Anda di halaman 1dari 23

TIKET MASUK

ILMU BEDAH UMUM


ANESTESI GAWAT DARURAT 1

Nama : Pratitha Laksmi Ratnanggani


NIM : 185130107111032
Kelas : 2018 D
Kelompok : D3
Asisten : Archangela Grethania

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
1. Pengertian dan Jenis-jenis Anestesi
Menurut Sari (2017), aestesi berasal dari bahasa Yunani, an-, yang berarti “tanpa” dan
aisthēsi, yang berarti sensasi. Fungsi anestesi yaitu penghilang sensasi, oleh karena itu
anestesi umumnya digunakan untuk pasien yang akan menjalani operasi. Anestesi terbagi
menjadi beberapa jenis yakni:
a. Anestesi Umum
Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh. Anestesi umum
dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau melalui inhalasi.
Keuntungan dari penggunaan anestesi ini adalah dapat mencegah terjadinya
kesadaran intraoperasi; efek relaksasi otot yang tepat dalam jangka waktu yang
lama; memungkinkan untuk pengontrolan jalan, sistem, dan sirkulasi penapasan;
dapat digunakan pada kasus pasien hipersensitif terhadap zat anestesi lokal; dapat
diberikan tanpa mengubah posisi supinasi pasien; dapat disesuaikan secara mudah
apabila waktu operasi perlu diperpanjang; dan dapat diberikan secara cepat dan
reversibel. Anestesi umum juga memiliki kerugian, yaitu membutuhkan
perawatan yang lebih rumit; membutuhkan persiapan pasien pra operasi; dapat
menyebabkan fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi aktif;
berhubungan dengan beberapa komplikasi seperti mual muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan terlambatnya pengembalian fungsi
mental normal; serta berhubungan dengan hipertermia maligna, kondisi otot yang
jarang dan bersifat keturunan apabila terpapar oleh anestesi umum dapat
menyebabkan peningkatan suhu tubuh akut dan berpotensi letal, hiperkarbia,
asidosis metabolik dan hyperkalemia (Sari, 2017).
b. Anestesi Regional
Anestesi regional memberikan efek mati rasa terhadap saraf yang menginervasi
beberapa bagian tubuh, melalui injeksi anestesi lokal pada spinal/epidural,
pleksus, atau secara Bier block. Anestesi regional memiliki keuntungan,
diantaranya adalah menghindari polifarmasi, alternatif yang efektif terhadap
anestesi umum, anesthesia yang dapat diperpanjang, pasient dapat tetap dalam
keadaan sadar, dan dapat dilakukan pemberian makanan atau minuman yang lebih
dini. Tetapi, dalam pemberian anestesi regional dapat terjadi komplikasi meskipun
jarang sekali terjadi, diantaranya sakit kepala pasca penyuntikan; sakit punggung;
Transient Neurological Symptomps (TNS;, anastesi spinal total, hematoma spinal
atau epidural; abses epidural; meningitis; arachnoiditis; cardiac arrest; retensi
urin; dan keracunan (Sari, 2017).
c. Anestesi Lokal
Anestesi lokal secara reversibel menghambat konduksi saraf di dekat
pemberian anestesi, sehingga menyebabkan mati rasa di daerah yang terbatas
secara sementara. Perbedaanya dengan anestesi regional adalah, anestesi lokal
hanya memblok sensasi di area dimana injeksi diberikan, tanpa mempengaruhi
daerah-daerah lain yang diinervasi oleh saraf tersebut (Sari, 2017).

2. Stadium Anestesi
 Stadium I (Analgesia) : Dimulai sejak pemberian anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pasien tidak lagi merasakan nyeri, namun masih tetap sadar (Ratnasari,
2016).
 Stadium II (Eksitasi) : Dimulai sejak hilangnya kesadaran sampai muncul
pernapasan yang teratur, merupakan tanda dimulainya stadium pembedahan.
Pasien tampak mengalami delirium dan eksitasi dengan gerakan- gerakan diluar
kehendak. Pernapasan tidak teratur, baik irama maupun amplitudonya, terkadang
cepat, pelan, atau terhenti sebentar. Terkadang apnea dan hyperpnea, tonus otot
rangka meninggi, bola mata masih bergerak, pupil melebar, dan muntah. Pada
stadium ini dapat terjadi kematian, maka harus cepat dilalui (Ratnasari, 2016).
 Stadium III (Pembedahan) : Dimulai dengan timbulnya kembali pernapasan
yang teratur dan berlangsung sampai pernapasan spontan hilang. Napas jadi
teratur, reflek bulu mata negative, dan otot jadi lemas. Terdapat 4 tingkatan (Plane
I-IV) pada stadium ini, dibedakan berdasarkan perubahan pada gerakan bola mata,
refleks bulu mata dan konjungtiva, tonus otot, dan lebar pupil yang
menggambarkan semakin dalamnya anestesi (Ratnasari, 2016).
 Stadium IV : Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibandingkan
stadium III plane IV, tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah
kolaps, jantung berhenti berdenyut, pupil melebar hampir maximum, reflek
cahaya negative. Keadaan ini dapat segera disusul kamtian, kelumpuhan napas di
sini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan, bila tidak didukung alat bantu
napas dan sirkulasi (Ratnasari, 2016).

3. Macam-macam Antidota Anestesi dan prinsip kerjanya


a. Atipamezole
Merupakan antidota dari anestesi Xylazine. Atipamezole secara kompetitif
menghambat reseptor alfa2-adrenergik. Atipamezole ini bertindak sebagai agen
pembalikan untuk agonis alfa2-adrenergik. Efek farmakologis yang diberikan
adalah mengurangi sedasi, menurunkan tekanan darah, meningkatkan detak
jantung dan pernapasan, dan mengurangi efek analgesik agonis alfa2-adrenergik.
Atipamezole akan melawan aksi diuretik xylazine pada anjing (Plumb, 2011).
b. Yohimbine
Merupakan antidota dari anestesi Xylazine. Yohimbine adalah antagonis alfa2-
adrenergik yang dapat melawan efek xylazine. Yohimbine akan meningkatkan
detak jantung, tekanan darah, menyebabkan stimulasi SSP dan antidiuresis, dan
memiliki efek hiperinsulinemik. Dengan memblokir reseptor alfa2 pusat,
yohimbine akan menyebabkan aliran simpatis (norepinefrin) meningkat. Reseptor
alpha2 perifer juga ditemukan dalam sistem kardiovaskular, sistem genitourinari,
saluran GI, trombosit, dan jaringan adiposa (Plumb, 2011).
c. Atropine Sulfat
Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, secara kompetitif menghambat
asetilkolin atau stimulan kolinergik lainnya di lokasi efek saraf parasimpatis
postganglionik. Dosis tinggi dapat memblokir reseptor nikotinik di ganglia
otonom dan di sambungan neuromuskuler. Efek farmakologis berhubungan
dengan dosis. Pada salivasi dosis rendah, sekresi bronkial, dan keringat (bukan
kuda) dihambat. Pada dosis sistemik sedang, atropin melebar dan menghambat
akomodasi pupil, dan meningkatkan denyut jantung. Dosis tinggi akan
menurunkan GI dan motilitas saluran kemih. Dosis yang sangat tinggi akan
menghambat sekresi lambung (Plumb, 2011).
d. Acetylcysteine
Asetilsistein digunakan dalam kedokteran hewan sebagai agen mukolitik di
pohon paru dan sebagai pengobatan untuk toksisitas asetaminofen, xylitol, atau
fenol pada hewan kecil. Asetilsistein digunakan secara investigasi sebagai
antiinflamasi untuk penyakit pernapasan atas kronis pada kucing, sebagai
tambahan dalam pembuangan logam berat, dan secara topikal di mata untuk
menghentikan efek leleh kolagenase dan proteinase pada kornea. Ini telah
digunakan secara anekdot dengan asam aminocaproic untuk mengobati mielopati
degeneratif pada anjing, tetapi data kurang menunjukkan kemanjuran. Pada kuda
dengan strangles, asetilsistein yang ditanamkan ke dalam kantong usus telah
digunakan untuk membantu memecah kondroid dan menghindari perlunya operasi
pengangkatan. Enema asetilsistein telah digunakan pada anak kuda neonatal untuk
memecah mekonium refrakter menjadi enema berulang (Plumb, 2011).
4. Macam-macam Agen Surgical Haemostatic dan prinsip kerjanya
a. Agen hemostatik topical
Beberapa zat topikal tersedia untuk mengontrol perdarahan selama operasi. Lilin
tulang adalah campuran steril dari lilin lebah, parafin, dan isopropil palmitat. Itu
ditekan ke saluran pendarahan tulang untuk mengontrol perdarahan melalui efek
tamponade. Gelfoam adalah spons gelatin yang dapat menyerap yang dapat
digunakan untuk mengontrol perdarahan. Bahan ini menyediakan matriks fisik yang
memulai pembekuan melalui aktivasi kontak. Selain itu, bila dioleskan pada area
yang mengalami perdarahan, Gelfoam membengkak dan memberikan tekanan pada
luka karena menyerap berkali-kali beratnya dalam darah. Penyerapan terjadi dalam 4
sampai 6 minggu tetapi tidak boleh dibiarkan di tempat yang terinfeksi dan area
dengan risiko tinggi infeksi atau di tempat terbatas karena dapat memberikan tekanan
yang tidak perlu pada struktur vital di sekitarnya (Fossum, 2019).
b. Elektrosurgery
Elektrosurgery mengacu pada menghasilkan panas di dalam jaringan
menggunakan arus listrik bolak-balik yang melewati jaringan kemudian membuat
sirkuit. Bedah listrik banyak digunakan untuk hemostasis untuk pembuluh yang
berdiameter kurang dari 1,5 sampai 2 mm; kapal yang lebih besar harus ditangani
dengan cara lain (Fossum, 2019).

5. Pengertian dan macam-macam terapi cairan


Terapi cairan adalah terapi yang mempengaruhi keberhasilan penanganan pasien
kritis. Selain dapat menggantikan cairan yang hilang, terapi cairan dapat dilakukan untuk
mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi kebutuhan per hari,
mengatasi syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi lain. Administrasi terapi cairan
melalui intravena adalah salah satu rute terapi cairan yang paling umum dan penting
dalam pengobatan pasien bedah, medis, dan sakit kritis (Suta dan Sucandra, 2017).
Cairan intravena dibagi menjadi dua yaitu kristaloid dan koloid. Cairan kristaloid
berisi elektrolit, dan tidak mengandung partikel onkotik. Oleh karena itu tidak terbatas
dalam ruang intravascular dengan waktu paruh kristaloid di intravascular adalah 20-30
menit. Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotic yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam
ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan deficit
cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hemorraghik sebelum diberikan transfusi
darah (Suta dan Sucandra, 2017).
Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu :
 Cairan pemeliharaan : Mengacu pada penyediaan IV cairan dan elektrolit untuk
pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dengan rute enteral (Suta dan
Sucandra, 2017).
 Cairan pengganti : Dibutuhkan untuk mengganti deficit yang ada atau kehilangan
yang tidak normal yang sedang berlangsung (Suta dan Sucandra, 2017).
 Cairan untuk tujuan khusus : Cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya
natrium bikarbonat 7,5% kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus terhadap
gangguan keseimbangan elektrolit (Suta dan Sucandra, 2017).
 Cairan nutrisi : Digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak mau
makan, tidak boleh makan, dan tidak bisa makan peroral (Suta dan Sucandra,
2017).

6. Diagram alir pemasangan infus pada hewan

Anjing/Kucing
g
Dihandling hewan dengan nyaman, lalu dicukur rambut pada
bagian vena saphena.

Dibersihkan daerah yang telah dicukur dengan antiseptic


(Alkohol 70%).

Dipegang kaki yang akan dipasangi IV catheter pada saat


memasang.

Dipasangkan kateter berukuran 19 G untuk kucing dan 17 G


untuk anjing pada vena saphena secara perlahan.

Hasil
(Batan, 2017).
7. Diagram alir pemasangan tom catheter pada hewan

Kucing

Dianastesi kucing

Disiapkan kateter yang telah dioleskan salep antibiotic agar


licin dan mudah masuk.

Dimasukkan secara perlahan hingga keseluruhan kateter


masuk. Pasang spuit pada ujung kateter dan sedot urin.

Hasil
(Apritya, dkk, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Apritya D.,dkk. 2017. Analisis Urin Kasus Urolithiasis Pada Kucing Tahun 2017 Di
Surabaya. AGROVETERINER. 6(1) : 82-85
Batan, I Wayan. 2017. Terapi Cairan Untuk Anjing dan Kucing. Denpasar : Universitas
Udayana
Fossum, T.W., 2019. Small Animal Surgery 5th Edition. Elsevier
Plumb, D.C. 2011. Veterinary Drug Handbook 7th Edition. Pharma Vet Inc.
Ratnasari, D.D. 2016. Studi Penggunaan Propofil Kombinasi Pada Induksi Anestesi.
SKRIPSI. Universitas Airlangga.
Sari, N. M. 2017. Tingkat Kepuasan Pasien Pasca Operasi dengan Anestesi Regional
dan Anestesi Umum di RS PKU Muhammadiyah Gamping. Yogyakarta:
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Suta, P.D.D., Sucandra, I.M.A.K. 2017. Terapi Cairan. Universitas Udayana.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai