rakaat itu adalah riwayat dari
Ibnu Umar, Imron bin Hushain dan an
Nakh’i. Sekelompok orang lainnya
mengatakan,”Shalat setelah jum’at dua
rakaat lalu empat rakaat adalah riwayat
dari Ali, Ibnu Umar dan Abu Musa, dan ini
adalah pendapat ‘Atho’, ats Tsauriy dan
Abu Yusuf namun Abu Yusuf lebih
menyukai mendahulukan empat rakaat
sebelum dua rakaat.” Sekelompok orang
mengatakan,”Shalat empat rakaat
(langsung) tidak dipisah dengan salam
adalah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud,
Alqamah dan an Nakh’i, ini juga pendapat
Abu Hanifah dan Ishaq.

Nawawi didalam “Syarh Muslim”


mengatakan,”Perhatikan
sabdanya,”Barangsiapa dari kalian
melakukan shalat” adalah menunjukkan
bahwa itu hanyalah sunnah bukan
kewajiban. Penyebutan empat rakaat
adalah karena kelebihannya sedangkan
perbuatan Nabi saw yang dua rakaat pada
beberapa waktu adalah sebagai penjelasan
karena minimal shalat itu adalah dua
rakaat.” Dia mengatakan sebagaimana
telah diketahui bahwa Nabi saw
melaksanakan shalat di kebanyakan waktu
dengan empat rakaat karena beliau saw
memerintahkan untuk itu dan
menganjurkan hal itu dengan
sabdanya,”Apabila seorang dari kalian
melaksanakan shalat jum’at maka
shalatlah setelahnya dengan empat
rakaat.” Ini adalah anjuran kebaikan,
antusias dengannya dan sebagai sebuah
keutamaan…..

Adapun empat rakaat yang dilakukan


setelah jum’at maka shalat itu dilakukan
dengan satu kali salam, ini pendapat yang
paling tepat menurut para ahli ilmu. As
Saukani berkata,”Telah terjadi perselisihan
tentang empat rakaat ; Apakah ia (empat
rakaat) itu dilakukan secara langsung
dengan satu salam di rakaat terakhirnya
atau dipisah diantara dua rakaat dengan
dua salam : Ahli ar Ro’yi, Ishaq bin
Rohuyah memilih pendapat pertama, inilah
yang tampak lahiriyah (zhahir) dari hadits
Abu Hurairoh. Sedangkan Syafi’i dan
jumhur memilih pendapat kedua,
sebagaimana dikatakan al Iraqiy bahwa
mereka beargumentasi dengan
sabdanya,”Shalat di siang hari dua dua.”
(HR. Abu Daud, Ibnu Hibban didalam
shahihnya). Tampak lahiriyah (zhahir)
adalah pendapat pertama karena
menggunakan dalil yang khusus sedangkan
kelompok kedua menggunakan dalil yang
umum dan membangun yang umum diatas
yang khusus adalah wajib.” (Nailul Author
3/319 – 320)

Diriwayatkan oleh Muhammad bin al Hasan


didalam kitabnya “al Atsar” dari Ibrahim an
Nakh’i berkata,”Empat rakaat setelah
zhuhur dan empat rakaat setelah jum’at
tidaklah dipisah diantara keduanya dengan
salam.” (Al Atsar 1/280)

Ringkasnya : Seorang yang melaksanakan


shalat setelah jum’at memiliki kelapangan
dalam hal ini. Dia bisa melaksanakan
shalatnya dengan dua rakaat, dia bisa
melaksanakan empat rakaat dan jika dia
melaksanakan shalat empat rakaat maka
shalatlah dengan satu kali salam.” (Fatawa
Yasaluunaka 6/62 – 66)

Wallahu A’lam

Cara Menggauli Isteri di


Malam Pertama
Kamis, 31/12/2009 10:02 WIB
| email | print | share
Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz, insya Allah sebentar lagi saya akan


menikah. Saya mohon tuntunan/amalan
apa yang dibaca sebelum saya menggauli
istri saya nanti. Terima Kasih atas
jawabannya.

egun di samarinda
Jawaban

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Semoga Allah swt kelak menjadikan


keluarga yang akan anda bangun dengan
pasangan anda keluarga yang penuh
dengan cinta, kasih sayang dan kedamaian
sehingga mendorong anda dan orang-
orang yang ada didalamnya semakin dekat
dengan Allah swt.

Saudara Egun yang dimuliakan Allah swt

Malam pengantin bagi pasangan suami istri


hendaklah penuh dengan suasana
kelembutan, kasih sayang dan
kesenangan. Malam yang menghubungkan
suami dengan istrinya dengan tali kasih
sayang dan cinta dan dapat menghilangkan
kecemasan dan ketakutan serta
menjadikan istrinya merasa tenang
dengannya.
Berikut beberapa adab yang disebutkan
didalam warisan kita untuk membentuk
kehidupan baru, semoga bermanfaat :

1.Kebenaran niat

Hendaklah niat suami istri untuk menikah


adalah untuk menjaga kehormatannya,
berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Tiga
orang yang memiliki hak atas Allah
menolong mereka : seorang yang berjihad
di jalan Allah, seorang budak (berada
didalam perjanjian antara dirinya dengan
tuannya) yang menginginkan penunaian
dan seorang menikah yang ingin menjaga
kehormatannya.” (HR. Ahmad, Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Hakim dari hadits Abu
Hurairoh)

2. Berhias dan mempercantik diri.

Hendaknya seorang istri mempercantik


dirinya dengan apa-apa yang dibolehkan
Allah swt. Pada dasarnya hal ini dibolehkan
kecuali terhadap apa-apa yang diharamkan
oleh dalil seperti mencabuti alis dan bulu
diantara keduanya atau mengeroknya,
menyambung rambut dengan rambut lain,
mentato, mengikir gigi agar lebih cantik.
Diharamkan baginya juga mengenakan
pakaian yang diharamkan baik pada
malam pengantin maupun di luar malam
itu. Diperbolehkan baginya menghiasi
dirinya dengan emas dan perak
sebagaimana biasa dikenakan kaum
wanita.

Begitu juga dengan si suami hendaknya


memperhias dirinya untuk istrinya karena
hal ini merupakan bagian dari
menggaulinya dengan cara yang baik.
Firman Allah swt :

‫َولِ ِّلر َج ِال َعلَْي ِه َّن َد َر َج ٌة‬

Artinya : “Akan tetapi para suami,


mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya.” (QS. Al Baqoroh : 228)
Namun demikian hendaknya upaya
menghias diri ini tetap didalam batasan-
batasan yang dibenarkan. Tidak dibolehkan
baginya mengenakan cincin emas kecuali
perak. Tidak dibolehkan baginya mencukur
jenggot, memanjangkan pakaiannya
hingga ke tanah, mengenakan sutera
kecuali tehadap apa-apa yang dikecualikan
syariat.

3. Lemah lembut terhadap istrinya saat


menggaulinya

Diriwayatkan oleh Ahmad didalam al


Musnad dari Asma binti Yazid bin as Sakan
berkata,”Aku pernah merias Aisyah untuk
Rasulullah saw lalu aku mendatangi beliau
saw dan mengajaknya untuk melihat
kecantikan Aisyah. Beliau saw pun
mendatanginya dengan membawa segelas
susu lalu beliau meminumnya dan
memberikannya kepada Aisyah maka
Aisyah pun menundukkan kepalanya
karena malu. Asma berkata,”Maka aku
menegurnya.” Dan aku katakan
kepadanya,”Ambillah (minuman itu) dari
tangan Nabi saw.” Asma berkata,”Maka
Aisyah pun mengambilnya lalu
meminumnya sedikit.”

4. Mendoakan istrinya.

Hendaklah suami meletakkan tangannya di


kening istrinya dan mengatakan seperti
yang disabdakan Rasulullah saw,”Apabila
seorang dari kalian menikah dengan
seorang wanita atau membeli seorang
pembantu maka hendaklah memegang
keningnya lalu menyebut nama Allah azza
wa jalla dan berdoa memohon keberkahan
dengan mengatakan : Allahumma Innii
Asaluka Min Khoiriha wa Khoiri Ma
Jabaltaha Alaihi. Wa Audzu bika Min Syarri
wa Syarri Ma Jabaltaha Alaih—Wahai Allah
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu
kebaikannya dan kebaikan dari apa yang
Engkau berikan kepadanya serta Aku
berlindung kepada-Mu daripada
keburukannya dan keburukan yang Engkau
berikan kepadanya..”
5. Melaksanakan shalat dua rakaat

Diriwayatkan Ibnu Syaibah dari Ibnu


Masud, dia mengatakan kepada Abi
Huraiz,”Perintahkan dia untuk shalat dua
rakaat dibelakang (suaminya) dan
berdoa,”Allahumma Barik Lii fii Ahlii dan
Barik Lahum fii. Allahummajma’ Bainanaa
Ma Jama’ta bi Khoirin wa Farriq Bainana
idza Farroqta bi Khoirin—Wahai Allah
berkahilah aku didalam keluargaku dan
berkahilah mereka didalam diriku. Wahai
Allah satukanlah kami dengan kebaikan
dan pisahkanlah kami jika Engkau
menghendaki (kami) berpisah dengan
kebaikan pula.”
6. Apa yang dikatakan ketika melakukan
jima’ atau saat menggauli istrinya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi


saw bersabda,”Apabila seorang dari kalian
mendatangi istrinya maka hendaklah dia
berdoa,”Allahumma Jannibna asy Syaithon
wa Jannib asy Syaithon Ma Rozaqtana—
Wahai Allah jauhilah kami dari setan dan
jauhilah setan dari apa-apa yang Engkau
rezekikan kepada kami—sesungguhnya
Allah Maha Mampu memberikan buat
mereka berdua seorang anak yang tidak
bisa dicelakai setan selamanya.”

7. Diharamkan baginya menyiarkan hal-hal


yang rahasia diantara suami istri
Diriwayatkan oleh Ahmad dari Asma binti
Yazid yang saat itu duduk dekat Rasulullah
saw bersama dengan kaum laki-laki dan
wanita lalu beliau saw bersabda,”Bisa jadi
seorang laki-laki menceritakan apa yang
dilakukannya dengan istrinya dan bisa jadi
seorang istri menceritakan apa yang
dilakukannya dengan suaminya.” Maka
mereka pun terdiam. Lalu aku
bertanya,”Demi Allah wahai Rasulullah
sesungguhnya kaum wanita melakukan hal
itu begitu juga dengan kaum laki-laki
mereka pun melakukannya.” Beliau saw
bersabda,”Janganlah kalian melakukannya.
Sesungguhnya hal itu bagaikan setan laki-
laki berhubungan dengan setan perempuan
di jalan lalu (setan laki-laki) menutupi
(setan perempuan) sementara orang-orang
menyaksikannya.”

8. Berwudhu diantara dua jima’ meskipun


mandi adalah lebih utama

Apabila seorang laki-laki menggauli istrinya


lalu dia ingin kembali mengulanginya maka
yang paling utama baginya adalah
berwudhu sehingga dapat mengembalikan
tenaganya, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Said al
Khudriy berkata,”Rasulullah saw
bersabda,’Apabila seorang dari kalian
menggauli istrinya kemudia dia ingin
mengulanginya lagi maka berwudhulah
diantara kedua (jima) itu.”
Didalam sebuah riwayat,”Seperti wudhu
hendak shalat.” (HR. Muslim) Abu Naim
menambahkan,”Sesungguhnya hal itu akan
mengembalikan tenagannya.”

Mandi lebih utama, sebagaimana


diriwayatkan oleh Abu Daud dari Rafi’
bahwa Nabi saw mengelilingi para istrinya
dan mandi ketika (hendak menggauli) istri
yang ini dan juga dengan yang istri ini. dia
berkata,”Aku bertanya kepadanya,’Wahai
Rasulullah apakah tidak cukup hanya
dengan sekali mandi?’ beliau saw
menjawab,”Ini lebih suci. Lebih wangi dan
lebih bersih.”
Seyogyanya bagi orang yang ingin tidur
dalam keadaan junub hendaknya
berwudhu dengan wudhu seperti untuk
shalat terlebih dahulu, sebagaimana
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari
Ibnu Umar bahwa Umar berkata,”Wahai
Rasulullah apakah seorang dari kami tidur
sementara dia dalam keadaan junub?’
beliau saw menjawab,”Ya, hendaklah dia
berwudhu.” Didalam sebuah
riwayat,”Berwudhu dan cucilah
kemaluanmu lalu tidurlah.”

Wudhu ini merupakan sebuah anjuran dan


bukan sebuah kewajiban, sebagaimana
diriwayatkan oleh Umar ketika bertanya
kepada Rasul saw,”Apakah seorang dari
kami tidur sementara dirinya junub?”
beliau saw menjawab,”Ya dan hendaklah
dirinya berwudhu jika mau.”. Diriwayatkan
oleh Ashabus Sunan dari Aisyah
berkata,”Rasulullah saw pernah tidur
dalam keadaan junub tanpa menyentuh air
hingga dia terbangun setelah itu dan
mandi.”

Dibolehkan pula untuk bertayammum,


sebagaimana diriwayatkan oleh Baihaqi
dari Aisyah berkata,”Rasulullah saw jika
dirinya junub dan hendak tidur maka dia
berwudhu atau bertayammum.”

9. Mandi berduaan
Dibolehkan bagi suami istri untuk mandi
secara bersama-sama dalam satu wadah,
sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori
dan Muslim dari Aisyah berkata,”Aku
mandi bersama Rasulullah saw dari satu
wadah antara diriku dengan dirinya.
Tangan kami saling bergantian berebutan
sehingga aku mengatakan,”tinggalkan
(sedikit air) buatku, tinggalkan buatku.”
Dia berkata,”Mereka berdua dalam
keadaan junub.”

Dari hadits diatas maka diperbolehkan


keduanya telanjang dan saling melihat
aurat satu dengan yang lainnya.
Didalam hdits yang diriwayatkan oleh Abu
Daud dan Ibnu Majah dari Muawiyah bin
Haidah berkata,”Aku berkata,’Wahai
Rasulullah. Apa yang dibolehkan dan
dilarang dari aurat kami?’ beliau
menjawab,”Jagalah auratmu kecuali
terhadap istri atau budakmu.” Maka
dibolehkan bagi salah seorang dari
pasangan suami istri untuk melihat seluruh
badan pasangannya dan menyentuhnya
hingga kemaluannya berdasarkan hadits
ini, karena kemaluan adalah tempat
kenikmatan maka dibolehkan melihat dan
menyentuhnya seperti bagian tubuh
lainnya.

10. Bersenda gurau dengan istri


Dibolehkan bersenda gurau dan bermain-
main dengan istrinya di tempat tidur,
sebagaimana sabdanya saw,”… Mengapa
bukan dengan gadis maka engkau bisa
bermain-main dengannya dan dia bisa
bermain-main denganmu.” (HR. Bukhori
dan Muslim) dan didalam riwayat
Muslim,”Engkau bisa bahagia dengannya
dan dia bisa bahagia denganmu.”

Diantara senda gurau dan mempergaulinya


dengan baik adalah ciuman suami
walaupun bukan untuk jima’. Rasulullah
saw mencium dan menyentuh istri-istrinya
meskipun mereka dalam keadaan haidh
atau beliau mencium dan menyentuhnya
meski beliau sedang dalam keadaan puasa.
Sebagaimana terdapat didalam ash
Shahihain dan lainnya dari Aisyah dan
Maimunah bahkan juga diriwyatkan oleh
Ahmad dan Abu Daud dari Aisyah
berkata,”Nabi saw mencium sebagian istri-
istrinya kemudian beliau keluar menuju
shalat dan tidak berwudhu lagi.” Ini
sebagai dalil bahwa mencium istri tidaklah
membatalkan wudhu.

11. Dibolehkan ‘Azl

Dibolehkan bagi seorang suami untuk


melakukan ‘azl yaitu mengeluarkan air
maninya di luar kemaluan istrinya,
sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori
dan Muslim dari Jabir bin Abdullah
berkata,”Kami melakukan ‘azl sementara al
Qur’an masih turun.” Didalam sebuah
riwayat,”Kami melakukan ‘azl pada masa
Rasulullah saw dan hal ini sampai kepada
Nabi saw dan beliau saw tidaklah
melarangnya.”

Meskipun demikian yang paling utama


adalah meninggalkan ‘azl karena hal itu
dapat mengurangi kenikmatan baginya dan
bagi istrinya dan karena hal itu juga dapat
menghilangkan tujuan dari pernikahan
yaitu memperbanyak keturunan umat ini,
berdasarkan sabda Rasulullah
saw,”Nikahilah oleh kalian (wanita-wanita)
yang dapat mendatangkan anak lagi
mendatangkan kasih sayang.
Sesungguhnya aku akan membanggakan
banyaknya (jumlah) kalian dihadapan
semua umat pada hari kiamat.”

Akan tetapi tidak diperbolehkan bagi


seorang muslim melakukan ‘azl selamanya
karena dapat membatasi dan mencegah
keturunan.

12. Mengunjungi kerabat pada pagi


harinya

Dianjurkan baginya pada pagi harinya


untuk mengunjungi kaum kerabatnya yang
telah memenuhi undangannya..
berdasarkan hadits Anas
berkata,”Rasulullah saw mengadakan pesta
saat menikah dengan Zainab. Kaum
muslimin dikenyangkan dengan roti dan
daging. Kemudian beliau saw keluar
menemui ibu-ibu kaum mukminin (istri-
istrinya saw) dan mengucapkan salam
kepada mereka, mendoakan mereka dan
mereka pun menyambut salamnya dan
mendoakannya, beliau lakukan itu pada
pagi hari setelah malam pengantinnya.”
(saaid.net)
Wallahu A’lam

Anda mungkin juga menyukai